Css Komplikasi Imobilisasi

35
CLINICAL SCIENCE SESSION KOMPLIKASI IMOBILISASI LAMA Aulia Anbiya A. 1301-1212-0523 Annisa Ikhsanawati 1301-1212-0515 Eliza Techa F. 1301-1212-0540 Gunalan s/o Govindarajan 1301-1212- 3505 Maria Agustina S.W 1301-1213-0544 Kartika Sandra 1301-1213-0680 Preseptor: Rachmat Zulkarnain G.,dr., SpKFR BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

Transcript of Css Komplikasi Imobilisasi

Page 1: Css Komplikasi Imobilisasi

CLINICAL SCIENCE SESSION

KOMPLIKASI IMOBILISASI LAMA

Aulia Anbiya A. 1301-1212-0523

Annisa Ikhsanawati 1301-1212-0515

Eliza Techa F. 1301-1212-0540

Gunalan s/o Govindarajan 1301-1212- 3505

Maria Agustina S.W 1301-1213-0544

Kartika Sandra 1301-1213-0680

Preseptor:

Rachmat Zulkarnain G.,dr., SpKFR

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN

BANDUNG

2014

Page 2: Css Komplikasi Imobilisasi

PENDAHULUAN

Tujuan utama dari ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi medik adalah untuk

mengembalikan fungsi fisik dan psikososial individu sehingga mereka dapat mencapai level

optimal independensi. Untuk mencapai tujuan ini, tidak hanya diperlukan diagnosis dan dan

pengobatan yang tepat saja, tetapi juga diperlukan monitoring untuk melihat komplikasi yang

berpotensi muncul yang dapat menyebabkan masalah tambahan.

Begitu juga yang terjadi ketika individu dirawat dalam jangka waktu lama sehingga

terjadi inaktivasi atau imobilisasi alat gerak, tidak hanya pengobatan medikamentosa saja

yang harus kita perhatikan, tetapi juga rehabilitasi medik terhadap pasien tersebut harus kita

jalankan untuk meminimalisir terjadinya komplikasi yang mungkin timbul karena imobilisasi

lama. Pada awalnya, imobilisasi ini menyebabkan perubahan kapasitas fungsional satu organ

tertentu yang kemudian menyebar mempengaruhi banyak organ dan sistem tubuh.

DEFINISI

Imobilisasi merupakan sebuah keadaan dimana pasien dalam kondisi tirah baring,

tidak bergerak secara aktif sebagai akibat dari adanya gangguan pada organ tubuh, baik fisik

ataupun mental.

EPIDEMIOLOGI

Imobilisasi lama dapat terjadi pada semua orang, tetapi mayoritas terjadi pada pasien

usia lanjut, gangguan muskuloskeletal, paska operasi atau penyakit kronis yang memerlukan

tirah baring lama misalnya pada pasien infark miokardial.

Dampak imobilisasi lama terutama adalah ulkus dekubitus mencapai 11% dan terjadi

dalam kurun waktu 2 minggu. Perawatan emboli paru berkisar 0,9% dengan kematian

200.000 orang setiap tahunnya.

2

Page 3: Css Komplikasi Imobilisasi

TINGKAT MOBILITAS

Menurut Braden & Bergstrom (1989), dalam skala Braden, tingkat mobilitas terdiri

dari empat tingkat :

1. Tidak terbatas : Melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa bantuan.

2. Agak terbatas : Sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas

secara mandiri tetapi memiliki beberapa keterbatasan.

3. Sangat terbatas : kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas

tetapi tidak dapat melakukan perubahan yang sering.

4. Imobilisasi : Tidak dapat melakukan perubahan baik pada posisi tubuh maupun pada

ekstremitas tanpa adanya bantuan.

KLASIFIKASI

1. Imobilitas fisik merupakan pembatasan gerak secara fisik dengan tujuan mencegah

terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien hemiplegia.

2. Imobilitas intelektual, merupakan pembatasan gerak daya pikir seseorang, seperti pada

pasien dengan kerusakan otak.

3. Imobilitas emosional, merupakan pembatasan gerak emosi seseorang akibat adanya

perubahan yang tiba-tiba dalam proses penyesuaian diri, seperti yang terjadi pada pasien

paska amputasi.

4. Imobilitas sosial, merupakan pembatasan gerak sosial seseorang dalam melakukan

interaksi dengan lingkungannya.

