Efek Samping Antipsikotik Atipikal
-
Upload
istiqlal-miftahul-jannah -
Category
Documents
-
view
201 -
download
2
Transcript of Efek Samping Antipsikotik Atipikal
BAB 1
PENDAHULUAN
Dewasa ini konsep kedokteran mengenai pengobatan gangguan psikotik
masih berputar pada penggunaan antipsikotik. Antipsikotik merupakan salah satu
obat golongan psikotropik. Obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara
selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku (mind and behavior altering drugs), digunakan untuk
terapi gangguan psikiatrik (psychotherapeutic medication). Menurut WHO (1966)
obat psikotropik adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau
pengalaman. Psikotropik hanya mengubah keadaan jiwa penderita sehingga lebih
kooperatif dan dapat menerima psikoterapi dengan lebih baik.
Berdasarkan penggunaan klinik, psikoterapi dibagi menjadi 4 golongan
yaitu: (1) antipsikotik; (2) antianxietas; (3) antidepresi; dan (4) psikotogenik.
Antipsikotik atau dikenal juga dengan istilah neuroleptik (major tranquilizer)
bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik. Antipsikotik bekerja dengan
menduduki reseptor dopamin , serotonin dan beberapa reseptor neurotransmiter
lainnya . Antipsikotik dibedakan atas antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi
pertama) antara lain klorpromazin, flufenazin, tioridazin, haloperidol; serta
antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua) seperti klozapin, olanzapin,
risperidon dan lain sebagainya.
Obat antipsikotik tipikal tentunya memiliki efek samping yang perlu
diketahui agar pengobatan klinis dapat efisien dan sesuai dengan proporsi dan
tentunya agar mencapai target terapi. Untuk itu kita harus mengenali obat
antipsikotik ini terlebih dahulu, karena selain manfaatnya, antipsikotik juga
mempunyai kerugian yang menyertainya. Beberapa proses fisiologis dipengaruhi
oleh antipsikotik. Secara khusus, antipsikotik mempengaruhi SSP seperti
terjadinya gangguan dalam bergerak, efek sedasi, kejang dan beberapa efek
samping lainnya yang dapat mengganggu pasien seperti pengaruh dalam seksual
dan fungsi reproduksi.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. OBAT ANTI PSIKOTIK TIPIKAL
1. DEFINISI
Sekelompok obat yang menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2) sering
dinamakan senagai antipsikotik. Indikasi utama untuk pemakaian obat adalah
terapi skizofrenia dan gannguan psoikotik lainnya. Obat antipsikotik juga
dinamakan sebagai neuroleptik dan trankuiliser mayor.
Istilah “neuroleptik” menekankan efek neurologis dan motorik dari
sebagian besar obat. Istilah “trankuiliser mayor” secara tidak akurat menekankan
efek primer dari obat adalah untuk mensedasi pasien dan dikacukan dengan obat
yang dinamakan trankuiliser minor seperti benzodiazepine.
Antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, suatu derivate phenotiazine
yang merupakan antagonis reseptor dopamine, adalah yang pertama dinamakan
antipsikotik klasik atau tipikal yang disintesis awal tahun 1950-an.
Diperkenalkannya obat antipsikotik merupakan revolusi terapi pasien skizofrenia
dan pasien psikotik serius lainnya. Pemakaian antipsikotik tipikal menghasilkan
perbaikan klinis yang bermakna pada kira-kira 50-75% pasien psikotik dan
hamper 90% pasien psikotik mendapatkan manfaat klinis dari obat tersebut.
2. KLASIFIKASI ANTIPSIKOTIK TIPIKAL
Adapun penggolongan dari antipsikotik tipikal dapat dilihat sebagai
berikut:
A. Derivat Fenotiazin
1. Rantai Aliphatic
Chlorpromazine
Sediaan : 25-100 mg
Dosis anjuran : 150-600 mg/hari
2
Efek ekstrapirimidal (++), efek otonomik (+++), efek sedatif (+++),
efek hipotensi(++)
2. Rantai Piperazine
Perphenazine
Sediaan : 2mg, 4 mg, 8 mg
Dosis anjuran : 12-24 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (+++), efek otonomik (+), efek sedatif (+)
Trifluoperazine
Sediaan : 1 mg, 5 mg
Dosis anjuran : 10-15 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (+++), efek otonomik (+), efek sedatif (+)
Fluphezine
Sediaan : 2,5 mg, 5 mg
Dosis anjuran : 10-15 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (+++), efek otonomik (+), efek sedatif (++)
3. Rantai Piperidine
Thioridazine
Sediaan : 50 mg, 100 mg
Dosis anjuran : 150-300 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (+), efek otonomik (+++), efek sedatif (+++)
Derivat Butyrophenone
Haloperidol
Sediaan : 0,5 mg; 1,5 mg; 5 mg
Dosis anjuran : 5-15 mg/hr
Efek ekstrapirimidal (++++), efek otonomik (+), efek sedatif (+)
Derivat Diphenyl butyl piperidine
Pimozide
Sediaan : 4 mg
Dosis anjuran : 2-4 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (++), efek otonomik (+), efek sedatif (+)
3
3. MEKANISME KERJA ANTIPSIKOTIK TIPIKAL
Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah memblokade dopamin
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di sistem limbik dan sistem
ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk gejala
positif.
Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron-
neuron yang berasal dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini
terutama berakhir pada region striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya
bersifat inhibisi. Pada skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang
berlebihan akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuron-
neuron ini menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan
serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari
sistem limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus
anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat
pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh. Dengan menggunakan
antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin yang
berlebihan. Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat
berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik
tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan dengan cara
menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.
Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2
khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga
dengan antagonis reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja
dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik
sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya
memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur
mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.
Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal,
dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan
dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan
4
terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan
menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif.
Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya
gangguan dalam mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian secara kronik
dapat menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Jalur
nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal,
mengontrol movements atau pergerakan.
Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal
menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi
seksual dan peningkat berat badan. Fungsi normal jalur dopamin
tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita postpartum,
aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi.
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada
keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor
kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut
kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1)
juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan meningkatkan berat
bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga
dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic,
mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.
4. EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK TIPIKAL
Mekanisme kerja antipsikotik pada penghambatan reseptor dopamine
ternyata memberi efek merugikan pada neurologis dan endokrinologi. Selain itu,
berbagai antipsikotik juga menghambat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan
histaminergik jadi menyebabkan bervariasinya sifat efek merugikan yang
ditemukan pada obat-obat tersebut.
Interferensi dengan transmisi dopaminergik dapat mengakibatkan efek
samping baik endokrinologis seperti hiperprolaktinemia, yang dapat
memanifestasikan dirinya sebagai galaktorea, amenorea dan ginekomastia, dan
efek samping ekstrapiramidal (EPS). Selanjutnya, penggunaan jangka panjang
dapat menyebabkan penambahan berat badan. Kombinasi dari semua efek
5
samping tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi kualitas-kualitas hidup
pasien dan keinginan mereka untuk melanjutkan dan mematuhi terapi .
A. Efek Samping Non neurologis
1. Efek pada jantung
Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan
dengan antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan
perpanjangan interval QT dan PR, penumpulan gelombang T, dan depresi
segmen ST. Thioridazine, khususnya memiliki efek yang nyata pada
gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan, seperti torsade de pointes
yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak juga disebabkan
karena timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler. Untuk
mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia lebih dari 50
tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum potassium dan
magnesium.
2. Hipotensi ortostatik (postural)
Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic
yang paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya
chlorpromazine dan thioridazine. Keadaan ini terjadi selama beberapa hari
pertama terapi dan memiliki toleransi yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan.
Bahaya utama dari hipotensi ortostatik adalah adanya kemungkinan pasien
terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.
Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM),
tekanan darah pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis
pertama dalam beberapa hari pertama terapi. Bila diperlukan edukasi tentang
efek kemungkinan terjatuh dan pingsan akan sangat membantu pasien
sehingga pasien akan lebih berhati-hati. Bila hipotensi terjadi pada pasien
yang mendapatkan medikasi, gejala biasanya dapat ditangani dengan
membaringkan pasien dengan kaki lebih tinggi dibandingkan kepala. Ekspansi
volume dengan cairan sangat membantu. Pemberian epinefrin
dikontraindikasikan karena dapat memperburuk hipotensi. Metaraminol dan
6
norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih.
Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat yang tidak
menghambat adrenergic.
3. Efek hematologis
Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat
pemakaian antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada
hamper semua antipsikotik adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah
suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan bermakna jumlah
granulosit yang beredar, neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di
tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan
kasus, gejala ini disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia,
radiasi yang mempengaruhi sumsum tulang dan menekan granulopoiesis.
Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi
dengan insidensi sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik.
Jika pasien melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung
darah lengkap harus segera dilakukan untuk memeriksa kemungkinan
terjadinya agranulositosis. Jika indeks darah rendah, antipsikotik harus segera
dihentikan. Angka mortalitas dari komplikasi setinggi 30%. Purpura
trombositopenia, anemia hemolitik, atau pansitopenia kadang-kadang dapat
terjadi pada pasien yang diobati dengan antipsikotik.
4. Efek Antikolinergik Perifer
Efek kolinergik perifer sangat serimg ditemukan, terdiri dari mulut
dan hidung kering, hidung tersumbat, pandangan kabur, konstipasi, retensi
urin, dan midriasis. Beberapa pasien juga mengalami mual dan muntah. Obat
antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine, dan trifluoperazine
adalah antikolinergik yang poten.
Mulut kering merupakan efek yang mengganggu beberapa pasien dan
dapat mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan sering
membilas mulutnya dengan air dan tidak mengunyah permen karet atau
permen yang mengandung gula, karena hal tersebut dapat menyebabkan
infeksi jamur pada mulut dan peningkatan insidensi karies gigi. Konstipasi
harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat, serta
7
preparat laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang menjadi
ileus paralitik. Pada kasus tersebut diperlukan penurunan dosis atau
penggantian dengan obat yang kurang antikolinergik. Pilocarpine mungkin
berguna pada beberapa pasien dengan retensi urin.
5. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular
menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan
pembesaran payudara, galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta
penghambatan orgasme pada wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut
dapat dilakukan penggantian obat antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan
impotensi sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk gangguan
pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine
(bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione,
dan imipramin (tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga
dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis
adrenergic α1. Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang
paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat
badan nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan
dislipidemia.
6. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah
kecil pasien, paling sering terjadi pada mereka yang menggunakan
antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi
kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi edematous telah
dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama
dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai
proses terbakar matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa
pasien yang menggunakan chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan
tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari lebih
dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya. Penggunaan
chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit
pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari.
8
7. Efek pada Mata
Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila
diberikan dalam dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek
tersebut kadang-kadang berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan
dengan kesulitan penglihatan malam. Pigmentasi dapat berkembang menjadi
kebutaan walaupun thioridazine dihentikan karena tidak bersifat reversible.
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif
ringan, ditandai oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa
anterior dan kornea posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3
kg chlorpromazine selama hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi
granula putih opak dan coklat kekuningan. Keadaan ini hampir tidak
mempengaruhi penglihatan pasien.
8. Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang
relative jarang terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus
muncul pada bulan pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian
atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam, ruam, bilirubin pada urin dan
peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase hati. Jika
ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan
terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi
pada fluphenazine dan trifluoperazine.
9. Overdosis Antipsikotik
Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis,
penurunan reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis
yang parah adalah delirium, koma, depresi pernapasan, dan kejang. Terapi
overdosis antipsikotik harus termasuk pemakaian arang aktif (activated
charcoal), jika memungkinkan lavage lambung dapat dipertimbangkan. Terapi
kejang dengan diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin juga merupakan
terapi overdosis antipsikotik atipikal.
B. Efek Samping Neurologis
9
Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang
mengganggu dan beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius.
Efek neurologis tersebut dikenal sebagai efek sindrom ekstrapiramidal.
Pentingnya mengetahui efek samping neurologis akibat terapi dibuktikan pada
DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai kelompok
tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi.
1. Parkinsonisme akibat Neuroleptik
Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien
yang diobati dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-90 hari
setelah awal terapi. Gejala-gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau
rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity), rigiditas gigi gergaji (cog-wheel
rigidity), gaya berjalan menyeret, postur membungkuk dan air liur menetes.
Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik jarang
terjadi, tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa dengan tremor
esensial mungkin ditemukan dan dinamakan sebagai tremor ppostural akibat
medikasi dalam DSM-IV. Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek
ketukan glabela yang positif yang ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara
alis mata. Dikatakan reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat
membiasakan diri dengan ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng,
bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif), dan ataraksia (kebingungan
terhadap lingkungan) merupakan gejala parkinsonisme yang sering
didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit pada
skizofrenia.
Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme
akibat neuroleptik adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun
jarang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat
menyebabkan gejala parkinsonisme, khususnya obat potensi tinggi dengan
aktivitas antikolinergik yang rendah. Kemungkinan chlorpromazine dan
thioridazine kemungkinan tidak terlibat. Penghambatan transmisi
dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah penyebab dari parkinsonisme
akibat neuroleptik.
10
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian
obat antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus
dihentikan setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah
mengembangkan suatu toleransi terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira
50% pasien dengan parkinsonisme akibat neuroleptik dapat meneruskan
terapi.
Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan, gejala
parkinsonisme dapat terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3
bulan sehingga perlu meneruskan pemberian antikolinergik setelah
menghentikan antipsikotik sampai gejala parkinsonisme pulih sepenuhnya.
2. Distonia Akut akibat Neuroleptik
Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi
antipsikotik tipikal mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi
dalam beberapa jam atau hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan
oleh kontraksi atau spasme otot yang perlahan dan terus-menerus yang dapat
menyebabkan gerakan involunter. Distonia dapat mengenai leher (tortikolis
atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang menyebabkan
dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan keseluruhan
tubuh (opistotonus). Terkenanya mata dapat menyebabkan krisis okulorigik,
ditandai oleh gerakan mata yang ke lateral atas. Tidak seperti tipe distonia
lainnya, krisis okulorigik dapat terjadi secara lambat dalam terapi. Distonia
lain berupa blefarospasme dan distonia glosofaringeal menyebabkan diartria,
disfagia, dan kesulitan bernapas yang dapat menyebabkan sianosis.
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin
tetapi paling sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada
semua antipsikotik dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi
tinggi IM. Mekanisme kerja diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas
dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP
mulai menurun diantara pemberian dosis.
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan
biasanya mencegah berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi
profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi dengan antikolinergik IM atau
11
diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hamper selalu menghilangkan gejala.
Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium benzoate dan
hipnosis dilaporkan juga efektif.
3. Sindrom Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan
yang dapat terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik. Gejala
motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia, akinesia, mutisme,
obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah hiperpireksia, berkeringat dan
peningkatan kecepatan denyut nadi dan tekanan darah. Temuan laboratorium
adalah peningkatan hitung sel darah putih, kreatinin fosfokinase, enzim hati,
mioglobin plasma, dan mioglobinuria, kadang-kadang disertai dengan gagal
ginjal.
4. Efek Epileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan
peningkatan sinkronisasi EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana
antipsikotik menurunkan ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik
potensi rendah lain diperkirakan lebih epileptogenik dibandingkan obat
potensi tinggi.
5. Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor
dopamine tipe-1. Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling
menimbulkan sedasi. Memberikan dosis antipsikotik harian sebelum tidur
biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi untuk efek
merugikan tersebut dapat terjadi.
6. Efek Antikolinergik Sentral
Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi
terhadap waktu, orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi
pupil. Stupor dan koma dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah
pertama menghentikan obat penyebab dan pemberian physostigmine
(antilirium, Eserine) 2 mg malalui infuse IV lambat, diulangi dalam satu jam
seperlunya. Terlalu banyak physostigmine juga membahayakan. Gejala
12
toksisitas physostigmine adalah hipersalivasi dan berkeringat. Atropin sulfat
(0,5 mg) dapat membalikkan physostigmine.
B. OBAT ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL
1. DEFINISI
Antipsikotik Atipikal (AAP), yang juga dikenal sebagai antipsikotik
generasi kedua, adalah kelompok obat penenang antipsikotik digunakan untuk
mengobati kondisi jiwa. Beberapa antipsikotik atipikal yang disetujui FDA untuk
digunakan dalam pengobatan skizofrenia. Beberapa disetujui FDA untuk indikasi
mania akut, depresi bipolar, agitasi psikotik, pemeliharaan bipolar, dan indikasi
lainnya. Kedua generasi obat cenderung untuk memblokir reseptor dalam jalur
dopamin otak, tetapi antipsikotik atipikal berbeda dari antipsikotik tipikal karena
cenderung dapat menyebabkan gangguan ekstrapiramidal pada pasien, yang
meliputi penyakit gerakan parkinsonisme, kekakuan tubuh dan tremor tak
terkontrol. Gerakan-gerakan tubuh yang abnormal bisa menjadi permanen obat
bahkan setelah antipsikotik dihentikan.
2. JENIS-JENIS OBAT ATIPIKAL
Berikut ini adalah antipsikotik atipikal :
• Amisulpride • Aripiprazole • Asenapine • Blonanserin • Clotiapine • Clozapine • Iloperidone • Mosapramine • Olanzapine • Paliperidone • Perospirone • Quepin • Quetiapine • Remoxipride • Risperidone • Sertindole • Sulpiride • Ziprasidone
13
• Zotepine 3. FARMAKOLOGI ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL
Mekanisme kerja dari antipsikotik atipikal sangat berbeda tiap obatnya.
Antipsikotik mengikat reseptor secara bervariasi, sehingga antipsikotik hanya
memiliki kesamaan efek anti-psikotik, efek sampingnya sangat bervariasi. Tidak
jelas mekanisme di belakang aksi antipsikotik atipikal. Semua antipsikotik bekerja
pada sistem dopamin tapi semua bervariasi dalam hal afinitas ke reseptor
dopamin.
Ada 5 jenis reseptor dopamin pada manusia. Kelompok "D1-like"
contohnya tipe 1 dan 5, mirip dalam struktur dan sensitivitas obat. Kelompok "D2-
like" termasuk reseptor dopamin 2, 3 dan 4 dan memiliki struktur yang sangat
serupa tetapi sensitivitas sangat berbeda. reseptor "D1-like" telah ditemukan
bahwa tidak secara klinis relevan dalam tindakan terapeutik.
Jika reseptor D1 merupakan komponen penting dari mekanisme AAP,
memblokir reseptor D1 hanya akan meningkatkan gejala psikiatri yang tampak.
Jika reseptor D1 mengikat komponen penting dari antipsikotik, reseptor D1 perlu
ada dalam pemeliharaan dosis. Ini tidak terlihat. D-1 tidak ada atau mungkin ada
dalam jumlah rendah atau dapat diabaikan, bahkan tidak mempertahankan
penghapusan gejala yang terlihat.
Kelompok reseptor dopamin "D2-like" diklasifikasikan berdasarkan
strukturnya, bukan berdasarkan sensitivitas obat. Telah ditunjukkan bahwa
blokade reseptor D2 diperlukan untuk tindakan. Semua antipsikotik mengeblok
reseptor D2 sampai taraf tertentu, tetapi afinitas antipsikotik bervariasi antar obat.
Afinitas yang bervariasi menyebabkan perubahan pada efektivitas.
Satu teori bagaimana antipsikotik atipikal bekerja adalah teori "cepat-off".
AAP memiliki afinitas rendah untuk reseptor D2 dan hanya mengikat pada
reseptor secara longgar dan cepat dilepaskan. AAP secara cepat mengikat dan
memisahkan dirinya pada reseptor D2 untuk memungkinkan transmisi dopamin
normal. Mekanisme pengikat sementara ini membuat tingkat prolaktin normal,
kognisi tidak terpengaruh, dan menyingkirkan EPS.
Dari sudut pandang historis telah ada penelitian terhadap peran serotonin
dan pengobatan dengan menggunakan antipsikotik. Pengalaman dengan LSD
14
menunjukkan bahwa blokade reseptor 5-HT2A mungkin merupakan cara yang
menjanjikan untuk mengobati skizofrenia.Satu masalah dengan hal ini adalah
kenyataan bahwa gejala psikotik yang disebabkan oleh agonis reseptor 5-HT2
berbeda secara substansial dari gejala-gejala psikosis skizofrenia. Salah satu
faktor yang menjanjikan ini adalah tempat reseptor 5-HT2A terletak di otak.
Mereka terlokalisasi pada sel-sel hipokampus dan korteks piramidal dan memiliki
kepadatan yang tinggi di lapisan neokorteks lima, tempat masukan dari berbagai
daerah otak kortikal dan subkortikal terintegrasi.
Pemblokiran reseptor area ini menarik mengingat daerah-daerah di otak
yang menarik dalam pengembangan skizofrenia.Bukti menunjukkan fakta bahwa
serotonin tidak cukup untuk menghasilkan efek antipsikotik tetapi aktivitas
serotonergik dalam kombinasinya dengan blokade reseptor D2 mungkin untuk
menghasilkan efek antipsikotik. Terlepas dari neurotransmiter, AAP memiliki
efek pada obat-obatan antipsikotik muncul untuk bekerja dengan menginduksi
restrukturisasi jaringan saraf. Mereka mampu mendorong perubahan-perubahan
struktur.
4. EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL
Efek samping yang dilaporkan terkait dengan berbagai antipsikotik
atipikal bervariasi dan spesifik pada masing-masing obat. Secara umum,
antipsikotik atipikal diharapkan memiliki kemungkinan lebih rendah untuk
terjadinya tardive dyskinesia daripada antipsikotik tipikal. Namun, tardive
dyskinesia biasanya berkembang setelah penggunaan antipsikotik jangka panjang
(mungkin beberapa dekade). Tidak jelas, kemudian, jika antipsikotik atipikal,
yang telah di gunakan untuk waktu yang relatif singkat, menghasilkan insiden
tardive dyskinesia yang lebih rendah.
Akathisia lebih cenderung kurang intens dengan obat daripada antipsikotik
tipikal. Walaupun banyak pasien akan membantah klaim ini. Pada tahun 2004,
Komite untuk Keselamatan Obat-obatan (CSM) di Inggris mengeluarkan
peringatan bahwa olanzapine dan risperidone tidak boleh diberikan kepada pasien
lansia dengan demensia, karena peningkatan risiko stroke. Kadang-kadang
15
antipsikotik atipikal dapat menyebabkan perubahan abnormal pada pola tidur, dan
kelelahan ekstrim dan kelemahan.
Pada tahun 2006, USA Today mempublikasikan sebuah artikel tentang
efek obat antipsikotik pada anak-anak. Tak satu pun dari antipsikotik atipikal
(Clozaril, Risperdal, Zyprexa, Seroquel, Abilify, dan Geodon) telah disetujui
untuk anak-anak, dan ada sedikit penelitian tentang dampaknya pada anak-anak.
Dari 2000-2004, ada 45 kematian dilaporkan, di mana sebuah antipsikotik atipikal
tercatat sebagai tersangka utama. Ada juga 1.328 laporan efek samping yang
serius, dan kadang-kadang mengancam kehidupan. Ini termasuk tardive
dyskinesia dan distonia.
Beberapa efek samping lain yang telah diusulkan adalah bahwa
antipsikotik atipikal meningkatkan resiko penyakit jantung.Penelitian Kabinoff et
al mengatakan peningkatan penyakit kardiovaskular dilihat terlepas dari perlakuan
yang mereka terima, melainkan disebabkan oleh berbagai faktor seperti gaya
hidup atau diet .Efek samping seksual juga telah dilaporkan. Antipsikotik
mengurangi gairah seksual laki-laki, merusak performa seksual dengan kesulitan
utama berupa kegagalan untuk ejakulasi. Pada wanita mungkin ada siklus haid
normal dan infertilitas. Pada laki-laki dan perempuan mungkin payudara
membesar dan kadang-kadang akan mengeluarkan cairan dari puting.
5. METABOLISME ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL
Baru-baru ini, kekhawatiran metabolik telah menjadi perhatian besar bagi
dokter, pasien dan FDA. Pada tahun 2003, Food and Drug Administration (FDA)
mengharuskan semua produsen antipsikotik atipikal untuk mengubah label
mereka untuk menyertakan peringatan tentang risiko hiperglikemia dan diabetes
pada antipsikotik atipikal. Hal ini menunjukkan bahwa semua atypicals harus
membawa peringatan pada label mereka. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
antipsikotik atipikal tidak sama dalam efeknya terhadap berat badan dan
sensitivitas insulin. Konsensus umum menyatakan bahwa clozapine dan
olanzapine berkaitan dengan dampak terbesar pada penurunan berat badan dan
sensitivitas insulin, diikuti oleh risperidone dan quetiapine. Ziprasidone dan
aripiprazole diperkirakan memiliki efek terkecil pada berat badan dan resistensi
16
insulin, tetapi pengalaman klinis belum cukup jika dibandingkan dengan
antipsikotik tipikal. Sebuah studi oleh Sernyak dan rekan-rekan menemukan
bahwa prevalensi diabetes dalam terapi antipsikotik atipikal secara statistik
signifikan lebih tinggi dibanding pengobatan konvensional. Para penulis dari
penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan kausal itu hanya menyarankan
sebuah asosiasi temporal.
BAB 3
KESIMPULAN
17
Obat antipsikotik tipikal yang juga disebut obat neuroleptik atau mayor
transkuilizer merupakan golongan obat psikotropik yang bekerja menghambat
reseptor dopamine tipe 2 (D2). Obat antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik
generasi pertama yang terdiri dari tiga golongan yaitu golongan fenotiazin
(chlorpromazine, trifluoperazine, fluphenazine, perphenazine), golongan
butyrophenone (haloperidol) dan golongan diphenyl-butyl-piperidine (pimozide).
Obat-obat antipsikotik tipikal bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine
di otak, dengan target untuk menurunkan gejala-gejala psikotik seperti halusinasi,
waham dan lain-lain. System dopamine yang terlibat yaitu system nigrostriatal,
sistem mesolimbokortikal, dan sistem tuberoinfundibuler. Karena kerja yang
spesifik ini maka dapat diperkirakan efek samping yang mungkin timbul bila
sistem-sistem tersebut mengalami hambatan yang berlebih. Bila hambatan pada
system nigrostriatal berlebihan maka akan terjadi gangguan terutama pada
aktivitas motorik, sedangkan system mesolimbokortikal mempengaruhi fungsi
kognitif, dan fungsi endokrin terganggu bila system tuberoinfundibuler terhambat
berlebihan.
Efek samping antipsikotik dapat dikelompokkan menjadi efek samping
neurologis dan nonneurologis. Efek samping neurologis berupa sindrom
parkinson, akatisia, distonia, sindrom neuroleptik maligna, tardive dyskinesia.
Sedangkan efek samping nonneurologis berupa efek pada kardiovaskuler,
hipotensi ortostatik, kematian mendadak, efek endokrinologi, efek dermatologi,
efek antikolinergik perifer dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Culpepper, L. (2007) A Roadmap to Key Pharmacologic Principles in Using Antipsychotics, Primary Care Companion To The Journal of Association of Medicine and Psychiatry 9(6) 444-454 Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2139919/
2. Farah A (2005). "Atypicality of atypical antipsychotics". Prim Care Companion J Clin Psychiatry7 (6): 268–74. doi:10.4088/PCC.v07n0602. PMID 16498489. PMC 1324958. http://www.psychiatrist.com/pcc/redirect/v07n06p268.htm
3. Seeman P (February 2002). "Atypical antipsychotics: mechanism of action". Can J Psychiatry47 (1): 27–38. PMID 11873706.
4. Jones PB, Barnes TR, Davies L, et al. (2006). "Randomized controlled trial of the effect on Quality of Life of second- vs first-generation antipsychotic drugs in schizophrenia: Cost Utility of the Latest Antipsychotic Drugs in Schizophrenia Study (CUtLASS 1)". Arch. Gen. Psychiatry63 (10): 1079–87. doi:10.1001/archpsyc.63.10.1079. PMID 17015810.
5. Horacek, J., Bubenikova-Valeova, V., Kopecek, M., Palenicek, T., Dockery, C., Mohr, P. & Höschl, C. (2006) Mechanism of Action of Atypical Antipsychotic Drugs and the Neurobiology of Schizophrenia, CNS Drugs 20(5) 389-405 Retrieved from Psychology and Behavioral Sciences Collection database.
6. McKim, W. (2007) Antipsychotics in Drugs and Behavior: An Introduction to Behavioral Pharmacology (pp.241–260). Upper Saddle River, NJ.: Pearson Prentice Hall
7. Horacek, J., Bubenikova-Valeova, V., Kopecek, M., Palenicek, T., Dockery, C., Mohr, P. & Höschl, C. (2006) Mechanism of Action of Atypical Antipsychotic Drugs and the Neurobiology of Schizophrenia, CNS Drugs 20(5) 389-405 Retrieved from Psychology and Behavioral Sciences Collection database.
8. McKim, W. (2007) Antipsychotics in Drugs and Behavior: An Introduction to Behavioral Pharmacology (pp.241–260). Upper Saddle River, NJ.: Pearson Prentice Hall
19