D WLGDNrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50838/... · 2020. 5. 8. · Menurut...
Transcript of D WLGDNrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50838/... · 2020. 5. 8. · Menurut...
Buku karya Maman Rahman Hakim ini sangat relevan untuk dibaca oleh akademisi dan praktisi hukum ekonomi syariah karena pembahasannya tidak hanya sekedar mengurai tentang teori hukum, lebih dari itu mengupas tentang hukum materil dan formilnya. Sehingga hal ini juga menjadi wawasan yang lebih luas dan mendalam bagi akademisi ekonomi syariah.Prof.DProf.Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc – Mantan Ketua Umum Baznas, Pakar Ekonomi Syariah dan Direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun.
BukuBuku ini sangat berguna dan menambah cakrawala ilmu pengetahuan tentang hukum perbankan syariah dengan menampilkankan sisi yang berbeda dalam penyajiannya serta kajian yang komperenhensif pada aspek teoritis dan aplikatif sesuai dengan wacana ke ilmuan yang berkembang pada hukum perbankan syariah.Dr. Jaenal Aripin, M.Ag, PIA –Direktur Pembiayaan Syariah LPDB KUMKM
BukuBuku ini sangat bermafaat untuk mahasiswa/i yang mempelajari ekonomi Islam dan hukum ekonomi Islam serta para praktisi perbankan karena isi buku ini menampilkan pembahasan yang dalam dan luas sehingga pembaca buku akan mendapatkan wawasan yang holistik dan integral tentang hukum perbankan syariah M. Nadratuzzaman. Ph.D -Bendahara Umum MUI Pusat 2015- 2020
BukuBuku yang ditangan anda ini sangat bagus untuk dibaca dan dipahami sebagai pedoman dalam memahami hukum perbankan syariahDr. M. Nur Rianto Al Arif. M.Si- Anggota Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhamadiyah
PembahasanPembahasan buku ini sangat mencerminkan prinsip-prinsip Islam yang diaplikasikan dalam operasional perbankan syariah karena argumentasi yang dibangun berdasarkan sumber-sumber hukum Islam dan memakai pendekatan hukum positif.Dr. Khamami Zada, SH, MA, MDCEF – Tokoh Muda Nahdhatul Ulama (NU)
BukuBuku ini layak dibaca untuk umum terkhusus mahasiswa dan dosen yang menggeluti hukum ekonomi islam karena kontennya sangat jelas, tuntas dan lugas (komprehensif).AM Hasan Ali, MA- Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah FSH UIN Jakarta dan DPS PT Promita finance
HUKUM PERBANKAN SYARIAH
DI INDONESIA
Maman Rahman Hakim, S.E.I., M.M
ii
HUKUM PERBANKAN SYARIAH
DI INDONESIA
Penulis:
Maman Rahman Hakim, S.E.I., M.M
Editor:
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H., M.H., M.A
Desain Sampul dan Isi: Tim Faza Media
ISBN : 978-979-15389-7-8
Penerbit :
Faza Media Komp. Perum Puri Pamulang Jl. Rajawali Raya Blok E No. 15
Benda Baru Pamulang Tangerang Selatan
Cetakan Pertama : November 2017 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan
Ukuran : 14,8 cm x 21 cm x + 260 hlm
Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian
atau seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun secara elektronik maupun mekanis tanpa izin tertulis dari
penerbit. (all right reserved)
vii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................... vii
BAB I KONSEP DASAR HUKUM DAN HUKUM
PERBANKAN SYARIAH ..................................... 1
A. Konsep Dasar Hukum ............................................. 1
B. Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan
Syariah di Indonesia ................................................. 4
C. Konsep Dasar Hukum Perbankan Syariah ......... 10
1. Asas, Tujuan dan Fungsi Hukum
Perbankan Syariah ........................................... 12
2. Komparasi Perbankan Syariah dan Perbankan
Konvesional ...................................................... 25
3. Kegiatan Usaha Bank Syariah (BUS) ............ 34
4. Kegiatan Usaha Unit Syariah ( UUS) ........... 37
5. Kegiatan Usaha Bank Pembiayaan Syariah
(BPRS) ................................................................ 41
6. Tata Kelola dan Prinsip Kehati-hatian
Perbankan Syariah ........................................... 43
7. Pengelolaan Risiko Perbankan Syariah ....... 45
BAB II IUS CONSTITUTUM HUKUM PERBANKAN
SYARIAH .............................................................. 47
A. Hukum Perbankan Syariah dalam Hierarki
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ... 47
viii
B. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia ditinjau
dari UUD 1945 dan KUHPer ................................ 52
1. Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 ......................................................... 52
2. Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ............................................................... 53
C. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia dalam
Perkembangan Undang-Undang ......................... 54
D. Hukum Perbakan Syariah Ditinjau dari Undang-
Undang Tentang Bank Indonesia dan Peraturan
Bank Indonesia ....................................................... 61
E. Hukum Perbakan Syariah Ditinjau dari Undang-
Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ....................... 69
F. Hukum Perbankan Syariah Ditinjau dari Fatwa
Dewan Syariah Nasional ....................................... 74
BAB III PRINSIP-PRINSIP DAN NORMA HUKUM
PERBANKAN SYARIAH ................................. 95
A. Konsep Qawa’id Fiqhiyyah dalam Hukum
Perbankan Syariah ................................................. 95
B. Proses Pembentukkan Qawa’id Fiqhiyyah ............ 97
C. Kegunaan Qawa’id Fiqhiyyah ................................. 98
D. Beberapa Qawa’id Fiqhiyyah
dalam Penerapannya pada Perbankan Syariah . 98
BAB IV JENIS OPERASIONAL PERBANKAN
SYARIAH .......................................................... 105
A. Penghimpunan Dana (Funding) ......................... 106
B. Penyaluran Dana (Lending) ................................. 115
ix
C. Pembiayaan Perdagangan (Trade Finance) ........ 141
D. Treasury .................................................................. 144
E. Kegiatan-kegiatan Lainnya ................................. 149
BAB V PERMASALAHAN DALAM PERBANKAN
SYARIAH ............................................................ 159
A. Kategorisasi Hukum Perbankan Syariah ........... 159
B. Tindak Pidana Perbankan Syariah ...................... 161
BAB VI PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM
PERBANKAN SYARIAH ............................... 179
A. Pengertian Perlindungan Konsumen
dan Nasabah ........................................................... 180
B. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku
Usaha ....................................................................... 184
C. Larangan Bagi Pelaku Usaha dan Ketentuan
Klausula Baku serta Sengketa Konsumen ......... 188
D. Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen ......... 191
BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
SYARIAH .......................................................... 193
A. Pengertian Sengketa Bank Syariah ...................... 193
B. Kewenangan Peradilan Agama dalam
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah ........ 195
C. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dalam
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah ........ 199
x
D. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Jalur
Non Litigasi ............................................................ 202
E. Sekapur Sirih Sejarah Pembentukan Arbitrase:
BANI, BAMUI , dan BASYARNAS ..................... 205
F. Prosedur Beracara di BASYARNAS .................... 207
Daftar pustaka .................................................................... 213
Biodata Penulis .................................................................. 221
Konsep Dasar Hukum & Hukum Perbankan Syariah
1
KONSEP DASAR
HUKUM DAN HUKUM PERBANKAN SYARIAH
A. Konsep Dasar Hukum
Menurut Hans Kelsen, hukum termasuk dalam sistem
norma yang dinamik (nomodynamics).1 Hukum berbeda dengan
kaedah dan norma, perbedaan tersebut terletak pada sifatnya
bahwa hukum bersifat heteronom dalam arti bahwa hukum itu
datangnya dari luar diri seseorang sedangkan norma bersifat
otonom yakni datangnya dari diri seseorang itu.2 Lain halnya
dengan kaedah, menurut Soerjono Soekanto, kaedah adalah
patokan atau ukuran atau pedoman untuk berperilaku atau
bersikap tindak dalam hidup.3
Dari penjelasan di atas tampak jelas perbedaan antara
hukum dengan norma. Hukum bersifat mengikat, baik
seseorang menyetujui hukum tersebut ataupun tidak tetap saja
ia harus menaati hukum tersebut karena jika melanggar akan
mendapatkan sanksi. Sedangkan norma, seseorang menaatinya
karena kesadaran diri sendiri karena sifatnya pun tidak
1 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul Muttaqien,
(Bandung: Nusa Media, 2014, Cet, Sembilan). 2 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2007), h.25. 3 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1989),h.6.
