Eklamsi2

28
Eklamsia Diagnosis dan penatalaksanaan Jaya kusuma, AAN Sub.bag Fetomaternal Bag/SMF Obstetri Ginekologi FK Unud/RS Sanglah Denpasar Pendahuluan : Eklamsia merupakan suatu kondisi obstetric yang penting yang menyebabkan mortalitas dan morbiditas ibu diseluruh dunia. Dilaporkan adanya 50.000 kematian ibu setiap tahun nya diseluruh dunia oleh karena eklamsia. Di Negara negara maju kejadian eklamsia sangat jarang, hal ini disebabkan oleh adanya perbaikan kualitas pelayanan kesehatan ibu hamil, khususnya preeklamsia ( Corkhills hypothesis ). ( Chen, Chan 1998 ). Seperti yang kita ketahui bahwa penyebab preeklamsia-eklamsia sampai saat ini masih belum jelas, karena itu mencegah kejadian ini adalah tidak mungkin kecuali dengan menghindari kehamilan.Namun walaupun demikian beberapa teori tentang patogenesis preeklamsia-eklamsia yang telah diajukan oleh banyak ahli diantaranya teori iskemik plasenta, radikal bebasa, kerusakan endotel, dan teori diet dapat digunakan untuk mencegah semakin beratnya penyakit, atau dapat digunakan untuk pencegahan sekunder dan tersier. Demikian pula halnya dengan teori terjadinya kejang yang terjadi pada preeklamsia , sampai saat ini belum jelas benar. Sehingga kejang pada preeklamsia sulit diprediksi, dilaporkan oleh , Mushambi MC, bahwa 38% eklamsia terjadi tanpa prodroma yang kita kenal sebagai tanda tanda iniment eklamsia. ( Mushambi MC). Demikian juga hubungan kejang dengan tingginya tekanan darah , tidak relevan.( Douglas KA ) Manifestasi nerologis eklamsia sama dengan manifestasi klinis ensefalopati hipertensif, yaitu sakit kepala, perubahan visus, gangguan kesadaran , dan akhirnya kejang. Pada pencitraan otak dari penderita eklamsia ditemukan adanya edema didaerah coerteks serebri dan terutama terjadi

Transcript of Eklamsi2

Page 1: Eklamsi2

EklamsiaDiagnosis dan penatalaksanaan

Jaya kusuma, AANSub.bag Fetomaternal

Bag/SMF Obstetri Ginekologi FK Unud/RS Sanglah Denpasar

Pendahuluan :

Eklamsia merupakan suatu kondisi obstetric yang penting yang menyebabkan mortalitas dan morbiditas ibu diseluruh dunia. Dilaporkan adanya 50.000 kematian ibu setiap tahun nya diseluruh dunia oleh karena eklamsia. Di Negara negara maju kejadian eklamsia sangat jarang, hal ini disebabkan oleh adanya perbaikan kualitas pelayanan kesehatan ibu hamil, khususnya preeklamsia ( Corkhills hypothesis ). ( Chen, Chan 1998 ). Seperti yang kita ketahui bahwa penyebab preeklamsia-eklamsia sampai saat ini masih belum jelas, karena itu mencegah kejadian ini adalah tidak mungkin kecuali dengan menghindari kehamilan.Namun walaupun demikian beberapa teori tentang patogenesis preeklamsia-eklamsia yang telah diajukan oleh banyak ahli diantaranya teori iskemik plasenta, radikal bebasa, kerusakan endotel, dan teori diet dapat digunakan untuk mencegah semakin beratnya penyakit, atau dapat digunakan untuk pencegahan sekunder dan tersier. Demikian pula halnya dengan teori terjadinya kejang yang terjadi pada preeklamsia , sampai saat ini belum jelas benar. Sehingga kejang pada preeklamsia sulit diprediksi, dilaporkan oleh , Mushambi MC, bahwa 38% eklamsia terjadi tanpa prodroma yang kita kenal sebagai tanda tanda iniment eklamsia. ( Mushambi MC). Demikian juga hubungan kejang dengan tingginya tekanan darah , tidak relevan.( Douglas KA ) Manifestasi nerologis eklamsia sama dengan manifestasi klinis ensefalopati hipertensif, yaitu sakit kepala, perubahan visus, gangguan kesadaran , dan akhirnya kejang. Pada pencitraan otak dari penderita eklamsia ditemukan adanya edema didaerah coerteks serebri dan terutama terjadi di lobus oksipitalis. Patologi tersebut terjadi karena meningkatnya secara tiba tiba tekanan darah sehingga mengganggu system otoregulasi otak, tetapi masih terdapat kontroversi apakah kejang pada eklamsia hanya disebabkan karena peningkatan tekanan darah yang berakibat vasopasme pembuluh darah otak, ataukah ada mekanisme lainya, sebab tidak semua eklamsia berasal dari preeklamsia berat dan tidak semua mengalami tanda tanda klinis imminent eklamsia. ( Schwarts I, clin& neuro). MgSo4 sebegai terapi untuk mencegah dan menghilangkan kejang yang sedang berlangsung., telah diakui sebagai obat yang efektif, namun dosis dan cara pemberiannya masih tidak seragam . Masalah yang muncul pada pemberian MgSO4 ini adalah apakah semua pasien preeklamsia harus diberikan antikejang, ?? Apakah semua preeklamsia akan menjadi eklamsia??. ( Katz VL, 2000)

Page 2: Eklamsi2

Epidemiologi :

Di negara yang telah berkembang, kejadian eklamsia jarang terjadi,hal ini disebabkan karena adanya perbaikan kualitas pelayanan antenatal dan makin baiknya fasilitas pelayanan kesehatan ditempat itu. ( Corkhill hypothesis).Secara keseluruhan kejadian eklamsia dilaporkan sebesar 0,05% sampai 0,2% dari seluruh persalinan. Di Tsan Yuk Hospital, Hong Kong pada penelitian retrospektif selama 10 tahun (1983-1993) didapatkan kejadian eklamsia sebesar 2 per 10.000 persalinan atau hanya ditemukan 12 kasus eklamsia selama kurun waktu tersebut dan tidak terdapat kematian maternal dan perinatal. ( Chan YM)Kejadian yang lebih tinggi dilaporkan oleh Chen CY, dkk di KK Womens & Childrens Hospital Singapore, pada penelitian retrospektif di RS tersebut selama tahun 1994 sampai 1999, didapatkan 62 kasus eklamsia diantara 92.305 persalinan atau sebesar 6,7 per 10.000 persalinan. Kejadian paling banyak didapatkan pada kelompok umur kurang dari 25 tahun dan lebih dari 34 tahun. Sebagian besar ( 64,5%) eklamsia mengalami gejala dan tanda imminent eklamsia sebelum kejang, dengan gejala yang paling banyak adalah sakit kepala. Sebagian besar ( 81,6%) dari penderita eklamsia tersebut ternyata telah mendapatkan pelayanan antenatal, dimana penderita tersebut mengalami kejang pertama kali di Rumah sakit. Didapatkan 1 kematian ibu ( angka kematian ibu karena eklamsia 1,6%) dan 6 kematian janin intrauterine dengan angka kematian perinatal sebesar 95,2 per 1000 kelahiran. Dibandingkan dengan Inggris dan Melbourne hospital tampaknya kejadian di RS KKWCH lebih besar. ( Chen CY )

