DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

238
DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA PEMERINTAHAN K.H. ABDURRAHMAN WAHID Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Syarat Memperoleh Gelar Doktor Program Studi Pengkajian Islam dalam Bidang Pemikiran Islam PROMOTOR: PROF. DR. AZYUMARDI AZRA, MA PROF. DR. ZULKIFLI, MA DIAJUKAN OLEH YANTO NIM. 31141200100079 SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2019 M/1441 H

Transcript of DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

Page 1: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

DINAMIKA KULTUR POLITIK NU:

STUDI KIAI KHOS MASA PEMERINTAHAN

K.H. ABDURRAHMAN WAHID

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sebagai Salah Syarat Memperoleh Gelar Doktor

Program Studi Pengkajian Islam dalam Bidang Pemikiran Islam

PROMOTOR:

PROF. DR. AZYUMARDI AZRA, MA

PROF. DR. ZULKIFLI, MA

DIAJUKAN OLEH

YANTO

NIM. 31141200100079

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2019 M/1441 H

Page 2: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

iii

ABSTRAK

Kiai merupakan sekelompok elite yang memiliki kemampuan memahami

teks-teks keagamaan dan kemudian menjadikannya sebagai bahan untuk melakukan

perubahan dan pembaharuan politik, sosial, agama, dan budaya. Kiai ditempatkan

sebagai pemegang sistem otoritas tradisional suatu masyarakat “transisional”,

penjaga moralitas anak-anak bangsa dalam bingkai keindonesiaan. Dalam konsep

perbedaan status sosial, kiai tidak sekadar pemegang otoritas keagamaan tetapi juga

memperoleh mandat untuk mengotorisasi sosial kemasyarakatan dan kosmologi

politik.

Dua aspek (otoritas keagamaan dan sosial) ini menjadikan pengaruh

seorang kiai begitu luas terutama langkah-langkah politiknya sering diikuti oleh

kaum Muslim. Kiai mampu mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau tanggapan

emosional para pengikutnya melalui kekuatan karisma yang melekat dalam dirinya.

Kiai adalah sosok yang memiliki akar kuat dalam kehidupan keagamaan dan sosio-

politik umat Islam, tidak mengutamakan nafsu-nafsu politik dengan mengorbankan

nilai-nilai universal dan moral, apalagi mengkhianati tanggung jawab terhadap

bangsanya. Kiai berjuang berdasarkan prinsip untuk memajukan umat dan

menjunjung martabat bangsa dan negara.

Disertasi ini merupakan penelitian tentang kiai dan hubungannya dengan

pesantren, masyarakat, dan politik. Penelitian ini akan mengungkap sisi lain dari

peran Gus Dur dan kiai terutama dalam pembaharuan kultur politik NU. Achmad

Zainal Arifin (2013) menggambarkan kokohnya karisma kiai di tengah perubahan

zaman, bahkan Robin Bush (2009) dan Andrée Feillard (2010) menggambarkan

kiai dan aristokrat pesantren dalam memainkan peran politik sejak 1999 bersama

Gus Dur yang menjadi lokomotif dan wali (saint) naik ke puncak kekuasaan di

negeri ini pada tahun 1999. Sementara Endang Turmudi (2004) menjelaskan

karisma kiai dalam bidang politik yang tak sebanding dengan perannya dalam

bidang sosial-kemasyarakatan, bahkan Nils Bubandt (2014) menggambarkan Gus

Dur yang seringkali konsultasi dengan kiai dan leluhurnya sebelum membuat

keputusan-keputusan politik padahal ia memiliki reputasi baik nasional maupun

internasional.

Penelitian ini terfokus pada peran dan keterlibatan Gus Dur dan kiai dalam

bidang politik dan keberadaan pesantren yang telah menjadi jangkar selama

pemerintahan Gus Dur berlangsung yang terbentang antara Oktober 1999 hingga

Juni 2001. Sebagai penelitian kualitatif, penelitian disertasi ini akan merujuk pada

data-data primer yang dihasilkan melalui survei dokumen dan database, kuesioner,

pengamatan langsung, wawancara dan observasi partisipatori. Data-data tersebut

kemudian dikombinasi dan dibandingkan dengan data-data sekunder yang telah

menjadi karya sebelumnya, seperti karya Robin Bush, Andrée Feillard, Achmad

Zainal Arifin, Endang Turmudi, dan Nils Bubandt. Penelitian ini menggunakan

metode “etnografi”, suatu pendekatan holistik dan mendiskripsikannya secara

mendalam atau mendetil untuk memproleh native’s point of view tentang suatu

bangsa atau masyarakat. Pendekatan ini diharapkan menghasilkan data-data baru

terkait pembaharuan, kiai, pesantren, politik, dan Indonesia yang berbeda dengan

penelitian-penelitian sebelumnya yang lebih dulu dilakukan para peneliti/ahli.

Page 3: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

v

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A Latar Belakang Masalah

B. Identifikasi Masalah

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

D. Tujuan, Manfaat, dan Signifikansi Penelitian

E. Penelitian Terdahulu

F. Kerangka Teori

G. Metode Penelitian

H. Sistematika Penulisan

BAB II DISKURSUS KIAI DALAM WACANA ISLAM DAN POLITIK

INDONESIA

A. Kiai Karismatik danTradisional

B. Konsiderasi Teori Mistik

C. Teori “Mistik” Antara Adaptasi Kreatif dan Cultural Broker

D. Pemimpin Lokal dan Sistem Tradisional: Mempertahankan Pengaruh

E. Kiai dalam Masyarakat Tradisional dan Politik Nasional

BAB III FORMASI KIAI DALAM SOSIO-KULTUR MASYARAKAT

A. Akar-Akar Kultur Tradisional NU

Kitab Kuning: Peran Kiai dalam Bangunan Tradisi Sosial Masyarakat

Pesantren: Pembentukan Karakter Kaum Muda

Mistik: Otoritas Tradisional Penguatan Karakter Umat

Karisma: Relevansi Kiai dalam Kepemimpinan Lokal

B. Perjuangan Kiai dalam Penguatan Keislaman dan Keindonesiaan

Tarekat: Membangun Tradisi Keislaman

Pesantren: Basis Perjuangan Keislaman Indonesia

Madrasah: Media Perubahan dan Kesinambungan

C. Spektrum Kiai dalam Sosio-Politik-Ekonomi Indonesia

Politik Nasakom Soekarno

Artikulasi Kiai dalam SistemOrde Lama

Dari Soekarno hingga Soeharto

Politik Pancasila Orde Baru

Arsitek Orde Baru, Marginalisasi Kiai

D. Era Baru Sosio-Politik-Ekonomi Indonesia

Reposisi Kiai

Gerbong Baru Kiai Masa Reformasi

Keberhasilan Kiai

BAB IV FORMASI KIAI KHOS DALAM KEKUASAAN GUS DUR

A. Akar-Akar Kultur Politik NU

Kiai Khos: Pencarian dan Terciptanya Politik Identitas

Transformasi Kiai Khos dalam Ruang Publik

Page 4: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

vi

Profil Singkat Kiai Khos

B. Politik Kuasa: Konsolidasi dan Perjuangan Berkesinambungan

Mimpi Kiai Khos sebagai Calon Presiden

Mimpi Kiai Khos Presiden Dua Periode

Khos Kiai Khos sebagai Perjuangan Politik Tradisional NU

C. Gus Dur Dibalik Angka Kramat

Bulan 10

Tahun 1999

Angka 19

BAB V KIAI KHOS DAN PEMBAHARUAN KULTUR POLITIK

TRADISIONAL NU

A. Masyarakat Indonesia Tahun1998

Gerakan Reformasi: Perjuangan Mahasantri

Lahirnya Tokoh-Tokoh Muda Santri Par Exellence

B. Kiai Khos, NU, dan Politik Nasional

Pesantren Menjawab Era Baru Reformasi

Medan Baru Kiai di Panggung Nasional

Krisis Moralitas Politik

C. Reformasi, Arah Baru Politik Ekonomi Nasional

Kekuasaan Kiai dan Kiai Kekuasaan

Kiai, Partai Politik, dan Islam Politik

Pandangan Inteligensia

D. Gus Dur Arsitek Pembaharuan Tradisional NU

Kebangkitan Santri Politik dan Politik Santri

PKB dan Kontrol Kiai

PKB, Kiai, dan Pesantren

PKB dan Partai Politik

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 5: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

NU (Nahdlatul Ulama) dalam tiga dasawarsa terakhir mengalami

perubahan cukup signifikan. Interaksinya dengan politik dan ekonomi bangsa

mempengarui dinamika NU sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang

senantiasa bergerak progresif. Sebagai organisasi keagamaan terbesar –tidak kurang

40 juta anggota, sejarah NU adalah sejarah elite-elite pesantren dalam kubangan

bola bumi dalam perkembangannya turut menentukan arah politik dan wajah

Indonesia. Nelly van Doorn-Harder menggambarkan, peran NU dalam panggung

politik nasional terjadi ketika khittah 1926 jadi keputusan organisasi dalam

Muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984. Keputusan ini tidak hanya memberi arti

pada aktivitas-aktivitas politik NU di tingkat nasional, tetapi juga memfokuskan

kembali pada pendidikan, kesejahteraan masyarakat, misi sosial, dan pembangunan

ekonomi.1

Keputusan kembali ke khittah 1926 disadari jadi starting point NU untuk

meletakkkan dasar-dasar pembaharuan baik dari sisi jam’iyyah maupun jamá‘ah.

NU jadi organisasi dinamis ketika elite-elite pesantren berhasil merubah stigma

negatif di kalangan para peneliti dan akademisi yang secara pejoratif menilai NU

sebagai organisasi tradisional yang berkonotasi kolot jadi organisasi modern dan

progresif.2 Penilaian tradisional merujuk pada paham-paham keagamaan, yang

sebagaimana digambarkan Lukens-Bull, lebih banyak menjalankan tradisi yang

terpelihara melalui sistem pendidikan dan pengutamaan sumber-sumber keagamaan

atau karya-karya Islam klasik (classical Islamic texts).3

Khittah 1926 membuka peta jalan baru (new road map) NU untuk aktif

kembali dalam persoalan sejumlah besar Muslim Indonesia dalam beradaptasi

dengan perubahan sosial dan modernitas. Pertama, pembaruan organisasi. Dalam

konteks ini sejumlah pembaruan dilakukan NU meliputi revitalisasi Dewan

Syuriah, otonomi wilayah, dan dinamisasi pemuda. Pasca khittah 1926, NU

merevitalisasi peran Dewan Syuriah mulai tingkat nasional hingga lokal untuk

memantau kegiatan-kegiatan NU baik tingkat jamá‘ah maupun jam’iyyah. NU juga

memberikan otonomi pada wilayah dan cabang untuk melakukan terobosan-

terobosan penting dalam meningkatkan kualitas warga nahdliyyin, mengembangkan

organisasi melalui kerja sama yang dapat dibangun dengan pemerintah dan

pengusaha lokal. Akibatnya, baik tingkat wilayah dan cabang NU tidak memiliki

patronase pada tingkat pusat.

1Nelly van Doorn-Harder, ―Nahdlatul Ulama (NU),‖ dalam Encyclopedia of Islam

and the Muslim World, ed. Richard C. Martin (USA: Macmillan Reference, 2019), 499-500. 2Ahmad Najib Burhani, ―Kitab Kuning dan Kitab Suci: Pengaruh al-Jabiri terhadap

Pemikiran Keagamaan di NU dan Muhammadiyah,‖ Masyarakat Indonesia, Vol. 41, no. 1

(Juni 2015): 27-28, https://ejournal.lipi.goi.id (diakses 16-02-2017). 3Ronald A. Lukens-Bull, ―Two Sides of the Same Coin: Modernity and Tradition

in Islamic Education in Indonesia,‖ Anthropology & Education Quarterly, Vol. 32, no. 3

(Sep., 2001): 352, http://www.jstor.org/stable/3195992 (diakses 24-10-2015).

Page 6: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

2

Dalam waktu bersamaan, sejumlah organisasi kepemudaan NU kembali

bergairah seperti divisi untuk pemuda Ansor, wadah wanita muda Fatayat NU,

wanita Muslimat NU, dan siswa dan siswi IPNU dan IPPNU. Begitu juga lembaga

untuk pendidikan LP Ma‘arif NU, lembaga pembinaan keluarga LKKNU, lembaga

pertanian, lembaga pengembangan ekonomi, perbankan Islam, dan lembaga kajian

Lakpesdam NU. NU juga memiliki forum-forum diskusi tentang isu-isu keadilan

sosial, hak asasi manusia, ekonomi, demokrasi, dan perempuan dan anak-anak.

Bruinessen menggambarkan keputusan khittah 1926 membawa keuntungan dan

kerugian sekaligus baik NU sebagai organisasi maupun bagi orang-orangnya.4

Kedua, kritik tradisi pesantren. Pasca khittah 1926 pula NU melakukan

otokritik terhadap tradisi pesantren. Dalam konteks ini, NU dan elite-elite pesantren

berusaha menempatkan kurikulum pesantren bukanlah ―given‖, ilmu yang dihafal

dan ditransmisikan, tetapi sebagai warisan (legacy) yang harus ditempatkan secara

proporsional, yang tetap memerlukan penilaian kritis untuk mencari rumusan

hukum tepat dalam mengatasi masalah di era kontemporer. Selain dengan elite

pesantren, kritik terhadap tradisi pesantren juga dilakukan NU bersama para aktivis

sosial yang disponsori LSM. Mereka bekerja di antara komunitas muda pedesaan

pada 1980-an melalui program-program pemberdayaan dan kajian. Proyek ini

dalam perkembangannya menghasilkan peradaban baru, gagasan analitik integratif

antara ilmu-ilmu sosial dengan sumber tradisi Islam, khususnya bidang usûl fiqh, ke

dalam diskusi rutin.5

Upaya ini mampu memberikan stimulus baru, lahirnya forum-forum kajian

di sejumlah kampus dan kota besar. Sejumlah anak muda mulai membuka diri

terhadap pemikiran-pemikiran baru dari luar, dan eksodusnya sejumlah anak muda

untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang tinggi. Mobilitas vertikal ini menemukan

elan vitalnya ketika anak-anak muda NU memiliki kemampuan memahami sumber-

sumber tradisionalistik yang diracik dengan teori-teori sosial antropologis

kontemporer ketika berada di IAIN atau UIN.6 Feener menyebutkan,

7 perubahan

NU sebagai organisasi tradisional terjadi setelah para elite pesantren mulai

mengintegrasikan wawasan analitik ilmu-ilmu sosial dan ilmu keislaman terutama

usûl fiqh dalam kajian dan diskusi yang direspons positif oleh muda-mudi NU dan

masyarakat lingkungan pesantren.

4Martin van Bruinessen, "NU: Jamaah Konservatif yang Melahirkan Gerakan

Progresif," dalam kata pengantar Laode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme

Baru (Jakarta: Erlangga, 2004), xii-xvii. 5Ali Munhanif, ―Al-Shawkah al-Siyāsīyah li al-Afkār al-Dīnīyah: Al-Ḥarakah al-

Tajdīdīyah al-Islāmīyah wa al-Ṭarīq ilá Nuqṭat Iltiqā‘ al-Islām wa al-Dawlah,‖ Studia

Islamika, Vol. 22, no. 1 (2015): 118, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika

DOI: 10.15408/sdi.v22i1.1389 (diakses 27-12-2019). 6Fuad Jabali and Jamhari, eds., The Modernization of Islam in Indonesia: An

Impact Study on the Cooperation between the IAIN and McGill University (Montreal and

Jakarta: Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project, 2003), 43. 7R. Michael Feener, ―Cross-Cultural Contexts of Modern Muslim Intellectualism,‖

Die Welt des Islams, New Series, Vol. 47, Issue 3/4 (2007), 278-279

http://www.jstor.org/stable/20140780 (diakses 13-05-2016).

Page 7: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

3

Sikap dinamis para elite pesantren terhadap bentuk-bentuk klasik

pembelajaran Islam ini mendorong anak muda NU untuk memasuki perdebatan di

panggung nasional dengan tulisan-tulisan yang menunjukkan kombinasi inovatif

dari metodologi tekstual Islam tradisional dengan kesadaran yang berkembang

sangat tinggi, ke realitas sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia kontemporer dan

komitmen terhadap cita-cita keadilan sosial. Massifikasi intelektual ini menjadikan

NU sebagai salah satu penggerak civil society paling produktif di bumi Indonesia.

Mereka memiliki budaya hibrid bergerak dari terciptanya liminalitas dan

marginalitas menuju kumpulan kelompok akademik menciptakan gerakan

pemikiran (thought gravitating) di sekitar pendidikan Islam.8 Salim

menggambarkan NU –jika bukan satu-satunya—jadi organisasi Islam yang

memperoleh kredit untuk perlawanan yang lebih efektif terhadap rezim otoriter dan

demokratisasi. Ini berarti bahwa gerakan civil society NU memperoleh kemenangan

simbolis dalam kontes masyarakat sipil Muslim di Indonesia.9

Dengan demikian, khittah 1926 telah membawa wajah NU sebagai

kekuatan intelektualisme Islam dan civil society, dua wajah yang menempatkan NU

sebagai organisasi pembaharu atau dalam bahasa Eklöf disebut neo-modernis.10

Selain khittah 1926 tersebut, dinamika berikutnya ketika NU memutuskan untuk

terlibat kembali dalam politik nasional (national politics) pada 1998. Keputusan ini

mendapat perhatian banyak kalangan dalam dan luar negeri. Namun berbeda

dengan 1951-1971 saat keterlibatan NU dalam politik nasional dengan menjadikan

NU sebagai kekuatan partai politik mulai dari pusat hingga ranting dan anak

ranting, maka pada 1998 NU memprakarsai berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB). Keputusan NU untuk berdirinya institusi partai baru, PKB, lebih dari

sekadar respons terhadap menguatnya keinginan warga nahdliyyin untuk

menjadikan NU sebagai partai politik kembali sebagaimana pada 1951 untuk ikut

dalam kontestasi pemilu pertama reformasi pada 1999.

PKB berdiri pada Juli 1998 didahului oleh kajian kontemplatif sosio-

antropologis oleh Tim Lima dan Tim Sembilan merupakan terobosan politik. Meski

mendapat kritik keras, misalnya dinilai menyalahi khittah 1926 yang diputuskan

pada 1984 yang telah menjadikan NU sebagai organisasi pembaharu dan penggerak

civil society, tetapi keputusan tersebut peneliti anggap cukup tepat di tengah

antusiasme warga Indonesia untuk terlibat kembali dalam politik nasional

memasuki era kebebasan berserikat pasca gerakan reformasi mahasiswa ‗98.

8Carool Kersten, ―Islam in Indonesia Today: Discourses and Interlocutors,‖ Oxford

University Press (October 2016): 1-6, http://www.oxfordscholarship.com/ DOI:

10.1093/acprof:oso/9780190247775.003.0003 (diakses 02-05-2017). 9Arskal Salim, ―Between ICMI and NU: The Contested Representation of Muslim

Civil Society in Indonesia, 1990-2001,‖ Al-Jámi‘ah, Vol. 49, no. 2 (2011 M/1432 H): 320-

321, http://aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/160 (diakses 02-05-2017). 10

Neo-modernisme berupaya menjadikan Islam kompatibel dengan modernisasi

masyarakat di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik, menekankan pluralisme dan

toleransi antar agama, serta komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi. Lihat Stefan Eklöf,

―Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto 1996–98,‖ Nordic Institute of Asian

Studies, Studies in Contemporary Asia series, no. 1 (1999): 56, http://nias.ku.dk/books/

(diakses 06-09-2017).

Page 8: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

4

Peneliti menilai bahwa ijtihad politik elite-elite pesantren ini dapat disebut

pembaharuan jilid II yang menjadikan NU bergerak lebih dinamis. Satu sisi NU

dapat melanjutkan proyek pembaharuannya dalam bidang rekonstruksi keagamaan,

pemberdayaan pendidikan, pertanian, dan perekonomian rakyat. Sisi lain NU

memiliki peluang lebih terbuka menjalankan peran-peran politiknya baik tingkat

nasional, regional maupun internasional tanpa dibayang-bayangi khittah 1926.

Dengan klaim anak kandung NU, perjuangan elite-elite pesantren mampu

mengantarkan PKB sebagai peserta pemilu dalam konstestasi politik 1999. Bukan

hanya itu, ijtihad politik elite-elite pesantren ini mampu mengantarkan PKB sebagai

partai politik yang memperoleh suara terbanyak ketiga setelah PDI-P dan Golkar

setelah mendapat dukungan dari elite-elite pesantren dari berbagai daerah,11

dan

mengantarkan ketua umumnya, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terpilih

sebagai presiden keempat. Meski terjadi dalam periode singkat, 20 Oktober 1999-

21 Juli 2001, Gus Dur terpilih dalam proses pemilihan demokratis pertama pasca

reformasi Indonesia, memperlihatkan kemampuan elite-elite pesantren dalam

politik nasional.12

Dalam konteks ini kita melihat NU telah menjadi sumber kekuatan

pembaruan baik dalam konteks khazanah keilmuan yang melahirkan peradaban

baru keberagamaan Indonesia, maupun dalam khazanah politik nasional untuk

selalu menjaga keseimbangan dan pemelihara keberagaman. NU menampilkan

sebuah terobosan baru keluar dari penilaian pejoratif tradisionalistik yang

mengejutkan banyak kalangan, dan saat bersamaan NU juga tampil sebagai

organisasi keagamaan yang jadi sumber kekuatan politik. Fenomena demikian,

dalam pandangan van Dijk, NU jadi aktor utama untuk menanamkan agama dalam

Undang-Undang nasional dan regional dan dalam masyarakat. NU bertindak baik

sebagai motor maupun sebagai rem (brake).13

Gus Dur dan elite pesantren telah jadi simbol perubahan di NU yang

menginspirasi warga nahdliyyin untuk membangun peradaban baru di bumi

Indonesia. Gus Dur dan elite pesantren memberi jalan bagi warga nahdliyyin dan

warga Indonesia untuk menjalin aliansi strategis antar sesama kelompok pembaharu

dalam mendorong reformasi politik dan menciptakan masyarakat adil. Nyatanya

Gus Dur memberikan peluang luas bagi intelektual muda NU dan aktivis sosial

untuk terlibat dalam PKB dan partai politik pada 1998 hingga Pemilu 1999. Latief

11

Keberhasilan ini tidak terlepas dari strategi yang dijalankan PKB yang menarik

sejumlah warga nahdliyyin untuk mengubah afiliasi dari PPP ke PKB terutama di Jawa

Tengah dan Jawa Timur. Perubahan afiliasi jadi bukti penghormatan dan kesetiaan yang

diperintahkan oleh Gus Dur dan dan para kiai sebagian besar kekayaan politik NU. Lihat

Charles U. Zenzie, ―Indonesia's New Political Spectrum,‖ Asian Survey, Vol. 39, no. 2

(Mar-Apr., 1999): 252 http://www.jstor.org/stable/2645454 (diakses 13-05-2016). 12

Azyumardi Azra, ―The Islamic Factor in Post-Suharto Indonesia,‖ dalam

Indonesian in Transition, Social, Aspects of Reformasi and Crisis, ed. Cris Manning & Peter

van Diermen (Singapore: ISEAS, 2000), 316. 13

Kees van Dijk, ―Islamic Political Parties and Socio-Relegious Organisations,‖

dalam Islam, Politics and Change: The Indonesian Experience after the Fall of Suharto,

eds. Kees van Dijk and Nico J.G. Kaptein (Leiden University Press, 2011): 26.

Page 9: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

5

menyebutkan,14

pada rezim Orde Baru tidak sedikit aktivis dan penggerak civil

society terlibat dalam politik nasional mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI

dalam Pemilu 1999.

Proyek pembaharuan tersebut tidak dilakukan Gus Dur sendiri, tetapi ia

bersama elite-elite pesantren yang tergolong istimewa (khos). Gus Dur memiliki

keturunan darah biru selalu membangun komunikasi intensif dengan kiai khos

dapat dilakukan mudah. Kedekatan Gus Dur dengan elite-elite pesantren ―khos‖

tersebut ditunjukkan pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, yang berkat

dukungan penuh terpilih sebagai ketua umum PBNU mengalahkan calon rezim

pemerintah.15

Kebiasaan ini ditunjukkan pula saat pencalonannya sebagai presiden

pada pemilihan MPR tahun 1999, Gus Dur tidak serta menerima langsung lamaran

Poros Tengah tapi didahului dengan meminta restu dari elite-elite pesantren.16

Sejak hari pertama bertugas menjalani pemerintahan Gus Dur diwarnai

sebuah dinamika cukup tinggi. Sejumlah tokoh disodorkan untuk menduduki

jabatan kabinet dengan klaim kontribusi. Meski seringkali Gus Dur melontarkan

pernyataan yang ditafsirkan bertentangan dengan kepentingan Islam seperti

pembukaan kerja sama dengan Israel, membatalkan Keputusan MPR No. 15 Tahun

1996, MUI harus independen, dan lainnya,17

namun penyodoran nama yang terlalu

dipaksakan memperlihatkan betapa pemerintahan selalu menjadi political leverage

dan bahkan mesin politik uang bagi partai-partai politik.

Minimnya dukungan politik terutama dari kekuatan politik dan parlemen,

menjadikan Gus Dur harus mencari mitra koalisasi baru di luar parlemen. Dalam

konteks ini, legitimasi kiai khos yang selalu menempatkan ―kesalehan sosial‖

daripada ―kesalehan‖ individual menjadi penting untuk mempertahankan

kekuasaannya hingga berakhir masanya. Dukungan kekuatan non-parlemen dan kiai

membuat Gus Dur tenang menjalankan roda pemerintahannya. Serangan-serangan

dari lawan politiknya baik melalui black campaign maupun kekurangan fisik, justru

dihadapi dengan melemparkan humor-humor cerdas. Gus Dur berhasil

mempertahankan kekuasaannya selama 21 bulan tidak terlepas dari terobosan

dibalik dinamika dan kompromi politik yang tidak produktif, dukungan dari

14

Hilman Latief, ―The Politics of Benevolence: Political Patronage of Party-based

Charitable Organizations in Contemporary Indonesian Islam,‖ Al-Jāmi‘ah, Vol. 51, no. 2

(2013 M/1435 H): 346 http://aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/160 (diakses 02-

05-2017). 15

Naiknya Gus Dur jadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU di Situbondo

juga tidak telepas dari peran kiai khos –seperti Kiai Machrus Ali dari Lirboyo dan Kiai

Maksum dari Krapyak, di samping Kiai As‘ad sebagai tuan rumah muktamar ketika itu.

Kiai-kiai ini melebihi suara utusan muktamar. Lihat Martin van Bruinessen, ―Back to

Situbondo? Nahdlatul Ulama Attitudes Towards Abdurrahman Wahid‘s Presidency and his

Fall,‖ dalam Indonesia: in Search of Transition, ed. Henk Schulte Nordholt and Irwan

Abdullah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 19-20. 16

Wawancara Marzuki Usman bertempat di kantornya Gedung Sahid Sudirman

Center Lt. 37, 12-04-2017. 17

Moch. Nur Ichwan, Ulama’, State, and Politics: Majelis Ulama Indonesia after

Suharto, International Institute for Asian Studies, 12, 1 (2005): 61-62, www.brill.nl (diakses

27-12-2019).

Page 10: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

6

kekuatan-kekuatan non-parlemen, dan posisi strategis para kiai. Hal sama dilakukan

Gus Dur saat jadi ketua Dewan Syuro PKB dan ketua umum PBNU.

Upaya Gus Dur menempatkan kiai sebagai salah satu penopang utama

kekuasaannya akhirnya membuat dilema di kalangan elite NU. Satu sisi mereka

harus teguh memegang prinsip khittah 1926 yang digariskan pada 1984 yang

mengantarkan NU sebagai kekuatan intelektual dan civil society, tetapi sisi lain

mereka juga tidak tega melihat Gus Dur berjuang sendiri mengembalikan martabat

kedaulatan bangsa. Gus Dur menjalankan politik zig-zag, bahkan ia dinilai telah

mengebiri sendiri khittah 1926 dengan menarik para kiai dalam politik praktis,

karena tugasnya yang cukup berar, salah satunya mengatasi gerakan separatis di

Papua Barat dan Aceh, dan pada saat sama mendorong pemimpin separatis untuk

saling berdialog dengan pemerintahan baru, sementara lainnya memutus siklus

kekerasan.18

Dalam konteks dapat dipahami bahwa usaha Gus Dur melibatkan kiai

dalam kekuasaannya merupakan strategi untuk menempatkan politik sebagai bagian

tak terpisahkan dari kiai dan elite-elite pesantren, dan mengembalikan marwah NU

sebagai organisasi kuat. Perjuangan ini merupakan rangkaian dan tahapan yang

kelihatannya sudah disusunnya sejak menggariskan khittah 1926 pada 1984. Gus

Dur mampu mengembalikan NU ke garis perjuangan awal kelahirannya, 31 Januari

1926 sebagai jam’iyyah yang memurnikan dari kegiatan politik praktis dan

menjadikan Islam sebagai kekuatan integral dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara Indonesia. Khittah 1926 jadi momentum penting sekaligus titik balik

munculnya gairah baru di lingkungan NU, bangkitnya intelektualisme di kalangan

anak-anak muda dengan beragam forum kajian.19

Kulturalisasi politik ala Gus Dur semacam ini merupakan pengejawantahan

dari gagasannya tentang Islam sebagai ―etika sosial‖ pada era 1970-an. Gagasan ini

sebagai penerjemahan ulang atau perluasan ―fiqh sosial‖ gagasan K.H. Sahal

Mahfudz.20

Sebagai etika sosial Gus Dur menempatkan Islam sebagai sumber

kesadaran agama menuju level sosial, yang menekankan pentingnya manifestasi

kesalehan sosial daripada semata-mata individual dengan memberikan tekanan pada

‗struktural‘. Kesadaran agama termanifestasi ke dalam kesalehan sosial dalam

bentuk perubahan tatanan sosial menjadi lebih baik, lebih adil, lebih beradab, dan

lebih sejahtera. Dengan kata lain, mewujudkan kesalehan sosial merupakan

18

Harold Crouch, ―Indonesia Democratization and the Threat of Disintegration,‖

Southeast Asian Affairs (2000): 115, http://www.jstor.org/stable/27912247 (diakses 24-10-

2015). 19

Sikap tanpa mengenal kompromi juga ditunjukkan Gus Dur saat menghadapi

kekuatan politik Orde Baru. Dominasinya luar biasa, sejumlah kiai menganjurkan agar Gus

Dur mundur dari pencalonannya sebagai ketua umum PBNU demi umat. Namun, karena

dukungan para kiai yang kuat, operasi politik Orde Baru gagal dan Gus Dur bertahan hingga

muktamar di Kediri yang kemudian mundur. Lihat Moeslim Abdurrahman, Islam Yang

Memihak (Yogyakarta: LKiS, 2005), 187. 20

Banyak dalil pentingnya ―fiqh sosial‖ dalam membentuk perubahan sosial, lebih

adil, lebih beradab, dan lebih sejahtera, misalnya al-Qur‘an surat al-Isra‘ ayat 70:

.. Lihat

M.A. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994), 21.

Page 11: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

7

perjuangan yang diperlengkapi dengan perubahan struktural. Namun jalan ke arah

perubahan ‗struktural‘ tersebut haruslah tetap dilakukan dengan cara damai dengan

seminimal mungkin mudlārat, berdasarkan prinsip kemaslahatan sosial yang

menjadi tujuan perubahan. Perjuangan ‗struktural‘ ini sejatinya dilakukan melalui

perjuangan-perjuangan individual, atau bisa jadi dalam bentuk perjuangan kelas

(class struggle), atau melalui aliansi-aliansi strategis.

Dalam konteks ini dapat dipahami perjuangan-perjuangan Gus Dur dan kiai

khos sebelum maupun sesudah menjabat presiden. Gus Dur sadar kontribusi NU

dalam pembangunan politik dan ekonomi minim. Posisi kiai dalam tradisi NU

sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang diperkuat budaya masyarakat

paternalistik. Namun sejauh ini –dari tahun ke tahun atau periode ke periode—kiai

ditempatkan sebagai sosok karismatik yang memiliki kekuatan yang hanya

dibutuhkan untuk mengumpulkan suara orang-orang di pedesaan. Kiai belum

mampu membuat bargaining position sama-sama kuat di hadapan politisi. Padahal,

Gerhard Bowering menggambarkan, gerakan kaum tradisional pada abad ke-18 dan

19 dalam membangun pesantren dan infrastruktur pendidikan Muslim mendorong

massifikasi penyebaran Islam khususnya di Jawa.21

NU berdiri pada tahun 1926 sebagai respons terhadap situasi sosio-politik

Islam internasional saat menyelenggarakan kongres Maret 1925 di Mesir yang

dinilai formalistik dan sektarian yang abai masyarakat di tingkat akar rumput. 22

NU berusaha menjaga keseimbangan politik, menyadarkan para kiai untuk

melangsungkan forum ―tandingan‖ di Jawa sebagai bentuk protes keras terhadap

peserta kongres internasional tersebut yang tidak akomodatif terhadap elite-elite

pesantren. Kiai merasa dekat masyarakat bawah, bergumul dengan teks-teks

keagamaan klasik dan pemelihara tradisi, menjadikan NU sebagai wadah

perjuangan program-program pendidikan, budaya dan pembangunan sosial

ekonomi yang sesuai prinsip-prinsip Islam tentang keadilan, keragaman, dan

toleransi.23

Kekuatan menangkap pesan-pesan moral, ilmu, amal dan akhlak

keagamaan menyatu dalam diri kiai sebagai tokoh budaya sentralistik-karismatik,

bahkan telah menggiringnya untuk aktif dalam bidang sosial-politik sebagai bentuk

pengejawantahan dari penguasaan ajaran-ajaran (tafaquh) agama satu sisi, dan

tanggung jawab sebagai ulama yang mengemban pesan-pesan pemberdayaan di sisi

lain.24

Dalam sejarah agama-agama di dunia, keterlibatan kiai dalam politik juga

21

Gerhard Bowering, Islamic Political Thought: An Introduction (USA: Princeton

University Press, 2015), 19. 22

Inisiatif penyelenggaraan kongres ini muncul dari ulama al-Azhar atas restu Raja

Fuad dari Mesir, calon kuat untuk kursi ketua. Lihat Ali Maschan Moesa, Nasionalisme

Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama (Yogyakarta: LKiS-Sunan Ampel Press, 2007),

130. 23

Founded in 1926 by Hasyim Asy‘ari, Nahdlatul Ulama (NU) supports education,

cultural engagement, and socioeconomic development rooted in Islamic principles of

justice, diversity, and tolerance. Lihat Berkley Center, ―Nahdlatul Ulama,‖

http://berkleycenter.georgetown.edu/organizations/nahdlatul-ulama (diakses 17-01-2016). 24

Achmad Zainal Arifin, Charisma and Rasionalisation in a Modernising

Pesantren: Changing Values in Traditional Islamic Education in Java (A Thesis of Ph.D

Page 12: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

8

dilakukan tokoh agama-gama lain, merupakan langkah-langkah emansipatoris

dengan maksud mengenalkan ―agenda keislaman‖ ke dalam ―agenda nasional‖

bangsa dalam konteks relasinya dengan kuasa (power).25

Kebijakan kolonial

Belanda yang menolak tempat-tempat ibadah, haji, madrasah dan aturan untuk lahir

di Indonesia juga mempersulit kiai merealisasikan otoritas-otoritas yang mesti

disemainya.26

Ada aituasi politik internasional dan keinginan para kiai untuk berperan

aktif sosial, ekonomi, politik, dan budaya. NU lahir sebagai wadah para kiai untuk

berkontribusi dalam memperjuangkan hak-hak rakyat secara struktural dalam

bidang pendidikan, budaya, ekonomi dan lainnya dalam perkembangannya

membawa platform keislaman dan keindonesiaan dari masa ke masa. Singkat kata,

proses sosio-politik yang tidak menguntungkan kalangan kiai tidak serta merta

melahirkan NU; ada proses olah pikir K.H. Hasyim Asy‘ari terutama bagaimana

menjaga hubungan dengan kawan-kawannya tetap terpelihara. Setelah beberapa

kali K.H. Wahab Chasbullah dan lainnya menemuinya bahkan melakukan agregasi

dengan pendirian madrasah, tashwirul afkar, dan lainnya, akhirnya 31 Januari 1926

restu K.H. Hasyim Asy‘ari pun turun.27

Dengan demikian terlihat bahwa kehadiran NU secara politik adalah untuk

memperjuangkan kepentingan masyarakat akar rumput (grassroot). Dalam konteks

ini terlihat perjuangan Gus Dur dan kiai khos dalam merubah paradigma tradisional

ke paradigma modern dan neo-modern, dan perjuangan dari gerakan akar rumput

menjadi perubahan ―kelas politik‖ baru..

B. Identifikasi Masalah

Disertasi ini membahas peran penting kiai khos dalam melakukan

pembaharuan terutama sejak Indonesia memasuki era reformasi hingga berakhirnya

pemerintahan Gus Dur. Kemampuan kiai khos dalam mengartikulasikan diri di

tengah hingar bingar politik dalam upaya, salah satunya memasarkan nilai-nilai

The Western Sydney University, 2013), 8, http://researchdirect.westernsydney.

edu.au/islandora/object/uws%3A17130 (diakses 24-10-2015). 25

Menurut Masdar F. Mas‘udi, sebagaimana dikutip Budhy Munawar-Rachman,

konstruk Islam emanstipatoris berangkat dari visi untuk mewujudkan kehidupan masyarakat

Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan (al-‘adālah), kemerdekaan (al-

hurriyah), demokrasi (al-syûrā), persamaan (al-musāwah), serta persaudaraan (al-

ukhûwah), semata-mata karena mereka manusia, makhluk Allah dan khalifah-Nya. Lihat

Budhy Munawar-Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif dan

Perkembangan Diskursusnya (Jakarta: Grasindo, 2010), 94. Bandingkan dengan David

Bourchier and Vedi R. Hadiz, eds, Indonesian Politics and Society: A Reader (London:

Routledge Curzon, 2003), 226. 26

Michael Buehler, ―Islam and Democracy in Indonesia,‖ Insight Turkey 11, no. 4

(2009): 54, http://michaelbuehler.asia/wp-content/uploads/2012/06/ (diakses 11-01-2016). 27

Azyumardi Azra menyebutkan, NU memiliki banyak organisasi pemuda dan

perempuan yang sangat aktif dalam program-program pemberdayaan di bidang agama,

―sekular‖ pendidikan, peningkatan budaya dan sejenisnya. Lihat Azyumardi Azra,

Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context (Jakarta: The Asia

Foundation-Solstice-ICIP, 2006), 41.

Page 13: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

9

kesalehan dalam struktur pemerintahan telah menjadi perhatian banyak kalangan

akademisi dan pengamat, terutama karena posisinya sebagai penjaga moral dan

pelindung ideologi masyarakat.28

Kurun waktu antara 20 Oktober 1999 sampai 21

Juli 2001 menjadi masa cukup menentukan dalam dinamika NU di pentas politik

nasional dan internasional.

Kelima kiai ini disebut khos karena dinilai memiliki sejumlah kelebihan

yang jarang dimiliki manusia pada umumnya seperti kekuatan pengetahuan,

memiliki karõmah, dan tidak tergoda pada hal yang bersifat duniawi. Mereka

adalah: K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), K.H. Maimun Zubair, K.H. Idris

Marzuki, K.H. Abdullah Faqih, dan K.H. Muslim Rifa‘i Imampuro. Peran kelima

kiai khos dalam dinamika ―kultur politik‖ ini merupakan kelanjutan proyek Gus

Dur dalam bidang intelektualisme di kalangan NU sejak khittah NU ditetapkan

pada tahun 1984.29

Keberadaan kiai khos selama kurun waktu tersebut

memperlihatkan kultur yang berbeda dalam sejarah NU terutama saat Gus Dur

menjadi Ketua Umum PBNU yang berhasil melakukan pembaharuan pola pikir di

kalangan kiai dan generasi muda NU. Keputusan kembali ke khittah 1926 NU

mampu melakukan revolusi mindset dan pola pikir. Kondisi terus berlanjut ketika

Gus Dur jadi Ketua Dewan Syuro PKB, bahkan bargaining politik NU makin kuat,

apalagi saat menjadi presiden RI.30

Dengan tingkat subyektifitas tinggi Gus Dur

memberi tekanan tatanan sosial seimbang dan adil, tetapi saat bersamaan juga

memberikan ruang untuk struktural dengan cara damai dan menghindari mudhārāt.

Inilah Gus Dur yang –sebagian banyak kalangan dianggap wali—telah menjadi

lokomotif pembaharuan di NU.

C. Pembatasan Masalah

Penelitian ini memfokuskan pada peran kiai khos dalam melakukan

pembaharuan kultur politik NU sejak datangnya reformasi pada 1998 hingga

pemerintahan Gus Dur yang berlangsung dari 20 Oktober 1999 sampai 21 Juli

2001. Selama kurun waktu tersebut terjadi perubahan signifikasi dalam perilaku

politik warga NU sejak Gus Dur dan kiai khos memutuskan berdirinya Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) yang diklaim sebagai anak kandung NU. Keputusan

mendirikan PKB dapat dinilai sebagai proyek pembaharuan jilid kedua Gus Dur

dan kiai khos pasca keputusan khittah 1926 pada 1984 yang berpengaruh pada

kebangkitan intelektualisme NU.

28

Istilah kiai khos hasil pemberitaan media yang dalam kultur NU terlalu populer

dibanding istilah kiai sepuh, yaitu kiai yang dari segi umur, ilmu, dan terutama akhlaknya di

atas rata-rata. Lihat A. Mustofa Bisri, Membuka Pintu Langit: Momentum Mengevaluasi

Perilaku (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011), 34.

29Catatan Hefner menarik disimak. Menurutnya, awal 1980-an NU mengenalkan

konsep demokrasi dan nasionalisme meski saat bersamaan memiliki komitmen empat

mazhab hukum Islam, Ini merupakan kelanjutan dari era-1950-an. Lihat Robert W. Hefner,

―Public Islam and the Problem of Democratization,‖ Sociology of Religion, Vol. 62, no. 4

(Winter, 2001): 505 http://www.jstor.org/stable/3712438 (diakses 24-10-2015) 30

Damien Dematra, Sejuta Doa untuk Gus Dur: Sebuah Novel dan Kumpulan Doa

(Jakarta: Gramedia, 2010), 325.

Page 14: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

10

D. Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang jadi acuan dalam penelitian ini dapat digambarkan

sebagai berikut:

1. Bagaimana respons kiai khos terhadap reformasi dan perubahan politik di Tanah

Air?

2. Bagaimana perjuangan kiai khos dalam membangun dan melakukan

pembaharuan kultur politik di kalangan NU?

3. Bagaimana peran kiai khos dalam mengantarkan Gus Dur jadi presiden dan

menjaga keberlangsungan pemerintahannya?

E. Signifikansi Penelitian

Sebutan kiai bukanlah julukan biasa. Kiai dijumput dari tradisi Buddha

merupakan julukan kepada seseorang yang dianggapnya sebagai ‗alim atau

dinobatkan pada seorang yang mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu

keagamaan bila dibandingkan dengan orang pada umumnya.31

Kiai dan penguasaan

ilmu-ilmu agama menempatkannya sebagai figur sentral dalam komunitas di

sekitarnya. Posisi ini menjadikan perbincangan kiai dalam kaitan dengan politik

sebagai wilayah profan selalu menarik.

Keberadaan kiai dalam dunia politik didasarkan pada fakta makin apatisnya

masyarakat terhadap politik akibat perilaku elite yang menjauh dari nilai-nilai

demokrasi bahkan terkesan terjadi pengingkaran terhadap prinsip dasar

keagamaan.32

Merosotnya citra para elite politik di mata masyarakat memberi

peluang kiai untuk berperan aktif dan ikut mewarnai dunia politik. Faktanya, para

wakil rakyat kian jauh dari implemantasi kepentingan rakyat mendorong kiai untuk

keluar dari rumah budayanya untuk menjadi pemeran utama atau sebagai pialang

politik (political broker). Sejak 1990-an kesadaran politik kiai tumbuh seiring

dengan perubahan iklim politik di Tanah Air dan dinamika internal NU, dan

karenanya beberapa kegiatan pesantren dikaitkan dengan pendidikan dan sosial

yang lebih luas seperti hak asasi manusia, pluralisme, keadilan sosial dan politik,

demokrasi dan toleransi antar agama.33

Alienasi politik ditandai dengan masyarakat acuh tak acuh pada setiap

agenda politik nasional maupun daerah, namun menjelang pemilihan para elite

politik berusaha mendekati floating mass ini untuk kepentingan diri sendiri dan

kelompok. Sementara kiai yang selalu konsisten dengan garis-garis perjuangannya

senantiasa menjadi sosok karismatik serta menempati posisi tinggi (high class)

31

Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 2002), 96.

Bandingkan dengan Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926

(Jakarta: Erlangga, 1992), 223. 32

Baik NU maupun Muhammadiyah sama-sama memiliki program ambisius seperti

reformasi pendidikan Islam atau kontrol otoritas politik. Lihat Ibrahim M. Abu-Rabi,

―Contemporary Islamic Intellectual: A Theoritical Perspective,‖ Islamic Studies 44, no. 4

(Winter 2005): 522, http://www.jstor.org/stable/20838990 (diakses 24 -10-2015). 33

Florian Pohl, ―Islamic Education and Civil Society: Reflections on the Pesantren

Tradition in Contemporary Indonesia,‖ Comparative Education Review 50, no. 3, (2006):

402, http://www.jstor.org/stable/10.1086/503882. DOI: 10.1086/503882 (diakses 24-10-

2015).

Page 15: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

11

dalam strata sosial, utamanya bagi umat Islam. Setiap perkataan kiai diyakini

sebagai hal yang mengandung kebenaran. Meski demikian, kiai sekadar

dimanfaatkan menjadi pengumpul suara (vote getter), bukan sebaliknya sebagai

mitra strategis pemerintah dalam membangun demokrasi yang lebih baik.34

Saat kiai mampu merumuskan komunikasi tepat yang kemudian memberi

peluang untuk terlibat politik praktis masyarakat justru menganggapnya secara

pejoratif. Sorotan terhadap kiai dan posisinya dinilai kian menjauh dari tugas

utamanya, menyebarluaskan ajaran-ajaran agama, memahami tafsir, hukum,

maupun dalam hal kebijakan yang tidak lagi memihak pada rakyat. Dalam konteks

ini ada tiga kategori dalam memahami kiai. Pertama, integrated, kiai yang

menjadikan dunia politik sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan dirinya.

Kedua, simbiotik, kiai yang menempatkan pesantren dan dunia politik sejajar,

memiliki hubungan sama, dan saling membutuhkan. Ketiga, sekularistik, kiai yang

berusaha memisahkan dirinya sama sekali dengan dunia politik.35

F. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara garis besar dimaksudkan untuk menggali informasi

seputar fakta-fakta empirik terkait peran politik kiai melalui beberapa sorotan.

Pertama, memotret respons kiai khos dalam menghadapi reformasi dan perubahan

politik di Tanah Air pada tahun 1998. Kedua, menggambarkan perjuangan kiai khos

dalam membangun kultur politik NU dan pembaharuan terhadap warga nahdliyyin.

Ketiga, menjelaskan peran kiai khos dalam mengantarkan K.H. Abdurrahman

Wahid (Gus Dur) jadi presiden dan menjaga keberlangsungan pemerintahannya.

G. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini tidak hanya untuk merespons pelbagai

asumsi dan menjawab persoalan-persoalan tersebut di atas, melainkan lebih jauh

diharapkan dapat mengungkap fakta yang lebih akurat, obyektif, dan kredibel

tentang kondisi obyektif pemikiran dan perjuangan Gus Dur dan kiai khos36

dalam

34

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan

Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), 93-94. Lihat pula

Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi

(Jakarta: Erlangga, 2002), 27. 35

Kategori ini tidak mengurangi peran kiai sama sekali di mata para santri dan

masyarakat sekitar pesantren. Kiai tetap dianggap sebagai transmisi pengetahuan agama,

pendorong agama, dan sumber keberkahan (blessing). Karenanya sejak masa penjajahan,

peran agama dan peran politik (termasuk peran sosial) selalu melingkupi kiai. Lihat Julia

Day Howell, ―Sufism and the Indonesian Islamic Revival,‖ The Journal of Asian Studies 60,

no. 3 (2001): 714, http://www.jstor.org/stable/2700107 (diakses 13-05-2016). 36

Gus Dur menjadi lokomotif pembaharuan di kalangan generasi muda NU dan

elite-elite pesantren lainnya naik ke puncak kekuasaan di negeri ini. Lihat Andrée Feillard,

―From Handling Water in a Glass to Coping with an Ocean: Shifts in Religious Authority in

Indonesia,‖ dalam Varieties of Religious Authority: Changes and Challenges in 20th

Century

Indonesia Islam, ed. Azyumardi Azra, Kees Van Dijk, & Nico J.G. Kaptein (Singapore:

IIAS-ISEAS, 2010), 164.

Page 16: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

12

dinamika kultur politik NU yang ditransmisikan melalui pesantren, serta daya

terima ―kiai khos‖ dalam kultur politik pesantren.

H. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai kiai dan peran sosial-politik di Indonesia sudah banyak

dilakukan. Penelitian mengenai hal ini muncul dalam bentuk penyelesaian akhir

mahasiswa dan tidak jarang pula muncul dalam bentuk penelitian para akademisi

baik dalam maupun luar negeri yang sudah terpublikasi. Di luar itu adalah tulisan-

tulisan yang bersifat antologi, bagian-bagian dari buku, dan artikel-artikel di media

massa dan jurnal. Dalam konteks itu, perdebatan mengenai peran kiai menghasilkan

istilah-istilah dan teori-teori baru.

Penelitian-penelitian mengenai kiai ditempatkan sebagai sub-kultur bangsa

laksana teks yang tidak pernah kering. Perhatian diberikan kepada ide-ide dari

individu-individu kiai dalam komunitas baik sebagai cultural broker, mediator,37

maupun political broker. Bahkan konsepsi Julian Benda seringkali dipakai dalam

wacana dan analisis terhadap kiai, sementara dalam sebagian besar kasus dan dalam

sebagian besar sejarah kiai telah manjadi bagian integral dari komunitas sosial dan

kolektivitas-kolektivitas politik mereka sendiri.38

Di antara sekian banyak penelitian yang secara sistematis mengenai NU

dan politik nasional, seperti Katleen E. Woodward (2015) dalam ―Indonesian

Schools: Shaping the Future of Islam and Democracy in a Democratic Muslim

Country‖ menjelaskan peran NU di era transisi menuju demokrasi untuk penguatan

Islam dalam masyarakat dan politik; Hilman Latief (2013) dalam ―The Politics of

Benevolence: Political Patronage of Party-based Charitable Organizations in

Contemporary Indonesian Islam‖ menjelaskan peran NU sebagai organisasi Islam

terbesar yang menyediakan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam politik

nasional; Nils Bubandt (2014) dalam ―Democracy, Corruption and the Politics of

Spirits in Contemporary Indonesia‖ yang menjelaskan relasi kiai dan politik

cenderung menghantui demokrasi; Firman Noor (2012) ―Institutionalising Islamic

Political Parties in Indonesia: A Study of Internal Fragmentation and Cohesion in

the Post-Soeharto Era (1998-2008)‖ karya di University of Exeter ini

menggambarkan peran penting kiai dalam institusionalisasi partai-partai politik

Islam; dan Robert W. Hefner (2016) dalam ―Indonesia, Islam, and the New U.S.

Administration,‖ mengakui NU jadi organisasi terbesar memperkuat nasionalisme

dan menghadirkan kompatibelitas Islam Indonesia dan demokrasi sebagai contoh

bagi dunia.39

37

Teori ini digagas Hiroko Horikoshi setelah melakukan penelitian di Garut, Jawa

Barat pada 1976. Hiroko Horikoshi merupakan antropolog di bidang modernisasi dan

perubahan sosial untuk kawasan Asia Tenggara, Timur Jauh, dan Asia Selatan. 38

Lihat Harry J. Benda, Pengkhianatan Kaum Intelektual, penerj. Winarsih P.

Arifin (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 30. 39

Robert W. Hefner, ―Indonesia, Islam, and the New U.S. Administration,‖ The

Review of Faith & International Affairs, Vol. 14, no. 2 (Summer 2016): 62

http://www.tandfonline.com/action/journalInformation?journalCode=rfia20 DOI:

10.1080/15570274.2016.1184444 (diakses 28-07-2017)

Page 17: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

13

Penelitian lain berupa pembaharuan pemikiran keislaman seperti Carool

Kersten (2016) dalam ―Islam in Indonesia Today: Discourses and Interlocutors‖

menjelaskan budaya hidrid intelektual muda NU yang tercipta dari liminalitas dan

marginalitas menuju kumpulan kelompok akademik menciptakan gerakan

pemikiran (thought gravitating) di sekitar pendidikan Islam; Sumanto al-Qurtubi

(2014) Nahdlatul Ulama: Dari Politik Kekuasaan sampai Pemikiran Keagamaan

menjelaskan sejarah politik dan non-politik NU; Zulkifli (2013) menjelaskan usaha

kiai mempertahankan doktrin dan praktek keagamaan telah menciptakan otoritas

keagamaan mereka berdampak pada cara pandang (mindset) politik, sosial, dan

ekonomi umat Islam Indonesia;40

dan Robin Bush Nahdlatul Ulama and the

Struggle for Power Within Islam & Politics In Indonesia peranan politik NU sejak

khittah 1926 hingga pemerintahan Gus Dur,

Semua penelitian dan buku mengenai NU dan peran sosial kemasyarakatan

memfokuskan pada kebersinggungannya dengan politik praktis dalam periode

sejarah masa Orde Baru.41

Seluruh penelitian dari karya-karya yang ada tidak

melepaskan keterkaitan waktu longue durée, bahkan beberapa karya memuat

penjelasan perkembangan historis dari definisi kiai meski diletakkan sebagai latar

belakang dari perhatian utamanya. Perhatian terhadap akar-akar historis dari

kemunculan dan keberadaan kiai merupakan konsepsi-konsepsi yang secara khusus

melukiskan perjuangan kiai (struggle of kyai) dalam pencarian bentuk sosial dan

budaya sejak diperkenalkan sistem pendidikan Barat.42

Sebagian besar karya-karya tersebut tidak cukup memberikan gambaran

tentang proses transmisi dan transformasi tradisi-tradisi dalam pesantren yang

sangat luas. Karena itu, bagaimana menyingkap peran kiai di masa lalu yang

mempengaruhi konstruksi ide-ide dan identitas-identitas di masa kini masih

membutuhkan penelitian lebih jauh dengan pendekatan dan metode baru. Selain

penekanannya terhadap periode historis tertentu, kebanyakan karya juga membatasi

bahasan mereka pada suatu aspek tertentu dari kultur dan peran kiai. Kecuali karya

Geertz, Dhofier, dan Horikoshi, buku-buku tersebut tidak mempertimbangkan

secara sungguh-sungguh bidang pendidikan dan pesantren sebagai basis kultural

bagi perkembangan kiai untuk melakukan pembaharuan dalam bidang politik secara

menyeluruh. Fealy mengatakan:43

―Sejumlah kiai tidak lulusan perguruan tinggi

(PT), tetapi mereka merasa punya peran penting ketika berada di dunia politik.‖

Robin Bush membahas pencerahan politik NU (termasuk generasi muda)

dari kebijakan khittah 1926 sehingga memunculkan kiai-kiai melek politik. Tetapi

40

Zulkifli, ―The Ulama in Indonesia: Between Religious Authority and Symbolic

Power,‖ MIQOT Vol. XXXVII no. 1 (Januari-Juni 2013): 190, https://jurnalmiqotojs.uinsu.

ac.id (diakses 16-10-2017). 41

Robin Bush, Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power Within Islam &

Politics In Indonesia (Singapore: ISEAS Publishing, 2009), 152. 42

Torkil Saxebøl, The Madurese Ulama as Patrons: A Case Study of Power

Relations in an Indonesian Community (A Thesis of Ph.D The Oslo University, 2002), 57,

https://www.duo.uio.no/bitstream/handle/10852/14271/4622.pdf (diakses 11-01-2016). 43

Greg Fealy, The Squabbling Political Elite Inside Nahdlatul Ulama: An

Interview, Senin, 28 Februari 2011.

Page 18: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

14

saat memfokuskan bahasannya pada periode pemerintahan Gus Dur, ia nyaris tidak

membahas kehadiran atau perjuangan yang diperankan kiai dalam dunia politik

selama periode tersebut. Karya Sumanto al-Qurtubi justru melukiskan pergeseran

paradigmatik di kalangan kiai dari politik pragmatis ke pemikiran konstruktif dalam

gerak struktur keorganisasian NU. Sementara karya Djohan Effendi berusaha

memberikan penjelasan secara komplementer periode historis tertentu dengan fokus

pada fenomena intelektualisme sebagai era pencerahan (enlightment) di dunia NU,

namun kurang memperhatikan fenomena gerakan politik yang muncul dalam ranah

publik (public sphere) meski saat bersamaan tetap tidak mempengaruhi ekspresi-

ekspresi intelektual.44

Maka, dengan mempertimbangkan kerangka Robert van Niel (1960)

mengenai asal-usul dan formasi elite; karya Herbert Feith (1962) mengenai

solidarity makers dan administrator; karya Donald K. Emmerson (1976) mengenai

kultur politik elite Indonesia, istilah ―kiai‖ mau tidak mau bukan sekadar sebagai

seorang ‗alim, penjaga tradisi-tradisi keagamaan, mediator, atau cultural broker,

melainkan lebih luas lagi dimaknai elite yang memiliki peluang sama untuk

memberikan pengaruh dalam dunia politik. Kiai juga seorang political broker,

bahwa keberadaan dalam dunia politik memungkinkan membentuk sikap atau

preferensi politik dalam struktur sosial masyarakat di sekitarnya.45

I. Kerangka Teori

Istilah ―kiai‖ sebenarnya sudah populer di masyarakat Indonesia sejak

Clifford Geertz untuk pertama kalinya mengenalkan istilah ini dalam kerangka

studi antropologi untuk mewakili sosok ulama yang menghasilkan teori cultural

broker pada tahun 1960, lalu Hiroko Horikoshi juga konsern meneliti kiai atas dasar

fungsi formalnya pada 1978. Horikoshi membedakan penggunaan istilah ‖kiai‘ dan

‖ulama‖ yang menghasilkan teori mediator. Ulama adalah sosok yang kerap

memerankan fungsi-fungsi administratif, sementara kiai cenderung sebagai

pemelihara budaya. Fenomena kiai dan hubungannya dengan perilaku sosial politik

membawa dampak perubahan dalam masyarakat.46

Pertama, sebagai kekuatan penggerak perubahan masyarakat. Penelitian

Horikoshi di atas menunjukkan kekuatan kiai sebagai sumber perubahan sosial,

bukan saja pada lingkungan pesantren tapi juga pada masyarakat di sekitarnya.

Sementara Geertz menunjukkan kiai sebagai pialang budaya (cultural brokers)

bahwa pengaruh kiai terletak pada pelaksanaan fungsi pialang. Meski secara politis

44

Fenomena ini terlihat pada dominasi tanfidziyah dalam merespons fenomena

sosial dibandingkan syuriah. Azyumardi Azra mengingatkan keterlibatan kiai dalam dunia

politik menuntut pengetahuan dan keterampilan yang berbeda dengan keahlian kiai. Lihat

Azyumardi Azra, Artikulasi Islam Kultural: Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah

(Jakarta: Srigunting, 2004), 384. 45

Abdul Munir Mulkhan, Politik Santri: Cara Merebut Hati Rakyat (Yogyakarta:

Kanisius, 2009), 55. 46

Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,

2008), 213. Bandingkan dengan David C. Leege & Lyman A. Kellstedt, Agama dalam

Politik Amerika (Jakarta: Obor-Freedom Institute, 2006), 274.

Page 19: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

15

kiai dikategorikan sebagai sosok yang tidak mempunyai pengalaman dan

kemampuan profesional, tetapi secara sosial politik terbukti mampu menjembatani

berbagai kepentingan melalui bahasa yang paling mungkin digunakan.

Kedua, sebagai kekuatan personal yang diwarnai oleh pemikiran teologis

yang menjadi dasar perilaku yang diperankannya. Penelitian Achmad Zainal Arifin

menyebutkan, peran kiai tidak terbatas pada masalah-masalah keagamaan,

melainkan luas mulai dari politik hingga aspek kehidupan. Sosoknya diidentifikasi

memiliki karisma di tengah-tengah masyarakat membuat kiai dipandang memiliki

kemampuan ‖luar biasa‖ termasuk dalam menentukan pilihan-pilihan politik. Kiai

bukan politisi, tapi kalkulasi politiknya sering dianggap ‖fatwa‖ politik yang

terakhir untuk diikuti. Kiai dihormati yang semua ―nasehat-nasehat‖ diikuti yang

bagi santri dijadikan mendapat keberkahan (get blessing).47

Kedua faktor tersebut merupakan hubungan kausalitas, bahwa perilaku

sosial politik kiai banyak dipengaruhi oleh persepsi teologis yang bersumber pada

konsep iman, atau langkah-langkah emansipatoris berdampak dalam skala besar

(makro). Gerakan Minjung di Korea yang menempatkan Buddha Maitreya sebagai

tokoh pembebasan menjadikan tradisi sebagai motivasi. Dalam tradisi kosmologi

Buddhis, sejarah dunia dibagi menjadi beberapa zaman, seorang Buddha

menampakkan diri untuk melakukan pembebasan seperti dilakukan Buddha

Siddharta atau Amita yang sekarang menjadi Buddha dunia. Sarvodaya atau

Kebangkitan Semua Orang di Sri Lanka pun demikian. Upaya kiai secara kolektif

dilandasi oleh motivasi keagamaan melalui emansipasi untuk mengubah pola

kehidupan mereka yang berada di lapisan bawah masyarakat, menjamin suksesnya

perubahan melalui pesantren.48

Dalam konteks individu, pemikir-pemikir dan para aktivis agama

melakukan pembaharuan melalui gagasan-gagasan konstruktif yang berdampak

secara makro yang dalam pandangan John L. Esposito dan John O. Voll disebut

intelektual aktivis berorientasi Islam.49

Konstruk emansipatoris ini juga dilakukan

tokoh-tokoh dunia seperti Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948) di India,

Aloysius Pieris (1934) di Sri Lanka, Maulanā Sayyid Abûl A‘lā al-Maudûdī (1903-

1979), Alī Sharīatī (1933-1977) dan lainnya adalah konstruksi terhadap apa yang

terlihat stabil melalui gerakan kultural bahkan terkadang konservatif. Pemikiran-

pemikiran ditransformasi menggoncangkan dunia, dan kemudian mengubah

jalannya sejarah di berbagai kawasan. Dalam konteks Indonesia, perubahan peta

politik terutama sejak era 1970-an sebagai akibat geliat generasi-generasi muda

Muslim tradisional memperlihatkan keberhasilan kiai dalam mengartikulasikan diri

melalui pemikiran konstruktif di tengah bertebarannya aktivitas alumni pendidikan

47

Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in

Indonesia (Leiden: Brill NV, 2013), 122. 48

Ronald A. Lukens-Bull, Islamic Education in Indonesia: Continuity and Conflict

(US: Palgrave Macmillan, 2013), 24. 49

John L. Esposito dan John O. Voll, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam

Kontemporer, penerj. Sugeng Hariyanto, Sukono, Umi Rohimah. (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002), xxxv.

Page 20: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

16

modern.50

Namun, betapapun besarnya goncangan yang diakibatkannya, dan betapa

berubahnya jalannya sejarah di suatu negeri dibuatnya, pemikiran-pemikiran seperti

itu pada dirinya tidak menggambarkan secara konkret jalannya proses perubahan

hidupnya. Skalanya yang terlalu massif dan perubahannya yang terlalu cepat

membuat sulit dipelajari bagaimana proses pemikiran perorangan kaum tradisional

secara makro itu mengubah keadaan.51

Dalam konteks ini, sungguh menarik melihat bagaimana pemikiran berjalan

dan mengubah jalannya proses perubahan. Sejauh ini penelitian banyak dilakukan

lebih fokus pola perilaku bukan dampak yang dihasilkan. Bahkan tidak jarang

penelitian lebih banyak dilakukan dengan melihat perbedaan-perbedaan, distingsi,

atau dikotomi yang akhirnya mendemarkasi satu golongan atau kelompok tertentu

dengan kelompok lainnya, bukan pada gerakan perorangan dan kelompok mampu

mengubah keadaan. Penelitian Deliar Noer terhadap gerakan-gerakan Islam pada

1973 memperlihatkan hal ini, yang berkesimpulan dua kelompok yang selalu

bersaing keras untuk kepentingan kelompok, yaitu Islam modernis dan Islam

tradisionalis. Islam modernis diwakili Muhammadiyah, Persis, dan lainnya,

sementara Islam tradisionalis diwakili NU dan organisasi sejenisnya.52

Stigma NU sebagai kelompok ketinggalan zaman, secara intelektual tidak

canggih, secara kultural sinkretik, dan oportunis, telah menimbulkan bias

(intellectual bias), media massa di negeri Muslim, termasuk Indonesia, memiliki

bias modernis dengan mengorbankan tradisionalis. Penelitian Nakamura53

terhadap

Muhammadiyah di Kotagede akhirnya memperkuat dikotomi tersebut terutama

wacana-wacana keislaman tahap-tahap selanjutnya. Persepsi ini mau tidak mau

telah mengubah perhatian pada organisasi-organisasi yang biasa dikategorikan

sebagai modernis dan reformis baik tingkat nasional maupun internasional.

Tradisi keagamaan dipertahankan di kalangan tradisionalis untuk

mengemban amanah perubahan bisa jadi mengejutkan banyak pihak. Islam hadir di

tanah Arab pada abad ke-7 M dianggap tidak genuine ketika disinkretiskan dengan

adat dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Tetapi, dalam beberapa kasus,

metode yang dilakukan tradisionalis ini sama dengan pemunculan radikalisme

kaum pendeta Katolik melalui teologia pembebasan yang berkembang di Amerika

Latin, atau gradualisme gerakan Savodaya Shamaradana di Sri Lanka, atau tempat

lain seperti digambarkan di atas. Pesantren, gereja Katolik, dan pendeta Buddha

50

Memasuki 1970-an perubahan pada atmospir politik nasional setelah generasi

muda Muslim yang berlatar belakang pendidikan tradisional Islam dan sebagian lagi

universitas Barat mewarnai peta politik nasional. Lihat Luthfi Assyaukanie, Islam and the

Secular State in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2009), 99. 51

Abdurrahman Wahid, ―Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial‖ dalam

Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987), xiii. 52

Deliar Noer, Gerakan Islam Modern di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1982), 242. 53

Nakamura menggambarkan masyarakat Kotagede sebagai penganut agama sangat

tradisional yang menganggap adat istiadat bagian dari agama, seperti slametan akikah, tujuh

hari setelah kelahiran anak. Lihat Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises Over the Banyan

Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, c.1910-2010

(Singapore: ASEAS, 2012), 34, <http://bookshop.iseas.edu.sg> (diakses 29-04-2016).

Page 21: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

17

diposisikan sebagai simbol kebekuan dalam pandangan orang hingga belasan tahun

lamanya.

Semangat mempertahankan tradisi dalam spirit keagamaan dan kebangsaan

sungguh dapat membawa perubahan amat fundamental. Letak kekuatan Islam justru

terletak pada keberhasilan NU yang—meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif—

berhasil memadukan wawasan keagamaan dan wawasan kebangsaan sehingga

menjadi kekuatan dahsyat untuk menghasilkan suatu perubahan.54

Hal ini terlihat

ketika Islam mengukuhkan penguasaannya di tanah Spanyol dan Eropa pada

umumnya dengan berkontribusi pada pencerahan masyarakat dengan hadirnya

Universitas Andalusia,55

atau perjuangan Salāhuddin al-Ayûbī yang mampu

memberikan semangat baru dengan membentuk kekuatan umat Islam untuk

melakukan perubahan-perubahan signifikan bagi sejarah Islam ketika itu dan tahap

selanjutnya.56

Pada tahapan ini terlihat bahwa agama dan politik yang telah menjadi nilai-

nilai transenden, membentuk pola pikir yang kemudian menyuplai kebenaran

agama (religious truth) Muslim yang dalam pandangan Osman Bakar yang

melahirkan kesadaran religius (religious consciousness).57

J. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Disertasi ini menggunakan penelitian kualitatif –suatu jenis penelitian yang

biasa digunakan untuk mengungkap realitas sosial yang sesungguhnya, berusaha

mengonstruksi realitas (reality construction) baik secara simbolik maupun

fenomenologis khususnya dalam perilaku komunikasi manusia. Penelitian ini tidak

melepaskan cara pandang filosofis, yaitu sisi pandang ―interpretivist‖

(mengandalkan interpretasi peneliti sehingga sering disebut penelitian subjektif).

Dalam hal ini peneliti menempatkan diri sebagai seorang yang melakukan

interpretasi, memahami, mengalami, dan bahkan juga menghasilkan fenomena

sosial yang ditelitinya. Pengertian ―interpretasi‖ ini sebagai upaya melibatkan

pendapat subjektif orang-orang yang diteliti.

Dari segi penggunaan teori, penelitian kualitatif dan metodologi

interpretatif seringkali dimaksudkan ―mengembangkan‖ teori berdasarkan

pemahaman yang diperoleh di lapangan. Penelitian kualitatif cenderung fleksibel

dan beragam, mengikuti keragaman fenomena sosial yang dinamis, para peneliti

lalu menggunakan interpretasinya untuk memahami persoalan yang sedang

54

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi

Terpimpin 1959-1965 (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 138. 55

Al Husaini M. Daud, ―The Contribution of Islamic University of Andalusia to

Rivival Western World,‖ Global Journal’s Inc. 1, version 1.0 (2015): 17,

http://creativecommons.org/licenses/by-nc/3.0/) (diakses 04-06-2015). 56

Sami bin Abdullah al-Maghluts, Atlas Perang Salib: Sejarah Berdarah Menyayat

Hati (Selangor: PTS Publishing House Sdn., 2015). 57

Osman Bakar, Tawhid and Science: Islamic Perspectives on Religion and Science

(Malaysia: Arah Publications-Universiti Sains Malaysia, 2008), 2. Lihat pula Fazlur

Rahman, ―Islamization of Knowledge: A Response,‖ Islamic Research Institute 50, no. 3/4

(2011): 457, http://www.jstor.org/stable/41932607 (diakses 24-02-2015).

Page 22: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

18

diteliti,58

sementara teori digunakan di bagian awal sebagai panduan. Penelitian ini

didasarkan pada ―etnografis‖ sebagaimana penelitian kualitatif yang secara intensif

pernah dilakukan sejumlah tokoh penting menggunakan pendekatan sosio-

antropologis seperti Anthoni Giddens dan Harold Garfinkel (2008)59

dan Clifford

Geertz (1960), Hiroko Horikoshi (1987), dan lainnya dalam mengungkap fenomena

kiai dalam interaksinya dengan masyarakat dan negara.

2 Strategi Memperoleh Data dan Sumber

Ada dua hal karakteristik peneliti dalam melakukan penelitian

pembaharuan kultur politik NU. Pertama, penelitian melalui data-data primer dan

sumber-sumber sekunder yang ada dengan mengacu pada pemikiran induktif dalam

perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang untuk mencoba melakukan

rekonstruksi dalam dan menurut data-data atau sumber-sumber tersebut. Dengan

menanggalkan diri sendiri (epoche), peneliti berusaha menghidupkan pengalaman

orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut, melalui

pengumpulan, pengolahan dan analisis data dilakukan bertahap (multistage dan

multilevel).60

Teknik dipakai meliputi wawancara dan studi dokumentasi. Studi

dokumentasi digunakan untuk memperoleh data sekunder mengenai perjuangan

Gus Dur dan kiai khos melakukan dinamisasi kultur politik NU. Data ini diolah dan

dianalisis bersama data primer yang diperoleh melalui penelitian lapangan dengan

teknik khusus, wawancara dan menganalisis pendapat-pendapat tentang Gus Dur

dan kiai khos.

Aspek kedua, mengonstruksi dan mengklasifikan fenomena kultur politik

NU, budaya, agama, dan pendidikan berdasarkan tematik. Dalam hal ini, setelah

mengumpulkan rangkaian data sebanyak mungkin, peneliti selanjutnya mencari

kategori yang menampakkan kesamaan bagi kelompok masyarakat tersebut.

Aktivitas ini mencari struktur dalam kultur NU untuk prinsip-prinsip lebih luas

yang nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh sebagai

data primer. Data tersebut diperoleh dengan melakukan survei dokumen dan

database di sejumlah perpustakaan.

Wawancara dilakukan dengan sejumlah tokoh yang memiliki kapabilitas

sebanyak mungkin sebatas informan, tetapi kemudian dipilih kembali beberapa

informasi untuk mengungkapkan lebih jauh tentang dinamika kultur politik NU.

Responden ditetapkan secara persosif, sekaligus diperlakukan sebagai sampel.

Wawancara dilakukan secara formal dan tidak formal dengan kunjungan rumah,

kantor, pesantren atau tempat lain di mana peneliti bisa dikembangkan seperti

58

James H. Watt & Sjef A. van den Berg, Research Methods for Communication

Science (Massachusetts USA: Allyn And Bacon A Simon & Schuster Company, 1995), 414. 59

Garfinkel adalah seorang antropolog dan sosiolog, pengusung teori sosial tentang

informasi. Lihat Harold Garfinkel, Toward a Sociological Theory of Information (Boulder,

CO: Paradigm Publishers, 2008). 60

Djoko Surdjo, dkk., Agama dan Perubahan Sosial: Studi Tentang Hubungan

Antara Islam, Masyarakat dan Struktur Sosial-Politik di Indonesia (Yogyakarta: LKPSM,

2001), 17.

Page 23: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

19

dengan Greg Fealy, Marzuki Usman, Mohamad Bakir, Hilmy Faishal Zaini, dan

lainnya. Data-data ini kemudian dianalisis menggunakan kerangka teori yang

dipakai dalam penelitian ini dan dengan pendekatan teologis, politis, historis, dan

sosio-antropologis-keagamaan.

3 Analisis Data

Semua data primer dan sekunder dianalisa menggunakan metode-metode

deskriptif-analitik yang dilakukan dua cara. Pertama, pemetaan dan kategorisasi

data. Data atau informasi yang dikumpulkan terlebih dahulu dipetakan dan

dikelompokkan sesuai dengan pembabakan data yang telah dirancang. Kedua,

kontekstualisasi. Data atau informasi yang sudah dilakukan kategorisasi kemudian

dikontekstualisasi sesuai dengan kondisi yang berkembang di masyarakat. Data

dimaksud intellectual products (produk pemikiran) yang berkembang jadi

―instruments of graphic communication‖ (alat/sarana komunikasi grafis).

Peneliti memulai analisis sejak pengumpulan data terhadap setiap informasi

dan data, dan kemudian menggali informasi dalam wawancara dan observasi

lanjutan. Selanjutnya analisis dilakukan melalui penyaringan data, penggolongan

dan penyimpulan serta uji ulang. Data yang terkumpul, disaring dan disusun dalam

kategori-kategori dan saling dihubungkan hingga akhirnya memperoleh data untuk

disimpulkan.61

Untuk memahami data sesuai konteksnya, analisis menggunakan pelbagai

pendekatan (interdisipliner) guna mengidentifikasi hubungan antara unsur-unsur

data yang berbeda62

atau menyempurnakan proses pembangunan. Karena dalam

disiplin ilmu tidak ada hak monopoli terhadap kebenaran tentang eksistensi

manusia atau alam. Semua ilmu sosial harus dikerahkan secara bersama-sama untuk

mengungkap sesuatu yang hakiki dalam kerangka waktu yang berlangsung yang

sesungguhnya bersifat banyak-segi.63

K. Sistematika Penulisan

Disertasi ini terdiri dari tujuh bab. Bab kesatu merupakan frame work

penelitian yang akan menjadi tolok ukur dalam penjelasan bab-bab berikutnya

berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, pumusan masalah, tujuan dan

signifikansi penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, kerangka teori;

metode penelitian; dan sistematika penulisan.

Bab kedua membahas diskursus kiai dalam wacana Islam dan politik.

Dalam bab ini menelusuri konsep kiai, mulai proses pembentukan hingga

terciptanya status sosialnya, mulai akar-akar mistisisme kiai dan interaksinya

dengan kitab kuning, pesantren, dan pengaruhnya dalam ruang publik. Saat melacak

akar-akar proses pembentukan kiai, dengan bersandar pada teori sebelumnya, bab

61

Matthew Miles & A. Michel Huberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta

Universitas Indonesia, 1992), 15-16. 62

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, penerj. Tjetjep Rohendi

Rohidi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2014), 248-257. 63

Nurcholish Madjid, ―Catatan Kecil Tentang HMI sekitar 1966‖ in Dies Natalis

Keempat Puluh Tiga HMI, eds. Tim PB HMI (Jakarta: PB HMI, 1990), 33-34.

Page 24: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

20

ini akan mengarahkan pada proses kemunculan kiai sebagai sebuah strata baru di

tengah masyarakat bersama ide-ide dan ruang publiknya.

Bab ketiga terfokus pada perjuangan kiai sebagai komunitas intelektual dan

imaginer dalam realitas sosial baik dalam konteks penyelenggaraan pendidikan bagi

santri, pemberdayaan masyarakat dalam keaktifan di majelis keagamaan dan

tarekat, maupun kiprahnya dalam organisasi dan perkumpulan Nahdlatul Ulama

(NU), keberadaannya pada masa Orde Lama dan Orde Baru, suatu perjuangan

penanaman konsep Islam, nasionalisme, agama, tradisi dan politik. Bab ini akan

mengungkapkan dialektika kiai dalam sosial kemasyarakatan yang jadi locus dari

keberadaan kiai dari masa pra kemerdekaan hingga Orde Baru. Bab ini diakhiri

dengan pembahasan relasi kiai dan penguasa Orde Baru yang jadi kilas balik untuk

menata peran dan kiprah di era berikutnya.

Bab keempat terfokus pada respons kiai khos sebagai sebuah elite

tradisional NU serta dampaknya terhadap kreatifitas dan progresifitas jama‘ah dan

jam’iyyah NU. Pembahasan diarahkan pada terminologi kiai khos dan sosoknya

yang seringkali jadi perhatian publik ketika Presiden Gus Dur mengikutkannya

dalam berbagai kesempatan dan kunjungan kerja, dan respons intelektual yang

didukung spiritual kiai khos terhadap perubahan politik Tanah Air sejak lengsernya

Presiden Soeharto oleh gerakan reformasi mahasiswa 1998. Perubahan politik-

ekonomi Tanah Air membuka mata hati elite-elite tradisional untuk

mengartikulasikan teks perubahan yang lahir dalam ruang publik untuk dipahami

sebagai sebuah blessing yang dapat memberikan arti penting pada peran-peran baru

dalam konteks pembangunan. Kemampuan kiai khos dalam memposisikan diri

sebagai agent of change memperlihatkan elite baru dalam tradisionalisme NU yang

konsisten untuk mengusung perubahan. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari

dinamika pesantren yang terus-menerus memberikan sumbangsih dalam

memproduksi elite-elite baru dalam bidang agama, politik, ekonomi, sosial, dan

budaya. Kenyataannya, kiai khos bersama pesantren memperlihatkan kemampuan

multi talenta jadi rumah produksi untuk lahirnya generasi-generasi baru yang serba

guna. Dalam bab ini dijelaskan pula terminologi kiai khos dan sosoknya yang

seringkali jadi perhatian publik ketika Presiden Gus Dur mengikutkannya dalam

berbagai kesempatan dan kunjungan kerja.

Bab kelima fokus pada pembahasan mengenai perjuangan kiai khos dalam

membangunan kultur politik jama‘ah dan jam’iyyah NU. Bab ini akan memberi

perhatian pada perjuangan kiai khos dalam melakukan internalisasi nilai-nilai

kebangsaan kepada santri dan setiap warga negara melalui pesantren dan majlis-

majlis perkumpulan. Perjuangan ini dilakukan secara berimbang antara

pengembangan intelektualisme dan spiritualisme, berkesinambungan antara

nasionalisme dan patriotisme mampu menjadikan pesantren sebagai pusat

kosmopolitanisme kiai. Perjuangan ini sempat mengalami hambatan ketika politik

otoriterianisme Orde Baru kuat mempengaruhi perilaku politik anak bangsa --

bahkan kiai dan pesantren ditempatkan sebagai simbol keterbelakangan yang tidak

cocok dalam sebuah tipikal pembangunan yang bersifat developmentalisme. Namun

hambatan tersebut diurai ketika kiai berhasil mereposisi diri di tengah perubahan

politik-ekonomi nasional. Bab ini selain membahas meningkatnya kualitas

pemahaman dan pandangan kiai dalam dunia politik di tengah perubahan politik

Page 25: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

21

nasional, dalam kesempatan ini juga akan menjelaskan ―medan baru‖ perjuangan

kiai dalam bidang sosial politik yang kemudian dijadikan barometer untuk menilai

―pembaharuan‖ kiai yang tidak bisa dilepaskan dari kerja-kerja mistik.

Sebagaimana pesantren, medan baru tersebut dianggap inheren dalam diri kiai

ketika ditempatkan sebagai sosok penting di tengah-tengah masyarakat yang

berhasil melakukan reposisi sejalan perkembangan era baru reformasi Indonesia.

Peran kiai dalam perubahan masyarakat dapat dijadikan dasar untuk menilai

sebagai sosok tidak sekadar sebagai pemimpin agama.

Bab keenam menjelaskan kontribusi kiai khos dalam kedudukan sebagai

elite tradisional yang berperan penting mengantarkan Gus Dur ke kursi presiden

dan dalam membentuk pemerintahan demokratis dan pluralis. Pembahasan selain

fokus pada pemerintahan Gus Dur sebagai presiden sekaligus aktor penting dibalik

pembaharuan yang terjadi dalam dunia NU, hal penting lain bab ini juga

menjelaskan peran-peran kiai khos dalam membangun kekuatan baru di tengah

kekuatan-kekuatan lain tidak sekadar dalam konteks bangsa dan negara tapi

memunculkan juga dalam konteks peradaban global dan dunia. Karena itu, bab ini

selain akan memberikan perhatian keberadaan pesantren dalam merespons

perkembangan sosial politik, penjelasan juga akan diarahkan pada perjuangan kiai

dalam membuka lembaran-lembaran baru dalam konteks bangsa dan negara. Dalam

hal ini kiai khos sebagai elite pesantren sekaligus pemegang otoritas tradisionalisme

selalu jadi episentrum dalam setiap perubahan dan datangnya era baru. Kontribusi

tersebut dapat dijadikan indikasi bahwa kiai merupakan sosok yang memiliki

pikiran-pikiran responsif dan mengagung-agungkan perubahan. Hal penting lain

bab ini juga memunculkan teori baru sebagai tawaran intelektual dari sebuah hasil

penelitian. Selain menjelaskan sejumlah sumber sekunder, dalam bab ini juga

diungkap sejumlah pandangan dari tokoh yang terlibat dalam proyek pembaharuan

dan kekuasaan Gus Dur. Di sinilah pentingnya tawaran teori ini yang merupakan

hasil artikulatif dari pembahasan-pembahasan bab sebelumnya.

Bab ketujuh berisi kesimpulan dan saran penelitian. Kesimpulan ini akan

menyoroti persoalan-persoalan penting dan kemungkinan perkembangan baru kiai

dan politik Indonesia di masa depan. Saran berupa rekomendasi yang berisi seruan

atau ajakan sesuai kesimpulan tersebut.

Page 26: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

22

BAB II

DISKURSUS KIAI DALAM

WACANA ISLAM DAN POLITIK INDONESIA

Kiai selalu mendapat perhatian lebih dalam diskursus keislaman dan

wacana sosio-politik Indonesia. Posisi kiai yang terhormat dalam masyarakat

karena perannya seperti mendidik umat di bidang agama, melakukan perubahan

sosial, melakukan kontrol sosial, dan memecahkan problem sosial atau Clifford

Geertz menyebutnya pialang budaya (cultural brokers),1 para ahli menempatkannya

sebagai tokoh karismatik. Membina dan menata kehidupan masyarakat sesuai

kapasitanya sebagai pewaris para nabi (warasat al-anbiyā) merupakan peran yang

membuat keberadaannya memiliki legitimasi kuat untuk tampil sebagai patron yang

memiliki kekuasaan hierarkis atas masyarakat.

Keberadaan kiai dalam struktur masyarakat yang begitu kuat memiliki

sejarah amat panjang. Akar-akar genealogisnya dapat dilacak pada puncak

kegemilangan Islam akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14,2 yang dalam konteks

Nusantara ketika kiai berhasil mengenalkan, mengompromikan, dan mendialogkan

Islam dengan realitas sosio-kultural dan politik di Indonesia. Kondisi ini

menempatkannya sebagai bagian integral dari sejarah Islam dan politik Nusantara.

Paradigma kiai sebagai agen perubahan sosial dilakukan dengan membentuk sikap

atau preferensi politik tertentu dalam struktur masyarakat.3

Kiai amat sangat disegani dalam kehidupan Muslim di Indonesia.

Pendapat-pendapatnya mengikat dalam berbagai masalah, bukan hanya melingkupi

masalah-masalah keagamaan, melainkan juga dalam masalah politik, ekonomi, dan

budaya. Sebagai seorang ahli agama, otoritas kiai terhadap masyarakat tidak

terbatas pada hubungan sosial saja, tetapi meluas pula dalam masalah-masalah

politik; tidak saja memiliki keabsahan teologis namun legitimasinya juga dalam

bidang-bidang sosial. Kiai mendapat penghormatan lebih dibanding elite lainnya

baik dalam struktur masyarakat tradisional maupun modern. Hiroko Horikoshi

berpandangan, kiai memiliki peran ganda: memikirkan nasib umat dan penanggung

1Clifford Geertz, ―The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker,‖

Comparative Studies in Society and History 2, no. 2 (Januari 1960): 229,

http://www.jstor.org/journals/cup.html (diakses 22 Agustus 2016). 2Greg Fealy menyebutkan, pergerakan kiai dalam dunia politik telah menorehkan

jejak yang panjang ditapakkan sejak zaman kolonial Belanda. NU didirikan selain untuk

mempertahankan paham ahl al-sunnah wa al-jamâ‟ah juga didorong oleh motif

nasionalisme sebagai perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Pergerakan politik kiai ini

berlanjut sampai masa kemerdekaan ditandai dengan menjadikan NU partai politik setelah

bergabung dalam Masyumi. Lihat Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-

1967, penerj. Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtiar (Yogyakarta: LKiS, 2003), 209. 3Abdul Munir Mulkhan, Politik Santri: Cara Merebut Hati Rakyat

(Yogyakarta:Kanisius, 2009), 55. Lihat pula Endang Turmudi, Struggling for the Umma:

Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java (A Thesis of Ph.D The

Australian National University,1996), 68-69, http://epress.anu.edu.au (diakses 9 September

2016).

Page 27: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

23

jawab dalam pengajaran ilmu-ilmu agama, dan melestarikan praktek-praktek

ortodoksi keagamaan para penganutnya.4

Keberhasilan kiai menempatkan diri sebagai memimpin atau orang

berpengaruh dalam masyarakat termasuk dalam ranah politik memunculkan

tanggapan positif dari pengikut-pengikutnya. Kemampuan kiai menyatukan sistem

keagamaan para pemeluk agama dan kekuatan mistik (gaib, supranatural) dengan

bertindak sebagai penengah di antara mereka, melakukan interpretasi ajaran agama,

mengubah sikap dan cara pandang keagamaan umatnya, bahkan lebih dari itu

mentransformasikan konsep-konsep agama sebagai suatu kekuatan spiritual yang

menggerakkan aktivitas umat5 telah menempatkannya pada posisi terhormat.

Kiat mengakar kuat dalam struktur masyarakat Muslim Indonesia dan

memiliki bargaining position tinggi bila dihadapkan dengan kekuasaan. Pendapat-

pendapatnya yang senantiasa merujuk pada teks-teks keislaman klasik mampu

menyeragamkan masyarakat tradisional, dan dalam beberapa dasawarsa terakhir

bermetaformosa menjadi gerakan intelektual Muslim modern setelah mengadopsi

unsur-unsur kemodernan dalam berbagai kajian. Michael Feener menyebutnya

kondisi ini sebagai konteks lintas budaya (cross-cultural context).6

A. Kiai Karismatik dan Tradisional

Dua peran kiai, sebagaimana diungkap Hiroko Horikoshi di atas,

dijalankan dengan dukungan pola kepemimpinan yang seringkali diidentikkan

dengan atribut-atribut klasik, yaitu kepemimpinan karismatik dan tradisional. Pola

kepemimpinan seperti ini merupakan ciri khas kepemimpinan kiai dengan

disediakannya berbagai peran seperti pengajaran dan pembinaan agama terhadap

4Lihat Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, penerj. Umar Basalim dan

Andy Muarly Sunrawa (Jakarta: P3M, 1983), 114. Lihat pula Taufik Abdullah, Islam dan

Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), 83. 5Sejak pertengahan abad ke-20 kecenderungan mistifikasi masyarakat makin

meningkat termasuk kalangan Muslim modernis. Komunitas-komunitas mistik ini selalu

melakukan komunikasi secara etis universal. Lihat Julia Day Howell, ―Sufism and the

Indonesian Islamic Revival,‖ The Journal of Asian Studies 60, no. 3 (2001): 702,

http://www.jstor.org/stable/2700107 (diakses 13 Mei 2016). Lihat pula Michael Symonds

and Jason Pudsey, ―The Forms of Brotherly Love in Max Weber's Sociology of Religion,‖

Sociological Theory 24, no. 2 (2006): 147, http://www.jstor.org/stable/25046715 (diakses 6

Mei 2016). 6K.H. Sahal Mahfudh dan kiai pesantren lainnya, sejak 1980-an dan 1990-an mulai

menjalin kerja sama dengan aktivis LSM untuk memasukkan teori-teori ilmu pengetahuan

modern ke dalam usû al-fiqh yang memungkinkan mereka bertransformasi ke dalam

formula alternatif sesuai isu-isu kontemporer. Lihat R. Michael Feener, ―Cross-Cultural

Contexts of Modern Muslim Intellectualism,‖ Die Welt des Islams, New Series 47, issue 3/4

(2007): 279, http://www.jstor.org/stable/20140780 (diakses 19 September 2015). Lihat juga

Filippo Osella and Caroline Osella, ―Introduction: Islamic Reformism in South Asia,‖

Modern Asian Studies 42, no. 2/3, 2008, 252, http://www.jstor.org/stable/20488019, DOI:

10.1017/S0026749X07003186 (diakses 6 Mei 2016).

Page 28: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

24

santri, kontrol masyarakat, menjadi mediator, melakukan perubahan, dan

memecahkan problem sosial—termasuk melakukan ―domestikasi Islam.‖7

Ruang kiai untuk tampil sebagai tokoh karismatik dimulai sejak mendirikan

pesantren kemudian mengajarkan para santri, suatu pola hubungan yang kemudian

menciptakan relasi esoterik maupun eksoterik di antara keduanya. Bahkan

hubungan cukup erat kiai dan para santri berlaku sepanjang hidup sehingga

membentuk preferensi kehidupan sosial, politik, ekonomi, kultural, dan keagamaan

Muslim Indonesia umumnya. Bersama pesantren kiai memiliki pengaruh kuat pada

pengembangan Islam di Indonesia, tidak hanya pada transmisi ilmu-ilmu dan nilai-

nilai pengetahuan Islam, tetapi juga pada pembentukan konstelasi politik,

perubahan sosial, peningkatan ekonomi, dan belakangan pengembangan studi

gender (gender studies).8

Kiai memiliki kekuasaan hierarkis dengan tradisi masyarakat yang

patriarkis. Sebagai pendiri sekaligus pemimpin pesantren, keterampilan dan

keberhasilan kiai dalam membawa pesantren banyak bergantung pada keahlian dan

kedalaman ilmunya.9 Pasang surutnya pesantren sangat ditentukan oleh tingkat

ketokohan kiai dalam pemenuhan kebutuhan keagamaan dan pengontrol sosial,

politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya masyarakat.

Dalam perspektif teologis, pola kepemimpinan demikian berdasarkan pada

kualitas luas diri seorang kiai –kualitas tersebut sering diasumsikan anugerah

Tuhan—jadi daya tarik bagi masyarakat. Kualitas kepribadian sebagaimana terlihat

pada kepemimpinan kiai seperti ini merupakan sifat pemimpin keagamaan –yang

dalam waktu tertentu dipercaya memimpin pengajian, tahlilan, dan berbagai

aktifitas keagamaan lainnya—menggambarkan, betapa kedudukan, posisi, dan

peran kiai begitu sangat penting. Kiai adalah patsoen, simbol kebaikan dari

berbagai kebaikan; kemudian ditasbihkan sebagai pemegang otoritas moral,

pembawa ―pesan langit‖, dan label surgawi lainnya.

Dalam studi ilmu-ilmu sosial, kepemimpinan menjadi fokus kajian bahwa

kepemimpinan tidak terlepas dari aspek sosial, budaya, dan politik. Pemimpin akan

selalu lahir baik dalam komunitas kecil maupun besar. Dengan kata lain, dalam

7Bahtiar Effendy mengemukakan, teori ―domestikasi Islam‖ seringkali

diasosiasikan dengan karya Harry J. Benda mengenai Islam di Indonesia abad ke-16 hingga

abad ke-18, terutama perebutan kekuasaan antara para penguasa kerajaan Islam taat diwakili

Demak dengan kerajaan Mataram yang terkenal sinkretis. Lihat Islam dan Negara:

Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, penerj. Ihsan Ali-Fauzi dan

Rudi Harisyah Alam (Jakarta: Demokrasi Projek Yayasan Abad Demokrasi, 2011), 31. 8Achmad Zainal Arifin, Charism and Rationalisation in a Modernising Pesantren

(A Thesis of Ph.D The Western Sydney University, 2013), 15,

http://researchdirect.westernsydney.edu.au (diakses 24 Okt. 2015). Lihat juga Azyurmardi

Azra, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1998), 87. 9Imam Abû Hamīd Muhammad Al-Ghazālī menyebutkan lima kepribadian ulama,

yaitu: 1) ābid, taat melakukan ibadah; 2) zāhid, hidup dalam kesederhanaan; 3) ālim,

mempunyai pengetahuan agama luas; 4) fāqih, mempunyai pengetahuan kemasyarakatan

luas; 5) murīd, mempunyai orientasi keikhlasan. Lihat Al-Ghazali, Ihyâ‟ Ulûm al-Dîn, Jilid

1 (Cairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1413), 68. Lihat pula Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik

Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), 3.

Page 29: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

25

suatu komunitas atau kelompok masyarakat yang memungkinkan dipengaruhi dan

diarahkan akan hadir seorang pemimpin.10

Kehadiran seorang pemimpin biasanya

lahir dari kelompok minoritas yang berpengaruh dan posisinya sangat dominan,

sedangkan yang dipengaruhi posisinya subordinat dan berjumlah besar. Pemimpin

melalui proses kepemimpinannya mengarahkan perilaku orang lain ke arah tujuan

yang ditetapkan bersama.11

Kepemimpinan, dengan demikian, merupakan usaha

pemimpin memerankan posisi pentingnya sebagai pelopor dalam menetapkan

struktur, keadaan, ideologi, dan kegiatan kelompoknya.

Setidaknya ada tiga perspektif model dalam kajian kepemimpinan.

Pertama, kepemimpinan individual. Kepemimpinan jenis ini bersumber dari

kekuatan individual sebagai kemampuan yang melekat dalam diri individu, dalam

arti seseorang telah memberikan suatu penampilan berkuasa yang menyebabkan

orang lain menerima perintahnya sebagai sesuatu yang imperatif. Kekuatan

individual ini biasanya diwarnai oleh pemikiran teologis, diperoleh dari bimbingan

―wahyu‖, atau kualitas diri yang menjadi dasar perilakunya dipandang sakral.

Pola kepemimpinan jenis ini banyak ditemui dalam masyarakat tradisional

–suatu masyarakat homogen yang memiliki kepercayaan, pandangan hidup, nilai

budaya, dan gaya hidup hampir sama. Homogenitas tersebut dapat menciptakan

kesadaran kolektif, persamaan gaya hidup, hubungan langsung antar anggota

masyarakat, dan tidak adanya pembagian kerja yang impersonal yang mudah

disatukan oleh kepemimpinan yang bercorak karismatik.12

Kiai dipandang memiliki

kemampuan luar biasa dalam menggerakkan masyarakat termasuk dalam

menentukan pilihan-pilihan politik, tergolong dalam kategori ini karena

diidentifikasi memiliki kekuatan karismatik (charismatic authority), seperti Sunan

Giri atau Maulana Ishak atau Raden Paku,13

Hasyim Asy‘ari,14

Gus Dur,15

dan

lainnya.

10

Pesantren di Jawa umumnya didirikan oleh kiai urban, yang datang ke daerah-

daerah tertentu. Dalam beberapa tahun terakhir, kiai dan pesantren makin menunjukkan

eksistensinya dalam konteks peradaban global mengingat posisi dan keberadaan pesantren

yang sudah tua. Lihat Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim

dalam Sejarah Indonesia, penerj. Testriono, Olman Dahuri, Irsyad Rhafsadi (Bandung:

Mizan, 2012), 22. Bandingkan dengan Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan

Kekuasaan, penerj. Supriyanto Abdi (Yogyakarta: LKiS, 2004), 241. 11

Ketika pesantren menyebar ke pelosok Nusantara pada abad ke-18 dan 19, para

kiai menaruh kecurigaan tinggi terhadap Eropa dan negara sekutu lainnya, kemudian awal

abad ke-20 ketika organisasi Muslim modern didirikan, para kiai menunjukkan kecurigaan

sama terhadap pretensi negara kolonial modern. Lihat Robert W. Hefner, ―Public Islam and

the Problem of Democratization,‖ Sociology of Religion 62, no. 4 (2001): 501,

http://www.jstor.org/stable/3712438 (diakses 13 Mei 2016). 12

Robert W. Hefner, ―Of Faith and Commitment: Christian Conversion in Muslim

Java,‖ dalam Conversion to Christianity: Historical and Anthropological Perspectives on a

Great transformation, ed. Robert W. Hefner (Berkeley dan London: University of

California Press, 1993), 99-125. 13

Raden Paku bergelar Sultan Abdul al-Faqih karena karisma dan kepribadiannya,

―penguasa gunung‖ dan berwibawa, pencipta gending asmarandana, pucung, dan lagu

anak-anak dolanan. Lihat Dennys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya II - Jaringan Asia,

Page 30: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

26

Kedua,kepemimpinan administratif. Model kepemimpinan seperti ini bukan

terletak pada diri kekuasaan individu, melainkan dalam jabatan atau status yang

dipegang. Otoritas legal biasanya diwujudkan dalam organisasi birokrasi yang tidak

ditentukan oleh penampilan kepribadian individu, melainkan dari prosedur aturan

yang telah disepakati. Unsur-unsur emosional dikesampingkan untuk kemudian

digantikan dengan unsur-unsur rasional. Dalam konteks ini, seseorang dianggap

memiliki karisma karena posisi yang diperankannya dalam suatu struktur

administrasi tertentu, misalnya ketua RT, Lurah, Kepala Desa, dan lainnya,

meskipun jabatan-jabatan tersebut tidak memiliki hubungan apapun dengan konsep-

konsep metafisika, dan karenanya tidak menyimbolkan apapun.

Kepemimpinan yang bersandar pada tata aturan (legal authority),

kepengikutan seseorang atas dasar posisinya sebagai elite sosial-budaya

berdasarkan aturan normatif dan aturan yang sah. Ulama lebih bisa dikategorikan

model ini, sebagaimana studi yang dilakukan Hiroko Horikoshi (1978) dan Clifford

Geertz (1960),16

seperti mobilitas massa dan agitasi militan gerakan masyarakat

petani di Banten yang terjadi sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang

disponsori para elite agama.17

Ketiga, kepemimpinan tradisional. Model kepemimpinan seperti ini

bersumber pada kepercayaan yang telah mapan terhadap kesakralan tradisi yang

diwariskan turun-temurun.18

Kedudukan pemimpin ditentukan oleh kebiasaan-

kebiasaan lama yang dilakukan sekelompok masyarakat dalam melaksanakan

berbagai tradisi. Pemimpin dalam kepemimpinan ini terkadang disebut panutan dan

penerj. Winarsih Partaningrat Arifin dan Rahayu S. Hidayat (Jakarta: Gramedia, 2005), 43-

44. Lihat pula Suripan Sadi Hutomo, Sinkretisme Jawa-Islam (Yogyakarta: Bentang

Budaya, 2001), 253-264. 14

Ja‘far Shodiq, Pertemuan antara Tarekat dan NU: Studi Hubungan Tarekat dan

NU dalam Konteks Komunikasi Politik 1955-2004 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),

156. 15

Baca selengkapnya pada Jun Honna, ―Local Civil-Military Relation During the

First Phase of Democratic Transition, 1999-2004: A Comparasion of West, Central, and

East Java,‖ Indonesia no. 82 (Oct., 2006): 80, http://www.jstor.org/stable/40376394 (diakses 13 Mei 2016).

16Dalam GIGA Working Papers, Andreas Ufen menyebutkan, perkembangan dunia

politik Indonesia mutakhir masih diwarnai politik aliran yang kuat, misalnya PKB

mengandalkan karisma kiai, PDI-P menonjolkan karisma Sukarno, dan lainnya. Ini berbeda

dengan dinamika politik masa Suharto yang mengalami dealiranisasi dan Philipinisasi. Lihat

Andreas Ufen, Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between Politik Aliran and

‟Philippinisation‟ (German: GIGA Research Political System, 2006), 28. 17

Sartono Kartodirdjo, The Peasants‟ Revolt of Banten in 1888: A Case Study of

Social Movements in Indonesia (Netherlands: Martinus Nijhoff, 1966). 18

Bangsa ini memiliki beragam budaya dan tradisi yang berbeda satu daerah

dengan daerah lainnya. Tradisi bukanlah benda mati; ia tumbuh dan berkembang sesuai

dengan kehidupan. Tetapi masyarakatnya tidak bisa memeliharanya, hanya bisa menempel

dan mengeksploitasi serta tak mampu mengembangkannya. Mereka benalu bagi tradisi.

Lihat W.S. Rendra, Mempertimbangkan Tradisi (Jakarta: Gramedia, 1984), 3-6.

