DIREKTORI MINI...

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

EKONOMI II

Professional Human Resource Development IVPusbindiklatren-Bappenas

Program BeasiswaPusbindiklatren Bappenas

Editor:

Dr. Guspika, MBA., dkk.

ii iii

Direktori Mini Tesis-Disertasi

Ekonomi II ©2018 oleh Bappenas

EditorDr. Guspika,MBA

Wignyo Adiyoso, S.Sos, MA, Ph.D.

Ali Muharram, SIP, MSE, MA.

Rita Miranda, S.Sos, MPA.

Wiky Witarni, S.Sos, MA.

.

Kontributor Cinthya Charlotte Rosalin, Damayanti Simangunsong, Dekky Fauzi, Dewi Mayasari,

Elok Tri Wahyuni, Fina Sri Agustina, Ibnu Abbas, Ishar, Maryam Jamielaa, Masrulah,

Niken Pratiwi, Ridha Mutia, Rina Juliet Artami, Safwan Ardy, Sri Gusvina Dewi, Stranti

Nastiti Kusumaningrum, Thanthawi Jauhari, Vina Kurniawati, Agus Wiyadi, Aprillia

Dwi Puspita Sari, Arif Wibowo, Dimas Hari Santoso, Fauzan Hadi, Gita Junaedi Ginting,

Ierna Sania Sarie Nasia, Mudjiono, Puti Dina Fithria, Putra Lambang Nugraha, Setya

Kurniawan, Syaiful Rahmat, Yeni Maskurah AB

Cetakan I, Oktober 2018 ISBN: 978-602-53018-7-2

Diterbitkan oleh Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Jalan Proklamasi Nomor 70 Jakarta Pusat 10320

iii

DAFTAR ISIDAFTAR ISI — iii

KATA PENGANTAR — vii

ILMU EKONOMI

SOCIAL CAPITAL AND HEALTH: THE EMPIRICAL EVIDENCE FROM INDONESIACinthya Charlotte Rosalin — 1

INEQUALITY AND ECONOMIC GROWTH IN INDONESIA IN THE 2000’SDamayanti Simangunsong — 15

PERAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (STUDI KASUS: KELOMPOK TANI MAKMUR ABADI DESA TULUNGREJO KEC. BUMIAJI KOTA BATU)Dekky Fauzi — 25

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN BERDASARKAN STATUS INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DAN KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROVINSI JAWA TIMURDewi Mayasari — 41

THE INFLUENCE OF TOURISM ON REGIONAL REVENUE OF MALANG RAYA, EAST JAVA Elok Tri Wahyuni — 57

IMPORT COMPETITION AND LOCAL LABOR MARKETS: THE CASE OF INDONESIAFina Sri Agustina — 69

ANALISIS PENENTUAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN PIDIEANALYSIS OF DETERMINATION OF THE LEADING SECTOR IN PIDIE DISTRICTIbnu Abbas — 83

ANALISIS SPASIAL BELANJA PUBLIK DAN KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNGSPATIAL ANALYSIS OF PUBLIC SPENDING AND POVERTY IN PROVINCE OF BANGKA BELITUNG ISLANDSIshar — 93

iv v

TRADE OPENNESS AND FEMALE-MALE EARNINGS DIFFERENTIALS: EVIDENCE FROM INDONESIAMaryam Jamielaa — 105

PENGEMBANGAN KERBAU RAWA KALANG DAN ITIK ALABIO TERHADAP POTENSI LAHAN RAWA DI KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA PROVINSI KALIMANTAN SELATANDEVELOPMENT OF RAWA KALANG BUFFALO FARM AND ALABIO DUCKS ON SWAMPLANDS AT THE HULU SUNGAI UTARA REGENCY SOUTH KALIMANTAN PROVINCEMasrulah — 115

ANALISIS IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI JAWA TIMURNiken Pratiwi — 127

DETERMINAN STATUS KEMISKINAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN DI ACEHDETERMINANTS POVERTY STATUS OF AGRICULTURAL HOUSEHOLD IN ACEHRidha Mutia — 139

THE ASYMMETRIC EFFECTS OF OIL PRICE CHANGES ON THE ECONOMIC ACTIVITIES IN INDONESIARina Juliet Artami — 153

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH: PENDEKATAN ENDOGENOUS GROWTH MODELECONOMIC GROWTH IN ACEH: ENDOGENOUS GROWTH MODEL APPROACHSafwan Ardy — 163

THE EFFECTS OF MINIMUM WAGE THROUGHOUT THE WAGE DISTRIBUTION IN INDONESIA: DECOMPOSITION ANALYSES BASED ON UNCONDITIONAL QUANTILE REGRESSIONSri Gusvina Dewi — 173

THE SENSITIVITY OF RESIDENTIAL ELECTRICITY DEMAND IN INDONESIAStranti Nastiti Kusumaningrum — 183

CHILD LABOR AND HOUSEHOLD WEALTH IN INDONESIAThanthawi Jauhari — 197

ANALISIS PENGARUH JUMLAH TENAGA KERJA, NILAI EKSPOR, DAN NILAI

v

INVESTASI PADA INDUSTRI PENGOLAHAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN LUMAJANGVina Kurniawati — 209

EKONOMI TERAPAN

PERUBAHAN IKLIM DAN PARIWISATA ALAM: IMPLIKASI DI TAMAN WISATA ALAM GUNUNG TANGKUBAN PARAHUAgus Wiyadi — 223

TINGKAT PENDIDIKAN DAN SIKAP PEREMPUAN TERHADAP TINDAKAN PEMUKULAN ISTRIAprillia Dwi Puspita Sari — 237

THE COMPETITIVENESS OF INDONESIAN FISHERY TRADE AND FACTORS AFFECTING THE EXPORT PERFORMANCE OF INDONESIAN FISHERY PRODUCTSArif Wibowo — 257

ESTIMATING THE EFFECT OF AIR POLLUTION ON HEALTH INSURANCE COVERAGE IN INDONESIA USING INDONESIAN FAMILY LIFE SURVEYDimas Hari Santoso — 263

PENGARUH BELANJA DAERAH FUNGSI PENDIDIKAN, KESEHATAN, DAN PERLINDUNGAN SOSIAL TERHADAP KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA BARATFauzan Hadi — 275

GRDP PER CAPITA, LIFE EXPECTANCY, EDUCATION, GOVERNMENT EXPENDITURE ON ENVIRONMENT AND ENVIRONMENTAL QUALITY IN INDONESIAGita Junaedi Ginting — 289

ECONOMIC IMPACT ASSESSMENT OF AGRICULTURAL PROGRAM ON MAIZE PRODUCTION IN BANTEN PROVINCE: A CASE ON FARMER FIELD SCHOOL OF INTEGRATED CROP MANAGEMENT PROGRAMIerna Sania Sarie Nasia — 303

PERTUMBUHAN TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY INDUSTRI PENGOLAHAN SKALA BESAR DAN SEDANG DI INDONESIA TAHUN 2010 – 2015: DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA)Mudjiono — 315

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENGANGGURAN (STUDI KASUS KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT)

vi vii

Puti Dina Fithria — 327

EVALUASI EKONOMI WISATA PANTAI GLAGAH INDAH, KULON PROGO, D.I. YOGYAKARTA DENGAN TRAVEL COST METHODPutra Lambang Nugraha — 339

WILLINGNESS TO PAY FOR CLEAN WATER IN HEDONIC PRICE ANALYSIS IN JAVA ISLAND, INDONESIASetya Kurniawan — 349

A POLITICAL ECONOMIC ANALYSIS OF POLICY IMPLEMENTATION PROCESS OF TEACHER DISTRIBUTION IN BANDAR LAMPUNG, INDONESIASyaiful Rahmat — 361

ANALYSIS OF THE FACTORS AFFECTING NATURAL RUBBER EXPORT IN INDONESIAYeni Maskurah AB — 375

vii

KATA PENGANTAR

Professional Human Resource Development (PHRD-IV) merupakan Program beasiswa Bappenas bergelar S2 dan S3 maupun non-gelar (short-term Training Program, staff Enhancement Program, dan Program for Academic Staff) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Indonesia, khususnya dari daerah. Program ini bertujuan memberi kesempatan meningkatkan sumber-daya di Pemerintah Pusat dan daerah dengan mengurangi disparitas ekonomi antar-daerah.

Dalam pelaksanaannya, diharapkan bagi para penerima beasiswa PHRD-IV dapat melakukan pendalaman pengetahuan dan penelitian terkait pembangunan bersifat konkret yang dapat diterapkan di daerah asalnya masing-masing. Di samping itu, para penerima beasiswa juga diharapkan dapat mengunjungi fasilitas-fasilitas publik dan pemangku kepentingan setempat yang terkait dengan bidang studinya sehingga dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh dan pemahaman lebih mendalam.

Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa PHRD-IV, Tema: Ekonomi II ini merupakan buku kedelapan dari sembilan buku yang akan diterbitkan pada tahun 2018, sebagai salah satu upaya mendiseminasikan karya tulis ilmiah yang telah diselesaikan oleh karya siswa penerima beasiswa PHRD-IV.

Agar hasil-hasil penelitian Tesis/Disertasi dalam Program PHRD-IV dapat tersebar luas, hasil-hasil penelitian tersebut dirangkum, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Tujuan pertama setelah diterbitkan adalah agar dapat direplikasi atau diadopsi di tempat kerja karya siswa; kedua, sebagai benchmark pemanfaatannya di instansi pemerintah lain; dan ketiga, merupakan bagian dari upaya mendokumentasikan kegiatan PHRD-IV, dalam bentuk terbitan buku ilmiah sehingga dapat disebutkan oleh karya siswa dalam resume masing-masing.

Serial buku ini diharapkan dapat menggambarkan manfaat dan kontribusi positif Program PHRD-IV terhadap peningkatan kapasitas SDM sebagai participating agencies, baik dari sisi keterampilan teknis, manajerial, dan kepemimpinan aparat pemerintah, dan dalam melaksanakan reformasi birokrasi di instansi masing-masing. Program PHRD-IV juga diharapkan dapat berkontribusi bagi pencapaian sasaran prioritas nasional dalam

viii ix

meningkatkan kinerja instansi pemerintah yang ditandai dengan berkurangnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta meningkatnya kualitas pelayanan publik.

Jakarta, Oktober 2018

Pusbindiklatren Bappenas


Program Beasiswa PHRD

ILMU EKONOMI

SOCIAL CAPITAL AND HEALTH: THE EMPIRICAL EVIDENCE FROM INDONESIA

Nama : Cinthya Charlotte Rosalin

Instansi : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Ilmu Ekonomi

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Indonesia-Ritsumeikan University

2 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Abstrak

Makalah ini mengkaji efek dari modal sosial individu pada berbagai hasil kesehatan menggunakan Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS4 dan IFLS5). Beberapa penelitian telah membahas hubungan antara menjembatani modal sosial dan hasil kesehatan. Makalah ini menganalisis apakah kepercayaan umum, menjembatani modal sosial (kepercayaan dalam banyak kelompok etnis, kepercayaan dalam banyak keyakinan agama), dan isolasi sosial memiliki efek pada berbagai hasil kesehatan. Hasil perkiraan untuk model efek tetap tidak menunjukkan signifikansi dalam semua variabel hasil kesehatan, kecuali isolasi sosial, yang memiliki efek positif pada kesehatan yang dirasakan sendiri. Selain itu, hasil estimasi untuk model probit efek acak menunjukkan bahwa kepercayaan umum memiliki dampak positif yang lemah pada kesehatan yang dinilai sendiri, sementara kepercayaan pada banyak kelompok etnis memiliki hubungan negatif. Sementara itu, kepercayaan pada banyak agama tidak berdampak pada hasil kesehatan yang berbeda. Selain itu, isolasi sosial memiliki efek negatif pada hampir berbagai masalah kesehatan dan kesehatan mental.

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 3

Abstract

This paper examines the effects of individual social capital on various health outcomes using the Indonesian Family Life Survey (IFLS4 and IFLS5). Few studies have covered the relationship between bridging social capital and health outcomes. This paper analyzes whether generalized trust, bridging social capital (trust in many ethnic groups, trust in many religious beliefs), and social isolation have effects on various health outcomes. The estimated results for fixed effects models do not show any significance in all health outcome variables, except social isolation, which has positive effect on self-perceived health. Moreover, the estimated results for random-effect probit models show that generalized trust has a weak positive impact on self-rated health, while trust in many ethnic groups has negative association. Meanwhile, trust in many religions does not have an effect on different health outcomes. In addition, social isolation has negative effects on almost various self-rated health and mental health outcomes.


SOCIAL CAPITAL AND HEALTH: THE EMPIRICAL EVIDENCE FROM INDONESIA

A. Background

The mechanism that connects an individual’s social capital to health is the individuals who are better connected with their community and have positive health outcomes because of their sense of belongingness. When dealing with people with chronic illnesses, social capital can be seen as a potential supportive resource that encourages people to cope with their frail condition (Waverijn et.al, 2014). However, the mechanisms by which social capital affect health will be different, depending on what kind of dimensions of social capital is used.

In order to improve health in Indonesia, social capital can be a useful tool since Indonesia has traditions of fostering social bonding. The government itself has provided physical capital such as access to clean water and sanitation to support health improvement in every region. However, in order to achieve better outcomes, it needs another capital as an instrument of coordination which is social capital. Putnam, Leonardi, & Nanetti (1993) state that social capital has a role to stimulate coordination among people to achieve better outcomes. This coordination is believed that reduce transaction costs, overcome barriers due to incomplete or asymmetric information, and establish efficient transactions in the presence of incomplete contracts (Alesina & La Ferrara, 2002), is the outcome which the government aims for.

The previous literature on the relationship between social capital and health shows that as an estimation, there is a potential endogeneity which stems from unobservable heterogeneity and reverse causality (Rocco, 2014). For example, Ho (2016) estimates the model using a number of friends as a proxy of social capital, and warns the possibility of unobservable factors which affects individuals’ decision in selecting their friends and can also influence their health. Moreover, d’Hombres et.al. (2010) control for the potential reverse causality between social capital and health. Ignoring these issues will lead to bias estimate of the relationship of these variables. From previous literature, an instrumental variable estimate has been used to tackle the endogeneity problem. This research would estimate using individual fixed effects in health production to control unobservable heterogeneity following previous literature of Rocco (2014).

The existing empirical studies on social capital and health are still limited, especially in Indonesia. There are only two studies on this issue in Indonesia (Miller et.al., (2006) and Sujarwoto and Tampubolon, 2013). However, these Indonesian studies are cross-sectional analyses, and do not account for unobserved heterogeneity among individuals.


Thus, this study estimates a fixed effects model using the Indonesian Family Life Survey (IFLS) 2007 and 2014 to examine the effect of social capital on health. Moreover, social capital variables used in this study are generalized trust and trust in different ethnic groups and trust in different religions. To the author’s knowledge, these proxies have not been discussed in the social capital field. For health outcome variables, two aspects of self-reported health will be examined that are self-rated health and mental health.

The aim of this study is twofold: first, investigate the strength association (OLS and fixed effects) between four different proxies focusing on generalized trust, trust in different ethnicity, trust in other religions and social isolation as bridging social capital on self–perceived health at individual–level after controlling sociodemographic determinants. Second, to examine how these proxies of social capital relate to self-rated health based on the occurrence of five chronic diseases and psychological health together with other health outcomes using pooled probit and random effects probit methods. This study addresses the following research questions:

1. Does trust to everyone, trust on many ethnicities, and trust on many religions as a proxy of bridging social capital give benefits on self-perceived health, self-rated health, and mental health for individual in Indonesia?

2. What is the impact of social capital on specific chronic illnesses (hypertension, diabetes, respiratory disease, heart disease, cancer) and mental health (sadness, insomnia, short temper, and anxiety)?

3. What are the dimensions of social capital (bonding social capital or bridging social capital) that may work with Indonesia characteristics?

In addition, based on previous research, it is expected that trust has positive correlation to self-rated health based on five chronic illnesses and mental health and social isolation has a negative impact on two outcomes of health.

The estimated results for fixed effects models do not show any significance in all health outcome variables except for social isolation, which has a positive effect. Moreover, the estimated results for random-effect probit models show that generalized trust has weak positive impacts on self-rated health, while trust in many ethnic groups has negative association. Meanwhile, trust in many religions does not have an effect on different health outcomes.

B. Research Methodology

Data used in this study is drawn from the Indonesian Family Life Survey (IFLS). IFLS is the only large-scale longitudinal survey available for Indonesia that is available for the same individuals from multiple points in time. The questionnaires contain demographic


and socioeconomic characteristics at the individual, household, and community level. The data that used comes from the years 2007 (IFLS4) and 2014 (IFLS5).

The dataset in this paper connects 5 books of IFLS4 and IFLS5. The first book with code 3B is adult information (part 2) which provides information about self-perceived health, number of chronic illnesses, mental health, and social isolation. The second book with code 3A is adult information (part 1), which provides information about education, trust, the quality of the surrounding social environment. The third book code 2 is household economy which provides information about non-labor income, capital income (farm and non-farm business), and homeowner status. The fourth book code 4 is ever-married woman information, which provides information about the number of children. The last book, with code K is the control book and household roster, which provides information about area, gender, age, religion, ethnicity, marital status, and labor income. This dataset covers 13 provinces from 27 provinces containing 83% of the population.

The information between 2007 and 2014 is not much different. For trust information is the same for both years. For chronic conditions information, even though the IFLS5 list of chronic conditions is updated the diseases in this study are available for both years. As for mental health, the information is the same between the two years. The rest of the variables have minor changes, but are available in these years. Questions where the answer is not the same between the two time periods have been taken into account.

C. Data Analysis and Results

1. Determinants of Self-perceived health

The estimates of the health equation (1) in Chapter 3, to compare relative magnitude of the effects of the independent variables, their marginal effects for all tables are reported. Column 1 reports the linear estimation using pooled OLS, and Column 2 presents fixed-effects estimation.

In column 1 the estimated result of pooled OLS is shown. It can be seen from the coefficient of trust in many ethnic groups has the expected sign and is statistically significant. After controlling for time invariant fixed effects, the coefficient becomes insignificant in column 2. This finding is not supported with previous literatures (Rocco, et.al, 2014). The Hausman test shows that it cannot reject the null hypothesis with a p-value < 0.1796. This suggests random effects can be used to estimate the equation (1). However, I use the fixed effects method


for equation (1) because there are some time invariant effects that are correlated with social capital variables. For example, sociable personal traits can affect both health and social capital. Even though the Hausman test chooses random effects, in order to rule out the potential omitted variable bias, it is safe to choose fixed effects models since fixed effects has consistency.

Unexpectedly, social isolation is significantly and positively correlated with good health. Individuals who isolate themselves are positively and significantly shown to have self-perceived good health at 9.7%. Many Indonesian people like to interact with each other. Sometimes they enjoy talking about negative things, then, they become worried it would happen to themselves and rate themselves not in good condition. Furthermore, the news in Indonesia is recently focusing on bad reports, such as corruption, crime, and so on. As a result, it makes the viewer stressed and can affect them to rate their health as poor.

Regarding the control variables, this research finds only age is positively and statistically significant for self-perceived health. Another year of age increases self-assessment health by 3%. One explanation is that older people in Indonesia are prone to be active in weekly religious meetings so that they have an opportunity to interact with others who share common values and interests, which increases positive self-perceived health and wellbeing.

2. Self-rated health and mental health: pooled probit and random effects probit

The result from estimation of social capital on health from nonlinear equation (2), in Chapter 3. Column 1 reports the estimation of the pooled probit and random effects probit model for self-rated health based on the occurrence of five chronic illnesses; and Column 2 reports the estimation of the pooled probit estimation and random-effect probit for mental health.

The two results give the same direction of coefficients except for the dummy year 2007, though it is not significant. It is interesting to find that generalized trust becomes significant using random effect probit and has expected sign. It can be said that social capital represented by generalized trust increases the probability of reporting good health by 1%. Although it is weak evidence, this result is in line with our hypothesis. Similarly, trust to different religious beliefs reports a positive coefficient, but it is not significant.

On the other hand, trust in many ethnic groups is presented to be strongly and negatively associated with self-rated good health. Individuals who trust to many


ethnic groups are 1.6% more likely to report poor health. This finding supports the suggestion of Baum (1999), that it is likely that people in Indonesia may have a strong bond with the same ethnicity, thus they can be exclusionary and distrustful with others who are dissimilar with them, so this condition may not be healthy for outsiders.

Furthermore, socially isolated individuals are about 5% less likely to consider themselves in self-rated good health. This result holds for both estimations. It appears that isolated people may have less support and mutual respect for mitigating stress, so it affects their health. This also confirms from previous literature by d’Hombres et.al (2010) that loneliness has a significantly negative impact. Lastly, there are no significant events that affect self-rated health in 2007.

Regarding individual characteristics, it is found that being female decreases the probability of reporting good health by 6.5%. This can be explained that most married women in Indonesia tend to spend more time in their household that is, taking care of their children than having social relationships with others (Christoforou, 2011). Also, they are required to multitasking, not only taking care of their household, but also being a breadwinner to support the family. Consequently, they have no time to participate in social activities, which would help them to attain social support and receive information related to health. Moreover, married status individuals report positively regarding good health but not significantly different from zero.

Unexpectedly, about 2% of people having higher education are more likely to report poor health. This evidence contradictory with previous literatures. Some studies show education improves health. Education may improve an individual’s understanding of other people hence, they more trusting of other people and will have more social interaction than less educated people (Folland & Iversen, 2014).

However, this is not the case in Indonesia, especially in urban areas. Beard (2005) learned about community development in Indonesia, and she points out that higher educated people are likely to belong to the social and economic elite. They will not need reciprocal relationships in order to receive social and physical service. For instance, well-educated individuals will prefer go to a private doctor, rather than go to a community clinic.

This is also supported by Coleman, (1990, page 321), who proposes that if there are more options to doing favor in exchange for future services and insurances, an individual will reduce his or her obligations, hence reducing social capital. Similarly, household income is strongly and negatively correlated with good health. Living


in a higher degree of income disparity is likely to have a weak relationship among societies (Alesina & La Ferrara, 2002). It means that income inequality reduces the level of trust of individuals toward others. For this reason, in Indonesia situation, especially in urban areas, educated people who have more income may be unwilling to build trust with others caused by less interaction, hence they lack social control and social support, which has been linked to poor health.

Moreover, living in a safe environment increases the individual’s probability of rating their own health as good by about 7%. Also, living in urban areas decreases health. It is in line with Coleman’s (1990, p.318–320) statement, that in urban areas the absence of strong bonds in urban social networks reduces trust, as a result social capital is unreachable. This condition makes them lack support that in turn will affect their health. In addition, age is negatively correlated with the probability having good health which is natural.

Furthermore, the result in Column 2 presents the effect of bridging social capital and mental health. Both estimates also give the same direction on the coefficients. The interpretation of the results based on random effect probit estimates. All trust variables are not significantly correlated with good mental health. Social isolation has a strongly and negatively impact on the likelihood to have good mental health.

Interestingly, the time dummy displays a significant association on good mental health. Indonesia faced the second crisis, namely the Asian financial crisis in 2007/2008. Though Indonesian people were hit by the crisis, they get were not greatly affected. Indonesia was more resilient during that period of crisis compared to the first crisis in 1997/1998. Not only had the Indonesian economy performed well within the period of 2005 to 2008, but also consumer prices remained stable. The reason is that the Indonesian people had learnt from the first crisis, as a result it produced good mental health.

Moreover, being female and having a higher education is significantly less likely to produce good mental health. On the other hand, married people are more likely to declare good mental health by 6.4%. Putnam (1995, p.65) states that family is the basic form of social capital. It is similar as a bonding relationship that benefits health, also providing information and support, and encourages life-preserving.

Meanwhile, having a higher income is strongly and positively correlated with good mental health by 2%. Referring to Alesina & La Ferrara (2002) , the amount of personal income adds to the level to which individuals trust others. An individual that has a higher income will increase their confidence as a resulting it in good mental health. Living in a safe environment increases the probability of reporting to


have good mental health by about 8%, whereas living in urban areas is associated with reported having poor mental health.

Finally, some interesting results are with regards to homeowners and age, which are significantly and positively correlated with good mental health at 3.6% and 0.5%, respectively. As discussed above, elderly in Indonesia, for example, Muslims, are likely to attend religious meetings such as “pengajian” that yield positive mental health. In addition, a house is kind of exclusive possession for Indonesian people due to high housing prices, especially in urban areas. For this reason, owning a house is a guarantee for them to have a secure life, which also makes them confident, thereby giving better mental health.

3. Chronic condition outcomes and bridging social capital

Random effect probit models were estimated for the five chronic diseases as the dependent variables. The marginal effects at the average values of the independent variables. Generalized trust and trust in many religious beliefs are not significantly different from zero for all chronic illness outcomes. Meanwhile, trust in many ethnic groups is positively correlated with the probability to report having hypertension at 0.6%. Moreover, social isolation has a significant impact on the likelihood of reporting hypertension. On the other hand, the dummy year 2007 does not impact all five chronic diseases.

With respect to socio-economic controls, women are significantly more likely to declare hypertension. Moreover, married status and educated people do not have significantly impact in the likelihood of reporting all chronic conditions. The probability of reporting hypertension is caused by an increasing in income, at 0.3%. This is because they have more money and they are less concerned about what they eat due to less social control related to health, especially in big cities. Living in a peaceful environment is 3% less likely to report hypertension. Finally, an increase in age will raise the probability of reporting hypertension.

4. Mental health outcomes and bridging social capital

Four empirical models which were estimated using different mental health outcomes are sadness, anxiety, insomnia, and short temper. The marginal effect of bridging social capital are represented as well as of all covariates on mental health. The interpretation of the results based on random effects probit estimates.

Column 1 shows the estimation of reporting sadness. The magnitude on the generalized trust variable indicates that a one standard deviation increase in


this trust is associated with an increased propensity to report feeling sad of 1%. People who have trust in many ethnic groups are about 0.7% less likely to consider themselves sad. Meanwhile, trust in many religious beliefs and social isolation have no strong pattern in the reporting of sadness.

Furthermore, women are significantly less than men. Only 2%. women likely to report feeling sad. It’s because the economic conditions force them to have many roles in the family, such as a mother, wife, and breadwinner, so they have to be stronger than men. The interesting point is married people are 1.3% less likely to report sadness. The reason is married life gives the mutual benefit of support for each other. Moreover, people with higher education is associated with lower reported sadness. The reason is they substitute their sadness into studying hard. The same conditions occur with a higher income which is negatively correlated with reports of sadness. Then, feeling safe decreases the individual’s probability of reporting sadness by about 3%. Having children increases the likelihood to report being sad by 1.4%. Because of economic conditions, parents have to struggle to fulfill the children’s needs. Lastly, being older increases the individual’s probability to report being sad.

The second column reports the results for anxiety. The results represent that generalized trust has no significant effect in the probability of reported anxiety. Trust in many ethnic groups increases the likelihood of reporting feeling anxious at 1.4%. The interesting point comes from trust in many religions which has a significant effect in reducing the probability of feeling anxious by 1.4%. Religious people tend to have strong mental health to overcome troubles. Next, social isolation has a positive association with anxiety. Moreover, the crisis of 2007/2008 decreases the individual’s probability of reporting anxiety by about 12%.

Furthermore, females are much more likely to report being anxious (6%), whereas being married is strongly not correlated with anxiety. Individuals with a higher education are 7% more likely to declare anxiety. On the other hand, a higher income is highly negatively associated with reports of anxiety. A safe environment lowers the probability of being anxious by 7%, while living in urban areas is positively correlated with anxiety. Lastly, an increase in age reduces the probability for being anxious by 1%.

The third column represents the results of reporting insomnia. People who trust everybody (generalized trust) are 3% less likely to declare insomnia. On the other hand, trust to many ethnic groups increases the probability of having insomnia by 2%, similarly with social isolation. The events of 2007 did not affect Indonesian people for having sleep disorders. Women are more likely to report


sleep trouble by 6%, whereas married people are less likely to report insomnia by 8%. Having a higher income and owning a house decreases the likelihood of reporting insomnia. People who live in safe neighborhoods are 5% less likely to report having sleep trouble. Meanwhile, 5% of urban people declare the probability for having insomnia. Having children is negatively and significantly correlated for reporting insomnia at about 4%. Being older has a negative association with having insomnia.

Lastly, column 4 shows the result for having short temper. All bridging social capital variables have no significant effect for the probability of having short temper. Only social isolation is positively correlated with short temper. The coefficient associated with year 2007 is negatively and significantly correlated with having short temper. The female is associated with increasing short-temperedness (4%). This is because they have the burden of not only bringing up children but also working. Married people are 2% less likely to report experiencing a short temper, whereas highly educated people are 2.4% more likely to report being short-tempered. Furthermore, having a house and feeling safe decreases the likelihood of experiencing a short temper by almost 2% and 3%, respectively. Finally, age is negatively correlated with increasing short-temper.

In summary, our findings provide little support for the hypothesis that social capital is positively correlated with self-rated health. However, trust in many ethnic groups has significantly and negatively effects for each mental health outcome. Prior research of argues that individuals who belong to the same ethnic groups are more likely to have social relationships due to similarities of custom or language (Sujarwoto & Tampubolon (2013). Moreover, Alesina and La Ferara (2002) find in more heterogeneous communities trust is lower because interracial contacts are more frequent. For this reason, even though Indonesian people trust everyone (generalized trust) thereby leading to positive effects on their health, it does not mean it will succeed in Indonesia, because this kind of trust is more sensitive and deeper than generalized trust especially for Indonesia characteristics. From Putnam (2007)’s insight in Chapter 2, it can be concluded that it may require more time to build trust and create bonding among ethnic groups that can affect their health, so further research is needed in the future for this topic.

In addition, even trust in many religious beliefs is not significantly correlated with all health outcomes. The joint test of the significance of four indicators of social capital strongly rejects the null hypothesis with a p-value < 0.0000 (OLS, probit, random-effect probit estimations), and p-value < 0.097 (fixed-effect estimation).


D. Conclusion

This paper presents the first examination of the effect of bridging social capital represented by trust in many ethnic groups and trust in many religious beliefs, with two other measures, generalized trust and social isolation on different health outcomes in Indonesia from 2007–2014. The contribution of this paper is threefold. First, evidence of the role of bridging social capital on different health outcomes is provided, where these proxies have never been assessed in Indonesia previously. Second, the examination of the relationship of two variables using panel data. Third, this study measures more objective of self-rated health based on the occurrence or absence of five chronic diseases.

Fixed-effect estimates does not give significance of the estimated parameter of interests except for social isolation on self-perceived health. However, since there are some unobserved individual effects that are correlated with social capital variables, using fixed-effect methods is appropriate for this estimation to rule out the potential omitted variable bias. Moreover, random-effect probit suggests that generalized trust is associated with small and statistically significant increases in the likelihood of good self-rated health. Even though it is weak evidence, this social capital plays an important role in individual health conditions. However, trust in many ethnic groups is strongly and negatively associated with self-rated good health. Therefore, further research is needed for this topic and, particularly, better data with long time period are necessary to better identify, both theoretically and empirically. In addition, social isolation has a negative effect on most various self-rated health and mental health outcomes.

There are a number of limitations in this study. First, because there are no appropriate instruments, the possibility of reverse causality is not considered. Thus, a fixed effects instrumental variable method is more appropriate. Second, we only have two time periods and the span is 7 years. This potentially reduces the precision of the estimate. Third, this study only relies on one –of two item scales of social capital hence weak or an inconsistent connection regarding health were found. Moreover, this study only examines bridging social capital; however it should take other dimensions of social capital, like bonding social capital and linking social capital, so the kind of social capital that works in Indonesia can be known. Finally, due to incidental parameter problems, the fixed effects model for limited dependent variable is not estimated. Further robustness checks are needed if our results for the random effects model holds when controlled for fixed effects.

The role of social capital on health has proven empirically that generalized trust has a positive impact on health. Meanwhile, trust in other religions and ethnic groups do not show a satisfactory result. It is likely that Indonesian people still have a strong


bond within the same ethnic groups and religious beliefs. Referring to Putnam (2000) that bridging social capital is important to achieve economic growth, it would be advantageous for Indonesia, which has a rich diversity of its people if this dimension of social capital could be attainable and utilized. For this reason, government, as a policymaker, should stimulate the development of social capital especially bridging social capital by funding such projects that allow bridging social capital to be easily formed, and by triggering enthusiasm among communities and their leaders to develop social capital.

To sum up, social capital measured by generalized trust shows a weak positive association on self-rated health. Moreover, the effect of trust in different ethnic groups and trust in many religions on health outcomes cannot be seen in Indonesia due to the complexity of ethnic groups and religious beliefs. Referring to Putnam, social capital is needed for promoting economic growth through accessing external assets and sharing information. Therefore, it is very important to understand how social factors affect economic development and how the collaboration between social capital and economic growth could affect health.

INEQUALITY AND ECONOMIC GROWTH IN INDONESIA IN THE 2000’S

Nama : Damayanti Simangunsong

Instansi : Kemenperin

Tahun Intake : 2015



Negara Studi : Indonesia–Jepang

Universitas : Universitas Indonesia


ABSTRAK

Penelitian ini berfokus pada hubungan antara ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Tingkat ketidaksetaraan pendapatan yang meningkat di Indonesia mencapai tingkat tertinggi selama era desentralisasi dan diduga disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama dalam lima tahun terakhir hingga tahun 2015. Inilah alasan mengapa Pemerintah Indonesia mengeluarkan Kebijakan Ekuitas Ekonomi pada tahun 2017 dan menetapkan target koefisien Gini pada 0,36 dibandingkan dengan level saat ini 0,41. Oleh karena itu, penelitian ini menyelidiki apakah peningkatan ketidaksetaraan memiliki dampak positif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Menggunakan data panel dinamis dari 33 provinsi di Indonesia yang mencakup periode 2005 hingga 2015, penelitian ini menggunakan koefisien Gini dan menghitung pengukuran lain (deviasi log rata-rata dan indeks Theil) sebagai proksi ketimpangan pendapatan. Metode yang digunakan adalah penduga Arellano-Bond dan versi yang diperluas itu dikenal sebagai sistem GMM. Makalah ini memiliki dua pertanyaan penelitian, pertama, apakah peningkatan ketimpangan memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dan kedua, apakah ketidaksamaan dalam kelas-kelas yang berbeda dari populasi (bawah, menengah, dan kelas atas) memiliki efek yang berbeda pada pertumbuhan ekonomi . Data yang digunakan dalam makalah ini dilakukan dari beberapa sumber seperti Statistical Yearbook of Indonesia, Laporan Indeks Pembangunan Manusia, dan data mentah Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Perbedaan dan sistem GMM menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan dan positif antara ketimpangan pendapatan umum dan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, peningkatan ketidaksetaraan tidak menghambat pertumbuhan ekonomi, bahkan, itu mengarah ke pertumbuhan yang lebih tinggi. Namun, mengingat pertanyaan penelitian kedua, penelitian ini tidak dapat menarik kesimpulan yang jelas karena hanya sistem satu langkah GMM memberikan hasil yang signifikan secara statistik. Selain itu, dari sistem satu langkah GMM, makalah ini menemukan sedikit bukti bahwa ketidaksetaraan di kelas bawah dan kelas atas memberikan efek positif pada pertumbuhan ekonomi. Anehnya tingkat ketidaksetaraan yang lebih tinggi di kelas-kelas itu mengarah ke pertumbuhan yang lebih tinggi.


ABSTRACT

This study focuses on the relationship between income inequality and economic growth in Indonesia. An increasing level of income inequality in Indonesia reached the highest level during the decentralization era and suspected to be caused of the slowdown of the economic growth especially in the last five years to 2015. This is the reason why the Indonesian Government issued the Economic Equity Policy in 2017 and sets a target of the Gini coefficient at 0.36 compared to the current level of 0.41. Therefore, this study investigates whether increasing inequality had a positive or negative impact on economic growth in Indonesia.

Using dynamic panel data of 33 provinces in Indonesia covering the period from 2005 to 2015, this study employs the Gini coefficient and calculates other measurements (mean log deviation and Theil index) as the proxy of income inequality. The method used is Arellano-Bond estimator and the expanded version of it known as system GMM. This paper has two research questions, first, whether increasing inequality had a negative impact on economic growth in Indonesia, and second, whether the inequality in different classes of the population (bottom, middle, and top class) has a different effect on economic growth. The data used in this paper is conducted from several sources such as the Statistical Yearbook of Indonesia, Human Development Index Report, and raw data of Susenas (National Socioeconomic Survey) which is published by BPS (Badan Pusat Statistik or Statistics Indonesia).

Both difference and system GMM concluded that there is a significant and positive relationship between general income inequality and economic growth. In other words, increasing inequality does not hamper economic growth, in fact, it leads to higher growth. However, considering the second research question, this study cannot draw a clear conclusion since only one-step system GMM gives a statistically significant result. Moreover, from the one-step system GMM, this paper finds little evidence that inequality in the bottom and top classes give a positive effect on economic growth. Surprisingly the higher level of inequality in those classes lead to higher growth.


INEQUALITY AND ECONOMIC GROWTH IN INDONESIA IN THE 2000’S

A. Background

The Indonesian government began to demonstrate the seriousness of reducing inequality by launching the Economic Equity Policy in April 2017 (Tempo, 2017). In addition, they identified inequality as an obstacle to sustainable growth and the government set a target in the current Medium Term Development Plan (RPJMN 2015–2019) for reducing the Gini coefficient, down from 0.41 to 0.36 by the year 2019. Moreover, in the Long Term Development Plan, the target of GDP per capita for 2025 is more than $12,000, and Indonesia plans to escape from the middle-income trap by 2030 (Tuwo, 2014). The World Bank in their report further argued that the key to escape the middle-income trap is to address economic growth and tackle inequality (The World Bank, 2014).

Indonesia is currently categorized as a lower middle-income country (those with a GNI per capita between $1,026 and $4,035) by the World Bank with a GNI per capita of $3,707 in 2015. Almost 72 years since independence, Indonesia still struggles to achieve the objective of the country, as stated in the Preamble of the 1945 Constitution of Republic of Indonesia: “to protect the entire Indonesian nation and the entire Indonesian native land, and in order to advance general welfare, to develop the intellectual life of the nation, and to partake in implementing world order based upon independence, eternal peace and social justice” (Setneg, 2017, p.1). This paper focuses on the stated objective “to advance general welfare” as the dream of Indonesia to eliminate extreme poverty and for everyone to have the same opportunity to enjoy shared prosperity from growth.

The era of 2000‟s is known as the beginning of the decentralization2 era when the local government had more authority to issue the policy in order to improve economic performance and achieve equality among people in each region. Economic performance and equality became two important aspects highlighted in the decentralization era and remain an interesting topic for economists. Unfortunately, it seems decentralization is still not on the right track since data shows Indonesia tends to have increasing inequality while economic growth is modest or has even tended to slow down in the last five years.

Inequality which is measured by the Gini coefficient reached its highest level ever in the era of decentralization in 2011 with 0.41 and then plateaued for five years until 2015. Meanwhile, economic growth after the decentralization era is slower than before decentralization. Economic growth fell in the five years to 2015 while the level


of inequality remains flat. This fact raises a new concern; does income inequality hurt economic growth in Indonesia?

According to the World Bank, there are four main causes of the rising inequality in Indonesia (2016). First, “inequality of opportunity”; inequality because the starting condition is outside an individual‟s control. In this case, children from the poor families have an unfair start in life that leads to less opportunity in their future. Second, “inequality in labor market”; when low-skilled workers are not as fortunate as high-skilled workers that receive increasing wages then they are stuck in their jobs (low-productivity or low-wage informal jobs) without having a promising career path. Third, “inequality in assets”; only a minority or the elite benefit from the ownership of financial assets. Last, “Unequal resilience to shocks”; when facing shocks, the poor and vulnerable suffer the impacts more, shocks cut their incomes and their investment in health and education.

Although the average rate of 5.4% of economic growth after decentralization succeeded to halve poverty from 24% in 1998 to 11% in 2014, it seems failed to equalize. A report by the World Bank in 2016 showed that average annual growth in household consumption grew faster for the richest households than the poorest ones, so that the gap became wider and wider between the rich and the poor. Consequently, there is a concern that the slowdown in economic growth is caused by increasing income inequality, and this has an effect on poverty reduction.

Since general inequality can be decomposed into within class and between class inequalities, it allows this study to analyze whether inequality within (bottom, middle and top) and between classes have different effects on economic growth. This is important from a policy perspective. By analyzing inequality in each class of population, policy makers can focus more on the class that significantly impacts economic growth. For example, a study conducted by Voitchovsky (2005) concluded that inequality in the bottom class is negatively related to growth, contrasted with inequality in the top class that is positively associated with growth. From her result, it seems better to allocate all the resources for reducing inequality in the bottom class, since reducing inequality in this class leads to higher growth.

To investigate the relationship of income inequality on growth, this study develops a province level analysis by using dynamic panel data of 33 provinces covering the era of decentralization 2005–2015 and raises the following two questions. First, does increasing inequality hamper economic growth in Indonesia? Second, does the inequality in different classes of the population (bottom, middle, and top class) has the different effects on economic growth?


The contribution of this study is, firstly it focuses on the era of decentralization in Indonesia. Secondly, this study examines not only the general inequality (using Gini coefficient), but also inequality within and between classes by calculating another measurement as a proxy of income inequality, viz. Generalized Entropy index (GE(0) = mean log deviation, and GE(1) = Theil index). The last point, this study adds two controlling variables to capture the era of decentralization, corruption4 and local government expenditure. It is rather difficult to find corruption data in Indonesia, so this study uses the local government‟s audit reports as a proxy of corruption. The assumption is that the region with bad reports tends to have unclear financial statements or unaccountable reports. Corruption is a big problem in Indonesia, which cannot be separated from the decentralization era. Currently, the local government has more authority to set their own budgets (local government expenditure) compare to the before decentralization era. This budgeting power might be abused by local government.


The main objective of this study is to examine whether increasing income inequality hampers the economic growth in Indonesia during the decentralization era. Thus, the growth regression is used as the model. To cover the endogeneity and reverse causality problems that commonly appeared in inequality and growth relationship, dynamic panel data is used following previous studies such as proposed by Caselli et al., 1996; Li and Zou, 1998; Forbes, 2000; Bond et al., 2001; Voichovsky, 2005; Setiyowati, 2013.

This study uses provincial data of 33 provinces (from total 34 provinces in Indonesia) during the period of time 2005 to 2015. The starting year 2005 is chosen because the two Basic Laws9 as the Basic rules of Decentralization is improved in 2004 so the implementation of decentralization era can be investigated from 2005. The secondary data is gathered from several sources such as the Statistical Yearbook of Indonesia, Human Development Index Report, and raw data of Susenas (National Socioeconomic Survey) which is published by BPS (Badan Pusat Statistik or Statistics Indonesia).


1. General Inequality

By using the Gini coefficient as the income inequality measurement, this part analyzes the effect of general inequality on economic growth. The Gini variable is treated as endogenous variable and the lagged dependent variable is treated as a pre-determined variable, so those two variables are instrumented using the second lagged of its own variable.


In general, the dynamic panel results satisfy the specification test, except for model 1 which applied one-step difference GMM using one period lagged dependent variable as a regressor. Model 1 shows that the error is serially correlated since the hypothesis that ∆ is AR(2) cannot be rejected (using 10% of significance level). Moreover, this study uses robust standard error, so Hansen test is used instead of Sargan test. Hansen test results indicate that the instruments are not correlated with the error for all models. The hypothesis of Hansen test that the errors are not correlated with all exogenous variables cannot be rejected.

A longer lagged can be applied if the assumption in the specification test is rejected. Hence, this study adds more lagged of dependent variables as regressors and the results are presented in column (2). The two-step difference result is presented in column (3) while the one-step and two-step system GMM results are provided in columns 4 and 5 respectively. The use of system GMM estimator increases the number of observations from 201 to 247 and the number of instruments from 24 to 40.

In general, either using difference or system GMM, the beta coefficient of Gini variable shows a statistically positive and significant effect using 5% of significance level. Both estimators show a consistent result. The positive sign indicates that increasing inequality leads to higher growth in Indonesia. Related to the first research question of this study, it can be concluded that increasing income inequality in the era of 2000‟s does not hamper economic growth in Indonesia, interestingly, it leads to higher growth. The result contrasts with the statement of the Indonesian government and the World Bank which believes tackling inequality will increase growth, but it is in line with the study conducted by Setiyowati (2013) which concluded the same result, a positive effect of income inequality on economic growth. In addition, the result contradicts Barro‟s (2000) findings that the positive relationship was associated with the high-income countries since Indonesia is categorized as a low middle-income country.

There are some possible explanations for the positive relationship between general inequality and economic growth in Indonesia. The first reason is in line with the mechanism stated by Saint-Paul and Verdier (1993) that was explained in the second chapter of this paper. Indonesia, as a democratic society, allocates at least 20% of its national budget to the education10 sector. This allocation has a good impact on human capital and leads to higher economic growth. The second possible explanation is the existence of Kuznets hypothesis in Indonesia in this era. Although this study did not check directly the U-shaped Kuznets hypothesis,


Utari & Christina in 2015 showed this phenomenon in their study. They found the existence of the Kuznets hypothesis, so they concluded that in the Indonesian development process, the increasing of economic growth is accompanied by the high level of income inequality. Therefore, at first inequality increases but after reaching a certain level of income per capita (they mentioned for US$17,000/year) inequality will decline.

2. Inequality Within and Between Classes

Literature reviews suggest that inequality can both boost and hamper growth. The mechanism seems complex so this study tries to separate the inequality in different class of the population in order to examine which class has a significant effect on economic growth. Moreover, it seems a single inequality measurement is insufficient to capture the effects of inequality on growth (Voitchovsky, 2005) so this study not only uses the Gini coefficient, but also mean log deviation and Theil index. Comparing with the Gini coefficient, those two other measurements have advantages in decomposing the general inequality both within and between classes.

In general, there is a similar result for both specification tests. Both mean log deviation and Theil index show that model 1 (one step difference GMM with one lagged dependent variable as a regressor) excluded from the analysis since it violates one of the specification tests. Models 2 to 5 pass the specification test. The AR test results show that the error is not serially correlated (the hypothesis that ∆ does not have AR(1) can be rejected and the hypothesis that ∆ is AR(2) cannot be rejected). Moreover, the Hansen test results present that the instruments are not correlated with the error. The hypothesis of Hansen test that the errors are not correlated with all exogenous variables cannot be rejected. There is a significant increase in the number of instruments in this study from 48 to 89 if system GMM estimator is applied.

Overall, only one model that has a significant effect of income inequality on economic growth viz., one-step system GMM. Related to the second question of this research, this study cannot conclude the clear conclusion about the effect of inequality in different class of population. It is because of only model 4 (one-step system GMM) that gives statistically significant results for inequality variables. Model 4 generates the positive effect of income inequality on economic growth for the bottom and top classes if using mean log deviation as an income measurement while the positive effect only found in the top class if Theil index applied. The positive


effect in the bottom class in this study contrasts with Voitchovsky‟s findings. It seems there is little evidence that the increasing inequality in the bottom and top classes give a good effect on economic growth. However, the middle class does not provide any significant effect in this study, similar with between classes.

Furthermore, using system GMM is usually expected to increase the efficiency (giving smaller standards errors) compared to the difference GMM and two-step GMM is also more efficient than one-step GMM, however in this study the two-step system GMM does not improve efficiency since the smallest standard error is obtained by one-step system GMM. Therefore, the effects of inequality on growth within each class are not clear.

D. Conclusion

The nexus of inequality and economic growth has been studied by many academics for the last three decades and remain interesting to debate due to the variation of the result. However, the study related to this topic still limited in Indonesia. It is important to investigate the effect of income inequality on economic growth, especially in Indonesia that experiences a high level of income inequality. Moreover, the high level of inequality is suspected as the cause of the slowdown of the economic growth. The objective of this study is to examine whether increasing inequality had a positive or negative impact on economic growth in Indonesia.

This study uses dynamic panel data for 33 provinces covering the period of 2005–2015 and applies difference and system GMM estimator. This paper focuses on two research questions; first, whether increasing inequality hampers economic growth in Indonesia and second, whether the inequality in different classes of the population (bottom, middle, and top class) has different effects on economic growth. This study contributes by expanding the literature on the inequality-growth topic especially in Indonesia by investigating not only the general inequality, but also inequality within class and between classes. This study calculates more than one inequality measurement to analyze the effect of inequality on economic growth i.e. mean log deviation and Theil index.

According to the result, there is an evidence of a positive relationship between general income inequality and economic growth in Indonesia during the period 2005–2015. It is concluded that increasing inequality does not hamper economic growth, but in fact, it leads to higher growth. The result is similar to the previous study conducted by Setiyowati (2013). Considering the second research question, this study cannot draw a clear conclusion about the effect of inequality within class on economic growth since


only one model (one-step system GMM) gives statistically significant results. Moreover, from the one-step system GMM, this paper finds a little evidence that inequality in the bottom and top classes show a positive and significant effect on economic growth.

Regarding the positive result of this study, it does not necessarily imply that Indonesia government should increase inequality to achieve higher growth, but it should encourage the policy makers to learn and understand more about the true mechanism between inequality and growth. From the results, if the government wants to increase economic growth, we suggest that they better to focus more on the other factors which have a negative impact on economic growth such as poverty and crime. However, if government believes that the inequality problem is urgent to be solved, then they have to put aside economic growth agenda.

For future research, to get a better understanding, it would be useful to investigate the effect of income inequality on economic growth by using longer growth periods and using 5-year lagged periods between the initial level of income and current income as in some studies. In addition, it could be interesting to analyze the effect of district level or urban-rural level in order to get a more depth analysis.

PERAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (STUDI KASUS: KELOMPOK TANI MAKMUR ABADI DESA TULUNGREJO KEC. BUMIAJI KOTA BATU)

Nama : Dekky Fauzi

Instansi : Pemkot Batu

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri


Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Brawijaya


ABSTRAK

Misi awal Kelompok Tani Makmur Abadi (KTMA) adalah menjaga produktivitas pertanian apel. Seiring perkembangannya, kelompok ini mampu membangun modal sosial yang tinggi dan memaksimalkan potensi yang ada. Bahkan, Kelompok Tani Makmur Abadi (KTMA) ini telah sukses menggerakkan ekonomi sosial masyarakat sekitar dengan agrowisata petik apel.

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi peran modal sosial pada setiap komponen pembentuk (norma, kepercayaan, dan jaringan) yang memengaruhi eksistensi Kelompok Tani Makmur Abadi (KTMA) pada fungsi bonding, bridging, dan linking. Dengan menggunakan metode kualitatif fenomenologi, hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) komponen jaringan sosial diikat oleh kepercayaan yang digerakkan dan ditegakkan oleh norma; (2) bonding berperan mengikat kerja sama dan kepercayaan antarindividu dalam kelompok. Bonding juga terbukti mendasari fungsi bridging; (3) bridging berperan menghubungkan dan menjembatani kerja sama serta kepercayaan antarkelompok sehingga meningkatkan cakupan layanan, dan meningkatkan keuntungan; (4) linking berperan mengutamakan kepentingan kelompok dan memperluas akses sumber daya. Ketiga komponen dan fungsi bonding, bridging, dan linking merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam mencapai modal sosial yang tinggi.

Hadirnya nilai ketokohan pada berbagai unsur dan fungsi membantu eksistensi kelompok dalam menghadapi dinamika sosial ekonomi selama 15 tahun sehingga memudahkan konversi modal sosial menjadi benefit ekonomi.

Kata kunci: Modal Sosial, Bonding, Bridging, Linking, Pemberdayaan Masyarakat


ABSTRACT

The group's initial mission is to maintain the productivity of apple farming. As they progress, they are able to build high social capital and maximize their potential. The most important thing is that this group has succeed mobilized the social economy of the surrounding community with apple agrotourism.

The aim research is to identify the role of social capital in each component of form (norm, trust and network) that influence the existence of Makmur Abadi Farmer Group (KTMA) in bonding, bridging and linking function. By using qualitative methods of phenomenology, the results show that (1) the social network component is bound by trust driven and enforced by the norm. (2) bonding plays a role binding cooperation and trust between individuals within the group. bonding is also shown to underlie bridging function. (3) bridging plays a role to connect and bridge cooperation and trust between groups so as to increase service coverage, and increase profits. (4) linking plays a role in promoting group interests and expanding access to resources. The three components and functions are an integral integral in achieving high social capital.

The presence value of figureness in various elements and functions helps the existence of groups in the face of socio-economic dynamics for 15 years so as to facilitate the conversion of social capital into economic benefits.

Keywords: Social Capital, Bonding, Bridging, linking, Community Empowerment


PERAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (STUDI KASUS: KELOMPOK TANI MAKMUR

ABADI DESA TULUNGREJO KEC. BUMIAJI KOTA BATU)

A. Latar Belakang

Salah satu wilayah di Kota Batu yang masih menjaga konsistensi perkebunan/pertanian adalah desa Tulungrejo kec. Bumiaji. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Attar, 2013 dalam “Analisis Potensi dan Arahan Strategi Kebijakan Pengembangan Desa Ekowisata di Kecamatan Bumiaji – Kota Batu” yang termuat dalam Journal of Indonesian Tourism and Development Studies Vol.1, No.2, April 2013 Universitas Brawijaya Malang. Dalam analisisnya disebutkan bahwa desa Tulungrejo kec. Bumiaji mempunyai potensi pengembangan agrowisata paling baik dibanding dengan wilayah desa yang lain jika dilihat dari potensi alam dan karakteristik penduduknya. Masyarakatnya yang sebagian besar bermata pencaharian petani telah memanfaatkan perkebunan apel yang telah turun-temurun dikelola menjadi salah satu paket wisata pertanian (agrowisata), yaitu “Wisata Petik Apel”. Paket wisata ini telah menarik kunjungan wisatawan dan dapat diandalkan dalam meningkatkan kesejahteraan.

Pada tahun 2002, untuk menunjang pengelolaan (kelembagaan) yang baik, beberapa petani membentuk Kelompok Tani Makmur Abadi (KTMA) yang masih berdiri sampai saat ini. Dengan melihat produk paket wisata Petik Apel dan beberapa paket wisata lain, menurut penulis, kelompok ini mampu melihat potensi pertaniannya dengan jeli hingga dapat bersinergi dengan perkembangan pariwisata yang ada.

Harapan sekaligus tujuan kelompok ini adalah meningkatkan produktivitas apel, koordinasi pengelolaan, dan distribusinya, serta mempermudah kerja sama dalam membangun jaringan. Jaringan kerja sama yang luas memungkinkan peningkatan distribusi barang dan jasa yang dihasilkan sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat. Dari tujuan dibentuknya kelompok ini, dapat penulis simpulkan bahwa harapan utama pemrakarsa kelompok ini adalah agar generasi muda mereka tidak mudah meninggalkan sektor pertanian yang merupakan warisan nenek moyang.

Melihat perjalanan aktivitas kelompok ini sejak berdiri tahun 2002 sampai saat ini yang berhasil meningkatkan kunjungan wisatawan, penulis berpendapat kelompok ini mampu memanfaatkan potensi yang ada, menjalin komunikasi dan interaksi kerja sama yang baik, terutama dalam membangun jaringan pemasaran dan hubungan interaksi kerja sama. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan identifikasi peran modal sosial yang terjadi, baik interaksi antaranggota kelompok, kelompok dan pihak luar, atau antara kelompok dan pemerintah desa setempat sebagai stakeholder pemerintah


sehingga mampu menjadi modal sosial. Secara tidak langsung penelitian ini akan mengungkap peran pemerintah desa dalam mendukung aktivitas kelompok KTMA. Hal ini karena tanpa dukungan pemerintah desa yang merupakan institusi pemerintah terdekat dengan masyarakat yang turut serta mendorong partisipasi dan menjembatani segala kepentingan kelompok, eksistensi KTMA yang telah berjalan 15 tahun mustahil dapat terwujud.

Secara lebih spesifik, peran modal sosial dalam tesis ini akan dijabarkan melalui unsur komponen (norma, kepercayaan, dan jaringan sosial) dan fungsinya (bonding, bridging, dan linking). Adapun modal sosial bonding yang mengungkap pola interaksi antarindividu atau interaksi dalam satu komunitas dengan homogenitas karakter (dalam tubuh KTMA). Bridging yang mengungkap pola interaksi antara individu atau kelompok dan heterogenitas karakter (kelompok KTMA dengan pelaku usaha sekitar), sedangkan linking hubungan interaksi antara KTMA dan pemerintah desa (hubungan vertikal).

Rohima (2013) dalam penelitiannya di Kecamatan Alang-Alang Lebar Kota Palembang, menemukan bahwa kemiskinan masyarakat dapat dipangkas dengan pemberdayaan diri dan modal sosial. Beberapa nilai yang ditemukan adalah nilai menutup dan membuka diri terhadap munculnya pendatang dari luar daerah. Menutup diri merupakan sikap kehati-hatian yang terlalu kuat yang menyebabkan terhambatnya arus informasi dan kemajuan yang dibawa oleh pendatang (fungsi bonding) Demikian pula, dengan sikap membuka diri. Kedua hal tersebut diatasi oleh nilai kegotongroyongan (misalnya saling membahu dalam penyelesaian fasilitas publik dan kebersihan lingkungan), sehingga para pendatang dan masyarakat mampu membaur, membangun nilai kebersamaan, dan memunculkan nilai kepercayaan. Nilai toleransi juga memberikan rasa empati (terbangun dari rasa senasib sepenanggungan) dan simpati sehingga menimbulkan nilai kebersamaan.

Selain itu, ditemukan juga nilai ketetanggaan dan kepekaan lingkungan, seperti membantu tetangga yang sedang dalam kesusahaan sehingga menimbulkan kepedulian dan ikatan sosial yang kuat. Selanjutnya, ada juga nilai pertemanan untuk menjaga usaha, misalnya munculnya sikap saling menjaga usaha teman sekitar ketika ada keperluan, saling menjaga kejujuran barang yang terjual. Ada pula, nilai kekerabatan sebagai sumber modal usaha. Nilai kekerabatan dalam keluarga ini muncul ketika ada kerabat yang mempunyai keterbatasan modal dan ada kerabat yang mampu memberikan modal.

Selaras dengan penelitian Rohima (2013), Bunga Hidayati (2016) yang meneliti modal sosial dalam interaksi pedagang dan bank thithil di pasar Blimbing Kota Malang juga menemukan beberapa hal yang sama dan turut memperkaya wawasan peneliti


tentang bentuk nilai modal sosial pada sektor formal dan informal dengan fungsi bonding, bridging, dan linking.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian yang telah dikemukakan di atas, fokus penelitian ini adalah peran modal sosial pada pemberdayaan masyarakat di desa wisata dengan studi kasus di desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Lokasi penelitian adalah desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu karena di desa tersebut terdapat Kelompok Tani Makmur Abadi (KTMA) yang berdiri sejak tahun 2002 dan telah sukses memanfaatkan potensi pariwisata pertanian dengan usaha agrowisata petik apel.

Dalam menjawab fokus tersebut, beberapa pertanyaan mendasar sekaligus sebagai bentuk rumusan permasalahan, yaitu:

1. Bagaimana peran modal sosial dalam pemberdayaan kelompok ini berdasarkan komponen norma, kepercayaan, dan jaringan sosial?

2. Bagaimana peran modal sosial di dalam kelompok ini berdasarkan fungsi bonding?

3. Bagaimana peran modal sosial kelompok ini dengan pelaku usaha wisata sekitar (fungsi bridging)?

4. Bagaimana peran modal sosial kelompok ini dengan pemerintah desa selaku stakeholder pemerintah (fungsi linking)?

Untuk mendapatkan jawaban secara lengkap, penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Hal ini karena penelitian ini bertujuan memahami kajian yang mendalam atas fenomena yang terjadi tentang hal-hal yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya pola interaksi tiap-tiap pelaku dalam lembaga dan antarpelaku di luar kelembagaan, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, Caranya adalah mendeskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah interpretif fenomenologi. Dengan menggunakan paradigma interpretif, peneliti dapat melihat fenomena dan menggali pengalaman dari objek penelitian. Pendekatan interpretif berangkat dari upaya mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti, dengan mengadopsi dari orientasi praktis.


C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Komponen Modal Sosial pada Kelompok Tani Makmur Abadi (KTMA)

a. NormaPada beberapa wawancara dengan komunitas kelompok ini, peneliti menemukan norma atau aturan bahwa setiap anggota harus berusaha menghidupi kelompok, bukannya mencari penghidupan dari kelompok. Ini artinya bahwa setiap anggota mempunyai kewajiban untuk berusaha agar kelompoknya dapat berkembang, tanpa melakukan perhitungan mengeluarkan sekian rupiah harus mendapatkan sekian rupiah. Ketika seorang anggota melakukan hal tersebut, secara tidak langsung kelompoknya dapat terus berkembang dan terus berkarya sesuai dengan misi kelompok, yaitu memajukan petani.

Seiring dengan berkembangnya kelompok, kehidupan setiap anggota pun ikut berkembang, terutama dalam pemanfaatan hasil pertanian. Pelayanan terbaik kepada pelanggan harus tetap diutamakan dalam proses berbisnis. Sekecil dan seremeh apa pun, keinginan dan keluhan pelanggan harus mendapatkan perhatian produsen untuk mempertahankan citra dan reputasinya. Dengan demikian, pelanggan merasa puas dan nyaman dengan pelayanan yang diberikan oleh produsen, dan kemungkinan kerja sama tetap dapat dilanjutkan di kemudian hari. Sebagai imbalannya, produsen mendapatkan konsumen tetap yang dapat menunjang keberlanjutan usahanya di kemudian hari.

Berdasarkan gambaran tersenut, norma yang tercipta tidak lahir prematur dari hubungan atau interaksi sekejab saja, tetapi didukung oleh proses interaksi yang berulang-ulang dan menciptakan kesepahaman untuk mengambil sikap penting dalam menjalankan kewajiban dan meraih hak. Kesepahaman dan komitmen untuk melaksanakan aturan yang ada turut pula membentuk dan memengaruhi tingkat kepercayaan.

Seperti halnya dalam kehidupan pedesaan yang masih memegang erat budaya gotong royong, anggota kelompok ini juga turut berpartisipasi dalam kegiatan petani yang bersifat kebersamaan. Gotong royong mampu meningkatkan rasa kebersamaan dan rasa bertanggung jawab terhadap anggota masyarakat. Pemberdayaan juga harus memahami norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Apabila dilakukan dan dipahami secara maksimal, hal ini akan memberikan arti positif bagi sebagai individu dan anggota masyarakat (Rohima, 2013).


Dalam konteks komunitas, aturan main merupakan seperangkat aturan atau kesepakatan bersama dalam masyarakat. Bentuk aturan ini bisa formal dengan sanksi yang jelas seperti peraturan. Namun, ada juga sanksi nonformal yang akan diberikan masyarakat kepada anggota masyarakatnya, berupa pengucilan, rasa tidak hormat bahkan dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan komunitasnya. Ini menimbulkan ketakutan dari setiap anggota masyarakat yang tidak melaksanakan bagian dari tanggung jawabnya (Kahne dan Bailey, 1999).

Diawali dari adanya usaha perkreditan pupuk dan obat pertanian yang pembayarannya dilakukan setelah panen, dari hasil wawancara, ditemukan beberapa anggota yang masih menunggak pengembalian dana kelompok. Walaupun waktu yang ditentukan telah lama berlalu, bahkan bertahun tahun belum melakukan pembayaran.

Banyak anggota yang hanya mencari keuntungan tanpa memberikan kontribusi nyata bagi kelompok (perilaku opportunistik), mengharap keuntungan dan bantuan (free rider), yang ternyata tak kunjung turun akhirnya keluar dengan sendirinya. Begitu bantuan yang diharapkan turunm seketika itu juga karena melihat tendensi yang kurang baik, pemrakarsa merasa perlu untuk menolak anggota yang terlanjur keluar untuk masuk lagi.

Perilaku oportunistis adalah upaya mendapatkan keuntungan melalui praktik yang tidak jujur dalam kegiatan transaksi (Williamson dalam Yustika, 2006). Adapun free rider menurut Hymann (2010) adalah “a person who seeks to enjoy the benefits of a public good without contributing anything to the cost of financing the amount made available”. Secara singkat, artinya adalah penunggang bebas, dalam bahasa yang lebih sederhana kita kenal adalah orang yang cuma “santai-santai” tanpa memberikan kontribusi dalam kelompok, seperti anggota kelompok lainnya yang telah bekerja keras.

b. Kepercayaan (Trust)Sesuai dengan kesepakatan awal pendirian kelompok ini, dalam rangka menjunjung tinggi asas keadilan dan menghindari konflik antaranggota, hal yang dianggap paling rawan adalah masalah pembagian keuntungan. Oleh karena itu, atas kesadaran semua anggota disepakati bahwa pembagian keuntungan kelompok didasarkan pada besarnya kontribusi ke kelompok yang akan dibagikan setiap akhir tahun seperti layaknya pembagian shu pada koperasi. Kesepakatan ini dituangkan dalam AD ART kelompok tani makmur


abadi dalam Pasal 19, yaitu: 20% untuk penambahan modal, 20% untuk biaya organisasi, 40% (empat puluh persen) untuk shu anggota, dan 20% untuk insentif pengurus.

Peneliti menemukan sikap rela berkorban (altruisme) dari salah satu anggota atau lebih tepatnya sikap pengurus kelompok demi keberlangsungan kelompok. Menurut David O Sears dalam Fuad (2008), altruisme adalah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan, kecuali telah memberikan kebaikan. Islamy (2004) menyatakan “pembangunan dapat dilihat sebagai: (1) jendela mental (mental window), yaitu membuka isi hati rakyat untuk secara sadar dan tulus terlibat dalam proses pembangunan; (2) tindakan keterlibatan yang real, aktif dan kreatif masyarakat diiringi oleh potensi keahlian, kemampuan dan pengetahuan dan kesediaan berkorban untuk turut serta memecahkan masalah di dalam masyarakat sendiri. Masyarakat diharapkan berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan dilihat sebagai shared authority di antara para stakeholders pembangunan yang prosesnya tidak didominasi oleh satu pihak saja (misal pemerintah), tetapi merupakan usaha bersama yang didasarkan pada nilai bersama (shared values), visi bersama (shared vision), dan misi bersama (shared mission).

Tindakan semacam ini sangat diperlukan dan menguntungkan bagi eksistensi kelompok. Nilai kebaikan saat seorang anggota melakukan hal tersebut maka secara tidak langsung kelompok dapat terus berkembang dan terus berkarya mencapai visi misi kelompok.

Kelompok Tani makmur Abadi (KTMA) yang berdiri pada tahun 2002 awalnya merupakan kelompok tani biasa yang misi awalnya adalah pelestarian tanaman apel. Namun, seiring perkembangan Kota batu sejak era walikota Batu Eddy Rumpoko yang mencanangkan Kota batu sebagai Kota pariwisata pada tahun 2007, dan seiring tingkat kunjungan wisatawan yang semakin meningkat, kelompok ini mempunyai inisiatif untuk mengelola penjualan buah apel melalui usaha petik apel. Melihat jumlah kunjungan wisatawan ke agrowisata/petik apel hasil pengelolaan KTMA yang luar biasa hingga pada tahun 2016 mencapai angka 50.000 wisatawan, sekitar tahun 2013, banyak investor, baik di dalam maupun di luar desa Tulungrejo ikut mencari keuntungan. Kondisi produktivitas yang semakin menurun mengakibatkan pemilik kebun memilih menjual langsung kepada penebas apel. Dengan demikian, penebas secara leluasa dapat memilih kebun mana yang diperkirakan dapat menghasilkan keuntungan. Harga tebasan apel


dihitung berdasarkan perkiraan harga hasil panen. Dihitung secara kasar pun, apabila penebas menghargai apel Rp8.000,-/kg–Rp10.000,-/kg, keuntungan petani apel masih besar apabila dijual Rp15.000,-/kg. Caranya adalah penebas berusaha untuk dapat menggaet wisatawan. Kondisi usaha petik apel di desa Tulungrejo sangat di kenal d iluar daerah, khususnya di antara agen biro perjalanan, sehingga memudahkan promosi usaha ini.

c. Jaringan Sosial (Network)Pengamatan dan analisis di lapangan terhadap kelompok KTMA ini membuktikan bahwa kekuatan terbesar yang ada dalam kelompok dalam membangun jaringan terletak pada ikatan kepercayaan atas pengemasan potensi sumber daya alam yang dimiliki. Adapun norma yang berwujud nilai dan sikap berperan sebagai penahan dan penggerak ikatan tersebut.

Menurut Hidayati (2016) dalam penelitiannya mengenai eksistensi bank thithil dan pedagang di pasar blimbing kota malang, suatu jaringan akan diikat oleh kepercayaan dan dipertahankan oleh norma. Suatu jaringan akan melahirkan keterlekatan dan keterlekatan tersebut akan memberikan informasi. Dari informasi tersebut, lahirlah suatu inovasi.

Suatu Jaringan akan diikat oleh kepercayaan melalui simbol, pihak perantara, serta pihak ketiga. Jaringan yang sudah diikat oleh kepercayaan tersebut akan digerakkan oleh norma melalui aturan, negosiasi, nilai, dan fleksibilitas. Selanjutnya, norma tersebut akan mempertahankan jaringan yang terbentuk. Dengan demikian, unsur dari modal sosial tersebut tidak dapat berdiri sendiri, melainkan terdapat hubungan saling keterkaitan antara unsur satu dan unsur lain. Ketika ketiga unsur tersebut dijalankan, kerja sama melalui pola interaksi akan terus berlangsung.

Bentuk produk utama kelompok, yaitu perkebunan apel yang dikemas sedemikian rupa dapat menarik kepercayaan kunjungan wisatawan. Hal ini bisa berwujud wisatawan secara langsung maupun melalui perantara pihak lain, seperti biro perjalanan dan kepercayaan pemerintah kota atau asosiasi lainnya. Mereka menyadari bahwa sebuah objek wisata mempunyai keuntungan, yaitu para penikmat dalam hal ini wisatawan yang mendatangi produk mereka. Sebagai konsekuensi visi misi kepala daerah terpilih, banyak investor yang membangun objek wisata buatan. Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan di Kota batu secara sadar menimbulkan pemikiran tentang cara yang dapat dilakukan kelompok KTMA untuk memanfaatkan hal tersebut dengan menggunakan dasar potensi yang mereka miliki.


2. Fungsi Modal Sosial pada Kelompok Tani Makmur Abadi (KTMA)

a. BondingSecara mendasar, interaksi yang menjadi modal sosial bonding terbangun atas keinginan para petani apel, terutama pemilik lahan (sebagai aktor/individu) untuk melestarikan pertanian apel dan menjaga produktivitas mereka untuk meningkatkan kesejahteraan. Berbagai usaha telah dilakukan para petani. Salah satunya adalah mengikuti sekolah lapang. Sekolah lapang ini membuka wawasan dan membangun kepercayaan diri para petani apel bahwa kualitaspertanian apel masih dapat diperbaiki. Seperti diketahui bahwa produktivitas apel menurun karena berbagai kondisi, terutama tingkat kejenuhan tanah dan tibanya regenerasi pohon.

Kelompok KTMA yang merupakan salah satu kelompok pelopor pelestari apel di Kota Batu dipandang peneliti telah berhasil menerapkan sisi profesionalisme dalam berusaha dan mengatasi permasalahan dengan musyawarah mufakat sehingga terbangun saling kerja sama dan saling percaya antaranggota. Kondisi tersebut diperkuat oleh nilai dan sikap untuk saling berbagi, sikap mengutamakan kepentingan kelompok, rela berkorban, dan adanya tokoh masyarakat yang membantu mengoordinasikan berbagai kepentingan yang mustahil dilakukan tanpa kehadiran mereka.

Walaupun dalam perjalanannya, banyak dinamika dalam kelompok seperti adanya anggota yang tidak kunjung mengembalikan pinjaman dan keluarnya sebagian besar anggota karena selalu mementingkan kepentingan pribadi, eksistensi kelompok tetap terjaga dengan prinsip-prinsip kelompok yang telah disepakati bersama sejak 15 tahun kelompok ini berdiri.

b. BridgingPola interaksi antara Kelompok Tani Makmur Abadi (KTMA) dan beberapa pihak terjadi karena adanya bridging. Seperti telah diulas pada bab sebelumnya, bridging berfungsi sebagai jembatan hubungan antaraktor/individu di luar kelompok KTMA atau antara komunitas KTMA dan komunitas lain.

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan, peneliti dapat mengidentifikasi pola hubungan antara kelompok KTMA dan komunitas lain, seperti biro perjalanan/agen travel dan komunitas angkutan desa/mikrolet. Atas usaha yang dilakukan KTMA, seperti track record pembayaran, pelayanan yang baik, dan kualitas pemenuhan kebutuhan wisatawan, KTMA terbukti dapat membangun reputasi, kepercayaan, dan ekspektasi positif sehingga kerja sama yang terjadi dapat terjalin secara terus-menerus. Pola hubungan positif


teridentifikasi antara KTMA dan aktor individu, seperti pengusaha industri keripik, industri sari apel, dan objek wisata sekitar. Hal ini berarti antara KTMA dan para aktor individu tersebut tercipta hubungan yang saling mengisi, saling menguntungkan. Semakin besar interaksi yang terjadi, semakin besar pula keuntungan dari tiap aktor. Adapun pola hubungan negatif teridentifikasi antara KTMA dengan pelaku industri sejenis atau petik apel di luar kelompok KTMA yang dapat menimbulkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, bahkan cenderung saling menghancurkan. Hal ini dilakukan oleh pengusaha petik apel di luar KTMA. Namun, pola interaksi seperti ini justru semakin membesarkan kredibilitas petik apel KTMA karena wisatawan dan semua aktor yang terhubung dalam kegiatan usaha petik apel (pengusaha mikrolet, biro perjalanan) semakin terkumpul pada KTMA. Bahkan, sampai pada pemeo bahwa kalau petik apel, ya di KTMA.

c. LinkingDalam identifikasi terhadap fungsi linking social capital, peneliti mengidentifikasi adanya hubungan positif dan negatif. Interaksi positif terjadi antara kelompok KTMA dan pemerintah Kota Batu dan KTMA dengan organisasi wisata, seperti PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia). Secara mendalam, interaksi positif yang dimaksud adalah saling menginformasikan, membangun dan bekerja sama sehingga lahir resiprositas (timbal balik) saling menguntungkan walaupun dalam strata sosial yang berbeda. Kemampuan KTMA terbukti dalam hal membangun jaringan pada tingkat linking dengan pemerintah kota dan organisasi wisata dengan cara meningkatkan kualitas produk (apel), kualitas pelayanan, penggunaan bantuan yang tepat sasaran, serta komunikasi yang terjaga.

Interaksi negatif tercermin dalam penelitian antara KTMA dan pemerintah desa. Tidak adanya pembinaan terhadap kemajuan industri masyarakat dan kurang terlibatnya pemerintah desa dalam usaha sosial ekonomi kelompok masyarakat menimbulkan kesan seolah-olah ada pembiaran atas dinamika masyarakat yang terjadi. Dinamika yang dimaksud adalah munculnya penebas apel yang merusak kerukunan warga desa dan ketimpangan/kesenjangan kemajuan wilayah pada tiap dusun. Adanya perbedaan kemajuan tiap dusun dipengaruhi oleh perbedaan kapasitas SDM dan kondisi terdampak atas aktivitas objek wisata selekta.


D. Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan penelitian dan beberapa temuan yang diperoleh peneliti, ada beberapa hal yang dapat peneliti simpulkan.

1. Modal sosial yang timbul sebagai akibat pola interaksi para petani dalam lingkungan Kelompok Tani Makmur Abadi (KTMA) terbukti dapat memberikan dampak positif perekonomian bagi anggota dan masyarakat sekitar. Dalam perjalanan kelompok yang penuh dinamika, sejak berdiri hingga mencapai tingkat kemajuan saat ini, modal sosial berperan sangat penting dalam mendorong kemajuan komunitas. Sesuai dengan latar belakang berdirinya kelompok KTMA, modal sosial teridentifikasi berperan dalam melahirkan kesepakatan berkelompok.

2. Kesepakatan melahirkan kerja sama dan menghimpun jaringan dalam kelompok berdasarkan ikatan kepercayaan disandarkan dan digerakkan oleh norma sosial masyarakat yang berkembang di desa Tulungrejo.

3. Peran bonding (keterikatan) modal sosial ditunjukkan oleh adanya motivasi berkumpul berdasarkan kondisi kebutuhan, kesamaan profesi, dan latar belakang kekerabatan. Perilaku opportunistik yang dibuktikan dengan motivasi mengutamakan kepentingan pribadi teridentifikasi merugikan kelompok secara keseluruhan.

4. Pengembalian pinjaman yang tidak kunjung lunas dan persepsi yang salah dalam berkelompok menjadi kendala dalam menegakkan kesepakatan yang telah dibuat.

5. Jumlah anggota yang banyak (pernah mencapai 200 lebih) tidak selalu menguntungkan dalam hubungannya dengan konsep bonding social capital karena adanya perilaku semacam ini.

6. Peran modal sosial dalam kemajuan perekonomian kelompok terindentifikasi pada pola interaksi antaranggota dan di luar kelompok KTMA, yaitu KTMA dengan pengusaha, objek wisata sekitar, dan stakeholder terkait dalam semua fungsi modal sosial (bonding, bridging, dan linking).

7. Pola interaksi “jagongan” memunculkan transfer pengetahuan dan informasi dalam kelompok.

8. Kerja sama “usaha bareng” telah meningkatkan kualitas produk dan memutus rantai penjualan dengan harga yang meningkat (dari Rp6.000–8.000/kg menjadi 10.000 rupiah/kg), sedangkan inovasi paket usaha dan mitra usaha merupakan skema kerja sama jaringan sosial yang sangat menguntungkan karena dapat meningkatkan layanan dan loyalitas konsumen sehingga muncul kepercayaan “petik apel yo KTMA”.


9. Pemberdayaan masyarakat kelompok KTMA didorong dan diiringi peningkatan kapasitas anggota kelompok dalam menjalin hubungan dan kerja sama untuk membangun jaringan, seperti peningkatan kemampuan dalam pelayanan dan komunikasi. Kebutuhan dan misi peningkatan kesejahteraan kelompok dan dukungan inovasi pemaketan usaha bersama objek wisata sekitar menyebabkan kelompok ini semakin berkembang.

10. Dalam konsep bridging, dengan melakukan kerja sama yang bersifat resiprositas dan saling menguntungkan antar pihak seluas-luasnya, cakupan layanan menjadi semakin luas pula. Hal ini meningkatkan kepercayaan terhadap kelompok seiring dengan peningkatan jaringan.

11. Munculnya tindakan “melu-melu” dan saing harga oleh penebas apel lain teridentifikasi merugikan kerukunan masyarakat desa Tulungrejo secara umum.

12. Rendahnya kemampuan penebas apel (di luar KTMA) dalam menerapkan konsep modal sosial menyebabkan kelompok KTMA semakin eksis dan dipercaya. Apabila sebuah produk dikelilingi oleh produk yang lebih jelek mutu dan kualitasnya, dapat dipastikan semua pembeli (user) akan berkumpul pada produk tersebut. Hal ini diperkuat oleh reputasi KTMA dalam membangun kepercayaan dalam hubungannya dengan konsep bridging dan linking yang terbukti dari meningkat tajamnya jumlah kunjungan wisatawan di dalam cakupan layanan KTMA dalam beberapa tahun terakhir.

13. Dalam peran modal sosial linking, yang sangat disayangkan adalah pembiaran, yaitu hampir tidak ada pengawasan dan pembinaan atas menjamurnya usaha pemberdayaan masyarakat di desa Tulungrejo oleh pemerintah desa setempat. Dengan demikian, muncul “siapa yang berdiri dia yang memetik hasilnya”. Bagi kelompok komunitas yang memang didukung oleh sumber daya yang cukup, hal ini tidak akan menjadi masalah yang berarti. Akan tetapi, hal tersebut akan menjadi masalah bagi sebagian masyarakat yang tidak memiliki cukup kapasitas dan kemampuan SDM, seperti perbedaan yang ditunjukkan pengaruh selecta antara daerah atas (dusun wonorejo, gerdu, dan junggo) dan bawah (dusun gondang dan kekep). Hal ini dapat dihindari dengan kerja sama dan komunikasi efektif antaraktor yang dapat dijembatani oleh pemerintah desa.

14. Hal menarik yang ditemukan peneliti adalah hadirnya tokoh masyarakat yang mengawal perkembangan kelompok. Hadirnya nilai ketokohan, yaitu para tokoh masyarakat dalam kelompok terbukti dapat membantu kelompok dalam hal berikut:a. membantu mendorong lancarnya arus pertukaran informasi dan

pengetahuan dalam kelompok melalui “jagongan” dan bebas sewa kantor;b. mengontrol sikap kelompok dalam bentuk biarkan saja ketika petik apel

lain melakukan saing harga;


c. menanamkan pemahaman bahwa cara kerja kelompok harus dilakukan dengan jaga kualitas dan tamu adalah raja;

d. mengarahkan perluasan hubungan seperti dalam nilai menumbuhkan usaha sekitar; mitra usaha; paket kerja sama usaha; dan sama untung;

e. menjaga norma dan kepercayaan agar tetap berada “on the right track”, seperti nilai “gak itungan”; “usaha bareng”, dan tertib adminstrasi dalam kesepakatan kelompok.

f. mengutamakan kepentingan kelompok, seperti kemudahan lahan parkir dan menahulukan pembangunan jalan sebagaimana terungkap dalam pengaruh selecta.

15. Dengan adanya pengaruh ketokohan dalam semua fungsi modal sosial (bonding, bridging, dan linking) tersebut, kelompok KTMA dapat mengakses jaringan sosial dalam strata sosial yang lebih tinggi sehingga memperluas keuntungan dan akses sumber daya.

16. Walaupun dalam perjalanannya kelompok KTMA ini diwarnai oleh sifat opportunistic dan free rider oleh beberapa anggota, peran modal sosial dalam Kelompok Tani Makmur Abadi (KTMA) tergolong tinggi (high social capital). Seperti tercermin dalam subbab-subbab temuan penelitian yang menyatakan bahwa kelompok ini mempunyai sifat terbuka, partisipasi yang baik, patuh aturan, rela berkorban dan berbagi kebaikan, serta yang terpenting adalah kemampuan anggota dalam menjaga kesepakatan dan kerja sama baik dalam kelompok maupun luar kelompok. Artinya, kelompok KTMA telah mengonversikan modal sosial menjadi benefit ekonomi dalam unsur (norma, kepercayaan, dan jaringan sosial) dan fungsinya (bonding, bridging, dan linking) yang setiap bagiannya (unsur dan fungsi) saling bergantung dan menjalin hingga menciptakan peran modal sosial.

17. Sebaik apa pun produk yang dihasilkan, apabila masyarakat tidak mampu memasarkan, hal itu akan percuma.

18. Sebelum sebuah kelompok masyarakat melakukan usaha ekonomi, mereka harus melakukan ikatan dan kesepakatan sehingga tercipta kerja sama dan jaringan sosial berdasarkan kepercayaan yang bersandarkan norma kelompok. Apabila tidak mampu mengonversikan menjadi benefit ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan yang dilakukan tidak akan berhasil.

19. Hal terpenting dalam peningkatan ekonomi pemberdayaan masyarakat adalah cara kemampuan anggota/aktor kelompok pemberdayaan masyarakat tersebut dalam membina jaringan social, baik di dalam dan di luar kelompok diiringi peningkatan kapasitas, serta partisipasi anggota sesuai dengan konsep modal sosial yang didukung oleh nilai ketokohan yang dapat membantu eksistensi kelompok.


E. Saran

Pemerintah desa setempat dalam hal ini Pemerintah Desa Tulungrejo diharapkan aktif membina dan mendorong partisipatif dan peningkatan kapasitas masyarakat di semua dusun. Pemerintah desa Tulungrejo juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan sosial masyarakat melalui pendekatan humanis karena tidak ada lagi stakeholder pemerintah yang mampu dan mengenal situasi, kondisi sosial, dan akar budaya masyarakat setempat, selain pemerintah desa itu sendiri.

Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah mengajak urun rembug anggota dan pengurus KTMA agar kelebihan yang dimiliki KTMA dan cara mereka membangun jaringan sosial dan kepercayaan dapat ditularkan kepada kelompok pemberdayaan di desa Tulungrejo, sehingga kelompok lain dapat turut berkembang. Dengan demikian, segala bentuk pemberdayaan di desa Tulungrejo menjadi lebih efektif dan efisien.

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN BERDASARKAN STATUS INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DAN KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROVINSI JAWA TIMUR

Nama : Dewi Mayasari

Instansi : Badan Pusat Statistik

Tahun Intake : 2016






ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan: (1) mengetahui ada tidaknya perbedaan konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan status Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Jawa Timur; (2) menganalisis pengaruh variabel harga, pendapatan, dan sosiodemografi yang diproksi dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan utama kepala rumah tangga, tipologi wilayah, status kepemilikan rumah, dan status kemiskinan rumah tangga terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur; dan (3) menganalisis elastisitas konsumsi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder cross section yang berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) periode Maret tahun 2016 di Provinsi Jawa Timur. Data diambil dari 29.467 rumah tangga yang dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan status IPM daerahnya, yakni IPM rendah/sedang dan IPM tinggi/sangat tinggi. Teknik estimasi yang digunakan untuk menjawab apakah terdapat perbedaan konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan status IPM adalah uji beda rata-rata. Model permintaan Linear Approximation-Almost Ideal Demand System (LA/AIDS) digunakan untuk mempelajari fungsi konsumsi dengan menambahkan variabel sosiodemografi, hasil estimasi koefisien yang dihasilkan dari model LA/AIDS tersebut, sekaligus dapat menjawab tujuan penelitian kedua. Adapun tujuan penelitian ketiga dijawab dengan menggunakan konsep elastisitas yang dihitung dari koefisien penduga model LA/AIDS.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa konsumsi pangan pada daerah IPM rendah/sedang dan IPM tinggi/sangat tinggi berbeda secara signifikan, Pola konsumsi pada daerah IPM tinggi/sangat tinggi cenderung memiliki kesadaran gizi yang lebih baik. Variabel pendapatan, harga, dan variabel sosiodemografi secara umum memiliki andil yang besar dalam menentukan pola konsumsi pangan rumah tangga di Jawa Timur, baik pada daerah IPM tinggi/sangat tinggi maupun IPM rendah/sedang. Selanjutnya, semua kelompok komoditas pangan bersifat inelastis terhadap harga yang menunjukkan bahwa komoditas pangan merupakan kebutuhan pokok bagi penduduk di Jawa Timur. Berdasarkan nilai elastisitas silang, hubungan yang tercipta lebih banyak yang bersifat komplementer daripada substitusi. Adapun berdasarkan nilai elastisitas pendapatan, komoditas ikan/daging/telur/susu dan makanan jadi/rokok merupakan komoditas mewah, baik pada daerah IPM rendah/sedang maupun daerah IPM tinggi/sangat tinggi.