KOMPLIKASI

Imobilitas karena tirah baring jangka lama akan menyebabkan suatu keadaan klinis

yang disebut ‘deconditioning’, dimana terjadi penurunan kapasitas fungsional berbagai sistem

tubuh terutama sistem muskuloskeletal. Deconditioning terjadi pada berbagai usia dan jenis

kelamin, terutama pada pasien dengan kondisi sakit kronis, usia lanjut dan cacat. Sebagai

3

Page 4: Css Komplikasi Imobilisasi

contoh, seorang pasien sehat yang tirah baring lama dapat mengalami pemendekan pada otot-

otot di punggung dan kaki, terutama otot yang melewati sendi panggul dan lutut. Pada sisi

lain, seorang pasien dengan kelainan neuron motor dan spastisitas anggota gerak sebagai

penyerta juga dapat mengalami komplikasi muskuloskeletal yang sama tapi pada derajat yang

lebih berat.

Efek dari imobilitas jarang terbatas pada satu organ tertentu. Imobilitas menyebabkan

berkurangnya kapasitas fungsional sistem muskuloskeletal sehingga dapat terjadi kelemahan,

atrofi dan daya tahan otot yang lemah. Aktivitas metabolik dan ekstraksi oksigen pada otot

juga berkurang menyebabkan berkurangnya kapasitas fungsional otot jantung. Tirah baring

yang lama juga dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis, hipotensi postural dan trombosis

vena dalam.

Efek samping imobilitas

Sistem Efek

Muskuloskeletal Otot

Kontraktur

Kelemahan dan atrofi otot

Gangguan eksitasi elektrik

Tulang

Osteoporosis

Sendi

Degenerasi kartilago

Infiltrasi jaringan fibrofatty

Atrofi sinovial

Ankilosis

4

Page 5: Css Komplikasi Imobilisasi

Jantung dan paru Jantung

Redistribusi cairan tubuh

Hipotensi ortostatis

Penurunan kapasitas fungsional kardiopulmoner

Koagulasi darah (tromboembolisme)

Paru

Resistensi mekanis pernapasan

Pneumonia hipostatis

Peningkatan kapasitas total paru

Emboli paru

Genitourinaria dan

gastrointestinal

Statis urinaria, batu ginjal, infeksi saluran kemih

Gangguan berkemih

Penurunan nafsu makan

Konstipasi

Endokrin dan metabolik Metabolik

Peningkatan lemak tubuh

Gangguan elektrolit dan mineral

Endokrin

Intoleransi glukosa

Gangguan produksi hormon

Peningkatan temperatur dan respon berkeringat

Gangguan ritme sirkadian

Kognitif dan perilaku Deprivasi sensoris

Disorientasi

Depresi dan cemas

5

Page 6: Css Komplikasi Imobilisasi

Penurunan kapasitas intelektualitas

Gangguan keseimbangan dan koordinasi

Gangguan tidur

Kulit Ulkus dekubitus

Edema

Bursitis subkutan

Lingkaran setan inaktivitas

Inaktivitas

(tirah baring, imobilitas)

Penurunan kapasitas fungsional Deconditioning

Tambahan disabilitas

(permanen, temporer)

Dampak imobilitas terhadap berbagai sistem tubuh :

1. Sistem Muskuloskeletal

Fungsi utama sistem muskuloskeletal adalah untuk menopang tubuh,

transportasi tubuh, dan melakukan berbagai kegiatan fisik lainnya.

A. Kelemahan dan atrofi otot

Pada posisi berbaring, aktivitas otot minimal karena berkurangnya kekuatan

gravitasi dan hipokinesia. Secara progresif, hal ini menyebabkan penurunan

6

Page 7: Css Komplikasi Imobilisasi

ukuran, kekuatan dan daya tahan otot. Keadaan ini biasanya terjadi pada otot anti

gravitasi pada anggota tubuh bagian bawah.

Pada beberapa orang, keadaan ini bersifat reversibel, kecuali pada orang

dengan kelainan muskuloskeletal atau neurologis. Dengan tirah baring sempurna,

terjadi penurunan kekuatan otot sebesar 1-3 % per hari, atau 10-15 % per minggu.

Pasien dengan tirah baring total selama 3-5 minggu dapat kehilangan setengah

dari kekuatan ototnya.

Pada tampilan histologis, terjadi penurunan area gelap ATPase tipe II

sebanyak 46% dan area terang ATPase tipe I sebanyak 69%. Pada awal imobilitas,

terjadi peningkatan aktivitas suksinat dehidrogenase per serat otot, tetapi

kemudian mengalami penurunan secara signifikan pada akhir imobilitas. Secara

general, terjadi penurunan aktivitas enzim oksidasi pada otot.

