digital_20351660-SP-Desi Pramujiwati_2.pdf
-
Upload
andik-bocah-petualang -
Category
Documents
-
view
9 -
download
0
Transcript of digital_20351660-SP-Desi Pramujiwati_2.pdf
-
UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBERDAYAAN KELUARGA DAN KADER KESEHATAN JIWA
DALAM PENANGANAN PASIEN HARGA DIRI RENDAH KRONIK
DENGAN PENDEKATAN MODEL PRECEDE L.GREEN
DI RW 06, 07 DAN 10 TANAH BARU BOGOR UTARA
KARYA ILMIAH AKHIR
Oleh:
Desi Pramujiwati
1006800762
PROGRAM PENDIDIKAN PERAWAT SPESIALIS JIWA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2013
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBERDAYAAN KELUARGA DAN KADER KESEHATAN JIWA
DALAM PENANGANAN PASIEN HARGA DIRI RENDAH KRONIK
DENGAN PENDEKATAN MODEL PRECEDE L.GREEN
DI RW 06, 07 DAN 10 TANAH BARU BOGOR UTARA
KARYA ILMIAH AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Ners Spesialis Keperawatan Jiwa
Oleh:
Desi Pramujiwati
1006800762
PROGRAM PENDIDIKAN PERAWAT SPESIALIS JIWA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2013
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
vii
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Allah SWT yang
telah melimpahkan karuniaNya kepada penulis sehingga Karya Ilmiah Akhir ini
dapat diselesaikan. Karya Ilmiah Akhir ini dibuat sebagai tugas akhir dalam
rangka mendapatkan gelar Spesialis Keperawatan Jiwa pada Program Pasca
Sarjana Keperawatan Universitas Indonesia. Dalam penulisan karya ilmiah ini
penyusun mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis bermaksud
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dewi Irawaty, MA. Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
2. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN., selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
3. Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc., sebagai dosen pembimbing I
yang telah memberikan banyak bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini.
4. Ns. Ice Yulia Wardhani, M.Kep. Sp.Kep.J., sebagai dosen pembimbing II
yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga Karya
Ilmiah ini dapat diselesaikan.
5. Novy Helena C.D.,S.Kp., M.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan arahan selama penulis menjalani masa perkuliahan hingga
memasuki masa studi ini.
6. Seluruh dosen Program Pasca Sarjana Keperawatan Universitas Indonesia
yang telah membagikan ilmunya kepada penulis.
7. Adang Yayat, S.Pd selaku Lurah Tanah Baru beserta staff yang telah banyak
membantu keberjalanan praktik penulis.
8. Para Kader RW 06, RW 07 dan RW 10 Kelurahan Tanah Baru, atas kerjasama
dan semangat dalam menjalankan perannya sebagai Kader Kesehatan Jiwa.
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
viii
9. Suami dan anak-anak tercinta, yang selalu memberikan doa dan dukungan
yang besar kepada penulis.
10. Teman-teman Angkatan VI Program Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang selalu memberikan semangat
kepada penulis dan saling membantu.
11. Berbagai pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu oleh
penulis.
Semoga Karya Ilmiah Akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak
yang terlibat di dalamnya.
Depok, Juli 2013
Penulis
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
ix
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
Karya Ilmiah Akhir, Juli 2013
Desi Pramujiwati, Budi Anna Keliat, Ice Yulia Wardani
Pemberdayaan Keluarga Dan Kader Kesehatan Jiwa Dalam Penanganan Pasien Harga
Diri Rendah Kronik Dengan Pendekatan Model Precede Lawrence Green Di Rw 06, 07
Dan 10 Tanah Baru Bogor Utara
xiv + 105 hal + 20 tabel + 3 skema
ABSTRAK
Harga diri rendah kronik merupakan salah satu gejala negatif pasien skizofrenia.
Harga diri rendah kronik yang dibiarkan menyebabkan isolasi sosial, halusinasi
dan bunuh diri. Latihan melawan pikiran negatif cognitive behavior therapy
(CBT), dukungan sosial melalui family psychoeducation (FPE) dan terapi suportif
diharapkan memperbaiki harga diri rendah kronik. Karya ilmiah akhir ini
bertujuan menjelaskan hasil asuhan keperawatan spesialis jiwa pada pasien harga
diri rendah kronik yang diberikan CBT, FPE dan terapi suportif. Metode yang
digunakan adalah serial studi kasus pada 16 pasien yang terdiri dari 11 pasien
skizofrenia, 4 pasien retardasi mental dan 1 pasien epilepsy. Hasil asuhan
keperawatan menunjukkan penurunan tanda dan gejala harga diri rendah kronik
disertai peningkatan kemampuan pasien lenih tinggi pada kelompok pasien yang
mendapatkan CBT, FPE dan terapi suportif daripada kelompok yang mendapatkan
CBT dan FPE maupun yang mendapatkan CBT. Hasil karya ilmiah ini perlu
ditindaklanjuti dengan penelitian. Dukungan sosial di komunitas terutama
memberdayakan keluarga dan kader dalam merawat pasien harga diri rendah
kronik disarankan.
Kata kunci : harga diri rendah kronik, dukungan sosial, Cognitif Behaviour
Therapy, Psychoedukasi Keluarga, Terapi Suportif
Daftar pustaka 34 (2004-2012)
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
x
POSTGRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSING
UNIVERSITY OF INDONESIA
Karya Ilmiah Akhir, July 2012
Desi Pramujiwati, Budi Anna Keliat, Ice Yulia Wardani
Family and Mental Health workers Empowerment in Patients Chronic Low Self
Esteem with approach Precede Lawrence Green in RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru
Bogor Utara
xiv + 105 page +20 table + 3 scheme
ABSTRACT
Chronic low self-esteem is one of negative symptom of schizophrenic patient.
Prolonged chronic low self-esteem can caused social isolation, hallucination and
suicide. Trained against negative thoughts with cognitive behavior therapy
(CBT), giving social support with family psychoeducation (FPE) and supportive
therapy is addresses to improve chronic self-esteem. This paper is aimed to
explain the result of psychiatric nursing care specialist management for chronic
low self-esteem patient whose given the CBT, FPE and supportive therapy. The
method used is case serial with 16 patient, contains of 16 schizophrenic patient, 4
mental retardation patient and 1 patient with epilepsy. The result shows a higher
decrease of chronic low self-esteem sign and symptoms with an increase of patient
ability more on the group that given CBT, FPE and supportive therapy than the
CBT and FPE group or the CBT group only. This paper need to be followed by
research. Community social support, especially to empower family and cadre to
caring chronic low self-esteem patient is recommended.
Keyword: low self esteem, social support, cognitive behavior therapy, family
psychoeducation, supportif theraphy
References: 34 (2004-2012)
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
xi
DAFTAR ISI
HALAMAM SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
LEMBAR PERSETUJUAN iii
LEMBAR PENGESAHAN iv
PERNYATAAN ORISINALITAS v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vi
KATA PENGANTAR vii
ABSTRAK ix
ABSTRACT x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR SKEMA xv
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1
1.2. Tujuan 8
1.2.1. Tujuan Umum 8
1.2.2. Tujuan Khusus 8
1.3. Manfaat Penelitian 9
1.3.1. Manfaat Aplikatif 9
1.3.2. Manfaat Keilmuan 9
1.3.3. Manfaat Metodologi 10
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan model konsep keperwatan jiwa dalam pelayanan
kesehatan jiwa di masyarakat 11
2.1.1 Model konsep Precede-Proceed L.Green 12
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
xii
2.1.2 Pendekatan model stress dan adaptasi Stuart 16
2.1.3 Aplikasi Konsep Precede-Proceed Green dan
model Stress Adaptasi Stuart (2009) 19
2.2 Harga Diri Rendah Kronik
2.2.1 Pengertian HDR 25
2.2.2 Stresor Predisposisi HDR 27
2.2.3 Stressor Presipitasi HDR 30
2.2.4 Tanda dan Gejala HDR 31
2.2.5 Sumber Koping 33
2.2.6 Diagnosa dan Penatalaksanaan Medis 35
2.2.7 Diagnosis dan Tindakan Keperawatan Pada HDR 38
2.2.8 Tindakan Keperawatan 39
2.3 Community Mental Health Nursing (CMHN) 44
2.3.1 Pilar I Manajemen Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas 46
2.3.2 Pilar II Pemberdayaan Masyarakat 49
2.3.3 Pilar III Kemitraan Lintas Sektoral dan Lintas Program
50
2.3.4 Pilar IV Manajemen Kasus Kesehatan Jiwa Komunitas
RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru 50
3. HASIL PELAKSANAAN MANAJEMEN PELAYANAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN HARGA DIRI RENDAH KRONIK
DI RW 06, 07 DAN 10 TANAH BARU BOGOR UTARA
3.1 Hasil Pelaksanaan Manajemen Pelayanan di RW 06, 07
dan 10 Tanah Baru 52
3.2 Hasil Pelaksanaan Manajemen Asuhan Keperawatan di RW 06,
07 dan 10 Tanah Baru 56
3.2.1 Karakteristik Pasien HDR Kronik di RW 06, 07 dan 10
Tanah Baru 57
3.2.2 Stressor Predisposisi Pasien HDR Kronik di RW 06, 07
dan 10 Tanah Baru 58
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
xiii
3.2.3 Stresor Presipitasi Pasien HDR Kronik di RW 06, 07
dan 10 Tanah Baru 60
3.2.4 Tanda dan Gejala Pasien HDR Kronik 62
3.2.5 Sumber Koping Pasien HDR Kronik 64
3.2.6 Diagnosa dan Penatalaksanaan Medis 66
3.2.7 Diagnosis Keperawatan yang Menyertai HDR Kronik
67
3.3 Rencana Tindakan Keperawatan 67
3.3.1 Rencana Tindakan Keperawatan kepada pasien 68
3.3.2 Rencana Tindakan Keperawatan kepada keluarga 69
3.3.3 Rencana Tindakan Keperawatan kepada kelompok 71
3.3.4 Rencana Tindakan Keperawatan kepada kader
kesehatan jiwa 72
3.4 Pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien HDR Kronik 73
3.4.1 Pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien HDR
Kronik 74
3.4.2 Pelaksanaan tindakan keperawatan pada keluarga 74
3.4.3 Pelaksanaan tindakan keperawatan pada kelompok 76
3.4.4 Pelaksanaan tindakan keperawatan pada kader kesehatan
Jiwa 76
3.5 Evaluasi hasil pelaksanaan asuhan keperawatan 76
3.5.1 Tanda dan Gejala pasien HDR Kronik 77
3.5.2 Kemampuan Pasien HDR Kronik 81
3.5.3 Kemampuan keluarga dengan anggota keluarga HDR
Kronik dan kemampuan kelompok 82
3.5.4 Kemampuan kader kesehatan jiwa 83
4. PEMBAHASAN 4.1 Pengkajin Pasien Harga Diri Rendah Kronik 84
4.1.1 Karakteristik Pasien dengan harga diri rendah kronik di
RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru 84
4.1.2 Stressor Predisposisi 86
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
xiv
4.1.3 Stressor Presipitasi 88
4.1.4 Perubahan Tanda dan Gejala serta Kemampuan pada Pasien
HDR Kronik 90
4.1.4.1 Perubahan Tanda dan Gejala Pasien HDR
Kronik 90
4.1.4.2 Perubahan Kemampuan Pasien HDR Kronik
96
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 104
5.2 Saran 105
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
xv
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Kerangka model konsep Precede-Proceed L.Green 15
Skema 2.2 Model Stress Adaptasi Stuart 16
Skema 2.3 Kerangka kerja penerapan asuha keperawatan pasien pada
HDR Kronik 20
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Distribusi Daftar Jumlah Sehat, Resiko dan Gangguan Jiwa Di
RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru 54
Tabel 3.2 Distribusi Karakteristik Pasien Harga Diri Rendah Kronik 57
Tabel 3.3 Distribusi Karakteristik Keluarga Pasien dengan Harga Diri
Rendah Kronik 58
Tabel 3.4 Distribusi Stressor Predisposisi 59
Tabel 3.5 Distribusi Stressor Presipitasi 61
Tabel 3.6 Distribusi Tanda dan Gejala 63
Tabel 3.7 Distribusi Sumber Koping 65
Tabel 3.8 Distribusi Diagnosa dan Penatalaksanaan Medis 66
Tabel 3.9 Distribusi Diagnosis Keperawatan yang Menyertai 67
Tabel 3.10 Rencana pemberian Tindakan Keperawatan 73
Tabel 3.11 Distribusi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Pasien 74
Tabel 3.12 Distribusi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Keluarga 74
Tabel 3.13 Distribusi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Kelompok 76
Tabel 3.14 Distribusi Pelaksanaan Tindakan Peningkatan Kemampuan
KKJ 76
Tabel 3.15 Distribusi Hasil Evaluasi Tanda dan Gejala Pre Post Pasien
Skizofrenia 77
Tabel 3.16 Distribusi Hasil Evaluasi Tanda dan Gejala Pre Post Pasien
Retardasi Mental 79
Tabel 3.17 Distribusi Hasil Evaluasi Tanda dan Gejala Pre Post Pasien
Epilepsi 80
Tabel 3.18 Distribusi Hasil Kemampuan Pasien Pre dan Post Tindakan
Keperawatan 82
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
xvii
Tabel 3.19 Distribusi Kemampuan Keluarga dalam merawat anggota
Keluarga dengan HDR Kronik 83
Tabel 3.20 Distribusi Kemampuan Kader Kesehatan Jiwa dalam
Merawat Pasien dengan HDR Kronik 83
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis (UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, BAB I pasal 1). Sehat adalah suatu
keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas
dari penyakit atau kecacatan (WHO, 2001). Dapat diartikan lebih luas bahwa
sehat merupakan suatu keadaan yang dinamis dimana individu menyesuaikan
diri dengan perubahan-perubahan lingkungan internal (psikologis, intelektual,
spiritual dan penyakit) dan eksternal (lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi)
dalam mempertahankan kesehatannya. Berdasarkan pengertian diatas maka dapat
dipahami bahwa kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri
dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya terdapat kesehatan jiwa
yang merupakan bagian integral kesehatan.
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang
terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang
efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional (Videbeck, 2008).
Kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati
kehidupan kejiwaaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan dan gangguan
jiwa (UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, BAB IX pasal 144). Kesehatan jiwa
adalah suatu kondisi sejahtera (wellness) dimana individu menyadari
kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi stress dalam kehidupannya, dapat
bekerja secara produktif dan mempunyai kontribusi dalam kehidupan
bermasyarakat (WHO, 2001). Dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa bukan
hanya sekedar bebas dari gangguan tetapi lebih kepada perasaan sehat, sejahtera
dan bahagia (well being), ada keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
sehingga dapat berfungsi secara produktif baik bagi diri sendiri, keluarga
maupun masyarakat. Cakupan kesehatan jiwa meliputi keadaan sehat, keadaan
berisiko mengalami gangguan mental dan yang mengalami gangguan mental /
gangguan jiwa.
Gangguan jiwa adalah respon maladaptif terhadap stressor dari dalam atau luar
lingkungan yang berhubungan dengan perasaan dan perilaku yang tidak sejalan
dengan budaya, kebiasaan atau norma setempat dan mempengaruhi interaksi
sosial individu, kegiatan atau fungsi tubuh (Depkes, 2003). Gangguan jiwa
adalah sindroma perilaku yang secara klinik bermakna atau sindroma psikologis
atau pola yang dihubungkan dengan kejadian distress pada seseorang atau
ketidakmampuan atau peningkatan secara signifikan resiko untuk kematian,
sakit, ketidakmampuan atau hilang rasa bebas (American Psychiatric Association
dalam DSM IV-TR, 2000 dalam Towsend, 2009). Sehingga dapat diartikan
bahwa kunci utama dari gangguan jiwa adalah adanya respon maladaptif yang
ditunjukkan secara kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial, kumpulan
gejala tersebut menyebabkan individu mengalami ketidakmampuan atau
peningkatan secara signifikan resiko untuk kematian, sakit dan mempengaruhi
fungsi kehidupan. Gangguan jiwa ditentukan oleh beberapa faktor dan saling
berhubungan antara faktor sosial, psikologis dan biologis, begitu pula dengan
kondisi kesehatan atau penyakit pada umumnya. Bukti yang jelas berkaitan
dengan resiko gangguan jiwa seperti di negara maju dan berkembang dikaitkan
dengan indikator kemiskinan, termasuk rendahnya pendidikan, penghasilan
rendah dan pemukiman yang buruk.
Penduduk Indonesia yang mengalami gangguan jiwa diperkirakan sebanyak 26
juta, dimana panik dan cemas adalah gejala paling ringan (WHO, 2006).
Gambaran gangguan jiwa berat di Indonesia pada tahun 2007 memiliki
prevalensi sebesar 4,6 permil, artinya bahwa dari 1000 penduduk Indonesia
terdapat empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
3
Universitas Indonesia
(Puslitbang Depkes RI, 2008). Penduduk Indonesia pada tahun 2007 sebanyak
225.642.124 jiwa sehingga pasien gangguan jiwa di Indonesia pada tahun 2007
diperkirakan 1.037.454 jiwa (Pusat Data dan Informasi Depkes RI, 2009). Hasil
Riskesdas tahun 2007 untuk provinsi Jawa Barat didapatkan data individu yang
mengalami gangguan jiwa sebesar 0,22% dari jumlah penduduk dan untuk
wilayah Bogor sebesar 0,40% (Puslitbang Depkes RI, 2008). Angka ini
menunjukkan bahwa anggota masyarakat yang mengalami gangguan jiwa berat
cukup besar atau dapat dikatakan cukup banyak. Gangguan jiwa berat yang
paling banyak ditemukan adalah Skizofrenia.
Skizofrenia adalah sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan
kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku (Kaplan & Sadock, 2007).
Skizofrenia adalah gangguan multifaktorial perkembangan saraf oleh faktor
genetik dan lingkungan serta ditandai dengan gejala positif, negatif dan kognitif
(Andreas, 1995; Neuchterlein et al, 2004; Muda et al, 2009 dalam Jones et al,
2011). Gejala kognitif sering mendahului terjadinya psikosis dan pengobatan
yang segera dilakukan diyakini sebagai prediksi lebih baik dari hasil terapi
(Greeen, 2006; Mintz dan Kopelowicz, 2007 dalam Jones et al, 2011). Gejala
positif meliputi waham, halusinasi, gaduh gelisah, perilaku aneh, sikap
bermusuhan dan gangguan berpikir normal. Gejala negatif meliputi sulit
memulai pembicaraan, afek tumpul atau datar, berkurangnya motivasi,
berkurangnya atensi, pasif, apatis dan penarikan diri secara sosial dan rasa tidak
nyaman (Videbeck, 2008).
Perilaku yang sering muncul pada klien skizofrenia adalah: motivasi kurang
(81%), isolasi sosial (72%), perilaku makan dan tidur yang buruk (72%), sukar
menyelesaikan tugas (72%), sukar mengatur keuangan (72%), penampilan yang
tidak rapi/bersih (64%), lupa melakukan sesuatu (64%), kurang perhatian pada
orang lain (56%), sering bertengkar (47%), bicara pada diri sendiri (41%), dan
tidak teratur makan obat (40%) (Keliat, 2006). Berdasarkan tanda dan gejala di
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
atas menunjukkan bahwa penderita skizofrenia banyak ditemukan masalah-
masalah keperawatan diantaranya resiko perilaku kekerasan, halusinasi, harga
diri rendah dan waham yang prosentase kejadiannya cukup tinggi.
Diagnosis keperawatan pada penderita skizofrenia sesuai dengan tanda dan
gelaja yang muncul. Diagnosis keperawatan yang muncul pada skizofrenia
berupa resiko perilaku kekerasan, gangguan sensori persepsi: halusinasi, harga
diri rendah kronik, gangguan proses pikir: waham, kecemasan, citra tubuh
terganggu, kebingungan akut, koping tidak efektif, putus asa, ketidakpatuhan,
defisit perawatan diri, isolasi sosial, resiko bunuh diri, management regimen
terapeutik tidak efektif (Stuart, 2009). Penjelasan di atas memberikan gambaran
bahwa individu dengan skizofrenia dapat disebabkan aktualisasi pasien belum
tercapai sehingga pasien mengalami harga diri rendah dan apabila hal ini
dipertahankan maka pasien akan depresi dan berlanjut dengan skizofrenia. Dan
sebaliknya, pada pasien skizofrenia dengan masa pemulihan lama akan membuat
klien mengalami harga diri rendah karena merasa penyakitnya sulit disembuhkan
dan kurangnya penerimaan keluarga dan masyarakat.
Harga diri rendah adalah evaluasi diri negatif dan berhubungan dengan perasaan
yang lemah, tidak berdaya, putus asa, ketakutan, rentan, rapuh, tidak lengkap,
tidak berharga dan tidak memadai (Stuart, 2009). Harga diri rendah kronik
adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri
(Keliat & Akemat, 2010). Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga
dari dalam diri seseorang yang disebabkan evaluasi negatif terhadap diri sendiri
dan kemampuan diri sehingga merasa lemah, tidak berdaya, putus asa, ketakutan,
rentan, rapuh, tidak lengkap, tidak berharga dan tidak memadai. Penatalaksanaan
pasien dengan harga diri rendah kronik yang dilakukan di masyarakat sudah
dikembangkan melalui Community Mental Health Nursing (CMHN). Pelayanan
kesehatan jiwa di komunitas diberikan oleh perawat puskesmas yang telah
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
5
Universitas Indonesia
mendapat pelatihan. Perawat melakukan manajemen asuhan dengan melakukan
kunjungan ke keluarga, sedangkan kolaborasi terkait pemberian obat atau yang
lainnya dilakukan di puskesmas.
Tindakan keperawatan terdiri dari tindakan keperawatan generalis dan spesialis.
Tindakan keperawatan generalis diajarkan dan dilatih kepada pasien, keluarga
dan kader kesehatan jiwa untuk meningkatkan kemampuan positif pasien.
Tindakan keperawatan spesialis harga diri rendah kronik antara lain adalah
Cognitive Behavior Therapy (CBT), Family Psicho Education (FPE) dan terapi
suportif. Pemberian CBT sangat efektif untuk merubah pikiran dan perilaku
negatif pada pasien dengan harga diri rendah di RSMM Bogor (Sasmita &
Keliat, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Lelono, Keliat dan Besral (2011)
terhadap 60 pasien gangguan jiwa yang mengalami harga diri rendah kronik di
RSMM Bogor menunjukkan hasil bahwa dengan pemberian tindakan
keperawatan spesialis CBT menunjukkan peningkatan kemampuan positif yang
dimiliki. Selain itu psikoedukasi keluarga (FPE) juga meningkatkan kemampuan
keluarga dalam merawat pasien harga diri rendah kronik (Kustiawan, Hamid &
Hastono, 2012).
Pada pasien harga diri rendah kronik di komunitas, penulis memberikan satu
paket tindakan keperawatan (CBT, FPE dan terapi supportif) menunjukkan hasil
yang efektif dalam meningkatkan kemampuan positif pasien. Untuk itu
diperlukan pemberian tindakan keperawatan yang berkesinambungan agar
kemampuan pasien terus meningkat maka diperlukan tindakan pencegahan
tersier atau rehabilitatif. Tindakan pencegahan tersier atau rehabilitatif dapat
dilakukan di masyarakat tidak hanya oleh tenaga kesehatan tetapi juga dengan
pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan memberikan pemahaman,
menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap masalah
kesehatan jiwa warga.
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
Upaya mengatasi masalah kesehatan jiwa diberikan dalam bentuk pelayanan
kesehatan jiwa berbasis komunitas. Bentuk pendekatan manajemen pelayanan
kesehatan jiwa komunitas yang dikenal dengan istilah Community Mental Health
Nursing (CMHN) (Keliat, 2007). Kegiatan CMHN yang telah dilakukan penulis
di komunitas bekerjasama dengan pihak puskesmas Bogor Utara dan kelurahan
Tanah Baru. Program CMHN bertujuan untuk meningkatkan kesehatan jiwa
masyarakat, mempertahankan individu yang sehat jiwa tetap sehat, mencegah
terjadinya gangguan pada kelompok masyarakat yang resiko atau rentan dan
memulihkan klien gangguan jiwa untuk menjadi mandiri dan produktif. Penulis
menggunakan model Precede-Proceed Green sebagai model yang melihat secara
rinci dari pengkajian, diagnosis, intervensi, implementasi sampai dengan
evaluasi sesuai dengan kondisi yang ada di masyarakat. Model ini berorientasi
pada pemeliharaan dan peningkatan kesehatan sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan masyarakat sehingga kualitas hidup dapat tercapai.
Penggunaan model Precede-Proceed dalam manajemen asuhan keperawatan
berdasarkan jumlah penderita gangguan jiwa yang ditemukan di komunitas
dengan tujuan meningkatkan produktifitas (melakukan kegiatan sehari-hari di
rumah dan luar rumah serta dapat bekerja) penderita gangguan jiwa yang ada.
Model Precede-Proceed dari Green memaparkan dua tahap yang menganalisa
kembali kebelakang pencapaian hasil sampai dengan komponen yang terkait
dalam intervensi yang sudah direncanakan. Precede (Predisposing, Reinforcing,
Enabling causes, Educational Diagnosis and Evaluation) merupakan terjadinya
diagnosis atau masalah kesehatan, sedangkan Proceed (Policy, Regulatory,
Organizational, Constructs in Educational and Environment Development) yaitu
menjamin program yang akan dilaksanakan akan tersedianya sumber daya,
mudah diakses, dapat diterima sesuai peraturan yang ada serta dapat dievaluasi
oleh tenaga kesehatan maupun tenaga yang berkontribusi dengan individu yang
mengalami masalah kesehatan (Green & Kreuter, 2005).
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
7
Universitas Indonesia
Dalam mengembangkan tindakan keperawatan untuk mengatasi suatu masalah
kesehatan baik individu, keluarga maupun masyarakat maka seorang perawat
akan bekerjasama dengan masyarakat agar intervensi yang akan dilakukan benar-
benar membawa perubahan pada individu, keluarga dan masyarakat. Fokus pada
model Precede-Proceed adalah: 1) hasil yang dicapai merupakan suatu
perubahan yang dilakukan oleh masyarakat; 2) hasil dan kegiatan sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan masyarakat; 3) model yang menganalisa kebelakang
dari hasil, diagnosis, pengkajian, intervensi sehingga dapat diberikan
implementasi yang tepat; 4) implementasi melibatkan berbagai pihak; 5) evaluasi
dilakukan dari proses, hasil dan dampak dari implemantasi yang diberikan.
Karya ilmiah akhir ini disusun berdasarkan pengalaman penulis melakukan
praktik klinik keperawatan jiwa di kelurahan Tanah Baru, Bogor Utara selama
24 minggu dari 10 September 2012 sampai dengan 19 April 2013, sedangkan
untuk residen 3 selama 9 minggu mulai tanggal 18 Februari sampai dengan 19
April 2013 dengan tujuan mengembangkan program CMHN di wilayah Tanah
Baru khususnya RW 06, 07 dan 10. Berdasarkan data yang ada di kelurahan
Tanah Baru jumlah penduduk secara keseluruhan 18.529 jiwa dengan jumlah KK
16.859, sedangkan jumlah penduduk RW 06, 07 dan 10 secara keseluruhan 5.204
jiwa dengan jumlah KK 1.386. Kasus gangguan jiwa yang ditemukan sebanyak
48 pasien dan 16 pasien diantaranya berada di wilayah RW 06, 07 dan 10. Dari
16 pasien gangguan jiwa yang dirawat seluruh pasien yang mengalami harga diri
rendah kronik. Pasien harga diri kronik telah diberikan beberapa tindakan
keperawatan baik terapi individu, keluarga maupun kelompok.
Pelaksanaan tindakan keperawatan baik individu, keluarga dan kelompok
melibatkan kader kesehatan jiwa (KKJ) yang ada di wilayah RW 06, 07 dan 10
secara keseluruhan berjumlah 42 orang. Kegiatan KKJ meliputi deteksi dini,
penggerakan keluarga untuk mengikuti pendidikan kesehatan dan melakukan
kunjungan rumah. KKJ berperan aktif dalam pelaksanaan asuhan keperawatan
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
pasien dengan harga diri rendah kronik baik tindakan secara individu maupun
kelompok. Pelaksanaan kegiatan tindakan keperawatan menggunakan sarana dan
prasarana yang ada di masing-masing wilayah RW seperti posyandu maupun
majelis taklim. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan jiwa di
RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru tidak terlepas dari peran KKJ, hal ini
menunjukkan betapa pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan
kesehatan jiwa sehingga produktifitas pasien dengan harga diri rendah kronik
menjadi meningkat dan beban keluarga menjadi berkurang.
Berdasarkan hasil kegiatan yang telah tercapai maka penulis tertarik untuk
melakukan penulisan karya ilmiah tentang pemberdayaan keluarga dan kader
kesehatan jiwa dalam penanganan pasien harga diri rendah kronik dengan
pendekatan model menurut Green di RW 06, 07 dan 10 kelurahan Tanah Baru,
Bogor Utara.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Memberikan gambaran tentang hasil manajemen kasus spesialis jiwa pada pasien
dengan harga diri rendah kronik melalui pendekatan model stress adaptasi Stuart dan
model Precede-Proceed Green di RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru Bogor Utara.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Diketahui karakteristik pasien yang mengalami harga diri rendah kronik di
RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru, Bogor Utara.
1.2.2.2 Diketahui gambaran kasus yang meliputi stressor, tanda dan gejala serta
kemampuan yang dimiliki pasien harga diri rendah kronik di RW 06, 07 dan
10 Tanah Baru, Bogor Utara.
1.2.2.3 Diketahui pelaksanaan manajemen kasus spesialis terhadap pasien yang
mengalami harga diri rendah kronik di RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru, Bogor
Utara.
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
9
Universitas Indonesia
1.2.2.4 Diketahui respon terhadap stressor (kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan
sosial) dan kemampuan pasien, keluarga serta kader kesehatan jiwa dalam
perawatan harga diri rendah kronik di RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru, Bogor
Utara.
1.2.2.5 Diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perawatan pasien harga diri
rendah kronik di RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru, Bogor Utara dengan
pendekatan model stress adaptasi Stuart Laraia dan model Precede-Proceed
Green.
1.2.2.6 Diketahui upaya-upaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya
masalah harga diri rendah di masyarakat Tanah Baru.
1.3 Manfaat Karya Ilmiah Akhir
1.3.1 Manfaat Aplikatif
1.3.1.1 Hasil karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat menjadi panduan perawat jiwa
dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien harga diri rendah kronik
dengan yang ada di masyarakat.
1.3.1.2 Hasil karya ilmiah akhir ini akan meningkatkan pemahaman tentang
manajemen pelayanan jiwa komunitas sehingga akan melandasi penyusunan
rencana CMHN terkait manajemen kasus keperawatan pada pasien dengan
harga diri rendah kronik di unit puskesmas.
1.3.1.3 Sebagai acuan bagi puskesmas untuk meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan khususnya pada pasien dengan masalah harga diri rendah kronik
sehingga dapat menempatkan perawat spesialis keperawatan jiwa sebagai
konsultan di unit psikiatri.
1.3.1.4 Hasil karya ilmiah akhir ini dapat dijadikan pedoman bagi keluarga dan kader
kesehatan jiwa dalam merawat anggota keluarga maupun masyarakat yang
mengalami harga diri rendah kronik, serta dapat melakukan upaya pencegahan
terjadinya harga diri rendah.
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
1.3.2 Manfaat Keilmuan
1.3.2.1 Hasil praktek dalam bentuk karya ilmiah akhir ini diharapkan berguna sebagai
standar pelayanan keperawatan dalam mengembangkan model keperawatan
jiwa di setting komunitas.
1.3.2.2 Hasil pelaksanaan pemberian asuhan akan memberikan gambaran tentang
manajemen pelayanan (CMHN) dan manajemen asuhan keperawatan pada
pasien harga diri rendah kronik dengan kombinasi tindakan keperawatan
generalis dan spesialis menggunakan pendekatan model stress adaptasi Stuart
dan model Precede-Proceed Green. Model tersebut dapat menjadi salah satu
masukan guna pengembangan model keperawatan jiwa yang sesuai dengan
situasi dan kondisi di Indonesia.
1.3.2.3 Model asuhan keperawatan yang telah diberikan pada pelaksanaan praktek ini
diharapkan mendasari pelaksanaan manajemen kasus spesialis khususnya
pada pasien harga diri rendah kronik di setting komunitas dengan berbagai
kombinasi tindakan keperawatan spesialis yang diberikan. Penggunaan
kombinasi tindakan keperawatan spesialis yang efektif menjadi dasar
penyusunan paket treatment yang diberikan kepada pasien.
1.3.3 Manfaat Metodologi
1.3.3.1 Hasil praktek dalam bentuk karya ilmiah akhir dapat dijadikan sebagai dasar
pengembangan riset keperawatan. Studi ini akan menghasilkan wawasan
tentang manajemen pelayanan komunitas (CMHN) dan manajemen asuhan
keperawatan pada diagnosis harga diri rendah kronik sebagai dasar
pengembangan tindakan keperawatan spesialis keperawatan jiwa di
komunitas. Pengembangan riset keperawatan yang dilakukan akan
meningkatkan kemampuan perawat dalam melakukan manajemen kasus
keperawatan dan memenuhi kebutuhan kesehatan jiwa khususnya pada pasien
dengan harga diri rendah kronik dengan setting komunitas yang ada di seluruh
Indonesia.
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
11
Universitas Indonesia
1.3.3.2 Hasil pelaksanaan manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada pasien
dengan harga diri rendah kronik ini akan menjadi evidence base practice
pelaksanaan praktek keperawatan jiwa pada pasien dengan harga diri rendah
kronik.
1.3.3.3 Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas pemberian kombinasi
tindakan keperawatan generalis dan spesialis pada pasien harga diri rendah
kronik.
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan dan masih banyak
ditemukan di masyarakat demikian pula di Kota Bogor. Masalah gangguan jiwa
secara tidak langsung akan menurunkan produktivitas apalagi jika gangguan jiwa
dimulai pada usia produktif selain itu juga menambah beban dari keluarga penderita.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlu pelayanan kesehatan jiwa yang
komprehensif, holistik dan paripurna. Pelayanan kesehatan paripurna adalah
pelayanan pada semua jenjang pelayanan yaitu pelayanan kesehatan jiwa spesialis,
pelayanan kesehatan jiwa integrative dan pelayanan kesehatan jiwa yang bersumber
daya masyarakat (Keliat, Akemat & Helena, 2011). Pemberdayaan seluruh potensi
dan sumber saya yang ada di masyarakat diupayakan agar terwujud masyarakat yang
mandiri dalam memelihara kesehatannya. Dalam mengaplikasikan konsep
keperawatan kesehatan jiwa komunitas, digunakan pendekatan proses keperawatan
dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Penulis menggunakan
pendekatan stress adaptasi Stuart dan model konsep Precede-Proceed dari Green.
2.1 Pendekatan model konsep keperawatan jiwa dalam pelayanan kesehatan
jiwa di masyarakat
Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara
persuasi, bujukan, imbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan kesadaran
dan sebagainya melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau promosi kesehatan
(Notoatmodjo, 2012). Perilaku kesehatan yang berhasil diadopsi masyarakat maka
akan bertahan lama bahkan selama hidup dilakukan oleh masyarakat. Pendidikan atau
promosi kesehatan adalah suatu bentuk tindakan atau upaya yang ditujukan kepada
perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk kesehatan.
Promosi kesehatan mengupayakan agar perilaku individu, kelompok atau masyarakat
mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
13
Universitas Indonesia
Pendekatan Precede-Proceed dari Green memberikan arahan bagaimana mengelola
asuhan keperawatan kesehatan jiwa di komunitas. Selain memberikan arahan dalam
pengelolaan asuhan, Green mengungkapkan bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi
tiga faktor (predisposisi, pemungkin dan penguat). Dalam pengkajian menurut Stuart
ketiga faktor tersebut memperjelas adanya stressor predisposisi, presipitasi dan
sumber koping dari pasien dengan harga diri kronik. Berikut ini akan diuraikan kedua
konsep yang mendasari penulis membuat karya ilmiah.
2.1.1 Model konsep Precede-Proceed L. Green
Kesehatan bukan hanya diketahui atau disadari dan disikapi, melainkan harus
dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti bahwa tujuan akhir dari
pendidikan kesehatan adalah agar masyarakat dapat mempraktikkan hidup sehat bagi
dirinya sendiri dan bagi masyarakat, atau masyarakat dapat berperilaku hidup sehat
(Notoatmodjo, 2012). Kesehatan jiwa sebagai bagian integral dari kesehatan
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mempengaruhi kondisi kesehatan
secara umum atau dapat disebut dengan kualitas hidup. Untuk mencapai kondisi
individu dan masyarakat berperilaku sehat jiwa maka diperlukan cara-cara untuk
merubah perilaku kesehatan tersebut.
Upaya agar perilaku individu, keluarga dan masyarakat mempunyai pengaruh positif
terhadap pemeliharaan atau peningkatan kesehatan maka diperlukan strategi promosi
kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Agar tindakan kesehatan tersebut efektif maka
sebelum dilakukan tindakan perlu dilakukan diagnosis atau analisis terhadap masalah
perilaku tersebut. Konsep umum yang digunakan untuk mendignosis perilaku adalah
konsep Green. Menurut Green terdapat dua tahap kegiatan yang disebut Precede dan
Proceed (Green & Kreuter, 2005). Precede (Predisposing, Reinforcing and Enabling
Constructs in Educational/Environmental Diagnosis and Evaluation) merupakan
arahan dalam menganalisis atau diagnosis dan evaluasi perilaku untuk intervensi
pendidikan kesehatan. Precede adalah merupakan fase diagnosis masalah (Green &
Kreuter, 2005). Proceed (Policy, Regulatory and Organzaitional Constructs in
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
Educational and Environmental Development) merupakan arahan dalam
perencanaan, implementasi dan evaluasi pendidikan kesehatan. Proceed merupakan
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dari promosi kesehatan (Green & Kreuter,
2005).
Precede-Proceed adalah model yang mengembangkan perubahan kesehatan dengan
fokus tindakan pada hasil, dimana terdapat organisasi yang dibentuk untuk
mengadakan perubahan dalam masyarakat sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
masyarakat. Precede melihat secara logis mundur kebelakang dari hasil yang
diinginkan, dimana dan bagaimana seorang perawat melakukan tindakan keperawatan
yang berhasil.
Skema 2.1 Model Precede-Proceed Green
Green LW, & Kreuter MW, Health Program Planning, 4th
, NY: McGraw Hill, 2005
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
15
Universitas Indonesia
Precede dalam Green (2005) memiliki empat tahap:
1. Tahap 1: Pengkajian sosial dan analisa situasiasional.
Penilaian kualitas hidup yang menjadi perhatian pada populasi (pasien dan
masyarakat). Cara untuk melakukan tahap ini adalah dengan melakukan
pendekatan sosial terhadap masyarakat tentang harapan dan keinginan dari kondisi
kesehatan yang dialami. Analisa situasi memberikan arahan dalam membuat
perencanaan terkait tujuan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan akan kesehatan.
Kualitas hidup yang akan dicapai diprioritaskan pada individu maupun kelompok.
Indikator sosial: prestasi, estetika, keterasingan, kenyamanan, kejahatan,
diskriminasi, kebahagiaan, permusuhan, kerusuhan, harga diri, pengangguran dan
kesejahteraan.
2. Tahap 2: Penilaian epidemiologi
Pertama mengidentifikasi dan menetapkan prioritas dari masalah kesehatan sesuai
dengan tujuan atau masalah yang ada di tahap satu. Data populasi individu yang
mengalami masalah kesehatan menjadi sangat penting. Adapun indikator penting
pada tahap ini: kecacatan, ketidaknyamanan, kesuburan, kesakitan, kematian dan
faktor resiko baik fisiologis maupun psikologis. Data populasi mencakup:
distribusi, durasi, tingkat fungsional, angka kejadian, intensitas kejadian dan
prevalensi.
3. Tahap 3: Mengidentifikasi masalah kesehatan secara spesifik yang berhubungan
dengan faktor perilaku dan lingkungan.
Masalah kesehatan diidentifikasi disebabkan faktor etiologi yang dibagi menjadi
tiga yaitu: genetik sebagai faktor penentu kesehatan, perilaku dan faktor
lingkungan. Ketiga faktor tersebut menyebabkan individu menjadi sakit, cedera
dan kecacatan. Faktor genetik termasuk penyakit, resiko terpapar penyakit dan
kondisi biologis. Faktor perilaku adalah perilaku atau gaya hidup baik dari
individu maupun masyarakat yang menyebabkan masalah kesehatan. Faktor
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
lingkungan adalah kondisi sosial kultural yang mempengaruhi perilaku. Ketiga
faktor ini saling berhubungan yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan.
4. Tahap 4: Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku
dan lingkungan terdiri dari 2 tahap meliputi: faktor predisposisi, faktor penguat
dan faktor pendorong. Faktor prediposisi meliputi pengetahuan, nilai, kepercayaan,
sikap dan persepsi terhadap perilaku. Faktor penguat didapat dari penerimaan atau
adopsi perilaku sosial, norma sosial dan kebijakan politik. Faktor penguat juga
didapat dari sikap dan perilaku kesehatan dari teman, kelompok, keluarga, tokoh
masyarakat, tokoh agama dan tenaga sukarela. Faktor pendorong adalah
keterampilan dan sumber daya yang dapat membantu merubah perilaku, termasuk
pengadaan sarana dan prasarana, jaminan kesehatan dan ketersediaan layanan
kesehatan.
5. Tahap 5: Sumber pendukung terkait administratif dan kebijakan pemerintahan
Pelayanan kesehatan yang memadai memberikan pelayanan kesehatan yang
mencakup seluruh masyarakat, selain itu juga kebijakan-kebijakan pemerintahan
yang mendukung terlaksananya program kesehatan masyarakat sangat diperlukan.
Lintas program maupun lintas sektor diharapkan ikut bertanggung jawab dalam
pemeliharaan kesehatan. Langkah selanjutnya setelah mengidentifikasi kerjasama
lintas program dan sektor maka mempertimbangkan metode paling efektif untuk
mencapai target. Tindakan yang direncanakan adalah mengaju pada ketiga faktor
pada tahap empat.
Proceed terdapat empat tahap yang mencakup implementasi aktual dan evaluasi
yang telah dilakukan. Tahap-tahap dalam Proceed:
6. Tahap 6: Implementasi aktual sesuai dengan intervensi
Tahap ini adalah menerapkan program kerja yang sudah dibuat di tahap lima. Pada
tahap ini perlu diperhatikan adalah: mempertimbangkan lingkungan sosial serta
politik dan perubahannya; mendefinisikan atau merevisi tugas dan aktifitas yang
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
17
Universitas Indonesia
spesifik menurut kerangka waktu, prioritas tindakan dan pertanggungjawaban;
menentukan sumber daya dan melaporkan kendala; koordinasi setiap tindakan;
memastikan akuntabilitas; mempelajari pengalaman; dan mempertimbangkan
efektif dan efisiensi dari tindakan.
Secara garis besar bahwa evaluasi dalam konsep Green dan Kreuter (2005)
dijabarkan kapan akan dilakukan evaluasi, dimana dilaksanakan, kelompok
sasaran yang akan dievaluasi dan siapa yang akan melaksanakan evaluasi menjadi
sangat penting.
7. Tahap 7: Evaluasi proses, apakah benar-benar melakukan tindakan sesuai yang
direncanakan
8. Tahap 8: Evaluasi dampak, apakah implementasi berdampak pada sasaran
Indikasi evaluasi dampak adalah tercapainya tujuan umum pada kegiatan yang
telah dilakukan.
9. Tahap 9: Evaluasi hasil, apakah implementasi mengarah sesuai dengan hasil yang
dinginkan pada tahap 1
2.1.2 Pendekatan model stress dan adaptasi menurut Stuart
Model stress adaptasi Stuart menggambarkan proses terjadinya masalah kesehatan
jiwa dengan menganalisa faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor,
sumber koping dan mekanisme koping yang digunakan individu sehingga
menghasilkan respon bersifat konstruktif dan destruktif dalam rentang adaptif sampai
maladaptif.
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
Stressor predisposisi
Biologi Psikologi Sosialkultural
Stresor presipitasi
Nature Origin Timing Number
Penilaian terhadap stresor
Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Sosial
Sumber koping
Kemampuan personal Dukungan sosial Aset material Keyakinan positif
Mekanisme koping
Konstruktif Destruktif
Rentang respon koping
Respon adaptif ` Respon Maladaptif
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Skema 2.2. Psikodinamika Masalah Keperawatan Jiwa (Stuart, 2009)
2.1.2.1 Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah
sumber resiko yang dapat menyebabkan individu mengalami stress. Faktor ini
meliputi biologis, psikologis dan sosial budaya (Stuart, 2009).
2.1.2.2 Presipitasi
Faktor presipitasi adalah stimulus yang bersifat menantang dan mengancam individu
serta menimbulkan kondisi tegang dan stress sehingga memerlukan energy yang
besar untuk menghadapinya (Stuart, 2009). Faktor presipitasi dapat bersifat stressor
biologi, psikologis serta sosial budaya yang berasal dari dalam diri individu (internal)
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
19
Universitas Indonesia
maupun dari lingkungan eksternal individu. Selain sifat dan asal stressor, waktu dan
jumlah stressor juga merupakan komponen faktor presipitasi. Dimensi waktu meliputi
kapan stressor terjadi, seberapa lama terpapar stressor dan frekuensi terpapar stressor.
Peristiwa kehidupan yang penuh dengan tekanan dan stressor menjadi pencetus
serangan atau munculnya gejala gangguan jiwa dan meningkatkan angka
kekambuhan (Towsend, 2009).
2.1.2.3 Penilaian terhadap stressor
Penilaian terhadap stressor menggambarkan arti dan makna sumber stress pada suatu
situasi yang dialami individu (Stuart, 2009). Penilaian stressor dapat dilihat melalui
respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial.
a. Respon kognitif
Respon kognitif memegang peran sentral dalam proses adaptasi, dimana faktor
kognitif mempengaruhi dapak suatu kejadian penuh dengan stress, memilik koping
yang akan digunakan dan reaksi emosi, fisiologi, perilaku dan sosial individu.
Penilaian secara kognitif merupakan mediator fisiologis antara individu dengan
lingkungannya terhadap suatu stressor.
b. Respon afektif
Respon afektif menunjukkan suatu perasaan. Penilaian terhadap stressor secara
afektif tidak spesifik dan umumnya berupa reaksi cemas yang diekspresikan
sebagai emosi. Respon afektif dipengaruhi oleh kegagalan individu dalam
menyelesaikan tugas perkembangan di masa lalu terutama terkait dengan
pengalaman berinteraksi dengan orang lain.
c. Respon fisiologis
Respon fisiologis merefleksikan interaksi beberapa neuroendokrin seperti hormon
pertumbuhan, prolaktin, ACTH, LH dan FSH, TSH, vasopressin, oksitosin,
insulin, epineprin, norepineprin dan beberapa neurotransmitter dalam otak. Respon
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
fisiologis fight-or-flight menstimulasi system saraf otonom yaitu saraf simpatis
dan meningkatkan aktivitas adrenal pituitary.
d. Respon perilaku
Respon perilaku merefleksikan respon emosi dan fisiologis sebagai hasil analisa
kognitif dalam menghadapi suatu situasi yang penuh stress. Terdapat empat fase
dalam respon perilaku yaitu: 1) Fase pertama, perilaku berubah karena stressor
dari lingkungan dan individu lari dari masalah; 2) Fase kedua, perilaku yang
membuat seseorang merubah pengaruh dari luar; 3) Fase ketiga, perilaku untuk
bertahan atau melawan perasaan dan emosi yang tidak nyaman; 4) Fase keempat,
perilaku yang datang menggambarkan suatu kejadian agar seseorang mampu
menyesuaikan diri secara berulang. Dapat disimpulkan bahwa perilaku merupakan
tindakan yang dilakukan individu karena dipengaruhi oleh proses kognitif.
e. Respon sosial
Respon sosial individu saat menghadapi stressor terdiri dari tiga kegiatan, yaitu: 1)
Mencari makna, dimana individu mencari informasi tentang masalah yang
dihadapi dan diperlukan strategi koping untuk merespon masalah secara rasional.
2) Atribut sosial, individu mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang
berkonstribusi terhadap masalah yang ada; 3) Perbandingan sosial, individu akan
membandingkan keterampilan dan kemampuan yang dimiliki dengan orang lain
yang memiliki masalah yang sama. Hasil perbandingan social tergantung pada
siapa yang dibandingkan dengan tujuan akhir untuk menentukan kebutuhan
support system.
2.1.2.4 Sumber koping
Sumber koping merupakan pilihan atau strategi yang dapat membantu menentukan
apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah. Sumber koping meliputi
aspek kemampuan ekonomi, kemampuan dan keterampilan, tehnik pertahanan diri,
dukungan sosial dan motivasi (Stuart, 2009). Sumber koping bersifat internal maupun
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
21
Universitas Indonesia
eksternal. Hubungan antara individu, keluarga, kelompok dan masyarakat merupakan
sesuatu yang penting sebagai sumber koping seseorang. Sumber koping individu
yang lain dalam menghadapi stressor adalah kesehatan dan energi,
keyakinan/spiritual, keyakinan positif, keterampilan sosial dan pemecahan masalah,
sumber-sumber sosial dan material dan kesejahteraan secara fisik.
2.1.2.5 Mekanisme koping
Mekanisme koping merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mengatasi stress
(Stuart, 2009). Mekanisme koping yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
dapat bersifat konstruktif dan destruktif. Mekanisme koping bersifat konstruktif jika
individu menganggap stressor sebagai tanda peringatan dan menerimanya sebagai
tantangan untuk mengatasi masalahnya, sebaliknya bersifat destruktif jika stressor
yang dihadapi tidak diatasi/diselesikan atau lari dari masalah.
2.1.3 Aplikasi Model konsep Precede-Proceed Green dan Model Stress Adaptasi
Stuart
Manajemen pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa pada pasien harga diri rendah
kronik yang dilakukan oleh penulis menggunakan pendekatan konsep Precede Green
dan model stress adaptasi Stuart. Dimana manajemen pelayanan akan menghasilkan
asuhan keperawatan jiwa yang komprehensif sehingga perilaku kesehatan pasien
harga diri rendah kronik dapat berubah.
2.1.3.1 Tahap 1: Diagnosis Sosial
Diagnosis sosial adalah proses menentukan persepsi masyarakat terhadap kebutuhan
untuk meningkatkan kualitas hidupnya (Green & Kreuter, 2005). Penulis
mengumpulkan data langsung dari masyarakat dengan cara wawancara dengan
perangkat RW, RT, tokoh agama dan kelurahan serta mengadakan diskusi bersama
yang disebut musyawarah masyarakat desa (MMD). Hasil akhir dari kegiatan ini
adalah adanya peningkatan kemampuan positif sehingga pasien harga diri rendah
kronik menjadi mandiri dan produktif.
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
22
Universitas Indonesia
Tahap 5
Tahap 4
Tahap 3
Tahap 2
Tahap 1
Intervensi, Regulasi
Pengkajian multifaktor
Diagnosis
Diagnosa
Diagnosis
Administrasi
Perilaku dan Lingkungan
Epidemiologi
Sosial
Predisposing Factors
Karakteristik
Pemeliharaan Kesehatan
Predisposisi
Presipitasi
Perilaku & Gaya Hidup:
Tindakan Keperawatan
Tanda dan Gejala
*Kemampuan Personal
1. Terapi Generalis
*Keyakinan Positif
2. Terapi Spesialis
Kualitas
Reinforcing Factors
Kesehatan
Hidup:
Terkait kesehatan
Keluarga
Jumlah
Pasien
1. Puskesmas
Kader
Pasien HDR
*Mandiri
2. Dinas Kesehatan
Toma, Toga
(N=16)
*Produktif
Perawat CMHN
Lingkungan
Terkait Pemerintahan
*Sosial Support
1. Kelurahan
*Material Aset
2. Kecamatan
Enabing Factors
Puskesmas
RS
Tahap 6
Tahap 7
Tahap
8
Tahap 9
Implementasi
Evaluasi Proses
Evaluasi Hasil Evaluasi Dampak
Skema 2.3 Kerangka Kerja Aplikasi Model Stress dan Adaptasi Stuart dan Model Precede-Proceed L.Green
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
23
Universitas Indonesia
Tahap 2: Diagnosis epidemiologi
Hasil pengumpulan data dan kesepakatan dengan masyarakat maka dilakukan deteksi
dini sehingga diperoleh prevalensi masalah kesehatan yang ada di masyarakat.
Diagnosis epidemiologi akan menghasilkan jumlah warga yang mengalami masalah
kesehatan khususnya gangguan jiwa berat. Pasien gangguan jiwa yang ada di wilayah
dilakukan pengkajian lebih lanjut akan tingkat kebutuhan dan masalah perilaku yang
mengganggu kesehatan.
2.1.3.2 Tahap 3: Perilaku dan lingkungan
Tahap ini mengidentifikasi masalah perilaku dan lingkungan yang mempengaruhi
perilaku dan status kesehatan atau kualitas hidup individu atau masyarakat (Green &
Kreuter, 2005). Penting membedakan masalah perilaku yang dapat dikontrol oleh
individu atau harus dikontrol oleh institusi. Perilaku yang dapat dikontrol individu
sebagai contoh ketidakmampuan memulai aktifitas. Indikator masalah perilaku yang
mempengaruhi status kesehatan adalah pemanfaatan pelayanan kesehatan, upaya
pencegahan, pola komunikasi, kepatuhan minum obat dan upaya pemeliharaan
kesehatan. Indikator lingkungan adalah keadaan sosial, ekonomi, fisik dan layanan
kesehatan seiring dengan keterjangkauan, kemampuan dan pemerataan (Notoatmodjo,
2012).
2.1.3.3 Tahap 4: Identifikasi multifaktor
Menurut Green dan Kreuter (2005), kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor
perilaku dan faktor non perilaku. Perilaku sendiri dipengaruhi oleh tiga domain
utama, yaitu:
a. Faktor Predisposisi (predisposing factors)
Proses sebelum perubahan perilaku yang memberikan rasional atau motivasi
terjadinya perilaku individu atau kelompok. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kecenderungan untuk mempermudah terjadinya perilaku seseorang atau kelompok,
antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, kebutuhan yang dirasakan,
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
kemampuan dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan
masyarakat. Dari sisi domain psikologis, seseorang termasuk dimensi kognitif dan
afektif mulai mengetahui, merasakan, meyakini, menilai dan punya percaya diri
sehingga mempermudah terjadinya perilaku kesehatan. Proses faktor
mempermudah perilaku menunjukkan interaksi dari pengalaman dengan sejarah
manusia dengan keyakinan, nilai-nilai, sikap dan perjalanan hidup (Notoatmodjo,
2012).
Stuart (2009) mengemukakan bahwa stressor predisposisi disebabkan tiga aspek
yaitu biologis, psikologis dan sosial kultural. Stressor predisposisi yang ditemukan
pada pasien dengan harga diri rendah kronik antara lain karakteristik genetik,
kegagalan dalam berhubungan dengan orang lain, kegagalan pernikahan,
kehilangan pasangan, penyakit menahun, komunikasi tertutup, pola asuh dan
ekonomi yang rendah (Stuart, 2009). Stressor Presipitasi yang ditemukan antara
lain putus obat, trauma kepala, konflik keluarga, kegagalan perkawinan, penyakit
menahun dengan onset kurang dari enam bulan, ditemukan baik dari dalam
maupun dari luar individu (Hasil Temu Ilmiah Keperawatan Jiwa, 2012). Dari
adanya faktor predisposisi dan diperkuat oleh stressor presipitasi maka timbul
tanda dan gejala dari harga diri rendah kronik. Tanda dan gejala harga diri rendah
muncul kronik karena pasien menggunakan mekanisme koping yang maladadtif.
b. Faktor Pendorong (enabling factors)
Proses sebelum terjadinya perubahan perilaku harus ada faktor pendorong untuk
memfasilitasi perilaku tersebut seperti adanya pelayanan kesehatan khususnya
untuk layanan kesehatan jiwa. Faktor pendorong dalam konsep stress dan adaptasi
Struart (2009) dapat dilihat pada material asset dimana terdapat pelayanan
kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat, ketersediaan finansial untuk
perawatan dan adanya jaminan kesehatan.
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
25
Universitas Indonesia
c. Faktor Penguat (reinforcing factors)
Faktor penguat yang memberi dukungan secara terus menerus untuk kelangsungan
perilaku individu seperti keluarga, teman, kader kesehatan, tokoh masyarakat
(toma) dan tokoh agama (toga) (Green & Kreuter, 2005). Untuk berperilaku sehat
bukan hanya perlu pengetahuan, sikap positif dan dukungan fasilitas melainkan
diperlukan perilaku contoh atau acuan dari semua pihak yang ada di lingkungan
kehidupan (Notoatmodjo, 2012). Tokoh masyarakat (ketua RT, ketua RW,
pemangku adat) dan tokoh agama (kyai, ustadz, pendeta) cukup mendukung
adanya kegiatan untuk kesehatan jiwa masyarakat.
Menurut Stuart (2009) perubahan perilaku individu dipengaruhi oleh kemampuan
personal, dukungan sosial, material asset dan keyakinan positif. Faktor penguat
dalam Green dimasukkan dalam pengkajian stress dan adaptasi Stuart adalah salah
satu sumber koping yaitu dukungan sosial. Dukungan sosial berasal dari keluarga,
tetangga, toma, toga, petugas kesehatan maupun sukarelawan kesehatan (Stuart,
2009). Dukungan sosial dikelola oleh seorang perawat CMHN yang bertanggung
jawab diwilayah tersebut. Perawat CMHN adalah perawat yang sudah
mendapatkan pelatihan Basic Course (BC-CMHN) dan Intermediate Course (IC-
CMHN) sehingga mempunyai kemampuan memberikan asuhan keperawatan
dengan tujuh diagnosis keperawatan untuk individu dan keluarga dan kemampuan
membentuk desa siaga sehat jiwa, melatih dan melakukan rekrutmen kader serta
mengembangkan program rehabilitasi. Pemberdayaan masyarakat untuk kesehatan
diberikan pelatihan kader kesehatan jiwa yang akan memberikan perawatan salah
satunya pada pasien dengan gangguan jiwa.
2.1.3.4 Tahap 5 dan 6 Pemeliharaan kesehatan dan implementasi keperawatan
terdapat dua bagian yaitu tindakan keperawatan dan instansi baik yang terkait dengan
kesehatan maupun terkait kebijakan pemerintahan. Tindakan keperawatan yang
dilakukan adalah tindakan generalis (individu, keluarga dan kelompok) dan tindakan
spesialis (individu, keluarga dan kelompok). Tindakan keperawatan spesialis yang
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
diberikan adalah cognitive behavior therapy (CBT), family psycho education (FPE)
dan terapi suportif. Untuk mendapat tindakan keperawatan spesialis yang sesuai
dengan perencanaan penulis memerlukan waktu 8 minggu dengan kurang lebih 16
kali pertemuan.
Kegiatan ini sangat didukung oleh pusat pelayanan kesehatan setempat agar asuhan
keperawatan dapat terkontrol dengan baik. Salah satu program puskesmas adalah
kesehatan jiwa masyarakat sehingga kegiatan ini mendapat dukungan dari Puskesmas
Bogor Utara. Program kunjungan rumah ke pasien gangguan jiwa dalam
pelaksanaannya bersamaan dengan pelaksanaan program posyandu maupun
posbindu. Selain puskesmas Bogor Utara, dinas kesehatan Kota Bogor juga sangat
mendukung. Dukungan ini berupa program pengobatan untuk pasien gangguan jiwa
dan didistribusikan ke puskesmas, fasilitas untuk jaminan kesehatan bagi masyarakat
yang kurang mampu, serta pengadaan sarana dan prasarana untuk kegiatan terapi
kelompok.
2.1.3.5 Tahap 7 Evaluasi Proses yaitu melihat kembali tiga komponen atau faktor
dalam perubahan perilaku yaitu:
a. Faktor predisposisi: setelah dilakukan tindakan keperawatan pada pasien harga diri
rendah kronik baik tindakan keperawatan individu maupun kelompok maka gejala
harga diri rendah berkurang dan peningkatan kemampuan positif sehingga pasien
menjadi mandiri dan produktif.
b. Faktor pendorong: tersedianya fasilitas layanan kesehatan jiwa baik tingkat
puskesmas maupun rumah sakit bagi pasien harga diri rendah kronik. Selain itu
baik RT maupun RW menyediakan fasilitas sarana dan prasarana pada saat
pelaksanaan kegiatan, mengalokasikan dana untuk pelaksanaan kegiatan.
c. Faktor penguat: tokoh masyarakat yaitu ketua RT dan ketua RW sangat
mendukung kegiatan yang ditujukan untuk kesehatan jiwa masyarakat. Tokoh
agama (kyai, ustadz dan pendeta) bersedia memotivasi pasien dan keluarga untuk
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Buku kerja sangat
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
27
Universitas Indonesia
efektif untuk melihat perkembangan kemampuan yang dicapai. Keluarga dan
kader kesehatan jiwa melakukan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan
kemampuan yang telah dilatih.
2.1.3.6 Tahap 8 Evaluasi Dampak: mengevaluasi dari keseluruhan tindakan yang
telah dilakukan. Tindakan keperawatan yang sudah dilakukan di wilayah memberikan
dampak bagi pasien pasien harga diri rendah kronik antara lain sudah dapat bekerja
sebagai tukang ojek dan pegawai pabrik, pasien sudah mampu melakukan kegiatan
sehari-hari seperti membereskan kamar tidur, menyapu rumah, mencuci piring/baju,
membantu orang tua diwarung dan pasien masih perlu motivasi untuk melakukan
kegiatan sehari-hari. Keluarga sebagai care giver sudah mampu memberikan pujian
atas keberhasilan pasien, mengajak pasien untuk mengikuti terapi kelompok maupun
rehabilitasi, membawa pasien untuk teratur minum obat dan kontrol ke puskesmas.
Kader sudah mampu melakukan kunjungan rumah, penggerakan pasien dan keluarga
untuk mengikuti penyuluhan dan melakukan rujukan bila ditemukan indikasi.
2.1.3.7 Tahap 9 Evaluasi Hasil: setelah melihat hasil dan masih ditemukan beberapa
pasien yang masih memerlukan tindakan secara teratur dan komprehensif maka
dilakukan perencanaan kembali untuk keberlangsungan kesehatan jiwa masyarakat.
Baik kader kesehatan jiwa maupun perawat CMHN membuat perencanaan baik
tahunan, bulanan maupun harian untuk asuhan keperawatan jiwa dengan harga diri
rendah kronik.
2.2 Harga Diri Rendah Kronik
Harga diri rendah kronik merupakan salah satu respon maladaptif dalam rentang
respon neurobiologi. Proses terjadinya harga diri rendah kronik pada pasien
skizofrenia dapat dijelaskan dengan menganalisa stressor predisposisi dan presipitasi
yang bersifat biologis, psikologis, dan sosial budaya sehingga menghasilkan respon
bersifat maladaptif yaitu perilaku harga diri rendah kronik.
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
2.2.1 Pengertian Harga Diri Rendah Kronik
Konsep diri adalah semua pikiran, dan keyakinan yang merupakan pengetahuan
individu tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain (Stuart,
2009). Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya dalam hal harga diri dan
martabat (Videbeck, 2006). Dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara
bagaimana individu memandang dirinya sendiri dimana hal ini dapat mempengaruhi
individu tersebut dalam berhubungan dengan orang lain.
Menurut Stuart (2009), komponen konsep diri adalah citra tubuh, ideal diri, harga
diri, penampilan atau performa peran dan identitas personal. Citra tubuh yaitu
kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya,
termasuk persepsi masa lalu dan pengalaman yang baru. Ideal diri, yaitu persepsi
individu tentang bagaimana dia seharusnya berperilaku berdasarkan standar, aspirasi,
tujuan atau personal tertentu. Harga diri, yaitu penilaian individu tentang penilaian
personal tertentu. Penampilan atau performa peran adalah serangkaian pola perilaku
yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu di
berbagai kelompok sosial. Identitas personal adalah pengorganisasian prinsip dari
kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi
dan keunikan individu.
Gangguan konsep diri: harga diri rendah adalah keadaan dimana individu mengalami
atau beresiko mengalami evaluasi diri negatif tentang kemampuan atau diri
(Carpenito, 2000). Harga diri rendah adalah evaluasi atau perasaan yang negatif
terhadap diri dan kemampuan diri yang berkepanjangan (NANDA, 2010). Harga diri
adalah penilaian pribadi seseorang terhadap nilai diri berdasarkan seberapa baik
perilaku sesuai dengan ideal diri (Stuart, 2009). Harga diri rendah adalah evaluasi diri
negatif dan berhubungan dengan perasaan lemah, tidak berdaya, putus asa, ketakutan,
rentan, rapuh, tidak lengkap, tidak berharga dan tidak memadai (Stuart, 2009). Dapat
disimpulkan bahwa harga diri rendah kronik adalah cara pandang individu terhadap
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
29
Universitas Indonesia
dirinya yang bersifat negatif dimana ia tidak mampu mengenal kemampuan atau
aspek positif dirinya sendiri.
Setiap individu dalam kehidupannya tidak terlepas dari berbagai stressor, dengan
adanya stressor akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam diri sendiri (Stuart,
2009). Dalam usaha mengatasi ketidakseimbangan tersebut individu menggunakan
koping yang bersifat membangun (konstruktif) ataupun koping yang bersifat merusak
(destruktif). Rentang respon pasien dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah
dapat dilihat dalam bagan 2.1.
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Aktualisasi Konsep Harga Kekacauan Depersonalisasi
Diri Diri positif Diri Rendah Identitas
Bagan 2.3
Rentang Respon Konsep Diri (Stuart, 2009)
Rentang respon konsep diri terdiri dari:
a. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan diterima.
b. Konsep diri positif, individu mempunyai pengalaman yang positif dalam
mengekspresikan kemampuan yang dimiliki.
c. Harga diri rendah adalah transisi antara respon konsep diri adaptif dengan konsep
diri maladaptif, yaitu perasaan/persepsi yang negatif terhadap diri sendiri dan
kemampuan diri, dan merasa gagal dalam mencapai keinginan.
d. Kekacauan identitas adalah kegagalan individu dalam mengintegrasikan aspek-
aspek identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikososial
kepribadian pada masa dewasa yang harmonis.
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
e. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri
yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan
dirinya dengan orang lain.
2.2.2 Stressor Predisposisi Harga Diri Rendah Kronik
Stressor predisposisi adalah faktor risiko yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah
sumber risiko yang dapat menyebabkan individu mengalami stress (Stuart, 2009).
Stressor ini meliputi biologis, psikologis, dan sosial budaya.
2.2.2.1 Faktor Biologis
Faktor predisposisi biologis meliputi riwayat genetik, status nutrisi, status kesehatan
secara umum, sensitivitas biologi, dan terpapar racun (Stuart, 2009). Banyak riset
menunjukkan peningkatan risiko mengalami skizofrenia pada individu dengan
riwayat genetik terdapat anggota keluarga dengan skizofrenia. Pada kembar dizigot
risiko terjadi skizofrenia 15%, kembar monozigot 50%, anak dengan salah satu orang
tua menderita skizofrenia berisiko 13%, dan jika kedua orang tua mendererita
skizofrenia berisiko 45% (Fontaine, 2003).
Riset lain menunjukkan bahwa terjadi abnormalitas anatomi, fisiologis, dan
neurokimia pada pasien dengan skizofrenia, dimana terjadi penurunan volume otak,
fungsi otak, dan gangguan jumlah dan regulasi neurotransmiter (dopamin, serotonin,
dan glutamat). Gangguan pada korteks frontal mengakibatkan gejala negatif dan
gangguan pada sistem limbik mengakibatkan gejala positif (Bartzokis, 2002 dalam
Stuart, 2009). Perkembangan janin dalam rahim belum dapat dideteksi kemungkinan
menderita skizofrenia, tetapi beberapa riset menunjukkan pada sebagian besar pasien
dengan skizofrenia memiliki riwayat komplikasi prenatal dan perinatal seperti pre-
eklampsia, trauma, asfiksia, prematur, dan masalah-masalah yang dialami ibu selama
masa kehamilan seperti nutrisi yang buruk, stress, menggunakan alkohol/obat-obat
terlarang, infeksi virus, hipertensi, dan penggunaan zat-zat kimia berbahaya (Cannon,
Jones & Muray, 2002 dalam Stuart, 2009). Berbagai faktor predisposisi di atas dapat
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
31
Universitas Indonesia
menyebabkan gangguan bentuk, fungsi maupun regulasi neurotransmiter otak
khususnya pada korteks frontal sehingga menimbulkan gejala negatif diantaranya
harga diri rendah.
2.2.2.2 Faktor Psikologis
Faktor predisposisi psikologis meliputi intelektualitas, ketrampilan verbal,
kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, dan pertahanan psikologis
(Stuart & Laraia, 2005). Skizofrenia dapat terjadi pada individu yang mengalami
kegagalan pada tahap awal perkembangan psikososial, misalnya pada usia bayi tidak
terbentuk hubungan saling percaya maka terjadi konflik intra psikik. Anak yang
tumbuh dalam keluarga dengan kondisi tidak bahagia dan tegang akan menjadi
individu yang tidak sensitif secara psikologis (Fortinash & Worret, 2007). Kondisi
keluarga dan karakter setiap orang dalam keluarga mempengaruhi perkembangan
psikologis seseorang. Ibu yang overprotective, ibu selalu cemas, konflik perkawinan,
dan komunikasi yang buruk serta interaksi yang kurang dalam keluarga berisiko
terjadinya skizofrenia pada individu anggota keluarga tersebut.
Maturasi psikososial manusia menjalankan delapan tugas perkembangan
(development task) sesuai dengan proses perkembangan usia (Eric Erikson, 2000
dalam Keliat, 2006). Untuk mengembangkan hubungan sosial positif setiap tugas
perkembangan sepanjang daur kehidupan, diharapkan dilalui dengan baik sehingga
kemampuan membina hubungan sosial dapat menghasilkan kepuasan bagi individu.
Sebaliknya tugas perkembangan yang tidak dijalankan dengan baik memberikan
dampak psikososial dikemudian hari. Faktor psikologis berhubungan dengan pola
asuh yang diterima oleh individu pada setiap tahap tumbuh kembangnya yang
kemudian membentuk pengalaman masa lalu, kepribadian, konsep diri, ketrampilan
verbal, dan pertahanan psikologis. Tipe kepribadian tertentu seperti borderline dan
narsistik cenderung mengalami kecemasan tinggi sehingga kesulitan dalam membina
hubungan dengan orang lain.
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
Kegagalan mencapai tugas perkembangan pada setiap tahapan usia tumbuh kembang
sejak bayi berakibat pada kemampuan dalam mengembangkan hubungan yang sosial
positif pada individu. Dampak lebih jauh akibat kegagalan ini adalah manifestasi
harga diri rendah pada pasien skizofrenia.
2.2.2.3 Faktor Sosial Budaya
Faktor predisposisi sosial budaya meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan,
pendapatan, pekerjaan, status sosial, pengalaman sosial, latar belakang budaya,
agama dan keyakinan, dan kondisi politik (Stuart, 2009). Faktor sosial budaya
dikaitkan dengan terjadinya harga diri rendah meliputi; umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan dan keyakinan (Townsend, 2005; Stuart, 2009). Skizofrenia
terjadi pada semua kelompok sosial ekonomi, namun lebih banyak terjadi pada
kelompok sosial ekonomi rendah. Hipotesis downward drift menjelaskan bahwa
pasien skizofrenia yang memiliki ketrampilan sosial rendah berasal dari kelompok
sosial ekonomi rendah (Maguire, 2002 dalam Fortinash & Worret, 2007). Kondisi
sosial ekonomi yang rendah berpengaruh terhadap kondisi kehidupan yang dijalani
meliputi; nutrisi yang tidak adekuat, rendahnya pemenuhan perawatan untuk anggota
keluarga, perasaan tidak berdaya, perasaan ditolak oleh orang lain dan lingkungan
sehingga berusaha menarik diri dari lingkungan.
Beberapa ahli sosial meyakini bahwa stress kehidupan dalam kelompok sosial
ekonomi rendah cukup sering mencetuskan terjadinya skizofrenia pada masyarakat.
Pasien dengan skizofrenia akibat stress psikologis menunjukkan harga diri rendah dan
persepsi diri yang buruk serta mengalami keterbatasan sumber koping terhadap
situasi yang dihadapi. Hidup di lingkungan padat penduduk, kemiskinan,
kesengsaraan, dan ketakutan karena tingginya akngka kriminalitas juga menyebabkan
psikopatologi (Cohen, 1993; Betemps & Ragiel, 1994, dalam Fortinash & Worret,
2007). Beberapa studi juga menunjukkan bahwa lingkungan fisik berhubungan
dengan terjadinya skizofrenia, dimana paparan zat beracun pada individu
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
33
Universitas Indonesia
menyebabkan berbagai penyakit melalui polusi udara atau makanan yang
terkontaminasi.
Keyakinan merupakan pandangan terhadap kehidupan dunia, agama dan spiritual
yang memberikan efek negatif dan positif terhadap kesehatan jiwa seseorang (Stuart
& Laraia, 2005). Respon positif terhadap keyakinan dapat merubah kesejahteraan,
peningkatan kualitas hidup, dan mempercepat proses penyembuhan. Respon negatif
terhadap keyakinan karena adanya kemiskinan dapat menjadi faktor pencetus sulitnya
merubah status kesehatan seseorang, penolakan terhadap pelayanan yang diberikan,
pesimis, menyalahkan diri sendiri, orang lain dan adanya perasaan tidak
berdaya. Hal ini menjelaskan keyakinan memainkan peranan penting dalam
menggambarkan suasana hati yang dihadapi seseorang. Pendidikan dapat dijadikan
tolak ukur kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain secara efektif
(Stuart, 2009). Faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
2.2.3 Stressor Presipitasi Harga Diri Rendah Kronik
Stressor presipitasi adalah stimulus yang bersifat menantang dan mengancam
individu serta menimbulkan kondisi tegang dan stres sehingga memerlukan energi
yang besar untuk menghadapinya (Cohen, 2000 dalam Stuart, 2009). Stressor
presipitasi dapat bersifat aspek biologis, psikologis, serta sosial budaya yang berasal
dari dalam diri individu (internal) maupun dari lingkungan eksternal individu. Selain
sifat dan asal stresor, waktu dan jumlah stresor juga merupakan komponen stressor
presipitasi. Dimensi waktu meliputi kapan stresor terjadi, seberapa lama terpapar
stresor, dan frekuensi terpapar stresor. Peristiwa dalam kehidupan yang penuh dengan
tekanan dan stresor menjadi pencetus serangan atau munculnya gejala skizofrenia dan
meningkatkan angka kambuh (Townsend, 2009).
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
2.2.3.1 Aspek Biologis
Aspek biologis yang berperan terjadinya harga diri rendah dapat berupa penyakit
yang diderita (skizofrenia), riwayat cedera/trauma, penggunaan zat terlarang atau
beralkohol dalam jangka waktu lama, pengobatan yang tidak teratur atau putus obat.
Harga diri rendah merupakan salah satu gejala negatif dari skizofrenia. Gejala negatif
atau gejala samar yang dialami pasien skizofrenia dapat berupa afek datar, tidak
memiliki kemauan, merasa tidak nyaman dan menarik diri dari masyarakat
(Videbeck, 2008), ekspresi emosi terbatas (emotional withdrawal), keterbatasan
pembicaraan, pikiran, keterbatasan perilaku mencapai tujuan, anhedonia, afek tumpul
dan penurunan atensi/perhatian (Sinaga, 2007). Riwayat cedera/trauma dapat
menyebabkan kerusakan pada bagian otak yaitu frontalis sehingga bisa menimbulkan
gangguan control fungsi bicara, proses berpikir dan ekspresi emosi (Towsend, 2003).
Penggunaan zat terlarang atau narkotika maupun pengobatan yang tidak teratur atau
putus obat dapat merusak dan menganggu sel otak dan fungsinya termasuk
neurotransmitter, serotonin yang akan menurun dan menimbulkan gangguan emosi,
kognitif dan depresi (Kaplan & Saddock, 2007).
2.2.3.2 Aspek Psikologis
Respon sosial maladaptif merupakan hasil pengalaman negatif yang mempengaruhi
pertumbuhan emosi seseorang. Stresor psikologis dapat berupa kondisi seperti
hubungan keluarga tidak harmonis, ketidak puasan kerja dan kesendirian. Diyakini
bahwa ansietas berat dan berkepanjangan dengan kemampuan koping yang terbatas
menyebabkan gangguan berhubungan dengan orang lain. Sikap atau perilaku tertentu
seperti harga diri rendah, tidak percaya diri, merasa dirinya gagal, merasa dirinya
lebih dibandingkan orang lain, tidak memiliki ketrampilan sosial, dan perilaku agresif
merupakan presipitasi terjadinya skizofrenia. Tipe kepribadian tertentu seperti
borderline dan narsistik cenderung mengalami kecemasan tinggi sehingga kesulitan
dalam membina hubungan dengan orang lain (Stuart, 2009).
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
35
Universitas Indonesia
2.2.3.3 Aspek Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat berasal dari keluarga, misalnya kurangnya support sistem
dalam keluarga dan kontak/hubungan yang kurang antar anggota keluarga. Stressor
lain yang dapat menjadi pencetus terjadinya perilaku harga diri rendah adalah kondisi
lingkungan yang bermusuhan, lingkungan penuh dengan kritik, tekanan di tempat
kerja atau kesulitan mendapatkan pekerjaan, kemiskinan, dan stigma yang ada di
lingkungan tempat tinggal seseorang (Stuart, 2009).
2.2.4 Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah Kronik
Tanda dan gejala harga diri rendah kronik merupakan bentuk penilaian terhadap
stresor. Penilaian terhadap stressor menggambarkan arti dan makna sumber stres pada
suatu situasi yang dialami individu (Stuart, 2009). Tanda dan gejala dapat dilihat
melalui empat respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial.
2.2.4.1 Respon kognitif
Respon kognitif memegang peran sentral dalam proses adaptasi, dimana faktor
kognitif mempengaruhi dampak suatu kejadian yang penuh dengan stress, memilih
koping yang akan digunakan, dan reaksi emosi, fisiologi, perilaku, dan sosial
seseorang. Tanda dan gejala secara kognitif merupakan mediator fisiologis antara
individu dengan lingkungannya terhadap suatu stressor. Terdapat tiga tipe utama
tanda dan gejala yang bersifat kognitif yaitu: 1) stresor dinilai sebagai bahaya yang
akan terjadi, 2) stresor dinilai sebagai ancaman sehingga perlu antisipasi, dan 3)
stresor dinilai sebagai peluang/tantangan untuk tumbuh menjadi lebih baik. Pada
pasien harga diri rendah kronik tanda dan gejala secara kognitif berupa merasa
kesepian, merasa ditolak orang lain/lingkungan, dan merasa tidak dimengerti oleh
orang lain, merasa tidak berguna, merasa putus asa dan tidak memiliki tujuan hidup,
merasa tidak aman berada diantara orang lain, serta tidak mampu konsentrasi dan
membuat keputusan (Townsend, 2009; Keliat, 2006; NANDA, 2010).
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
Universitas Indonesia
2.2.4.2 Respon afektif
Respon afektif menunjukkan suatu perasaan. Tanda dan gejala secara afektif tidak
spesifik dan umumnya berupa reaksi cemas yang diekspresikan sebagai emosi.
Respon afektif meliputi gembira, sedih, takut, marah, menerima, tidak percaya,
antisipasi, dan terkejut. Pengetahuan yang baik, optimis, dan sikap positif dalam
menilai peristiwa kehidupan yang dialami diyakini dapat menimbulkan perasaan
sejahtera dan memperpanjang usia (Stuart, 2009). Respon afektif dipengaruhi oleh
kegagalan individu dalam menyelesaikan tugas perkembangan di masa lalu terutama
terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan orang lain.
2.2.4.3 Respon fisiologis
Respon fisiologis merefleksikan interaksi beberapa neuroendokrin seperti hormon
pertumbuhan, prolaktin, ACTH, luteinizing dan follicle-stimulating hormone, TSH,
vasopresin, oksitosin, insulin, epineprin, norepineprin, dan beberapa neurotransmiter
dalam otak. Respon fisiologis fight-or-flight menstimulasi sistem saraf otonom yaitu
saraf simpatis dan meningkatkan aktivitas adrenal pituitari. Respon fisiologis yang
terjadi pada pasien harga diri rendah berupa lemah, penurunan/peningkatan nafsu
makan, malas beraktivitas, lemah, kurang energi (NANDA, 2010).
2.2.4.4 Respon perilaku
Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri dan
mempunyai bentangan yang luas meliputi berjalan, berbicara dan bereaksi, dimana
semua itu dapat diamati, bahkan dipelajari (Notoatmodjo, 2003). Perilaku merupakan
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar (Skinner,
1938 dalam Notoatmodjo, 2003).
Respon perilaku merefleksikan respon emosi dan fisiologis sebagai hasil analisis
kognitif dalam menghadapi suatu situasi yang penuh stres. Terdapat 4 (empat) fase
respon perilaku individu terhadap suatu stresor, yaitu: 1) Fase pertama, perilaku
berubah karena stresor dari lingkungan dan individu lari dari masalah; 2) Fase kedua,
Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013
-
37
Universitas Indonesia
perilaku yang membuat seseorang merubah pengaruh dari luar; 3) Fase ketiga,
perilaku untuk bertahan atau melawan perasaan dan emosi yang tidak nyaman; 4)
Fase keempat, perilaku yang datang menggambarkan suatu kejadian agar seseorang
mampu menyesuaikan diri secara berulang (Caplan, 1981 dalam Stuart, 2009). Dari
uraian diatas disimpulkan perilaku merupakan tindakan yang dilakukan seseorang
dipengaruhi oleh proses kognitif. Perilaku yang ditunjukkan pasien harga diri rendah
meliputi menarik diri, menjauh dari orang lain, tidak atau jarang melakukan
komunikasi, tidak ada kontak mata, kehilangan gerak dan minat, malas melakukan
kegiatan sehari-hari, berdiam diri di kamar, menolak hubungan dengan orang lain,
dan sikap bermusuhan (Townsend (2009); NANDA (2010)).
2.2.4.5 Respon sosial
Respon sosial individu dalam menghadapi stressor terdiri dari tiga kegiatan, yaitu 1)
Mencari makna, individu mencari informasi tentang masalah yang dihadapi. Dalam
hal ini perlu memikirkan strategi koping yang akan digunakan untuk merespon
masalah yang dihadapi secara rasional; 2) Atribut sosial, individu mencoba
mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap masalah yang ada.
Individu yang memandang masalahnya sebagai akibat dari kelalaiannya mungkin
tidak dapat melakukan suatu respon koping. Dalam hal ini individu akan lebih
menyalahkan diri sendiri, ber