digital_20351660-SP-Desi Pramujiwati_2.pdf

149
UNIVERSITAS INDONESIA PEMBERDAYAAN KELUARGA DAN KADER KESEHATAN JIWA DALAM PENANGANAN PASIEN HARGA DIRI RENDAH KRONIK DENGAN PENDEKATAN MODEL PRECEDE L.GREEN DI RW 06, 07 DAN 10 TANAH BARU BOGOR UTARA KARYA ILMIAH AKHIR Oleh: Desi Pramujiwati 1006800762 PROGRAM PENDIDIKAN PERAWAT SPESIALIS JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2013 Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

Transcript of digital_20351660-SP-Desi Pramujiwati_2.pdf

  • UNIVERSITAS INDONESIA

    PEMBERDAYAAN KELUARGA DAN KADER KESEHATAN JIWA

    DALAM PENANGANAN PASIEN HARGA DIRI RENDAH KRONIK

    DENGAN PENDEKATAN MODEL PRECEDE L.GREEN

    DI RW 06, 07 DAN 10 TANAH BARU BOGOR UTARA

    KARYA ILMIAH AKHIR

    Oleh:

    Desi Pramujiwati

    1006800762

    PROGRAM PENDIDIKAN PERAWAT SPESIALIS JIWA

    FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

    UNIVERSITAS INDONESIA

    DEPOK, 2013

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • UNIVERSITAS INDONESIA

    PEMBERDAYAAN KELUARGA DAN KADER KESEHATAN JIWA

    DALAM PENANGANAN PASIEN HARGA DIRI RENDAH KRONIK

    DENGAN PENDEKATAN MODEL PRECEDE L.GREEN

    DI RW 06, 07 DAN 10 TANAH BARU BOGOR UTARA

    KARYA ILMIAH AKHIR

    Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Ners Spesialis Keperawatan Jiwa

    Oleh:

    Desi Pramujiwati

    1006800762

    PROGRAM PENDIDIKAN PERAWAT SPESIALIS JIWA

    FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

    UNIVERSITAS INDONESIA

    DEPOK, 2013

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Rasa syukur yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Allah SWT yang

    telah melimpahkan karuniaNya kepada penulis sehingga Karya Ilmiah Akhir ini

    dapat diselesaikan. Karya Ilmiah Akhir ini dibuat sebagai tugas akhir dalam

    rangka mendapatkan gelar Spesialis Keperawatan Jiwa pada Program Pasca

    Sarjana Keperawatan Universitas Indonesia. Dalam penulisan karya ilmiah ini

    penyusun mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis bermaksud

    mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Dewi Irawaty, MA. Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan

    Universitas Indonesia.

    2. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN., selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas

    Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

    3. Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc., sebagai dosen pembimbing I

    yang telah memberikan banyak bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat

    menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini.

    4. Ns. Ice Yulia Wardhani, M.Kep. Sp.Kep.J., sebagai dosen pembimbing II

    yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga Karya

    Ilmiah ini dapat diselesaikan.

    5. Novy Helena C.D.,S.Kp., M.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang

    telah memberikan arahan selama penulis menjalani masa perkuliahan hingga

    memasuki masa studi ini.

    6. Seluruh dosen Program Pasca Sarjana Keperawatan Universitas Indonesia

    yang telah membagikan ilmunya kepada penulis.

    7. Adang Yayat, S.Pd selaku Lurah Tanah Baru beserta staff yang telah banyak

    membantu keberjalanan praktik penulis.

    8. Para Kader RW 06, RW 07 dan RW 10 Kelurahan Tanah Baru, atas kerjasama

    dan semangat dalam menjalankan perannya sebagai Kader Kesehatan Jiwa.

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • viii

    9. Suami dan anak-anak tercinta, yang selalu memberikan doa dan dukungan

    yang besar kepada penulis.

    10. Teman-teman Angkatan VI Program Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas

    Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang selalu memberikan semangat

    kepada penulis dan saling membantu.

    11. Berbagai pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu oleh

    penulis.

    Semoga Karya Ilmiah Akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak

    yang terlibat di dalamnya.

    Depok, Juli 2013

    Penulis

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • ix

    PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

    UNIVERSITAS INDONESIA

    Karya Ilmiah Akhir, Juli 2013

    Desi Pramujiwati, Budi Anna Keliat, Ice Yulia Wardani

    Pemberdayaan Keluarga Dan Kader Kesehatan Jiwa Dalam Penanganan Pasien Harga

    Diri Rendah Kronik Dengan Pendekatan Model Precede Lawrence Green Di Rw 06, 07

    Dan 10 Tanah Baru Bogor Utara

    xiv + 105 hal + 20 tabel + 3 skema

    ABSTRAK

    Harga diri rendah kronik merupakan salah satu gejala negatif pasien skizofrenia.

    Harga diri rendah kronik yang dibiarkan menyebabkan isolasi sosial, halusinasi

    dan bunuh diri. Latihan melawan pikiran negatif cognitive behavior therapy

    (CBT), dukungan sosial melalui family psychoeducation (FPE) dan terapi suportif

    diharapkan memperbaiki harga diri rendah kronik. Karya ilmiah akhir ini

    bertujuan menjelaskan hasil asuhan keperawatan spesialis jiwa pada pasien harga

    diri rendah kronik yang diberikan CBT, FPE dan terapi suportif. Metode yang

    digunakan adalah serial studi kasus pada 16 pasien yang terdiri dari 11 pasien

    skizofrenia, 4 pasien retardasi mental dan 1 pasien epilepsy. Hasil asuhan

    keperawatan menunjukkan penurunan tanda dan gejala harga diri rendah kronik

    disertai peningkatan kemampuan pasien lenih tinggi pada kelompok pasien yang

    mendapatkan CBT, FPE dan terapi suportif daripada kelompok yang mendapatkan

    CBT dan FPE maupun yang mendapatkan CBT. Hasil karya ilmiah ini perlu

    ditindaklanjuti dengan penelitian. Dukungan sosial di komunitas terutama

    memberdayakan keluarga dan kader dalam merawat pasien harga diri rendah

    kronik disarankan.

    Kata kunci : harga diri rendah kronik, dukungan sosial, Cognitif Behaviour

    Therapy, Psychoedukasi Keluarga, Terapi Suportif

    Daftar pustaka 34 (2004-2012)

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • x

    POSTGRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSING

    UNIVERSITY OF INDONESIA

    Karya Ilmiah Akhir, July 2012

    Desi Pramujiwati, Budi Anna Keliat, Ice Yulia Wardani

    Family and Mental Health workers Empowerment in Patients Chronic Low Self

    Esteem with approach Precede Lawrence Green in RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru

    Bogor Utara

    xiv + 105 page +20 table + 3 scheme

    ABSTRACT

    Chronic low self-esteem is one of negative symptom of schizophrenic patient.

    Prolonged chronic low self-esteem can caused social isolation, hallucination and

    suicide. Trained against negative thoughts with cognitive behavior therapy

    (CBT), giving social support with family psychoeducation (FPE) and supportive

    therapy is addresses to improve chronic self-esteem. This paper is aimed to

    explain the result of psychiatric nursing care specialist management for chronic

    low self-esteem patient whose given the CBT, FPE and supportive therapy. The

    method used is case serial with 16 patient, contains of 16 schizophrenic patient, 4

    mental retardation patient and 1 patient with epilepsy. The result shows a higher

    decrease of chronic low self-esteem sign and symptoms with an increase of patient

    ability more on the group that given CBT, FPE and supportive therapy than the

    CBT and FPE group or the CBT group only. This paper need to be followed by

    research. Community social support, especially to empower family and cadre to

    caring chronic low self-esteem patient is recommended.

    Keyword: low self esteem, social support, cognitive behavior therapy, family

    psychoeducation, supportif theraphy

    References: 34 (2004-2012)

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • xi

    DAFTAR ISI

    HALAMAM SAMPUL i

    HALAMAN JUDUL ii

    LEMBAR PERSETUJUAN iii

    LEMBAR PENGESAHAN iv

    PERNYATAAN ORISINALITAS v

    PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vi

    KATA PENGANTAR vii

    ABSTRAK ix

    ABSTRACT x

    DAFTAR ISI xi

    DAFTAR TABEL xiv

    DAFTAR SKEMA xv

    1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1

    1.2. Tujuan 8

    1.2.1. Tujuan Umum 8

    1.2.2. Tujuan Khusus 8

    1.3. Manfaat Penelitian 9

    1.3.1. Manfaat Aplikatif 9

    1.3.2. Manfaat Keilmuan 9

    1.3.3. Manfaat Metodologi 10

    2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan model konsep keperwatan jiwa dalam pelayanan

