Dominasi Aktor Dalam Menentukan Bentuk Dan Strategi Gerakan Sosial Baru

92
 Tugas Seminar Penelitian Dominasi Aktor Dalam Menentukan Bentuk dan Strategi Gerakan Sosial (Studi Munculnya Variasi Gerakan Pendidikan Alternatif di Indonesia) Bagus Yaugo Wicaksono Draft Final Tugas Akhir Program S2 Jurusan Politik Dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Gajah Mada 2011

description

Gerakan sosial

Transcript of Dominasi Aktor Dalam Menentukan Bentuk Dan Strategi Gerakan Sosial Baru

Bentuk dan Strategi Gerakan Sosial (Studi Munculnya Variasi Gerakan Pendidikan Alternatif di Indonesia)
Bagus Yaugo Wicaksono
Jurusan Politik Dan Pemerintahan
Universitas Gajah Mada
Pengantar  ........................................................................................................................................................... 3 
(Terjadinya) Dinamika Gerakan Pendidikan Alternatif  .................................................................. 8 
Pengaruh struktur dalam gerakan pendidikan alternatif  ..................................................... 8 
Independesi aktor melakukan gerakan ............................................................................................. 9 
Hiipotesis penelitian: ............................................................................................................................... 10 
Analisis sejarah ......................................................................................................................................... 11 
Abstract  ............................................................................................................................................................ 15 
Pendahuluan  .................................................................................................................................................... 15 
A. Otoriterianisme Orde Baru dan Sitem Pendidikanya  ........................................................... 21 
B. Paska Orde Baru dan Sistem Pendidikan  .................................................................................. 24 
Yayasan SAMIN  ................................................................................................................................................ 25 
B. Pandangan Yayasan SAMIN Mengenai Pendidikan ................................................................ 29 
C. Pengalaman Kegiatan Yayasan SAMIN ....................................................................................... 31 
SMP Alternatif Qaryah Thayyibah di Salatiga  ................................................................................ 34 
A. Sekilas Tentang SMP Alternatif QT ........................................................................................... 34 
B. Strategi-Strategi Kegiatan SMP Alternatif ........................................................................... 38 
Kesimpulan  ........................................................................................................................................................ 41 
B. Yayasan SAMIN ....................................................................................................................................... 41 
Bab III. Berawal Dari Refleksi menjadi Aksi ..................................................................................... 44 
Abstraction  ...................................................................................................................................................... 44 
Menilik Sekilas Para Tokoh Pendidikan OMS  ................................................................................... 47  
A. Muhammad Farid (Pendiri Yayasan SAMIN)  ................................................................................ 47 
B. Ahmad Bahruddin (Pendiri SMP Alternatif Qaryah Thayyibah)  ...................................... 51 
Refleksi Ingatan Dalam Aksi Para Tokoh  .......................................................................................... 56 
Hubungan pengalaman tokoh terhadap betuk dan strategi OMS .................................... 59 
Catatan Penutup  ............................................................................................................................................ 62 
Abstraction  ...................................................................................................................................................... 63 
Pendidikan Alternatif Di Mata Bahruddin  ......................................................................................... 69 
Mainstream Ideologi Pendidikan  ........................................................................................................... 72 
Catatan Penutup  ............................................................................................................................................ 80 
BAB I. Dinamika gerakan pendidikan alternatif 
Variasi gerakan sosial baru telah banyak menyita perhatian para akademisi maupun
 praktisi. Namun begitu, diskusi dan studi mengenai variasi gerakan sosial baru lebih banyak
diarahkan pada pengaruh dari situasi ekonomi politik yang sedang berlangsung.
 Berdasarkan pada kenyataan tersebut, semangat dasar dalam studi ini adalah untuk
menunjukan bahwa kuasa aktor/pelaku gerakan sosial baru itu sendirilah yang
mengakibatkan terjadinya variasi gerakan yang terjadi. Meskipun, dalam studi ini juga
sepakat bahwa situasi ekonomi politik juga berperan dalam munculnya variasi gerakan,
namun begitu, peranya hanyalah sebatas stimulator. Sejauhmana terbentuknya variasi
gerakan adalah ditentukan sepenuhnya oleh aktor gerakan itu sendiri.
Pengantar
‘sekolah’ negara di Indonesia sangatlah unik. Mereka mempunyai karakter yang berbeda-beda
dalam setiap dekade. Pada awal-awal Suharto berkuasa, strategi masyarakat sipil dalam
pendidikan lebih mengarah pada dukungan perbaikan sistem pendidikan formal. Seperti
Sekolah Laboratorium Ibu Pakasi (SLIP) pada 1967, yang mempunyai sistem pendidikan
 berbeda dengan program sekolah formal. SLIP memadatkan waktu belajar Sekolah Dasar (SD)
dan Sekolah Menengah dari 9 tahun menjadi 8 tahun (Yusufhadi Miarso, 1999). Sekitar tahun
1978 muncul gerakan “anti kebodohan” yang dipelopori oleh mahasiswa Institut Teknik
Bandung (ITB). Arah dari gerakan ini mengkritik kebijakan pendidikan rezim Suharto yang
dianggap menjinakan melalui pendisiplinan lewat sekolah (Save the Children, 2010).
Begitu juga di Yogyakarta, muncul Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia
(SAMIN) pada 1984. Organisasi ini memberikan model pendidikan melalui seni sebagai alat
revolusi dan juga kritik terhadap sekolah formal milik negara. Pola mereka dalam melakukan
kegiatan dengan cara membangun jaringan di daerah-daerah pedasaan hampir di semua
propinsi di Indonesia. Dalam aktivitasnya dengan anak, mereka mengembangkan kurikulum
dan metode pengajaran melalui kesenian untuk menumbuhkan daya kritis seperti: musik
 
2010:20). Sekitar tahun 1990-an, gerakan OMS dalam menyikapi pendidikan ‘sekolah’ negara
lebih mengutamakan strategi mengkritik wacana diskrimninasi pada anak-anak yang tidak
 berada dalam sekolah formal. Seperti yang dilakukan komunitas  pinggir kali   (girli), ada juga
 yang mengenal mereka cah tekyan (bocah  sitek-sitek lumayan). Mereka menunjukan bawa
keberadaan mereka di jalan adalah korban program pembangunan pemerintah. Komunitas ini
lebih mengutamakan ketrampilan seperti membatik, kerajinan tangan, membuat kertas daur
ulang kerajinan kayu, melukis dan lainya (Yusufhadi Miarso, 1999).
Paska lengsernya Suharto, gerakan pendidikan oleh OMS ini tetap berlanjut. Seperti
munculnya Sekolah Alam Indonesia (SAI) di Jakarta Selatan tahun 1998. Sekolah ini didirikan
oleh masyarakat sipil dengan maksud menjadi alternatif bagi sekolah pemerintah. Latar
 belakang didirikanya sekolah ini untuk melakukan perubahan dalam dunia pendidikan
Indonesia. Mereka memiliki sistem, metode dan target pembelajaran yang berbeda dengan
sekolah formal. Sekolah-sekolah seperti ini banyak bermunculan di Indonesia, seperti Sekolah
 Alam (SA) Depok, SA Bogor, SA Tangerang, SA Bandung, SA Cikeas dan banyak lagi. Selain itu
muncul juga bentuk pendidikan alternatif SMP Qaryah Thayyibah di Salatiga pada 2003.
Sekolah ini didirikan karena alasan mahalnya untuk bisa mengakses sekolah berkualitas di
Indonesia. Dengan realitas kondisi masyarakat di daerah tersebut, pendidikan formal yang
 bermutu menjadi suatu hal yang susah untuk dijangkau. Situasi itu yang merangsang tokoh
masyarakat di situ untuk membuat sekolah ala mereka. Dengan bekerjasama dengan
pemerintah setempat, maka sekolah ini bisa dioperasikan (Bahrudin, 2007).
Menyimak terhadap variasi gerakan pendidikan OMS di atas, maka pertanyaan studi ini
diformulasikan sebagai berikut:
Rumusan pertanyaan penelitian:
sejauh mana adanya perubahan variasi yang terjadi?
Gerakan pendidikan OMS di atas terlihat bahwa masing-masing mempunyai sisi yang
 berbeda dengan sistem pididikan ‘sekolah’ negara. Mereka mencoba membuat terobosan-
terobosan dalam memperbarui maupun menentang sistem pendidikan negara. Dengan kata
lain, mereka berusaha untuk meperbaruhi/merubah sistem pendidikan dengan dasar
pemahaman mereka untuk menjadi lebih baik. Proses ini kemudian ada juga yang menyebutnya
sebagai gerakan sosial.
 
 Page 5 of 91 
terminologi dari gerakan sosial; dan bahwa seorang analis, aktivis dan lainya bebas untuk
menggunakan ungkapan tersebut sesuai dengan kebutuhanya’ (Tilly, 2007: 7). Dia
menambahkan bahwa dalam menafsirkan gerakan sosial menurutnya tidak harus terkait
dengan ‘ popular action ataupun semua tindakan-tindakan orang maupun organisasi yang telah
membentuk sejarah.’
Mengingat karena banyaknya gerakan pendidikan OMS yang muncul di Indonesia, dari
awal rezim ‘orde baru’ sampai dengan akhir tahun 2009, maka dalam analisis empiris studi ini
dibatasi pada dua gerakan pendidikan OMS.i Pertama gerakan pendidikan alternatif Yayasan
Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) yang dibentuk pada 1987. Kedua adalah gerakan
pendidikan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah yang didirikan pada tahun 2003. Dalam bab I ini
disajikan dalam beberapa sesi. Sesi kedua dalam bab ini membahas mengenai bagaimana
 variabel-variabel yang terkait dengan gerakan pendidikan alternatif dan anatomi gerakan
tersebut. Pada sesi ketiga, menjelaskan konsep teoritis bentuk perubahan gerakan pendidikan
 yang kemudian menghasilkan hipotesis. Dalam sesi keempat membahas mengenai desain
penelitian dan metodologi. Sesi kelima, kemudian di sini menyajikan ringkasan dari hasil
analisis beberapa bab yang telah ditulis lalu membuat kesimpulan dari hasil itu yang akan
dimasukan dalam sesi keenam.
Review
sekolah bagi anak-anak. Di mana sekolah yang merupakan program pemerintah dianggap tidak
feasible untuk bisa dinikmati seluruh masyarakat, maka dari itu perlu adanya alternatif
pendidikan daripada yang telah disediakan pemerintah (Illich, 1871; Reimer, 1972). Klaim
mendasar dalam pernyataan tidak feasible ini adalah berkaitan dengan pendanaan. Sekolah
universal yang sekarang ada ini membutuhkan pembiayaan yang cukup tinggi, dan itu dianggap
mustahil untuk dilakukan oleh negara berkembang. Selain kritik terhadap tingginya biaya
pendidikan ini, sistem sekolah universal yang ada juga dianggap tidak bisa mendidik anak-anak
menjadi manusia ‘bebas’ seutuhnya (Freire, 1972) dan juga akan mengkooptasi pengetahuan-
pengetahuan masyarakat lokal dan menggantinya dengan pengetahuan asing (Zimmer, 1987).
Maka itulah beberapa pakar yang telah menggeluti dalam dunia pendidikan ini kemudian
memunculkan konsep alternatif pada dunia pendidikan. Konsep ini kemudian diterima oleh
masyarakat luas dan menimbulkan gerakan pendidikan alternatif.
Pada dasarnya gerakan pendidikan alternatif adalah bagian perkembangan dari gerakan
 