BAB I
Maman Rahman Hakim
2
mengikat dan yang tidak menaatinya hanya mendapatkan
sanksi sosial seperti dikucilkan, dicemooh, dan dianggap tidak
baik oleh masyarakat.
Menurut Maria Farida Indrati, hukum adalah sah (valid)
apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang
membentuknya serta bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah
(imperior) dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior)
dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk
suatu hierarki.4
Ditinjau dari jenisnya, hukum terbagi menjadi 2 (dua)
yaitu hukum privat yang dengan arti sempit sering disebut
hukum perdata dan hukum publik yakni hukum pidana, hukum
tata negara, dan hukum tata usaha negara.
Hukum privat yaitu hukum yang mengatur hubungan-
hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain,
dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
Sedangkan hukum publik yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara negara dengan perseorangan (warga negara).5
Definisi kedua jenis hukum di atas menggambarkan
bahwa hukum perdata dapat dikategorikan mempunyai garis
horizontal karena mengatur tentang urusan pribadi dengan
pribadi. Sedangkan hukum pidana mempunyai garis vertikal
karena mengatur tentang pribadi warga negara dengan negara.
Hukum perbankan syariah merupakan kategori hukum
privat atau perdata karena mengatur tentang hubungan pribadi
dengan pribadi. Namun, di sisi lain juga permasalahan yang
4 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2007), h.23. 5 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: Rineka
Cipta,,2014), h. 82.
Konsep Dasar Hukum & Hukum Perbankan Syariah
3
akan timbul pada operasional perbankan syariah menjadikannya
kategori hukum publik seperti permasalahan sengketa pejabat
tata usaha negara yang penyelesaiannya akan dilakukan di
pengadilan tata usaha negara.
Di samping itu, hukum perbankan syariah juga tidak
menutup kemungkinan menjadi hukum publik dikarenakan
terdapat permasalahan yang menyangkut pidana. Dewasa ini
telah terjadi banyak kasus pidana yang timbul dari perbankan,
seperti kejahatan perbankan, pencucian uang dan tidak menutup
kemungkinan tindak pidana korupsi yang selanjutnya disebut
dengan tindak pidana khusus.
Selanjutnya C.S.T Kansil membagi hukum menurut cara
mempertahankannnya kepada 2 (dua) bagian yaitu hukum
materil dan hukum formil.6
Hukum materil, yaitu hukum yang memuat peraturan-
peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan
hubungan-hubungan yang berwujud perintah-perintah dan
larangan-larangan. Contohnya: hukum pidana, hukum perdata,
hukum datang dan lain-lain.
Hukum formil yaitu hukum yang memuat peraturan-
peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan
dan mempertahankan hukum materil atau peraturan-peraturan
yang mengatur bagaimana cara mengajukan suatu perkara ke
muka pengadilan dan bagaimana cara-cara hakim memberi
keputusan atau sering disebut dengan hukum acara. Contohnya
: hukum acara pidana, hukum acara perdata, hukum tata usaha
negara, dan lain-lain.
6 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, h. 82.
Maman Rahman Hakim
4
B. Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah
Lembaga perbankan menempati posisi strategis dalam
pembangunan ekonomi nasional. Karena itu untuk mendukung
operasional lembaga perbankan, diperlukan suatu kebijakan dari
pemerintah dalam merumuskan dan mengesahkan peraturan
perundang-undangan yang nantinya akan menjadi payung
hukum.7
Payung hukum tentang perbankan syariah tak lepas dari
lembaga perbankan Indonesia yang memiliki sejarah panjang.
Sebelum kemerdekaan, telah terdapat sejumlah bank yang
berasal dari negeri Belanda, bank-bank pribumi dan bank-bank
lainnya. Pada waktu pendudukan Jepang, hampir semua bank
tersebut ditutup atau dilikuidasi dan hanya tiga buah bank yang
diperbolehkan untuk beroperasi, yaitu Yokohama Speciebank,
Shomin Ginko bank (sebelumnya bernama Algemene
Volkcredietbank) dan Tyokin kyoku Ginko.8
Hal tersebut tentu menjadi masalah yang
memprihatinkan bangsa Indonesia kala itu, perbankan yang
seharusnya dikelola oleh pribumi agar dapat menumbuhkan
perekonomian namun kenyataannya tak sejalan dengan harapan
para pendahulu. Tentu pada masa itu menjadi masa yang sangat
pahit dirasakan oleh bangsa Indonesia yang sekarang telah
berhasil menjadikan Indonesia merdeka dan perekonomiannya
mampu bersaing dengan negara-negara lain.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, terutama saat
terjadinya perang kemerdekaan kembali terjadi perubahan
7 Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2008). h.
38. 8 Kutipan Rachmadi Usman dari Priasmono Prawiroardjo, Perbankan Indonesia 40 Tahun
sebagaimana dikutip Suseno dan Piter Abdullah, Sistem dan Kebijakan Perbankan di Indonesia, (Jakarta : Pusat Pendidikan dan studi Kebanksentralan Bank Indonesia), h. 49.
47
IUS CONSTITUTUM HUKUM PERBANKAN
SYARIAH
Dalam ilmu hukum dikenal 2 (dua) jenis hukum yaitu ius
constitutum dan ius constituendum. Kedua jenis hukum tersebut
mempunyai arti yang berbeda. Perbedaan kedua jenis hukum
tersebut terletak pada faktor waktu. Ius constitutum adalah
hukum positif atau hukum yang telah ditetapkan dan berlaku
saat ini. Sedangkan ius constituendum adalah hukum yang
dicita-citakan (masa mendatang).
Pada bab ini penulis akan menjelaskan ius contitutum
tentang perbankan syariah dan tingkat kekuatan mengikatnya.
Seperti telah diketahui bahwa banyak hukum positif yang
mengatur tentang hukum perbankan syariah baik dalam sistem
ataupun dalam segi teknis operasionalnya serta hukum formil
dan hukum materilnya.
A. Hukum Perbankan Syariah dalam Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia
Hierarki dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
dengan (1) urutan tingkatan atau jenjang jabatan (pangkat
kedudukan); (2) organisasi dengan tingkat wewenang dari yang
paling bawah sampai yang paling atas.
Sedangkan peraturan perundang-undangan sebagaimana
disebutkan pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12
BAB II
48
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.
Dengan demikian, pembahasan ini akan diarahkan untuk
mengetahui bagaimana urutan tingkat mengikatnya suatu
aturan hukum yang mengatur tentang perbankan syariah dalam
tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Menurut Hans Kelsen, sebagaimana dikutip oleh Ismail
Hasani,1 Norma hukum memiliki jenjang atau hierarki yang
menunjukan derajat berlapis. Kelsen memperkenalkan teori
jenjang norma hukum (stufentheorie), dimana norma-norma
hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki
tata susunan, suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.
Begitupun norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada norma tertinggi yang disebut norma
dasar.
Hal senada dikemukakan oleh Maria Farida Indrati2 dari
pernyataan Adolf Merkl, suatu norma hukum itu selalu
membentuk dua wajah, di mana suatu norma hukum itu ke atas
ia bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya,
sedangkan ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber
bagi norma hukum yang ada pada hierarki di bawahnya.