    kesehatan jiwa di masyarakat 11

    2.1.1 Model konsep Precede-Proceed L.Green 12

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • xii

    2.1.2 Pendekatan model stress dan adaptasi Stuart 16

    2.1.3 Aplikasi Konsep Precede-Proceed Green dan

    model Stress Adaptasi Stuart (2009) 19

    2.2 Harga Diri Rendah Kronik

    2.2.1 Pengertian HDR 25

    2.2.2 Stresor Predisposisi HDR 27

    2.2.3 Stressor Presipitasi HDR 30

    2.2.4 Tanda dan Gejala HDR 31

    2.2.5 Sumber Koping 33

    2.2.6 Diagnosa dan Penatalaksanaan Medis 35

    2.2.7 Diagnosis dan Tindakan Keperawatan Pada HDR 38

    2.2.8 Tindakan Keperawatan 39

    2.3 Community Mental Health Nursing (CMHN) 44

    2.3.1 Pilar I Manajemen Keperawatan Kesehatan Jiwa

    Komunitas 46

    2.3.2 Pilar II Pemberdayaan Masyarakat 49

    2.3.3 Pilar III Kemitraan Lintas Sektoral dan Lintas Program

    50

    2.3.4 Pilar IV Manajemen Kasus Kesehatan Jiwa Komunitas

    RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru 50

    3. HASIL PELAKSANAAN MANAJEMEN PELAYANAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN HARGA DIRI RENDAH KRONIK

    DI RW 06, 07 DAN 10 TANAH BARU BOGOR UTARA

    3.1 Hasil Pelaksanaan Manajemen Pelayanan di RW 06, 07

    dan 10 Tanah Baru 52

    3.2 Hasil Pelaksanaan Manajemen Asuhan Keperawatan di RW 06,

    07 dan 10 Tanah Baru 56

    3.2.1 Karakteristik Pasien HDR Kronik di RW 06, 07 dan 10

    Tanah Baru 57

    3.2.2 Stressor Predisposisi Pasien HDR Kronik di RW 06, 07

    dan 10 Tanah Baru 58

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • xiii

    3.2.3 Stresor Presipitasi Pasien HDR Kronik di RW 06, 07

    dan 10 Tanah Baru 60

    3.2.4 Tanda dan Gejala Pasien HDR Kronik 62

    3.2.5 Sumber Koping Pasien HDR Kronik 64

    3.2.6 Diagnosa dan Penatalaksanaan Medis 66

    3.2.7 Diagnosis Keperawatan yang Menyertai HDR Kronik

    67

    3.3 Rencana Tindakan Keperawatan 67

    3.3.1 Rencana Tindakan Keperawatan kepada pasien 68

    3.3.2 Rencana Tindakan Keperawatan kepada keluarga 69

    3.3.3 Rencana Tindakan Keperawatan kepada kelompok 71

    3.3.4 Rencana Tindakan Keperawatan kepada kader

    kesehatan jiwa 72

    3.4 Pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien HDR Kronik 73

    3.4.1 Pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien HDR

    Kronik 74

    3.4.2 Pelaksanaan tindakan keperawatan pada keluarga 74

    3.4.3 Pelaksanaan tindakan keperawatan pada kelompok 76

    3.4.4 Pelaksanaan tindakan keperawatan pada kader kesehatan

    Jiwa 76

    3.5 Evaluasi hasil pelaksanaan asuhan keperawatan 76

    3.5.1 Tanda dan Gejala pasien HDR Kronik 77

    3.5.2 Kemampuan Pasien HDR Kronik 81

    3.5.3 Kemampuan keluarga dengan anggota keluarga HDR

    Kronik dan kemampuan kelompok 82

    3.5.4 Kemampuan kader kesehatan jiwa 83

    4. PEMBAHASAN 4.1 Pengkajin Pasien Harga Diri Rendah Kronik 84

    4.1.1 Karakteristik Pasien dengan harga diri rendah kronik di

    RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru 84

    4.1.2 Stressor Predisposisi 86

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • xiv

    4.1.3 Stressor Presipitasi 88

    4.1.4 Perubahan Tanda dan Gejala serta Kemampuan pada Pasien

    HDR Kronik 90

    4.1.4.1 Perubahan Tanda dan Gejala Pasien HDR

    Kronik 90

    4.1.4.2 Perubahan Kemampuan Pasien HDR Kronik

    96

    5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 104

    5.2 Saran 105

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • xv

    DAFTAR SKEMA

    Skema 2.1 Kerangka model konsep Precede-Proceed L.Green 15

    Skema 2.2 Model Stress Adaptasi Stuart 16

    Skema 2.3 Kerangka kerja penerapan asuha keperawatan pasien pada

    HDR Kronik 20

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • xvi

    DAFTAR TABEL

    Tabel 3.1 Distribusi Daftar Jumlah Sehat, Resiko dan Gangguan Jiwa Di

    RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru 54

    Tabel 3.2 Distribusi Karakteristik Pasien Harga Diri Rendah Kronik 57

    Tabel 3.3 Distribusi Karakteristik Keluarga Pasien dengan Harga Diri

    Rendah Kronik 58

    Tabel 3.4 Distribusi Stressor Predisposisi 59

    Tabel 3.5 Distribusi Stressor Presipitasi 61

    Tabel 3.6 Distribusi Tanda dan Gejala 63

    Tabel 3.7 Distribusi Sumber Koping 65

    Tabel 3.8 Distribusi Diagnosa dan Penatalaksanaan Medis 66

    Tabel 3.9 Distribusi Diagnosis Keperawatan yang Menyertai 67

    Tabel 3.10 Rencana pemberian Tindakan Keperawatan 73

    Tabel 3.11 Distribusi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Pasien 74

    Tabel 3.12 Distribusi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Keluarga 74

    Tabel 3.13 Distribusi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Kelompok 76

    Tabel 3.14 Distribusi Pelaksanaan Tindakan Peningkatan Kemampuan

    KKJ 76

    Tabel 3.15 Distribusi Hasil Evaluasi Tanda dan Gejala Pre Post Pasien

    Skizofrenia 77

    Tabel 3.16 Distribusi Hasil Evaluasi Tanda dan Gejala Pre Post Pasien

    Retardasi Mental 79

    Tabel 3.17 Distribusi Hasil Evaluasi Tanda dan Gejala Pre Post Pasien

    Epilepsi 80

    Tabel 3.18 Distribusi Hasil Kemampuan Pasien Pre dan Post Tindakan

    Keperawatan 82

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • xvii

    Tabel 3.19 Distribusi Kemampuan Keluarga dalam merawat anggota

    Keluarga dengan HDR Kronik 83

    Tabel 3.20 Distribusi Kemampuan Kader Kesehatan Jiwa dalam

    Merawat Pasien dengan HDR Kronik 83

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 1

    Universitas Indonesia

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun

    sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

    ekonomis (UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, BAB I pasal 1). Sehat adalah suatu

    keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas

    dari penyakit atau kecacatan (WHO, 2001). Dapat diartikan lebih luas bahwa

    sehat merupakan suatu keadaan yang dinamis dimana individu menyesuaikan

    diri dengan perubahan-perubahan lingkungan internal (psikologis, intelektual,

    spiritual dan penyakit) dan eksternal (lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi)

    dalam mempertahankan kesehatannya. Berdasarkan pengertian diatas maka dapat

    dipahami bahwa kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri

    dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya terdapat kesehatan jiwa

    yang merupakan bagian integral kesehatan.

    Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang

    terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang

    efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional (Videbeck, 2008).

    Kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati

    kehidupan kejiwaaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan dan gangguan

    jiwa (UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, BAB IX pasal 144). Kesehatan jiwa

    adalah suatu kondisi sejahtera (wellness) dimana individu menyadari

    kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi stress dalam kehidupannya, dapat

    bekerja secara produktif dan mempunyai kontribusi dalam kehidupan

    bermasyarakat (WHO, 2001). Dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa bukan

    hanya sekedar bebas dari gangguan tetapi lebih kepada perasaan sehat, sejahtera

    dan bahagia (well being), ada keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    sehingga dapat berfungsi secara produktif baik bagi diri sendiri, keluarga

    maupun masyarakat. Cakupan kesehatan jiwa meliputi keadaan sehat, keadaan

    berisiko mengalami gangguan mental dan yang mengalami gangguan mental /

    gangguan jiwa.

    Gangguan jiwa adalah respon maladaptif terhadap stressor dari dalam atau luar

    lingkungan yang berhubungan dengan perasaan dan perilaku yang tidak sejalan

    dengan budaya, kebiasaan atau norma setempat dan mempengaruhi interaksi

    sosial individu, kegiatan atau fungsi tubuh (Depkes, 2003). Gangguan jiwa

    adalah sindroma perilaku yang secara klinik bermakna atau sindroma psikologis

    atau pola yang dihubungkan dengan kejadian distress pada seseorang atau

    ketidakmampuan atau peningkatan secara signifikan resiko untuk kematian,

    sakit, ketidakmampuan atau hilang rasa bebas (American Psychiatric Association

    dalam DSM IV-TR, 2000 dalam Towsend, 2009). Sehingga dapat diartikan

    bahwa kunci utama dari gangguan jiwa adalah adanya respon maladaptif yang

    ditunjukkan secara kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial, kumpulan

    gejala tersebut menyebabkan individu mengalami ketidakmampuan atau

    peningkatan secara signifikan resiko untuk kematian, sakit dan mempengaruhi

    fungsi kehidupan. Gangguan jiwa ditentukan oleh beberapa faktor dan saling

    berhubungan antara faktor sosial, psikologis dan biologis, begitu pula dengan

    kondisi kesehatan atau penyakit pada umumnya. Bukti yang jelas berkaitan

    dengan resiko gangguan jiwa seperti di negara maju dan berkembang dikaitkan

    dengan indikator kemiskinan, termasuk rendahnya pendidikan, penghasilan

    rendah dan pemukiman yang buruk.

    Penduduk Indonesia yang mengalami gangguan jiwa diperkirakan sebanyak 26

    juta, dimana panik dan cemas adalah gejala paling ringan (WHO, 2006).

    Gambaran gangguan jiwa berat di Indonesia pada tahun 2007 memiliki

    prevalensi sebesar 4,6 permil, artinya bahwa dari 1000 penduduk Indonesia

    terdapat empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 3

    Universitas Indonesia

    (Puslitbang Depkes RI, 2008). Penduduk Indonesia pada tahun 2007 sebanyak

    225.642.124 jiwa sehingga pasien gangguan jiwa di Indonesia pada tahun 2007

    diperkirakan 1.037.454 jiwa (Pusat Data dan Informasi Depkes RI, 2009). Hasil

    Riskesdas tahun 2007 untuk provinsi Jawa Barat didapatkan data individu yang

    mengalami gangguan jiwa sebesar 0,22% dari jumlah penduduk dan untuk

    wilayah Bogor sebesar 0,40% (Puslitbang Depkes RI, 2008). Angka ini

    menunjukkan bahwa anggota masyarakat yang mengalami gangguan jiwa berat

    cukup besar atau dapat dikatakan cukup banyak. Gangguan jiwa berat yang

    paling banyak ditemukan adalah Skizofrenia.

    Skizofrenia adalah sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan

    kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku (Kaplan & Sadock, 2007).

    Skizofrenia adalah gangguan multifaktorial perkembangan saraf oleh faktor

    genetik dan lingkungan serta ditandai dengan gejala positif, negatif dan kognitif

    (Andreas, 1995; Neuchterlein et al, 2004; Muda et al, 2009 dalam Jones et al,

    2011). Gejala kognitif sering mendahului terjadinya psikosis dan pengobatan

    yang segera dilakukan diyakini sebagai prediksi lebih baik dari hasil terapi

    (Greeen, 2006; Mintz dan Kopelowicz, 2007 dalam Jones et al, 2011). Gejala

    positif meliputi waham, halusinasi, gaduh gelisah, perilaku aneh, sikap

    bermusuhan dan gangguan berpikir normal. Gejala negatif meliputi sulit

    memulai pembicaraan, afek tumpul atau datar, berkurangnya motivasi,

    berkurangnya atensi, pasif, apatis dan penarikan diri secara sosial dan rasa tidak

    nyaman (Videbeck, 2008).

    Perilaku yang sering muncul pada klien skizofrenia adalah: motivasi kurang

    (81%), isolasi sosial (72%), perilaku makan dan tidur yang buruk (72%), sukar

    menyelesaikan tugas (72%), sukar mengatur keuangan (72%), penampilan yang

    tidak rapi/bersih (64%), lupa melakukan sesuatu (64%), kurang perhatian pada

    orang lain (56%), sering bertengkar (47%), bicara pada diri sendiri (41%), dan

    tidak teratur makan obat (40%) (Keliat, 2006). Berdasarkan tanda dan gejala di

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    atas menunjukkan bahwa penderita skizofrenia banyak ditemukan masalah-

    masalah keperawatan diantaranya resiko perilaku kekerasan, halusinasi, harga

    diri rendah dan waham yang prosentase kejadiannya cukup tinggi.

    Diagnosis keperawatan pada penderita skizofrenia sesuai dengan tanda dan

    gelaja yang muncul. Diagnosis keperawatan yang muncul pada skizofrenia

    berupa resiko perilaku kekerasan, gangguan sensori persepsi: halusinasi, harga

    diri rendah kronik, gangguan proses pikir: waham, kecemasan, citra tubuh

    terganggu, kebingungan akut, koping tidak efektif, putus asa, ketidakpatuhan,

    defisit perawatan diri, isolasi sosial, resiko bunuh diri, management regimen

    terapeutik tidak efektif (Stuart, 2009). Penjelasan di atas memberikan gambaran

    bahwa individu dengan skizofrenia dapat disebabkan aktualisasi pasien belum

    tercapai sehingga pasien mengalami harga diri rendah dan apabila hal ini

    dipertahankan maka pasien akan depresi dan berlanjut dengan skizofrenia. Dan

    sebaliknya, pada pasien skizofrenia dengan masa pemulihan lama akan membuat

    klien mengalami harga diri rendah karena merasa penyakitnya sulit disembuhkan

    dan kurangnya penerimaan keluarga dan masyarakat.

    Harga diri rendah adalah evaluasi diri negatif dan berhubungan dengan perasaan

    yang lemah, tidak berdaya, putus asa, ketakutan, rentan, rapuh, tidak lengkap,

    tidak berharga dan tidak memadai (Stuart, 2009). Harga diri rendah kronik

    adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang

    berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri

    (Keliat & Akemat, 2010). Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga

    dari dalam diri seseorang yang disebabkan evaluasi negatif terhadap diri sendiri

    dan kemampuan diri sehingga merasa lemah, tidak berdaya, putus asa, ketakutan,

    rentan, rapuh, tidak lengkap, tidak berharga dan tidak memadai. Penatalaksanaan

    pasien dengan harga diri rendah kronik yang dilakukan di masyarakat sudah

    dikembangkan melalui Community Mental Health Nursing (CMHN). Pelayanan

    kesehatan jiwa di komunitas diberikan oleh perawat puskesmas yang telah

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 5

    Universitas Indonesia

    mendapat pelatihan. Perawat melakukan manajemen asuhan dengan melakukan

    kunjungan ke keluarga, sedangkan kolaborasi terkait pemberian obat atau yang

    lainnya dilakukan di puskesmas.

    Tindakan keperawatan terdiri dari tindakan keperawatan generalis dan spesialis.

    Tindakan keperawatan generalis diajarkan dan dilatih kepada pasien, keluarga

    dan kader kesehatan jiwa untuk meningkatkan kemampuan positif pasien.

    Tindakan keperawatan spesialis harga diri rendah kronik antara lain adalah

    Cognitive Behavior Therapy (CBT), Family Psicho Education (FPE) dan terapi

    suportif. Pemberian CBT sangat efektif untuk merubah pikiran dan perilaku

    negatif pada pasien dengan harga diri rendah di RSMM Bogor (Sasmita &

    Keliat, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Lelono, Keliat dan Besral (2011)

    terhadap 60 pasien gangguan jiwa yang mengalami harga diri rendah kronik di

    RSMM Bogor menunjukkan hasil bahwa dengan pemberian tindakan

    keperawatan spesialis CBT menunjukkan peningkatan kemampuan positif yang

    dimiliki. Selain itu psikoedukasi keluarga (FPE) juga meningkatkan kemampuan

    keluarga dalam merawat pasien harga diri rendah kronik (Kustiawan, Hamid &

    Hastono, 2012).

    Pada pasien harga diri rendah kronik di komunitas, penulis memberikan satu

    paket tindakan keperawatan (CBT, FPE dan terapi supportif) menunjukkan hasil

    yang efektif dalam meningkatkan kemampuan positif pasien. Untuk itu

    diperlukan pemberian tindakan keperawatan yang berkesinambungan agar

    kemampuan pasien terus meningkat maka diperlukan tindakan pencegahan

    tersier atau rehabilitatif. Tindakan pencegahan tersier atau rehabilitatif dapat

    dilakukan di masyarakat tidak hanya oleh tenaga kesehatan tetapi juga dengan

    pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan memberikan pemahaman,

    menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap masalah

    kesehatan jiwa warga.

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    Upaya mengatasi masalah kesehatan jiwa diberikan dalam bentuk pelayanan

    kesehatan jiwa berbasis komunitas. Bentuk pendekatan manajemen pelayanan

    kesehatan jiwa komunitas yang dikenal dengan istilah Community Mental Health

    Nursing (CMHN) (Keliat, 2007). Kegiatan CMHN yang telah dilakukan penulis

    di komunitas bekerjasama dengan pihak puskesmas Bogor Utara dan kelurahan

    Tanah Baru. Program CMHN bertujuan untuk meningkatkan kesehatan jiwa

    masyarakat, mempertahankan individu yang sehat jiwa tetap sehat, mencegah

    terjadinya gangguan pada kelompok masyarakat yang resiko atau rentan dan

    memulihkan klien gangguan jiwa untuk menjadi mandiri dan produktif. Penulis

    menggunakan model Precede-Proceed Green sebagai model yang melihat secara

    rinci dari pengkajian, diagnosis, intervensi, implementasi sampai dengan

    evaluasi sesuai dengan kondisi yang ada di masyarakat. Model ini berorientasi

    pada pemeliharaan dan peningkatan kesehatan sesuai dengan keinginan dan

    kebutuhan masyarakat sehingga kualitas hidup dapat tercapai.

    Penggunaan model Precede-Proceed dalam manajemen asuhan keperawatan

    berdasarkan jumlah penderita gangguan jiwa yang ditemukan di komunitas

    dengan tujuan meningkatkan produktifitas (melakukan kegiatan sehari-hari di

    rumah dan luar rumah serta dapat bekerja) penderita gangguan jiwa yang ada.

    Model Precede-Proceed dari Green memaparkan dua tahap yang menganalisa

    kembali kebelakang pencapaian hasil sampai dengan komponen yang terkait

    dalam intervensi yang sudah direncanakan. Precede (Predisposing, Reinforcing,

    Enabling causes, Educational Diagnosis and Evaluation) merupakan terjadinya

    diagnosis atau masalah kesehatan, sedangkan Proceed (Policy, Regulatory,

    Organizational, Constructs in Educational and Environment Development) yaitu

    menjamin program yang akan dilaksanakan akan tersedianya sumber daya,

    mudah diakses, dapat diterima sesuai peraturan yang ada serta dapat dievaluasi

    oleh tenaga kesehatan maupun tenaga yang berkontribusi dengan individu yang

    mengalami masalah kesehatan (Green & Kreuter, 2005).

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 7

    Universitas Indonesia

    Dalam mengembangkan tindakan keperawatan untuk mengatasi suatu masalah

    kesehatan baik individu, keluarga maupun masyarakat maka seorang perawat

    akan bekerjasama dengan masyarakat agar intervensi yang akan dilakukan benar-

    benar membawa perubahan pada individu, keluarga dan masyarakat. Fokus pada

    model Precede-Proceed adalah: 1) hasil yang dicapai merupakan suatu

    perubahan yang dilakukan oleh masyarakat; 2) hasil dan kegiatan sesuai dengan

    keinginan dan kebutuhan masyarakat; 3) model yang menganalisa kebelakang

    dari hasil, diagnosis, pengkajian, intervensi sehingga dapat diberikan

    implementasi yang tepat; 4) implementasi melibatkan berbagai pihak; 5) evaluasi

    dilakukan dari proses, hasil dan dampak dari implemantasi yang diberikan.

    Karya ilmiah akhir ini disusun berdasarkan pengalaman penulis melakukan

    praktik klinik keperawatan jiwa di kelurahan Tanah Baru, Bogor Utara selama

    24 minggu dari 10 September 2012 sampai dengan 19 April 2013, sedangkan

    untuk residen 3 selama 9 minggu mulai tanggal 18 Februari sampai dengan 19

    April 2013 dengan tujuan mengembangkan program CMHN di wilayah Tanah

    Baru khususnya RW 06, 07 dan 10. Berdasarkan data yang ada di kelurahan

    Tanah Baru jumlah penduduk secara keseluruhan 18.529 jiwa dengan jumlah KK

    16.859, sedangkan jumlah penduduk RW 06, 07 dan 10 secara keseluruhan 5.204

    jiwa dengan jumlah KK 1.386. Kasus gangguan jiwa yang ditemukan sebanyak

    48 pasien dan 16 pasien diantaranya berada di wilayah RW 06, 07 dan 10. Dari

    16 pasien gangguan jiwa yang dirawat seluruh pasien yang mengalami harga diri

    rendah kronik. Pasien harga diri kronik telah diberikan beberapa tindakan

    keperawatan baik terapi individu, keluarga maupun kelompok.

    Pelaksanaan tindakan keperawatan baik individu, keluarga dan kelompok

    melibatkan kader kesehatan jiwa (KKJ) yang ada di wilayah RW 06, 07 dan 10

    secara keseluruhan berjumlah 42 orang. Kegiatan KKJ meliputi deteksi dini,

    penggerakan keluarga untuk mengikuti pendidikan kesehatan dan melakukan

    kunjungan rumah. KKJ berperan aktif dalam pelaksanaan asuhan keperawatan

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    pasien dengan harga diri rendah kronik baik tindakan secara individu maupun

    kelompok. Pelaksanaan kegiatan tindakan keperawatan menggunakan sarana dan

    prasarana yang ada di masing-masing wilayah RW seperti posyandu maupun

    majelis taklim. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan jiwa di

    RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru tidak terlepas dari peran KKJ, hal ini

    menunjukkan betapa pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan

    kesehatan jiwa sehingga produktifitas pasien dengan harga diri rendah kronik

    menjadi meningkat dan beban keluarga menjadi berkurang.

    Berdasarkan hasil kegiatan yang telah tercapai maka penulis tertarik untuk

    melakukan penulisan karya ilmiah tentang pemberdayaan keluarga dan kader

    kesehatan jiwa dalam penanganan pasien harga diri rendah kronik dengan

    pendekatan model menurut Green di RW 06, 07 dan 10 kelurahan Tanah Baru,

    Bogor Utara.

    1.2 Tujuan

    1.2.1 Tujuan Umum

    Memberikan gambaran tentang hasil manajemen kasus spesialis jiwa pada pasien

    dengan harga diri rendah kronik melalui pendekatan model stress adaptasi Stuart dan

    model Precede-Proceed Green di RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru Bogor Utara.

    1.2.2 Tujuan Khusus

    1.2.2.1 Diketahui karakteristik pasien yang mengalami harga diri rendah kronik di

    RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru, Bogor Utara.

    1.2.2.2 Diketahui gambaran kasus yang meliputi stressor, tanda dan gejala serta

    kemampuan yang dimiliki pasien harga diri rendah kronik di RW 06, 07 dan

    10 Tanah Baru, Bogor Utara.

    1.2.2.3 Diketahui pelaksanaan manajemen kasus spesialis terhadap pasien yang

    mengalami harga diri rendah kronik di RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru, Bogor

    Utara.

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 9

    Universitas Indonesia

    1.2.2.4 Diketahui respon terhadap stressor (kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan

    sosial) dan kemampuan pasien, keluarga serta kader kesehatan jiwa dalam

    perawatan harga diri rendah kronik di RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru, Bogor

    Utara.

    1.2.2.5 Diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perawatan pasien harga diri

    rendah kronik di RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru, Bogor Utara dengan

    pendekatan model stress adaptasi Stuart Laraia dan model Precede-Proceed

    Green.

    1.2.2.6 Diketahui upaya-upaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya

    masalah harga diri rendah di masyarakat Tanah Baru.

    1.3 Manfaat Karya Ilmiah Akhir

    1.3.1 Manfaat Aplikatif

    1.3.1.1 Hasil karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat menjadi panduan perawat jiwa

    dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien harga diri rendah kronik

    dengan yang ada di masyarakat.

    1.3.1.2 Hasil karya ilmiah akhir ini akan meningkatkan pemahaman tentang

    manajemen pelayanan jiwa komunitas sehingga akan melandasi penyusunan

    rencana CMHN terkait manajemen kasus keperawatan pada pasien dengan

    harga diri rendah kronik di unit puskesmas.

    1.3.1.3 Sebagai acuan bagi puskesmas untuk meningkatkan kualitas asuhan

    keperawatan khususnya pada pasien dengan masalah harga diri rendah kronik

    sehingga dapat menempatkan perawat spesialis keperawatan jiwa sebagai

    konsultan di unit psikiatri.

    1.3.1.4 Hasil karya ilmiah akhir ini dapat dijadikan pedoman bagi keluarga dan kader

    kesehatan jiwa dalam merawat anggota keluarga maupun masyarakat yang

    mengalami harga diri rendah kronik, serta dapat melakukan upaya pencegahan

    terjadinya harga diri rendah.

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    1.3.2 Manfaat Keilmuan

    1.3.2.1 Hasil praktek dalam bentuk karya ilmiah akhir ini diharapkan berguna sebagai

    standar pelayanan keperawatan dalam mengembangkan model keperawatan

    jiwa di setting komunitas.

    1.3.2.2 Hasil pelaksanaan pemberian asuhan akan memberikan gambaran tentang

    manajemen pelayanan (CMHN) dan manajemen asuhan keperawatan pada

    pasien harga diri rendah kronik dengan kombinasi tindakan keperawatan

    generalis dan spesialis menggunakan pendekatan model stress adaptasi Stuart

    dan model Precede-Proceed Green. Model tersebut dapat menjadi salah satu

    masukan guna pengembangan model keperawatan jiwa yang sesuai dengan

    situasi dan kondisi di Indonesia.

    1.3.2.3 Model asuhan keperawatan yang telah diberikan pada pelaksanaan praktek ini

    diharapkan mendasari pelaksanaan manajemen kasus spesialis khususnya

    pada pasien harga diri rendah kronik di setting komunitas dengan berbagai

    kombinasi tindakan keperawatan spesialis yang diberikan. Penggunaan

    kombinasi tindakan keperawatan spesialis yang efektif menjadi dasar

    penyusunan paket treatment yang diberikan kepada pasien.

    1.3.3 Manfaat Metodologi

    1.3.3.1 Hasil praktek dalam bentuk karya ilmiah akhir dapat dijadikan sebagai dasar

    pengembangan riset keperawatan. Studi ini akan menghasilkan wawasan

    tentang manajemen pelayanan komunitas (CMHN) dan manajemen asuhan

    keperawatan pada diagnosis harga diri rendah kronik sebagai dasar

    pengembangan tindakan keperawatan spesialis keperawatan jiwa di

    komunitas. Pengembangan riset keperawatan yang dilakukan akan

    meningkatkan kemampuan perawat dalam melakukan manajemen kasus

    keperawatan dan memenuhi kebutuhan kesehatan jiwa khususnya pada pasien

    dengan harga diri rendah kronik dengan setting komunitas yang ada di seluruh

    Indonesia.

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 11

    Universitas Indonesia

    1.3.3.2 Hasil pelaksanaan manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada pasien

    dengan harga diri rendah kronik ini akan menjadi evidence base practice

    pelaksanaan praktek keperawatan jiwa pada pasien dengan harga diri rendah

    kronik.

    1.3.3.3 Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas pemberian kombinasi

    tindakan keperawatan generalis dan spesialis pada pasien harga diri rendah

    kronik.

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan dan masih banyak

    ditemukan di masyarakat demikian pula di Kota Bogor. Masalah gangguan jiwa

    secara tidak langsung akan menurunkan produktivitas apalagi jika gangguan jiwa

    dimulai pada usia produktif selain itu juga menambah beban dari keluarga penderita.

    Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlu pelayanan kesehatan jiwa yang

    komprehensif, holistik dan paripurna. Pelayanan kesehatan paripurna adalah

    pelayanan pada semua jenjang pelayanan yaitu pelayanan kesehatan jiwa spesialis,

    pelayanan kesehatan jiwa integrative dan pelayanan kesehatan jiwa yang bersumber

    daya masyarakat (Keliat, Akemat & Helena, 2011). Pemberdayaan seluruh potensi

    dan sumber saya yang ada di masyarakat diupayakan agar terwujud masyarakat yang

    mandiri dalam memelihara kesehatannya. Dalam mengaplikasikan konsep

    keperawatan kesehatan jiwa komunitas, digunakan pendekatan proses keperawatan

    dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Penulis menggunakan

    pendekatan stress adaptasi Stuart dan model konsep Precede-Proceed dari Green.

    2.1 Pendekatan model konsep keperawatan jiwa dalam pelayanan kesehatan

    jiwa di masyarakat

    Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara

    persuasi, bujukan, imbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan kesadaran

    dan sebagainya melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau promosi kesehatan

    (Notoatmodjo, 2012). Perilaku kesehatan yang berhasil diadopsi masyarakat maka

    akan bertahan lama bahkan selama hidup dilakukan oleh masyarakat. Pendidikan atau

    promosi kesehatan adalah suatu bentuk tindakan atau upaya yang ditujukan kepada

    perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk kesehatan.

    Promosi kesehatan mengupayakan agar perilaku individu, kelompok atau masyarakat

    mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 13

    Universitas Indonesia

    Pendekatan Precede-Proceed dari Green memberikan arahan bagaimana mengelola

    asuhan keperawatan kesehatan jiwa di komunitas. Selain memberikan arahan dalam

    pengelolaan asuhan, Green mengungkapkan bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi

    tiga faktor (predisposisi, pemungkin dan penguat). Dalam pengkajian menurut Stuart

    ketiga faktor tersebut memperjelas adanya stressor predisposisi, presipitasi dan

    sumber koping dari pasien dengan harga diri kronik. Berikut ini akan diuraikan kedua

    konsep yang mendasari penulis membuat karya ilmiah.

    2.1.1 Model konsep Precede-Proceed L. Green

    Kesehatan bukan hanya diketahui atau disadari dan disikapi, melainkan harus

    dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti bahwa tujuan akhir dari

    pendidikan kesehatan adalah agar masyarakat dapat mempraktikkan hidup sehat bagi

    dirinya sendiri dan bagi masyarakat, atau masyarakat dapat berperilaku hidup sehat

    (Notoatmodjo, 2012). Kesehatan jiwa sebagai bagian integral dari kesehatan

    merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mempengaruhi kondisi kesehatan

    secara umum atau dapat disebut dengan kualitas hidup. Untuk mencapai kondisi

    individu dan masyarakat berperilaku sehat jiwa maka diperlukan cara-cara untuk

    merubah perilaku kesehatan tersebut.

    Upaya agar perilaku individu, keluarga dan masyarakat mempunyai pengaruh positif

    terhadap pemeliharaan atau peningkatan kesehatan maka diperlukan strategi promosi

    kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Agar tindakan kesehatan tersebut efektif maka

    sebelum dilakukan tindakan perlu dilakukan diagnosis atau analisis terhadap masalah

    perilaku tersebut. Konsep umum yang digunakan untuk mendignosis perilaku adalah

    konsep Green. Menurut Green terdapat dua tahap kegiatan yang disebut Precede dan

    Proceed (Green & Kreuter, 2005). Precede (Predisposing, Reinforcing and Enabling

    Constructs in Educational/Environmental Diagnosis and Evaluation) merupakan

    arahan dalam menganalisis atau diagnosis dan evaluasi perilaku untuk intervensi

    pendidikan kesehatan. Precede adalah merupakan fase diagnosis masalah (Green &

    Kreuter, 2005). Proceed (Policy, Regulatory and Organzaitional Constructs in

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    Educational and Environmental Development) merupakan arahan dalam

    perencanaan, implementasi dan evaluasi pendidikan kesehatan. Proceed merupakan

    perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dari promosi kesehatan (Green & Kreuter,

    2005).

    Precede-Proceed adalah model yang mengembangkan perubahan kesehatan dengan

    fokus tindakan pada hasil, dimana terdapat organisasi yang dibentuk untuk

    mengadakan perubahan dalam masyarakat sesuai dengan keinginan dan kebutuhan

    masyarakat. Precede melihat secara logis mundur kebelakang dari hasil yang

    diinginkan, dimana dan bagaimana seorang perawat melakukan tindakan keperawatan

    yang berhasil.

    Skema 2.1 Model Precede-Proceed Green

    Green LW, & Kreuter MW, Health Program Planning, 4th

    , NY: McGraw Hill, 2005

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 15

    Universitas Indonesia

    Precede dalam Green (2005) memiliki empat tahap:

    1. Tahap 1: Pengkajian sosial dan analisa situasiasional.

    Penilaian kualitas hidup yang menjadi perhatian pada populasi (pasien dan

    masyarakat). Cara untuk melakukan tahap ini adalah dengan melakukan

    pendekatan sosial terhadap masyarakat tentang harapan dan keinginan dari kondisi

    kesehatan yang dialami. Analisa situasi memberikan arahan dalam membuat

    perencanaan terkait tujuan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan akan kesehatan.

    Kualitas hidup yang akan dicapai diprioritaskan pada individu maupun kelompok.

    Indikator sosial: prestasi, estetika, keterasingan, kenyamanan, kejahatan,

    diskriminasi, kebahagiaan, permusuhan, kerusuhan, harga diri, pengangguran dan

    kesejahteraan.

    2. Tahap 2: Penilaian epidemiologi

    Pertama mengidentifikasi dan menetapkan prioritas dari masalah kesehatan sesuai

    dengan tujuan atau masalah yang ada di tahap satu. Data populasi individu yang

    mengalami masalah kesehatan menjadi sangat penting. Adapun indikator penting

    pada tahap ini: kecacatan, ketidaknyamanan, kesuburan, kesakitan, kematian dan

    faktor resiko baik fisiologis maupun psikologis. Data populasi mencakup:

    distribusi, durasi, tingkat fungsional, angka kejadian, intensitas kejadian dan

    prevalensi.

    3. Tahap 3: Mengidentifikasi masalah kesehatan secara spesifik yang berhubungan

    dengan faktor perilaku dan lingkungan.

    Masalah kesehatan diidentifikasi disebabkan faktor etiologi yang dibagi menjadi

    tiga yaitu: genetik sebagai faktor penentu kesehatan, perilaku dan faktor

    lingkungan. Ketiga faktor tersebut menyebabkan individu menjadi sakit, cedera

    dan kecacatan. Faktor genetik termasuk penyakit, resiko terpapar penyakit dan

    kondisi biologis. Faktor perilaku adalah perilaku atau gaya hidup baik dari

    individu maupun masyarakat yang menyebabkan masalah kesehatan. Faktor

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    lingkungan adalah kondisi sosial kultural yang mempengaruhi perilaku. Ketiga

    faktor ini saling berhubungan yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan.

    4. Tahap 4: Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku

    dan lingkungan terdiri dari 2 tahap meliputi: faktor predisposisi, faktor penguat

    dan faktor pendorong. Faktor prediposisi meliputi pengetahuan, nilai, kepercayaan,

    sikap dan persepsi terhadap perilaku. Faktor penguat didapat dari penerimaan atau

    adopsi perilaku sosial, norma sosial dan kebijakan politik. Faktor penguat juga

    didapat dari sikap dan perilaku kesehatan dari teman, kelompok, keluarga, tokoh

    masyarakat, tokoh agama dan tenaga sukarela. Faktor pendorong adalah

    keterampilan dan sumber daya yang dapat membantu merubah perilaku, termasuk

    pengadaan sarana dan prasarana, jaminan kesehatan dan ketersediaan layanan

    kesehatan.

    5. Tahap 5: Sumber pendukung terkait administratif dan kebijakan pemerintahan

    Pelayanan kesehatan yang memadai memberikan pelayanan kesehatan yang

    mencakup seluruh masyarakat, selain itu juga kebijakan-kebijakan pemerintahan

    yang mendukung terlaksananya program kesehatan masyarakat sangat diperlukan.

    Lintas program maupun lintas sektor diharapkan ikut bertanggung jawab dalam

    pemeliharaan kesehatan. Langkah selanjutnya setelah mengidentifikasi kerjasama

    lintas program dan sektor maka mempertimbangkan metode paling efektif untuk

    mencapai target. Tindakan yang direncanakan adalah mengaju pada ketiga faktor

    pada tahap empat.

    Proceed terdapat empat tahap yang mencakup implementasi aktual dan evaluasi

    yang telah dilakukan. Tahap-tahap dalam Proceed:

    6. Tahap 6: Implementasi aktual sesuai dengan intervensi

    Tahap ini adalah menerapkan program kerja yang sudah dibuat di tahap lima. Pada

    tahap ini perlu diperhatikan adalah: mempertimbangkan lingkungan sosial serta

    politik dan perubahannya; mendefinisikan atau merevisi tugas dan aktifitas yang

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 17

    Universitas Indonesia

    spesifik menurut kerangka waktu, prioritas tindakan dan pertanggungjawaban;

    menentukan sumber daya dan melaporkan kendala; koordinasi setiap tindakan;

    memastikan akuntabilitas; mempelajari pengalaman; dan mempertimbangkan

    efektif dan efisiensi dari tindakan.

    Secara garis besar bahwa evaluasi dalam konsep Green dan Kreuter (2005)

    dijabarkan kapan akan dilakukan evaluasi, dimana dilaksanakan, kelompok

    sasaran yang akan dievaluasi dan siapa yang akan melaksanakan evaluasi menjadi

    sangat penting.

    7. Tahap 7: Evaluasi proses, apakah benar-benar melakukan tindakan sesuai yang

    direncanakan

    8. Tahap 8: Evaluasi dampak, apakah implementasi berdampak pada sasaran

    Indikasi evaluasi dampak adalah tercapainya tujuan umum pada kegiatan yang

    telah dilakukan.

    9. Tahap 9: Evaluasi hasil, apakah implementasi mengarah sesuai dengan hasil yang

    dinginkan pada tahap 1

    2.1.2 Pendekatan model stress dan adaptasi menurut Stuart

    Model stress adaptasi Stuart menggambarkan proses terjadinya masalah kesehatan

    jiwa dengan menganalisa faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor,

    sumber koping dan mekanisme koping yang digunakan individu sehingga

    menghasilkan respon bersifat konstruktif dan destruktif dalam rentang adaptif sampai

    maladaptif.

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    Stressor predisposisi

    Biologi Psikologi Sosialkultural

    Stresor presipitasi

    Nature Origin Timing Number

    Penilaian terhadap stresor

    Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Sosial

    Sumber koping

    Kemampuan personal Dukungan sosial Aset material Keyakinan positif

    Mekanisme koping

    Konstruktif Destruktif

    Rentang respon koping

    Respon adaptif ` Respon Maladaptif

    DIAGNOSA KEPERAWATAN

    Skema 2.2. Psikodinamika Masalah Keperawatan Jiwa (Stuart, 2009)

    2.1.2.1 Predisposisi

    Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah

    sumber resiko yang dapat menyebabkan individu mengalami stress. Faktor ini

    meliputi biologis, psikologis dan sosial budaya (Stuart, 2009).

    2.1.2.2 Presipitasi

    Faktor presipitasi adalah stimulus yang bersifat menantang dan mengancam individu

    serta menimbulkan kondisi tegang dan stress sehingga memerlukan energy yang

    besar untuk menghadapinya (Stuart, 2009). Faktor presipitasi dapat bersifat stressor

    biologi, psikologis serta sosial budaya yang berasal dari dalam diri individu (internal)

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 19

    Universitas Indonesia

    maupun dari lingkungan eksternal individu. Selain sifat dan asal stressor, waktu dan

    jumlah stressor juga merupakan komponen faktor presipitasi. Dimensi waktu meliputi

    kapan stressor terjadi, seberapa lama terpapar stressor dan frekuensi terpapar stressor.

    Peristiwa kehidupan yang penuh dengan tekanan dan stressor menjadi pencetus

    serangan atau munculnya gejala gangguan jiwa dan meningkatkan angka

    kekambuhan (Towsend, 2009).

    2.1.2.3 Penilaian terhadap stressor

    Penilaian terhadap stressor menggambarkan arti dan makna sumber stress pada suatu

    situasi yang dialami individu (Stuart, 2009). Penilaian stressor dapat dilihat melalui

    respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial.

    a. Respon kognitif

    Respon kognitif memegang peran sentral dalam proses adaptasi, dimana faktor

    kognitif mempengaruhi dapak suatu kejadian penuh dengan stress, memilik koping

    yang akan digunakan dan reaksi emosi, fisiologi, perilaku dan sosial individu.

    Penilaian secara kognitif merupakan mediator fisiologis antara individu dengan

    lingkungannya terhadap suatu stressor.

    b. Respon afektif

    Respon afektif menunjukkan suatu perasaan. Penilaian terhadap stressor secara

    afektif tidak spesifik dan umumnya berupa reaksi cemas yang diekspresikan

    sebagai emosi. Respon afektif dipengaruhi oleh kegagalan individu dalam

    menyelesaikan tugas perkembangan di masa lalu terutama terkait dengan

    pengalaman berinteraksi dengan orang lain.

    c. Respon fisiologis

    Respon fisiologis merefleksikan interaksi beberapa neuroendokrin seperti hormon

    pertumbuhan, prolaktin, ACTH, LH dan FSH, TSH, vasopressin, oksitosin,

    insulin, epineprin, norepineprin dan beberapa neurotransmitter dalam otak. Respon

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    fisiologis fight-or-flight menstimulasi system saraf otonom yaitu saraf simpatis

    dan meningkatkan aktivitas adrenal pituitary.

    d. Respon perilaku

    Respon perilaku merefleksikan respon emosi dan fisiologis sebagai hasil analisa

    kognitif dalam menghadapi suatu situasi yang penuh stress. Terdapat empat fase

    dalam respon perilaku yaitu: 1) Fase pertama, perilaku berubah karena stressor

    dari lingkungan dan individu lari dari masalah; 2) Fase kedua, perilaku yang

    membuat seseorang merubah pengaruh dari luar; 3) Fase ketiga, perilaku untuk

    bertahan atau melawan perasaan dan emosi yang tidak nyaman; 4) Fase keempat,

    perilaku yang datang menggambarkan suatu kejadian agar seseorang mampu

    menyesuaikan diri secara berulang. Dapat disimpulkan bahwa perilaku merupakan

    tindakan yang dilakukan individu karena dipengaruhi oleh proses kognitif.

    e. Respon sosial

    Respon sosial individu saat menghadapi stressor terdiri dari tiga kegiatan, yaitu: 1)

    Mencari makna, dimana individu mencari informasi tentang masalah yang

    dihadapi dan diperlukan strategi koping untuk merespon masalah secara rasional.

    2) Atribut sosial, individu mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang

    berkonstribusi terhadap masalah yang ada; 3) Perbandingan sosial, individu akan

    membandingkan keterampilan dan kemampuan yang dimiliki dengan orang lain

    yang memiliki masalah yang sama. Hasil perbandingan social tergantung pada

    siapa yang dibandingkan dengan tujuan akhir untuk menentukan kebutuhan

    support system.

    2.1.2.4 Sumber koping

    Sumber koping merupakan pilihan atau strategi yang dapat membantu menentukan

    apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah. Sumber koping meliputi

    aspek kemampuan ekonomi, kemampuan dan keterampilan, tehnik pertahanan diri,

    dukungan sosial dan motivasi (Stuart, 2009). Sumber koping bersifat internal maupun

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 21

    Universitas Indonesia

    eksternal. Hubungan antara individu, keluarga, kelompok dan masyarakat merupakan

    sesuatu yang penting sebagai sumber koping seseorang. Sumber koping individu

    yang lain dalam menghadapi stressor adalah kesehatan dan energi,

    keyakinan/spiritual, keyakinan positif, keterampilan sosial dan pemecahan masalah,

    sumber-sumber sosial dan material dan kesejahteraan secara fisik.

    2.1.2.5 Mekanisme koping

    Mekanisme koping merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mengatasi stress

    (Stuart, 2009). Mekanisme koping yang digunakan untuk menyelesaikan masalah

    dapat bersifat konstruktif dan destruktif. Mekanisme koping bersifat konstruktif jika

    individu menganggap stressor sebagai tanda peringatan dan menerimanya sebagai

    tantangan untuk mengatasi masalahnya, sebaliknya bersifat destruktif jika stressor

    yang dihadapi tidak diatasi/diselesikan atau lari dari masalah.

    2.1.3 Aplikasi Model konsep Precede-Proceed Green dan Model Stress Adaptasi

    Stuart

    Manajemen pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa pada pasien harga diri rendah

    kronik yang dilakukan oleh penulis menggunakan pendekatan konsep Precede Green

    dan model stress adaptasi Stuart. Dimana manajemen pelayanan akan menghasilkan

    asuhan keperawatan jiwa yang komprehensif sehingga perilaku kesehatan pasien

    harga diri rendah kronik dapat berubah.

    2.1.3.1 Tahap 1: Diagnosis Sosial

    Diagnosis sosial adalah proses menentukan persepsi masyarakat terhadap kebutuhan

    untuk meningkatkan kualitas hidupnya (Green & Kreuter, 2005). Penulis

    mengumpulkan data langsung dari masyarakat dengan cara wawancara dengan

    perangkat RW, RT, tokoh agama dan kelurahan serta mengadakan diskusi bersama

    yang disebut musyawarah masyarakat desa (MMD). Hasil akhir dari kegiatan ini

    adalah adanya peningkatan kemampuan positif sehingga pasien harga diri rendah

    kronik menjadi mandiri dan produktif.

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 22

    Universitas Indonesia

    Tahap 5

    Tahap 4

    Tahap 3

    Tahap 2

    Tahap 1

    Intervensi, Regulasi

    Pengkajian multifaktor

    Diagnosis

    Diagnosa

    Diagnosis

    Administrasi

    Perilaku dan Lingkungan

    Epidemiologi

    Sosial

    Predisposing Factors

    Karakteristik

    Pemeliharaan Kesehatan

    Predisposisi

    Presipitasi

    Perilaku & Gaya Hidup:

    Tindakan Keperawatan

    Tanda dan Gejala

    *Kemampuan Personal

    1. Terapi Generalis

    *Keyakinan Positif

    2. Terapi Spesialis

    Kualitas

    Reinforcing Factors

    Kesehatan

    Hidup:

    Terkait kesehatan

    Keluarga

    Jumlah

    Pasien

    1. Puskesmas

    Kader

    Pasien HDR

    *Mandiri

    2. Dinas Kesehatan

    Toma, Toga

    (N=16)

    *Produktif

    Perawat CMHN

    Lingkungan

    Terkait Pemerintahan

    *Sosial Support

    1. Kelurahan

    *Material Aset

    2. Kecamatan

    Enabing Factors

    Puskesmas

    RS

    Tahap 6

    Tahap 7

    Tahap

    8

    Tahap 9

    Implementasi

    Evaluasi Proses

    Evaluasi Hasil Evaluasi Dampak

    Skema 2.3 Kerangka Kerja Aplikasi Model Stress dan Adaptasi Stuart dan Model Precede-Proceed L.Green

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 23

    Universitas Indonesia

    Tahap 2: Diagnosis epidemiologi

    Hasil pengumpulan data dan kesepakatan dengan masyarakat maka dilakukan deteksi

    dini sehingga diperoleh prevalensi masalah kesehatan yang ada di masyarakat.

    Diagnosis epidemiologi akan menghasilkan jumlah warga yang mengalami masalah

    kesehatan khususnya gangguan jiwa berat. Pasien gangguan jiwa yang ada di wilayah

    dilakukan pengkajian lebih lanjut akan tingkat kebutuhan dan masalah perilaku yang

    mengganggu kesehatan.

    2.1.3.2 Tahap 3: Perilaku dan lingkungan

    Tahap ini mengidentifikasi masalah perilaku dan lingkungan yang mempengaruhi

    perilaku dan status kesehatan atau kualitas hidup individu atau masyarakat (Green &

    Kreuter, 2005). Penting membedakan masalah perilaku yang dapat dikontrol oleh

    individu atau harus dikontrol oleh institusi. Perilaku yang dapat dikontrol individu

    sebagai contoh ketidakmampuan memulai aktifitas. Indikator masalah perilaku yang

    mempengaruhi status kesehatan adalah pemanfaatan pelayanan kesehatan, upaya

    pencegahan, pola komunikasi, kepatuhan minum obat dan upaya pemeliharaan

    kesehatan. Indikator lingkungan adalah keadaan sosial, ekonomi, fisik dan layanan

    kesehatan seiring dengan keterjangkauan, kemampuan dan pemerataan (Notoatmodjo,

    2012).

    2.1.3.3 Tahap 4: Identifikasi multifaktor

    Menurut Green dan Kreuter (2005), kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor

    perilaku dan faktor non perilaku. Perilaku sendiri dipengaruhi oleh tiga domain

    utama, yaitu:

    a. Faktor Predisposisi (predisposing factors)

    Proses sebelum perubahan perilaku yang memberikan rasional atau motivasi

    terjadinya perilaku individu atau kelompok. Faktor-faktor yang mempengaruhi

    kecenderungan untuk mempermudah terjadinya perilaku seseorang atau kelompok,

    antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, kebutuhan yang dirasakan,

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    kemampuan dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan

    masyarakat. Dari sisi domain psikologis, seseorang termasuk dimensi kognitif dan

    afektif mulai mengetahui, merasakan, meyakini, menilai dan punya percaya diri

    sehingga mempermudah terjadinya perilaku kesehatan. Proses faktor

    mempermudah perilaku menunjukkan interaksi dari pengalaman dengan sejarah

    manusia dengan keyakinan, nilai-nilai, sikap dan perjalanan hidup (Notoatmodjo,

    2012).

    Stuart (2009) mengemukakan bahwa stressor predisposisi disebabkan tiga aspek

    yaitu biologis, psikologis dan sosial kultural. Stressor predisposisi yang ditemukan

    pada pasien dengan harga diri rendah kronik antara lain karakteristik genetik,

    kegagalan dalam berhubungan dengan orang lain, kegagalan pernikahan,

    kehilangan pasangan, penyakit menahun, komunikasi tertutup, pola asuh dan

    ekonomi yang rendah (Stuart, 2009). Stressor Presipitasi yang ditemukan antara

    lain putus obat, trauma kepala, konflik keluarga, kegagalan perkawinan, penyakit

    menahun dengan onset kurang dari enam bulan, ditemukan baik dari dalam

    maupun dari luar individu (Hasil Temu Ilmiah Keperawatan Jiwa, 2012). Dari

    adanya faktor predisposisi dan diperkuat oleh stressor presipitasi maka timbul

    tanda dan gejala dari harga diri rendah kronik. Tanda dan gejala harga diri rendah

    muncul kronik karena pasien menggunakan mekanisme koping yang maladadtif.

    b. Faktor Pendorong (enabling factors)

    Proses sebelum terjadinya perubahan perilaku harus ada faktor pendorong untuk

    memfasilitasi perilaku tersebut seperti adanya pelayanan kesehatan khususnya

    untuk layanan kesehatan jiwa. Faktor pendorong dalam konsep stress dan adaptasi

    Struart (2009) dapat dilihat pada material asset dimana terdapat pelayanan

    kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat, ketersediaan finansial untuk

    perawatan dan adanya jaminan kesehatan.

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 25

    Universitas Indonesia

    c. Faktor Penguat (reinforcing factors)

    Faktor penguat yang memberi dukungan secara terus menerus untuk kelangsungan

    perilaku individu seperti keluarga, teman, kader kesehatan, tokoh masyarakat

    (toma) dan tokoh agama (toga) (Green & Kreuter, 2005). Untuk berperilaku sehat

    bukan hanya perlu pengetahuan, sikap positif dan dukungan fasilitas melainkan

    diperlukan perilaku contoh atau acuan dari semua pihak yang ada di lingkungan

    kehidupan (Notoatmodjo, 2012). Tokoh masyarakat (ketua RT, ketua RW,

    pemangku adat) dan tokoh agama (kyai, ustadz, pendeta) cukup mendukung

    adanya kegiatan untuk kesehatan jiwa masyarakat.

    Menurut Stuart (2009) perubahan perilaku individu dipengaruhi oleh kemampuan

    personal, dukungan sosial, material asset dan keyakinan positif. Faktor penguat

    dalam Green dimasukkan dalam pengkajian stress dan adaptasi Stuart adalah salah

    satu sumber koping yaitu dukungan sosial. Dukungan sosial berasal dari keluarga,

    tetangga, toma, toga, petugas kesehatan maupun sukarelawan kesehatan (Stuart,

    2009). Dukungan sosial dikelola oleh seorang perawat CMHN yang bertanggung

    jawab diwilayah tersebut. Perawat CMHN adalah perawat yang sudah

    mendapatkan pelatihan Basic Course (BC-CMHN) dan Intermediate Course (IC-

    CMHN) sehingga mempunyai kemampuan memberikan asuhan keperawatan

    dengan tujuh diagnosis keperawatan untuk individu dan keluarga dan kemampuan

    membentuk desa siaga sehat jiwa, melatih dan melakukan rekrutmen kader serta

    mengembangkan program rehabilitasi. Pemberdayaan masyarakat untuk kesehatan

    diberikan pelatihan kader kesehatan jiwa yang akan memberikan perawatan salah

    satunya pada pasien dengan gangguan jiwa.

    2.1.3.4 Tahap 5 dan 6 Pemeliharaan kesehatan dan implementasi keperawatan

    terdapat dua bagian yaitu tindakan keperawatan dan instansi baik yang terkait dengan

    kesehatan maupun terkait kebijakan pemerintahan. Tindakan keperawatan yang

    dilakukan adalah tindakan generalis (individu, keluarga dan kelompok) dan tindakan

    spesialis (individu, keluarga dan kelompok). Tindakan keperawatan spesialis yang

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    diberikan adalah cognitive behavior therapy (CBT), family psycho education (FPE)

    dan terapi suportif. Untuk mendapat tindakan keperawatan spesialis yang sesuai

    dengan perencanaan penulis memerlukan waktu 8 minggu dengan kurang lebih 16

    kali pertemuan.

    Kegiatan ini sangat didukung oleh pusat pelayanan kesehatan setempat agar asuhan

    keperawatan dapat terkontrol dengan baik. Salah satu program puskesmas adalah

    kesehatan jiwa masyarakat sehingga kegiatan ini mendapat dukungan dari Puskesmas

    Bogor Utara. Program kunjungan rumah ke pasien gangguan jiwa dalam

    pelaksanaannya bersamaan dengan pelaksanaan program posyandu maupun

    posbindu. Selain puskesmas Bogor Utara, dinas kesehatan Kota Bogor juga sangat

    mendukung. Dukungan ini berupa program pengobatan untuk pasien gangguan jiwa

    dan didistribusikan ke puskesmas, fasilitas untuk jaminan kesehatan bagi masyarakat

    yang kurang mampu, serta pengadaan sarana dan prasarana untuk kegiatan terapi

    kelompok.

    2.1.3.5 Tahap 7 Evaluasi Proses yaitu melihat kembali tiga komponen atau faktor

    dalam perubahan perilaku yaitu:

    a. Faktor predisposisi: setelah dilakukan tindakan keperawatan pada pasien harga diri

    rendah kronik baik tindakan keperawatan individu maupun kelompok maka gejala

    harga diri rendah berkurang dan peningkatan kemampuan positif sehingga pasien

    menjadi mandiri dan produktif.

    b. Faktor pendorong: tersedianya fasilitas layanan kesehatan jiwa baik tingkat

    puskesmas maupun rumah sakit bagi pasien harga diri rendah kronik. Selain itu

    baik RT maupun RW menyediakan fasilitas sarana dan prasarana pada saat

    pelaksanaan kegiatan, mengalokasikan dana untuk pelaksanaan kegiatan.

    c. Faktor penguat: tokoh masyarakat yaitu ketua RT dan ketua RW sangat

    mendukung kegiatan yang ditujukan untuk kesehatan jiwa masyarakat. Tokoh

    agama (kyai, ustadz dan pendeta) bersedia memotivasi pasien dan keluarga untuk

    merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Buku kerja sangat

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 27

    Universitas Indonesia

    efektif untuk melihat perkembangan kemampuan yang dicapai. Keluarga dan

    kader kesehatan jiwa melakukan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan

    kemampuan yang telah dilatih.

    2.1.3.6 Tahap 8 Evaluasi Dampak: mengevaluasi dari keseluruhan tindakan yang

    telah dilakukan. Tindakan keperawatan yang sudah dilakukan di wilayah memberikan

    dampak bagi pasien pasien harga diri rendah kronik antara lain sudah dapat bekerja

    sebagai tukang ojek dan pegawai pabrik, pasien sudah mampu melakukan kegiatan

    sehari-hari seperti membereskan kamar tidur, menyapu rumah, mencuci piring/baju,

    membantu orang tua diwarung dan pasien masih perlu motivasi untuk melakukan

    kegiatan sehari-hari. Keluarga sebagai care giver sudah mampu memberikan pujian

    atas keberhasilan pasien, mengajak pasien untuk mengikuti terapi kelompok maupun

    rehabilitasi, membawa pasien untuk teratur minum obat dan kontrol ke puskesmas.

    Kader sudah mampu melakukan kunjungan rumah, penggerakan pasien dan keluarga

    untuk mengikuti penyuluhan dan melakukan rujukan bila ditemukan indikasi.

    2.1.3.7 Tahap 9 Evaluasi Hasil: setelah melihat hasil dan masih ditemukan beberapa

    pasien yang masih memerlukan tindakan secara teratur dan komprehensif maka

    dilakukan perencanaan kembali untuk keberlangsungan kesehatan jiwa masyarakat.

    Baik kader kesehatan jiwa maupun perawat CMHN membuat perencanaan baik

    tahunan, bulanan maupun harian untuk asuhan keperawatan jiwa dengan harga diri

    rendah kronik.

    2.2 Harga Diri Rendah Kronik

    Harga diri rendah kronik merupakan salah satu respon maladaptif dalam rentang

    respon neurobiologi. Proses terjadinya harga diri rendah kronik pada pasien

    skizofrenia dapat dijelaskan dengan menganalisa stressor predisposisi dan presipitasi

    yang bersifat biologis, psikologis, dan sosial budaya sehingga menghasilkan respon

    bersifat maladaptif yaitu perilaku harga diri rendah kronik.

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    2.2.1 Pengertian Harga Diri Rendah Kronik

    Konsep diri adalah semua pikiran, dan keyakinan yang merupakan pengetahuan

    individu tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain (Stuart,

    2009). Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya dalam hal harga diri dan

    martabat (Videbeck, 2006). Dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara

    bagaimana individu memandang dirinya sendiri dimana hal ini dapat mempengaruhi

    individu tersebut dalam berhubungan dengan orang lain.

    Menurut Stuart (2009), komponen konsep diri adalah citra tubuh, ideal diri, harga

    diri, penampilan atau performa peran dan identitas personal. Citra tubuh yaitu

    kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya,

    termasuk persepsi masa lalu dan pengalaman yang baru. Ideal diri, yaitu persepsi

    individu tentang bagaimana dia seharusnya berperilaku berdasarkan standar, aspirasi,

    tujuan atau personal tertentu. Harga diri, yaitu penilaian individu tentang penilaian

    personal tertentu. Penampilan atau performa peran adalah serangkaian pola perilaku

    yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu di

    berbagai kelompok sosial. Identitas personal adalah pengorganisasian prinsip dari

    kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi

    dan keunikan individu.

    Gangguan konsep diri: harga diri rendah adalah keadaan dimana individu mengalami

    atau beresiko mengalami evaluasi diri negatif tentang kemampuan atau diri

    (Carpenito, 2000). Harga diri rendah adalah evaluasi atau perasaan yang negatif

    terhadap diri dan kemampuan diri yang berkepanjangan (NANDA, 2010). Harga diri

    adalah penilaian pribadi seseorang terhadap nilai diri berdasarkan seberapa baik

    perilaku sesuai dengan ideal diri (Stuart, 2009). Harga diri rendah adalah evaluasi diri

    negatif dan berhubungan dengan perasaan lemah, tidak berdaya, putus asa, ketakutan,

    rentan, rapuh, tidak lengkap, tidak berharga dan tidak memadai (Stuart, 2009). Dapat

    disimpulkan bahwa harga diri rendah kronik adalah cara pandang individu terhadap

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 29

    Universitas Indonesia

    dirinya yang bersifat negatif dimana ia tidak mampu mengenal kemampuan atau

    aspek positif dirinya sendiri.

    Setiap individu dalam kehidupannya tidak terlepas dari berbagai stressor, dengan

    adanya stressor akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam diri sendiri (Stuart,

    2009). Dalam usaha mengatasi ketidakseimbangan tersebut individu menggunakan

    koping yang bersifat membangun (konstruktif) ataupun koping yang bersifat merusak

    (destruktif). Rentang respon pasien dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah

    dapat dilihat dalam bagan 2.1.

    Respon Adaptif Respon Maladaptif

    Aktualisasi Konsep Harga Kekacauan Depersonalisasi

    Diri Diri positif Diri Rendah Identitas

    Bagan 2.3

    Rentang Respon Konsep Diri (Stuart, 2009)

    Rentang respon konsep diri terdiri dari:

    a. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan

    latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan diterima.

    b. Konsep diri positif, individu mempunyai pengalaman yang positif dalam

    mengekspresikan kemampuan yang dimiliki.

    c. Harga diri rendah adalah transisi antara respon konsep diri adaptif dengan konsep

    diri maladaptif, yaitu perasaan/persepsi yang negatif terhadap diri sendiri dan

    kemampuan diri, dan merasa gagal dalam mencapai keinginan.

    d. Kekacauan identitas adalah kegagalan individu dalam mengintegrasikan aspek-

    aspek identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikososial

    kepribadian pada masa dewasa yang harmonis.

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    e. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri

    yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan

    dirinya dengan orang lain.

    2.2.2 Stressor Predisposisi Harga Diri Rendah Kronik

    Stressor predisposisi adalah faktor risiko yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah

    sumber risiko yang dapat menyebabkan individu mengalami stress (Stuart, 2009).

    Stressor ini meliputi biologis, psikologis, dan sosial budaya.

    2.2.2.1 Faktor Biologis

    Faktor predisposisi biologis meliputi riwayat genetik, status nutrisi, status kesehatan

    secara umum, sensitivitas biologi, dan terpapar racun (Stuart, 2009). Banyak riset

    menunjukkan peningkatan risiko mengalami skizofrenia pada individu dengan

    riwayat genetik terdapat anggota keluarga dengan skizofrenia. Pada kembar dizigot

    risiko terjadi skizofrenia 15%, kembar monozigot 50%, anak dengan salah satu orang

    tua menderita skizofrenia berisiko 13%, dan jika kedua orang tua mendererita

    skizofrenia berisiko 45% (Fontaine, 2003).

    Riset lain menunjukkan bahwa terjadi abnormalitas anatomi, fisiologis, dan

    neurokimia pada pasien dengan skizofrenia, dimana terjadi penurunan volume otak,

    fungsi otak, dan gangguan jumlah dan regulasi neurotransmiter (dopamin, serotonin,

    dan glutamat). Gangguan pada korteks frontal mengakibatkan gejala negatif dan

    gangguan pada sistem limbik mengakibatkan gejala positif (Bartzokis, 2002 dalam

    Stuart, 2009). Perkembangan janin dalam rahim belum dapat dideteksi kemungkinan

    menderita skizofrenia, tetapi beberapa riset menunjukkan pada sebagian besar pasien

    dengan skizofrenia memiliki riwayat komplikasi prenatal dan perinatal seperti pre-

    eklampsia, trauma, asfiksia, prematur, dan masalah-masalah yang dialami ibu selama

    masa kehamilan seperti nutrisi yang buruk, stress, menggunakan alkohol/obat-obat

    terlarang, infeksi virus, hipertensi, dan penggunaan zat-zat kimia berbahaya (Cannon,

    Jones & Muray, 2002 dalam Stuart, 2009). Berbagai faktor predisposisi di atas dapat

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 31

    Universitas Indonesia

    menyebabkan gangguan bentuk, fungsi maupun regulasi neurotransmiter otak

    khususnya pada korteks frontal sehingga menimbulkan gejala negatif diantaranya

    harga diri rendah.

    2.2.2.2 Faktor Psikologis

    Faktor predisposisi psikologis meliputi intelektualitas, ketrampilan verbal,

    kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, dan pertahanan psikologis

    (Stuart & Laraia, 2005). Skizofrenia dapat terjadi pada individu yang mengalami

    kegagalan pada tahap awal perkembangan psikososial, misalnya pada usia bayi tidak

    terbentuk hubungan saling percaya maka terjadi konflik intra psikik. Anak yang

    tumbuh dalam keluarga dengan kondisi tidak bahagia dan tegang akan menjadi

    individu yang tidak sensitif secara psikologis (Fortinash & Worret, 2007). Kondisi

    keluarga dan karakter setiap orang dalam keluarga mempengaruhi perkembangan

    psikologis seseorang. Ibu yang overprotective, ibu selalu cemas, konflik perkawinan,

    dan komunikasi yang buruk serta interaksi yang kurang dalam keluarga berisiko

    terjadinya skizofrenia pada individu anggota keluarga tersebut.

    Maturasi psikososial manusia menjalankan delapan tugas perkembangan

    (development task) sesuai dengan proses perkembangan usia (Eric Erikson, 2000

    dalam Keliat, 2006). Untuk mengembangkan hubungan sosial positif setiap tugas

    perkembangan sepanjang daur kehidupan, diharapkan dilalui dengan baik sehingga

    kemampuan membina hubungan sosial dapat menghasilkan kepuasan bagi individu.

    Sebaliknya tugas perkembangan yang tidak dijalankan dengan baik memberikan

    dampak psikososial dikemudian hari. Faktor psikologis berhubungan dengan pola

    asuh yang diterima oleh individu pada setiap tahap tumbuh kembangnya yang

    kemudian membentuk pengalaman masa lalu, kepribadian, konsep diri, ketrampilan

    verbal, dan pertahanan psikologis. Tipe kepribadian tertentu seperti borderline dan

    narsistik cenderung mengalami kecemasan tinggi sehingga kesulitan dalam membina

    hubungan dengan orang lain.

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    Kegagalan mencapai tugas perkembangan pada setiap tahapan usia tumbuh kembang

    sejak bayi berakibat pada kemampuan dalam mengembangkan hubungan yang sosial

    positif pada individu. Dampak lebih jauh akibat kegagalan ini adalah manifestasi

    harga diri rendah pada pasien skizofrenia.

    2.2.2.3 Faktor Sosial Budaya

    Faktor predisposisi sosial budaya meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan,

    pendapatan, pekerjaan, status sosial, pengalaman sosial, latar belakang budaya,

    agama dan keyakinan, dan kondisi politik (Stuart, 2009). Faktor sosial budaya

    dikaitkan dengan terjadinya harga diri rendah meliputi; umur, jenis kelamin,

    pendidikan, pekerjaan dan keyakinan (Townsend, 2005; Stuart, 2009). Skizofrenia

    terjadi pada semua kelompok sosial ekonomi, namun lebih banyak terjadi pada

    kelompok sosial ekonomi rendah. Hipotesis downward drift menjelaskan bahwa

    pasien skizofrenia yang memiliki ketrampilan sosial rendah berasal dari kelompok

    sosial ekonomi rendah (Maguire, 2002 dalam Fortinash & Worret, 2007). Kondisi

    sosial ekonomi yang rendah berpengaruh terhadap kondisi kehidupan yang dijalani

    meliputi; nutrisi yang tidak adekuat, rendahnya pemenuhan perawatan untuk anggota

    keluarga, perasaan tidak berdaya, perasaan ditolak oleh orang lain dan lingkungan

    sehingga berusaha menarik diri dari lingkungan.

    Beberapa ahli sosial meyakini bahwa stress kehidupan dalam kelompok sosial

    ekonomi rendah cukup sering mencetuskan terjadinya skizofrenia pada masyarakat.

    Pasien dengan skizofrenia akibat stress psikologis menunjukkan harga diri rendah dan

    persepsi diri yang buruk serta mengalami keterbatasan sumber koping terhadap

    situasi yang dihadapi. Hidup di lingkungan padat penduduk, kemiskinan,

    kesengsaraan, dan ketakutan karena tingginya akngka kriminalitas juga menyebabkan

    psikopatologi (Cohen, 1993; Betemps & Ragiel, 1994, dalam Fortinash & Worret,

    2007). Beberapa studi juga menunjukkan bahwa lingkungan fisik berhubungan

    dengan terjadinya skizofrenia, dimana paparan zat beracun pada individu

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 33

    Universitas Indonesia

    menyebabkan berbagai penyakit melalui polusi udara atau makanan yang

    terkontaminasi.

    Keyakinan merupakan pandangan terhadap kehidupan dunia, agama dan spiritual

    yang memberikan efek negatif dan positif terhadap kesehatan jiwa seseorang (Stuart

    & Laraia, 2005). Respon positif terhadap keyakinan dapat merubah kesejahteraan,

    peningkatan kualitas hidup, dan mempercepat proses penyembuhan. Respon negatif

    terhadap keyakinan karena adanya kemiskinan dapat menjadi faktor pencetus sulitnya

    merubah status kesehatan seseorang, penolakan terhadap pelayanan yang diberikan,

    pesimis, menyalahkan diri sendiri, orang lain dan adanya perasaan tidak

    berdaya. Hal ini menjelaskan keyakinan memainkan peranan penting dalam

    menggambarkan suasana hati yang dihadapi seseorang. Pendidikan dapat dijadikan

    tolak ukur kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain secara efektif

    (Stuart, 2009). Faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang

    menyelesaikan masalah yang dihadapi.

    2.2.3 Stressor Presipitasi Harga Diri Rendah Kronik

    Stressor presipitasi adalah stimulus yang bersifat menantang dan mengancam

    individu serta menimbulkan kondisi tegang dan stres sehingga memerlukan energi

    yang besar untuk menghadapinya (Cohen, 2000 dalam Stuart, 2009). Stressor

    presipitasi dapat bersifat aspek biologis, psikologis, serta sosial budaya yang berasal

    dari dalam diri individu (internal) maupun dari lingkungan eksternal individu. Selain

    sifat dan asal stresor, waktu dan jumlah stresor juga merupakan komponen stressor

    presipitasi. Dimensi waktu meliputi kapan stresor terjadi, seberapa lama terpapar

    stresor, dan frekuensi terpapar stresor. Peristiwa dalam kehidupan yang penuh dengan

    tekanan dan stresor menjadi pencetus serangan atau munculnya gejala skizofrenia dan

    meningkatkan angka kambuh (Townsend, 2009).

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    2.2.3.1 Aspek Biologis

    Aspek biologis yang berperan terjadinya harga diri rendah dapat berupa penyakit

    yang diderita (skizofrenia), riwayat cedera/trauma, penggunaan zat terlarang atau

    beralkohol dalam jangka waktu lama, pengobatan yang tidak teratur atau putus obat.

    Harga diri rendah merupakan salah satu gejala negatif dari skizofrenia. Gejala negatif

    atau gejala samar yang dialami pasien skizofrenia dapat berupa afek datar, tidak

    memiliki kemauan, merasa tidak nyaman dan menarik diri dari masyarakat

    (Videbeck, 2008), ekspresi emosi terbatas (emotional withdrawal), keterbatasan

    pembicaraan, pikiran, keterbatasan perilaku mencapai tujuan, anhedonia, afek tumpul

    dan penurunan atensi/perhatian (Sinaga, 2007). Riwayat cedera/trauma dapat

    menyebabkan kerusakan pada bagian otak yaitu frontalis sehingga bisa menimbulkan

    gangguan control fungsi bicara, proses berpikir dan ekspresi emosi (Towsend, 2003).

    Penggunaan zat terlarang atau narkotika maupun pengobatan yang tidak teratur atau

    putus obat dapat merusak dan menganggu sel otak dan fungsinya termasuk

    neurotransmitter, serotonin yang akan menurun dan menimbulkan gangguan emosi,

    kognitif dan depresi (Kaplan & Saddock, 2007).

    2.2.3.2 Aspek Psikologis

    Respon sosial maladaptif merupakan hasil pengalaman negatif yang mempengaruhi

    pertumbuhan emosi seseorang. Stresor psikologis dapat berupa kondisi seperti

    hubungan keluarga tidak harmonis, ketidak puasan kerja dan kesendirian. Diyakini

    bahwa ansietas berat dan berkepanjangan dengan kemampuan koping yang terbatas

    menyebabkan gangguan berhubungan dengan orang lain. Sikap atau perilaku tertentu

    seperti harga diri rendah, tidak percaya diri, merasa dirinya gagal, merasa dirinya

    lebih dibandingkan orang lain, tidak memiliki ketrampilan sosial, dan perilaku agresif

    merupakan presipitasi terjadinya skizofrenia. Tipe kepribadian tertentu seperti

    borderline dan narsistik cenderung mengalami kecemasan tinggi sehingga kesulitan

    dalam membina hubungan dengan orang lain (Stuart, 2009).

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 35

    Universitas Indonesia

    2.2.3.3 Aspek Sosial Budaya

    Stresor sosial budaya dapat berasal dari keluarga, misalnya kurangnya support sistem

    dalam keluarga dan kontak/hubungan yang kurang antar anggota keluarga. Stressor

    lain yang dapat menjadi pencetus terjadinya perilaku harga diri rendah adalah kondisi

    lingkungan yang bermusuhan, lingkungan penuh dengan kritik, tekanan di tempat

    kerja atau kesulitan mendapatkan pekerjaan, kemiskinan, dan stigma yang ada di

    lingkungan tempat tinggal seseorang (Stuart, 2009).

    2.2.4 Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah Kronik

    Tanda dan gejala harga diri rendah kronik merupakan bentuk penilaian terhadap

    stresor. Penilaian terhadap stressor menggambarkan arti dan makna sumber stres pada

    suatu situasi yang dialami individu (Stuart, 2009). Tanda dan gejala dapat dilihat

    melalui empat respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial.

    2.2.4.1 Respon kognitif

    Respon kognitif memegang peran sentral dalam proses adaptasi, dimana faktor

    kognitif mempengaruhi dampak suatu kejadian yang penuh dengan stress, memilih

    koping yang akan digunakan, dan reaksi emosi, fisiologi, perilaku, dan sosial

    seseorang. Tanda dan gejala secara kognitif merupakan mediator fisiologis antara

    individu dengan lingkungannya terhadap suatu stressor. Terdapat tiga tipe utama

    tanda dan gejala yang bersifat kognitif yaitu: 1) stresor dinilai sebagai bahaya yang

    akan terjadi, 2) stresor dinilai sebagai ancaman sehingga perlu antisipasi, dan 3)

    stresor dinilai sebagai peluang/tantangan untuk tumbuh menjadi lebih baik. Pada

    pasien harga diri rendah kronik tanda dan gejala secara kognitif berupa merasa

    kesepian, merasa ditolak orang lain/lingkungan, dan merasa tidak dimengerti oleh

    orang lain, merasa tidak berguna, merasa putus asa dan tidak memiliki tujuan hidup,

    merasa tidak aman berada diantara orang lain, serta tidak mampu konsentrasi dan

    membuat keputusan (Townsend, 2009; Keliat, 2006; NANDA, 2010).

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • Universitas Indonesia

    2.2.4.2 Respon afektif

    Respon afektif menunjukkan suatu perasaan. Tanda dan gejala secara afektif tidak

    spesifik dan umumnya berupa reaksi cemas yang diekspresikan sebagai emosi.

    Respon afektif meliputi gembira, sedih, takut, marah, menerima, tidak percaya,

    antisipasi, dan terkejut. Pengetahuan yang baik, optimis, dan sikap positif dalam

    menilai peristiwa kehidupan yang dialami diyakini dapat menimbulkan perasaan

    sejahtera dan memperpanjang usia (Stuart, 2009). Respon afektif dipengaruhi oleh

    kegagalan individu dalam menyelesaikan tugas perkembangan di masa lalu terutama

    terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan orang lain.

    2.2.4.3 Respon fisiologis

    Respon fisiologis merefleksikan interaksi beberapa neuroendokrin seperti hormon

    pertumbuhan, prolaktin, ACTH, luteinizing dan follicle-stimulating hormone, TSH,

    vasopresin, oksitosin, insulin, epineprin, norepineprin, dan beberapa neurotransmiter

    dalam otak. Respon fisiologis fight-or-flight menstimulasi sistem saraf otonom yaitu

    saraf simpatis dan meningkatkan aktivitas adrenal pituitari. Respon fisiologis yang

    terjadi pada pasien harga diri rendah berupa lemah, penurunan/peningkatan nafsu

    makan, malas beraktivitas, lemah, kurang energi (NANDA, 2010).

    2.2.4.4 Respon perilaku

    Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri dan

    mempunyai bentangan yang luas meliputi berjalan, berbicara dan bereaksi, dimana

    semua itu dapat diamati, bahkan dipelajari (Notoatmodjo, 2003). Perilaku merupakan

    respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar (Skinner,

    1938 dalam Notoatmodjo, 2003).

    Respon perilaku merefleksikan respon emosi dan fisiologis sebagai hasil analisis

    kognitif dalam menghadapi suatu situasi yang penuh stres. Terdapat 4 (empat) fase

    respon perilaku individu terhadap suatu stresor, yaitu: 1) Fase pertama, perilaku

    berubah karena stresor dari lingkungan dan individu lari dari masalah; 2) Fase kedua,

    Pemberdayaan keluarga.., Desi Pramujiwati, FIK UI, 2013

  • 37

    Universitas Indonesia

    perilaku yang membuat seseorang merubah pengaruh dari luar; 3) Fase ketiga,

    perilaku untuk bertahan atau melawan perasaan dan emosi yang tidak nyaman; 4)

    Fase keempat, perilaku yang datang menggambarkan suatu kejadian agar seseorang

    mampu menyesuaikan diri secara berulang (Caplan, 1981 dalam Stuart, 2009). Dari

    uraian diatas disimpulkan perilaku merupakan tindakan yang dilakukan seseorang

    dipengaruhi oleh proses kognitif. Perilaku yang ditunjukkan pasien harga diri rendah

    meliputi menarik diri, menjauh dari orang lain, tidak atau jarang melakukan

    komunikasi, tidak ada kontak mata, kehilangan gerak dan minat, malas melakukan

    kegiatan sehari-hari, berdiam diri di kamar, menolak hubungan dengan orang lain,

    dan sikap bermusuhan (Townsend (2009); NANDA (2010)).

    2.2.4.5 Respon sosial

    Respon sosial individu dalam menghadapi stressor terdiri dari tiga kegiatan, yaitu 1)

    Mencari makna, individu mencari informasi tentang masalah yang dihadapi. Dalam

    hal ini perlu memikirkan strategi koping yang akan digunakan untuk merespon

    masalah yang dihadapi secara rasional; 2) Atribut sosial, individu mencoba

    mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap masalah yang ada.

    Individu yang memandang masalahnya sebagai akibat dari kelalaiannya mungkin

    tidak dapat melakukan suatu respon koping. Dalam hal ini individu akan lebih

    menyalahkan diri sendiri, ber