seperti mahzab Marxis tradisional, akan tetapi gerakan ini mengikuti progress dalam dinamika
sosial. Gejala ini pernah disinggung oleh Mansur Fakih yang mengatakan bahwa ‘ada gejala
 baru dalam analisis gerakan sosial dan perubahan dari analisis perjuangan kelas menuju
perjuangan non kelas’ (Fakih, 1996: 54) yang ini kemudian disebut Epstein (1991) ‘gerakan
sosial baru/GSB.’ Fakih menambahkan bahwa perkembangan gerakan ini banyak dipengaruhi
oleh Antonio Gramsci yang kemudian digolongkan kedalam golongan ‘kiri baru.’ Pandangan
‘kiri baru’ menekankan bahwa kelas buruh bukan lagi merupakan titik vokal dan unsur utama
dalam gerakan perubahan sosial (Silaen, 2006: 32). Walaupun ‘gerakan sosial baru’ ini telah
menjadi kajian yang santer dibicarakan dewasa ini, namun gerakan ini juga masih belum
menemukan bentuknya yang mapan. Hal ini dibuktikan dengan variasi karakter ‘gerakan sosial
 baru’ yang disebutkan oleh para ahli.
Silaen (2006: 34) menunjukan bagaimana Haynes (2000, 24-28) mendeskripsikan
perdebatan karakter dari gerakan sosial baru ini. Haynes menunjukan anggapan Auda
mengenai gerakan sosial baru ini yang menunjukan bahwa gerakan ini selalu menentang status
quo – mereka anti sistem dan selalu menyerukan untuk melakukan perubahan tatanan sosial,
politik dan ekonomi. Selain itu Haynes juga menunjukan pernyataan Escobar dan Alvarez yang
 beranggapan bahwa ciri gerakan sosial baru adalah untuk menandingi dasar politis negara;
mereka tidak terisolasi dari pelaku sosial dan politik lain tetapi pelaku kolektif terorganisir yang
terlibat dalam perjuangan politik melalu jalan lain kearah bentuk aksi yang institusional dan
ekstra-institusional. Dalam meringkas deskripsi dari Haynes ini, Silaen mengatakan bahwa
gerakan sosial baru berupaya untuk mengerahkan bagian-bagian dan kelompok-kelompok yang
tertindas dengan cara ‘baru’ khususnya melalui ‘proses-proses kapitalisme modern’ dan lebih
cenderung bergerak dengan mengusung isu-isu tunggal. Namun begitu, hal ini belum masih
menunjukan kepastian mengenai karakter GSB.
Guna mereduksi kemungkinan terjadinya tumpang tingih antara gerakan sosial dan
GSB, Suharko (2006: 9-12) membuat formulasi karakter yang membedakan gerakan sosial
dengan GSB berdasarkan Pichardo (1997) dan Singh (2001). Dia mengkategorikan GSB kedalam
empat tahapan; pertama ‘ideologi dan tujuan,’ di sini GSB dicirikan menanggalkan orientasi
ideologi yang menggugat ‘anti-kapitalisme’, ‘revolusi kelas’ dan ‘perjuangan kelas.’ Basik GSB ini
diarahkan pada isu ‘pertahanan diri’ komunitas dan masyarakat untuk melawan ekspansi aparat
negara dan pasar yang semakin meningkat. Prakteknya bisa dilihat dari tindakan-tindakan
perlawanan tata sosial dan kondisi yang didominasi oleh negara dan pasar serta menyerukan
kondisi yang lebih adil dan bermartabat. Kedua ‘taktik dan pengorganisasian,’ di sini GSB lebih
memilih pengorganisasin akar rumput, memprakarsai gerakan-gerakan mikro pada kelompok-
 
 Page 7  of 91 
kelompok dan membidik isu-isu lokal dengan institusi yang dibatasi (lihat The Green Party di
Jerman). Serta, menurut Cohen (dipetik Suharko, 2006) pada dasarnya taktik dan
pengorganisasian diarahkan untuk menata kembali hubungan antara negara, masyarakat, dan
perekonomian dan untuk menciptakan ruang publik yang didalamnya wacana demokratis
tentang otonomi dan kebebasan individual, kolektivitas, serta identitas dan orientasi mereka
 bisa didiskusikan dan selalu diperiksa.
Ketiga ‘struktur’ dalam GSB berusaha mengorganisasi dengan gaya yang mengalir
supaya tidak kaku untuk menghindari bahaya oligarki. Di sini juga berusaha mengembangkan
format yang tidak birokratis, karena sistem birokrasi dinilai membawa pada kondisi
dehumanisasi. Yang pada dasarnya mereka mengajukan untuk menciptakan struktur yang lebih
responsive kepada kebutuhan individu-individu yakni struktur yang terbuka, terdesentralisasi,
dan non-hierarkis. Keempat ‘ partisipan atau aktor,’ sebagaimana yang ditulis Singh (2001)
dalam memetik pendapat Claus Offe (1985) bahwa partisipan dan atau aktor GSB ini berasal
dari tiga sektor; kelas menengah baruii, unsur-unsur kelas menengah lama,iii dan orang-orang
 yang menempati posisi pinggiran yang tidak terlalu terlibat dalam pasar kerja seperti
mahasiswa, ibu rumah tangga dan para pensiunan.
Dengan adanya unsur-unsur kriteria di atas, di sini kemudian dapat dipetakan anatomi
gerakan pendidikan alternatif yang dikaji.  Pertama adalah aktor-nya; meminjam konsep aktor
dari Antony Giddens (2010) yang pada prinsipnya mengarisbawahi bahwa ‘agency’ atau ‘aktor
manusia’ adalah subyek-subyek manusia yang mempunyai kapabilitas melakukan suatu
tindakan. Di mana tindakan/perilaku ini selalu bersinggungan dengan ‘struktur’. Membicarakan
struktur ini kita akan masuk pada anatomi kedua. Meminjam konsep struktur dalam teorinya
Giddens (2010) di mana dia menarik kedalam dua konseptual secara abstrak yaitu aturan-
aturan dan sumberdaya-sumberdaya. Dengan konsepsi abstrak inilah kemudian Giddens
 berasumsi bahwa struktur yang dimaksud tidak hanya terbatas pada suatu hal yang kasat mata.
Lebih lanjut mengenai struktur ini dikembangkan Gidden dalam tiga dimensi yaitu; (1)
signifikasi yang menyangkut simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Selanjutnya (2)
dominasi atas penguasaan orang (politik) dan dominasi penguasaan barang (ekonomi).
Sedangkan yang terakhir (3) legitimasi yang menyangkut aturan normatif (Giddens, 2010: 49).
Selanjutnya adalah anatomi yang ketiga  yaitu ‘ruang konflik.’ Ruang konflik yang dimaksud
disini adalah perdebatan mengenai sistem pendidikan. Di mana pemerintah yang menjalankan
program pendidikanya kemudian muncul sistem pendidikan tandingan dari masyarakat, atau
 yang disebut pendidikan alternatif. Berikut adalah sekema dari anatomi gerakan pendidikan
alternatif:
Pengaruh struktur dalam gerakan pendidikan alternatif
Dalam menerjemahkan pemikiran Giddens (1984), Herry Priyono berpendapat bahwa
‘struktur itu tidak mengekang aktor sepenuhnya, melainkan struktur itu selalu melekat pada
tindakan aktor’ (Priyono, 2002: 23). Jika hal itu ditarik kedalam struktur (aturan-aturan dan
suberdaya-sumberdaya) negara yang difokuskan pada pendidikan, maka akan kelihatan
 bagaimana masyarakat bisa bergerak/menyesuaikan pemikiran mereka terhadap pendidikan.
Masyarakat dalam menentukan karakter untuk menyesuaikan pendidikan ini, selalu dibayangi
oleh struktur yang melekat tersebut. Pembayangan struktur terhadap aktor tersebut ditentukan
oleh dimensi-dimensi struktur seperti struktur yang dijelaskan Giddens. Menurutnya ada tiga
dimensi yaitu; signifikasi, dominasi dan legitimasi (Giddens, 2010: 49). Ketiga dimensi ini yang
 bisa menentukan daya kekang struktur yang melekat pada aktor.
Namun begitu, daya kekang struktur negara tersebut tidak serta-merta berdampak
sepenuhnya terhadap tindakan aktor. Dengan kata lain, aktor masih mempunyai ruang untuk
menentukan tindakanya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Pierre Bourdieu yang dinyatakan
Randal Johnson bahwa ‘… [s]istem dominasi-dominasi dalam praktek sosial ditemukan pada
ekspresi terhadap praktek kultural …… seperti cara memilih makanan, memilih musik, cara
Keterangan: : Struktur (Signifikasi; Dominasi; Legitimasi) : Ruang konflik : Gerakan pendidikan alternatif
Negara
 Page 9  of 91 
memilih sastra, cara memilih seni dan sebagainya’ (ed Bourdieu, 2010: ix). Dengan kata lain,
tindakan aktor sangat erat kaitanya dengan struktur lokal (lingkungan kulturalnya).
Dari sini kemudian dapat ditarik benang merah dalam munculnya gerakan pendidikan
alternatif tersebut. Di satu sisi, masyarakat yang sudah mempunyai pola kultural dalam
membentuk praktek-prakrek sosial dipercaya telah mempunyai pandangan sendiri terhadap
 bagaimana mendidik generasi mereka. Konsisten dengan pemikiran Bourdieu di atas,
pendidikan yang digunakan masyarakat dalam mendidik anak-anak generasinya selalu
menggunakan praktek kultural yang telah menyesuaikan dengan lingkungan masyarakat
tersebut. Kemudian, di sisi lain, negara membawa sebuah perubahan radikal dengan
memasukan pendidikan ‘sekolah’ ke masyarakat.
Datangya pendidikan ‘sekolah’ negara ini dianggap oleh sebagain masyarakat tidak tepat
 jika diterapkan pada generasi mereka. Menyikapi hal ini, sebagian masyarakat, mengungkapkan
kekecewaanya terhadap sistem pendidikan ‘sekolah’ negara tersebut. Sebagian dari masyarakat
tersebut kemudian membuat sebuah rencana kolektif serta mengorganisasi gerakan untuk
membuat alternatif pendidikan yang dirasa sesuai jika diterapakan pada anak-anak
dilingkungan mereka. Gerakan semacam ini terjadi secara berkelanjutan.
Independesi aktor melakukan gerakan
Keterlanjutan terhadap gerakan pendidikan ini menimbulkan pola strategi gerakan yang
 berbeda-beda. Hal ini konsiten dengan pendapat Bourdieu di mana praktik sosial itu didominasi
oleh ekspresi praktek kultural. Dalam penelitian ini, ekspresi praktek kultural akan dibawa pada
pemakna’an ‘sejarah pengalaman hidup’ yang pernah dialami oleh aktor. Hal ini tidak sama
dengan pengalaman lingkungan/struktur alami (natural structuriv). Pemaknaan ‘sejarah
pengalaman hidup’ ini mengarah pada kumpulan konsep ‘mutual knowledge’ dan juga
‘kesadaran diskursif’ seperti yang diteorikan Giddens (2010). Maknanya, hal ini berkaitan
dengan apa yang pernah dialami oleh sang aktor, baik dia mengalamiya secara sadar maupun
kebetulan. Sejarah penglaman hidup inilah yang kemudian memberikan andil besar dalam
dinamika strategi gerakan pendidikan.
Proses sejarah pengalaman hidup dalam mempengaruhi tindakan (yang dalam hal ini
adalah gerakan pendidikan alternatif) dalam penelitian ini disebut ‘pembiasaan.’ Bentuk dari
‘pembiasaan’ ini juga menyerupai dengan konsep ‘habitus’ yang diuraikan Bourdieu:
‘..sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan ( transposable), struktur yang
distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai penstruktur-struktur (structured structures predisposed
to function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan
mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara obyektif
kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau
 