Kata Kunci: Pola Konsumsi, Sistem Permintaan, LA/AIDS, Elastisitas


ABSTRACT

The objectives of this study are (1) to identify differences in food consumption in household level based on Human Development Index (HDI) status in East Java, (2) to analyze the influence of price, income, and sociodemographic variables proxied from age, gender, education and main occupation of family head, regional typology, house ownership status, and household poverty level on household food consumption pattern in East Java, and (3) to analyze the elasticity of household food consumption pattern in East Java. This study uses secondary data, which are cross-sectional data from March 2016 Susenas (Social Economic National Survey) in East Java, involving 29,467 households. The households are divided into two HDI statuses: low/medium and high/very high. The estimation technique that is used two determine whether differences in household food consumption based on HDI status is comparing the means of independent groups. Linear Approximation- Almost Ideal Demand System (LA/AIDS) model was used to examine consumption function by adding sociodemographic variables. The result of coefficient estimation from the model answers the second research objective. The third objective was met using elasticity concept calculated from the model’s regression coefficient. The estimation results show that food consumption between low/medium HDI and high/very high HDI is significantly different. Households with high/very high HDI tend to have better nutritional awareness. Income, price, and sociodemographic variables, in general, have a great contribution in determining household food consumption in East Java, in both high/very high and low/medium HDI. Furthermore, all groups of food commodity are inelastic toward price, showing that food commodity is the primary need of people in East Java. Based on the cross elasticity value, the established relations are more complementary rather than substitutive. However, based on income elasticity value, fish, meat, egg, milk, ready-to-eat food, and cigarette are luxury goods in both HDI groups.

Keywords: Consumption Pattern, Demand System, La/Aids, Elasticity


ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN BERDASARKAN STATUS INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DAN KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL

EKONOMI DI PROVINSI JAWA TIMUR

A. Latar Belakang

Analisis pola konsumsi pangan pada penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Provinsi Jawa Timur, karena secara empiris Jawa Timur merupakan Provinsi yang diperhitungkan, bahkan termasuk salah satu provinsi yang memiliki peran dominan dalam menyokong aktivitas ekonomi nasional dan penyediaan pangan nasional. Namun, kondisi makroekonomi Jawa Timur yang relatif baik tersebut ternyata belum sepenuhnya mencerminkan kondisi pada tingkat mikro. Hal ini karena struktur konsumsi pangan di Jawa Timur secara persentase masih lebih tinggi daripada rata-rata secara nasional dan tingkat rawan pangan dan prevalensi balita pendek di Jawa Timur juga masih sangat tinggi. Selain itu, komoditas pangan memiliki andil terbesar dalam menyumbang inflasi di Jawa Timur.

Untuk memotret dinamika pola konsumsi pangan, penelitian terdahulu membandingkan pola konsumsi dengan menggunakan tipologi daerah berupa antarnegara, antarpulau, antara wilayah perdesaan dan perkotaan dan menggunakan kelas sosial seperti antar-kelas pendapatan, berdasarkan status kemiskinan dan antar-level pendidikan. Penelitian pola konsumsi berdasarkan status IPM antardaerah belum ada yang melakukan kajian. Apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, penggunaan indikator ini memiliki kelebihan karena konsumsi pangan memiliki keterkaitan yang erat dengan pembentukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

IPM merupakan salah satu indikator kesejahteraan manusia, yang dibentuk atas tiga dimensi dasar kebutuhan manusia yang meliputi: dimensi kesehatan, pendidikan, dan daya beli. Apabila dibandingkan dengan indikator PDRB per kapita, IPM merupakan indikator yang lebih kompleks karena tidak hanya melihat tingkat kesejahteraan manusia dari sisi ekonomi semata, tetapi juga memotret tingkat kesejahteraan manusia yang lebih komperehensif di suatu wilayah.

Daerah yang memiliki tingkat PDRB per kapita yang lebih tinggi daripada daerah lainnya belum tentu memiliki nilai IPM yang lebih unggul. Daerah dengan status IPM yang sama, mempunyai derajat kesehatan, pendidikan, dan ekonomi tidak jauh berbeda. IPM dengan penghitungan metode baru menggunakan rata-rata geometrik menggantikan rata-rata aritmatika pada penghitungan IPM metode lama. Implikasinya


memberikan perubahan yang bermanfaat dengan mengondisikan bahwa ketiga dimensi penyusun IPM tidak dapat disubstitusikan dengan sempurna (Todaro, 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa rumah tangga yang berada pada status IPM tinggi/sangat tinggi berada pada wilayah yang lebih tinggi tingkat kesejahteraannya dibandingkan rumah tangga yang berada pada daerah dengan status IPM rendah/sedang.

Mengacu pada batasan pengelompokan status IPM oleh BPS yang mengacu pada standar United Nation Development Programs (UNDP), 38 kabupaten/kota di Jawa Timur dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok utama, yaitu kelompok status IPM rendah/sedang (IPM < 70) sebanyak 21 Kabupaten dan kelompok status IPM tinggi/sangat tinggi (IPM ≥ 70) berjumlah 17 kabupaten/kota.

Hal berbeda lainnya dalam penelitian ini adalah menggabungkan secara simultan variabel ekonomi berupa harga dan pendapatan serta variabel sosiodemografi yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan utama kepala rumah tangga, tipologi wilayah, status kepemilikan rumah, dan status kemiskinan rumah tangga dalam menganalisis pola konsumsi pangan rumah tangga, yang pada penelitian terdahulu belum ada yang meneliti. Selain itu, penelitian ini menggunakan data Susenas tahun 2016 sehingga informasi yang didapatkan diharapkan lebih mewakili kondisi konsumsi pangan di Jawa Timur saat ini.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat dinyatakan bahwa pola konsumsi pangan rumah tangga bersifat dinamis dari waktu ke waktu. Banyak hal yang dapat memengaruhi pola konsumsi pangan rumah tangga, di antaranya faktor ekonomi, lingkungan budaya setempat, selera, kesadaran yang tinggi akan pangan dan gizi, serta gaya hidup. Kondisi tersebut turut berpengaruh dalam menentukan ketersediaan kuantitas pangan yang diperlukan dan strategi pendistribusiannya sehingga dapat diakses oleh masyarakat. Selain itu, komoditas pangan merupakan penyumbang terbesar dalam mendorong inflasi di Jawa Timur. Bahkan, dapat dikatakan bahwa konsumsi pangan memegang peranan yang krusial dalam memantapkan ketahanan pangan dan pengendalian inflasi daerah sehingga informasi tentang pola konsumsi rumah tangga mungkin dapat berkontribusi dalam merancang kebijakan publik yang lebih baik. Sebagai respons adanya perubahan harga dan pendapatan, penting untuk mengetahui dengan baik cara rumah tangga mengalokasikan dan mengubah pengeluarannya pada suatu barang. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mengambil judul Analisis Pola Konsumsi pangan berdasarkan Status Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Keterkaitannya dengan Karakteristik Sosial Ekonomi di Provinsi Jawa Timur.



Rumusan masalah penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:

1. Apakah ada perbedaan konsumsi pangan rumah tangga berdasarkan status Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Jawa Timur?

2. Bagaimana pengaruh variabel harga, pendapatan dan sosiodemografi yang diproksi dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan utama kepala rumah tangga, tipologi wilayah, status kepemilikan rumah, dan status kemiskinan rumah tangga memengaruhi pola konsumsi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur?

3. Bagaimana elastisitas konsumsi pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur?

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik analisis statistik deskriptif dan inferensial dengan menggunakan Linear Approximation-Almost Ideal Demand System (LA/AIDS) dan konsep elastisitas yang dikembangkan oleh Deaton dan Muelbauer (1980) dengan pendekatan data cross section. Penelitian ini mengambil wilayah penelitian di Provinsi Jawa Timur yang terbagi atas 38 Kabupaten/Kota, yaitu 29 Kabupaten dan 9 Kota. Periode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan tahun 2016.

Penelitian ini menggunakan data sekunder cross section yang berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret tahun 2016 di Provinsi Jawa Timur dari 29.467 rumah tangga. Untuk melakukan pengolahan data tersebut, alat bantu komputer (sofware) yang digunakan, yaitu STATA 13.


1. Pengaruh Pendapatan terhadap Pola Konsumsi

Pengeluaran pangan rumah tangga rata-rata memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan proporsi pengeluaran pangan rumah tangga di Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengaruh signifikan variabel pengeluaran pangan terhadap proporsi pengeluaran komoditas pangan pada level 1%. Pengeluaran pangan rumah tangga sering digunakan sebagai proksi dari besaran pendapatan rumah tangga karena diasumsikan nilai pengeluaran merefleksikan pendapatan rumah tangga. Jumlah pendapatan rumah tangga menggambarkan besarnya daya beli, sedangkan daya beli menggambarkan banyaknya barang dan jasa yang bisa dikonsumsi oleh suatu rumah tangga (Sumarwan, 2003). Dalam hal konsumsi pangan, rumah tangga yang tingkat pendapatannya tinggi memiliki peluang lebih besar dalam memilih konsumsi pangan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.


Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan memiliki hubungan yang krusial dalam perbaikan dan perubahan konsumsi pangan dalam rumah tangga.

Namun, apabila dilihat berdasarkan status IPM daerah, pengeluaran pangan pada kelompok komoditas ikan/daging/telur/susu dan sayur/buah-buahan pada daerah IPM rendah/sedang memiliki hubungan positif dan tidak signifikan. Kondisi ini karena rumah tangga di daerah IPM rendah/sedang mayoritas bertempat tinggal di perdesaan (64,08%) dan masih bergantung pada sektor pertanian (45,88%) sebagai sumber pendapatan utama rumah tangga. Pada umumnya, rumah tangga petani mengintegrasikan keputusan produksi dan konsumsi dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Oleh karena itu, ketika terjadi kenaikan harga atau pendapatan, konsumsi rumah tangga petani atas komoditas pangan tidak mengalami perubahan atau bahkan meningkat. (Wardhani 2017) dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa rumah tangga perdesaan masih bergantung pada hasil produksi sendiri dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Hal ini juga sejalan dengan temuan penelitian Sari (2016) bahwa pengeluaran pangan rumah tangga tidak berpengaruh terhadap proporsi pengeluaran kelompok komoditas sayur/buah-buahan di perdesaan.

Hubungan negatif yang lebih banyak tercipta antara pengeluaran pangan dan proporsi pengeluaran pada kelompok komoditas pangan menunjukkan respons rumah tangga di Jawa Timur yang akan mengurangi permintaan komoditas pangan tersebut apabila terjadi kenaikan pendapatan. Pola ini terlihat pada daerah IPM rendah/sedang, dan IPM tinggi/sangat. Hal ini mengindikasikan terjadinya pergeseran proporsi pengeluaran rumah tangga di Jawa Timur, yang mulai menggeser proporsi pengeluaran pangan dan mengalokasikan pengeluarannya untuk kebutuhan nonpangan.

Menurut teori Engel (1857), pengeluaran pangan rumah tangga meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan. Namun, pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi pangannya sudah mencapai titik jenuh, peningkatan pendapatan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan bukan makanan, sehingga proporsi pengeluaran pangan tersebut dari total pendapatan akan menurun. Hal itu diperkuat oleh Deaton dan Muelllbauer (1980) yang menyatakan bahwa salah satu tanda peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah bergesernya pemenuhan kebutuhan dari yang hanya berfokus pada pemenuhan pangan menjadi nonpangan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk Jawa Timur secara umum membaik.

Elastisitas pendapatan yang dapat digunakan dalam melihat respons perubahan kuantitas terhadap perubahan pendapatan memperlihatkan tidak


adanya komoditas pangan yang bersifat inferior di Provinsi Jawa Timur karena komoditas pangan yang ada hanya bersifat normal dan mewah (luxury). Kelompok komoditas ikan/daging/telur/susu merupakan barang mewah bagi sebagian besar rumah tangga di Jawa Timur, yaitu daerah IPM tinggi/sangat tinggi nilainya lebih elastis (1,1439%) dibandingkan daerah IPM rendah/sedang (1,0061%). Gambaran ini menunjukkan bahwa rumah tangga di daerah IPM tinggi/sangat memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi dalam mengonsumsi komoditas ikan/daging/telur/susu yang merupakan sumber protein hewani dibandingkan rumah tangga pada daerah IPM rendah/sedang. Oleh karena itu, ketika terdapat kenaikan pendapatan, rumah tangga pada daerah IPM tinggi/sangat tinggi mengalokasikan lebih banyak dari pendapatan mereka untuk mengonsumsi komoditas ikan/daging/telur/susu. Setiap kenaikan pendapatan 1% akan meningkatkan permintaan komoditas ikan/daging/telur/susu sebesar 1,1439%. Hal ini senada dengan Hukum Bennet yang menyatakan bahwa rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah memprioritaskan pada konsumsi pangan yang bersifat padat energi yang berasal dari karbohidrat. Sekalipin demikian, dengan semakin meningkat pendapatannya, pola konsumsi pangannya semakin terdiversifikasi dan umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan terhadap komoditas yang bernilai gizi tinggi (Soekirman, 2000) dalam (Ariani and Hermanto 2012).

Secara empiris, kondisi ini berlawanan dengan Rohmanyu (2009) yang dalam penelitiannya mengestimasi fungsi permintaan rumah tangga Indonesia terhadap pangan sumber protein hewani. Ia menemukan bahwa konsumsi komoditas ikan/daging/telur/susu masih bersifat normal bagi sebagian besar rumah tangga di Indonesia dengan nilai 0,6113, yaitu rumah tangga perkotaan lebih elastis dibandingkan rumah tangga perdesaan. Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Obayelu and Okoruwa (2009) dan Benda-Prokeinová et.al. (2016) yang menemukan bahwa komoditas sumber protein hewani, seperti ikan dan daging merupakan barang mewah karena secara ekonomis harganya relatif mahal dibandingkan komoditas lainnya.

Komoditas lainnya yang bersifat mewah, baik pada daerah IPM rendah/sedang dan daerah IPM tinggi/sangat tinggi adalah makanan jadi/rokok. Hal ini karena saat ini terjadi pergeseran gaya hidup bahwa rumah tangga cenderung lebih memilih gaya hidup instan dan membeli daripada memasak sendiri. Fenomena ini juga didukung dengan semakin menjamurnya warung, kedai, ataupun restoran siap saji di mana-mana yang umumnya merupakan usaha skala mikro kecil dan menengah (UMKM). Data menunjukkan, dalam lima tahun terakhir, sumbangan subkategori penyediaan makanan dan minuman jadi di Jawa Timur dalam pembentukan PDRB selalu menunjukkan peningkatan dengan laju pertumbuhan real.


2. Pengaruh Harga terhadap Pola Konsumsi

Pengaruh variabel harga ditunjukkan dengan nilainya yang positif atau negatif dan signifikan secara statistik terhadap proporsi pengeluaran pangan rumah tangga. Kondisi ini dijumpai pada daerah IPM rendah/sedang dan IPM tinggi/sangat tinggi. Pengaruh positif menandakan jika harga komoditas tersebut naik, budget share terhadap kelompok pangan tersebut meningkat. Demikian pula, sebaliknya. (Rohmanyu 2009) mengemukakan hubungan yang searah atau berlawanan ini terjadi karena budget share merupakan rasio antara jumlah rupiah yang dikeluarkan pada kelompok komoditas tertentu dan total pengeluaran pangan. Jumlah rupiah yang dikeluarkan pada kelompok komoditas tertentu tersebut merupakan perkalian antara harga kelompok pangan dan kuantitas yang dikonsumsi. Dengan demikian, jika kenaikan harga lebih besar daripada kuantitas yang dikonsumsi, proporsi pengeluaran kelompok pangan tersebut akan meningkat (positif). Sebaliknya, jika kenaikan harga tersebut lebih kecil daripada penurunan kuantitas yang dikonsumsi, proporsi akan menurun (negatif).

Hal yang menarik adalah variabel harga pada daerah IPM rendah/sedang, dan daerah IPM tinggi/sangat tinggi menunjukkan koefisien positif terhadap proporsi pengeluaran komoditas pangan dan rata-rata memiliki pengaruh yang signifikan, kecuali pada kelompok komoditas kacang-kacangan/minyak pada daerah IPM rendah/sedang yang tidak menunjukkan pengaruh signifikan. Kondisi ini menggambarkan bahwa umumnya rumah tangga di Jawa Timur merespons kenaikan harga komoditas pangan dengan menurunkan konsumsi terhadap komoditas pangan tersebut, tetapi penurunan konsumsinya lebih rendah daripada kenaikan harganya.

Dalam beberapa penelitian, harga sendiri relatif memiliki pengaruh positif terhadap penentuan budget share komoditas pangan, seperti disebutkan dalam penelitian Rohmanyu (2009) yang mengelompokkan komoditas pangan dalam lima kelompok besar. Hasilnya variabel harga rata-rata memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan budget share kelompok komoditas pangan, kecuali komoditas kacang-kacangan yang menunjukkan hubungan yang berlawanan. Selain itu, Yusdianto (2016) dalam penelitiannya mengelompokkan komoditas pangan dalam 11 kelompok pangan dan memperoleh hasil bahwa variabel harga sendiri memiliki pengaruh positif dan signifikan pada keseluruhan kelompok komoditas pangan tersebut. Selain harga komoditas, variabel harga komoditas lainnya atau harga silang juga relatif memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penentuan budget share komoditas pangan. Pengaruh variabel harga,


baik harga sendiri maupun harga silang akan lebih tergambarkan melalui nilai elastisitasnya.

Elastisitas harga sendiri baik pada daerah IPM rendah/sedang dan daerah IPM tinggi/sangat tinggi menunjukkan nilai negatif dan bernilai kurang dari 1. Kondisi ini konsisten dengan teori permintaan, dimana Alfred Marshall (1980) dalam hukum permintaannya (law of demand) mengemukakan terdapat hubungan negatif atau berlawanan antara kuantitas yang diminta dan harga. Jika harga suatu barang naik, kuantitas yang diminta akan turun. Sebaliknya, jika harga suatu barang turun, kuantitas yang diminta akan naik. Jika digambarkan, kurva permintaan akan selalu memiliki slope menurun ke bawah (Case dan Fair, 2007b).

Secara umum, nilai elastisitas harga sendiri pada rumah tangga di Jawa Timur berkisar antara 0,5% hingga 0,9% atau mendekati satu. Kondisi ini menandakan bahwa kenaikan harga pangan yang terjadi di Jawa Timur hampir sebanding dengan persentase penurunan konsumsi pangan tersebut. Apabila dibandingkan, tingkat elastisitas harga pada daerah IPM rendah/sedang cenderung lebih elastis dibandingkan pada daerah IPM tinggi/sangat tinggi. Hanya pada komoditas makanan jadi/rokok, nilai elastisitas harga pada daerah IPM tinggi/sangat tinggi bersifat lebih elastis dibandingkan daerah IPM rendah/sedang. Hal ini karena karakteristik rumah tangga di daerah IPM tinggi/sangat tinggi yang umumnya menunjukkan tingkat kesejahteraan yang lebih baik daripada daerah IPM rendah/sedang.

Fakta umumnya, rumah tangga yang tingkat kesejahteraannya lebih baik lebih mengutamakan kualitas gizi dan mutu makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga sebagaimana diungkapkan oleh Wood, et. al. (2012) dan Sari (2016) dalam penelitiannya. Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pangan, rumah tangga yang tingkat kesejahteraannya baik tetap dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Berbeda halnya dengan rumah tangga yang tingkat kesejahteraannya rendah, ketika terjadi kenaikan harga pangan, mereka cenderung bersifat lebih responsive karena konsumsi kebutuhan pokok sulit terpenuhi dan menjadikan komoditas tersebut sebagai komoditas mewah (luxury).

Nilai elastisitas harga silang cukup bervariasi dan umumnya nilai elastisitas silang kurang dari 0,1. Tidak ditemukan komoditas silang yang bersifat elastis. Dari 30 nilai elastisitas silang yang terbentuk, umumnya bertanda negatif atau memiliki hubungan komplementer. Pada daerah IPM rendah/sedang, hubungan komplementer yang terbentuk sebanyak 22 komoditas (73,3%), sedangkan pada daerah IPM tinggi/sangat tinggi, hubungan komplementer yang terbentuk sebanyak 23 komoditas (76,7%). Hal ini menandakan bahwa terdapat keterkaitan


yang erat antar-komoditas pangan yang ada di Jawa Timur, sebagaimana dikemukakan oleh Faharuddin et al. (2015) bahwa komoditas yang saling berkaitan umumnya bersifat komplementer.

Kenaikan harga komoditas padi/umbi-umbian direspons dengan menambah konsumsi kacang-kacangan/minyak. Dilihat dari harganya, komoditas ini memang relatif lebih murah. Pada komoditas ikan/daging/telur/susu terdapat perbedaan respons antara rumah tangga IPM rendah/sedang dan IPM tinggi/sangat tinggi. Pada daerah IPM rendah/sedang, masih ditemukan hubungan subtitusi yang terdapat pada komoditas sayur/buah-buahan dan kacang-kacangan/minyak, sedangkan pada daerah IPM tinggi/sangat tinggi, hubungan semuanya bersifat komplementer.

Hal menarik ditemui pada komoditas makanan jadi/rokok, yang menunjukkan bahwa respons pada rumah tangga IPM rendah/sedang dan IPM tinggi/sangat tinggi tidak berbeda, yaitu hanya terjadi hubungan komplementer dengan komoditas pangan yang lainnya. Artinya ketika terjadi kenaikan harga komoditas makanan jadi/rokok, rumah tangga cenderung menurunkan permintaan terhadap komoditas yang lainnya. Kondisi ini karena komoditas makanan jadi/rokok merupakan komoditas yang tidak bisa berdiri sendiri, yang bahan bakunya juga berasal dari komoditas pangan yang lain, sehingga saling terkait satu sama lain.

3. Pengaruh Variabel Sosiodemografi terhadap Pola Konsumsi

Secara keseluruhan, variabel sosiodemografi mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menjelaskan keragaman preferensi konsumsi dan dalam menentukan budget share komoditas pangan pada rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Hal ini tercermin dari 48 koefisien variabel sosiodemografi yang terbentuk pada setiap IPM, baik IPM rendah/sedang maupun IPM tinggi/sangat tinggi, sekitar 91,67% di antaranya signifikan pada level 1–10%.

Prathama Rahardja dan Manurung (2008) menyatakan besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga tidak hanya dipengaruhi faktor ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor demografi dan faktor nonekonomi. Faktor demografi mencakup faktor-faktor yang berhubungan dengan kependudukan, sedangkan faktor nonekonomi terkait juga dengan faktor sosial budaya di masyarakat. Mowen dan Minor (2002) menyebutkan bahwa karakteristik demografi menggambarkan sekelompok masyarakat yang mempunyai pola perilaku serupa dan melalui karakteristik demografi ini, perilaku konsumen dalam melakukan konsumsi atas barang ataupun jasa dapat dikenali.


Variabel usia kepala rumah tangga (age) rata-rata menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap proporsi pengeluaran pangan rumah tangga, baik pada daerah IPM rendah/sedang maupun daerah IPM tinggi/sangat tinggi pada level 1%. Pada komoditas pangan yang merupakan kebutuhan pokok, sebagian besar pengaruhnya bernilai positif, seperti pada komoditas padi/umbi-umbian, sayur/buah-buahan, kacang-kacangan/minyak, dan bahan pangan lainnya. Pengaruh positif tersebut menandakan bahwa semakin bertambahnya usia kepala rumah tangga, semakin bertambah proporsi pengeluaran pangan terhadap komoditas tersebut. Pengaruh negatif variabel ini tampak pada komoditas makanan jadi/rokok dan komoditas ikan/daging/telur/susu.

Berdasarkan data Susenas 2016, lebih dari 80% usia kepala rumah tangga di Jawa Timur didominasi usia produktif (usia 15–64 tahun). Pengaruh positif pada komoditas padi/umbi-umbian, sayur/buah-buahan, kacang-kacangan/minyak, dan bahan pangan lainnya mengindikasikan bahwa dengan semakin bertambahnya usia, pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga lebih banyak dilakukan dengan memasak sendiri karena lebih hemat dibandingkan dengan membeli. Hal ini karena semakin bertambah usia kepala rumah tangga, semakin bertambah pula jumlah anggota rumah tangga, yang diikuti dengan semakin meningkatnya kebutuhan hidup. Hal ini menyebabkan kepala rumah tangga semakin rasional dalam membelanjakan anggarannya dan lebih matang dalam mengambil keputusan konsumsi.

Variabel jenis kelamin kepala rumah tangga (jk) juga relatif menunjukkan pengaruh signifikan terhadap proporsi pengeluaran pangan rumah tangga. Variabel ini merupakan variabel dummy, yaitu lebih banyak menunjukkan nilai negatif dan signifikan. Dengan demikian, patut diduga bahwa peran perempuan lebih besar dalam penentuan proporsi pangan rumah tangga. Pada daerah IPM rendah/sedang, nilai positif dan signifikan hanya didapat pada komoditas makanan jadi/rokok. Hal ini karena secara psikologis laki-laki cenderung praktis dan adanya stigma yang melekat bahwa laki-laki identik dengan pekerjaan di luar dapur. Selain itu, kepala rumah tangga laki-laki cenderung mengarahkan proporsi pengeluaran pangan pada komoditas yang menjadi kebutuhannya, yang salah satunya adalah rokok. Data dinas kesehatan menyatakan bahwa 66% perokok berjenis kelamin laki-laki, sedangkan perempuan hanya sekitar 6,7% (Kemenkes 2017).

Variabel pendidikan kepala rumah tangga (education) berperan penting dalam menentukan proporsi pengeluaran pada setiap komoditas pangan rumah tangga. Hal ini dapat dilihat dari pengaruhnya yang signifkan pada keseluruhan komoditas pangan pada daerah IPM rendah/sedang, dan daerah IPM tinggi/sangat tinggi. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, semakin memperhatikan mutu dan kualitas makanan yang


dikonsumsi oleh rumah tangganya. Fakta ini ditunjukkan dengan nilai koefisiennya yang bernilai positif dan signifikan terhadap proporsi pengeluaran komoditas ikan/daging/telur/susu dan sayur/buah-buahan, sedangkan pengaruhnya pada komoditas pangan lannya bernilai negatif dan signifikan.

Variabel pekerjaan utama kepala rumah tangga (work) juga menunjukkan pengaruh yang penting dalam menentukan proporsi pengeluaran pangan rumah tangga. Hal ini ditunjukkan dengan pengaruhnya yang signifikan pada keseluruhan komoditas pangan. Rumah tangga pertanian cenderung memiliki pengaruh positif pada komoditas-komoditas pokok, seperti padi/umbi-umbian, sayur/buah-buahan, kacang-kacangan/minyak, dan bahan pangan lainnya. Adapun pada kelompok komoditas, makanan jadi/rokok dan ikan/daging/telur/susu menunjukkan pengaruh negatif. Hal ini karena rata-rata rumah tangga pertanian memiliki pendidikan dan pendapatan rendah sehingga daya beli terhadap komoditas ikan/daging/telur/ susu dan makanan jadi/rokok juga cenderung rendah dibandingkan rumah tangga nonpertanian. Sumarwan (2003) mengemukakan bahwa pendidikan dan pekerjaan merupakan dua hal yang saling berhubungan. Pendidikan yang rendah akan mencerminkan jenis pekerjaan, pendapatan, dan daya beli yang rendah pula.

Variabel status ekonomi rumah tangga turut memberi andil penting dalam menjelaskan keragaman pola konsumsi rumah tangga di Jawa Timur. Rumah tangga miskin cenderung memiliki pengaruh positif pada kelompok komoditas pangan pokok, seperti padi/umbi-umbian, sayur/buah-buahan, kacang-kacangan/minyak dan bahan pangan lainnya, sedangkan pada kelompok komoditas, makanan jadi/rokok dan ikan/daging/telur/susu menunjukkan pengaruh negatif. Hubungan ini sama antara rumah tangga pada daerah IPM rendah/sedang dengan daerah IPM tinggi/sangat tinggi. Rumah tangga miskin umummnya berpendapatan rendah dan memiliki daya beli rendah, sedangkan komoditas ikan/daging/telur/susu dan makanan jadi/rokok lebih mahal dibandingkan komoditas pangan lainnya, sehingga rumah tangga miskin akan mengurangi proporsi pengeluaran komoditas tersebut dan menggantinya dengan komoditas lain yang secara ekonomi lebih murah dan banyak untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka.

Variabel wilayah tempat tinggal (wil) relatif memberikan pengaruh signifikan, terutama pada daerah IPM rendah/sedang. Pada daerah IPM tinggi/sangat tinggi, variabel ini hanya signifikan pada kelompok komoditas padi/umbi-umbian, makanan jadi/rokok, dan bahan pangan lainnya. Rata-rata rumah tangga perkotaan memiliki proporsi pengeluaran yang lebih tinggi pada komoditas makanan jadi/rokok dan lebih rendah pada kelompok komoditas lainnya. Hal ini karena rumah tangga perkotaan memiliki mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan


rumah tangga perdesaan sehingga menuntut gaya hidup yang serba praktis. Pemenuhan kebutuhan pangannya lebih banyak dilakukan dengan cara membeli. Berbeda halnya dengan rumah tangga perdesaan, yang rata-rata sentra produksi kebutuhan pangan terdapat di wilayah perdesaan sehingga mereka lebih mudah dalam mengakses komoditas pangan untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Selain itu, karena sentra produksi kebanyakan berada di sana, dari segi harga pun cenderung lebih murah dibandingkan di wilayah perkotaan.

Variabel kepemilikan rumah turut mampu menjelaskan keragaman proporsi pengeluaran pangan rumah tangga. Rumah tangga yang telah memiliki rumah sendiri cenderung memiliki pengaruh positif terhadap proporsi pengeluaran pangan rumah tangga, sedangkan kelompok komoditas makanan jadi/rokok memiliki pengaruh negatif. Rumah merupakan representatif dari kekayaan rumah tangga. Hal ini menggambarkan bahwa rumah tangga yang kesejahteraannya lebih baik cenderung memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangganya dibandingkan rumah tangga yang tingkat kesejahteraannya rendah. Pada beberapa penelitian, seperti (Pusposari 2012) dan (Sari 2016) disebutkan bahwa orang yang kesejahteraan rendah juga memiliki kualitas makanan yang cenderung rendah. Dalam penelitiannya, orang yang berpendidikan rendah dan berstatus miskin justru memiliki budget share komoditas rokok yang tinggi dibandingkan rumah tangga yang pendidikannya lebih tinggi dan bukan miskin.

D. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:

1. Konsumsi pangan pada daerah IPM rendah/sedang dan daerah IPM tinggi/sangat tinggi berbeda secara signifikan. Daerah IPM tinggi/sangat tinggi cenderung memiliki kesadaran gizi yang lebih baik dibandingkan pola konsumsi pada daerah IPM rendah/sedang, yaitu lebih mengutamakan konsumsi komoditas ikan/daging/telur/susu dibandingkan komoditas padi/umbi-umbian.

2. Variabel pendapatan, harga, dan variabel sosiodemografi yang diproksi dengan jenis kelamin, usia, pendidikan, dan pekerjaan utama kepala rumah tangga, status ekonomi rumah tangga, wilayah tempat tinggal rumah tangga, dan status kepemilikan rumah secara umum memiliki andil yang besar dalam menentukan pola konsumsi rumah tangga di Jawa Timur, baik pada daerah dengan status iPM rendah/sedang maupun daerah IPM tinggi/sangat tinggi. Hal tersebut dibuktikan dengan pengaruhnya yang signifikan secara statistik.


3. Semua komoditas pangan bersifat inelastis terhadap harga yang menunjukkan bahwa komoditas pangan merupakan kebutuhan pokok bagi penduduk di Jawa Timur. Berdasarkan nilai elastisitas silang, hubungan yang tercipta lebih banyak yang bersifat komplementer daripada substitusi, sedangkan berdasarkan nilai elastisitas pendapatan, komoditas ikan/daging/telur/susu dan makanan jadi/rokok merupakan komoditas mewah, baik pada daerah IPM rendah/sedang maupun daerah IPM tinggi/sangat tinggi.

E. Saran

Beberapa saran yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil dari penelitian adalah sebagai beriku:.

1. Komoditas dalam penelitian ini disesuaikan dengan tujuannya. Peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti atau menganalisis permasalahan pangan secara spesifik sebaiknya melakukan agregasi bahan pangan yang lebih spesifik lagi.

2. Peneliti selanjutnya dapat melakukan analisis pola konsumsi pangan dengan mengembangkan model menggunakan model permintaan lain, misalnya Linear Expenditure System (LES) atau Quadratic Almost Ideal Demand Systems (QUAIDS) sehingga hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil penelitian ini.

3. Diperlukan pembinaan, pengembangan, dan pengawasan terhadap usaha mikro dan kecil, terutama yang bergerak pada sektor penyediaan makanan dan minuman jadi agar lebih terjamin kualitas dan keamanan produk-produknya.

4. Diperlukan penggalakan program penyadaran gizi terhadap masyarakat agar proses diversifikasi pangan berjalan baik serta kualitas konsumsi pangan masyarakat dapat membaik, terutama pada daerah yang tingkat kesejahteraannya rendah.

THE INFLUENCE OF TOURISM ON REGIONAL REVENUE OF MALANG RAYA, EAST JAVA

Nama : Elok Tri Wahyuni


Tahun Intake : 2016






ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis pengaruh sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah di wilayah Malang Raya. Sektor pariwisata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah kunjungan wisata, tingkat penghunian kamar hotel, jumlah restoran, dan PDRB pada tahun 2006–2016. Data sekunder dari tiga kabupaten dan kota di wilayah Malang raya diolah dengan metode regresi data panel. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara simultan semua variabel independen berpengaruh signifikan terhadap PAD di wilayah Malang Raya. Sedangkan, secara parsial hanya jumlah kunjungan wisata dan TPK hotel yang berpengaruh terhadap PAD. Sementara, jumlah restoran dan PDRB tidak berpengaruh terhadap PAD. Kesimpulan yang diperoleh adalah peran signifikan jumlah kunjungan wisata dan TPK hotel dalam rangka meningkatkan penerimaan PAD. Dengan demikian, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih untuk meningkatkan kunjungan wisata dan TPK hotel dalam rangka meningkatkan PAD sekaligus meningkatkan peran sektor pariwisata dalam PAD.

Kata kunci: Pariwisata, Pendapatan Asli Daerah, Malang Raya


ABSTRACT

This paper aims to analyze the influence of tourism sector on the own- source revenue of Malang Raya. In this study, the sector is measured using number of tourist arrival, hotel occupancy rate, number of restaurant, and GRDP during the period of 2006–2016. The secondary panel data from three local governments in Malang Raya are analyzed using fixed effect model of multiple regressions. The result shows that all independent variables simultaneously give a significant influence on own- source revenue. Number of tourist arrival and hotel occupancy rate partially give a significant influence on the revenue, while the other two variables, number of restaurant and amount of GRDP, do not give any significant influence. A regression model of 97,76 % is generated to predict the own-source revenue of Malang Raya. The conclusion is that the local governments should pay more attention to the effort of promoting the region to encourage tourists to come and stay longer, so the region’s own-source revenue and the contribution of the sector to the revenue increase.

Keywords: Tourism, Own-Source Revenue, Malang Raya


THE INFLUENCE OF TOURISM ON REGIONAL REVENUE OF MALANG RAYA, EAST JAVA

A. Background

Malang Raya as a tourism destination has been well-known for many periods. It is no doubt that Malang Raya has been famous for the cool atmosphere in East Java. Malang Raya is one of SNDAs in the national planning for developing national tourism. It also one of a region developed by East Java in the Regional Planning for Tourism Development. Malang Raya as a region consists of Malang region, Malang municipality, and Batu municipality. Location Quotients analysis done by the province in 2009 showed 14 regions and municipalities had the economic base on tourism sector. Based on the analysis, only Malang and Batu municipalities that had economic base on tourism sector in the context of Malang Raya.

It is an irony that Malang regency as a larger region with the more complete destinations did not have this base. However, nowadays, Malang regency is induced to develop tourism as the leading sector in the economic development. It its signed by the shift of primary sector into secondary and tarsier sector as reported in the Malang regency’s regional development planning in 2016–2021.

The development of tourism in Malang Raya can be seen from the rising of tourist arrivals in this region. Malang Raya has been visited by the numerous tourists during the time. The positive trend of tourist arrival in Malang Raya shows the increasing tourism demand through the time. The demand leads to increase for tourism supply. Keynes argues that total income as a function of total employment. The higher national income, so does the volume of employment work. This volume depends on effective demand. Effective demand can determine the balance of employment and income. Effective demand includes the demand of consumption and investment.

In case of tourism, effective demand can be translated into the demand of tourism product, shown by tourist arrival and demand of investment of private and public sector. The increasing of tourists’ demands stimulates the rising of private and public investments. As a result, both national and regional and even local government will earn more income from the activities. The same opinion of Mishkin & Eakins (2003) that the main impact of tourism could be its contribution to the regional and local economy. An increase number of tourist has gone hand in hand with development, rise in GDP, employment rates, rise in exports and economic activities [8]. Arlina & Purwanti (2013), Pertiwi (2014), and Suastika & Yasa (2015) have also proved that the increase number of tourist gives the rise in regional revenue of DKI Jakarta, Gianyar region, and Local Governments (LGs) in Bali Province.


Tourism impact also gives a rise to the regional revenue of Malang Raya. It is shown by the earning of LG’s revenue from optimizing local resources. The fluctuation growth with the declining trend. It is confront the development of tourist arrival that grew significantly and also the other tourism plants’ development such as hotels, restaurants, and infrastructures. Pitana & Diarta (2009) said that the main contribution of tourism is through taxes. Regional revenue of Malang raya is dominated by taxes. Local taxes contribute up to 60% to Regional revenue. The positive trend shows the potential of local taxes role in Malang raya. Local taxes in tourism sector can be defined as accommodation and restaurant taxes. In Indonesia, tourism taxes are hotel, restaurant and entertainment taxes. Those taxes are directly related to the fulfillment of basic tourist demand in the destination. The declining contribution of tourism taxes after 2010–2012, that is from 15% to 11%. Next, in 2012–2014, the contribution remains in 11%, and it starts to increase in 2015 and 2016. However, the rise still can’t reach the previous share. Over all, the trend of tourism taxes is declining.

It is important to study Tourism sector in Malang Raya for Tourism is a leading sector in Malang Raya. Malang Raya has the strong image of tourism that is being the concern of national and regional developments. The writer finds gaps in the development of tourism sector and the share of tourism sector to regional revenue of Malang Raya. In the right hand, the development of tourism sector, such as the development of tourist arrival, the flowered accommodation, restaurant, destination, entertainment, and also the better public and tourism facilities, however, it can’t make the contribution of this sector higher than non-tourism sector. It should give the positive correlation to regional revenue. Concerning to the gaps finding, the writer eager to study how tourism sector influences regional revenue of Malang Raya.

B. Methodology

Economic models are built to describe relationships between economic variables and predict the effects of changing these variables. Models are generally simplified abstractions of the real world. They have two key components. First, assumptions are made which build the foundations for the model. Second, implications or outcomes are predicted by the working of the model. As the channel crossing becomes a more competitive environment, since the opening of the tunnel, the predictions of competition theory can be tested empirically, or in other words by making observations. The term ceteris paribus is often used in economic analysis, meaning all other things remaining unchanged. This is important because in the real world several factors often occur at the same time, some exaggerates a particular effect, and some countering it.

This research is done in Malang Raya. They are Malang municipality, Batu municipality, and Malang region. The data used are secondary data. They are LGs’


regional revenues, the number of tourist arrivals, hotel’s room occupancy rate, the number of restaurant, and sum of PDRB in 2006–2016. Source of data are from finance bureau, tourism offices, region statistic bureau, and other governments’ reports in Malang raya.

The method of quantitative approach by using panel data regression is used to identify the causal relationship between variables. This research used the log-linear form of each variable to show the elasticity of them or to get direct estimation of variables elasticity. The data is estimated by using fixed effect model. Next, the simulant, partial and also R test are done by p-value concept. The p-value used is 5%. Finally, the classical assumption tests are heteroscedasticity and multicollinearity.

1. Tourism sector (the number of tourist arrival, hotel’s room occupancy rate, the number of restaurant, and sum of PDRB) has significant influence on regional revenue.

2. The number of tourist arrival has significant influence on regional revenue.3. Hotel’s room occupancy rate has significant influence on regional revenue.4. The number of restaurant has significant influence on regional revenue.5. Sum of PDRB has significant influence on regional revenue.


Malang Raya is a region in East Java consists of three LGs. They are Malang municipality, Batu municipality, and Malang region. Both municipalities are the development LG of Malang region, so they are bounded by the region, both territorially and historically. The region is a mountainous one. It is famous for its cool air. It also has many water resources, rivers, and beaches. The soil is fertile, so Malang Raya is fit in agriculture activities. The abundant resources are also the modal for developing tourism sector. As shown in the LQ analysis by using PDRB 2011–2015, the basis sector of Malang Raya are in the agriculture, forestry, and fishing; manufacturing; water supply, sewerage, and waste management and remediation activities; wholesale and retail trade, repair of motor vehicles and motorcycles; accommodation and food service activities; information and communication; financial and insurance activities; real estate; public administration and defense, compulsory social security; education; human wealth, social work activities; and other services activities.

Malang Raya as a single destination is determined by the regional tourism development plan of East Java. According to the plan, Malang Raya is a center of accommodation services, center of culture and sea attraction, center of natural attraction of mountainous area, and center of convention venue. Malang Raya is also the one of main services city. It has the role as the main gate and center of many activities, also


its strategic role in the development of other regions. Malang Raya has already famous as a tourism destination for it abundant tourist attractions. It has natural, cultural, and man-made tourist attraction. Malang Raya is easy to reach by air, road or water transportation. Malang Raya has an airport, bus station, and railway station as the main gate of tourist arrivals. It also supported by the number of accommodation and food services, that are claimed to be the most stared hotels in East Java. Malang people are various ethnicities. However, they can live together in peace. They have their hospitality to every new people coming, including tourists. Those are potential of Malang Raya as a tourist destination.

The growth of entertainment tax is sharply fluctuating. However, the number of tourist and also the new destination and event are flowering through the time. It indicates there are tax leakages. Share of entertainment tax shows gradual decreasing in the development of tourism sector in Malang Raya. This may be caused by the gain from other new local taxes in regional revenue.

The growth of hotel tax is also sharply fluctuating with the decreasing trend. However, on the other side, the accommodation business is flourishing through the region. This can indicate that the effort in tax collection needs more improvement. On the other side, the share of hotel tax is good. It keeps giving a constant share in the last three years.

The growth of restaurant tax is fluctuating every year. However, it gives an increasing trend. This tax is very potential to be developed. Share of restaurant tax is smoothly fluctuating. A constant share of 5% is on the last two years.

1. Data Analyses

The simultaneously all independent variables are giving significant influence on regional revenue. It is showed by the Probability of F-statistic is smaller than 5% (0,05), that is 0,00. Partially, there are two significant variables influencing regional revenue. They are tourist arrivals and hotel’s room occupancy rate. Both have probabilities 0.00, smaller than p-value 5%. The other two variables, they are the number of restaurant and sum of PDRB do not giving a significant influence. Since both probabilities are bigger than 5%. They are 0.14 for the number of restaurant and 0.056 for sum of PDRB. The fitness of the model can be seen from the value of R-squared. The result shows that R-squared value is 0.9776. It means that 97,76% dependent variable can be explain by the independent variables/predictor in the model.


Classical assumption test as the requirement of regression analysis in this research are heteroscedasticity and multicollinearity tests. Heteroscedasticity test uses Glesjer test, by regressing the independent variables with residual absolute. If their p-value is bigger than 5%, so it is free from heterokesdasticity problem.

The p-value of each predictor is bigger than 5%, so it is free from heterokesdasticity problem. Next, multicollinearity test uses correlation matrix. The result shows that there is no strong correlation between variables, so it is free from the multicollinearity problem.

2. Discussion

The model created based on the fixed effect is Y = 1973.011 + 3.535 X1 + 1.478 X2 + 0.637 X3 – 0.404 X4. As the log-linear model can give the elasticity of Y to the change of X, the model can be interpreted as the following. First, coefficient of X1 is 3.535. It means that every percent the increase in tourist arrival can give the increase in regional revenue for 3.535% ceteris paribus. Second, coefficient of X2 is 1.478. It means that every percent the increase in hotel’s room occupancy rate can give the increase in regional revenue for 1.478% ceteris paribus. Third, coefficient of X3 is 0.637. It means that every percent the increase in the number of restaurant can give the increase in regional revenue for 0.637% ceteris paribus. The last, coefficient of X4 is –0.404. It means that every percent the increase in sum of PDRB will decrease regional revenue for 0.637% ceteris paribus.

3. The Influence of Number of Tourist Arrival

The significant influence of tourist arrival is consistent with Keynes theory that national income in line with consumption. It is also strengthened Wahab's (1992) opinion that tourist arrival and tourist consumption also contribute to the gain of local and regional government. Since tourists are mostly not local people, their expenditure is categorized as an export gain for LGs. This is fitted the basis export theory by Richardson. He said that tourism is a basis activity for it can give income from other region. Previous studies of Arlina dan Purwanti (2013), Pertiwi (2014), and Suastika & Yasa (2015), Dewi & Bendesa (2013) also in line with the result. They found that tourist expenditure had been the income for government through taxation. However, the result is contradictive with the studies of Jaya & Widanta (2014), Fariantin & Amri (2017) and Widyaningsih & Budhi (2014). They found that tourist arrival is small because of the lack of promotion, bad facilities, and safety factor.


The significant influence of tourist arrival can be affected by some facts, both in demand and supply point of view. The demand side reflects the need of tourist in conducting their travel. It is usually influenced by some factors, such as income, other prices, comparative quality or value added, fashion and tastes, advertising, opportunities for consumption, population, and other factors. First, the increase of income makes people have more money to save and spend in leisure. Second, supplies of tourism products in Malang Raya are varied, so a competitive price of tourism package gives more choice for tourist. Third, tourist also compares the quality or value added in the package as they need to get. Forth, fashion and taste reflect the tourist behavior. It is usually influenced by culture, social status, personal characteristic and psychological aspects. Keeping the relationship among families is being a culture in the society. The sense of ethnicity motivates the traveller to visit friend and relatives, go back to homeland, plus do other tourism activities. Personal characteristics such as age, occupation, lifestyle, personality, etc. affect the choice of doing leisure. For instance, the higher education of the society will increase the motivation to travel in order to have more experience and advance knowledge. Next, modern work activities identified as hard working activities, so the need of incentive travel is increase. While some professions need to travel as the activities, such as business man, civil servant duties, news reporter, etc. Fifth, mass advertising of tourism destination lead more tourist to come. It also supported by the development of 4T (technology, transportation, trade, and tourism). It gives more chance in wide range of promotion effort, promotes low cost carrier, and brings mass tourist. Sixth, opportunities for consumption can be seen from the increase of leisure time and human health condition. For instance, public policy in giving 5 days’ school as well as 5 days’ work beside the national holiday that has been scheduled give more chances to travel. The increase of human health condition, especially for pension, creates more travel in their leisure time. Seventh, the increase of population leads to migration. The memories in the homeland and work land usually call back people to revisit. Finally, other factor, such implementation of school program in learning by doing and fun learning that is combined into education-tourism package led the student learning activities through tourism activities.

The supply side of tourism in Malang Raya can be seen from the development of tourism attraction, the flowered accommodation and restaurants, the better public facilities, transportation, and the hospitality of local people. Those developments attract more tourists to come. Various attractions, accommodation, transportation in various prices give them more choices to buy tourism package.


4. The Influence of Hotel Room Occupancy Rate

The significant influence of hotel occupancy rate support Wahab's (1992) view that tourist length of stay gives more income for local and regional government. This result is also in line with the studies of Suastika & Yasa (2015) and Hascaryo, Subanti, & Pangadi (2013). The significant influence of hotel occupancy rate can be identified as some facts. Tourists need accommodation to stay more days. According to Hunzieker, accommodation is a primary industry in tourism. As a primary industry, it gives a primary contribution to hotel taxes for the LGs. Since hotels are in the supply side, they are in line with the demand of tourist. Promotion effort of both the hotels owners and government creates more demands. Hotels can give interesting package for all segments of tourist. Hotels also cooperate with government and private sector in conducting regional, national, and international events and festivals. The increase of MICE activities holds by private and public organization also needs hotels and their facilities as the venue.

5. The Influence of the Number of Restaurant

According to Pendit (1994), restaurant is a vital travel plant. The important of restaurant in tourism also studies by Alatorre, 2016; Alderighi, Bianchi, & Lorenzini, 2016; Di Matteo & Cavuta, 2016; Lan, Wu, & Lee, 2012; Lund, Kjærnes, & Holm, 2017; Santeramo, Seccia, & Nardone, 2017; Yusoff, Zahari, Kutut, & Sharif, 2013; and Astuti & Hanan (2012). However, there are no studies including the number of restaurant analyses to regional income. Here is the different of this study. The insignificant role of number of restaurant can be affected by some facts. First, culinary is developed into tourism attraction as a gastronomic product. Gastronomic product can attract tourist as in Bandung, Nordic countries and other gastronomic destinations including Malang Raya. However, the rapid growing of these businesses doesn’t follow by the collecting of the data. So, the basis data for the taxes can’t be fulfilled. Second, the increase of foodies’ traveller attracted on local traditional food. They eager to know local food, local receipt, cooked and eat locally with local people. This is of course can’t contribute to LGs’ revenue. Third, tourist motivation in visiting friend and relatives leads their relative serve their food and they don’t go to restaurant. Fourth, the flourish of local street-food, local food-truck, small food services conducting by individual and household as the effect of the new opportunity in job creation and also high demand on food services doesn’t contribute to LGs’ revenue through restaurant taxes. Fifth, hotel giving all in package for its guest only give impact to the hotel taxes, not to the restaurant taxes.


6. The Influence of Sum of PDRB

At last, the insignificant PDRB of Malang Raya gives the insight that the component of PDRB and regional revenue do not have a direct correlation. PDRB is a representation of total goods and services produced by the society, while regional revenue consists of taxes and retribution, profit of public enterprises, and other sources of revenue. As the growth theory of Samuelson that is turnpike theory, Tourism sector is being the engine and fuelling other sectors to develop. As a result, the productivity of other sectors increases along with the development of tourism sector. Then, PDRB only counts the increasing productivity by the product produced. Meanwhile, regional revenue counts the tax. This result is in line with Fariantin & Amri (2017). They found that PDRB can’t contribute to LGs’ revenue if tourists don’t consume good and services as a tourism product. This could be the same condition as the result of this study. However it is contradictive with the studies of Dewi & Bendesa, (2013); Jaya & Widanta (2014); and Sari (2011). They found that PDRB can reflect the LGs revenue.

7. Implication of the Study

The growth of entertainment tax that sharply fluctuated and it decreasing share after 2010 are not in line with the result of this analyses that the number of tourist arrival give a significant influence on regional revenue. It is needed efforts to stabilize and continuously increasing the gain of entertainment taxes by optimizing the collection of the taxes. Next, the growth of hotel tax is fluctuating with the decreasing trend contradictive with the increasing share and significant influence of hotel room occupancy rate on regional revenue. These shows there are more potential of gaining hotel tax to be optimized. Meanwhile, the growth of restaurant tax is smooth fluctuating with the constant trend in line with the insignificant influence of the number of restaurant on regional revenue. However, it is also a potential one to be developed and optimized.

D. Conclusion

Malang Raya has a numerous potential as a destination. It has abundant of tourism resources such as nature, culture, and people. Those can attract tourists to visit. The tourist arrival in Malang Raya gives a significant sign that they are very important in increasing regional revenue. The more tourists come, the more income for the region. Beside the tourist arrival, hotel’s room occupancy rate also gives the significant role in determining regional revenue. Occupancy rate of hotels can show tourists’ length of stay. Not only gives impact on hotel taxes, they also may take the role for other


source of regional revenue. Since the tourist also need food services, it should be also give a significant one. However, in this research, the number of restaurant still can’t be one of variables that can predict the gain of regional revenue. It may be caused by not all tourist go to restaurant in their vacation. The sum of PDRB usually show the development of tourism sector through the productivity of region, however, not all products can give their direct contribution to the tourism product that have role in regional revenue. Based on the finding, governments in Malang Raya are expected to pay more attention to the effort of promoting Malang Raya to encourage tourist to come and stay longer in order to increase and give more shares on regional revenue.

IMPORT COMPETITION AND LOCAL LABOR MARKETS: THE CASE OF INDONESIA

Nama : Fina Sri Agustina


Tahun Intake : 2015



Negara Studi : Indonesia–Jepang

Universitas : Universitas Indonesia–Graduate School of International Cooperation Studies


ABSTRAK

Makalah ini menganalisis apakah peningkatan impor Indonesia yang besar mempengaruhi pasar tenaga kerja lokal Indonesia dalam hal pangsa lapangan kerja manufaktur, pangsa pekerjaan non-manufaktur, tingkat pengangguran, dan upah. Peningkatan pesat globalisasi telah menyebabkan banyak negara, termasuk Indonesia, mengalami peningkatan impor yang signifikan, yang mengarah pada persaingan impor yang lebih ketat. Karena ada peningkatan impor yang signifikan ke Indonesia, dan lambatnya pertumbuhan lapangan kerja manufaktur, ada diskusi tentang memberlakukan pembatasan impor. Meskipun pandangan tradisional bahwa perdagangan keterbukaan akan menguntungkan perekonomian, tampaknya bahwa penyesuaian di pasar tenaga kerja tidak dapat bersaing dengan efek peningkatan impor, sehingga ulama menantang pandangan tradisional dampak globalisasi perdagangan dengan menggunakan pengukuran baru dari persaingan impor. Mengingat kurangnya studi tentang dampak persaingan impor di pasar tenaga kerja Indonesia, menggunakan pengukuran baru persaingan impor yang diterapkan oleh para ahli untuk menantang pandangan tradisional globalisasi perdagangan, makalah ini meneliti apakah ada hubungan kausal antara kenaikan impor dan hasil pasar tenaga kerja lokal di Indonesia.

Menggunakan data nilai impor dan 430 kabupaten di Indonesia pada periode 2007–2013, dengan 2SLS metode efek tetap, makalah ini mengeksplorasi dampak dari persaingan impor di pasar tenaga kerja lokal di Indonesia dan meneliti jenis komoditas impor yang memiliki dampak yang lebih tinggi . Menurut temuan itu, persaingan impor secara negatif mempengaruhi pangsa tenaga kerja manufaktur, pangsa pekerjaan non-manufaktur, dan upah di Indonesia. Lebih jauh lagi, ini memicu peningkatan pengangguran. Selain itu, dampak yang lebih tinggi dari paparan impor terutama didorong oleh barang konsumsi daripada barang modal dan barang setengah jadi. Makalah ini menyimpulkan bahwa peningkatan impor Indonesia yang signifikan telah berdampak negatif terhadap pasar tenaga kerja lokal Indonesia melalui kompetisi impor, sehingga perlu bagi pemerintah untuk melindungi perusahaan dan pekerjaan dengan menyediakan bantuan bagi perusahaan untuk mengembangkan produk mereka, pelatihan bagi pekerja untuk meningkatkan keterampilan, dan akses yang lebih baik ke pinjaman bisnis.

Kata kunci: Persaingan Impor, Pasar Tenaga Kerja Lokal, Indonesia


ABSTRACT

This paper analyzes whether a substantial increase of Indonesian imports affects the Indonesian local labor markets in terms of manufacturing employment share, non-manufacturing employment share, the unemployment rate, and wages. A rapid increase of globalization has caused many countries, including Indonesia, to experience a significant increase in imports, which leads to tougher import competition. Since there was a significant increase in imports to Indonesia, and slow growth of manufacturing employment, there were discussions about imposing import restriction. Despite a traditional view that trade openness would benefit the economy, it seems that adjustments in the labor market cannot keep up with the effect of increased imports, so that scholars challenge the traditional view of trade globalization impacts by using a new measurement of import competition. Considering a lack of studies on the impact of import competition on the Indonesian labor market, using the new measurement of import competition applied by scholars to challenge the traditional view of trade globalization, this paper investigates whether there is a causal relationship between an increase in imports and local labor market outcomes in Indonesia.

Using data of import value and 430 districts in Indonesia in the period of 2007–2013, with the 2SLS fixed effects method, this paper explores the impacts of import competition on local labor markets in Indonesia and examines the types of imported commodities that have higher impacts. According to the findings, import competition negatively affected the manufacturing employment share, non-manufacturing employment share, and wages in Indonesia. Furthermore, it triggered an increase in unemployment. In addition, the higher impact of import exposure was mainly driven by consumption goods rather than capital goods and intermediate goods. This paper concludes that a substantial increase of Indonesian imports has negatively affected Indonesian local labor markets through import competition, so that it is necessary for the government to protect firms and employment by providing assistance for firms to develop their products, training for workers to improve their skills, and better access to business loans.

Keywords: import Competition, Local Labor Markets, Indonesia.


IMPORT COMPETITION AND LOCAL LABOR MARKETS: THE CASE OF INDONESIA

A. Background

As a country with a large population and large labor force, Indonesia became an interesting case to examine whether the significant increase of imports affects the Indonesian local labor market. According to Statistics Indonesia, in 2007, there were approximately 225 million people with 44% or 100 million workers and in 2013 among 248 million population 45% or 111 million were workers. However, the growth in workers who worked in manufacturing during the period 2007–2013 was very slow and it even decreased in 2013. While, those who work in the non-manufacturing sector steadily increased during that period and wages also slightly increased except in 2011. The society started to worry whether the increased imports affected the local labor markets in Indonesia. There is a discourse that the government wants to restrict some import commodities, such as beef, rice, and soybeans, but there are still pros and cons. Based on this, and given the important role of the labor market in the economy, it is necessary to investigate the impact of import competition on the Indonesian local labor markets.

Traditionally, the increase of trade globalization can benefit the countries involved. Due to trade openness, some industries may contract while others expand, however, the net results would be good for the economy as a whole. For example, international trade which causes competition through imports, tends to increase rivalry in industry and a decline in profits in many instances (Caves & Porter, 1978). Furthermore, import shocks leads to challenges for firms and results in plant exit, product exit, and sales contraction which triggers selection and re-allocation at both firm and product levels (Lacovone, Rauch, & Winters, 2013). However, participation in international trade eventually increase productivity (Sjöholm, 1999). This is because local firms, which must compete with foreign companies both in domestic and international markets, will be forced to increase their productivity by increasing their efficiency and adopting new technologies.

On the other hand, a decrease in profits, an increase in efficiency and an adoption of new technologies can also lead to a reduction in the number of the firms’ workers and wages. To illustrate, in Mexico, due to the negative impact of import competition the labor demand for Mexican workers was reduced (Cinthya, Caamal-Olveraa, & Rangel-Gonzalez, 2015). Furthermore, trade openness triggered import exposure which lead to a decrease of demand for unskilled worker in economies, such as Mexico (Feenstra & Hanson, 1997), Chile (Pavcnik, 2003), and Indonesia (Kasahara, Liang, Rodrigue, 2016). In other words, import competition may cause unemployment (Dutt et al., 2009;


Hasan et al., 2012). This condition, nevertheless, motivates people to gain more skills and a higher education in order to find new jobs. To illustrate, the increase of import competition in the U.S. caused a fall in the share of the low skilled population employed in retail and the rise in the share of the population with at least a high school degree (Greenland & Lopresti, 2016). Workers will also increase their efforts to avoid being fired from firms. Evidence from Lazear et al. (2014) suggests that during a recession, workers will raise their efforts and this leads to an increase in firm productivity. Thus, it is obvious that the increase of import competition causes the rise of productivity growth (Olper, Pacca, & Curzi, 2014).

Researchers in Indonesia were also optimistic that an increase in import competition due to trade openness has positive effects on the Indonesian labor market. There are five studies that mention the impact of import competition in Indonesia. First, Amiti and Konings (2007) show that in term of productivity, input tariffs reduction positively affects Indonesian employment through import competition. Second, Amiti and Cameron (2012) found that reducing intermediate input tariffs, however, causes the wages skill premium in Indonesia decrease. Third, Andhini (2012) concludes that although Chinese import competition decreases the growth of 12 Indonesian sub-sectors manufacturing industries, it increases the growth of another 5 sub-sectors manufacturing industries in Indonesia. Fourth, Kis-Katos and Sparrow (2015) found that a reduction in import tariffs on intermediate goods increased the competitiveness of firms and induced the increase of low and medium skilled labor participation as well as the rise in wages for the medium skilled in Indonesia. Lastly, Kasahara et al. (2016) argued that a decision of firms in Indonesia to start importing causes a higher demand for skilled labor. All in all, even though these five studies have not directly analyzed the effects of import competition on labor market in Indonesia, most of them are optimistic toward trade liberalization.

However, despite a general believe among many economists that trade openness would benefit the economy, it seems that there was a noticeable phenomenon, such as a decrease in manufacturing employment share and wages, and an increase of unemployment in the labor market due to increased imports. This implies that a very rapid increase of trade openness cannot be matched by adjustments in labor markets, so that in 2013, scholars challenged the traditional view of trade globalization effects on labor markets by using a new measurement of import competition. They also tried to investigate the impact of import competition beyond manufacturing employment and in geographical subdivision, such as local labor markets, which were leave out in previous studies. They conducted studies about the impact of import competition on the local labor markets in the U.S., Spain, Norway, Germany, and Mexico. They found that import competition negatively affects local labor markets outcomes, such as manufacturing employment share and wages.


Based on this, by using the new measurement of import exposure and applying the same method as previous studies in those five countries, this paper examines how exactly import competition impacts on local labor markets in Indonesia. Furthermore, research that analyzes the effect of import competition on local labor markets in Indonesia still does not exist. Considering that understanding the impact of import competition on local labor markets is important as a policy maker consideration and in view of the lack of studies on the subject in Indonesia, this paper tries to fill this gap by conducting such research.

To investigate the relationship between import competition and the Indonesian local labor markets, we develop a hypothesis and conduct a district level analysis. The hypothesis in this study is that exposure to import competition affects the Indonesian local labor markets by changing the manufacturing employment share, non-manufacturing employment share, unemployment rate, and average wages in Indonesia. Furthermore, to find out the types of imported commodity that lead to a higher impact of import exposure, we further the analysis by separating the import exposure variable into three categories: capital goods, intermediate goods, and consumption goods. The analysis in this paper is based on a regression model first developed by Autor, Dorn, and Hanson (2013). The model is estimated by the 2SLS fixed effects estimation method. The data used in this research is panel data covering 430 districts in Indonesia in the period 2007–2013 and the source of data is Statistics Indonesia and UN Comtrade database.


This paper uses the same model and measurement of import exposure as Autor et al. (2013). However, the division of local labour markets are based on districts. The changes of exposure to import competition in district i is defined as the changes of national imports of industry j's products over a period according to the district's share of total national employment in industry j at the beginning of the period, then take the sum of the import changes over all industries and scale it by the total employment in district i at the beginning of period.

To investigate the impact of import competition on the local labor market in Indonesia, we construct our baseline model based on the theoretical framework of the previous research. Theoretically the changes of wages and employment are affected by the changes of exposure to import competition.



1. Manufacturing Employment

The underidentification test results indicate that all the chi-sq(1) p-values are less than 0.05, it means the null hypothesis that the model is underidentified is rejected under 5% significance level for all models with different main independent variables. This means that the models are identified or the excluded instruments are correlated with the endogenous regressors. In other words, the relevance condition of instrumental variables is satisfied.

The Cragg-Donald Wald F statistic and Kleibergen-Paap rk Wald F statistic are greater than 19.93, which is the critical value at 10% maximal IV size tabulated by Stock and Yogo (2005). This means that we can reject the null hypothesis that the instrument is weakly identified at 5% significance level for all models. In other word, our instrumental variables used in this research are strongly identified, so that we convince that the instruments are strongly correlated with the endogenous variable.

Furthermore, the results of overidentification test show that all the chi-sq(1) p-values of the models are greater than 0.05. Therefore, the null hypothesis that the instruments are satisfying the overidentification restriction is not rejected at 5% significance level showing that the instrumental variables are valid.

However, for the endogeneity test, only model 1 that reject the null hypothesis that the endogenous variables can actually be treated as exogenous. This implies that in model 2-4, the endogenous variables can be treated as exogenous. When the explanatory variables are exogenous, the 2SLS estimator is less efficient than OLS. Thus, it is necessary to look at the results of OLS estimates.

The negative impact of import exposure on manufacturing employment share, in absolute value, is lower than the 2SLS estimates. An increase in a district’s total import exposure by US$1,000 per worker leads to 1.1% decrease in the share of manufacturing employment. Looking at the type of imports, US$1,000 per worker increase of import exposure of capital goods, intermediate goods and consumption goods causes the share of manufacturing employment decrease by 3.3%, 1.2%, and 24.6% respectively. However, the impact of import exposure of intermediate goods is insignificant. Overall, the difference between the coefficient of OLS and 2SLS was small, this implies that the presence of biased is also small.


The result in manufacturing is not an uncommon finding. Previous studies conducted by Autor et al. (2013), Donoso et al. (2014), Balsvik et al. (2014), Dauth et al. (2014) and Mendez (2015), found that import competition negatively affected the share of manufacturing employment. It means that our results confirm the findings of previous studies that manufacturing firms react to import competition by decreasing their employment.

2. Non-manufacturing Employment

The coefficient of the change of total import exposure was –2.9, this means that a US$1,000 increase in a district’s total import exposure per worker is predicted to reduce the share of non-manufacturing employment by 2.9%. For each type of imported goods, the impact of import exposure on the non-manufacturing employment share was also negative. An increase of a US$ 1,000 per worker in import exposure of capital goods would increase the share of non-manufacturing employment by 6.8%. It was higher than the impact of intermediate goods import exposure which was 4.0%, however, compared to the impact of import exposure of consumption goods, the effect of capital goods import exposure was much lower.

According to the result of instrumental variable test, the instruments are good especially for model 2 and 4. The underidentification test results show that all models are identified, so that the relevance condition of instrumental variable is satisfied. Furthermore, from the weak identification test, it is clear that all models are strongly identified since all the Wald F statistics are greater than 19.93. In model 2 and 4, the overidentification test results show that the instrumental variable is valid, while, in model 1 and 3 we reject the null hypothesis that the instruments are valid meaning that one of the instrumental variable may be correlated with the error term but we are unable to find out exactly which instrument that correlated with the disturbances. Whilst, from endogeneity test, in all models we cannot reject the null hypothesis that the endogenous variable actually could be treated as exogenous. This means that OLS estimates may be more efficient than 2SLS estimates.

The sign of the impact of import competition on non-manufacturing employment is not change compared to the results from 2SLS. However, the magnitude of effects is greater than 2SLS estimates for capital goods (model 2) and consumption goods (model 4). The OLS result in model 1 suggests that an increase of US$ 1,000 per worker of total import exposure decreases the non-manufacturing employment share by 2.3%. While, from model 2-4 of OLS estimation results, similar with the results of 2SLS, it is clear that the main source of this negative impact was still


the imports of consumption goods. Nevertheless, unlike the result of the 2SLS estimates, the result of OLS estimate show that the impact of intermediate goods import exposure is insignificant.

Compared to the impact on manufacturing employment, the effects on non-manufacturing employment, in absolute value, is greater. In fact, if we look at the structure of employment in Indonesia, the share of non-manufacturing employment in Indonesia was higher than manufacturing employment. Most firms in Indonesia engaged in the non-manufacturing sector. Thus, it is likely that the affected workers and firms in non-manufacturing are also larger than in manufacturing. Overall, the evidence of the impact of import competition on the non-manufacturing employment share supports the results reported in the study conducted by Dauth et al. (2014) in Germany.

3. The Unemployment Rate

The detailed estimates from 2SLS. Model 1 indicates that an increase of US$1,000 per worker in a district’s total import exposure was associated with an increase in the unemployment rate of 3.1%. In model 2-4, we replicate the regression by replacing the total import exposure with import exposure of capital goods, intermediate goods, and consumption goods respectively. From model 2-4, we can see that the negative coefficient of total import exposure was mainly driven by imports of consumption goods. While, the effect of imports of capital and intermediate goods was modest.

The evidence that the instruments are relevant and valid. In all models, the chi-sq(1) p-values of underidentification test are less than 0.05 meaning that the null hypothesis that the model is underidentified is rejected at 5% significance level, so that the instruments is correlated with the endogenous regressor. Furthermore, from weak identification test, we can see that the correlation between the instrumental variables and the endogenous variable is strong. From overidentification test, we cannot reject the null hypothesis that the instruments are valid at 5% significance level except for model 3. However, in model 3 we still cannot reject the null hypothesis at 1% significance level. In addition, in model 1, 3, and 4, the results of endogeneity test show that the endogenous variable cannot be treated as exogenous. Only in model 2 that we fail to reject the null hypothesis that the endogenous variable can be treated as exogenous, so that we need to consider the OLS estimates particularly for model 2.

Model 1 show that the coefficient of total import exposure was 2.4. This indicates that a US$ 1,000 per worker increase of total import exposure would causes an


increase in the unemployment rate in magnitude of 2.4%. Furthermore, the results in model 2-4 show that the effect of import exposure on the unemployment rate in all three types of goods is positive. This is similar to the results from 2SLS, however, the magnitude is lower than 2SLS results except for capital goods.

According to the results of 2SLS and OLS estimates, import competition increase unemployment. This may also be a consequence of the negative impact of import competition on manufacturing and non-manufacturing employment. In other words, the reduction of manufacturing and non-manufacturing employment causes some workers to lose their jobs and become unemployed. However, according to Statistics Indonesia, the unemployment rate in Indonesia during the period of 2007–2013 exhibited a decreasing trend, while the number of employment showed a slightly increasing trend. The possible reason is that there was an increase in employment in other sectors outside manufacturing and non-manufacturing, such as agriculture, fishery, forestry, mining, electricity, gas, water supply, and construction. Another possibility is there may be positive effects from exports that compensated the negative effects of imports. Nevertheless, the latter reason is not within the scope of this paper.

The findings of the impact of import competition on unemployment in this paper is in accordance with the results of studies conducted by Autor et al. (2013) and Donoso et al. (2014). However, the size of impact is different, this paper shows that the unemployment effects in Indonesia are lower than found by Autor et al. (2013) in the U.S., but it was higher than found by Donoso et al. (2014) in Spain. An increase of US$1,000 per worker in import competition causes an increase of unemployment in the U.S. and Spain by 4,9% and 2.7%, respectively. This may be because in the U.S. the impact of import competition on manufacturing employment was negative and, in absolute value, much higher than the finding in this paper, so that the unemployment effects were also more sizeable. On the other hand, the effect of import competition on manufacturing employment in Spanish provinces was negative, but in absolute value, was lower than found in this study resulting in more modest unemployment effects.

4. Wages

The results suggest that import competition had a negative effect on average wages. The first model shows the impact of total import exposure on ln average wages. The coefficient -1.6 implies that a US$1,000 increase in a district’s total import exposure per worker would decrease the ln average wages by approximately 1.6 natural log points. In model 2-4, we explore wages effects from import exposure of


capital goods, intermediate goods, and consumption goods separately. The results confirm that the largest decline was mainly driven by imports of consumption goods, while the lowest fall was from imports of intermediate goods. This means that imports of consumption goods can lead to a significant decrease of wages. Whilst, imports of intermediate goods may only slightly decrease wages.

Based on the results of instrumental variable test, the relevance condition and the validity of instruments are satisfied especially in model 2 and 4. We reject the null hypothesis of underidentification test and weak identification test. This means that the instruments are not only relevant, but also strongly correlated with the endogenous variable. From the overidentification test, we cannot reject the null hypothesis that the instruments are valid for model 2 and 4, but we reject the null hypothesis for model 1 and 3. However, the results of endogeneity test show that in model 1 and 3 the chi-sq(1) p-values are greater than 0.10 meaning that we cannot reject the null hypothesis that the endogenous variable can be treated as exogenous even at 10% significance level. Thus, OLS estimates may be more efficient in the case of model 1 and 3.

The consistent with the 2SLS fixed effects estimates, OLS fixed effects estimates also represents that import competition negatively affected average wages. Ln average wages went down by 1.2 natural log points for an increase of US$1,000 per worker in a district’s total import exposure as shown in model 1. From model 2-4, it is obvious that the largest cause of negative impact of import competition, again, was consumption goods. While the impact of imports of capital and intermediate goods was much lower than the impact of consumption goods.

Compared with the previous studies, the relationship between import competition and wages is in line with the research findings of Autor et al. (2013). However, the magnitude of the impact is somewhat larger than that was found by Autor et al. (2013). This might be because the condition of most companies in Indonesia is still weaker than firms in the U.S., a negative impact experienced by the enterprises due to import competition, such as the decline in sales could lead to a significant decline in wages. Furthermore, the large labor force in Indonesia causes difficulty in finding jobs because people must compete with a lot of job seekers, so that even though the firms decrease their wages, workers tend to except it.

D. Conclusion

The impact of increased imports due to trade globalization on the labor market during the last two decades has been a concern of many researchers. Although, trade openness would benefit the economy, if the rapid increase of trade globalization


cannot be matched by adjustment in the labor market, the structure of employment and wages may be affected. Research on this issue is important especially in the affected economies. This paper examines the impact of import competition on the local labor markets in Indonesia.

During the period of 2007–2013, there was a significant increase in imports to Indonesia. The growth of imports was higher than exports, the gap between imports and exports in that period became narrow, and imports exceeded exports in 2012. Nevertheless, as a country that has large number of workers, the growth of the manufacturing employment share in Indonesia is very slow. Society started to worry about the impact of import competition on the labor market and there is a discourse that the government will restrict some imported commodities. On the other hand, in line with the traditional view of trade openness, researchers believe that imports have positive impacts on the labor market in Indonesia. However, there is still no research about the impact of import competition on local labor markets in Indonesia, especially one using a new approach of import exposure used by scholars to challenge the traditional view. This makes Indonesia an interesting case to study regarding this issue.

This paper uses panel data analysis covering 430 districts in Indonesia in the period of 2007–2013. The estimation results show that the impact of a substantial increase of imports to Indonesia during the period of 2007–2013 affected the Indonesian local labor markets through import competition. Import exposure negatively affected manufacturing employment share, non-manufacturing employment share, and wages in Indonesia. Furthermore, it increased the unemployment rate. 2SLS estimates show that a US$ 1,000 per worker increase in total import exposure reduces the share of manufacturing employment and non-manufacturing employment by 1.5% and 2.9% respectively, while the average wages fell by 1.6 natural log points for a US$1,000 increase in a district’s total import exposure per worker. On the other hand, the unemployment rate increased by 3.1% when a district’s total import exposure increased by US$1,000 per worker. OLS estimates also exhibit the same effects as 2SLS shown, but most of the effects from 2SLS estimates are more sizable than OLS results. In a more detailed analysis, we found that the effects of import competition on Indonesian local labor markets are mainly driven by imports of consumption goods rather than capital and intermediate goods.

Compared to previous studies, there are some similarities in the findings. The results on manufacturing, non-manufacturing employment, and average wages in this research show that all are negatively affected by the exposure to import competition. The results in manufacturing employment and wages confirms the findings of previous studies conducted by Autor et al. (2013) in the U.S. The results in non-manufacturing affirms the finding of Dauth et al. (2014) in Germany. While, the findings of positive


effects on unemployment is in line with the evidence found by Autor et al. (2013) in The U.S. and by Donoso et al. (2014) in Spain.

Based on the evidence that the impact of import competition on both manufacturing and non-manufacturing employment was negative, protecting employment by developing firms in both manufacturing and non-manufacturing is important. A possible way to protect employment is providing assistance for firms to increase the quality, variation, and innovation of their products, so that they can compete with imported goods. Furthermore, the government can provide training to improve the skills of workers or to encourage them to become entrepreneurs. Providing better access to business loans is also important to help companies develop their businesses, so that they can survive amid import exposure. It can also help people who lose their jobs and find it difficult to get new jobs to open their own businesses. In this way, a decrease in employment and an increase in unemployment can be mitigated.

In addition, although this study has reached its objective, there were still some limitations and shortcomings due to data availability. First, focusing only on imports, this paper does not examine the possible positive effects of exports on the local labor markets. Second, we do not further the analysis to know the characteristics of affected workers, such as age, education, and gender. Finally, for consistency of analysis, this research includes 430 districts in Indonesia, however, now there are more than 500 districts in Indonesia due to a secession of district governments. Therefore, to generalize the results for Indonesia as whole, this study should have included more districts. Future research may consider these to develop a more in-depth study.

ANALISIS PENENTUAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN PIDIE

ANALYSIS OF DETERMINATION OF THE LEADING SECTOR IN PIDIE DISTRICT

Nama : Ibnu Abbas

Instansi : Pemkab Pidie

Tahun Intake : 2016


Program Studi : Ilmu Ekonomi


Universitas : Universitas Syiah Kuala


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menentukan sektor unggulan perekonomian Kabupaten Pidie sebagai bahan masukan bagi perencanaan pembangunan ekonomi daerah di Kabupaten Pidie. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Pidie dan Provinsi Aceh periode 2002–2016 yang dibagi dalam tiga waktu pengamatan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Location Quotient (LQ), Shift-Share, dan Klassen Tipology. Sektor unggulan dapat ditentukan dengan mengabungkan hasil ketiga alat analasis, yaitu sektor basis, maju, berdaya saing dan tumbuh pesat.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa sebelum pemekaran Kabupaten Pidie periode 2002–2006, sektor unggulan di Kabupaten Pidie adalah sektor pertanian; setelah pemekaran Kabupaten Pidie periode 2007–2011, sektor unggulannya adalah sektor jasa; dan setelah perubahan sektor PDRB periode 2012–2016, sektor unggulannya adalah sektor perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor, dan sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial.

Kebijakan pemerintah yang tepat sasaran sangat diharapkan dalam mendorong tumbuhnya investasi di sektor-sektor basis yang maju, tetapi tidak berdaya saing yang akan meningkatkan konstribusi sektor tersebut dalam PDRB dan mendorong pertumbunan ekonomi daerah pada masa yang akan datang.

Kata Kunci: Sektor Unggulan, Kabupaten Pidie, Location Quotient, Shift-Share, dan Tipologi Klassen


ABSTRACT

This study aims to determine the leading sector of economy in Pidie District as input for regional economic development planning. This research used secondary data from PDRB of Pidie District and Aceh Province period 2002–2016 divided in three observation time.nThe analysis methods are used in this research were Location Quotient (LQ), Shift-Share and Klassen Tipology analysis. The leading sector can be determined by combining the results of the three analytical tools, namely the base sector, advanced, competitive and growing rapidly.

Based on the result of the research, it is concluded that before expansion area of Pidie District during 2002–2006 period, the leading sector is agriculture sector; after expansion area of Pidie District during 2007–2011 period, the leading sector is the services sector, meanwhile, after the change of GDP sector for the period 2012–2016, the leading sectors are the wholesale and retail trade, repair of vehicles and motorcycles sector, and the human health and social work activities sector. Appropriate targeted government policies are expected to encourage investment growth in the advanced but non-competitive the base sectors that will increase the sector's contribution to PDRB and encourage future regional economic growth.

Keywords: The Leading Sector, Pidie District, Location Quotient, Shift-Share, Klassen typology


ANALISIS PENENTUAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN PIDIE

ANALYSIS OF DETERMINATION OF THE LEADING SECTOR IN PIDIE DISTRICT

A. Latar Belakang

Pada awal pengamatan tahun 2002, persentase PDRB Kabupaten Pidie masih didominasi 2/3 (dua per tiga) oleh sektor primer, tetapi pada tahun 2006, dominasi sektor primer hanya tinggal ½ (setengah) dari persentase PDRB. Ini menunjukkan peran sektor primer mulai bergerak pada sektor lain. Pergeseran peran sektor primer ini berimbas pada pergeseran tenaga kerja. Apabila sektor lain yang berkembang tidak mampu menampung tenaga kerja yang tersisih pada sektor primer, hal tersrbut akan berimbas pada sektor-sektor lain atau justru menciptakan masalah baru di masyarakat.

Pada awal tahun setelah pemekaran, yaitu tahun 2007 pergeseran sektor-sektor PDRB mulai tampak dalam persentase PDRB. Hal ini karena berkurangnya lahan beberapa sektor ekonomi, terutama sektor primer, khususnya lahan pertanian yang sebagian besar luasan wilayah yang menjadi kabupaten pemekaran merupakan wilayah pertanian produktif. Pada akhir pengamatan periode kedua (2011), persentase bobot PDRB sektor primer tinggal 43,05% dengan kontribusi sektor pertanian sebesar menjadi 42,07%.

Kecenderungan berkurangnya peranan sektor primer dan meningkatnya peranan sektor tersier pada ketiga periode pengamatan di atas perlu ditelusuri secara mendalam. Tujuannya adalah efek perubahan struktur ekonomi daerah mampu memberikan sumbangsih optimal terhadap perkembangan dan pertumbuhan ekonomi daerah, baik dari sisi angka pertumbuhan ekonomi maupun sisi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Di samping fakta dan data tentang PDRB Kabupaten Pidie di atas, secara keseluruhan wilayah Provinsi Aceh masih didominasi oleh sektor pertanian. Kontribusi sektor pertanian ini masih paling dominan, yaitu berkisar 20–60% dalam PDRB kabupaten/kota di Aceh. Hal ini menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja masyarakat sangat ditentukan oleh tumbuh tidaknya sektor pertanian (Jamal, 2010).

Berdasarkan fakta di atas, perubahan dan pergesekan peranan sektor ekonomi di Kabupaten Pidie menarik untuk dikaji. Perkembangan pembangunan ekonomi daerah Kabupaten Pidie selama 3 (tiga) periode pengamatan memperlihatkan perubahan


terhadap sektor-sektor basis ekonomi yang berdampak pada daya saing sektor tersebut secara regional. Pergeseran peran sektor-sektor tersebut dalam perekonomian daerah Kabupaten Pidie ini harus sesegera mungkin diantisipasi, sekaligus dicarikan solusi agar tidak menjadi penghambat dalam proses pembangunan ekonomi untuk masa yang akan datang. Kajian-kajian analisis yang mendalam terhadap pola perubahan dan pergeseran serta pemilihan sektor-sektor unggulan dapat dijadikan salah satu masukan yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah Kabupaten Pidie dalam mewujudkan pembangunan ekonomi yang tepat sasaran sesuai visi pembangunan Kabupaten Pidie, yaitu “Terwujudnya masyarakat Kabupaten Pidie yang sejahtera dengan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas dan berakhlaqul karimah” (RPJP Kabupaten Pidie 2006–2026). Lebih lanjut, dari berbagai sektor unggulan tersebut akan didalami sektor yang memiliki keterkaitan tertinggi. Sektor ini bertindak sebagai leading sector atau memimpin dan menggerakkan perekonomian kawasan yang diharapkan memiliki keterkaitan ekonomi dan dampak pengganda (multiplier) yang luas terhadap kawasan dan masyarakatnya (Muta’ali, 2015).

Dengan kondisi tersebut, timbul pertanyaan apakah perubahan kontribusi sektoral yang terjadi telah didasarkan pada strategi kebijakan pembangunan yang tepat, yaitu strategi yang memberikan dampak optimal yang mendorong pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pidie? Hal ini karena untuk melaksanakan pembangunan dengan sumber daya yang terbatas, sebagai konsekuensinya, strategi ini harus difokuskan pada pembangunan sektor-sektor yang memberikan dampak pengganda (multiplier effect) yang besar terhadap sektor-sektor lainnya atau perekonomian secara keseluruhan.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menggambarkan pola perubahan, pergeseran, dan pertumbuhan sektoral dalam perekonomian, serta menentukan sektor-sektor unggulan sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan di Kabupaten Pidie.


Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan dalam penelitian ini yaitu

1. Sektor apa saja yang dapat menjadi sektor basis sebelum pemekaran, sesudah pemekaran dan setelah perubahan klasifikasi sektor PDRB di Kabupaten Pidie?

2. Bagaimana perubahan dan pergeseran sektor perekonomian Kabupaten Pidie selama ketiga periode pengamatan tersebut?

3. Bagaimana klasifikasi pertumbuhan sektor perekonomian wilayah Kabupaten Pidie selama ketiga periode pengamatan tersebut?


4. Sektor apa saja yang menjadi sektor-sektor unggulan maupun potensial untuk dikembangkan Kabupaten Pidie guna mendorong pertumbuhan ekonomi untuk masa datang?

5. Penelitian ini dilakukan pada wilayah Kabupaten Pidie Provinsi Aceh.

Pertimbangan penelitian dilakukan di Kabupaten Pidie, agar hasil penelitian ini berupa sektor-sektor unggulan perekonomian dapat digunakan sebagai informasi bagi Pemerintah Kabupaten Pidie dalam perencanaan pembangunan dengan memperioritaskan sektor-sektor tersebut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pidie.

Berdasarkan perumusan masalah, dalam menganalisis tesis ini data yang digunakan berupa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten maupun provinsi mulai tahun 2002 sampai dengan 2016. Jenis penelitian ini adalah penelitian diskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Analisis penelitian ini menggunakan variabel berupa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten maupun provinsi. Data penelitian adalah data sekunder berupa time series dari PDRB dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pidie dan Provinsi Aceh yang diperoleh dari BPS, jurnal, artikel yang berkaitan dengan penelitian.


1. Kondisi Perekonomian Daerah Kabupaten Pidie

Perekonomian Kabupaten Pidie sebagai kesatuan ekonomi yang menyeluruh dapat digambarkan melalui besaran nilai PDRB-nya. Produk domestik brutto (PDB) sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekenomian (Mankiw, 2006). Untuk skala daerah, meningkatnya nilai PDRB menunjukkan peningkatan kinerja perekonomian, dan begitu juga sebaliknya. Secara umum, kinerja perekonomian Pidie meningkat dilihat dari nilai PDRB ADHK selama masa pengamatan (2002–2016). Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan Kabupaten Pidie pada tahun 2016 adalah sebesar Rp6.853,5 meningkat hampir 665% dibandingkan dengan nilai PDRB Kabupaten Pidie pada tahun 2002 yang hanya sebesar Rp1.030,5 miliar.

Ditinjau dari perkembangan PDRB atas dasar harga konstan 2000 dan PDRB atas dasar harga konstan 2010 dalam tahun analisis, yaitu 2002–2016, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pidie selalu positif dan berfluktuasi. Pada tahun 2003, perekonomian Pidie tumbuh 2,22%. Pada tahun 2010 perekonomian Pidie meningkat hingga 4,38%, dan meningkat lagi pada tahun 2015 hingga 4,83%. Akan tetapi, pada tahun 2016, perekenomian Pidie kembali turun menjadi 3,93%.


2. Sebelum Pemekaran Kabupaten Pidie

Berdasarkan hasil perhitungan analisis periode pengamatan sebelum terjadinya pemekaran Kabupaten Pidie, sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor yang memenuhi keempat indikator yang digunakan untuk menentukan sebuah sektor layak menjadi sektor unggulan dan sektor ini termasuk sektor basis, maju, berdaya saing dan tumbuh pesat dibandingkan pertumbuhan di tingkat provinsi. Kedelapan sektor lainnya tidak memenuhi kriteria sebagai sektor unggulan pada periode tahun 2002–2006. Hasil analisis pada periode ini serupa dengan hasil penelitian di Kabupaten Aceh Utara yang dilakukan oleh Fachrurrazy (2009) yang juga menyimpulkan sektor pertanian sebagai sektor unggulan di Kabupaten Aceh Utara.

3. Rekapitulasi Hasil Analisis Setelah Pemekaran Kabupaten Pidie

Pemekaran menyebabkan sebuah daerah kehilangan luasan wilayahnya, begitu juga yang dialami oleh Kabupaten Pidie. Pemekaran menyebabkan luas wilayah Pidie pada tahun sebelum 2007 seluas ± 4.160,55 km2 menjadi ± 3.086,95 km2 pasca-pemekaran dan luasan seluas ± 1.073,6 km2 menjadi wilayah Kabupaten Pidie Jaya (UU No. 7 Tahun 2007).