Pada otot, terjadi pula perubahan metabolik sebagai respon terhadap gangguan

aktivitas enzim. Walaupun sumber energi utama berasal dari karbohidrat dan

lemak, terjadi kehilangan nitrogen selama imobilitas akibat aktivitas otot yang

terbatas sehingga menyebabkan berkurangnya sintesis protein.

Defisiensi protein ini diperberat dengan mekanisme gastrointestinal berupa

kehilangan nafsu makan, berkrangnya absorspi protein dan konstipasi. Kehilangan

nitrogen per hari dapat mencapai 2 gram. Peningkatan kehilangan nitrogen

biasanya dimulai pada hari ke-5 atau ke-6 tirah baring, dengan puncaknya pada

minggu kedua.

7

Page 8: Css Komplikasi Imobilisasi

Inaktivitas

Peningkatan pemecahan nitrogen mekanisme sistem GI

Penurunan sintesis nitrogen (berkurangnya nafsu makan,

absorpsi)

hipoproteinemia

Penurunan kapasitas enzim menyebabkan berkurangnya ekstraksi oksigen

dari darah. Hal ini menyebabkan perubahan pada bentuk dan ukuran end plate

dan fungsi dari reseptor asetilkolin sehingga menyebabkan penurunan daya tahan

otot. Penurunan maksimal terjadi pada hari ke 8 dan 10, selanjutnya mengalami

penurunan.

Sejalan dengan perubahan serat otot, terjadi peningkatan relatif dari

konten dan cross-linkage kolagen. Hal ini menyebabkan terjadinya rigiditas dan

kontraktur miogenik. Selanjutnya, jika otot-otot ekstensor tetap pada posisi

ekstensi penuh dan otot-otot fleksi tetap pada posisi fleksi penuh selama

imobilisasi, dapat menyebabkan berkurangnya jumlah sarkomer otot sehingga

terjadi penurunan panjang dan kekuatan otot selama aktivitas.

Kelemahan dan atrofi otot ini dapat dicegah dengan peregangan otot

selama setengah jam setiap harinya. Kelemahan dan atrofi otot ini juga dapat

dicegah dengan penggunaan stimulasi elektris. Program yang dipakai adalah

stimulasi rectangular bifasik sebanyak tiga sesi per hari selama 30 menit.

B. Kontraktur

Kontraktur adalah kurangnya jangkauan aktif atau pasif penuh lingkup

gerak sendi yang terjadi karena adanya keterbatasan penggunaan sendi, otot atau

8

Page 9: Css Komplikasi Imobilisasi

jaringan lunak. Berbagai keadaan dapat menyebabkan keterbatasan pergerakan

sendi, contohnya nyeri sendi (yang terjadi pada proses peradanagan, trauma,

infeksi, degenerasi dan perdarahan), paralisis, fibrosis jaringan kapsular atau

periartrikular, atau kerusakan otot (polimiositis dan distrofi muskuler) atau faktor

mekanis seperti tirah baring yang tidak tepat.

Faktor tunggal yang paling sering berkontribusi terhadap terjadinya

kontraktur adalah kurangnya mobilisasi sendi dalam lingkup ruang sendi

penuhnya. Imobilisasi sendi yang lama dapat menyebabkan penurunan panjang

otot dan pemendekkan kolagen pada kapsul sendi dan jaringan lain.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan perkembangan

kontraktur, diantaranya adalah posisi tungkai, durasi imobilisasi, keadaan

patologi awal dan restriksi sendi. Edema, iskemia, perdarahan dan gangguan lain

pada lingkungan mikro sendi dan jaringan periartrikular juga dapat menyebabkan

kontraktur. Pada usia tua, terjadi kehilangan serat otot dan peningkatan relatif dari

proporsi jaringan ikat sehingga dapat menyebabkan terjadinya kontraktur. Pada

pasien diabetes melitus, terjadi perubahan mikrovaskular dan iskemia yang

menyebabkan terjadinya kontraktur terutama pada tangan.

Tulang dan otot merupakan jenis dari dari jaringan ikat, dimana jaringan

ikat memiliki properti mekanis, terdiri dari sel (fibroblas) dan makromolekul

interseluler (kolagen) yang dikelilingi oleh matriks ekstraseluler (jeli

polisakarida).

Kolagen merupakan protein yang paling banyak terdapat pada tubuh.

Terdapat paling tidak 12 macam kolagen (I-XII) yang telah teridentifikasi.