Tabel 1 Comparison of eclampsia in different populations KKH United Kingdom Melbourne Hsp ( 1994-1999) (1992) ( 1978-1992 )

Antepartum (%) 61,30 38,0 58,0

Intrapartum (%) 19,35 18,0 10,0

Postpartum (%) 19,35 44,0 32,0

Incidence 6,7 4,9 3,9

Maternla mortality (%) 1,6 1,8 5,6

Perinatal mortality 95,2 54,2 181,0

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar eklamsia terjadi pada masa antepartum, dan post partum. Di Inggris kejadiannya menurun dari 80 per 10.000 persalinan pada tahun 1922 menjadi sebesar 4,9 per 10.000 persalinan tahun 1992 (Douglas KA). . Di New Zealand terjadi penurunan dari 32 per 10.000 persalinan pada tahun 1928-1933 menjadi 8 per 10.000 persalinan pada tahun 1956-1958 . Di Singapore juga terjadi penurunan insiden eklamsia dari 28,7 per 10.000 persalinan pada tahun 1957 menjadi 14 per 10.000 persalinan pada tahun 1968 dan terakhir menjadi 6,7 per 10.000

Page 3: Eklamsi2

persalinan pada tahun 1994.( Chen CY ). Bagaimana situasinya di Indonesia ?? Belum ada laporan secara keseluruhan tentang insiden eklamsia secara keselurahan di Indonesia, yang ada adalah laporan per Rumah Sakit di Indonesia, contohnya di

Definisi :

Eklamsia adalah kejang dan atau koma yang terjadi pada ibu hamil yang sebelumnya menderita preeklamsia, tanpa diketahui adanya penyebab lain. ( ). Veltkamp R melaporkan 2 kasus eklamsia yang terjadi 9 hari postpartum dimana sebelumnya kedua wanita hamil tersebut tidak menderita preeklamsia. Diagnosis eklamsia pada 2 penderita tersebut berdasarkan tanda klinis dan neuroradiologis , dan telah menyingkirkan penyebab neurologis lainnya. Ke dua penderita tersebut tidak menunjukkan tanda tanda hipertensi, edema maupun proteinuria sampai hari ke 9 post-partum, dimana setelah itu penderita mulai merasakan sakit kepala yang makin lama makin keras, diikuti dengan mual muntah dan gangguan visus. Tekanan darah pada saat itu adalah 190/120 mmHg, yang kemudian di terapi dengan Nifedipin. Beberapa pemeriksaan seperti analisa likuor serebrospinalis , cerebral angiogram dan CT scan dilakukan untuk mencari kausa neurologis lainnya telah dilakukan dengan hasil yang normal. Sehari setelah itu penderita kejang. , setelah diberikan perawatan sesuai eklamsia kemudian dilakukan MRI dengan hasil adanya edema didaerah cortex dan oksipital. Gambaran ini sesuai dengan gambaran lesi otak eklamsia. Kejadian ini menegaskan bahwa eklamsia bisa terjadi setelah 48 jam post partum tanpa tanda tanda preeklamsia sebelumnya. Penemuan ini sesuai pula dengan yang ditemukan oleh Lubarsky, dimana 44% pasien dengan late post partum eklamsia ditemukan tanpa tanda tanda preeklamsia sebelumnya. Keaadan ini disebut sebagai “ eclampsia without pre-eclampsia “ yang merupakan variant dari eklamsia. Walaupun pernah dilaporkan hal seperti diatas namun batasan eklamsia masih tetap menggunakan batasan kejang yang terjadi pada seorang wanita hamil yang sebelumnya menderita preeklamsia. Dilaporkan terdapat sekitar 44% pasien pasien eklamsia yang sebelumnya tidak menderita preeklamsia. ( Veltkamp R, Lubarsky ).Kejadian eklamsia paling sering terjadi pada 24-48 jam pertama post partum, apabila kejang itu terjadi lebih dari 48 jam disebut Late post partum eclampsia ( Sadovsky R,2002.) . Beberapa ahli memberi batasan . late post-partum eclampsia sebagai kejang yang terjadi setelah 48 jam sampai 4 minggu past-partum (Lubarsky,SL, Mathew R , Felz W).

Patogenesis :

Sampai saat ini mekanisme kejang pada eklamsia belum jelas, apakah disebabkan oleh karena tekanan darah yang tinggi atau adanya mekanisme lainya yaitu kebocoran pembuluh darah kapiler serebri yang mengakibatkan ekstravasasi plasma ke jaringan otak sehingga menyebabkan kejang ?.Terjadinya hipertensi pada penderita preeklamsia-eklamsia diawali dengan gagalnya proses remodeling arteria spiralis. Seperti diketahui bahwa pembentukan plasenta melalui proses proliferasi, migrasi dan invasi tropoblas kedalam desidua(interstitial ) dan ke dalam lumen arteria spiralis ( endovascular