 Page 10  of 91 
penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan untuk mencapainya. Karena sifatnya ‘teratur’ dan
‘berkala’ secara obyektif, tapi bukan produk kepatuhan terhadap aturan-aturan, prinsip-prinsip ini bisa
disatukan secar kolektif tanpa harus menjadi produk tindakan pengorganisasian seorang pelaku’ (Bourdieu,
1980: 53).
Garis besar dari konsep ‘habitus’ Bourdieu ini beranggapan bahwa semua agen-agen
manusia mempunyai kemampuan kreatif, aktif dan inventif dan itu berlaku bagi semua
individu-individu secara universal. Dalam konsep ‘pembiasaan’ pada penelitian ini sepakat
dengan anggapan bahwa ‘…….. agen-agen manusia mempunyai kemampuan kreatif, aktif dan
inventif,’ namun penelitian ini menolak bahwa ‘semua’ agen-agen manusia mempunyai
cakupanya yang luas itu, melainkan percaya bahwa ada keterbatasan-keterbatasan tertentu yang
dimiliki oleh agen-agen manusia. Lalu kemudian, dengan adanya struktur ‘pembiasaan’ yang
 berbeda-beda inilah maka tercipta gerakan pendidikan alternatif yang berbeda-beda pula.
Dalam penelitian ini juga percaya bahwa ideologi juga tidak begitu berpengaruh pada
arah sebuah gerakan. Ideologi itu adalah bagian dari strukur yang cakupanya lebih luas. Namun
 begitu, ketika hal ini ditarik pada suatu gerakan, maka tidak bisa secara serta-merta merubah
gerakan tersebut. Dalam peelitian ini lebih percaya menempatkan ideologi kedalam salah satu
 bagian dari pengetahuan yang akan mengisi ‘sejarah pengalan hidup’ sang aktor.
Dari tahapan argumentasi yang dibangun di atas, kemudian di bawah ini disampaikan
rumusan hipotesis dalam penelitian ini.
Hiipotesis penelitian:
I.  Sebuah gerakan muncul karena ketidak sesuaian aktor pada suatu struktur, namun
struktur tidak serta merta berdampak pada gerakan tersebut.
II.  Perubahan sebuah gerakan dipengaruhi oleh struktur ‘pembiasaan’ pada masing-
masing aktor.
Merdeka Indonesia (SAMIN) yang beraktivitas di tahun 1980-an. Kedua adalah gerakan
pendidikan alternatif SMP Alternatif Qaryah Thayyibah yang mulai didirikan tahun 2003.
Kedua gerakan pendidikan tersebut masing-masing berada pada situasi politik yang berbeda.
 Yayasan SAMIN berada pada situasi rezim politik yang otoriter. Sedangkan SMP Alternatif
Qaryah Thayyibah didirikan pada situasi politik transisi demokrasi.
 
Problematika dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan bentuk dan strategi dari
kedua kedua gerakan tersebut. Yayasan SAMIN menekankan gerakanya pada perluasan
kegiatan di pelosok-pelosok pedesaan hampir di seluruh Indonesia. Dalam kegiatanya tersebut
mereka juga mengkampanyekan sebuah model pendidikan non-sekolah. Sedangkan SMP
 Alternatif Qaryah Thayyibah berorientasi di satu lokasi dan dengan menggunakan dasar
institusi sekolah dari negara. Hal ini yang kemudian dibahas dalam penelitian ini.
Hasil dalam penelitian ini menjawab pertanyaan dasar yaitu; pertama menjelaskan
proses terjadinya variasi perubahan gerakan pendidikan alternative pada kedua gerakan
tersebut. Kedua menjelaskan sejauh mana variasi perubahan gerakan pendidikan alternatif bisa
terjadi.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian (analitical history) analisis sejarah.
 Analisis sejarah ini digunakan dengan untuk mencari data-data yang tersebar pada kedua
gerakan tersebut. Dalam menggunakan analisis sejarah, di sini menggali data-data pada file-file
dokumen di Yayasan SAMIN. Sebagain besar data yang diperoleh adalah dokumen-dokumen
kegiatan di tahun 1980-an. Data-data yang diperoleh ini kemudian dianalisis dengan dengan
cara meng cross-check dengan narasumber melalui interview.
Seperti yang telah dilakukan di Yayasan SAMIN, penulis melakukan kunjungan rutin
untuk ke secretariat Yayasan SAMIN selama kurang lebih satu bulan. Dalam kunjungan
tersebut, penulis ikut beraktivitas dalam kegiatan yayasan. Di sela-sela melakukan kegiatan
tersebut, penulis melakukan diskusi untuk mengklarifikasi dokumen-dokumen tertulis yang
telah didapatkan. Beberapa orang yang diajak diskusi tersebut telah beraktifitas dengan Yayasan
SAMIN dalam kurun waktu yang lama. Seperti misalkan Odi Shalahuddin yang menjadi
coordinator eksekutif Yayasan SAMIN sekarang ini, dirinya telah bergabung dengan Yayasan
SAMIN sejak tahun 1990-an. Ada juga Jumadi, dia merupakan salah satu orang yang merasakan
pendidikan alternatif Yayasan SAMIN, di mana pada tahun 1990-an dia adalah anak jalanan.
Kemudian Yayasan SAMIN mengajaknya beraktivitas sampai dengan sekarang. Dan yang utama
adalah melakukan interview dengan Muhammad Farid untuk menggali lebih dalam mengenai
pendidikan alternatif Yayasan SAMIN.
Sedangkan proses penggalian data di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah dilakukan
hampir serupa dengan yang telah dilakukan di Yayasan SAMIN. Di sini penulis terlebih dahulu
mengumpulkan informasi mengenai SMP Alternatif tersebut. Informasi didapatkan dari
 
 beberapa kali dan bertemu dengan orang-orang yang sudah direncanakan untuk ditemui.
Seperti misalkan pendiri SMP tersebut yaitu Bahruddin. Penulis banyak berdiskusi mengenai
apa yang penulis dapatkan dari media dengan fakta yang terjadi. Dari sini penulis mendapatkan
informasi mendalam mengenai data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Hasil studi ini sekaligus mendukung teorisasi Pranoto yang mengatakan bahwa sejarah
analitis akan mampu menjelaskan awal-mulanya (genesis), sebab-sebabnya (causes),
kecenderunganya (trend ), kondisional dan kontekstual serta perubahanya (changes). Selain itu,
sejarah juga mempunyai kemampuan penyelidikan mengenai suatu kejadian dimasa lampau.
Berbagai peninggalan seperti tulisan (history as record ) dan juga adanya kesaksian langsung
dari pelaku sejarah (oral history dan  oral tradition) dapat dilakukan penyelidikan dan
kemudian diuji untuk merekonstruksi masa lampau. Penelitian sejarah juga mempunyai
kemampuan dalam mempelajari keunikan yang terjadi karena ruang-waktu pada saat terjadinya
kejadian (Pranoto, 2010:5).
Data yang digunakan
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis dokumen-dokumen pada
kedua gerakan pendidikan tersebut. Dokumen tersbut dianalis dan dilakukan cross-chek  ke
masing-masing lembaga dan para pendirinya serta beberapa orang yang bersangkutan. Yang
pertama adalah mendatangi Yayasan SAMIN yang berlokasi Jl. Sidikan Gg. Saridi UH 5/567,
 Yogyakarta. Di situ melakukan wanwancara dengan orang-orang yang relevan dengan penelitian
ini. dari sini menghasilkan data interview dan dokumen-dokumen tambahan untuk penelitian
ini. Yang kedua dilakukan di SMP alternatif Qaryah Thayyibah di dusun Kalibening, desa
Kalibening, kecamatan Tingkir, kota Salatiga. Di sini prosesnya sama seperti yang dilakukan
pada Yayasan SAMIN. v  
Studi yang telah dilakukan ini menghasilkan tiga bab dengan masing-masing cakupan
 yang berhubungan dengan tujuan utama studi ini. Berikut akan disajikan ringkasan dari
masing-masing bab.
Bab kedua dalam studi ini dimaksudkan melihat perbedaan bentuk dan strategi kedua
gerakan pendidikan alternatif tersebut. Dalam bab ini membahas diantaranya adalah aturan-
aturan legal yang memuat kebijakan tujuan pendidikan dari masa rezim ‘orde baru’ bekuasa
sampai dengan masa pemerintahan ‘Indonesia Bersatu’; latar belakang munculnya Yayasan
 
strategi Yayasan SAMIN; latar belakang munculnya SMP alternatif Qaryah Thayyibah (QT),
 bentuk-bentuk dan kegiatan QT dalam dunia pendidikan alternatif.
Hasilnya, dalam hal aturan legal dari negara ditemukan adanya pergeseran arena
masyarakat sipil yang ingin menyuarakan pendidikan di Indonesia. Di era rezim otoriterian
Suharto, ruang berekspresi sangat sempit dan bahkan cenderung tertutup dalam menyuarakan
pendidikan. Sedangkan pada masa paska ode baru ruang gerak meyuarakan pendidikan dijamin
dengan undang-undang.
 bahwa gerakan pendidikan alternatif di masa otoriterian ‘orde baru’ cenderung melakukan
perlawanan wacana mengenai pendidikan dan melakukan strategi pendidikan mereka dengan
cara menyebar kedalam masyarakat di pelosok-pelosok Indonesia dan tanpa membuat sebuah
institusi pendidikan atau ‘sekolah’. Sedangkan gerakan pendidikan alternatif di masa reformasi
cenderung melakukan gerakan yang berjalan pada jalur yang sama dengan negara yaitu
membuat institusi pendidikan atau ‘sekolah’.
Bab ketiga, dalam bab ketiga ini studi diarahkan untuk melihat hubungan antara aktor
dengan bentuk strategi gerakan pendidikan alternatif yang mereka gunakan. Dalam bab ini
mengelaborasikan sejarah pengalaman hidup masing-masing aktor di kedua gerakan
pendidikan alternatif tersebut. Yang pertama adalah melihat sejarah aktor gerakan pendidikan
alternatif di Yayasan SAMIN, yaitu Muhammad Farid. Dari sini diketahui bahwa Farid selama
masa remaja sampai dengan mendirikan Yayasan SAMIN ini hidup dilingkungan gerakan
‘bawah tanah’ yang pada dasarnya selalu menggugat/bertentangan dengan kebijakan-kebijakan
rezim orde baru. Kedua adalah memotret sejarah dari pendiri gerakan pendidikan SMP
 Alternatif Qaryah Thayyibah, yaitu Ahmad Bahruddin. Dari sini diketahui bahwa Bahruddin
 juga hidup pada masa yang sama dengan Farid, yaitu di masa rezim orde baru. Bahrudin hampir
tidak merasakan pengalaman-pengalaman dalam situasi-situasi yang berhadap-hadapan
langsung dengan negara. Karena sebagian besar pengalamanya didapatkan dengan masyarakat
di desanya.
Dari elaborasi tentang sejarah pengalaman hidup aktor pada kedua gerakan pendidikan
alternatif tersebut kemudian disimpulkan bahwa ‘bentuk dan strategi Yayasan SAMIN dan SMP
 Alternatif Qaryah Thayyibah merupakan ekspresi atas tindakan masing-masing aktor
pendirinya berdasarkan pengalaman sejarah masing-masing dan juga hasil petimbangan atas
refleksi terhadap situasi sosial dalam ruang-waktu masing-masing.’
Dalam  bab keempat, jika dihubungkan dengan keseluruhan bab-bab yang telah
dianalisis, maka tujuan utamanya adalah untuk melihat keterkaitan ideologi dengan bentuk dan
 