Kolagen disintesis dari asam amino pada retikulum endoplasma kasar. Setiap

jaringan memiliki komposisi kolagen yang berbeda sehingga terjadi kekhasan

9

Page 10: Css Komplikasi Imobilisasi

pada setiap jaringan. Kolagen-kolagen tersebut akan tersusun teratur sesuai

dengan arah gerak sehingga membentuk fibril. Ikatan silang antara fibril kolagen

kemudian memberikan kekuatan otot. Fibril kolagen kemudian akan beragregasi

dalam grup membentuk fasikel. Sejumlah besar fasikel kemudian membentuk

tendon atau ligamen. Perubahan pada struktur kolagen dapat dipengaruhi oleh

enzim, faktor pertumbuhan atau stimuli mekanis.

Selain kolagen sebagai penyokong utama struktur jaringan ikat, terdapat

juga proteoglikan yang berfingsi untuk lubrikasi sendi.

Pada keadaan trauma atau inflamasi dari jarigan ikat, sel mesenkimal

berdiferensiasi menjadi fibroblas yang kemudian memproduksi kolagen yang

kemudian tersusun secara acak. Jika sintesis kolagen lebih banyak daripada

pemecahannya, dapat terjadi fibrosis yang berlebihan. Ketidakseimbangan

sintesis dan pemecahan kolagen ini dipengaruhi oleh faktor fisik seperti

kurangnya peregangan, imobilitas dan inaktivitas yang lama. Trauma, perdarahan

atau iskemia juga dapat menstimulasi sintesis kolagen. Sintesis kolagen pada otot

juga dipengaruhi level aktivitas otot.

Pemendekkan panjang otot juga dapat terjadi pada orang normal dalam

derajat yang ringan, terutama pada otot-otot yang melewati beberapa sendi. Hal

ini berhubungan dengan faktor mekanis.

Diagnosis kontraktur ditegakkan setelah pemeriksaan lingkup gerak sendi

yang meliputi evaluasi lingkup gerak sendi aktif dan pasif.

Kontraktur yang diakibatkan oleh keadaan patologi dapat dibedakan

menjadi artrogenik, miogenik dan jaringan lunak.

Tipe kontraktur Penyebab

Artrogenik Kerusakan kartilago (inflamasi, infeksi, trauma,

10

Page 11: Css Komplikasi Imobilisasi

degenerasi)

Proliferasi jaringan sinovial (efusi)

Fibrosis kapsular

Miogenik Intrinsik (struktural)

Trauma (edema, perdarahan)

Perubahan degeneratif (distrofi muskular)

Iskemik (diabetes melitus, kelainan pembuluh

darah perifer)

Ekstrinsik

Spastisitas (paralisis, kerusakan medula spinalis,

sklerosis multipel)

Flaccid paralysis

Mekanis (imobilisasi, kurang peregangan)

Jaringan lunak Gangguan pada jaringan lunak periartrikular

Gangguan pada kulit atau jaringan subkutan (luka

bakar)

Gangguan pada tendon dan ligamen (tendinitis,

bursitis)

Kombinasi Kombinasi ketiganya ditemukan pada satu sendi

Kontraktur dan perubahan jaringan ikat

Jaringan ikat secara konstan digantikan dan reorganisasi selama fase

penyembuhan. Pada area yang sering bergerak, jaringan ikat longgar terbentuk,

sedangkan pada area yang tidak ada atau minim gerakan akan terbentuk jalinan

padat kolagen. Serat kolagen ini akan memendek bila terjadi imobilisasi.

11

Page 12: Css Komplikasi Imobilisasi

Imobilisasi dapat menyebabkan infiltrasi fibrolipid pada sendi yang bisa matang

menjadi perekat kuat di dalam sendi dan bisa merusak kartilago.

Kontraktur artrogenik

Proses patologis yang melibatkan sendi dapat menyebabkan tightness dan

fibrosis. Inflamasi dan efusi synovial disertai rasa sakit yang mengakibatkan

terbatasnya pergerakan sendi dan kontraktur kapsular. ROM pasif selama

arthritis akut dapat meningkatkan IL-1, IL-1 penetrasi ke dalam kartilago

dan berikatan dengan reseptor di membrane kondrosit dan menghambat

pembentukan proteoglikan yang penting untuk proteksi kartilago. Nyeri dan

rusaknya kartilago akibat splinting menurunkan pergerakan sendi dan ROM.