Page 4: Eklamsi2

invasion). Permulaan dari proses ini sudah terjadi pada umur kehamilan 4-6 minggu, yang akan berakhir pada umur kehamilan 16-20 minggu. Hasil akhir dari proses ini adalah lapisan muskularis, endotel dan lamina elastik internal diganti oleh sel sel tropoblas sehingga lumen arteria spiralis menjadi lebar dan elastis, sehingga menimbulkan aliran darah yang besar ke plasenta.Pada kehamilan normal vasodilatasi lumen arteria spiralis ini dapat meningkatkan aliran darah uteroplasenta sampai 10 kali lipat.Pada preeklamsia terjadi maladaptasi invasi tropoblast oleh berbagai factor sehingga sirkulasi ruang intevilus menjadi tidak adekuat, keadaan ini menimbulkan stress oksidatif kronis pada plasenta, dimana pada keadaan ini plasenta menghasilkan banyak ROS ( Reaktive oxygen species ). Interaksi radikal bebas dengan asam lemak tak jenuh pada membran sel endotel menghasilkan peroksida lipid yang menyebabkan disfungsi endotel. Endotel yang merupakan organ terluas dalam tubuh memiliki berbagai fungsi selain barier mekanik intra dan ekstra vaskuler. Endotel berperan dalam mengendalikan aliran darah, dan tahanan perifer melalui mediator kimiawi yang dihasilkannya yaitu, Nitric oxyde(NO), Prostasiklin (PGI2) dan Endothelial deriving hyperpolarizing factor (EDHF) yang semuanya merupakan vasodilator yang kuat. Pada kehamilan normal terjadi peningkatan aktifitas Nitric Oxyde Syntase (NOS), Cyclooxygenase (COX) sehingga terjadi peningkatan produksi NO dan PGI2. NO mengaktifasi cGMP, demikian juga PGI2 mengaktifasi camp didalam otot polos vaskuler, secara bersamaan juga terjadi penurunan kalsium intraseluler dan sensitivitas sel terhadap Ca +2. EDHF yang dihasilkan oleh sel endotel juga membuka K+ channels yang menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi membran sel. Semua proses tersebut menyebabkan terjadinya relaksasi sel otot polos vaskuler, penurunan tahanan perifer dan penurunan tekanan darah. Pada disfungsi endotel yang disebabkan oleh preeklamsia terjadi penghambatan aktifitas NOS, sehingga produksi NO menurun. Demikian juga factor plasenta mengakibatkan terlepasnya Endotelin-1(ET1) dan tromboksan A2(TXA2) yang merupakan suatu endothelium deriveing contracting factor yang menyebabkan okontraksi otot polos vaskuler . Secara bersamaan juga terjadi aktifasi Renin Angiotensin System (RAS) di ginjal sehingga terjadi pelepasan Angiotensin II . Semua substansi diatas bersama sama mengaktifasi reseptor spesifik di sel otot polos vaskuler yang menyebabkan peningkatan Ca+2 intrasel, aktifasi Protein Kinase C (PKC) yang akhirnya menyebabkan peningkatan konstriksi pembuluh darah, yang menimbulkan manifestasi klinis hipertensi dan tahanan perifer yang meningkat. Gambar berikut memperlihatkan secara skematis pengaruh disfungsi endotel pada peningkatan tekanan darah.

Gb 1 . Skema perubahan vaskuler pada kehamilan normal dan preeklamsia.

Page 5: Eklamsi2

Mekanisme terjadinya kejang pada eklamsia belum jelas. Secara patologis pada jaringan otak ditemukan tanda tanda yang sama dengan jaringan otak yang mengalami suatu hypertnsive encephalopathy. Kelainan itu adalah nekrosis fibrinoid, trombosis arteriola, mikroinfark dan perdarahan petekial.( Reynolds,2003) . Hypertensive encephalopathy adalah suatu sindroma klinik subakut yang ditandai oleh sakit kepala, gangguan visus dan kejang serta tanda tanda neurologis lainnya sperti perubahan mental,dan fokal neurologik yang berubungan dengan peningkatan tekanan darah. Sindroma ini biasanya bersifat reversible ketika tekanan darah segera diturnkan, namun bisa fatal bila tanda tanda klinis ini tidak diketahui. Pembuluh darah serebral mempunyai kemampuan untuk mengatur aliran darahnya sendiri, dimana system regulasi itu dikenal sebagai “ cerebral autoregulation “. Perfusi cerebral akan dipertahankan oleh system itu , sehingga kecepatan aliran darah serebral tetap sebesar 50-55 ml/menit/100 gram jaringan otak. Untuk mempertahankan kondisi tersebut maka pembuluh darah serebral yang mempunyai komponen miogenik dan neurogenik itu akan dilatasi bila tekanan darah turun, demikian juga sebaliknya bila tekanan darah meningkat. Keadaan itu tercapai pada range tekanan darah yang lebar, yang dapat diukur dengan mean arterial blood pressure (MABP) sebesar 60-120 mmHg. Pada preeklamsia tanda tanda hypertensive encephalopathy tersebut merupakan gejala dari Iminent eclampsia atau impending eclampsia. Ada 2 teori terjadinya hypertensive encephalopathy, yaitu yang pertama adanya spasme pembuluh darah serebral sebagai respon terhadap adanya hipertensi akut atau peningkatan tekanan darah yang tiba tiba, vasospasme ini menyebabkan “ ischemic injury “, nekrosis arteriolar dan disrupsi dari “blood brain barier” sehingga menyebabkan terjadinya edema sitotoksik. Teori kedua menyatakan bahwa sindrom itu berasal dari adanya “ breakthrouh” dari system otoregulasi otak sehingga menyebabkan “ forced dilation “. Mula mula terjadi vasospame pada pembuluh darah kemudian terjadi overdistensi pasif dari pembuluh darah serebral, yang akhirnya menyebabkan nekrosis muskularis pembuluh darah dan rusaknya dinding pembuluh darah yang menyebabkan bocornya cairan ke jarngan sekitarnya. Hasil akhir dari mekanisme tersebut adalah terjadinya edema serebri fokal. Inervasi saraf simpatis pada arterola serebral melindungi otak terhadap peningkatan tekanan darah dan kerusakan komponen miogenik akibat disfungsi endotel , namun proteksi itu lebih banyak terjadi di bagian anterior , sedangkan di bagian posterior arteria serebralis posterior tidak, sehingga pada keadaan “breakthrouh “ system oto regulasi itu maka daerah serebral yang sering mengalami kerusakan adalah di daerah lobus oksipital dan bagian otak di posterior lainnya , yang menyebabkan timbulnya gangguan visus sampai kebutaan atau disebut Cortical Blindness . Batas atas dari MABP bervariasi antara individu, pada seorang yang sebelumnya tidak menderita hipertensi peningkatan MABP diatas 125 mmHg sudah menimbulkan tanda tanda hypertensive encephalopathy sedangkan pada seseorang yang mengalami hipertensi kronik, terjadi hipertropi medialis pada pembuluh darah serebral, sehingga MABP menjadi lebih tinggi, dan dibutuhkan tekanan darah yang lebih tinggi lagi untuk menimbulkan hypertensive encephalopathy.Misalnya seorang primigravida yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal, bisa mengalami kejang pada saat tekanan darahnya naik menjadi 180/120 mmHg, namun pada penderita lain dengan hipertensi kronik pada tekanan darah tersebut bisa asimptomatik atau hanya mengalami sedikit keluhan saki kepala yang tidak berarti.( Reynolds, )Gambar berikut menerangkan hubungan antara MABP dan aliran darah otak.