aktor tentang pendidikan alternatif. Pemahaman tersebut kemudian dimasukan kedalam peta
ideologi pendidikan. Hasilnya, keduanya memiliki pemahaman ideologi pendidikan yang sama
 yaitu ideologi ‘anarkisme pendidikan.’
Kesimpulan dari studi ini menunjukan bahwa telah terjadi perubahan gerakan
pendidikan alternatif di masyarakat. Perubahan tersebut terjadi pada Yayasan SAMIN dan SMP
 Alternatif Qaryah Thayyibah dimana keduanya bergerak pada gerakan pendidikan alterntif. Di
sini gerakan pendidikan alternatif Yayasan SAMIN lebih diarahkan untuk melakukan serangan
 wacana pada basik pendidikan itu sendiri, termasuk dengan membuat gerakan sistem
pendidikan non-sekolah. Sedangkan, gerakan pendidikan lainya yaitu SMP Alternatif Qaryah
Thayyibah lebih condong untuk melakukan gerakan pendidikan alternatif dengan menjalin
kerjasama dengan sistem pendidikan pemerintah.
Perubahan yang terjadi pada bentuk dan strategi pendidikan gerakan pendidikan
alternatif tersebut bukanlah merupakan dampak sepenuhnya dari aturan-aturan kekuasaan
negara. Ataupun bukan juga berasal dari dampak perbedaan ideologis pendidikan yang mereka
anut. Namun begitu, dalam studi ini lebih percaya bahwa perubahan bentuk dan strategi
tersebut merupakan dampak dari ‘sejarah pengalaman hidup’ aktor-aktor gerakan pendidikan
alternatif yang berproses di dalam diri mereka masing-masing, yang kemudian di sini disebut
‘pembiasaan.’ Dari sini kemudian juga bisa untuk menjawab pertanyaan; sejauh mana
perubahan gerakan pendidikan dan atau gerakan-gerakan sosial lainya yang akan akan terjadi
di masa depan? Yaitu ukuranya adalah sejauh mana keberagaman ‘sejarah pengalaman hidup’
masing-masing aktor membentuk struktur ‘pembiasaan’ di dalam dirinya msing-masing.
 
BAB II. Dari Perlawanan Menuju Persekutuan 
Abstract    Dalam bab ini akan melihat sejauh mana adanya perbedaan sikap masyarakat sipil
yang dalam mengkritisi pendidikan negara. Unit analisis yang akan digunakan untuk melihat
 perbedaan tersebut adalah Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) yang
beraktivitas dalam isu pendidikan pada 1987 dan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah (QT)
yang beraktivitas dari tahun 2003. Kedua organisasi masyarakat tersebut memiliki interest
yang sama dalam bidang pendidikan. Namun mereka berada pada dua sistem pemerintahan
yang berbeda. Yayasan SAMIN berada pada sistem pemerintahan yang otoriter sedangkan
QT berada pada situasi transisi demokrasi. Dalam pengamatan awal, penulis beranggapan
bahwa kedua organisasi tersebut, meskipun mempunyai kesamaan minat dalam dunia
 pendidikan, namun keduanya mempunyai bentuk dan strategi yang berbeda. Adanya
 perbedaan bentuk dan strategi ini yang menjadi minat penulis untuk melihat lebih dalam
 pada studi ini.
 Dalam melihat lebih mendalam pada dinamika sosial yang terjadi, penulis akan
menggunakan pendekatan struktur dan agensi seperti yang digunakan oleh Anthony Giddens
(1984). Namun mengingat bahwa teorisasi yang menjadi thesis Giddens tersebut lahir dalam
situasi sosial yang berbeda dengan realita di Indonesia, maka dalam penelitian ini penulis
yakin dan mencoba untuk merekonstruksi apa-apa yang menjadi persamaan dan perbedaan
terhadap thesis yang telah dikemukakan Giddens.
Pendahuluan 
Masyarakat sipil dalam menyikapi pendidikan Negara di Indonesia memiliki bentuk dan
strategi yang beragam. Jika kita menilik sekilas pada bentuk dan strateginya, mereka
mempunyai karakter strategi yang berbeda dalam setiap dekade. Pada awal-awal Suharto
 berkuasa, bentuk dan strategi masyarakat sipil dalam merespon pendidikan Negara lebih
diarahkan pada dukungan perbaikan sistem pendidikan formal. Seperti Sekolah Laboratorium
 
 Page 16 of 91 
tahun 1978 muncul gerakan “anti kebodohan” yang dipelopori oleh mahasiswa Institut Teknik
Bandung (ITB) yang meprotes pada keboborokan situasi pendidikan Indonesia. Kelompok
mahasiswa tersebut menuntut adanya pemenuhan biaya pendidikan sebesar 20% dari anggaran
Negara sesuai yang telah diatur dalam konstitusi Indonesia. Selain itu, pada tahun 1984 muncul
gerakan yang mengatasnamakan Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) yang
 bertujuan untuk memberikan alternatif terhadap tujuan pendidikan Negara. Pada tahun 90-an
 juga muncul gerakan pendidikan anak-anak jalanan yang kemudian disebut sebagai ‘cah
 Pinggir Kali/girli’.  Kelompok ini mencoba melakukan ‘counter wacana’ yang pada saat itu
memojokan status bagi anak-anak yang hidup di jalanan.
Sedangkan pada awal 2000-an, pasca runtuhnya rezim ‘orde baru’, mulai muncul
sekolah-sekolah yang bertujuan melakukan perubahan dalam dunia pendidikan di Indonesia di
mana mereka memiliki sistem, metode dan target pembelajaran yang berbeda dengan sekolah
formal. Seperti misalkan Sekolah Alam Indonesia (SAI) di Jakarta Selatan, Sekolah Alam (SA)
Depok, SA Bogor, SA Tangerang, SA Bandung, SA Cikeas dan banyak lagi (SAI website).
Umumnya untuk bisa mengakses sekolah ini harus menggunakan ketentuan biaya tinggi. Selain
 bentuk sekolah alam seperti yang ada di atas, muncul juga bentuk pendidikan alternatif SMP
Qaryah Thayyibah di Salatiga pada 2003. Sekolah ini didirikan karena alasan mahalnya untuk
 bisa mengakses sekolah berkualitas di Indonesia (LKiS, 2007).
Meskipun fakta di atas, secara singkat memberikan gambaran mengenai adanya
keberagaman bentuk dan strategi masyarakat dalam menyikapi pendidikan, namun begitu,
studi yang khusus dilakukan untuk mengamati dinamika keberagaman sikap masyarakat sipil
terhadap pendidikan negara masih belum terlalu memberikan sebuah penggambaran yang
memadai. Adapun studi organisasi masyarakat sipil/lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
pernah dilakukan lebih banyak pada pembahasan gerakan buruh, gerakan petani, hak asasi
manusia, gerakan perempuan dan sebagainya. Meskipun hasil-hasil studi yang pernah
dilakukan tersebut bisa mewarnai wacana mengenai gerakan sosial di Indonesia, akan tetapi
studi khusus mengenai perbedaan bentuk dan strategi masyarakat dalam menyikapi pendidikan
negara ini sangatlah perlu untuk mendapatkan perhatian yang mendalam. Setidaknya, hasil
studi nantinya bisa memberikan gambaran terhadap bagaimana persamaan dan perbedaan
dalam keberagaman tersebut.
Dalam bab ini, fokus pembahasan akan diarahkan untuk melihat mengenai persamaan
dan perbedaan pada bentuk dan strategi masyarakat sipil di era ‘orde baru’ dan pasca ‘orde
 baru’ dalam merespon pendidikan formal yang disediakan negara. Unit analisis yang akan
 
pendidikan negara. Kedua lembaga tersebut melakukan aktifitas pada situasi sistem politik yang
 berbeda. Lembaga yang pertama adalah Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN)
 yang melakukan kegiatan pendidikan alternatif pada tahun 1987. Di mana pada waktu tersebut
situasi sistem politik berada dibawah pemerintahan otoriter ‘orde baru’. Sedangkan lembaga
 yang kedua, adalah SMP Alternatif Qaryah Thayyibah (QT) yang terbentuk dan beraktifitas pada
tahun 2003, di mana pada saat itu sistem politik mengalami transformasi dari otoriterian ke
transisi demokrasi.
Dalam upaya mengkonstruksi bentuk dan strategi masyarakat terhadap pendidikan
negara ini perlu untuk dibuat penyajian yang runtut supaya gambaran mengenai persamaan
dan perbedaan kedua organisasi masyarakat sipil tersebut bisa kelihatan. Untuk selanjutnya,
penyajian studi dalam bab ini akan dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
 Pertama, akan menggambarkan kerangka analisis dalam pembahasan bab ini.  Kedua,
menyajikan data empiris sebagai bahan analisis. Data empiris ini disusun meliputi: aturan-
aturan legal yang memuat kebijakan tujuan pendidikan dari masa rezim ‘orde baru’ bekuasa
sampai dengan masa pemerintahan ‘Indonesia Bersatu’; latar belakang munculnya Yayasan
SAMIN, pandangan Yayasan SAMIN terhadap dunia pendidikan dan bentuk-bentuk dan
strategi Yayasan SAMIN; latar belakang munculnya SMP alternatif Qaryah Thayyibah (QT),
 bentuk-bentuk dan kegiatan QT dalam dunia pendidikan alternatif. Ketiga, sebagai penutup bab
ini penulis akan membuat kesimpulan secara menyeluruh dalam bab ini .
Kerangka Analisis 
Perdebatan dalam melakukan analisis sosial sampai sekarang masih menjadi suatu
diskusi yang hangat. Berbagai pemikiran besar dalam melakukan analisis sosial memberikan
keberagaman cara pandang. Seperti misalkan aliran-aliran fungsionalismenya Talcott Parson,
interaksinalisme-simbolis nya Erving Goffman, pendekatan kelas sosial ala Marxisme,
Strukturalisme nya Ferdinand de Saussure dan Claude Levi’s-Strauss, post-structuralisme nya
Michel Foucoult dan sebagainya. Dalam dunia akademisi yang bergerak dalam bidang sosial,
keberadaan mereka bukan berarti mutlak untuk bisa diklaim mana yang benar dan mana yang
salah. Mengenai pemilihan jalur-jalur pemikiran ini lebih tergantung dari kepercayaan si
peneliti dalam melakukan studinya. Dalam studi ini, penulis akan menggunakan cara pandang
‘strukturasi’-nya Anthony Giddens.
Dalam menganalisis terjadinya dinamika sosial Anthony Giddens menggunakan cara
 
