EKSISTENSI KUBRO SISWO, PENDIDIKAN SENI TARI...
Transcript of EKSISTENSI KUBRO SISWO, PENDIDIKAN SENI TARI...
EKSISTENSI KUBRO SISWO, PENDIDIKAN SENI TARI TRADISIONAL
BERBASIS KEARIFAN LOKAL YANG POTENSIAL DI SEKOLAH DASAR
MAGELANG, JAWA TENGAH
Intan Pratiwi
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA-Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)
Email : [email protected]
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menelaah tentang pentingnya eksistensi kerifan lokal di salah satu
Sekolah Dasar. Eksistensi kearifan lokal di salah satu daerah dengan pendidikan seni dapat
menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat nya baik dalam hal pengembangan
pembelajaran berbasis budaya maupun potensi ekonomi yang dapat dijadikan suatu komoditi
pariwisata bagi daerah tersebut. Peran kearifan lokal dan kekhasan daerah dapat menjadi
nilai jual terutama dalam hal pendidikan dalam tingkat sekolah dasar. Selain dapat
mengembangkan jiwa cinta budaya sendiri, melalui kearifan lokal dapat memajukan
pendidikan berbasis kebudayaan bagi setiap sekolah dasar dalam wilayah tertentu
Kata kunci : pendidikan seni, kearifan lokal, pembelajaran berbasis kearifan lokal
Abstract
This article aims to examine the importance of the existence of local wisdom in one of the
primary schools. The existence of local wisdom in one area with the art education can be a
special attraction for his community both in terms of development of cultural-based learning
and economic potential that can be made a tourism commodity for the area. The role of local
wisdom and regional peculiarities can be a selling point, especially in terms of education at
the primary schoollevel. In addition to developing their own culture of love, through local
wisdom can promoteculture-based education for every elementary school in a particular area
Keywords: art education, local wisdom, local wisdom-based education
PENDAHULUAN
Menurut Ali Mustadi (2010:1)
dalam kancah internasional, terutama
pada era perdagangan bebas (AFTA,
APEC, WTO) termasuk dalam dunia
pendidikan dan kebudayaan,
menjadikan Indonesia rentan akan
dampak terhadap sendi-sendi
kehidupan masyarakat Indonesia
seperti masuknya budaya asing yang
kurang sesuai dengan budaya bangasa
Indonesia, tentunya hal ini akan
memicu tergerusnya budaya dan nilai
luhur negeri dan terdegradasinya nilai-
nilai moral anak bangsa. Hal ini
“menantang” masyarakat Indonesia
untuk meningkatkan penguatan nilai-
nilai budi luhur sejak dini dengan
mengimplementasikan pendidikan
karakter terutama yang berwawasan
pada kultur-sosial yang luhur dan
bermartabat di sekolah dasar. Selain
itu, fenomena “kids jaman now” yang
terkadang memprihatinkan karena anak
anak zaman sekarang melupakan apa
yang sudah diajarkan nenek
moyangnya dulu tentang kebudayaan.
Alhasil, usaha untuk melestarikan
budaya yang ada di masing masing
daerah bukan menjadi suatu masalah
yang temporer lagi, namun sudah
menjadi masalah yang genting yang
harus segera ditumbuhkan dalam setiap
elemen baik pendidikan maupun
dimasyarakat pada ummunya. Budaya
dan kearifan lokal yang mulai tergerus
oleh adigdayanya era globalisasi dan
westernisasi menyebabkan tergesernya
potensi potensi daerah yang berbau
kesenian tradisional seihingga harus
tetap dijaga keberadaannya dan dapat
menjadi warisan tersendiri bagi potensi
suatu daerah yang dapat dijadikan
sumber penghasilan atau komoditi bagi
setiap daerah tempat kearifan lokal
tersebut.
PEMBAHASAN
1. Pendidikan Seni dan
pembudayaan pendidikan seni
Menurut Siswoyo, dkk
(2008: 15), secara historis,
pendidikan dalam arti luas telah
mulai dilaksanakan sejak manusia
berada di muka bumi ini. Adanya
pendidikan adalah setua dengan
kehidupan manusia itu sendiri.
