DAMPAK KETIDAKPASTIAN GLOBAL TERHADAP...akan membahas dampak dari ketidakpastian global terhadap...
Transcript of DAMPAK KETIDAKPASTIAN GLOBAL TERHADAP...akan membahas dampak dari ketidakpastian global terhadap...
1
2
3
DAMPAK KETIDAKPASTIAN GLOBAL TERHADAP
PEREKONOMIAN INDONESIA
KAJIAN #2 KOMISI EKONOMI PPI DUNIA 2019/2020
Editor: Muhammad Putra Hutama
4
Daftar Isi
Editor: Muhammad Putra Hutama ......................................................................................................... 3
Daftar Isi ................................................................................................................................................. 4
Profil Penulis ........................................................................................................................................... 5
Pendahuluan ........................................................................................................................................... 6
Ketidakpastian Global dan Transmisinya terhadap Perkonomian Indonesia - Denny Irawan ............ 7
Global Uncertainty dan Dampaknya terhadap Ketahanan Fiskal - Chairul Adi ................................. 14
Tantangan dan Peluang Meningkatkan Neraca Perdagangan di Era Ketidakpastian Global -
Muhammad Putra Hutama ................................................................................................................... 20
Volatilitas Komoditas Minyak Bumi bagi Perekonomian Indonesia - Hadi Prasojo ........................... 24
Efek Ketidakpastian Ekonomi Global Terhadap Serapan Tenaga Kerja dan Daya Beli Masyarakat
Indonesia - Perwira Yodanto ................................................................................................................ 28
5
Profil Penulis
Muhammad Putra Hutama adalah ketua Komisi Ekonomi PPI Dunia
2019/2020 dan mahasiswa Master di Corvinus University of Budapest,
Hongaria jurusan International Economics and Business. Mempunyai
pengalaman sebagai asisten peneliti di PRISMA CEDS Unpad.
Denny Irawan adalah kepala Divisi Kajian Ekonomi PPI Dunia 2019/2020
dan mahasiswa doktoral bidang Economics di The Australian National
University (ANU), Australia. Mempunyai pengalaman sebagai peneliti di
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).
Chairul Adi adalah anggota Komisi Ekonomi PPI Dunia 2019/2020 dan
pegawai Kementerian Keuangan RI yang tengah menjalani tugas belajar
di tingkat doktoral dalam bidang Political Economy di The University of
Sydney, Australia.
Perwira Yodanto adalah anggota Komisi Ekonomi PPI Dunia 2019/2020
dan pegawai Kementerian Keuangan RI yang saat ini akan mendalami 2
spesialisasi (Policy Analysis dan Economic Policy) dalam program Master
of Public Policy di The Australian National University (ANU) Canberra,
Australia.
Hadi Prasojo adalah anggota Komisi Ekonomi PPI Dunia 2019/2020 dan
mahasiswa Master di Corvinus University of Budapest, Hongaria jurusan
Economic Analysis. Mempunyai pengalaman sebagai asisten peneliti di
Pusat Kebijakan Keenergian - Institut Teknologi Bandung (CREP-ITB).
6
Pendahuluan Dalam seri kajian ini, kami menyajikan gambaran umum tentang ketidakpastian global serta dampaknya
terhadap perekonomian Indonesia. Secara harfiah, ketidakpastian global (global uncertainty) dapat
dimaknai sebagai suatu kondisi yang serba tidak pasti (uncertain) yang memiliki implikasi secara
global. Uncertainty umumnya melibatkan elemen kejut (surprise) yang tidak dapat diprediksi eksistensi
maupun implikasinya. Beberapa contoh ketidakpastian dalam 20 tahun terakhir seperti Perang Iraq,
penyebaran Virus SARS, subprime mortgage, Brexit, Perang dagang AS-Tiongkok, dan penyebaran
Virus Coronavirus (COVID-19).
Kajian ini terdiri dari lima tulisan pendek yang berfokus pada lima topik. Pada tiga tulisan pertama kami
akan membahas dampak dari ketidakpastian global terhadap perekonomian Indonesia, ketahanan fiskal,
dan neraca perdagangan. Dua tulisan berikutnya akan membahas kondisi daya beli dan penyerapan
tenaga kerja serta ketahanan energi Indonesia. Secara umum, Indonesia mendapatkan dampak negatif
dari ketidakpastian global yaitu dapat dilihat dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan serta apresiasi atas kebijakan yang diambil oleh
pemerintah untuk mengurangi resiko ketidakpastian global terhadap perekonomian Indonesia.
Pada tulisan pertama, kami menyajikan pola perkembangan ketidakpastian global serta transmisinya
terhadap perekonomian Indonesia. Secara umum, ketidakpastian ekonomi dan geopolitik global
cenderung memiliki tren peningkatan pada 2-3 tahun terakhir meskipun Kondisi geopolitik domestik
Indonesia cenderung lebih stabil bila dibandingkan risiko geopolitik global. Lebih lanjut, pergerakan
nilai tukar Rupiah sangat ditentukan faktor-faktor global seperti harga komoditas dan ketidakpastian
ekonomi serta dinamika pasar modal domestik lebih dipengaruhi faktor-faktor domestik dan tidak
secara langsung dipengaruhi faktor global.
Kedua, kami akan membahas dampak ketidakpastian global terhadap stabilitas fiskal seperti defisit
fiskal, kinerja perpajakan, utang pemerintah, dan implementasi program program strategis. Secara
umum penerimaan pajak pada tahun 2019 mengalami penurunan pertumbuhan dengan kata lain secara
nominal defisit anggaran mengalami kenaikan.
Ketiga, kami akan meyajikan gambaran performa perdagangan Indonesia di era ketidakpastian global.
Secara umum, Indonesia menderita defisit neraca perdagangan akibat dampak dari perang dagang
antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Langkah kongkrit yang bisa diambil oleh pemerintah adalah
menambah jangkauan ekspor Indonesia melalui diplomasi ekonomi. Lebih lanjut, kami akan
menyajikan perkembangan perundingan IEU-CEPA serta produk potensial untuk ekspor ke Uni-Eropa.
Keempat, kami akan menyajikan gambaran daya beli masyarakat dan serapan tenaga kerja. Secara
umum pemerintah Indonesia telah mengeluarkan 16 jilid paket kebijakan ekonomi sebagai respon untuk
mengurangi resiko ketidakpastian global.
Kelima, kami akan membahas volatilitas komoditas minyak bumi bagi perekonomian Indonesia. Secara
historis harga minyak global mengalami fluktuatif yang cukup ekstrim dengan berbagai faktornya yang
berdampak terhadap ketahanan energi dalam negeri karena Indonesia sangat bergantung terhadap
impor. Beberapa upaya yang perlu diambil oleh pemerintah diantaranya: (i) memenuhi target lifting;
(ii) peningkatan infrastruktur pengolahan dan penyimpanan; (iii) hedging dengan kontrak berjangka;
(iv) mekanisme stabilitas harga; (v) konservasi dan diversifikasi energi.
7
Ketidakpastian Global dan Transmisinya terhadap
Perkonomian Indonesia Denny Irawan1
Pendahuluan
Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa siklus krisis yang normalnya terjadi setiap 1 dekade
tidak terwujud pada tahun 2018 lalu. Banyak pula yang memprediksi bahwa akan terjadi pergeseran ke
tahun berikutnya, yaitu 2019, yang nyatanya juga tidak terjadi.
Beberapa analis telah memberikan argumennya untuk berusaha menjelaskan fenomena ini. Salah satu
argumen yang paling populer dan bernuansa skeptis adalah bahwa perekonomian dunia tumbuh lebih
lambat dari dekade-dekade sebelumnya. Dengan kata lain, gelembung (bubble) perekonomian dunia
belum cukup besar untuk pada akhirnya meletus. Sehingga bisa jadi terhindarnya ekonomi dunia dari
krisisi di tahun 2018/9 hanyalah sekedar fenomena tertundanya letusan gelembung perekonomian
global.
Argumen lainnya bernuansa lebih optimis. Pertumbuhan perekonomian dunia yang lebih lambat dari
dekade-dekade yang lalu memang terjadi, namun diyakini bahwa hal tersebut karena para regulator
dalam perekonomian (moneter, fiskal dan lainnya) berhasil menerapkan kebijakan yang lebih baik.
Stabilitas menjadi fokus utama dan buah keberhasilannya adalah perekonomian yang terbukti lebih
tahan terhadap guncangan.
Perkembangan ketidakpastian global
Gambar 1 menampilkan pola perkembangan ketidakpastian global yang ditunjukkan oleh indeks Global
Economic Policy Uncertainty (GEPU) dari Davis (2016). Indeks ini merupakan suatu ukuran
ketidakpatian kebijakan ekonomi global yang berbasis metode word scrapping terhadap media-media
masa berpengaruh di dunia. Indeks ini dikeluarkan secara bulanan. Apabila kita lihat pada polanya,
indeks ini menunjukan tren kenaikan selama beberapa tahun terakhir, meskipun sangat berfluktuatif
setiap bulannya. Satu hal yang disayangkan adalah GEPU untuk tingkat nasional Indonesia tidak
tersedia.
Sementara itu, Gambar 2 menampilkan indeks Geopolitical Risk (GPR) baik di tingkat global
(GPR_GLOB) maupun untuk nasional Indonesia (GPR_IND). Indeks ini diperbaharui setiap bulan dan
bersumber dari Caldara dan Iacoviello (2019). Sama seperti GEPU, indeks GPR juga didasarkan pada
metode word scrapping berdasarkan media massa di masing-masing region maupun global. Yang
membedakan adalah GPR berfokus pada risiko-risiko geopolitik, sedangkan GEPU berfokus pada
ketidakpastian kebijakan ekonomi. Meskipun demikian, dapat kita lihat terdapat pola yang menyerupai
antara GEPU dan GPR_GLOB, dimana terdapat tren kenaikan ketidakpastian secara global pada tahun-
tahun terakhir. Hal menarik lainnya adalah GPR tersedia untuk tingkat nasional Indonesia. Apabila kita
lihat pada Gambar 2, tingkat GPR_IND memiliki pola yang cenderung datar bila dibandingkan dengan
GPR_GLOB, sehingga secara umum terjadi divergensi tren. Secara intuitif, hal ini menunjukkan bahwa
risiko geopolitik domestik di Indonesia lebih stabil dibandingkan yang terjadi di tingkat global. Hal ini
dirasa wajar, mengingat berbagai eskalasi tensi geopolitik internasional seperti perseteruan di Timur
Tengah secara umum tidak memiliki dampak terhadap stabilitas domestik Indonesia.