Kapsul sendi juga bisa kehilangan ekstensibilitas akibat pemendekan serat

kolagen. Penyebabnya adalah karena stretching yang kurang dan posisi

fleksi. ROM terbatas ke segala arah. Sendi bahu dan pinggul paing sering

mengalami kontraktur kapsul. Pemendekan kapsul posterior sendi lutut juga

bisa terjadi pada pasien yang menggunakan kursi roda.

Kontraktur Jaringan Padat dan Lunak

Trauma terhadap jaringan lunak dengan pendarahan bisa menyebabkan

fibrosis dan menjadi kontraktur bila stretching tidak dilakukan. Dalam

kondisi ini serat kolagen berproliferasi dan membentuk jalinan.

Keterbatasan gerak hanya terjadi pada satu aksis.

Kulit yang terbakar rentan terhadap kontraktur. Selama masa penyembuhan,

luka terbakar yang melewati sendi harus sering digerakkan dan diposisikan

melawan pemendekan dari jaringan parut.

12

Page 13: Css Komplikasi Imobilisasi

Imobilisasi dapat menyebabka perubahan bomekanik dan biokimia pada

ligament. Proses yang terjadi pada ligament selama imobilisasi yaitu

penurunan sintesis kolagen dan peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang

tempat insersi ligamen.

Efek kontraktur pada fungsi fisik

Kontraktur memiliki 3 efek, yaitu mengganggu pergerakan, aktivitas hidup

sehari-hari, dan pada perawatan kulit

Kontraktur pada ekstremitas bawah mengubah pola berjalan dan bisa

menghambat ambulasi.

Kontraktur pinggul : menurunkan ekstensi pinggul, meningkatkan

kemungkinan lordosis lumbar dan kebutuhan energi. Kontraktur pinggul

dapat menyebabkan pemendekan otot hamstring sehingga memfleksikan

lutut, tidak jarang pasien dengan kontraktur pinggul mengalami kontraktur

lutut dan ankle terutama bila tidak dilakukan mobilisasi.

Kontraktur plantarfleksi menyebabkan hilangnya hentakan kaki dan

abnormal pus-off.

Keterbatasan pada ekstremitas atas menyebabkan tidak bisa menggapai,

berpakaian, merawat diri, makan dan kemampuan motorik halus lainnya.

Kontraktur pada banyak sendi mengganggu posisi tidur, berdiri, mobilisasi,

dan mempersulit perawatan kulit dan perineum dan perluasan area tekanan

pada kulit.

13

Page 14: Css Komplikasi Imobilisasi

Hip contracture

Plantarflexion contracture

Bed rest dan nyeri punggung bawah

Bed rest yang terlalu lama dapat menyebabkan nyeri punggung bawah

melalui mekanisme tightness pada otot punggung dan hamstring atau

kelemahan otot punggung dan abdomen. Adanya pemendekan pada otot-

otot ini akan mengubah alignment spinal dan postur tubuh.

Imobilisasi osteoporosis spinal juga dapat menyebabkan nyeri punggung .

Komplikasi bed rest ini dapat dicegah dengan latihan penguatan otot

abdomen dan paraspinal serta hamstring.

Bed rest yang lama tidak memiliki efek terapi pada sindrom nyeri punggung

bawah.

14

Page 15: Css Komplikasi Imobilisasi

Terapi dan Manajemen kontraktur

Analisis

Menentukan faktor predisposisi, pengetahuan mengenai efek kontraktur dan

pentingnya mobilisasi dan stretching dari otot serta aktif dan pasif ROM.

Stretch dan restorasi ROM

Bila kontraktur sudah terjadi, latihan ROM aktif dan pasif dikombinasikan

dengan terminal stretch minimal 2 kali sehari. Untuk kontraktur ringan, stretch

selama 20-30 menit cukup efektif dan lebih dari 30 menit untuk kontraktur lebih

berat. Terapi akan lebih berhasil bila dikombinasikan dengan pemanasan pada

musculotendinous junction atau kapsul sendi, menggunakan ultrasound

menghangatkan jaringan hingga suhu 40-43 C dapat meningkatkan sifat kental

jaringan ikat dan memaksimalkan efek stretching.

Stretch lama lebih dari 2 jam dapat dibantu menggunakan splint atau serial

cast (pembalutan dengan plaster atau polymer bandage dengan bantalan

pada tonjolan tulang)

Prinsip dasar pencegahan dan pengobatan kontraktur

Pencegahan

Posisi tidur yang benar, resting splint

Latihan ROM (aktif atau pasif)

Mobilisasi dini dan ambulasi

CPM (continuous passive motion)

15

Page 16: Css Komplikasi Imobilisasi

Pengobatan

ROM pasif dengan terminal stretch

Stretch lama dan pemanasan

Progresif splinting, casting

Terapi spastisitas; farmakologi, motor point atau blok saraf dengan botox A

Intervensi bedah (eg. Pemanjangan tendon, osteotomi dan penggantian sendi).