Kehilangan luasan wilayah ini berimbas pada produksi dari beberapa sektor lapangan usaha, dan yang paling merasakan dampak perubahan adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan yang sebelumnya termasuk sektor yang berdaya saing dan tumbuh pesat menjadi sektor tidak berdaya saing dan tumbuh tertekan. Adapun sektor lain tidak banyak mengalami perubahan baik dari sisi sektor basis, sisi pertumbuhan porposional maupun sisi kompetetitif/daya saing.

Rekapitulasi hasil analisis Kabupaten Pidie pada periode setelah pemekaran tahun 2007–2011 memperlihatkan bahwa sektor yang menjadi unggulan tidak lagi sektor pertanian seperti periode sebelumnya, tetapi berubah menjadi sektor jasa-jasa. Hasil yang ditemukan pada periode ini serupa dengan penelitian oleh Safwadi (2012) di kabupaten/kota di wilayah Pantai Barat Selatan Provinsi Aceh yang menemukan bahwa sektor jasa merupakan sektor unggulan di Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, Aceh Singkil, dan Simuelue.

4. Rekapitulasi Hasil Analisis Setelah Perubahan Sektor PDRB

Pada periode setelah sektor-sektor PDRB diubah dari sembilan sektor menjadi tujuh belas sektor, terjadi pergeseran sektor yang layak dijadikan unggulan. Sektor


primer dalam hal ini sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan masih mendominasi dari sisi konstribusi terhadap PDRB, tetapi dari sisi analisis sektor ini, meskipun masih tergolong sektor basis, sektor pertanian tidak berdaya saing dan tumbuh tertekan dari provinsi. Sektor-sektor yang muncul sebagai unggulan dalam periode akhir ini (2012–2016) adalah sektor perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor, dan sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial.

Kemunculan kedua sektor di atas sebagai sektor unggulan di Kabupaten Pidie dalam tahun terakhir pengamatan menggambarkan kondisi aktual perekonomian Kabupaten Pidie saat ini. Budaya merantau dan berdagang yang diamini sebagai salah satu ciri khas masyarakat Pidie, terutama dalam Provinsi Aceh, merupakan salah satu sebab yang mendorong sektor ini menjadi berkembang cukup pesat.

Adapun untuk sektor jasa kesehatan, keberadaan 2 (dua) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), yaitu RSUD Tgk. Chik Di Tiro yang berlokasi di Kota Sigli dan RSUD Tgk. Abdullah Syafii yang berlokasi di Kota Mini Beureunuen merupakan salah satu faktor penyumbang keberadaan sektor ini di samping fasilitas jasa kesehatan dan sosial lainnya yang dimiliki pihak swasta dan pemerintah.

Dari ketiga periode pengamatan, secara umum terlihat bahwa sektor-sektor dengan kontribusi besar dalam PDRB Kabupaten Pidie merupakan sektor basis, tetapi tidak semua sektor tersebut layak diunggulkan karena rendahnya daya saing. Sektor dengan konstribusi besar seperti pertanian merupakan salah satu sector basis selama periode pengamatan, tetapi sejak pemekaran Kabupaten Pidie, sektor ini tidak lagi berdaya saing. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan strategis daerah agar sektor-sektor yang berkonstribusi besar terhadap PDRB juga memiliki konstribusi besar dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

D. Kesimpulan

Dari penelitian tentang analisis penentuan sektor unggulan Kabupaten Pidie, penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan analisis Location Quotient (LQ), sektor-sektor basis di Kabupaten Pidie dapat dijabarkan sebagai berikut:a. Periode sebelum pemekaran, sektor basis adalah sektor sektor pertanian,

sektor listrik, gas dan air bersih, sektor konstruksi, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan.

b. Periode setelah pemekaran, sektor basis adalah sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih, dan sektor jasa-jasa.


c. Periode setelah perubahan sektor PDRB, sektor basis adalah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan; sektor perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor, sektor penyediaan akomodasi dan makan minum, sektor real estat, sektor jasa perusahaan, sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib, sektor jasa pendidikan, sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial, dan sektor jasa lainnya.

2. Berdasarkan hasil analisis Shift-Share, perubahan dan pergeseran sektor perekonomian Kabupaten Pidie selama ketiga periode pengamatan dapat disimpulkan sebagai berikut:a. Periode sebelum pemekaran, sektor yang mengalami pergeseran paling

besar adalah sektor jasa-jasa dan sektor yang paling kecil mengalami pergeseran adalah sektor keuangan, persewaan, dan Jasa Perusahaan.

b. Periode setelah pemekaran, sektor yang mengalami pergeseran paling besar masih didominasi oleh sektor jasa-jasa dan sektor yang paling kecil mengalami pergeseran pada periode pengamatan ini adalah sektor listrik, gas, dan air bersih.

c. Periode setelah perubahan sektor PDRB, sektor yang mengalami pergeseran paling besar adalah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dan yang paling kecil mengalami pergeseran adalah sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang.

3. Berdasarkan hasil analisis tipologi Klassen, klasifikasi pertumbuhan sektor perekonomian wilayah Kabupaten Pidie selama ketiga periode dapat dijabarkan sebagai berikut:a. Periode sebelum pemekaran, sektor yang termasuk dalam kategori sektor

maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I), yaitu sektor pertanian dan sektor jasa-jasa.

b. Periode setelah pemekaran, sektor yang termasuk dalam kategori sektor maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I), yaitu sektor jasa.

c. Periode setelah perubahan sektor PDRB, sektor yang termasuk dalam kategori sektor maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I), yaitu sektor perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor dan sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial.

4. Hasil analisis penggabungan dari ketiga alat analisis menunjukkan bahwa sektor unggulan dengan kriteria tergolong dalam sektor basis yang maju, kompetitif ,dan tumbuh dengan pesat adalah sebagai berikut:a. Periode sebelum pemekaran, sektor unggulan adalah sektor pertanian.b. Periode setelah pemekaran, sektor unggulan adalah sektor jasa-jasa.


c. Periode setelah perubahan sektor PDRB, sektor unggulan adalah sektor perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor dan sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial.

5. Sebagai salah satu sektor basis yang maju, sektor pertanian sangat potensial untuk dikembangkan menjadi motor penggerak ekonomi Kabupaten Pidie pada masa yang akan datang karena sektor ini memberikan konstribusi yang cukup besar terhadap PDRB.

6. Pergeseran dari sektor primer ke sektor tersier selama waktu pengamatan memperlihatkan pola perubahan struktur perekonomian Kabupaten Pidie. Hal ini memberikan harapan sekaligus tantangan perekonomian pada masa yang akan datang mengingat banyak hilangnya serapan tenaga kerja pada sektor primier yang merupakan sektor dengan kontribusi PDRB tertinggi dengan teanga kerja yang banyak.

7. Rendahnya konstribusi sektor sekunder menandakan bahwa hasil produksi dari sektor tersier yang melimpah tidak mampu diantisipasi oleh kapasitas sektor sekunder sehingga produksi sektor primer terutama sektor pertanian lari ke luar daerah.

ANALISIS SPASIAL BELANJA PUBLIK DAN KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

SPATIAL ANALYSIS OF PUBLIC SPENDING AND POVERTY IN PROVINCE OF BANGKA BELITUNG ISLANDS

Nama : Ishar

Instansi : Pemkab Belitung Timur

Tahun Intake : 2016






ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menyelidiki pola spasial belanja publik, yaitu belanja fasilitas umum, kesehatan, pendidikan dan perlindungan sosial dan kemiskinan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross section tahun 2010 dan 2015 dengan Indeks Moran’s. Data dianalisis menggunakan perangkat lunak GeoInformation Sistem (GIS) open source.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja publik, yaitu belanja fasilitas umum, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial tahun 2010 dan 2015 (kecuali belanja kesehatan) memiliki keterkaitan spasial negatif karena nilai Indeks Moran’s (I) < nilai ekspektasi indeks Moran’s (I0). Hasil ini membentuk pola spasial acak, artinya peningkatan atau penurunan belanja publik suatu kabupaten/kota tidak dikuti oleh wilayah tetangganya. Faktor kemiskinan juga membentuk pola spasial acak pada tahun 2010, tetapi tidak membuat pola spasial acak pada tahun 2015. Rekomendasinya adalah pemerintah khususnya pemerintah provinsi harus lebih mampu melaksanakan kebijakan alokasi anggaran yang dapat membantu mempercepat pengurangan kemiskinan di Kabupaten Belitung dan Belitung Timur.

Kata kunci: Belanja Publik, Kemiskinan, Pola Spasial, Indeks Moran’s


ABSTRACT

This study aims to find out and investigate spatial patterns of public spending such as public utilities, health, education, and social protection and poverty in province of Bangka Belitung Islands. Using cross section data in 2010 and 2015 with Moran's Index data are analyzed by using the open source GeoInformation System (GIS) software.

The results show that public spending of public utilities, health, education, and social protection in 2010 and 2015 (except health spending) have negative spatial relationships because of the Moran's Index (I) < value of Moran's Index expectation (I0). These results form a random spatial pattern meaning that the increase or decrease in public spending of a district/city is not followed by its neighboors. While poverty also forms a random spatial pattern in 2010 but it didn’t form a random spatial pattern in 2015. The recommendation is the government, especially the provincial government, should be able to implement budget allocation policies that can accelerate poverty reduction in Belitung and East Belitung districts.

Keywords: Public Spending, Poverty, Spatial Pattern, Moran's Index


ANALISIS SPASIAL BELANJA PUBLIK DAN KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

A. Latar Belakang

Kemiskinan merupakan topik yang terus-menerus menjadi penelitian dan kebijakan karena ia merupakan isu global dan dapat dikatakan hampir semua negara menghadapi isu ini. Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, menjadikan isu tersebut sebagai agenda paling prioritas untuk ditangani sebagaimana yang tercantum dalam kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs), tetapi belum berhasil dituntaskan dan sekarang berlanjut dengan dituangkan kembali dalam kesepakatan Sustainable Development Goals (SDGs).

Upaya untuk mengurangi kemiskinan yang dilakukan pemerintah walaupun dihadapkan pada sumber pendanaan yang terbatas adalah pengalokasian anggaran dalam bentuk belanja untuk layanan publik. Dengan cara ini, produktivitas penduduk, terutama yang tinggal di pedesaan, terus meningkat dan pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan sehingga penduduk miskin di pedesaan terus berkurang (Fan, 2008). Belanja pemerintah untuk layanan publik lokal efektif dalam mengurangi kemiskinan tersebut sejalan dengan hasil penelitian (Aaberge, et.al. 2008).

Salah satu provinsi yang mengalami penurunan angka kemiskinan di Indonesia, khususnya di Sumatera adalah provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang menghadapi perlambatan penurunan kemiskinan selama 3 tahun terakhir, pada tahun 2013 sampai 2015. Jika seluruh kabupaten/kota hanya mampu menurunkan persentase kemiskinan di bawah angka 1 digit saja, persentase kemiskinan di Kabupaten Belitung justru meningkat pada tahun 2013 dan 2015.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki persentase penduduk miskin paling rendah di wilayah Sumatera, yaitu sebesar 5,40% pada tahun 2015. Meskipun persentase penduduk miskin semakin menurun, antarkabupaten/kota di Bangka Belitung masih terjadi kesenjangan persentase penduduk miskin (lihat Gambar 1). Hal ini mengindikasikan bahwa kemiskinan memiliki hubungan spasial dengan ketidaksetaraan arus investasi pemerintah dalam bentuk belanja daerah antar geografis. Korelasi infrastruktur miskin dengan kemiskinan menandakan bahwa pemerintah daerah belum efektif menggunakan belanja sebagai alat pengentasan kemiskinan (Wellenstein, 1999).

Menurut Tobler (1979), letak geografis wilayah tetangga akan memengaruhi aktivitas dan karakteristik sosial ekonomi suatu wilayah. Semakin dekat suatu wilayah dengan wilayah lainnya semakin kuat pengaruhnya. Kemiskinan dipengaruihi juga


oleh karakteristik wilayah dan kedekatannya dengan wilayah miskin tetangga sehingga muncul kantong-kantong kemiskinan di wilayah tertentu. Belanja pemerintah kabupaten/kota yang berdekatan juga memiliki interaksi strategis spasial dalam bentuk kompetisi tiebout atau perilaku meniru (Barreira, 2011).

Penelitian ini berusaha menggunakan pendekatan spasial dalam menganalisis keterkaitan kemiskinan antarwilayah dan belanja pemerintah terhadap kemiskinan dengan menggunakan data cross section. Pendekatan spasial dipilih karena penggunaan data cross section atau data panel harus memperhatikan aspek spasial agar memberikan gambaran yang lebih realistis (Ahmad & Hall, 2012; Viton, 2010). Apabila terdapat ketergantungan spasial antarwilayah, estimasi dengan model OLS akan memberikan hasil yang bias atau tidak akurat. Pengabaian kemungkinan interaksi spasial antarunit ekonomi dalam model empiris dapat menyebabkan penarikan kesimpulan (inferences) yang salah (Anselin, 1988).

Penelitian atau kajian tentang belanja publik dan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan spasial juga masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, pola keterkaitan spasial belanja publik dan kemiskinan sangat menarik untuk diselidiki. Penelitian ini memilih lokasi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dengan unit analisis pada tingkat kabupaten/kota. Lokus penelitian yang tidak terlalu besar ini diharapkan dapat menyelidiki keterkaitan spasial belanja publik dan pengurangan kemiskinan antar kabupaten/kota dalam provinsi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan dalam bentuk rekomendasi kebijakan bagi pemerintah kabupaten/kota dan provinsi di Kepulauan Bangka Belitung dalam mengalokasikan anggaran untuk belanja publik dan kemiskinan.


Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana pola spasial belanja pemerintah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung?

2. Bagaimana pola spasial kemiskinan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung?3. Bagaimana kebijakan belanja untuk pengurangan kemiskinan di Provinsi

Kepulauan Bangka Belitung?

Ruang lingkup penelitian ini meliputi 6 kabupaten dan 1 kota yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan tujuan untuk menyelidiki keterkaitan dan pengelompokan belanja publik dan kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menggunakan data spasial dan nonspasial. Penggunaan data spasial


dalam penelitian ini adalah peta administrasi provinsi dan kabupaten/kota di Kepulauan Bangka. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan publikasi dari Badan Pusat Statistik, laporan dari Dirjen Perimbangan Keuangan Kementrian Keuangan RI, Bappeda, dan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung instansi, lembaga, atau sumber-sumber lain yang relevan. Data yang dimaksud adalah

1. Penduduk miskin kabupaten/kota di Kepulauan Bangka Belitung tahun 2010 dan 2015 dalam persentase.

2. Belanja berdasarkan fungsi yaitu belanja fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial tahun 2010 dan 2015 dalam dalam juta rupiah.

3. Peta administrasi provinsi dan kabupaten/kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam bentuk shapefile (shp).

Metode analisis yang digunakan adalah dengan menggabungkan atau mengombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penggunaan metode kuantitatif untuk menyelidiki dan menguji nilai signifikansi belanja publik dan kemiskinan. Penggunaan metode kualitatif untuk menjelaskan hasil penyelidikan dan pengujian dari analisis spasial. Untuk membantu proses analisis spasial penelitian menggunakan perangkat lunak sistem informasi geospasial open source.


1. Belanja Publik

Dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan, kewenangan pemerintahan daerah dalam otonomi daerah adalah mengeluarkan belanja daerah (Utama & Kustiani, 2012). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah didefinisikan sebagai kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan fungsi maupun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antarpemerintah daerah.

Struktur APBD sesuai Permendagri No. 13 tahun 2006 membagi klasifikasi belanja daerah menurut urusan pemerintahan, fungsi, organisasi, program dan kegiatan, serta kelompok belanja. Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri atas belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah.


2. Hubungan Belanja Infrastruktur dengan Kemiskinan

Pengeluaran pemerintah pada sektor infrastruktur dalam kaitannya dengan lokasi investasi infrastruktur sangat penting. Pengurangan kemiskinan dapat segera dilakukan jika lokus pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, irigasi, dan kelistrikan dialokasikan di perdesaan karena perdesaan memiliki efek distributif dan multiplier yang menguntungkan orang miskin (Ali & Pernia, 2003). Penelitian Sasmal dan Sasmal (2016) menunjukkan bahwa di negara-negara yang rasio pengeluaran publik terhadap pembangunan infrastruktur, seperti jalan, irigasi, listrik, transportasi, dan komunikasi lebih tinggi, pendapatan per kapitanya lebih tinggi dan angka kemiskinannya lebih rendah.

Membaiknya infrastruktur diharapkan dapat memperlancar mobilitas kerja ekonomi antardaerah yang selanjutnya menarik minat para investor untuk berinvestasi di daerah tersebut. Hal ini artinya menciptakan kesempatan kerja baru karena munculnya unit-unit kegiatan baru. Pada akhirnya penyediaan dan perbaikan infrastruktur dasar akan memberikan efek peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan (Nugraheni & Priyarsonoa, 2012).

Kontribusi infrastruktur dasar transportasi terhadap pengurangan dimensi kemiskinan non-pendapatan bergantung pada tingkat investasi dan sifat kebijakan pro-poor yang mengatur layanan lain yang sangat penting untuk memberdayakan masyarakat miskin (Kanayo, 2015). Kesimpulan penting lainnya adalah tingkat kemiskinan yang tinggi sangat mungkin disebabkan oleh belanja infrastruktur yang kurang (Marinho, et al. 2017).

3. Hubungan Belanja Pendidikan dengan Kemiskinan

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1 sampai dengan 4 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah diamanahkan untuk mewajibkan setiap warga negara mengikuti pendidikan dasar dan diwajibkan untuk membiayainya serta mengalokasikan dana pendidikan sebesar minimal 20% dari APBN dan APBD. Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah diwajibkan mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN.

Hal tersebut karena pendidikan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia. Seseorang yang memperoleh pendidikan memperoleh kesempatan yang lebih baik dan bisa memperbaiki standar hidupnya. Pendidikan tidak hanya memengaruhi kemampuan individu untuk mendapatkan tingkat pendapatan yang tinggi, tetapi juga memengaruhi perilaku dan pengambilan keputusan untuk menjangkau kebutuhan pokok, bahkan menghindari kondisi miskin.


Tingkat pendidikan akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pengetahuan dan keahliannya yang akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat dilihat melalui peningkatan pendapatan dan konsumsinya. Rendahnya produktivitas kaum miskin dapat disebabkan oleh rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian, akses penduduk miskin yang baik terhadap pendidikan akan memajukan perekonomian masyarakat dan mengurangi kemiskinan.

Pengeluaran pada sektor pendidikan sangat dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan secara adil proporsional antarwilayah. Interaksi strategis spasial dalam pengeluaran publik untuk pendidikan sebagai wilayah harus diperhatikan agar dampak alokasi anggaran efektif dapat menyentuh masyarakat (Jiang, 2015).

4. Hubungan Belanja Kesehatan dengan Kemiskinan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan alokasi anggaran kesehatan sebesar 5% dari belanja APBN dan 10% dari belanja APBD. Tujuan penerapan undang-undang tersebut adalah perbaikan kualitas dalam layanan kesehatan penduduk karena kesehatan merupakan investasi sumber daya manusia untuk mencapai masyarakat yang sejahtera (welfare society).

Tingkat kesehatan masyarakat sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat kesehatan memiliki keterkaitan yang erat dengan kemiskinan. Sementara itu, tingkat kemiskinan terkait dengan tingkat kesejahteraan. Sebagai faktor utama kesejahteraan masyarakat yang hendak diwujudkan pemerintah, kesehatan harus menjadi perhatian utama pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Untuk itu, pemerintah harus menjamin hak masyarakat untuk sehat (right for health) dengan memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan merata, memadai, terjangkau, dan berkualitas. Alokasi pengeluaran layanan kesehatan harus berdimensi geografis dalam arti adil pada semua wilayah. Hal ini karena pengeluaran layanan kesehatan dari suatu wilayah tertentu dapat memengaruhi pola pengeluaran layanan kesehatan di wilayah tetangga dengan cara yang sama, artinya ada ketergantungan spasial dalam pengeluaran layanan kesehatan antar wilayah (Bose, 2015).

Kebijakan peningkatan pengeluaran kesehatan dengan nilai yang sama menyebabkan peningkatan penyerapan tenaga kerja pada semua sektor dan mengurangi kemiskinan. Peningkatan pengeluaran kesehatan apabila dibandingkan


dengan pengeluaran pendidikan dan infrastruktur memiliki pengaruh yang besar dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan (Sulistyowati, 2013).

5. Hubungan Belanja Sosial dengan Kemiskinan

Hubungan antara belanja sosial dan kemiskinan dalam jangka pendek adalah negatif, tetapi dalam jangka panjang, hubungan keduanya positif. Hubungan jangka panjang menunjukkan bahwa belanja sosial itu meningkatkan daripada mengurangi kemiskinan. Efek ini disebut sebagai "perangkap belanja sosial". Karena permintaan untuk belanja sosial meningkat, semakin banyak orang menjadi bergantung pada program bantuan sosial (Celikay & Gumus, 2017).

6. Hasil Analisis Keterkaitan dan Pola Spasial

Analisis keterkaitan dan pola spasial dalam penelitian ini digunakan pada 4 (empat) belanja publik berdasarkan fungsi, yaitu belanja fasilitas umum, kesehatan, pendidikan dan perlindungan sosial, dan persentase penduduk miskin. Pemilihan belanja dan persentase penduduk miskin diharapkan dapat menjelaskan pola dan keterkaitan spasial dalam bentuk kerja sama regonal antarkabupaten/kota di Provinsi Kep. Bangka Belitung.

Hasil yang diperoleh dari keempat belanja tersebut menununjukkan tingkat kekuatan keterkaitan spasial yang rendah, yaitu belum mendekati angka 1. Hal ini berpotensi membentuk pola spasial yang acak. Ini artinya antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi Kep. Bangka Belitung tidak memiliki pengaruh spasial satu sama lainnya dalam belanja publik. Peningkatan atau pengurangan belanja publik suatu kabupaten/kota tidak diikuti oleh kabupaten/kota lainnya, dan ini menunjukkan bahwa antarkabupaten/kota tidak ada kerja sama regonal dalam belanja publik.

Hasil yang diperoleh dari persentase penduduk miskin juga menununjukkan tingkat kekuatan keterkaitan spasial yang rendah. Ini artinya tidak terjadi pengaruh spasial satu sama lainnya dalam kemiskinan. Hal ini bisa juga berarti bahwa kemiskinan pada suatu wilayah kabupaten/kota tidak memengaruhi kemiskinan di wilayah lainnya di Provinsi Kep. Bangka Belitung.

7. Arahan Kebijakan Belanja untuk Penanggulangan Kemiskinan

Belanja daerah dialokasikan untk mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri atas urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan yang penanganannya dalam bidang tertentu


dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antarpemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.

Penentuan besaran belanja yang dianggarkan berlandaskan pada prinsip disiplin anggaran, yaitu prinsip prioritas bahwa pelaksanaan anggaran selalu mengacu pada prioritas utama pembangunan daerah. Oleh karena itu, belanja penyelenggaraan pembangunan diprioritaskan untuk pelayanan publik, kesejahteraan rakyat, dan daya saing ekonomi dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas social, dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial.

Arah kebijakan yang telah dijalankan oleh kabupaten/kota di Provinsi Kep. Bangka Belitung sudah cukup baik, tetapi perlu ditingkatkan lagi. Beberapa hal yang perlu dilakukan pada masa mendatang adalah sebagai berikut:

a. Belanja yang diarahkan pada penyelenggaraan perlindungan sosial harus dilaksanakan secara komprehensif melalui penataan kelembagaan dan pendampingan dengan perluasan cakupan dalam desain programnya. Pada wilayah yang berpendapatan rendah dan cukup rendah, peningkatan belanja pemerintah daerah sangat diperlukan. Efisiensi yang lebih besar akan dicapai pada level program, misalnya dengan melakukan lebih banyak program perlindungan sosial. Bukti empiris dari banyak negara berkembang menunjukkan bahwa program perlindungan sosial memiliki hasil yang sangat signifikan dalam pengurangan kemiskinan (Fiszbein, et.al. 2014). Dalam perluasan cakupan desain program, misalnya banyak negara memberikan bagian belanja lebih besar pada orang tua miskin dan orang cacat maka belanja pada anak-anak harus diperbesar juga (Arcanjo, et.al. 2013). Program seperti transfer harus didesain agar menfasilitasi alokasi rumah tangga pada sumber-sumber yang produktif (Barrientos, 2012). Perluasan cakupan sistem Bantuan Sosial dan Jaminan Sosial juga harus tepat sasaran serta dilakukan penguatan kelembagaan social, seperti membentuk standar pelayanan sosial, layanan sistem rujukan sosial, pengelolaan basis data terpadu, dan sumberdaya manusia sosial (Social worker).

b. Belanja sebaiknya diarahkan pada perluasan dan peningkatan pelayanan dasar melalui ketersediaan infrastruktur dan sarana pelayanan dasar, yaitu fasilitas umum/publik, kesehatan, pendidikan, dan sanitasi. Alasan yang mendasarinya bahwa kemiskinan regional dapat diatasi dengan memperbaiki infrastruktur utama dan konstruksi pelayanan publik, sehingga mempersempit perbedaan pembangunan daerah (Liu, et.al. 2017).


Selanjutnya, pemerintah dapat memberikan penyuluhan dan penyadaran kepada penduduk miskin akan hak dan pelayanan dasar yang harus ia dapatkan. Terakhir, melakukan penguatan sistem pengaduan, pemantauan dan evaluasi berkenaan dengan layanan dasar tersebut.

c. Belanja seharusnya diarahkan untuk penghidupan berkelanjutan melalui peningkatan kegiatan ekonomi penduduk dengan pengembangan potensi lokal dan sektor unggulan, peningkatan layanan keuangan, dan kemudahan akses pada permodalan serta penguatan sistem layanan keuangan mikro. Hasil penelitian Lonborg & Rasmussen, (2014) menunjukkan bukti bahwa keuangan mikro yang dikelola oleh masyarakat bisa menjangkau lebih banyak orang miskin. Oleh karena itu, penting bagi pembuat kebijakan untuk melaksanakan strategi dalam mempromosikan dan menciptakan akses yang besar pada keuangan mikro karena dapat mengurangi kemiskinan dan penciptaaan kesejahteraan pada orang miskin (Agbola, et.al. 2017). Peningkatan kapasitas dan keterampilan masyarakat miskin melalui pendampingan kewirausahaan dan melalui optimalisasi pemanfaatan lahan yang tidak produktif bagi masyarakat miskin juga hal yang mendesak untuk dilaksanakan.

D. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan permasalahan, tujuan dan uraian hasil analisis yang telah dibahas pada penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pola spasial belanja publik di Provinsi Kep. Bangka Belitung terdiri atas: (a) belanja fasilitas umum; (b) belanja kesehatan; (c) belanja pendidikan; (d) belanja perlindungan sosial. Keempat belanja publik dimaksud tidak memiliki keterkaitan spasial secara global pada tahun 2010 dan 2015, tetapi secara lokal pada tahun 2010 dan 2015 membentuk keterkaitan spasial acak, kecuali pada belanja kesehatan tahun 2010. Keterkaitan spasial lokal acak bermakna bahwa tidak ada kesamaan nilai tinggi-tinggi atau rendah-rendah, yang juga bisa berarti bahwa peningkatan dan pengurangan belanja publik suatu wilayah tidak akan diikuti oleh wilayah tetangganya. Hal ini berbeda dengan temuan penelitian Barreira, (2011) yang menyatakan bahwa belanja pemerintah kabupaten/kota yang berdekatan memiliki interaksi strategis spasial dalam bentuk kompetisi Tiebout atau perilaku meniru.

2. Pola spasial kemiskinan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2010 dan 2015 tidak memiliki keterkaitan spasial secara global, tetapi secara lokal pada tahun 2010 membentuk keterkaitan spasial acak, sedangkan tahun 2015 tidak


ada keterkaitan spasial secara lokal. Ini artinya bahwa tidak ada kesamaan nilai tinggi-tinggi atau rendah-rendah, yang juga dapat disimpulkan bahwa kenaikan dan penurunan persentase penduduk miskin suatu wilayah tidak diikuti oleh wilayah tetangganya.

3. Kebijakan belanja untuk penanganan kemiskinan pada kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah: (a) belanja yang diarahkan pada penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif; (b) belanja yang diarahkan pada perluasan dan peningkatan pelayanan dasar melalui ketersediaan infrastruktur dan sarana pelayanan dasar, yaitu fasilitas umum/publik, kesehatan, pendidikan dan sanitasi; (c) belanja yang diarahkan untuk penghidupan berkelanjutan melalui peningkatan kegiatan ekonomi penduduk.

TRADE OPENNESS AND FEMALE-MALE EARNINGS DIFFERENTIALS: EVIDENCE FROM INDONESIA

Nama : Maryam Jamielaa

Instansi : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Tahun Intake : 2015






ABSTRAK

Dalam dua dekade terakhir, Indonesia telah mengalami peningkatan total perdagangan dan FDI. Pada periode 2008–2014, ada peningkatan volume FDI, yang diikuti oleh tren yang semakin melebar dalam kesenjangan pendapatan perempuan dan laki-laki. Melihat semua fakta itu, penelitian ini menyelidiki dampak keterbukaan perdagangan pada perbedaan pendapatan laki-laki dan bagaimana dampaknya berbeda di seluruh distribusi upah. Skripsi ini menggunakan data lapangan kerja dari Survei Perburuhan Nasional (SAKERNAS) yang diterbitkan oleh Statistik Indonesia dan data FDI yang dirilis oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Selanjutnya, setelah menerapkan metode estimasi OLS dan Metoda Kuantitatif, tampak bahwa kesenjangan upah gender lebih sempit dalam distribusi upah kuantil rendah daripada distribusi kuantil tinggi. Selain itu, temuan penting lainnya muncul dari hasil pendapatan kelompok provinsi, yang menunjukkan bahwa perbedaan upah gender lebih sempit di provinsi berpenghasilan tinggi dan menengah daripada di provinsi berpenghasilan rendah.

Kata kunci: Keterbukaan Perdagangan, Gender Wage Gap, Regresi Kuantitatif


ABSTRACT

In the past two decades, Indonesia has experienced an increase in total trade and FDI. In the period 2008–2014, there was an increasing of FDI volume, which was followed by a widening trend in the female and male earnings gap. Looking at all that facts, this study investigates the impact of trade openness on female-male earnings differentials, and how the impact differs across the wage distribution. This thesis used data employment from the National Labor Survey (SAKERNAS) published by Statistics Indonesia and FDI data released by the Investment Coordinating Board (BKPM). Furthermore, after applying the OLS and the Quantile Regression estimation method, it appears that gender wage gap is narrower in low quantile wage distributions than in high quantile distributions. In addition, another important finding emerges from the results of income provincial groups, which shows that gender wage differentials are narrower in high-income and middle provinces than in low-income provinces.

Keywords: Trade Openness, Gender Wage Gap, Quantile Regression.


TRADE OPENNESS AND FEMALE-MALE EARNINGS DIFFERENTIALS: EVIDENCE FROM INDONESIA

A. Background

Over the last decade, the implication of trade openness on female-male earnings differentials has triggered a compelling discussion among academics. Since the early 1980s, many developing countries have decided to engage in the global market. As countries became more integrated into the open market, trade volume, and direct investments in those countries increased substantially, as a consequence, this impacted many sectors of the economy, including the domestic labor market.

According to literature, trade liberalization creates domestic competition which tends to reduce discrimination in the labor market, including gender wage disparity (Becker, 1957). In the past two decades, Indonesia has experienced an increase in total trade and FDI. Moreover, the increase of FDI volume was also followed by a widening trend on female and male earnings gap from period 2008–2014. Looking at all that facts, this study investigates the impact of trade openness on female-male earnings differentials and how the impact differs across the wage distribution.

Trade liberalization affects gender wage differentials in different ways, both in negative and positive ways. First, according to Becker (1957), in order to be competitive with foreign companies, local firms are pushed to be more efficient in operating their production. To be more efficient, local companies will eliminate their “taste of discrimination” and pay workers’ wage based on their productivity. As a result, the disappearance of discrimination behavior will generate a great reduction in the female-male earnings gap (Artecona and Cunningham,2002; Black and Brainerd, 2004;). Second, according to Heckscher-Ohlin (H-O) trade theory, international trade in most developing countries will induce a production shift into labor intensive production which uses low-skilled labor than high-skilled labor. Since, a female stereotype is attached to low-skilled labor, the demand for female workers will be increased and boost their relative wages, and eventually, it is expected to lower discrepancies in female-male earnings (Fitrania, 2013). Other literature suggests that trade openness also creates skilled-biased technical change (SBTC) which makes male workers appear to look more skillful than female workers. This technological upgrading increases of demand for high-skilled labor (Berman et al., 1994; Juhn et al., 2014; Lee and Wie, 2015) and, at the same time, raises demand for male labor (Fussell, 2000).

Furthermore, previous studies related to gender wage disparity are not abundant. Most of the studies tried to identify gender wage gaps in Indonesia without taking


into account the effect of trade liberalization. For example, studies conducted by Feridhanusetyawan, Aswicahyono, and Perdana (2001), by Pirmana (2006) and by Taniguchi and Tuwo (2014), only focus on investigating female-male earnings differentials in rural and urban areas by using Oaxaca-Blinder Decomposition and SAKERNAS data in different time period. Similarly, applying a different decomposition method, Sohn (2015) analyzed the gender wage gap using Indonesia Family Life Survey (IFLS) data across a quantile wage distribution without include trade openness variable. However, those studies only focused on decomposing gender wage gap in Indonesia without taking into account contribution of globalization. Therefore, to contribute to the lack of literature on this issue, this study attempts to conduct a research on the impact of trade openness on gender wage differentials and its impact across quantile wage distribution.

To investigate the effect of trade openness and gendered wages, this study follows the same methodology as Hazarika and Otero (2004) and Han et al. (2012). These studies conduct analysis by combining micro-data level and macro-data level. Moreover, to get a complete picture on the effect of trade openness on gender wage discrepancy, this study also examines the impact of trade liberalization on the gender wage differentials by applying the quantile regression method (QRM). Furthermore, for further analysis, this research classifies all provinces into three province categories, which are low, middle, and high-income groups, and then investigates the impact of trade liberalization on gender wage discrepancy in each provincial group. This paper uses data employment, provincial trade volume, and GRDP per province from the National Labor Survey (SAKERNAS) published by Statistics Indonesia, and data FDI released by Investment Coordinating Board (BKPM). The data used in this research is constructed into a pooling cross-sectional data covers 33 provinces in Indonesia in the period 2008–2014.


This study uses individual data level and only covers 332 provinces in Indonesia (out of 34 provinces) in the period 2008–2014. This study uses secondary data from the National Labor Survey (SAKERNAS) published by Statistics Indonesia (BPS). SAKERNAS data is published twice a year in Semester I in February and Semester II in August. In February, SAKERNAS data only covers individual’s data at a provincial level, while, in August, SAKERNAS data includes individual’s data more specific at the municipality level.

SAKERNAS data provides comprehensive employment data for individual’s characteristics, such as age, gender, level of education (the highest level of education attainment), total number of hours of work, sectors, occupation, employment status, and total wage/salary in a week.


In this study, the observations are limited to individuals who are of working age, between 15 and 65 years old, in the period 2008–2014. In addition, the total number of observations is approximately 4,171,088 records. Since, SAKERNAS data is not gathered from the same households every year, SAKERNAS data cannot be constructed into panel data. Hence, this study applies pooling cross-sectional data.


1. Descriptive Analysis

The summary statistics, which include the mean, standard deviation, minimum and maximum values for each variable, are presented. The original number of observations is 4,171,088. However, after taking the natural logarithm of individual’s real wage and excluding the missing value of several variables (wages, tenure and work_hours), the number of total observations was reduced to 986,750. For the dependent variable, the natural logarithm of an individual’s real wages, the mean value is 8.50 log points; while, the minimum and maximum values are 3.57 and 14.51 log points respectively. In addition, the mean value of FDI as share of GRDP is 0.39, which implies that, on average, FDI contributes 0.39% of total GRDP per province. Moreover, the mean value of trade as a share of GRDP is 32.81, which indicates that the contribution of trade to GRDP is 32.81%.

Furthermore, the summary statistics from the control variables give a rough description of the workforce in the labor market. Firstly, the mean value of variable age indicates that most observations are in a productive age range (more than 36 years old) and have, on average, a total working time of 43 hours per week. Secondly, most observations are married and living in urban areas. Moreover, for educational attainment, the largest proportion of individual’s highest educational attainment is Senior High School (34%), while, the smallest proportion is Junior High School (17%). The number of workers in the manufacturing sectors is lower with comparable the number of workers in agriculture sectors. While, in non-manufacturing sectors, the total number workers are higher than in agricultural sectors.

2. Dummy Variable Female (Female)

From OLS results, the value of estimated coefficient for dummy variable Female is negative, which indicates women labor earn less than their colleagues. Interestingly, when the quantile regression is applied, the results show that, even though the value of the estimated coefficient is negative, the magnitude is larger


in low-quantile than in high-quantile wage distribution. In low-quantile wage distribution, on average, female labor still earns 52% less comparable with male labor, while in high-quantile wage distribution, female labor 24% less than her coworkers. This finding provides the evidence that, in Indonesian labor market, there is an incidence of “sticky floors effect” which became a factor in the setting of women’s wages (Cameron et al., 2015). This phenomenon is usually found in developing countries. Several previous studies which conducted in developing countries, such as India (Khanna, 2012), Vietnam (Pham and Reilly, 2007), Thailand (Adireksombat et al., 2010) and China (Xiu and Gunderson, 2014), also provided strong evidence about sticky floors effect on their local labor market. Moreover, if we take a further analysis, we can see that in high, middle, and low-income provincial groups, the same pattern of the female-male discrepancy also occurs. The apparent difference is that the gap is more severe in high-income provinces than in low-income provinces. In richer and poorer provinces, women labor earns 38% and 31% less than her coworker respectively.

One possible explanation emerges from those previous studies is that female workers at low-quantile wage distribution usually get lower pay because of their low returns to job tenure or experience, low level of education and also a greater burden of their family responsibilities as family taker and childbearing. In Indonesia case, many female workers engage into informal sectors which provides lower pay. Moreover, there are many obstacles for women labor to shift from informal into formal sectors. In Indonesia, one of the prominent obstacles is social norms that discourage women to involve in labor market (Kercheval, 2012). Traditionally, women with children has several family responsibilities that compel them to spend fewer working hours in labor market than her coworkers. This factor makes them less productive and less attractive to the employers. Therefore, this condition also contributes to the lower of women labor participation in labor market, which lead to the higher female-male earnings differentials in Indonesia.

3. Variable Openness (FDI GRDP and Trade GRDP)

The impact of trade liberalization on wages can examine from the value of the estimated coefficient for FDI_GRDP and Trade_GRDP. In general, the value the value of the estimated coefficient for both variables are positive. The increase of 1% of FDI as share of GRDP will be increase wage by 0.016 natural log points. Moreover, the impact of trade liberalization is bigger for workers in high-quantile than in low-quantile wage distribution, which indicates that the salary of workers with high-skilled jobs are more responsive to international trade. This finding is in line with a previous study conducted by Lee and Wie (2015). They found that


in Indonesia, FDI caused demand to shift toward more skilled labor and increased their wages. The fundamental factor driving the shifting demand for skilled labor is skilled-biased technological change.

In developing countries, like Indonesia, where country has low levels of economic development and technological progress, an increase of FDI or trade can affect demand for more skilled workers. Moreover, their finding even though is contradictive with H-O model, it showed that the increase of 10% point of foreign technological changes measured by FDI net inflow will rise the wage bill of non-productions workers by 5.2% point. It can be concluded that, in Indonesia industries, demand shifts toward skilled workers are influenced by foreign technologies embedded in imported equipment.

Furthermore, the value of the estimated coefficient is larger in high-income provinces than in low-income provinces. It can be seen, from the OLS results, a 1% increase in FDI share of provincial GRDP can raise wages in high, middle, low income provinces by 7%, 3% and 0.08% respectively. A plausible explanation why this condition exists because richer provinces in Indonesia tend to have good infrastructure and near to government centers, which permitting rich provinces develop of a good industrial base were than poorer provinces. By offering a good quality of infrastructure and industrial base, richer provinces are more productive in operating their business then poorer provinces. Therefore, an increase of FDI will induce a larger increase of plants’ productivity in well-developed provinces than in least-developed provinces. This finding corroborates the idea of Han et al. (2012), who suggested that the impact of trade liberalization contributes to larger wage inequality in high-exposures regions then in low-exposures regions.

4. Interaction term (FDI_Female and Trade_Female)

To determine the impact of trade openness on gender wage differentials, we focus on the value of this interaction term. From overall results, the value of the estimated coefficient for interaction term is positive. This indicates that, with the increase of trade openness, the female-male earnings differentials is expected to be narrowed. Analyzing more specific, the estimated coefficient for interaction term in low-quantile is bigger than in high-quantile wage distribution, which indicates that female workers with low-paid jobs are more benefit from trade liberalization than female workers with high-paid jobs. One plausible explanation for this condition is, according to Heckscher-Ohlin (H-O) trade theory, the exposure of international trade will automatically induce an increase of demand of abundant factor production, such as labor.


Since Indonesia is one of developing countries which has abundant low-skilled labor which is attached with the stereotype of female workers, the presence of international trade induces higher demand of female workers and increases relative wages for female workers. This mechanism leads to a narrowing gender wage gap in Indonesia for workers at bottom wage distribution. On the other hand, a widening impact of FDI on gender earnings differentials might be caused by the presence of technological changes which affects relative wages by shifting demand for high-skilled labor (Lee and Wie, 2015). An upgrading technology also induces the need to employ better-qualified workers which is more beneficial for male workers. The foreign technological change is often embedded imported equipment. To be able to operate the equipment, firms should conduct several on-the-job training for their workers. Moreover, in Indonesia, the employers are more prefer to send male workers to the training than female workers because male workers have longer job tenure than female workers have. Female workers have shorter job tenure because in a certain age, many female workers exit the labor market due to family responsibilities (such as, married, pregnant, or take care their children) and there are so many barriers that prevent them to re-entry the labor market after they exit. Because of this condition, many employers prefer not invest on female workers because they have to spend more money to train a new worker. This condition leads to imbalance skills between women and men in high-skilled jobs, thus, widening the gender wage gap in Indonesia. Furthermore, comparing results from three provincial income groups, it can be seen that the value of estimated coefficients is higher in high-income provinces than in middle or low-income provinces. It indicates that the effect of FDI on the earnings differentials between female and male workers is narrower in high-income provinces than in middle and low-income province. This finding supports the evidence that a country or a region should reach a certain level of development before gender inequality can be reduced (Dollar and Gatti, 1999). It implies that the improvement in gender wage equality is highly correlated with income province.

D. Conclusion

The main objectives of this research are seeing the impact of trade openness on gender wage differentials and, secondly, to examine whether its impact differs across wage distributions. By looking at the estimated coefficient of interaction term between the trade openness variable and dummy variable female (FDI_Female and Trade_Female), it is concluded that both FDI and trade contribute to the reduction of the gender wage gap in low and middle-quantile wage distributions. While, in high-quantile wage distribution, it appears that trade openness brings negative impact by widening the female-male earnings differential. Moreover, it also can be concluded that FDI gives larger impact


on female-male earnings differentials than trade does. For further analysis, the impact of trade liberalization on the female-male earnings differentials is also examined from three different income provincial groups. From overall results, it suggests that the effect of FDI on the earnings discrepancy between female and male workers is narrower in high-income provinces and middle provinces than in low-income province. From this results, a conclusion can be drawn that the reduction of the gender wage differentials is highly correlated with income provinces.

Another important finding in this study is female workers in Indonesia, on average, earn less than male workers. From the OLS results, a female worker’s hourly wage is 25.9% below a comparable male worker’s hourly wage. The evidence from quantile regression, it appears that female-male wage differentials are more severe in lower wage distributions than in higher wage distributions. Moreover, another striking finding is that the impact of FDI on a worker’s wages is positive, which means that an increase of FDI will also induce the increase of an individual’s real wages. Supporting previous studies by Lee and Wie (2015) and Feenstra and Hanson (1995), this study finds that FDI increases wages for high-skilled labor more than low-skilled labor.

E. Recommendation

The impact of trade openness on female-male earnings differentials should be of the main agenda to policy makers and academics. From the main findings above, it shows that trade openness might affect the dynamic of gender wage differentials in the local labor market. Evidence from quantile regression results shows that, in high quantile wage distributions, the gender wage gap widens due to the impact of trade openness. One of the issues that emerges from this study is that the larger gap in high-skills occupations is mainly occurred by the imbalance skill levels between male and female workers. To be able to solve this issue, the Indonesian Government should set a policy priority to accomplish an equal opportunity for both women and men to get training or education. Moreover, the Indonesian Government or policy makers should establish a policy intervention to persuade local and foreign firm to provide an equal opportunity for their female and male employees to gain on-the-job training or vocational education programs in order to close the skill gap between female and male labors. By doing this, it is expected that female worker’s relative wages will be raise and, eventually, it leads to the reduction of female-male earnings differentials, especially in high- skills occupations.

PENGEMBANGAN KERBAU RAWA KALANG DAN ITIK ALABIO TERHADAP POTENSI LAHAN RAWA DI KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

DEVELOPMENT OF RAWA KALANG BUFFALO FARM AND ALABIO DUCKS ON SWAMPLANDS AT THE HULU SUNGAI UTARA REGENCY SOUTH KALIMANTAN PROVINCE

Nama : Masrulah

Instansi : Pemkab Hulu Sungai Selatan

Tahun Intake : 2016






ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui potensial dan kelayakan usaha memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara, serta melakukan studi kelayakan investasi peternakan tersebut. Studi kelayakan investasi ini ditinjau dari beberapa aspek investasi, yaitu aspek sosial ekonomi, dampak lingkungan, dan keuangan serta melakukan perhitungan kelayakan investasi untuk mengetahui apakah kegiatan peternakan kerbau rawa kalang dan itik alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara layak atau tidak secara finansial untuk dilaksanakan.

Metode yang digunakan adalah Cost Benefit Analysis (CBA) yang terdiri atas Net Present Value (NVP), Internal Rate Return (IRR), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Pay Back Period (PBP) untuk mengetahui apakah usaha memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio dapat menentukan hasil analisis dalam menghitung keuntungan dan kelayakan usaha. Sampel digunakan sebanyak 50 orang peternak kerbau rawa kalang dan 74 orang peternak itik alabio yang diperoleh dari perhitungan dengan rumus Slovin.

Hasil penelitian secara CBA menunjukkan bahwa memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio layak untuk dikembangkan karena nilai NPV > 0, nilai IRR > 1, nilai BCR > 1 dan PBP selama tahun keempat dapat mengembalikan modal usaha. Keuntungan usaha memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio relatif hampir sama jika dihitung secara finansial selama lima tahun. Untuk memperoleh keuntungan yang besar dalam beternak, sistem yang dilakukan adalah sistem ekstensif, yaitu ternak digembalakan diluar kandang yang bergantung pada lahan rawa sebagai sumber makanan. Sistem ini lebih efektif karena biaya yang dikeluarkan kecil.

Pemerintah daerah dapat ikut ambil bagian dalam pembenahan dan pengaturan ladang pengembalaan agar Hijauan Makanan Ternak (HMT) terpenuhi secara berkelanjutan dan memberikan bantuan berupa pakan tambahan, vaksin, dan obat-obatan untuk kesehatan ternak. Pemerintah daerah juga bisa membantu masyarakat miskin dengan menciptakan lapangan kerja kepada masyarakat menjadi peternak di daerah ini untuk meningkatkan pendapatan mereka.

Kata kunci: Kerbau Rawa Kalang, Itik Alabio, Investasi, Kelayakan Usaha, Ekstensif


ABSTRACT

The purpose of this study is to know the potential and feasibility of raising Rawa Kalang buffalo and raising Alabio ducks in the district of Hulu Sungai Utara and conducting feasibility studies of the farms. In this investment feasibility study review of several aspects of investment include the socio-economic, environmental impacts and financial as well as calculating the feasibility of investment to determine whether the activities of buffalo farm Rawa Kalang and Alabio ducks in North Hulu Sungai Regency are feasible or not to be financially viable.

The method used is Cost Benefit Analysis (CBA) consisting of Net Present Value (NVP), Internal Rate Return (IRR), Benefit Cost Ratio (BCR), and Pay Back Period (PBP) to know whether the effort to maintain Rawa Kalang buffalo and Alabio duck breeding can determine the result of analysis in calculating the profit and business feasibility. The sample was used by 50 ranchers of Rawa Kalang buffalo and 74 Alabio duck breeders obtained from calculation with Slovin formula.

The result of CBA research shows that raising Rawa Kalang buffalo and raising ducks Alabio worth to be developed which value NPV > 0, IRR value > 1, BCR value > 1 and Pay Back Period during the fourth year has been able to return the business capital. The business advantage of raising Rawa Kalang buffalo and Alabio duck breeding is relatively similar if calculated financially for five years. To gain a great advantage in breeding, the system is an extensive system in which cattle are grazed outside the cage that depends on swamp land as a food source and this system is more effective because the cost is relatively small.

Local governments also take part in the reform and regulation of grazing fields in order to be able to fulfill the Forest Feed continuously and can also provide assistance in the form of additional feed, vaccines and medicines for livestock health. Local governments can help the poor by creating jobs for the community to become farmers in this area to increase their income.

Keywords: Rawa Kalang Buffalo, Alabio Ducks, Investment, Business Feasibility, Extensive


PENGEMBANGAN KERBAU RAWA KALANG DAN ITIK ALABIO TERHADAP POTENSI LAHAN RAWA DI KABUPATEN HULU

SUNGAI UTARA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

A. Latar Belakang

Pemeliharaan kerbau rawa kalang dan itik alabio pada umumnya masih dilakukan secara tradisonal di tempat-tempat khusus, yang belum banyak mendapatkan campur tangan manusia, misalnya rawa, areal sungai, semak belukar, pinggir hutan, dan lain-lain. Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan 39,4 juta ha. Di Kalimantan luas rawanya sebesar 12,9 juta ha, tersebar di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan (Widjaja-Adhi, 1986). Kalimantan Selatan mempunyai luas lahan rawa 800 ribu ha dan sudah dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan, perikanan, peternakan seperti kerbau rawa kalang dan itik alabio yang sudah ada secara turun-temurun. Lahan rawa yang digunakan untuk pemeliharaan kerbau rawa tersebut terletak di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Utara (HSU) (Tarmudji et.al, 1990) dan Barito Kuala (Rohaeni et.al,2005)

Usaha memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan di daerah dengan kondisi alam tropis seperti di Indonesia dan didukung oleh potensi rawa yang luas sebagai sumber makanan. Usaha memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio ini sangat menjanjikan karena memberi peluang keuntungan yang lebih besar dibandingkan ternak lainnya. Beternak kerbau rawa kalang dan itik alabio juga merupakan sektor unggulan bagi masyakarat Kabupaten Hulu Sungai Utara yang mendatangkan keuntungan yang dapat digunakan untuk menghidupi keluarga, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan membayar biaya pendidikan, serta menggerakkan ekonomi masyarakat luas lainnya. Masyarakat sekitar pun memperoleh manfaat, antara lain menyerap tenaga kerja.

Usaha pengembangan kerbau rawa kalang dan itik alabio dalam skala agribisnis mempunyai peluang dan prospek yang menjanjikan. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penjualan daging dan telur di pasaran dan permintaan konsumen yang terus meningkat. Rohaeni dan Tarmudji (1994) mengemukakan bahwa pengusahaan kerbau rawa kalang dan itik alabio akan berhasil jika dikelola dengan menerapkan tata laksana pemeliharaan yang baik. Untuk lebih meningkatkan peran peternak diperlukan pembinaan yang intensif dan peningkatan kelembagaan kelompok ternak, pemasaran, dan lembaga pendukung lainnya.

Berkaitan dengan bidang peternakan masa mendatang, banyak kendala yang sampai saat ini belum diselesaikan secara tuntas sehingga memerlukan perhatian


yang lebih serius. Satu hal yang sangat kritis adalah tingkat pendidikan dan pengetahuan pemilik modal dan peternak yang masih rendah. Walaupun kaya akan pengalaman beternak karena merupakan usaha turun-temurun, banyak peternak yang tidak dapat menghitung sendiri keuntungan usaha yang dapat digolongkan layak atau tidaknya usaha tersebut untuk dikembangkan. Mereka juga belum dapat membedakan keuntungan antara memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio dengan perbandingan modal yang relatif sama dan tidak mengetahui jumlah ternak yang dipelihara yang dapat memberikan keuntungan, serta biaya yang harus dikeluarkan. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran tentang prospek dan permasalahan dalam pemeliharaan kerbau rawa kalang dan itik alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan.


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka pokok masalah yang akan diuraikan adalah

1. Apakah usaha peternakan dalam memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio yang dilakukan oleh peternak di Kabupaten Hulu Sungai Utara layak secara finansial?

2. Peternakan mana yang lebih menguntungkan dikembangkan dalam memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio?

3. Berapa jumlah ternak yang memenuhi syarat atau profit untuk dikembangakan dalam memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio?

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan dengan objek penelitian adalah kawasan/lahan rawa yang berjenis rawa lebak, kelompok usaha memelihara kerbau rawa kalang dan itik alabio serta pemilik modal ternak kabupaten Hulu Sungai Utara. Penelitian ini termasuk dalam konsentrasi mata kuliah Ekonomi Mikro.

Sebagian besar data dalam penelitian ini adalah data sekunder, sedangkan data primer lebih bersifat kuantitatif, karena menyangkut dengan informasi atau keterangan para peternak dan pemilik modal ternak yang mengusahakan dan mengembangkan ternak kerbau rawa kalang dan ternak itik alabio di lahan rawa Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Untuk memperoleh data primer dilakukan penelitian lapangan (field research), maksudnya peneliti melakukan observasi langsung terhadap objek-objek yang diteliti berdasarkan sumber data yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Dalam hal ini peneliti juga melakukan dialog dan wawancara dengan kelompok usaha ternak dan pemilik modal serta pengembala ternak kerbau rawa kalang dan itik alabio dalam pengumpulan data yang diperlukan dalam pengolahan dan pengujian kebenaran penelitian. Data sekunder


peneliti peroleh dengan cara membaca buku-buku Ekonomi Mikro dan penelitian-penelitian orang lain yang ada hubungannya dengan kebutuhan penelitian ini.


Di Desa Tampakang, Sapala, dan Bararawa yang berada Kecamatan Paminggir terdapat lokasi yang dijadikan tempat memelihara Kerbau Rawa Kalang, yaitu wilayah kerja Kelompok Peternak Berkat Mandiri, Rawa Bersinar, dan Rawa Makmur yang memiliki anggota peternak kerbau rawa kalang mencapai 390 anggota peternak dan terbagi dalam tujuh kelompok. Skala usaha ternak kerbau rawa kalang di Kecamatan ini, dimulai dari skala rendah berjumlah 3 ekor hingga 200 ekor untuk skala besar. Adapun peternakan itik alabio yang berada di Desa Hambuku dan Mamar Kecamatan Amuntai Selatan, dan Desa Sungai Malang Kecamatan Amuntai Tengah terletak di wilayah kerja Kelompok Bunga Mekar, Ruhui Rahayu, dan Tuntung Pandang yang terdiri atas 970 anggota dengan skala rendah dengan ternak berjumlah 100 ekor hingga skala besar dengan pemeliharaan ternak mencapai 5.000 ekor.

Responden dalam penelitian ini berjumlah 124 orang, terdiri atas 50 orang peternak Kerbau Rawa Kalang dan 74 orang peternak Itik Alabio yang modalnya berasal dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari bank terkait. Identitas responden yang dikaji meliputi umur, tingkat pendidikan, dan pengalaman beternak.

Umur sangat berkaitan dengan kemampuan fisik dan daya pikir peternak. Semakin tua umur peternak, semakin menurun kemampuan fisik dan berpikirnya. Sebagian besar responden kerbau rawa kalang berada pada kisaran 46–50 tahun sebesar 26%, sedangkan untuk responden itik alabio berada 46–50 tahun sebesar 32%. Adiwilaga (1982) menjelaskan bahwa kisaran umur antara 15–55 tahun merupakan kisaran umur produktif dengan produktivitas tinggi. Umur produktif merupakan tingkatan umur seseorang yang dianggap mampu menghasilkan produk maupun jasa. Dengan kata lain umur produktif merupakan umur seseorang akan mampu bekerja dengan baik.

Tingkat pendidikan merupakan hal penting dalam memajukan usaha ternak. Semakin tinggi pendidikan peternak, semakin cepat ia dapat mempelajari pengetahuan, mengembangkan diri, dan mempunyai pemikiran yang lebih luas. Mosher (1985) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan faktor pelancar dan sarana untuk meningkatkan kualitas yang dimiliki oleh peternak. Tingkat perekonomian relatif rendah menyebabkan tingkat pendidikan yang rendah. Demikian pula, sebaliknya. Menurut Adiwilaga (1982), tingkat pendidikan peternak sangat menentukan dalam penerapan teknologi peternakan.


Sebagian besar responden peternak kerbau rawa kalang dan itik alabio memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah, yaitu 34% untuk peternak kerbau rawa kalang dan itik alabio sebesar 32%. Bahkan, ada yang tidak sekolah.. Berdasarkan latar belakang pendidikan tersebut, ada kemungkinan peternak mengalami kesulitan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan dalam usaha memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio. Sekalipun demikian, para peternak kerbau rawa kalang dan itik alabio ini berani mengambil risiko dalam usaha ternak tersebut karena mereka bercermin dari pengalaman-pengalaman yang sudah didapatkan sebelumnya. Pengalaman beternak merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan maju mundurnya kegiatan peternakan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha beternak berhubungan erat dengan tingkat pengalaman yang diperoleh peternak dalam melakukan usaha peternakan. Mosher (1985) menjelaskan, lamanya usaha beternak dapat membantu peternak dalam menjalankan usahanya. Dengan kata lain, semakin lama usahanya, semakin banyak pengalaman yang diperoleh peternak.

Meskipun memiliki pendidikan yang relatif rendah, para peternak kerbau rawa kalang dan itik alabio memiliki pengalaman yang cukup lama. Pengalaman beternak dalam usaha ternak kerbau rawa kalang didominasi oleh rersponden yang berusia 26–30 tahun berjumlah 18 orang (36%), sedangkan pengalaman usaha ternak itik alabio didominasi responden berusia 26–30 sebanyak 24 orang (32%).

Memberikan Pendapatan dan Penghasilan Layak bagi Masyarakat

Kegiatan usaha peternakan kerbau rawa kalang dan itik alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara telah ditekuni oleh masyarakat secara turun-temurun dari generasi ke generasi dan sudah berlangsung ratusan tahun yang silam. Usaha ini dapat menjadi daya tarik bagi dunia pariwisata jika dapat dikelola, diatur, dan ditampilkan dengan baik.

Dilihat dari aspek sosial dan ekonomi, peternakan kerbau rawa kalang dan itik alabio dapat menghidupi banyak orang, baik sebagai usaha pokok maupun usaha sampingan sehingga mampu membangun dan menggerakkan desa-desa di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang menekuni usaha ternak kerbau rawa kalang dan itik alabio.

Saat ini, peternakan kerbau rawa kalang dan itik alabio mampu menggerakkan sektor real dan UMKM dalam hal penyerapan tenaga kerja, baik sebagai pemilik, pengembala maupun pejagal dan pedagang. Manfaat usaha peternakan kerbau rawa kalang dan itik alabio, antara lain menghidupi keluarga, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan memenuhi biaya pendidikan, biaya naik haji dan umroh, serta menggerakkan ekonomi masyarakat luas lainnya. Sementara itu,masyarakat sekitar


memperoleh manfaat, antara lain menyerap tenaga kerja dan turut mendukung upaya perbaikan kualitas pendidikan, misalnya menjadi tempat magang atau praktik kerja siswa SMK bidang peternakan dan menjadi tempat riset bagi kalangan mahasiswa untuk keperluan skripsi, tesis, dan disertasi ataupun penelitian lainnya.

Berdasarkan data hasil survei lapangan dalam penelitian ini, usaha peternakan kerbau rawa kalang dan itik alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara telah menyerap tenaga kerja dari dalam dan luar keluarga, serta menjadikan kegiatan usaha peternakan ini sebagai usaha turunan dari generasi ke generasi. Upah tenaga kerja dalam memelihara kerbau rawa kalang adalah sebesar Rp1.500.000/bulan, sedangkan untuk ternak itik alabio sebesar Rp1.250.000/bulan. Upah ini memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat sekaligus mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Kalimantan Selatan, terutama daerah yang telah menekuni kegiatan usaha peternakan kerbau rawa kalang dan itik alabio, seperti Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Tidak Ada Dampak secara Langsung pada Lingkungan

Tidak ada dampak secara langsung pada lingkungan karena kegiatan peternakan kerbau rawa kalang dan itik alabio dilakukan dengan menggembalakan kerbau dan itik pada daerah rawa dengan memanfaatkan tanaman yang tumbuh di daerah rawa yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Bahan makanan tambahan, seperti pakan, konsentrat, dedak garam, vitamin ternak, dan vaksinasi pun tidak berbahaya dan berpengaruh bagi lingkungan. Demikian pula, kotoran kerbau rawa kalang dan itik alabio yang padat dan cair yang dikeluarkan pada saat mereka berenang di atas kalang/kandang langsung bercampur dengan air yang ada di sekitarnya sehingga tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.

Luas hamparan rawa yang ada di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang menyatu dengan Kabupaten lainnya tidak memberikan dampak secara langsung pada air dan lingkungan. Hanya, pada saat musim kemarau atau awal musim penghujan, banyak nyamuk dan lalat yang berasal dari daerah kubangan kerbau atau kandang itik ini. Sejauh ini belum ada laporan dari masyarakat sekitar mengenai dampak dari tercemarnya air sungai atau danau yang ada di sekitar peternakan. Akan tetapi, pada masa akan datang, masyarakat terutama para peternak kerbau rawa kalang dan itik alabio, diharapkan dapat mengatur tata laksana dalam penanganan limbah kotoran ternak, terutama pada musim hujan, dalam mengatasi merajalelanya nyamuk dan lalat.

Untuk pengembangan lebih lanjut, para peternak dapat memanfaatkan limbah ternak yang padat sebagai bahan pupuk organik dan memanfaatkan limbah cair ternak sebagai bahan pupuk cair, baik untuk dijual dalam bentuk kemasan maupun digunakan sebagai pupuk padang rumput di padang pengembalaan untuk menjamin ketersediaan


rumput sebagai bahan utama ternak dalam pengembangan peternakan kerbau rawa kalang dan itik alabio secara modern. Hal ini akan mendatangkan banyak keuntungan bagi peternak dan pelaku usaha.

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas terhadap kapasitas usaha memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio ini, yaitu apabila usaha peternakan diturunkan kapasitas penjualannya sampai batas minimum/terendah, usaha memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio ini masih memberikan keuntungan bagi peternak dan pelaku usaha.

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui daya tahan usaha peternakan kerbau rawa kalang dan itik alabio apabila terjadi perubahan lingkungan bisnis. Hasil analisis ini adalah usaha memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio tidak sensitivitas terhadap penurunan pendapatan sebesar 5% maupun peningkatan biaya operasional sebesar 5% karena nilainya berada di atas tingkat suku bunga kredit yang berlaku. Akan tetapi, setelah dilakukan perhitungan pada penurunan pendapatan 10% dan peningkatan biaya operasional 10% persen, usaha ini dianggap sensitif karena nilainya di bawah bunga kredit yang berlaku. Dengan penurunan pendapatan 10% dan peningkatan biaya operasional 10%, usaha ini tidak layak karena memiliki NPV negatif dan IRR lebih kecil tingkat suku bunga yang berlaku (14 persen). Dengan demikian, penurunan penerimaan sebesar 10% berpengaruh terhadap kelayakan investasi ini.

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, usaha kerbau rawa kalang dan itik alabio ini dianggap layak karena hasil NPV, BCR, IRR, dan PP dengan diskon faktor 14% dan tingkat suku 1,16% per bulan dalam kondisi normal menunjukkan nilai positif, yang berarti pengembalian investasi lebih cepat daripada periode yang ditentukan. Oleh karena itu, investasi ini layak dilakukan dan dapat memberikan keuntungan manfaat dari segi keuangan, terutama bagi pengusaha atau pemilik modal. Sedikitnya risiko masalah pada masa yang akan datang sehingga dapat meminimalkan kemungkinan melesetnya hasil yang ingin dicapai dalam suatu investasi tersebut.

Analisis pasar menunjukkan bahwa tingkat produksi usaha memelihara kerbau rawa kalang dan itik alabio dari tahun ke tahun tidak dapat mengikuti laju perkembangan permintaan yang semakin meningkat. Dengan kata lain, tingkat permintaan pasar terhadap hasil kedua ternak (daging, susu, dan telur) tersebut mengalami peningkatan. Oleh karena itu, penambahan jumlah ternak dan sarana yang mendukungnya perlu ditingkatkan agar usaha tersebut layak untuk dilaksanakan.


Keuntungan usaha kerbau rawa kalang hampir sama persis dengan beternak itik alabio, yaitu Proifitabilas Index (PI) memelihara kerbau rawa kalang sebesar 107,94 dan beternak itik alabio sebesar 101,88. Hal ini menunjukkan bahwa kedua usaha tersebut dengan modal yang hampir sama memperoleh keuntungan yang hampir sama.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian usaha memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara, beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:

1. Manfaat usaha memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio dari sisi pengusaha atau peternak, antara lain menghidupi keluarga, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan memenuhi biaya pendidikan, biaya naik haji dan umrah, serta menggerakkan ekonomi masyarakat luas lainnya. Sementara itu, manfaat usaha peternakan ini bagi masyarakat sekitar adalah menyerap tenaga kerja dan memberikan upaya perbaikan kualitas pendidikan, misalnya dapat menjadi tempat magang dan riset untuk keperluan skripsi, tesis dan disertai ataupun penelitian lainnya.

2. Analisis keuangan dengan menggunakan pendekatan konvensional pada kegiatan usaha memelihara kerbau rawa kalang dan beternak itik alabio dinyatakan layak, yaitu untuk beternak kerbau rawa kalang, nilai NPV sebesar Rp23.304.786, net B/C Ratio sebesar 1,0215, IRR sebesar 0,1601, dan PP tahun I pengembalian investasi sebesar Rp988,1 (rugi), tahun II pengembalian investasi sebesar Rp1.041,68, tahun III pengembalian investasi sebesar Rp1.044,88, tahun IV pengembalian investasi sebesar Rp1.048,07, dan tahun V pengembalian investasi sebesar Rp1.051,26. Adapun untuk beternak itik alabio, nilai NPV sebesar Rp14.239.843, net B/C Ratio sebesar 1,0141, IRR sebesar 0,1410, dan PP tahun I pengembalian investasi sebesar Rp958,16, tahun II pengembalian investasi sebesar Rp1.026,58, tahun III pengembalian investasi sebesar Rp1.047,69, tahun IV pengembalian investasi sebesar Rp1.064,86, dan tahun V pengembalian investasi sebesar Rp1.088,64.

3. Dengan melihat keuntungan pendapatan selama 5 tahun untuk pendapatan dan kelayakan usaha kerbau rawa kalang sebesar Rp285.991.250 atau Rp4.766.521/bulan dan pendapatan usaha itik alabio selama 5 tahun sebesar Rp284.943.250 atau Rp4.749.050/bulan, dapat dikatakan bahwa memelihara kerbau rawa kalang hampir sama dengan beternak itik alabio.


4. Dilihat dari Break Even Point (BEP) untuk memelihara kerbau rawa kalang ternak yang harus dijual dengan harga Rp13.500.000 pada tahun I sebanyak 21 ekor, tahun II sebanyak 8 ekor, tahun III sebanyak 8 ekor, tahun IV sebanyak 8 ekor,dan tahun V juga sebanyak 8 ekor sehingga kalau ditotal selama 5 tahun usaha sebanyak 61 ekor, sedangkan untuk beternak itik alabio, ternak yang harus dijual dengan harga Rp85.000 pada tahun I sebanyak 3.592 ekor, tahun II sebanyak 1.322 ekor, tahun III sebanyak 1.052 ekor, tahun IV sebanyak 932 ekor, dan tahun V juga sebanyak 824 ekor sehingga kalau ditotal selama 5 tahun usaha sebanyak 7.721 ekor. Jadi, untuk memperoleh keuntungan dalam berusaha, peternal harus memelihara lebih daripada BEP setiap tahunnya.

ANALISIS IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI JAWA TIMUR

Nama : Niken Pratiwi


Tahun Intake : 2016






ABSTRAK

Pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma pembangunan multidimensi yang mempertimbangkan kepentingan generasi yang akan datang selain pemenuhan kebutuhan saat ini. Keterkaitan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan diwujudkan dalam ukuran keadilan, kenyamanan dan kelestarian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi pembangunan berkelanjutan di Jawa Timur berdasarkan variabel-variabel ekonomi, sosial dan lingkungan serta mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan berkelanjutan menggunakan analisis kuadran berdasarkan Tipologi Klassen dan analisis cluster. Hasil penelitian menunjukkan terbentuknya tiga cluster wilayah di Jawa Timur yang masuk dalam kuadran yang dapat dikategorikan menjadi wilayah maju, wilayah potensial dan wilayah tertinggal. Hasil penelitian dengan superimpose analisis kuadran dan analisis cluster menunjukkan tujuh kelompok wilayah dengan karakteristik yang berbeda sehingga memerlukan strategi kebijakan yang berbeda pula dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Secara umum, pembangunan di Jawa Timur belum mencapai tetapi sudah menuju pembangunan berkelanjutan yang ditandai dengan berkembangnya pembangunan ekonomi, meningkatnya kesejahteraan sosial dan berkurangnya masalah sosial, serta membaiknya kondisi lingkungan selama dari tahun 2011 ke tahun 2015. Penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan antar wilayah yang identik dengan rasa keadilan merupakan faktor yang paling menentukan dalam implementasi pembangunan berkelanjutan di Jawa Timur.


ABSTRACT

Sustainable development is a multidimensional development paradigm that considers the interests of future generations in addition to meeting current needs. The linkages between economic, social and environmental aspects are manifested in a measure of fairness, comfort and sustainability. This study aims to analyze the implementation of sustainable development in East Java based on economic, social and environmental variables and to find out the most influential factors on the success of sustainable development using quadrant analysis based on Klassen Tipology and cluster analysis. The results showed that the formation of three clusters of areas in East Java that classified in quadrants that can be categorized into advanced regions, potential areas and disadvantaged areas. The results of superimposed quadrant analysis and cluster analysis show seven groups of regions with different characteristics that require different policy strategies in achieving sustainable development objectives. In general, development in East Java has not reached but has been towards sustainable development, characterized by the progressive of economic development, increased social welfare and reduced social problems, and improved environmental conditions during the year 2011 to 2015. Research shows that the imbalance between regions that are identical with sense of justice is the most decisive factor in the implementation of sustainable development in East Java.


ANALISIS IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI JAWA TIMUR

A. Latar Belakang

Kualitas lingkungan hidup Indonesia merupakan salah satu isu yang sangat penting di tengah meningkatnya tekanan yang berpotensi mengubah kondisi lingkungan, baik sebagai dampak pertumbuhan ekonomi maupun peningkatan jumlah penduduk (KLHK, 2015). Namun, kualitas lingkungan hidup merupakan hal yang relatif sulit untuk diukur. Oleh karena itu, sejak tahun 2009, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merumuskan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) sebagai satuan pengukuran kualitas lingkungan. IKLH merupakan pengembangan konsep dari Virginia Commonwealth University (VCU) dan BPS yang menggunakan indikator kualitas udara, kualitas air, dan luas tutupan hutan (KLHK, 2015) yang diberi bobot masing-masing 30% untuk kualitas udara dan kualitas air dan bobot 40% untuk luas tutupan lahan.

IKLH provinsi Jawa Timur selalu lebih rendah daripada rata-rata nasional selama tahun 2011 sampai tahun 2015. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas lingkungan hidup di Jawa Timur lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional. Dalam perspektif lingkungan, nilai IKLH menunjukkan upaya yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Semakin jauh nilai IKLH dari 100, semakin besar upaya yang harus dilakukan untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Kondisi lingkungan di Jawa Timur yang ditunjukkan oleh IKLH menampakkan kecenderungan penurunan pada tahun 2011–2013 dan mulai mengalami kenaikan pada tahun 2014 dan tahun 2015 (KLHK, 2015). Kecenderungan yang sama juga ditunjukkan oleh IKLH nasional. Dari kecenderungan tersebut, dapat dikatakan bahwa telah terjadi pembangunan ekonomi yang kurang berwawasan lingkungan pada kurun waktu antara tahun 2011–2013. Pada tahun 2014, mulai tampak adanya perhatian pada aspek lingkungan di samping perhatian pada aspek yang mendorong pertumbuhan ekonomi.

Perdebatan masih terus terjadi berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan kelestarian lingkungan. Banyak pihak yang menganggap bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi akan berpengaruh pada kesejahteraan sosial dan berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Moore (2017) menyebutkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang ambigu karena pelaksanaan antaraspeknya merupakan trade-off satu sama lain, khususnya pada aspek ekonomi dan aspek lingkungan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini mencoba menganalisis pelaksanaan pembangunan dalam konsep pembangunan berkelanjutan yang menuntut


keseimbangan aspek ekonomi, social, dan lingkungan pada 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Hasil yang diharapkan adalah gambaran pelaksanaan pembangunan di Jawa Timur pada tiap-tiap wilayah, baik dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta interaksi antaraspek tersebut sehingga dapat dianalisis apakah pelaksanaan pembangunannya mengarah pada pembangunan berkelanjutan dengan perbandingan menggunakan data tahun 2011 dan tahun 2015.


Berdasarkan gambaran umum dari aspek ekonom, khususnya dalam hal pertumbuhan ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan dalam hubungannya dengan pelaksanaan pembangunan di Jawa Timur yang telah diuraikan di atas, rumusan permasalahan penelitian adalahsebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Jawa Timur dilihat dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan?

2. Faktor apa yang paling memengaruhi keberhasilan pembangunan berkelanjutan di Jawa Timur?

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif menggunakan analisis kuadran berdasarkan tipologi Klassen dan analisis cluster dengan unit analisis yang terdiri atas 29 kabupaten dan 9 kota di provinsi Jawa Timur. Waktu penelitian menggunakan data pembangunan Provinsi Jawa Timur tahun 2011.

Analisis kuadran berdasarkan tipologi Klassen digunakan untuk mengelompokkan wilayah berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita. Metode analisis ini digunakan untuk menggambarkan fokus penelitian, yaitu pencapaian pembangunan ekonomi yang terjadi di seluruh wilayah kabupaten/kota di Jawa Timur. Karakteristik lain yang dinyatakan dalam variabel dalam konsep pembangunan berkelanjutan dianalisis dengan menggunakan analisis cluster.


1. Gambaran Umum Penelitian

Hasil penelitian menurut tipologi Klassen dan analisis cluster perlu ditarik benang merah di antara keduanya. Menurut tipologi Klassen, wilayah maju dicirikan dengan pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang tinggi. Dalam Todaro & Smith ( 2011) dan Sjafrizal (2008) disebutkan bahwa wilayah dengan pertumbuhan yang tinggi akan diikuti oleh ketimpangan yang tinggi pula apabila tidak terjadi distribusi pendapatan yang merata. Kuznets (1954) menyatakan bahwa pendapatan


di wilayah perdesaan biasanya lebih rendah daripada di wilayah perkotaan. Ketimpangan pendapatan juga lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding dengan perdesaan. Kedua masalah tersebut juga dipengaruhi oleh populasi di wilayah perkotaan yang lebih besar daripada di perdesaan.

Dilihat dari aspek ekonomi, masyarakat pada wilayah dengan pendapatan yang tinggi lebih memperhatikan kualitas kesehatan dan pendidikannya. Dalam penelitian ini, kualitas kesehatan dan pendidikan diproksi melalui variabel angka harapan hidup dan angka melek huruf. Cluster 1 merupakan kelompok wilayah dengan angka harapan hidup dan angka melek huruf yang tertinggi. Pendapatan per kapita yang tinggi dengan ketimpangan yang tinggi pula dapat meningkatkan risiko terjadinya kriminalitas yang tinggi akibat tidak terpenuhinya rasa keadilan. Faktor yang sangat penting dalam determinasi tingkat kriminalitas adalah ketimpangan (Sachsida et.al., 2010).

Dari aspek lingkungan, wilayah dengan jumlah penduduk miskin yang besar dapat mengancam kelestarian lingkungan. Hal ini karena pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan primer oleh para penduduk miskin yang berada di daerah perdesaan dilakukan tanpa memperhatikan kerusakan yang ditimbulkan, misalnya agresivitas pemanfaatan lahan untuk kepentingan yang menghasilkan nilai ekonomi yang lebih besar. Hal tersebut ditunjukkan oleh semua kluster pada variabel persentase lahan kritis yang mengalami penurunan, tetapi penurunan terbesar terjadi pada kluster 3. Dari variabel luas hutan, luasan paling rendah, bahkan relatif jauh dibandingkan dengan rata-rata berada pada cluster 1 yang beranggotakan kota-kota di Jawa Timur yang mempunyai pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang tinggi.

Dengan demikian, benang merah antara hasil berdasarkan tipologi Klassen dan analisis cluster adalah pengelompokan wilayah berdasarkan variabel ekonomi utama berupa pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita. Apabila dipetakan, pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita berdasarkan tipologi Klassen sesuai apabila digabungkan dengan karakteristik, baik dari aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan yang dihasilkan oleh analisis cluster apabila dihubungkan dengan teori-teori ekonomi dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Wilayah maju yang dicirikan dengan pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang tinggi diikuti oleh ketimpangan yang ditunjukkan variabel Indeks Gini yang tinggi dengan kemiskinan yang rendah dan struktur perekonomian nonprimer.

Pada aspek sosial, wilayah maju yang pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapitanya tinggi dicirikan dengan kesejahteraan sosial yang lebih baik yang ditunjukkan kualitas kesehatan dan pendidikan yang tinggi. Namun, karena diikuti


oleh masalah sosial yang tinggi pula, yaitu kepadatan penduduk yang sangat tinggi, dan tingkat kriminalitas yang juga relatif tinggi.

Apabila ditinjau dari aspek lingkungan, wilayah maju mempunyai kondisi lingkungan yang tidak cukup baik apabila dibandingkan dengan kelompok wilayah yang lain dan dengan rata-rata Jawa Timur. Dalam penelitian ini, kondisi lingkungan diketahui melalui variabel persentase luas hutan dan luas lahan kritis dengan nilai terendah berada pada cluster 1.

Apabila digabungkan antara karakteristik menggunakan tipologi Klassen dan hasil analisis cluster berdasarkan wilayah, sebagian besar wilayah maju mempunyai ciri-ciri yang sesuai dengan cluster 1, sebagian besar wilayah potensial mempunyai ciri-ciri yang sesuai dengan cluster 2, dan sebagian besar wilayah tertinggal mempunyai ciri-ciri yang sesuai dengan karakteristik pada cluster 3. Sebagian wilayah lain menunjukkan wilayah maju dengan karakteristik cluster 2, wilayah potensial dengan karakteristik cluster 1 dan cluster 3, serta wilayah tertinggal dengan karakteristik cluster 2. Untuk wilayah tertekan, yaitu Kota Malang dan Kota Kediri, pada tahun 2011 kedua kota ini telah menjadi wilayah maju pada tahun 2015.

2. Analisis Aspek Ekonomi

Dalam hubungannya dengan pembangunan berkelanjutan, tujuan keduanya adalah mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan pertanian berkelanjutan. Dalam publikasi Potret Awal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, disebutkan bahwa Jawa Timur merupakan provinsi penghasil padi tertinggi di Indonesia (BPS, 2016d).

Secara keseluruhan, pada aspek sosial yang melibatkan variabel Indeks Gini, tingkat kemiskinan, kontribusi, dan tenaga kerja pada sektor primer menunjukkan bahwa pembangunan di Jawa Timur telah menunjukkan peningkatan apabila ditinjau dari pengurangan kemiskinan dan pergeseran (shifting) sektor perekonomian. Apabila dihubungkan dengan PDRB per kapita, pembangunan pada aspek ekonomi juga cenderung meningkat. Turunnya pertumbuhan ekonomi adalah akibat dari kelesuan ekonomi nasional, bahkan dunia pada tahun-tahun terakhir, bukan hanya kecenderungan menurunnya kondisi perekonomian di Jawa Timur. Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah masih banyaknya ketimpangan dan lebarnya ketimpangan pendapatan antarwilayah.

Dengan demikian, pembangunan aspek ekonomi di Jawa Timur dapat dikatakan menuju pembangunan berkelanjutan dengan catatan harus lebih memperhatikan


dimensi pemerataan, khususnya pemerataan pendapatan. Untuk itu, pemerintah daerah harus mampu meningkatkan kapasitas dalam perannya sebagai lembaga redistributif agar akses perekonomian dapat dirasakan secara merata.

3. Analisis Aspek Sosial

Dalam aspek sosial digunakan variabel yang memproksi sub-aspek kesejahteraan sosial dan masalah sosial. Untuk mengetahui dinamika yang terjadi, tiap-tiap variabel dianalisis berdasarkan perbandingan antara tahun 2011 dan 2015. Pada wilayah maju, tingkat kriminalitasnya tinggi, sedangkan perbandingan tingkat kriminalitas di wilayah potensial dan wilayah tertinggal hanya sekitar sepertiga dari tingkat kriminalitas di wilayah maju. Sejalan dengan karakter wilayah maju yang mempunyai ketimpangan pendapatan yang tinggi, kecenderungan tingginya tingkat kriminalitas pada wilayah maju yang umumnya perkotaan merupakan bagian dari akibat ketimpangan tersebut. (Sachsida et.al, 2010).

Tingginya tingkat kriminalitas di wilayah maju dan rendahnya tingkat kriminalitas di wilayah tertinggal di Jawa Timur sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Brazil tentang kriminalitas dan ketimpangan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan merupakan alasan utama terjadinya kriminalitas, dan ada hubungan positif antara pengangguran dan urbanisasi terhadap kriminalitas, sedangkan hubungan antara kemiskinan dan peningkatan kriminalitas tidak ditemukan (Sachsida et.al., 2010).

Publikasi penelitian di Brazil tersebut sesuai dengan hasil penelitian di Jawa Timur yang menunjukkan bahwa pada wilayah maju yang mempunyai karakteristik ketimpangan dan kepadatan penduduk yang tinggi (yang dapat diasumsikan akibat terjadinya urbanisasi), tingkat kriminalitasnya tinggi. Sebaliknya, wilayah tertinggal yang menunjukkan tingkat kemiskinan yang tinggi tidak menunjukkan tingkat kriminalitas yang tinggi sehingga dapat disimpulkan bahwa kemiskinan tidak berhubungan positif dengan kriminalitas.

Terjadi kecenderungan penurunan tingkat kriminalitas dari tahun 2011 ke tahun 2015. Persentase penurunan tertinggi justru terjadi pada wilayah potensial, yaitu menurun sebesar 40,51%; wilayah maju turun sebesar 38,38%; dan penurunan terendah terjadi di wilayah tertinggal dengan besaran 29,62%. Penurunan tingkat kriminalitas ini menunjukkan sinyal yang baik bagi sisi sosial, khususnya berhubungan dengan keamanan di masyarakat.

Dalam hubungannya dengan pembangunan berkelanjutan, rasa aman merupakan bagian dari unsur kenyamanan (livable) yang merupakan irisan dari


aspek ekonomi dan aspek sosial. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu konsep pembangunan multidimensi sehingga aspek ekonomi tidak dapat dipisahkan dari aspek sosial untuk menilai pelaksanaannya. Dengan tingkat kriminalitas yang sudah menunjukkan kecenderungan menurun, dapat diasumsikan bahwa pembangunan berkelanjutan di Jawa Timur dari unsur kenyamanan sudah berjalan. Hal yang perlu diperhatikan adalah ketimpangan antarwilayah dari aspek ekonomi yang dapat memengaruhi aspek sosial secara umum.

4. Analisis Aspek Lingkungan

Kondisi luas hutan di Jawa Timur pada tahun 2011 dibanding dengan tahun 2015 secara umum menunjukkan kecenderungan meningkat meskipun dalam besaran yang relatif rendah. Kenaikan pada wilayah maju sebesar 0,32%; kenaikan pada wilayah potensial sebesar 3,27%, dan kenaikan pada wilayah tertinggal sebesar 1,01% dengan rata-rata kenaikan sebesar 1,53%. Hal yang menarik adalah terjadinya peningkatan persentase luas hutan pada wilayah maju yang notabene adalah wilayah perkotaan. Meningkatnya persentase luas hutan pada wilayah maju dalam penelitian ini kemungkinan karena masuknya dua wilayah kabupaten, yaitu Sidoarjo dan Mojokerto pada tahun 2015, yang pada tahun 2011, kedua kabupaten tersebut berada pada kluster wilayah potensial.

Luas lahan kritis menunjukkan kecenderungan penurunan yang cukup tajam, khususnya di wilayah tertinggal, yaitu sebesar 8,51%. Dari sini, dapat diasumsikan dua hal terkait dengan penurunan persentase lahan kritis yang ekstrem di wilayah tertinggal. Pertama, apabila dihubungkan dengan struktur perekonomian wilayah tertinggal yang masih berada pada sektor primer, dapat diasumsikan bahwa penurunan persentase lahan kritis merupakan indikasi membaiknya kualitas lahan sehingga dapat digunakan lebih optimal dalam kegiatan pertanian. Lahan kritis merupakan kawasan yang biasanya terletak di sekitar daerah aliran sungai (BLH, 2016b). Kedua, asumsi bahwa lahan kritis tersebut telah dialihfungsikan menjadi kawasan yang lebih produktif diluar kegiatan pertanian.

Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kadar CO di udara terjadi sekitar 250%. Persentase kenaikan tertinggi terjadi di wilayah maju, yaitu sebesar 281,795; di wilayah potensial terjadi kenaikan sebesar 253,22% dan di wilayah tertinggal terjadi kenaikan sebesar 223,07%. Kecenderungan tersebut berlawanan dengan kondisi lingkungan yang ditunjukkan pada variabel luas hutan. Luas hutan yang cenderung mengalami peningkatan menunjukkan kondisi lingkungan yang membaik, sedangkan kadar CO yang meningkat menunjukkan kondisi lingkungan yang memburuk.

Kadar karbonmonoksida tertinggi berdasar data Gambar 5.25. pada wilayah maju terjadi karena kepadatan penduduk yang tinggi dan berkembangnya


industri di wilayah maju. Hasil penelitian tersebut sekaligus menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara aspek sosial berupa kepadatan penduduk dan aspek lingkungan. Demikian pula, dengan keterkaitan aspek ekonomi pada struktur ekonomi non-primer yang berdampak pada lingkungan, yaitu industrialisasi pada sektor sekunder dan masalah lingkungan, seperti kemacetan lalu lintas yang merupakan salah satu penyebab tingginya polusi udara yang terjadi pada sektor sekunder atau jasa, seperti pada sektor pariwisata.