Page 6: Eklamsi2

Gb2. Cerebral autoregulation in normal and hypertensive patients.( Sumber : The Diagnosis and management of Hypertensive Crises,Chest 2000 ).

Walaupun patologi otak pada penderita eklamsia menunjukkan bukti adanya hypertensive encepahalopathy seperti nekrosis fibrinoid pada arteriola serebral, trombosis, mikroinfak dan perdarahan petekia, namun hypertensive encephalopathy saja tidak dapat menerangkan secara keseluruhan patologi susunan saraf pusat, sperti misalnya adanya perdarahan retina, eksudat dan papil edema yang merupakan tanda khas dari ypertensive encephalopathy, pada eklamsia kelainan tersebut jarang dijumpai. Juga hubungan nya dengan tingginya tekanan darah, tidak relevan, sebanyak 20 % dari eklamsia ternyata berasal dari hipertensi ringan dengan tekanan darah 140/90 mmHg. Karena itu patogenesis eklamsia sampai saat ini tidak sepenuhnya dapat dimengerti, tetapi walaupun demikian plasenta, ginjal dan otak merupakan organ yang sering mengalami perubahan patologik akibat disfungis endotel. ( Mushambi MC )

Gambar 2 . Multisystem Changes in preeclampsia.( Recent developments in the pathophysiology and management of pre-eclampsia, Br J of Anesth, 1996 ).

Page 7: Eklamsi2

Manifestasi klinis dan Diagnosis :

Diagnosis eklamsia dibuat berdasarkan adanya kejang yang bersifat umum, sekali atau lebih diikuti atau tidak dengan koma, dan tidak ditemukan adanya kondisi neurologis lainnya yang berhubungan dengan kejang tersebut. (Cunningham, norwitz, ..) Kejang pada eklamsia biasan nya berlangsung 60-75 detik dan tidak lebih dari 3-4 menit. Tergantung dari waktu terjadinya , eklamsia bisa terjadi ante partum, intrapartum dan psot partum.Fugate S melaporkan kejadian eklamsia antepartum sebesar 25%, eklamsia intrapartum sebesar 50% dan eklamsi post partum sbesar 25% (Fugate, S 2004). Hal yang sedikit berbeda didapatkan di KKWCH Singapore , eklamsia antepartum didapatkan sebesar 61,30%m eklamsia intrapartum 19,35% dan eklamsia postpartum 19,35%. (Chen CY). Eklamsia sebagian besar didahului oleh tanda tanda prodroma yang kita sebut dengan tanda tanda imiment eclampsia atau impemding eklamsia. Tanda tanda tersebut sesuai dengan tanda tanda hypertensive encephalopathy. Onwuhafua,PI di University Teaching Hospital, Kaduna ,Nigeria tahun 2001 mendapatkan dari 45 kasus eklamsia sebanyak 100%mengalami sakit kepala, hipertensi sebannyak 88,8% dan demam sebanyak 42,2%. ( Onwuhafua PI 2001). Demikian juga Lubarsky SL melaporkan keluhan sakit kepala sebelum kejang sebanyak 83% kasus eklamsia. (Lubarsky,1994).Tanda tanda prodroma yang dilaporkan oleh Fugate juga sama yaitu , sakit kepala ( 82,5%), hyperactive reflexes (80%), gangguan penglihatan (44,4%) mual dan muntah (30%) . (Fugate 2004 ). Kejang pada eklamsia dibagi menjadi 2 fase yaitu : (Cunningham, Fugate )

Fase 1 , kejang dimulai pada daerah sekitar mulut dalam bentuk “ facial twitching “ yang berlangsung sekitar 15-20 detik. Setelah itu badan menjadi kaku , dan disertai dengan kontraksi otot yang menyeluruh.

Fase 2, dimulai dengan kontraksi otot rahang, rahang membuka dan menutup , setelah itu berlanjut pada otot bola mata, menyebabkan protrusi bola mata dan selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh. Pada saat ini seluruh otot tubuh mengalami kejang dan relaksasi secara bergantian dan berlangsung cepat, sehingga berakhir kira kira dalam 60 detik.Pada saat fase 2 ini karena kejang yang menyeluruh seringkali menyebabkan tubuh penderita terlempar dari tempat tidur, serta komplikasi yang lainnya seperti trauma pada tulang dan tergigitnya lidah penderita. Pada saat kejang terjadi henti nafas, disebabkan karena diapragma menjadi terfiksir ,kemudian perlahan lahan nafas penderita kembali normal yang diawali dengan nafas dalam dan panjang. Segera setelah kejang berhenti maka penderita jatuh dalam keadaan koma, keadaan ini tidak berlangsung lama, kecuali terdapat perdarahan serebral atau edema serebri yang luas . Penderita juga dapat mengalami kenaikan suhu tubuh sampai diatas 39 C yang disebabkan karena perdarahan intraserebral, dimana kenaikan suhu tubuh ini merupakan salah satu tanda prognosis yang buruk. Pada eklamsi yang terjadi antepartum , bisa timbul tanda tanda persalinan , demikian juga pada eklamsia yang terjadi intrapartum, kontraksi yang sudah ada bisa bertambah kuat, sehingga harus diwaspadai terjadinya solusio plasenta, terutama bila disertai dengan fetal bradikardia yang lebih dari 5 menit. Keadaan berbahaya yang

Page 8: Eklamsi2

lainnya yang bisa mengikuti kejang adalah adanya edema paru . Edema paru merupakan salah satu komplikasi akut eklamsia. Edema paru adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada interstitial paru dan ruang alveoli ( Norwitz). Keadaan ini merupakan komplikasi akut eklamsia,yang bisan terjadi bersamaan atau segera setelah kejang berlangsung. Tanda penting dari edema paru adalah sesak nafas, pada pemeriksaan fisik paru didapatkan ronki pada paru. Edema paru disebabkan karena aspirasi pneumonitis atau karena gagal jantung. Selain edema paru komplikasi lainnya adalah keluhan tentang hilangnya penglihatan pada penderita eklamsia ( cortical blindness) yang terjadi sekitar 10 % dari kasus preeklamsia-eklamsia. Kebutaan ini disebabkan oleh “ retinal detachment” atau “ occipital lobe ischemia “. Keadaan ini biasanya reversible, penglihatan kembali beberapa saat sampai 1 minggu setelah melahirkan. ( Cunningham, Norwitz, Reynolds).

Munro PT melaporkan beberapa komplikasi eklamsia yang terjadi pada pengamatan sebanyak 383 pasien eklamsia di Southern General Hospital ,Galsgow 1999 sebagai berikut :

Tabel. 2 Complications of eclampsia :

Required ventilation (87) 23 %DIC (33) 9 %HELLP syndrome (27) 7 %Renal failure (24) 6 %Pulmonary oedema (18) 5 %ARDS (7 ) 1,8%CVA (7) 1,8%Cardiac arrest (6) 1,6 %Death (6) 1,6 %.( Munro.PT. Mangement of eclampsia in the accident and emergency dept. J Accid Emerg Med 2000).

Beberapa kondisi klinis yang perlu dipikirkan sebagai diferensial diagnosis eklamsia adalah sebagai berikut :

Diferential diagnosis of Eclampsia

Cerebro vascular accident : Intraserebral hemorrhage, Cerebral arteral or thrombosisHypertensives diseases : Hypertensive encephalopathy, PheochromcytomaSpace-occupying lesion : Brain tumor or abscessMetabolic disorders : Hypoglycemia, UremiaInfections etiology : Meningitis, encephalitis

Page 9: Eklamsi2

Encephlaitis. ( “ Acute Complication of Pregnancy, Norwitz, ER. Clin Obs and Gynecol,2002 )

Pemeriksaan laboratorium dan Elektromedik Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk menunjang diagnosis eclampsia adalah, sebagai berikut :

1. Pemeriksaan darah lengkap2. Hitung trombosit3. Elektrolit4. Protein kwantitatif5. Fungsi liver ( Lactat dehydrogenase, SGOTdan SGPT,Bilirubin )6. Blood smear.7. Asam urat8. Glukosa serum

Pemeriksaan elektromedik yang diperlukan adalah pemeriksaan CT scan kepala tanpa atau dengan kontras. CT scan merupakan teknik pemeriksaan radiologis yang aman untuk kehamilan bila dikerjakan setelah trimester pertama. Pertimbangan untuk melakukan CT scan pada pasien eklamsia terutama pada pasien pasien yang mengalami kejang ulangan , atau mengalamai kelainan laboratories yang bermakna . Gambaran lesi otak yang biasanya nampak adalah edema serebri, khususnya didaerah lobus oksipitalis, perdarahan serebral dan infark serebri. Pemeriksaan elektromedik yang lebih superior dibandingkan dengan CT scan adalah Magnetic resonance Imaging (MRI) dan Magnetic resonance Angiography (MRA). Namun penggunanan MRA sangat terbatas pada eklamsia .Dalam waktu 2minggu lesi otak tersebut sudah menghilang diikuti dengan membaiknya gejala gejala klinis. Hampir semua lesi otak pada eklamsia bersifat reversible , karena disebabkan oleh kegagalan mekanisme otoregulasi atau vasospasme transient. Pemeriksaan dengan MR angiography memastikan keaadaan ini. (Chakravarty A 2002)Schwartz RB mempelajari hubungan parameter klinis dengan terjadinya edema serebri yang diakibatkan oleh hypertensive encephalopathy. Dari pengamatannya terhadap 20 pasien preeklamsia-eklamsia yang pada pemeriksaan MRI didapatkan adanya edema serebri, dan 8 pasien preeklamsia-eklamsia yang pada pemeriksaan MRI tidak ditemukan adanya edema serebri didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan bermakna terhadap terjadinya keluhan sakit kepala, gangguan visus dan keluhan neurlogik lainnya, namun perbedaan yang bermakna terdapat pada adanya kejang, semua pasien dengan edema serebri mengalami kejang sedangkan yang tidak menunjukkan adanya edema serebri semuanya tidak ada yang mengalami kejang (Tabel ).

Page 10: Eklamsi2

Demikian juga hubungan antara tingginya tekanan darah dan MABP tidak bermakna antara kelompok edema serebri dan kelompok non eedema serebri. Ada beberapa hasil laboratorium yang mempunyai perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok yaitu , nilai hematokrit ( 36 Vs 28 ), leukosit ( 13,7 Vs 9,2), LDH ( 339 Vs 258 ), kelainan morpologi sel darah merah , asam urat serum ( 0,41 Vs 0,26 ) , serum kreatinin ( 0,8 Vs 0,7) dan kadar serum magnesium ( 1,15 Vs 1,89 ). Dari analisa regresi logistik terhadap paramerter parameter laboratorium tersebut ternyata yang paling beprperan sebagai prdiktor terkuat dari edema serebri adalah abnormalitas sel sel darah merah yaitu adanya sperositosis dan anisositoisi pada hapusan darah tepi, yang dapat memprediksi 25% kasus edema serebri.(Tabel ). :

Dari penelitian itu juga dilihat hubungan antara parameter klinis dan laboratorium pada 11 pasien preeklamsia-eklamsia yang mengalami edema serebri (8 orang ) dan yang tidak mengalami edema serebri (3 orang ). Data diambil 1 minggu sbelum munculnya tnda dan gejala hypertensive ensefalopathy, ternyata pada kelompok edema serebri terjadi kenaikan LDH yang berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok non edema serebri. (297 Vs 195. P 0,04). Tekana darah sistolik , diastolik dan MABP tidak berbeda bermakna pada 1 minggu sebelum terjadinya hypertensive encephalopathy pada kedua kelompok ( Tabel ).

Disimpulkan bahwa edema serebri pada pasien preeklamsia –eklamsia berhubungan dengan kelainan laboratorium akibta adanya disfungsi endotel. Pada penelitian ini digunakan morpologi sel sel darah merah dan LDH sebagai indikator disfungsi endotel , karena iregularitas dinding endotel itu akan menyebabkan disrupsi dari sel sel darah merah menjadi schistocyte, anisocytes, microspherpcytes dan pelepasan LDH. Pemeriksaan endotelial marker hendaknya dilakukan pada pasien pasien preeklamsia –eklamsia, dan apabila terdapat abnormalitas pada parameter tersebut , sebaiknya segera

Page 11: Eklamsi2

memberikan terapi antihipertensi untuk mencegah hypertensive encephalopathy.( Schwartz,RB 2000).

Penatalaksanaan :

Kejang pada penderita eklampsia merupakan suatu “ Life-threatening emergency” yang harus mendapatkan penanganan yang adekuat untuk mengurangi mrobiditas dan mortalitas ibu dan anak. (Kafali )Sebanyak 60% kematian maternal pada eklampsia disebabkan karena perdarahan serebral yang disebabkan oleh karena peningkatan tekanan darah. Pada prinsipnya penanganan eklamsia terdiri dari 5 hal penting yaitu ( Salha, JJ Wakers)

1. Menjaga Jalan nafas ibu :

Pada penderita eklamsia yang sedang mengalami kejang, mencegah tergigitnya lidah dan aspirasi dari cairan sekresi yang berasal dari saluran makanan , harus menjadi prioritas utama penanganan eklamsia. Pasien dengan eklamsia hendaknya ditempatkan pada tempat yang cukup terang, tidak gelap. Pada waktu kejang, penderita ditempatkan sedemikian rupa sehingga kepala dalam posisi miring ke kiri untuk memperbaiki aliran darah ke uterus , dan tempatkan bantalan lidah untuk melindungi lidah agar tidak tergigit. Sekresi yang banyak di rongga mulut segera di hisap dan jangan terlalu jauh masuk kedalam rongga mulut untuk menghindari reflek vagal . Untuk menjamin oksigenasi berikan oksigen sungkup 5-6 l/menit. Secara simultan pasang intravenous line , dan lakukan pengambilan contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium. Pemberian cairan intravenous dibatasi dengan cairan isitonik125 cc/jam.

2. Menghentikan kejang dan mencegah kejang ulangan :

Sampai saat ini MgSO4 merupakan obat pilihan untuk menghentikan kejang dan mencegah serangan kejang ulangan pada penderita eklamsia. The collaborative eclampsia trial merupakan suatu penelitian acak terkontrol yang menguji efektifitas MgSO4 dibandingkan dengan diazepam dan phenitoin. Penelitian ini melibatkan 1680 pasien eklamsia di Afrika, Amerika selatan,dan India. Hasil yang penting dari penelitiantersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini .Tabel. The collaborative Eclampsia trial Complications

Page 12: Eklamsi2

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa MgSO4 merupakan “ drug of Choice “ untuk eclampsia. Kerja MgSO4 tidak saja sebagai anti kejang namun juga bersifat sebagai serebral vasodilator, dengan cara menghambat masuknya ion Ca+2 kedalam sel melalui NMDA(N-Methyl-D-aspartate) yang merupakan subtipe dari “ glutamate channel. “ Disamping itu MgSO4 juga dapat memperbaiki fungsi endotel . ( Norwitz, Neilson, Munro, Salha,Walkers J , Greene FG ). MgSO4 dapat diberikan secara intermiten maupun kontinyus dengan pompa infus. Rekomendasi pemberian MgSO4 sebagai berikut : ( Cunnigham ,2001 )

Tabel . Magnesium Sulfate Dosage Schedule for Severe Preeclampsia and Eclampsia. Continuous Intravenous Infusion 1. Give 4-6 gr loading dose of magnesium sukfate diluted in 100 ml of IV fluid

administerd over 10-20 min.2. Begin 2 gr/h in 100 ml of IV magnesium infusion3. Measure serum magnesium level at 4-6 h and adjust infusion to maintain levels

between 4-7 mEq/L( 4,8-8,4 mg/dl )4. Magnesium sulfate discontinued 24 h after delivery.

Intermittent Intramuscular injections 1. Give 4 gr magnesium sulfate (MgSO4.7H2O USP) as a 20% solution IV at a rate

not to exeed 1 gr/min.2. Follow promptly with 10 gr of 50% magnesium sulfate solution, one-hafl (5gr)

injected deeply in the upper outer quadrant of both buttocks through a 3-inch long,20-gauge needle ( addition of 1,0 ml of 2% lidocaine to minimizes discomfort).If convulsions persist after 15 minute, give up to 2 gr IV as a20% solutions at a rate not to exeed 1 gr/min. If the woman is large, up to 4 gr may be given slowly.

3. Every 4 h thereafter give 5 gr of a 50% solution of magnesium sulfate injected deeply in the upper outer quadrant of alternate buttocks, but only after assuring that : The platellar reflex is present, respirations are not depressed and urine out put during the previous 4 h exceeded 100 ml.

4. Magnesium sulfate is discontinued 24 h after delivery.

Pemberian MgSO4 dengan cara diatas memberikan kadar plasma obat dalam batas batas therapeutics level yang aman yaitu 4-7 mEq/L.Pasien yang mendapatkan pengobatan dengan MgSO4 harus dimonitor kemungkinan adanya gejala gejala toksisitas, yaitu hilangnya reflek patella dan depresi sampai henti nafas. Kedua tanda klinis itu harus diperiksa setiap jam. Karena MgSO4 diekskresikan lewat ginjal, maka pada penderita dengan kelainan ginjal atau oliguria ( Urine output < 100 cc per 4 jam ) harus dilakukan pemeriksaan kadar MgSO4 serum.Dosis awal MgSO4 yang diberikan pertamakali aman untuk penderita yang mengalami gangguan fungsi ginjal, namun pada pemberian dosis ulangan, pemeriksaan fungsi ginjal harus dilakukan dimana bila kadar kreatinin serum melebihi 1,3 mg/dl , maka dosis MgSO4 diberikan setengah dari dosis standard.

Page 13: Eklamsi2

Reflek patella akan menghilang pada kadar MgSO4 mencapai 10 mEq/L, bila melebihi 10-12 mEq/L maka terjadi depresi nafas dan bila kadar plasma MgSO4 melebihi 12 mEq/L akan terjadi paralysis otot pernafasan. Bila terjadi tanda tanda toksisitas tersebut maka MgSO4 harus segera dihentikan dan diberikan antidotumnya yaitu Calsium gluconate 1 gram intravenous. Cunningham 2001, RCOG 1999). Dibandingkan dengan anti kejang yang lainnya sperti diazepam dan phenitoin MgSO4 lebih efektif. MgSO4 dapat mengurang kejadian eklamsia sampai 58% dan tidak ada pengaruh yang buruk terhadap luaran perinatal ( Duley 2003). Diazepam dapat mengakibat kan depresi nafas, hipotonia, penurunan kesadaran dan masalh termoregulator pada bayi.(Reynolds 2003 ). Hasil penelitian dari Lucas MJ, yang membandingkan pemberian MgSO4 pada 1049 pasien preeklamsia berat dibandingkan dengan pemberian phenytoin pada 1089 pasien preeklamsia berat, mendapatkan hasil bahwa pada pemberian phenitoin tersebut ternyata 10 pasien menjadi eklamsia sedangkan pada kelompok yang diberikan MgSO4 tidak ada yang mengalami eklamsia (p=0,004) ( Lucas MJ 1995 ). Pemberian MgSO4 dihentikan stelah 24 jam post partum pada preeklamsia berat atau 24 jam setelah kejang terakhir. Untuk mencegah kejang ulangan selain memberikan MgSO4 dalam dosis pemeliharaan, pemberian obat antihipertensi harus dipertimbangkan pada MAP > 125 mmHg, untuk mencegah terjadinya tanda tanda hypertensive encephalopathy. ( Salha 1999,Munro 2000, Greene 2004. )

3. Pengendalian tekanan darah

Tujuan dari penurunan tekanan darah pada eklamsia adalah untuk menurunkan risiko terjadinya perdarahan serebral, gagal jantung, infark miokard dan solusio plasenta. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu cepat karena dapat membahayakan ibu dan janin. “ Treatment goal “ pada eklamsia adalah menurunkan tekanan darah segera sebesar 10 mmHg sistolik dan diastolic dari pra-pengobatan dan mempertahankan MABP < 125 mmHg , tetapi tidak boleh lebih kecil dari 105 mmHg, atau diastolic 90-110 mmHg. (Salha 1999, ) . Hal hal penting yang perlu diperhatikan pada pemberian obat antihipertensi pada eklamsia adalah, kapan memulai terapi, obat apa yang digunakan, berapa besar dosisnya , bagaimana memantaunya dan kapan menghentikan terapi antihipertensi. Hipertensi pada umumnya harus diterapi tanpa memandang penyebabnya untuk mengurangi risiko perdarahan serebral, namun pada eklamsia seringkali tingginya tekanan darah tidak sesuai dengan beratnya gejala klinis atau makin tingginya kemungkinan kejadian kejang. Sebagian ahli tidak memberikan antihipertensi pada hipertensi ringan , dimana tekanan darah sistolik 140- 160 mmHg dan diastolic 90-110 mmHg, namun pada saat ini telah disepakati untuk memberikan antihipertensi pada tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan diastolic > 109 mmHg. ( Coppage 2004) Treatment goal “ yang harus dicapai adalah MABP 105-125 mmHg, yang bertujuan untuk mempertahankan system otoregulasi serebral, tetapi tetap dapat mempertahankan sirkulasi uteroplasenta. Tetapi harus diingat bahwa tingginya tekanan darah bukanlah satu satunya predictor untuk menentukan prognosis penyakit, harus dilihat beberapa tanda klinis dan laboratorium lainnya seperti nilai hemtokrit, protenuria, peningkatan ensim hati, ada tidaknya tanda tanda IUGR ( Inta uterine growth Restriction ). Jadi tujuan utama dari pengobatan antihipertensi adalh untuk mencegah komplikasi yang berbahaya pada

Page 14: Eklamsi2

ibu akibat tingginya tekanan darah, tetapi tetap dapat melindungi kehamilan dan janin yang dikandungnya ( ). Pemberian obat antihipertensi tidak dapat mengendalikan penyakit secara keseluruhan , hanya dengan cara melahirkan bayi , morbiditas dan mortalitas dapat dicegah.

Obat antihipertensi yang yang direkomendasikan untuk hipertensi akut adalah :

Medication onset of action dose

1. Hydralazine 10-20 min 5-10 mg every 20 min up to max.30mg

2.Labetalol 10-15 menit 10-20 mg IV,then 40-80 mg every 10 min to max 300 mg/day, cont. infusio 1-2 mg/h.3. Nifedipine 5-10 min 10 mg PO, repeated in 30 min,prn. Then 10-20 mg every 4-6 hours up to 240 mg/ 24 h.

4. Sodium nitroprusside 0,5-5 min 0,25- 5 ug/kg/min IV infusion. Risk of fetal cyanide poisoning with prolonged treatment.( Hypertensive emergency, Obstetric Intensive Care manual, Coppage, 2004 ).

Diantara obat obat antihipertensi diatas yang sering diberikan saat ini adalah nifedipine oral. Meskipun belum direkomndasikan oleh Satgas POGI namun pemakaian obat ini didukung oleh banyak penelitian , diantaranya adalah Fenakel 1991 yang melakukan penelitian RCT pada pasien preeklamsia berat umur kehamilan 26-36 minggu, dengan membandingkan Nifedipine 10-30 mg oral, dilanjutkan dengan 40-120 mg/hari/oral=25 kasus ), dengan Hidralasine6,25 mg-12,5 mg IV, dilanjutkan dengan 80-120 mg/hari/oral=25 kasus. , penelitian ini mendapatkan hasil bahwa Nifedipine efektif menurunkan tekanan darah pada 95,8% kasus dibandingkan dengan hidralasin 68% ( P < 0,05 ).Tabel berikut dibawah ini menunjukkan hasil penelitian dari Fenakel, 1991

Tabel. Comparison of Usage of Nifedipine and hydralazine Nifedipine Hydralazine Dose 10-30 mg SL follw by 40-120mg/d/PO. 6,25-12,5 mgIV follw by 80- 120 mg/d/PO.

Control of Seizure: 95,8% 68%.Acute fetal distress 1/24 11/25Prolongation of Gest. 15,5 + 10 9,5 + 11.

Penelitian meta analsis yang membandingkan Hidralasine, labetalol, nifedipine dan antihipertensi yang lainnya telah dilakukan oleh Magee, 2003 dengan hasil bahwa hidralsine berhubungan dengan kecenderungan terjadinya hipertensi persisten dibandingkan dengan nifedipine dan antihipertensi lainnya, juga lebih sering

Page 15: Eklamsi2

menimbulkan palpitasi dan flushing dibandingkan dengan nifedipine. Disimpulkan bahwa pemakaian hidralasin menimbulkan efek samping lebih banyak dibandingkan dengan nifedipine ( Magee,2003 )Tabel berikut menunjukkan hasil penelitian metaanalisis yang membandingkan hidralasine dengan antihipertensi lainnya .

Tabel. Persisten severe maternal hypertensive in trials that compared hydralazine with other antihypertensive.

Tbel. 3 Maternal and perinatal outcomes in trials comparing others antihypertensive for sever hypertension of preganancy.

Page 16: Eklamsi2

Obat antihipertensi intravenous diberikan pada tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan diastolic > 110 mmHg. Jenis obat yang dipakai adalah Clonidine. Cara pemberiaanya adalah dengan melarutkan 1 ampul clonidine dalam 10 cc larutan garam faali, kemudian perlahan lahan disuntikkan intravena, mula mula sebanyak 5 cc selama 5 menit kemudian tekanan darh diukur, bila belum tercapai penurunan tekanan darah sebanyak 15-20 % dari tekanan darh semula maka diberikan lagi sisanya 5 cc intravenous selama 5 menit. Tujuan terapi adalah tercapainya penurunan tekanan darah diastolic samapi 100-110 mmHg. ( Coppage 2004, NHBPEP 2000).

4. Manejemen Cairan :

Salah satu penyebab kematian ibu pada eklamsia adalah kegagalan kardiorespirasi. Pada seorang penderita eklamsia, mengalami vasospame menyeluruh yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi organ. Studi tentang volume cairan ekstravaskuler pada penderita preeklamsia-eklamsia menunjukkan bahwa volume plasma menurun sampai 50% diabndingkan dengan kehamilan normal. Penurunan volume plasma ini adalah akibat maldistribusi volume cairan ekstraseluler. Selain itu pada preeklamsia juga terjadi penurunan aliran darah ke ginjal . Keadaan ini memudahkan penderita mengalami edema dan pemberian cairan harus mempertimbangkan keadaan ini. Untuk mencegah terjadinya komplikasi iatrogenik, seperti edema paru, gagal jantung kiri, dan adult respiratory distress syndrme maka kesimbangan antara cairan masuk dan keluar harus dimonitor. Untuk menambah tekanan onkotik plasma , sringkali digunakan cairan koloid, namun belum ada bukti pemberian ini lebih bermanfaat dibandingkan dengan cairan kristaloid. Kecepatan pemberian cairan intravenous yaitu 80 cc/jam ( 1 ml/kg/jam ). Terdapat kontroversi apakah monitoring dengan CVP dapat membantu mengetahui adanya overload cairan, sebab pada preeklamsia terdapat korelasi yang buruk dengan volume plasma. Bila CVP dipakai untuk monitoring maka nilainya harus dipertahankan pada level dibawah 5 cm H2O. Secara rutin kristaloid sering dipakai untuk hidrasi sebelum tindakan anesthesia regional. Pada pasien ini ekspansi volume bisa menurunkan COP lebih lanjut dan karena itu secara teoritis akan lebih menguntungkan bila menggunakan kristaloid dibandingkan dengan koloid. Karena belum tedapat bukti jenis cairan mana yang lebih baik dipakai, maka bila kristaloid yang diapakai untuk hidrasi monitor PCWP

Page 17: Eklamsi2

dianjurkan. Jenis cairan yang digunakan adalah ringer laktat atau ringer asetat. Ringer asetat dianggap memiliki kelebihan karena proses pembentukan bikarbonat dari asetat terjadi di otot sedangkan laktat menjadi biakarbonat memerlukan fungsi hepar yang baik, dimana pada preeklamsia sering terjadi gangguan hepar. ( Salha 1999, Munro 2000, Mulyono,2002 ).

5. Manajemen persalinan :

Melahirkan bayi merupakan terapi definitive dari eklamsia. Bila penderita ada dalam persalinan atau persalinan per vaginam memenuhi syarat, maka persalinan pervaginam merupakan cara yang terbaik untuk penderita preeklamsia eklamsia. Harus diingat bahwa pada keadaan ibu yang belum stabil, persalinan hendaknya ditunda ,kecuali penderita ada dalam persalinan ( in labor ). Untuk memulai persalinan hendaknya diperhatikan hal hal seperti kejang sudah dihentikan dan diberikan antikejang untuk memcegah kejang ulangan, tekanan darah sudah terkendali, dan hipoksia telah dikoreksi. Pada skor pevik yang rendah dan kehamilan masih sangat preterm, seksio sesaria lebih baik dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Pada seksio sesaria, analgesia epidural menjadi pilihan untuk anesthesia, karena tidak mempenagruhi COP, aliran darah ke plasenta tidak dipengaruhi dan pengendalian tekanan darah lebih baik. Hipovolumia bisa terjadi pada pemakaian obat obat regional anesthesia, karena itu diperlukan loading cairan sebanyak 400-500 ml kristaloid sebelum anesthesia regional dilakukan untuk mencegah hipotensi dan fetal distress . Kontra-indikasi anesthesia regional adalah bila terdapat DIC, atau bila kadar trombosit dibawah 100.000/l . Pada keadaan dimana harus dilakukan anesthesia umum, maka perahatian terhadap kemungkinan adanya edema laring, yang dapat mempersulit intubasi serta dapat menyebabkan obstruksi respirasi post-operative atak henti jantung harus diperhatikan .. Laringoskop telah diketahui dapat menyebabkan reflek hipertensi yang dapat memprburuk keadaan pasien. Ergometrin tidak boleh diberikan, untuk mencegah perdarahan post partum dapat diberikan infus oksitosin ( 40 IU/dalam dekstrose). ( Salha, Walker 1999).

6. Manajemen post-partum :

Setelah melahirkan penderita masih harus diawasi selama 24 jam. Obat antihipertensi harus tetap diberikan sampai MABP <125 mmHg. Post partum eklamsia biasanya terjadi dalam 24-48 jam setelah melahirkan, karena itu terapi MgSO4 tetap harus diberikan sampai 24 jam post-partum atau 24 jam setelah kejang terakhir. Isler CM , dalam penelitiannya tentang lamanya pemakaian MgSO4 dalam pencegahan eklamsia postpartum dengan menggunakan criteria laboratorium sebagai indicator penghentian terapi yaitu hilangnya keluhan sakit kepala, perubahan visus dan epigastric serta tekanan darah stabil pada 150/100mmHg dan diuresis lebih dari 100 cc dalam 2 jam . Dengan menggunakan criteria tersebut pemakaian MgSO4 dapat diperpendek menjadi rata rata 4 jam post-partum, dan tidak ditemukan penderita mengalami kejang post-partum , dan hanya 7,6% pasien membutuhkan suntikan MgSO4 ulangan dalam 24 jam karena tekanan darahnya naik lebih dari 160/110 mmHg yang disertai dengan keluhan sakit kepala dan gangguan visus. ( Isler CM, 2003).

Page 18: Eklamsi2