Dengan perkembangan peradaban
manusia, berkembang pula isi dan
bentuk termasuk perkembangan
penyelenggaraan pendidikan. Hal
ini sejalan dengan kemajuan
manusia dalam pemikiran dan ide-
ide tentang pendidikan.
Pendidikan dapat
dipandang dalam arti luas dan arti
teknis, atau dalam arti hasil dan
dalam arti proses. Dalam artinya
yang luas pendidikan menunjuk
pada suatu tindakan atau
pengalaman yang mempunyai
pengaruh yang berhubungan
dengan pertumbuhan atau
perkembangan jiwa (mind), watak
(character), atau kemampuan fisik
(physical ability) individu.
Pendidikan dalam artian ini
berlangsung seumur hidup. Dalam
arti teknis, pendidikan adalah
proses dimana masyarakat, melalui
lembaga-lembaga pendidikan
(sekolah, perguruan tinggi atau
lembaga-lembaga lain), dengan
sengaja menstranformasikan
warisan budayanya, yaitu
pengetahuan, nilai-nilai dan
keterampilan-keterampilan dari
generasi ke generasi (Kneller
dalam Siswoyo, dkk, 2008: 17).
Berdasarkan pendapat
tersebut, disimpulkan bahwa
pendidikan seni adalah suatu
proses belajar seni dimana
seseorang akan mengembangkan
kemampuan, sikap, perilaku-
perilaku positif dan potensi yang
dimilikinya sehingga akan berguna
pada kehidupan sosial di
lingkungannya. Pendidikan juga
berperan untuk mendewasakan
seseorang untuk meningkatkan
kemampuan bertanggung jawab
terhadap segala perbuatan yang
dilakukan.
Seni dalam pendidikan di
sekolah-sekolah umum seyogianya
menggunakan pendekatan
multidisiplin, multidimensional,
dan multikultural (Pekerti, dkk,
2008: 1.25).
Pendidikan seni berperan
dalam pembentukan pribadi yang
harmonis dengan memperhatikan
kebutuhan perkembangan
kemampuan dasar anak didik
meliputi kemampuan: fisik, pikir,
emosional, persepsi, kreativitas,
sosial, dan estetika melalui
pendekatan belajar seni, melalui
seni, dan tentang seni sehingga
anak didik memiliki kepekaan
indrawi, rasa, intelektual,
keterampilan dan kreativitas
berkesenian sesuai minat dan
potensi anal didik (Pekerti, dkk,
2008: 1.25).
Pekerti, dkk (2008: 1.25),
mengemukakan bahwa pendidikan
seni berperan mengaktifkan
kemampuan dan fungsi otak kiri
dan otak kanan secara seimbang
agar anak didik mampu
mengembangkan berbagai tipe
kecerdasan: kecerdasan intelektual
(IQ), kecerdasan emosional (EQ),
kecerdasan kreativitas (CQ),
kecerdasan spiritual (SQ), dan
multi-intelegensi (MI).
Pembudayaan pendidikan
Berdasarkan pendapat
diatas, pendidikan bukan hanya
mengacu pada spek kecerdasan
semata tetapi, dalam
pelaksanaannya pendidikan juga
dilakukan proses pembudayaan
karakter luhur dan nilai yang
berkaitan dengan wawasan
kedaerahan dan nasional. Artinya,
pendidikan tidak boleh lepas dari
budaya dan kearifan lokal yang ada
pada daerahnya masing-masing.
Pewarisan tradisi
budaya dikenal sebagai proses
enkulturasi, sedangkan adopsi
budaya dikenal dengan proses
akulturasi. Kedua proses ini
berujung pada pembentukan
budaya dalam suatu komunitas.
Pendidikan merupakan proses
pembudayaan, proses pembelajaran
di sekolah merupakan proses
pembudayaan formal atau proses
akulturasi; maka pada saat yang
bersamaan pendidikan merupakan
alat untuk konservasi budaya,
transmisi budaya dan adopsi
budaya serta pelestarian budaya.
Pembelajaran Berbasis
Budaya merupakan strategi
penciptaan lingkungan belajar dan
perancangan pengalaman belajar
yang mengintegrasikan budaya
sebagai bagian dari proses
pembelajaran. (Dirjen Dikti, 2004:
12).
