etika kedokteran

46
Etika Kedokteran dalam Dugaan Kelalaian Medik Makalah Kelompok C-3 KELOMPOK C3: Ade Frima Segara Manurung 10.2008.141 Nofris Manto 10.2008.170 Merie Octavia 10.2009.020 Kadek Maharini 10.2009.079 Angellina Jossy 10.2009.145 John Junior 10.2009.166 Irene Marissa 10.2009.223 Fatihah Anisah bt Mukhtar 10.2009.285 Nurul Akma nt Modh Nazri 10.2009.314 1

description

1

Transcript of etika kedokteran

Page 1: etika kedokteran

Etika Kedokteran dalam Dugaan Kelalaian Medik

Makalah Kelompok C-3

KELOMPOK C3:

Ade Frima Segara Manurung 10.2008.141

Nofris Manto 10.2008.170

Merie Octavia 10.2009.020

Kadek Maharini 10.2009.079

Angellina Jossy 10.2009.145

John Junior 10.2009.166

Irene Marissa 10.2009.223

Fatihah Anisah bt Mukhtar 10.2009.285

Nurul Akma nt Modh Nazri 10.2009.314

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

1

Page 2: etika kedokteran

I. Pendahuluan

Kesadaran dan cara berpikir masyarakat tentang hak-haknya dalam lingkungan medis

semakin membaik dan semakin kritis. Sehingga, pendapat bahwa dokter “kebal” terhadap

hukum tidak dianut lagi. Namun perkembangan tersebut juga memiliki sisi negatif, dimana

masyarakat semakin materialistik, hedonistik dan konsumtif. Perkembangan tersebut

bermanfaat bagi masyarakat dan proporsional terhadap nilai etika-moral dan agama yang

dianut masyarakat harus disambut dengan baik. Para dokter perlu menambah wawasan

tentang kelalaian dan malpraktik medik sehingga diharapkan kasus kelalaian dan malpraktik

medik dapat dikurangi.1

Masalah yang paling sering menjadi pokok sengketa adalah kelemahan komunikasi antara

dokter dengan pasien atau antara rumah sakit dengan pasien, baik dalam bentuk komunikasi

sehari-hari yang diharapkan mempererat hubungan antar manusia maupun dalam bentuk

pemberian informasi sebelum dilakukannya tindakan dan sesudah terjadinya risiko atau

komplikasi. Peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah sakit atau

tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari:

Semakin tingginya pendidikan rata-rata masyarakat sehingga mereka lebih tahu

tentang haknya dan lebih asertif.

Semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari

luasnya arus informasi

Komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga

masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna.

Provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.

Oleh sebab itu, setiap dokter diharapkan untuk dapat menjalankan pelayanannya dengan

berpedoman pada prinsip etik kedokteran dan ketentuan hukum yang berlaku.1

II. Skenario Kasus

Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempat praktek dokter A, seorang

dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter obgyn B sewaktu

melahirkan dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter B maupun C tidak pernah

mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat disana.

Sepuluh hari pasca lahir, orang tua bayi menemukan benjolan di pundak kanan bayi.

Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai

penunjangnya, pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah terbentuk

2

Page 3: etika kedokteran

kalus. Kepada dokter A mereka meminta kepastian apakah benar terjadi patah tulang

klavikula dan kapan kira-kira kejadiannya. Bila benar bahwa patah tulang tersebut terjadi

sewaktu kelahiran, mereka akan menuntut dokter B karena telah mengakibatkan patah tulang

dan dokter C karena lalai tidak dapat mendiagnosisnya. Mereka juga menduga dokter C

kurang kompeten sehingga sebaiknya ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A

berpikir apa yang sebaiknya ia katakan.

Petunjuk : kasus diatas adalah kasus pemicu pembahasan tentang etika profesi kedokteran.

Kelompok diharapkan membahas tentang prinsip-prinsip etika kedokteran, hubungan dokter-

pasien dan hubungan kesejawatan dan dampak yang mungkin timbul keputusan dokter.

Bagaimana pula jalan keluar sebaiknya?

III. Pembahasan1. Prinsip Etika Kedokteran

Etik adalah cabang ilmu fisafat yang mempelajari moralitas. Etik harus dibedakan

dengan sains yang mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif mempelajari

pengetahuan empiris tentang moralitas atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu

berlaku tentang issue-issue tertentu.

Etik terbagi kedalam etik normative dan metaetik (etik analitik). Pada etik normative,

para filosof mencoba menegakkan apa yang benar secara moral dan mana yang salah secara

moral dalam kaitannya dengan tindakan manusia. Pada metaetik, para filsof memperhatikan

analisis kedua konsep moral diatas.1,2

Pada dasarnya manusia memiliki 4 kebutuhan dasar, yaitu

1. Kebutuhan fisiologis yang dipenuhi dengan makanan dan minuman,

2. Kebutuhan psikologis yang dipenuhi dengan rasa kepuasan, istirahat, santai,dll

3. Kebutuhan sosial yang dipenuhi melalui keluarga teman dan komunitas

4. Kebutuhan kreatif dan spiritual yang dipenuhi dengan melalui pengetahuan,

kebenaran, cinta,dll.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi secara berimbang. Apabila seseorang

memilih untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara tidak berimbang, maka ia telah

menentukan secara subyektif apa yang baik bagi dirinya, yang belum tentu baik secara

obyektif. Baik disebabkan oleh ketidaktahuan atau akibat kelemahan moral, seseorang dapat

saja tidak mempertimbangkan semua kebutuhan tersebut dalam membuat keputusan etik,

sehingga berakibat terjadinya konflik dibidang keputusan moral.

3

Page 4: etika kedokteran

Bioetika adalah salah satu cabang dari etik normative di atas. Bioetik atau biomedical

ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian dibidang

biomedis.1

Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut tentang dapat dibenarkan atau tidaknya

suatu hokum dilihat dari segi etik, seperti : apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan

perundang-undangan yang mewajibkan seseorang unutk menerima tindakan medis yang

bersifat life saving, meskipun bertentangan dengan keingingannya apakah dapat dibenarkan

secara etik apabila dibuat suatu hokum yang mengharuskan memmasukkan seseorang sakit

jiwa ke dalam rumah sakit, meskipun bertentangan dengan keinginan pasien? Apakah dapat

dibenarkan membuat suatu peraturan yang membolehkan tindakan medis apa saja yang

diminta oleh pasien kepada dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi?

Etika Kedokteran

Didalam menentukan tindakan dibidang kesehatan atau kedokteran, selain

mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar diatas, keputusan hendaknya juga

mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan

juga pelanggaran atas kebutuhan dasar diatas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.

Etika dalam disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu

sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian

baik-buruk dan benar salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang

cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah

teori deontology dan teleology. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, deontology

mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatanya itu sendiri

sedangkan teleology mengajarkan untuk menilai tindakan dengan melihat hasilnya atau

akibatnya. Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi, dan budaya,

sedangkan teleology lebih ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada

azas manfaat (aliran utilitarian).1

Beauchamp dan Childress menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik

diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral

tersebut adalah :

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak

otonomi pasien. Setiap pembuatan keputasan moral membutuhkan informasi yang

rasional dan keputusan sendiri. Pada prinsip autonomi ini, tidak ada yang dapat

4

Page 5: etika kedokteran

mengatur keputusan hak pribadi pasien. Prinsip moral inilah yang kemudian

melahirkan doktrin informed consent.

2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan

kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan

saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya lebih besar daripada sisi buruknya.

Tugas ini dianggap merupakan kompetensi pribadi dan diterima sebagai tujuan umum

dari kedokteran. Tujuan ini diaplikasikan baik pada pasien dalam bentuk individu

ataupun kebaikan pada komunitas.

3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang

memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau

“above all do no harm”. Untuk menciptakan standar yang meminimalisasi resiko

merugikan pasien, maka diperlukan dukungan tidak hanya dari moral semata tetapi

dari standar hukum yang berlaku pada masyarakat. 1,2

4. Prinsip justice, yaitu prinsiup moral yang mementingkan keadilan dalam bersikap

maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Secar fakta, yang

digunakan dalam komunitas dalam menegakkan keadilan distributive ialah dengan

beberapa variabel :

- Setiap orang dengan kedudukan yang sama

- Setiap orang menurut keperluannya

- Setiap orang menurut usahanya

- Setiap orang menurut kontribusinya1,2

Sedangkan rules derivatnya adalah veracity ( berbicara benar, jujur dan terbuka),

privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan

fidelity (loyality dan promise keeping).

Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas yan harus dijadikan pedoman dalam

mengambil keputusan klinis, professional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai

panduan dalam bersikap dan berperilaku. Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai-

nilai dalam etika profesi tercermin dalam sumpah dokter dank ode etik kedokteran. Sumpah

dokter berisikan suatu “kontrak moral” antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya,

sedangkan kode etik kedokteran berisikan “kontrak kewajiban moral” antara dokter dengan

peer-groupnya, yaitu masyarakat profesinya.

Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban

moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban

hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut

5

Page 6: etika kedokteran

haruslah menjadi “pemimpin” dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran

yang baik haruslah hukum yang etis. 2

Etika Klinik

Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan

pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. 4 topik yang esensial

dalam pelayanan klinik menurut Jonsen, Siegler dan Winslade:

a. Medical indication

Ialah semua prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan

pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini ditunjau dari sisi

etiknya, terutama menggunakan kaidah beneficence dan non malaficence. Pertanyaan

etika pada topik ini ialah seluruh informasi yang selayakanya disampaikan kepada

pasien pada doktrin informed consent.

b. Patient preferrences

Diperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan

diterimnya yang berarti cerminan kaidah autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi

kompetensi pasien, sifat volunterdan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa

pembuat keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut

pasien. 1

c. Quality of life

Merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokterann yaitu memperbaiki, menjaga

atau meningkatkan kialitas hidup insani. Apa, siapa dan bagaimana melakukan

penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar prognosis, yang berkaitan

dengan beneficence, non malaficence dan autonomy.

d. Contextual features

Dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mempengaruhi keputusan

seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya

dan faktor hukum.

6

Page 7: etika kedokteran

Etika dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan

Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, peran profesional kesehatan, khususnya dokter

dapat terbagi dalam 3 model penjaga gawang, yaitu:1

- Peran tradisional

Dalam peran ini, dokter harus menggunakan pengetahuan mereka untuk berpraktek secara

kompeten dan rasional ilmiah. Dokter harus diagnostic elegance (cara tepat dalam

mendiagnosis yang sesuai dengan tingkat ekonomi) dan therapeutic parsinomy (memberi

terapi yang hanya bermanfaat dan efektif). Dokter harus dapat mencegah risiko yang tidak

diperlukan kepada pasien yang berasal dari terapi yang meragukan dan menjaga sumber daya

finansial pasien.

- Negative gatekeeper

Peran dokter dalam hal ini, adalah pada sistem pra-bayar, dokter diharapkan membatasi akses

pasien ke layanan medis. Peran ini jelas terjadi konflik moral pada dokter dengan tanggung

jawab tradisionalnya dalam membela kepentingan pasien dengan tanggung jawab barunya

sebagai pengawal sumber daya masyarakat/komunitas. Namun demikian, peran ini secara

moral masih dapat dijustifikasi.

- Positive gatekeeper

Dalam peran ini, dokter sangat tertutup dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara moral

karena dokter diberdayakan untuk menggunakan fasilitas medis dan jenis layanan hi-tech

demi kepentingan profit.1,2

Kode Etik Kedokteran Indonesia

KODEKI terdiri dari 4 kewajiban, yaitu kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien,

kewajiban terhadap teman sejawat dan kewajiban terhadap diri sendiri.

Bunyi pasal-pasalnya adalah

1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

2. Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan

standar yang tertinggi..

3. Dalam melaksanakan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh

dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian

profesi.

4. Seorang dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

7

Page 8: etika kedokteran

5. Suatu perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun

fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah mmemperoleh

persetujuan pasien.

6. Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan

setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-

hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

7. Setiap dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa

sendiri kebenarannya. 1,3

a. Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan

medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa

kasih saying (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

b. Setiap dokter harus bersikap jujur dalam berhubungann dengan pasien dan

sejawatnya, dan berupaya mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki

kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau

penggelapan, dalam menangani pasien.

c. Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak

tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

d. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup

makhluk insani.

8. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan

masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh

(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psikososial, serta 

berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

9. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang

lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

10. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan

ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan

suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk

pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

11. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat

berhubungan dengan keluaraga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam

masalah lainnya.1,3

12. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang

pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

8

Page 9: etika kedokteran

13. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu

memberikannya.

14. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin diperlakukan.

15. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan

persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

16. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapayt bekerja dengan baik.

17. Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi kedokteran.

2. Hubungan Dokter-Pasien

Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran,

sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-

rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip

moral profesi, yaitu autonomy (menghormati hak-hak pasien), beneficence (berorientasi

kepada kebaikan pasien), non maleficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan

pasien dan justice (meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama; dan

veracity (kebenaran – truthfull information), fidelity (kesetiaan), privacy dan confidentiality

(menjaga kerahasiaan) sebagai prinsip turunannya. 2,3

Pada awalnya hubungan dokter-pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistic,

dengan prinsip utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistic ini kemudian dinilai

telah mengabaikan nilai otonomi pasien dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan

moral (orang barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan kontraktual (sekitar

tahun 1972-1975). Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract di bidang

politik. Veatch (1972) mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas,

yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling

menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas segala keputusan teknis,

sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan

nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran

informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga member peluang

kepada pasien untuk meyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter.

Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontaktual, namun mengingat sifat

praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukanlah

hasil yang akan dicapai (resultaat verbintennis) melainkan upayanya yang sungguh-sungguh

9

Page 10: etika kedokteran

(inspanning verbintennis). Hubungan kontrak semacam ini harus dijaga dengan peraturan

perundang-undangan dan mengacu kepada suatu standar atau benchmark tertentu. Oleh

karena itu sejak sebelum masehi telah ada code of Hammurabi yang mengancam dengan

pidana bagi dokter yang karena salahnya telah mengakibatkan cedera atau matinya pasiennya,

dan code of Hittites yang mewajibkan dokter untuk membayar ganti rugi kepada pasiennya

yang terbukti telah dirugikan karena kesalahannya / kelalaiannya.3

Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai

hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih hubungan

yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi hubungan dokter-pasien.

Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter-pasien menjadi “peraturan” dan “kewajiban”

saja, sehingga seseorang dokter dianggap “baik” bila ia telah melakukan kewajiban dan

peraturan (followed the rules). Hubungan kontrak tidak lagi mengindahkan empathy,

compassion, perhatian, keramahan, kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dll

yang merupakan bagian dari virtue-based ethics (etika berdasar nilai kebajikan / keutamaan).

Pada hubungan dokter-pasien yang virtue based dirumuskan bahwa hubungan itu

bertumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun ketentuan yang

ditentukan pada permulaan dapat menentukan masa depan. Baik dokter maupun pasien harus

tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan

bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja komunikasi yang baik tersebut membutuhkan

prinsip-prinsip moral di atas, termasuk informed consent yang berasal dari prinsip autonomy.

Dalam hubungan dokter-pasien, pasien memiliki hak seperti:1

Hak atas informasi medik

Hak memberikan persetujuan tindak medik

Hak untuk memilih dokter atau Rumah Sakit

Hak atas rahasia medik

Hak untuk menolak pengobatan atau perawatan serta tindakan medik

Hak atas second opinion

Hak untuk mengetahui isi rekam medik

Sementara kewajiban pasien antara lain:1

Kewajiban memberikan informasi medik

Kewajiban menaati petunjuk atau nasihat dokter

Kewajiban memenuhi aturan-aturan pada sarana kesehatan

Kewajiban memberikan imbalan jasa kepada dokter

Kewajiban berterus-terang

10

Page 11: etika kedokteran

Kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahuinya

Kewajiban dokter yang penting dalam profesi medik adalah:1

Kewajiban untuk bekerja sesuai dengan Standar Profesi Medik (SPM)

- Bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama

- Sesuai dengan ukuran medik

- Sesuai dengan kemampuan rata-rata dibanding dengan dokter dari kategori keahlian

medik yang sama

- Dalam situasi dan kondisi yang sebanding

- Dengan sarana dan upaya yang memenuhi perbandingan wajar dibandingkan dengan

tujuan konkret tindakan medik tersebut.

Kewajiban memberikan informasi tentang tindak medik yang akan dilakukan terhadap

pasien.

Kewajiban menyimpan rahasia jabatan atau pekerjaan medik.1

Kewajiban menolong pasien gawat darurat.

Hak-hak dokter antara lain:1

Hak untuk menolak bekerja di luar SPM

Hak untuk menolak tindakan yang bertentangan dengan Kode Etik Profesi

Kedokteran

Hak untuk memilih pasien dan mengakhiri hubungan profesional dengan pasien

Hak atas privacy

Hak atas fairplay

Hak atas imbalan jasa

Hak menolak memberikan keterangan tentang pasien di pengadilan.

Istilah lege artis adalah suatu tindakan medik yang dilakukan sesuai dengan SPM tersebut.

Kewajiban dokter terhadap penderita (KODEKI). 3

Ps 10 Senantiasa ingat kewajiban melindungi hidup mahluk insani

Ps 11 Menghormati hak asasi penderita

Ps 12 Tulus ikhlas, menggunakan segala ilmu untuk kepentingan penderita, merujuk

bila perlu

Ps 13 Memberi kesempatan pada penderita untuk berhubungan dengan keluarga dll

Ps 14 Wajib simpan rahasia kedokteran penderita

Ps 15 Pertolongan darurat sebagai tugas perikemanusiaan

UU No 29 Tahun 2004

Hak dan Kewajiban Pasien 3,4

11

Page 12: etika kedokteran

Pasal 52 Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai

hak: mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dalam Pasal

45 ayat (3); meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; mendapatkan pelayanan sesuai

dengan kebutuhan medis; menolak tindakan medis; dan mendapatkan isi rekam medis.

Pasal 53 Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai

kewajiban: memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;

mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; mematuhi ketentuan yang berlaku di

sarana pelayanan kesehatan; dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Pengaduan 4

Pasal 66 (1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas

tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan

secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat: identitas pengadu; nama dan

alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan alasan

pengaduan.

Pemeriksaan

Pasal 67 Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan

memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter

gigi. Pasal 68 Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan

Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi.

Keputusan

Pasal 69 (1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat

dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.

(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan tidak

bersalah atau pemberian sanksi disiplin. 3,4

(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: pemberian

peringatan tertulis; rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau kewajiban mengikuti

pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan.

Kewenangan dan Kompetensi Dokter

Pasal 35 (1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi

mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan

kompetensi yang dimiliki, yang terdiri: mewawancarai pasien; memeriksa fisik dan mental

pasien; menentukan pemeriksaan penunjang; menegakkan diagnosis; menentukan

penatalaksanaan dan pengobatan pasien; melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran

12

Page 13: etika kedokteran

gigi; menulis resep obat dan alat kesehatan; menerbitkan surat keterangan dokter/dokter gigi;

menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan meracik dan menyerahkan obat

kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek. 2,4

Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi

Pasal 50 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:

memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan

standar profesi dan standar prosedur operasional;

memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur

operasional;

memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan

menerima imbalan jasa.

Pasal 51 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai

kewajiban:

memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional serta kebutuhan medis pasien;

merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau

kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau

pengobatan;

merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah

pasien itu meninggal dunia;

melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada

orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau

kedokteran gigi. 4

Informed Concent

Informed consent adalah proses yang menunjukkan komunikasi efektif antara dokter dengan

pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan

terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukan sebagai perjanjian antara

dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak

lain. Elemen informed consent, yaitu:5

1. Threshold elements

13

Page 14: etika kedokteran

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke

arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten disini

diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan (medis). Kompetensi manusia untuk

membuat keputusan sebenarnya merupakan suatu kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki

kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat

kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang

reasonable). Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) adalah apabila telah

dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa

diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan

keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental

sedemikian rupa atau perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga

kemampuan membuat keputusannya terganggu.5

2. Information elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan understanding

(pemahaman). Pengertian "berdasarkan pemahaman yang adekuat" membawa konsekuensi

kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa agar pasien

dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa "baik" informasi harus

diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu:5

Standar Praktek Profesi bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria

keadekuatan informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam

komunitas tenaga medis (constumary practices of a professional community-

Faden and Beauchamp, 1986). Standar ini terlalu mengacu kepada nilai-nilai yang

ada didalam komunitas kedokteran, tanpa memperhatikan keingintahuan dan

kemampuan pemahaman individu yang diharapkan menerima informasi tersebut.

Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan diatas tidak sesuai dengan

nilai-nilai sosial setempat, misalnya : risiko yang "tidak bermakna" (menurut

medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial / pasien.5

Standar Subyektif bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut

oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai

untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Sebaliknya dari standar

sebelumnya, standar ini sangat sulit dilaksanakan atau hampir mustahil. Adalah

mustahil bagi tenaga medis untuk memahami nilai-nilai yang secara individual

dianut oleh pasien.5

14

Page 15: etika kedokteran

Standar pada reasonable person merupakan hasil kompromi dari kedua standar

sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah

memenuhi kebutuhan pada umumnya orang awam. Sub-elemen pemahaman

(understanding) dipengaruhi oleh penyakitnya, irrasionalis dan imaturitas. Banyak

ahli yang mengatakan bahwa apabila elemen ini tidak dilakukan maka dokter

dianggap telah lalai melaksanakan tugasnya memberi informasi yang adekuat.5

3. Consent Elements terdiri dari dua bagian, yaitu: voluntariness (kesukarelaan,

kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya

tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien harus bebas dari "tekanan" yang

dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan "dibiarkan" apabila tidak

menyetujui tawarannya. Banyak ahli masih berpendapat bahwa melakukan persuasi

yang "tidak berlebihan" masih dapat dibenarkan secara moral. Consent dapat

diberikan :5

a. dinyatakan (expressed)

dinyatakan secara lisan5

dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan

bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan invasif atau berisiko

mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. Permenkes tentang

Persetujuan Tindakan Medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif

harus memperoleh persetujuan tertulis.5

b. tidak dinyatakan (implied)

Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan

tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini tidak

memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktek

sehari-hari.5

Hal-hal yang perlu disampaikan dalam informed consent adalah:

Maksud dan tujuan tindakan medik tersebut

Risiko yang melekat pada tindakan medik tersebut

Kemungkinan timbulnya efek samping

Prognosis keberhasilan ataupun kegagalan

Alternatif lain tindakan medik

Kemungkinan-kemungkinan (sebagai konsekuensi) yang terjadi bila tindak medik itu

tidak dilakukan.

15

Page 16: etika kedokteran

Keluhan pasien tentang proses informed consent adalah :5

Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis.

Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru/tidak perhatian, atau tidak ada waktu tanya-

jawab.

Pasien sedang stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi.

Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk

Sebaliknya dokter juga mengeluhkan hal-hal di bawah ini :5

pasien tidak mau diberitahu atau tak mampu memahami

risiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi

situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

3. Hubungan Kesejawatan

a. Merujuk pasien

Pada pasien rawat jalan, karena alasan kompetensi dokter dan keterbatasan fasilitas

pelayanan, dokter yang merawat harus merujuk pasien pada sejawat lain untuk mendapatkan

saran, pemeriksaan atau tindakan lanjutan. Bagi dokter yang menerima rujukan, sesuai

dengan etika profesi, wajib menjawab/memberikan advis tindakan akan terapi dan

mengembalikannya kepada dokter yang merujuk. Dalam keadaan tertentu dokter penerima

rujukan dapat melakukan tindakan atau perawatan lanjutan dengan persetujuan dokter yang

merujuk dan pasien. Setelah selesai perawatan dokter  rujukan mengirim kembali kepada

dokter yang merujuk. 3,6

Pada pasien rawat inap, sejak awal pengambilan kesimpulan sementara, dokter dapat

menyampaikan kepada pasien kemungkinan untuk dirujuk kepada sejawat lain karena alasan

kompetensi. Rujukan dimaksud dapat bersifat advis, rawat bersama atau alih rawat. Pada saat

meminta persetujuan pasien untuk dirujuk, dokter harus memberi penjelasan tentang alasan,

tujuan dan konsekuensi rujukan termasuk biaya, seluruh usaha ditujukan untuk kepentingan

pasien. Pasien berhak memilih dokter rujukan, dan dalam rawat bersama harus ditetapkan

dokter penanggung jawab utama.

Dokter yang merujuk dan dokter penerima rujukan, harus mengungkapkan segala

informasi tentang kondisi pasien yang relevan dan disampaikan secara tertulis serta bersifat

rahasia. Jika dokter memberi pengobatan dan nasihat kepada seorang pasien yang diketahui

16

Page 17: etika kedokteran

sedang dalam perawatan dokter lain, maka dokter yang memeriksa harus menginformasikan

kepada dokter pasien tersebut tentang hasil pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan penting

lainnya demi kepentingan pasien.

b. Bekerjasama dengan sejawat

Dokter harus memperlakukan teman sejawat tanpa membedakan jenis kelamin, ras,

kecacatan, agama/kepercayaan, usia, status social atau perbedaan kompetensi yang dapat

merugikan hubungan profesional antar sejawat. Seorang dokter tidak dibenarkan mengkritik

teman sejawat melalui pasien yang mengakibatkan turunnya kredibilitas sejawat tersebut.

Selain itu tidak dibenarkan seorang dokter memberi komentar tentang suatu kasus, bila tidak

pernah memeriksa atau merawat secara langsung. 6

c. Bekerjasama dalam tim

Asuhan kesehatan selalu ditingkatkan melalui kerjasama dalam tim multidisiplin. Apabila

bekerja dalam sebuah tim, dokter harus :

a. Menunjuk ketua tim selaku penanggung jawab

b. Tidak boleh mengubah akuntabilitas pribadi dalam perilaku keprofesian dan asuhan

yang diberikan

c. Menghargai kompetensi dan kontribusi anggota tim

d. Memelihara hubungan profesional dengan pasien

e. Berkomunikasi secara efektif dengan anggota tim di dalam dan di luar tim

f. Memastikan agar pasien dan anggota tim mengetahui dan memahami siapa yang

bertanggung jawab untuk setiap aspek pelayanan pasien

g. Berpartisipasi dalam review secara teratur, audit dari standar dan kinerja tim, serta

menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja dan

kekurangan tim

h. Menghadapi masalah kinerja dalam pelaksanaan kerja tim dilakukan secara terbuka

dan sportif.

d. Memimpin tim

Dalam memimpin sebuah tim, seorang dokter harus memastikan bahwa :

17

Page 18: etika kedokteran

a. Anggota tim telah mengacu pada seluruh acuan yang berkaitan dengan pelaksanaan

dan pelayanan kedokteran

b. Anggota tim telah memenuhi kebutuhan pelayanan pasien

c. Anggota tim telah memahami tanggung jawab individu dan tanggung jawab tim untuk

keselamatan pasien. Selanjutnya, secara terbuka dan bijak mencatat serta

mendiskusikan permasalahan yang dihadapi

d. Acuan dari profesi lain dipertimbangkan untuk kepentingan pasien

e. Setiap asuhan pasien telah terkoordinasi secara benar, dan setiap pasien harus tahu

siapa yang harus dihubungi apabila ada pertanyaan atau kekhawatiran. 6,7

f. Pengaturan dan pertanggungjawaban pembiayaan sudah tersedia.

g. Pemantauan dan evaluasi serta tindak lanjut dari audit standar pelayanan kedokteran

dan audit pelaksanaan tim dijalankan secara berkala dan setiap kekurangan harus

diselesaikan segera

h. Sistem sudah disiapkan agar koordinasi untuk mengatasi setiap permasalahan dalam

kinerja, perilaku atau keselamatan anggota tim dapat tercapai

i. Selalu mempertahankan dan meningkatkan praktek kedokteran yang benar dan baik.

e. Mengatur dokter pengganti

Ketika seorang dokter berhalangan, dokter tersebut harus menentukan dokter pengganti

serta mengatur proses pengalihan yang efektif dan komunikatif dengan dokter pengganti.

Dokter pengganti harus diinformasikan kepada pasien. Dokter harus memastikan bahwa

dokter pengganti mem¬punyai kemampuan, pengalaman, pengetahuan, dan keahlian untuk

mengerjakan tugasnya sebagai dokter pengganti. Dokter pengganti harus tetap bertanggung

jawab kepada dokter yang digantikan atau ketua tim dalam asuhan medis. 4,7

f. Mematuhi tugas

Seorang dokter yang bekerja pada institusi pelayanan/ pendidikan kedokteran harus

mematuhi tugas yang digariskan pimpinan institusi, termasuk sebagai dokter pengganti.

Dokter penanggung jawab tim harus memastikan bahwa pasien atau keluarga pasien

mengetahui informasi tentang diri pasien akan disampaikan kepada seluruh anggota tim yang

akan memberi perawatan. Jika pasien menolak penyampaian informasi tersebut, dokter

penanggung jawab tim harus menjelaskan kepada pasien keuntungan bertukar informasi

dalam pelayanan kedokteran. 2,5

18

Page 19: etika kedokteran

g. Pendelegasian wewenang

Pendelegasian wewenang kepada perawat, mahasiswa kedokteran, peserta program

pendidikan dokter spesialis, atau dokter pengganti dalam hal pengobatan atau perawatan atas

nama dokter yang merawat, harus disesuaikan dengan kompetensi dalam melak¬sanakan

prosedur dan pemberian terapi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dokter yang

mendelegasikan tetap menjadi penanggung jawab atas penanganan pasien secara keseluruhan.

