DETERMINAN PEMANFAATAN PELAYANAN NIFAS DI...
Transcript of DETERMINAN PEMANFAATAN PELAYANAN NIFAS DI...
DETERMINAN PEMANFAATAN PELAYANAN NIFAS
DI DAERAH RURAL INDONESIA
TAHUN 2011-2012
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
NUR LUTHFIYAH
NIM. 1110101000010
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/1435 H
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
ssuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedoteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini uan hasil karya asli saya atau
mrupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Kedoteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Juli 2014
Nur Luthfiyah
ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul
DETERMINAN PEMANFAATAN PELAYANAN NIFAS
DI DAERAH RURAL INDONESIA
TAHUN 2011-2012
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh:
NUR LUTHFIYAH
NIM. 1110101000010
Pembimbing I Pembimbing II
Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.Kes Riastuti Kusuma Wardani, SKM, MKM
NIP. 19750215 200901 2 003 NIP. 19800516 200901 2 005
iii
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, Agustus 2014
Mengetahui
Penguji I,
Febrianti, M.Si
NIP. 19720221 200501 2 004
Penguji II,
Raihana Nadra Alkaff, SKM, M.MA
NIP. 19781216 200901 2 005
Penguji III,
Tria Astika Endah Permatasari, SKM, MKM
NIP. 0306088303
iv
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI
Skripsi, Agustus 2014
Nur Luthfiyah, NIM: 1110101000010
Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun
2011-2012
xviii + 217 Halaman + 30 Tabel + 5 Bagan
ABSTRAK
Angka kematian ibu di Indonesia berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 mengalami kenaikan dari tahun 2007 menjadi
359 per 100.000 penduduk dan masih jauh pencapaiannya dari target Rencana
Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) 2014, yaitu 118 per 100.000
penduduk dan Millenium Development Goals (MDGs) 2015, yaitu 102 per
100.000 penduduk. Beberapa penyebab kematian ibu, seperti komplikasi nifas dan
perdarahan pasca bersalin dapat dicegah melalui program pelayanan nifas.
Sebanyak 74% ibu di daerah rural menerima pelayanan nifas pada dua hari
pertama pasca persalinan dan 15,7% ibu yang tidak pernah memeriksakan
kesehatan selama 42 hari masa nifas. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui determinan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia.
Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang pada 2072 wanita
usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan anak terakhir tahun 2011-2012
dengan menggunakan data SDKI 2012. Hubungan antara pemanfaatan pelayanan
nifas dengan determinannya dianalisis menggunakan uji Chi-Square.
Terdapat 1773 (85,6%) wanita memanfaatkan pelayanan nifas dalam 3
hari pertama pasca persalinan. Faktor pendidikan, kunjungan ANC, kuintil
kekayaan, tempat persalinan, penolong persalinan, dan jarak ke fasilitas kesehatan
berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia
dengan masing-masing p-value sebesar 0,000. Sedangkan urutan kelahiran dan
komplikasi persalinan tidak berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan nifas
dengan p-value sebesar 0,085 dan 0,343.
Disarankan bagi Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan promosi
kesehatan tentang pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal,
meningkatkan ketersediaan penyedia pelayanan kesehatan, dan sosialisasi
pemanfaatan asuransi kesehatan dari pemerintah secara masif kepada masyarakat.
Peran sektor terkait lainnya juga dibutuhkan, seperti pengintegrasian kurikulum
pendidikan kesehatan ke dalam kurikulum pendidikan formal dan perbaikan
infrastruktur jalan dan transportasi, khususnya di daerah rural yang terpencil.
Kata Kunci: AKI, Pemanfaatan, Pelayanan Nifas, Rural, Indonesia
Daftar Bacaan: 116 (1986-2014)
v
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
EPIDEMIOLOGY
Undergraduate Thesis, August 2014
Nur Luthfiyah, NIM: 1110101000010
Determinants of Postnatal Care Utilization in Rural Areas of Indonesia in
2011-2012
xviii + 217 Pages + 30 Tables + 5 Charts
ABSTRACT
The maternal mortality rate in Indonesia based on the Demographic and
Health Survey of Indonesia (IDHS) 2012 has increased from 2007 to 359 per
100,000 population and has been far from the attainment of the National Medium
Term Development Plan (RPJMN) target in 2014, that is 118 per 100,000
population and Millenium Development Goals (MDGs) target in 2015, that is 102
per 100,000 population. Some causes of maternal mortality, such as complications
of childbirth and postpartum bleeding can be prevented through a program of
postnatal care. As many as 74% of women in rural area received postnatal care in
the first two days after delivery and 15,7% of women never checked their health
within 42 days of puerperium. The purpose of this study was to investigate the
determinants of the utilization of postnatal care in rural Indonesia.
This study used a cross-sectional study design in 2072 infertile women
aged 15-49 years who delivered the last child in 2011-2012 by using data from
IDHS 2012. The association between the utilization of postnatal care with the
factors were analyzed using Chi-Square.
There were 1773 (85,6%) women utilized postnatal care within the first 3
days after delivery. The factors, such as education, antenatal care visit, wealth
quintile, place of delivery, birth attendants, and distance to health facilities
associated with the utilization of postnatal care in rural Indonesia by their
respective p-values of 0,000. On the other hand, birth order and delivery
complications did not associated with the utilization of postnatal care by the p-
values of 0,085 and 0,343.
It is advisable for the Ministry of Health to improve the health promotion
of the importance of the utilization of maternal health services, improve the
provision of health care providers, and socialize the use of health insurance by
govermenth massively to the community. The role of other related sectors are also
needed, such as the integration of health education curriculum into the curriculum
of formal education and improvement of roads and transport infrastructure,
especially in remote rural areas.
Keywords: MMR, Utilization, Postnatal Care, Rural, Indonesia
Reading List: 116 (1986-2014)
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Pribadi
Nama : Nur Luthfiyah
Tempat, Tamggal Lahir : Jakarta, 12 Februari 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Cimandiri RT. 01 RW. 08 No. 47, Ciputat,
Kota Tangerang Selatan
Telp/Hp : 085695317333
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Email : [email protected]
B. Riwayat Pendidikan
1996-1998 : TK Tri Jaya Jakarta
1998-2004 : SDN 03 Pagi Bintaro Jakarta
2004-2007 : SMPN 177 Plus Jakarta
2007-2010 : SMAN 47 Jakarta
2010-2014 : S1-Peminatan Epidemiologi, Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. Pengalaman Organisasi
2011 : Koordinator Divisi Pengembangan Ekonomi Komisariat
Dakwah FKIK UIN Syarif Hidayatullah.
2011-2012 : Staf Departemen Pengembangan dan Pemberdayaan
Masyarakat Pergerakan Anggota Muda IAKMI (PAMI)
Jakarta Raya.
2012-2013 : Sekretaris Komisariat Dakwah FKIK UIN Syarif Hidayatullah 2012-2013 : Staf Departemen Informasi dan Komunikasi Pergerakan
Anggota Muda IAKMI (PAMI) Jakarta Raya.
2012-2013 : Staf Departemen Pengembangan dan Pemberdayaan
Masyarakat Badan Ekskutif Mahasiswa Kesehatan
Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah.
2013-2014 : Kepala Departemen Informasi dan Komunikasi Epidemiology
Student Association (ESA) UIN Syarif Hidayatullah.
vii
KATA PENGANTAR
حيم لر ا لرحمن ا هلل ا بسم
Assalamu‟alaikum wr. wb.
Alhamdulillah, segala puji kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Determinan Pemanfaatan Pelayanan
Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012”. Shalawat dan salam
senantiasa tecurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah menjadi suri tauladan
bagi umatnya.
Ada begitu banyak suka dan duka yang penulis hadapi dalam
menyelesaikan skripsi ini. Sempat terbersit keinginan untuk mengganti topik
penelitian ini dengan topik penelitian lainnya saat mengetahui sulitnya data yang
didapatkan dan fakta di lapangan yang berbeda dari yang diharapkan. Namun,
karena adanya dukungan dari semua pihak serta keinginan untuk bisa lulus tepat
waktu, akhirnya penulis tetap mempertahankan topik penelitian ini dan hanya
perlu mengganti lokasi penelitian. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak dan Ibu tercinta, yang tak hentinya selalu memberikan kasih
sayang, perhatian, dan memberikan doa terbaik bagi penulis. Begitu besar
jasa kalian berdua sehingga penulis bisa menuntut ilmu hingga setinggi ini.
Teringat kembali akan nasihat kalian berdua, “Bapak Ibu nggak bisa
ngasih kamu harta. Kita hanya bisa membekali kamu ilmu. Dengan ilmu
semoga kamu bisa jadi orang yang sukses dan bermanfaat untuk banyak
orang”. Sungguh, ini sebaik-baiknya bekal yang kalian berikan kepada
penulis. Terima kasih Bapak dan Ibu. Semoga Allah meridhoi dan
membalas kebaikan kalian. Aamiin.
viii
2. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ir.Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
(PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Minsarnawati, M.Kes selaku Dosen Penanggung Jawab Peminatan
Epidemiologi PSKM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai
dosen pembimbing. Sangat bersyukur bisa mengenal Ibu. Ibu selalu
berusaha memberikan yang terbaik bagi Peminatan Epidemiologi. Karena
Ibu, penulis bisa memperoleh ilmu yang sangat banyak dari dosen-dosen
ahli di bidangnya yang Ibu pilihkan untuk kami. Terima kasih atas
kesabaran dan kasih sayang Ibu dalam memberikan arahan serta
bimbingannya.
5. Ibu Riastuti, MKM selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas
kesabaran dan perhatian Ibu dalam memberikan arahan serta
bimbingannya. Penulis kagum dengan cara pandang Ibu dalam melihat
masalah kesehatan, khususnya terkait pelayanan kesehatan, sehingga
secara tidak langsung juga mempengaruhi cara pandang penulis.
6. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan (PUSDU)
BKKBN yang telah memberikan izin bagi penulis dalam penggunaan data
Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) tahun 2012 untuk penelitian.
7. Bapak Mugia Bayu. M.Si dan Ibu Rahmadewi, MKM selaku staf PUSDU
BKKBN yang meluangkan waktu cukup banyak di jam sibuknya untuk
memberikan arahan dan informasi bagi penulis dalam memahami data
SDKI yang diteliti.
8. Teman-teman seperjuangan, 14 personel Epidemiologi 2010, yaitu Ana,
Ati, Bebe, Ii, Karlina, Najah, Nida, Putri, Rizka, Tika, Wiwid, Zata, Bayu
dan Harun. Teringat kembali saat kita potong tumpeng pada kuliah
perdana Epidemiologi, sebagai simbol resmi dibukanya peminatan
Epidemiologi di jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
ix
Jakarta. Kita belum terlalu dekat, namun berusaha untuk saling akrab.
Hingga akhirnya kita benar-benar sangat dekat layaknya keluarga dan
bermimpi suatu saat bisa wisuda bersama. Terima kasih atas perhatian,
kepedulian, semangat dan bantuannya. Sangat bersyukur kepada Allah atas
pemberian teman-teman istimewa seperti kalian. Semoga pertemanan ini
terjalin semakin erat dan silaturahmi tetap ada hingga kita menua.
9. Teman-teman Kesehatan Masyarakat 2010 yang menularkan semangatnya
untuk menyusun skripsi dan memotivasi penulis untuk wisuda bersama.
Terima kasih atas bantuannya.
10. Teman-teman halaqah tercinta, yang kami saling menyebut satu sama lain
sebagai bidadari syurga, yaitu Kak Yurni, Yuni, Refi, Juju, Eva, Umi,
Aisyah, Fatimah, Nida, Ai, Hani dan Irma. Terima kasih atas perhatian dan
dukungannya, terutama atas kehadiran kalian dan kebersamaan ini yang
selalu menjadi pengingat bagi penulis bahwa Allah adalah di atas
segalanya. Bahkan jika dalam penyusunan skripsi ini terasa sulit dan
melelahkan, maka kembalilah pada Allah untuk memohon pertolongan.
11. Diyan, saudara perempuan satu-satunya. Terima kasih atas perhatian,
pengertian dan bantuannya. Semoga kuliahmu selalu diberi kelancaran.
12. Semua pihak terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima
kasih atas dukungannya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan penelitian ini. Semoga dengan disusunnya skripsi ini akan
memberikan manfaat bagi banyak pihak, khususnya bagi penulis serta bagi
pembaca.
Wassalamu‟alaikum wr. wb.
Ciputat, 18 Agustus 2014
Nur Luthfiyah
x
-
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i
PERNYATAAN PERSETUJUAN ....................................................................... ii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv
DAFTAR BAGAN ............................................................................................. xvii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................. xviii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 4
1.3 Pertanyaan Penelitian .......................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................ 6
1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................... 6
1.4.2 Tujuan Khusus .......................................................................... 6
1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................. 7
1.5.1 Bagi Kementerian Kesehatan RI .............................................. 7
1.5.2 Bagi Kementerian Pendidikan RI ............................................. 7
1.5.3 Bagi Pemerintah Daerah ........................................................... 8
1.5.4 Bagi Peneliti Lain ..................................................................... 8
1.6 Ruang Lingkup................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 10
2.1 Pelayanan Nifas ................................................................................ 10
2.1.1 Definisi Masa Nifas ................................................................ 10
2.1.2 Tahapan Masa Nifas ............................................................... 10
2.1.3 Perubahan Fisiologis Masa Nifas ........................................... 11
2.1.4 Komplikasi Masa Nifas .......................................................... 15
2.1.5 Pelayanan Nifas ...................................................................... 18
2.2 Determinan Epidemiologi ................................................................. 22
2.3 Daerah Rural ..................................................................................... 24
2.3.1 Geografi .................................................................................. 26
xii
2.3.2 Pendidikan .............................................................................. 27
2.3.3 Ekonomi.................................................................................. 28
2.3.4 Kesehatan Maternal ................................................................ 30
2.4 Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan .................................... 32
2.4.1 Karakteristik Predisposisi ....................................................... 35
2.4.2 Sumber Daya Pendukung ....................................................... 48
2.4.3 Kebutuhan ............................................................................... 60
2.5 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 ............... 63
2.5.1 Tujuan Survei ......................................................................... 63
2.5.2 Organisasi Survei .................................................................... 64
2.5.3 Kuisioner ................................................................................ 65
2.5.4 Uji Coba, Pelatihan dan Lapangan ......................................... 66
2.6.5 Desain Sampel dan Implementasi ........................................... 68
2.7.6 Pengolahan Data ..................................................................... 69
2.6 Kerangka Teori ................................................................................. 70
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ............ 72
3.1 Kerangka Konsep ........................................................................... 72
3.2 Definisi Operasional ....................................................................... 77
3.3 Hipotesis Penelitian ........................................................................ 80
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 81
4.1 Desain Penelitian ............................................................................ 81
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 81
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ...................................................... 82
4.3.1 Populasi ................................................................................ 82
4.3.2 Sampel .................................................................................. 82
4.4 Instrumen Penelitian ....................................................................... 86
4.4.1 Pemanfaatan Pelayanan Nifas .............................................. 86
4.4.2 Pendidikan ............................................................................ 87
4.4.3 Urutan Kelahiran .................................................................. 88
4.4.4 Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) .............................. 88
4.4.5 Kuintil Kekayaan.................................................................. 89
4.4.6 Tempat Persalinan ................................................................ 91
4.4.7 Penolong Persalinan ............................................................. 92
4.4.8 Jarak ke Fasilitas Kesehatan ................................................. 93
4.4.9 Komplikasi Persalinan.......................................................... 93
4.5 Pengumpulan Data .......................................................................... 95
xiii
4.6 Pengolahan Data ............................................................................. 96
4.7 Analisis Data .................................................................................. 97
4.7.1 Analisis Univariat ................................................................. 97
4.7.2 Analisis Bivariat ................................................................... 98
BAB V HASIL PENELITIAN ......................................................................... 100
5.1 Karakteristik WUS di Daerah Rural Indonesia ............................... 100
5.1.1 Gambaran Pemanfaatan Pelayanan Nifas ............................. 101
5.1.2 Gambaran Pendidikan ........................................................... 103
5.1.4 Gambaran Urutan Kelahiran Anak ....................................... 104
5.1.5 Gambaran Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) ............. 104
5.1.6 Gambaran Kuintil Kekayaan ................................................ 107
5.1.7 Gambaran Tempat Persalinan ............................................... 108
5.1.8 Gambaran Penolong Persalinan ............................................ 110
5.1.9 Gambaran Jarak ke Fasilitas Kesehatan ............................... 111
5.1.10 Gambaran Komplikasi Persalinan ...................................... 112
5.2 Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia
....................................................................................................... 114
5.2.1 Hubungan Pendidikan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas
.............................................................................................. 114
5.2.2 Hubungan Urutan Kelahiran dengan Pemanfaatan Pelayanan
Nifas ..................................................................................... 115
5.2.3 Hubungan Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) dengan
Pemanfaatan Pelayanan Nifas .............................................. 116
5.2.4 Hubungan Kuintil Kekayaan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Nifas ..................................................................................... 117
5.2.5 Hubungan Tempat Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Nifas ..................................................................................... 118
5.2.6 Hubungan Penolong Persalinan dengan Pemanfaatan
Pelayanan Nifas .................................................................... 119
5.2.7 Hubungan Jarak ke Fasilitas Kesehatan dengan Pemanfaatan
Pelayanan Nifas .................................................................... 120
5.2.8 Hubungan Komplikasi Persalinan dengan Pemanfaatan
Pelayanan Nifas .................................................................... 121
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................. 122
6.1 Keterbatasan Penelitian ................................................................ 122
6.2 Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia ........... 123
xiv
6.3 Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural
Indonesia...................................................................................... 127
6.3.1 Pendidikan .......................................................................... 128
6.3.2 Urutan Kelahiran ................................................................ 132
6.3.3 Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) ............................ 135
6.3.4 Kuintil Kekayaan................................................................ 140
6.3.5 Tempat Persalinan .............................................................. 147
6.3.6 Penolong Persalinan ........................................................... 153
6.3.7 Jarak ke Fasilitas Kesehatan ............................................... 161
6.3.8 Komplikasi Persalinan........................................................ 164
BAB VII PENUTUP .......................................................................................... 168
7.1 Simpulan ....................................................................................... 168
7.2 Saran ............................................................................................. 169
7.2.1 Bagi Kementerian Kesehatan RI ........................................ 169
7.2.2 Kementerian Pendidikan RI ............................................... 170
7.2.3 Pemerintah Daerah ............................................................. 171
7.2.4 Bagi Peneliti Lain ............................................................... 171
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 172
LAMPIRAN ...................................................................................................... 182
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Variabel, Klasifikasi, Skor dan Kriteria Desa Urban dan Rural ........... 25
Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 77
Tabel 4.1 Jumlah Sampel untuk Setiap Variabel .................................................. 84
Tabel 4.2 Daftar Variabel dan Kuisioner SDKI 2012 ........................................... 86
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Umur di Daerah Rural
Indonesia Tahun 2011-2012 ............................................................... 100
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Umur Melahirkan di Daerah
Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ..................................................... 101
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Pemanfaatan Pelayanan Nifas
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012..................................... 102
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tenaga Pemeriksa Kesehatan
Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ........................... 102
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Waktu Pemeriksaan Kesehatan
Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ........................... 103
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Pendidikan di Daerah Rural
Indonesia Tahun 2011-2012 ............................................................... 103
Tabel 5. 7 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Urutan Kelahiran Anak di
Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ......................................... 104
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Kunjungan ANC di Daerah
Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ..................................................... 105
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tempat Kunjungan ANC di
Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ......................................... 106
Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tenaga Pemeriksa Kehamilan
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 .................................. 107
Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Kuintil Kekayaan di Daerah
Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ................................................... 107
xvi
Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jenis Fasilitas Kesehatan
Tempat Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ... 108
Tabel 5.13 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tempat Persalinan di Daerah
Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ................................................... 109
Tabel 5.14 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jenis Tenaga Penolong
Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ................. 110
Tabel 5.15 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Penolong Persalinan di Daerah
Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ................................................... 111
Tabel 5.16 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jarak ke Fasilitas Kesehatan di
Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ...................................... 112
Tabel 5.17 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jenis Komplikasi Persalinan di
Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ...................................... 113
Tabel 5.18 Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Komplikasi Persalinan di
Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ...................................... 113
Tabel 5.19 Hubungan Pendidikan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas Pada
WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ........................ 115
Tabel 5.20 Hubungan Urutan Kelahiran dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012................ 116
Tabel 5.21 Hubungan Kunjungan ANC dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012................ 117
Tabel 5.22 Hubungan Kuintil Kekayaan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012................ 118
Tabel 5.23 Hubungan Tempat Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012................ 119
Tabel 5.24 Hubungan Penolong Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012................ 120
Tabel 5.25 Hubungan Jarak ke Fasilitas Kesehatan dengan Pemanfaatan
Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-
2012 .................................................................................................. 120
Tabel 5.26 Hubungan Komplikasi Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012 ...... 121
xvii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan ............................ 33
Bagan 2.2 Determinan Individu dalam Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan ......... 34
Bagan 2.3 Kerangka Teori .................................................................................... 70
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................. 76
Bagan 4.1 Alur Pengambilan Sampel ................................................................... 85
xviii
DAFTAR SINGKATAN
ANC : Antenatal Care
BKKBN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
BPS : Badan Pusat Statistik
DHS : Demographic and Health Survey
IDHS : Indonesia Demography and Health Survey
Jampersal : Jaminan Persalinan
KB : Keluarga Berencana
Kemenkes : Kementeria Kesehatan
KF : Kunjungan Nifas
MDGs : Millenium Development Goals
Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan
PK : Pria Kawin
PSU : Primary Sampling Unit
RP : Remaja Pria
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RT : Rumah Tangga
SDKI : Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
USAID : U.S Agency International Development
UU : Undang-Undang
WHO : World Health Organization
WUS : Wanita Usia Subur
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kematian ibu masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) tahun 2007, angka
kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah sebesar 228 per 100.000 kelahiran
hidup (Bappenas, 2011). Angka ini kemudian naik pada tahun 2012 menjadi
359 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2012). Sedangkan target Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2014 adalah
sebesar 118 per 100.000 kelahiran hidup (Bappenas, 2010) dan target MDGs
tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup (Bappenas,
2011).
Penyebab utama kematian ibu di dunia adalah perdarahan (kebanyakan
perdarahan postpartum), infeksi (sebagian besar setelah melahirkan),
gangguan hipertensi pada kehamilan (eklamsia) dan gangguan pada saat
persalinan (WHO, 2008). Menurut hasil analisis lanjut sesus penduduk tahun
2010, tiga penyebab kematian ibu terbanyak di Indonesia, yaitu hipertensi
dalam kehamilan, komplikasi nifas dan perdarahan pasca bersalin (Kemenkes
RI, 2013). Selain itu, laporan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) provinsi tahun
2011 juga menyebutkan bahwa penyebab langsung kematian ibu terbanyak
masih didominasi oleh perdarahan (32%), disusul hipertensi dalam kehamilan
2
(25%), infeksi (5%), partus lama (5%), dan abortus (1%) (Direktorat Bina
Kesehatan Ibu, 2012). Penyebab lain-lainnya (32%) cukup besar, termasuk di
dalamnya penyebab penyakit non obstetrik.
Sebagian besar penyebab kematian ibu tersebut terjadi pada masa nifas.
Periode masa nifas yang berisiko terhadap komplikasi pasca persalinan
terutama terjadi pada periode 3 hari pertama setelah melahirkan (Riskesdas,
2013). Bahkan tingginya kematian dapat terjadi pada hari pertama dan kedua
setelah melahirkan (Ronsmans, dkk., 2006). Sebanyak 45% kematian pada
masa nifas terjadi pada 24 jam pertama setelah melahirkan dan 66% terjadi
pada 1 minggu pertama setelah melahirkan (Nour, 2008).
Kementerian Kesehatan telah mencanangkan program pelayanan nifas
sebagai upaya untuk mengurangi angka kematian ibu pada masa nifas
(Kemenkes RI, 2010). Program pelayanan nifas diberikan mulai dari 6 jam
sampai 42 hari pasca persalinan oleh tenaga kesehatan.
Berdasarkan data SDKI 2012, sebanyak 80% ibu menerima pelayanan
nifas pada dua hari pertama setelah persalinan (BPS, BKKBN, Kemenkes RI,
dan ICF International 2013). Hanya 56% ibu yang menerima pelayanan nifas
dalam kurun waktu 4 jam pertama, 13% yang menerima pelayanan nifas
dalam kurun waktu 4-23 jam pertama, dan 11% yang menerima pelayanan
nifas dalam kurun waktu 1-2 hari. Sedangkan ibu yang tidak pernah
memeriksakan diri dalam 42 hari masa nifas sebanyak 11,3%.
Berdasarkan wilayahnya, peningkatan cakupan pemeriksaan nifas di
daerah rural lebih rendah daripada daerah urban. Berdasarkan data SDKI
3
2007, pemeriksaan pelayanan nifas pada 2 hari pertama pasca persalinan di
daerah urban sebesar 69,1% dan naik menjadi 86% berdasarkan SDKI 2012.
Sedangkan pemeriksaan pelayanan nifas pada 2 hari pertama pasca persalinan
di daerah rural sebesar 70,6% dan naik menjadi 74%.
Perbedaan daerah rural dan urban juga terlihat dari besarnya persentase
ibu yang tidak pernah mendapatkan pelayanan nifas. Berdasarkan data SDKI
2007, ibu yang tidak pernah mendapatkan pelayanan nifas di daerah urban
sebesar 14,5% dan menurun menjadi 6% berdasarkan SDKI 2012.
Berdasarkan data SDKI 2007, ibu yang tidak pernah mendapatkan pelayanan
nifas di daerah rural sebesar 17% dan menurun sedikit menjadi 15,7%
berdasarkan SDKI 2012.
Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara
daerah tempat tinggal dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian di
Kamboja menunjukkan bahwa pelayanan nifas saat 24 jam pertama setelah
persalinan lebih tinggi terjadi di daerah urban dibandingkan di daerah rural
(Kim, dkk., 2013). Hasil penelitian lainnya juga secara signifikan
menunjukkan bahwa ibu di daerah urban Nepal lebih besar kemungkinannya
untuk berkunjung ke pelayanan nifas dalam 42 hari setelah melahirkan
(Khanal, dkk., 2014).
Pemanfaatan pelayanan nifas oleh ibu pasca persalinan dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Analisis lanjut data Survei Demografi dan Kesehatan
Kamboja 2010 ditemukan bahwa pendidikan, tempat bersalinan, penolong
persalinan, pengetahuan dan persepsi tentang jarak ke pelayanan kesehatan
4
memengaruhi ibu dalam memanfaatkan pelayanan nifas (Kim, dkk., 2013).
Nugraha (2013) menemukan bahwa berdasarkan analisis lanjut data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, kunjungan ke ANC dan status ekonomi
keluarga memengaruhi akses pelayanan nifas di Indonesia. Khanal, dkk.
(2014) juga menemukan bahwa dari hasil analaisis lanjut data Survei
Demografi dan Kesehatan Nepal 2011, nomor urut kelahiran anak menjadi
faktor ibu dalam memanfaatkan pelayanan nifas di Nepal.
Penelitian tentang pemanfaatan pelayanan nifas di Indonesia masih
jarang dilakukan, khususnya di daerah rural. Padahal, pemanfaatan pelayanan
nifas di daerah rural masih rendah. Di sisi lain, target cakupan pelayanan
nifas perkabupaten/kota pada tahun 2015 mendatang adalah 90% (Permenkes
Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008). Pelayanan nifas penting diberikan karena
masa nifas masih berisiko mengalami perdarahan atau infeksi yang dapat
mengakibatkan kematian ibu. Oleh karena itu, penulis bermaksud melakukan
penelitian tentang determinan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural
Indonesia berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun
2012.
1.2 Rumusan Masalah
AKI di Indonesia berdasarkan SDKI 2012 mengalami kenaikan dari
tahun 2007 menjadi 359 per 100.000 penduduk dan masih jauh
pencapaiannya dari target RPJMN 2014, yaitu 118 per 100.000 penduduk dan
target MDGs 2015, yaitu 102 per 100.000 penduduk. Salah satu penyebab
5
kematian ibu adalah komplikasi nifas dan perdarahan pasca bersalin yang
sebenarnya dapat dicegah melalui program pelayanan nifas. Sebanyak 80%
ibu menerima pelayanan nifas pada dua hari pertama setelah persalinan dan
11,3% ibu yang tidak pernah memeriksakan diri dalam 42 hari masa nifas.
Pemeriksaan nifas di daerah rural Indonesia mengalami kenaikan yang rendah
daripada daerah urban. Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat
beberapa faktor yang memengaruhi ibu dalam memanfaatkan pelayanan nifas,
antara lain pendidikan, tempat persalinan, penolong persalinan, pengetahuan,
persepsi tentang jarak ke pelayanan kesehatan, kunjungan ke ANC, status
ekonomi keluarga dan urutan kelahiran (Kim, dkk., 2013; Nugraha (2013);
Khanal, dkk., 2014). Penelitian tentang pemanfaatan pelayanan nifas di
daerah rural pun masih jarang dilakukan sehingga penulis melakukan
penelitian tersebut dengan menggunakan data SDKI 2012.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian ini, yaitu:
a. Bagaimana gambaran distribusi frekuensi pemanfaatan pelayanan
nifas dan determinannya di daerah rural Indonesia?
b. Bagaimana hubungan antara pendidikan, urutan kelahiran,
kunjungan ke ANC, kuintil kekayaan, tempat persalinan, penolong
persalinan, jarak ke fasilitas kesehatan, dan komplikasi persalinan
dengan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia?
6
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
determinan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia
tahun 2011-2012 berdasarkan data SDKI 2012.
1.4.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu:
a. Mengetahui distribusi frekuensi pemanfaatan nifas dan
determinannya di daerah rural tahun 2011-2012.
b. Mengetahui hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan
pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012.
c. Mengetahui hubungan antara urutan kelahiran dengan
pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012.
d. Mengetahui hubungan antara kunjungan ANC dengan
pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012.
e. Mengetahui hubungan antara kuintil kekayaan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012.
f. Mengetahui hubungan antara tempat persalinan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012.
g. Mengetahui hubungan antara penolong persalinan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012.
7
h. Mengetahui hubungan antara jarak ke fasilitas kesehatan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012.
i. Mengetahui hubungan antara komplikasi persalinan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural tahun 2011-2012.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, antara lain:
1.5.1 Bagi Kementerian Kesehatan RI
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau
pertimbangan dalam penentuan kebijakan kesehatan terhadap perbaikan
program pelayanan nifas melalui peningkatan pemanfaatan pelayanan
nifas sehingga dapat mencegah kematian ibu pasca persalinan,
khususnya di daerah rural Indonesia. Hasil analisis terhadap determinan
pemanfaatan pelayananan nifas ini juga diharapkan dapat menjadi
masukan dalam pembuatan program promosi kesehatan yang efektif
bagi masyarakat daerah rural Indonesia sehingga semakin menyadari
pentingnya pemanfaatan pelayanan nifas.
1.5.2 Bagi Kementerian Pendidikan RI
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau
pertimbangan dalam menentukan kebijakan pendidikam sebagai
8
kontribusinya dalam perbaikan program pelayanan nifas, khususnya di
daerah rural Indonesia.
1.5.3 Bagi Pemerintah Daerah
Program kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab instansi
kesehatan saja. Namun, perlu adanya peran pemerintah daerah untuk
berkontribusi di dalam mensukseskannya. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan atau pertimbangan dalam
menentukan kebijakan daerah sebagai yang bersinergi dalam perbaikan
program pelayanan nifas, khususnya di daerah rural Indonesia.
1.5.4 Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi salah satu
referensi bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian
lebih lanjut tentang determinan pemanfaatan pelayanan nifas,
khususnya di masing-masing kabupaten di daerah rural Indonesia.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui determinan pemanfaatan
pelayanan nifas di daerah rural Indonesia berdasarkan analisis data SDKI
2012 dengan desain studi potong lintang (cross-sectional). Variabel dependen
yang diteliti adalah pemanfaatan pelayanan nifas. Sedangkan variabel
9
independennya adalah pendidikan, urutan kelahiran dan kunjungan ke ANC,
kuintil kekayaan, tempat persalinan, penolong persalinan, jarak ke fasilitas
kesehatan dan komplikasi persalinan. Sampel yang digunakan adalah wanita
usia subur 15-49 tahun dan pernah melahirkan di daerah rural Indonesia tahun
2011-2012 berdasarkan data SDKI 2012. Analisis data SDKI 2012
dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2014 di Ciputat, Kota Tangerang
Selatan.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelayanan Nifas
2.1.1 Definisi Masa Nifas
Masa nifas atau puerperium berasal dari bahasa Latin, yaitu dari
kata puer yang artinya bayi dan parous yang artinya melahirkan
(Bahiyatun, 2008). Puerperium berarti masa setelah melahirkan bayi.
Masa nifas (puerperium) adalah masa pemulihan alat-alat reproduksi
dari sejak persalinan hingga ke bentuk normal seperti sebelum hamil
dengan lama waktu sekitar 6 minggu (Manuba, 2004; Bahiyatun, 2008;
Code dan Dunstall, 2011).
2.1.2 Tahapan Masa Nifas
Secara umum, masa nifas dibagi menjadi tiga tahap/periode
(Bahiyatun, 2008), yaitu:
a. Puerperium dini, yaitu kepulihan ketika ibu telah diperbolehkan
berdiri dan berjalan.
b. Puerperium intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat
genital.
11
c. Remote puerperium, yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan
sehat sempurna, terutama bila selama hamil atau waktu persalinan
mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna mungkin
beberapa minggu, bulan atau tahun.
2.1.3 Perubahan Fisiologis Masa Nifas
Setelah proses persalinan, terdapat perubahan fisiologis yang
terjadi pada ibu selama masa nifas. Beberapa perubahan fisiologis yang
terjadi pada persalinan normal adalah sebagai berikut.
a. Uterus
Setelah persalinan, kaliber pembuluh ekstrauterus berkurang
hingga hampir mencapai keadaan prahamil. Setelah 2 hari pertama,
uterus mulai menciut sehingga dalam 2 minggu uterus telah turun
ke dalam rongga panggul sejati (Leveno, dkk., 2009). Uterus
memperoleh kembali ukuran prahamilnya dalam waktu sekitar 4
minggu.
Pada masa nifas juga terjadi perubahan pada endometrium.
Waktu yang dibutuhkan endometrium untuk tumbuh dan terbentuk
adalah selama 10 hari masa nifas dan menjadi sempurna sekitar 6
minggu. Sedangkan proses involusi berlangsung sekitar 6 minggu
(Bahiyatun, 2008).
12
b. Lokia
Lokia adalah darah yang dibuang dari rahim yang telah
mengerut kembali ke ukuran semula, yang terdiri dari darah tempat
plasenta menempel dan luruhan dinding rahim yang berkembang
sangat besar selama kehamilan (Syafrudin dan Hamidah, 2009).
Lokia keluar dari uterus selama 3 (tiga) minggu pertama setelah
kelahiran (Stright, 2005).
c. Serviks
Pada masa nifas, serviks menjadi tebal dan lebih keras. Pada
akhir minggu pertama masa nifas, serviks akan berdilatasi sekitar 1
cm atau selebar 1 jari. Involusi serviks yang lengkap bisa
berlangsung 3 sampai 4 bulan. (Stright, 2005)
d. Vagina dan Vulva
Vagina dan vulva pada masa nifas mengalami pembengkakan
dan akan kembali normal dalam beberapa waktu (Stright, 2005).
Rugae tampak kembali dalam 3 sampai 4 minggu pasca persalinan.
e. Perineum
Perineum adalah area di antara vagina dan rektum (Cheung,
2008) yang terdiri dari otot yang saling terjalin menyangga dasar
panggul dan berperan sebagai “otot melahirkan” (Sindhu, 2009).
Pada masa nifas, perineum tampak membengkak, memar dan
13
terdapat luka, lecet bahkan robek (Stright, 2005). Luka pada
perineum akan pulih dalam waktu 6 sampai 7 hari (Manuaba,
2004).
f. Abdomen
Abdomen tetap lunak dan mengendur selama beberapa waktu
setelah melahirkan akibat ruptur serat elastik di kulit. Secara
bertahap dalam beberapa minggu, abdomen akan menjadi lebih
kuat. (Stright, 2005; Leveno, dkk., 2009)
g. Ovarium
Setelah proses persalinan, produksi estrogen dan progesteron
menurun, sehingga menimbulkan mekanisme timbal-balik dari
sirkulasi menstruasi. Pada saat ini, dimulai kembali proses ovulasi
sehingga wanita dapat hamil kembali. (Bahiyatun, 2008).
h. Payudara
Pada masa nifas, payudara megalami perubahan dalam
beberapa hal. Menurut Stright (2005), perubahan yang terjadi pada
payudara, yaitu:
1) Terjadi penurunan cepat kadar estrogen dan progesteron
dengan peningkatan sekresi prolaktin setelah melahirkan.
2) Kolostrum sudah ada pada waktu melahirkan dan ASI
diproduksi pada hari ketiga atau keempat setelah kelahiran.
14
3) Payudara lebih besar dan lebih keras karena terjadi laktasi
(pembengkakan primer).
4) Di dalam payudara, prolaktin menstimulasi sel-sel alveolar
untuk menghasilkan susu.
i. Sistem Kardiovaskular
Denyut jantung untuk sementara sekitar 50 sampai 70 kali per
menit selama 24 sampai 48 jam setelah melahirkan dan bisa
berlanjut hingga 6 sampai 8 hari (Stright, 2005). Tekanan darah
tetap stabil dan nadi frekuensinya kembali seperti sebelum hamil
dalam 3 bulan setelah kelahiran (Stright, 2005). Sedangkan
penurunan volume darah ke kadar sebelum hamil terjadi pada
minggu ketiga setelah kelahiran (Bahiyatun, 2008).
j. Sistem Pencernaan
Umumnya, ibu yang telah melahirkan merasa lapar dan haus
serta mengalami masalah konstipasi selama periode pascapartum
awal karena penurunan tonus otot usus, rasa tidak nyaman pada
perineum dan kecemasan (Stright, 2005). Berat badan juga
mengalami penurunan sekitar 5 sampai 6 kg akbiat evakuasi uterus
dan pengeluaran darah normal (Leveno, dkk., 2009). Biasanya
terjadi penurunan lebih lanjut sebanyak 2 hingga 3 kg melalui
diuresis. Sebagian besar wanita hampir kembali ke berat badan
sebelum hamil dalam waktu 6 bulan setelah melahirkan.
15
k. Sistem Perkemihan
Diuresis (peningkatan jumlah urin) umumnya terjadi setelah
2 hari postpartum karena saluran urinaria mengalami dilatasi dan
akan kembali normal setelah 4 minggu pospartum (Bahiyatun,
2008).
2.1.4 Komplikasi Masa Nifas
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada masa nifas, antara
lain:
a. Perdarahan
Perdarahan pada masa nifas ada dua macam, yaitu (Farrer,
2001):
1) Perdarahan primer, yaitu perdarahan berlebihan (600 ml atau
lebih) dari saluran genitalia yang terjadi dalam waktu 12-24
jam setelah melahirkan. Penyebabnya adalah kegagalan uterus
untuk mencapai atau mempertahankan status kontraksi.
2) Perdarahan sekunder, yaitu perdarahan yang terjadi sejak 24
jam sesudah melahirkan dan umumnya disebabkan oleh infeksi
akibat retensi produk pembuahan di dalam uterus.
16
b. Sepsis Puerperalis
Sepsis puerperalis adalah infeksi pada traktus genetalia yang
dapat terjadi setiap saat antara waktu pecah ketuban (ruptur
membran) atau waktu persalinan dan 42 hari setelah persalinan atau
abortus (WHO, 2002).
c. Eklamsia
Eklamsia adalah preeklamsia berat yang dilanjutkan dengan
keadaan kejang dan/atau sampai koma (Yulaikhah, 2009).
Preeklamsia adalah gangguan multisistem yang berhubungan
dengan hipertensi, proteinuria, edema, hemokonsentrasi,
hipoalbuminemia, kelainan fungsi hati atau koagulasi dan
peningkatan kadar asam urat (Engel dan Pedley, 2008). Eklamsia
dapat muncul sebelum, selama atau setelah persalinan (Leveno,
dkk. 2009). Pada sebagian kasus eklamsia, pasien meninggal
mendadak bersamaan dengan kejang atau segera sesudahnya akibat
perdarahan otak yang luas (Leveno, dkk. 2009).
d. Infeksi Puerperalis
Infeksi pueperalis adalah infeksi yang terjadi di dalam
struktur yang berhubungan dengan persalinan setelah melahirkan
dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu
(Stright, 2005). Gejala penting dari infeksi nifas adalah demam
nifas yang juga sering disebut sebagai morbiditas nifas dan ditandai
17
dengan suhu 380 C atau lebih, yang terjadi selama 2 hari berturut-
turut (Sastrawinata, dkk., 2005). Kenaikan suhu ini terjadi sesudah
24 jam pasca persalinan dalam 10 hari pertama masa nifas.
Infeksi pueperalis dapat disebabkan oleh teknik steril yang
buruk, persalinan dengan manipulasi yang signifikan, kelahiran
sesar, atau pertumbuhan flora lokal yang berlebihan (Stright, 2005).
Mikroorganisme penyebab infeksi puerperalis dapat berasal dari
luar atau dari jalan lahir sendiri. Mikroorganisme yang tersering
menjadi penyebab ialah golongan streptokokus, basil koli, dan
stafilokukos (Sastrawinata, dkk., 2005).
e. Depresi Postpartum
Depresi postpartum adalah depresi berat yang biasanya mulai
1-2, dan 4 minggu setelah melahirkan dan berisiko terjadi episode
berulang pada persalinan selanjutnya (Tomb, 2004). Remaja dan
wanita dengan riwayat penyakit depresif memiliki risiko depresi
pospartum sekitar 30% (Leveno, dkk. 2009).
f. Postpartum Blues
Postpartum blues adalah periode emosional stres yang terjadi
antara hari ke-3 dan ke-10 setelah persalinan yang terjadi 80% pada
ibu nifas dengan gejala iritabilitas yang meningkat, perubahan
mood, cemas, pusing, serta perasaan sedih dan sendiri (Bahiyatun,
2008).
18
g. Psikosis Postpartum
Psikosis postpartum adalah kondisi psikiatrik yang serius
(berbeda dengan keadaan depresi ringan, sepintas dan lazim terjadi)
yang timbul pertama kali dalam masa nifas (Farrer, 2001).
Biasanya psikosis terjadi sebelum hari ke-14 masa nifas, tetapi
dapat pula timbul kemudian. Tanda terjadinya psikosis adalah
insomnia (hampir selalu) selama dua hari atau lebih, banyak bicara
dan dapat bermanifestasi dalam bentuk perilaku yang agresif,
halusinasi, dan kecurigaan. Ibu yang menderita psikosis dapat
menolak bayinya atau sebagai kemungkinan lainnya bersikap
sangat posesif terhadap bayinya.
2.1.5 Pelayanan Nifas
Pelayanan nifas adalah pelayanan/ praktek perawatan pencegahan
dan penilaian rutin untuk mengidentifikasi dan menangani atau merujuk
komplikasi pada ibu dan bayi (Warren, dkk., 2006) guna memelihara
dan meningkatkan kesehatan ibu dan bayinya (WHO, 2010). Pelayanan
kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu
mulai 6 jam sampai 42 hari pasca persalinan oleh tenaga kesehatan
(Kemenkes RI, 2010).
Tujuan umum dari pelayanan atau perawatan nifas, yaitu
(Bahiyatun, 2008):
1) Memulihkan kesehatan umum penderita
19
a) Menyediakan makanan sesuai kebutuhan
b) Mengatasi anemia
c) Mencegah infeksi dengan memperhatikan kebersihan dan
sterilisasi
d) Mengembalikan kesehatan umum dengan pergerakan otot
untuk memperlancar peredaran darah
2) Mempertahankan psikologis
3) Mencegah infeksi dan komplikasi
4) Memperlancar pembentukan air susu ibu (ASI)
5) Mengajarkan ibu untuk melaksanakan perawatan mandiri sampai
masa nifas selesai dan memelihara bayi dengan baik, sehingga
bayi dapat mengalami pertumbuhan dan perkembangan normal.
a. Tatalaksana Pelayanan Nifas
Pelayanan ibu nifas dilaksanakan minimal 3 kali, masing-
masing 1 kali, yaitu (Kemenkes RI, 2010):
1) Kunjungan nifas pertama pada masa 6 jam s/d 3 hari setelah
persalinan.
2) Kunjungan nifas kedua pada hari ke-4 s/d hari ke-28 setelah
persalinan.
3) Kunjungan nifas ketiga pada hari ke-29 s/d hari ke-42 setelah
persalinan.
Pelayanan yang diberikan adalah (Kemenkes RI, 2010):
20
1) Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu.
2) Pemeriksaan tinggi fundus uteri (involusi uterus).
3) Pemeriksaan lokhia dan pengeluaran per vaginam lainnya.
4) Pemeriksaan payudara dan anjuran ASI eksklusif 6 bulan.
5) Pemberian kapsul vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali,
pertama segera setelah melahirkan, kedua diberikan setelah 24
jam pemberian kapsul vitamin A pertama.
6) Pelayanan KB pasca salin, yaitu pelayanan yang diberikan
kepada ibu yang mulai menggunakan alat kontrasepsi langsung
sesudah melahirkan (sampai dengan 42 hari sesudah
melahirkan).
Pelayanan kesehatan ibu nifas diberikan oleh tenaga
kesehatan. Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan
tersebut, yaitu dokter spesialis, dokter, bidan dan perawat.
Pelayanan nifas juga tidak berarti ibu nifas yang mendatangi tenaga
kesehatan atau fasilitas kesehatan. Namun, didefinisikan sebagai
kontak ibu nifas dengan tenaga kesehatan baik di dalam gedung
maupun di luar gedung fasilitas kesehatan (termasuk bidan di
desa/polindes/poskesdes dan kunjungan rumah) (Buku PWS-KIA,
Depkes, 2003 dalam Riskesdas, 2010).
21
b. Pelayanan Nifas dalam Jaminan Persalinan (Jampersal)
Dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan anak dan
mempercepat pencapaian MDG‟s, pemerintah telah menetapkan
kebijakan bahwa setiap ibu yang melahirkan, biaya persalinannya
ditanggung oleh pemerintah melalui program Jaminan Persalinan
(Jampersal). Pelayanan nifas adalah salah satu program yang
biayanya ditanggung dalam program Jampersal. Pelayanan nifas
diintegrasikan antara pelayanan ibu nifas, bayi baru lahir dan
pelayanan KB pasca salin.
Pelayanan ibu nifas dan bayi baru lahir dilaksanakan 4 kali,
masing-masing 1 kali pada (Permenkes RI No. 2562 tahun 2011):
1) Kunjungan pertama untuk Kf 1 dan KN 1 (6 jam s/d hari ke-2)
2) Kunjungan kedua untuk KN 2 (hari ke-3 s/d hari ke-7)
3) Kunjungan ketiga untuk Kf 2 dan KN 3 (hari ke-8 s/d hari ke-
28)
4) Kunjungan keempat untuk Kf 3 (hari ke-29 s/d hari ke-42).
Pelayanan KB pasca persalinan dilakukan hingga 42 hari
pasca persalinan. Pelayanan nifas dijamin sebanyak 3 kali,
terkecuali pelayanan nifas dengan komplikasi yang dirujuk ke
rumah sakit, maka pelayanan nifas dilakukan sesuai pedoman nifas
dengan komplikasi tersebut. Besaran tarif pelayanan nifas termasuk
pelayanan bayi baru lahir dan KB pasca persalinan adalah sebesar
22
Rp. 10.000 untuk setiap kunjungan atau Rp. 30.000 untuk 3 kali
kunjungan. (Kemenkes RI, 2011)
Pelayanan ibu nifas yang diberikan dalam program
Jampersal, yaitu (Kemenkes RI, 2011):
1) Pengukuran tekanan darah.
2) Pemeriksaan nifas.
3) Pemberian kapsul vitamin A pada ibu.
4) Pemeriksaan dan perawatan bayi baru lahir.
5) Pelayanan KB sesudah melahirkan pada masa nifas.
6) Nasihat kebutuhan gizi, KB, pemberian ASI eksklusif dan
perawatan bayi baru lahir.
7) Jika ada penyulit/komplikasi, akan dirujuk untuk mendapatkan
pemeriksaan dan pelayanan lebih lanjut.
2.2 Determinan Epidemiologi
Epidemiologi menurut Last (1988) adalah ilmu tentang distribusi dan
determinan yang berhubungan dengan kondisi kesehatan atau peristiwa dalam
populasi tertentu dan aplikasinya untuk mengatasi masalah kesehatan
(Bustan, 2006). Menurut WHO (Beaglehole, 1993), salah satu peran utama
epidemiologi adalah menentukan penyebab dari penyakit atau masalah
kesehatan (Bustan, 2008). Ini merupakan tugas utama dan pertama
epidemiologi yang sangat penting dalam membantu menentukan penyebab
23
suatu masalah sehingga dapat dilakukan tindakan upaya pencegahan dan
perencanaan penanggulangannya.
Jangkauan epidemiologi terus berkembang sesuai dengan
perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat. Pada awalnya
epidemiologi mempelajari penyakit wabah. Kemudian berkembang
mempelajari penyakit infeksi non-wabah, penyakit non-infeksi hingga
akhirnya mempelajari hal-hal yang bukan penyakit, seperti fertilitas,
menopause, kecelakaan, kenakalan remaja dan penyalahgunaan obat
(Budiarto dan Anggraeni, 2003). Masriadi (2012) pun menyebutkan bahwa
epidemiologi juga mempelajari perilaku, penyediaan dan penggunaan
pelayanan kesehatan.
Konsep „determinan‟ digunakan dalam arti luas sebagai faktor yang
berhubungan dengan outcome/hasil (Broeck dan Brestoff, 2013). Determinan
adalah tentang mengapa dan bagaimana penyebab suatu faktor-faktor lain
yang memengaruhi terjadinya peristiwa yang berhubungan dengan kesehatan
(Gregg, 2008). Para epidemiolog menganggap bahwa penyakit tidak terjadi
secara acak, tetapi hanya terjadi ketika adanya kombinasi atau akumulasi
yang tepat dari faktor risiko atau determinan. Oleh karena itu, guna mencari
determinan tersebut, para epidemiolog menggunakan epidemiologi analitik
untuk menentukan status keduanya.
Masriadi (2012) juga menjelaskan bahwa determinan adalah istilah
yang inklusif, mencakup faktor risiko dan kausa penyakit. Faktor risiko
adalah semua faktor yang berhubungan dengan meningkatnya probabilitas
24
(risiko) terjadinya penyakit. Suatu faktor bisa disebut sebagai faktor risiko
jika faktor tersebut berhubungan dengan terjadinya penyakit, meskipun
hubungan itu tidak harus bersifat kausal (sebab-akibat). Determinan dapat
berupa faktor fisik, biologis, sosial, kultural, maupun perilaku yang dapat
memengaruhi terjadinya penyakit.
2.3 Daerah Rural
Definisi dari rural atau pedesaan bermacam-macam, tergantung dari
siapa yang mendefinisikannya dan apa tujuan dari dari pendefinisian tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan daerah rural sebagai suatu
wilayah administratif setingkat desa/kelurahan yang belum memenuhi kriteria
klasifikasi wilayah perkotaan, yaitu persyaratan tertentu dalam hal kepadatan
penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan sejumlah fasilitas
perkotaan, sarana pendidikan formal, sarana kesehatan umum, dan sebagainya
(Peraturan BPS Nomor 3 Tahun 2010). Adapun fasilitas perkotaan yang
dimaksud, yaitu sekolah Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Sekolah Menengah Umum (SMU), pasar, pertokoan,
bioskop, rumah sakit, hotel/bilyar/diskotek/panti pijat/salon, persentase rumah
tangga yang menggunakan telepon dan persentase rumah tangga yang
menggunakan listrik.
Suatu daerah dapat dikatakan sebagai daerah urban jika memenuhi
kriteria berikut ini:
25
Tabel 2.1
Variabel, Klasifikasi, Skor dan Kriteria Desa Urban dan Rural
Variabel Skor
[1] [2]
Total Skor
Skor minimum 2
Skor maksimum 26
1. Kepadatan Penduduk
< 500 1
500 – 1.249 2
1.250 – 2.499 3
2.500 – 3.999 4
4.000 – 5.999 5
6.000 – 7.499 6
7.500 – 8.499 7
8.500 < 8
2. Persentase rumah tangga pertanian
70,00 < 1
50,00 – 69,99 2
30,00 – 49,00 3
20,00 – 29,99 4
15,00 – 19,99 5
10,00 – 14,99 6
5,00 – 9,99 7
< 5,00 8
3. Akses fasilitas umum 0,1,2,….10
a) Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK)
Ada atau ≤ 2,5 km 1
> 2,5 km 0
b) Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Ada atau ≤ 2,5 km 1
> 2,5 km 0
c) Sekolah Menengah Umum (SMU)
Ada atau ≤ 2,5 km 1
> 2,5 km 0
d) Pasar
Ada atau ≤ 2 km 1
> 2 km 0
e) Pertokoan
Ada atau ≤ 2 km 1
> 2 km 0
f) Bioskop 1
26
Ada atau ≤ 2 km 0
> 2 km
g) Rumah Sakit 1
Ada atau ≤ 5 km 0
> 5 km
h) Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon
Ada 1
Tidak ada 0
i) Persentase Rumah Tangga Telepon
≥ 8,00 1
< 8,00 0
j) Persentase Rumah Tangga Listrik
≥ 90,00 1
< 90,00 0
Sumber: Peraturan BPS Nomor 3 Tahun 2010
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel tersebut, jika total skor lebih
dari atau sama dengan 10 maka daerah tersebut dikatakan sebagai daerah
urban. Sebaliknya, jika total skor kurang dari 10, maka daerah tersebut
dikatakan sebagai daerah rural.
Penggolongan daerah atau desa menjadi desa urban atau desa rural
dilakukan oleh BPS untuk keperluan statistik dan keperluan lainnya yang
berhubungan dengan perencanaan pembangunan, seperti untuk kegiatan
sensus penduduk tahun 2010 dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
tahun 2012.
Adapun karakteristik yang terdapat di daerah rural sebagi berikut.
2.3.1 Geografi
Pada tahun 2001 hingga 2010, jumlah kendaraan di Indonesia
meningkatkan tiga kali lipat. Namun, jalan nasional yang melayani
27
lebih dari sepertiga dari lalu lintas kendaraan hanya tumbuh seperempat
saja. Kesenjangan pertumbuhan infrastruktur trasnportasi ini semakin
besar antara daerah urban dan rural. Tingkat infrastruktur transportasi
dan jalan di daerah rural Papua-Maluku lebih rendah dibandingkan
daerah lainnya, khususnya Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Lebih dari
20% jalan di Kalimantan dan Maluku telah rusak. (OECD, 2013)
Kondisi geografis yang sulit di daerah rural menjadi kendala bagi
masyrakat di sana untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan yang ada,
salah satunya adalah fasilitas kesehatan. Data SDKI (2012)
menunjukkan bahwa penduduk di daerah rural menghadapi masalah
yang lebih besar terhadap jarak ke fasilitas kesehatan dibandingkan
penduduk di daerah urban (masing-masing 14% dan 7,3%).
2.3.2 Pendidikan
Berdasarkan SDKI tahun 2012, wanita yang tinggal di daerah rural
memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan wanita
yang tinggal di daerah urban, khususnya pada tingkat pendidikan
SMTA dan perguruan tinggi (BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF
International 2013). Hal ini karena pemerataan layanan pendidikan
menengah belum sepenuhnya mampu menjangkau penduduk kurang
beruntung yang disebabkan kondisi geografis (misalnya daerah
terpencil dan perbatasan) dan kondisi sosial ekonomi (Kemendikbud,
2012). Pelaksaanaan desentralisasi pendidikan yang belum mantap
28
karena kurangnya kejelasan pembagian tugas dan tanggung jawab antar
tingkat pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) menjadi
salah satu penyebab manajemen tata kelola pendidikan yang belum
efektif, khususnya dalam hal fungsi dan pendanaan.
2.3.3 Ekonomi
Berdasarkan SDKI (2012), lebih dari setengah penduduk rural
(60%) di Indonesia berada dalam kuintil terbawah dan menengah
bawah. Sedangkan sepertiga penduduk daerah urban (33%) berada
dalam kuintil tertinggi.
Ekonomi di daerah rural dapat berdampak pada perilaku seseorang
ketika sakit dalam pencarian pengobatan (Bushy, 2009). Pemerintah
telah menyediakan asuransi kesehatan, seperti Jaminan Persalinan
(Jampersal) dan Jaminan Kesehatan Masyrakat (Jamkesmas) untuk
memudahkan masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Namun, kesadaran masyarakat daerah rural untuk menggunakan
asuransi kesehatan tersebubut masih rendah. Unicef (2012) melaporkan
bahwa masih kurang kesadaran perempuan tentang kelayakan dan
manfaat Jampersal serta tingkat penggantian biaya yang tidak memadai,
khususnya jika termasuk biaya transportasi dan komplikasi. Masyarakat
sudah dijelaskan tentang biaya persalinan yang gratis dengan ditolong
bidan di desa di fasilitas kesehatan, namun mereka masih takut jika
29
kemudian diminta untuk membayar biaya persalinan (Titaley, dkk.,
2010).
Penelitian di Pandeglang menemukan bahwa wanita yang memiliki
pengetahuan yang baik tentang Jampersal lebih tinggi untuk
memanfaatkan pelayanan Jampersal (Suparmi, dkk., 2013). Selain itu,
sosialisasi kebijakan Jampersal sangat kurang, baik kepada pemerintah
daerah kabupaten/kota dan unit-unit pelaksana, maupun kepada
masyarakat pengguna (Helmizar, 2014).
Secara nasional, tingkat pengeluaran Jampersal pada tahun 2011
adalah 41,5% di mana pengeluaran tertinggi di wilayah Bali dan Nusa
Tenggara (82,86%) dan terendah di wilayah Papua (13,02%)
(Dwicaksono dan Setiawan, 2013).
Heywood dan Choi (2010) menyebutkan bahwa meskipun terjadi
peningkatan alokasi dana kesehatan yang signifikan oleh pemerintah
Indonesia, namun tidak terdapat hubungan antar pengeluaran kesehatan
pemerintah di tingkat kabupaten dengan keluaran sistem kesehatan yang
diharapkan. Alokasi dana transfer secara efektif tidak sesuai dengan
besarnya permasalahan kesehatan ibu yang dihadapi oleh daerah
(Dwicaksono dan Setiawan, 2013). Artinya, pemerintah pusat gagal
dalam menggunakan sumber daya untuk mengatasi masalah kesehatan
ibu di daerah.
30
2.3.4 Kesehatan Maternal
Berdasarkan SDKI (2012), sebanyak 63% anak yang lahir dalam 5
tahum sebelum survei dilahirkan di fasilitas kesehatan, yaitu 17% di
fasilitas kesehatan pemerintah dan 46% di fasilitas kesehatan swasta.
Pemanfaatan pelayanan kesehatan untuk persalinan ditemui jauh lebih
tinggi di daerah rural dibandingkan di daerah urban, yaitu masing-
masing 47% dan 80%.
Proporsi kelahiran yang dibantu oleh tenaga medis profesional di
Indonesia meningkat dari 73% pada SDKI 2007 menjadi 83% pada
SDKI 2012. Namun, proporsi penolong persalinan oleh tenaga
kesehatan di daerah rural lebih rendah dibandingkan persentase
nasional, yaitu sebesar 74,6%. Meskipun kelahiran ditolong oleh dukun
bayi sudah bergeser, namun dukun bayi masih berperan penting dalam
menolong persalinan, terutama di daerah rural (20%) dan ibu dengan
kuintil kekayaan terendah (32%).
Program pemerintah berupa bidan di desa (BDD), yaitu pelatihan
dan penyebaran bidan di daerah rural, secara dramatis mengurangi
kesenjangan sosial ekonomi terkait penolong persalinan oleh tenaga
kesehatan terlatih (Hatt, dkk., 2007). Namun, di beberapa wilayah di
daerah rural dilaporkan bahwa masyarakat sulit menjangkau bidan di
desa.
Sulitnya penduduk di daerah rural dan daerah terpencil untuk
menjangkau bidan di desa telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya
31
(Makowiecka, dkk., 2007). Jika dibandingkan di daerah urban,
kepadatan bidan di desa lebih rendah terjadi di daerah rural dan daerah
terpencil. Akibatnya, setiap bidan di desa sebagai penyedia pelayanan
kesehatan memiliki beban tugas yang lebih besar karena jangkauan
wilayah kerja yang luas. Di sisi lain, kondisi tersebut tidak didukung
oleh sarana transportasi yang memadai sehingga menyulitkan bidan di
desa untuk menjangkau wanita bersalin atau merujuknya ke rumah sakit
jika terjadi komplikasi. Hal ini yang kemudian menjadi penyebab
kurang familiarnya bidan di desa di dalam kelompok masyarakat.
Makowiecka, dkk. (2007) juga menemukan bahwa di provinsi
Banten, kurang dari 30% bidan di desa tinggal menetap di desa. Mereka
lebih tertarik untuk tinggal di daerah urban karena dapat
mengembangkan karirnya. Sebagai tambahan penghasilan, mereka
membuka klinik sendiri di daerah urban.
Karena masih tingginya penolong persalinan oleh dukun
bayi/paraji, salah satu upaya Kementerian Kesehatan RI untuk
mengurangi angka kematian ibu dan angka kematian bayi, yaitu melalui
Dinas Kesehatan Provinsi melakukan beberapa pelatihan bagi paraji
untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang kehamilan dan
persalinan, terutama bagaimana untuk mendeteksi kehamilan berisiko
tinggi, bagaimana untuk merujuk persalinan yang sulit, dan bagaimana
untuk menangani tali pusar higienis (Ambaretnani, 2012). Selanjutnya,
seorang paraji yang telah terlatih diberikan sepaket alat praktek medis
32
atau Dukun Kit. Paraji dianggap sebagai bagian dari keluarga di
masyarakat karena peran mereka dalam menjaga kesehatan rumah
tangga sehingga tidak hanya membantu saat melahirkan, tetapi juga
membantu selama masa kehamilan dan perawatan pasca persalinan.
Penelitian Sudirman dan Sakung (2012) menemukan bahwa
62,5% dukun bayi bermitra dengan bidan, yaitu dengan hadir bersama-
sama dalam menolong persalinan. Kemitraan ini sangat positif karena
hubungan yang terjalin antar keduanya didasarkan pada saling
menguntungkan, saling menghargai kelemahan dan kelebihan,
berkomunikasi dan memberi informasi, terutama tentang pasien yang
akan melahirkan.
2.4 Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Perilaku seseorang ketika diserang penyakit dan merasakan sakit
bermacam-macam. Perilaku atau respon seseorang ketika sakit menurut
Notoatmodjo (2010), yaitu:
a. Tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa.
b. Tindakan mengobati sendiri.
c. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional.
d. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang
diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta.
Persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit erat hubungannya dengan
perilaku pencarian pengobatan. Hal tersebut akan memengaruhi atas dipakai
33
atau tidaknya fasilitas kesehatan yang disediakan (Notoatmodjo, 2010).
Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan merupakan respons individu
terhadap sistem pelayanan kesehatan modern dan atau tradisional, meliputi
respons terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan kesehatan, perilaku
terhadap petugas, dan respons terhadap pemberian obat-obatan (Maulana,
2009). Respons ini terwujud dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap,
penggunaan fasilitas, sikap terhadap petugas dan obat-obatan.
Andersen (1960-an) menggambarkan model perilaku pemanfaatan
pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu karakteristik
predisposisi, sumber daya pendukung dan kebutuhan (Andersen, 1995).
Model Andersen ini diilustrasikan pada Bagan 2.1.
Bagan 2.1
Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Sumber: Andersen (1995)
Predisposing
Charahcteristics
Enabling
Resources
Need Use of
Health
Services
Demographic
ccc
Social
Structure
Health
Beliefs
Personal/Family
Community
Perceived
Evaluated
34
Berdasarkan bagan tersebut, faktor predisposisi meliputi tiga hal, yaitu
demografi, struktur sosial, dan kepercayaan kesehatan. Sedangkan faktor
pendukung meliputi dukungan pada keluarga dan komunitas serta faktor
kebutuhan meliputi kebutuhan yang dirasakan dan yang dinilai.
Bagan 2.2
Determinan Individu dalam Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Sumber: Andersen dan Newman (2005)
Demographic
Age
Sex
Marital Status
Past Ilness
Social Structure
Education
Race
Occupation
Family Size
Ethnicity
Religion
Residential Mobility
Beliefs
Value Concerning
Health and Illness
Attitudes toward
Health Services
Knowledge about
Disease
Family
Income
Health Insurance
Type of Regular
Source
Access to Regular
Source
Community
Ratios of Health
Personnel and
Facilities to
Population
Price of Health
Services
Region of Country
Perceived
Disability
Symptoms
Diagnoses
General States
Evaluated
Symptoms
Diagnoses
Predisposing Enabling Illness Level
35
Bagan 2.2 memperlihatkan determinan individu dalam pemanfaatan
pelayanan kesehatan sebagai salah satu komponen teori perilaku pemanfaatan
pelayanan kesehatan yang kembali dipublikasikan oleh Andersen dan
Newman pada tahun 1973 (Andersen dan Newman, 2005). Mereka
menekankan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga
hal, yaitu karakteristik sistem pelayanan kesehatan, perubahan teknologi,
norma sosial dan perawatan penyakit, dan determinan individu dalam
pemanfaatan pelayanan kesehatan (Andersen dan Newman, 2005). Pada sub-
bab ini, penulis hanya membahas determinan individu dalam pemanfaatan
pelayanan kesehatan sebagai acuan kerangka teori penelitian yang dapat
dilihat pada Bagan 2.2.
2.4.1 Karakteristik Predisposisi (Andersen, 1995)
Karakteristik predisposisi menggambarkan kecenderungan individu
yang berbeda-beda untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan
berdasarkan karakteristik yang mereka miliki. Karakteristik predisposisi
meliputi faktor demografi, struktur sosial dan sikap atau keyakinan
tentang kesehatan.
Faktor demografi, seperti usia dan jenis kelamin merupakan
variabel yang sangat erat berkaitan dengan kesehatan dan penyakit.
Perawatan medis yang diterima antar kelompok usia akan berbeda
karena memiliki jenis dan jumlah penyakit yang berbeda. Riwayat
36
penyakit pada masa lalu juga menjadi variabel demografi karena
tedapat bukti yang menemukan bahwa orang yang mengalami masalah
kesehatan di masa lalu adalah yang paling mungkin untuk membuat
keputusan dalam perawatan medis di masa depan.
Faktor struktur sosial mencerminkan penentu status seseorang
dalam masyarakat, kemampuannya dalam mengatasi masalah yang ada
dan keadaan sehat tidaknya lingkungan fisik tempat dia berada.
Pendidikan, pekerjaan, dan etnis merupakan contoh faktor struktur
sosial yang mungkin berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan
kesehatan.
Selain demografi dan struktur sosial, keyakinan terhadap kesehatan
juga menjadi variabel dari predisposisi. Keyakinan terhadap kesehatan
adalah sikap, nilai dan pengetahuan seseorang tentang kesehatan dan
pelayanan kesehatan yang memengaruhi persepsi kebutuhan dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Keyakinan terhadap kesehatan
merupakan suatu hal yang dapat menjelaskan bagaimana struktur sosial
dapat memengaruhi sumber daya pendukung, kebutuhan dan
selanjutnya memanfaatan pelayanan kesehatan.
Dalam pengaplikasiannya, karakteristik predisposisi merupakan
komponen yang memengaruhi ibu dalam pemanfaatan pelayanan nifas.
Faktor-faktor predisposisi yang memengaruhi adalah sebagai berikut.
37
a. Pendidikan
Pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU RI No. 12
tahun 2012). Pendidikan formal merupakan jalur pendidikan
terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (UU RI No. 9 tahun
2009).
Pendidikan berperan terhadap perilaku seseorang
(Notoadmodjo, 2010). Pendidikan umumnya menyebabkan
tingginya pemanfataan pelayanan kesehatan (Morreale, 1998).
Penelitian Doraon (2012) dan Ugboaja, dkk. (2013) menemukan
bahwa terdapat hubungan antara peningkatan pemanfaatan
pelayanan nifas dengan tingginya pendidikan ibu. Hal serupa juga
diperoleh Paudel, dkk. (2013) bahwa ibu yang berpendidikan
menengah dan atas lebih besar kemungkinannya untuk
memanfaatkan layanan nifas awal (24 jam setelah bersalin).
Menurutnya, pendidikan memungkinkan untuk memberdayakan
individu untuk mendapatkan akses informasi tentang promosi
kesehatan, informasi untuk mendapatkan pelayanan dan pentingnya
38
layanan yang tersedia. Orang-orang yang berpendidikan juga
cenderung dapat memproses informasi kesehatan.
Selain itu, penelitian Khanal, dkk. (2014) menemukan bahwa
ibu dengan pendidikan tinggi lebih mungkin untuk berkunjung ke
pelayanan nifas karena semakin tinggi tingkat pendidikan maka
semakin besar kemungkinan memperoleh informasi tentang risiko
kesehatan, pentingnya dan manfaat mengakses pelayanan
kesehatan. Selain berperannya pendidikan ibu, Ejaz dan Ahmad
(2013) juga menemukan bahwa semakin tingginya pendidikan
suami maka semakin tinggi pemanfaatan pelayanan nifas.
Pendidikan dianggap penting dalam menanamkan kesadaran
tentang masalah kesehatan dan peduli untuk mencarai kesehatan
yang layak.
Meski demikian, terdapat juga beberapa penelitian yang tidak
sependapat. Penelitian Dhaher, dkk. (2008) dan Berhe, dkk. (2013)
menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
pendidikan ibu dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Fitria dan
Puspitasari (2011) juga menemukan bahwa ibu nifas yang tamat
SD cenderung melaksanakan pelayanan nifas dibandingkan ibu
nifas yang berpendidikan SMP dan SMA karena kemungkinan ibu
dengan pendidikan lebih tinggi merasa lebih tahu akan kondisi
tubuhnya.
39
b. Pekerjaan
Pekerjaan yang sering disebut sebagai profesi adalah sesuatu
yang dilakukan manusia yang dilakukan dengan cara yang baik dan
benar dengan tujuan mendapatkan imbalan berbentuk uang untuk
memenuhi kebutuhan hidup (Sofianty, dkk., 2007). Alasan bekerja
selain untuk mendapatkan uang adalah untuk mengembangkan
potensi atau kemampuan diri. Namun, terdapat juga pekerjaan yang
dilakukan untuk kepentingan bersama dan tidak menghasilkan
uang, seperti seorang ibu rumah tangga yang bekerja untuk
mengurus rumah dan mengatur keperluan keluarga (Sofianty, dkk.,
2007).
Pada saat ini banyak para ibu yang bekerja di luar rumah
karena tuntutan ekonomi dalam keluarga. Menurut Berhe, dkk.
(2013), tingkat pekerjaan ibu dan suami berhubungan secara
signifikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian ini juga
menemukan bahwa ibu yang bekerja lebih besar kemungkinannya
untuk mengunjungi pelayanan nifas daripada wanita yang tidak
bekerja.
Lebih jauh lagi, Khannal, dkk. (2014) menemukan bahwa ibu
yang bekerja sebagai petani lebih kecil kemungkinannya untuk
berkunjung ke pelayanan nifas. Begitu juga dengan ibu yang
suaminya bekerja sebagai petani lebih kecil kemungkinannya untuk
berkunjung ke pelayanan nifas. Hal ini terjadi karena bentroknya
40
jam ibu bekerja dengan jam buka pelayanan nifas. Selain itu juga
karena alasan pendapatan yang dihasilkan dari bertani.
Meski demikian, terdapat juga banyak penelitian yang tidak
menemukan adanya hubungan antara pekerjaan dengan kunjungan
ibu ke pelayanan nifas, seperti penelitian Fitria dan Puspitasari
(2011), Ugboaja, dkk. (2013), Ejaz, dkk. (2013), dan Nugraha
(2013).
c. Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah hasil penginderaan manusia,
atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang
dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Pengetahuan
seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang
berbeda-beda yang dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan
persepsi terhadap objek. (Notoajmodo, 2010)
Beberapa penelitan menemukan bahwa pengetahuan
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi wanita untuk
memanfaatkan pelayanan nifas. Wanita yang memiliki pengetahuan
tentang komplikasi kehamilan secara signifikan lebih besar
kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas saat 24 jam
setelah persalinan (Kim, dkk., 2013). Hasil tersebut tidak jauh
berbeda dengan penelitian Ugboaja, dkk. (2013) bahwa alasan
utama wanita Nigeria tidak mengunjungi pelayanan nifas setelah
41
melahirkan adalah kurangnya pengetahuan tentang perawatan yang
dibutuhkan pasca melahirkan.
Penelitian eksperimental yang dilakukan Syed, dkk (2006) di
Bangladesh menemukan bahwa adanya peningkatan pemanfaatan
pelayanan nifas secara signifikan sebesar 37,5% dari 24,2% pada
tahun 2002 menjadi 61,7% pada tahun 2004 setelah diberikannya
intervensi tentang pengetahuan. Pengetahuan ibu tentang
setidaknya dua tanda bahaya pada periode postpartum meningkat
sebesar 17% dari 47,1% di tahun 2002 menjadi 64% di tahun 2004.
Pengetahuan tentang fasilitas kesehatan ibu lebih tinggi di
antara orang-orang yang mendapatkan pendidikan formal
(Yar‟zever dan Said, 2013). Pengetahuan yang didapat dari
pendidikan memberikan kemudahan bagi individu dalam
mengakses informasi dan memanfaatkan pelayanan untuk
meningkatkan kesehatan diri sendiri dan keluarganya (Higgins,
Lavin dan Metcalfe, 2008; Paudel, dkk., 2013).
Namun, beberapa penelitian juga menemukan bahwa
pengetahuan tidak memepengaruhi wanita untuk memanfaatkan
pelayanan nifas. Berhe, dkk (2013) tidak menemukan adanya
hubungan yang signifikan antara pengetahuan wanita di Etiopia
tentang perawatan pasca persalinan dengan pemanfaatan pelayanan
nifas. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada
wanita di daerah Mazabuka, Zambia (Jacobs, 2007). Meskipun para
42
wanita memiliki pengetahuan yang tinggi tentang perawatan/
pelayanan nifas, mereka tidak benar-benar mengerti secara
mendalam tentang pelayanan nifas. Hanya beberapa dari mereka
yang berpengetahuan yang memanfaatkan pelayanan nifas.
Perilaku masyarakat yang erat kaitannya dengan upaya
peningkatan pengetahuan masyarakat dapat terbentuk melalui
kegiatan yang disebut pendidikan kesehatan (Maulana, 2009).
Pendidikan kesehatan adalah proses yang direncanakan dengan
sadar untuk menciptakan peluang bagi individu-individu untuk
senantiasa belajar memperbaiki kesadaran serta meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya demi kepentingan kesehatannya
(Nursalam dan Efendi, 2008). Pendidikan kesehatan dapat
diberikan dalam bentuk memberikan informasi dan mendidikan
masyarakat tentang cara hidup yang sehat (Chandra, 2009).
d. Urutan Kelahiran
Sejumlah penelitian menemukan bahwa nomor urut kelahiran
berhubungan secara signifikan dengan pemanfaaatan pelayanan
nifas. Khanal, dkk (2014) menemukan bahwa tingginya
pemanfaatan pelayanan nifas terjadi pada kelahiran anak pertama
(61,8%) dan kedua atau ketiga (41,2%). Begitu juga dengan Singh,
dkk. (2012) yang menemukan bahwa tingginya pemanfaatan
43
pelayanan nifas terjadi pada kelahiran anak pertama (37,4%) dan
kedua aatu ketiga (32,8%).
Ibu dengan pengalaman persalinan pertama lebih besar
kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas
dibandingkan ibu dengan jumlah persalinan yang banyak (Adamu,
2011). Jumlah anak yang banyak biasanya berhubungan dengan
peningkatan tanggung jawab secara fisik dan materi sehingga ibu
memiliki waktu dan sumber keuangan yang sedikit untuk merawat
diri sendiri.
Singh, dkk. (2012) juga menemukan bahwa remaja wanita
yang melahirkan anak keempat atau lebih maka lebih kecil
kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas daripada
ibu yang melahirkan anak pertama, kedua atau ketiga. Hal ini bisa
jadi karena wanita dengan anak pertama lebih berhati-hati tentang
kehamilan dan cenderung memiliki kesulitan selama persalinan.
Pengalaman dan pengetahuan ibu yang pernah melahirkan
sebelumnya juga dapat menjadi alasan rendahnya pemanfaatan
pelayanan nifas pada ibu yang memiliki anak dengan urutan
kelahiran tinggi. Hal tersebut memengaruhi persepsi dan keyakinan
tentang kesehatan diri sendiri.
Namun, beberapa penelitian juga menemukan bahwa nomor
urut kelahiran tidak berhubungan dengan pemanfaaatan pelayanan
nifas. Penelitian Islam dan Odland (2011) menemukan bahwa tidak
44
terdapat hubungan yang bermakna antara urutan kelahiran dengan
pemanfaatan pelayanan nifas. Bahkan pemanfaatan pelayanan nifas
lebih tinggi terjadi pada ibu yang melahirkan anak kedua dan ke
empat dibandingkan anak pertama dan ketiga. Fort, dkk (2006)
juga menemukan bahwa di negara berkembang, termasuk
Indonesia, ibu yang melahirkan anak pertama lebih banyak yang
mendapatkan pelayanan nifas dibandingkan melahirkan anak yang
kedua atau lebih. Namun, jika melahirkan di non-fasilitas
kesehatan, pemfantaan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada ibu
yang melahirkan anak kelima atau lebih dibandingkan anak dengan
urutan kelahiran kecil.
e. Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC)
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa
kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan
antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan
(SPK) (Kemenkes RI, 2010). Frekuensi pelayanan antenatal adalah
minimal 4 kali selama masa kelaminan, yaitu minimal 1 kali pada
triwulan pertama, minimal 1 kali pada triwulan kedua dan minimal
2 kali pada triwulan ketiga.
Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa kunjungan ibu ke
pelayanan antenatal berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan
45
nifas pasca persalinan. Hal tersebut ditunjukkan dari penelitian
Chimankar dan Sahoo (2011) yang menemukan bahwa
pemanfaatan pelayanan antenatal memiliki dampak positif pada
pemanfaatan pelayanan nifas. Kunjungan ke pelayanan antenatal
meningkatkan kemungkinan bagi wanita untuk memanfaatkan
pelayanan nifas (Ugboaja, dkk., 2013).
Paudel, dkk. (2013) juga menemukan bahwa ibu yang
berkunjung ke pelayanan antenatal sebanyak 4 kali atau lebih atau
sebanyak 1 sampai 3 kali, lebih besar kemungkinannya untuk
memanfaatkan pelayanan nifas daripada ibu yang tidak datang ke
pelayanan antenatal. Hasil ini sejalan dengan penelitian Khanal,
dkk., (2014) yang juga menemukan bahwa ibu yang berkunjung
sebanyak 4 kali atau lebih ke pelayanan antenatal lebih besar
kemungkinannya untuk berkunjung ke pelayanan nifas setelah
bersalin daripada ibu yang tidak berkunjung ke pelayanan
antenatal.
Standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar di Indonesia
juga disebutkan bahwa pada saat kunjungan ANC, terdapat sesi
konseling yang membahas persiapan persalinan (Kemenkes, 2013).
Saat datang ke pelayanan antenatal, ibu hamil memperoleh
informasi kesehatan tentang persiapan yang dibutuhkan untuk
persalinan dan pemanfaatan layanan lebih lanjut yang dibutuhkan
setelah persalinan. Pada sesi konseling dengan tenaga kesehatan
46
tersebut, ibu hamil memperoleh informasi tentang pemanfaatan
pelayanan nifas. Oleh sebab itu, ibu hamil mungkin beranggapan
bahwa pelayanan nifas penting dan telah tersedia di sana. (Paudel,
dkk., 2013)
Meski demikian, beberapa penelitian menemukan bahwa
tidak terdapat hubungan antara kunjungan ANC dengan
pemanfaatan pelayanan nifas. Dhaher, dkk. (2008) dan Berhe, dkk.
(2013) juga menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara kunjungan ke pelayanan antenatal dengan kunjungan ke
pelayanan nifas. Meskipun tidak ada hubungan, Berhe, dkk. (2013)
berkeyakinan bahwa penting untuk mendidik para ibu hamil
tentang pelayanan nifas untuk meningkatkan kesadaran mereka
ketika berkunjung ke pelayanan antenatal.
Alasan ibu yang tidak berkunjung ke pelayanan antenatal
bermacam-macam. Titaley, dkk., 2010) menemukan bahwa alasan
utama wanita di Garut, Sukabumi dan Ciamis berkunjung ke ANC
dan pelayanan nifas adalah untuk memastikan keselamatan ibu dan
bayinya. Sebaliknya, alasan di antara mereka tidak memanfaatkan
ANC maupun pelayanan nifas adalah karena kurangnya kesadaran
mereka tentang pentingnya memanfaatkan pelayanan kesehatan ibu
dan anak. Beberapa di antara mereka berpendapat bahwa pelayanan
kesehatan hanya dibutuhkan jika terjadi komplikasi kehamilan.
47
Titaley, dkk (2010) juga menjelaskan bahwa di sana,
finansial adalah alasan utama mereka tidak berkunjung ke ANC.
Hal ini berhubungan dengan biaya fasilitas kesehatan, biaya
transportasi maupun keduanya. Penelitian Titaley, dkk., (2010)
sebelumnya juga telah menemukan bahwa rendahnya pemanfaatan
pelayanan antenatal (ANC) di Indonesia berhubungan secara
signifikan dengan kuintil kekayaan yang rendah.
Kunjungan ANC yang tidak dilakukan oleh wanita selama
hamil juga dapat dipengaruhi oleh kepercayaan yang menjadi
budaya di lingkungannya. Wanita di daerah rural Jawa Barat
beranggapan bahwa kehamilan adalah peristiwa yang normal
sehingga tidak butuh perawatan kecuali jika terjadi komplikasi
(Agus, dkk., 2012). Hal serupa juga terjadi di derah rural
Bangladesh bahwa wanita umumnya menganggap kehamilan
sebagai peristiwa normal kecuali jika muncul komplikasi sehingga
sebagian dari mereka tidak berkunjung ke ANC dan tidak ada
persiapan sebelumnya untuk menghadapi persalinan (Choudhury
dan Ahmed, 2011).
Selain itu, kunjungan ANC juga diketahui berhubungan
dengan pendidikan. Seperti di Ethiopia, wanita di daerah rural
dengan tingkat pendidikan sekunder 4 kali lebih besar
memanfaatkan pelayanan antenatal (Mekonnen, 2002).
48
2.4.2 Sumber Daya Pendukung (Andersen, 1995)
Setiap orang memiliki kecenderungan masing-masing dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan karakteristik
predisposisinya. Namun, untuk bisa memanfaatkan pelayanan kesehatan
tersebut, mereka harus memiliki berbagai sumber daya pendukung.
Sumber daya pendukung didefinisikan sebagai suatu kondisi yang
memungkinkan seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Sumber daya pendukung meliputi
sumber daya individu/keluarga dan sumber daya komunitas.
Pendapatan, asuransi kesehatan, sumber rutin perawatan, aksesibilitas
merupakan contoh sumber daya pendukung.
Ketersediaan fasilitas ke pelayanan kesehatan merupakan contoh
sumber daya pendukung komunitas. Jika jumlah fasilitas dan tenaga
kesehatan dalam komunitas cukup banyak dan dapat digunakan tanpa
antri, maka kemungkinan penduduk disana akan lebih sering
memanfaatkannya.
Selain itu, wilayah negara, sifat daerah urban-rural dari masyarakat
di mana keluarga tinggal juga menjadi sumber daya pendukung
komunitas. Hal-hal tersebut kemungkinan terkait dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan karena adanya norma-norma lokal atau masyarakat
yang memengaruhi perilaku hidup dalam masyarakat.
Adapun sumber daya pendukung yang memengaruhi ibu dalam
pemanfaatan pelayanan nifas adalah sebagai berikut.
49
a. Kuintil Kekayaan
Status atau kuintil kekayaan diyakini berhubungan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas. Ibu dengan status keluarga kaya
lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas
(Khanal, dkk., 2014). Hal ini karena adanya sumber dana yang
mereka miliki untuk memperoleh layanan berikutnya pasca
persalinan, seperti pelayanan nifas.
Temuan tersebut juga sama dengan hasil penelitian Nugraha
(2013) bahwa ibu yang mempunyai tingkat ekonomi menengah-
tinggi lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan
nifas dibandingkan ibu yang rendah tingkat ekonominya. Fort, dkk
(2006) juga menemukan bahwa ibu dengan kuintil kekayaan tinggi
di negara Bangladesh, Cambodia, Ethiopia, Haiti, Indonesia, Mali,
Rwanda, dan Uganda, lebih tinggi pemanfaatan nifasnya
dibandingkan ibu dengan kuintil kekayaan yang lebih rendah.
Selain itu, penelitian di Sukabumi dan Ciamis bahwa
finansial menjadi masalah utama wanita di sana untuk
memanfaatkan pelayanan nifas terkait biaya pelayanan kesehatan,
biaya transportasi atau keduanya (Titaley, dkk., 2010). Masyarakat
rural di Provinsi Nort West, Afrika Selatan juga memiliki masalah
yang sama bahwa meskipun mereka menyadari mencari pelayanan
kesehatan adalah suatu kebutuhan ketika sakit, namun mereka
terkendala dengan minimnya dana yang dimiliki, tidak hanya untuk
50
biaya berobatnya saja, tetapi juga untuk biaya transportasi ke
fasilitas kesehatan (Hoeven, dkk., 2012).
Tingkat kesadaran seseorang pada kuintil kekayaan tertentu
dapat memepengaruhi pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian
Choundhury dan Ahmed (2011) bahwa alasan wanita dengan
tingkat ekonomi sangat miskin di Bangladesh tidak pergi ke
fasilitas kesehatan ketika merasa sakit pasca persalinan adalah
karena tidak menyadari tentang adanya pemeriksaan kesehatan
nifas. Badan yang lemas dan demam dianggap sebagai hal yang
umum terjadi pada masa nifas. Khanal, dkk. (2014) juga
menjelaskan bahwa wanita dengan tingkat sosial ekonomi yang
tinggi lebih menyadari manfaat dari mendapatkan pelayanan nifas
melalui berbagai media, seperti televisi, surat kabar dan teman-
temannya dibandingkan wanita dengan tingakat sosial ekonomi
rendah.
Pendapatan yang rendah merupakan hambatan terhadap
pemanfaatan pelayanan kesehatan modern di Indonesia, meskipun
pelayanan tersebut disediakan oleh pemerintah (Chernichovsky dan
Meesook, 1986). Pemanfaatan pelayanan kesehatan membutuhkan
biaya yang tidak sedikit, yaitu biaya pelayanan dan biaya lainnya,
termasuk obat-obatan, transportasi, makanan dan minuman dan
biaya lainnya selama kunjungan perawatan kesehatan (Utomo,
dkk., 2011). Biaya subsidi kesehatan oleh pemerintah melalui
51
sektor publik belum memadai untuk membuat layanan kesehatan
gratis, khususnya bagi masyarakat miskin. Hal ini juga terlihat dari
lebih banyaknya wanita yang bersalin di fasilitas kesehatan swasta
dibandingkan fasilitas kesehatan pemerintah.
b. Tempat Persalinan
Fasilitas kesehatan di Indonesia lebih banyak yang
merupakan milik swasta dibandingkan milik pemerintah. Penelitian
di 15 kabupaten/kota di pulau Jawa ditemukan bahwa 90% fasilitas
kesehatan yang ada adalah milik swasta (Heywood dan Harahap,
2009). Sebanyak 95% dari fasilitas kesehatan swasta tersebut
merupakan milik pribadi atau perorangan (dokter praktek, dokter
paruh waktu, perawat paruh waktu, bidan di desa, dan bidan
praktek).
Unicef (2012) melaporkan bahwa proporsi persalinan di
fasilitas kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu sebesar 55%
dan adanya kesenjangan yang besar di mana persalinan di fasilitas
kesehatan sebesar 113% di daerah urban lebih tinggi daripada di
daerah rural. Selain itu, lebih dari setengah perempuan di 20
provinsi tidak mampu atau tidak mau menggunakan jenis fasilitas
kesehatan apapun, sebagai penggantinya mereka melahirkan di
rumah mereka sendiri. Selain itu, penelitian Utomo, dkk. (2011)
52
juga menemukan bahwa di Indonesia, setengah dari penolong
persalinan oleh tenaga kesehatan dilakukan di rumah responden.
Tempat persalinan diyakini berhubungan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas. Ini ditunjukkan dengan beberapa
penelitian yang menemukan bahwa pemanfaatan pelayanan nifas
lebih tinggi terjadi pada wanita yang melahirkan di fasilitas
kesehatan dibandingkan melahirkan di rumah (Ejaz, dkk., 2013;
Oluwaseyi, 2013; Paudel, dkk., 2013; Kim, dkk., 2013, Khanal,
dkk., 2014, Yamashita, dkk., 2014).
Rata-rata dari 30 negara yang diteliti, hanya 28% wanita
dengan tempat persalinan di luar fasilitas kesehatan yang menerima
perawatan postpartum (Paudel, dkk., 2013). Paudel, dkk. (2013)
juga menjelaskan bahwa ketika seorang wanita melahirkan di
fasilitas kesehatan, maka dia juga akan diperiksa kondisi
kesehatannya dalam beberapa jam setelah melahirkan oleh petugas
kesehatan sebagai salah satu rangkaian dari pelayanan persalinan.
Di Indonesia, salah satu standar pelayanan di fasilitas kesehatan
dasar oleh tenaga kesehatan adalah memeriksa kesehatan ibu secara
rutin selama 2 jam pertama pasca persalinan (Kemenkes, 2013).
Lebih jauh lagi, jika dibandingkan dengan jenis fasilitas
kesehatannya, wanita yang melahirkan di rumah sakit swasta secara
signifikan dilaporkan lebih besar kemungkinannya mendapatkan
pelayanan nifas daripada wanita yang melahirkan di rumah sakit
53
umum (Dhaher, dkk., 2008). Pemanfaatan pelayanan nifas yang
lebih tinggi pada wanita yang pernah melahirkan di rumah sakit
swasta mungkin karena fakta bahwa rumah sakit swasta memiliki
lebih banyak sumber daya dan karena itu lebih mungkin untuk
memberikan perawatan secara individu kepada pasien. Mereka juga
menemukan bahwa wanita yang melahirkan di rumah sakit swasta
secara signifikan lebih mungkin untuk menerima informasi tentang
tanda-tanda bahaya untuk kesehatan ibu dan bayi daripada wanita
yang melahirkan di rumah sakit umum.
Pemanfaatan fasilitas kesehatan sebagai tempat persalinan
disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor persepsi seesorang dapat
memengaruhi tempat persalinan. Titaley, dkk. (2012) menemukan
adanya persepsi pada penduduk di Jawa Barat bahwa persalinan
adalah fenomena yang alami terjadi pada perempuan sehingga
mereka lebih memilih bersalin di rumah, kecuali jika terjadi
komplikasi maka persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan.
Selain itu, pendidikan dan urutan kelahiran juga diketahui
berhubungan dengan pemanfaatan fasilitas kesehatan sebagai
tempat persalinan. Penelitian pada wanita di Ethiopia ditemukan
bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan
pelayan fasilitas sebagai tempat bersalin (Ethiopian Society of
Population Studies, 2008). Rendahnya persalinan di fasilitas
kesehatan pada ibu dengan urutan kelahiran banyak juga ditemukan
54
memiliki hubungan signifikan pada wanita di Ethiopia (Mehari,
2013).
c. Penolong Persalinan
Saat proses persalinan, sebaiknya ibu ditolong oleh penolong
persalinan utama. Penolong persalinan utama, misalnya dokter,
obsetri, dokter anak, dokter keluarga, perawat praktisi, atau perawat
bidan bersertifikasi (Stright, 2005). Persalinan yang ditolong oleh
tenaga kesehatan terlatih dapat menekan AKI menjadi sebesar 33%
(Romans, dkk., 2009).
Beberapa penelitian menemukan bahwa penolong persalinan
berhubungan secara signifikan dengan pemanfaatan pelayanan
nifas (Nugraha, 2013; Kim, dkk., 2013; Khanal, dkk., 2014) . Ibu
bersalin yang ditolong oleh tenaga yang terlatih lebih besar
kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas daripada
ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga yang tidak terlatih (Kim,
dkk., 2013).
Paudel, dkk (2013) berpendapat bahwa penolong persalinan
berkaitan dengan tempat persalinan. Ketika ibu melahirkan di
fasilitas kesehatan, maka dipastikan tenaga kesehatan tersedia.
Sehingga, sebagai bagian dari perawatan persalinan, tenaga
kesehatan juga akan menilai situasi ibu dalam beberapa jam setelah
melahirkan.
55
Salah satu tugas seorang bidan adalah melakukan
pemantauan pada ibu dan bayi terhadap terjadinya komplikasi
dalam 2 jam setelah persalinan serta melakukan tindakan yang
diperlukan (Syarifudin dan Hamidah, 2009). Bidan juga bertugas
memberikan pelayanan selama masa nifas melalui kunjungan
rumah pada minggu ke-2 dan minggu ke-6 setelah persalinan.
Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan disebabkan oleh
beberapa faktor. Rahman (2009) menemukan bahwa penolong
persalinan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan antenatal.
Chimankar dan Sahoo (2011) juga menemukan bahwa status
ekonomi yang tinggi secara signifikan meningkatkan persentase
persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
Penelitian Titaley, dkk. (2010) menemukan bahwa alasan
wanita bersalin di Jawa Barat ditolong oleh dukun bayi/paraji
meskipun telah tersedia tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan
adalah karena terkendala jarak yang jauh dan terbatasnya finansial
yang dimiliki. Sejumlah responden menjelaskan bahwa persalinan
ditolong oleh tenaga keeshatan hanya untuk wanita yang
mengalami komplikasi kehamilan. Selain itu, terdapat keterbatasan
penyedia pelayanan kesehatan di daerah terpencil. Di sisi lain,
bidan desa yang terkadang menjadi satu-satunya penyedia layanan
kesehatan, sering melakukan perjalanan keluar desa.
56
Titaley, dkk. (2010) juga menyebutkan bahwa menurut
masyarakat di Jawa Barat, dukun bayi/paraji lebih sabar dan
perhatian dibandingkan bidan di desa yang merupakan tenaga
kesehatan terlatih. Dukun bayi/paraji senantiasa menemani wanita
hamil yang mendekati waktu persalinan. Sedangkan bidan di desa
akan langsung pergi seteleh melakukan pemeriksaan jika dirasa
belum waktunya persalinan dilakukan.
d. Akses ke Fasilitas Kesehatan
Akses dan ketersediaan pelayananan kesehatan menjadi salah
satu pertimbangan bagi seseorang untuk memanfaatkan pelayanan
kesehatan, termasuk pelayanan nifas. Aksesibilitas atau jarak ke
pelayanan kesehatan secara signifikan berhubungan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas (Oluwaseyi, 2013; Eliakimu, 2010).
Hal ini terjadi karena adanya faktor jumlah pelayanan kesehatan
yang tersedia dan lokasi geografisnya, serta akses jalan menuju ke
sana (Eliakimu, 2010).
Ketika lokasi fasilitas kesehatan berada jauh dari masyarakat,
maka akses terhadap fasilitas tersebut menjadi suatu masalah
(Ugboaja, dkk., 2013). Oleh sebab itu, pemanfaatan pelayanan
kesehatan lebih tinggi ketika jarak bukan menjadi masalah yang
berarti (Kim, dkk., 2013). Permasalahan aksesibilitas ke fasilitas
57
kesehatan di Indonesia juga telah dilaporkan pada penelitian
sebelumnya (D‟Ambruoso, dkk., 2008).
Penelitian Islam dan Odland (2011) menemukan bahwa 56,4%
wanita tidak datang ke pelayanan nifas karena lokasi pelayanan
kesehatan yang terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Sedangkan
hasil penelitian Kim, dkk. (2013) menemukan bahwa 36% wanita
menyatakan bahwa jarak ke fasilitas kesehatan menjadi kendala
terbesar bagi mereka untuk memanfaatkan pelayanan nifas. Wanita
yang bertempat tinggal kurang dari 8 km dari pusat pelayanan
kesehatan menerima pelayanan nifas lebih tinggi daripada mereka
yang berada lebih jauh dari pusat pelayanan kesehatan (Islam dan
Odland, 2011). Jangkauan pelayanan kesehatan yang mudah
memungkinakan pemanfaatan pelayanan nifas sebesar 7,388 kali
lebih tinggi daripada jangkauan pelayanan kesehatan yang sulit
(Fitria dan Puspitasari, 2011).
Titaley, dkk. (2010) menemukan bahwa di Jawa Barat,
masalah jarak fasilitas kesehatan yang jauh, kondisi jalan yang
buruk, terbatasnya waktu untuk pergi, dan terbatasnya fasilitas
kesehatan yang tersedia, khususnya di daerah terpencil, menjadi
kendala bagi wanita hamil untuk mendapatkan pelayanan antenatal,
persalinan di fasilitas kesehatan hingga pemanfaatan pelayanan
nifas. Jarak ke pelayanan kesehatan terdekat dengan kondisi jalan
58
yang buruk menyebabkan mereka harus berjalan selama 2 jam.
Situasi menjadi lebih buruk selama musim hujan ketika jalan licin.
Selain jarak ke pelayanan kesehatan, Kim, dkk (2013) juga
menemukan bahwa hampir 7 dari 10 wanita (65%) beralasan
bahwa biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan menjadi
penghalang terbesar bagi mereka untuk mendapatkan pelayanan
medis. Hasil temuan tersebut juga sama dengan Islam dan Odland
(2011) bahwa alasan mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk
perawatan menjadi penyebab mereka tidak mencari pelayanan
nifas. Namun, Eliakimu (2010) menemukan bahwa biaya
pelayanan kesehatan tidak signifikan berpengaruh terhadap
pemanfaatan pelayanan nifas. Hal ini mungkin disebabkan bahwa
hanya sebagian kecil wanita yang diminta untuk membayar biaya
pelayanan nifas.
e. Daerah Tempat Tinggal
Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan
antara daerah tempat tinggal dengan pemanfaatan pelayanan nifas.
Penelitian di Kamboja menunjukkan bahwa pelayanan nifas saat 24
jam pertama setelah persalinan lebih tinggi terjadi di daerah urban
dibandingkan di daerah rural (Kim, dkk., 2013). Hal serupa juga
ditemukan di Nepal bahwa prevalensi kunjungan pelayanan segera
setelah melahirkan lebih tinggi terjadi di daerah urban (Khanal,
59
dkk., 2014). Hasil penelitian tersebut juga secara signifikan
menunjukkan bahwa ibu di daerah urban lebih besar
kemungkinannya untuk berkunjung ke pelayanan nifas dalam 42
hari setelah melahirkan. Hal ini terjadi karena di daerah
pegunungan dan pedesaan di Nepal kurang memiliki akses ke
pelayanan umum, seperti jalan, transportasi, dan pelayanan
kesehatan.
Perbedaan di antara daerah urban dan rural ini terlihat lebih
kontras di beberapa negara, seperti di Mesir, Haiti, Kenya, Mali,
Nepal, Peru, Uganda, dan Zambia; di mana dua kali lebih banyak
wanita yang menerima pelayanan nifas di daerah urban
dibandingkan di dearah rural (Fort, dkk., 2006). Sedangkan di
Indonesia, Fort, dkk. (2006) menemukan bahwa perbedaan di
antara daerah urban dan rural tidak besar.
Meski pemanfaatan pelayanan nifas lebih banyak terjadi di
daerah urban, Fort, dkk. (2006) juga menemukan bahwa jika
persalinan dilakukan bukan di pelayanan kesehatan, maka wanita di
daerah rural lebih besar kemungkinannya untuk menerima
pelayanan nifas dibandingkan wanita di daerah urban yang juga
persalinannya bukan di pelayanan kesehatan. Namun, hal ini bisa
juga terjadi karena adanya upaya program penyediaan pelayanan
nifas yang lebih besar untuk wanita di daerah rural.
60
2.4.3 Kebutuhan
Faktor predisposisi dan faktor pendukung untuk mencari
pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan apabila hal itu dirasakan
sebagai kebutuhan (Anderson, 1974 dalam Notoatmodjo, 2010).
Dengan kata lain, kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung
untuk menggunakan pelayanan kesehatan, jika tingkat predisposisi dan
pendukung tidak ada. Bahkan menurut Anderson, kebutuhan (need)
merupakan variabel yang memberi kontribusi sekitar 43% dan
merupakan faktor terkuat dalam memengaruhi pemanfaatan pelayanan
kesehatan (Anies, 2006).
Kebutuhan disini dibagi menjadi 2 kategori, yaitu kebutuhan yang
dirasakan (preceived) dan kebutuhan yang dinilai (evaluated).
Perceived need merupakan keadaan kesehatan yang dirasakan oleh
individu sebagai manifestasi dari besarnya rasa ketakutan akan
penyakitnya dan hebatnya rasa sakit yang dideritanya (Anies, 2006).
Sedangkan evaluated need merupakan penilaian dokter yang merawat
tentang beratnya penyakit sebagai hasil pemeriksaan medis dan
diagnosis dokter (Anies, 2006).
Komplikasi persalinan merupakan faktor kebutuhan ibu dalam
memanfaatkan pelayanan nifas. Beberapa peneliti meyakini bahwa hal
tersebut dapat berpengaruh pada pemanfaatan pelayanan nifas.
Pelayanan nifas diperlukan untuk mengurangi kesakitan dan kematian
pada ibu (Paudel, dkk., 2013).
61
Wanita yang mendapatkan tanda-tanda bahaya atau komplikasi saat
melahirkan lebih besar kemungkinannya untuk menerima pelayanan
nifas dari petugas kesehatan (Paudel, dkk., 2013). Hasil ini juga sama
dengan penelitian sebelumnya, yaitu Dhaher, dkk. (2008) yang
menemukan bahwa wanita yang tidak mengalami komplikasi selama
persalinan secara signifikan kurang mendapatkan pelayanan nifas
dibandingkan dengan wanita yang mengalami komplikasi persalinan.
Para wanita yang mendapatkan tanda-tanda bahaya atau komplikasi
lebih cenderung beranggapan bahwa mereka memiliki risiko kesakitan
atau kematian sehingga hal tersebut berdampak positif pada
peningkatan pemanfaatan pelayanan nifas (Paudel, dkk., 2013).
Pemanfaatan pelayanan nifas yang rendah dapat disebabkan karena
faktor kesadaran pada ibu nifas. Seperti yang terjadi di Jawa Barat
bahwa karena alasan tidak mengalami komplikasi pasca persalinan
maka wanita di sana merasa tidak membutuhkan pelayanan nifas
(Titaley, dkk., 2010). Hal ini juga terjadi pada wanita di Palestina,
Nigeria dan Etiopia bahwa salah satu alasan mereka tidak
memanfaatkan pelayanan nifas adalah karena tidak merasa sakit setelah
melahirkan sehingga tidak membutuhkan pelayanan nifas (Dhaher,
dkk., 2008; Ugboaja, dkk., 2013; Berhe, dkk., 2013). Hal ini sejalan
dengan Unicef (2012) bahwa cakupan pelayanan nifas tepat waktu yang
rendah kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya prioritas di
antara perempuan terhadap pelayanan ini.
62
Model perilaku pemanfaatan pelayanan ini bersifat luas, yaitu dapat
digunakan untuk mengukur pelayanan rawat jalan, rawat inap, dan perawatan
gigi (Andersen, 1995). Karakteristik yang paling berpengaruh terhadap setiap
jenis pelayanan juga berbeda-beda. Misalnya, pemanfaatan pelayanan rumah
sakit lebih dipengaruhi oleh faktor kebutuhan dan demografi. Sedangkan
pemanfaatan pemeriksaan gigi lebih dipengaruhi oleh faktor struktur sosial,
keyakinan kesehatan dan sumber faktor pendukung.
Pemanfaatan pelayanan juga membutuhkan perhatian terhadap akses
yang adil dan merata (Andersen, 1995). Akses yang adil dan merata
didefinisikan sesuai dengan prediktor atau faktor yang lebih dominan.
Kriteria akses yang adil dan merata tergantung pada jenis pelayanan
kesehatannya. Misalnya, pendapatan merupakan faktor akses yang adil pada
pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Konsep mengubah atau mengintervensi variabel pada penggunaan
terhadap model perilaku ini menjadi penting dalam mempertimbangkan akses
yang adil (Andersen, 2005). Hal yang perlu dilakukan adalah menentukan
apakah variabel-variabel tersebut dapat menjelaskan pemanfaatan pelayanan
kesehatan. Beberapa variabel yang mendukung bisa diubah atau diintervensi
dan mungkin sangat kuat pengaruhnya dengan pemanfaatan.
63
2.5 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) merupakan salah
satu data nasional survei rumah tangga yang dilakukan sebagai bagian dari
proyek internasional „Demographic and Health Survey‟ atau DHS. Survei
sebelumnya dilaksanakan pada tahun 1987, 1991, 1994, 2002-2003, 2007 dan
yang terbaru adalah 2012.
2.5.1 Tujuan Survei
Pada SDKI 2012, responden yang dipilih adalah wanita usia subur
(WUS) 15-49 tahun, pria berstatus kawin usia 15-54 tahun dan remaja
pria usia 15-24 tahun yang belum pernah kawin. Adapun SDKI 2012
dirancang khusus untuk beberapa tujuan, yaitu:
a. Menyediakan data mengenai fertilitas, keluarga berencana,
kesehatan ibu dan anak, kematian ibu, dan kepedulian terhadap
AIDS dan PMS untuk pengelola program, pengambil kebijakan,
dan peneliti untuk membantu mereka dalam mengevaluasi dan
meningkatkan program yang ada.
b. Mengukur tren angka fertilitas dan pemakaian KB, serta
mempelajari faktro-faktor yang memengaruhi perubahannya,
seperti pola dan status perkawinan, daerah tempat tinggal,
pendidikan, kebiasaan menyusui, serta pengetahuan, penggunaan,
serta ketersediaan alat kontrasepsi.
64
c. Mengukur pencapaian sasaran yang dibuat sebelumnya oleh
program kesehatan nasional dengan fokus pada kesehatan ibu dan
anak.
d. Menilai partisipasi dan penggunaan pelayanan kesehatan oleh pria
serta keluarganya.
e. Menciptakan data dasar yang secara internasional dapat
dibandingkan dengan negara-negara lain yang dapat digunakan
oleh pengelola program, pengambil kebijakan dan peneliti dalam
bidang KB, fertilitas dan kesehatan secara umum.
2.5.2 Organisasi Survei
SDKI 2012 dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja
sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Pembiayaan survei
disediakan oleh pemerintah Indonesia. ICF (Inner City Fund)
internasional memberitahukan teknis melalui MEASURE DHS, sebuah
program yang didanai oleh U.S Agency International Development
(USAID) dan menyediakan bantuan teknis dalam pelaksanaan survei
kependudukan dan kesehatan di banyak negara.
Tim pengarah survei dibentuk dengan anggota wakil-wakil dari
BPS, BKKBN, Kemenkes dan Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasioanl. Tim teknis
65
beranggotakan wakil-wakil dari instansi yang sama ditambah Lembaga
Demografi Universitas Indonesia.
Kepala BPS provinsi bertanggung jawab atas segi teknis dan
administratif pelaksanaan survei di daerah masing-masing. Mereka
dibantu oleh koordinator lapangan, yaitu Kepala Bidang Statistik Sosial
di BPS provinsi.
2.5.3 Kuisioner
SDKI 2012 menggunakan empat macam kuisioner, yaitu kuisioner
rumah tangga, kuisioner wanita usia subur, kuisioner pria kawin dan
kuisioner pria belum kawin. Kuisioner rumah tangga maupun kuisioner
WUS SDKI 2012 sebagian besar mengacu pada versi terbaru (Maret
2011) kuisioner standar yang digunakan program DHS VI. Model
kuisioner tersebut disesuaikan dengan kebutuhan di Indonesia.
Beberapa pertanyaan di kuisioner standar DHS tidak dicakup dalam
SDKI 2012 karena kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Selain
itu, kategori jawaban serta tambahan pertanyaan disesuaikan dengan
muatan lokal terkait program di bidang kesehatan dan keluarga
berencana nasional.
66
2.5.4 Uji Coba, Pelatihan dan Lapangan
a. Uji Coba
Sebelum memulai kegiatan di lapangan, kuisioner
diujicobakan di Provinsi Riau dan Nusa Tenggara Timur untuk
memastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan sudah jelas dan dapat
dipahami oleh responden. Uji coba pada tahun 2011 menjadi
penting terkait dengan cakupan sampel berbeda untuk individu
perempuan dari wanita yang pernah kawin umur 15-49 tahun,
menjadi semua umur 15-49 tahun terlepas dari status perkawinan.
Selain itu, ada pertanyaan baru dan tambahan penyesuaian format
pertanyaan yang disesuaikan dengan kuisioner DHS dari ICF
Marco.
Uji coba dilakukan mulai pertengahan Juli hingga pertengahan
Agustus 2011 di empat kabupaten terpilih, yang mencakup 4 blok
sensus perkotaan dan empat blok sensus perdesaan. Kabupaten
yang terpilih untuk uji coba adalah Pekanbaru dan Kabupaten
Kampar (Provinsi Riau), serta Kota Kupang dan Kabupaten Timor
Tengah Selatan (Provinsi Nusa Tenggara Timur). Berdasarkan
temuan uji coba, maka dilakukan penyempurnaan terhadap
kuisioner rumah tangga dan individu.
67
b. Pelatihan
Sejumlah 992 orang (26 pria dan 546 wanita) dilatih sebagai
pewawancara. Pelatihan berlangsung selama 12 hari di bulan Mei
2012 di sembilan pusat pelatihan, yaitu Batam, Bukit Tinggi,
Banten, Yogyakarta, Denpasar, Banjarmasin, Makasar, Manokwari
dan Jayapura. Pelatihan mencakup pembelajaran materi di kelas,
latihan berwawancara dan tes. Pelatihan dibedakan menjadi tiga
kelas, yaitu kelas WUS, kelas PK, dan kelas RP. Seluruh peserta
dilatih menggunakan kuisioner rumah tangga dan kuisioner
perseorangan sesuai jenis kelasnya.
c. Lapangan
Data SDKI dikumpulkan oleh 119 tim petugas. Satu tim terdiri
dari delapan orang, yaitu 1 orang pengawas pria, 1 orang editor
wanita untuk WUS dan PK, 4 orang wanita pewawancara WUS, 1
orang pria pewawancara PK (merangkap sebagai editor PK), dan 1
orang pria pengawas RP. Khusus untuk Papua dan Papua Barat, 1
tim terdiri dari lima orang, yaitu 1 orang pengawas pria
(merangkap sebagai editor PK dan RP), 1 editor WUS (wanita), 2
orang wanita pewawancara WUS dan 1 orang pria pewawancara
PK dan RP. Kegiatan di lapangan berlangsung dari Mei sampai 31
Juli 2012.
68
2.6.5 Desain Sampel dan Implementasi
Secara administratif, Indonesia terbagi atas 33 provinsi, setiap
provinsi dibagi menjadi distrik (kabupaten di daerah sebagian besar
pedesaan dan kota di daerah perkotaan). Kabupaten dibagi lagi menjadi
kecamatan dan setiap kecamatan dibagi menjadi desa-desa. Seluruh
desa diklasifikasikan sebagai perkotaan dan pedesaan.
Sampel SDKI bertujuan untuk memberikan estimasi karakteristik
bagi perempuan usia 15-49 tahun dan laki-laki menikah usia 15-54
tahun di Indonesia secara keseluruhan, baik di daerah perkotaan
maupun pedesaan di setiap provinsi. Guna mencapai tujuan ini,
sebanyak 1.840 blok sensus (874 di daerah perkotaan dan 966 di daerah
pedesaan) dipilih dari daftar blok sensus pada primary sampling unit
(PSU) yang terbentuk saat sensus penduduk 2010.
Jumlah sampel blok sensus di setiap kabupaten tidak dialokasikan
sebanding dengan jumlah penduduk, tetapi dialokasikan untuk setiap
stratum menggunakan alokasi rumus akar kuadrat. Dalam setiap blok
sensus, pemutakhiran dan pemetaan daftar rumah tangga secara lengkap
dilakukan pada bulan April 2012. Daftar lengkap rumah tangga di
masing-masing blok sensus dijadikan dasar untuk pengambilan sampel
tahap kedua. Sebanyak 25 rumah tangga dipilih secara sistematis dari
setiap blok sensus.
Secara umum, hasil kunjungan untuk rumah tangga dan
perseorangan relatif tinggi. Dari 46.024 rumah tangga yang terpilih
69
dalam survei ini, sebanyak 44.302 rumah tangga ditemukan dan dari
jumlah tersebut, sebanyak 43.852 atau 99 persen rumah tangga berhasil
diwawancarai.
Dari rumah tangga yang diwawancarai, terdapat 47.533 wanita
yang memenuhi syarat untuk diwawancarai, dan yang berhasil
diwawancarai ada 45.607 wanita dengan tingkat respon sebesar 96
persen. Dari sepertiga jumlah rumah tangga, terdapat 10.086 pria yang
memenuhi syarat untuk diwawancarai dan yang berhasil diwawancarai
ada 9.306 pria dengan tingkat repson sebesar 92 persen. Tingkat respon
pria lebih rendah disebabkan karena seringnya atau lamanya pria tidak
berada di rumah. Secara umum, tingkat respon untuk wawancara
dengan pria kawin di daerah pedesaan lebih tinggi daripada di daerah
perkotaan.
2.7.6 Pengolahan Data
Seluruh kuisioner SDKI 2012 yang sudah terisi termasuk lembar
pengawasan dikirm ke kantor pusat BPS di Jakarta untuk diolah.
Pengolahan terdiri dari pemeriksaan isian, pemberian kode pada
jawaban pertanyaan terbuka, perekaman data, verifikasi, dan
pengecekan kesalahan di komputer. Tim pengolahan terdiri dari 42
orang editor, 5 orang perekam data, 14 orang secondary editor, dan 14
orang pengawas perekam data. Perekaman dan pemeriksaan data
dilakukan menggunakan program komputer Cencus and Survei
70
Processing System (CSPro) yang khusus dirancang untuk mengolah
data semacam SDKI.
2.6 Kerangka Teori
Berdasarkan model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan dari
Andersen (1960-an) dan berbagai faktor yang diketahui memengaruhi
pemanfaatan pelayanan nifas oleh ibu pasca persalinan, maka dapat
diilustrasikan model pemanfaatan pelayanan nifas sebagai berikut.
Bagan 2.3
Kerangka Teori
Sumber: Modifikasi Andersen dan Newman (2005), Paudel, dkk (2013)1,
Khanal, dkk (2014)2, Kim, dkk (2013)
3, Singh, dkk (2014)
4
Predisposisi Pendukung Kebutuhan Pemanfaatan
pelayanan
nifas
Struktur Sosial
Pendidikan1,2
Pekerjaan2
Urutan kelahiran4
Keluarga
Kuintil kekayaan2
Tempat persalinan1,2
Perceived/
Evaluated
Komplikasi
persalinan3
Keyakinan
Kunjungan ANC1
Pengetahuan3
Komunitas
Penolong persalinan1,2,3
Jarak ke fasilitas kesehatan3
Daerah tempat tinggal1,2
71
Pada bagan tersebut, hubungan antar pemanfaatan pelayanan nifas
dengan faktor-faktornya tidak bersifat langsung. Secara berurutan faktor-
predisposisi memengaruhi faktor pendukung lalu memengaruhi faktor
kebutuhan yang kemudian memengaruhi pemanfaatan pelayanan nifas.
Namun, Andersen (1995) menjelaskan bahwa hubungan ini dapat bersifat
langsung karena perbedaan kemampuan setiap variabel dalam memengaruhi
pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tergantung pada jenis pelayanannya.
72
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep atau kerangka pikir merupakan bagian dari kerangka
teori yang akan diteliti, untuk mendeskripsikan secara jelas variabel yang
diteliti (variabel dependen) dan variabel faktornya (variabel independen)
(Balitbangkes, 2012). Konsep tidak dapat diukur dan diamati secara langsung
sehingga harus dijabarkan ke dalam variabel-variabel (Notoatmodjo, 2010).
Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat determinan pemanfaatan pelayanan
nifas di daerah rural Indonesia.
Variabel dependen yang diteliti adalah pemanfaatan pelayanan nifas.
Sedangkan variabel independen yang diteliti, yaitu pendidikan, urutan
kelahiran, kunjungan antenatal (ANC), kuintil kekayaan, tempat persalinan,
penolong persalinan, jarak ke pelayanan kesehatan, dan komplikasi
persalinan. Kerangka konsep dari penelitian ini dapat dilihat pada Bagan 3.1.
Beberapa variabel independen ini penting untuk diteliti. Adapun
alasannya adalah sebagai berikut.
a. Pendidikan
Pendidikan yang tinggi memberikan kemungkinan yang lebih
besar bagi ibu untuk memperoleh informasi tentang risiko kesehatan dan
manfaat dari berkunjung ke pelayanan kesehatan.
73
b. Urutan kelahiran
Ibu yang melahirkan bayi dengan urutan kelahiran tinggi lebih
kecil kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas
dibandingkan ibu yang melahirkan bayi pertama kali atau dengan urutan
kelahiran rendah. Pengalaman dan pengetahuan yang telah mereka
dapatkan dari kelahiran anak sebelumnya memengaruhi persepi mereka
tentang kebutuhan akan pemeriksaan kesehatan pasca persalinan, yaitu di
pelayanan nifas.
c. Kunjungan ANC
Pengetahuan ibu tentang perawatan yang dibutuhkan setelah
persalinan sebagian besar didapatkan saat berkunjung ke pelayanan
antenatal (ANC). Pada sesi konseling di pelayanan antenatal, ibu hamil
memperoleh informasi tentang persiapan yang dibutuhkan untuk
persalinan dan pemanfaatan layanan lebih lanjut yang dibutuhkan setelah
persalinan, yaitu pelayanan nifas. Oleh sebab itu, ibu yang berkunjung ke
pelayanan antenatal lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan
pelayanan nifas.
d. Kuintil kekayaan
Ibu dengan status ekonomi menengah atau tinggi lebih besar
kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas dibandingkan
dengan ibu dengan status ekonomi rendah. Ibu dengan status ekonomi
74
yang lebih tinggi memiliki sumber dana yang lebih untuk biaya
perawatan pasca persalinan, seperti pelayanan nifas.
e. Tempat persalinan
Ibu yang melahirkan di fasilitas kesehatan juga dapat memperoleh
informasi tentang tanda-tanda bahaya untuk kesehatan ibu dan bayi
dibandingkan ibu yang melahirkan di rumah. Ibu yang melahirkan di
fasilitas kesehatan biasanya juga akan diperiksa kesehatannya dalam
beberapa jam setelah melahirkan oleh petugas kesehatan sebagai salah
satu rangkaian dari pelayanan persalinan. Maka dari itu, ibu yang
melahirkan di rumah lebih besar kemungkinannya untuk menerima atau
memanfaatkan pelayanan nifas.
f. Penolong persalinan
Ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan atau bidan
terampil lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan
nifas dibandingkan ibu bersalin yang ditolong oleh orang yang tidak
terampil. Ketika ditolong oleh tenaga kesehatan, maka sebagai bagian
dari perawatan persalinan, ibu juga akan mendapatkan pemeriksaan
kesehatan beberapa jam setelah persalinan.
75
g. Jarak ke fasilitas kesehatan
Pemanfaatan pelayanan nifas juga perlu didukung dengan akses ke
pelayanan kesehatan. Jika jarak pelayanan kesehatan jauh dari tempat
tinggal, maka dapat menjadi kendala bagi ibu untuk datang ke sana
sehingga pemanfaatan pelayanan nifas menjadi lebih rendah.
h. Komplikasi persalinan
Ibu yang mengalami komplikasi persalinan lebih besar
kemungkinannya dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi
persalinan. Jika dibandingkan faktor lainnya, komplikasi persalinan
merupakan faktor kebutuhan bagi wanita untuk memanfaatkan pelayanan
nifas. Artinya, walaupun tidak ada faktor predisposisi dan pendukung,
wanita tetap akan berkunjung ke pelayanan kesehatan/ nifas untuk
berobat jika terjadi komplikasi.
Adapun beberapa variabel, seperti pekerajaan dan pengetahuan tidak
diteliti karena tidak tersedianya data tersebut dalam data sekunder. Pada data
sekunder, yaitu SDKI 2012, variabel pekerjaan yang tersedia adalah
pekerjaan ibu pada 12 bulan terakhir saat pengambilan data survei dilakukan.
Sedangkan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan data tahun 2011-
2012. Oleh karena itu, karena variabel pekerjaan tidak tersedia pada semua
sampel penelitian maka variabel tersebut tidak diteliti.
76
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Pendidikan
Urutan Kelahiran
Kunjungan ANC
Kuintil kekayaan
Tempat persalinan
Penolong persalinan
Jarak ke fasilitas
kesehatan
Komplikasi persalinan
Pemanfaatan
pelayanan nifas
77
3.2 Definisi Operasional
Berikut ini adalah definisi operasional dari variabel dependen dan independen yang diteliti.
Tabel 3.1
Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel Dependen
1. Pemanfaatan
pelayanan
nifas
Pemeriksaan kesehatan ibu saat 3 hari
pertama setelah melahirkan anak terakhir
dengan mendatangi pelayanan kesehatan
atau didatangi oleh petugas kesehatan.
Observasi
data
sekunder
Kuisioner
SDK12-WUS
No. 436-440
1. Ya
2. Tidak
Ordinal
Variabel Independen
2. Pendidikan Jenjang pendidikan formal tertinggi yang
pernah/sedang ibu duduki saat
pengambilan data SDKI 2012 (SDKI
2012).
Observasi
data
sekunder
Kuisioner
SDK12-WUS
No. 104-106
1. Perguruan tinggi
2. Tamat SMA
3. Tidak tamat SMTA
4. Tamat SD
5. Tidak tamat SD
6. Tidak sekolah
Sumber: SDKI 2012
Ordinal
78
3. Urutan
kelahiran
Nomor urut kelahiran anak terakhir dari
semua anak yang pernah dilahirkan ibu
(SDKI 2012).
Observasi
data
sekunder
Kuisioner
SDK12-WUS
No. 403
1. 1
2. 2-3
3. 4-5
4. 6+
Sumber: SDKI 2012
Ordinal
4. Kunjungan
ANC
Kunjungan ibu nifas saat memeriksakan
kehamilan anak terakhir (SDKI 2012).
Observasi
data
sekunder
Kuisioner
SDK12-WUS
No. 408, 410,
412
1. 4+
2. 2-3
3. 1
4. Tidak pernah
Sumber: SDKI 2012
Ordinal
5. Kuintil
kekayaan
Indeks kekayaan rumah tangga yang
didasarkan atas barang-barang
kepemilikan rumah tangga ibu (SDKI
2012).
Observasi
data
sekunder
Kuisioner
SDK12-RT
No. 101-139
1. Teratas
2. Menengah atas
3. Menengah
4. Menengah bawah
5. Terbawah
Sumber: SDKI 2012
Ordinal
6. Tempat
persalinan
Fasilitas tempat ibu melahirkan anak
terakhir (SDKI 2012).
Observasi
data
sekunder
Kuisioner
SDK12-WUS
No. 434
1. Fasilitas kesehatan
2. Tempat lainnya
Sumber: SDKI 2012
Ordinal
7. Penolong
persalinan
Orang yang menolong persalinan ibu
ketika melahirkan anak terakhir (SDKI
2012).
Observasi
data
sekunder
Kuisioner
SDK12-WUS
No. 433
1. Tenaga kesehatan
2. Non-tenaga kesehatan
Sumber: Khanal, dkk
(2014)
Ordinal
79
8. Jarak ke
fasilitas
kesehatan
Persepsi ibu terhadap jarak ke fasilitas
kesehatan ketika sakit dan ingin
mendapatkan perawatan kesehatan atau
pengobatan (SDKI 2012).
Observasi
data
sekunder
Kuisioner
SDK12-WUS
No. 1008
1. Bukan masalah
2. Masalah
Sumber: SDKI 2012
Ordinal
9. Komplikasi
persalinan
Kesulitan atau masalah kesehatan yang
dialami ibu saat melahirkan anak
terakhir, yaitu berupa persalinan lama,
perdarahan berlebihan, demam dan keluar
lendir berbau, kejang dan pingsan, atau
ketuban pecah dini > 6 jam sebelum
persalinan atau lainnya yang ibu sebutkan
(SDKI 2012).
Observasi
data
sekunder
Kuisioner
SDK12-WUS
No. 432A
1. Ya (minimal 1 jenis
komplikasi)
2. Tidak
Sumber: Paudel, dkk.
(2013)
Ordinal
80
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini, yaitu:
a. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemanfaatan
pelayanan nifas.
b. Ada hubungan antara urutan kelahiran dengan pemanfaatan
pelayanan nifas.
c. Ada hubungan antara kunjungan ANC dengan pemanfaatan
pelayanan nifas.
d. Ada hubungan antara kuintil kekayaan dengan pemanfaatan
pelayanan nifas.
e. Ada hubungan antara tempat persalinan dengan pemanfaatan
pelayanan nifas.
f. Ada hubungan antara penolong persalinan dengan pemanfaatan
pelayanan nifas.
g. Ada hubungan antara jarak ke fasilitas kesehatan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas.
h. Ada hubungan antara komplikasi persalinan dengan pemanfaatan
pelayanan nifas nifas.
81
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain
studi potong lintang (cross-sectional). Studi potong-lintang merupakan studi
yang dilakukan untuk menyelidiki hubungan antara paparan dan outcome
yang dikumpulkan dalam waktu bersamaan (Bailey, dkk., 2005). Adapun
penelitian yang dilakukan adalah menganalisis data sekunder dari hasil Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012
diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang bekerja sama dengan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan
Kementerian Kesehatan RI yang dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia
dengan lama waktu pengumpulan dan pengolahan data dari bulan Mei-
Oktober 2012. Adapun analisis lanjut data SDKI 2012 dilaksanakan pada
bulan Juni-Agustus 2014 di Ciputat, Kota Tangerang Selatan.
82
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh wanita usia subur 15-49
tahun yang pernah melahirkan pada tahun 2011-2012 di daerah rural
Indonesia dan tercatat dalam survei SDKI 2012. Adapun populasi
tersebut yang tercatat dalam survei SDKI 2012 adalah sebanyak 2829
responden.
4.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah semua sampel penelitian yang
terkumpul dalam SDKI 2012, yaitu wanita wanita usia subur 15-49
tahun yang pernah melahirkan pada tahun 2011-2012 di daerah rural
Indonesia dan yang terpilih serta bersedia diwawancari dalam survei
SDKI 2012.
Meskipun dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah
seluruh sampel terpilih dari SDKI 2012, besar sampel minimal perlu
dihitung untuk memastikan bahwa jumlah sampel yang digunakan
memenuhi syarat. Besar sampel minimal dihitung menggunakan rumus
besar sampel untuk uji beda proporsi, yaitu (Ariawan, 1998;
Dahlan,2010):
83
n ( 1 2√2P(1 P) 1 √P1(1 P1) P2(1 P2))
2
(P1 P2)2 D
Keterangan:
n1 = Jumlah sampel minimal
Z1- 2 1,96 (Nilai pada derajat kemakanaan sebesar 5% (0,05)
Z = 0,84 (Nilai Z pada kekuatan uji 1- dengan sebesar 20%)
P = Proporsi total = (P1+P2)/2
P1 = Proporsi kelompok 1
P2 = Proporsi kelompok 2 yang bersumber dari kepustakaan
Deff = Design effect, yaitu perbandingan (rasio) antara varians
yang diperoleh pada sampel acak kompleks dengan
varians yang diperoleh jika pengambilan sampel
dilakukan secara acak sederhana (Ariawan, 1998).
Penulis menentukan nilai deff sebesar 2.
Dari persamaan di atas dan didasarkan pada perhitungan P2 dari
hasil penelitian terdahulu, nilai P1-P2 dan deff yang ditentukan sendiri
oleh penulis, di mana jumlah sampel setiap variabel dengan 0,05,
maka dapat dihitung besar sampel minimal sebagai berikut:
84
Tabel 4.1
Jumlah Sampel untuk Setiap Variabel
No. Variabel Peneliti P2 P1 – P2 N
1. Pendidikan Khanal, dkk (2014) 26,6% 10% 791
2. Urutan kelahiran Khanal, dkk (2014) 36,4% 10% 769
3. Kunjungan ANC Khanal, dkk (2014) 11,5% 10% 436
4. Kuintil kekayaan Khanal, dkk (2014) 23,8% 10% 637
5. Tempat persalinan Khanal, dkk (2014) 14,3% 10% 487
6. Penolong
persalinan
Khanal, dkk (2014) 9,8% 10% 392
7. Jarak ke fasilitas
kesehatan
Kim, dkk (2013) 52,6% 10% 769
8. Komplikasi
persalinan
Paudel, dkk (2013) 28,5% 10% 698
Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel, maka diperoleh besar
sampel minimal untuk penelitian ini adalah 791 responden. Jumlah
sampel wanita wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan
pada tahun 2011-2012 di daerah rural Indonesia adalah 2829 sampel.
Karena sampel yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan
sampel SDKI 2012, maka jumlah sampel tersebut telah memenuhi
syarat besar sampel minimal.
Cara pengambilan sampel untuk analisis lanjut SDKI 2012 adalah
total sampling dengan mengambil semua sampel penelitian yang
terkumpul dalam SDKI 2012 yang merupakan wanita usia subur 15-49
tahun yang pernah melahirkan pada tahun 2011-2012 di daerah rural
85
Indonesia. Namun, sampel yang diketahui missing pada setiap variabel
tidak masuk dalam sampel penelitian.
Berdasarkan hasil filter dan cleaning data, diketahui bahwa
terdapat 757 sampel yang missing atau tidak memenuhi kriteria
sehingga sampel tersebut tidak digunakan. Oleh karena itu, jumlah
sampel penelitian yang digunakan menjadi 2072 orang.
Bagan 4.1
Alur Pengambilan Sampel
Wanita usia subur 15-49 tahun
N = 45607
Tinggal di daerah rural
N = 22709
Tinggal di daerah urban
N = 22898
Pernah melahirkan
N = 17105
Tidak pernah melahirkan
N = 5604
Melahirkan tahun 2011-2012
N = 2829
Tidak melahirkan tahun 2011-2012
N = 14276
Tidak missing
N = 2072
Missing
N = 757
86
4.4 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner SDKI
2012 guna pengumpulan data determinan pemanfaatan pelayanan nifas di
daerah rural Indonesia. Adapun daftar variabel dan kuisioner yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini.
Tabel 4.2
Daftar Variabel dan Kuisioner SDKI 2012
No. Variabel Kuisioner
1. Pemanfaatan pelayanan nifas SDKI12-WUS No. 436-440
2. Pendidikan SDKI12-WUS No. 104-106
3. Urutan kelahiran SDKI12-WUS No. 403
4. Kunjungan ANC SDKI12-WUS No. 408, 410, 412
5. Kuintil kekayaan SDKI12-RT No. 101-139
6. Tempat Persalinan SDKI12-WUS No. 434
7. Penolong Persalinan SDKI12-WUS No. 433
8. Jarak ke fasilitas kesehatan SDKI12-WUS No. 1008
9. Komplikasi persalinan SDKI12-WUS No. 432A
Pengukuran data dari setiap variabel dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut (BPS, 2011):
4.4.1 Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Variabel pemanfaatan pelayanan nifas diukur berdasarkan
kuisioner wanita usia subur (WUS) nomor 436-440. Pertanyaan yang
ditanyakan kepada responden yaitu pernah atau tidaknya mendapatkan
pemeriksaan kesehatan setelah melahirkan serta tempat pertama kali
mendapatkannya, yaitu apakah di fasilitas kesehatan atau setelah
meninggalkan fasilitas kesehatan/di rumah responden. Responden juga
87
ditanyakan waktu pertama kali mendapatkan pemeriksaan tersebut dan
siapa yang melakukan pemeriksaan.
Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel pemanfaatan
pelayanan nifas menjadi 2 kategori, yaitu ya dan tidak. Jawaban "ya"
adalah responden yang mendapatkan pemeriksaan kesehatan pertama
kali dalam 3 hari pertama setelah melahirkan anak terakhirnya dengan
mendatangi pelayanan kesehatan atau didatangi oleh petugas kesehatan.
Sedangkan jawaban "tidak" adalah responden yang mendapatkan
pemeriksaan kesehatan pertama kali saat lebih dari 3 hari pertama
setelah melahirkan anak terakhirnya atau tidak pernah mendapatkan
pemeriksaan kesehatan dengan mendatangi pelayanan kesehatan atau
didatangi oleh petugas kesehatan.
4.4.2 Pendidikan
Variabel pendidikan diukur berdasarkan kuisioner WUS nomor
104-106. Pertanyaan yang ditanyakan kepada responden adalah jenjang
pendidikan yang pernah/sedang diduduki responden tanpa
memperhatikan apakah responden menyelesaikan pendidikannya.
Misalnya, responden pernag duduk di Sekolah Menengah Pertama kelas
1 hanya selama 2 minggu (kurang dari 1 tahun), maka jenjang
pendidikan repsonden adalah SMP.
Pada pertanyaan berikutnya, responden diwawancara tentang
kelas/tingkat tertinggi yang diselesaikan oleh responden pada jenjang
88
pendidikan yang bersangkutan. Jika responden pernah/sedang berada
saat kurang dari 1 tahun pertama, maka ditulis 0 (tahun pertama) pada
kotak. Jika responden menamatkan tingkat pendidikan tertentu dan
tidak melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, maka ditulis 7 (tamat).
Jika tidak tahu, maka ditulis 8 (tidak tahu) pada kotak.
Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel pendidikan
sesuai dengan kategori pada SDKI 2012. Terdapat 6 kategori
pendidikan, yaitu tidak bersekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak
tamat SMTA, tamat SMTA dan Perguruan tinggi.
4.4.3 Urutan Kelahiran
Variabel urutan kelahiran diukur berdasarkan kuisioner WUS
nomor 403. Pertanyaan yang ditanyakan kepada responden adalah
nomor urut kelahiran anak terakhir berdasarkan riwayat kelahiran dari
semua anak yang pernah dilahirkan oleh responden.
Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel urutan
kelahiran sesuai dengan kategori pada SDKI 2012. Terdapat 4 kategori
urutan kelahiran, yaitu urutan kelahiran 1, 2-3, 4-5 dan 6 atau lebih.
4.4.4 Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC)
Variabel kunjungan pelayanan antenatal (ANC) diukur berdasarkan
kuisioner WUS nomor 408, 410 dan 412. Pertanyaan yang ditanyakan
kepada responden adalah pemeriksaan kandungan dan kesehatan ibu
89
oleh petugas kesehatan. Pemeriksaan di sini hanya yang berhubungan
dengan kehamilan, tidak termasuk pemeriksaan lain. Pada umumnya
pemeriksaan dilakukan di sarana kesehatan, tetapi mungkin juga di
rumah responden. Responden yang memeriksakan kehamilannya
kemudian ditanya siapa saja orang yang memeriksanya. Responden
juga ditanya mengenai tempat pemeriksaan kehamilan yang paling
sering dikunjungi dan jumlah pemeriksaan kehamilannya selama
mengandung.
Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel kunjungan
ANC sesuai dengan kategori pada SDKI 2012. Terdapat 4 kategori
kunjungan ANC, yaitu tidak berkunjung ke ANC, berkunjung 1 kali, 2-
3 kali dan 4 kali atau lebih.
4.4.5 Kuintil Kekayaan
Variabel kuintil kekayaan diukur berdasarkan kuisioner rumah
tangga (RT). Kuintil kekayaan berasal dari indeks kekayaan yang
dihitung berdasarkan akumulasi dari barang-barang kepemilikan rumah
tangga responden.
Indeks kekayaan dibuat dalam tiga tahap yang menempatkan
perbedaan daerah perkotaan dan perdesaan menjadi lebih baik dalam
skor dan indikator kekayaan. Pada tahap pertama, sub kelompok
indikator yang umum di daerah perkotaan dan perdesaan digunakan
untuk membuat skor kekayaan untuk rumah tangga di kedua wilayah
90
tersebut. Variabel kategorik ditransformasikan ke dalam indikator
dikotomi yang terpisah (0-1). Indikator tersebut bersama variabel yang
kontinu diuji menggunakan principal components analysis untuk
menghasilkan skor faktor umum untuk setiap rumah tangga.
Pada tahap kedua, skor faktor terpisah dibuat untuk rumah tangga
di daerah perkotaan dan daerah perdesaan menggunakan indikator
spesifik untuk daerah tertentu. Tahap ketiga menggabungkan skor
faktor spesifik daerah yang terpisah tersebut untuk menghasilkan kuintil
kekayaan gabungan yang dapat digunakan secara nasional dengan
melakukan penyesuaian terhadap skor spesifik daerah tersebut melalui
penerapan regresi terhadap skor faktor umum. Ketiga tahap dalam
prosedur pembentukan indeks tersebut memungkinkan indeks kekayaan
dapat diterapkan pada kedua daerah perkotaan maupun perdesaan.
Hasil indeks kekayaan gabungan memiliki nilai rata-rata nol dan
standar deviasi satu. Setelah indeks dihitung, kuintil kekayaan di tingkat
nasional (mulai dari terendah sampai tertinggi) diperoleh dengan
menerapkan skor rumah tangga pada setiap anggota rumah tangga de
jure, membuat peringkat setiap penduduk berdasarkan skornya dan
selanjutnya membagi peringkat tersebut ke dalam lima kategori yang
sama, masing-masing terdiri dari 20% penduduk.
Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel kuintil
kekayaan sesuai dengan kategori pada SDKI 2012. Terdapat 5 kategori
91
kuintil kekayaan, yaitu terbawah, menengah bawah, menengah,
menengah atas, dan teratas.
4.4.6 Tempat Persalinan
Variabel tempat persalinan diukur berdasarkan kuisioner WUS
nomor 434. Jika responden melahirkan di rumah sakit atau klinik, maka
ditanyakan kembali apakah sarana tersebut dikelola oleh pemerintah
atau swasta. Jika responden tidak melahirkan di sarana pemerintah atau
swasta serta tidak di rumah responden atau rumah orang lain, maka
ditulis "lainnya". Contoh "lainnya" (kode 96) adalah di jalan,
kendaraan, dan lain-lain.
Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel tempat
persalinan sesuai dengan kategori pada SDKI 2012, yaitu tempat
persalinan di fasilitas kesehatan (pemerintah atau swasta) dan tempat
lainnya (rumah responden, rumah orang lain atau lainnya). SDKI 2012
mengelompokkan fasilitas kesehatan pemerintah meliputi rumah
sakit/klikik pemerintah, puskesmas/pustu, poskesdes, polindes, dan
lainnya. Sedangkan fasilitas kesehaan swasta meliputi rumah sakit
swasta, rumah sakit bersalin, rumah bersalin, klinik, dokter umum
praktek, dokter kandungan praktek, bidan praktek, perawat praktek,
bidan di desa dan lainnya.
92
4.4.7 Penolong Persalinan
Variabel penolong persalinan diukur berdasarkan kuisioner WUS
nomor 433. Pertanyaan yang ditanyakan kepada responden adalah siapa
sajakah yang menolongnya selama persalinan sehingga jawaban bisa
lebih dari satu. Jika responden mengatakan tidak ada yang menolong,
yang dicatat adalah orang dewasa yang menemani di sampingnya pada
saat responden melahirkan. Jika responden tidak ditolong oleh siapa
pun maka dicatat "tidak ada".
Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan variabel penolong
persalinan sesuai dengan kategori pada penelitian Khanal, dkk. (2014),
yaitu penolong persalinan oleh tenaga kesehatan dan non-tenaga
kesehatan. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, meliputi dokter
umum, dokter kandungan, perawat, bidan atau bidan desa. Sedangkan
penolong persalinan oleh non-tenaga kesehatan, meliputi orang lain
(dukun bayi/paraji, teman/keluarga atau lainnya) atau tidak ada yang
menolong persalinan. Jika responden ditolong oleh lebih dari 1 orang,
maka penolong persalinan dikategorikan pada kelompok dengan
kualifikasi yang lebih baik. Misalnya, jika responden ditolong oleh
bidan dan dukun bayi saat bersalin, maka penolong persalinan dicatat
sebagai tenaga kesehatan.
93
4.4.8 Jarak ke Fasilitas Kesehatan
Variabel jarak ke fasilitas kesehatan diukur berdasarkan kuisioner
WUS nomor 1008 yang menanyakan tentang permasalahan yang
menghalangi responden dalam melakukan perawatan atau pengobatan
kesehatan ketika sedang sakit. Misalnya, apakah jarak ke fasilitas
kesehatan menjadi suatu masalah bagi responden untuk pergi ke dokter,
maka lingkari kode 1 untuk jawaban "masalah" dan lingkari kode 2 jika
jawaban responden "bukan masalah". Pada penelitian ini, peneliti
mengkategorikan variabel tempat persalinan sesuai dengan kategori
pada SDKI 2012, yaitu masalah dan bukan masalah.
4.4.9 Komplikasi Persalinan
Variabel komplikasi persalinan diukur berdasarkan kuisoner WUS
nomor 432A yang menanyakan tentang kesulitan yang dialami
responden saat melahirkan. Pada kuisioner, terdapat 6 jenis komplikasi
persalinan yang ditanyakan. Masing-masing komplikasi persalinan
ditanyakan kepada responden apakah pernah mengalaminya atau tidak.
Jenis-jenis komplikasi persalinan yang ditanyakan, yaitu:
a. Mulas yang kuat dan teratur
Proses persalinan biasanya diawali dengan mules yang kuat
dan timbulnya teratur, mulai dengan 15 menit sekali, makin lama
makin sering menjadi 2 menit sekali disertai dengan pembukaan
94
leher rahim dan keluar darah campur lendir. Umumnya persalinan
yang kedua dan seterusnya (multigravida), bayi akan lahir dalam
waktu kurang dari 12 jam setelah tanda-tanda proses persalinan
dimulai. Persalinan yang berlangsung lebih dari 12 jam disebut
"persalinan lama". Pada ibu-ibu yang baru pertama kali melahirkan
(primigravida) biasanya mules kuat teratur sampai dengan
melahirkan kurang dari 18 jam. Apabila lebih dari 18 jam maka
dikatakan "persalinan lama".
b. Perdarahan lebih banyak
Kondisi ini terjadi jika perdarahan yang melebihi 500 cc dalam
24 jam setelah anak lahir (perdarahan postpartum) atau membasahi
lebih dari 3 potong kain sarung yang bekas (sudah pernah dipakai).
c. Suhu badan tinggi dan atau mengeluarkan lendir berbau
Kondisi ini terjadi jika ibu yang melahirkan mengalami demam
dengan suhu badan tinggi (380 C atau lebih) dan keluarnya cairan
yang tidak biasa dari vagina; baunya tidak sedap, warna dan
kepekatannya berbeda dengan yang biasa.
d. Kejang dan pingsan
Kondisi ini terjadi jika kakunya seluruh otot-otot, wajah kaku,
tangan menggenggam, kaki membengkok ke dalam, pernafasan
terhenti, muka pucat, dan lidah dapat tergigit, ini berlangsung
95
kurang lebih 30 detik, kemudian disusul dengan semua otot
kontraksi berulang-ulang dalam tempo cepat, mulut membuka dan
menutup, lidah terjepit, bola mata menonjol dan dari mulut keluar
ludah berbusa, muka pucat dan penderita menjadi tidak sadar,
kurang lebih 1-2 menit. Responden yang mengalami kejang saja,
sudah termasuk kategori kejang dan pingsan.
e. Ketuban pecah dini
Kondisi ini terjadi jika keluarnya air ketuban (pecah sendiri
atau dipecahkan) lebih dari enam jam sebelum anak lahir.
f. Lainnya
Jika responden mengalami kesulitan lain selama persalinan.
Pada penelitian ini, peneliti mengkategorikan komplikasi
persalinan sesuai dengan kategori pada penelitian Paudel, dkk. (2013),
yaitu "ya" dan "tidak". Kategori "ya" jika minimal terdapat 1 jenis
komplikasi yang dialami responden selama persalinan. Kategori "tidak"
jika tidak terdapat minimal 1 jenis komplikasi yang dialami responden
selama persalinan.
4.5 Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu
data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 yang
96
didapatkan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN).
4.6 Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan diolah dengan bantuan software komputer
khusus untuk olah data. Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data
adalah sebagai berikut:
a. Filter, yaitu menyaring data yang tidak dibutuhkan dalam penelitian.
Kegiatan filter ini dilakukan saat pengambilan sampel yang dapat dilihat
pada Bagan 4.1, yaitu menghapus sampel yang tidak memenuhi kriteria.
Selain itu, filter juga dilakukan untuk menyaring data-data yang tidak
berhubungan dengan keperluan analisis data determinan pemanfaatan
pelayanan nifas. Hal ini dilakukan karena data yang didapatkan oleh
peneliti adalah seluruh data hasil SDKI yang tidak hanya berkaitan
dengan pelayanan nifas, namun juga masalah kesehatan lainnya.
b. Cleaning, yaitu mengecek kembali kemungkinan adanya kesalahan
dalam entri data. Jika ada data yang missing pada variabel-variabel
independen (pendidikan, urutan kelahiran, kunjungan ANC, kuintil
kekayaan, tempat persalinan, penolong persalinan, jarak ke fasilitas
kesehatan dan komplikasi persalinan) terhadap variabel dependen
(pemanfaatan pelayanan nifas), maka dihapus. Kegiatan cleaning ini
dilakukan saat pengambilan sampel yang dapat dilihat pada Bagan 4.1.
97
c. Recode, yaitu mengubah kode atau kategori data sebelumnya menjadi
kategori yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Beberapa variabel
yang dubah kategorinya, yaitu pemanfaatan pelayanan nifas, urutan
kelahiran, kunjungan ANC, tempat persalinan, penolong persalinan dan
komplikasi persalinan.
d. Compute, yaitu membuat variabel baru dari beberapa variabel yang ada
pada data sesuai dengan kebutuhan penelitian. Proses ini dilakukan
bersamaan setelah proses recode sebelumnya dilakukan.
4.7 Analisis Data
Data penelitian yang sudah dikumpulkan dan diolah kemudian dianalisis.
Analisis yang dilakukan ada dua macam, yaitu analisis univariat dan bivariat.
Analisis data dilakukan dengan bantuan program komputer, yaitu software
komputer khusus untuk uji statistik
4.7.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik
dari setiap variabel dependen (pemanfaatan pelayanan nifas) dan
independen (pendidikan, urutan kelahiran, kunjungan ANC, kuintil
kekayaan, tempat persalinan, penolong persalinan, jarak ke fasilitas
kesehatan dan komplikasi persalinan). Hasil analisis univariat berupa
distribusi frekuensi dari setiap variabel. Selanjutnya, hasil analisis
univariat ditampilkan dalam bentuk tabel.
98
4.7.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesis
penelitian. Analisis ini dilakukan terhadap dua variabel, yaitu variabel
dependen (pemanfaatan pelayanan nifas) dan variabel independen
(pendidikan, urutan kelahiran, kunjungan ANC, kuintil kekayaan,
tempat persalinan, penolong persalinan, jarak ke fasilitas kesehatan dan
komplikasi persalinan) yang diduga berhubungan. Jenis uji statistik
yang digunakan adalah uji beda proporsi Chi Square. Dasar dari uji Chi
Square adalah membandingkan frekuensi yang diamati dengan
frekuensi yang diharapkan (Sabri dan Hastono, 2010). Adapun rumus
uji Chi Square, yaitu:
2 ∑(O E)
2
E
Keterangan:
O = Frekuensi yang diamati
E = Frekuensi yang diharapkan
Secara umum, ketentuan penggunaan uji Chi Square, yaitu (Sabri
dan Hastono, 2010):
a. Tidak boleh ada sel yang mempunyai nilai harapan <1.
b. Tidak lebih dari 20% sel mempunyai nilai harapan <5.
99
Jika hal ini ditemui dalam suatu tabel kontingensi, maka cara
menanggulanginya adalah dengan menggabungkan nilai dari sel yang
kecil dengan sel lainnya. Artinya, kategori dari variabel dikurangi
sehingga kategori yang nilai harapannya kecil dapat digabung ke
kategori lain. Sedangkan untuk table 2x2, hal tersebut tidak dapat
dilakukan. Oleh karena itu, cara mengatasinya adalah dengan
melakukan uji Fisher Exact.
Uji kemaknaan dilakukan dengan menggunakan sebesar 0,05 dan
Confidence Interval sebesar 95%. Interpretasi dari hasil uji hipotesis
dengan uji Chi Square, yaitu :
a. Jika nilai probabilitas p ≤ 0,05 maka ada hubungan yang signifikan
antara variabel dependen dengan variabel independen.
b. Jika nilai probabilitas p > 0,05 maka tidak ada hubungan yang
signifikan antara variabel dependen dengan variabel independen.
100
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik WUS di Daerah Rural Indonesia
Pada penelitian ini, sampel yang digunakan adalah wanita usia subur
15-49 tahun yang pernah melahirkan anak terakhirnya tahun 2011-2012 di
daerah rural Indonesia. Adapun jumlah sampel yang digunakan adalah
sebanyak 2072 responden dengan distribusi umur sebagai berikut.
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Umur di Daerah Rural
Indonesia Tahun 2011-2012
Kelompok Umur Jumlah
(n)
Persen
(%)
15-19 188 9,1
20-24 534 25,8
25-29 583 28,1
30-34 429 20,7
35-39 246 11,9
40-44 81 3,9
45-49 11 0,5
Total 2072 100
Berdasarkan Tabel 5.1, responden terbanyak berada pada kelompok
umur 25-29 tahun (28,1%) dan paling sedikit berada pada kelompok umur 45-
49 tahun (0,5%). Sedangkan berdasarkan umur melahirkan pada tahun 2011-
2012, responden lebih banyak yang melahirkan pada kelompok umur 20-24
tahun
101
(26,4%) dan 25-29 tahun (26,6%) serta lebih sedikit melahirkan pada
kelompok umur <15 tahun (0,2%) dan 45-49 tahun (0,4%).
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Umur Melahirkan di Daerah
Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Kelompok Umur
Melahirkan
Jumlah
(n)
Persen
(%)
< 15 4 0,2
15-19 319 15,4
20-24 546 26,4
25-29 551 26,6
30-34 391 18,9
35-39 204 9,8
40-44 49 2,4
45-49 8 0,4
Total 2072 100
5.1.1 Gambaran Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Pemanfaatan pelayanan nifas adalah pemeriksaan kesehatan pada
ibu saat 3 hari pertama setelah melahirkan anak terakhir dengan
mendatangi pelayanan kesehatan atau didatangi oleh petugas kesehatan.
Gambaran pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur di
daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.3. Berdasarkan tabel
tersebut, sebagian besar responden memanfaatkan pelayanan nifas
(85,6%).
102
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Pemanfaatan Pelayanan
Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Pemanfaatan
Pelayanan Nifas
Jumlah
(n)
Persen
(%)
Ya 1773 85,6
Tidak 299 14,4
Total 2072 100
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari semua responden yang
memanfaatkan pelayanan nifas, sebanyak 96,6% di antaranya
mendapatkan perawatan nifas dari tenaga kesehatan (dokter kandungan,
dokter umum, perawat, bidan atau bidan di desa). Sedangkan responden
yang mendapatkan perawatan nifas dari dukun bayi hanya 2,9%.
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tenaga Pemeriksa
Kesehatan Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Tenaga Pemeriksa
Kesehatan Nifas
Jumlah
(n)
Persen
(%)
Dokter kandungan 247 13,9
Dokter umum 39 2,2
Perawat 91 5,1
Bidan 816 46,0
Bidan di desa 521 29,4
Dukun bayi/paraji 50 2,9
Lainnya 9 0,5
Total 1773 100
Berdasarkan Tabel 5.5, responden lebih banyak yang
mendapatkan pemeriksaan kesehatan nifas sebelum keluar dari fasilitas
kesehatan pasca persalinan (59%).
103
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Waktu Pemeriksaan
Kesehatan Nifas di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Waktu Pemeriksaan Kesehatan Nifas Jumlah
(n)
Persen
(%)
Sebelum keluar dari fasilitas kesehatan pasca
persalinan
1023 59
Setelah keluar dari fasilitas kesehatan pasca
persalinan/persalinan di rumah
710 41
Total 1733 100
5.1.2 Gambaran Pendidikan
Gambaran pendidikan pada wanita usia subur di daerah rural
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.6 berikut ini.
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Pendidikan di Daerah
Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Pendidikan Jumlah
(n)
Persen
(%)
Tidak sekolah 34 1,6
Tidak tamat SD 201 9,7
Tamat SD 504 24,3
Tidak tamat SMTA 637 30,7
Tamat SMTA 469 22,6
Perguruan tinggi 227 11,0
Total 2072 100
Berdasarkan tabel tersebut, pendidikan tertinggi yang didapatkan
oleh responden lebih banyak pada tingkat tidak tamat SMTA (30,7%).
Sebanyak 66,3% responden berpendidikan di bawah SMTA.
104
5.1.4 Gambaran Urutan Kelahiran Anak
Urutan kelahiran anak merupakan nomor urut kelahiran anak
terakhir dari semua anak yang pernah dilahirkan oleh responden.
Adapun gambaran nomor urut kelahiran anak pada wanita usia subur di
daerah rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Tabel 5. 7
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Urutan Kelahiran Anak
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Urutan Kelahiran Jumlah
(n)
Persen
(%)
1 808 39,0
2-3 931 44,9
4-5 254 12,3
6+ 79 3,8
Total 2072 100
Berdasarkan tabel tersebut, responden lebih banyak melahirkan
anak terakhirnya pada urutan kelahiran dan 2 atau 3 (44,9%).
Sedangkan responden lebih sedikit yang melahirkan pada urutan
kelahiran 6 atau lebih (3,8%).
5.1.5 Gambaran Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC)
Kunjungan ke pelayanan antenatal adalah kunjungan responden
ketika memeriksakan kehamilan anak terakhirnya. Adapun gambaran
kunjungan ANC pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia dapat
dilihat pada Tabel 5.8 berikut ini.
105
Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Kunjungan ANC
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Kunjungan ANC Jumlah
(n)
Persen
(%)
Tidak kunjungan 66 3,2
1 39 1,9
2-3 224 10,8
4+ 1743 84,1
Total 2072 100
Berdasarkan tabel tersebut, responden lebih banyak melakukan
kunjungan pelayanan antenatal (ANC) sebanyak 4 kali atau lebih
(84,1%) dan lebih sedikit yang melakukan kunjungan hanya 1 kali
(1,9%). Sedangkan responden yang tidak pernah melakukan kunjungan
ANC pada masa hamil sebanyak 3,2%.
Selanjutnya, Tabel 5.9 menggambarkan tempat kunjungan ANC
yang didatangi oleh responden untuk memeriksakan kehamilannya.
Karena di antara responden ada yang berkunjung ke ANC lebih dari 1
kali, maka fasilitas kesehatan yang dikunjungi bisa lebih dari satu jenis.
Berdasarkan tabel tersebut, responden lebih banyak yang berkunjung ke
bidan swasta (28%), puskesmas (27,1%) dan bidan di desa (21,4%)
untuk memeriksakan kehamilannya. Sedangkan responden yang
memeriksa kehamilannya di rumah hanya sedikit, yaitu 1,2% di rumah
responden dan 1,6% di rumah orang lain.
106
Tabel 5.9
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tempat Kunjungan ANC
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Tempat Kunjungan
ANC
Jumlah
(n)
Persen
(%)
Pemerintah
Rumah sakit/klinik 89 4,4
Puskesmas/pustu 542 27,1
Poskesdes 32 1,6
Polindes 100 5,0
Posyandu 278 13,9
Swasta
Rumah sakit 24 1,2
Rumah sakit bersalin 15 0,7
Rumah bersalin 6 0,3
Klinik 55 2,7
Dokter umum 8 0,4
Dokter kandungan 162 8,1
Bidan 561 28,0
Perawat 13 0,6
Bidan di desa 429 21,4
Faskes swasta lainnya 19 0,9
Rumah
Rumah responden 24 1,2
Ruman orang lain 32 1,6
Keterangan: 3 sampel missing
Tabel 5.10 menggambarkan tenaga pemeriksa kehamilan
responden saat kunjungan ANC. Karena di antara responden ada yang
berkunjung ke ANC lebih dari 1 kali, maka tenaga pemeriksa yang
dikunjungi bisa lebih dari satu jenis. Berdasarkan tabel tersebut,
responden lebih banyak yang diperiksa oleh bidan (54,6%) dan lebih
sedikit diperiksa oleh dokter umum (1,7%) atau lainnya (0,7%).
107
Tabel 5.10
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tenaga Pemeriksa
Kehamilan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Tenaga Pemeriksa
Kehamilan
Jumlah
(n)
Persen
(%)
Dokter umum 34 1,7
Dokter kandungan 313 15,6
Perawat 52 2,6
Bidan 1095 54,6
Bidan di desa 749 37,3
Dukun bayi/paraji 105 5,2
Lainnya 14 0,7
5.1.6 Gambaran Kuintil Kekayaan
Kuintil kekayaan merupakan indeks kekayaan rumah tangga yang
didasarkan atas barang-barang kepemilikan rumah tangga responden.
Adapun gambaran kuintil kekayaan pada wanita usia subur di daerah
rural Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.11.
Tabel 5.11
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Kuintil Kekayaan
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Kuintil Kekayaan Jumlah
(n)
Persen
(%)
Terbawah 722 34,8
Menengah bawah 568 27,4
Menengah 365 17,6
Menengah atas 274 13,2
Teratas 143 6,9
Total 2072 100
108
Berdasarkan tabel tersebut, sebagian besar responden berada pada
kuintil kekayaan dua terendah, yaitu pada tingkat terbawah (34,8%) dan
menengah bawah (27,4%). Sedangkan responden yang berada pada
kuintil kekayaan teratas hanya 6,9%.
5.1.7 Gambaran Tempat Persalinan
Tempat persalinan merupakan fasilitas tempat responden
melahirkan anak terakhirnya. Adapun gambaran jenis fasilitas tempat
persalinan pada wanita usia subur di daerah rural Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jenis Fasilitas Kesehatan
Tempat Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Tempat Persalinan Jumlah
(n)
Persen
(%)
Pemerintah 503 24,3
Rumah sakit/klinik 282 13,6
Puskesmas/pustu 174 8,4
Poskesdes 10 0,5
Polindes 36 1,7
Faskes pemerintah lainnya 1 0.1
Swasta 612 29,5
Rumah sakit 79 3,8
Rumah sakit bersalin 50 2,4
Rumah bersalin 14 0,7
Klinik 40 1,9
Dokter umum 3 0,1
Dokter kandungan 14 0,7
Bidan 278 13,4
Perawat 3 0,1
Bidan di desa 125 6,0
109
Faskes swasta lainnya 6 0,3
Rumah 954 46,1
Rumah responden 855 41,3
Rumah orang lain 99 4,8
Lainnya 3 0,1
Total 2072 100
Berdasarkan tabel tersebut, lebih dari setengah total responden
melahirkan di fasilitas kesehatan (53,8%), yaitu 24,3% di fasilitas
kesehatan pemerintah (rumah sakit, puskesmas, poskesdes, polindes
atau lainnya) dan 29,5% di fasilitas kesehatan swasta (rumah sakit,
rumah sakit bersalin, rumah bersalin, klinik, dokter umum, dokter
kandungan, bidan, perawat, bidan di desa atau lainnya). Sedangkan
responden lainnya yang tidak melahirkan di fasilitas kesehatan lebih
banyak yang melahirkan di rumahnya sendiri (41,3%).
Sebagai keperluan analisis data, maka tempat persalinan di
kelompokkan menjadi dua kategori, yaitu fasilitas kesehatan (fasilitas
kesehatan pemerintah dan swasta) dan tempat lain (rumah dan lainnya).
Gambaran tempat persalinan pada wanita usia subur di daerah rural
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.13.
Tabel 5.13
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Tempat Persalinan
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Tempat Persalinan Jumlah
(n)
Persen
(%)
Fasilitas kesehatan 1115 53,8
Tempat lain 957 46,2
Total 2072 100
110
5.1.8 Gambaran Penolong Persalinan
Penolong persalinan merupakan orang yang menolong persalinan
responden ketika melahirkan anak terakhirnya. Adapun gambaran jenis
tenaga penolong persalinan pada wanita usia subur di daerah rural
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.14 berikut ini.
Tabel 5.14
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jenis Tenaga Penolong
Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Tenaga Penolong
Persalinan
Jumlah
(n)
Persen
(%)
Dokter umum 33 1,6
Dokter kandungan 326 15,7
Perawat 213 10,3
Bidan 982 47,4
Bidan di desa 598 28,9
Dukun bayi/paraji 508 24,5
Tetangga/kerabat 203 9,8
Orang lain 25 1,2
Tidak ada 5 0,2
Pada saat persalinan, orang yang menolong persalinan bisa lebih
dari satu orang, seperti dokter yang dibantu perawat atau didampingi
oleh tetangga/kerabat. Berdasarkan Tabel 5.14, tiga penolong persalinan
responden terbanyak adalah bidan (47,4%), bidan di desa (28,9%) dan
dukun bayi (24,5%). Sedangkan responden yang tidak mendapat
penolong persalinan dari siapa pun hanya 0,2%.
111
Sebagai keperluan analisis data, maka penolong persalinan di
kelompokkan menjadi dua kategori, yaitu penolong persalinan oleh
tenaga kesehatan (dokter umum, dokter kandungan, perawat, bidan atau
bidan di desa), dan non-tenaga kesehatan (dukun bayi, tetangga/kerabat
atau orang lain dan tidak ada siapa pun yang menolong). Karena
penolong persalinan pada satu orang responden bisa lebih dari satu
orang, seperti bidan dan dukun bayi, maka tetap dikategorikan sebagai
penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, selama di antara penolong
persalinan tersebut terdapat satu orang dengan kualifikasi sebagai
tenaga kesehatan.
Tabel 5.15
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Penolong Persalinan
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Penolong Persalinan Jumlah
(n)
Persen
(%)
Tenaga kesehatan 1799 86,8
Non-tenaga kesehatan 273 13,2
Total 2072 100
Berdasarkan Tabel 5.15, sebagian besar responden melahirkan
anak terakhirnya dengan ditolong oleh tenaga kesehatan (86,8%)
dibandingkan oleh non-tenaga kesehatan.
5.1.9 Gambaran Jarak ke Fasilitas Kesehatan
Jarak ke fasilitas kesehatan dinilai berdasarkan persepsi
responden terhadap jarak ke fasilitas kesehatan ketika sakit dan ingin
112
mendapatkan perawatan kesehatan atau berobat. Jika responden merasa
bahwa jarak ke fasilitas kesehatan menjadi hambatan bagi mereka untuk
mendapatkan pengobatan, maka jarak ke fasilitas kesehatan
dikategorikan sebagai masalah. Sebaliknya, jika responden merasa
bahwa jarak ke fasilitas kesehatan bukan menjadi hambatan bagi
mereka untuk mendapatkan pengobatan, maka jarak ke fasilitas
kesehatan dikategorikan sebagai bukan masalah.
Tabel 5.16
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jarak ke Fasilitas
Kesehatan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Jarak ke Fasilitas
Kesehatan
Jumlah
(n)
Persen
(%)
Masalah 316 15,3
Bukan masalah 1756 84,7
Total 2072 100
Berdasarkan Tabel 5.16, hanya 15,3% responden yang memiliki
masalah dengan jarak ke fasilitas kesehatan ketika sakit dan ingin
mendapatkan perawatan kesehatan atau berobat di sana.
5.1.10 Gambaran Komplikasi Persalinan
Komplikasi persalinan adalah kesulitan atau masalah kesehatan
yang dialami responden saat melahirkan anak terakhirnya. Komplikasi
persalinan yang dapat terjadi, yaitu persalinan lama, perdarahan
berlebihan, demam atau keluar lendir berbau, kejang dan pingsan,
113
ketuban pecah dini >6 jam sebelum persalinan atau komplikasi
lainnya yang disebutkan responden.
Berdasarkan Tabel 5.17, komplikasi persalinan yang paling
banyak dialami responden adalah persalinan lama (31,7%). Hanya
1,9% responden yang mengalami kejang dan pingsan saat persalinan.
Tabel 5.17
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Jenis Komplikasi
Persalinan di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Komplikasi Persalinan Jumlah
(n)
Persen
(%)
Persalinan lama 656 31,7
Perdarahan berlebihan 158 7,6
Demam/ keluar lendir berbau 144 6,9
Kejang dan pingsan 40 1,9
Ketuban pecah dini > 6 jam sebelum persalinan 261 12,6
Lainnya 80 3,9
Sebagai keperluan analisis data, maka komplikasi persalinan di
kelompokkan menjadi dua kategori, yaitu “ya” dan “tidak”. Jika
responden mengalami setidaknya 1 jenis masalah kesehatan saat
melahirkan, maka dikategorikan mengalami komplikasi persalinan.
Tabel 5.18
Distribusi Frekuensi WUS Berdasarkan Komplikasi Persalinan
di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Komplikasi
Persalinan
Jumlah
(n)
Persen
(%)
Ya 887 42,8
Tidak 1185 57,2
Total 2072 100
114
Berdasarkan Tabel 5.18, kurang dari setengah total responden
yang mengalami komplikasi saat melahirkan anak terakhir sebesar
42,8%.
5.2 Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia
Guna membuktikan hipotesis penelitian, yaitu ada atau tidaknya
hubungan antara pemanfaatan pelayanan nifas dengan determinannya, maka
dilakukan analisis bivariat. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan
uji statistik Chi Square.
5.2.1 Hubungan Pendidikan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh bahwa
pemanfaatan pelayanan nifas tertinggi terjadi pada responden yang
sedang menyelesaikan atau tamat perguruan tinggi (90,3%). Sedangkan
pemanfaatan pelayanan nifas terendah terjadi pada responden yang
tidak pernah bersekolah, yaitu 64,7%.
Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,000 atau ≤ 0,05.
Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara pendidikan anak dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada
wanita usia subur di daerah rural Indonesia.
115
Tabel 5.19
Hubungan Pendidikan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Pendidikan
Pemanfaatan Pelayanan
Nifas Total P-value
Ya Tidak
n % n % n %
Tidak sekolah 22 64,7 12 35,3 34 100
0,000
Tidak tamat
SD
165 82,1 36 17,9 201 100
Tamat SD 422 83,7 82 16,3 504 100
Tidak tamat
SMTA
545 85,6 92 14,4 637 100
Tamat SMTA 414 88,3 55 11,7 469 100
Perguruan
tinggi
205 90,3 22 9,7 227 100
5.2.2 Hubungan Urutan Kelahiran dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara urutan kelahiran anak
dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh
bahwa responden dengan urutan kelahiran 1 hingga 6 atau lebih
memanfaatkan pelayanan nifas yang tidak jauh berbeda, yaitu sekitar
80an persen. Responden dengan urutan kelahiran anak pertama atau
kedua hingga tiga memanfaatkan pelayanan nifas paling tinggi, yaitu
85,7% dan 85,3%. Sedangkan pemanfaatan lebih rendah pada
responden dengan urutan kelahiran 4 hingga 5 atau 6 atau lebih, yaitu
81,9% dan 81%.
116
Tabel 5.20
Hubungan Urutan Kelahiran dengan Pemanfaatan Pelayanan
Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Urutan
Kelahiran
Pemanfaatan Pelayanan
Nifas Total P-value
Ya Tidak
n % n % n %
1 707 85,7 101 12,5 808 100
0,085 2-3 794 85,3 137 14,7 931 100
4-5 208 81,9 46 18,1 254 100
6+ 64 81,0 15 19,0 79 100
Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,085 atau > 0,05.
Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara urutan kelahiran anak dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada
wanita usia subur di daerah rural Indonesia.
5.2.3 Hubungan Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC) dengan
Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara kunjungan pelayanan
antenatal (ANC) dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia
subur, diperoleh bahwa pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi
pada responden yang melakukan kunjungan ANC sebanyak 4 kali atau
lebih (88,3%) dibandingkan yang melakukan kunjungan ANC <4 kali
atau yang tidak pernah melakukan kunjungan. Pemanfaatan pelayanan
nifas paling rendah terjadi pada responden yang tidak pernah
melakukan kunjungan ANC, yaitu 57,6%.
117
Tabel 5.21
Hubungan Kunjungan ANC dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Kunjungan
ANC
Pemanfaatan Pelayanan
Nifas Total P-value
Ya Tidak
n % n % n %
Tidak
kunjungan
38 57,6 28 42,4 66 100
0,000 1 24 61,5 15 38,5 39 100
2-3 172 76,8 52 23,2 224 100
4+ 1539 88,3 204 11,7 1743 100
Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,000 atau ≤ 0,05.
Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
kunjungan ANC dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia
subur di daerah rural Indonesia.
5.2.4 Hubungan Kuintil Kekayaan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara kuintil kekayaan
dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh
bahwa responden yang berada pada kuintil kekayaan teratas (94,%)
lebih tinggi pemanfaatan pelayanan nifasnya dibandingkan kelompok
kuintil kekayaan terendah lainnya. Sedangkan pemanfaatan pelayanan
nifas paling rendah terjadi pada kelompok kuintil kekayaan terbawah
(78,8%).
118
Tabel 5.22
Hubungan Kuintil Kekayaan dengan Pemanfaatan Pelayanan Nifas
Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Kuintil
Kekayaan
Pemanfaatan Pelayanan
Nifas Total P-value
Ya Tidak
n % n % n %
Terbawah 569 78,8 153 21,2 722 100
0,000
Menengah
bawah
493 86,8 75 13,2 568 100
Menengah 329 90,1 36 9,9 365 100
Menengah atas 247 90,1 27 9,9 274 100
Teratas 135 94,4 8 5,6 143 100
Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,000 atau ≤ 0,05.
Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
kuintil kekayaan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia
subur di daerah rural Indonesia.
5.2.5 Hubungan Tempat Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Nifas
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara tempat persalinan
dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh
bahwa pemanfaatan pelayanan nifas paling tinggi terjadi pada
responden yang melahirkan di fasilitas kesehatan (92,9%) dibandingkan
yang melahirkan di tempat lain atau non-fasilitas kesehatan (77%).
Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,000 atau ≤ 0,05.
Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
119
tempat persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita
usia subur di daerah rural Indonesia.
Tabel 5.23
Hubungan Tempat Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Tempat
Persalinan
Pemanfaatan Pelayanan
Nifas Total P-value
Ya Tidak
n % n % n %
Fasilitas
Kesehatan
1035 92,9 79 7,1 1115 100
0,000
Tempat lain 737 77,0 220 23,0 957 100
5.2.6 Hubungan Penolong Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Nifas
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara penolong persalinan
dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh
bahwa responden yang ditolong oleh tenaga kesehatan (90%) lebih
tinggi pemanfaatan pelayanan nifasnya dibandingkan responden yang
ditolong oleh non-tenaga kesehatan (dukun bayi, tetangga/kerabat atau
orang lain atau tidak ada yang menolong) (56,4%).
Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,000 atau ≤ 0,05.
Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
penolong persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita
usia subur di daerah rural Indonesia.
120
Tabel 5.24
Hubungan Penolong Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Penolong
Persalinan
Pemanfaatan Pelayanan
Nifas Total P-value
Ya Tidak
n % n % n %
Tenaga
kesehatan
1619 90,0 180 10,0 1799 100
0,000 Non-tenaga
kesehatan
154 56,4 119 43,6 273 100
5.2.7 Hubungan Jarak ke Fasilitas Kesehatan dengan Pemanfaatan
Pelayanan Nifas
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara jarak ke fasilitas
kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur,
diperoleh bahwa pemanfaatan pelayanan nifas lebih rendah terjadi pada
responden yang memiliki masalah dengan jarak ke fasilitas kesehatan
(77,8%) dibandingkan responden yang tidak memiliki masalah dengan
jarak ke fasilitas kesehatan (87%).
Tabel 5.25
Hubungan Jarak ke Fasilitas Kesehatan dengan Pemanfaatan
Pelayanan Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia
Tahun 2011-2012
Jarak ke
Fasilitas
Kesehatan
Pemanfaatan Pelayanan
Nifas Total P-value
Ya Tidak
n % n % n %
Masalah 246 77,8 70 22,2 316 100
0,000 Bukan
masalah
1527 87,0 229 13,0 1756 100
121
Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,000 atau ≤ 0,05.
Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
jarak ke fasilitas kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada
wanita usia subur di daerah rural Indonesia.
5.2.8 Hubungan Komplikasi Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Nifas
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara komplikasi persalinan
dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur, diperoleh
bahwa pemanfaatan pelayanan nifas pada responden yang mengalami
komplikasi persalinan dengan yang tidak mengalami komplikasi
persalinan relatif sama, yaitu 85,5% dan 84,9%.
Tabel 5.26
Hubungan Komplikasi Persalinan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Nifas Pada WUS di Daerah Rural Indonesia Tahun 2011-2012
Komplikasi
Persalinan
Pemanfaatan Pelayanan
Nifas Total P-value
Ya Tidak
n % n % n %
Ya 767 85,5 120 13,5 887 100 0,343
Tidak 1005 84,9 179 15,1 1185 100
Hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,343 atau > 0,05.
Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara komplikasi persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada
wanita usia subur di daerah rural Indonesia.
122
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Pada pelaksanaan penelitian ini, peneliti menghadapi beberapa
keterbatasan penelitian. Pertama, hasil ukur pada variabel kuintil kekayaan
yang didapatkan oleh peneliti merupakan hasil yang sudah diolah oleh ICF
(Inner City Fund) Marco milik U.S Agency International Development
(USAID). ICF Marco membagi kuintil kekayaan menjadi 5 macam, yaitu
terbawah, menengah bawah, menengah, menengah atas dan teratas. Namun,
peneliti tidak mengetahui besarnya interval skor masing-masing kategori
kuintil kekayaan tersebut sehingga tidak diketahui pada kondisi seperti apa
seseorang dikatakan berada pada kuintil kekayaan tertentu. Oleh karena itu,
hal ini menjadi salah satu kendala bagi peneliti dalam menganalisis dan
memberi saran terhadap pemanfaatan pelayanan nifas yang dipengaruhi oleh
kuintil kekayaan.
Kedua, kemungkinan terjadinya bias informasi pada sampel yang
melahirkan saat proses wawancara survei dilakukan. Hal ini dapat berdampak
pada tidak terpenuhinya syarat 3 hari sebagai masa wanita mendapatkan
pemanfaatan pelayanan nifas pasca persalinan. Namun, peneliti telah
melakukan upaya untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu dengan membatasi
123
sampel yang dipilih adalah satu bulan sebelum survei sehingga tidak
memengaruhi hasil penelitian pada variabel pemanfaatan pelayanan nifas.
Ketiga, pengukuran variabel jarak ke fasilitas kesehatan hanya diukur
berdasarkan pada persepsi responden, yaitu persepsi mereka terhadap jarak ke
fasilitas kesehatan ketika sakit dan ingin mendapatkan perawatan kesehatan
atau pengobatan. Hasil ukur dari variabel ini, yaitu „masalah‟ dan „tidak
masalah. Karena pengukuran variabel ini berdasarkan pada persepsi, maka
jawaban yang diberikan oleh responden bersifat subjektif sehingga tidak
diketahui pada jarak berapa hal ini menjadi masalah atau tidak masalah bagi
mereka.
6.2 Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia
Pelayanan nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu
mulai 6 jam pertama sampai 42 hari pasca persalinan oleh tenaga kesehatan
(Kemenkes RI, 2010). Pelayanan nifas tidak berarti bahwa ibu nifas yang
harus mendatangi tenaga kesehatan atau fasilitas kesehatan. Melainkan
didefinisikan sebagai kontak ibu nifas dengan tenaga kesehatan, baik di dalam
gedung maupun di luar gedung fasilitas kesehatan.
Pada penelitian ini, pemanfaatan pelayanan nifas merupakan
pemeriksaan kesehatan yang ibu dapatkan pada 3 hari pertama setelah
melahirkan anak terakhir dengan mendatangi pelayanan kesehatan atau
didatangi oleh petugas kesehatan. Penentuan batasan waktu 3 hari pertama
setelah melahirkan adalah karena periode tersebut merupakan waktu yang
124
paling berisiko terjadinya komplikasi pasca persalinan (Riskesdas, 2010).
Bahkan tingginnya kematian dapat terjadi pada hari pertama dan kedua
setelah melahirkan (Ronsmans, dkk., 2006). Nour (2008) juga menyebutkan
bahwa sebanyak 45% kematian pada masa nifas terjadi pada 24 jam pertama
setelah melahirkan dan 66% terjadi pada 1 minggu pertama setelah
melahirkan.
Hasil penelitian menemukan bahwa dari 2072 wanita usia subur,
sebanyak 85,6% telah memanfaatkan pelayanan nifas dan 14,4% tidak
memanfaatkan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia. Persentase
pemanfaatan pelayanan nifas ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan
persentase pelayanan nifas yang ada di laporan SDKI 2012, yaitu sebesar
74%. Hal ini dimungkinkan terjadi karena perbedaan penetapan waktu
pemanfaatan pelayanan nifas, yaitu 2 hari pertama pasca persalinan pada
laporan SDKI 2012 dan 3 hari pertama pasca persalinan pada penelitin ini.
Oleh karena itu, terdapat tambahan jumlah wanita yang mendapatkan
pelayanan nifas pada hari ketiga sehingga persentase yang dihasilkan lebih
besar.
Selain itu, perbedaan besarnya persentase ini dimungkinkan terjadi
karena perbedaan periode tahun sampel yang digunakan. Laporan SDKI 2012
menggunakan sampel antara tahun 2007-2012. Sedangkan pada penelitian ini,
sampel yang digunakan adalah tahun 2011-2012. Hal ini menunjukkan bahwa
kemungkinan cakupan pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada
tahun 2011-2012 dibandingkan pada tahun-tahun sebelumya. Oleh sebab itu,
125
persentase pemanfaatan pelayanan nifas yang dihasilkan pada penelitian ini
lebih besar dibandingkan yang dilaporkan SDKI tahun 2012.
Meskipun persentase pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural
secara nasional cukup tinggi, terdapat ketimpangan persentase antar daerah
rural di tingkat provinsi, yaitu antara 58,3% hingga 98,1%. Tiga provinsi
tertinggi yang memanfaatkan pelayanan nifas adalah Bengkulu (98,1%),
Yogyakarta (96,3%) dan Bali (96,2%). Sedangkan tiga provinsi terendah
yang memanfaatkan pelayanan nifas adalah Papua (58,3%), Maluku (68,2%)
dan Papua Barat (70,8%). Terdapat 13 provinsi yang berada di bawah angka
nasional dalam memanfaatkan pelayanan nifas. Hal ini menunjukkan bahwa
pemanfaatan pelayanan nifas masih menjadi masalah di daerah rural di
beberapa provinsi di Indonesia.
Hasil penelitian juga menemukan bahwa dari 1733 wanita yang
memanfaatkan pelayanan nifas, sebagian besar dilayani atau diperiksa oleh
bidan, yaitu 46% bidan praktek dan 29,4% bidan di desa. Hal ini diasumsikan
karena banyak di antara wanita yang melahirkan di bidan praktek atau bidan
di desa. Terlihat dari hasil penelitian bahwa sebanyak 59% wanita yang
memanfaatkan pelayanan nifas mendapatkan pemeriksaan kesehatan saat
sebelum keluar dari fasilitas kesehatan pasca persalinan dan jenis fasilitas
kesehatan yang banyak digunakan sebagai tempat persalinan adalah bidan
praktek (24,9%) dan bidan di desa (11,9%).
Selain itu, alasan banyaknya wanita yang menerima pemeriksaan pada 3
hari pertama setelah melahirkan dari bidan diasumsikan karena banyak wanita
126
yang mendapatkan pertolongan persalinan oleh bidan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari total responden yang memanfaatkan pelayanan
nifas, sebanyak 50,6% wanita mendapatkan pertolongan persalinan dari bidan
dan 29,4% dari bidan di desa. Ini menunjukkan bahwa bidan memiliki
peranan yang besar dalam meningkatkan pemanfaatan pelayanan nifas di
daerah rural.
Setiap ibu nifas seharusnya memanfaatkan pelayanan nifas. Menurut
Paudel, dkk. (2013), pelayanan nifas diperlukan untuk mengurangi kesakitan
dan kematian pada ibu. Salah satu tujuan umum dari pelayanan nifas adalah
memulihkan kesehatan umum penderita, mempertahankan psikologis dan
mencegah infeksi dan komplikasi (Bahiyatun, 2008). Diketahui bahwa setelah
persalinan, terdapat perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu selama masa
nifas, seperti perubahan pada uterus, lokia, serviks, vagina dan vulva,
perineum, abdomen, ovarium, payudara, sistem kardiovaskular, sistem
pencernaan, dan sistem perkemihan (Manuaba, 2004; Stright, 2005;
Bahiyatun, 2008; Leveno, dkk., 2009). Pada masa nifas, ibu juga dapat
mengalami komplikasi, seperti perdarahan, sepsis puerperalis, eklamsia,
infeksi puerperalis, depresi postpartum, postpartum blues atau psikosis
postpartum (Farrer, 2001; WHO, 2002; Tomb, 2004; Sastrawinata, dkk.,
2005; Bahiyatun, 2008; Leveno, dkk., 2009). Oleh karena itu, untuk
mengidentifikasi dan menangani atau merujuk komplikasi serta meningkatkan
kesehatan pasca persalinan, maka ibu harus memanfaatkan pelayanan nifas.
127
Selain karena faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan
pelayanan nifas (dibahas pada sub-bab selanjutnya), alasan wanita tidak
memanfaatkan pelayanan nifas juga diasumsikan karena kurangnya kesadaran
mereka tentang pentingnya pelayanan nifas sehingga merasa tidak
membutuhkannya. Unicef (2012) menyebutkan bahwa cakupan pelayanan
nifas tepat waktu yang rendah kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya
prioritas di antara perempuan terhadap pelayanan ini. Seperti yang terjadi di
Jawa Barat bahwa karena alasan tidak mengalami komplikasi pasca
persalinan maka wanita di sana merasa tidak membutuhkan pelayanan nifas
(Titaley, dkk., 2010). Hal ini juga terjadi pada wanita di Palestina, Nigeria
dan Etiopia bahwa salah satu alasan mereka tidak memanfaatkan pelayanan
nifas adalah karena tidak merasa sakit setelah melahirkan sehingga tidak
membutuhkan pelayanan nifas (Dhaher, dkk., 2008; Ugboaja, dkk., 2013;
Berhe, dkk., 2013).
6.3 Determinan Pemanfaatan Pelayanan Nifas di Daerah Rural Indonesia
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 6 dari 8 variabel yang diteliti
berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur di
daerah rural Indonesia tahun 2011-2012. Berikut ini adalah pembahasan dari
masing-masing variabel tersebut.
128
6.3.1 Pendidikan
Pendidikan memiliki peranan terhadap perilaku seseorang
(Notoadmodjo, 2010). Tingkat pendidikan berkaitan erat dengan
perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan (Andersen, 1995). Morreale
(1998) menjelaskan bahwa pendidikan umumnya menyebabkan
tingginya pemanfataan pelayanan kesehatan.
Pada penelitian ini, pemanfaatan pelayanan nifas tertinggi terjadi
pada wanita dengan pendidikan perguruan tinggi (90,3%) dibandingkan
wanita dengan tingkat pendidikan lebih rendah lainnya. Sedangkan
pemanfaatan pelayanan nifas paling rendah terjadi pada wanita yang
tidak pernah sekolah (64,7%). Hal ini menunjukkan bahwa wanita yang
memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung akan lebih banyak
memanfaatkan pelayanan nifas. Hasil uji statistik juga menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-value
sebesar 0,000.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Doraon (2012) dan
Ugboaja, dkk. (2013) yang menemukan bahwa terdapat hubungan
antara tingginya pendidikan ibu dengan peningkatan pemanfaatan
pelayanan nifas. Ibu yang berpendidikan menengah dan atas lebih besar
kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan nifas saat 24 jam
pertama setelah melahirkan (Paudel, dkk., 2013).
129
Namun, hal ini tidak sejalan dengan penelitian Dhaher, dkk.
(2008) dan Berhe, dkk. (2013) bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara pendidikan ibu dengan pemanfaatan pelayanan nifas.
Sebaliknya, penelitian Fitria dan Puspitasari (2011) menemukan bahwa
ibu nifas yang tamat SD cenderung melaksanakan pelayanan nifas
dibandingkan ibu nifas yang berpendidikan SMP dan SMA karena
kemungkinan ibu dengan pendidikan lebih tinggi merasa lebih tahu
akan kondisi tubuhnya.
Adanya hubungan dalam penelitian ini diasumsikan karena
pendidikan wanita memengaruhi pengetahuan mereka tentang
pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan. Pengetahuan tentang
fasilitas kesehatan ibu lebih tinggi di antara orang-orang yang
mendapatkan pendidikan formal (Yar‟zever dan Said, 2013).
Pengetahuan yang didapat dari pendidikan memberikan kemudahan
bagi individu dalam mengakses informasi dan memanfaatkan pelayanan
untuk meningkatkan kesehatan diri sendiri dan keluarganya (Higgins,
Lavin dan Metcalfe, 2008; Paudel, dkk., 2013).
Kemudahan wanita berpendidikan tinggi dalam mengakses
informasi juga dapat memengaruhi pemanfaatan pelayanan nifas. Ibu
dengan pendidikan tinggi lebih mungkin untuk berkunjung ke
pelayanan nifas karena semakin tinggi tingkat pendidikan maka
semakin besar kemungkinannya memperoleh informasi tentang risiko
130
kesehatan, pentingnya dan manfaat mengakses pelayanan kesehatan
(Khanal, dkk, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian, wanita di daerah rural Indonesia
lebih banyak yang bersekolah tidak tamat SMTA (30,7%) dan 66,3% di
bawah tamat SMTA. Hanya 33,6% wanita yang bersekolah hingga
tamat SMTA atau perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan wanita usia 15-49 tahun yang pernah melahirkan tahun
2011-2012 di daerah rural Indonesia tergolong masih rendah.
Berdasarkan SDKI tahun 2012, wanita yang tinggal di daerah
rural memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan
wanita yang tinggal di daerah urban, khususnya pada tingkat pendidikan
SMTA dan perguruan tinggi (BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF
International, 2013). Hal ini karena pemerataan layanan pendidikan
menengah belum sepenuhnya mampu menjangkau penduduk kurang
beruntung yang disebabkan kondisi geografis (misalnya daerah
terpencil dan perbatasan) dan kondisi sosial ekonomi (Kemendikbud,
2012). Pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang belum mantap
karena kurangnya kejelasan pembagian tugas dan tanggung jawab antar
tingkat pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) menjadi
salah satu penyebab manajemen tata kelola pendidikan yang belum
efektif, khususnya dalam hal fungsi dan pendanaan.
Selain dari pendidikan formal, pengetahuan masyarakat tentang
kesehatan dapat diperoleh dari pendidikan informal. Perilaku
131
masyarakat yang erat kaitannya dengan upaya peningkatan pengetahuan
masyarakat dapat terbentuk melalui kegiatan yang disebut pendidikan
kesehatan (Maulana, 2009).
Pendidikan kesehatan adalah proses yang direncanakan dengan
sadar untuk menciptakan peluang bagi individu-individu untuk
senantiasa belajar memperbaiki kesadaran serta meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya demi kepentingan kesehatannya
(Nursalam dan Efendi, 2008). Pendidikan kesehatan dapat diberikan
dalam bentuk memberikan informasi dan mendidik masyarakat tentang
cara hidup yang sehat (Chandra, 2009).
Informasi tentang pentingnya pemanfaatan pelayanan nifas dapat
disampaikan secara langsung kepada masyarakat berupa penyuluhan
atau secara tidak langsung melalui poster, media cetak dan elektronik.
Pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan kesehatan ini diharapkan
dapat meningkatkan kesadaran wanita tentang pentingnya menjaga
kesehatan diri sendiri setelah melahirkan melalui pemanfaatan
pelayanan nifas.
Oleh karena tingginya tingkat pendidikan wanita memengaruhi
pemanfaatan pelayanan nifas setelah melahirkan, maka perlu adanya
upaya memperbaiki tingkat pendidikan, salah satunya adalah dengan
cara meningkatkan pemerataan program wajib belajar minimal 9 tahun
yang ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai di daerah
rural Indonesia. Pengintegrasian kurikulum pendidikan kesehatan ke
132
dalam kurikulum pendidikan formal juga dapat menjadi cara yang
efektif untuk memberikan pengetahuan sejak dini kepada pelajar
tentang pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, khususnya kesehatan
reproduksi pada masa kehamilan hingga masa nifas.
Selain itu, perlu adanya peningkatan peran pemerintah, baik pusat
maupun daerah dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang
pentingnya pemanfaatan pelayanan nifas, melalui program promosi
kesehatan atau penyuluhan, khususnya kepada wanita yang tidak
bersekolah. Program berbasis masyarakat atau komunitas juga
sebaiknya dilakukan berupa pelatihan kepada kader-kader kesehatan
setempat tentang pendidikan kesehatan sehingga dapat meningkatkan
kesadaran masyarakat terhadap bahaya potensial yang terkait dengan
kehamilan dan pentingnya memanfaatkan pelayanan nifas.
6.3.2 Urutan Kelahiran
Nomor urut kelahiran anak memiliki hubungan yang kuat dengan
pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal, seperti pelayanan antenatal,
penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, persalinan di fasilitas
kesehatan hingga pelayanan nifas. Wanita yang memiliki anak lebih
banyak biasanya berdampak pada peningkatkan tanggung jawab secara
fisik dan materi sehingga hanya memiliki waktu dan sumber finansial
yang sedikit untuk menjaga atau merawat kesehatan diri sendiri
(Adamu, 2011).
133
Pada penelitian ini, wanita yang melahirkan anaknya yang
pertama hingga ketiga lebih banyak memanfaatkan pelayanan nifas
dibandingkan wanita yang melahirkan anaknya yang keempat atau
lebih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita yang memiliki anak
dengan urutan kelahiran besar cenderung akan lebih sedikit
memanfaatkan pelayanan nifas. Namun, hasil uji statistik menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara urutan kelahiran
dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-
value sebesar 0,085.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Islam dan Odland
(2011) yang menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara urutan kelahiran dengan pemanfaatan pelayanan nifas.
Bahkan pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada ibu yang
melahirkan anak kedua dan ke empat dibandingkan anak pertama dan
ketiga. Fort, dkk (2006) juga menemukan bahwa pada kelahiran non-
fasilitas kesehatan, pemafaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada
ibu yang melahirkan anak ke-5 atau lebih dibandingkan anak dengan
urutan kelahiran kecil.
Namun, hal ini tidak sejalan dengan penelitian Adamu (2011),
Singh, dkk. (2012), dan Khanal, dkk. (2014) yang menemukan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara urutan kelahiran dengan
pemanfaatan pelayanan nifas. Khanal, dkk (2014) menemukan bahwa
tingginya pemanfaatan pelayanan nifas terjadi pada kelahiran anak
134
pertama (61,8%) dan kedua atau ketiga (41,2%). Begitu juga dengan
Singh, dkk. (2012) yang menemukan bahwa tingginya pemanfaatan
pelayanan nifas terjadi pada kelahiran anak pertama (37,4%) dan kedua
atau ketiga (32,8%). Tingginya pemanfaatan pelayanan nifas pada anak
pertama disebabkan karena wanita lebih berhati-hati tentang kehamilan
pertamanya dan cenderung memiliki kesulitan selama persalinan
(Singh, dkk., 2012).
Tidak adanya hubungan pada penelitian ini dimungkinkan terjadi
karena sebagian besar responden ditolong oleh tenaga kesehatan dan
kemudian mendapatkan pemeriksaan kesehatan segera setelah
persalinan. Berdasarkan hasil penelitian, wanita dengan urutan
kelahiran ke-1 dan ke-2 hingga 3 telah ditolong oleh tenaga kesehatan
saat bersalin sebesar 92,3% dan 84,9%. Dari persentase tersebut,
sebanyak 90,8% dan 89,9% di antaranya telah mendapatkan
pemeriksaan kesehatan segera setelah persalinan. Tingginya persentase
ini tidak jauh berbeda dengan persentase pada urutan kelahiran yang
lebih besar. Wanita dengan urutan kelahiran ke-4 hingga 5 atau ke-6
atau lebih telah ditolong oleh tenaga kesehatan saat bersalin sebesar
79,9% dan 75,9%. Dari persentase tersebut, sebanyak 88,2% dan 88,3%
di antaranya telah mendapatkan pemeriksaan kesehatan segera setelah
persalinan.
Wanita yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan akan
mendapatkan pemeriksaan kesehatan segera setelah persalinan. Salah
135
satu standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar oleh tenaga
kesehatan adalah memeriksa kesehatan ibu secara rutin selama 2 jam
pertama pasca persalinan (Kemenkes, 2013). Syarifudin dan Hamidah
(2009) juga menyebutkan bahwa tugas bidan sebagai salah satu tenaga
kesehatan adalah melakukan pemantauan pada ibu dan bayi terhadap
terjadinya komplikasi dalam 2 jam setelah persalinan serta melakukan
tindakan yang diperlukan. Bidan juga bertugas memberikan pelayanan
selama masa nifas melalui kunjungan rumah pada minggu ke-2 dan
minggu ke-6 setelah persalinan.
Meskipun hasil uji statistik menemukan tidak ada hubungan, hasil
penelitian menunjukkan bahwa semakin besar urutan kelahiran maka
semakin tinggi pemanfaatan pelayanan nifas. Oleh karena itu,
intervensi pada kebijakan dan program peningkatkan kesehatan ibu
melalui pelayanan nifas sebaiknya lebih difokuskan pada kelompok
wanita yang memiliki pengalaman melahirkan lebih banyak, yaitu
dengan cara peningkatkan promosi pelayanan nifas.
6.3.3 Kunjungan Pelayanan Antenatal (ANC)
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya,
dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang
ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK) (Kemenkes RI,
2010). Frekuensi pelayanan antenatal minimal 4 kali selama masa
136
kehaminan, yaitu minimal 1 kali pada triwulan pertama, minimal 1 kali
pada triwulan kedua dan minimal 2 kali pada triwulan ketiga.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 84,1% wanita
di daerah rural Indonesia pada tahun 2011-2012 melakukan kunjungan
ANC sebanyak 4 kali atau lebih. Sedangkan sebanyak 12,7% wanita
melakukan kunjungan hanya 1-3 kali dan 3,2% tidak pernah melakukan
kunjungan ANC selama kehamilannya. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat kesadaran wanita untuk berkunjung ke ANC cukup tinggi.
Kunjungan ke pelayanan antenatal (ANC) memiliki dampak
positif pada pemanfaatan pelayanan nifas (Chimankar dan Sahoo,
2011). Kunjungan antenatal dapat meningkatkan kemungkinan bagi
wanita untuk memanfaatkan pelayanan nifas (Ugboaja, dkk., 2013).
Pada penelitian ini, pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi
terjadi pada wanita yang melakukan kunjungan ANC ≥4 kali (88,3%)
dan lebih rendah pada wanita yang tidak pernah melakukan kunjungan
ANC (57,6%). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya pemanfaatan
pelayanan nifas terjadi pada tingginya kunjungan ANC wanita ketika
hamil. Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara kunjungan ANC dengan pemanfaatan pelayanan
nifas pada wanita usia subur dengan p-value sebesar 0,000.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Chimankar dan
Sahoo (2011), Ugboaja, dkk. (2013), Paudel, dkk. (2013), dan Khanal,
dkk. (2013) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kunjungan
137
ANC dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Paudel, dkk. (2013)
menemukan bahwa ibu yang berkunjung ke ANC sebanyak 1 sampai 3
kali dan 4 kali atau lebih, lebih besar kemungkinannya untuk
memanfaatkan pelayanan nifas daripada ibu yang tidak datang ke
pelayanan antenatal. Khanal, dkk., (2014) juga menemukan bahwa ibu
yang berkunjung sebanyak 4 kali atau lebih ke ANC lebih besar
kemungkinannya untuk berkunjung ke pelayanan nifas setelah bersalin
daripada ibu yang tidak berkunjung ke ANC.
Namun, beberapa penelitian menemukan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara kunjungan ANC dengan pemanfaatan
pelayanan nifas (Dhaher, dkk., 2008; Berhe, dkk., 2013). Meski tidak
ada hubungan, Berhe, dkk. (2013) berkeyakinan bahwa penting untuk
mendidik para ibu hamil tentang pelayanan nifas ketika berkunjung ke
pelayanan antenatal sehingga dapat meningkatkan kesadaran mereka
untuk memanfaatkan pelayanan nifas.
Adanya hubungan dalam penelitian ini, dimungkinkan karena
wanita mendapatkan informasi tentang pelayanan nifas saat kunjungan
ANC. Paudel, dkk. (2013) menjelaskan bahwa saat datang ke pelayanan
antenatal, ibu hamil memperoleh informasi kesehatan tentang persiapan
yang dibutuhkan untuk persalinan dan pemanfaatan layanan lebih lanjut
yang dibutuhkan setelah persalinan. Standar pelayanan di fasilitas
kesehatan dasar di Indonesia juga disebutkan bahwa pada saat
kunjungan ANC, terdapat sesi konseling yang membahas persiapan
138
persalinan (Kemenkes, 2013). Pada sesi konseling dengan tenaga
kesehatan tersebut, ibu hamil kemungkinan juga memperoleh informasi
tentang pemanfaatan pelayanan nifas dan kemudian menyadari tentang
pentingnya mendapatkan pelayanan nifas.
Selain itu, adanya hubungan juga dimungkinkan karena
kunjungan ANC dapat meningkatkan pemanfaatan penolong persalinan
oleh tenaga kesehatan terlatih yang kemudian meningkatkan
kesempatan bagi ibu bersalin untuk mendapatkan pelayanan nifas. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa wanita yang berkunjung ke ANC
sebanyak ≥4 kali (89,5%) lebih banyak yang ditolong oleh tenaga
kesehatan saat bersalin daripada wanita yang tidak berkunjung ke ANC
(54,5%). Selanjutnya, dari 89,5% wanita tersebut, sebanyak 91,1% di
antaranya kemudian memanfaatkan. Sedangkan dari 54,5% wanita yang
tidak berkunjung ke ANC dan ditolong oleh tenaga kesehatan saat
bersalin, pemanfaatan nifasnya lebih rendah, yaitu 80,6%.
Kesadaran wanita untuk menjaga kesehatan ibu dan bayi dapat
menjadi alasan bagi mereka memanfaatkan ANC dan pelayanan nifas.
Hal ini sejalan dengan penelitian (Titaley, dkk., 2010) bahwa alasan
utama wanita di Garut, Sukabumi dan Ciamis berkunjung ke ANC dan
pelayanan nifas adalah untuk memastikan keselamatan ibu dan bayinya.
Sebaliknya, alasan di antara mereka tidak memanfaatkan ANC maupun
pelayanan nifas adalah karena kurangnya kesadaran mereka tentang
pentingnya memanfaatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Beberapa
139
di antara mereka berpendapat bahwa pelayanan kesehatan hanya
dibutuhkan jika terjadi komplikasi kehamilan.
Pengetahuan dan kesadaran yang kurang pada wanita yang tidak
berkunjung ke ANC dapat disebabkan karena faktor pendidikan.
Pendidikan pada wanita hamil memiliki efek positif terhadap
pemanfaatan ANC. Seperti di Ethiopia, wanita di daerah rural dengan
tingkat pendidikan sekunder 4 kali lebih besar memanfaatkan pelayanan
antenatal (Mekonnen, 2002). Hal ini juga ditunjukkan dari hasil
penelitian ini bahwa kunjungan ANC ≥4 kali lebih banyak dilakukan
oleh dengan tingkat pendidikan tamat SMTA (88,7%) dan perguruan
tinggi (90,3%) dibandingkan wanita yang tidak sekolah (67,6%).
Kunjungan ANC yang tidak dilakukan oleh wanita selama hamil
juga dapat dipengaruhi oleh kepercayaan yang menjadi budaya di
lingkungannya. Wanita di daerah rural Jawa Barat beranggapan bahwa
kehamilan adalah peristiwa yang normal sehingga tidak butuh
perawatan kecuali jika terjadi komplikasi (Agus, dkk., 2012). Hal
serupa juga terjadi di derah rural Bangladesh bahwa wanita umumnya
menganggap kehamilan sebagai peristiwa normal kecuali jika muncul
komplikasi sehingga sebagian dari mereka tidak berkunjung ke ANC
dan tidak ada persiapan sebelumnya untuk menghadapi persalinan
(Choudhury dan Ahmed, 2011).
Peran ANC terhadap pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita di
daerah rural cukup penting. Terlihat bahwa kunjungan ANC ≥ 4 kali
140
mampu menarik 88,3% dari total wanita yang berkunjung untuk
kemudian memanfaatkan pelayanan nifas. Oleh karena itu, peneliti
menyarankan untuk meningkatkan pemanfaatan atau kunjungan ANC
minimal 4 kali atau lebih dan menekankan pentingnya pemanfaatan
pelayanan nifas selama kunjungan tersebut berlangsung dengan sasaran
utama adalah wanita yang tidak bersekolah dan tidak tamat SD.
Peningkatan kunjungan ANC dapat dilakukan melalui program
berbasis masyarakat dan berbagai media promosi kesehatan, terutama
dengan memanfaatkan peran bidan dan bidan swasta. Hal ini karena
lebih dari setengah total responden diperiksa kehamilannya oleh bidan
dan bidan di desa, yaitu sebesar 54,6% dan 37,3%.
6.3.4 Kuintil Kekayaan
Kuintil kekayaan merupakan indeks kekayaan rumah tangga yang
didasarkan atas barang-barang kepemilikan rumah tangga tersebut.
Penduduk di daerah rural umumnya memiliki kuintil kekayaan lebih
rendah dibandingkan penduduk di daerah urban. Berdasarkan SDKI
tahun 2012, lebih dari setengah penduduk rural (60%) di Indonesia
berada dalam kuintil dua terendah, sementara sepertiga penduduk
daerah urban (33%) berada dalam kuintil tertinggi (BPS, BKKBN,
Kemenkes RI, dan ICF International, 2013).
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa sebanyak
62,2% wanita usia subur yang pernah melahirkan tahun 2011-2012 di
141
daerah rural Indonesia berada dalam kuintil dua terendah, yaitu kuintil
terbawah dan menengah bawah. Hanya 6,9% wanita di sana yang
berada dalam kuintil kekayaan tertinggi.
McCulloch, dkk. (2007) menyebutkan bahwa kebanyakan orang
miskin di negara berkembang, seperti di Indonesia, masih tinggal di
daerah rural dan terutama terlibat dalam kegiatan pertanian
produktivitas rendah. Pendapatan yang rendah dari sektor pertanian ini
dapat berdampak pada status ekonomi yang rendah. Di daerah rural
Jawa Tengah, status ekonomi yang rendah berhubungan secara
signifikan dengan status pekerjaan sebagai bertani (Hondai, 2005).
Ekonomi di daerah rural dapat berdampak pada perilaku
seseorang ketika sakit dalam pencarian pengobatan (Bushy, 2009).
Keadan ekonomi secara tidak langsung juga menggambarkan tingkat
pendapatan seseorang. Pendapatan menjadi salah satu sumber daya
pendukung bagi seseorang untuk bisa memanfaatkan pelayanan
kesehatan (Andersen, 1995).
Pada hasil penelitian ini, pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi
terjadi pada wanita yang berada dalam kuintil kekayaan menengah
(90,1%), menengah atas (90,1%) dan teratas (94,4%). Sedangkan
pemanfaatan pelayanan nifas lebih rendah terjadi pada wanita yang
berada dalam kuintil kekayaan terbawah (78,8%) dan menengah bawah
(86,8%). Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan
142
yang signifikan antara kuintil kekayaan dengan pemanfaatan pelayanan
nifas pada wanita usia subur dengan p-value sebesar 0,000.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fort, dkk. (2006),
Nugraha (2013) dan Khanal, dkk. (2014) bahwa terdapat hubungan
antara kuintil kekayaan/status ekonomi dengan pemanfaatan pelayanan
nifas. Ibu yang memiliki kuintil kekayaan tinggi di negara Bangladesh,
Cambodia, Ethiopia, Haiti, Indonesia, Mali, Rwanda, dan Uganda, lebih
tinggi pemanfaatan nifasnya dibandingkan ibu dengan kuintil kekayaan
yang lebih rendah (Fort, dkk., 2006). Nugraha (2013) juga menemukan
bahwa di Indonesia, ibu yang mempunyai tingkat ekonomi menengah-
tinggi lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan pelayanan
nifas dibandingkan ibu yang rendah tingkat ekonominya.
Kondisi wanita bersalin di daerah rural yang lebih banyak berada
dalam kuintil kekayaan terbawah dan menengah bawah menyebabkan
mereka sulit mendapatkan pelayanan nifas yang disebabkan karena
faktor finansial. Hal ini sejalan dengan penelitian kualitatif di Sukabumi
dan Ciamis bahwa finansial menjadi masalah utama wanita di sana
untuk memanfaatkan pelayanan nifas terkait biaya pelayanan kesehatan,
biaya transportasi atau keduanya (Titaley, dkk., 2010). Masyarakat
rural di Provinsi Nort West, Afrika Selatan juga memiliki masalah yang
sama bahwa meskipun mereka menyadari mencari pelayanan kesehatan
adalah suatu kebutuhan ketika sakit, namun mereka terkendala dengan
minimnya dana yang dimiliki, tidak hanya untuk biaya berobatnya saja,
143
tetapi juga untuk biaya transportasi ke fasilitas kesehatan (Hoeven,
dkk., 2012).
Hal ini juga sejalan dengan Khanal, dkk. (2014) bahwa wanita
dari keluarga kaya lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan
pelayanan nifas karena tersedianya dana untuk bersalin di rumah sakit.
Mereka yang bersalin di rumah sakit kemudian mendapatkan
pemeriksaan nifas dari tenaga kesehatan.
Selain itu, alasan wanita tidak memanfaatkan pelayanan nifas
dimungkinkan karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang
pentingnya memeriksakan kesehatannya saat nifas. Hal ini sejalan
dengan penelitian Choundhury dan Ahmed (2011) bahwa alasan wanita
Bangladesh dengan tingkat ekonomi sangat miskin tidak pergi ke
fasilitas kesehatan ketika merasa sakit pasca persalinan adalah karena
tidak menyadari tentang adanya pemeriksaan kesehatan nifas. Badan
yang lemas dan deman dianggap sebagai hal yang umum terjadi pada
masa nifas. Khanal, dkk. (2014) juga menjelaskan bahwa wanita dengan
tingkat sosial ekonomi yang tinggi lebih menyadari manfaat dari
mendapatkan pelayanan nifas melalui berbagai media, seperti televisi,
surat kabar dan teman-temannya dibandingkan wanita dengan tingakat
sosial ekonomi rendah.
Kuintil kekayaan tidak hanya berpengaruh pada pemanfaatan
pelayanan nifas, namun juga berpengaruh pada pemanfaatan pelayanan
kesehatan maternal lainnya, seperti pelayanan antenatal dan penolong
144
persalinan oleh tenaga kesehatan (Titaley, dkk., 2010; Rahman, 2009).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa wanita
dengan kuintil kekayaan tertinggi lebih banyak yang berkunjung ke
pelayanan antenatal ≥4 kali (95,1%) dan lebih banyak yang
persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan (99,3%).
Di sisi lain, pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kunjungan antenatal dan penolong persalinan berhubungan secara
signifikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian sebelumnya
menemukan bahwa rendahnya pemanfaatan pelayanan antenatal (ANC)
di Indonesia berhubungan secara signifikan dengan kuintil kekayaan
yang rendah (Titaley, dkk., 2010). Chimankar dan Sahoo (2011) juga
menemukan bahwa status ekonomi yang tinggi secara signifikan
meningkatkan proporsi persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan
terlatih.
Pemanfaatan kesehatan maternal yang rendah pada kelompok
ekonomi rendah karena faktor biaya seharusnya tidak menjadi masalah
karena pemerintah telah mencanangkan program Jaminan Persalinan
(Jampersal), yaitu program asuransi kesehatan pemerintah untuk wanita
hamil, yang meliputi pelayanan antenatal hingga nifas. Selain itu
pemerintah juga mencanangkan program bantuan sosial lainnya bagi
masyarakat miskin dan tidak mampu, seperti Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas).
145
Namun, program Jampersal ternyata dinilai kurang efektif dalam
menjangkau masyarakat di beberapa wilayah. Meskipun pemerintah
telah mengalokasikan dana dalam jumlah yang besar untuk Jampersal,
tingkat pengeluarannya relatif rendah. Secara nasional, tingkat
pengeluaran Jampersal pada tahun 2011 adalah 41,5% di mana
pengeluaran tertinggi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara (82,86%) dan
terendah di wilayah Papua (13,02%) (Dwicaksono dan Setiawan, 2013).
Heywood dan Choi (2010) menyebutkan bahwa meskipun terjadi
peningkatan alokasi dana kesehatan yang signifikan oleh pemerintah
Indonesia, namun tidak terdapat hubungan antara pengeluaran
kesehatan pemerintah di tingkat kabupaten dengan keluaran sistem
kesehatan yang diharapkan. Alokasi dana transfer secara efektif tidak
sesuai dengan besarnya permasalahan kesehatan ibu yang dihadapi oleh
daerah (Dwicaksono dan Setiawan, 2013). Artinya, pemerintah pusat
gagal dalam menggunakan sumber daya untuk mengatasi masalah
kesehatan ibu di daerah.
Salah satu yang menjadi hambatan penggunaan Jampersal adalah
wanita miskin tidak sepenuhnya menyadari manfaat Jampersal. Unicef
(2012) melaporkan bahwa kesadaran perempuan masih kurang tentang
kelayakan dan manfaat Jampersal serta tingkat penggantian biaya yang
tidak memadai, khususnya jika termasuk biaya transportasi dan
komplikasi. Penelitian di Pandeglang menemukan bahwa wanita yang
memiliki pengetahuan yang baik tentang Jampersal lebih tinggi untuk
146
memanfaatkan pelayanan Jampersal (Suparmi, dkk., 2013). Selain itu,
sosialisasi kebijakan Jampersal sangat kurang, baik kepada pemerintah
daerah kabupaten/kota dan unit-unit pelaksana, maupun kepada
masyarakat pengguna (Helmizar, 2014).
Demikian juga yang terjadi pada kelompok kuintil kekayaan
bawah yang memiliki Jamkesmas bahwa tidak sepenuhnya mereka
paham tentang penggunaannya. Studi kualitatif di Jawa Barat
menemukan bahwa meskipun masyarakat sudah dijelaskan tentang
biaya persalinan yang gratis dengan ditolong bidan di desa di fasilitas
kesehatan, mereka masih takut jika kemudian diminta untuk membayar
biaya persalinan (Titaley, dkk., 2010).
Pemanfaatan pelayanan nifas pada kelompok kuintil kekayaan
bawah dapat dilakukan dengan diseminasi informasi yang lebih masif
kepada masyarakat pengguna tentang manfaat asuransi kesehatan dari
pemerintah yang dapat digunakan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan maternal. Peningkatan penggunaan asuransi kesehatan
tersebut dapat dilakukan dengan cara berkoordinasi dengan lintas
sektor, seperti pemerintah daerah, DPRD dan gerakan pemberdayaan
masyarakat berupa penyuluhan. Upaya tersebut diharapkan mampu
meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga dapat memanfaatkan
asuransi tersebut sesuai fungsinya.
147
6.3.5 Tempat Persalinan
Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap tingginya
kematian ibu adalah terbatasnya tempat persalinan yang memadai.
Menurut Paudel, dkk. (2013), penolong persalinan berhubungan dengan
tempat persalinan. Ketika ibu melahirkan di fasilitas kesehatan, maka
dipastikan tenaga kesehatan tersedia. Berdasarkan SDKI tahun 2012,
sebanyak 63% anak yang lahir dalam 5 tahun sebelum survei dilahirkan
di fasilitas kesehatan, yaitu 17% di fasilitas kesehatan pemerintah dan
46% di fasilitas kesehatan swasta (BPS, BKKBN, Kemenkes RI, dan
ICF International, 2013). Pemanfaatan fasilitas kesehatan sebagai
tempat persalinan ditemui jauh lebih rendah terjadi di daerah rural
(47%) dibandingkan di daerah urban (80%).
Pada hasil penelitian ini, wanita yang melahirkan di daerah rural
tahun 2011-2012 di fasilitas kesehatan sebesar 53,8%, yaitu 24,3% di
fasilitas kesehatan pemerintah (rumah sakit/klinik, puskesmas,
poskesdes, polindes atau fasilitas kesehatan pemerintah lainnya) dan
29,5% di fasilitas kesehatan swasta (rumah sakit swasta, rumah sakit
bersalin, rumah bersalin, klinik, dokter umum praktek, bidan praktek,
perawat praktek, bidan di desa atau fasilitas kesehatan swasta lainnya).
Sedangkan wanita lainnya yang tidak melahirkan di fasilitas kesehatan
lebih banyak yang melahirkan di rumahnya sendiri (41,3%).
Tingginya persalinan di fasilitas kesehatan milik swasta
dibandingkan pemerintah disebabkan karena jumlah fasilitas kesehatan
148
swasta lebih banyak dibandingkan milik pemerintah. Penelitian di 15
kabupaten/kota di pulau Jawa ditemukan bahwa 90% fasilitas kesehatan
yang ada adalah milik swasta (Heywood dan Harahap, 2009). Sebanyak
95% dari fasilitas kesehatan swasta tersebut merupakan milik pribadi
atau perorangan (dokter praktek, dokter paruh waktu, perawat paruh
waktu, bidan di desa, dan bidan praktek).
Proporsi wanita yang bersalin di fasilitas kesehatan sebesar 53,8%
tidak sebanding dengan proporsi penolong persalinan oleh tenaga
kesehatan sebesar 86,8%. Ini menunjukkan bahwa sekitar 33%
penolong persalinan oleh tenaga kesehatan diasumsikan dilakukan di
rumah responden. Hasil ini sejalan dengan penelitian Utomo, dkk.
(2011) bahwa di Indonesia, setengah dari penolong persalinan oleh
tenaga kesehatan dilakukan di rumah responden.
Proporsi persalinan di fasilitas kesehatan di daerah rural tersebut
tergolong rendah. Ini sejalan dengan Unicef (2012) bahwa proporsi
persalinan di fasilitas kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu
sebesar 55% dan adanya kesenjangan yang besar di mana persalinan di
fasilitas kesehatan sebesar 113% di daerah urban lebih tinggi daripada
di daerah rural. Selain itu, lebih dari setengah perempuan di 20 provinsi
tidak mampu atau tidak mau menggunakan jenis fasilitas kesehatan
apapun, sebagai penggantinya mereka melahirkan di rumah mereka
sendiri.
149
Berdasarkan hasil penelitian ini, pemanfaatan pelayanan nifas
lebih tinggi terjadi pada wanita yang melahirkan di fasilitas kesehatan
(92,9%) dibandingkan wanita yang melahirkan di non-fasilitas
kesehatan (77,1%). Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara tempat persalinan dengan pemanfaatan
pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-value sebesar 0,000.
Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian
sebelumnya bahwa pemanfaatan pelayanan nifas lebih tinggi terjadi
pada wanita yang melahirkan di fasilitas kesehatan dibandingkan
melahirkan di rumah (Ejaz, dkk., 2013; Oluwaseyi, 2013; Paudel, dkk.,
2013; Kim, dkk., 2013, Khanal, dkk., 2014, Yamashita, dkk., 2014).
Rata-rata dari 30 negara yang diteliti, hanya 28% wanita dengan tempat
persalinan di luar fasilitas kesehatan yang menerima perawatan nifas
(Paudel, dkk., 2013).
Adanya hubungan dalam penelitian ini diasumsikan karena pasca
persalinan, wanita mendapatkan pemeriksaan dari tenaga kesehatan saat
masih berada di fasilitas kesehatan. Dari semua wanita yang bersalin di
fasilitas kesehatan, sebanyak 94,3% di antaranya mendapatkan
pemeriksaan nifas saat masih berada di fasilitas kesehatan pasca
persalinan. Paudel, dkk. (2013) juga sependapat bahwa ketika seorang
wanita melahirkan di fasilitas kesehatan, maka dia juga akan diperiksa
kondisi kesehatannya dalam beberapa jam setelah melahirkan oleh
petugas kesehatan sebagai salah satu rangkaian dari pelayanan
150
persalinan. Di Indonesia, salah satu standar pelayanan di fasilitas
kesehatan dasar oleh tenaga kesehatan adalah memeriksa kesehatan ibu
secara rutin selama 2 jam pertama pasca persalinan (Kemenkes, 2013).
Rendahnya persalinan di fasilitas kesehatan lebih tinggi terjadi
pada kelompok kuintil kekayaan terbawah. Kelahiran anak dari wanita
yang berada dalam kelompok kuintil kekayaan terbawah cenderung 2,5
kali lebih tinggi dilakukan di non-fasilitas kesehatan atau di rumah
dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelompok kuintil
kekayaan tertinggi (masing-masing 60,5% dan 24,5%).
Rendahnya pemanfaatan fasilitas kesehatan pada kelompok
tersebut diasumsikan terjadi karena faktor biaya. Pendapatan yang
rendah merupakan hambatan terhadap pemanfaatan pelayanan
kesehatan modern di Indonesia, meskipun pelayanan tersebut
disediakan oleh pemerintah (Chernichovsky dan Meesook, 1986).
Pemanfaatan pelayanan kesehatan membutuhkan biaya yang tidak
sedikit, yaitu biaya pelayanan dan biaya lainnya, termasuk obat-obatan,
transportasi, makanan dan minuman serta biaya lainnya selama
kunjungan perawatan kesehatan (Utomo, dkk., 2011). Di sisi lain, biaya
subsidi kesehatan oleh pemerintah melalui sektor publik belum
memadai untuk membuat layanan kesehatan gratis, khususnya bagi
masyarakat miskin. Hal ini juga terlihat dari lebih banyaknya wanita
yang bersalin di fasilitas kesehatan swasta dibandingkan fasilitas
kesehatan pemerintah.
151
Selain itu, meskipun kelompok kuintil kekayaan bawah memiliki
asuransi kesehatan, seperti Jamkesmas, mereka tidak sepenuhnya
paham tentang penggunaannya. Studi kualitatif di Jawa Barat
menemukan bahwa meskipun masyarakat sudah dijelaskan tentang
biaya persalinan yang gratis dengan ditolong bidan di desa di fasilitas
kesehatan, mereka masih takut jika kemudian diminta untuk membayar
biaya persalinan (Titaley, dkk., 2010).
Persepsi masyarakat tentang persalinan juga dimungkinkan
menjadi pengahalang bagi wanita hamil untuk melahirkan di fasilitas
kesehatan. Titaley, dkk. (2012) menemukan adanya persepsi pada
penduduk di Jawa Barat bahwa persalinan adalah fenomena yang alami
terjadi pada perempuan sehingga mereka lebih memilih bersalin di
rumah, kecuali jika terjadi komplikasi maka persalinan dilakukan di
fasilitas kesehatan. Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini
bahwa dari semua responden yang mengalami komplikasi persalinan,
persalinan lebih banyak dilakukan di fasilitas kesehatan (59,4%).
Aksesibilitas fasilitas kesehatan juga diketahui menjadi hambatan
dalam persalinan di fasilitas kesehatan di beberapa wilayah di
Indonesia. Di Jawa Barat, jarak fasilitas kesehatan yang jauh, kondisi
jalan yang buruk, terbatasnya waktu untuk pergi, dan terbatasnya
fasilitas kesehatan yang tersedia, khususnya di daerah terpencil,
menjadi kendala bagi wanita hamil untuk bersalin di fasilitas kesehatan
sehingga lebih memilih untuk melahirkan di rumah (Titaley, dkk.,
152
2010). Namun, hasil penelitian ini secara nasional tidak menunjukkan
hal yang demikian. Persalinan di tempat lain atau non-fasilitas
kesehatan tetap lebih tinggi terjadi pada wanita di daerah rural yang
tidak memiliki masalah dengan jarak ke fasilitas kesehatan (46,7%)
dibandingkan wanita yang memiliki masalah dengan jarak ke fasilitas
kesehatan (43,4%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi persalinan di non-
fasilitas kesehatan atau di rumah dua kali lebih tinggi terjadi pada
wanita dengan pendidikan tamat SD (55,6%) dibandingkan wanita
dengan pendidikan tamat SMTA (35,6%) dan perguruan tinggi (33,9%).
Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka
semakin besar kemungkinan wanita hamil untuk bersalin di fasilitas
kesehatan. Hal ini sejalan dengan penelitian pada wanita di Ethiopia
bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan
fasilitas kesehatan sebagai tempat persalinan (Ethiopian Society of
Population Studies, 2008).
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian juga ditemukan bahwa
persalinan pada urutan kelahiran anak keenam atau lebih (64,6%)
cenderung dilakukan di non-fasilitas kesehatan atau di rumah
dibandingkan dengan urutan kelahiran anak pertama (40,1%).
Rendahnya persalinan di fasilitas kesehatan pada ibu dengan urutan
kelahiran banyak juga ditemukan memiliki hubungan signifikan pada
wanita di Ethiopia (Mehari, 2013).
153
Upaya meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan perlu
dilanjutkan, mengingat hal tersebut mampu menarik 92,9% wanita di
daeral rural untuk kemudian memanfaatkan pelayanan nifas. Sasaran
intervensi sebaiknya difokuskan pada wanita dengan kuintil kekayaan
terbawah, pendidikan di bawah SMTA, urutan kelahiran anak ke-6 atau
lebih dan yang memiliki kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan.
Peningkatkan promosi dan kampanye kesehatan tentang
pentingnya bersalin di fasilitas kesehatan dapat menambah pengetahuan
dan kesadaran masyarakat. Upaya ini dapat dilakukan melalui
penyuluhan secara langsung atau melalui program berbasis masyarakat,
berupa pelatihan kepada kader-kader kesehatan setempat tentang
sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat.
6.3.6 Penolong Persalinan
Saat proses persalinan, sebaiknya wanita hamil ditolong oleh
penolong persalinan utama. Penolong persalinan utama, misalnya
dokter, obsetri, dokter anak, dokter keluarga, perawat praktisi, atau
perawat bidan bersertifikasi (Stright, 2005). Persalinan yang ditolong
oleh tenaga kesehatan terlatih dapat menekan AKI menjadi sebesar 33%
(Romans, dkk., 2009).
Berdasarkan SDKI tahun 2012, proporsi kelahiran yang dibantu
oleh tenaga medis profesional meningkat dari 73% pada SDKI 2007
menjadi 83% pada SDKI 2012. Namun, proporsi penolong persalinan
154
oleh tenaga kesehatan di daerah rural lebih rendah dibandingkan
proporsi nasional, yaitu sebesar 74,6%. (BPS, BKKBN, Kemenkes RI,
dan ICF International, 2013)
Pada hasil penelitian ini, wanita yang melahirkan di daerah rural
tahun 2011-2012 lebih banyak ditolong oleh tenaga kesehatan (86,8%)
dibandingkan oleh non-tenaga kesehatan (13,2%). Pemanfaatan
pelayanan nifas lebih tinggi terjadi pada wanita yang ditolong oleh
tenaga kesehatan (90%) dibandingkan wanita yang ditolong oleh non-
kesehatan (56,4%) saat persalinan. Hasil uji statistik juga menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penolong persalinan
dengan pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-
value sebesar 0,000.
Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian
sebelumnya yang menemukan bahwa penolong persalinan berhubungan
secara signifikan dengan pemanfaatan pelayanan nifas (Nugraha, 2013;
Kim, dkk., 2013; Khanal, dkk., 2014). Ibu bersalin yang ditolong oleh
tenaga terlatih lebih besar kemungkinannya untuk memanfaatkan
pelayanan nifas daripada ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga yang
tidak terlatih (Kim, dkk., 2013).
Adanya hubungan dalam penelitian ini diasumsikan karena ketika
wanita bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan, maka dirinya juga
mendapatkan pemeriksaan kesehatan beberapa jam setelah melahirkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 86,8% wanita yang bersalin
155
oleh ditolong oleh tenaga kesehatan, sebanyak 99,2% di antaranya
mendapatkan pemeriksaan kesehatan nifas oleh tenaga kesehatan.
Paudel, dkk (2013) berpendapat bahwa sebagai bagian dari perawatan
persalinan, tenaga kesehatan juga akan menilai situasi ibu dalam
beberapa jam setelah melahirkan.
Di Indonesia, salah satu standar pelayanan di fasilitas kesehatan
dasar oleh tenaga kesehatan adalah memeriksa kesehatan ibu secara
rutin selama 2 jam pertama pasca persalinan (Kemenkes, 2013). Selain
itu, pemeriksaan kesehataan segera setelah lahir memang telah menjadi
salah satu tugas dari tenaga kesehatan, seperti bidan. Salah satu tugas
seorang bidan adalah melakukan pemantauan pada ibu dan bayi
terhadap terjadinya komplikasi dalam 2 jam setelah persalinan serta
melakukan tindakan yang diperlukan (Syarifudin dan Hamidah, 2009).
Bidan juga bertugas memberikan pelayanan selama masa nifas melalui
kunjungan rumah pada minggu ke-2 dan minggu ke-6 setelah
persalinan.
Jika melihat jenis tenaga kesehatannya, bidan dan bidan di desa
memang merupakan penolong persalinan terbanyak di antara tenaga
kesehatan terlatih lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, penolong
persalinan oleh bidan dan bidan di desa masing-masing sebesar 47,4%
dan 28,9% dari semua responden yang bersalin. Ini menunjukkan
bahwa bidan dan bidan di desa memiliki peranan yang cukup besar
sebagai penolong persalinan di daerah rural Indonesia.
156
Peningkatan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih
merupakan salah satu strategi pemerintah dalam mengurangi AKI.
Program pemerintah berupa bidan di desa (BDD), yaitu pelatihan dan
penyebaran bidan di daerah rural, secara dramatis mengurangi
kesenjangan sosial ekonomi terkait penolong persalinan oleh tenaga
kesehatan terlatih (Hatt, dkk., 2007).
Meskipun proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan
cukup tinggi, masih ada wanita bersalin yang ditolong oleh non-tenaga
kesehatan, terutama oleh dukun bayi, yaitu sebesar 24,5%. SDKI tahun
2012 juga menyebutkan bahwa secara nasional meskipun kelahiran
ditolong oleh dukun bayi sudah bergeser, namun dukun bayi masih
berperan penting dalam menolong persalinan, terutama di daerah rural
(20%) dan ibu dengan kuintil kekayaan terendah (32%) (BPS, BKKBN,
Kemenkes RI, dan ICF International, 2013).
Faktor kepercayaan atau budaya menjadi salah satu alasan mereka
bersalin dengan ditolong oleh dukun bayi. Penelitian di daerah rural
Magelang Jawa Tengah menemukan bahwa alasan sebagian besar
warga di sana memilih dukun bayi adalah karena sudah menjadi
kebiasaan sejak dulu jika bersalin ditolong oleh dukun bayi (Amilda,
2010). Sedangkan di daerah rural Mimika Papua, persalinan oleh dukun
bayi disebabkan karena masyarakat meyakini bahwa dukun bayi adalah
orang yang mendapatkan warisan kelebihan dari nenek moyang yang
biasanya diberikan secara turun temurun (Alwi, 2007). Meskipun saat
157
persalinannya nanti si ibu meninggal dunia, masyarakat tidak
menyalahkan dukun, melainkan menyalahkan si ibu yang dianggap
semasa kehamilannya tidak mengikuti aturan adat.
Penelitian Titaley, dkk. (2010) menemukan bahwa alasan wanita
di Jawa Barat bersalin ditolong oleh dukun bayi/paraji meskipun telah
tersedia tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan adalah karena terkendala
jarak yang jauh dan terbatasnya finansial yang dimiliki. Sejumlah
responden menjelaskan bahwa persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan hanya diperlukan bagi wanita yang mengalami komplikasi
kehamilan. Selain itu, terdapat keterbatasan penyedia pelayanan
kesehatan di daerah terpencil. Di sisi lain, bidan desa yang terkadang
menjadi satu-satunya penyedia layanan kesehatan, sering melakukan
perjalanan keluar desa.
Sulitnya penduduk di daerah rural dan daerah terpencil untuk
menjangkau bidan di desa telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya
(Makowiecka, dkk., 2007). Jika dibandingkan di daerah urban,
kepadatan bidan di desa lebih rendah terjadi di daerah rural dan daerah
terpencil. Akibatnya, setiap bidan di desa sebagai penyedia pelayanan
kesehatan memiliki beban tugas yang lebih besar karena jangkauan
wilayah kerja yang luas. Di sisi lain, kondisi tersebut tidak didukung
oleh sarana transportasi yang memadai sehingga menyulitkan bidan di
desa untuk menjangkau wanita bersalin atau merujuknya ke rumah sakit
jika terjadi komplikasi. Hal ini yang kemudian juga menjadi penyebab
158
kurang familiarnya atau kurang diterimanya bidan di desa di dalam
kelompok masyarakat.
Kurang familiarnya bidan di desa di antara kelompok masyarakat
juga menjadi alasan wanita memilih dukun bayi/paraji sebagai penolong
persalinan. Titaley, dkk. (2010) menyebutkan bahwa menurut
masyarakat di Jawa Barat, dukun bayi/paraji lebih sabar dan perhatian
dibandingkan bidan di desa. Dukun bayi/paraji senantiasa menemani
wanita hamil saat waktu persalinan sudah dekat. Sedangkan bidan di
desa akan langsung pergi seteleh melakukan pemeriksaan jika dirasa
belum waktunya persalinan dilakukan.
Selain karena kepadatan bidan di desa yang rendah, tidak
menetapnya mereka di daerah rural menjadi hambatan bagi masyarakat
untuk menjangkaunya. Makowiecka, dkk. (2007) menemukan bahwa di
provinsi Banten, kurang dari 30% bidan di desa tinggal menetap di
desa. Mereka lebih tertarik untuk tinggal di daerah urban karena dapat
mengembangkan karirnya. Sebagai tambahan penghasilan, mereka
membuka klinik sendiri di daerah urban.
Karena masih tingginya penolong persalinan oleh dukun
bayi/paraji, salah satu upaya Kementerian Kesehatan RI untuk
mengurangi angka kematian ibu dan angka kematian bayi, yaitu melalui
Dinas Kesehatan Provinsi melakukan beberapa pelatihan bagi paraji
untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang kehamilan dan
persalinan, terutama bagaimana mendeteksi kehamilan berisiko tinggi,
159
bagaimana merujuk persalinan yang sulit, dan bagaimana menangani
tali pusar higienis (Ambaretnani, 2012). Selanjutnya, seorang paraji
yang telah terlatih diberikan sepaket alat praktek medis atau Dukun Kit.
Paraji dianggap sebagai bagian dari keluarga di masyarakat karena
peran mereka dalam menjaga kesehatan rumah tangga sehingga tidak
hanya membantu saat melahirkan, tetapi juga membantu selama masa
kehamilan dan perawatan pasca persalinan.
Meskipun masih ada wanita bersalin di daerah rural yang ditolong
oleh dukun bayi/paraji, sebagian besar dari mereka juga didampingi
oleh tenaga kesehatan terlatih sehingga proses persalinannya aman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 24,5% penolong persalinan
oleh dukun bayi/paraji, sebanyak 53,7% di antara juga ditolong oleh
tenaga kesehatan. Penelitian Sudirman dan Sakung (2012) menemukan
bahwa 62,5% dukun bayi bermitra dengan bidan, yaitu dengan hadir
bersama-sama dalam menolong persalinan. Kemitraan ini sangat positif
karena hubungan yang terjalin antar keduanya didasarkan pada saling
menguntungkan, saling menghargai kelemahan dan kelebihan, saling
berkomunikasi dan memberi informasi, terutama tentang pasien yang
akan melahirkan.
Pada hasil penelitian ditemukan bahwa penolong persalinan oleh
tenaga kesehatan lebih rendah terjadi pada wanita dengan pendidikan
rendah (tidak tamat SD hingga tamat SD), urutan kelahiran anak
keempat atau lebih, kuintil kekayaan terbawah dan yang tidak
160
melakukan kunjungan ANC. Beberapa penelitian sebelumnya telah
menemukan bahwa pendidikan (Rogan dan Olvena, 2004), urutan
kelahiran (Rogan dan Olvena, 2004), kuintil kekayaan (Anwar, dkk.,
2008) dan kunjungan ANC (Anwar, dkk., 2008) berhubungan dengan
penolong persalinan oleh tenaga kesehatan.
Peran penolong persalinan terhadap pemanfaatan pelayanan nifas
pada wanita di daerah rural sangat besar. Terlihat bahwa penolong
persalinan oleh tenaga kesehatan mampu menarik 90% dari total wanita
yang bersalin untuk kemudian memanfaatkan pelayanan nifas. Oleh
karena itu, sebaiknya persalinan di fasilitas kesehatan terus dilanjutkan.
Sasaran intervensi sebaiknya difokuskan pada wanita dengan kuintil
kekayaan terbawah, dengan pendidikan rendah (tidak tamat SD hingga
tamat SD), urutan kelahiran anak keempat atau lebih dan yang memiliki
kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan.
Peningkatan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan dapat
dilakukan melalui peningkatan promosi kesehatan tentang pentingnya
bersalin di fasilitas kesehatan atau ditolong oleh tenaga kesehatan
sehingga dapat menambah pengetahuan dan kesadaran masyarakat.
Selain itu, kerja sama antara dukun bayi/paraji dengan bidan perlu terus
ditingkatkan sehingga masyarakat yang lebih menyukai ditolong oleh
dukun bayi/paraji tetap dapat mendapatkan pertolongan persalinan yang
aman dari bidan.
161
Peningkatan ketersediaan dan aksesibilitas penyedia layanan
kesehatan, khususnya bidan di desa sebagai penolong persalinan juga
perlu dilakukan. Pemerataan bidan di desa di setiap desa serta perbaikan
infrastruktur jalan dan transportasi diharapkan dapat memudahkan
masyarakat untuk mendapatkan penolong persalinan oleh tenaga
kesehatan.
6.3.7 Jarak ke Fasilitas Kesehatan
Aksesibilitas fasilitas kesehatan merupakan sumber daya
pendukung bagi seseorang dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan
(Andersen, 1995). Salah satu komponen yang memudahkan
aksesibilitas seseorang terhadap fasilitas kesehatan adalah jarak yang
ditempuh untuk mencapai fasilitas kesehatan. Data SDKI tahun 2012
menunjukkan bahwa penduduk di daerah rural menghadapi masalah
yang lebih besar terhadap jarak ke fasilitas kesehatan dibandingkan
penduduk di daerah urban (masing-masing 14% dan 7,3%) (BPS,
BKKBN, Kemenkes RI, dan ICF International, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian, hanya sedikit wanita yang pernah
melahirkan di daerah rural pada tahun 2011-2012 memiliki masalah
terhadap jarak ke fasilitas kesehatan (15,3%). Pemanfaatan pelayanan
nifas lebih rendah terjadi pada wanita yang memiliki masalah terhadap
jarak ke fasilitas kesehatan (77,8%) dibandingkan dengan wanita yang
tidak memiliki masalah dengan jarak ke fasilitas kesehatan (87%). Hasil
162
uji statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara jarak ke fasilitas kesehatan dengan pemanfaatan
pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-value sebesar 0,000.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Oluwaseyi (2013) dan Eliakimu (2010) bahwa aksesibilitas atau jarak
ke pelayanan kesehatan secara signifikan berhubungan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas. Penelitian Kim, dkk. (2013) juga
menemukan bahwa 36% wanita Kamboja menyatakan bahwa jarak ke
fasilitas kesehatan menjadi kendala terbesar bagi mereka untuk
memanfaatkan pelayanan nifas.
Ketika lokasi fasilitas kesehatan berada jauh dari masyarakat,
maka akses terhadap fasilitas tersebut menjadi suatu masalah (Ugboaja,
dkk., 2013). Oleh sebab itu, pemanfaatan pelayanan kesehatan lebih
tinggi ketika jarak bukan menjadi masalah yang berarti (Kim, dkk.,
2013). Lokasi pelayanan nifas yang jauh dan kondisi jalanan atau
geografis daerah yang sulit ditempuh dapat menjadi penghalang bagi
mereka untuk mendapatkan pelayanan nifas. Hal ini sejalan dengan
Eliakiwlimu (2010) bahwa adanya faktor jumlah pelayanan kesehatan
yang tersedia dan lokasi geografisnya, serta akses jalan menuju ke sana
memengaruhi wanita dalam memanfaatkan pelayanan nifas.
Penelitian Islam dan Odland (2011) menemukan bahwa 56,4%
wanita tidak datang ke pelayanan nifas karena lokasi pelayanan
kesehatan yang terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Wanita yang
163
bertempat tinggal kurang dari 8 km dari pusat pelayanan kesehatan
menerima pelayanan nifas lebih tinggi daripada mereka yang berada
lebih jauh dari pusat pelayanan. Jangkauan pelayanan kesehatan yang
mudah memungkinakan pemanfaatan pelayanan nifas sebesar 7,388 kali
lebih tinggi daripada jangkauan pelayanan kesehatan yang sulit (Fitria
dan Puspitasari, 2011).
Jarak ke fasilitas kesehatan yang jauh tidak hanya menjadi satu
masalah yang dihadapi di daerah rural. Titaley, dkk. (2010) menemukan
bahwa di Jawa Barat, masalah jarak fasilitas kesehatan yang jauh,
kondisi jalan yang buruk, terbatasnya waktu untuk pergi, dan
terbatasnya fasilitas kesehatan yang tersedia, khususnya di daerah
terpencil, menjadi kendala bagi wanita hamil untuk mendapatkan
pelayanan antenatal, persalinan di fasilitas kesehatan hingga
pemanfaatan pelayanan nifas. Jarak ke pelayanan kesehatan terdekat
dengan kondisi jalan yang buruk menyebabkan mereka harus berjalan
selama 2 jam. Situasi menjadi lebih buruk selama musim hujan ketika
jalan licin. Permasalahan aksesibilitas ke fasilitas kesehatan di
Indonesia juga telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya
(D‟Ambruoso, dkk., 2008).
Pada tahun 2001-2010, jumlah kendaraan di Indonesia
meningkatkan tiga kali lipat. Namun, jalan nasional yang melayani
lebih dari sepertiga dari lalu lintas kendaraan hanya tumbuh seperempat
saja. Kesenjangan pertumbuhan infrastruktur trasnportasi ini semakin
164
besar antara daerah urban dan rural. Tingkat infrastruktur transportasi
dan jalan di daerah rural Papua-Maluku lebih rendah dibandingkan
daerah lainnya, khususnya Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Lebih dari
20% jalan di Kalimantan dan Maluku telah rusak. (OECD, 2013)
Meskipun jarak ke fasilitas kesehatan merupakan masalah yang
dihadapi oleh masyarakat daerah rural, hal ini tidak seharusnya menjadi
hambatan bagi mereka untuk memanfaatkan pelayanan nifas. Oleh
karena itu, perbaikan infrastruktur jalan dan transportasi perlu
dilakukan sesuai kondisi daerah masing-masing. Dalam hal ini, peran
pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk pelaksanaannya.
6.3.8 Komplikasi Persalinan
Masa persalinan merupakan masa yang mengkhawatirkan bagi
ibu karena kemungkinan terjadinya komplikasi persalinan. Ibu yang
mengalami komplikasi persalinan memiliki perilaku positif dalam
mencari atau memanfaatkan pelayanan kesehatan, salah satunya
pelayanan nifas (Paudel, dkk., 2013).
Pada hasil penelitian ini, hampir setengah wanita di daerah rural
mengalami komplikasi persalinan pada tahun 2011-2012, yaitu sebesar
42,8%. Wanita yang mengalami komplikasi persalinan setidaknya
mengalami satu tanda bahaya. Tiga tanda bahaya yang lebih banyak
terjadi adalah persalinan lama (31,7%), ketuban pecah dini lebih dari 6
jam sebelum persalinan (12,6%) dan perdarahan berlebihan (7,6%).
165
Komplikasi persalinan merupakan salah satu faktor kebutuhan
bagi seseorang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan (Anies,
2006). Andersen (1974) menjelaskan bahwa faktor predisposisi dan
faktor pendukung untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam
tindakan apabila hal itu dirasakan sebagai kebutuhan (Notoatmodjo,
2010). Dengan kata lain, kebutuhan merupakan dasar dan stimulus
langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, jika faktor
predisposisi dan pendukung tidak ada. Bahkan menurut Anderson,
kebutuhan (need) merupakan variabel yang memberi kontribusi sekitar
43% dan merupakan faktor terkuat dalam memengaruhi pemanfaatan
pelayanan kesehatan (Anies, 2006).
Hasil penelitian menjukkan bahwa pemanfaatan pelayanan nifas
lebih tinggi terjadi pada wanita yang mengalami kompklikasi persalinan
(85,5%) dibandingkan wanita yang tidak mengalami komplikasi
persalinan (84,9%). Namun, hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara komplikasi persalinan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas pada wanita usia subur dengan p-value
sebesar 0,343.
Hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian Dhaher, dkk. (2008)
dan Paudel, dkk. (2013). Wanita yang mendapatkan tanda-tanda bahaya
atau komplikasi saat melahirkan lebih besar kemungkinannya untuk
menerima pelayanan nifas dari petugas kesehatan (Paudel, dkk., 2013).
Dhaher, dkk. (2008) juga menemukan bahwa wanita yang tidak
166
mengalami komplikasi selama persalinan secara signifikan kurang
mendapatkan pelayanan nifas dibandingkan dengan wanita yang
mengalami komplikasi persalinan. Para wanita yang mendapatkan
tanda-tanda bahaya atau komplikasi lebih cenderung beranggapan
bahwa mereka memiliki risiko kesakitan atau kematian sehingga hal
tersebut berdampak positif pada peningkatan pemanfaatan pelayanan
nifas (Paudel, dkk., 2013).
Tidak adanya hubungan komplikasi persalinan dengan
pemanfaatan pelayanan nifas pada penelitian ini dimungkinkan terjadi
karena sebagian besar responden, baik yang mengalami komplikasi
maupun tidak, telah ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan dan
kemudian mendapatkan pemeriksaan kesehatan segera setelah
persalinan. Berdasarkan hasil penelitian, wanita yang mengalami
komplikasi persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan saat bersalin
sebesar 89,2%. Dari persentase tersebut, sebanyak 90,6% di antaranya
kemudian mendapatkan pemeriksaan kesehatan segera setelah
persalinan. Tingginya persentase ini tidak jauh berbeda dengan
persentase pada wanita yang tidak mengalami komlikasi persalinan.
Wanita yang tidak mengalami komplikasi persalinan mendapatkan
pertolongan oleh tenaga kesehatan saat bersalin sebesar 85,1%. Dari
persentase tersebut, sebanyak 89,5% di antaranya kemudian
mendapatkan pemeriksaan kesehatan segera setelah persalinan.
167
Wanita yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan akan
mendapatkan pemeriksaan kesehatan segera setelah persalinan. Salah
satu standar pelayanan di fasilitas kesehatan dasar oleh tenaga
kesehatan adalah memeriksa kesehatan ibu secara rutin selama 2 jam
pertama pasca persalinan (Kemenkes, 2013). Syarifudin dan Hamidah
(2009) juga menyebutkan bahwa tugas bidan sebagai salah satu tenaga
kesehatan adalah melakukan pemantauan pada ibu dan bayi terhadap
terjadinya komplikasi dalam 2 jam setelah persalinan serta melakukan
tindakan yang diperlukan. Bidan juga bertugas memberikan pelayanan
selama masa nifas melalui kunjungan rumah pada minggu ke-2 dan
minggu ke-6 setelah persalinan.
168
BAB VII
PENUTUP
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai determinan
pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia tahun 2011-2012
berdasarkan data SDKI 2012, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
a. Sebanyak 85,6% wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan
tahun 2011-2012 di daerah rural Indonesia memanfaatkan pelayanan
nifas pada 3 hari pertama pasca persalinan dengan rentang antar provinsi
sebesar 58,3% hingga 98,1%.
b. Sebanyak 26,6% wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan
tahun 2011-2012 di daerah rural berada pada kelompok usia 25-29 tahun
saat melahirkan, 66,3% berpendidikan di bawah SMTA, 44,9%
melahirkan pada urutan kelahiran ke-2 sampai ke-3, 15,9% melakukan
kunjungan ANC <4 kali, 34,8% memiliki kuintil kekayaan terbawah,
46,2% bersalin di tempat lain/non-fasilitas kesehatan, 13,2% bersalin
ditolong oleh non-kesehatan, 15,3% tidak memiliki masalah dengan jarak
ke fasilitas kesehatan dan 42,8% mengalami komplikasi persalinan.
c. Terdapat hubungan antara pendidikan, kunjungan ANC, kuintil
kekayaan, tempat persalinan, penolong persalinan, dan jarak ke fasilitas
kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural Indonesia.
169
d. Tidak terdapat hubungan antara urutan kelahiran dan komplikasi
persalinan dengan pemanfaatan pelayanan nifas di daerah rural
Indonesia.
7.2 Saran
Peningkatan pemanfaatan pelayanan nifas perlu terus dilakukan untuk
mengurangi angka kematian ibu. Adapun saran yang dapat peneliti berikan
untuk mencapainya adalah sebagai berikut.
7.2.1 Bagi Kementerian Kesehatan RI
a. Meningkatkan promosi kesehatan melalui berbagai media tentang
penitngnya pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal, yaitu
pelayanan antenatal, persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
terlatih dan dilakukan di fasilitas kesehatan serta pelayanan nifas
dengan fokus sasaran khususnya wanita dengan kuintil kekayaan
terbawah, tidak bersekolah hingga tamat SD, dan urutan kelahiran
anak ke-4 atau lebih. Upaya ini sebaiknya dilakukan dengan cara
penyuluhan langsung kepada masyarakat atau melalui program
berbasis masyarakat berupa pelatihan kepada kader-kader
kesehatan setempat sehingga dapat mneingkatkan kesadaran
masyarakat terhadap bahaya potensial yang terkait dengan
kehamilan dan pentingnya memanfaatkan pelayanan kesehatan
maternal.
170
b. Meningkatkan sosialisasi tentang pemanfaatan asuransi kesehatan
dari pemerintah kepada masyarakat pengguna. Cara ini diharapkan
mampu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang ketersediaan
asuransi tersebut sehingga kemudian menggunakannya untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal. Peningkatan
penggunaan asuransi kesehatan tersebut dapat dilakukan dengan
cara berkoordinasi dengan lintas sektor, seperti pemerintah daerah,
DPRD dan gerakan pemberdayaan masyarakat berupa penyuluhan.
c. Meningkatkan ketersediaan penyedia layanan kesehatan, khususnya
bidan di desa sebagai tenaga penolong persalinan. Pemerataan
bidan di desa diharapkan dapat memberi kemudahan bagi
masyarakat untuk mendapatkan penolong persalinan oleh tenaga
kesehatan yang kemudian berdampak positif pada peningkatkan
pemanfaataan pelayanan nifas.
7.2.2 Kementerian Pendidikan RI
Pemerataan program wajib belajar minimal 9 tahun di daerah
rural perlu tingkatkan. Selain itu, sebaiknya dilakukan pengintegrasian
kurikulum pendidikan kesehatan ke dalam kurikulum pendidikan
formal sehingga dapat menjadi cara yang efektif untuk memberikan
pengetahuan sejak dini kepada pelajar tentang pentingnya menjaga
kesehatan reproduksi, khususnya kesehatan reproduksi pada masa
kehamilan hingga masa nifas.
171
7.2.3 Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah perlu melakukan perbaikan infrastruktur jalan
dan transportasi yang dilakukan sesuai kondisi di masing-masing
daerah, khususnya di daerah rural yang terpencil.
7.2.4 Bagi Peneliti Lain
Intervensi peningkatan pemanfaatan pelayanan nifas sebaiknya
difokuskan sesuai dengan kebutuhan di masing-masing komunitas atau
kabupaten dengan mengetahui akar masalah sebenarnya. Oleh karena
itu, sebaiknya peneliti melakukan penelitian tentang pemanfaatan
pelayanan nifas dengan fokus pada wilayah tertentu, khususnya di
provinsi Papua, Papua Barat dan Maluku yang merupakan provinsi
dengan pemanfaatan pelayanan nifas paling rendah di Indonesia.
Sebaiknya penelitian dilakukan dengan metode kualitatif melalui focus
group discussion (FGD) atau diskusi kelompok sehingga dapat
menggali lebih banyak informasi tentang determinan pemanfaatan
pelayanan nifas.
172
DAFTAR PUSTAKA
Adamu, H. S. 2011. Utilization of Maternal Health Care Service in Nigeria: An
Analysis of Regional Differences in the Patterns and Determinants of
Maternal Health Care Use. Disertasi. University of Liverpool.
Agus, Y., Horiuchi, S., Porter, S. 2012. Rural Indonesia Women‟s Traditional
Beliefs About Antenatal Care. BMC Research Notes; 5:589.
Alwi, Q. Tema Budaya yang Melatarbelakangi Perilaku Ibu-Ibu Penduduk Asli
dalam Pemeliharaan Kehamilan dan Persalinan di Kabupaten Mimika.
Bul. Panel. Kesehatan, Vol. 35, No. 3, Hal. 137-147.
Ambaretnani, Prihartini. 2012. Paraji and Bidan in Rancaekek: Integrated
Medicine for Advanced Partnerships among Traditional Birth Attendants
and Community Midwives in the Sunda Region of West Java, Indonesia.
Zutphen: Wőhrmann Print S rvic .
Amilda, N. L. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan
Pertolongan Persalinan oleh Dukun Bayi. Universitas Diponegoro.
Andersen, R. 1995. Revisiting The Behavioral Model and Access to Medical Care
Does It Matter?*. Journal of Health and Social Behavior. Vol. 6: 1-10.
Andersen, R., Newman J. F. 2005. Societal and Individual Determinants of
Medical Care Utilization in The United States. The Milbank Quarterly.
Vol. 8, No. 4.
Anies. 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular – Solusi Pencegahan
dari Aspek Perilaku dan Lingkungan. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Anwar, dkk. 2008. Inequity in Maternal Health-Care Services: Evidence from
Home-Based Skilled-Birth Attendant Programmes in Bangladesh.
Bulletin of the World Health Organization, 86 (4).
Aqudelo, A., Belizan, J. M., Lammers, C. 2005. Maternal-Perinatal Morbidity and
Mortality Associated with Adolescent Pregnancy in Latin America:
173
Cross-Sectional Study. American Journal of Obstetrics Gynecology. Vol.
192, Issue 2, Pages 342-349.
Ariawan, Iwan. (1998). Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan.
Depok: Jurusan Biostatistik dan Kependudukan FKM Universitas
Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2012. Panduan Penyusunan
Proposal, Protokol dan Laporan Akhir Penelitian. Kementerian
Kesehatan RI.
Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional,
Kementerian Kesehatan RI, ICF Internasional. 2013. Indonesia
Demographic and Health Survey 2012. Jakarta, Indonesia: BPS,
BKKBN, Kemenkes, and ICF International.
Badan Pusat Statistik. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun
2010 Tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia.
Bahiyatun. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Bailey, L., Vardulaki, K., Langham, J., Chandramohan, D. 2005. Introduction to
Epidemiology. McGraw-Hill International.
Bappenas. 2010. Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pemabangunan
Milenium di Indonesia.
Bappenas. 2011. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di
Indonesia 2011.
Berhe, dkk. 2013. Utilization and Associated Factors of Postnatal Care in Adwa
Toen, Tigray, Ethiopia – A Cross Sectional Study. A Peer Received
International Jurnal for Pharmaceutical and Allied Reasearch.
Broeck, J. V., Brestoff, . R. 2013. Epidemiology Principles and Practical
Guidelines. Springer.
Budiarto, E., Anggraeni, D. 2003. Pengantar Epidemiologi, E/2. Jakarta Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Bushy, Angeline. 2009. A Landscape View of Life and Health Care in Rural
Settings. University Press of New England.
174
Bustan, M. N. 2008. 505 Tanya-Jawab Epidemiologi. Putra Asaad Print.
Bustan, M.N. 2006. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Callaghan, W., Berg, C. J. Pregnancy-Related Mortality Among Women Aged 35
Years and Older, United States, 1991–1997. The American College of
Obstetricians and Gynecologists – Elsevier. Vol. 102, no. 5, part 1.
Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Chernichovsky, D., Meesook, O. A. 1986. Utilization of Health Service in
Indonesia. Social Science and Medicine – Elseiver.
Cheung, Theresa Francis. Pregnancy Weight Management: Before, During, After.
Diterjemahkan oleh Purwoko, Susi. 2008. Manajemen Berat Badan
Kehamilan. Jakarta: Arcan.
Chimankar, Digambar A., Harihar S. 2011. Factors Influencing The Utilization of
Maternal Health Care Services in Uttarakhand. Ethno Med, 5(3): 209-
216.
Choundhury, N. Ahmed, S. M. 2011. Maternal Care Practices Among The Ultra
Poor Households in Rural Bangladesh: A Qualitative Exploratory Study.
BMC Pregnancy and Childbirth; 11:15.
Code, Jane., Dunstall, Melvyn. 2011. Anatomy and Physiology for Midwives.
China: Elsevier Health Sciences.
D‟Ambruoso, L. Byass, P., Qomariyah, S. N. 2008. Can The Right to Health
Inform Public Health Planning in Developing Countries? A Case Study
for Maternal Healthcare from Indonesia. Global Health Action. DOI:
10.3402/gha.v1i0.1828.
Dahlan, Sopiyudin. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba
Medika.
Dhaher, dkk. 2008. Factors Associated with Lack of Postnatal Care Among
Palestinian Women: A Cross-Sectional Study of Three Clinics in The
West Bank. BMC Pregnancy and Childbirth.
175
Direktorat Bina Kesehatan Ibu. 2012. Upaya Percepatan Penurunan Angka
Kematian Ibu. Kementerian Kesehatan RI.
Doraon. 2012. Postnatal Care In Nigeria A Multilevel Analysis.
Dwicaksono, A., Setiawan, D. 2013. Monitoring Kebijakan dan Anggaran
Komitmen Pemerintah Indonesia dalam Kesehatan Ibu. Bandung:
Perkumpulan INISIATIF.
Ejaz, S., Ahmad K. 2013. Postpartum Care Utilization Among Primigravida: A
Studi in Rural Punjab, Pakistan. Research on Humanities and Social
Sciences Vol.3, No.4.
Eliakimu, Eliudi S. 2010. Assessment of Maternal Postnatal Care Utilization and
Associated Factors Among Women with Infants Aged 2-6 Months in
Shinyanga Rural District, Shinyanga Region. Dissertation. Muhimbii
University of Health and Allied Sciences.
Engel, Jerome., Pedley, Timothy A. 2008. Epilepsy: A Comprehensive Textbook.
USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Ethiopian Society of Population Studies. 2008. Maternal Health Care Seeking
Behaviour in Ethiopia: Findings from EDHS 2005. UNFPA Ethiopia:
Adis Ababa.
Farrer, Helen. Maternity Care - Second Edition. Diterjemahkan oleh Hartono,
Andry. 2001. Perawatan Maternitas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Fitria N. A., Puspitasari, N. 2011. Determinan Pada Ibu Nifas yang Berhubungan
dengan Pelaksanaan Post-Natal Care (Studi di Puskesmas Lespadangan
Kabupaten Mojokerto Tahun 2011). Surabaya: Universitas Airlangga.
Fort, Alfredo L., Monica T. Kothari, and Noureddine Abderrahim. 2006.
Postpartum Care: Levels and Determinants in Developing Countries.
Calverton, Maryland, USA: Macro International Inc.
Gregg, Michael B. 2008. Field Epidemiology, Volume 1. New York: Oxford
University Press.
Hatt, L., dkk. 2007. Did The Strategy of Skilled Attendance at Birth Reach The
Poor in Indonesia?. Bulletin of the World Health Organization; 85 (10).
176
Haws, Paulette S. Care of The Sick Neonate: A Quick Reference for Health Care
Providers. Diterjemahkan oleh Meining Issuryanti. 2008. Asuhan
Neonatus: Rujukan Cepat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Helmizar. 2014. Evaluasi Kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal) dalam
Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia. Jurnal Kesehatan
Masyarakat; 197-205.
Heywood, P., Choi, Y. 2010. Health System Performance at The District Level in
Indonesia After Decentralization. BMC International Health and Human
Rights; 10:3.
Heywood, P., Harahap, N. P. 2009. Health Facilities at The District Level in
Indonesia. Australia and New Zealand Health Policy 2009, 6:13.
Higgins, C., Lavin, T., Metcalfe, O. 2008. Health Impacts of Education – A
Review. Institute of Public Health. Ireland.
Hoeven, M., Kruger, A., Greeff, M. 2012. Differences in Health Care Seeking
Behaviour Between Rural and Urban Communities in South Africa.
International Journal for Equity in Health; 11:31.
Hondai, S. 2005. Profile of Poverty and Probability of Being Poor in Rural
Indonesia. The International Centre for the Study of East Asian
Development, Kitakyushu.
International Fund for Agriculture. 2013. Enabling Poor Rural People to
Overcome Poverty in Indonesia. Italia.
Islam, MR., Odland JO. 2011. Determinants of Antenatal and Postnatal Care
Visits Among Indigenous People in Bangladesh: A Study of The Mru
Community. Rural and Remote Health 11: 1672.
Jacobs, Choolwe N. 2007. A Study Determine The Factors Associated with
Underutilisation of Posnatal Care Services among Pospartum Women in
Mazabuka District. Skripsi. The University of Zambia.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat
Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA). Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Informasi Jampersal.
177
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Rencana Strategis Direktorat
Jenderal Pendidikan Menengah 2010-2014.
Khanal, dkk. 2014. Factors Associated with The Utilisation of Postnatal Care
Services Among The Mothers of Nepal: Analysis of Nepal Demographic
and Health Survey 2011. BMC Women's Health 14:1.
Kim, Net, dkk. 2013. Early Postnatal Care and Its Determinants ini Cambodia.
Directorat General for Health Ministry of Health – Kingdom of
Cambodia.
Leveno, Kenneth J., dkk. Williams Manual of Obstetrics, 21st Ed. Diterjemahkan
oleh Pendit, Brahm U. 2009. Obsetri Williams: Panduan Ringkas, Ed.
21. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran RGC.
Makowiecka, K., Achadi, E., Izati, Y. Ronsmans, C. 2007. Midwifery Provision
in Two Districts in Indonesia: How Well Are Rural Areas Served?.
Health Policy and Planning; 23:67–75. Oxford University Press.
Manuaba, Ida Bagus Gede. 2004. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obsetri dan
Ginekologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Masriadi. 2012. Epidemiologi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Maulana, Heri D. J. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
McCulloch, N., Timmer, C. P., Weisbrod, J. 2007. Pathways Out of Poverty
During an Economic Crisis: An Empirical Assessment of Rural
Indonesia. Central for Global Development.
Mehari, A. M. 2013. Levels and Determinants of Use of Institutional Delivery
Care Services among Women of Childbearing Age in Ethiopia: Analysis
of EDHS 2000 and 2005 Data. United States Agency for International
Development.
Mekonnen, Y., Mekonnen, A. 2002. Utilization of Maternal Care Services in
Ethiopia. Calverton, Maryland, USA: ORC Macro.
178
Morreale, M. 1998. Fact Sheet: What Factors Can Influence Health Care
Utilization?. Nursing Effectiveness, Utilization and Outcomes Research
Unit McMaster University - University of Toronto.
Murti, Bisma. 1997. Metode dan Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Nour, Nawal M. An Introduction to Maternal Mortality. Reviews In Obstetrics &
Gynecology Vol. 1 No. 2.
Nugraha, Sri Mardikani. 2013. Determinan Akses Pelayanan Nifas di Indonesia
(Analisis Riskesdas 2010). Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Nursalam, Efendi F. 2008. Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Oluwaseyi, Somefun D. 2013. Determinants of Postnatal Care Non-Utilization in
Nigeria. University of Witwatersrand.
Organization for Economic Cooperation and Development. 2013. Structural
Policy Country Notes Indonesia. Southeast Asian Economic Outlook
2013: With Perspectives on China and India.
Paudel, dkk. 2013. Determinants of Postnatal Service Utilization in A Western
District of Nepal: Community Based Cross Sectional Study. Journal
Wom n’s H alth Car Volume 2 Issue 3.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2562 Tahun 2011
Tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008 Tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.
Rahman, K.M.M. 2009. Determinants of Maternal Health Care ini Bangladesh.
Resesarch Journal of Applied Sciences; 113-119. Medwell Journal.
Rogan, S. E. Olvena, Ma. V. 2004. Factors Affecting Maternal Health Utilization
in the Philippines. 9th National Convention on Statistics (NCS): EDSA
Shangri-La Hotel.
179
Romans, C., dkk., 2009. Professional Assistance During Birth and Maternal
Mortality in Two Indonesian Districts. Bull World Health Organ;
87:416–423.
Ronsmans, C., dkk. 2006. Maternal Mortality: Why, When, Where, and Why.
Lancet Vol. 268 Hal. 1189-1200.
Sabri L., Hastono S. P; 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sastrawinata S., Martaadisoebrata, D., Wirakusumah F. 2005. Ilmu Kesehatan
Reproduksi: Obsetri Patologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Shindu, Pujiastuti. 2009. Yoga untuk Kehamilan: Sehat, Bahagia, dan Penuh
Makna. Bandung: Qanita.
Singh PK, Rai RK, Alagarajan M, Singh L. 2012. Determinants of Maternity Care
Services Utilization among Married Adolescents in Rural India. PloS
ONE 7(2): e31666. doi:10.1371/journal.pone.0031666.
Sofianty, dkk. 2007. Wahana IPS – Ilmu Pengetahuan Sosial. Yudistira.
Stright, Barbara R. Lippincott‟s Review Series: Maternal-Newborn Nursing.
Diterjemahkan oleh Wijayarini, Maria A. 2005. Panduan Belajar:
Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Sudirman, Sakung, J. 2012. Kemitraan Bidan dengan Dukun Bayi dalam
Menolong Persalinan Bagi Ibu-Ibu yang Melahirkan di Pedesaan di
Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala. Universitas Muhamadiyah
Palu.
Suparmi, Kristanti, D., Suryatma, A. 2013. Determinan Pemanfaatan Jaminan
Persalinan di Kabupaten Pandeglang. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol.
41, No. 4: 217-224.
Syarifudin, Hamidah. 2009. Kebidanan Komunitas. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
180
Syed U, Asiruddin, Helalm Imteaz, John Murray. 2006. Immediate and Early
Postnatal Care for Mothers and Newborns in Rural Bangladesh. J Health
Popul Nutr;24(4):508-518.
Titaley, C. Hunter, C. Dibley, M. Heywood, P. 2010. Why Do Some Women Still
Prefer Traditional Birth Attendants and Home Delivery - A Qualitative
Study on Delivery Care Services in West Java Province, Indonesia. BMC
Pregnancy and Childbirth.
Titaley, C. R., Dibley, M. J., Roberts, C. L. 2010. Factors Associated with
Underutilization of Antenatal Care Services in Indonesia Results of
Indonesia Demographic and Health Survey 2002/2003 and 2007. BMC
Public Health; 10:485.
Titaley, C. R., Hunter, C. L., Heywood, P., Dibley, M. J. 2010. Why don‟t Some
Women Attend antenatal and Postnatal Care Services? A Qualitative
Study of Community Members‟ Perspectives in Garut, Sukabumi and
Ciamis Districts of West Java Province, Indonesia. BMC Pregnancy and
Childbirth; 10:61.
Titaley, C., Dibley, M. J., Roberts, C. L. 2010. Factors Associated With
Underutilization of Antenatal Care Services in Indonesia Results of
Indonesia Demographic and Health Survey 2002/2003 and 2007. BMC
Public Health, 10:485.
Tomb, David A. Hos Psychiatry, 6th
Ed. Diterjemahkan oleh Nasrun, dkk. 2004.
Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ugboaja, Joseph O., dkk. 2013. Barriers to Postnatal Care and Exclusive
Breaastfeeding Among Urban Women in Southeastern Nigeria. Nigerian
Medical Journal Vol. 54 Issue 1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan
Tinggi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan
Hukum Pendidikan.
Unicef Indonesia. 2012. Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak.
181
Universitas Pendidikan Indonesia. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan – Bagian 1
Ilmu Pendidikan Teoritis. PT. Imperial Bhakti Utama.
Utomo, B. Sucahya, P. Utami, R. 2011. Priorities and Realities: Addressing The
Rich-Poor Gaps in Health Status and Service Access in Indonesia.
International Journal for Equity in Health; 10:47.
Warren, Charlotte, dkk. 2006. Opportuniti s or A rica’s N wborns.
World Health Organization. 2008. Factsheet – Maternal Mortality. Geneva.
World Health Organization. 2010. WHO Technical Consultation on Postpartum
and Posnatal Care. Switzerland: WHO Press.
World Health Organization. Safe Motherhood, Pueperal Sepsis Module –
Education Material for Teachers of Midwifery. Diterjemahkan oleh
Maryuani, Aniek. 2002. Safe Motherhood, Modul Sepsis Puerperalis
Materi Pendidikan untuk Kebidanan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Yamashita T., Sherri A S., Cecilia L., Yuko T., Naomi S. 2014. A Cross-Sectional
Analytic Study of Postpartum Health Care Service Utilization in The
Philipines. Plos One Volume 9, Issue 1.
Yar‟zaver, I.S. Said, I.Y. 2013. Knowledge and Barriers in Utilization of Maternal
Health Care Services in Kano State, Northern Nigeria. European Journal of
Biology and Medical Science Research. Vol.1 No. 1, pp.1-14.
Yulaikhah, Lily. 2009. Kehamilan: Seri Asuhan Kebidanan. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
182
LAMPIRAN
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
ANALISIS UNIVARIAT
1. Umur saat wawancara survei
Age in 5-year groups
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 15-19 188 9.1 9.1 9.1
20-24 534 25.8 25.8 34.8
25-29 583 28.1 28.1 63.0
30-34 429 20.7 20.7 83.7
35-39 246 11.9 11.9 95.6
40-44 81 3.9 3.9 99.5
45-49 11 .5 .5 100.0
Total 2072 100.0 100.0
2. Umur melahirkan
Respondent's age when delivered last child
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid <15 4 .2 .2 .2
15-19 319 15.4 15.4 15.6
20-24 546 26.4 26.4 41.9
25-29 551 26.6 26.6 68.5
30-34 391 18.9 18.9 87.4
35-39 204 9.8 9.8 97.2
40-44 49 2.4 2.4 99.6
45-49 8 .4 .4 100.0
Total 2072 100.0 100.0
3. Pendidikan
Education attainment
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Higher 227 11.0 11.0 11.0
Complete secondary 469 22.6 22.6 33.6
Incomplete secondary 637 30.7 30.7 64.3
Complete primary 504 24.3 24.3 88.7
194
Incomplete primary 201 9.7 9.7 98.4
No education 34 1.6 1.6 100.0
Total 2072 100.0 100.0
4. Urutan kelahiran
Birth order
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1 808 39.0 39.0 39.0
2-3 931 44.9 44.9 83.9
4-5 254 12.3 12.3 96.2
6+ 79 3.8 3.8 100.0
Total 2072 100.0 100.0
5. Kunjungan pelayanan antenatal (ANC)
Antenatal visits during pregnancy
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 4+ 1743 84.1 84.1 84.1
2-3 224 10.8 10.8 94.9
1 39 1.9 1.9 96.8
No antenatal visit 66 3.2 3.2 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Place of antenatal care: respondent's home
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1979 98.8 98.8 98.8
Yes 24 1.2 1.2 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Place of antenatal care: other home
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1971 98.4 98.4 98.4
Yes 32 1.6 1.6 100.0
Total 2003 100.0 100.0
195
Place of antenatal care: government hospital
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1914 95.6 95.6 95.6
Yes 89 4.4 4.4 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Place of antenatal care: public health center
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1461 72.9 72.9 72.9
Yes 542 27.1 27.1 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Place of antenatal care: public village health post
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1971 98.4 98.4 98.4
Yes 32 1.6 1.6 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Place of antenatal care: public delivery post
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1903 95.0 95.0 95.0
Yes 100 5.0 5.0 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Place of antenatal care: public health post
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1725 86.1 86.1 86.1
Yes 278 13.9 13.9 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Place of antenatal care: private hospital
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1979 98.8 98.8 98.8
Yes 24 1.2 1.2 100.0
Total 2003 100.0 100.0
196
Place of antenatal care: private maternity hospital
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1988 99.3 99.3 99.3
Yes 15 .7 .7 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Place of antenatal care: private maternity home
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1997 99.7 99.7 99.7
Yes 6 .3 .3 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Place of antenatal care: private clinic
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1948 97.3 97.3 97.3
Yes 55 2.7 2.7 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Place of antenatal care: private general practitioner
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1995 99.6 99.6 99.6
Yes 8 .4 .4 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Place of antenatal care: private obstetrician
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1841 91.9 91.9 91.9
Yes 162 8.1 8.1 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Place of antenatal care: private midwife
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1442 72.0 72.0 72.0
Yes 561 28.0 28.0 100.0
Total 2003 100.0 100.0
197
Place of antenatal care: private nurse
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1990 99.4 99.4 99.4
Yes 13 .6 .6 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Place of antenatal care: private village midwife
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1574 78.6 78.6 78.6
Yes 429 21.4 21.4 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Place of antenatal care: private other
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1984 99.1 99.1 99.1
Yes 19 .9 .9 100.0
Total 2003 100.0 100.0
Respondent's health professional checked up antenatal: doctor
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1972 98.3 98.3 98.3
Yes 34 1.7 1.7 100.0
Total 2006 100.0 100.0
Respondent's health professional checked up antenatal: obstetrician
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1693 84.4 84.4 84.4
Yes 313 15.6 15.6 100.0
Total 2006 100.0 100.0
Respondent's health professional checked up antenatal: nurse
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1954 97.4 97.4 97.4
Yes 52 2.6 2.6 100.0
Total 2006 100.0 100.0
198
Respondent's health professional checked up antenatal: midwife
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 911 45.4 45.4 45.4
Yes 1095 54.6 54.6 100.0
Total 2006 100.0 100.0
Respondent's health professional checked up antenatal: village midwife
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1257 62.7 62.7 62.7
Yes 749 37.3 37.3 100.0
Total 2006 100.0 100.0
Respondent's health professional checked up antenatal: traditional birth
attendant
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1901 94.8 94.8 94.8
Yes 105 5.2 5.2 100.0
Total 2006 100.0 100.0
Respondent's health professional checked up antenatal: other
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1992 99.3 99.3 99.3
Yes 14 .7 .7 100.0
Total 2006 100.0 100.0
6. Kuintil kekayaan
Wealth index
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Poorest 722 34.8 34.8 34.8
Poorer 568 27.4 27.4 62.3
Middle 365 17.6 17.6 79.9
Richer 274 13.2 13.2 93.1
Richest 143 6.9 6.9 100.0
Total 2072 100.0 100.0
199
7. Tempat persalinan
Place delivery
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Health facility 1115 53.8 53.8 53.8
Other 957 46.2 46.2 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Place of delivery
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Respondent's home 855 41.3 41.3 41.3
Other home 99 4.8 4.8 46.0
Hospital/clinic 282 13.6 13.6 59.7
Health center 174 8.4 8.4 68.1
Village health post 10 .5 .5 68.5
Delivery post 36 1.7 1.7 70.3
Other public sector 1 .0 .0 70.3
Hospital 79 3.8 3.8 74.1
Maternity hospital 50 2.4 2.4 76.5
Maternity home 14 .7 .7 77.2
Clinic 40 1.9 1.9 79.2
General practitioner 3 .1 .1 79.3
Obstetrician 14 .7 .7 80.0
midwife 278 13.4 13.4 93.4
nurse 3 .1 .1 93.5
village midwife 125 6.0 6.0 99.6
Other private sector 6 .3 .3 99.9
Other 3 .1 .1 100.0
Total 2072 100.0 100.0
8. Penolong persalinan
Assistance delivery
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Health professional 1799 86.8 86.8 86.8
Non-health profesiional
273 13.2 13.2 100.0
Total 2072 100.0 100.0
200
Assistance: doctor
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 2039 98.4 98.4 98.4
Yes 33 1.6 1.6 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Assistance: obstetrician
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1746 84.3 84.3 84.3
Yes 326 15.7 15.7 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Assistance: nurse
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1859 89.7 89.7 89.7
Yes 213 10.3 10.3 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Assistance: midwife
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1090 52.6 52.6 52.6
Yes 982 47.4 47.4 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Assistance: village midwife
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1474 71.1 71.1 71.1
Yes 598 28.9 28.9 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Assistance: traditional birth attendant
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1564 75.5 75.5 75.5
Yes 508 24.5 24.5 100.0
Total 2072 100.0 100.0
201
Assistance: relative/friend
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1869 90.2 90.2 90.2
Yes 203 9.8 9.8 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Assistance: other
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 2047 98.8 98.8 98.8
Yes 25 1.2 1.2 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Assistance: no one
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No: some assistance 2067 99.8 99.8 99.8
Yes: no assistance 5 .2 .2 100.0
Total 2072 100.0 100.0
9. Jarak ke fasilitas kesehatan
Distance to facility
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Problem 316 15.3 15.3 15.3
No problem 1756 84.7 84.7 100.0
Total 2072 100.0 100.0
10. Komplikasi persalinan
Complication during labor/delivery
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Yes 887 42.8 42.8 42.8
No 1185 57.2 57.2 100.0
Total 2072 100.0 100.0
202
Time of birth: prolonged labor
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1416 68.3 68.3 68.3
Yes 656 31.7 31.7 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Time of birth: excessive vaginal bleeding
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1914 92.4 92.4 92.4
Yes 158 7.6 7.6 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Time of birth: fever and foul smelling vaginal discharge
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1928 93.1 93.1 93.1
Yes 144 6.9 6.9 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Time of birth: convulsions
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 2032 98.1 98.1 98.1
Yes 40 1.9 1.9 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Time of birth: water broke > 6 hours before delivery
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1811 87.4 87.4 87.4
Yes 261 12.6 12.6 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Time of birth: other
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 1992 96.1 96.1 96.1
Yes 80 3.9 3.9 100.0
Total 2072 100.0 100.0
203
11. Pemanfaatan pelayanan nifas
Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Yes 1773 85.6 85.6 85.6
No 299 14.4 14.4 100.0
Total 2072 100.0 100.0
Respondent's health professional checked up after delivery
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Doctor 39 2.2 2.2 2.2
Nurse 91 5.1 5.1 7.3
Midwife 816 46.0 46.0 53.4
Obstetrician 247 13.9 13.9 67.3
Village midwife 521 29.4 29.4 96.7
Traditional birth attendant 50 2.8 2.8 99.5
Other 9 .5 .5 100.0
Total 1773 100.0 100.0
Respondent's health checked before discharge
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid No 12 .7 1.2 1.2
Yes 1023 57.7 98.8 100.0
Total 1035 58.4 100.0
Missing 9 1 .1
System 737 41.6
Total 738 41.6
Total 1773 100.0
Respondent's health checked after discharge/delivery at home
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Yes 750 42.3 100.0 100.0
Missing System 1023 57.7
Total 1773 100.0
204
ANALISIS BIVARIAT
1. Pendidikan
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Education attainment * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
2072 100.0% 0 .0% 2072 100.0%
Education attainment * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation
Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Total Yes No
Education attainment
Higher Count 205 22 227
% within Education attainment 90.3% 9.7% 100.0%
Complete secondary
Count 414 55 469
% within Education attainment 88.3% 11.7% 100.0%
Incomplete secondary
Count 545 92 637
% within Education attainment 85.6% 14.4% 100.0%
Complete primary Count 422 82 504
% within Education attainment 83.7% 16.3% 100.0%
Incomplete primary Count 165 36 201
% within Education attainment 82.1% 17.9% 100.0%
No education Count 22 12 34
% within Education attainment 64.7% 35.3% 100.0%
Total Count 1773 299 2072
% within Education attainment 85.6% 14.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 22.242a 5 .000
Likelihood Ratio 19.877 5 .001
Linear-by-Linear Association 16.796 1 .000
N of Valid Cases 2072
a. 1 cells (8.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.91.
205
2. Urutan kelahiran
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Birth order * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
2072 100.0% 0 .0% 2072 100.0%
Birth order * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation
Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Total Yes No
Birth order 1 Count 707 101 808
% within Birth order 87.5% 12.5% 100.0%
2-3 Count 794 137 931
% within Birth order 85.3% 14.7% 100.0%
4-5 Count 208 46 254
% within Birth order 81.9% 18.1% 100.0%
6+ Count 64 15 79
% within Birth order 81.0% 19.0% 100.0%
Total Count 1773 299 2072
% within Birth order 85.6% 14.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 6.614a 3 .085
Likelihood Ratio 6.436 3 .092
Linear-by-Linear Association 6.422 1 .011
N of Valid Cases 2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.40.
206
3. Kunjungan pelayanan antenatal (ANC)
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Antenatal visits during pregnancy * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
2072 100.0% 0 .0% 2072 100.0%
Antenatal visits during pregnancy * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Crosstabulation
Attending postnatal care in first 3 days after
delivery
Total Yes No
Antenatal visits during pregnancy
4+ Count 1539 204 1743
% within Antenatal visits during pregnancy
88.3% 11.7% 100.0%
2-3 Count 172 52 224
% within Antenatal visits during pregnancy
76.8% 23.2% 100.0%
1 Count 24 15 39
% within Antenatal visits during pregnancy
61.5% 38.5% 100.0%
No antenatal visit
Count 38 28 66
% within Antenatal visits during pregnancy
57.6% 42.4% 100.0%
Total Count 1773 299 2072
% within Antenatal visits during pregnancy
85.6% 14.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 84.615a 3 .000
Likelihood Ratio 67.150 3 .000
Linear-by-Linear Association 83.543 1 .000
N of Valid Cases 2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.63.
207
4. Kuintil kekayaan
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Wealth index * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
2072 100.0% 0 .0% 2072 100.0%
Wealth index * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation
Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Total Yes No
Wealth index Poorest Count 569 153 722
% within Wealth index 78.8% 21.2% 100.0%
Poorer Count 493 75 568
% within Wealth index 86.8% 13.2% 100.0%
Middle Count 329 36 365
% within Wealth index 90.1% 9.9% 100.0%
Richer Count 247 27 274
% within Wealth index 90.1% 9.9% 100.0%
Richest Count 135 8 143
% within Wealth index 94.4% 5.6% 100.0%
Total Count 1773 299 2072
% within Wealth index 85.6% 14.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 47.272a 4 .000
Likelihood Ratio 47.953 4 .000
Linear-by-Linear Association 40.674 1 .000
N of Valid Cases 2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.64.
208
5. Tempat persalinan
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Place delivery * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
2072 100.0% 0 .0% 2072 100.0%
Place delivery * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation
Attending postnatal care in first 3 days
after delivery
Total Yes No
Place delivery Health facility Count 1036 79 1115
% within Place delivery 92.9% 7.1% 100.0%
Other Count 737 220 957
% within Place delivery 77.0% 23.0% 100.0%
Total Count 1773 299 2072
% within Place delivery 85.6% 14.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.055E2a 1 .000
Continuity Correctionb 104.196 1 .000
Likelihood Ratio 107.811 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 105.429 1 .000
N of Valid Casesb 2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 138.10.
b. Computed only for a 2x2 table
209
6. Penolong persalinan
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Assistance delivery * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
2072 100.0% 0 .0% 2072 100.0%
Assistance delivery * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation
Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Total Yes No
Assistance delivery
Health professional Count 1619 180 1799
% within Assistance delivery 90.0% 10.0% 100.0%
Non-health professional
Count 154 119 273
% within Assistance delivery 56.4% 43.6% 100.0%
Total Count 1773 299 2072
% within Assistance delivery 85.6% 14.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 2.165E2a 1 .000
Continuity Correctionb 213.796 1 .000
Likelihood Ratio 166.190 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 216.403 1 .000
N of Valid Casesb 2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 39.40.
b. Computed only for a 2x2 table
210
7. Jarak ke fasilitas kesehatan
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Distance to facility * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
2072 100.0% 0 .0% 2072 100.0%
Distance to facility * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation
Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Total Yes No
Distance to facility
Problem Count 246 70 316
% within Distance to facility 77.8% 22.2% 100.0%
No problem Count 1527 229 1756
% within Distance to facility 87.0% 13.0% 100.0%
Total Count 1773 299 2072
% within Distance to facility 85.6% 14.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 18.003a 1 .000
Continuity Correctionb 17.273 1 .000
Likelihood Ratio 16.296 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 17.994 1 .000
N of Valid Casesb 2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 45.60.
b. Computed only for a 2x2 table
211
8. Komplikasi persalinan
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Complication during labor/delivery * Attending postnatal care in first 3 days after delivery
2072 100.0% 0 .0% 2072 100.0%
Complication during labor/delivery * Attending postnatal care in first 3 days after
delivery Crosstabulation
Attending postnatal care in first 3 days
after delivery
Total Yes No
Complication during labor/delivery
Yes Count 767 120 887
% within Complication during labor/delivery
86.5% 13.5% 100.0%
No Count 1006 179 1185
% within Complication during labor/delivery
84.9% 15.1% 100.0%
Total Count 1773 299 2072
% within Complication during labor/delivery
85.6% 14.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.021a 1 .312
Continuity Correctionb .898 1 .343
Likelihood Ratio 1.026 1 .311
Fisher's Exact Test .343 .172
Linear-by-Linear Association 1.021 1 .312
N of Valid Casesb 2072
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 128.00.
b. Computed only for a 2x2 table
212
CROSSTAB ANTAR VARIABEL
1. Urutan kelahiran dan penolong persalinan
Birth order * Assistance delivery Crosstabulation
Assistance delivery
Total Health
professional Non-health professional
Birth order 1 Count 746 62 808
% within Birth order 92.3% 7.7% 100.0%
2-3 Count 790 141 931
% within Birth order 84.9% 15.1% 100.0%
4-5 Count 203 51 254
% within Birth order 79.9% 20.1% 100.0%
6+ Count 60 19 79
% within Birth order 75.9% 24.1% 100.0%
Total Count 1799 273 2072
% within Birth order 86.8% 13.2% 100.0%
2. Urutan kelahiran dan pemanfaatan pelayanan nifas pada semua responden yang
ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan
Birth order * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation
Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Total Yes No
Birth order 1 Count 677 69 746
% within Birth order 90.8% 9.2% 100.0%
2-3 Count 710 80 790
% within Birth order 89.9% 10.1% 100.0%
4-5 Count 179 24 203
% within Birth order 88.2% 11.8% 100.0%
6+ Count 53 7 60
% within Birth order 88.3% 11.7% 100.0%
Total Count 1619 180 1799
% within Birth order 90.0% 10.0% 100.0%
213
3. Kunjungan ANC dan penolong persalinan
Antenatal visits during pregnancy * Assistance delivery Crosstabulation
Assistance delivery
Total Health
professional Non-health professional
Antenatal visits during pregnancy
4+ Count 1560 183 1743
% within Antenatal visits during pregnancy
89.5% 10.5% 100.0%
2-3 Count 178 46 224
% within Antenatal visits during pregnancy
79.5% 20.5% 100.0%
1 Count 25 14 39
% within Antenatal visits during pregnancy
64.1% 35.9% 100.0%
No antenatal visit
Count 36 30 66
% within Antenatal visits during pregnancy
54.5% 45.5% 100.0%
Total Count 1799 273 2072
% within Antenatal visits during pregnancy
86.8% 13.2% 100.0%
4. Kunjungan ANC dan pemanfaatan pelayanan nifas pada semua responden yang
ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan
Antenatal visits during pregnancy * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation
Attending postnatal care in first 3 days after
delivery
Total Yes No
Antenatal visits during pregnancy
4+ Count 1421 139 1560
% within Antenatal visits during pregnancy 91.1% 8.9% 100.0%
2-3 Count 149 29 178
% within Antenatal visits during pregnancy 83.7% 16.3% 100.0%
1 Count 20 5 25
% within Antenatal visits during pregnancy 80.0% 20.0% 100.0%
No antenatal visit
Count 29 7 36
% within Antenatal visits during pregnancy 80.6% 19.4% 100.0%
Total Count 1619 180 1799
% within Antenatal visits during pregnancy 90.0% 10.0% 100.0%
214
5. Pendidikan dan kunjungan ANC
Education attainment * Antenatal visits during pregnancy Crosstabulation
Antenatal visits during pregnancy
Total
4+ 2-3 1 No antenatal
visit
Education attainment
Higher Count 205 16 4 2 227
% within Education attainment 90.3% 7.0% 1.8% .9% 100.0%
Complete secondary
Count 416 39 7 7 469
% within Education attainment 88.7% 8.3% 1.5% 1.5% 100.0%
Incomplete secondary
Count 528 77 10 22 637
% within Education attainment 82.9% 12.1% 1.6% 3.5% 100.0%
Complete primary
Count 417 55 13 19 504
% within Education attainment 82.7% 10.9% 2.6% 3.8% 100.0%
Incomplete primary
Count 154 30 5 12 201
% within Education attainment 76.6% 14.9% 2.5% 6.0% 100.0%
No education
Count 23 7 0 4 34
% within Education attainment 67.6% 20.6% .0% 11.8% 100.0%
Total Count 1743 224 39 66 2072
% within Education attainment 84.1% 10.8% 1.9% 3.2% 100.0%
6. Kuintil kekayaan dan tempat persalinan
Crosstab
Place delivery
Total Health facility Other
Wealth index Poorest Count 285 437 722
% within Wealth index 39.5% 60.5% 100.0%
Poorer Count 316 252 568
% within Wealth index 55.6% 44.4% 100.0%
Middle Count 215 150 365
% within Wealth index 58.9% 41.1% 100.0%
Richer Count 191 83 274
% within Wealth index 69.7% 30.3% 100.0%
Richest Count 108 35 143
% within Wealth index 75.5% 24.5% 100.0%
Total Count 1115 957 2072
% within Wealth index 53.8% 46.2% 100.0%
215
7. Pendidikan dan tempat persalinan
Crosstab
Place delivery
Total Health facility Other
Education attainment
Higher Count 150 77 227
% within Education attainment 66.1% 33.9% 100.0%
Complete secondary
Count 302 167 469
% within Education attainment 64.4% 35.6% 100.0%
Incomplete secondary
Count 333 304 637
% within Education attainment 52.3% 47.7% 100.0%
Complete primary
Count 224 280 504
% within Education attainment 44.4% 55.6% 100.0%
Incomplete primary
Count 86 115 201
% within Education attainment 42.8% 57.2% 100.0%
No education Count 20 14 34
% within Education attainment 58.8% 41.2% 100.0%
Total Count 1115 957 2072
% within Education attainment 53.8% 46.2% 100.0%
8. Urutan kelahiran dan tempat persalinan
Crosstab
Place delivery
Total Health facility Other
Birth order 1 Count 484 324 808
% within Birth order 59.9% 40.1% 100.0%
2-3 Count 478 453 931
% within Birth order 51.3% 48.7% 100.0%
4-5 Count 125 129 254
% within Birth order 49.2% 50.8% 100.0%
6+ Count 28 51 79
% within Birth order 35.4% 64.6% 100.0%
Total Count 1115 957 2072
% within Birth order 53.8% 46.2% 100.0%
216
9. Penolong persalinan dan tenaga pemeriksa kesehatan nifas pada semua
responden yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan
Assistance delivery * Respondent's health professional checked up after delivery Crosstabulation
Respondent's health professional checked up
after delivery
Total Health
professional Non-health professional
Assistance delivery
Health professional
Count 1606 13 1619
% within Assistance delivery
99.2% .8% 100.0%
Non-health professional
Count 108 46 154
% within Assistance delivery
70.1% 29.9% 100.0%
Total Count 1714 59 1773
% within Assistance delivery
96.7% 3.3% 100.0%
10. Komplikasi persalinan dan penolong persalinan
Complication during labor/delivery * Assistance delivery Crosstabulation
Assistance delivery
Total Health
professional Non-health professional
Complication during labor/delivery
Yes Count 791 96 887
% within Complication during labor/delivery
89.2% 10.8% 100.0%
No Count 1008 177 1185
% within Complication during labor/delivery
85.1% 14.9% 100.0%
Total Count 1799 273 2072
% within Complication during labor/delivery
86.8% 13.2% 100.0%
217
11. Komplikasi persalinan dan pemanfaatan pelayanan nifas pada semua responden
yang ditolong oleh tenaga kesehatan saat persalinan
Complication during labor/delivery * Attending postnatal care in first 3 days after delivery Crosstabulation
Attending postnatal care in first 3 days after delivery
Total Yes No
Complication during labor/delivery
Yes Count 717 74 791
% within Complication during labor/delivery
90.6% 9.4% 100.0%
No Count 902 106 1008
% within Complication during labor/delivery
89.5% 10.5% 100.0%
Total Count 1619 180 1799
% within Complication during labor/delivery
90.0% 10.0% 100.0%