Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

20
Tugas Ujian Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan dan Pembangunan (PWK 607) Dosen Pengampu : Prof. Dr. Rer nat. Imam Buchori, ST. ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DISPARITAS WILAYAH PATI UTARA DAN WILAYAH PATI SELATAN DI KABUPATEN PATI Dikerjakan Oleh: AGUS SUGIANTO NIM : 21040116410046 BRAMANTIYO MARJUKI NIM : 21040116410036 (Kelas Kementerian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat) MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA - FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2016

Transcript of Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

Page 1: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

Tugas Ujian Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan dan Pembangunan (PWK 607)

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Rer nat. Imam Buchori, ST.

ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DISPARITAS WILAYAH PATI UTARA DAN WILAYAH PATI SELATAN

DI KABUPATEN PATI

Dikerjakan Oleh:

AGUS SUGIANTO NIM : 21040116410046

BRAMANTIYO MARJUKI NIM : 21040116410036

(Kelas Kementerian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat)

MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA - FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2016

Page 2: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

1

I. PERMASALAHAN

Terbitnya UU no 13 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah - daerah

Kabupaten Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Tengah menjadi dasar terbentuknya

Kabupaten Pati. Secara administratif Kabupaten Pati terdiri dari 21 kecamatan, 406

desa dan kelurahan dengan luas wilayah 150.368 Ha. Isu pemecahan atau

pembentukan Kabupaten Pati Selatan mengemuka pada tahun 2013 dan 2014.

Berkembangnya isu ini sebenarnya tidak terlepas dari disparitas wilayah yang terjadi di

Kabupaten Pati.

Dalam perkembangannya, terminologi wilayah Pati Utara dan wilayah Pati

Selatan belum banyak digunakan secara resmi dalam pembagian wilayah. Terminologi

yang digunakan biasanya mengacu kepada kesamaan kondisi baik itu geografis,

pertanian, sosial, transportasi, infrastruktur dan lain - lain. Pembagian tidak resmi dua

wilayah Kabupaten pati didasarkan pada posisi dari jalan nasional Pantai Utara Jawa

(Pantura) yang membelah Kabupaten Pati. Wilayah Pati sisi utara jalan yang dikenal

dengan Pati Utara terdiri dari 12 kecamatan dan wilayah sisi selatan jalan yang dikenal

dengan wilayah Pati Selatan terdiri dari 9 kecamatan.

Wilayah pati utara meliputi Kecamatan Margorejo, Kecamatan Pati, Kecamatan

Juwana, Kecamatan Gembong, Kecamatan Tlogowungu, Kecamatan Gunungwungkal,

Kecamatan Trangkil, Kecamatan Wedarijaksa, Kecamatan Margoyoso, Kecamatan

Tayu, Kecamatan Dukuhseti dan kecamatan Cluwak. Topografi Pati Utara berupa

lereng kaki Gunung Muria, dataran rendah dan kawasan pantai. Daerah pertaniannya

lebih subur di banding Pati Selatan. Wilayah ini berbatasan langsung dengan wilayah

dua kabupaten yaitu Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara.

Wilayah pati selatan meliputi Kecamatan Batangan, Kecamatan Jaken,

Kecamatan Jakenan, Kecamatan Pucakwangi, Kecamatan Tambakromo, Kecamatan

Gabus, Kecamatan Kayen, Kecamatan Sukolilo dan Winong. Karakteristik topografisnya

merupakan daerah pesisir (di kecamatan Batangan) dan daerah perbukitan berbatuan

kapur. Jika dibandingkan pada waktu musim kemarau, wilayah pati selatan akan

cenderung lebih panas dan kering dibandingkan dengan pati utara yang lebih sejuk

dan subur. Wilayah ini berbatasan dengan dengan kabupaten Rembang, Kabupaten

Blora, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Kudus.

Page 3: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

2

Kesimpulan awal yang menjadi penyebab disparitas 2 (dua) wilayah ini adalah

terjadi kesenjangan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Pati. Sejak tahun 2013

Pemerintah Kabupaten Pati menerapkan program “Noto Projo, Mbangun Desa” dalam

rangka mengatasi kesenjangan infrastruktur. Dana stimulan pembangunan

infrastruktur perdesaan digelontorkan ke semua desa. Hasil evaluasi pada tahun 2015

kondisi infrastruktur di 2 (dua) wilayah relatif setara. Namun demikian beberapa desa

di kedua wilayah masih mengalami kebingungan dalam penyerapannya. Contohnya

Desa Grogolsari (kecamatan Pucakwangi) wilayah Pati selatan dan desa Kedungsari

(Kecamatan Tayu) wilayah Pati utara.

Dalam kajian ini, akan di analisis hal- hal apa saja yang menjadi penyebab

disparitas 2 (dua) wilayah di Kabupaten Pati dengan menggunakan analisis faktor. Data

yang digunakan untuk analisis adalah data dalam terbitan Kecamatan dalam angka

tahun 2015 dan Pati dalam angka 2015. Variabel yang digunakan dalam kajian terdiri

dari:

1. Geografis, meliputi Jarak kota kecamatan terhadap Kota Pati sebagai pusat

pemerintahan dan Luas lahan sawah.

2. Pemerintahan, meliputi status desa yaitu desa swasembada.

3. Kependudukan, data kependudukan yang akan digunakan adalah jumlah

penduduk, usia produktif, jumlah kepala keluarga miskin dan jumlah penduduk

berprofesi sebagai petani.

4. Sosial akan dilihat dari jumlah fasilitas SMA & SMK dan jumlah fasilitas

kesehatan.

5. Ekonomi, yang akan dilihat dari data Pendapatan Asli Desa.

6. Pertanian, data yang digunakan adalah luas lahan panen.

7. Jasa dan Perdagangan, data yang digunakan jumlah pasar dan bank.

II. METODE

II.1 Analisis Faktor *).

Analisis faktor adalah teknik analisis dalam statistik yang digunakan untuk (1)

mengurangi variabel-variabel yang saling berkorelasi dari data dan menggantikannya

dengan variabel yang lebih sederhana sehingga lebih mudah diinterpretasi; dan (2)

Page 4: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

3

mengidentifikasi hubungan yang tersembunyi dari berbagai variabel yang dilibatkan

dalam analisis. Proses pengurangan variabel dilakukan dengan cara membuat

kombinasi linier dari variabel-variabel (disebut komponen atau faktor) yang

menyimpan sebanyak mungkin informasi dari variabel-variabel tersebut. Kemudian

proses dilanjutkan untuk memperoleh komponen kedua yang menyimpan informasi

yang tidak tertampung dari komponen pertama, dan seterusnya sampai semua

informasi dari variabel awal masuk dalam salah satu komponen. Jumlah komponen

akhir yang dihasilkan biasanya lebih sedikit dari jumlah variabel yang dilibatkan, oleh

karena itu analisis faktor dianggap merupakan metode terbaik untuk mengetahui

hubungan antar variabel tanpa harus menganalisis hubungan antar variabel secara

langsung satu demi satu.

II.2 Principal Component Analysis

Analisis faktor yang digunakan untuk memahami perbedaan kemajuan wilayah

antara Pati Utara dan Pati Selatan adalah analisis faktor menggunakan metode

Principal Component Analysis (PCA). PCA umumnya digunakan untuk

menyederhanakan dan mengidentifikasi sejumlah variabel yang saling berkorelasi,

sehingga lebih mudah dipahami dan diinterpretasi. PCA digunakan terutama apabila

analisis dilakukan menggunakan banyak variabel (dimensi) sehingga tidak

memungkinkan untuk ditampilkan dalam representasi grafis. Kelebihan utama PCA

dibanding metode lain adalah proses penyederhanaan variabel (dimensi) data

dilakukan tanpa mengurangi informasi awal yang tersimpan dalam setiap variabel.

II.3 Prosedur Analisis Faktor Principal Component Analysis.

Principal Component Analysis dilaksanakan melalui urutan tahapan yang

disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Prosedur Analisis Faktor

Standarisasi Data Ekstraksi Faktor Deskripsi faktor

Rotasi Faktor Skor Faktor Interpretasi Komponen

Page 5: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

4

II.3.1 Standarisasi Data

Standarisasi data merupakan tahap awal dari analisis faktor. Data interval/rasio

yang menjadi masukan dalam analisis faktor mungkin mempunyai satuan dan rentang

nilai yang berbeda, yang berimpikasi pada perbedaan variansi. Agar perbedaan variansi

ini tidak berpengaruh terhadap hasil perhitungan, perlu dilakukan standarisasi nilai

dalam bentuk Zscore.

II.3.2 Deskripsi faktor

Deskripsi faktor dilakukan untuk mencari hubungan kolinier antar variabel

sebelum analisis faktor dilakukan. Diasumsikan setiap variabel di dalam dimensi yang

sama atau berbeda harus saling berkorelasi satu sama lain. Jika ada variabel yang tidak

berkorelasi dengan variabel lain, maka disarankan variabel tersebut tidak dilibatkan

dalam analisis faktor. Selain itu, terjadinya korelasi yang sangat tinggi atau korelasi

sempurna (singularitas) harus dihindari karena kontribusi antar faktor menjadi tidak

dapat ditentukan. Untuk mengidentifikasi tidak adanya korelasi atau korelasi yang

terlalu tinggi (R > 0,8), maka dalam tahap ini dibuat matriks korelasi yang hasilnya

dijadikan panduan untuk mengidentifikasi dua hal tersebut. Selain itu perlu juga

dipertimbangkan adanya multikolinieritas. Multikolinieritas secara umum tidak terlalu

berpengaruh pada analisis faktor, akan tetapi multikolinieritas yang tinggi antar

variabel sebisa mungkin harus dihindari. Multikolinieritas dapat dideteksi dengan

melihat nilai determinan dari hasil perhitungan matriks korelasi.

Nilai determinan merupakan representasi area sebaran sampel dalam diagram

pencar (scatterplot). Variabel yang memiliki korelasi tinggi (singular) akan membentuk

area plot yang hampir lurus sehingga tidak mempunyai lebar. Lebar ini

mengindikasikan nilai determinan sehingga nilainya adalah 0. Sementara jika variabel

tidak berkorelasi satu sama lain, maka akan membentuk area sebaran sampel yang

elips membulat sehingga dapat diketahui lebar areanya. Untuk variabel yang nilai

korelasinya mendekati 0 maka nilai determinannya akan mendekati 1.

Analisis faktor mensyaratkan setiap variabel memiliki variansi umum (common

variance) karena di dalam analisis faktor setiap variabel ingin diketahui kontribusi

variansinya terhadap variabel lain. Variansi umum ini disebut communality dan dapat

Page 6: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

5

dihitung dari matriks korelasi. Variabel yang hanya memiliki variansi umum akan

mempunyai nilai communality sebesar 1, sementara variabel yang hanya memiliki

variansi spesifik untuk variabel itu sendiri akan mempunyai nilai 0. Panduan umum

tentang communalities ini adalah setiap variabel dalam analisis faktor harus memiliki

nilai communality minimal 0,6. Jika ada variabel yang memiliki nilai di bawah itu, maka

variabel tersebut dianggap tidak layak dilibatkan dalam analisis. Proses pemilahan

variabel ini dilanjutkan sampai seluruh variabel yang dilibatkan memiliki nilai

communality minimal 0,6.

Selain itu pada tahap ini perlu dilakukan uji kelayakan jumlah sampel

menggunakan KMO Test dan Bartlett’s test of Sphericity. Jika nilai KMO lebih dari 0,5

maka sampel dianggap layak untuk diolah dalam analisis faktor. Nilai 0

mengindikasikan bahwa jumlah dari korelasi parsial relatif lebih besar daripada jumlah

korelasi. Hal ini mengindikasikan adanya difusi di dalam pola korelasi, sehingga analisis

faktor dianggap tidak layak. Nilai KMO yang mendekati 1 mengindikasikan pola korelasi

yang relatif kompak, sehingga analisis faktor akan memberikan hasil yang dapat

dipercaya. Secara umum panduan untuk mengukur kelayakan analisis faktor

berdasarkan Nilai KMO adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Tingkat Kepercayaan KMO Test

Nilai KMO Tingkat Kepercayaan

0,5 – 0,7 Menengah

0,7 – 0,8 Baik

0,8 – 0,9 Baik Sekali

> 0,9 Sangat Baik

Pengujian hasil KMO secara individual per variabel dapat dilakukan dengan cara

mengamati Anti Image Matrix. Elemen diagonal (ditandai dengan huruf “a”) dari Anti

Image Matrix merupakan Nilai KMO per variabel, sehingga apabila ditemukan nilai

KMO yang tidak memuaskan, maka harus dilakukan pengamatan hasil Anti Image

Matrix. Nilai lajur diagonal pada Anti Image Matrix untuk setiap variabel harus sama

dengan atau lebih dari 0,5. Jika terdapat variabel dengan nilai kurang dari 0,5 maka

variabel tersebut harus dikeluarkan dari analisis. Pengeluaran variabel akan mengubah

hasil perhitungan KMO, sehingga inspeksi ulang nilai KMO dan Anti Image Matrix

mutlak dilakukan. Adapun Bartlett Test akan memberikan informasi signifikansi

Page 7: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

6

sampel, dimana jika nilainya kurang dari 0,05, maka analisis faktor akan dapat

memberikan hasil pengolahan data yang dapat dipercaya.

II.3.3 Ekstraksi Faktor

Pada tahap ini dilakukan proses ekstraksi faktor yang menghasilkan Nilai Eigen

yang digunakan untuk merotasi faktor. Pada tahap ini dapat dilakukan pengujian

antara menggunakan Nilai Eigen minimal yang direkomendasikan Kaiser, yaitu 1, atau

menggunakan Nilai Eigen yang ditentukan sendiri. Jika kedua uji memberikan jumlah

komponen (factors) yang sama, maka analisis dapat dilanjutkan. Namun jika tidak,

maka harus dilakukan observasi terhadap hasil Communalities untuk kemudian

ditentukan sendiri berapa Nilai Eigen minimal yang digunakan.

II.3.4 Rotasi Faktor

Rotasi faktor adalah proses transformasi sumbu yang memaksimalkan

pembacaan data setiap variabel pada salah satu faktor yang diekstraksi, sembari

meminimalkan pembacaan pada faktor yang lain. Rotasi dijalankan dengan cara

mengubah nilai absolut dari setiap variabel sambil mempertahankan nilai pembeda

setiap variabel tetap konstan. Pada tahap ini dapat dipilih metode rotasi yang akan

digunakan. Metode rotasi varimax, quartimax dan equimax merupakan rotasi

orthogonal, sedangkan oblimin dan promax merupakan rotasi oblique. Jika faktor yang

dihasilkan diperkirakan independen satu sama lain, maka rotasi yang digunakan adalah

rotasi orthogonal, sementara jika secara teori faktor yang dihasilkan memiliki

kemungkinan adanya korelasi, maka rotasi yang dipilih adalah rotasi oblique.

Tahap pengujian yang cukup penting dalam aspek rotasi faktor adalah perlu

adanya pemastian komponen yang dihasilkan tidak memiliki korelasi satu sama lain.

Untuk itu perlu dibuat Component Transformation Matrix yang ditujukan untuk

melihat korelasi antar komponen.

II.3.5 Skor Faktor

Skor faktor adalah nilai indeks dari hasil analisis faktor. Skor faktor atau sering

disebut sebagai factor loading berkisar antara -1 dan 1 yang menunjukkan derajat

Page 8: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

7

korelasi antar variabel di dalam satu kelompok faktor (komponen). Interpretasi skor

faktor pada dasarnya sama dengan interpretasi Korelasi Pearson, dimana nilai – 1

menunjukkan hubungan kuat berlawanan antar faktor di dalam komponen yang sama,

nilai 0 menunjukkan ketiadaan hubungan antar faktor di dalam komponen, dan nilai +1

menunjukkan hubungan kuat searah antar faktor di dalam komponen.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1 Data Mentah

Berikut ini adalah data mentah dari publikasi Pati Dalam Angka Kecamatan

Tahun 2015 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati. Sebagaimana

dijelaskan sebelumnya, hanya beberapa variabel yang dilibatkan karena tidak semua

variabel tersedia datanya untuk setiap kecamatan.

Tabel 1. Tabel Data Mentah dari Publikasi Pati Dalam Angka Tahun 2015 Per Kecamatan

III.2 Hasil Pengolahan SPSS dan Interpretasi Hasil Pengolahan

III.2.1 Standarisasi Data

Hasil deskripsi statistik disajikan pada Tabel 2. Disini dapat dilihat adanya

perbedaan nilai variansi dan standar deviasi antar variabel, sehingga agar proses

analisis faktor dapat berjalan secara konsisten, maka data perlu distandarisasi dalam

bentuk zscore. Hasil zscore kemudian digunakan sebagai masukan dalam analisis

faktor. Dari hasil descriptive statistics juga dapat diketahui bahwa semua sampel yang

dilibatkan (N) valid dan tidak ada yang missing.

Page 9: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

8

Tabel 2. Statistik Deskriptif

III.2.2 Matriks Korelasi

Hasil matriks korelasi disajikan pada Tabel 3. Matriks korelasi merupakan tabel

matriks yang berisi hasil korelasi antar variabel yang dilibatkan dalam analisis. Matriks

ini menunjukkan variabel mana yang mempunyai korelasi satu sama lain. Hasil

kalkulasi determinan pada matriks menghasilkan nilai determinan sebesar 0,001, yang

mengindikasikan bahwa multikolinieritas bukan merupakan masalah untuk matriks ini,

sehingga analisis faktor dapat dilanjutkan.

Tabel 3. Hasil Matriks Korelasi

Hasil matriks korelasi diatas dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

1. Hubungan Luas Lahan Sawah dengan Variabel yang lain.

Hubungan Luas Lahan Persawahan dengan jarak wilayah ke kota Pati

menunjukkan bahwa semakin dekat jarak wilayah yang memiliki luas lahan sawah

dengan kota pati akan membawa dampak positif. Namun hubungan ini tidak cukup

kuat yang terlihat dari angka sig 0,290>0,05. Adapun hubungan Luas Lahan

Page 10: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

9

Persawahan dengan Pasar menunjukkan semakin luas lahan sawah maka semakin

dekat dengan pasar, yang terlihat pada baris sig. (1- tailed) dimana korelasi antar

variabel tersebut memiliki p-value sebesar 0,003<0,05. Hubungan Luas Lahan

Persawahan dengan fasilitas seperti Stasiun Pengisian BBM, Bank, Fasilitas Pendidikan

dan Fasilitas Kesehatan menunjukkan di daerah yang banyak lahan persawahan juga

akan jarang di temui fasilitas. Terkait dengan aspek demografi, hubungan Luas Lahan

Persawahan dengan KK Miskin menunjukkan jika lahan persawahan cukup luas maka

yang bertempat tinggal di daerah itu terdapat banyak Keluarga miskinnya. Untuk

hubungan dengan Usia Produktif hubungannya juga tidak kuat, sehingga dapat

disimpulkan bahwa usia produktif tidak hanya tinggal di daerah pertanian saja.

Demikian pula hubungan Luas lahan persawahan dengan Desa Swasembada

menunjukkan status desa swasembada tidak berhubungan dengan keberadaan dan

luas lahan pertanian. Hubungan ini diperkuat dengan ditemukannya hubungan Luas

Lahan Persawahan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dimana semakin luas lahan

sawah ternyata kontribusinya terhadap PAD sangat kecil.

2. Hubungan Jarak dengan Kota Pati dengan Variabel yang lain.

Hubungan Jarak Dengan Kota Pati dengan Bank menunjukkan bahwa semakin

jauh dengan jarak kota pati, berbanding lurus dengan jumlah fasilitas yang ada. Berarti

semakin dekat dengan kota pati semakin banyak jumlah fasilitas. Dilihat dari aspek

demografi, hubungan Jarak Dengan Kota Pati dengan Kk Miskin berada pada zona

positif, walau tidak terlalu kuat. Hasil ini dapat diartikan bahwa semakin dekat jarak

wilayah kecamatan dengan Kota Pati penduduk / miskin semakin banyak walau

hubungannya nampak tidak signifikan. Demikian pula untuk aspek Usia Produktf

dimana hubungannya cukup kuat dan negatif yang berarti usia produktif banyak yang

tinggal di wilayah yang jauh dari Kota Pati. Terkait pendapatan daerah hubungan Jarak

Dengan Kota Pati dengan PAD menunjukkan bahwa wilayah yang jauh dengan kota

pati memiliki PAD yang kecil sedangkan semakin dekat dengan kota Pati memiliki PAD

yang lebih baik. Untuk hubungan Jarak Dengan Kota Pati dengan Jumlah Penduduk

Berprofesi Petani menunjukkan luas panen wilayah atau kecamatan yang dekat dengan

Kota Pati memiliki hubungan yang cukup kuat dan positif. Artinya jarak dengan kota

Pati memiliki peranan terhadap luasan lahan yang di panen.

3. Hubungan Bank dengan Variabel yang lain.

Hubungan Bank dengan Pasar menunjukkan Hubungan negatif lemah, artinya

jumlah Bank tidak tergantung jumlah pasar. Adapun hubungan Bank dengan aspek

demografi KK Miskin menunjukkan hubungan positif namun tidak cukup kuat. Artinya

mungkin ada sebagian Keluarga Miskin yang menggantungkan pada Bank untuk

mencari pinjaman. Hal ini selaras juga dengan hubungan Bank dan Kelompok Usia

Produktif dimana hubungannya positif, yang diartikan pengguna Bank adalah

kelompok Usia Produktif. Hubungan Bank dengan fasilitas penyediaan energy (BBM),

Page 11: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

10

kesehatan dan pendidikan menunjukkan hubungan positif. Artinya aktivitas di fasilitas

tersebut memerlukan keberadaan bank, baik untuk tabungan para pekerja dan pelajar

atau pencarian modal investasi. Hubungan Bank dengan PAD menunjukkan bank

punya pengaruh terhadap peningkatan PAD, walaupun tidak signifikan. Untuk

hubungan Bank dengan Jumlah Penduduk Berprofesi Petani menunjukkan hubungan

negatif dan signifikan, yang berarti keberadaan bank terletak jauh dari daerah

pertanian dan petani sendiri tidak terlalu tergantung pada bank. Terakhir hubungan

Bank dengan Desa Swasembada menunjukkan hubungan kuat dan positif yang berarti

Desa Swasembada sudah memiliki akses perbankan yang baik.

4. Hubungan Pasar dengan Variabel yang lain.

Hubungan Pasar dengan aspek demografi berupa variabel KK Miskin

menunjukkan hubungan kuat, positif dan signifikan. Hubungan ini mungkin

menunjukkan adanya ketergantungan keluarga miskin terhadap keberadaan pasar

sebagai sarana mencari barang, jasa dan pekerjaan, sebagaimana nampak juga dari

hubungan dengan variabel Usia Produktif yang ditermukan adanya korelasi, walaupun

tidak signifikan. Untuk hubungan Pasar dengan PAD diperoleh kesimpulan jumlah

pasar tidak terlalu berkontribusi pada PAD. Terkait hubungan Pasar dengan Jumlah

Penduduk Berprofesi Petani. Nilai ini menunjukkan hubungannya positif dan kuat,

dimana keberadaan pasar membantu petani untuk menjual hasil panen. Dan terakhir,

Hubungan Pasar dengan Desa Swasembada menunjukkan hubungannya negatif dan

tidak signikan.

5. Hubungan KK Miskin dengan Variabel yang lain.

Hubungan KK Miskin dengan PAD berada pada zona negatif dimana semakin

banyak KK miskin yang ada sumbangannya terhadap PAD kecil. Adapun hubungan KK

Miskin dengan Pengisian Stasiun BBM pada zona positif dan lemah dimana KK miskin

tidak banyak menggunakan atau mampu mengakses BBM akibat kemiskinannya.

Demikian pula hubungan KK Miskin dengan Fasilitas Kesehatan dan Pendidikan bera

pada zona positif kurang, dimana semua orang memerlukan fasilitas kesehatan dan

pendidikan, namun akses ke fasilitas tersebut lemah. Hubungan KK Miskin dengan

Jumlah Penduduk Berprofesi Petani positif kuat, yang menunjukkan bahwa keluarga

miskin sebagian besar berprofesi sebagai petani. Lebih lanjut, hubungan KK Miskin

dengan usia produktif menunjukkan bahwa keluarga miskin sebagian besar masih

berusia produktif. Terakhir, hubungan KK Miskin dengan Desa menunjukkan bahwa

keluarga miskin sebagian besar tinggal di perdesaan.

6. Hubungan PAD dengan Variabel yang lain.

Hubungan PAD dengan Stasiun Pengisian BBM menunjukkan hubungan positif

dan cukup kuat, dimana suatu wilayah yang memiliki PAD kuat akan menggunakan

Page 12: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

11

energi yang besar terutama BBM akibat aktifitas warganya. Adapun hubungan PAD

dengan Fasilitas Kesehatan berada pada zona positif namun kurang kuat, yang berarti

wilayah dengan PAD besar belum tentu sebaran fasilitas kesehatannya merata.

Hubungan PAD dengan SMA menunjukkan hubungan yang positif dimana wilayah

wilayah yang sebaran SMA SMKnya besar biasanya cukup maju dan berperan

mendongkrak nilai PAD. Hubungan PAD dengan Jumlah Penduduk Berprofesi Petani

menunjukkan hubungan negatif dan cukup kuat, Hasil ini mengindikasikan besaran

hasil pertanian yang dipanen kurang berkontribusi terhadap PAD. Hubungan PAD

dengan Usia Produktif berada pada zona positif tetapi tidak signifikan. Artinya, peran

usia produktif terhadap PAD ada, tapi kurang signifikan. Terakhir, hubungan PAD

dengan Desa Swasembada menunjukkan hubungannya positif walaupun tidak terlalu

kuat, yang artinya status desa swasembada tidak berperan pada jumlah PAD wilayah

tersebut.

7. Hubungan Stasiun Pengisian BBM dengan Variabel yang lain.

Hubungan Stasiun pengisian BBM dengan Fasilitas Kesehatan menunjukkan

bahwa banyaknya fasilitas kesehatan akan berdampak kepada penggunaan BBM

sehingga kebutuhan akan Stasiun Pengisian BBM juga besar. Demikian pula untuk

hubungan dengan fasilitas pendidikan juga besar. Hubungan Stasiun pengisian BBM

dengan Jumlah Penduduk Berprofesi Petani menunjukkan bahwa kebutuhan bahan

bakar para Petani tidak diimbangi dengan banyaknya Stasiun Pengisian BBM, padahal

dalam aktifitas penjualan hasil panen/ transpotasinya membutuhkan banyak BBM.

Hubungannya Kuat dan negatif. Hubungan Stasiun pengisian BBM dengan Usia

Produktif menunjukkan bahwa aktifitas orang pada usia produktif, seperti bekerja dan

sekolah membutuhkan energi yang banyak, maka adanya Stasiun Pengisian BBM akan

sangat membantu menjalankan aktifitas mereka, sehingga hubungannya kuat dan

positif. Hubungan Stasiun pengisian BBM dengan Status Desa Swasembada

menunjukkan bahwa aktifitas manusia dalam mewujudkan desa swasembada sangat

banyak dan beragam, sehingga membutuhkan energi yang banyak. Dengan adanya

Stasiun Pengisian BBM akan sangat membantu menjalankan aktifitas mereka.

Hubungannya cukup Kuat dan positif.

8. Hubungan Fasilitas Kesehatan dengan Variabel yang lain.

Hubungan Fasilitas Kesehatan dengan SMA SMK menunjukkan hubungan kuat

dan positif. Dari hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa keberadaan fasilitas

pendidikan dan pelayanan kesehatan mengumpul di wilayah tertentu. Untuk

hubungan Fasilitas Kesehatan dengan Jumlah Penduduk Berprofesi Petani

menunjukkan hubungan yang negatif dan tidak signifikan, yang dapat diinterpretasikan

bahwa fasilitas kesehatan kurang tersedia di wilayah yang jumlah petaninya signifikan.

Adapun hubungan Fasilitas Kesehatan dengan Usia Produktif menunjukkan akses

terhadap fasilitas dan pelayanan kesehatan digunakan oleh kelompok usia produktif

Page 13: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

12

dan sebaran fasilitasnya mengikuti sebaran kelompok usia produktif. Terakhir,

hubungan Fasilitas Kesehatan dengan Status Desa Swasembada menunjukkan

hubungan yang positif kuat. Hal ini berarti Desa Swasembada di Kabupaten Pati telah

memiliki jumlah fasilitas kesehatan yang cukup.

9. Hubungan SMA SMK dengan Variabel yang lain.

Hubungan jumlah fasilitas pendidikan dengan Jumlah Penduduk Berprofesi

Petani menunjukkan hubungan yang cukup kuat dan negatif, artinya Petani yang ada

sudah tidak bersekolah (lulus) atau tidak mampu mengakses pendidikan menengah.

Adapun hubungan SMA - SMK dengan Usia Produktif menunjukkan hubungan yang

kuat dan positif, artinya fasilitas pendidikan dibangun pada lokasi dimana kelompok

usia produktif cukup banyak, atau kelompok usia produktif di Pati sudah terpenuhi

pelayanan pendidikannya. Terakhir, hubungan fasilitas pendidikan dengan Desa

Swasembada menunjukkan hubungan yang kurang kuat dan positif, artinya Status

Desa Swasembada tidak terlalu berpengaruh terhadap keberadaan fasilitas

pendidikan.

10. Hubungan Jumlah Penduduk Berprofesi Petani dengan Variabel yang lain.

Hubungan Jumlah Penduduk Berprofesi Petani dengan usia produktif

menunjukkan hubungan yang negatif dan kuat, yang berarti Kelompok Usia Produktif

didominasi bukan petani. Sementara hubungan Jumlah Penduduk Berprofesi Petani

dengan Desa Swasembada menunjukkan hubungan negatif yang lemah yang berarti

tidak ada hubungan antara status swasembada dengan jumlah Petani.

11. Hubungan Usia Produktif dengan Variabel yang lain.

Hubungan Usia Produktif dengan desa swasembada menunjukkan hubungan

yang positif. Hal ini berarti kelompok usia produktif sangat berperan dalam

mewujudkan desa swasembada.

III.2.3 Hasil KMO dan Bartlett’s Test

Hasil Tes KMO dan Bartlett disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan Bartlett’s Test

of Sphericity dengan Chi-Square 163,465 (df 66) dan nilai sig = 0,000 < 0,05

menunjukkan bahwa matriks korelasi bukan merupakan matriks identitas sehingga

dapat dilakukan analisis komponen utama. Di samping itu, Nilai KMO yang dihasilkan

adalah sebesar 0.683 serta p-value sebesar 0,000 (<0,05), nilai tersebut jatuh dalam

kategori “menengah” sehingga layak untuk kepentingan analisis faktor dan dapat

dianalisis lebih lanjut

Page 14: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

13

Tabel 4.

III.2.4 Hasil Pengujian Matriks Anti Image

Selain hasil KMO and Bartlett test, pengujian variabel juga dilakukan

menggunakan Anti Image matrices untuk mengetahui apakah variabel – variabel

secara parsial layak untuk dianalisis dan tidak perlu dikeluarkan. Berdasarkan Tabel 5 di

bawah, terlihat bahwa dari 12 variabel yang akan dianalisis, semua variabel memiliki

nilai MSA yang memenuhi syarat (dapat dilihat pada output yang bertanda a pada

kolom Anti-Image Correlation), yaitu nilainya > 0,5.

Tabel 5. Hasil Matriks Anti Image

III.2.5 Hasil Pengujian Communalities

Pengujian communalities merupakan langkah pengujian terakhir sebelum

dilakukan interpretasi hasil rotasi matriks dan komponen yang terbentuk. Hasil yang

diperoleh (Tabel 5) menunjukkan bahwa 12 variabel yang digunakan mempunyai nilai

communalities yang besar (> 0.5). Hal ini mengindikasikan bahwa keseluruhan variabel

yang digunakan memiliki hubungan yang kuat dengan faktor yang terbentuk. Secara

Page 15: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

14

umum, semakin besar nilai dari communalities maka semakin baik analisis faktor,

karena adanya karakteristik variabel asal yang diwakili.

Tabel 6. Hasil Perhitungan Communalities

III.2.6 Hasil Perhitungan Total Variance Explained dan Screeplot.

Total Variance Explained menunjukkan besarnya persentase keragaman total

yang mampu diterangkan oleh keragaman faktor - faktor yang terbentuk. Dari hasil

perhitungan, jumlah faktor yang terbentuk ada 4 faktor. Faktor 1 memiliki Eigenvalue

sebesar4,915 Faktor 2 sebesar 2,876, faktor 3 sebesar 1,192 dan Faktor 4 sebesar

1,014. Untuk menentukan berapa komponen/faktor yang dipakai agar dapat

menjelaskan keragaman total maka dilihat dari besar nilai Eigenvalue-nya. Komponen

dengan Eigenvalue > 1 adalah komponen yang dipakai. Kolom ‘% variance’

menunjukkan persentase kumulatif variansi yang dapat dijelaskan oleh faktor yang

terbentuk. Besarnya keragaman yang mampu diterangkan oleh Faktor 1 sebesar 40,96

persen, sedangkan keragaman yang mampu dijelaskan oleh Faktor 2 sebesar 23, 968

persen, Faktor 3 sebesar 9,934 persen dan 4 sebesar 8,451 persen. Keempat faktor

mampu menjelaskan keragaman total sebesar 83,312 persen. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa keempat faktor sudah cukup mewakili keragaman variabel –

variabel asal karena memiliki total variansi yang terjelaskan lebih dari 80 persen.

Tabel 7. Hasil Perhitungan Total Variance Explained

Page 16: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

15

Scree Plot adalah salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk membantu

menentukan berapa banyak faktor yang akan terbentuk. Jika kurva masih curam, maka

komponen dapat ditambah. Jika kurva sudah landai, maka penambahan komponen

dapat dihentikan. Walaupun demikian penilaian curam/landai bersifat subjektif. Dari

scree plot pada Gambar 2 di bawah, terlihat pada saat komponen pertama terbentuk,

kurva masih menunjukkan lereng yang menurun ke bawah. Demikian pula juga pada

saat di titik ke-2, garis kurva masih menurun. Di titik ke-3 garis kurva masih menurun

namun sedikit melandai. Hal yang sama masih terjadi pada garis kurva ke 4. Setelah

melewati titik ke-4, garis kurva sudah mulai landau dansemakin ke kanan akan semakin

landai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat empat komponen atau

faktor yang terbentuk.

Gambar 2. Hasil Screplot

III.2.7 Hasil Perhitungan Component Matrix dan Rotated Component Matrix

Tabel component matrix menunjukkan besarnya korelasi tiap variabel dalam

faktor yang terbentuk. Nilai – nilai koefisien korelasi antara variabel dengan faktor -

faktor yang terbentuk (loading factor) dapat dilihat pada tabel Component Matrix.

Keempat faktor tersebut menghasilkan matrik loading faktor yang nilai-nilainya

merupakan koefisien korelasi antara variabel dengan faktor-faktor tersebut. Hasil

perhitungan Component Matrix disajikan pada Tabel 8

Page 17: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

16

Tabel 8. Hasil Perhitungan Matriks Komponen

Konfigurasi susunan variabel di dalam empat komponen pada matriks

komponen sebelum dilakukan rotasi disajikan pada Tabel 9. Namun demikian hasil

pengelompokkan variabel dalam tiap faktor belum dapat diinterpretasikan dengan

jelas sehingga perlu dilakukan rotasi.

Tabel 9. Pengelompokan Variabel dalam komponen Sebelum Rotasi

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4

1. Jumlah Bank 2. Pendapatan Asli Desa 3. Jumlah Stasiun BBM 4. Jumlah Fasilitas

Kesehatan 5. Jumlah SMA dan SMK 6. Jumlah penduduk yang

bekerja sebagai petani 7. Jumlah penduduk usia

produktif

1. Luas lahan sawah 2. Jumlah pasar 3. Jumlah KK miskin

1. Jarak ke Kota Pati 1. Status Desa Swasembada

Rotasi yang dipilih adalah Rotasi Varimax. Rotasi varimax adalah rotasi

orthogonal yang membuat jumlah varian faktor loading dalam masing-masing faktor

akan menjadi maksimum dimana nantinya peubah asal hanya akan mempunyai

korelasi yang tinggi dan kuat dengan faktor tertentu. Faktor yang dimaksud adalah

faktor yang korelasinya mendekati 1, yang secara otomatis memiliki korelasi yang

Page 18: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

17

lemah dengan faktor yang lainnya (korelasinya mendekati 0). Hasil rotasi matriks

disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Perhitungan Matriks Komponen Terotasi

Konfigurasi susunan variabel di dalam empat komponen pada matriks

komponen setelah dilakukan rotasi disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Pengelompokan Variabel dalam komponen Setelah Rotasi

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4

1. Jumlah Bank 2. Jumlah Stasiun BBM 3. Jumlah Fasilitas

Kesehatan 4. Jumlah SMA dan SMK 5. Jumlah penduduk usia

produktif

1. Luas lahan sawah 2. Jarak ke Kota Pati 3. Jumlah pasar 4. Jumlah KK miskin 5. Jumlah penduduk

berprofesi petani

1. Pendapatan Asli Desa

1. Status Desa Swasembada

Hasil pengelompokan variabel dalam faktor setelah rotasi menunjukkan adanya pola

yang lebih dapat dijelaskan secara logis terkait disparitas antara Pati Utara dan Pati

Selatan. Hasil pengelompokan pada Faktor 1 menunjukkan adanya hubungan positif

kuat antara antara nilai indeks dengan variabel Jumlah Bank, Jumlah Stasiun BBM,

Jumlah Fasilitas Kesehatan, Jumlah SMA dan Jumlah Penduduk Usia Produktif, namun

menunjukkan hubungan negatif dengan Jumlah Petani. Hasil ini menunjukkan adanya

kecenderungan pergeseran mata pencaharian ke non pertanian yang ditunjang dengan

bertumbuhnya fasilitas pelayanan di kecamatan – kecamatan tertentu. Faktor ini

selanjutnya disebut Faktor Sumberdaya Pembangunan. Adapun hasil pengelompokan

Page 19: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

18

pada Faktor 2 menunjukkan adanya hubungan positif yang kuat antara nilai indeks

dengan variabel Luas Lahan Sawah, Jumlah Pasar, Jumlah KK Miskin, dan Jumlah

Penduduk Petani. Selain itu, nilai indeks pada faktor ini juga berhubungan positif

dengan variabel Jarak ke Kota Pati walaupun hubungannya tidak kuat. Hasil pada

Faktor 2 ini menunjukkan bahwa kebanyakan Petani di Pati tidak sejahtera. Faktor 2 ini

selanjutnya disebut Faktor Pengaruh Tingkat Kemiskinan.

Hasil pengelompokan pada Faktor 3 menunjukkan hanya variabel Pendapatan

Asli Desa yang berkorelasi positif dengan nilai indeks faktor. Namun pada faktor ini

juga ditemui hubungan negatif yang kuat dengan variabel Jarak ke Kota Pati. Hasil ini

mengindikasikan bahwa kecamatan – kecamatan yang semakin dekat ke Kota Pati

memiliki PAD yang lebih besar. Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan Kota Pati

sangat berpengaruh terhadap kemandirian wilayah dalam menghasilkan keuntungan

ekonomi. Faktor ini selanjutnya disebut Faktor Pendapatan Asli Daerah. Nilai indeks

pada Faktor 4 berkorelasi positif kuat dengan variabel Status Desa Swasembada dan

berkorelasi positif sedang dengan variabel Jumlah Fasilitas Kesehatan. Hasil ini dapat

diinterpretasikan bahwa kecamatan yang memiliki desa dengan status swasembada

lebih banyak juga memiliki jaminan kesehatan terhadap warga yang lebih baik di Pati.

III.2.8 Hasil Perhitungan Component Transformation Matrix.

Tabel Component Transformation Matrix berfungsi untuk mengidentifikasi

faktor yang terbentuk sudah tidak memiliki korelasi lagi satu sama lain (orthogonal).

Hasil Component Transformation Matrix disajikan pada Tabel 10. Bila dilihat dari tabel

Component Transformation Matrix, nilai – nilai korelasi yang terdapat pada diagonal

utama berada di atas 0,5 yaitu 0,819; 0,914; 0,801; dan 0,813. Hasil ini menunjukkan

bahwa keempat faktor yang terbentuk sudah baik karena memiliki korelasi yang tinggi

pada diagonal utamanya.

Tabel 10. Hasil Perhitungan Matriks Transformasi Komponen

Page 20: Faktor - Faktor Disparitas Antar Wilayah Kabupaten Pati

19

III.3 KESIMPULAN

Dari hasil analisis faktor yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Profil Demografi Kabupaten Pati mulai bergeser ke penduduk yang bekerja di

sektor non pertanian, dan penyediaan pelayanan yang ada cenderung

mengikuti sektor non pertanian tersebut.

2. Perdagangan tradisional seperti Pasar masih berorientasi ke Pertanian, namun

kesejahteraan petani tidak terlalu menggembirakan yang terlihat dari hasil

pengelompokan variabel terkait diatas dalam satu komponen.

3. PAD Kabupaten Pati disumbang oleh kecamatan yang lokasinya semakin

mendekat kota. Hal ini memperkuat dugaan bahwa aktivitas ekonomi non

pertanian yang berada di wilayah dekat kota lebih berperan terhadap kemajuan

wilayah daripada wilayah yang lebih jauh.

4. Disparitas Kabupaten Pati, sejauh yang diperoleh dari analisis faktor disebabkan

wilayah selatan masih bergantung pada aktivitas pertanian dan aktivitas

perdesaan lainnya yang tidak kuat secara ekonomi dibanding kecamatan di

utara yang mulai bergeser ke arah non pertanian (aktivitas perkotaan).

Disparitas ini menjadi semakin timpang karena penyediaan fasilitas juga

cenderung memusat ke wilayah yang secara ekonomi lebih mapan.

DAFTAR PUSTAKA

*) Referensi Untuk Sub Bab Tahapan dan Metode Analisis Faktor disarikan dari:

Field, A. P. (2005). Discovering Statistics Using SPSS (2nd Edition). London: Sage.