2. Seni Tari yang mendidikBudaya
berbasis Kearifan Lokal
Sejak awal tahun 1990, di
Amerika dan Eropa 'gerakan'
pemanfaatan seni sebagai bagian
dari proses pembelajaran di sekolah
formal sudah dimulai. Howard
Gardner (1999:42-44) melalui
teorinya Multiple Intellegences
menawarkan adanya delapan jenis
intelegensi, antara lain salah
satunya adalah Bodily- Kinesthetic
Intelligences, melibatkan fisik
dalam setiap aktivitas dan
kemampuan dalam
memanipulasinya. Individu yang
memiliki intelegensi ini dapat
menangani objek-objek dan
membuat gerakan-gerakan tubuh
yang tepat dengan mudahnya,
seperti menari, melompat,
menyentuh, menciptakan, mencoba
mensimulasikan, permainan,
bemain peran,
merakit/membongkar, indera
peraba.
Berdasarkan pada teori
tersebut, pembelajaran Seni tari
pada dasarnya ditujukan
menumbuhkan kreativitas,
mengarah kepekaan emosional dan
sosial, menghaluskan budi, dan
mencerdaskan penalaran. Selain
itu, seni pun adalah daya dasar
untuk membangkitkan kepekaan
pancaindra manusia terhadap
sekelilingnya.
Di dalam Seni tari terdapat
simbol-simbol kehidupan yang
memiliki makna mendalam dan
nilai tentang hakikat hidup. Tari
sebagai simbol adalah sesuatu yang
diciptakan manusia dan secara
konvensional digunakan bersama,
teratur, benar-benar dipelajari,
sehingga memberikan pengertian
hakikat manusi, yaitu kerangka yng
penuh arti untuk mengorientasikan
dirinya kepada yang lain, kepada
lingkungannya, dan pada dirinya
sendiri, sekaligus sebagai produk
dan ketergantungan dalam interaksi
sosial. Tari sebagai simbol dapat
juga sebagai sistem penandaan.
Artinya, tari tidak terlepas dari
beberapa aspek yang dapat dilihat
secara terperinci, antara lain:
geraknya, iringannya, tempat, pola
lantai, waktu, rias busana, properti.
Sistem penandaan semiotik
ini menurut Sumandiyo (2005:22-
24) "di dalamnya mengandung
makna harfiah, bersifat primer, dan
langsung ditunjukkan menurut
kesepakatan atau konvensi yang
dibentuk secara bersama oleh
masyarakat atau budaya dimana
simbol atau tanda itu berlaku".
3. Kearifan lokal
a. Pengertian
Menurut Nuraini Asriati
(2012: 111) berpandangan bahwa
kearifan lokal merupakan suatu
gagasan konseptual yang hidup
dalam masyarakat, tumbuh dan
berkembang secara terus-menerus
dalam kesadaran masyarakat dari
yang sifatnya berkaitan dengan
kehidupan yang sakral sampai
dengan yang profan (bagian
keseharian dari hidup dan sifatnya
biasa-biasa saja). Hal senada
disampaikan oleh Ni Wayan Sartini
(2004: 111) yang mengatakan
bahwa kearifan lokal (local
wisdom) dapat dipahami sebagai
gagasan-gagasan setempat (local)
yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya.
Selanjutnya menurut
Haidlor Ali Ahmad (2010: 5)
mendefinisikan:
Kearifan lokal dapat
didefinisikan sebagai suatu
sintesa budaya yang
diciptakan oleh aktor-aktor
lokal melalui proses yang
berulangulang, melalui
internalisasi dan interpretasi
ajaran agama dan budaya
yang disosialisasikan dalam
bentuk norma-norma dan
dijadikan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari bagi
masyarakat.
Dari pendapat para ahli di
atas, peneliti dapat mengambil
benang merah bahwa kearifan lokal
merupakan gagasan yang timbul
dan berkembang secara terus-
menerus di dalam sebuah
masyarakat berupa adat istiadat,
tata aturan/norma, budaya, bahasa,
kepercayaan, dan kebiasaan sehari-
hari.
Nilai-nilai kearifan lokal
dalam masyarakat sangat lekat
dengan karakter yang akan
terbentuk. Tanpa disadari nilai
budaya dan kearifan lokal hidup
dalam masyarakat dan dapat
dijadikan muatan pendidikan
karakter. Walaupun nilai tradisi
kearifan lokal berbeda namun
memiliki kesamaan ketika nilai
tradisional disinkronkan dengan
proses psikologi atau sosiokultural.
Seperti dikutip dari Jurnal
Pendidikan Dr. Ali Mustadi,
konfigurasi karakter dalam konteks
totalitas proses sosialkulural
tersebut dapat dikelompokkan
dalam: Olah Hati (Spiritual and
emotional quotion), Olah pikir
(intellectual quotion), Olah Raga
dan Kinestetik (Physical and
kinestetic quotion), dan Olah Rasa
dan Karsa (Affective and Creativity
quotion) (Mustadi, 2010).
b. Bentuk kearifan lokal
Nuraini Asriati (2012: 111)
mengatakan bahwa bentuk
kearifan lokal dalam masyarakat
dapat berupa budaya (nilai, norma,
etika, kepercayaan, adat istiadat,
hukum adat, dan aturan-aturan
khusus). Nilai-nilai luhur terkait
kearifan lokal ialah:
a) Cinta kepada Tuhan, alam
semester beserta isinya.
b) Tanggungjawab, disiplin, dan
mandiri.
c) Jujur
d) Hormat dan santun.
e) Kasih sayang dan peduli.
f) Percaya diri, kreatif, kerja
keras, dan pantang menyerah.
g) Keadilan dan kepemimpinan.
h) Baik dan rendah hati.
i) Toleransi dan cinta damai
c. Kesenian Kubro berbasis
kearifan lokal
Salah satu kesenian lokal
yang masih eksis hingga searang di
wilayah Magelang pada umumnya
adalah Kubro Siswo, Kubro adalah
jenis kesenian tradisional
berbentuk seni tari yang
didalamnya terdapat olah Badan
Lan Rogo (kesenian mengenai
gerak badan dan jiwa). Kesenian
Kubro berasal dari proses
islamisasi dengan cara akulturasi
dan asimiliasi budaya apada zaman
dahulu yang dilakukan oleh Ki
Garang Serang di Wilayah Jawa
Tengah dan berproses menjadi seni
pertunjukan yang bernilai kearifan
lokal da potensial bagi daerah
setempat. Hingga kini, Kubrosiswo
masih diminati dan masih dijadikan
sebagai pengisi acara tertentu atau
hajatan untuk masyarakat wilayah
Magelang dan sekitarnya.
Berkaitan dengan
gerakannya di dalam Kubro siswo
juga berkaitan dengan pendidikan
seni tari yang pada hakikatnya
melibatkan aktivitas fisik (Howard
Gardner,1999). Selain gerakan,
menurut Sumandiyo (2005) seni
tari juga melibatkan berbagai
elemen seperti kostum, iringan,
pola lantai, waktu dan riasan. Hal
ini juga dapat terlihat dalam
pementasan Kubro siswo yang
pada umumnya dipentaskan
malam hari dengan durasi waktui
kurang lebih 5 jam dan biasanya
ditampilkan secara massal, dengan
diiringi oleh lagu-lagu yang
bercirikan lagu perjuangan dan
qasidah, akan tetapi liriknya telah
diubah sesuai misi Islam. Alat
musik yang digunakan pada
umumnya adalah bende, 3 buah
dodok sejenis kendang, dan jedor
atau bedug, kecer atau kecrekan.
Bende berfungsi sebagai
pelengkap musik, dodok atau
kendang berfungsi sebagai
menambah suasana, bedug atau
jedor berfungsi untuk mengiringi
gerakan-gerakan dari para penari.
Sedangkan cara Dandanan mereka
seperti tentara pada jaman keraton,
tapi dari pinggang ke bawah
memakai dandanan ala pemain bola
tak lupa ada “kapten” yang
memakai peluit.
Tidak bisa lepas dari
sejarahnya, Kubrosiswo lahi karena
proses akulturasi dan asimilasi
budaya dalam mengislamisasi kan
ajaran islam, tidak jarang bahwa
saat pementasannya pun
melibatkan sesuatu yang
mengintrepetasikan atau sebagai
simbolisasi dari proses tersebut.
misalnya perpaduan antara tari-
tarian dan lagu serta musik
tradisional, terdapat juga atraksi-
atraksi yang menakjubkan.
Diantaranya mengupas kelapa
dengan gigi, naik tangga yang anak
tangganya terdiri dari beberapa
berang (istilah jawa bendho).
Atraksi- atraksi ini di maksudkan
untuk menarik minat masa agar
mereka masuk Islam.
4. Nilai pendididikan pada Kubro
siswo
a) Nilai religius
Kubrosiswo merupakan
kesenian tradisional berlatar
belakang penyebaran Agama
Islam di Pulau Jawa, khusunya
Borobudur. Kata Kubrosiswo
berasal dari bahasa Jawa yang
terdiri dari dua kata, yaitu
Kubro yang berarti besar dan
siswo yang berarti siswa atau
murid, jadi kubrosiswo bisa
diartikan sebagai murud-murid
Tuhan yang diimplementasikan
dalam pertunjukan yang selalu
menjunjung kebesaran Tuhan.
Kubro sisiwo merupakan
singkatan dari Kesenian
Ubahing Badan Lan Rogo
(kesenian mengenai gerak
badan dan jiwa), sarana untuk
mengingatkan umat Islam dan
manusia pada umumnya agar
menyelaraskan kehidupan
dunia dan akhirat.
b) Nilai gotong royong
Menurut Joko Sutarso
(2012 : 507) kearifan lokal erat
kaitannya dengan nilai
kehidupan yang berlaku pada
masyarakat tertentu, slah satu
contohnya adalah gotong
royong. Tidak bisa dipungkiri
dalam pementasan Kubro
Siswo secara tidak langsung
para pemain akan
mengutamakan sikap dan
perilaku gotong royong demi
menghasilkan sebuah
pertunjukkan yang bagus dan
meriah. Selain para pemain,
para pendekorasi panggung dan
juga para perias juga akan
melakukan gotong royong
untuk menyajikan pegelaran
yang luwes, rancak, dan
meriah.
Hal ini bisa juga diajarkan
oleh peserta didik dalam
menghayati hakikat dari
kesenian kubro siswo. Jika
anak anak dilatih untuk hidup
bergotong royong, maka akan
sesuai dengan jiwa bangsa
Indonesia yang berbudi luhur
dan menjunjung tinggi
semangat kekeluargaan
c) Nilai pendidikan moral
Pendidikan moral yang
mencocok pada Kubro
Siswo adalah pendidikan
moral keagamaan hal itu
terlihat dari syair syair lagu
yang sering dinyanyikan
adalah lagu bernuansa
islami, qasidah dan kadang
kadang bernuansa
kehidupan kemasyarakatan.
Seperti pepeling
(pengingat), sindiran, dan
tidak jarang juga
mempopulerkan lagu masa
kini.
Lagu yang sering
dinyanyikan adalah
bernuansa pesan moral.
Dalam lagu yang
dinyanyikan itu, terdapat
beberapa pesan-pesan
dakwah. Pesan yang
diharapkan mampu
mempengaruhi segi kognitif
para penontonnya, terutama
dalam hal pengetahuan
keagamaan.
Salah satu contoh syair
lagu dalam Kubro Siswo
adalah :
Kito Poro Menungso
(Kita Semua Manusia)
Kito poro menungso
ayo podo ngaji
(Kita semua manusia
ayo mengaji)
Islam ingkang
sampurno pepadanging
bumi
(Islam agama yang
sempurna, memberi
cahaya bagi bumi)
Ayo konco-ayo konco
ojo podo lali
(Ayo kawan-ayo kawan
jangan sampai lupa)
Lali mundhak ciloko
mlebu njroning geni
(Lupa membuatmu
celaka, masuk dalam
api)
Yo iku aran neroko
bebenduning Gusti
(Yaitu neraka tempat
pembalasan Tuhan)
d) Nilai wawasan budaya lokal
Wawasan budaya lokal
daerah antara lain pada bahasa
daerah yang digunakan saat
menyanyikan lagu Kubro
Siswo. Salah satu yang menjadi
wawasan budaya setempat
adalah keragaman bahasa yang
digunakan dalam kesenian
Kubro Siswo tersebut. Hal ini
senada dengan pendapat dari Ni
Wayan Sartini (2009: 28) yang
mengatakan bahwa salah satu
kearifan lokal yang ada di
seluruh nusantara adalah
bahasa dan budaya daerah.
Bahasa adalah bagian penting
dari budaya. Sebagai alat
komunikasi dalam masyarakat
ia memiliki peran penting
dalam mempertahankan budaya
suatu masyarakat. Karena
bahasa memanfaatkan tanda-
tanda yang ada di lingkungan
suatu masyarakat (Farid Rusdi,
2012: 347). Bahasa daerah
merupakan salah satu bahasa
yang dikuasai oleh hampir
seluruh anggota masyarakat
pemiliknya yang tinggal di
daerah itu.
Selain itu, adanya kekhasan
dalam menyajikan pertunjukan
dengan menggunakan pakaian
adat daerah yang seragam
dengan riasan yang menarik
tentunya akan dapat menambah
wawasan budaya yang
menjadikan ciri dari kekayaan
budaya Indonesia itu sendiri.
Berkaitan dengan
pementasan, pertunjukan di
iringi dengan gamelan jawa
yang terdiri dari gong, bende,
seruling, peluit, gambang,
kendhang, kenong, saron, dan
masih banyak lagi. Siapa saja
yang melihat pertunjukan
tersebut akan menambah
wawasan pengetahuannya akan
keragaman gamelan Jawa yang
rancak dan selaras dengan
harmoni dan melodi. Dapat
juga menjadi sarana
pembelajaran tentang
bagaimana alat musik itu di
bunyikan dan bagaimana alat
musik itu dibuat.
Semua yang ada pada
pementasan kesenian
tradisional baik itu berupa
pertunjukkan maupun karya
sastra mempunyai wawsan
budaya lokal tersendiri.
e) Nilai jual yang potensial
Francis Fukuyama,
memandang kearifan lokal
sebagai modal sosial yang
dipandang sebagai bumbu vital
bagi perkembangan
pemberdayaan perekonomian
masyarakat.
Modal sosial yang kuat
dapat memicu pertumbuhan di
berbagai sektor perekonomian
karena adanya tingkat rasa
percaya yang tinggi dan
keeratan hubungan dalam
jaringan yang lebih luas yang
tumbuh di kalangan masyarakat
(dalam Puspa dan Siti Czafrani,
2010:10).
Tidak bisa dipungkiri dalam
pementasan Kubro Siswo
terkadang dapat menjadi
komoditi bagi daerah tertentu
dari hasil apresiasi atas
pementasan Kubro Siswo
tersebut. Sehingga hal itu juga
dapat dijadikan sebagai sumber
penghasilan baik bagi para
pemain, dan penyaji
pertunjukkan.
Selain itu, dari segi peserta
didik, nilai potensial yang
menonjol dari adanya kearifan
lokal dapat memberikan
previlege tersendiri bagi
sekolah yang sudah
mengangkat Kubro Siswo
menjadi salah satu
ekstrakulikulernya sehingga
dapat lebih dikenal dalam
daerah tersebut yang sekawasan
dan lebih jauh lagi ditingkat
nasional maupun internasional.
Hal itu tentu akan menjadikan
daerah tersebut destinasi wisata
yang khas dengan kearifan
lokal yang berupa Kubro
Siswo.
Dan ditambah lagi, nilai
potensial juga dapat terlihat
dari pengrajin alat alat
pertunjukan, dari mulai kostum,
peralatan musik sampai dengan
ubarampe (pelengkap) kesenian
Kubro Siswo yang bernilai jual
tinggi, disesuaikan juga dengan
kebutuhan dan permintaan yang
semakin meningkat karena
kesenian Kubro yang mulai
menarik hati segala kalangan
baik muda, dewasa, sampai tua.
5. Implementasi Kubro Siswo dalams
sekolah berbasis pendidikan
kearifan lokal
Kubro siswo yang menjadi
ikonik dapat dikembangkan dalam
suatu sekolah yang notabene adalah
sekolah di daerah setempat, atau
lebih dikenal dengan sekolah
berbasis kearifan lokal. Kearifan
lokal dapat dimasukkan ke dalam
pendidikan sebagai salah satu
usaha untuk melestarikan budaya
lokal yang terdapat pada suatu
daerah.
Pendidikan Berbasis
Kearifan Lokal menurut Zuhdan K.
Prasetyo (2013:3) merupakan
usaha sadar yang terencana melalui
penggalian dan pemanfaatan
potensi daerah setempat secara arif
dalam upaya mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran,
agar peserta didik aktif
mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki keahlian,
pengetahuan dan sikap dalam
upaya ikut sertamembangun bangsa
dan negara.
a) Dasar hukum
Beberapa landasan hukum
penyelenggaraan sekoah berbasis
kearifan lokal antara lain :
a. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun
2003 BAB XIV Pasal 50 ayat 5
menegaskan bahwa pemerintah
kabupaten/kota mengelola
pendidikan dasar dan
menengah, serta satuan
pendidikan yang berbasis
pendidikan lokal.
b. Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 2010 pasal 34, bahwa
“Pendidikan berbasis
keunggulan lokal adalah
pendidikan yang
diselenggarakan setelah
memenuhi Standar Nasional
Pendidikan dan diperkaya
dengan keunggulan kompetitif
dan/atau komparatif daerah”,
b) Tujuan Pendidikan Berbasis
Kearifan Lokal
Pendidikan berbasis
kearifan lokal tentu memiliki
tujuan yang bersifat positif bagi
peserta didik, seperti dikatanakan
oleh Jamal Ma’mur Asmani (2012:
41) yang menyebutkan beberapa
tujuan pendidikan berbasis kearifan
lokal yaitu:
1) Agar siswa mengetahui
keunggulan lokal daerah
tempat tinggal, memahami
berbagai aspek yang
berhubungan dengan
kearifan lokal tersebut.
2) Mampu mengolah sumber
daya, terlibat dalam
pelayanan/jasa atau kegiatan
lain yang berkaitan dengan
keunggulan, sehingga
memperoleh penghasilan
sekaligus melestarikan
budaya, tradisi, dan sumber
daya yang menjadi unggulan
daerah, serta mampu
bersaing secara nasional dan
global.
c. Siswa diharapkan mencintai
tanah kelahirannya, percaya
dirimenghadapi masa depan,
dan bercita-cita
mengembangkan potensi lokal,
sehingga daerahnya bias
berkembang pesat seiring
dengan tuntutan era globalisasi
dan informasi.
c) Langkah Implementasi
Menurut Kemendiknas
(2011) menguraikan hasil analisis
tentang penentuan jenis
keunggulan lokal dalam
implementasinya di sekolah dalam
pembelajaran, yang meliputi :
1) inventarisasi aspek potensi
keunggulan lokal,
2) analisis kondisi internal
sekolah,
3) analisis lingkungan
eksternal sekolah, dan
4) strategi penyelenggaraan
sekolah berbasis kearifan
lokal (Zuhdan K. Prasetyo,
2013: 4).
Sedangkan langkah
implementasi diatas dapat
menggunakan strategi sebagai
berikut (Jamal Ma’mur
Asmani, 2013: 62):
1) tahap inventarisasi
keunggulan lokal,
2) tahap analisis kesiapan
satuan pendidikan,
3) tahap penentuan tema dan
jenis keunggulan lokal,
dan
4) tahap implementasi
lapangan
PENUTUP
Dari hasil pembahasan yang dapat
disimpulkan, bahwa pendidikan seni
tari seperti Kubro Siswo merupakan
salah satu contoh pendidikan seni tari
yang berbasis kearifan lokal yang
syarat akan makna. Eksistensi nya
harus tetap dijaga dan dilestarikan
karena biar bagaimanapun juga setiap
kesenian memiliki nilai luhur tersendiri
baik yang bersifat lokal dan nasional.
pengimplementasian nilai nilai yang
berbasis kearifan lokal dapat sedini
mungkin diterapkan dalam sekolah
dasar dengan memperhatikan berbagai
keunggulan yang nantinya akan
diangkat sebagai ikonik dari daerah
tersebut, dan tentu saja harus sesuai
dengan kebutuhan dari sekolah masing
masing.hal tersebut adalah disesuaikan
dengan kepribadian bangsa Indonesia
yang berbudi luhur dan berbudaya.