Pencegahan Kontraktur

Pada pasien bed rest, dengan pemilihan matras dan tempat tidur yang sesuai,

posisi yang benar, program latihan mobilisasi.

Pasien sebaiknya mulai ambulasi segera setelah kondisi medisnya membaik.

Namun, bila bed rest tetap harus dilakukan maka posisi tidur yang benar

harus diterapkan.

Matras yang kuat diperlukan untuk mencegah badan pasien melengkung

atau merosot serta menghindari fleksi pinggul yang berlebihan.

Footboard diletakkan 4 inchi dari ujung matras, untuk menghindari tekanan

pada tumit.

Tempat tidur memiliki pegangan atau rel disampingnya sebagai pegangan

bagi pasien untuk mobilisasi dan duduk.

Untuk bed rest lama disediakan alat untuk menjaga posisi sendi yang

fungsional. Bantal pada bahu menjaga agar bahu tetap abduksi dan rotasi

netral. Palmar roll untuk mempertahankan tangan, jari serta ibu jari pada

posisi optimal. Trochanter roll untuk mencegah rotasi eksternal yang

berlebihan pada sendi pinggul.

16

Page 17: Css Komplikasi Imobilisasi

Latihan Fungsional

Ambulasi untuk menjaga fungsi normal sendi yang lain. Stimulasi elektrik

pada otot yang parese untuk melatih kekuatan otot.

Imobilisasi osteoporosis

Massa tulang akan meningkat bila ada beban dan akan berkurang jika tidak

terdapat aktivitas otot

Massa tulang mulai berkurang pada decade ke4-5 kehidupan, terjadi sangat

cepat pada wanita saat 5-7 tahun pertama setelah menopause

Imobilisasi menyebabkan penurunan kepadatan tulang, dicirikan dengan

hilangnya kalsium dan hidroksiprolin dari cancellous bone epifisis dan

metafisis tulang panjang. Penyebab utama adalah resorpsi tulang yang

belum diketahui. Osteoporosis ini dapat dicegah dengan latihan isotonic

atau isometric, ambulasi.

Pasien dengan imobilisasi lama juga mengalami hiperkalsemia dan

hiperkalsiuria. Tanda hiperkalsemia yaitu anoreksia, nyeri abdomen, mual,

muntah, konstipasi, bingung dan bisa menjadi koma. Hal ini dapat diobati

dengan hidrasi dengan normal salin dan dieresis furosemid.

Terapi inhibisi resorpsi tulang dengan diberikan bifosfonat.

KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR

Komplikasi kardiovaskular dari immobilisasi adalah peningkatan denyut jantung,

penurunan cardiac reserve, hipotensi ortostatik, dan venous thromboembolism.

17

Page 18: Css Komplikasi Imobilisasi

Peningkatan Denyut Jantung dan Penurunan Cardiac Reserve

Pada immobilisasi denyut jantung meningkat (umumnya menjadi 80 bpm),

kemungkinan karena adanya peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Saat bed rest

denyut nadi istirahat jadi lebih cepat 1 beat permenit setiap 2 hari. Meningkatnya

denyut jantung menyebabkan waktu pengisian diastolik menjadi lebih singkat dan

waktu ejeksi sistolik juga memendiek, akibatnya jantung kurang dapat merespon

kebutuhan metabolik lebih banyak. Semakin pendek waktu diastolic menyebabkan

aliran darah koroner berkurang, sehingga ketersediaan oksigen untuk otot jantung

sangat terbatas. Cardiac output, stroke volume, dan fungsi ventrikel kiri juga akan

berkurang. Jika terdapat sedikit saja aktivitas fisik berlebih akan menyebabkan

takikardi dan angina, ini merupakan tanda bahwa kapasitas kerja sesorang berkurang.

Untuk mengendalikan efek negatif bed rest dan untuk membangun kembali daya

tahan, pasien hendaknya melakukan latihan ringan. Latihan dapat menggunakan

sepeda ergometer ataupun arm ergometry untuk pasien dengan gangguan pada

ekstremitas bawah.

Hipotensi Ortostatik

Hipotensi ortostatik terjadi jika sistem kardiovaskular tidak dapat beradaptasi secara

normal terhadap posisi tubuh berdiri. Hipotensi ortostatik muncul setelah 3 minggu

bed rest (bisa muncul lebih awal pada orang lanjut usia). Hal ini bersama dengan

18

Page 19: Css Komplikasi Imobilisasi

denyut jantung yang cepat menyebabkan pengisian ventrikel saat diastole jadi

berkurang, akibatnya perfusi serebral juga akan berkurang.

Biasanya hipotensi ortostatik memiliki tanda berupa meningkatnya denyut nadi lebih

dari 20 bpm dan penurunan pulse pressure sebanyak 70% atau lebih karena darah

terkumpul di kaki.

Penanganan hipotensi ortostatik meliputi latihan pada daerah kaki, mobilisasi dan

ambulasi segera, juga bantuan dengan menggunakan stocking elastic.

Venous Thromboembolism

Venous thromboembolism terjadi terutama akibat stasis pada vena dan bisa juda

karena peningkatan koagulabilitas darah. Stasis terjadi pada daerah kaki diikuti

penurunan kontraksi otot gastrocnemius dan soleus. Mayoritas trombus vena dalam

terjadi pada daerah betis dan berasal di sinus soleus. Semakin proksimal lokasi vena

yang trombus, semakin besar kemungkinan terjadinya emboli pulmoner. Jika terjadi

emboli pulmoner, maka mortalitasnya 20-35% bila tidak ditangani. Lamanya bed rest

berkaitan secara langsung dengan frekuensi munculnya thrombosis vena dalam.

Pasien yang mengalami trombosis vena dalam bisa saja tidak menampakkan gejala.

Apabila muncul gejala umumnya berupa sakit dan nyeri tekan, pembengkakan,

distensi vena, sianosis ataupun kemerahan pada daerah yang trombosis. Lebih dari

50% pasien yang menampakkan gejala klinis tidak memberi tanda khusus di hasil

venografinya. Untuk pemeriksaan yang lebih sensitif dan spesifik bisa dengan

menggunakan USG Doppler, impedance plethysmography, dan venografi kontras

(gold standar).

19

Page 20: Css Komplikasi Imobilisasi

Jika terjadi emboli pulmoner pasien akan menampakkan gejala dyspne, takipne,

takikardi, nyeri dada pleuritik, batuk dengan/tanpa darah, ataupun efusi. Tanda yang

kurang spesifik lainnya seperti demam, confusion, wheezing, dan aritmia. Pada kasus

yang sudah parah gejala akan menyerupai gagal jantung kanan. Untuk membedakan

dengan kelainan jantung bisa dilakukan EKG.

Terapi tromboemboli vena adalah dengan mengurangi stasis vena dengan fisioterapi

seperti latihan, elevasi kaki, penggunaan stocking elastik, ambulasi awal, dan

kompressin mekanis. Untung mengurangi koagulabilitas darah bisa digunakan

dextran, obat antiplatelet seperti acetylsalicylic acid, dan antikoagulan seperti

warfarin dan heparin. Terapi diberikan sampai pasien benar-benar bisa melakukan

ambulasi dengan baik. Sedangkan tindakan pencegahan yang efektif berupa

penggunaan heparin dosis rendah, kompressi pneumatik yang intermiten, oral

antikoagulan, dan dextran.

PERUBAHAN PADA SISTEM GENITOURINARI

Bed rest lama akan meningkatkan insidensi batu ginjal, kandung kemih, dan infeksi

traktus urinarius. Hiperkalsiuria adalah penemuan tersering pada pasien yang

mengalami immobilisasi. Selain kalsium, ekskresi fosfor dalam urin juga meningkat.

Dalam posisi berbaring, urin harus mengalir naik dari renal collecting system menuju

ureter. Pasien sering mengeluh kesulitan untung memulai buang air kecil saat

berbaring. Akibatnya akan ada incomplete voiding yang menyebabkan stagnasi urin.

Ketika pengosongan kandung kemih tersebut tidak sempurna akan terjadi peningkatan

risiko terbentuknya batu. Umunya jenis batu yang terbentuk adalah struvat dan

carbonate apatite (15-30% pasien yang immobilisasi). Batu kandung kemih ini akan

mengiritasi dan menyebabkan trauma pada mukosa, menyebabkan infeksi lebih

20

Page 21: Css Komplikasi Imobilisasi

mudah terjadi. Jika bakterinya memiliki urease, makan akan terbentuk presipitat

kalsium dan magnesium yang dapat menjadi batu jenis lainnya.

