Eksekutif - bi.go.id · penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Hal...

8
xi Ringkasan Eksekuf

Transcript of Eksekutif - bi.go.id · penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Hal...

Page 1: Eksekutif - bi.go.id · penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Hal ini terutama dipicu oleh perilaku ... mengalami perlambatan ekonomi sebagai dampak

xi

Ringkasan Eksekutif

RingkasanEksekutif

Page 2: Eksekutif - bi.go.id · penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Hal ini terutama dipicu oleh perilaku ... mengalami perlambatan ekonomi sebagai dampak

xii

Ringkasan Eksekutif

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 3: Eksekutif - bi.go.id · penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Hal ini terutama dipicu oleh perilaku ... mengalami perlambatan ekonomi sebagai dampak

xiii

Ringkasan Eksekutif

Ringkasan Eksekutif

Pada semester I 2015, pasar keuangan global

mengalami pelemahan yang dipicu oleh ketidakpastian

arah kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Realisasi

pertumbuhan ekonomi AS yang belum mencapai

titik optimal sebagaimana ekspektasi banyak pihak

menyebabkan The Fed mempertimbangkan kembali waktu

diterapkannya kebijakan normalisasi. Meskipun demikian,

mulai membaiknya fundamental ekonomi AS memicu

ekspektasi positif dari investor sehingga mendorong

penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir seluruh

mata uang dunia. Hal ini terutama dipicu oleh perilaku

dasar investor yang cenderung mencari risk adjusted return

yang lebih tinggi.

Sementara itu, European Central Bank (ECB)

masih melanjutkan kebijakan Quantitative Easing (QE)

dalam rangka mendukung tercapainya target inflasi

dan pemulihan ekonominya. Kebijakan yang sama juga

ditempuh oleh Bank of Japan melalui Quantitative and

Qualitative Easing (QQE) yang didasari pada pertimbangan

bahwa negara tersebut masih dibayangi oleh deflasi.

Kebijakan di Eropa dan Jepangmenyebabkan semakin

berlimpahnya likuiditas global.

Pada saat yang sama, kawasan emerging market Asia

mengalami perlambatan ekonomi sebagai dampak dari

melemahnya ekonomi Tiongkok. Kondisi ekonomi yang

tidak berimbang tersebut mengakibatkan likuiditas global

mencari safe haven asset yang lebih menguntungkan.

Perilaku perpindahan likuiditas dari emerging market,

termasuk Indonesia, ke negara yang lebih menguntungkan

tersebut akan menambah potensi kerentanan di negara

emerging. Seiring dengan meningkatnya potensi kerentanan

dan melemahnya fundamental ekonomi, negara-negara

emerging juga dihadapkan pada meningkatnya risiko yang

tercermin dari naiknya premi Credit Default Swap (CDS).

Kecenderungan penguatan USD juga berdampak

terhadap melemahnya harga komoditas internasional,

selain karena faktor permintaan global yang masih

lemah. Penguatan USD menjadikan harga komoditas

menjadi relatif lebih mahal bagi pembeli di negara yang

menggunakan mata uang bukan USD, sehingga mendorong

pelemahan permintaan komoditas lebih lanjut. Pelemahan

antara lain dialami oleh batubara, kelapa sawit, dan minyak

mentah.

Sentimen di pasar keuangan global yang disertai

oleh pelemahan kinerja perekonomian Indonesia,

berdampak terhadap meningkatnya tekanan di pasar

keuangan Indonesia. Peningkatan tekanan tercermin

dari menurunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)

di Bursa Efek Indonesia dan meningkatnya yield Surat

Berharga Negara (SBN). IHSG melemah dari 5288,00

pada akhir semester II 2014 menjadi 4910,66 pada akhir

semester I 2015. Penurunan indeks tersebut diikuti pula

oleh meningkatnya volatilitas IHSG, termasuk volatilitas

seluruh indeks sektoral, sejak pertengahan semester I

2015.