Hubungan dan kinerja teman sejawat8

Seorang dokter harus melindungi pasien dari risiko diciderai oleh teman sejawat lain,

kinerja maupun kesehatan. Keselamatan pasien harus diutamakan setiap saat. Jika seorang

dokter memiliki kekhawatiran bahwa teman sejawatnya tidak dalam keadaan fit untuk

praktek, dokter tersebut harus mengambil langkah yang tepat tanpa penundaan, kemudian

kekhawatiran tersebut ditelaah dan pasien terlindungi bila diperlukan. Hal ini berarti seorang

dokter harus memberikan penjelasan yang jujur mengenai kekhawatiran terhadap seseorang

dari tempat ia bekerja dan mengikuti prosedur yang berlaku. Jika sistem setempat tidak

memadai atau sistem setempat tidak dapat menyelesaikan masalah dan seorang dokter masih

mengkhawatirkan mengenai keselamatan pasien, maka dokter harus menginformasikan badan

pengatur terkait.

Menghormati teman sejawat8

Seorang dokter harus memperlakukan teman sejawatnya dengan adil dan rasa hormat.

Seorang dokter tidak boleh mempermainkan atau mempermalukan teman sejawatnya, atau

mendiskriminasikamn teman sejawatnya dengan tidak adil. Seorang dokter harus tidak

memberikan kritik yang tidak wajar atau tidak berdasar kepada teman sejawatnya yang dapat

mempengaruhi kepercayaan pasien dalam perawatan atau terapi yang sedang dijalankan, atau

dalam keputusan terapi pasien.

Berbagi informasi dengan teman sejawat8

Berbagi informasi dengan teman sejawat lain sangatlah penting untuk keselamatan

dan keefektifan perawatan pasien. Ketika seorang dokter merujuk pasien, dokter tersebut

harus memberikan semua informasi yang relevan mengenai pasiennya, termasuk riwayat

medis dan kondisi saat itu. Jika seorang dokter spesialis memberikan terapi atau saran untuk

19

Page 20: etika kedokteran

seorang pasien kepada dokter umum, maka ia harus memberitahu hasil pemeriksaan, terapi

yang diberikan dan informasi penting lainnya kepada dokter yang ditunjuk untuk

kelangsungan perawatan pasien, kecuali pasien tersebut menolak.

4. Dampak Hukum

Sebenarnya, banyaknya kasus penuntutan hukum kepada dokter yang diduga melakukan

kelalaian medik apabila dilakukan sesuai dengan proporsinya dapat diharapkan berperan

sebagai upaya menjaga mutu pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Namun di sisi lain,

penuntutan tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak negatif.9

Selain itu, besarnya tuntutan ganti rugi yang semakin hari kian meningkat juga

merupakan salah satu hal yang harus diperhitungkan, baik oleh para praktisi kedokteran

maupun oleh penyelenggara negara. Gugatan yang tidak dibatasi terutama kerugian

immaterial akan cenderung mengakibatkan semakin rumitnya lingkaran setan pelayanan

kedokteran berbiaya tinggi. Demikian pula gugatan ganti rugi melalui sidang pengadilan akan

meningkatkan legal cost, akibat adanya biaya proses persidangan, pengacara dan success fee.

Oleh karena itu World Medical Association menganjurkan kepada para Ikatan Dokter

Nasional untuk mencari jalan inovatif dalam menyelesaikan tuntutan ganti rugi, seperti lebih

memilih penyelesaian melalui arbitrase daripada melalui pengadilan.

Penuntutan juga mengakibatkan tekanan psikologis bagi para dokter yang diduga

melakukan kelalaian medis. Meskipun pembayaran ganti rugi dilakukan dengan

menggunakan uang pertanggungan asuransi profesi, namun peristiwa penuntutan tersebut

sudah mengakibatkan kegelisahan, depresi, perasaan bersalah dan kehilangan rasa percaya

diri dokter karena nama baik dan reputasi dokter yang bermasalah dapat tercemar. Para

dokter yang pernah mengalami penuntutan akan menderita litigation stress syndrome dengan

derajat bervariasi.9

Malpraktek Medis

Black's Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai "professional misconduct

or unreasonable lack of skill" atau "failure of one rendering professional services to exercise

that degree of skill and learning commonly apllied under all the circumstances in the

community by the average prudent reputable member of the profession with the result of

injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them

"(bahasa mudahnya: lalai). Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik

20

Page 21: etika kedokteran

pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional)

seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-

mahiran/ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.9

Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk

pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum

pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud,

"penahanan" pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia,

penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok

yang belum teruji/diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, sengaja

melanggar standar, dll. Selain itu malpraktik juga dapat terjadi sebagai akibat kelalaian.

Sementara itu ketidakkompetenan dapat menuju ke suatu tindakan misconduct ataupun suatu

kelalaian. Hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh

beberapa kemungkinan, yaitu :9

1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan

medis yang dilakukan dokter.

2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui

sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya

tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas.

3. Hasil dari suatu kelalaian medik.

4. Hasil dari suatu kesengajaan.

Kelalaian Medik

Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak

dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang

memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat

bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan

perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya

(berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau

cedera bagi orang lain. Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance,

misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar

hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis

tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis sudah improper). Misfeasance berarti

21

Page 22: etika kedokteran

melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat

(improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi

prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban

baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips,

and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum

khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian

pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk. 8,9

Dasar hukum penuntutan ganti rugi:9

Pasal 55 UU No 23 tahun 1992

(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga

kesehatan.9

Pasal 1365 KUH Perdata: Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian

kepada setiap orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.9

Pasal 1366 KUH Perdata: Setiap orang bertanggungjawab tidak saja kepada kerugian

yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan

karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.9

Pasal 1367 KUH Perdata: Seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian

yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang

disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau

disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.9

Pasal 7 UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : Kewajiban pelaku

usaha:9

(f) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan.5

(g) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau

jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Persyaratan dan syarat kelalaian medik

22

Page 23: etika kedokteran

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur,

yaitu:9

1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau untuk

tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi

tertentu.

2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.

3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu yang

dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang

diberikan oleh pemberi layanan.

4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus

terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang

setidaknya merupakan "proximate cause".

Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya ke-4 unsur di

atas, dan apabila salah satu diantaranya tidak dapat dibuktikan maka gugatan tersebut dinilai

tidak cukup bukti.9

Pasal 1370-1372 KUHPerdata

Pasal 1370 KUH Perdata: Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang

hati-hatinya seorang, maka suami/isteri yang ditinggalkan, anak/orang tua si korban yang

lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak menuntut suatu ganti

rugi, harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut

keadaan.5

Pasal 1371 KUH Perdata: Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan

sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain

penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan

oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan

kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan.9

Pasal 1372 KUH Perdata: Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan

mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.9

Di bidang pidana juga ditemukan pasal-pasal yang menyangkut kelalaian, yaitu:9

Pasal 359-361 KUHP

23

Page 24: etika kedokteran

Pasal 359 KUHP: Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain

mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling

lama satu tahun.9

Pasal 360 KUHP: (1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang

lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana paling lama lima tahun atau pidana

kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya)

menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana

penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau

pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.9

Pasal 361 KUHP: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam

menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang

bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan

kejahatan, dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.9

Pembuktian adanya kewajiban dan pelanggaran

Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai

standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat

dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan,

baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan: atau dengan demikian untuk

mencapai safety yang optimum. Dalam kaitannya dengan kelalaian medik, kewajiban tersebut

berkaitan dengan kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis tertentu,

atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi

dan kondisi yang tertentu. Untuk dapat memperoleh kualifikasi sebagai dokter, setiap orang

harus memiliki suatu kompetensi tertentu di bidang medik dengan tingkat yang tertentu pula,

sesuai dengan kompetensi yang harus dicapainya selama menjalani pendidikan

kedokterannya. 6,9

Selanjutnya untuk dapat melakukan praktek medis, dokter tersebut harus memiliki

kewenangan medis yang diperoleh dari penguasa di bidang kesehatan dalam bentuk ijin

praktek. Dalam bertindak di suatu sarana kesehatan tertentu, dokter diberi rambu-rambu

sebagaimana diatur dalam standar prosedur operasi sarana kesehatan tersebut. Dengan

melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti

24

Page 25: etika kedokteran

penyimpangan kewajiban. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang

menyatakan "what is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or

wrong) for any other in an identical situation".9

Pembelaan adanya penyimpangan kewajiban

Pembelaan harus ditujukan kepada upaya pembuktian tidak adanya pelanggaran

kewajiban yang dilakukan dokter. Pada awalnya tentu saja dibuktikan terlebih dahulu adanya

kompetensi dan kewenangan medik pada dokter pada peristiwa tersebut, demikian pula

kompetensi dan kewenangan institusi kesehatan tempat terjadinya peristiwa. Berikutnya

ditujukkan bahwa tidak terdapat pelanggaran dokter terhadap kewajiban dokter mengikuti

pasal-pasal dalam KUHP, UU Kesehatan dan peraturan perundang-undangan lain yang

berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Demikian pula pasal-pasal dalam sumpah dokter, etik

kedokteran dan standar perilaku IDI, kecuali yang berkaitan dengan standar prosedur/standar

pelayanan minimal. Selanjutnya diidentifikasi semua data tentang peristiwa, sehingga "peer

group" dapat menyusun standar prosedur dan standar pelayanan minimal yang dapat

diberlakukan pada situasi dan kondisi yang identik dengari kasus yang dipertanyakan. Dalam

hal ini, berbagai keterbatasan yang bersifat lokal dan "common practice" dapat menyimpangi

standar yang bersifat nasional, sepanjang penyimpangan tersebut masih dapat diterima

ditinjau dari falsafah dan prinsip pelayanan medik serta state-of-the-art kedokteran.9

Pembuktian kerugian & hubungan kausalnya (klasifikasi kerugian & damage)

Pada prinsipnya suatu kerugian adalah sejumlah uang tertentu yang harus diterima oleh

pasien sebagai kompensasi agar ia dapat kembali ke keadaan semula seperti sebelum

terjadinya sengketa medik. Tetapi hal itu sukar dicapai pada kerugian yang berbentuk

kecederaan atau kematian seseorang. Oleh karena itu kerugian tersebut harus dihitung

sedemikian rupa sehingga tercapai jumlah yang layak (reasonable atau fair). Suatu

kecederaan sukar dihitung dalam bentuk finansial, berapa sebenarnya kerugian yang telah

terjadi, apalagi apabila diperhitungkan pula tentang fungsi yang hilang atau terhambat dan

ada atau tidaknya cedera psikologis. Kerugian atau damages dapat diklasifikasikan sbb:8,9

1. Kerugian immaterial (general damages, non pecuniary losses).

2. Kerugian materiel (special damages, pecuniary losses):

a) Kerugian akibat kehilangan kesempatan

b) Kerugian nyata: i. Biaya yang telah dikeluarkan hingga saat penggugatan

25

Page 26: etika kedokteran

ii. Biaya yang akan dikeluarkan sesudah saat penggugatan.

Ditinjau dari segi kompensasinya, kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut:5

1. Kompensasi untuk kecederaan yang terjadi (compensation for injuries, yaitu kerugian

yang bersifat immateriel).

a) Sakit dan penderitaan

b) Kehilangan kesenangan/kenikmatan (amenities).

c) Kecederaan fisik dan/atau psikiatris.

2. Kompensasi untuk pengeluaran tambahan (compensation for additional expenses, real

cost).

a) Pengeluaran untuk perawatan rumah sakit.

b) Pengeluaran untuk biaya medis lain

c) Pengeluaran untuk perawatan

3. Kompensasi untuk kerugian lain yang foreseeable (compensation for other

foreseeable loss, yaitu kerugian akibat kehilangan kesempatan)

a) Kehilangan penghasilan

b) Kehilangan kapasitas mencari nafkah

Undang-undang hanya memberi rambu-rambu sebagaimana diuraikan dalam pasal 1370 dan

1371 KUH Perdata, yaitu harus mempertimbangkan kedudukan, kemampuan dan keadaan

kedua belah pihak.

Kerugian yang dapat digugat

Tidak semua kerugian yang dialami pasien adalah akibat dari kesalahan pemberi layanan. Ke-

rugian dapat saja timbul sebagai akibat dari perjalanan penyakit; atau dapat juga disebabkan

oleh risiko atau komplikasi tindakan medik tersebut (untoward result atau medical mishap)

yang tak dapat dihindari - namun bukan karena kelalaian. Pada kedua keadaan tersebut dokter

tidak dapat dimintai tanggung-jawabnya untuk mengganti rugi. Kerugian yang dapat

digugatkan ganti ruginya adalah kerugian yang disebabkan oleh kelalaian medik. 4,8

Peran Rekam Medik

Seorang dokter mungkin saja telah bersikap dan berkomunikasi dengan baik, membuat

keputusan medik dengan cemerlang dan/atau telah melakukan tindakan diagnostik dan terapi

yang sesuai standar; namun kesemuanya tidak akan memiliki arti dalam pembelaannya

apabila tidak ada rekam medis yang baik. Rekam medis yang baik adalah rekam medis yang

26

Page 27: etika kedokteran

memuat semua informasi yang dibutuhkan, baik yang diperoleh dari pasien, pemikiran

dokter, pemeriksaan dan tindakan dokter, komunikasi antar tenaga medis / kesehatan,

informed consent, dll informasi lain yang dapat menjadi bukti di kemudian hari yang disusun

secara berurutan kronologis. Sebuah adagium mengatakan "good record good defence, bad

record bad defence, and no record no defence". Biasanya kata kunci yang sering digunakan

oleh para hakim adalah (1) bahwa kewajiban profesi dokter adalah memberikan layanan

dengan tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang normalnya diharapkan akan dimiliki oleh

rata-rata dokter pada situasi-kondisi yang sama (reasonable competence), (2) bahwa tindakan

dokter adalah masih layak, dan didukung oleh alasan penalaran yang benar (reasonable care),

(3) bahwa dokter harus memperoleh informed consent untuk tindakan diagnostik / terapi yang

ia lakukan (reasonable communication), dan (4) bahwa dokter harus membuat rekam medis

yang baik.9

Solusi

Pada kasus diatas sebaiknya dokter A mengkomunikasikan dengan baik kepada ibu tersebut

untuk meminta semua rekam medis proses kelahiran dan perawatan bayi dari dokter B dan C

tanpa menjudge terlebih dahulu itu adalah sebuah kelalaian dari dokter B ataupun C. Untuk

dokter A, harus melakukan proses penyembuhan bayi yang mengalami fracture pada

klavikula kanan tersebut agar tidak terjadi komplikasi yang lebih lanjut.

IV. Penutup

Berdasarkan kasus ini hubungannya dengan empat kaedah dasar moral untuk mencapai

keputusan etik adalah:

1. Prinsip benificience : Dalam kasus ini dokter B telah berusaha melakukan yang terbaik

dalam proses membantu kelahiran si pasien tersebut. Apabila terjadi sesuatu diluar dari

perkiraannya, maka tidak sepenuhnya itu adalah kesalahan dokter. Jadi semuanya perlu

dikomunikasikan dengan jelas mengenai kondisi yang terjadi, begitupun dengan dokter

anaknya.

2. Prinsip non-maleficience : Semua yang dilakukan si dokter B dan C tidak bermaksud untuk

merahasiakan keadaan yang terjadi, tetapi apabila setelah dibuktikan ternyata benar bahwa

anak si pasien tersebut mengalami fraktur klavikula oleh karena proses kelahiran sedangkan

pihak keluarga tidak dijelaskan maka di simpulkan dokter tersebut tidak melakukan prinsip

ini.

27

Page 28: etika kedokteran

3. Prinsip otonomi : Apabila terbukti anak si pasien tersebut mengalami fraktur klavikula

pada proses kelahiran dan murni karena kesalahan dokter tersebut maka si pasien berhak

untuk mengadukan persoalan ini ke MKEK dengan dugaan telah terjadi malpraktek.

4. Prinsip justice : Posisi si dokter A memang harus netral yang artinya tidak memihak antara

keduanya. Disatu sisi si dokter A harus menjalin hubungan yang baik antara si pasien dan

disisi lain dokter A harus menjalin hubungan yang baik antara teman sejawat.

Daftar Pustaka

1. Achadiat CM. Hukum kedokteran. Dinamika etika dan hukum kedokteran dalam

28

Page 29: etika kedokteran

tantangan zaman. Jakarta : EGC, 2007.h.1-100

2. Jaimal B. Etika kedokteran Indonesia dan penanganan pelanggaran etika di Indonesia.

2010. Diunduh dari www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/, 14 Januari 2013.

3. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Profesi kedokteran. Bioetik dan hukum

kedokteran. Jakarta : Pustaka Dwipar, 2005.h.7-16

4. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetika. Bioetik dan hukum kedokteran.

Jakarta : Pustaka Dwipar, 2005.h.29-40

5. Waidin Z. Informed consent kedokteran. Jakarta : Bina Aksara,2009.h.77-86

6. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Kode etik kedokteran Indonesia.

Diunduh dari http://library.usu.ac.id/download/e-book/Kode%20Etik

%20Kedokteran.pdf, 14 Januari 2013.

7. Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Undang-undang republik Indonesia No 29

Tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Diunduh dari

http://inamc.or.id/download/UU%20No29%20Tahun%202004-Praktik

%20Kedokteran.pdf, 14 Januari 2013

8. Amir A. Profesi dokter. Dalam: Rangkaian ilmu kedokteran forensik. Edisi ke-2.

Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2008. Hal 47-58.

9. Widodo B. Kelalaian medik. Jakarta : EGC ,2011.h.87-112.

29