Pencegahan munculnya batu tersebut antara lain dengan pemberian asupan cairan

yang cukup, membiasakn diri buang air kecil dalam posisi berdiri/duduk, dan

pencegahan kontaminasi instrumen (kateter). Sedangkan untuk terapi bisa

menggunakan asidifikasi urin dengan vitamin C, antiseptic urinary, dan pada pasien

yang risiko terbentuknya batu lebih tinggi bisa diberikan inhibitor urease. Untuk

terapi jika batu sudah terbentuk adalah dengan litiotripsi ultrasonic. Pemberian

antibiotik juga diharuskan jika terdapat infeksi saluran kemih. Pada pasien yang sudah

dapat bergerak, sangat dianjurkan untuk melepaskan kateter dan membiasakan diri

buang air kecil sambil duduk/berdiri.

PERUBAHAN PADA SISTEM GASTROINTESTINAL

Immobilisasi bisa menyebabkan perubahan pada sistem gastrointestinal berupa

kehilangan nafsu makan, kecepatan absorpsi yang lebih lambat, dan hipoproteinemia.

Pasase makanan melalui esophagus, lambung, dan usus kecil lebih lambat pada posisi

berbaring. Oleh karena itu disaranakan untuk pasien yang belum bisa duduk sempurna

untuk menggikan badan dan kepala dengan 2-3 bantal saat makan. Konstipasi

merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada pasien immobilisasi, karena

pada keadaan immobile akan ada peningkatan aktivitas adrenergic sehingga gerakan

peristaltik terhambat. Berkurangnya volume plasma juga dapat memperparah

konstipasi.

Untuk mencegah konstipasi, asupan makanan harus cukup serat dan cairan.

Penggunaan stool softener juga dapat membantu. Pemberian obat-obatan golongan

narkotik juga sebaiknya dibatasi karena bisa memperlambat peristaltis.

21

Page 22: Css Komplikasi Imobilisasi

PERUBAHAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT

Immobilitas yang lama dapat menyebabkan perubahan keseimbangan sodium, sulfur,

fosfor, dan potassium. Penurunan sodium terjadi pada awal bed rest. Level sodium

dalam serum tidak berhubungan dengan keparahan hipotensi ortostatik yang terjadi.

Hiponatremi pada orang tua dapat menyebabkan letargi, disorientasi, anorexia,

bahkan kejang.

Penurunan kadar potassium terjadi secara progresif pada minggu-minggu awal bed

rest. Selain hiponatremia dan hipokalemia juga terdapat hiperkalsemia.

GANGGUAN HORMONAL

Kurangnya aktivitas fisik mengubah kepekaan tubuh terhadap hormon dan enzim.

Pada awal immobilitas (3 hari pertama) dapat terjadi intoleransi karbohidrat yang

signifikan, uptake glukosa perifer bisa berkurang hingga 50% sampai hari ke-14.

Penyebab intoleransi ini bukan karena kurangnya insulin, namun karena

meningkatnya resistensi jaringan terhadap insulin. Pada pemeriksaan darah akan

didapati hasil hiperglikemia dan hiperinsulinemia.

Selain insulin juga terjadi peningkatan hormon paratiroid, yang menyebabkan

hiperkalsemia dan hormon T3. Beberapa hormon lain yang juga mengalami

perubahan adalah androgen, hormon pertumbuhan, dan adrenokortikotropik.

PERUBAHAN PADA SISTEM SARAF

Penurunan fungsi sensoris sering terjadi dan menjadi ancaman pada pasien yang

immobilisasi lama. Selain masalah sensori, isolasi sosial yang terjadi juga

menyebabkan kelabilan emosional pada pasien, tanpa diserai penurunan fungsi

intelektual. Perubahan konsentrasi, orientasi tempat dan waktu, gelisah, kecemasan,

22

Page 23: Css Komplikasi Imobilisasi

depresi, penurunan ambang batas nyeri, insomnia, dan iritabilitas biasanya terjadi

pada pasien yang immobilisasi lebih dari 2 minggu. Berkurangnya konsentrasi dan

motivasi, depresi, dan berkurangnya kemampuan psikomotor dapat mencegah

tercapainya hasil terapi yang optimal.

Untuk pencegahan, diperlukan stimulasi fisik dan psikososial yang sesuai mulai dari

awal immobilisasi. Kontak dengan keluarga dan rekan kerja pada sore hari dan akhir

minggu dapat memperbaiki hasil.

23