Yield SBN meningkat di semua tenor, dengan

peningkatan terbesar dialami oleh SBN bertenor jangka

menengah yang mengindikasikan masih tingginya

ketidakpastian terhadap prospek perekonomian Indonesia

ke depan. Yield SBN 10 (sepuluh) tahun meningkat sebesar

51,4bps dari 7,74% pada semester II 2014 menjadi 8,26%

pada semester I 2015. Peningkatan yield SBN tenor ini juga

Page 4: Eksekutif - bi.go.id · penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Hal ini terutama dipicu oleh perilaku ... mengalami perlambatan ekonomi sebagai dampak

xiv

Ringkasan Eksekutif

diikuti dengan peningkatan rata-rata volatilitas sebesar

7,9bps. Jika dibandingkan dengan negara-negara di

kawasan, kenaikan yield SBN di tenor tersebut merupakan

salah satu yang mengalami peningkatan terbesar.

Di tengah tantangan eksternal dan domestik,

perbankan masih memiliki ketahanan yang cukup baik,

meski kinerjanya mengalami sedikit penurunan. Ketahanan

perbankan tercermin dari tingkat permodalan yang relatif

tetap terjaga. Capital Adequacy Ratio (CAR) meningkat

dari 19,57% pada semester II 2014 menjadi 20,35% pada

semester I 2015. Peningkatan CAR merupakan cerminan

upaya bank untuk memperkuat struktur permodalannya

sesuai dengan aturan BASEL III dan sikap kehati-hatian

perbankan dalam penyaluran kredit yang pada akhirnya

berdampak pada melambatnya pertumbuhan ATMR.

Rasio CAR yang tinggi tersebut menjadi bekal pengaman

perbankan dalam menyerap potensi risiko yang timbul,

terutama risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas.

Pada semester I 2015 kinerja perbankan mengalami

sedikit penurunan. Fungsi intermediasi perbankan sedikit

melemah seiring dengan perlambatan pertumbuhan

ekonomi domestik. Rasio Loan to Deposit (LDR) perbankan

menurun dari 89,30% pada semester II 2014 menjadi

88,62%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi di satu

sisi menyebabkan melambatnya pertumbuhan kredit,

sedangkan di sisi lain menyebabkan meningkatnya

pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan.

Kombinasi diantara keduanya mendorong penurunan LDR.

Melemahnya kinerja perekonomian dan meningkatnya

pesimisme pelaku ekonomi terhadap prospek ekonomi

menyebabkan pelaku ekonomi berhati-hati dalam

membuat keputusan ekonomi. Kehati-hatian tersebut

diantaranya mendorong mereka untuk lebih memilih

menyimpan dananya di perbankan daripada membiayai

kegiatan usaha. Sebagai konsekuensinya, pertumbuhan DPK

cenderung meningkat pada semester laporan. Sementara

itu, pertumbuhan kredit yang melambat disebabkan

permintaan masyarakat dan penghasilan yang menurun,

sehingga baik pebisnis maupun konsumen mengurangi

permintaan kreditnya. Perlambatan pertumbuhan

ekonomi pada umumnya disertai oleh persepsi kenaikan

risiko dunia usaha, yaitu berupa kemungkinan default

debitur yang semakin tinggi, sehingga mendorong

perbankan untuk lebih berhati-hati dalam menyalurkan

kreditnya.

Penurunan kinerja perbankan juga tercermin dari

efisiensi dan Return On Asset (ROA) yang menurun.

Penurunan efisiensi industri perbankan tercermin dari

peningkatan rasio beban operasional dibandingkan dengan

pendapatan operasional (BOPO) dan cost to income ratio

(CIR). Penurunan efisiensi tersebut menjadi penyebab

penurunan keuntungan industri perbankan. ROA industri

perbankan turun dari 2,85% di semester II 2014 menjadi

2,29%.

Penurunan kinerja perbankan diikuti dengan

meningkatnya risiko.Risiko perbankan dipicu oleh

perlambatan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar Rupiah

yang terdepresiasi, kenaikan yield SBN, serta kenaikan

harga komoditas internasional. Sumber-sumber risiko ini

terutama berdampak terhadap meningkatnya risiko kredit

dan risiko pasar, sementara kenaikan risiko likuiditas lebih

disebabkan oleh faktor musiman hari raya keagamaan.

Risiko kredit perbankan cenderung meningkat

walaupun masih berada di level yang aman. Rasio Non-

Performing Loan (NPL) perbankan meningkat dari 2,16%

pada akhir semester II 2014 menjadi 2,56% pada akhir

semester laporan. Tingkat NPL ini masih berada di bawah

threshold yang ditetapkan yaitu sebesar 5%. Kenaikan

NPL terjadi di seluruh sektor ekonomi seiring dengan

melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik yang

telah berlangsung sejak akhir 2011 dan penurunan harga

komoditas internasional. Kelompok debitur korporasi

memberikan sumbangan kenaikan NPL tertinggi yaitu

dari 1,93% menjadi 2,55%. Sementara itu, NPL kelompok

Page 5: Eksekutif - bi.go.id · penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Hal ini terutama dipicu oleh perilaku ... mengalami perlambatan ekonomi sebagai dampak

xv

Ringkasan Eksekutif

rumah tangga juga naik dari 1,48% menjadi 1,75% pada

periode yang sama.

Perlambatan ekonomi global dan domestik serta

penurunan harga komoditas nonmigas internasional

memicu peningkatan risiko kredit sektor korporasi.

Berdasarkan Laporan Keuangan Emiten triwulan I

2015, kinerja korporasi yang tercatat di BEI melemah,

tercermin dari penurunan Return On Asset (ROA) dan

Return On Equity (ROE). Penurunan profitabilitas terjadi

di hampir seluruh sektor, kecuali sektor perdagangan,

jasa dan investasi. Emiten sektor pertanian dan sektor

pertambangan mengalami penurunan kinerja keuangan

terbesar sejalan dengan penurunan harga komoditas

nonmigas. Hal yang perlu diwaspadai adalah penurunan

kinerja korporasi yang berkelanjutan akan berdampak

pada repayment capacity korporasi yang selanjutnya akan

memengaruhi risiko kredit perbankan dan perusahaan

pembiayaan.

Risiko kredit pada sektor Rumah Tangga (RT)

cenderung terjaga namun tetap perlu diwaspadai.

Hasil Survei Konsumen menunjukkan bahwa jumlah RT

dengan Debt Service Ratio (DSR) di atas 30% mengalami

kenaikan pada semua kelompok pendapatan. Kondisi ini

cukup berisiko di tengah ekspektasi terhadap pendapatan

konsumen yang relatifstabil karena akan menimbulkan

ketidakseimbangan keuangan antara pendapatan dan

pengeluaran. Ketidakseimbangan ini pada akhirnya akan

memengaruhi repayment capacity sektor RT di masa yang

akan datang.

Eksposur perbankan terhadap risiko pasar pada

semester laporan relatif masih terjaga sejalan dengan

perilaku perbankan yang berhati-hati.Risiko pasar timbul

karena bank memiliki portofolio SBN dalam kategori trading

dan Available For Sale (AFS), tagihan dan kewajiban dalam

valuta asing, serta tagihan dan kewajiban yang sensitif

terhadap suku bunga. Sebagai konsekuensi dari eksposur

tersebut, bank akan terpengaruh terhadap perubahan

harga SBN, tingkat suku bunga, dan pelemahan nilai

tukar Rupiah. Pada semester laporan, risiko pasar industri

perbankan relatif rendah sejalan dengan penurunan

outstanding portofolio SBN trading dan AFS. Sementara

itu, risiko suku bunga juga relatif masih terjaga karena suku

bunga DPK cenderung menurun sehingga menurunkan

kewajiban bank untuk pembayaran bunga. Sedangkan

risiko pasar akibat nilai tukar cenderung moderat. Pada

akhir semester I 2015, perbankan mencatat kenaikan

posisi long valas dibandingkan semester lalu. Meskipun

posisi long valas meningkat, rasio Posisi Devisa Neto (PDN)

perbankan tercatat sebesar 2,59%, jauh di bawah ambang

batas ketentuan yang ditetapkan sebesar 20%.

Likuditas industri perbankan pada akhir semester

I 2015 menurun dibandingkan semester sebelumnya

disebabkan oleh aliran keluar uang kartal menjelang Hari

Raya Idul Fitri. Kondisi likuiditas yang dicerminkan dari rasio

AL terhadap NCD (AL/NCD) menurun dari 99,83% pada

semester II 2014 menjadi 92,50% pada semester I 2015

dan AL/DPK yang menurun dari 20,53% menjadi 19,00%

di periode yang sama.

Sementara itu, seiring dengan intermediasi perbankan

secara industri, penyaluran kredit kepada Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah (UMKM) juga tumbuh melambat

disertai dengan peningkatan risiko kredit. Perlambatan

ini dikarenakan pelemahan kegiatan ekonomi dan juga

karena pengetatan penyaluran kredit oleh perbankan

seiring dengan meningkatnya NPL kredit UMKM menjadi

4,83% pada semester I 2015. Rasio NPL tertinggi tercatat di

sektor Konstruksi (9,29%), sektor Listrik, Gas & Air (7,93%)

dan sektor Pertambangan & Penggalian (7,72%).

Secara umum, ketahanan industri perbankan

dalam menghadapi risiko kredit, risiko pasar dan risiko

likuiditas masih relatif kuat. Hasil stress test risiko kredit1

menunjukkan permodalan mengalami sedikit penurunan

1) Stress test menggunakan asumsi penurunan PDB sebesar 3% dari PDB baseline.

Page 6: Eksekutif - bi.go.id · penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Hal ini terutama dipicu oleh perilaku ... mengalami perlambatan ekonomi sebagai dampak

xvi

Ringkasan Eksekutif

namun masih jauh diatas ketentuan modal minimum

sebesar 8%. Sementara itu, berdasarkan hasil stress

test risiko pasar2, tingkat permodalan perbankan masih

mencukupi untuk menyerap kerugian yang timbul. Hasil

stress test likuiditas3 perbankan dalam menghadapi shock

capital outflow akibat kenaikan FFR masih menunjukkan

posisi likuiditas yang relatif cukup kuat karena rasio

likuiditas perbankan masih jauh berada di atas threshold

sebesar 8,5%. Transmisi kepada likuiditas perbankan

dilakukan melalui penurunan harga surat berharga yang

dimiliki bank.

Pada semester I 2015, kinerja Institusi Keuangan Non

Bank (IKNB) terus mengalami peningkatan sebagaimana

tercermin dari peningkatan aset Perusahaan Pembiayaan

(PP) sebesar 4,14% dan Perusahaan Asuransi sebesar

2,89%. Peningkatan kinerja tersebut juga diikuti dengan

peningkatan risiko sebagaimana tercermin dari peningkatan

rasio NPF PP dan rasio klaim bruto terhadap premi bruto.

Salah satu potensi risiko bagi PP adalah eksposur

terhadap risiko nilai tukar karena meningkatnya tren

Pinjaman Luar Negeri (PLN). Walaupun demikian, sebagian

besar PP telah melakukan mitigasi risiko terhadap PLN

melalui hedging. Hasil stress test ketahanan permodalan

PP menunjukkan dampak pelemahan nilai tukar masih

terbatas. Sementara itu, asesmen risiko interconnectedness

PP dengan perbankan menunjukkan keterkaitan antara PP

dan perbankan mengalami penurunan.

Meski risiko usaha perusahaan asuransi mengalami

peningkatan namun risiko likuiditas relatif terjaga yang

tercermin dari rasio current asset terhadap current

liabilities yang berada di atas threshold. Demikian halnya

potensi risiko depresiasi nilai tukar dan perubahan suku

bunga luar negeri relatif rendah karena ketergantungan

terhadap ULN rendah. Risiko interconnectedness dengan

bank mengalami peningkatan bersumber dari peningkatan

penempatan dana asuransi dalam bentuk DPK perbankan

dan kepemilikan surat utang bank oleh perusahaan

asuransi.