Wilayah tertinggal menurut data empirik menunjukkan polusi karbon monoksida yang lebih tinggi dari wilayah potensial. Hal tersebut dapat dijelaskan oleh yang pertama, karena di wilayah tertinggal yang didominasi oleh wilayah miskin masih banyak menggunakan bahan bakar minyak untuk memasak. Cara tradisional tersebut sering mengakibatkan pembakaran yang tidak sempurna dari kayu, plastik, kertas, ataupun bahan padat lainnya. Yang kedua, berbagai macam fasilitas seperti bengkel dan ketersediaan suku cadang masih sangat terbatas di wilayah tertinggal. Dengan pemeliharaan yang tidak optimal, mesin kendaraan bermotor dapat menghasilkan pembakaran yang tidak sempurna sehingga menyebabkan timbulnya polusi karbonmonoksida. Tingginya kadar CO tersebut tetap harus mendapat perhatian untuk kualitas lingkungan yang lebih baik walaupun secara rata-rata keseluruhan, kadar CO tersebut masih berada di bawah ambang batas yang ditetapkan, yaitu sebesar 30.000 ηg/m3 (BLH, 2015).

Hal tersebut membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah daerah setempat untuk pengendaliannya. Hal ini karena pertumbuhan ekonomi tidak dapat berlangsung dalam jangka panjang tanpa adanya perlindungan terhadap lingkungan dan juga tidak dapat dilakukan perlindungan lingkungan secara eksklusif di era pertumbuhan ekonomi yang kompetitif saat ini.

5. Analisis Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masalah utama pembangunan berkelanjutan adalah ketimpangan antarwilayah. Oleh karena itu, diperlukan perhatian lebih pada wilayah tertinggal, khususnya dalam hal pertumbuhan ekonomi, berupa percepatan pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dengan wilayah potensial dan wilayah maju.

Setidaknya, wilayah tertinggal dapat mendekati kemajuan pembangunan di wilayah potensial. Demikian pula, wilayah potensial yang juga memerlukan intervensi pemerintah dalam hal redistribusi pendapatan sehingga dapat berkembang menjadi wilayah maju. Pembangunan pada wilayah maju juga tidak


lantas dikatakan cukup untuk tujuan pembangunan berkelanjutan karena masih harus dilakukan pembangunan yang berkualitas, dalam arti lebih memperhatikan pemerataan pendapatan dalam wilayah sehingga ketimpangan dapat berkurang yang secara tidak langsung dapat mengurangi masalah sosial.

Hal yang masih perlu dilakukan dalam penelitian lebih dalam adalah peranan sektor primer dalam tujuan pembangunan berkelanjutan. Peranan sektor primer ini erat kaitannya dengan masalah pangan, dan Jawa Timur merupakan daerah penghasil padi yang tertinggi di Indonesia (BPS, 2016d). Sesuai dengan tujuan kedua pembangunan berkelanjutan yang berusaha menghilangkan kelaparan dan mewujudkan ketahanan pangan, peranan sektor primer tidak lantas diabaikan untuk mengejar pertumbuhan yang tinggi. Untuk itu, intervensi pemerintah yang berpihak pada petani dalam upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi petani masih diperlukan. Dengan demikian, wilayah dengan struktur perekonomian primer tidak identik dengan kemiskinan yang tinggi dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Penelitian lebih dalam juga masih diperlukan untuk menetapkan variabel persentase luas lahan kritis yang digunakan dalam penelitian ini, yang menunjukkan kecenderungan menurun relatif cukup tajam di wilayah tertinggal. Regulasi yang tepat mengenai penataan ruang dan pengelolaan lahan mutlak diperlukan untuk menjaga kondisi lingkungan agar tidak semakin buruk.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian berdasarkan variabel-variabel yang digunakan menunjukkan bahwa pembangunan di Jawa Timur belum dapat dikatakan berkelanjutan. Pemetaan wilayah berdasarkan hipotesis Kuznets menunjukkan pelaksanaan pembangunan sudah mengarah pada pembangunan berkelanjutan, tetapi belum mencapai titik belok untuk mencapai penurunan ketimpangan dan degradasi lingkungan yang dibarengi dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita. Untuk itu, diperlukan strategi pembangunan yang berbeda pada tiap-tiap wilayah untuk mempercepat tercapainya pembangunan berkelanjutan di Jawa Timur.

2. Faktor yang paling penting untuk diperhatikan dalam menentukan keberhasilan pembangunan di Jawa Timur secara umum adalah ketimpangan antarwilayah. Hasil penelitian secara empiris menunjukkan bahwa variabel yang mewakili


aspek ekonomi, yaitu tingkat kemiskinan, kontribusi, dan tenaga kerja sektor primer; variabel kepadatan penduduk dan tingkat kriminalitas pada aspek sosial, dan persentase luas hutan pada aspek lingkungan dengan nilai yang sangat berbeda antara wilayah maju dan wilayah lain merupakan bukti terjadinya ketimpangan pada tiap-tiap kelompok wilayah. Ketimpangan menjadi faktor terpenting karena ketimpangan dapat memberikan pengaruh tidak hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek sosial dan aspek lingkungan.

E. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan tersebut di atas, saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

1. Untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Jawa Timur, diperlukan perhatian yang lebih besar yang ditinjau dari sisi keadilan, khususnya dalam hal pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan di seluruh wilayah. Dalam hal terdapat perbedaan tingkat kemajuan pada wilayah di Jawa Timur, untuk mencapai kesetaraan antarwilayah, diperlukan percepatan pembangunan pada wilayah-wilayah tertinggal.

2. Pada wilayah maju dengan karakteristik kluster 1 diperlukan perubahan pola pembangunan menjadi lebih ramah lingkungan dan berwawasan sosial, yang salah satunya adalah melalui CSR (Corporate Social Responsibility).

3. Pada wilayah potensial dengan struktur perekonomian transisi, diperlukan transformasi pembangunan yang dapat segera mengurangi tingkat kemiskinan melalui upaya industrialisasi dengan basis sektor primer yang diharapkan dapat menyerap banyak tenaga kerja.

4. Diperlukan perhatian pada wilayah yang masih berbasis pada sektor primer agar tidak identik dengan kemiskinan. Upaya yang dapat dilakukan adalah perencanaan dan pelaksanaan program/kegiatan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan para petani. Hal ini karena sektor pertanian masih harus dikembangkan sesuai dengan tujuan global dari pembangunan berkelanjutan, yaitu menghilangkan kelaparan dan mewujudkan ketahanan pangan.

5. Mengingat kelestarian merupakan hal yang sangat penting bagi kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang, diperlukan peningkatan kesadaran akan perubahan gaya hidup menjadi lebih ramah lingkungan, yaitu memanfaatkan sumber daya sesuai keperluan dan bukan sesuai keinginan.

DETERMINAN STATUS KEMISKINAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN DI ACEH

DETERMINANTS POVERTY STATUS OF AGRICULTURAL HOUSEHOLD IN ACEH

Nama : Ridha Mutia

Instansi : BPS Provinsi Aceh

Tahun Intake : 2016




Universitas : Universitas Syiah Kual


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisis determinan status kemiskinan Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Aceh dengan menggunakan data Survei Pendapatan Petani 2013. Survei ini merupakan survei lanjutan dari Sensus Pertanian Tahun 2013 yang dilakukan setiap sepuluh tahun sekali. Sampel yang dipilih sebanyak 10.036 RTUP.

Berdasarkan analisis regresi logistik biner diketahui bahwa umur KRT, jenis kelamin KRT, tingkat pendidikan KRT, jumlah anggota rumah tangga, subsektor pertanian, diversifikasi pendapatan, pemanfaatan subsidi/bantuan, dan kepemilikan lahan secara statistik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap status kemiskinan RTUP. Adapun variabel pemanfaatan fasilitas koperasi pertanian dan wilayah tempat tinggal secara statistik tidak berpengaruh secara signifikan.

Variabel subsektor pertanian memiliki pengaruh yang paling besar terhadap kemungkinan RTUP berstatus miskin. Untuk itu, diperlukan program yang spesifik dalam menurunkan tingkat kemiskinan rumah tangga usaha pertanian, misalnya dengan cara meningkatkan subsidi yang tepat peruntukannya bagi usaha pertanian, meningkatkan pendidikan penyuluhan/pertanian, terutama pada petani usia muda, implementasi program keluarga kecil dalam rumah tangga sektor pertanian, pemberian bantuan lahan yang didukung manajerial dalam pengelolaan keuangan agar rumah tangga mampu memanfaatkan dana secara lebih efektif dan efisien. Selain itu, diperlukan program pemerintah yang dapat meningkatkan peran perempuan kepala keluarga dalam mengembangkan potensinya dan memberikan dukungan sehingga dapat bermanfaat dalam meningkatkan ekonomi keluarga.

Kata Kunci: Rumah Tangga Usaha Pertanian, Garis Kemiskinan, Regresi Logistik Biner


ABSTRACT

This research aims to analyze determinants poverty status of Agricultural Households in Aceh using data from Agricultural Household Income Survey 2013. This survey is a follow-up survey of Agricultural Census in 2013 which is done every ten years. The selected sample is 10,036 agricultural household.

Based on binary logistic regression analysis, it is known that age of household’s head, sex of household’s head, education level of household’s head, number of household’s member, agriculture sub-sector, diversification, subsidy, and land ownership have statistically significant influence on poverty status of the Agricultural Households. But, utilization of agricultural cooperative facilities and residence area don’t have statistically significant influence.

Agricultural sub-sector variable is the biggest influence to agricultural household to be poor. It is necessary to have specific programs in reducing the poverty rate of agricultural households such as increasing appropriate subsidies for agriculture, improving education, especially agricultural counseling, especially for young farmers, implementation of small family household program in agriculture sector, in financial management so that households are able to utilize funds more effectively and efficiently. It is also necessary for government to increase the potential and give motivation to female- headed households so that they are able to increase household income.

Keywords: Agricultural Household, Line Of Poverty, Binary Logistic Regression


DETERMINAN STATUS KEMISKINAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN DI ACEH

A. Latar Belakang

IFAD (2011) menyatakan bahwa sekitar 70% penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan bekerja pada bidang pertanian dan citra penduduk miskin sering melekat pada penduduk yang pekerjaannya tergolong di sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat berperan hingga saat ini dalam perekonomian Indonesia karena sektor tersebut mendominasi penyerapan tenaga kerja. Menurut data BPS, pada tahun 2013 terdata 38,07 juta orang atau 34,6% dari total seluruh tenaga kerja Indonesia berada pada sektor pertanian. Meskipun kondisi perekonomian Indonesia sudah lebih baik yang ditandai oleh kontribusi sektor pertanian yang semakin kecil (13,59%) pada kuartal pertama 2017, tingkat kemiskinan di pedesaan masih relatif tinggi.

Kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian Aceh sangat berbeda. Dalam perekonomian Aceh, sektor pertanian masih sangat dominan dengan kontribusi sebesar 30,67% pada triwulan pertama 2017. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Aceh. Kondisi struktur perekonomian Aceh yang masih didominasi oleh sektor pertanian berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2016, tenaga kerja yang diserap pada sektor pertanian berkisar 54,36% dari jumlah penduduk yang bekerja. Kinerja pada sektor pertanian yang cukup baik, ternyata tidak sebanding dengan kesejahteraan petani dan buruh tani yang identik dengan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin lebih banyak berada di perdesaan.

Berdasarkan data BPS pada tahun 2016, persentase penduduk miskin di Aceh usia 15 tahun ke atas yang bekerja pada sektor pertanian adalah 43,63%, sektor nonpertanian sebesar 15,74%, dan 40,63% tidak bekerja. Besarnya penduduk miskin yang bekerja pada sektor pertanian berkaitan dengan pendapatan petani dan buruh tani yang rendah dibandingkan upah pada sektor lainnya.

Keadaan kemiskinan ini dibuktikan oleh Survei Pendapatan Petani (SPP) 2013 yang menunjukkan rata-rata pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) sangat rendah. Rata-rata pendapatan RTUP Aceh dari usaha pertanian tercatat sebesar 11,2 juta per tahun atau sekitar 934 ribu per bulan dan hanya mencakup 45,71% dari total pendapatan RTUP sebesar 24,5 juta rupiah per tahun. Sementara pendapatan yang disumbang dari luar pertanian, seperti pendapatan dari usaha di luar sektor pertanian, buruh pertanian, buruh di luar pertanian, dan pendapatan lain totalnya mencapai 54,29%. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena penduduk miskin bekerja pada sektor pertanian, padahal sektor pertanian merupakan sektor andalan dalam perekonomian Aceh.


Berdasarkan pertimbangan ini, analisis tentang berbagai faktor yang menentukan kemiskinan pada sektor pertanian ini sangat penting sehingga dapat dihasilkan rekomendasi dalam mengurangi penduduk miskin di Aceh. Salah satunya dengan mengentaskan tingkat kemiskinan rumah tangga pertanian. Tujuan umum penulisan tesis ini adalah menganalisis determinan status kemiskinan RTUP di Provinsi Aceh.


Pertanian merupakan sektor terpenting dalam pembangunan Provinsi Aceh dengan kontribusi terhadap PDRB terbesar dibandingkan sektor yang lain dan kinerjanya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Melihat kondisi ini, di satu sisi produksi dan produktivitas meningkat namun di sisi lain kesejahteraan petani tidak meningkat atau bergelut dalam kemiskinan. Berdasarkan hal tersebut di atas, masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah

1. Apakah ada pengaruh signifikan antara variabel-variabel karakteristik rumah tangga, komunitas dan regional dengan status kemiskinan RTUP di Provinsi Aceh?

2. Seberapa besar kemungkinan suatu RTUP untuk menjadi miskin menurut karakteristik rumah tangga, komunitas, dan regional.

3. Penelitian ini mencakup pembahasan mengenai kemiskinan rumah tangga usaha pertanian Aceh dalam hal ini menggunakan indikator tingkat pendapatan per kapita Aceh. Subsektor pertanian yang dicakup pada penelitian ini terdiri dari rumah tangga pertanian yang pendapatan utamanya berasal dari subsektor tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Pembagian sektor pertanian ini berdasarkan System Neraca Account (SNA) 2008 yang diimplementasikan pada Sensus Pertanian 2013.

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa raw data dari Survei Pendapatan Petani Tahun 2013 (SPP 2013) dan teknik sampling yang digunakan adalah cencored samples. SPP 2013 merupakan kegiatan lanjutan dari Sensus Pertanian Tahun 2013. Alasan digunakannya SPP 2013 sebagai sumber data penelitian ini adalah karena keterangan pendapatan rumah tangga usaha pertanian yang menjadi fokus penelitian ini ada dalam SPP 2013. Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) BPS, responden yang berhak memberi keterangan mengenai isian kuesioner adalah Kepala Rumah Tangga atau salah satu anggota rumah tangga yang mengetahui kondisi rumah tangga dengan jelas. Metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu analisis deskriptif dan analisis inferensial. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan program SPSS.



1. Konsep Kemiskinan

Kemiskinan berasal dari kata miskin, yang dalam bahasa Perancis disebut poverty, berasal dari bahasa Prancis kuno ‘poverte’ dan bahasa Perancis modern menyebut ‘pauvrete’. Istilah ini sebenarnya dicuplik dari bahasa Latin paupertas dari kata pauper atau poor dalam bahasa Inggris.

Kemiskinan telah menjadi masalah yang menyita banyak perhatian, baik dari kalangan pemerintah, akademisi maupun lembaga non-pemerintah. Kajian tentang kemiskinan memunculkan beragamnya arti mengenai kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (2016), kemiskinan adalah ketidakmampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, baik kebutuhan makanan maupun bukan makanan, dan ini ditinjau dari sisi pengeluaran rumah tangga. Penduduk dikategorikan miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan (GK) adalah nilai pengeluaran yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan minuman per orang per bulan.

2. Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga menyangkut aspek sosial, budaya, dan politik. Karena sifatnya yang multidimensi, kemiskinan tidak hanya menyangkut materi, tetapi juga menyangkut kesejahteraan sosial. Untuk menanggulangi kemiskinan, Todaro (1985) berpendapat bahwa hal yang paling efektif dalam memberantas kemiskinan untuk jangka pendek maupun jangka panjang adalah merumuskan kebijakan-kebijakan yang ditujukan langsung pada kemiskinan. Namun, menurutnya, untuk memberantas kemiskinan secara langsung tidak dapat dilakukan tanpa mengetahui lokasi, luas, dan karakteristik kemiskinan tersebut secara terperinci. Untuk itu, dalam usaha menanggulangi kemiskinan, kita harus mengetahui penyebab-penyebab terjadinya kemiskinan.

3. Pengukuran Kemiskinan

Sen (1976) mengemukakan bahwa pengukuran kemiskinan dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap identifikasi (siapakah yang miskin?) dan tahap agregasi (bagaimana karakteristik kemiskinan dari orang yang berbeda dapat digabungkan menjadi sebuah ukuran?). Secara konvensional, kemiskinan diukur dengan membandingkan pendapatan atau konsumsi individu/rumah tangga dengan beberapa batasan tertentu. Laderchi (2000) mengatakan bahwa pengukuran


kemiskinan moneter adalah pengukuran yang tepat dan paling umum digunakan untuk mengidentifikasi kemiskinan melalui kekurangan konsumsi atau pendapatan terhadap garis kemiskinan.

Pengukuran kemiskinan moneter banyak digunakan olah para praktisi karena relatif mudah dan ukurannya dapat diperbandingkan antarwilayah. Sekalipun demikian, pengukuran kemiskinan moneter tidak mampu menangkap karakteristik multidimensi dan penyebab kemiskinan. Implikasi kebijakan yang dapat dihasilkan dari pengukuran ini juga terbatas pada upaya menaikkan pendapatan rumah tangga untuk menurunkan angka kemiskinan, khususnya untuk rumah tangga yang berada di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, rumah tangga dengan pendapatan di atas garis kemiskinan belum tentu tidak mengalami ketidakmampuan dalam aspek-aspek kehidupan yang lain dan menjadi luput dari perhatian.

Menurut Rady et.al., (2002), literatur tentang kemiskinan berisi beberapa pendekatan untuk mengukur kesejahteraan rumah tangga. Perbedaan pemilihan variabel yang digunakan untuk mengukur kemiskinan dapat menghasilkan persepsi kemiskinan yang berbeda pula. Dua variabel yang kebanyakan digunakan untuk mengukur kemiskinan adalah pendapatan dan pengeluaran, sedangkan unit analisis yang paling banyak diteliti adalah individu dan rumah tangga.

4. Profil RTUP Sampel

Secara umum, status miskin RTUP dibagi menjadi dua kategori, yaitu miskin dan tidak miskin. Kriteria penentuan ini menggunakan garis kemiskinan. Distribusi untuk menentukan garis kemiskinan ini dibuat menurut kelompok umur kepala rumah tangga. Distribusinya menunjukkan pola berbentuk huruf “U” terbalik, yaitu jumlah rumah tangga usaha pertanian dengan umur kepala rumah tangga pertanian terus meningkat mulai dari 0,6% pada umur < 25 tahun dan terus meningkat sebesar 12,5% pada umur 25–34 tahun, hingga puncaknya pada kelompok umur 35–44 tahun sebanyak 27,8% dan kembali turun pada kelompok umur 45–54 tahun sebesar 26,1%, kemudian pada umur 55–64 tahun sebesar 19,9% hingga kelompok umur ≥65 tahun, yaitu sebesar 13%.

Variabel tersebut juga menunjukkan bahwa lebih dari 20% responden rumah tangga pertanian mengelompok pada kelompok umur 35–44 sampai kelompok 45–54 tahun. Kelompok-kelompok umur tersebut termasuk dalam rata-rata umur produktif. Jumlah rumah tangga pertanian yang paling sedikit berada pada kelompok umur kepala rumah tangga 25 tahun ke bawah. Ini menunjukkan bahwa minat kelompok umur muda untuk menjadikan sektor pertanian sebagai usaha utama sangat rendah.


Mayoritas RTUP sampel dikepalai oleh laki-laki, yaitu 81,1% dan hanya 18,9% rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan. Dilihat dari tingkat pendidikan KRT, persentase terbesar RTUP sampel berada pada level pendidikan rendah dengan KRT tidak sekolah dan maksimal tamat SD sebesar 72,7%, SMP dan SMA sebesar 24,9%, dan diploma/universitas sebesar 2,5%. Ini menunjukkan rendahnya minat kelompok berpendidikan tinggi untuk menjadikan sektor pertanian sebagai usaha utama.

Selanjutnya, menurut jumlah anggota rumah tangga, sebagian besar RTUP memiliki jumlah anggota rumah tangga sebanyak 1–4 orang atau sebesar 59,8% dan sisanya sebesar 30,2% memiliki jumlah anggota rumah tangga 5–6 orang, serta 10 persen pada anggota rumah tangga ≥7 orang. Hal ini diduga bahwa konsep Keluarga Berencana (KB) yang diprogramkan pemerintah masih memperlihatkan hasil dalam rumah tangga pertanian. Berdasarkan kepemilikan lahan, RTUP yang memiliki lahan sendiri sebesar 80,85%.

Berdasarkan sumber pendapatan utamanya, mayoritas RTUP sampel bergantung pada subsektor tanaman pangan (46,1%), perkebunan (36%), perikanan (8,7%), hortikultura (5,3 %), peternakan (3,3%) dan kehutanan (0,5%). Apabila dilihat dari sisi pendapatan terdapat sebesar 51,95% RTUP sampel yang memiliki rata-rata pendapatan per kapita di bawah garis kemiskinan. Hal ini menunjukkan masih cukup besar RTUP sampel yang belum mapan.

Hanya sebagian kecil RTUP sampel yang melakukan diversifikasi, yaitu sebesar 40%. Tabel 4 menunjukkan hampir seluruh RTUP sampel tidak memanfaatkan fasilitas koperasi pertanian untuk usaha pertaniannya. yaitu sebesar 98,2%. Sementara itu, yang tidak memanfaatkan bantuan/subsidi sesuai dengan peruntukannya, yaitu sebesar 68,6%. Subsidi yang diberikan, baik dari pemerintah atau non-pemerintah sesuai dengan jenis bantuan yang diberikan, antara lain pembiayaan, bibit/benih/induk, pupuk, vitamin, dan mineral, pestisida dan obat-obatan, alat mesin pertanian, kapal/perahu, dan ternak. Selanjutnya, berdasarkan status wilayah tempat tinggal, RTUP dominan bertempat tinggal di wilayah timur, yaitu sebesar 51%, barat sebesar 29%, dan tengah sebesar 20%.

5. Profil RTUP Miskin

RTUP miskin adalah RTUP yang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan. Persentase RTUP dengan KRT laki-laki yang miskin tercatat lebih tinggi daripada RTUP dengan KRT perempuan yaitu masing-masing sebesar 52,1% dan 51,3%. Jumlah sampel KRT laki-laki lebih besar dibandingkan KRT perempuan, yaitu 8.143 dari 10.036. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Oginni et.al (2013) di


Nigeria dengan menggunakan data dari Nigeria Demographic and Health Survey (NDHS) pada tahun 2008 dengan jumlah sampel rumah tangga sebesar 34.070 rumah tangga yang menghasilkan bahwa kecenderungan KRT perempuan untuk miskin lebih kecil dibandingkan dengan KRT laki-laki.

Dalam penelitian ini, persentase RTUP dengan KRT berpendidikan tertinggi belum pernah sekolah/tidak/tamat SD yang miskin (54%) jauh lebih tinggi dibandingkan RTUP yang dikepalai oleh KRT berpendidikan SMP-SMA (47,8%) dan yang tertinggi diploma/universitas (33,6%). RTUP dengan KRT berpendidikan tertinggi tamat SD ke bawah lebih rentan miskin. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan rendahnya skill tenaga kerja sehingga menghasilkan upah atau pendapatan yang rendah pula.

Proporsi RTUP berstatus miskin yang ukuran ART ≥7 sebesar 73,5 persen lebih besar daripada RTUP yang ART 5-6 orang sebesar 62,4 persen dan ART ≤4 sebesar 43,1 persen . Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tambo dan Wunscher (2017) yaitu kenaikan ukuran rumah tangga mengakibatkan penurunan pendapatan. Berdasarkan status kepemilikan lahan, Proporsi RTUP miskin yang tidak memiliki lahan sebesar 60,95% lebih besar daripada RTUP yang memiliki lahan sebesar 49,82%.

Jika dilihat menurut Subsektor Pertanian, proporsi RTUP berstatus miskin pada sektor Tanaman Pangan sebesar 62,04% lebih besar daripada RTUP di sektor Perkebunan yang sebesar 42,34%. Ditinjau menurut rata-rata pendapatan per kapita RTUP, persentase RTUP yang miskin lebih tinggi dijumpai pada RTUP dengan rata-rata pendapatan per kapita di bawah garis kemiskinan (51,95%) dibandingkan RTUP dengan rata-rata pendapatan per kapita tepat atau di atas garis kemiskinan (48,05%). Hal ini mengindikasikan RTUP dengan pendapatan per kapita di bawah garis kemiskinan lebih rentan untuk miskin dibandingkan RTUP dengan pendapatan per kapita tepat atau di atas garis kemiskinan.

Menurut diversifikasi pendapatan, proporsi RTUP berstatus miskin yang tidak melakukan diversifikasi sebesar 55,77% lebih besar daripada RTUP yang diversifikasi sebesar 46,20%. Variabel ini sering dikaitkan dengan upaya penanggulangan risiko, kesempatan, atau ketidakpastian pendapatan atas tenaga kerja dan lahan. Diversifikasi pendapatan dapat dilakukan pada sektor pertanian, non-pertanian, atau keduanya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rabbi et.al (2016), pendapatan di luar pertanian merupakan faktor penting yang memengaruhi rumah tangga pertanian.


Proporsi RTUP berstatus miskin yang tidak memanfaatkan fasilitas koperasi sebesar 52,09% lebih besar daripada RTUP yang memanfaatkan sebesar 44,32%. Dengan memanfaatkan fasilitas tersebut, artinya kesejahteraan rumah tangga pertanian dapat meningkat. Proporsi RTUP berstatus miskin yang tidak memanfaatkan bantuan/subsidi sesuai peruntukannya sebesar 52,86% lebih besar daripada RTUP yang memanfaatkan sebesar 49,96%. Hasil ini membuktikan bahwa penyaluran pupuk subsidi oleh pemerintah yang bertujuan membantu meringankan beban biaya produksi petani telah tepat sasaran seperti yang dikemukakan oleh Yuniartha (2017). Subsidi atau bantuan yang diberikan pemerintah/non-pemerintah lainnya berupa pembiayaan, bibit, benih, induk, pupuk, vitamin, dan mineral, pestisida dan obat-obatan, alat mesin pertanian, kapal/perahu, dan ternak. Apabila dilihat dari status wilayah tempat tinggal, proporsi RTUP miskin yang berada pada wilayah timur sebesar 54,99% lebih besar dari pada RTUP di wilayah barat, yaitu 51,40%, dan wilayah tengah sebesar 44,99%.

6. Variabel Umur dan Jenis Kelamin

Variabel umur KRT memiliki pengaruh yang signifikan terhadap status kemiskinan RTUP. KRT yang berumur <25, 25–34, 35–44, 45–54 tahun memiliki kemungkinan berstatus miskin 1.962, 1.464, 1.446, 1.079 kali lebih besar daripada KRT yang berumur ≥ 65 tahun. Adapun KRT yang berumur 55–64 tahun memiliki kemungkinan berstatus miskin 0,979 kali lebih kecil daripada KRT yang berumur ≥ 65 tahun, walaupun untuk kelompok umur ini tidak signifikan secara statistik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Sharma dan Singh (2015) bahwa tingkat kesejahteraan rumah tangga pertanian berada pada rumah tangga yang umur kepala rumah tangganya semakin tua. Semakin tua umur kepala rumah tangga pertanian, semakin banyak pengalaman yang telah didapat umumnya pada umur produktif.

Jenis kelamin KRT secara statistik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap status kemiskinan RTUP. KRT yang berjenis kelamin laki-laki memiliki kemungkinan berstatus miskin 0.860 kali lebih kecil dibandingkan KRT perempuan. Hal ini sesuai dengan ILO (2006) yang mengatakan bahwa terjadi gejala feminisasi kemiskinan, yaitu perempuan yang menderita kemiskinan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Begitu juga, dengan hasil penelitian Djurfeldt et,al. (2013) yang menunjukkan bahwa umumnya rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan berstatus miskin, sehingga perlu ditemukan penyebabnya dalam konteks regional yang spesifik. Jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikannya, tingkat pendidikan KRT secara statistik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap status kemiskinan


RTUP. KRT yang berpendidikan lebih rendah kemungkinan lebih miskin daripada KRT yang berpendidikan tinggi. KRT yang berpendidikan paling tinggi SD memiliki kemungkinan miskin sebesar 1,820 kali lebih besar dibandingkan dengan KRT yang berpendidikan diploma/universitas. Adapun KRT yang berpendidikan SMP dan SMA mempunyai kemungkinan untuk miskin sebesar 1,549 kali lebih besar daripada KRT yang berpendidikan diploma/universitas.

Hal serupa juga ditemukan dalam hasil penelitian Bokosi (2006) yang menunjukkan pada tahun 2012 di Malawi, kemungkinan rumah tangga dengan KRT yang tamat pendidikan dasar 11% lebih rendah dibandingkan rumah tangga dengan KRT yang tidak bersekolah. Hasil penelitian Zhiyi dan Ye (2008) di China juga menujukkan bahwa investasi pendidikan memiliki dampak terbesar pada pertumbuhan pendapatan petani.

7. Jumlah Anggota, Kepemilikan Lahan, dan Subsektor Pertanian

Variabel jumlah anggota rumah tangga secara statistik berpengaruh secara signifikan terhadap status kemiskinan RTUP. Rumah tngga yang memiliki ART ≤ 4 orang memiliki kemungkinan berstatus miskin 0,205 kali lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga dengan ART ≥ 7 orang dan rumah tangga yang memiliki ART 5–6 orang memiliki kemungkinan berstatus miskin 0,531 kali lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga dengan ART ≥ 7. Ini berarti bahwa penambahan jumlah anggota rumah tangga pertanian dimungkinkan meningkatkan status kemiskinan rumah tangga pertanian. Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian Sekhampu (2013) di Afrika selatan, Bogale et. al. (2013) di Ethiopia; Igbalajobi et.al (2013) di Nigeria yang menunjukkan meningkatnya jumlah ART selaras dengan meningkatnya risiko rumah tangga untuk miskin.

Kepemilikan lahan secara statistik memiliki pengaruh signifikan terhadap status kemiskinan RTUP. RTUP yang tidak memiliki lahan sendiri memiliki kemungkinan berstatus miskin 1,481 kali lebih besar daripada RTUP yang memiliki lahan sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Seid dan Singh (2016) di South Wollo Zone, Amhara Regional state, Ethiopia, yang menunjukkan peluang rumah tangga akan berkurang tingkat kemiskinannya sebesar 14,26% apabila rumah tangga tersebut bertambah kepemilikan lahan sebesar satu hektar.

Variabel subsektor pertanian memiliki pengaruh yang signifikan terhadap status kemiskinan RTUP, walaupun sebsektor kehutanan dan hortikultura tidak signifikan secara statistik. RTUP yang pendapatan utamanya berasal dari subsektor kehutanan dan perikanan memiliki kemungkinan berstatus miskin 0,905 dan 0,733 kali lebih rendah daripada sektor perkebunan, sedangkan RTUP yang pendapatan


utamanya peternakan memiliki kemungkinan berstatus miskin 1,401 kali lebih besar daripada sektor perkebunan serta RTUP yang pendapatan utamanya tanaman pangan dan hortikultura memiliki kemungkinan berstatus miskin 2,492 dan 1,246 kali lebih besar daripada sektor perkebunan. Hal ini tercermin dari indikator kesejahteraan petani (NTP), yaitu NTP subsektor perikanan (100,69) lebih tinggi dari[ada NTP subsektor perkebunan (97,16), sedangkan rumah tangga subsektor tanaman pangan mempunyai tingkat kesejahteraan rendah (98,26). Hal tersebut juga tercermin pada subsektor perikanan yang tingkat kesejahteraannya tinggi atau rumah tangga pertanian yang tidak miskin, yaitu rumah tangga yang sumber pendapatan utamanya berasal dari subsektor perikanan (BPS, 2014).

Menurut diversifikasi pendapatan, diversifikasi pendapatan secara statistik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap status kemiskinan RTUP. RTUP yang tidak melakukan diversifikasi pendapatan memiliki kemungkinan berstatus miskin 1,967 kali lebih besar daripada RTUP yang melakukan diversifikasi. Kondisi perekonomian yang sulit dapat menjadikan diversifikasi pendapatan sebagai suatu pilihan strategi hidup (livelihood strategy). Begitu pula, dengan penelitian yang dilakukan oleh Odoh dan Nwibo (2013) di Nigeria di mana diversifikasi berhubungan negatif dengan status kemiskinan.

8. Fasilitas Koperasi dan Wilayah Tinggal

Pemanfaatan fasilitas koperasi secara statistik tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap status kemiskinan RTUP. RTUP yang tidak memanfaatkan fasilitas koperasi memiliki kemungkinan berstatus miskin 1,295 kali lebih besar daripada RTUP yang memamfaatkan fasilitas koperasi, walaupun secara statistik tidak signifikan. Hasil ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa rumah tangga yang memanfaatkan fasilitas koperasi pertanian, semakin besar peluangnya menjadi rumah tangga yang memiliki kesejahteraan tinggi atau berada pada status ekonomi tinggi. Hal ini sesuai dengan kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Verhofstadt dan Maertens (2014) di Rwanda bahwa rumah tangga pertanian yang memanfaatkan fasilitas koperasi pertanian dimungkinkan memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi. Begitu juga dengan hasil penelitian Ma dan Abdulai (2016) di China menunjukkan bahwa keanggotaan koperasi memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pendapatan rumah tangga pada petani Apel.

Wilayah tempat tinggal secara statistik tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap status kemiskinan RTUP. RTUP yang bertempat tinggal di wilayah barat memiliki kemungkinan berstatus miskin 1,045 kali lebih besar daripada RTUP yang berada di wilayah timur, sedangkan RTUP yang bertempat


tinggal di wilayah tengah memiliki kemungkinan berstatus miskin sebesar 0,939 kali lebih kecil daripada RTUP di wilayah timur walaupun secara statistik tidak signifikan. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa RTUP yang berada di wilayah barat akan semakin besar peluangnya menjadi miskin. Menurut National Rural Health Alliance (2013) rumah tangga yang tinggal di daerah perdesaan dan terpencil cenderung mengalami kesulitan transportasi, infrastruktur yang tidak memadai, minimnya fasilitas dan akses terhadap layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan jasa keuangan sehingga rentan untuk miskin.

Salah satu variabel yang secara statistik juga berpengaruh signifikan dan terhadap status kemiskinan RTUP adalah subsidi/bantuan. RTUP yang tidak memanfaatkan subsidi/bantuan dari pemerintah atau nonpemerintah sesuai peruntukannya memiliki kemungkinan miskin 1,356 kali lebih besar dibandingkan RTUP yang menerima subsidi/bantuan. Hasil ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa rumah tangga yang mendapatkan subsidi/bantuan dari pemerintah/non pemerintah yang penggunaannya sesuai dengan jenis bantuan memiliki peluang semakin besar menjadi rumah tangga yang memiliki kesejahteraan tinggi atau berada pada status ekonomi tinggi. Hal ini sesuai dengan kesimpulan yang ditemukan oleh Sibande,et.al (2015) bahwa rumah tangga pertanian yang mendapatkan subsidi/bantuan cenderung memiliki tingkat kesejahteraan tinggi.

D. Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan menganalisis determinan status kemiskinan Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Aceh dengan menggunakan data Survei Pendapatan Petani 2013. Survei ini merupakan survei lanjutan dari Sensus pertanian Tahun 2013 yang dilakukan setiap sepuluh tahun sekali. Sampel yang dipilih sebanyak 10.036 RTUP. Berdasarkan analisis regresi logistik biner diketahui sebagai berikut:

1. Umur KRT, jenis kelamin KRT, tingkat pendidikan KRT, jumlah anggota keluarga, subsektor pertanian, diversifikasi pendapatan, pemanfaatan subsidi/bantuan dan kepemilikan lahan secara statistik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap status kemiskinan RTUP. Adapun variable pemanfaatan fasilitas koperasi pertanian dan wilayah tempat tinggal secara statistik tidak berpengaruh secara signifikan.

2. Dari sepuluh variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini, variabel subsektor pertanian memiliki pengaruh yang paling besar terhadap kemungkinan RTUP berstatus miskin.

THE ASYMMETRIC EFFECTS OF OIL PRICE CHANGES ON THE ECONOMIC ACTIVITIES IN INDONESIA

Nama : Rina Juliet Artami

Instansi : Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Tahun Intake : 2015






ABSTRAK

Makalah ini menganalisa dampak asimetris dari perubahan harga minyak terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia dengan menggunakan model vector autoregression (VAR) untuk periode dari 1990Q1 hingga 2016Q4. Hasilnya menunjukkan bahwa dampak perubahan harga minyak pada produk domestik bruto (PDB) adalah asimetris, karena penurunan harga minyak menurunkan PDB, sedangkan peningkatan harga minyak tidak secara signifikan mempengaruhi PDB. Sangat penting bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungannya pada minyak, terutama sebagai sumber utama pendapatannya, dan juga mempertimbangkan untuk menggunakan lebih banyak sumber energi terbarukan. Pada saat yang sama, efek dari perubahan positif dan negatif dalam harga minyak secara statistik tidak signifikan terhadap inflasi. Kurangnya dampak perubahan harga minyak terhadap inflasi dapat dijelaskan dengan pelaksanaan subsidi harga BBM di Indonesia.

Kata kunci: Harga Minyak, Produk Domestik Bruto, Inflasi, Model VAR


ABSTRACT

This paper analyzes the asymmetric impact of oil price changes on the economic growth of and inflation in Indonesia by using the vector autoregression (VAR) model for the period from 1990Q1 to 2016Q4. The results show that the impact of oil price changes on the gross domestic product (GDP) is asymmetric, as a drop in oil prices decreases the GDP, whereas an increase in oil prices does not significantly affect GDP. It is crucial for Indonesia to reduce its dependency on oil, mainly as its primary source of revenue, and also consider utilizing more sources of renewable energy. At the same time, the effects of both the positive and negative changes in oil prices are found to be not statistically significant to inflation. The lack of impact of oil price changes on inflation can explain by the implementation of the fuel price subsidy in Indonesia.

Keywords: Oil Price, Gross Domestic Product, Inflation, VAR Model


THE ASYMMETRIC EFFECTS OF OIL PRICE CHANGES ON THE ECONOMIC ACTIVITIES IN INDONESIA

A. Background

Oil is an important energy source that plays a vital role in an economy due to its extensive use as fuel and raw material for production (Chang & Wong, 2003; Rafiq et al., 2009). Therefore, oil price fluctuations may affect economic condition of all countries. Earlier studies such as Hamilton (1983) have linked oil price, economic growth, and inflation. As oil price also accounts for the input cost of production, its increase would affect the total cost of production (Brown & Yücel, 2002). Increased oil prices result in higher input costs and lower input supply, which in turn decrease the total output leading to the decrease in economic productivity. The reduction in productivity results in decline in real wage and the increase of unemployment rates leading to higher inflation in an economy.

Later studies extend the argument to point out that economic activities could respond asymmetrically to changes in oil prices (Hamilton, 1996; Lee et.al., 1995; Mork, 1989). The effect of the same change in price does not have the same magnitude when the change is positive as compared to when the change is adverse. This finding is significant because it can capture the impact of both upward and downward changes in oil prices. However, the empirical evidence of such asymmetry is mixed. Mork (1989), Lee, et.al. (1995) and Hamilton (1996) agreed that positive changes in oil price had a negative impact on economic activities. The results of the asymmetric impact of oil price changes on the economic growth of and inflation in emerging countries and Asian countries could not be concluded in this study. On the asymmetric effects of oil price changes, both the Iranian and the China economies were more sensitive to the downward changes in oil price than to the upward changes in oil price (Du et al., 2010; Farzanegan & Markwardt, 2009). Meanwhile, Jbir and Zouari-Ghorbel (2009) found that the asymmetric impact of oil price changes did not exist because both linear and non-linear changes in oil price affected the Tunisian economy in the same way.

Brown and Yücel (2002) state factors such as monetary policy, adjustment costs, and petroleum product prices as an alternative explanation for the cause of asymmetric impact. First, the monetary policy can cause an asymmetric effect of oil price changes on the economic activity due to the increase or decrease of unemployment and inflation rates. The asymmetry can occur when the combination of these factors cannot keep the nominal GDP constant due to unexpected inflation and disinflation precipitated by the monetary policy. Second, the adjustment costs that come from sectoral imbalances, coordination problems between firms, or differential input ratio need more time to be


adjusted due to the oil price changes. The unemployment caused by rising oil prices will happen because the adjustments between the contraction of sectors dependent on energy and the expansion of sectors less dependent on energy need more time to achieve. Last, the asymmetric impact of oil price changes can also cause by the different price changes of petroleum products to the changes in crude oil price due to the different policy applicable to petroleum product prices such as fuel subsidy.

Although oil price fluctuations may seem more important for developed economies with their advanced industrial sector, emerging economies show an increasing dependency on oil (Rafiq et al, 2009). For instance, Indonesia being a developing country is dependent on oil to develop its economy, as oil highly contributes to its gross domestic product (GDP) and significantly affects its total trade balance and government expenditure.

Indonesia was earlier known as a net oil exporting country and depended on oil as its primary source of revenue. However, since 2005, Indonesia has transformed from a net oil exporting country to a net oil importing country with reduced oil contributions to its income, resulting from the oil production decline due to the depletion of resources. The statistics show that Indonesia’s proved crude oil reserves in 2015 were 30% lower than that in 1990, causing the production to decline by 50%, and the revenue to decrease when measured as the percentage of total GDP.

This transformation has led to a deficit balance of trade in the oil and gas sector in Indonesia since 2005. This deficit balance of trade in oil and gas sector has also resulted from the increasing trend of oil consumption. Oil’s share in Indonesia’s primary energy mix was targeted to be 40% in 2015, indicating its heavy dependence on oil (National Energy Council, 2015). In numbers, oil consumption in Indonesia has doubled since 1990. Thus, both the reduction in production and the increasing demand for oil explain the growing deficit balance of trade in the oil and gas sector.

Oil’s share in Indonesia’s government expenditure is also substantial. Fuel subsidy has been a burden on Indonesia’s national budget over the years. Under this subsidy scheme, fuel products are sold for a fixed price below the market price (market price based on the international oil price) and determined by the government. Therefore, the Indonesian government has made an effort to reduce fossil fuel subsidies by eliminating the subsidy for some of the petroleum products gradually and linking it with the international oil price. However, this has resulted in fuel product price fluctuations in Indonesia by the global oil price fluctuations, and this can potentially lead to inflation. The reform in fuel subsidy started at the end of 2014 due to a sharp decrease in world oil price, resulting in a more significant decrease of fuel subsidies proportionately to the GDP.


Oil price changes have been found to affect GDP and inflation. Specifically, there is evidence that the impact of oil price fluctuations on GDP and inflation is asymmetric. However, there is no general agreement on the findings of the asymmetric effect of oil price fluctuations on GDP and inflation. Furthermore, there is evidence that Indonesia is highly dependent on oil, and the study on the asymmetric impact in the case of Indonesia has not yet established. Therefore, it is imperative to conduct such a survey in the case of Indonesia. Thus, this paper aims to fill this gap in the literature and attempts to investigate the asymmetric impact of oil price fluctuations on the GDP of and inflation in Indonesia. If confirmed, policy recommendations that will be provided to overcome the economic condition in Indonesia when oil price decreases and increases will be more specific.


This paper uses the quarterly data from 1990Q1 to 2016Q4 of Indonesia. The coverage starts in the first quarter of 1990 because the earlier data for most of the variables are not available. This paper uses three macroeconomic variables. The first is the real gross domestic product (rgdp, real GDP at the constant price of the year 2010 in billion rupiah). The second variable is inflation that represented by the consumer price index (cpi, consumer price index at the constant price of the year 2010). The last variable is the real oil price (rop, Indonesian crude oil price in US$ per Barrel).

The three variables used in the VAR model are processed differently before they are included in the analysis. Following the methods used by Mork (1989) and Cunado and Gracia (2005), the variable of oil price is separated into negative and positive changes in order to test the asymmetric effects of oil price changes. Both the negative and positive changes in oil price are employed in real terms by deflating the oil price with the consumer price index at the constant price of the year 2010, and then it is transformed into natural logarithms.


The estimation strategy that described earlier will apply in this study. Following a unit root test, the vector autoregression model estimated. Then, the Granger causality test, impulse response function, and forecast error variance decomposition will be applied.

Both the informal and formal tests to identify the stationarity or unit root will perform in this paper. First, informal test conduct by plotting the time series into a graph (Gujarati, 2003). The plot of each variable will show the fluctuation of each series over time or if there is any specific trend of the series. Then, the prediction of the stationarity of the series can obtain. Regarding the formal test, two standard unit


root tests will perform in this paper, namely the Augmented Dickey-Fuller test and Phillips–Perron test. The Augmented Dickey-Fuller test can be used to test the unit roots for serial correlation that includes a higher order of autoregression terms in the equation. Whereas the Phillips–Perron test can be used to test the existence of a unit root when there is a possibility of serial correlation in the residual and a possibility of heteroscedasticity (Hamilton, 1994).

Such findings confirm that the asymmetric impact of oil price changes on GDP exist in the case where a shock of positive changes in the real oil price did not significantly affect the GDP, whereas a shock of negative changes in oil price significantly decreased the GDP in the immediate period. The decreasing and significant impact of negative changes in the real oil price on GDP is not consistent with the theory that the decreased oil price will increase GDP. The positive changes in the real oil price do not affect GDP. The inconsistency of this result with the theory suggests that Indonesia’s GDP still depends on oil as a significant source of revenue. Another finding is that Indonesia’s GDP is more vulnerable to the downward changes in oil price, as the contribution of downward changes in oil price is larger than the contribution of upward changes in oil price to GDP. It can explain that Indonesia’s GDP is more sensitive to the downward changes in oil price because of the contribution of the oil and gas sector to it. Indonesia’s GDP has been decreasing over a period regardless of oil price fluctuations. This declining trend of the contribution could result from the decline of the total production of oil, as it is a non-renewable source that depletes over time. However, oil as a source of revenue still plays an important role; so, the downward changes in oil price will disadvantage Indonesia’s GDP, whereas upward changes in oil price will not significantly affect Indonesia’s GDP.

Meanwhile, the impact of both the positive and negative changes in oil price on inflation was not significant, which can consider as the symmetry impact of oil price changes on inflation. The statistically not so significant impact of both the positive and negative changes in the real oil price on inflation can be considered to be resulting from the implementation of the fuel price subsidy policy in Indonesia. With the fuel price subsidy, the retail price of fuel is subsidized and determined by the government to lower the impact of the world price fluctuations of oil on the consumer price. So, when there is an oil price fluctuation, the retail fuel price will not change direction and proportionately to the change in oil price, and the consumer price index will not be affected directly either. Therefore, the direct relationship between inflation and the changes in oil price could not be explained or is not significant. As a result, the impact of oil price changes on inflation is considered to be symmetric, or the asymmetric impact of oil price changes on inflation is considered not to exist.


The contribution of the impact of each variable can capture by forecast error variance decomposition, the impact of the adverse change in real oil prices on the real GDP was 11% in the second quarter, which was the highest proportion of the effect. Meanwhile, the positive change in real oil prices only contributed by about 4% as the maximum contribution of the total impact on real GDP captured in the eight quarters. Regarding the proportion of the effect on inflation, the negative change in real oil price contributed by about 7% in the tenth quarter that was the maximum contribution. Similarly, the impact of the positive change in real oil prices only committed for a maximum 3.3% on inflation in the tenth quarter.

Forecast error variance decomposition helps to trace out the proportion of the impact of each variable. For example, the result of forecast error variance decomposition helps to explain that the positive changes in real oil price did not significantly affect the inflation or GDP because of the contribution, as compared to the total impact, is small in proportion. Similarly, the effect of the negative changes in oil price on inflation was not significant due to the negligible contribution of the impact. Meanwhile, the significant effect of the negative changes in the real oil price on GDP accounted for 11%.

D. Conclusion

This paper analyzes the asymmetric impact of oil price changes on the GDP of and inflation in Indonesia from 1990Q1 to 2016Q4. The asymmetric effect of price change can define as the effect of the same change in price that does not have the same magnitude when the change is positive as compared to when the change is negative. Specifically, the asymmetry of the impact of oil price changes is studied by separating the changes in oil price into positive and negative changes. Then, the effect of both the positive and negative changes in oil price on GDP and inflation were investigated using the vector autoregression model, impulse response function and forecast error variance decomposition.

This study further examines the asymmetric effects by applying both the impulse response function and forecast error variance decomposition. The asymmetric impact of oil price changes on GDP exists in the case where a shock of positive changes in the real oil price did not significantly affect the GDP, whereas a shock of negative changes in oil price significantly decreased the GDP. Meanwhile, the impact of both the positive and negative changes in oil price on inflation was not significant, which can consider as the symmetry impact of oil price changes on inflation. Although the results are not consistent with the theory that the changes in oil price will negatively affect GDP and positively affect inflation, the results to explain the impact of oil price changes on the Indonesian economy, particularly GDP and inflation.


The results of this study can lead to important policy recommendations. The Indonesian government should take into account the asymmetric impact of oil price changes. Considering the effect of changes in oil price on GDP, the decreased oil price would depress the GDP significantly, and the increased oil price will not affect the GDP. Therefore, the impact of the changes in oil prices on the Indonesian economy can reduce by lowering the dependency on oil as a significant source of revenue, despite the decline of the contribution of oil to the income over the years. Indonesia has been transforming itself from a net oil exporter to a net oil importer since 2005; therefore, the oil revenue measured as the percentage of the total GDP has decreased by about 50% from 1990 to 2005 and account for less than 1% in 2015. Thus, utilizing and diversifying energy sources other than oil also to include renewable energy source can be a solution to reduce the dependency on oil and the impact of oil price fluctuations. Regarding inflation, although the results indicate that inflation is not significantly affected by the changes in oil price, the Indonesian government should focus more on the fluctuation in oil price to control inflation, particularly after 2015 as the phasing out of the fuel subsidy started. As the fuel subsidy gets phased out, the domestic fuel prices will fluctuate according to the international oil price, which means the fluctuations in domestic fuel price also can affect inflation in the future.

However, more research needs to further investigate the impact of oil price changes on GDP and inflation. Events that occurred in Indonesia such as its transformation from a net oil exporter to a net oil importer and the deregulation of fuel subsidy policy should more explicitly incorporate into the analysis. Data with greater coverage is needed to more accurately assess the impact of these events. Then, the further research incorporating such events would improve our understanding of the effect of changes in oil price and help inform policy better.

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH: PENDEKATAN ENDOGENOUS GROWTH MODEL

ECONOMIC GROWTH IN ACEH: ENDOGENOUS GROWTH MODEL APPROACH

Nama : Safwan Ardy

Instansi : Pemkab Aceh Tamiang

Tahun Intake : 2016






ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisis pertumbuhan ekonomi Aceh dengan menggunakan pendekatan Endogenous Growth Model. Faktor yang diamati dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi, investasi pemerintah, investasi swasta, dan human capital yang diproksi dari rata-rata lama sekolah. Untuk tujuan analisis, penelitian ini menggunakan data time series tahunan dari 2006 sampai 2016 dan data Cross Section dari 23 Kabupaten/kota di Aceh. Model yang digunakan pada penelitian ini adalah model ekonometrik. Teknik analisis menggunakan model regresi panel.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel investasi pemerintah, investasi swasta, human capital berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Aceh. Untuk itu, diperlukan usaha pemerintah untuk terus meningkatkan investasi dengan memudahkan regulasi dan menjalankan hukum secara tegas. Selain itu, pemerintah daerah perlu terus mendukung program peningkatan sumber daya manusia.

Kata kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Investasi Pemerintah, Investasi Swasta, dan Rata-Rata Lama Sekolah


ABSTRACT

This study aims to analyze Economic Growth in Aceh by using The Endogenous Growth Model Approach. The factors observed in this study are economic growth, government investment, private investment and human capital which are proxy from mean Years of schooling. For the purpose of analysis, this study uses annual time series data from 2006 to 2016 and Cross Section data from 23 Regions/cities in Aceh. The model used in this research is Econometric Model. The techniques of analysis will use Regression Panel Model.

The results showed that government investment, private investment, and human capital variables influenced positively and significantly towards economic growth in Aceh. Government efforts need to be continued to increase investment by facilitating regulations and enforce the laws strictly. In addition, local governments need to be continued to support human resource development.

Keywords: Economic Growth, Government Investment, Private Investment and Mean Years Of Schooling


PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH: PENDEKATAN ENDOGENOUS GROWTH MODEL

A. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi Aceh dalam kurun waktu lima tahun ke belakang, sebelum 2016, terus mengalami penurunan. Bahkan, pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Aceh menjadi negatif. Pertumbuhan ekonomi dengan migas mengalami puncaknya pada tahun 2011 dengan nilai 5,09%, sedangkan pertumbuhan terendah sebesar –0,73% pada tahun 2015. Dari tahun 2011 hingga 2015, pertumbuhan ekonomi dengan migas semakin menurun, tetapi pada tahun 2016 terjadi kenaikan sebesar 3,31%. Hal ini karena sektor migas yang banyak memberikan pengaruh pada pertumbuhan ekonomi terus mengalami penurunan produksi.

Demikian pula, pertumbuhan ekonomi tanpa migas yang menunjukkan bahwa tahun 2011 merupakan tahun pertumbuhan ekonomi tertinggi nilainya dalam enam tahun terakhir, yaitu sebesar 5,98%. Pertumbuhan ekonomi tanpa migas juga mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Puncak penurunan terjadi pada tahun 2014, yaitu sebesar 4,02%. Kemudian, pada tahun 2015 dan 2016, terjadi kenaikan sebesar 4,27% dan 4,31%.

Pada pertengahan 1980-an, sekelompok teoretikus pertumbuhan merasa tidak puas terhadap laporan umum faktor eksogen yang menentukan pertumbuhan jangka panjang. Sebagai gantinya, mereka mengganti perubahan teknologi dengan investasi modal manusia tidak terbatas yang memiliki efek spillover terhadap ekonomi dan mengurangi deminishing return dari berkurangnya akumulasi modal.

Model endogen paling sederhana adalah model AK, yaitu tingkat tabungan konstan pada pertumbuhan endogen dan mengasumsikan tingkat tabungan sebagai eksogen. Teori pertumbuhan endogen didukung lebih lanjut dengan upaya mengoptimalkan alokasi sumber daya untuk penelitian dan pengembangan yang mengarah pada kemajuan teknologi. Investasi dalam pembelajaran atau pengetahuan menentukan pertumbuhan ekonomi (Romer, 1990). Pasar yang tidak sempurna dan Research and Development (Grossman & Helpman, 1991) juga dimasukkan dalam model pertumbuhan ekonomi.

Ada perbedaan penting kebijakan dengan model Solow dan perubahan eksogennya dengan model pertumbuhan endogen. Dalam model Solow hanya diketahui keadaan mapan yang terjadi per kapita, sehingga hanya pertumbuhan peralihan menuju keadaan mapan yang baru, sedangkan dalam model pertumbuhan endogen, kebijakan pemerintah memiliki dampak terhadap laju pertumbuhan ekonomi jangka panjang.


Banyak penelitian menyebutkan diperlukannya human capital untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, di antaranya penuaan populasi yang secara signifikan dapat merusak potensi pertumbuhan. Namun, untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang, penularan modal manusia menjadi sangat penting (Choi & Shin, 2015.

Elgin & Tumen (2012) menyebutkan bahwa ekonomi maju mengalihkan usaha produktif mereka dari teknologi berorientasi tenaga kerja ke arah teknologi berorientasi modal manusia yang mendukung penuaan populasi. Pergeseran ini disebut sebagai "mekanisme peningkatan efisiensi endogen". Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan populasi yang menurun dapat hidup berdampingan dalam jangka panjang. Menurut Daitoh (2010), dengan perpindahan fase, laju pertumbuhan populasi dapat mengikuti kurva berbentuk U terbalik. Pembangunan manusia dapat membantu ekonomi dari perangkap keterbelakangan.

Beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa modal manusia tidak menjadi jaminan pertumbuhan ekonomi di antaranya Cadil, et al. (2014) yang menyebutkan bahwa modal manusia tidak menjamin stabilitas ekonomi. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara, modal manusia harus dapat mencerminkan struktur ekonomi. Jika tidak, hal ini akan menyebabkan pengangguran yang tinggi disebabkan efek dan ketidakseimbangan yang mencolok di pasar tenaga kerja. Dalam proses pertumbuhan, akumulasi modal manusia tidak dapat menjamin peran produktifnya sampai ekonomi melintasi tingkat ambang pembangunan. (Ahsan & Haque. 2017)

Dari gambaran di atas, penulis menganggap penting untuk melihat pertumbuhan ekonomi dengan melihat investasi pemerintah, investasi swasta, dan indikator human capital di Aceh. Oleh karena itu, penulis menganggap perlu menganalisis pertumbuhan ekonomi Aceh: pendekatan endogenous growth model. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui besarnya pengaruh investasi pemerintah, investasi swasta, dan human capital terhadap pertumbuhan ekonomi di Aceh.


Kajian permasalahan penelitian ini adalah Seberapa besar pengaruh investasi pemerintah, investasi swasta dan human capital terhadap pertumbuhan ekonomi di Aceh? Agar pembahasan lebih terarah perlu kiranya diberikan batasan ruang lingkup penelitian ini yaitu

1. Penelitian dilakukan di Aceh dengan menggunakan panel data dari tahun 2006–2016 terdiri dari 23 kabupaten/kota di Aceh.

2. Aspek yang dibahas yang berkaitan dengan Endogenous Growth model.


Variabel yang digunakan Pertumbuhan Ekonomi yang diproksi dengan PDRB, investasi pemerintah dalam bentuk belanja modal dan belanja barang dan jasa. Investasi swasta dalam bentuk PMA dan PMDN dan indikator dari human capital yang diproksi dari rata-rata lama sekolah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel (Pool Data) yakni gabungan data Time series dan data cross Section selama kurun waktu 2006 s.d. 2016. Data diperoleh melalui BPS, DJPK, DPMPTSP, NSWi BKPM,Bappeda Aceh dan data pendukung lainnya yang diperoleh dari jurnal, buku dan penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan variabel penelitian yang selanjutnya diolah dan dianalisis secara kuantitatif.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel (Pool Data) yakni gabungan data Time series dan data cross Section selama kurun waktu 2006 s/d 2016. Data diperoleh melalui BPS, DJPK, DPMPTSP, NSWi BKPM, Bappeda Aceh dan data pendukung lainnya yang diperoleh dari jurnal, buku dan penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan variabel penelitian yang selanjutnya diolah dan dianalisis secara kuantitatif.


1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow

Robert Solow memenangkan hadiah Nobel dalam bidang ekonomi atas kontribusinya pada teori pertumbuhan. Model Solow adalah sebuah respons terhadap model Harrod-Domar dan beberapa kelemahan yang ada, terutama asumsi dari rasio modal-output konstan. Model Solow menyimpulkan bahwa tingkat tabungan dan investasi sama sekali tidak berpengaruh pada tingkat jangka panjang pertumbuhan ekonomi (Berg, 2005).

Model ini berkembang sejak tahun 1950-an yang teorinya didasarkan pada analisis-analisis mengenai pertumbuhan ekonomi, yang menurut pandangan ekonomi klasik melahirkan teori pertumbuhan ekonomi Solow. Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi bergantung pada penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Selanjutnya, menurut teori ini, rasio modal-output (capital-output ratio = COR) bisa berubah. Jadi, suatu perekonomian mempunyai kebebasan yang tak terbatas dalam menentukan kombinasi modal dan tenaga kerja yang akan digunakan untuk menghasilkan output tertentu.

Model ini memprediksikan bahwa pada akhirnya akan terjadi konvergensi dalam perekonomian menuju kondisi pertumbuhan steady-state yang hanya bergantung pada kemajuan teknologi dan pertumbuhan tenaga kerja. Dalam hal


ini, kondisi steady-state menunjukkan equilibrium perekonomian jangka panjang (Mankiw, 2007).

Asumsi utama model Solow adalah modal mengalami diminishing return. Jika persediaan tenaga kerja dianggap tetap, dampak akumulasi modal terhadap penambahan output akan selalu lebih sedikit dari penambahan sebelumnya. Jika diamsumsikan bahwa tidak ada perkembangan teknologi atau pertumbuhan tenaga kerja, diminishing return pada modal mengindikasikan bahwa pada satu titik, penambahan jumlah modal (melalui tabungan dan investasi) hanya cukup untuk menutupi jumlah modal yang susut karena depresiasi. Pada titik ini perekonomian akan berhenti tumbuh karena diasumsikan tidak ada perkembangan teknologi dan tenaga kerja.

2. Teori Pertumbuhan Ekonomi Endogen

Teori pertumbuhan endogen berupaya menerjemahkan residual Solow. Perubahan pada residual solow dapat diakibatkan oleh perubahan dalam produktivitas faktor produksi, pelaksanaan kebijakan ekonomi, peningkatan mutu modal manusia, peningkatan efisiensi, proses pembelajaran baik dari aspek tenaga kerja maupun dari aspek modalnya, dan sebagainya (Piazolo, 1995).

Apabila pendekatan neoklasik dan pertumbuhan endogen dibandingkan terdapat empat ciri yang membedakan keduanya, yaitu: (1) kemajuan teknologi dipertimbangkan sebagai unsur yang endogen. Hal ini sesuai dengan pembuktian (Ito & Krueger, 1995) bahwa teknologi yang selama ini dipertimbangkan secara eksogen, kenyataannya mengalami perubahan dari waktu ke waktu, akibat adanya akumulasi dalam ilmu pengetahuan, pengembangan ide-ide baru, atau pengalaman dalam bidang teknik dan proses produksi; (2) penekanan lebih besar terhadap peranan akumulasi modal, baik modal fisik maupun modal SDM. Oleh karena itu, peranan kualitas SDM dan sektor R&D (Research and Development) merupakan faktor penting yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara dalam jangka panjang; (3) adanya dampak eksternal sudah dipertimbangkan, (4) implikasi dari model untuk penerapan kebijakan yang lebih bersifat intervensi.

3. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto

Dalam melihat keberhasilan pembangunan suatu daerah, PDRB merupakan ukuran yang masih dapat diandalkan di samping sebagai ukuran kesejahteraan sosial lainnya (misalnya tingkat kesejahteraan, tingkat pendidikan, dan lainnya). Dengan demikian, PDRB dapat juga dianggap sebagai tolok ukur perkembangan/ pertumbuhan ekonomi secara regional yang dapat digunakan sebagai dasar perencanaan dan kemajuan pembangunan di suatu daerah tertentu.


Dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2016, perkembangan PDRB yang paling tinggi di antaraKabupaten/kota di Aceh adalah Banda Aceh sebesar 89,23%, yaitu PDRB tahun 2006 sebesar 7,149,237.09 juta meningkat menjadi 13,528,294.78 juta. Selanjutnya, diikuti oleh Simeulu sebesar 69,21%, dan Aceh Besar sebesar 66,87%. Adapun perkembangan PDRB yang paling rendah adalah Aceh Tamiang sebesar 37,67%, yaitu PDRB 2006 sebesar 3,429,794.89 juta meningkat menjadi 4,721,945.22 juta.

4. Perkembangan Investasi Pemerintah di Aceh

Salah satu konsekuensi dari desentralisasi fiskal adalah peran daerah dalam mengelola APBD dengan mempertimbangkan alokasi dan prioritas dalam membiayai pembangunan daerah. Belanja Modal dan Belanja barang dan Jasa merupakan bagian dari pengeluaran investasi pemerintah.

Dari tahun 2006 sampai tahun 2016, perkembangan investasi pemerintah yang paling tinggi di antara kabupaten/kota di Aceh adalah Aceh Tenggara sebesar 623,53%, yaitu investasi pemerintah tahun 2006 sebesar 89,495 juta meningkat menjadi 647,523 juta. Selanjutnya diikuti oleh Aceh Jaya sebesar 486,75% dengan investasi pemerintah Tahun 2006 sebesar 80,161 Juta meningkat menjadi 470,343 juta. Adapun perkembangan investasi pemerintah yang paling rendah adalah Aceh Utara sebesar 16,43%, yaitu investasi pemerintah tahun 2006 Sebesar 539,070 juta meningkat menjadi 627,632 juta. Khusus untuk Pidie jaya dan Subulussalam belum bisa dilihat perkembangannya dikarenakan kedua daerah tersebut adalah daerah pemekaran.

5. Perkembangan Investasi Swasta di Aceh

Aceh Timur merupakan daerah yang memiliki investasi swasta tertinggi, yaitu sebesar 797,892.0 juta, diikuti Nagan Raya sebesar 146,434.7 juta dan Aceh Singkil sebesar 100,566.7 juta. Investasi swasta terendah adalah Simeulue dengan Investasi sebesar 50,4 juta. Adapun enam kabupaten/kota, yaitu Lhokseumawe, Aceh Tengah, Bireun, Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, dan Pidie Jaya untuk tahun 2012 memiliki realisasi nol.

Pada tahun 2016, terjadi pergeseran investasi swasta, yaitu Lhoksemawe menjadi yang tertinggi dalam hal investasi swasta dengan jumlah investasi sebesar 1,127,531.5 juta, diikuti Aceh Selatan sebesar 954,645.3 juta dan Aceh Utara sebesar 766,648.8 juta. Investasi swasta terendah adalah Bener Meriah dengan investasi sebesar 2,289.5 juta, sedangkan dua kabupaten/kota, yaitu Pidie Jaya dan Simeulue untuk tahun 2016 realisasinya adalah nol.


6. Perkembangan Rata-Rata Lama Sekolah di Aceh

Perkembangan indikator human capital dari tahun 2006 sampai tahun 2016 untuk Kabupaten/kota di Aceh yang dalam penelitian ini diproksi dengan mean years of Schooling (rata-rata lama sekolah). Rata-rata lama sekolah di Aceh mengalami kenaikan tertinggi pada tahun 2013 dengan rata-rata lama sekolah 9,02 tahun. Pada tahun 2014 terjadi penurunan sebesar 8,71 tahun, tetapi 2015 dan 2016 kembali terjadi kenaikan sebesar 8,77 tahun dan 8,86 tahun.

Selama periode penelitian, rata-rata lama sekolah yang paling tinggi perkembangannya di antara kabupaten/kota di Aceh adalah Simeulue sebesar 43,71%, yaitu rata-rata lama sekolah tahun 2006 sebesar 6,20 tahun meningkat menjadi 8,91 tahun. Selanjutnya, diikuti oleh Nagan Raya, yaitu tahun 2006 sebesar 6,70 tahun meningkat menjadi 8,24 pada tahun 2016, dan Bener Meriah pada tahun 2006 sebesar 8,10 tahun berubah menjadi 9,43 tahun pada tahun 2016.

Adapun perkembangan rata-rata lama sekolah yang paling rendah adalah Gayo Lues sebesar minus 18,39%, yaitu rata-rata lama sekolah 2006 sebesar 8,70 tahun menurun menjadi 7,10 tahun. Rata-rata lama sekolah yang paling tinggi pada tahun 2016 masih dipegang oleh Banda Aceh, yaitu sebesar 12,57 tahun diikuti langsa sebesar 10,71 tahun dan Lhoksemawe sebesar 10,53 tahun. Adapun Subulussalam berada pada posisi paling bawah dengan rata-rata lama sekolah sebesar 6,88 tahun.

7. Hasil Pengujian

Hasil pengujian secara simultan menunjukkan bahwa variabel investasi pemerintah, investasi swasta, dan human capital secara simultan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh di 23 kabupaten/kota. Hasil penelitian menggambarkan bahwa investasi pemerintah berpengaruh positif dan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilihat dengan probabilitasnya 0.0000, yaitu lebih kecil dari 0,05 (<5%) artinya bahwa investasi pemerintah berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan di kabupaten/kota di Aceh.

Hasil penelitian investasi swasta juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilihat dengan probabilitasnya 0,0000, yaitu lebih kecil dari 0,05 (<5%) artinya bahwa investasi swasta juga berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan di Kabupaten/kota di Aceh. Terakhir, hasil penelitian human capital yang diproksi dari rata-rata lama sekolah juga menunjukkan bahwa human capital berpengaruh positif dan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilihat dengan probabilitinya 0,0468, yaitu


lebih kecil dari 0,05 (<5%) artinya bahwa human capital juga berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan di kabupaten/kota di Aceh.

D. Kesimpulan

Hasil penelitian terhadap permasalahan yang dirumuskan dalam hipotesis penelitian dengan menggunakan model regresi panel menunjukkan bahwa ketiga variabel independen, yaitu variabel investasi pemerintah, investasi swasta, dan human capital berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada kabupaten/kota di Aceh.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pemerintah berpengaruh positif dan signifikan, artinya selama 11 (sebelas) tahun sejak 2006 sampai 2016, investasi pemerintah memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi di Aceh, yaitu setiap kenaikan 1% investasi pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,02%.

Investasi swasta juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Aceh. Hal ini dapat dilihat bahwa setiap kenaikan 1% investasi swasta meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,01%.

Human Capital yang diproksi dari rata-rata lama sekolah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Aceh. Jika dilihat dari hasil penelitian, human capital memiliki pengaruh yang paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari setiap kenaikan 1% human capital yang diproksi dengan rata-rata lama sekolah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,22%.

Pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan oleh variabel investasi pemerintah, investasi swasta, dan human capital sebesar 98,88%, sisanya sebesar 1,12% dapat dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak terdapat dalam penelitian ini.

THE EFFECTS OF MINIMUM WAGE THROUGHOUT THE WAGE DISTRIBUTION IN INDONESIA: DECOMPOSITION ANALYSES BASED ON UNCONDITIONAL QUANTILE REGRESSION

Nama : Sri Gusvina Dewi

Instansi : Pemkab Pesisir Selatan

Tahun Intake : 2015






ABSTRAK

Makalah ini mengkaji pengaruh upah minimum pada distribusi upah pada tahun 2007 dan 2014 dan bagaimana kenaikan upah minimum pada tahun 2014 mempengaruhi distribusi perbedaan upah atau kesenjangan upah antara 2007 dan 2014. Penelitian ini menggunakan metode regresi Berpengaruh Terpusat (RIF). Untuk memperkirakan fungsi upah dengan menggunakan regresi kuantil tanpa syarat. Selanjutnya, untuk mengukur pengaruh kenaikan upah minimum pada tahun 2014 pada distribusi perbedaan upah, penelitian ini menggunakan metode dekomposisi Oaxaca-Blinder. Dengan menggunakan data panel seimbang dari Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS), ditemukan bahwa upah minimum meringankan disparitas upah pada tahun 2007 dan 2014. Kebijakan upah minimum pada tahun 2014 mengarah pada peningkatan selisih upah antara 2007 dan 2014, dengan yang terbesar perbedaan upah berada di distribusi tengah.

Kata kunci: Ekonomi Tenaga Kerja, Upah Minimum, Distribusi Upah, Regresi Kuantil Tanpa Syarat, Sektor Formal dan Informal


ABSTRACT

This paper examines the effect of the minimum wage on wage distribution in 2007 and 2014 and how the minimum wage increases in 2014 affected the distribution of wage differences or wage gap between 2007 and 2014. This study employ the Recentered Influence Function (RIF) regression method to estimate the wage function by using unconditional quantile regression. Furthermore, to measure the effect of the minimum wage increase in 2014 on the distribution of wage differences, this study uses the Oaxaca–Blinder decomposition method. Using balanced panel data from the Indonesian Family Life Survey (IFLS), it found that the minimum wage mitigates wage disparity in 2007 and 2014. The minimum wage policy in 2014 leads to an increase in the wage difference between 2007 and 2014, with the largest wage difference being in the middle distribution.

Keywords: Labor Economics, Minimum Wage, Wage Distribution, Unconditional Quantile Regression, Formal and Informal Sectors


THE EFFECTS OF MINIMUM WAGE THROUGHOUT THE WAGE DISTRIBUTION IN INDONESIA: DECOMPOSITION ANALYSES

BASED ON UNCONDITIONAL QUANTILE REGRESSION

A. Background

The global financial crisis occurred in the United States in 2007 and began to spread worldwide in 2008, affecting developing countries including Indonesia. Indonesia's economy began to be depressed and marked by the slowing of economic growth, with impact on the labour market in the form of much employment termination in the formal sector and wage reduction.

In Indonesia, labour demonstrations demanding wage increases occur every year. The government has always been blamed for its responsibility in setting the standard of living needs (KHL1) as a basis for determining the minimum wage policy in Indonesia. Labour unions urge the government to revise and upgrade the KHL according to current living standards and the latest price of basic commodities. If compared with neighbouring countries such as China, Thailand, and the Philippines, the Indonesian regional minimum wage (UMR) is indeed at a lower rate. With a higher minimum wage, would inequality in wage distribution decrease? Would Indonesian labourers improve their welfare?

In 2013, Indonesia’s largest labour demonstration occurred. One of the demands was minimum wage increase. Workers who are members of the Indonesian Workers Confederation (KSPI) demanded that the provincial minimum wage be raised by revising the components of decent living needs (KHL). Currently, only 46 components are included. Components of decent living needs are regulated in the Minister of Manpower Regulation No. 17 of 2005, which is considered outdated. This anarchic demonstration had negative impacts on the national economy, such as disrupting the investment climate so that many investors did not want to invest in Indonesia.

The objective of minimum wage policy as mandated in the latest Indonesian government regulation concerning employment, UU No 13/2013, is to protect the welfare of labourers. This regulation is binding for all formal businesses, regardless of scale, amount of capital, and number of labourers. All labourers are entitled to a decent wage to fulfil their living needs. To raise concern on basic needs and commodity prices in each province, since 2009, Indonesia’s central government has delegated authority for setting regional minimum wages to the provincial governments (called UMR Tk I or UMP) and to several district/municipality governments (called UMR Tk II or UMK), that they may formulate their own component of living needs. However, the regulatory framework has remained the responsibility of the central government.


Since 2001, the real and nominal minimum wages have been steadily increasing, experiencing only a short stagnation in real terms at the beginning of the global economic crisis in 2008. Meanwhile, in terms of the individual wage, the International Labor Organization (ILO) in 2015 reported that the average individual wage trend was always above the minimum wage rate from 2001 to 2014. Another report from the Indonesia Central Bureau of Statistics (BPS) shows that 45.9% of formal wage employees received wages below the lowest wage permissible by law in 2014.

Research on the minimum wage policy’s effect on wages has been fruitful in developing countries. By using individual-and household-level panel data of workers in Nicaragua, Alaniz et.al (2011) found that the changes in the legal minimum wage affect only those workers whose initial wage (before the change in minimum wages) is close to the minimum. For example, increases in the legal minimum wage lead to significant increases in the wages of private sector workers who had wages within 20% of the minimum wage before the change, but they have no significant impact on wages in other parts of the distribution. By using the wage equation, the authors suggest that minimum wage laws in Nicaragua are complied with in the private sector but do not have a significant impact on the wages of workers in the self-employment sector. This is in line with the studies on minimum wage’s effect on the actual wages of formal and informal workers in Costa Rica (Gindling and Terrel, 2005). However, these results are contrary to those of Fajnzylber (2001) in Brazil. He found significant minimum wage effects across the whole wage distribution and in both the formal and the informal sectors. In his research, Fajnzylber obtained separate estimates for formal and informal sectors and used the other potential effects of minimum wages not only on wages, but also on family welfare and poverty.

Considering the limitation of previous research and the the state of current condition of wage distribution in Indonesia, it is necessary to assess the effects of minimum wage on wage distribution using the most recent data of the minimum wage and the individual wage. To complement the findings in previous studies, this research examines the extent to which the changes in minimum wages affect the different quantiles of wage distribution in Indonesia.

B. Research Problems and Methodology

The objective of this study is to examine the extent to which the changes in minimum wages affect the wage distribution in Indonesia in 2007 and 2014. To do so, it focuses on the following research questions:

1. Will the increase in minimum wage have a positive impact on each part of the wage distribution?


2. Will the 2014 minimum wage exacerbate the wage gap in real wages in 2007 and 2014?

The study addresses whether the different nominal minimum wages in each province in Indonesia impact the high inequality of wages across provinces. Then, using data on formal and informal labour employment, this study also examines the effects of minimum wage on both sectors.

This study uses the recentered influence factor (RIF) regression method to estimate two wage functions (2007 and 2014) using the unconditional quantile regression. Then, to measure the effects of the 2014 minimum wage on the wage difference between 2007 and 2014, it uses the Oaxaca–Blinder decomposition method.

This empirical analysis uses data of the Indonesia Family Life Survey (IFLS), which consist of two-wave data in 2007 and 2014. This survey is conducted by the RAND Corporation, a nonprofit global organization with headquarters in Santa Monica, California. For the fourth and fifth surveys in 2007 and 2014, the RAND cooperation collaborated with the Center for Population and Policy Studies (CPPS) of Gadjah Mada University and Survey METRE to conduct the surveys.

IFLS is a longitudinal data or panel data survey that provides continuous information about households and socio-economic conditions in Indonesia. The sample is representative of approximately 83% of the Indonesian population and contains over 30,000 individuals living in 13 of the country’s 33 provinces. These are collected data of individuals, households and communities, and the education facilities and health facilities they use. The data are used to observe the current behaviour or condition that may require government intervention such as poverty or education.

The sample size of this survey is 29,055 individuals in 2007 and 24,489 individuals in 2014. The respondents are the labour force who aged 15 to 65 years old in the year surveyed. This survey provides micro-level data on individual and household demographics, including education status, employment status, location, wage, and labour information. The provincial code used in this survey is based on 2000 BPS (Badan Pusat Statistics) code. By using this code, this study constructs the panel data from a two-wave survey.


1. Descriptive Statistics

The result shows that on average the log real wage slightly increased from 2007 and 2014, with a mean difference of –0.492. The mean difference is 0.492, which


is positive and significant at the 0.1% level. Meanwhile, the mean difference of work hours, middle-level education, and non-Javanese ethnicity is negative and significant at the 0.1% level. This means that on average, the number of people in the labour force who have education reaching the middle level and a non-Javanese ethnicity decreased from 2007 and 2014. The number of work hours also decreased from 2007 to 2014. The highest mean difference is age, reaching approximately 6.684, and this is positive and significant at the 1% level. This means that in 2014, the individuals categorized as part of the labour force were older than the individuals in 2007.

2. Unconditional Quantile Regression Result

In this section, we examine the effects of the log real minimum wage on wage distribution and changes over the period from 2007 to 2014 in the selected quantiles. Here, we discuss the results obtained by the unconditional quantile regression methods using the recentered influenced function (RIF) proposed by Firpo et al. (2011).

a. Full Sample ResultIn 2007, the minimum wage had positive effects until the 70th quantile, and the highest impact is in the middle quantile (50th quantile) with the magnitude of 0.663. This effect is not evenly distributed between the quantities and shows fluctuations. Change in the minimum wage affects an increase until the 20th

quantile, then it decreases to the 40th quantile, increase to the 50th quantile, finally decreases until the 70th quintile.

Whereas for control variables such as age, there is an increase until the 80th quantile, the age variables are positive and significant with almost the same magnitude for several quantiles. For the age squared variable, the minimum wage effect is negatively significant until the 70th quintile. This means that wages begin to diminish at a certain age. Similar effects are also seen in the gender_female variable and ethnicity_non-Javanese variables, where the number of female workers negatively affects the wages in all quantiles. Likewise, the number of workers with Javan ethnicity has a significant and negative effect on wages in all quantiles.

In 2014, this effect is positive and significant until the 80th quantile. The impact of log real minimum wage on log real wage also peaks at the 50th quantile. Similar to the 2007 data, the minimum wage effect is uneven in each quantile, with an increase to the 20th quantile, a decline to the 30th quantile, a peak of 0.492 in the 50th quantile, and a decline until the 80th quintile.


For the effects of other covariates, it is seen that the effect of age factor and age squared is similar to the effect in 2007, where the age factor is positive and significant from the 20th quantile to the highest quantile. The age squared is significant for all quantiles except for the 10th and 80th quantiles. Another notable result is the effect of ethnicity_nonJava, which is positive on wages for all quantiles. Minimum wage impact is diminishing (2007–2014) from the lowest quantile (10th quantile) to the 70th quantile.

b. Sub-Sample AnalysisIn sub-sample A, the model for formal sectors employees 2007, the effect is positive and significant until the 70th quantile. The magnitude shows highest in the middle quantile, about 0.561 in 50th quantile. In sub-sample B, the model for informal sectors 2007, the effects of minimum wage are also positive and significant for all quantiles, with the highest effects are in 80th quantile, by the magnitude 1.129. In sub-sample C, the model for individuals who works in formal sectors 2014 shows that the minimum wage effects are positive significant until 80th quantile with the highest effects also in the middle quantile, it’s about 0.468. Whereas, in the last model, sub-sample D, informal sectors model 2014, shows that the effects are positive, but not significant at the 10th, 50th, and 60th quantile. The largest effect is at 30th quantile, by the magnitude 0.909.

3. Oaxaca Decomposition Result

This section examines the impact of the 2014 minimum wage policy on wage difference in each quantile. This study employs the Oaxaca decomposition to obtain the results. This method only employs the full sample analysis because there are some transition of individuals job sectors among these two periods.

a. Full Sample ResultBy using full sample data, this study found that the 2014 minimum wage policy aggravated the wage difference in the 50th quantile (middle income people). This shows that the wage difference is positive and significant for all quantiles.

b. Explained EffectExplained effects include wage structure effects and interactions. The total explained effect is positive and significant for all quantities, but there is no effect on the 20th quantile. The greatest effect is on the 40th quantile, with a contribution of 38.95%. This shows that the minimum real wage log effect


accounts for almost a quarter of the total explained effect with a significant positive effect across all quantiles.

c. Unexplained EffectAlthough unexplained effects only affect some quantiles, the total explained effect accounts for the largest proportion of total effects on the wage difference. This means that most wage differences are caused by outside factors that cannot be captured by the data. These influences can be business competition or macro-economic factors such as inflation or investment.

D. Conclusions

Overall, the minimum wage mitigates wage disparity in 2007 and 2014. However, for the separated sample, the effects of the minimum wage on the formal sector are more even across quantiles in both 2007 and 2014. This shows that the direct effects of minimum wage on the formal sector are more dominant than the indirect effects on the informal sector.

The minimum wage policy in 2014 lead to an increase in the wage difference between 2007 and 2014, with the largest wage difference in the 50th quantile overall. It means that 2014’s minimum wage give the highest impact on the changes of wage of the middle income people rather high or low income people.

E. Policy Implication

In terms of wages, the minimum wage policy in 2007 is more effective in increasing labour welfare than the minimum wage policy in 2014, fulfilling a main purpose of Indonesia’s minimum wage policy. However, this minimum wage policy has only a small positive impact on the income of the poor people, the main target of Indonesia’s minimum wage, and the greatest impacts affect the middle class.

THE SENSITIVITY OF RESIDENTIAL ELECTRICITY DEMAND IN INDONESIA

Nama : Stranti Nastiti Kusumaningrum

Instansi : Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Tahun Intake : 2015






ABSTRAK

Sejak 2013, harga listrik rumah tangga untuk rumah tangga High VA (Volt Ampere) telah berubah karena perubahan kebijakan harga. Makalah ini menganalisa responsivitas permintaan listrik perumahan terhadap perubahan harga listrik dan pendapatan di antara dua kelompok rumah tangga yang berbeda (Low VA dan High VA) pada tahun 2011 dan 2014. Menggunakan model konsumsi listrik dan metode Quantile Regression, hasilnya menunjukkan bahwa perumahan Permintaan listrik adalah harga dan pendapatan yang tidak elastis. Elastisitas pendapatan lebih rendah dari elastisitas harga.

Selanjutnya, efek pada elastisitas harga juga ditemukan pada kelompok VA Rendah, yang harganya tetap stabil. Pada saat yang sama, bukti membuktikan bahwa dampak perubahan kebijakan harga pada elastisitas pendapatan masih belum jelas. Mempertimbangkan hasil, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengatur harga listrik untuk kelompok VA rendah, sambil mempertahankan stabilitas ekonomi.

Kata kunci: Sensitivitas, Listrik, Regresi Kuantitatif


ABSTRACT

Since 2013, the residential electricity price for High VA (Volt Ampere) households has changed due to changes in pricing policies. This paper analyzes the responsiveness of residential electricity demand to the change in electricity prices and income among two different household groups (Low VA and High VA) in 2011 and 2014. Using an electricity consumption model and the Quantile Regression method, the results show that residential electricity demand is price elasticity and income inelastic. Income elasticity is lower than price elasticity.

Furthermore, the effects on price elasticity were also found in the Low VA group, whose price remained stable. At the same time, evidences prove that the impact of change in pricing policy on income elasticity remains unclear. Considering the results, the government has to be more careful in regulating electricity prices for the low VA group, while maintaining economic stability.

Keywords: Sensitivity, Electricity; Quantile Regression


THE SENSITIVITY OF RESIDENTIAL ELECTRICITY DEMAND IN INDONESIA

A. Background

Historically, the government has planned to gradually remove the electricity subsidy and raise the electricity tariffs since 2013 (MEMR, 2016). In 2013, first, the consumers with the largest maximum (6,600 VA) experienced a gradual tariff increase before the tariff system changed to tariff adjustment in 2014. This system allowed prices to be adjusted monthly depending on fuel prices, exchange rates, and monthly inflation (PLN, 2014) that may cause price fluctuations. Since October in the same year, electricity prices for consumers between 1,300 VA to 5,500 VA had increased gradually until the end of 2014 when the electricity tariff (Rp/kWh) of the said groups was equal to the 6,600 VA. The 450 VA and 900 VA electricity prices did not change during these years. In addition, since early 2017, the pricing structure for households with 900 VA has also started to change. The government began to revoke the subsidy for consumers in 900 VA, although not entirely through a program called Subsidi Listrik Tepat Sasaran (SLTS) or the Accurate Electricity Tariff Subsidy (MEMR, 2017). Such regulation induces a rise in price among the 900 VA consumers who are not considered low-income consumers as the government only targets electricity subsidy to be given to the real low-income citizens.

There are some studies touching on the subject of household electricity demand. The previous studies derived the demand for household electricity from household production and consumer behavior theories. However, the electricity demand function derived from household production function is rarely used due to unavailability of goods’ price data in the analysis (Narayan & Smyth, 2005; Pourazarm & Cooray, 2013). Under the household production theory, in the markets, households buy electricity or gas as a good to be an input in producing an electric composite commodity together with capital stock equipment; so that the electricity or gas will indirectly impact the utility of households through the commodity (Alberini & Filippini, 2011; Pourazarm & Cooray, 2013). In the household production theory, electricity demand function is derived from maximizing utility function subject to a budget constraint (Alberini & Filippini, 2011). Meanwhile, based on consumer behavior theory, electricity is considered to affect consumer utility directly (Pourazarm & Cooray, 2013).

The studies on the impact of price on electricity consumption for every income level found different results. In Norway, high-income households are more sensitive to price than low-income households while, in the U.S., price elasticity of household electricity consumption decreases with respect to a rise in income (Alberini, Gans, &


Velez-Lopez, 2011; Nesbakken, 1999). On the other hand, an analysis in Spain regarding electricity consumption revealed the U-shape price elasticity on quantile demand, meaning that the group of consumers who consume the least and the highest are less responsive to change in prices than the middle consumer group (Romero-Jordan et al., 2016). Meanwhile in the U.S. a study found that as electricity consumption rises, price elasticity decreases (Reiss & White, 2005).

The elasticity of income to electricity demand can also be different with respect to income levels. An increase income will increase the electricity demand in low-income levels to fulfill their basic needs and additional needs to live more comfortably (Romero-Jordan, et al., 2016). However, at one point of income level, the increases income have little impact on the consumption (Romero-Jordan, et al., 2016). Additionally, a study on income elasticity of electricity demand in 11 OECD countries states that electricity demand responds weakly to income (Krishnamurthy & Kriström, 2015).

In the case of Indonesia, a few earlier studies can be noted. A finding based on 600 respondents’ primary survey in seven cities in Java and Sumatra Islands found that higher the ratio of electrical energy expenditure to income, the more vulnerable a price shock the household group is exposed to (Batih & Sorapipatana, 2016). Additionally, a relatively more expensive electricity price is likely to pressurize consumers to conserve more electrical energy (Batih & Sorapipatana, 2016). Meanwhile, another previous research about Indonesia using Computational General Equilibrium method and Indonesia Family Life Survey (IFLS) 2007 data found that the budget share of electricity uniformly decreases with income (Durand-lasserve, Campagnolo, Chateau, & Dellink, 2015). However, such paper using National Socio-Economic Survey (SUSENAS) data still rarely can be found. Compared to IFLS dataset, SUSENAS has a different structure. Therefore, this research tries to reinvestigate the issue using SUSENAS data to complete the view.

This paper aims to identify how the change in electricity price affects the responsiveness of electricity consumption to price and consumer income in different quantiles of consumption levels in Indonesia using two sets of cross section data from the National Socio-Economic Survey (SUSENAS) in years 2011 and 2014. By applying Quantile Regression methods to the SUSENAS data, this research intents to give more insight into the impact of the new electricity pricing policy that has been applied in 2013. Subsequently, the impact of the newer pricing schedule for 900 VA households in 2017 may be predicted.

The paper is organized as follows. First, an overview of Indonesian electricity pricing system including a review of literature on residential electricity consumption including studies about price elasticity and income elasticity with respect to electricity demand is presented in this section. Thereafter, the methodology of the study and


data for estimating the result is explained. Finally, the results are discussed before the conclusion and policy implications are given.


Electricity consumption data on SUSENAS used in this study only comes from PLN consumers and those who have metering system in their houses indicated in the data. PLN is a national electricity wholesale company with very wide distribution and transmission line across Indonesia. Even though PLN is not the only company with a power plant, PLN is the sole electricity distributor in Indonesia. However, there are consumers, most of whom live outside Java and Bali islands and own a mini power generator in their houses in case of an emergency when a black out occurs. Therefore, because electricity consumption in the SUSENAS data consists of electricity usage from all sources, consumption data from other power generation besides PLN has to be dropped.

Education data in SUSENAS are categorical data with 14 categories. It is because Indonesia has a national Islamic school and vocational school counted different from common school. Moreover, there exists a special exam to gain a school certificate without actually going to school. However, following the common use of level of education variables in literature, this study re-groups some categories in raw data into one category to be regressed as dummy variable.


The estimation results all have expected signs that mostly are statistically significant at 99% confidence level. All estimated coefficients of the variable price in the natural logarithm indicate the elasticity of price on electricity consumption have negative values. It means that increase in electricity price will decrease electricity consumption. At the same time, the change in income has a positive relationship with electricity consumption in all results.

The QR estimation results generated in STATA 14 are illustrated in several X–Y graphs. Each graph illustrates the relationship between each independent variable shown on the Y–axis with the dependent variable and electricity consumption in the natural logarithm value, shown on the X–axis. The horizontal dashed line in each graph represents the OLS regression result and their confidence interval, while the solid line and gray area represent the QR result and confidence interval respectively. From such graphs, it is clear that QR can explain the dependent variable better than OLS regression, since QR can capture varying effects of each independent variable across the distribution quantile of the dependent variable.


1. Price Elasticity

Price elasticity appears to be inelastic in all QR results. It proves that electricity is a necessity good that cannot be substituted easily. The QR results for price elasticity across the conditional distribution of electricity demand in two groups of consumers given the two years’ observation data.

The result profile of QR within the demand distribution in Low VA group. In both years, price elasticity of the distribution of electricity consumption curves had a downward sloping trend line in negative value that varies within range (in absolute terms) from 0.87 to 0.90 in 2011 and from 0.77 to 0.85 in 2014. The negative value indicates that consumption will decrease as price increases. The downward pattern illustrates that consumers in the higher quantile are more sensitive to change in price than consumers in the lower quantile.

It has to be noted that the responsiveness of electricity consumption to change in price in 2014 was lower than the responsiveness in 2011 in all percentiles of electricity consumption in the Low VA group. However, the magnitude of the decrease of elasticity was slightly different among the same quantile of consumption in different year. The 2014 trend line of QR result of the price elasticity across the distribution of electricity consumption is steeper than the trend line in 2011. Starting from the quantile value of 0.4, the difference in the shape of such trend lines can be seen more clearly. It means that the lower to middle consumers’ elasticity of price decreased more than the highest consumption level quantiles resulting in higher price sensitivity for middle to higher consumers than others in 2014. Such phenomenon may have occurred as people in the lower quantiles, lower income people for the most part, did not have the luxury of adjusting their consumption beyond their need unlike the middle to higher consumers. The middle to higher consumers are likely to own more electric appliances that may be adjusted flexibly with a change in price.

The High VA group QR estimation results. The elasticity of price with respect to quantiles’ consumption in 2014 was smaller in roughly the same proportion than price elasticity across the quantiles in 2011. The estimated price elasticity for all quantiles’ distribution of electricity demand is fairly the same for one year of observation. Price elasticity in both years was in the negative values that vary within range (in absolute terms) 0.92–0.95 in the year 2011 and 0.81–0.84 in the year 2014.

The relationship between price elasticity and electricity demand in 2011 (a) roughly looks like a U-shape pattern showing that consumers below 20th percentile


and in above 80th had higher elasticity than those in 20th–80th percentiles. The pattern supports the assumption that consumers in the lowest demand already consume electricity efficiently only for their necessities, thus their price elasticity is low. Then, as demand goes up the consumers become more responsive to the change in price. However, the highest percentile consumers probably have high income so they can spend more on electricity without worrying about the price.

In 2014, price elasticity decreased for all quantiles of demand with slight change in pattern from 2011 (b). There is a small inverted-U shape in lower quantile of the 2014 consumption distribution profile different from 2011 relationship pattern between quantiles’ consumption and price elasticity.

The reason why price elasticity changed between 2011 and 2014 cannot be determined clearly. Thus, this study tried to run similar regression for the years 2012 and 2013. Without the change in prices due to the regulation in 2013, the price elasticity of demand in all consumer groups had been fluctuating from 2011 until 2013. The price elasticity distribution along the quantile of consumers looked similar, flat line for the Low VA group, and U-shape for the High VA group. However, the distribution of price elasticity among the quantiles in 2014 was different as explained in previous paragraphs. Such condition might be attributed to the tariff regulation change in 2013 and 2014, including the Low VA consumer group whose price did not change.

The effect of the 2013–2014 electricity tariff change on the electricity demand in the Low VA group may have occurred indirectly through the inflation caused by the change in electricity regulation. The 2014 economic report on Indonesia published by Bank Indonesia (the Central Bank of Indonesia) in 2015 stated that the administered prices including energy prices significantly caused the 2014 inflationary pressure. The Bank Indonesia suspected that the high value of inflationary pressure was due to the pricing reform of liquefied petroleum gas (LPG), gasoline and electricity. The change in electricity tariff itself had 0.64% share of the administered price inflation in 2014 (Bank Indonesia, 2015).

Looking at the results and comparing it with earlier studies, the basic profiles of the price elasticity of electricity consumption across the consumption distribution in Indonesia for the Low VA group are different with two previous studies conducted by Reiss and White in 2005 on the price elasticity of electricity demand in the US and a study by Romero-Jordan et. al. in 2016 on the same subject in Spain. The price elasticity was increasing as the electricity consumption


increasing. Simultaneously, for the High VA group, initially the shape was similar with the study of Romero-Jordan (2016) that is U shape but the price elasticity profile became different after price changes.

It has to be noted that both in Indonesia and in the US have non-linear pricing schedule whilst in Spain the pricing mechanism is progressive pricing on the electricity consumption. Nevertheless, in the US, the price elasticity trend is increasing (Reiss & White, 2005). It prove that unlike in the US, in the Low VA group in Indonesia, if the quantile demand of electricity can reflects the quantile income, there is positive relationship between household income and the consumption of electricity. The fact that the households in the Low VA group are people in the middle to low-income group suggest that even in the highest quantile of electricity demand, the consumers prone to price changes.

On the other hand, in the High VA group, the pricing mechanism is progressive pricing, even before the price changes. But, compared to the similar occurrence happened in Spain that is the prices changes, the price elasticity responded differently. This study found that the price elasticity in quantiles demand was collectively decreased after the price changes, while in Spain, the consumers in the middle quantiles of demand were became more responsive to price changes. Romero-Jordan et al (2016) argue that the middle quantiles demand consumers are the middle-income class that is most prone to the prices changes.

2. Income Elasticity

The investigation of the relationship between income elasticity and distribution of electricity consumption resulted in a similar shape for both consumer groups in both years. The elasticity of income decreased throughout the quantiles of electricity consumption. Suppose that the conditional distribution of electricity consumption represents the income level of the households, the poorest household is in the lowest quantile of electricity demand and the richest is in the highest quantile. The estimated results suggest that poor households will increase their electricity consumption more than rich households when they have an increase in income. Thus, as the households become richer, the effect of a rise in income to electricity demand becomes smaller.

Overall, the income elasticity of High VA group was higher than the income elasticity of Low VA group. Additionally, the gap between the lowest and the highest quantiles’ distribution of consumption was bigger in High VA group than in Low VA group. The values of income elasticity in the Low VA group were positive


within range 0.26–0.19 in the year 2011 and 0.27–0.22 in the year 2014. At the same time, the estimated income elasticity in the High VA group was within range 0.43–0.29 in 2011 and 0.42–0.32 in 2014.

It is understandable that income elasticity of High VA group is higher than Low VA group and the gap of income elasticity among all quantiles in High VA group is wider than those in the Low VA group. It may be because the consumers with higher power capacity of electricity are likely to have higher income than their counterparts. As a result, the consumers in High VA group are more responsive to change in income; because they may tend to use more electric appliances than people in Low VA group.

Another finding is that the QR result line of both groups in 2014 looks moderately flatter than in 2011. It implies that the responsiveness of change in income became more equal between the quantiles of consumption in 2014 than in 2011. However, the change in values on each quantile is very small.

Nevertheless, findings on income elasticity of demand above are incomplete without knowing the condition in 2012 and 2013. The average income elasticity in 2012 and 2013 was lower than in 2011 and 2014. The decreasing income elasticity may be due to an increase in income per capita throughout the years as reported by Bank Indonesia (Central Bank of Indonesia) in 2014’s economic report of Indonesia (2015). As income increases, the proportion of income for electricity as a necessity good, most likely decreases. However, in 2014, income elasticity increased to the 2011 level in both observed groups, even though the income per capita in 2014 was higher than in 2013.

There are two possibilities regarding why the income elasticity in 2014 became similar to that in 2011. First, this indicates that change in price of electricity in 2013 neutralized the effect of the increasing income of households during 2011–2013. Therefore, when the price of electricity and income increased at the same time in 2014, income elasticity of electricity demand seemed unchanged from income elasticity in 2011. However, there is another possible reason. In 2014, private consumption expenditure decreased as the economy decelerated (Bank Indonesia, 2015). It can be assumed that the proportion of real income to spend in electricity consumption became higher.

Therefore, income elasticity of demand increased. Additionally, general election held in 2014 might have contributed to the economy. With regards to earlier studies, this research finds that income elasticity of electricity demand in Indonesia is slightly higher than in OECD countries including Spain with the


values below 0.2 (Krishnamurthy & Kriström, 2015; Romero-Jordan et al., 2016). This result may suggest that household income in Indonesia compared to OECD countries have more important role in consideration for electricity consumption.

3. Additional Results

Besides price elasticity and income elasticity, this study also examined some characteristics of households that factored the decision of electricity consumption. The suspected factors were years of education of the head of the family, ownership of equipment, and location of households whether in Java and Bali Islands and whether the house was in urban area.

From all such factors, the results of years of education have the most not statistically significant coefficient estimation result mostly found in the High VA group consumers. The estimation results for such household group imply that levels of education of the breadwinner had no impact on electricity consumption in 2011. However, in 2014, when the breadwinner had more than 12 years of education, the impact of their education was significant at 29.8% in 0.05 quantile consumption and then decreased for the remaining quantiles.

On the other hand, the levels of education have positive impact on electricity consumption in the Low VA group in both given years. The longer the education the breadwinner received, the higher the possibility of deciding to consume more electricity. Nevertheless, the impact was also decreasing along with the increase of consumption quantiles.

The estimated coefficients for two dummy location variables used—Jawa-Bali and urban—are statistically significant. The first dummy variable—Jawa-Bali—has statistically significant negative value coefficients; meaning that when households live on Java or Bali Islands, electricity consumption will decrease more than when they live on other islands. However, the estimated values are very small at around -0.1 or even less, which may indicate that living location inside or outside Java and Bali Islands, has little impact on the consumption behavior. On the other hand, the second dummy variable —urban— has statistically significant positive value coefficients. Therefore, people in urban area have a positive relationship with electricity consumption than people in rural area. Nevertheless, magnitude of the impact is small between 0.2–0.3.

The last dummy variable used in this study is equipment that reflects the ownership of electricity appliances. The results show the impact of ownership


of air conditioner, refrigerator, and water heater on electricity consumption that decreases as the quantile of consumption increases.

The value of the impact is higher in the group of consumers in High VA group than in the Low VA group. Such condition may happen because of the limitation that maximum power, which can be used by the former, is higher than that of the latter.

D. Conclusions

This paper investigated price and income elasticities with respect to electricity consumption in 2 different groups (Low VA and High VA) in 2 different years (2011 and 2014) in Indonesia. First, the estimated price elasticity of demand shows that electricity is inelastic in negative values and second, at the same time, the estimation of income elasticity of demand presents the positive value. The absolute values of both estimated elasticities indicate that consumption of electricity is more responsive to change in price than to change in income. Additionally, the values for price and income elasticities are estimated to be higher in the High VA group than the values in the Low VA group.

This study also examined price and income elasticities across the conditional distribution of electricity consumption. The 2014 price elasticity gap between the lowest and highest quantile electricity demand in the Low VA group was bigger than the gap in the High VA group. In contrast, the 2014 price elasticity gap between quantile distributions of electricity consumption in the Low VA group was relatively the same with the gap in the High VA group. Simultaneously, income elasticity gap between the lowest and highest quantiles in High VA group was bigger than the gap in Low VA group in both 2011 and 2014.

There are some highlights of the findings. Firstly, The government regulation to raise the electricity prices for specific groups may also affect other groups. Based on the estimation results, the elasticity of price for both groups decreased in 2014 with different magnitudes among the quantileseven though. The High VA was the only target of the government pricing regulation in the residential sector,. The decrease in price elasticity of demand in the High VA group between 2011 and 2014, therefore, was most likely because of the change in electricity price due to the regulation. However, the elasticity of price in the Low VA group also decreased in 2014 with different proportion. The movement of the Low VA might have happened because of the change in other prices, besides electricity price during the years. However, it can also be caused by indirect effect of changes in price in the High VA group or changes in commercial and industrial sector electricity prices. It is highly possible that the middle to the highest


quantiles of Low VA group were affected by the change in pricing regulation in 2013, even though the Low VA group’s own price was unchanged.

On the other hand, the impact of the change in pricing regulation on income elasticity of electricity demand remains unclear. Income elasticity of demand in 2014 had similar value with income elasticity in 2011 for both groups of consumers. However, an additional investigation to find income elasticity between 2011 and 2014 found lower results than the 2011 or 2014 values. Such results may have been caused by the change in price of the High VA group in 2013-2014 that negated the effects of increasing income throughout 2011-2013 or because the economy slowed down in 2014.

From such findings, there are some policy implications. First, the government has to be careful in proposing changes in electricity price for a specific group of households, because the effect of price change on price elasticity of demand may not only be felt by the exposed group, but also the remaining household groups. Second, the government may also pursue more policy towards efficiency of energy including regulation to push more efficient electric equipment in domestic market. Aside of environmental issue, energy efficiency can make consumers less responsive to the electricity price changes.

The findings in this study also suggest that income elasticity of electricity demand in Indonesia may be influenced by the change in economy and in pricing regulation. Hence, the effect of change in pricing regulation alone on income elasticity in future is unclear. Therefore, it is important for the government to maintain economic stability; so that changes in price may have a little impact on income elasticity.

Some limitations of this study may provide fruitful avenues for future research. First, due to the limitation of data availability, this research used the cross section data in two point of years —2011 and 2014— which intended to capture the electricity demand behavior before and after the price changes. Therefore, the complete view of the change in price and income elasticities throughout conditional distribution of electricity consumption may not have been achieved. It may be more beneficial to use panel data covering some years before and after the price changes. Another limitation of this study is that consumers’ welfare condition was not observed. As a suggestion, future research can investigate the change in welfare due to price changes. With the addition of welfare analysis, the impact of policy change on electricity prices will become more comprehensive.

CHILD LABOR AND HOUSEHOLD WEALTH IN INDONESIA

Nama : Thanthawi Jauhari

Instansi : LKPP

Tahun Intake : 2015




Universitas : Universitas Indonesia-Hiroshima University


ABSTRAK

Pekerja anak telah didiskusikan dengan kekayaan rumah tangga. Penelitian ini mencoba untuk menyelidiki dampak dari aset rumah tangga pada pekerja anak menggunakan data Indonesia yang diambil dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) gelombang kelima pada tahun 2014. Kami mencoba untuk melihat apakah “aksioma mewah” atau “paradoks” kekayaan yang terjadi di Indonesia. Dalam makalah ini, kami membagi kekayaan rumah tangga ke dalam tiga kategori: aset rumah tangga pertanian, aset non-pertanian rumah tangga, dan aset non-bisnis rumah tangga. Penelitian ini menggunakan model Probit dan Tobit sebagai metode regresi untuk menjawab masalah utama. Selain itu, pemeriksaan kekokohan menggunakan model dua tahap Heckman. Hasilnya menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara pekerja anak dan aset pertanian rumah tangga yang dapat mendukung "paradoks kekayaan" terjadi di daerah pedesaan dan perkotaan. Hasil ini menunjukkan bahwa ada pasar tenaga kerja yang tidak sempurna di sektor pertanian dimana rumah tangga petani tidak mampu untuk menyewa tenaga kerja non-rumah tangga. Hasil lainnya juga menunjukkan hubungan positif antara pekerja anak dan aset non-pertanian rumah tangga yang mendukung "paradoks kekayaan" di daerah pedesaan. Temuan ini menyiratkan bahwa bisnis non-petani di daerah pedesaan tidak dapat mempekerjakan tenaga kerja non-rumah tangga. Sementara itu, dengan menggunakan aset non-bisnis rumah tangga, ia mendukung "aksioma mewah" di daerah perkotaan. Ini berarti bahwa peningkatan aset non-bisnis rumah tangga akan mengurangi kemungkinan pekerja anak. Kami berharap temuan ini dapat digunakan untuk menciptakan kebijakan yang tepat bagi Pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah pekerja anak di Indonesia.

Kata kunci: Pekerja Anak, Aksioma Mewah, Paradoks Kekayaan, Indonesia


ABSTRACT

Child labor has been discussed with household wealth. This study tries to investigate theimpact of the household asset on child labor using Indonesian data taken from Indonesian Family Life Survey (IFLS) the fifth wave in 2014. We try to see whether “luxury axiom” or “wealth paradox which occurs in Indonesia. In this paper, we divide household wealth into three categories: household farm asset, household non-farm asset, and household non-business asset. This study uses Probit and Tobit model as regression method to answer the main issue. Moreover, the robustness check uses the Heckman two-stage model. The result shows that there is a positive correlation between child labor and the household farm asset which may support “wealth paradox” occurs in the rural and urban area. This result shows that there is imperfect labor market in agriculture sector which farmer household cannot afford to hire the non-household labor. The other result also shows the positive relationship between child labor and the household non-farm asset that support “wealth paradox” in the rural area. This finding implies the non-farmer business in the rural area cannot hire the non-household labor. Meanwhile, using the household non-business asset, it supports “luxury axiom” in an urban area. It means that an increase of a household non-business asset will reduce the probability of child labor. We hope that this finding can be used to create a proper policy for Indonesian Government to overcome the child labor problem in Indonesia.

Keywords: Child Labor, Luxury Axiom, Wealth Paradox, Indonesia


CHILD LABOR AND HOUSEHOLD WEALTH IN INDONESIA

A. Background

Child labor is a global issue. Many of children who worked come from poor family. They work to pay their family and/or their education. Based on International Labor Organization (ILO) data in 2012, there are 168 million children who become children labor and 78 million child labors came from Asia Countries and Pacific Countries. ILO also reported that in 2012, 58.6 % of the child labor working in agriculture sector while it was 60% in 2008. In 2012, the number of boys is bigger than girls that involved in child labor. That is 59% are dominated by boys rather than girls (Office, 2013). Like other developing countries, Indonesia also faced child labor problems. In Indonesia, based on 2013 data, there were 3.6 million working children (UNESCO Institute for Statistics, 2015). Furthermore, 61.6% worked in agriculture sectors, 26% in the services sector, and 12% in industry sectors. Moreover, they dominantly found in the rural area.

Traditionally, many economists believed that child labor as result of income poverty. Using Bangladesh data, Amin, Quayes, and Rives (2004) found that family’s poverty increases the probability of children to work. It also supported by another research conducted by Priyambada, Suryahadi, and Sumarto (2005) that poverty as an important determinant in working children. The phenomenon of child labor will be correlated with education level. Fallon and Tzannatos (1998) mentioned that one-way to reduce the child labor by reducing poverty.

Specifically, some research tried to describe the relationship between child labor and household farm wealth. This theory supported the hypothesis that child labor as the impact of poverty. Basu and Van (1998) found that child labor would decrease as household resources increase, a result of “luxury axiom”. An increase in wealth encourages household to increase their consumption in normal goods, including child leisure, and schooling. This theory was supported by the positive correlation between child labor and poverty. Moreover, Bandara et al (2015) mentioned that the correlation between asset and child labor is negative. It means that asset wealth can reduce child labor.

Meanwhile, several economists found the different result for the correlation between household asset and child labor. The results show the positive correlation between asset wealth and child labor, namely “wealth paradox”. The founder of “ wealth paradox” are Bhalotra and Heady (2003) found that the children with rich farm asset tend to work more than children with the poor asset. Moreover, Kambhampati


and Rajan (2006), based on research in India showed that an increasing farmland will increase the child labor participation. Dumas (2007) mentioned that parents with land area thought child leisure is luxury good. In result, parents will force their child to work in farmland because they cannot hire the non-household labor and it will cause higher income loss if they did not farm the land. Furthermore, Kruger (2007) showed using Brazil’s coffee-producing areas data that wealth positively affected child labor.

Research on the impact of the household asset on child labor in Indonesia is relatively scant. It is interesting to know whether the hypothesis that household asset creates “luxury axiom” or “wealth paradox” in Indonesia. This paper tries to fill this gap in the existing literature. This paper evaluates the impact of household wealth in the household decision to send their child to the labor market. Commonly, researcher investigates the impact of farm asset on child labor. In this paper, we also try to investigate the impact of the non-farm and non-business asset on child labor. Furthermore, this paper tries to investigate whether rural or urban location gave different impact in child labor. Moreover, it also measured the impact household asset on domestic and non-domestic child labor working hour. We specify this research on children with age 5–14 using data in 2014. The data are taken from Indonesian Family Survey 5th in 13 provinces in Indonesia.

We use the Probit, Biprobit, Tobit, and Heckman method in order to evaluate the impact of household wealth on child labor in Indonesia. Firstly, we use Probit method to measure the decision to enter the labor market or not. Secondly, we also use Tobit method as child labor working hour to measure the child labor. Finally, we use Heckman method to clarify the result using Probit, Biprobit, and Tobit method.

The objective of this study is to evaluate the impact of household wealth namely farm wealth, non-farm wealth, and non-business wealth owned by children’s family that effect on the decision of household to send their child as a labor. Next, this study also observed the different impact of household wealth on the different type of child labor, i.e. paid child labor and non-paid child labor. Furthermore, this study also examined the impact of location; rural or urban determine the different impact of the household asset on child labor.

This research contributes in providing sufficient empirical evidence about the impact of household wealth namely farm wealth, non-farm wealth, and non-business wealth on the decision of household to send their children as a labor. The result will show whether Indonesia had “luxury axiom’ hypothesis or “wealth paradox” hypothesis. As mentioned before, researchers focus their research on the impact of farm asset on child labor.


Thirdly, there is two type of child labor: the paid and non-paid child labor. This research tries to investigate the difference of household wealth impact on paid and non-paid child labor. The result will give the empirical evidence whether it will give different impact or not on the type of child labor.

Fourthly, child labor problem is not only in rural and agriculture sector, but also in urban and other sectors. The identification of the relationship between child labor and sector or regional must be important to policymaker to make appropriate policy.


This research uses IFLS (Indonesian Family Life Survey) fifth wave data that collected in 2014. IFLS5 was conducted by a collaborative effort of RAND and Survey Meter. RAND is a nonprofit research organization that develops solutions to public policies challenges. Survey Meter is Indonesian non-profit research organization that located in Yogyakarta which provided information about factors that influence public policy. The first wave of IFLS was conducted in 1993. The survey was funded by the National Institute on Aging (NIA), grant 2R01 AG026676-05, the National Institute for Child Health and Human Development (NICHD), grants 2R01 HD050764-05A1 and grants from the World Bank, Indonesia and GRM International, Australia from DFAT, the Department of Foreign Affairs and Trade, Government of Australia.

This study attempts to study four main issues:

1. How the household wealth, namely farm, nonfarm, and nonbusiness asset correlate with the child labor?

2. What is the household wealth impact on non-paid and paid child labor?3. Does the location; rural or urban determine the different impact of household

wealth on child labor?

This examination help understands the child labor condition in Indonesian. In addition, this study also used the children characteristics and household characteristics, as explanatory variables to determine child labor.


The first step examines how household farm, household non-farm, and household non-business asset affect child labor in the full sample. The estimated results of Probit and Tobit model, respectively. The coefficient on household farm asset (HFA) and household non-farm asset (HNFA) is significantly positive. The positive relationship between child labor dummy or child labor working hours and household farm asset (HFA) or


household non-farm asset (HNFA) shows that child labor in Indonesia has “wealth paradox” paradigm. This finding also implies that in Indonesian agriculture sector, there is imperfect labor market. The farm household cannot hire the non-household labor and they exploit their children in the farm land.

Moreover, the imperfect labor market also occurs in the non-agriculture sector where the non-farm household cannot afford hire the non-household labor and use their children to help their business. The positive relationship is contradicted with “luxury axiom” hypothesis published by Basu and Van (1998). On the other hand, the positive correlation between child labor and the household farm or non-farm asset supported the previous research conducted by Bhalotra and Heidy (2003), Kambhampati and Rajan (2006), Dumas (2007) and Kruger (2007). Meanwhile, the correlation between the child labor working hour and the household non-business asset is negatively significant. On this finding, the negative correlation supports the “luxury axiom” hypothesis published by Basu and Van (1998). It means that child labor will be decreased if the nonbusiness asset increases. The non-business asset can reflect the income from sources other than child labor which means child labor will only occur when the income is very low.

The second step examines how household farm: household non-farm and household non-business asset affect child labor in the rural sample. The estimated results of probit and logit model, respectively. The relationship between household farm asset and child labor; dummy variable and working hour, is a significantly positive correlation. This finding is consistent with the full sample results that show “wealth paradox” in Indonesia. Meanwhile, the correlation between child labor and non-farm asset or non-business asset is not significant.

The third step examines how household farm, household non-farm, and household non-business asset affect child labor in the urban sample. The estimated results of probit and logit model, respectively. The correlation between child labor and household farm asset in urban is significantly positive. The relationship between child labor and the household non-farm asset is also significantly positive. These two findings support strong evidence “wealth paradox” in and proved that there is imperfect labor market in Indonesian. Meanwhile, the correlation between child labor and the nonbusiness asset is negatively significant which may support the “luxury axiom” hypothesis.

From the results in three steps, we can assume that child labor is positively associated with farm business asset which may support wealth paradox hypothesis. This relationship is more substantial in the rural area. Moreover, child labor is also positively correlated with non-farm business asset only in the urban area that supports wealth paradox hypothesis. Conversely, child labor is negatively correlated with the nonbusiness asset in the urban area which may support luxury axiom hypothesis.


Concerning the relationship between children characteristic and child labor, the children gender is significantly negative while children age is significantly positive using full, rural, and urban samples. This result implies that girls are more likely correlated to child labor compared to boys. Parents will involve their daughter in economic activity rather than their son. Moreover, the positive relationship between children age and child labor implies that children with older age have higher possibility to join in child labor. The older the age of children will increase the skill of children and parents will exploit their older children.

The relationship between child labor and household characteristics. Household head gender is not significantly determined the child labor. This not significant result shows in the full sample, rural sample, and urban sample. Furthermore, the correlation between household head age and child labor is not significant. It implies that household head age does not influence the decision of household to send their children to the labor market. The correlation between child labor and household farmer dummy (HFARM) is a significantly positive correlation in full and rural sample. The positive relationship between child labor dummy or child labor working hours and household farmer (HFARM) supports the argument that children become “children as asset” in household farm, which also support previous empirical evidence, such as Light, Hertsgaard, Marting (1985), Saupe & Bentley (1994), Lee, Jenkins & Westaby (1997), Kim & Zepeda (2004), and Kim & Zepeda (2006).

Furthermore, the relationship between household which borrow the money in last 12 month and child labor is significantly positive in full and urban area but not in the rural area. It implies that the household which has loan will send their children to the labor market to help them with income problem. The other result is the correlation between child labor dummy variable and number of children in the household is significantly positive. Moreover, the relationship between child labor working hour and number of children is significantly positive in full and rural sample but not in the urban sample. The bigger size of a household will increase the probability of child labor. A number of an adult is significantly positively correlated with child labor in full and rural area. The correlation between child labor and number of adults square is significantly negative in full and rural area, but not in the urban area, which indicates that the positive effect of the number of adults on a probability of child labor is diminishing as the number of adults in the household becomes large. The relationship between child labor and parents both alive is not significant, as well as the correlation between child labor and parents only mother alive.

The fourth step examines how household farm, household non-farm, and household non-business asset affect non-paid and paid child labor in the full sample. The first, second, the estimated results of the Biprobit and Logit model, respectively.


The result is suggests that household farm asset and non-farm asset are significantly positively correlated with non-paid child labor, but it is not significantly correlated with paid child labor. This finding added the empirical evidence that child labor in Indonesia as the result of the imperfect labor market and known as “wealth paradox”. Meanwhile, the household non-business asset is a significantly negative correlation with paid child labor.

The fifth step examines how household farm, household non-farm, and household non-business asset affect non-paid and paid child labor in the rural sample. The result presented is suggested that the household farm asset is significantly positively associated with non-paid child labor, but it is not significantly associated with paid labor. Moreover, the relationship between non-paid child labor using dummy variable and non-farm business is a significantly positive correlation. Furthermore, the correlation between the non-paid child labor working hour and the household non-farm asset is significant in 10%. This result is consistent with “wealth paradox” hypothesis that stated higher asset increases the probability of children to work in own business. The result shows the relationship between paid child labor and the household non-business asset is a negatively significant relationship which may support the “luxury axiom” hypothesis.

The sixth step examines how household farm, household non-farm, and household non-business asset affect non-paid and paid child labor in the urban sample. Household farm asset and non-farm asset are significantly positively correlated with non-paid child labor, but it is not significantly correlated with paid child labor. This result is consistent using a different sample and it can be concluded that “wealth paradox” exists in Indonesian agriculture. The significant results in non-paid child labor also imply that farmer in Indonesia cannot afford the non-household labor and will exploit their child. Meanwhile, the household non-business asset is significantly negative to paid and non-paid child labor. It implies “luxury axiom” hypothesis in the nonbusiness asset.

The results in the fourth, fifth, and sixth step show that non-paid child labor is a significantly positively correlated with the household farm asset that supports the wealth paradox in the previous findings. This finding implies that the agriculture farm sector in Indonesia exploit children to work in their family farm business because they do not have enough money to pay the non-household labor. Moreover, the results also show a significantly positive correlation between non-paid child labor and the household non-farm asset that also support “wealth paradox” hypothesis. It implies that the non-farm household also has imperfect labor market. The non-farm household cannot hire the non-household labor and use their children as labor to help their business. Meanwhile, the relationship between the non-business asset and paid child labor is a significantly negative that supports “luxury axiom” hypothesis. It means


parents with rich non-business asset will not send their children to the labor market. The non-business asset can reflect the real wealth owned by the family. Moreover, the result also shows a significantly positive correlation between non-paid child labor and the nonbusiness asset that also align with “luxury axiom” hypothesis in the urban area. It means that rich family will not involve their children as labor in their own business.

Moreover, this paper examines the characteristics of children with the correlation with non-paid and paid child labor. The children gender is significantly negatively associated with non-paid child labor but it is not significantly correlated with paid child labor. The older age of children will increase the probability of child labor.

Furthermore, this paper also investigated the characteristics of household characteristics with the correlation with non-paid and paid child labor. The result shows that household head gender is not significantly associated with non-paid and paid child labor. Moreover, household head age is significantly positively associated with paid child labor in the rural area. Furthermore, the household head age is a significantly negative correlation with non-paid children’s working hour in the urban area.

The result also shows that household farmer is a significantly positive correlation with non-paid child labor in full sample and rural sample, which supports the previous finding. The result shows urban household which had debt in last 12 month has a significantly positive correlation with non-paid child labor. This result also significantly positive in full sample, but it is not significant in rural samples. Moreover, This result becomes not significant when it use urban samples. The number of adults, both parents alive and the only mother alive correlation with non-paid and paid child labor. In the full and rural sample, the number of adults in the household is significantly positively associated with non-paid child labor. This finding was consistent with the previous result. Moreover, the number of adults square is a significantly negative correlation with non-paid child labor in full sample while it is significantly negative with non-paid and paid child labor in the rural sample. Interestingly, in the urban sample, the number of adults is significantly negatively associated with paid child labor, but it is significantly positive with non-paid child labor. Moreover, the number of adults square is significantly positively correlated with paid child labor. The variable of parents both alive is significantly negatively correlated with rural paid children’s working hour and urban paid child labor. Meanwhile, the only mother alive is not significantly associated with child labor.

D. Conclusion

This paper has examined the impact of the household asset on child labor suing IFLS data wave 5th. Our investigations considered the “luxury axiom” and “wealth paradox”


hypothesis to examine the child labor in Indonesia. There is a significant difference between rural and urban. Our results for full sample, rural area and urban area show the significant and positive relationship between child labor and household farm asset, which may support the “wealth paradox” hypothesis. However, this relationship is more substantial in the rural area. The significantly positive correlation between child labor and household farm asset is consistent with the other finding. It shows significantly positive associated between non-paid child labor and household farm asset. This finding assumes that there is imperfect labor market in Indonesian agriculture that farmer cannot pay the non-household labor and use their children as non-paid labor.

Moreover, the result for rural area displays the significant and positive relationship between child labor and household non-farm asset, which may support the “wealth paradox” hypothesis. Furthermore, the “wealth paradox” hypothesis is also supported by the results using non-paid child labor. The result shows that there is a significant positive correlation between non-paid child labor and household non-farm asset. It means that in the rural area, the imperfect labor market occurs in farm and non-farm business. Parents cannot pay the non-household labor and exploit their children as free labor.

The result in urban area also failed to give clear evidence. Meanwhile, the result for urban area shows the significant negative correlation between child labor and household non-business asset, which may support “luxury axiom” hypothesis. The result in the rural area failed to give clear evidence. From the result in urban, the non-paid and paid child labor are a significantly negative relationship with the household nonbusiness asset which means an increase of the nonbusiness asset will reduce the probability of child labor. It means that rich household which presents by higher non-business asset will not send their children to labor market because they already have enough income for their family. From the results of this research, we can conclude that child labor in Indonesia stems partly from households’ ownership of farm and non-farm business assets, including agriculture machinery.

To reduce child labor in the farm household, the Ministry of Agriculture in Indonesia should promote the formation of agricultural cooperatives or unions which enable the members to share farm business assets (separation of the ownership). This recommendation will not increase the farm asset but will help the farmer to use agriculture machinery. Moreover, Indonesian government should provide the training purpose for parents about agricultural techniques that offer alternative methods rather than the use of child labor. This training can reduce the use of children as labor in a farm field.

ANALISIS PENGARUH JUMLAH TENAGA KERJA, NILAI EKSPOR, DAN NILAI INVESTASI PADA INDUSTRI PENGOLAHAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN LUMAJANG

Nama : Vina Kurniawati

Instansi : Pemkab Lumajang

Tahun Intake : 2016






ABSTRAK

Salah satu hal yang sangat penting dan menjadi sorotan dalam suatu negara dan pemerintah daerahnya adalah dalam bidang pertumbuhan ekonomi, khususnya menyangkut bagaimana meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga dapat berdampak pada peningkatan taraf hidup, membuka lapangan kerja sehingga dapat menambah kesempatan kerja dan dapat mengurangi kemiskinan. Sektor Industri pengolahan selain menjadi salah satu penopang perekonomian daerah, juga menjadi pembuka lapangan pekerjaan yang dapat membantu mengurangi pengangguran sehingga dapat membantu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dari beberapa hasil studi dan penelitian yang menyatakan bahwa bertambahnya industri pengolahan dapat meningkatkan peluang kerja. Di Kabupaten Lumajang, industri pengolahan merupakan penyumbang terbesar kedua PDRB setelah sektor primer. Berdasarkan peranan lapangan usaha, industri makanan dan industri kayu adalah penyumbang terbesar pada PDRB kategori industri pengolahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) pengaruh dari jumlah tenaga kerja, nilai ekspor dan nilai investasi dari industri pengolahan kayu; dan 2) pengaruh dari jumlah tenaga kerja, nilai ekspor dan nilai investasi dari industri pengolahan makanan. Wilayah penelitianadalah Kabupaten Lumajang dengan periode observasi mulai tahun 2002 sampai dengan 2016. Model penelitian ini menggunakan analisa deskriptif kuantitatif dengan metode penelitian regresi data panel. Model estimasi yang digunakan adalah fixed effect model untuk kedua industri pengolahan. Sample data didapat dengan menggunakan metode purposive sampling, dimana pengambilan data didasarkan pada kriteria tertentu. Hasil penelitian dengan uji t menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja, nilai ekspor dan nilai investasi pada industri pengolahan kayu memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk industri pengolahan makanan, jumlah tenaga kerja bernilai negatif dan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan nilai ekspor dan nilai investasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui uji f, semua variabel independen pada kedua industri pengolahan secara simultan bersama-sama mempengaruhi variabel dependennya.

Kata kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Industri Pengolahan, Tenaga Kerja, Ekspor,

Investasi


ABSTRACT

The processing industry has become one of the supporters of the regional economy. This is shown from several studies which states that the processing industry is the second largest passenger of GRDP after the primary sector. This study aims to influence the amount of labor, export value, and investment value of wood processing industry and food processing industry in Lumajang regency with observation period from 2002 until 2016. This research model uses quantitative descriptive analysis with panel data regression research method. The estimation model used is fixed effect model for both processing industries. Sample data obtained by using purposive sampling method, where data retrieval is based on certain criteria.

The result of research with t test shows that the amount of labor, export value, and investment value in wood processing industry have positive and significant influence to economic growth. For the food processing industry, the amount of labor is negative and does not affect the economic growth, while the value of exports and investment value have a positive and significant impact on economic growth. This is because the investment in food processing industry is intended to increase capital goods or equipment, thus affecting the reduction in the number of labor. Through the test f, all independent variables in the two processing industries simultaneously together influence the dependent variable.

Keywords: Economic Growth, Processing Industry, Labor, Export, Investment


ANALISIS PENGARUH JUMLAH TENAGA KERJA, NILAI EKSPOR, DAN NILAI INVESTASI PADA INDUSTRI

PENGOLAHAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN LUMAJANG

A. Latar Belakang

Industri pengolahan merupakan sektor real yang paling berpotensi dalam menciptakan lapangan pekerjaan. Industri pengolahan skala kecil dan menengah dapat bertahan dari kolapsnya ekonomi karena industri ini tidak menggunakan modal pinjaman dengan bunga yang besar. Menurut Ditjen IKM, Kementerian Perindustrian (2016), industri pengolahan telah memberikan kontribusi pada PDB sebesar 57,89–60,34% dengan tingkat penyerapan tenaga kerja sebesar 97% di seluruh tingkat kerja nasional.

Industri pengolahan berskala kecil, menengah, ataupun besar mempunyai peran penting dalam perkembangan ekonomi di Jawa Timur. Data dari Bappeda Propinsi Jawa Timur menyebutkan bahwa pada tahun 2011, industri ini meningkat sebesar 9,69% dibandingkan pada tahun 2010. Pada tahun-tahun berikutnya, industri pengolahan skala kecil dan menengah cenderung mengalami kenaikan dan jumlah UKM diperkirakan akan terus meningkat. Bahkan, menurut BPS Jawa Timur, UKM masih terbesar dalam hal kontribusi, yaitu 98,64%.

Di Kabupaten Lumajang, jumlah industri pengolahan setiap tahunnya selalu bertambah. Namun, hal tersebut belum menjamin bahwa laju pertumbuhan di Kabupaten Lumajang selalu meningkat. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi dan industri pengolahan hanya merupakan salah satu penunjang saja. Selain itu, industri pengolahan juga merupakan penyedia lapangan pekerjaan aktif dalam usaha untuk membantu mengurangi pengangguran. Banyak dari masyarakat yang tidak memiliki penghasilan dan penghidupan yang layak terbantu dengan adanya lapangan pekerjaan yang ditawarkan sejumlah Industri pengolahan yang berkembang.

Jumlah industri pengolahan yang meningkat setiap tahunnya terdiri atas industri pengolahan kecil, menengah, formal, dan nonformal. Peningkatan ini tidak terlalu besar karena dari tahun 2002 hingga 2016, jumlah industri pengolahan hanya meningkat sebesar 20%, yaitu dari 11.197 unit menjadi 13.886 unit. Industri pengolahan yang banyak dikembangkan oleh masyarakat Kabupaten Lumajang meliputi industri pengolahan (makanan, minuman, kerajinan, kayu olahan) dengan skala industri mikro, kecil, dan menengah.


Industri pengolahan menempati peringkat kedua sebagai lapangan usaha yang memberikan kontribusi terhadap PDRB dengan 18,87%. Sektor industri pengolahan makanan membentuk rantai input berupa bahan baku dari industri pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan yang akan menjadi output industri pengolahan makanan. Sementara industri tersier jasa, seperti perdagangan, hotel, restoran akan menjadi “pasar” untuk menjual hasil output industri pengolahan makanan. Untuk pengolahan kayu di Kabupaten Lumajang, hampir 40% usaha kayu olahan melakukan ekspor secara berkala, sedangkan untuk industri pengolahan makanan, masih banyak usaha yang belum melakukan kegiatan ekspor atau hanya sekitar 10% industri pengolahan makanan yang mengekspor produknya.

Penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan, meskipun tidak tergolong besar, kenaikannya signifikan. Tenaga kerja ini terdiri atas tenaga kerja dari sektor industri formal dan industri nonformal. Kenaikan jumlah tenaga kerja ini sebanding dengan kenaikan jumlah sektor industri. Hal ini menjadi bukti bahwa sektor industri menjadi salah satu pembentuk lapangan usaha yang dapat membantu mengurangi jumlah pengangguran dengan merekrut calon tenaga kerja.

Dalam pembentukan PDRB Kabupaten Lumajang, kategori Industri Pengolahan pada tahun 2015 memberikan kontribusi sebesar 18,80%, menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 18,85%. Pada kategori industri pengolahan, lapangan usaha yang menyumbang peranan terbesar adalah subkategori industri makanan dan minuman sebesar 54,09% dan subkategori industri kayu, barang dari kayu dan sejenisnya sebesar 25,82%.

Ekspor di Kabupaten Lumajang masih menjadi kegiatan ekonomi yang masih minim dan belum semua industri pengolahan melakukannya. Banyak kendala yang mengakibatkan ekspor belum maksimal. Salah satunya adalah kesesuaian produk yang dihasilkan dengan permntaan dari konsumen, izin dan syarat untuk ekspor dan kendala lainnya. Produk yang paling banyak mengekspor pertama adalah produk dari industri pengolahan dan yang kedua adalah industri primer seperti sektor perikanan. Pada industri pengolahan, pengolahan kayu menjadi menjadi industri yang terbesar dalam penyumbang ekspor dan diikuti oleh makanan olahan, kerajinan perak, tembakau, dan plastik bekas. Nilai ekspor di Kabupaten Lumajang dari tahun 2010 hingga tahun 2016 cenderung meningkat, meskipun sempat terjadi penurunan angka ekspor pada tahun 2012 ke 2013, dari Rp473.504.698.000 menjadi Rp314.678.755.000. Selanjutnya, nilai ekspor terus meningkat sampai dengan tahun 2016.

Peluang ekspor dari Kabupaten Lumajang sudah cukup baik dengan rata-rata peningkatan nilai ekspornya sekitar 20%. Namun, jika dibandingkan laju pertumbuhan


ekonomi yang cenderung turun, pengaruh nilai ekspor tersebut tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan faktor lain yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Iklim investasi di Kabupaten Lumajang juga beranjak membaik. Setiap industri pengolahan dari tahun ke tahun mulai menambah dan meningkatkan investasinya. Banyak dari masyarakat yang tidak memiliki penghasilan dan penghidupan yang layak, terbantu dengan adanya lapangan pekerjaan yang ditawarkan sejumlah Industri. Sebagian industri tersebut mengubah investasi menjadi peralatan atau mesin baru, terutama industri yang bersifat padat modal. Hal ini juga berpengaruh terhadap keberadaan tenaga kerja karena penggunaan peralatan atau mesin tidak membutuhkan tenaga kerja yang terlalu banyak. Oleh karena itu, jika tenaga kerja tidak meningkatkan kemampuan, keahlian, dan ketrampilannya, mereka dapat tersingkir.

Peran industri pengolahan dalam mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi sangat penting. Namun, kenyataannya terdapat ketidakseimbangan antara yang telah diberikan oleh UKM dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan dan kontribusi pembentukan nilai tambah.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin meneliti mengenai pengaruh industri pengolahan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Lumajang dengan menggunakan variabel jumlah tenaga kerja, nilai ekspor, dan nilai investasi pada industri pengolahan kayu dan industri pengolahan makanan.


Keberadaan industri pengolahan bukan hal yang bisa diremehkan. Selain perannya dalam membantu menopang perekonomian, industri pengolahan juga membantu pemerintah dalam mengurangi pengangguran. Bahkan karena peran tersebut, jumlah industri pengolahan meningkat dari tahun ke tahun dan mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi di sebuah daerah. Beberapa hal yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah dari sektor industri pengolahan dapat dilihat melalui jumlah tenaga kerja, jumlah nilai ekspor, dan jumlah nilai investasi.

Penelitian ini didasarkan pada keinginan peneliti untuk mengetahui pengaruh industri pengolahan terhadap pertumbuhan ekonomi dimana laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Lumajang mengalami kecenderungan turun.

Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh jumlah tenaga kerja, nilai ekspor, dan nilai investasi pada industri pengolahan kayu terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Lumajang?


2. Bagaimana pengaruh jumlah tenaga kerja, nilai ekspor, dan nilai investasi pada industri pengolahan makanan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Lumajang?

Penelitian dilakukan di Kabupaten Lumajang dengan subjek industri pengolahan. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari tahun 2002 hingga 2016 yang terdiri atas jumlah tenaga kerja, nilai ekspor, dan nilai investasi dari industri pengolahan kayu dan industri pengolahan makanan. Data bersumber dari BPS Propinsi Jawa Timur dan BPS Kabupaten Lumajang, sedangkan data pendukung lainnya bersumber dari Bappeda Kabupaten Lumajang dan Dinas Perdagangan Kabupaten Lumajang.

Analisis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan metode Regresi Data Panel. Setelah melakukan uji Chow dan uji Hausman, model estimasi yang digunakan adalah Fixed Effect Model untuk kedua industri pengolahan. Uji Asumsi Klasik yang digunakan meliputi: (1) uji normalitas untuk menguji apakah data yang digunakan terdistribusi normal atau tidak. Metode yang digunakan dalam uji normalitas adalah JarqueBera Test dengan nilai signifikan 5%. Jika nilai probabilitas lebih besar dari 0,05, data terdistribusi normal; (2) uji heteroskedastisitas untuk menguji apakah terjadi ketidaksamaan varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika nilai probabilitas dari residual > 0.05, berarti tidak terjadi heterokedastisitas; dan (3) uji multikolinearitas, untuk menguji apakah ditemukan adanya korelasi antarvariabel bebas. Model regresi dinyatakan baik apabila tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Jika nilai VIF tidak lebih dari 10, data tidak bersifat multikolinearitas.

Selain itu, dilakukan juga uji t untuk menguji signifikansi dari tiap-tiap variabel independen terhadap variabel dependen. Hipotesis yang digunakan adalah H0 = tidak ada pengaruh yang signifikan dari tiap-tiap variabel independen terhadap variabel dependen, dan H1 = terdapat pengaruh. Jika nilai t-hitung > t-tabel dengan α = 5%, H0 ditolak dan H1 diterima.

Uji yang lain adalah uji f untuk menguji signifikansi pengaruh variable-variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Jika nilai f < 0,05, variabel independen secara simultan memengaruhi variabel dependen. Koefisien determinasi (R2) yang digunakan untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi-variabel independen. Jika nilai R2 kecil, variabel independen yang digunakan dianggap tidak memengaruhi variabel dependen secara maksimal dan sangat terbatas.



1. Pengaruh Variabel Jumlah Tenaga Kerja Industri Pengolahan Kayu terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Dari analisis di atas, diperoleh hasil bahwa variabel jumlah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam uji statistik tersebut diperoleh hasil koefisien variabel jumlah tenaga kerja sebesar 0,037189, yang berarti setiap ada peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 1%, pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 0,037189 dengan asumsi variabel lainnya bersifat konstan. Nilai t-hitung pada variabel ini lebih besar jika dibandingkan nilai t-tabel (11,78637 > 1,97824) yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Nilai p-value adalah sebesar 0,0000 dan lebih kecil dari 0,05% maka dapat dinyatakan bahwa variabel jumlah tenaga kerja pada industri pengolahan kayu berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja pada industri pengolahan kayu cenderung menurun mulai 2012 sampai dengan 2015 dan hal ini sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang menurun juga. Penurunan jumlah tenaga kerja ini diindikasikan adanya pergeseran teknologi dan jenis industri, yaitu yang semula industri padat karya menjadi industri padat modal, mengunakan teknologi yang lebih canggih dan modern, serta tidak membutuhkan tenaga kerja yang melimpah. Hal ini sejalan dengan teori pertumbuhan ekonomi klasik yang menyatakan bahwa sumber daya manusia atau penduduk merupakan salah satu faktor input yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

2. Pengaruh Variabel Nilai Ekspor Industri Pengolahan Kayu terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Variabel nilai ekspor mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam uji statistik tersebut diperoleh hasil koefisien variabel jumlah tenaga kerja sebesar 1,493801. Ini artinya setiap ada peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 1%, pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 1,493801 dengan asumsi variabel lainnya bersifat konstan. Nilai t-hitung pada variabel ini lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t-tabel (6,134352 > 1,97824) yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Untuk nilai p-value adalah sebesar 0,0000 dan lebih kecil dari 0,05% dapat dinyatakan bahwa variabel nilai ekspor pada industri pengolahan kayu berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Nilai ekspor pada industri pengolahan kayu juga mengalami kecenderungan menurun mulai 2012 sampai dengan 2015 dan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang menurun juga.


Penelitian yang sejalan dilakukan oleh Ari Mulianta (2017) yang menyatakan ekspor merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan perekonomian negara sesuai dengan hipotesis yang dibentuk oleh Jung & Marshall. Penelitian ini memperlihatkan adanya pengaruh yang positif dari perdagangan internasional atau ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi.

3. Pengaruh Variabel Nilai Investasi Industri Pengolahan Kayu terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Variabel nilai investasi mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam uji statistik tersebut diperoleh hasil koefisien variabel jumlah tenaga kerja sebesar 0,653621. Ini berarti setiap peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 1% akan menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,653621 dengan asumsi variabel lainnya bersifat konstan. Nilai t-hitung pada variabel ini lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t-tabel (3,535129 > 1,97824) yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Untuk nilai p-value adalah sebesar 0,0000 dan lebih kecil dari 0,05% dapat dinyatakan bahwa variabel nilai investasi pada industri pengolahan kayu berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Penelitian tentang ekspor dan investasi juga dilakukan oleh Adrian Sutawijaya yang menyatakan bahwa ekspor dan investasi memegang peranan penting dalam perekonomian negara. Hubungan investasi yang positif dan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh para ekonomi, yaitu investasi berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi, khususnya pada negara berkembang, yang menganggap investasi sebagai salah satu faktor yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama investasi swasta.

Nilai investasi dari industri pengolahan kayu juga menunjukkan garis yang sama dengan grafik pada jumlah tenaga kerja dan nilai ekspor. Penurunan nilai investasi ini sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi. Investasi sebagian besar diubah menjadi mesin atau mengganti peralatan baru untuk lebih meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya. Selain itu, tenaga kerja juga dilatih dan ditingkatkan kemampuannya agar mereka dapat mengoperasikan peralatan yang lebih canggih. Penggunaan mesin dan peralatan yang dapat meningkatkan jumlah produksi, juga berdampak pada jumlah produk yang diekspor sehingga nilai ekspor juga akan meningkat.


4. Pengaruh Variabel Jumlah Tenaga Kerja Industri Pengolahan Makanan terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Dari analisis di atas diperoleh hasil bahwa variabel jumlah tenaga kerja pada industri pengolahan makanan mempunyai nilai negatif dan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam uji statistik tersebut diperoleh hasil koefisien variabel jumlah tenaga kerja sebesar –0,004992 yang berarti setiap peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 1% akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,004992 dengan asumsi variabel lainnya bersifat konstan. Nilai t-hitung pada variabel ini lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t-tabel (0,699784 < 1,97824) yang berarti Ho diterima dan H1 ditolak. Untuk nilai p-value adalah sebesar 0,4858 dan lebih besar dari 0,05%, dapat dinyatakan bahwa variabel jumlah tenaga kerja pada industri pengolahan makanan bernilai negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Jumlah tenaga kerja pada industri pengolahan makanan mengalami peningkatan secara signifikan sejak tahun 2011 hingga 2016. Hasil analisis ini tidak sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang menurun sehingga tidak sesuai dengan teori dan hasil penelitian sebelumnya yang menjadi acuan dan landasan teori dalam penelitian ini bahwa tenaga kerja merupakan salah satu input atau faktor produksi yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Analisis ini juga bertentangan dengan teori Adam Smith dan Harrord-domar dari teori pertumbuhan ekonomi klasik yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh sumber daya manusia, akumulasi modal, dan tabungan serta perdagangan internasional.

Hasil penelitian yang sama dilakukan oleh Yelly Zamaya (2012) bahwa tenaga kerja menunjukkan nilai negatif dan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Yelly, hal ini karena tenaga kerja yang bekerja pada sektor industri pengolahan tergolong rendah dalam hal kualitas sehingga kurang mampu bekerja pada sektor industri. Selain itu, kemampuan penguasaan teknologi dan peralatan pun masih lemah dan keahlian yang belum memadai.

Studi lain yang menyatakan tenaga kerja bernilai negatif dan tidak signifikan juga dilakukan oleh M. Kholiqul Latif (2014). Dalam penelitiannya, ia menyebutkan bahwa tenaga kerja tidak memberikan kontribusi secara kuantitas bagi pertumbuhan ekonomi. Keahlian dan keterampilan yang rendah menjadi hambatan bagi hampir semua tenaga kerja untuk bersaing saat teknologi canggih mulai digunakan pada setiap industri. Ketidakmampuan operasional atau tidak perlunya menggunakan banyak tenaga manusia dalam menjalankan teknologi menjadi salah satu alasan bahwa tenaga kerja tidak lagi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.


Beberapa tenaga kerja pada industri makanan mempekerjakan ibu rumah tangga sebagai tenaga kerjanya. Beberapa alasan yang membuat ibu rumah tangga mau bekerja pada industri pengolahan makanan, di antaranya jarak yang dekat dengan tempat tinggal, pekerjaan yang ringan dan bisa dikerjakan perempuan, menambah pendapatan keluarga, dan mengisi waktu luang saat menganggur. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Trik Kuntari Devira et.al pada industri kacang intip di Kota Tebing Tinggi, yang mempekerjakan buruh wanita. Pada hasil penelitian didapatkan bahwa tenaga kerja wanita memilih bekerja pada industri tersebut karena tugas sebagai ibu rumah tangga tidak terabaikan, menambah pendapatan keluarga, mengisi waktu luang, dan jarak yang dekat dengan tempat tinggal.

Selain alasan tersebut, jumlah unit usaha yang bertambah dan permintaan produk yang meningkat juga menjadi alasan bertambahnya jumlah tenaga kerja. Kabupaten Lumajang saat ini sedang mengembangkan beberapa tempat wisata, sehingga permintaan produk untuk souvenir makanan khas mengalami peningkatan permintaan. Sejalan dengan penelitian dari Maharani Tejasari (2008) yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah unit usaha menjadi salah satu penyebab dari penciptaan kesempatan kerja.

Studi tentang penyerapan tenaga kerja oleh industri pengolahan ini telah dilakukan oleh Andri Ratnasari (2007), yang menyatakan bahwa industri pengolahan memiliki peranan yang besar dalam menyerap tenaga kerja, yang merupakan salah satu modal dalam pertumbuhan konsumen. Penelitian dari Pradnya Paramita (2014) juga menyatakan bahwa tenaga kerja tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, pemutusan hubungan kerja secara besar-besar dari perusahaan tekstil yang menyebabkan peningkatan pengangguran, dan pemutusn hubungan kerja di Kabupaten Lumajang PHK, yang dilakukan oleh PT. Sampoerna menyebabkan banyak tenaga kerjanya beralih pada industri rumahan, baik bekerja pada industri yang sudah ada maupun membuat sendiri, khususnya makanan olahan dengan bahan baku lebih murah, tidak susah, dan tidak membutuhkan modal terlalu banyak.

5. Pengaruh Variabel Nilai Ekspor Industri Pengolahan Makanan terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Variabel nilai mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam uji statistik tersebut diperoleh hasil koefisien variabel jumlah tenaga kerja sebesar 2,211352. Hal ini berarti setiap peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 1% akan menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,211352 dengan


asumsi variabel lainnya bersifat konstan. Nilai t-hitung pada variabel ini lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t-tabel (16,39936 > 1,97824) yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Untuk nilai p-value adalah sebesar 0,0000 dan lebih kecil dari 0,05%, dapat dinyatakan bahwa variabel nilai ekspor pada industri pengolahan makanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Nilai ekspor pada industri pengolahan makanan tidak sebesar nilai ekspor pada pengolahan kayu. Namun, hasilnya sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi, yaitu cenderung menurun. Sebagian besar industri makanan melakukan ekspor secara tidak langsung dengan menjual produknya melalui perantara yang berasal dari negara asal, lalu perantara tersebut menjual kembali melalui pengeskpor lain, sehingga tidak memerlukan penanganan secara langsung. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari Gregory Mankiw (2012). Selain itu, sebagian ekspor dilakukan dengan menitipkan pada sesama industri pengolahan makanan yang sudah melakukan kegiatan ekspor terlebih dahulu atau biasa disebut collecting.

6. Pengaruh Variabel Nilai Investasi Kerja Industri Pengolahan Makanan terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Dan variabel nilai investasi pada mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam uji statistik tersebut diperoleh hasil koefisien variabel jumlah tenaga kerja sebesar 0,290344. Hal ini berarti setiap peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 1% akan menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,290344 dengan asumsi variabel lainnya bersifat konstan. Nilai t-hitung pada variabel ini lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t-tabel (2,455451 > 1,97824) yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Untuk nilai p-value adalah sebesar 0,0159 dan lebih kecil dari 0,05% dapat dinyatakan bahwa variabel nilai investasi pada industri pengolahan makanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Industri pengolahan makanan di Kabupaten Lumajang tergolong usaha skala kecil, menengah, dan besar. Investasi yang banyak dilakukan adalah menyediakan peralatan untuk pengemasan, penambahan jumlah bahan baku, atau penambahan tenaga kerja. Untuk skala kecil, mengubah investasi menjadi mesin belum bisa dilakukan dan pengetahuan tenaga kerja terhadap penggunaan peralatan atau mesin juga masih terbatas, sehingga produktivitas belum bisa maksimal. Selain itu, melibatkan banyak tenaga kerja lebih menguntungkan dibandingkan menggunakan mesin atau peralatan canggih.

Studi meneliti investasi dilakukan oleh Maharani Tejasari yang menyatakan bahwa investasi UKM berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.


Namun, peneliti tidak hanya mengutamakan investasi dari sektor UKM, tetapi juga keterlibatan pemerintah dalam menanamkan modal pada UKM dalam bentuk kredit lunak.

7. Pembahasan

Dari analisis di atas didapatkan hasil bahwa jumlah tenaga kerja, nilai ekspor, dan nilai investasi pada industri pengolahan kayu memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Lumajang. Hal ini sejalan dengan teori HarrordDomar, Adam Smith dan David Ricardo bahwa investasi, sumber daya manusia, dan ekspor merupakan hal penting dalam pertumbuhan ekonomi.

Investasi yang dilakukan oleh industri pengolahan kayu adalah penambahan peralatan dan mesin-mesin yang lebih canggih, tetapi tetap membutuhkan tenaga kerja ahli sebagai operator dengan cara meningkatkan ketrampilan dan keahlian sumber daya manusia. Hal tersebut dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan output yang dihasilkan lebih maksimal untuk bersaing di pasar internasional.

Untuk analisis pada industri pengolahan makanan, nilai ekspor dan nilai investasi mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Adapun variabel jumlah tenaga kerja bernilai negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi karena jumlah tenaga kerja naik, sementara laju pertumbuhan ekonominya turun. Beberapa hal yang menjadi alasannya adalah sebagian besar tenaga kerja industri pengolahan makanan adalah perempuan dan faktor yang menyebabkan banyak ibu rumah tangga memilih bekerja pada industri ini adalah jarak yang dekat dengan rumah dan menambah pendapatan keluarga.

D. Kesimpulan

Jumlah tenaga kerja, nilai ekspor, dan nilai investasi pada industri pengolahan kayu dengan menggunakan fixed effect model memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Lumajang. Untuk industri pengolahan makanan, ditemukan hasil bahwa variabel jumlah tenaga kerja bernilai negatif dan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan nilai ekspor dan nilai investasi pada industri pengolahan makanan berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi.

Penggunaan peralatan mesin dan teknologi canggih menunjukkan bahwa industri pengolahan di Kabupaten Lumajang mulai mengarah pada modernisasi, khususnya untuk industri pengolahan menengah, yang ditandai dengan bertambahnya pemakaian mesin atau peralatan dan berkurangnya penggunaan tenaga buruh.


E. Saran

Penggunaan peralatan, mesin, dan teknologi canggih menunjukkan bahwa industri pengolahan di Kabupaten Lumajang mulai mengarah pada modernisasi yang ditandai dengan bertambahnya pemakaian mesin atau peralatan dan berkurangnya penggunakan tenaga buruh, khususnya untuk usaha menengah dan besar.

Pengembangan wisata yang melibatkan industri pengolahan, misalnya pengenalan proses produksi pengolahan kayu yang dibuka untuk umum, khususnya bagi siswa-siswa SMK, atau pengenalan proses produksi pengolahan makanan dapat berimbas pada lingkungan sekitar dengan menyediakan home stay, konsumsi, dan sebagainya.

Pengusaha yang sudah berpengalaman dan berkembang dapat melatih atau mengikutsertakan industri pengolahan lain dalam praktik pada bidang manajerial, produksi, dan pemasaran sehingga industri pengolahan lain dapat menjadi pengusaha yang formal dan berkembang besar.


Program Beasiswa PHRD

EKONOMI TERAPAN

PERUBAHAN IKLIM DAN PARIWISATA ALAM: IMPLIKASI DI TAMAN WISATA ALAM GUNUNG TANGKUBAN PARAHU

Nama : Agus Wiyadi

Instansi : Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup

Tahun Intake : 2016


Program Studi : Magister Ekonomi Terapan


Universitas : Universitas Padjajaran Bandung


ABSTRAK

Sektor pariwisata khususnya yang berbasis alam diprediksi akan sangat terpengaruh oleh perubahan iklim, beberapa kajian mengemukakan hal tersebut. Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu merupakan destinasi wisata alam di Bandung Raya yang berperan cukup besar dalam sumbangan perekonomian di daerah tersebut khususnya dan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Penelitian ini menganalisis bagaimana iklim (suhu, kelembaban, dan curah hujan) dan perubahannya mempengaruhi perubahan tingkat kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara. Pengaruh iklim bagi kunjungan wisatawan dianalisis menggunakan Regresi Linier Berganda dengan pendekatan Ordinary Least Squares berdasarkan data bulanan dari tahun 2010–2016.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan suhu akan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara namun tidak bagi wisatawan nusantara. Kenaikan kelembaban udara dan curah hujan, masing-masing akan mengurangi dan menambah tingkat kunjungan mereka. Bagi wisatawan mancanegara, kebijakan kenaikan harga tiket yang merupakan variabel kontrol dalam penelitian ini, akan mengurangi preferensi mereka untuk berkunjung namun sebaliknya bagi wisatawan nusantara.

Kata kunci: Perubahan Iklim, Pariwisata Alam, Gunung Tangkuban Parahu, OLS


ABSTRACT

The tourism sector, especially the nature-based ones, is predicted to be severely affected by climate change, some studies have suggested. Nature Tourism Park Mount TangkubanParahu is a natural tourist destination in Bandung Raya that plays a significant role in economic contribution in the area in particular and Non-Tax State Revenue. This study analyzes how the climate (temperature, humidity and rainfall) and its changes affect the change in the level of foreign dan domestic tourist arrivals. The influence of climate for tourist visit was analyzed using Multiple Linear Regression with Ordinary Least Squares approach based on monthly data from 2010–2016.

The results of the analysis indicate that the increase in temperature will increase the number of foreign tourists visit but not for domestic tourists. The increase in air humidity and rainfall will reduce and increase their visit level, respectively. For foreign tourists, the ticket price increase policy which is the control variable in this research, will reduce their preference to visit but vice versa for domestic tourists.

Keywords: Climate Change, Nature Tourism, Tangkuban Parahu Mountain, OLS


PERUBAHAN IKLIM DAN PARIWISATA ALAM: IMPLIKASI DI TAMAN WISATA ALAM GUNUNG TANGKUBAN PARAHU

A. Latar Belakang

Dalam Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (BAPPENAS, 2014) dinyatakan kenaikan suhu udara di wilayah Indonesia dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini berkisar 0,76°C dan disertai kejadian-kejadian ekstrem yang menjadi pemicu terjadinya bencana hidrometeorologi. Bahkan, menurut UNWTO dan UNEP (2008), perubahan iklim berdampak besar terhadap daerah tujuan wisata di negara yang rentan seperti Indonesia. Hal tersebut berarti perubahan iklim berdampak terhadap destinasi-destinasi pariwisata yang mengandalkan iklim serta sumber daya alam sebagai daya tarik wisata utamanya.

Perubahan iklim memberikan pengaruh yang besar terhadap dunia kepariwisataan, baik terhadap preferensi wisatawan akan daerah tujuan wisatanya maupun berubahnya daya tarik wisata yang dimiliki destinasi yang menyebabkan perubahan pengelolaan destinasi pariwisata (Hamilton et al. 2005). Komponen iklim yang dapat memengaruhi pola dan menarik kunjungan wisatawan di antaranya adalah suhu udara, curah hujan, serta kelembapan (Amelung et al., 2007; Biggano et al., 2007; IPCC, 2007; WTO, 2009).

Ada hubungan timbak balik antara pariwisata, terutama yang berorientasi alam dengan iklim dan perubahannya. Becken & Hay (2007) mengatakan bahwa pariwisata merupakan salah satu penyumbang peningkatan GRK yang menyebabkan perubahan iklim global. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa daerah kunjungan atau destinasi pariwisata alam maupun buatan yang menyerap banyak wisatawan cenderung menyumbang lebih banyak emisi GRK. Peeters (2008) menyebutkan bahwa sekitar 87% emisi GRK yang dihasilkan oleh pariwisata berasal dari aktivitas transportasi. Meskipun terdapat hubungan timbal balik antara perubahan iklim dan pariwisata, penelitian ini cenderung membahas pengaruh perubahan iklim terhadap penawaran dan permintaan pariwisata.

Daerah pegunungan dan ekosistemnya cenderung sensitif terhadap perubahan iklim. Gunung mewakili daerah unik untuk mendeteksi perubahan iklim dan penilaian dampak terkait iklim Oleh karena itu, penanganan dampaknya harus tepat agar kelestarian pegunungan tersebut terjaga. (Beniston 2003; Messerli & Ives, 1997).

Salah satu destinasi wisata alam yang terletak di Bandung Raya dan merupakan salah satu ikon wisata alam pegunungan di Provinsi Jawa Barat adalah Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tangkuban Parahu. Pada awalnya taman wisata ini berhawa sejuk


dan intensitas hujannya pun dapat diperkirakan, sehingga nyaman bagi wisatawan. Akan tetapi, pemanasan global telah menyebabkan TWA Gunung Tangkuban Parahu cenderung mengalami peningkatan suhu dan curah hujan.

Peningkatan suhu dan curah hujan diprediksi memengaruhi jumlah kunjungan wisatawan di TWA Gunung Tangkuban Parahu. Perubahan iklim tersebut menyebabkan penurunan kualitas seperti ketidaknyamanan, berkurangnya kesejukan udara, dan kerusakan fisik destinasi, khususnya pada sumber daya alam yang menjadi daya tarik wisata TWA Gunung Tangkuban Parahu. Bergesernya persepsi dan preferensi wisatawan terhadap TWA Gunung Tangkuban Parahu pada gilirannya dapat menyebabkan penurunan minat wisatawan untuk berkunjung jika dilihat dari segi permintaan. Hal ini karena penawaran pariwisata membutuhkan keterpaduan berbagai sumber daya berupa iklim, variasi lanskap, variasi tutupan lahan, keindahan, kenyamanan, kebersihan, keselamatan, keunikan, atraksi wisata dan budaya, keterjangkauan maupun fasilitas wisata (Maryani, 2004).


Pariwisata khususnya yang berbasis alam merupakan sektor yang terpengaruh perubahan iklim. Pada tataran lokal, iklim dan perubahannya diperkirakan memengaruhi kondisi TWA Gunung Tangkuban Parahu dan lingkungannya sehingga dapat berdampak pada kegiatan wisatanya, terutama tingkat kunjungan. Sebagai destinasi wisata, TWA Gunung Tangkuban Parahu berperan penting dalam peningkatan perekonomian wilayah Bandung Raya dan Jawa Barat umumnya, bahkan penerimaan negara. Oleh karena itu, diperlukan analisis mengenai pengaruh perubahan iklim terhadap pariwisata di TWA Gunung Tangkuban Parahu.

Karena kegiatan pariwisata berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat, harga tiket masuk, dan musim libur panjang, penelitian ini menggunakan ketiga hal tersebut sebagai variabel kontrol. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana fenomena perubahan iklim di TWA Gunung Tangkuban Parahu dan sekitarnya dilihat dari indikator suhu, kelembapan, dan curah hujan?

2. Bagaimana pengaruh perubahan iklim terhadap kegiatan pariwisata di TWA Gunung Tangkuban Parahu dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan?

3. Bagaimana strategi adaptasi perubahan iklim yang harus dilakukan pengelola TWA Gunung Tangkuban Parahu?

Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia umumnya ditandai adanya perubahan suhu rerata harian, pola curah hujan, tingginya permukaan laut, dan variabilitas


iklim (misalnya El Nino dan La Nina, Indian Ocean Dipole, dan sebagainya). Bahkan, analisis yang dilakukan terhadap fenomena El Nino dan La Nina oleh Sofian (2010) menunjukkan bahwa kedua fenomena tersebut akan lebih banyak berpeluang terjadi pada masa mendatang dengan periode dua hingga tiga tahun sekali yang diduga disebabkan perubahan iklim. Setelah mengetahui perubahan iklim di Indonesia, langkah selanjutnya adalah menganalisis pengaruhnya terhadap pariwisata alam di TWA Gunung Tangkuban Parahu, terutama dari jumlah kunjungan wisatawannya. Daya tarik kawasan wisata ini meliputi kawah aktif, pemandangan alam hutan konservasi, flora fauna endemik, area perkemahan maupun permainan outbound.

Studi kasus dalam penelitian ini adalah TWA Gunung Tangkuban Parahu pada tahun 2010–2016. Objek penelitian, yaitu kawasan TWA Gunung Tangkuban Parahu Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Jika Pemilihan lokasi tersebut karena TWA Gunung Tangkuban Parahu merupakan salah satu ikon pariwisata pegunungan di Provinsi Jawa Barat yang diperkirakan mempunyai dampak pengganda yang besar terhadap kegiatan wisata lain di sekitarnya yang berimbas pada penerimaan daerah maupun negara. pariwisata di TWA Gunung Tangkuban Parahu terganggu, kegiatan perekonomian di sekitarnya akan terpengaruh.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi atau sudah dikumpulkan dari sumber lain dan diperoleh dari pihak lain, seperti buku-buku literatur, catatan, atau sumber yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Sumber tersebut antara lain Badan Pusat Statistik; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika; CEIC, serta instansi terkait lainnya.

Data yang diambil adalah gambaran umum lokasi penelitian, data iklim seperti suhu, kelembapan, curah hujan tahun 1975–2016, serta jumlah wisatawan mancanegara maupun Nusantara tahun 2010–2016 di kawasan TWA Gunung Tangkuban Parahu. Data lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah adanya kebijakan kenaikan harga tiket masuk, Produk Domestik Bruto (PDB) Uni Eropa, jumlah hari libur panjang, serta Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.


1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kawasan Gunung Tangkuban Parahu merupakan hutan konservasi yang awalnya ditunjuk sebagai Cagar Alam (CA) seluas 1.290 ha dan Taman Wisata Alam (TWA) seluas 370 ha sebagaimana Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 528/Kpts/


Um/9/74 tanggal 3 September 1974 (KLHK, 2016c). Kemudian, CA dan TWA ini ditetapkan seluas masing-masing 1.204,40 ha dan 344.39 ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.1885/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 25 Maret 2014.

Selama periode tahun 2009–2039, kawasan TWA Gunung Tangkuban Parahu diusahakan oleh PT Graha Rani Putra Persada sebagai pemegang Izin Pengusahaan Pariwisata Alam seluas 171,40 ha sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.306/Menhut-II/2009 tanggal 29 Mei 2009.

Objek penelitian ini adalah TWA Gunung Tangkuban Parahu dengan model variabel dependen jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (MAN) dan Nusantara (NUS). Penggunaan 84 observasi merupakan data bulanan dari Januari 2010 sampai dengan Desember 2016 dalam bentuk time series.

Salah satu indikator perubahan iklim, yaitu suhu udara dan curah hujan. Pada awal tahun observasi 2010–2011, suhu udara masih berada pada taraf 10 terendah. Kemudian, pertengahan tahun observasi 2013–2014, suhu udara meningkat dan dapat dikategorikan berada pada 10 suhu tertinggi. Pada paruh pertama tahun observasi, curah hujan terendah, kemudian semakin meningkat pada tahun terakhir observasi. Hal tersebut sesuai dengan AR5 (2014) dan UK Met Office (2011) yang menyatakan bahwa suhu bumi dan curah hujan semakin meningkat. Indikator iklim lainnya, yaitu kelembapan justru mengalami sebaliknya. Kelembapan udara pada awal tahun observasi 2010 paling tinggi kemudian menurun pada tahun-tahun berikutnya.

2. Fenomena Perubahan Iklim di TWA Gunung Tangkuban Parahu

Efek pemanasan global juga tercermin di dalam tren perubahan suhu lokal dalam jangka panjang di wilayah TWA Gunung Tangkuban Parahu dan sekitarnya. Faktor penyebab peningkatan suhu udara tersebut adalah semakin meningkatnya emisi gas rumah kaca CO2 dari kendaraan bermotor dan industri (Iskandar, 2009). Perubahan suhu rata-rata per tahun di daerah tersebut dari tahun 1975–2016 dihitung berdasarkan data dari BMKG. Dari data tersebut terlihat bahwa tren kenaikan suhu semakin tinggi seiring waktu sejak 1975 dengan laju kenaikan rata-rata sebesar 0,029°C/tahun.

Rerata Suhu Udara di Wilayah TWA Gunung Tangkuban Parahu dan sekitarnya Tahun 1975–2016 (insert: Perubahan Rerata Suhu Udara Periodik di Wilayah TWA Gunung Tangkuban Parahu dan sekitarnya Tahun 1975–2016). Hal tersebut berarti bahwa telah terjadi kenaikan suhu sebesar 1,15°C dalam 42 tahun terakhir. Tren kenaikan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tren kenaikan suhu global sebesar 0,78 ± 0,18°C (IPCC, 2007). Bahkan, pada tanggal 26 April 2011 terjadi cuaca


ekstrem dengan suhu udara 36°C. Suhu pada 7 tahun terakhir lebih tinggi daripada rerata 35 tahun sebelumnya. Setiap periode (7 tahun) selalu terjadi peningkatan suhu meskipun polanya masih cenderung sama. Pola perubahan musiman sangat ditentukan oleh posisi semu matahari sehingga perbedaan temperatur bulanan dalam satu tahun tetap berkisar 0–2°C (BAPPENAS, 2014).

Meskipun semakin tinggi suhu, semakin banyak kandungan uap airnya (BMKG, 2017), kemungkinan pengaruh dari pergerakan angin, kuantitas dan kualitas penyinaran, vegetasi, ketersediaan air di suatu tempat (air tanah, perairan) (Umar, 2010) menyebabkan perubahan kelembapan tidak sebanding dengan perubahan suhu udara. Suhu selama tahun 1975–2016 berfluktuasi dengan tren naik, sedangkan kelembapan sedikit turun. Pada periode tahun 1975–2009, rerata kelembapan sebesar 78,4%, sedangkan periode tahun 2010–2016 turun hanya sekitar 1% menjadi 77,56%. Namun, pada periode tersebut sempat terjadi cuaca tergolong ekstrem, yaitu pada tanggal 25 September 2015, kelembapan udara yang hanya berkisar 43%.

Secara keseluruhan, keadaan curah hujan pada periode tahun 2010–2016 mempunyai variabilitas yang sesuai dengan “kesepakatan” antarmodel iklim yang menyatakan kecenderungan berkurangnya curah hujan pada musim kering Juni–Juli–Agustus (JJA), curah hujan mulai meningkat pada peralihan September–Oktober–November (SON) di Pulau Jawa dan Kepulauan Nusa Tenggara, dan curah hujan semakin bertambah pada musim penghujan Desember–Januari–Februari (DJF) (BAPPENAS, 2014). Dengan demikian, pola curah hujan per tahun cenderung membentuk huruf U. Perubahan yang terjadi pada setiap bulannya berbeda satu sama lain. Secara umum, curah hujan pada bulan Juni–September mempunyai tingkat sensitivitas yang lebih rendah terhadap perubahan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Kemudian, masa yang paling sensitif terhadap perubahan adalah bulan November-Desember karena bulan tersebut merupakan akhir masa peralihan dan awal musim penghujan/basah. Dapat terlihat juga bahwa curah hujan bulan Januari yang pada 3 periode tahun 1982–2002 cenderung tetap, menurun saat periode selanjutnya, lalu naik signifikan pada periode terakhir.

Kondisi iklim di wilayah destinasi wisata ini berdasarkan data tersebut selaras dengan fenomena perubahan iklim di Indonesia. Bahkan, peningkatan suhu udara lebih besar dari kenaikan temperatur permukaan di Indonesia. Jika dilihat dari kenaikan suhu udara dan rerata curah hujan selama 42 tahun terakhir, variabilitas iklim pada taraf tertentu di kawasan dan lingkungan TWA Tangkuban Parahu telah mengarah pada perubahan iklim meskipun belum ada penelitian terkait dampaknya terhadap keanekaragaman hayati, ekosistem, dan kepariwisataannya. Namun,


perlu dilakukan upaya adaptasi yang mendukung mitigasi ataupun sebaliknya untuk menyikapi dan mengantisipasi hal tersebut.

3. Pengaruh Iklim terhadap Kunjungan Wisatawan

Pola kunjungan wisatawan domestik ke TWA Gunung Tangkuban Parahu berlawanan dengan pola suhu. Saat suhu udara lebih rendah dan mungkin dianggap lebih nyaman, jumlah wisatawan domestik cenderung naik dan begitu pula sebaliknya. Wisatawan asal Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat yang mendominasi kunjungan di Bandung Raya berpendapat bahwa keindahan alam dan kesejukan udara merupakan daya tarik utama (Maryani, 2004). Namun, bagi wisatawan domestik, suhu udara di Bandung Raya dalam beberapa tahun terakhir ini lebih panas daripada dekade lalu (Iskandar, 2009). Jika suhu naik, wisatawan domestik menganggap kesejukan udara sudah berkurang dan hal ini mengurangi preferensi mereka untuk berkunjung. Kunjungan wisatawan domestik yang menurun peningkatan suhu sama dengan hasil penelitian Hein (2007).

Selain suhu, unsur iklim lain yang memengaruhi kenyamanan aktivitas manusia adalah kelembapan udara. De Freitas (2003) menempatkan kelembapan udara dalam kategori kenyamanan termal yang berdampak fisiologi pada sensasi panas dan stres secara psikologi akibat iklim. Oleh karena itu, jika kelembapan dirasa tidak sesuai dengan kenyamanan yang diharapkan, wisatawan baik mancanegara maupun domestik cenderung mengubah preferensi kunjungannya.

Rata-rata kelembapan udara pada tahun 2010–2016 di TWA Gunung Tangkuban Parahu sebesar 77,56% yang berarti lebih dari 1,7 kali lebih tinggi dari kelembapan terendah di destinasi wisata ini. Berdasarkan KLHK (2016c), kelembapan udara rata-rata di TWA Gunung Tangkuban Parahu berkisar antara 45–97%. Oleh karena itu, seperti halnya suhu, kelembapan udara yang cenderung tinggi akan mengurangi kunungan para wisatawan mancanegara dan domestik. Hal itu searah dengan hasil penelitian Rosyidie et al. (2009) yang menyatakan kelembapan memengaruhi tingkat kunjungan wisatawan, tetapi ini berseberangan dengan hasil penelitian Lau (2006) untuk wisatawan mancanegara.

Menurut de Freitas (2003) hujan dikategorikan dalam aspek kenyamanan iklim yang bersifat fisik. Hujan berdampak secara fisik pada basahnya kawasan, mengurangi jarak pandang sehingga dapat membatasi aktivitas yang dapat dilakukan. Tourism Climate Index yang digagas Mieczkowski (1985) menyatakan bahwa curah hujan memengaruhi sebesar 20% pada kenyamanan pengunjung berdasarkan kondisi iklim.


Cuaca di Bandung Raya yang menjadi tempat keberadaan TWA Gunung Tangkuban Parahu dipengaruhi oleh iklim pegunungan yang lembap dan sejuk dengan curah hujan rerata lebih dari 200 mm per bulan ,serta jumlah hari hujan lebih dari 20 per bulan. Kondisi curah hujan dan hari hujan tersebut sudah melekat pada ingatan banyak orang sehingga wisatawan yang berkunjung ke wilayah TWA Gunung Tangkuban Parahu sudah memahami bahwa kemungkinan adanya hujan. Jadi, wisatawan tidak memandang bahwa hujan sebagai hambatan, kecuali ada dampak tambahan dari tingginya curah hujan seperti tanah longsor.

4. Strategi Adaptasi Perubahan Iklim

Secara umum, kualitas penawaran TWA Gunung Tangkuban Parahu harus terus meningkat dengan cara menjaga sumber daya alam yang menjadi daya tariknya. Hal tersebut dapat dicapai dengan melestarikan keragaman hayati dan ekosistem, kemudian membuatnya untuk bertahan (resilien) terhadap dampak perubahan iklim melalui berbagai upaya adaptasi. Kegiatan mitigasi yang sekaligus mendukung adaptasi dapat dilakukan sekaligus sebagai penawaran produk wisata, misalkan penanaman pohon. Oleh karena itu, upaya melestarikan keanekaragaman hayati dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata pula.

Pemanfaatan prakiraan cuaca ataupun prediksi iklim dari BMKG dapat digunakan dalam pembuatan keputusan jangka pendek (misal tiga bulanan) yang berhubungan dengan promosi kepada calon wisatawan ataupun agen perjalanan. Hal tersebut diperlukan karena terkait dengan rencana perjalanan (Tourism Gold Period) dan perancangan event tertentu serta sebagai program pengurangan risiko bencana dengan menyampaikan informasi seawal mungkin. Pengelola wisata pun dapat memanfaatkan momentum kenaikan suhu dan curah hujan yang justru meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke TWA Gunung Tangkuban Parahu dengan memanfaatkan informasi tersebut.

Sumber daya manusia memegang peran penting dalam kegiatan wisata. Oleh karena itu, sumber daya manusia pariwisata yang selalu berperan aktif memanfaatkan informasi terkait iklim serta siap melakukan pertolongan pertama pada lokasi rawan cuaca ekstrem sangat dibutuhkan. Kualitas-kuantitas sarana-prasarana terkait yang adaptif serta mendukung kenyamanan wisatawan pun perlu tetap diperhatikan dan ditingkatkan sehingga persaingan dengan destinasi wisata lain yang bersifat substitusi dapat disikapi dengan berbagai langkah dan peningkatan kualitas tersebut.


Kajian dan pencermatan tentang dampak perubahan iklim di kawasan pariwisata strategis seperti TWA Gunung Tangkuban Parahu harus intensif dilakukan sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan adaptasi dan mitigasi.

D. Kesimpulan

TWA Gunung Tangkuban Parahu merupakan hutan konservasi yang berada di sebelah Utara Kota Bandung, tepatnya di Kabupaten Subang dan Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Destinasi wisata tersebut merupakan salah satu ikon wisata pegunungan di Bandung Raya yang berdampak ekonomi besar bagi lingkungannya jika dilihat dari banyaknya wisatawan. Sebagai destinasi wisata alam, kondisi iklim sangat mempengaruhi preferensi wisatawan dalam berkunjung. Selain itu, faktor iklim (suhu, kelembaban, curah hujan) dan perubahannya juga dapat merusak sumber daya alam hayati dan ekosistem yang merupakan salah satu daya tarik serta fakor pendukung kegiatan pariwisata di TWA ini.

Penelitian ini menemukan bahwa variabilitas iklim pada taraf tertentu di kawasan dan lingkungan TWA Tangkuban Parahu telah mengarah pada perubahan iklim jika dilihat dari kenaikan suhu udara dan rerata curah hujan selama 42 tahun terakhir meskipun belum signifikan dampak negatifnya terhadap keanekaragaman hayati, ekosistem, serta sektor kepariwisataannya.

Peningkatan suhu udara dan kelembapan berdampak buruk terhadap kunjungan wisatawan domestik. Hal tersebut ditengarai karena suhu udara yang semakin meningkat hingga melebihi batas tertentu akan mengurangi kenyamanan sebab menjadi terasa lebih panas. Sebagai negara tropis, suhu udara di Indonesia cenderung panas. Jika wisatawan domestik menginginkan hawa dingin, mereka akan berkunjung ke daerah pegunungan. Namun, jika pada destinasi wisata yang akan mereka tuju suhu udaranya mulai tidak nyaman hal itu akan mengubah preferensi mereka. Bagi wisatawan mancanegara hal tersebut justru berdampak baik, kemungkinan karena mereka mencari suhu yang lebih hangat dibanding daerah asalnya atau kenaikan suhu masih dapat ditolerir.

Sebaliknya, peningkatan kelembapan udara akan berdampak negatif pada kedua asal wisatawan tersebut. Kelembapan udara berdampak fisiologi pada\sensasi panas dan tekanan secara psikologi akibat iklim sehingga sebagaimana halnya suhu, jika kelembapan dirasa tidak sesuai dengan kenyamanan yang diharapkan, maka wisatawan baik mancanegara maupun domestik cenderung merubah preferensi kunjungannya. Berbeda dengan kelembapan, curah hujan justru meningkatkan kunjungan wisatawan dari mancanegara maupun domestik. Hal itu disebabkan wisatawan sudah menyadari bahwa wilayah pegunungan lebih tinggi curah hujannya dibanding dataran rendah.


Dengan demikian, selama dianggap tidak membahayakan/menjadi bencana maka mereka akan tetap berkunjung.

Peningkatan kesejahteraan masyarakat Uni Eropa akan menambah jumlah kunjungan mereka ke TWA Gunung Tangkuban Parahu yang mempunyai harga pariwisata lebih rendah dibanding daerah asalnya. PDRB/Kapita Provinsi DKI Jakarta yang meningkat justru akan menurunkan tingkat kunjungan warganya ke TWA Tangkuban Parahu karena mereka akan memilih tempat wisata yang lebih bergengsi/berkelas dan dekat saat kesejahteraannya meningkat. Namun saat kesejahteraan warga Jawa Barat meningkat serta dengan adanya hari libur panjang minimal 3 hari akan meningkatkan kunjungannya terutama dari wilayah Bandung Raya yang relatif dekat meskipun harga tiket masuknya mengalami kenaikan. Sebaliknya, bagi wisatawan mancanegara dikriminas,i harga tiket masuk yang begitu besar akan menurunkan preferensi wisata mereka.


1. Iklim, perubahannya serta dampaknya perlu disosialisasikan secara langsung maupun tidak langsung dengan baik kepada pihak terkait (pengelola, pedagang, wisatawan, masyarakat), sehingga kapasitas mereka terkait isu perubahan iklim menjadi lebih baik. Selain itu, agar mereka lebih mengerti, memahami, dan mampu menyikapi hal tersebut serta memiliki rencana tanggap bencana serta sistem peringatan dini.

2. Pembuatan demonstrations plot: pengenalan tekanan pada sistem alamiah selain dari iklim (contoh: polusi, invasi spesies, hilangnya habitat dan sebagainya) sebagai upaya peningkatan resiliensi ekosistem yang dapat meningkatkan kemampuan adaptif terhadap perubahan iklim. Untuk itu, kegiatan mitigasi yang dapat mendukung hutan beradaptasi, seperti restorasi atau reboisasi dilakukan pula. Sumber daya alam hayati dan ekosistem yang terjaga akan menambah daya tarik wisata TWA Gunung Tangkuban Parahu.

3. Diperlukan diversifikasi area kunjungan (point of interest) dari yang selama ini terfokus pada kawah menjadi destinasi lain yang juga menarik seperti keanekaragaman hayati dan ekosistem endemik ataupun pengembangan trekking lanskap pegunungan agar lebih menarik wisatawan. Hal tersebut juga diperlukan agar wisatawan lebih menyebar sehingga tekanan terhadap keanekaragaman hayati di sekitar kawah dan lingkungannya dapat diminimalisir jadi lebih terjaga kelestariannya.


4. Pengembangan, penyediaan dan penyesuaian sarana dan prasarana/infrastruktur yang lebih baik, memadai, berkearifan lokal, serta adaptif terhadap perubahan iklim untuk mendukung pertumbuhan pariwisata di TWA Gunung Tangkuban Parahu. Di dalam kawasan dapat dibuat tempat berlindung yang memadai sehingga hujan lebat disertai angin kencang ataupun dampak perubahan iklim lain dapat diantisipasi dengan baik sehingga keamanan dan kenyamanan wisatawan terjaga. Kemudian, infrastruktur penghubung antara perkotaan dan destinasi wisata ini dapat ditingkatkan kualitasnya untuk memudahkan wisatawan berkunjung. Penataan dan pembatasan area pedagang juga diperlukan agar pemandangan alam dan kenyamanan wisata dapat dinikmati dengan baik.

5. Penelitian lanjutan diperlukan terkait ancaman dan peluang ekonomi pelaku wisata di dalam lokasi (pengelola, pedagang) serta di luar ojek wisata yang disebabkan oleh perubahan iklim dan pariwisata, serta kajian strategi diskriminasi harga tiket masuk di TWA Gunung Tangkuban Parahu dengan menggunakan data jangka panjang sehingga keterkaitannya lebih terlihat.

TINGKAT PENDIDIKAN DAN SIKAP PEREMPUAN TERHADAP TINDAKAN PEMUKULAN ISTRI

Nama : Aprillia Dwi Puspita Sari

Instansi : Pemkot Probolinggo

Tahun Intake : 2015






ABSTRAK

Pemukulan istri merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi hampir di semua lapisan masyarakat, namun dalam masyarakat sendiri khususnya di kalangan perempuan masih terdapat sikap permisif terhadap tindakan pemukulan istri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah tingkat pendidikan perempuan mempengaruhi sikap persetujuan perempuan tersebut terhadap tindakan pemukulan istri. Dengan menggunakan data Indonesia Demographic Health Survey (IDHS) 2012, hasil estimasi model probit menunjukkan bahwa sikap persetujuan terhadap tindakan pemukulan istri dipengaruhi oleh tingkat pendidikan perempuan. Secara umum, perempuan yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah mempunyai probabilitas menyetujui tindakan pemukulan istri yang lebih besar dibandingkan perempuan yang berpendidikan tinggi. Variabel lain yang juga signifikan untuk alasan secara umum antara lain variabel umur, tempat tinggal, jumlah anak, status pekerjaan, tingkat kekayaan keluarga, akses terhadap media, literasi, kehadiran suami pada saat interview berlangsung dan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan keluarga. Sedangkan variabel yang tidak signifikan antara lain variabel berapa kali menikah; usia pertama kali menikah; jenis kelamin kepala keluarga; pendapatan istri dibanding pendapatan suami; tingkat pendidikan suami; kehadiran anak usia < 10 tahun, laki-laki lain dan perempuan lain pada saat interview berlangsung.

Kata kunci: Pemukulan Istri, Tingkat Pendidikan, Probit


ABSTRACT

Wife beating is one kind of domestic violence that occurs in almost all levels of society and can cause a variety of both physical and psychological injuries. The empowerment of women through improved education is considered able to protect women from violence and also change women's attitudes towards wife-beating. The Government has made a variety of policies to reduce domestic violence but understanding the underlying attitude towards wife-beating is needed in designing effective interventions. There is a permissive attitude of society, especially among women. This is evident from the Demographic and Health Survey (IDHS) 2012 of which 30.5 percent of women agree with the wife-beating action with specific reasons. This study uses data Indonesia Demographic Health Survey (IDHS) in 2012. The purpose of this study was to analyze whether the level of education of women affect the attitude of these women consent to the act of beating his wife by the husband. The processed data must meet the criteria sample of all women aged 15–49 who are married or living together. The statistical test was used the Probit Regression. The analysis showed that education has negative effect and significant on wife-beating action. Another significant variables include age, place of residence, number of children, level of wealth, and the involvement of women in decision-making within the household. While variable is not significant among other variables how many times married, husband’s education, working status, access to the media, the sex of the household head, wife’s income comparing to husbands’, the involvement of decision-making on the utilization of wife’s income, and the presence of other people during the interview takes place.

Keyword: Wife Beating, Education, Probit


TINGKAT PENDIDIKAN DAN SIKAP PEREMPUAN TERHADAP TINDAKAN PEMUKULAN ISTRI

A. Latar Belakang

Secara global, jutaan perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) setiap harinya. Kekerasan tersebut terjadi di semua negara dan semua kelompok sosial ekonomi, budaya ataupun agama (Rapp et.al, 2012). Menurut WHO, berdasarkan penghitungan prevalensi KDRT beberapa tahun terakhir ini, 1 dari 3 perempuan di dunia atau sekitar 35% perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual dalam rumah tangga (García-Moreno, 2013). Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dari tahun 2012 sampai tahun 2015 berfluktuatif, berkisar antara 8.000–11.000 kasus.

Berdasarkan data dari Indonesia Demographic Health Survey (IDHS) tahun 2012 terdapat 34,5% perempuan dari 45.607 perempuan yang setuju apabila istri dipukul oleh suami minimal dengan satu alasan. Beberapa alasan yang menjadi pertimbangan perempuan menyetujui tindakan pemukulan istri, yaitu pergi tanpa memberi tahu suami, menelantarkan anak, membantah suami, menolak berhubungan intim, dan hangus dalam memasak. Pada beberapa negara, pemukulan istri dibenarkan dalam berbagai konteks. Penerimaan terhadap tindakan pemukulan istri umumnya lebih tinggi di Afrika, Asia dan Oceania, dan terendah di Amerika Latin dan Karibia serta negara-negara maju.

Menurut Friedman et.al (2011) dalam Erten & Keskin (2016), beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan lama waktu sekolah perempuan memperbaiki sikap perempuan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, sedangkan penelitian lain gagal menemukan bukti perubahan yang signifikan dalam sikap terkait ketimpangan gender (Dinçer, Kaushal, & Grossman, 2014). Hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan kekerasan yang rendah ditemukan pada perempuan berpendidikan menengah atau lebih, dibandingkan wanita tanpa pendidikan di Mesir, India, dan Kamboja. Di Mesir dan India, kekerasan fisik secara signifikan lebih rendah ditemukan pada perempuan dengan pendidikan menengah atau lebih apabila dibandingkan dengan perempuan tidak berpendidikan atau yang hanya berpendidikan dasar (Kishor & Johnson, 2004).

Di Indonesia rata-rata lama sekolah perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Secara umum, selama periode 2010–2014, perbedaan capaian rata-rata lama sekolah antara laki-laki dan perempuan menunjukkan kecenderungan yang mengecil meskipun tidak terlalu signifikan.


Meneliti perbedaan sikap terhadap pemukulan istri dapat memberikan gambaran yang lebih baik dan memberikan wawasan dalam peran potensial dari pembangunan sosial ekonomi dalam mengubah norma-norma terhadap kejadian pemukulan istri (Rani & Bonu, 2009). Dengan memahami sikap perempuan terhadap pemukulan istri, pemerintah hendaknya merancang program yang efektif untuk mengatasi isu tersebut (Khawaja et al., 2008). Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menganalisis apakah tingkat pendidikan perempuan memengaruhi sikap persetujuan perempuan tersebut terhadap tindakan pemukulan istri oleh suami.

B. Metodologi Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari IDHS (Indonesia Demographic and Health Survey) atau SDKI (Survei Demografi Kesehatan Indonesia) tahun 2012. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross section berupa data individu sebanyak 45.607 perempuan yang terpilih sebagai sampel pada tahun 2012 yang kemudian dilakukan screening sesuai data yang diperlukan sehingga sampel yang digunakan sebesar 13.261 individu.

Dalam penelitian ini digunakan model ekonometrik dengan metode Probit Regression Model karena variabel dependennya, yaitu sikap perempuan terhadap tindakan pemukulan istri merupakan variabel dummy. Variabel dependen (terikat) dalam model probit mengasumsikan nilai yang dikotomis, yaitu 1 ketika seorang perempuan setuju terhadap tindakan pemukulan istri dan 0 ketika tidak setuju terhadap tindakan pemukulan istri.


Dari hasil pengolahan data IDHS 2012, sebagian besar perempuan secara umum tidak setuju terhadap tindakan pemukulan istri (d_agree), yaitu sebesar 67,71% atau sebanyak 8.980 orang, sedangkan perempuan yang setuju minimal dengan 1 alasan sebanyak 4.281 orang (32,28%). Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh responden pada penelitian ini paling banyak adalah lulusan pendidikan menengah (SMA) (d_compsecondary), yaitu 3.315 orang. Berdasarkan tingkat pendidikan, perempuan yang tamat pendidikan menengah (d_compsecondary) memiliki tingkat persetujuan yang paling tinggi, yaitu sebanyak 1.014 orang (7,64%), sedangkan perempuan yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi (d_higher) memiliki tingkat persetujuan paling sedikit, yaitu sebesar 653 orang atau 4,92%. Perempuan yang paling banyak tidak setuju terhadap tindakan pemukulan istri juga memiliki tingkat pendidikan, yaitu tamat pendidikan menengah sebesar 2.301 orang atau 17,35%, sedangkan yang paling sedikit tidak menyetujui adalah perempuan yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD sebanyak 1.284 orang (9,68%).


Koefisien determinasi pada model probit (R2McF) menggambarkan seberapa besar variabel-variabel bebas memengaruhi variabel tidak bebasnya (sikap perempuan terhadap tindakan pemukulan istri). Berdasarkan masing–masing alasan, hasil pengujian koefisien determinasi menunjukkan bahwa variabel independen mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 2,77% untuk model persamaan 2 (alasan pergi tanpa memberi tahu suami), 2,76% untuk model persamaan 3 (alasan menelantarkan anak), 4,36% untuk model persamaan 4 (alasan membantah suami), 2,70% untuk model persamaan 5 (alasan menolak berhubungan intim), dan 7,31% untuk alasan hangus dalam memasak, sedangkan selebihnya dipengaruhi variabel lain di luar model.

Berikut ini adalah interpretasi marginal effect masing-masing alasan berdasarkan beberapa variabel.

1. Faktor Tingkat Pendidikan

Untuk alasan pergi tanpa memberi tahu suami (d_agreegoes), variabel d_noeduc mempunyai pengaruh positif dan signifikan pada tingkat signifikansi 95% dengan nilai marginal effect 0,0454. Ini artinya perempuan yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD mempunyai probabilitas yang lebih besar, yaitu sebesar 4,54% menyetujui tindakan pemukulan istri dengan alasan pergi tanpa memberi tahu suami dibandingkan perempuan yang berpendidikan tinggi (d_higher). Probabilitas perempuan yang berpendidikan tamat SD (d_compprimary) sebesar 4,87% , tidak tamat pendidikan menengah (d_incsecondary) sebesar 4,67%, dan tamat pendidikan menengah (d_compsecondary) sebesar 2,78%. Jumlah perempuan berpendidikan rendah yang menyetujui tindakan pemukulan istri dengan alasan pergi tanpa memberi tahu suami lebih besar dibandingkan perempuan berpendidikan tinggi (d_higher).

Untuk alasan menelantarkan anak (d_agreeneglect), variabel d_noeduc mempunyai pengaruh positif dan signifikan pada tingkat signifikansi 99% dengan nilai marginal effect 0,0598. Ini artinya perempuan yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD mempunyai probabilitas 5,98% lebih besar menyetujui tindakan pemukulan istri dengan alasan menelantarkan anak dibandingkan perempuan yang berpendidikan tinggi (d_higher). Probabilitas perempuan yang berpendidikan tamat SD (d_compprimary) sebesar 6%, tidak tamat pendidikan menengah (d_incsecondary) sebesar 3,9%, tamat pendidikan menengah (d_compsecondary) sebesar 2,75%, lebih besar menyetujui tindakan pemukulan istri dengan alasan menelantarkan anak dibandingkan perempuan yang berpendidikan tinggi (d_higher).


Untuk alasan membantah suami (d_agreeargues), variabel d_noeduc mempunyai pengaruh positif dan signifikan pada tingkat signifikansi 99% dengan nilai marginal effect 0,0500. Ini artinya perempuan yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD mempunyai probabilitas lebih besar, yaitu sebesar 5% menyetujui tindakan pemukulan istri dibandingkan perempuan yang berpendidikan tinggi (d_higher). Perempuan yang berpendidikan tamat SD (d_compprimary) mempunyai probabilitas lebih besar, yaitu sebesar 4,69%, tidak tamat pendidikan menengah (d_incsecondary) sebesar 3,41%, tamat pendidikan menengah (d_compsecondary) mempunyai probabilitas lebih besar, yaitu sebesar 2,48% menyetujui tindakan pemukulan istri dengan alasan membantah suami dibandingkan perempuan yang berpendidikan tinggi (d_higher).

Untuk alasan menolak berhubungan intim (d_agreerefsex), variabel d_noeduc mempunyai pengaruh positif dan signifikan pada tingkat signifikansi 95% dengan nilai marginal effect 0,0268. Ini artinya perempuan yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD mempunyai probabilitas sebesar 2,68% dan perempuan yang berpendidikan tamat SD sebesar 3,25% yang lebih besar menyetujui tindakan pemukulan istri dibandingkan perempuan yang berpendidikan tinggi (d_higher). Variabel d_incsecondary (tidak tamat pendidikan menengah) dan d_compsecondary (tamat pendidikan menengah) mempunyai hubungan tidak signifikan terhadap tindakan pemukulan istri dengan alasan menolak berhubungan intim.

Untuk alasan hangus dalam memasak (d_agreeburnsfood), variabel d_noeduc mempunyai pengaruh positif dan signifikan pada tingkat signifikansi 99% dengan nilai marginal effect 0,0347. Ini artinya perempuan yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD mempunyai probabilitas yang lebih besar, yaitu sebesar 3,47%, berpendidikan tamat SD sebesar 2,93%, tidak tamat pendidikan menengah sebesar 2,22%, tamat pendidikan menengah sebesar 1,32% menyetujui tindakan pemukulan istri dengan alasan hangus dalam memasak dibandingkan perempuan yang berpendidikan tinggi (d_higher).

Hasil ini sesuai dengan penelitian Doku & Asante (2015) yaitu wanita yang tidak berpendidikan, pendidikan SD – SMP memiliki persetujuan yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang berpendidikan lebih tinggi (SMA/PT). Menurut Friedman et al (2011) dalam Erten & Keskin (2016), beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan lama waktu sekolah perempuan memperbaiki sikap perempuan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.


2. Faktor Usia

Variabel umur berpengaruh signifikan dalam menurunkan probabilitas perempuan menyetujui tindakan pemukulan istri dengan nilai marginal effect –0.0032 artinya setiap penambahan 1 tahun umur perempuan akan menurunkan probabilitas tingkat persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri dengan alasan pergi tanpa memberitahu suami sebesar 0,32%, alasan menelantarkan anak sebesar 0,55%, alasan membantah suami sebesar 0,07%, alasan menolak berhubungan intim sebesar 0,15%, sedangkan alasan hangus dalam memasak sebesar 0,03%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Doku & Asante (2015) yaitu wanita usia 25–34 tahun dan 15–24 tahun 1,5 dan 1,3 kali lebih tinggi memiliki persetujuan terhadap kekerasan fisik dalam rumah tangga daripada wanita usia 35 tahun ke atas.

3. Faktor Daerah Tempat Tinggal

Perempuan yang tinggal di perkotaan (urban) memiliki probabilitas sebesar 5,01% lebih kecil yang menyetujui tindakan pemukulan istri dengan alasan pergi tanpa memberi tahu suami dibandingkan perempuan yang tinggal di perdesaan. Untuk alasan menelantarkan anak sebesar 4,43%, alasan membantah suami sebesar 1,46%, alasan menolak berhubungan intim sebesar 1,50%, sedangkan untuk alasan hangus dalam memasak memiliki probabilitas tingkat persetujuan terhadap tindakan pemukulan istri yang lebih kecil sebesar 0,77% dibandingkan perempuan yang tinggal di perdesaan. Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Isnaeni (2011) yang menunjukkan bahwa variabel tempat tinggal tidak signifikan memengaruhi sikap perempuan terhadap pemukulan istri.

4. Faktor Berapa Kali Menikah

Faktor berapa kali menikah tidak berpengaruh secara signifikan untuk semua alasan. Kondisi ini dimungkinkan karena hampir sebagian besar, yaitu 90,78% perempuan yang menjadi sampel penelitian ini menikah satu kali.

5. Faktor Usia Pertama Kali Menikah

Setiap penambahan 1 tahun usia pertama kali menikah akan menurunkan tingkat persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri dengan alasan pergi tanpa memberi tahu suami sebesar 0,25%, untuk alasan menelantarkan anak sebesar 0,18% dan alasan menolak berhubungan intim sebesar 0,17%.


Berdasarkan alasan membantah suami (d_agreeargues) dan alasan hangus dalam memasak (d_agreeburnfood), usia pertama kali menikah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tindakan pemukulan istri. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Jejeebhoy (1998) yang menunjukkan bahwa sikap terhadap pemukulan istri memiliki hubungan yang signifikan dengan penundaan usia perkawinan.

6. Faktor Jumlah Anak

Setiap penambahan 1 orang anak akan meningkatkan probabilitas tingkat persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri dengan alasan pergi tanpa memberi tahu suami sebesar 0,85%, dengan alasan menelantarkan anak sebesar 0,97%, untuk alasan membantah suami sebesar 0,48%, alasan menolak berhubungan intim sebesar 0,49%, dan alasan hangus dalam memasak 0,20%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Rani & Bonu (2009).

7. Faktor Status Pekerjaan

Status pekerjaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri untuk sumua alasan. Kondisi ini dimungkinkan karena sebagian besar perempuan yang menjadi sampel dalam penelitian ini memiliki pekerjaan yaitu sebesar 91,9%. Hal ini sesuai dengan penelitian Mann & Takyi (2009) yang menyebutkan bahwa status pekerjaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tindakan pemukulan istri.

8. Faktor Tingkat Kekayaan Keluarga

Perempuan yang masuk kategori paling miskin (poorest) mempunyai probabilitas lebih besar sebesar 7,5% untuk menyetujui tindakan pemukulan istri dengan alasan istri pergi tanpa memberi tahu suami, alasan menelantarkan anak sebesar 5,44%, alasan membantah suami sebesar 5,03%, alasan menolak berhubungan intim sebesar 2,15%, dan sebesar 2,71% untuk alasan hangus dalam memasak yang lebih tinggi dibandingkan perempuan yang masuk kategori paling kaya (richest).

Perempuan yang lebih miskin (richer) mempunyai probabilitas 6,80% lebih tinggi untuk menyetujui tindakan pemukulan istri dengan alasan istri pergi tanpa memberi tahu suami dibandingkan perempuan yang paling kaya (richest). Untuk alasan menelantarkan anak sebesar 4,62%, membantah suami sebesar 3,29%, menolak berhubungan intim 1,71%, dan 1,99% hangus dalam memasak, memiliki probabilitas lebih tinggi dalam menyetujui tindakan pemukulan istri dibandingkan perempuan yang paling kaya.


Perempuan yang termasuk kelompok menengah (middle) mempunyai probabilitas yang lebih tinggi sebesar 4,40% untuk alasan istri pergi tanpa memberitahu suami, alasan menelantarkan anak sebesar 2,36%, alasan membantah suami sebesar 2,52%, dan 1,62% alasan hangus dalam memasak menyetujui tindakan pemukulan istri dibandingkan perempuan yang paling kaya. Adapun untuk alasan menolak berhubungan intim tidak berpengaruh secara signifikan.

Perempuan yang lebih kaya (richer) mempunyai probabilitas yang lebih tinggi dalam menyetujui tindakan pemukulan istri dibandingkan perempuan yang paling kaya (richest), yaitu sebesar 2,44% untuk alasan pergi tanpa memberi tahu suami, alasan menelantarkan anak sebesar 1,99%, dan alasan membantah suami sebesar 1,59%. Namun, tidak berpengaruh secara signifikan untuk alasan menolak berhubungan intim dan hangus dalam memasak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Mann & Takyi (2009) bahwa tingkat kekayaan keluarga berpengaruh signifikan terhadap persetujuan tindakan pemukulan istri.

9. Faktor Akses Terhadap Media

Perempuan yang memiliki akses terhadap media memiliki tingkat persetujuan terhadap tindakan pemukulan istri yang lebih kecil dibanding perempuan yang tidak memiliki akses terhadap media, yaitu dengan alasan pergi tanpa memberi tahu suami sebesar 2,22%, alasan menelantarkan anak sebesar 2,91%, alasan menolak berhubungan intim sebesar 2,25%, dan alasan hangus dalam memasak sebesar 1,26%.

10. Faktor Literasi

Perempuan yang melek huruf memiliki tingkat persetujuan yang lebih tinggi dibanding perempuan yang buta huruf, yaitu dengan alasan pergi tanpa memberi tahu suami sebesar 2,57%, dan alasan menelantarkan anak sebesar 4,55%. Sedangkan untuk alasan membantah suami, menolak berhubungan intim dan hangus dalam memasak tidak berpengaruh secara signifikan. Kondisi ini karena hampir sebagian besar responden (88,24%) melek huruf.

11. Faktor Jenis Kelamin Kepala Keluarga

Berdasarkan tiap-tiap alasan, jenis kelamin kepala keluarga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Rani & Bonu (2009) yang menunjukkan ada hubungan signifikan antara jenis kelamin kepala keluarga dengan penerimaan pemukulan istri di Kamboja.


12. Faktor Pendapatan

Besar pendapatan istri dibanding pendapatan suami yaitu istri memiliki pendapatan yang lebih besar dari suami (d_moreearns) tidak berpengaruh secara signifikan pada tingkat persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri untuk kelima alasan. Pendapatan istri yang sama besar dengan suami (d_sameearns) hanya berpengaruh negatif dan signifikan untuk alasan menelantarkan anak, yaitu perempuan yang berpenghasilan sama besar dengan suami memiliki tingkat persetujuan terhadap tindakan pemukulan istri dengan alasan menelantarkan anak yang lebih rendah sebesar 1,97% dibandingkan perempuan yang pendapatannya lebih kecil dari suami (d_lessearns). Untuk variabel suami tidak memiliki penghasilan (d_doesntbringinmoney) mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan pada tingkat signifikansi 90% hanya untuk alasan membantah suami. Nilai marginal effect sebesar 0.0266 artinya perempuan yang suaminya tidak memiliki penghasilan memiliki tingkat persetujuan terhadap tindakan pemukulan istri dengan alasan membantah suami yang lebih tinggi sebesar 2,66% dibandingkan perempuan yang berpendapatan lebih kecil dari suaminya. Adapun alasan lain tidak berpengaruh secara signifikan.

13. Faktor Tingkat Pendidikan Suami

Perempuan yang suaminya tidak berpendidikan (husnoeduc) memiliki tingkat persetujuan yang lebih rendah sebesar 2,16% terhadap tindakan pemukulan istri untuk alasan membantah suami dibandingkan perempuan yang suaminya berpendidikan tinggi (hushigher). Adapun alasan lainnya tidak berpengaruh signifikan.

Perempuan yang suaminya berpendidikan tamat SD (huscompprimary) memiliki tingkat persetujuan yang lebih rendah sebesar 3,09% terhadap tindakan pemukulan istri untuk alasan membantah suami dibandingkan perempuan yang suaminya berpendidikan tinggi (hushigher). Adapun alasan lainnya tidak berpengaruh signifikan.

Perempuan yang suaminya tidak tamat pendidikan menengah (husincsecondary) memiliki tingkat persetujuan yang lebih rendah sebesar 3,15% terhadap tindakan pemukulan istri untuk alasan membantah suami dibandingkan perempuan yang suaminya berpendidikan tinggi (hushigher). Adapun alasan lainnya tidak berpengaruh signifikan.


Untuk perempuan yang suami atau pasangannya berpendidikan tamat pendidikan menengah (huscompsecondary) tidak berpengaruh secara signifikan untuk kelima alasan.

14. Faktor Keberadaan Orang Lain Pada Saat Interview

Keberadaan anak usia < 10 tahun selama interview berlangsung (childpresence) memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada tingkat signifikansi 90% hanya untuk alasan membantah suami dengan nilai marginal effect sebesar –0.0099 artinya perempuan yang pada saat interview berlangsung ada (dihadiri) anak usia < 10 tahun memiliki probabilitas menyetujui tindakan pemukulan istri dengan alasan membantah suami 0,99% lebih kecil dibandingkan perempuan yang pada saat intreviu tidak ada anak usia < 10 tahun. Adapun alasan lainnya tidak berpengaruh secara signifikan.

Perempuan yang pada saat interviu berlangsung didampingi (ada) suami mempunyai probabilitas tingkat persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri dengan alasan menelantarkan anak yang lebih rendah sebesar 3,21% dibandingkan perempuan yang tidak dihadiri suami pada saat interview. Adapun alasan lainnya tidak berpengaruh secara signifikan.

Keberadaan laki-laki lain selama interiu berlangsung (malepresence) tidak berpengaruh secara signifikan untuk kelima alasan, sedangkan keberadaan perempuan lain selama interviu berlangsung (femalepresence) memiliki pengaruh positif dan signifikan hanya untuk alasan menelantarkan anak dan membantah suami. Perempuan yang dihadiri perempuan lain selama interviu berlangsung mempunyai probabilitas tingkat persetujuan perempuan dengan alasan menelantarkan anak sebesar 1,58% dan alasan membantah suami sebesar 1,12% lebih tinggi dibanding perempuan yang tidak dihadiri perempuan lain pada saat interviu berlangsung. Adapun alasan lainnya tidak berpengaruh signifikan.

15. Faktor Keterlibatan dalam Pengambilan Keputusan Keluarga

Variabel keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga (decinvolve) mempunyai pengaruh positif dan signifikan untuk alasan pergi tanpa memberi tahu suami, menelantarkan anak, dan menolak berhubungan intim. Perempuan yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga memiliki probabilitas tingkat persetujuan terhadap tindakan pemukulan istri,yaitu sebesar 6,60% untuk alasan pergi tanpa memberi tahu suami, alasan menelantarkan anak sebesar 6,64%, alasan menolak berhubungan intim sebesar 4,55% yang lebih besar daripada perempuan yang tidak dilibatkan. Adapun alasan membantah


suami dan hangus dalam memasak tidak berpengaruh signifikan. Hasil ini juga sesuai dengan Teori Sumber Daya (Resource Theory) yang menyebutkan bahwa kekuatan pengambilan keputusan dalam keluarga bergantung pada nilai sumber daya yang dimiliki dari tiap anggota keluarga, yaitu perbedaan tingkat pendidikan dan finansial antara suami dan istri.

D. Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah tingkat pendidikan memengaruhi sikap perempuan terhadap tindakan pemukulan istri oleh suami dengan menggunakan data IDHS tahun 2012.

Hasil estimasi dan pengujian secara statistik dengan regresi Probit menunjukkan bahwa secara umum, tingkat pendidikan berpengaruh signifikan pada sikap persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri. Perempuan yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah mempunyai probabilitas menyetujui tindakan pemukulan istri minimal dengan satu alasan tertentu lebih besar dibandingkan perempuan yang berpendidikan tinggi. Apabila dilihat berdasarkan alasan, tingkat pendidikan perempuan berpengaruh signifikan, kecuali untuk alasan menolak berhubungan intim, sedangkan perempuan yang tidak tamat pendidikan menengah (d_incsecondary) dan tamat pendidikan menengah (d_compsecondary) tidak berpengaruh secara signifikan.

Faktor-faktor yang berpengaruh kuat menurunkan probabilitas sikap perempuan menyetujui tindakan pemukulan istri, yaitu umur, jumlah anak, dan daerah tempat tinggal. Setiap penambahan 1 tahun umur perempuan dan setiap penambahan 1 orang anak akan menurunkan probabilitas tingkat persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri. Perempuan yang tinggal di perkotaan memiliki probabilitas tingkat persetujuan terhadap tindakan pemukulan istri yang lebih rendah dibandingkan perempuan yang tinggal di pedesaan, baik dilihat secara umum ataupun berdasarkan masing-masing alasan.

Berdasarkan gambaran secara umum, faktor status pekerjaan mempunyai pengaruh negatif dan signifikan sehingga dapat diartikan bahwa perempuan yang bekerja memiliki probabilitas tingkat persetujuan terhadap tindakan pemukulan istri yang lebih rendah dibandingkan perempuan yang tidak bekerja. Apabila dilihat berdasarkan tiap-tiap alasan tidak berpengaruh secara signifikan untuk kelima alasan.

Faktor tingkat kekayaan keluarga berdasarkan alasan secara umum memiliki pengaruh positif dan signifikan. Perempuan yang termasuk kategori paling miskin, lebih miskin, menengah dan lebih kaya mempunyai probabilitas tingkat persetujuan lebih tinggi dibandingkan peempuan yang termasuk kategori paling kaya. Apabila


ditinjau berdasarkan tiap-tiap alasan variabel, perempuan dengan tingkat kekayaan paling miskin (d_poorest) dan lebih miskin (d_poorer) saja yang berpengaruh positif dan signifikan untuk kelima alasan. Adapun variabel perempuan dengan tingkat kekayaan menengah (d_middle) dan lebih kaya (d_richer) berpengaruh positif dan signifikan untuk alasan pergi tanpa memberi tahu suami, menelantarkan anak, membantah suami, hangus dalam memasak, dan alasan menolak berhubungan intim tidak berpengaruh ssecara signifikan.

Akses terhadap media, secara umum berpengaruh signifikan terhadap sikap persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri. Perempuan yang memiliki akses terhadap media mempunyai probabilitas yang lebih rendah dibandingkan perempuan yang tidak memiliki akses media. Berdasarkan tiap-tiap alasan, variabel akses terhadap media berpengaruh negatif dan signifikan untuk semua alasan, kecuali untuk alasan menelantarkan anak.

Berdasarkan gambaran secara umum, perempuan yang melek huruf memiliki probabilitas tingkat persetujuan terhadap tindakan pemukulan istri yang lebih tinggi dibandingkan perempuan yang buta huruf. Apabila dilihat berdasarkan tiap-tiap alasan, faktor literasi hanya berpengaruh positif dan signifikan untuk alasan pergi tanpa memberi tahu suami dan menelantarkan anak.

Pendapatan istri yang lebih besar dari suami tidak berpengaruh secara signifikan untuk kelima alasan. Berbeda dengan istri yang berpenghasilan sama dengan suami mempunyai probabilitas yang lebih rendah dibanding perempuan yang penghasilannya lebih kecil dari suami untuk alasan menelantarkan anak. Untuk istri yang suami atau pasangannya tidak memiliki penghasilan mempunyai probabilitas persetujuan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan yang berpenghasilan lebih besar dari suami hanya untuk alasan membantah suami.

Berdasarkan alasan secara umum, keberadaan suami pada saat interviu berlangsung berpeluang menurunkan persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri. Berdasarkan tiap-tiap alasan, keberadaan suami pada saat interviu berlangsung berpengaruh negatif dan signifikan hanya untuk alasan menelantarkan anak, sedankan alasan yang lain tidak berpengaruh.

Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan keluarga mempunyai pengaruh dalam meningkatkan probabilitas persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri berdasarkan alasan secara umum. Berdasarkan tiap-tiap alasan, keterlibatan dalam pengambilan keputusan keluarga mempunyai pengaruh positif dan signifikan untuk alasan pergi tanpa memberi tahu suami, menelantarkan anak dan menolak berhubungan intim, sedangkan untuk alasan yang lain tidak berpengaruh.


Berdasarkan gambaran secara umum, faktor berapa kali menikah; usia pertama kali menikah, jenis kelamin kepala keluarga, pendapatan istri dibanding pendapatan suami, tingkat pendidikan suami, kehadiran anak usia < 10 tahun, laki-laki lain dan perempuan lain pada saat interviu berlangsung tidak memengaruhi secara signifikan tingkat persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri. Adapun berdasarkan tiap-tiap alasan, variabel usia pertama kali menikah memiliki pengaruh negatif dan signifikan untuk alasan pergi tanpa memberi tahu suami, menelantarkan anak, dan menolak berhubungan intim. Ini artinya setiap penambahan 1 tahun usia pertama kali menikah akan menurunkan probabilitas tingkat persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri untuk ketiga alasan tersebut. Untuk alasan membantah suami dan hangus dalam memasak tidak berpengaruh signifikan.

Tingkat pendidikan suami berpengaruh signifikan bila ditinjau menurut tiap-tiap alasan memiliki pengaruh negatif dan signifikan hanya untuk alasan membantah suami artinya perempuan yang suaminya tidak berpendidikan, berpendidikan tamat SD, tidak tamat pendidikan menengah, dan tamat pendidikan menengah memiliki probabilitas tingkat persetujuan lebih rendah dibandingkan perempuan yang pasangannnya berpendidikan tinggi.

Hasil penelitian ini memberikan implikasi kebijakan yang dapat diambil pemerintah dalam menurunkan kasus KDRT di Indonesia. Pendidikan perempuan menjadi faktor penting dalam menurunkan sikap persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ,misalnya dengan program pemberian beasiswa sampai tingkat perguruan tinggi.

Faktor daerah tempat tinggal mempunyai pengaruh yang signifikan sehingga pemerintah perlu memberikan kemudahan akses pendidikan di pedesaan misalnya dengan perbaikan gedung sekolah, kemudahan akses untuk menuju sekolah, ketersediaan tenaga pengajar yang memadai dibandingkan dengan jumlah siswa, ketersediaan sarana dan prasarana sekolah. Keterlibatan perempuan dalam peningkatan ekonomi keluarga akan membuat perempuan memiliki bargaining power dalam keluarga sehingga pemerintah perlu meningkatkan program pemberdayaan perempuan dalam peningkatan ekonomi keluarga, seperti pemberian kursus menjahit, memasak, pemberian bantuan modal usaha bagi perempuan, lowongan pekerjaan untuk perempuan.

Jumlah anak menjadi faktor memengaruhi sikap persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri. Oleh karena itu, pemerintah perlu menggalakkan program Keluarga Berencana yaitu 2 anak cukup dan pendewasaan usia perkawinan.


Akses terhadap media berpengaruh dalam membentuk sikap persetujuan perempuan terhadap tindakan pemukulan istri sehingga implikasi kebijakan yang dapat dilakukan adalah meningkatan akses teknologi dan informasi bagi perempuan, khususnya di perdesaan, misalnya dengan pembentukan kampung cyber sehingga masyarakat di perdesaan lebih mudah dan cepat dalam mengakses informasi.

Sikap tidak menyetujui tindakan pemukulan istri akan mengubah budaya dalam masyarakat untuk tidak menolerir tindakan kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam rumah tangga dengan alasan apa pun. Budaya menolak kekerasan dalam masyarakat akan menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi perempuan sehingga akan menurunkan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan itu sendiri.

THE COMPETITIVENESS OF INDONESIAN FISHERY TRADE AND FACTORS AFFECTING THE EXPORT PERFORMANCE OF INDONESIAN FISHERY PRODUCTS

Nama : Arif Wibowo

Instansi : Kementerian Kelautan dan Perikanan

Tahun Intake : 2015






ABSTRAK

Indonesia adalah salah satu produsen ikan terbesar di dunia, tetapi nilai ekspor produk perikanan Indonesia masih di bawah negara lain dengan potensi ikan yang lebih kecil. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia meluncurkan program industrialisasi perikanan pada tahun 2012. Dalam terang itu, pertanyaan tentang bagaimana kebijakan mempengaruhi daya saing perdagangan produk perikanan Indonesia muncul. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan ini.

Dengan menggunakan pendekatan Comparative Advantage (RCA), penelitian ini menyimpulkan bahwa rata-rata sektor perikanan di Indonesia menunjukkan kinerja yang baik selama periode 1990–2016. Namun, untuk tingkat kerusakan, ada satu komoditas yang memiliki nilai RCA rata-rata di bawah ini 1, menunjukkan bahwa komoditas ini tidak kompetitif. Selain itu, ada empat dari sembilan komoditas dengan banyak nilai RCA di bawah satu dalam setiap tahun selama periode penelitian.

Sebelumnya, analisis regresi menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB riil, kurs efektif riil (REER), indeks harga ikan (FPI), dan program industrialisasi secara bersamaan mempengaruhi kinerja ekspor produk perikanan Indonesia, sebagai penyumbang utama daya saing dalam perdagangan. Meskipun demikian, program industrialisasi, dan juga REER, tidak memiliki dampak signifikan secara individual terhadap kinerja ekspor produk perikanan Indonesia.

Kata kunci: Kinerja Ekspor, Daya Saing, Perikanan Indonesia, Mengungkapkan

Keunggulan Kompetitif


ABSTRACT

Indonesia is one of the largest fish producers in the world, but the export value of Indonesian fishery products is still below other countries with smaller fish potencies. To cope with this problem, the government of Indonesia launched a fishery industrialization program in 2012. In that light, question about how the policy affects the trade competitiveness of Indonesian fishery products arises. The research aims to answer this question.

Using Revealed Comparative Advantage (RCA) approach, this research concludes that, during the period of 1990–2016, on average the fishery sector of Indonesia shows a good performance. However, for break down level, there is one commodity that has average RCA value below 1, indicating that this commodity is not competitive. Moreover, there are four out of nine commodities with many RCA values below one in each year during the research period.

In advance, regression analysis shows that the real GDP growth, the real effective exchange rate (REER), the fish price index (FPI), and the industrialization program simultaneously affect the export performance of Indonesian fishery products, as the main contributor for competitiveness in trade sector. Inspite of this, the industrialization program, and also the REER, has no significant impact individually to the export performance of Indonesian fishery products.

Keywords: Export Performance, Competitiveness, Indonesian Fishery, Revealed Competitive Advantage


THE COMPETITIVENESS OF INDONESIAN FISHERY TRADE AND FACTORS AFFECTING THE EXPORT PERFORMANCE OF

INDONESIAN FISHERY PRODUCTS

A. Background

In the aquaculture sector, the potency of aquaculture area in Indonesia is more than 16 million hectares (Ministry of Marine Affairs and Fisheries, 2015a). This sector still has huge opportunities to be developed, since current utilization is less than 10% from its potency. This aquaculture potency, combined with Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing and sustainable fisheries issues in capture fisheries, has the potential to make aquaculture as the backbone of the Indonesian fisheries sector in the future. Several main commodities for Indonesian aquaculture are tilapia, milkfish, catfish, and shrimp.

In accordance with the above potencies, Indonesia is the biggest fish producer in Southeast Asia and one of the main producers in the world. In 2014, Indonesia’s fishery production reached approximately 10.6 million tons, of which inland and marine capture accounted for about 6.4 million tons (second largest in the world) and aquaculture 4.2 million tons (third largest in the world), not including seaweed production that reached about 10 million tons (FAO, 2016).

However, despite of its significant fisheries potencies and production, Indonesia is outside of top ten world largest fisheries exporters. In 2014, total value of Indonesia’s fisheries export reached US$ 4.2 million, only about 3% of world total fisheries export.

To overcome this problem, the Indonesian government, in this case more exactly the Ministry of Marine Affairs and Fisheries (MMAF), has launched an industrialization program in 2012. This program is reinforced with the issuance of the Minister of Marine Affairs and Fisheries Regulation Number 27/MEN/2012 related to the General Guidance of Fisheries Industrialization. The main objective of this program is to encourage the fisheries business units to produce high value-added fisheries products in order that Indonesia could transition its fishery resources advantage into a fishery competitive advantage. In short, the focus of this program is the fisheries processors or the downstream sector, meanwhile the upstream sector, which consists of capture fisheries and aquaculture, plays an important role as the suppliers of raw materials.

To sum up, many countries in the world realize that the fishery sector is very important and offers great opportunities. The competition among fishery exporters will be more severe in the future. Thereby, Indonesia as one of the largest fish producer


in the world should formulate potent strategic efforts in this sector to increase their competitiveness. By doing so, it is expected that this sector could provide an even greater contribution to the economic growth of Indonesia and eventually to the prosperity of its people, as per the stated objective of Law Number 31, Year 2004, which concerns the fisheries sector and as revised under Law Number 45, Year 2009.


The fact that Indonesia is one of the largest fish producers in the world, but with a relatively small fishery export value is an interesting and an ironic fact. The Indonesian government has launched an industrialization program in 2012 as one of strategic ways to overcome this problem. These lead to important questions on the competitiveness of Indonesian fishery products.

The first question is about the competitiveness of Indonesian fishery trade. Further, since fishery trade has a strong relationship with export performance, the next question is about factors affecting the export performance of fisheries sector, particularly for Indonesia case. Finally, another important question is about the industrialization program, whether it has a significant impact or not on the export performance of Indonesian fishery products.

The main purpose of this research is to measure and evaluate the competitiveness of the Indonesian fishery trade, particularly processed fishery products. Topic on trade competitiveness has become popular in recent year, particularly because of globalization and trade openness. One of the most used models in this topic is known as the Revealed Comparative Advantage (RCA).

There are three main reasons why RCA is very popular. First, the index is based on the comparative advantage concept, that is admitted as one of the oldest and most important concepts in economics (Siggel, 2006). Then, it is very simple and easy to calculate with quite easy data to achieve. Lastly, it can be calculated at any degree of disaggregation, or in other words, it can be used for general or specific products (Saboniene, 2009).

Furthermore, the fisheries sector is relatively similar with the agricultural sector where the government often intervenes through import policy. This also occurs in Indonesia where the government has a policy to protect the fishermen and to restrict the imports of some fisheries commodities. Therefore, the use of import data will lead to a bias result.



1. The Competitiveness of Indonesian Fishery Trade

The focus of this research is to measure the competitiveness of the Indonesian fishery trade. To measure the competitiveness using the RCA approach, export value data, both for fisheries and total exports, are needed. Commodity 0306 (crustaceans) has the highest export value. This is not a surprising fact because Indonesian shrimp is famous as one of the best shrimp in the world for decades. Moreover, shrimp in general is well known as a prime product for a long time and regarded as high value commodity (FAO, 2014; Haryotejo, 2013).

On the other hand, commodity 1603 has very low export value compare with other commodities. This commodity is produced from waste of other product such as canned fish. However, many Indonesian companies still not consider it as an important product. Even the waste, particularly from canned fish company, usually only thrown away without any treatment (Rani & Cahyasari, 2015; Setiyono & Yudo, 2008).

In total, the export value of these nine commodities has an increasing trend and reached its highest point in 2014. However, in 2015 the value was decrease significantly. One possible reason of this decline is the shortage of raw material, because during the end of 2014 a moratorium on fishing vessels was put in place which prohibited ex foreign vessels to operate in Indonesia4. The purpose of this moratorium policy is to combat IUU fishing, where it is suspected that there are many fishing vessels that are practicing this irresponsible act of IUU fishing in the Indonesia Fisheries Management Area. The implementation of this regulation had a consequence in the decrease of fish production in the short term, but an increase in fish stock in the long term and thus gives a greater benefit to local and small fishermen thereby.

The research period, on average Indonesia fishery product has a good level performance with RCA value 2.49. Moreover, each year the value always exceeds critical limit of 1, with range between 2.08 to 3.03. In more detail, there are five commodities that have the RCA values relatively stable above 1, namely commodity 0302 (fresh fish), 0303 (frozen fish), 0305 (dried/ smoked fish), 0306 (crustaceans), and 1604 (prepared or preserved fish).

Amongst these commodities, crustacean has the highest RCA value with average value 8.70. The values always exceed 1 during the period, ranging from 5.22 to 18.88. This is in line with the export value, where shrimp is the biggest


contributor for Indonesia’s fishery export. Moreover, Indonesia also considered as one of leading shrimp exporters (FAO, 2017).

However, there is one commodity that has average RCA value less than critical point of 1, which is commodity 1603 (extracts or juice of fish). This also related with the export value where this commodity has very low export value. In advance, there are also four commodities that are not competitive in many years during the period as showed by the RCA values less than 1, including commodity 0304 (fish fillet), 0307 (moluscs), 1603, and 1605 (prepared or preserved of crustaceans, moluscs).

To conclude, in average Indonesia demonstrates competitive and stable performance during the period, compared with the world performance, even though for breakdown level, there are four (out of nine) commodities with RCA values fluctuated from less and above of critical limit. Even, if we compare with top fish exporters countries in 2014, the Indonesian fishery RCA is still above 1, indicating that Indonesia is relatively more competitive than those set of countries. It means, in spite of Indonesia is only in 12 position in fishery exporters list (for year of 2014), it still competitive compared with most of other countries in the world, particularly for commodities 0302, 0303, 0305, 0306, and 1604.

This result raises another question. If Indonesia is relatively competitive, then why the exports value is not in a top performance? In other words, with comparative advantage of abundance of raw material and competitive products, why Indonesia is still out of top ten fishery products exporters?

One possible answer for this interesting question is the composition of Indonesian fishery exports. The majority of Indonesian fishery exports are in the form of whole round frozen fish. Almost 40% of Indonesia’s fishery products exports are in the commodity of 0303, far above other 8 commodities (in volume). Whereas, from the price point of view, this commodity has the lowest average price, compare with other commodities. Moreover this commodity shares similar raw material with other higher price commodities, especially fish fillet (0304) and preserved or prepared fish (1604). Accordingly, Indonesia still can improve its export performance by switching its export commodity into higher price fishery commodities such as fish fillet or canned fish (part of commodity 1604).

2. Factors Affecting the Indonesian Fishery Export Performance

To guarantee that this model is BLUE (Best Linear Unbiased Estimator), the set of data should be tested whether they break the criteria of classical assumptions, namely normality, autocorrelation, heteroscedasticity, and multicollinearity or not.


Using SPSS version 20 and time series data from 1990 to 2016 (27 years), the data set is meet all the assumptions.

At first, the Durbin Watson (DW) value raises a problem of autocorrelation. The value is 1.109, located between DL (1.08) and DU (1.76) for 27 number of observations with 4 independent variables from the DW table (DL < DW < DU). This result cannot give a decision whether the autocorrelation exist or not. However, after running the Runs test, the result shows that the significance value is 0.700, bigger than significance level of 0.05. It means that there is no evidence, statistically, for the existing of autocorrelation.

Meanwhile, for other assumptions, there is no significant problem statistically. The Kolmogorov Smirnov test shows that the data are normal. Likewise, the Glejser test proves that the data are meet the criteria of homoscedasticity. Whilst the VIF values for all independent variables are below 10, indicates there is no multicollinearity between the independent variables.

The stationary test using Dickey Fuller Test also shows that only variable Real GDP growth is stationer, while the other three variables, namely export, REER, and FPI are non-stationer. However, the cointegration test proves that there is long term relationship among the variables. As a result, the original model could be used for the regression analysis.

The adjusted R square value is 0.743. It means that this model could explain 74.3% variance of the export performance and the rest 25.7% is caused by other variables excluded from the model. Moreover, the independent variables simultaneously have a significant effect to the dependent variable, shown by the significance value of F test (19.834), which is above the F table value for df1 = 4 and df2 = 23 (2.80). However, the t test demonstrates that only Real GDP growth and FPI that influence the exports performance individually, whilst the REER and industrialization program are not.

The t test proved that economic condition of the market and the fluctuations of commodity price have a significant impact individually on the export performance. To anticipate these conditions, the government should respond to the demand on Indonesian fishery products, especially from key partner countries. Hence, the government should actively promote fishery products of Indonesia to potential markets and encourage the fishery business units to participate on world trade fairs.


Increase in one unit of Real GDP growth (%) will improve the export performance by 41.732 unit (thousands of ton), ceteris paribus. This supports the theory stated earlier where a country with higher economic condition tends to consume more (Mankiw, 2015). Likewise, the increase of FPI by one unit will rise the export performance by 8.482 units, ceteris paribus, as claimed by research by USDA (2011). Moreover, the implementation of industrialization program causes the exports performance rises by 30.519 units compare with if the program is not implemented, ceteris paribus. On the other hand, the strengthening of REER by one unit will decrease the exports performance by 1.545 units, in line with previous research by Lubis (2010) and Darvas (2012).

In advance, the results also give evidence, statistically, that the industrialization program only improves the exports performance together with other independent variables and the effect is positive. However, the program has no significant impact individually. For this reason, the program still needs an improvement.

Currently, the commodities within the industrialization program are mainly based on species namely tuna, shrimp, pangasius, milkfish, and seaweed, with only one commodity that is not species based, namely boiled fish. This could lead to an inefficient resource allocation where most of the resources are used for low value-added products such as whole round frozen fish, accounting for about 40% of total volume processed fishery products for exports.

For these reasons, the Industrialization program should swift the paradigm from species based commodity to the end product based commodity, such as canned fish, fish fillet, or surimi based products. By doing so, the industrialization program that has main objective to turn the comparative advantage of abundant fish resources into competitive advantage will be more effective and eventually will provide a greater contribution to the prosperity of the Indonesian people.

D. Conclusion

The question about competitiveness of Indonesian fishery products has attracted the attention of fisheries sector stakeholders in Indonesia, particularly after the implementation of industrialization program in 2012. The aim of this research is to answer the questions regarding that matter. Based on the calculations and results the conclusions are:

1. On average from all nine evaluated commodities, during 1990–2016, Indonesia has a competitive advantage for fishery products, which shows by the RCA values that never below 1 from all periods. However, for break down level, there


is one commodity that has average RCA value below 1, which is commodity number 1603. Moreover, for each year analysis, there are four commodities that have low level performance, showed by many RCA values below 1 during the period, which are commodity number 0304 (fish fillet), 0307 (moluscs), 1603 (extracts or juices of fish), and 1605 (prepared or preserved crustaceans, moluscs). In advance, commodities that have a relatively stable and competitive performance during the period are commodity number 0302 (fresh fish), 0303 (frozen fish), 0305 (dried or smoked fish), 0306 (crustaceans) and 1604 (prepared or preserved fish).

2. The Real GDP growth, the Real Effective Exchange Rate, the Fish Price Index, and also the industrialization program simultaneously affecting the export performance of Indonesian fishery products. However for partial analysis, only the real GDP growth and the Fish Price Index those have an individual effect to the exports performance.

3. The industrialization program has no significant effect to the export performance individually; the program only has a simultaneous effect together with other independent variables. Therefore, improvements for this program are still needed in order this important policy could meet its objectives.


ESTIMATING THE EFFECT OF AIR POLLUTION ON HEALTH INSURANCE COVERAGE IN INDONESIA USING INDONESIAN FAMILY LIFE SURVEY

Nama : Dimas Hari Santoso


Tahun Intake : 2015




Universitas : Universitas Padjajaran Bandung-Ritsumeikan University


ABSTRAK

Pertumbuhan yang cepat di Indonesia telah meningkatkan eksternalitas negatif. Kota-kota metropolitan di Indonesia seperti Jakarta dan Tangerang sangat terpapar polusi udara. Polusi udara akan mempengaruhi kondisi kesehatan manusia yang tinggal di dalam area yang terkena dampak. Untuk pulih dari masalah kesehatan, warga perlu mengakses layanan medis. Mengakses layanan medis akan mendorong mereka untuk mengeluarkan lebih banyak pemasukan. Untuk mengurangi masalah pengeluaran medis, rumah tangga mungkin bergantung pada skema asuransi. Studi ini memperkirakan dampak memburuknya kualitas udara pada cakupan asuransi kesehatan di antara rumah tangga di Indonesia menggunakan Survei Kehidupan Keluarga Indonesia.

Temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa ada hubungan negatif antara kenaikan konsentrasi SPM dan cakupan asuransi kesehatan di Indonesia. Ini menyiratkan bahwa, sementara sampel survei mewakili 87% penduduk Indonesia, mereka kebanyakan terdiri dari rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang relatif lebih rendah di antara yang lain dan tinggal di daerah pencemaran. Oleh karena itu, dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah, mereka akan memiliki lebih sedikit kemungkinan untuk terdaftar dalam asuransi kesehatan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu membuat program manfaat kesehatan khusus yang terkait dengan polusi udara, menargetkan orang miskin yang tinggal di daerah yang tercemar.

Kata kunci: Industrialisasi, Eksternalitas, Partikulat Materi Tertangguhkan (SPM),

Pengeluaran Perawatan Kesehatan


ABSTRACT

Rapid growth in Indonesia has promoted negative externalities. Metropolitan cities in Indonesia such as Jakarta and Tangerang are highly exposed by air pollution. Air pollution will affect human health condition who lives inside the affected areas. To recover from health problem, citizen needs to access medical services. Accessing medical services will push them to expend more income. To mitigate the medical expenditure problems, household may rely on insurance scheme. This study estimates the impact of the deterioration of air quality on the coverage of health insurance among household in Indonesia using Indonesian Family Life Surveys.

The main finding of this study is that there is a negative relationship between the rise of SPM concentration and the coverage of health insurance in Indonesia. This implies that, while the sample of the surveys represented 87% of Indonesian population, they mostly contain household with relatively lower level of income among the others and live within a pollutes areas. Therefore, with lower level of income, they will have less possibility to be enrolled in health insurance. To cope with this problem, the government need to create a specifically designated health benefit program related to air pollution, targeting the poor people who live in the polluted area.

Keywords: Industrialization, Externalities, Suspended Particulate Matter (SPM), Health Care Expenditure


ESTIMATING THE EFFECT OF AIR POLLUTION ON HEALTH INSURANCE COVERAGE IN INDONESIA USING INDONESIAN

FAMILY LIFE SURVEY

A. Background

In the past 20 years, since the Asian economic shock of 1997, Indonesia has transformed into one of the emerging developing countries in Asia. Globalization and industrialization had already changed the face of the Indonesian economy. Industrial transformation shifted the relative contribution away from natural-based sectors, such as agriculture and forestry, into industrial sectors. Similar to the productive trend before the economic crises, industrialization now continues to grow, especially the secondary sectors such as manufacturing, constructing, and services. This fast growth, overall, has been noted along with high and rapid economic growth, around 5% during the period between 2000–2014, based on the official release by Statistics Indonesia.

The growth does not always offer a positive outcome, yet also creates externalities. The most notable negative environmental externalities are air pollution. There are three possible roots for air pollution problems that exist in Indonesia. The first one is industrial sector pollutants. Industrialization is mainly correlated with the rise of the manufacturing sector. The expansion of the manufacturing sector has boosted both the number of factories as well as the scale of production. The larger number of industrial plants has intensified the environmental externalities. Factories send out pollutants into the surrounding environment, creating pollution problems in the water and in the air. The second aspect that promotes air pollution issues includes unplanned urbanization and rapid population growth. The urban population boom and the rise of the middle-class has contributed to the increase of carbon monoxide (CO) emissions and suspended particulate matter (SPM) pollution generated from household activities and the increasing number of owned vehicles. Moreover, person-to-person and water-borne pathogens are more easily transmitted in high density populated areas (Federman & Levine, 2007). The final problem is forest-fires due to land conversion in several of the provinces with high plantation areas.

As we can see from the framework above, air pollution problems have resulted in deleterious consequences such as health problems for society, economic losses for the country, and damage to the environment. In general, all these problems can hinder the development process and interfere with the pursuit of sustainable development goals (Resosudarmo et al., 2000). More effective and environmentally friendly policies that control the negative externalities have been taken by the government to overcome the issue. Law Number 32/2009 concerning Environmental Management and Protection


(EMA 32/2009) has already proposed several initiatives to appropriately address the environmental protection issue, such as the obligation of local government to put environmentally economic instruments into their development planning and environmental taxes and subsidies (Republic of Indonesia, 2009).

In line with the effort to minimize the economic shock due to air pollution, it is incumbent upon the central government to work to improve the health and life quality of their citizens. It is widely known that air pollution substantially affects human health. Several chronic diseases caused by air pollution include cardiovascular and respiratory problems, birth defects, and several other detrimental effects that increase the morbidity and mortality rate (Fotourehchi, 2016). Thus, people with bad health conditions are unable to work optimally, effectively, and productively. In turn, it will affect their welfare, since with low productivity they will have a higher possibility to lose their jobs, lower chances to gain more income, while at the same time must spend extra money for medical purposes.

To cope with the rise of medical expenditure and health problems, people may choose to use health insurance programs. By using health insurance, people will get the benefits from the low costs that arise when they access medical services since the financial risk was shared among the members of the health insurance scheme. Therefore, health insurance seems to be appropriate to handle the financial problem that may be incurred due to health crises when environmental degradation occurs. Moreover, people can take the advantages from health insurance to get several medical services, for instance vaccinations, general medical check-ups, and medicines, to prevent any possible health effect that may emerge from the effects of air pollution.

The problem is whether they are willing to spend their money in advance for such elective expenses to prevent any possible damage from air pollution, while for most Indonesian people, their income is barely sufficient for their daily needs. Most of them might not be aware enough of environmental problems due to the lack of information shared among the others regarding this issues. They tend to wait and use their money directly to access medical services after they are exposed to air pollution and become sick. Since people may be unaware of the effects of air pollution on their health, they often underrate the importance of reducing the air pollution and mitigating its serious effect on human health.

B. Research Questions

Based on the problems stated above, this study will try to answer three research questions below:


1. How do Indonesian households respond to air pollution problems concerning their health condition?

2. Does the air pollution in Indonesia affect health insurance coverage among households?

3. What are other factors which might affect the coverage of health insurance among households in Indonesia?

This research mainly uses micro data from the Indonesia Family Life Survey (IFLS) dataset, an Indonesian household survey conducted by RAND corporation. IFLS is a longitudinal survey, with total household samples reached at more than 7,000, claimed to be a representative of around 83% of the Indonesian population, and includes 30,000 individuals who live in 13 provinces3 in Indonesia. Since firstly held in 1993 (IFLS1), RAND4 has already conducted the survey five times in the last two decades. The latest survey (IFLS5) was conducted in 2014.

This study expects that an increase in household income and deterioration of household health condition will increase the probability or odds ratio of households covered by health insurance. As stated before, the higher class of households (showed by income and household housing characteristics) have more ability to access health insurance schemes. A higher consumption level of cigarettes and alcohol are likely to lower household member`s health condition altogether with SPM emission, therefore shall positively increase the insurance enrolment along with general health condition (DUMDISit) and the medical care utilization (outpatient and inpatient). Urban households are likely to get more information and access to health insurance schemes, therefore will positively impact the health insurance coverage.


1. Descriptive Analysis

In Indonesia, health insurance can be divided into many types. Basically, there are two types of health insurance that exists: commercial and social health insurance. Social health insurance is formally provided by the government and mainly held by civil servants and the poor as part of a social safety net program. On the other hand, a commercial health insurance is provided by a private insurance company or private household workplace in the form of a reimbursement scheme. The type of each health insurance service also varies. While one provides a benefit for the insurance holder that can be used to access any designated medical services, the other provides a reimbursement or free private medical services.


In the early 1990s, the coverage of health insurance was still very low. Only around 20% of the total household samples of the first survey were the beneficiaries of the insurance scheme, while the other 80% were uninsured. In 1997, insurance beneficiary’s percentage declined more than 5% for the last four years and was likely to continue for the next three years when it reached 15.06% in the year 2000. These decreasing trends are believed to be a result of the effect of the Asian Economic Crises that severely impacted Indonesia’s economy at that time.

Entering the new millennium, the government improved their two-social health benefit schemes, ASKES, and JAMSOSTEK, by opening access of the ASKES health insurance scheme, that was formerly specified only for civil servants and armed forces, to the private sector. An immediate impact can be seen in the table where the coverage of health insurance is doubled in year of 2007 compared to its previous condition in 2000. This increase has been continuing until 2014, reaching its peak at 47.93%. Another reason why insurance coverage has been growing rapidly in recent years is the social safety nets program.

The average income devided in two groups of households: one with health insurance coverage and another one without health insurance coverage. During all five periods, the households with insurance coverage have a higher average income compared to those without health insurance. Moreover, for the last 20 years, the gap of the average income between uninsured households and insured households is getting bigger. This fact indicates that, even though the proportion of insured households has been increasing, the gap of the ability to access health insurance has been getting higher. Poor people therefore have lower probability to access health insurance. This fact is important to interpret the estimation result in the next chapter.

2. Discussion

The negative relationship between health insurance and Suspended Particulate Matter from the estimation result above cannot be explained directly. To reveal the hidden linkage between the main explanatory variable and insurance coverage, we observe the connection between SPM pollution and the total household income by using the Environmental Kuznets Curve hypothesis. From descriptive analysis, we have already acknowledged that Indonesian households which are covered by health insurance are those who earn higher incomes. Thus, it can be interpreted that the greater the income a household is, the greater the possibility to be covered by an insurance scheme.


The total income of a household will represent their consumption preference, therefore reflecting their preference for an insurance program. The Environmental Kuznets Curve will give a different perspective on environmental quality and household income. To check the hypothesis, a simple quadratic equation (3) below was used for a panel data analysis with the same samples as mentioned.

SPMit = 0 + 1INC2it + 2INCit + ui + it (3)

The coefficients (1, 2) were estimated using conditional the fixed effects estimation method. The result provides five different estimation results from five periods of year, as well as one panel data estimation. The row labelled ‘EKC’ implies whether the coefficient signs of each model show the inverted-U shape. From the result below, all five models indicate a support to the Environmental Kuznets Curve hypothesis. Even though, there are two models that are not statistically significant (2000 and 2007).

This means that if we check the inverted-U hypothesis using cross sectional data, household behavior related with their income level and SPM concentration partly supports this theory. A less income level household are those who live in the relatively less polluted area. This criterion is suitable for the rural citizen who lives in the countryside of Indonesia. The middle class, usually workers, live near the center of economic activities where the pollution level is higher than rural areas. Lastly, the rich are those who demand a better standard of living and get more information related to air pollution and are more aware of the environment.

To explain more about the negative relationship between SPM and insurance coverage, we must point out the result of the EKC model using panel data. From the table above, the result did not support the EKC hypothesis. The relationship between income and SPM pollution using panel data can be clearly. The relationship creates a U curve, contradicting with the EKC hypothesis. To discuss in detail, we need to divide households into two different groups. Firstly are those who earned an income below the mid-point (left side group). This group of households is the majority of samples for the analysis. Secondly is the right-side group, the rich households. Each group observation would lead to a different conclusion that the first group shows a negative slope of the curve, while, the second group shows positive slope. The rich group, as we have already discussed before, will have a higher possibility to be covered by an insurance scheme. The result from the EKC model supports this finding. The higher income level of a household is, the higher SPM pollution level is. To anticipate any possible threat from air pollution, the rich people may be aware of the benefits of health insurance schemes.


Next we shift to the discussion of the lower income level. Most of the samples are clustered on the left side of the curve. It is indicated that most household samples are those who are relatively ‘poor’ compared to the first group. The poor are those who live with income levels under the poverty line. These households mainly utilize their income to support their daily needs, such as foods consumption, transportation, housing rent, etc.

From the EKC model, it shows that the poorer the household is, the SPM concentration tends to be higher. These poor people are, unfortunately, stuck in the condition where their environment is seriously polluted by air pollution, while at the same time they are struggling with the poverty where they can afford neither any high medical expenses nor a health insurance. Since most household samples belong to this group, the result confirms the negative sign of the SPM coefficient. To sum up, more intensive SPM pollution tends to decrease the possibility of the household to gain any benefits or to be covered by health insurance because most of the households are those who live near to the poverty line. Their low income disabled them from claiming any benefits from a health insurance scheme.

D. Conclusions

Indonesia has been experiencing fast and rapid economic growth for the last 20 years. Industrialization started to change the Indonesian economy since the middle of the 1990’s. Industrialization in the developing world, including in Indonesia, brings a negative externality. Smoke from factories, automobiles, and forest fires are three main sources of air pollution problems in Indonesia. To estimate the impact of the environmental problem on the household welfare, we used an econometric model with a conditional fixed effect and a random effect and several datasets of Indonesian Family Life Surveys (IFLS) and air quality reports from the Indonesian meteorological agency. The model mainly investigates the relationship between Suspended Particulate Matter (SPM) concentration and the coverage of health insurance among Indonesian household. The econometric model also includes several control variables based on previous studies, such as household income, household health condition, and household living characteristics.

From a descriptive analysis, we got the notion that a higher income level will boost the possibility of a household to be covered by an insurance scheme. This fact is derived from the average income level of the insured household being higher than the average income level of an uninsured household. The estimated result shows that the SPM pollution has statistically significant and negative effects on the insurance scheme. This result seems to contradict the first hypothesis. Using the Environmental Kuznets Curve


hypothesis, the negative relationship between SPM pollution and insurance coverage was clarified by the household income level.

The rich group shows positive slope of the relationship between income and environmental degradation. This does not mean that a higher income will boost the SPM pollution. A reason for the positive relation is that the rich groups usually live in metropolitan areas where the air pollution level is worse than rural areas. It may also be interpreted that the rich household does not have any worries about the potential threat of the air pollution, because they have resources to cure any medical problems derived from air pollution. The behavior of underestimating the potential risk due to the control power of resources is well known as a moral hazard (Harvey & Gayer, 2013).

The poor group`s behavior explained the negative relationship between SPM pollution and health insurance schemes. From the environmental Kuznets curve model, SPM pollution is negatively correlated with household income, implying that the poorer household usually lives in a region with a higher SPM concentration. Therefore, the poor not only suffer from their economic and social disability, but are also endangered by the health threat of the air pollution. Since they have less income, the possibility to be enrolled in an insurance scheme is lower. This will be a source of the negative coefficient found in the estimated result.

We can also conclude that several other factors are also affecting the insurance coverage. These factors include the total household income, inpatient, and outpatient utilization as the household health status indicators, and residential area as well as housing status as the household living characteristics. The income level of a household is positively affecting the insurance coverage among the household. The higher the income level is, the higher the possibility to be covered by an insurance scheme. The outpatient and inpatient care is positively correlated with health insurance coverage. It can be interpreted that the utilization of health care services may increase the possibility of household to enter an insurance program. Lastly, the urban household shows a higher possibility to be covered by health insurance rather than those who live in the rural areas. This implies that the urban household has a higher level of income, while they also have easier access to the information regarding health insurance.

E. Policy Recommendations

In the near future, the Indonesian government is expecting rapid and sustainable growth. By this means, Indonesian citizens will continue to be exposed to the negative effects of industrialization. In theory, negative externalities may reduce if the Indonesian government starts to introduce technological advancement by applying a green business approach in their economy. The implementation of environmental


management acts (EMA 32/2009) doesn’t immediately support the environmental protection. While the rate of pollution is still very high, the poor, which is still dominate Indonesian households, will continue to feel the bad effect of air pollution. On the other hand, the rich group, seems to depict a moral hazard behavior by letting the risk of air pollution endangered their health condition. Therefore, based on this result, I proposed three policy recommendations, mainly targeting the Indonesian government, while also hopefully can be taken as positive input for private sectors, households, or any individuals. The three recommendations are:

1. It is important for the government to build a better legal framework for the implementation of the EMA (Environmental Management Acts) 32/2009 in the specific subsectors. For example, to manage the pollutant emissions from automobiles, the government may put a higher charge on the automobile owner based on the carbon emission test of his vehicles.

2. To help the poor from a serious effect of air pollution emissions, it is necessary to formulate a special scheme that helps the poor to access health services to cure any possible threat from air pollution. This scheme can be formulated as an additional feature of Indonesian National Health Insurance program that started in 2014. The special features will be applicable to those who have been exposed to a certain level of air pollution and respiratory diseases.

3. Another program that is useful for the poor is a free air pollution medical check-up provided by the government. The government can utilize an existing public medical care network that plays an important part to provide this program throughout the country. The medical check-up examines the health condition of air pollution related organs, such as respiratory and cardiovascular. Based on the result of this medical check-up, the recipients may use it as a prevention before they got sick and spend an extra amount of money for treatment or insurance.

4. To handle the moral hazard among the citizens, the government needs to introduce a form of environmental education. The goal of the program is to teach the citizens about the importance of better living conditions, as well as any other preventative actions, such as insurance enrolment. This program may be prepared as public services advertising, public consultation, or included in the basic education curriculum.

5. This study utilized an unbalanced panel dataset due to the limitation of SPM data. Therefore, it is highly appreciated if the government could optimize the


number and distribution of air quality monitoring stations to maintain the provision of air pollution data.

As all of these programs will mainly be formulated as government programs, it is nevertheless very important to be supported by all levels of society.

PENGARUH BELANJA DAERAH FUNGSI PENDIDIKAN, KESEHATAN, DAN PERLINDUNGAN SOSIAL TERHADAP KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA BARAT

Nama : Fauzan Hadi

Instansi : Pemkot Cimahi

Tahun Intake : 2016






ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis pengaruh belanja daerah fungsi pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial terhadap kemiskinan di Provinsi Jawa Barat periode tahun 2007–2015; (2) menganalisis pengaruh PDRB per kapita, tingkat pengangguran, pertumbuhan penduduk, dan jumlah peserta KB terhadap kemiskinan di Provinsi Jawa Barat periode tahun 2007–2015.

Untuk menjelaskan belanja daerah fungsi pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial digunakan variabel rasio belanja terhadap total belanja pada satu tahun anggaran. Variabel jumlah peserta KB merupakan variabel kontrol dari pertumbuhan penduduk untuk melihat apakah variabel tersebut turut memengaruhi kemiskinan, dan variabel kemiskinan dijelaskan oleh persentase penduduk miskin.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Model analisis kuantitatif yang digunakan adalah model analisis ekonometrika dengan menggunakan data panel 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat periode tahun 2007–2015. Secara spesifik, penelitian ini menggunakan model fixed effect dengan metode Pooled EGLS (cross-section weight).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel rasio belanja daerah fungsi pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap persentase penduduk miskin. Variabel PDRB per kapita juga mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap persentase penduduk miskin. Sementara variabel tingkat pengangguran dan pertumbuhan penduduk mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap persentase penduduk miskin. Untuk variabel jumlah peserta KB tidak berpengaruh terhadap persentase penduduk miskin.

Kata kunci: Rasio Belanja Daerah, PDRB Per Kapita, Tingkat Pengangguran, Pertumbuhan Penduduk, Jumlah Peserta Kb, Dan Persentase Penduduk Miskin


ABSTRACT

This study aims to (1) analyze the influence of government expenditure function on education, health and social protection against poverty in West Java province year period from 2007 to 2015, (2) analyze the influence of the GDP per capita, unemployment rate, population growth and the number of KB participants against poverty in West Java province year period 2007–2015. To explain the function of government expenditure on education, health and social protection are used variable expenditure ratio of total expenditures in a budget year. A variable number of KB participants is a control variable of population growth to see whether these variables also influence poverty. While poverty variable is explained by the head count index. The analysis used in this study is through a quantitative approach. quantitative analysis model used is a model econometric analysis using panel data of 26 regencies/cities in West Java province year period 2007–2015. Specifically, this study used the fixed effect model with EGLS Pooled method (cross-section weight). The results showed that the ratio of variable functions government expenditure on education, health and social protection have a negative and significant effect on the head count index. For the GDP per capita variable also has a negative influence and significant percentage of poor people. While variable rate of unemployment and population growth have a positive and significant effect on the head count index. For a variable number of KB participants did not affect the head count index.

Keywords: Ratio of Public Expenditures, The GDP Per Capita, Unemployment Rate, Population Growth, The Number of Family Planning Acceptors, and The Head Count Index


PENGARUH BELANJA DAERAH FUNGSI PENDIDIKAN, KESEHATAN, DAN PERLINDUNGAN SOSIAL TERHADAP

KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA BARAT

A. Latar Belakang

Salah satu ukuran kemiskinan di Indonesia adalah tingkat persentase jumlah penduduk miskin terhadap total penduduk. Data penduduk di Provinsi Jawa Barat tahun 2015 menyebutkan bahwa jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan daerah perdesaan adalah sebesar 1,78 juta jiwa dengan tingkat persentase kemiskinan sebesar 11,61%. Ini masih lebih baik dari rata-rata nasional, yaitu 14,09%. Adapun jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan daerah perkotaan di Provinsi Jawa Barat Tahun 2015 adalah sebesar 2,71 juta jiwa dengan tingkat kemiskinan sebesar 8,58%. Ini berada di bawah rata-rata nasional, yaitu 8,22%.

Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan kemampuan keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan Provinsi lain di Indonesia. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu Provinsi dengan total belanja terbesar di Indonesia setelah DKI Jakarta. Sejak tahun 2007–2015, dengan total belanja yang besar, Provinsi Jawa Barat selalu melakukan penambahan anggaran belanja daerah fungsi pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial setiap tahunnya. PDRB per kapita Provinsi Jawa Barat tahun 2007–2015 juga selalu mengalami kenaikan tiap tahunnya. Namun, masalah ketenagakerjaan dan kemiskinan di Provinsi Jawa Barat belum teratasi dengan baik. Oleh karena itu, Provinsi Jawa Barat memiliki “pekerjaan rumah” dalam memperbaiki pengelolaan keuangan daerah yang dimiliki untuk mengentaskan kemiskinan di Provinsi Jawa Barat.

Latar belakang ini yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Belanja Daerah Fungsi Pendidikan, Kesehatan, dan Perlindungan Sosial terhadap Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat”.


Pelaksanaan otonomi daerah dengan fokus tujuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan yang lebih ditekankan pada pemerintah daerah sangat menarik untuk dikaji. Sebagai provinsi dengan kemampuan keuangan yang baik, Jawa Barat dituntut untuk mengeluarkan kebijakan pengeluaran untuk menekan angka kemiskinan.

Dengan menggunakan anggaran belanja daerah untuk fungsi pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial sebagai variabel independen, serta dengan memperhatikan


PDRB per kapita, tingkat pengangguran, tingkat pertumbuhan penduduk, dan jumlah peserta KB sebagai variabel kontrol untuk pertumbuhan penduduk, pengaruh variabel tersebut terhadap kemiskinan di Provinsi Jawa Barat dapat diketahui. Oleh karena itu, permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana pengaruh belanja daerah fungsi pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial terhadap kemiskinan di Provinsi Jawa Barat?

2. Bagaimana pengaruh variabel PDRB per kapita, tingkat pengangguran, pertumbuhan penduduk, serta jumlah peserta KB terhadap kemiskinan di Provinsi Jawa Barat?

Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis merumuskan permasalahan berikut, “Bagaimanakah Pengaruh Belanja Daerah Fungsi Pendidikan, Kesehatan, dan Perlindungan Sosial terhadap Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat?”

Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah dalam bentuk rasio belanja daerah fungsi pendidikan, fungsi kesehatan, dan fungsi perlindungan sosial, PDRB per kapita, tingkat pengangguran, pertumbuhan penduduk, serta jumlah peserta KB, di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dari tahun 2007–2015 yang merupakan variabel eksogen, sedangkan persentase penduduk miskin merupakan variabel endogen.

Unit analisis penelitian ini meliputi 26 dari 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, kecuali Kabupaten Pangandaran yang mengalami pemekaran setelah tahun 2007 karena model yang akan dibangun adalah model data panel seimbang.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan deskriptif dan kuantitatif. Tujuan penggunaan metode ini adalah memberikan gambaran, mengkaji, dan menguji keberadaan teori secara empirik dari variabel-variabel yang telah diformulasikan dalam hipotesis. Selanjutnya, pengaruh atau hubungan antara beberapa variabel berdasarkan data empirik dengan metode explanatory research akan dianalisis.

Teknik analisis yang digunakan adalah panel data regression model (Pooled EGLS (cross section weight)). Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data panel (pooled data) yang merupakan gabungan antara data runtut waktu (time series) dan data silang tempat (cross-section) 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007–2015.

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang berbentuk data panel (pooled data) 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat selama 9 tahun, yaitu dari


tahun 2007 sampai dengan tahun 2015. Data diperoleh dari Data Realisasi Anggaran Tahunan dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Daerah (DJPK) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Data Pertumbuhan Penduduk di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Data Kemiskinan dan Pengangguran dari World Bank dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, data PDRB dari Badan Pusat Statistika Jawa Barat, serta data penunjang lain yang terkait dengan kondisi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dari Bappeda Provinsi Jawa Barat, Badan Pengelola Keuangan dan Anggaran Provinsi Jawa Barat, Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi Jawa Barat, serta Balai Pelayanan Evaluasi dan Pemantauan, Pelaporan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat.

Penelitian ini membatasi pembuktian analisis dari variabel rasio belanja daerah fungsi pendidikan, rasio belanja daerah fungsi kesehatan serta rasio belanja daerah fungsi perlindungan sosial, PDRB per kapita, tingkat pengangguran, pertumbuhan penduduk, dan jumlah peserta KB terhadap persentase penduduk miskin pada 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.


1. Pengaruh Belanja Fungsi Pendidikan terhadap Persentase Penduduk Miskin

Sebagaimana telah diungkapkan oleh Keynes dengan teori multiplier-nya bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah akan menimbulkan tambahan pendapatan masyarakat, dan pertambahan pendapatan masyarakat tersebut akan memperbesar kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, serta menciptakan pertambahan baru dalam pendapatan masyarakat dan nasional. Dengan kata lain, pengeluaran pemerintah berupa belanja daerah akan memengaruhi peningkatan pendapatan masyarakat dan mengurangi tingkat kemiskinan.

Pemerintah daerah setiap tahunnya berusaha untuk meningkatkan anggaran belanjanya untuk memfasilitasi berbagai aktivitas peningkatan perekonomian. Salah satunya adalah menyediakan fasilitas publik yang baik untuk pendidikan sehingga masyarakat dapat menikmati fasilitas pendidikan yang terjangkau dan merata. Hal ini karena salah satu faktor pengurangan kemiskinan adalah kemampuan memperoleh pendapatan yang bergantung pada tingkat pendidikan. Jadi, peningkatan belanja daerah, khususnya fungsi pendidikan diharapkan memberikan kontribusi yang negatif terhadap kemiskinan.

Peningkatan 1% dari rasio belanja daerah fungsi pendidikan akan mengurangi persentase penduduk miskin sebesar 0,084% (ceteris paribus). Hal ini menunjukkan


kesesuaian terhadap hipotesis bahwa belanja daerah fungsi pendidikan mempunyai pengaruh negatif/dapat mengurangi persentase penduduk miskin dengan derajat signifikansi 1%.

Hasil penelitian ini selain didukung oleh teori, juga didukung oleh beberapa hasil studi empiris yang dilakukan oleh Todd Behr, dkk (2004). Ia menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah bidang pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan. Ini artinya pengeluaran yang lebih besar terhadap pendidikan akan menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan. Pengeluaran pendidikan yang lebih besar akan berkontribusi terhadap pemerataan pendidikan dan pemerataan pendapatan. Agus Salim (2005) menyimpulkan pengeluaran pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat ketimpangan. Tejo Birowo (2011) menyebutkan bahwa sebelum reformasi anggaran, pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan mengalami hubungan negatif yang signifikan dengan tingkat kemiskinan. Pengeluaran dalam pendidikan adalah satu-satunya pengeluaran yang dimiliki hubungan negatif yang stabil dengan tingkat kemiskinan.

2. Pengaruh Belanja Daerah Fungsi Kesehatan terhadap Persentase Penduduk Miskin

Seperti halnya pendidikan, bidang kesehatan merupakan hal yang penting. Hubungan pendidikan dan kesehatan sangat erat karena keduanya merupakan bentuk modal manusia. Pembangunan manusia seutuhnya tidak hanya melengkapinya dengan pendidikan, pekerjaan, tetapi juga tercapainya kesempatan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk. Untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, pemerintah berusaha melakukan upaya-upaya yang bersifat kuratif, rehabilitatif, promotif dan preventif secara sektoral maupun lintas sektoral dengan melibatkan peran serta masyarakat secara maksimal.

Berbagai upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan juga terus dipacu, sehingga masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah dan merata, yaitu membangun berbagai fasilitas kesehatan, seperti Puskesmas, klinik, rumah sakit serta fasilitas air bersih. Jadi peningkatan belanja daerah fungsi kesehatan diharapkan memberikan kontribusi yang negatif terhadap kemiskinan sebagaimana halnya pendidikan.

Adanya peningkatan 1% dari rasio belanja daerah fungsi kesehatan akan mengurangi persentase penduduk miskin sebesar 0,074% (ceteris paribus). Ini menunjukkan adanya kesesuaian terhadap hipotesis bahwa rasio belanja daerah fungsi kesehatan mempunyai pengaruh negatif/dapat mengurangi persentase penduduk miskin, dengan derajat signifikansi 5.


Hasil penelitian ini selain didukung oleh teori juga didukung oleh hasil studi empiris yang dilakukan oleh Agus Salim (2005) yang menyimpulkan pengeluaran pemerintah bidang kesehatan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap semua ukuran kemiskinan.

3. Pengaruh Belanja Daerah Fungsi Perlindungan Sosial terhadap Persentase Penduduk Miskin

Peningkatan 1% dari rasio belanja daerah fungsi perlindungan sosial akan mengurangi persentase penduduk miskin sebesar 0,212% (ceteris paribus). Ini menunjukkan adanya kesesuaian terhadap hipotesis bahwa rasio belanja daerah fungsi kesehatan mempunyai pengaruh negatif/dapat mengurangi persentase penduduk miskin, dengan derajat signifikansi 10%.

Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat telah mengalokasikan belanja daerah fungsi perlindungan sosialnya dengan baik, sehingga memberikan dampak yang signifikan terhadap pengurangan kemiskinan di daerahnya. Keberhasilan ini tidak lepas dengan adanya keberpihakan dalam pelaksanaan program perlindungan sosial terhadap masyarakat yang kurang mampu, pendataan sasaran program yang tepat dan pelaksanaan program yang sejalan dengan landasan perlindungan sosial yang mencakup empat pokok hal penting, yaitu (1) jaminan akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial pokok lainnya; (2) jaminan keamanan pendapatan dasar bagi anak-anak dengan tujuan memfasilitasi akses terhadap nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan-kebutuhan penting lainnya; (3) jaminan keamanan pendapatan untuk penduduk usia aktif yang tidak mampu memperoleh pendapatan yang diperlukan; serta (4) jaminan keamanan pendapatan untuk penduduk berusia lanjut, sehingga secara jangka pendek dan jangka panjang membantu masyarakat meningkatkan taraf hidupnya.

4. Pengaruh PDRB Per Kapita terhadap Persentase Penduduk Miskin

PDRB per kapita merupakan salah satu acuan untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi PDRB per kapita suatu daerah, semakin baik tingkat perekonomian daerah tersebut. PDRB per kapita juga dapat dijadikan indikator untuk mengetahui tingkat perekonomian suatu daerah dalam lingkup makro, terutama kemampuan daerah dalam menghasilkan produk domestik barang dan jasa, sehingga tingkat perkembangan PDRB per kapita yang dicapai masyarakat sering dijadikan sebagai ukuran kesuksesan suatu daerah dalam mencapai cita-cita untuk menciptakan pembangunan ekonomi.


Adanya peningkatan 1 juta rupiah dari PDRB per kapita akan mengurangi persentase penduduk miskin sebesar 0,062% (ceteris paribus). Ini menunjukkan adanya kesesuaian terhadap hipotesis bahwa PDRB per kapita mempunyai pengaruh negatif/dapat mengurangi persentase penduduk miskin, dengan derajat signifikansi 1 %.

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil studi empiris yang dilakukan oleh Tejo Birowo (2011) yang menyimpulkan pertumbuhan ekonomi merupakan variabel kontrol yang memiliki hubungan negatif yang kuat dengan tingkat kemiskinan. Demikian juga, penelitian yang dilakukan Siti Walida, dkk. (2015) yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung berpengaruh negatif terhadap kemiskinan melalui pengangguran.

5. Pengaruh Tingkat Pengangguran terhadap Persentase Penduduk Miskin

Pengangguran merupakan masalah yang sering dihadapi oleh suatu negara. Pada keadaan yang ideal, besarnya kesempatan kerja sama dengan besarnya angkatan kerja, sehingga semua angkatan kerja akan mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi, pada kenyataannya keadaan tersebut sulit untuk dicapai. Kesempatan kerja lebih kecil daripada angkatan kerja sehingga tidak semua angkatan kerja akan mendapatkan pekerjaan dan memunculkan pengangguran.

Adanya peningkatan 1% dari tingkat pengangguran akan meningkatkan persentase penduduk miskin sebesar 1,139% (ceteris paribus). Ini menunjukkan adanya kesesuaian terhadap hipotesis bahwa tingkat pengangguran mempunyai pengaruh positif/dapat meningkatkan persentase penduduk miskin, dengan derajat signifikansi 1%.

Hasil ini juga sesuai dengan hasil penelitian Todd Behr (2004) yang menyebutkan bahwa pada negara dengan tingkat pengangguran tinggi, persentase penduduk usia tuanya tinggi dan persentase kepala keluarga wanitanya juga tinggi sehingga menyebabkan tingkat kemiskinan yang tinggi juga.

6. Pengaruh Pertumbuhan Penduduk terhadap Persentase Penduduk Miskin

Usaha untuk mengurangi tingkat kemiskinan tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam berbagai fungsi anggaran, tetapi juga dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk. Besarnya jumlah penduduk sering menjadi beban dalam proses pembangunan jika kualitasnya


kurang baik. Selain itu, jumlah penduduk yang besar juga akan berdampak pada penyediaan infrastruktur dan fasilitas pelayanan yang lebih besar. Ketika persentase belanja daerah lebih besar dari laju pertumbuhan penduduk (ceteris paribus), pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan kemiskinan akan berkurang. Sebaliknya, laju pertumbuhan penduduk yang lebih besar daripada tingkat belanja daerah dapat menyebabkan permasalahan bagi pemerintah dalam mengurangi tingkat kemiskinan.

Adanya peningkatan 1% dari pertumbuhan penduduk akan menambah persentase penduduk miskin sebesar 0,047% (ceteris paribus). Ini menunjukkan adanya kesesuaian terhadap hipotesis bahwa pertumbuhan penduduk mempunyai pengaruh positif/dapat meningkatkan persentase penduduk miskin, dengan derajat signifikansi 5%.

Hasil ini didukung juga oleh hasil penelitian Tejo Birowo (2011) yang menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk merupakan variabel kontrol yang memiliki hubungan negatif yang kuat dengan tingkat kemiskinan

7. Pengaruh Jumlah Peserta KB terhadap Persentase Penduduk Miskin

Hal ini menunjukkan bahwa program keluarga berencana yang telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat belum berhasil dan memberikan pengaruh yang besar dalam mengurangi persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Barat. Ini juga dapat dilihat dari perkembangan rata-rata jumlah peserta KB di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat sejak 2007–2015 selalu mengalami fluktuasi, dan hal ini menandakan bahwa program KB di Provinsi Jawa Barat belum berjalan dengan baik.

Pertumbuhan penduduk di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat lebih dipengaruhi oleh perpindahan penduduk dari perdesaan menuju perkotaan yang semakin pesat sehingga menimbulkan masalah urbanisasi, yaitu tingginya angka pengangguran di perkotaan sehingga menimbulkan masalah kemiskinan, terutama di wilayah Kota.

Hal ini sejalan dengan kondisi persentase penduduk miskin di kabupaten/kota di Jawa Barat pada Tahun 2007–2015 bahwa dari 9 Kota yang ada di Provinsi Jawa Barat, terdapat 5 kota yang belum berhasil mengurangi persentase penduduk miskin, yaitu Cirebon, Sukabumi, Bandung, dan Tasikmalaya dengan peningkatan persentase penduduk miskin yang cukup signifikan, sedangkan Bekasi merupakan kota dengan peningkatan persentase penduduk miskin yang paling rendah. Adapun Bogor, Cimahi, Banjar, dan Depok berhasil menurunkan persentase penduduk miskin.


D. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Besaran rasio belanja daerah fungsi pendidikan berpengaruh terhadap penurunan jumlah persentase penduduk miskin di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Ini menunjukkan setiap peningkatan rasio belanja daerah fungsi pendidikan terhadap total belanja daerah yang lebih besar dapat memberikan kontribusi terhadap pemerataan pendidikan, menciptakan sumber daya manusia yang lebih produktif. Dengan demikian, masyarakat lebih mudah diterima oleh dunia usaha dan pada akhirnya memberikan tambahan pendapatan masyarakat. Pertambahan pendapatan masyarakat tersebut akan memperbesar kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, yang selanjutnya akan mengurangi persentase kemiskinan di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

2. Besaran rasio belanja daerah fungsi kesehatan berpengaruh terhadap penurunan jumlah persentase penduduk miskin di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Rasio belanja daerah untuk menjalankan fungsi kesehatan yang lebih besar akan berkontribusi terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat, meningkatkan produktivitas para pekerja, yang selanjutnya akan menambah pendapatan masyarakat dan mengurangi persentase jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

3. Besaran rasio belanja daerah fungsi perlindungan sosial berpengaruh terhadap penurunan jumlah persentase penduduk miskin di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Hal ini menunjukkan setiap rasio belanja daerah fungsi perlindungan sosial yang lebih besar akan berkontribusi terhadap peningkatan kondisi kehidupan sosial masyarakat dan mengurangi persentase jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

4. Berdasarkan PDRB per kapita di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, adanya peningkatan PDRB per kapita di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat memberikan pengaruh negatif terhadap persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Barat. Ini menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi memberikan pengaruh yang baik dalam usaha mengentaskan kemiskinan. Keberhasilan pemerintah daerah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya.


5. Tingkat pengangguran berpengaruh positif terhadap jumlah persentase penduduk miskin di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah pengangguran, semakin banyak jumlah masyarakat yang tidak mempunyai penghasilan dan akan meningkatkan jumlah persentase penduduk miskin.

6. Pertumbuhan penduduk pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat berpengaruh positif terhadap persentase penduduk miskin. Ini menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan penduduk suatu daerah yang melebihi dari peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat menimbulkan menjadi beban daerah. Dengan demikian, peningkatan pertumbuhan penduduk dapat meningkatkan jumlah persentase penduduk miskin di KABUPATEN/KOTA di Provinsi Jawa Barat.

7. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pertumbuhan penduduk memberikan dampak positif terhadap persentase jumlah penduduk miskin di Jawa Barat. Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam mengurangi tingkat pertumbuhan penduduk adalah dengan meningkatkan program Keluarga Berencana. Dari hasil perhitungan dengan memperhatikan jumlah peserta Keluarga Berencana yang ada di kabupaten/kota, diketahui bahwa ternyata jumlah peserta KB tidak memberikan pengaruh terhadap persentase penduduk miskin di provinsi Jawa Barat. Ini menandakan bahwa adanya peningkatan program pelaksanaan Keluarga Berencana yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah belum dapat mengurangi persentase penduduk miskin di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.


Dari kesimpulan di atas dapat diajukan beberapa rekomendasi kebijakan:

1. Dalam keadaan ceteris paribus untuk variabel yang lain, peningkatan rasio belanja daerah fungsi pendidikan sebesar satu satuan dapat mengurangi persentase penduduk miskin sebesar 0,085%. Ini merupakan angka yang cukup besar dibandingkan dengan fungsi kesehatan. Tentu saja hal ini mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan dan mengoptimalkan penggunaan belanja daerah fungsi pendidikan ini. Pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat diharapkan terus melaksanakan program-program di bidang pendidikan yang merata dengan kualitas yang setara di seluruh wilayah agar masyarakat bisa mengakses fasilitas pendidikan secara mudah dan terjangkau. Selain adanya peningkatan pembangunan fasilitas pendidikan,


belanja pendidikan juga diharapkan dapat dimanfaatkan dalam bentuk kegiatan peningkatan lulusan sekolah yang bermutu, kompetitif, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat pada tingkat lokal, nasional maupun global.

2. Amanat konstitusi sebesar 20% untuk anggaran pendidikan sudah dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah daerah, tetapi dari sisi pengelolaan pendidikan, anggaran tersebut hendaknya digunakan dengan memperhatikan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas. Dengan demikian, anggaran belanja daerah fungsi pendidikan dapat bermanfaat secara luas untuk masyarakat, di antaranya untuk kegiatan-kegiatan bidang pendidikan yang produktif, misalnya pemberian beasiswa kepada siswa siswi berprestasi dan kurang mampu sehingga tidak ada drop out dari SD sampai universitas karena alasan ekonomi, serta perluasan akses pendidikan sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat mengambil manfaat dengan adanya pembangunan sekolah-sekolah di pelosok.

3. Pemerintah kabupaten/kota juga harus mengoptimalkan belanja daerah fungsi kesehatan karena memberikan pengaruh yang cukup signifikan, yaitu 0,074% terhadap pengurangan persentase penduduk miskin (ceteris paribus). Hal ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan belanja daerah fungsi kesehatan dengan melaksanakan program-program kesehatan, terutama kegiatan-kegiatan prioritas yang telah menjadi isu strategis pencapaian visi pembangunan kesehatan nasional, yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat, upaya pengendalian penyakit, akses dan mutu pelayanan kesehatan, jumlah, jenis, kualitas, dan pemerataan tenaga kesehatan, serta meningkatnya kemandirian, akses, dan mutu penyediaan farmasi dan alat kesehatan. Dengan demikian, pencapaian daerah untuk mengurangi angka kematian ibu dan bayi, serta meningkatkan status gizi masyarakat, penyebaran pengetahuan mengenai pola hidup bersih dan sehat (PHBS) dapat berjalan dengan baik, sehingga masyarakat dapat hidup dengan kualitas kesehatan yang lebih baik.

4. Pemerintah kabupaten/kota hendaknya mempunyai perhatian yang besar terhadap belanja daerah fungsi perlindungan sosial dengan meningkatkan upaya perlindungan sosial terhadap masyarakat, dengan pengaruh sebesar 0,21% (ceteris paribus) yang memberikan pengaruh paling besar di antara variabel lain, terhadap pengurangan persentase penduduk miskin. Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan belanja daerah fungsi perlindungan sosial sebagai prioritas utama dalam usaha mengurangi persentase penduduk miskin, dengan melaksanakan program-program bantuan sosial maupun jaminan sosial yang dirancang untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan (vulnerability) melalui perluasan pasar kerja yang


efisien, pengurangan risiko-risiko kehidupan yang senantiasa mengancam manusia, serta penguatan kapasitas masyarakat dalam melindungi dirinya dari berbagai bahaya dan gangguan yang dapat menyebabkan terganggunya atau hilangnya pendapatan.

5. Usaha pemerintah daerah dalam mengentaskan kemiskinan juga dapat dilakukan dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil perhitungan bahwa PDRB per kapita daerah dapat memberikan pengaruh negatif terhadap persentase jumlah penduduk miskin. Pengaruh negatif yang diberikan PDRB per kapita terhadap persentase penduduk miskin sebesar 0,062% (ceteris paribus), lebih besar dari pengaruh positif pertumbuhan penduduk terhadap persentase penduduk miskin, yaitu sebesar 0,047%. Hal ini merupakan kabar yang baik bagi Pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, dan menjadi motivasi untuk meningkatkan PDRB per kapitanya, sekaligus mengurangi pertumbuhan penduduk. Dengan demikian, hasil yang dicapai dalam rangka mengurangi persentase penduduk miskin dapat dioptimalkan dan memberikan manfaat yang besar terhadap masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya.

GRDP PER CAPITA, LIFE EXPECTANCY, EDUCATION, GOVERNMENT EXPENDITURE ON ENVIRONMENT AND ENVIRONMENTAL QUALITY IN INDONESIA

Nama : Gita Junaedi Ginting

Instansi : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Tahun Intake : 2015






ABSTRAK

Degradasi kualitas lingkungan adalah masalah yang kompleks dan berakar pada perilaku manusia yang sulit untuk diatasi. Banyak faktor yang dapat menyebabkan atau mengarahkan, dan menghambat degradasi kualitas lingkungan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita, Harapan Hidup, Pendidikan, dan Pengeluaran Pemerintah terhadap lingkungan dan kualitas lingkungan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data panel dari 29 provinsi di Indonesia dari 2010 hingga 2013, sedangkan tes menggunakan model Seemingly Unrelated Regression (SUR). Selain itu, variabel dependen dari penelitian ini adalah kualitas lingkungan, yang digambarkan melalui indikator kualitas air dan terdiri dari Total Suspended Solid (TSS) dan Chemical Oxygen Demand (COD). Variabel-variabel ini dibagi dalam dua model; model pertama bertujuan untuk menganalisis pengaruh Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita, harapan hidup, pendidikan, dan pengeluaran pemerintah untuk lingkungan di TSS di Indonesia. Selanjutnya, model kedua bertujuan untuk menganalisis pengaruh Produk Domestik Regional Bruto per Kapita, Harapan Hidup, Pendidikan dan Pengeluaran Pemerintah untuk Lingkungan terhadap COD. Hasilnya menunjukkan bahwa produk domestik regional bruto per kapita dan pengeluaran pemerintah pada lingkungan memberikan efek positif dan signifikan terhadap Total Suspended Solid (TSS), sementara Pendidikan memberikan efek negatif dan signifikan terhadap Total Suspended Solid (TSS). Di sisi lain, produk domestik regional bruto per kapita dan pengeluaran pemerintah pada lingkungan memberikan efek positif dan signifikan pada Chemical Oxygen Demand (COD), sementara Life Expectancy memberikan efek negatif dan signifikan pada Chemical Oxygen Demand (COD).

Kata kunci: Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita, Harapan Hidup, Pendidikan, Pengeluaran Pemerintah untuk Lingkungan, Kualitas Lingkungan, Total Suspended Solid (TSS), Permintaan Oksigen Kimia (COD), Regresi Kelihatannya Tidak Terkait (SUR)


ABSTRACT

Degradation of environmental quality is a complex problem and rooted in human behavior which is difficult to overcome. Many factors may cause or direct, and inhibit the degradation of environmental quality in Indonesia. This study aims to analyze the effect of Gross Regional Domestic Product Per Capita, Life Expectancy, Education, and Government Expenditure on Environment on Environmental Quality in Indonesia. This study used panel data from 29 Provinces in Indonesia from 2010 to 2013, while the test used Seemingly Unrelated Regression (SUR) model. Moreover, the dependent variable of this study was the environmental quality, depicted through water quality indicators and consisted of Total Suspended Solid (TSS) and Chemical Oxygen Demand (COD). These variables were divided in two models; the first model aimed to analyze the effect of Gross Regional Domestic Product Per Capita, Life Expectancy, Education and Government Expenditure on Environment on TSS in Indonesia. Furthermore, the second model aimed to analyze the effect of Gross Regional Domestic Product Per Capita, Life Expectancy, Education and Government expenditure on Environment to COD. The results show that the Gross Regional Domestic Product Per Capita and Government Expenditure on Environment provide positive and significant effects on Total Suspended Solid (TSS), while Education provides negative and significant effects on Total Suspended Solid (TSS). On the other hand, Gross Regional Domestic Product Per Capita and Government Expenditure on Environment provide positive and significant effects on Chemical Oxygen Demand (COD), while Life Expectancy provides negative and significant effects on Chemical Oxygen Demand (COD).

Keywords: Gross Regional Domestic Product Per Capita, Life Expectancy, Education, Government Expenditure on Environment, Environmental Quality, Total Suspended Solid (TSS), Chemical Oxygen Demand (COD), Seemingly Unrelated Regression (SUR)


GRDP PER CAPITA, LIFE EXPECTANCY, EDUCATION, GOVERNMENT EXPENDITURE ON ENVIRONMENT AND

ENVIRONMENTAL QUALITY IN INDONESIA

A. Background

Indonesia is one country that is rich in water resources where the water availability reaches 15,500 cubic meters per capita per year, still it is far above the average water availability in the world which is only 8,000 cubic meters per year. Even so, Indonesia still has clean water shortage and approximately 119 million people in Indonesia do not have access to clean water. As for who has access, most get clean water from water distributor, the water business in the community and in the water wells. This is ironic remembering that Indonesia is included in the 10 countries which are rich with fresh water sources.

From the side of raw water demand, in Indonesia it is likely to increase. Based on the description of the data during the 1991–2002 period, Central Bureau of Statistics (CBS) noted that the average growth rate of raw water demand calculated from the amount of water sold reached 10.3% per year, while when viewed from the number of connections, it reached the 9.6% per year. The growth rate was not matched by the growth in the level of service, which only grew by 3.1% per year during the period.

The government projection regarding the increase in clean water demand in Indonesia from 1990 to 2020 even reached 220%. On one hand, this implies the possibility of increase in the amount of water crisis potential in Indonesia. On the other hand, it shows an increase in the need for water with good quality. However, in parallel with the development of forestry, industry and transportation sector, there are also problems arising either directly or indirectly on the contamination of water. It is a change of conditions in the water reservoirs such as lakes, rivers, oceans, and groundwater as a result of human activity. In everyday life, people need clean water for drinking, cooking, washing and other purposes. The water also has 3B standard (colorless, odorless and non-toxic). In this life, there are times when people see a poor quality in which the water is cloudy and smell as well as mixed with garbage and waste. Such sights can be found in streams, swamps, lakes and ponds (reservoir).

Based on that fact, the water is commonly called dirty water or polluted water. For rural communities, river is a daily water source. Sources which lead to polluted water come from anywhere. For example, the industrial wastes are disposed and poured into the river. All eventually empties into the river and water pollution can harm humans if the water is consumed.


On the other hand, with the increase in the GDRP per capita Indonesia, the Human Development Index (HDI) Indonesia also increases every year. In this case, the HDI is a comparison measurement of life expectancy, literacy, education, and living standard which increase every year. Therefore, it should be accompanied with the consciousness of every individual to care for the environment.

However, in reality HDI is inversely proportional based on Diagram 1.1. We can see that the environmental quality, especially the water quality decreases every year. In this case, the Life Expectancy of Indonesia in 2013 based on the data taken from CBS Indonesia was 70.07 years. If we compare to the average education period in Indonesia based on the same source and year, Indonesia only has a value of 8.14 years, which means only up to Junior High School (SLTP).

Therefore, we can see that the population in Indonesia has a high Life Expectancy but it is not supported by the high average education period. Education is one indicator showing that the level or quality of human resources in Indonesia has an important role in maintaining the quality of the existing environment in the long term, especially for long-term development that cares about the environment and survival in the future.

This is an important concern for us all where Life Expectancy and education have an important role to GDRP per capita and the environmental quality in Indonesia. With the water pollution indicator, the researcher tries to look at the various sectors that directly or indirectly affect it. Given this, the researcher would like to analyze the effects of GDRP Per Capita, Life Expectancy, Education and Government Expenditure on Environment on Environmental Quality in Indonesia. With this background the researcher conducted a study with the title: “GDRP Per Capita, Life Expectancy, Education and Government Expenditure on Environment on Environmental Quality in Indonesia."

B. Research Methods

In making estimates of the model that had been built above, the method used was data processing by using a Panel Data model. First, Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect (FE) and Random Effects (RE) approach were conducted before compared to the seemingly Unrelated Regression (SUR). In this method, two variables were used. Dependent variable was in the form of Air Quality, while the independent variable was in the form of GDRP per capita, Life Expectancy, Education and Public Expenditure on Environment (Government Expenditure on Environment). On the water quality variable, two parameters or indicators consisting of TSS (Total Suspended Solid) and COD (Chemical Oxygen Demand) were used.


The data was taken from the Ministry of Environment and Forestry and Ministry of Finance of Republic of Indonesia as well as the CBS Indonesia. The objective of this analysis was to predict or estimate the effect of a variable to another variable. In a regression analysis, there were two variables, namely dependent variable and independent variable. The dependent variable was a variable that was affected or explained, while the independent variable was a variable that affected or explained.

To avoid mistakes in interpreting what was used as a variable of the research object, it was necessary to explain the operation of each variable as follows:

1. On the dependent variable, there was water quality by using two parameters or indicators consisting of TSS and COD.

2. On the independent variables, there was GDRP per Capita, Life Expectancy, Education and Government Expenditure on Environment.

The data used was secondary data in the form time series data from all provinces in Indonesia with a 4 years period, i.e. from 2010 to 2013. Selection for 4 years time series was intended to look at the effect of the GDRP per capita, Life Expectancy, Education and Government Expenditure on Environment on the Water Quality in Indonesia.

Sources of data used in this research were as follows:

1. GRDP per capita came from the various provinces in Indonesia in 2010 until 2013 were taken from the CBS Indonesia.

2. Life Expectancy from various provinces in Indonesia in 2010 until 2013 were taken from the CBS Indonesia.

3. Education in the average education period from various provinces in Indonesia in 2010 until 2013 were taken from the CBS Indonesia.

4. Government Expenditure on Environment in 2010 to 2013 was taken from the Ministry of Finance Directorate General of Fiscal Balance of Republic of Indonesia.

Data on the water quality variable used two parameters or indicators consisting of TSS and COD (from various provinces in Indonesia in 2010 until 2013 and it was taken from Ministry of Environment and Forestry of Republic of Indonesia.


The process of water pollution is generally caused by a variety of activities of the source of water pollutants including in terms of residence, industry, transportation, and agriculture. Such activities potentially generate pollutants that damage living systems, especially in aquatic ecosystems. Water pollution is a deviation of water properties


in normal circumstances. Furthermore, the water is no longer functioning normally, so that it can be categorized as polluted waters. In addition, the definition of water pollution caused by the entry of foreign substances into the environment, as a result of human actions which change the physical, chemical, and biological properties of the environment. Pollutants are classified into three types, namely: (1) pathogenic (causing disease in humans); (2) aesthetic (causing environmental changes that uncomfortable by the five senses) and (3) ekomorpik (pollutant material causing changes in the physical properties of the environment).

The materials that can pollute the water environment can be derived from organic or inorganic material. Pollution parameter usually intertwined between one to another parameter. In this discussion, the relationship between the parameter of Total Suspended Solids or TSS and turbidity, and the Dissolved Oxygen will be presented.

Total Suspended Solids or TSS as previously described by Nasution (2008) is solid that cause turbidity, it is also insoluble and cannot immediately precipitate, consisting of particles which the size and weight less than the sediment, such as clay, certain organic materials, cells of microorganisms, and so forth. Suspended solids are a place for the heterogeneous chemical reactions, and serves as the earliest forming materials of sediment and may hinder the ability of production of organic substances in water (Tarigan and Edward, 2003). TSS is closely related to soil erosion and the erosion of the river channel. TSS varies widely, from less than 5 mg L–1 to the most extreme of 30,000 mg L–1 in some rivers. TSS is not only an important measure of erosion in river basin, but also closely related to transportation through river systems nutrients (especially phosphorus), metals, and various industrial chemicals and agriculture (Anonymous, 2002).

On the results of the above analysis we can see on equation 1 that the GDRP per capita relationship can be explained by the regression result. It shows that with the increase in the GDRP per capita by 1%, it will increase the TSS level by 0.3632451%, ceteris paribus. Statistically, the results are significant and economically affect the existing environmental degradation. The results are in contrast to the initial hypothesis where, if the per capita income increases, then the environmental quality at an early stage of development will improve. In this case, it is reasonable that the significance level is very small. It is due to other factors affecting the GDRP per capita start from the total population or population growth rate in Indonesia which cannot be suppressed. From the results of the regression, it can be interpreted that the increase of income will cause the people not to think about the environment or pollute the environment in order to meet their needs. From several journals Bryon (1997) and Duraiappah (1996), it was found that the poverty condition prevented and inhibited the environmental degradation, while the wealth, power, and prosperity caused or drove the environmental degradation.


The relationship between Life Expectancy and TSS shows a positive relationship, but not significant. In this case the average education period of a person does not provide effect on the existing TSS level. On the other hand, Education and TSS show a negative relationship. From the regression results, it shows that with 1% increase on the education variable, it will decrease the TSS level by 3.610613%, ceteris paribus. The results are statistically significant and the results of the regression can be interpreted that the increase in the average education period will improve the quality of the existing environment. This is consistent with the existing references and previous research that education can improve the quality of the existing environment (Abdul Karim, 2005).

At the end of variables we can see that the relationship between Government Expenditure on Environment and TSS shows a positive relationship, where the increase in Government Expenditure on Environment will increase the TSS level. It also can be interpreted that it lowers the quality of the existing environment. These results are statistically significant with each increase in the Government Expenditure on Environment by 1% will increase the TSS level by 0.2226502%, ceteris paribus. It is inversely proportional to the objective of Government Expenditure on Environment to improve the environmental quality in overall both in water and air, so that they can be said to be not effective, but help slow down the rate of damage to the environment.

In the subsequent analysis results, we can see on equation 2 that the GDRP per capita relationship can be explained by the regression results. It shows that with the increase in the GDRP per capita by 1%, it will increase the COD level by 0.278179%, ceteris paribus. The results are statistically significant and exactly at the level of 0.1 and economically affect the existing environmental degradation. The results are in contrast to the initial hypothesis where the increase in per capita income will increase the quality of the environment.

Education and COD shows a positive relationship, but not significant. In this case, the average education period does not provide effect on the existing COD level. On the other hand, the Life Expectancy and COD shows a negative relationship. From the regression results, it is found that that with a 1% increase in the Life Expectancy variable will decrease the COD level by 7.84365% , ceteris paribus. The results are statistically significant and the results of the regression can be interpreted that the increase in Life Expectancy will improve the quality of the existing environment. This is consistent with the existing references and previous research that Life Expectancy can improve the quality of the existing environment (Fabio Mariani, 2009).

In the last variable we can see that the relationship between Government Expenditure on Environment and COD shows a positive relationship, where the increase in Government Expenditure on Environment will increase the COD level.


It also can be interpreted to lower the quality of the existing environment. These results are statistically significant with each increase in the Government Expenditure on Environment by 1% will increase the COD level by 2.292443%, ceteris paribus. It is inversely proportional to the objective of Government Expenditure on Environment to improve the overall environmental quality both in water and air.

Therefore, we can see that the Life Expectancy and Education variable have the greatest effect in this research model. This illustrates that any individual or community in Indonesia has an important role in controlling the environmental quality. In this case, the environment is a spatial unity with all the things, power, state and living creatures, including humans and their behavior, affecting the continuity of our lives and welfare of other beings.

In this case the effects of human activities on the nature and environment shall be observed for as day by day the human activity become more diverse. The human activities in meeting their needs may have an effect on the environment. The environmental effects occur because humans tend to be exploitative or take the natural resources excessively, so that they no longer simply maintain the necessities of life. This cause environmental damage, like what we can see in the lifestyle of capital, Jakarta. Damage to the environment is getting worse in line with technological developments. In the end, damage to the environment is bad for human life. Therefore in this case, humans become an important factor in controlling the quality of the environment, especially in the decision making to grow the human morality.

In this case, we have an option to improve the well-being and environmental quality. Moreover, it is unwise to ignore the EKC (Environmental Kuznets Curve) hypothesis. It is because in the previous empirical literature, it is suspected that some of the main causes of environmental degradation are the power, wealth, and greed (Duraiappah, 1998). Also, there are some result studies which show that wealth is an agent of environmental degradation.

From the regression performed on this model, it shows that the 1 parameter provides negative and significant value, so that we are able to know that EKC did not occur in this time period because it was in contrast with the condition that indicated the EKC was occurred. In the opinion of Arrow, et al (1995) in Bhattarai, M (2002) on the EKC relationship for the stock of natural resource, it is stated that the inverted U relationship has been demonstrated by the emission of pollutants, but it cannot be conducted to the stock of natural resources such as forest ecosystems. Unlike other indicators of environmental quality, the relationship between income and environmental quality is related to the institutional policy factor. As the natural resources in developing countries are managed under public ownership, it is possible that the EKC relationship


is associated with various social and political institutions, structural factors and the historical process.

Indonesia is currently located at point A to point B and point C. In this stage, the pre industrial economics and industrial economics are running highly. Therefore, we can see the results of the previous estimate where the increase in GDRP per capita will lead to decrease in the level of environmental quality. In addition, the government expenditure has not been able to control the quality of the existing environment, especially the water quality.

Panayotou, T (2003), describes the linkages between the stages of economic development and environmental degradation in the Kuznets curve form known as the EKC which is divided into three stages, as shown in the image above. The first stage, the economic development will be followed by an increase in environmental damage. The first stage is referred to as pre industrial economics, second stage is industrial economics, and the third is post-industrial economics (service economy). Industrialization starts from small industry and then move into heavy industry. This movement will increase the use of natural resources and environmental degradation. After that, the industrialization will expand its role in the formation of a more stable domestic national product. The presence of foreign investment also has led to the transformation of the economy from agriculture to industry. Increase in the role of industrial sector in the economy of a country will increase the pollution. In the next stage, the economic transformation will occur in the form of a movement from the industrial sector to the service sector. This movement will be followed by a decrease in pollution in line with the increase in income and demand for environmental quality.

Environmental Kuznets Curve is known as the first theory describes how is the relationship between the rate of economic growth and environmental degradation of a country. According to this theory, when the income of a country is still relatively low, then the concern of the country will focus on how to increase the state revenues, either through production, or investment that leads to an increase in revenue by overriding the environmental quality issues. As a result, the growth of income will be followed by the increase in pollution level and then decline again along with the still running growth. This theory is developed on the basis of the demand for environmental quality that improves the social supervision and government regulation so that the community will be more prosperous (Mason and Swanson, 2003).

Almost all countries in the world have been exploiting forests, fisheries, and their mining excessively, polluting the water and air to accelerate the economic growth in a short term in order to improve the welfare of their citizens. On the other hand, many natural capitals have been sacrificed through deforestation which resulting loss


of biodiversity, soil degradation, water and air pollution; however, a safe access to water as well as wastewater treatment and various sanitation facilities often show the improvement with the economic growth (Thomas, et. all, 2001).

Kuznets curve hypothesis about the relationship between the economic growth of the GDRP per capita and the environmental quality is illustrated by the water quality that resembles the U letter (not inverted U) that has been proved. The results of this verification imply that the initial improvements in the GDRP per capita are followed by a decline in water quality to some extent.

D. Conclusion

Based on the results of research on the GDRP per capita, Life Expectancy, Education and Government Expenditure on Environment on Environmental Quality in Indonesia, can be summed up as follows:

1. GDRP per capita provides positive effect and significant effects on TSS and COD level. It means that the GDRP per capita provides effects to increase the TSS and COD level, which means lowering the level of environmental quality.

2. Life Expectancy provides positive and insignificant relationship on the TSS level in Indonesia, with these conditions; Life Expectancy does not provide effect on the environmental quality.

3. On the other hand, Life Expectancy provides negative and significant relationships to the COD level in Indonesia. It means that it improves the environmental quality in Indonesia, with these conditions; Life Expectancy provides effect on the environmental quality.

4. Education variable provides negative and significant effects on the TSS level in Indonesia. Education causes or drives the decrease in TSS level. It means that it improves the quality of the existing environment in Indonesia.

5. Education variable provides positive and insignificant effects on the COD level in Indonesia.

6. At the last variable, Government Expenditure of Environment provides positive and significant effects on TSS and COD level, which means lowering the quality of the environment. It is inversely proportional to the objective of Government Expenditure of Environment to improve the environmental quality. However, in overall when compared to the previous years, the government with the existing budget has already been able to slow the pace of existing environmental damage. It means that the Government Expenditure of Environment is able to slow the increase in the TSS and COD level, or delay/ halt the rate of decline or degradation of environmental quality in Indonesia.


Based on the analysis of the research results and conclusions which have been formulated before, the researcher propose suggestions that are relevant to the policy-making materials, which are expected to be useful as an input for the related parties. The suggestions are as follows:

1. The need to develop and implement the programs for the community welfare improvement that lives in areas that have high TSS and COD level. The increase in per capita income is run by considering the environmental balance, and reducing the community dependence on natural resources, using a variety of alternative renewable energy as the livelihood. Therefore we can maintain the high GDRP per capita achievement. In addition, it also can suppress the increase in pollution of environmental quality.

2. Viewing the role or effect of the communities or individuals on the environmental quality, it is necessary to increase public awareness on the environment. So that, not only the elderly who care about the environment, but also the general population, especially among youth and adolescents. Therefore, environmental awareness at an early age usually will be embedded more strongly until adulthood. The concept of development that is in accordance with the objectives of development is the sustainable development that is oriented to meet the needs of the present generation without compromising the ability of future generations to meet their own needs.

3. The quality education in Indonesia is needed as this variable has a great effect to improve the quality of the existing environment. In this case, the exemption of tuition fees by every Local Government in the respective regions or increased capacity scholarships annually both from public and private sectors to improve the quality of education in Indonesia will greatly help to improve the quality of the existing environment in addition to help improving people's welfare alone.

4. There should be an internal evaluation of the government on Government Expenditure in the Environment so that every use of the existing budget can be appropriate (effective and efficient) both physical and non-physical to improve the quality of the existing environment.

5. And lastly the need for consistency of government for the implementation of technical guidance and supervision over the implementation in the sustainable establishment and arrangement of environment, management of natural resource conservation and ecosystem, increase in the carrying capacity of watersheds and protected areas, improvement of environmental quality, control of pollution and environmental damage, local knowledge and environmental


partnerships, as well as a decrease in interference, threats and violations of the law in the environmental field.

6. Further research is needed especially on the seven other indicators in addition to the TSS.

ECONOMIC IMPACT ASSESSMENT OF AGRICULTURAL PROGRAM ON MAIZE PRODUCTION IN BANTEN PROVINCE: A CASE ON FARMER FIELD SCHOOL OF INTEGRATED CROP MANAGEMENT PROGRAM

Nama : Ierna Sania Sarie Nasia

Instansi : Pemkab Serang

Tahun Intake : 2015


Program Studi : Magister Ekonomi Terapan - Master of Public Policy


Universitas : Universitas Padjajaran Bandung-National Graduate Institute for Policy Studies


ABSTRAK

Jagung adalah tanaman pangan terpenting kedua setelah padi dan salah satu komoditas strategis di Indonesia. Namun, pasokan jagung domestik belum mampu memenuhi tingginya permintaan karena permintaan meningkat lebih cepat daripada pasokan. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi jagung dan mencapai swasembada jagung adalah implementasi program Sekolah Pertanian Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (ICM-FFS). Di Banten, program ICM-FFS dalam produksi jagung dilaksanakan antara tahun 2008 dan 2014. Kerangka analisis kebijakan (PAM) digunakan untuk menilai dampak ICM-FFS pada produksi jagung, keunggulan komparatif, kompetitif untuk menghasilkan jagung, dan pendapatan petani di Provinsi Banten. Hasilnya menunjukkan bahwa peternakan ICM-FFS mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar 77,03% dan kesejahteraan sosial sebesar 44,48% dibandingkan dengan peternakan non-ICM-FFS. Selain itu, studi ini menunjukkan bahwa program ini telah meningkatkan keunggulan kompetitif dan komparatif untuk menghasilkan jagung di Provinsi Banten. Program ini menyatakan bahwa perlindungan pemerintah terhadap produksi jagung hampir berasal dari subsidi benih dan pupuk. Akhirnya, temuan ini menyarankan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan strategi masa depan dalam bantuan produksi jagung. Pemerintah harus memperhatikan pengaturan input dan output yang kompetitif, mempertahankan dan meningkatkan bantuan teknis untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas jagung, dan lebih memperhatikan komoditas ini daripada saat ini.

Kata kunci: Jagung, Sekolah Lapangan Petani, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif, Matriks Analisis Kebijakan


ABSTRACT

Maize is the second most important food crop after rice and one of the strategic commodities in Indonesia. However, the domestic supply of maize has been unable to meet its high demand due to demand rising faster than supply. One of the government’s efforts to enhance the maize production and achieve maize self-sufficiency is the implementation of the Farmer Field School of Integrated Crop Management (ICM-FFS) program. In Banten, the ICM-FFS program in maize production was implemented between 2008 and 2014. The policy analysis matrix (PAM) framework was employed to assess the impact of ICM-FFS on maize production, comparative and competitive advantage to produce maize, and the farmer’s income in Banten Province. The results show that ICM-FFS farms were able to increase the farmer’s income by 77.03% and social welfare by 44.48% compared to non-ICM-FFS farms. Moreover, the study implies that this program has enhanced the competitive and comparative advantage to produce maize in the Banten Province. This program expresses that the government protection of maize production nearly comes from the subsidy on seeds and fertilizers. Finally, these findings suggest policy recommendations to improve the future strategies in maize production assistance. The government should pay attention to the arrangement of competitive input and output markets, sustain and enhance technical assistance to improve maize quality and productivity, and be more concerned for this commodity than it is at present.

Keywords: Maize, Farmer Field School, Comparative and Competitive Advantages,Policy Analysis Matrix


ECONOMIC IMPACT ASSESSMENT OF AGRICULTURAL PROGRAM ON MAIZE PRODUCTION IN BANTEN PROVINCE: A CASE ON FARMER FIELD SCHOOL OF INTEGRATED CROP

MANAGEMENT PROGRAM

A. Background

Maize is the second most important food crop after rice and one of the strategic commodities in Indonesia (Ferrianta, Hanani, Setiawan, & Muhaimin, 2012; Swastika et al., 2004; Swastika, Manikmas, & Sayaka, 2004; Kariyasa, 2011). The importance of maize in a national food system has been emphasized in a current government policy that has set a target to achieve maize self-sufficiency in 2017 as well as in the Agricultural Development Policy, which identifies the strategic issues for a five- year period (2015–2019). These issues denote that Indonesia should have sufficient production of strategic commodities (rice, maize, soybeans, sugar cane, beef, chili and onions) and reduce the import quantity for those commodities as well (Planning Bureau of Ministry of Agriculture, 2014).

Specifically, due to its big proportion, maize is the primary crop to manufacture animal feed in Indonesia, which can still not be substituted by other agricultural products (Mubarakkan, Taufik, & Brata, 2012). The importance of maize as the major component of animal feed has been pointed out by Swastika (2003); Swastika et al. (2004) and Tangendjadja et al. (2003) estimate that 51% of feed ingredient is maize, whereas Umboh, Hakim, Sinaga, and Kariyasa (2014) and Umboh et al. (2014) present around 55–65% maize proportion in feed ingredient.

However, the domestic supply of maize has been unable to meet its high demand; this is due to demand rising faster than supply. The maize demand for feed dramatically increased every year, forcing the government to increase the maize production (Swastika, 2003; Haryono, 2014; Lokollo & Hutabarat, 2014). Some efforts have been made to enhance maize production and achieve maize self-sufficiency. One of the efforts taken is the implementation of the Farmer Field School of Integrated Crop Management (ICM-FFS) program. In Banten, the ICM-FFS program in maize production started in 2008 and ended in 2014. In this program, the farmers attended the adult nonformal education through direct actual field laboratory exposures. (Asiabaka, 1994; Braun & Duveskog, 2011; Feder, Murgai, & Quizon, 2003).

A previous study by Kariyasa (2014) claims that the ICM-FFS program could increase maize productivity and farmer’s income in East Java and West Nusa Tenggara Provinces and found that through this program, Indonesia has comparative and


competitive advantages to produce maize. However, the study has been limited only to East Java and West Nusa Tenggara provinces and no study has been conducted specifically in Banten Province.

This study focuses on the economic impact from the Farmer Field School of Integrated Crop Management in maize production as one of the agricultural programs in Indonesia and will try to find whether the ICM-FFS program could enhance competitive and comparative advantages to produce maize as we ll as the farmer’s income in Banten. To investigate the above questions, a quantitative policy analysis, the Policy Analysis Matrix (PAM), will be used to reveal the economic impact of the ICM-FFS on maize production in the Banten Province. The location for this study was selected to be regency/municipality where the ICM-FFS program is implemented to represent the Banten Province.


This research was conducted in Serang Regency in order to represent Banten Province. Serang Regency was selected as the center of maize production in Banten and the regency that continuously implemented the ICM-FFS program between 2010 and 2014 with a total coverage of 4,325 hectares. In addition, the six big feed mill companies which operate in Banten are all located in Serang Regency. Therefore, the large volume of maize demand comes from Serang Regency.

The main data were obtained from the cost structure of maize farming in the planting season of 2012 from a sample of farmers who were selected using a stratified random sampling. Two farmer groups were used as farm samples in this study; namely, farmers who implemented the ICM-FFS program and farmers who did not implement the ICM-FFS program. Under this stratification, the sampling size was designed to include 10% of each farmer group members. The total farm sample size was 48, with 16 farmers who implemented the ICM-FFS program and 32 farmers who did not implement the same. This study also uses data from the Ministry of Agriculture of Indonesia, Statistics of Indonesia, Statistics of Banten Province, and feed mill companies in Banten Province.

To estimate Policy Analysis Matrix (PAM), we need a comprehensive set of data. The data collected from the 48 farmers in the sample constitute private price. To compute the social price of maize production in Banten, a different set of assumptions was applied. Social revenue is represented by the international price for maize in the agricultural trade, which is the import price of feed mill companies in Banten in this study. Regarding tradable input; the non-subsidy price of seeds, fertilizer, and pesticides are used to represent the social price. Since domestic factor is non-tradable variables that doesn’t have international price as their opportunity cost, social price of factor domestic


should be calculated by direct evaluation. In Banten, it can be assumed that there is no policy distortion nor market failure of land and labor wage, thus the private value of the domestic factor can be considered a true reflection of their social price.

Supposing that the government has been intervening in maize production, then the right question isn't whether the government should intervene or not, but how that particular government intervention should be assessed. To assess the effectiveness of government intervention such as the ICM-FFS program, a Policy Analysis Matrix (PAM) is developed to analyze the economic impact of the program on maize production. This approach will analyze the revenue, cost, and profits indicated in farming system based on the formulation of budgets for all farm activities (Monke & Pearson, 1989). By employing this tool, we will be able to determine whether Banten has or does not has comparative and competitive advantages to produce maize. If Banten has competitive advantage to produce maize, it means that, at the actual prices, maize farming is beneficial to the farmer and if Banten has comparative advantage in producing maize, it means that the fulfillment of maize for Banten is better by producing it domestically rather than through importation.


1. ICM-FFS of maize in Banten Province

One of the government efforts to enhance maize production in Indonesia is the implementation of the Integrated Crop Management Farmer Field School (ICM-FFS) program which started in 2008 and continued until 2014. During that period, total area coverage for ICM-FFS Program in Banten Province was around 2,1% from the total area coverage in Indonesia (Ministry of Agriculture of Indonesia, 2015). The performance of ICM-FF, Banten had a total coverage of 13,690 hectares, covering 4 regencies of the 8 regencies/municipalities of Banten.

During this period, the biggest implementation was in Tangerang Regency (6,345 ha) and followed by Serang Regency (4,325 ha). Tangerang Regency implemented the ICM-FFS program only in 2009, Serang Regency began to implement the ICM-FFS program in 2010, and continued to implement the program until 2014. The rest two regencies, Lebak Regency implemented the ICM-FFS in 2008 and stopped the program in 2013 with a total coverage of 1,820 hectares, and Pandeglang Regency began implementing the ICM- FFS program in 2009 and continued until 2013 with a total coverage of 1,200 hectares.

The aims of the ICM-FFS program were to increase maize productivity and farmer’s income, respectively. The trend of maize productivity in Banten Province


increased since the ICM-FFS program began. In 2005, maize productivity in Banten was only 28,82 quintal/ha, even though the maize productivity continued to increase to 29,94 quintal/ha in 2006, and 30,76 quintal/ha in 2007, but the significant improvement happened in 2008 when Banten started implementing the ICM-FFS program, the productivity reached 32,08 quintal/ha and continued to increase to 32,84 quintal/ha in 2010. In 2011, the maize productivity slightly decreased to 30,14 quintal/ha due to drought at that time. In 2012, the productivity increased to 31,95 quintal/ha and continued to increase to 33,36 quintal/ha in 2014. This data indicates that ICM-FFS program can increase the productivity of maize in Banten Province.

2. Policy Analysis Matrix (PAM)

Policy Analysis Matrix (PAM) was employed to reveal the economic impact of the ICM-FFS on maize production in Banten Province, especially to analyze farmer’s income, competitive and comparative advantage of maize production in Banten Province.

a. Financial and Economic Profitability

The result of Policy Analysis Matrix (PAM) on maize production in Banten shows that maize farming was financially and economically profitable for the farmers. The farmers could get profit of Rp3.350.160 per hectare using existing practices, which is without implementing the ICM-FFS program, this practice is also economically profitable based on the value added yield for the society of Rp1.557.050 per hectare. Moreover, maize farms under ICM-FFS program have higher financial and economic profits than under existing practices. Under the ICM-FFS program, the activity yielded profit of Rp. 5.930.940 per hectare for the farmers. It also earned the value added of Rp2.249.610 per hectare for the society. From the above information, indeed, the ICM-FFS program on maize production in Banten province was able to increase farmer’s income by 77.03% and social welfare of society by 44.48% compared to the existing practices (Non ICM-FFS).

The less than 1 value of Private Cost Ratio (PCR) shows that Banten province has competitive advantage to produce maize, this reveals that maize farmers in Banten were able to generate financial profit from their farms. As Maize farms that use existing practices have a value of PCR of 0.542, which means under this practice, the needed domestic resources of Rp542 to get a revenue of Rp1.000. In addition, maize farms under ICM-FFS program have higher competitive advantage than under existing practices, as shown by the


PCR value of 0.412. The smaller value of PCR indicates the higher competitive of maize farming, in other words, the smaller value of PCR, the smaller domestic resources are needed to get a revenue. Under ICM-FFS program, to get a revenue of Rp1.000, it was needed domestic resources at most Rp412. By implementing ICM-FFS program on maize production in Banten, to get revenue Rp1.000, the farmers were able to save on domestic resources to Rp131 compared to the existing practices (Non ICM-FFS).

On the other hand, the less than 1 value of Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) shows that Banten Province has comparative advantage to produce maize. It means it will be more beneficial to meet the demand for maize by producing this commodity domestically rather than through importation. The value of DRCR of 0.648 means that producing maize in Banten through the implementation of ICM-FFS program required domestic resources amounting to only 64.8% of its import price. In other words, by implementing ICM-FFS program to produce maize in Banten as import substitute, the government will be able to save on foreign exchange equivalent to 35.2% of the amount of fund needed for its importation. The result also shows that even by just implementing the existing practices, Banten still has comparative advantage to produce maize as shown by the DRCR of 0.718. Under the existing practices, the government will be able to save on foreign exchange equivalent to 28.2% of the amount of fund needed for its importation. Furthermore, the ICM-FFS program on maize production in Banten was able to increase government saving on foreign exchange by 24.75% compared to the existing practices (Non ICM-FFS).

b. Government Protection

The indicator of protection ratios in Banten Province. The result of analysis shows that maize production in Banten Province has been protected by the government as shown by more than 1 value of Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). The NPCO exceeding one indicates that in Banten, the domestic (local) price of maize was higher than the import price. The NPCO value of maize farms under ICM-FFS program and existing practices is 1.094 and 1.087, respectively. This means by implementing ICM-FFS program, the maize price was 9.4% higher than import price and it was 8.7% higher than import price under existing practices. It can be concluded that ICM-FFS program was able to improve maize quality and increase the local maize price around 1% than the existing practices.


The less than 1 value of Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) indicates that maize production in Banten has been subsidized by the government. In other words, the domestic (local) price of tradable input is lower than their social prices (world prices). The value of NPCI of 0.16 means that through ICM-FFS program the tradable input prices are only 16% of world prices and under existing practices the tradable input prices are 61% of world prices as shown by the NPCI of 0.61. The smaller value of NPCI shows the higher subsidy given by the government. From the result, maize production under ICM-FFS program gets higher subsidy from the government approximately 73.89% compared to the existing practices. The cause of this can be ascribed that government gives subsidy on maize seeds as well as fertilizers to the farmers who implement the ICM-FFS program, but only gives subsidy on fertilizers to the farmers under existing practices.

The Effective Protection Coefficient (EPC) indicates the net impact of government policies on maize production in Banten. The EPC value of 1.32 under existing practices and 1.58 under ICM-FFS program indicates positive incentive effects of maize production in Banten, the maize production has been protected on value added by 32% and 58%, respectively. In other words, the value added of maize production in Banten is greater than the value added in world prices. It is clear that ICM-FFS program gets higher effective protection from government by 77.27% from the existing practices. Furthermore, to measure the net impact of ICM-FFS program on maize production revenues can be seen by SRP indicator. The smaller value of Subsidy Ratio to Producers (SRP) of existing practices (SRP = 0.22) than under ICM-FFS program (SRP = 0.38) indicates the existing practices were less protected than under ICM-FFS program.

From the result, we can estimate how to maintain the same level of private profitability if all government policies are eliminated. To maintain a profit of Rp3.350.160 per hectare using existing practices, then the NPCO value would have to be increased from 1.087 to 1.220, and the NPCO under ICM-FFS would have to be increased from 1.094 to 1.380 to maintain a profit equivalent to Rp5.930.940 per hectare. The smaller gap value that is needed to maintain a profit shows that the intervention has been focused on the product prices. Thereby, this result indicates that nearly all the subsidy to the maize production comes from the subsidy on seeds and fertilizers and very little is transferred from tariff on maize.


These findings are somewhat similar with the results found by Kariyasa (2014). Although his study not analyzed the indicator of protection ratios to express government protection, the results found that through ICM-FFS program, Indonesia had higher comparative advantage in producing corn as an import substitute and ICM-FFS farms were able to increase farmer’s income by 71.03% and social welfare by 94.69% compared to non ICM-FFS farms.

D. Conclusion and Policy Implications

This study reviews the agricultural program on maize production in Banten Province by applying a Policy Analysis Matrix (PAM) approach to analyze the economic impact of Farmer Field School of Integrated Crop Management (ICM-FFS) program, and to determine whether this program enhanced competitive and comparative advantage to produce maize as well as farmer’s income and suggest the appropriate policy to improve maize production. From the matrix, a series of indicators can be derived such as private profitability, social profitability, competitive advantage, comparative advantage, and the protection ratios on maize production in Banten.

The results of this study demonstrate three points in both ICM-FFS and non ICM-FFS farms. First, the financial and economic profitability that represents private profitability and social profitability, respectively. Second, the competitive and comparative advantages, which is described by private Cost Ratio (PCR) to study the competitive advantage and Domestic Resources Cost Ratio (DRCR) to measure the comparative advantage. The last point is government protection of maize production in Banten Province expressed by protection ratios such as Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI), Effective Protection Coefficient (EPC), and Subsidy Ratio to Producers (SRP).

Even though the analyses have shown that maize production in both ICM-FFS and non ICM-FFS farms benefited the farmers and the society, ICM-FFS farms were able to increase farmer’s income by 77.03% and social welfare of society by 44.48% compared to non ICM-FFS farms. From the above result, indeed, the ICM-FFS program has achieved the one of the Ministry of Agriculture’s objectives, which is to improve farmer welfare.

Policy Analysis matrix also shows that maize farms under ICM-FFS program have higher competitive and comparative advantage than non ICM-FFS farms. To be more specific, ICM-FFS farmers were able to save on domestic resources to Rp. 131 and able to increase government saving on foreign exchange by 24.75% compared to farmers using the existing practices. In conclusion, this program has enhanced competitive and comparative advantage to produce maize in Banten Province.


The value of the protection ratios obtained from the matrix indicates that through this program, government has implemented effective overall protection of maize production. In addition, the results also express that nearly all the subsidy to the maize production comes from the subsidy on seeds and fertilizers and very little is transferred from tariff on maize.

This study gives necessary information on improving or supporting the implementation of agricultural policy and find ing out the policy recommendations for achieving maize self-sufficiency as well as improving farmer’s income in maize production in Banten. Keeping all this in view, some major recommendation for policy can be drawn from this study. First, based on the results that increased farmer’s income as a result of the increased productivity was mostly induced from input use difference, which it means the ICM-FFS farms responded better to input use. Thus, the government should maintain the production inputs at lower prices in order to assure the ability of farmers to buy those inputs; furthermore to guide farmers to use the inputs referring to the technology suggestion. Second, the farmer’s education is one problem that appear on the farm level that could result in producing a low quality of maize grain and will lead to decrease in the price of maize. Therefore, government should sustain and improve technical assistance to improve farmer’s knowledge, for instance, by providing training including post-harvest processing. The improved knowledge of farmers will increase the quality of maize grain as well as the price, this stability of maize price will encourage farmers to produce more maize. In addition, in Banten, the ICM-FFS program has been focused on rice production rather than maize production. The treatment of maize as a second priority can be seen from the total area implementation of maize that only 1.84% from the total area implementation of rice. ICM-FFS program for maize was implemented in 13.690 ha, whereas for rice it was implemented in 745.503 ha. Therefore, to propel the implementation of the agricultural program in maize production, the government should be more concerned about this commodity than what it has been currently.

Even though the results using PAM reveal that ICM-FFS program has significantly enhanced competitive and comparative advantages to produce maize as well as farmer’s income in Banten, some studies still need to be conducted to get more comprehensive information. This study is based on a very limited data that was only conducted in a one-time period, thus the future researchers can use this study to do comparison with another period of the agricultural program in maize production. In addition, researchers can also replicate this study to address the issue in other areas within Banten Province.

PERTUMBUHAN TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY INDUSTRI PENGOLAHAN SKALA BESAR DAN SEDANG DI INDONESIA TAHUN 2010-2015: DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA)

Nama : Mudjiono


Tahun Intake : 2016




Universitas : Universitas Padjadjaran Bandung


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui perkembangan pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) industri pengolahan Indonesia selama 2010–2015 dan mengidentifikasi komponen sumber pendorong pertumbuhan TFP industri pengolahan. Dalam menghitung pertumbuhan TFP dan komponennya, penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dengan pendekatan non-parametrik, yaitu Data Envelopment Analysis (DEA). Analisis DEA dengan indeks indeks produktivitas Malmquist mendekomposisikan pertumbuhan TFP menjadi technical change, efficiency change, dan scale change. Perusahaan-perusahaan industri pengolahan dikelompokkan berdasarkan lapangan baku usaha Indonesia (KBLI) 2 digit dan berdasarkan kelompok basis.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini bahwa pertumbuhan TFP industri pengolahan selama 2010–2015 sebesar 6,4%, terutama didorong oleh perubahan efisiensi (catch-up). Berdasarkan KBLI 2 digit, hanya 8 dari 23 subsektor industri yang pertumbuhan TFP-nya didorong oleh efficiency change, sedangkan 14 subsektor lebih didorong oleh technical change. Secara kelompok basis, efficiency change dalam mendorong pertumbuhan TFP terlihat pada kelompok basis tenaga kerja dan modal.

Kata kunci: Industri Pengolahan Indonesia, Pertumbuhan Faktor Produktivitas Total, Technical Change, Efficiency Change, Scale Change, Data Envelopment Analysis


ABSTRACT

Purpose of the research to calculate the growth of Total Factor Productivity (TFP) of Indonesia's manufacturing during 2010–2015 and to identify the components of TFP growth.

In calculation of TFP growth and its components using quantitative analysis non-parametric approach. It is called Data Envelopment Analysis (DEA). DEA analysis based on Malmquist productivity index decomposes TFP growth into technical change, efficiency change, and scale change. Manufacturing establishment are grouped based on the 2-digit ISIC and by intensive group.

Our findings in this study that TFP growth of Indonesia manufacturing during 2010–2015 by 6.4 percent mainly driven by changes in the efficiency (catch-up). Based on the 2-digit ISIC, only 8 of the 23 industrial subsectors whose TFP growth is driven by efficiency changes, while 14 subsectors are driven more by technical changes. By intensive group, efficiency changes in encouraging TFP growth are seen in the labour intensive and capital intensive.

Keywords: Indonesia Manufacturing, Total Factor Productivity Growth, Technical Change, Efficiency Change, Scale Change, Data Envelopment Analysis


PERTUMBUHAN TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY INDUSTRI PENGOLAHAN SKALA BESAR DAN SEDANG DI INDONESIA TAHUN 2010-2015: DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA)

A. Latar Belakang

Produktivitas menjadi isu yang cukup penting yang tidak saja pada level negara, tetapi juga dalam level perusahaan. Pertumbuhan produktivitas diyakini sebagai salah satu cara untuk memenangkan persaiangan global dalam upaya menyejahterakan masyarakat. Laporan Deloitte (2016) menyebutkan bahwa industri pengolahan masih menjadi pendorong perekonomian dunia. Hal tersebut didasarkan pada pengaruh industri pengolahan dalam menciptakan lapangan pekerjaan, kontribusinya terhadap PDB, dan pengaruhnya terhadap pembangunan infrastruktur sehingga mampu meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan kinerja industri pengolahan melalui peningkatan produktivitas merupakan jalan yang tepat untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi.

Produktivitas dalam hal ini adalah pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) dapat diukur dengan beberapa pendekatan. Pendekatan yang paling sering digunakan dalam banyak literature, yaitu model neo-klasik, model konvensional growth accounting, dan model dekomposisi. Dari ketiga pendekatan, model dekomposisi digunakan untuk mengetahui sumber-sumber pertumbuhan produktivitas dengan memecah sumber produktivitas dalam 3 komponen, yaitu technical change, technical efficiency change, dan economic scale change. Model ini berkembang seiring dengan konsep Farrell tentang efisiensi teknis dan perubahan teknis yang terus terjadi meskipun perusahaan tidak dalam keadaan kapasitas penuh. (Margono dan Sharma, 2006 dan Mahadevan, 2002).

Menurut Laporan Bank Dunia (2012c), TFP pada sektor industri pengolahan Indonesia meningkat dalam periode 1990–2009. Pertumbuhan TFP terjadi sebagai akibat perusahaan melakukan efisiensi teknis dan efisiensi alokatif sehingga lebih produktif. Secara umum, pertumbuhan TFP industri pengolahan terjadi terhadap sektor industri pengolahan yang memiliki keterkaitan terhadap pasar global. Berbeda dengan sektor yang berbasis sumber daya (resources), pertumbuhan TFP cenderung melambat atau lebih rendah. Dari sisi efisiensi alokatif, perusahaan yang memiliki pertumbuhan produktivitas yang tinggi cenderung mampu melakukan relokasi sumber daya yang kurang produktif pada sumber-sumber yang produktif. Selain itu, Bank Dunia juga mencatat bahwa 10% perusahaan teratas lima kali lebih produktif daripada 10% perusahaan pengolahan terbawah.


Peningkatkan produktivitas yang ditempuh dengan memberikan keleluasaan sumber daya mengalir lebih bebas dan lebih cepat dari perusahaan yang kurang efisien kepada perusahaan yang lebih efisien dapat berakibat fatal. Bank Dunia (2012c) mencatat bahwa keleluasaan sumber daya mengalir dengan bebas dan cepat berdampak terjadi perpindahan sumber daya dari perusahaan kecil ke perusahaan besar sehingga menghasilkan tingkat produktivitas yang lebih besar. Namun, hal ini dalam jangka panjang justru dapat memberikan hambatan industri pengolahan untuk berkontribusi lebih besar terhadap perekonomian nasional. Dampak yang nyata dari proses ini adalah munculnya munculnya fenomena “missing middle8” atau hilangnya lapisan tengah.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa sektor industri pengolahan dalam perekonomian nasional cukup penting, yaitu melalui penciptaan nilai tambah, penyediaan lapangan pekerjaan, daya saing perdagangan produk-produk industri pengolahan, serta keterkaitan yang cukup luas sektor industri pengolahan dalam perekonomian untuk mengetahui sumber-sumber peningkatan produktivitas pada industri pengolahan. Dengan demikian, penelitian berjudul “Pertumbuhan Total Factor Productivity Industri Pengolahan Skala Besar dan Sedang di Indonesia tahun 2010–2015: Data Envelopment Analysis (DEA)” diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa gambaran sumber-sumber pertumbuhan TFP industri pengolahan di Indonesia, baik secara keseluruhan (sektor industri) maupun per subsektor. Hal ini cukup penting sebagai bahan pengambil kebijakan dalam merumuskan program-program kegiatan dalam rangka mendorong industri pengolahan meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian nasional.


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan penelitian yang dapat disusun adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pertumbuhan TFP di industri pengolahan skala besar dan skala sedang di Indonesia selama 2010–2015?

2. Bagaimana pertumbuhan TFP yang tercermin dalam technical change, efficiency change, dan scale change mampu mendorong pertumbuhan industri pengolahan di Indonesia selama 2010–2015 berdasarkan KBLI 2 digit?

3. Bagaimana pertumbuhan technical change dan efficiency change industri pengolahan dalam mendorong pertumbuhan produktivitas dengan mengelompokkan industri pengolahan menurut KBLI 2 digit dan berdasarkan basisnya yaitu modal, tenaga kerja dan sumber daya di Indonesia selama 2010–2015?


Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Direktorat Statistik Industri, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Periode pengambilan data adalah tahun 2010–2015. Di BPS, industri pengolahan dikelompokkan berdasarkan jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri tersebut. Industri pengolahan skala besar memiliki pekerja lebih dari 100 orang dan industri pengolahan skala sedang memiliki pekerja 20–99 orang. Sumber data industri pengolahan berasal Survei Industri Pengolahan Besar dan Sedang (IBS) Tahunan.


1. Industri Pengolahan di Indonesia Tahun 2010–2015

Seperti diketahui, industri pengolahan setelah krisis keuangan Asia 97/98 dan krisis global 2008/09 mengalami penurunan kontribusi. Kontribusi industri pengolahan selama 2000–2009 secara rata-rata sebesar 28% terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi, kontribusi tersebut mengalami penurunan selama periode 2010–2015 yang secara rata-rata sebesar 21%. Pada sisi lain, sektor ini belum mampu memanfaatkan transformasi perubahan struktural perekonomian secara optimal terkait dengan penyerapan tenaga kerja. Tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan selama 2010–2015 hanya meningkat 1,4% ketika sektor pertanian menurun –6,7%. Adapun sektor lembaga keuangan dan jasa masyarakat yang meningkat 1,5%.

Sektor industri pengolahan diyakini sebagai motor penggerak perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025 yang menyebutkan bahwa struktur perekonomian diperkuat dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan dengan menghasilkan produk-produk yang efisien, modern, dan berkelanjutan serta jasa-jasa pelayanan yang efektif, serta menerapkan praktik terbaik dan ketatakelolaan yang baik demi terwujud ketahanan ekonomi yang tangguh. Sementara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2010–201412 menekankan pembangunan industri pengolahan terdapat pada peningkatan efisiensi teknis melalui revitalisasi (pembaharuan) mesin dan revitalisasi pengelolaan usaha, sedangkan periode 2015–201913, penekanan pembangunan industri pengolahan terdapat pada pembangunan faktor input, yaitu terkait dengan peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia dan mengoptimalkan economic of scope sebagai upaya meningkatkan transaksi bisnis antarperusahaan yang berkaitan dengan lokasi berdekatan.


Berdasarkan data BPS, laju pertumbuhan produksi industri pengolahan selama 2010–2015 mengalami pertumbuhan secara rata-rata sebesar 5% per tahun. Pada sisi lain, laju pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata sebesar 5,6% per tahun dengan kontribusi industri pengolahan 21% dengan tren menurun. (Grafik 4.1). Berdasarkan jumlah perusahaan pada sektor industri pengolahan, selama 2010–2015, pertumbuhan perusahaan industri pengolahan mengalami peningkatan secara rata-rata sebesar 2,46% per tahun. Peningkatan jumlah perusahaan industri pengolahan terbesar terjadi pada tahun 2014 dan 2015, yaitu masing-masing sebesar 3,51% dan 7,31%. (Grafik 4.2). Lebih jauh, menurut kelompok industri KBLI 2 digit, dari 24 subsektor industri yang ada, terdapat 3 industri yang mengalami pertumbuhan perusahaan yang negatif. Subsektor tersebut terdapat pada industri pengolahan tembakau (KBLI 12), industri kayu (KBLI 16), dan industri furnitur (KBLI 31) dengan pertumbuhan masing masing sebesar –0,7%, –0,3 %, dan –0,9% per tahun.

Hal lain, pertumbuhan perusahaan industri pengolahan berdasarkan kelompok basisnya menunjukkan bahwa industri berbasis tenaga kerja mengalami pertumbuhan lebih rendah sebesar 1,1% per tahun dibandingkan industri berbasis sumber daya dan industri basis modal dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 3,4% dan 3,1% per tahun.

Kinerja industri pengolahan yang belum menunjukkan performa dapat diakibatkan oleh berbagai hal. Laporan Bank Dunia (2012d) menyebutkan tiga hambatan di industri pengolahan, yaitu akses pembiayaan, persoalan kebutuhan listrik, dan peraturan pemerintah yang berbelit-belit. Akses pembiayaan perusahaan terutama industri terhadap modal kerja dari perbankan sebesar 6%. Tingginya biaya intermediasi perbankan menjadikan faktor perusahaan tidak banyak mengakses permodalan dari perbankan. Untuk masalah kebutuhan listrik, Bank Dunia mencatat meskipun harga listrik cukup rendah dibandingkan beberapa negara tetangga, proses untuk memperoleh listrik memerlukan biaya yang cukup besar dan waktu yang cukup panjang. Terkait dengan peraturan meskipun pemerintah telah melakukan reformasi terutama perpajakan, masih terdapat permasalahn peraturan yang cukup berat.

2. Pertumbuhan TFP Industri Pengolahan di Indonesia

Secara umum pertumbuhan TFP industri pengolahan di Indonesia selama 2010–2015 mengalami pertumbuhan sebesar 6,4%. Pertumbuhan TFP industri pengolahan dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya cenderung mengalami perlambatan. Pertumbuhan TFP berdasarkan penelitian Surjaningsih


dan Permono (2014) selama periode 2000–2004 sebesar 7,83% dan menurun dalam periode 2005–2009 sebesar 6,89%. Pascakrisis keuangan Asia 97/98 ini, pertumbuhan TFP industri pengolahan lebih baik dibandingkan sebelum krisis. Penelitian Ikhsan (2007) menyebutkan bahwa pertumbuhan TFP industri pengolahan selama 1988–2000 hanya sebesar 2,87%.

Pertumbuhan TFP dalam penelitian ini diperoleh dengan mendekomposisikan indeks produktivitas Malmquist ke dalam perubahan efisiensi (catch-up) dan perubahan inovasi (frontier-shift) antardua periode dari tiap-tiap perusahaan di industri pengolahan. Kemudian, perubahan efisiensi didekomposisikan dalam efisiensi dengan kondisi CRS (pure efficiency change) dan perubahan skala (scale change). Pertumbuhan TFP agregat 2010–2015 diukur menggunakan rata-rata tertimbang dengan bobot tertimbang berupa rata-rata share nilai tambah (value added) menurut kelompok industri. Penggunaan bobot tertimbang dengan menggunakan share nilai tambah menurut kelompok industri sebagaimana dilakukan oleh Mahadevan (2002) dan Surjaningsih dan Permono (2014). Rata-rata share nilai tambah industri pengolahan sebagai bobot tertimbang dihitung dengan mengelompokkan nilai tambah industri pengolahan berdasarkan KBLI 2 digit terhadap total industri pengolahan tahun 2010. Bobot ini juga digunakan untuk menghitung pertumbuhan TFP antartahun.

3. Pertumbuhan TFP Industri Pengolahan dan Komponen Penyusunnya Menurut KBLI 2 digit

Pertumbuhan TFP pada industri pengolahan selama 2010–2015 terjadi pada hampir semua subsektor industri, kecuali industri logam dasar (KBLI 24) yang mengalami pertumbuhan negatif sebesar –2,2%. Pertumbuhan TFP positif tertinggi terjadi adalah industri kulit dan alas kaki (KBLI 15) yaitu sebesar 16,7% disusul oleh industri produk dari batu bara dan pengilangan minyak (KBLI 19). Sementara pertumbuhan TFP positif terendah terjadi di industri alat angkutan lainnya (KBLI 30) sebesar 1,5%.

Secara agregat, faktor utama pendorong pertumbuhan TFP industri pengolahan selama 2010–2015 adalah perubahan efisiensi. Akan tetapi, perubahan efisiensi berdasarkan KBLI 2 digit hanya terjadi pada 8 industri. Berbeda dengan perubahan teknis (technical change) sebagai pendorong kedua perubahan TFP justru terjadi pada 14 industri. Hal ini dapat dijelaskan bahwa 8 industri tersebut berdasarkan nilai tambah tahun 2010 yang hampir 55,97% dari total industri pengolahan, sementara 14 industri yang menjadikan perubahan teknis sebagai pendorong perubahan TFP hanya 40,46% dari total nilai.


4. Pertumbuhan TFP Industri Pengolahan dan Komponen Penyusunnya menurut Kelompok Basis

Pertumbuhan TFP industri pengolahan berdasarkan kelompok basisnya secara umum mengalami pertumbuhan selama 2010–2015. Pertumbuhan tertinggi terdapat di kelompok basis sumber daya sebesar 3,8%, diikuti oleh kelompok basis modal dan basis tenaga kerja yang masing-masing sebesar 3,1% dan 0,5%. Perlu diketahui bahwa berdasarkan besarnya nilai tambah per kelompok basis menunjukkan bahwa kelompok basis sumber daya mencapai 40% terhadap total industri pengolahan. Sementara kelompok basis modal dan basis tenaga kerja masing-masing 36% dan 24%. Dengan nilai tambah sebesar 40%, kelompok basis sumber daya memiliki dorongan yang cukup untuk mendorong pertumbuhan TFP industri pengolahan sehingga dapat mencapai 4,8%.

Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam. Pengembangan industri pengolahan sebagai penggerak perekonomian dimaksudnya untuk meningkatkan nilai kandungan lokal dan salah satunya melalui bahan baku. Lebih jauh, industri pengolahan mampu menghadirkan nilai tambah bagi perekonomian. Hal ini terlihat dari industri kelompok basis sumber daya, terlihat bahwa bahan baku yang digunakan oleh industri pengolahan, khususnya dari dalam negeri selama 5 tahun mengalami peningkatan. Pertumbuhan TFP pada kelompok basis ini lebih didorong oleh perubahan teknis yang mencapai 3,3% dan perubahan efisiensi sebesar 0,4%. Sementara skala operasi dalam kelompok basis ini mengalami pertumbuhan minus sebesar 1,1 %.

Seperti diketahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir, harga komoditas mengalami perlambatan sebagai akibat kelesuan ekonomi global. Berakhirnya era komoditas dalam beberapa tahun terakhir yang didorong kebijakan pemerintah melalui program hilirisasi industri pengolahan serta meningkatnya investasi baik PMA dan PMDN selama 2014–2015 turut memberi andil dalam meningkatnya perubahan teknis pada kelompok basis sumber daya. Pada sisi lain, perusahaan-perusahaan dalam kelompok basis ini juga berbeda sebagaimana ditunjukkan oleh basis modal. Dalam kelompok basis modal, perubahan efisiensi menjadi pendorong pertumbuhan TFP, yaitu sebesar 12,6%, sedangkan perubahan teknis justru tumbuh –8,4%. Perubahan teknis yang negatif mengindikasikan bahwa kelompok basis ini dapat ditingkatkan production frontier melalui investasi terhadap proses produksi. Pada sisi lain, program pemerintah terkait revitalisasi mesin baru berjalan sehingga dampak terhadap kelompok basis ini belum terlihat. Dengan demikian, untuk mencapai skala optimal operasi, perusahaan-perusahaan industri pengolahan dalam kelompok basis modal melakukan perubahan efisiensi yang


diikuti dengan perubahan skala operasi. Hal ini didukung oleh kondisi Indonesia dengan pasar produk industri pengolahan yang cukup besar dan potensial.

Pertumbuhan TFP kelompok basis tenaga kerja sebesar 0,8% didorong oleh ketiga komponennya secara positif. Perubahan efisiensi dan perubahan skala operasi memengaruhi pertumbuhan TFP dengan besaran yang sama, yaitu sebesar 0,3%, sedangkan perubahan teknis sebesar 0,2%. Beberapa penyebab rendahnya pertumbuhan TFP kelompok basis tenaga kerja, antara lain terkait peraturan ketenagakerjaan di Indonesia. Bank Dunia (2012a) mencatat bahwa hambatan terbesar pada industri pengolahan terkait masalah ketenagakerjaan yaitu pembayaran pesangon, upah minimum, dan prosedur PHK. Kelompok basis ini merupakan industri yang melibatkan tenaga kerja relatif lebih besar dibandingkan basis lain. Secara rata-rata perusahaan dalam kelompok basis ini memiliki jumlah tenaga kerja sebesar 234 orang, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan basis sumber daya dan basis modal yang rata-rata per perusahaan jumlah tenaga kerjanya sebesar 155 dan 156 orang.

5. Perspiration dan inspiration Industri Pengolahan Indonesia

Secara umum, industri pengolahan mengalami pertumbuhan TFP selama 2010–2015. Analisis tentang pertumbuhan TFP memunculkan perdebatan cukup panjang. Hal ini bermula dari tulisan pertumbuhan ekonomi di Asia yang disebut Krugman (1994) telah mengalami keajaiban (miracle). Pertumbuhan ekonomi di Asia menurut Krugman lebih banyak sebagai dampak dari akumulasi input. Dalam istilah lain, pertumbuhan yang terjadi lebih didorong oleh faktor akumulasi input atau lebih sering disebut sebagai faktor perspiration. Sementara inspiration lebih menekankan pertumbuhan terjadi sebagai dorongan pertumbuhan TFP. Aswicahyono (2002) dengan menggunakan pendekatan non-frontier mengungkapkan bahwa sebelum krisis keuangan Asia 97/98, sektor industri di Indonesia mengalami pertumbuhan, yang bukan sebagai pertumbuhan faktor akumulasi input, tetapi berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah memainkan peran penting terhadap perubahan tersebut di samping berbagai faktor dalam industri sendiri. Pendekatan non-frontier ini menurut Mahadevan (2007) hanya menganggap bahwa pergeseran dalam fungsi produksi sebagai pertumbuhan TFP dan diasumsikan perekonomian bekerja secara penuh. Namun, pada kenyataannya, perekonomian tidak bekerja secara penuh. Perubahan dalam fungsi produksi dapat digambarkan dari perubahan teknologi (technical change) dan perubahan efisiensi (efficiency change).

Diketahui bahwa perubahan input dan perubahan TFP di industri pengolahan selama 2010–2015 tidak saling memengaruhi. Lebih terperinci, perubahan teknis


dan perubahan efisiensi menunjukkan hubungan yang konsisten. Sementara perubahan teknis dan perubahan efisiensi memiliki hubungan kausal meskipun keterkaitan perubahan teknis terhadap perubahan efisiensi cukup lemah. Dengan demikian, pertumbuhan yang terjadi bukanlah sebagai hasil faktor akumulasi atau melainkan berbagai faktor.

D. Kesimpulan

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan TFP industri pengolahan selama 2010–2015 sebesar 6,4%. Pendorong utama pertumbuhan TFP adalah perubahan efisiensi (catch-up) yang diikuti perubahan skala operasi dan perubahan teknologi atau inovasi (frontier-shift).

Dari 23 kelompok industri terdapat 8 subsektor industri yang pendorong utama pertumbuhan TFP-nya adalah perubahan efisiensi, sedangkan 14 subsektor industri lainnya didorong oleh perubahan teknis atau teknologi. Sementara hanya ada 1 (satu) subsektor industri yang mengalami pertumbuhan TFP negative, yaitu industri logam dasar. Berdasarkan KBLI 2 digit, terdapat 3 kelompok industri dengan kategori perubahan teknis tinggi yang disertai perubahan efisiensi positif, sedangkan satu kelompok industri yang memiliki perubahan efisiensi negatif dan perubahan teknis rendah. Sementara 8 kelompok industri dapat dikatakan sebagai industri dengan kemampuan berproduksi yang tidak efisien. Pada sisi lain terdapat 11 kelompok industri dengan kemampuan catch-up yang meningkat, tetapi kemampuan merubah frontier-shift yang tidak memadai.

Berdasarkan kelompok basis, pertumbuhan TFP kelompok basis sumber daya sebesar 3,8%, diikuti oleh kelompok basis modal dan basis tenaga kerja yang masing-masing sebesar 3,1% dan 0,5%. Pertumbuhan TFP industri pengolahan secara umum dengan dorongan utama oleh perubahan efisiensi ditunjukkan oleh kedua kelompok basis tenaga kerja dan modal, yang nilai tambah kedua kelompok basis ini mencapai 60%-an dari total industri pengolahan. Hal berbeda dalam industri kelompok basis sumber daya yang pendorong utama pertumbuhan TFP merupakan perubahan teknis.


Berdasarkan analisis hasil penelitian dan kesimpulan yang telah disampaikan sebelumnya, penulis mengajukan saran yang relevan untuk bahan penyusunan kebijakan industri pengolahan di Indonesia dan penelitian lanjutan yang diharapkan berguna sebagai masukan bagi pihak -pihak yang terkait. Saran kebijakan yang diajukan sebagai berikut:


1. Peran perubahan teknologi dalam industri pengolahan selama 2010–2015 dalam mendukung pertumbuhan TFP industri pengolahan terjadi pada 14 subsektor industri pengolahan dari 23 subsektor yang dilibatkan. Meskipun subsektor yang mengalami perubahan teknis lebih besar, hanya terjadi di 40,46% industri pengolahan berdasarkan nilai tambah, sehingga perubahan teknis belum menjadi pendorong utama pertumbuhan TFP. Oleh sebab itu, pemerintah perlu memperhatikan berbagai kebijakan terkait investasi yang berdampak langsung terhadap penerapan inovasi dan teknologi serta permasalahan riset dan pengembangan. Perubahan teknis yang tidak terjadi dalam industri-industri prioritas tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya terkait permasalahan berusaha di Indonesia. Meskipun peringkat kemudahan berusaha meningkat secara umum, dalam beberapa sektor industri masih menjadi catatan. Lebih jauh, perubahan teknis terlihat mengalami stagnasi pada kelompok basis modal. Basis kelompok ini sangat erat kaitannya terhadap permasalahan investasi yang pada gilirannya berdampak terhadap perubahan teknis (teknologi).

2. Meskipun perubahan efisiensi menjadi pendorong utama perubahan TFP industri pengolahan di Indonesia selama 2010–2015, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan pemangku kebijakan. Seperti diketahui, dalam mewujudkan industri prioritas sebagai pendorong perekonomian nasional, industri pengolahan harus mampu memiliki daya saing. Peningkatan daya saing dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas. Namun, beberapa industri yang dijadikan sebagai industri prioritas khususnya industri tekstil, industri kulit dan alas kaki, industri peralatan listrik, industri mesin dan perlengkapan, dan industri logam dasar masih terkendali oleh permasalahan efisiensi. Terlebih industri logam dasar, pertumbuhan produktivitas yang terjadi selama 2010–2015 justru menunjukkan stagnanasi. Permasalahan efisiensi terkait erat terhadap input yang digunakan oleh industri pengolahan, baik tenaga kerja maupun input lain. Kebijakan-kebijakan terkait dengan ketenagakerjaan, antara lain kebijakan pengupahan atau pola hubungan industrial yang masih menjadi masalah utama. Pada sisi lain, penyiapan sumber daya manusia yang akan terlibat dalam industri pengolahan juga perlu mendapat perhatian pemerintah. Hal ini didasari pada perubahan teknis yang terjadi pada 14 subsektor industri, sementara perubahan efisiensi terjadi pada 8 subsektor industri. Artinya, coverage perubahan teknis lebih luas dibandingkan perubahan efisiensi. Perubahan teknis yang luas perlu didukung dengan penyiapan sumber daya manusia agar perubahan teknologi mampu diadaptasi secara baik oleh sumber daya industri sehingga mampu menggerakkan pertumbuhan TFP pada masa yang akan datang.


Nama : Puti Dina Fithria

Instansi : Pemkot Cimahi

Tahun Intake : 2016






ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisis dan membuktikan pengaruh belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dan secara simultan berpengaruh terhadap pengangguran pada periode 2009 sampai 2015 di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data cross section 26 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dan time series periode 2009 sampai 2015 selama 7 tahun yang didapat dari BPS, DPMPTSP, dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat, serta metode yang digunakan dalam penelitian adalah TSLS (Two Stage Least Square) pendekatan Fixed Effect dengan white Cross Section.

Hasil penelitian pada persamaan pertama menunjukkan variabel belanja pemerintah, investasi swasta, dan jumlah pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada persamaan kedua, belanja pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengangguran, sementara pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap pengangguran dan upah minimum berpengaruh positif terhadap pengangguran.

Kata kunci: Belanja Pemerintah, Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Simultan


ABSTRACT

This study aims to analyze and prove the influence of government expenditure on economic growth and simultaneously affect the unemployment in the period 2009 to 2015 in the Regency/City in West Java Province. The data used in this study is secondary data in the form of cross section data 26 District / City in West Java Province and time series period 2009 to 2015 for 7 years obtained from BPS, DPMPTSP and Dinas Tenaga Kerja West Java Proviince and methods used in research is TSLS (Two Stage Least Square) Fixed Effect approach with white Cross Section. The results of the research on the first equation show the variables of government expenditure, private investment and the number of unemployed have positive and significant impact on economic growth. In the second equation, government expenditure has a negative and significant effect on unemployment, while economic growth has no effect on unemployment and minimum wage has positive effect on unemployment.

Keywords: Government Expenditure, Economic Growth, Unemployment, Simultaneous



A. Latar Belakang

Daerah yang memiliki tren meningkat pada tingkat pengangguran periode 2009–2015 yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur, sedangkan kabupaten kota lainnya mengalami penurunan. Pada tahun 2009, tingkat pengangguran tertinggi, yaitu kota Bogor (19,4%) dan yang terendah di Kabupaten Ciamis (6,31%). Pada tahun 2015, tingkat pengangguran tertinggi berada pada wilayah Kabupaten Karawang (11,51%) dan terendah di Kabupaten Bandung (4,03%). Adapun rata-rata daerah yang memiliki tingkat pengangguran tertinggi pada periode 2009–2015 yaitu Kabupaten Cirebon sebesar 13,11% per tahun dan terendah, yaitu Kabupaten Ciamis dengan rata-rata tingkat pengangguran sebesar 7,09 per tahun. Berikut data tingkat pengangguran kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat periode 2009–2015.

Nilai total PDRB atas harga dasar 2010 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan, diikuti oleh Belanja Pemerintah, dan Investasi Swasta (PMA dan PMDN). Walaupun secara nominal PDRB mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, peningkatan tersebut tidak signifikan sehingga tren laju pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan.

Terjadinya perlambatan pada laju pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan tingkat pengangguran yang mengalami penurunan. Hal ini mencerminkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi tidak selalu berbanding terbalik dengan tingkat pengangguran. Dengan demikian, ada indikasi bahwa masih ada hal lain yang berpotensi memengaruhi pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, ada hal lain yang dapat memengaruhi tingkat pengangguran. Selain itu, ada pula fenomena lain, yaitu jumlah kabupaten/kota yang memiliki laju pertumbuhan di atas laju pertumbuhan ekonomi provinsi dan kontribusi terhadap provinsi, perkembangan belanja pemerintah dan investasi swasta yang berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan ekonomi, serta laju pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran di provinsi Jawa Barat yang memiliki pola sejalan.

Berdasarkan fenomena tersebut, penulis mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Belanja Pemerintah, Investasi Swasta dan Pengangguran terhadap Pertumbuhan Ekonomi (peningkatan PDRB) serta untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari Pertumbuhan Ekonomi (Peningkatan PDRB), Belanja Pemerintah serta faktor Upah Minimum berpengaruh terhadap penurunan jumlah pengangguran.



Dari fenomena yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Apakah terdapat pengaruh Belanja Pemerintah, Investasi Swasta, serta Jumlah Pengangguran terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat?

2. Seberapa besar pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Belanja Pemerintah, dan Upah Minimum Kabupaten/Kota terhadap Jumlah Pengangguran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat? Dan bagaimana arah serta besarannya?

Objek penelitian ini adalah Belanja Pemerintah, Investasi Swasta berupa PMDN dan PMA, jumlah pengangguran dan pertumbuhan ekonomi (kenaikan PDRB) yang secara simultan juga berpengaruh terhadap pengangguran, dan faktor lain yang menentukan pengangguran seperti Upah Minimum Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat periode waktu 2009–2015.

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif dan analisis kuantitatif untuk memberikan gambaran umum atas kondisi dan hubungan di antara fenomena yang diselidiki serta melakukan analisis kuantitatif untuk menguji hipotesis penelitian dan menginterpretasikan bentuk hubungan yang terjadi.

Metode analisis deskriptif untuk memberikan gambaran umum atas kondisi penerimaan pendapatan daerah, alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi. Kemudian dilakukan analisis kuantitatif berupa analisis regresi model persamaan simultan untuk mengetahui pengaruh Belanja Daerah, Pengangguran dan Investasi Swasta terhadap output (PDRB) dan pengaruh simultan Output (PDRB), belanja Pemerintah dan faktor-faktor lainnya terhadap pengangguran. Dari kedua analisis yang telah dilakukan tersebut akan menjadi dasar bagi pengambilan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian ini.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan ukuran data panel 182 observasi dimana data Time Series sebanyak 7 tahun serta dengan Data Cross Section sebanyak 26 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.

Setelah mengestimasi persamaan dan melakukan pengujian asumsi klasik serta pengujian statistik, selanjutnya adalah pembahasan terhadap hasil regresi Model I dan Model II lebih lanjut untuk tiap-tiap variabel.



1. Model I: Nilai Koefisien Intersep PDRB

Estimasi Model I (model PDRB) dengan menggunakan metode fixed effect menghasilkan nilai intersep yang berbeda-beda untuk tiap-tiap daerah. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kondisi yang dimiliki daerah yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi (kenaikan PDRB) daerah tersebut.

Nilai fixed effect tertinggi terdapat pada kabupaten Bekasi sebesar 1,4 dengan nilai intersep sebesar 8,28. Ini berarti bahwa intersep kabupaten Bekasi lebih tinggi 1,4 daripada intersep rata-rata seluruh kab/kota. Sementara itu, nilai fixed effect terendah pada kota Banjar sebesar –1,52 dengan nilai intersep sebesar 5,35 yang berarti bahwa intersep kota Banjar lebih rendah 1,52 dari rata-rata intersep seluruh kabupaten/kota.

Dari keseluruhan 25 kabupaten/kota yang diteliti terdapat 9 daerah yang memiliki nilai fixed effect yang bertanda positif atau berada di atas rata-rata keseluruhan kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Pruwakarta, Kota Bekasi, Kota Bandung, dan Kota Depok. Ini artinya nilai PDRB kesembilan kabupaten/kota tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan 17 kabupaten/kota lainnya yang memiliki nilai fixed effect di bawah rata-rata keseluruhan kabupaten/kota.

2. Model II: Nilai Koefisien Intersep Pengangguran

Estimasi pada Model II (Model Pengangguran) menghasilkan nilai koefisien yang berbeda antardaerah. Ini berarti ada pengaruh belanja pemerintah, pertumbuhan ekonomi, dan upah minimum terhadap jumlah pengangguran yang berbeda untuk setiap daerah.

Kabupaten/kota yang memiliki nilai intersep persamaan pengangguran yang positif, yaitu Kabupaten Cianjur, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Sukabumi. Kabupaten Cianjur memiliki nilai fixed effect dan intersep tertinggi, yaitu masing-masing sebesar 1,15 dan 0,54. Ini berarti apabila variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus), perubahan pengangguran adalah sebesar koefisien intersepnya, yaitu 0,54.

Kabupaten/kota yang memiliki koefisien intersep terendah, yaitu Kabupaten Bekasi dengan intersep sebesar –1,67. Ini berarti Kabupaten Bekasi memiliki


perubahan pengangguran, yaitu secara rata-rata turun sebesar 1,67 (ceteris paribus).

3. Pengaruh Belanja Pemerintah terhadap PDRB dan Pengangguran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja pemerintah untuk kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat pada periode 2009–2015 berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (kenaikan PDRB). Nilai koefisien belanja pemerintah adalah sebesar 0,448, yang berarti setiap terjadi kenaikan belanja pemerintah sebesar 1%, PDRB akan naik sebesar 0,448% (ceteris paribus). Sebaliknya jika terjadi penurunan belanja pemerintah sebesar 1%, PDRB turun sebesar 0,448%. Hasil penelitian di kabupaten/kota provinsi Jawa Barat tidak sejalan dengan kondisi laju belanja pemerintah terhadap laju PDRB Provinsi Jawa Barat. Laju Belanja Pemerintah Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan, sedangkan laju PDRB di Provinsi Jawa Barat mengalami penurunan.

Hasil penelitian kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat ini sesuai dengan teori Keynes bahwa kenaikan dalam belanja pemerintah menggeser pengeluaran yang direncanakan sehingga meningkatkan aggregate demand yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan/output. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian dari Wahyuni et al. (2017) yang meneliti pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi bahwa kenaikan belanja pemerintah sebesar 1% akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali sebesar 0,532%. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Eko (2008) bahwa setiap kenaikan belanja pemerintah sebesar 1%, pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0,0038%. Akan tetapi, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Bahaddi dan Karim (2017) yang meneliti pengaruh pengeluaran publik terhadap pertumbuhan ekonomi di Maroko bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan.

Model kedua menunjukkan bahwa belanja pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengangguran dengan nilai koefisien sebesar –0.91. Hal ini sejalan dengan hasil regresi pada model pertama, yang menunjukkan bahwa meningkatnya belanja pemerintah sebagai salah satu komponen indikator pertumbuhan ekonomi berdampak pada penurunan jumlah pengangguran di kabupaten/kota di Jawa Barat. Hasil penelitian di kabupaten/kota provinsi Jawa Barat sejalan dengan kondisi laju belanja pemerintah terhadap tingkat pengangguran di Provinsi Jawa Barat, yaitu belanja pemerintah Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan, sedangkan tingkat pengangguran di Provinsi Jawa Barat mengalami penurunan.


Hasil penelitian di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat ini sejalan dengan penelitian Ozcelei dan Ozkan (2017) yang meneliti faktor-faktor makro ekonomi yang dapat memengaruhi pengangguran di negara G10, dengan hasil bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap jumlah pengangguran. Akan tetapi, berbeda dengan hasil penelitian Eko (2008) yang menyatakan bahwa belanja pemerintah tidak berpengaruh terhadap jumlah pengangguran di kabupaten/kota di Jawa Tengah.

Hasil penelitian menunjukkan kemungkinan adanya efisiensi pelaksanaan program pembangunan dan pengelolaan anggaran belanja modal pada APBD kabupaten/kota di Jawa Barat selama periode 2009–2015, sehingga alokasi belanja pemerintah untuk kegiatan pembangunan berbagai fasilitas publik berpengaruh positif terhadap penurunan pengangguran.

4. Pengaruh Investasi Swasta terhadap PDRB

Hasil estimasi pada periode 2009–2015 variabel Investasi Swasta berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB. Nilai koefisien estimasi sebesar 0,005 dapat diinterpretasikan bahwa kenaikan investasi swasta sebesar 1% menyebabkan kenaikan PDRB sebesar 0,005% ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan teori Keynes tentang pengaruh investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan juga penelitian Yasin (2003) yang menyatakan bahwa investasi swasta berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Sub Sahara Afrika. Hasil penelitian juga sejalan dengan penelitian dari Sinha (1997), Waluyo (2004) dan penelitian Nazmi dan Ramirez (1997) bahwa investasi swasta berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Distribusi penyebaran total investasi PMA dan PMDN menurut kabupaten/kota yang tidak merata dan cenderung terpusat pada beberapa daerah menyebabkan investasi mempunyai pengaruh yang cukup kecil koefisiennya terhadap PDRB daerah secara keseluruhan dibandingkan dengan pengaruh Belanja Pemerintah yang lebih besar pengaruhnya terhadap PDRB walaupun nilai dari Belanja Pemerintah pada periode 2009–2015 secara nominal lebih kecil 1,5 kali dari total nilai investasi swasta. Di samping itu, suatu kegiatan investasi memerlukan jangka waktu tertentu untuk dapat dirasakan dampaknya terhadap perekonomian.

5. Pengaruh Upah Minimum terhadap Pengangguran

Dari hasil regresi Model II dapat dijelaskan bahwa variabel upah (yang diproksi dari upah minimum kabupaten/kota) berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah pengangguran pada periode 2009–2015 di kabupaten/kota di Provinsi


Jawa Barat. Ini berarti bahwa kenaikan tingkat upah menyebabkan kenaikan jumlah penganguran. Nilai koefisien estimasi dari variabel upah adalah sebesar 0,235 upah naik 1% akan menaikkan jumlah pengangguran sebesar 0,235% (ceteris paribus).

Upah minimum dalam penelitian ini lebih besar pengaruhnya terhadap pengangguran di Jawa Barat dibandingkan pengaruh upah terhadap pengangguran dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Smeru Research Report (2001) bahwa kenaikan upah sebesar 10% akan mengurangi penyerapan tenaga kerja di Indonesia (menyebabkan pengangguran sebesar 1,1%). Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian dari Eko (2008) bahwa kenaikan upah di Jawa Tengah sebesar 1% meningkatkan pengangguran sebesar 2,26%. Mankiw (2003) menyatakan bahwa kenaikan upah minimum sebesar 10% mengurangi para pekerja muda sebesar 1–3%.

Dampak upah minimum terhadap perusahaan berbeda antarsektor. Dampak terbesar adalah sektor yang paling padat karya. Perusahaan tidak memiliki banyak pilihan selain mematuhi peraturan, bahkan ketika mengalami kesulitan untuk membayar upah pada tingkat ini. Biaya ketidakpatuhan dipertimbangkan lebih besar karena cenderung memancing protes dan pemogokan oleh pekerja, mengganggu produksi, dan mengakibatkan penundaan pengiriman produk ke pelanggan. Memang ada peraturan yang memberi kesempatan bagi perusahaan-perusahaan yang mengalami kesulitan dalam mematuhi peraturan upah minimum untuk meminta pembebasan sementara. Namun, persyaratan untuk mendapatkan pengabaian ini sulit dipenuhi dan mahal, salah satunya adalah audit oleh akuntan publik.

6. Pengaruh Pengangguran dan PDRB

Dari hasil estimasi pada model I (Model PDRB) pada periode 2009–2015 di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat diketahui bahwa pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap output (PDRB). Adapun variabel PDRB pada model II (Model Pengangguran) menunjukkan PDRB berpengaruh positif, tetapi tidak signifikan terhadap pengangguran pada periode 2009–2015 di kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat. Jadi, ketika PDRB mengalami penurunan, jumlah pengangguran ikut menurun, dan begitu juga sebaliknya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan kondisi tingkat pengangguran di Provinsi Jawa Barat yang mengalami penurunan dan diikuti olehperlambatan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat. Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan di kabupaten/kota provinsi Jawa Barat ini tidak sejalan dengan konsep


dari hukum Okun bahwa terdapat relasi negatif antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian ini juga bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amor dan Hassine (2017) yang bertujuan untuk mengetahui validitas hukum Okun di Arab Saudi. Hasil yang didapatkan menguatkan hukum Okun dan menunjukkan relevansi hubungan kausalitas untuk keputusan kebijakan ekonomi dan mengenai pekerjaan.

Penelitian ini juga bertentangan dengan Roșoiu (2014) yang melakukan penelitian hubungan antara tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi di Amerika yang menunjukkan hasil yang menegaskan pandangan teoretis yang diungkapkan oleh hukum Okun. Hasil penelitian yang dilakukan Sogner dan Stiassny (2000) yang berjudul Cross Country Study On Okun Law menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap pengangguran. Begitu pula, dengan penelitian dari Dogru (2013) yang menyelidiki pengangguran dan pertumbuhan ekonomi di Zona Euro dengan hasil yang menunjukkan –0,6 Fixed (homogen) untuk semua negara. Koefisien ini mewakili koefisien Okun dan menunjukkan elastisitas jangka panjang. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syahwier (2005) dan penelitian yang dilakukan oleh Wardhana (2006). Kedua penelitian tersebut memberikan hasil dan pendapat yang sama tentang pengaruh GDP dan tingkat pengangguran bahwa kenaikan GDP tidak memengaruhi penyerapan tenaga kerja. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Akeju dan Olanipekun (2014) yang meneliti validitas hukum Okun di Nigeria memberikan hasil bahwa hukum Okun tidak berlaku di Nigeria.

Ketidaksesuaian hasil penelitian yang dilakukan di kabupaten/kota provinsi Jawa Barat diduga karena ekonomi kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat berorientasi pada padat modal, bukan padat karya. Dari distribusi persentase GDP pada periode tahun 2010 sampai tahun 2015 menurut lapangan usaha, terlihat bahwa sektor industri pengolahan yang dominan dalam menyumbang pendapatan antara 43,03% sampai dengan 44,51%, tetapi sektor tersebut hanya menyerap tenaga kerja tidak lebih dari 20% sampai dengan 21% pada periode yang sama. Hal ini karena kontribusi yang paling besar dalam pertumbuhan ekonomi adalah sektor industri manufaktur dan sektor tersebut merupakan industri padat modal, bukan padat karya.

D. Kesimpulan

Berdasarkan kajian empiris dan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut:


1. Belanja pemerintah kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat periode 2009–2015 memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB.

2. Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat periode 2009–2015 berpengaruh negatif dan signifikan pada pengurangan jumlah pengangguran.

3. Investasi swasta yang dilihat dari data PMA dan PMDN pada periode 2009–2015 memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB di kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat.

4. Jumlah Pengangguran pada periode 2009–2015 berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat.

5. Upah Minimum Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat berpengaruh positif dan signifikan terhadap kenaikan jumlah pengangguran di kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat pada periode 2009–2015.

6. PDRB berpengaruh positif, tetapi tidak signifikan terhadap jumlah pengangguran di kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat pada periode 2009–2015. Ini berarti bahwa selama periode penelitian, PDRB tidak mampu mendorong pengurangan jumlah pengangguran.


1. Belanja Pemerintah berpengaruh positif terhadap kenaikan PDRB. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota di Jawa Barat seharusnya meningkatkan belanja pemerintah, terutama pada belanja yang mengarah pada terciptanya akumulasi modal (menciptakan capital stock) guna meningkatkan output produksi. Hal ini dapat menciptakan kenaikan PDRB yang berkesinambungan.

2. Investasi merupakan unsur penting dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat harus mampu menciptakan iklim kondusif, baik dari sisi birokrasi maupun sisi infrastruktur sehingga adanya investasi mampu meningkatkan ekonomi dan mengurangi jumlah pengangguran.

3. Kebijakan upah minimum kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat harus dipertimbangkan secermat mungkin terkait dengan jumlah pengangguran dan sisi pemenuhan kebutuhan hidup yang layak bagi pekerja.

4. Berdasarkan hasil estimasi bahwa jumlah pengangguran memiliki keterkaitan yang cukup kuat dengan output (PDRB) dan mengingat pentingnya penurunan


angka pengangguran, pemerintah kabupaten/kota hendaknya memanfaatkan kebijakan-kebijakan yang mampu menciptakan aktivitas kegiatan (investasi) sehingga meningkatkan skala ekonomi (usaha) dan menekan angka pengangguran. Pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat seharusnya berorientasi pada padat karya. Sektor-sektor yang dominan seperti sektor industri diharapkan dapat meningkatkan kapasitas produksi agar menyerap banyak tenaga kerja sehingga mengurangi angka pengangguran.

EVALUASI EKONOMI WISATA PANTAI GLAGAH INDAH, KULON PROGO, D.I. YOGYAKARTA DENGAN TRAVEL COST METHOD

Nama : Putra Lambang Nugraha

Instansi : Pemkab Magelang

Tahun Intake : 2016






EVALUASI EKONOMI WISATA PANTAI GLAGAH INDAH, KULON PROGO, D.I. YOGYAKARTA DENGAN TRAVEL COST

METHOD

A. Latar Belakang

Pantai Glagah Indah merupakan salah satu objek wisata terkenal di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara administratif, pantai ini terletak di Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berjarak kurang lebih 40 kilometer sebelah barat daya kota Yogyakarta dan 15 kilometer ke arah selatan dari kota Wates, Ibu kota Kabupaten Kulon Progo. Pantai ini merupakan salah satu pantai dengan hamparan pasir yang berwarna hitam dan banyak mengandung pasir besi. Garis pantainya sangat panjang dibatasi sungai Serang di sisi timur dan sungai Bogowonto di sisi barat. Daya tarik utama adalah adanya pemecah ombak (break water), laguna (danau air payau), agrowisata, dan pelabuhan Samudera, yang tidak dapat ditemui di pantai lain di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sepanjang pantai terbentuk gumuk pasir dengan lebar 1 km dan tinggi 2–3 meter di atas permukaan laut yang termasuk dalam keajaiban dunia.

Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012–2032 menetapkan pantai Glagah sebagai kawasan peruntukan pariwisata alam. Pantai ini ditetapkan sebagai salah satu kawasan strategis pariwisata daerah pantai selatan yang memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata. Dalam rangka pengembangan fasilitas kepariwisataan, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo mendukung pengembangan kawasan Pantai Glagah sebagai kawasan bertema wisata alam, pantai, dan konservasi, serta wisata kuliner tepi laut dan surga makanan hasil laut (seafood paradise) dengan segmen wisatawan massal. Hal ini diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2015–2025.

Pada tahun 2012, wisatawan yang mengunjungi pantai ini sebanyak 545.743 orang dan pada tahun 2016, meningkat menjadi 1.289.695 orang pada tahun 2016. Persentase kenaikan kunjungan wisata tiap tahun dari tahun 2012 s.d. 2016 rata-rata sebesar 3,27%. Peningkatan jumlah pengunjung setiap tahun diikuti peningkatan penerimaan PAD Kulon Progo dari sektor pariwisata. Penerimaan retribusi dari objek wisata pantai Glagah mencapai Rp940.731.000,00 pada tahun 2012 meningkat menjadi Rp1.543.528.000,00 pada tahun 2016.


Objek wisata pantai Glagah juga merupakan penyumbang kunjungan wisatawan terbanyak di Kulon Proga, yaitu 262.312 orang pada tahun 2011, tetapi pada tahun 2016, menempati peringkat kedua, dengan jumlah wisatawan sebanyak 314.021. Hal ini menunjukkan bahwa persentase jumlah kunjungan ke pantai Glagah dibandingkan jumlah total kunjungan wisatawan Kulon Progo dari tahun ke tahun semakin menurun. Dari sebesar 48,07% pada tahun 2011 menjadi 24,56 % pada tahun 2016.

Objek wisata pantai Glagah juga merupakan penyumbang kontribusi terbesar dalam total penerimaan retribusi wisata di Kulon Progo yang mencapai 79,49% pada tahun 2011, tetapi cenderung menurun menjadi 57,37 % pada tahun 2016.

Adapun permasalahan yang terkait dengan objek wisata ini adalah sebagai berikut:

1. Objek wisata alam yang dimiliki Kabupaten Kulon Progo cukup beragam, tetapi belum bisa dikembangkan secara optimal, khususnya Pantai Glagah. Hal ini karena belum ada investor yang tertarik untuk menanamkan investasi pariwisata di pantai tersebut. Para investor menganggap bahwa objek wisata yang ada di Kulon Progo masih kurang dikenal dibanding objek wisata lain di Daerah Istimewa Yogyakarta (Tribun Jogja, 5 Juni 2015).

2. Minimnya dana pengembangan wisata di pantai Glagah. Sebagai contoh realisasi dana pengerukan laguna hanya Rp250 juta dari Rp1,5 miliar total dana yang diajukan. Dana yang minim ini membuat pengerukan laguna sebagai wahana pengembangan pariwisata dan olahraga belum bisa terwujud. Kendala investasi dan masih sedikitnya dana pengembangan pantai wisata Glagah di Kulon Progo merupakan gambaran belum optimalnya pengelolaan aset sumber daya alam. (Tribun Jogja, 12 Mei 2017).

3. Belum tertibnya bangunan-bangunan semi permanen di tepi pantai, kondisi fasilitas umum yang ada dan gardu pandang yang tidak terawat menyebabkan para pengunjung enggan untuk memanfaatkannya. Selain itu, kurangnya fasilitas kebersihan menyebabkan menumpuknya sejumlah sampah di kawasan wisata, minimnya sarana penunjang sarana wisata dan adanya perbaikan jembatan menuju lokasi wisata juga menyebabkan menurunnya jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2016.

4. Belum fokusnya pemerintah daerah dalam upaya perawatan dan pengembangan objek wisata Pantai Glagah karena tidak mengetahui nilai ekonomi yang merupakan nilai kuantitas harga atas manfaat rekreasi dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Untuk itu, diperlukan sebuah penilaian ekonomi dari Pantai Glagah supaya nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari tempat wisata tersebut dapat diketahui. Objek wisata adalah barang publik yang tidak


mempunyai nilai pasar sehingga dapat dinilai dengan menggunakan Travel Cost Method (TCM) (Ward,2002).


Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah faktor-faktor yang memengaruhi jumlah kunjungan ke Pantai Glagah?2. Berapakah nilai ekonomi objek wisata Pantai Glagah berdasarkan Travel Cost

Method?3. Apakah peran pemerintah daerah dalam pengembangan wisata Pantai Glagah?

Ruang lingkup penelitian ini membahas valuasi ekonomi wisata Pantai Glagah menggunakan analisis Travel Cost Method dan mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi jumlah kunjungan wisatawan ke objek wisata pantai Glagah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan statistik, yaitu metode penelitian dengan cara pengumpulan data mengklasifikasikan data, dan menganalisis data kemudian menginterpretasikannya.

Jenis data yang digunakan dalam penlitian ini terdiri atas dua macam, yaitu:

1. data primer dikumpulkan langsung dari objek penelitian dengan berupa survei lapangan dan wawancara dengan para pengunjung di Pantai Glagah.

2. data sekunder didapat dari Dinas Pariwisata Kabupaten Kulon Progo, BPS, dan instansi lain yang terkait dalam penelitian ini.

Populasi adalah jumlah dari keseluruhan objek (satuan/individu) yang karakteristiknya hendak diduga. Satuan/individu ini disebut unit analisis. Unit analisis mungkin merupakan orang, rumah tangga, tanah pertanian, perusahaan dan lain-lain dalam bentuk yang biasa dipakai dalam survei.

Sampel adalah sebagian dari populasi yang karakteristiknya hendak diselidiki, dan dianggap bisa mewakili keseluruhan populasi (jumlahnya lebih sedikit daripada jumlah populasinya). Dalam menentukan besarnya sampel ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu (Djarwanto, 1996);

1. Derajat keseragaman dari populasi. Semakin seragam populasi itu, semakin kecil sampel yang akan diambil dan sebaliknya.

2. Presisi yang dikehendaki dari penelitian. Semakin tinggi presisi yang dikehendaki, semakin besar sampel yang diambil. Sebaliknya, kalau penelitian itu dapat menoleransi tingkat presisi yang lebih rendah, sampel dapat diperkecil.


3. Biaya, tenaga dan waktu yang tersedia. Makin besar biaya, tenaga, dan waktu yang tersedia, akan makin besar juga sampel yang dapat diambil.

Pengambilan sampel data primer dilakukan dengan metode non probability sampling, yaitu metode sampling karena setiap unsur dalam populasi tidak memiliki peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur dalam populasi yang dipilih menjadi sampel. Adapun pelaksanaan di lapangan dilakukan dengan cara sampling accidental, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang bertemu dengan peneliti yang dapat dijadikan sampel apabila orang yang ditemui itu cocok sebagai sumber data.


1. Pengaruh Biaya Perjalanan terhadap Jumlah Kunjungan

Koefisien variabel travel cost atau biaya perjalanan (TC) sebesar –0,00000591 menunjukkan bahwa variabel independen memiliki pengaruh negatif yang signifikan secara statistik terhadap jumlah kunjungan individu. Setiap kenaikan biaya perjalanan sebesar Rp1.000,00 akan menurunkan jumlah kunjungan sebesar 0,00591 kali. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi biaya perjalanan individu, semakin rendah jumlah kunjungan individu ke objek wisata Pantai Glagah.

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Blackwell, dkk (2007) atas objek wisata Pantai Mooloolaba di Quensland, Australia, dan penelitian yang dilakukan oleh Zhang (2003) terhadap objek wisata Pantai Gold Coast di Australia, yang menyatakan bahwa biaya perjalanan berpengaruh negatif terhadap jumlah kunjungan individu atas objek wisata tersebut.

2. Pengaruh Penghasilan terhadap Jumlah Kunjungan

Koefisien variabel penghasilan (INC) sebesar 0,000000253 menunjukkan bahwa variabel independen memiliki pengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap jumlah kunjungan individu. Setiap kenaikan penghasilan sebesar Rp1.000,00 akan meningkatkan jumlah kunjungan sebesar 0,000253 kali. Hal tersebut berarti semakin tinggi penghasilan individu, semakin tinggi jumlah kunjungan individu ke objek wisata Pantai Glagah. Hasil tersebut sejalan dan mendukung penelitian yang dilakukan oleh Bulow, dkk (2007) atas objek wisata Taman Nasional Periyar, India, yang menyatakan bahwa penghasilan berpengaruh positif terhadap jumlah kunjungan individu.


3. Pengaruh Usia (Age) terhadap Jumlah Kunjungan

Koefisien variabel usia sebesar –0,004092 menunjukkan bahwa variabel independen memiliki pengaruh negatif, tetapi tidak signifikan secara statistik terhadap jumlah kunjungan individu. Setiap kenaikan usia sebesar 1 tahun akan menurunkan jumlah kunjungan sebesar 0,004092 kali. Hal tersebut berarti semakin tinggi usia seseorang, semakin rendah jumlah kunjungan ke objek wisata Pantai Glagah.

Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Bekkay et al. (2013) yang bertujuan menentukan nilai ekonomi terhadap objek wisata Taman Nasional Souss Massa di Maroko, Afrika yang menyatakan bahwa usia adalah salah satu variabel yang berpengaruh negatif terhadap jumlah kunjungan. Akan tetapi, tidak signifikan karena yang banyak mengunjungi Pantai Glagah adalah pengunjung usia muda, yang bisa menikmati kegiatan rekreasi yang memerlukan kondisi fisik yang baik. Pada umumnya, semakin tinggi usia seseorang, kondisi fisiknya semakin menurun. Dengan demikian, semakin tinggi usia pengunjung, semakin berkurang kenikmatan yang diperolehnya dalam melakukan wisata.

4. Pengaruh Pendidikan (Education) terhadap Jumlah Kunjungan

Koefisien variabel pendidikan sebesar –0,005898 menunjukkan bahwa variabel independen memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan secara statistik terhadap jumlah kunjungan individu. Setiap kenaikan lama pendidikan sebesar 1 tahun akan menurunkan jumlah kunjungan sebesar 0,005898 kali. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan individu, semakin tinggi jumlah kunjungan ke objek wisata Pantai Glagah.

Namun, dalam penelitian ini, variabel tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan individu. Hal ini terkait dengan karakteristik objek wisata Pantai Glagah yang dapat dinikmati oleh berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang tingkat pendidikan. Pengunjung objek wisata Pantai Glagah memiliki beragam latar belakang tingkat pendidikan mulai dari SMP sampai dengan perguruan tinggi.

5. Pengaruh Dummy Substitusi terhadap Jumlah Kunjungan

Koefisien variabel dummy substitusi (DSUBT) sebesar –0,423797 menunjukkan bahwa variabel independen berpengaruh negatif dan signifikan secara statistik terhadap jumlah kunjungan individu. Jika terdapat wisata substitusi sebesar 1 akan menurunkan jumlah kunjungan sebesar 0,423797 kali. Hal tersebut karena


adanya pergeseran tren wisata Kulon Progo dari wisata pantai menjadi wisata pegunungan, yaitu wisata daerah bukit Menoreh.

Hasil tersebut sesuai dengan hukum permintaan bahwa adanya substitusi atas suatu barang atau jasa akan berpengaruh terhadap permintaan terhadap barang atau jasa itu sendiri. Jika harga suatu barang atau jasa naik, individu akan beralih ke barang atau jasa lain yang merupakan substitusi dari barang tersebut (Parkin, Powell, Matthews, 2005: 55).

6. Estimasi Nilai Ekonomi Objek Wisata Pantai Glagah

Nilai ekonomi objek wisata Pantai Glagah dapat diketahui melalui surplus konsumen. Menurut Creel dan Loomis (1990) dalam Shrestha, Siedl, dan Moraes (2002), surplus konsumen untuk model count data dapat menggunakan negatif inverse dari koefisien travel cost. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai surplus konsumen per individu per kunjungan adalah sebesar Rp169.204,00. Untuk memperoleh nilai ekonomi dari objek wisata Pantai Glagah, surplus konsumen tersebut dikalikan dengan jumlah pengunjung objek wisata Pantai Glagah selama 1 tahun.

Berdasarkan data yang diperoleh melalui pengelola objek wisata Pantai Glagah, jumlah pengunjung objek wisata Pantai Glagah pada tahun 2017 adalah 337.266 orang. Dengan mengalikan surplus konsumen dengan jumlah pengunjung objek wisata Pantai Glagah tersebut, nilai ekonomi objek wisata Pantai Glagah sebesar Rp63.835.180.350,00 per tahun.

7. Peran Pemerintah dalam Pengembangan Wisata Pantai Glagah

Peran pemerintah dalam pengembangan wisata pantai Glagah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Kepariwisataan Nasional Tahun 2010–2025, yaitu Pantai Glagah dimasukkan sebagai kawasan yang termasuk Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Provinsi DIY Nomor 1 tahun 2012 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan DIY Tahun 2012–2025 yang menyebutkan bahwa Pantai Glagah merupakan bagian dari kawasan strategis pariwisata DIY. Program dan kegiatan Pemerintah Provinsi DIY untuk pengembangan pantai Glagah, di antaranya peningkatan akses jalan, perbaikan bahu jalan, pelebaran jalan, peningkatan dan penyediaan sarana) lampu jalan, pengaman tepi, dan pemasangan rambu jalan.


Pemkab Kulon Progo pun telah berkomitmen untuk mengembangkan wisata Pantai Glagah dengan menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pariwisata Daerah Tahun 2015–2025. Saat ini pengembangan destinasi wisata Pantai Glagah sedang dalam pembahasan rencana pengembangan berupa pembuatan DED dan masterplan baru karena pada kawasan pantai Glagah terdapat proyek bandara baru. Untuk meningkatkan daya tarik pantai Glagah, pemerintah kabupaten Kulon Progo menyelenggarakan kegiatan atraksi wisata, promosi wisata, pembinaan desa wisata, pembinaan usaha jasa pariwisata, dan lain-lain.

Permasalahan terkait dengan penyelenggaraan sarana prasarana objek wisata tidak terbatas hanya pada jumlah yang belum mencukupi bagi seluruh obyek wisata di Kabupaten Kulon Progo saja, tetapi tidak dapat dimungkiri, sarana prasarana yang terdapat di setiap objek wisata tersebut memiliki usia yang jika rusak karena umur, bencana alam, atau terkena proyek bandara akan musnah.

D. Kesimpulan

1. Nilai ekonomi objek wisata Pantai Glagah berdasarkan pendekatan travel cost method sebesar Rp63.835.180.350,00 per tahun.

2. Berdasarkan travel cost method, faktor-faktor yang memengaruhi jumlah kunjungan ke objek wisata Pantai Glagah adalah:a. biaya perjalanan berpengaruh negatif terhadap jumlah kunjungan ke objek

wisata Pantai Glagah;b. penghasilan berpengaruh positif terhadap jumlah kunjungan ke objek

wisata Pantai Glagah;c. wisata substitusi berpengaruh negatif terhadap jumlah kunjungan ke objek

wisata Pantai Glagah.3. Peran pemerintah dalam pengembangan wisata Pantai Glagah adalah

menetapkan Pantai Glagah sebagai salah satu kawasan strategis pariwisata nasional, melaksanakan kegiatan pengelolaan, dan pengembangan obyek wisata Pantai Glagah.

E. Saran

Berdasarkan kesimpulan dan keterbatasan, penulis mengajukan saran sebagai berikut:

1. Untuk meningkatkan jumlah kunjungan ke tempat Wisata Pantai Glagah, pemerintah hendaknya menyelesaikan pembangunan bandara Glagah dan infrastruktur pendukung secepatnya sebagai akses transportasi untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dari luar daerah.


2. Untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan, pemerintah daerah hendaknya menekan biaya perjalanan, misalnya menyediakan transportasi angkot menuju objek wisata.

3. Kualitas objek wisata Pantai Glagah perlu ditingkatkan untuk meningkatkan nilai ekonominya. Hal-hal yang perlu dilakukan antara lain:a. meningkatkan kebersihan pantai Glagah dengan pembersihan yang lebih

rutin;b. meningkatkan kebersihan fasilitas-fasilitas pendukungnya, seperti toilet

dan parkir;c. meningkatkan pemeliharaan objek wisata dengan segera mengganti

fasilitas yang rusak untuk mencegah kerusakan yang lebih parah mengingat daerah pantai yang mempunyai tingkat bencana gelombang laut yang sangat tinggi.

4. Pemerintah daerah segera membuat Perda DED, penataan kelembagaan, penataan kawasan, zonasi, serta koordinasi dengan pihak-pihak terkait.

WILLINGNESS TO PAY FOR CLEAN WATER IN HEDONIC PRICE ANALYSIS IN JAVA ISLAND, INDONESIA

Nama : Setya Kurniawan

Instansi : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Tahun Intake : 2015






ABSTRAK

Pulau Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia. Pada saat yang sama, penyediaan air di Pulau Jawa masih rendah dalam praktiknya. Selain itu, Pulau Jawa menghadapi defisit pasokan air dalam konteks penyediaan air. Ketersediaan air bersih di pulauJawa hanya 1.750 m3 per kapita/tahun pada tahun 2000 dan akan berkurang menjadi 1.200 m3 per kapita/tahun; Meskipun demikian, standar minimum kecukupan air adalah 2.000 m3 per kapita/tahun. Peningkatan populasi menambah masalah, dan itu menjadi lebih rumit. Pasokan air bersih diperlukan dan harus dipertahankan. Dengan menggunakan model harga hedonik, makalah ini mencoba mencari Kesediaan Membayar (WTP) untuk air bersih di Pulau Jawa.

Dari data Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) 2014, ditemukan bahwa penduduk secara positif menilai air bersih dari air ledeng dan pompa. Namun demikian, air sumur telah dihargai secara negatif oleh penduduk. Ini bisa karena pencemaran air dan karena itu tidak praktis lagi bagi penghuni untuk memilikinya. WTP untuk air bersih di Pulau Jawa adalah IDR 56.273 untuk air ledeng dan Rp19.430,00 untuk air yang dipompa. Pengolahan air adalah kunci penting untuk memenuhi kebutuhan warga dari air ledeng. Pendidikan telah memainkan peran penting bagi penduduk untuk menjaga preferensi mereka terhadap air bersih. Sebagai barang publik, air harus disediakan untuk orang miskin melalui kebijakan pemerintah (dengan mengurangi biaya transaksi, biaya angsuran, dan model alternatif) untuk mengurangi ketidaksetaraan antara orang miskin dan masyarakat bawah ke kelas atas dalam penyediaan air.


ABSTRACT

Java Island is the most populated island in Indonesia. At the same time, the water provision in Java Island is still low in practice. In addition, Java Island is facing a deficit of water supply in the context of water provision. Clean water availability in Java island is only 1.750 m3 per capita/year in 2000 and will decrease to be 1,200 m3 per capita/year; nonetheless, the minimum standard of water adequacy is 2,000 m3 per capita/year. Increasing the population adds to the problem, and it becomes more complicated. Clean water supply is necessary and should be sustained. Using the hedonic price model, this paper tries to find the Willingness to Pay (WTP) for clean water on Java Island.

From the Indonesia Family Life Survey (IFLS) 2014 data, it is found that residents positively value clean water from piped and pumped water. Nevertheless, well water has been valued negatively by residents. This could be because of water pollution and because it is not practical anymore for residents to have it. WTP for clean water on Java Island is IDR56.273 for piped water and IDR19.430 for pumped water. Water treatment is an important key to fulfill residents’ needs from piped water. Education has played an essential role for residents to keep their preference for clean water. As a public good, water should be provided for poor people through government policy (by reducing transaction cost, installment cost, and alternatives models) to reduce inequality between poor people and lower to high-class people in the water provision.


WILLINGNESS TO PAY FOR CLEAN WATER IN HEDONIC PRICE ANALYSIS IN JAVA ISLAND, INDONESIA

A. Background

The Population in Java and Bali Island grew by 2.1% per annum between 1993 and 2007. The growth is two times the national population growth rate of 1.5% (BPS, 2011). Java island, as the center of development in Indonesia, is the most populated island, already urbanized (approximately 65% or 136 million) (BPS, 2013). Five of the major cities in Java has a population of more than one million. Jakarta is the capital and the biggest city in Indonesia with 17 million residents.

As urban areas grow, the basic needs of the inhabitants also grow. The provision of basic services including sanitation, water supply, solid waste collection, stormwater and grey water disposal, and electricity are important in society. The rapid increase in population, if not supported by an increase in services, could create an adverse effect on cities. One example of such negative effects of urbanization are environmental issues such as waste problem, air pollution, and water pollution and provision.

Among the environmental issues, the problem of water supply will become very important in the future. Only less than 1% of water can be used out of the total volume of water on earth (Pinderhughes, 2004). Yap and Moe Thuzar (2012, p. 280) claimed that the average daily consumption of clean water per person in 2012 was approximately 150 liters in Southeast Asia (with a wide variety of values from a few liters up to over 300 liters). Out of that amount, almost 80 to 90% is used for cooking and drinking, while the rest is used for other purposes. Daily wastewater production in Southeast Asia reached 30 million cubic meters per day from household level (Yap & Moe Thuzar, 2012).

Water in Indonesia is mainly provided by three sources: piped water, pumped water, and well water. A majority of Indonesians use water from those sources for clean water needs. A previous study conducted by Yusuf and Koundouri (2005) shows that people value having access to all three water sources. However, because of the urban development and environmental degradation in the recent years, the condition might be different.

Pujiastuty (2016) found the relationship between the distance of well water and river regarding the presence of E.Coli bacteria in Lampung. Other studies by (Setiyono & Yudo, 2008; Yudo, 2006, 2010) held in some rivers in Java island found there has been pollution in the rivers due to human and industrial activities. Those findings might be affected by urban development.


Water scarcity also took place in Java Island. Deforestation that has been occurring for a long time has made the water supply decrease (Rusdiana, 2001). Jakarta needs water supply approximately 26.938 liters/second while the availability of water was only 17.700 liters/second. Also, in the year 2000, water availability in Java Island reached 1.750 m3/capita/year. This amount will be decreased to 1.200 m3/capita/ year; nevertheless, the minimum standard of adequacy is 2.000 m3/capita/year (Budi Prihatin, 2013).


Java Island is the most urbanized island in Indonesia and accounts for 65% of the population. Following the urbanization, increasing demand in the housing sector is one of example regarding this development. In addition as mentioned earlier, since this rapid growth demand for water also increases.

However, due to environmental degradation water resources also become scarce in some areas in Java Island. Providing clean water to society is an urge for Government. Calculating Willingness To Pay (WTP) for clean water is one way to provide the information of clean water provision. From the results, certain action to provide clean water could be undertaken.

In this paper, the variables that will be used as the approach for hedonic price function are imputed rent, water-related characteristics, house related characteristics, and the total expenditure of the household. Imputed rent refers to the situation in which the house owner enquires about how much they would have to pay to rent their house if they do not own it.

Water-related characteristics include the availability of clean water sources for main uses needs and other uses along with the distance from the water sources. Yusuf and Koundouri (2005) used three sources of water as an approach to hedonic price analysis; piped water, pumped water, and well water. From those sources of water, the utilization divided into two main functions: main uses (drinking, cooking) and other uses (bathing, laundry, gardening).

House related characteristic variables that will be included in the models are the following: house size, the availability of a toilet, house dwelling, the availability of ventilation, the number of rooms, floor materials, and wall materials. Household expenditure is used to measure the neighborhood relation in the community.



1. Data Description

The data that will be used to conduct this paper is obtained from Indonesia Family Life Survey (IFLS) fifth wave. The IFLS is a continuing the longitudinal survey on socioeconomics and health. First conducted in 1993, known as the first wave. The survey has been repeated five times since the beginning. It is also based on a household’s samples representing the Indonesian population living nationwide. This representation allows comparing urban and rural households in the sample. (Strauss, Witoelar, & Sikoki, 2016).

The IFLS data collection included the individual respondents, households, and families of the respondents, and the neighborhood environment. The classification of the sample units as living in urban or rural areas is based on Badan Pusat Statistik (BPS), the Indonesian Statistics Agency. The IFLS data could be used concerning behavior changes at a specific time. It is not specially designed to estimate hedonic price models, or purposively designed as a survey to estimate models. However, there are some variables could be used in the hedonic price approach.

2. Hedonic Function Parameter

Following Yusuf & Koundouri (2005) to check the validity of pooled sample to be employed the hedonic analysis, Chow test is conducted on the results of hedonic models in the urban and rural samples. From the results, Chow test result suggests accepting the null hypothesis that there is no structural change between the rural sample and urban sample. Hence, the hedonic function of rural and urban areas are statistically similar and pooling the two sample will produce an unbiased result. In the next discussion, the analysis of hedonic price will only focused on the pooled sample. In addition, the focus of water for main uses (drinking and cooking) will be highlighted for the results.

As mentioned in the preceding section of hedonic price, the dependent variable in hedonic price models is usually the actual house price or rent (Boardman et al., 2010). However, it is difficult to find the standard rate or rent for a particular house due to asymmetric information between suppliers and buyers. One approach that could be employed is using imputed rent (Anshory Yusuf & Koundouri, 2004, 2005; North & Griffin, 1993; Yusuf & Resosudarmo, 2009).

The results show that piped water from main uses has a positive sign with the dependent variable in all domains (either in the urban, rural, or pooled sample).


The highest significance result is provided in the pooled sample. This finding shows that piped water has a significance level of 99% and a positive relation. Availability of piped water would make a difference its rent price by almost 16% compare with the one which has not piped water network. This result is consistent with some previous studies in the hedonic price of houses related to availability of clean water from piped sources (Yusuf & Koundouri, 2005; Arimah, 1992; Choumert, Stage, & Uwera, 2015; Himayatullah, 2010; Megbolugbe, 1989; Twerefou, Tutu, Botchway, & Darkwah, 2015).

Pumped water also has a positive sign with the dependent variable. The presence of pumped water would make a difference the rent price for only 6%. This might be because nowadays, there are only a few people who want to install pumped water in their house. Pumped water is now used by hospitals, hotels, and supermarkets (Budi Prihatin, 2013).

Other negative signs in the characteristics of water in the pooled sample is the presence of well water for main uses. This result is different from the finding of Yusuf and Koundouri (2005). There might be two reasons why this result is different. One possibility is that it is not practical anymore to have well water inside a house since it would take time, space and effort in the household to make well water (Anshory Yusuf & Koundouri, 2004). This reason also has been pointed out by North and Griffin (1993) in their research.

Another factor that interesting to be discussed is related to the water pollution. This water contamination has become a concern in certain areas (Anshory Yusuf & Koundouri, 2004). Budi Prihatin (2013) said that there are several factors influencing the degradation of water quality; urbanisation, and infrastructure development that do not consider water and soil conservation, industrial activities, overuse of pumped water by hotels, hospitals, malls, and apartments. The clean water provision in Jakarta as the capital city in 2012 reached only 61.06%.

Other studies also mentioned that in some Indonesia rivers, the pollution level is alarming (Setiyono & Yudo, 2008; Yudo, 2010) and the contamination from the chemical part has reached over ambient levels. Those pollutants come especially from household and industrial activities.

The direct pollution to well water comes from the household’s sewage and septic tank. Even in developed countries like the United States (US), pollution in good water occurred (Hanchar, 1991). It is estimated that a quarter of all homes in the US depends on septic systems to dispose their human wastes. Even though each individual system dethatches a relatively slight amount of waste into the ground, the accumulations of it make them a serious source of contamination.


The improper location of septic systems, design, construction, or maintenance could contaminate groundwater with viruses, bacteria, nitrates, oils, detergents, and chemicals. Another problem occurs when residents add septic tank systems containing synthetic organic chemicals (such as 1,1,1- trichloroethane or methylene chloride) (New England, n.d.). These cleaners can contaminate water supply wells and interfere with natural decomposition processes in septic systems. Indonesia also countered a similar problem. Herlambang (2006) mentioned that in Jakarta, the amount of household wastewater has been increasing due to improper sanitation. This condition has led to waterborne diseases.

These results show that house characteristics explain the rental house even though the degree of significance is different. Size of the house, multilevel house, and floor material from ceramics has a degree of significance 99% in explaining the decision to rent a house.

3. Willingness to Pay Analysis

The results of Willingness To Pay (WTP) for main uses in Java Island are reported in Table 5. The calculation for (WTP) is obtained from the coefficients for water characteristics for main uses in hedonic function and median monthly ren (Yusuf & Koundouri, 2005). The results only show the amount of willingness to pay for piped water and pumped water for main uses (drinking) in Java Island. The WTP for well water is not included in the calculation since the relationship is negatively correlated with the hedonic function.

Table 5 MWTP across Java Island

Province(IDR)

imputed rent(IDR)

piped water(IDR)

pump water(IDR)

JakartaWest javaCentral javaJogjakartaEast JavaBanten

WTP_median

833.333333.333200.000291.667166.667400.000

312.500

150.06160.02436.01552.52130.01272.029

56.273

51.81420.72512.43518.13510.36324.871

19.430

The highest WTP of water for main uses for piped and pumped water in Jakarta is IDR150.061 and IDR51.814 respectively. This corresponds to the facts


that Jakarta is the biggest city in Indonesia, and the average income per capita of Jakarta residents is higher than that in other areas. As can be seen in the table, the monthly imputed rent in Jakarta is IDR833.333.

Following Jakarta, Banten has the second highest WTP for clean water in Java Island. This is probably because many workers who work in Jakarta live in parts of Banten Province, for instance, in South Tangerang, Tangerang city, and Bekasi. The manufacturing sector is also concentrated in parts of Banten Province such as Pandeglang and Cilegon. These are some of the reasons that might explain the WTP in Banten Province ranks second. Following the Banten Province, the WTP in each province is as follows: West Java, Jogjakarta, Central Java, and East Java.

The median WTP for clean water for main uses in Java Island is IDR56.273 (0.89% of the total expenditure) for piped water and IDR 19.430 (0.38% of the total expenditure) for pumped water. The percentage of this WTP estimation is lower than what Anshory Yusuf & Koundouri (2005) found. Their percentage estimation was 3.6% of the expenditure for piped water and 1,4%of the expenditure for pumped water. However, the value of money is increased to approximately four times as compared to their results.

Nevertheless, this study is consistent with the study of (Casey, Kahn, & Rivas, 2006; Jianjun, Wenyu, Ying, & Xiaomin, 2016; Rodriguez, Revollo-fernandez, & Morales-novelo, 2017; WSP, 2003) where the percentage of WTP for clean water ranging from 0.2% to 2.5% among Brazil, China, Mexico, and Bangladesh. Moreover, Jiwanji (2000) as cited by (Anshory Yusuf & Koundouri, 2005; WSP, 2003) stated that the among the results of WTP using for piped, pumped, well for water is around 0.2% to 10.7% of income.

Those results are lower from what suggested by World Bank which is known as the 3–5% rule. Which consider those poor people can not afford safe drinking water regarding the provision more than 3–5% of their income. Some scholar (Nauges & Whittington, 2010; Rodriguez et al., 2017; Vásquez, Mozumder, Hernández-Arce, & Berrens, 2009) mentioned that the household perception of water quality, size of household, water services by providers are among the reasons why the WTP percentage is lower.

In addition,(Anshory Yusuf & Koundouri, 2004, 2005; Bakker, Kooy, Shofiani, & Martijn, 2008) mentioned that low access to pipe water in urban areas in Indonesia partly caused by lack performance of water companies managed by local governments. Those corporations are financially mismanaged, poorly regulated, inefficient with tariff price structure, and low of human resources and lack of staff.


Furthermore, (Bakker et al., 2008) stated that those companies are concentrated only on the provision for piped water for middle to high-income society due to the certainty of payment by customers every month.

Other possibilities are the shifting of drinking water consumption from piped and pumped water to bottled water. According to (Komarulzaman, 2017) an extreme case occurred in Surabaya city where the use of piped water for drinking water use decreased for almost 70% followed by the increasing of bottled water uses from 6.4% in 79.3% in the period of 1998 to 2014. Furthermore (Komarulzaman, de Jong, & Smits, 2017) found that the shifting of drinking water sources from piped water to bottled motivated by lifestyle motives, cost, and availability considerations.

Nowadays, Government has issued regulation Permendagri No.71/2016 which is the new regulation for water management in Indonesia. This regulation regulates how water company should be responsible for the water provision and its management. The updated data of (BPPSPAM, 2016), showed that that average tariff of piped water from 371 water companies in Indonesia is IDR4.581/m3 while the cost is 4.524/m3. The improvement of services by local water companies are important following the increasing the tariff. This improvement will increase societies’ perception of water provision services.

This paper confirms the study of Yusuf and Koundouri (2005) that piped water is considered as the most valuable water source. In addition, this study found that well water is no longer considered to be clean water. However, people still use it for other purposes such as laundry, bathing, or gardening. This might be because people now have higher knowledge about health compared to 15 years ago. As stated by Vloerbergh et al. (2007), highly educated people generally invest more in their health than people with lower levels of education, in this case, clean water.

D. Conclusion

Some conclusions can be drawn from this research. Firstly, the availability of piped and pumped water influences the house rent price in Java Island. In addition, the availability of piped water makes a difference to house rent price by almost 16% compared with a house which does not have piped water source; while the availability of pumped water makes a difference for 6% compare with house which does not provide pumped water. Piped water has become the main source of clean water for drinking in Java Island.

Piped water is commonly considered the most reliable water sources provided by the publicly owned water company (PDAM). Piped water also offers the best water


quality among the three sources since it is managed, and clean treated by PDAM which also delivered to households (Anshory Yusuf & Koundouri, 2004).

Secondly, Willingness to pay for clean water for main uses (drinking and cooking) in Java Island is IDR56.273 (0.89% of the total expenditure) for piped water and IDR 19.430 (0,38% from total expenditure) for pumped water. These results increase four times compared to the previous study by Yusuf (2005) although the percentage is lower. Perception of water quality, size of households, water service, shifting of drinking water consumption from piped and pumped water to bottled water are some reason for that low percentage.

Lastly, there is an important notion that people nowadays value the existence of well water negatively as clean water. The knowledge concerning healthy life (education level) might affect the decision of having well water as clean water.

Education also has a vital role for society in the knowledge for increasing concern of clean and safe water. This concern will give understanding for the prevention of water-borne diseases. Hence, people aware of accessing clean water; their willingness to pay will increase to obtain it. That is why environmental education should be taken into account to increase awareness about preserving the environment.

E. Policy Implication

Water provision as a public good must be taken into consideration. Low-income, middle-income, and high-income residents have the same right to access clean water. Despite the income disparity among them, the government should provide a policy to tackle this issue. Water provision has been considered as one of the most widely emerging problems in developing countries (Pinderhughes, 2004, p. 25). Government failure on providing clean water equally could trigger problems in the society. South Africa gave an example where poor people illegally sabotage water connections into their neighbourhoods (Pinderhughes, 2004, p. 27). Attari and Van Dijk (2016) stated that there are two alternative ways of assisting low-income households.

1. Transfers involving merit goods or services provision (e.g., utility subsidies) at less than full market cost. These as stated in the previous discussion, have been implemented in developing countries. Policymakers apprehend these kinds of subsidies as one way to help make utility services affordable for low-income households. This also become one of the alternative methods for income distribution among society. However, these subjects are controversial.


2. Direct cash transfers (income transfers) are considered as the most suitable for social protection instrument for directing poverty and inequality concerns. Cash transfers also avoid distorting economic decisions in the relevant markets by artificially changing relative prices of goods. Even though cash transfers are theoretically the best ones, the implementation requires an administrative foresight capability to overcome the poorest for selection (targeting).

Regarding water provision in Indonesia, people are willing to pay more for the availability of piped water inside their house. Although the regulation mentioned that the maximum increasing tariff only 4% of minimum wages of Provinces, Adjusting the tariff measured with the WTP results could be undertaken to improve water tariff.

However, should be noted that the use of piped water for drinking water is only 5 litres from the standard minimum use 60 litres per capita per day (Gleick, 1998). Followed by the shifting trend of drinking water from piped to bottled water (Komarulzaman, 2017; Komarulzaman et al., 2017). Extreme changes in the water tariff might change people preferences from the piped water. Nevertheless, the shift in water tariff needs to accommodate poor households in this policy.

Reducing instalment cost and implementation of tariff scheme such in other developing countries could be implemented in Indonesia. Involving private sector in the service could be other options. Although the government already has state-owned enterprises for water provision, the existence of the private sector could support the water provision with certain regulation.

A POLITICAL ECONOMIC ANALYSIS OF POLICY IMPLEMENTATION PROCESS OF TEACHER DISTRIBUTION IN BANDAR LAMPUNG, INDONESIA

Nama : Syaiful Rahmat

Instansi : Pemprov Lampung

Tahun Intake : 2015


Program Studi : Magister Ekonomi Terapan-Master Of International Development Studies


Universitas : Universitas Padjajaran Bandung-Takushoku University


ABSTRAK

Karena karakteristik dan eksternalitasnya, pendidikan telah menjadi barang publik. Oleh karena itu, pemerintah bertanggung jawab tidak hanya untuk penyediaannya, tetapi juga untuk memastikan kesetaraan dalam ketentuannya. Distribusi guru terbukti menjadi kebijakan yang baik untuk mendukung penyediaan pendidikan yang setara. Namun, kebijakan yang baik itu sendiri tidak dapat menjamin keberhasilan hasil yang diinginkan dari perancangnya jika tidak dilaksanakan dengan benar.

Sistem desentralisasi di Indonesia mengatur penyediaan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama atau bersama-sama antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian, masih ada ambiguitas dalam pelaksanaan kebijakan distribusi guru. Keputusan bersama dari lima kementerian yang dikeluarkan pada tahun 2011 tentang distribusi guru dikeluarkan sebagai solusi untuk masalah itu. Namun, karena kebijakan distribusi guru tidak sepenuhnya dilaksanakan, ia meninggalkan pertanyaan tentang apa saja faktor pendukung dan penghambat untuk pelaksanaan kebijakan tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang disebutkan di atas, dengan menganalisis data yang relevan terkait dengan Bandar Lampung (kota di Indonesia). Temuan menunjukkan bahwa kebijakan distribusi guru dapat dilaksanakan dengan baik jika pemerintah daerah Bandar Lampung memiliki komitmen. Selain itu, insentif yang digunakan dalam proses ekonomi politik oleh pemerintah untuk guru pegawai negeri akan merangsang efektivitas kebijakan para guru distribusi di Bandar

Lampung.

Kata kunci: Komitmen, Kesetaraan, Insentif, Interaksi, Implementasi Kebijakan,

Distribusi Guru.


ABSTRACT

Because of its characteristics and externalities, education has become a public good. Therefore, the government is responsible not only for its provision, but also for ensuring equity in its provision. Teacher distribution is proved to be a good policy to support the provision of equal education. However, a good policy itself cannot guarantee the success of the desired outcome from its designer if it is not properly implemented.

The decentralization system in Indonesia regulates the provision of education as a concurrent or coexisting responsibility between the central and local governments. Accordingly, there is still an ambiguity in the implementation of the teacher distribution policy. A joint decree from five ministries issued in 2011 concerning teacher distribution was issued as a solution for that problem. Yet, as the teacher distribution policy is not fully implemented, it leaves questions on what are the supporting and constraining factors for the implementation of the policy.

The intent of this research is to answer the question mentioned above, by analyzing relevant data related to Bandar Lampung (township in Indonesia). The findings suggest that the teacher distribution policy could be properly implemented if the local government of Bandar Lampung has the commitment. Moreover, incentives used in the political economic process by the government for civil servant teachers will stimulate policy-effectiveness of the distribution teachers in Bandar Lampung.

Keywords: Commitment, Equity, Incentives, Interaction, Policy Implementation, Teacher Distribution


A POLITICAL ECONOMIC ANALYSIS OF POLICY IMPLEMENTATION PROCESS OF TEACHER DISTRIBUTION

IN BANDAR LAMPUNG, INDONESIA

A. Background

Government education and health provision are essentially important and contribute as an investment in human capital to improve productivity and income (Schultz, 1961). Furthermore, health and education can inclusively enhance people’s capacity to escape from the poverty trap. Therefore, despite constraints on government expenditures, education, and health provisions always become the priority for a clear majority of countries of the world. A big proportion of government expenditure on education is also considered very important (Raffo, Dyson, Gunter, Hall, & Jones, 2007). That is why, the policy on education must be profound to reach efficient practices in the education provision.

Although education is not a pure public good, it has become the rights of every citizen of Indonesia. Therefore, the principal of the efficient provision of education by the government is designed to be equally distributed. With non-rivalry and non-excludability characteristics, it is also expected to give free access to the all citizens. In short, governments need to be responsible to make education a public good and to ensure the equal provision of education due to the beneficial impact on citizens by education (Rosen & Gayer, 2014).

After the 4th amendment of the 1945 constitution and law 20, year 2003 that concerns the national education system, the Indonesian government allocate 20% of the government income and expenditure budget (APBN & APBD) to the provision of education. However, after a few years, only the national government could meet this objective, while on the other hand, only a few local governments could fulfill the 20% requirement due to income and expenditure budget constraints.

Before the constitution was amended and law 20, year 2003 was enacted, problems with a low teacher status, the failure to improve teacher quality, and the equal allocation of teachers especially for the public schools in remote areas began to accumulate in the New Order era. When the expansion of elementary school infrastructures was aggressively built up, teacher development seemed to be forgotten and taken for granted, causing the teacher career to become undesirable not only because of its low wage, but also because of its low social status (Chang et al., 2014) throughout the country.


Therefore, the Indonesian government issued law 14, year 2005 which concerned teacher’s quality with the main effort given to improvement of education, specifically by improving teacher standards and requirements, and the capacity to teach professionally. To enable this to occur, a rewords and incentive program was adopted which eventually increased both the teacher’s income and their social status. One of the implications of the new law was that teacher distribution became part of managing teachers efficiently and thus the equally of the education budget and the responsibility to provide equal access and services to all resulted.

Corresponding to that goal, the effort by the government to implement the law determined the good or the bad outcome. As the best policies alone cannot guarantee success, as they will fail to reach the initial goal set by the designer if it is poorly implemented (Edwards III, 1984).


Although more than a decade since the laws 20, year 2003 and the law 14, year 2005 were enacted, and after five ministers issued a joint decree that stipulating along with technical guidance from the Ministry of Education and Culture (MoEC) there is still an unequal teacher distribution in the junior secondary public schools in Bandar Lampung where there is excess on some subject teachers while a shortage on others. This condition is not in-line with the trade-off from the government is to pay teacher’s salaries, while the city is still struggling to reach the 20% allocation requirement from their local income and expenditures (APBD).

In conclusion, the undergoing effort by the Bandar Lampung government to improve the quality and equity of education to educate the people leads to the following questions:

1. How does the implementation for teacher distribution in junior secondary public schools in city of Bandar Lampung work?

2. What are the constraining and supporting factors for the implementation of teacher distribution in the junior secondary public schools in Bandar Lampung?

Significantly for this research, the author would like to propose the following hypothesis; “The outcome of teacher distribution not only depend on a good policy, but also depend on the implementation”.

The type of research method that is used for this study is the qualitative method which is well suited to describ organizations, groups, subcultures, and small communities (Smith & Manning, 1982). In this study, both primary and secondary data are adopted.


Primary data from the key persons/informants were collected from the officials who have a direct or indirect link in to the policy making process in Bandar Lampung city (interviews with the city of Bandar Lampung Education Office key person were carried out). Secondary data was collected through a variety of literatures and documents which is concerned with this study, namely: Laws 20, year 2003 14, year 2005, GR 48, year 2008, RPJMD, Strategic Planning of Education Office, and the Organization’s annual report. The data has been analyzed using the policy implementation model proposed by Matland (1995) which focus on effectivity of policy in the form of Ambiguity-Conflict matrix: experimentation, symbolic, administrative, and politic. The modification from his policy implementation model is suited to the condition and characteristic of policy implementation in Bandar Lampung.


1. Indonesian Policy for Education Provision

The theme for education development in the RPJMN phase of 2015-2020 is “Regional Competitiveness” and the goals is to enhance capacity and quality in the Indonesian education system. This program describes actions of the strategic planning in the MoEC 5-year working plan and that the mission brings up achievable targets accordingly to the national goal for the current administration, the so-called Nawacita. Any indicators will be from the narrowed service gaps in the education policy. This then suggests that every gap between all public schools will be eliminated as much as possible, the most obvious is the gap of teacher availability.

This plan explains in more detailed the working plan for the teacher distribution program that will applied onto 34 locations throughout Indonesia. It also shows that the urgency to implement the teacher distribution is high due to specific goals written in the working plan as priorities number 1.b (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2016 Tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2017, 2017).

2. Problems in Indonesian Teacher Distribution

Although there are regions in Indonesia that have already made progress in the distributing of teachers, there are many local regions that still face difficulties to apply the joint ministry edict of year 201123 particularly regarding the civil servant teacher distribution program. This has occurred as mainly are not yet formulated in the local development planning. And politically there is no obligation for the local government to concern teacher distribution within their development plans.


Additional inequities exist within the system, with its two categories of teachers, permanent civil servants and temporary non-civil servants, earning hugely different salaries for performing the same type of work. A greater efficient and equal teacher deployment system could ensure that all schools are properly staffed, while at the same time releasing funds for quality improvements, resulting in an appropriate supply of qualified and certified teachers (USAID Indonesia, 2016).

Any effort to improve the government education program and services through time always has an undesirable impact, and sometimes the policy on regulation results in negative consequences on teacher distribution. For example, the proportion changes for the teaching hours leads to an imbalance of teacher availability after curriculum rearrangement where changes for the teaching-hour for each subject impacted the composition of teachers in all junior-secondary public schools in Indonesia. However, this negative impact on equal distribution of teachers in Indonesia must be considered as it is part of the improvement made following the evaluation efforts during the previous administration.

According to MoEC in the USAID report, the shortage of the teacher impact to the government budget is significant although it is less obvious. The shortage itself is about 18,258 personnel which is equal to approximately US$90 million per annum. The calculation is based on the benefit for applying optimization of the current availability of civil servant teachers in Junior-secondary public schools only (USAID Indonesia, 2016).

Education as concurrent responsibility between the central and local government is rather complex during the policy implementation stage due to the many cross-related regulations. As stipulated in law 23, year 2014, the local government is responsible for basic and middle education, and junior-secondary schools is the responsibility of the municipalities and regencies. Therefore, MoEC must work in close collaboration with each level of the local government to overcome their respective problems based on their characteristics and constraints.

The joint ministerial edict in year 2011 states that the local government must follow the program at least 2-years after the issued date. It writes also that it shall provide technical guidance issued by MoEC to clearly explained further how to determine the number of teachers needed for schools which is based on the number of classes and the minimum-hour compulsory for teaching hours. Some of the principals of the technical guidance for the edict is as follows:


a. Calculation principle

1. Every class is taught by one teacher.2. Teachers can only teach the subject according to their certification. Each

week a teacher is required to instruct a minimum of 24 hours.3. The number of classes used in the calculation is based on student-teacher

ratio for each class size and is according to government regulation number 74, year 2008 and MoEC regulation number 41, year 2007 that concerns the standard process for basic and middle schools.

4. The number of available hours for teaching is according to the curriculum needed by the schools based on the number of classes taught.

5. The number of teachers assigned to each school is based on the minimum hour of teaching (24 hours). If the available hour is less than the minimum hour, then the required number of teachers will be based on the minimum standard of education service under the MoEC regulation number 39, year 2010, namely that in every junior-secondary school a teacher for each subject must be provided. Moreover, if the available teaching hour is not equivalent to the teacher minimum requirement, then the round calculation must be utilized with the following as a guidance:a) If the number is rounded down and the weekly meeting hour for a

teacher does not exceed 40 hours, then the number rounded down is used.

b) If after the number is rounded down and the weekly meeting hour is still exceeding 40 hours, then the rounded number used is the rounded-up number, with the condition that only one teacher will have the teaching hour below the minimum requirement of 24 hours per week.

b. Junior secondary calculating formulation

Furthermore, the technical guidance provides options for local governments to fill the gap between the teacher supply and demand according to the specification in junior-secondary school, as per following options:

1. accept or to transfer excess subject teachers between schools or between municipalities/regencies;

2. assign the teacher to another subject closest to his/her education background (function shift) and consider to further train to ensure professional competence for the new subject to be taught;


3. manage the teacher obligation for the minimum teaching hour of 24 hours and the maximum for 40 hours per week, schools have the options to do the following:

a. manage the class size, referring to the government regulation number 74, year 2008 for the minimum student-teacher ratio, or MoEC regulation number 41, year 2007 concerning the standard process for the maximum class size (20 minimums to 32 maximum);

b. Increase school facility capacity;c. assign a teacher to teach at another school seeking to meet the

qualification. As a beneficial policy, the success of the implementation of the teacher distribution policy is dependent on the approach of the local government.

Policy implementation of the education program between the central and the local government has a limitation to each government’s responsibility29. Therefore, a greater comprehensive partnership is dependent on the local government’s political willingness, the local government’ resources, and the impact on the teachers politically as the object of the teacher distribution policy. Given these points, besides the fact that proper implementation for the current regulation is a must, local governments need to present a good example or success story or piloted project showing that the policy implementation is workable and achievable.

3. Teacher Distribution Implementation in Indonesia

Involvement of the institution begins with holding several training events, on-the-job assistance programs to discuss any existing issues regarding teacher distribution, what can be drawn from the condition(s), and what can be understood due to the condition(s) that have been analyzed. Moreover, the report from the previous meetings is presented in the following workshop of each district.

Continuously, after drafting and problem mapping, the workshop discusses any possible action to be addressed by any teacher distribution case. By this stage, the meeting begins to involve more towards the multi-stakeholder forums and therefore proposing solutions to be taken. These policy implementations are readily taken by the stakeholder to hopefully reveal some of the constraining and supporting factors for prudent consideration of policy implementations.

The hypothesized main factors contributing to the level of success for policy implementation of the teacher distribution policy, that can be used as a


basic analysis or an example for other districts in Indonesia that do not have a partnership with the USAID PRIORITAS project, but desired to implement the policy recommendations.

After working together to implement policies for teacher distribution, several levels can be categorized from the hardest to the easiest when implementing the policy. The sequence from the five recommendations which is from the more easily implemented group of policies summarized from cooperating districts or cities with USAID PRIORITAS project are:

a. reassign teachers (including mobile teachers);b. recruit civil servant teachers;c. transfer teachers;d. multi-grade teachers;e. merge schools.

4. Analysis of Education Provision Policy for the City of Bandar Lampung

The provision of teachers for elementary school is not as complicated as the junior secondary school. Therefore, another way to understand more about teacher distribution besides the Student-Teacher Ratio (STR) is by knowing the specific factors like the subject teachers teach.

The average STR rate for junior secondary school at the national level is 1:14 according to the Ministry of National Education and Culture. This national STR is below the minimum requirement of the national curriculum, which is required under regulation 74, year 2008, namely 1:32 (per classes). The Bandar Lampung STR is below the national ratio even though its characteristic is likely to have a smaller ratio compared to more remote areas. In contrast with the lesser ratio for STR in the city of Bandar Lampung, the data shows that there are still some shortage of teacher supply for some subject, while n the other hand, for common subjects like math, foreign language, social science, and science, schools in Bandar Lampung has a significant oversupply, while for the other subjects there is a teacher shortage.

a. Policy Implementation in Bandar Lampung

The policy for teacher distribution in Bandar Lampung is not completely implemented through the local law number 1, year 2012. In fact, there is only one policy recommendation that has been implemented which is for new


teacher recruitment. To apply other recommendations, the city of Bandar Lampung must issue a legal basis. However, there is no obligation to do so according to law 23, year 201433. Therefore, it is not clear who is being accountable to the implementation of the teacher distribution policy.

Furthermore, law 23, year 2014 provides policy implementation for the provision of education and is categorized as a high ambiguity and a low conflict case, because of the limitation of the central government to implement the policy within the responsibility of the local government. In short, this kind of policy implementation is suited to be applied selectively into the local government that is both in the structure and capacity to limit the failure the program or project. If the project is succeeded, then it can be replicated to another district that is ready to implement the policy.

b. Policy Implementation Analysis of Teacher Distribution

Considering the political impact from policy implementation that could result in constant resistance from the teacher(s) as can be witnessed from the example of other districts, the extent of the agreement between the government and the teacher as the object with regards to policy implementation is proved to be a major factor in how well a district performed on quality teacher distribution.

Success stories give the example that when measures were taken to ensure that all affected parties agree to the future impact from the policy, the teacher distribution plan can be successfully implemented. When this was not done, the TDP plan cannot be implemented or shows poor results.

By reviewing the scheme, it can be noted that the correct process to adopt has three process which are: (1) policy acceptance; (2) policy adoption; and (3) strategic readiness. Accordingly, measures must be taken to ensure that all the affected parties (teachers, schools, and others) agreed to the policy option impacting them. Either teachers agree to be transferred so that they could teach the required 24 lessons per week, or they eventually agreed to being transferred (or to be impacted by some other policy option) through a collaborative effort in which they came to understand the issue and the reasons why they were chosen to help solve poor teacher distribution. This collaborative effort was also used to help get schools to agree to merge districts where the USAID PRIORITAS project operated.

Currently, districts are not allowed to spend more than 50% of their budget on civil servant’s salaries. Therefore, the government of Bandar Lampung must


take more of a comprehensive approach to deal with the issue as an actor to conduct the implementation and make the teacher(s) as an object of the policy given the incentives in the schemes that will not cause a contentious policy, so that it can be easily and immediately implemented.

D. Conclusion

Based on the analysis from the preceding chapters, it is now recognized that not only the efforts to improve the equilibrium in the school condition, but also mindful that teacher distribution can become one of the factors that improves the quality of the education in Indonesia. Providing more support from the education fund will do much to improve the quality of the program. Moreover, it can be drawn from the previous chapter that there are supporting and constraining factors that influence the implementation of a policy for distribution of teachers in Bandar Lampung.

The policy involves two parties, the government as the actor and teacher as the object of policy. At this writing, the supporting factor of the policy implementation is mainly contributed from the teacher or the object while there is no implementation especially for the teacher distribution by the government of Bandar Lampung. Teachers are more likely to be influenced by the incentives of having a certification then to act on their own to find another place to work. This act is also supported by the geographical type of urban area of Bandar Lampung that has better transportation infrastructures than other regions in the province. That is why teachers will easily choose places based on work accessibility.

Civil servant teachers in Bandar Lampung manage to teach in other schools in need of their qualification as the reason to fulfill the requirements of minimum teaching-hour. It is subject to certification status for the incentives or the professional allowance. However, this practice will not work as the solution for every teacher, because information and availability exclusively keeps those in favor and not in the equally.

In contrast, the constraining factor mainly contributed by the Bandar Lampung city government, as the actor of the policy, is the lack of a local policy of regulation or instruction to overcome the teacher distribution problem. For the time being, the easiest way to solve the teacher distribution problem is by recruiting new teachers, and there is still an excess of teachers from other subjects which remain unsolved. Policy effectiveness however is depending on the commitment of the government, and in this case teacher distribution is needed more than commitment as interaction with the central government to the decentralization law is of a greater need.


Politically there are no specific supports from regulation and local laws to conduct the action, and the teacher as the object of the policy can also contribute to the constraint for the implementation of the policy. Teachers tend to resist the teacher distribution policy mainly when they are in the comfortable working condition, while they are having bargaining power politically. i.e. some teachers have a political influence on the local government, etc. In correspondence to the resistance, proper incentives are the most effective way to overcome teacher resistance.

All in all, by viewing its ambiguity and conflict from the authority between the central and the local government, the teacher distribution policy must be driven from the central government to the local government. Moreover, resource management for the implementation of the policy needs to be conducted between the central and the local government. Continuously, local governments must commitment with a good interaction between them, and current scheme for teacher incentives, could be optimized to achieve a better outcome in their distribution.

E. Recommendation

Actualization of the teacher distribution policy is the responsibility of the Bandar Lampung city government and can be implemented efficiently by ensuring that regulation concerning teacher distribution be followed, and taking the successful implementable from such examples from other districts could be utilized. Bandar Lampung city government needs to be more open for suggestions, gladly taking assistance from the central government and work accordingly in coordination with the type of responsibility for education provision.

The implementation can be in the form of: (1) political support by issuing local laws or specific regulations to authorized the education office in Bandar Lampung to conduct the teacher distribution program; (2) strategic support by providing competent staff to work in the program with adequate funds as a commitment to accomplished the task; (3) technical support, that can be gained by the coordination with the ministries and forester the cooperation between the school committees and the education office in Bandar Lampung.

ANALYSIS OF THE FACTORS AFFECTING NATURAL RUBBER EXPORT IN INDONESIA

Nama : Yeni Maskurah AB

Instansi : Pemprov Jambi

Tahun Intake : 2015




Universitas : Universitas Padjajaran Bandung-National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS)


ANALYSIS OF THE FACTORS AFFECTING NATURAL RUBBER EXPORT IN INDONESIA

A. Background

The world consumption of natural rubber has been increasing for the last two decades. The main reason for the increased consumption is the increased demand from the automotive and tire industries. The world’s natural rubber consumption by various countries. Out of all the countries, China showed the most significant increase in consumption from 1998 to 2016. Back in 1998, China’s natural rubber consumption was only 839 thousand tons, and it sharply increased to 4,680 thousand tons in 2016, which is more than 5 times higher than its consumption in 1998. On the other hand, in other countries such as the United States of America (USA), Japan, India, and Republic of Korea, the consumption slightly increased or remained stagnant during the same period.

From the supply side, the production of natural rubber is dominated by the Southeast Asian countries. Between 2009 and 2013, the market share of four Southeast Asian countries (Thailand, Indonesia, Malaysia, and Vietnam) reached 96.42% (Ministry of Agriculuture, 2016). This indicates that the rubber market is an oligopoly market, as it consists of a few producers with a high market share. Thailand is the top producer, with a volume of production 4,437 thousand tons, followed by Indonesia with 3,145 thousand tons in 2015. Malaysia’s production has started to decline, and has been overtaken by Vietnam and China in 2015. This situation occurred because Malaysia’s shift to the manufacturing sector from the primary sector (Mustafa, Latif, & Egwuma, 2016). Among the new comers, Vietnam shows significant increase in production, having overtaken Malaysia as the third largest producer of natural rubber.

The entry of new natural rubber producing countries in the world market such as Vietnam, China and India increases the competition among exporting countries. To maintain its position as the second largest exporter of natural rubber in the world market, the Indonesian government should redevelop new rubber plantation areas, and also highly support investment in tire production (Yanita et al., 2016). By doing so, Indonesia can increase its production as well as its export share of natural rubber.

The factors that positively and significantly impact the export of natural rubber can help Indonesia to increase its export share in the world market. One of the common methods that have been widely used to identify this is gravity model. Some previous studies have used the gravity model to explain the factors affecting bilateral trade. Hatab, Romstad, and Huo (2010) applied the gravity model to determine the factors


affecting export in Egypt, while, Amoro and Shen (2012) used the same to estimate the factors affecting rubber export in Cote d’Ivoire. Applying the gravity model to estimate the export factors affecting export might help a country to understand the factors that might contribute to the increase their exports.

In Indonesia, similar studies about rubber export have been undertaken. Research by Yanita, Yazid, Alamsyah, and Mulyana (2016) estimated the variables affecting the export of crumb rubber using the robust regression method. Another study by Sudiyana (2015) used the gravity model to examine the export of natural rubber from Indonesia, Thailand, and Malaysia from 2003 to 2013 using the fixed effect model.

This study will focus only on the Indonesian export of natural rubber, and use the random effect of gravity model to find out the factors affecting natural rubber export, using the panel data from 1998 to 2015 of harmonized system four digit, HS: 4001 (natural rubber, balata, gutta-percha, guayule, chicle and similar natural gums, in primary form or in plates, sheets or strip), to the 10 importer countries based on the Ministry of Industry’s report.

There are some hypotheses in this study. Firstly, I hypothesize that the domestic production, importer country’s consumption, and importer country’s per capita GDP have a positive and significant effect on natural rubber export. The second hypothesis is the exchange rate and distance between Indonesia and importer country will have a negative and significant effect on the export of natural rubber. The effect of the world rubber price on export could be either positive or negative because there are two possibilities. Firstly, from the exporter country’s side, if the price is high, the exporter tends to export more. Secondly, from importer country’s side, there is a possibility that the importer will reduce imports if the price is high.

This paper is organized as follows: in the following sections, I will explain the theory about the factors affecting export, gravity model, and natural rubber. Then in section 3 I will discuss the data and methodology used in this study. Section 4 will present the overview of natural rubber’s production, consumption, and export in Indonesia, then section 5 will show the regression result, and discuss the key features followed by policy recommendations, and finally section 6 will present the conclusion.


This paper uses the panel data of natural rubber export from Indonesia to 10 partner countries, namely USA, China, Japan, Republic of Korea, India, Canada, Brazil, Netherland, Germany, and Turkey. The secondary data used in this study is from various sources. The export data are retrieved from UN Comtrade, production, consumption, and world


price data are obtained from IRSG, per capita GDP data in constant 2010 in U.S dollars is gathered from the World Bank, the data about port distance is accessed from websites searates.com, and the data about the importer countries of natural rubber are obtained the Ministry of Industry.

This study uses the STATA 14 software, gravity model to analyze factors affecting natural rubber export of Indonesia, and use a random effect generalized least square regression. The panel data used in this study consist of the data of Indonesia and its 10 major importer partners from 1998 to 2015. In the model, the dependent variable is Indonesia’s natural rubber export (HS code: 4001). There are six independent variables, namely the natural rubber production of Indonesia, natural rubber consumption of the partner countries, per capita GDP of the partner countries, real exchange rate, distance, and world price.


1. Overview of Natural Rubber Industry in Indonesia

The rubber plant is a native species of the Amazon basin. It is a tropical plant that requires an optimum temperature from 24° to 28°C and annual rainfall within 2,000–4,000 mm. The productive life of this tree is around 32 years, and it starts producing a juice that can be tapped from 6th year, so before that age, the tree is not economically profitable (Sudiyana, 2015).

Based on a report of the Ministry of Agriculture (2016), the rubber plantation area in Indonesia increased from 2.38 million hectares in 1980 to 3.16 million hectares in 2016. However, since 2000, this increase has slowed down. The rubber plantation area from 1980 to 2016 based on in Indonesia by type, namely smallholder farm, government plantation, and private plantation.

In Indonesia, natural rubber production and export rate tend to fluctuate, though consumption has been increasing. The western part of Indonesia, especially Sumatera and Kalimantan contribute a big share to production. Most of the natural rubber plantation area is located in these two islands. Based on a report by the Ministry of Agriculture (2016), the provinces that have the largest rubber plantation areas are South Sumatera, North Sumatera, Riau, Jambi, West Kalimantan, and Central Kalimantan (all in the western side of Indonesia). Those six provinces contribute 73.86% of Indonesian total natural rubber production.

Compared to the production of natural rubber in Indonesia, the consumption is low. However, the consumption has been increasing since 1998. On the other hand,


the land productivity of natural rubber in Indonesia does not show a significant increase. For the past 18 years, productivity remains stagnant.

The consumption of natural rubber in Indonesia also increase in line with the world consumption trend; however, the consumption is low compared to the amount of natural rubber produced. More than 80% of the natural rubber produced in Indonesia is exported to other countries. Furthermore, based on the 4 digit Harmonized System (HS), natural rubber ranks fifth in the export top commodities of Indonesia.

Export of rubber from Indonesia is dominated by natural rubber form followed by new tire and other forms. The export of natural rubber from 2001 to 2008 increased, then decreased in 2009, after that started to increase again, and reached a peak in 2011 with a value of 11.8 trillion USD; the same pattern was also experienced by new tire and other rubber commodities. However, since 2011 natural rubber exports have been continuously decreasing until 2016, while other rubber commodities have been relatively. The reason for this decline might be due to the increasing consumption in Indonesia, and the shifting of the export product from raw materials (natural rubber, HS code 4001) to other midstream rubber products.

One of the ways to measure the competitiveness of a commodity is through the Revealed Comparative Advantage (RCA) value. The RCA value is used to compare the export share of a commodity of a country to the total export share of that commodity in the world. If the RCA value is higher than one, it means that the commodity is competitive. From 2011 to 2015 among rubber commodities with HS 4 code, natural rubber (HS:4001) has the highest RCA value with a value of 35.58 in 2014; however, it declined to 23.03 in 2015, followed by the art of apparel and access of unhard vulcanized rubber (HS:4015) with an RCA value of 2.97, inner tubes for tires (HS:4013) with 1.96, and New Pneumatic Tires (HS:4011) with 1.69 (see appendix 3). The most competitive Indonesian rubber product is natural rubber (HS:4001) with an RCA value of 23.03 in 2015. Compared to other top producer countries, Thailand’s RCA value (29.88) of natural rubber was higher than Indonesia, while Vietnam’s is 8.33, and Malaysia’s is 6.54 for the same period.

In conclusion, though Indonesia has large natural rubber plantation area, the productivity of its natural rubber is quite low compared to other producer countries. Among rubber commodities, natural rubber has the highest RCA value, which means that the natural rubber from Indonesia has high competitiveness in the international market.


2. Results and Discussion

The export of natural rubber from Indonesia to top importer countries is affected by many factors from Indonesia and partner countries. These factors can be identified using statistical analysis to determine whether each one is statistically significant or not, and whether there is a positive or negatives effect on Indonesia’s natural rubber export.

STATA 14 estimates regression using the export of natural rubber as the dependent variable and six independent variables both from Indonesia and importer countries, namely the production in Indonesia, the consumption of natural rubber and per capita GDP of importer countries, the linkage variables between Indonesian and partner countries (distance and exchange rate), and the world price of natural rubber.

The regression results show that Indonesia’s production, the consumption in the importer country, the per capita GDP of the importer country, and the world price significantly affect the export value. At the same time, the effects of distance and exchange rate are not significant. The coefficient of multiple determinations (R2) is 0.7601 which indicates that 76% of the variation in the dependent variable was explained by the six independent variables.

There are no surprises from the regression results. Out of the six independent variables, namely production, consumption, per capita GDP of the trading partner countries as well as world price show a significance level of 0.01, while the other two variables, namely exchange rate and world price are found to be not significantly affecting the value of export of natural rubber in Indonesia.

The export of Indonesia’s natural rubber has been an experiencing increasing trend. There was a commodity boom between 2000 and 2007, in which every country tried to increase their export. However, after the global financial crisis happened in 2008 and 2009, some countries including Indonesia suffered. The financial crisis also affected the export of natural rubber, but it started to increase again after the crisis. However, the value of exports started to decline in 2012. Indonesia might have the Dutch disease, so the Government should shift the form of export commodity from primary to manufactured products.

The production of natural rubber in Indonesia has a positive and statically significant effect on the export value. It means that increasing the production will lead to the increase in the export quantity. From 1998 to 2008, the trends of export and production were similar and increasing. However, after 2008, consumption


continued to increase, export value started to fluctuate. The first decline of export was in 2008 and 2009 which mainly due to the effect of the global crisis at the time, started to increase again and reached a peak in 2011. After that the value of export continuously declined until 2015. Production also got impacted by the crisis, faced a decline in 2008 and 2009, but then started to increase again.

It can be understood from the regression result that Indonesia should increase their production to encourage export. One of the ways to do so is increasing productivity. The productivity of Indonesia’s natural rubber is relatively low compared to other producer countries. Based on a report by IRSG in 2010, the productivity of Indonesia’s natural rubber is 658 kg/ha, which is far below Thailand with 1,319 kg/ha. Moreover, Indonesia’s productivity is lower than Malaysia’s with 837 kg/ha, which is already facing a decline in rubber production. Indonesia should increase its productivity in order to increase the amount of production. Another way to increase production is by implementing new planting and replanting existing plantation areas.

Production can be increased by finding new suitable seeds and expanding plantation area. Since rubber tree is only productive from the age 6 to 32, they need to be cut down and replaced by new seeds. It will increase financial burden on the farmers, as the majority of the plantation in Indonesia is smallholders. So, the government should support replanting in order to maintain the economically sustainable production.

The consumption of natural rubber by importer countries is represented by the demand side of natural rubber, highly positive partner country’s consumption, and significant impact on export with a significance level of 99.9%. The increase in demand for natural rubber is due to the increased demand for it from the tire industry (IRSG, 2014).

Similar to production, the trend of consumption is also increasing though the export value from Indonesia has been decreasing after 2011. Based on the data by the Ministry of commerce (as cited in Research and Development Centre for Thai Rubber Industry, 2017), Thailand’s top partners from 2010 to 2014 were the USA, China, Japan, India, and Brazil, and Indonesia’s were USA, Japan, China, South Korea, and Singapore. From 1998 to 2015, the largest natural rubber importer countries from both Thailand and Indonesia were the United States, China, and Japan. The big demand from these countries significantly impacts Indonesia’s export.


The per capita GDP of an importer country is also highly significant to export value from Indonesia. For instance, even a 1% increase in the per capita GDP of the importer countries will lead to increase in their imports from Indonesia by 0.906%. Per capita GDP represents the economic power of a country; therefore, it is expected that an increase in per capita GDP will lead to an increase in the amount of export of natural rubber.

Increase in per capita will lead to an increase in the amount of export of natural rubber. Developed countries have a high per capita GDP. Natural rubber (HS:4001) is the raw material used by rubber and automotive industries to produce manufactured goods. Developed countries tend to produce manufactured goods that have high value added, so, they import raw material to be processed into manufactured products such as tire and other automotive parts.

The world price also has a significant effect on the export value of natural rubber. For instance, 1% increase in the world price will increase the value export of Indonesian natural rubber by 0.954%. It indicates that the rising world price will boost exports. Year by year, the trends of export and world price are very similar. It can be concluded that Indonesia tends to export more when the price is high and export less when the price is down.

The trends of export and world price are relatively similar. When natural rubber’s world price is down, the export value also tends to decline, and while when the price increases, the exporter tends to export more. The world price of natural rubber is also relatively influenced by the world price of oil (Sudiyana, 2015).

Based on the ministry of Agriculture’s (2016), average data from 1998 to 2003, the market share of Indonesia in the world rubber market was 34.53%, Thailand’s was 41.04%, all the combined market share of the ASEAN countries was 96.42%. With this high market share, Indonesia and other producing countries might be able to maintain the world price by making agreements to limit the export quota. Moreover, the Association of Natural Rubber Producing Countries can play an important role in this matter.

Both exchange rate and distance are found to be factors that do not significantly affect the export of natural rubber. The reason might be the use of the world price in international trade; so, the exchange rate does not affect the export value. Similar results are also found in distance variable, which does not significantly impact natural rubber export.


This result is in line with the study by Sudiyana (2015), which stated that distance does not significantly affect natural rubber export. Another reason might be that since natural rubber is tropical product, as long as the demand for natural rubber in the importer country is high, the distance between the exporter country and the importer country becomes less important. According to Zhou (2011), the improvement in transportation and communication tends to reduce the boundary of distance in trade; moreover in globalization, the effect of distance become less important. It can also be concluded that for a commodity that has an oligopoly market where the market share is dominated by a few countries, distance does not really affect the trade flow.

This study looks into the factors affecting the export of natural rubber from Indonesia to its 10 main trading partners using the gravity model with a random effects model. The export values is treated as a dependent variable, while the independent variables are domestic production, the importer country’s consumption, the importer country’s per capita GDP, exchange rate, distance, and world price.

From STATA regression, it was found that domestic production, importer countries’ consumption and per capita GDP, and world price to have a positive impact on the export value, while exchange rate and distance do not affect export value significantly. It can be concluded that both supply and demand side give impact on Indonesia’s natural rubber export value. The supply side indicates a production variable that positively impact the export of natural rubber, while on the demand side, consumption and per capita GDP of importer countries are the main contributor to export value.

To meet world demands, the supply side should maintain high production. Therefore, Indonesia must increase its production as well as productivity, especially for the smallholder since more than 80% of the rubber plantations in Indonesia are held by such farmers. Increasing the productivity of smallholder plantations, including both labor productivity and rubber tree productivity could lead to an increase in the total productivity of rubber in Indonesia.

Rubber tree produces rubber milk from the age of six to 32, and after that the tree should be cut down and replanted again with new seeds. Replanting costs much money for the farmers, and they also have to wait for six years until rubber tree is mature enough to produce rubber milk. To maintain the sustainability of natural rubber production, the government should support replantation as well as the development of new planting area. Support could include both subsidized


seeds and fertilizers, and also the support for cutting down the tree, which cost much money for the smallholder.

Indonesia can learn from Thailand in the implementation of a new replanting system. Thailand established an organization called the Office of Rubber Replanting Aid Fund (ORCRAF), which uses money from the relief fund (CESS) to support farmers in replanting rubber. CESS is a tax that has been implanted since 1st April, 2003 by the Thailand government. This tax is charged to the rubber exporters, and the fund is used for about 22,000 to 77,000 plantations per year (Office of Rubber Replanting Aid Fund web, 2016). If Indonesia implements the same scheme, it might help the farmers in Indonesia to replant their plantations.

Another recommendation is to increase the welfare of farmers who mainly depend on rubber farming for their main source of income. The Indonesian Government should also protect their welfare by maintaining both the domestic price and world price at a good level. To do that, Indonesia must cooperate with other big exporter countries such as Thailand, Vietnam, and Malaysia. The scheme could be to limit the export amount when the price is down in order to maintain price at good price level by strengthening the role of the Association of Natural Rubber Producing Countries.

To avoid the Dutch disease, Indonesia should also shift from the exporting of primary products or raw materials to manufactured products. One of the ways is through which this can be accomplished is by creating a business friendly environment so that foreign companies would want to invest in the rubber industry in Indonesia and the thereby lead to the increase in the export value of natural rubber.

This study has certain limitations. For further study, I would like to suggest to investigate the factors affecting natural rubber productivity in Indonesia to get a better analysis of the natural rubber production condition in Indonesia.

DIREKTORI MINI...

Documents

Transcript of DIREKTORI MINI...