1 Mahasiswa doktoral jurusan ilmu ekonomi di The Australian National University (ANU)
8
Gambar 1. Global Economic Policy Uncertainty (GEPU)
Sumber: Davis (2016)
Gambar 2. Global and Indonesia Geopolitical Risk (GPR)
Sumber: Caldara dan Iacoviello (2019)
Sementara itu, terlihat bahwa pergerakan harga komoditas global mulai bergerak pulih setelah sempat
terjatuh dan mencapai titik terendahnya di tahun 2015. Hal ini dapat dilihat dari indeks komoditas IMF
sebagaimana dijabarkan oleh Gambar 3. Sebagaimana sudah diketahui secara umum, perekonomian
Indonesia sebagai net-importir BBM seringkali memiliki efek ganda terhadap fluktuasi harga
komoditas. Untuk beberapa komoditas unggulan seperti sawit dan batubara, kenaikan positif harga
komoditas secara umum akan berdampak positif. Sebaliknya, Indonesia seringkali merasakan dampak
negative dari pola kenaikan harga komoditas karena ini bermakna naiknya nilai impor BBM yang harus
ditanggung Indonesia.
9
Gambar 3. IMF Commodity Index (COMM)
Sumber: IMF Commodity
Gambar 4 dan 5 masing-masing menjabarkan dua variabel makroekonomi, yaitu nilai tukar USD
terhadap Rupiah (EX_RATE) dan Indeks Harga Saham Gabungan (JKSE) milik Bursa Efek Indonesia
(BEI). Dalam satu tahun terakhir, Rupiah mulai mengalami penguatan terhadap US Dollar. Sementara
itu, IHSG juga secara bertahap mengalami penguatan, meskipun sempat melemah dalam beberapa bulan
terakhir.
Gambar 4. Nilai Tukar Rupiah terhadap USD (EX_RATE)
Sumber: Bank Indonesia
10
Gambar 5. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Sumber: Yahoo Finance
Transmisi ketidakpastian global terhadap perekonomian Indonesia
Dalam studi ini, penulis mencoba melakukan pemodelan sederhana untuk melihat pola transmisi shock
global terhadap perekonomian Indonesia. Untuk tujuan ini, digunakan pendekatan Vector
Autoregressive (VAR)2. Pendekatan ini dikenal sangat baik untuk melakukan analisis antara variabel
makroekonomi, termasuk dalam pemodelan transmisi shock makroekonomi. Terdapat beberapa hal
utama yang membuat model VAR dinilai lebih baik dibandingkan regresi linear standar untuk tujuan
ini. Salah satu yang utama adalah kemampuannya melakukan isolasi shock sehingga pemodelan
terhindar dari permasalahan reverse causality, yang sangat lumrah terjadi pada variabel-variabel
makroekonomi.
Terdapat enam variabel yang diikutsertakan, yang terbagi kedalam kedua kelompok. Kelompok
pertama yaitu variabel ketidakpastian global. Dalam kelompok ini terdapat tiga variabel. Pertama,
Global Economic Policy Uncertainty (GEPU) dari Davis (2016). Kedua, Geopolitical Risk global
(GPR_GLOB) dari Caldara dan Iacoviello (2018). Ketiga, yaitu indeks harga komoditas global
(COMM) dari IMF. Sementara untuk tingkat domestik Indonesia, terdapat tiga variabel, yaitu
Geopolitical Risk Indonesia (GPR_IND), nilai tukar Rupiah terhadap USD (EX_RATE), dan Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG).
Periode analisis mencakup dari Januari 2010 hingga Januari 2020, dengan frekuensi data bulanan.
Seluruh variabel ditransformasikan ke dalam logaritma. Analisis menggunakan lag 6 bulan. Serta,
dilakukan dekomposisi pada error term hasil estimasi VAR menggunakan Dekomposisi Cholesky. Hal
ini dilakukan untuk mengisolasi shock dari masing-masing variabel terhadap variabel lainnya, sehingga
menghindari analisis yang bersifat spurious. Dekomposisi Cholesky yang diterapkan memiliki urutan
2Sebagian analisis pada tulisan ini didasarkan pada pemodelan sederhana menggunakan Vector Autoregression (VAR) standar. Penulis memastikan bahwa seluruh prosedur yang dilakukan telah memenuhi kaidah standar estimasi VAR. Meskipun demikian, melihat dari hasil estimasi Impulse Response Function (IRF) dengan error band yang cukup besar, maka hasil pemodelan ini hanya bisa digunakan sebagai suatu analisis indikatif. Analisis ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan PPI Dunia secara resmi. Penulis maupun PPI Dunia tidak bertanggungjawab atas kerugian-kerugian yang dapat timbul akibat pengambilan keputusan yand didasarkan pada analisis ini.
11
sebagai berikut: 𝑓 = (𝐺𝐸𝑃𝑈 → 𝐺𝑃𝑅_𝐺𝐿𝑂𝐵 → 𝐶𝑂𝑀𝑀 → 𝐺𝑃𝑅_𝐼𝑁𝐷 → 𝐸𝑋_𝑅𝐴𝑇𝐸 → 𝐽𝐾𝑆𝐸). Variabel
EX_RATE dalam analisis ini diposisikan dimana kenaikan EX_RATE bermakna apresiasi Rupiah,
untuk mempermudah analisis.
Hasil dari estimasi model VAR yang dilakukan disajikan dalam Gambar 6 dan Tabel 1. Pada Gambar
6, ditampilkan respons dari masing-masing variabel domestic (GPR_IND, EX_RATE, JKSE) terhadap
shock keenam variabel dalam estimasi. Grafik respons ini dikenal sebagai Impulse Response Function
(IRF). Hasil estimasi IRF yang didapatkan menunjukkan error band yang cukup besar. Hal ini membuat
analisis berdasarkan IRF tersebut hanya bisa digunakan sebagai suatu analisis yang bersifat indikatif
semata. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa geopolitical risk Indonesia (GPR_IND) merespon
secara positif terhadap shock geopolitical risk global (GPR_GLOB).
Gambar 6. Response Variabel Lokal Terhadap Shock Global dan Lokal
Sumber: Estimasi Penulis
12
Sementara itu, nilai tukar (EX_RATE) tampak merespons secara positif (apresiasi) terhadap shock
GEPU dan COMM. Secara intuitif, hal ini menunjukkan ketidakpastian global direspon secara positif
dengan penguatan Rupiah. Sekilas, hal ini memberikan intuisi yang bertolak belakang dengan
pandangan umum bahwa ketidakpastian global akan berdampak buruk bagi Indonesia. Meskipun
demikian, bila kita melihat GPR_IND bergerak lebih stabil dari GPR_GLOB, maka bisa diartikan
bahwa Indonesia termasuk negara yang secara umum lebih stabil bila dibandingkan dengan kondisi
global. Sehingga wajar apabila terdapat peningkatan ketidakpastian di level global justru bisa
berdampak positif bagi beberapa indikator domestik. Sementara itu, respon apresiatif EX_RATE
terhadap peningkatan COMM bisa dimaknai sebagai peningkatan kepercayaan terhadap performa
ekspor Indonesia. Hal ini mengingat bahwa sekitar 35% ekspor Indonesia masih didominasi oleh
komoditas.3
Terakhir, variabel JKSE tampak secara signifikan merespon positif apresiasi Rupiah (EX_RATE). Hal
ini dapat dikatakan sesuai ekspektasi. Pertama, apresiasi Rupiah dapat dimaknai secara positif sebagai
peningkatan kepercayaan terhadap performa perekonomian domestik. Kedua, salah satu penyebab
utama apresiasi Rupiah diantaranya adalah masuknya arus uang asing ke pasar modal dalam negeri,
sehingga tentu akan sangat wajar bila kenaikan JKSE diiringi dengan penguatan Rupiah.
Tabel 1. Dekomposisi Varians Hasil Estimasi VAR (Dalam %)
Variabel
Dependen
Kontribusi Shock Masing-Masing Variabel
Total
GEPU GPR_GLOB COMM GPR_IND EX_RATE JKSE
GPR_IND 6.72 11.23 4.97 65.54 5.55 5.98 100
EX_RATE 17.33 0.62 17.77 6.23 24.63 33.41 100
JKSE 3.09 4.36 8.08 13.40 12.51 58.56 100
Sumber: Estimasi Penulis
Fitur menarik lainnya dari estimasi VAR adalah dekomposisi varians (variance decomposition),
sebagaimana dijabarkan pada Tabel 1. Dekomposisi ini menjabarkan secara proporsional dinamika
suatu variabel sebagaimana dijelaskan oleh variabel-variabel lainnya dalam estimasi. Sebagai contoh,
tampak bahwa pergerakan GPR_IND dijelaskan sebesar 65.54% oleh dirinya sendiri, 11.23% oleh
GPR_GLOB, dan 6.72% oleh GEPU. Hal ini menunjukkan bahwa selain oleh dirinya sendiri,
GPR_IND bisa dijelaskan oleh GPR_GLOB dan GEPU.
Untuk EX_RATE, tampak terdapat tiga faktor dominan yang menjelaskan pergerakannya di luar dirinya
sendiri, yaitu JKSE (33.41%), COMM (17.77%), dan GEPU (17.33%). Hal ini memperkuat
pemahaman umum bahwa nilai tukar Rupiah memang memiliki korelasi positif terhadap pergerakan
harga saham domestik, serta dipengaruhi faktor harga komoditas dan ketidakpastian perekonomian
global.
Terakhir, JKSE tampak cukup dominan dipengaruhi dua faktor domestic selain dirinya sendiri, yaitu
GPR_IND (13.40%) dan EX_RATE (12.51%). Sementara faktor-faktor global hanya berkontribusi
cukup kecil. Hal ini menunjukkan kondisi pasar modal domestik lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-
faktor domestik, dan hanya dipengaruhi faktor-faktor global secara tidak langsung.
3 UNCOMTRADE
13
Sebuah Kejutan di Awal Tahun 2020: Wabah Coronavirus (COVID-19)
Pada penghujung 2019, dunia masih befokus pada analisis seputar faktor-faktor ekonomi sebagai
sumber ketidakpastian global. Tidak ada yang menyangka bahwa akan terjadi suatu disrupsi signifikan
akibat kemunculan varian baru Coronavirus, yaiu COVID-19. Kalaupun ada yang memprediksi faktor
non-ekonomi sebagai sumber ketidakpastian, umumnya akan mengarah pada faktor terkait perubahan
iklim.
Berbeda dengan faktor-faktor ekonomi dan perubahan iklim yang keberadaannya sudah lebih dulu
diketahui dan pergerakannya dapat dipekirakan, epidemi COVID-19 masih menyisakan banyak misteri.
Banyak hal yang belum dipahami terhadap varian baru keluarga virus Corona tersebut.
Dari sudut pandang kemanusiaan, tentu tidak elok untuk memberikan suatu prioritas tertentu atas
menyebarnya suatu epidemi kesehatan baru. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan epidemi
yang terjadi di perekonomian kedua terbesar dunia (Tiongkok) tentu memunculkan kewaspadaan bagi
banyak pihak. Hingga tanggal 22 Februari 2020, terhitung sudah terdeteksi 78 ribu kasus di lebih dari
30 negara, dnegan angka kematian menyentuh lebih dari 2,300.4 Kabar baiknya adalah terdapat 21 ribu
lebih pengidap yang telah dinyatakan sembuh.
Secara ekonomi, dampaknya mulai terasa. Berbagai analisis telah memprediksi bahwa kemunculan isu
kesehatan global ini akan semakin mempercepat perlambatan perekonomian global. Dampak paling
dekat dan serius adalah menurunnya secara drastis berbagai kegiatan ekonomi yang memerlukan
mobilitas orang, seperti pariwisata dan penerbangan. Hal ini mengingat banyak negara yang segera
menerapkan larangan bepergian ke dan dari Tiongkok.
Dalam konteks Indonesia, tidak terdapat kasus positif Coronavirus sejauh ini. Hal ini tentu
memunculkan tanya dan kecurigaan. Pemerintah pun sudah berusaha membuka diri sebaik mungkin
untuk menghalau kecurigaan-kecurigaan tersebut. Terkait dengan transparansi ini, pemerintah perlu
diapresiasi. Meskipun demikian, fakta bahwa banyak persoalan terhadap ketahanan kesehatan di dalam
negeri tentu memerlukan perhatian dan usaha yang lebih serius.
Secara ekonomi, beberapa sektor di Indonesia mulai merasakan dampaknya. Pemerintah berusaha
tanggap dengan mempersiapkan berbagai insentif untuk menghalau dampak negatif terhadap
perekonomian terus meluas. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa insentif yang diberikan
harus tepat sasaran. Sehingga dapat memberikan dampak yang efektif tanpa meyisakan persoalan di
jangka panjang. Disiplin fiskal pun perlu tetap dijaga, mengingat prestasi jangka panjang yang telah
diraih Kementerian Keuangan tidak elok jika harus runtuh dalam sesaat. Akhir kata, semoga
perlambatan yang terjadi dapat termitigasi dengan baik dan optimisme pembangunan tetap terjaga.
Referensi Caldara, D. and Iacoviello, M. (2018). Measuring Geopolitical Risk. International Finance Discussion
Paper, 2018(1222):1–66.
Davis, S. J. (2016). An Index of Global Economic Policy Uncertainty. NBER Working Paper,
(October):1– 12.
4 Data diakses pada 09.30 GMT, 22 Februari 2020, dari https://www.worldometers.info/coronavirus/
14
Global Uncertainty dan Dampaknya terhadap Ketahanan
Fiskal Chairul Adi5
Dampak Ketidakpastian Global terhadap perekonomian dan ketahanan fiskal
Ketidakpastian global berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Peningkatan
macroeconomic uncertainty sejak kuartal terakhir 2018 berimbas pada melambatnya pertumbuhan PDB
Indonesia pada kuartal pertama 2019 sebagaimana terlihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 1: Laju pertumbuhan PDB triwulanan year-on-year (diolah dari BPS)
Grafik selanjutnya menampilkan struktur PDB dan memberikan gambaran yang lebih detil mengenai
elemen mana yang paling terdampak. Dari grafik tersebut terlihat jelas bahwa kinerja ekspor mengalami
tekanan akibat ketidakpastian global. Pertumbuhan ekspor mulai melambat pada kuartal keempat 2018.
Bahkan, hampir sepanjang tahun 2019 pertumbuhannya negatif, kecuali pada kuartal ketiga yang
tumbuh tipis sebesar 0,1%. Jika dilihat lebih detil lagi, ekspor migas mengalami penurunan yang sangat
tajam dibandingkan ekspor non-migas maupun jasa. Sepanjang tahun 2019, ekspor migas Indonesia
terus mengalami penyusutan, berturut-turut sebesar -7,82% pada kuartal pertama, -31,95% pada kuartal
kedua, -9,01% pada kuartal ketiga, dan -21,50% pada kuartal terakhir.
Grafik 2: Laju pertumbuhan PDB berdasarkan penggunaan (diolah dari BPS)
5 Mahasiswa doktoral ekonomi politik di The University of Sydney
5.12
4.94 4.93
5.05
4.83
4.744.78
5.15
4.94
5.21
5.03
4.94
5.01
5.015.06
5.19
5.06
5.27
5.17
5.18
5.07 5.055.02
4.97
4.50
4.60
4.70
4.80
4.90
5.00
5.10
5.20
5.30
5.40
5.50
-10.00
-5.00
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
Konsumsi RT (YoY; %) Konsumsi LNPRT (YoY; %) Konsumsi Pemerintah (YoY; %)
PMTDB (YoY; %) Ekspor (YoY; %) Impor (YoY; %)
15
Tingginya ketidakpastian global telah memicu sentimen proteksionisme di beberapa negara yang
berdampak pada menurunnya transaksi perdagangan internasional. Akibatnya, permintaan global
mengalami kontraksi sebagaimana tercermin dari indeks Global PMI (Purchasing Managers’ Index)
yang terus menunjukkan tren penurunan sepanjang tahun 2019. Melambatnya permintaan global
berimbas pada tertekannya harga komoditas global. Harga minyak mentah, misalnya, turun lebih dari
10% sepanjang tahun 2019 yang tentu saja berdampak pada kinerja ekspor migas Indonesia.
Perlambatan ekonomi juga membawa dampak bagi kinerja fiskal pemerintah, khususnya penerimaan
pajak. Grafik di bawah ini menunjukkan bahwa penerimaan perpajakan pada tahun 2019 hanya tumbuh
sebesar 1,7%, merupakan yang terendah setidaknya dalam 10 tahun terakhir.
Grafik 3: Kinerja penerimaan perpajakan (sumber: Kementerian Keuangan, diolah)
Jika dirinci lebih lanjut berdasarkan sektor sebagaimana tersaji pada Tabel 1, terlihat bahwa sektor
pertambangan mengalami kontraksi terbesar, yaitu 19% pada tahun 2019. Hal ini cukup kontras dengan
kondisi tahun 2018 yang justru mencatatkan pertumbuhan tertinggi, yaitu mencapai 50,7%. Sektor lain
yang juga mengalami penurunan adalah industri manufaktur yang turun sebesar 1,8%. Sementara itu
jika dilihat dari jenis pajaknya, PPh migas mengalami penurunan sebesar 8,7%. Data tersebut
mengonfirmasi penjelasan sebelumnya mengenai dampak ketidakpastian global terhadap harga
komoditas global, khususnya minyak dan gas. Masih dari sisi jenis pajak, PPh Badan juga tercatat
mengalami perlambatan, yaitu hanya tumbuh sebesar 1,07% dari tahun sebelumnya. Hal ini
mengindikasikan dampak pelambatan ekonomi global terhadap sektor produksi di dalam negeri.
Sektor Realisasi 2019 (Rp T) ∆% 2018-2019 ∆% 2017-2018
Industri pengolahan 365,39 (1,8) 10,9
Perdagangan 246,85 2,9 20,5
Jasa keuangan dan asuransi 175,98 7,7 11,5
Konstruksi dan real estat 89,65 3,3 6,0
Pertambangan 66,12 (19,0) 50,7
Transportasi dan
pergudangan
50,33 18,7 14,4
Tabel 1: Realisasi pajak tahun 2019 berdasarkan sektor (sumber: Kementerian Keuangan)
Melesetnya target penerimaan pajak berdampak pada melebarnya defisit fiskal tahun 2019 ke level
2,2%, atau sekitar Rp353 triliun. Meskipun masih dalam batas aman (di bawah 3% dari PDB), defisit
anggaran mengalami kenaikan dari tahun lalu yang tercatat sebesar 1,82% atau sekitar Rp269 triliun.
Dengan kata lain, secara nominal defisit anggaran naik sekitar 31% dari tahun lalu, atau setara Rp83,61
triliun.
620 723 874 981 1,077 1,147 1,240 1,285 1,344 1,519 1,545
16.7%
20.8%
12.2%9.9%
6.5%8.2%
3.6%4.6%
13.0%
1.7%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
1,800
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Penerimaan perpajakan (LHA; Rp T) Laju pertumbuhan (RHA; %)
16
Dengan tingginya short fall penerimaan pajak, konsekuensinya pemerintah harus menambah utang
untuk menambal defisit anggaran. Selama tahun 2019, pemerintah tercatat telah menerbitkan SBN
sebanyak Rp903,36 triliun dan pinjaman sebesar Rp74,22 triliun. Dengan demikian sampai dengan
akhir tahun 2019 total utang pemerintah mencapai Rp4.779,28 triliun, yang terdiri dari Rp4.014,81
triliun SBN dan Rp763,79 triliun pinjaman. Dibanding tahun sebelumnya, jumlah tersebut naik sekitar
Rp317,5 triliun (7,12%). Sementara itu, rasio utang pemerintah terhadap PDB tercatat sebesar 29,8%.
Meski utang Indonesia terus bertambah, namun hal tersebut sepertinya tidak mempengaruhi
kemampuan Indonesia untuk menarik utang. Dengan rasio utang terhadap PDB yang masih di kisaran
30%, kepercayaan investor terhadap kapasitas fiskal pemerintah diperkirakan masih tetap terjaga. Sejak
2017 Indonesia juga telah memperoleh predikat investment grade (BBB) dari seluruh lembaga
pemeringkat global. Bahkan pada Januari 2020, JCRA, lembaga pemeringkat dari Jepang, telah
menaikkan peringkat sovereign credit Indonesia ke level BBB+. Hal ini mengindikasikan turunnnya
risiko kredit dan meningkatnya kapasitas pengelolaan utang pemerintah.
Selain itu, ketidakpastian global telah mendorong negara-negara di dunia untuk menerapkan kebijakan
moneter yang ekspansif, di antaranya dengan menurunkan suku bunga acuan. Akibatnya, modal
mengalir ke negara-negara emerging market dengan suku bunga yang lebih kompetitif, termasuk
Indonesia. Masuknya likuiditas global berdampak pada menurunnya tingkat imbal hasil (yield) Surat
Utang Negara (SUN). Sebagai gambaran, yield untuk SUN tenor 10 Rupiah tahun turun dari 7,997%
pada akhir 2018 menjadi 7,047% pada akhir tahun 2019, atau turun sekitar 12%. Beberapa lelang SBN
di awal tahun 2020 juga tercatat membukukan penawaran beli (bid) yang cukup tinggi sehingga yield
dapat lebih optimal. Tren penurunan yield tentu saja berdampak positif bagi ruang gerak fiskal karena
beban bunga utang yang harus dibayar pemerintah akan menurun.
Data-data di atas menunjukkan bahwa pemerintah diperkirakan tidak akan mengalami kesulitan dalam
menerbitkan SBN sepanjang tahun 2020. Namun yang perlu diwaspadai, tingginya global uncertainty
juga membuka peluang terjadinya sudden reversal atau penarikan modal secara tiba-tiba. Terlebih, porsi
investor non-residen di pasar keuangan Indonesia terbilang cukup tinggi. Di pasar SBN, misalnya, porsi
investor asing tercatat naik dari 37,71% pada tahun 2018 menjadi 38,60% pada tahun 2019. Sayangnya,
pemicu terjadinya sudden reversal bisa dari mana saja dan sukar untuk diprediksi, termasuk situasi
geopolitik dunia yang tentu saja di luar jangkauan pemerintah Indonesia. Mitigasi yang dapat dilakukan
pemerintah adalah dengan memperkuat basis investor domestik sehingga dapat menjadi buffer untuk
meminimalisir dampak sudden reversal terhadap stabilitas pasar.
Secara teoritis, realisasi program-program pemerintah dapat terancam akibat menurunnya kinerja
penerimaan pajak. Namun, data menunjukkan bahwa realisasi belanja pemerintah mampu tumbuh
sebesar 3% dibanding tahun lalu meskipun penerimaan pajak hanya tumbuh sebesar 1,7%. Hal ini
mengindikasikan stance pemerintah untuk tidak melakukan penghematan belanja meskipun penerimaan
pajak kurang menggembirakan. Hal ini dapat dipahami sebagai upaya pemerintah mempertahankan
pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan pelambatan ekonomi global. Namun jika dilihat lebih detil
pada tabel di bawah ini, terlihat bahwa pertumbuhan cukup besar terjadi pada pos belanja bantuan sosial.
Hal ini menunjukkan bahwa fokus pemerintah adalah mempertahankan daya beli, khususnya bagi
masyarakat menengah ke bawah. Sebaliknya, belanja barang dan belanja modal justru mengalami
penurunan.
Belanja Realisasi 2019 (Rp T) Capaian (%) Growth (%)
Belanja pegawai 375,84 98,50 8,35
Belanja barang 333,98 96,74 (3,88)
Belanja modal 180,92 95,55 (1,74)
Pembayaran bunga utang 275,54 99,88 6,82
Subsidi 201,83 89,98 (6,94)
Belanja hibah 6,47 333,53 325,67
17
Belanja bantuan sosial 113,08 110,80 34,11
Belanja lain-lain 11,25 9,87 (30,39)
TOTAL 1.498,91 91,71 3,00
Tabel 2: Realisasi belanja pemerintah pusat (sumber: Kementerian Keuangan)
Antisipasi pemerintah melalui APBN 2020
Meskipun ketidakpastian global diperkirakan masih terus berlanjut di tahun 2020, beberapa pihak
memperkirakan dampaknya terhadap perekonomian global tidak seburuk tahun lalu. IMF
memperkirakan ekonomi global akan tumbuh sebesar 3,3% tahun ini, lebih tinggi dari estimasi
pertumbuhan tahun 2019 yang hanya sebesar 2,9%. Untuk Indonesia sendiri, pertumbuhan ekonomi
diproyeksi sebesar 5,1-5,5% (Bank Indonesia), 5,1% (IMF dan World Bank), 5,2% (ADB), dan 4,8%
(INDEF). Dalam APBN 2020, pemerintah bahkan menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%.
Dibandingkan proyeksi dari institusi lainnya, outlook pemerintah tersebut terbilang cukup optimistis.
Demikian halnya dengan postur APBN 2020 sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini. Pemerintah
optimis penerimaan perpajakan tahun ini dapat tumbuh sebesar 20,73% jika dibandingkan realisasi
tahun lalu, atau tumbuh sebesar 15,60% jika dibandingkan dengan APBN 2019. Target tersebut
terbilang sangat tinggi dan sepertinya akan sulit tercapai. Tahun lalu, dengan pertumbuhan PDB sebesar
5,02%, penerimaan perpajakan hanya tumbuh 1,7% (Grafik 4). Artinya, 1% pertumbuhan PDB
berkontribusi pada kenaikan realisasi pajak sebesar 0,3%. Jika ditarik ke belakang, elastisitas
pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan terhadap pertumbuhan PDB rata-rata sebesar 2,3. Jika
mengacu pada angka ini dan dengan asumsi PDB dapat tumbuh sebesar 5,3% pada tahun 2020, maka
penerimaan perpajakan diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 12,19% dari realisasi tahun lalu.
Pos APBN 2020 (Rp T) Realisasi 2019 (RP T) Growth (%)
Pendapatan negara 2.233,2 1.957,2 14,10
Penerimaan perpajakan 1.865,7 1.545,3 20,73
Belanja negara 2.540,4 2.310,2 9,96
Belanja pemerintah pusat 1.683,5 1.498,9 12,32
Transfer ke daerah dan dana
desa
856,9 811,3 5,62
Defisit 307,2 353,0 (12,97)
Defisit (% terhadap PDB) 1,76% 2,20% (20,00)
Tabel 3: Postur APBN 2020 (sumber: Kementerian Keuangan)
18
Grafik 4: Pertumbuhan penerimaan perpajakan dan pertumbuhan PDB (sumber:
Kementerian Keuangan, diolah)
Dari sisi belanja, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini, anggaran pendidikan dan kesehatan
mengalami kenaikan terbesar. Sementara itu, alokasi belanja perlindungan sosial hanya tumbuh sekitar
1%. Angka ini lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yang naik sekitar 7%. Pertumbuhan
anggaran infrastruktur mengalami akselerasi dibanding periode sebelumnya yang tercatat hanya tumbuh
sekitar 1,4%. Dari alokasi belanja tersebut, terlihat bahwa pemerintah tahun ini fokus pada peningkatan
kualitas SDM melalui peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Langkah ini cukup strategis
dalam meningkatkan daya saing Indonesia di masa mendatang. Namun, efeknya terhadap
perekonomian umumnya belum akan terlihat dalam jangka pendek. Kenaikan belanja infrastruktur
diharapkan dapat mendorong pergerakan ekonomi dalam jangka pendek meskipun dampak yang lebih
besar umumnya juga baru akan terlihat dalam jangka panjang.
Belanja APBN APBN 2020 (Rp T) Outlook 2019 (RP T) Growth (%)
Pendidikan 508,1 478,4 6,21
Kesehatan 132,2 117,0 12,99
Perlindungan sosial 372,5 369,1 0,92
Infrastruktur 423,3 399,7 5,90
Tabel 4: Alokasi belanja APBN 2020 (sumber: Kementerian Keuangan)
Untuk membiayai APBN 2020, kebutuhan pembiayaan diperkirakan mencapai Rp741,83 triliun yang
akan dipenuhi sebesar Rp690,51 triliun (93,1%) dari penerbitan SBN dan sebesar Rp51,32 triliun
(6,9%) dari pinjaman. Jumlah tersebut lebih rendah dari realisasi tahun 2019. Namun melihat target
penerimaan pajak tahun 2020 yang terlalu tinggi, jumlah kebutuhan pembiayaan pemerintah
diperkirakan akan membengkak. Dengan outlook peringkat kredit Indonesia yang cukup positif,
pemerintah sepertinya tidak akan kesulitan memenuhi kebutuhan pembiayaan tersebut.
Catatan akhir
Meningkatnya global uncertainty dalam setahun terakhir telah berdampak pada melambatnya
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di sisi fiskal, dampak ketidakpastian dan pelambatan ekonomi global
terlihat jelas pada kinerja penerimaan perpajakan, khususnya di sektor pertambangan. Untuk menjaga
pertumbuhan, pemerintah berusaha mendorong belanja khususnya untuk mempertahankan daya beli
masyarakat kelas menengah ke bawah. Konsekuensinya, pemerintah harus menerbitkan lebih banyak
utang. Dari sisi risiko, peningkatan jumlah utang pemerintah sejauh ini masih dalam level aman. Namun
2.9 3.2 3.2
4.2
3.3 3.2
5.7
-1.3
2.6
3.4
2.0 1.81.3
1.7
0.7 0.9
2.5
0.3
(2.0)
(1.0)
-
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
(10.0)
(5.0)
-
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Growth Realisasi Penerimaan Perpajakan (LHA; %) Growth PDB (RHA; %) Elasticity (RHA)
19
yang perlu diperhatikan adalah potensi terjadinya sudden reversal yang dapat membahayakan stabilitas
pasar keuangan. Perlu upaya keras untuk menciptakan buffer melalui peningkatan kapasitas dan
pendalaman pasar domestik.
Perekonomian Indonesia diperkirakan masih akan dibayangi ketidakpastian global selama tahun 2020.
Meski demikian, pemerintah terlihat sangat optimistis dengan menargetkan pertumbuhan penerimaan
perpajakan mencapai 20,73% dari realisasi tahun 2019. Dengan kondisi global yang masih tidak
menentu, target tersebut kemungkinan besar tidak akan tercapai. Dari sisi belanja, pemerintah perlu
mempertahankan alokasi belanja meskipun target penerimaan pajak diperkirakan tidak tercapai. Hal ini
penting untuk mempertahankan momentum pertumbuhan. Yang tidak kalah penting adalah memastikan
bahwa anggaran dialokasikan untuk pos belanja yang produktif. Alokasi belanja dimaksud bukan hanya
yang berkontribusi pada penciptaan pertumbuhan dalam jangka panjang saja namun perlu diperhatikan
juga keseimbangan untuk mendorong pertumbuhan dalam jangka pendek serta menjaga daya beli
masyarakat. Langkah tersebut tentu saja akan memperlebar defisit anggaran dan memaksa pemerintah
menerbitkan lebih banyak utang. Namun dengan melihat risiko utang pemerintah saat ini, penambahan
utang diperkirakan tidak akan mengganggu kesehatan keuangan pemerintah. Namun yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana menggali potensi sumber pembiayaan yang berasal dari investor
domestik.
Referensi
BPS 2020, accessed 1 February 2020, [www.bps.go.id].
Jurado, K, Ludvigson, SC & Ng, S 2015, ‘Measuring uncertainty’, The American Economic Review,
vol. 105, no. 3, pp. 1177-1216.
Kementerian Keuangan 2020, accessed 1 February 2020, [www.kemenkeu.go.id].
20
Tantangan dan Peluang Meningkatkan Neraca
Perdagangan di Era Ketidakpastian Global M Putra Hutama6
Pada bagian ini akan kami sajikan ulasan mengenai dampak ketidakpastian global terhadap kondisi
ekspor dan impor Indonesia. Secara umum, kami akan menjabarkan latar belakang masalah perang
dagang antara dua negara adidaya yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok serta dampak terhadap performa
ekspor dan impor Indonesia. Selain itu, pada bagian ini juga kami akan menjelaskan proses negosiasi
Indonesia-European Union Comprehensive Economics Partnership Agreement (IEU-CEPA) sebagai
salah satu solusi Indonesia untuk menciptakan pasar baru. Meskipun sampai saat ini belum ada
persetujuan IEU-CEPA, Indonesia dan EU telah melakukan 9 kali pertemuan untuk membahas poin
poin persetujuan. Kami akan menjabarkan alasan mengapa perjanjian ini dirasa penting bagi Indonesia
dan komoditas apa saja yang akan menjadi unggulan agar dapat dinegosiasikan untuk penurunan tariff.
Ketidakpastian global akibat perang dagang
Beberapa tahun terakhir dunia sedang dihadapkan dengan ketidakpastian. Hal ini dipicu salah satunya
oleh perang dagang antara dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar saat ini yaitu Tiongkok dan
Amerika serikat. Perang dagang ini dimulai pada tahun 2017, saat Amerika serikat (AS) menyatakan
bahwa impor solar panel dan mesin cuci dapat membahayakan industry dalam negeri AS lalu
dilanjutkan dengan menaikan tariff impor untuk produk tersebut ditahun 2018. Aksi balasan juga
dilakukan oleh Tiongkok dengan menaikan tariff produk sorgum dari Amerika sebesar 178,6% dengan
alasan anti-dumping. Perang menaikan tariff tidak berhenti hanya untuk kedua produk tersebut, hingga
tahun 2019 kedua negara menaikan tarif produk seperti baja, besi, buah, kacang, babi, kendaraan,
pesawat terbang, kapal, kedelai dan lain lain (Bown & Kolb, 2020). Perang dagang yang dimulai oleh
Amerika Serikat diduga kuat merupakan langkah Amerika untuk memulihakan defisit neraca dagang
sebesar 796 miliyar USD yang hampir setengahnya merupakan defisit dagang dengan Tiongkok (WITS,
2020). Tujuan lainnya adalah AS berniat untuk meningkatkan pendapatan dari hak Cipta, Paten dan
Merek Dagang yang selama ini diklaim tidak didapatkan sesuai dengan porsinya.
Aksi yang dilakukan oleh kedua negara adidaya ini memicu penurunan perdagangan global serta
memberikan dampak yang lebih buruk bagi negara “emerging” seperti Indonesia. Dapat kita lihat pada
grafik dibawah, meskipun penurunan nilai perdagangan dunia sudah dimulai sejak tahun 2015, kami
berpendapat bahwa penurunan sebesar 5,8% (2014-2017) merupakan sumbangsih dari penurunan nilai
perdangan produk produk “perang tariff” AS- Tiongkok. Dampak dirasakan oleh Indonesia adalah
pertumbuhan impor lebih besar dari ekspor sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan sebesar
8 miliyar USD. Hal ini merupakan defisit untuk pertama kalinya sejak 2014 bahkan lebih besar dari
defisit yang Indonesia terima ditahun 2012. Defisit tersebut diduga kuat merupakan dampak dari perang
dagang AS-Tiongkok dikarenakan menurut data BPS impor Indonesia naik dikarenakan impor non-gas.
Perang dagang berdampak buruk bagi negara diluar AS dan Tiongkok dikarenakan terdapatnya
oversupply produk perang tarif di pasar internasional, hal ini menyembabkan penurunan harga produk
tersebut yang cukup signifikan. Penurunan harga tersebut membuat barang impor dari Tiongkok
maupun AS menjadi lebih kompetitif di negara negara berkembang termasuk Indonesia. Data yang
kami peroleh dari Trademap menyatakan produk-produk impor seperti Mesin (HS84), Mesin Listrik
(HS85) serta Baja dan Besi (HS72) mengalami kenaikan rata rata sebesar 36,41% 2017-2018. Selain
itu, Ekspor Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan dikarenakan harga dari barang subtitusi
produk ekspor Indonesia mengalami penurunan harga.
6 Mahasiswa master ekonomi dan bisnis internasional di Corvinus University of Budapest
21
Grafik 1. Perdagangan International 2012-2018 (Sumber: Perhitungan penulis berasal dari
Trademap)
Meningkatkan neraca perdaganagan melaui IEU-CEPA (Indonesia-European Union
Comprehensive Economic Partnership Agreement)
Dengan adanya ketidakpastian global yang salah satu penyebabnya adalah ketidakpastian perjanjian
multirateral dibawah World Trade Organization, langkah tepat yang harus diambil oleh setiap negara
termasuk Indonesia guna meningkatkan nilai ekspor adalah mencari partner untuk melakukan perjanjian
dagang baik bilateral atau regional. Saat ini Indonesia memiliki 17 perjanjian dagang yang sedang
dinegosiasikan baik bilateral maupun regional7. Perjanjian yang menarik untuk didiskusikan adalah
perjanjian dengan negara Uni-Eropa. Uni-Eropa merupakan pasar besar dengan GDP sebesar 18.678
Triliun USD dan populasi sebanyak 513 juta orang (World Bank , 2020). Uni-Eropa merupakan
gabungan dari 27 negara yaitu Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Ciprus, Ceko, Denmark, Estonia,
Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxemberg, Malta,
Belanda, Polandia, Portugal, Romania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, dan Sewida yang memiliki pasar
tunggal dan bebas perpindahan barang. Selain itu, perjanjian ini juga menarik untuk dibahas karena
komitmen Uni-Eropa untuk pelarangan Produk Sawit pada tahun 2020 yang dimana Sawit merupakan
produk unggulan dari Indonesia. Data terakhir yang didapakan dari trademap menyatakan terjadi
penurunan impor sawit oleh Eropa sebesar 69,5% 2018-2019. Melalui perjanjian ini diharapkan
Indonesia akan membuka peluang ekspor produk sawit.
Vietnam telah menyepakati perjanjian dagang oleh Uni-Eropa sejak tahun 2012. Berikut kami
menyajikan perbandingan antara Indonesia dan Vietnam ekspor produk ke eropa baik sebelum
perjanjian maupun sesudah perjanjian. Pada tahun 2011, Ekspor dan market share produk Indonesia di
Eropa lebih besar dibandingkan dengan produk Vietnam. Pada tahun 2012, Ekspor dan market share
produk Vietnam lebih besar dibanding produk Indonesia. Perlu dicatat, pada tahun 2012, Vietnam dan
Uni-Eropa telah sepakat untuk menurunkan tariff dan non-tariff barriers. Dampak perjanjian dagang
tersebut dapat dilihat sangat signifikan karena ekspor dan market share produk Vietnam terus
meningkat. Berbanding terbalik dengan Indonesia dimana terus mengalami penurunan ekspor serta
market share. Hingga pada tahun 2018, persentase perbedaan ekspor Indonesia ke eropa dengan
Vietnam ke Eropa sebesar 241% dan presentase perbedaan market share adalah sebesar 248%.
7 Kementerian Perdagangan. (2019). Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional. Retrieved
from List Perjanjian Dagang: http://ditjenppi.kemendag.go.id/
-2-4
-2
8 9
12
-8-10
-5
0
5
10
15
0
50
100
150
200
250
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Perdagangan Global- in Triliun $
Ekpor Indonesia- miliyar $
Impor Indonesia - miliyar $
Neraca perdagangan Indonesia - miliyar $
22
Grafik 2. Indonesia vs Vietnam (Sumber: Trademap, perhitungan penulis)
Pada tahun 2019, Indonesia dan Uni-Eropa telah melakukan 9 kali pertemuan untuk merampungkan
perjanjian dagang tersebut. Negosiasi pertama Uni-Eropa dan Indonesia dilakukan pada 18 Juli 2016 di
Brusel. Sekitar 80% perjanjian yang dinegosiasikan akan rampung, jika tidak meleset dari perkiraan
IEU-CEPA akan disetujui tahun 2020 ini. Indonesia akan menjadi negara ke 6 di asia tenggara yang
memiliki perjanjian dagang dengan Uni-Eropa yang sebelumnya Uni-Eropa telah memiliki perjanjian
dagang dengan Singapura (2010), Malaysia (2010), Vietnam (2012), Thailand (2013), dan Filipina
(2015) (European Union, 2020). Sejauh ini Indonesia telah mengekspor produk ke beberapa negara
besar eropa seperti Spanyol, Jerman dan Belanda dengan 5 produk unggulan yaitu Minyak Hewan dan
Tumbuhan (HS15), Alas Kaki (HS64), Produk Kimia (HS38), Mesin Listrik(HS85), dan produk karet
(HS40).
Tabel 1. Revealed Comparative Advantage Produk Indonesia 2018 (Sumber: World Integrated
Trade Solution or WITS)
Dapat kita lihat pada tabel 1, berdasarkan hasil Revealed Comperative Advantage Indonesia ke dunia
memiliki keunggulan untuk mengekspor produk makanan olahan, alas kaki, bahan bakar, hasil tambang,
textile dan baju, plastik atau karet, sayuran, dan kayu (lebih dari 1,00). Terdapat beberapa produk
unggulan Indonesia ke dunia akan tetapi tidak menjadi produk unggulan Indonesia di Uni-Eropa seperti
Bahan Bakar, Hasil Tambang, dan Sayuran. Ada beberapa kemungkinan alasana produk unggulan
Indonesia tersebut tidak menjadi produk unggulan di Eropa. Pertama, tariff yang ditetapkan oleh Uni-
0.34% 0.32% 0.29% 0.29% 0.29% 0.28% 0.29% 0.27%0.27%
0.35%0.42%
0.47%
0.61%0.67% 0.68% 0.67%
0.00%
0.10%
0.20%
0.30%
0.40%
0.50%
0.60%
0.70%
0.80%
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Ekspor Indo- EU27 (Miliyar $) Ekspor Vietnam - EU27 (Miliyar $)
Market Share (Indonesia) Market Share (Vietnam)
Product Group World Aus Bel Bul Cro Cyp Cze Den Est Fin Fra Ger Gre Hun Ire Ita Lat Lit lux Mal Net Pol Por Rom Slov Slvk Esp Swe
Animal 0,95 0,27 0,73 0,01 0,01 3,3 0,29 0,2 0 0,12 0,89 0,21 0,23 0,03 0,05 0,39 1,85 0,5 0 1,6 0,2 0,2 1,4 0,1 0 0 0,2 0,2
Chemicals 0,46 0,13 0,11 0,19 0,09 0,85 0,11 0,19 0,42 0,37 0,36 0,44 0,27 0,72 0,07 0,67 0,56 0,41 0 0,5 1,2 0,6 0,4 0,2 0,1 0,1 1,3 0,2
Food Products 1,31 0,28 1,16 0,15 0,62 2,3 0,19 0,5 2,05 0,67 0,62 1,29 2,16 0,2 2,74 1,39 0,08 5,51 0 3,6 2,2 0,3 2,4 0,2 0,1 0,1 0,8 0,5
Footwear 4,61 15,9 32,5 2,23 3,8 0,41 23,7 18,7 0 23,3 14,9 13,2 6,7 0,67 17,2 5,2 0,04 0,03 0 0,3 2,8 11 24 3,7 11 25 3,8 9,8
Fuels 1,78 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,02 0,01 0 0 0 0,29 0 0 0 0,2 0 0 0 4 0 0,6 0
Hides and Skins 0,83 2,79 7,7 0,09 0,16 0,05 3,05 0,22 1,08 1,84 1,6 2,11 0,36 0,06 5,36 0,65 0,23 0,07 0 1,1 2,8 1,8 0,1 0,8 0,7 1,4 0,6 0,8
Mach and Elec 0,37 0,63 0,44 0,15 0,38 0,53 0,94 0,12 0,28 0,78 1,32 0,76 0,59 1,43 1,86 0,29 0,12 0,27 0,1 0,2 0,5 1,2 0,1 0,4 0,4 0,7 0,2 0,4
Metals 0,95 1,12 0,43 0,25 0,01 0,05 0,23 0,19 0,02 0,08 0,3 0,4 0,25 0,17 0,08 0,97 0,85 0,32 0,03 0,4 0,4 0,3 0 0 0,2 0,1 0,4 0,5
Minerals 2,01 0 0,03 11,9 0 0 0 0 0,61 0,01 0,16 2,12 0,02 0 0,03 0,01 0 0 0 0 0,1 0 0 0 0 0 7 0
Miscellaneous 0,43 0,97 1,25 0,08 0,61 2,1 2,04 1,24 0,41 1,2 0,85 0,79 0,35 1,91 0,44 1,39 0,43 0,03 1,3 0,5 1,2 0,5 0,3 0,8 0,6 0,5 1,3
Plastic or Rubber 1,08 0,87 1,38 0,18 4,4 1,58 1,63 0,53 0,13 1,63 1,13 1,01 1,19 4,17 2,57 1,37 7,72 2,16 10,9 0,9 0,3 1,5 2,7 6,7 2,1 4,7 0,7 0,9
Stone and Glass 0,78 0,1 0,93 0,11 0,21 2,25 0,27 0,26 0,17 2,38 0,41 0,4 0,45 0,05 0,57 0,29 0,55 0,14 0,01 5,1 0,4 0,1 0,2 0,7 0,1 0,1 0,2 0,6
Textiles and Clothing 1,96 6,28 4,93 0,58 2 0,24 3,33 1,04 1,31 4,27 2,41 3,98 1,04 1,72 4,05 1,42 1,01 3,2 0,46 1,2 1,3 3,7 3,6 2 3 3,1 1 7,1
Transportation 0,4 0,15 0,05 0,02 0,21 0,07 0,3 0,85 0,08 0,33 0,27 0,16 0,45 0,07 0,01 0,07 0,01 1,76 0 0,6 0,2 0,2 0,2 0,1 0,1 0,2 0,1 0,6
Vegetable 4,16 1,34 1,67 3,49 7,2 0,5 1,04 9 22,1 11,8 1,7 4,24 9,76 1,88 2 10,2 5,46 2,02 0 0,6 6 1,3 0,7 1,3 0,6 1,4 7,5 7,9
Wood 2,73 0,31 1,82 1,19 4,38 17,5 0,48 0,94 0,36 0,23 0,71 1,43 6,62 0,26 2,78 0,83 0,01 1,11 0,02 15 2,1 0,6 0,3 5,3 2,3 0,4 0,6 1,3
23
Eropa kemungkinan tinggi, sehingga produk Indonesia tersebut menjadi mahal dan tidak kompetitif.
Kedua, terdapat perbedaan standar yang ditetapkan oleh Uni-Eropa sehingga produk terebut bisa masuk
ke pasar Uni-Eropa. Indonesia sebetulnya memiliki ruang untuk meningkatkan nilai ekspor khususnya
melalui produk produk unggulan ini. Kami menyarankan Indonesia untuk bernegosiasi dengan Uni-
Eropa melalui perjanjian IEU-CEPA agar menurunkan tariff serta mempermudah masuknya produk
unggulan tersebut (Non-Tariff Barries).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (Damuri, Atje,
& Soedjito, 2017), potensi yang dapat Indonesia hasilkan dengan IEUCEPA adalah meningkatnya
ekspor produk Indonesia sebesar 5,4% per tahun jika skema penghapusan tariff terlaksana untuk setiap
produk. Skema kedua adalah jika Indonesia gagal menyetujui perjanjian ini sekaligus Uni-Eropa
menghapus kebijakan Generalized System of Preference (GSP) maka Indonesia akan mengalami
penurunan ekspor ke Uni-eropa sebesar 8% pertahun. Hal ini dikarenakan produk alas kaki, textile dan
baju mendapatkan fasilitas tariff GSP.
Referensi
Bown, C. P., & Kolb, M. (2020, January 24). Trump’s Trade War Timeline: An Up-to-Date Guide.
Retrieved from Peterson Institute for International Economics:
https://www.piie.com/sites/default/files/documents/trump-trade-war-timeline.pdf
Damuri, Y. R., Atje, R., & Soedjito, A. (2017). Study on the Impact of an EU-Indonesia CEPA. Jakarta:
Center for Strategic and International Studies.
European Union. (2020, January 17). EU-Indonesia CEPA Negotiations. Retrieved from European
Union External Actions: https://eeas.europa.eu/headquarters/headquarters-
homepage/53277/eu-indonesia-cepa-negotiations_zh-hans
WITS. (2020). Retrieved from US Trade Summary.
World Bank . (2020). European Union . Retrieved from The World Bank Data:
https://data.worldbank.org/region/european-union
24
Volatilitas Komoditas Minyak Bumi bagi
Perekonomian Indonesia Hadi Prasojo8
Peran komoditas minyak bumi pada perekonomian
Komoditas energi memiliki peranan penting dalam perekonomian karena digunakan sebagai faktor
produksi oleh industri maupun konsumsi oleh individu / rumah tangga dalam berbagai wujud. Salah
satu dari komoditas energi tersebut adalah minyak bumi, yang produk turunan / olahan hasil
pengilangan (refinery)-nya digunakan dalam berbagai hal dalam kehidupan, mulai dari bahan bakar
minyak (BBM) untuk kendaraan hingga produk petrokimia untuk industri.
Indonesia cukup bergantung dengan komoditas minyak bumi, dapat dilihat dari salah satu indikator
yang mewakili yaitu porsi minyak bumi dalam konsumsi energi primer (oil share of primary energy).
Pada 2018, Indonesia mengkonsumsi minyak bumi sebesar 83,4 mtoe (juta ton ekuivalen minyak) dari
total 185,5 mtoe energi yang dikonsumsi (BP, 2019), sehingga porsi minyak bumi dalam konsumsi
energi primer sebesar 44.96%. Jika dibandingkan dengan total dunia yang sebesar 33,62 % atau total
Asia-Pasifik sebesar 28,32%, tentunya nilai tersebut cukuplah besar. Perbandingan porsi minyak bumi
dalam konsumsi energi primer dengan negara lainnya ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Porsi minyak bumi dalam konsumsi energi primer negara (%), 2018 (Sumber: BP, 2019; diolah)
Dalam proses pemenuhannya, Indonesia telah menjadi negara net oil importer semenjak tahun 2004
mengingat kebutuhan konsumsi yang terus meningkat sementara tingkat produksi yang menurun.
Sehingga diperlukan impor untuk pemenuhan kebutuhan tersebut baik berupa minyak mentah (crude
oil) maupun minyak olahan. Terus mengingkatnya volume dan nilai impor minyak mentah maupun
olahan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Pada tahun 2018, Indonesia mengimpor
minyak mentah senilai 9,2 miliar US$ dan minyak olahan senilai 17,6 miliar US$, sedangkan ekspor
minyak mentah senilai 5,2 miliar US$ dan minyak olahan senilai 1,6 miliar US$. Produk minyak mentah
dan olahan inilah yang juga turut menyumbangkan defisit neraca perdagangan Indonesia saat ini.
8 Mahasiswa master analisis ekonomi di Corvinus University of Budapest
Total Asia Pacific,28.32%
Total World,33.62%
Indonesia,44.96%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Uzb
ekis
tan
Ukr
aine
Trin
idad
& T
obag
o
Icel
and
Ch
ina
Ru
ssia
n F
eder
atio
n
Kaz
akh
stan
Sou
th A
fric
a
Esto
nia
No
rway
Turk
men
ista
n
Ban
glad
esh
Cze
ch R
epu
blic
Qat
ar
Slo
vaki
a
Bu
lgar
ia
Swed
en
Bel
arus
Tota
l Asi
a Pa
cifi
c
Paki
stan
Vie
tnam
Ind
ia
Om
an
Iran
Ven
ezu
ela
Ro
man
ia
Pola
nd
Turk
ey
Can
ada
Aze
rbai
jan
Fran
ce
Tota
l Wo
rld
Alg
eri
a
Ger
man
y
Co
lom
bia
Arg
enti
na
Fin
lan
d
Aus
tral
ia
Mal
aysi
a
Hu
nga
ry
Swit
zerl
and
Slo
ven
ia
Aus
tria
New
Zea
lan
d
No
rth
Mac
edo
nia
Egyp
t
Ital
y
US
Un
ited
Kin
gdo
m
Jap
an
Un
ited
Ara
b Em
irat
es
Taiw
an
Cro
atia
Sou
th K
ore
a
Mex
ico
Port
uga
l
Isra
el
Latv
ia
Ind
on
esia
Ch
ile
Bra
zil
Peru
Den
mar
k
Phili
pp
ines
Spai
n
Net
her
lan
ds
Irel
and
Thai
lan
d
Kuw
ait
Bel
giu
m
Lith
uan
ia
Gre
ece
Sau
di A
rab
ia
Mo
rocc
o
Sri L
anka
Ecu
ado
r
Ch
ina
Ho
ng K
ong
SA
R
Iraq
Luxe
mb
ou
rg
Sin
gap
ore
Cyp
rus
25
Gambar 2. Volume ekspor-impor minyak Indonesia (ribu ton), 2000-2018 (Sumber: BPS, 2019)
Gambar 3. Nilai ekspor-impor minyak Indonesia (juta US$), 2000-2018 (Sumber: BPS, 2019)
Besarnya volume impor minyak mentah maupun olahan membuat Indonesia sangatlah bergantung
dengan harga minyak mentah di tingkat global dalam penentuan nilainya. Pentingnya harga minyak
mentah global tersebut menjadikannya salah satu indikator dalam asumsi makro pada Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Indonesia, selain juga disertai indikator energi
lainnya yaitu lifting (tingkat produksi) minyak dan gas bumi. Di samping itu, harga minyak mentah
Indonesia (Indonesia Crude Price / ICP) sendiri diformulasikan dalam peraturan KepMen ESDM
berdasarkan harga keekonomian lapangan-lapangan yang ada di Indonesia juga menyesuaikan dengan
harga tingkat global (ESDM, 2020). Mempelajari bagaimana harga minyak mentah global terbentuk
penting untuk dilakukan.
Faktor pembentuk harga minyak mentah global
Secara historis harga minyak mentah global dalam beberapa tahun ke belakang mengalami banyak
fluktuasi. Sebagai ilustrasi ditampilkan salah satu harga minyak mentah ringan dari kawasan North Sea
yang umum dijadikan acuan global yaitu Dated Brent pada Gambar 4.
Gambar 4. Harga minyak mentah global acuan Dated Brent (US$/barrel), 2000-2019
(Sumber: IndexMundi, 2020)
0
10,000
20,000
30,000
40,000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
rib
u t
on
Ekspor minyak mentah Impor minyak mentah
0
10,000
20,000
30,000
40,000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
juta
US$
Ekspor minyak mentah Impor minyak mentah
0
20
40
60
80
100
120
140
160
US$
/bar
rel
26
Beberapa faktor yang membentuk fluktuasi dan volatilitas harga minyak global tersebut adalah sebagai
berikut:
Layaknya produk lainnya, harga dibentuk oleh adanya mekanisme pasar (supply dan demand) pun
termasuk dengan komoditas energi lainnya. Contohnya adalah dengan meningkatnya supply dari
mulai berproduksinya shale oil AS dan oil sand Kanada pada Q3 2014 - Q1 2015 yang membuat
jatuhnya harga minyak (Dated Brent) dari 97,34 US$/barrel pada September 2014 menjadi 55,79
US$/barrel pada Maret 2015.
Kejadian krisis contohnya krisis finansial global pada Q3 2008 yang membuat jatuhnya harga
minyak dari 99,06 US$/barrel pada September 2008 menjadi 41,58 US$/barrel pada Desember 2008.
Beberapa negara yang memiliki tingkat produksi minyak tinggi berperan besar dalam penentuan
harga minyak. Contohnya adalah upaya negara-negara anggota OPEC (Organization of the
Petroleum Exporting Countries) memotong produksinya hingga 4,2 juta barrel/day pada Q1 2009
yang membuat kembali meningkatnya harga minyak dari 41,58 US$/barrel pada Desember 2008
menjadi 68,62 US$/barrel pada juni 2009. Adapun dikarenakan turunnya pengaruh OPEC, saat ini
negara-negara OPEC berkoordinasi dengan negara-negara non-OPEC membentuk forum OPEC+
dengan harapan yang sama untuk menstabilkan harga minyak.
Kondisi geopolitik global, contohnya adalah kasus terorisme 9/11 pada Q3 2001 yang membuat
jatuhnya harga minyak dari 25,54 US$/barrel pada September 2001 menjadi 18,6 US$/barrel pada
Desember 2001.
Upaya mengurangi resiko volatilitas harga minyak mentah global
Berdasarkan beberapa kajian (Bacon & Kojima, 2008; Kojima, 2009) dan opini penulis, upaya-upaya
mengurangi resiko volatilitas harga minyak mentah global sekaligus menjawab tantangan energy
trilemma (ketahanan pasokan, keterjangkauan, dan keberlanjutan lingkungan termasuk perubahan
iklim) yang juga dapat diterapkan bagi Indonesia didiskusikan sebagai berikut:
Memenuhi target lifting serta peningkatan infrastruktur pengolahan dan penyimpanan. Mengingat
besarnya nilai impor minyak tidak hanya pada minyak mentah namun juga minyak yang telah diolah.
Upaya-upaya pemenuhan target lifting minyak mentah domestik dilakukan melalui pembaruan
sistem kontrak untuk meningkatkan investasi, eksplorasi baru untuk peningkatan penemuan
cadangan, efisiensi produksi, hingga pelaksanaan teknik-teknik produksi tersier (enhance oil
recovery dll) pada lapangan tua. Adapun upaya peningkatan produksi minyak olahan dilakukan
melalui peningkatan infrastruktur pengolahan berupa kilang-kilang. Juga dibutuhkan infrastruktur
tangki timbun (storage) untuk meningkatkan cadangan strategis / operasional.
Hedging (lindung nilai) dan mekanisme stabilisasi harga. Hedging dengan melakukan kontrak-
kontrak pembelian / impor dengan harga yang telah ditentukan untuk jangka waktu tertentu.
Mekanisme stabilisasi harga termasuk pembagian resiko antara pemerintah dengan melalui subsidi
tanpa membebani kapasitas fiskal (maupun BUMN di bidang terkait) dan masyarakat sebagai
konsumen secara langsung. Subsidi dikhususkan ditargetkan pada jenis-jenis energi tertentu. Juga
dengan disertai kompensasi baik berupa bantuan tunai maupun jaminan sosial yang ditargetkan
kepada yang membutuhkan dalam rangka menanggulangi dampak pada kenaikan harga di
masyarakat sebagai konsumen akhir. Beberapa negara membentuk lembaga Oil / Fuel Price
Stabilization Fund untuk mendukung stabilisasi harga ini.
Konservasi dan diversifikasi energi. Konservasi energi dengan melakukan efisiensi dari hulu hingga
hilir penggunaan berbagai jenis energi. Diversifikasi energi dengan mengoptimalisasi penggunaan
potensi energi lokal setempat terutama energi baru terbarukan diantaranya panas bumi, tenaga surya,
tenaga angin, tenaga air, dll. Pembahasan komoditas energi memang tidaklah bisa untuk dibahas
dengan satu jenis komoditas energi saja, mengingat adanya kemungkinan substitusi maupun
pencampuran jenis energi yang tentunya tetap tidaklah mudah dengan membutuhkan penyesuaian
teknologi. Pun tentunya juga penting untuk mengelola resiko volatilitas komoditas-komoditas energi
lainnya diantaranya batu bara, gas bumi, bahan bakar nabati (BBN) / biofuel dari minyak kelapa
sawit (CPO), dll yang harganya juga mengalami fluktuasi.
27
Upaya-upaya tersebut telah terus dilakukan oleh pemerintah, namun tetap dibutuhkan kecepatan inovasi
untuk menjawab kecepatan tantangan yang ada di Indonesia.
Referensi:
Bacon, R., & Kojima, M. 2008. Coping with Oil Price Volatility. ESMAP Special Report 005/08.
Washington, DC: World Bank. https://esmap.org/sites/default/files/esmap-
files/8142008101202_coping_oil_price.pdf
Badan Pusat Statistik (BPS). 2019. Nilai Ekspor dan Impor Migas (juta US$) 1996-2018.
https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/08/1004/nilai-ekspor-dan-impor-migas-juta-us-1996-
2018.html
Badan Pusat Statistik (BPS). 2019. Volume Ekspor dan Impor Migas (juta US$) 1996-2018.
https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/08/1003/volume-ekspor-dan-impor-migas-berat-
bersih-ribu-ton-1996-2018.html
British Petroleum (BP). 2019. BP Statistical Review of World Energy 2019.
https://www.bp.com/en/global/corporate/energy-economics/statistical-review-of-world-
energy/downloads.html
IndexMundi. 2020. Crude Oil (petroleum): ‘Dated Brent’ Monthly Price (US$ per barrel) 2000-2019.
https://www.indexmundi.com/commodities/?commodity=crude-oil-brent&months=240
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 2019. Keputusan Menteri ESDM Nomor 269
K/10/MEM/2019 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri ESDM Nomor 138
K/12/MEM/2019 tentang Formula Harga Minyak Mentah Indonesia.
https://jdih.esdm.go.id/storage/document/Kepmen%20269%20K%2010%20MEM%202019_Pe
rubahan%20Formula%20ICP_salinan+stempel.pdf
Kojima, M. 2009. Government Response to Oil Price Volatility: Experience of 49 Developing
Countries. Extractive Industries for Development Series #10. Washington, DC: World Bank.
https://siteresources.worldbank.org/INTOGMC/Resources/10-govt_response-hyperlinked.pdf
28
Efek Ketidakpastian Ekonomi Global Terhadap Serapan
Tenaga Kerja dan Daya Beli Masyarakat Indonesia Perwira Yodanto9
Rentetan peristiwa ekonomi dunia yang kurang menguntungkan atau yang akrab dikenal dengan global
economic uncertainty tentunya menimbulkan gejolak bagi perekonomian Indonesia. Dalam kurun 5
tahun terakhir saja Pemerintah Indonesia tercatat mengumumkan belasan jilid paket kebijakan ekonomi
untuk merespon imbasnya. Secara makro, raihan kinerja ekonomi Indonesia tergolong masih bagus.
Namun, fluktuasi fenomena ini masih berlanjut sehingga Pemerintah dituntut waspada terhadap efek
yang ditimbulkan di ranah mikroekonomi. Efek dari gejolak ketidakpastian ini terhadap tingkat serapan
tenaga kerja dan daya beli masyarakat menjadi objek analisa dalam tulisan ini.
Global Economic Policy Uncertainty dan Respon Paket Kebijakan Ekonomi
Lebih dari satu dekade terakhir dunia mengalami global economic uncertainty. Peristiwa ekonomi yang
sangat mengemuka diantaranya adalah meletupnya Global Financial Crisis pada 2008, krisis ekonomi
Yunani dan drama Brexit yang begitu menyibukkan Uni Eropa, sampai tarik menarik dua polar magnet
ekonomi dunia, China dan Amerika Serikat, selalu memasuki babak baru dalam trade war. Sebagai
partisipan G2010, Indonesia tidak punya celah untuk tidak terdampak oleh gelombang ini.
Tim Ekonomi Kabinet Kerja (2014-2019) telah mengumumkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi
(Bappenas 2019) untuk merespon global economic uncertainty. Selama impelementasi, Indonesia
menunjukkan ketahanan ekonomi makro dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil,
masih di atas 5% per tahunnya. Kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang
lainnya yang berkisar di angka 4,4% (Bappenas 2020). Adapun laju inflasi bisa ditekan di kisaran 3,2%
sepanjang 2015-2019 dan pertumbuhan investasi rata-rata sebesar 5,4% per tahun di periode yang sama.
Dalam perspektif mikroekonomi, dua indikator terakhir memberi harapan bahwa Indonesia dalam status
survived.
Aspek Uncertainty pada Investasi dan Serapan Tenaga Kerja
Dengan 265 juta penduduk, APBN saat ini tentu tidak memadai untuk memenuhi beban domestik yang
besar. Hadirnya investasi memainkan peran signifikan untuk mendongkrak laju perekonomian nasional.
Namun, efek trade war terhadap iklim investasi menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo. Paket
kebijakan ekonomi dan peningkatan Ease of Doing Business yang dinilai dapat memanjakan investor
asing ternyata belum berhasil merayu capital inflow dari 33 perusahaan yang hengkang dari China
(CNN Indonesia 2019). Meski Presiden kecewa dengan fakta tersebut (CNN Indonesia 2019), namun
selama periode pertama pemerintahannya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dilaporkan turun dari
9 Mahasiswa program Master of Public Policy di The Australian National University (ANU) 10 G-20 atau Group of Twenty adalah forum ekonomi 19 negara termasuk Indonesia plus Uni Eropa yang merupakan kekuatan ekonomi utama dunia dan memiliki posisi strategis di kancah global karena secara kolektif mewakili sekitar 65% penduduk dunia, 79% perdagangan global, dan setidaknya 85% perekonomian dunia (Sherpa G20 Indonsia 2019).
29
6,18% (2015) menjadi 5,28% (2019). Penurunan itu berwujud penciptaan 11 juta lapangan kerja akibat
ekspansi ekonomi domestik (Bappenas 2020).
Meski kuantitasnya 1 juta lebih tinggi dari target penciptaan lapangan kerja, prestasi tersebut belum
merefleksikan kualitas dari skill yang diterapkan dalam pekerjaan. Dengan terbatasnya belanja modal
untuk pembangunan infrastruktur, tentunya sektor swasta berperan penting dalam penyerapan angkatan
kerja terbuka. Sektor swasta yang paling tampak adalah decacorn11 atau unicorn berbasis transportasi
seperti ‘Go-Jek’ dan ‘Grab’ (Bloomberg 2019) yang memobilisasi pencari kerja untuk bergabung
sebagai mitra terlepas latar belakang pendidikan dan kompetensinya. Data BPS juga menunjukkan
bahwa per Februari 2019, sektor informal menyumbang 57,27% lapangan pekerjaan baru dan selalu
konsisten berkontribusi di kisaran hampir 60% dalam beberapa waktu terakhir (CNBC Indonesia 2019).
Elemen uncertainty lain yang perlu diwaspadai adalah aspek keberlanjutan (sustainability) pekerja
sektor informal di industri start-up dan disrupsi teknologi informasi. Selain mengokohkan kesetiaan
pelanggannya, decacorn sepeti ‘Go-Jek’ tentunya memilih strategi bisnis yang akan membuat investor
globalnya12 bertahan karena orientasi investor di industri financial technology/fintech bukan sebagai
pengendali, melainkan murni bagi hasil (CNBC Indonesia 2018). Artinya, posisi mitra pengendara
sangat rentan yang berujung pada tren income yang turun. Ke depan, disrupsi teknologi berwujud
otomatisasi, digitalisasi, dan Artificial Intelligence (AI) juga diprediksi mengancam 51,8% atau 52,6
juta potensi pekerjaan di Indonesia (INFID 2019, Bappenas 2020). Tentunya Pemerintah harus menaruh
perhatian besar pada peningkatan kompetensi dan kapasitas baik pekerja di sektor formal terlebih lagi
informal untuk mereduksi risiko pekerjaan yang hilang.
Ancaman pada Optimisme Tingkat Daya Beli Masyarakat
Terlepas dari prestasi turunnya TPT, Pemerintah perlu mewaspadai faktor uncertainty pada daya beli
masyarakat. Konsumsi domestik merupakan kekuatan ekonomi Indonesia mengingat exposure ekonomi
nasional pada perekonomian global yang relatif terbatas/ small open economy (Kontan 2020). Di
periode 2014-2019, konsumsi rumah tangga masih stabil di angka 5%, menyusul tingkat inflasi yang
terjaga di kisaran 3%. Pemerintah berharap dalam 5 tahun mendatang terjadi peningkatan konsumsi
masyarakat rata-rata 5,6% per tahun (Bappenas 2020). Namun, proyeksi serapan tenaga kerja telah
menunjukkan implikasinya pada tren income individu. Artinya, optimisme pada tingkat konsumsi
masyarakat ke depannya juga masih terancam.
Pemerintah harus meracik formula yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang
imbasnya tentu mempengaruhi tingkat daya beli masyarakat. Selain faktor inflasi, beberapa hal yang
perlu dijaga kestabilannya antara lain ketersediaan komoditas pangan strategis, tata kelola sistem
logistik nasional dan konektivitas antarwilayah, serta subsidi (Bappenas 2020). Kenaikan sejumlah tarif
misalnya pada listrik, BBM, LPG 3 kg atau iuran BPJS, jelas berimbas sangat besar pada daya beli
msyarakat di level pendapatan rendah yang memiliki porsi 17,71% konsumsi nasional (Kontan 2020).
Kebijakan cash transfer (bansos) sebagai kompensasi bagi mereka, harus memiliki sistem monitoring
yang menjamin penyaluran tepat sasaran. Di kutub lainnya, Pemerintah perlu mempertimbangkan
fenomena penurunan konsumsi kelompok penghasilan tinggi yang porsinya menguasai 45,36%
konsumsi nasional (Indef 2019). Faktor-faktor ini merupakan pencetus perlambatan pertumbuhan
konsumsi rumah tangga. Pungkasnya, meskipun tidak secara langsung berdampak, global economic
11 Decacorn adalah sebutan untuk start-up yang memiliki valuasi di atas USD 10 milyar (CB Insight 2019). 12 ‘Go-Jek’ mendapatkan suntikan dana dari lembaga ekuitas global seperti Alphabet (induk usaha Google), KKR & Co LP, Temasek, Tencent, Sequoia Capital India, dan Warburg Pincus (CB Insight 2019)
30
uncertainty sedikit banyak masih membayangi faktor-faktor yang mempengaruhi optimisme
pemerintah pada daya beli masyarakat.
Referensi
Bappenas 2019, Paket Kebijakan Ekonomi, Bappenas, bappenas.go.id
https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/publikasi/paket-kebijakan-ekonomi
Bappenas 2019, Paket Kebijakan Ekonomi, Bappenas, bappenas.go.id
https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/publikasi/paket-kebijakan-ekonomi
Bappenas 2019, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024
CB Insight 2020, The Complete List of Unicorn Companies, CB Insight
https://www.cbinsights.com/research-unicorn-companies
CNBC Indonesia 2018, Salah Satu Jawaban Kenapa Go-Jek Diidamkan Investor Asing, CNBC
Indonesia, cnbcindonesia.com
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20180119134213-37-1994/salah-satu-jawaban-kenapa-go-jek-
diidamkan-investor-asing
CNBC 2019, Perang Dagang, Apple Hingga Nintendo Hengkang Dari China, CNBC Indonesia,
cnbcindonesia.com
https://www.cnbcindonesia.com/news/20190828140016-4-95363/perang-dagang-apple-hingga-
nintendo-hengkang-dari-china
CNBC Indonesia 2019, Angka Pengangguran Turun Gegara Jadi Driver Gojek-Grab?, CNBC
Indonesia, cnbcindonesia.com
https://www.cnbcindonesia.com/news/20191009070933-4-105456/angka-pengangguran-turun-
gegara-jadi-driver-gojek-grab
CNN Indonesia 2019, Jokowi Kecewa 33 Pabrik yang Hengkang dari China Tidak ke RI, CNN
Indonesia, cnnindonesia.com
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190904155723-92-427496/jokowi-kecewa-33-pabrik-
yang-hengkang-dari-china-tidak-ke-ri
International NGO Forum for Indonesia Development 2019, Humaniora Banyak Pekerjaan Terancam
Hilang, INFID, infid.org.
https://www.infid.org/humaniora-banyak-pekerjaan-terancam-hilang/
Kontan 2020, Kenaikan Sejumlah Tarif Bakal Menekan Daya Beli Masyarakat Tahun Ini, Kontan
Nasional, kontan.co.id
https://nasional.kontan.co.id/news/kenaikan-sejumlah-tarif-bakal-menekan-daya-beli-masyarakat-
tahun-ini
Okezone 2018, Daftar Lengkap Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I hingga XVI, Cek di Sini, Okezone
Ekonomi, okezone.com https://economy.okezone.com/read/2018/11/16/20/1978661/daftar-lengkap-
paket-kebijakan-ekonomi-jilid-i-hingga-xvi-cek-di-sini
Sherpa G20 Indonesia 2020, Sejarah Singkat G20, Sherpa G20 Indonesia
https://www.sherpag20indonesia.ekon.go.id/sejarah-singkat-g20