dengan memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai adanya hubungan dinamis atas
terbentuknya reproduksi sosial antara struktur dan agensi. Dia beranggapan bahwa ‘struktur
sebagai perangkat aturan dan sumberdaya yang terorganisasikan secara rutin, berada di
luar ruang dan waktu, tersimpan dalam koordinasi dan instansiasinya dalam bentuk jejak-
 jejak ingatan, dan ditandai dengan ketidak hadiran si subyek. Sebaliknya, sistem-sistem sosial
yang secara rutin melibatkan struktur terdiri dari aktivitas-aktivitas tertentu para agen
manusia, dan direproduksi sepanjang ruang dan waktu’   (Giddens, 1984:40). Dalam praktik
sosial pada gerakan civil   society  dalam menyikapi dunia pendidikan di Indonesia dapat kita
amati terjadinya dinamika strategi gerakan sebagai berikut:
Dinamika pola organisasi masyarakat sipil (OMS) dalam menyikapi pendidikan formal
negara pada era otoriterian ‘orde baru’ dan transisi demokrasi pasca ‘orde baru’ merupakan
‘pembentukan relasi-relasi sosial lintas ruang dan waktu, di mana di dalamnya terjadi dualitas
sturktur’. Relasi sosial lintas ruang dan waktu di sini dibatasi oleh sebuah sistem sosial  vii yang
dibuat oleh dua pemerintahan dengan basis idiologis yang sama sekali berbeda. Di dalam
masing-masing situasi ruang dan waktu terdapat dualitas sturktur dan agensi, sehingga hal ini
menimbulkan reproduksi sosial yang berbeda dalam setiap ruang dan waktu.
Ruang dan waktu yang pertama adalah pada pemerintahan otoriterian ‘orde baru’.
Dalam situasi ruang dan waktu di sini, struktur (aturan-aturan dan sumber daya) yang dibuat
oleh pemerintah sama sekali membatasi kebebasan aktor (agensi), seperti yang terjadi pada
kebijakan tertib politik (Mas’oed, 1989). Tertib politik yang digunakan oleh ‘orde baru’ meliputi;
pertama penyeragaman idiologi viii, kedua mengendalikan struktur-struktur politik.
Penyeragaman idiologi dilakukan dengan cara melakuan represi terhadap kelompok-kelompok
oposisi terhadap idiologi ‘orde baru’. Seperti yang terjadi pada pemberangusan kelompok-
kelompok mahasiswa yang menyuarakan kebebasan sipil dalam berekspresi. Namun karena hal
itu bertentangan dengan idiologi (developmentalisme) pemerintah ‘orde baru’ yang lebih
menekankan pembangunan ekonomi dari pada kebebasan sipil, maka gerakan mahasiswa
mendapatkan berbagai macam tekanan. Kemudian dalam pengendalian struktur politik,
pemerintah ‘orde baru’ (dengan menggunakan negara) melakukan reformasi birokrasi yang
mengarah pada; pertama pemusatan kekuasaan ketingkat pusat (terlebih pada proses
pembuatan kebijakan). Kedua mengatur birokrasi supaya tanggap dan efektif terhadap perintah
pemimpin pusat. Ketiga meningkatkan wewenang pemerintah pusat untuk mengkosolidasikan
daerah-daerah. Akibatnya, bagi kelompok-kelompok yang mempunyai idiologi berbeda dengan
pemerintah ‘orde baru’ secara terang-terangan melakukan perlawanan. Seperti yang terjadi
 
 bagi sebagain dari mereka memilih untuk menentang terhadap struktur yang membelenggu
mereka. Sebagian kelompok mahasiswa tersebut memilih untuk terjun ke masyarakat dan
membuat organisasai masyarakat sipil.
Situasi ruang dan waktu dalam pemerintahan pasca ‘orde baru’,   diawali dengan
pernyataan mundurnya Suharto pada 21 Mei 1998 setidaknya memberikan harapan baru pada
proses dinamika politik di Indonesia. Setahap dinamika politik paska turunya Suharto tersebut
menggambarkan perubahan dari otoriter menuju demokrasi. Seperti yang digambarkan Philip
Eldridge bahwa fakta paska turunya Suharto, Indonesia mengalami transisi demokrasi
(Eldridge, 2002; 131). Eldridge membuktikanya dengan menunjukan hak kebebasan berekspresi
telah diakui seperti dalam pengesahan kebebasan press di tahun 1999. Selain juga dia juga
menunjukan pernyataan mantan presiden Habibie yang mendukung progres positif demokrasi
 yaitu dengan memberikan keleluasaan menafsirkan idiologi pancasila. Peningkatan positif ini
 juga searah dengan pengakuan HAM di Indonesia. Pengakuan HAM terutama pada
peningkatan hak-hak sipil di Indonesia menunjukan adanya perubahan positif (Avonius dan
Kingsbury, 2008). Berbagai fakta legal menunjukan adanya perubahan dalam pengakuan dan
penjaminan HAM di Indonesia. Khususnya pada isu kebebasan berekspresi, Leena Avoniuos
mengakui bahwa paska orde baru menunjukan perubahan positif. Pengakuan ini membuat
gerakan-gerakan civil  society dalam memperjuangkan hak-hak mereka dilakukan dengan cara
menumpuh jalan-jalan negoisasi dan lobi-lobi (Samadhi dan Warouw, 2009).
Di sini akan coba diringkas mengenai situasi di atas. Struktur dalam ruang dan waktu
 yang berbeda, menunjukan adanya perubahan. Pada pemerintahan ‘orde baru’ terjadi dominasi
otoritatif dalam tatanan kebebasan sipil dan politik. Hal ini terlihat pada pemerintahan otoriter
 yang mengekang kebebasan sipil dalam berpolitik. Siatuasi ini menimbulkan terjadinya
reproduksi praktek sosial pada civil   society  yang mewas diri. Begitu juga yang terjadi pada
gerakan sosial pasca ‘orde baru’, mereka juga melakukan reproduksi sosial. Akan tetapi
reproduksi sosial yang dihasilkan tidaklah serupa pada kedua masa pemerintahan tersebut.
Dalam bab ini, hipotesis yang akan dibangun adalah ‘bentuk-bentuk dan strategi dalam
 praktek sosial dihasilkan melalui reproduksi sosial berhubungan dengan struktur dan aktor
dalam ruang-waktu masing-masing’.
Analisis Empiris 
Pada bagian ini penulis mencoba untuk menggambarkan mengenai temuan data empiris
mengenai bentuk-bentuk dan strategi kedua organisasi tersebut. Harapanya dari data-data yang
 
dan menjelaskan tentang sejauh mana adanya dinamika pada kedua organisasi tersebut. Data-
data yang akan dicantumkan dalam bab ini meliputi sejarah singkat tentang kedua organisasi
tersebut. Dalam sejarah singkat ini juga akan diulas mengenai situasi sosial dan politik pada
masing-masing organisasi. Selain itu juga akan memberikan gambaran mengenai bentuk-
 bentuk dan strategi organisasi. Dari rekonstruksi data-data tersebut diharapkan dapat
memotret gambaran mengenai adanya perbedaan kedua organisasi yang akan menjadi unit
analisis dalam studi ini.
Penyajian data-data dalam bab ini dilakukan sebagai berikut:  pertama, memberikan
gambaran mengenai situasi aturan-aturan legal dalam bidang pendidikan dari kedua sistem
pemerintah, yaitu ‘orde baru’ dan pasca ‘orde baru’. Di sini akan dijabarkan mengenai
 bagaimana aturan-aturan hukum pemerintah memberikan batasan-batasan interaksi pada
organisasi masyarakat untuk membuat pendidikan berdasarkan ide-ide mereka.  Kedua, 
menggambarkan latar belakang, bentuk dan strategi Yayasan SAMIN dalam melakukan
aktivitas pada isu pendidikan. Dalam hal ini akan digambarkan mengenai bagaimana Yayasan
SAMIN menyikapi bentuk pendidikan yang disediakan oleh Negara.  Ketiga, menggambarkan
 bentuk dan strategi SMP Alternatif Qaryah Thayyibah dalam melakukan aktifitas serta kegiatan
 belajar-mengajar mereka.
Dalam sesi ini menggambarkan mengenai aturan-aturan kebijakan negara yang
 berkaitan dengan pendidikan, sejak masa ‘orde baru’ dan progres-nya sampai masa
pemerintahan ‘Indonesia Bersatu’. Fokus dari sesi ini memotret lebih spesifik pada tujuan
pendidikan negara. Dari dua sistem pemerintahan yang sama sekali berbeda tersebut, di sini
mencoba untuk dicari perbedaan dan persamaanya mengenai tujuan pendidikan yang
diterapkan dalam aturan-aturan kebijakan. Untuk membantu mempermudah dalam
memetakan aturan-aturan kebijakan tersebut, penyajian dalam sesi ini akan disusun sebagai
 berikut:  pertama dimulai dengan menggambarkan aturan-aturan kebijakan di masa
pemerintahan otoriter ‘orde baru’. Di sini akan berusaha memperlihatkan mengenai bentuk-
 bentuk aturan kebijakan yang digunakan sebagai alat pemerintah dalam melanggengkan
kekuasaanya. Kedua memberikan gambaran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pasca
kekuasaan Suharto. Di sini akan didapatkan potret aturan-aturan kebijakan yang menunjukan
perubahan dan terlihat bagaimana aturan-aturan tersebut memberikan ruang-ruang baru bagi
masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam dunia pendidikan.  Ketiga  berusaha
membandingkan mengenai sejauh mana adanya perubahan-perubahan yang terjadi dan
 
 Page 21 of 91 
mencoba mencari titik mana dari aturan tersebut yang masih belum mengalami perubahan
substansi dibandingkan dalam kedua sistem pemerintahan tersebut.
A. Otoriterianisme Orde Baru dan Sitem Pendidikanya
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa rezim orde baru merupakan bentuk
pemerintah yang otoriter. Seperti yang dikemukakan oleh Mohtar Mas’oed dalam desertasinya
 yang kemudian diterbitkan dalam buku “Ekonomi dan Struktur Politik” sepakat bahwa bentuk
pemerintahan orde baru sebagai pemerintah otoriter (Mas’oed, 1989). Dalam bukunya ini beliau
menunjukan 6 karakter dalam mendukung asumsinya mengenai pemerintahan yang otoriter,
 yaitu: (1) rezim orde baru dipimpin oleh militer sebagai suatu lembaga bekerjasama dengan
para “teknokrat” sipil, (2) beberapa perusahaan besar yang mempunyai hubungan khusus
dengan negara dan kapitalis internasional mendominasi perekonomian Indonesia, (3)
pembuatan kebijakan bersifat teknokratik-birokratik, (4) “massa didemobilisasi” (tidak
mempedulikan dukungan massa), (5) melakukan tindakan-tindakan represif untuk
mengendalikan opisisi dan yang terakhir (6) kantor kepresidenan otonom dan mempunyai
kekuatan independen dalam menjalankan pemerintahan.
Senada dengan itu, argumentasi Vedi Hadiz juga mendukung keberadaan pemerintah
orde baru merupakan pemerintah otoriter (Hadiz, 2005). Hadiz mengkonstruksi
otoriterianisme Suharto sejak kemenanganya dalam menghabisi batu penghalangnya yaitu
Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan melakukan pembunuhan pada para anggota PKI
sampai ke akarnya, maka kemudian mampu mengantarkan Suharto dalam menguasai panggung
politik dan ekonomi Indonesia. Dalam penguasaan politik, Suharto melakukan konsolidasi
kekuatan yang melakukan oposisi dengan cara kekerasan. Konsolidasi ini dilakukan tidak hanya
pada tingkat birokrasi melainkan menjangkau masyarakat sipil (organisasi massa) dan partai
politik. Otoriterianisme Suharto tidak terbatas pada wilayah politik namun juga mengakar pada
politisasi di bidang pendidikan.
pendidikan dalam dua hal:  pertama Suharto menetralisasi organisasi masyarakat dalam semua
 bidang termasuk pendidikan yang melakukan oposisi dengan pemerintah orde baru. Langkah
awal dalam menetralisasi gerakan masyarakat ini dilakukan pemerintah orde baru dengan
mengesahkan penpres anti-subversif menjadi UU No. 11/PNPS/1963. Dengan legalisasi UU
 Anti-Subversif ini pemerintahan Suharto akan dengan mudah merobohkan gerakan masyarkat
 yang melakukan oposisi. Berikut beberapa tindakan subversif yang diatur: (1)
 Memutarbalikkan, merongrong atau menyelewengkan ideologi atau haluan negara. (2)
 
yang sah atau aparatur negara. (3) Menyebarluaskan rasa permusuhan atau menimbulkan
 permusuhan, perpecahan, pertentangan, kekacauan, kegoncangan atau kegelisahan di
kalangan penduduk atau masyarakat yang bersifat luas atau di antara negara RI dengan
negara sahabat. (4) Mengganggu, menghambat atau mengacaukan industri, distribusi,
 perdagangan, koperasi atau pengangkutan yang diselenggarakaan oleh pemerintah atau
yang mempunyai pengaruh luas terhadap hajat hidup rakyat. (5) Menyatakan simpati
terhadap musuh negara atau negara lain yang sedang tidak bersahabat dengan negara RI.
(6) Melakukan pengrusakan atau penghancuran secara luas terhadap bangunan yang
memiliki fungsi untuk kepentingan umum atau pemilik perseorangan atau badan. (7)
 Melakukan kegiatan mata-mata. (8) Melakukan sabotase. (9) Memikat orang atau pelaku lain
untuk melakukan sabotase. (10) Tidak memenuhi kewajiban untuk memberi keterangan
sebagai saksi maupun saksi ahli. (UU No. 11/PNPS/1963).
 Kedua pemerintah orde baru memonopoli sistem pendidikan yaitu dengan
menyeragamkan tujuan pendidikan nasional untuk menghasilkan manusia-manusia yang
 berjiwa pembangunan (Samsuri, 2010). Samsuri menambahkan bahwa karakter dari manusia-
manusia yang berjiwa pembangunan adalah sebagai berikut: sehat jasmani dan rohaninya,
memiliki pengetahuan dan ketrampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung
 jawab, sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, cerdas, berbudi pekerti yang luhur, mencintai
Bangsanya dan mencintai sesama manusia, beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, setia kawan,
percaya pada diri sendiri, sikap menghargai jasa para pahlawan, inovatif dan kreatif, serta
 berorientasi ke masa depan.
GBHN Tujuan Pendidikan Nasional
membentuk Manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki
pengetahuan dan ketrampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung
 jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat
mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur,
mencintai Bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang
termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945.
 
keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama
 bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
1983
…untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan
keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta
 bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
1988
…untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan
 bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
 berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil
serta sehat jasmani dan rohani. …menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada
Tanah Air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial.
…menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif
dan kreatif. …mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun
dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
1993
…untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan
 bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja,
professional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
…menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan
semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial serta kesadaran pada sejarah
 bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi ke masa depan.
…menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar di kalangan masyarakat terus
ditingkatkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, inovatif, dan keinginan
untuk maju.
…untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan
 bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja,
professional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
…menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan
semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial serta kesadaran pada sejarah
 bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi ke masa depan.
…menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar di kalangan masyarakat terus
 
Orde Baru Hingga Era Reformasi. 2010)
B. Paska Orde Baru dan Sistem Pendidikan
Duapuluh satu (21) Mei 1998, Suharto menyatakan mundur dari puncak kekuasaan di
Indonesia. Dalam pernyataanya tersebut Suharto mengakui kegagalanya dalam membentuk
cabinet reformasi guna memenuhi tuntutan dari masyarakat yang mengarah pada situasi chaos
(pernyataan Suharto, 1998). Juga termuat dalam pernyataan itu yang menerangkan berlakunya
pasal 8 UUD 45 yang berisi penggantian jabatan presiden oleh wakil presiden. BJ Habibie yang
pada waktu itu menjadi wakil presiden Indonesia kemudian secara otomatis menggantikan
kekosongan kekuasaan presiden yang ditinggalkan oleh Suharto. Berikutnya dalam
pemerintahan ini mulai muncul indikasi yang menunjukan adanya pengakuan HAM dan
perkembangan demokrasi.
Presiden BJ Habibie mulai melakukan pengakuan HAM dan menuju transisi demokrasi
di Indonesia. Pengakuan HAM ditandai dengan ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia dan kemudian disyahkan dengan UU No.39/1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Kemudian muncul pula indikasi demokrasi seperti yang terjadi pada terbukanya
sistem politik yang selama ini tertutup, menghentikan korupsi, kolusi dan nepotisme,
menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan narapidana politik, dan
sebagainya. Salah seorang pengamat politik Indonesia, Henk Schulte Nordholt juga
menambahkan atas indikasi sebagai salah satu tahap Indonesia yang sedang memasuki tahap
transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju sistem pemerintahan yang demokratis dengan
civil society yang akan memainkan peran utama (Tornquist dkk, 2005). Situasi reformasi paska
kekuasaan Suharto juga berdampak pada kebebasan masyarakat dalam menyuarakan
pendidikan.
Kebebasan dalam menyuarakan pendidikan ini dijamin melalui UU No. 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berikut merupakan beberapa bukti jaminan terhadap
kebebasan masyarakat dalam menyuarakan pembangunan:  pertama  jaminan mengenai
pendidikan non-formal yang merupakan jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (psl.1 UU 20/2003). Jalur pendidikan non-
formal ini dapat dilaksanakan bagi masyarakat yang memerlukan pendidikan sebagai
pengganti, penambah dan pelengkap pendidikan formal. Hasil dari pendidikan non-formal ini
 
mengacu pada standar nasional pendidikan.
 Kedua  jaminan pendidikan informal yang merupakan jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan (psl. 1 UU 20/2003). Jalur pendidikan ini bisa diselenggarakan oleh keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil dari pendidikan ini juga diakui
sama dengan pendidikan formal dan non-formal setelah peserta pendidikan informal ini lulus
ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Salah satu bentuk dari pendidikan ini adalah
pendidikan homeschooling. Sumber dari Koran Republika menyebutkan setidaknya ada sekitar
1500 homeschooling di Indonesia semenjak ada jaminan dari pemerintah (Republika, 2008).
Yayasan SAMIN 
pendidikan mereka serta bagaimana sikap mereka terhadap pendidikan yang telah disediakan
oleh negara. Setelah itu dilanjutkan dengan merekonstruksi kegiatan-kegiatan Yayasan SAMIN
dari mulai mereka melakukan aktivitas.
A. Sekilas tentang Yayasan SAMIN
Otoriterian pemerintah Suharto menimbulkan gejolak di tingkat masyarakat di mana
kekuatan kontrol ‘orde baru’ merepresi kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan
oposisi terhadap pemerintah. Tindakan represif ini juga dilakukan pada mahasiswa yang
 berbeda pemikiran dengan pemerintahan ‘orde baru’. Di tahun 70-80an, tindakan represif
rezim Suharto ditunjukan melalui aksi militer dalam  pengrebekan  beberapa universitas di
Indonesia. Serangan militer kedalam kampus-kampus itu dipicu oleh gerakan aksi mahasiswa
se Indonesia yang menyuarakan penenolakan terhadap pencalonan kembali Suharto sebagai
presiden. Gerakan ini merebak ke berbagai universitas-universitas se Indonesia. Seperti
diantaranya terjadi di Universitas Indonesia (UI), Institut Teknik Bandung (ITB), Universitas
Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) dan beberapa universitas
lainya. Selama berbulan-bulan kesatuan aksi mahasiswa ini memblokade kampus-kampus
mereka.
Di ITB, aksi mahasiswa diwarnai dengan ricuh antara mahasiswa dan aparat yang
 
 Page 26  of 91 
dikeroyok oleh anggota brimob dengan pundak tertembus peluru (Tempo, 2011: 76). Kematian
salah satu mahasiswa ini memicu aksi mahasiswa menjadi lebih frontal. Akibatnya, para
mahasiswa turun ke jalan, menghadang angkutan kota yang memuat polisi atau tentara.
Bandung sempat lumpuh akibat bentrokan itu. Beberapa pos polisi dikosongkan untuk
menghindari bentrokan. Para mahasiswa ini berencana membalas dendam atas kematian kawan
mereka. Suasana semakin menegang. Rasa benci pada Suharto kian memuncak. Tanggal 28
Oktober 1977, gabungan dari kesatuan mahasiswa se Indonesia berkumpul, hasilnya sekitar 8
ribu mahasiswa memadati depan kampus ITB. Dalam aksi itu mereka tak henti-hentinya
meneriakan ‘Turunkan Suharto! Turunkan Suharto! Sebagai puncak aksi, mereka membacakan
ikrar mahasiswa 1977:  pertama, kembali pada pancasila dan UUD 1945; kedua, meminta
pertanggungjawaban presiden; ketiga, bersumpah setia bersama rakyat menegakan kebenaran
dan keadilan.
Setelah konsolidasi mahasiswa Indonesia di ITB, aksi mahasiswa dalam menggugat
pemerintahan Suharto semakin meluas. Catatan Bahtiar Rifai Septiansyah (2010)
menyebutkan, dalam peringatan 10 November 1977, di Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(ITS) berkumpul sekitar tiga ribu mahasiswa gabungan se Jawa Timur. Aksi mahasiswa tersebut
merupakan rentetan aksi dalam menggugat kekuasaan Suharto. Dalam aksi itu, mereka
menggugat isu malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Malari merupakan peristiwa demonstrasi
mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi di daerah pertokoan Senen, Jakarta Pusat. Dalam
aksi demonstrasi ini, mahasiswa menyuarakan penolakanya terhadap masuknya modal asing.
Salah satunya adalah usaha penolakan atas pemodal dari negara Jepang. Menurut pengakuan
Hariman Siregar sebagai salah satu saksi hidup sekaligus pelaku dalam aksi mahasiswa ini,
setidaknya ada 11 orang mati, 100 orang luka-luka, 17 luka parah, 775 orang ditangkap
(Pewarta-Indonesia, 2010). Namun, kasus ini tidak pernah mendapatkan perhatian dari
pemerintah untuk ditindak lanjuti kedalam kasus hukum. Atas ketidak adilan ini, kemudian aksi
mahasiswa yang berkumpul di ITS menuntut supaya pemerintahan Suharto bertanggungjawab
terhadap kejahatan yang telah diperbuat. Aksi tersebut diteruskan dengan berjalan kaki dari
Baliwerti (kampus ITS) menuju Tugu Pahlawan.
Sementara itu, di Jakarta, pada hari yang sama, 10 November 1977, gabungan aksi
mahasiswa yang berjumlah sekitar enam ribu mahasiswa melakukan aksi demonstrasi
menuntut mundur Suharto sebagai calon presiden dalam pemilu 1978. Aksi tersebut dilakukan
dengan melakukan parade jalan kaki dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba
(kampus UI) Jakarta. Sepanjang parade, mereka meneriakan tuntutan-tuntutan supaya Suharto
 
poster besar yang bertuliskan ‘Padamu Pahlawan Kami Mengadu’. Aksi mahasiswa semacam ini
 juga dilakukan di berbagai daerah khususnya di universitas-universitas se Indonesia termasuk
di Jogjakarta.
kemudian mengeluarkan kebijakan untuk membungkam aksi-aksi mahasiswa tersebut.
Kemudian, melalui Daoed Joesoef yang pada waktu itu menjabat sebagai menteri pendidikan
dan kebudayaan mengeluarkan kebijakan SK No.0156/U/1978 tentang normalisasi kehidupan
kampus (NKK) dan SK No.037/U/1979 badan koordinasi kemahasiswaan (BKK) yang tujuanya
untuk mempersempit ruang mahasiswa dalam arena politik nasional.
Kebijakan ini dinilai jitu dalam merepresi kekuatan mahasiswa. Pemerintah melalui
kekuatan militernya bisa masuk kedalam wilayah-wilayah universitas-universitas. Seperti yang
terjadi di ITB pasca penembakan Rene Conrad, untuk menghadapi aksi mahasiwa yang semakin
memanas, pemerintah mengerahkan kekuatan militernya untuk menuduki kampus ITB. Selain
itu, militer, dengan dalih pemeriksaan untuk keamanan, mereka menggeledah para aktivis
mahasiswa yang kemudian berujung pada pemenjaraan mahasiswa tanpa alasan yang jelas.
Lebih dari itu, kekuasaan pemerintah ‘orde baru’ juga melakukan tekanan pada pihak rektorat
untuk mengeluarkan (drop out ) aktivis mahasiswa yang menentang kebijakan-kebijakan
pemerintah. Dalam situasi yang sama, tekanan dialamatkan juga pada rektor ITB yang berusaha
melindungi mahasiswa-nya. Akibatnya rumah rektor tersebut diberondong peluru oleh orang
 yang dikenal, dan pada akhirnya rektor tersebut dicopot dari jabatanya. Menyikapi hal ini,
rektor pengganti kemudian melakukan usaha untuk mencari jalan tengah supaya tidak berlarut-
larut. Kebijkan rektorat pada waktu itu adalah menganjurkan pada para aktivis mahasiswa
untuk menyerahkan diri kepada pemerintah yang diwakili oleh militer. Namun, kebijakan ini
 juga dibarengi dengan tawaran rektorat kepada pemerintah untuk menarik kembali para tentara
 yang menduduki kampus ITB dan prasyarat supaya tidak ada lagi kejadian tentara memasuki
kampus. Dalam situasi ini kemudian para mahasiwa yang masih bersikukuh pada idealismenya
memilih untuk bergerak meninggalkan kampus dan terjun langsung ke masyarakat.
Salah seorang dari gerakan mahasiswa ITB itu adalah Yayak Iskraix (atau juga dipanggil
 Yayak Kencrit) yang kemudian melakukan gerakan langsung turun kemasyarakat hingga
akhirnya mendirikan Yayasan SAMIN. Pada awal turun ke masyarakat dia ikut tergabung
dengan ‘gerakan anti kebodohanx’ yang dimotori oleh Rizal Ramli dibawah kepengurusan
Dewan Mahasiswa (DM) Kemal Taruc dan Irzadi Mirwan 1976-77 yang pada waktu itu, di
tingkat kampus dibungkam melalui kebijakan NKK/BKK. Menyusul pada keprihatinanya di
 
 Page 28  of 91 
gambar yang dibuat hampir semua seragam dan semua selalu menggambar 2 (dua) gunung dan
satu matahari ditengahnya. Selain itu, melihat kondisi anak-anak yang hanya menjadi alat
untuk memasukan idiologi negara seperti pernyataanya ‘dalam kehidupan sosial secara umum,
kita lihat anak-anak itu secara mudah menjadi korban iklan, menjadi penyambung lidah
iklan…. Seperti misalkan menyanyikan lagu-lagu jingle … untuk mengokohkan model tatanan
ekonomi yang dibangun oleh ‘orde baru’ (interview – Yayak Yatmaka, 2010), maka kemudian
situasi ini yang membuat Yayak beserta beberapa kawan-kawanya di seni rupa ITB selanjutnya
membuat metode-metode untuk berinteraksi dengan anak-anak supaya bisa membentuk daya
kritis dan kreatifitas mereka kembali.
Selama aktivitas terjun langsung ke masyarakat itu, Yayak kemudian mendirikan
Kelompok Olah Seni anak-anak Merdeka di Bandung tahun 1981. Pendirian tersebut didorong
dengan rasa prihatinya dengan kondisi pendidikan di Indonesia, di mana menurut mereka ada
lebih dari 8 (delapan) juta anak-anak di Indonesia tidak mendapatkan fasilitas pendidikan.
Dalam interview dengan Yayak (interview Save the Children – Yayak Yatmaka, 2010), dia
menyatakan ‘…di sekitar lingkungan ITB, anak-anak berkeliaran di kampung-kampung dan
di jalan-jalan… sistem pendidikan pemerintah yang ada pada waktu itu tidak bisa mendeteksi
berapa anak yang sekolah, berapa anak yang tidak mendapat fasilitas pendidikan…. terus
kita juga lihat lagi bahwa lulusan sekolah menengah tidak siap untuk menghadapi tuntutan
kehidupan senyatanya…itu menunjukan bahwa dari sekolah dasarnya sendiri sudah rusak ’
(Yayak, 2010). Dari situasi tersebut kemudian mereka berupaya untuk membuat cara untuk
membentuk dasar-dasar pendidikan bagi anak-anak yng berkeliaran di jalan-jalan, taman
Ganesha (depan kampus ITB), kampung-kampung dan sebagainya. Kemudian Yayak dan
 beberapa kawanya mahasiswa yang tergabung dalam Studi Teater Mahasiswa seni rupa ITB
masuk ke beberapa Taman Kanak-kanak (TK) di kampung-kampung sekitar kampus ITB.
Kemudian, dari pengalaman selama terjun kelapangan itu mereka mendikusikan dan
merumuskan metode-metode untuk memberikan pendidikan pada anak-anak. Pengalaman-
pengalaman yang sudah menjadi metode-metode ajar tersebut selanjutnya digunakan untuk
melakukan gerakan pendidikan alternatif keseluruh Indonesia. Hingga pada akhirnya, setelah
sekitar 3 tahun terjun langsung kemasyarakat dalam dunia pendidikan di Bandung, Yayak dan
 beberapa kawanya bermaksud untuk memperluas jangkauan gerakan, yang kemudian mereka
menuju Yogyakarta.
Di Yogyakarta, Yayak menghubungi komunitas lamanya dan bermaksud untuk
membentuk ulang forum diskusi yang fokus terhadap isu pendidikan. Dia (Yayak) yang asli dari
 
 Yayak sudah mempunyai kelompok diskusi yang juga telah mengkritik mengenai kebobrokan
pendidikan negara. Di Yogyakarta dia menghubungi kawan lamanya, Muhamad Farid xi  yang
merupakan salah satu anggota group kelompok diskusi (Yayak)-nya dan juga adik angkatan
semasa duduk di SMA 1 Yogyakarta. Farid dan Yayak serta beberapa kawanya yang memang
sudah bersama dan mempunyai kelompok diskusi, setidaknya mereka sudah memiliki beberapa
kesamaan pemikiran mengenai hal itu. Lalu dengan pengalaman masing-masing mereka
membentuk sebuah lembaga pendidikan altertif yang kemudian diberi nama Olah Anak Kreatif
 Yogyakarta tahun 1985. Dari lembaga ini, kemudian mereka lebih mematangkan lagi mengenai
konsep-konsep pendidikan berdasarkan pada pengalaman lapangan mereka. Hasil-hasil
penelitian-penelitian yang dilakukan kemudian mereka terapkan di sekolah-sekolah formal
maupun informal (Buletin SAMIN 2, 1987). Hasil dari formulasi-formulasi penerapan lapangan
ini dibentuk menjadi sebuah program kerja, dan kemudian digunakan sebagai bahan acuan
dalam kurikulum pendidikan alternatif mereka. Kemudian pada 20 Mei 1987, di Yogyakarta
mereka mendirikan institusi pendidikan alternatif yang diberi nama Yayasan Sekretariat Anak
Merdeka Indonesia (SAMIN).
Selanjutnya pada sesi berikut, dalam sekilas pandang mengenai Yayasan SAMIN, penulis
akan menggambarkan mengenai bagaimana visi SAMIN dalam mengembangkan pendidikan.
Sesi ini bisa jadi akan lebih menelaah kedalam basis idiologis mereka. Hal ini akan dilihat
melalui hasil-hasil publikasi mereka den berdasarkan pengakuan dari wawancara mendalam.
B. Pandangan Yayasan SAMIN Mengenai Pendidikan
 Yayasan SAMIN didirikan dari situasi keprihatinan dan sikap kritis beberapa pemuda
terhadap pendidikan negara di era 1980-an. Dalam usahanya memberikan kontribusi terhadap
kekurangan-kekurangan pada sistem pendidikan negara, maka sekelompok pemuda yang
tergabung dalam Yayasan SAMIN ini membuat program kegiatan pendidikan alternatif dari
tujuan pendidikan negara. Berikut beberapa tujuan konsep alternatif dan metode pendidikan
 yang dinyatakan Yayasan SAMIN dalam buletin bulanan yang diterbitkanya:  pertama, memacu
dan mengembangkan sikap kritis, berfikir dan bertindak aktif dan kreatif pada anak-anak.
 Kedua, memacu dan mengembangkan sikap kooperatif dan partisipasi ataupun emansipasi
dalam kehidupan bermasyarakat.  Ketiga, memacu dan mengembangkan sikap merdeka dan
 berdaulat, yang diimbangi dengan kepekaan terhadap lingkungan, rasa keindahan, serta
tanggungj-jawab sosial pada anak-anak.  Keempat, mengembangkan dan membina lingkungan
kehidupan masyarakat agar dapat menunjang pengembangan potensi anak-anak sesuai dengan
 