Page 31: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

27

terkadang pula patron.19

Kiai ditempatkan sebagai panutan karena dipandang

memiliki beberapa keistimewaan seperti pengetahuan, keagamaan, ekonomi,

politik, hingga konsultan sehingga dirinya dikultuskan ―wong agung” dan

diletakkan dalam strata elite tradisional, sementara digolongkan patron karena

kekuatan karisma telah menciptakan ruang feodalistik yang memberikan otoritas

superior dalam kepemimpinan dan kekuasaan simbolik (symbolic power),20

menurut Kikue Hamayotsu superioritas kiai secara tidak sadar melahirkan karakter

kepribadian individual yang tidak mau diintervensi, bahkan tidak ada yang berani

melawan kekuasaan dan otoritasnya baik dalam sistem pesantren dan sosial

masyarakat.21

B. Konsiderasi Teori

Teori utama yang dipertimbangkan dalam penelitian ini adalah mengenai

konsep ―mistisisme‖ dan pembaharuan. Konsep mistisisme muncul sebagai bentuk

pemberontakan terhadap formalitas dan kejumudan agama dari jiwa seseorang yang

hanya berpikir rohani. Mistisisme mendorong seseorang untuk mengenal Tuhan,

mencintai-Nya, dan menerima ajaran-ajaran-Nya melalui sebuah pengalaman

religius langsung –bukan melalui indera-indera atau kecerdasan–dalam memperoleh

kedamaian dan ketenangan melalui mahabbah-Nya –atau menurut Annemarie

Schimmel, menemukan kehidupan baru dalam Tuhan.22

Para mistikus percaya bahwa manusia dapat mencerminkan sifat-sifat

ketuhanan sehingga tercermin kemegahan dan kehidupan-Nya. Jiwa mengalami

kedamaian setelah menjalani kontak langsung dengan Tuhan yang dilakukan

dengan penjernihan jiwa lebih dulu; pembersihan dari kecintaan berlebih pada diri

sendiri dan nafsu tinggi pada dunia yang jadi penghalang dalam mencapai

kebajikan dan menggapai kesempurnaan Tuhan. Karena agama lebih merupakan

sesuatu yang dirasakan bukannya dimengerti atau dipikirkan, dicintai dan dimukimi

19

Politik Indonesia memiliki kaitan dengan mistisisme seperti ditunjukkan sikap

politisi yang memiliki guru mistik karismatik. Guru tersebut tidak hanya sebagai penasehat

spiritual saat pemilihan tetapi juga sebagai sumber kekuatan supranatural. Lihat Martin van

Bruinessen, “Saints, Politicians and Sufi Bureacrats: Mysticism and Politics in Indonesia‘s

New Order,‖ dalam Sufism and the „Modern‟ in Islam, ed. Martin van Bruinessen and Julia

Day Howell (Londok-New York: IB Tauris & Co Ltd, 2007), 111-112. Bandingkan dengan

ulasan Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,

Cetakan Ketiga (Jakarta: LP3ES, 1984), 56. 20

Nathan John Franklin, Reproducing Political Islam in Java: The Role of

Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah Pesantren in the Political Socialisation of the Umat

(A Thesis of Ph.D The Charles Darwin University, 2014), 135,

http://espace.cdu.edu.au/view/cdu:44875 (diakses 11 Februari 2016). 21

Otoritas ini dapat dilihat dalam struktur kepengurusan partai politik yang selalu

memasang kiai sebagai Dewan Syura untuk sekadar menarik massa akar rumput. Lihat

Kikue Hamayotsu, ―The End of Political Islam? A Comparative Analysis of Religious

Parties in the Muslim Democracy of Indonesia,‖ Journal of Current Southeast Asian Affairs

30, 3 (2011): 142-143, www.CurrentSoutheastAsianAffairs.org (diakses 4 Februari 2016). 22

Annemarie Schimmel, The Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: The

Univeristy of North Caroline Press, 1978), 59.

Page 32: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

28

alih-alih dianalisis. Agama adalah tindakan dan kekuatan, bukannya fakta eksternal

dan verifikasi intelektual.

―Mistisisme‖ dapat didefinisikan sebagai orang-orang atau sekelompok

yang memiliki kesadaran realitas Yang Maha Independen dengan menerima ajaran-

ajaran, mengenal, dan mencintai-Nya. Mistisisme merupakan kesadaran akan dan

reaksi terhadap apa yang dikenal sebagai kehadiran langsung Ilahi, tentang

kesadaran akan realitas Yang Melampaui (consciousness of the beyond)23

melalui

intuitus mysticus (intuisi mistikus) atau akal intuitif. Para mistikus menggunakan

akal sebagaimana para filosof. Namun akal para mistikus digunakan untuk

menyatukan sesuatu yang tergambar dalam kalbu dengan rahasia-rahasia ketuhanan

sehingga berwujud sampai hakikat terakhir.

Definisi ini digunakan dalam konteks agama-agama lain termasuk Islam

dan Yahudi. Harun Nasution menggambarkan, mistisisme dalam Islam merupakan

hubungan langsung Tuhan, seseorang berada di hadirat Tuhan.24

Mark R.

Woordward mengemukakan, mistisisme Jawa memiliki kesamaan dengan tradisi

Sufisme Islam terutama Islam Parsi. Sufisme adalah mistik Islam.25

Rumi

menjelaskan, pengalaman mistik dapat membersihkan penglihatan kalbu

menyaksikan bahwa wujud hakiki yang Satu yang dilakukan dengan cinta. Cinta

merupakan sarana terpenting dalam menstransendensikan dirinya. Cintalah sayap

yang membuatnya dapat terbang tinggi menuju Yang Satu, setiap saat

mencampakkan ratusan hijab. This is love: to fly to heaven, every moment to rend a

hundred veils.26

Dengan mempertimbangkan relasi antara tujuan, proses, dan pengaruh yang

diakibatkan, mistisisme menempati posisi strategis dalam masyarakat tradisional

dan modern. Bergantung pada posisinya dalam struktur dan jejaring masyarakat

yang kompleks, pemimpin tradisional dapat menjalani ―mistik‖ yang memadu

(unitive) atau kontemplatif antara manusia dan Tuhan dan peleburan manusia

dengan sifat-sifat Tuhan dalam sistem spekulasi dan praksisnya merupakan jalan

dari setiap langkah menuju tujuan akhir mistis.27

Pada era modern mistik muncul

sebagai proyeksi yang tumbuh dalam ruang epistemologi baru –sebuah

23

Bernard McGinn, The Presence of God: A History of Western Christian

Mysticism, Vol. I, (New York: Crossroad, 1991), xvii. Lihat pula ―Mystical Union in

Judaism, Christianity, and Islam,‖ dalam Encyclopedia of Religion, ed. Lindsay Jones

(Detroit: Macmillan Reference USA, 2005), 6334. 24

Dalam Islam ―mistisisme‖ disebut tasawuf atau sufisme. Kata sufisme dalam

kosakata orientalis Barat dipakai khusus untuk mistisisme Islam, bukan agama lain. Lihat

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2008), 43. 25

Mark R. Woodward, ―The "Slametan": Textual Knowledge and Ritual

Performance in Central Javanese Islam,‖ History of Religions 28, no. 1 (1988): 58,

http://www.jstor.org/stable/1062168 (diakses 14 Mei 2016). 26

Jalaluddin Rumi banyak mengilhami para sastrawan dan budayawan. Lihat

selengkapknya dalam http://www.rumi.org.uk/mystical_poems.htm#Thisislove, 9 Mei 2004

(diakses 9 Juli 2016). 27

Pendapat ini dikutip Mark Edwards, ―Plotinus: Monist, Theist or Atheist?‖ dalam

Christian Mysticsm and Incarnational Theology:Between Transendence and Immanence,

ed. Louise Nelstrop and Simon D. Podmore (London and New York: Routledge, 2016), 14.

Page 33: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

29

epistemologi pengalaman mistik dalam konteks hermeneutik abad pertengahan

kemudian bertransformasi hingga abad ke-16 sampai ke-20.28

―Mistisisme‖ suatu pendekatan spiritual dan nondiskurtif kepada

persekutuan jiwa dengan Allah, atau apa saja yang dipandang sebagai realitas

sentral alam.29

William James menyebut empat jalan mistis; ineffability (tidak

terbahasakan) dan noetic quality (kualitas bermuatan intelektual) sebagai ciri yang

menggambarkan segala situasi mistis, sementara transciency (sifat sementara) dan

passivity (kepasifan).30

Evelyn Underhill mengusulkan empat karakteristik lain: (1)

Mistisisme sejati bersifat aktif dan prakis, bukannya pasif dan teoritis, melainkan

sebuah proses-kehidupan yang organis; (2) Tujuan mistisisme seutuhnya bersifat

transendental dan spiritual, dan sama sekali tidak terkait dengan penambahan atas,

penyelidikan akan, pengaturan ulang, atau peningkatan kepada sesuatu yang ada di

dunia kasat mata; (3) Yang Esa tidak hanya sebatas Realitas sejati dibalik segala

sesuatu namun juga sebuah muara cinta yang hidup dan bersifat personal; (4)

Penyatuan yang hidup dengan yang Satu merupakan situasi atau suatu pola hidup

yang dipertinggi atau telah melalui mi‘raj (enhanced life).31

Jadi, seorang dapat saja

menjalani ―mistik‖ berjalan sesuai arahan mistik yang dialami dan dijalani.

Mistisisme dapat juga berupa ―pembaharuan‖ atau gerakan para cendekia

untuk melakukan perubahan-perubahan yang secara aktif mengenalkan

pengetahuan-pengetahuan dan perkembangan-perkembangan baru kepada

masyarakat tanpa membongkar pengetahuan dan tradisi lama. Mistisisme dan

intelektualisme dapat diperankan seseorang atau sekelompok yang melahirkan

tatanan-tananan baru dalam suatu komunitas masyarakat, sebagaimana hal ini

terlihat pada Gerakan Minjung di Korea, Sarvodaya atau Kebangkitan Semua

Orang di Sri Lanka, atau juga Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948) di India,

Aloysius Pieris (1934) di Sri Lanka, Maulanā Sayyid Abûl A‘lā al-Maudûdī (1903-

1979), Alī Sharīatī (1933-1977), dan lainnya. Modernisasi mendorong masyarakat

meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dan bergerak bersama menuju sistem baru

dengan memasukkan pengetahuan ―sekular‖ ke dalam pengajaran Islam dengan dua

tipe: pengetahuan-pengetahuan rasional (al-ʿulūm al-ʿaqliyyah,intellectual sciences)

28

Niklaus Largier, ―Mysticism, Modernity, and the Invention of Aesthetic

Experience,‖ Representations 105, no. 1 (2009): 39,

http://www.jstor.org/stable/10.1525/rep.2009.105.1.37, DOI:10.1525/rep.2009.105.1.37

(diakses 22 Oktober 2013). 29

Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2005), 653. 30

William James, The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature,

(South Australia: The University of Adelaide Library, 2009), 287,

http://ebooks.adelaide.edu.au/j/james/william/varieties/varieties.zip (diakses 5 September

2016). 31

Evelyn Underhill, Mysticism: the Nature and Development of Spiritual

Consciousness (Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library Description, 1911),

78-79, http://www.ccel.org/ccel/underhill/mysticism.html (diakses 5 September 2016).

Page 34: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

30

dan pengetahuan-pengetahuan traditional (al-ʿulūm al-naqliyyah, revealed

knowledge).32

Dalam tatanan baru masyarakat yang berkembang selaras dengan

perubahan sosial ekonomi dan politik sebagaimana arah dan tujuan kaum

intelektual, namun eksistensi kedua teori tersebut dalam struktur sosio

kemasyarakatan tetap jadi aspek inheren dan khas. Modernisasi pada suatu saat

tertentu dapat saja menghilangkan ―pembaharu‖ atau intelektual dan para

―mistikus‖ sekaligus,33

tetapi dalam beberapa hal-hal tertentu harus diakui tidak

bisa dihilangkan keberadaannya. Dalam kasus keberadaan kiai khos pada masa

pemerintahan Gus Dur kelihatannya jelas menolak asumsi ini dan justru

mempertegas posisinya sebagai kaum mistis dan intelektual.34

Dalam struktur NU

ditandai dengan sebuah budaya lembaga yang mentolerer kebiasaan agama

sinkretis, inovasi teologis, dan desentralisasi pengambilan keputusan di mana ulama

individu memiliki otoritas tertinggi untuk melaksanakan dalam organisasi yang

dengan sangat mudah dilakukan Gus Dur sebagai figur otoritas moral yang efektif

(effective moral authority figure)35

di kalangan generasi tua dan muda. Gus Dur

ditempatkan sebagai –dalam anggapan Steven Fish—menjadi pemimpin agama

(religious leader) untuk membimbing masyarakat politik.36

Berkat posisinya dalam masyarakat yang begitu kuat, para kiai khos ini

menduduki posisi-posisi pembaharu dalam tingkat struktur masyarakat dan

kosmologi politik. Mereka melakukan perubahan dengan menginjeksi pemahaman-

pemahaman baru yang belum dikenal masyarakat melalui majelis taklim, halaqah,37

dan pertemuan khusus dengan peran sebagai intelektual, mediator, cultural broker,

dan terkadang pula mistikus yang menuntut kemampuan lebih dan memiliki akses

terhadap atau hubungan dengan sistem luar. Bahkan tidak jarang semua peran

tersebut dijalani dalam waktu hampir bersamaan dan terkadang pula dalam ruang

32

Charlene Tan, ―Educative Tradition and Islamic Schools in Indonesia,‖ Journal

of Arabic and Islamic Studies 14 (2014): 49, https://www.lancaster.ac.uk>docs>vol14

(diakses 13 Maret 2016). 33

Sufisme bertujuan memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga

disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Lihat Harun Nasution, Falsafat

dan Mistisisme, 43. 34

Mark Woodward mengemukakan, interpretasi mistik Islam telah menjadi

paradigma untuk kesalehan, tatanan sosial, dan kehidupan sosial. Lihat Mark R. Woodward,

―The "Slametan": Textual,‖ 55. 35

Lihat Alexander R. Arifianto, Faith, Moral Authority, and Politics: The Making

of “Progressive Islam” in Indonesia and Turkey (Paper Western Political Science

Association (WPSA) Annual Meeting The Arizona State University, 2012): 17-18 (diakses

31 Maret 2016). 36

M. Steven Fish, ―Islam and Authoritarianism,‖ World Politics 55 (October 2002):

22, http://muse.jhu.edu (diakses 31 Maret 2016). 37

Gambaran mengenai karisma kiai NU terlihat pada pengasuh Pesantren Sunan

Drajat, Kiai Haji Abdul Ghofur, yang oleh santri dan masyarakat diposisikan sangat mulia

(paramount) mulai perkataan, perbuatan, hingga pemasangan foto yang dijejer dengan

presiden dan wakil presiden. Kondisi berbeda dengan pesantren Kiai Mu‘rob di Pesantren

Karangasem. Lihat Nathan John Franklin, Political Islam in Java, 152.

Page 35: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

31

berbeda-beda. Mereka tidak hanya secara aktif mendorong terjadinya perubahan

mendasar, menahan arus perubahan, dan melakukan filterisasi dalam suatu

komunitas masyarakat terhadap desakan-desakan perubahan, melainkan juga

menciptakan peluang-peluang pendidikan, ekonomi, dan politik.

Bermodalkan gambaran Geertz tentang kiai pedesaan Jawa Timur dan 15

tahun kemudian muncul penelitian Hiroko Horikoshi tentang kiai di Jawa Barat

yang menggambarkan kiai sebagai seorang heroik yang menggerakkan aksi-aksi

masyarakat melalui gerakan mistik atau spiritual, dan sebaliknya bertolak belakang

dengan penelitian Endang Turmudi (2004) dan Achmad Zainal Arifin (2013)

perihal menurunnya aura dan kredibilitas kiai di mata masyarakat sebagai agen

perubahan akibat keterlibatannya dalam politik praktis, dan bahkan Nils Bubandt

(2014) menggambarkan keanehan-keanehan kiai yang mempercayai kekuatan

magis dengan mengunjungi nenek moyang mereka sebagai politisi nasional, kaum

rasionalis, dan tokoh masyarakat, penelitian ini menggambarkan bahwa kekuatan

dan kemampuan kiai untuk menggiring masyarakat ke arah perubahan secara de

facto telah menarik perhatian para ahli dalam dan luar negeri. Kiai dengan segala

atribut yang melekat tidak sekadar memerankan pembaharu dalam mengubah

struktur sosio kemasyarakatan, melainkan lebih jauh seorang kreator yang berusaha

mengembangkan kerangka dan bangunan politik nasional dengan meleburkan diri

dalam arena di dalamnya dari ruang pinggiran ke arus utama, dari aktor cadangan

ke aktor utama.38

Selain itu, kekuatan karisma yang melekat dalam diri kiai sebagai

cermin intensifikasi pengamalan ajaran-ajaran mistik Tuhan dan domestifikasi

Islam menjadi kekuatan dan gerakan khas yang muncul di era modern ini telah

mengecoh politikus dan penguasa nasional.39

Karena itu, Robin Bush dan Andrée

Feillard (2010) menjelaskan lahirnya generasi baru dalam komunitas kiai dengan

latar belakang pendidikan umum dan Barat, yaitu generasi yang berorientasi politik

berhasil mengantarkan Gus Dur pada kursi presiden RI pada tahun 1999.40

Inilah fenomena kiai di era global modern. Kita melihat transformasi yang

dilakukan kiai tetap –bahkan makin—mengukuhkan keberadaannya sebagai

seorang yang memiliki karisma, terhormat, dan otoritas di tengah-tengah

masyarakat. Dengan demikian meremehkan semua fenomena kiai dengan

menyatakan bahwa dalam masyarakat tingkat pengetahuan belum di atas rata-rata

dan masyarakat mempertahankan tradisi masa lampau keberadaan kiai menjadi

kebutuhan tak terhindarkan. Penilaian demikian hanya memotong keterkaitan antara

struktur masyarakat dengan tujuan, proses, dan pengaruh dari mistisisme, dan

38

Keberadaan NU sebagai organisasi kemasyarakatan memiliki peran signifikan

dalam pembangunan bangsa. Tugas ini makin kokoh mengingat NU memiliki banyak

organisasi untuk mengantarkan masyarakat menuju demokrasi seperti JIL, Rahima, dan

lainnya. Lihat Amy Freedman, ―Civil Society, Moderate Islam, and Politics in Indonesia

and Malaysia,‖ Journal of Civil Society 5, 2 (September 2009): 117-120,

https://www.researchgate.net/publication/249018920, DOI: 10.1080/17448680903154907

(diakses 31 Maret 2016). 39

Hal ini bisa dilihat dari peristiwa petani di Banten yang terjadi pada 30

September. 40

Robin Bush, Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power Within Islam &

Politics In Indonesia (Singapore: ISEAS Publishing, 2009),152.

Page 36: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

32

mengaburkan kedudukan kiai sebagai pembaharu dengan nilai-nilai dalam suatu

masyarakat. Jika perubahan sosial budaya dinilai sebagai proses yang panjang, dan

sebagaimana dikatakan oleh beberapa ahli antropologi bahwa konsep ―tradisional‖

dan ―modern‖ merupakan kriteria empiris universal, maka setiap pembaharuan

yang dilakukan kiai memiliki sama dengan buddhis, pendeka, pastor, kaum

intelektual, dan cendekiawan yang selalu mewarnai langkah-langkahnya dengan

―mistik‖.41

Sebaliknya kecenderungan para ahli sendirilah yang tidak berhasil

menjelaskan fenomena ―mistisisme‖ dan ―intelektualisme‖ kiai masa kini yang

tersebar di beberapa profesi seperti kiai khos pada pemerintahan Gus Dur. Sebagian

besar pengkaji memulai tentang ―pengetahuan‖ dan ―pengalaman‖ dimiliki para

kiai dari analisis yang menempatkan tradisionalisme melawan modernisme. Dengan

dua kriteria tersebut kiai kemudian dikategorikan sebagai seorang/sekelompok yang

tidak mempunyai konsep pembaharuan dan tidak berpengalaman karena sumber

bacaannya buku-buku klasik yang ditulis pada abad-abad pertengahan. Jika para

pengkaji mengarahkan analisis mereka pada strategi bagaimana kiai dapat bertahan

dan bagaimana menghadapi tantangan-tantangan baru tentu akan lebih penting dan

lebih berguna. Kiai tidak akan memandang sebelah mata perubahan-perubahan

yang dialami masyarakat dan ciri khas masyarakat tertentu, tetapi sebaliknya

menjadikan semua itu sebagai tantangan-tantangan baru.

Salah satu kenyataan yang diabaikan berkaitan dengan pribadi kiai ialah

bahwa mereka melakukan penyesuaian secara kreatif terhadap kekekuatan-kekuatan

perubahan baik sistem nasional maupun lokal.42

Seperti dikemukakan John L.

Esposito dan John O. Voll, sebagai personifikasi dari kiai, Gus Dur merupakan

seorang intelektual inovatif yang memimpin organisasi ulama untuk

memperjuangkan Islam tradisional dan melawan ancaman modernisme. Sebagai

pembaharu modern tetapi bukan seorang Islam modernis,43

kiai memiliki

pengetahuan cukup tentang prinsip-prinsip kerja dalam hubungan antar kelompok

masyarakat. Apabila mereka hendak melakukan pembaharuan, maka mereka harus

menyiapkan pengetahuan-pengetahuan dasar dan pengetahuan tentang mekanisme

kerja dalam masyarakat yang komplek yang merupakan kunci dari kelangsungan

keberadaan mereka. Dalam pengertian ini, pemimpin tradisional seperti kiai-kiai

41

Agama yang menjadi landasan spiritual memberikan injeksi baru bagi definisi diri

Orde Baru, bahkan mempengaruhi rezim dengan menawarkan sejumlah konsesi bagi

sejumlah kaum Muslim. Usaha negara memberangus sayap politik dan menentang Islam

atas dasar spiritual Islam hanya memperpanjang deretan penting kaum spiritualis. Lihat

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 51-52. 42

Bagi kiai konstruk sosial ditempatkan sebagai produk hukum yang dapat

membentuk sikap reseptif terhadap perubahan. Realitas yang menjadi pijakannya, fiqih

mudah diaksentuasikan dengan tuntutan perubahan. Lihat Ali Maschan Moesa,

Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbagai Agama (Yogyakarta: LKiS, 2007), 263. 43

John L. Esposito dan John O. Voll, Makers of Contemporary Islam (New York:

Oxford University Press, 2001), 202.

Page 37: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

33

dan ulama-ulama merupakan antropolog yang baik, bahkan mungkin lebih baik dari

antropolog sendiri.44

Kita melihat, kekuatan mistik/spiritual mampu menumbuhkan kesadaran

yang mendorong transformasi individual maupun sosial.45

Mistik mengurai

ketegangan batin antara roh dari sekadar asketisme melalui cinta dan hawa nafsu

yang hendak mencapai kebajikan dan penglihatan Tuhan sehingga akhirnya

berdampak pada aktivitas lahiriah, bahkan kerap memicu konflik-konflik lahiriah,

baik antara individu maupun sosial. Dengan dilingkupi kesadaran religio-politik,

mysterion, dan mistisisme,46

kiai cakap memasuki permainan kekuasaan yang

begitu rumit dengan sistem luar yang dominan, dan saat bersamaan menggunakan

lambang-lambang guna menunjukkan adanya hubungan dengan para pengikutnya.

Dalam bidang inilah, sebagaimana dikatakan Dennys Lombard, kita dapat

menyaksikan keahlian para ―kiai‖ tradisional yang progresif,47

dan penelitian ini

dimaksudkan untuk membahas masalah ini.

Penelitian ini akan menganalisis kesalehan politik dan religio-politik dari

para kiai dalam hubungannya antara masyarakat dengan bangsa yang sedang

berubah dan membahas hubungan mereka dengan unsur pokok dalam masyarakat

lokal menghadapi sistem nasional. Dengan demikian yang terlihat pola strategi

penyesuaian mereka terhadap perubahan baik tingkat lokal maupun nasional bahkan

internasional.

C. Teori “Mistik” Antara Adaptasi Kreatif dan Cultural Broker

Kiai, masyarakat, dan politik merupakan satu kesatuan yang tak dapat

dipisahkan dalam wacana keislaman dan sosio-politik Indonesia. Sejak zaman pra

kemerdekaan, peranan kiai dalam struktur masyarakat dan politik selalu menghiasi

setiap lembaran-lembaran sejarah perjalanan anak bangsa. Bersama masyarakat,

kiai bahkan mencurahkan segala segenap tenaga demi Merah Putih dan NKRI

(Negara Kesatuan Republik Indonesi). Memasuki masa kemerdekaan ditandai

44

Penilaian ini didasarkan pada buku Kyai Nyentrik Membela Pemerintah, yang

mengulas sisi lain dari pemikiran dan kehidupan para kiai yang tidak banyak diketahui

orang. Memuat 26 artikel, buku ini menjadi cermin pemikiran Gus Dur dalam penggunaan

metodologi ilmu sosial dalam menjelaskan ideologinya. Lihat Abdurrahman Wahid, Kiai

Nyentrik Membela Pemerintah (Yokyakarta, LKiS, 1997). 45

Abdurrahman Wahid, ed. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam

Transnasional di Indonesia (Jakarta: The Wahid Insitute, Maarif Insitute, LibforAll

Foundation, 2009), 13. 46

Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, eds. Ensiklopedi Tematis Filsafat

Islam, penerj. Tim Mizan (Bandung: Mizan, 2003), 459. 47

Kiai progresif seperti Kiai Achmad Siddiq, Kiai Sahal, dan Gus Dur ketika

memimpin NU kita menyaksikan geliat progresif muncul di kalangan warga nahdliyyin

seperti munculnya generasi ‗kiri Islam‘ pada 1990-an, yang menjadi benang merah antara

gerakan kiri sekuler yang tiarap selama Orde baru dengan ‗santri progresif‘ yang mencoba

mencari sintesis antara doktrin agama dan kritik sosial. Dennys Lombard, Nusa Jawa:

Batas-Batas Pembaratan Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, penerj. Winarsih

Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan Nini Hidayati Yusuf (Jakarta: Gramedia, 2006),

166.

Page 38: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

34

dengan masa Orde Lama, ruang bagi kiai selalu saja terbuka untuk memberikan

kontribusi. Begitu juga masa Orde Baru meski sedikit berbeda dengan masa

sebelumnya. Bahkan memasuki masa Reformasi yang bergulir sejak 1998, seperti

kata Laila Khalid Alfirdaus, kesempatan kiai untuk mengespresikan aspirasi-

aspirasi politiknya dan mengartikulasikan posisinya sebagai tokoh masyarakat

justru semakin luas. 48

Sejarah kebangsaan memperlihatkan bahwa kiai memiliki peran penting

kiai dalam tiap gerak perubahan zaman. Bersama tokoh-tokoh bangsa lainnya, kiai

dapat merespons tantangan-tantangan baru dengan proses adaptasi kreatif

menempatkan doktrin-doktrin keagamaan sebagai ritual keseharian yang

diaktualisasikan dalam tatanan politik, sosial, ekonomi, dan budaya Indonesia.49

Fenomena tokoh agama hadir dalam politik kekuasaan bukan hanya terjadi di

kawasan Indonesia atau Nusantara umumnya, tetapi juga beberapa negara lain

dunia. Di Indonesia tokoh agama direpresentasi pada kiai pesantren, pemimpin

tradisional, budaya dan mistik. Fenomena politik Indonesia adalah fenomena

perpaduan dokrin-doktrin Islam dan budaya lokal, mistisisme Islam dan mistisisme

Jawa yang secara konsisten dijalankan oleh kiai pesantren.

Mistisisme sebagai kesalehan normatif –yang dalam perspektif Islam

disebut sufisme—terkandung nilai-nilai yang kerapkali dipraktekkan dalam

kehidupan sehari-hari sebagai manifestasi dari kepercayaan terhadap kraton (royal

cult) dengan membentuk inti kepercayaan negara (state cult) dan teori kerajawian.

Teks-teks keagamaan dipahami berdasarkan aspek-aspek mitologi dan doktrin

Hindu-Buddha Jawa menjadi dasar agama kraton membentuk relasi antara syariat

dan doktrin mistik bahkan menyatu dalam ruang teori mistik-sufistik. Dengan kata

lain, nilai-nilai mistik dalam tradisi masyarakat Jawa banyak dipengaruhi oleh

unsur-unsur Hinduisme menjadi ritual-ritual penting seorang raja dan golongan

bangsawan melalui karya seni dan penulisan sastra.50

Karya-karya seni menjadi kebanggaan utama pada masa kejayaan Hindu

ditulis dalam bahasa Jawa yang dari masa ke masa telah disalin ke dalam bentuk

lakon demi keperluan pelbagai jenis wayang dan tari-tarian pewayangan hadir

dalam bentuk epik, roman, dan sastra kepahlawanan. Para raja dan kaum

bangsawan sangat berkepentingan terhadap karya seni ini sehingga hampir dalam

setiap sejarah, hikayat, cerita-cerita, dongeng, dan mitos mempengaruhi –bukan

48

Laila Kholid Alfirdaus, ―Islam and Local Politics: In the Quest of Kyai, Politics,

and Development in Kebumen, 2008-2010,‖ Al-Jāmi„ah 51, no. 2 (2013 M/1435 H): 286-

287, http://aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/160 (diakses 11 Januari 2016). DOI:

10.14421/ajis.2013.512.279-309. 49

Julia Day Howell, Sufism and the: 714. 50

Kesusastraan Jawa Kuno tidak hanya berbicara tentang penyamaan-penyamaan

yang terbatas antara Śiva dan Buddha, melainkan juga di antara kelompok-kelompok dewa

dalam agama Hindu dan Buddha, di samping penyamaan dewa-dewa dalam intern agama

Hindu dan Buddha secara terpisah. Buddha kadang-kadang disamakan dengan Visnu. Di

tempat lain Buddha disamakan dengan Brahma, atau Visnu disejajarkan kedudukannya

dengan Śiva (Harihara). Lihat I Ketut Widnya, ―The Worship of Shiva-Buddha in the

Balinese Hindu Community,‖ Journal of Religious Culture no. 107 (2008): 2, web.uni-

frankfurt.de/irenik. (diakses 6 September 2016).

Page 39: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

35

menerangi akal dan budi—rakyat tentang sosok raja yang digambarkan sebagai

penjelmaan dewa. Para rahib dan para pekerja kraton secara rutin melaksanakan

upacara-upacara, tarian-tarian, dan pujian-pujian serta ajaran-ajaran yang

membesar-besarkan keagungan dewa-dewa bagi kepentingan mereka sendiri yang

dianggap penjelmaan dewa-dewa tersebut. Ajaran-ajaran agama Hindu digunakan

untuk melegitimasi kedudukan mereka dalam struktur masyarakat.

Raja dan kaum bangsawan bukan berarti golongan yang memiliki otoritas

untuk menafsirkan ajaran-ajaran murni yang terkandung dalam filsafat Hindu asli

yang luhur itu. Kenyataannya, agama ini sangat minim –bahkan mungkin tidak

ada—penekanannya pada filsafat tetapi sebaliknya mementingkan kesenian. Unsur-

unsur rasionalitas dan ilmiah terpinggirkan, dan sebaliknya kesenian tumbuh subur.

Begitu juga agama Buddha yang banyak berkembang di Sumatera, bahkan daerah

ini menjadi pusat pendidikan dan pembaharuan agama Buddha.51

Namun,

kemegahan pusat pendidikan tersebut tidak meninggalkan bekas apapun di

Sumatera, termasuk bahasa dan konsep filsafat agama Buddha. Tidak ada satu pun

bukti yang menunjukkan penggunaan bahasa Sumatera oleh golongan rahib Buddha

dalam melangsungkan pengajaran dan penulisannya baik jelas maupun tidak jelas.

Prapanca, salah satu pujangga Majapahit, menulis karya cukup terkenal,

Negara Kertagama. yang dinilai memiliki fokus pada akal dan budi namun tidak

memiliki pengaruh apapun karena mendapat respons keras dari kraton yang

kebanyakannya dari golongan dewi-dewi kraton. Karya ini kini hanya tersimpan

dan terpelihara dalam bentuk satu naskah saja. Penulis lainnya adalah Empu Kanwa

yang menulis Arjuna Wiwaha, mengandung nilai-nilai dan unsur-unsur filosofis,

tapi sayangnya hampir seluruhnya tergubah dalam bentuk puisi yang tidak dibubuhi

penjelasan atau penafsiran. Dua karya tersebut dinilai memuat unsur ancaman

terhadap kraton sehingga tidak pantas menjadi konsumsi telinga dan mata rakyat

jelata. Pada masa itu, masyarakat Nusantara cenderung kepada hal-hal yang bersifat

seni daripada filsafat.

Tradisi penulisan sastra dan seni dianjurkan dan dipertahankan oleh

golongan raja-raja dan bangsawan untuk mempertahankan kedudukan mereka

dalam struktur masyarakat, sedangkan masyarakat mengambil sikap tidak perduli

terhadap ajaran-ajaran agama ini. Masyarakat sebagai penganut agama ini hanyalah

memikul tanggung jawab ibadat serta mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya

yang dipengaruhi dan dibimbing oleh golongan raja-raja serta bangsawan lainnya

termasuk golongan pemimpin agama.52

Hindu-Buddha dapat diterima oleh

51

Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat penyebaran Buddha untuk Asia Tenggara.

Dalam beberapa konteks, Sriwijaya menjadi tempat pembelajaran bagi seseorang yang

mendalami agama Buddha di jagat ini. Lihat Timothy P. Daniels, ―Imagining Selves and

Inventing Festival Sriwijaya,‖ Journal of Southeast Asian Studies,‖ 30, no. 1 (1999): 41.

http://www.jstor.org/stable/20072105 (diakses 26 Februari 2015). Lihat pula Marwati

Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II, Cet. ke-2

(Bandung: Balai Pustaka, 2008), 98. 52

Dalam babad Jawa atau kronik kerajaan menceritakan kehidupan raja-raja,

anggota dewan, dan pemberontak, sementara Sunan Kalijaga sering ditempatkan sebagai

sekutu, penasihat hukum dan panduan spiritual penguasa Mataram, bahkan dianggap

Page 40: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

36

masyarakat Jawa karena ajaran-ajaran yang terkandung masih selapis dengan

kepecayaan-kepercayaan suku Jawa, misalnya pengenalan tata cara menulis,

perhitungan tahun Saka, ajaran-ajaran mistik yang secara halus diberikan kepada

masyarakat, dan konsep kerajaan dengan mempertahankan budaya religi animisme

dan dimisme yang asli dan mengakar di masyarakat beserta tradisi dan adat istiadat

setempat di kalangan petani (abangan).53

Hindu-Buddha berkembang di masyarakat

Jawa setelah mengalami proses, seperti kata Howard Gardner dan Robert Sternberg,

―adaptasi kreatif‖54

budaya masyarakat dengan membawa pengaruh bidang seperti

arsitektur, seni ukir, konsep raja dan sistem pemerintahan, aksara dan kesusastraan,

sistem kepercayaan, stratifikasi sosial, dan sistem kalender.

Ajaran-ajaran Hindu-Buddha secara spiritual tidaklah mematikan

kepercayaan-kepercayaan masyarakat Jawa, tetapi sebaliknya memperkaya budaya

Jawa. Hindu-Buddha hadir memberikan pengaruh pada bidang pengetahuan tentang

hidup dan pengetahuan tentang alam raya serta teori-teori kenegaraan yang

dipengaruhi raja-raja yang digambarkan ―keramat‖ sebagai wakil para dewa untuk

mengatur kehidupan masyarakat—yang menjadi penyangga bagi kebudayaan

priyayi dengan gemerlap keistanaannya. Agama Hindu-Buddha hanyalah ornamen

tipis dalam struktur masyarakat, bahkan sebagian masyarakat memiliki sikap tak

peduli terhadap ajaran-ajaran, justru menjadi kepercayaan para raja dan kaum

bangsawan untuk keperluan kekuasaan dan istananya. Masyarakat sebagai penganut

agama hanyalah mengamalkan ajaran-ajaran atas dasar bimbingan dan pengaruh

golongan raja-raja serta bangsawan lainnya termasuk golongan pemimpin agama

Hindu. Al-Attas mengatakan, agama Hindu-Buddha tidak berhasil mengubah pola

pikir masyarakat asli yang dibuktikan lahirnya intelektualisme Nusantara.55

Adaptasi budaya juga dilakukan Islam ketika hadir di tengah masyarakat

Jawa pada abad ke-13 dengan tidak mengganggu kepercayaan animies dan

dinamisme di Jawa. Proses adaptasi kreatif –dan tentu ini diperkuat oleh budaya asli

Jawa yang elastis—Islam yang penyebarannya dilakukan kiai-kiai pesantren

sebagai penemu tradisi slametan, permainan wayang, dan upacara kenegaraan Demak dan

Mataram. Lihat Chuzaimah Batubara, Islam and Mystical Movements in Post-Independence

Indonesia: Susila Budhi Dharma (Subud) and Its Doctrines (A Thesis of Master Degree of

McGill University, 1999), 39, http://digitool.Library.McGill.CA:80/R/-?func=dbin-jump-

full&object_id=29814&silo_library=GEN01 (diakses 1 September 2016). 53

Andrew Beatty, ―Adam and Eve and Vishnu: Syncretism in the Javanese

Slametan,‖ The Journal of the Royal Anthropological Institute 2, no. 2 (1996): 273,

http://www.jstor.org/stable/3034096 (diakses 13 Mei 2016). 54

Adaptasi kreatif adalah kemampuan dan cara pengolahan informasi, dimodifikasi

sesuai konteks budaya. Mereka juga fokus pada modifikasi lingkungan untuk memenuhi

kebutuhan individu daripada para individu beradaptasi lingkungan. Lihat pendapat Howard

Gardner dan Robert Sternberg dalam Mark A. Runco dan Steven R. Printzker, Encyclopedia

of Creativity, Two Volume Set (London: Academic Press, 1999), 15. 55

Bahkan Fa Hsien dan I-Tsing –keduanya pengembara dari Cina pernah singgah

di Jawa dan Sumatera—heran agama Hindu dan Buddha yang dianut masyarakat tidak

membekas dalam masing-masing penganutnya. Lihat Syed Muhammad Naguib Al-

Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, penerj. Saiful Mujani (Bandung:

Mizan, 1984), 34.

Page 41: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

37

membuat ajaran-ajarannya dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat. Tidak

ada perlawanan cukup berarti dari masyarakat Jawa ketika Islam hadir membawa

ajaran-ajaran yang elastis baik berkaitan dengan simbol-simnol Islam atau ritus-

ritus keagamaan.

Elastisitas Islam terhadap warna atau corak budaya lokal dapat dilihat pada

penyebaran Sunan Kalijaga yang banyak menciptakan kidung-kidung Jawa

bernafaskan Islam seperti ilir-ilir, tandure wis semilir, bahkan seringkali

melakukan pementasan gamelan dan wayang demi efektivitas pengenalan nilai-

nilai Islam dan mudahnya mengonversi masyarakat Jawa.56

Hal lain yang dapat

dilihat adalah pembangunan masjid pertama, Saka Tunggal Baitussalam, yang

dibangun oleh Kiai Mustolih. Masjid ini dibangun pada 1822 yang arsitektur

bangunannya menyerupai arsitektur lokal warisan Hindu-Buddha.57

Kehadiran

Islam di Jawa tidak membawa simbol-simbol budaya di Timur Tengah, berbeda

dengan Buddha yang memindahkan budaya ―stupa‖ atau bangunan gereja Kristen

yang berarsitektur ala Barat. Kiai tidak memindahkan budaya-budaya Arab

melainkan mengemas doktrin-doktrin Islam ke dalam budaya-budaya Jawa

sehingga memudahkan masyarakat menerima doktrin-doktrin Islam.

Clifford Geertz mengatakan, agama Islam Jawa yang mengintegrasi dalam

tradisi masyarakat Jawa berimbang antara tradisi yang berunsurkan animisme

dengan agama Hindu dan Islam kemudian mempengaruhi struktur sosial, ekonomi,

dan ideologi politik. Oleh karena itu, berdasarkan penelitian Geertz, Islam Jawa

adalah agama sinkretik; campuran antara animinsme, Hinduisme dan Buddhisme,

bahkan kemudian mewarnai Islam Nusantara umumnya.58

Sinkretisme ajaran-ajaran

Islam Jawa tampak pada tradisi slametan dinilai sebagai tradisi yang secara turun-

temurun dipandang sebagai nilai yang menyatukan unsur mistis dan sosial.59

56

Masyarakat yang mencintai gamelan dan wayang datang ke masjid dengan

mengucapkan syahadat, ini cara Sunan Kalijaga mengorversi masyarakat ke Islam. Lihat

Timothy Daniels, Islamic Spectrum in Java: Anthropology and Cultural History in Asia and

the Indo-Pacific (New York, Routledge, 2012), 95, http://d3877.com/Islamic-Spectrum-in-

Java_2248211.html (diakses 20 September 2016). 57

Masjid Saka Tunggal didirikan oleh Kiai Mustolih pada tahun 1288. Terletak di

Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Banyumas, sekitar 30 km dari kota Purwokerto, masjid

ini hanya memiliki satu tiang penyangga, konon sebagai lambang keesaan Allah. Lihat

Suharyo Didagdo, Terpesona di 7 Menara Keberkahan: Perjalanan Mencari dan Meraih

Mukjizat Tuhan (Depok: Qultum Media, 2012), 60-61. 58

Lihat Ghulam-Sarwar Yousof, ―Islamic Elements in Traditional Indonesian and

Malay Theatre,‖ Kajian Malaysia 28, no. 1 (2010): 84,

http://web.usm.my/km/28(1)2010/KM%20ART%204%20(83-101).pdf (diakses 30 Agustus

2016). Pada news letter yang diterbitkan Yale University, Extent of the Islamic World by

1500 CE. Disebutkan bahwa Islam di Nusantara dipengaruhi budaya pra Islam berdasarkan

epik Hindu. Lihat ―Extent of the Islamic World by 1500 CE” dalam The Spread of Islam,

https://www.yumpu.com/en/document/view/51729925/6-the-spread-of-islam-yale

university/7 (diakses 13 September 2015). 59

Slametan menjadi lambang kesatuan mistis dan sosial dari orang-orang yang

berpartisipasi di dalamnya, seperti teman, tetangga, rekan kerja, kerabat, dan lainnya. Lihat

Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: The University of Chicago, 1960), 11.

Page 42: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

38

Bahkan dalam penelitian Jochem van den Boogert menyebutnya sebagai nilai

praksis murni (praxis pure) dan kesederhanaan dalam bentuk persembahan Tuhan

(Lord‟s supper).60

Gambaran komprehensif Geertz tentang unsur-unsur mistik masyarakat

Jawa terlihat dalam The Religion of Java, yang mengelompokkan tiga sistem aliran

struktur identitas dan organisasi yang bersifat vertikal, priyayi, abangan, dan santri.

Ketiga kelompok memiliki penekanan religiusitas berbeda-beda, misalnya priyayi

pada unsur Hinduisme mulai konsep-konsep hingga ritual-ritual kesehariannya.

Orientasi pada dunia mistik kejawen dan Hindu-Buddha kelompok ini muncul

sebagai pengaruh tradisi istana dan pujangga. Abangan yang menekankan

kepercayaannya pada unsur-unsur tradisi lokal, terutama sekali pada upacara ritual,

kepercayaan kepada makhluk halus, kepercayaan akan sihir, dan magic. Penekanan

kepercayaan ini merupakan tradisi kaum tani yang berideologi sinkretik sangat

dipengaruhi oleh paham animisme Jawa. Santri menekankan kepercayaannya

kepada unsur Islam. Tradisi keagamaan santri merupakan sebuah cara pandang dan

manifestasi ketaatan pada Islam yang dianut oleh elemen-elemen masyarakat Jawa

maupun luar Jawa.61

Studi antropologis Geertz menyelidiki manusia dari segi fisik dan

budayanya dengan menghadirkan salah satu konsep mendasar, holisme, harus

diakui mampu menghadirkan agama dan praktek-praktek pertanian, kekeluargaan

dan politik, magic dan pengobatan yang dilakukan bersama-sama. Melepaskan diri

dari bentuk fungsionalisme struktural, dan menggantikan berbagai pendekatan

positivistis kepada melihat kebudayaan dari dalam dan menurut kategori-kategori

mereka sendiri, Geertz akhirnya pada kesimpulan tentang Islam Jawa sebagai

derivasi Hindu-Buddha. Islam berkembang di Jawa adalah bentuk penyimpangan

dari normativitas Islam karena lebih kental nuansa mistiknya.

Agama Islam dan budaya masyarakat Jawa yang berhimpitan dengan

politik juga mendapat perhatian dari antropolog Mark R. Woordward. Dengan

pendekatan aksioma budaya, Woordward berpandangan Islam dan budaya

masyarakat Jawa bersifat compatible; saling mengisi, tidak terlihat perbedaan di

antara keduanya, dan jika ada perbedaan hanya tampak di permukaannya yang

biasa ditemukan dalam sejarah Islam.62

Kesimpulan ini diperoleh setelah mengkaji

kraton Jawa dan agama rakyat dengan penekakan pada pengaruh-pengaruh budaya

dan keagamaan ―Hindu‖ mulai dari ideologi, ritual, hingga prototipe-prototipe

Hindu-Buddha dalam mistisisme tradisional Jawa. Woordward tidak menemukan

60

Jochem van den Boogert, Rethinking Javanese Islam: Towards New Descriptions

of Javanese Traditions Issue (A Thesis of Ph.D The Leiden University, 2015), 249,

http://hdl.handle.net/1887/36400 (diakses 30 Agustus 2016). 61

Karya The Religion of Java merupakan karya paling berpengaruh di kalangan

sarjana Muslim meski belakangan mendapat tanggapan luas. Lihat Nathan John Franklin,

Reproducing Political Islam, 25. 62

Mark R. Woordward, Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in Sultanate

of Yogyakarta (Tucson: University of Arizona Press, 1989), 135. Bandingkan dengan

Donald K. Emmerson, ed. Indonesia Beyond Suharto: Polity Economy Society Transition:

Polity, Economy, Society, Transition (New York: Asia Society and M.E. Sharpe, 1999),

214.

Page 43: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

39

pengaruh unsur Hindu dalam sistem Teravada, Mahayana, Siva, atau Vaisnava.

Begitu juga dalam filsafat wayang Jawa yang didasarkan pada epik akbar Hindu,

Mahabarata, dan Ramayana, tampak tak berwajah ―India‖.

Tidak seperti disangkakan Geertz tersebut, Woordward justru

berpandangan, tradisi Islam Jawa merupakan derivasi dari Islam yang dapat

dicarikan padanannya di kawasan Timur Tengah, Melayu, Persia, dan lainnya.

Karena itu, slametan63

termasuk pula di kuburan dan ritual shalat Muslim kejawen

dan santri tradisional dilakukan untuk mengharap berkah dari surga (blessing

descending from heaven) atau sebagai hadiah dari Tuhan. Dengan kata lain,

slametan sebagai hal esensial merupakan bentuk kesalehan syariah baik bagi santri

tradisional maupun Muslim kejawen. Mengutip pendapat Hodgson, lebih jauh

Woordward berpandangan, seandainya Islam Jawa dipandang dari perspektif tradisi

Muslim secara keseluruhan, dan bukan dari polemik-polemik reformisme modern,

akan bisa ditemukan di sana adanya kesamaan yang mencolok dengan Islam Timur

Tengah dan Asia Selatan.64

Azyumardi Azra menilai bahwa Islam Jawa yang dianggap sinkretis dengan

animisme dan Hindu-Buddha seperti studi Geertz tersebut memiliki dampak luar

biasa terhadap performa Islam di Nusantara baik secara historis, sosiologis, budaya,

maupun politik. Studi Geertz mempengaruhi pandangan umum masyarakat dunia

tentang Islam Nusantara sebagai agama marginal dan peripheral dari Islam di Timur

Tengah karena bercampur dengan unsur-unsur animistik dan Hindu-Buddha. Islam

sama sekali tidak membawa pengaruh pada budaya Nusantara (Asia Tenggara).65

Kehadiran Islam di Nusantara merupakan pergulatan karakter dua

kebudayaan yang saling berebut pengaruh. Satu sisi kebudayaan Jawa dengan

tradisi kuno kuat dan mapan, cenderung bersikap defensif dan resisten terhadap

kebudayaan dari luar yang ekspansif, sementara sisi lain agama Islam yang

memiliki watak ekspansif akan senantiasa melakukan serangan-serangan terhadap

kebudayaan yang cenderung opensif dan kritis. Kebudayaan Jawa mewarisi tradisi

kuno selalu berusaha menunjukkan eksistensinya meskipun mendapat tekanan

ekspansif dari Islam.

Proses mempertahankan identitas kebudayaan ini sejatinya telah

berlangsung sejak pra kemerdekaan, karena setiap kebudayaan mempunyai

kebutuhan untuk menentang perubahan dan mempertahankan identitas.66

Meski

secara formal masyarakat yang berorientasi pada kebudayaan Jawa cenderung

akomodatif terhadap kebudayaan Islam, tetapi secara substantif mereka melakukan

penolakan terhadap kebudayaan-kebudayaan Islam yang bertentangan dengan

prinsip dan adat Jawa. Inilah dua kebudayaan yang saling berebut pengaruh atau

63

Mark R. Woordward, Java, Indonesia, and Islam (New York: Springer, 2011),

132, http://www.springer.com/gp/book/9789400700550 (diakses 20 September 2016). 64

Mark R. Woordward, Islam in Java, 3. 65

Azyumardi Azra, Islam in Southeast Asia: Tolerance and Radicalism (Paper

Presented at Miegunyah Public Lecture The University of Melbourne, 2005), 2. 66

Ignas Kleden, Sikap llmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1986), 169.

Page 44: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

40

meminjam istilah Azyumardi Azra67

sebuah pergulatan kebudayaan Islam sebagai

―tradisi besar‖ dengan sejumlah serangkaian kanonik yang bersifat universal dan

kebudayaan Jawa sebagai ―tradisi kecil‖ sebagai unsur lokal dengan jangkauan

terbatas. Islam sebagai unsur utama, sementara Jawa sebagai unsur tambahan.

Dalam banyak hal terdapat banyak bukti mengenai posisi Jawa menghadapi

Islam yang senantiasa melakukan perlawanan seperti tampak dalam sejumlah serat

atau suluk Jawa seperti Centhini dan Wedhatama.68

Namun, sebagaimana terlihat

pula dalam serat tersebut, para aristokrat Jawa merasa khawatir dengan penetrasi

Islam yang cenderung menjadi kekuatan besar, dan karena itu mereka cenderung

mengambil menghindari konflik nilai. Dalam posisi demikian, dalam banyak kasus,

kebudayaan Jawa yang mengambil posisi tidak berhadap-hadapan dengan Islam

justru memberikan keleluasaan bagi Islam untuk tampil sebagai teks dominan yang

membangkitkan kembali kebudayaan setempat sesuai dengan ortodoksi Islam.

Studi M. Bambang Pranowo di Tegalrejo kaki Gunung Merbabu, Magelang

menunjukkan bahwa orang-orang Jawa bukanlah sinkretis seperti digambarkan

Geertz, melainkan masyarakat yang memegang tradisi keagamaan. Masyarakat

Jawa adalah masyarakat ortodoks. Tingkat ortodoksi Islam masyarakat Jawa sudah

berlangsung jauh sebelum kemerdekaan (sejak abad ke-14) ditandai dengan

semakin menguatnya peran kiai dan merebaknya budaya santri di tengah

masyarakat. Tempat-tempat ibadah (masjid dan langgar) berdiri di beberapa sudut

kehidupan masyarakat, padahal Tegalrejo dan masyarakat Jawa sebelumnya dikenal

sebagai daerah yang berpenduduk PKI, PNI, dan abangan.69

Mistisisme sebagai unsur Hinduisme secara kreatif diataptasikan oleh kiai

untuk mendekonstruksi cara pandang masyarakat Jawa sekaligus digunakan dalam

melindungi masyarakat dan menyaring informasi dari luar untuk memunculkan

wajah baru keberislaman masyarakat Jawa. Dua saluran itulah membuat Islam

merasuk begitu cepat dan mendalam pada struktur kebudayaan Jawa, mulai kraton

sebagai basis utama untuk penyebutan negara teokratik hingga termassifikasi di

kalangan masyarakat. Kiai berperan penting dalam mengkomunikasikan doktrin-

doktrin Islam, pembentukan masyarakat, menyebarkan tradisi-tradisi keagamaan

sebagai pengayaan dalam keberislaman, dan kemudian menyaring (broker)

terhadap setiap isu yang diperkirakan merusak tatanan masyarakat.

Namun, dalam pandangan para ahli, peran kiai tersebut melampaui batas-

batas kewajaran. Pandangan ini setidaknya tergambar, misalnya Geertz menilai,

kiai pemegang otoritas doktrin-doktrin keislaman dan tradisi-tradisi keagamaan

serta berbagai persoalan politik dalam masyarakat,70

Jajat Burhanudin menegaskan,

peran kiai dalam bidang politik melampaui tradisionalismenya sebagai pemimpin

67

Azyumardi Azra, Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim: Dari Australia Hingga

Timur Tengah (Jakarta: Hikmah, 2007), 8. 68

Jochem van den Boogert, Rethinking Javanese Islam, 253. 69

M. Bambang Pranowo, ―Partai Politik dan Islamisasi di Pedesaan Jawa,‖ dalam

Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, ed. Saiful Mujani (Jakarta: LP3ES,

1993), 178-195. Atau penjelasan lebih lengkap lihat M. Bambang Pranowo, Memahami

Islam Jawa (Jakarta: Alvabet, 2009). 70

Clifford Geertz, The Javanese Kijaji, 229.

Page 45: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

41

pesantren dan pembina ribuan umat,71

Endang Turmudi menerangkan, keterlibatan

kiai dalam politik tidak sebandingkan dengan perannya dalam sosial keagamaan

dan kemasyarakatan,72

John L. Esposito dan John Obert Voll mengemukakan

keberakhiran peran ulama dalam kontribusi Islam kontemporar,73

dan Nai‘m

berpandangan, menegakkan model penyatuan antara otoritas politik dan agama

berakhir dengan kekerasan, ketidaktoleranan dalam agama, dan hilangnya

stabilitas.74

Pandangan-pandangan tersebut menurut Horikoshi tidak cukup memadai

memahami posisi peran ulama Jawa di tengah-tengah masyarakat dalam konteks

kekinian. Menurut Horikoshi, ulama dituntut untuk menghadapi kompleksitas

kehidupan sebagai akibat modernisasi dan perubahan sosial yang berlangsung cepat

dalam masyarakat Indonesia. Dalam konteks ini, Horikoshi berpendapat, selain

menjalan fungsi keulamaan dalam menyebarkan doktrin-doktrin keislaman, ulama

juga berfungsi sebagai mediator, memblokir saluran komunikasi dan kekuatan

perubahan serta menyembunyikan informasi untuk mencegah berkembangnya

kaitan langsung dan menghindari hal-hal yang membahayakan posisi mereka

sendiri.75

Peran-peran seperti ini akhirnya menuntut ulama tidak sekadar mahir

dalam menyampaikan doktrin-doktrin dan tradisi-tradisi keagamaan, tetapi juga

cakap dalam membaca perubahan dan isu di tengah masyarakat. Ulama senantiasa

berakar kuat dalam kehidupan keagamaan dan sosio-politik umat Islam76

memang

dituntut memiliki kemampuan beradaptasi dengan berbagai situasi perubahan,

karena menyadari posisi strategisnya dalam struktur masyarakat yang senantiasa

dijadikan panutan baik dalam masalah keagamaan, wacana keislaman kontemporer,

maupun reformasi sosial, politik, dan ekonomi. Adaptasi kiai dalam perubahan

masyarakat sebagai akibat interaksinya dengan kitab-kitab kuning yang selalu

dijadikan sumber inspirasi, ritualitas tradisi-tradisi keagamaan yang dijadikan spirit

melakukan gerakan sosial keagamaan, adat istiadat yang menjadikannya sebagai

seorang dinamis.

Pada abad ke-16 dan ke-17, beberapa kiai besar Sumatera, seperti Hamzah

Fansuri, Syamsu al-Din al-Sumatrani, ‗Abd al-Raûf al-Singkili, dan al-Raniri,

membuat peta jalan baru dengan keberhasilan mengkomunikasikan Islam ke dalam

istana yang digunakan sebagai bahasa Injil ‗Melayu‘ selama masa VOC. Sejarah

juga mencatat Yusuf al-Makassari yang berhasil mengubah istana Banten menjadi

religius, Joko Tingkir menyulap istana Majapahit, dan Wali Songo sukses

meninabobokkan tokoh adat dan masyarakat Jawa. Hal sama dialami dua kerajaan

71

Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, 2. 72

Endang Turmudi, Struggling for the, 2-7. 73

Berakhirnya peran ulama karena pengaruh intelektual muslim sekular dan

westernisasi yang mengubah gaya ulama secara dramatik. Perubahan tersebut terutama

dalam hubungan ulama dengan masyarakat, pendidikan, nasionalisme, dan radikalisme.

Lihat John L. Esposito dan John O. Voll, Makers of Contemporary, 16. 74

Abdullah Ahmed an-Na‘im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa

Depan Syariah, penerj. Sri Murniati (Bandung: Mizan, 2007), 108. 75

Lihat Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan, 114. 76

Iik Arifin Mansurnoor, Islam in an Indonesia Word: Ulama of Madura

(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990).

Page 46: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

42

besar Islam, Dinasti Umayyah dan Abbâsiyah, yang menempatkan ulama sebagai

pemegang otoritas tunggal keagamaan dan sekaligus pencerah politik istana.77

Sesuai dengan karakter dinamis, peran strategis ulama mengubah cara pandangan

dunia (world view) tentang Islam.

D. Pemimpin Lokal dan Sistem Tradisional: Mempertahankan Pengaruh Disertasi ini tentang kiai lokal dalam sistem masyarakat tradisional yang

mengalami perubahan sangat kompleks. Penelitian dikaitkan dengan masalah-

masalah kepemimpinan kiai yang berusaha mempertahankan tradisionalismenya

dalam ruang publik yang penuh intrik dan kecurigaan tinggi terhadap kegiatan

sosial keagamannya,78

dan saat bersamaan masyarakat menuntut kiai menunjukkan

independensinya yang otonom. Jika globalisasi dimaknai ―integrasi‖ wilayah-

wilayah di dunia79

mempengaruhi gaya hidup dan cara pandang masyarakat baik

bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya, maka institusi keulamaan

dan pesantren akan mengalami dampak perubahan tersebut sebagaimana institusi

lainnya. Respons kiai, seperti terlihat beberapa dasawarsa terakhir, memperlihatkan

institusi pesantren yang dipimpin kiai tidak bisa menghindari dari cengkeraman

globalisasi.

Secara empirik, masyarakat di Indonesia umumnya masih merupakan

masyarakat petani (agraris). Secara geografis, mereka hidup di daerah pedesaan,

pedalaman jauh dari perkotaan yang sumber pencaharian sepenuhnya bergantung

pada lahan-lahan pertanian. Sifat mereka hampir seragam: hidup berkelompok,

memiliki toleransi cukup tinggi, dan menjalin hubungan kekeluargaan erat. Dalam

beberapa tahun terakhir, masyarakat ini mengalami perubahan sejak program

urbanisasi dan industrialisasi bergulir meski tidak terlalu massif. Perubahan dialami

pada kelompok masyarakat ini baik secara internal maupun eksternal

mempengaruhi pola hubungan mereka dan khususnya hubungan dengan sistem

nasional, dan sejak globalisasi perubahan tersebut semakin nyata terlihat.

77

Islam menciptakan sebuah peradaban kosmopolitan indah yang dibangun atas

pesan kitab suci, tradisi, dan hukum (al-Qur‘an, hadith, dan hukum), dan kebijaksanaan dan

ilmu budaya selama ekspansi tiga benua. Pertengahan awal Abbasiyah memformulasi

pemikiran politik Islam melalui sekolah ulama, teologi, dan filsafat. Lihat Gerhard

Bowering, ed. Islamic Political Thought: An Introduction (Princeton: The Princeton

University Press, 2013), 2-5, http://press.princeton.edu/chapters/i10510.pdf (diakses 20

September 2016). 78

Dalam beberapa tahun terakhir, kegiatan politik praktis Indonesia mencerminkan

bahwa agama dan politik harus diletakkan secara terpisah. Cermin ini dinilai oleh sebagian

kelompok Islam sebagai akibat keterlibatan kiai dalam politik. Karena itu, mereka

mendukung ‗agama dalam politik bukan politik dalam agama‘. Lihat Daromir Rudnyckyj,

―Market Islam in Indonesia,‖ The Journal of the Royal Anthropological Institute 15, (2009):

S195, http://www.jstor.org/stable/20527696. (diakses 23 Februari 2015). 79

Globalisasi adalah proses integratif yang mengarah pada konvergensi, efisiensi,

pengembangan, dan umumnya lebih harmonis. Lihat Daniele Conversi, ―The Limits of

Cultural Globalisation?,‖ Journal of Critical Globalisation Studies, Issue 3 (2010): 40,

http://criticalglobalisation.com/Issue3/36_59_LIMITS_CULTURAL_GLOBALISATION_J

CGS3.pdf (diakses 9 September 2016).

Page 47: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

43

Tercipta akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, globalisasi

menjadi tatanan dunia memberi dampak sangat besar bagi tatanan masyarakat lokal.

Perubahan di ibu kota secara langsung dirasakan oleh penduduk lokal. Dengan kata

lain, perubahan dialami masyarakat di Indonesia pada pola interaksi antara sesama

antara masyarakat merupakan masa transisi atau intermedier dari agraris menuju

masyarakat industrial, atau masyarakat yang mempunyai karakteristik tradisional

sekaligus modern –Riggs menyebutnya pristimatic society,80

fase transisi

masyarakat tradisional (fused model society) kepada masyarakat yang lebih maju

(diffracted society). Namun perubahan masyarakat tidak mempengaruhi pada pola

hubungan mereka dengan pemimpin, bahkan sebaliknya menggantungkan.

Dalam masyarakat transisional, kiai sebagai pemimpin lokal sama

kedudukannya dengan masyarakat agraris. Kiai ditempatkan dalam posisi strategis.

Hubungan antara masyarakat dan pemimpin lokal terjalin erat, sebuah hubungan

kuat patron-client,81

yang dibutuhkan dalam menghadapi perubahan sosial dalam

masyarakat dan masalah modernisasi dan globalisasi. Sikap pemimpin memiliki arti

penting bagi masyarakat dalam menghadapi tekanan laju modernisasi dan saat

bersamaan berusaha melestarikan (maintence) sistem sosio-kultural lokal yang

menopang kedudukan-kedudukan istimewanya.

Hubungan patron client antara pemimpin lokal dan masyarakat merupakan

hubungan simbiose mutualistik dan given menjadi fokus disertasi ini. Satu sisi cara

pemimpin lokal menghadapi tekanan laju modernisasi dari luar dan sisi lain usaha-

usahanya melestarikan sistem sosio-kultural lokal yang menopang keistimewaan-

keistimewaannya dan memelihara kedaulatan politiknya yang otonom. Disertasi ini

akan mengungkapkan persaingan antara para pemimpin lokal dalam sistem nasional

yang mengawasi masyarakat lokal. Pandangan pemimpin lokal tentang kewenangan

kekuasaan luar dan cara pemimpin ini memanfaatkan kekuasaan dapat menghindari

pertentangan langsung. Namun, karena masing-masing pemimpin berusaha

melestarikan kedudukan dan kepentingan diri dan kelompok dalam masyarakat,

persaingan tidak dapat dihindari.

Studi masalah-masalah sensitif ini melibatkan interaksi antara kelompok

tampaknya kurang tuntas. Literatur-literatur dalam studi sejauh ini kebanyakan

mengungkap pemimpin lokal dalam menghadapi laju perubahan sosial dan

modernisasi yang rumit mempengaruhi struktur masyarakat dan otoritas

tradisionalnya. Analisa faktor sosiologis bahkan menjadi trend di kalangan para ahli

dalam beberapa dekade belakangan.82

Sementara persaingan di antara pemimpin

lokal kaitannya dengan patron dan masyarakat satu sisi, dan hubungan pemimpin

80

Istilah ―prismatic‖ digunakan untuk jenis sistem sosial berdasarkan analisis

fungsional-eksternal. Lihat Fred W. Riggs, ―Prismatic Society and Financial

Administration,‖ Administrative Science Quarterly 5, no. 1 (Jun.,1960): 1,

http://www.jstor.org/stable/2390823 (diakses 27 Januari 2015). 81

Antony Black, The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the

Present, Second Edition (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2011), 145,

www.euppublishing.com (diakses 17 Mei 2016). 82

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan

Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Cet. ke-VIII (Jakarta: LP3ES, 2011) 55-57.

Page 48: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

44

lokal itu dengan kekuatan-kekuatan luar pada di sisi lain kurang mendapat

perhatian. Zamakhsyari Dhofier menjelaskan, kiai memperoleh tempat istimewa

dalam struktur sosial di mata masyarakat.

Ketika Horikoshi merumuskan mediator untuk menggambarkan pemimpin

lokal ini dalam perspektif lokal dan nasional, dalam kesimpulannya kiai

digambarkan sebagai tokoh memiliki pengetahuan luas dalam soal agama

berpengaruh kuat di tingkat lokal dengan keunggulan-keunggulan berbeda

dibanding lain. Meski keunggulan tingkat lokal tersebut belum tentu memiliki

keunggulan yang dilegalkan melalui kepercayaan dari para pejabat dan masyarakat

perkotaan, bagi Horikoshi kiai seringkali berperan sebagai penyaring informasi dari

luar (nasional) untuk mempertahankan pengaruhnya.83

Dhofier menggambarkan

jaringan pernikahan di antara keluarga para ulama sebagai upaya mempertahankan

posisinya sebagai elite sosio-keagamaan sekaligus membangun solidaritas dan

kerjasama yang kuat di antara mereka.84

Martin menjelaskan kiai sebagai tuan

tanah, pedagang, dan hampir secara teratur menerima berbagai hadiah dari para

pengikut setianya yang kaya.85

Tidak seperti mediator atau perantara budaya bahwa kepemimpinan dan

otoritas pemimpin lokal tidak hanya berperan dalam suasana sosio-kultural yang

berbeda dari masyarakat tertentu pada umumnya, tetapi juga dalam mewujudkan

perubahan dan modernisasi. Begitu juga bukanlah ‗cultural broker‘ yang

menggambarkan kekuatan kiai dari sistem nasional bahwa pemimpin lokal ini

melembaga bahkan tertanam kuat dalam struktur masyarakat lokal memberinya

peluang-peluang mengambil keputusan strategis dan (ini yang terpenting)

menggerakkan emosi orang-orang desa dalam rangka mendukung keputusan

mereka. Studi ini menggambarkan bahwa kiai dan kedudukannya sebagai

pemimpin lokal merupakan proses inheren yang memberikannya sebuah

kemampuan untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus memberinya kekuatan

untuk menggerakkan orang-orang desa. Pengakuan status dan peran kiai atas

masyarakat mulai disemai sejak memerankan ‗perantara budaya‘ dalam bentuk

hubungan antara kelompok dan perubahan sosial budaya yang diakui pengaruhnya

baik tingkat lokal maupun nasional, dan kemudian makin diperkuatnya sejak

berdirinya pesantren yang memberikan berdampak besar pada politik, ekonomi,

budaya, dan agama masyarakat.

Kemampuan kiai melakukan pembaharuan dan kekuatannya menggerakkan

orang-orang desa untuk mendukung langkah-langkahnya mempengaruhi realitas

politik, ekonomi, budaya, dan agama yang diakui oleh masyarakat lokal dan

83

Hiroko Horikosi, Kiai dan Perubahan, 211. 84

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi, 62-63. 85

Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana

Baru, penerj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LKiS, 1994), 20. Lihat penjelasan lebih jauh pada

Martin van Bruinessen and Farid Wajidi, ―Syu‟un Ijtima‟iyah and the Kiai Rakyat:

Traditionalist Islam, Civil Society and Social Concerns,‖ dalam Indonesian Transitions, ed.

Henk Schulte Nordholt (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 205-248.

Page 49: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

45

nasional.86

Dengan kata lain, kedudukannya dalam sistem tradisional berhadapan

dengan sistem nasional dan sistem lokal ditentukan oleh langkah-langkahnya dalam

interaksi kelompok masyarakat dan perubahan sosial budaya. Langkah dan peran

semacam ini sejatinya dilakukan tidak hanya oleh kiai dalam masyarakat tersebut,

tetapi juga oleh komponen lain dalam usaha mencari kedudukan yang sama.

Pembedanya, kiai menggunakan unsur spiritual, ideologi, dan simbol yang secara

efektif membangkitkan emosi dan loyalitas masyarakat dalam setiap langkahnya.87

Unsur-unsur tersebut membantu proses adaptasi kiai untuk merubah sosial budaya

masyarakat lokal dan pelembagaan sistem modernitas dalam sistem sosio-budaya

lokal.

Dalam sistem sosio-budaya masyarakat Indonesia secara umum, seorang

pemimpin diakui kepemimpinannya jika berhasil mewujudkan kemampuannya

memenuhi harapan-harapan masyarakat dalam kesejahteraan sosial ekonomi,

memperhatikan pendidikan masyarakat, ketenangan dalam menjalankan ajaran-

ajaran agama, dan mementingkan kepentingan umum.88

Begitu juga seorang kiai

bagi masyarakat di pedesaan diakui jika berhasil mewujudkan harapan-harapan

masyarakat dan penduduk desa. Kemahirannya menggunakan simbol-simbol

agama, ideologi, dan spiritualitas merupakan bentuk kesadarannya akan otoritas

yang secara efektif direalisasikan merupakan hal fundamental bagi masyarakat

desa. Bagi masyarakat loyalitas terhadap kiai karena pemenuhannya dalam

mengatasi masalah, terutama jika mengalami krisis finansial kiai menenteramkan

dengan program BMT, jika menghadapi masalah politik kiai memposisikan cultural

broker dan mediator, dan jika mengalami krisis orientasi kiai memberikan jalan

pesantren. Dalam masyarakat tradisional, kekuasaan dan pengaruh tersebut

bersumber pada karisma yang diterima masyarakat tanpa filter dan reserve.89

Sejauh terkait cultural broker dan mediator bahwa kiai menjalani tugas

mengenalkan unsur dan sistem luar yang menimbulkan perubahan dalam

masyarakat dilakukan dengan berbagai cara. Menghadang bahkan memanipulasi

informasi dari luar, fungsi perantara dijalani hanya jika itu bermanfaat bagi tujuan-

86

Dalam masyarakat tradisional, kiai adalah pemimpin karismatik, panutan, dan

mempunyai kelebihan baik dalam penguasaan Islam maupun lainnya, misalnya, kekuatan

batin yang tidak dimiliki orang umumnya. Ia fasih dan mempunyai kemampuan dalam

membaca pikiran para pengikutnya. Ia dianggap lebih unggul daripada pemimpin lainnya.

Lihat Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan, 1. 87

Hormat santri terhadap kiai merupakan kombinasi antara pemenuhan material

dan spiritual, karena peran sentralnya dalam mendirikan organisasi dan otoritas

tradisionalnya yang diberikan terhadap masyarakat. Firman Noor, Institutionalising Islamic

Political Parties in Indonesia: A Study of Internal Fragmentation and Cohesion in the Post-

Soeharto Era (1998-2008) (A Thesis of Ph.D The Exeter University, 2012), 77,

https://ore.exeter.ac.uk/repository/bitstream/handle/10036/3637 (diakses 11 Januari 2016). 88

Menurut Abdurrahman Wahid, rasa hormat masyarakat terhadap kiai merupakan

perpaduan antara doktrin-doktrin Islam dan budaya masyarakat sebagai sisa pengaruh

pemujaan orang-orang suci (hermits) dalam agama Hindu. Lihat Abddurahman Wahid,

Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: CV. Dharma Bhakti, 1978), 17. 89

Sartono Kartodirjo, Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial (Jakarta: LP3ES,

1984), vi.

Page 50: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

46

tujuan kiai. Sesuai dengan makna yang tersirat dalam kata-kata tersebut, kiai

berusaha menutup saluran-saluran komunikasi, menahan informasi-informasi yang

berdampak perubahan langsung pada masyarakat, dan menyimpan berita-berita

yang diperkirakan membahayakan kedudukannya. Hal penting mengenai legitimasi

peran mediator dan kenyatan bahwa setiap mediator dan perantara budaya ini telah

menggambarkan peran kepemimpinan dan otoritasnya dalam suasana sosio-kultural

yang berbeda dari masyarakat tertentu pada umumnya.90

Geertz dan Horikoshi tampaknya menyederhanakan ruang gerak kiai

sebagai seorang yang hanya memerankan perantara budaya yang menghubungkan

budaya modernitas dan sosio-budaya masyarakat pedesaan. Dari keduanya, kiai

memiliki kecakapan masalah-masalah agama tetapi dinilai kurang mahir dalam

masalah-masalah dan isu-isu kontemporer yang banyak mempengaruhi pola hidup

masyarakat belakangan ini, dan karena itu selalu mengalahkan agen-agen sistem

nasional, menutup saluran komunikasi, dan menyumbat pemberitaan yang

mempengaruhi kedudukannya dalam struktur masyarakat dengan secara ketat.

Pendek kata, menganalisi peran pemimpin lokal ini dalam struktur masyarakat

pedesaan maupun nasional tidak cukup jika analisanya menggunakan perantara

budaya, karena hal demikian hanya menjebaknya dalam ruang sempit dalam

mekanisme hubungan masyarakat dan pemimpin lokal yang komplek.

Peran pemimpin lokal ini dalam perubahan struktur masyarakat yang begitu

kuat merupakan cermin kematangan kepribadian (personality), keakuratan strategi,

dan kemahiran menjalankan tugas dalam bidang agama, politik, ekonomi, dan

budaya. Meski peran ini melampaui batas-batas tradisionalismenya, pemimpin lokal

menganggap perannya dalam struktur masyarakat pedesaan dan market Islam

Indonesia hanya dilakukan dengan mengandalkan banyak saluran.91

Dalam

masyarakat kompleks selalu ditandai ketergantungan antar kelompok-kelompok

yang heterogen dan kelompok-kelompok tertentu yang menjadi bagian dari sistem

nasional, disfungsi sistem sosio kultural yang menolak beberapa masalah integrasi

dan tidak mengindahkan sistem antar kultural (inter-cultural system), pengaruh dan

kedekatan kiai dengan masyarakat pengikutnya semakin memantapkan

perlindungan para elit terhadap umatnya di pedesaan melalu pengajian-pengajian.

Para ulama adalah pemimpin-pemimpin agama yang dihormati rakyat.92

Kiai harus melindungi sosio-kultural lokal dan mempertahankan kearifan

lokal dan saat bersamaan pula mengawal perubahan tingkat nasional dengan

berbagai cara. Dalam konteks ini, sistem tradisionalisme yang dipertahankannya,

90

Bruinessen menyebutkan, kiai bukan hanya seorang guru tapi jauh dari itu ia juga

pembimbing spiritual seperti memberi nasihat, memimpin ritual penting, dan membacakan

doa. Lihat Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi, 21. 91

Selama pendudukan Jepang, sejumlah kiai menggunakan banyak pendekatan

dalam menyelamatkan umat Islam, melindungi kegiatan keagamaan masyarakat pedesaan,

dan memeliharan kehidupan agamis masyarakat pedesaan yang berlokasi di sekitar

pesantren-pesantren dan kiai-kiai kampung (pemangku masjid dan langgar). Lihat Kholid

Mawardi, Mazhab Sosial Keagamaan NU (Yogyakarta, Grafindo Litera Media, 2006), 109. 92

Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa

Pendudukan Jepang, penerj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 150.

Page 51: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

47

selain digunakan untuk melindungi sosio-budaya masyarakat lokal juga untuk

memenangkan permainan ideologi dan spiritualitas tingkat nasional. Peran penting

inilah yang membuat Jepang di akhir 1942 membuat kebijakan dan kampanye yang

memuji dan menempatkan kiai, ulama, guru-guru ngaji pedesaan dalam posisi

terhormat dan penghargaan yang tinggi.93

Dengan demikian, dalam konteks sosio-

religius, penempatan masyarakat terhadap kiai yang diposisikan sangat mulia

memiliki akar sejarah yang sangat kuat.

E. Kiai dalam Masyarakat Tradisional dan Politik Nasional Kiprah kiai dalam mengubah perilaku sosial politik di tengah-tengah

kehidupan masyarakat Indonesia sudah berlangsung sangat lama. Bersama

pesantren, kiai terus-menerus berusaha memberikan kontribusi dengan

memasukkan nilai-nilai Islam dan moralitas Islam dalam ruang (space) dan medan

(field) kehidupan politik. Pesantren sebagai pendidikan tertua dijadikan sarana

dalam penanaman sistem nilai Islam mampu menciptakan individu-individu agamis

dalam kehidupan masyarakat lebih religius dengan pengajaran yang mengarahkan

pada tafaqquh fî al-dîn (expertise in relgious studies),94

dan kiai sebagai pemimpin

seringkali memberikan pengaruh pada kehidupan sosial politik masyarakat.

Fenomena kemunculan kiai dalam ruang sosial berkembang di Indonesia

sebagai akibat interaksinya dengan struktur masyarakat yang mengelilinya. Kiai

selalu berada di garis terdepan dalam menjaga ideologi masyarakat dan mengawal

arus yang dapat mempengaruhi sosial dan politik masyarakat. Arus terasa amat kuat

mengubah struktur masyarakat dalam beberapa tahun terakhir memang disadari

telah mempengaruhi struktur kognisi kiai dan bahkan menggoyahkan pola

kepemimpinannya sebagai pemegang tunggal otoritas keagamaan. Dengan

perhatian pada bimbingan spiritual dan pendidikan umat, kiai selalu

berstransformasi berusaha hadir dalam ruang publik untuk menyediakan pendidikan

masyarakat, mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau tanggapan emosional

masyarakat, pesantren bisa menjadi pusat pengembangan masyarakat selain pusat

pembelajaran tradisional.95

Dimensi spiritualitas kiai diletakkan dalam posisi saling mempengaruhi

antara unsur individu dan masyarakat Indonesia, sementara fenomena politik

nasional yang melingkupi kehidupan sosial kiai digunakan untuk menggambarkan

93

Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asy‟ari

(Yogyakarta: LKiS, 2000), 98. 94

Kiai berperan menjaga keagamaan santri dan mengajarkan nahwu dan saraf

(Arabic grammer), fiqh (Islamic jurisprudence), usûl al-fiqh (Islamic legal theory), hadith

(prophetic tradition), tafsir (Qur‘anic exegesis), ahklak (ethics), dan tasawuf (Islamic

mysticism). Kelima elemen ini merupakan hal pokok dalam pesantren tradisional Indonesia

yang mengarahkan santrinya tafaqquh fî al-dîn (expertise in relgious studies). Lihat Fuad

Jabali dan Jamhari, eds. The Modernization of Islam in Indonesia: An Impact Study on the

Cooperation between the IAIN and McGill University (Montreal and Jakarta: Indonesia-

Canada Islamic Higher Education Project, 2003), 82. 95

Lihat Martin van Bruinessen, "Indonesia's Ulama and Politics: Caught Between

Legitimising the Status Quo and Searching for Alternatives," Prisma – The Indonesian

Indicator, no. 49 (1990): 56.

Page 52: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

48

medan sosial yang sedang berlangsung. Gerak dinamis sosial masyarakat

merupakan arus yang menghadapkan kiai pada sikap untuk selalu meresponsnya.

Sebagai tokoh agama dan sosial, kiai selalu ditunggu untuk hadir mengimbangi

gerak sosial dengan nilai-nilai ideal dan ajaran Islam.96

Karena selain ajaran Islam

dan simbol-simbolnya, medan politik adalah unsur lain yang mempengaruhi

kehidupan struktur masyarakat.

Spiritualisasi sosial dan politik menguat dalam sistem pemikiran Islam

tradisional sehingga menghasilkan produk-produk pengetahuan keagamaan di

kalangan masyarakat. Berdasarkan temuan Arkoun, angan-angan sosial masyarakat

dunia Muslim dibentuk melalui proyeksi nilai, sejarah, realitas, masyarakat, dan

lingkungan fisik yang dipengaruhi oleh tradisi dalam waktu sejarah yang panjang.97

Dalam masyarakat Arab, wacana agama masih didominasi mitos yang akhirnya

melahirkan pemistikan. Pemikiran-pemikiran keislaman di Arab masih diwarnai

dengan ketegangan antara mitos dan logos yang kemudian memunculkan

logosentrisme. Menurut Arkoun, perilaku-perilaku seperti ini yang membelenggu

dunia Islam menjadi masyarakat terbelakang dalam bidang sosial, politik, ekonomi,

dan budaya.

Studi ini menemukan beberapa hal penting berikut ini. Pertama,

penggabungan paham tradisionalisme dan nasionalisme. Paham tradisionalisme

agama yang dibawakan atau diusung kalangan tradisional NU adalah paham yang

dikonvergensi dengan paham nasionalisme. Kecenderungan ini melahirkan

tradisionalisme tersendiri: satu sisi dapat menunjukkan arti ortodoksi dan sisi lain

memperlihatkan anti penuhnya rasionalisme dan penghormatan berlebihan pada

masa lampau. NU adalah komunitas dengan vitalitas yang cukup untuk menyerap

dan berhubungan dengan perubahan sosial,98

sehingga upaya pengikisan terhadap

tradisionalisme agama ini justru memunculkan manifestasi tradisionalisme agama

itu sendiri di permukaan yang digabung dengan semangat nasionalisme yang

mengagungkan kejayaan masa lampau.

96

Arus sosial masyarakat mempengaruh kiai, pesantren, dan institusi Islam

tradisional telah mengakibatkan sejumlah kia bergerak progresif. Lihat Sidney Jones, ―The

Contraction and Expansion of the "Umat" and the Role of the Nahdatul Ulama in

Indonesia,‖ Indonesia 38 (Oct., 1984): 14, http://www.jstor.org/stable/3350842 (diakses 13

Mei 2016). 97

Mohammed Arkoun, Târikhiyah al-Fikr al-Arabî al-Islâmî (Beirût: Markaz al-

Inma, 1986), 66. 98

NU mulai membangun kesadaran masyarakat Muslim Indonesia tentang betapa

pentingnya kebersamaan dan nasionalisme di kalangan umat Islam sejak akhir 1930 atau

periode awal kedua. Dalam pengembangan lebih lanjut memperlihatkan kepada kita betapa

organisasi besar yang didirikan pada 1926, NU telah berubah menjadi wajah yang dinamis.

Lihat Gustiana Isya Marjani, The Concept of Religious Tolerance in Nahdhatul Ulama

(NU): Study on the Responses of NU to the Government‟s Policies on Islamic Affairs in

Indonesia on the Perspective of Tolerance (1984-1999) (A Thesis of Ph.D The Universität

Hamburg, 2005), 57, http://ediss.sub.uni-

hamburg.de/volltexte/2007/3214/pdf/PDF_Version_of_Content_of_Dissertation.pdf

(diakses 26 September 2016).

Page 53: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

49

Kedua, transmisi ilmu-ilmu keislaman. Kiai memiliki dasar-dasar dan

kekayaan intelektual luar biasa yang dibutuhkan oleh masyarakat Muslim.

Kekayaan intelektualitas ini senantiasa ditransfer dari satu generasi ke generasi

berikutnya melalui lembaga pesantren. Pesantren dengan berbagai kekhasan

terbukti mampu bertahan ke dalam masyarakat yang terus berubah meski dengan

berbagai kritik terhadap lembaga pendidikan tradisional ini seperti kepemimpinan

kiai yang karismatik, tidak menumbuhkan kritisisme, dan pengajaran yang tidak

terprogram, dan lainnya.99

Pesantren mampu menjadi lembaga mapan sebagai basis

transmisi keilmuan, awalnya berada di pedesaan namun dalam beberapa tahun

terakhir mulai tumbuh di daerah perkotaan dengan mobilitas vertikal yang tinggi.

Ketiga, apresiasi pemikiran ulama pertengahan. Kiai sangat mengagung-

agungkan karya ulama-ulama abad pertengahan dengan menjadikannya sebagai

pijakan utama dalam menjawab persoalan sosial politik kekinian. Kiai

menggunakan cara tafsir dalam memahami karya-karya ulama terdahulu sesuai

dengan kepentingan sosial politik masyarakat dan memelihara salah satu dari empat

madzhab hukum Sunni, justru apresiasi ini menjadikan kiai selalu diklaim sangat

lentur terhadap situasi politik dan akomodatif pada perubahan baru yang ditawarkan

alam pikiran modern atau alam pikiran yang didominasi tradisi lokal yang ada.

Bahkan tidak jarang kelompok ini dituduh sebagai pengamal sinkretis, bid‘ah, dan

khurafat.

Kelenturan sikap politik yang diperankan Muslim tradisionalis tampak pada

sejumlah ijtihad politiknya, seperti sikap penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya

asas, pemberian gelar walî al-amri al-darûri bi al-syaukah kepada Sukarno, dan

lainnya.100

Dalam konteks sosio-religius, kelenturan dan keterbukaan kelompok

tradisional ini seringkali diassosiasikan dari implikasi pemahaman teologis yang

dianutnya yang berbeda dengan berbedaan persepsi teologis Muslim modernis,

meskipun dalam banyak hal memiliki akar teologis yang relatif sama. Jika Muslim

tradisionalis merujuk kepada suatu komunitas Muslim yang menganut salah satu

dari empat madzhab hukum Sunni dan cenderung pada praktek-praktek ibadah

sinkretis, sebaliknya kelompok ―modernis‖ tidak mengakui secara apriori prioritas

madzhab apapun dan hanya menganggap al-Qur‘an dan as-Sunnah sebagai sumber

hukum utama. Greg Barton menuturkan, kaum Muslim modernis gagal

menghasilkan generasi baru Islam akibat menolak tradisionalisme Islam, memotong

warisan klasik dan sistem pendidikan Islam. Sementara Muslim tradisionalis

mampu menghasilkan lulusan pesantren yang dapat melanjutkan studi Islam. Meski

99

Transmisi keilmuan ini dimulai dari pendidikan sederhana, langgar. Ketika

semakin banyak pelajar, langgar diubah jadi pesantren untuk memberikan tempat terutama

bagi yang berasal daerah terpencil dan kesulitan transportasi. Lihat Achmad Zainal Arifin,

Charism and Rationalisation, 38. 100

Ketika memutuskan keluarga dari Masyumi pada tahun 1952 karena konflik di

internal partai tersebut, Muslim tradisionalis membangun komunikasi dengan Presiden

Sukarno, bahkan dalam perkembangannya dekat dengan kekuasaan. Lihat Donald J. Porter,

Managing Politics and Islam in Indonesia (London and New York: Rouledge Curzon,

2005), 40.

Page 54: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

50

porsinya kecil tapi signifikan untuk menjadi Islam yang benar (dan bukan hanya

intelektual Muslim).

Sebagaimana seruan berbagai kalangan, mempertentangkan kedua

kelompok ini tidak relevan lagi, karena upaya ini memiliki konsekuensi yang jauh

daripada mempertemukan kesesuaian pemikiran. Perbedaan keduanya sebagian

besar terletak pada gaya, bukan isi, karena pemikiran keduanya bertemu dalam neo-

modernisme.101

Namun, seperti dikemukanan Donald J. Porter, sampai hari ini

afiliasi organisasi tetap menjadi sumber penting dari pembelahan politik antara

Muslim modernis dan tradisionalis.102

101

Greg Barton, ―Indonesia's Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as

Intellectual 'Ulamâ': The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in neo-

Modernist Thought,‖ Studia Islamika 1, no. l, (1997): 65-66. 102

Donald J. Porter, Managing Politics and, 40.

Page 55: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

43

BAB III FORMASI KIAI DALAM MASYARAKAT

TRADISIONAL DAN MODERN Bab IItelah dijelaskanperan kiai dalam proses pembentukan masyarakat

yang religius yang dimulai dari pembentukanpesantren dan penyelenggaraan pembelajaran –peran telahmenjadikannya sebagai sosok berpengaruh.Dalam perkembangannya kiai berperan dalam mengontrol kehidupan dan melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Peran-peran tersebut bersandar pada penguasaan keagamaan (al-‘ulûm al-syar’iyah) yang tidak mudah tergantikan. Otoritas kiai dalam bidang keagamaan dan sosio-kultural secara hierarki membuat kiai memiliki kekuasaan atas masyarakat. Patuah-patuahnya selalu jadi rujukan yang memungkinkan membentuk preferensiajek dalam struktur sosial.Bruinessen menyebutkan, pesantren jadi ikon dunia lembaga tradisional dan kiai adalah representasi guru karismatik yang memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat Jawa dan beberapa daerahlain, mengagumi fiqih mazhab Syafi’i dan ulama terdahulu, menyelenggarakan maulid dan ziarah kubur, dan lainnya.1

Dalam bab inidijelaskan proses pembentukan kiai dalam sosio-kultur masyarakat tradisionalistik. Perhatian diarahkan bahwa penguasaan ilmu-ilmu keislaman kiai ditempatkan sebagai golongan elite yang kuat pengaruhnya dalam struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Kiai memiliki kekuasaan dan kewenangan (power and authority) di lingkungannya. Meski hanya seorang pengajar agama dan pemimpin sosial keagamaan, kedudukannya disejajarkan dengan tokoh-tokoh politik –bahkan melebihi—yang memiliki pengaruh kuat (strong influence) dalam masyarakat pedesaan Jawa dan daerah lainnya. Kedudukan tersebut beriringan dengan kehadiran pesantren yang senantiasa berperan dalam meningkatkan kualitas hidup, perekat masyarakat, dan melahirkan tokoh lokal dan nasional.2

Kepribadian kiaibersumber pada kualitas imanmenjadi magnet untuk melakukan perubahan meskihanya menyelenggarakanpengajiandari suatu tempat ke tempat lain.3 Proses ini mula-mula muncul dari lingkungan kediamannya, lalu menyebar ke tempat-tempat lain yang jauh.Pesantren berdiri awalnya hanya sebuah langgar atau mushalã kecil sebagai sarana ibadah sekaligus mendidik anak-anaknya tentang ilmu-ilmu keagamaan seperti al-Qur’an, Hadîts, akîdah, akhlák, fiqih, sejarah (tãrîkh), dan lain-lain. Pengajarandilangsungkansangat sederhana mampu

1Martin van Bruinessen, What Happenne to the Smilling Face of Indonesian Islam? Muslim Intellectual and the Conservative Turn in Post-Suharto Indonesia(Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies, 2011), 23.

2Hasse J. “Membangun Pendidikan Berkeadaban: Pesantren sebagai Basis dan Pilar Pembinaan,” Jabal Hikmah,Vol. 3 no.1 (Januari 2014): 36, https://s3pi.umy.ac.id/wp-content/uploads/sites/7/2016/08/4.-Hasse-J.pdf(diakses 05-12-2016).

3Edi Susanto, “Krisis Kepemipinan Kiai: Studi atas Kharisma Kiai dalam Masyarakat,” ISLAMICA, Vol. 1, no. 2 (Maret 2007): 112, https://islamica.uinsby.ac.id/ (diakses 09-09-2016). Lihat pula Nuriyati Samatan, “Kontekstualisasi Kitab Kuning: Upaya Membangun Indonesia yang Multikultur,” Pesat-Universitas Gunadarma, Vol. 4 (Oktober 2011): 30, https://publication.gunadarma.ac.id/(diakses 16-02-2017).

Page 56: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

44

mendorongpenduduk sekitaruntuk belajar seiring rutinitas dan popularitasnya.Mushalã lambat laun besar atas sokongan warga sekitar untuk dapat menampung anak-anak desa dan daerah-daerah terpencil lainnya. Peran individual ini memberikan corak bahwa kiai menjadi sosok sentraldalam lingkungannya.Meski pernah mengalami frustasi akibat kolonialisme, karismakiai tidak dapat dicegah oleh kekuatan-kekuatan lain yang memiliki ekspresi politik efektif.4 Tampak bahwa pesantren dan pembelajarannyaberdampak pula pada popularitas dan karismanya.

Penyebutan kiai di Jawa, guru di Malaysia Peninsula, ustadz di Philipina, Kamboja, dan Thailand, dan ãlimbagi seorang asisten keluargakiaiadalah simbol budaya untuk melambangkanseorang pemimpin agama, kiai tradisional yang menjadi figur sentral dalampusat pembelajaran Islam,5 kini telahdilengkapi pondok sebagaitempat tinggal santri dari luar daerah. Pendirian pondok untuk memberikan kenyamanan dan ketentraman santri dalam belajardibangun di samping rumah kiai.Dalam perspektif sosio-antropologis kiai seorang ahli agama (tafaqquh fi al-dîn) untuk melakukan peran-peran keagamaan secara individual bukan struktural. Kiai pemegang ortodoksi Islam dinilaitelah berjasa mempertahankan kemurnian dan tradisional Islam terutama menghalang gerakan pembaharuan kaum modernis.6Otoritas iniselanjutnya berkembang pada signifikansi Islam dalam budaya lokal. Usaha kiai mempertemukan Islam dengan budaya lokal memunculkan wajah tidak dengan muka Islam seluruhnya, melainkan ditambah dengan polesan budaya sehingga masyarakat dan kraton dapat menerima.

A. Sumber Tradisional Kiai

Pesantren telah menjadi lembaga kebanggaanMuslim Indonesia. Dengan beragam corak kelembagaan, sistem pengajaran, dan transmisi keilmuan, pesantrentelah berperan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pesantren berhasil membangun tradisi keilmuan yang terbentang luas mulai zaman klasik hingga zaman modernsecara genealogis tidak terlepas dari pengaruh pemikiran intelektual ulama-ulama Makkah dan Madinah (Haramain). Kiai menempatkan pesantrenberdialektika dengan modernitas dan menjawab perubahan zaman. Khazanahintelektualisme pesantren terbentuk dalam jaringan domestik berskala internasional yangdalam pandangan Feener menempatkan Islam di Nusantara jadi “epicentrum” peradaban Muslim dunia.7

4Kobayashi Yasuko, “Kyai and Japanese Military,” Studia Islamika, Vol. 4, no. 3

(1997): 87, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika (diakses 28-10-2015). 5Noorhaidi Hasan, “Salafi Madrasahs and Islamic Radicalism in Post-New Orde

Indonesia,” dalam Islamic Studies and Islamic Education in Contemporary Southeast Asia, eds. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad and Patrick Jory (Kuala Lumpur: Yayasan Ilmu, 2011), 94.

6Iva Yulianti Umdatul Izzah, “Perubahan Pola Hubungan Kiai dan Santri pada Masyarakat Muslim Tradisional Pedesaan,” Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 1, no.2 (Oktober 2011): 41, www.jsi.uinsby.ac.id/index.php/jsi/article/view/11/8(diakses 15-09-2015).

7R. Michael Feener, “Issues and Ideologies in the Study of Regional Muslim Cultures,”dalam Islamic Connections: Muslim Societies in South and Southeast Asia, eds. R. Michael Feener and Terenjit Sevea (Singapore: ISEAS, 2009), xiv, http://bookshop.iseas.edu.sg (diakses 11-04-2015).

Page 57: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

45

Ada banyakpelajar Muslim terlibat dalam jaringan ulama internasional seperti Hasyim Asy’ari, Bisri Syansuri, Wahab Chasbullah, Wahid Hasyim, Munawir, Ma’shum, As’ad Syamsul Arifin, Ahmad Siddiq, dan sebagainya. Kedatangan mereka mendapat sambutan bukan hanya oleh para ulama Haramain dan negara-negaralainnya, tetapi juga ulama asal Nusantara seperti Ahmad Khatib Minangkabawi, Mahfuz al-Tirmasi, dan Nawawi al-Bantani –guru-guru bereputasi internasional yang ikut andil dalam pembentukan intelektualisme di Nusantara. Mereka membuat peta jalan baru pembentukan tradisi keilmuan dan penguatan pesantren sebagai lembaga tradisional Islam yang tidak hanya membuat populasi jumlah Muslim tetapi juga konsentrasi demografis Muslim sampai timur jauh.Mereka berperan pula dalam penegakan Indonesiaan baruyang menempatkan tokoh agama menjadi simbol perlawanan atau perjuangan mewujudkan kemerdekaan.

Perjuangan kiai melawan kolonialisme secara konsisten dilakukan sehingga memperteguh daya kohesi dan motivasi bagi santri dan masyarakat. Kiai dan pesantren bahkan jadi satu-satunya elemen bangsa yang tidak pernah terjajah kolonialisme, sebaliknyaberada di garda terdepan dalam memompa patriotisme santri dan masyarakat. Sularto menyebutkan,8perjuangan kiai terus berlanjut pada penegakan Pancasila sebagai dasar negara yang tidak berbasiskan agama-agama tertentu (deconfessional ideology). Pancasila yang diperjuangkan kiai jadi rahmat bagi Indonesia yang mengakui seluruh agama dan ideologi yang berkembang (religiously friendly ideology).

1.Kitab KuningMembentuk Keseimbangan

Kiai bukanlah status sosial yang diperoleh melalui serangkaian pendidikan formal selama bertahun-tahun, bukan pula gelar kehormatan atas prestasi-prestasi penelitian yang berdampak pada pengembangan ilmu pengetahuan. Seorang disebut kiai karena pengetahuan keagamaan yang diperoleh dari pengkajiannya terhadap kitab-kitab kuning yang tetap dijadikan sumber utama dalam menjawab sosial-keagamaan. Dengan kata lain, dalam soal otoritas agama, kiai memiliki kekuatan polisentrik yang jadi daya tarik seorang Muslim untuk dipraktikkan dalam berbagai bentuk. Sebutan kiai merupakan keahlian khusus yang diperoleh melalui serangkaian informal. Muhammad Qasim Zaman menyebutkan, seorang kiai memiliki perbedaan-perbedaan dibanding masyarakat umumnya dalam pencapaian pengaruh dan pengukuhan posisinya.9

Kitab kuning atau seringkali disebut “kitab gundul” berisi ilmu-ilmu keislaman dengan cakupan yang sangat luas.10Ditulis ulama-ulama klasik dengan

8St. Sularto, “Sila Pertama: Kesalehan Sosial Bangkrut,” dalam Rindu Pancasila:

Merajut Nusantara (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 11. Lihat pula Syafiq Hasyim, “Pancasila, A Religion Friendly Ideology,” The Jakarta Post, 28 April 2017.

9Muhammad Qasim Zaman, The Ulama’ in Contemporary Islam: Custodians of Change, Cetakan Kesatu(New Jersey: Princeton University Press, 2002), 187.

10Sunarwoto, Contesting Religious Authority: A Study on Dakwah Radio in Surakarta, Indonesia (A Thesis of Ph.D The Tilburg University, 2015), 3, https://pure.uvt.nl/portal/en/publication/contesting-religious-authority(diakses 07-04-2017).

Page 58: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

46

huruf Arab tanpa harakat, titik, dan koma,kitab kuning menjadi bacaan pokok para kiai dan pelajaran penting pesantren-pesantren tradisional yang banyak ditemukan di toko-toko buku (bookshops) seperti di Jakarta, Bogor, Bandung, Purwokerto, Semarang, Surabaya, Banda Aceh, Medan, Pontianak, Banjarmasin, dan daerah-daerah lain. Populer di negara-negara Asia Tenggara keberadaan kitab kuning dapat dipahami bagaimana pemikiran dan dinamika sosial masa lampau berkelindang di tengah-tengah masyarakat menjadi obor setiap sisi kehidupan.Kiai menempatkan kitab kuningsebagai pijakan inspirasidalam melakukan transformasi sosialmasa kini dan masa depan.Burhani menyebutkan, kitab kuning populer di NU sebagai khazanah keilmuan yang layak dipertahankan, dansaat bersamaan Muhammadiyah sudah meninggalkannya bahkan kembalipada al-Qur’an.11

Di masa lalu kitab kuning satu-satunya pengajaran formaldilakukankiai di lingkungan pesantren. Dalam beberapa tahun terakhir, meski pesantren telah memasukkan pengetahuan umum sebagai bagian penting dalam pendidikan pesantren, tetapi pengajaran kitab kuning masih mendapatposisi cukup tinggi. Pengajaran umumnya dimulai dari kitab-kitab sederhana seperti fathu al-qarîb, bidãyat al-mujtahîd, dan lainnya, kemudian dilanjutkan pada kitab-kitab lebih tinggi.Bahkansuatu pesantren mengajarkan jeniskitab yang telah disediakan.Semuakitab diajarkan dapat digolongkanberdasarkan tingkatannya, misalnya tingkat dasar berbeda dengan menengah dan tingkat lanjut. Umumnyaantara satu pesantren dengan pesantren lainnya sama. Pembelajaran inisudah bakuyangberjalan berkesinambungan selama berabad-abad. Setidaknya ada delapan kitab populer di dunia pesantren seperti nahwu dan saraf (morfologi), fiqih, usûl fiqih, hadîts, tauhîd, tasawuf, dan etika, dan cabang lain seperti tãrîkh dan balãghah.12

Pengajaran ini membuat pesantren sebagai pelopor sistem pendidikan di Indonesia. Meskipengajarannya lebih banyak menekankan pada kesadaran kewajiban dakwah, tetapi orientasi ini tetap dinilai sebagai ciri khas pendidikan tradisional yang ditetapkan di luar kurikulum formalnya. Sebagai khazanah Islamkitab kuning jadi rujukan utama bagi pesantren –penyebutan kitab kuning di Indonesia seolah memberikan perbedaan pada stereo-typical Muslim tradisionalis dan modernis yang disebut buku putih—justru membuka wawasan yang

11NU masih kuat memelihara dan menggunakan khazanah kitab kuning, sementara

Muhammadiyah sudah kembali ke kita suci al-Qur’an. Karena itu, epistemologi turãth yang dibangun sejumlah intelektual terutama al-Jabiri (al-bayãn, al-`irfãn, dan al-burhãn) tidak terlalu tepatuntuk membaca tradisi keilmuan di Muhammadiyah karena sufisme yang masuk dalam kategori al-`irfãn merupakan tradisi pinggiran, kalau tidak terabaikan, di organisasi ini. Lihat Ahmad Najib Burhani, “Kitab Kuning dan Kitab Suci: Pengaruh al-Jabiri terhadap Pemikiran Keagamaan di NU dan Muhammadiyah,” Masyarakat Indonesia, Vol. 41, no. 1 (Juni 2015): 27-28, https://ejournal.lipi.goi.id (diakses 16-02-2017).

12Andik Wahyun Muqoyyidin, “Kitab Kuning dan Tradisi Riset Pesantren di Nusantara,” JurnalKebudayaan, Vol. 12, no. 2 (Juli–Desember 2014): 120, www.portalgaruda.org/article.php?article=kitabkuning (diakses 16-02-2017).

Page 59: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

47

membentang luas dalam mencermati perubahan sosial. Pemahaman agama bergerak tidak lagi secara tekstualis namun kontekstual.13

Pertama, sumber utama. Pesantren menempatkan kitab kuning sebagai sarana utama menyelesaikan masalah-masalah umat Islam dan merespons persoalan-persoalan kemasyarakatan dan ketatanegaraan. Kitab kuning selalu digelorakan dalam berbagai forum penting seperti bahtsul masâil, penetapan fatwa, dan lainnya yang jadikajian atas berbagai masalah dengan basis rujukan dan perspektif.14 Forum bahtsul masâil jadi instrumen untuk mengembangkan berpikir kritis dan progresifNU berkaitan dengan masalah sosio-masyarakat dan negara yang menempatkan kitab kuning sebagai sumber menyelesaikan masalah, berdebat, dan kemudian mengeluarkan "fatwa".

Kedua, kontekstualisasi. Pembelajaran kitab kuning dilakukan dengan cara membaca, menerjemahkan, dan menjelaskan isinya juga disertai kajian dengan pola kontekstualisasi. Yudi Latif menyebutkan,15sejumlah kiai menjalankan pembelajaran dengan memakai metode usûl fiqih, menolak kurikulum dan pendidikan Barat,dan saat bersamaan mengenalkan gagasan-gagasantokoh modernis untuk menumbuhkan benih-benih baru “ulama-intelek” seperti Jamal al-Din al-Afgháni, Rasyid Ridhá, Muhammad ‘Abduh, dan tokoh kontemporer lainseperti Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Hassan Hanafî, Mohamed Arkoun, dan Fazlur Rahmán. Merespons modernisme Barat,misalnya, kiai menghadapkannya dengan penguatan Islam asli (Islamic indigenisation), sementara kiai reformis menghadapi dengan Islamic autheunticisation.

Ketiga, wacana Islam. Kitab kuning sebagai sumber utama pembelajaran di pesantren dijadikan model pengembangan Islam. Meski menggunakan sorogan, bandongan, dan wetonan, pembelajaran kitab kuning menjadi cikal bakal untuk reproduksi dan dominasi wacana keislaman. Selama hampir 20 tahun gagasan intelektualisme Islam dan wacana keberagamaan di Nusantara tidak terlepas dari kitab kuning yang ditempatkan istimewa. Kitab kuning memainkan peran penting dalam studi Islam karena di dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang oleh para kiai perlu dieksplorasi lebih jauh untuk menjawab berbagai masalah.16

13A. Sunarto AS, “Paradigma Nahdlatul ‘Ulama terhadap Modernisasi,” Jurnal

Sosiologi Islam, Vol. 3, no.2 (Oktober 2013): 57,https://jsi.uinsby.ac.id (diakses 01-10-2015).

14Robin Bush and Budhy Munawar-Rachman, “NU and Muhammadiyah: Majority Views on Religious Minorities in Indonesia,” dalam Religious Diversity in Muslim-Majority States in Southeast Asia: Areas of Toleration and Conflict,eds.Bernhard Platzdazh and Johan Saravanamuttu (Singapore: ISEAS, 2014), 33.

15Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of Its Emergence in the 20th Century (Thesis of Ph.D The Australian National University, 2004), 87-88. Lihat pula Mona Abaza, “Asia Imaginated by the Arabs,” dalam Islamic Studies and Islamic Education in Contemporary Southeast Asia, eds. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad dan Patrick Jory (Kuala Lumpur: Yayasan Ilmu, 2011), 17.

16Azyumardi Azra, “From IAIN To UIN: Islamic Studies in Indonesia,” dalam Islamic Studies and Islamic Education in Contemporary Southeast Asia, eds. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad and Patrick Jory (Kuala Lumpur: Yayasan Ilmu, 2011), 48-49.

Page 60: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

48

Pembelajaran kitab kuning tidak terlepas dari pengaruh intelektual Haramain dan Hadramaut, tempat di mana banyak para pemimpin pesantren belajar. Ulama-ulama tersebut secara eksplisit berperan besar dalam pembentukan pola pikir dan perilaku masyarakat Nusantara. Seiring masuknya Islam di Nusantara,pengajaran kitab kuning diselenggarakan dalam jumlahsangat banyak baik matan, syarah, maupun hasyiyah.17 Pesantren umumnya menempatkan kitab kuning mu’tabarah madzhab Syafi’i seperti Taqrîb atau Fathul al-Qarîb, Safînat al-Najjâh, Sullâm al-Tawfîq, al-Sittîn Mas’alah, Minhâj al-Qawîm, al-Hawâsyî al-Madaniyat, al-Iqnâ’, dan Fath al-Muîn. Begitu juga di bidang tauhid dipelajari umumnya pemikiran Asy’ariyah,18yang berisi sifat wajib, mustahil, dan ja’iz Allah seperti al-Aqâ‘id al-Subrâ, ‘Aqîdah al-Syamsyiah, Matn al-Jawharât, Matn al-Bajûrî, dan al-Kharidât al-Baliyât, Jauhar al-Tawhîddan lainnya. Kitab-kitab tersebut dijadikan dasar utama di kalangan kaum tradisionalis yang pengajarannya dilakukan secara berjenjang dari suatu kitab ke kitablainnya, baikuntuk pendalaman ‘ubudiyah, tauhid, maupun lain.

Para kiai menempatkan kitab-kitab ini sebagai dasar mengembangkan masyarakat mulai spiritualitas, moderatisme, hingga kebebasan beragama–beberapa pengetahuan dibutuhkan masyarakat Indonesia sebagai penduduk Muslim terbesar di dunia, kira 88% atau 230 milliar.19 Tradisi keagamaan Nusantara dipijakkan di atas kitab kuning merupakan keunikan sekaligus keistimewaanbahwa pesantrentelah dijadikan sebagai penentu dalam membentuk karakter Muslim di Indonesia di era global dan dunia modern.20 Meski ditulis puluhan abad silam, pembelajaran kitab kuning di pesantren-pesantren Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan lainnya telah membentuk tradisi keilmuan dalam khazanah keberagamaan Nusantara yang diakui masyarakat dunia.

Perjuangan kiai membangun tradisi keilmuan Nusantara dilakukan dengan cara: indigenisasi dan kontekstualisasi. Indigenisasi merupakan usaha menghadirkan budaya lokal sebagai adopsi formal yang diperlukan jika Islam bagian integral dari kehidupan Muslim bukan mengisolasi dari

17NU menjadikan fiqih sebagai dasar pendekatan menghadapi nilai-nilai dan

budaya-budaya perbedaan dalam realitas sosial yang terkadang membuat kritis, fleksibel, dan bahkan terkesan oportunis. Firman Noor, Institutionalising Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of Internal Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008) (A Thesis of Ph.D The University of Exeter, March 2012), 77.

18Husnul Yaqin, “Shaykh Muhammad Arsyad Al-Banjari’s Thought on Education,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 05, no. 02 (December 2011): 343, https://jiis.uinsby.ac.id (diakses 28-10-2015).

19Naoki Yamamoto, “Field Studies on Sufi Practices in Kudus, Central Java,” Al-Jāmi‘ah 51, no. 2 (2013): 4, http://aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/160 (diakses 08-02-2017).

20Ronald A. Lukens-Bull, “Two Sides of the Same Coin: Modernity and Tradition in Islamic Education in Indonesia,” Anthropology & Education Quarterly, Vol. 32, no. 3 (Sep., 2001): 352, http://www.jstor.org/stable/3195992(diakses 24-10-2015).

Page 61: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

49

realitas..21Kontekstualisasi (tasyqîq) merupakan upaya menyemarakkan gelombang intelektual Islam sebagai kekayaan tradisi dalam lingkungan masyarakat yang menempatkan sufisme sebagai pembelajaran Islam moderat. Bahwa sufisme berkontribusi pada eksistensi pengajaran Islam moderatyang menempatkan kitab-kitab tersebut terus diminati Muslim tradisional dalam menjawab persoalan-persoalan kekinian atau menghadapkannya dengan realitas sosio-masyarakat. 2. TarekatMemelihara TradisiKeagamaan

Islam masuk ke Nusantara tidak terlepas dari peran penting tarekat.Dengan berbagai bentuk variannya,tarekat yang lebih menonjolkan akhlaki dan amali berhasil menstimulus Islam jadi gerakan sosial yang mempengaruhi paham-paham keagamaan lokalbahkan menjadikan satu-satunya wilayahberpenduduk Muslim dominan di dunia. Secara historis, fenomena saudagar Muslim di Nusantara memberikan sinyalemen bahwa Islam tersebar bukandengan jalankekerasan atau peperangan, sebaliknya melalui jalan damai mempertegas peran penting tarekat. Bruinessen menyebutkan, tarekat dalam sosal-keagamaan telah jadi gerakan dominan baik individual maupun organisasisetelah memperoleh pengakuan pemerintah.Gerakan para saudagar Muslim sekaligus penganut ajaran-ajaran sufi ini mempengaruhi corak keislaman Nusantara.22

Para saudagar Muslimbukanlah satu-satunya golonganpada pusatperdagangan Nusantara. Sepanjang abad ke-12saudagar Muslim telah mendominasi dan tercatat memiliki hubungan dengan Kerajaan Sriwijaya, Champa, dan Quan-zhou. Perkembangan ini dipengaruhioleh kebijakan politik-ekonomi China selatanyang memperluasperdagangan maritim Hokkien ke Asia Tenggara dan ke timur laut Asia Chang Pin-tsun. Kebijakan China selatan inimemberi dampak pada kebangkitan perdagangan:perimbangan kekuatan dagang antara China-Barat-Arab di pusat-pusat perdagangan.Pada akhir abad ke-10 beberapa Hokkien ketika bepergian ke Asia Tenggara menaiki kapal-kapal Muslim,dan memasuki abad ke-11 menjadi kekuatanyang layak diperhintungkan.23

Keberadaan para saudagarmemberi arti cukup penting tidak hanya tingkat sosial masyarakat, tetapi jugapada tingkat eliteyang memiliki wibawakuatdi masyarakat. Sebagaimana peran saudagar Muslim di Afrika,24penguasaan pasar

21Suratno, “The Flowering of Islamic Thought: Liberal-Progressive Discourse and

Activism in Contemporary Indonesia,” Irasec’s Discussion Papers #8 (February 2011): 4, https://hal.archives-ouvertes.fr.hal-006 (diakses 26-09-2016).

22Martin van Bruinessen, “Saints, Politians and Sufi, Bureaucrats: Mysticism and Politics in Indonesia’s New Order,” dalam Sufisme and Modern Islam in Indonesia, eds. Martin van Bruinessen and Julia Day Howell (New York: LB. Tauries & Co Ltd, 2007), 101, www.ibtauris.com (diakses 29-04-2016).

23Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900-1300 CE,” Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 40, no. 2 (June 2009): 229-230, http://www.jstor.org/stable/27751563 (diakses 09-03-2015).

24Kehadiran pedagang Arab dan Swahili memainkan peran signifikan atas kehadiran Islam dalam konversi masyarakat dan penguasa di Afrika. Lihat Viera Pawliková-Vilhanová, “Rethinking the Spread of Islam in Eastern and Southern Africa,”

Page 62: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

50

domestik dan internasional memberi kesempatan luas bagi mereka untuk berkiprah dalam bidang sosial-keagamaan. Konsekuensinya para penguasa Hindu-Buddha secara bertahap mulai menerima Islam baik secara politik maupun sosial.Begitu juga masyarakatdi akar rumput. Bahkan para penguasajadi jangkar bagi saudagar Muslim untuk menjalankan bisnis, memperkuat sosial keagamaan, menyebarkan sufisme, dan penguatan politik. Tidak ada catatan resmi konversi ini, namun, sebagaimana disebutkan R. Michael Feener dan Anna M. Gade, peranWalisongo yang pengaruhnya meliputi Timur Bali, Lombok, Makassar, Bugis, dan Bimamemberikan sinyal tentangpenguasa yang jadi mitra dalam penyebaran agama. Sejak abad ke-15 Islam berhasil mengintegrasi dalam berbagai institusi termasuk politik, pendidikan, dan lainnya, mulai masuk ke Kalimantan, Buton, dan lainnya.25

Javad Haghnavaz menyebutkan, setelah Islam mulai menyebardi Sumatera Utarapada abad ke-12segera kerajaan-kerajaan Muslim didirikan di Jawa, Sumatera, dan daratan Malaysia. Meskipun Dunia Melayu mengalami kolonisasi, Islam menyebar di wilayah yang mencakup Indonesia saat ini, Malaysia, Philipina Selatan dan Thailand Selatan, dan masih berlanjut di pulau-pulau yang lebih jauh ke timur.26Mereka tidak mengklaim sebagai kekuasaan yang secara politik diturunkan dari Makkah,namun, sebagaimana Makkah di Saudi Arabia, Demak menjadi salah satu kerajaan yang terpusat di pesisir dengan kekuatan politik dan perdagangan telah menjadi pusat ritual Islam di Jawa.

Secara historis, para pembawa Islam di Nusantara selainmemainkan peranan dalam bidang perdagangan, mereka datang ke pusat perdagangan Nusantara untukmenjual barang-barang dagangan sekaligus membeli hasil kekayaan bumi Nusantarajugamengenalkan ajaran sufi.27 Mereka mengenalkan pesan-pesan keagamaan kepada siapa saja yang bertemu baik dalam konteks transaksi jual beli maupun bertemudisuatu persinggahan. Dengan kata lain, mereka dituntutmenyesuaikan diri secara individu atau kelompok dengan keadaan, dengan penduduk lokal di mana ada proses kreativitas dan negosiasi dalam memasarkan Islam dengan jalan damai bahkan tidak jarang memadukan dengan budaya-budaya lokal.

Asia Tenggara secara luas dianggap sebagai sumber komoditas penting, China dan Barat, seperti rempah-rempah, produk hutan eksotis (misalnya kayu cendana,

Asian and African Studies, 79 (2010): 139, http://docplayer.net/27025795-Rethinking-the-spread-of-islam-in-eastern-and-southern-africa.html (diakses 10-05-2017).

25R. Michael Feener and Anna M. Gade, “Patterns of Islamization in Indonesia: A Curriculum Unit for Post-Secondary Level Educators,” Cornell University Southeast Asia Program Outreach (1998): 13 https://seap.einaudi.cornell.edu>files (diakses 08-02-2017).

26Javad Haghnavaz, “A Brief History of Islam (The Spread of Islam),” International Journal of Business and Social Science, Vol. 4 no. 17 (Special Issue – December 2013): 215, www.ijbssnet.com (diakses 12-05-2017).

27In Indonesia, there is a deeply rooted belief that the nine Islamic Sufi saints (called Wali Songo in Indonesian) played a significant role in the spread of Islam in Indonesia. This signifies that Sufism has been widely accepted among Indonesian Muslim society. Lihat Naoki Yamamoto, “Field Studies on Sufi Practices in Kudus, Central Java,” (2013),Center for Integrated Area Studies, Kyoto University, http://www.iasu.kyoto-u.ac.jp/ (diakses 08-02-2017).

Page 63: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

51

dan burung tropis), timah, perak, dan emas... Pasar Asia Tenggara cukup penting sehingga tekstil India diproduksi sesuai dengan spesifikasi Asia Tenggara, seperti potongan kain ritual panjang yang digunakan oleh penenun Gujarat dengan spesifikasi (ukuran dan desain) masyarakat Toraja di kepulauan Indonesia bagian timur.28

Tarekat berorientasi amaliahmemberikan andil dalam penerimaan Islam secara luas oleh masyarakatNusantara yang dikenal religius dan memegang teguh budaya. Tarekattelah jadi kekuatan corak pemikiran di dunia Islam dan dominasi ritual-ritual keagamaan yang diminati mayoritas pendudukan Nusantara. Dominasi itu tampak pada artefak-artefak yang menjadi jejak peninggalan pembawaseorang pengamal dan penggiattradisi keagamaan ini. Transmisi tradisi keagamaan ini dilakukan dengan penerbitan buku-buku yang menjadi pegangankaum tradisional bahkan dalam perkembangannya dilembagakandalam bentuk organisasi keagamaan, Jam’iyyah Ahl al-Tharîqah al-Mu’tabarahpada tahun 1950-an.Sejak 1970-an ajaran-ajaran tarekatsemakin menonjol di kalangan Muslim tradisional.Meskimenjadi sasaran kritik kaum modernis dan reformis, menurut Bruinessen,29tarekat merupakan ortodoksi keagamaanyangmeneguhkan satu ruang keyakinan tentang sebuah jalan kebenaran.Melakukan pembaruan dengan kembali kepada ideologi dasar, al-Qur’an dan al-Sunnah, tidaklah berarti meninggalkan tarekat atau tasawuf, bahkan ajaran-ajaran inilahjustru jadi jalan yang dapat membimbing menuju jalan Tuhan.30

Pengaruh saudagar Muslim mendorong lahirnya kelompok-kelompok masyarakat dan organisasi-organisasi tarekatturut mempengaruhi penyebaran Islam di Nusantara. Kiprah mereka telah meneguhkan lahirnya corak Islam di Nusantara yang bersifat sufistikdarigerakan penguasaan pasar domestik dan internasional hingga gerakan kebangkitan kesadaran keberagamaanbidang pendidikan, ekonomi, dakwah, sosial, dan politik.Organisasi tarekat menjadi wadah perkumpulan kaum Muslim untukpenguatan tradisi keagamaan, zikir, baik diamalkan secara individu maupun berjamaah. Perkembangan selanjutnya, tarekat melembaga dalam bentuk lembaga pendidikan pesantren. Hal ini terjadi, karena pengasuh pesantren jadi bagian penting dari tarekat sendiri.

28Kenneth R. Hall, “Local and International Trade and Traders in the Straits of

Melaka Region: 600-1500,” Journal of the Economic and Social History of the Orient, Vol. 47, no. 2 (2004): 237, http://www.jstor.org/stable/25165035 (diakses 21-04-2015).

29Bruinessen menyebutkan bahwa tarekat yang berkembang ada dua: (1) tarekat lokal yang ajaran-ajarannya didasarkan pada amalan-amalan guru tertentu seperti Tarekat Wahidiyah di Jawa Timur, dan (2) tarekat transnasional yang jadi cabang dari gerakan sufi internasional seperti Tarekat Qadiriyah dan Naqsabadiyah. Lihat Martin van Bruinessen. Thariqat Naqsabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), 16.

30Tarekat secara bahasa jalan raya (road) atau jalan kecil (gang, path), yang berarti metode atau cara khusus untuk mencapai tujuan. Secara terminologi, tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan begitu tarekat menunjuk suatu metode dalam membimbing seseorang mengenal Tuhan. Lihat Mirce Aliade ed. The Encyclopedia of Islam, Vol. 4 (New York: Macmilan Publishing Co., 1987), 342.

Page 64: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

52

Tradisi tarekat jadi fenomena berkembangnyastruktur keislaman Nusantara sejakWalisongo, Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri,31dan ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkilî. Dalam konteks ini, tarekat secara mudahmengorganisir diri menjadi gerakan massa berdasarkan doktrin-doktrin keagamaan kemudianberubah menjadi kekuatan sosial, ekonomi, dan politik seperti terlihat pada peristiwa pemberontakan petani Banten pada tahun 1888 M—pemberontakanini dilatarbelakangi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah Kolonial Belandayangrepresif, menindas, dan menyuburkan ketidakadilan atau dalam pandangan. Bruinessen menyebutkan, pemberontakan muncul sebagai sentimen anti-kolonial dan penyebaran tarekat yang berkombinasi menjadi gerakan ekonomi dan politik.32

Tarekat menekankan kesetiaan dan kepatuhan para murid kepada guru, sebagaimana kepatuhan secara ketat kepada syari’at Islam dan mengamalkannyabaikbersifat ritual maupun sosial dalam lingkungan pesantren menjadi fundamental dan asasi.Dengan begitu, sebagai lembaga kesalehan individual dan eksklusif,tarekat kemudian dapat terinduksi dalam sebuah institusi keagamaan yang ajek dalam bentuk pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik. Transformasidari amaliah-amaliah kepada struktural-fungsional institusi keagamaan merupakan manifestasi dari kebutuhan untuk mengaktualisasi doktrin-doktrin keagamaan lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari. Institusi keagamaan ini menjadi garansi keberlangsungan tradisi keislaman di Nusantara sebagaimana Sinkilîkepada murid-muridnya.33 3.PesantrenMerawat Karakter Sosial

Pesantren selama ini lebih dikenal sebagai warisan tradisional daripada sebagai kekuatan sosial yang mengiringi sejarah berdirinya Republik Indonesia. Pesantren selalu dikonotasikan sebagai lembaga kaum tradisional yang berusaha berkontribusi pada sebuah negeri yang kini berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Proyek Islamisasitidak terlepas dari kekuatan sosial yang dibangun pesantren –yang dalam bahasa Abdurrahman Wahid disebut sub-cultureIslam34—tidak sekadar

31Fadlullah al-Burhanpuri tokoh sufi Nusantara: pengamal dan penganjur ajaran

Syatariyah sebelum ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkilî, pengarang Tuhfat Al-Mursalát Ilá Ar-Rûh An-Nabî, sebuah karya relatif pendek tentang “Wahdat al-Wujûd”. Fadlullah al-Burhanpuri, Ahmad al-Qusyasyi, dan Ibrahim al-Kurani sama-sama berguru pada Wajihuddin, kedua tokoh sufi terakhir kemudian menjadi guru ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkilî.

32Martin van Bruinessen, “Shari'a Court, Tarekat and Pesantren: Religious Institutions in the Banten Sultanate,” Persee, Vol. 50 (1995): 165 dan 176, http://www.persee.fr/web/revues/home/prescript/article/arch_00448613_1995_num_50_1_3069, DOI: 10.3406/arch.1995.3069 (diakses 10-04-2017).

33Murid-murid Sinkili seperti Daud Rumi dan Burhan al-Din (Minangkabau), Abdul Al-Muhyi (Jabar), Abdul Malik bin Abdullah (Melayu), Yusuf Tajul Khalwati (Sulsel). Lihat Syamzan Syukur, “Kontroversi Pemikiran ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkilî,” Jurnal Adabiyah, Vol. XV, no. 1 (2015): 77, https://journal.uin-alauddin.ac.id/ index.php/adabiyah/article/view/692 (diakses 13-03-2017).

34Abdurrahman Wahid, Pergulatan Agama, Negara dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara, 2001), 135. Lihat pula Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur” dalam Pesantren dan Pembaruan, ed. Dawam Raharjo (Jakarta: LP3ES, 1995), 39-60.

Page 65: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

53

menyelenggarakan institusi pendidikan tetapi juga memainkan peran penting dalam sosial-politik-ekonomi.

Keterlibatan pesantren sebagai penyelenggarapendidikan untuk pemberdayaan masyarakat dan menyebarkan ajaran-ajaran agama, dan saat bersamaanmenjadi kekuatan sosial.Peran-peran tersebut dijalankansecara bersamaan tanpa andil pihak luar. Satu per satu pesantren memiliki komitmensama,membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan pengetahuan dan membangun kekuatan sosial. Pesantren tumbuh dan berkembang tidak mengikuti sistem baku sebagaimana lembaga pendidikan umumnya, melainkan menjadi lembaga yang tumbuh bersama masyarakat, menjawab persoalan-persoalan masyarakat. Pesantren bukanlah bagian dari kekuatan politik dan kekuasaan, tetapi mengikuti pola-pola yang ditentukan sendiridan melangkah bersama masyarakat yang jadi tanggungjawabnya dengan segala konsekuensinya.

Independensi pesantren jadi ciri uniksecara sosio-antropologis. Dalam pesantren terdapat pola kehidupan yang dianut dan ditaati sepenuhnya oleh para santri yang berbeda dengan pola kehidupanmasyarakat umumnya. Perbedaannya mulai dari cara hidup, pandangan hidup, hingga tata nilai yang secara alamiah lahir dari proses penanaman nilai-nilai, yang kemudian mempengaruhi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Dari segi fisik keberadaan masjid, pondok, dan rumah tinggal kiai memperlihatkan tata kehidupan yang khas untuksebuah masyarakat agama (religious community). Posisi pondok dan rumah kiai mencerminkan komunikasi horisontal di atas kekeluargaan cukup dekat. Komunikasi inidiperkuatposisi masjid yang jadi sarana membangun interaksi, melakukan pengajaran, dan membangun tradisi keagamaan.35

Kepemimpinan unik ini teraktualisasi dalam proses interaksi informal seperti shalat berjamaahdan pengajarankitab kuning –suatu pengajaran yang lebih menekankan tradisionalistik: pemaknaan dan hafalan huruf demi huruf atas suatu kitab kuning. Keberadaan pondokmemiliki peran sangat penting dalam pengajaran di pesantren sebagaimanazawiyah (Arab) atau khanaqah (Persia) yang didirikan para sufi dalam membentuk kesadaran agama dan mengajarkan masyarakat di Afrika Timur dan Barat, di Asia Selatan dan Asia Tenggara.36Kepemimpinan pesantren dibangun di atas kearifan lokal dan khazanah budaya yang dipelihara selama berabad-abad.37

Interaksi ini terus berlanjut pada pengajaran formal yang dalam beberapa tahun terakhir sejumlah pesantren mengadopsi sistem/model pendidikan kelas. Bentuk-bentuk klasikal dimulai dari tingkat Raudhatul Athfal (RA), Madrasah

35Bambang Budiwiranto, Pesantren and Participatory Development in Indonesia

(Thesis of Master Degree The Australian National University, 2007), 20, www.jiis.uinsby.ac.id>JIIS>article>view (diakses 05-12-2016).

36Diane L. Moore and all, eds. “Islam,” Pluralism Project and Religious Literacy Project “Harvard University” (2016): 8, www.pluralism.org/ocg (diakses 10-05-2017).

37Achmad Zainal Arifin, Charisma and Rationalisation in a Modernising Pesantren: Changing Values in Traditional Islamic Education in Java (Thesis of Ph.D The Western Sydney University, 2013), 38, http://researchdirect.westernsydney.edu.au (diakses 24-10-2015).

Page 66: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

54

Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA).Bahkan belakangan ini beberapa pesantren mulai memasukkan sistem pendidikan umum seperti TK, SD, SMP, dan SMA. Model pendidikan klasikal baik madrasah maupun sekolah menyesuaikan dengan tuntutan zaman dan penyerapan nilai-nilai baru tanpa menghilangkan sistem dan corak tradisionalisme.

Adopsi sistem klasikal beserta kurikulumnya sebagai respons terhadap perkembangan ilmu pengetahuannamun pada saat bersamaan mempertahankan budaya memahami kitab kuning. Kondisi ini telah membuat diaspora pesantren di tengah usahamempertahankan eksistensinya untuk terusberkontribusisesuai perkembangan zaman.Transformasi pesantren ini berimplikasi positif terhadap mobilitas sosial santri.Sebagaimana terlihat dalam dua dasawarsa terakhir ini,santri dapat berperan dalam berbagai bidang kehidupan, lembaga-lembaga modern dan pemerintahan.38

Dalam konteks ini kita dapat memahami pesantren sebagai lembaga tradisional selainselalu di garda depan menjaga dan merawat tradisionalisme Islam,pesantrenjuga luwesdalam menyikapi perkembangan zaman. Dinamikasosial tidak serta mempengaruhi kondisi internal pesantren sendiri,bahkan dalam beberapa fenomenajustru menjadi sumbu utama untuk sebuah perubahan sosial, budaya, dan keagamaan. Perubahanselalu bergerak berdasarkan suara dan arah mata angin yang lahir dari pesantren.Jadi, selain mempertahankan tradisionalisme sebagai basis perjuangan keislaman, kiai juga menjadikan doktrin-doktrin keagamaan sebagai ajaran dinamis dan saat bersamaan ilmu pengetahuan dijadikanbasis keindonesiaan yang melampaui lingkungan masyarakatnya.39

Tradisionalisme pesantren berdiri di atas tiga hal penting: pesantren sebagai lembaga pendidikan meniscayakan sebuah sistem dan pola pengajaran kitab-kitab kuning sebagai sumber keislaman;pesantren sebagai transfer ilmu pengetahuan umum yang memungkinkan para santri dapat berinteraksi dengan lembaga-lembaga modern dan memiliki akses ke lembaga-lembagapemerintahan;dan pesantren sebagai lembaga dakwahyang senantiasa melakukan internalisasi nilai-nilai Islam di tengah masyarakat.Sejak pra-kolonialisme, peran-peran tersebut jadi porosnyasehingga menempatkan pesantren berkelindang dalam perkembangan zaman. Kiai aktif dalam berbagai kegiatan sosial-keagamaan untuk menyampaikan kesalehan dan mendengar keluh kesah masyarakat.

Muhammad Zuhdi menyebutkan,40 kiai memiliki otoritas penuh untuk menentukan nilai-nilai yang layak berkembang dalam masyarakat pesantren,

38Syamsul Arifin, “Pesantren sebagai Saluran Mobilitas Sosial: Suatu Pengantar Penelitian,”Vol. 13, no. 1 (Januari – Juni 2010): 53, http://ejournal.umm.ac.id/index. php/salam/article/view/453 (diakses 27-01-2016).

39Ubaidillah Achmad, “Islam Formalis Versus Islam Lokalis: Studi Pribumisasi Islam Walisongo dan Kiai Ciganjur,”ADDIN, Vol. 10, no. 1 (Februari 2016): 248-249, https://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/download/1136/1065(diakses 26-05-2017).

40Pemerintah perlu mengawasi dan mengintervensi kurikulum lembaga pendidikan Islam yang memungkinkan murid-muridnya jadi lebih berkualitas dan berkompetisi di era baru, ASEAN Economic Community, bukan kurikulum yang membawa murid memiliki ideologi negatif. Lihat Muhammad Zuhdi, “Islamic Education in Southeast Asia in the Era

Page 67: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

55

mengintervensi kurikulum pesantren sesuai dengan karakteristik Nusantara termasuk kewarganegaraan dan ideologi Pancasila. Dengan demikian, kiai jadi sosokkarismatik (charismatic leader) yang memiliki kemampuanmengerjakan sesuatu yang tidak dikerjakan masyarakat umumnya. Peran-peran kiai telah menjadikannya sebagai elite minoritas (minority elite) yang kreatifmemberikan solusipersoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat dan menanamkan doktrin-doktrin keagamaan.41

Karisma memberikan ruang suatu kuasa dan singgasanapada kiai paling tidak dalam tafsir hegemonik, penafsir tunggal terhadap doktrin-doktrin keagamaan dan menjelaskan persoalan kebangsaaan. Kiai adalah patron dalam setiap pola pikir dan sistem kepercayaan masyarakat setempat. Ruang peran seperti inimembentuk status sosialkiai di mata masyarakat yang kemudian menggiring untuk mengikrarkan “kesetiaan” dalam tata sosial sehari-hari. Meski beberapa kalangan mengkritik dan menyerang patronase kiai, misalnya dinilai melakukan pemasungan berpikir (cultural oppression), melakukan perimbangan kekuatan pesantren, dan lainnya, keberadaan kiai tetap tokoh berdiri mengembangkan dasar-dasar keagamaan dan memperkuat fondasi-fondasi keindonesiaan –transformasiini didasarkan otoritas keagamaan (religious authority) dan kekuasaan karismatik (charismatic powers).42

Pesantren merupakan anti-thesaterhadap pendidikan kolonialis.Pendidikan kolonial terkonsentrasi di perkotaan untuk mencetak pegawai-pegawai rendahan untuk kelangsungan kolonialisme di Indonesiasesuai ciri khas perkotaannya, pesantren berada di pedesaan untuk mencetak generasi-generasi muda memiliki kecintaan terhadap agama danTanah Air.43Politik etis berlangsung pada awalabad ke-20 merupakan strategi untuk menghilangkan peran pesantren dan kiai,yang salah satunyamenumbuhkan sekolah-sekolah umum. Kondisi ini menumbuhkan tingginya solidaritas pesantren. Mereka selalu mencurigai segala hal yang datang dari dunia luar. Solidaritas kaum tradisionalis ini tidak dijumpai dalam budaya kaum modernis yang berkarakter metropolitan.

Saat kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa, Demak, mengalami gejolak politik luar biasa karena strategi politik devide et empira kolonialis, pesantren tidak mengalami dampaknya.44 Pesantrensenantiasa menjalankan pemberdayaannya.

of AEC: Prospects and Challenges,” JICSA, Vol. 03, no. 02 (Dec. 2014): 8-10, https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jicsa/article/view/779(diakses 26-05-2017).

41Gary Dickson, “Charisma, Medieval and Modern,” Religions, 3 (2012): 766, www.mdpi.com/journal/religions, DOI: 10.3390/rel3030763 (diakses 10-05-2017).

42Frédéric Volpi and Bryan S. Turner, “Making Islamic Authority Matter,” Theory, Culture & Society, Vol. 24, no. 2 (2007): 8, http://tcs.sagepub.com, DOI: 10.1177/0263276407074992 (diakses 10-05-2017).

43Rachmad Hidayat, “Santri, Kyai, and Ulama: Framing Masculinities within Indonesia Religious Elites,” ResearchGate (August 2011): 5, https://www.researchgate.net/ publication/313644523 (diakses 13 February 2017).

44Kerajaan-kerajaan dan negara-negara Islam merupakan upaya sungguh-sungguh untuk menerapkan ajaran-ajaran dasar al-Qur’an, sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW. Lihat Anwar Mujahidin, “Kontribusi Tafsir al-Qur’an terhadap Pragmatisme Politik Indonesia (Studi terhadap Tafsir al-Misbáh Karya M. Qoraish Shibah),” Annual

Page 68: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

56

Ketika kekuatan kerajaan-kerajaanIslam mulai redup dan makin terseret dalam jebakan kekuasaan kolonialis, pesantren justru mengambilalih peran kontrol sosial dalam melindungi masyarakat –pesantren mengubah dirimenjadi kekuatan penyeimbang melawan penjajah, menjadi pusat pelatihan jiwa-raga, menyusun kekuatan baru,dan mengembangkan strategi bersama rakyat.Pesantren awalnya jadi lembaga menanamkan iman, menyebarkan ilmu dan amal, dan mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari, kemudian berubahsebagai kekuatan baru yang selalu dicurigai kaum penjajah.

Abdurrahman Wahid mengatakan,45tradisi pesantren memungkinkan terbangunnya hierarki kekuasaan antara kiai dan santri-santrinya. Kiai memiliki otoritas yang memungkinkannya kekuasaan atas kehidupan santri sepanjang hidup. Hubungan batin antara kiai dan para santrinya setidak-tidaknya terjalin dalam bentuk sumber inspirasi dan bantuan moral bagi kehidupan individu mereka. Dari ini terlahir budaya tawadlu’, budaya cium tangan, menundukkan kepala saat berbicara, dan minggirnya santri saat kiai berjalan –sebuah budaya yang memungkinkan terciptanya budaya semi feodalsekaligus karakter sosial. 4. MadrasahMempertahankan Tradisi Keilmuan

Sejumlah pendidikan Islam dewasa ini berusaha membangun strukturkeilmuan berdasarkan wawasan etikumat Islamabad pertengahan. Pendidikan Islam secara umum memiliki pandangan sama bahwa budaya dan tradisi pemikiran abad pertengahan (klasik) sebagai era keemasan Islam dengan bangunan yang ideal, model yang final, dan karenanya layak diperjuangkan.Mereka meyakni bahwa pendidikan Islam secara epistemologis memiliki hubungan genealogis yang kuat dengan budaya dan tradisi pemikiran Islam klasik.Luken-Bull menyebutkan,46 tradisi etik mampu melahirkan khazanah baru yang dapat jadi katalisator sebuah peradaban modern. Etik keilmuan tersebut terutama pada bangunan ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu baru lainnyameski dijalankan sangat sederhana.

Kegemilangan madrasah abad pertengahan dijadikan tolok ukur melakukan perubahan-perubahan dalam madrasah masa kini. Pola-polapendidikan Islam masa lalu kembali dihidupkanke dalam madrasah baru, sebuah kesadaran yang menempatkan tradisi keilmuan dapat membangkitkan spirit keilmuan baru untuk meraih sejarah kegemilangan transmisi ilmu dalam peradaban Islam. Usaha menghidupkan masa keemasan Islam menekankan pentingnya memahami

International Conference on Islamic Studies (2016):1303, https://aicis.radenintan.ac.id (diakses 13-03-2017).

45Abdurrahman Wahid, Pergulatan Agama, Negara dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara, 2001), 135.

46Ronald Lukens-Bull,“Madrasa by Any Other Name: Pondok, Pesantren, and Islamic Schools in Indonesia and Larger Southeast Asian Region,” Journal of Indonesian Islam,Vol. 04, no. 01 (June 2010): 5,https://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/viewFile/60/60 (diakses 07-04-2016).

Page 69: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

57

kembalikonsep awal pendidikan Islam pada abad pertengahan untuk kemudian diaplikasikan pada saat kini.47

Pembelajaran abad pertengahanberlangsung di masjid dalam bentuk halaqah (lingkaran) yang memberi kesempatan siswa membaca dan memahami. Sistem ini kemudian berkembang menjadi madrasah yang fokusnya mempelajari hukum tanpa meninggalkan ilmu-ilmu lainnya. Madrasahabad pertengahan menjadi institusi pembelajaran par excellence (institution of learning par excellence). Jonathan P. Berkey menggambarkan,48reformasi pendidikan di dunia modern terkait kehadiran negara modern (modern state) yang dalam dua abad terakhir memperlihatkan kekuatanyang meningkat satu sisi dan wewenang ulama menurun disisi lain. Pembentukan sekolah yang mendapat sokongan dari negara dianggap sebagai proyek kembar modernisasi dan pembangunan telah menghapus monopoli ulama dalam pendidikan dan mengurangi otoritasnya.

Semangat menghadirkan madrasah masa lalu pada dasarnya untuk merebut kembali era keemasan Islam.Kegagalan dalam bidang ekonomi dan politik Islam dalam beberapa abad terakhir jadi bayang-bayang mentransformasikan spirit lama ke dalam pendidikan Islam. Kesadaran inidijadikan sumbu utama untuk memulai pembenahan sistem dan operasional madrasah masa kini. Mereka beranggapan bahwa kehadiran lembaga pendidikan Islam yang berkualitas dalam berbagai jenis dan jenjang sangat dibutuhkan, bahkan dewasa ini telah menjadi titik paling krusial. Menurut Bruinessen,49 selain dipengaruhiMakkah sebagai tempat belajar kaum tradisionalisdi bawah pengaruh Wahabi, sejak awal abad ke-20 peran Cairo sangat besar juga pengaruhnya terutama dalam jumlah orang-orang Indonesia belajar Universitas Al-Azhar dan universitas lainnya.

Munculnya madrasah-madrasah baru ini setidaknya dapat dilihat dalam dua hal. Pertama, madrasah berkonsentrasi pada ilmu-ilmu keislaman. Madrasah dalam kategori ini tidak berubah daripadamadrasah abad pertengahan baik di sisi etik-keilmuan maupun metode-metodenya.Fokusnya pada ilmu-ilmu agama dan pengembangan-pengembangannya. Sebagaimana pesantren, madrasah ini menjalankan kurikulum tradisionalisme keagamaan, sebuah konsentrasi yang dalam sejarah umat Islam menemukan momentumnya setelah menguatnya gerakan neo-sufisme. Kebijakan ini menjadikan madrasah sebagai wahana pembinaan ruh dan

47Rusmala Dewi, “Madrasah dan Transmisi Ilmu Pengetahuan dalam Peradaban

Islam,” Nurani, Vol. 14, no. 2 (Desember 2014): 117, https://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/Nurani/article/view/112(diakses 17-04-2017).

48Jonathan P. Berkey,“Madrasas Medieval and Modern: Politics, Education, and the Problem of Muslim Identity,” Journal of Comparative Economics(December 2010): 25-26,https://www.researchgate.net/publication/242234060_Madrasas_Medieval_and_Modern_Politics_Education_and_the_Problem_of_Muslim_Identity (diakses 14-09-2016).

49Menurut Bruinessen, pada 1970-an al-Azhar menjadi institusi konservatif yang secara ekstrem mengajarkan Islam radikal. Mereka juga melakukan penerjemahan buku-buku Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb ke dalam bahasa Indonesia dan memperluas distribusinya. Lihat Martin van Bruinessen, “Global andLocal in Indonesian Islam,” Southeast Asian Studies, Vol. 37, no. 2 (Sept. 1999): 169, www.let.uu.ul/personal/publication (diakses 26-05-2017).

Page 70: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

58

hidup umat Islam untuk tumbuh sewajarnya sesuai ajara-ajaran Islam. Madrasah lebih lekat dengan pelembagaan fiqih, sufistik, zikir, berzanji,nasyid, danlainnya.50

Kedua, madrasah menyelenggarakan pelajaran umum. Kurikulum umum ini disejajarkan dengan kurikulum keagamaan. Madrasah dalam konteks ini secara terang-terangan mengadopsi unsur-unsur modern dan ilmu-ilmu Barat bahkan menjadi unsur utama dalam setiap pembelajaran. Kebijakan ini menjadikan madrasahmampu merespons tuntutan-tuntutan zaman sebagaimana dilakukan sekolah. Berbeda dengan madrasah keagamaan, madrasah ini secara berangsung-angsur mengarah kepada sistem pendidikan modern.51Kategori madrasahini dapat dilihat pada beberapa pesantren yang berhasil melakuan transformasi daripusat pembelajaran tradisional ke dalam bentuk pembelajaran modern. Unsur-unsur tradisional tetap dipertahankan, namun pada saat bersamaan kemodernan diterima dalam satusistem pembelajaran. Ronald Luckens-Bull menjelaskan, transformasi ini memperlihatkan ketegangan antara mempertahankan tradisi dan modernisasi, membangun relasi baru antara Islam dan modernitas.52

Pada kategori pertama menempatkan pengetahuan modern terbatas jangkauannya pada teknologi praktis. Adopsi kemodernan tidaklah pada substansi pembelajaran tapi kebutuhan pragmatis semata. Produk intelektualisme Barat dianggap differensiasi.Madrasahmenghindariintelektualisme Barat karena dianggap dapat mengacaukan sistem dan menimbulkan gangguan. Sedang kategori kedua menganggap bahwa seluruh teknologi dan intelektualitas Barat dapat diadopsi ke dalam pendidikan Islam. Fazlur Rahman menilai, sejumlah Muslim percaya bahwa pengetahuan, kepercayaan, nilai, tradisi dan praktek budaya Baratdianggap sebagai anugerah Tuhan yang dapat menimbulkan spirit baru dalam dinamika sosial.53

Sejumlah pesantren berhasil melakukan transformasi, misalnyaPesantren Tebuireng, Pesantren Annuqayah, Pesantren Sidogiri, Pesantren Langitan, Pesantren Cipasung, dan lainnya.Meski awalnya mengalami benturan internal, pesantren-pesantren berhasil menyelaraskan antara pembelajaran keagamaan dan umum sesuai kebutuhan masyarakat. Kemajuandunia Barat bertumpu pada empathal: yaitu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perdagangan bebas, hubungan regional-internasional, dan kesadaran HAM,yang secara intellegencia artificial belum pernah terjadi sebelumnya, berhasil ditempatkan secara proporsional oleh sejumlah pesantrenuntuk memunculkan peradaban baru. Sayyed

50Ghulam-Sarwar Yousof, “Islamic Elements in Traditional Indonesian and Malay

Theatre,” Kajian Malaysia, Vol. 28, no. 1 (2010): 84, http://web.usm.my/km/28(1)2010/ KM%20ART%204%20(83-101).pdf (diakses 30 Agustus 2016)

51Syamsul Ma’arif, “The Revitalization of Pesantren: Philosophical Thinking to Direction Universalization of Islamic Values,” Global Science Research Journals, Vol. 3, no. 5 (July 2015): 316, http://www.globalscienceresearchjournals.org/ (diakses 05-12-2016).

52Ronald Luckens-Bull, “The Sacred Geography of an Indonesian Islamic Modernity,” Isim News Letter, 3 (1999): 14, http://hdl.handle.net/1887/17318 (diakses 07-04-2017).

53Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), 46-47.

Page 71: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

59

Hosen Nasr menjelaskan, peradaban Barat menjadi tantangan bagi negara dunia ketiga termasuk Islam.54

Kita dapat memahami madrasah dijadikan sebagai salah satu strategi untuk membekali dan menyiapkan mental sekaligus merespons peradaban baru. Sebagian Muslim menyiapkan madrasah untuk menyiasati efek peradaban global dengan mempertahankan tradisi-tradisi lama, dan sebagian lagi memasukkan unsur-unsur barudalam setiap pelaksanaan pembelajarannya. Madrasah mengadopsi pelajaran-pelajaran yang sesuai dengan trend global untuk membentuk peserta didiksiap menghadapi era baru tersebut.55

Kementerian Agama kini menaungi sekitar 72.726 madrasah di seluruh Indonesia –jumlah cukup pantastis untuk kontribusinya pada pembangunan bangsa.Madrsasah-madrasah tersebut sebagian besar dikelola oleh organisasi Islam dan sebagian kecil Kementerian Agamamemiliki tujuan sama dengan sekolah,menciptakan tamatan berkarakter sekuler modern namun dengan penguatan Islam. Berdasarkan penelitian Noorhaidi Hasan,56sebagian madrasah besar memiliki pemahaman Islam moderat yang ingin membangun fondasi generasi menuju penguatan karakter bangsa, sebagian kecil lainnya berpemahanan konservatif –jika bukan militan—yang sejauh ini bergerak memobilisasi massa bersama kelompok militan lainnya pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada Mei 1998. Golongan-golonganterakhir lebih dari 20 tahun terakhir tumbuh dengan cepatyang memiliki hubungandengan dinamika politik Muslim internasional.Pelajaran-pelajaran yang dipelajari seperti al-Qur’an, hadist, fiqh, aqidah,akhlak, sejarah Islam, bahkan juga retorika, model literasi dan seni, menyelesaikan masalah, dialog, diskusi, dan lainnya.

Di sinilah peran penting Kementerian Agama mengontrol madrasah untuk memastikanprogram-program pembelajarannya berjalan sebagaimana diharapkan pendiri bangsa (the founding fathers). Berdirinya madrasah jelas untuk memberikan pengajaran baru dalam sistem kelas, buku-buku teks baru, mengajarkan sains dan pengetahuan lainnya sejatinya menjadi wadah diseminasi lahirnya gagasan-gagasan Islam yang dinamis. Madrasah seharusnyamenjadi lokus bagi lahirnyagenerasi-

54Pengetahuan modern menantang pandangan dunia-dunia (world views), termasuk

Islam, yang mengklaim pengetahuannya didasarkan tidak hanya alasan rasional semata tapi juga wahyu dan ilham. Seyyed Hossein Nasr, “The Islamic Worldview and Modern Science,” dalam Islam, Science, Muslims, and Technology, eds. Seyyed Hossein Nasr and Muzaffar Iqbal(Islamabad: Dost Publication, 2009), 179.

55Mehdi Mozaffari mengemukakan dua fenomena dunia Islam. Pertama, orang-orang Islam sekarang lebih mengenal Plato dan Aristoteles daripada Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan lainnya. Filosof-filosof Barat mendominasi dunia pemikiran Islam masa kini. Kedua, stagnasi peradaban Islam disebabkan musim semi dogmatisme Islam yang menghapus filsafat sebagai disiplin yang kompatibel dengan Islam. Dogmatisme ini mengakhiri karakter toleran, integratif, kosmopolitan, dan dinamisme yang jadi tren dominan zaman keemasan. Lihat Mehdi Mozaffari, “Islamic Civilization between Medina and Athena,” Globalization and Civilizations, ed. Mehdi Mozaffari (London: Routledge, 2002), 375.

56Noorhaidi Hasan, “The Salafi Madrasas of Indonesia,” dalam The Madrasa In Asia: Political Activism and Transnational Linkages , eds. Farish A. Noor, Yoginder Sikand & Martin van Bruinessen (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2008), 248.

Page 72: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

60

generasi Muslim progresif-modern-dinamis,bukan sebaliknya menjadi pembibitan pribadi-pribadi Muslim konservatif-ekstremis-radikal sebagaimana disorot banyak pengamat internasional beberapa dasawarsa terakhir.57

Realitasini dapat dijadikan dasar untuk menyusun peta jalan (road map)58untuk melakukan perubahan dan pembaharuanyang memungkinkan madrasah menjadi pusat riset dan studi, institusi-institusi dan kelompok-kelompok khusus di masa depan. Road map jadi titik paling krusial di tengah menguatnya keagamaan baru di kalangan Muslim sekaligus memberikan pengaruh pada pengembangan kehidupan politik, ekonomi, sosial, pembangunan, sosial, lingkungan, budaya, ilmu pengetahun, dan teknologi.Madrasah mesti belajar pada para mistikus yang berusaha menemukan menemukan “pengalaman kesatuan” dan menyaksikan Tuhan sebagai tujuan akhir dan puncak spiritual. B.Kiai dalam Sejarah Politik Indonesia

Diskursus kiai dalam sejarah kebangsaan telah jadi perhatian banyak kalangan. Setidaknya dua dasawarsa terakhir,sorotan terhadap kiai dimulai ketika elite agama ini mulai merambah ke ranah sosial-politik.Kiai muncul sebagai tokoh politik untuk berebut kekuasaan atau memainkan peran sebagai aktor politik yang dianggap melucuti jatidiri kiai sebagai sosok yang memiliki karisma kuat di mata masyarakat. Max L. Gross menyebutkan, ketika kiai meneguhkan diri dalam Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 memunculkan ekspresi religius yang memberi pengaruh pada persatuan dan kesatuan Indonesia. Pada tahun 1940-an kekuatan kiai berekspresi pada perlawanan kekuatan Belanda yang berusaha keras untuk mendirikan pemerintahan desentralistik dan menghalau gerakan Dárul Islám yang menolak Pancasila.59

Dalam sejarah kebangsaan, keberadaan kiai dalam sosial-politik menjadi catatan sendiri. Sejak pra kemerdekaan, kiaitelah menjadi kekuatan epistemik dalam pergerakan sosial keagamaan yang mendobrak kekuatan Belanda yang dibangun di atas nalar-nalar kolonialisme. Kekuatan kiai terletak pada kemampuannya memobilisir massa dalam jumlah signifikan memang potensial menghalangi kaum kolonial mewujudkan ambisi-ambisinya. Berbagai langkah membatasi peran politik kiai salah satunya Undang-Undang Pemerintah (Regeering Reglement) dan Undang-Undang Politik (Politieke Maatregel). Kekuatan kiai

57Penulis sependapat dengan gagasan dan rencana Kemenag yang membangkitkan

kepercayaan diri (self confidence) di kalangan madrasah. Sejumlah rencana perubahan sudah dilaksanakan untuk melahirkan madrasah of prideness, misalnya berdirinya Madrasah Insan Cendekia di sejumlah kabupaten dan kota belakangan ini merupakan langkah tepat untuk menjaga keberlangsungan madrasah. Hal penting lainnya, menghadirkan tradisi ilmiah dan filosofis intelektual Muslim abad pertengahan yang dikombinasi dengan tradisi keilmuan abad modern. Di sini makna points of difference (titik-titik perbedaan) atau distingsi sebenarnya antara madrasah dan sekolah.

58Allama Muhammad Iqbal, “The Spirit of Muslim Culture,” Islam Today, Journal of the Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization (ISESCO), Issue no. 31 (2015): 35, https://www.isesco.org.ma/islam-today/ (diakses 07-03-2017).

59Max L. Gross, A Muslim Archipelago: Islam and Politics in Southeast Asia (Washington, DC: National Defense Intelligence College, March 2007), 86.

Page 73: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

61

direpresentasikan dalam stuktruk pesantren satu sisi dan mengidentifikasi dalam bentuk mistisisme Islam sisi lain.60

Kebijakan mengeluarkan UU tersebut untuk mengisolasi elite agama dari berbagai kegiatan atau aktivitas politik. Kiai dinilai menimbulkan trust en orde (kenteraman dan ketertiban). Sejarah mencatat, berbagai pemberontakan di akhir abad ke-19 hinggal awal abad ke-20 disponsori oleh elite agama seperti kiai, haji, guru, ustadz, dan lainnya. Agitasi militan ini membuat Belanda semakin yakin bahwa kiai telah merongrong keberadaannya yang berusaha menancapkan imperialisme di tanah Nusantara. Berbagai agitasi dan penentangan terjadi dalam dua bentuk: perang terbuka dan perang terselubung (silent protest).61 Pembonsaian terhadap peran politik kiaitidak mampu membendung kekuatan kiai dan menyurutkan niatnya untuk melakukan perlawanan. Kiai justru berhasil membentuk masyarakat memiliki patriotisme dan nasionalisme melalui kerja refondasionalisasi nalar-nalar kesatuan dengan menempatkan intelektualitas dan pesantren sebagai instrumen efektif bagi kampanye politik dalam melawan pemerintah kolonial.62 1. Kiai Masa Kolonial

Pandangan Max L. Gross di atas memperlihatkan nalar epistemik kaum tradisional dalam pembentukan masyarakat Indonesia yang dibangun di atas fondasi inklusivitas kebangsaan sebagaimana tertuang dalam butir-butir Pancasila dan UUD 1945. Nalar-nalar epistemik tradisionalistik memberikan arti penting bagi kokohnya masyarakat dalam keragaman agama, etnik, budaya, bahasa, dan sosial. Menurut Bruinessen, sejarah kolonialisme dan imperialisme modern memperlihatkan peranan Islam tradisionalistik dalammenyatukan negara selama masa kolonialisme, tetapi menolak cara pandang bahwa menjadikan seorang Muslim yang baik hanya dilakukan satu cara dengan mengadopsi budaya-budaya Arab.63

Nalar epistemik kiai dibangun berdasarkan sebuah kaidah yang populer di kalangan kaum tradisional, hubb al-watan min al-îmán, mencintai Tanah Air bagian

60Hanun Asrohah, “The Dynamics of Pesantrens: Responses Toward Modernity

and Mechanism in Organizing Transformation,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 05, no. 01 (June 2011): 70,http://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/ (diakses 17-07-2017).

61Hamid Fahmy Zarkasyi, “The Rise of Islamic Religious-Political Movements in Indonesia: The Background, Present Situation and Future,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 02, no. 02 (December 2008): 363, https://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/35(diakses 17-07-2017).

62Perlawanan atau jihad anti-Belanda akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terjadi hampir di seluruh daerah diprakarsai tokoh tarekat dan lembaganya seperti Tarekat Sammaniyah di Palembang (1819) dan Kalimantan Selatan (1860-an); Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten (1888), Sidoarjo (1903). dan Lombok (1891-1894); Tarekat Syatariyah di Minagkabau (1908); dan sekte Rifa’iyah Kiai Ahmad Rifa’i di pedalaman Jawa Tengah. Lihat Chambert Loir Henri, Naik Haji di Masa Silam: Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 (Jakarta: KPG Press, 2013), 37-38.

63Martin van Bruinessen, “Ghazwul fikri or Arabisation? Indonesian Muslim Responses to Globalisation,” dalam Dynamics of Southeast Asian Muslims in the Era of Globalization, eds. Ken Miichi and Omar Farouk (Tokyo: Japan International Cooperation Agency Research Institute (JICA-RI), 2013), 19.

Page 74: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

62

dari iman. Kaidah ini laksana viral di media sosial (medsos) cepat membentuk nalar keagamaan masyarakat bahwa berjuang (jihád) melawan ketidakadilan dan kesenang-wenangan penjajahmerupakan bentuk pengamalan cinta tanah air (hubb al-watan).64Jika seorang mendapatkan seseorang atau kelompok melakukan pengrusakan yang berdampak pada kemanusiaan dalam pandangan Islam merupakan jihad fî sabîlillah (perjuangan di jalan Allah) yang harus dijalankan umat Islam.

Penjajahan di Indonesia dimulai sejak kedatangan Portugis ke Aceh dan perjuangan masyarakat Aceh pada tahun 1520-an. Penjajahan terus berlanjut sejak kedatangan Belanda sampai dengan 1913, Bruce Vaughnmenilai sebagai peperangan terpanjang sepanjang sejarah.65Awalnyaarmada Belanda datang membawa empat buah kapal di bawah komando Cornelis de Houtman pada 2 April 1595. Kapal bernama "Compagnie van Verre" (Far Travel Trade Partnership) mengangkut 249 awak. Ketika sampai di Madagaskar pada bulan Oktober 1595para awak kapal terkena penyakit kudis, tujuh puluh orang meninggal dan dikubur di pulau tersebut. Menempuh perjalanan satu setengah tahun, kedatangan Belanda di Nusantara didasarkan pada pengalaman banyak pelaut dan pedagang Belanda yang menginformasikan tentang kemungkinan Belanda membuka rute perdagangan Timur Jauh. Informasi tesebut disampaikan oleh seorang penjelajah Belanda, Dirck Gerritsz Pomp 2, yang melakukanperjalanan pada 1555 sampai 1590.66

Empat kapal berukuran jumbo berisi peralatan dan makanan berlabuh di Banten dengan maksud melakukan perdagangan. Mereka mendapat sambutan hangat.Kesempatan ini dimanfaatkanuntuk memperoleh untung melimpah. Bukan hanya itu, respons positif raja juga memberi peluang besaruntuk melakukan monopoli setelah menemukan sumber rempah-rempah. Belanda mulai menutup seluruh akses terhadap pihak-pihak lainmemperoleh rempah-rempah. Aksi monopoli disertai kesewenang-wenanganmembukakesempatan sangat luas Belanda untuk meraup untung sebanyak-banyaknya. Aksi monopoli ini jadi awal sejarah penjajahan di Indonesia, dari Banten lalu dikembangkan ke daerah-daerah lainselama tiga abad lebih atau 434 tahun mulai 1511-1945. Michael Laffan67

64Sejarah pengaruh kiai dalam bidang politik tidak bisa dilepaskan dari peran elite

NU di Jawa Timur, provinsi pesantren terbesar di Indonesia. Lihat Abdul Chalik, “Religion and Local Politics: Exploring the Subcultures and the Political Participation of East Java NU Elites in the Post-New Order Era,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 04, no. 01 (June 2010): 110, https://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/65 (diakses 17-07-2017).

65Bruce Vaughn, “Indonesia: Domestic Politics, Strategic Dynamics, and U.S. Interests,” Congressional Research Service (CRS) Report for Congress, 31 (January 2011): 15 www.crs.gov (diakses 31-03-2016).

66Runa Lentz mengatakan perjalanan Cornelis de Houtman dipublikasikan dan dilaporkan pertama oleh Cornelis Claesz di Amsterdam in 1598. Runa Lentz, Dutch Merchants First Contacting Asian Coasts: Preparing, Meeting and Reporting (Leiden: Leiden University, 2012): 41-46,https://openaccess.leidenuniv.nl/handle/1887/19462 (diakses 25-07-2017).

67Penangkapan Sultan Agung Tirtayasa (1651-1683) dan Syaikh Yusuf al-Maqassari. Setelah Sultan Agung ditangkap dan diasingkan, Syaikh Yusuf melanjutkan kekuasaan untuk melalukan perlawanan dan mengusir perusahaan Belanda di Banten pada

Page 75: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

63

menyebutkan, monopoli makin merajalela ketika Belanda mulai bertindak kesewenang-wenangan, melakukan teror, dan penangkapan raja-raja yang dianggap menghalangi kegiatan bisnis penjajah.

Kondisi tidak kondusif ini melahirkan benih-benih ketidakpuasan di kalangan rakyat yang secara gradual berubah menjadi kemarahan ketika aksi “coboy” perdagangan dalam perkembangannya disertai pula program Kristenisasi. Sejumlah kiai bangkit mengumpulkan pundi-pundi spiritualitas yang berserakan di berbagai kantong komunitas yang kemudian disulap menjadi sumber kekuatan perlawanan. Laskar-laskar jihad seperti hizbullah dan sabîlillahdidirikan untuk memperkuat barisan tempur. Dalam kondisi di mana kiai memiliki kekuataan hampir seluruh komunitas dan kemampuan menghimpun mengakibatkan lahirnya kelompok-kelompok baru menghadapi kekuatan Belanda. Dalam kasus gerakan-gerakan Islam melawan Belanda menggunakan sebuah identitas budaya Islam dalam berjuang melawan kolonialisme memperlihatkan perilaku kepatuhan terhadap agama.68

Kelompok baru ini disebut kelompok “ulama dan santri” dengan semangat jihad telah menjadi sumber kekuatan perlawanan (power of struggle). Aksi monopoli dan agresi agama kolonial Belanda mengharuskan kiai bekerja keras membina santri-santrinya untuk memiliki semangat bertempur (combat spirit). Kiai memperoleh tantangan-tantangan baru. Pesantren tadinya merupakan lembaga pendidikan bertambah fungsinya sebagai tempat kegiatan membina pasukan sukarela untuk mempertahankan agama, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.69

Gustiana Isya Marjani menyebutkan, perjuangan kiai melawan penjajah merupakan respons terhadap tirani kolonial dan penetrasi budaya Barat terutama ketika pemerintah Belanda menerapkan praktek Kristening Politiek, kebijakan Kristenisasi berlangsung di Indonesia awal abad ke-20ketika Gubernur Jenderal A.W.F. Indenburg (1909-1916) berkuasa.70Kiai bergerak ke muka memimpin gerakan perlawanan untuk melindungi masyarakat. Mereka menyadari

1683. Beberapa minggu memimpin, Desember 1683, ia juga ditangkap dan dibuang ke Ceylon. Lihat Michael Laffan, The Makings of Indonesian Islam: Orientalism and the Narration of a Sufi Past (United Kingdom: Princeton University Press, 2011), 20, http://press.princeton.edu/chaptes (diakses 17-07-2017).

68Hanun Asrohah, “The Dynamics of Pesantrens: Responses Toward Modernity and Mechanism in Organizing Transformation,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 05, no. 01 (2011): 76,www.jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/81(diakses 17-07-2017).

69Amin Farih, “Nahdlatul Ulama (NU) dan Kontribusinya dalam Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan Negara Kesataun Republik Indonesi (NKRI),”Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24 no. 2 (November 2016). 263, https://journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/view/969(diakses 17-07-2017).

70Gustiana Isya Marjani, The Concept of Religious Tolerance in Nahdhatul Ulama (NU): Study on the Responses of NU to the Government’s Policies on Islamic Affairs in Indonesia on the Perspective of Tolerance (1984-1999) (A Thesis of Ph.D The Universität Hamburg, 2005), 42, http://ediss.sub.uni-hamburg.de/volltexte/2007/3214/pdf/PDF_ Version_of_Content_of_Dissertation.pdf(diakses 26 September 2016).

Page 76: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

64

bahwaperjuangan secara fisik dan pemberontakan selalu gagal. Kiai mengubah strategi dari fisik menuju cara politikdengan menggunakan organisasi.

Masyarakat ketika itu serba miskin dan melarat,bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari susah. Begitu juga persenjataan untuk melakukan perlawanan amat sangat sederhana. Kondisi ini sedikit banyak merumitkan perjuangan kiai namun tidak menyurutkannya untuk berjuang, sebaliknya memotivasi untuk terus berjuang. Gelora spiritualitas kiai secara organik bertransformasi dalam gerakan-gerakan seperti hizb, zikir, shalawat, dan lainnya. Masyarakat mendapatkan sugesti dan kiai memperoleh amunisi baru. Sejumlah tokoh mengalami penangkapan dan pengasingan seperti Sultan Agung Tirtayasa, Syaikh Yusuf al-Maqassari, dan lainnya.

Aksi kiai jadi pemersatu dan penggerak massa menentang pemerintah kolonialterlihat pada Perang Padri pada 1821-1837, Perang Jawa 1925-1930, dan lainnya. Menurut Paul J. Carnegie perjuangan Islam sejak masa kolonial maupun pasca-kolonial terbagi dalam tiga kelompok, yaitu tradisiolis NU, partai politik modern Masyumi, dan gerakan Islam militan DI/TII.71 Kerumitan muncul ketika ideologi nasionalisme sekuler Soekarno membatasi ruang gerak Islam politik dan menjatuhkan pilihan Piagam Jakarta. SementaraAmy L. Freedman berpandangan, sejak masa kolonialisme hubungan antara Islam dan negara atau Islam dan politik di Indonesia sangat rumit. Ketika Soekarno mengumumkan kemerdekaan Indonesia yang terlihat persaingan antara kelompok Islam reformis dan konservatifberebut kekuasaan dan pengaruh. Dua organisasi besar terus bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dan dukungan rakyat. Persainganterus berlanjut memasuk abad ke-20.72

Berdasarkan penjelasan di atas terlihat bahwa jauh sebelum NU resmi terbentuk pada 31 Januari 1926, kiai sebagai kaum sarungan dan pemelihara tradisi lokal memperlihatkan kontribusinya pada tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kiai jadi pengobar semangat di tengah frustasinya elite-elite negeri ketika itu. Kiai merupakan mikrokosmos dari realitas kosmik yang lebih luas, jadi pusat teladan (exemplary centers) yang menyatukan tempat dan institusi keagamaan sebagai pusat kesucian yang menentukan arah kebijakan dan kosmos.73

Ekspresi kiai di tengah masyarakat memperlihatkan tidak hanya mahir dalam mengelola dan mengembangkan pesantren, melainkan juga mumpuni dalam menjaga emosi dan tenaga masyarakat untuk kepentingan lebih besar. Kiai tidak hanya pandai mengumandangkan ayat, hadits, dan memahami pendapat ulama-ulama salaf, tetapi juga lihai dalam mengatur strategi. Menurut William Liddle, keberhasilan NU terletak pada kemampuan kiai menyesuaikan ajaran dengan norma

71Paul J. Carnegie, “Political Islam and Democratic Change in Indonesia,”Asian

Social Science, Vol. 4, no. 11 (February 2009): 3, https://www.researchgate.net/publication/ 41846139 DOI: 10.5539/ass.v4n11p3 (diakses 06-10-206).

72Amy L. Freedman, “Civil Society, Moderate Islam, and Politics in Indonesia and Malaysia,” Journal of Civil Society, Vol. 5, no. 2 (September 2009): 116, https://www.researchgate.net/publication/249018920 DOI: 10.1080/17448680903154907 (diakses 31-03-2016).

73Timothy Daniels, Islamic Spectrum in Java (New York: Routledge, 2016), 16, www.nlb.gov.sg/biblio (diakses 17-07-2017).

Page 77: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

65

dan institusi masyarakat lokal daripada memaksa orang Indonesia masuk dalam tradisi Timur Tengah. Kaum tradisionalis NU, sebagaimana kebanyakan Muslim Sunni di belahan Dunia Islam lainnya, menerima otoritas pemerintah apapun warnanya. Nilai-nilai kebenaran jadi nalar epistemologis kiai yang senantiasa membentuk kebenaran dan menggerakkan masyarakat.74

Kiai tidak hanya membentuk laskar Hizbullah dan Sabilillah, tetapi membangun tentara PETA (Pembela Tanah Air). Laskar Hizbullah (Tentara Allah) dan Sabîlillah (Jalan Allah) didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di Cibarusah, sebuah desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Laskar Hizbullahdi bawah komando spiritual K.H. Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpinK.H. Zaenul Arifin. Adapun laskar Sabîlillah dipimpin K.H. Masykur –pemuda pesantren dan anggota Ansor Nahdlatul Ulama (ANU) sebagai pemasok paling besar keanggotaan Hizbullah.Dietrich Jungberpendapat,75 penolakan dan perlawanan kiai terhadap pemerintahan kolonial diidentifikasi sebagai akibatpaham-paham agama. Gerakan sosial keagamaanyang secara intensif dilakukan kiai berubah menjadi kekuatan politik (political force) telah menimbulkan kekhatiranpara kolonial di Batavia dan Den Haag.

Gerakankiai mampumelahirkan gagasan-gagasan politik Islam telah menimbulkan kecemasan sangat mendalam di kalangan para pembuat kebijakan dan administratur Kolonial Belanda. Perlawanan kiai terhadap Belanda di berbagai daerah telah merubah pandangan dan kebijakan kolonial yang menempatkan Islam sebagaimasalah politik. Belanda mengembangkan sistem etnik bertingkat di Hindia Belanda, yaitu sistem hukum dualistik untuk Belanda dan setidaknya untuk pribumi Kristen, dan hukum tradisional Indonesia untuk seluruh masyarakat yang secara konstitusional merupakan etnis terpisah.76

Figure 1: Religious Cleavages in Indonesia Politics

1. Islam Vs. Non-Mulim 2. Ortodox Vs. Syncretist (Santri) (Abangan)

3. Modernist Vs. Traditionlist

74R. William Liddle, “New Patterns of Islamic Politics in Democratic

Indonesia,”Woodrow Wilson International Center for Scholars, no. 110 (April 2003): 6-7,http://www.wilsoncenter.org/asia (diakses 31-03-2016).

75Dietrich Jung, “Islam As A Problem: Dutch Religious Politics in the East Indies,” Review of Religious Research, Vol. 51, no. 3 (March 2010): 289, http://www.jstor.org/stable/20697346 (diakses 23-03-2015).

76Graham K. Brown, “The Formation and Management of Political Identities: Indonesia and Malaysia Compared,” Centre for Research on Inequality, Human Security and Ethnicity, Working Paper 10 (February 2005): 9, http://www.crise.ox.ac.uk/ (diakses 17-07-2017).

Page 78: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

66

4. Liberal Vs. Islamist Sumber: R. William Liddle77

Dengan demikian, peran penting kiai begitu luas tidak hanya terbatas dalam agama, sosial, dan pendidikan, melainkan juga dalam bidang lain seperti ekonomi, politik, militer, perniagaan, perdagangan, dan tukar menukar barang. Pasar bagi seorang kiai tidak hanya dijadikan sebagai pusat kegiatan perniagaan masyarakat semata, tetapi arena menyampaikan pesan-pesan kebaikan. Karena itu, kiai tidak cukup jika dikonsepsikan dengan satu sudut pandang namun harus ditempatkan sebagai sosok yang memiliki peran multi dimensional. Pemaknaan semacam ini merupakan konsekuensi logis dari eksistensi dan kiprahnya.

2.Kiai Masa Orde Lama

Masa ini ditandai pemerintahan pertama yang dipimpin Soekarno-Hatta bersama elite nasional lainnya seperti H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, K.H. Hasyim Asy’ari, dan lainnya pasca berakhirnya kolonialisme pada 17 Agustus 1945. Orde Lama jadi stigma kepemimpinan nasional setelah “putra sang fajar” itu mampu memberikan artikulasi bagi pembangunan politik dan ekonomi.Namun, artikulasi cukup signifikan ketika kiai berhasil memberikan pengaruh bagi arah pembangunan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pendidikan. Meminjam istilah Nakamura,78 ketika Soekarno menerapkan diversifikasi politik (political diversification)mengakibatkan diversifikasi ekstrem (extreme diversification) yang berkembang di kalangan masyarakat, NU bangkit dengan percayadiri secara independen sebagai kekuatan alternatif.

Pada awal karier politiknya, Soekarno menulis “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” di Soeloeh Indonesia Moedapada 1926.79Tulisan ini sebagai respons terhadap sejumlah perbedaan –bahkan pertikaian—di antara sesama elite nasional di zaman pergerakan. Ketika itu muncultiga aliran politik yang mendominasisetiap wacana pembangunanpolitik, ekonomi, sosial, dan lainnya. Bahkan perbedaan ini dalam perkembangannya memunculkan friksi cukup tajam yang mengganggu persatuan nasional. Pada tahun 1931 Soekarnomenulis banyak tulisan tentang hubungan Islam dan politik dan mendikusikan reformasi agama dengan pendekatan rasionalis di Panji Islam. Dalam beberapa tulisantampak ia mencemaskan perbedaan-perbedaan yang bersumber pada ideologi agama. Soekarno berusaha menyatukan berbagai kelompok aliran politik tersebut dengan menyerukan

77R. William Liddle, “New Patterns of Islamic Politics in Democratic

Indonesia,”Woodrow Wilson International Center for Scholars, no. 110 (April 2003): 7,http://www.wilsoncenter.org/asia (diakses 31-03-2016).

78Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, c.1910-2010 (In Memory of Gus Dur 1940-2009) (Singapore: ISEAS Publishing, 2012), xxx, http://bookshop.iseas.edu.sg (diakses 29-04-2016).

79Asvi Warman Adam, Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? Tragedi Bapak Bangsa Tragedi Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 49.

Page 79: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

67

pentingnya persatuan nasional untuk menjadi obor perjuangan rakyat bukan kelompok sosial dan aliran keagamaan.80

Perbedaan-perbedaan ini muncul karena dorongan menempatkan Islam dan nasionalisme dalam konteks kebangsaan; antara Agus Salim dan Semaun pada 1920-an, Soekarno dan Agus Salim akhir 1920-an, dan antara Soekarno dan Mohammad Natsir akhir 1930-an. Satu sisi kalangan nasionalis menginginkan agar “nasionalisme” dijadikan dasar dalam meneguhkan persatuan dan menumbuhkan spirit perjuangan, sementara sisi lain kelompok Islam berusaha menempatkan nilai-nilai Islam jadi tumpuan perjuangan. Persatuan nasional tidak akan memiliki nilai jika tidak melibatkan Islam dalam setiap konsep dan gerakan.

Perbedaan di antara sesama tokoh pergerakan ketika itu bernaung dalam satu organisasi, SI (Sarekat Islam), sebagai konsekuensi dari peran politiknya yang semakin luas. SI sebagai embrio SDI (Sarekat Dagang Islam) awalnya hanyalah sebuah perkumpulan para pedagang Muslim batik yang didirikan oleh Tirtoadisuryo, Haji Samanhudi, dan H.O.S.Tjokroaminoto. Berdiri pada 1911 di Solo, SDI dijadikan wadah untuk mengurangi dominasi pedagang Tionghoa dan Belanda. Pertama, persaingan perdagangan batik terutama dari orang-orang China yang memiliki sifat superior. Kedua, adanya desakan dari kaum bangsawan untuk berdirinya sebuah organisasi dagang. Pada tahun sama SDI kemudian melebar ke daerah-daerah lain.81

Dari organisasi pedagang yang menguasai komoditas batik, pada 11 November 1912 SDI berubah menjadi SI, sebuah organisasi aliran politik baru. Peneguhan ini makin kokoh ketika SI menegaskan aspirasi nasionalisme sebagai partai politik (parpol) Islam pada 1923 dengan menambahkan kata “partai” di depannya, Partai Sarekat Islam (PSI).82 Perubahan ini sejatinya hanya sebuah perbedaan kultur dan pola pikir di kalangan elite nasional yang memiliki tanggung jawabmemperjuangkan kemerdekaan dan merumuskan ideologi bangsa. Namun, ketika fragmentasi ideologis ini semakin banyak dipengaruhi oleh ketokohan dan sentimen kelompok yang terjadi justru gejolak sosial yang sulit dibendung. Tidak ada lagi rasionalitas yang menjadi titik pembeda di antara kaum cerdik cendekia. Permusuhan pun tak dapat dihindari. Pertikaian ini seluruhnya mengatasnamakan kepentingan bangsa meski yang tampak kepentingan pribadi dan kelompok.

Sentimen kelompok menguap dalam beberapa sidang Badan Penyeledikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) terutama saat perumusan dasar-dasar dan bentuk-bentuk negara. Sidangselalu berlangsung panas. Kelompok

80Ibnu Anshori, Mustafa Kemal and Sukarno: A Comparison of Views regarding

Relations Between State and Religion (A Thesis of Master Degree The McGill University, 1994), 59,https://digitoll.liberary.mcgill.ca/dtl_publish (diakses 28-07-2017).

81J.B. Soedarmanta, Jejak-JeJak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2007), 17.

82Perpecahan ini disebabkan perbedaan cara pandang antara Sosialisme dan Islamis. Islam ingin bentuk negara berdasarkan Islam. Hal ini sebagai dampak dari Pan Islamisme sebagai proyek baru dunia mempengaruhi Hindia Belanda. Lihat Chiara Formichi,Islam and the Making of the Nation: Kartosuwiryo and Political Islam in Twentieth-Century Indonesia (Leiden: KITLV Press, 2012), 24.

Page 80: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

68

Islam dan nasionalis sama-sama berusaha meneguhkan kekuataannya untuk mempengaruhi sidang.83 Sentimenterus berlanjut pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai pengganti BPUPKI terutama dalam penetapan presiden dan wakil presiden.

Perpecahan di kalangan elite nasional pasca kemerdekaan sulit dihindari. PSI sebagai satu-satunya partai politik ketika itu terpolarisasi ke dalam tiga kekuatan besar, yakni Islam (PSI), Nasional (PNI), dan Komunis (PKI), sebagai akibat hadirnya politik aliran dalam ruang publik. Polariasasi ini setidaknya tergambar saat perebutan suara pada kontestasi partai politik (parpol) pemilu pertamapada 1955.84 Namun polarisasi ini tidak mempengaruhi pendidikan nasional dan cara pandang masyarakat.

Dalam hiruk dan pikuk itu K.H. Hasyim Asy’ari menyampaikan postur pemerintahan baru Indonesia kepada Jepang yang dipimpin duet Soekarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden setelah sidang kedua PPKIpada 18 dan 19 Agustus 1945. Sidangdiketuai Soekarnomemutuskan pembentukan 12 kementerian dan 4 Menteri Negara, serta pemerintah daerah terdiri dari 8 provinsi. Angkatan laut Jepang langsung menyetujui. Baik dalam BPUPKI, PPKI maupun Tim 9 yang dibentuk Soekarno tampak K.H. A. Wahid Hasyim.

Keanggotaan Wahid Hasyim dalam momentum bersejarah tersebut mengukuhkan intelektualitasnya sebagai Muslim progresif yang terlepas dari sekat-sekat ideologis dan sektarianisme. Ide-idenya menjadi arah politik baru ketika penyusunan “Mukaddimah” atau pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (lihat tabel 1). Bersama Ki Bagus Hadi Kusumo85 dan Kasman Singodimedo (keduanya tokoh Muhammadiyah), Wahid Hasyim merumuskan Pancasila sebagai adicita negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi.Meski konstitusi final tersebut meminggirkan Islam dan memperkuat dominasi Jawa, sebagaimana Paul J.

83Kontestasi ideologis yang terbuka di tahun 1920-an sampai 1960-an berasal dari

perselisihan abadi antaraIslamis dan nasionalis mengenai ideologi negara. Faksi Islam ingin tetap berpegang pada proposisi awal untuk memasukkan ungkapan “berkewajiban untuk hidup sesuai hukum Islam untuk kaum Muslimin” dalam asas pertama Pancasila. Pergantian tersebut dinilai melanggar prinsip demokrasi Pancasila (musyawarah) dan mufakat (konsensus). Lihat Eva Leiliyanti, “Representation and Symbolic Politics in Indonesia: Billboard Advertising in the 2009 Legislative Assembly Elections,” Crossroads Journal, Vol. VI, Issue 11 (2013): 63,http://ro.ecu.edu.au/theses/684/ (diakses 15-08-2017).

84Rober W. Hefner, “Islamic Schools, Social Movements, and Democracy in Indonesia, dalam Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia ed. Robert W. Hefner(USA: University of Hawaii Press, 2009), 73.

85Ki Bagus Hadi Kusumo merupakan santri K.H. Ahmad Dahlan yang memiliki wawasan keislaman kuat, yang berkontribusi pada perumusan dasar-dasar negara. Lihat Sudarnoto Abdul Hakim, “Al-Islám wa al-Qánûn wa al-Dawlah: Dirasah fî Fikri Ki Bagus Hadikusumo wa Dawrihi,” Studia Islamika, Vol. 21, no. 1 (2014): 132-133, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika (diakses 15-08-2017).

Page 81: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

69

Carnegie,86penting dicatat bahwa momentum tersebut meneguhkan kiai sebagai aktor utama dalam perubahan.

Pengarusutamaan politik telah meneguhkan untuk melakukan artikulasi baru dalam dinamika politik nasional. Pertama, penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara mendorongMuslim santri dan nasionalis sekuler untuk pembangunan bangsa. Karisma Hasyim Asy’ari dan Wahid Hasyim87 memainkan peran penting dalam mengatasiancaman persatuan nasional ketika tujuh kata masuk dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Ketika Presiden Soekarno melakukan kunjungan ke Kalimantan, di hadapan massa di Amuntai melihat beberapa spanduk bertulis: “Kami ingin klarifikasi apakah negara ini negara nasional atau negara Islam?” Dalam pidatonya, Soekarno menyampaikan, Indonesia bukan negara Islam. Jika berdasarkan Islam beberapa wilayah akan melepaskan diri. Kunjungan presiden tersebut diliput oleh wartawan Antara kemudian menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan elite nasional.88

Kedua, sistem parlementer. Sejak 1950-an ketika Presiden Soekarno menerapkan sistem parlementer telah membuka kesempatan pada organisasi-organisasi anti-kolonial melakukan rekonstruksi menjadi partai politik. Partai Nasional Indonesia (PNI) dipimpin Seokarno dan Hatta, Masyumi kembali dibentuk sebagai partai Muslim Modern dipimpin Mohammad Natsir, dan Muslim tradisional (NU) dipimpin oleh K.H. Idham Chalid. Kondisi ini membuka peluang bagi sejumlah kiai untuk menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Sejak Soekarno dan Hatta secara resmi memimpin pemerintahan, pemimpin dwi tunggal ini memberi kesempatan bagi kiai untuk memperkuat pemerintahan. Elite-elite NU terakomodir dalam jataban menteri (lihat tabel 2).

Vedi R. Hadiz menggambarkan dalam Indonesia baru merdeka perwakilan politik Islam secara bertahap menjadi integral dalam koalisi politik konservatif yang didukung Barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris. Koalisi “Nasakom” memberi kecenderungan pengarusutamaan politik organisasi Islam (mainstream Islamic organisations) masuk kekuasaan negara.89 Sementara Kikue Hamayotsu menggambarkan sejak post-kolonial pemimpin nasional yang dipimpin Presiden

86Paul J. Carnegie, “Political Islam and Democratic Change in Indonesia,” Asian

Social Science, Vol. 4, no. 11 (2008): 3, www.ccsenet.org/journal.html (diakses 28-07-2017).

87Lathiful Khuluq, Kyai Haji Hasyim Asy’ari’s: Religious Thought and Political Activities (1871-1947)(A Thesis of Marter of Arts The McGill University, July 1997), 113.

88Isa Anshary, Ketua Masyumi Jawa Barat, menyebut pidato Soekarno tidak demokratis dan inkonstitusional. Sebuah organisasi Islam (HMI) menuduh Bung Karno sendiri menabur benih separatisme. Sebuah partai tradisional (NU) meminta agar “jika kabar kunjungan itu benar” bukanlah sebagai Kepala Negara tapi warga biasa yang kemungkinan dapat berselisih, terutama antara Islam dan non-Islam. Lihat Boyd Compton, “President Sukarno and the Islamic State,” Insitute of Current World Affairs 522 (1953): 1-2 (NOT FOR PUBLICATION), www.icwa.org/2015/09/BRC-8 (diakses 28-07-2017).

89Vedi R. Hadiz, “Indonesian Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of the Cold War,” Journal of Current Southeast Asian Affairs, Vol. 30, no. 1 (2011): 15, www.giga-journal-family.org (diakses 28-07-2017).

Page 82: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

70

Soekarno sejak awal memilih menyingkirkan Islam dan menginstal Pancasila sebagai fondasi filosofis Republik yang baru lahir.90

Ketiga, lepasnya NU dari Masyumi. Selama NU tergabung dalam Partai Masyumi sepanjang 1945-1951, keberadaannya hanya ditempatkan sebagai pelengkap. Partai gabungan dari berbagai ideologi Islam tersebut tidaklah proporsional menempatkan NU dibandingkan kelompok ideologi keagamaan lainnya. Sejak muktamar di Palembang pada 26 April-1 Mei 1952 NU melepaskan diri. Pernyataan lepasnya NU disampaikan K.H. Wahab Chasbullah saat menyikapi kemelut dalam tubuh Masyumi antara Wahid Hasyim dan Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara. Perpecahan makin tak terbendung ketika tuntutan Kiai Wahab berusaha menjadikan Sukiman sebagai Perdana Menteri dan Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama gagal. Bahkan tidak ada satu pun elite NU dalam susunan kabinet Perdana Menteri Wilopo.91

Sebagai jubir (juru bicara), inisiator, dan pemrakarsa, inisiatif lepasnya NU merupakan refleksi atas peran-peran NU yang tidak sebanding dengan kontribusinya. Selama bergabung dengan Masyumi, NU mendapat porsi tidak cukup. Peran elite-elite NU dipangkas bahkan secara sistematis dilakukan pengerdilan.92 NU dianggap “mengekor” dan “mendompleng” dari bayang-bayang nama besar Masyumi (lihat tabel 3). Ide Wahab Chasbullah mendapat respons beragam dari peserta muktamar, bahkan sempat mengganggu perjalanannya sidang yang dipimpin Wahid Hasyim. Namun, dengan kepiawaiannya dalam politik, Wahid Hasyim akhirnya menempuh jalan pemungutan suara. Hasilnya 61 suara setuju, 9 suara menolak, dan 7 suara abstain.

Kiai Wahabseorang kiai yang memiliki naluri politikkuat. Meski mendapat perlawanan, seiring perjalanan waktu, keinginanKiai Wahabmembentuk partai sendiri akhirnya mendapat respons positif.93 Pendiriannya tetap kokoh bahwa Partai NU dianggap tepat untuk semakin mempersatukan tokoh-tokoh dan warga NU.

90Kikue Hamayotsu, “Islam and Nation Building in Southeast Asia: Malaysia and

Indonesia in Comparative Perspective,” Pacific Affairs 22 (2002): 2, http://www.thefreelibrary.com/_/print/PrintArticle.aspx?id=95501129(diakses 22-08-2017).

91NU sangat kecewa atas tidak adanya representasi NU dalam Kabinet Wilopo. Saat K.H. Wahid Hasyim memimpin sidang pada Muktamar NU ke-19 di Palembang memutuskan untuk menarik dari Masyumi dan mengumumkan sebagai partai politik independen. Lihat Achmad Zaini, Kyai Haji Abdul Wahid Hasyim: His Contribution to Muslim Educational Reform and to Indonesian Nationalsm During The Twentieth Century (A Thesis of Marter of Arts The McGill University, July 1998), 111-112.

92Keinginan sebagian elite NU untuk memisahkan diri dari Partai Masyumi didahului perdebatan yang cukup sengit sehingga akhirnya ditempuh jalan pemungutan suara. Lihat Moh. Amirul Mukmini dan Sumarno, “Hubungan NU dan Masyumi (1945-1960): Konflik dan Keluarnya NU dari Masyumi,” AVATARA, Vol. 3, no. 3 (Oktober 2015): 491 (diakses 28-07-2017). Lihat pula Mohamad Zakaria Al-Anshori, The Role of Islam in Indonesia’s Contemporary Foreign Policy (Thesis of Ph.D the Victoria University of Wellington, 2016), 3-7-38 (diakses 28-07-2017).

93Martin van Bruinessen and Farid Wajidi, “Syu’un Ijtima’iyah and the Kiai Rakyat: Traditionalist Islam, Civil Society, and Social Concerns,” dalam Indonesian Transitions, ed. Henk Schulte Nordholt (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 4.

Page 83: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

71

Dukungan besar masyarakat pada Pemilu 1955 membuat NU banyak mengirim kiai dan santriduduk menjadi anggota legislator dan anggota konstituante. NU juga dapat mengirim kader di pemerintahan. Hal ini memperlihatkan ijtihad politik K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Chasbullah, K.H. A. Wahid Hasyim, dan lainnya. 3. Kiai Masa Peralihan Soekarno ke Soeharto

Peralihan kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto pada tahun 1966 terjadi dalam suasana bangsa Indonesia mengalami lambatnya pertumbuhan ekonomi, kekeringan, dan kemiskinan. Krisis ekonomi di awal tahun 1960 menimbulkan kerusuhan sosial yang dengan mudah bereskalasi ke sejumlah daerah memunculkan Jenderal Soeharto sebagai tokoh baru dalam panggung politik nasional. Jabatannya sebagai Pangkostrad memberinya peluang tidak hanya menjadi Pangkopkamtib sejak terbunuhnya Ahmad Yani dalam tragedi 1965, melainkan terpenting memudahkannya menduduki jabatan eksekutif. Lena Tan menyebutkan, peralihan kepemimpinan nasional telah jadi perhatian banyak kalanganmengakui dan mendokumentasikan cara-cara di mana peristiwa ini telah jadi salah satureferensi paling penting dan konsisten untuk kebijakan umum dan spesifik untuk posisi yang telah mereka adopsi dalam berbagai isu.94

Lena Tan menilai, tragedi ’65 tergolong complicated, tidak mudah diurai dalam suatu masalah yang telah mengalami internasionalisasi. Jenderal Soeharto tidak banyak dikenal publiksebelumnyatiba-tiba menjadi aktor perubahan. Jabatannya sebagai Pangkostrad secara struktural di bawah Panglima TNI dan Pangkopkamtib Ahmad Yani, pasca tragedi politik 1965 muncul sebagai tokoh nomor wahid di korps ABRI/TNI. James Clad menjelaskan, sejumlah perwira militer mengklaim bahwa mereka membatalkan sebuah kudeta yang disponsori CIA, melakukan normalisasi keamanan, menyita stasiun radio Jakarta, dan mengumumkan formasi Dewan Revolusi. Soeharto mencegah kudeta sebagai bagian rencana komunisme untuk mengambil alih pemerintahan.95

Langkah Soeharto menuju puncak kekuasaan dimulai ketika bangsa Indonesia mengalami gejolak sosial. Tragedi kemanusiaan 30 September 1965 atau G30S/PKI jadi sejarah hitam bagi Indonesia. Korbannya diperkirakan empat ribu sampai satu juta jiwa. Setelah penculikan enam jenderal dan satu letjendkeamanan tak terkendali apalagi muncul isu kudeta. Soeharto kemudian diangkat jadi Panglima TNI dan Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) menggantikan Jenderal Ahmad Yani yang jadi korban

94Lena Tan, “Indonesian National Security during the Suharto New Order (1965 –

1998): The Role of Narrative fo Peoplehood and the Construction of Danger,”New Zealand Journal of Asian Studies, Vo.14, no.1 (June 2012): 65, www.nzasia.org.nz/journal/jas_june2012_tan-1.pdf(diakses 06-09-2017).

95James Clad,”The End of Indonesia’s New Order,” The Wilson Quarterly, Vol. 20, no. 03(1996): 55-56, http://archive.wilsonquarterly.com/essays/end-indonesias-new-order (diakses 06-09-2017).

Page 84: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

72

dalam tragedi tersebut. David Jenkings menyebutkan,96 pada 8 November 1965, lima minggu setelah kudeta dan tujuh tahun setelah Kolonel Rouse mulai menempatkan Soeharto di bawah mikroskop Kantor Intelijen CIA mengirim sebuah memorandum rahasia untuk Soeharto menggambarkansebagai “tokoh militer dan politik militer penting.” Selanjutnya dikatakan: “Soeharto dianggap sebagai perwira kuat, efisien dan menentukan. Hidupnya sederhana dan cerdas dianggap tokoh tepat.”

Perekomian nasionalterus memburuk, inflasi terus merangkak naik, harga kebutuhan pokok melambung, kekeringan dan kemiskinan meningkat. Negara mengalami krisis multidimensi. Dalam waktu hampir bersamaan, Presiden Soekarnomembuka front baru yang mengagetkan para pemimpin ASEAN, melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Meski berhasil melakukan nasionalisasi perusahan-perusahaan asing yang memberikan pengaruh positif terhadap perekonomian nasional, kebijakan ini tidak cukup ampuh untuk membangkitkan perekonomian nasional yang hampir collaps.97 Normalisasi ekonomi sebagai salah satu cara Soekarno untuk mengembalikan keadaan justru membuat Indonesia benar-benar terpuruk dalam kancah negara-negara ASEAN. Presiden Soekarno makin terpojok di mata rakyatnya sendiri, sehingga muncul persepsi:apakah Presiden Soekarno mampu mengendalikan situasi dan mengatasi ekonomi nasional.

Krisis kepercayaan (distrust) mulai memunculkan ide-ide liar. Dalam kondisi sosial serba sulittuntutan agar Soekarno melakukan pembagian peran dengan Pangkopkamtib menguat. Tuntutan tersebut makin kencang hingga akhirnya Soekarno tidak punya pilihan lain untuk membubuhkan tanda tangan di atas kertas berisi tentang “dekrit” yang menyerahkan sebagian kekuasaannya. Dekrit presiden 11 Maret 1966 (Supersemar) jadi legalitas Jenderal Soeharto untuk mencegah kekacauan dan melakukan langkah-langkah tepat menjaga keamanan negara.98Soeharto mulai melakukan sejumlah langkah strategis; melarang aktivitas PKI, membersihkan ideologi kiri dalam tubuh militer, dan memberikan peran politik militer. Soeharto mulai mengenalkan konsep peran militer dalam administrasi sipil, kekuasaan, dan non-militer lainnya.99

96David Jenkins, “One Reasonably Capable Man: Soeharto’s Early Fundraising,”

dalam Soeharto’s New Order and its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Australia: ANU E-Press, 2010), 26.

97Pada tahun 1962 kondisi makin memburuk negara ini menderita kekeringan, gagal panen, kelaparan, dan kekurangan gizi. Pada tahun 1965 mulai terjadi krisis ekonomi. Lihat Sony Karsono, Indonesia's New Order, 1966-1998: Its Social and Intellectual Origins (A Thesis of Ph.D the Ohio University, 2013), 171, https://etd.ohiolink.edu/pg_10?0:: NO:10:P10_ETD_SUBID:4626(diakses 06-09-2017).

98Nackhoon Han,The Trouble Relationship between Suharto and the Indonesian Armed Forces From the Mid 1960S to the Early 1990S (A Thesis of Master Degree The University of Maine, December, 2007), 7, http://digitalcommons.library.umaine.edu/ etd/947/ (diakses 06-09-2017).

99Andrew Renton-Green, “Indonesia after Soeharto: Civil or Military Rule?,” Centre for Strategic Studies Victoria Universityof Wellington (1998): 3, http://www.vuw.ac.nz/css/(diakses 06-09-2017).

Page 85: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

73

Kekuatan Soekarno makin lama berkurang, hingga akhirnya Soeharto secara formal dinyatakan sebagai pejabat sementara pada 1967, dandilantik jadi Presiden Indonesia keduapada 1968.Inilah era baru yang kemudian disebut ‘Orde Baru’ –berarti mengubah secara drastis kebijakan-kebijakan lama Presiden Soekarno. Stefan Eklöf dalam Indonesia Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto 1996–98menyebutkan,pada Maret 1966, lima bulan setelah kerusuhan sosial, Presiden Soekarno di bawah tekanan militer melakukan pembagian kekuasaan dengan Soeharto dan kemudian menginstruksikan untuk mengambil langkah. Dua tahun kemudian Soeharto menggantikan Soekarno sebagai presiden.100

Langkah pertama Soeharto mengubah pelaksanaan pemilu dari 1968 menjadi 1971. Perubahan ini disampaikan dalam pidato kenegaraan saat Sidang Istimewa pada tahun 1967. Presiden Soeharto butuh waktu tiga tahun untuk melakukan konsolidasi internal, restrukturisasi kabinet, dan menyusun visi pemerintahannya baik terkait pertahanan dan keamanan, sosial dan politik, dan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Guy J. Pauker menyebutkan,101 perombakan kabinet dilakukan pada akhir Maret 1966 di bawah kontrol triumvirat: Jenderal Soeharto sebagai Wakil Perdana Menteri untuk pertahanan dan keamanan; Adam Malik menjadi Wakil Perdana Menteri untuk urusan sosial dan politik; dan Sultan Hamengku Bowono yang jadi Wakil Perdana Menteri bidang ekonomi, keuangan dan pembangunan. Mereka menjalankan peran mengubah secara radikal sistem pemerintahan rezim Soekarno.102

Kontrol ini cukup efektif mengendalikan roda pemerintahan. Sejak Maret 1966 ketiga tokoh tersebut berperan melakukan rehabilitasi sistem keamanan, politik, dan ekonomi pemerintahan rezim Soekarno. Rezim Soeharto sejak 1966 berusaha membangun pemerintahan berdasarkan sistem-sistem konstitusional dan memutus mata rantai politik rezim Soekarno. Dalam bidang ekonomi, kebijakanSoeharto mengubah kebijakan ekonomi rezim Soekarno yang sosialistik, tidak sistem pasar, dan nasionalisme. Arah perekonomian nasional di bawah rezim Soeharto secara radikal diubahmulai tahun 1966.

Perubahan politik-ekonomi kepemimpinan Soekarno didominasi blok komunis, terutama Uni Soviet dan China, pada masa Soeharto pada tahun 1966 diubah pada blok Barat dengan tiga tujuan utama: perbaikan ekonomi, peningkatan

100Stefan Eklöf, “Indonesia Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto 1996–

98,”Nordic Institute of Asian Studies (NIAS), no. 1 (1999): 14, http://nias.ku.dk/books/ (diakses 06-09-2017).

101Tentu ada perbedaan antara posisi Jenderal Soeharto yang kekuatan politiknya didasarkan pada dukungan Angkatan Darat, dan dua sipil Perdana Menteri dari tiga serangkai yang memiliki perawakan pribadi yang besar namun tidak memiliki basis kekuatan terorganisir di masyarakat. Lihat Guy J. Pauker, “Toward A New Order in Indonesia,” Foreign Affairs, Vol. 45, no. 3 (April 1967), http://www.jstor.org/stable/20039253, DOI: 10.2307/20039253 (diakses 06-09-2017).

102Mohd. Noor Mat Yazid,“The Indonesian Economic Development after 1965: Developmental State, Radical Politics & Regional Cooperation,” Sop Transaction on Economic Research, Vol. 1, no. 3 (September 2014): 6, www.scipublish.com/journal/ papers, DOI: 10.15764/ER.2014.03001 (diakses 06-09-2017).

Page 86: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

74

kesejahteraan, dan perbaikan standar kehidupan. Strategi ini tidak hanya mampu meningkatkan perekonomian nasional, tetapi juga modernisasi sosio-politik dengan pengamanan elite militer dengan stabilitas dan ketahanan nasional.Robert W. Fogel menggambarkan,103 ketika pergantian kepemimpinan nasional tahun 1960-an, perekonomian negeri ini mulai tumbuh kuat selama tiga dekade justru di saat sama Malaysia dan Singapura mengalami stagnansi.

Kebijakan-kebijakan rezim Soeharto itu membuka harapan-harapan baru bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tabel 4 menunjukkan delapan negara Asia Tenggara tumbuh dengan kuat dari tahun 1965 dan memiliki pertumbuhan ekonomi sepanjang paruh kedua abad ke-20. Pertumbuhan ekonomi melampaui tingkat pertumbuhan sebelumnya dari negara-negara industri. Kekayaan negara berubah secara meyakinkan. Tabel 5 menggambarkan PDB per kapita tumbuh cukup signifikan pada 1965, ekonomi tumbuh signifikan, dan secara keseluruhan PDB naik lebih empat kali lipat. Kemiskinan menurun dan perbaikan kesejahteraan lainnya seperti ketercapaian pendidikan, angka kematian, urbanisasi, dan lainnya.

Jonathan Temple mengemukakan bahwa, rezim ini meski terlihat represif dan bahkan terkadang membunuh, peningkatan dan perbaikan ekonomi dapat dijadikan bukti transformasi kinerja sejak berlangsung pergantian kepemimpinan nasional.104Hubungan dengan negara-negara Barat yang sempat terputus pada masa Soekarno mulai dikaji ulang. Ketika Soekarno memutuskan hubungan kerja sama bilateral dengan negara-negara maju Barat,Indonesia terkucilkan dari negara-negara di dunia. Keanggotaannyadalam International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia dicoret. Bantuan asingsangat dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi dan pemerataan sosial berhenti. Kondisi ekonomi Indonesia terlihat buruk bahkan ketika itu telah mencapai level ekstrem berbahaya.

Pada masa Soeharto hubungan Indonesia dengan negara-negara kapitalis sedikit demi sedikit mulai dipulihkan.105 Ini dilakukan untuk memungkinkan mengalirnya dana asing baik dalam bentuk pinjaman atau bantuan. Manajemen fiskal dilakukan penuh hati-hati. Tim ekonomi mengembangkan perekonomian nasional berdasarkan analisa politik-ekonomi untuk memperoleh gambaran dampak

103Robert W. Fogel,“High Perfoming Asian Economies,” National Bureau of

Economi Research, 1050 (September 2004): 4, http://www.nber.org/papers/w10752 (diakses 25-09-2017).

104Jonathan Temple, Growing into Trouble:Indonesiaafter1966 (Makalah disampaikan padakonferensi “Analytical Country Studies on Growth” the Center for International Development, Harvard, 20-21 April 2001: 6, http://citeseerx.ist.psu.edu/ viewdoc/download (diakses 26-09-2017).

105Tim ekonomi Orde Baru terdiri dari kaum teknokrat atau dikenal Mafia Berkeley bertugas menciptakan stabilitas ekonomi, mendatangkan bantuan dana asing, prioritas minyak. Selain teknokrat, militer juga memainkan peran sentral dalam perekonomian.Soeharto menugaskan banyak pejabat militer untuk mengelola perusahaan milik negara seperti Pertamina. Lihat Saiful Alim Rosyadi, “Authoritarian Politics and Economic Growth during Indonesia's New Order,”The World Bank Economic Review (February 2017): 8-9, www.researchgate.net/publication/313433969DOI:10.13140/RG.2.2.35167.66723 (diakses 13-10-2017).

Page 87: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

75

politik terhadap ekonomi terhadap politik. Kebijakan industrialisasi dicanangkan untuk memberikan legitimasi pembangunan ekonomi di awal pemerintahannya.Kebijakan lain penghentian konfrontasi dengan Malaysia.

Berikutnya, pemerintahan Soeharto melakukan penyempitan politik.Partai politik disederhanakan. Politik jadi sesuatu tidak sangat proporsional. Golkar (Golongan Karya)106dijadikan wadah organisasi fungsionalterdiri dari ratusan lebih seperti kelompok persatuan buruh, petani, pengusaha, dan lainnya. Organisasi-organisasi itu tidak boleh dimobiliasi oleh partai-partai politik. Golkar dijadikan sebagai alat pemerintah untuk mendulang suara mayoritas dalam pemilihan umum dan dominasi parlemen. Depolitisasi ini menjadikan Golkar menang mutlak pada pemilu 1971.

Sejak memegang tampuk kepemimpinan Soeharto berusaha keras untuk melakukan perubahan sesuai falsafah Pancasila dan UUD 1945, membangun sistem baru sebagai antithesa terhadap kepemimpin Soekarno yang mengantarkannya dalam kursi presiden selama 32 tahun. Pasca lengsernya Soekarno banyak perubahan meski ditempuh dengan berbagai cara dan proses panjang.

4.Kiai Masa Penerimaan Asas Tunggal Pancasila

Pada masa Soeharto Pancasila jadi perekat persatuan dan kesatuan seluruh komponen bangsa. Pancasila dijadikan instrumen mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang membentang dari Timur-Barat dan Selatan-Utara.Morfit mengatakan,107Pancasila ditempatkan sebagaisumber inspirasi untuk membangun sebuah negara stabil dan sejahtera.Dengan membuang agama dan ateistik, Pancasila merupakan asas tunggal yang harus diterima setiap ormas. Pancasila diposisikan sebagai garansi untuk terciptanya sebuah stabilitas sosial-politik-keamanan untuk dapat menggerakkan roda pembangunan secara leluasa dengan memerankan TNI sebagai pemegang kendali utama. Namun, sebagaimana disebutkan Ridwan Lubis, masa ini tidak melepaskan peran Islam yang di masa Soekarno dipahami secara dinamis dalam menyesuaikan dengan perkembangan modern sebagai agama kemajuan.108

Sebelum dilantik pada Maret 1968, Soeharto memulai pemerintahannya untuk memacu pertumbuhan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan pendidikan. Penataan dilakukan secara persuasif kemudian dikukuhkan secara yuridis formaldengan berpegang kepada falsafah negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar membangun kekuasaan hegemonik dan

106John Mc. Beth, “The Betrayal of Indonesia,” Far Eastern Economic Review, 26 (Juni 2003).

107Satu-satunya faktor dalam penyelenggaraan P4 adalah peran militer Indonesia (ABRI) dalam pembangunan nasional. Keamanan sebagai pedoman, meliputi: keamanan ideologis, stabilitas politik, keadilan ekonomi, dan harmoni sosial dan budaya menjadi tanggung jawab utama ABRI dan prasyarat dasar untuk pembangunan trickle down. Lihat Michael Morfit, “The Indonesian State Ideology According to the New Order Government,” Asian Survey, Vol. XXI, no. 8 (August 1981): 846,http://www.jstor.org/stable/2643886DOI: 10.2307/2643886 (diakses 08-10-2017).

108Muhamad Ridwan Lubis,Sukarno dan Modernisme Islam (Jakarta: Komunitas Bambu,2010), 285.

Page 88: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

76

sentralistik berjalan efektif.Pancasila, seperti agama sipil Amerika, disebarkan secara konservatif untuk membentuk masyarakat dalam mitos masa lalu, menekankan konsensus, menciptakan harmoni, dan membangun tradisi ketaatan dan kepasifan –suatu visi yang menghapus konseptual antara negara dan masyarakat, dan individu dan kelompok di bawah kepentingan negara dan bangsa.109

Usaha Soeharto mengimplementasikan Pancasila dalam kekuasaan termaktub dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1978berisi tentang penerjemahanan Pancasila dalam 36 butir, sebagaimana “Eka Prasetia Panca Karsa”.110Ini harus diamalkan oleh setiap warga negara baik dalam bidang pembangunan ekonomi, pendidikan, dan praktek-praktek keagamaan. Pancasila dijadikan sebagai ideologi negara yang dipahami secara luas, bukan semata-mata berisi lima pasal sebagaimana tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara 1945. Pengembangan ini mendorong pembangunan tersentralistik dan menguatnya sentimen Jawa.Nishimura mengatakan,pengembangan dilakukan dengan membentuk Komite Lima Anggota yang diketuai oleh Mohammad Hatta pada 1977. Komite melakukan kajian ulang sehingga melahirkan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang disahkan MPR pada 1978.111

Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat untuk menciptakan stabilitas keamanan dan juga mewujudkan pemerintahan kuat. Langkah ini ditempuh dengan jalan penyeragaman yang membawa dampak pembangunan nasional tumbuh cukup signifikan satu sisi, namun memunculkan ketegangan-ketegangan baru dalam bingkai identitas etnik sisi lain. Dalam masyarakat heterogen dibutuhkan nilai-nilai yang dapat diakui bersama untuk menyatukan beragam budaya dan pandangan namun tanpa menghilangkan kearifan. Soeharto meletakkan Pancasila sebagai satu ideologi yang harus diterima semua pihak yang difungsikan sebagai integrasi sosial dan budaya. Kritik Azra ketika Pancasila dijadikan sebagai legitimasi rezim untuk keberlangsungan pemerintahan.112 atau menjadikan negara kuat.113

109Edward Aspinal and Greg Fealy, “Soeharto’s New Order and its Legacy,” dalam

Soeharto’s New Order and its Legacy:Essays in Honour of Harold Crouch, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Australia: ANU E Press 2010), 5, http://epress.anu.edu.au/soeharto_citation.html (diakses 08-10-2017).

110Karel Steenbrink, “Pancasila as an Ambiguos Instrument fo Interreligious Harmony and Development in Indonesia, 1946-2015,” Bulletin of the Nanzan Centre for Asia-Pacific Studies,10 (2015): 19, https://nanzan-u.repo.nii.ac(diakses 13-10-2017).

111Shigeo Nishimura, “The Development of Pancasila Moral Education in Indonesia,” Southeast Asian Studies, Vol. 33, no. 3 (December 1995): 311, http://hdl.handle.net/2433/5655 (diakses 04-09-2017).

112Pancasila masih dipandang tercemar oleh kebijakan rezim Soeharto yang pernah menjadikan Pancasila sebagai alat politik mempertahankan status quo. Rezim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang didoktrinasi melalui penataran P4. Lihat Azyumardi Azra, “Revisitasi Pancasila,” dalam Rindu Pancasila: Merajut Nusantara, ed. Mulyawan Karim (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 10.

113Negara kuat terutama berkaitan dengan kemampuannya merancang dan melaksanakan kebijakan dan menegakkan hukum. Dalam hal ini birokrasi yang efektif, pengendalian korupsi, menjaga transparansi, dan akuntabilitas pemerintah. Lihat Zezen

Page 89: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

77

Penyeragaman tampak dalam beberapa hal berikut ini. Pertama, pendidikan. Pemerintah menempatkan pendidikanuntuk memasyarakatkan Pancasila. Pancasila hadir dalam kurikulumsetiap jenjang pendidikan yang wajib dipelajari mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Kebijakan ini dimulai pada tahun 1968 ketika pemerintah mulai memunculkan Pembinaan Pancasila, yang salah satunya menjadi pelajaran pokok dalam kurikulum pendidikan nasional.Steenbrink menyebutkan bahwa Pancasila jadi instrumen mitos dan ritual untuk mengikat bangsa yang beragamseperti agama sipil Amerika. Bedanya dalam Pancasila diciptakan kursus dan buku sekolah, ada hari libur nasional untuk mengenang Tujuh Jenderal yang terbunuh pada 1965 sebagai 'Hari Kesaktian Pancasila', dan setiaptanggal 17ada upacara khusus untuk merayakan ideologi.

Kedua, penataran. Pancasila sebagai ideologi negara juga dilakukan dalam bentuk penataran-penataran pegawai pemerintah di seluruh lembaga negara. Penataran ini dilakukan melalui pengenalan Pancasila melalui penataran P4 yang mengacu pada TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dalam konteks itu, Pancasila sebagai dasar negara ditempatkan sebagai suatu pandangan monoteistik dan disampaikan dengan metode doktrinatif untuk membentuk hidup masyarakat yang steril. Bahkan Pancasila dijadikan sebagai mantra untuk melegitimasi pembubaran kelompok-kelompok yang berseberangan, dan sebaliknya upaya sakralisasi seperti penetapan Hari Sakti Pancasila. Singkat kata bahwa keinginan dan praktek penyelenggaraan atau antara teori dan praktek tidak ada ketersambungan.114

Soeharto menolak secara tegas anggapan bahwa Pancasila ditempatkan sebagai agama baru. Pancasila hanyalah suatu pandangan hidup, dasar berbangsa Indonesia, dan ideologi negara yang menjamin toleransi dan vitalitas semua agama. Pancasila merupakan warisan (patrimony) dan peninggalan (legacy) orang-orang Indonesia kuno yang tidak lebih sekadar deisme yang membentuk pola pikir masyarakat tentang keindonesiaan.115 Pancasila bukanlah summary prinsip satu per satu sampai pemikiran awal atau praktik sosial keindonesiaan yang menghubungkan suatu gagasan dengan urgensi kerja sama dalam kerja pertanian atau kebutuhan untuk mengatasi liku-liku alam atau fenomena grounded lainnya. Kekhawatiran berbagai pihak akan munculnya agama baru Pancasila suatu hal yang berlebihan.

Zaenal Mutaqin, “The Strong State And Pancasila: Reflecting Human Rights In The Indonesian Democracy,” Constitutional Review, Vol. 2, no. 2 (December 2016): 166,https://www.researchgate.net/publication/316250764 (diakses 13-10-2017).

114Akibat kesalahan pembelajaran yang dijadikan indoktrinasi politik, Pancasila sebagai warisan luhur yang dipuji berbagai tokoh dunia dianggap aspak-basi. Kelima sila itu dianggap tidak relevan, karena tidak hanya dihayati, dihafalkan anak sekolah pun tidak, apalagi dipraktekkan dalam praksis kehidupan bernegara dan berbangsa. Go to hell Pancasila! Lihat St. Sularto, “Kebertuhanan dan Kesalehan Sosial,” dalam Rindu Pancasila: Merajut Nusantara, ed. Mulyawan Karim (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 5.

115Ken Ward, “Soeharto’s Javanese Pancasila,” dalam Soeharto’s New Order and its Legacy:Essays in Honour of Harold Crouch,eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Australia: ANU E Press 2010), 32-33, http://epress.anu.edu.au/ soeharto_citation.html (diakses 08-10-2017).

Page 90: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

78

Pancasila tidak berperan sebagai agama. Karena dalam agama apapun mendesak setiap pemeluknya untuk menggelorakan gairah hidup. Masyarakat bebas memiliki agama sesuai selera dan pandangan hidupnya. Pancasila merupakan pencarian untuk masyarakat berswadaya, mewujudkan sifat ganda individu manusia yang secara alami menyebabkan percaya pada prinsip-prinsip persatuan, kesejahteraan, dan keadilan sosial. Pancasila merupakan warisan tentang ajaran-ajaran kebijaksanaan orang-orang Indonesia kuno yang disampaikan melalui alphabed-alphabed. Nadirsyah Hosen mengatakan,116 Pancasila yang terdiri dari lima sila (mendorong agama untuk menginspirasi kehidupan publik Indonesia dalam kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan) adalah kompromi antara sekularisme, di mana tidak ada agama tunggal yang mendominasi negara, dan religiusitas, di mana agama (terutama Islam) menjadi salah satu pilar penting negara. Dengan kata lain Indonesia bukanlah negara sekular dan tidak pula negara Islam.

Pemerintah Orde Baru tidak mentolerir setiap pembangkangan terhadap Pancasila. Isu-isu sensitif yang melibatkan ras, etnis, dan agama tidak mendapat layak di ruang publik. Pancasila harus diterima semua organisasi sebagai satu-satunya ideologi terlepas dari tujuan dan fungsinya. Mekanisme penegakannya adalah jangkauan aparat keamanan yang meluas. Unit inteligen dan keamanan militer paralel dengan administrasi sipil di setiap tingkatan pemerintahan –mulai tingkat nasional, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Namun dari sudut pandang instrumental, dalam pandangan Donald E. Weatherbee, pertumbuhan ekonomi cukup menggembirakan, kemakmuran terjamin, dan kesejahteraan material bagi mayoritas penduduk Indonesia terpenuhi.117

Di bawah Soekarno, seorang nasionalis-radikal, Pancasila ditempatkan sebagai sarana untuk memastikan integrasi teritorial, suku, agama, dan budaya dalam struktur negara yang baru didirikan. Pada masa Soeharto, seorang otokrat, menempatkan Pancasila sebagai cara untuk membangun sebuah negara stabil tanpa kompromi terhadap ideologi-ideologi lain. Tidak ada ruang bagi ideologi kiri marxisme, leninisme, dan komunisme. Begitu juga ekstremis Islam seperti DI/TII yang ingin menggeser Pancasila. Menolak kehadiran agama dan ateistik dalam sosial-politik-ekonomi, Soeharto menempatkan Pancasila tidak lagi terbatas pada entitas teritorial tapi lebih jauh berperan dalam ideologi bersama yang harus diterima dalam kelompok-kelompok agama, sosial, politik, budaya, dan pendidikan.118 Pada tahun 1973 ketika pemerintah melakukan penyederhanaan

116Nadirsyah Hosen,“Religion and Indonesian Constitution: A Recent Debate,” Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 36, no. 3 (2005): 424,http://journals.cambridge.org/SEADOI: 10.1017/S0022463405000238 (diakses 15-10-2017).

117Donald E. Weatherbee, “Indonesia: Political Drift and State Decay,” The Brown Journal of World Affairs, Vol. IX, Issue 1 (Spring 2002): 24, www.asia-pacific-solidarity.net/(diakses 13-10-2017).

118Hilmi Muhammadiyah,“The Relation between Religion and State in Indonesia,” Asian Social Science, Vol. 11, no. 28 (2015): 104, www.ccsenet.org/journal/index.php/ass/article/DOI:10.5539/ass.v11n28p98 (diakses 15-10-2017).

Page 91: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

79

partai politik, negara juga mendorong setiap partai politik menerima Pancasila atau menjadi partai Pancasila dengan menggunakan tiga kekuatan militer, birokrasi, dan Golkar.

Pada masa Seoharto Pancasila jadi perekat persatuan dan kesatuan seluruh komponen bangsa. Pancasila dijadikan instrumen mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang membentang dari Timur-Barat dan Selatan-Utara. Meski sebagian ahli menilai usaha Soeharto jadi sejarah buruk dalam kenegaraan dan kebangsaan,119 Pancasila dalam pandangan Soeharto merupakan warisan orang-orang Indonesia kuno yang tidak sekadar untuk deisme semata tetapi juga merupakan praktek-praktek sosial keindonesiaan yang menghubungkan antara gagasan dengan urgensi kerja sama dalam bidang pertanian dan mengatasi fenomena alam lainnya.

119Salah satu penilaian tergambar dalam film The Act of Killing. Menurut Joshua

Oppenheimer, Soeharto menuduh PKI (Partai Komunis Indonesia) mendalangi gerakan dan kemudian mengatur pemusnahan orang-orang yang dianggap berafiliasi. Militer Soeharto mengumpulkan lebih dari satu juta setengah orang, menuduh mereka terlibat dalam gerakan tersebut. Dalam salah satu pertumpahan daerah terburuk abad ke-20, ratusan ribu orang dibantai oleh tentara dan milisi afiliasinya, sebagian besar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara dari akhir 1965 sampai pertengahan 1966. Lihat Joshua Oppenheimer, The Act of Killing: A Film (Denmark: The Globalization Tapes, 2012).

Page 92: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

79

BAB IV KIAI KHOS MENGHADAPI PERUBAHAN POLITIK REFORMASI

INDONESIA

Pada hari Kamis 21 Mei 1998 tepat pukul 10.00 WIB Presiden Soeharto berhenti. Peristiwa ini disiarkan langsung oleh sejumlah televisi. Media menjadikannya sebagai headlineselama beberapa hari. Baik nasional dan internasional menjadikan sebagai topik utama. Salah satunya menggambarkan,seorang politisi besar dunia era Perang Dingin telah turun tahta.1 Kabar berhentinya Presiden Soeharto sungguh di luar dugaan banyak kalangan, termasuk pengamat politik yang paling optimis sekalipun untuk membayangkan Presiden Soehartosecepat ini akan turun. Manuver-manuver politik baik di dalam maupun luar istana banyak terjadi, misalnya tidak diduga aksi mahasiswa disertai aksi penjarahan, Ketua DPR/MPR memberikan deadline untuk Presiden Soeharto, dan lainnya. Begitu juga di dalam istana ada manuver pengunduran sejumlah menteri, keinginan Presiden Soeharto menyusun kembali Kabinet Reformasi, sejumlah tokoh tidak mau duduk dalam kabinet baru tersebut, dan lainnya.

Namun bagi sebagian lain, kabar berhentinya Presiden Soeharto tidaklah mengagetkan. Jauh sebelum aksi demonstrasi, penguasaan gedung DPR/MPR, dan penjarahan, krisis moneterterjadi pada 1997 akan berdampak kuat pada krisis politik, yaitu turunnya Presiden Soeharto dari kursi presiden. Salah satunya K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dalam sebuah pertemuan di Starbuck Coffee, Jakarta, Gus Dur menjelaskan kondisi sosial-politik selama 6 bulan mendatangkepada Marzuki Usman. Menurut Gus Dur bahwa Presiden Soeharto akan lengser sebelum waktunya. Sebagaimana pandangan Gus Dur lain yang selalu jadi sorotan,2 pandangan kali ini juga tidak kalah kontroversialnya. Analisa ekonomi politik Gus Dur tersebut mengagetkan Marzuki Usman dan dua tokoh muda lain yang ketika itu bersamanya.3

Presiden Soeharto dan tembok rezim Orde Baru masih terlalu kuat untuk dijebol oleh kekuatan manapun apalagi demontrasi mahasiswa. Pada 11 Maret 1998 pukul 09.00 WIB, Presiden Soeharto masih berdiri di panggung ruangan Grahasabha Paripurna Kompleks Parlemen Senayan. Dalam suasana khidmat di

1Ali Maksum and Reevany Bustami, “The 1965 Coup and Reformasi 1998: Two

Critical Moments in Indonesia-Malaysia Relations during and after the Cold War,” SpringerPlus Vol. 3, no. 45 (2013): 5 http://www.springerplus.com/content/3/1/45 (diakses 11-12-2018).

2Saat konsultasi dengan Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor mengemukakan bahwa pemikiran Gus Dur jauh melampaui pemikiran masyarakat umumnya. Diumpamakan langkah kaki, jika masyarakat berpikir satu langkah, Gus Dur sudah berpikir 9 atau bahkan 10 langkah di depan.

3Tokoh-tokoh dimaksud adalah Direktur Utama BEJ (Bursa Efek Jakarta, ketika itu) Marzuki Usman, tokoh muda A.S. Hikam, dan M. Sobary. Ketiga tokoh tersebut tidak sepenuhnya percaya pendapat Gus Dur mengingat ketika itu belum ada demonstrasi, perekonomian nasional masih stabil, dan gejolak mata uang rupiah terhadap dollar juga masih relatif stabil. Wawancara Marzuki Usman bertempat di kantornya Gedung Sahid Sudirman Center Lt. 37, 12-04-2017.

Page 93: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

80

hadapan 976 anggota MPR dan disaksikan jutaan mata rakyat Indonesia, pria kelahiran Desa Kesumuk Argomulyo, Bantul, Yogyakarta 8 Juni 1921 mengucapkan sumpah di bawah naungan Kitab Suci al-Qur’an, berikrar untuk ketujuh kalinya dengan nama Allah untuk memenuhi kewajiban sebagai Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya. “Insya Allah, lima tahun nanti saya akan berdiri di mimbar ini untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepemimpinan saya di hadapan wakil-wakil rakyat Indonesia. Semoga saya tidak mengecewakan harapan rakyat.”4

Setelah menyelesaikan pidato kenegaraan, sorak riuh tepuk tangan mengiringi langkah Presiden Soeharto turun dari podium dan keluar ruangan menuju kediamannya di Jalan Cendana. Putra-putri, cucu, dan keluarga besarnya sudah menunggu; begitu pula Wakil Presiden B.J. Habibie dan istri, Panglima TNI Wiranto, Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin, dan Kapolda Mayjen Pol. Hamami Nata, Staf Istana, dan Paspampres. Senyum gembira menyambut kedatangannya. Tumpeng sudah disiapkan sebagai rasa syukur suksesnya pelantikan. Pada periode ke-7 ini Presiden Soeharto didamping B.J. Habibie sebagai pasanganWakil Presiden. Pasangan ini dinilai tepat untuk membawa negeri lebih maju dan makmur: Presiden Soeharto pensiunan TNI yang berpengalaman birokrasi, sementara Habibie seorang teknokrat memiliki reputasi internasional.5

Dukungan Golkar, PPP, dan PDI dan beberapa organisasi kepemudaan memperlihatkan daya pikatnya sebagai tokoh sentral yang tiada banding. Golkar memperoleh kursi mayoritas di parlemen ketika itu tetap menginginkan “Bapak Pembangunan” bersedia melanjutkan kepemimpinannya. Pada HUT ke-33, 20 Oktober 1997, Ketua Umum Golkar Harmoko menyampaikan pidato yangmeyakinkan Presiden Soeharto. Dengan penuh semangat ia mengatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia masih menginginkannya kembali jadi presiden.6 Hal ini memperlihatkan betapa Presiden Soeharto yang telah jadi ikon Orde Baru memiliki karisma tinggi di dalam dan luar parlemen. A. Masyarakat Indonesia Tahun 1998

Namunelite-elite Golkar, PPP, PDI, dan organisasi kepemudaan tidak membayangkan jika berdirinya Presiden Soeharto di podium kehormatan MPR RIpada 11 Maret 1998 merupakan terakhir kalinya. Janji untuk memimpin negeri selama lima tahun hanya dapat dipenuhi selama 71 hari. Diawali dari krisis moneter yang berlanjut pada gerakan sosial-politik yang sangat dinamis. Situasi tidak dapat

4M. Akbar Wijaya, “Akhir Cerita Penguasa Orba: Drama di Balik Mundurnya Soeharto,” Repulika, 21 Mei 1998.

5Stefan Eklöf, “Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto 1996–98,” Nordic Institute of Asian Studies, Studies in Contemporary AsiaSeries, no. 1 (1999): 127, http://nias.ku.dk/books/ (diakses 06-09-2017).

6Pidato Harmoko tampak tidak memperhatikan realitas sosial dan politik. Karena secara teoritis, fenomena sosial-politik ketika itu dibagi empat bagian. Pertama, elite di tubuh pemerintahan yang bergaris keras (hardliners), Kedua, elite di tubuh pemerintahan yang menginginkan perubahan (softliners), Ketiga, oposisi yang menginginkan perubahan moderat. Keempat, oposisi yang menginginkan perubahan radikal. Lihat Denny JA, Jatuhnya Soeharto dan Transisi Demokrasi Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2006), vii.

Page 94: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

81

dikendalikan para elite politik: aksi demonstrasi mahasiswa terus meluas di berbagai kampus disertai pula aksi-aksi penjarahan. Keamanan nasional benar-benar tidak kondusif. Sama dengan negara-negara Asia lainnya, krisis moneter juga melemahkan nilai tukar rupiah, melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, dan meningkatnya angka kemiskinan. Krisis ekonomi mengakhiri kisah Presiden Soeharto dan elite-elite Orde Baru dari kekuasaan.7

Sejak dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia keduaPresiden Soeharto memusatkan perhatiannya pada pertumbuhan ekonomi; berkomitmen untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan pendapatan negara di satu sisi, namun pula tidak meninggalkan stabilitas di sisi lain. Kebijakan ini seolah berbeda dengan kebijakan Soekarno yang mengedepankan stabilitas sosial-politik sebagai upaya menjadikan Indonesia negara berkembang dengan pembangunan mercusuar. Stabilitas politik Presiden Soeharto mampu menjamin efektivitas pembangunan ekonomi. Pemerintah berusaha mengatasi gejolak-gejolak sosial, mempersempit ruang-ruang kebebasan, dan menutup tawar menawar dengan kekuatan masyarakat –sebuah sistem yang kemudian dikenal dengan Trilogi Pembangunan; ekonomi, stabilitas, dan pemerataan. Meski bukanlah sebuah demokrasi tapi politik otoritarian atau semi otoritarian, selama kurun waktu 1966 hingga 1980, sang arsitek Orde Baru mengagendakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), dengan dominasi sebuah partai politik dan kebebasan terbatas.8

Awal pemerintahan Presiden Soeharto mendesain struktur perekonomian nasional dengan mengumpulkan para teknokrat. Pemerintah membuka mekanisme pasar, pun terlibat aktif dalam meningkatkan pembangunan melalui sektor produksi. Bukan hanya itu, pemerintah juga berperan dalam menambah kuantitas modal, menentukan jumlah pekerja dan kualitas, transfer teknologi, dan menyelenggarakan pendidikan modern. Meski secara keseluruhan belum menunjukkan performa yang membanggakan, kebijakan tersebut mendapat respons positif dari dunia internasional; menambah energi pertumbuhan ekonomi dan menjadikan Presiden Soeharto pada prestasi cukup tinggi. Indonesia masuk dalam negara yang mulai disegani di tingkat Asia maupun kawasan lain, atau dalam pandangan Paul Krugman, tergolong the Miracle of Asia yang pertumbuhan ekonominya sangat membanggakan.9 Indonesia disejajarkan dengan Jepang dan China yang mengalami pertumbuhan ekonomi dan politik cukup signifikan, meninggalkan negara kawasan dunia ketiga lainnya seperti Amerika Latin dan Afrika.

7Stefan Eklöf, Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia The Indonesian Democratic Party (PDI) and Decline of the New Order (1986–98) (Denmark: NIAS Press, 2003), 283-284.

8Dwi Wahyono Hadi dan Gayung Kusuma, “Propaganda Orde Baru 1966-1980,” Verleden, Vol. 1, no. 1 (Desember 2012), 42, www.journal.unair.ac.id/filerPDF/ (diakses 20-12-2018).

9Pertumbuhan ekonomi Asia Timur rata-rata di atas 7 persen telah menjadikan negara-negara industri pendatang baru (newly industrializing coutries). Dengan dukungan stabilitas politik, perkembangan ini kuat dipengaruhi kearifan konvensional (convensional wisdom) tentang kebijakan ekonomi dan geopolitik. Lihat Paul Krugman, “The Myth of Asia’s Miracle,” Foreign Affairs Vol. 73, issue 6 (Nov/Dec 1994): 67-69, https://www.foreignaffairs.com (diakses 26-09-2017).

Page 95: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

82

Pertumbuhan ekonomi ini tidak disertai dengan sistem politik yang kondusif. Program ekonomi secara efektif dan tepat dijalankan pemerintah minim gejolak sosial apalagi tawar-menawar dengan kekuatan oposisi.Kebijakan korporatisme dan mekanisme pasar didukung pula oleh ruang publik yang nyaman dan stabil. Diskusi mahasiswa dan seminar kampus diawasi, jumlah partai poliitik dibatasi, dan kekuatan sosial masyarakat dikontrol. Partisipasi masyarakat dalam bidang sosial dan politik benar-benar direnggut. Presiden Soeharto membangun pemerintahan jadi sangat kuat, otonom, dan tidak tersentuh sama sekali oleh kekuatan manapun. Kekuatan oposisi dan anti sistem lemah. Sistem politik ini menghasilkan stabilitas politik yang dibutuhkan untuk keberhasilan pembangunan ekonomi di awal Orde Baru.10

Sistem ekonomi politikmemberikan peranbesar pada tiga kekuatan utama, yaitu Golkar, militer, dan birokrasi, membuat pemerintah sangat powerfull. Pemerintah pusat menjadi kontrol kekuatan politik terhadap pemerintah daerah yang sangat dominan. Selama tiga dekade Presiden Soeharto berhasil membangun piramida kekuasaan (pyramid of power)11 yang tersentral pada dirinya dan orang sekelilingnya, keluarga, dan kroni. Piramida kekuasaan diciptakan untuk memberikan peran yang luas pada militer dalam politik, politisasi birokrasi, dan Golkar untuk menghadirkan sistem hukum dan penegakan hukum, penghubung antara pusat dan daerah, dan check and balances. Presiden Soeharto membangun kekuatan atas birokrasi untuk memastikan terlaksananya piramida pada semua level.

Golkar di bawah kendalinya menjadi partai yang berkuasa (the ruling party) yang dalam pemilihan umum Indonesia selalu memenangkan mayoritas suara sepanjang Orde Baru.12 Lebih jauh selama bertahun-tahun, menurut Suryadinata, struktur partai mengalami perubahan yang sangat berbeda dibandingkan dengan perubahan yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Manifestasi dari yang terakhir adalah kebutuhan kelompok Muslim urban untuk secara bertahap berpartisipasi dalam politik. Negara pembangunan Orde Baru bukan hanya dalam bidang politik, tetapi secara perlahan juga menumbuhkan gairah Muslim untuk terlibat dalam pengembangan ekonomi. Masuknya sejumlah tokoh

10Ketika pemerintah gagal membedakan antara gerakan oposisi dan mengenali

kemungkinan yang memainkan peran positif, ada tindakan represif yang memperburuk situasi, mendorong impuls revivalisme ke saluran-saluran sempit yang lahir dari rasa sakit, frustasi, dan keputusasaan. Di Timur Tengah, kurangnya ruang politik untuk ekspresi yang tidak setuju merupakan sumber utama radikalisme. Hambatan utama untuk demokrasi di Timur Tengah kurangnya kesempatan untuk praktek demokrasi. Lihat Nathan C. Funk and Abdul Aziz Said, “Islam and the West: Narratives of Conflict and Conflict Transformation,” International Journal of Peace Studies, Vol. 9, no. 1 (Spring/Summer 2004): 19-20, https://www.jstor.org/stable/41852908 (diakses 19-12-2018).

11Sony Karsono, Indonesia's New Order, 1966-1998: Its Social and Intellectual Origins (A Thesis of Ph.D the Faculty of the College Arts and Sciences of Ohio University, 2013), 28-29.

12Leo Suryadinata, “Democratization and Political Succession in Suharto's Indonesia,” Asian Survey, Vol. 37, no. 3 (Mar., 1997): 272, http://www.jstor.org/stable/2645663 (diakses 16-10-2017).

Page 96: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

83

Muslim dalam jajaran pemerintahan baik sipil maupun militer telah melahirkan tokoh-tokoh baru lahir baik dalam bidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan lainnya.

Sinyalemen dekatnya Presiden Soeharto dan Orde Baru dengan tokoh-tokoh Muslim semakin menguat dengan membidani kelahiran ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) pada 1990, ditunjuknya B.J. Habibie sebagai menteri Riset dan Teknologi, dan mencapai puncaknya ketika dipilih sebagai wakil presiden. Antony Giddens menyebutkan bahwa hubungan antara Muslim dan kekuasaan adalah hubungan dialektika kendali (dialectic of control).13 Masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap negara yang mengakibatkan makin terbukanya peluang kekuatan Muslim untuk berada dalam lingkaran kekuasaan. Di akhir pemerintahan Presiden Soeharto sejumlah tokoh-tokoh Muslim jadi pelaku bisnis dan politik.

Muhamad Ali menyebutkan, pemerintahan Orde Baru yang berlangsung antara 1966-1998 telah memberikan peluang cukup besar untuk keterlibatan Muslim menikmati kue-kue pembangunan. Kedekatan ini berdampak pada bantuan-bantuan pemerintah terhadap lembaga pendidikan, madrasah dan pesantren, pembangunan masjid, berdirinya MUI, Bank Muamalat, dan lainnya yang terlihat begitu massif. Momentum ini jadi konsolidasi tokoh-tokoh Islam dalam pembangunan.14Penjelasan Ali terlihat amelioratif yang memberikan pesan bahwa Presiden Soeharto dekat dengan tokoh-tokoh Islam sehingga organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam memperoleh fasilitas-fasilitas penting dari pemerintah, menikmati kue-kue pembanguan yang cukup massif seperti infrastruktur, listrik, pembangunan masjid, dan lainnya. Ali terlihat melakukan generalisasi setiap ormas-ormas Islam yang memperoleh perhatian dari pemerintah.

Hampir seluruh kekuasaan Presiden Soeharto dijalankan dengan tidak berimbang di antara ormas-ormas di Indonesia. Pemerintah terkesan pejoratif yang selalu menempatkan elite-elite pesantren dan NU sebagai organisasipinggiran sementara organisasi lain memperoleh tempat istimewa. Hubungan tidak harmonis antara NU dan kekuasaan Presiden Soeharto mencapai puncaknya pada pencalonan Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU yang tidak mendapat restu dari pemerintah. Pintu istanaPresiden Soehartotertutup bagi Gus Dur ketika terpilih kembali jadi Ketua Umum PBNU pada 1984.15 Dalam konteks Islam politik selalu ada

13Antony Gidden, The Constitution of Society: The Outline of the Theory of

Structuration, alih bahasa Adi Loka Sujono (Malang: Pedati, 2004), 18-22. 14Ali terlihat melakukan generalisasi dalam mengalisa lembaga pendidikan Islam

baik madrasah maupun pesantren yang mendapat perhatian sama. Bahkan, menurut Ali, ideologi pembangunan Orde Baru mampu menghilangkan gap Muslim tradisional dan modernis. “Proses depolitisasi dan deideologisasi yang dijalankan Orde Baru, baik langsung atau tidak, membuka jalan bagi kelompok Muslim yang berbeda ini untuk berinteraksi lebih dekat. Lihat Muhamad Ali, “Islam and Economic Development in New Orde’s Indonesia (1967-1998),” East-West Center Working Papers – International Graduate Student Conference Series, no. 12 (2004); 22-23, www.EastWestCenter.org (diakses 30-10-2017).

15Stefan Eklöf, “Indonesia Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto 1996–98,” Nordic Institute of Asian Studies, no. 1 (1999): 23, http://nias.ku.dk/books/ (diakses 06-09-2017).

Page 97: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

84

upayamarginalisasi dilakukan secara simultan di antara elemen-elemen yang sangat anti-komunis. Hadiz menyebutkan, meski tidak menemukan Orde Baru menyambut PKI yang telah tereliminasi, tetapi saat sama pula kekuatan Presiden Soeharto melakukan operasi di pinggiran lembaga formal kehidupan politik dan sosial, bahkan menjadi sasaran penindasan negara. Sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an mereka menjadi sumber utama kekuatan oposisi.16

Secara konseptual sistem ekonomi politik Orde Baru dapat dikategorikan sebagai “negara radikal” –suatu pemerintahankuat yang tidak menyediakan sedikit pun ruang negosiasi untuk oposisi. Negara radikal semacam ini memiliki persoalan serius dari proses pembangunan ekonomi dan stabilitas politik.17 Arus modal yang masuk untuk melakukan pertumbuhan ekonomi tidak diunggah ke ruang publik yang dapat diketahui masyarakat umum. Pemerintah tidak dapat dikontrol, untouchable, oleh politik masyarakat lemah sehingga membuka peluang praktek korupsi, nepotisme, dan kolusi semakin besar.Stabilisasi diwujudkan dalam bentuk fusi partai politik, dari sembilan jadi dua, dan penerimaan Pancasila sebagai ideologi tunggal.18

Negara awalnya mampu memenuhi harapan masyarakat dalam bidang ekonomi, seperti produksi pertanian, perikanan, perkebunan, dan lainnya. Namun kondisi ini hanya berlaku dalam fase-fase tertentu. Sebuah pembangunan tidak sepenuhnya dijalankan dengan baik dalam sistem politik otoritarian yang mengebiri partisipasi publik. Pada masanya arus modal yang masuk menuntut check and balances tinggi dari masyarakat agar berproduksi secara efisien, justru menjadi sumber korupsi bagi orang-orang di sekeliling kekuasaan. Pembangunan ekonomi dijalankan pemerintah tidak disertai dengan pembangunan politik yang demokratis. Kita gagal mengantisipasi evolusi sistem ekonomi politik sehingga akhirnya menjadi negara radikal.

Pilar-pilar ekonomi yang jadi kebanggaan pemerintahan Orde Baru kita biarkan menjadi negara bangkrut (failed state). Ketika krisis melanda negara-negara Eropa, pemerintah bukannya memperhatikan suara-suara masyarakat agar melakukan langkah-langkah strategis. Pemerintah merasa bahwa krisis moneter tersebut tidak akan berdampak terlalu signifikan terhadap perekonomian nasional. Ketika krisis memasuki Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia, pemerintah Indonesia mulai ekstra waspada. Di Thailand berbagai kebijakan paket ekonomi termasuk pinjaman sebesar 17,2 miliar dollar AS tidak mampu merestorasi sistem ekonomi politik nasional. Sebanyak 56 dari 58 investment houses ditutup, lebih dari 20,000 pekerja kerah putih (white collar workers) kehilangan pekerjaan, dan dua

16Vedi R. Hadiz, “Indonesian Political Islam: Capitalist Development and the

Legacies of the Cold War,” Journal of Current Southeast Asian Affairs, Vol. 30, no. 1 (2011): 18, www.giga-journal-family.org (diakses 28-07-2017).

17Mohd. Noor Mat Yazid,“The Indonesian Economic Development after 1965: Developmental State, Radical Politics & Regional Cooperation,” Sop Transaction on Economic Research, Vol. 1, no. 3 (September 2014): 4, www.scipublish.com/journals/ER/ DOI: 10.15764/ER.2014.03001 (diakses 06-09-2017).

18Ken Ward, “Soeharto’s Javanese Pancasila,” dalam Soeharto’s New Order and its Legacy, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Australia: ANU, 2010), 34.

Page 98: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

85

juta warga menganggur. Perekonomian nasional tumbuh membanggakan dalam 10 tahun terakhir berubah jadi malapetaka, warga banyak jatuh miskin, dan akhirnya Perdana Menteri Chavalit Yongchaiyudh mengundurkan diri.

Dalam waktu bersamaan pemerintah Indonesia melakukan berbagai langkah, seperti melikuidasi 16 bank swasta, melakukan pinjamanan dana segar dari IMF sebanyak 23 miliar dolar AS, dan lainnya.Namun kurs rupiah atas dollar terus merosot tajam, bahkan pernah mencapai angka Rp 17.000/dollar AS –lebih rendah dari periode sebelum paket bantuan IMF. Utang memuncak hingga 80 miliar dollar AS. Utang swasta jugakrusial karena kurs anjlok. Indonesia jadi negara yang paling terjungkal, perekonomian nasional berada titik paling rendah. Capaian ekonomi dan sosial selama 32 tahun hilang, Jakarta berubah jadi medan kerusuhan akibat amukan massa yang menghancurkan ribuan gedungdan terbunuh.

Dalam suasana genting, tokoh NU menyerukan agar Presiden Soehartolengser keprabon. Jubir ABRI, Brigjend Mokodongan dalam konferensi pers merespons pernyataan NU. Tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah kemudian menemui Presiden Soeharto. Empat belas menteri mundur.19 Masyarakat frustasi namun tetap bertekad menjaga keutuhan negara, akhirnya bergerak menggelorakan reformasi. Pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali memenuhi tuntutan mahasiswa, melanjutkan pemerintahan tanpa Presiden Soeharto. Habibiedilantik jadi presiden pada 21 Mei 1998.20

1. Kiai Khos dalam Perubahan Politik

Keberadaan kiai selalu identik dengan sosial budaya masyarakat. Sebagai elite pesantren kiai tidak hanya berperan sebagai penggerak perubahan dalam lanskap pengajaran rutin terhadap santri-santrinya, tetapi dalam perkembangannya kiai juga berfungsi sebagai cultural broker (penyaring budaya) masyarakat. Kiai dalam kapasitas ini jadi seorang tokoh agama yang mahir memberikan solusi dan figur berpengaruh dalam sosial politik. Zaman mengungkapkan,21 transformasi sosial agama ke sosial politik, sebagaimana terjadi Pakistan dan India, disebabkan pendidikan yang memberikan landasan kredibel (credible grounding)dalam tradisi Islam dan meningkatkan kepercayaan keagamaan sejalan perubahan zaman.

Sama dengan di Pakistan, kiai terlihat mampu melakukan transformasi tersebut setelah memperoleh pendidikan luas. David Bourchier and Vedi R. Hadiz juga menyebutkan,kesuksesan kiai bertransformasi diri dari elite pesantren kepada elite politik sangat ditentukan oleh pengalaman dan pendidikan.Pendidikan ini

19Nurlira Goncing, “Politik Nahdlatul Ulama dan Era Orde Baru,”The POLITICS, Vol. 1, no. 1 (January 2015): 72 https://media.neliti.com (diakses 28-07-2017).

20Sepanjang tahun 1998 demonstrasi mahasiswa hampir berakhir bentrok dengan petugas keamanan. Demonstrasi terjadi di seluruh kota, tuntutan utamanya sama, turunkan Soeharto. Di Makassar demonstrasi mendapat pengawalan ketat pihak kepolisian dan militer. Lihat Hasse J. “Anarkisme Demonstrasi Mahasiswa: Studi Kasus pada Universitas IslamNegeri Alauddin Makassar,” Jurnal Studi Pemerintahan Vol. 3 no. 1 (Feb. 2012): 57,http://www.researchgate.net, DOI: 10.18196/jgp.2012.0004 (diakses 11-12-2018).

21Muhammad Qasim Zaman,“Islam in Modern South Asia: Continuity and Change since the Early Twentieth Century,” Institute on Culture, Religion and World Affairs (2016): 4 www.bu.edu/cura (diakses 26-05-2017).

Page 99: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

86

selain mempengaruhi gerakan sosial politik juga memberi dampak atas dinamika tradisi Islam di tengah masyarakat modern. Transformasi kiai dalam politik secara historis memiliki akar sejarah kuat sebagaimana dijelaskan di atas.22Meski harus diakui tidak semua kiai memiliki kemampuan untuk melakukan transformasi ini, tetapi dalam skala lokal, peran kiai sangat menentukan program-program pedesaan. Sebagaimana digambarkan Mansurnoor, dukungan banyak sumber terutama dari kiai akan menjamin efektifitas program pedesaan Madura, Sunda, dan Jawa, termasuk program pembangunan pendidikan umum.23

Transformasi ini dapat dilihat gerakan politik kiai pasca lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. Sejumlah kiai secara mendadak menjadi politisi melalui pendirian partai-partai politik baru atau setidaknya menjadi alite partai baik di tingkat wilayah (DPW) maupun cabang (DPC). Partai-partai tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam bab V, mengandalkan karisma kiai untuk menarik simpati masyarakat dan mengumpulkan suara dalam berkampanye daripada studi mendalam perilaku pemilih. Sebagian besar partai politik yakin bahwa metode kampanye tradisional lebih efektif daripada metode-metode ilmiah.

Begitu juga PKB yang dianggap anak kandung NU menggunakan cara-cara tradisional untuk memperoleh suara dan menjadikannya sebagai partai politik besar.24Musim semi elite-elite pesantren dalam dunia politik ini menuai kritik keras dari masyarakat. Pertama, melanggar khittah 1926. Keterlibatan kiai dalam politik dianggap pengingkaran terhadap khittah 1926 yang pernah dicetuskan Gus Dur saat terpilih jadi Ketua Umum PBNU pada tahun 1984. Pandangan ini ingin menempatkan kiai sebagai pemilik kekuasaan kultural yang diidentikkan mengurus pesantren dan memberdayakan masyarakat, dan menghindari politik kekuasaan struktural. Khittah 1926 dipahami sebagai emoh politik –atau mungkin lebih tepat apriori kekuasaan. Pandangan tekstualis seperti ini mengidealkan kiai konsisten memperkuat kekuasaan kultural.

22Pada 1984 Gus Dur memutuskan NU pisah dari PPP. Selain mencari kekuatan

politik langsung untuk kekuatan Islam (Islamic forces), Gus Dur juga melakukan transformasi sosial mendasar yang melibatkan penegakan demokrasi, aturan kebebasan hukum, dan sosial dan politik. Kontribusinya, Gus Dur berhasil membangun jembatan yang menghubungkan pemikiran politik Islam tradisional dan pemikiran pluralis sekuler. Gus Dur tampil sebagai pemimpin politik yang daya tariknya jauh melampaui konstituen alami para warga NU. Lihat David Bourchier and Vedi R. Hadiz, eds. Indonesian Politics and Society: A Reader (London: RoutledgeCurzon, 2003), 120.

23Mansurnoor menyebutkan, popularitas kiai dalam pembangunan desa menjamin posisi sentralnya. Meski pemerintah berhasil membuka sekolah-sekolah umum di hampir setiap desa, pendidikan agama terus berkembang di samping pendidikan sekuler tersebut. Lihat Iik Arifin Mansurnoor, “Local Initiative and Government Plans: "Ulama" and Rural Development in Madura, Indonesia,” Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 7, no. 1 (February 1992): 91, http://www.jstor.org/stable/41057120 (diakses 19-09-2015).

24Dalam sebuah pertemuan para fungsionaris PKB pada April 1999 terungkap, ‘kita hanya akan meminta beberapa kiai untuk berdiri di podium dan berkata, “pilih PKB” (vote PKB), hanya itu’. Lihat Marcus Mietzner,“Political Opinion Polling in Post-Authoritarian Indonesia,” Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde, Vol. 165, no. 1 (2009): 100-101 http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv (diakses 16-10-2017).

Page 100: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

87

Kedua, politik wilayah haram. Pandangan ini cenderung memisahkan antara agama dan politik, antara wilayah profan dan sakral.25 Kiai sebagai elite pesantren yang mengurus umat dan jamá’ah selalu ditempatkan dalam wilayah mulia,sementara politik ditempatkan sebagai profan yang selalu diidentikkan dengan korup dan kotor. Karena itu politik dianggapnya sebagai wilayah haram bagi kiai yang selalu menjalani kehidupan kesucian. Dunia politik yang selama ini dikenal koruptidak selayaknya diurus kiai, sebaliknya kiai seharusnya berkecimpung di bidang agama yang sakral.

Pandangan kiai tidak politik praktis adalah ahistoris bahkan cenderung kolonialistik. Dalam sejarah kebangsaan tercatat peran sosial keagamaan dan politik kiai dalam membawa perubahan cukup signifikan baik sebelum perjuangan maupun pasca kemerdekaan. Namun, seperti diungkapkan dengan indah Federspiel,26perjuangan kiai melalui politik berbeda dengan gerakan Islam politik yang lahir dalam satu dekade terakhir Karena itu, khittah lebih tepat diartikan sebagai sebuah “siasat politik” untuk menegosiasikan kembali kekuatan-kekuatan kiai dalam politik kekuasaan. Meski tidak sepenuhnya berhasil, siasat ini membuka jalan baru, perjuangan kultural, untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Gerakan perubahan-perubahan baru (new changes) ini mampu membangkitkan kesadaran untuk melakukan dalam intelektualisme di kalangan generasi muda santri, yang meminjam bahasa Roy27 sebagai gerakan revolusioner (revolutionary movements) kiai yang tidak dialami di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir, Tunis, dan lainnya dalam 60 tahun terakhir.

Dengan kata lain kiai berhasil mensintesakan agama dan politik sehingga kemudian melahirkan gerakan Islam politik (political Islamic movement), terutama sejak berdirinya partai-partai politik kiai. Meski kini tersisa hanya PKB, fenomena berdirinya parpol-parpol ini menunjukkan figur kiai masih memiliki daya pikat bagi masyarakat yang memberi peluang untuk kembali ke panggung politik kekuasaan

25Gus Dur kelihatan tidak pedulikan anggapan tersebut. Karenanya, saat pendirian

PKB ia mengajak sejumlah kiai untuk kembali ke dunia pollitik. Sejumlah kiai mencoba debut politiknya di tingkat lokal seperti K.H. Amiduddin Ibrahim dan K.H. Muhtadi Dimyati di Banten. Lihat Abdul Hamid, “The Kiai in Banten: Shifting Roles in Changing Times,” dalam Islam in Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia, eds. Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, and Ahmad Suaedy (Jakarta: Wahid Institute, 2010), 432-433.

26Kiai menentang militansi Islam yang memainkan peran penting dalam politik nasional saat ini. Mereka menguasai sekitar seperempat kursi di parlemen. Di luar kelima partai itu ada partai politik Muslim lainnya—kebanyakan tanpa perwakilan di parlemen—memiliki platform yang menyerukan negara Islam dan kebijakan bertentangan dengan komunitas agama lain dan Barat. Sebagian pengamat menilai tidak berpengaruh, tapi mereka menimbulkan ancaman baru dan mengaburkan isu peran politik Islam. Lihat Howard M. Federspiel, “Indonesia, Islam, and U.S. Policy,” The Brown Journal of World Affairs, Vol. IX, no 1 (Spring 2002): 111-112, http://www.jstor.org/stable/24590276(diakses 16-10-2017)

27Olivier Roy, “The Transformation ofthe Arab World,” Journal of Democracy, Vol. 23, no. 3 (July 2012): 14 http://www.journalofdemocracy.org (diakses 10-05-2017).

Page 101: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

88

baik elite partai di tingkat wilayah maupun cabang.28 Kiai-kiai seperti ini penulis kategorikan sebagai kiai khos –seorang pemimpin yang memiliki kompetensi-kompetensi personal yang diperlukan dalam dunia politik seperti integritas moral (moral integrity) dan kemampuan memahami fenomena politik nasional dan internasional.29

Jun Honna dalam The Legacy of the New Order Military in Local Politics: West, Central and East Java mengartikan kiai khos sebagai pemimpin karismatik (charismatic Islamic leaders) yang memiliki pengaruh luas di masyarakat. Pengaruh ini disebabkan keilmuan dan nilai-nilai spiritual yang dijalankannya berdampak pada pertumbuhan sosial budaya politik. Gus Dur tidak merinci sosok kiai khos tapi diakui keberadaannya cukup besar dalam perubahan NU sebagai organisasi Islam. Meski penjelasannya singkat tapi cukup untuk memberikan pemahaman penting tentang kiai khos dalam mendinamisir NU.

Lebih jauh Honna menyebutkan,30 kiai khos adalah sosok yang memiliki kekuasaan dan pengaruh di tingkat masyarakat yang ditautkan dengan politisi lokal.Munculnya kiai khos dikaitkan dengan banyak fenomena sosial budaya masyarakat yang membutuhkan bimbingan dari seorang yang memiliki integritas moral dan pengetahuan cukup. Jadi, kiai khos adalah seorang tokoh berpengaruh di masyarakat. Pengaruhnya melampaui batas-batas ideologis dan umur. Setiap tutur dan langkahnya memiliki arti bagi masyarakat di bawahnya.

Karisma tidak tumbuh dalam ruang hampa, tetapi melalui sejumlah proses yang dilalui sehingga melahirkan nilai-nilai berbeda yang dikagumi oleh masyarakat.Karisma adalah kualitas seseorang yang bisa mempengaruhi orang lain. Interaksi tokoh karisma yang mempengaruhi pengikut di bawahnya merupakan fenomena karisma efektif. Karisma bisa lahir dari kualitas kepribadian, kemampuan berkomunikasi, intelektualitas tinggi, dan bahkan kekuatan supranatural. Karisma ditentukan kualitas seseorang yang dianggap figur yang tidak dimiliki orang lain,

28Berdirinya PKB berbeda dengan Partai NU sebelumnya. Gus Dur menempatkan

PKB sebagai partai baru berbasis NU citra lebih inklusif daripada sebelumnya. Sejumlah kiai protes atas sikap ini, tapi Wahid bersikeras bahwa PKB partai terbuka untuk semua agama dan konstituen, dan tidak mengadopsi Islam sebagai landasan ideologisnya. Wahid bahkan mengancam akan mendirikan partai nasionalisnya jika para kiai menolak mengikutinya. Fleksibelitas luar biasa inilah mengantarkan Wahid ke kursi presiden. Lihat Marcus Mietzner, “Comparing Indonesia's Party Systems of the 1950s and the Post-Suharto Era: From Centrifugal to Centripetal Inter-Party Competition,” Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 39 no. 3 (Oct., 2008): 447 http://www.jstor.org/stable/27751535 (diakses 3-05-2016).

29Pak Harto juga memanfaatkan karisma kiai dalam memobilisasi politik dan membangun hubungan politik dengan masyarakat melalui kepemimpinan taraket. Misalnya, Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN) yang masa Orde Lama pernah bergabung dengan Darul Islam, pada Orde Baru jadi pendukung kuat Golkar. Lihat Julia Day Howell, “Sufism and the Indonesian Islamic Revival,” The Journal of Asian Studies, Vol. 60, no. 3 (Aug., 2001), 714 http://www.jstor.org/stable/2700107 (diakses 13-05-2016).

30Jun Honna, “The Legacy of the New Order Military in Local Politics: West, Central and East Java,”dalam Soeharto’s New Order and its Legacy, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Australia: ANU, 2010), 148.

Page 102: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

89

melakukan sesuatu yang orang lain tidak bisa melakukannya. Proses saling mempengaruhi antara yang disifatkan kepada figur dan para pengikutnya memunculkan motivasi. Jadi otoritas karismatik diberikan kepada individu-individu luar yang kualitas pribadinya heroik dan suci. Pemimpin karismatik adalah seorang yang para pengikutnya mematuhi pola perilaku atau aturan hidup yang ditetapkan.31

Horikoshi menjelaskan,32 seseorang diakui dan dikenal sebagai sosok karismatik jika memenuhi dua prasyarat sifat berikut. Pertama, sifat-sifatnya harus sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dijunjung tinggi masyarakat reseptif, dalam konteks budaya yang spesifik. Sifat dan kemampuan luar biasa yang gagal dalam bidang ini, tidak membangkitkan kesan karismatik pada seseorang karena semua itu secara simbolis merupakan petunjuk yang salah. Kedua, kemampuan-kemampuan yang begitu tinggi itu dipandang oleh kelompok sekultur sebagai sesuatu yang sulit dicapai atau dipertahankan. Gagasan tentang sifat yang tak mudah dicapai oleh masyarakat umum inilah yang membuat kelihatannya luar biasa. Lebih jauh Horikoshi menjelaskan sifat-sifat seorang berkarisma meliputi: sifat transendental, gagah (pemberani), dan nilai etik dan moderat.Karisma seseorang terletak pada sifat-sifat transendental yang diyakini para pengikutnya. Sifat-sifat tersebut sebagai personifikasi yang sempurna bagi semesta dan jadi teladan hidup. Bagi para pengikutnya seseorang memiliki sifat yang dalam tradisi sufi dikenal ma’rifat (derajat sufi tinggi), yang mengajarkan tradisi-tradisi sufistik dan cara mencapai derajat tertinggi yang didambakan setiap muslim.

Selain memiliki nilai transenden, para pengikutnya juga menilai seorang karismatik memiliki sifat ‘gagah’ (pemberani) yang ditampakkan oleh seseorang dalam menolak segala otoritas duniawi dan menyalurkan kekuatan melawan lingkungan-lingkungan tidak sehat. Segala perilaku dilakukan untuk melahirkan kemanfaatan. Sebuah pencapaian yang sukses merupakan bukti dari nilai diri dan kekuatannya. Karena harga diri seseorang timbul dari kekuatan dan kekuasaan diri yang melahirkan harga diri di hadapan masyarakat.33

Selanjutnya sifat seorang ditentukan oleh prinsip-prinsip etik dan moderat. Sifat seorang yang paling dikagumi dan berulangkali ditiru para pengikutnya adalah sikap jujur terhadap orang lain. Perbuatan jujur dilakukan pada siapa saja tanpa melihat status sosial dan kedudukannya. Seseorang memiliki tabiat sama, seperti tidur, makan, dan minum. Namun di luar itu seorang karismatik mengisi hidupnya dengan takwa, amal soleh, menegakkan keadilan, dan jujur. Ketika kejujuran, keberanian, dan transendensi diperlukan masyarakat dalam kepemimpinan di Indonesia, kiai khos telah memperlihatkannya.

31Gary Dickson, “Charisma, Medieval and Modern,” Religions, 3 (August 2012):

764, www.mdpi.com/journal/religions DOI:10.3390/rel3030763 (diakses 10-05-2017). 32Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial,pener. Umar Basalim dan Andy

Muarly Sunrawa (Jakarta: P3M, 1983), 226. 33Dalam hal ini dapat dilihat dari tradisi santri yang kehidupannya ditentukan oleh

keterkaitan antara kiai dan nilai pesantren. Lihat Achmad Zainal Arifin, Charisma and Rationalisation in a Modernising Pesantren: Changing Values in Traditional Islamic Education in Java (A Thesis of Ph.D of Western Sydney University, 2013), 30-31.

Page 103: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

90

Kiai khos telah mentransformasi nilai-nilaihidup di masyarakat kepada dunia luar. Selama pemerintahannya, Presiden Gus Dur kerap menggunakan sebagai sandaran hidup bahkan kebijakan-kebijakannya. Keberadaannya tidak terlalu dirasakan dampaknya dalam realitas politik karena singkatnya pemerintahan Gus Dur, namun cukup memberikan arah politik ekonomi Tanah Air. Bangsa membutuhkan kehadiran kiai-kiai khos baik dalam konteks sosial maupun politik di tengah menguatnya gerakan sektarian Islam. Hefner mengemukakan,34 jika melihat gerakan politik dan etatis dakwah (appeal) Islam seperti pemberontakan Dárul Islam pada 1950-an, persaingan politik 1950-an dan awal 1960-an, dan kekerasan Jamaah Islamiyah tahun 2000-an, selalu ada yang sibuk dengannegara Islam. Gerakan ini tampak mengancam warisan para kiai dan pejuang Indonesia. Di sinilah penting kehadiran kiai khos. 2. ProfilKiai Khos

Dalam suatu kunjungan kenegaraan, Presiden Gus Dur dan rombongan berbicara dengan seorang K.H. Idris Marzuki. Salam satu tokoh dalam rombongan tersebut, Marzuki Usman menuturkan, Presiden Gus Dur dan K.H. Idris Marzuki membicarakan situasi politik terkini ketika para anggota DPR menyoroti kebijakan-kebijakannya. “Gus, izin saya dan rombongan untuk menghadapi para demontran di Jakarta. Mendengar itu dari Idris Marzuki, Gus Dur menjawab, masalah politik adalah urusan saya, sementara pesantren adalah urusan para kiai.”35

Dunia politik selama pemerintahan Presiden Gus Dur mengalami turbulansi cukup tinggi. Kehadiran kiai untuk memberikan dukungan dan memperlihatkan legitimasi baru tentang peran penting tokoh karismatik yang tidak sekadar mengurus pesantren tapi juga politik dan negara. Legitimasi kiai yang konsisten melayani kebutuhan agama dan keagamaan umat untuk terlibat langsung dalam penyusunan legislasi, dan bahkan dipilih sebagai presiden. Barton berpendapat,36 tidak sedikit (bahkan Indonesia) yang salah paham terhadap pemerintahan yang dibangun Gus Dur. Barton mengakui interaksinya selama hari-hari menemani aktivitas Presiden Gus Dur berkunjung ke seluruh Indonesia bahkan luar negeri

34Robert W. Hefner, “Indonesia, Islam, and the New U.S. Administration,” The

Review of Faith & International Affairs Vol. 14, no. 2 (Summer 2016): 62 http://www.tandfonline.com/action/journalDOI: 10.1080/15570274.2016.1184444 (diakses 28-05-2017).

35Ucapan tersebut diucapkan K.H. Idris Marzuki kepada Gus Dur ketika menghadapi masa-masa sulit, protes anggota DPR dan sejumlah tokoh Islam. Wawancara Marzuki Usman bertempat di kantornya Gedung Sahid Sudirman Center Lt. 37, 12-04-2017

36Saya memperoleh akses luar biasa selama kampanye politiknya setelah jatuhnya Soeharto dan selama kepresidenannya. Saya menghabiskan ratusan jam bersamanya selama periode ini, setelah mengenalnya dengan sangat baik sejak pertama kali pada akhir 1980-an. Selama kepresidenannya, 21 bulan, saya menghabiskan sekitar tujuh bulan sebagai tamunya, bangun paling pagi pukul 04.30 untuk menghabiskan tiga jam pertama bersamanya. Saya juga melakukan perjalanan dengannya ke seluruh Indonesia, kadang ke luar negeri, dan mengamatinya di tempat kerjanya sebagai presiden. Lihat Greg Barton, Abdurrahman Wahid: Muslim Democrat, Indonesian President (A View from the Inside) (Australia: University of New South Wales Press Ltd, 2002): 1-2.

Page 104: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

91

untuk memahami Gus Dur, Islam tradisional, dan kiai-kiai di sekelilingnya.Gus Dur memang tidak bisa dilepaskan dari kekuatan kiai.

Pengalaman sama juga dialami wartawan senior Kompas, Mohamad Bakir.37yang dalam memahami kekuasaan Presiden Gus Dur. Kesempatan Bakir menemani Gus Dur sejak jadi Ketua Umum PBNUsejak 1980-anhingga jadi Presiden RI memudahkannya memahami pemikiran-pemikirannya. Sepanjang tersebut Gus Dur selalu memunculkan kosa kata baru dalam wacana keberagamaan dan politik Indonesia. Bahkan tidak jarang para wartawan heran ketika ia terlihat berbicara dengan seseorang yang tidak tampak tubuhnya. Bakir berpendapat, Gus Dur seorang politisi ulung secara genius mampu menggerakkan pola pikir elite-elite pesantren untuk berkontribusi dalam bidang sosial politik.

Fenomena kiai khos adalah fenomena kebersinggungan elite pesantren dalam panggung kekuasaan. Kiai selama ini diidentifikasi pemilik kekuasaan pesantren yang memiliki pengaruh dalam sosial masyarakat, sejak Presiden Gus Dur memunculkan era baru yang selanjutnya disebut kekuasaan politik yang harus dipahami sebagai sebuah dinamika persinggungan kaum tradisional dan politik di Indonesia. Selama hampir tiga dekade, persinggungan keagamaan kaum tradisional absen dalam kekuasaan. Intensifikasi ini yang kemudian melahirkan paradigma baru terutama relasi antara agama dan kekuasaan.38

Dengan kata lain, kiai khos memiliki pengaruh dalam politik dan memimpin negara. Karena ketika Gus Dur berada dalam kekuasaan menunjukkan seorang kiai jadi pemimpin negara yang keadaannya dalam masa transisi menggunakan pengaruh kiai untuk ikut terlibat dalam politik. Kiai semula hanya berpengaruh di pesantren kemudian diikutkan berpengaruh dalam politik yang dari silsilah memiliki akar kuat dalam komunitas sosial dan sejarah kuat dalam platform keislaman Indonesia. Kekuatan ini ditandai dengan sejarah panjang berdirinya pesantren dalam sejarah keagamaan Indonesia. Dalam sejarah panjang tersebut pesantren tetap memelihara dengan baik genealogi keilmuan-keilmuannya.

Kedua, memiliki keistimewaan dan kelebihan. Kiai khos adalah seseorang yang memiliki sejumlah kelebihan dan keistimewaan berbeda dibandingkan kiai lainnya. Pemahaman kelebihan ini dalam tradisi NU disebut karômah dapat dilihat kehidupan sehari-harinya, yang dalam perspektif politik dapat memproyeksikan sesuatu yang belum dan akan terjadi dalam masyarakat dan dalam konteks politik jadi wasilah untuk memperoleh sesuatu berbeda yang kemudian disebut tabarrukan (keberkahan) dan dalam tradisi khazanah keilmuan Islam juga disebut sangat alim (‘álim allámah).39 Dalam ilmu syariat ‘álim allámah gelar keilmuan yang menunjukkan penyandangnya seorang ulama yang ilmunya luas.

Dalam tradisi NU karômah merupakan kekuatan gaib (supranatural powers) yang hanya diberikan Allah kepada dia yang dikehendaki karena kualitas

37Wawancara dengan Mohamad Bakir bertempat di Kantor Harian Kompas,

Palmerah Jakarta Selatan 25-11-2016. 38Wawancara dengan anggota DPR RI Fraksi PKB Jazilul Fawaid di Parlemen

Jakarta, 30-11-2016. 39Wawancara dengan Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini di Lt. 3

Kantor PBNU, 10-11-2016.

Page 105: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

92

pengabdiannya.40 Kiai khos tidak hanya dikenal sebagai pengasuh pesantren, tetapi juga panutan, teladan, pemimpin spiritual dan sosok yang dapat menyelesaikan berbagai masasalah di masyarakat dan bangsa, mulai dari masalah agama, budaya, sosial, ekonomi, hukum, pendidikan dan politik baik lokal, regional, nasional, dan internasional. Salah satu kiai yang dianggap memiliki karômah semacam ini adalah K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng dan Nahdlatul Ulama (NU).

Ketiga, tidak tergoda duniawi. Kiai khos selain memiliki derajat keilmuan di atas rata-rata, hal terpenting lainnya tidak mudah tergoda gemerlap duniawi dan isinya. Kiai dalam pengertian ini mampu menjaga muruah di tengah kehidupan hedonistik. Dalam arti bahwa kiai khos merupakan kiai yang mampu menempatkan diri dalam derajat ma’rifat atau bahkan hakîkat yang tidak memiliki ketertarikan dengan kehidupan duniawi. Hidupnya diniatkan untuk ibadah dan mengelola lembaga pendidikan yang dipimpinnnya sehingga memiliki jamá’ah (pengikut) yang cukup banyak.

Berikut lima kiai khos yang kerap menjadi perhatian para tokoh nasional baik dalam meminta restu atau memohon doa.Kelima kiai ini jadi perhatian kalangan intelektual baik dalam maupun luar negeri ketika Gus Dur seringkali menyebutnya dalam berbagai varian.41 a. K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus): SastraKebangsaan

Gus Mus, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, salah satu pesantren tua di Jawa Tengah yang didirikan oleh K.H. Zainal Mustofa pada 1942. Lahir di Rembang pada 10 Agustus 1944 M/Ramadhan 1363 H, Gus Mus menghabiskan masa remaja dengan belajar langsung ke K.H. Bisri Mustofa (1915-1977 M/1334-1397 H), kemudian belajar pada K.H. Marzuki dan K.H. Mahrus Ali di Pesantren Lirboyo, dan pada K.H. Ali Ma’shum dan K.H. Abdul Qadir di Pesantren Krapyak Yogyakarta, hingga selanjutnya pendidikannya disempurnakan di Universitas Al-Azhar, Cairo.

Selain Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin, Gus Mus juga dikenal penyair dan sastrawan nasional yang cukup populer di Tanah Air.42 Pada 24 Januari 2018 mendapat anugerah Yap Thiam Hiem Award. Meski penghargaan ini sempat mengundang polemik, melalui puisi-puisinya Gus Mus dapat dikategorikan sebagai seorang kiai yang memiliki perhatian besar terhadap perjuangan dan penegakan HAM. Dengan keteguhan dalam membangun moralitas kemanusiaan, Gus Mus jadi seorang figur kiai yang berpengaruh luas khususnya di lingkungan

40Suswanta, “Shifting Roles and Political Support of Kiai Individual, Structure, and

Integrative Perspectives “ Journal of Government and Politics, Vol. 5 no. 2 (August 2014): 129-130,http://www.journal.umy.ac.id/index.php/DOI:10.18196/jgp.2014.0013 (diakses 11-01-2016).

41Lihat Harian Merdeka, Kamis, 24 April 2014 (sumber: merdeka.com) 42Robert Rozehnal, ed. Piety, Politics, and Everyday Etics in Southeast Asian

Islam: Beautiful Behavior (New York: Bloomsury, 2019), 212.

Page 106: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

93

Nahdlatul Ulama (NU) masyarakat Indonesia umumnya.Gus Mus disegani karena konsistensinya.43

Harian Merdeka menjelaskan, calon presiden (Capres) Joko Widodo pada 20 Maret 2014 diam-diam menyambangi Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, menemui Gus Mus. Pertemuan dua tokoh tersebut berlangsung secara tertutup, Jokowi didampingi kader PDI-P yang juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Teten Masduki, dan Ketua DPP DP Anshor Nusron Wahid. Kedua tokoh berdialog tentang kondisi Islam, dinamika, dan perkembangan NU dan Islam di Indonesia.

b. K.H. Maimun Zubair: Fikih Kebangsaan

K.H. Maimun Zubai lahir di Karang Mangu, Sarang pada 28 Oktober 1928/Sya’ban 1347 H. Ayahnya, Kiai Zubair, murid pilihan Syaikh Said al-Yamani dan Syaikh Hasan al-Yamani Al-Makky, dua ulama bereputasi internasional. Selain pengasuh Pondok Pesantran Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah ia juga seorang mursyid Tariqat Idrisiyah Syadziliyah di Jawa Tengah. Mbah Maimun seorang tokoh karismatik yang memiliki pengaruh luas dalam politik Indonesia baik di era Orde Baru maupun Reformasi.44

Ia memperoleh pengajaran langsung dari ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah, dan berbagai macam syara’ lainnya. Pada usia 17 tahun ia hafal kitab-kitab nadzam seperti Imrithî, Alfiyah Ibnu Málik, Matan Jauharotut Tauhîd, Sullamul Munarôq serta Rohabiyyah fi al-Farôid. Setelah itu ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo untuk belajar langsung ke K.H. Abdul Karim, K.H. Mahrus Ali, dan K.H. Marzuki untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman.

Menginjak usia 21 tahun, ia melanjutkan pendidikan ke Makkah. Di tempat baru ini ia sempat belajar langsung pada banyak ahli agama seperti Sayyid Alawi ibn Abbas Al-Máliki, Syaikh Al Imám Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amîn Al-Quthbî, Syaikh Yásin ibn Isá Al-Fadanî, dan Syaikh Abdul Qodîr Al-Mandilî. Meski sudah dari Tanah Arab, ia masih belajar kembali ke sejumlah tokoh sepulangnya ke Tanah Air. Sejak 1983 Kiai Maimun Zubair tergolong dalam anggota Batsul Masail NU bersama tokoh-tokoh fiqih lainnya sebagai seorang mujtahid.45

43Salah satu karisma K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) tampak pada Muktamar NU

ke-33 di Jombang, Jawa Timur 08-05 2015. Di tengah kristalisasi dukungan terhadap dirinya jadi Rais ‘Am PBNUdi satu sisi, dan dukungan muktamirin terhadap tokoh lain di sisi lain, Gus Mus dengan tegar menyatakan mundur dalam pencalonan Rais ‘Am melalui suratnya yang ditulis dalam Arab Pegon. Lihat Kharisma Gus Mus Dan Rahasia Dibalik Keagungan Muktamar NU 33, http://www.muslimoderat.com/2015/08/kharisma-gus-mus-dan-rahasia-dibalik. html?m=1 (diakses 08-05-2017).

44Zubair, “Political Conception of Sufism Leader in Java,” Atlanctis Press, Vol. 154 (January 2018): 86, https://www.researchgate.net/publication/322837448 DOI: 10.2991/icclas-17.2018.21 (diakses 15042019).

45Nadirsyah Hosen, “Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad,” New Zealand Journal of Asian Studies, Vol. 6, no. 1 (June 2004): 17, https://www.nzasia.org.nz (diakses 08-05-2017).

Page 107: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

94

Sejumlah politisi seringkali menemui dan sowan ke Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang. Rembang, Jawa Tengah seperti Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, Djan Faridz, Ahmad Muzani, Fadli Zon, dan lainnya.

c. K.H. Idris Marzuki: PorosNusantara

Gus Dur dikenal dekat dengan K.H. Idris Marzuki atau dikenal Mbah Idris baik sebelum maupun setelah jadi presiden. Bahkan, ketika Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden tentang pembekuan DPR pada tahun 2001,46 Mbah Idris menggalang kekuatan seluruh kiai se-Indonesia untuk mendukungnya dan melawan siapapun yang berani melengserkan Presiden Gus Dur.

Mbah Idris lahir dari seorang tokoh besar, K.H. Marzuki Dahlan atau lebih dikenal Gus Zuki (1906-1975/1324-1394 H), putra Kiai Dahlan Soleh asal Bogor yang juga pengasuh Pondok Pesantren Jampes. Ketua PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa mengatakan, Mbah Idris memiliki pengaruh luas dalam dunia pesantren di wilayah Jawa Timur. Selain itu, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo ini juga dikenal sebagai Kiai Langitan.47

Selama ini, Pesantren Lirboyo jadi sarana bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk mendulang suara. Bahkan dalam pemilu 2014, beberapa pengasuh pesantren ini juga jadi caleg PKB. Berdirinya PKB tidak terlepas dari dukungan sejumlah kiai, termasuk K.H. Idris Marzuki. Meski begitu pengaruh Kiai Idris mencakup di luar fungsionaris PKB dan tokoh-tokoh nasional lainnya. Para tokoh datang ke Pondok Pesantren Lirboyo, selain bertemu santri dan pengasuh Pondok Pesantren K.H. Idris Marzuki juga memohon petunjuk, arahan, dan doa agar dalam perjalanan dirinya diberi kemudahan dan keberkahan.

Sejak 1983 Kiai Idris melakukan sejumlah terobosan di Pesantren Lirboyo mulai dari sarana hingga kurikulum. Santri meningkat pesat. Para santri memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Tribakti atau Universitas Al-Azhar, Cairo. Para alumni banyak memegang posisi penting di NU mulai tingkat cabang hingga pusat. Pesantren Lirboyo mampu memberikan peran penting dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).48 d. K.H. Abdullah Faqih: Poros Langit

Di NU selain nama-nama di atas, tokoh karismatik lainnya adalah Kiai Langitan atau dikenal K.H. Abdullah Faqih atau akrab disapa Mbah Faqih. Mbah

46Lihat Harian Tempo, Idris Marzuki: Pribadi Gus Dur Jadi Menakutkan dan

Mengancam NU, 08-12-2004 (sumber: tempo.com). 47Lihat Harian Republika, K.H. Ahmad Idris Marzuki Termasuk Kiai Langitan, 09

Juni 2004 (sumber: republika.com). 48K.H. Idris Marzuki memiliki konsern terhadap pengembangan santri sebagai

penerus para cendekiawan. Ia mendukung setiap pengembangan santri agar aktif dalam keterampilan dan akses teknologi. Santri harus berkhotbah di media massa. Lihat Ahmad Muflih, Armanu, Djumahir and Solimun, “Leadership Evolution of Salafiyah Boarding School Leader at Lirboyo Kediri,” International Journal of Business and Management Invention, Vol. 3 no. 3 (March. 2014): 42 www.ijbmi.org(diakses 28-04-2017).

Page 108: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

95

Faqih tinggal di gubuk kecil di lingkungan pesantren. Meninggal pada Rabu, 29-02-2012 sekitar pukul 19.00 di RS Umum Daerah dr. Soetomo, Surabaya, Mbah Faqih dikenal kesederhanaannya. Sosok Kiai Faqih adalah pribadi yang membumi.

Namanya mencuat menjelang Sidang Umum Majelis Permusyaratan Rakyat SU-MPR), terutama berkaitan pencalonan Gus Dur sebagai presiden. Ketika itu di NU ada dua pendapat; ada yang mendukung pencalonan Gus Dur yang dipelopori dalam Poros Tengah dan ada sikap sebaliknya.49 Beberapa kiai sepuh mengadakan pertemuan di Pondok Pesantren Langitan Jl. Raya Babatan, Lamongan-Tuban Jawa Timur. Di sini kemudian muncul istilah “Poros Langitan”, karena suara para kiai sangat berpengaruh kepada pencalonan Gus Dur.

Sebutan Kiai Langitan, bukan karena pesantrennya di Desa Langitan, tetapi berbagai pertimbangan penting kenegaraan dan kebangsaan selalu dikeluarkan setelah mendapat sinyal dari langit, maksudnya berdasarkan istikhoroh atau melalui serangkaian spiritual. Dalam perkembangannya tradisi pesantren Mbah Faqih ini memberi inspirasi anak muda NU untuk lebih tulus dalam melangkah.

K.H. Abdullah Faqih adalah putra K.H. Rofi’i Zahid yang lahir pada 2 Mei 1932 M/Dzulhijjah 1350 H di Mandungan, Widang, Kabupaten Tuban Jawa Timur. Memimpin Pondok Pesantren Langitan sejak tahun 1971, menggantikan K.H. Abdul Hadi Zahid. Ia didampingi pamannya, K.H. Ahmad Marzuki Zahid, pribadi yang cukup disegani menjalani ritual-ritual keagamaan yang terpelihara dengan baik.50

Ponpes Langitan didirikan 1852 M/1348 H oleh K.H. Muhammad Nur asal Tayuban, Rembang, Jawa Timur. Nama Kiai Faqih sering dimanfaatkan untuk kepentingan politis. Saat ada pemilihan kepala daerah, tidak sedikit calon yang memohon doa, dukungan, dan restunya. e. K.H. Muslim Rifa’i Imampuro: Poros Pancasila

K.H. Muslim Rifa’i Imampuro atau dikenal Mbah Liem, pendiri Pondok Pesantren Al-Muttaqin Pancasila Sakti, Klaten, Jawa Tengah. Pesantren ini didirikannya setelah ia nyantri di beberapa pesantren terutama Kiai Shirot Solo, tergolong unik. Selain mengajarkan beberapa ritual-ritual keagamaan, pesantren juga memberikan penanaman Pancasila. Pesantren Al-Muttaqin jadi bukti konsistensi Mbah Liem dalam mencintai Pancasila dan NKRI. Pesantren Al-Muttaqin berdiri pada 1959 ingin mewujudkan Indonesia harmoni dalam perbedaan iman dan keyakinan.51

Lahir pada 24 April 1924, tokoh karismatik ini memiliki pengaruh luas mulai warga biasa hingga pejabat tinggi negara. Pak Harto dan tokoh-tokoh Orde Baru sangat hormat. Mbah Liem juga dikenal dekat dengan Gus Dur jauh sebelum

49Ketika menerima pinangan Poros Tengah untuk jadi calon presiden (capres)

tahun 1999, Gus Dur sadar memenangkan dalam pemilihan tidaklah mudah. Ia kemudian berusaha menggunakan wangsit langit yang kemudian dikenal “Poros Langitan”.

50Arif Zamhari, Ritual of Islamic Spirituality: A Study of Majlis Dhikr Groups in East Java (Australia: ANU, 2010), 98.

51Greg Fealy and Sally White, eds. Expressing Islam: Religious Life dan politics Indonesia (Singapore: ISEAS, 2008),127-128.

Page 109: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

96

jadi presiden. Kiai nyentrik ini bahkan disebut-sebut sebagai guru spiritual Gus Dur. Meski namanya tidak pernah tercatat dalam struktur kepengurusan NU, tetapi kiprahnya dalam menjaga dan membesarkan NU tidak diragukan. Mbah Lim selalu jadi rujukan para kiai dalam menahkodai NU. Dalam setiap kegiatan PBNU selalu hadir baik Konbes, Munas, dan Muktamar NU, Mbah Liem adalah tokoh karismatik lokal yang memiliki pengaruh luas dan mengembangkan intelektual masyarakat.52

Meninggal dunia pada tahun 2012 di usia 91 tahun setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Islam (RSI) Klaten. Mbah Liem dimakamkan di samping makam istrinya di Pendopo Perdamaian Komplek Pondok Pesantren Al-Muttaqin Pancasila Sakti, Dukuh Sumberejo Wangi, Desa Troso, Kecamatan Karanganom, Klaten. Semasa hidupnya Mbah Liem juga dikenal masyarakat luas atas kepribadiannya yang sederhana dan bersahabat. Sehingga banyak kalangan mulai masyarakat bawah hingga tokoh nasional begitu dekat dan akrab. Pesan terakhirnya kepada keluarga, kerabat, dan para santri agar selalu istiqomah. Meski jasadnya sudah tiada, kiprahnya semasa hidupnya terus menyuarakan tegaknya Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan selalu dikenang.

Penjelasan tersebut memperlihatkan bahwa kelima kiai tersebut bukan saja pada sisi spiritual yang melekat dalam diri, melainkan sisi sosial politik yang tidak bisa dilepaskan dari dunia mistik. Kelima kiai dikenal sebagai tokoh karismatik yang memimpin pesantren dan masyarakat tidak terlepas dari pribadi-pribadi yang terjaga spiritualnya. Karismatik mereka bahkan ketika umat mempercayakan memimpin jabatan tertinggi dalam dalam tubuh Nahdlatul Ulama baik tingkat pusat, wilayah dan cabang.

Dimensi esoteris melekat dalam diri kelima kiai membentuk kekuatan sosial politik yang mendorongnya untuk melahirkan sebuah bangsa berperadaban dan masyarakat madani.53 Kebijakan dijalankan tidak hanya didasarkan rasionalitas, melainkan juga wangsit langit. Mistifikasi sosial politik melalui wangsit ini dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki kekuatan spiritual, yang dalam konteks ini kiai menjadi komunitas yang menjalankan kehidupan atas dasar basis spiritual agama (religious spiritual community) yang mendidik umat jadi lebih baik. Upaya para kiai ini merupakan proyek menghadirkan Islam yang progresif dan responsif terhadap realitas sosial dan politik.54

52Khoirun Niam, “Nahdlatul Ulama and the Production of Muslim Intellectuals in

the Beginning of 21st Century Indonesia,” Journal of Indonesian Islam Vol. 11, No. 02 (December, 2018): 382,https://jiis.uinsby.ac.id DOI: 10.15642/JIIIS.2017.11.2.351-388 , (diakses 17-07-2018).

53Irfan Charis dan Mohamad Nuryansah, “Pendidikan Islam dalam Masyarakat Madani Indonesia,” Mudarrisa, Vol. 7 no. 2 (Desember 2015): 235-241, https://www.journal.uny.ac.id DOI: 10.18326/mudarrisa.v7i2.229-258 (diakses 21-04-2019).

54Sejak datang ke Timur Tengah terutama Mesir, yang membentuk dinasti Fatimiyyah dan Ayyubiyah, Islam mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial politik. Di masa kekuasaan Mamluk dan Turki, Islam memainkan peran sentral, dan Mesir jadi pusat pengkajian Islam Dunia. Lihat Yanto Bashri, “Nalar Hassan Hanafi: Upaya Mensejajarkan Barat dan Dunia Islam,” Journal of MOZAIC, Vol. 01 no. 01 (Maret 2014): 14.

Page 110: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

97

Namun, modal sosial ini tidak jarang kiai digunakannya sebagai satu mesin politik. Apalagi reformasi menghendaki semua jabatan politik harus dipilih secara langsung oleh rakyat membuat eksistensi kiai semakin mengalami peningkatan. Karena itulah, fenomena meminta restu dapat digunakan sebagai jaminan sosial bagi seorang yang berjuang meraih jabatan politik baik sebagai calon presiden dan wapres, legislatif, gubernur, dan bupati.

B.Transisi Demokrasi

Kesuksesan mahasiswa ’98 menurunkan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan telah melahirkan era baru, Reformasi, menunjukkan bahwa pada diri mahasiswa terdapat potensi yang dapat dikageorikan sebagai modernizing agents. Gerakan sosial mahasiswa yang selalu hadir dengan ketegasan dan keberanian senantiasa membawa obor pembaharuan. Mahasiswaselalu terpanggil ketika melihat tirani dan berbagai bentuk ketimpangan karena sifat-sifat intelektualitas, kritisisme, merdeka, dan apa adanya. Gerakan sosial mahasiswa jadi pelopor dan penggerak transformasi sosial yang terhimpit kejenuhan sosial akibat krisis dan ketidakpastian politik. Ikrar mengemukakan, mahasiswa mampu menurunkan kredibilitas Orde Baru sebagai rezim yang kuat dan, dan ini akhirnya membuka jalan bagi gerakan massa dan kerusuhan sosial di beberapa provinsi.55

Dalam diri mahasiswa terdapat jiwa patriotik yang sangat ambisius. Tidak sedikit pun keraguan dalam melawan kekuatan tirani bahkan dengan semangat juang lebih radikal. Jika tentara memiliki senjata dan pistol, mahasiswa memilikipetisi, unjuk rasa, boikot, atau mogok makan. Ini senjata-senjata mahasiswa untuk melakukan perlawanan setiap kemandegan. Mahasiswa jadi simbol perubahan dan perbaikan. Dibanding kaum intelektual profesional, mahasiswa dianggap memiliki keahlian dan efektifitas bahkan satu-satunya elemen masyarakat yang dianggap mampu melakukan terobosan. Setelah gerakan mahasiswa berhasil menjatuhkan Presiden Soeharto, kini menentang pengangkatan Habibie dan ingin mempercepat laju perubahan politik.Namun proyek ini ditentang oleh Kelompok Ciganjur.56

Dari sekian banyak senjata tersebut, demonstrasi mahasiswa jadi gerakan sosial massifyang semakin lama terus membesar. Sejarah mencatat peranan kekuatan mahasiswa penggerak awal, prime mover,57dalam melakukan terobosan

55Ikrar Nusa Bhakti, “The Transition to Democracy in Indonesia: Some

Outstanding Problems,” dalam The Asia-Pasific: A Region in Transition, ed. Jim Rolfe (Hanolulu: Asia Pasific Center for Security Studies, 2004), 200-201.

56Kelompok Ciganjur memiliki agenda reformasi sederhana dan terbatas, yaitu menyelenggarakan Pemilu yang lebih cepat daripada rencana Presiden Habibie dan melakukan penarikan militer dari kegiatan politik. Lihat Douglas Webber, A Consolidated Patrimonial Democracy? Democratization in Post-Suharto Indonesia (Paper presented at the Workshop, “Post-Cold War Democratization in the Muslim World: Demestic, Regional, and Global Trends”, Joint Sessions of the European Consortium of Political Research, Granada (14-19 April 2015), 14-15.

57Istilah ini digunakan Retno untuk menggambarkan masa kejayaan menteri-menteri Kabinet Pembangunan Orde Baru. Lihat Retno Abdulgani-KNAPP, Soeharto: The

Page 111: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

98

mendobrak kemandegan sosial dan politik. Bukan hanya itu, mahasiswa juga memiliki peranan besar, prime player, untuk perubahan ekonomi politik pada sebuah negara. Gerakan ini secara empirik terlihat dalam beberapa serangkaian penggulingan penguasa baik dalam maupun luar negeri. Penulis mencatat dalam negeri ada peristiwa 1966 yang dialami Soekarno dan demonstrasi 1998 yang menghentikan laju Presiden Soeharto dari kursi presiden. Sementara di luar negeri di Argentina ada Presiden Juan Peron pada tahun 1955, di Venezuela ada Presiden Perez Jimenes tahun 1958, di Pakistan pada tahun 1969 dialami Presiden Ayub Khan, di Korea Selatan pada 1987 dialami Presiden Chun Doo Hwan, dan pada tahun 1985 dialami Presiden Ferdinand Marcos di Filipina.

Meski penggulingan kekuasaan tersebut bukanlah monopoli gerakan sosial mahasiswa, tetapi kepekaan mahasiswa terhadap masalah masyarakat menimbulkan aksi-aksi turun ke jalan yang sangat massif. Demonstrasi semacam ini jika diidentifikasi pada lokasi tertentu ada kelompok mahasiswa yang berorientasi pada minat tertentu, politik atau agama. Pengelompokan ini tidak bersifat eksklusif sehingga dalam situasi tertentu tidak mudah diidentifikasi.58Sebagai elemen masyarakat mahasiswa memperoleh pendidikan terbaik dan terpanjang di lembaga pendidikan selalu memiliki pandangan luas yang bergerak di semua lapisan masyarakat. Mahasiswa jadi katalisatorpenting bagi terciptanya perubahan dan menentang kekuasaan tiranik. Sumber daya dimiliki mahasiswa digodok melalui kegiatan akademik dalam kampus dan organisasi-organisasi ekstra yang selalu jadi kekuatan dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat, carut marutnya kehidupan, ketidakadilan, dan ketimpangan.59

Keberhasilan mahasiswa melakukan aksi untuk sebuah perubahan dapat dipahami dalam tiga hal. Pertama, memburuknya ekonomi sosial masyarakat. Gerakan mahasiswa timbul jika kesenjangan ekonomi sosial tinggi. Kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin tajam. Kesenjangan ini timbul karena kesalahan memberikan resep perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Pemerintah bahkan lebih mementingkan kesejahteraan kelompok dan kroninya daripada kesejahteraan masyarakat–kebijakan yang tidak hanya menyebabkan krisis identitas dan lunturnya ikatan sosial yang selama ini jadi ciri khas bangsa, tetapi lebih jauh lagimenimbulkan gejolak yang kemudian meluas menjadi gerakan sosial bagi masyarakat yang dirugikan.

Kedua, kesempatan terbuka. Aksi turun ke jalan mahasiswa dilakukan karena terdapat kesempatan politik (political opportunity) yang memungkinkan

Life and Legacy of Indonesia’s Second President, An Authorised Biografphy (Singapore: Marshal Cavendish Internasional Private Limited, 2007), 115 dan 162.

58Adeline M. Tumenggung and Yanuar Nugroho, “Maroonet in the Junction: Indonesian Youth Participation in Politics,” dalam Go! Young Progressives in Southeast Asia, ed. Beate Martin (2018), 42-43. https://www.research.machester.ac.uk (diakses 11-12-2018).

59Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist Press,1999), 7.

Page 112: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

99

untuk melakukan gerakan sosial.60 Kesenjangan ekonomi dan kebutuhan bahan pokok mahal memunculkan ketidakpuasan, namun tidak mudah dimodifikasi menjadi sebuah gerakan sosial jika salurannya mampet. Kesempatan timbulnya gerakan sosial di negara yang represif lebih besar ketimbang di negara yang demokrat. Menurut pandangan ini berbagai gerakan sosialselama ini mengendap akan muncul ketika ada perubahan suatu negara yang represif jadi lebih moderat.

Ketiga, kemampuan tokoh. Gerakan mahasiswa timbul semata-mata karena kemampuan seorang tokoh yang menggerakkan elemen masyarakat. Tokoh tersebut memiliki kemampuan menggerakkan mekanisme masyarakatmelakukan perubahan baik sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Ia jadi panutan dari berbagai elemen baik tradisional maupun rasional.Sifat atau kualitas pribadi dari proses kepemimpinan karismatik yang menjadi otoritas jadi kontrol yang akan diterima oleh kaum tradisional maupun rasional.61 Tokohmemiliki tujuan sama yang dapat diterima semua kalangan karena kredibilitas dan kapabilitas yang kemudian memberikan inspirasi dan motivasi masyarakat untuk menyuarakan perubahan, tidak hanya bagi kelompoknyatetapi juga masyarakat Indonesia umumnya.

Kemampuan tokoh penggerak (leadership capability) terpenting mempengaruhi intelektual mahasiswa tentang pentingnya kontribusi pemikiran untuk isu-isu otoriterianisme, demokratisasi, dan modernitas. Perubahan-perubahan di berbagai belahan dunia selalu terdapat patron dalam melakukan gerakan. Di Dunia Islam ada banyak pemikir yang mempengaruhi intelektual masyarakat seperti Sir Ahmed Khán (India), Rifá Rafî al-Tahtáwî (Mesir), Ahmad Fáris al-Shidyáq (Syiria), Jamal al-Dîn al-Afghánî dalam debat dengan filosof Francis Ernest Renan, ‘Abd al-Rahmán al-Kawákibî, Muhammad ‘Abduh, dan lainnya.62

Jelas bahwa krisis ekonomi menimbulkan kesenjangan sosial di tengah masyarakat dan konflik elite melahirkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat luas. Gerakan mahasiswa 1998 sebagai respons besar terhadap krisis ekonomi yang tidak cepat diatasi pemerintah menimbulkan gelombang tuntutan reformasi. Reformasi berarti perubahan sistem politik (demokratisasi), baik secara cepat atau gradual, melalui cara-cara konstitusional dan melalui lembaga pemerintahan yang ada bagi mahasiswa adalah pergantian pucuk pimpinan pemerintahan. 1. KarismaKiai Politik Tradisional

Peran sosial-politik kiai mengalami dinamika cukup kompleks dalam konteks kebangsaan. Kehidupan sosial kiai bagian tak terpisahkan dari perjalanan

60Ridho Al-Hamdi, “TheJakartaCharter In Post-Soeharto Indonesia: Political

Thoughts of the Elites inMuhammadiyah,” Masyarakat lndonesia, Vol. 41 no. 1 (June 2015): 46, https://www.researchgate.net/publication/301772038 (diakses 30-10-2017).

61Timothy A. Judge, Erin Fluegge Woolf, Charlice Hurst, and Beth Livingston, “Charismatic and Transformational Leadership: Review and an Agenda for Future Research,” Zeitschift für Arbeits-u. N.F.24, 4 (2006): 204, https://www.econtent.hogrefe. com, DOI: 10.1026/0932-4089.50.4.203 (diakses 02-05-2017).

62Nasr Abu Zayd, Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Amsterdam: University Press, 2006), 21.

Page 113: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

100

bangsa baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.63 Laksana sebuah bangunan, peran kiai terletak bukan sekadar pada perjuangannya membabat pohon-pohon besar dan membersihkan, melainkan juga meletakkan fondasi-fondasi kuat untuk sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kiai berjuang membebaskan negeri dari segala bentuk kolonialisme hingga kemerdekaan yang secara lantang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, melainkan juga meletakkan dasar-dasar negara yang kemudian disebut Pancasila dan UUD 1945. Kegigihan kiai memperjuangkan kemerdekaan merupakan keberhasilan mempersonifikasi diri sebagai tokoh agama yang kemudian bertransformasi menjadi tokoh sosial yang menggerakkan santri dan masyarakat.

Tradisi politik kiai dibangun sejak keterlibatannya dalam organisasi Masyumi. Lembaga ini secara psikologis memiliki pengaruh terhadap pembentukan karakter kiai dalam politik praktis, dan secara intensif jadi cikal bakal keterlibatannya dalam pentas politik nasional. Aktivitas kiai dalam Masyumi merupakan konsekuensi logis dalam posisinya sebagai elite pesantren yang memberikan pengaruh langsung pada dimensi sosial dan budaya masyarakat. Kobayashi Yasuko menyebutkan, peran aktif menjadi landasan kokoh kiai sebagai tokoh Islam di bumi Nusantara yang berpengaruh dalam politik praktis.64

Masyumi didirikan Jepang pada 24 Oktober 1943 merupakan cikal bakal dari MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) dalam upaya meredam sentimen anti Jepang, memobilisasi dukungan Islam, dan mengontrol perjuangan tokoh Islam.65 Pendirian Masyumi juga disebabkan sentimen anti Belanda ketika Jepang berhasil merebut Hindia Belanda berusaha memasukkan umat Islam dalam politik perang Asia Timur Raya. Secara kelembagaan aktivitas Masyumi tidak hanya mencakup di Pulau Jawa sebagai pusat kegiatan dan pemerintahan Jepang jadi momentum baik bagi kiai untuk melakukan peran-peran politik baru yang dirampas organisasi nasionalis modern pada 1910-an dan 1920-an yang menyebar ke luar Jawa. Bruinessen menyebutkan, penindasan politikmeningkat pada akhir 1920-an menyebabkan banyak orang Islam apatis terhadap dunia politik. Tidak sedikit umat Islam yang meninggalkan dunia politik dan kemudian mengalihkan perhatiannya pada mistisisme.66

Berdirinya Masyumi dimaksudkan untuk mengurangi kekuatan priayi di bekas Hindia Belanda. Sejumlah tokoh mendapat tempat istimewa seperti K.H. Hasyim Asy’ari jadi penasehat utama bagi Genseikang (Kepala Pemerintahan Militer), begitu juga K.H. Mas Mansyur dan Moh. Hatta memiliki tanggung jawab

63Ferry Muhammadsyah Siregar, dkk, “Religious Leader and Charismatic Leadership in Indonesia: the Roleof Kyai in Pesantren in Java,” Kawistara, Vol. 3, no. 2 (Agustus 2013): 149, https://jurnal.ugm.ac.id/kawistara/article/view/3977 (diakses 28-04-2017).

64Kobayashi Yasuko, “Kyai and Japanese Military,” Studia Islamika, Vol. 4, no. 3 (1997): 79-83, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika (diakses 28-10-2015).

65Lathiful Khuluq, Kyai Haji Hasyim Asy'ari's: Religious Thought and Political Activities (1871-1947) (A Thesis of Master of Arts The McGill University, 1997), 91.

66Martin van Bruinessen, “The Origins and Development of Sufi Orders (Tarêkat) in Southeast Asia,” Studia Islamika Vol. 1, no.1 (1994), 13 http://journal.uinjkt.ac.id/ index.php/studia-islamika (11-04-2015).

Page 114: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

101

untuk mengurus persoalan dalam negeri. Tak ada kekuatan sosial politik nasional ketika itu kecuali Masyumi, dan pengaruhnya di arena politik Indonesia berlangsung cukup lama.

Jepang menggunakan propaganda politik untuk mewujudkan ambisi politiknya. Propaganda mengalami intensifikasi setelah berdirinya Sendenbu, lembaga yang bertugas membujuk orang Indonesia untuk mendukung kebijakan-kebijakan selama penjajahan Jepang dan berpartisipasi secara antusias dalam perang. Selama invasi Jepang ke Hindia Belanda, propaganda Jepang makin gencar dilakukan bahkan kali ini berhasil membawa pengaruh pada kebangkitan kesadaran politik (political consiousness) orang-orang Indonesia.67 Fenomena ini memberi pesan penting bagi sebagian besar pemimpin nasionalis, dan lahirnya perang kemerdekaan dari 1945 hingga 1949 baik fisik di medan terbuka maupun perundingan di meja hijau.

Firman Noor menyebutkan, akar politik kiai dapat dilihat dalam tiga hal berikut.68Pertama, penempatan kiai di Majelis Syuro. Meski perannya terbatas dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis Partai Masyumi, peran ini memberikan pengalaman kiai dalam politik praktis. Meski dianggap pelemahan kiai, peran terbatas kiai ini memberikan peluang untuk terlibat dalam arena politik. Kedua, perjuangan merebut Menteri Agama. Meski gagal memperjuangkan jabatan Menteri Agama di Kabinet Wilopo (1952-1953), bagi kiai memperoleh jabatan menteri tidak sekadar hak mendapatkan posisi politik, tetapi juga bagian dari sebuah keadilan dalam partai. Partai Masyumi sebagai koalisi sejumlah organisasi Islam ternyata Muhammadiyah memperoleh posisi lebih banyak dibanding NU. Ketiga, politik mandiri. Para kiai akhirnya memutuskan mengelola organisasi politik secara mandiri dengan memajukan NU dalam konstalasi politik nasional. Keputusan ini dijalankan setelah perkembangan signifikan jumlah politisi di NU hingga Masyumi ditetapkan sebagai organisasi terlarang.69

Peran politik kiai semakin besar ketika Jepang memberi kesempatan luas kiai untuk menjalankan kegiatan-kegiatan rutin keagamaan dan melakukan pertemuan yang melibatkan guru-guru agama Islam. Bahkan pada Desember 1944 membentuk korps cadangan dari pasukan Pembela Tanah Air (Peta), Hizbullah, yang perwira-perwiranya terdiri dari para kiai terlatih untuk melatih pasukan-

67Robert Cribb, “The Historical Roots of Indonesia’s New Order: Beyond the

Colonial Comparison,” dalam Soeharto’s New Order and its Legacy, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Australia: ANU, 2010), 76.

68Firman Noor, Institutionalising Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of Internal Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008) (A Thesis of Ph.D of the University of Exeter, 2012), 59-61.

69Kekuasaan Soekarno sebagian ditandai konflik dan perebutan kekuasaan antara militer, kaum santri, dan kaum Islamis. Konflik ini berakibat pada Masyumi jadi organisasi terlarang pada 1959. Meski begitu, aktivitasnya sepenuhnya tidak hilang dan bahkan aktivis Masyumi, Kartosuwirjo, mendirikan organisasi Darul Islam (DI), dan beberapa anggota Masyumi membentuk organisasi yang lebih radikal dan ideologis. Lihat Amy L. Freedman “Civil Society, Moderate Islam, and Politics in Indonesia and Malaysia,” Journal of Civil Society, Vol. 5, no. 2 (Sept. 2009):116-117, http://www.informaworld.com/smpp/title ~content= t716100707DOI: 10.1080/17448680903154907 (diakses 29-09-2017).

Page 115: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

102

pasukan. Sebanyak 20 kiai belajar memegang senjata seperti K.H. Wáhid Hasyîm (NU), K.H. Wáhid Waháb (NU), K.H. Jûnus Ànis (Muhammadiyah), dan lainnya. Enam bulan berikutnya atas inisiatif Wakil Ketua Masyumi K.H. Wahid Hasyim sebanyak 500 tentara Hizbullah memperoleh latihan militer untuk kali pertama di Cibarusa, Jawa Barat.70

Selain Hizbullah, sebagai tambahan pembela Pembela Tanah Air (Peta), pelopor Angkatan Bersenjata Indonesia (ABRI/TNI), Masyumi juga memperoleh wewenang untuk mengorganisir pasukan militer “Islam” pada Desember 1944 yang kemudian bernama Barisan Hizbullah. Setelah Jepang menyerah, Hizbullah bersama pembela tanah air bertempur melawan Belanda, tetapi pada 1947 beberapa anggota Hizbullah memisahkan diri dan memilih bergabung dengan Dár al-Islám yang baru dibentuk. Dár al-Islám berbasis di Jawa Barat dilengkapi tentara menolak mengakui otoritas pemerintahan republik baru pimpinan Soekarno dan sebaliknya menyatakan negara Islam merdeka di negeri Pasundan. Dár al-Islám berbasis di Jabarjuga dilengkapi tentara bersenjata yang kemudian disebut TII.71

Dalam kerja sama ini kiai menemukan semangat baru untuk melapangkan cita-cita Indonesia merdeka. Politik jajahan Jepang berbeda politik Belanda. Jepang selama pendudukan di Hindia Belanda adaptif akomodatif terhadap Islam. Dalam sejarah kolonial pada masa Jepang umat Islam memperoleh perhatian wajar meski bukanlah ketulusan.72 Politik kolaborasi mampu mengembangkan naluri politik kiai. Sosial keagamaan tradisionalistik yang mengiringi perjalanan hidup kiai jadi solusi di tengah-tengah menguatnya paham-paham ekstremis.

Pentas politik nasional selalu diwarnai oleh politik keberislaman kiai yang ditempatkan dalam dua ruang: intern dan ekstern. Ruang ekstern dimaksud organisasi Masyumi, Hizbullah, dan masyarakat Indonesia, sedang intern adalah individu-individu kiai yang menjalani kehidupan sosial kemasyarakat dengan cara spiritualistis. Dengan kata lain, dalam ruang intern dan ekstern yang saling mempengaruhi, gerakan Islam progresif lahir terus mengembangkan ide-ide dan jejaring sosialnya yang lebih tangguh: sangat toleran dan berkomitmen negara demokratis dan masyarakat sipil.73

70Hizbullah dipimpin K.H. Zainul Arifin, anggotanya terdiri dari kaum muda

Muslim terutama santri dan juga terbuka untuk umum. Selain Hizbullah, tokoh-tokoh NU juga mendirikan Sabililllah, suatu unit militer ulama dipimpin K.H. Masjkur. Lihat Faisal Ismail“The Nahdlatul Ulama: Its Early History and Contribution to the Establishment of Indonesian State,” Journal of Indonesian Islam Vol. 05, No. 02 (December 2011): 270https://jiis.uinsby.ac.id (diakses 28-04-2017).

71Max L. Gross, A Muslim Archipelago: Islam and Politics in Southeast Asia (Washington, DC,: National Defense Intelligence College, 2007) 86-87.

72Muhamad Hisyam, “Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di Awal Kemerdekaan RI,” Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12 no. 1 (2014): 157 http://www.jurnallekturkeagamaan.kemenag.go.id (diakses 11-04-2018).

73Greg Barton, “The Gülen Movement, Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama: Progressive Islamic Thought, Religious Philanthropy and Civil Society in Turkey and Indonesia,”Islam and Christian-Muslim Relations, Vol. 25 Issue 3 (May 2014): 37 https://www.tandfonline.com/DOI:10.1080/09596410.2014.916124 (diakses 04-09-2017).

Page 116: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

103

2.Karisma Kiai Santri Tradisional Peran kiai dalam mengembangkan masyarakat melalui pengajaran

khaspesantren memperlihatkan betapa kontribusinya dalam dinamika sosial-budaya cukup signifikan. Kiai senantiasa konsisten menggunakan sumber bacaan kitab-kitab klasik dalam transmisi ilmu-ilmu keislaman, meski dalam beberapa dasawarsa terakhir peran tersebut mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Azyumardi Azra menggambarkan sistem pengajaran kiai tidak hanya telah mempercepat proses santrinisasi, tetapi juga memperkuat penyebaran pemahaman Islam progresif (Islam hadlãrî)yang pada segi-segi tertentu didukung meningkatnya minat terhadap sufisme inklusifdengan makin diperkuat “mediating role”yang dimainkan organisasi-organisasi besar Islam.74

Sejak 1596 peran tersebut dijalani dengan menyebarkan tradisi dan ideologi pesantren dan saat bersamaan menahan arus baru dari luar. Awalnya kiai mendirikan mushalã atau langgar sebagai tempat ibadah bersama keluarga dan mengajarkan putra-putrinya. Dibangun tidak jauh dari rumah kiai, mushalã dimaksudkan juga menampung masyarakat sekitarnya menjalankan ritual-ritual keagamaan bersamanya. Meski kecil, masyarakat dalam komunitas tersebut mulai merasakan manfaat keberadaan mushalã yang dalam perjalanannya tidak hanya digunakan untuk menjalankan shalat berjamaah tetapi juga dijadikan tempat menyampakan pesan-pesan kesalehan.

Rutinitias kiai menjalankan pengajaran terhadap anak-anaknya mendapat sorotan masyarakat yang mendorong putra-putri mengikuti. Mushalã lambat laun tidak cukup menampung.Transmisitidak terbatas padateritorial tertentu, georafis dalam suatu kolektif sosial.75Kegiatan pembelajaran tersebut diselenggarakan biasanya menjelang malam hari hingga larut malam dengan sistem sorogan dan bandongan –dua metode tradisionalyang biasa dijalankan kiai dalam mengajarkan seluruh peserta didik (santri). Peran dan posisi kiai sangat penting dalam perjalanan dan perkembangan sosio-historis masyarakat sehingga ia ditempatkan sebagai “pemimpin” tidak hanya dalam lingkungan sekitarnya tetapi juga desa-desa lain. Kemampuannya bahkanmenembus tembok kekuatan politik istana.76

Sistem sorogan seringkali disebut sistem individual, sementara sistem bandongan atau wetonan biasa disebut kolektif. Kedua metode ini sama-sama non-klasikal di mana para santri duduk di lantai sambil menghadap dan mendengar pembelajaran dari sang kiai. Perbedaannya, sistem sorogandisebut pula metode face to face, person to person, yang memberikan kesempatan bagi setiap santri untuk belajar secara langsung. Biasanya dijalankan pada pembelajaran baca dan resitasi al-Qur’an, metode ini dianggap paling sulit karena menuntut kesabaran, kedisiplinan, kerajinan, ketaatan pribadi santri untuk pembelajaran aktif (active

74Azyumardi Azra, “Islamisasi Jawa,” Resonansi Republika, 08 November 2012. 75Kazunori Hamamoto, “The Significance of Propagating Islam Hadhari in Japan,”

Islam and Civilisational Renewal, Vol. 2, no. 1 (October 2010): 192,www.icrjournal.org/icr/index.php/icr/article/view/215 (diakses 11-04-2017).

76M.A.Tihami, “Kepemimpinan Kiai dan Jawara di Banten (Studi Kasus di Desa Pasanggrahan Serang Banten),”Annual International Conference on Islamic Studies (2016):1587, https://aicis.radenintan.ac.id (diakses 13-03-2017).

Page 117: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

104

learning).Sementara bandongan merupakan upaya transformasi ilmu-ilmu keislaman dalam sistem pengajaran di lingkungan pesantren di mana para santri mendengarkan seorang guru membaca, menerjemahkan, dan menerangkan kitab-kitab kuning. Rombongan kelas (rombel) bandongan disebut pula halaqah di mana terdapat sekelompok santri belajar atas bimbingan seorang guru yang tingkat kemahiran dan pengetahuan berbeda dengan rombongan kelas sorogan.77

Kedua metode ini menjadi ciri utama lembaga pesantren dibanding lembaga pendidikan umumnya justru mempercepat massifikasi Islam. Metode tradisional ini dipahami sebagai kekayaan intelektual Nusantara yang kemudian menjadi demarkasi penyebaran Islam di kawasan Nusantara dibanding dengan kawasan-kawasan lain di Dunia Islam. Pola pendidikan Islam tradisionalini jadi cikal bakal melembaganya sistem pendidikan pondok pesantren sebagai khazanah keislaman Nusantara yang secara stereo-typical memberikan corak dalam penyebaran Islam yang berbeda dengan Dunia Islam lainnya.78

Metode ini jadi viral dalam setiap perayaan tradisi keagamaan di kalangan masyarakat yang mempercepat transformasi sistem pendidikan mushalá atau masjid ke dalamlembaga pesantren. Usaha kiai menyelenggarakan pembelajaran keagamaan dan menanamkan spiritualitas harus dipahami sebagai gerakan bawah tanah untuk mendorong dinamika pertumbuhan masyarakat dalam penyebaran Islam (prepagation of Islam).79Penyelenggaraan sistem pembelajaran keagamaansejak awal mengalami intensifikasi dalam sistem dan kelembagaan pendidikan baik dari waktu maupun metode belajar—bahkan sejak 1960 perjuangan kiai mampu mencegah langkah-langkah politik kaum abangan. Peran kiai mampu mencegah dominasi kaum abangan sejak pertumbuhan santri dalam bidang sosial,

77Munir, “The Continuity and Change of Pesantren Tradition: Study Network Main

Pesantren and Alumni Pesantren in Kabupaten OKU Timur, South Sumatra,” Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 5, no. 2 (December 2016/1438): 358, https://ejournal.uin-suka.ac.id,DOI: 10.14421/jpi.2016.52.347-364(diakses 03-03-2017).

78Penyebaran Islam di Nusantaradalam bentuk culture contactkemudian berubah jadi akulturasi antara ajaran Islam dan budaya Jawa baik dalam lingkup pedesaan maupun lingkungan keraton. Secarasosio-antropologis, ketika suatu agama masuk pada masyarakat cenderung melakukan penyesuaian dengan kebudayaan yang telah ada. Lihat Mahli Zainudin Tago, “Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz,”Kalam Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 7, no. 1 (Juni 2013): 80, https://download.portalgaruda.org (diakses 01-09-2016). Lihat pula Sutiyono, Syafiq M. Mughni, and Hotman M. Siahaan, “Puritanism vs. Syncretism: An Islamic Cultural Collision in the Rural Farmer Community in Trucuk, Indonesia,” Asian Social Science, Vol. 11, no. 28 (2015): 201, www.ccsenet.org/assDOI: 10.5539/ass.v11n28p200 (diakses 01-09-2016).

79Tradisi agama muncul dalam aktivitas masyarakat seperti pengajian, majelis ta’lim, yasinan atau slametan yang secara tradisional dijalankan kiai untuk memberikan dorongan spiritual tidak hanya dalam komunitas sendiri, melainkan juga komunitas (daerah) lain. Lihat Robin Bush, “A Snapshot of Muhammadiyah Social Change and Shifting Markers of Identity and Values,” Asia Research Institute, no. 221 (May, 2014): 13-14, www.ari.nus.edu.sg (diakses 06-10-2016).

Page 118: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

105

politik, dan ekonomi. Prosentase penduduk kaum abangan Jawa secara statistik menjadi kelompok minoritas sampai akhir Orde Baru pada tahun 1998.80

Transmisi keilmuan ala pesantren telah jadi indigeneous Indonesia. Makna indigeneous menegaskan bahwa pondok pesantren telah menyumbang suatu peradaban baru dalam khazanah keagamaan dunia –kata “pesantren” berarti tempat para santri atau murid pesantren, sementara kata “santri” berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” adalah seorang yang mengikuti gurunya ke mana pun pergi.Pengajaran pesantren dilakukan dengan tiga tahap: kiai membaca teks dalam bahasa Arab, menerjemahkan kata demi kata, lalu menerangkan maksudnya dengan bahasa Melayu atau bahasa daerah.81

Hal ini berarti bahwa pesantren dan pengajaran memainkan berbagai peran strategis dalam masyarakat. Meski kontak intelektual dan transmisi keilmuan antara Haramain dan Nusantara tampak dalam tradisi menulis dan penerjemahan kitab-kitab keagamaan, tetapi pengejawantahan dalam kehidupan sosial budaya Islam di Nusantara memiliki distingsi yang tidak ditemukan di tempat-tempat atau Dunia Muslim lainnya. Sistem dan tradisi sosial budaya Muslim Indonesia berbeda dibandingkan dengan Muslim di dunia Islam lainnya. Identitas budaya Islam (Islamic cultural identity) –yang dalam konteks Islamisasi Jawa dimulai pada awal abad ke-14 hingga akhir abad ke-18—menjelaskan bahwa Islam telah jadi agama dominan dalam aspek identitas Jawa.82Budaya lokal dan Islam saling beradaptasi. Namun identitas lokal cenderung dipertahankan dan diselaraskan dengan Islam. Hal ini meneguhkan “tradisi” keagamaan Nusantara yang saling mengalami keterpengaruhan antara identitas Islam dan budaya local, tidak sekadar di permukaan tapi juga dalam pengalaman.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional dalam perkembangannya tidak hanya mengajarkanbuku-buku klasik seperti fiqih (Islamic law), tafsir (Qur’anic exegesis) atau akhlak (Islamic ethic), tetapi jauh dari itu beberapa pesantren mengajarkan buku-buku perbandingan agama (comparative religion) yang mengantarkan para santri berpikir terbuka dan tidak mudah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran radikal.83 Selama ini anggapan umum bahwa buku-buku klasik itu mengajarkan ilmu-ilmu keislaman semata yang membentuk santrimenjadi individu-

80M.C. Ricklefs, “Rediscovering Islam in Javanese History,” Studia Islamika,Vol.

21, no. 3 (2014): 414, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika (diakses 29-04- 2016).

81Rosihan Anwar, Dadang Darmawan, & Cucu Setiawan, “Kajian Kitab Tafsir dalam Jaringan Pesantren di Jawa Barat,” Wawasan, Vol. 1, no. 1 (Januari 2016): 60, DOI.org/10.15575/jw.v39i1.578 (diakses 20-04-2017).

82M.C. Ricklefs, “Religious Reform & Polarization in Java,” ISIM Review21 (SPRING 2008): 34, https://openaccess.leidenuniver.nl (diakses 29-04-2016). Lihat pula Jajang A Rohmana, “Heritage of Local Islam in the Archipelago: A Contribution of Qur’anic Exegesis in Sunda Region,” Annual International Conference on Islamic Studies (2016): 1663-16274, https://aicis.radenintan.ac.id (diakses 13-03-2017).

83Dina Afrianty, “Indonesia’s Islamic Educational Institutions and RadicalismAmong Muslim Youth,” Centre for Islamic Law and Society(2011): 9, http://www.lindseyfederation.law.unimelb.edu.au (diakses 28-10-2015).

Page 119: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

106

individu saleh. Kitab kuning ditulisulama-ulama abad pertengahan sangat beragam, selain mengandung ilmu-ilmu keislaman juga mengandung ilmu-ilmu kontemporer seperti ekonomi, politik, budaya dan lainnya. Kandungan-kandungan ini memberikan pemahaman pada santri di(pondok) pesantren tentang pentingnya ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu pengetahuan umum lainnya.

Kitab kuning bahkan telah dijadikan salah satu landasan berpikir dalam usaha mengintegrasikan ilmu-ilmu keagamaan dan sekular. Proyek keilmuan yang jadi trend dalam tiga dekade terakhir telah melahirkan khazanah baru, atau meminjam istilah Florian Pohl intellectual sciences (al-ʿulûm al-ʿaqliyyah) atau pengetahuan rasional dan the traditional sciences (al-ʿulûm al-naqliyyah atau revealed knowledge) atau pengetahuan tradisional.84Pesantren menjadi sistem pendidikan tertua di Indonesianamun kontribusinya dalam perubahan sosial masyarakat dan bangsa Indonesia sampai sekarang terus terjaga. Peran besar pondok pesantrenmakin tak terbantahkan karena sejak abad ke-17 pertumbuhannyamakin menjamur ke berbagai pelosok negeri. Itulah sebabnya, sejak awal pesantren telah menjadi pusat pendidikan masyarakat, mulai dari aspek agama, seni bela diri dan seni pertunjukan, hingga urusan ekonomi, politik dan negara. Para pemimpin agama masa depan, sastrawan, dan bahkan bangsawansemestinyalahir dari pendidikan dan pelatihan di pesantren.85

Dalam konteks pengajaran kontribusi pesantren dalam penyebaran Islam dan perubahan masyarakat Jawa dimulai pada era Walisongo. Namun, jika melihat pesantren pertama yang didirikan Sunan Ampel di Surabaya yang sudah tergolong kokoh, kontribusi pesantren tidak hanya dalam penyebaran Islam tetapi juga dalam perubahan-perubahan politik; Walisongo dikenal memiliki pengaruh luas di dalam masyarakat oleh Kerajaan Demak dan Pajang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan.86 Peran politik ini makin diperkuat pada masa penjajahan Belanda yang

84Florial Pohl, “Islamic Education and Civil Society: Reflections on the Pesantren

Tradition in Contemporary Indonesia,” Comparative Education Review, Vol. 50, no. 3, (August 2006): 391-392, http://www.jstor.org/stable/10.1086/503882(diakses 24-10-2015). Lihat pula Charlene Tan, “Educative Tradition and Islamic Schools in Indonesia,” Journal of Arabic and Islamic Studies 14 (2014): 49, https://www.lancaster.ac.uk/jais/volume/docs/vol14/v14_03_tan_047-062.pdf(diakses 13-03-2016).

85Edi Susanto andMoh. Mashur Abadi, “Pesantren and the Preservation of Islam Nusantara,” KARSA, Vol. 23,no. 2 (February 2016): 204,https://www.researchgate.net,DOI:10.19105/karsa.v23i2.718 (diakses 08-02-2017).

86Dalam skala luas transformasi kerajaan ke dalam kerajaan Islam dapat dilihat pada peran Hamzah Fanzuri, Syams al-Din al-Sumatrani, Nur al-Dinal-Raniri, Abdur Rauf Singkili di Aceh yang menentukan arah kebijakan-kebijakan kerajaan. Lihat Taufani, “Indonesian Islam in Religious and Political Struggle Discourse,” AL ALBAB – Borneo Journal of Religious Studies, Vol. 4, no. 1 (June 2015): 105, https://jurnalpontianak.or.id (diakses 06-10-2016).

Page 120: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

107

hampir semua peperangan mendapat sokongan pesantren. Keberhasilan Walisongo terletak pada tiga pendekatan kebudayaan: ide, tingkah laku, dan materi.87

Pembelajaran tradisional di masjid, ribat, dan rumah guru secara genealogis merupakan jaringan (network) dengan ulama-ulama Haramain –suatu tradisi belajar luas melampaui batas-batas geografis dan perbedaan pandangan keagamaan yang menciptakan jaringan di Nusantara. PenelitianZakaryya Mohamed Abdel-Hady dalam “The Masjid, Yesterday and Today” disebutkan bahwa masjid jadi elemen penting dan diperlukan dalam jaringan sosial Muslim. Selain dengan dukungan dan infrastruktur, masjid memiliki pengaruh positif dalam sosialisasi dan integrasi Muslim ke Barat sebagai masyarakat sekuler. Masjid di Eropa memiliki dorongan lebih dibandingkan dengan orang-orang di negara-negara Muslim untuk dijadikan sebagai tempat pertemuan multi-fungsi.88

Kontak ini dimulai pada abad ke-11 sampai ke-12 sebagai periode paling bersemangat dalam sejarah interaksi di Asia dalam konteks komersialisasi perdagangan Muslim di sebagian besar Afro-Eurasia.89Dalam konteks ini lahirnya teori dan argumen ‘center’ dan ‘periphery’ untuk Dunia Arab dan kawasan Nusantara bisa dipahami. Azyumardi Azra mengemukakan, anggapan Islam Indonesia sebagai ‘periferi’ dilihat dari posisi Indonesia yang secara geografisjauh dari Dunia Arab, bukan dari segipemahaman dan praksis keislaman dan tidak juga dalam dinamika intelektual dan kelembagaan.90Karenanya, teori dan argumen‘center’ dan ‘periphery’sudah mulai ditinggalkansejak akhir 1980-an. Apalagi dalam soal iman dan ibadah tidak ada perbedaan antara Islam Nusantara dan Islam Arab.Kajian Islam Nusantara kian menjadi bagian integral kajian Islam global. 3. Karisma Kiai Santri Par Exellence

Pada 1997 suara reformasi gemanyatidaklah begitu keras. Meski geraknya banyak dijalankan elemen masyarakat, gemuruhnya masih kalah kuat dibanding kendaraan-kendaraan yang memadati ruas-ruas jalan ibu kota, tempat para elite nasional membangun kerajaan bisnis. Memasuki 1998 suara reformasi berubah jadi gerakan yang tiba-tiba menyeruak, memecah langit, dan membelah bumi. Di

87Erni Budiwanti, “The Role of Wali, Ancient Mosques and Sacred Tombs in the

Dynamics of Islamisation in Lombok,”Heritage of Nusantara, Vol. 3, no. 1 (June 2014): 39, www.heritage.lektur.kemenag.go.id (diakses 09-04-2015).

88Zakaryya Mohamed Abdel-Hady dalam “The Masjid, Yesterday and Today,” The Center for International and Regional Studies, no (2010): 11, http://qatar.sfs.georgetown.edu. (diakses 17-04-2017).

89Tansen Sen, “The Intricacies of Premodern Asian Connections,” The Journal of Asian Studies, Vol. 69, no. 4 (November 2010): 995, https://www.jstor.org.stable/40929377,DOI: 10.1017/S0021911810002810 (diakses 26-02-2015).

90Azyumardi Azra, “Kontestasi Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer,” Studia Islamika, Vol. 23, no. 1 (2016): 178, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika, DOI: 10.15408/sdi.v23i1.2905 (diakses 27-02-2017), review of Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values, by Carool Kersten, London: Hurst & Company (2015).

Page 121: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

108

sejumlah kampus mahasiswaturun ke jalan.91Awalyabersifat sporadis, lambat laun aksijadi bola salju yang menggelinding ke berbagai kampus menggerakkan naluri mahasiswa. Demonstrasi makin massif setelah pimpinan kampus mengizinkan mahasiswamelakukan aksi sehingga gemuruhnyamengalahkan kekuataan kendaraan warga Ibu Kota Jakarta. Di antara mahasiswa tersebut ada “santri” yang mengalami mobilitas vertikal.

Aksi demontrasi mahasiswa ’98 bukanlah kali pertama memadati ruas-ruas jalan di Jakarta. Mahasiswa turun ke jalanan merespons kekuasaan Orde Baru yang sentralistik, kebijakan ekonomi yang monopolistik, pengendalian kerabat dan sahabat dalam lingkaran kekuasaan. Awalnya aksi ini tidak mendapat tanggapan memadai, bahkan tidak jarang pemerintah membalasnya dalam bentuk pembungkaman dan teror. Aksi tidak berhenti. Sejak awal 1990 pemerintah Orde Baru mulai kehilangan kontrol secara penuh untuk mengendalikan kekuasaannya. Otoritas Presiden Soeharto sebagai presiden sedikit demi sedikit memudar ketika masyarakat semakin asertif. Karisma Presiden Soeharto sebagai penguasa tertinggi mulai menurun ketika masyarakat melek pendidikan melakukan kritik dan oposisi.92

Pertumbuhan ekonomimengesankan memberi kesempatan lebih banyak orang untuk memperoleh pendidikan tinggi. Peluang belajar makin terbuka ketika pemerintah memberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di luar negeri melalui jalur beasiswa baik sipil maupun tentara. Meski kebijakan terakhir hanya berjalan bagi sebagian orang atau golongan tertentu, tetapi hampir semua lulusannya memiliki satu sikap, frustasi, karena tidak memiliki kesempatan layakuntuk melakukan perubahan. Suara ini dapat dilihat dari berdirinya sejumlah LSM baru yang cukup radikal dan vokal seperti Infight, PIJAR, Geni, Lapera, LBH Nusantara, Yayasan Maju Bersama, PIPHAM, Yayasan Perempuan Bebas, Rumpun, Lekhat, Partai Rakyat Demokratis, dan Aledra pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.93

Intervensi pemerintah dalam urusan internal PDI (Partai Demokrasi Indonesia) semakin melengkapi kekecewaan masyarakat yang memperlihatkan erosi (sign of erosion) mekanisme kontrol politik rezim.94 Terpilihnya Megawati Soekarnoputri jadi Ketua Umum menggantikan Suryadi pada kongres PDI tahun 1993 tidak mendapat restu pemerintah. Keputusan kongres tidak diakui pemerintah, sebaliknya menginginkan dilakukan pemilihan ulang. Dengan tanpa mengundang Megawati, sejumlah tokoh PDI menyelenggarakan kongres tandingan yang akhirnya menetapkan Suryadi jadi Ketua Umum. Megawati sebagai pemegang

91Eric Beerkens, “The Student Movement and the Rise and Fall of Suharto,” www.universityworldnews.com (diakses 11-12-2018).

92Susanto Zuhdi, “Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images,” Wacana, Vol. 11, no. 1 (April 2009): 196 www.journal.ui.ac.id (diakses 11-11-2017).

93Sivfian Hendra Legowo, IG. Krisnadi, dan Hendro Sumartono,“Political Dynamic of New Order Regime in Indonesia: Studies about a Failure of Political Consolidation New Regime in Year 1990-1996,” Publika Budaya, Vol. 1 no. 1 (November 2013): 20 https://media.neliti.com (diakses 16-10-2017).

94Edward Aspinall, “Semi-Opponents in Power: The Abdurrahman Wahid and Megawati Soekarnoputri Presidencies,” dalam Soeharto’s New Order and its Legacy, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Australia: ANU, 2010), 122.

Page 122: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

109

mandat resmi menolak keras keputusan kongres buatan tersebut –kondisi ini menyebabkan perpecahan dalam di tubuh PDI dan terjadinya sejumlah bentrokan di markas Jakarta. Politik devide en impera ala kolonial ini berhasil menciptakan stabilitas yang bersifat sementara.

Sikap sama pemerintah dalam menyikapi kepemimpinan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). Kongres I November 1968 di Malang memilih Mohammad Roem sebagai ketuanya. Pemerintah tidak merestuinya karena Roem dinilai tokoh Masyumi berpengaruh. Melalui menteri sekretaris negara, Jenderal Alamsyah Ratuprawiranegara, mengirimtelegram ke Malang menginformasikan bahwa pemerintah tidak dapat menerimanya. Sebagai jalan keluar, Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun –keduanya tokoh Muhammadiyah—sebagai pendukung terbesar partai Parmusi sebagai pengganti. Namun kepemimpinan Djarnawi tidak bertahan lama karena dianggap kental dengan Islamnya. Akhirnya pemerintah membentuk Opsus. Organisasi khusus bersifat sementara ini dipimpin Ali Murtopo, berhasil menaikkan Jaelani Naro dan Imran Kadir menjadi pemimpin baru Parmusi. Pengangkatan ini berujung pada konflik internal di tubuh Parmusi. Pada tanggal 20 November 1970, pemerintah mengeluarkan SK No. 77 Tahun 1970 yang menunjuk MHS. Mintareja, seorang tokoh Muhammadiyah, sebagai Ketua Parmusi.95

Kekuatan politik dan ekonomi pemerintahan Orde Baru tidak hanya dalam bentuk kebijakan-kebijakan saja, tetapi juga disalurkan melalui pidato-pidato kenegaraan. Dalam menciptakan stabilitas kekuasaannya, Presiden Presiden Soeharto dan orang-orang terdekatnya tidak hanya mengandalkan legitimasi MPRS, tentara dan Golkar saja. Orde Baru jelas membutuhkan dukungan berbagai alat negara, baik bersifat konstitusional ataupun ekstra konstitusional untuk melancarkan agenda politiknya. Makapemerintah kemudian membentuk Asisten Pribadi (ASPRI) dan menjalankan Operasi Khusus (Opsus) untuk membangun konsolidasi rezim. Opsus dirancang juga untuk menginfiltrasi partai politik, menjalankan kebijakan “divide et impera” dan menjalankan praktek-praktek untuk memaksakan kehendak lainnyayang berlangsung sangat rahasia hingga 1980-an.96

Stabilitas masyarakat tercipta dengan usaha memusatkan kekuasaannya sebagaimana dilakukan raja-raja Jawa,97 seperti menjalankan doktrin dwifungsiABRI, mendirikan Golkar sebagai kereta untuk mencapai tujuan politiknya, menggabungkan semua partai politik menjadi dua parti politik besar saja, memaksakan kebijakan ‘mono-loyalty’ bagi seluruh kaki tangan kerajaan, melaksanakan kebijakan anti-kritik atau anti-oposisi guna melemahkan dan/atau menguasai lawan-lawan politiknya. Presiden Soeharto merumuskan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan memasukkan nilai-nilai pembudayaan

95Darmawijaya, “Islam dan Kekuasaan Orde Baru: Membaca Kembali Politik De-

Islamisasi Soeharto,” Sosiologi Reflektif, Vol. 10, no. 1 (Oktober 2015): 72-73 https://media.neliti.com (diakses 20-10-2017).

96Dwi Wahyono Hadi, “Propaganda Orde Baru 1966-1980,” Verleden, Vol. 1, no.1 (Desember 2012): 42-43 https://www.journal.unair.ac.id (diakses 08-10-2017).

97Totok Sarsito, Javanese Culture as a Source of Suharto's Leadership: A Socio Political Analysis (A Thesis of Ph.D to the College of Law, Government, and International Studies, Universiti Utara Malaysia, 2010).

Page 123: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

110

dan falsafah Jawa ke dalamnya untuk memberikan dasar konstitutional bagi amalan nilai-nilai pembudayaan dan falsafah Jawa. Nilai-nilai pembudayaan dan falsafah Jawa juga dimasukkan ke dalam ‘Doktrin Kepemimpinan ABRI’ dan diberlakukannya asas tunggal Pancasila pada 1985 bagiorganisasi sosial dan keagamaan. Berbagai hal dilakukan untuk membentuk pemerintahan stabil untuk menopang pertumbuhan ekonomi.98

Pemerintah tidak lagi ditempatkan sebagai pengayom masyarakat, sebaliknya diposisikan sebagai pengacau. Mulai tahun 1993 aksi demonstrasi turun ke jalan menjadi lebih sering dilakukan mahasiswa maupun masyarakat. Sorotannya pada berbagai kebijakan pemerintah bukan tanpa hasil, misalnya soal lotere yang disponsori pemerintah terpaksa dihentikan, penolakan beberapa calon pejabat setingkat gubernur pemerintah pusat akhirnya kalah, penolakan sejumlah menteri yang dianggap bermasalah, tuntutan kebebasan berpendapat, dan lainnya. Gerakan mahasiswa jadi lebih progresif bahkan cenderung “radikal” yang secara khusus dipengaruhi oleh pemikir dunia: Franz Fanon, Paolo Freire, Frankfurt, teologi Ali Syariati dan kelas Karl Marxberefek pada wibawa pemerintah.99

Terbitnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang dijadikan dasar pemerintah mengatur kampus lambat laun kehilangan momentumnya. Begitu juga Surat Keputusan No.37/U/1979 memberi ruang kebebasan pemerintah untuk mengatur segala bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan sekaligus mengontol secara ketat kegiatan para mahasiswa. Melalui peraturan tersebut kampusjadi sasaran operasi intelijen, Resimen Mahasiswa (Menwa) dibentuk sebagai wadah tidak hanya melakukan rekruitmen dan pelatihan calon tentara, tetapi juga jaringan intelijendalam kampus untuk mengawasiaktivitas mahasiswa. Kampus berfungsi bukan wadah mahasiswa melakukan diskusi, kajian, seminar dan sarasehan. Rezim Presiden Soeharto dipandang otoriter dan tidak demokratis sehingga harus diganti dengan pemerintahan demokratis baru (new democratic geverment).100

Radikalisme gerakan mahasiswa tercermin pada berdirinya PRD pada 2 Mei 1994 yang aktivitasnya menjalankan gerakan politik progresif. PRD dibentuk oleh perkumpulan mahasiswa seperti Forum Belajar Bebas (FBB) dengan aliran

98NU merupakan ormas Islam pertama yang menerima asas tunggal Pancasila.

Keputusan ini dilakukan pada Munas Alim Ulama di Situbondo pada 20 Oktober 1983, kemudian dikuatkan lagi dalam Muktamar NU tahun 1984.Keputusan NU menerima asas tunggal Pancasila bukan tanpa resiko; NU dijuluki sebagai organisasi Islam yang akomodasionis, bahkan “oportunistik”. Sikap sinis ini muncul, karena keputusan tersebut terlalu dini menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Ketika itu pemerintah baru tingkat wacana, belum berwujud Undang-Undang.

99Leonard C. Sebastian, Jonathan Chen and Emirza Adi Syailendra, “Pemuda Rising: Why Indonesia Should Pay Attention to its Youth,” RSIS Monograph no. 29 (2014): 26, www.rsis.edu.sg (diakses 11-12-2018).

100Ali Maksum and Reevany Bustami, “The 1965 Coup and Reformasi 1998: Two Critical Moments in Indonesia-Malaysia Relations during and after the Cold War,” SpringerPlus Vol. 3, no. 45 (2013): 4-5 http://www.springerplus.com/content/3/1/45 (diakses 11-12-2018).

Page 124: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

111

Marxismenya, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), dan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI). Memasuki tahun 1997 gerakan mahasiswa makin massif, dan memasuki1998 gerakan makin meluas ke kampus Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Makassar, dan lainnya.Demontrasi makin meriah ketika mahasiswa IAIN –sebagai perguruan tinggi negeri yang menjadi mobilitas vertikal kaum santri—pun turun ke jalan.101

Penulis terlibat dalam aksi turun jalan tahun 1998, perdebatan hangat di kalangan mahasiswa menjaga konsistensi. Berbagai orasi dilakukan BEM/Senat Mahasiswa bagaimana menyemangati mahasiswa untuk terus bersemangat hingga tuntutan dikabulkan, turunnya Presiden Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. Ada banyak gerakan mahasiswa dunia yang mengilhami gerakan mahasiswa ketika itu, salah satunya di Filipina pada tahun 1980-an, yang turun ke jalan dalam jumlah besar yang membuat Presiden Marcos mundur. Demonstrasi besar-besaran di ibu kota dan sejumlah kota besar menuntut Presiden Soeharto mundur. Gerakan mobilisasi massa dengan eskalasi yang terus meningkat, akhirnya pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto membacakan pidato keberhentiannya, yang berarti pemerintahan dilanjutkan oleh B.J. Habibie yang menjabat Wakil Presiden. Sorak gembira menyeruak ke permukaan, memecah langit dan membelah bumi.

Meski sudah digantikan B.J. Habibie demonstrasi terus berjalan bahkan cenderung lebih radikal menolak kepemimpinan B.J. Habibie. Selama bulan Juni 1998 tercatat 274 kali demonstrasi dengan isu utama Sidang Istimewa (SI) MPR, segera adili Presiden Soeharto, dan cabut Dwi-Fungsi ABRI.102Di sisi lain ada pula gerakan mahasiswamendukung pemerintahan transisi pimpinan B.J. Habibie. Kelompok terakhir ini cenderung konservatif bahkan radikal,hingga akhirnya terjadi demobilisasi aksi massa menjelang dilaksanakannya SI MPR pada November 1998. Hal ini terjadi ketika Deklarasi Ciganjur yang dilakukan Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Megawati, dan Sultan Hamengkubuwono IX pada 10 November 1998. Deklarasi Ciganjur berlangsung di rumah Abdurrahman Wahid mampu menurunkan tensi dua kelompok mahasiswa dan menghindarkan kontak fisik antara keduanya.103

Bagaimana memahami aksi demonstrasi mahasiswa ’98? Apakah aksi tersebut dapat digolongkan sebagai gerakan moral atau gerakan politik? Widjojo mengemukakan bahwa aksi demonstrasi mahasiswa ’98 dapat digolongkan dalam 2

101Ketika santri-santri memiliki niat melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi,

pilihannya IAIN. Ketika antusiasme melanjutkan ke IAIN sebagai lembaga utama, para santri yang masih terikat cara berpikir tradisional mengalami mobilitas sosial dan vertikal. Karenanya, sebagian santri kembali ke kampung membangun desa setelah menyelesaikan studinya, dan sebagian lagi tinggal di kota yang menjadikan sebagai bagian dari hidup mereka. Lihat Fuad Jabali and Jamhari, eds., The Modernization of Islam in Indonesia:An Impact Study on the Cooperation between the IAIN and McGill University (Montreal and Jakarta: Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project, 2003), 43.

102Melani Budianta, “Discourse of Cultural Identity in Indonesia During the 1997-1998 Monetary Crisis,” Inter-Asia Cultural Studies, Vol. 1, no. 1 (2000): 118,https://www.tandfonline.com,DOI:10.1080/146493700361033 (diakses 11-12-218).

103Greg Barton, Abdurrahman Wahid, Muslim Democrat Indonesian President (Sydney: UNSW, 2002), 285.

Page 125: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

112

hal,104 yaitu gerakan moral dan gerakan politik. Perbedaan keduanya terletak pada visi dan misi. Gerakan moral merupakan aksi pada pengembangan wacana untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. Sementara gerakan politik merupakan aksi yang dikembangkan untuk meruntuhkan rezim.Gerakan moral mendasarkan diri pada pandangan bahwa perubahan politik dapat dilakukan dengan cara menghimbau atau mengingatkan kepada elite politik. Gerakan moral tidak secara tegas menekankan keinginan untuk mengganti suatu rezim, sebaliknya aksi ditekankan pada suara atau gagasan sebagai inti gerakan. Penganut paham ini percaya bahwa suatu rezim bisa diubah dengan cara dihimbau atau diingatkan. Kapasitas gerakan ini sebatas menghimbau atau mengingatkan saja.

Perubahan politik-ekonomi sejak reformasi bergulir pada 1998 berhasil direspons dengan tepat oleh kiai khos. Sebagai elite tradisional, kiai khos menempatkan perubahan tersebut sebagai sebuah blessing dengan menempatkan teks-teks tradisionalisme dapat memberikan arti penting bagi perjalanan warga NU dan NU sendiri. Dinamika kiai khos beriringan dengan datangnya demokratisasi yang digulirkan anak bangsa merupakan respons terhadap perubahan politik-ekonomi bangsa telah membuka pembaharuan jilid kedua bagi jamá’ah dan jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Robert W. Hefner mengakui NU jadi organisasi terbesar memperkuat nasionalisme dan menghadirkan kompatibelitas Islam Indonesia dan demokrasi sebagai contoh bagi dunia.105

104Muridan S. Widjojo, Penakluk Rezim, Gerakan Mahasiswa ’98 (Jakarta: Sinar

Harapan, 1999), 234-240. 105Robert W. Hefner, “Indonesia, Islam, and the New U.S. Administration,” The

Review of Faith & International Affairs, Vol. 14, no. 2 (Summer 2016): 62http://www.tandfonline.com/action/journalInformation?journalCode=rfia20DOI: 10.1080/15570274.2016.1184444 (diakses 28-07-2017)

Page 126: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

113

BAB V KIAI KHOS MEMBANGUN KULTUR POLITIK TRADISIONAL

NAHDLATUL ULAMA “NU tidak akan menjadi partai politik. Kalau mau menyampaikan aspirasi

titip kepada orang lain saja, tak perlu membuat wadah aspirasi politik.” Hal ini diucapkan Gus Dur alias K.H. Abdurrahman Wahid dalam pidatonya sesaat setelah terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Setelah memimpin NU banyak hal dilakukan Gus Dur; bukan hanya mengembalikan NU ke khittah 1926, tetapi pada saat bersamaan juga menyampaikan sikap NU terhadap Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. NU jadi organisasi masyarakat (ormas) Islam pertama yang secara tegas menempatkan Pancasila dalam konteks kenegaraan. Zulkifli menyebutkan bahwa kiai jadi produsen symbolic power1yang tersajikepada masyarakatyang meniscayakan otoritas politik, ekonomi, dan sosial.

Memiliki kebiasaan memakai sarung dan kaos, Gus Dur dianggap sebagai sosok kiai yang memiliki pandangan sangat maju. Meski dilahirkan dalam keluarga yang teguh memegang tradisi, namun pemikirannya selalu menyasar pada kemapanan intelektualisme kampus. Gus Dur jadi simbol intelektualisme santri yang pernah dilahirkan NU yang mengajarkan kepada semua pihak untuk berpikir kritis terhadap semua paradigma. Pemikiran-pemikiranGus Dur dikenal luas masyarakat dalam dan luar negeri yang memiliki pijakan kuat terhadap kitab-kitab Islam klasik. Penguasan ini kemudian disenyawakan dengan pemikiran-pemikiran kontemporer.2

Progresifitas pemikiran dan sikap Gus Dur mulai menguat di jagat politik dan wacana keagamaan ketika aktif sebagai anggota Syuriah Nahdlatul Ulama pada awal 1980-an. Selain mengurus pondok pesantren di Ciganjur, Jakarta Selatan, saat itu juga sudah mulai memasuki dunia politik. Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984 saat dipercaya sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur memutuskan mengembalikan NU ke khittah 1926 –keputusan strategis untuk memulihkan mesin organisasi dan mengembalikan potensi-potensi warga nahdliyyin ke rumah NU. Khittah 1926 berarti NU mengurus pesantren, pendidikan, dan rumah sakit.

Sebagai intelektual terkemuka dan memiliki garis keturunan paling terhormat Gus Dur jadi tokoh utama (main protagonist) dalam pembaruan di kalangan warga NU.3Gus Dur sangat dikagumi meski pandangan dan tindakannya selalu mengundang orang panas telinga tak terkecuali di kalangan kiai. Ia pernah mengusulkan ucapan “assalamu’alaikum” diganti dengan “selamat pagi”, membuka

1Zulkifli, “The Ulama in Indonesia: Between Religious Authority and Symbolic

Power,” MIQOTVol. XXXVII no. 1 (Januari-Juni 2013): 190, https://jurnalmiqotojs.uinsu. ac.id (diakses 16-10-2017).

2R. Michael Feener, “Cross-Cultural Contexts of Modern Muslim Intellectualism,” Die Welt des Islams, New Series, Vol. 47, Issue 3/4 (2007): 278-279 http://www.jstor.org/stable/20140780 (diakses 02-05-2017).

3Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of Its Emergence in the 20th Century (Thesis of Ph.D The Australian National University, 2004), 387.

Page 127: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

114

hubungan diplomatik dengan Israel, jadi ketua desan juri Festival Film Indonesia (FFI), dan lainnya. Pemikiran kontroversial dan sikap kritisnya, tidak hanya membuat kiai-kiai senior gerah,tetapi juga para elite Orde Baru.

Pembaharuan Gus Dur tidak dilakukan sendiri. Bersama kiai Gus Durmewadahi para aktivis NU untuk terlibat dalam beragam forum kajian. Intensitas kajian dimulai ketika Gus Dur melihat sejumlah gerakan Islam mengarahkan pada penguatan radikalisme pada 1984. Fox menggambarkan, signifikansi pembentukan pemikiran ini untuk melawan munculnya pemikiran Islam radikal, terutama ketikagerakan ini nyatanya menjelma jadi gerakan politik sejak berdiri Partai Keadilan pada tahun 1999.4

A. Kebangsaan Kiai

Pembaharuan Gus Dur dan kiai menjadi instalasi baru yang secara cepat mempengaruhipola pikir mahasiswa melakukan demontrasi menuntut perubahan politik. Kondisi ini mendapatkan momentum ketika reformasi bergulir pada awal 1998 yang menggerakkan mahasiswa melakukan demontrasi telah merusak tatanan ekonomi, politik, dan budaya. Demontrasi semakin membesar setelah instalasi konstruksi nilai-nilai kebangsaan memasuki kampus di berbagai daerah menyatu dengan masyarakat akhirnya membuka era baru sosio-politik-ekonomi bangsa sejak Soeharto menyatakan lengser keprabon pada 21 Mei 1998. Aspinall menyebutkan,5 Soeharto menggunakan nasionalisme sebagai alat perpanjangan tangan kasta birokrasi militer sangat konservatif untuk menghasilkan intelektual dan ideologi Pancasila secara resmi diakui oleh rezim mengalami delegitimasi setelah instalasi menguat menjadidemontrasi mahasiswa ’98.

Selama berkuasa Soehartoberhasil mempersonifikasi diri ke dalam lembaga kepresidenanyangjadi sumber legitimasi (source of legitimacy). Dengan patronase tak terbatas, UUD 1945 terbangun untuk sebuah struktur kekuasaan.Soeharto menjadi komandan tertinggi angkatan bersenjata dengan wewenang mempromosikan dan menurunkan perwira militer, dan sekaligus memiliki kekuasaan untuk mengatur ormas.Kekuasaan ini diperkuat oleh penggunaan kata-kata khas seperti stabilitas nasional (national stability), pesta demokrasi (democratic party), budaya nasional (national culture), budaya hidup sederhana (simple lifestyle), konstitusional (constitutionally), dan swasembada pangan (rice self-sufficiency).6

4James J. Fox, “Currents in Contemporary Islam in Indonesia,” Harvard Asia

Vision 21 (29 April – 1 May, 2004): 11-12, www.openresearch.repository.anu.edu.au (diakses 26-05-2017).

5Edward Aspinall, “The New Nationalism in Indonesia,”Asia & the Pacific Policy Studies, Vol. 3, no. 1 (January 2016): 76-77, http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/app5.111/abstractDOI: 10.1002/app5.111 (diakses 16-10-2017).

6Zeffry Alkatiri, “The Words of Magic Used During the Soeharto’s Indonesiaan New Order Military Regime Era 1980-1997,” Asian Journal of Social Sciences & Humanities, Vol. 2. no. 1 (February 2013): 88-89, www.ajssh.leena-luna.co.jp (diakses 06-09-2017).

Page 128: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

115

Dalam catatan politik-ekonomi nasional, peristiwa Mei 1998 memiliki serangkaian cerita cukup panjang. Aksi menuntut Soeharto mundur dalam berbagai analis dimulai dari krisis moneter yang menimpa sejumlah negara berkembang termasuk di Asia Tenggara. Dalam negeri krisis moneter secara cepat berubah menjadi krisis multidimensional. Nilai tukar rupiah anjlok di angka Rp. 11.050, bahan pokok di pasar langka, penutupan 16 bank, dan tidak beroperasinya sejumlah pabrik. Dalam waktu bersamaan pengangguran meningkat dari 4,68 juta pada 1997 menjadi 5,46 juta pada 1998. Dana talangan pada Dana Moneter Internasional (IMF) tidakmembuahkan hasil maksimal.7

Berbagai upaya dilakukan Soeharto untuk mengembalikan situasi seperti mempercepat pemilu, perombakan kabinet, dan menurunkan kebutuhan barang pokok. Namun tawaran tersebut tidak mendapat respons memadai. Situasi serba sulit ketika sejumlah menteri yang seharusnya jadi benteng pertahanan justru secara terbuka mengundurkan diri dan tidak mau menjabat kembali dalam kabinet. Menurut Cole,8 lengsernya Soeharto disebabkan dua hal. Pertama, penyuapan rutin dan manipulasi anggaran dan proyek pemerintah yang secara resmi didominasi oleh negara. Kedua, peran sentral keluarga presiden dan kroni terdekatnya terhadap penguasaan sumber-sumber ekonomi pasar. Seluruh pertumbuhan politik-ekonomi tiba-tiba mengalami kontraksi tajam di tahun 1998 ketika bangsa Indonesia mengalami krisis moneter.

Wacana reformasibermula dari diskusi-diskusi kelompok mahasiswa. Dalam konteks itu, K.H. Abdurrahman Wahid yang selama ini dikenal pengusung kekuatan civil societyjadi simbol konstruksi nilai-nilai kebangsaan memberikan instalasi bagi kalangan mahasiswa. Kyai Abdurrahman Wahid jadi patron untuk aksi mahasiswa dari waktu ke waktu terus bergelombang.Aspinall mengemukakan, setidaknya di satu bagian bidang studi di Indonesia ada ortodoksi baru bahwa kekerasan dan pengucilan sebagai esensi Orde Baru.9 1. Kiai Orde Baru

Gambaran di atas memberikan penjelasankekuatan Presiden Soeharto dalam membangun pemerintahan yang kuat dan stabil. Kekuasaan Soeharto dimulai pada 1966 adalah suatu pemerintahan yang dibangun bersama dengan berbagai komponen bangsa termasuk di dalamnya sejumlah kiai untuk stabilitaspembangunan. Bahkan dalam konteks institusipesantren dan NU, kontribusi kiai terhadap berdirinya pemerintahan Orde Baru beriringan dengan

7Hal Hill and Dionisius Narjoko, “Managing Industrialisation in a Globalising Economy: Lessons from the Soeharto Era,” dalam Soeharto’s New Order and its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Australia: ANU E-Press, 2010), 50.

8William S. Cole, “Roots of Corruption in the Indonesian System of Governance,” Asia Program Special Report, no. 100 (December 2001): 16, http://www.wilsoncenter.org (12-11-2017).

9Edward Aspinall, “Semi-Opponents in Power: The Abdurrahman Wahid and Megawati Soekarnoputri Presidencies,” dalam Soeharto’s New Order and its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Australia: ANU E-Press, 2010), 120.

Page 129: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

116

komitmennya terhadap NKRI. Dukungan para kiai dan santri serta lembaga pesantren terhadap program pembangunan Orde Baru selalu beririsan dengan komitmennya untuk melakukan menyelenggarakan pendidikan pesantren.

Pemerintah terlihat pejoratif menempatkan elite-elite pesantren dalam konteks kebangsaan. NU bahkan diposisikan sebagai organisasi pinggiran sementara organisasi lain tidak. Puncaknya terletak pada upaya pemerintah yang menghalangi-halangi pencalonan Gus Dur dalam pemilihan Ketua Umum PBNU tahun 1984. Meski muktamar memilih Gus Dur tapi istana menutup pintu untuk menerimanya. Dalam konteks Islam politik selalu ada upaya marginalisasi dilakukan secara simultan di antara elemen-elemen yang sangat anti-komunis. Hadiz menyebutkan, meski tidak menemukan Orde Baru menyambut PKI yang telah tereliminasi, tetapi saat sama pula kekuatan Soeharto melakukan operasi di pinggiran lembaga formal kehidupan politik dan sosial.

Kiai jadi penyokong kekuasaan Orde Baru namun tersingkir dalam lingkaran kekuasaan.Greg Fealy menyebutkan,10 marginalisasi kiai dalam politik kekuasaan disebabkan banyak hal. Pertama, tidak dekat dengan Soeharto. Selama pemerintahan Orde Lama, sejumlah kiai identik dengan Soekarno.11 Meski tidak semua dekat Soekarno –bahkan banyak para kiai yang anti-Soekarno—tapitidak satu pun di antara mereka yang secara pribadi dekat dengan Soeharto. Misalnya K.H. Yûsuf Hasyim dan K.H. Munasir lebih dekat dengan Nasution bahkan ada beberapa tokoh NU yang justru dekat dengan Ali Moertopo.

Pada masa Orde Lama banyak tokoh Muhammadiyah yang jadi menteri sebagaimana NU, namun sejak Orde Baru Soeharto lebih bergaul dengan Muhammadiyah daripada NU. Meski sejumlah kiai ikut berkontribusi berdirinya Orde Baru, tidak ada tokoh-tokoh NU yang dipandang memiliki kedekatan di awal pemerintahan Soeharto, sebaliknya mereka dianggap sebagai bagian dari pemerintahan Soekarno seperti K.H. Wahab Chasbullah, K.H. Idham Chalid, K.H. Saifuddin Zuhri, dan Masykur. Tuduhan NU dekat dengan Soekarno sudah jadi pandangan umum.

Kedua, tidak cocok dengan rencana pembangunan. Dekatnya Soeharto dengan Muhammadiyah daripada NU dapat dipahami karena ia memiliki berlatar belakang pendidikan Muhammadiyah.12Kondisi ini menempatkan NU secara pejoratif sebagai organisasi yang tidak sesuai dengan karakter pembangunan baik dari segi pendidikan maupun visi ekonomi.Elite-elite NU yang proteksionis dan

10Greg Fealy, “Pertengkaran Elite Politik Nahdlatul Ulama, 1960-hingga Kini,” Wawancara CRCS UGM, 13 Agustus 2009, http://crcs.ugm.ac.id/id/wawancara/1426/greg-fealy-pertengkaran-elit-politik-nahdlatul-ulama-1960-hingga-kini.html(diakses 20-10-2017).

11Tuduhan ini setidaknya digambarkan oleh Faisal Ismail. Kedekatan NU ketika Soekarno menyusun kabinet pertama pada September 1945 dan 1949-1952 yang mempercayakan kepada A. Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama. Lihat Faisal Ismail, “The Nahdlatul Ulama: Its Early and Contribution to the Establishment of Indonesian State,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 05, no 02, (December, 2011) 274

12Dwi Tiyanto and Totok Sarsito, “Between Dr. Ir. H. Sukarno and the Great Army General H. Muhammad Suharto,” Southeast Asian Journal of Social and Political Issues, Vol. 1, no. 2 (March 2012): 206, https://www.researchgate.net/publication/ 235665110 (diakses 28-07-2017).

Page 130: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

117

nasionalis dianggap tidak setuju terhadap program-program pembangunan Soeharto seperti masuknya modal asing, integrasi ekonomi dengan ekonomi internasional, dan tidak ada anggota Mafia Berkeley.

Ketiga, oposisi NU. Penilaian pejoratif tersebut menempatkan sebagian tokoh-tokoh dalam posisi oposisi. Sejumlah tokoh NU bahkan secara frontal melawan Soeharto dan semakin kritis terhadap Orde Baru sesudah tahun 1967 khususnya ketika Soeharto melakukan penundaan Pemilihan Umum hingga 1971. Salah satunya Subhan, ZE yang melakukan protes keras tatkala Soeharto “membonsai” kekuatan-kekuatan di luar Golkar, khususnya pada kasus fusi partai-partai politik pada tahun 1974.

Perihal kedekatan Soeharto dan Muhammadiyah dapat dilihat dari pendidikannya. Soeharto lahir di Sedayu, Bantul, Yogyakarta 8 Juni 1921 dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah, resmi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Oktober 1945. Tercatat beberapa kali pindah sekolah hingga akhirnya menyelesaikan sekolah paling dasar di Schakel School Muhammadiyah Yogyakarta. Soeharto juga tercatat pernah belajar ilmu sufi pada Kiai Daryatmo. Pada 26 Desember 1947, ia menikah dengan Raden Ayu Siti Hartinah, seorang wanita cantik asal Mangkunegaran.

Meski dalam periode yang singkat, pendidikan itu memberikan sinyal kuat tentang hubungan Soeharto yang dapat dengan mudah dibangun oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Latar belakang ini mempengaruhi kedekatan Soeharto dengan Muhammadiyah daripada NU di kemudian hari.13 Apalagi ketika itu ada usaha-usaha di kalangan tokoh nasional untuk mendiskreditkan NU dalam pentas politik nasional. NU dinilai sebagai komunitas berpendidikantradisional yang memiliki dua karakter: mereka berusaha untuk melestarikan otoritas ulama abad pertengahan dan cenderung lebih toleran terhadap tradisi lokal.14

Di kalangan ahli tidak sedikit yang menempatkan kiai sebagai komunitas tradisional yang mempercayai dan mengikuti doktrin, norma, dan tradisi ulama-ulama abad pertengahan. Dengan kata lain, orientasi pendidikan kiai dianggap tidak paralel untuk rencana pembangunan Orde Baru atau dalam pandangan Aspinall NU dinilai menyimpang dari kepribadian nasional Indonesia.15Sementara pada saat sama Muhammadiyah ditempatkan sebagai komunitas modernis yang melekat pada mereka reformasi Islam yang selalu memakai pendekatan baru dalam menjawab persoalan kontemporer. Muhammadiyah membuka ruang ijtihad dan terutama seruan kembali ke sumber Islam asasi, al-Qur’an dan Hadits, merupakan kelompok

13Robin Bush, Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power Within Islam &

Politics In Indonesia (Singapore: ISEAS Publishing, 2009), 34. 14Salah satunya disampaikan Zulkifli. Menurutnya, konsep keagamaan NU yang

dirumuskan dengan istilah ahl al-sunnah wa al-jamá’ah merupakan usaha kiai untuk mempertahankan doktrin dan praktek keagamaan terpanjang dalam rangka menciptakan otoritas keagamaan mereka. Lihat Zulkifli, Menuju Teori Praktik Ulama(Ciputat: Haja Mandiri, 2018), 79-80.

15Edward Aspinall, “The New Nationalism in Indonesia,”Asia & the Pacific Policy Studies, Vol. 3, no. 1 (January 2016): 76,https://onlinelibrary.wiley.com/DOI: 10.1002/app5.111 (diakses 16-10-2017).

Page 131: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

118

Islam yang dianggap memiliki tradisi pendidikan relevan dengan semangat Orde Baru.16

Penilaian sumir ini tidak hanya mempengaruhi hubungan kiai dan Soeharto, tetapi juga berdampak pada keberadaan kiai di pemerintahan. Soeharto lebih nyaman bergandeng tangan dengan Muhammadiyah daripada NU. Tokoh-tokoh Muhammadiyah memperoleh jatah kursi kabinet dan jabatan-jabatan strategis lainnya di pemerintahan. Inilah realitas politik peripheral yang harus dihadapi elite-elite pesantren dan tokoh-tokoh NU. Sejak umat Islam memandang pentingnya media atau organisasi sebagai alat perjuangan untuk melawan sekularisme selalu terjadi balapan antara Muhammadiyah dan NU. Balapandua organisasi ini sudah dimulai pada masa revolusi, Orde Lama, Orde Baru, dan berlanjut sampai sekarang. Meski pertentangan (konflik) antara penganut NU dan Muhammadiyah kini tidak terdengar kembali, namun persaingan dalam berebut perhatian pemerintah senantiasa terlihat dari masa ke masa.17

Muhammadiyah memiliki pengaruh di kalangan generasi muda banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran reformis Islam, Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridhá, terutama dalam menjaga kegagalan doktrin keagamaan dan memelihara kesatuan Muslim melawan dominasi kolonialisme Barat. Muhammadiyah merupakan organisasi yang selalu menggunakan Islam purifikasi untuk menjaga praktek-praktek Islam bercampur dengan tradisi lokal sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad. Dalam konteks itu klaim modernis dan paling reformis jadi bagian penting untuk mendemarkasi dengan pandangan para kiai tradisionalis. Bahkan modernisme seringkali digunakan untuk menyerang tradisi dan praktek keagamaan para kiai yang dianggap mempertahankan tradisi lokal dan ajaran Islam terutama dalam konteks tradisi atau local wisdom Jawa. Persaingan kedua organisasi ini bersifat laten.18

Dalam konteks politik, balapan antara kiai dan tokoh-tokoh Muhammadiyah terlihat dalam perebutan Masyumi. Keluarnya NU dari Masyumi tidak terlepas dari upaya-upaya pengikisan peran kiai dari organisasi induknya tersebut. Kontribusi-kontribusinya diabaikan. Politisasi tradisionalis ini, menurutFredj Maatoug, sebagaimana kelembagaan tarekat seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, dan Khistiyah, menyebabkan lahirnya kelompok dan organisasi untuk tujuan keagamaan, sosial, dan filantropis. Akhirnya, baik tradisionalis dan refomis,

16Robin Bush, “A Snapshot of Muhammadiyah Social Change and Shifting of

Identity and Values,” Asia Research Institute, no. 221 (May 2016), 3 www.ari.nus.edu.sg (diakses 02-05-2017)

17Teori “balapan” (race theory) yang pernah dipopulerkan oleh Schrike, sebagaimana dijelaskan Azyumardi Azra untuk menjelaskan kehadiran Islam dan Kristen di bumi Nusantara, pun bisa dipakai untuk menjelaskan keberadaan NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi dengan basis massa terbesar. Lihat Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002), 37.

18Ahmad Syafi’i Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 146.

Page 132: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

119

sufi dan intelektual melakukan upaya sama untuk meningkatkan kepentingan khusus mereka.19

Meski konsep negara keduanya bertitik tolak pada sumber sama, tetapi dalam praktik politik tampak berbeda bahkan berseberangan. Perbedaan ini sampai batas tertentu mencerminkan latar belakangan budaya dan regional. Mereka memiliki pusat grativitasi yang merefleksikan kekuatan baik ideologi maupun massa. Yang satu berusaha mengaktulisasikan tradisi politik Jawa dan nilai progresif politik Sunni sehingga terkadang memunculkan wajah elitisme dan akomodatif terhadap pemerintah, sementara yang satu lagi menempatkan ortodoksi Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadits sebagai basis perjuangan sehingga melahirkan modernisme dan roformisme. Sepanjang Orde Lama, sikap keduanya sama-sama oportunis. Martin mengemukakan, keduanya berpegang pada prinsip bahwa syari'ah seharusnya menjadi sumber hukum tertinggi, namun keduanya tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang bagaimana ini harus bekerja dalam realitas sosial politik.20

Dalam konteks itu, kiai tidak dapat melayani Orde Baru, sebaliknya lebih memfokuskan pada pengembangan masyarakat. Kiai berjuang membela otoritas tradisi Islam dalam kehidupan modern, mengatasi persoalan-persoalan lokal, dan melakukan kontrol masyarakat di tingkat pedesaan. Peran kiai dalam mengembangkan masyarakat dilakukan melalui jaringan pribadi dan keluargaan di antara para kiai yang menempatkan pesantren sebagai basis institusionalnya jadi fakta. Hal ini memperlihatkan bahwa kiai memiliki pengaruh luas di tingkat masyarakat desadan NU tidak tersentuh oleh rezim. Meski antara K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari secara personal memiliki hubungan cukup intens, tetapi persaingan keduanya dalam sejarah Indonesia tak dapat dihindari. Dalam perkembangannya.Keduanya jadi representasi dari organisasi yang paling banyak melahirkan politisi.21

Tampak bagaimana pandangan Soeharto terhadap para kiai dan NU. Streotipe kiai sebagai kaum tradisional sebagai akibat persaingan dan balapan mampu meyakinkan Soeharto untuk tidak memberikan tempat layak pada kiai selama pemerintahan Orde Baru. Meski pandangan ini bisa dibantah dengan argumen-argumen dan fakta-fakta lain, kebijakan Orde Baru yang tidak menguntungkan kiai telah banyak merugikan peran dalam sosial dan filantropis NU. Banyak sekolah dan rumah sakit gulung tikar dan bangkrut. Soeharto dan rezim Orde Baru menerapkan kebijakan yang menyingkirkan Islam politik, dan sebaliknya mengakomodasi Islam ibadah. Marginalisasi kiai tidak lantas berarti

19Fredj Maatoug, “Nationalism and Independence in South Asia,” dalam Islam in

the World Today, eds. Abdulrahim Ali, Iba Der Thiam and Yusof A. Talib, Vol. 6 (Unesco Publishing, 2016): 261, http://www.unesco.org (diakses 11-07-2017).

20Martin van Bruinessen, “Islamic State or State Islam? Fifty Years of State-Islam Relations in Indonesia,” dalam Indonesien am Ende des 20. Jahrhunderts, ed. Ingrid Wessel (Hamburg: Abera-Verlag), 19-34.

21Firmanzah, Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik: Pembelajaran Politik Pemilu 2009 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010, 123.

Page 133: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

120

depolitisasi kiai dalam panggung politik, sebaliknya masa Orde Baru justru meneguhkan perjuangan kiai di akar rumput yang berlangsung secara intensif.

Ini fakta bahwa kiai memiliki pengaruh kuat di kalangan umat Islam di pedesaan. Selama bertahun-tahun, NU memperlihatkan diri sebagai organisasi yang nyaris tak tertembus oleh kekuatan rezim. Karena itu, polarisasi antara Islam tradisionalis dan modernis dari awal hingga akhir rezim kuat membentuk pola pikir masyarakat secara politik, melemahkan institusi-institusi keislaman sendiri dengan tidak mempedulikan kontribusinya terhadap pembentukan Orde Baru terutama pada masa mass killing. Kaum modernis mendapat tempat layak, sementara kaum tradisionalise mendapati dirinya sebagai pihak yang selalu dicurigai.22 2. Reposisi Budaya Kiai

Robinson mengatakan, sejak dua ratus tahun terakhir otoritas kiai dalam transmisi pengetahuan Islam dan interpretasi otoritatifnya telah terfragmentasi dalam berbagai kewenangan. Sejalan pertumbuhan masyarakat yang diasporik otoritas kiai sebagai penerjemah tunggal teks-teks keagamaan mulai ditantang oleh masyarakat yang mengalami pertumbuhan interpretasi spektakuler. Fragmentasi otoritas ilmiah muncul sebagai akibat pertumbuhan cukup signifikan kaum terpelajar Muslim yang menghilangkan hierarki tua dan disiplin interpretasi. Mereka berusaha mengambil alih peran dan tanggung jawab kiai dalam otoritas keagamaan dan transmisi keagamaan yang dianggap mulai menurun.23

Menurut Robinson, persinggungan kiai dengan peradaban modern yangmuncul sebagai kreatifitas manusiamengemuka setelah berakhirnya Perang Dunia II. Peradaban modernmerupakan tawaran alam pikir masyarakat yang dapat membuat manusia memiliki kemampuan dan mengendalikan alam. Modernitas merupakan proyek dunia tentang arah perubahan yang terjadi di masa depan telah melahirkan tradisi-tradisi baru. Dalam konteks agama, modernitas menggugat tradisi-tradisi lama yang tidak sinkron dengan semangat kemajuan. Beberapa tokoh Muslim mendorong untuk membangkitkan interpretasi baru secara terbuka. Metode ini memberikan peluang pada masyarakat umum memilih interpretasi keagamaan yang paling sesuai kebutuhan.24

Modernisme hadir sebagai ideologi baru mulai menggugat tradisi Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat sejak ratusan tahun silam. Sejak modernisme melakukan penetrasi budaya dalam dinamika masyarakat tradisi Islam tiba-tiba berhenti. Peradaban Islam membentang luas dari masa Nabi hingga abad pertengahan jadi kebanggaan masyarakat Muslim tiba-tiba pada masa ini mendapat perlawanan dari peradaban Barat yang mengklaim memiliki keunggulan-keunggulan tertentu dengan nilai-nilai yang applicable pada kebudayaan

22M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan

Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang (Jakarta: Serambi, 2012), 338. 23Francis Robinson, “Crisis of Authority: Crisis of Islam?” The Royal Asiatic

SocietySeries 3, Vol. 19, no. 3 (July 2009): 350, https://www.cambridge.org/core/journals/ DOI:10.1017/S1356186309009705 (diakses 20-10-2017).

24Ebrahim Moosa, “Introduction,” dalam Fazlurrahman, Revival and Reform in Islam (Oxford: Oneworld, 2000), 10.

Page 134: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

121

lain.Modernisme jadi proyek negara-negara maju telah memecah tradisi Islam yang telah berakar kuat dalam dimensi sosial masyarakat Indonesia.

Klaim keunggulan peradaban Barat atas peradaban Muslim dapat dilihat dalam bidang pendidikan, militer, demokrasi, nasionalisme, dan konsep negara-banga (nation state). Dominasi dan hegemoni Barat atas negara-negara berkembang pasca Perang Dunia II bukan dalam bentuk pendudukan atau kolonialisme militer secara langsung, tetapi melalui campur tangan politik dan ekonomi. Hasilnya banyak negara dunia ketiga termasuk Muslim sendiri secara politik dan ekonomi memiliki ketergantungan kepada bangsa-bangsa Barat. Meski memperoleh kemerdekaan, ketergantungan itu bukannya menyurut, tetapi sebaliknya semakin meningkat berkat keunggulan dalam bidang teknologi dan ekonomi.25

Proses penetrasi semacam ini menjadi persoalan baru bagi masyarakat pasca kolonial yang melibatkan pertimbangan banyak faktor dan lebih dari satu tradisi. Berbagai proyek modernisasi Barat dalam bentuk “imperialisme kultural” melalui gagasan yang dikembangkan dan didistribusikan kepada intelektual Muslim modern sejak akhir abad ke-18 tidak dapat dihindari bagi masyarakat Muslim.26 Respons tokoh-tokoh Muslim sebagai manifestasi ajaran-ajaran Islam dalam sistem kehidupan sosial, politik, dan budaya beragam. Dalam konteks Indonesia respons berwujud dalam bentuk organisasi NU dan Muhammadiyah yang dalam pandangan Deliar Noer disebutnyakelompok tradisionalis dan modernis.

Meski dalam beberapa dekade terakhir teori ini digugat oleh berbagai kalangan karena dianggap menyederhanakan organisasi keagamaan, tetapi kategorisasi Deliar Noer27 memberikan kemudahan dalam memahami model-model keislaman yang selama ini berkembang di Indonesia. Meski teori ini memperlihatkan telah kehilangan momentumnya, tetapi dinamika studi keagamaan yang dikembangkan dua organisasi mempengaruhi keberislaman masyarakat Indonesia yang simbiostik. Tradisionalis berusaha mempertahankan tradisi sebagai basis perjuangan dan aktivitas keagamaannya, dan kelompok modernis berusaha melakukan purifikasi sebagai bagian dari aktivitas keagamaannya.

Aktivitas semacam iniumumnya dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Timur Tengah seperti Jamal al-Dîn al-Afghánî yang menggagas reformasi Islam, kemudian dilanjutkan oleh muridnya paling terkenal Rasyîd Ridhá, dan kemudian diteruskan lagi oleh Muhammad ‘Abduh.Bagi kaum modernis, tokoh-tokoh reformis tersebut memiliki pola pikir pembaharuan yang cocok untuk masyarakat Indonesia, khususnya mengenai kesempurnaan al-Qur’an dankedudukan Sunnah dalam kehidupan manusia. Karena itu, tokoh-tokohtersebut menolak tradisi Islam yang tergolong bid’ah, taklid terhadap studi teks-teks agama klasik, menjalankan talqin, dan ziarah kubur. Pada sanat sama kelompoktradisional Islam lebih banyak

25Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan

Pluralitas (Jakarta: Rajawali Press, 2002), 5. 26R. Michael Feener, “Cross-Cultural Contexts of Modern Muslim Intellectualism,”

Die Welt des Islams, New Series, Vol. 47, Issue 3/4 (2007): 269, http://www.jstor.org/stable/20140780 (diakses 24-10-2015).

27Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1945 (Jakarta: LP3ES, 1982), 242.

Page 135: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

122

mengadopsi pemikir-pemikir keislaman klasik seperti al-Ghazali, al-Jilani, Jalal al-Dîn Rumi, dan al-Hallaj untuk merespons kehadiran tradisi-tradisi baruwesternistif. Islam tradisional berusaha menguatkan individu dan masyarakat dengan menempatkan al-Qur’an sebagai wahyu untuk diterima utuh dan perkataan Nabi sebagai sumber utama, namun diperkuat dengan syariah sebagai hukum terbarudan sufisme sabagai dimensi terdalam dalam memotivasi individu Muslim.28

Gerakan tradisional Islam berusaha menjadikan tasawuf sebagai realitas spiritual untuk mendorong aktivitas individu mengubah secara menyeluruh pola pikir masyarakat dalam berbagai dimensi sosial, politik, ekonomi, pendidkan, dan budaya yang menjadikan pesantren dan pengajaran kitab kuning sebagai pusat pergerakan (center of social movement) di tengah modernisme. Tasawuf merupakan bentuk kepatuhan secara ketat pada peraturan-peraturan syariat dijadikan pelajaran pokok dalam setiap pengajaran dan diamalkan dalam lingkungan pesantren memberikan stimulus minimal dalam merubah mindset masyarakat. Tasawuf sebagai jalan mensucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Tuhan telah jadi bagian penting dalam tradisi keagamaan karena pelaksanaannya dilakukan melalui apa yang kemudian disebut dengan tarekat.29

Pesantren mampu membangkitkan gairah baru dalam membangun struktur intelektual masyarakat. Interaksi kiai dan santri bertumpu pada kitab-kitab klasik yang ditulis beberapa abad silam melahirkan tradisi keilmuan pesantren sebagai tradisi agung (great tradition). Sistem pengajaran dan metode klasik selama bertahun-tahun menjadikan kiai sebagai pemilik otoritas keagamaan. Dinamika semacam ini mempengaruhi pertumbuhan Islam. Dengan demikian, gerakan tradisional Islam satu sisi memperlihatkan gerakan politik namun sisi lain memperlihatkan progresifnya dalam gerakan sosial kemasyarakatan.Hefner menggambarkan,30 kedua kelompok ini memiliki rujukan tokoh yang sangat kuat yang mempengaruhi paham-paham dan tradisi-tradisi keagaman.

Gerakan tradisionalistik semacam ini, dalam arti mengekplorasi sumber utama agama dan sumber-sumber keagamaan dapat dijumpai di berbagai negara. Di Korea terdapat gerakan Buddha Maitreya jadi simbol tokoh pembebasan karena menempatkan tradisi sebagai sumber motivasi sebagaimana dilakukan Buddha

28Michael Laffan, “National Crisis and the Representation of Traditional Sufism in

Indonesia: The Periodicals Salafy and Sufi,” dalam Sufisme and the Modern in Islam, eds.Martin van Bruinessen and Julia Day Howell(London: I.B. Tauris & Co Ltd, 2007), 168.

29Keberhasilan tarekat dalam memperkuat kepercayaan Islam di kalangan masyarakat di Indonesia membangkitkan rasa kagum terhadap kiai. Penting bahwa seorang kiai yang dihormati seperti Syaikh Sambas, yang darinya hampir semua kiai di Jawa menelusuri silsilah intelektual mereka dari tataran mistik. Lihat Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyai in the Maintenance of the Traditional Ideology of Islam di Java (A Thesis of Ph.D The Australian National University, October 1980), 126, https://openresearch-repository.anu.edu.au (diakses 02-05-2017).

30Lihat Robert W. Hefner, “Introduction: The Politics and Cultures of Islamic Education in Southeast Asia,” dalam MakingModern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia (USA: University of Hawaii Press, 2009), 21.

Page 136: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

123

Siddharta atau Amita yang diakui perannya seluruh Buddha dunia.31 Hal sama Sarvodaya atau Kebangkitan Semua Orang di Sri Lanka. Di negara bekas jajahan Inggris, India, gerakan tradisional mewujud dalam pendirian lembaga-lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan pengetahuan agama dan tidak mau bekerja sama dengan pihak asing sebagaimana terlihat pada Universitas Deoband. Di Indonesia gerakan tradisional dilakukan dalam bidang politik mengubah pola hidup masyarakat lapis bawah melalui pesantren untuk menjamin suksesnya perubahan emansipatoris.32

Karakteristik gerakan tradisional di dunia secara umum adalah aktivitas gerakan terfokus pada perbaikan individu, aspek kebatinan yang berhubungan dengan mistisisme, dan kesinambungan pola pendidikan tradisional pada masa kontemporer. Gerakan emansipasi dan pembaruan ini berdampak secara makro yang oleh John L. Esposito dan John O. Voll disebut intelektual aktivis berorientasi Islam.33 Konstruk emansipatoris tokoh-tokoh dunia seperti Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948) di India, Aloysius Pieris (1934) di Sri Lanka, Maulanā Sayyid Abûl A’lā al-Maudûdī (1903-1979), Alī Sharīatī (1933-1977) dan lainnya adalah konstruksi terhadap apa yang terlihat stabil melalui gerakan kultural bahkan terkadang konservatif. Pemikiran-pemikiran mereka gagas menggoncangkan dunia, dan kemudian mengubah jalannya sejarah di berbagai kawasan.

Dalam konteks sosial politik, gerakan perubahan pada era 1980-an memperlihatkan generasi-generasi Muslim muda tradisional berhasil mengartikulasikan diri melalui pemikiran konstruktif di tengah bertebarannya aktivitas alumni pendidikan modern dan nasional.34 Nurcholish Madjid mengemukakan, terjadi gelombang pemikiran-pemikiran keagamaan dari kalangan Muslim tradisional sebagai dampak dari progresifitas generasi muda dalam menerima wacana demokrasi, HAM, dan nasionalisme. Gelombang ini disebutnya “intellectual bom” dan Barton menyebutnya “neo modernism” merupakan kelanjutan dari gagasan-gagasan Gus Dur muda.

Gelombang tradisional Islam muncul sebagai gerakan keagamaan yang berusaha membangkitkan tradisi keagamaan di tengah gencarnya paham-paham modernisme sebagai realitas spiritual kelompok masyarakat. Paham-paham keagamaan bersumber dari al-Qur’an, perkataan Nabi, dan kitab-kitab kuning diaksentuasikan ke dalam aktivitas tidak hanya memformulasi dalam politik melainkan pula pada sikap-sikap individu yang jadi bagian komunitas dalam masyarakat mencerminkan paham tersebut. Tradisi-tradisi agama berakulturasi

31Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia,penerj. A. Widyamartaya

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 12. 32Ronald A. Lukens-Bull, Islamic Education in Indonesia: Continuity and Conflict

(US: Palgrave Macmillan, 2013), 24. Bandingkan dengan Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, 148.

33John L. Esposito dan John O. Voll, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, penerj. Sugeng Hariyanto, Sukono, Umi Rohimah.(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), xxxv.

34Luthfi Assyaukanie, Islam and the Secular State in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2009), 99.

Page 137: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

124

dengan mempertahankan tarekat dan nilai-nilai daerah. Pembaharuan dilakukan sepanjang tidak mengubah tarekat atau tasawuf.

Paham-paham semacam ini membuat kelompok tradisional Islam selalu tampak lentur dan luwes. Meski memiliki akar-akar historis sama dan gerakan tradisional Islam seringkali dipahami keliru oleh banyak kalangan justru di sinilah dalam pandangan Barton memberikan demarkasi antara tradisionalis dan modernis. Menurut Barton, penerimaan paham-paham tradisi sebagai bagian penting sistem pendidikan pesantren membuat kelompok tradisional menjadi penyangga terputusnya tradisi Islam klasik, pertengahan, modern, dan kontemporer. Peran itu dapat dianggap kecil tetapi pengaruh signifikan dalam kesinambungan Islam.35Betapapun besarnya goncangan yang diakibatkannya, dan betapa berubahnya jalannya sejarah di suatu negeri dibuatnya, pemikiran-pemikiran seperti itu pada dirinya tidak menggambarkan secara konkret jalannya proses perubahan hidupnya. Skalanya yang terlalu massif dan perubahannya yang terlalu cepat membuat sulit dipelajari bagaimana proses pemikiran perorangan kaum tradisional secara makro itu mengubah keadaan.36

Begitu juga dalam bidang politik. Kelenturan sikap politik yang diperankan Muslim tradisionalis tampak pada sejumlah ijtihad politiknya, seperti sikap penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas, pemberian gelar walî al-amri al-darûri bi al-syaukah kepada Soekarno, dan lainnya. Dalam konteks sosio-religius, kelenturan dan keterbukaankelompok tradisionalseringkali diassosiasikan sebagaiimplikasi pemahaman teologisyang berbeda dengan persepsi teologis Muslim modernis, meskipun dalam banyak hal memiliki akar teologis relatif sama. Jika Muslim tradisionalis merujuk pada suatu komunitas Muslim yang menganut salah satu dari empat madzhab hukum Sunni dan cenderung pada praktek-praktek ibadah sinkretis, sebaliknya kelompok “modernis” tidak mengakui prioritas madzhab apapun dan hanya menganggap al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumberutama.

Mempertentangkan kedua kelompok ini tidak relevan lagi, karena upaya ini memiliki konsekuensi yang jauh daripada mempertemukan kesesuaian pemikiran. Perbedaan keduanya sebagian besar terletak pada gaya, bukan isi. Pemikiran keduanya bertemu dalam neo-modernisme Islam. Namun, seperti dikemukanan Donald J. Porter,37 sampai hari ini afiliasi organisasi tetap menjadi sumber penting dari pembelahan politik antara Muslim modernis dan tradisionalis sebagai karakteristik yang dapat dijumpai di berbagai negara. Gerakantersebut muncul

35Greg Barton, “Indonesia's Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as Intellectual 'Ulama': The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought,” Studia Islamika 1, no. l, (1997): 65-66, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika (diakses 02-5-2017)

36Abdurrahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial” dalam Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987), xiii.

37Kelenturan tersebut tampak pada keputusan NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952 karena konflik di internal partai tersebut, Muslim tradisionalis membangun komunikasi dengan Presiden Soekarno, bahkan dalam perkembangannya dekat dengan kekuasaan. Lihat Donald J. Porter, Managing Politics and Islam in Indonesia (London and New York: Rouledge Curzon, 2005), 40.

Page 138: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

125

sebagai sebuah respons terhadap paham-paham modernisme yang muncul di tengah masyarakat dan menjadi visi baru negara-negara maju. Modernisme sebagai kekuatan baru negara-negara maju telah memaksa kiai dan berbagai gerakan tradisionalnya untuk menggali sumber-sumber keagamaan dan memikirkan kembali paham-paham keagamaan. Dengan kata lain, kiai tidak hanya menjadi transmiter ilmu-ilmu pengetahuan keagamaan, melainkan pula jadi penghubung kepada gerakan tradisionalisme dan paham-paham modernisme.

Karakteristikdi atassecara umum menjadi ciri gerakan Islam tradisional di dunia Islam yang terfokus pada perbaikan individu, aspek kebatinan yang berhubungan dengan sufisme, dan kesinambungan pola pendidikan tradisional pada masa kontemporer. Proses mediasi semacam ini dapat dilihat dalam sejarah intelektual Muslim modern yang dalam berbagai gerakan mempertimbangkan banyak faktor dan melibatkan banyak tradisi. Transmisi ilmu pengetahuan ini mengantarnya tidak hanya dalam posisi terhormat tetapi konsistensinya juga menempatkannya sebagai pembaharu.

Lucken-Bulls berpandangan,38perjuangan kiai mengubah masyarakat pedesaan (rural sosiety) dan para cerdik perkotaan (urban society) melalui transmisi tradisionalistik kitab kuning –memuat teologi, hukum, dan mistis—memperlihatkan peran penting bagaimana kiai mereposisi dirinya dalam era globalisasi dan modernisasi dunia. Kiai berhasil membongkar mitos bahwa kitab kuning jadi kurikulum pesantren tidak relevansi di era modern yang hanya membentuk masyarakat marginal dari peradaban baru, sebaliknyakiai justru merekonstruksi tradisi keagamaan progresif sebagai khazanah baru. Kiai menyadarkan banyak pihak bahwa tokoh-tokoh baru lahir disertaibasickeilmuan kontemporer tidak menghilangkan posisinya sebagai pemegang otoritas keagamaan.

Dalam konteks ini, kita dapat memahami krisis kewenangan dialami kiai sebagaimana dikemukakan Robinson di atas. Menurutnya,39 krisis kewenangan ini akibat tumbuhnya cendekiawan-cendekiawan muda yang satu sisi memperlihatkan progresifitas tafsir yang memungkinkan beberapa pemahaman berbeda dengan semangat iman, namun pada sisi lain krisis otoritas ini adalah buatan modernisme Islam, bikinan masyarakat Muslim modern yang ingin menghancurkan bentuk-bentuk otoritas lama. Kiai, dalam beberapa dasawarsa terakhir justru memperlihatkan metaformosa dalam gerakan intelektual Muslim modern setelah unsur-unsur kemodernan diadopsi dalam berbagai kajian.

Michael Feener40menyebutnya sebagai konteks lintas budaya (cross-cultural context) di mana kiai berhasil mengawinkan antara tradisionalisme dan

38Ronald A. Lukens-Bull, “Two Sides of the Same Coin: Modernity and Tradition

in Islamic Education in Indonesia,” Anthropology & Education Quarterly, Vol. 32, no. 3 (Sep., 2001), 352, http://www.jstor.org/stable/3195992 (diakses 24-10-2015).

39Francis Robinson, Crisis of Authority: Crisis of Islam?, 354. 40R. Michael Feener, “Cross-Cultural Contexts of Modern Muslim Intellectualism,”

Die Welt des Islams, New Series 47, issue 3/4 (2007): 279, http://www.jstor.org/stable/20140780 (diakses 19 September 2015). Lihat juga Filippo Osella and Caroline Osella, “Introduction: Islamic Reformism in South Asia,” Modern

Page 139: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

126

modernisme. Dengan demikian, krisis otoritas kiai seperti diungkapRobinson perlu dilakukan kajian lebih jauh apalagi disebutnya sebagai krisis Islam. Kiai dalam realitasnya selalu mampu beradaptasi dengan lingkungan dan perubahan sosial, politik, dan ekonomi. 3.Perjuangan Nasionalisme Kiai

Kemampuan kiai beradaptasi dengan perubahan masyarakat merupakan salah satu bentuk keberhasilan artikulasinya sebagai agen perubahan sosial masyarakat (agent of social change). Kiai tampak dituntut untuk selalu mentransformasikan dirinya dalam setiap perubahan masyarakat dan dinamika sosio-kultural. Sejak sebelum kemerdekaan kontribusi kiai dalam menentukan arah perubahan memperlihatkan akurasi artikulasinya dalam membaca perkembangan zaman. Bruinessen menyebutkan, kiaimerupakan fenomena unik, tidak hanya mahir mendirikan pesantren untuk melakukan transformasi masyarakat, tetapi juga mendirikan dan mengendalikan NUjadi organisasi besar.41Kiai sadar bahwa tuntutan masyarakatmembuat kiai tidak hanya berperan menyediakan pembelajaran yang mengubah cara pandang anak-anak, tetapi yang terpentingmengurai problematika perubahan setiap gerak zaman.Hal ini memperlihatkan bahwa kiai memiliki kapasitas menerobos kekuatan kebijakan.

Gambaran Bruinessen bukanlah satu-satunya penjelasan tentang kaum tradisional dan perannya melakukan transformasi masyarakat. Menariknya dari pandangan Bruinessen tersebut bahwa fenomena kiai tidaklah semata terkait keagamaan an sich, yang memiliki tingkat kemahiran cukup dalam memahami teks-teks keagamaan yang kemudian dijadikan tolok ukur untuk menilai bahwa seluruh hidupnya diabdikan untuk masyarakat. Jauh dari itu, sesuai tradisi politik Sunni, kiai telah jadi perhatian bahkan kecurigaan selama pemerintahan Orde Baru yang melarang kegiatan berpolitik sampai tingkat kabupaten. Bersama NU kiai mampu menerobos kebijakan depolitisasi dan demobilisasi “floating mass” Orde Baru dengan menjadikan organisasi tersebut yang memiliki akar kuat di masyarakat. Antara kiai dan masyarakat merupakan entitas budaya yang senantiasa menjadikekuatandari waktu ke waktu.

Sebagai sebuah entitas keduanya bukanlah diferensiasi kelas sebagaimana terminologi Marx42 yang menyebut masyarakat tercipta dari kelas-kelas sosial berdasarkan posisi ekonomi dan corak produksi. SebaliknyaWhitehead

Asian Studies 42, no. 2/3 (2008), 252, http://www.jstor.org/stable/20488019, DOI: 10.1017/S0026749X07003186 (diakses 6 Mei 2016).

41Keunikan NU tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia Muslim, sebuah organisasi yang dikendalikan ulama yang memiliki pengikut sejati. Organisasi terbesar di negara ini dengan akar yang kuat dalam populasi, dan merupakan objek kesetiaan yang sangat kuat, hampir primordial. Lihat Martin van Bruinessen, "Indonesia's Ulama and Politics: Caught between Legitimising the Status Quo and Searching for Alternatives," Prisma – The Indonesian Indicator, no. 49 (1990), 53 http://www.hum.uu.nl/medewerkers/ m.vanbruinessen/(diakses 02-05-2017).

42Karl Marxdan F. Engels, SelectedWorks(jilid 1) (Progress Publisher, Moscom, 1969-1970), 396-397.

Page 140: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

127

menyebutkan,43relasi antara kiai dan masyarakat adalah dua entitas bersenyawa yang selalu berproses mengikuti dan memandu arah mata angin.Dalam kelas, sebagaimana teori Marx, selalu ada pusat (center) yang diposisikan sebagai sentralitas dari segala variabel-variabel lain yang bukan pusat (the other). Dalam pandangan Marx, posisi the other selalu jadi pinggiran (peripheral) dan berfungsi sub-ordinat semata yang selalu berjuang dalam bentang sejarah baik bertitik tolak pada politik, agama, filsafat, dan wilayahideologis lainnya.

Kiai memainkan peranbesar dalammasyarakat melalui lembaga pendidikan dan amal usaha yang memang bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini kiai tidak menempatkan agama sebagai sesuatu yang mapan yang pada akhirnya tidak dapat merespons sebuah perubahan. Sebaliknya agama adalah morality guiden (petunjuk moralitas) yang ajaran-ajarannya selalu berkelindang dengan perkembangan zaman.44 Agama tidak didefinisikan sebagai das sein atau religion as it is, melainkan lebih ditekankan pada das sollen atau religion as it should be. Keindahan agama bukanlah terletak konseptualisasi suatu kehidupan semata, melainkan pada fungsionalisasi manusia sebagai makhluk sosial.

Kiai dalam posisinya menjadi penggerak dan pendobrak.Kiai membongkar makna-makna tersembunyi dan motif lahirnya sebuah teks. Kiai memahami munculnya sebuah interpretasi sebuah teks dalam ruang publik dapat menghidupkan budaya dan ideologi masyarakat. Interpretasi muncul secara dominan dan propaganda dengan memberikan pesan dan makna,yang dalam pandangan LaCapra,45 berkaitan dengan hegemoni satu formasi, blok, atau kelompok di atas kelompok yang lain. Namun, hegemoni dalam pengertian ini belum dapat direduksi menjadi kekuatan karena ia membutuhkan nexus of power (neksus kekuatan) –perwujudan konkret dari berbagai entitas aktual dalam bentuk otoritas baru yang setidaknya diterima sebagian dan diinternalisasi semua kelompok relevan, termasuk yang tertindas.

Hegemoni ideologi tidak hanya dalam konteks agama, sosial, politik, dan ekonomi, melainkan juga pada mistisisme, ilusionisme, atau legitimasi. Sejak kiai memperjuangkan ideologi tradisional tidak serta merta menegosiasi dirinya dalam bentuk paham keagamaan ahl al-sunnah wa al-jamá’ah dalam ruang publik. Selain diperkuat pendirianpesantren, perjuangan ideologi juga dilakukan melalui komunikasi secara intens dengan masyarakat dalam bentuk forum pengajian mingguan, bulanan dan triwulan. Usaha dan perjuangan kiai sebagai counter attack terhadap paham-paham sekularisme, modernisme, dan imperialisme yang hegemonik dalam bidang agama, sosial, politik, ekonomi, dan budaya merupakan kekuatan neksus yang sulit dilawan oleh kekuatan lain. Perjuangan

43Alfred North Whitehead, Religion in the Making (New York: Fordham

University, 2003), 33. 44Shane Joshua Barter, “Ulama, The State, & War Islam-State Relations in the

Aceh Conflict,”Religion & Human Security (2009): 10. 45Dominick LaCapra, “Culture and Ideology: From Geertz to Marx,” Poetics

Today, Vol. 9, no. 2 (1988), 390, http://www.jstor.org/stable/1772695 (diakses 27-09-2014).

Page 141: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

128

mempertahankan paham ahl al-sunnah wa al-jamá’ah46 tidak hanya didasarkan pada perjuangan keagamaan (religiosity struggle), melainkan juga melibatkan perjuangan politik (political struggle) seperti perlawanannya terhadap kolonialisme Belanda pada 1937, penjajahan Jepang pada 1943, pendirian partai Masyumi pada 1945, dan pemisahannya dengan organisasi tersebutakibat konflik internal. Kekuatan kiai bukanlah terletak pada tradisionalisme keagamaan semata.

Dalam konteks itu kita melihat perjuangan kiai memperlihatkan wajah akomodatif, adaptif bahkan radikal. Radikalisme perjuangan kiai, sebagaimana disebutkan Mitsuo Nakamura,47menyasar pada kekuasaan. Dalam arti bahwa kiai melakukan kritik yang luas, terbuka, dan mendasar terhadap status quo. Muktamar NU ke-26 di Semarang pada Juni 1979 memperlihatkan radikalisme politik muncul sebagai respons atas situasi eksternal yang dianggap menjauh dari dasar-dasar keimanan dan menyejahterakan umat. Otoritas kiai yang tidak dapat didikte oleh situasi politik temporal muncul secara radikal ketika melihat lingkungan eksternal bergerak ke arah berlawanan dengan dirinya sendiri. Selama ini NU terlihat oportunistik dan adaptif, namun dalam fase ini tampak radikal.

Sikap sama tampak juga dalam Muktamar NU ke-11di Banjarmasin tahun 1938. Ketika itu NU memutuskan bahwa negara dan Tanah Air wajib dijaga.48 Keputusan fenomenal ini muncul karena kiai ketika itu menempatkan status negara Indonesia yang dalam perspektif syari’ah tergolong negara Islam, dárul Islam.Keputusan ini muncul untuk merespons salah satu isu pentingberkaitan dengan bagaimana status jenazah yang tidak pernah sembahyang dan puasa selama hidupnya di wilayah Negara Indonesia-Nusantara (yang saat itu belum berdiri), dan tidak diketahui dia non-Islam.

Eksistensi elite pesantren memberikan pengaruh pada penentuan arah mata angin yang kemudian jadi kiblat masyarakat. Kiai bukan hanya menyediakan sarana-sarana sebagai tempat kiprah masyarakat dan bersemainya generasi-generasi muda tentang arti penting manusia dan negara, tetapi juga selalu menjadi rujukan banyak pihak dalam konteks spiritualitas politik. Kiai selalu jadi pelabuhan ketika

46Endang Turmudi, Struggling for the Umma: Changing Leadership Roles of Kiai

in Jombang, East Java (Thesis of Ph.D ANU Australia, 2006), 212-213, http://epress.anu.edu.au (diakses 19-09-2017).

47Mitsuo Nakamura, “The Radical Traditionalism of the Nahdlatul Ulamain Indonesia: A Personal Account of the 26thNationalCongress, June 1979, Semarang,” Southeast Asean Studies, Vol. 19, no.2 (September 1981): 200-202, https://repository.kulib.kyoto-u.ac.jp (diakses 17-01-2018).

48Dárul Islam di sini bukanlah sistem politik ketatanegaraan tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (Islam) yang lebih tepat diterjemahkan wilayah Islam. Dasar utama perumusannya bahwa di wilayah Islam, kalau ada jenazah yang identitasnya tidak jelas non-Muslim, maka dia harus diperlakukan sebagai Muslim. Berada di wilayah Islam, semua penduduk wajib memelihara ketertiban masyarakat, mencegah perampokan, dan sebagainya. Namun demikian NU menolak ikut milisi Hindia Belanda. Hukumnya haram bantu penjajah. Lihat Nurkholik Ridwan, “Muktamar NU 1936 dan Makna Indonesia sebagai Darul Islam,” NUOnline, Rabu, 23 November 2016 (diakses 11-04-2017).

Page 142: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

129

proses politik mengalami kemacetan. Winarni mengatakan,49 kiai bagian dari Islam politik bertransformasi dan mengubah identitas politiknya sejalan perubahan. Perubahan identitas politik dilakukan secara sengaja memperlihatkan ontologi politik kiai daripada sekadar materialis.

Neksus-neksus baru kiai juga hadir dalam bentuk transformasi intelektualisme masyarakat. Keberhasilannya mengawinkan tradisi tradisionalisme-modernisme setelah mengadopsi teori-teori ilmu sosial dan tradisi keagamaan klasik memungkinkannya bermetaformosa dalam bentuk paham-paham baru.50 Dalam beberapa tahun terakhir setidaknya tiga arus pemikiran keagamaan lahir, yaitu Post Tradisionalime, Islam Liberal, dan Islam Nusantara, yang mendapat respons beragam dari masyarakat. Lahirnya pemikiran baru ini diakui sebagai bentuk dinamikagenerasi muda NU yang selalu melakukan pembaharuan dan tidak suka kemapanan dan mencari relevansi tradisi Islam dalamperubahan cepat masyarakat. Geliat pemikiran keislaman NU memperlihatkan bersemainya intelektual muda yang berhasil digerakkan oleh para elite pesantren.

Perjuangan kiai ini dibangun di atasIslam awal hingga elan vital Islam abad pertengahan. Pendirian Negara Madinah yang menaungi banyak ideologi, golongan, dan ras, yang memberi pengaruh pada budaya dan tradisi pemikiran Islam pada masa keemasan memunculkan kosmopolitanisme dan spiritualisme Islam.51Tradisi pemikiran dan budaya politik ini terjalindalam bentuk simbiotik-asimilatifdan polaristik-konfliktual yang berpengaruh besar pada pola pikir dan intelektualisme sejumlah kiai tidak hanya dalam bentuk pengajaran dan dakwah, tetapi juga diaktualisasikan dalam bentuk perjuangan kepentingan bangsa dan negara.52

Pertama, berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Keinginan elite-elite pesantren untuk mendirikan NU tidak bisa dilepaskan dari perannya dalam masyarakat dan persinggungannya dengan kekuasaan. NU berdiri pada 31 Januari 1926 tidaklah untuk kepentingan pragmatisme politik yang belakangan ini menjadi fenomena berdirinya organisasi-organisasi partai politik (parpol) untuk melapangkan jalan meraihkekuasaan politik dan ekonomi, melainkan untuk

49Winarni menganalisa perubahan identitas kiai sebagai proses material dari

fenomena perubahan, namun juga memahami sebagai respons pada struktur makna bersama. Lihat Leni Winarni, “The Political Identity of Ulama in the 2014 Indonesian Presidential Election,” Al-Jami‘ah, Vol. 52, no. 2 (2014): 262, www.aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/168DOI: 10.14421/ajis.2014.522.257-269 (diakses 16-10-2017).

50Menururt Bruinessen, pemikiran dan wacana keislaman NU didominasi elite tradisional, yaitu para kiai pendiri NU dan keturunan mereka (kaum Gus), dan sebagian besar aktivis dan pemikir muda berasal dari keluarga awam yang mengalami mobilitas sosial.Mereka tergolong kaum revolusioner terutama ketika berani mempertanyakan interpretasi khazanah klasik yang oleh sebagian besar sudah mapan. Lihat Martin van Bruinessen, “NU: Jamaah Konservatif yang Melahirkan Gerakan Progresif," dalam pengantarLaode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (Jakarta: Erlangga, 2004), xii-xvii.

51Mahmud Arif, Pendidikan Islam Tranformatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), 20. 52Abdurrahman Wahid, “Right Islam vs. Wrong Islam,” dalam Building Moderate

Muslim Networks, ed. Angel Rabasa (Pittsburgh: Rand Corporation, 2007), 153.

Page 143: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

130

mencegah imperialisme baik dalam bentuk ekonomi, politik, pendidikan maupun pemikiran keagamaan. Sejak masa kolonialisme peran sosial-politikkiai menjalinkan kiai dan masyarakat dalam ikatan cukup erat.Kenyataannya kiai telah jadi kekuataan penyeimbang.

Kedua, resolusi jihad. Fatwa jihad dikumandangkan NU untuk mengusir penjajah dengan cara angkat senjata53muncul sebagai respons kiai terhadapkedatangan penjajah (Inggris). Meski Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya, kehadiran penjajah telah memunculkan sikap untuk melakukan perlawanan. Isi resolusi jihad mengisyaratkan dua kategori hukum, yaitu fardlu ‘ain dan fardlu kifáyah. Fardlu ‘ain bagi setiap orang yang berada dalam radius 94 KM dari episentrum pendudukan penjajah dan selebihnya tergolong fardlu kifáyah. Dalam Islam, fatwa “fardlu ‘ain” mengimpikasikan kewajiban yang harus dijalankan setiap orang dewasa(aqil baligh).

Sintesa antara pendidikan, budaya, dan politik ini merupkaan cermin kecintaan kiai pada NKRI. Nasionalisme ala kiai ini berbeda dengan pengalaman di sejumlah negara di Timur Tengah seperti Irak, Suriah, dan al-Jazair yang selalu menghadapkan Islam dan nasionalisme Arab. Sebaliknya kiai berusaha menyatukan Islam dan paham-paham kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 seperti tampak pada penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1984. Meski awalnya mendapat sorotan kurang bagus dari pengamat, tetapi dalam perkembangannya kebijakan inimampu menggerakkkan organisasi-organisasi lain.54 Gerakan ini muncul pada awal 1980-an ketika K.H. Achmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid55 berhasil mengambilalih kepemimpinan NU yang mendorong kerja ideologis dan pragmatis baik dalam kaitannya dengan politik praktis maupun kekuatan Orde Baru.

Frédéric Volpi and Bryan S. Turner menyebutkan,56dalam konteks sosio-historis kiai merupakan intelektual yang mengadopsi multikulturalisme, terbuka terhadap kritik internal. Mereka pemikir inovatif yang berhati-hati untuk tidak secara langsung menentang pembacaansuci secara harfiah namun juga menerima sudut pandangan reformatif. Gagasan nasionalisme secara teoritik muncul dalam koridor ushûl al-fiqh yang dikenal al-darûrîyat al-khamsah (lima hal dasar agama), yaitu hifz al-dîn (keselamatan agama tanpa ada paksaan), hifz al-nafs (keselamatan fisik), hifz al-‘aql (pemeliharaan atas kecerdasan akal), hifz al-nasb (keselamatan keluarga dan keturunan), dan hifz al-mál (keselamatan hak milik, properti dan profesi). Kiai berkontribusi tidak hanya pada proses penyiapan Indonesia merdeka bersama tokoh lain, tetapi juga memainkan peranan penting dalam merawat

53Abdurahman Wahid, Prisma Pemikiran Gusdur (Yogyakarta: LKiS,1999), 53-54. 54Ronald Lukens-Bull, A Peacefull Jihad: Negotiating Identity and Modernity in

Muslim Java (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 88. 55Nasr Abu Zayd, Islamic Thought: A Critical Historical Analysis (Den Haag:

Amsterdam University Press, 2006), 60. 56Frédéric Volpi and Bryan S. Turner, “Introduction: Making Islamic Authority

Matter,”The TCS Centre, Nottingham Trent University (2007): 9-10 http://tcs.sagepub.comDOI: 10.1177/0263276407074992 (diakses 10-05-2017).

Page 144: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

131

Bhinneka Tunggal Ika dan memformulasi Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia yang dapat diterima organisasi sosial dan politik.

Masalahnya, seperti kata Sidel, beberapa tahun terakhir ini muncul kiai karismatik baru yang menikmati popularitas yang meningkat di luar hierarki asosiasi Islam yang ada, berkat daya tarik pendekatan mistik, sufistik, dan supranatural mereka. Sementara itu kelompok agama tidak resmi yang telah lama ada di pinggiran mulai mendesak pengakuan resmi atas otoritas de facto mereka terhadap kelompok orang-orang yang sangat besar.57 4.PerjuanganKosmopolitan Kiai

Pesantren sejauh ini dikonotasikan sebagai lembaga pendidikan tradisional yang berakar kuat pada masyarakat pedesaan. Sistem pembelajaran sekaligus metode dan sarana dan prasarana pendukung lainnya dijadikan dasar utama dalam konotasitersebut. Hal lain bahwa lembaga pendidikan Islam tertua ini tumbuh subur di daerah terpencil, terluar, dan terpinggirkan –suatu daerah yang dianggap tidak tersentuh peradaban kota yang metropolitan. Bruinessen menggambarkan,58pesantren lembaga tradisional Islam yang memperkuat pengaruh kiai di daerah Jawa dan beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.Keberadaan pesantren adalah lembaga yang secara institusional didirikan untuk merespons perubahan-perubahan dan inovasi-inovasi dalam dunia pendidikan terus bergerak membentuk budaya kosmopolitan.

Keberhasilan pesantren merespons sosio-kultural masyarakat mengantarnya pada pembentukan nilai-nilaidan kulturalbersama komunitas masyarakat. Nilai-nilai tersebut berhasil dipertahankan selama berabad-abad yang kemudian secara total bertransformasi ke dalam hidup masyarakat tanpa mengorbankan identitasnya. Pesantren menjadi subculturebangsa yang memperlihatkan identitasnya hingga sekarang baik dalam bentuk fisik sebagai sarana tempat belajar sederhana maupun dalam bentuk transmisi ilmu-ilmu keagamaan. Kitab kuning sebagai media pembelajaran para santri maupun membangun hubungan dengan masyarakat telah jadi bagian penting dalam dunia pesantren. Kedudukan kultural pesantren jauh lebih kuat daripada masyarakat dalam waktu relatif panjang.59

Hingga sekarang pesantren jadi salah satau model pendidikan Islam yang khas di Indonesia dan bahkan Dunia Islam. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua pesantren sejak berdiri kokoh memberikan peran dan senantiasa berkontribusi

57John T. Sidel, “The Changing Politics of Religious Knowledge in Asia: The Case of Indonesia,”ISEAS–Yusof Ishak Institute (2015)www.lse.ac.uk/LSEAsiaForum/AsiaForum2008/

58Martin van Bruinessen and Farid Wajidi, “Syu’un Ijtima’iyah and the Kiai Rakyat: Traditionalist Islam, Civil Society, and Social Concerns,” dalam Indonesian Transitions, ed. Henk Schulte Nordholt (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 205.

59Mengelola pesantren dibutuhkan skill managerial dan leadership yang tepat. Di luar pesantren, kiai dalam komunitas keagamaan dipercaya memiliki kemampuan mengatur masyarakat. Lihat Laila Kholid Alfirdaus, “Islam and Local Politics: In the Quest of Kyai, Politics, and Development in Kebumen, 2008-2010,” Al-Jāmi‘ah 51, no. 2 (2013): 280-281, http://aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/160, DOI: 10.14421/ajis.2013.512.279-309 (diakses 11-01-2016).

Page 145: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

132

pada pengembangan kualitas manusia.Meski dalam beberapa tahun terakhir pesantren menghadapi tantangan besar dari model pendidikan Barat karena pengaruh kuat dari modernisme Islam di satu sisi dan sejak era terakhir kolonialisme di negeri ini di sisi lain, pesantren tetap memperlihatkan identitas kosmopolitannya.60

Meskipun membentuk komunitas kecil di daerah-daerah terpencil, pesantren menolak kehadiran “budaya-budaya Barat” yang diekspresikan ke dalam identitas eksklusif melalui perilaku, pakaian, dan bahasa santri-santrinya. Begitu juga penolakannya terhadap paham-paham modernisme karena dinilai mengancam status sosialnya di Nusantara.61Pesantren mendapat pukulan lebih lanjut setelah kemerdekaan dan melalui proses pembentukan negara-bangsa dengan munculnya politik birokrasi yang memunculkan peran baru dalam birokrasi pemerintah bagi pencari pengetahuan pendidikan Barat dan modern.

Penetrasi pendidikan modern menjadikan pesantren sebagai pendidikan Islam yang tetap mempertahankan tradisi keilmuannya. Para santri memperoleh pengajaran kitab-kitab fiqih, tauhid, sejarah, dan lainnya. Tradisi keilmuan ini dilakukan secara berjenjangdengan penekanan pada kemampuan membaca dan memahami isinya. Seorang kiai menyelenggarakan pembelajaran di masjid atau mushalã yang terletak di samping rumahnya –suatu pembelajaran sederhanajadi cita-cita adiluhung kiai dalam rangka melahirkan guru agama yang nantinya akan ditempatkan di desa-desa dan daerah terpencil namun menjadikan tradisi keagamaan dan budaya agama bertahan di Indonesia hingga sekarang. Kesederhanaan pembelajaran tanpa memandang timbal balik dari masyarakat dan membedakan kelas sosial, dalam perkembangannyaberkontribusi besar pada pengembangan tradisi keagamaan di Nusantara.62

Para santri merupakan pemuda berumur antara 12 hingga 20 tahun yang meninggalkan desa dan kampung halaman untuk belajar tentang kebaikan arti kehidupan. Jauh dari itu para santri untuk mencari keberkahan (tabarrukan) baik dari kiai yang senantiasa menjalin komunikasi dengan baik maupun dari kitab-kitab kuning yang dipelajari. Komunikasi antara kiai dan santri terjalin seperti hubungan seorang bapak dan anakdalam sebuah keluarga yang mendapat penjagaan dan pengawasan. Akibatnya santri menganggap kiai sebagai tempat melabuhkan kasih sayang, sementara bagi kiai memperlakukan para santri sebagai titipan Allah.

60Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad dan Patrick Jory, eds. Islamic Studiesand

Islamic Education in Contemporary Southeast Asia (Kuala Lumpur: Yayasan Ilmu, 2011),xv.

61Sean Foley, "Southeast Asia, Islamic Modernism in Oxford Islamic Studies Online,” Oxford University Press (2012): 5/8 http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t343/e0041 (diakses 29-04-2016).

62Dalam tradisi Sunni seluruh aspek kehidupan manusia termasuk masalah negara harus mengaplikasikan paradigma keagamaan, fiqih, suatu paradigma yang didasarkan atas prinsip-prinsip moderasi, toleransi, persamaan, keadilan. Lihat Saefur Rochmat, “The Fiqih Paradigm for the Pancasila State: Abdurrahman Wahid’s Thoughts on Islam and the Republic of Indonesia,” Al-Jāmi‘ah, Vol. 52, no. 2 (2014): 314, www.aljamiah.or.id/index. php/AJIS/article/view/173, DOI: 10.14421/ajis.2014.522.309-329(diakses 26-02-2017).

Page 146: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

133

Sebagai pendiri sekaligus pengasuh pesantren, kiai benar-benar mencurahkan perhatian dan dedikasinya untuk membangun karakter santri dan tegaknya negara-bangsa (nation state). Keahlian dan kedalaman ilmu sangat menentukan watak dan keberhasilan pesantren. Karisma, karõmah, dan keterampilan dalam pengelolaan mempengaruhi kelangsungansuatu pesantren yangkemudian dilengkapi dengan pondok dari bahan-bahan sederhana, yaitu bambu dan kayu, dalam perkembangan menjadi lembaga modern bahkan penyokong berdirinya NU sebagai organisasi terbesar.63 Penguasaan kitab-kitab kuning membuat para santri dihormati setelah kembali ke kampung halaman, bahkan tidak jarang di antara mereka justru mendirikan pesantren atau madrasah baru. Dalam konteks ini terlihat kontinuitas pesantren sebagai lembaga tradisional yang terus berperan dalam pengembangan masyarakat.Peran pesantren sebagai institusi pendidikan adalah pengembangan keilmuan dan tradisi keislaman, bahkan juga dalam pembentukan karakter dan pembinaan ideologikebangsaan pemuda.

Dinamisasi sistem pesantren dilakukanoleh K.H. Wahid Hasyim pada metode pegagogis dan kurikulum yang terpusat pada seorang kiai kepada model baru hubungan kiai-santri dan perluasan kurikulum.64 Kebijakan ini memberi stimulus pada para santri untuk memperluas kapasitas keilmuan dan kemampuan berinteraksi melakukan pembinaan masyarakat dan berkontribusi pada pembangunan negara-bangsa. Tidak hanya itu, langkah dinamis beberapa tokoh pesantren telah manarik perhatian banyak kalangan ketika itu termasuk Presiden Soekarno yang menilai sebagai langkah kontributif pada penegasan kenegaraan dalam kesatuan dan kebangsaan. Apresiasi Presiden Soekarno salah satunya kemudian diaktualisasikan pada kepercayaannya kepada Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama RI pertama yang meletakkan dasar-dasar umat beragama di Indonesia, penerimaan Pancasila, dan demokrasi.65

Mirjam Künkler menyebutkan pengangkatan Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama pada 1945–saat itu masih menjabat Ketua Umum PBNU—memberi warna dalam peta politik nasional yang ketika itu didominasi kaum nasioalis. Jabatannya singkat –namun kemudian diangkat kembali pada 1949-

63Kokohnya pesantren tidak dilepaskan dari filantropi Islam; zakat, sedekah, dan

wakaf yang berhasil dimanfaatkan oleh Muslim tradisionalis untuk memperluas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di daerah pedesaan terutama peran K.H. Hasyim Asy’ari. Lihat Hilman Latief, “Transforming the Culture of Giving in Indonesia: The Muslim Middle Class, Crisis and Philanthropy,” Southeast Asian Studies, Vol. 5, no. 2 (2015): 4, https://www.ic.nanzan-u.ac.jp/ASIAPACIFIC/documents/2015_no.11/01_Hilman.pdf, DOI: 10.20495/seas.5.2_269 (diakses 27-09-2016).

64Mirjam Künkler, “How Pluralist Democracy Became Consensual Discourse Among Secular and Nonsecular Muslims in Indonesia,” dalam Democratization & Islam in Indonesia, eds.Mirjam Künkler and Alfred Stepan (New York: Columbia University Press, 2013), 66.

65Azlan Tajuddin, “Development, Democracy, and Post-Islamism in Indonesia,” International Journal of Social Science Studies, Vol. 4, no. 11 (November 2016): 43, http://ijsss.redfame.com, DOI:10.11114/ijsss.v4i11.1924 (diakses 27-02-2017). Lihat pula Michael S. Densmoor, The Control and Management of Religion in Post-Independence, Pancasila Indonesia (A Thesis of Master of Arts the Georgetown University, 2013), 19.

Page 147: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

134

1952—Wahid menjadi fenomena menggeliatnya pesantren dan lembaga pendidikan Islam umumnya di pentas nasional dengan beberapa kebijakan strategis,salah satunyamempertemukan atau mengintegrasikan pelajaran umum ke dalam pendidikan Islam dan mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum baik negeri maupun swasta melalui Peraturan Pemerintah (PP) tertanggal 20 Januari 1950.66

Usaha ini bukan sekadar memberikan stimulus pada eksistensi pesantren, tetapi jauh dari itu meneguhkan jati diri umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Meski rasa aman dan nyaman belum cukup terjaga, kemiskinan masih cukup tinggi, dan stabilitas sosio-politik belum kondusif karena fanatisme golongan, bahkan seringkali terjadi politisasi beberapa kelompok Muslim terhadap kementerian karena ketidakmampuan pegawai menerjemahkan prinsip netralitas Pancasila dalam birokrasi,67 masyarakat Indonesia merasakan beberapa perkembangan positifterutama dalam hal konsolidasi internal komunitas Muslim Indonesia. Pengenalan sistem pendidikan Islam melalui pelayanan agama memainkan peran sentral dalam membangun konsolidasi umat dan bangkitnya intelektualisme Islam. Peran ini kemudian diperkuat dengan lembaga pendidikan tinggi yang mengembangan lebih lanjut intelektualisme Islam di Nusantara.68

Sorotan terhadap pesantren secara garis besardalam dua tipologi. Pertama, tradisional atau salaf. Pesantren ini menyelenggarakan pembelajaran kitab-kitab kuning dengan penekanan pada pemaknaan secara harfiah ataskitab-kitab yang dipelajarinyahingga tuntas, kemudian dilanjutkan pada kitab baru. Meski pengajarannya senantiasa berubah-ubah dari waktu ke waktu, tidak ada mekanisme baku dalam kurikulum maupun waktu, dan sebaliknya pengajaran dilaksanakan secara berjenjang atas kitab-kitab yang telah dipersiapkan.Kedua, modern atau khalaf. Pesantren modern adalah tipe lembaga pendidikan Islam yang besar dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejak awal abad ke-21 unsur-unsur kemodernan diadopsi untuk menjaga tradisi dan keilmuan para ulama, misalnya memasukkan sistem kelas dalam pendidikan pesantren, penerimaan santri perempuan, pengajaran sejarah, bahasa, dan matematika.69

Charlene Tan mengemukakan, pesantren tradisional cenderung fokus pada Islam tradisional yang secara ideologis berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, yangmenempatkan kiai sebagai seorang komando untuk berperan besar dalam

66Fendi Teguh Cahyono, “Kebijakan Menteri Agama K.H. Wahid Hasyim terhadap

Kemajuan Pendidikan Islam di Indonesia,”Al AchyadJurnal Ilmu Keislaman, Vol.1.no.1 (Sep. 2016): 74, http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/alachyat/article/download/2553/1884 (diakses 27-02-2017).

67Syafiq Hasyim, “State and Religion: Considering Indonesian Islam as Model of Democratisation for the Muslim World,” Liberal Institute 12 (July 2013): 15, www.freiheit.org (diakses 06-10-2016).

68Carool Kersten, “Muslim Intellectuals in Indonesia,” Critical Muslim 07 (July-September 2013): 56, http://criticalmuslim.hurstpublishers.com/ (diakses 27-02-2017).

69Didin Nurul Rosidin, “Pesantren and Modernity in Indonesia: Ma’had Aly of Kuningan,” Hunafa Jurnal Studia Islamika, Vol. 9, no. 2 (Desember 2012): 220, www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/74(diakses 05-12-2016).

Page 148: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

135

pendirian pesantren dan pengajaran teks-teks Islam klasik. Pesantren tradisional adalah lembaga yang mengesahkan kepercayaan dan praktek kebatinan dan mistis seperti ziarah ke makam orang suci lokal dan kiai besar untuk mendapatkan rahmat dan barakah, zikir, dan lainnya. Sementara pesantren modern, sebagaimana namanya, pendidikan yang memperkenalkan sistem kelas terstruktur, buku-buku teks, dan etos reformasi dan kemajuan. Kebanyakan pesantren modern berafiliasi dengan Muhammadiyah yang berbasis massa sama dengan NU. Bedanya, pesantren Muhammadiyah mengusung ide-ide reformis atau menolak kepercayaan mistis dan kesalehan dan praktek yang disahkan NU dan ditemukan di pesantren tradisional.70

Gambar 1: Tipologi Pondok dan Pesantren

Sumber: Kemenag RI (2012) Penelitian USAID menyebutkan, pesantren modern yang memasukkan

pendidikan formal termasuk mengajarkan pengetahuan umum seperti sains, bahasa asing, dan sosial, jumlahnyadi Indonesia hampir 15,000 atau kira-kira 31 persen. Pesantren kategori salafiah yang hanya mengajarkan teks-teks tradisional Islam dan tidak memasukkan kurikulum formal, jumlahnya sekitar 22 persen.Sisanya atau 47 persen tergolongpesantren semi modern, artinya lembaga yang mengintegrasikan kedua pelajaran, teks tradisional Islam dan pelajaran umum.71Tipe pesantren terakhir ini dalam pandangan Charlene Tan lebih jauh yang telah melahirkan tipe pesantren ketiga yang disebutnya “pesantren independen” –pesantrentidak memiliki afiliasi dengan NU atau Muhammadiyah tapi cenderung mengadopsikepercayaan ideologi Salafi. Pada sisi ini tampak perbedaan Pesantren Salafi dengan pesantren tradisional –begitu juga surau dan dayah—yang mengajarkan doktrin-doktrin Asy’ari, fiqih Syafi’i, dan sufi al-Ghazali, dan juga pesantren modern yang menjalankan sistem kelas.72

70Charlene Tan, “Educative Tradition and Islamic Schools in Indonesia,” Journal

of Arabic and Islamic Studies 14 (2014): 51, https://www.lancaster.ac.uk/jais/volume/docs/vol14/v14_03_tan_047-062.pdf (diakses 13 Maret 2016).

71Decentralized Based Education (DBE), “Analysis of the Current Situation of Islamic Formal Junior Secondary Education in Indonesia,” USAID-DBE (2006): 7, http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadp009.pdf (diakses 05-12-2016).

72Charlene Tan, “Educative Tradition and Islamic Schools in Indonesia,” Journal of Arabic and Islamic Studies 14 (2014): 49-50, https://www.lancaster.ac.uk/jais/volume/docs/vol14/v14_03_tan_047-062.pdf (diakses 13-03-2016).

Page 149: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

136

Sementara itu, sebagaimana terlihatgambar di atas, Kemenag RI menyebutkan tipologi pesantren dalam tiga kategori dengan perincian sebagai berikut: pesantren modern sebesar 7.727 (28,38%), salafiah 14.459 (53,10), dan kombinasi 5.044 (18,52%). Secara keseluruhan pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia pada tahun 2011-2012 sebesar 27.230, dengan penyebaran terbesar di daerah Jawa sebanyak 78,60% meliputi: Jabar 7.624 (28,00%), Jatim 6.003 (22,05%), Jateng sebanyak 4.276 (15,70%), dan Banten sebesar 3.500 (12,85%). Sementara jumlah santri sebesar 3.759.198: laki-laki sebesar 1.886.748 (50,19%) dan perempuan sebanyak 1.872.450 (49,81%). Santri mukim terdapat 3.004.807 (79,93%) dengan perincian laki-laki sebanyak 1.517.314 (50,50%) dan tidak mukim berjumlah 754.391 (20,07%, sementara perempuan mukim 1.487.493 (49,50%) dan tidak mukim 384.957 (51,03%).73

Pesantren merupakan lembaga pendidikan terbesar yang lahir dari rahim sejarah Indonesia (indigeneous) telahmewarnai perjalanan bangsa. Dengan great tradition (tradisi agung) dan great social (sosial agung) yang secara konsisten dijalankannya dan sistem pengajaran yang secara persistan digerakkannya selama berabad-abad telah menjadikan pesantren jadi salah satu pilar utama lahirnya tradisi kosmopolitan Islam dan bangsa Indonesia. Transmisi pesantren memberikan pencerahan bagi pembangunan umat telah menempatkannya sebagai subculture keindonesiaan. Pesantren jadi lembaga yang memberikan pelayanan kebutuhan masyarakat dalam bidang pengetahuan agama dan kebutuhan pengetahuan-pengetahuan seiring perjalanan bangsa.74

Pesantren sebagai penyangga kebutuhan pengetahuan umat makin diperkuat dengan perannya untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang pengetahuan agama, misalnya dalam bidang pernikahan, keluarga, dan warisan di tengah hukum adat yang sangat minim di kepulauan.75Dengan kata lain, satu sisi pesantren berperan sebagai lembaga pendidikan yang menjalankan transmisi untuk memperkuat karakter bangsa satu sisi, dan pesantrenberfungsi sebagai lembaga dakwah yang melayani keinginan-keinginan masyarakat dalam memperkuat pengetahuan keagamaan di sisi lain. Dengan demikian,pesantren menjalankan peran ganda,yaitu menjalankan tugas-tugas transmisi keilmuan dan dakwah yang

73Kemenag RI,“Analisis dan Interpretasi Data pada Pondok Pesantren, Madrasah

Diniyah (Madin), Taman Pendidikan Qur’an(TPQ) Tahun Pelajaran 2011-2012,”Analisis Data Pendidikan Islam Tahun 2011/2012(2012): 70-72, http://pendis.kemenag.go.id/file/ dokumen/pontrenanalisis.pdf (diakses 10-03-2017).

74Pendidikan Islam di Indonesia memunculkan dua arah keilmuan, keislaman dan pengetahuan umum, dalam arti memadukan sistem pesantren dan sistem pendidikan sekolah modern atau madrasah yang memuat kurikulum-kurikulum modern. Lihat Muhammad Latif Fauzi, “Traditional Islam in Javanese Society: The Role of Kyai and Pesantren in Preserving Islamic Tradition and Negotiating Modernity,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 06, no. 01 (June 2012): 131, http://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/101(diakses 29-04-2016).

75Bernard Adeney-Risakotta, “Traditional, Islamic and National Law in the Experience of Indonesian Muslim Women,” Islam and Christian-Muslim Relation, Vol. 27, no. 3 (2016): 304, http://dx.doi.org/10.1080/09596410.2016.1186422DOI: 10.1080/09596410.2016.1186422 (diakses 06-03-2017).

Page 150: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

137

memberikan peran cukup besar dalam pengembangan karakteristik masyarakat.Pesantren-pesantren di Jawa berperan demikian, begitu juga di Lombok.76 Baik sebagai lembaga transmisi maupun dakwah pesantren hadir di tengah sejarah keindonesiaan membangun ideologi bahkan terlibat dalam perjuangan bangsa Indonesia. Pesantren membangunkan kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam perjuangan merebut kemerdekaan melawan penjajah, bahkan garda terdepan dalam menyangga tiang-tiang keindonesian.

Pesantren sebagai institusi Islam belakangan ini tidak hanya melaksanakan pembelajaran agama (tafaqquh fi al-dîn), tetapi juga pendidikan umum seperti SD, SMP, SMA/SMK, dan Perguruan Tinggi Umum. Bahkan tidak jarang pesantren kemudian tumbuh menjadi semacam holding institution yang justru menjadi pusat pengembangan masyarakat (development community centre) yang mengembangkan masyarakat tidak sekadar dalam bidang keilmuan, tetapi juga dalam bidang ekonomi seperti UKM, teknologi tepat guna, klinik masyarakat, dan konservasi alam. Sama dengan keberadaan pesantren, sekolah terakhir dilengkapi dengan figur seorang “kiai” yang mengajarkan berbagai ilmu keislaman dan pengkajian terhadap kitab kuning.77

Berbagai fenomena tersebut menampilkan citra kian positifpesantren di tengah perubahan yang begitu cepat dan dampak yang luar biasa di tengah masyarakat. Sejak 1980-an lulusan-lulusan pesantren memperlihatkan kemampuan berkompetisi masuk di beberapa perguruan tinggi Timur Tengah dan Barat dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan –tidak hanya studi-studi keislaman (Islamic studies) tetapi juga politik, ekonomi, matematika, fisika, dan ilmu terapan lainnya yang pada gilirannya mereka turut memperkaya generasi baru kaum terpelajar Indonesia. Santrinisasi Indonesia secara khusus akan memperkuat intelektualisme Muslim di Indonesia. B. Politik Ekonomi Kiai

Ahmad Gaus meyebutkan,78 perubahan politik-ekonomi telah menjadi api Islam yang membakar sikap-sikap frustasi anak bangsa, dan kemudian menyediakan jalan baru untuk memperlihatkan keahliannya ke tengah-tengah masyarakat, menunjukkan eksistensi dan menawarkan potensinya sebagai kekuatan organik yang patut diperhitungkan dalam menentukan arah mata angin perjalanan bangsa. Perubahan dalam sosial-politik diakui semakin membuka peran kiai sebagai

76Posisinya sebagai lembaga dakwah bukan hanya mengokohkan status kiai sebagai pemegang otoritas keagamaan, tetapi juga memperkuat dalam pengembangan jaringan luas pesantren selama setengah abad terakhir. Lihat Jeremy Kingsley, Tuan Guru: Community and Conflict in Lombok, Indonesia (A Thesis of Ph.D The Melbourne University, 2010), 111, http://hdl.handle.net/11343/35693 (diakses 19-09-2016).

77Pengembangan dimulai sejak 1970-an ketika LP3ES melakukan pengembangan pesantren melalui program pemberdayaan ekonomi yang disponsori oleh Friedrich-Naumann-Shiftung. Lihat Johan Meuleman, “Dakwah, Competition for Authority, and Development,”Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 167, no. 2-3 (2011): 248, http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv (diakses 27-09-2016).

78Ahmad Gaus, Api Islam Nurcholis Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010).

Page 151: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

138

aktor penting bagi masyarakat sulit digeser oleh kekuatan manapun. Kondisi ini bukanlah hal baru dalam realitas sosial politik Indonesia. Gambaran signifikan kiai dalam merawat dan memelihara tradisi masyarakat tidaklah monolitik;79 kiai tidaklah sekadar menjalankan fungsinya sebagai tokoh intelektual (‘ilmiyah) dan spiritual (rohániyah) semata, tetapi juga melakoninya sebagai tokoh sosial-kemasyarakatan (ijtimá’iyah), tokoh administratif (idáriyah), pialang budaya (cultural broker), dan bahkan sebagai tokoh politik (siyásah).

Luasnya kiprah kiai dalam memelihara ladang sosial politik seiring dengan budaya masyarakat yang agraris. Dalam tradisi semacam ini masyarakat agraris dikenal sebagai komunitas yang menempatkan seorang yang memiliki keilmuan cukup sebagai figur sentral yang setiap ucapan dan perilaku selalu jadi panutan. Dalam berbagai persoalan baik fiqih, ekonomi, agama, dan problem masarakat, eksistensi kiai belum tergantikan oleh aktor manapun. Kiai tampak lebih progresif ketika menarik diri dari kegiatan politik.80 Faktor-faktor inilah yang membuat kiai selalu jadi perhatian, yang hingga saat ini tidak pernah habis diperbincangkan terutama ketika kiai terlibat dalam ranah politik. Meski dunia politik bukanlah hal baru bagi kiai, tapi seluruh mata seolah tidak berhenti menyoritinya ketika kiai jadi bagian penting dari pengibar bendera partai politik tertentu, atau sekadar menjadi pendukung salah satu calon dalam perebutan kekuasaan di pemerintahan.

Dengan kata lain, realitas sosial, politik, dan budaya Indonesia hingga saat ini masih memperhitungkan eksistensi kiai sebagai tokoh sentral masyarakat. Kiai bukanlah lagi sebagai obyek dari berbagai tarikan kepentingan politik, tetapi aktor yang dapat memainkan melodi politik dengan irama yang merdu. Reformasi telah membuka pintu bagi kiai untuk turut meramaikan dan menentukan dinamika ke mana arah politik dihalau. Kiai bersama santri-santrinya sudah tidak ragu lagi memperlihatkan melodi politiknya sejak partai-partai baru yang berbasis massa tradisional berdiri seperti PKB, PKU, PNU, PBR, dan PKNU.81 1.PolitikNegara Kiai

Keterlibatan kiai dalam sosial budaya memberi pengaruh besar terhadap kedudukannya di mata masyarakat. Sebagai elite pesantren interaksi intens antara kiai dan santri membuka pula intensitasnya untuk terlibat dalam masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Bukan hanya itu, kebersamaannya dengan masyarakat dalam perkembangannya telah memudahkannya terlibat dalam sosial politik Indonesia. Yasuko menyebutkan, kekuasaan kiai atas sosial budaya masyarakat telah menjadikannya sebagai tokoh yang selalu jadi perhatian dalam setiap

79Muhamad Mustaqim, “Politik Kebangsaan Kaum Santri: Studi atas Kiprah

Politik Nahdlatul Ulama,”ADDIN, Vol. 9, no. 2 (Agustus 2015): 335, https://www.media.neliti.com (diakses 22-09-2017).

80Norshahril Saat, “Nahdlatul Ulama’s 33rd Congress: Ma’ruf Amin’s Rise and its Impact on Indonesia’s Traditionalist Islam,” ISEAS-Yusof Ishak Instituteno. 48 (September 2015): 4https://www/iseas.edu.ng (diakses 02-05-2017).

81Fifi Nofiaturrahmah, “Melacak Peran Kyai-Santri dalam Politik Kebangsaan di Indonesia,” Jurnal Islamic Review Vol. 3, no. 1 (April 2014): 17-18 https://www.journal.ipmafa.ac.id (diakses 28-07-2017).

Page 152: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

139

kebijakan pemerintah, membuka untuk masuk ke wilayah kekuasaan, dan melakukan bargaining kekuasaan (bargaining power) untuk perjuangan politikkenegaraan menyulitkan para penjajah untuk melakukan rekonsiliasi.82

Sejarah sosial politik Indonesia memperlihatkan bahwa tradisi politik Indonesia dibangun di atas relasi yang kuat antara kiai sebagai tokoh spiritual masyarakat di satu sisi dan penguasa sebagai pelindung masyarakat di sisi lain. Sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, keterlibataan elite-elite pesantren dalam kekuasaan raja-raja di Nusantara, tidak sekadar sebagai penasehat spiritual raja-raja tetapi juga jadi media legitimasi untuk keberlangsungan dan kelanggengan kekuasaan. Meski tidak terlembagakan dalam kekuasaan resmi raja-raja, keberadaan kiai dalam lingkaran kerajaan cukup memberi pengaruh signifikan dalam menentukan arah kebijakan83 seperti peran Syaikh Nûr al-Dîn al-Ránîrî sebagai penasehat Raja Iskandar Tsánî (1637-16341) pada kerajaan Aceh, Syaikh ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkilî jadi Hakim Agung (Qádî Málik al-Àdil) pada masa raja Tájul ‘Alûm Safiatud al-Dîn (1661), dan Syaikh Muhammad Yûsuf al-Maqassárî yang diposisikan penasehat penting raja Banten Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683).

Pada masa kolonialisme, relasi kiai dan kekuasaan mengalami perkembangan cukup berarti terutama sejak munculnya gerakan sistematik elite pesantren dalam membangun kekuatan sosial politik. Hal ini ditandaidengan berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926 sebagai organisasi dalam melindungi ideologi masyarakat. Sejak berdirinya NU secara cepat menyebar dalam masyarakat karena dukungan para elite pesantren menjadi kekuatan baru meski mendapat pengawasan ketat para kolonial. Terlembagakannya gerakan elite pesantren ini mampu memberikan sublimasi gerakan Islam, Muhammadiyah, yang telah terlebih dulu berdiri pada 18 November 1912 yang diidentikkan sebagai wadah Islam perkotaan.84

Di bawah naungan NU kiai pada masa kolonial berusaha menghalau gerakan kaum penjajah dalam bidang ekonomi dan agama dengan menetapkan desa sebagai basis perjuangan. Kiai membangun kekuatan organik melalui batas geografis desa untuk melakukan pembinaan dan perlindungan ideologi masyarakat, dan pada saat bersamaan melakukan counter attack untuk melemahkan basis-basis kekuatan para kolonial. Di samping itu hubungan kiai dan kaum modernis Islam yang cukup baik memberikan stimulus baru ketika K.H. Hasyim Asy’ari berhasil

82Kobayashi Yasuko, “Kyai and Japanese Military,” Studia Islamika, Vol. 4, no. 3

(1997): 87, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika (diakses 28-10-2015). 83Taufani, “Indonesian Islam in Religious and Political Struggle Discourse,” AL

ALBAB – Borneo Journal of Religious Studies, Vol. 4, no. 1 (June 2015): 105, https://jurnalpontianak.or.id (diakses 06-10-2016).

84Robin Bush, “A Snapshot of Muhammadiyah Social Change and Shifting Markers of Identity and Values,” Asia Research Institute no. 221 (May 2014): 3 www.ari.nus.edu.sg (diakses 02-05-2017).

Page 153: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

140

mengajak K.H. Mas Mansyur (Muhammadiyah) untuk meninggalkan fanatisme dan membangun solidaritas untuk persatuan dan kesatuan keislaman-keindonesiaan.85

Jajat Burhanudin menyebutkan, keterlibatan kiai dalam politik merupakan cara lain untuk menegaskan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Pasca kolonialisme ketika sosial politik memberi peluang pada seluruh komponen masyarakat untuk terlibatdalam politik kenegaraan, kiai juga mengartikulasikan dirinya untuk turut serta dalam membangun perubahan politik nasional. Artikulasi semacam ini merupakan pencarian peran yangdilakukan kiai di luar tanggung jawabnya sebagai pemimpin pesantren. Kiai tampak berusaha melampaui batas-batas tradisionalnya, lebih dari sekadar pemimpin spiritual dan tokoh pembaharu keagamaan.86

Meski dalam perjalanannya tidak selalu ajek, keberadaan kiai dalam sosial politik Indonesia tidak hanya melakukan perubahan sosial bersama pesantren yang dipimpinnya, tetapi lebih jauh lagi interaksi intensif kiai dan masyarakat justru menuntutnya sebagai seorang yang mampu memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat baik politik, ekonomi, dan budaya. Peran ganda ini membawa konsekuensi adanya hubungan yang saling berkait antara figur sentral di satu sisi dan kekuasaan di sisi lain yang memiliki peluang besar untuk masuk dalam politik kekuasaan atau –paling tidak dalam padanganYasuko—melakukan bergaining kekuasan (bargaining power) untuk melakukan perubahan.

Senada dengan Yasuko dalam soal peran politik kiai, Hilmi Muhammadiyah berpandangan bahwa keterlibatan kiai dalam sosial politik membawa pengaruh sangat kuat dalam perubahan masyarakat mulai zaman penjajahan Belanda, pendudukan Jepang hingga perubahan politik Indonesia pasca kemerdekaan.87 Peran kiai ini tampak pada pendirian Shûmubu yang memberi pengaruh langsung pada perbaikan administrasi keagamaan. Kesadaran politik kekuasaan telah membawa berkah pada pemimpin Islam tradisional seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Chasbullah, K.H. Wahid Hasyim, dan lainnya meletakkan format masa depan umat Islam dalam hubungan dengan agama dan negara. Kesadaran politik kiai membentuk relasi agama dan negara yang membentuk politik sebagai ranah ideal mencapai tatanan sosial-budaya.

Usaha kiai untuk melebarkan peran dari mengurus doktrin-doktrin keagamaan dalam berbagai praktek dan keyakinan masyarakat yang jadi bagian dari hidupnya, kepada pemegang fungsi dalam sosial kemasyarakatan membuatnya terlibat langsung dalam berbagai persoalan politik. Sama dengan bidang doktrin keagamaan, keterlibatan kiai semacam ini sebagai panggilan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat desa tentang demokrasi, nasionalisme, dan NKRI.

85Laode Ida,Anatomi Konflik NU, Elite Islam dan Negara (Jakarta: Sinar Harapan,

1996), 13. 86Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam

Sejarah Indonesia, penerj. Testriono, Olman Dahuri, Irsyad Rhafsadi(Bandung: Mizan, 2012), 2.

87Hilmi Muhammadiyah, “The Relation between Religion and State in Indonesia,” Asian Social Science Vol. 11, no. 28 (November 2015): 104www.ccsenet.org/ass, DOI:10.5539/ass.v11n28p98 (diakses 02-05-2017).

Page 154: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

141

Hal menarik untuk dicermati bahwa perilaku sosial politik kiai selalu berbanding lurus dengan persepsi teologis. Perilaku sosial yang tampak dalam kehidupan sehari-hari seorang kiai kuat dipengaruhi oleh pemahaman teologis yang kuat. Meski dalam kenyataan tidak selalu mempelihatkan suatu kebenaran umum, tetapi segala ucapan dan perilaku kiai menjadi sandaran sosial bagi masyarakat.88 Bagi masyarakat kiai dianggap memiliki kesalehan sosial yang tidak hanya berpengaruh pada sistem pendidikan dan perilaku santri selama di pesantren, tetapi juga merupakan figur kuat yang dapat mengontrol kebenaran dalam tradisi sosial keagamaan masyarakat. Dengan demikian seorang kiai tidak hanya memiliki kekuatan spiritual, tetapi juga peka terhadap masalah-masalah sosial masyarakat. Seorang kiai adalah simbol kekuatan yang selalu jadi katalisator perubahan di lingkungan pesantren dan masyarakat.

Pertama, perubahan interpretasi. Gelombang reformasi tidak hanya membawa perubahan sosio kultural dan sosial keagamaan masyarakat, melainkan juga membawa dampak pada perilaku sosial politik kiai. Meski euforia reformasi memperlihatkan perbedaan kognisi, tetapi, sebagaimana dikatakan Zaman,89 kiai sebagai orangyang saleh (pious ferbeans) juga melakukan tafsir terhadap makna “benar” dan “asli” Islam. Perubahan dalam konteks ini tidak berarti memulai jalan baru yang belum diciptakan, melainkan juga bisa dalam bentuk interpretasi doktrin dan ritual keagamaan. Perubahan dalam pengertian ini adalah integrasi pengetahuan “modern” dengan pengetahuan “klasik” yang tidak merongrong integritas pendidikan madrasah dan merendahkan kredibilitasnya sebagai tokoh karismatik.

Kedua, perbedaan konsepsi perubahan. Kemampuan kiai dalam memahami doktrin-doktrin keagamaan dan perubahan sosial politik dipandang sebagai kekuatan luar biasa yang membuatnya tidak sekadar diidentikkan seorang memiliki kemampuan keagamaan, tetapi juga seorang politisi yang memiliki kalkulasi-kalkulasi politik kuat. Persepsi teologis dan perilaku sosial politik kiai tidak secara otomatis menghasilkan peran perubahan pada masyarakat sekitarnya. Kenyataan ini terutama lebih diakibatkan oleh karena adanya pertentangan antara medan politik dalam diri kiai dan medan politik yang berkembang di luar diri kiai (masyarakat).Meski begitu, nasehat-nasehat kiai diikuti sebagai cara memperoleh keberkahan (get blessing).90

Penjelasan tersebut memperlihatkan sikap politik yang diperankan kiai dalam merespons perubahan sosial. Kiai berusaha menempatkan diri di tengah perubahan sosial-politik dengan kekuasaan yang dimilikinya. Dalam konteks ini tampak kiai lentur dan mudah menyesuaikan keadaan –yang sebagian orang menilai bahwa perubahan perilaku sosial politik kiai sebagai permainan untuk memenuhi kebutuhan fragmatis-duniawi. Bagi paham semacam ini, kiai memiliki wilayah sacret yang berbeda dengan profesi lainnya yang profan. Politik adalah wilayah

88Yon Machmudi, “Preserving “Kyai“ Authority in Modern Society,”WacanaVol.

15,no. 2 (2014): 340, https://researchgate.net (diakses 02-05-207). 89Muhammad Qasim Zaman,The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of

Change (USA: Princeton University Press, 2002), 80-81. 90Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in

Indonesia (Leiden: Brill NV, 2013), 122.

Page 155: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

142

yang penuh intrik bukanlah bidang cocok bagi seorang kiai. Padahal, kata Liddle, semua kaum tradisional secara politik memiliki sifat pendiam (political quietists). Seperti kebanyakan muslim Sunni di bagian dunia Islam sepanjang sejarah mereka cenderung menerima otoritas pemerintah yang berkuasa apapun warna agamanya.91

Ada juga kiai yang terkesan kaku, atau mungkin juga disebut konsisten dengan pendirian awalnya, sehingga tampak menempatkan setiap perubahan sosial dan politik dalam kerangka persoalan prinsip. Kiai dalam kelompok ini, dalam pandangan Faridj disebut golongan modernis yang memiliki latar belakang sosio-religiusnya yang cenderung tertutup dengan mendasarkan argumentasinya pada pemahaman tekstual atas pesan-pesan wahyu baik bersumber pada al-Qur’an maupun hadits.92 Perbedaan persepsi teologis dan respons perubahan sosial politik ini yang kemudian melahirkan konflik antarsesama kiai bahkan kemudian berbuntut pada pendirian partai-partai politik baru sesuai karakter masing-masing. Berdirinya partai politik baru bernuansa agama yang banyak lahir dalam tiga dasawarsa terakhir memperlihatkan betapa figur-figur kiai masih mendapat tempat yang strategis untuk perjuangan politik kenegaraan di Indonesia. 2.Patriotisme Bangsa Kiai

Keterlibatan kiai dalam dunia politik seolah tidak pernah berakhir. Layaknya air mengalir wacananya selalu muncul dari waktu ke waktu dan masa ke masa. Dalam setiap momen politik, relasi kiai dan politik selalu membuat mata para ahli tidak berhenti mengamatinya. Dunia politik bisa jadi membuat marwah atau citra kiai sebagai pialang budaya (cultural brokers) dan penjaga moralitas bangsa luntur karena buruk rupa wajah politik Indonesia. Kehadiran kiai beserta simbol-simbol keagamaannya dalam prakteknya membuat perimbangan nilai-nilai. Sidny John mengemukakan,93 kiai bersama NU memperlihatkan wajah Islam terorganisir (organized Islam) yang lebih ramah dan reformis.Akibatnya, dunia politik tidaklah semata masalah perebutan kekuasaan, tetapi juga kesucian perjuangan untuk mempertahankan martabat dan kedaulatan bangsa.

Relasi kiai dalam politik Indonesia dapat dilihat dari lima masa. Pertama, masa revolusi. Masa ini dikenal dengan penjajahan. Kehadiran kolonialisme Belanda telah menimbulkan banyak mudlárat. Rakyat Indonesia “sengaja” dibiarkan hidup sengsara. Keserakahan, kekerasan, dan kerja paksa memicu perlawanan fisik dari kiai, santri, dan rakyat Indonesia. Ada sejumlah kiai yang menjadi simbol perlawanan rakyat Indonesia seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Chasbulllah, dan lainnya. Bersama tokoh nasional lainnya seperti Jenderal

91R. William Liddle, “New Patterns of Islamic Politics in Democratic Indonesia,”

Woodrow Wilson International Center for Scholars, no. 110 (April 2003): 6,http://www.wilsoncenter.org/asia (diakses 31-03-2016).

92Miftah Faridj, “Peran Sosial Politik Kiai di Indonesia,” Mimbar Vol. XIX no. 2 (April – Juni 2003): 200 https://media.neliti.com (diakses 19-07-2018).

93Sidney Jones, “The Contraction and Expansion of the "Umat" and the Role of the Nahdatul Ulama inIndonesia,” Indonesia, no. 38 (Oct., 1984): 9 http://www.jstor.org/stable/3350842 (diakses 02-05-2017).

Page 156: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

143

Soedirman, dr. Soetomo, dan lainnya,94 Kiai Hasyim terlibat aktif dalam menyiapkan pasukan pembela negara seperti Laskar Hizb Alláh, Laskar Sabî li Alláh, dan Laskar Mujáhidîn. Barisan terakhir dikenal sebagai pasukan berani mati.

Masa revolusi harta kekayaan Kiai Wahab banyak disumbangkan untuk keperluan militer. Ketika agresi militer pemerintah kolonial pecah di berbagai daerah, Kiai Wahab melakukan rekrutmen dan melatih para santri di sejumlah pesantren di Jawa Timur. Dalam berbagai front pertempuran Kiai Wahab sering muncul mendampingi pemuda-pemuda (tentara-tentara) Indonesia untuk memastikan semua berjalan baik. Banyak front ketika itu seperti Front Mojokerto, Malang, Magelang, dan Ambarawa. Gerakan sosial politik Kiai Wahab makin sulit dibendung ketika kiai-kiai pesantren berada dalam satu komando melakukan aksi bersama mengusir kolonial.95 Pertempuran militer para kiai ini menewaskan lebih dari 17.000 tentara –ini belum dihitung besarnya biaya yang harus dikeluarkan—akhirnya pemerintah kolonial menyusun strategi baru, Presterraden, lembaga khusus yang tugasnya mengawasi gerakan elite-eite pesantren.

Ini memperlihatkan betapa kiai memegang peranan penting dalam memobilisasi massa melawan kekuasaan kolonial. Aksi patriotisme kiai dan santri dapat dibaca dalam dua hal, yaitu fatwa hubb al-waton min al-îmān (cinta tanah air sebagian dari iman) dan Resolusi Jihad. Fatwa hubb al-waton min al-îmān (cinta tanah air sebagian dari iman) seringkali diucapkan Kiai Hasyim dalam menanamkan semangat nasionalisme kepada para santri –sebuah cara ternyata mampu jadi pembakar semangat para santri untuk rela berperang, mengorbankan jiwa raga melawan penjajah meski tidak memiliki senjata. Sementara Resolusi Jihadbulan Oktober 194596jadi puncak peran kiai dalam dunia politik masa revolusi. Maklumat ini sebagai responsterhadap meningkatnya aktivitas penjajah yang mengilhami para santri dan Arek Suroboyo untuk meningkatkan perlawanan.

Kedua, masa kemerdekaan. Masa ini ditandai dengan penyusunan dasar-dasar negara yang dilakukan elite-elite nasional dengan pembentukan dua lembaga, BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan BPKI (Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia). Dalam perumusan muncul sentimen ideologisantara kelompok Islam dan nasionalis.97Dalam dua lembaga tersebut selalu

94Sederet tokoh penting perjuangan kemerdekaan seperti Panglima Besar Jenderal

Soedirman, Bung Tomo dan lainnya memiliki hubungan langsung dengan Sang Kiai: sering berdiskusi untuk menyusun strategi, mencari jalan keluar atau menghimpun kekuatan masyarakat dan santri. Lihat Aziz Masyhuri, 99 Kyai Nusantara: Riwayat, Perjuangan dan Doa (Yogyakarta: Kutub, 2006), 328.

95Hamid Fahmy Zarkasyi, “The Rise of Islamic Religious-Political Movements in Indonesia: The Background, Present Situation and Future,”Journal of Indonesian Islam, Vol. 02, no. 02 (December 2008): 337-338. https://jiis.uinsby.ac.id (diakses 17-07-2017).

96Respons pertama kiai adalah memanggil para konsul NU untuk menentukan sikap menghadapi aksi NICA-Belanda yang membonceng Inggris dalam pertemuan tanggal 21-22 Oktober 1945 di kantor PBNU di Bubutan, Surabaya. Panglima Laskar Hizbullah, Zainul Arifin, juga hadir dalam pertemuan tersebut. Lihat Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad (Tangerang: Pustaka Compass, 2014), 206.

97Kontestasi ideologis yang terbuka di tahun 1920-an sampai 1960-an berasal dari perselisihan abadi antara kubu Islamis dan nasionalis mengenai ideologi negara. Faksi Islam

Page 157: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

144

terjadi tarik-menarik dalam perumusan dasar-dasar dan bentuk negara. Pada masa ini progresifitas tokoh jadi ciri utama di antara elite nasional. Dalam dua lembaga tersebut pengaruh K.H. Wahid Hasyim sangat menonjol. Kemampuannya di atas rata-rata membuatnya jadi penengah antara kelompok Islam dan nasional. Ide-ide briliannya juga dipersembahkan saat jadi aktor utama dalam penyusunan “Mukaddimah” Undang-Undang Dasar 1945 yang mencatatkan namanya sebagai tokoh santri yang membidani lahirnya NKRI. Tokoh santri lainnya adalah K.H. Wahab Chasbullah diangkat DPA (Dewan Pertimbangan Agung), K.H. Zainul Arifin sebagai Wakil Perdana Menteri, Mohammad Hanafiah dinobatkan sebagai Menteri Agraria, K.H. Fatah Yasin menjadi Menteri Sosial, dan lainnya.98

Ketiga, masa pembentukan partai politik. Elite-elite pesantren pada tahun 1955 sepakat membentuk partai politik. Pemilu pertama dalam sejarah demokrasi Indonesia menempatkan NU masuk lima besar dengan jumlah suara mencapai 7 juta atau sekitar 18.4%. Kelima partai terbesar: PNI, Masyumi, NU, PKI, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa NU jadi kekuatan besar dalam realitas politik Indonesia.99 Keberhasilan ini membuat NU banyak mengirim kiai dan santri duduk dalam parlemen dan anggota konstituante, peran di pemerintahan menjadi lebih besar, mengawal pembangunan dan menjadi kebijakan untuk kemaslahatan bangsa.

Keempat, fusi partai politik. Pasca pemilu 1971, Presiden Soeharto membuat kebijakan kontroversial, memerger partai-partai politik. Perampingan parpol ini menimbulkan kekecewaan di kalangan elite pesantren yang memaksa NU sebagai partai Islam melebur dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) bersama Parmusi, Partai Serikat Islam Indonesia, dan Perti. Praktis hanya tiga parpol yang diakui pemerintah, yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Pertarungan tiga parpol ini dimulai pada pemilu 1977 dan berlanjut pada 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang secara kontinue memenangkan Golkar. Dukungan penuh militer, pemerintah, dan intervensi penguasa jadi penentu kemenangan tersebut. Berbeda masa rezim Orde Lama yang menjadikan kiai sebagai mitra strategis pemerintah, masa rezim Orde Baru kiai “sengaja” dibuang dari pemerintahan. Puncak konflik ini ketika NU memutuskan untuk kembali ke khittah 1926 untuk memulihkan NU sebagai organisasi keagamaan pada tahun 1984.100

ingin tetap berpegang pada proposisi awal untuk memasukkan ungkapan “berkewajiban untuk hidup sesuai hukum Islam untuk kaum Muslimin” dalam asas pertama Pancasila. Namun perjugangan tersebut dinilai melanggar prinsip demokrasi Pancasila (musyawarah) dan mufakat (konsensus). Lihat Eva Leiliyanti, “Representation and Symbolic Politics in Indonesia: Billboard Advertising in the 2009 Legislative Assembly Elections,” Crossroads Journal, Vol. VI, Issue 11 (2013): 63,http://ro.ecu.edu.au/theses/684/ (diakses 15-08-2017).

98Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKiS, 2011), 359-360.

99Hairus Salim, Uzair Fauzan dan Umar Ibnu Sholeh, Tujuh Mesin Pendulang Suara: Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999 (Yogyakarta: LKiS dan CH-PPS, 1999), 16.

100Selain khittah 1926, Muktamar Situbondo juga memutuskan sikap NU terhadap Pancasila, yang mencatatkan organisasi pertama menerima Pancasila sebagai asas tunggal negara. Lihat Darmawijaya, “Islam dan Kekuasaan Orde Baru: Membaca Kembali Politik

Page 158: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

145

Kebijakan ini berdampak pada keberadaan NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di negeri ini. Dampak paling serius diskriminasi sistematis terhadap kaum santri untuk mengakses dunia militer dan pegawai negeri. Pemerintah membuat kebijakan bersih-bersih Departemen Agama dari kalangan santri. Upaya de-NU-isasi ini cukup berhasil, karena sejak 1960 pejabat-pejabat senior dari kalangan NU secara perlahan digantikan oleh orang-orang kalangan modernis. NU tidak memiliki keterwakilan di pemerintahan ketika pos Menteri Agama dilarang diisi dari kalangan santri. Pemerintah tidak jarang memberlakukan kiai layaknya musuh, ditekan dan dicurigai –perilaku berbeda ketika menghadapi organisasi keagamaan lain seperti Muhammadiyah, Persis dan lainnya.

Kelima, masa reformasi. Lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan menjadi kilas balik bagi kiai untuk merenungkan kembali kiprahnya dalam bidang sosial politik yang direnggut hampir rezim Orde Baru berlangsung. Naluri politik kiai kembali menggelora ketika kran kebebasan berpolitik dibuka Presiden B.J. Habibie. Saat tokoh dan aktivis nasional lainnya beramai-ramai mendirikan partai politik, kiai pun melakukan hal sama. Ada 169 partai politik baru berdiriterdaftar di Departemen Kehakiman. Meski 48 partailolos verifikasi faktual untuk jadi kontestan di pemilu pertama era reformasi tahun 1999, tetapi jumlah ini lebih banyak dibandingkan pemilu 1955 yang hanya mengikutkan 36 parpol.101

Sejumlah kiai menyuarakan NU kembali menjadi partai politik sebagai wadah atau saluran politik warga NU. Suara ini tidak terlalu didengar PBNU karena keputusan khittah pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo. Perdebatan antara keinginan politik praktis dan khittah 1926 di awal reformasi tersebut cukup alot, akhirnya PBNU membentuk Tim Lima untuk melakukan kajian secara komprehensif. K.H. Ma’ruf Amin ditunjuk sebagai ketua Tim Lima, kemudian membentuk Tim Asistensi berjumlah sembilan orang diketuai H. Arifin Junaidi. Proses ini melahirkan PKB pada 23 Juli 1998 yang mempercayakan Gus Dur sebagai Dewan Syuro dan Matori Abdul Jalil sebagai Ketua Dewan Tanfidziyah.102

Dengan demikian, gerakan sosial politik kiai dalam bidang sosial politik cukup menonjol dari zaman penjajahan hingga reformasi. Peran kiai sosial politik kiai dalam mengusir penjajah, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, dan menjaga Indonesia telah jadi catatan sejarah sesuai konteks zamannya. Hasilnya pada zaman revolusi, kemerdekaan, dan pemberontakan kiai berhasil menginjeksi nilai-nilai yang jadi ruh perjuangannya. Perjalanan kiai di masa Orde Baru tergolong cukup berat, akhirnya berhasil memberi dampak positif bagi perjalanan bangsa, saat tokoh-tokoh lain terlelap tidur dan diam membisu, kiai justru tampil sebagai seorang yang paling lantang membela kepentingan rakyat. Setiap ada

De-Islamisasi Soeharto,”Sosiologi Reflektif, Vol. 10, no. 1 (Oktober 2015): 77 https://media.neliti.com (diakses 20-10-2017).

101Donald J.Porter, Managing Politics and Islam in Indonesia (London: Routledge, 2002), 48-49.

102Ushfuri Anshor, Belum Terlambat Sebelum Kiamat Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa, 2012), 44.

Page 159: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

146

penindasan kiai hadir memberi dukungan dan bahkan memberi perlawanan meski menghadapi kekuasaan super kuat.103

Kiai akan selalu aktif dalam dunia politik sebagai kecintaannya terhadap negeri.104Karena itu, meski mengalami peminggiran politik, sebagaimana tahun 1955, pada masa reformasi kiai kembali bertransformasi menjadi kekuatan politik signifikan sebagai elemen penting dan fundamental dari formasi identitasnya. Keberhasilan kiai terletak kemampuannya mengimplementasikan “politik kebangsaan” dalam setiap gerakan dan jadi ruh perjuangannya.

3.Pedang Bermata Dua

Gus Dur jadi simbol tumbuhnya kekuatan baru di kalangan generasi muda NU. Wacana keilmuan yang diperkenalkan dalam bidang politik dan wacana keagamaan mampu membangkitkan tradisi keilmuan baru santri untuk berpikir maju dan kritis dalam berbagai paradigma. Gerakan pemikiran progresif Gus Dur mampu menginjeksi tumbuhnya kesadaran di kalangan elite pesantren dan santri, yang dalam pandangan Masdar Hilmy dapat dianalogkan sebagai pedang bermata dua (double-edged sword). Satu sisi gerakan pemikiran keagamaan (religious thought movement) ini cenderung mengabadikan ortodoksi agama sebagai hasil penggunaan sistem rujukan tidak langsung terhadap al-Qur’an dan hadits. Sisi lain, sistem tidak langsung semacam ini juga dapat menghasilkan ruang eksperimen dan artikulasi pemikiran yang pada gilirannya menghasilkan kreativitas dan kebebasan berpikir dalam kerangka metodologi hukum Islam.105

Sejak memimpin NU, pembaharuan-pembaharuan Gus Dur mengorelasikan antara dirinya dengan NU, atau sebaliknya antara NU dan dirinya. Identifikasi semacam ini memperlihatkan bahwa Gus Dur dianggap berhasil membangkitkan kualitas generasi muda NU dan elite pesantren.106 Pemikiran-pemikirannya tertuang

103Gus Dur berhasil mengonsolidasi seluruh kekuatan kiai terutama setelah terpilih

jadi presiden. Kiai sebelumnya jadi pendukung Golkar, pasca Soeharto penataan rezim melibatkan PDI-P, kalangan bisnis, militer, birokrat, dan komunitas agama (religious community). Lihat Jun Honna “Local Civil-Military Relations during the First Phase of Democratic Transition, 1999-2004:A Comparison of West, Central, and East Java,” Indonesia, no. 82 (Oct., 2006): 79-80 http://www.jstor.org/stable/40376394 (diakses 13-05-2016).

104Robis Bush, Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia (Singapore: The Institute of Southeast Asian Studies, 2009), 29.

105Sisi lain apresiasi pemikiran generasi muda NU kurang mendapat perhatian generasi Muhammadiyah. Ini tidak berarti mereka tidak memiliki kesadaran sama dengan generasi muda NU. Lihat Masdar Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination on the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU,” Journal of Indonesia Islam, Vol. 07 no. 01 (June 2013): 38-39, https://jiis.uinsby.ac.id (diakses 09-03-2019).

106Fox menjelaskan, gerakan muda NU merupakan kesadaran meningkatkan bentuk berbeda bakti Islam (devotional Islam) sebagaimana gerakan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan HAMMAS (Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus) melalui gerakan Tarbiyah yang memainkan peran dalam protes dan demonstrasi pengunduran diri Pak Soeharto dan dalam periode sama memimpin pendirian partai politik, Partai Keadilan, untuk ikut Pemilu 1999. Lihat James J. Fox, “Currents in Contemporary

Page 160: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

147

dalam berbagai tulisan jadi kajian lesehan para santri. Begitu juga perilaku-perilakunya jadi penyemangat elite pesantren untuk mempertahankan eksistensinya di tengah serangan modernitas. Gus Dur jadi salah satu tokoh terbaik yang pernah dilahirkan NU yang pemikiran dan perjuangannya benar-benar dirasakan oleh komunitas pesantren dan masyarakat Indonesia umumnya. Gus Dur memberikan pencerahan untuk platform keindonesiaan.107

Beberapa pemikiran Gus Dur seperti wacana agama, politik, HAM, persatuan dan kesatuan, pluralisme, dan lainnya memberikan perspektif baru bagi perjalanan bangsa. Sejumlah orang mengagumi bahwa ide dan pemikiran Gus Dur tajam dapat ditiru oleh siapapun di negeri ini. Sejumlah tokoh menilai, sebagaimana tercermin di bawah ini, Gus Dur telah jadi inspirasi kiai, santri, dan masyarakat Indonesia.

Pertama, pejuang demokrasi dan pluralimse. Rais Aam PBNU K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) mengatakan bahwa keberlangsungan ide dan pemikiran Gus Durgigih memperjuangkan demokrasi dan pluralisme. Pemikiran kebangsaan Gus Dur seperti tentang Bhinneka Tunggal Ika telah memberikan pengaruh besar perjalanan bangsa.108 Gus Dur sangat gigih memperjuangkan perbedaan dan menegakkannya untuk tercapainya tatanan masyarakat yang demokratis. Oleh karena itu, gelar sebagai “Bapak Bangsa” memang layak untuk ditempatkan pada diri Gus Dur.

Kedua, sumber motivasi dan inspirasi pesantren. Gagasan-gagasan segar Gus Dur jadi sumber kekuatan komunitas pesantren. Pengasuh Pondok Pesantren Salaf Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang, M. Yûsuf Chudlõri (Gus Yûsuf) mengemukakan, sosok Gus Dur mampu memadukan antara Islam, kebangsaan, dan kemanusiaan yang kemudian dikenal multikulturalisme. Menurut Gus Yûsuf, nilai-nilai demokrasi ditebarkan oleh Gus Dur kepada kiai dan santri membuka mata hati mereka tentang keterkaitan antara Islam, kebangsaan, dan kemanusiaan. Konsep multikulturalisme merupakan bagian penting gagasan besar Gus Dur yang menempatkan diri pada kesadaran akan keunikan diri dalam keanekaragaman sebagai pengalaman autentik yang menjadi akar kekuatan diri bangsa.109

Ketiga, hormat penganut agama dan kepercayaan lain. Ketua Yayasan Buntet Pesantren Cirebon K.H. Wawan Arwanî mengungkapkan, salah satu warisan terbesar Gus Dur adalah keterbukaan terhadap paham dan kepercayaan agama yang dianut orang lain. Menurutnya, para kiai dan ustadz pesantren, khususnya Pesantren Islam in Indonesia,” Harvard Asia Vision 21 (29 April – 1 May, 2004): 11-12, www.openresearch.repository.anu.edu.au (diakses 26-05-2017).

107Ide dan pemikiran Gus Dur dalam soal kebangsaan, khususnya Bhinneka Tunggal Ika, telah mempengaruhi perjalanan bangsa. Lihat Abdurrahman Wahid, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, eds., Passing Over, Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia, 2001), 52.

108Disampaikan K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) saat memberikan sambutan pada acara peresmian Gedung PBNU II Matraman Jakarta Pusat Kamis, tanggal 23 Februari 2012.

109Wawancara dengan Gus Yûsuf di Pondok Pesantren API Magelang, Jawa Tengah, 10 September 2017.

Page 161: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

148

Buntet, memperkenalkan paham-paham multikultural yang menempatkan ajaran-ajaran agama sebagai sesuatu yang sakral kepada santri.110 Agama-agama di dunia mengajarkan sakralitas ajaran-ajarannya kepada setiap pemeluknya yang mesti ditempatkan secara proporsional dalam konteks kebangsaan.

Gus Dur melakukan transformasi nilai-nilai baru untuk sebuah perubahan yang tetap dilanjutkan oleh warga NU.Gus Dur tidak sekadar melakukan perubahan dalam pola pikir masyarakat tentang pentingnya multikulturalisme di tengah menguatnya identitas ikatan primordial, tetapi juga melecutkan tradisi keilmuan kalangan generasi muda NU melalui penggelontoran pemikiran-pemikiran progresif yang diinjeksi melalui elite-elite pesantren.

Transformasi pemikiran dilakukan sejak Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984. Di bawah kepemimpinannya santri menjadi generasi muda NU tangguh. Keberhasilan Gus Dur mentransformasikan dirinya ke dalam elite-elite pesantren mampu memberikan stamina kuat untuk membangun tradisi baru. Semboyan “merawat tradisi lama yang masih baik sembari mencari khazanah baru yang dianggap lebih baik” selalu digelorakannya untuk memberi energi baru bagi generasi muda NU untuk mempertahankan ilmu keagamaan klasik dan mengadopsi tradisi keilmuan modern. Pertanyaan dan kritik tajam Gus Dur atas tradisi keilmuan para kiai mendorong generasi muda NU melakukan eksplorasi lebih jauh melalui forum-forum kajian. Djohan Effendi menyebutkan,111 keberhasilan ini membuat mereka tampak lebih responsif terhadap arus modernitas dan beragam adagium baru yang tengah terjadi di masyarakat. Ide-ide baru lahir menjadikan mereka sebagai generasi muda NU tampak lebih dinamis dan maju dalam bidang pemikiran keagamaan dibandingkan dengan organisasi Islam lainnya.

Keberhasilan pembaharuan Gus Dur di kalangan generasi muda NU, selain melalui pesantren, juga dilakukan melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM). Aktivitas mereka cukup mempengaruhi khazanah keilmuan, memperkaya perkembangan pemikiran dan wacana intelektual baik politik maupun agama.112 Mereka menjadi pemikir dalam skala lebih terbuka dan luas untuk perubahan dan penyegaran doktrin-doktrin keagamaan. Alih-alih meninggalkan tradisi keilmuan

110Wawancara dengan K.H. Wawan Arwani di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon,

Jawa Barat, 19 Desember 2018. 111Djohan Effendi, Pembaruan tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan

di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur (Jakarta: Penerbut Buku Kompas, 2010), 10.

112Sejumlah LSM NU seperti P3M, Lakpesdam, dan lainnya. Pada akhir 1990 LSM tersebut mulai mewarnai intelektual muda NU dengan sejumlah kajian keagamaan baik kiri maupun kanan untuk melawan stagnasi pemikiran, membongkar tradisi, dan mendukung aksi progresif. Mereka memiliki jaringan di sejumlahkotabesar seperti Surabaya, Yogyakarta, Jember, Wonosobo, dan Jakarta. Di Yogyakarta banyak generasi muda NU aktif LKiS yang melakukan kajian intensif pemikiran Gus Dur. Lihat Khoirun Niam, “Nahdlatul Ulama and the Production of Muslim Intellectuals in the Beginning of 21stCentury Indonesia,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 11, no. 02 (December 2017): 371-372, https://jiis.uinsby.ac.id,DOI: 10.15642/JIIS.2017.11.2.351-388 (diakses 17-07-2018).

Page 162: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

149

pesantren, Gus Dur yang jadi daya pikat justru mereka terlibat dalam proyek kebebasan dan keterbukaan pemikiran. Dalam iklim intelektualitas terbuka inilah wacana keilmuan generasi muda NU hadir dalam ruang publik memberikan sumbangsih bagi perjalanan bangsa. Gerakan pemikiran Gus Dur merupakan resistensi dan counter attack kaum tradisional terhadap serangan pendidikan Barat kaum kolonial di satu sisi dan modernisme Islam di sisi lain yang terus berlanjut pada era kemerdekaan.113

Selain wacana keagamaan, daya tarik Gus Dur juga terlihat pada pengaruhnya dalam bidang politik. Gus Dur sebagai pemikir dan aktor politik, yang sepanjang 1984-1998 jadi simbol perlawanan kaum agama terhadap rezim Orde Baru diakui menghipnotis generasi muda NU untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik. Geliat politik ini tampak di tingkat mahasiswa dan ormas kepemudaan seperti PMII, PB PMII, dan GP Ansor. Awalnya keterlibatan generasi muda NU di panggung politik jadi bahan gunjingan bagi komunitas akademik modern. Saat melihat generasi muda NU terlibat dalam politik praktis raut muka memperlihatkan tidak nyaman. Bahkan tidak jarang kritik tajam dihunjam kepada mereka. Jika kaum akademik modern dapat mudah berjalan dalam etape-etape politik hingga puncak kekuasaan, maka generasi muda NU selalu tersisih dari arena sirkuit politik nasional. Mereka secara sengaja dihambat untuk menuju garis finish kekuasaan.

Memasuki 1998, ketika ruang kebebasan dan persaingan terbuka, generasi muda NU hadir dengan stamina tinggi. Mereka yang secara (tak) langsung besutan Gus Dur memperlihatkan gairah baru dengan didirikannya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Seolah-olah ingin mengulang masa kejayaannya pemilu 1955, PKB hadir dengan tenaga-tenaga muda energik untuk mengisi ruang politik nasional yang sudah lama ditinggalkannya. Meski mendapat kritik tajam –misalnya pengebirian khittah 1926, tetapi bagi Gus Dur dan elite-elite NU lainnya bahwa PKB merupakan respons tepat di tengah keterbukaan dan kebebasan untuk mewadahi aspirasi kalangan warga NU. Pendirian PKB tidak mengingkari khittah 1926 yang dalam perjalanannya melahirkan politisi-politisi muda NU.114

Alhasil di tengah melemahnya NU sebagai ormas terbesar akibat marginalisasi rezim Orde Baru, kehadiran Gus Dur memimpin NU mampu mengembalikan stamina yang hampir hilang. Gus Dur berhasil membolduser NU dengan menampilkan dua kekuataan sekaligus: pemikiran keagamaan dan politik. Bolduser disiapkan Gus Dur mampu menggali khazanah keilmuan klasik dan saat bersamaan mengadosi khazanah keilmuan baru. Sistem ini bukan hanya membangkitkan kesadaran keilmuan di kalangan generasi muda NU berupa

113Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad and Patrick Jory, Islamic Studies and Islamic

Education in Contemporary Southeast Asia (Kuala Lumpur: Yayasan Ilmuwan, 2011), xv-xvi.

114Generasi muda NU yang berkiprah di pentas politik nasional cukup banyak seperti A. Muhaimin Iskandar, Alî Masykur Mûsá, Khofîfah Indar Parawansá, Saifullah Yûsuf, Hanîf Dhakîrî, Imam Nahráwî, Jazilul Fawáid, Efendî Choirî, dan masih banyak lagi.Selain mengusung pesan-pesan politik kebangsaan, kiprah politik mereka juga jadi barometer keberhasilan Gus Dur melakukan pembaharuan dalam politik keagamaan.

Page 163: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

150

lahirnya pemikir-pemikir baru, tetapi jauh dari itu memunculkan kesadaran baru pentingnya politik santri dan santri politik. Akibatnya kaum tradisional yang dulunya konservatif secara sosial dan budaya, dalam tiga dasawarsa terakhir secara paradoks telah melahirkan gerakan progresif untuk pembaruan sosial dan keagamaan. Gerakan progresif dalam pandangan Bruinessen disebut kiai rakyat.115

Dengan karisma dan daya pikat sendiri Gus Dur ketika memimpin NU berhasil mengubah wajah NU tradisional menjadi dinamis, progresif, dan modern. Hingga sekarang tidak sedikit jumlah pemikir dan politisi yang lahir dari rahim pesantren dan NU. Generasi ini akan ditopang pula dengan generasi emas NU 2030,116 generasi dengan skill cukup menyongsong perubahan dan perkembangan zaman. Sejumlah tokoh nasional memberikan pemikiran-pemikirannya seperti Muhádjir Effendÿ, Lukmán Hakîm Saifuddîn, Imám Nahrawî, M. Nuh, Amsál Bahtiár, Abdurrahmán Mas’ûd, dan lainnya.

Inilah wajah NU dalam tiga dasawarsa terakhir yang memperlihatkan sebagai gerakan pemikiran (religious thought movement) yang cenderung ortodok akibat penggunaan sistem rujukan tidak langsung terhadap al-Qur’an dan hadits dan saat bersamaan juga memperlihatkan wajah progresif yang menghasilkan ruang eksperimen dan artikulasi pemikiran. NU dalam tiga dasawarsa terakhir adalah organisasi yang memiliki dua kekuatan sekaligus:khazanah keislaman dan politik.

115Martin van Bruinessen and Farid Wajidi, “Syu’un Ijtima’iyah and the Kiai

Rakyat: Traditionalist Islam, Civil Society, and Social Concerns,” dalam Indonesian Transitions, ed. Henk Schulte Nordholt (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 205.

116Generasi emas 2030 digagas LP Ma’arif PBNU, penulis terlibat aktif lahirnya gagasan tersebut. Muncul pada Rakernas (Rapat Kerja Nasional) LP Ma’arif NU di Bandung pada 27 Februari-01 Maret 2018, gagasan generasi emas 2030 merupakan kerangka baru pemberdayaan masyarakat khususnya dalam bidang pendidikan untuk menopang lahirnya generasi progresif.

Page 164: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

151

BAB VI PERAN KIAI KHOS DALAM DALAM KENAIKAN DAN KEJATUHAN

K.H. ABDURRAHMAN WAHID Kekuasaan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berlangsung dari 21

Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001. Meski tergolong singkat, hanya berlangsung selama 21 bulan, keberhasilan Gus Dur jadi orang nomor wahid di negeri ini jadi momentum bagus untuk munculnya gairah baru di kalangan elite-elite pesantren untuk terlibat dalam dunia politik. Gus Dur yang mewarisi kepemimpinan di tengah masyarakat mengalami polarisasi cukup tajam yang membutuhkan penanganan tepat karena berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa telah menarik perhatian sejumlah kiai untuk terlibat secara langsung dalam kontestasi politik (political contestation). Laila Kholid Alfirdaus menyebutkan, sejumlah kiai memiliki gairah baru untuk mengikuti jejak Gus Dur maju dalam pemilihan kepala daerah jadi bupati/wakil bupati atau walikota atau wakil kota.1 Pada saat bersamaan pula banyak kiai khos (Islamic charismatic leader) secara intens berkomunikasi agar Gus Dur mampu merawat nilai-nilai kebangsaan.

Bersedianya Gus Dur jadi calon Presiden pada pemilihan MPR tahun 1999 setelah melalui serangkaian pertemuan dengan sejumlah tokoh dapat dipahami sebagaipuncak perjuangannya dalam membangun kultur politik dan budaya pikir di kalangan warga NU. Perjuangan Gus Dur untuk melakukan pembaharuan keagamaan dan politik dimulai ketika secara resmi terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada 1984ditunjukkan oleh pernyataan politiknya untuk mengembalikan NU pada jati dirinya sebagai organisasi keagamaan yang mengurus pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sosial. Komitmen tersebut merupakan respons terhadap perkembangan politik nasional yang tidak menguntungkan warga NU.

Ada duaperhatian Gus Dur saat dipilih sebagai ketua umum PBNU, kembali ke khittah 1926 dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Pidato politik ini disampaikan kepada warga NU yang memperoleh sambutan dari kalangan elite-elite pesantren dan tokoh-tokoh NU. Robin Bush2 menjelaskan mengenai kebangkitan intelektualisme dan politik NU sejak khittah 1926 dicanangkan pada 1984. Khittah memberi pengaruh pada dinamika intelektual NU baru yang banyak melakukan diskusi pemikiran dan khazanah Islam melalui forum kajian dan lembaga penerbitan di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang. Dalam kondisi sama, perjuangan Gus Dur juga menumbuhkan kesadaran baru dalam politik.3

1Laila Kholid Alfirdaus,“Islam and Local Politics: In the Quest of Kyai, Politics,

and Development in Kebumen, 2008-2010,” Al-Jāmi‘ah, Vol. 51, no. 2 (2013 M/1435 H): 287-288 https://www.aljamiah.or.id/index.php/DOI: 10.14421/ajis.2013.512.279-309 (diakses 02-05-2017).

2Robin Bush, Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power Within Islam & Politics In Indonesia (Singapore: ISEAS Publishing, 2009), 152.

3Harold Crouch, “Indonesia: Democratization and the Threat of Disintegration,” Southeast Asian Affairs (2000): 128 http://www.jstor.org/stable/27912247 ( diakses 24-10-2015).

Page 165: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

152

Keputusan kembali ke khittah 1926 disadari bukanlah emoh terhadap politik, sebaliknya NU melakukan retrospeksi kiprah-kiprahnya selama pemerintahan Orde Baru yang menyempitkan ruang gerak NU di partai politik dan pemerintahan. Sejak terpilih jadi Ketua Umum PBNU pada 1984 Gus Dur memberikan artikulasi penting yang berdampak pada lahirnya wajah baru NU baik dari sisi intelektualisme maupun politik. Wajah baru inilah mewarnai perjalanan NU dalam relasinya dengan keagamaan dan kebangsaan. A. Kekuasaan Kiaidalam Kenaikan K.H. Abdurrahman Wahid

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa peran kiai dalam dunia politik seiring perannya dalam mengelola dan memimpin pesantren dan membina masyarakat. Dunia politik bagian tak terpisahkan dari hidup seorang kiai sebagaimana dunia pesantren. Kiai dan politik bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kiai selain sebagai ulama yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan kepada santri, juga pemimpin masyarakat yang perannya menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Dalam pesantren kiai ditempatkan sebagai figur (uswah, model) dari sikap dan tingkah laku santri dari proses kreativitas yang berlangsung selama 24 jam. Endang Turmudi menyebutkan,4 proses imitasi inilah yang menempatkan kiai sebagai creative minority, sosok dikagumi yang ucapan-ucapannya memiliki arti penting baik bagi santri maupun masyarakat.

Peran kiai dalam konfigurasi kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia bukanlah hal baru. Berbagai analisa dari sejumlah penelitian baik dalam maupun luar negeri telah lahir sebagai temuan baru seiring keterlibatannya yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam pesantren,5 tetapi juga aktif terlibat dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Kiai tidak sekadar mahir dalam membingkai santri-santri dengan paham-paham keagamaan dan memahamkan arti penting khairu ummah (sebaik-baik umat), tetapi juga menuntun masyarakat menjalani kehidupan dengan nilai-nilai kemanusiaan, semangat kebersamaan, dan kewarganegaraan.6

Peran-peran tersebut dijalani kiai dalam berbagai dimensi kehidupan yang memperlihatkan betapa kehadirannya menjadi sosok yang mampu mendobrak sekat-sekat kehidupan. Sejak zaman penjajahan Belanda tidak sedikit kiai berperan dalam mengatur strategi untuk memimpin gerakan melawan hegemoni penjajahan. Meski mendapat teror, pengasingan, dan kekerasan, peristiwa perlawanan sosial

4Pola rutinitas seperti ini kemudian menjadikan hubungan kiai dengan masyarakat

menjadi erat. Kiai menjadi tokoh kreatif minoritas, creative minority groups, karena berhasil menanamkan doktrin terhadap para pengikutnya. Lihat EndangTurmudi, Perselingkuhan Kyai dengan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2003), 7.

5Mansur Hidayat, “Model Komunikasi Kyai dengan Santri di Pesantren,”Jurnal Komunikasi ASPIKOM, Vol. 2 no. 6 (Januari 2016): 389, www.jurnalaspikom.org (diakses 23-05-2017).

6Abdurrahman Wahid, Islam, Pluralism and Democracy (Consortium for Strategic Communication of Arizona State University, 2007): 11-12, www.asu.edu/clas/csrc/about/(diakses 04-09-2017).

Page 166: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

153

politik terhadap penguasa kolonial di Indonesia banyak dipelopori oleh para kiai, pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji. Sikap anti-penjajah terjadi dalam jumlah besar di berbagai daerah menjadi karakteristik kiai dalam menyajikan peran-peran sosial-politik dan keagamaan. Bagian ini akan menjelaskan peran kiai yang secara umum ditempatkan sebagai pemuka agama yang selalu mengajarkan ilmu-ilmu agama, namun memiliki keterlibatan dalam persoalan kehidupan masyarakat. kiai secara sadar aktif melibatkan diri dalam sosial politik –medan baru kiai dalam konteks politik kebangsaan dan kenegaraan. 1.Jadi Kekuatan Politik

Kehadiran K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam kancah politik nasional sejak awal telah menyita perhatian banyak kalangan, tidak hanya dalam negeri tapi juga luar negeri. Sejak menjabat ketua umum PBNU pada 1984 Gus Dur senantiasa melempar kritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Kritik ini tidak jarang membuat hubungan Gus Dur dan pemerintahmemburuk dalam masa1984-1989, 1989-1994, dan 1994-1999. Sepak terjangnyadidasarkan pada persamaan, keadilan, kemanusiaan, dan demokratisasi seringkali membuat banyak kalangan tercengang dan bahkan mengerutkan dahi pemilik kuasa. Menurut Aspinall, oposisinya terhadap Orde Baru mampu menampilkan diri sebagai kekuatan politik alternatif terutama dekade terakhir Orde Baru. Bahkan ia menampilkan sebagai sosok mandiri dan lebih terbuka mengkritik rezim.7

Gus Dur dikenal sebagai tokoh agama, demokrat, plural, dan pejuang rakyat kecil.8 Perjuangannya dalam bidang agama sejalan dengan keilmuan yang dibangunnya. Meski berasal dari keluarga Muslim ortodok justru Gus Dur memperlihatkan diri sebagai orang yang tidak hanya paham Islam. Gus Dur bukanlah seorang tokoh agama yang fanatis. Dalam berbagai paham dan tindakannya tampak sebagai seorang yang menjunjung tinggi toleransi, demokrasi, dan pluralitas. Pemberitaan media massa dalam masa-masa terakhir pemerintahan Soeharto didominasi oleh sepak terjang Gus Dur sebagai pejuang demokrasi yang menginginkan kebebasan sebagaimana Islam memberikan kebebasan bagi pemeluknya untuk membangun berpikir, kepercayaan, kesadaran sosial, dan menjalankan ibadah. Menurut Gus Dur,9 ajaran-ajaran Islam bersifat memaksa bagi

7Edward Aspinall, “Semi-Opponents in Power: The Abdurrahman Wahid and

Megawati Soekarnoputri Presidencies,” dalam Soeharto’s New Order and its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Australia: ANU E-Press, 2010), 122.

8Charles U. Zenzie, “Indonesia's New Political Spectrum,” Asian Survey, Vol. 39, no. 2 (Mar. - Apr., 1999): 250 http://www.jstor.org/stable/2645454 (diakses 13-05-2016)

9Setiap orang memiliki kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama, bahwa hak termasuk kebebasan untuk mengubah agamanya atau kepercayaan, dan kebebasan baik dalam komunitas dengan orang lain maupun di tempat umum atau pribadi untuk mewujudkan agama atau kepercayaannya dalam pengajaran, praktek ibadah dan ketaatan. Lihat Abdurrahman Wahid, “God Needs No Defense,” dalam Abraham’s Children: Liberty and Tolerance in an Age of Religious Conflict, ed. Kelly James Clark (London: Yale University Press, 2012), 214.

Page 167: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

154

pemeluknya tidak hanya memberdayakan bagi mereka yang memiliki agenda-agenda duniawi (termasuk politik) dan bertindak sebagai “pedang Damocles” yang mengancam kaum minoritas, tetapi juga kaum Muslim mayoritas untuk berbicara secara bebas tanpa terancam oleh kaum fundamentalis yang selalu mengklaim membela agama untuk menaikkan posisi mereka.

Pendidikannya banyak dijalani di lembaga pendidikan Islam. Pada tahun 1954, karena tidak naik kelas di SMP, Gus Dur dikirim ke Yogyakarta oleh ibunya untuk belajar kepada K.H. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak. Pada tahun 1957 Gus Dur mulai mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat saat pindah ke Pesantren Tegalrejo Magelang. Selain belajar langsung pada K.H. Chodluri, Gus Dur hanya butuh waktu dua tahun menyelesaikan pendidikan dari empat tahun yang seharusnya diselesaikan.10Ketika melanjutkan ke Pesantren Tambakberas Jombang pada 1959, Gus Dur mulai mengembangkan pendidikannya dan menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala sekolah. Pada tahun 1963 Gus Dur memperoleh beasiswa untuk belajar di Universitas Al-Azhar dari Kementerian Agama. Meski menguasai dan mahir bahasa Arab yang diperoleh dari 3 pesantren tersebut, Gus Dur justru dimasukkan ke dalam kelas peralihan karena tidak mampu menunjukkan bukti atas kemampuannya dalam penguasaan bahasa Arab.

Awalnya Gus Dur menikmati hidup di Mesir. Memasuki tahun kedua tinggal di Mesir (1964) Gus Dur mulai jarang mengikuti perkuliahan, waktunya justru banyak dihabiskan di perputakaan American University Library untuk membaca buku-buku. Setelah menyelesaikan kelas peralihan bahasa Arab pada tahun 1965, saat mulai kuliah Islam dan bahasa Arab, waktu Gus Dur semakin banyak dihabiskan di perpustakaan dan menonton film-film Barat dan Amerika Serikat. Meski aktif di Perhimpunan Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah perhimpunan tersebut, Gus Dur merasa bosan mengikuti perkuliahan di Mesir. Materi-materi yang dipelajari dan metode perkuliahan sudah banyak diterimanya ketika masih di pesantren. Waktu seharusnya berada di kelas justru digunakan nonton film-film.11

Selama tinggal di Mesir, Gus Dur memperoleh tawaran pekerjaan sambilan di Kedutaan Besar Indonesia. Ketika itu terjadi peristiwa bersejarah Gerakan 30 September (G30S).12Ketika itu Soeharto berpangkat Mayor Jenderal (Mayjen) TNI dipercaya menangani situasi di Jakarta dalam upaya pemberantasan Komunisme, memerintahkan Kedubes Indonesia di Mesir untuk melakukan sweaping terhadap pelajar-pelajar dan memberikan laporan. Pembuatnya dipercaya kepada Gus Dur.

10Ellyasa KH Dharwis, ed., Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil(Yogyakarta: LKiS-

Pustaka Pelajar, 2014), 1994. Lihat juga Kamarudin Salleh dan Khoiruddin Bin Muhammad Yusuf, “Gus Dur dan Pemikiran Liberalisme,” Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies Vol. 1, no. 2 (Desember 2014): 262 www.journalarraniry.com (diakses 02-05-2017).

11K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) memberikan kesaksiannya saat memberikan sambutan pada acara peresmian Gedung PBNU II Matraman Jakarta Pusat Kamis, tanggal 23 Februari 2012.

12David Jenkins, “One Reasonably Capable Man: Soeharto’s Early Fundraising,” dalam Soeharto’s New Order and its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Australia: ANU E-Press, 2010), 26.

Page 168: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

155

Saat membuat laporan tersebut (1966) Gus Dur memperoleh kabar pendidikannya yang harus mengulang. Kabar ini bukannya menyesuaikan dengan perkuliahannya, sebaliknya ia pindah dari Kaherah Mesir ke Baghdad Irak.

Di tempat baru ini Gus Dur mulai menikmati perkuliahannya. Sistem perkuliahan di Universitas Baghdad berbeda dengan perkuliahan di Universitas Al-Azhar. Gus Dur memperoleh pendidikan selain yang berorientasi pada Barat, juga mulai mempelajari sastra, filsafat, dan teori-teori serta aktif di Perhimpunan Pelajar di Baghdad.13 Setelah menyelesaikan kuliahnya pada 1970, Gus Dur lalu memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden. Namun, karena merasa tidak nyaman, sebagaimana dialami di Universitas Al-Azhar, Gus Dur melanjutkan ke Jerman dan Prancis hingga akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 1971 dan menetap di Jombang memilih jadi guru, mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Tebuireng, dan kemudian menjadi sekretaris Pesantren Tebuireng pada 1974 dan menjadi penulis.

Gambaran singkat ini sekadar ingin menggambarkan bahwa pemikiran Gus Dur tidaklah monolitik. Memahami sosok Gus Dur yang lahir pada 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang dari pasangan K.H. Abdul Wahid Hasyim putra K.H. Hasyim Asy’ari pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dan Jam’iyyah NU dan Nyai Hj. Sholihah putri tokoh besar NU K.H. Bisri Syamsuri pendiri Pondok Pesantren Denanyar dan Rais ‘Am PBNU14 haruslah dari berbagai dimensi. Pemikiran sekaligus sepak terjang Gus Dur berakar kuat pada tiga dunia tersebut. Pertama, tradisi keilmuan pesantren. Dunia pesantrenselama ini ditempatkan sebagai sub-kultur selalu diidentikkan dengan tradisionalisme, feodal, dan etika formal, ternyata juga menyimpan ortodoksi yang dalam perkembangannya diperlukan untuk mengimbangi ideologi modernisme. Dalam diri pesantrensenantiasa memelihara khazanah keilmuan klasik merupakan revivalisme terhadap konsep developmentalisme-modernisme.

Kedua, tradisi keilmuan Timur Tengah. Kawasan Timur Tengah secara politik merupakan daerah yang banyak dihuni oleh masyarakat yang membentang dari Benua Asia atau Afrika-Eurasia. Daratannya diapit oleh Laut Mediterania dan Teluk Persia serta wilayah panjang dari Anatolia, Jazirah Arab, dan Semenanjung Sinai. Meski memiliki cadangan minyak mentah melimpah, penduduknya dikenal terbuka dan keras.Kawasan ini jadi tempat bersemainya agama Yahudi, Kristen, dan Islam, sejak pertengahan abad ke-20 telah menjadi wilayah yang sangat sensitif, baik dari segi letak lokasi, politik, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan. Tessler menyebutkan,15 orientasi keagamaan (religious orientation) yang

13Faisal Ismail, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik (Jakarta: Badan

Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, 2004), 190-191. 14Ainul Fitriah, “Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pribumisasi Islam,

Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Vol. 3 no. 1 (Juni 2013): 41, https://www.researchgate.net (diakses 02-05-2017).

15Mark Tessler, “Islam and Democracy in the Middle East: The Impact of Religious Orientations on Attitudes toward Democracy in Four Arab Countries,”Comparative Politics Vol. 34, no. 3 (April 2002): 341. http://www.jstor.org/stable/ (diakses 02-05-2017).

Page 169: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

156

berkembang di Timur Tengah semakin kuat pada pembentukan pandangan politik konsevatif.

Ketiga, tradisi keilmuan Barat. Petualangan Gus Dur di universitas terkemuka di Belanda, Jerman, dan Prancis seperti dijelaskan di atas jadi pelabuhan terakhir dalam pembentukan khazanah keilmuannya. Dunia Barat dikenal sebagai kawasan yang berpenduduk liberal, rasional, dan sekular mengantarkannya atas penguasaan alam dunia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Temuan-temuan baru banyak lahir dari kawasan ini bahkan cenderung imperialistik. Budaya intelektual Barat dibangun melalui peradaban Yunani yang tertulis dalam manuskrip-manuskrip kuno dan logos, belakangan memperbanyak temuan pengetahuan dan informasi.

Kondisi ini memperkaya ortodoksi keilmuan Gus Dur: tradisional, terbuka, dan liberal. Dalam sejumlah pemikirannya tampak usahanya membongkar khazanah keilmuan klasik yang dihadapkan kepada khazanah keilmuan modern dalam konteks perubahan sosial, politik, dan ekonomi, yang kemudian menampilkan wajah Islam universal dan kosmopolitan. Pemikiran ini berakar kuat pada koridor ushûl al-fiqh yang dikenal al-darûrîyat al-khamsah,16 yaitu keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badan di luar ketentuan hukum, keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan keselamatan profesi. Gus Dur sosok tradisionalis-liberal.

Dalam pandangan Gus Dur menghadirkan universalisme Islam ke dalam realitas kehidupan merupakan upaya pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat. Misalnya soal kemiskinan, Gus Dur berpandangan, tidak bisa dipecahkan melalui pendekatan dakwah semata yang selalu menyerukan penguatan iman dan takwa. Pendekatan legal-formalistik, skriptualistik, dan pendekatan alternatif serba apologis hanya membuat orang cenderung pasif dan pasrah terhadap ketentuan;17 sebaliknya Gus Dur menempatkan iman untuk menggugah masalah kemiskinan dapat dipecahkan secara tepat –suatu sikap yang membuat pemeluk agama memiliki spirit tinggi. Secara makro, Gus Dur melihat masalah kemiskinan dapat dipecahkan dengan transformasi komprehensif; menegakkan demokrasi secara murni, mengembangkan lembaga kemasyarakatan secara mandiri, dan menolak ketidakadilan dalam segala bentuknya.

Meski mengundang banyak prihatin dari banyak kiai, gagasan-gagasan Gus Dur yang bermuara pada “Pribumisasi Islam”18 muncul akibat keresahan karena

16Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia & Transformasi

Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 3. 17Syafi’i Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Membingkai Potret Pemikiran

Politik K.H. Abdurrahman Wahid,” dalam Abdurrahman Wahid,Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), xxii.

18Greg Barton, “Indonesia's Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as Intellectual 'Ulama': The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought,” Studia Islamika 1, no. l, (1997): 60 http://journal.uinjkt.ac.id/index. php/studia-islamika (diakses 02-5-2017).

Page 170: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

157

hadirnya golongan-golongan yang memaksakan penyeragaman dan formalisasi hukum agama; keharusan pengambilan sumber pada al-Qur’an dan Hadits. Melalui struktur pemikiran tersebut Gus Dur membangun pola pikirnya dalam dunia politik. Kritik Gus Dur terhadap pemerintahan Orde Barusaat mencapai puncak supremasinya hingga kejatuhannya. Kekuasaan Orde Baru dianggap tidak berpihakrakyat. Kebijakan-kebijakannyamengikis akar pendidikan agama, nasionalisme, pluralisme, demokrasi maupun penanganan peristiwa-peristiwa dengan cara represif, telah menjadi sumbu ketidakharmonisan antara dirinya dan Soeharto. 2. Jadi PengembanganPolitik

Era Reformasi yang berhasil dimunculkanmahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat telah membuka babak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sama dengan elemen masyarakat lain, Reformasi yang dimulai pada 1998 memberi kesempatan yang luas (wider opportunity) bagi kiai untuk mengespresikan syahwat politiknya. Selama Orde Baru kiai mengisolasi pada wilayah sosial-budaya akibat kebijakan eksklusi sistematik (systematic exclusion). Peranan kiai dalam bidang politik minim prestasi selama Orde Baru. Lailamenjelaskan, meski sejumlah kalangan melihat negatif pembentukan politik Islam di Indonesia, reformasi memberi dampak yang eksessif pada fragmentasi kiai dalam komunitas politik Islam yang ditandai dengan berdirinya partai politik yang sangat beragam.19

Reformasi disepakati sebagai era baru telah menyediakan ruang yang besar bagi setiap kelompok masyarakat untuk menyumbangkan potensi yang dimiliki untuk pembangunan bangsa baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya. Meski tidak jarang masyarakat menyambut gegap gempita, tetapi mereka berusaha mencari ruang untuk memanfaatkan momentum ini dalam bentuk ekspresi kebebasan dengan mendirikan parpol (partai politik) dan ormas (organisasi kemasyarakatan).20 Dalam konteks pesantren, respons kiai terhadap perubahan adalah pendirian partai-partai politik seperti PKB, PPNUI (Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia), PBR, dan PKU (Partai Kebangkitan Ummat).

Ketika reformasi hadir ke permukaan, sebagaimana elemen masyarakat lainnya, menurut Carnegie,kiai juga berusaha menyikapi perubahan dengan bijak namun tidak sedikit pula kiai yang justru memilih diam dalam menyikapi perubahan sosial politik.21 Aktualisasi potensi dan pilihan-pilihan politik kiai secara

19Laila Kholid Alfirdaus, Islam and Local Politics: In the Quest of Kyai, Politics,

and Development in Kebumen, 2008-2010,”Al-Jāmi‘ah, Vol. 51, no. 2 (2013 M/1435 H): 287, https:// www.aljamiah.or.id/index.php/ DOI: 10.14421/ajis.2013.512.279-309 (diakses 02-05-2017).

20Michael Buehler, “Islam and Democracy in Indonesia,” Insight Turkey Vol. 11 no. 4 (2009): 59 https://www.insightturkey.com/articles/ (diakses 02-05-2017).

21Gus Dur mewaspadai kembalinya politik NU saat Pak Harto lengser melihat ini berpotensi merusak misi sosialnya. Lebih mempertimbangkan moderasi dan mendukung Pancasila sebagai cara mempromosikan Islam untuk kepentingan nasional dan tekanan dari sejumlah kiai, Gus Dur mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) meski ada ketidakharmonisan dengan pamannya. Lihat Paul J. Carnegie, “Political Islam and

Page 171: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

158

umum dapat dikemukakan dual model. Pertama, kiai responsif. Model kiai dalam kategori ini adalah kiai yang sigap dalam merespon perubahan sosial politik. Perubahan dipahami sebagai choice of value (tawaran nilai) yang muncul di tengah masyarakat dari sesuatu yang disengaja atau tidak sengaja. Meski bersifat tawaran tidak sedikit kiai memahami bahwa perubahan jadi momentum yang harus segera diisi oleh sesuatu lebih lebih baik dan dengan aksi-aksi nyata. Kiai model ini tampak agresif, yang secara cepat merespons perubahan sosial politik, berani memasuki dunia baru, dan mentransformasikan nilai-nilai lama serta membidani lahirnya sebuah partai politik baru. Mereka memahami, perubahan sosial politik dengan cara ini tetap berjalan sebagaimana mestinya, tradisi lama tidak bersitegang dengan tradisi baru dan tradisi baru tidak menghancurkan tradisi lama. Mereka berusahamempertahankan kearifan klasiknya.22

Kedua, kiai pasif. Kiai dalam tipikal model ini lebih banyak memilih diam ketika menghadapi berbagai perubahan sosial politik. Meski memiliki kapasitas tinggi dan kredibilitas cukup, kiai tipe ini amat hati-hati dalam merespons hal-hal baru yang terjadi sekitar. Sebaliknya, kiai tipe ini memilih memperhatikan lembaga pendidikan yang dimilikinya dan berdakwah ketimbang ikut terlibat dan melebur dalam perubahan. Pilihan tersebut dijalaninya sebagai pilihan terbaik karena menganggap perubahan yang terjadi dapat mengakibatkan kehancuran orientasi. Meski memilih diam, kiai dalam kategori ini juga dapat bicara jika sewaktu-waktu masyarakat meminta pendapat atau fatwa.

Gambaran perbedaan peran yang dijalani kiai bersumber pada perbedaan persepsi teologis. Kognisi dimiliki seorang kiai meski bersumber dari bacaan yang sama, kitab kuning,23 mempengaruhi respons kiai dalam menyikapi perubahan sosio-kulturaldan sosial politik pasca jatuhnyaSoeharto dari kursi kepresidenan. Hubungan antara persepsi teologis dengan perilaku sosial politik kiai terutama tercermin pada perbedaan kognisi yang dimiliki. Kitab kuning membuat kiai memperoleh gambaran tentang kegemilangan Islam masa abad pertengahan dan berusaha menggiringnya politik Islam tersebut di masa kini dan mendatang dengan berbagai pendekatan.

Peran sosial politik kiai pada zaman penjajahan Belanda juga dijalani dengan beragam cara, mulai kiai berperan sebagai pemimpin gerakan anti penjajahan hingga memilih diam karena melihat hegemoni penjajah dalam berbagai dimensi kehidupan. Ricklefs menyebutkan, perbedaan terjadi juga pada jumlah Democratic Change in Indonesia,” Asian Social Science, Vol. 4 no. 11 (November 2008): 4, www.ccsenet.org/journal.html, DOI:10.5539/ass.v4n11p3 (diakses 28-07-2017).

22Andik Wahyun Muqoyyidin, “Kitab Kuning dan Tradisi Riset Pesantren di Nusantara,” Ibda Jurnal Kebudayaan IslamVol. 12, no. 2 (Juli - Desember 2014): 127 (Diakses 16-02-2017).

23Kitab kuning telah jadi rujukan utama di pondok pesantren, bahkan bagian dari "Kitab Suci". Sejak Gus Dur melakukan perubahan pada 1984, jejak pemikirannya diikuti generasi muda NU yang melakukan "pembacaan ulang" kitab kuning yang disakralkan selama beberapa dekade. Desakralisasi pemikiran iniuntuk menjadikan Ahlussunah Wal Jama’ah sebagai ideologi terbuka, toleran, dan damai. LihatNuriyati Samata, “Kontekstualisasi Kitab Kuning: Upaya Membangun Indonesia yang Multikultur,” PESAT Vol. 4 (Okt.2011): 39-40 http://repository.gunadarma.ac.id/336/1/ (diakses 02-05-2017).

Page 172: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

159

jamá’ah haji yang mengalami peningkatan luar biasa ketika Jawa berhasil melakukan gerakan keagamaan terhadap penganut ideologi sintetis mistik.24 Polarisasi kiai mengalami masalah krusial ketika ulama mengalami pertumbuhan secara dramatispada abad ke-19. Meski pemerintah kolonial tidak memiliki data detil, tetapi trend pertumbuhan cukup jelas dari sisi jumlah santri yang mengalami peningkatan cukup signifikan dari tahun ke tahun.

Selain bersumber pada teologi, perilaku sosial politik kiai juga dipengaruhi oleh perbedaan sosio-inklusi (socio-inclusion). Sosio-inklusi dipahami sebagai penghapusan rintangan yang mencegah komunitas memiliki akses ke martabat, memiliki akses ke mata pencaharian yang aman, dan proses untuk menghapus ketentuan hukum yang memperlakukan komunitas tidak adil. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kiai pada umumnya menempatkan teks lebih sebagai sesuatu yang hidup. Argumentasi-argumentasinya dibangun sesuai konteks secara lebih luas dan maslahat, misalnya usulan sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa, pemberian gelar Waly al-Amri al-Darûri bi al-Syaukah kepada Presiden Soekarno, dan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas bangsa dan negara. Sikap ini cermin dari kaidah: Taghayyur al-Ahkám bi al-Taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa al-Ahwál.

Pada sisi lain, sebagaimana dijelaskan Faridl, kelompok modernis seperti Persis dan SI, memiliki sikap yang cenderung tertutup. Sikap kaum modernis ini dibangun di atas dasar-dasar argumentasi pada pemahaman tekstual atas pesan-pesan wahyu baik yang bersumber pada al-Qur’an maupun Hadits.25 Secara terang posisi kaum modernis ini, sebagaimana dijelaskan Burhani, terinspirasi dari pemikiran ‘Abduh yang ingin mereformasi Islam ortodoks dengan cara menghidupkan kembali ajaran Islam otentik dan interpretasi langsung terhadap al-Qur’an, yang terpusat pada dua aktivitas: sikap kritis terhadap tradisi dan penggunaan akal untuk memahami al-Qur’an secara langsung. Mereka percaya kebenaran mutlak (inerrancy) al-Qur’an persis seperti apa yang tertulis secara harfiah dalam kitab suci itu. Mereka percaya bahwa makna harfiah dari kitab suci itu cocok untuk setiap zaman dan tempat.26

24Pada tahun 1863 di Jawa tercatat 94,000 santri, lalu pada tahun 1872 mengalami

peningkatan di atas 162,000, dan kemudian pada 1893 bertambah menjadi 272,000. Mereka belajar al-Qur’an ketika yang lain mempromosikan mistik sintetis. Lihat Merle C. Ricklefs, “Religious Reform & Polarization in Java,” ISIM REVIEW21 (SPRING 2008): 34. https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/17233 (diakses 02-05-2017).

25Miftah Faridl, “Peran Sosial Politik Kyai di Indonesia,”Jurnal Sosioteknologi Edisi 11, tahun 6 (Agustus 2007): 242 http://journals.itb.ac.id/index.php/sostek/article/ (diakses 28-07-2017).

26 Burhani menjelaskan pada abad ke-20, gerakan revivalisme yang diperkenalkan `Abduh berkembang dalam beragam bentuk, dua di antaranya fundamentalisme dan neo-modernisme. Fundamenalisme percaya kebenaran mutlak (inerancy) al-Qur’an persis seperti apa yang tertulis secara harfiah dalam Kitab Suci. Mereka percaya makna harfiah dari Kitab Suci cocok untuk setiap zaman dan tempat. Lihat Ahmad Najib Burhani, “Kitab Kuning dan Kitab Suci: Pengaruh al-Jabiri terhadap Pemikiran Keagamaan di NU dan Muhammadiyah,” Masyarakat Indonesia, Vol. 41, no. 1 (Juni 2015): 29-30, https://ejournal.lipi.goi.id (diakses 16-02-2017).

Page 173: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

160

Sebagai elite pesantren dan pemimpin masyarakat kiai memiliki modal sosial untuk melakukan sosialisasi dan membangun interaksi dengan kekuasaan. Modal sosial yang berbasis pada komunitarianismediperlukan tidak hanya dalam bentuk dukungan-dukungan yang bermanfaat, tetapi juga dalam ikatan lokal dan solidaritas tradisi yang diperlukan untuk melakukan perubahan-perubahan. Formula kiai inidigunakan dalam mempertahankan otoritas kepemimpianannya terhadap santri bertumpu pada dua kekuatan yaitu; traditional dan charismatic domination. Dari perilaku politik santri tersebut ditemukan tiga tipologi politik santri, yaitu: santri patuh mutlak, santri patuh semu, dan santri prismatic.27 Kepatuhan ini juga dapat melihat sikap masyarakat terhadap kiai seperti pemberontakan dan anti-penjajahan yang terjadi di berbagai daerah. 3. Jadi Perubahan Sosial

Modal sosial kiai dalam bidang agama merupakan konsekuensi dari perannya sebagai pengasuh pesantren dan pemimpin masyarakat. Kiai ditempatkan sebagai tokoh sentral yang tidak hanya memiliki otoritas dalam masalah agama karena penguasaannya dalam membaca pesan-pesan religius karya ulama abad pertengahan, tetapi kiai juga ditempatkan sebagai tempat bersandar dalam bidang politik, sosial, budaya bahkan ekonomi. Meski tidak sedikit ahli menilai bahwa kemajuan teknologi sedikit demi sedikit melucuti peran sosial keagamaan, tetapi, seperti dikemukan Geertz,28 kiai jadi tokoh otoritatif yang dianggap mampu memberikan sumbangsih untuk sebuah kesalehan sosial. Kiai memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan, menjaga kohesi sosial, dan mengatasi problem sosial yang dihadapi masyarakat. Dalam perubahan situasi kiai memiliki peran sosial baru (new social role).

Perubahan sosial ditandai datangnya Reformasi tahun 1998 menjadi awal datangnya era demokratisasi. Masyarakat menyambut gegap gempita lengsernya Soeharto yang kemudian digantikan B.J. Habibie sebagai presiden ketiga. Meski pemerintahannya tergolong singkat, 21 Mei 1998-20 Oktober 1999, Habibie memulai era baru dengan membuka kran kebebasan berpendapat, kebebasan pendirian parpol dan organisasi, membebaskan para tahanan politik (tapol/napol), dan mencabut izin pendirikan surat kabar. Meski Timor Timur lepas melalui proses yang dramatis29 –jajak pendapat pada 30 Agustus 1999, hasilnya sebanyak 22,5% memilih opsi otonomi luas dan 78,5% memilih opsi memisahkan diri dari

27Ferry Muhammadsyah Siregar, Nur Kholis Setiawan, and Robert Setio,

“Religious Leader and Charismatic Leadership in Indonesia,” Kawistara, Vol. 3, no. 2 (Agustus 2013): 149, https://jurnal.ugm.ac.id/kawistara/article/view/3977 (diakses 28-04-2017).

28Clifford Geertz,“The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker,” Comparative Studies in Society and History2, no. 2 (Januari 1960): 230, http://www.jstor.org/journals/cup.html (diakses 22 Agustus 2016).

29Muhammad Zuhdi, Political and Social Influences on Religius School: A Historical Perspective on Indonesian Islamic School Curricula (A Thesis Submitted to Graduate Studies and Postdoctoral Office McGill University, 2006): 134.

Page 174: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

161

Indonesia—masyarakat menikmati demokratisasi dan kebebasan berpendapat masa Pemerintahan Habibie.

Momentum demokratisasi mendapat respons positifmasyarakat. Mereka ramai-ramai mendirikan partai politik baru. Sebanyak 141 partai politik baru yang tercatat dan mendaftar diri di Kementerian Hukum dan HAM RI. Meski setelah dilakukan verifikasi yang lolos dan bisa ikut pemilu pada 7 Juli 1999 hanya 48 parpol, betapa kebijakan Habibie memberi angin segar bagi masyarakat. Partai-partai baru, selain didasarkan menjaga eksistensi bangsa terutama ancaman disintegrasi dan konflik antarkelompok masyarakat, kelahirannya juga didorong untuk ikut berpartisipasi pada perjalanan bangsa dan negara. Dalam tradisi Islam, pemahaman keislaman yang tidak tunggal turut mempengaruhi lahirnya partai-partai Islam dalam bentuk ekspresi ideologis Islam. Partai-partai diberi kebebasan menentukan warna ideologinya, dan pemilih tidak lagi diintimidasi dalam menentukan pilihannya.30

Ada banyak partai baru berbasis Islam seperti PKB, PAN, PK(S), PPP, dan lainnya. Bahkan dalam kelompok santri yang secara ideologis mendasarkan perilaku pemilih pada preferensi-preferensi kultural dan dan hubungan clientelistic tercermin pada munculnya 4 parpol baru seperti PKB, PKU, PNU, dan PBR. Parpol-parpol tersebut berdiri tidaklah semata didasarkan usaha menjaga keberlangsungan keislaman, melainkan juga lebih banyak dipengaruhi pragmatisme politik untuk menikmati kue kekuasaan. Karena itu, bagi sebagian ahli, kondisi ini harus ditebus dengan mahal. Masyarakat tradisional yang sebelumnya memiliki respektasi dan ketaatan tinggi pada seorang kiai kini berubah menjadi masyarakat yang independen. Hamayotsu menyebutkan,31 afiliasi politik masyarakat kemudian didasarkan pada sejauh mana informasi mempengaruhi pola pikir masyarakat bukan pada hubungan clientelistic.

Berdirinya parpol di antara kiai dapat dinilai sebagai bentuk respons terhadap kaum modernis dan nasionalis. Kondisi ini semakin menguatkan munculnya politik aliran. Dari komposisi parpol yang terdaftar dalam pemilu 1999 terlihat, politik aliran yang pernah fenomena politik pada1950-an kembali terulang dalam pemilu 1999. Hal ini muncul jika dilihat dari mekanisme yang membentuk perilaku partai dan juga preferensi-preferensi pemilih. Lahirnya partai-partai tradisional didorong oleh keinginan untuk mengulang masa kesuksesan perjuangan para kiai pada Pemilu 1955 meski setelah mengikuti rangkaian kampanye dan seleksi pemilu, hanya PKB yang memperoleh suara signifikan.32

30Laili Bariroh, “Positioning Ideologi Partai Politik pada Preferensi Pilitik

Santri,”Jurnal Review PolitikVol. 04, no 1 (Juni 2014): 134-135, www.jurnalpolitik.uinsby.ac.id/ (diakse 17-07-2017).

31Kikue Hamayotsu, “The End of Political Islam? A Comparative Analysis of Religious Parties in the Muslim Democracy of Indonesia,” Journal of Current Southeast Asian Affairs, 30, 3 (2011): 141-145, www.CurrentSoutheastAsianAffairs.org. (diakses 02-05-2017).

32Andreas Ufen, “Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between politik aliran and ‘Philippinisation’,” Institute Global and Area Studies no. 37 (December 2006): 10-11, www.giga-hamburg.de/workingpapers (diakses 04-09-2017).

Page 175: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

162

Perolehan suara parpol yang berjumlah 48 hanya ada 18 parpol yang berhasil mendudukkan perwakilannya di parlemen. Pemilu 1999 memperlihatkan kemenangan Islam moderat dan sekular, sementara pihak-pihak yang berpegang pada isu-isu Islam untuk sebuah kecenderungan dukungan Islamisasi negara seperti PPP, PBB, dan PK berkinerja buruk yang hanya memperoleh 14%. Di lain pihak PKB dan PAN sebagian besar memiliki pengikut Muslim ortodok, memperoleh hampir seperlima suara secara bersama, tetapi orientasi mereka yang sekuler dan Pancasila menghalangi sebagian besar debat di parlemen tentang pengenal hukum syariah atau bahkan negara Islam sejak awal.

Politik aliran ini tampak pada pemilu 1955memperlihatkan bahwa perolehan suara PNI yang dominan di parlemen menjadikan Soekarno mampu mengajukan Pancasila.33 Meski begitu, partai-partai berbasis Islam selalu membangun paradigma kepartaian pada koalisi di dalam kekuasaan pemerintah. Akibatnya tampak relasi Islam dan politik sepanjang Era Reformasi selalu menjaga harmonisasi dengan kekuasaan. Islam politik selalu terkoptasi oleh kepentingan negara.

Perolehan suara dan kursi PKBcukup signifikan tersebut menunjukkan bahwa dunia politik bagi kiai sudah jadi bagian dari hidupnya.34 Dinamika menarik jika memotret masa Revolusi, misalnya perjuangan kiai membebaskan Tanah Air dari penjajahan –proses memperjuangkan NKRI membutuhkan peran besar kiai. Begitu juga pasca kemerdekaan proses penyiapan memantek NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 senantiasa membutuhkan keikutsertaan kiai. Pada era Soekarno keterlibatan kiai dalam kancah politik nasional terukir dengan indah karena efektifitas peran politiknya yang elegan. Barisan kaum sarungan ini berhasil memperlihatkan bukan hanya sebagai kekuatan politik penyeimbang antara kekuatan politik ekstrem kiri yang diwakili oleh golongan komunisme dan ekstrem kanan yang diwakili oleh kaum agama, melainkan juga pemikiran-pemikiran religius politiknya terakomodasi dengan baik seperti dibentuknya Kementerian Agama sebagai penghubung ulama, pesantren, lembaga pendidikan Islam.35

Perilaku politik seperti digambarkan di atas merupakan cerminan paham keagamaan kiai yang selalu menempatkan agama pada tingkat yang lebih abstrak. Pendekatan ala kiai ini menempatkan agama sebagai ajaran transenden untuk

33Anies Rasyid Baswedan, “Political Islam in Indonesia: Present and Future

Trajectory,” Asian Survey, Vol. 44, no. 5 (Sept/Oct 2004): 671 http://www.jstor.org (diakses 02-5-2017).

34Keakraban kiai dan politik dimulai ketika mendirikan partai politik (1952), fusi dalam PPP (1973), hingga khittah (1984). Lihat Martin van Bruinessen, "Indonesia's Ulama and Politics: Caught between Legitimising the Status Quo and Searching for Alternatives," Prisma-The Indonesian Indicator, no. 49 (1990), 53 http://www.hum.uu.nl/medewerkers/ m.vanbruinessen/ (diakses 02-05-2017).

35Paul J. Carnegie, “Political Islam and Democratic Change in Indonesia,” Asian Social Science, Vol. 4, no. 11 (2008): 3, www.ccsenet.org/journal.html (diakses 28-07-2017).

Page 176: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

163

melahirkan nilai-nilai etisyang membentuk arah dan panduan bagi umatnya.36 Islam bukanlah ajaran-ajaran yang bersifat legal-formalistik, tetapi dipahami sebagai agama yang mengandung ajaran rahmat dan moderatif, yang nantinya melahirkan jiwa-jiwa demokratis, inklusif, dan opensif. Sejarah mencatat, kontribusi besar kiai selanjutnya terletak keterlibatannyai dalam mencegah pengaruh kekuatan politik komunisme dan meninabobokkan kekuatan politik lainnya selama transisi politik dari Soekarno ke Pak Harto tahun 1966. Sayang selama Orde Baru kiai mengalami marginalisasi.37

Sejarah gemilang kiai baik dalam masa memperjuangkan kemerdekaan, aksi nyata dalam mengisi kemerdekaan maupun menyingkirkan kekuatan perongrong negara, jadi bukti peran kiai dalam menyelesaikan berbagai masalah kebangsaan yang dapat dijadikan fatsoen politik bagi para generasi. Kiai pesantren ini menginspirasi banyak generasi berikutnya yang ingin melanjutkan perjuangan masa Revolusi tersebut dengan ikut terlibat dalam dunia politik. Sayang keterlibatan kiai tidaklah disambut positif banyak kalangan termasuk Soeharto. Alih-alih menyediakan ruang yang cukup bagi kiai, kebijakan-kebijakan politik pemerintahan Orde Baru justru menutup celah untuk keterlibatan kiai dalam sejumlah posisi strategis baik di PPP maupun jabatan pemerintahan. Marginalisasi kiai dalam politik pemerintahan Orde Baru karena ketakutan berlebihan terhadap gerakan politik kiai. Kebijakan depolitisasi kiai mengakibatkan banyak aset-aset politik kiai hilang. Aset tersebut baik materil maupun non-materil.38

Pupusnya rezim Soeharto memberikan harapan besar bagi seluruh rakyat untuk meningkatkan kualitas hidup di segala bidang. Belenggu politik otoriter yang telah terputus diikuti oleh semangat demokrasi yang luar biasa, bermunculanlah partai-partai politik. Pada saat yang sama umat Islam mulai kembali berpeluang untuk memainkan peran dalam kancah politik secara signifikan,termasuk di dalamnya para kiai. Gelombang reformasi telah memancing para kiai untuk ”turun gunung” dan turut membidani gerakan politik.

Bagi kiai khususnya dan warga nahdliyyin umumnya, momentum Mei 1998 menjadi titik peristiwa menentukan. Sejumlah usulan muncul, misalnya NU kembali jadi partai politik atau mendirikan partai politik baru untuk mewadahi para kader kembali ke gelanggang politik praktis. Karena banyaknya usulan dan dorongan, tanggal13 Juni 1998 PBNU membentuk Tim Lima yang tugasnya menyiapkan perangkat-perangkat penting untuk berdirinya sebuah partai politik

36Firman Noor, “The View and Attitude of Masyumi towards Pluralism in

Politics,” Al-Jāmi‘ah, Vol. 54, no. 2 (2016): 281, https://www.aljamiah.or.id/index.php/, DOI: 10.14421/ajis.2016.542.273-310 (diakses 09-05-2018).

37Bahkan marginalisasi kiai tidak terlepas dari keterlibatan kaum modernis baik Masyumi atau Poros Tengah. Lihat Firdaus Muhammad, “Dinamika Pemikiran dan Gerakan Politik Nahdlatul Ulama,” Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 9, no. 1 (Juni 2015): 69, https://www.researchgate.net. (diakses 15-1-2018).

38Kondisi ini mengakibatkan beberapa kiai tidak memiliki visi kebangsaan seperti para pendahulu mereka. Bahkan sebagian lainnya akhirnya memilih meninggalkan dunia politik, mengurus pesantren dan umat. Lihat Agus Muhammad, Pesantren, Kemerdekaan dan Keindonesiaan, Rabu, 21 Oktober 2015http://www.nu.or.id/ (diakses 03-04-2018).

Page 177: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

164

yang kemudian bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Tim Lima kemudian dibantu oleh Tim Sembilan.39 B.Respon terhadap Kejatuhan K.H. Abdurrahman Wahid

Upaya Presiden Gus Dur menghadirkan kiai khos dalam panggung kekuasaan merupakan hal biasa dalam sejarah kekuasaan di Indonesia. Sejak zaman Hamzah Fansuri hingga ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkilî terlihat peran tokoh agama dalam kekuasaan. Jazil menggambarkan,40 peran K.H. Hasyim Asy’aritampak dalam keterlibatannya pada kekuasaan Soekarno. Kondisi terus berlanjut hingga SBY dan Joko Widodo. Kondisi ini memperlihatkan peran kiai tidak hanya terkonsentrasi pada bidang agama semata, melainkan juga pada bidang politik pemerintahan. Kiai terlibat secara aktif memberikan pandangan dan nasehat.

Dalam konteks sekarang, kiai muncul sebagai sebutan zaman memiliki pengaruh pada penyusunan platform negara, legislasi, dan TAP MPR, merupakan dinamika persinggungan kiai dan kekuasaan telah memunculkan paradigma baru dalam dunia politik. Paradigma tersebut makin menguat ketika Gus Dur –tokoh berdarah biru dan keturunan kiai karismatika—jadi presiden. Collins dalam penelitiannya menjelaskan,41 kehadiran kiai dalam panggung kekuasaan pada masa Presiden Gus Dur dapat dikatakan mewujudkan dilema pemerintahan yang mengandalkan pemimpin karismatik dan tradisional untuk membangun pemerintahan lebih demokratis.

Menurutnya, fenomena naiknya kiai dalam kekuasaan memperlihatkan penguatan kaum tradisionalis ketika berhadapan dengan dunia politik dalam ikatan paternalistik daripada kompetisi egaliter yang didasarkan pada prestasi. Fenomena Gus Dur merupakan usaha mewujudkan komitmennya dalam berdemokrasi di satu sisi, dan praktek-praktek politik tradisional yang dikelilingi beberapa tokoh agama dalam urusan kenegaraan untuk penguatan karismanya. Woodward menggambarkan,42pemerintahan Gus Dur dijalankan berdasarkan filosofi politik presiden yang dibentuk atas dasar Islam toleran ala Nahdlatul Ulama (NU). Karenanyaa tidak ada hambatan untuk menghubungkan antara demokrasi dan sekularisme.

Presiden Gus Dur merupakan tokoh berpengaruh luas dalam masyarakat transisi demokratis mampu melahirkan demokrasi sekuler. Penting dipahami bahwa Gus Dur merupakan representasi pemimpin Muslim liberal yangingin pemisahan antara Islam dan negara, dan secara eksplisit menolak gagasan “negara Islam”

39Tim Lima kemudian membentuk Tim Sembilan yang bertugas melakukan kajian dan menyiapkan landasan akademik. Tim Sembilan bekerja maraton sehingga pada tanggal 23 Juli 1998 secara resmi berdirilah PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) di kediaman Gus Dur, Ciganjur Jakarta Selatan.

40Wawancara dengan Jazilul Fawaid di Gedung DPR RI Jakarta, 30-11-2016. 41Elizabeth Fuller Collins, “Islam and the Habits of Democracy: Islamic

Organizations in Post-New Order South Sumatra,” Indonesia, no. 78 (Oct., 2004): 217, http://www.jstor.org/stable/3351289 (diakses 13-05-2016).

42Mark Woodward, “Abdurrahman Wahid: Introduction and Translation,” dalam Islam, Pluralism and Democracy (Consortium for Strategic Communication of Arizona State University, 2007): 3 http://www.asu.edu/clas/csrc/about/ (diakses 04-09-2017).

Page 178: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

165

sebagai tidak Islami. Di Indonesia negara mendukung pendidikan agama di semua tingkatan pendidikan –mulai tingkat dasar hingga universitas. Dukungan juga diberikan kepada agama-agama lain seperti Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu.

Sementara Kikue Hamayotsu berpandangan43 bahwa Gus Dur adalah tokoh intelektual dan ideologis PKB yang berharga. Pandangan-pandangan religiusnya terkenal progresif dan multikulturalismenya jadi cita-cita inklusif bangsa yang hampir terpecah-pecah. Gus Dur menginspirasi banyak kalangankarena komitmennya melindungi kaum minoritas. Meski PKB gagal mempromosikan pemikiran inklusifisme dan pluralisme keagamaan Gus Dur untuk menarik simpati massa baru di luar NU di bawah rezim demokratis, dan PKB gagal menahan ambisi pribadi, keserakahan, dan perilaku oportunistik di antara para elite dan keluarga warga NU selama pemerintahan berlangsung, tetapi Gus Dur berhasil menjadikan PKB sebagai partai kebanggaan warga NU. 1.Perintah Kiai Khos

Kesediaan Gus Dur jadi calon presiden pada 1999 tidaklahmuncul tiba-tiba ketika Amien Rais, Bambang Sudibyo, dan Marzuki Usman menemuinya di Ciganjur Jakarta Selatan. Gus Dur masih butuh waktu cukup untuk menjawab permintaan ketiga tokoh nasional tersebut. Marzuki Usman menjelaskan44 bahwa Gus Dur perlu melakukan pertemuan dengan para kiai sekaligus konsultasi. Gus Dur tidak merinci siapa saja kiai yang akan ditemui, tetapi kuat dugaan Marzuki Usman, Gus Dur akan menemui sejumlah kiai yang memiliki predikat khusus, keistimewaan-keistimewaan tertentu karena karõmah dan ma’rifat.Predikat khusus tersebut tidak banyak diketahui masyarakat kecuali hanya orang-orang tertentu.

Pemerintahan Gus Dur selama kurang lebih 21 bulan memunculkan banyak kosa kata baru dalam dunia politik di Indonesia kontemporer. Selain kiai khos yang jadi perhatian publik, Gus Dur (w. Desember 2009), cucu kiai karismatik dan pendiri NU K.H. Hasyim Asy’arif, juga memunculkan kosa kata “kiai sepuh” dan “kiai kampung”, yang ketika itu jadi trending politik di kalangan media, pengamat, dan akademisi. Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini menjelaskan, ketiga kosa kata tersebut menunjukkan pentingnya kiai untuk tidak sekadar berkonsentrasi pada pendidikan pesantren dan masyarakat, tetapi juga memiliki perhatian pada masalah sosial-politik. Menurut Helmy, negara perlumemperhatikan para kiai yang memiliki peran penting dalam masyarakat.45

43Kikue Hamayotsu, “The End of Political Islam? A Comparative Analysis of

Religious Parties in the Muslim Democracy of Indonesia,” Journal of Current Southeast Asian AffairsVol. 30 no. 3 (2011): 146,www.CurrentSoutheastAsianAffairs.org (diakses 4 Februari 2016).

44Wawancara dengan Marzuki Usman bertempat di kantornya Gedung Sahid Sudirman Center Lt. 37, 12-04-2017.

45Wawancara dengan Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini di Kantor PBNU Jl. Kramat Raya No. 24 Jakarta Pusat.

Page 179: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

166

Yahya C. Staquf46 menggambarkan, kiai khos adalah tingkatan kiai yang sudah mencapai kualitas spiritual paripurna yang dalam tradisi pesantren dikenal maqam sufistik. Tingkatan tersebut bukan sekadar punya keunggulan intelektual, melainkan juga tolak ukurnya melalui keunggulan spiritual. Mereka diakui mempunyai wawasan keilmuan luas dan dalam, dan juga memiliki mata batin panjang yang mampu menangkap hal-hal yang tidak wajar. Keunggulan semacam ini mungkin tidak dimengerti oleh banyak orang, tapi Islam menyebutnya sebagai karômah yang diakui masyarakat. Mereka mempunyai firasat yang tajam. Nasehat-nasehat mereka sangat dipehatikan. Ketika mereka bilang jangan, orang yakin pasti akibatnya tidak baik. Kalau mereka mengatakan sesuatu orang yakin.

Menurut Gus Yahya,47 ketika term ketika kiai khos dibawa ke wacana publik jadi berbeda yang sulit dimengerti oleh banyak kalangan. Kiai khos muncul ke permukaan telah jadi idium populer. Meski tidak mendengar langsung, istilah kiai khos telah jadi kosa kata baru yang mengiringi pemerintahan Gus Dur yang progresif.Dalam konteks ini bisa dimengerti kiai khos sebagai kumpulan kiai-kiai sepuh NU yang memiliki derajat keilmuan cukup dan spiritual tinggi setingkat ma’rifat dan hakikat yang selalu jadi role model dari setiap perilaku dan mendapat perhatian dari setiap wejangannya. Kiai khos memiliki pengaruh kuat di masyarakat karena kehidupannya hanya diisi untuk melakukan ibadah dan membangun pesantrennya.

Meski begitu, kebersediaan Gus Dur bukan tanpa hambatan. Sejumlah kiai menolak niat Gus Dur maju dalam pilpres MPR tahun 1999. Penolakan tersebut salahsatunya muncul dari pertemuan sejumlah kiai dari Cirebon. Namun kemudian Gus Dur menjawabnya dengan logika sederhana bahwa dirinya diperintah lima kiai khos. “Gus Dur menchallenge argumentasi rasional kiai-kiai yang menolak sebagai calon presiden dengan wawasan kiai-kiai kramat, wali.”48Selain menjalankan perintah kiai khos, Gus Dur juga memainkan mistiknya sendiri untuk terlibat dalam derap kehidupannya. Gus Dur terlahir dari keluarga darah biru yang memiliki daya kuat dan tajam dalam menangkap isyarat langit. K.H. Hasyim Asy’ari kakeknya dari bapak dan K.H. Bisri Syansuri kakek dari ibu dikenal tokoh karismatik yang pernah memimpin jabatan tertinggi dalam tubuh NU, berperan penting dalam

46Wawancara dengan Juru Bicara (Jubir) Presiden Gus Dur K.H. Yahya C. Staquf

(Gus Yahya) di Hotel Bidakara, Jakarta, 12-05-2016. 47Saya belum pernah mendengar tentang kiai khos dari Gus Dur. Yang saya dengar

bahwa ia (Gus Dur) jadi calon presiden karena diperintah kiai khos. Jumlahnya lima orang, tapi Gus Dur tidak merinci nama-nama tersebut. Wawancara dengan Juru Bicara (Jubir) Presiden Gus Dur, K.H. Yahya C. Staquf (Gus Yahya) di Hotel Bidakara, Jakarta, 12-05-2016.

48Saat itu, Gus Dur mengatakan, “saya diperintah lima kiai yang tidak mungkin saya tolak. Perintah itu akan saya ikuti apapun resikonya.” Semua orang kemudian diam, tidak ada lagi yang berhujjah, termasuk yang sebelumnya sudah menyusun argumentasi menolaknya. Akhirnya, lima kiai tersebut menyampaikan kepada Amien Rais, saya titip Gus Dur, jimat NU, tolong dijaga dengan baik. Wawancara dengan Juru Bicara (Jubir) Presiden K.H. Yahya Cholil Staquf di Hotel Bidakara, Jakarta, 12-05-2016.

Page 180: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

167

pembentukan spiritual Gus Dur.49 Sejak kecil Gus Dur mewarisi tradisi khos (istimewa) yang mengalir kuat dalam darahnya sebagai dimensi esoteris yang dalam perjalanannya membentuk eksoteris politik.

Kedua isyarat langit seringkali dijadikan landasan politik Gus Dur baik dalam memimpin PKB maupun saat menjadi Presiden RI. PKB seringkali disowankan kepada para kiai khos sebagai anak kandung NU untuk memperoleh keberkahan jadi partai besar yang akan membawa kemaslahatan untuk bangsa dan negara. Gus Dur selalu menunggu wangsit langit dari kiai khos sebagai “bisikan politik” yang tidak berani dibantahnya.50 Gus Dur patuh total dengan kiai khos, yang perintah-perintahnya akan dijalankan baik dalam kebijakan negara maupun partai.

Mistifikasi politik ala Gus Dur semacam ini adalah keyakinan yang dilekatkan kepada seseorang yang dikagumi untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan. Ketika menerima pinangan Poros Tengah –aliansi partai-parai Islam—untuk jadi Presiden RI pada 1999, Gus Dur melibatkan wangsit dari langit yang kemudian dikenal Kiai Langitan dan Kiai Rembang. Dalam perkembangannya wangsit ini dikenal “Poros Langitan” dan “Poros Rembang” jadi mistik politik Gus Dur yang populer di era milineal awal abad ke-21. Dunia politik kontemporer pun harus menerima kosa kata baru yang jarang terjadi dalam kamus politik di Indonesia sebagai akibat interaksi kiai dengan politik negara. Gus Dur tampil dengan warga tradisional NU yang tradisionalistik dalam wajah politik modern yang hanya mengenal konsolidasi dan kompetisi.51

KebiasaanGus Dur menemui kiai karismatik merupakan tradisi keagamaan yang biasa dijalani kaum tradisional dalam rangka meminta restu dan doa. Meski sejumlah tokoh menempatkannya sebagai intelektual progresif dan liberal, Gus Dur tetap menempatkan tradisi keagamaan sebagai bagian dari hidupnyasebagaimana

49Gus Dur berasal dari elite tradisional, bukan keluarga modernis, namun ia

berhasil menggabungkan pendidikan sekuler-modern-tradisional. Satu sisi ia berpegang pada wacana tradisional, tetapi sisi lain berhasil merumuskan lebih banyak gagasan persamaan hak perempuan dan minoritas agama, sekularisme, integrasi nasional dan demokratisasi, daripada kelompok pembaharu. Sejak jadi Ketua Umum NU 1984 ia ubah wajah intelektual NU yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lihat Martin van Bruinessen, “Global and Local in Indonesian Islam,” Southeast Asian Studies, Vol. 37, No. 2 (Sept. 1999): 170-171, https://www.jstage.jst.go.jp (diakses 26-05-2017).

50Banyak sufi akrab dengan filsafat, dan banyak filosof juga mistik terutama di periode awal sejarah Islam. Sederet intelektual Muslim seperti Avicenna, Ibnu ‘Arabi, dan lainnya adalah filosof yang menerima kemungkinan pemahaman mistik tentang kebenaran transenden dan supra-rasional. Lihat William C. Chittick, “Mysticism versus Philosophy in Earlier Islamic History: The Al-Ṭūsī, Al-Qūnawī Correspondence,” Religious Studies, Vol. 17, no. 1 (Mar., 1981): 87, http://www.jstor.org/stable/20005713 (diakses 28-07-2016).

51Munculnya penilaian tradisional selalu dilekatkan pada NU dari sisi lahiriyahnya, karena umumnya para pemimpin perkumpulan ini memakai sarung. Kalaupun bercelana tetap menggunakan sandal, bukannya sepatu. Berbeda K.H. Abdul Wahab Chasbullah dan K.H. M. Bisri Syansuri, meski selalu bersepatu tapi tetap tradisional, mengenakan sarung. Sarung berasal dari Bengali Barat (West Bengali) yang disebut Lunggi jadi pakaian utama. Lihat K.H. Abdurrahman Wahid, Tradisional Belum Tentu Kolot, 4 September 2013.

Page 181: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

168

diajarkan para kiai. Gus Dur tidak jarang juga melakukan ziarah ke sejumlah kiai yang sudah meninggaluntuk kesalehan agama (religious piety) dan keberkahan. Bubandt menjelaskan bahwa biografi kehidupan politik di Indonesia contoh dari politik spiritual (spiritual politics) saat roh dan milenarianisme digunakan sebagai tujuan politik. Dunia demokrasi dan dunia roh terjalin erat, inilah yang ia sebut sebagai “huntologi politik” (political hauntology), sebuah paradoks yang menghantui demokrasi kontemporer di Indonesia.52

Gerak politik Gus Dur hadir sebagai salah satu oase gerak politik dunia. Mistik politik tradisional digagas Gus Dur telah memperkaya khazanah politik kontemporer yang tidak mau didekte oleh hegemoni kaum bangsawan dan elite, telah jadi simbol perlawanan kaum bawah yang bergerak secara vertikal untuk sebuah kesetaraan. Meski akhirnya jatuh dari kursi kepresidenannya dalam suatu proses politik inkonstitusional,53 Gus Dur telah mewariskan politik yang jadi referensi istimewa dalam politik modern di Indonesia. Perjuangan kiai khos untuk mempertahankan Gus Dur sebagai jimat NU kandas di tengah keangkuhan politik kekuasaan anak-anak bangsa dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Konsolidasi demokrasi yang dibangunnya secara deliberatif tidak mampu memberikan pemahaman tepat bagi kaum bangsawan dan elite yang haus kekuasaan.

Perjuangan Gus Dur dan warga tradisional NU untuk mempertahankan istana kepresidenannya pun lemah tatkala sejumlah kiai khos menemuinya di istana, akhirnya Gus Dur keluar dari istana memakai sandal jepit dan kaos (lihat: Detik-detik Kejatuhan Gus Dur). Gus Dur diberhentikan melalui Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia. 2.Kekuatan Politik Tradisional

Sejak terpilih sebagai Presiden RI, kehadiran Gus Dur memunculkan energi positif. Gus Dur berjanji memenuhi harapan masyarakat dan menuntaskan agenda reformasi. Tiga agenda utama jadi perhatian Gus Dur: menjaga keutuhan negara, mewujudkan demokratisasi, dan meningkatkan ekonomi, mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan di tengah kekurangan dan kelebihan fisiknya. Greg Fealy mengemukakan,54Gus Dur memiliki track record cukup baik untuk membawa bangsa makin maju. Kipranya selama bertahun-tahun jadi Ketua Umum PBNU menjadi kekuatan besar untuk ditempatkan sebagai tokoh karismatik yang tidak hanya diterima di kalangan kaum tradisional tetapi juga di mata kaum modernis bahkan lintas ideologis.

52Nils Bubandt, Democracy, Corruption and the Politics of Spirits in

Contemporary Indonesia (New York: Routledge, 2014), 3. 53Tidak sedikit ahli yang mempersoalkan pemakzulan Gus Dur yang dianggap

inkonstitusional. Salah satunya pakar hukum tata negara Mahfud MD, karena tidak pernah ada memorandum 1 dan 2 untuk kasus yang sama. Memorandum 1 untuk kasus Brunei dan 2 untuk kasus Bulog. Dalam pengadilan Gus Dur bahkan dinyatakan tidak bersalah.

54Wawancara dengan Greg Fealy di Gedung PBNU Jl. Kramat Raya No. 164 Jakarta Pusat, 19-07-2019.

Page 182: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

169

Programprioritastersebutdisampaikan dalam pidato awal kepresidenannya jadi energi baru bagi masyarakat. Sejumlah kiai dan aliansi tokoh lintas ideologi berperan penting pada kepresidenannya menaruh harapan tinggi bahwa Gus Dur mampu menjaga keutuhan NKRI dan perubahan bangsa dan negara.Sebagai pembaharu dan tokoh karismatik yang pernah memimpin NU dukungan kuat dari berbagai elemen masyarakat untuk menjalankan roda pemerintahan selama lima tahun, mewujudkan mimpi-mimpinya menjadikan Indonesia sebagai negara kuat.

Pembaharuan dilakukan Gus Dur tampak dalam beberapa hal berikut. Pertama, reformasi birokrasi. Awal pemerintahannya, Gus Dur melakukan pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.Pembubaran ini didasarkan pada sebuah penilaian terlalu kuatnya negara mengatur hak berpendapat dan mewujudkan pemerintahan bersih. Dalam waktu hampir bersamaanGus Dur juga menegakkansupremasi sipil, membubarkan Bakorstanas dan Penghapusan Litsus, pemisahan TNI/Polri, perumusan TNI di bawah Dephan, reformasi hukum, dan memunculkan ide pencabutan Tap MPRS No. XXV/MPRS 1966.55

Kedua, mencopot sejumlah menteri. Dalam perjalanannya Gus Dur seringkali memecat sejumlah pejabat negara yang dinilai kurang cakap dan tidak mementingkan kepentingan rakyat seperti Kepala Bulog Jusuf Kalla, Laksamana Sukardi, Kapolri, mengganti Kepala Kantor Berita Antara, menyingkirkan Menteri Kehutanan, menggusur Gubernur BI, menjegal Ketua MA, dan lainnya. Pencopotan ini sesuai dengan amanat UUD yang memberi kekuasaan pada seorang presiden untuk memecat dan mengangkat seorang menteri serta membubarkan kementerian –sebuah kekuasaan yang bisa dilakukan dengan tanpa kompromi sedikit pun dengan kekuatan politik di dalam dan luar parlemen.56

Kebijakan radikal ini membuat pemerintahan Gus Dur mulai mengalami hambatan. Benih-benih protesmuncul. Aksi demonstrasi mulai lahirmengganggu pemerintahan. Kekuatanpolitik oposisi bersatu menentangnya.Fealy berpendapat,57pemerintahan Gus Dur dijalankan berbeda dengan ide-ide saat jadi ketua PBNU yang demokratis, pluralis, dan memperjuangkan minoritas. Gus Dur lebih banyak mengakomodir kepentingan-kepentingan PKS, PBB, dan lainnya, dan

55A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur yang Saya Kenal(Yogyakarta: LKiS, 2010), 21-

59. 56Hak prerogatif sempat jadi perdebatan hangat di parlemen terutama ketika MPR

ingin membatasi kewenangan presiden dan membaginya dengan wakil presiden pada paruh pertama tahun 2001. Hal ini memperlihatkan oposisinya DPR terhadap Presiden Gus Dur. Lihat Hermawan Sulistyo,“Electoral Politics in Indonesia: A Hard Way to Democracy,” dalam Electoral Politics in Southeast and East Asia, eds. Aurel Croissant (Singapore: FES, 2002), 86-87.

57Penilaian ini mungkin didasarkan realitas politik PKS (sebelumnya PK) yang memperoleh satu kursi dalam kabinet, yaitu Menteri Kehutanan, meski dalam pemilu 1999 hanya mengumpulkan 1,7 persen suara nasional dan gagal melewati ambang batas yang ditetapkan UU untuk memungkinkan suatu partai berpartisipasi dalam pemilu berikutnya. Selain wawancara dengan Fealy, lihat juga Ahmad-Norma Permata, “A Study of the Internal Dynamics of the Prosperous Justice Party and Jamaah Tarbiyah,” dalam Islam, Politics and Change: The Indonesian Experience after the Fall of Suharto, eds. Kees van Dijk and Nico J.G. Kaptein (Leiden: Leiden University Press, 2016), 43.

Page 183: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

170

beraliansi dengan kelompok-kelompok Islam. Vaughn mengemukakan,58 dalam situasi instabilitas politik selama periode ini, Gus Dur menyusun agenda reformasi untuk meningkatkan tata pemerintahan yang baik dan memperluas demokrasi. Salah satu agenda penting pada 1999 adalah pengalihan kewenangan besar dari pemerintah pusat ke provinsi dan kabupaten.

Ketiga, mengatasi disintegrasi bangsa. Gus Dur berkomitmen menjaga keutuhan kedaulatan negeri dan menghadirkan bangsa yang kuat seringkali disalahpahami oleh para pengamat dan elite negeri. Perhatiannyamenyelesaikan kasus-kasus besar baik separatisme Aceh dan Papua,misalnya di awal pemerintahan muncul kebijakan “jeda kemanusiaan” yang kemudian disusul tawaran otonomi khusus59 sebagai strategi menyelesaikan separatisme Aceh meski saat bersamaan kontak senajata masih berlangsung, sekolah banyak dibakar, dan lainnya.Otonomi khusus, sebagaimana disebutkan Kees van Dijk and Nico J.G. Kaptein, meliputi wewenang dalam bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat. Hasilnya sejumlah hukum Islam (qanun) seperti cara pakaian wanita, larangan ideologi non-Sunni, larangan perjudian dan alkohol, dan lainnya.60

Komitmennya menghadirkan pemerintahan responsif dalam menyelesaikan masalah disintegrasi dan korupsi serta menghadirkan demokrasi menghadapi tantangan besar. Ucapan-ucapannya selalu berubah-ubah antara pagi dan sore serta malam harinya yang sebenarnya dalam koridor itu justru dinilai sebuah inkonsistensi.Tantangan terbesar pemerintahannyaterletak bagaimana menyatukan pola pikir dalam suatu gerakan bersama di bawah komando presiden di tengah perbedaan masyarakat Indonesia yang berada dalam masa peralihan dari otoritarianisme kepada demokrasi. Dalam hal ini Bakir menyampaikan, Gus Dur menampilkan gaya kepemimpinannya yang tepat di tengah partai-partai politik sama-sama berebut eksistensi.Mereka tidak memahami gaya kepemimpinan tradisionalistikyang sejak terpilih jadi presiden menampilkan dirinya lebih sebagai presiden dalam menjalankan pemerintahan yang menghadapi tugas-gugas berat.61

58Bruce Vaughn, “Indonesia: Domestic Politics, Strategic Dynamics, and U.S.

Interests,” Congressional Research Service, 31 (January, 2011): 7-8, www.crs.gov (diakses 31-03-2016).

59Dijk menyebutkan, Wahid berharapkonsesi agama dapat mengakhiri konflik Aceh, yang memperoleh kewenangankhusus untuk mengembangkan sistem hukum Islam sendiri, yang berpuncak pada UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus untuk Aceh.Undang-undang ini juga memberi nama baru bagi Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, yang menggabungkan terminologi Aceh dan Arab. Lihat Kees van Dijk, “Sharia and Counterculturer in Aceh,”dalam Islam, Politics and Change: The Indonesian Experience after the Fall of Suharto, eds. Kees van Dijk and Nico J.G. Kaptein (Leiden: Leiden University Press, 2016), 218.

60Kees van Dijk and Nico J.G. Kaptein, “Introduction,” dalam Islam, Politics and Change: The Indonesian Experience after the Fall of Suharto, eds. Kees van Dijk and Nico J.G. Kaptein (Leiden: Leiden University Press, 2016), 15-16.

61Bakir menyebutkan salah satu pengamat yang dinilai salah paham memahami pemerintahan Presiden Gus Dur adalah pengamat Australian National University (ANU) Greg Barton yang pernah satu forum diskusi. Wawancara dengan Mohamad Bakir di Palmerah Jakarta Selatan 25-11-2016.

Page 184: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

171

Dalam situasi di Aceh belum aman dan masyarakat tidak bisa diajak berdamai, sejumlah pengamat justru menilai sebagai bentuk keprihatinan seorang ulama terhadap masyarakat Aceh—suatu penilaian yang melihat dari sisi pribadi Gus Dur sebagai sosok tokoh karismatik, padahal dibalik keputusan jeda kemanusiaan tersebut Gus Dur ingin mengundang orang-orang luar (negeri) untuk secara langsung melihat tentang betapa rumitnya menangani masyarakat Aceh dan GAM. Begitu juga pemecatan beberapa menteri yang dinilai sebagai dampak dari perilaku dan pernyataan kontroversialnya, misalnya pergantian M. Jusuf Kalla, Jenderal (Purn.) Wiranto, dan Hamzah Haz. Pencopotan secara tiba-tiba ini telah menciptakan hubungan tidak harmonis antara istana dan parlemen, bahkan memperburuk hubungannya dengan banyak partai, organisasi, dan tokoh Islam yang notabene pendukung utamanya. Beragam isu menyebar di kalangan politisi dan masyarakat bahwa pemerintah akan lebih baik jika tanpa Gus Dur.62

Gus Dur jadi musuh hampir seluruh fraksi di DPR kecuali Fraksi PKB (FPKB) dan Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (FPDKB). Mereka sepakat untuk melakukan pemakzulan (impeachment), karena Gus Dur dinilai gagal untuk memberikan jawaban yang tepat atas Kasus Bulog dan bantuan Sultan Brunei Darussalam. Bakir menjelaskan, meski keputusan ini mendapat perlawanan keras dari Partai Golkar sebagai simbol partai ketika itu, tetapi penting dicatat bahwa Gus Dur memukul orang tapi tidak berdarah-darah, mengganti seorang menteri atas dasar kesalahan-kesalahan akurat meski tidak banyak publik mengetahuinya.63 Jadi, setiap kebijakan dijalani selama Gus Dur jadi presiden didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan logis. Dalam konteks itu, Gus Dur pemain politik yang tidak dapat dianggap remeh. Jadi Gus Dur adalah politisi tulen Indonesia dan handal.

Gus Dur jadi Presiden RI di masa-masa sulit. Kepercayaan masyarakatmeyakinkan sebagai suatu kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Krisis multi dimensi bangsa membutuhkan solusi total untuk mengembalikan kondisi sosial berubah kembali normal dibutuhkan sosok pemimpin yang mampu menyelesaikannya. Bangsa membutuhkan sosok pemimpin karismatik; tidak membutuhkan konsensus umum, formal dan rasional. Pemimpin karismatik dekat dengan pemimpin otoriter meski ia sendiri seorang demokratis.64Demikian perjuangan Kiai Haji Abdurrahman Wahid putra Kiai Haji A. Wahid Hasyim dan cucu Kiai Haji Hasyim Asy’ari.

62Firman Noor, Institutionalising Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of

Internal Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008) (A Thesis of Ph.D the University of Exeter, 2012): 87.

63Bakir menjelaskan,pergantian menteri tersebut berujung ketidakharmonisan antara keluarga Gus Dur dan Jusuf Kalla. Hal ini berbeda dengan Luhut Binsar Panjaitan yang rukun. Demikian investigasi Harian Kompas. Wawancara dengan Mohamad Bakir di Palmerah Jakarta Selatan 25-11-2016.

64Ferry Muhammadsyah Siregar, Nur Kholis Setiawan, and Robert Setio, “Religious Leader and Charismatic Leadership in Indonesia,” Kawistara, Vol. 3, no. 2 (2013): 148, https://jurnal.ugm.ac.id/kawistara/ article/view/3977 (diakses 28-04-2017).

Page 185: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

172

Sejak dilantik sebagai Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid sudah menghadapi kekuatan-kekuatan politik yang sibuk untuk mendapatkan kekuasaan dengan mengatasnamakan memperjuangkan agenda reformasi dan memajukan demokrasi. Pemerintahan Wahid, dalam pandangan Ikrar Nusa Bhakti, harus menghadapi kekuatan elite politik yang haus kekuasaan yang berkompromi dengan kekuatan otoriter. Elite politik tersebut adalah kelompok-kelompok Orde Baru yang menyusup melalui partai-partai politik yang berkuasa dan individu-individu yang kuat. Inilah dalam pandangan Ikrar Nusa Bhakti disebut paradoks transisi demokrasi (democratic transition paradoxes).65 Satu sisi elite politik memperjuangkan demokrasi, tetapi sisi lain mereka sendiri yang merusak demokrasi itu.

3.PanggungKekuasaan Tradisional

Naiknya Gus Dur sebagai presiden keempat menambah keistimewannya terutama di mata kiai dan santri. Sebagai cucu pendiri organisasi terbesar Gus Dur dianggapsosok memiliki kemampuan cukup untuk membangun kembali optimisme masyarakat dan membawa negeri keluar dari krisis multi dimensi. Kepercayaan ini tidak lepas kesuksesannya membawa perubahan di kalangan tradisionalis dari gerakan intelektualisme jadi gerakan politik yang tersedia dalam ruang publik. Bruinessen menyebutkan,66 dalam komunitas NU seperti juga Masyumi sebelumnya, Gus Dur merupakan sosok yang memiliki keinginan kuat untuk bergerak dari pinggiran panggung politik ke pusat panggung kekuasaan (political stage). Semua kelompok berusaha namun tidak ada menghalangi keinginannyaberada pada sisi yang aman.

Pemerintahan Gus Dur berlangsung cukup pendek namun dinamis. Selama pemerintahannya sejumlah fenomena politik menarik perhatian publik baik dalam maupun luar negeri. Sebagai presiden di tengah negeri ini terpuruk akibat krisis ekonomi yang berujung demonstrasi mahasiswa ‘98, Gus Dur tidak memungkiri kerumitannya menjalankan pemerintahan yang ditinggalkan Soeharto selama 32 tahun. Struktur ekonomi dan politik yang sempat jadi kebanggaanruntuh. Orde Baru seolah tidak mewariskan kecuali pekerjaan rumah (PR) yang harus dijalankan pemerintahan berikutnya. Gus Dur jadi representasi kiai menjadikan kekuasaannya sebagai panggung politik baru kiai baik tingkat maupun internasional.

Barton mengakui,67 roda pemerintahan Gus Dur dijalani di masa-masa sulit. Masalah muncul tidak hanya ancaman disintegrasi, masalah krisis moneter, KKN, konflik Ambon dan Poso, reformasi birokrasi, dan lainnya, tetapi juga menghadapi sisa-sisa kekuatan Orde Baru yang cukup mengakar dalam kekuasaan. Kondisi ini

65Ikrar Nusa Bhakti, “The Transition to Democracy in Indonesia: Some

Outstanding Problems,” dalam The Asia-Pasific: A Region in Transition, ed. Jim Rolfe (Hanolulu: Asia Pasific Center for Security Studies, 2004), 202.

66Martin van Bruinessen,“Islamic State or State Islam? Fifty Years of State-Islam Relations in Indonesia,” dalam Indonesien am Ende des 20. Jahrhunderts, ed. Ingrid Wessel (Hamburg: Abera-Verlag), 21.

67Greg Barton, Abdurrahman Wahid, Muslim Democrat Indonesian President (Sydney: UNSW, 2002), 285.

Page 186: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

173

membutuhkan kebijakan yang tidak biasa, apalagi ada kecenderungan politik global yang kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan politik nasional.

Selain disebutkan di atas, beberapa kebijakannya yang jadi sorotan sejumlah anggota DPR dan media terkait lawatannya keluar negeri, pemisahaan TNI-Polri, dan terakhir bantuan Raja Brunei Darussalam Sultan Hasanal Bolkiah atau dikenal Bruneigate. Lawan-lawan politiknya giat menyoroti perjalanan pemerintahan baik di dalam maupun luar parlemen. Hubungan istana dan lembaga tinggi negara jadi tidak baik tak terkecuali dengan media.

Gus Dur jadi musuh bersama (common enemy), meski, sebagaimana diungkapkan Crouch, selama tahun 1999 pemerintah Indonesia melakukan sejumlah langkah signifikan, seperti meningkatkan ekonomi nasional, penegakan hukum, dan lainnya. Seluruh perkembangan tersebut belum disertai perubahan mendasar dalam bidang ekonomi sebagaimana diperlukan investor, namun kebijakan Presiden Gus Dur mulai memberikan harapan baru untuk sebuah perubahan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, dan lainnya.68

Salah satu kebijakan radikal Gus Dur adalah tur keliling dunia untuk menemui “tokoh karimastik” dunia. Selama 40 hari kepemimpinannya sebanyak 23 kali dihabiskan untuk menemui tokoh dunia. Pemerintahan Gus Dur didominasi politik luar negeri.Dalam wawancara di TVone terungkap, Gus Dur mengaku selama 21 bulan menjadi Presiden telah 80 kali melakukan kunjungan keluar negeri membangun hubungan bilateral dengan negara-negara maju dan berkembang. Lawatan tersebut untuk melakukan lobi-lobi dari pemimpin negara-negara lain dan memperoleh pengakuan di dunia atas kedaulatan NKRI, mencari dukungan internasional dalam penyelesaian Aceh dan Papua, dan mencari investor-investor baru.69

Pada pemerintahan sebelumnya terlihat juga dominasi politik luar negeri baik Soekarno dan Soeharto. Dominasi ini pada hakikatnya menentukan efektifitas dalam negeri. Peranan kepala negara vital dalam menentukan arah politik dan geografis Indonesia dalam kancah negara-negara Asia dan Afrika. Apalagi sejak pecahnya Perang Dingin, Indonesia jadi rebutan Blok Barat dan Timur. Posisi Indonesiamemiliki luas sepanjang negara-negara Eropa jadi negara strategis bagi banyak blok negara dunia. Diplomasi bilateral sebuah negara menjadi kepanjangan tangan dari politik domestik. Hefner menjelaskan,70 dalam hal ini Gus Dur memperlihatkan komitmennya, termasuk mengatasi konflik atau kekerasan di

68Harold Crouch, “Indonesia: Democratization and the Threat of Disintegration,” Southeast Asian Affairs (2000): 132http://www.jstor.org/stable/27912247 (diakses 24-10-2015).

69Sepanjang 40 hari pertama menjabat presiden, kurang lebih dari 20 hari masa kepemimpinannya dijalani dengan melakukan kunjungan ke mancanegara. Ini sebuah prestasi tak terkalahkan oleh presiden manapun di tengah isu kesehatannya.

70Berdasarkan perbincangan Hefner dengan Presiden Wahid pada bulan November 1999 dan Juli 2000, menjelaskan, kekerasan Maluku melibatkan elemen garis keras yang bermaksud mengeksploitasi ketegangan di masyarakat untuk menghambat kebijakan reformasi dan demokrasi. Semua bukti menunjukkan kebenaran hal tersebut. Lihat Robert W. Hefner, “Public Islam and the Problem of Democratization,” Sociology of Religion, Vol. 62 no. 4 (Winter, 2001): 509 http://www.jstor.org/stable/3712438 (dikses 13-05-2016).

Page 187: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

174

Maluku yang menghambat demokratisasi. Kelompok radikal Islam ini melakukan berbagai macam cara untuk menjatuhkan kredibilitas Gus Dur dengang menggelar demontrasi sejuta Muslim 7 Januari 2000 bersama kelompok nasionalis.71

Pada masa Soekarno dominasi politik luar negeri menghasilkan forum-forum internasional seperti Konferensi Asia-Afrika, Gerakan Non-Blok, dan Cenferensi of New Emerging Forces (Conefo). Forum ini jadi cikal Indonesia sejajar dengan negara-negara lain. Pada masa itu bahkan Indonesia menyatakan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kebijakan progresif Soekarno juga tampak pada gagasan poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang. Pada masa Soekarno bahkan Indonesia melakukan politik konfrontasi terhadap Malaysia.72Sementara dominasi masa pemerintahan Soeharto tercermin dari perubahan arah politik luar negeri yang pro-Barat. Kebijakan politik luar negeri ini memudahkan bantuan-bantuan asing masuk ke Indonesia. Dana-dana tersebut kemudian digunakan untuk pembangunan ekonomi selain juga berkat politik luar negeri yang memutuskan hubungan diplomatik dengan China. Soeharto bahkan berhasil membangun kesinambungan kepemimpinan di tingkat Asia Tenggara melalui pembentukan ASEAN.

Gus Dur tampak ingin membangun kekuatan Indonesia di mata-mata pemimpin dunia sebagaimana Soekarno dan Soeharto. Di masa awal pemerintahannya ambisi diplomasi bilateral dibangunnya untuk mewujudkan “poros baru” di tingkat Asia, yaitu poros Indonesia-China-India dan poros ekonomi Indonesia-Singapura-China-Jepang-India. Tidak lama kemudian melalui forum ASEAN, Gus Dur menggagas “Forum Pasifik Barat” yang terdiri dari Indonesia, Timor Leste, Papua Nugini, Australia, dan Selandia Baru. Gagasan ini sempat disuarakan pada sembilan negara ASEAN. Lebih dari itu Gus Dur ingin membangun kekuatan poros-poros dunia yang menyatukan Timur dan Barat. Poros dunia ini terutama sikapnya atas konflik Israel dan Palestina yang didasarkan pada hubungan awal yang baru. Mosad Zinerdin & Valaintisna Vasicheva menyebutkan,73mengatasi konflik Israel-Palestina diperlukan perubahan dan pola pikir baru (a change and a new mindset) baik dari Arab maupun Barat

Tampak Gus Dur ingin membangun kekuatan Asia melalui poros baru dengan mengalihkan dari Barat. Perubahan orientasi politik luar negeri dari negara-

71Thoha Hamim, “al-Wasthiyyah Iza’ al-Rádikaliyah fi al-Islám: al-Sulûk al-Siyásî

li Tháifati Rádiliyyahmin al-Muslimin fi ‘Ahdi Hukûmati Roîs a-Jumhûriyyahal-Indõnêsia Abdurrahman Wáhid,” Journal of Indonesian Islam,Vol. 01, no 02 (December 2007):414, https://www.jiis.uinsby.ac.id (diakses 27-12-2019).

72Editors, “Continuity and Change: Four Indonesian Cabinets since October 1, 1965, with Scattered Data on Their Members' Organizational and Ethnic Affiliations, Age and Place of Birth,” Southeast Asia Program Publications at Cornell University no. 2 (Oct., 1966): 185 http://www.jstor.org/stable/3350761(diakses 28-07-2017).

73Awal baru tersebut adalah perubahan mindset yang harus didasarkan pada kebersamaan (mutuality): saling ketergantungan, saling menghormati, saling percaya, dan saling menjaga komitmen. Lihat Mosad Zineldin & Valaintisna Vasicheva, “A New Mindset to Change the Arab/Islamic-Western Relations for Peace A Political and Socio-economic Integration Perspective,”Journal of Peace, Conflict and Development, Issue 15 (March 2010): 80, www.peacestudiesjournal.org.uk (diakses 11-07-2017).

Page 188: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

175

negara Barat ke negara-negara berkembang merupakan bentuk kekecewaan Gus Dur terhadap kebijakan negara-negara Barat terutama Australia dalam masalah Timor Leste. Kebijakan ini hampir sama dengan kebijakan pemerintahan Syiah (Para Mullah) di Iran pascarevolusi 1979 yang lebih menekankan kerja sama dengan sesama negara berkembang. Dengan kata lain, poros baru yang dijalankan Gus Dur merupakan protes keras terhadap sikap negara-negara Barat yang membiarkan krisis nasional negara-negara berkembang.

Selain menguatkan posisi Indonesia di mata dunia internasional, diplomasi bilateral Gus Dur bagaimanapun juga membawa dampak positif pada aspek ekonomi. Diplomasi ekonomi dibangunnya berhasil memperoleh kepercayaan dari luar negeri melalui investor-investor asing ke Indonesia untuk pemulihan ekonomi nasional, mencari dan menembus pasar baru serta penguatan hubungan perdagangan yang sudah ada. Namun, penguatan politik luar negeri ini terkadang menimbulkan keguncangan politik dalam negeri. Gus Dur kerap melontarkan pernyataan yang memanaskan situasi politik nasional. Kepada para jurnalis Gus Dur kerap mengeluarkan pendapat yang nyasar pada tokoh-tokoh nasional.

Poros baru Gus Dur mendapat perhatian sejumlah negara Barat dan beberapa negara sekutu di kawasan tersebut,74 begitu juga anggota DPRI RI.75 Mereka mencermati sepak terjang Presiden Wahid. Mereka khawatir gagasan Gus Dur melalui dominasi Doktrin ala Wahid memunculkan fenomena Kebangkitan Asia. Sejumlah anggota DPR menilai tur keliling dunia ala Gus Dur hanya menghabiskan anggaran untuk keperluan yang manfaatnya bagi negara tidaklah signifikan. Apalagi negara sedang terpuruk. Selama kunjungan uang negara tersedot sebesar kurang lebih Rp. 105 milliar dengan perincian: Rp. 40 milliar untuk biaya perjalanan dan Rp. 65 milliar untuk membayar tagihan sewa pesawat Garuda Indonesia. Jika uang sebesar itu digunakan untuk keperluan dalam negeri akan terasa lebih besar manfaatnya. Mereka tidak melihat eksistensi negara lebih mahal.

Begitulah saat Gus Dur memimpin negara, seluruh rakyat dan parlemen aktif mengikuti setiap perkembangan internasional dan regional yang berpengaruh terhadap situasi dalam negeri. Berbeda dengan masa Soekarno dan Soeharto yang tidak terlalu peduli terhadap dominasi kepala negara dalam menjalankan tugas kenegaraan. Aktor-aktor masyarakat cenderung tidak peduli dengan proses pengambilan keputusan politik dan gagasan positif seorang kepala negara. Globalisasi menjadikan bangsa ini terjebak dalam masyarakat semu,penuh berita tidak memiliki dasar kuat.

Meski Gus Dur sudah menggunakan beragam cara menghadapi respons masyarakat dan mediaseperti menghadirkan kekuatan kiai khos, tetapi kritik masyarakat justru makin bertubi-tubi. Kritikdatang dari berbagai penjuru mata

74Budiarto Shambazy, “Politik Luar Negeri Gus Dur,”Kompas.com, 02-01- 2010. 75Kritik anggota DPR menjadikan situasi berkembang “ketiktatoran parlemen

(parlementary dictatorship). Pada sisi lain kritik DPR karena sikap kontroversial dan keras Presiden Wahid terhadap lawan-lawan politik dan sikapnya yang tidak menentu dalam banyak urusan dan masalah negara. Lihat Hermawan Sulistyo,“Electoral Politics in Indonesia: A Hard Way to Democracy,” dalam Electoral Politics in Southeast and East Asia, eds. Aurel Croissant (Singapore: FES, 2002), 86.

Page 189: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

176

angin, menyerang pertahanan pemerintahan Gus Dur. Antony menilai,76 bisa saja Gus Dur dianggap sebagai representasi Islam politik yang tersedia dan tidak ternodai yang akan bangkit melawan kekuatan kapitalisme Barat setelah runtuhnya komunisme dalam perang enam hari (Six Day War) pada 1967, atau seperti dijelaskan Tajuddin bahwa Gus Dur dianggap bukan representasi Islam sehingga harus dihadapi dengan segala bentuk kekuatan atau ekstremisme,77 atau mungkin ia sekadar percobaan politik dalam pertarungan Islam politik substantif dan formalis.

4. Tradisionalisme Baru

Naiknya Gus Dur dalam kursi presiden menjadi fenomena baru dalam wajah politik Indonesia. Gus Dur setidaknya jadi simbol gabungan antara ulama dan umara’ yang menumbuhkan dinamika baru di kalangan warga NU dan Indonesia umumnya. Fenomena Gus Dur tidak sekadar melahirkan harapan-harapan baru bagi masyarakat, melainkan saat bersamaan pula memunculkan kesadaran baru di kalangan kaum tradisional untuk berkontribusi dalam sosial-politik-agama baru di Indonesia. Bruinessen menyebutkan, Gus Dur getol memperjuangan tradisi Islam (champion Islamic traditions) telah jadi simbol pembaharuan dan kembangkitan kaum tradisional yang dihormati umat Islam dan dihargai agama lain.78

Kiprah Gus Dur dimulai sejak jadi Ketua Umum PBNU dan Rais ‘Am terutama ketika menggagas pembaharuan di kalangan warga nahdliyyin. Sejumlah prestasi ditorehkannya untuk pengembangan paham-paham keagamaan dan demokrasi yang sulit dilupakan masyarakat, kemudian dilanjutkan sebagai Presiden RI untuk perjuangannya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).79 Gus Dur tidak hanya berhasil membangkitkan pemikir-pemikir Muslim

76Antony Black, The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the

Present, Second Edition(Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd, 2011), 305, www.euppublishing.com (diakses 02-04-2017).

77Azlan Tajuddin, “Development, Democracy, and Post-Islamism in Indonesia,” International Journal of Social Science Studies, Vol. 4, no. 11 (November 2016): 48, http://ijsss.redfame.com, DOI:10.11114/ijsss.v4i11.1924 (diakses 27-02-2017).

78Pada pertengahan 1983 Gus Dur mengundang sejumlah tokoh muda NU seperti Fahmi Saifuddin (putra Saifuddin Zuhri), Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus), Muhammad Thohir (keponakan perempuan Machfoezh dan Achmad Siddiq), dan intelektual muda dan aktivis pengembangan masyarakat untuk membahas ide-ide konstruktif yang diperlukan di NU. Ini permulaan Gus Dur melakukan pembaharuan. LihatMartin van Bruinessen, “Traditions for the Future: The Reconstruction of Traditionalist Discourse within NU,” dalalm Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, eds. Greg Barton and Greg Fealy (Clayton, Australia: Monash Asia Institute,1996), 16, https://www.academia.edu (diakses 06-10-2016).Lihat juga Eric C. Thompson, “Indonesia in Transition: The 1999 Presidential Elections,” The National Bureau of Asian Researchno. 9 (December 1999): 4, http://www.profile.nus.edu.sg (diakses 04-09-2017).

79Filosofi politik Gus Dur didasarkan pada lima prinsip dasar yang diderivasi dari al-Qur’an dan Hadits: melindungi agama seseorang (hifz al-dîn),melindungi kebebasan berpikir untuk diri sendiri (hifz al-‘aql); melindungi hak untuk hidup (hifz al-nafs); melindungi mata pencaharian dan profesi (hifz al-mál); dan melindungi keluarga (hifz al-

Page 190: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

177

baru yang bersandar pada intelektualisme dan politik tradisional, melainkan juga melahirkan politisi-politisi baru di lingkungan kaum tradisional melalui sintesa dan antitesa antara Islam dan nasionalisme. Proyeksi Gus Dur, seperti diungkapkan Abu-Rabi’, menghasilkan jenis inteligensia baru yang menempatkan pemikiran keagamaan tradisional sebagai sebuah cita-cita universal Islam melalui gerakan tiga bidang: rekonstruksi intelektual dan keagamaan pemikiran Islam, rekonstruksi masyarakat dan pemikiran Muslim, dan penyatuan perbedaan Muslim.80

Kondisi ini segera mengingatkan kita pada pemimpin-pemimpin Muslim di masa silam yang cukup disegani dan berpengaruh besar pada komunitas masyarakat Muslim seperti Abû Bakar, ‘Umar ibn Khattáb, ‘Utsmán ibn Affán, ‘Ali ibn Abî Thálib, ‘Umar ibn Abd al-‘Azîz, dan sederet tokoh besar lainnya. Khalifah ‘Umar ibn Abd al-Azîz, seorang khalifah Banî Umayyah di penghujung abad pertama hijriyah cukup terkenal dan dicintai masyarakatnya. Ia tidak sekadar peduli terhadap pada fakir miskin, anak yatim, para janda, para lajang, dan masyarakat lemah (dhuafa’), tetapi juga berhasil mewujudkan kemakmuran dan menegakkan keadilan. Kepemimpinan empat khalîfah81 yang kemudian jadi babak baru sejarah Muslim pasca wafatnya Nabi berupa disepakatinya sistem “khalīfah” untuk menahkodai umat Islam mencapai puncak kemajuan di bawah bendera Negara Madīnah. Meski tidak diungkap secara eksplisit, keempat pemimpin Muslim tersebut menyepakati sistem kepemimpinan Islam membuat suasana psikologis kaum Muslim segera dapat teratasi. Dengan kata lain, keempat khalīfah menjalani metode baru kaum Muslim pada periode awal dalam menjaring tokoh-tokoh Muslim menjadi pemimpin untuk menyelesaikan berbagai masalah seperti menyatukan perbedaan, menumbukan ekonomi dan kesejahteraan, dan menegakkan keadilan.

Para pemimpin Islam dengan segala otoritasnya selalu mengumandangkan pentingnya persatuan dan kesatuan Muslim dalam membangun sebuah peradaban baru yang memberikan kesadaran sejarah kepada kaum Muslim baik melalui al-Qur’an –dengan banyak ayat yang mengandung dimensi historis dan quasi-historis—maupun melalui Nabi Muhammad sendiri sebagai figur historis (sirah).82Selama para sahabat masih hidup, mereka dapat merujuk langsung kepada hadīts Nabi, karena mereka menyaksikan langsung kehidupan (sirah) beliau.

nasb). Ini disebut qulliat al-Khamsahatau al-darûrîyat al-khamsahdiadopsi NU dalam Muktamar Cipasung, Jawa Barat pada 1994.Lihat Christopher Candland, “Faith as Social Capital: Religion and Community Development in Southern Asia,” Policy Sciences, Vol. 33, no. 3/4 (2000): 360 http://www.jstor.org/stable/4532509 (diakses 24-10-2015).

80Ibrahim M. Abu-Rabi’, “Islamic Resurgence and the ‘Problimatic of Tradition’ in the Modern Arab World: The Contemporary Academic Debate, Islamic Studies, Vol. 34, no. 1 (Spring 1995): 55, http://www.jstor.org/stable/20840194 (diakses 24-10-2015).

81Sistem khalīfah ini disepakati melalui ijma di kalangan Muslim yang tidak hanya berlaku untuk kalangan sahabat tetapi juga para tabiin. Sistem ini digagas oleh kaum Anshār dari suku Aus dan Khazraj, penduduk asli Madīnah. Lihat Ibn Hisyam, Al-Sirah Al-Nabawiah (Beirut: Dār al-Fikr, Jilid IV, 1987), 225.

82Bagi Syiah otoritas Abû Bakar, Umar, dan Utsmān tidak ada karena mereka meyakini Nabi telah berwasiat kepada Ali agar menjadi imam setelahnya. Pertentangan ini akhirnya melahirkan perdebatan teologis tentang imāmah menyangkut tiga isu penting

Page 191: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

178

Tatanan-tatanan baru yang berhasil dibangung kaum Muslim di periode awal, dalam pandangan Azyumardi Azra disebut historiografi awal Islam yang mapan,83 kemudian memberikan perkembangan signifikan bagi ajaran Islam maupun komunitas Muslim masa-masa selanjutnya. Jika masa Nabi berbagai masalah yang muncul di kalangan kaum Muslim dapat dipecahkan dengan otoritas al-Qur’an atau Nabi Muhammad sendiri, maka segera setelah Nabi wafat, ketika kaum Muslim menghadapi persoalan-persoalan baru yang tidak dapat bimbingan eksplisit dari al-Qur’an, atau ketika terdapat perbedaan penafsiran ayat al-Qur’an di kalangan Muslimin, atau dalam konteks continuity risalah-risalah Nabi, otoritas terbaik adalah perbuatan dan perkataan Nabi dan ijtihad para pemimpin.

Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa pemimpin bukan sekadar seorang yang mengerti persoalan tata sosial dan politik, tetapi juga seorang yang memahami ajaran-ajaran agama untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Sebagaimana para khalifah, para pemimpin semestinya juga seorang yang paham agama untuk terpeliharanya suatu tatanan masyarakat yang tenteram dan subur. Dengan demikian pemimpin negara (baca: umara’) semestinya juga seorang pemimpin umat untuk dapat memotivasi masyarakat menjalankan ajaran agama dan kepercayaan, mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, dan menegakkan keadilan dan kemakmuran. Dalam konteks itu, kesediaan Gus Dur jadi calon presiden karena keprihatinannya terhadap kebangkitan politik sektarian dan ia tidak ingin melihat kehancuran Republik Indonesia karena konflik ideologis.84

Jauh sebelum terpilih jadi Presiden RI, Gus Dur dikenal sebagai tokoh pro-demokrasi, pembela kaum tertindas, pejuang pluralisme, dan terpenting memotivasi masyarakat untuk memahami agama dalam spektrum luas. Ketika memimpin NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat Gus Dur jadi simbol perubahan yang menginspirasi generasi muda untuk progresifitas intelektual di kalangan warga nahdliyyin. Aspinall menyebutkan, sejak 1996-1997, Gus Dur tekun mendekati Pak Harto dan lingkaran kekuasaannya untuk memastikan bahwa dan kepemimpinannya tidak dirusak dan

saling terkait, yakni wajibnya penegakan imāmah, siapa yang memilih dan dipilih sebagai imam, dan bagaimana legitimasi imam. Lihat Abdul Aziz, Chiefdom Madīnah: Salah Paham Negara Islam (Jakarta: Alvabet-LaKIP, 2011), 139.

83Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah (Jakarta: Gramedia, 2002), 19.

84Kekhawatiran munculnya ideologi Islam tampak pada keputusan parlemen pada sidang khusus pada 10-13 November 1999 yang memungkinkan diadakannya referendum untuk menggantikan ideologi nasional Pancasila serta untuk mengakhiri kebijakan Pancasila menjadi satu-satunya dasar organisasi untuk partai politik dan organisasi massa. Dalam hal ini, Gus Dur menganggap bahwa jabatan presiden sangat penting untuk menegakkan Konstitusi 1945 dan Pancasila sebagai dasar untuk membangun negara yang demokratis. Jabatan presiden sebagai alat untuk mewujudkan Pancasila dan NKRI. Saefur Rochmat, “President Abdurrahman Wahid’s Efforts to Consolidate the Democratic Transition from the Soeharto Authoritarian Regime,” Journal of Islam and Humanities, Vol. 1, no. 2 (Mei 2017): 103-104, https://www.journal.uinjkt.ac.id (diakses 07-11-2018).

Page 192: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

179

terkendali.85 Lebih dari itu, Gus Dur juga berkontribusi pada pengembangan Islam vis-a-vis demokrasi dan nasionalisme sebagai ciri negara peradaban negara global belakangan ini. Dengan pengalaman panjang dan cemerlang tersebut Gus Dur merasa sebagai sosok tepat untuk menyelesaikan krisis nasional: menjaga kedaulatan bangsa dan meningkatkan keadilan ekonomi dan menegakkan demokrasi.86

Sejak mengucapkan sumpah, Gus Dur langsung menjalankan tugas berat tersebut. Seolah ingin menepis anggapan miring kesehatannya, Gus Dur berkeliling menemui tokoh-tokoh nasional dan internasional. Upaya Gus Dur menjalani tugas negara disambut oleh sejumlah demonstrasi yang kurang beradab. Sejumlah mahasiswa mulai melecehkan fisiknya. Bahkan sejumlah mahasiswa di Makassar konon membakar dan merazia foto-foto resmi Gus Dur. Ini terjadi karena sosok Gus Dur dan kaum tradisionalis seringkali disalahpahami oleh para pengamat baik Indonesia maupun dunia.87

Namun Gus Dur menyambut demonstrasi tersebut dengan melakukan suatu kebijakan yang menempatkan subversi terhadap lahirnya kesadaran masyarakat untuk menerima kekuasaan yang lebih manusiawi. Meski dalam beberapa demonstrasi, para pengunjuk rasa dari kalangan mahasiswa seringkali melakukan parodi yang melecehkan cacat fisiknya sebagai aksi protes yang disebut tidak beradab, tetapi tak satu pun dari mereka yang diproses secara hukum. Selama berkuasa Gus Dur tidak pernah memenjara apalagi membunuh rakyat.

Padahal, Greg Barton menyebutkan,88 kepresidenan Gus Dur merupakan ujian politik bagi partai reformis, PDI-P, PKB, dan PAN. Masyarakat banyak berharap aliansi tiga partai besar ini melahirkan bukan hanya bersatunya perjuangan reformasi, tetapi juga penyatuan aliran sekular-nasionalis, tradisionalisme Islam, dan modernisme Islam yang akan memberikan sumbang besar terhadap peta jalan Islam dan politik yang progresif dan non-sektrarian. Aliansi ini memiliki potensi yang akan menjadi respon pamungkas terhadap gerakan Islamisme, memberikan contoh tepat bagi keterlibatan Islam dalam dunia politik.

Gus Dur juga membuka peluang masyarakat untuk mengunjungi istana. Selama 21 tahun di jabatan presiden Gus Dur telah membuka lebar-lebar pintu

85Edward Aspinall, “Semi-Opponents in Power: The Abdurrahman Wahid and

Megawati Soekarnoputri Presidencies,” dalam Soeharto’s New Order and its Legacy, eds. Edward Aspinall and Greg Fealy (Australia: ANU, 2010), 122.

86Gus Dur, presiden keempat, bukanlah manusia biasa. Bagi para pengikutnya, Kiai Haji Abdurrahman Wahid adalah orang suci, seorang pemimpin spiritual yang disegani dan keturunan dari keluarga besar ulama Muslim Indonesia yang mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Lihat Peter Carey, “Defying Gravity,” The World Today, Vol. 57, no. 8/9 (Aug. – Sep., 2001): 14-15, http://www.jstor.org/stable/40476565 (diakses 24-10-2015).

87Wawancara dengan Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini. Lihat pula Greg Barton Greg Barton, Abdurrahman Wahid, Muslim Democrat Indonesian President (Sydney: UNSW, 2002), 285.

88Greg Barton, “The Gülen Movement, Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama: Progressive Islamic Thought, Religious Philanthropy and Civil Society in Turkey and Indonesia,”Islam and Christian-Muslim Relations, Vol. 25 Issue 3 (May 2014): 36 https://www.tandfonline.com/DOI:10.1080/09596410.2014.916124 (diakses 04-09-2017).

Page 193: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

180

istana untuk rakyat. Desaklisasi istana ini dalam upaya mendekatkan kekuasaan dengan rakyat. Gus Dur bahkan menyelenggarakan kegiatan rutin berjamaah Jum’at yang dilanjutkan dengan dialog yang memberikan penyegaran tidak hanya dalam konteks keagamaan tetapi juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gus Dur secara sadar membangun tradisi baru yang menghilangkan distansi rumah-rumah rakyat dan rumah seorang presiden.

Selama berkuasa Gus Dur tidak meninggalkan kebiasaannya, yaitu menjalankan tradisionalisme keagamaan seperti berziarah ke tempat-tempat yang dinilainya keramat, bertermu kiai-kiai, dan lainnya.89 Perilaku spiritualistik semacam ini merupakan upaya untuk menggabungkan wilayah profan dan mistik, politik dan agama. Sebelum jadi presiden, Gus Dur dianggap sebagai manifestasi kemuliaan yang berhasil membangun tatanan baru melalui kekuatan mistiknya. Menurut Lukens,90 seluruh perilaku Gus Dur merontokkan sebuah utopisme kekuasaan dan kemuliaan melalui proyeksi supra natural.

Naiknya Gus Dur ke kursi presiden tidak hanya memberikan gairah baru bagi sebuah perkembangan pemikiran di kalangan generasi muda NU, tetapi disertai juga perilaku yang cukup untuk berkontribusi pada bangsa dan negara. Kajian-kajian di sejumlah kota besar dilakukan dengan semangat tinggi sebagai bentuk perjungan kultural memberikan sinyalemen bahwa generasi muda NU yang terlahir dari kampus akan memberikan kontribusi tepat. Greg Fealy menyebutkan, beberapa daerah memperlihatkan kekuatan dalam pengkajian agama dan politik seperti Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan beberapa daerah lain.91 Pada saat bersamaan, kelompok muda lain bergairah untuk kontribusinya dalam politik praktis, pembangunan usaha, rumah sakit, perguruan tinggi, dan lainnya.

Dengan kata lain, Presiden Gus Dur telah membentuk situasi baru dalam pembinaan generasi muda NU dalam bidang intelektualitas dan gairah yang menggerakkan mesin-mesin NU dari tingkat pusat hingga ranting untuk membangun masyarakat. Situasi ini penulis sebut sebagai tradisionalitas baru (new tradisionality), suatu generasi yang terlahir dari rahim khittah 1984 dan reformasi 1998 yang memiliki kesadaran tinggi tentang arti penting keberdaan NKRI dalam

89Gus Dur menyebutkan, paham keagamaan NU seringkali membuat banyak orang

salah paham. Hampir semua tulisan menyimpulkan NU sebagai kaum tradisional, padahal paham-paham keagamaan NU sangat dinamis seperti julukan waliy al-amri al-dharuri wa al-syaukah kepada Presiden Soekarno. Jadi tradisionalisme tidak identik dengan kolot. Lihat Abdurrahman Wahid, “Tradisionalisme Tidak Berarti Kolot, www.nu.id.

90Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia keempat, dikatakan telah meramalkan bahwa dirinya akan menjadi presiden jauh sebelum ia menjadi kandidat.Lihat Ronald Lukens-Bull,“TheTraditions of Pluralism, Accomodation, and Anti-Radicalism in the Pesantren Community,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 02, no. 01 (June 2008): 6, http://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/21 (diakses 07-04-2017).

91Fealy menyebutkan, berdasarkan kunjugannya ke sejumlah daerah di Jawa menunjukkan beberapa generasi muda NU melakukan kajian secara intensif untuk bidang agama, politik, ekonomi, dan lainnya. Generasi ini memperlihatkan satu pemahaman untuk menjaga NKRI, memiliki pemahaman kuat Pancasila, dan lainnya. Wawancara dengan Greg Fealy di Kantor PBNU Jakarta.

Page 194: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

181

percaturan politik global dan saat bersamaan memiliki pemahaman kuat tentang ajaran-ajaran keagamaan yang berkesesuaian dengan kebutuhan bangsa dan negara.

Elite tradisionalbaru (new tradisional) yang lahir dari jam’iyyah NU adalah suatu generasi yang memiliki gairah cukup relevan dengan para pendiri NU yang berkontribusi pada pendirian dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).92Dengan demikian, terpilihnya Gus Dur jadi presiden pada pemilihan MPR tahun 1999 semakin menguatkan pemahaman betapa NU tidak hanya berfungsi sebagai lokomotif gerakan sosial keagamaan yang selama ini jadi rujukan keberagamaan negara-bangsa di dunia sejak memimpin NU pada 1984. Di bawah kendali intelektualismenya, Gus Dur dan kiai khos juga telah melakukan pemindahan kultur politik dari pinggiran ke pusat kekuasaan. Dengan pendekatan tradisi pesantren, Gus Dur telah menyiapkan sejumlah traktor untuk membulduser kultur-kultur politik NU yang selama ini termarjinalkan dari kekuasaan.

Peran Gus Dur dan kiai khos awalnya dilakukan dengan memberikan pemahaman yang diadopsi dari ilmuwan-ilmuwan Barat, Timur Tengah, dan terlebih lagi Nusantara, dan kemudian dilengkapinya dengan menyediakan wadah politik baru. Kiai khos tampak memberikan ruang gerak yang tepat untuk terciptanya era baru. Situasi ini mendapat sambutan hangat dari seluruhjamá’ah NU. Kenyataannya NU jadi organisasi progresif.

Zulkifli mengemukan bahwa pesantren, kiai khos, dan Gus Durtelah jadi symbolic capitalyang memberikan kekuatan, pengaruh, pengetahuan, dan disposisi pada NU untuk memiliki kekuatan simbolik.93 Dengan kata lain, kata Zulkifli, modal simbolik ini telah jadi kredit yang sah untuk otoritasdalam perjuangan lahirnya elite-elite tradisional baru di lingkungan Nahdlatul Ulama dengan beragam background sosial dan pendidikan yang akan mewarnai perjalanan bangsa memasuki abad ke-21. Hal ini jelas NU telah memperlihatkan bahwa tradisionalisme dapat juga jadi episentrum untuk melahirkan peradaban-peradaban baru yang kosmopolitan.

92Teori tradisionalbaru (new tradisional) terinspirasi dari karya Mosad Zineldin &

Valaintisna Vasicheva yang menggambarkan sebuah generasi Timur Tengah yang memiliki paham-paham politik inklusif dalam kaitan dengan hubungan antara negara Timur Tengah dan negara-negara baru termasuk Israel. Lihat Mosad Zineldin & Valaintisna Vasicheva, “A New Mindset to Change the Arab/Islamic-Western Relations for Peace A Political and Socio-economic Integration Perspective,” Journal of Peace, Conflict and Development, Issue 15 (March 2010): 80, www.peacestudiesjournal.org.uk (diakses 11-07-2017).

93Zulkifli, “The Ulama in Indonesia: Between Religious Authority and Symbolic Power,” MIQOTVol. XXXVII no. 1 (Januari-Juni 2013): 193-194, https://jurnalmiqotojs.uinsu. ac.id (diakses 16-10-2017).

Page 195: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

183

BAB VII PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam bab ini penulis akan menyimpulkan beberapa hal terkait proyek pembaharuan kultur politik Gus Dur dan kiai khosdi lingkungan jama’ah dan jam’iyyah NU. 1. Kiai berhasil merespons perubahan politik-ekonomi Tanah Air sejak reformasi

bergulir pada 1998dengan tepat. Perubahan ini dijadikan momentum untuk melanjutkan proyek pembaharuan dalam bidang politik sejak Gus Dur dankiai khos memutuskan khittah 1926 pada1984 yang berdampak pada penampilan NU sebagai organisasi progresif dengan munculnya generasi muda dengan tradisi keilmuan cukup untuk berdiri sebagai barisan intelektual dan generasi muda dengan pengetahuan politik untuk tampil sebagai politisi.Melalui pesantren kiai menempatkan perubahan sebagai blessing untuk mengonstruksi lahirnyatradisi-tradisi baru di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) yang memperkuatdi bidang ortodoksi keagamaan satu sisi dan bidang politik sisi lain. Ideologi tradisionalisme berhasil dipertahankan oleh kiai di tengah perubahan politik-ekonomi nasional dan global untuk membidani tradisi intelektual baru pada 1984, kemudian dilanjutkan dengan pembaharuan dalam bidang politik pada 1998.Generasi inilah yang disebut santri tradisional dan santri par excellencesebagai elite tradisional baru.

2. Perjuangankiai membentuk tradisi politik merupakan ijtihadyang secara konsisten dijalankan di tengah tekanan politik dan kebijakan negara yang tidak kondusif. Perjuangan ini dilakukan melaluigerakan kosmopolitan dan politik kenegaraan dengan menempatkankonseptradisionalisme tidak berhadap-hadapan konsep nasionalisme. Akibatnya, NU kini tampil dengan dua wajah atau pedang bermata dua (double-edged sword). Satu sisi NU melahirkan gerakan pemikiran keagamaan (religious thought movement) yang cenderung mengabadikan ortodoksi agama sebagai hasil penggunaan sistem rujukan tidak langsung terhadap al-Qur’an dan haditsmenghasilkan ruang eksperimen dan artikulasi pemikiran, dam sisi lain NU telah menampakkan diri sebagai gerakan politik Islam (Islamic political movements) progresif yang jadi penopang untuk tegaknya Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Banyak forum-forum kajian dan LSMlahir sejak khittah 1926 pada 1984, dan wadah politik seperti PKB, PKNU, Partai Reformasi, dan lainnyasejak reformasi bergulir pada 1998.Perjuangan politik-ekonomi kenegaraan ini memperlihatkan kemampuan intelektualdan spiritualkiai.

3. Puncak pembaharuan kultur politik ini terjadi saatditetapkannya Gus Dur sebagaicalon PresidenKeempat pada pemilihan presiden pada 1999. Pinangan tokoh-tokoh Islam, yakni Amien Rais, Bambang Sudibyo, dan Marzuki Usman, yang akhirnya mendapat restu dari kiai khos memberikan energi baru untuk bangkitnya gelora politik elite-elite muda pesantren di panggung politik Indonesia.

4. Gus Dur yang dengan mudah terpilih sebagai presiden pada pemilihan presiden tahun 1999 makin mempertegas NU sebagai kekuatan politik satu sisi, dan

Page 196: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

184

keberhasilan dalam pengembangan politikdan perubahan sosial di sisi lain. Inilah yang penulis sebut sebagaielite tradisional baru, yangditandai dengan lahirnya generasi-generasi baru dengan beragam macam background pendidikan, yaitu generasi yang berdiri di barisan intelektual dan generasi di barisan politik.

Dengan demikian, peran kiai khos membawa gerbong NU yang selama ini dicitrakan sebagai organisasi tradisionalke progresif cukup signifikan. Tradisi literasi kiai menggali khazanah keilmuan klasik baik tafsir, hadits, fikih, tauhid, bahkan politik dan ekonomi untuk diaktualisasikan ke dalam tradisi keilmuan kontemporer membuka era baru, progresifitas politik di lingkungan NU. Generasi progresif ini merupakan elite tradisional baru dengan beragam pendidikan mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara dalam tiga dasawarsa terakhir.Kiai khos terdiri dari elite-elite pesantren yang telah membulduser kultur politik jama’ah, kini NU tampil sebagai kekuatan baru dalam kancah politik Indonesia mutakhir. NU membutuhkan kiai khos sebagai penjaga tradisi dan kiai khos membutuhkan NU untuk mengaktualisasikan pemikiran-pemikiran konstruktifnya.

Temuan tersebut berbeda dengan temuan Nils Bubandt (2014) yang menilai kebiasaan kiai yang seringkali mengunjungi para leluhurnya baik sebelum maupun sesudah Gus Dur terpilih jadi presiden sebagai bagian dari tradisi politik kaum tradisionalis merusak demokrasi, temuan Endang Turmudi (2004) yang menganggap bahwa peran kiai dalam dunia politik tak sebanding dengan perannya dalam sosial-keagamaan sehingga menyebabkan menurunnya karisma kiai sebagai tokoh agama, dan temuan Jajat Burhanudin (2012) yang berkesimpulan bahwa pilihan kiai memasuki dunia politik melampaui batas-batas tradisionalnya, lebih dari sekadar pemimpin spiritual dan tokoh pembaharu keagamaan. B. Saran

Memperhatikan paham keagamaan NU, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal, dan perjuangan kiai khosuntuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penulis merekomendasikan sebagai berikut: 1. NU perlu memperkuat pemahaman keagaman yang tidak hanya diwujudkan

dalam LSM dan partai PKB sebagai anak kandung NU, tetapi juga diperluas lagi pada partai-partai lain atau organisasi-organisasi keagaman lain. Tidak perlu dikatakan akan menguntungkan PKB, akan lebih bermanfaat jika NU makin banyak merangkul beragam partai politik untuk kepentingan bangsa dan negara jauh ke depan.

2. Dengan realitas masyarakat Indonesia yang semakin majemuk dan mengglobal, gagasan pluralistik perlu mendapat perhatian khusus seluruh elite NU hari ini dan masa mendatang. Masyarakat Indonesia mendukung aliansi permanen partai-partai nasionalis dan terbuka demi menjaga keberlangsungan bangsa Indonesia. Karena sejumlah partai politik menawarkan sejumlah programstrategis, maka perlu memastikan bahwa partai nasionalis dan terbuka merupakan satu-satunya partai politik yang tepat bagi warga Indonesia. Karena itu, perlu pemahaman yang tepat dengan mengedepankan kepentingan bersama di bawah naungan Pancasila dan UUD 1945.

Page 197: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

185

3. Pemerintah perlu memperkuat keberadaan kiai khos sebagai elite tradisional yang memiliki karisma kuat di tengah masyarakat untuk memiliki peran-peran yang lebih strategis dalam konteks sosial, politik, budaya, pendidikan dan ekonomi Indonesia. Peran kiai khos dibutuhkan masyarakat Indonesia di tengah menguatnya radikalisme dan ekstremisme yang belakangan ini jadi ancaman besar bagi Pancasila sebagai asas tunggal dan keutuhan NKRI.

Oleh karena itu, temuan-temuan dalam penelitian ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait beberapa hal berikut: 1. Ada banyak organisasi keagamaan berdiri dalam tiga dasawarsa terakhir. Dalam

konteks kebangsaan penting untuk mengedentifikasi kecenderungan kegiatan-kegiatan politik di antara organisasi tersebut. Sebuah studi dapat dilakukan di masa depan untuk menggambarkan peta dan arah politik di antara keberadaan organisasi-organisasi baru, dan pemahaman agama yang ditawarkan masing-masing organisasi terhadap masyarakat. Meski tidak melacak partai politik Islam, studi semacam ini dapat dilakukan untuk memberikan perhatian khusus pada evolusi politik masyarakat dan partai politik dan mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana kecenderungan politik telah berubah di tengah kebebasan berpendapat dan berserikat diatur dalam UU.

2. Keberadaan organisasi dalam sistem demokrasi Indonesia perlu mendapat perhatian serius di tengah menguatnya dukungan keluarga-keluarga Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Ada kecenderungan dukungan konsisten terhadap organisasi (dan partai) Islam di tengah kita harus berkomitmen kebangsaan dan kenegaraan. Sebagai negara demokrasi sedang tumbuh ada sebuah kebutuhan perjuangan negara untuk memerangi radikalisme dalam rangka mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. Dalam konteks ini tepat jika negara menjalin kerja sama erat dengan organisasi-organisasi besar dan saat bersamaan melakukan perbandingan negara-negara lain seperti Mesir, Tunisia, Pakistan, dan negara Timur Tengah lainnya.

3. Organisasi sekuler di Indonesia juga merupakan fenomena menarik di tengah menguatnya radikalisme atas nama agama. Banyak harapan muncul agar organisasi ini melakukan penguatan institusional, misalnya membangun kerja sama baru dengan organisasi-organisasi lain yang memiliki kecenderungan sama baik dalam maupun luar negeri untuk menjaga kedaulatan negara.

Page 198: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

187

DAFTAR PUSTAKA A. Buku/Disertasi/Tesis Abaza, Mona. “Asia Imaginated by the Arabs,” dalam Islamic Studies and Islamic

Education in Contemporary Southeast Asia Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad dan Patrick Jory (eds). Kuala Lumpur: Yayasan Ilmu, 2011.

Abdulgani-KNAPP, Retno. Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, An Authorised Biografphy. Singapore: Marshal Cavendish Internasional Private Limited, 2007.

Abdurrahman, Moeslim. Islam Yang Memihak. Yogyakarta: LKiS, 2005. Adam,Asvi Warman.Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? Tragedi Bapak Bangsa

Tragedi Indonesia.Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. Arifin, Achmad Zainal. Charisma and Rationalisation in a Modernising Pesantren:

Changing Values in Traditional Islamic Education in Java. Thesis of Ph.D of Western Sydney University, 2013.

Aliade, Mirce, (ed.). The Encyclopedia of Islam. Vol. 4 New York: Macmilan Publishing Co., 1987.

Al-Anshori,Mohamad Zakaria.The Role of Islam in Indonesia’s Contemporary Foreign Policy.Thesis of Ph.D the Victoria University of Wellington, 2016.

Al-Maghluts, Sami bin Abdullah. Atlas Perang Salib: Sejarah Berdarah Menyayat Hati. Selangor: PTS Publishing House Sdn., 2015.

Amaladoss. Michael. Teologi Pembebasan Asia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Anshori, Ibnu. Mustafa Kemal and Sukarno: A Comparison of Views regarding Relations Between State and Religion. A Thesis of Master Degree The McGill University, 1994.

Anshor, Ushfuri. Belum Terlambat Sebelum Kiamat. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa, 2012.

Anwar, H. Fuad. Melawan Gus Dur. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004. Anwar, Syafi’i. “Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Membingkai Potret Pemikiran

Politik K.H. Abdurrahman Wahid” dalam Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi,Abdurrahman Wahid. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Tranformatif. Yogyakarta: LKiS, 2008. Aspinal, Edward and Greg Fealy. “Soeharto’s New Order and its Legacy” dalam

Soeharto’s New Order and its Legacy:Essays in Honour of Harold Crouch, Edward Aspinall and Greg Fealy (eds.) Australia: ANU E Press (2010).

-----------------------. “Semi-Opponents in Power: The Abdurrahman Wahid and Megawati Soekarnoputri Presidencies” dalam Soeharto’s New Order and its Legacy, Edward Aspinall and Greg Fealy (eds.) Australia: ANU, 2010.

-----------------------. “The New Nationalism in Indonesia.”Asia & the Pacific Policy Studies 3/1 (2016).

Assyaukanie, Luthfi. Islam and the Secular State in Indonesia. Singapore: ISEAS, 2009.

Page 199: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

188

Athyal, Jesudas M. (ed.).Religion in Southeast Asia: An Encyclopedia of Faiths and Cultures. California: ABC-CLIO, 2015.

Aziz, Abdul. Chiefdom Madīnah: Salah Paham Negara Islam. Jakarta: Alvabet-LaKIP, 2011.

Azra, Azyumardi. Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamic in A Global Context. Jakarta: The Asia Foundation-Solstice-ICIP, 2006.

-----------------------Artikulasi Islam Kultural: Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah. Jakarta: Srigunting, 2004.

----------------------- Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme & Pluralisme. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.

----------------------- “The Islamic Factor in Post-Suharto Indonesia” dalam Indonesian in Transition, Social Aspects of Reformasi and Crisis,Cris Manning & Peter van Diermen (ed.). Singapore: ISEAS, 2000.

-----------------------Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan, 2002).

-----------------------. “Revisitasi Pancasila” dalam Rindu Pancasila: Merajut Nusantara, Mulyawan Karim (ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

----------------------- Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan Pluralitas Jakarta: Rajawali Press, 2002.

----------------------- Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah Jakarta: Gramedia, 2002.

----------------------- “Islamisasi Jawa,” Resonansi Republika, 08 November 2012.

----------------------- “Kontestasi Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer,” Studia Islamika23/1 (2016)\, review of Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values, by Carool Kersten, London: Hurst & Company (2015).

----------------------- “From IAIN To UIN: Islamic Studies in Indonesia,” dalam Islamic Studies and Islamic Education in Contemporary Southeast Asia, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad and Patrick Jory (eds). Kuala Lumpur: Yayasan Ilmu, 2011.

Bakar, Osman. Tawhid and Science: Islamic Perspectives on Religion and Science. Malaysia: Arah Publications-Universiti Sains Malaysia, 2008.

Bakri, Syamsul & Mudhofir. Jombang Kairo, Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai, 2004.

Barton, Greg. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS, 2008.

------------------- Abdurrahman Wahid, Muslim Democrat Indonesian President. Sydney: UNSW, 2002.

------------------- Abdurrahman Wahid: Muslim Democrat, Indonesian President (A View from the Inside). Australia: University of New South Wales Press Ltd, 2002.

Benda, Harry J. “Pengkhianatan Kaum Intelektual” terj. La Trahison des Clercs. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Beth, John Mc. “The Betrayal of Indonesia.” Far Eastern Economic Review 26 (2003).

Page 200: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

189

Bhakti,Ikrar Nusa “The Transition to Democracy in Indonesia: Some Outstanding Problems,” dalam The Asia-Pasific: A Region in Transition, Jim Rolfe(ed.).Hanolulu: Asia Pasific Center for Security Studies, 2004.

Bisri, A. Mustofa. Membuka Pintu Langit: Momentum Mengevaluasi Perilaku. Jakarta: Buku Kompas, 2011.

-------------------------Ketika Nurani Bicara. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2000. Bizawie,Zainul Milal.Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad.Tangerang: Pustaka

Compass, 2014. Black, Antony. The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the

Present, Second Edition. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd, 2011. Borgatta, Edgar F. & Maria L. Borgatta (eds).Encyclopedia of Sosiology. New

York: Macmillan Publishing, 1992. Bourchier, David and Vedi R. Hadiz. Indonesian Politics and Society: A Reader.

London: Routledge Curzon, 2003. Brunessen, Martin van. NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru.

Yogyakarta: LKiS, 1994. ----------------------------- “Ghazwul fikri or Arabisation? Indonesian Muslim

Responses to Globalisation,” dalam Dynamics of Southeast Asian Muslims in the Era of Globalization, Ken Miichi and Omar Farouk (eds.) Tokyo: Japan International Cooperation Agency Research Institute (JICA-RI), 2013.

----------------------------- “Saints, Politians and Sufi, Bureaucrats: Mysticism and Politics in Indonesia’s New Order,” dalam Sufisme and Modern Islam in Indonesia, Martin van Bruinessen and Julia Day Howell (eds.) New York: LB. Tauries & Co Ltd, 2007.

----------------------------- “NU: Jamaah Konservatif yang Melahirkan Gerakan Progresif," dalam pengantarLaode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme BaruJakarta: Erlangga, 2004.

-----------------------------Thariqat Naqsabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1992.

-----------------------------“Traditions for the Future: The Reconstruction of Traditionalist Discourse within NU,” dalalm Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Greg Barton and Greg Fealy (eds.) Australia: Monash Asia Institute,1996.

----------------------------- and Farid Wajidi, “Syu’un Ijtima’iyah and the Kiai Rakyat: Traditionalist Islam, Civil Society, and Social Concerns” dalam Indonesian Transitions, Henk Schulte Nordholt (ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Bubandt, Nils. Democracy, Corruption and the Politics of Spirits in Contemporary Indonesia. New York: Routledge, 2014.

-------------------Democracy, Corruption and the Politics of Spirits in Contemporary Indonesia. New York: Routledge, 2014.

Budiwiranto, Bambang. Pesantren and Participatory Development in Indonesia. Thesis of Master Degree The Australian National University, 2007.

Page 201: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

190

Burhanudin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia Testriono, Olman Dahuri, Irsyad Rhafsadi(pen.). Bandung: Mizan, 2012.

Bush, Robin. Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power Within Islam & Politics in Indonesia. Singapore: ISEAS Publishing, 2009.

----------------- and Budhy Munawar-Rachman, “NU and Muhammadiyah: Majority Views on Religious Minorities in Indonesia,” dalam Religious Diversity in Muslim-Majority States in Southeast Asia: Areas of Toleration and Conflict, Bernhard Platzdazh and Johan Saravanamuttu (eds.) Singapore: ISEAS, 2014.

Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman dan Patrick Jory, eds. Islamic Studiesand Islamic Education in Contemporary Southeast Asia. Kuala Lumpur: Yayasan Ilmu, 2011.

Choirie, A. Effendi. Gus Dur, Pak Harto: Hikmah Salaman Genggong. Jakarta: Berita Yudha Press, 1996.

Chua, Amy L. The Paradox of Free-Market Democracy: Indonesia and the Problems Facing Neoliberal Reform: A Paper from the Project on Development, Trade, and International Finance (USA: A Council on Foreign Relations Paper, 2000).

Cresswell, John W. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition. USA: Sage Publications Inc.,1998.

Cribb, Robert. “The Historical Roots of Indonesia’s New Order: Beyond the Colonial Comparison,” dalam Soeharto’s New Order and its Legacy, Edward Aspinall and Greg Fealy (eds) Australia: ANU, 2010.

Dahlan, Ahmad. Sejarah Melayu. Jakarta, Gramedia, 2014. Daniels,Timothy. Islamic Spectrum in Java. New York: Routledge, 2016. Dematra, Damien. Sejuta Doa untuk Gus Dur: Sebuah Novel dan Kumpulan Doa.

Jakarta: Gramedia, 2010. Densmoor, Michael S. The Control and Management of Religion in Post-

Independence, Pancasila Indonesia. A Thesis of Master of Arts the Georgetown University, 2013.

Dharwis, Ellyasa K.H. (ed.).Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKiS-Pustaka Pelajar, 2014.

Dhofier, Zamakhsyari. "Kinship and Marriage Among the Javanese Kyai." Indonesia 29 (1980), 47-58, pdf.

-------------------------------The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyai in the Maintenance of the Traditional Ideology of Islam di Java. A Thesis of Ph.D The Australian National University, October 1980.

-------------------------------Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2011.

Dijk, Kees van. “Sharia and Counterculturer in Aceh,”dalam Islam, Politics and Change: The Indonesian Experience after the Fall of Suharto, Kees van Dijk and Nico J.G. Kaptein (eds.) Leiden: Leiden University Press, 2016.

-------------------- and Nico J.G. Kaptein, “Introduction,” dalam Islam, Politics and Change: The Indonesian Experience after the Fall of Suharto, Kees van Dijk and Nico J.G. Kaptein (eds.) Leiden: Leiden University Press, 2016.

Page 202: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

191

Dwiyanto, Agus. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: Gramedia, 2011.

Effendi, Djohan. Pembaruan tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur. Jakarta: Penerbut Buku Kompas, 2010.

Eklöf, Stefan. Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia The Indonesian Democratic Party (PDI) and Decline of the New Order (1986–98). Denmark: NIAS Press, 2003.

Epley, Jenniferl L. Voice of the Faithful: Religion and Politics in Contemporary Indonesia. Dissertation of Ph.D of Michigan University, 2010.

Esposito, John L. dan John O. Voll. Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Fauzia, Amelia. Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia. Leiden: Brill NV, 2013.

Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS, 2011.

---------------- and Sally White (eds.). Expressing Islam: Religious Life dan politics Indonesia. Singapore: ISEAS, 2008.

Feener, R. Michael. “Issues and Ideologies in the Study of Regional Muslim Cultures,”dalam Islamic Connections: Muslim Societies in South and Southeast Asia, R. Michael Feener and Terenjit Sevea (eds.). Singapore: ISEAS, 2009.

Feillard, Andrée. “From Handling Water in a Glass to Coping with an Ocean: Shifts in Religious Authority in Indonesia,” dalam Varieties of Religious Authority: Changes and Challenges in 20th Century Indonesia Islam,Azyumardi Azra, Kees Van Dijk, & Nico J.G. Kaptein (eds.). Singapore: IIAS-ISEAS, 2010.

Firmanzah, Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik: Pembelajaran Politik Pemilu 2009. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gaus, Ahmad. Api Islam Nurcholis Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

Geertz, Clifford. Religion of Java. United State: The University of Chicago, 1976. --------------------- The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker.

United State: The University of Chicago, 1960. Gidden, Antony. The Constitution of Society: The Outline of the Theory of

Structuration, alih bahasa Adi Loka Sujono. Malang: Pedati, 2004. Giorgi, Amedeo. Phenomenology and Psychological Research. Pittsburgh

Duquesne University Press, 1985. Gross, Max L. A Muslim Archipelago: Islam and Politics in Southeast Asia.

Washington, DC,: National Defense Intelligence College, 2007. Hamid, Abdul. “The Kiai in Banten: Shifting Roles in Changing Times,” dalam

Islam in Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia, Ota Atsushi, Okamoto Masaaki, and Ahmad Suaedy (eds.). Jakarta: Wahid Institute, 2010.

Hamid, M. Gus Dur Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010.

Page 203: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

192

Ham, Ong Hok. “Sukarno: Mitos dan Realitas” dalam Sejarah Tokoh Bangsa Yanto Bashri dan Retno Suffatni (eds.). Yogyakata: LKiS, 2004.

Han, Nackhoon. The Trouble Relationship between Suharto and the Indonesian Armed Forces From the Mid 1960S to the Early 1990s. A Thesis of Master Degree The University of Maine, December, 2007.

Haramain, A. Malik. Militer dan Politik. Yogyakarta: LKiS, 2004. Hasan, Noorhaidi. “Salafi Madrasahs and Islamic Radicalism in Post-New Orde

Indonesia,” dalam Islamic Studies and Islamic Education in Contemporary Southeast Asia, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad and Patrick Jory (eds.). Kuala Lumpur: Yayasan Ilmu, 2011.

------------------------ “The Salafi Madrasas of Indonesia,” dalam The Madrasa In Asia: Political Activism and Transnational Linkages Farish A. Noor, Yoginder Sikand & Martin van Bruinessen (eds.). Amsterdam: Amsterdam University Press, 2008.

Hefner, Rober W. “Islamic Schools, Social Movements, and Democracy in Indonesia, dalam Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia Robert W. Hefner (ed.). USA: University of Hawaii Press, 2009.

--------------------------- “Introduction: The Politics and Cultures of Islamic Education in Southeast Asia,” dalam MakingModern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia. USA: University of Hawaii Press, 2009.

Henri, Chambert Loir. Naik Haji di Masa Silam: Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964. Jakarta: KPG Press, 2013).

Hidayat, Rachmad. “Santri, Kyai, and Ulama: Framing Masculinities within Indonesia Religious Elites,” ResearchGate (2011), 1-14, pdf. (Not to be quite)

Hisyam, Ibn. Al-Sirah Al-Nabawiah. Beirut: Dār al-Fikr, Jilid IV, 1987.Hikam, AS. Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga, 2000.

Hill, Hal and Dionisius Narjoko. “Managing Industrialisation in a Globalising Economy: Lessons from the Soeharto Era,” dalam Soeharto’s New Order and its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch, Edward Aspinall and Greg Fealy (eds.). Australia: ANU E-Press, 2010.

Honna, Jun. “The Legacy of the New Order Military in Local Politics: West, Central and East Java,”dalam Soeharto’s New Order and its Legacy Edward Aspinall and Greg Fealy (eds.) Australia: ANU, 2010.

Horikoshi, Hiroko. “A Traditional Leader in a Time of Chage: The Kijaji and Ulama in West Java” tarj. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.

Ida, Laode. NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru. Jakarta: Erlangga, 2004.

Ida, Laode.Anatomi Konflik NU, Elite Islam dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan, 1996.

Iskandar, A. Muhaimin. Gus Dur yang Saya Kenal: Catatan Transisi Demokrasi Kita. Yogyakarta: LKiS, 2010.

Page 204: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

193

---------------------------------Gus Dur, Islam, dan Kebangkitan Indonesia. Jakarta: Klik R, 2007.

Ismail, Faisal. Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, 2004. Imanulhaq Faqieh, Maman. Fatwa dan Canda Gus Dur. Jakarta: Buku Kompas, 2010.

Jabali, Fuad and Jamhari (eds.). The Modernization of Islam in Indonesia:An Impact Study on the Cooperation between the IAIN and McGill University. Montreal and Jakarta: Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project, 2003.

JA, Denny. Politik yang Mencari Bentuk. Yogyakarta: LKiS, 2006. --------------Melewati Perubahan: Sebuah Catatan Atas Transisi Demokrasi

Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2006. --------------Para Politisi dan Lagunya. Yogyakarta: LKiS, 2006. Jenkins, David. “One Reasonably Capable Man: Soeharto’s Early Fundraising,”

dalam Soeharto’s New Order and its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch Edward Aspinall and Greg Fealy (eds.). Australia: ANU E-Press, 2010.

Karsono, Sony. Indonesia's New Order, 1966-1998: Its Social and Intellectual Origins. A Thesis of Ph.D the Faculty of the College Arts and Sciences of Ohio University, 2013.

Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: LKiS, 2000.

------------------------ Kyai Haji Hasyim Asy'ari's: Religious Thought and Political Activities (1871-1947). A Thesis of Master of Arts The McGill University, 1997.

Kingsley, Jeremy. Tuan Guru: Community and Conflict in Lombok, Indonesia. A Thesis of Ph.D The Melbourne University, 2010.

Künkler, Mirjam. “How Pluralist Democracy Became Consensual Discourse Among Secular and Nonsecular Muslims in Indonesia,” dalam Democratization & Islam in Indonesia, eds.Mirjam Künkler and Alfred Stepan. New York: Columbia University Press, 2013.

Latif, Yudi. The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of Its Emergence in the 20th Century. Thesis of Ph.D The Australian National University, 2004.

Laffan, Michael. The Makings of Indonesian Islam: Orientalism and the Narration of a Sufi Past. United Kingdom: Princeton University Press, 2011.

--------------------- “National Crisis and the Representation of Traditional Sufism in Indonesia: The Periodicals Salafy and Sufi,” dalam Sufisme and the Modern in Islam, eds.Martin van Bruinessen and Julia Day Howell. London: I.B. Tauris & Co Ltd, 2007.

Leege, David C., & Lyman A. Kellstedt. Agama dalam Politik Amerika. Jakarta: Obor-Freedom Institute, 2006.

Lenin, V.I., COLLECTED WORKS. Moscow: Progress Publishers, Jilid 19, 1964-1970.

Lentz, Runa. Dutch Merchants First Contacting Asian Coasts: Preparing, Meeting and Reporting. Leiden: Leiden University, 2012.

Page 205: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

194

Lubis,Muhamad Ridwan. Sukarno dan Modernisme Islam.Komunitas Bambu, Juni 2010.

Lukens-Bull, Ronald. A Peacefull Jihad: Negotiating Identity and Modernity in Muslim Java. New York: Palgrave Macmillan, 2005.

Lukens-Bull, Ronald A. Islamic Education in Indonesia: Continuity and Conflict. US: Palgrave Macmillan, 2013.

Maatoug, Fredj. “Nationalism and Independence in South Asia,” dalam Islam in the World Today, Abdulrahim Ali, Iba Der Thiam and Yusof A. Talib (eds.). Unesco Publishing, 2016.

Manse, Maarten. Shared Authority Local Cooperation in the Construction of Colonial Governance on Java in the Early 1830s. Thesis of Masters Degree Research The Leiden University, 2014.

Moore, Diane L. and all, eds. “Islam,” Pluralism Project and Religious Literacy Project “Harvard University” (2016).

Maarif, Ahmad Syafii.Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Madjid, Nurcholish.Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 2008.

-------------------------Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina, 2002. Mahfudh, M.A. Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS, 1994. Malik, Djamaluddin, Dedy & Idi Subandy Ibrahim. Zaman Baru Islam: Pemikiran

& Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat. Jakarta: Zaman Wacana Mulia, 1998.

Manning, Cris & Peter van Diermen (eds.).Indonesian in Transition, Social Aspects of Reformasi and Crisis. Singapore: ISEAS, 2000.

Marjani, Gustiana Isya. The Concept of Religious Tolerance in Nahdhatul Ulama (NU): Study on the Responses of NU to the Government’s Policies on Islamic Affairs in Indonesia on the Perspective of Tolerance (1984-1999). A Thesis of Ph.D The Universität Hamburg, 2005.

Marijan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta: Erlangga, 1992.

Mansurnoor, Iik Arifin. Islam in an Indonesian World: Ulama of Madura, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990.

Masyhuri, Aziz. 99 Kyai Nusantara: Riwayat, Perjuangan dan Doa. Yogyakarta: Kutub, 2006.

Mas’ud, Abdurrahman. Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKIS, 2004.

Mathema, Kalyan Bhakta. Nahdlatul Ulama and Democratisation in Indonesia. A Dissertation Submitted to Master of Human Right and Democratisation (Asia Pasific) of University of Sydney and University of Gadjah Mada, 2015.

Maswan dan Aida Farichatul Laila. Gus Dur Manusia Multidimensional, Bunga Rampai dan Kompilasi. Sleman: Deepublish, 2015.

Meyer, Thomas. Kompromi Jalur Ideal Menuju Demokrasi. Jakarta: Frederich-Ebert-Shiftung, 2012.

Page 206: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

195

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2014.

Moesa, Ali Maschan. Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LKiS-Sunan Ampel Press, 2007.

Moosa, Ebrahim. “Introduction,” dalam Fazlurrahman, Revival and Reform in Islam.Oxford: Oneworld, 2000.

Mufid, Ahmad Syafi’i. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Muhammad, Husein. Gus Dur Dalam Obrolan Gus Mus. Bandung: Mizan Publika, 2015.

Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Munawar-Rachman, Budhy. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya. Jakarta: Grasindo, 2010.

Munir, Abdul Mulkhan. Politik Santri: Cara Merebut Hati Rakyat. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

--------------------------------Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam1965-1987 dalam Perspektif Sosiologis. Jakarta: Rajawali Pers, 1989.

Murbandono Hs, L. Pemikir Besar Dunia: Ucapan dan Kebijaksanaan. Jakarta: Grasindo, 2006.

Muzadi, Hasyim. Membangun NU Pasca Gus DUr: Dari Sunan Bonang sampai Paman Sam. Jakarta: Gramedia, 1999.

Mozaffari, Mehdi. “Islamic Civilization between Medina and Athena,” Globalization and Civilizations, Mehdi Mozaffari (ed.). London: Routledge, 2002.

Nakamura, Mitsuo. The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, c.1910-2010 (In Memory of Gus Dur 1940-2009). Singapore: ISEAS Publishing, 2012.

Nakaso, Hiroshi.Asian Economy: Past, Present, and Future. Japan: Bank of Japan, April 2015.

Nasr, Seyyed Hossein. “The Islamic Worldview and Modern Science,” dalam Islam, Science, Muslims, and Technology Seyyed Hossein Nasr and Muzaffar Iqbal (eds.). Islamabad: Dost Publication, 2009.

Netton, Ian Richard. Islam, Christianity and Tradition. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd, 2006.

Ng, Al-Zastrow. Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur. Jakarta: Erlangga, 1999.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1945. Jakarta: LP3ES, 1982.

Noor, Firman. Institutionalising Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of Internal Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008).A Thesis of Ph.D of the University of Exeter, 2012.

Oppenheimer, Joshua. The Act of Killing: A Film. Denmark: The Globalization Tapes, 2012.

Permata, Ahmad-Norma. “A Study of the Internal Dynamics of the Prosperous Justice Party and Jamaah Tarbiyah,” dalam Islam, Politics and Change:

Page 207: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

196

The Indonesian Experience after the Fall of Suharto, Kees van Dijk and Nico J.G. Kaptein (eds.). Leiden: Leiden University Press, 2016.

Parera, Frans M. dan T. Jakob Koekerits (eds).Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Warisan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

Platzdasch, Bernhard and Johan Saravanamuttu. Religious Diversity in Muslim-Majority States in Southeast Asia: Areas of Toleration and Conflict. Singapore: ISEAS, 2014.

Polkinghorne, John. The Faith of a Physicist. Princeton, NJ: Princeton University Press, 1994.

Porter, Donald J. Managing Politics and Islam in Indonesia. London: Routledge, 2002.

Pranowo, M. Bambang. Memahami Islam Jawa. Jakarta: Alvabet, 2011), 135-141. Qomar, Mujamil. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi

Institusi. Jakarta: Erlangga, 2002. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition.

Chicago: The University of Chicago Press, 1982. Ricklefs,Merle C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2007. -----------------------Islam in the Indonesian Social Context. Clayton: CSEAS

Monash University, 1991. -----------------------Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan

Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang (Jakarta: Serambi, 2012), 338. Romli, Mohamad Guntur dan Tim.Islam Kita, Islam Nusantara: Lima Nilai Dasar

Islam Nusantara. Tangerang Selatan: Ciputat School, 2016. Rosyadi, Khoirul. Mistik Politik Gus Dur. Yogyakarta: Jendela, 2004. Rozehnal, Robert, (ed.). Piety, Politics, and Everyday Etics in Southeast Asian

Islam: Beautiful Behavior. New York: Bloomsury, 2019. Rumadi (ed.). Damai Bersama Gus Dur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. Salim, Hairus, Uzair Fauzan dan Umar Ibnu Sholeh, Tujuh Mesin Pendulang

Suara: Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999. Yogyakarta: LKiS dan CH-PPS, 1999.

Sanit, Arbi. Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist Press,1999.

Santoso, Listiyono.Teologi Politik Gus Dur. Jakara: Ar-Ruzz, 2004. Sanyoto, Kukuh. “Indonesian Television and the Dynamic of Transition,”

dalamMedia Fortunes, Changing Time: ASEAN States in Transition Changing. Russel Hiang-Khng Heng (ed.). Singapore: ISEAS, 2002.

Sarsito, Totok. Javanese Culture as a Source of Suharto's Leadership: A Socio Political Analysis. A Thesis of Ph.D to the College of Law, Government, and International Studies, Universiti Utara Malaysia, 2010.

Saxebøl, Torkil. The Madurese Ulama as Patrons: A Case Study of Power Relations in an Indonesian Community. Disertation in Political Science of Oslo University, 2002.

Sholikhin, Muhammad. Ritual & Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2010.

Page 208: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

197

Srimulyani, Eka. Women from Traditional Islamic Educational Institutions in Indonesia: Negotiating Public Spaces. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2012.

Sobary, Mohamad. NU dan Keindonesiaan. Jakarta: Gramedia, 2010. Soedarmanta,J.B. Jejak-JeJak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia.

Jakarta: Grasindo, 2007. Suhanda, Irwan,(ed.).“Tokoh Bicara” dalam Gus Dur Santri Par Excellence:

Teladan Sang Guru Bangsa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. Suhanda, Irwan, (ed.). Perjalanan Politik Gus Dur. Jakarta: Penerbit Buku

Kompas, 2010. Sularto, St. “Kebertuhanan dan Kesalehan Sosial,” dalam Rindu Pancasila: Merajut

Nusantara, Mulyawan Karim (ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. ---------------- “Sila Pertama: Kesalehan Sosial Bangkrut,” dalam Rindu Pancasila:

Merajut Nusantara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.Swingewood, Alan. A Short History of Sociological Thought, Second Edition.London: Palgrave Macmillan, 1991.

Sulistyo,Hermawan. “Electoral Politics in Indonesia: A Hard Way to Democracy,” dalam Electoral Politics in Southeast and East Asia, Aurel Croissant (ed.). Singapore: FES, 2002.

Sunarwoto, Contesting Religious Authority: A Study on Dakwah Radio in Surakarta, Indonesia. A Thesis of Ph.D The Tilburg University, 2015.

Tarro, Syney G. Power in Movement: Social Movement and Contentious Politics. New York: Cambridge Univesity Press, 1998.

Thompson, Dennis F. “Etika Politik Pejabat Negara”tarj. Political Ethic and Public Office. Jakarta: Yayasan Obor, 1999.

Tumenggung, Adeline M. and Yanuar Nugroho, “Maroonet in the Junction: Indonesian Youth Participation in Politics,” dalam Go! Young Progressives in Southeast Asia, Beate Martin (ed.). 2018.

Tunggal, Gus Nuril Soko dan Khoerul Rosyadi. Ritual Gus Dur dan Rahasia Kewaliannya. Yogyakarta: Galang Press, 2010.

Turmuzi, Endang. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS, 2004. ----------------------- Struggling for the Umma: Changing Leadership Roles of Kiai

in Jombang, East Java. Thesis of Ph.D ANU Australia, 2006. Wagiman, Suprayetno. The Modernization of the Pesantren’s Educational System

to Meet the Needs of Indonesian Communities. Canada: Thesis of Islamic Studies of McGill Univesity, 1997.

Wahid, Abdurrahman. Selama Era Lengser: Kumpulan Kolom dan Artikel. Yogyakarta: LKiS, 2002.

-----------------------------Membangun Demokrasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

----------------------------- Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2001.

----------------------------- dan Nurcholis Madjid. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1988.

Page 209: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

198

-----------------------------Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2001.

-----------------------------Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultur. Yogyakarta: LKiS, 1998.

----------------------------- Tuhan tidak Perlu Dibela: Moralitas Keutuhan dan Keterlibatan. Yogyakarta: LKiS, 2011.

----------------------------- “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial” dalam Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.

----------------------------- Menjawab Kegelisahan Rakyat. Jakarta: Buku Kompas, 2007\.

----------------------------- Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

-----------------------------Pergulatan Agama, Negara dan Kebudayaan. Jakarta: Desantara, 2001.

----------------------------- “Pesantren sebagai Subkultur” dalam Pesantren dan Pembaruan, Dawam Raharjo (ed.) Jakarta: LP3ES, 1995.

-----------------------------Prisma Pemikiran Gusdur. Yogyakarta;LKiS, 1999. -----------------------------“Right Islam vs. Wrong Islam,” dalam Building Moderate

Muslim Networks, Angel Rabasa (ed.)Pittsburgh: Rand Corporation, 2007. -----------------------------Islam, Pluralism and Democracy. Consortium for Strategic

Communication of Arizona State University, 2007. ----------------------------- “God Needs No Defense,” dalam Abraham’s Children:

Liberty and Tolerance in an Age of Religious Conflict, Kelly James Clark (ed.) London: Yale University Press, 2012.

----------------------------- Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007.

----------------------------- “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, eds., Passing Over, Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia, 2001.

Watt, James H. & Sjef A. van den Berg. Research Methods for Communication Science. Massachusetts USA: Allyn And Bacon A Simon & Schuster Company, 1995.

Ward,Ken. “Soeharto’s Javanese Pancasila,” dalam Soeharto’s New Order and its Legacy, Edward Aspinall and Greg Fealy (eds.). Australia: ANU, 2010.

Whitehead, Alfred North. Religion in the Making. New York: Fordham University, 2003.

Widjojo, Muridan S. Penakluk Rezim, Gerakan Mahasiswa ’98. Jakarta: Sinar Harapan, 1999.

Woodward, Mark. “Abdurrahman Wahid: Introduction and Translation,” dalam Islam, Pluralism and Democracy. Consortium for Strategic Communication of Arizona State University, 2007.

Zaini, Achmad. Kyai Haji Abdul Wahid Hasyim: His Contribution to Muslim Educational Reform and to Indonesian Nationalsm During The Twentieth Century. A Thesis of Marter of Arts The McGill University, July 1998.

Zaman, Muhammad Qasim. The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change. USA: Princeton University Press, 2002.

Page 210: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

199

Zamhari, Arif. Ritual of Islamic Spirituality: A Study of Majlis Dhikr Groups in East Java. Australia: ANU, 2010.

Zayd, Nasr Abu. Islamic Thought: A Critical Historical Analysis. Amsterdam: University Press, 2006.

Zen, Fathurin. NU Politik: Analisis Wacana Media. Yogyakarta: LKiS, 2004. Zuhdi, Muhammad. Political and Social Influences on Religius School: A

Historical Perspective on Indonesian Islamic School Curricula. A Thesis Submitted to Graduate Studies and Postdoctoral Office McGill University, 2006.

Zulkifli, Menuju Teori Praktik Ulama.Ciputat: Haja Mandiri, 2018. B. Jurnal/Majalah/Koran/Website/Makalah Abaza, Mona. “Indonesian Azharites, Fifteen Years Later.” Journal of Social Issues

in Southeast Asia18/1 (2003), 139-153, pdf. Abu-Rabi, Ibrahim M. “Contemporary Islamic Intellectual History: A Theoretical

Perspective.” Islamic Studies44/4 (2005), 503-526, pdf. -------------------------------- “Islamic Resurgence and the 'Problematic of Tradition'

in the Modern Arab World: The Contemporary Academic Debate.” Islamic Studies34/1(1995), 43-66, pdf.

Alfirdaus, Laila Kholid. “Islam and Local Politics: In the Quest of Kyai, Politics, and Development in Kebumen, 2008-2010.” Al-Jami’ah51/2 (2013), 279-309, pdf.

Abanyam, Noah Lumun. “The Effects of Western Technology on African Cultural Values.” IOSR Journal Of Humanities And Social Science8/4 (2013), 26-28, pdf.

Abu-Rabi’, Ibrahim M. “Islamic Resurgence and the ‘Problimatic of Tradition’ in the Modern Arab World: The Contemporary Academic Debate.”Islamic Studies34/1 (1995), 43-66, pdf.

Achmad, Ubaidillah. “Islam Formalis versus Islam Lokalis: Studi Pribumisasi Islam Walisongo dan Kiai Ciganjur.”ADDIN10/1 (2016), 233-262, pdf.

Achidsti,Sayfa Auliya.“Eksistensi Kiai dalam Masyarakat.”Jurnal Kebudayaan Islam12/2 (2014), 149-171, pdf.

Adeney-Risakotta,Bernard.“Traditional, Islamic and National Law in the Experience of Indonesian Muslim Women.”Islam and Christian-Muslim Relation27/3 (2016), 303-318, pdf.

Afrianty, Dina. “Indonesia’s Islamic Educational Institutions and RadicalismAmong Muslim Youth.” Centre for Islamic Law and Society(2011), 2-12, pdf.

Al-Hamdi, Ridho. “TheJakartaCharter In Post-Soeharto Indonesia: Political Thoughts of the Elites inMuhammadiyah.” Masyarakat lndonesia41/1 (2015), 43-56, pdf.

Al-Hassan, Ahmed Y. “Transfer of Islamic Science to the West.” Foundation for Science Technology and Civilisation (FSTC) Limited, ID 625 (2006), 2-30, pdf.

Page 211: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

200

Alkatiri, Zeffry. “The Words of Magic Used During the Soeharto’s Indonesiaan New Order Military Regime Era 1980-1997.” Asian Journal of Social Sciences & Humanities2/1 (2013), 82,91, pdf.

Ali, Muhamad. “Islam and Economic Development in New Orde’s Indonesia (1967-1998).” East-West Center Working Papers – International Graduate Student Conference Series12 (2004), 1-26, pdf.

Ali, Abbas J. “Islam Perspectives on Leadership: A Model.” International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management2/2 (2009), 160-180, pdf.

Anwar, Rosihon, Dadang Darmawan, & Cucu Setiawan, “Kajian Kitab Tafsir dalam Jaringan Pesantren di Jawa Barat.” Wawasan1/1 (2016), 56-69, pdf.

Arifin, Syamsul. “Pesantren sebagai Saluran Mobilitas Sosial: Suatu Pengantar Penelitian.”13/1 (2010), 33-61, pdf.

Asrohah, Hanun. “The Dynamics of Pesantrens: Responses Toward Modernity and Mechanism in Organizing Transformation.” Journal of Indonesian Islam05/01 (2011), 66-90, pdf.

Aswirna,Prima. “Small and Medium Industry for Sustaining Madrasa in Global Change: Study at Darul Ma’arif Modern Boarding School in East Java.”Jurnal Al-Ta’lim1/6 (2013), 509-523, pdf.

AS,A. Sunarto.“Paradigma Nahdlatul ‘Ulama terhadap Modernisasi,” Jurnal Sosiologi Islam3/2 (2013), 51-74, pdf.

Azra, Azyumardi. Islam in Southeast Asia: Tolerance and Radicalism. Paper Presented at Miegunyah Public Lecture, The University of Melbourne, 2005, 1-30, pdf.

Barter, Shane Joshua. “Ulama, The State & War: Community Islamic Leaders in the Aceh Conflict.”Contemporarty Islam 5/1(2011), 19-36, pdf.

Bahaudin, “Mistik dan Politik: Praktek Perdukunan dalam Politik Indonesia.”Jurnal Keamanan Nasional1/3 (2015), 365-385, pdf.

Bariroh, Laili. “Positioning Ideologi Partai Politik pada Preferensi Pilitik Santri.”Jurnal Review Politik04/1 (Juni 2014), 133-163, pdf.

Barton. Greg.“The Gülen Movement, Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama: Progressive Islamic Thought, Religious Philanthropy and Civil Society in Turkey and Indonesia.”Islam and Christian-Muslim Relations25/3 (2014), 1-51, pdf.

------------------- “Indonesia's Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as Intellectual 'Ulama': The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought.” Studia Islamika 1/l(1997), 29-82, pdf.

Bashri, Yanto. “Nalar Hassan Hanafi; Upaya Mensejajarkan Barat dan Dunia Islam.” Journal of MOZAIC01/01 (2014), 1-18, pdf.

Beerkens, Eric. “The Student Movement and the Rise and Fall of Suharto,” www.universityworldnews.com, 1-6, pdf.

Baswedan, Anies Rasyid. “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory.” Asian Survey 44/5 (2004), 669-690, pdf.

Benda, Harry J. “Christian Snouck Hurgronje and the Foundation of Dutch Islamic Policy in Indonesia.” The Journal of Modern History 30/4 (1958), 338-347, pdf.

Page 212: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

201

Berkley Center. Nahdlatul Ulama. http://berkleycenter.georgetown.edu/ organizations/nahdlatul-ulama.

Berkey,Jonathan P. “Madrasas Medieval and Modern: Politics, Education, and the Problem of Muslim Identity.”Journal of Comparative Economicshttps://citeseerx.ist.psu.edu, 1-35.

Brown, Graham K. “The Formation and Management of Political Identities: Indonesia and Malaysia Compared.” Centre for Research on Inequality, Human Security and Ethnicity, Working Paper 10 (2005), 1-35, pdf.

Bruinessen, Martin van. "Indonesia's Ulama and Politics: Caught between Legitimising the Status Quo and Searching for Alternatives." Prisma-The Indonesian Indicator49 (1990), 52-69, pdf.

---------------------------------- “Shari'a Court, Tarekat and Pesantren: Religious Institutions in the Banten Sultanate,” Persee50 (1995), 65-200, pdf.

---------------------------------- “What Happenned to the Smiling Face of Indonesian Islam? Muslim Intellectualism and the Conservative Turn in Post-Suharto Indonesia,” S. Rajaratnam School of International Studies, 222 (2011), 1-45, pdf.

----------------------------------“Islamic State or State Islam? Fifty Years of State-Islam Relations in Indonesia” dalam Indonesien am Ende des 20. Jahrhunderts, Ingrid Wessel (ed.). Hamburg: Abera-Verlag, 1996, 19-34, pdf.

---------------------------------- “The Origins and Development of Sufi Orders (Tarêkat) in Southeast Asia.” Studia Islamika1/1 (1994), 1-23, pdf.

---------------------------------- “Global and Local in Indonesian Islam,” Southeast Asian Studies37/2 (1999, 158-175, pdf.

---------------------------------- “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu.” Netherland: KITLV, Deel 146, 2/3de Afl (1990), 226-269, pdf.

Budianta, Melani. “Discourse of Cultural Identity in Indonesia During the 1997-1998 Monetary Crisis.” Inter-Asia Cultural Studies1/1 (2000), 109-128, pdf.

Budiwanti, Erni. “The Role of Wali, Ancient Mosques and Sacred Tombs in the Dynamics of Islamisation in Lombok.”Heritage of Nusantara3/1 (2014), 17-46, pdf.

Buehler, Michael. “Islam and Democracy in Indonesia.” Insight Turkey 11/4 (2009), 51-63, pdf.

Burhani, Ahmad Najib. “Kitab Kuning dan Kitab Suci: Pengaruh al-Jabiri terhadap Pemikiran Keagamaan di NU dan Muhammadiyah.” Masyarakat Indonesia 41/1 (2015) 29-42, pdf.

Bush, Robin. “A Snapshot of Muhammadiyah Social Change and Shifting Markers of Identity and Values.” Asia Research Institute 221 (2014), 1-25, pdf.

Cahyono, Fendi Teguh.“Kebijakan Menteri Agama K.H. Wahid Hasyim terhadap Kemajuan Pendidikan Islam di Indonesia.”Al AchyadJurnal Ilmu Keislaman1/1 (2016), 69-96, pdf.

Page 213: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

202

Candland, Christopher. “Faith as Social Capital: Religion and Community Development in Southern Asia.” Policy Sciences33/3-4 (2000), 355-374, pdf.

Carey, Peter. “Defying Gravity.” The World Today57/8-9 (2001), 14-16, pdf. Carnegie, Paul J. “Political Islam and Democratic Change in Indonesia.” Asian

Social Science4/11 (2008), 353-375, pdf. Centrel Intelligence Agency Office of National Estimates. “The Political Situation

in Indonesia,” State Dept Classification & Release Intruction of File (1956), 1-6, pdf.

Chalik, Abdul. “Religion and Local Politics: Exploring the Subcultures and the Political Participation of East Java NU Elites in the Post-New Order Era.” Journal of Indonesian Islam04/01 (2010), 150-209, pdf.

Charis, Irfan dan Mohamad Nuryansah, “Pendidikan Islam dalam Masyarakat Madani Indonesia.” Mudarrisa 7/2 (2015), 229-258, pdf.

Chittick, William C. “Mysticism versus Philosophy in Earlier Islamic History: The Al-Ṭūsī, Al-Qūnawī Correspondence.” Religious Studies 17/1 (1981), 87-104, pdf.

Clad, James. ”The End of Indonesia’s New Order.” The Wilson Quarterly20/03(1996), 133-159, pdf.

Cole, William S. “Roots of Corruption in the Indonesian System of Governance.” Asia Program Special Report100 (2001).

Collins, Elizabeth Fuller. “Islam and the Habits of Democracy: Islamic Organizations in Post-New Order South Sumatra.” Indonesia78 (2004).

Compton, Boyd. “President Sukarno and the Islamic State,” Insitute of Current World Affairs 522 (1953), 1-7 pdf.

Crouch, Harold. “INDONESIA: Democratization and the Threat of Disintegration.” Southeast Asian Affairs (2000), 115-133, pdf.

Darmadji,Ahmad.“Pondok Pesantren dan DeradikaIisasi Islam di Indonesia,” MillahXI/1 (2011), 235-252, pdf.

Darmawijaya, “Islam dan Kekuasaan Orde Baru: Membaca Kembali Politik De-Islamisasi Soeharto.” Sosiologi Reflektif10/1 (2015), 63-84, pdf.

Decentralized Based Education (DBE), “Analysis of the Current Situation of Islamic Formal Junior Secondary Education in Indonesia.” USAID-DBE (2006), 1-39, pdf.

Dewi, Rusmala. “Madrasah dan Transmisi Ilmu Pengetahuan dalam Peradaban Islam,” Nurani 14/2 (2014), 99-119, pdf.

Dickson,Gary. “Charisma, Medieval and Modern,” Religions, 3 (2012), 763-789, pdf.

Djoenaid, Junizar, Khudori, dan Ruba’i Kadir, “Gus Dur: Jangan Panggil Saya Presiden,” GAMMA, 31 Oktober 1999.

Editors, “Continuity and Change: Four Indonesian Cabinets since October 1, 1965, with Scattered Data on Their Members' Organizational and Ethnic Affiliations, Age and Place of Birth.” Southeast Asia Program Publications at Cornell University 2 (1966), 185-222, pdf.

Page 214: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

203

Eklöf, Stefan. “Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto 1996–98.” Nordic Institute of Asian Studies, Studies in Contemporary AsiaSeries 1 (1999), 1-261, pdf.

Fadhilah,Amir.“Stuktur dan Pola Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren di Jawa,” Hunafa Jurnal Studia Islamika 8/1 (2011), 101-120, pdf.

Faridj, Miftah. “Peran Sosial Politik Kiai di Indonesia.” MimbarXIX/2 (2003), 195-202, pdf.

------------------- “Peran Sosial Politik Kyai di Indonesia.” Jurnal Sosioteknologi 11/6 (2007), 195-202, pdf.

Farih, Amin. “Nahdlatul Ulama (NU) dan Kontribusinya dalam Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan Negara Kesataun Republik Indonesi (NKRI),”Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan24/2 (2016), 251-284, pdf.

Fatchan,Ach., Ach. Amirudin, and Hadi Soekamto.“Education Model “Bandongan” for Farmers Society of Agricultural Skills Training in the Background of Sosioculture Pesantren in East Java.”Mediterranean Journal of Social Sciences6/5 (2015), 514-523, pdf.

Fatimatuzzahroh,Feti. Oekan S. Abdoellah, and Sunardi, “The Potential of Pesantren in Sustainable Rural Development.” International Multidisciplinary Journal (2015), 257-278, pdf.

Fauzi, Muhammad Latif. “Traditional Islam in Javanese Society: The Role of Kyai and Pesantren in Preserving Islamic Tradition and Negotiating Modernity.” Journal of Indonesian Islam06/01 (2012) 125-144, pdf.

Fealy, Greg. “Pertengkaran Elite Politik Nahdlatul Ulama, 1960-hingga Kini.” CRCS UGM, 13 Agustus 2009, 1-6, pdf.

Federspiel, Howard M. “Indonesia, Islam, and U.S. Policy,” The Brown Journal of World AffairsIX/1 (2002), 107-114, pdf.

Feener, R. Michael and Anna M. Gade, “Patterns of Islamization in Indonesia: A Curriculum Unit for Post-Secondary Level Educators.” Cornell University Southeast Asia Program Outreach (1998), 1-49, pdf.

------------------------- “Cross-Cultural Contexts of Modern Muslim Intellectualism.” Die Welt des Islams 47/3/4 (2007), 264-282, pdf.

Filippo Osella and Caroline Osella, “Introduction: Islamic Reformism in South Asia.” Modern Asian Studies 42/2/3 (2008), 247-257, pdf.

Fish, M. Steven. “Islam and Authoritarianism.” World Politics55/1 (2002), 4-37, pdf.

Fitriah, Ainul.“Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pribumisasi Islam.”Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam3/1 (2013), 39-59, pdf.

Freedman, Amy. “Civil Society, Moderate Islam, and Politics in Indonesia and Malaysia.” Journal of Civil Society 5/2 (2009), 107-127, pdf.

Fox, James J. “Currents in Contemporary Islam in Indonesia.” Harvard Asia Vision 21 (2004), 1-24, pdf.

Foley,Sean. "Southeast Asia, Islamic Modernism inOxford Islamic Studies Online.”(2012), 1-8, pdf.

Freedman,Amy L. “Civil Society, Moderate Islam, and Politics in Indonesia and Malaysia.” Journal of Civil Society 5/2 (2009), 107-127, pdf.

Page 215: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

204

Fuadi,Abdulloh.“Bhinneka Tunggal Ika: The Contribution of Indonesian Islam to the Development of Common Ground in Interfaith Dialogue,” Annual International Conference on Islamic Studies (2016), 1633-1649, pdf.

Funk , Nathan C. and Abdul Aziz Said, “Islam and the West: Narratives of Conflict and Conflict Transformation.” International Journal of Peace Studies9/1 (2004), 1-28, pdf.

Geertz, Clifford. “The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker,” Comparative Studies in Society and History2/2 (1960), 228-249, pdf.

Goncing, Nurlira. “Politik Nahdlatul Ulama dan Era Orde Baru.”The POLITICS1/1 (2015), 61-74, pdf.

Hadi, Dwi Wahyono dan Gayung Kusuma, “Propaganda Orde Baru 1966-1980.” Verleden1/1 (2012), 40-50, pdf.

Hadiz, Vedi R. “Indonesian Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of the Cold War.” Journal of Current Southeast Asian Affairs30/1 (2011), 1-24, pdf.

Haghnavaz, Javad. “A Brief History of Islam (The Spread of Islam).” International Journal of Business and Social Science4/17 (2013), 213-217, pdf.

Hakiki,Kiki Muhamad. “Islam Pedalaman: Mengurai Harmoni Islam dan Agama Islam Sunda Wiwitan Pada Komunitas Suku Baduy Banten.” Annual International Conference on Islamic Studies (2016), 1688-1691, pdf.

Hall, Kenneth R. “Local and International Trade and Traders in the Straits of Melaka Region: 600-1500,” Journal of the Economic and Social History of the Orient47/2 (2004), 213-260, pdf.

Hamamoto,Kazunori.“The Significance of Propagating Islam Hadhari in Japan.”Islam and Civilisational Renewal2/1 (2010), 272-1277, pdf.

Hamayotsu,Kikue.“The End of Political Islam?A Comparative Analysis of Religious Parties in the Muslim Democracy of Indonesia.”Journal of Current Southeast Asian Affairs30/3 (2011), 133-159, pdf.

Thoha Hamim, “al-Wasthiyyah Iza’ al-Rádikaliyah fi al-Islám: al-Sulûk al-Siyásî li Tháifati Rádiliyyahmin al-Muslimin fi ‘Ahdi Hukûmati Roîs a-Jumhûriyyah al-Indõnêsia Abdurrahman Wáhid,” Journal of Indonesian Islam,Vol. 01, no 02 (December 2007):403-419, pdf.

Harian Merdeka, Kamis, 24 April 2014. Harian Tempo, Idris Marzuki: Pribadi Gus Dur Jadi Menakutkan dan

Mengancam NU, 08-12-2004. Harian Republika, K.H. Ahmad Idris Marzuki Termasuk Kiai Langitan, 09 Juni

2004. Hasyim, Syafiq. “State and Religion: Considering Indonesian Islam as Model of

Democratisation for the Muslim World.” Liberal Institute 12 (2013), 1-32, pdf.

Hakim, Sudarnoto Abdul. “Al-Islám wa al-Qánûn wa al-Dawlah: Dirasah fî Fikri Ki Bagus Hadikusumo wa Dawrihi.” Studia Islamika21/1 (2014).

Hamayotsu, Kikue. “Islam and Nation Building in Southeast Asia: Malaysia and Indonesia in Comparative Perspective,” Pacific Affairs 22 (2002), 1-20, pdf.

Page 216: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

205

Hefner, Robert W. “Indonesia, Islam, and the New U.S. Administration.” The Review of Faith & International Affairs14/2 (2016), 59-66, pdf.

Hefner, Robert W. “Public Islam and the Problem of Democratization.” Sociology of Religion62/4 (2001), 491-514, pdf.

Hidayat, Mansur. “Model Komunikasi Kyai dengan Santri di Pesantren.”Jurnal Komunikasi ASPIKOM 2/6 (2016), 385-395, pdf.

Hilmy, Masdar. “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination on the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU.” Journal of Indonesia Islam 07/01 (2013), 24-48, pdf.

Hisyam, Muhamad. “Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di Awal Kemerdekaan RI.” Jurnal Lektur Keagamaan12/1 (2014), 149-184, pdf.

Honna, Jun. “Local Civil-Military Relation During the First Phase of Democratic Transition, 1999-2004: A Comparasion of West, Central, and East Java.” Indonesia81 (2006), 75-96, pdf.

Hosen, Nadirsyah. “Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad.” New Zealand Journal of Asian Studies6/1 (2004), 5-26, pdf.

------------------------“Religion and Indonesian Constitution: A Recent Debate.” Journal of Southeast Asian Studies36/3 (2005), 419-440, pdf.

Howell, Julia Day. “Sufism and the Indonesian Islamic Revival.” The Journal of Asian Studies 60/3 (2001), 701-729, pdf.

Huda,M. Syamsul. “Kultus Kiai: Sketsa Tradisi Pesantren.” Teosofi Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 1/1 (2011), 113-130, pdf.

Iqbal, Allama Muhammad. “The Spirit of Muslim Culture.” Islam Today, Journal of the Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization (ISESCO)31 (2015), 725-729, pdf.

------------------. “The Nahdlatul Ulama: Its Early History and Contribution to the Establishment of Indonesian State” Journal of Indonesian Islam05/02 (2011), 248-282, pdf.

Izzah,Iva Yulianti Umdatul.“Perubahan Pola Hubungan Kiai dan Santri pada Masyarakat Muslim Tradisional Pedesaan.”Jurnal Sosiologi Islam 1/2 (2011), 31-48, pdf.

Jones, Sidney. “The Contraction and Expansion of the "Umat" and the Role of the Nahdatul Ulama inIndonesia.” Indonesia38 (1984), 1-20, pdf.

J. Hasse. “Anarkisme Demonstrasi Mahasiswa: Studi Kasus pada Universitas IslamNegeri Alauddin Makassar.” Jurnal Studi Pemerintahan3/1 (2012), 49-70, pdf.

----------- “Membangun Pendidikan Berkeadaban: Pesantren sebagai Basis dan Pilar Pembinaan,” Jabal Hikmah,3/1 (2014), 35-46, pdf.

John, Anthony. “Sufism in Southeast Asia: Reflections and Reconsiderations.” Journal of Southeast Asian Studies 26/1, Perspectives on Southeast AsianStudies (1995). 169-183, pdf.

Judge, Timothy A., Erin Fluegge Woolf, Charlice Hurst, and Beth Livingston, “Charismatic and Transformational Leadership: Review and an Agenda for Future Research.” Zeitschift für Arbeits-u. N.F.24 4 (2006), 203-214, pdf.

Page 217: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

206

Jung, Dietrich. “Islam as a Problem: Dutch Religious Politics in the East Indies.” Religious Research Association 51/3 (2010), 288-301, pdf.

Kemenag RI,“Analisis dan Interpretasi Data pada Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah (Madin), Taman Pendidikan Qur’an(TPQ) Tahun Pelajaran 2011-2012,”Analisis Data Pendidikan Islam(2012), 69-106, pdf.

Kersten, Carool. “Muslim Intellectuals in Indonesia.” Critical Muslim 07 (2013), 971-985, pdf.

Khanif, Al. “Menguji Kharisma Kyai dalam Kehidupan Masyarakat Madura Jember Jawa Timur.” INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan5/1 (2011), 121-146, pdf.

Kharisma Gus Mus Dan Rahasia Dibalik Keagungan Muktamar NU 33, http://www.muslimoderat.com/2015/08/kharisma-gus-mus-dan-rahasia-dibalik. html?m=1

Krugman, Paul. “The Myth of Asia’s Miracle.” Foreign Affairs73/6 (1994), 17-63, pdf.

Kusdiana,Ading. “Traces of Pesantren in the Spread of Islam in the Land of Sunda in the 15 Century,”Annual International Conference on Islamic Studies (2016), 1568-1576, pdf.

LaCapra, Dominick. “Culture and Ideology: From Geertz to Marx.” Poetics Today9/2 (1988), 377-394, pdf.

Latief, Hilman. “Transforming the Culture of Giving in Indonesia: The Muslim Middle Class, Crisis and Philanthropy.” Southeast Asian Studies5/2 (2015), 1-21, pdf.

Largier, Niklaus.“Mysticism, Modernity, and the Invention of Aesthetic Experience,” Representations 105/1 (2009), 37-60, pdf.

Legowo, Sivfian Hendra, IG. Krisnadi, dan Hendro Sumartono.“Political Dynamic of New Order Regime in Indonesia: Studies about a Failure of Political Consolidation New Regime in Year 1990-1996.” Publika Budaya1/1 (2013), 16-24, pdf.

Leiliyanti, Eva. “Representation and Symbolic Politics in Indonesia: Billboard Advertising in the 2009 Legislative Assembly Elections.” Crossroads JournalVI/11 (2013), 60-72, pdf.

Leonard C. Sebastian, Jonathan Chen and Emirza Adi Syailendra, “Pemuda Rising: Why Indonesia Should Pay Attention to its Youth.” RSIS Monograph29 (2014), 1-78, pdf.

Liddle, R. William. “New Patterns of Islamic Politics in Democratic Indonesia.” Woodrow Wilson International Center for Scholars110 (2003), 4-13, pdf.

Lukens-Bull, Ronald A.“TheTraditions of Pluralism, Accomodation, and Anti-Radicalism in the Pesantren Community.” Journal of Indonesian Islam02/01 (2008), 1-15, pdf.

-------------------------------. “Two Sides of the Same Coin: Modernity and Tradition in Islamic Education in Indonesia.” Anthropology & Education Quarterly 32/3 (2001), 350-372, pdf.

-------------------------------“Madrasa by Any Other Name: Pondok, Pesantren, and Islamic Schools in Indonesia and Larger Southeast Asian Region.” Journal of Indonesian Islam04/01 (2010), 1-21, pdf.

Page 218: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

207

------------------------------- “The Sacred Geography of an Indonesian Islamic Modernity.” Isim News Letter3 (1999), 14, pdf.

------------------------------- Amanda Pandich and John P. Woods, “Islamization as Part of Globalization: Some Southeast Asian Examples.” Journal of International and Global Studies, 32-46, pdf.

------------------------------- “Two Sides of the Same Coin: Modernity and Tradition in Islamic Education in Indonesia.” Anthropology & Education Quarterly 32/3 (2001), 350-372, pdf.

Lyons, Jonathan “The Western University and the Arab Tradition: A ‘Secret’ History.” Occasional Paper Series Nortwestern University in Qatar (2015), 1-24, pdf.

Machmudi,Yon. “Preserving “Kyai“ Authority in Modern Society.”Wacana15/ 2 (2014), 336-350, pdf.

Ma’arif,Syamsul. “Polal Hubungan Patron-Client Kiai dan Santri di Pedesaan.” TA’DIB, XV/2 (2010), 273-296, pdf.

Ma’arif, Syamsul. “The Revitalization of Pesantren: Philosophical Thinking to Direction Universalization of Islamic Values.” Global Science Research Journals 3/5 (2015), 314-320, pdf.

MacDougal, John. “Poros Tengah, Aliansi Tanpa Komitmen.” Indonesia-News 14 (2000).

Maksum, Ali and Reevany Bustami, “The 1965 Coup and Reformasi 1998: Two Critical Moments in Indonesia-Malaysia Relations during and after the Cold War.” SpringerPlus3/45 (2013), 1-9, pdf.

Mansurnoor, Iik Arifin. “Local Initiative and Government Plans: "Ulama" and Rural Development in Madura, Indonesia,” Journal of Social Issues in Southeast Asia 7/1 (1992), 69-94, pdf.

Mawardi,Marmiati. “Persepi Masyarakat terhadap Peran Kiai di Daerah Istimewa Yogyakarta: Public Perception on the Role of Kiai in Yogyakarta.” JurnalAnalisa20/02 (2013), 133-143, pdf.

Maziyah,Siti.“Kondisi Jawa Tengah pada Abad VII sampai Abad XV M.” eJurnal Universitas Diponegoro (2012), 1-12, pdf.

Meuleman, Johan. “Dakwah, Competition for Authority, and Development.”Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde167-2-3 (2011), 236-269, pdf.

Mietzner,Marcus. “Political Opinion Polling in Post-Authoritarian Indonesia.” Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde165/1 (2009), 95-126, pdf.

------------------------ “Comparing Indonesia's Party Systems of the 1950s and the Post-Suharto Era: From Centrifugal to Centripetal Inter-Party Competition.” Journal of Southeast Asian Studies39/3 (2008), 431-453, pdf.

Moesa, Ali Maschan. “Kiai Berpolitik Tidak Dilarang.” Aula 03 (2007). Morfit, Michael. “The Indonesian State Ideology According to the New Order

Government.” Asian Survey XXI/8 (1981), 838-851, pdf. Moten, Abdul Rasyid. “Islamization of Knowledge in Theory and Practice: The

Contribution of Sayyid Abul A'lā Mawdūdī Author.” Islamic Studies 43/2 (2004), 247-272, pdf.

Page 219: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

208

Muflih, Ahmad Armanu, Djumahir and Solimun, “Leadership Evolution of Salafiyah Boarding School Leader at Lirboyo Kediri.” International Journal of Business and Management Invention 3/3 (2014), 34-50, pdf.

Muhammad, Agus.Pesantren, Kemerdekaan dan Keindonesiaan, Rabu, 21 Oktober 2015http://www.nu.or.id/.

Muhammad,Firdaus.“Dinamika Pemikiran dan Gerakan Politik Nahdlatul Ulama.”Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam9/1 (2015), 57-76, pdf.

Muhammadiyah, Hilmi. “The Relation between Religion and State in Indonesia.” Asian Social Science11/28 (2015), 98-108, pdf.

Mujab,M. “The Role of Pesantren on the Development Islamic Science in Indonesia.”MIQOTXXXVII/2 (2013), 415-437, pdf.

Mujahidin, Anwar. “Kontribusi Tafsir al-Qur’an terhadap Pragmatisme Politik Indonesia (Studi terhadap Tafsir al-Misbáh Karya M. Qoraish Shibah).” Annual International Conference on Islamic Studies (2016), 1302-1318, pdf.

Mukmini, Moh. Amirul dan Sumarno. “Hubungan NU dan Masyumi (1945-1960): Konflik dan Keluarnya NU dari Masyumi,” AVATARA3/3 (2015), 487-494, pdf.

Musadad,Asep N. “Persinggungan Islam dan Tradisi Mistik: Studi Kasus Pananyaan dan Al-Hikmah di Masyarakat Tasikmalaya.”Indonesian Journal of Islamic Literature and Muslim Society1/1 (2016), 47-62, pdf.

Mustaqim, Muhamad. “Politik Kebangsaan Kaum Santri: Studi atas Kiprah Politik Nahdlatul Ulama.”ADDIN9/2 (2015), 333-348, dpf.

Mutaqin, Zezen Zaenal. “The Strong State And Pancasila: Reflecting Human Rights In The Indonesian Democracy,” Constitutional Review2/2 (2016), 167-188, pdf.

Munhanif, Ali. “Al-Shawkah al-Siyāsīyah li al-Afkār al-Dīnīyah:Al-Ḥarakah al-Tajdīdīyah al-Islāmīyahwa al-Ṭarīq ilá Nuqṭat Iltiqā’ al-Islām wa al-Dawlah,” Studia Islamika, Vol. 22, no. 1 (2015), 97-132, pdf.

Munir, “The Continuity and Change of Pesantren Tradition: Study Network Main Pesantren and Alumni Pesantren in Kabupaten OKU Timur, South Sumatra.” Jurnal Pendidikan Islam5/2 (2016/1438), 347-364, pdf.

Muqoyyidin, Andik Wahyun. “Kitab Kuning dan Tradisi Riset Pesantren di Nusantara.” Ibda Jurnal Kebudayaan Islam12/2 (2014), 119-136, pdf.

Nakamura, Mitsuo.“The Radical Traditionalism of the Nahdlatul Ulamain Indonesia: A Personal Account of the 26thNationalCongress, June 1979, Semarang.”Southeast Asean Studies19/2 (1981), 187-204, pdf.

Niam, Khoirun. “Nahdlatul Ulama and the Production of Muslim Intellectuals in the Beginning of 21st Century Indonesia.” Journal of Indonesian Islam11/02 (2018), 351-388, pdf.

Nishimura, Shigeo. “The Development of Pancasila Moral Education in Indonesia.” Southeast Asian Studies33/3 (December 1995), 303-316, pdf.

Nofiaturrahmah, Fifi. “Melacak Peran Kyai-Santri dalam Politik Kebangsaan di Indonesia.” Jurnal Islamic Review3/1 (2014 M/1435 H), 1-32, pdf.

Page 220: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

209

Noor, Firman. “Islamic Party and Pluralism: The View and Attitude of Masyumi towards Pluralism in Politics.” Al-Jāmi‘ah54/2 (2016), 273-310, pdf.

Pauker, Guy J. “Toward A New Order in Indonesia,” Foreign Affairs45/3 (1967), 1-27, pdf.

Pawliková-Vilhanová, Viera. “Rethinking the Spread of Islam in Eastern and Southern Africa,” Asian and African Studies79 (2010), 134-167, pdf.

Pepinsky, Thomas B., R. William Liddle and Saiful Mujani. “Testing Islam's Political Advantage: Evidence from Indonesia.” American Journal of Political Science 56/3 (2012), 584-600, pdf.

Pohl, Florian. “Islamic Education and Civil Society: Reflections on the PesantrenTradition in Contemporary Indonesia” The University of Chicago Press 50/3 (2006), 389-409, pdf.

Rabasa,Angel. “Islamic Education in Southeast Asia.”Islam Education in Southeast Asia 2 (2005), 97-109, pdf.

Rahman,Arief Aulia. “Akulturasi Islam dan Budaya Masyarakat Lereng Merapi Yogyakarta: Sebuah Kajian Literatur.”Indo-Islamika1/2 (2012), 157-182, pdf.

Rahman, Fazlur. “Islamization of Knowledge: A Response.” Islamic Research Institute-International Islamic University 50/3-4 (2011), 449-457, pdf.

Renton-Green, Andrew. “Indonesia after Soeharto: Civil or Military Rule?.” Centre for Strategic Studies Victoria Universityof Wellington (1998), 1-15, pdf.

Ricklefs, Merle C. “Religious Reform & Polarization in Java.” ISIM REVIEW21 (2008), 34-35, pdf.

------------------------ “Rediscovering Islam in Javanese History.” Studia Islamika21/3 (2014), 397-418, pdf.

Ridwan, Nurkholik. “Muktamar NU 1936 dan Makna Indonesia sebagai Darul Islam,” NUOnline, Rabu, 23 November 2016.

Robinson, Francis. “Crisis of Authority: Crisis of Islam?” The Royal Asiatic SocietySeries 3, 19/3 (2009), 339-354, pdf.

Rochmiatun,Endang.“Perubahan Ekonomi dan Perkembangan Peradaban Islam di Palembang Abad XVII – XVIII: Telaah atas Naskah-Naskah Kontrak Sultan Palembang,” Annual International Conference on Islamic Studies (2016), 1650-1667, pdf.

Rochmat, Saefur. “President Abdurrahman Wahid’s Efforts to Consolidate the Democratic Transition from the Soeharto Authoritarian Regime.” Journal of Islam and Humanities1/2 (2017), 99-108, pdf.

----------------------- “The Fiqih Paradigm for the Pancasila State: Abdurrahman Wahid’s Thoughts on Islam and the Republic of Indonesia.” Al-Jāmi‘ah52/2 (2014), 1-13, pdf.

Rohmana,Jajang A. “Heritage of Local Islam in the Archipelago: A Contribution of Qur’anic Exegesis in Sunda Region.” Annual International Conference on Islamic Studies (2016), 1612-1632, pdf.

Rosidin, Didin Nurul. “Pesantren and Modernity in Indonesia: Ma’had Aly of Kuningan.” Hunafa Jurnal Studia Islamika9/2 (2012), 219-244, pdf.

Page 221: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

210

Rosyadi, Saiful Alim. “Authoritarian Politics and Economic Growth during Indonesia's New Order.”The World Bank Economic Review (2017), 1-12, pdf.

Roy, Olivier. “The Transformation ofthe Arab World.” Journal of Democracy23/3 (2012), 5-18, pdf.

Saat, Norshahril. “Nahdlatul Ulama’s 33rd Congress: Ma’ruf Amin’s Rise and its Impact on Indonesia’s Traditionalist Islam.” ISEAS-Yusof Ishak Institute48 (2015), 1-9, pdf.

Salemink,Oscar.“The Purification, Sacralisation, and Instrumentalisation of Development.”Religion and the Politics of Development-Research Gate(2015), 35-60, pdf.

Salim, D.P. “The Transnational and the Local in the Politics of Islam: The Case of West Sumatra, Indonesia.” Springer International Publishing Switzerland (2015), 1-174, pdf.

Salleh, Kamarudin dan Khoiruddin Bin Muhammad Yusuf, “Gus Dur dan Pemikiran Liberalisme.” Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies1/2 (2014), 259-284, pdf.

Samata, Nuriyati. “Kontekstualisasi Kitab Kuning: Upaya Membangun Indonesia yang Multikultur.” PESAT4 (2011), 39-43, pdf.

Sarsito, Totok. “Between Dr. Ir. Sukarno and the Great Army General Muhammad Suharto.” Southeast Asian Journal of Social and Political Issues1/2 (2012), 205-218, pdf.

Sidel, John T. “The Changing Politics of Religious Knowledge in Asia: The Case of Indonesia.”ISEAS–Yusof Ishak Institute (2015), 1-32, pdf.

Schuurman, Egbert. “The Challenge of Islam’s Critique of Technology,” The Journal of the American Scientific Affiliation60/4 (2008), 1-19, pdf.

Sen,Tansen. “The Intricacies of Premodern Asian Connections,” The Journal of Asian Studies69/4 (2010), 991-999, pdf.

Sebastian, Leonard C. “The Paradox of Indonesian Democracy.” Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) 26/2 (2004), 256-279, pdf.

Shambazy, Budiarto “Politik Luar Negeri Gus Dur,”Kompas.com, 02-01- 2010. Shehu, Fatmir. “Islam – The Future Civilization of Mankind: Challenges and

Respons.” Journal of Education and Social Sciences5 (2016), 13-26, pdf. Siregar,Ferry Muhammadsyah,Nur Kholis Setiawan, and Robert Setio, “Religious

Leader and Charismatic Leadership in Indonesia.”Kawistara3/2 (2013), 140-152, pdf.

Steenbrink, Karel. “Pancasila as an Ambiguos Instrument fo Interreligious Harmony and Development in Indonesia, 1946-2015.” Bulletin of the Nanzan Centre for Asia-Pacific Studies10 (2015), 15-36, pdf.

Hasyim, Syafiq. “Pancasila, A Religion Friendly Ideology,” The Jakarta Post, 28 April 2017.

Sulasman, “Rethinking the Historiography of Islam Indonesia.” Journal of Social Sciences2/4 (2013), 199-206, pdf.

Suratno, “The Flowering of Islamic Thought: Liberal-Progressive Discourse and Activism in Contemporary Indonesia.” Irasec’s Discussion Papers #8 (2011), 1-28, pdf.

Page 222: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

211

Susanto,Edi.“Krisis Kepemipinan Kiai: Studi atas Kharisma Kiai dalam Masyarakat.” ISLAMICA1/2 (2007), 111-120, pdf.

-------------------- and Moh. Mashur Abadi, “Pesantren and the Preservation of Islam Nusantara.”KARSA23/2 (2016), 193-207, pdf.

Sutiyono, Syafiq M. Mughni, and Hotman M. Siahaan, “Puritanism vs. Syncretism: An Islamic Cultural Collision in the Rural Farmer Community in Trucuk, Indonesia.” Asian Social Science11/28 (2015), 200-211, pdf.

Suswanta, “Shifting Roles and Political Support of Kiai Individual, Structure, and Integrative Perspectives.” Journal of Government and Politics5/2(2014), 129-138, pdf.

Suryadinata, Leo. “Democratization and Political Succession in Suharto's Indonesia.” Asian Survey37/3 (1997), 269-280, pdf.

Syukur, Syamzan. “Kontroversi Pemikiran Abdul Rauf Al-Singkili.” Jurnal AdabiyahXV/1 (2015), 75-82, pdf.

Tajuddin, Azlan.“Development, Democracy, and Post-Islamism in Indonesia.”International Journal of Social Science Studies4/11 (2016), 41-50, pdf.

Tago,Mahli Zainudin.“Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz.”Kalam Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam7/1 (2013), 79-94, pdf.

Tan, Lena. “Indonesian National Security during the Suharto New Order (1965 – 1998): The Role of Narrative fo Peoplehood and the Construction of Danger.”New Zealand Journal of Asian Studies14/1 (2012), 49-70, pdf.

Tan,Charlene.“Educative Tradition and Islamic Schools in Indonesia.”Journal of Arabic and Islamic Studies 14 (2014), 47-62, pdf.

Taufani.“Indonesian Islam in Religious and Political Struggle Discourse,” AL ALBAB – Borneo Journal of Religious Studies4/1 (2015), 101-120, pdf.

Temple, Jonathan.Growing into Trouble:Indonesiaafter1966. Makalah disampaikan padakonferensi “Analytical Country Studies on Growth.” The Center for International Development, Harvard, 20-21 April 2001, 1-44, pdf.

Tempo “Amien Rais Akui Poros Tengah Hampir Mustahil.” Tempo, 16 September 2013.

Tessler, Mark. “Islam and Democracy in the Middle East: The Impact of Religious Orientations on Attitudes toward Democracy in Four Arab Countries,”Comparative Politics34/3 (2002), 337-354, pdf.

Tihami,M.A. “Kepemimpinan Kiai dan Jawara di Banten (Studi Kasus di Desa Pasanggrahan Serang Banten).”Annual International Conference on Islamic Studies (2016), 1577-1593, pdf.

Ufen, Andreas. “Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between politik aliran and ‘Philippinisation’.” Institute Global and Area Studies 37 (2006), 1-36, pdf.

Vaughn, Bruce. “Indonesia: Domestic Politics, Strategic Dynamics, and U.S. Interests.” Congressional Research Service31 (2011), 1-31, pdf.

Volpi, Frédéric and Bryan S. Turner. “Introduction: Making Islamic Authority Matter.”The TCS Centre, Nottingham Trent University (2007), 1-20, pdf.

Page 223: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

212

Wade, Geoff. “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900-1300 CE.” Journal of Southeast Asian Studies40/2 (2009), 221-265, pdf.

Wahyudhi,Nostalgiawan. “The Moderate Patterns of Islamization in Java Under Political Fluctuations in Early 20th Century.” International Journal of Nusantara Islam03/02 (2015), 47-60, pdf.

Weatherbee, Donald E. “Indonesia: Political Drift and State Decay.” The Brown Journal of World AffairsIX/1 (2002), 23-33, pdf.

Webber, Douglas. A Consolidated Patrimonial Democracy? Democratization in Post-Suharto Indonesia. Paper presented at the Workshop, “Post-Cold War Democratization in the Muslim World: Demestic, Regional, and Global Trends”, Joint Sessions of the European Consortium of Political Research, Granada, 14-19 April 2015, 1-5-pdf.

Wicaksana, I Gede Wahyu. “Islam and Sukarno’s Foreign Policy, with Reference to Indonesia Pakistan Relations 1960-1965.” International Journal of Indonesian Studies1 (2013), 58-78, pdf.

Wijaya, M. Akbar. “Akhir Cerita Penguasa Orba: Drama di Balik Mundurnya Soeharto,” Repulika, 21 Mei 1998.

Winarni, Leni. “The Political Identity of Ulama in the 2014 Indonesian Presidential Election.” Al-Jami‘ah52/2 (2014), 257-269, pdf.

Woodward, Mark R. “The "Slametan": Textual Knowledge and Ritual Performance in Central Javanese Islam.” History of Religions28/1 (1988) 54-89, pdf.

-------------------------- “Textual Exegesis as Social Commentary: Religious, Social, and Political Meanings of Indonesian Translations of Arabic Hadith Texts.” The Journal of Asian Studies 52/3 (1993), 565-583, pdf.

Yamamoto, Naoki. “Field Studies on Sufi Practices in Kudus, Central Java.” Al-Jāmi‘ah 51/2 (2013), 1-4, pdf.

Yaqin,Husnul. “Shaykh Muhammad Arsyad Al-Banjari’s Thought on Education.” Journal of Indonesian Islam05/02 (2011), 335-352, pdf.

Yasuko, Kobayashi. “Kyai and Japanese Military.” Studia Islamika4/3 (1997), 65-98, pdf.

Yazid,Mohd. Noor Mat. “The Indonesian Economic Development after 1965: Developmental State, Radical Politics & Regional Cooperation.” Sop Transaction on Economic Research1/3 (2014), 1-15, pdf.

---------------------------------- “Colonial Policy and the Impact to the Politico-Economy Stability after Independence: The Case of Indonesia under the Dutch and Malaysia under the British.” Review of History and Political Science2/3 & 4 (2014), 69-84, pdf.

Yousof, Ghulam-Sarwar. “Islamic Elements in Traditional Indonesian and Malay Theatre.” Kajian Malaysia28/1 (2010), 83-101, pdf.

Zaman, Muhammad Qasim. “Islam in Modern South Asia: Continuity and Change since the Early Twentieth Century.” Institute on Culture, Religion and World Affairs (2016), 1-11, pdf.

Zakaria, Gamal Abdul Nasir “Pondok Pesantren: Change and Its Future.” Journal of Islamic and Arabic Education2/2 (2010), 45-52, pdf.

Page 224: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

213

Zarkasyi, Hamid Fahmy. “The Rise of Islamic Religious-Political Movements in Indonesia: The Background, Present Situation and Future.”Journal of Indonesian Islam02/02 (2008), 335-378, pdf.

Zineldin, Mosad. & Valaintisna Vasicheva, “A New Mindset to Change the Arab/Islamic-Western Relations for Peace A Political and Socio-economic Integration Perspective.”Journal of Peace, Conflict and Development15 (2010), 74-91, pdf.

Zubair. “Political Conception of Sufism Leader in Java.” Atlanctis Press 154 (2018), 84-88, pdf.

Zuhdi, Muhammad. “Islamic Education in Southeast Asia in the Era of AEC: Prospects and Challenges.” JICSA03/02 (2014), 1-13, pdf.

Zuhdi, Susanto. “Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images.” Wacana11/1 (2009), 192-196, pdf.

Zulkifli, “The Ulama in Indonesia: Between Religious Authority and Symbolic Power.” MIQOTXXXVII/1 (2013), 180-197, pdf.

Zurbuchen, Mary S. “History, Memory, and the “1965 Incident” in Indonesia.” Asian Survey42/4 (2002), 564-581, pdf.

C. Wawancara Wawancara dengan Mohamad Bakir bertempat di Palmerah Jakarta Selatan 25-11-

2016. Wawancara dengan Greg Fealy di Gedung PBNU Jl. Kramat Raya No. 164 Jakarta

Pusat, 19-07-2019. Wawancara dengan Marzuki Usman bertempatGedung Sahid Sudirman Center Lt.

37, 12-04-2017. Wawancara dengan Jazilul Fawaid anggota DPR RIdi Gedung Parlemen Jakarta,

30-11-2016. Wawancara dengan Helmy Faishal Zaini Sekretaris Jenderal PBNU di Lt. 3 Kantor

PBNU, 10-11-2016. Wawancara denganK.H. Yahya C. Staquf (Gus Yahya) Juru Bicara (Jubir) Presiden

Gus Durdi Hotel Bidakara, Jakarta, 12-05-2016. Wawancara dengan K.H. Wawan Arwani di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon,

Jawa Barat, 19 Desember 2018. Wawancara dengan Gus Yusuf di Pondok Pesantren API Magelang, Jawa Tengah,

10 September 2017.

Page 225: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

229

DAFTAR ISTILAH

Civil society Masyarakat menjunjung tinggi norma, nilai dan hukum

Cultural brokers pialang budaya

Double-edged sword pedang bermata dua

IAIN Institut Agama Islam Negeri

Integrated Penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh

Karismatik berwibawa, berkenaan wibawa

Khittah 1926 garis dan thariqah (jalan)

Kiai Pemimpin pesantren dan masyarakat

Kiai khos Pemimpin Islam karismatik Lakpesdam NU Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya NU

LKKNU Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama

LP Ma’arif NU Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

Mediator Penengah, perantara,pemisah, pendamai antara dua pihak

Modernisme Pembaharuan corak/model kehidupan, gaya hidup modern

NU Nahdlatul Ulama

Orde Baru Tatanan yang baru

Orde Lama Tatanan yang lama

PKB Partai Kebangkitan Bangsa

Religious thought gerakan pemikiran keagamaan

Religious truth kebenaran agama

Simbiotik Bersifat hidup saling menguntungkan satu sama lain

Sekularistik hal yang terikat oleh unsur-unsur kerohanian

Teologis Menurut, berdasarkan teologi

Tradisionalisme ajaran yang menekankan pelestarian dasar tradisi

UIN Universitas Islam Negeri

Ulama Pemimpin agama yang membimbing dan membina umat

Page 226: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

215

Indeks

‘Abd al-Ra'uf al-Sinkili, 50, 104, 137,

162

A. Muhaimin Iskandar, 1, 147, 167

A.S. Hikam, 77

abad, 14, 21, 22, 23, 24, 25, 28, 33, 35,

38, 44, 46, 47, 48, 51, 53, 54, 55, 57,

59, 60, 61, 62, 71, 76, 103, 104, 105,

115, 118, 119, 120, 127, 129, 132,

134, 153, 156, 157, 158, 165, 175,

179, 182

abangan, 32, 34, 35, 102

Abd al-Rahmán al-Kawákibî, 97

Abdul Hamid, 85

Abdul Karim, 91

Abdul Munir Mulkhan, 12, 21

Abdul Qadir, 90

Abdullah Faqih, 7, 92, 93

Abdurrahmán Mas’ûd, 148

Abdurrahman Wahid, 1, 2, 4, 10, 14, 38,

50, 54, 77, 88, 106, 109, 111, 113,

122, 127, 128, 130, 144, 149, 150,

151, 153, 154, 162, 165, 170, 176,

177, 178

ABRI, 69, 73, 83, 100, 107, 109

Aceh, 2, 44, 60, 104, 125, 137, 168, 169,

171

Achmad Zainal Arifin, 6, 10, 13, 23, 38,

51, 87

Adeline M. Tumenggung, 96

adiluhung, 130

Afrika, 47, 51, 79, 153, 171, 172

Afrika Timur, 51

Afro-Eurasia, 105

agent of change, 19, 21

agresif, 156

Agus Muhammad, 161

Agus Salim, 64

Ahmad Dahlan, 66, 117

Ahmad Fáris al-Shidyáq, 97

Ahmad Khatib Minangkabawi, 43

Ahmad Siddiq, 43

Ahmad Suaedy, 85

Ahmad Syafii Maarif, 15

Ahmad-Norma Permata, 167

Ainul Fitriah, 153

aktivis, 13, 22, 99, 112, 121, 127, 143,

174

Al Husaini M. Daud, 15

al-‘adālah, 6

Al-Attas, 32

al-darûrîyat al-khamsah, 128, 154, 175

Alfirdaus, 30, 129, 149, 155

al-Ghazali, 120, 133

Al-Ghazali, 23

al-Hallaj, 120

al-hurriyah, 6

Ali, 3, 5, 23, 77, 81, 90, 91, 107, 108,

114, 117, 152, 175

Ali Maschan Moesa, 3, 5

Alī Sharīatī, 13, 28, 121

Allama Muhammad Iqbal, 58

al-musāwah, 6

Aloysius Pieris, 13, 28, 121

al-Raniri, 104

al-syûrā, 6

Amelia Fauzia, 13, 139

American University Library, 152

Amerika Latin, 14, 79

Amien Rais, 1

Amsál Bahtiár,, 148

Amy L. Freedman, 62, 99

Andik Wahyun Muqoyyidin, 44, 156

Andreas Ufen, 159

Anies Rasyid Baswedan, 160

Anna M. Gade, 48

Antara, 16, 67, 96, 124, 167

Antony Black, 174

antropologi, 12

API, 145

Arab, 14, 33, 37, 43, 47, 51, 59, 85, 91,

103, 105, 128, 152, 153, 168, 172,

175, 179

Arbi Sanit, 96

Arek Suroboyo, 141

Page 227: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

216

Arif Zamhari, 93

Arifin Junaidi, 143

Arkoun, 37, 45

As’ad, 4, 43

ASEAN, 2, 52, 69, 172

Asia, 4, 7, 10, 22, 25, 31, 33, 34, 35, 42,

44, 45, 47, 48, 51, 52, 57, 58, 66, 67,

71, 73, 78, 79, 83, 84, 95, 96, 98, 100,

102, 105, 109, 112, 113, 115, 116,

117, 120, 121, 123, 129, 130, 137,

144, 146, 153, 167, 170, 171, 172,

173, 174

Asvi Warman Adam, 64

Australia, 28, 35, 69, 73, 75, 82, 86, 88,

93, 99, 106, 113, 125, 151, 152, 172,

174, 177

Azlan Tajuddin, 131, 174

Azra, 1, 7, 9, 12, 23, 35, 45, 74, 101, 105,

116, 119, 176

Azyumardi Azra, 7, 12, 116

B.J. Habibie, 78, 81, 109, 143, 158

Baghdad, 153

Bahtiar, 22, 23, 29

bahtsul masâil, 45

Bakir, 89, 168, 169

Bakorstanas, 1, 167

Bambang Sudibyo, 163, 182

bambu, 131

bandongan, 45, 101

bangkrut, 82, 117

bargaining, 5, 7, 22, 136, 138

bargaining position, 5, 22

Barton, 2, 88, 121, 122, 170, 177

Batavia, 63

Batubara, 32

beasiswa, 106, 152

Berg, 16

Bernard Adeney-Risakotta, 134

bid’ah, 38, 119

birokrasi, 1, 2, 25, 74, 76, 78, 80, 112,

130, 132, 167, 171

Bisri Syansuri, 43, 164, 165

blessing, 9, 13, 19, 34, 110, 139, 181

Blok Barat, 171

Boyd Compton, 67

BPKI, 141

BPUPKI, 65, 66, 141

Bruce Vaughn, 60, 168

Bruinessen, 26, 41, 47, 49, 50, 55, 59, 98,

124, 127, 129, 147, 170, 174

Bryan S. Turner, 53, 128

Buddha Maitreya, 13, 120

Buddha Siddharta, 13, 121

Budhy Munawar-Rachman, 6, 45

Budiarto Shambazy, 173

Bulog, 166, 167, 169

Buntet, 145

bupati/wakil, 149

Burhani, 44, 157

Burhanudin, 24, 137, 138

Carool Kersten, 105, 132

center, 105, 120, 125

Chambert Loir Henri, 59

Champa, 47

charismatic, 24, 52, 53, 86, 149, 158

Charlene Tan, 28, 104, 132, 133

check and balances, 80, 82

China, 47, 48, 65, 71, 79, 172

Chodluri, 152

choice of value, 156

Cirebon, 145, 164

civil society, 4, 113

class struggle, 5

Clifford Geertz, 12, 16, 21, 25, 33, 34,

102, 158

Cole, 113

Cornelis, 60

counter attack, 125, 137, 146

cross-cultural context, 22, 123

cultural, 6, 10, 12, 13, 21, 22, 29, 53, 83,

103, 123, 136, 140

cultural broker, 10, 12, 29, 83, 136

cycles of contention, 2

dagang sapi, 2, 3

Damien Dematra, 7

dan Matori Abdul Jalil, 143

Daniels, 31, 33, 62

Dár al-Islám, 100

Page 228: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

217

Darmawijaya, 107, 142

Dárul Islám, 58

David Bourchier, 6, 83, 84

David C. Leege, 12

David Jenkins, 69, 152

Deklarasi Ciganjur, 109

Deliar Noer, 14, 119

Democracy, 4, 6, 7, 10, 26, 66, 74, 85,

95, 131, 150, 153, 155, 159, 162, 163,

166, 167, 170, 173, 174

Demokrasi, 3, 15, 23, 78, 106, 108, 154

demonstrasi, 77, 78, 83, 95, 108, 109,

144, 167, 170, 177

demontrasi, 77, 105, 112

Dennys Lombard, 25

devide en impera, 106

Dewan Syuro, 4, 7, 143

DI/TII, 62, 76

dialog, 57, 178

Diane L. Moore, 51

Didin Nurul Rosidin, 132

Dietrich Jung, 63

Dina Afrianty, 103

diplomatik, 111, 172

diskursus, 18, 21

Djarnawi Hadikusumo, 106

Djohan Effendi, 11, 12, 146

Djoko Surdjo, 16

doktrin, 30, 33, 36, 50, 52, 53, 107, 115,

116, 133, 138, 139, 146, 150

Doktrin ala Wahid, 173

Donald E. Weatherbee, 76

Donald K. Emmerson, 12, 34

double-edged sword, 144, 148, 181

Douglas Webber, 95

DPR/MPR, 77

DPRI, 173

DPW, 84

Dunia Islam, 62, 94, 97, 102, 129

Dwi Tiyanto, 114

Dwiyanto, 2

Ebrahim Moosa, 118

Edward Aspinall, 69, 73, 75, 82, 86, 99,

106, 112, 113, 115, 151, 152, 177

Efendî Choirî, 147

elite, 3, 4, 5, 8, 9, 10, 12, 19, 21, 25, 26,

30, 33, 41, 47, 53, 58, 59, 62, 64, 65,

66, 67, 68, 71, 78, 81, 83, 84, 85, 86,

89, 97, 98, 105, 109, 110, 112, 114,

116, 126, 127, 136, 137, 141, 142,

144, 145, 146, 147, 148, 149, 158,

165, 166, 168, 170, 179, 181, 182

elite pesantren, 5, 9, 10, 20, 30, 33, 81,

83, 84, 85, 89, 98, 114, 116, 126, 127,

136, 137, 142, 144, 145, 146, 148,

149, 158, 181

Elizabeth Fuller Collins, 162

Ellyasa KH Dharwis, 152

Endang Turmudi, 11, 21, 24, 125, 150

episentrum, 20, 128, 179

epistemologi, 27, 44

equal, 3

Eric C. Thompson, 174

Ernest Renan, 97

Eropa, 15, 24, 82, 105, 171

esoterik, 23

Eva Leiliyanti, 65, 141

Faisal Ismail, 100, 114, 153

Farid Wajidi, 21, 68, 129, 147

Fealy, 11, 21, 69, 73, 75, 82, 86, 93, 99,

106, 113, 114, 142, 151, 152, 166,

167, 174, 177, 178

Federspiel, 85

Feener, 22, 42, 48, 111, 119, 123

Fendi Teguh Cahyono, 132

feodal, 54, 153

Ferry Muhammadsyah Siregar, 97, 158,

169

FFI, 112

fî sabîlillah, 60

figur, 8, 28, 42, 83, 85, 86, 90, 135, 136,

138, 140, 150, 175

filosofi politik, 162

Filosofi politik, 174

Firdaus Muhammad, 161

Firman Noor, 10, 46, 99, 161

Firmanzah, 117

Fish, 29

Page 229: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

218

floating mass, 9, 124

Florian Pohl, 8, 104

Forum Belajar Bebas, 108

Fox, 112, 144

Franklin, 26, 34

Fredj Maatoug, 116, 117

Front Mojokerto, 141

fusi partai, 82, 115, 142

Garfinkel, 16

Gary Dickson, 53, 87

Geertz, 11, 13, 33, 34, 35, 125, 158

gelar, 38, 43, 89, 122, 145, 157

generasi baru, 19, 38, 110, 135, 182

generasi emas, 147

Geoff Wade, 47

Gerakan Non-Blok, 172

Giddens, 16, 81

global, 20, 24, 29, 46, 57, 105, 110, 171,

177, 179, 181

Golkar, 1, 72, 76, 78, 80, 86, 107, 115,

142, 169

Graham K. Brown, 63

great tradition, 120, 134

Greg Barton, 38, 88, 100, 109, 122, 154,

169, 170, 174, 177

Greg Fealy, 21, 73, 178

Gubernur BI, 167

Gus Dur, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12,

16, 17, 19, 25, 64, 77, 81, 84, 85, 86,

88, 89, 90, 92, 93, 110, 111, 112, 114,

121, 143, 144, 145, 146, 147, 149,

150, 151, 152, 153, 154, 155, 156,

162, 163, 164, 165, 166, 167, 168,

169, 170, 171, 172, 173, 174, 176,

177, 178, 179, 181, 182

Gus Mus, 7, 90, 91, 145, 152, 174

Gus Nuril Soko Tunggal, 4

H.O.S Tjokroaminoto, 64

Hadiz, 82, 114

Hairus Salim, 142

Hal Hill, 113

halaqah, 29, 54, 102

Hamami Nata, 78

Hamayotsu, 26, 67, 159, 163

Hamid Fahmy Zarkasyi, 59, 141

HAMMAS, 144

Hamzah Fanzuri, 104

Hanîf Dhakîrî, 147

Hanun Asrohah, 58, 61

Haramain, 42, 43, 45, 103, 104

Harian Merdeka, 90, 91

Harmoko, 78

Harold Crouch, 3, 69, 73, 75, 113, 149,

151, 152, 171

Harry J. Benda, 10, 23

Hasyim Asy’ari, 6, 25, 43, 63, 64, 66, 68,

90, 98, 117, 131, 137, 138, 140, 153,

162, 164, 170

Hatta, 64, 66, 67, 74, 98

Hefner, 24, 66, 88, 120, 171

hegemoni, 119, 125, 150, 156, 166, 181

Helmy Faishal Zaini, 89, 163, 177

Henk Schulte Nordholt, 4, 68, 129, 147

Herbert Feith, 12

Hermawan Sulistyo, 167, 173

high class, 9

Hilman Latief, 131

Hiroko Horikoshi, 5, 10, 12, 14, 16, 21,

22, 25, 87, 122

hizbullah, 61

Hizbullah, 63, 99, 100, 141

Hizbulláh, 140

Hj. Sholihah, 153

HMI, 17, 67

homogen, 24

Horikoshi, 10, 11, 12, 87

hubb al-watan min al-îmán, 59

Huberman, 17

Husnul Yaqin, 46

IAIN, 36, 45, 108

Ibn Hisyam, 175

Ibrahim M. Abu-Rabi, 8, 175

ICMI, 81

identitas, 11, 34, 35, 61, 74, 96, 103, 126,

127, 130, 145, 148

ideologi, 7, 24, 33, 34, 36, 43, 49, 52, 62,

64, 65, 67, 70, 73, 74, 75, 76, 81, 82,

101, 110, 112, 117, 118, 125, 127,

Page 230: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

219

131, 133, 135, 137, 141, 148, 153,

156, 157, 167, 168, 176, 181

Idham Chalid, 67, 114

Idris Marzuki, 7, 88, 92

Ikrar Nusa Bhakti, 95, 170

Imam Nahráwî, 147

IMF, 72, 83, 113

indigeneous, 103, 134

inklusif, 86, 101, 161, 163, 179

integrated, 9

integritas moral, 86

intelektual, 12, 13, 14, 18, 19, 20, 22, 27,

28, 29, 38, 39, 42, 44, 45, 46, 57, 90,

94, 95, 97, 102, 103, 105, 110, 111,

112, 117, 119, 120, 121, 123, 127,

128, 136, 146, 149, 154, 163, 164,

165, 174, 175, 176, 181, 182

intelektualisme, 5, 7, 11, 12, 19, 29, 33,

42, 43, 45, 56, 85, 111, 127, 132, 135,

149, 150, 170, 175, 181

intelektualisme NU, 11

intelektualisme pesantren, 42

intellectual bias, 14

intellectual bom, 121

interaksi, 16, 51, 105, 136, 138, 158, 165

Irfan Charis, 94

Irwan Abdullah, 4

Irwan Suhanda, 4

ISEAS, 1, 2, 9, 11, 14

Islam hadlãrî, 101

Islam Nusantara, 35, 105, 116

Islamic studies, 135

Israel, 111, 172, 179

Jabali, 36, 109

Jakarta, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14,

15, 17, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 35, 36,

43, 44, 50, 54, 59, 64, 65, 67, 69, 74,

75, 77, 83, 85, 87, 88, 89, 96, 105,

106, 108, 109, 111, 116, 117, 118,

119, 121, 122, 127, 135, 137, 143,

144, 145, 146, 149, 152, 153, 154,

162, 163, 164, 166, 169, 172, 176, 178

Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-

Pyongyang, 172

jam’iyah, 5

jam’iyyah, 19, 110, 148, 179, 181, 182

jamaah, 19, 85, 90, 110, 148, 156, 179,

181, 182

Jamal al-Dîn al-Afghánî, 45, 97, 119

James, 16, 28, 69, 112, 144, 151

Jamhari, 36, 109

jaringan, 42, 43, 104, 108, 117, 134, 146

Javad Haghnavaz, 48

Jawa, 6, 10, 24, 25, 30, 31, 32, 33, 34,

35, 36, 41, 42, 46, 48, 49, 53, 59, 62,

63, 66, 67, 73, 76, 84, 90, 91, 92, 93,

98, 100, 101, 102, 103, 104, 107, 116,

117, 118, 120, 129, 133, 134, 141,

145, 156, 157, 178

Jazilul Fawáid, 147

Jepang, 63, 66, 79, 98, 99, 100, 126, 138,

172

Jeremy Kingsley, 134

Jesudas M. Athyal, 4

jihád, 59

John L. Esposito, 13, 121

John O. Voll, 13, 121

John T. Sidel, 129

Joko Widodo, 91, 162

Jones, 27, 37, 140

Julia Day Howell, 9, 22, 26, 30, 47, 86,

120

Jun Honna, 25, 86

Jusuf Kalla, 167, 169

kabinet, 1, 2, 3, 68, 71, 77, 113, 114, 116,

167

Kabinet Persatuan Nasional, 2

Kabinet Wilopo, 68, 99

Kacung Marijan, 8

Kaherah, 153

Kalimantan, 46, 48, 59, 67, 129

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, 42,

45, 130, 146

KAMMI, 144

karisma, 1, 10, 13, 25, 26, 42, 58, 78, 84,

86, 91, 147, 182

karisma kiai, 10, 42, 84

Page 231: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

220

karismatik, 5, 6, 9, 22, 23, 24, 26, 29, 38,

41, 52, 53, 86, 87, 88, 91, 92, 93, 94,

97, 128, 139, 162, 163, 164, 165, 166,

167, 169

Karl Marx, 108, 124

karõmah, 7, 130, 163

Kartodirdjo, 25

Kazunori Hamamoto, 101

kebangkitan, 47, 49, 99, 149, 176

keberkahan, 9, 13, 89, 92, 130, 139, 165,

166

Kedubes, 152

Kees van Dijk, 167, 168

Kees Van Dijk, 9

kekuatan baru, 20, 54, 123, 137, 144,

148, 181

Kementerian Agama, 57, 152, 160

Ken Ward, 75, 82

Kerajaan Sriwijaya, 31, 47

keturunan, 111, 127, 128, 154, 162, 177

khairu ummah, 150

khalaf, 132

khalifah, 6, 175, 176

khazanah, 44, 46, 51, 54, 89, 102, 103,

104, 123, 127, 146, 147, 148, 149,

153, 154, 166, 181

Khilafat, 5

khittah, 4, 5, 7, 11, 84, 85, 110, 111, 142,

143, 147, 149, 150, 160, 178, 181, 182

Khoerul Rosyadi, 4

Khofîfah Indar Parawansá, 147

Khoirun Niam, 94, 146

kiai, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 16,

18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 28, 29,

30, 35, 36, 37, 38, 41, 42, 43, 44, 45,

46, 51, 52, 53, 54, 58, 59, 61, 62, 63,

64, 66, 67, 68, 83, 84, 85, 86, 87, 88,

89, 90, 92, 93, 94, 95, 97, 98, 99, 100,

101, 102, 103, 110, 111, 112, 113,

114, 115, 116, 117, 118, 120, 123,

124, 125, 126, 127, 128, 129, 130,

131, 132, 134, 135, 136, 137, 138,

139, 140, 141, 142, 143, 145, 146,

147, 148, 149, 150, 154, 155, 156,

157, 158, 159, 160, 161, 162, 163,

164, 165, 166, 167, 170, 173, 178,

179, 181, 182

kiai khos, 4, 7, 8, 10, 16, 19, 28, 29, 86,

87, 88, 89, 90, 110, 148, 149, 162,

163, 164, 165, 166, 173, 179, 181, 182

Kiai Zubair, 91

kitab, 18, 43, 44, 45, 46, 51, 52, 91, 101,

103, 111, 120, 121, 123, 130, 131,

132, 135, 156, 157

kitab gundul, 43

kitab kuning, 18, 43, 44, 45, 46, 51, 52,

102, 120, 121, 123, 130, 131, 132,

135, 156

Kitab kuning, 38, 43, 45, 103, 104, 129,

156

KKN, 171

klasik, 6, 22, 29, 39, 42, 43, 54, 101, 103,

111, 119, 120, 122, 127, 132, 139,

146, 147, 153, 154, 181

Klaten, 93, 94

Kleden, 35

kolonial, 6, 21, 24, 50, 53, 58, 59, 61, 62,

63, 67, 100, 106, 119, 137, 141, 146,

151, 157

kolonialisme, 21, 42, 43, 52, 53, 58, 59,

61, 62, 64, 98, 116, 119, 126, 127,

130, 137, 140

Kompas, 4, 7, 17, 43, 64, 74, 75, 89, 135,

146, 169, 173

kompromi, 2, 3, 4

konflik, 3, 38, 97, 99, 107, 116, 122, 126,

140, 142, 159, 168, 171, 172, 176

Konghucu, 163

konservatif, 13, 55, 57, 62, 67, 73, 109,

112, 121, 147

konsolidasi, 71, 81, 107, 132, 165

konstruksi, 11, 13, 36, 113, 121

Korea, 13, 28, 82, 96, 120

kosmopolitinisme, 148

Kotagede, 14

Kramat Raya, 163, 166

Krapyak, 4, 90, 152

Kreatif, 30

Page 232: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

221

krisis moneter, 77, 78, 82, 113, 170

Kristen, 33, 63, 116, 153, 163

kritis, 35, 45, 46, 111, 115, 144, 157

Kukuh Sanyoto, 2

kultur politik, 3, 7, 8, 10, 12, 16, 18, 19,

148, 149, 179, 181, 182

kurikulum, 44, 45, 52, 55, 74, 92, 123,

131, 132, 133, 134

Laili Bariroh, 159

Lakpesdam, 146

Laode Ida, 127, 137

Lathiful Khuluq, 66, 98

Laut Mediterania, 153

legitimasi, 3, 4, 21, 31, 72, 74, 88, 107,

112, 125, 137, 176

lengser keprabon, 83, 112

Leo Suryadinata, 80

Liddle, 62, 139

Lirboyo, 4, 90, 91, 92

LKiS, 1, 2, 4, 5, 21, 24, 78, 127, 128,

142, 146, 150, 152, 167

lokal, 30, 33, 34, 35, 38, 41, 42, 46, 47,

48, 49, 51, 62, 84, 85, 86, 90, 94, 103,

115, 116, 117, 132, 158

Lombok, 48, 59, 104, 134

LSM, 22, 106, 146, 182

Lukmán Hakîm Saifuddîn, 148

Lukman Harun, 107

Luthfi Assyaukanie, 14, 121

Lyman A. Kellstedt, 12

M. Nuh, 148

M. Yûsuf Chudlõri, 145

M.A.Tihami, 101

M.C. Ricklefs, 102, 103, 118

ma’rifat, 87, 90, 163, 164

Ma’ruf Amin, 136, 143

Ma’shum, 43, 90

MacDougal, 1

Machrus Ali, 4

Madinah, 42, 127

madrasah, 6, 7, 51, 54, 55, 56, 57, 58, 81,

131, 134, 139

Magelang, 35, 141, 145, 152

mahasiswa, 1, 2, 10, 19, 77, 78, 80, 83,

95, 96, 97, 105, 108, 109, 112, 113,

146, 155, 170, 177

Mahfuz al-Tirmasi, 43

Maimun Zubair, 7, 91

Majelis Permusyawaratan Rakyat, 1

Makkah, 42, 48, 55, 91

Maksum, 4, 77, 108, 152

Malaysia, 15, 33, 42, 48, 55, 62, 63, 67,

69, 71, 72, 77, 82, 99, 107, 108, 172

Mansur Hidayat, 150

Mansurnoor, 77, 84

Marcus Mietzner, 84, 86

marginalisasi, 82, 114, 147, 161

Mark Tessler, 153

Martin van Bruinessen, 4, 26, 36, 41, 47,

49, 50, 55, 57, 59, 68, 98, 117, 120,

124, 127, 129, 147, 160, 165, 170, 174

Marxisme, 64

Marzuki Dahlan, 92

Marzuki Usman, 77, 88, 163, 182

Masdar F. Mas’udi, 6

Masdar Hilmy, 144

masjid, 33, 35, 51, 54, 81, 102, 104, 130

Masykur, 63, 114, 147

Masyumi, 21, 38, 62, 67, 68, 98, 99, 100,

106, 116, 122, 126, 142, 161, 170

Maulanā Sayyid Abûl A’lā al-Maudûdī,

13, 28, 121

maulid, 41

Max L. Gross, 58, 59, 100

Mayjen, 78, 152

McGinn, 27

medan baru, 19, 151

mediator, 10, 12, 22, 29

Megawati, 1, 106, 109, 113, 151, 166,

177, 182

Melayu, 32, 34, 48, 50, 103

menggugat, 118

mengonstruksi, 15, 16, 18, 110, 181

menteri, 2, 67, 77, 81, 83, 95, 99, 106,

108, 113, 114, 167, 169

Menteri, 66, 68, 71, 83, 99, 108, 114,

131, 132, 142, 143, 167, 169

Page 233: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

222

Menteri Agama, 68, 99

Menteri Sosial, 142

Michael Amaladoss, 121

Michael Buehler, 6, 155

Michael Laffan, 60, 120

Michael Symonds, 22

Miles, 17

militer, 63, 64, 69, 70, 71, 72, 73, 76, 80,

81, 83, 95, 99, 100, 112, 119, 141, 142

Minjung, 13, 28

Mirjam Künkler, 131

mistik, 19, 22, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 94,

120, 129, 157, 165, 178

Mitsuo Nakamura, 14

modern, 10, 14, 21, 22, 24, 27, 29, 35,

38, 42, 46, 52, 54, 55, 56, 57, 58, 59,

62, 79, 84, 96, 98, 117, 118, 119, 121,

122, 123, 130, 131, 132, 133, 134,

139, 146, 147, 154, 165, 166

Moeslim Abdurrahman, 4

Mohamad Bakir, 89, 169

Mohammad Hanafiah, 142

Mohammad Ihyak, 10

Mohammad Natsir, 65, 67

Mohammad Roem, 106

Mohandas Karamchand Gandhi, 13, 28,

121

Mohd. Noor Mat Yazid, 71, 82

Moleong, 17

moral, 6, 7, 23, 28, 54, 86, 109, 110

Mosad Zineldin, 172, 179

Mosad Zinerdin, 172

MPR, 1, 4, 73, 74, 77, 78, 93, 109, 149,

162, 164, 166, 167, 179, 182

mudhārāt, 7

Muhádjir Effendÿ, 148

Muhaimin, 1

Muhamad Hisyam, 100

Muhammad Abduh, 45, 116

Muhammad Zuhdi, 52, 158

Muhammadiyah, 8, 14, 26, 44, 45, 64,

66, 76, 83, 96, 99, 100, 102, 107, 114,

115, 116, 119, 133, 137, 138, 143,

144, 157, 177

Mujamil Qomar, 9

Mujani, 32, 35

Muktamar, 4, 68, 91, 94, 107, 110, 111,

126, 142, 143, 145

Munasir, 114

Munawir, 43

mushalã, 41, 101, 130

Muslim Rifa’i Imampuro, 7, 93

Muslim tradisional, 13, 47, 49, 67, 81,

121

Mustofa Bisri, 7, 90, 91, 145, 152, 174

Nadirsyah Hosen, 75, 91

Nahdlatul Ulama, 4, 6, 11, 18, 26, 37, 58,

61, 83, 90, 91, 94, 100, 110, 111, 114,

115, 126, 127, 132, 135, 136, 137,

143, 146, 149, 161, 162, 174, 177,

179, 181

Nakamura, 14, 64, 126

Naoki Yamamoto, 46, 48

Naqsabandiyah, 49, 86, 116

nasionalisme, 18, 19, 21, 37, 59, 62, 64,

65, 71, 112, 119, 121, 128, 138, 141,

148, 155, 175, 177, 181

Nasr Abu Zayd, 97, 128

Nasution, 27, 114

Nathan C. Funk, 80

Nawawi al-Bantani, 43

negara-bangsa, 130, 131, 179

new tradisionality, 178

Nico J.G. Kaptein, 9, 167, 168

Nils Bubandt, 10, 166

NKK, 108

NKRI, 30, 61, 62, 73, 76, 93, 94, 98, 113,

128, 138, 142, 148, 160, 167, 171,

174, 176, 178, 179, 182, 183

Noorhaidi Hasan, 42, 57

Norshahril Saat, 136

NU, 1, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15,

16, 17, 18, 19, 20, 21, 25, 28, 37, 44,

45, 46, 58, 59, 61, 62, 63, 64, 67, 68,

81, 83, 84, 86, 89, 91, 92, 93, 94, 99,

100, 107, 110, 111, 112, 113, 114,

115, 116, 117, 118, 119, 122, 124,

126, 127, 128, 131, 133, 137, 140,

Page 234: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

223

141, 142, 143, 144, 145, 146, 147,

148, 149, 150, 152, 153, 155, 156,

157, 161, 162, 163, 164, 165, 166,

167, 170, 174, 176, 177, 178, 179,

181, 182

Nur Kholis Setiawan, 158, 169

Nurcholis Madjid, 8, 135

Nuriyati Samata, 156

Nusantara, 21, 24, 30, 31, 33, 35, 42, 43,

44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 59, 60,

74, 75, 92, 98, 102, 103, 104, 105,

106, 116, 126, 127, 130, 132, 137,

140, 156, 179

obor, 44, 64, 95

Oktober, 1, 4, 7

oposisi, 78, 80, 82, 106, 107, 115, 167

Opsus, 107

Orde Lama, 3, 18, 30, 64, 86, 114, 116,

117, 142

organized Islam, 140

ormas, 73, 81, 107, 111, 112, 146, 147,

155

ortodok, 148, 151, 160

ortodoksi, 22, 35, 37, 42, 49, 110, 113,

117, 144, 148, 153, 154, 181

Osman Bakar, 15

otoritanisme, 3

otoritas, 6, 8, 20, 21, 23, 26, 28, 31, 36,

43, 52, 53, 54, 62, 87, 97, 100, 115,

117, 118, 120, 123, 124, 125, 129,

134, 139, 158, 175, 176

Otoritas, 25, 41, 42, 106, 126

otoritatif, 3, 29, 158

P-4, 107

Pakistan, 83, 96, 183

PAN, 159, 160, 177

Pancasila, 38, 43, 52, 58, 59, 65, 66, 67,

72, 73, 74, 75, 76, 82, 93, 94, 98, 107,

111, 112, 122, 128, 130, 131, 132,

141, 142, 148, 149, 155, 157, 160,

176, 178, 182, 183

Panji Islam, 64

panutan, 26, 90, 97, 136

Paolo Freire, 108

Papua, 2, 168, 171, 172

Papua Barat, 2

Par Exellence, 105

Paradigma, 21, 44, 162

Parmusi, 106, 142

Partai Keadilan, 112, 144

partai politik, 2, 10, 21, 26, 62, 65, 66,

67, 68, 72, 76, 79, 82, 84, 85, 107,

111, 115, 127, 136, 140, 142, 143,

144, 150, 155, 156, 159, 160, 161,

168, 170, 176, 182, 183

Partai Syarikat Islam Indonesia, 142

paternalistik, 5, 162

patron, 21, 26, 53, 97, 113

patsoen, 23

Paul J. Carnegie, 62, 66, 155, 160

PBNU, 4, 7, 17, 81, 84, 89, 91, 94, 111,

114, 131, 141, 143, 145, 147, 149,

150, 151, 152, 153, 161, 163, 166,

168, 174, 177, 178

PBR, 136, 155, 159

PDI, 78, 79, 91, 106, 142, 177, 182

pembaharuan, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 16, 17,

19, 20, 28, 29, 31, 42, 58, 95, 110,

119, 127, 144, 146, 147, 148, 149,

174, 181, 182

Pembela Tanah Air, 63, 99, 100

pemikiran, 10, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 18,

24, 37, 38, 39, 42, 44, 46, 49, 54, 57,

75, 77, 84, 89, 97, 111, 112, 116, 121,

122, 127, 144, 145, 146, 147, 148,

149, 153, 155, 156, 157, 160, 163,

175, 178, 181

pemikiran konstruktif, 12, 14, 121

Pemilu 1955, 68, 159

Pemilu 1999, 142, 144, 160

pendidikan umum, 51, 84, 135

pendiri NU, 127, 179

pengasuh, 49, 90, 91, 92, 110, 130, 158

penyokong, 114, 131

Perang, 15, 62, 77, 118, 119, 171

perebutan, 23, 66, 99, 116, 136, 140

pergeseran paradigmatik, 12

periphery, 105

Page 235: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

224

perjuangan, 5, 6, 8, 10, 11, 12, 15, 18, 19,

20, 43, 52, 60, 61, 62, 64, 65, 85, 90,

98, 99, 102, 110, 116, 117, 118, 119,

123, 125, 126, 127, 135, 136, 137,

140, 148, 149, 159, 160, 161, 170,

177, 181, 182, 183

Persis, 14, 143, 157

pertengahan, 22, 28, 38, 54, 55, 57, 76,

103, 115, 118, 122, 127, 153, 156,

158, 174

pesantren, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 17, 18, 19,

20, 22, 23, 24, 26, 30, 36, 37, 38, 39,

41, 42, 43, 44, 45, 46, 49, 50, 51, 52,

53, 54, 55, 56, 58, 59, 62, 63, 81, 84,

87, 88, 89, 90, 92, 93, 94, 100, 101,

102, 103, 104, 110, 111, 113, 117,

120, 121, 122, 123, 124, 125, 127,

129, 130, 131, 132, 133, 134, 135,

137, 138, 141, 144, 145, 146, 147,

148, 150, 152, 153, 155, 156, 158,

160, 161, 163, 164, 179, 181

Pesantren, 6, 8, 9, 10, 14, 23, 24, 26, 36,

38, 41, 42, 44, 45, 46, 50, 51, 52, 53,

54, 56, 61, 87, 90, 91, 92, 93, 94, 97,

102, 103, 104, 120, 129, 130, 132,

133, 134, 135, 145, 150, 152, 153,

156, 161, 178

Pesantren Denanyar, 153

Pesantren Tambakberas, 152

Piagam Jakarta, 62, 67

piramida, 80

PKB, 1, 4, 7, 10, 84, 85, 86, 89, 92, 110,

136, 143, 147, 155, 159, 160, 162,

163, 165, 177, 179, 182

PKI, 35, 66, 69, 70, 76, 82, 114, 142

PKNU, 136, 182

PKU, 136, 155, 159

PNI, 35, 66, 67, 142, 160

PNU, 136, 159

political broker, 8, 10, 12

political consiousness, 99

political hauntology, 166

political Islamic, 85, 148, 182

political leverage, 2

political opportunity, 96

political stage, 170

Politik, 2, 3, 10, 11, 12, 15, 16

politik Islam, 5, 11, 55, 63, 67, 84, 85,

148, 155, 156, 182, 183

politik kebangsaan, 144, 147, 151

politik pragmatis, 12

Politik Santri, 21

politisi muda, 147

pondok, 42, 51, 102, 103, 104, 111, 131,

156

Poros Langitan, 93, 165

Poros Rembang, 165

Poros Tengah, 1, 4, 93, 161, 165

Porter, 38, 39, 122, 143

power, 6, 26, 41, 61, 80, 125, 136, 138

powerfull, 80

Pranowo, 35, 91

PRD, 108

preferensi, 12, 16, 21, 23, 25, 26, 41, 159

prepagation of Islam, 102

Presiden Ayub Khan, 96

Presiden Chun Doo Hwan, 96

Presiden Keempat, 1, 10

Presterraden, 141

Pribumisasi Islam, 52, 153, 154

prime mover, 95

progresif, 1, 37, 45, 57, 66, 94, 100, 101,

108, 110, 117, 123, 136, 144, 145,

146, 147, 148, 163, 164, 165, 172,

177, 179, 181, 182

Progresif, 6, 127

public sphere, 12

purifikasi, 116, 119

qanun, 168

R. William Liddle, 62, 63

radikal, 55, 57, 71, 76, 78, 82, 95, 99,

103, 106, 108, 109, 112, 126, 167, 171

radikalisme, 14, 80, 112, 126, 183

Rahman, 15, 45, 56

Rais ‘Am, 91, 153, 174

Raja Brunei Darussalam, 171

Raja Iskandar Tsánî, 137

Rasyid Ridha, 45, 116

Page 236: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

225

Rasyîd Ridhá, 119

reformasi, 1, 7, 8, 19, 55, 64, 83, 95, 97,

105, 110, 112, 113, 115, 119, 133,

139, 143, 155, 161, 166, 167, 168,

170, 171, 172, 177, 178, 181, 182

religious, 15, 29, 43, 51, 53, 94, 144,

148, 153, 166, 181

Rencana Pembangunan, 79

represif, 50, 72, 80, 97, 155

Resolusi Jihad, 25, 141

respons, 3, 5, 8, 19, 52, 60, 61, 64, 68,

79, 97, 110, 113, 119, 122, 126, 127,

128, 140, 141, 147, 149, 155, 156,

159, 173

Retno Abdulgani, 95

revivalisme, 80, 153, 157

revolusi, 7, 116, 140, 141, 143

revolusioner, 85, 127

rezim, 1, 3, 29, 57, 71, 72, 74, 77, 95,

106, 107, 109, 112, 117, 118, 142,

143, 146, 147, 151, 161, 163

Ridho Al-Hamdi, 96

Rifá Rafî al-Tahtáwî, 97

Rizal Ramli, 169

road map, 58

Robert Cribb, 99

Robert Rozehnal, 90

Robert van Niel, 12

Robert W. Hefner, 24, 66, 172

Robin Bush, 11, 12, 45, 102, 115, 116,

137, 149

Robinson, 118, 123, 124

Robis Bush, 143

Rofi’i Zahid, 93

role model, 164

Ronald A. Lukens-Bull, 13, 46, 121, 123

Rosihan Anwar, 103

Roy, 85

Rumadi, 11

Rumi, 27, 50, 120

Sabîlilláh, 140

Saefur Rochmat, 130, 176

Sahal Mahfudh, 5, 22

Sahal Mahfudz, 5

Saifuddin Zuhri, 114, 174

Saifullah Yûsuf, 147

sakral, 24, 85, 145

salaf, 62, 132

Salāhuddin, 15

Sally White, 93

Sami bin Abdullah al-Maghluts, 15

Samsuddin, 104

santri, 9, 13, 16, 18, 19, 22, 23, 34, 35,

36, 42, 43, 51, 52, 54, 61, 66, 68, 83,

85, 87, 92, 94, 98, 99, 100, 101, 102,

103, 105, 108, 111, 113, 120, 129,

130, 131, 132, 134, 136, 138, 140,

141, 142, 144, 145, 147, 150, 157,

158, 159, 170, 181

sarung, 111, 165

sastra, 30, 31, 32, 153

Savodaya Shamaradana, 14

Sayyid Alawi ibn Abbas Al-Máliki, 91

SBY, 162

Schimmel, 26

Sean Foley, 130

sekolah, 51, 53, 55, 56, 57, 58, 74, 75,

84, 115, 117, 132, 134, 135, 152, 168

sekularistik, 9

selamat pagi, 111

Senayan, 77

separatisme, 67, 168

simbiotik, 9, 127

Singkili, 49, 50, 104, 162

sinkretis, 23, 28, 35, 38, 122

Sir Ahmed Khán, 97

sirah, 175

Situbondo, 4, 107, 110, 111, 142, 143,

145

Sjafruddin Prawiranegara, 67

slametan, 14, 32, 33, 34, 102

Soeharto, 10, 19, 46, 68, 69, 70, 71, 72,

73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82,

83, 84, 86, 88, 95, 96, 99, 106, 107,

108, 109, 112, 113, 114, 115, 116,

117, 142, 143, 144, 151, 152, 155,

156, 158, 161, 170, 171, 172, 173,

176, 177

Page 237: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

226

Soekarno, 38, 62, 64, 65, 66, 67, 68, 69,

70, 71, 72, 76, 79, 96, 99, 100, 114,

122, 131, 157, 160, 161, 162, 171,

172, 173, 178

Soetomo, 93, 140

solidarity makers, 12

Sony Karsono, 70, 80

Spanyol, 15

spiritual, 19, 22, 26, 28, 29, 32, 36, 58,

63, 86, 90, 93, 94, 102, 120, 121, 136,

137, 138, 139, 164, 165, 166, 177, 182

spiritual politics, 166

spiritualistik, 178

Stefan Eklöf, 70, 78, 79, 81

struggle of kyai, 11

struktural, 5, 6, 7, 42, 50, 69, 84

sub-culture, 50

Subhan, 115

Sularto, 43, 75

Sulawesi, 46, 129

Sultan Ageng Tirtayasa, 137

Sumanto al-Qurtubi, 11, 12

Sumatera, 31, 32, 46, 48, 76, 129

Sunan Ampel, 5, 104

Sunni, 38, 62, 117, 122, 124, 130, 139,

168

supranatural, 22, 26, 86, 89, 129

Susanto Zuhdi, 106

Suswanta, 90

Sutiyono, 102

Syafi’i, 41, 46, 116, 133, 154

Syafiq Hasyim, 43, 132

Syaikh Al Imám Hasan Al-Masysyath,

91

Syaikh Muhammad Yûsuf al-Maqassárî,

137

symbolic goods, 111

tafaqquh, 36, 42, 135

tafaquh, 6

Tájul ‘Alûm Safiatud al-Dîn, 137

Tansen Sen, 105

Taufani, 104, 137

Tempo, 1, 92

teokratik, 36

teologi, 108, 123, 157

Teten Masduki, 91

Thailand, 42, 48, 82

Thompson, 2

Tim Lima, 143, 161, 162

Tim Sembilan, 162

Timor Timur, 158

Timothy A. Judge, 97

Timur Tengah, 33, 34, 35, 62, 80, 85, 94,

119, 128, 135, 153, 179, 183

tokoh, 1, 6, 13, 20, 21, 23, 24, 29, 30, 37,

41, 43, 45, 49, 53, 58, 59, 62, 65, 66,

68, 69, 71, 75, 77, 78, 80, 81, 83, 86,

88, 90, 91, 92, 93, 94, 97, 98, 100,

106, 111, 114, 115, 116, 118, 119,

120, 121, 123, 128, 131, 136, 137,

138, 139, 140, 142, 143, 144, 148,

149, 150, 151, 153, 158, 162, 163,

164, 165, 166, 167, 169, 171, 173,

174, 175, 176, 177

toleransi, 6, 8, 75, 130, 151

Torkil Saxebøl, 11

Totok Sarsito, 107, 114

tradisi, 5, 6, 8, 11, 12, 13, 14, 15, 18, 23,

25, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 33, 34, 35,

36, 37, 38, 42, 43, 44, 46, 49, 50, 51,

54, 56, 57, 62, 73, 83, 84, 87, 89, 93,

101, 102, 103, 104, 110, 111, 115,

116, 117, 118, 119, 120, 121, 122,

123, 124, 127, 130, 131, 132, 134,

135, 136, 137, 138, 144, 145, 146,

150, 153, 154, 156, 157, 158, 159,

164, 165, 174, 178, 179, 181

tradisional, 6, 14, 19, 21, 22, 24, 25, 26,

27, 29, 30, 34, 36, 37, 38, 41, 42, 43,

44, 49, 50, 52, 56, 59, 63, 67, 84, 89,

96, 97, 101, 102, 103, 104, 108, 110,

115, 117, 119, 120, 121, 122, 123,

124, 125, 127, 129, 131, 132, 133,

136, 138, 139, 146, 147, 148, 154,

159, 162, 165, 166, 167, 174, 175,

178, 179, 181, 182

tradisionalis-liberal, 154

Page 238: DINAMIKA KULTUR POLITIK NU: STUDI KIAI KHOS MASA ...

227

tradisionalisme, 1, 11, 19, 20, 29, 37, 38,

51, 52, 55, 110, 123, 126, 148, 153,

177, 178, 179, 181

transformasi, 11, 29, 44, 53, 56, 72, 83,

84, 95, 101, 102, 104, 110, 124, 127,

145, 154, 181

transmisi, 9, 11, 23, 38, 42, 54, 101, 103,

110, 118, 123, 129, 134, 181

turun gunung, 161

TVone, 171

UIN, 17, 45

UKM, 135

ulama, 5, 6, 12, 23, 28, 38, 41, 42, 43, 45,

55, 61, 62, 89, 91, 100, 103, 104, 114,

115, 124, 132, 150, 157, 158, 160,

169, 174, 177

Universitas, 10, 15, 17, 41, 55, 83, 90,

92, 121, 152, 153

Universitas Al-Azhar, 153

Universitas Tebuireng, 153

USAID, 133

ushûl al-fiqh, 128, 154

UUD 1945, 59, 66, 72, 98, 112, 128, 148,

160, 182, 183

Vedi R. Hadiz, 6, 67, 82, 83, 84

vertikal, 38, 105, 108, 166

vis-a-vis demokrasi, 177

vote getter, 9

wacana agama, 144

wacana publik, 164

Wahab Chasbullah, 7, 43, 67, 68, 114,

142, 165

Wahid, 17, 43, 50, 66, 67, 68, 85, 86, 91,

99, 109, 113, 114, 128, 131, 132, 138,

142, 153, 154, 168, 170, 171, 173

Wahid Hasyim, 66, 68, 131

Wáhid Waháb, 99

wajah baru, 36, 150

Wakil Presiden, 78, 109, 166

walî al-amri, 38, 122

Walisongo, 48, 49, 52, 61, 104

Wapres, 1

Watt, 16

Wawan Arwanî, 145

wawasan, 15, 44, 54, 66, 164

William C. Chittick, 165

win-win solution, 3

Wiranto, 78

Woodward, 27, 162

Yahudi, 153

Yahya C. Staquf, 164

Yanto Bashri, 94

Yap Thiam Hiem Award, 90

Yasuko, 42, 98, 136, 138

Yon Machmudi, 139

Yousof, 33, 55

Yudi Latif, 45, 111

Yûsuf Hasyim, 114

Zaenul Arifin, 63

Zainal Mustofa, 90

Zainul Arifin, 100, 141, 142

Zakaryya Mohamed Abdel-Hady, 104,

105

Zamakhsyari Dhofier, 9, 120

Zaman, 43, 83, 139

Zeffry Alkatiri, 112

ziarah, 34, 41, 119, 132, 166

Zulkifli, iii, 11, 111, 115