1 Ismail Hasani, Ilmu Perundang-Undangan, (Jakarta: FSH UIN Jakarta, 2014), h. 19. 2 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Peraturan Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius,
1998, cet. Sebelas), h. 25.
49
Dengan demikian, dalam hierarki peraturan perundang-
undangan, norma hukum yang yang posisinya berada di bawah
tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang posisinya
lebih tinggi. Hal ini didasarkan pada asas hukum “lex superior
derogat legi imperior” yang artinya “norma hukum yang
hierarkinya lebih tinggi mengesampingkan norma hukum yang
berada lebih rendah”.
Sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan
Indonesia, menurut riset Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
(PSHK), sebagaimana dikutip oleh Ismail Hasani3, setidaknya
dikenal ada beberapa pengaturan mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Pertama, Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres)
Nomor 15 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia. Pembentukan Inpres ini
diperuntukan sebagai landasan bagi semua menteri dan lembaga
departemen dan non departemen dalam membentuk peraturan
perundang-undangan.
Kedua, Ketetapan MPR RI No. XX/MPRS/1996 tentang
memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum republik
indonesia dan tata urutan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tentang
sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan. Dengan
perkembangannya, TAP MPR ini tidak berlaku dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 dan telah
direvisi dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan.
3 Ismail Hasani, Ilmu Perundang-Undangan. h. 42.
50
Pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan
diatur pada pasal 7 dan pasal 8 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Pasal 7 tersebut berbunyi (1) jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan terdiri atas : a. Undang-Undang Dasar
1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR);
c. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. (2) kekuatan hukum peraturan perundang-
undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Adapun pasal 8 UU tersebut berbunyi : (1) Jenis
Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
51
Dengan mengacu kepada pasal 8 ayat (2) UU tersebut
maka peraturan-peraturan yang mengatur tentang perbankan
syariah seperti Peraturan Bank Indonesia dan Fatwa Dewan
Syariah Nasional MUI juga mempunyai kekuatan hukum karena
pembentukannya diperintahkan oleh Undang-Undang.
Adapun hierarki norma hukum yang mengatur tentang
perbankan syariah setelah penulis kolaborasikan dengan kondisi
saat ini hukum perbankan syariah yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945 ( terutama Pasal 33 )
2. UU No 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa Keuangan
4. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia
5. KUH Perdata
6. KUH Dagang
7. Peraturan Pemerintah
8. Peraturan Presiden
Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan
perbankan syariah seperti Peraturan Bank Indonesia
(PBI), Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), Fatwa
Dewan Syariah Nasional, dan lain-lain.
B. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia ditinjau dari
UUD 1945 dan KUHPer
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia
merupakan suatu perwujudan dari kebutuhan masyarakat yang
95
PRINSIP-PRINSIP
DAN NORMA HUKUM PERBANKAN SYARIAH
A. Konsep Qawaid Fiqhiyyah Dalam Hukum Perbankan
Syariah
Istilah qawaid fiqhiyyah terdiri dari dua kata yaitu kata
qawaid dan fiqhiyyah. Kaidah atau al-qaidah (arab) jamaknya
adalah al-qawaid. Ia secara bahasa berarti dasar, pondamen
bangunan, prinsip, asas.1
Kata fiqhiyah berasal dari bahasa arab yang arinya
“paham yang mendalam”.2 Kata fikih atau yang berakar kepada
itu dalam al quran disebut dalam 20 ayat; 19 diantaranya yang
berarti bentuk tertentu dari kedalaman paham dan kedalaman
ilmu yang menyebabkan dapat diambil dari manfaatnya.3 secara
definitif, fikih berarti ilmu tentang hukum hukum syar’i yang
bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil dalil
yang tafsili.4
Adapun beberapa pengertian qawaid fiqhiyyah menurut
para ahli sebagaimana dikutip oleh Atang Abdur Rahman,
yaitu:5
1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pesantren Krafyak, Tth), h. 1224. 2Amir Syarifudidn, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, 2005, h. 2 3Amir Syarifudidn, Ushul Fiqh, h. 2 4 Amir Syarifudidn, Ushul Fiqh,. h. 3 5 Atang Abd Rahman, Fikih Perbankan Syariah, (Bandung: Refika Aditama, 2001), h.184-185.
BAB III
96
1) Abu Zahrah menjelaskan bahwa, qawaid fiqhiyyah yaitu
kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali
kepada qiyas yang mengumpulkannya.
2) Menurut Al-Jurjani, qawaid fiqhiyyah yaitu ketetapan yang
menyeluruh (kulli) yang mencakup seluruh bagian-
bagiannya.
3) Menurut Tajuddin al-Subki, qawaid fiqhiyyah yaitu sesuatu
yang bersifat general yang meliputi bagian-bagian yang
banyak, dan hukum-hukum yang banyak itu dapat
diketahui melalui kaidah tersebut.
4) Menurut Ibn Abidin dan Ibn Nuzaim, qawaid fiqhiyyah
yaitu sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum-
hukum dari bagian-bagian yang sangat rinci.
5) Menurut Imam al-Suyuthi, qawaid fiqhiyyah yaitu hukum
kulli yang meliputi bagian-bagiannya.
6) Menurut Ali Ahmad An-Badwi, qawaid fiqhiyyah yaitu
hukum kulli (universal) yang sesuai dengan juz’iyyahnya.6
7) Menurut Mustafa Ahmad Zarqa, qawaid fiqhiyyah yaitu
prinsip-prinsip fikih universal yang dirumuskan kedalam
bentuk hukum yang padat, melambangkan ketentuan-
ketentuan umum terhadap kasus-kasus yang berada di
bawah topik-topik tertentu.7
Maka dari beberapa pengertian qawaid fiqhiyyah menurut
para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa qawaid fiqhiyyah
adalah kaidah atau dasar fikih yang bersifat umum yang
substansi materinya meliputi bagian yang banyak sekali
berkaitan dengan hukum-hukum syara’, dan hukum-hukum
6 Ali Ahmad An-Nadwi, Al-Qawaid Fiqhiyyah, (Damaskus : Dar al-Qalam, 1991), h. 39. 7 Muhammad Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fikih Keuangan dan Transaksi Syariah, (Bogor: Ulil
Albaab Institute, 2010). h. 4.
97
syara’ yang banyak tersebut dapat dipahami dari kaidah-kaidah
tadi.8
B. Proses Pembentukan Qawaid Fiqhiyyah
Proses pembentukan qawaid fiqhiyyah bermula dari
munculnya berbagai persoalan-persoalan di masyarakat yang
nyatanya Alquran dan Hadis tidak secara spesifik menyebutkan
hukum atau menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka
dibutuhkan suatu nalar dari para ahli fikih untuk menjawab
persoalan tersebut dengan tidak keluar dari koridor Alquran dan
Hadis serta dengan metodologi (ushul fikih) yang tepat dan
akurat tentunya.
Dengan latar belakang tersebut, cukup jelas bahwa
proses pembentukan kaidah fikih, sebagaimana dijelaskan oleh
A. Djazuli dan dikutip oleh Fathurahman Djamil9, bermula dari
hukum Islam yaitu Alquran dan hadis, kemudian muncul ushul
fikih sebagai metodologi dalam penarikan hukum Islam. Dengan
pola fikir deduktif, metodologi ushul fikih digunakan oleh para
ahli untuk menghasilkan fikih yang nyatanya materinya banyak.
Karena banyaknya materi fikih tersebut, maka dengan
menggunakan pola fikir induktif, materi-materi fikih tersebut
diteliti persamaannya dan dikelompokan sesuai dengan
permasalahan yang serupa. Kemudian materi-materi fikih
tersebut dikritisasi agar mapan, tentu menyesuaikannya dengan
Alquran dan hadis. Ketika kaidah fikih tersebut mapan, maka
dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang
muncul di masyarakat, baik di bidang sosial politik ataupun
8 Fathurahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h. 117-118. 9 Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, h. 280.