tujuan pendidikan ini merupakan alternatif pendidikan negara ataupun pendidikan yang sudah
ada lainya dan bukan untuk menggantikanya. Pernyataan yang dimuat dalam buletin mereka
adalah sebagai berikut ‘tujuan di atas bukanlah semata-mata menentang pendidikan sekolah,
atau pendidikan tradisional atau pendidikan apa saja, tetapi lebih untuk melengkapi
keterbatasan-keterbatasan pada jenis pendidikan yang sudah ada… sedangkan lebih lanjut
orientasi pendidikan emansipatif’alternatif SAMIN berorientasi pada pengembangan
 potensi/kemampuan anak untuk mengolah kemampuanya dan bukan mengembangkan anak
untuk mencari lowongan kerja’ (Buletin SAMIN 3, 1987). Tujuan tersebut didapatkan Yayasan
SAMIN dari perenungan mereka terhadap situasi dunia pendidikan Indonesia pada waktu itu.
Situasi pendidikan negara pada waktu itu dinilai belum diselaraskan dengan kondisi
masyarakat dan kurikulumnya semakin membebani anak-anak. Situasi ini yang kemudian
dianggap oleh Yayasan SAMIN sebagai penyebab dari adanya pemandulan kreatifitas anak-anak
dan kurang kritis terhadap menyikapi masalah-masalah sekitar mereka. Dalam buletin bulanan
 Yayasan SAMIN, menyebutkan bahwa meskipun pendidikan dasar itu gratis, namun kurikulum
 yang dipakai masih belum meringankan pada kondisi ekonomi masyarakat. Seperti misalnya
pada kebutuhan-kebutahan siswa seperti membeli buku gambar, kotak-kotak kubus,
permainan-permainan, alphabet, angka-angka, pewarna dan sbegainya hanyalah sesuatu yang
 bisa dipenuhi oleh keluarga menengah (Buletin SAMIN 3, 1987). Akan tetapi barang-barang
seperti ini merupakan barang yang langka bagi masyarakat miskin di pedesaan. Pada waktu itu,
untuk menjangkau (membeli) barang-barang itu harus ke kota, selain itu, harga-harga untuk
mendapatnya juga tidak sepadan dengan pendapatan masyarakat di desa. Dan juga, dalam
pernyataan SAMIN pada buletin yang sama, menyatakan untuk melihat situasi sosial harus
melihat dengan kondisi setempat. Seperti misalkan, di daerah pedesaan anak-anak juga
 berfungsi sebagai nilai produksi (ekonomi) bagi keluarga. Seperti yang terjadi pada anak-anak
dampingan SAMIN di kampung Luk, desa Rempek, Lombok Barat. Di mana situasi masyarakat
di sana sebagian besar matapencaharianya sebagai nelayan dan bekerja sebagai pengupas
kacang bagi salah satu industri. Di sini anak-anak juga berfungsi untuk membantu produksi
keluarga dalam mengupas kacang untuk membantu orangtua mereka. Jadi meskipun mereka
dinyatakan mendapatkan pendidikan gratis, akan tetapi jika hal ini tidak diperhatikan, sekolah
 bagi anak-anak tersebut hanyalah berupa sambilan. Hal tersebut bisa dilihat pada fakta angka
tingkat drop-uot   yang tinggi pada keluarga-keluarga miskin di Indonesia pada tahun-tahun itu.
Selain kritik mengenai belum adanya keselarasan dengan situasi sosial, SAMIN juga
melakukan kritik pendidikan negara dianggap sebagai sarana untuk menumpulkan kreatifitas
 
menjadi sasaran pendidikan negara sekalipun. Seperti yang SAMIN nyatakan pada buletin
 bulanan 2 (1987) di mana mereka mengutip kritik dari salah seorang pemerhati dan perintis
lingkungan, Andi Mappasalaxii. Dalam kritiknya Andi mengatakan ‘…[s]istem pendidikan di
 Indonesia kurang mengenalkan hal-hal praktis yang berhubungan dengan alam, misalnya
tentang cara pengawetan lahan, beternak, penanaman pohon keras, serta arti penghijauan
dan lainya’ (Buletin SAMIN 2, 1987; Kompas, 20 Juni 1987). Selain kritik-kritik dari para
tokoh, dalam diskusi-diskusi yang dilakukan SAMIN dengan berbagai kalangan (termasuk
siswa), SAMIN menemukan pengakuan-pengakuan atas ketidak cocokan kurikulum pendidikan
negara pada waktu itu pada kebutuhan siswa.
Ungkapan atas ketidak cocokan kurikulum ini diungkapkan oleh 2 orang siswa di
 Yogyakarta. Salah satu siswa mengungkapkan ketidak puasan mesereka pada mata pelajaran
 biologi, di mana siswa tersebut mengungkapkan dalam tulisanya; ‘ pelajaran biologi, bukanya
mengajarkan bagaimana berternak kambing atau mengurus ayam yang terserang penyakit,
tetapi malah membicarakan binatang-binatang kecil yang bahkan tidak terlihat oleh mata
dan yang hidup sekian ratus meter di dalam laut ’. Dan salah satu siswa lainya menyitir dunia
pendidikan dengan menuliskan ‘ Rasanya lebih banyak mata pelajaran yang menjadi beban
daripada berpaedah. PKK misalnya, sudah tidak menarik lagi jika hanya berbicara
bagaimana mengatur kamar, mencuci dan membuat sambal ’ (Buletin SAMIN 2, 1987).
Kemudian, dengan bermodalkan kritik-kritik seperti ini SAMIN mengkonstruksi kekurangan-
kekurangan pada dunia pendidikan dan membentuk pandangan baru mengenai dunia
pendidikan.
Secara kelembagaan, Yayasan SAMIN mencatatkan organisasi ke negara pada
pertengahan tahun 1987, namun SAMIN telah mengawali kegiatan-kegiatan mereka sejak
sekitar 7 (tujuh) tahun sebalumnya (lihat sekilas berdirinya SAMIN di atas). Dalam melakukan
kegiatan, SAMIN mnggunakan kurikulum alternatif sebagai pelengkap kekurangan-kekurang
dalam sistem pendidikan yang sudah ada. Kurikulum alternatif tersebut berupa metode-metode
ajar yang dianggap bisa sesuai dengan situasi sosial di mana anak-anak tinggal, dan diharapkan
mampu untuk membentuk kreatifitas dan daya kritis anak-anak pada suatu permasalahan
sosial. Kurikulum alternatif yang dibuat oleh SAMIN merupakan panduan untuk mengajak
untuk memahami situasi sosial yang terjadi dan dari situ (dengan adanya kesadaran mengenai
situasi yang terjadi) anak-anak diharapkan lebih kritis dalam membaca permasalahan dan
 
kreatif mencari sebuah solusi. Berikut merupakan bentuk kurikulum yang sekaligus
pengalaman kegiatan SAMIN:
Kegiatan yang dilakukan di Lombok Barat dengan tema ‘Menuju Kampung Luk
Merdeka’ yang dimuat dalam Buletin SAMIN No 1, th I, 20 Juni 1987: Kampung Luk adalah
salah satu kampung yang ada di desa Rempek, bagian utara Lombok Barat. Mata pencaharian
masyarakatnya sebagian besar adalah nelayan. Sebagian lagi sebagai petani kacang, sedangkan
 wanitanya sebagian bekerja sebagai pedagang kecil (penjual jajan, penjual ikan, dan ada juga
 yang menjadi buruh pengupas kacang). Jarak tempuh kampung Luk ke kecamatan tidaklah
terlalu jauh. Sedang untuk pergi ke Mataram kira-kira 39 km. Kehidupan anak-anaknya, pagi
hari, sebagian dari mereka pergi ke sekolah, pulang sekolah, mereka pergi bermain, membantu
orangtuanya bekerja di rumah, atau membantu mencari nafkah sebagai pekerja pengupas
kacang milik tuan tanah, atau mencari ikan dengan cara memanah atau memancing. Kegiatan
seperti itu merupakan kegiatan rutin bagi mereka.
SAMIN masuk ke desa itu pada pertengahan bulan Nopember 1986, pada awalnya
mereka melakukan aktivitas pelatihan penguatan dan pengorganisasian (orang dewasa) nelayan
selama 1 (satu) bulan. Selama pelatihan berlangsung, bisanya anak-anak penasaran dan
 berusaha mencari tahu tentang pelatihan tersebut. Anak-anak tersebut berkerumun dengan
teman-teman mereka untuk melihat jalanya pelatihan. Keadaan ini selalu terjadi pada hampir
setiap jadwal pelatihan untuk nelayan. Melihat keadaan itu, di waktu senggang (pada jam
istirahat sewaktu pelatihan nelayan) SAMIN menawarkan waktu yang ada untuk berkawan
dengan anak-anak itu. Perlahan-lahan SAMIN akhirnya bisa masuk dan diterima dalam
kumunitas anak-anak tersebut. Selain melakukan interaksi dengan anak-anak pada saat
pelatihan, SAMIN juga mendatangi anak-anak tersebut pada saat mereka bekerja membantu
orangtua mereka, seperti pada saat anak-anak tersebut mengupas kacang. Kemudian, di situ
(tempat mengupas kacang) juga melakukan aktivitas pendidikan. melihat anak-anak tersebut
sangat antusias berkegiatan dengan SAMIN, hingga pada akhirnya, SAMIN membuat
kesepakatan dengan anak-anak tersebut untuk melakukan aktifitas secara regular.
Berikut adalah pola SAMIN dalam berinteraksi dengan anak-anak di Lombok Barat:
 pertama, berinteraksi dengan masyarakat setempat dan anak-anak; kedua, menumbuhkan
keberanian anak-anak untuk mau tampil dan mengekspresikan diri mereka secara terbuka;
ketiga, melakukan aktivitas terjadwal. Dari aktivitas di kampung Luk, beberapa aktivitas yang
telah dihasilkan oleh Yayasan SAMIN meliputi:  pertama, menyanyikan lagu-lagu daerah yang
diiringi dengan tepuk tangan, serta dengan bambu yang dipukul-pukul atau sering juga dengan
 
kemudian anak-anak menceritakan di depan teman-temanya dengan ringkas; ketiga,
mementaskan kesenian tradisional desa seperti Rudat dan Cupak dengan lagu daerah dan
peralatan seadanya; keempat , membuat topeng dari bolaplastik yang sudah rusak dengan
diberikan polesan cat dan arang; kelima membuat naskah drama, di mana idenya datang dari
salah seorang anak, kemudian jalan ceritanya didiskusikan dengan beberapa temanya. Setelah
itu yang mempunyai ide menuliskanya dan sekaligus menentukan para pemain-pemainya sesuai
dengan hasil diskusi.
Kegiatan Yayasan SAMIN yang dilakukan di Bandung dengan tema ‘Semacam Sekolah
Bebas’ yang dipublikasikan pada Buletin SAMIN No 3, th I, 20 Juli 1987: kegiatan SAMIN yang
dilakukan di pemukiman padat penduduk di Bandung pada awalnya diawali dengan interaksi
 beberapa anak yang main ke kontrakan SAMIN. Kemudian SAMIN mengajak anak-anak
tersebut bermain sulap atau permainan sejenis di mana dalam waktu singkat anak-anak
tersebut sudah larut dalam permainan mereka. Lalu kejadian tersebut dilakukan berulang-ulang
pada anak-anak tersebut dan peserta (anak-anak) yang mengikuti kegiatan tersebut semakin
 bertambah setiap harinya. Lalu kemudian, SAMIN berdiskusi untuk membuat sebuah
perencanaan terjadwal untuk berkegiatan dengan anak-anak tersebut. Sampai pada akhirnya
mereka berinisiatif mendirikan ‘sekolah bebas’.
Ide untuk mendirikan ‘sekolah bebas’xiii  ini diangkat oleh SAMIN dengan berdasarkan
pengalaman aktivis yang melakukan kegiatan serupa di Bandung. Gambaran mengenai ‘sekolah
 bebas’ ini digambarkan dengan aktivitas anak-anak dalam kegiatan tersebut. SAMIN
menggambarkan keadaan tersebut sperti berikut: ‘….[B]eberapa minggu kemudian, terlihat
ruangan tempat bermain mereka menjadi lebih meriah lagi. Dan tentu saja,seperti kapal
 pecah, ruangan itu kadang-kadang berantakan sekali. Anak-anak bermain petak umpet dan
kejar-kejaran di dalam rumah kontrakan itu sudah menjadi pemandangan yang bisa. Anak-
anak mandi berendam didalam bak mandi juga tidak jarang. Pipa air patah, puluhan pensil
dan ballpoint hancur. Kartu-kartu berceceran di sana-sini. Kamar tidur diacak-acak.’ (Buletin
SAMIN 3, 1987). Menurut kurikulum SAMIN, keadaan seperti itu bukanlah dianggap sebagai