DAFTAR PUSTAKA
Echols, M John dan Hassan Shadily. 2014.
Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta
Cornell University Press dan
Gramedia Pustaka Utama.
Garnerd, Howard. (1999). Multiple
Intellegences. Alih Bahasa
Alexander Sindoro. Batan Centere:
Interaksara.
Jamal Ma’mur. (2012). Pendidikan
berbasis keunggulan lokal.
Yogyakarta: DIVA Press.
Joko Sutarso. (2012). Menggagas
pariwisata berbasis Budaya dan
Kearifan Lokal.
Siswoyo, D., dkk. 2007. Ilmu Pendidikan.
Yogyakarta: UNY Press.
Pekerti, W., dkk. 2008. Metode
Pengembangan Seni. Jakarta:
UniversitasTerbuka.
Sumandiyo, Hadi.(2005). Sosiologi
Tari. Yogyakarta: Pustaka.
Dedi Rosala. (2016) Pembelajaran Seni
Budaya Berbasis Kearifan Lokal
Dalam Upaya Membangun
Pendidikan Karakter Siswa
Di Sekolah Dasar. Jurnal Ritme. 2
(I). Hlm 17-27
Farid Rusdi. (2012). Bahasa dan Industri
Radio. Menggagas Pencitraan
Berbasis Kearifan Lokal. 4(II).
Hlm. 505-515.
Farid Rusdi. (2012). Bahasa dan Industri
Radio. Menggagas Pencitraan
Berbasis Kearifan Lokal. 4(II).
Hlm. 347-356.
Haidlor Ali Ahmad. (2010). Kearifan
Lokal sebagai Landasan
Pembangunan Bangsa. Harmoni
Jurnal Multikultural &
Multireligius. 34(IX). Hlm. 5-8.
Ni Wayan Sartini. (2004). Menggali Nilai
Kearifan Lokal Budaya Jawa
Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka,
dan Paribasan). Jurnal Ilmiah
Bahasa dan Sastra. V(1). Hlm. 28-
37.
Nuraini Asriati. (2012). Mengembangkan
Karakter Peserta Didik Berbasis
Kearifan Lokal Melalui
Pembelajaran di Sekolah. Jurnal
Pendidikan Sosiologi dan
Humaniora. 2(III). Hlm. 106-119.
Pedoman Penulisan Jurnal Standardisasi.
(2014).1 Hlm xvi-xvii.
Puspa Rini & Siti Czafrani. (2010).
Pengembangan Ekonomi Kreatif
Berbasis Kearifan Lokal oleh
Pemuda dalam rangka Menjawab
Tantangan Ekonomi. Jurnal UI
untuk Bangsa Sosial dan
Humaniora. 1(I). Hlm. 12-24.
Ulfah Fajarini. (2014). Peranan Kearifan
Lokal dalam Pendidikan Karakter.
Jurnal Sosio Didaktika. 1 (II). Hlm
123-131.
Sejarah Kobro Siswo Sebagai Islamisasi di
Borobudur (Khoirul Rokhman-
Sekolah Tinggi Agama Islam
Sunan Pandanaran) Retrieved
19/10/2017 19:50
http://akhlaktas.blogspot.co.id/201
4/01/sejarah-kobro-siswo-sebagai-
islamisasi.html
Mustadi, A. (2010). Pendidikan Karakter
Berwawasan Sosiokultural (
Sociocultural Based Character
Education) di Sekolah Dasar, Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) Ali
Mustadi. Dinamika Pendidikan.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/
penelitian/dr-ali-mustadi-mpd/7-
artikel-pendidikan-karakter-
berwawasan-sosio-kultural-terbit-
majalah-dinamika-pendidikan-
2011_2.pdf.
Wagiran. (2012). Pengembangan Karakter
Berbasis Kearifan Lokal
Hamemayu Hayuning Bawana.
Pendidikan Karakter, 1-18
Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. dikases pada
tanggal 9 Oktober 20.10 WIB
Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2010
tentang Pendidikan
BerbasisKearifan Lokald ikases
pada tanggal 9 Oktober 20.20 WIB