98
ekonomi budaya yang nantinya akan muncul fikih-fikih baru.
Dan sebagian dari dari jawaban atas masalah-masalah
menghasilkan fatwa-fatwa yang kemudian dijadikan dasar oleh
negara dalam menyusun peraturan perundang-undangan dan
dilegalisasi menjadi hukum positif yang berlaku di masyarakat.
C. Kegunaan Qawaid Fiqhiyyah
Menurut Fathurahman Djamil, sebagaimana dikutip oleh
Mardani, ada beberapa kegunaan qawaid fiqhiyyah, yaitu :10
1) Untuk mengetahui asas-asas umum fikih
2) Untuk lebih mudah menerapkan masalah-masalah yang
dihadapi
3) Untuk lebih arif menerapkan fikih sesuai dengan waktu
dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat
kebiasaan yang berlainan
4) Untuk mengetahui rahasia-rahasia dan semangat hukum
islam yang tersimpul dalam kaidah-kaidah fikih
5) Untuk memiliki keluasan ilmu dan hasil ijtihadnya
mendekati kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan.
D. Beberapa Qawaid Fiqhiyyah dalam Penerapannya Pada
Perbankan Syariah
a) lima kaidah induk Qawaid Fiqhiyyah yang sering
digunakan yaitu :
قبصذب س ث segala sesuatu itu bergantung : : الأ
kepada maksudnya
10 Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, h. 281.
99
اىضشس ضاه : Kemudharatan itu harus
dihilangkan
حنخ اىؼبدح : Adat kebiasaan itu menjadi
hukum
لا ضاه ثبىشل Keyakinan tidak dapat : اىق
dihilangkan dengan keraguan
اىشقخ رجيت اىزسش : Kesukaran itu mendatangkan
kemudahan
b) Kaidah-kaidah fiqhiyyah lainnya yang sering digunakan
dalam aflikasi hukum perbankan syariah antara lain
الأصو ف اىؼبلاد الإثبحخ إلا أ ذه اىذىو ػي رحشب
Pada dasarnya semua bentuk transaksi dalam muamalah
itu boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya
الأصو ف الأشبء الإثبحخ حز ذه اىذىو ػي اىزحش
Hukum dasar dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga
terdapat dalil yang mengharamkan
اىضشس ضا ه
Bahaya harus dihilangkan
مو قشض جش فؼخ ف سثب
Setiap utang-piutang yang mendatangkan manfaat (bagi
yang berpiutang/muqridh) maka termasuk riba
اىضشس ذفغ ثقذس الإنب
105
JENIS OPERASIONAL PERBANKAN SYARIAH
Dalam industri perbankan syariah dikenal khalayak
umum yakni Jenis operasional perbankan syariah yang dapat
dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu penghimpunan dana (funding),
penyaluran dana (lending) dan jasa layanan perbankan atau
kegiatan-kegiatan lainnya.
Pada prinsipnya semua jenis operasional perbankan
syariah menggunakan prinsip utama yakni tidak dengan prinsip
bunga (riba), gharar (Tipu-menipu), zhalim, maisir, dan transaksi
yang sifatnya haram.
Dengan kata lain, jenis operasional bank syariah
merupakan suatu bentuk artikulasi dan praktik dari nilai-nilai
islam yang selama ini dipandang doktriner dan normatif. Pada
hakikatnya jenis operasioanal perbankan syariah merupakan
metamorfosa nilai-nilai islam dalam industri keuangan dan
dimaksud untuk menepis anggapan bahwa islam adalah agama
yang mengatur persolan ubudiyah atau komunikasi vertikal
antara manusia (makhluk) dengan Allah saja padahal mengatur
dalam muamalat juga.
BAB IV
106
A. PENGHIMPUNAN DANA (FUNDING)
Dalam penghimpunan dana, bank syariah melakukannya
tidak dengan prinsip bunga (riba), gharar, zhalim, maisir, dan
transaksi yang sifatnya haram. Untuk melaksanakan prinsip
tersebut dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariat
Islam, dalam penghimpunan dana bank syariah memakai
prinsip mudharabah (bagi hasil) dan wadi‟ah (titipan).
1) Mudharabah
Mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak untuk
salah seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah
uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan dan labanya
dibagi sesuai dengan kesepakatan.1
Dasar Hukum Mudharabah
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah.” (Q.S. al-Muzammil 73 : 20)
Rukun dan Syarat
Rukun dari mudharabah adalah adanya ijab kabul dan
tidak disyaratkan dengan lafaz tertentu dengan menunjukan
tujuan dan maknanya.
1 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, h.
25.
107
Adapun syarat-syaratnya, yaitu: pertama, modal
berbentuk uang tunai. Kedua, modal itu harus diketahui dengan
jelas, agar dapat dibedakan dari keuntungan yang akan
dibagikan sesuai dengan kesepakatan. Ketiga, keuntungan yang
jadi milik pekerja dan pemilik modal jelas presentasinya (1/2,
1/3, ¼). Keempat, Mudharabah itu bersifat mutlak, tidak ada
persyaratannya si pelaksana (pekerja) untuk berdagang di
negeri, barang atau waktu tertentu. Namun menurut Abu
Hanifah dan Ahmad sah pula dengan muqayyadi (terikat).2
2) Wadi’ah
Istilah wadi‟ah berasal dari kata wada‟a yang berarti
meninggalkan atau menitipkan sesuatu kepada seseorang untuk
dipelihara. Dengan demikian Secara harfiah, Al-wadi‟ah dapat
didefinisikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus
dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Secara epistimologis merujuk apa yang dikemukakan oleh
ulama fiqh, Ulama madzhab hanafi mendefinisikan: mengikut
sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan
yang jelas maupun isyarat” . Sedangkan Ulama Madzhab Hambali,
Syafi‟I dan Maliki serta Jumhur Ulama mendefinisikan
wadhi‟ah yaitu mewakilkan orang lain untuk memelihara harta
tertentu dengan cara tertentu.
Wadi‟ah sendiri dibagi menjadi dua yaitu: Pertama, Wadiah
Yad Dhamanah yakni wadi‟ah di mana si penerima titipan dapat
memanfaatkan barang titipan tersebut dengan seizin pemiliknya
2 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, h.
25.
108
dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara
utuh setiap saat kala si pemilik menghendakinya. Kedua, Wadiah
Yad Amanah yaitu wadiah di mana si penerima titipan tidak
bertanggungjawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi
pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian
atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan
tersebut.
Akad wadiah merupakan titipan murni yang setiap saat
dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Penerima titipan
merupakan tangan amanah (yad amanah)3, dalam arti mereka
tidak menanggung atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi
pada barang titipan selama bukan akibat kelalaian atau
kecerobohan yang bersangkutan dalam menjalankan amanah.4
Dasar Hukum al-Wadiah
“akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya)”. (QS. Al-baqarah (2) : 283)
3 Wadi’ah yad amanah adalah jenis akad penitipan dimana pihak penerima titipan tidak
diperkenankan menggunakan barang titipan, sehingga tidak menanggung atas kerusakan atau kehilangan dari barang titipan tersebut, kecuali akibat kelalaian dalam menjalankan amanah. Disamping wadi’ah yad amanah ada juga yang disebut dengan wadi’ah yad dhomanah yaitu akad penitipan dimana pihak penerima titipan dengan izin pemilik dapat memanfaatkan barang titipan, sehingga dengan demikian harus menanggung atas kerusakan atau kehilangan barang titipan tersebut. Lihat Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia.hlm. 264.
4 Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. hlm., 262.
109
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya”. (QS. An-Nisa (4) : 58)
Rukun dan Syarat Wadiah
Rukun wadiah sebagaimana disebutkan dalam
Kompilasi Hukum ekonomi syariah ada empat, yaitu: Muwaddi‟
(penitip), Mustaudi‟ (penerima titipan), wadi‟ah bih (harta titipan)
dan akad.5
Sedangkan syarat wadiah, yaitu :6 Pertama, para pihak
yang melakukan akad wadi‟ah harus memiliki kecakapan
hukum. Kedua, harta wadi‟ah harus dapat dikuasai dan
diserahterimakan. Ketiga, muwaddi‟ dan mustaudi‟ dapat
membatalkan akad wadi‟ah sesuai kesepakatan.
Selanjutnya dalam operasional penghimpunan dana,
perbankan syariah membagi dalam 2 (dua) bagian yaitu
simpanan (giro dan tabungan) dan investasi (giro, tabungan dan
deposito). Adapun penjelasan lebih rincinya sebagai berikut:
1. Simpanan
a) Giro
Yaitu Simpanan nasabah pada Bank yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran
lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.7
5 Pasal 413 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah 6 Pasal 414 s/d 416 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah 7 Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 36/SEOJK.03/2015 Tentang Produk dan Aktivitas
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
110
Bank syariah menerima simpanan dari nasabah
dalam bentuk rekening giro (current account) untuk
keamanan dan kemudahan pemakaiannya dengan prinsip al-
wadi‟ah yad-dhamanah (singkatnya wadi'ah) atau titipan.
Perbankan syariah dalam hal ini tidak memakai prinsip al-
wadi‟ah yad-amanah karena prinsip ini melarang perbankan
syariah untuk mengelola dana simpanan dari nasabah.
Wadi‟ah merupakan perjanjian perwakilan untuk
tujuan melindungi harta seseorang. Dalam hal ini, bank
dapat mempergunakan dana nasabah selama tidak ditarik,
sementara bank memberikan garansi bahwa nasabah dapat
menarik dananya sewaktu-waktu dengan menggunakan
berbagai fasilitas yang disediakan bank, seperti cek, kartu
ATM, dan sebagainya tanpa biaya.8
Dana yang terhimpun dalam rekening giro tidak
dapat digunakan bank untuk pembiayaan bagi hasil karena
sifatnya yang jangka pendek, tetapi dapat digunakan bank
untuk kebutuhan likuiditas bank dan untuk transaksi jangka
pendek. Bank akan mendapatkan keuntungan dari
pengelolaan dana simpanan nasabah dalam bentuk rekening
giro ini.
Adapun dasar hukum giro, yaitu: Fatwa DSN
No.01/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Giro dan Fatwa DSN
No.86/DSN-MUI/XII/2012 tentang Hadiah dalam
Penghimpunan Dana Lembaga Keuangan Syariah.
8 Ascarya dan Diana Yumanita, Bank Syariah, h.16.
159
PERMASALAHAN DALAM HUKUM
PERBANKAN SYARIAH
A. KATEGORISASI HUKUM PERBANKAN SYARIAH
Seperti yang telah penulis uraikan di BAB I bahwa
hukum perbankan syariah pada dasarnya dikategorikan hukum
privat, namun tidak menutup kemungkinan dikategorikan
hukum publik tergantung permasalahan yang timbul. Tetapi
penulis tidak akan menjelaskan secara rinci terkait hal tersebut
dikarenakan bukan menjadi fokus pembahasan buku ini.
Adapun beberapa hal terkait pembahasan kategorisasi privat
dan publik dalam perbankan syariah adalah sebagai berikut.
1. Hukum Privat
Hukum perbankan syariah dikategorikan hukum privat
ketika menyangkut sengketa antara individu (person) dengan
individu (person) baik itu secara perorangan ataupun badan
hukum. Hal ini didasarkan bahwa setiap person melekat
padanya hak dan kewajiban dan terkadang hal tersebut
menimbulkan sengketa karena salah satu pihak merasa
dirugikan.
Beberapa hukum yang terlibat dalam permasalahan
perbankan syariah di antaranya : hak kekayaan intelektual,
BAB V
160
hukum ketenagakerjaan, hukum perlindungan konsumen,
hukum pasar modal dan penanaman modal, hukum perusahaan,
hukum kepailitan, dan lain-lain. Pelbagai hukum yang disebut
di atas pada dasarnya berdiri sendiri, namun berkaitan dengan
hukum perbankan syariah.
Permasalahan yang timbul dari hukum-hukum tersebut
di atas pun akan berbeda cara penyelesaiannya termasuk juga
instansi yang berwenang untuk menyelesaikannya seperti
ketenagakerjaan salah satu instansi yang dapat menyelesaikan
yaitu pengadilan hubungan industrial dan kepailitan dilakukan
oleh pengadilan niaga.
2. Hukum Publik
Dewasa ini tidak sedikit permasalahan pidana yang
timbul dari perbankan termasuk juga perbankan syariah. Ketika
perbankan syariah sebagai subjek yang berbadan hukum
melakukan kejahatan perbankan maka hal tersebut dinamakan
kejahatan korporasi atau tindak pidana korporasi.
Kategorisasi hukum perbankan syariah sebagai hukum
publik karena menyangkut permasalahan pidana yang
selanjutnya disebut pidana khusus. Selain itu juga, alasan
kategorisasi tersebut didasarkan atas hukum tata usaha negara
karena perbankan syariah tidak bisa dilepaskan dari aturan
surat-surat keputusan pejabat negara yang selanjutnya menjadi
objek Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Adapun beberapa tindak pidana khusus yang sering
muncul dari permasalahan perbankan syariah yaitu kejahatan
perbankan, tindak pidana korupsi yang di dalamnya terdapat
juga tindak pidana pencucian uang. Permasalahan tersebut
161
dapat diselesaikan oleh pengadilan tindak pidana korupsi yang
menjadi pengadilan khusus di bawah pengadilan umum.
B. TINDAK PIDANA PERBANKAN SYARIAH
Hukum pidana termasuk dalam kategori hukum publik,
yaitu yang mempunyai garis hubungan vertikal antara negara
dengan masyarakat.
Dalam arti yang luas, hukum pidana itu dapat dibagi
kepada dua bagian yakni Pertama, hukum pidana subtantif/
materiil disebut juga dengan hukum delik atau hukum sanksi.1
Disebut hukum delik karena didalamnya dirumuskan tentang
sikap dan perbuatan yang salah, karena tidak melaksanakan
yang baik dan benar.2 Adapun disebut hukum sangsi karena
didalamnya tercantum sanksi atau hukuman bagi setiap orang
yang melanggar norma-norma tersebut.3 Kedua, hukum pidana
ajektif/formil yaitu hukum yang menyangkut cara laksana
penguasa menindak warga yang didakwa bertanggung jawab
atas sebuah delik.4
Dalam penerapannya, hukum pidana terbagi menjadi
hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.
Menurut Sudarto, hukum pidana umum adalah hukum
pidana yang dapat diperlakukan terhadap setiap orang pada
umumnya, sedangkan hukum pidana khusus diperuntukan bagi
orang-orang tertentu saja misalnya anggota angkatan perang
ataupun merupakan hukum yang mengatur tentang delik-delik
1 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, (Jakarta: Diadit Media, 2007) h. 15. 2 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, h.15 3 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, h.15 4 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, h.16
162
tertentu saja, misalnya hukum fiskal (pajak), hukum pidana
ekonomi dan lain-lain.5
Aziz Syamsuddin membedakan antara hukum pidana
umum dan hukum pidana khusus6. Adapun perbedaannya
sebagai berikut:7
a. Definisi
Hukum pidana umum adalah perundang-undangan
pidana dan berlaku umum, sedangkan hukum pidana
khusus adalah perundang-undangan di bidang tertentu
yang bersanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur
dalam undang-undang khusus.
b. Dasar
Hukum pidana umum tercantum dalam KUHP dan
semua perundang-undangan yang mengubah dan
menambah KUHP, sedangkan hukum pidana khusus
tercantum di dalam perundang-udangan di luar KUHP,
baik perundang-undangan pidana, tetapi bersanksi
pidana (ketentuan yang menyimpang dari KUHP).
c. Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan
Yang menjadi penyelidik dan penyidik dalam hukum
pidana umum adalah polisi, sedangkan dalam pidana
khusus adalah polisi, jaksa, PPNS, dan KPK.
d. Pengadilan
Pemeriksaan perkara dalam hukum pidana umum
dilakukan di pengadilan umum, sedangkan hukum
pemeriksaan perkara dalam hukum pidana khusus
adalah pengadilan tipikor, pengadilan pajak, pengadilan
5 Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.18 6 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.9 7 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, h.9
179
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM
PERBANKAN SYARIAH
Untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen
perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang
bertanggungjawab.1
Berdasarkan pertimbangan tersebut diperlukan
perangkat perundang-undangan untuk mewujudkan
keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku
usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat. Undang-
Undang yang dimaksudkan adalah Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.2
Baik buruknya implementasi Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tercermin antara lain dari banyaknya
pelanggaran hak-hak konsumen. Semakin banyak pelanggaran
1 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2016. Cet. 9, edisi revisi), h.191 2 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, h.192.
BAB VI
180
hak-hak konsumen, semakin nyata pelaku usaha tidak
melaksanakan UUPK dengan sepenuh hati.3
Pelanggaran hak-hak konsumen bukan hanya
disebabkan pelaku usaha sendiri, tetapi juga karena
ketidaktahuan dan sikap apatis konsumen saat hak-haknya
dilanggar. Konsumen masih jarang menggunakan upaya hukum
jika hak-haknya dilanggar, apalagi yang sampai ke pengadilan.4
Dugaan pelanggaran hak konsumen ternyata tidak hanya
terjadi pada bidang jasa perparkiran, angkutan jasa
penerbangan, maupun perumahan saja. Dewasa ini pelanggaran
hak konsumen juga terjadi di bidang perbankan. Oleh karenanya
konsumen diwajibkan untuk lebih cerdas dalam menggunakan
produk atau jasa perbankan serta tidak apatis untuk melakukan
upaya hukum jikalau hak-haknya dilanggar oleh pelaku usaha.
A. PENGERTIAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN
NASABAH
1. Pengertian Perlindugan Konsumen dan Pelaku Usaha
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-
Amerika) yang berarti adalah lawan dari produsen yaitu setiap
orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang
atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok
mana pengguna tersebut.5
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 Tentang otoritas Jasa Keuangan, Konsumen adalah pihak-
3 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia:
Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: t.tp.2014), h.292 4 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia:
Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, h.292 5 Celina Tri Siwi Kristianti, Hokum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika)
181
pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan
pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain
nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang
polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun,
berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan
“Konsumen sebagai lawan produsen, yakni pemakai barang-
barang hasil industri, bahan makanan, dan sebagainya”.6
Definisi tersebut menghendaki bahwa konsumen adalah
setiap orang atau individu yang harus dilindungi selama tidak
memiliki kapasitas dan bertindak sebagai produsen, pelaku
usaha dan/atau pebisnis.7
Menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan konsumen.
Lain halnya dengan dengan pengertian perlidungan
konsumen menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:
1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan, Perlindungan Konsumen adalah perlindungan
terhadap Konsumen dengan cakupan perilaku Pelaku Usaha
Jasa Keuangan.8
Sedangkan Pelaku usaha yaitu setiap orang perseorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
6 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.521 7 Zulham. Hukum perlindungan konsumen, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2013), h.15 8 Lihat Pasal 1 ayat ayat 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013
182
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.
2. Pengertian Perlindungan Nasabah
Ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
nasabah adalah konsumen yang menkonsumsi atau
menggunakan produk dan jasa dari perbankan. Sedangkan
perbankan adalah pelaku usaha yang mempunyai produk dan
menawarkan jasa kepada nasabah/konsumen.
Dengan demikian, dalam pembahasan nasabah
perbankan tidak bisa dipisahkan dari pembahasan perlindungan
konsumen yang nyatanya pemerintah dan pelaku usaha
mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen.
Nasabah dalam Undang-Undang Perbankan Syariah
terbagi dalam 4 (empat) kategori, yaitu :9
(1) Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank
Syariah dan/atau UUS.
(2) Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang
menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS
dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank
Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
(3) Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan
dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk
Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau
UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
9 Lihat ketentuan umum pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah
183
(4) Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang
memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan
dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah.
Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa perlindungan nasabah adalah upaya
pemerintah dalam melindungi nasabah dari kecurangan-
kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan cara
memberlakukan peraturan perundang-undangan yang harus
ditaati. Dalam perlindungan nasabah oleh pelaku usaha di
bidang perbankan syariah secara jelas disebutkan pada pasal 38
ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syariah yang berbunyi “Bank Syariah dan UUS wajib
menerapkan manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah dan
perlindungan nasabah”.
Adapun upaya pencegahan terjadinya kerugian
konsumen maka sesuai amanat pada Pasal 28 UU No 21 tahun
2011 tentang Otoritsas Jasa Keuangan, upaya yang dilakukan
oleh OJK untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK
berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian
Konsumen dan masyarakat, yang meliputi: a. memberikan
informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik
sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya; b. meminta
Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya
apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
c. tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.10
Merujuk kepada Perpu No. 3 Tahun 2008 sebagaimana
telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh UU No. 7 Tahun
10 Lihat asal 28 UU No. 21 tahun 2011 Tentang Otoritsas Jasa Keuangan
193
PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN SYARIAH
A. PENGERTIAN SENGKETA BANK SYARIAH
Dalam kosa kata Inggris dikenal 2 (dua) istilah, yakni
“conflict” dan “dispute” yang mana kedua kata tersebut
mempunyai kesamaan arti adanya perbedaan antara dua pihak
atau lebih, namun keduanya juga mempunyai perbedaan. Kosa
kata conflict sudah diserap dalam bahasa Indonesia menjadi kata
“konflik”. Adapun Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), kata konflik diartikan yaitu (1) percekcokan,
perselisihan, pertentangan. (2) ketegangan atau pertentangan di
dalam cerita rekaan atau drama (pertentangan antara dua
kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan
antara dua tokoh, dsb). Sedangkan kosa kata dispute
diterjemahkan menjadi “sengketa”. Merujuk pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata sengketa diartikan yaitu (1)
sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran,
perbantahan, perkara yang kecil dapat juga menimbulkan
sengketa besar; sengketa daerah, daerah yang menjadi rebutan
(pokok pertengkaran); (2) pertikaian; perselisihan: sengketa di
BAB VII
194
dalam partai itu akhirnya dapat diselesaikan dengan baik; (3)
perkara (dalam pengadilan) tidak ada sengketa yang tidak dapat
diselesaikan;
Sengketa perbankan syariah disini maksudnya adalah
perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak atau lebih
dalam perbankan syariah yang mengakibatkan terjadinya
kerugian bagi pihak atau pihak-pihak tertentu dan perbedaan
kepentingan atau kerugian tersebut dinyatakan kepada pihak
yang dianggap menjadi penyebab kerugian atau kepada pihak
lain, dan pihak lain tersebut memberikan pendapat yang
berbeda.1
Sengketa perbankan syariah dapat diselesaikan dengan
dua jalur yakni litigasi dan nonlitigasi. Litigasi yaitu
penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan. Dalam hal ini
sengketa perbankan syariah dapat diselesaikan melalui
pengadilan agama. Sedangkan non litigasi yaitu penyelesaian
sengketa di luar jalur pengadilan yakni oleh Badan Arbitrase
atau Alternatif Dispute Resolution (ADR) .
Menurut Rachmadi Usman, sebagaimana dikutip oleh
Adrian Sutedi, istilah Alternatif Dispute Resolution (ADR)
menunjukan pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan
melalui prosedur yang disepakati para pihak (self-governing
system) dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi, penilaian
ahli, atau arbitrase. Sepanjang para pihak ada kesepakatan,
mereka dapat menggunakan berbagai alternatif tersebut, tetapi
apabila tidak ada kesepakatan, maka dengan sendirinya pihak
1 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Bogor : Ghalia
Indonesia, 2009. Cet. Pertama), h.166
195
atau pihak-pihak tersebut akan memiilih berperkara di
pengadilan. 2
Hal tersebut bukan berarti bahwa suatu sengketa selalu
lebih dahulu diajukan kepada ADR sebelum ke pengadilan.
Dalam kenyataannya, masyarakat luas lebih mengenal
pengadilan dari pada ADR. Namun demikian, banyak juga yang
enggan mengajukan masalahnya ke pengadilan, antara lain
dengan alasan berperkara menambah masalah.3
Penyelesain sengketa di luar pengadilan juga diatur oleh
pasal 58, 59, dan 60 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman. Adapun ketentuan prosedurnya diatur
oleh undang-undang tersendiri yakni Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
B. KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
Pada prinsipnya, penegakan hukum hanya dilakukan
oleh kekuasaan kehakiman (judicial power) yang secara
konstitusional lazim disebut badan yudikatif (UUD 1945).
Dengan demikian pihak yang berwenang memeriksa dan
mengadili perkara hanya badan peradilan yang bernaung di
bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah
Agung.4
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana
perubahanan terakhirnya UU No. 48 Tahun 2009 tentang
2 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjau-maan dan Beberapa Segi Hukum, h.168 3 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, h.168 4 Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah,
(Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h.142
196
kekuasaan kehakiman secara tegas menyatakan bahwa yang
berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-
badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang.
Apabila terjadi sengketa syariah melalui jalur
pengadilan, maka berdasarkan pasal 55 Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah serta penjelasan pasal
49 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
lembaga yang berwenang mengadilinya adalah Peradilan
Agama.5 Hal ini dikuatkan oleh putusan MK Nomor 39/PUU-
5 Dalam konteks payung hukum Peradilan Agama telah mengalami perubahan yakni UU No 7
tahun 1989, UU No 3 tahun 2006, dan terakhir adalah UU 50 tahun 2009. Lihat juga Peraturan mengenai
Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dan terakhir sebagai payung hukum perbankan
syariah telah lahir undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang berlaku pada
saat ini. Kewenangan atau kompetensi peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah
secara absolut. Hal ini menepis atau mematahkan anggapan bahwasanya adanya pembatasan kompetensi
peradilan agama hanya terbatas mengurus hukum keluarga pada persolaan nikah, talak dan rujuk. Adanya
kewenangan yang lebih luas oleh peradilan agama menangani pada perkara-perkara perdata (de burgerlijke
rechtazaken) merupakan suatu terobosan hukum luar biasa khususnya pada umat islam dalam
bermuamalah, demi terwujudnya prinsip-prinsip keadilan, tidak ada judi, aniyaya (zolim), riba, dan
ketidakjelasan serta menghindari yang barbau haram dalam transaksi. Dan menepis pula pada sebuah teori
bahwasannya hukum yang berlaku bagi orang Islam merupakan hukum adat masing-masing, sehingga
hukum adatlah yang menentukan ada dan tidaknya hukum Islam. Adanya perintah undang-undang
perbankan syariah tentang kewenangan peradilan agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah
merupakan wujud implementasi bahwasannya hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum Islam.
Berlakunya implementasi hukum Islam ini didasarkan pada argumentasi yang yang menyatakan bahwasanya
hukum yang berlaku bagi masyarakat adalah hukum agamanya. Dengan demikian, hukum adat hanya
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Teori ini sejalan dengan konsep ‘Urf yang
dikenal dalam Islam. Konsepsi hukum adat harus senapas dengan hukum Islam. Dalam norma hukum islam
dikenal dengan kaidah al-Adatul Muhakkamah (adat yang dijadikan hukum) sehingga argumentasi ini
senafas dengan yang menyatakan bahwasanya hukum yang berlaku bagi masyarakat adalah hukum
agamanya. Dengan demikan, hukum perbankan syariah menjadi hukum positif hal ini bisa dilihat pada
Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sehingga ketentuan formil perbankan
syariah yang sudah di undang-undangkan merupakan segala bentuk kewajiban harus dijalankan dan di
patuhi tidak lagi mengenal batas dan sekat-sekat ke agamaan dan kewenangangan penyelesaian sengketa
pun ada di peradilan agama. Hal ini menegaskanan perdebatan telah usai dan tuntas tentang kewenangan
lembaga pengadilan tidak opsi bikameral (PA dan PN) dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
197
X/2012 yang menghapuskan opsi penyelesaian sengketa melalui
Pengadilan Negeri6.
Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah menyebutkan “Penyelesaian sengketa
Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama. Lihat juga bunyi pasal 49 UU No.
3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. “pengadilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang a. Perkawinan; b. Waris; c.
Wasiat; e. Hibah; f. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq; h. Sedekah; dan i.
Ekonomi syariah.
Yang dimaksud dengan frasa Ekonomi Syariah sesuai
dengan penjelasan pasal 49 UU 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syariah tersebut bahwa ekonomi syariah adalah
6 Pada mula munculnya perusahaan yang menggunakan prinsip ekonomi syariah khususnya ketika berdirinya bank syariah di Indonesia, aturan tentang penyelesaian sengketa yang muncul belum mempunyai aturan yang jelas terkait instansi mana yang mempunyai wewenang dalam menyelesaiankan perkara tersebut. Sehingga diundangkanlah UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang tepatnya pada pasal 49 menyatakan bahwa sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut peradilan agama. Berbicara kewenangan absolut tentu peradilan agama menjadi satu-satunya instansi yang mempunyai wewenang dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Namun seiring berjalannya waktu, pada tahun 2008 diundangkan UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syariah yang tepatnya pada pasal 55 ayat (2) bahwa sengketa perbankan syariah dapat diselesaikan oleh instansi sesuai dengan isi akad para pihak ketika membuat kontrak. Dan hal demikian diperjelas oleh penjelasan pasal 55 ayat (2) yakni selain peradilan agama, sengketa perbankan syariah dapat diselesaikan oleh peradilan umum ketika akad para pihak menentukan demikian. Ketika itulah terjadi choice of forum yakni dualisme kewenangan antara peradilan agama dan peradilan umum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah khusunya dan umumnya ekonomi syariah. Maka dengan adanya aturan tersebut, pada tahun 2012 terdapat warga negara Indonesia yang bernama Dadang Achmad dengan kuasa hukumnya menggugat pasal tersebut dengan legal standing bahwa pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 28D ayat (1) dan Dadang Achmad sebagai warga negara Indonesia merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal tersebut. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi nyatanya mengabulkan permohonan Judicial Riview dari Dadang Achmad dan kuasa hukumnya dengan putusan MK No. 93/PUU-X/2012 dan menyatakan bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian, setelah putusan tersebut maka tidak ada lagii dualisme kewenangan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Dan sengketa perbankan syariah hanya dapat diselesaikan oleh peradilan agama sehingga peradilan umum wajib menolak perkara perbankan syariah yang diajukan kepadanya.
213
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
A. Perwataatmadja, Karnaen dan Hendri Tanjung, Bank Syariah
Teori, Praktek dan Penerapannya, Jakarta: Celestial
Publishing, 2007.
A. Subaily, Yusuf. Fikih Perbankan Syariah: Pengantar Fikih
Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Modern, Terj.
Erwandi Tarmizi, T.t, Dar Al-Qalam.
Abbas, Syahrizal. Mediasi : dalam Perspektif Hukum Syariah,
Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta: Prenada Media
Group, 2009. Cet.1, hlm. 9.
Abd. Rahman, Atang. Fiqh Perbankan syariah, Bandung : Refika
Aditama, cet. 1, 2011.
Ahmad An-Nadwi, Ali. Al-Qawaid Fiqhiyyah, Damaskus : Dar al-
Qalam, 1991.
Al-Maududi, al-Riba, Dar al-sa’udiyah, Jeddah, 1987.
Al-Zarqa’, Mustafa. al-Madkhal al-Fiqh al-‘alam, Dar al-Fikr,
Beirut. T.th, Juz 1.
Amas’adi, Ghufron. Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta:PT. Raja
Grafindo, 2002.
Amin, Ma’ruf. Era Baru Ekonomi Islam Indonesia “ Dari Fikih ke
Praktek Ekonomi Islami, Jakarta : eLSAS, 2011.
214
Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta : elSAS,
cet. 3, 2011.
Amin, Muhammad. Hashiyah ibn ‘Abidin, Dȃ r al-Fikr, Beirut,
1486 H, Ed.ke-2, Juz 5.
Amriani, Nurnaningsih. Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perdata di Pengadilan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2011, cet.1.
Ascarya dan Diana Yumanita, Seri Kebanksentralan, Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) BANK
INDONESIA, Jakarta, 2005.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. pengantar Hukum Islam I, Jakarta :
Bulan Bintang, cet ke-6, 1980.
Asyhadie, Zaeni. Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016. Cet. 9,
edisi revisi.
Aziz Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank
Syariah, Jakarta: Bank Indonesia, 1999.
Celina Tri Siwi Kristianti, Hokum Perlindungan Konsumen,
Jakarta : Sinar Grafika.
Dewan Syariah nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan
Fatwa Keuangan Syariah, Jakarta : Erlangga, 2014.
Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan
Peransuransian Syariah di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2004.
Dib Al-Bugha, Musthafa. Buku Pintar Transaksi Syariah, Jakarta :
Hikmah, 2010.
215
Djamil, Fathurahman. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan
Konsep, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Fairuzabadi, Qamus al-Muhȃt, Dȃ r al-Fikr, Beirut, 1995.
Farida Indrati, Maria. Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta: PT.
Kanisius, 2007.
Ghofur Anshori, Abdul. Aspek Hukum Reksa Dana Syariah di
Indonesia, Bandung : Refika Adiama, 2008.
Hamami, Taufiq. Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia Pasca Amandemen Ke Tiga UUD 1945,
Ciputat : PT. Tatanusa, 2013. Cet. 1
Harahap, Yahya. Arbitrase, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Edisi
Kedua.
Hasan, Hasbi. Kompetensi Peradilan Agama dalam penyelesaian
Perkara Ekonomi Syariah, Jakarta: Gramata Publishing, 2010.
Hasani, Ismail. Ilmu Perundang-Undangan, Jakarta: FSH UIN
Jakarta, 2014.
Hejazziey, Djawahir . Hukum Perbankan Syariah, Jakarta:
Deepublish, 2013.
Hulwati, Ekonomi Islam : Teori dan Prakteknya dalam Perdagangan
Obligasi syariah di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia,
Ciputat ; Ciputat Press. Edisi revisi, 2009.
Ibn Hazm, al-Muhallȃ, Juz 9.
Ibn Qayyim, I’lȃm al-Muwaqiȃn an Rabb al-ȃlamȃn, Juz 2.
Ibn Taimiyah, Wa rasail wa fatȃwa ibn Taymiyah fi al-fiqh,
Maktabah Ibn Taymiyah, t.tp, t.th, Juz 29.
216
Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara,
Penerjemah: Raisul Muttaqien, cet. IX, Bandung: Nusa
Media, 2014.
Mahkamah Agung R.I., Mediasi dan Perdamaian, Jakarta: MA-RI,
2004.
Mardani, Hukum Bisnis Syariah, Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, cet. 1, 2014.
Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2015.
Mardjono, Hartono. Petunjuk Praktis Menjalankan Syariat Islam
dalam Bermuamalah yang sah Menurut Hukum Nasional,
Jakarta: Studia Press, 2000.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, cet. 8,
edisi revisi, 2008.
Mustafa, Ibrahim. al-Mujma’ al-wasit, Dȃ r al-Dakwah, Istanbul,
t.th, Juz 2.
Nafis, M. Cholis. Teori Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: UI Press,
2011
Poerwadarminta, Wjs. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1976.
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010.
Purwaningsih, Endang. Hukum Bisnis, Bogor: Ghalia Indonesia,
2010.
Qardhawi, Yusuf. al-Fatwa Bainaal Intibath wat Tasayyub : Fatwa
Antara Ketelitian dan Kecerobohan, terj: As’ad Yasin, Jakarta :
Gema Insani Press, 1997.
217
Raharjo, Dawam. The Question of Islamic Banking in Indonesia,
dalam Mohamed Arif (ed.) Islamic Banking in South East
Asia Singapura: ISEAS, 1988.
Rasyid, Chatib dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktik pada Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press,
2009.
Remy Sjahdeni, Sutan. Perbankan Syariah: Produk-Produk dan
Aspek Hukumnya, Jakarta: Kencana, 2014.
Rida, Rasyid. tafsir manar, Dar al-Manar, Kairo, Juz 3.
Sabiq, Sayid. Fikih Sunnah, Bairut: Dar al-Fikr, 1983, Jilid 3.
Sadi, Muhamad. Konsep Hukum Perbankan Syariah “Pola Relasi
Sebagai Institusi Intermediasi dan Agen Investasi”, Malang:
Setara Press, 2015,
Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah
Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989.
Sofa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : GP Press,
2013.
Sri Imaniyati, Neni. Hukum Perbankan Untuk Lingkungan Sendiri,
Bandung, Fakultas Hukum Unisba,2008.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, 2011. Cet. 18.
Sudiarto, Negosiasi, Mediasi dan Arbitrase: Penyelesaian Sengketa
Alternatif di Indonesia, Jakarta: Pustaka Reka Cipta,
2015.cet.1.
Suhendi, Hendi. Fikih Muamalah, Jakarta : Rajawali Press, 2008.
Sumitro, Warkum. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-
Lembaga Terkait (BMUI & Takaful) di Indonesia, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 1996.
218
Susanto, Burhanuddin. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia,
Yogyakarta : UII Press, 2008.
Sutedi, Adrian. Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi
Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia, 2009. Cet. 1.
Syafi’i Antonio, Muhammad. Bank Syariah : Dari Teori ke Praktek,
Jakarta, Gema Insani, 2001.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fikih, Jakarta : Kencana, cet. 4, jilid 2,
2008.
Tahir Mansoori, Muhammad. Kaidah-Kaidah Fikih Keuangan dan
Transaksi Syariah, Bogor: Ulil Albaab Institute, 2010.
Usman, Rachmadi. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia,
Jakarta : Sinar Grafika, 2012.
Warson Munawwir, Ahmad. Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta:
Pesantren Krafyak, Tth.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Panduan Bantuan
Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan
Menyelesaikan Masalah Hukum, Jakarta: t.tp. 2014.
Zainal Abidin Farid, Andi. Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
Zulham. Hukum perlindungan konsumen, Edisi Pertama,
Jakarta: Kencana, 2013.
Undang-Undang dan Peraturan Lainnya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan
219
Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin
Simpanan. Undang-undang nomor 7 tahun 2009 tentang
penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-
undang nomor 3 tahun 2008 tentang perubahan atas
undang-undang nomor 4 tahun 2004 Tentang Lembaga
Penjamin Simpanan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
Peraturan Mahkamah Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
220
Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia