DAFTAR ISIi DAFTAR ISI DAFTAR ISI i 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Diskripsi Singkat 2 1.3 Manfaat Modul...
Transcript of DAFTAR ISIi DAFTAR ISI DAFTAR ISI i 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Diskripsi Singkat 2 1.3 Manfaat Modul...
-
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i1.1 Latar Belakang 11.2 Diskripsi Singkat 21.3 Manfaat Modul Bagi Peserta 21.4 Tujuan Pembelajaran 31.5 Kompetensi Dasar 31.6 Indikator Keberhasilan 41.7 Materi Pokok dan Sub Materi Pokok 41.8 Rangkuman 51.9 Latihan 6
KEGIATAN BELAJAR I 5PERMASALAHAN KERUSAKAN KONSTRUKSI JALAN PADA TANAH PROBLEMATIKDAN FAKTOR PENYEBABNYA 5
2.1 Konstruksi Infrastruktur Jalan dan Jembatan 52.2 Kondisi Jalan Pada at-grade 92.3 Kondisi Jalan pada “at-fill 102.3.1 Kondisi jalan pada “at-fill” pada tanah Problematik, Tanah Lempung
Dan Tanah Organik 102.3.2 Keruntuhan pada Kondisi “at-fill” pada timbunan jalan yang berada
pada Lapisan Tanah Lunak dan Organik 14Gambar 2- 9. Kejadian penurunan dan keruntuhan timbunan badan jalan
pada tanah problematic yang berupa tanah lunak 14Gambar 2- 10. Permasalhan penurunan dan displacement pergerakan yang
berdampak pada mengangkatan tanah disekelilingnya (heaving) 14Gambar 2- 12. Displacemen horizontal akibat penurunan beban timbunan
-
ii
berlebih yang mempengaruhi stabilitas bangunan disampingnya 14Gambar 2- 12. Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunan
berlebih dibalakang abutment 172.3.3 Keruntuhan Tanah Dasar Pondasi Jalan pada kondisi ”at-fill” atau
timbunan jalan yang berada pada tanah Gambut 19
Gambar 2- 15. Konstruksi timbunan jalan diatas tanah Gambut di KalimantanTengah tahun 1999 21
2.3.4 Keruntuhan Jalan pada Kondisi ” at-fill ” pada timbunan jalan yangberada pada lapisan tanah ekspansif 22
Gambar 2- 18. Konstruksi timbunan badan jalan diatas lapisan tanahekspansif 23
2.4 Kondisi Jalan pada “at-cut” 252.5 Rangkuman 292.6 Latihan 29
KEGIATAN BELAJAR 2 30KRITERIA PADA PERENCANAAN DAN PENANGANAN JALAN PADA TANAHPROBLEMATIK 30
3.1 Lapisan Tanah Dasar 313.1.1 Lapisan Tanah Dasar dalam Sistim Perkerasan Jalan 313.1.2 Lapisan Tanah Dasar dalam Tanah Problematik 31Gambar 3- 1.Permasalahan Perencanaan jalan pada tanah Problematik 333.2 Stabilitas Konstruksi Jalan diatas Tanah Problematik 343.2.1 Stabilitas Daya Dukung Lapisan Tanah Dasar 34Gambar 3- 2 Nilai kepadatan Tanah untuk Timbunan jalan 35Gambar 3- 3. Nilai kepadatan kering hubungannya dengan CBR Design 37Tabel 3 - 1. Koefisien r terhadap prosentase berbutir kasar tertahan # 4,75
mm (Pc) 38Tabel 3 - 2. Perbaikan Tanah dibawah Permuakaan Tanah Asli 40Dalam melaksanakan uji DCP ini digunakan alat DCP dan diperlihatkan
pada 40Gambar 3- 4. Alat Uji DCP (Dinamic Cone penetrometer) dan Korelasinya
terhadap Nilai CBR (California Bearing Ratio) 41
-
iii
Tabel 3 - 3. Nilai CBR terhadap ESA (Equivalent Standar Axle) 44Tabel 3 - 4. Perbaikan Tanah untuk subgrade dan digali sampai dengan
dibawah Permukaan Tanah Aslinya 44Tabel 3- 5 Nilai korelasi beberapa Parameter Kepadatan terhadap N-SPT
(Nilai Standard Penetration Test) 483.2.2 Stabilitas Timbunan 50Tabel 3- 6. Teknologi penanganan Tanah Problematik 52Gambar 3- 7. Klasifikasi Tanah Lunak/Gambut 53Gambar 3- 8. Keruntuhan amblasan atau pondasi 55Gambar 3- 15. Keruntuhan Timbunan akibat Pengangkatan Tanah yang
berlebihan (sumber : eddie sunaryo, 2010 – 2014 dan 2015) 57Gambar 3- 17. Keruntuhan Lereng Dalam Timbunan Jalan pada lapisan tanah
Lunak 593.3 Rangkuman 593.4 Latihan 60
KEGIATAN BELAJAR 3 61TANAH PRINSIP PENANGGULANGAN PROBLEMATIK 61
4.1 Kualitas dan Kontrol Kualitas Materal Timbunan Sebagai Tanah Dasaratau Subgrade 61
Table 4 - 1. Kekuatan Tanah Dasar dan Toleransinya 62Gambar 4- 1. Pengujian Kepadatan Tanah dengan Sand Cone 624.2 Konstruksi Tanah Timbunan Sebagai Subgrade 644.2.1 Persyaratan Kekuatan Daya Dukung 64Gambar 4- 3. Hubungan antara Hasil Pemadatan pada beberapa Jenis
Tanah 64Table 4 - 2. Kepadatan Relatif Tanah untuk Subgrade 654.2.2 Variasi jenis material material tanah untuk subgrade 66Gambar 4- 5. Pengelompokan Variasi Gradasi Tipe 1, 2 dan 3 dari hasil uji
gradasi 67Gambar 4- 6. Pedoman analisa Pengelompokan Nilai Cu dan Cc 684.2.3 Jenis Material terhadap Kelompok Penggunaannya 68Table 4 - 3. Pengelompokan Jenis Material yang digunakan dalam konstruksi
jalan yang disyaratkan secara internasional 69
-
iv
Table 4 - 4. Ukuran Gradasi Agregat Klas A, B dan S 704.3 Teknologi Perkuatan Timbunan sebagai Lapisan tanah Dasar atau
Subgrade 714.3.1 Sifat-sifat Bahan Material Geosintetik 71Table 4 - 6 Syarat Elektrokimia Timbunan yang Diperkuat (Elias dkk, 2001) 71Gambar 4- 7. Karakteristik Bahan Geosintetik tipe Woven 724.3.2 Interaksi tanah dan geosintetik 724.3.3 Prinsip Dasar Perkuatan Timbunan dengan Bahan Geosintetik 72Gambar 4- 8, Bidang Runtuh dan Assumsi Bekerjanya Perkuatan
Geosintetik 774.3.4 Fungsi Perkuatan Geosintetik 77Gambar 4- 9 Penanganan dengan Perkuatan Geosintetik 78Gambar 4- 12, Perkuatan tebing dengan Geogride 80Gambar 4- 13, Perkuatan tebing dengan Reinforced soil structures 814.4 Aplikasi Perkuatan Bahan Geosintetik 824.4.1 Perkuatan Lereng Timbunan 82Gambar 4- 14. Perkuatan Geosintetik / Geotekstil pada Jalan Baru dengan
ROW terbatas (Sumber: Elias dkk, 2001) 83Gambar 4- 15. Pelebaran Jalan dengan Perkuatan Geosintetik / geotekstil
jenis woven yang mempunyai sifat kekuatan tarik (Sumber: Elias dkk,2001) 84
Gambar 4- 16. Aplikasi Lereng Tanah yang Diperkuat untuk perbaikankeruntuhan lereng (Sumber: Elias dkk, 2001) 84
Gambar 4- 17. Ilustrasi tanah timbunan yang diperkuat 85Table 4 - 7. Rekomendasi Persyaratan untuk Timbunan yang Diperkuat
(Spesifikasi Umum Bina Marga, 2010) 86Table 4 - 8. Kisaran Nilai Sifat-sifat parameter Indeks dan Mekanis Tanah
(CUR, 1996) 874.4.2 Pemilihan Prosedur perkuatan lereng tanah 87Gambar 4- 18. Moda Keruntuhan Lereng Tanah yang Diperkuat 88Gambar 4- 19. Tahapan Prosedur Perencanaan Stabilitas Lereng Timbunan
Tanah (Sumber: Elias dkk, 2001) 904.4.3 Prosedur Perencanaan Perkuatan Timbunan 91
-
v
Gambar 4.21. Analisis Stabilitas Geser Rotasional Tanpa PerkuatanGeosintetik 96
Gambar 4.22. Kekuatan Geosintetik yang Dibutuhkan untuk StabilitasRotasional 97
4.4.4 Aplikasi Perkuatan Lereng Timbunan 103Table 4 - 9. Rentang RFCR Geosintetik Jenis Polimer (Elias dkk, 2001) 108Gambar 4- 26. Zona Kritis yang Memenuhi Target Faktor Keamanan
Berdasarkan Bidang Rotasi dan Gelincir(Sumber: Elias dkk, 2001) 108Gambar 4- 27. Pendekatan Geser Rotasional untuk Menentukan Kekuatan
Geosintetik yang Dibutuhkan (Sumber: Elias dkk, 2001) 1114.4.5 Aplikasi untuk Perkuatan Dasar Timbunan 111Gambar 4- 27. Distribusi beban dan gaya reaksi pada geotekstil 111Gambar 4- 28. Teknologi Penggantian Material dengan Geotekstil 1124.4.6 Distribusi Beban pada Subgrade (Tanah Dasar) 113Gambar 4- 33. Desain Chart untuk Konstruksi Jalan dengan Perkuatan
Geotextile (contoh: untuk beban gandar = 80 kN; tekanan angin roda =480kPa; maka kedalaman alur (ruth depth) = 0.3m)) 118
Gambar 4- 34. Gaya yang bekerja diterima lapisan aggregate 119Gambar 4- 35. Contoh Desain Chart Perkuatan Geogrid HDPE (Carroll et al,
1989) 1204.5 RANGKUMAN 1214.6 LATIHAN 121
DAFTAR PUSTAKA 123
-
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sudah banyak dikaji bahwa Tanah Problematik meliputi Tanah Lunak
baik organik maupun non-organik, Tanah Ekspansif dan tanah Gambut
yang masing-masing mempunyai sifat karakteristik properties yang
sangat berbeda walaupun sebagian ada yang mempunyai kemiripan.
Tanah problematik ini sesuai keberadaannya yang didominasi oleh
endapan sedimen umur kuarter maka keberadaannya mempunyai
kedalaman yang bervariasi antara terlihat dipermukaan sampai
beberapa puluh meter dibawah permukaan. Perbedaan sifat
karakteristik properties tanah problematik sangat beraneka karena
tergantung dari bentukan material batuan/tanah asal yang terendapkan
melalui proses transportasi yang umumnya oleh air atau terendapkan
dengan sendirinya karena proses mekanis dan kimia sehingga menjadi
endapan sedimen.
Oleh karena itu, perencanaan pembangunan infrastruktur jalan pada
tanah problematik atau bermasalah (Problematic Soils) dijumpai
permasalahan terhadap menurunnya atau terganggunya stabilitas
konstruksi seperti jalan dan jembatan. Teknologi yang diperlukan untuk
membangun konstruksi infrstruktur jalan dan jembatan perlu dilakukan
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami pengertian
PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA TANAH PROBLEMATIK
terutama memahami PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN DAN
PERENCANAAN – PENANGANANNYA
SEBAGAI TANAH DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan
-
2
perencanaan dengan seksama karena penanggulangan kerusakan
jalan akan mengganggu kenyamanan berlalulintas dan dapat pula
mengganggu kelancaran transportasi arus danbarang.
1.2 Diskripsi Singkat
Modul 3 pada Diklat ini membahas mengenai PERMASALAHAN
KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA
SEBAGAI TANAH DASAR khususnya dalam hubungannya
terhadap konstruksi timbunan jalan yang dibangun diatasnya karena
dapat terganggunya stabilitasnya. Dengan terganggunya stabilitas
timbunnan jalan tersebut maka akan mempengaruhi kinerja
perkerasan jalan dan untuk itu perlu dilakukan teknologi
penanganan melalui perencanaan dalam upaya perbaikan tanah
problematik karena umumnya mempunyai daya dukung yang rendah
dan penurunan yang besar serta berpotensi terhadap kejadian
keruntuhan konstruksi timbunan jalan. Mengingat sifat karakteristiknya
tanah problematik masing-masing berbeda maka dengan memahami
Modul 3 yang membahas PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN
DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH
DASAR dan merupakan kelanjutan Modul sebelumnya maka melalui
pendekatan penguasaaan kognitif maupun psikomotorik yang berbasis
pada proses pembekalan, pelatihan, kajian teori dan studi kasus, serta
simulasi pembahsan terhadap kasus lapangan melaui studi lapangan
dapat lebih mudah dipahami dan dimengerti.
1.3 Manfaat Modul Bagi Peserta
Diharapkan dengan memahami modul 3 mengenai PERMASALAHAN
KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA
-
3
SEBAGAI TANAH DASAR dari modul PENANGANAN TANAH
PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN yang terdiri dari 5
modul akan memberikan manfaat bagi peningkatan sumber daya
manusia dibidang Jalan dan jembatan di instansinya masing-masing.
Pada modul 3 ini, peserta diklat diharapkan dapat mampu memahami
permasalahan kerusakan jalan dan perencanaan – penanganannya
terutama sebagai subgrade jalan dalam hubungannya sebagai
pendukung konstruksi infrastruktur jalan. Diharapkan, dengan
mempelajari modul lainnya yang berhubungan baik modul sebelumnya
maupun modul sesudahnya yang merupakan bagian dari modul diklat
PENANGANAN TANAH PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN
maka peserta diklat mampu menangani permasalahan dan dampak
yang ditimbulkan pada pada konstruksi jalan yang berada diatas tanah
problematik.
1.4 Tujuan PembelajaranSetelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu mengenal sifat
karakteristik properties tanah problematik, sehingga dapat menangani
permasalahan dan dampak yang ditimbulkan pada konstruksi jalan yang
berada diatas tanah problematik.
1.5 Kompetensi DasarSetelah mengikuti pembelajaran ini. Peserta mampu memahami,
menerapkan, merancang, merencanakan dan menangani desain tanahdasar untuk konstruksi jalan yang berada diatas tanah problematik
dengan:
1) Memahami Pengertian Tanah Problematik
2) Memahami dan melakukan Survei Investigasi dan melakukan diskripsi
serta mengklasifikasi tanah problematik
-
4
3) Memahami dan merancang Perencanaan Jalan di Atas TanahProblematik
4) Memahami dan merancang Persiapan dalam Pelaksanaan timbunanjalan pada tanah problematik
1.6 Indikator Keberhasilan
Diharapakan setelah memahami Modul 3 ini yang membahas
PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN –
PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH DASAR dan merupakan
lanjutan Modul sebelumnya atau bagian dari Modul DIKLAT
PENANGANAN TANAH PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN
dapat dicapai indikator keberhasilan sebagai berikut:
1) Menjelaskan tentang permasalahan kerusakan konstruksi jalan padatanah problematik dan faktor penyebabnya;
2) Menjelaskan tentang kriteria pada perencanaan dan penangananjalan pada tanah problematik;
3) Menjelaskan tentang prinsip penanggulangan tanah problematik
1.7 Materi Pokok dan Sub Materi Pokok
Materi pokok pada modul diklat yang membahas PENANGANAN TANAH
PROBLEMATIK UNTUK KONSTRUKSI JALAN yang secara ringkas isi
dari Modul 3 menjelaskan PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN
DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH
DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan, terutama dalam
pengertian PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA
TANAH PROBLEMATIK.
Submateri pokok yang dibahas dalam modul 3 ini membahas tujuan dan
-
5
hasil yang diharapkan dicapai untuk peserta selama mengikuti diklat
antara lain:
1) Setelah mengikuti pembelajaran BAB I peserta mampu memahami
pengertian ruang Lingkup pentingnya Modul 3 ini yang mencakup
Latar belakang, diskripsi singkat, manfaat modul, tujuan
pembelajaran, kompetensi dasar. Indikator keberhasilan serta materi
pokok dan sub materi pokok.
2) Setelah mengikuti pembelajaran BAB II peserta mampu Menjelaskan
tentang permasalahan kerusakan jalan yang dibangun pada tanah
problematik dan faktor penyebabnya dengan gambaran riel pada
konstruksi infrastruktur jalan dan jembatan berhubungan dengan
kondisi keberadaannya..
3) Setelah mengikuti pembelajaran BAB III peserta mampu
Menjelaskan tentang prinsip perencanaan dan Penanganan Jalan
yang dibangun pada tanah problematik mulai dari penggunaanya
sebagai lapisan tanah dasar konstruksi jalan dan sebagai pendukung
sistim konstruksi jalan secara keseluruhan.
4) Setelah mengikuti pembelajaran BAB IV peserta mampu menjelaskan
tentang Prinsip Penanggulangan Konstruksi Jalan pada tanah
problematik yang difungsikan sebagai lapisan tanah dasar dan
penerapan beberapa teknologi yang digunakan berupa perkuatan
lereng dan perkuatan dasar timbunan.
1.8 Rangkuman
Pada bab pendahuluan ini menjelaskan secara ringkas tentang
PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA TANAH
PROBLEMATIK terutama memahami PERMASALAHAN KERUSAKAN
JALAN DAN PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH
-
6
DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan yang secara detail
dibahas pada Bab II, Bab III dan BAB IV dengan dilengkapi Penutup
pada Bab V.
1.9 Latihan
Peserta diharapkan mampu dan mempunyai kemampuan untuk
menjelaskan tentang modul 3 ini yang secara ringkas mencakup
pengertian PERMASALAHAN STABILITAS TIMBUNAN JALAN PADA
TANAH PROBLEMATIK terutama memahami PERMASALAHAN
KERUSAKAN JALAN DAN PERENCANAAN PENANGANANNYA
SEBAGAI TANAH DASAR pada pembangunan infrastruktur jalan
-
5
KEGIATAN BELAJAR I
PERMASALAHAN KERUSAKAN KONSTRUKSIJALAN PADA TANAH PROBLEMATIKDAN FAKTOR PENYEBABNYA
2.1 Konstruksi Infrastruktur Jalan dan JembatanBerdasarkan hasil pengamatan lapangan dan survai pendahuluan seperti
yang telah dijelasakan pada Modul 1 dan 2, maka dapat diidentifikasi
permasalhan yang terjadi sebagai dampak konstruksi jalan yang dibangun
diatas tanah problematik.
Berdasarkan persyaratan lalulintas yang mengacu pada 1 Undang-Undang
Republik Indonesia, Nomor 38 Tahun 2004 dan pasal 1 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia, dan
pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006
Nomor 34 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen
PU) No. 11/PRT/M/2010 yang intinya agar dicapai jalan yang aman,
berkesealamatan dan mantap maka diwajibkan mengikuti kaidah dan
persyaratan geometric jalan, seperti alinyemen dan kelandaian yang
diijinkan dan disyaratkan.
Untuk menghubungkan kondisi tersebut perlu dihubungkan dengan
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami tentang permasalahan
kerusakan jalan yang dibangun pada tanah problematik dengan gambaran riel pada
konstruksi infrastruktur jalan dan jembatan berhubungan dengan kondisi
keberadaannya.
-
6
bangunan penghubung khususnya jembatan walaupun dapat terowongan
diberlakukan. Khusus dalam modul pembangunan prasarana transportasi
infrastruktur jalan bangunan konstruksi penghubung yang dibahas adalah
konstruksi jembatan disamping konstruksi jalan itu sendiri.
Pada modul ini tidak membahas standar acuan geometrik dan alinyemen
jalan termasuk kelandaian dan jarak pandang serta permasalahan yang
berhubungan dengan pergerakan kendaraan tetapi membatasi kajian
terhadap keberadaan jalan dan jembatan sebagai akibat dari persyaratan
tersebut. Dengan memperhatikan persyaratan ini maka keberadaan
infrastruktu jalan dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu:
1) Kondisi jalan yang disebut sebagai “at-grade”2) Kondisi jalan yang disebut sebagai berada pada daerah timbunan atau
“at-fills”
3) Kondisi jalana yang disebut berada pada bagian galian “at-cut”
Ciri ciri kerusakan sangat dipengaruhi oleh kondisi perlapisan tanah yangdifungsikan sebagai tanah dasar (subgrade) diperlihatkan pada gambar
berikut ini terhadap perkerasan yang berada diatasnya, misalnya akibat
penurunan badan jalan.
Perlu diketahui bahwa permasalahan penurunan ini terdiri dari penurunan
seketika, penurunan konsolidasi yang terdiri dari penurunan primer
sebesar 90 %, penurunan sekunder sebesar 10% dan penurunan tersier
yang umumnya disebut creep (rangkak) yang merupakan penurunan
lanjutan karena perubahan karakteristik propertis lapisan tanah lunak
akibat baban timbunan.
-
7
Gambar 2- 1, Hubungan antara besar penurunan dan waktu lamanyapada penurunan konsolidasi tanah lunak
Stuktur perkerasan tersebut sangat: tergantung dari daya dukung
subgrade yang kondisnya dibentuk oleh lapisan tanah dasar dibawahnya
(lapisan tanah/batuan setempat). Lapisan tanah dasar yang berupa Tanah
Problematik (meliputi: Tanah LUNAK, EKSPANSIF dan GAMBUT) akan
-
8
d
mempengaruhi Overall-stability terhadap kemantapan perkerasan jalan
yang berada diatasnya dan diperlihatkan pada Gambar 2- 2.sd 2-4
Kondisi Perkerasan Jalan yang kemantapannya tergantung dari daya
dukung subgrade.
Gambar 2- 2. Kondisi Perkerasan Jalan yang kemantapannyatergantung dari daya dukungsubgrade
Gambar 2.3. Normal rutting
Daya ukung cukup
CBR > 6%Daya dukung cukupCBR < 6%
-
9
a) Excessive rutting b) Aggregate contamination or degeneration
Gambar 2.4. Rutting dan Tanah dasar jelek
2.2 Kondisi Jalan pada at-grade
Kondisi jalan pada at-grade merupakan jalan struktur perkerasan jalan yang
dibangun diatas tanah dasar setempat seperti diperlihatkan pada Gambar 2- 5.
Gambar 2- 5. Kondisi jalan pada at-grade
Pada kondisi at-grade jalan berada pada permukaan tanah yang berfungsisubgrade (tanah dasar) dan perkerasan jalan berada diatasnya secaralangsung.
Perkerasan Jalan Tanah Dasar
-
10
Pada kondisi ini konstruksi jalan dapat berupa perkerasan kaku (rigid pavement)
atau perkerasan lentur (fleksible pavement) dan tipe perkerasan melibuti jenis dan
ketebalannya merupakan fungsi dari kekeuatan naha dasar tersebut yang
umumnya diperoleh dengan investigasi DCP (Dutch Cone Penetrometer) yang
hasilnya dikonversikan ke nilai CBR (California Bearing Ratio).
Permasalahan yang terjadi pada struktur perkerasan pada at-grade ini adalah
daya dukung subgrade baik daya dukungnya secara langsung maupun daya
dukungnya yang dipengaruhi oleh perlapisan tanah dibawahnya. Hal lain yang
memepengaruhi menurunnya daya dukung tanah dasar ini adalah muka air tanah
dan sistim drainasenya sehingga perlu direncanakan secara terintegrasi dengan
konstruksi perkerasannya.
Kondisi daya dkung subgrade jenuh air Kondisi daya dukung subgradesangat rendah
Gambar 2- 6. Kondisi Kerusakan Jalan akibat daya dukung tanahdasar (subgrade) menurun baik akibat drainase dan karenalapisan tanah problematic
2.3 Kondisi Jalan pada “at-fill”
2.3.1 Kondisi jalan pada “at-fill” pada tanah Problematik, TanahLempung dan Tanah Oragnik
Kondisi jalan pada at-fill merupakan suatu konstruksi infrastruktur jalan
yang berada diatas timbunan yang merupakan badan jalan yang
-
11
difungsikan bagian atasnya sebagai lapisan tanah dasar (subgrade).
Umumnya kondisi jalan yang demikian adalah pada daerah dataran
rendah yang merupakan endapan deposit alluvial dan secara umur
geologi merupakan material hasil transportasi dari batuan dasarnya yang
telah mengalami proses pelapukan dan terbawa ke pantai sehingga
mempunyai karaktersitik propertis yang berbeda antara satu dan lainnya.
Endapan alluvial ini umumnya merupakan tanah problematic yang
terhampar pada daerah pesisir pantai atau meander sungai dan/atau
cekungan baik di pegunungan maupun dataran sehingga terbentuk
endapan danau purba karena proses pembentukannya menurut waktu
geologi
Gambar 2.7 : Tanah Galian dan Timbunan
-
12
Pada konstruksi jalan yang berupa at-fill ini menjadikan perkerasan jalan
berada diatas timbunan dan kondisi ini dapat terjadi baik memenuhi
peryaratan geometrik dan pada persimpangan tak sebidang sehingga
memerlukan konstruksi overpass maupun underpass serta bangunan
jembatan seperti diperlihatkan pada Gambar 2- 8.
Gambar 2- 8. Kondisi Jalan pada at-fill
Pada kondisi at-fill dijumpai beberapa permasalahan bilamana lapisan tanah
dibawahnya berupa tanah problematik atau tanah lunak, tanah ekspansif dantanah gambut. Permasalahan yang timbul dikarenakan beberapa sebab:
1) Daya dukung lapisan tanah Lapisan tanah berupa tanah problematik
dapat berupa lempung, gambut dan tanah ekspansif tersebut sangat kecil
2) Beban timbunan yang tidak mampu didukung oleh lapisan tanah
problematik tersebut. Sehingga bedampak pada:
a) Menurunnya stabilitas timbunan yang berpotensi terhadap keruntuhan
pondasi dan keruntuhan lereng baik lereng dangkal maupun lereng
Perkerasan Jalan
Timbunan
Abutment
Jembatan
Timbunan
Tanah Dasar
TanahLunak /
problemati
-
13
dalam
b) Penurunan timbunan yang berkepanjangan akibat dari proses
konsolidasi yang mebutuhkan wakttu cukup lama, tergantung dari nilai
kompresibilitas tanah lunak dan beban timbunan yang bekerja
c) Akibat keseimbangan batas yang terganggu maka akan menimbulkan
distibusi keseimbangan horisontal yang tidak seimbang dan
berdampak pada keruntuhan timbunan dan berdampak pada
struktur bangunan yang ada disekelilingnya.
i) Akibat beban timbunan yang bertambah karena beban berlebih dan
penjenuhan material timbunan akibat terndam saat banjir, sehingga
tanah dasar tidak mampu mendukungnya sehingga menambah
beban horizontal aktif yang tidak diimbangi oleh gaya horizontal
pasifnya.
ii) Akibat adanya pengaruh luar yang terjadi sehingga mengurangi
gaya horizontal penahan stabilitas lereng timbunan seperti hilangnya
atau berkurangnya penahan lateral pasif, seperti degradasi dasar
sungai dan abrasi didepan abutment jembatan yang merubah
penampang basah sungai.
Pada kondisi at-fill ini tanah dasar terdiri dari lapisan tanah problematik yang
berupa endapan sedimen kuarter dan dapat berupa tanah lunak baik
organik maupun non-organik, tanah gambut dan tanah ekspansif. Jenis
lapisan tanah problematik seperti telah diuraikan sebelumya sifat
karakteristiknya dipengaruhi oleh geologi batuan dasarnya yang telah
mengalami proses pelapukan dan tersedimentasi dalam waktu yang lama.
Lapisan tanah problematik ini bilaman berupa lempung maka
keberadaannya dapat berupa tak terkonsolidasi (normally consolidated)
atau telah terkonsolidasi (over consolidated). Kedua keadaan kondisi ini
akan mempengaruhi karakteristik propertisnya sehingga akan berpengaruh
pada stabilitas konstruksi yang dibangun diatasnya seperti prasarana jalan
dan jembatan. Berikut permasalahan yang timbul pada konstruksi
-
14
perkerasan jalan pada kondisi ”at-fill”.
2.3.2 Keruntuhan pada Kondisi “at-fill” pada timbunan jalan yang beradapada Lapisan Tanah Lunak dan Organik
Besar penurunan nya penurunan yang terjadi perlu dipertimbangkan danparameter penurunan yang perlu dipertimbangkan terhadap: jenis dan
ketebalan lapisan tanah problematik, berat timbunan, derajat konsolidasi
dan defrajad kemampatan atau kompresibilitas tanah problematik.
1) Kecepatan penurunan
Parameter yang mempengaruhi kecepatan dan perlu dipertimbangkan
terhadap berlangsungnya adalah waktu atau lama nya penurunan dan
kecepatan penurunan. Paramter yang mempengaruhi penurunan adalah
sangat tergantung kepada tebal lapisan tanah problematik/lunak dan sifat
karakteristik propertis tanah problematik itu sendiri, yaitu derajad
konsolidasi dan derajad pemampatan tanah.
Kejadian penurunan dan keruntuhan badan jalan yang dibangun diatasmasing-masing jenis tanah problematik menunjukkan karakteristik yang
berbeda.
2) Besar Penurunan dan Keruntuhan Timbunan Badan Jalan pada tanah
dasar yang terdiri dari lapisan tanah lunakPermasalahan menurunya stabilitas timbunan jalan karena penurunan
dan keruntuhan dapat terjadi karena daya dukungnya yang rendah serta
nilai kompresibilitasnya besar. Pada Gambar 2- 9 diperlihatkan
penurunan dan keruntuhan timbunan jalan pada tanah lunak yang tidak
berpotensi terjadinya pengangkatan tanah disamping timbunan
sedangkan pada
-
15
Gambar 2- 9. Kejadian penurunan dan keruntuhan timbunan badan jalan pada tanah problematic yang berupa tanah lunak
Permasalahan lain yang terjadi pada kondisi “at-fill” adalah kejadianpenurunan yang Berdampak menyebabkan timbulnya displacementpergerakan kesamping sehingga mengakibatkan terjadinyapengangkatan tanah disekelilingnya (heaving) seperti diperlihatkan padaGambar 2- 10.
Penurunan berlebih Penurunan dan dampak terjadidisplacement
Squezing (pergeseran kesamping) Squeezing dan berdampak keruntuhanlereng
Gambar 2- 10. Permasalhan penurunan dan displacement pergerakanyang berdampak pada mengangkatan tanahdisekelilingnya (heaving)
-
16
Landasan pendekatan perencanaan timbunan yang diperkuat adalah
perencanaan untuk mencegah keruntuhan. Gambar 2-11a.,b,c menunjukkan
mode keruntuhan yang dapat terjadi pada timbunan yang diperkuat. Ketiga
kemungkinan keruntuhan tersebut memberikan indikasi jenis analisis stabilitas
yang dibutuhkan. Selain itu, penurunan timbunan dan potensi rangkak pada
perkuatan juga harus dipertimbangkan
2-11.a. Keruntuhan daya dukung
2-11.b. Keruntuhan rotasional
2-11.c. Keruntuhan akibat pergerakan lateral(Sumber: Hotlz dkk, 1998)
Permasalahan lain yang terjadi karena beban timbunan yang berdampak padaterganggunya stabilitas abutmen jembatan (Abutment of bridge) dan juga
-
17
bangunan disampingnya diperlihatkan pada Gambar 2- 12.
Gambar 2- 12. Displacemen horizontal akibat penurunan bebantimbunan berlebih yang mempengaruhi stabilitasbangunan disampingnya
Pada Gambar 2- 12 diperlihatkan kejadian terangkatnya bangunan rumahakibat terjadinya heaving (gambar atas) dan terdorongnya abutmentjembatan akibat displacement beban timbunan berlebih (gambar bawah).Kejadian dilapangan akibat displacement ini diperlihatkan pada Gambar 2- 13.Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunan berlebih dibelakangabutment.dan keruntuhan pada Badan Jalan 2-14
Dampak lain yang diakibatkan pada timbunan dibelakang ABUTMENjembatan disamping displasemen yang dapat mendorong pondasi abutmenjuga timbulnya heaving atau pengangkatan tanah disamping timbunansehingga dapat merusak bangunan infrastruktur disekelilingnya sepertidiperlihatkan pada Gambar 2- 15.
-
18
Gambar 2- 12. Keruntuhan Abutmen Jembatan oleh beban timbunanberlebih dibalakang abutment.
Gambar 2-13. Keruntuhan Badan Jalan
-
19
Gambar 2- 14. Terjadinya pengangkatan tanah (Heaving) disampingtimbunan berlebih
Faktor lain yang menyebabkan kejadian terdorongnya abutment jembatan,
dikarenakan terjadinya displacement yang tidak tertahan dikarenakan
berkurangnya gaya lawan pasif yang disebabkan oleh beberapa sebab antara
lain:
1) Terjadinya degradasi dasar sungai didepan abutment
2) Terjadinya abrasi tepi sungai didepan abutment
3) Terjadinya erosi dinding tepi sungai sehingga kepala tiang penopangabutment jembatan tidak mempunyai gaya lawan pasif.
Dengan memperhatikan Gambar 2- 8 maka tanah lunak yang kompresibilasnya
tinngi dan daya dukungnya rendah berpotensi terhadap ketidak mantapan
konstruksi jalan dan abutment jembatan sehingga dalam perencanaannya
perlu dikaji lebih mendetail.
2.3.3 Keruntuhan Tanah Dasar Pondasi Jalan pada kondisi ”at-fill” atautimbunan jalan yang berada pada tanah Gambut
Disebabkan karena tanah kompresibilitas sangat besar problematik yang berupa
-
20
tanah gambut mempunyai nilai dan kadar air yang sangat tinggi maka
penurunan yang terjadi umumnya penurunan seketika lebih besar dari pada
penurunan konsolidasi yang terjadi. Dengan demikian maka kerunuhan jalan
akan terjadi sesaat timbunan jalan selesai dikerjakan dan kondisi ini akan
semakin parah bila timbunan berlebih diterapkan diatas lapisan tanah gambut.
Pada Gambar 2- 11 diperlihatkan timbunan badan jalan yang dibangun pada
lapisan tanah gambut yang dangkal (< 2,00 meter) selalu hilang tiap kali
dilakukan penimbunan dan diduga hali ini dikarenakan penuruan sesaat setelah
penimbunan sangat sehingga displacement kesamping juga besar. Sedangkan
pada Gambar 2- 12 menunjukkan permasalahan timbunan badan jalan pada
lapisan tanah gambut yang relatif tebal sehingga kecepatan displacement vertikal
lebih besar dari displacement horizontalnya yang berdampak terangkatnya
lapisan tanah gambut menutup badan jalannya.
-
21
Gambar 2- 15. Konstruksi timbunan jalan diatas tanah Gambut diKalimantan Tengah tahun 1999
Gambar 2- 16 Penanganan Konstruksi jalan diatas tanah Gambut di KalimantanTengah
-
22
Gambar 2- 17. Penurunan yang terjadi pada penimbunnan badanjalan diatas lapisan tanah gambut yangrelative tebal
2.3.4 Keruntuhan Jalan pada Kondisi ” at-fill ” pada timbunan jalan yangberada pada lapisan tanah ekspansif
Seperti telah diuraikan bahwa akibat perbedaan kadar air maka akan
menimbulkan retakan memanjang jalan dan seiring dengan kondisi yang
berulang maka daya dukung tanah ekspansif berkurang secara signifikan
dan berakibat terjadinya longsoran. Kejadian retakan dan longsoran
badan jalan diatas tanah ekspansif diperlihatkan pada.
-
23
Gambar 2- 18. Konstruksi timbunan badan jalan diatas lapisan tanahekspansif
Gambar 2.19 : timbunan oprit jembatan dimana abutment terdorong ke depan,kearah sungai
-
24
2.3.4.1 Fungsi dan Aplikasi Perkuatan TimbunanFungsi perkuatan pada konstruksi timbunan adalah sebagai berikut:
A. Meningkatkan faktor keamanan rencana;
B. Menambah tinggi timbunan;
C. Mencegah pergeseran timbunan selama pelaksanaan;
D. Memperbaiki kinerja timbunan karena penurunan pasca konstruksi yang
seragam.
Perkuatan timbunan yang dibangun di atas tanah lunak umumnya akan berada
dalam dua kondisi, yaitu:
A. Timbunan dibangun di atas deposit yang seragam;
B. Timbunan dibangun di atas zona lemah lokal.
Aplikasi perkuatan timbunan yang paling umum untuk kondisi pertama adalah
timbunan jalan, tanggul, atau bendungan yang dibangun di atas lapisan lanau,
lempung atau gambut jenuh air yang sangat lunak (lihat Gambar 2.15a). Pada
kondisi ini, arah terkuat dari geosintetik biasanya ditempatkan tegak lurus
terhadap garis tengah timbunan. Perkuatan tambahan dengan arah terkuat yang
ditempatkan sejajar dengan garis tengah timbunan dapat juga dibutuhkan pada
ujung timbunan.
Aplikasi kedua adalah konstruksi timbunan yang berada di atas tanah yang
mempunyai zona lemah lokal atau tanah berongga. Zona atau rongga ini dapat
diakibatkan oleh lubang amblasan (sink hole), aliran sungai tua, atau kantung
lanau, lempung atau gambut (lihat Gambar 2.14b). Untuk aplikasi ini, fungsi
perkuatan adalah sebagai jembatan di atas zona lemah lokal atau rongga, dan
perkuatan tarik yang dibutuhkan dapat lebih dari satu arah. Oleh karena itu, arah
terkuat dari geosintetik harus ditempatkan dengan arah yang benar terhadap
garis tengah timbunan Perkuatan geotekstil atau geogrid dapat dipasang satu
lapis atau lebih tergantung besarnya gaya geser yang akan ditahan.
-
25
(a) Timbunan di Atas Tanah Lunak
(b) Timbunan di Atas Zona Lemah Setempat dan Tanah Berongga(Sumber: Hotlz dkk, 1998)
Gambar 2.-20 :Perkuatan Timbunan
2.4 Kondisi Jalan pada “at-cut”
Seperti halnya kondisi sebelumnya, dalam rangka memenuhi persyaratan
geometric jalan untuk mewujudkan terlaksanakannya undang-undang jalan,
maka konstruksi jalan dapat berada pada daerah galian atau disebut at-cut.
Kondisi ini keberadaan jalan pada daerah galian dan umunya permasalahan
yang dihadapi adalah kerusakan jalan akibat berubahnya karakterisitik propertis
lapisan tanah dasar (subgrade) hasil setelah digali. Dikarenakan material galian
terekspose udara maka akan berubah sifat karakteristik propertisnya secara
-
26
signifikan dan perubahan ini dipicu pula dengan terganggunya sistim tata salir
alam sebelumnya.
Permasalahan kerusakan jalan pada kondisi “at-cut” ini dapat berupa
kerusakan perkerasan jalan karena dampak dari pengurangan beban (release
load) pada lereng alamnya yang berdampak pada:
1) Berkurangnya daya dukung tanah akibat mengalami penjenuhan yang
meningkat karena tanah dasar (subgrade) menjadi jenuh akibat
terakumulasinya air dari lereng yang berubah.
2) Berkurangnya kemantapan stabilitas lereng galian yang berubah sudutlereng dan ketinggiannya sehingga kondis subgrade menjadi terpengaruh
atau mengalami depersi akibat beban tambahan dari lereng hasil galian.
Berikut diperlihatkan kondisi jalan ”at-cut” yang terjadi dilapangan dan tanah
dasar digunakan sebagai lapisan subgrade. Dilapangan pada beberapa lokasi
ada yang berpotensi ekspansif misalnya mengandung unsur lempung dengan
kandungan illite dan kaolinite yang cukup besar, walaupun kandungan
ekspansifnya jauh dibawah mineral lempung yang mengandung
”montmorillonite”.
Konstruksi jalan pada kondisi ”at-cut” diperlihatkan pada Gambar 2- 14 yang
menujukkan adanya kerusakan perkerasan jalan akibat menurunnya daya
dukung subgrade karena mengalami kejenuhan dan keruntuhan lereng galianjalan sebagai berikut:
1) Pengurangan beban (load released) menimbulkan perubahan karakteristik
propertis material dan penurunan muka air tanah (MAT) menimbulkan
keruntuhan lerenggalian
2) Penjenuhan lapisan subgrade yang dengan volume yang meningkat dimanaberpotensi menurunkan daya dukungnya bedampak pada kerusakan
perkerasan jalan.
-
27
Gambar 2- 21. Konstruksi perkerasan jalan pada kondisi “at-cut”
Gambar 2- 22. Konstruksi perkerasan jalan pada kondisi “at-cut” Tol Cikapali
hMuka AirTana
PerkerasanJalan
Release Beban akibat galian
Tanah Dasar, berpotensimengandung unsur
minareal lempung yang
ekspansif
Tanah Dasar, dayadukung
berkurang akibat penjenuhan
-
28
Pada kondisi “at-cut” ini bilamana diperhatikan pada Gambar 2- 21
berdampak padapenjenuhan kaki lereng galian yang diakibatkan oleh adanya
pengurangan beban dan meyebabkan muka air tanah turun dan terkonsentrasi
pada kaki lereng. Kejadian kasus keruntuhan lereng galian ini diperlihatkan pada
Gambar 2- 23.
Gambar 2- 23. Keruntuhan lereng dan kerusakan perkerasan jalan padakondisi “at-cut”.
Kejadian penjenuhan kaki lereng pada konsisi “at-cut” ini akan lebih berdampak
pada lereng yang mengandung material lempung ekspansif sehingga juga
berdampak pada Potensi kerusakan perkerasan dan kondisi ini dicirikan oleh 2hal penting yaitu:
1) Kerusakanperkerasan karena lapisan tanah dasar (subgrade) dan lapisan
subgrade mengalami penjenuhan akibat air tanah yang tidak terkendali dan
terkonsentrasi pada lapisan tanah dasar.
2) Kejadian penjenuhan tanah ini umumnya disebut permasalahan “pumping”
yaitu air tanah akan berusaha mencapai keseimbangan dengan perilaku
perbedaan muai susut yang cukup besar
3) Untuk mengatasi masalah ini, maka pengendalian air tanah yang berubah
akibat galian menjadi sangat penting. Dalam spesifikasi pekerjaan tanah
-
29
untuk jalan seperti spesifikasi Bina Marga disyaratkan agar permukaan
subgrade harus terletak minimum 1.00 meter diatas muka air tertinggi,
dapat air tanah maupun air permukaan yangmenggenang.
2.5 Rangkuman
Permasalahan Permasalahan Kerusakan Konstruksi Jalan pada tanah
Problematik dapat dibedakan menjadi 3 hal yaitu yang pertama jalan yang
berada pada kondisi “at-grade” atau se level dengan tanah dasarnya sehingga
tanah dasar aslio difungsikan sebagai lapisan subgrade. Yang kedua adalah
jalan pada kondisi “at-fill” atau perkerasan jalan berada pada timbunan
sehingga timbunan difungsikan sebagai lapisan subgrade. Ketiga adalah
perkersan jalan berada pada kondisi “at-cut” atau berda pada daerah galian.
Hal lain yang penting adalah karakteristik properties masing-masing tanah
problematic mempengaruhi bentuk, ciri dan mekanisme kejadian kerusakan
jalan sehingga perlu penanganan yang sesuai dan untuk itu perlu mengenali
karakteristik propertisnya, dan cara investigasinya berdasarkan kajian terhadap
mekanisme keruntuhan yang terjadi.
2.6 Latihan
Peserta diminta untuk menguraikan pengalaman dalam menghadapi
permasalahan tanah problematic terhadap infrastruktur jalan dan jembatan
-
30
KEGIATAN BELAJAR 2
KRITERIA PADA PERENCANAAN DANPENANGANAN JALAN PADA TANAHPROBLEMATIK
Seperti telah diuraikan sebalumnya bahwa pengumpulan data sekunder berupa
kajian literatur dan informasi parameter geoteknik yang berkaitan dengan lokasi
yang disurvai akan sangat bermanfaat sebagai acuan dasar dalam melakukan
investigasi geoteknik yang mencakup penyelidikan lapangan dan laboratorium
yaitu dengan melakukan pengambilan sampel tanah dari lapangan. Dalam
melakukan survai kondisi lapangan dapat dilakukan dengan melakukan
inventori kondisi lapangan dengan mencocokkan kondisinya terhadap data
sekunder yang dikumpulkan dan dikaji mencakup:
1) Arti dari lapisan tanah dasar sebagai peletakan sistim konstruksi perkerasanjalan
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami tentang
prinsip perencanaan dan Penanganan Jalan yang dibangun pada tanah
problematic mulai dari penggunaanya sebagai lapisan tanah dasar konstruksi
jalan dan sebagai pendukung sistim konstruksi jalan secara keseluruhan.
Mamhami permasalahan stabilitas jalan terhadap struktur perkerasan dan
stabilitas jalan terhadap sistim konstruksi jalan secara keseluruhan.
Selanjutnya peserta juga dapat memahami tentang prinsip
penanggulangannya terhadap keruntuhan lereng timbunan dan keruntuhan
dalam yang mengakibatkan kondisi jalan mengalamikelongsoran.
-
31
2) Karakteristik propertis sifat tanah problematik3.1 Lapisan Tanah Dasar
3.1.1 Lapisan Tanah Dasar dalam Sistim Perkerasan Jalan
Lapisan tanah dasar ditinjau dari sistim perkerasan tanah dasar adalah subgrade
sedangkan pada lingkup geoteknik tanah dasar adalah perlapisan tanah yang
difungsikan untuk mendukung beban struktur konstruksi perkerasan jalan.
Pada lapisan tanah dasar sebagai subgrade pada bab sebelumnya diterangkan
ada 3 kondisi yaitu: pada kondisi “at-grade” yang artinya lapisan subgrade pada
permuakaan tanah asli, pada kondisi “at-fill” artinya lapisan subgrade berada
pada timbunan dan kondisi “at-cut” artinya lapisan subgrade berada pada elevasi
setelah lereng dilakukan penggalian.
Oleh karena itu, maka persyaratan Tanah Dasar yang digunakan sebagai
lapisan subgrade perkerasan jalan harus mampu untuk mengantisipasi beban
lalulintas dengan berbagai kondisi kelas jalan. Dengan demikian nilai kekuatan
daya dukung nya tergantung dari jenis tanah / material yang difungsikan sebgai
lapisan dasar/subgrade sehingga mampu mendukung berbagai karakteristik tipe
kendaran yang lewat sesuai dengan Klas Jalan berdasarkan persyaratan muatan
standar kendaraan atau dikenal dengan kelas jalan untuk MST 10 Ton atau
kelas untuk MST 8 Ton. Oleh karenanya maka lapisan tanah dasar sebagai
subgrade umumnya ditentukan dengan karakteristik modulus reaksi subgrade (k)
= 20000 kN/m3 atau CBR > 6 % menurut Standar Spesifikasi Bina Marga.
3.1.2 Lapisan Tanah Dasar dalam Tanah Problematik
Lapisan tanah dasar dalam tanah problematik ini disamping daya dukungnyayang rendah juga masalah penurunan atau keruntuhan jalan menjadi persoalan
tersendiri bila dihubungkan dengan sistim konstruksi jalan yang berada
diatasnya.
-
32
Dengan demikian sistim konstruksi perkerasan jalan yang dibangun diatas
lapisan tanah problematik perlu diperhatikan mulai dari fungsinya sebagai
lapisan subgrade sampai dengan fungsinya sebagai lapisan tanah problematic
yang mendukung beban sistim perkerasan jalan, baik sifat karakteristik
properties dan ketebalannya serta kondisi ke-air-an seperti sistim drainase, air
tanah dan air permukaan serta sistim pengalirannya yang dapat mempengaruhi
kinerja daya dukungnya.
Dalam Spesifikasi Umum Bina Marga disebutkan bahwa permasalahan dalam
usaha membentuk badan jalan dikelompokkan dalam divisi 3; pekerjaan tanah
dan mencakup seperti diperlihatkan pada Gambar 3- 1, yaitu mencakup kondisi
tanah dibawah perkerasan jalan yang difungsikan sebagai lapisan subgrade.
Berdasarkan ketentuan yang diperlihatkan maka lingkup tanah problematik
untuk konstruksi jalan mencakup kondisi sebagai subgrade atau tanah dasar
untuk konstruksi perkerasan jalan dan karakteristik propertisnya sebagai lapisan
problematic dalam mendukung beban timbunan jalan.
Dalam spsifikasi Bina Marga permasalahan tanah dasar ini dibahas dalam divisi
3 yaitu pekerjaan tanah yang mancakup perihal :
1) Persyaratan material timbunan atau material tanah sebagai subgrade
2) Pekerjaan tanah termasuk galian dan timbunan
3) Ketentuan yang harus dipenuhi bila badan jalan berada pada lapisan tanahproblematic
Dengan memperhatikan hal tersebut diatas maka secara ringkas dapatdijelaskan masing-
masing kondisi sehubungan dengan fungsinya tanah dasar sebagai subgrade
untuk mendukung perkerasan jalan dan tanah dasar yang umumnya berupa
perlapisan tanah yang fungsinya mendukung sistim konstruksi jalan, dimana bisa
sebagai “at-grade”, “at-fill” dan “at- cut” yang tentunya mempunyai criteria dan
persyaratn yang berbeda. Pada diperlihatkan konstruksi jalan pada kondisi “at-
-
33
fill” atau konstruksi timbunan jalan.
Gambar 3- 1.Permasalahan Perencanaan jalan pada tanahProblematik
Lapi
san
tana
hPr
oble
mat
ik
1.Ta
nah
Luna
k
2.Ta
nah
Gam
but
3.Ta
nah
Eksp
ansi
f
-
34
3.2 Stabilitas Konstruksi Jalan diatas Tanah Problematik
3.2.1 Stabilitas Daya Dukung Lapisan Tanah Dasar
3.2.1.1 Persyaratan Material sebagai Lapisan Tanah Dasar
Dalam Spesifikasi Umum diperlihatkan pada Gambar Bina Marga
disyaratakan untuk material timbunan seperti 3-2 yang didasarkan pada nilai
MDD ((dry-max) Maximum Dry Density) dan parameter Kepadatan yang
disyaratkan menurut Spesifikasi Bina Marga 2010.
Menurut ketentuan spesifikasi tersebut maka untuk material timbunan yang
digunakan sebagai lapisan tanah dasar diberikan batasan sebagai berikut:
1) Kepadatan lapisan yang lebih dalam dari 30cm di bawah elevasi dasar
perkerasan: 95% berat isi kering maksimum ((dry-max), maximum dry
density, MDD)2) Kepadatan tanah dasar timbunan sedalam 20cm: 95% MDD
3) Kepadatan lapisan tanah MDD pada kedalaman ≤ 30cm dari elevasi dasar
perkerasan: 100%
-
35
4) Permukaan lapisan subgrade jalan terletak sejauh 1,00 meter dari muka airtertinggi
Gambar 3- 2 Nilai kepadatan Tanah untuk Timbunan jalan
Dalam spesifikasi divisi 3 disampaikan bahwa lapisan tanah dasar yang berupaTanah Lunak didefinisikan sebagai setiap jenis tanah yang mempunyai CBR
lapangan kurang dari 2%.
1) Tanah Dasar dengan daya dukung sedang didefinisikan sebagai setiap
jenis tanah yang mempunyai CBR hasil pemadatan > 2% tetapi kurang dari
nilai rancangan yang dicantumkan dalam Gambar 3- 2, atau
2) Tanah Dasar dengan daya dukung sedang didefinisikan sebagai setiap
jenis tanah yang mempunyai CBR hasil pemadatan < 6% jika tidak ada nilai
yang dicantumkan.
3) Tanah dasar dengan mengandung mineral lempung ekspansif didefinisikansebagai tanah yang mempunyai Potensial Pengembangan > 2,5% atau nilai
aktifitas >1,25
3.2.1.2 Persyaratan uji kepadatan
Persyaratan uji kepadatan adalah dimaksudkan untuk memperoleh nilai
kepadatan kering maksimum (d-max) dengan hubungannya terhadap kadar air
optimum (w-%) dan diperlihatkan pada Gambar 3- 3.
-
36
Pada Gambar 3- 3 diperlihatkan hubungannya dengan nilai CBR (California
Bearing Ratio) Design untuk menentukan tebal konstruksi perkerasan jalan
khususnya Perkerasan Lentur (Flexible Pavement).
Dalam uji kepadatan laboratorium baik menggunakan pemadatan standar
(Standard Compaction) maupun kepadatan berat (Modified Compaction)
dilakukan terhadap material tanah yang lolos saringan no. 4 dan untuk
implementasinya dilapangan, maka nilai kepadatan kering perlu dikoreksi
karena dilapangan material tanah yang akan dipadatkan gradasi butirannya
beragam dan tidak mungkin di ambil yang tidak lolos saringan no 4.
Nilai derajad kepadatan relative lapangan diambil berdasarkan rasioperbandingan antara kepadatan kering laboratorium terkoreksi dengan
kepadatan kering lapangannya, dalam hal ini diterapkan ketentuan sebagai
berikut:
1) Untuk tanah yang mengandung mineral lempung maka kepadatan kering
maksimum lapangan harus mencapai (d-max lapangan) > terhadap
kepadatan kering laboratoriumnya 95% (d-max laboratorium).
2) Untuk tanah yang mengandung pasir (tanah pasiran dan agregat) maka
kepadatan kering maksimum lapangan harus mencapai (d-max lapangan)
> terhadap kepadatan kering laboratoriumnya 90% (d-max laboratorium).
-
37
Gambar 3- 3. Nilai kepadatan kering hubungannya dengan CBRDesign
Dengan memperhatikan pada lubang uji “sand cone” di lapangan maka perlu
koreksi terhadap persentase butiran kasar terhadap hasil uji laboratoriumuntukmemperoleh nilai kepadatan relatif-nya (D) dari persamaan dibawah ini:
.
………………………………………………………… 1)
-
38
Dimana:
Gs = Berat jenis bagian terbesar dari butiran tetahan saringan no 4 atau # 4,75mm
Df = Maksimum kepadatan kering di Laboratorium dari bahan yang lolossaringanno 4
Pc = persentase berat butir kasar tertahan saringan no 4 atau tertahan diameter# 4,75 mm
Pf = Persentase material halus yang lolos saringan 4,75 mm,
r = Suatu koeffisien yang harganya tergantung dari harga Pc seperti Tabel 3 -1.
Tabel 3 - 1. Koefisien r terhadap prosentase berbutir kasar tertahan # 4,75mm (Pc)
Bilamana tanah lunak, ekspansif atau tanah problematic lainnya yang berdaya
dukung rendah contoh yang terekspos pada tanah dasar hasil galian, atau
bilamana tanah lunak atau ekspansif berada di bawah timbunan maka
-
39
perbaikan tambahan berikut ini diperlukan yang juga dinyatakan dalam
spesifikasi Bina Marga:
a) Tanah lunak harus ditangani seperti yang ditetapkan dalam gambar rencana
antara lain dengan cara sebagai berikut:
i) dipadatkan sampai mempunyai kapasitas daya dukung dengan
CBR lapangan lebih dari 2% atau
ii) distabilisasi atau dibuang seluruhnya atau digali sampai di
bawah elevasi tanah dasar dengan kedalaman yang ditunjukkan
dalam gambar atau
iii) jika tidak distabilisasi maka sampai dengan kedalaman tertentudilakukan penggantian material seperti yang diberikan dalam tabel
3.2.
Kedalaman galian untuk perbaikan dalam peningkatan daya dukung tanah
dasar (subgrade) distujui dan diperiksa bilamana ada perubahan oleh DireksiPekerjaan, berdasarkan percobaan lapangan (fullscale test).
Hasil uji DCP umumnya dilakukan dengan uji DCP (Dinamic Cone
Penetrometer). Terhadap lapisan tanah dengan hasil yang menunjukkan nilai
CBR berbada maka diperlukan implementasi ketebalan tambahan Dse2 yang
diperlihatkan padaTabel 3 - 2.
-
40
Tabel 3 - 2. Perbaikan Tanah dibawah Permuakaan Tanah Asli
Tabel 3 - 4. Perbaikan Tanah untuk subgrade dan digali sampai dengan
dibawah Permukaan Tanah Aslinya
Kedalaman sampai karakteristik
minimum CBR 2% ( penetrasi uji
DCP diperoleh 65 mm/tumbukan) di
bawah permukaan tanah asli untuk
tanah tak terganggu, tidak termasuk
lapisan permukaan (cm)
Tebal lapis penopang minimum
(cm)
Kedalaman total minimum galian
di bawah tanah dasar (cm)
< 45 cm 30 30 + Dse2
45 cm – < 90 cm 60 60 +Dse2
90 cm – 150 cm 100 100 +Dse2
> 150 cm Penggalian keseluruhan atau perbaikan khusus lainnya
sebagaimana yang diperintahkan atau disetujui Direksi Pekerjaan
3.2.1.3 Daya Dukung Tanah Dasar untuk Konstruksi Jalan
Dalam pekerjaan konstruksi jalan maka daya dukung tanah dasar yang
diinterpretasikan dengan nilai CBR perlu diketahui secara cepat dilapangan dan
metode yang umum digunakan adalah dengan uji kekatan tanah dilapangan
menggunakan DCP (Dinamic ConePenetrometer).
Dalam melaksanakan uji DCP ini digunakan alat DCP dan diperlihatkanpada
Gambar 3- 4. Nilai yang diperoreh dari uji lapangan menggunakan alat uji DCP
ini adalah suatu nilai penetrasi yang dapat dikorelasikan dengan nilai CBR.
Implementasi uji DCP (Dynamic Cone Penetrometer) dilakukan dengan mengisi
Form yang diperlihatkan Gambar 3- 4 dan hasil evaluasi yang diperoleh
diperlihatkan pada Gambar 3- 5.
-
41
Pada Gambar 3- 5 tersebut diperlihatkan nilai penetrasi yang diperoleh untuk
menentukan nilai CBR rancangan. Dari uji DCP ini diperoleh kedalaman
penetrasi akibat penumbukan yang dapat memberikan informasi nilai DCP.
Hasil uji DCP dilapangan terhadap kondisi lapangan sampai kedalam 1,2 meter
diperoleh nilai CBR nya dengan menggunakan grafik diagram yang di
interpolasikan, seperti diperlihatkan pada Gambar 3- 5 tersebut.
Hasil nilai CBR yang diperoleh pada kedalamn sampai dengan 1,2 meter ini
memberikan nilai CBR pada perbedaan jenis perlapisan tanah dan
diperlihatkan pada Gambar 3- 6 yang memberikan ilustrasi diperolehnya nilai
CBR terhadap nilai DCP dilapangan.
Gambar 3- 4. Alat Uji DCP (Dinamic Cone penetrometer) dan Korelasinyaterhadap Nilai CBR (California Bearing Ratio)
Alat DCP yang banyak
digunakan di lapangan Form Pencatatan nilai DCP di lapangan, untuk korelasi nilai CBR
-
42
Gambar 3- 5. Alat Uji DCP dan pencatatan hasil dilapangan terhadap nilai CBR
Gambar 3- 6. Contoh Uji Penetuan Nilai SBR terhadap nilai DCP
Hasil Pencatatan nilai DCP di lapangan, untuk korelasinilai CBR
Alat DCP yang banyak
digunakan di lapangan
-
43
Dengan menggunakan informasi hasil uji DCP dapat diperoleh nilai korlasipenetrasi terhadap nilai CBR nya dan selanjutnya sebagai langkah awal
perencanaan perkerasan jalan yang terdiri dari lapis pondasi (atas dan bawah)
dan tebal lapis perkerasannya dapat didisain.
1) Beberapa ketentuan dalam menerapkan Uji DCP untuk mengevaluasi
kelayakannya dalam mendukung beban kendaraan berdasarkan standar
ESA (Equivalent StandarAxle):
2) Dengan diperolehnya nilai CBR maka untuk menentukan kekuatankonstruksi perkearasn jalan perlu diperoleh Nilai Dse2 yang merupakan suatufaktor yang menggambarkan ketebalan tatah dasar yang dibutuhkanterhadap standar ESA (Equivalent StandarAxle).
3) Dalam hal korelasi antar nilai DCP dan CBR mendapatkan nilai CBR yang
kecil perlu dilakukan perbaikan tanah dasar misalnya dengan menggunakan
material pilihan dengan CBR >2%.
4) Selanjutnya untuk menentukan lapisan tanah dasar yang memenuhi syarat,
selain dipenuhinya CBR >2 % adalah syarat kemampuannya untuk
mendukung beban terhadap ESA (Standar Equvalent Axle) juga salah
satunya dengan menambah ketebalannya untuk persyaratan pemadatan
sesuai spesifikasi yang disyaratkan, misal Spesifikasi Bina Marga 2010
(Tabel 3 - 3).
5) Bilamana hasil DCP menghasilkan nilai CBR yang rendah, maka dapatdirekayasa dengan mengganti material yang memenuhi persyaratan
sebagai lapisan subgrade seperti diperlihatkan pada Tabel 3 - 4.
-
44
Tabel 3 - 3. Nilai CBR terhadap ESA (Equivalent Standar Axle)
Tabel 3 - 4. Perbaikan Tanah untuk subgrade dan digali sampai dengan dibawahPermukaan Tanah Aslinya
Kedalaman sampai karakteristik minimum
CBR 2% ( penetrasi uji DCP diperoleh 65
mm/tumbukan) di bawah permukaan tanah
asli untuk tanah tak terganggu, tidak
termasuk lapisan permukaan (cm)
Tebal lapis penopang
minimum (cm)
Kedalaman total minimum
galian di bawah tanah dasar
(cm)
< 45 cm 30 30 + Dse245 cm – < 90 cm 60 60 +Dse290 cm – 150 cm 100 100 +Dse2
> 150 cm Penggalian keseluruhan atau perbaikan khusus lainnya
sebagaimana yang diperintahkan atau disetujui Direksi
Pekerjaan
Dilapangan bilamana dijumpai kondisi sebagai berikut harus dilakukan
pekerjaan awal seperti dibawah ini sebelum uji DCP dilakukan:
a) Bila dijumpai tanah ekspansif maka harus dibuang sampai kedalaman 1
meter di bawah elevasi permukaan tanah dasar rencana.
b) Tanah Dasar mempunyai Daya Dukung sedang maka harus digali
sampai kedalaman tebal lapisan penopang sesuai spesifikasi yang
berlaku dan harus ditunjukkan dalam gambar rencana.
CBR Tanah dasar yang Ada
Umur Rencana dalam
ESA (eqkivalent
standar axle)
(kriteria keruntuhan
tanah dasar)
CBR Rancangan untuk Tanah Dasar
4 5 6
Timbunan Pilihan
Tebal untuk peningkatan tanah dasar Dse(cm)
2 – 3 (termasuk lapis penopang
paling atas) Dse2
10 5 - < 106 20 25 30
106 - < 107 25 30 35
107 - 108 30 35 404
Semua0 15 15
5 0 0 15
-
45
c) Untuk rencana konstruksi perkerasan jalan pada kondisi galian atau “at-
cut” harus tetap dijaga agar bebas dari air pada setiap saat, terutama
untuk tanah lunak dan ekspansif sehingga memperkecil dampak akibat
perubahan penyusutan dan pengembangan oleh karena itu itu harus
dilakukan pembenahan sistim drainase untuk menjaga perubahan
kembang susut yang terjadi.
d) Bilamana dalam uji DCP dijumpai kondisi untuk setiap lapisan tanah
hasil galian diperkirakan perlu penanganan atau perbaikan dan tidak
disyaratkan secara khusus dalam Gambar, maka implementasinya
harus disetujui terlebih dahulu oleh Direksi Pekerjaan.
e) Bilamana dijumpai adanya lapisan tanah problematic atau tanah lunak
yang cukup tebal (dari uji DCP memperoleh nilai penetrasi besar atau
nilai CBR kecil) yang dampaknya dikhawatirkan dapat mengganggu
dicapainya stabilitas timbunan (timbul masalah penurunan dan
keruntuhan) maka perlu dilakukan invesigasi untuk mengetahui
kedalamannya dengan :
i) Penggujian lapangan dengan Sondir atau DCP (Dutch Cone
Penetrometer)
ii) Pemboran untuk mengetahui kondisi perlapisan tanah lunak tersebut
iii) Dilakukan uji laborium untuk megetahui untuk keperluan analisa
stabilitas
(1) karakteristik propertisnya melalui klasifikasi dan indek test
(2) kekuatan dan sensitivitasnya
(3) faktor terhadap nilai kekompakan, permeabilitas, kompresibilitas
Petunjuk dalam melaksanakan uji DCP dan uji lapangan lainya serta uji
laboraroium yang mendukung dan terintegrasi dengan uji DCP dapat dilakukan
dengan berdasar pada standar yang telah dibakukan atau SNI yang terkait
serta Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 tentang Pekerjaan Jalan dan
-
46
Jembatan.
3.2.1.4 Kualitas Bahan Timbunan
Kualitas material tanah yang digunakan untuk timbunan dalam rangka
membentuk lapisan tanah dasar atau subgrade sebagai tumpuan konstruksi
perkerasan jalan perlu diperhatikan karena beberapa hal berikut perlu
diperhatikan:
1) Material tanah untuk timbunan yang terdiri dari tiga jenis, yaitu Timbunan
Biasa, Timbunan Pilihan, dan Timbunan Pilihan Berbutir di atas tanah rawa
yang masing-masing mempunyai karakteristik properties yang spesifik dan
kekuatan dayadukungnya.
2) Timbunan pilihan digunakan untuk meningkatkan kapasitas daya dukung
tanah dasar pada lapisan penopang (capping layer) dan jika diperlukan di
daerah galian. Timbunan pilihan dapat juga digunakan untuk stabilisasi
lereng atau pekerjaan pelebaran timbunan jika diperlukan lereng yang lebih
curam karena keterbatasan ruangan, dan untuk pekerjaan timbunan lainnya
dimana kekuatan timbunan adalah faktor yangkritis.
3) Timbunan Pilihan Berbutir digunakan sebagai lapisan penopang (capping
layer) pada tanah lunak yang mempunyai CBR lapangan kurang 2% yang
tidak dapat ditingkatkan dengan pemadatan atau stabilisasi, dan diatas
tanah rawa, daerah berair dan lokasi-lokasi serupa dimana bahan
Timbunan Pilihan dan Biasa tidak dapat dipadatkan denganmemuaskan.
4) Baik Timbunan Pilihan maupun Timbunan Pilihan Berbutir umumnya
digunakan untuk penimbunan kembali pada abutmen dan dinding penahan
tanah serta daerah kritis lainnya yang memiliki jangkauan terbatas untuk
pemadatan dengan alat yang disetujui oleh Direksi Pekerjaan.
5) Bila drainase diperlukan maka dipasang bahan material sebagai
landasan untuk pipa atau saluran beton, maupun bahan drainase
porous yang dipakai untuk drainase bawah permukaan atau untuk
mencegah hanyutnya partikel halus tanah akibat proses penyaringan.
-
47
-
48
6) Dalam hal agar tidak terjadi penurunan kualitas bahan timbunan sehingga
menyebabkan menurunya daya dukung dan stabilitasnya maka permukaan
lapisan tanah dasar final harus berada cukup jauh dari muka air tertinggi,
baik air tanah maupun air permukaan. Untuk itu tinggi timbunan sebagai
tanah dasar harus mempunyai ketinggian yang cukup dan dapat
mewujudkan daya dukung yang memadai dan dapat berdiri stabil terhindar
dari keruntuhan dangkal (keruntuhan lereng) maupun keruntuhan dalam
(keruntuhan pondasi).
7) Nilai Daya Dukung material tanah dasar dilapangan sebagai subgrademempunyai nilai kepadatan (compactness) setara dengan nilai derajad
kepadatannya (relative density) dan Ratio) serta sudut geser dalamnyaseperti diperlihatkan pada CBR (California Bearing rangkuman Tabel 3- 5.
-
49
Tabel 3- 5 Nilai korelasi beberapa Parameter Kepadatan terhadap N-SPT(Nilai Standard Penetration Test)
3.2.1.5 Rekayasa Teknik Terhadap Timbunan yang TidakMemenuhi Ketentuanpersyaratan Kualitas dan Ketentuan Stabilitas
Rekayasa terhadap bahan timbunan yang tidak memenuhi syarat kualitas serta
ketentuan stabilitas perlu dilakukan.
1) Timbunan akhir yang tidak memenuhi penampang melintang yang
disyaratkan harus diperbaiki dengan menggemburkan permukaannya dan
membuang atau menambah dan dilanjutkan dengan pembentukan kembali
dan pemadatankembali.
2) Timbunan yang terlalu kering untuk pemadatan, terhadap batas-batas
kadar air optimumnya harus diperbaiki dengan menggaruk bahan tersebut,
dilanjutkan dengan penyemprotan air secukupnya dan dicampur agar
homogin dengan menggunakan "motor grader" atau peralatan lain yang
disetujui direksi pekerjaan.
3) Timbunan yang terlalu basah untuk pemadatan, harus diperbaiki dengan
menggaruk bahan material tanah tersebut dengan penggunaan motor
grader atau alat lainnya secara berulang-ulang dengan ketentuan:
-
50
a) selang waktu istirahat selama penanganan,
b) dalam cuaca cerah.
4) Alternatif lain bilamana pengeringan yang memadai tidak dapat dicapai
dengan menggaruk dan membiarkan bahan gembur tersebut, mka diganti
dengan bahan material tanah kering yang lebih cocok.
5) Timbunan yang telah dipadatkan dan memenuhi ketentuan persyaratan
menjadi jenuh akibat hujan atau banjir atau karena hal lain, biasanya tidak
memerlukan pekerjaan perbaikan asalkan sifat-sifat bahan dan kerataan
permukaan masih memenuhi ketentuan persyartan tersebut.
6) Timbunan yang telah dipadatkan dan tidak memenuhi persyaratan stabilitas
karena berbagai sebab:
a) Berada diatas lapisan tanah problematik maka perlu perkuatan terhadap
keruntuhan dalam atau longsoran dalam. Untuk perkuatan dasar
timbunan dapat diterapkan dengan mengahmparkan lapisan geosintetik
berupa geogrid yang juga dapat di kombinasikan dengan geotekstil.
Geogrid berfungsi untuk perkuatan sedangkan geotekstil dapat
berfungsi sebagai separator, filter dan penambah perkuatan didasar
timbunan.
b) Keterbatasan dalam mencapai stabilitas sehingga dikhawatirkan akan
mengalami keruntuhan lereng atau longsor maka perbaikan timbunan
dengan perkuatan geosintetik dapat dilakukan.
c) Perbaikan timbunan yang rusak akibat gerusan banjir atau menjadi
lembek setelah pekerjaan tersebut selesai maka perlu disiapkan sistim
penataan pengaliran air yang seignifikan terhadap penjenuhan material
timbunan.
7) Untuk menjamin terpenuhinya ketentuan stabilitas timbunan yang
difungsikan sebagai subgrade bilamana berada pada lapisan tanah
problematic yang mempunyai ketebalan
cukup signifikan maka perlu dilakukan perbaikan tanah problematic tersebut
sebelum dilakukan penimbunan.
-
51
8) Prinsip perbaikan tanah problematic dilakukan dengan ketentuan sebagaiberikut:
a) Mengevaluasi jenis dan ketebalannya serta perlapisannya
b) Memilih metode yang dapat diterapkan dengan mempertimbangkan
teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan bahan untuk
mendukung penerapan teknologi tersebut.
9) Jenis teknologi yang dipilih perlu mempertimbangkan criteria sebagaiberikut:
a) Teknologi dengan mengganti material yang lebih baik sehingga
memenuhi ketentuan daya dukung dan stabilitas.
b) Teknologi dengan meningkatkan daya dukung tanah problematic
misalnya dengan menerapkan sistim pondasi yang dapat mendukung
dan meningkatkan daya daya dukung dan stabilitas
c) Teknologi dengan meningkatkan stabilitas terhadap terjadinya
keruntuhan baik keruntuhan lereng maupun keruntuhan pondasi.
d) Teknologi dengan mengurangi beban yang bekerja yaitu membatasi
tinggi timbunan atau melakukan sistim konstruksi timbunan yang
menjadi ringan.
3.2.2 Stabilitas Timbunan
Suatu hal yang sangat pentingadalah menganalisa dan mengevaluasi
kondisi lapisan tanah sebagai tumpuan daya dukung timbunan jalan.
Terpenuhinya daya dukung timbunan sebagai lapisan tanah dasar
(subgrade) konstruksi jalan tidaklah mencukupi kalo tidak mengevaluasi dan
menganalisa kondisi lapisan tanah nya karena akan berdampak pada
keruntuhan timbunan.
3.2.2.1 Langkah-langkah Memilih Solusi Penanganan Badan Jalan diatasTanah Problematik
Langkah-langkah memilih solusi penanganan badan jalan diatas tanah
-
52
problematik :
1) Identifikasi masalah
2) Identifikasi faktor-faktor yang akan mempengaruhi proses pengambilankeputusan
3) Memilih menganalisa pilihan
4) Menghitung biaya masing-masing5) Menentukan pilihan yang terbaik
Memahami prinsip penanganan permasalahan konstruksi jalan pada tanah
problematic baik untuk jalan baru maupun jalan eksisting.
1) Memahami beberapa prinsip metode penanganannya yang diawali dengan
mengevaluasi dan menganalisa terhadap permasalahan yang akan terjadi
sebelum menentukan tipe penanganannya.
2) Penanganan tanah problematik yang biasa dilaksanakan di Indonesia
adalah dengan metode :
a) Penanganan pada Pekerjaan Tanah
b) Penanganan pada Perbaikan Tanah
3.2.2.2 Teknologi Penanganan Tanah Problematik
Beberapa teknologi dapat diterapkan seperti diperlihatkan pada . Dengan
pemilihan teknologi yang tepat perlu dilakukan evaluasi dan analisa terhadappermasalahan yang terjadi.
-
53
Tabel 3- 6. Teknologi penanganan Tanah Problematik
Seperti telah diuraikan sebelumnya, maka langkah pertama dalam
melakukan pemilihan teknologi yang akan di implementasikan adalah dengan
mengetahui macam dan jenis tanah problematic melalui serangkaian pengujian
sehingga secara jelas dapat diklasifikasikan seperti diperlihatkan pada Gambar
3- 7.
Khusus pada tanah ekspansif dengan memperhatikan Gambar 3- 7 tersebut,
bilamana dijumpai kandungan lempung tinggi, maka perlu di analisa
kandungan unsure mineralnya dan bila dijumpai adanya unsur mineral
monmorillonite maka selanjutnya dilakukan uji potensial kembang-susutnya.
-
54
Gambar 3- 7. Klasifikasi Tanah Lunak/Gambut
3.2.2.3 Mode Keruntuhan Timbunan pada tanah problematic
Beberapa kejadian dikarenakan rendahnya daya dukung serta nilai
kompresibilitasnya yang besar pada tanah problematik maka timbul beberapa
permasalahan sehubungan dengan penurunan dan keruntuhan timbunan.
-
54
1) Permasalahan Penurunan
Terjadinya masalah penurunan yang umumnya didominasi oleh penurunan
primer pada tanah lunak dengan kurun waktu yang cukup lama maka
dapat digolongkan sebagai keruntuhan amblasan atau keruntuhan pondasi
seperti diperlihatkan pada Gambar 3- 8. Bilamana sifat kompresibilitasnya
tinggi seperti pada tanah organic atau gambut maka akan terjadi penurunan
timbunan yang sangat cepat dan berdampak menimbulkan pengangkatan tanah
disekelilingnya (heaving) serta bertambahnya gaya horizontal.
-
55
Gambar 3- 8. Keruntuhan amblasan atau pondasi
-
56
Dampak yang ditimbulkan oleh beban yang berlebihan adalah
pengangkatan tanah yang berdampak pada pengangkatan tanah juga
berdampak pada meningkatnya beban horizontal dan menimbulkan
kerusakan bangunan infrastruktur disekelilingnya seperti abutmen jembatan
dan kejadian ini diperlihatkan pada Gambar 3- 9 a. yang menggambarkan
penurunan berlebih pada tanah lunak dan Gambar 3- 9 b. penurunan
berlebih pada lapisan tanah gambut. Penurunan berlebih yang
mengakibatkan terdeformasinya abutment jembatan diperlihatkan pada
-
57
Gambar 3- 10.
Gambar 3- 15. Keruntuhan Timbunan akibat Pengangkatan Tanah yangberlebihan (sumber : eddie sunaryo, 2010 – 2014 dan 2015)
b) Pada Lapisan tanah Lunak
a) Pada Lapisan tanah Lunak
-
58
Gambar 3- 16. Keruntuhan abutmen jembatan pada TanahProblematik berupa tanah lempung organic kompresibel (sumber :eddie sunaryo, 2010 – 2015 dan 2015)
Kejadian lain adalah keruntuhan lereng timbunan yang bukan merupakan
keruntuhan lereng timbunan yang sifatnya dangkal, tetapi timbul keruntuhan
lereng dalam seperti diperlihatkanpada Gambar 3- 11 timbunan jalan pada tanah
lunak organic dan Gambar 3- 12 keruntuhan timbunan jalan pada Tanah
Ekspansif (sumber eddie sunaryo 2010 dan 2011).
Pada tanah Organik tinggi dan Gambut:
Berdampak pada longsoran lere g timbunan
dalam setelah di identifikasi retakan
memanjang jalan di bagian tengah.
-
59
n
Gambar 3- 17. Keruntuhan Lereng Dalam Timbunan Jalan pada lapisantanah Lunak
Gambar 3- 18. Keruntuhan Lereng Timbunan Jalan pada Tanah Ekspansif
3.3 Rangkuman
Pada Modul 3 yang berjudul PERMASALAHAN KERUSAKAN JALAN DAN
PERENCANAAN – PENANGANANNYA SEBAGAI TANAH DASAR
merangkum yang berhubungan dnegan perancanaan dan penanganan jalan
yang berada pada tanah problematic. Permasalahan dapat terjadi pada
fungsinya sebagai lapisan tanah dasar yang mendukung perkerasan atau
permasalahan stabilitas keberadaannya dalam mempertahankan stabilitas sitim
konstruksi jalan
Pada tanah ekspansif:
Perbedaan Kadar Air Tanah antaradibawah badan jalan dan diluar
badan jalan mengakibtakan retak
memanjang pada Bagian Tepi
Jalan dan berakhir pada longsoran
retakan
-
60
3.4 Latihan
Peserta diharapak dapat mengembangkan ide dalam perencanaan dan
penanganan konstruksi jalan pada tanah problematic baik ditinjau dari fungsi
penrapannya serta jenis dan macam tanah problematiknya.
-
61
KEGIATAN BELAJAR 3TANAH PRINSIP PENANGGULANGANPROBLEMATIK
4.1 Kualitas dan Kontrol Kualitas Materal Timbunan SebagaiTanah Dasar atau Subgrade
Seperti telah dibahas di Bab III bahwa permasalahan tanah problematic
ini mencakup dari lapisan tanah dasar atau subgrade sampai dengan
lapisan tanah dibawahnya yang berupa tanah problematic. Dengan
demikian maka untuk persyaratan subgrade, parameter kekuatan dapat
ditentukan dengan berdasarkan parameter kepadatan tanah sebagai
berikut:
1) CBR (California Bearing Ratio)
2) MR (modulus resilient)
3) K (modulus reaksi tanah)
4) DCP (Dynamic Cone Penetrometer)
Sebagai contoh maka penentuan bahan material yang tepat berdasarkan nilaikekuatan tanah dasar terhadap modulus reaksi tanah dasar (k) diperlihatkan
pada Table 4 - 1.
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami pengertian
tentang PRINSIP PENANGGULANGAN KONSTRUKSI JALAN pada tanah
problematic yang difungsikan sebagai lapisan tanah dasar dan penerapan
beberapa teknologi yang digunakan berupa perkuatan lereng dan perkuatan dasar
timbunan.
-
62
Table 4 - 1. Kekuatan Tanah Dasar danToleransinya
Nilai parameter tersebut diatas didasarkan pada nilai kadar air optimum (wopt)
yang diperoleh dari pengujian kepadatan laboratorium yang mencarai
hubungan antara nilai kadar air optimum (wopt) dengan kepadatan kering
maksum sebagai MDD (Maximum Dry Density) atau (dry-max). Untuk
mengetahui nilai kepadatan lapapangan penentuan nilainya menggunkan alatuji sand cone seperti diperlihatkan pada Gambar 4-1 dan hasilnyadipresentasikan pada Gambar 4-2.
-
63
Gambar 4- 1. Pengujian Kepadatan Tanah dengan Sand Cone
Gambar 4- 2. Contoh hasil Uji Sand Cone dan hasilnya serta uji CBRlapangan setelah pekerjaan pemadatan selesai dengan berat volume
pasir (gp) 1,323 gr/cm3
Pada Gambar 4- 2 diperlihatkan pula pengujian terhadap nilai CBR Lapangan
yang dapat dilakukan bersamaan dengan pengujian kepadatan lapangan
dengan alat uji Sandcone.
Dengan melakukan pengujian untuk mengetahui kepadatan lapangan hasilpemadatan yang telah dilakukan maka akan diketahui nilai kepadatannya yaituberdasarkan uji Sand Cone untuk mengetahui nilai MDD (Maximum Dry
Density) pada kondisi kadar air optimum (wopt) dan hubungannya terhadap nilaiCBR lapangannya.
-
64
4.2 Konstruksi Tanah Timbunan Sebagai Subgrade
4.2.1 Persyaratan Kekuatan Daya Dukung
Seperti telah diuraikan bahwa kinerja perilaku tanah dasar sebagai subgrade
sangat tergantung dengan karakteristik propertisnya yang menggambarkan
daya dukung dan stabilitasnya dalam mendukung perkerasan jalan diatasnya.
Oleh karena itu penetuan persyaratan bahan material tanah yang digunakan
perlu dikaji dengan teliti untuk daya dukungnya terutama nilai CBR dan
kepadatan lapangan maksimumnya pada kondisi kadar air optimumnya.
Hasil uji pemadatan terhadap beberapa jenis tanah diperlihatkan pada Gambar
4- 3 dan hubungannya antara pemadatan rendah (pemadatan ringan) dan
pemadatan tinggi (pemadatan berat) untuk jenis tanah yang sama sifat
karakteristik propertisnya diperlihatkan pada Gambar 4- 4 (eddie sunaryo,
2010, 2015.
Gambar 4- 3. Hubungan antara Hasil Pemadatan pada beberapa JenisTanah
-
65
Gambar 4- 4. Hasil Proses Pemadatan Tanah dengan metode pemadatanrendah (pemadatan standar) dan Pemadatan tinggi (pemadatan berat)
untuk jenis tanah yang sifat karakteristik propertisnya sama
Untuk mengetahui tingkat kepadatanya, umumnya dievaluasi tingkatkepadatan relatif atau DR (relatif density) yang menyatakan derajat kepadatantanah antara berbutir kasar seperti mengandung pasir dan kerikil denganformula kepadatan relatif (DR) dan diperlihatkan pada Table 4 - 2:
Table 4 - 2. Kepadatan Relatif Tanah untukSubgrade
-
66
Dimana:
e = angka pori contoh tanah
emax = angka pori terbesar yang dapat dicapai di laboratorium (yaituangka pori tanah dalamkeadaan paling tidak padat)
emin = angka pori terkecil yang dapat dicapai di laboratorium (yaitu angkapori tanah dalam keadaan paling padat)
4.2.2 Variasi jenis material material tanah untuk subgrade
Permasalahan yang dihadapi dilapangan tidak sesederhana seperti yang
disampaikan sebelumnya yaitu hanya berdasarkan terhadap kekuatan daya
dukung yang dipresentasikan dengan kepadatan yang dicapai dengan
dipenuhinya nilai CBR, tetapi ada beberapa pertimbangan yang perlu
diperhatikan. Perhatian khusus perlu dilakukan karena kebutuhan dalam
disain yang diperlukan misalnya untuk kondisi “at-fill” diperlukan timbunan
yang cukup tinggi sehingga stabilitasnya perlu dicermati dengan seksama.
Hal lain yang perlu diperhatikan sebagai dasar konstruksi timbunan adalah:
1) Sifat karakteristik properties tanah timbunan itu sendiri dan telah
disampaikan sebelumnya bahwa tanah timbunan dapat berupa
granular atau bukan granular, timbunan biasa atau timbunan pilihan
dan keterbatasan material timbunan yang digunakan.
2) Sifat karakteristik lapisan tanah dasar yang mendukung timbunanyang biasanya pada daerah dataran didominasi oleh sedimen
endapan yang berumur quarter yang didominasi tanah problematic.
Dengan memeperhatikan kedua hal diatas maka diperlukan rekayasa teknikagar disamping daya dukungnya terpenuhi juga stabilitasnya terpenuhi.
Berdasarkan hasil pengujian laboratorium dan jenis material yang dapat
-
67
digunakan untuk timbunan jalan maka terdapat 3 golongan tanah ditinjau
dari gradasinya seperti diperlihatkan pada , yaitu:
1) Tipe 1 WELL GRADED dengan gradasi ukuran butir terbagi merata
2) Tipe 2 POORLY/UNIFORM GRADED dengan gradasi ukuran butir
sebagian besar sama
3) Tipe 3 GAP GRADED dengan gradasi ukuran butir merupakan
kombinasi dua atau lebih diameter yang sama
Gambar 4- 5. Pengelompokan Variasi Gradasi Tipe 1, 2 dan 3 dari hasil ujigradasi
Untuk mengetahui tanah termasuk diantara ke tiga golongan tersebutterhadap grafik pembagian butir perlu diketahui nilai koefisien
keseragamannya (Cu) dan nilai koefisien kelengkungannya (Cc) pada
Gambar 4- 6 yang mengacu pada Gambar 4- 5 diatas.
-
68
Gambar 4- 6. Pedoman analisaPengelompokan Nilai Cu dan Cc
4.2.3 Jenis Material terhadap Kelompok Penggunaannya
Pengelompokan jenis material terhadap penggunaannya untuk konstruksi jalandalam spesifikasi Bina Marga terbagi menjadi 4 kelompok seperti diperlihatkan
pada Table 4 - 3 yaitu:
1. Tanah A: dalam spesifikasi konstruksi jalan sering disebut Agregat kelas A
yang umumnya digunakan sebagai lapis pondasi Jalan (Base Course)
2. Tanah B: dalam spesifikasi pekerjaan konstruksi jalan sering di asumsikan
sebagai material Agregat kelas B atau lapis pondasi dasar (Subbase
Course)
3. Tanah C: dalam spesifikasi pekerjaan konstruksi jalan sering dikategorikan
sebagai lapisan tanah dasar (subgrade) atau agregat kelas C dan di
lokasi kuari (Quarry) di istilahkan sebagai Galian C yang umumnya
dikelompokkan sebagai tanah timbunan jalan.
4. Tanah D: dalam spesifikasi pekerjaan jalan jenis material lempung dan
jarang digunakan sebagai bahan konstruksi timbunan. Penggunaan
tanah D ini di timbunan digunakan sebagai material timbunan inti karena
Dimana:
-
69
permebilitasnya yang rendah sehingga diasumsikan sebagai lapisan kedap
air.
Table 4 - 3. Pengelompokan Jenis Material yang digunakan dalamkonstruksi jalan yang disyaratkan secara internasional
Disamping jenis tanah seperti dijelaskan pada Table 4 - 3 juga ada satu
kelompok tenis tanah yang dikelompokkan sebagai Agregat Kelas S yang
penerapannya sebagai lapis Pondasi untuk Bahu Jalan dan diperlihatkan pada
Table 4 - 4 dalam hubungannya dengan Agregat Klas A dan B. Pada Table 4 -
4 tersebut yang di dasarkan pada Spesifikasi Bina Marga 2010 diperlihatkan
jumlah komposisi gradasi yang disyaratkan dan sifat-sifat teknis lainnya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi daya dukung jenis tnah sebagai lapis
pondasi jalan adalah nilai PI (Plasticity Index), sehingga nilai PI (Plasticity
Index) sehingga pada Lapis Pondasi Agregat Kelas‒S dinyatakan minimal 4%
dan maksimal 15% dan nilai CBR harus mencapai minimal 50%. Hubungan
antara Agregat Klas S dan Klas A dan/atau Klas B terhadap sifat phisik dan
karakteristik propertiesnya diperlihatkan pada Table 4 -5.
-
70
Bila sulit diperoleh maka material Lapis Pondasi Agregat Kelas‒S ini dapat
diperoleh dengan campuran material yang bersifat plastis berupa tanah yang
mengandung lempung (clay) dengan agregat kelas A atau B sedemikian rupa
sehingga persyaratan PI dan CBR tersebut terpenuhi.
Table 4 - 4. Ukuran Gradasi Agregat Klas A, B dan S
Table 4 - 5. Sifat Phisik dan Karakteristik Agregat Klas A, B dan S
-
71
4.3 Teknologi Perkuatan Timbunan sebagai Lapisan tanah Dasaratau Subgrade
Teknologi perkuatan timbunan terhadap keruntuhan lereng dangkal maupun
lereng dalam umumnya digunakan bahan geosintetik yang berupa Geotekstil
baiuk “woven” maupun “un- woven” dan geogrid bila diperlukan bahan
perkuatan yang dapat menambah kekuatan geser tanah problematik dalam
mendukung beban timbunan jalan.
4.3.1 Sifat-sifat Bahan Material Geosintetik
4.3.1.1 Sifat-sifat Elektrokimia
Syarat kriteria elektrokimia untuk tanah timbunan yang diperkuat dengangeosintetik bergantung pada jenis polimer seperti diperlihatkan pada Table 4 -
6.
Table 4 - 6. Syarat Elektrokimia Timbunan yang Diperkuat (Elias dkk, 2001)
Jenis PolimerSyarat Nilai pH
Tanah Metode UjiPoliester (PET) 3 < pH < 9 AASHTO T289-91Poliolefin (PP dan HDPE) pH > 3 AASHTO T289-91
4.3.1.2 Sifat Karakteristik terhadap Geometrik pemasangan untukPerkuatan Timbunan Bahan Geosintetik
Sifat-sifat struktur rencana dari geosintetik merupakan suatu fungsi dari
karakteristik geometric yang mliputi kekuatan dan kekakuan, durabilitas dan
jenis material. Suatu lapis pita-pita geotekstil dan geogrid dicirikan oleh lebar
dan jarak horizontal dari as ke as dari pita-pita tersebut. Luas potongan
melintang tidak diperlukan karena kekuatan pita geosentetik digambarkan
-
72
dengan gaya tarik per satuan lebar, bukan oleh tegangan. Kesulitan-kesulitan
dalam mengukur tebal dari bahan yang tipis dan relatif kompresibel
mengakibatkan perkiraan tegangan menjadi tidak realistis.
Rasio lipatan Rc digunakan untuk menghubungkan gaya per satuan lebar dari
perkuatan yang terpisah terhadap gaya per satuan lebar yang dibutuhkan padaseluruh struktur, diperlihatkan pada Gambar 4- 7.
Gambar 4- 7. Karakteristik Bahan Geosintetik tipe Woven
Dimana:c
R b/Sh
b = lebar kotor dari pita, lembaran atau grid (m)Sh = spasi horizontal dari as ke as antara pita-pita, lembaran-lembaran ataugrid-grid(m)Rc = 1 untuk perkuatan lembaran menerus
4.3.1.3 Sifat-sifat terhadap Kekuatan Bahan Geosintetik
Sifat-sifat kekuatan geosintetik ditentukan oleh faktor lingkungan seperti
rangkak, kerusakan saat instalasi, penuaan, suhu dan tegangan pengekang
-
73
(confining stress). Kuat geser ijin jangka panjang geosintetik harus
ditentukan melalui pertimbangan menyeluruh terhadap elongasi ijin, potensi
rangkak dan seluruh potensi mekanisme degradasi kekuatan.
Secara umum, produk-produk poliester (PET) peka terhadap penurunan
kekuatan akibat penuaan karena hidrolisis (ketersediaan air) dan temperatur
tinggi. Produk-produk poliolefin (PP dan HDPE) peka terhadap kehilangan
kekuatan akibat penuaan karena oksidasi (kontak dengan oksigen) dan
atau temperatur tinggi. Oksidasi geosintetik dalam tanah dapat terjadi dengan
laju yang hampir sama dibandingkan dengan geosintetik yang berada di atas
tanah.
Walaupun sebagian besar perkuatan geosintetik dikubur dalam tanah,
stabilitas geosintetik terhadap ultraviolet selama masa konstruksi harus
tetap diperhatikan. Jika geosintetik digunakan pada lokasi yang terpapar
ultraviolet (misalnya untuk membungkus dinding atau bagian muka lereng),
maka geosintetik sebaiknya dilindungi dengan bahan pelindung atau unit- unit
penutup untuk mencegah kerusakan.
1) Penutupan dengan tanaman dapat dilakukan jika menggunakan geotekstil
anyaman terbuka atau geogrid.
2) Kerusakan saat penanganan dan konstruksi, seperti akibat abrasi dan aus,
coblos dan robek atau gores, serta retak dapat terjadi pada grid polimer
yang getas. Jenis-jenis kerusakan ini dapat dihindari dengan perlakuan
yang hati-hati selama penanganan dan konstruksi.
3) Alat berat dengan roda rantai baja (track) tidak diperbolehkan melintas
langsung di atas geosintetik.
4) Kerusakan saat penimbunan merupakan fungsi dari beban yang ditimpakan
pada geosintetik selama masa konstruksi serta ukuran dan kebundaran
(angularity) bahan timbunan.
5) Untuk lereng tanah yang diperkuat, penggunaan geotekstil ber-massa
rendah dan kekuatan rendah sebaiknya dihindari untuk meminimalkan
-
74
kerusakan yang menyebabkan berkurangnya kekuatan geotekstil.
6) Kuat tarik jangka panjang geosintetik harus ditentukan berdasarkan
pendekatan faktor keamanan parsial. Faktor reduksi digunakan untuk
menghitung kekuatan geosintetik meliputi faktor kerusakan pada saat
instalasi, faktor rangkak serta kondisi biologi dankimia.
4.3.2 Interaksi tanah dan geosintetik
Kombinasi antara material tanah (baik dalam memikul gaya tekan walaupun
lemah dalam gaya tarik) dengan material geotekstil (yang baik dalam memikul
gaya tarik tapi lemah dalam memikul gaya tekan) sangat memberikan hasil
yang positif (Gouw Tjie-Liong, 2006). Koefisien interaksi tanah dengan
geosintetik atau disebut Kemampuan Cabut yang harus dipertimbangkan
dalam perencanaan meliputi koefisien cabut dan koefisien gesekan antar
bidang permukaan.
1) Kinerja tahanan cabut
Perencanaan perkuatan lereng membutuhkan evaluasi kinerja cabut jangka
panjang yang mempertimbangkan tiga kriteria dasar berikut ini:
a) Kapasitas cabut: tahanan cabut pada perkuatan harus cukup kuat
menahan gaya tarik rencana yang bekerja di dalam perkuatan dengan
faktor keamanan cabut minimum adalah 1,5.
b) Perpindahan (displacement) izin: perpindahan relatif tanah terhadap
perkuatan yang dibutuhkan untuk memobilisasi gaya tarik rencana
harus lebih kecil daripada perpindahan yang diizinkan.
c) Perpindahan jangka panjang: beban cabut harus lebih kecil daripada
beban rangkak kritis.
Tahanan cabut puncak (Pr) per satuan lebar perkuatan ditentukan melaluipersamaan berikut:*Pr = F . . ’v . Le . C
-
75
Dimana:
F* = faktor tahanan cabut;
= faktor koreksi skala;
’v = tegangan vertikal efektif antarmuka (batas) antara tanah dan
geosintetik (kN/m2). Le = panjang tertanam pada zona yang ditahan di
belakang bidangkeruntuhan (m); C = keliling efektif perkuatan, untuk
geogrid dan geotekstil nilai C = 2;
Faktor tahanan cabut F* dan faktor koreksi skala yang paling akurat
melalui pengujian tarik cabut terhadap contoh material timbunan yang akan
digunakan. Jika data hasil pengujian tidak tersedia, maka nilai untuk
geogrid adalah 0,8 dan untuk geotekstil 0,6 dan nilai F*=2/3 tan .
Sudut di atas merupakan sudut geser tanah yang minimal dihasilkan dari
pengujian di laboratorium. Untuk perkuatan lereng, besarnya untuk
timbunan yang diperkuat umumnya didapat melalui pengujian, akibatbervariasinya material timbunan yang digunakan. Nilai terendah yang biasa
digunakan adalah 280.
2) Gesekan antar permukaan
Gesekan antar permukaan geosintetik dan tanah timbunan seringkali lebih
rendah daripada sudut geser tanah, sehingga dapat membentuk bidang
gelincir. Sudut gesek antar permukaan ditentuka