Sebagaimana halnya yang dialami oleh sektor

keuangan konvensional, kinerja sektor keuangan syariah

juga mengalami perlambatan, khususnya di 2 (dua) sektor

utama, yaitu perbankan dan pasar modal. Di sektor

perbankan, beberapa indikator kinerja utama mengalami

penurunan yang ditandai oleh melambatnya pertumbuhan

aset, penghimpunan DPK, pembiayaan syariah, dan

permodalan. Rasio permodalan syariah, meski menurun

namun masih berada di level yang relatif aman, yaitu

sekitar 14% di akhir semester I 2015. Berbeda dengan

perbankan konvensional, risiko kredit perbankan syariah

yang tercermin dari Non Performing Financing (NPF) justru

menurun, antara lain karena adanya konsolidasi internal

di perbankan syariah. Sementara itu, risiko likuiditas

mengalami peningkatan tercermin dari menurunnya rasio

alat likuid yang disebabkan oleh turunnya penempatan

dana perbankan syariah di Fasilitas Simpanan Bank

Indonesia Syariah (FASBIS)4. Kondisi yang sama juga dialami

oleh sektor pasar modal syariah yang menguasai 93% total

aset sektor keuangan syariah. Indeks harga saham syariah

mengalami penurunan sebesar 4,93% dan pertumbuhan

nilai kapitalisasi pasar mengalami penyusutan dari 15,21%

pada semester II 2014 menjadi -5,08%.

Dar i s i s i inf rastruktur s i stem keuangan,

penyelenggaraan sistem pembayaran selama semester I

2015 berjalan aman, efisien, dan andal, sehingga antara

lain mampu mendukung terjaganya stabilitas sistem

keuangan. Kinerja sistem pembayaran yang baik tersebut

tercermin dari terpenuhinya target beberapa indikator

antara lain tingkat ketersediaan Sistem Bank Indonesia Real

Time Gross Settlement (BI-RTGS), Bank Indonesia Scripless 2 Stress test menggunakan kenaikan suku bunga sebesar 5%, penurunan harga

SBN sebesar 25%, depresiasi nilai tukar sebesar 50%. 3 Menggunakan asumsi penurunan posisi surat berharga (trading, AFS dan HTM)

berdasarkan pola historis QE 1, 2, dan 3.

4 FASBIS adalah fasilitas simpanan dalam rupiah yang disediakan oleh BI kepada bank untuk menempatkan dananya di BI dalam rangka standing facilities Syariah.

Page 7: Eksekutif - bi.go.id · penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Hal ini terutama dipicu oleh perilaku ... mengalami perlambatan ekonomi sebagai dampak

xvii

Ringkasan Eksekutif

Securities Settlement System (BI-SSSS) dan Sistem Kliring

Nasional Bank Indonesia sesuai dengan tingkat layanan

(servicelevel) yang telah ditetapkan. Sementara itu, kinerja

yang baik pada sistem pembayaran yang diselenggarakan

oleh industri, ditunjukkan melalui terlaksananya transaksi

pembayaran oleh masyarakat dalam volume yang

relatif tinggi dibandingkan dengan laporan periode

sebelumnya. Selain itu, pada semester I 2015 Bank

Indonesia menempuh kebijakan guna memperkuat

infrastruktur pembayaran ritel melalui implementasi

SKNBI Generasi II dan meningkatkan keamanan dan

kelancaran pelaksanaan transaksi dan setelmen di Pasar

Modal melalui implementasi penggunaan Central Bank

Money (CeBM).

Risiko pada sistem pembayaran relatif terjaga selama

semester I 2015. Risiko likuditas dan operasional dalam

batas yang terkendali, terlihat dari kondisi saldo giro

yang terjaga, serta turn over ratio dan Queue Transaction

yangberada pada level yang stabil. Selain itu, risiko

setelmen tercatat relatif rendah, tercermin dari rendahnya

nilai dan volume transaksi pembayaran melalui Sistem BI-

RTGS yang tidak dapat diselesaikan (unsettled transaction)

sampai berakhirnya waktu operasional Sistem BI-RTGS

(window time). Sementara itu, Bank Indonesia terus

melakukan pemantauan terhadap risiko sistemik yang

muncul dari keterhubungan (interconnectedness) antar

peserta Sistem BI-RTGS.

Pada semester I 2015, respon kebijakan yang

ditempuh Bank Indonesia (BI) di bidang Stabilitas Sistem

Keuangan diarahkan untuk mendukung tercapainya

stabilitas makroekonomi serta pertumbuhan ekonomi.

Dukungan tersebut dicapai melalui pelonggaran kebijakan

makroprudensial, pelaksanaan surveillance terhadap

sistem keuangan dan peningkatan fleksibilitas layanan

perbankan kepada pelaku ekonomi.

Pe lo ng garan keb i jakan makroprudens ia l

dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi intermediasi

perbankan. Relaksasi kebijakan ini diberlakukan baik

terhadap sektor-sektor produktif maupun terhadap

struktur pendanaan bank, meliputi pelonggaran ketentuan

Rasio Loan to Value (LTV) atau Rasio Financing to Value

(FTV)dan kebijakan GWM-Loan to Funding Ratio (GWM-

LFR). Kebijakan LTV dan FTV ditujukan untuk kredit atau

pembiayaan properti dan uang muka untuk kredit atau

pembiayaan kendaraan bermotor, baik berbasis perbankan

konvensional maupun syariah. Sedangkan kebijakan GWM

LFR merupakan ketentuan GWM-Loan to Deposit Ratio

(LDR) yang disesuaikan lebih lanjut dengan memasukkan

komponen surat-surat berharga nonsubordinasi ke

dalam perhitungan pendanaan bank. Disamping untuk

mendorong pendalaman dan peningkatan aktivitas di

pasar keuangan, perluasan pendanaan ini memberikan

tambahan ruang intermediasi bagi perbankan. Ketentuan

GWM-LFR juga dimaksudkan untuk meningkatkan akses

UMKM terhadap layanan perbankan, karena GWM LFR

mengaitkan penyaluran kredit atau pembiayaan UMKM

dengan pemenuhan GWM melalui pemberian insentif dan

disinsentifbagi perbankan.

Sementara itu, kegiatan surveillance terhadap sistem

keuangan ditujukan guna mengidentifikasi sumber-sumber

kerentanan dan ketidakseimbangan yang dapat memicu

terjadinya risiko sistemik. Surveillance terutama dilakukan

terhadap Systemically Important Banks (SIB)5. Kegiatan ini

dilengkapi pula oleh pemeriksaan tematik dan kepatuhan.

Pemeriksaan tematik dilakukan untuk mengumpulkan

informasi yang diperlukan dalam melakukan asesmen

4 SIB didefinisikan sebagai suatu bank yang karena ukuran aset, modal, kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan, serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan. Bentuk kegagalan tersebut dapat berupa operasional maupun finansial.

Risiko sistemik adalah potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), dan keter-kaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Definisi risiko sistemik dan SIB berdasarkan PBI No.16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial.

Page 8: Eksekutif - bi.go.id · penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Hal ini terutama dipicu oleh perilaku ... mengalami perlambatan ekonomi sebagai dampak

xviii

Ringkasan Eksekutif

dan penilaian terhadap potensi risiko sistemik di industri

perbankan maupun sistem keuangan secara keseluruhan.

Sedangkan pemeriksaan kepatuhan dilakukan untuk

memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan

makroprudensial maupun ketentuan lain yang dikeluarkan

oleh Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan pemeriksaan, BI

berkoordinasi dengan OJK sebagai otoritas pengaturan dan

pengawasan di bidang mikroprudensial.

Sementara itu, kebijakan untuk meningkatkan

fleksibilitas layanan perbankan dalam rangka memfasilitasi

upaya pendalaman pasar keuangan dilakukan melalui

amandemen terhadap ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN).

Ketentuan ini memberikan keleluasaan bagi perbankan

untuk mengelola eksposur valuta asing dengan tetap

berpedoman pada prinsip kehati-hatian dan manajemen

risiko yang sehat.

BI juga meningkatkan koordinasi dengan otoritas

lain. Selain di bidang pemeriksaan, BI juga berkoordinasi

dengan OJK yang diformalkan dalam Forum Koordinasi

Makro dan Mikro (FKMM). Area koordinasi antara lain

meliputi implementasi Memorandum of Understanding

pengawasan bank antara BI dengan OJK, information

sharing, koordinasi dan penyelarasan kebijakan, termasuk

pelaksanaan supervisory action terhadap bank-bank yang

berpotensi menimbulkan risiko sistemik. Selain dengan

OJK, peningkatan koordinasi juga dilakukan melalui Forum

Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) khususnya

dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis.