DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ... filehadir di ruang sidang yang mulia ini ......
Transcript of DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ... filehadir di ruang sidang yang mulia ini ......
Nomor: RISALAHDPD/KMT.III-RDP/IV/2018
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
-----------
RISALAH
RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMITE III
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
MASA SIDANG IV TAHUN SIDANG 2017-2018
I. KETERANGAN
1. Hari : Rabu
2. Tanggal : 11 April 2018
3. Waktu : 10.46 WIB s.d. 12.40 WIB
4. Tempat : R. Sidang Komite III
5. Pimpinan Rapat :
1. Fahira Idris, SE. (Ketua Komite III DPD RI)
2. Abdul Aziz, SH. (Wakil Ketua Komite III DPD RI)
3. Dr. Delis Julkarson Hehi (Wakil Ketua Komite III DPD
RI)
6. Sekretaris Rapat :
7. Acara : RDP membahas inventarisasi materi penyusunan RUU
tentang perlindungan pasien dengan menghadirkan:
1. Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
2. Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan
(YPKK).
8. Hadir : Orang
9. Tidak hadir : Orang
1 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
II. JALANNYA RAPAT:
PIMPINAN RAPAT: dr. DELIS JULKARSON HEHI, MARS (WAKIL KETUA KOMITE
III DPD RI)
Bisa kita mulai Bapak/Ibu ya. Baik.
Yang terhormat Bapak/Ibu Anggota Komite III DPD RI, yang kami hormati Bapak Ir.
Ardiansyah Parman Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional bersama seluruh jajaran yang
boleh hadir. Terima kasih untuk waktu dan kehadirannya, Pak. Yang kami hormati Bapak dr.
Marius Widjayata Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan, terima kasih untuk
kehadirannya, Pak, serta seluruh hadirin yang berbahagia.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera bagi kita sekalian.
Om swastiastu.
Namo buddhaya.
Mengawali Rapat Dengar Pendapat dengan tim kecil tim kerja Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Pasien pada saat ini, pada pagi hari ini marilah kita panjatkan puji dan syukur
kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas rahmat dan perkenan-Nya sehingga kita semua dapat
hadir di ruang sidang yang mulia ini dalam keadaan yang sehat wal’afiat tanpa kekurangan apapun.
Sebelum kami membuka Rapat Dengar Pendapat pada pagi hari ini, terlebih dahulu marilah kita
berdoa menurut agama dan kepercayaan kita masing-masing. Semoga kegiatan ini dapat berjalan
dengan baik dan memberikan hasil yang bermanfaat bagi kita, semua terutama dalam menjalankan
tugas-tugas konstitusional kita. Berdoa dimulai. Selesai.
Yang terhormat Bapak/Ibu Anggota Komite III, para narasumber dan hadirin yang kami
hormati, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim pada hari ini Rabu 11 April 2018 Rapat
Dengar Pendapat dengan tim kecil Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pasien dalam rangka
membahas inventarisasi materi penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan
Pasien saya buka dan terbuka untuk umum.
KETOK 1X
Perlu kami sampaikan kepada Bapak/Ibu Anggota Komite III DPD RI, anggota tim kecil,
bahwa untuk memperoleh materi serta informasi yang berkaitan dengan permasalahan
perlindungan pasien, telah hadir di tengah-tengah kita semua Bapak Ir. Ardiansyah Parman, beliau
adalah Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia, dan Bapak dr. Marius
Widjayata Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan. Dan untuk itu, kami ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehadiran Bapak narasumber bersama seluruh tim.
Yang terhormat Bapak/Ibu Komite III DPD RI, para narasumber, dan hadirin yang
berbahagia, sebagaimana kita ketahui bahwa bersama bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia
masih sangat jauh yang diharapkan dan memiliki banyak kelemahan dan kekurangan di berbagai
sisi. Bila dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga
kita, tentu kita masih tertinggal jauh dalam segi pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari
RAPAT DIBUKA PUKUL 10.46 WIB
2 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
masih banyaknya Warga Negara Indonesia yang lebih memilih untuk berobat ke luar negeri, ke
dua negara tersebut demi mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Bahkan, di beberapa
negara pelayanan kesehatan yang baik telah dijadikan promosi pariwisata negara tersebut atau
dikenal biasanya dengan medical destination. Menurut data yang dirilis oleh … (kurang jelas, red.)
bisnis wisata medis di dunia terus tumbuh sebanyak 25 persen pertahun dengan nilai yang
mencapai 55 miliar dolar Amerika pertahun serta mencakup 11 juta orang dari berbagai negara.
Salah satu negara yang menjadi tujuan wisata medis ialah Thailand.
Dengan melihat kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia, tentunya kita belum mampu
bermimpi untuk menjadikan pelayanan kesehatan negara kita juga sebagai satu salah satu tujuan
destinasi dari pada wisata medis tersebut. Salah satu lemahnya pelayanan kesehatan di Indonesia
ialah masih adanya pembedahan terhadap pasien yang lemah secara finansial dengan pasien yang
memiliki kecukupan finansial. Kita tidak dapat menutup mata bahwa penyelenggaraan layanan
kesehatan sejauh ini lebih sering dianggap sebagai komoditas ekonomi ketimbang komoditas
sosial. Padahal, menjadikan layanan kesehatan sebagai komoditas ekonomi bukan saja
bertentangan dengan Undang-Undang Kesehatan, tetapi lebih jauh lagi merupakan ancaman bagi
keadilan sosial. Kekuatan dan transaksi ekonomi yang mendominasi pola hubungan antarpasien
dan rumah sakit sebagai badan hukum dan pasien dengan tenaga kesehatan telah berdampak pada
tidak seimbangnya kedudukan pasien dengan rumah sakit dan pasien dengan tenaga kesehatan.
Pasien akan selalu ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dan lemah.
Dengan posisi yang lemah tersebut pasien tentu akan sering terlemahkan. Jangankan untuk
menuntut kerugian secara perdata maupun pidana, untuk menuntut tenaga kesehatan atau fasilitas
kesehatan atas dasar pelanggaran etika saja terasa sangat sulit. Alih-alih hendak melakukan
tuntutan hukum untuk memperoleh keadilan, justru pasienlah yang seringkali terkena dampak dari
tuntutan itu. Dalam hal ini, kita dapat menilik kembali dalam beberapa kasus yang sempat terjadi
di Indonesia, beberapa kasus yang dialami oleh Prita Mulyasari pada 2008 silam dan menjadi
perhatian masyarakat luas.
Yang terhormat Bapak/Ibu Anggota Komite III DPD RI dan para narasumber dan hadirin
yang kami hormati, kasus yang dialami oleh Prita Mulyasari tentu kita harapkan tidak terjadi
kembali. Meskipun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah menjabarkan
tentang perlindungan pasien, namun hingga saat ini belum ada regulasi yang secara khusus
mengatur tentang perlindungan pasien. Berbagai peraturan perundangan di bidang kesehatan
seperti hanya secara garis besar saja mengatur tentang hak dan kewajiban pasien, rumah sakit, dan
tenaga kesehatan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan di atas, maka
Komite III DPD RI menginisiasi menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan
Pasien. Dalam rangka penyusunan rancangan undang-undang ini, diperlukan pendalaman berbagai
hal, terutama terkait lingkup materi hak dan kewajiban pasien, rumah sakit, tenaga kesehatan,
mekanisme pengaturan penyelesaian konflik atau sengketa yang timbul sebagai akibat tidak
terpenuhinya hak pasien, dan peran pemerintah dalam penegakan dan perlindungan hak-hak
pasien. Dan melalui Rapat Dengar Pendapat kali ini, kami berharap dapat memperoleh berbagai
informasi dari Bapak/Ibu sekalian serta data-data yang terkait dengan permasalahan di atas serta
permasalahan-permasalahan lainnya yang tentunya berkaitan dengan perlindungan pasien.
Yang terhormat Bapak/Ibu Anggota Komite III DPD RI, dan para narasumber, dan hadirin
yang kami hormati, demikian pengantar singkat dari kam. Untuk mengefektifkan waktu, maka
kami persilakan kepada para narasumber untuk menyampaikan pandangannya. Untuk itu yang
pertama, kami persilakan kepada Bapak Ir. Ardiansyah Parman selaku Ketua Badan Perlindungan
Konsumen Nasional untuk memaparkan materinya. Silakan, Pak.
3 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
PEMBICARA: Ir. ARDIANSYAH PARMAN (KETUA BADAN PERLINDUNGAN
KONSUMEN NASIONAL/BPKN)
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
Selamat pagi.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Bapak Pimpinan Komite III DPD RI yang kami hormati dan para hadirin sekalian yang
hadir pada kesempatan ini. Perkenankan kami mengucapkan terima kasih atas undangan dan
kesempatan bagi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) untuk sharing mengenai hal-
hal terkait dengan masalah pelayanan kesehatan, terutama yang terkait tentunya dengan hak-hak
konsumen. Bapak/Ibu sekalian yang saya hormati, sebelum kami menjawab pertanyaan tertulis
dari Komite III DPD RI yang disampaikan kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional, kami
ingin memberikan gambaran secara singkat. Tentunya untuk memperkenalkan Badan
Perlindungan Konsumen Nasional itu sendiri sehingga nanti kita akan mengetahui apa peran
kementerian lembaga, apa peran daripada Badan Perlindungan Konsumen Nasional dari aspek
perlindungan konsumen.
Bapak/Ibu sekalian yang saya hormati, bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan ataupun penyelenggaraan perlidungan konsumen. Oleh karena itu, kehadiran daripada
negara di dalam mengatur, mengurus, dan juga mengelola, dan yang lebih penting lagi adalah
mengawasi, itu menjadi hal yang sangat strategis di dalam kita menyelenggarakan perlindungan
konsumen. Kami menilai bahwa pasien adalah konsumen karena pasien juga menikmati
menggunakan jasa, terutama jasa kesehatan. Oleh karena itu, kami nanti pada penjelasan lebih
lanjut bahwa konsumen atau pasien sesungguhnya di republik ini kalau dilihat dari segi kekuasaan
negara di dalam mengatur itu luar biasa. Ada Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun
1999 Nomor 8, itu berbicara bagaimana hak-hak konsumen harus terlindungi. Di sana juga
mengatur tanggung jawab daripada pemerintah, dalam hal ini kementerian lembaga di dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen. Ada Undang-Undang Kesehatan, ada Undang-Undang
Rumah Sakit, dan tentunya peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu kami melihat dari segi
pengaturan, sesungguhnya republik ini sudah ada, tetapi mungkin mari kita lihat nanti mengapa
masih terjadi persoalan di lapangan. Kami sementara menyimpulkan bahwa bukan tidak ada
aturannya, tetapi ketika itu dikelola, ketika itu diurus, pengawasannya itu sangat lemah.
Implementasi di lapangan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Oleh
karena itu, izinkan kami sebelum lebih jauh ke arah sana bahwa kami juga ingin memperkenalkan
badan ini dalam konteks perlindungan konsumen, apa perannya.
Nah oleh karena itu, kami ingin memperkenalkan bahwa badan ini dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen di mana anggotanya terdiri dari unsur:
1. Pemerintah,
2. Akademisi,
3. Pelaku usaha, kemudian
4. LPKSM, dan juga
5. Tenaga ahli.
Presiden telah menetapkan anggota periode keempat ini tahun 2017 hingga tahun 2020 itu
jumlahnya ada 19, Pak, dari 5 unsur tadi. Dibentuknya badan ini tujuannya adalah dalam upaya
mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Tugas utama daripada Badan
Perlindungan Konsumen Nasional adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah
4 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
tentang hal-hal yang berkaitan tentang kebijakan perlindungan konsumen. Tentu termasuk juga
implementasi dan juga pengawasannya di lapangan apakah benar-benar telah dilaksanakan atau
tidak. Dalam hal ini, tugas daripada Badan Perlindungan Konsumen, antara lain memang
melakukan penelitian pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, juga BPKN menerima
pengaduan dari masyarakat. Atas dasar itulah, BPKN ketika menerima pengaduan melakukan
tindak lanjut dan yang lebih penting lagi mengapa persoalan tersebut terus terjadi sehingga BPKN
melakukan penelitian, pengkajian lebih jauh apakah ini karena peraturan perundang-undangannya
atau apakah implementasinya. Oleh karena itu, dalam hal ini kami melakukan pengkajian,
melakuan FGD, dan sebagainya untuk merumuskan langkah-langkah apa saja yang harus diambil
oleh pemerintah dalam kita menegakkan hukum perlindungan konsumen. Mungkin secara singkat
dapat kami sampaikan bahwa dalam kerja BPKN, kami bagi dalam empat komisi, Pak:
1. Komisi I, yaitu bidang penelitian dan pengembangan mempunyai tugas mengkordinasikan
kajian dan penelitian BPKN, meneliti dan mengkaji peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan konsumen, termasuk juga jasa yang berkaitan dengan keselamatan
konsumen.
2. Komisi II adalah komisi komunikasi dan edukasi yang tugasnya adalah menyebarluaskan
informasi melalui media masa maupun elektronik mengenai perlindungan konsumen,
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen, melaksanakan pendidikan
perlindungan konsumen, dan seterusnya. Dan itu bisa dilihat di dalam lampiran jawaban
tertulis kami bagaimana media meliput aktivitas dari Badan Perlindungan Konsumen yang
terkait dengan pelayanan kesehatan masyarakat. Kami juga koordinasi dengan kementerian
lembaga, khususnya mengenai pelayanan kesehatan ini kami juga mengadakan pertemuan
khusus dengan Menteri Kesehatan.
3. Komisi III, yaitu komisi advokasi mempunyai tugas menerima dan menindaklanjuti
pengaduan tentang perlindungan konsumen. Dari 100 pengaduan sejak bulan 9/2017,
hingga saat ini, ada 155 pengaduan yang langsung ke kantor kami ke Badan Perlindungan
Konsumen Nasional, di luar yang melalui online, medsos, dan sebagainya itu lebih dari 50
persen, akhir-akhir ini adalah berkaitan dengan masalah perumahan. Jadi ini mencuat, Pak,
di tahun ini masalah perumahan sangat menonjol.
4. Kemudian Komisi IV, yaitu komisi yang bekerja sama dan kelembagaan,dan ini tentu
mempunyai tugas menjalin kerja sama dengan lembaga, tentu terkait juga dengan kegiatan
kita hari ini.
Saya kira secara garis besar demikian bahwa Badan Perlindungan Konsumen Nasional ini
tentunya sangat berkepentingan ketika para pihak untuk berkontribusi di dalam bagaimana upaya
pengembangan perlindungan konsumen di Indonesia terus kita kembangkan. Bapak/Ibu Anggota
Komite, kami menyebutnya komite atau komisi, Pak, ya? Komite, Pak, ya.
Bapak/Ibu Anggota Komite III DPD RI yang kami muliakan, sebelum kami menjawab
pertanyaan tertulis yang disampaikan kepada BPKN, kami ingin memberikan gambaran tentang
pelayanan kesehatan dan dari aspek perlindungan konsumen. Kami akan coba menjelaskan
mengenai permasalahan pelayanan kesehatan yang pernah ada dan rekomendasi yang pernah
disampaikan BPKN kepada kementerian lembaga. Kami menganggap apa yang terjadi insiden
yang muncul di permukaan itu hanya semacam puncak gunung es krisis pelayanan kesehatan. Itu
muncul hanya mungkin sebagian, Pak, dari sekian persoalan yang sesungguhnya terjadi di
lapangan. BPKN menyayangkan terjadinya insiden pelayanan pasien darurat kritis yang diduga
akibat tidak mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya di salah satu rumah sakit
5 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
swasta. Ini kejadian yang baru-baru kita alami. Sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009,
seharusnya rumah sakit menangani terlebih dahulu pasien, terutama pasien kondisi kritis, memberi
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan tidak diskriminatif. Tadi Bapak Pimpinan
menyampaikan di pembukaannya itu, sesungguhnya terkait dengan pelayanan kepada orang yang
katanya mampu dengan tidak mampu diperlakukan diskriminatif. Itu juga dialami. Kasus bayi
Debora perlu diseksamai sebagai fenomena puncak gunung es pelayanan rumah sakit di Indonesia.
Insiden sejenis terkait dengan pelayanan rumah sakit atas pasien darurat masih banyak terjadi di
Indonesia. Tak kurang sejak Agustus 2016 terjadi kasus pasien:
1. M. Rizki Akbar, bayi yang dikandung Rini Wahyuni.
2. Bayi pasangan Heni Sudiyar dan Manap.
3. Dan juga pasien Rohaini.
Itu hanya sebagian dari insiden yang muncul kepermukaan.
BPKN memahami bahwa pelayanan bagi pasien, terutama pasien kritis, masih merupakan
tantangan yang tidak ringan bagi Indonesia. Indonesia berpenduduk sekitar 260 juta, keempat
terbesar di dunia. Dengan bentangan geografis kepulauan yang luas, kita harus juga mencermati
keterjaminan layanan darurat kritis medis di luar Pulau Jawa. Ketersediaan tenaga medis dan
sarana di Pulau Jawa masih senjang dibanding di Jawa. Di Jawa saja sudah ada persoalan, apalagi
di luar Pulau Jawa. Ketersediaan tenaga medis dan sarana di luar Pulau Jawa sangat jauh tentunya
dibandingkan di Pulau Jawa. BPKN berpandangan bahwa tantangan tersebut tidak boleh
menghalangi unit-unit kesehatan yang sudah ada di tanah air, baik pemerintah maupun swasta,
untuk memberikan yang terbaik bagi keselamatan dan kesehatan pasien, terutama bagi pasien
kondisi gawat darurat kritis sesuai kondisi dan kemampuan dari unit tersebut. BPKN menseksamai
kondisi tersebut dan diperlukan perbaikan berspektrum luas. Banyak hal yang perlu diperbaiki,
seperti akses terhadap unit-unit pelayanan kesehatan di wilayah dokter, tenaga medis, akses obat
dan ketersediaannya, operasional dan logistik tenaga medis di wilayah geografis, itu sulit. Fasilitas
pelayanan tingkat pertama seperti puskesmas, klinik pertama, dokter praktik perorangan harus
ditingkatkan kapasitasnya oleh pemda. Oleh karena itu, upaya perbaikan terus-menerus harus tetap
dilakukan dengan berbagi peran, berbagi tugas, namun harus tetap jelas tanggung jawab masing-
masing dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Dugaan kami, masih ada keraguan unit kesehatan swasta pada BPJS. Pertanyaannya adalah
mengapa rumah sakit, khususnya rumah sakit swasta, masih ragu menerima pasien, termasuk
pasien darurat kritis yang telah memiliki jaminan kesehatan BPJS? Faktor-faktor pembentuk
keraguan itu perlu segera diatasi agar unit-unit pelayanan swasta dapat percaya diri dalam
melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan darurat dan kritis. Unit-unit
kesehatan swasta sampai saat ini masih menjadi komponen penting dalam perannya sebagai akses
pelayanan kesehatan di Indonesia. BPKN mendorong Kementerian Kesehatan untuk juga
mencermati kembali aspek-aspek dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria dari pelayanan
kesehatan, terutama bagi pasien darurat kritis, baik di rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit
swasta. Dengan demikian, insiden serupa seperti yang kami kemukakan di atas dapat dihindari,
paling tidak untuk diminimalisir.
BPKN juga mendorong agar dimaksimalkan pemanfaatan Information and
Communication Technology atau ICT yang sudah meluas akses penetrasinya untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan yang mumpuni dan tepat waktu bagi masyarakat. Jadi, maksudnya di sini kita
harus memanfaatkan information technology ini. Jangan sampai pasien itu keliling mencari rumah
sakit mana yang bisa melayani karena alasan penuh. Harusnya itu begitu datang ke satu rumah
sakit, rumah sakit sudah bisa memberikan jawaban, “Yang masih kosong rumah sakit ini, Anda
6 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
bisa pergi ke sana.” Jangan muter-muter mencari rumah sakit yang bisa melayani. Ini kalau sangat
kritis membahayakan, bahkan mungkin resikonya kematian. Oleh karena itu, ICT juga sangat
membantu menyederhanakan prosedur, mengakses unit pelayanan dengan peralatan medis yang
diperlukan, membantu mencari tempat pada unit rujukan. ICT juga sangat menyederhanakan
prosedur proses penyelesaian adminitrasi, dari mulai pasien masuk rumah sakit sampai dengan
reimbursement oleh pihak rumah sakit kepada BPJS.
Jadi kami sangat laporkan di sini, terkait dengan pelayanan kesehatan sesungguhnya BPKN
telah banyak menyampaikan saran pertimbangan atau rekomendasi kepada kementerian lembaga.
Ini salah satu, bukan salah satu, beberapa rekomendasi yang pernah kita sampaikan ke
kementerian. Pada tahun yang terbaru tahun 2017, BPKN telah mengirimkan surat kepada Menteri
Kesehatan, Direktur Utama BPJS, dan juga Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Muatan surat
tersebut menyangkut rekomendasi awal atas langkah-langkah segera yang perlu diambil
menyikapi terjadinya insiden bayi yang meninggal dunia di salah satu rumah sakit swasta di
Jakarta Barat pada waktu itu. Jadi, kami menyarankan agar Menteri Kesehatan melakukan audit
layanan kesehatan secara keseluruhan, baik audit medik maupun nonmedik untuk memastikan
layanan kesehatan yang berkeadilan bagi masyarakat. Juga, kepada Direktur Utama BPJS untuk
mengintensifkan sosialisasi dan edukasi, kebijakan standar pelayanan kesehatan, dan program
BPJS kesehatan dalam memberi jaminan sosial di bidang kesehatan dan berkeadilan. Juga, kepada
Kepolisian Republik Indonesia untuk mengambil langkah-langkah penegakan hukum sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Jadi, kami sampaikan ini kepada kepada kementerian lembaga, harapannya untuk diambil
langkah-langkah segera. Jika memang peraturannya sudah sedemikian bagus, kenapa
implementasi di lapangannya demikian. Karena setahu kami, di Undang-Undang Kesehatan itu
kalau ada pasien kritis darurat ke rumah sakit tersebut, tidak boleh ditanya Anda punya uang
jaminan atau apa? Enggak boleh, Pak, dilarang menurut undang-undang. Itu harus ditangani dulu,
urusan uang urusan belakangan. Nah ini kenapa terjadi orang dipimpong ke mana sehingga
terlambat di dalam mengambil penyelamatan jiwa yang ingin mendapatkan pelayanan.
Pada tahun 2016, BPKN juga menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan
perihal pentingnya penyusunan Standar Nasional Pendidikan Keperawatan dan juga Standar
Nasional Pendidikan Kedokteran. Kami banyak belajar dari Pak dr. Marius dan beliau juga sangat
eiger sekali memperjuangkan masalah konsumen kesehatan ini, dan beliau banyak sekali
pengalaman beliau dan konsepsi yang beliau sampaikan. Saya kira ini yang juga perlu mungkin
nanti dielaborasi lebih jauh karena masalah kesehatan ini, istilah Pak Marius itu Standar Pelayanan
Medis Nasional sampai saat ini belum ada menurut beliau. Tetapi ketika kita mengadakan FGD
dengan Pak Marius, dengan pihak Kementerian Kesehatan, Kementerian Kesehatan berkeyakinan
itu sudah ada. Jadi yang mana sebenarnya yang sudah ada itu? Yang ada menurut Pak Marius itu
baru pedoman, bukan standar. Jadi ini mungkin kalau di payung hukumnya di tingkat undang-
undang, saya kira sudah cukup memadai, tetapi di dalam implementasinya ini sangat lemah.
Tahun 2006 itu juga BPKN juga menyampaikan rekomendasi khusus kepada Menteri
Kesehatan memastikan penerapan dari informed consent. Dalam hal ini, kadang-kadang mungkin
ada juga petugas medis maupun dokter itu tidak menyampaikan permintaan persetujuan tertulis
dari pasien yang diambil dari tindakan yang mungkin beresiko tinggi. Ini menurut undang-undang
itu harus sehingga tidak bisa kalau tidak ada tanda tangan dari pasien itu sendiri atau keluarga yang
bertanggung jawab terhadap kemungkinan risiko yang mungkin muncul akibat tindakan medis
yang diambil oleh dokter atau petugas medis. Oleh karena itu, kami pada waktu itu menyampaikan
7 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
rekomendasi kepada Menteri Kesehatan agar hal itu perlu ditegakkan dan diawasi. Itulah intisari
daripada rekomendasi kami.
Nah mungkin kami tidak perlu membacakan jawaban tertulis atas pertanyaan tertulis dari
Komite III DPD RI. Saya kira ini kami sudah sampaikan juga secara tertulis dan juga melampirkan
perkembangan dan bagaimana media untuk memberitakan hal-hal yang terkait dengan masalah
tersebut. Saya kira mungkin saya sampai di sini dulu, dan mohon izin kami juga mau
memperkenalkan dari Anggota Badan Perlindungan Konsumen yang bersama kita hadir di sini.
Sebelah kiri saya adalah Pak Rollas, ini beliau adalah Wakil Ketua Badan Perlindungan
Konsumen Nasional. Beliau dari unsur ahli. Beliau sebenarnya pengacara, Pak, jadi kalau Bapak
ada masalah mungkin bisa ini. Di sebelahnya, Prof. Atih, Anggota Badan Perlindungan Konsumen
Nasional periode yang kedua. Beliau dari unsur tenaga ahli juga. Di sebelahnya adalah Pak
Bambang Sumantri, Anggota Badan juga. Beliau dari unsur LPKSM, jadi (Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat).
Jadi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Pak, ada 3 lembaga yang
dibentuk, eh 2 dibentuk oleh pemerintah, 1 diakui. Jadi di Undang-Undang PK itu, ada tiga
lembaga yang khusus disebut, yaitu:
1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang tadi kami perkenalkan.
2. Adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang menurut undang-undang berada di
kabupaten/kota untuk menyelesaikan jika terjadi sengketa antara konsumen dengan pelaku
usaha di luar pengadilan, maka dilakukan oleh BPSK.
3. Kemudian yang ketiga, pemerintah mengakui keberadaan LPKSM, yaitu lembaga yang
tumbuh di masyarakat dan apabila mendap, apa istilahnya, melaporkan keberadaannya
kepada pemda setempat, maka akan diterbitkan semacam surat tanda, tanda daftar ya.
Nah ini yang diakui oleh pemerintah.
Dalam hal ini ada YLKI, Anggota YLKI, beliau adalah Pimpinan YLKI yang juga menjadi
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional, di sini hadir Ibu Husna. Jadi Bu Husna,
mungkin BPKN kalah keren dibandingkan dengan YLKI. Bapak mungkin lebih kenal YLKI dari
pada BPKN kan, Pak? Nah karena suaranya lantang, Pak. Jadi sekarang BPKN juga mau lantang
seperti YLKI. Cuma ada keterbatasan, Pak, berbeda antara LSM dengan badan yang dibentuk oleh
pemerintah. Tentu ada tata krama yang harus juga dipatuhi, jadi kami bukan lembaga LSM
soalnya, Pak. Begitu kira-kira, jadi kita terikat juga dengan aturan mainlah begitu.
Di belakang adalah Pak Rusdianto. Pak Rusdianto ini anggota badan juga, beliau mewakili
unsur akademisi. Namun sebelumnya, pengalaman lebih dari 30 tahun di terakhir sebagai Eselon
I pada Kementerian PAN, tetapi bukan partai, Pak, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Di sebelahnya lagi, nah ini baru datang, Pak, ya? Oh duduk belakang. Pak Nurul juga anggota,
beliau mewakili unsur LPKSM. Kemudian di sebelahnya, Doktor Bidang Hukum. Beliau Ibu Ana
dari unsur akademisi, beliau mewakili Universitas Trisakti. Ibu Husna sudah kami perkenalkan.
Di sebelahnya adalah sekretaris badan, Pak Indra. Yang lainnya ini adalah staf sekretariat yang
mendukung Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Saya kira itu dari kami.
Terima kasih atas perhatiannya.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
8 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
PIMPINAN RAPAT: dr. DELIS JULKARSON HEHI, MARS (WAKIL KETUA KOMITE
III DPD RI)
Ya kita berikan applause dulu untuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Terima
kasih, Pak, sudah full time turun, Pak.
Selanjutnya, kita persilakan kepada narasumber kita yang kedua, yaitu Bapak dr. Marius
Widjajarta. Kepada Bapak dipersilakan, Pak.
PEMBICARA: dr. MARIUS WIDJAJARTA (DIREKTUR YAYASAN PEMBERDAYAAN
KONSUMEN KESEHATAN/YPKKI)
Selamat pagi Bapak-bapak/Ibu-ibu Anggota DPD Wakil Ketua dan Anggota DPD Komite
III yang saya hormati, yang terhormat Bapak Ketua BPKN yang saya hormati, mohon maaf kondisi
fisik saya memang sekarang lagi tidak bagus karena tulang punggung saya bengkok. Saya dapat
musibah kena stroke, jadi bukan karena penyakit. Stroke yang diakibatkan karena tubuh saya ada
kondisi yang tidak baik sehingga tulang saya menjepit pembuluh darah, tidak dapat sampai ke
otak. Kejadian ini baru 6 bulan. Saat ini saya lagi sedang melaksanakan fisioterapi di salah satu
rumah sakit dan saya juga sedang melaksanakan fisioterapi yang di Indonesia belum diakui, tetapi
di luar negeri sudah diakui. Yaitu, dengan yang namanya … (kurang jelas, red.) music therapy,
yaitu kalau di luar negeri itu untuk orang-orang di Indonesia pascastroke segala macam, Indonesia
punya ahli ada 8 orang, di Singapura ada 30, tetapi sama Kemenkes itu belum digolongkan dan
belum diakui keberadaannya. Bahkan, teman saya ikut sekolah itu ditawari juga bekerja di
Singapura, tetapi karena dia masih merasa cinta Indonesia, dia tidak mau. Nah, ini tugas dari
Kemenkes ini harus segera kalau ada terapi-terapi, inovasi-inovasi ini, jangan sampai nanti orang
Indonesia berobat ke luar negeri, sementara ahlinya di Indonesia orang Indonesia yang belajar itu
sudah ada.
Salah satu contohnya saya, sekarang sedang terapi, itu orang pikir kalau orang kena stroke
kan cuma terapinya fisiknya saja, padahal tidak, otaknya juga harus dikembalikan, ada
sensoriknya, motorik. Sekarang saya sedang melaksanakan apa menjalani terapi itu dan di
Indonesia rumah sakit baru satu, yang ada terapi itu. Kalau di Singapura ada 30 sarjananya, tapi
karena di sini tidak ada lapangan pekerjaannya, banyak orang Indonesia yang tidak mau balik ke
sini sayang. Nah saya juga sudah bilang harusnya Kemenkes peka juga, terutama di segi Depkes
kan ada beberapa SDM, untuk terapi-terapi yang baru juga jangan sampai ahli kita malah ditangkap
oleh negara tetangga kita, padahal itu orang Indonesia asli dan dia sekolah. Kalau di Amerika itu
namanya pengobatan NMT itu sudah biasa, di Indonesia hal yang baru. Saya begitu tahu itu ya
saya coba juga supaya otak saya ya paling tidak minimal kerusakannya, dan di sini belum diakui
ahlinya di Indonesia sudah ada 8 orang terapisnya. Nanti orang Indonesia berobatnya ke luar
negeri, nanti dari BPKN ribut lagi devisa negara hilang, semua orang Indonesia nyebrang, padahal
ahlinya ada di negara kita sendiri ada. Cuma tidak dianggap dan untung teman saya ini masih
tinggal di sini ditawarin di Singapura dengan gaji yang besar dia tidak mau. Kalau dia tahu di
Indonesia belum ada rumah sakit yang ada, apalagi di daerah kasihan.
Kalau kita nanti kan sebentar lagi kan pasti demensia, pasti kalau di Indonesia kalau
demensia itu didiemin saja, padahal di luar negeri sudah mulai ada pelatihan-pelatihan supaya
jangan berkelanjutan demensianya. Kalau sudah dapet demensia pikun diusahakan supaya paling
tidak minimallah pikunnya itu. Kena stroke di Indonesia tidak ada terapis untuk orang demensia,
pons stroke segala macam tidak ada, padahal di luar negeri sudah ada namanya NMT
9 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
(Neuromuscular Therapy). Di situ nanti dites lagi memorinya kognetifnya segala macam. Jadi
orang stroke itu masih bisa bekerja lagi setelah direhab itunya, nanti dia nanti dibuat surat juga dia
telah melaksanakan ini nanti bisa bekerja lagi. Orang demensia juga bukan makin demensia kita
kan sebentar lagi kan tua-tua, kayak saya sebenarnya sudah termasuk tua. Saya sekarang sebagai
percobaan, saya sengaja saya ikut NMT dan ternyata memang NMT itu (Neuromuscular Therapy)
memang yang mengerjakan bukan dokter, tetapi ini terapis. Saya juga sudah bilang, coba dia kerja
sama dengan dokter syaraf, sekarang lagi mau kerja sama dengan Perdosi (Persatuan Dokter Syaraf
Indonesia, karena kalau tidak nanti ramai lagi. Ini pasti ini ke depanya bagus ini NMT. Orang
stroke pasti banyak, orang tua kan banyak, demensia banyak. Kalau di Indonesia orang demensia
didiemin saja makin lama makin pikun, padahal itu bisa diminimalkan sehingga dia bisa aktivitas
yang sehari-hari bisa dilaksanakan ada ilmunya, namanya NMT. Nah ini juga, inilah orang
Indonesia sebenarnya pintar-pintar yang belajar ke luar negeri, tetapi di negara ini tidak diakui
kasihan. Kalau dia rasa kebangsaannya rendah, ditawari ke luar negeri, ya langsung dia berangkat
ke sana. Kapan Indonesia maju dalam bidang kesehatan.
Jadi tadi Pak Ketua BPKN kan sudah bilang kesehatan itu sebetulnya hal yang menarik.
Buktinya modal asing segala pada datang ke sini buat rumah sakit segala macam, ya karena dia
tahu di Indonesia dikelola tidak dengan baik. Ini merupakan satu ancaman buat kita. Nah di sini
terus terang saja, Pak, di makalah saya ada itu kenapa pelayanan kesehatan di Indonesia buruk.
Karena, sudah hampir 20 tahun saya teriak-teriak perlu adanya Standar Pelayanan Medik Nasional.
Yang ada di Kemenkes itu adalah pedoman. Kalau menurut WHO, pedoman tidak wajib. Yang
wajib adalah standar untuk melihat audit medik pelayanan di kesehatan. Di Indonesia diperlukan
adanya standar pelayanan medik. Yang saat ini ada adalah standar profesi dari dokter, ada misalkan
dokter penyakit dalam, ada standar profesi. Jadi nanti itu kalau sudah standar pelayanan mediknya
nasional dibuat namanya grading … (kurang jelas, red.). Setelah grading … (kurang jelas, red.)
terbentuk dibuat ditentukan unit cost, berapa unit cost yang sebenarnya supaya apa, berapa
angkanya kalau untuk sakit ini berapa? Jangan sampai unit cost ditentukan berdasarkan tebak
manggis. Contohnya sekarang ini tarif … (tidak jelas, red.), itu masa biaya untuk sirkumsisi sunat
sama sectio caesaria bisa lebih tinggi, sunat dibandingkan sectio caesaria operasi kehamilan itu.
Jadi rumah sakit lebih memilih disunat saja, sunat saja karena biaya lebih tinggi, rumah sakit
menjerit kan, rumah sakit banyak yang bangkrut karena ada BPJS kesehatan. Padahal kalau ada
standar dibuat … (tidak jelas, red.) ditentukan unit cost itu semua akan terima dengan senyum.
Kalau sekarang kan orang kan setengah menerima, setengah tidak.
Sebelum saya mulai lebih lanjut, mungkin saya jelaskan perkenalkan dulu tim saya. Di
sebelah kanan saya adalah, Ketua, adalah tim ahli saya DR. Rosa Indriyani., M.M. Beliau baru
saja umroh. Calon pengganti saya, beliau itu staf ahli saya bagian penelitian korban pelayanan
rumah sakit dan semua dikaji dengan beliau karena beliau ini punya brevet internasional itu
pengkajian penelitian, hadir sini, supaya apa? Supaya Kemenkes tidak banyak Tanya, ini loh hasil
kajian, dan dia saya pakai orang professional. Jadi saya sudah mulai sadar kalau saya sudah tidak
muda, kalau saya sudah tidak aktif. Calon pengganti saya beliau-beliau ini dan beliau ilmiah
sekolah, tidak seperti saya. Beliau sekolah memang untuk penelitian. Jadi kalau ada masalah
langsung masalah pengaduan, sudah kita langsung kita ilmiahkan, dibuat kajiannya sama beliau,
antara lain salah satu tim saya adalah beliau, maka saya minta hadir di sini.
Terus terang kendala kita adalah, Pak, Bapak Kepala BPKN, kendala saya masalah uang,
dana kalau untuk modal seterusnya. Kita LSM kita kan menolak bantuan asing karena kita tidak
mau disebut LSM yang menjual negara. Selama ini dana-dana dari dana pribadi saya. Jadi kalau
untuk penelitian ke luar daerah, saya terkendala kalau ada dana dari dianjurkan dari DPD saya
10 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
lebih senang lagi, kita akan rutin sampai saya sudah 31 provinsi saya datangin. Yang belum, yaitu
Manokwari, Polowali, sama Kutai Kartanegara. Dan, saya sudah pernah di Aceh juga pernah,
Jayapura sudah, karena terkendala biaya masalah biaya. Kalau dari DPD mengajukan anggaran
buat kita, terima kasih. Kita akan terus seluruh Indonesia kita sanggup, kita juga ada agen-agen
kok di daerah.
Kalau ahlinya kita sudah banyak, antara lain beliau dan ada sertifikat penelitinya juga ada,
internasional ada, bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bisa dijurnalkan silakan, bahkan
masalah BPJS Kesehatan. Sebetulnya BPJS Kesehatan kalau dikelola dengan baik tidak rugi,
karena dia apa COB-nya tidak pernah dikelola dengan dia dan itu sudah disertasikan oleh dewan
pakar saya untuk disertasi S3. Judulnya Carut-Marut BPJS Kesehatan. Sudah dihitung secara
ilmiah, ada sekitar 42,7 triliun yang tidak dikelola oleh BPJS kesehatan. Jadi dia sebetulnya tidak
rugi dengan kondisi sekarang. Sekarang pemaparannya rugi-rugi terus, dan sudah disertasikan oleh
anggota ahli saya, staf ahli saya. Kalau memang perlu dihadirkan, beliau bersedia kok. Jadi BPJS
kesehatan sebetulnya dengan tarif sekarang tidak rugi dan terus terang kalau mantan peserta Askes
dengan ada BPJS Kesehatan rugi karena waktu Askes dulu, kita kartu kita berlaku seluruh
Indonesia. Sekarang itu hanya berlaku perkecamatan, berlaku seluruh Indonesia jikalau kalau
emergency. Kalau tidak emergency harus peregional, perkecamatan. Itu kalau secara konsumen itu
ingkar janji, kan BPJS Kesehatan kan katanya nasional, tetapi berlakunya kan ternyata tidak
nasional, hanya perkecamatan. Kalau kecamatan, ya jangan bilang nasional. Indonesia kan bukan
kecamatan. Kalau Askes dulu benar.
Saya sendiri waktu ada penelitian di Papua, saya coba dengan, saya juga kan kartu Askes
punya, saya coba mengambil obat malaria di puskesmas sana bisa. Sekarang menunggu kita
emergency dulu, baru bisa berlaku. Kalau tidak, harus ke puskesmas wilayah penanggung jawab
kartu itu. Nah inilah masyarakat sekarang dirugikan dengan BPJS Kesehatan karena terus-terang
saja, terutama peserta Askes itu rugi. Dulu bisa nasional, sekarang hanya regional kecamatan kalau
tidak emergency. Kalau emergency memang bisa nasional. Nah mungkin dari BPKN mungkin bisa
diperjuangkan lagi, Pak, karena korbannya kita-kita semua. Saya juga sebetulnya saya ini dulu
mantan pegawai negeri, saya pensiunan. Saya makanya ikut Askes, saya coba saja pake Askes.
Dulu saya pernah inpres di daerah terpencil Riau kecil daerah terpencil di Riau di Kampar. Jadi
kalau orang-orang dari DPD, tahulah kalau Riau itu daerah Kampar itu adalah daerah terpencil dan
miskin susah. Jadi saya tahu daerah karena saya juga pernah di daerah. Saya juga dulu pernah jadi
pegawai negeri. Karena saya aktif di konsumen, saya “digencet”, gaji saya puluhan tahun saya
tidak digaji, stop karena saya aktif di konsumen. Tetapi, itu adalah bagian dari perjuangan untuk
masyarakat, tidak masalah.
Jadi saya tahulah situasi kondisi Kemenkes kesehatan, saya tahu karena saya juga mantan
pegawai negeri aktif. Jabatan saya terakhir dulu adalah Pejabat Direktur RSUD Kabupaten
Kampar, Riau. Jadi saya pernah juga jadi birokrat juga, dan saya taulah sistem birokrat itu gimana,
saya tahu berdasarkan pengalaman, bukan teori. Kalau data-data saya yang ada di paparan saya
ini, ini data yang ada di lapangan. Kebetulan nanti kalau nanti kalau sempat nanti Ketua Bidang
Pengaduan saya nanti saya suruh hadir. Hari ini terlambat karena sedang mengadakan
berdampingan di MK DKI. Ada korban yang kita dampingkan di MK DKI. Jadi sekarang bagian
Perkepala Bidang Pengaduan kita saya bilang saya tadi sudah pesan terlambat tidak masalah, kamu
dampingi pasien dulu deh. Jadi kita juga ada bagian pengaduan segala sampai penyelesaian
masalah juga ada.
Dan, kalau masalah Undang-Undang Tenaga Kesehatan dengan undang-undang yang lama
ini ada masalah juga menurut saya karena ini Undang-Undang Tenaga Kesehatan nanti akan
11 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
bentrok antara lain dengan Undang-Undang Praktik Kedokteran. Karena kan Undang-Undang
Praktik Kedokteran karena kalau tidak salah Undang-Undang Tenaga Kesehatan tidak termasuk
dokter, padahal dokter salah satu bagian yang utama di undang-undang dan harusnya Undang-
Undang Tenaga Kesehatan. Karena apa, kalau ada Undang-Undang Tenaga Kesehatan dokter tidak
masuk karena dokter sudah punya instrumen sendiri, ada Undang-Undang Praktik Kedokteran.
Untuk Undang-Undang Praktik Kedokteran sudah punya instrumen sendiri, kan kalau ada
pelanggaran ada Konsil Kedokteran segala macam. Kalau nanti kalau ini kan yang dikerjakan nanti
akan di tenaga kesehatan nanti yang mengatur itu, nanti yang mengawasi adalah Kemenkes. Saya
takutnya, apa sanggup Kemenkes bisa melaksanakan itu. Nanti Konsil Kedokteran pasti kan
dibubarkan semua, contohnya yang saya ambil contoh saya bukan pesimis dengan Kemenkesnya.
Sekarang saya ambil contoh, contohnya yaitu misalkan kasus vaksin palsu sampai sekarang
korbannya masih bermasalah, berlarut-larut. Ada rumah sakit yang pertama kali terjadi tempatnya
vaksin palsu ada 14 rumah sakit tidak diurus, tidak diusut, tetapi hanya satu rumah sakit yang
dijadikan korban. Dan saya punya dokumen penting, ada surat dokumen dari petinggi Kemenkes
menulis surat ke Kapolri, ada dugaan intervensi surat dari Kemenkes kepada Kapolri untuk
menyetop penyelidikan polisi terhadap rumah sakit tersebut. Jadi yang dikorbankan cuma satu
rumah sakit, dokternya juga dari rumah sakit satu korban itu sebetulnya bukan yang utama, slide
saya bisa di ini tidak mas.
Selain vaksin palsu, banyak obat-obat palsu juga. Saya kalau ketemu obat palsu, saya lapor
ke Badan POM. Maaf Mas, banyak obat BPJS yang sudah kemasukan obat palsu. Bisa ditayangkan
tidak yang ada gambar-gambar itu, mohon maaf slide saya bisa ditayangkan tidak itu, ada gambar-
gambar obat palsu. Ini obat palsu ada di BPJS di Medan, ini orangnya sudah ditangkap. Ini obatnya
cukup berbahaya ini. Saya kerja saya itu waktu saya masih sehat kelilingan kalau lagi ada duit,
kalau tidak ada duit ya stop dulu, kita terpentok dana ini. Mungkin nanti akan diperjuangkan oleh
DPD. LSM saya sudah legal kok, betul tidak sudah di…. Ini contohnya obat-obat palsu. Vaksin
palsu saja BCG ini di Puskesmas di Jakarta. Jadi tidak benar dikatakan kalau sarana pemerintah
tidak kena obat palsu. Ini vaksin palsu di puskesmas Jakarta itu atas milik Kemenkes. Sekarang
kemarin ada lagi kasus obat palsu kesalahannya di pabrik ada itu perusahaannya BUMN itu terjadi
di Yogya. Ada gambar di situ dan ini terus coba. Saya kalau bicara berdasarkan data fakta,
contohnya ya ini, ini yang menemukan terus terang saja biaya cukup besar beli produknya kan
mesti beli. Kalau kita dananya cukup sih mungkin bahkan lebih banyak lagi yang kita beli. Kita
sebutkan daerahnya apa kalau yang begini saya lapor dengan Badan POM saya kerja sama saya
kasih ini Bu ada. Biasanya badan POM sekarang bagus kok, cepat terus langsung ke bagian PPNS-
nya, langsung ditangkap tadi di Medan, sudah ditangkap. Ini kan Indonesia sekarang naik ranking
untuk penyakit … (kurang jelas, red.) karena vaksin ini palsu. Dulu Indonesia ranking 3, sekarang
jadi ranking 2. Dulu kan Indonesia nomor 3 dunia, sekarang nomor 2, sekarang ranking 1
Indonesia. China sekarang nomor 3, nomor 2 dunia karena vaksin ini palsu kebanyakan terus ini
juga produk obat emergency saja ada yang dipalsukan, ini kalau kaya obat ini diopname ini kalau
irama jantung kita lagi kacau di sini cuma vitamin, matilah orang itu, ini emergency. Pemalsu itu
macam-macam ada yang dia apa misi dipalsukan ada juga yang, yang mirip-mirip bisa saja
dijadikan obat palsu.
Jadi kalau lihat Indonesia sangat kacau balau, ngeri juga sih karena Indonesia tidak punya
standar. Saya sudah teriak-teriak ke Menkes, dia bilang sudah ada. Setelah saya cek, pedoman.
Padahal, WHO sudah mengatakan pedoman itu tidak wajib. Boleh ada, boleh tidak. Kalau standar
itu wajib. Pedoman itu syukur ada. Kalau tidak ada, tidak apa-apa, tetapi tidak wajib. Jadi gimana
mau bermutu pelayanan kesehatan di Indonesia. Iya terus … (tidak jelas, red.) saja palsu, ini di
12 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
sarana pemerintah loh ini, ini di Medan dan ini sudah ditangkap. Kalau saya setiap terima obat
palsu, saya beri saya kasih lapor ke Badan POM. Tapi, lama-lama uang saya habis karena dananya-
dana pribadi saya. Makanya kalau dari DPD ada anggaran, kita akan rutin seluruh Indonesia juga
kita sanggup karena kita ada anggota di daerah-daerah juga banyak. Cuma masalahnya dananya
ini, kita terpentok dana. Kalau kita terima bantuan asing, dia akan minta tolong ini dikasih ke
negara saya. Saya bilang, saya tidak mau, ini untuk negara saya. Saya tidak mau disebut LSM
penjual bangsa, tidak mau saya.
Iya terus silakan. Ini obat palsu contohnya, iya terus. Terus silakan mas. Ini saya katakan
di sini kita tidak usah debat kusir lagi, tapi kita yang penting wajib ada standar pelayanan medik
eksternal karena tanpa itu, percuma saja kita ngomong kualitas kesehatan bermutu segala macam.
Apalagi, ancaman kita kan sekarang dari kesehatan kan dari luar negeri kan boleh masuk ke
Indonesia. Bahkan, tenaga kesehatan bisa masuk dengan database yang baru kemarin saya dengar,
ada peraturan presiden butuh tenaga kerja Asing. Ini ancaman untuk mutu pelayanan kesehatan.
Tanpa standar, Indonesia bisa jadi, orang Indonesia bisa jadi acak-acakan orang asing. Mumpung
belum ada standarnya, masuklah tenaga kesehatan yang tidak jelas. Jadi saya minta untuk yang
terhormat Bapak-bapak/Ibu-ibu dari Anggota DPD, minta tolong menekan Kemenkes membuat
Standar Pelayanan Medik Nasional. Sebetulnya gampang kalau mau gampang karena standar
profesi sudah ada dulu di Kemenkes, sudah ada timnya studi bandingnya ke Australia sudah ada.
Uangnya habis, tapi hasil tidak ada. Terakhir saya pernah diajak waktu di Bogor, jalan-jalan ke
Australia saya tidak diajak karena takut saya berteriak uangnya sudah habis semua. Studi banding
ke Australia sudah ada hasilnya tidak ada uangnya habi. Nah mungkin dari DPD bisa menekan.
Bapak dari Ketua dari BPKN menekankan lagi ke Menkes, masyarakat itu yang diminta
Standar Pelayanan Medik Nasional, bukan pedoman karena WHO mengajarkan yang wajib adalah
standar, bukan pedoman, standar itu wajib, pedoman syukur-syukur dibuat SNI (Standar Nasional
Indonesia). Makanya kalau saya ada uang, saya akan mengusulkan segera ada SNI. Jadi yang
melaksanakan yang membuat itu Kemenkes dengan mengundang pihak-pihak terkait, profesi
dipanggil karena kan pelayanan kesehatan bukan hanya dokter saja, bukan hanya perawat saja.
Terus ke depan juga kalau ada inovasi-inovasi pelayanan kesehatan yang baru, Kemenkes harus
peka, jangan nunggu kita ketinggalan. Nanti kalau orang Indonesia berobat ke luar negeri, ribut
katanya ngabis-ngabisin uang Indonesia, tapi di sini tidak ada. Saya ngurusin konsumen itu karena
disuruh almarhumah ibu saya karena ibu saya juga aktivis konsumen dulu di YLKI. Hampir
separuh hidup saya di konsumen itu karena almarhumah ibu saya. Kalau hidup seorang dokter
sebetulnya teman-teman saya pada heran ada dokter mau ngurusin konsumen. Dokter kan
pikirannya duit saja kan biasanya, buat klinik, buat rumah sakit, buat kalau saya buat LSM sudah
tidak ada duitnya saya, kerjanya ngumpulin keluar. Makanya saya minta supaya pemerintah,
khususnya pihak terkait Kemenkes membuat standar itu, sudah saya teriak-teriakkan hampir 20
tahun selalu berkelit saja. Alasannya nanti dia bilang begini, “Mana bisa, Marius. Pelayanan di
Aceh beda dong dengan pelayanan di Jakarta.” Kan pemberi layanan kan Kemenkes itu ada ininya
kriteria, misalkan dia membuat kriteria rumah sakit ada tipe A, tipe B, tipe C, tipe D. A di Aceh
sama dengan A di Jakarta dong, B di Jakarta sama dengan B di Aceh dong, C di Aceh sama dengan
C di Jakarta. Supaya sekalian supaya apa? Maju yang di daerah juga meningkatkan mutu terus,
jadi tidak perlu orang sakit dibawa ke Jakarta, cukup di daerah situ. Jadi mutu layanan nanti akan
sama dengan yang di Jakarta, tergantung tipenya saja. Saya sering diundang Depkes jawab gitu,
tidak bisa atau tidak mau. Jadi kalau misalkan ada kasus, ketahuan standarnya gimana
dilaksanakan atau tidak. Kalau sekarang kan debat kusir.
13 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
Sekarang ini lumayan ada MK DKI segala. Kalau nanti ada tenaga kesehatan, MK DKI
kan bubar, Konsil sudah dibuat diambil semua. Kemenkes apa mampu, apa bisa, Kemenkes itu
kerjanya sebetulnya sudah terlalu banyak. Buktinya, vaksin palsu saja tidak selesai sampai
sekarang korbannya, dan kita punya data vaksin palsu kalau mau ada, sudah dikaji sama beliau ini.
Korbannya sekarang masih menjerit-jerit, tindakan dari pemerintah tidak ada. Kalau mau
kajiannya, kita ada nanti yang presentasi dokter-dokter, bukan saya. Kita kasih tahu, ini loh
korban-korban yang menjerit sampai sekarang belum selesai, distributornya bebas, rumah sakitnya
bebas, yang ditangkap yang kecil-kecil, sementara korbanya sampai ada yang cacat segala macam
ada akibat vaksin palsu.
Jadi terus terang saja karena tidak ada standar, Indonesia kacau balau. Makanya, hari ini
saya berbahagia bisa bertemu Anggota DPD yang saya hormati karena nanti bukan tidak mungkin
kalau ada Anggota DPD kan nanti di daerah supaya jangan sampai jadi korban, korban kesehatan
di daerah. Apalagi kalau bisa mendesak supaya pemerintah, Kementerian Kesehatan segera
membuat Standar Pelayanan Medik Nasional. Kalau ada itu, enak kita konsumen enak. Kayak
kasus kemarin kan ramai-ramai masalah terapi otak segala macam ramai, padahal sebetulnya itu
kan sudah dilaksanakan dari dulu, ramai langsung ribut. Banyak terapi-terapi yang inovasi. Nah
harusnya Kemenkes itu mengikuti. Sekarang saya saja karena saya lihat di Undang-Undang
Konsumen, konsumen itu boleh memilih, saya juga terapi apa, ikut terapi saya karena saya punya
hak. Walau belum diakui oleh Kemenkes, tidak masalah, yang penting apa saya juga bisa tahu ini
di luar negeri sudah berkembang, ahlinya di Indonesia ada. Makanya kalau menurut saya, harusnya
dari pihak Kemenkes kan ada PP SDM tuh, selain membagi rata tenaga-tenaga kesehatan, juga
harus kalau ada inovasi-inovasi di luar ya tolong ikuti itu. Apalagi, kita ini calon demensia semua.
Kalau kita mendekati demensia, kan apakah kita tidak ada terapi supaya jangan lebih buruk lagi.
Ada sebetulnya supaya memperlambat kalau sudah kena demensia, padahal ada cara terapinya ada.
Nah ini di luar negeri ada, ahlinya di Indonesia juga sudah ada tapi tidak diakui oleh Kemenkes.
Di Indonesia baru ada satu rumah sakit yang melaksanakan NMT, tempat saya terapi, rumah
sakitnya saya tidak mau sebutkan karena dikira saya promosi, tapi itu sudah melaksanakan NMT.
Yang mengerjakan adalah pakar terapisnya memang punya … (kurang jelas, red.) dia sekolah,
sekolahnya di Belanda. Kalau saya suruh ke Singapura, tidak punya duit, apalagi pekerjaan saya
cuma punya LSM, bukan punya perusahaan.
Kesimpulannya, kalau pelayanan kesehatan mau bagus di Indonesia, segera ini sudah
emergency dibuat Standar Pelayanan Medik Nasional, itu saja. Terus kalau menurut saya kalau
ada itu kita lebih enak dan rakyat Indonesia akan lebih terlindungi. Kalau tanpa itu, sama saja
terjadi debat kusir. Mungkin saya sementara itu dulu. Kalau ada pertanyaan, silakan. Saya tadi
saya hari ini terpaksa saya datang ke sini saya karena saya tahu ini pertemuan penting. Dan sebagai
penutup, mungkin sebaiknya dipikirkan apakah akan nanti dengan adanya Undang-Undang
Tenaga Kesehatan ini terus Undang-Undang Praktik Kedokteran dihilangkan, lebih berbahaya lagi
karena pengawasannya tidak ada. Karena sekarang itu Undang-Undang Praktik Kedokteran sudah
jalan, ada Konsil Kedokteran, memang MK DKI kan cuma ada di Jakarta, harusnya dia kan pihak
independen, ditambahlah supaya MK DKI itu ada juga di daerah-daerah, daerah-daerah di
Indonesia. Tadinya MK DKI ada juga di Jawa Tengah, tapi karena begitu ada dugaan terlibat kasus
orang anaknya pejabat tinggi di sana, MK DKI Jawa Tengah dibubarkan tantangannya cukup berat.
Jadi kalau saya curiga, saya tidak percaya, bukan saya tidak percaya sama Kemenkes. Kemenkes
itu kerjanya sudah banyak. Yang sekarang saja keteteran, mau ditambah lagi nanti beban ini
sebagai pengawasan, sebagai kayak Konsil Kedokteran, Konsil Tenaga Kesehatan, jadi mana
mungkin bisa baik yang sekarang aja keteteran begini, apalagi teman-teman dari Kemenkes bukan
14 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
saya menghina, bukan karena pekerjaan dari Kemenkes cukup tinggi nanti ditambah lagi sebagai
yang mengawasi tenaga kesehatan berat. Kalau sekarang kan ada MK DKI, ada Konsil Kedokteran
cuma karena MK DKI cuma di Jakarta ini yang jadi kendala kalau ini bisa ditambah lagi di daerah-
daerah ini akan lebih baik jadi bisa lebih cepat. Mungkin sementara itu dulu, sekian, terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: dr. DELIS JULKARSON HEHI, MARS (WAKIL KETUA KOMITE
III DPD RI)
Kita berikan applause untuk dr. Marius Widjajarta. Terima kasih banyak, Dok, untuk
waktunya. Walau dalam keterbatasan dalam kondisi kurang fit, kurang sehat, bisa hadir bersama-
sama dengan kami. Kami atas nama Komite III memberikan apresiasi yang luar biasa dan terima
kasih untuk kehadiran dokter pada kesempatan ini.
Baik, Bapak/Ibu Anggota Komite III DPD RI yang terhormat, para narasumber, dan hadirin
yang kami hormati ,selanjutnya kami persilakan kepada Bapak/Ibu Anggota Komite III untuk lebih
mendalami atau ingin menanggapi penjelasan dari kedua narasumber kita. Untuk itu mungkin
langsung saya persilakan, mungkin boleh menyebutkan nama dan asal daerah pemilihan. Kkepada
Bapak/Ibu yang, Pak Syarif Senator dari Lampung disilakan, Pak.
PEMBICARA: SYARIF, S.H. (LAMPUNG)
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Yang saya hormati Bapak Pimpinan Komite III beserta staf tenaga ahli, para ahli dari
BPKN dan Yayasan Pemberdayaan Konsumen ya Pak ya, serta Senator seluruh rakyat, seluruh
Indonesia yang saya hormati dan saya banggakan.
Saya tadi menanggapi, menyimak tentang masalah obat palsu itu, Pak. Saya sangat prihatin
karena membahayakan bagi rakyat kita semua, Pak. Oleh karena itu, saya harap kepada Pimpinan
Komite III itu bagaimana cara menekan pemerintah supaya lebih teliti lagi karena saya melihat
tadi kalau menurut keterangan dan analisa, Pak ya, penelitian Bapak Ketua Yayasan
Pemberdayaan Konsumen ini, kesehatan ini itu berbahaya sekali Pak. Oleh karena itu, bagi
keluarga kita, bagi anak cucu kita Pak ya, kalau kita mengonsumsi semua obat-obat palsu semua,
Pak, minimal kita stres atau sampai mati, Pak. Itulah harapan kita bersama-sama, baik dari BPKN,
baik dari DPD RI, dan baik dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan ini supaya kita
bersama-sama ya Pak ya, menekan masalah hal ini dan memperkecil masuknya obat-obat palsu ke
daerah kita Indonesia ini. Mungkin itu saja, Pak, saya melihat dan menyimak tadi itu yang mungkin
yang real-nya sekarang ini, Pak. Jangan yang muluk-muluk undang-undang dan yang lain-lain, ini
adalah yang real-nya saja ini akan membunuh kita semua.
Terima kasih, Pak Ketua Pimpinan.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: dr. DELIS JULKARSON HEHI, MARS (WAKIL KETUA KOMITE
III DPD RI)
Waalaikumsalam.
Terima kasih banyak Syarif Senator yang kritis dari Provinsi Lampung. Selanjutnya, Pak
Guru saya, Pak Kiai Syibli dari Provinsi Sulawesi Barat.
15 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
PEMBICARA: KH. M. SYIBLI SAHABUDDIN, S.Ag, M.Ag. (SULAWESI BARAT)
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat siang.
Salam sejahtera buat kita semua.
Pimpinan dan Anggota yang saya hormati dan yang saya muliakan, Bapak narasumber,
baik dari BPKN maupun dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia.
Pertama dari BPKN, saya mau bertanya ini BPKN ini hukumnya apa ini apakah iya,
maksud saya begini, Pak, ketika kehadiran BPKN secara nasional bisa membantu dan melayani
pasien di khususnya di level kesehatan di seluruh nasional, maka bagi saya kehadiran BPKN itu
hukumnya menjadi sunah, dia ada punya manfaat. Kalau misalnya BPKN ini hanya ada di pusat
saja, berarti dia hukumnya jaiz. Di daerah dia boleh ada, dia boleh tidak ada. Pertanyaan saya, Pak,
BPKN ini di daerah ada, Pak ya? Nah itu yang saya maksud tadi, berarti BPKN, kehadiran BPKN
dia menjadi jaiz. Kenapa jaiz? Itu artinya ada, tidak memberikan apa-apa. Tidak ada pun tidak
mengurangi apa-apa. Itu maksud saya, Pak ya, apabila karena saya bayangkan tadi dipaparkan tadi
sama Ketua BPKN. Kita di Indonesia ini punya penduduk 260 juta lebih, sementara anggota BPKN
terdiri 19 orang dari berbagai unsur, baik akademisi hukum dan sebagainya itu. Nah pertanyaan
saya, bagaimana 19 orang ini bisa menyelesaikan persoalan-persoalan konsumen secara nasional
yang terdiri dari 260 juta orang itu? Makanya, saya sarankan, Pak, kalau bisa memang ada kita
punya tangan-tangan di daerah yang orang daerah mau mengadunya ke mana kalau ada persoalan-
persoalan kesehatan. Itu yang pertama, Pak, yang mau saya sampaikan.
Kemudian yang kedua, apa yang disampaikan oleh Bapak Marius ini, itu juga menjadi
pertanyaan saya kepada BPKN bahwa ternyata memang selama 20 tahun, Pak Marius sudah
berjuang mati-matian untuk memperjuangkan agar Standar Operasional Kesehatan ini bisa ada
SOP Kesehatan. Alasannya sama kemarin saya juga di daerah saya, Pak, di Sulawesi Barat. Saya
pernah tanyakan, jawaban rumah sakit persis yang disampaikan oleh Pak Marius tadi, bahwa
standar kesehatan masing-masing rumah sakit itu berbeda-beda. Kalau Pak Marius tadi
mengatakan daerah tidak sama di Aceh dengan di Jakarta misalnya, kalau jawaban di sana rumah
sakit bukan daerahnya malah, bahkan rumah sakit itu cara pelayanannya berbeda-beda satu rumah
sakit dengan rumah sakit yang lain sehingga tidak memungkinkan Departemen Kesehatan atau
Kementerian Kesehatan membuat Standar Operasional Kesehatan secara nasional.
Jadi saya mau tanyakan kepada Bapak BPKN ini, seberapa besar rekomendasi yang Bapak
sudah sampaikan ke Kementerian Kesehatan untuk khusus dalam konteks SOP itu tadi. Insya
Allah, Pak, saya juga ingin meminta kepada Pimpinan kalau bisa Pimpinan segera memanggil
Menteri Kesehatan untuk rapat kerja dengan Komite III khusus dalam tema, bagaimana
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bisa merumuskan Standar Operasional Kesehatan
yang disampaikan tadi oleh Pak Marius. Dan, saya minta ketika rapat kerja dengan Kementerian
Kesehatan, saya minta Bapak BPKN dan dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan
Indonesia bisa dihadirkan juga bersama-sama dengan Komite III. Itu saran saya, Pimpinan.
Terima kasih.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
16 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
PIMPINAN RAPAT: dr. DELIS JULKARSON HEHI, MARS (WAKIL KETUA KOMITE
III DPD RI)
Terima kasih buat Kiai Syibli untuk pertanyaannya terkait dengan Kementerian Kesehatan.
Memang kita akan jadwalkan, Pak, terkait perihal Undang-Undang Perlindungan Pasien juga
seperti ini, kemudian juga terkait dengan BPJS, dan juga beberapa hal yang terkait dengan
Kementerian Kesehatan.
Selanjutnya mungkin Pak Kiai Sadeli dari Provinsi Banten. Silakan, Pak.
PEMBICARA: KH. AHMAD SADELI KARIM, LC (BANTEN)
Terima kasih, Pimpinan serta narasumber yang saya hormati, teman-teman Anggota DPD,
dan hadirin yang berbahagia.
Kita di daerah ini merasa miris karena pelayanan kesehatan itu tidak pernah terjadi dengan
baik ya, ini salah satu hal adalah masalah Rumah Sakit Umum Daerah. Rumah sakit swasta sih
okelah itu mungkin dia bisa sekolah pun dia mestinya harus ada Standar Pelayanan Medik, harus
ada standar supaya juga mereka tidak semena-mena ya untuk keuntungan. Yang jelas RSUD itu
sekarang tetap menjadi sumber PAD, ini yang menjadi masalah. Jadi, pemerintah saja yang
menjadi kewajiban dalam Undang-Undang Dasar, misalnya artinya melindungi bangsa dan negara
gitu, melindungi kan pasien termasuk rakyat, apalagi di dalam kondisi sakit ya, juga artinya
memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Bagaimana kalau Rumah Sakit Umum Daerah saja
mereka harus bayar gitu. Juga bahwa artinya begini, BPJS itu memang dijamin oleh negara, tapi
di rumah sakit umum itu ada kamar-kamar yang mereka spesial untuk umum ya. Misalnya kalau
dia punya 200 kamar, misalnya itu 100-nya itu BPJS, 100-nya buka untuk umum. Akibatnya, tetap
saja ketika kemudian BPJS penuh, ya kamar yang ada adalah kamar umum sehingga bilang penuh
ini kejadian di mana-mana. Jadi mestinya pemerintah itu mungkin model BPKN memberikan
masukan ya, termasuk kita juga, tapi kalau-kalau kita sudah sering ngomong sama Menteri
Kesehatan, kenapa kok RSUD menjadi sumber. Mestinya dia pelayanan maksimal dari pemerintah
dibiayai negara gitu ya. Tapi yang jelas seperti itu akibatnya ketika okelah kalau daerah kalau
misalnya daerah yang PAD-nya tinggi, misalnya Jakarta ya, Jawa Barat itu seluruh Jakarta ini kan
gratis semuanya dijamin. Tapi kalau daerahnya terbelakang, kalau kabupatennya kota
kabupatennya itu yang secara PAD-nya kecil, itu kasian juga. Tapi secara administrasinya kalau
bayar itu harus ke keuangan dulu, baru kemudian kalau mau diperban harus izin dulu segala
macam, aduh susah sekali.
Nah ini yang hal-hal yang mestinya kita harus hindarkan bahwa namanya Rumah Sakit
Umum Daerah itu kan dibiayai oleh negara ya, dibangun oleh negara ya, tapi kenapa untuk rakyat
sendiri harus bayar, termasuk sebenarnya di Rumah Sakit Cipto juga kan ada kan yang Kencana
misalnya, kan itu kan swasta ya. Tapi kalau kita misalnya di Saudi, di Kanada misalnya kan itu
enggak ada perbedaan. Malahan di Kanada enggak ada swasta, semuanya harus rumah sakit umum
yang melayani semua dengan medical care misalnya. Di sini ini yang miris ya kepada kita ya
kepada masyarakat sehingga mereka itu kalau kita lihat ya karena sebetulnya begini, jumlah kamar
pasien dengan yang pasien itu jauh lebih sedikit, ini masih perbandingannya sangat jauh. Mungkin
daerah Jakarta saja yang bisa memenuhi syarat misalnya melebihi untuk daerah lain, tapi kalau
daerah-daerah lain itu seluruh rumah sakit hampir ya bahwa jumlah rumah sakit itu lebih apa
kamarnya lebih sedikit dari pada jumlah pasien, tapi kalaupun ada akademi misalnya wah itu luar
biasa. Nah ini gimana kira-kira artinya solusi untuk ya kita akan dalam room kalau misalnya ada
17 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
seperti itu kita akan apa namanya masukan gitu, supaya bagaimana pemerintah itu betul-betul
melaksanakan Undang-Undang 1945 itu yang menjadikan pleno bagian dari bangsa ini.
Terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: dr. DELIS JULKARSON HEHI, MARS (WAKIL KETUA KOMITE
III DPD RI)
Terima kasih, Pak Kiai Sadeli Senator dari Provinsi Banten.
Kami silakan, Pak, untuk narasumber kami untuk memberikan penjelasan lebih lanjut
terkait pertanyaan beberapa Anggota Senator. Mungkin kami mulai dari Pak Kepala BPKN.
Disilakan, Pak.
PEMBICARA: dr. MARIUS WIDJAJARTA (DIREKTUR YAYASAN PEMBERDAYAAN
KONSUMEN KESEHATAN/YPKKI)
Mungkin saya akan menjawab sedikit ya. Karena Indonesia tidak punya Standar Pelayanan
Medik itulah celaka karena penentuan biaya jadi kacau balau. Jadi rumah sakit swasta banyak
menolak karena kalau dia terima semua dengan harga segitu, dia akan bangkrut. Jadi kalau itu
dihitung dengan standar medik yang nasional dengan pembagian yang tadi, misalkan rumah sakit
A misalkan di Banten dengan A di Jakarta tarifnya segini, itu pasti sama bisa dihitung dengan
ilmiah. Dengan standar, dia pasti akan benar setelah ada standar baru buat clinical feature. Setelah
buat clinical feature, tentukan unit cost berapa harganya. Ini sebetulnya sudah terjadi sekarang.
Contohnya sekarang itu cuci darah itu karena menguntungkan karena tarifnya terlalu tinggi semua
rumah sakit swasta, klinik swasta terima cuci darah karena kalau itu kalau dia pakai, dia ambil cuci
darah paket cuci darah untung. Jadi sebetulnya kita enggak usah buat aturan, yang penting standar
dulu pelayanan mediknya, itu yang nasional. Dari situ, poin kedua buat clinical feature baru
ditentukan unit cost, baru itu akan disambut oleh pihak swasta karena ini akan untung dan dia bisa
hidup. Untungnya artinya dia bisa “hidup”. Kalau sekarang kan bisa bangkrut, contohnya tarif
untuk sirkumsisi sunat dan operasi melahirkan bisa lebih tinggi untuk sirkumsisi. Itu kan enggak
masuk akal, sedangkan risikonya biayanya pasti lebih mahal untuk melahirkan operasi melahirkan.
Kalau cuci darah itu tarifnya sangat untung, maka rumah sakit klinik swasta menyambut senyum.
Dia bahkan pasang spanduk, rumah sakit ini terima cuci darah untuk BPJS, karena untung. Itu dan
sekarang yang ada adalah SOP (Standard Operational Procedure) itu antara rumah sakit beda-
beda.
Pengalaman saya pernah mendampingi pendampingan kasus di pengadilan, pengadilan
beda-beda juga. Di Jawa Tengah contohnya, hakimnya cuma tanya apakah di Indonesia ada
Standar Pelayanan Medik yang Nasional, saya bilang enggak ada. Kalau di daerah, ada SOP.
Padahal sudah karena kasus Bapak hakimnya bilang bahwa Indonesia pengadilan nasional SOP
itu lokal enggak berlaku. Nah jadi begitu kondisinya, kalau pasien klaim sampai ke pengadilan itu
nanti mentoknya di situ, biasanya Standar Pelayanan Medik-nya yang ditanya. Kalau sudah
Standar Pelayanan Medik Nasional, bisa ditentukan cost-nya berapa sih kalau untuk pelayan ini
berapa bisa dihitung. Standar Pelayanan Medik Nasional buat clinical feature, setelah itu tentukan
unit cost berapa bayarnya, berapa biayanya. Kalau itu dihitung dengan benar, rumah sakit swasta
pasti akan sambut-sambut senyum enggak usah dipaksa-paksa menerima. Ini sudah terbukti, yaitu
cuci darah itu hampir semua rumah sakit swasta terima pasien BPJS Kesehatan karena tarifnya
sangat berlebihan. Itu perkiraan beberapa pakar sih katanya 900, tapi BPJS Kesehatan 600, eh 600
18 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
tapi BPJS kesehatan 900. Jadi rumah sakit swasta, klinik swasta terima pasang spanduk besar-
besar, kita terima cuci darah BPJS pasien BPJS Kesehatan layanan hemodialisa karena untung
sekali itu. Jadi kalau tadi dibuat standar dulu, dibuat clinical feature, baru tentukan unit cost, pasti
rumah sakit swasta senyum tidak usah dipaksa-paksa menyambut pasien BPJS Kesehatan.
Pemerintah akan lega juga, setelah itu baru pembayaran juga harus diakui yang benar. Sekarang
itu kan peraturannya 15 hari harus sudah dibayar BPJS, bayarnya enggak benar, bahkan ada
beberapa rumah sakit yang sudah harusnya dibayar, tidak dibayar akhirnya … (kurang jelas, red.)
ke bank karena kalau-kalau tagihan itu enggak tanggung-tangung miliaran rupiah. Jadi, SPK-nya
itu kalau udah ada tekanan akan dibayar berlaku juga untuk … (kurang jelas, red.) ke bank. Jadi
ada-ada itulah kadang-kadang rumah sakit kurang begitu kondisi inilah yang kadang-kadang
membuat rumah sakit agak pusing juga, dan kalau kita ke daerah rata-rata keluhanya seperti itu.
Jadi tarif BPJS Kesehatan itu harus dibuat berdasarkan Standar Pelayanan Medik Nasional,
bukan yang berdasarkan yang sekarang itu … (kurang jelas, red.) itu kan ikut Malaysia, padahal
di Malaysia saja tidak melakukan itu, itu-itu percobaan di Unis Kebangsaan di Malaysia. Nah jadi
kalau menurut saya ya kalau mau supaya swasta senyum kepada pasien BPJS Kesehatan, dibuat
Standar Pelayanan Medik Nasional saja, itu saja nanti tentukan cost-nya berapa, baru nanti semua
senyum nanti berebut rumah sakit swasta kepada pasien BPJS Kesehatan, kemungkinan
komplainnya akan rendah.
Mungkin sementara begitu dulu tambahan dari saya. Mohon maaf kalau ada kurang.
PIMPINAN RAPAT: dr. DELIS JULKARSON HEHI, MARS (WAKIL KETUA KOMITE
III DPD RI)
Iya terima kasih buat dr. Marius untuk penjelasan lebih lanjut, siap-siap Pak Ketua BPKN
Bapak Ir. Ardiansyah Parman kami silakan, Pak.
PEMBICARA: Ir. ARDIANSYAH PARMAN (KETUA BADAN PERLINDUNGAN
KONSUMEN NASIONAL/BPKN)
Terima kasih bapak pimpinan.
Kepada Pak Syarif, S.H., M.H. Senator dari Lampun, kemudian juga Pak Kiai H.
Muhammad Syibli Sahabuddin Senator dari Sulawesi Barat dan juga Bapak Kiai H. Ahmad Sadeli
Karim, L.C dari, Senator dari Banten. Tadi disampaikan oleh Pak Syarif bahwa perlu memang
segera pemerintah mengambil langkah-langkah nyata bagaimana mengatasi obat palsu. BPKN
tahun 2015 pernah menyampaikan rekomendasi mengenai masalah ini kepada juga Menteri
Kesehatan, juga BPPOM tentang masalah ini. Memang BPKN itu tugasnya memberikan saran dan
pertimbangan. Di dalam undang-undang tidak diberikan kewenangan mengeksekusi seperti ketika
KPPU mengambil langkah-langkah. Undang-undangnya lahir bersamaan, Pak, jadi yang berkaitan
dengan pelaku usaha itu lahirlah undang-undang persaingan tidak sehat di mana lahir KPPU. Pada
tahun yang sama, lahir juga Undang-Undang Perlindungan Konsumen membentuk Badan
Perlindungan Konsumen Nasional. Hanya saja tugas fungsinya berbeda, kalau di KPPU sampai
mengeksekusi.
Saya juga ingin menjawab pertanyaan Pak Syibli kenapa BPKN seolah-olah tidak bisa
mengambil langkah konkret karena memang kewenangannya yang diberikan sesuai undang-
undang hanya memberikan saran dan pertimbangan kepada kementerian lembaga, dalam hal ini
pemerintah untuk presiden dan pembantu-pembantunya. Ketika kita menyarankan ke daerah, maka
19 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
kami harus melalui Kementerian Dalam Negeri, Pak, tidak bisa BPKN langsung menginstruksikan
ke pemerintah daerah. Jadi kondisi dan keberadaan BPKN itu sementara ini masih terbatas. Nah
dengan keterbatasan itu, kami coba memaksimalkan peran ini untuk mempengaruhi atau memberi
warna kebijakan pemerintah terkait dengan implikasinya kepada konsumen. Nah apakah peraturan
perundang-undangan itu sudah cukup memadai memberikan perlindungan, oleh karena itu ketika
kami melakukan pertemuan FGD di mana Pak dr. Marius juga hadir di mana Kementerian
Kesehatan juga hadir, kami selalu menekankan bahwa perlunya segera pemerintah melahirkan
petunjuk pelaksanaan yang lebih operasional, antara lain adalah Standar Pelayanan Medik
Nasional ini kita miliki. Sehingga, ada tidak hanya sekadar pedoman yang ada sehingga ada apa
namanya regulasi yang mengikat para pihak dengan standar ini. Nah tapi kembali lagi, kami tidak
ada kewenangan untuk memaksa kementerian lembaga harus melakukan apa yang kami sarankan,
tapi itu bergantung kepada pertimbangan pemerintah. Nah oleh karenanya, sampai hari ini
memang kami BPKN belum memiliki cabang di daerah walaupun di dalam undang-undang
dimungkinkan dibentuk cabang di daerah-daerah. Tapi sementara ini karena keterbatasan sumber
daya, terutama keuangan yang sangat terbatas, tampaknya pemerintah mengalokasikan
anggarannya sangat kecil, Pak, di badan ini sehingga tidak bisa membentuk kantor cabang di
daerah.
Yang kedua khusus Pak Syibli, tadi juga menekankan bahwa oh sudah tadi yang terkait
juga dengan Standar Pelayanan Medik, Bapak juga dukung agar hal ini bisa segera diterbitkan
sehingga nanti pada pertemuan antara DPD dengan Kementerian Kesehatan akan melibatkan kami.
Saya kira kami dengan senang hati untuk bisa dapat hadir di dalam pertemuan atau rapat dengar
pendapat umum tersebut.
Yang berikutnya adalah Pak Kiai Haji Ahmad Sadeli tadi bahwa kenapa pelayanan
kesehatan itu masih apa ya yang diselenggarakan oleh pemerintah itu dijadikan sumber PAD. Nah
ini juga menurut saya perlu kita perjuangkan, Pak, karena ada menurut kami itu ada lima hal yang
seharusnya menjadi yang harus dikuasai oleh negara:
1. Adalah air, itu sumber kehidupan sesuatu yang hidup berasal dari air. Tanpa air tidak ada
kehidupan, jadi air adalah sesuatu yang sangat penting dan harus dikuasai negara.
2. Adalah energi, ini juga harus dikuasai negara.
3. Adalah kesehatan, ini harus menjadi fokus dan perhatian dari pemerintah.
4. Adalah masalah pangan atau pertanian agro.
5. Adalah masalah biodiversity.
Menurut kami itu. Kalau negara saja mengelola lima ini, menurut saya kebutuhan dasar dari rakyat
itu Insya Allah akan sejahtera. Tetapi kalau lima ini sempat dikuasai pihak lain, itu mengancam
kehidupan. Menurut kami pribadi ini bukan BPKN, Pak. Saya soal-soalnya belum bicarakan
dengan anggota yang lain saya hanya terins-terinspirasi dari pertanyaan-pertanyaan tadi. Jadi
bidang kesehatan adalah bidang penting yang memang menjadi tanggung jawab negara untuk
memberikan, apalagi terkait dengan aspek perlindungan konsumen tadi. Jadi menurut kami, Pak,
bahwa di Indonesia itu memang pada tahap demand driven, bukan supply. Artinya, demand jauh
lebih besar dari pada supply sehingga masyarakat kita konsumen kita tidak banyak dilihat, jadi
menerima saja apa yang ada. Berbeda dengan negara-negara yang sudah maju dan makmur itu
supply driven, jadi supply-nya lebih banyak dari pada demand-nya sehingga posisi konsumen
sangat kuat. Dia boleh milih saya enggak suka dengan pelayanan ini, enggak bagus, saya bisa pilih.
Tapi kalau di kita masih dalam tahap demand driven, jadi demand-nya jauh lebih besar daripada,
jadi ya apa boleh buat. Namun demikian, kita tidak boleh menyerah. Kondisi ini harus terus kita
perbaiki. Semangat yang dimiliki oleh Pak dr. Marius yang dalam kondisi sakit pun beliau
20 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
menyediakan waktu, menyediakan pikiran untuk terus memperjuangkan masalah pelayanan
kesehatan ini. Jadi apalagi kami yang mungkin jauh lebih sehat dari beliau, masa semangatnya kita
enggak seperti beliau, kira-kira begitu. Jadi ini menginspirasi kita semua bahwa masalah ini harus
kita perjuangkan bersama-sama.
Saya kira mungkin itu kalau ada teman-teman mau menambahkan, monggo.
PEMBICARA:
(Berbicara tanpa mic, red.)
PEMBICARA: Ir. ARDIANSYAH PARMAN (KETUA BADAN PERLINDUNGAN
KONSUMEN NASIONAL/BPKN)
Jadi begini, mungkin saya ingin memperlihatkan konstruksi keberadaan kelembagaan
perlindungan konsumen di Indonesia, Pak, supaya, pertama di bagian mungkin Bapak-bapak
mungkin belum dapat copy-an, mungkin nanti kami copy-kan. Di slide kita itu ada d itengah itu,
Pak, core-nya itu adalah pemerintah, Pak. Jadi berkaitan dengan perlindungan konsumen kalau di
tanya siapa penanggung jawabnya adalah pemerintah kementerian lembaga, pemerintah di sini
juga termasuk pemerintah daerah tentunya. Nah ada kelembagaan lain di sana, antara lain yang
paling atas, bukan paling top bukan, Badan Perlindungan Konsumen Nasional itu memang saat ini
perannya sangat terbatas karena kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepadanya
adalah sangat limited ya, sangat terbatas. Namun demikian, BPKN keberadaannya ini untuk
memastikan apakah pemerintah atau kementerian lembaga ini telah melaksanakan tugas dan
fungsinya sesuai dengan apa yang telah diatur. Jadi oleh karena itulah, kenapa BPKN selalu
melakukan penelitian pengkajian terhadap peraturan, apakah peraturannya ini sudah cukup
memadai memberikan perlindungan kepada konsumen.
Nah di bawahnya, Pak, itu ada LPKSM, Pak, lingkaran yang kedua. Nah tugas LPKSM ini
mendampingi konsumen, maka itu dia sangat dekat dengan konsumen. Nah di berikutnya,
konsumen itu sendiri di mana haknya itu sangat jelas dirinci di dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Tentu pelaku usaha itu punya kewajiban dan ada banyak sekali pasal-
pasal yang mengatur perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha demi memberikan
perlindungan kepada konsumen. Jika terjadi sengketa, maka pemerintah menyediakan yang
lingkaran di kiri itu, Pak, di sana ada BPSK. Ada lembaga alternatif penyelesaian sengketa khusus
di bidang keuangan, juga ada pengadilan perkara sederhana, semua … (kurang jelas, red.) yang
juga pengadilan umum di sana. Jadi hak dari konsumen itu bisa dilakukan sampai ke Pengadilan
Tinggi. Oleh karena itu, secara perangkat kelembagaan sebenarnya sudah ada, hanya saja ini yang
perlu kita fungsikan secara maksimal agar semua kelembagaan ini bisa berjalan sebagaimana yang
diharapkan amanah undang-undang. Saya kira mungkin tambahan kami begitu.
21 RDP KOMITE III DPD RI DENGAN BPKN & YPKK MS IV TS 2017-2018
RABU, 11 APRIL 2018
PIMPINAN RAPAT: dr. DELIS JULKARSON HEHI, MARS (WAKIL KETUA KOMITE
III DPD RI)
Baik. terima kasih kepada kedua narasumber kita. Kita berikan applause dulu untuk
jawaban lebih lanjut.
Bapak/Ibu yang saya hormati, kita sampai pada, atau masih ada? Tidak ada. Baik, kita
sampai pada kesimpulan kita bahwa:
1. Layanan kesehatan Indonesia masih menemukan banyak kendala dan perlu perbaikan
dalam banyak sisi.
2. Pembentukan RUU Perlindungan Pasien menjadi strategis sebagai sarana melindungi hak-
hak pasien di satu sisi dan kejelasan hak dan kewajiban tenaga kesehatan di sisi yang lain,
sehingga terdapat perlindungan hukum secara seimbang.
3. Pengaturan perlindungan pasien perlu pula mempertimbangkan kualitas layanan BPJS
Kesehatan yang belum sepenuhnya memadai dan khususnya perlunya sangat diperlukan
Standar Pelayanan Kesehatan Medik Nasional yang bisa menjawab berbagai persoalan
yang muncul pada saat ini.
4. Pengaturan hukum perlindungan pasien wajib mengakomodir peran pemangku
kepentingan dan memaksimalkan peran dari BPKN selaku Badan Perlindungan Konsumen
Nasional, baik termasuk dukungan sumber daya dan anggaran sehingga dapat
berkontribusi secara maksimal terhadap perlindungan pasien.
Demikian mungkin hal-hal yang dapat kita simpulkan dari hasil diskusi kita pada Rapat
Dengar Pendapat ini. Sekali lagi kami atas nama Komite III mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada kedua narasumber bersama seluruh tim atas penjelasan yang telah
diberikan. Dengan demikian, kita telah menyelesaikan agenda Rapat Dengar Pendapat pada hari
ini. Maka dengan mengucapkan Hamdallah, kita akhiri Rapat Dengar Pendapat ini. Semoga Tuhan
Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat siang, dan salam sejahtera bagi kita sekalian.
Om shanti shanti shanti om.
KETOK 3X
RAPAT DITUTUP PUKUL 12.20 WIB