Komplikasi Sinusitis

30
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah infeksi atau peradangan dari mukosa sinus paranasal. 1 Sinusitis mungkin hanya terjadi pada beberapa hari (sinusitis akut) atau berlanjut menjadi sinusitis kronis jika tanpa pengobatan yang adekuat. 2 Angka kejadian sinusitis akut mendekati 3 dalam 1000 orang, sedangkan sinusitis kronis lebih jarang kira-kira 1 dalam 1000 orang. Bayi di bawah 1 tahun tidak menderita sinusitis karena pembentukan sinusnya belum sempurna, tetapi sinusitis dapat terjadi pada berbagai usia dengan cara lain. 2 Infeksi sinus seperti yang kita ketahui kini lebih jarang dibandingkan era pra-antibiotik. Pasien sering kali masih mengaitkan gejala-gejala seperti nyeri kepala, sumbatan hidung, drenase post-nasal, kelemahan, halitosis dan dispepsia dengan disfungsi sinus. Namun demikian, penyakit sinus menimbulkan kumpulan gejala yang agak karakteristik yang hanya bervariasi sesuai beratnya penyakit dan lokasinya. 2 Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus adalah dengan drainase sinus, pemberian antibiotik, dan mencegah komplikasi. Sinusitis yang tidak ditangani dan diabaikan dapat menyebabkan berbagai komplikasi, terutama pada organ- organ vital di sekitarnya. Bahaya komplikasi ini bergantung seberapa besar derajat kerusakan jaringan. Komplikasi tersering adalah perluasan penyakit hingga ke orbita, susunan saraf pusat, dan meluas secara sistemik. 2

Transcript of Komplikasi Sinusitis

Page 1: Komplikasi Sinusitis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sinusitis adalah infeksi atau peradangan dari mukosa sinus paranasal.1 Sinusitis mungkin

hanya terjadi pada beberapa hari (sinusitis akut) atau berlanjut menjadi sinusitis kronis

jika tanpa pengobatan yang adekuat.2

Angka kejadian sinusitis akut mendekati 3 dalam 1000 orang, sedangkan sinusitis kronis

lebih jarang kira-kira 1 dalam 1000 orang. Bayi di bawah 1 tahun tidak menderita

sinusitis karena pembentukan sinusnya belum sempurna, tetapi sinusitis dapat terjadi pada

berbagai usia dengan cara lain.2

Infeksi sinus seperti yang kita ketahui kini lebih jarang dibandingkan era pra-antibiotik.

Pasien sering kali masih mengaitkan gejala-gejala seperti nyeri kepala, sumbatan hidung,

drenase post-nasal, kelemahan, halitosis dan dispepsia dengan disfungsi sinus. Namun

demikian, penyakit sinus menimbulkan kumpulan gejala yang agak karakteristik yang

hanya bervariasi sesuai beratnya penyakit dan lokasinya. 2

Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus adalah dengan drainase sinus, pemberian

antibiotik, dan mencegah komplikasi. Sinusitis yang tidak ditangani dan diabaikan dapat

menyebabkan berbagai komplikasi, terutama pada organ-organ vital di sekitarnya.

Bahaya komplikasi ini bergantung seberapa besar derajat kerusakan jaringan. Komplikasi

tersering adalah perluasan penyakit hingga ke orbita, susunan saraf pusat, dan meluas

secara sistemik. 2

Mengingat pentingnya manfaat pengetahuan mengenai penyakit sinusitis, maka pada

makalah ini akan dipaparkan berbagai hal yang berkenaan dengan sinusitis dan

komplikasinya. 2

.

1.2 Batasan Masalah

Pembahasan referat ini dibatasi pada komplikasi sinusitis.

1.3 Tujuan Penulisan

Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca dan penulis khususnya

mengenai komplikasi sinusitis.

1.4 Metode Penulisan

Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke berbagai literatur.

Page 2: Komplikasi Sinusitis

1.5 Manfaat Penulisan

Referat ini diharapkan bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman mengenai

komplikasi sinusitis.

Page 3: Komplikasi Sinusitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal. Bila mengenai beberapa sinus disebut

multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.1,2

2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Terdapat beberapa faktor etiologi dan predisposisi sinusitis, antara lain ISPA akibat virus,

bermacam-macam rinitis, polip hidung, kelainan anatomi (seperti septum deviasi atau

hipertropi konka), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia (sindroma

Kartagener) dan penyakit fibrosis kistik.1,2

Hipertropi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis pada anak, sehingga perlu

dilakukan adenoidektomi. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang

berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama

menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.1,2

2.3 Patofisiologi

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa

yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium

tersumbat. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya tekanan negatif dalam rongga sinus yang

menyebabkan terjadinya transudasi yang mula-mula serous. Kondisi ini disebut rinosinusitis

non-bakterial yang biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.1,2

Bila kondisi ini berlanjut, sekret yang menumpuk akan menjadi media yang baik untuk

pertumbuhan bakteri, dan sekret akan menjadi purulen. Keadaan ini disebut rinosinusitis

bakterial akut dan memerlukan terapi antibiotik.1,2

Jika terapi gagal, inflamasi akan berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan

berkembang. Mukosa makin membengkak dan akan terus berlangsung sampai akhirnya

perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertropi, polipoid atau membentuk kista dan polip.

Pada keadaan ini dibutuhkan operasi.1,2

2.4 Klasifikasi

Menurut Konsensus tahun 2004 sinuitis dibagi atas:1,2

1. Sinusitis akut, bila infeksi berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu

Page 4: Komplikasi Sinusitis

2. Sinusitis subakut, bila infeksi berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan

3. Sinusitis kronik, bila infeksi berlangsung lebih dari 3 bulan.

Berdasarkan lokasinya, sinusitis dapat dibagi menjadi:4

a. Sinusitis maksilaris

b. Sinusitis frontalis

c. Sinusitis etmoidalis

d. Sinusitis sfenoidalis

2.5 Diagnosis

Diagnosis sinusitis akut bila terdapat gejala/tanda:2

1. Riwayat rinorea purulen yang berlangsung 7 hari

2. Keluhan lain: sumbatan hidung, nyeri tekan wajah, nyeri kepala, demam, post-nasal drip,

batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbita, nyeri gigi, nyeri telinga, dan serangan mengi

meningkat pada asma.

3. Rhinoskopi anterior: Sekret purulen di meatus medius dan superior

4. Rhinoskopi posterior: sekret purulen di nasofaring (post-nasal drip)

Diagnosis sinusitis kronis ditegakkan bila gejala yang diderita (pada sinusitis akut) melebihi

12 minggu, dengan ketentuan memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 mayor 2 minor menurut

International Consensus on Sinus Disease 2004:2

2.6 Terapi

Terapi medikamentosa sinusitis akut berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik

yang diberikan lini I, yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan,

yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan

analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau

kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai

mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II

Page 5: Komplikasi Sinusitis

selama 7 hari, yakni amoksisilin-klavulanat / ampisilin-sulbaktam, cephalosporin generasi

II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai

mencukupi 10-14 hari.2

Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau naso-

endoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi

sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis, yakni evaluasi

komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus. Terapi pembedahan pada sinusitis akut

jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau

bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.2

Terapi untuk sinusitis kronis: .

a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan

diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14

hari. 2

b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II +

terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik

alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-

14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi,

sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka

dilakukan tindakan bedah, yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi

maka evaluasi diagnosis. 2

c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit. 2

d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,

frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.2

e. Pembedahan

Radikal: Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc, Sinus ethmoid dengan

ethmoidektomi, Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian. 2

Non-Radikal: Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan

membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal. 2

2.7 Komplikasi

Meskipun komplikasi sinusitis sudah jarang dijumpai pada era antibiotik sekarang ini,

komplikasi serius masih dapat terjadi. Yang harus diingat komplikasi rinosinusitis akan

meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila tidak mendapatkan penanganan yang baik dan

Page 6: Komplikasi Sinusitis

adekuat. Letak sinus paranasal yang berdekatan dengan mata dan kranial sangat berperan

pada infeksi rinosinusitis akut ataupun kronik. 2

Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya komplikasi antara lain karena: 2

1. Terapi yang tidak adekuat

2. Daya tahan tubuh yang rendah

3. Virulensi kuman, dan

4. Penanganan tindakan operatif (yang seharusnya) terlambat dilakukan.

Komplikasi dapat terjadi, baik pada sinusitis akut, subakut, atau kronis. Angka kejadian

komplikasi yang rendah menyebabkan insidensinya tidak diketahui pasti. Komplikasi

biasanya berhubungan dengan area di sekitar sinus. CT-Scan penting dilakukan dalam

menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan

lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau

berkomplikasi. 2

Adapun komplikasi sinusitis yang terjadi dapat berupa komplikasi ringan hingga berat, yang

dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu lokal, orbital, intrakranial, dan distansial (jauh). 2

2.7.1 Komplikasi Lokal

1. Mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di dalam sinus. Kista

ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi

mukus dan biasanya tidak berbahaya. 2,3

Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui

atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai

pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral.

Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan

dengan menekan saraf didekatnya. 2,3

Mukokel primer (atau disebut kista retensi) berkembang akibat hambatan duktus kelenjar

saliva mayor, terutama pada sinus maksilaris. Mukokel sekunder disebabkan obstruksi

ostium sinus sebagai komplikasi obstruktif dari rinosinusitis, polip, trauma, pembedahan,

dan tumor. Nyeri kepala dan berkurangnya visus merupakan gejala tersering pada

mukokel di sinus frontal, dimana gejala berlangsung perlahan seiring membesarnya

mukokel dalam beberapa tahun. 2,3

Page 7: Komplikasi Sinusitis

Diagnosis ditegakkan bila dijumpai nyeri kepala bagian frontal dan proptosis, serta

bergesernya bola mata ke bawah atau ke atas. Nyeri hidung dan periorbita dalam dapat

ditemukan. Berbeda dengan sinusitis akut atau kronik, obstruksi nasal dan rinorhea justru

jarang didapat. Meskipun diagnosis dapat diduga berdasarkan temuan klinis, pemeriksaan

radiografi perlu dilakukan untuk memperkuat analisis dan mengetahui letak dari mukokel.

Pada pemeriksaan CT scan, mukokel tampak sebagai massa hipodens. Massa dapat

mengisi kavum sinus. Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama

dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. 2,3

Terapi umum mukokel adalah dengan mengangkat secara total mukokel, dan umumnya

melalui bedah terbuka. Saat ini, teknik endoskopik transnasal digunakan untuk mengatasi

komplikasi ini. Marsupialisasi mukokel, dibanding mengangkat total, merupakan konsep

terapi yang mementingkan kemampuan mukosa sinus untuk kembali ke kondisi normal

atau mendekati normal. 2,3

2. Osteomielitis dan Tumor Pott

Penyebaran infeksi melalui anyaman pembuluh darah ke tulang kranium menyebabkan

osteitis yang akan mengakibatkan erosi pada bagian anterior tulang frontal. Gejala klinis

tampak udem yang terbatas pada dahi di bawah kulit dan penimbunan pus di

superiosteum. Berlanjutnya kelainan ini akan menyebabkan terjadinya suatu kondisi yang

disebut Pott’s Tumor. 2,3

Tumor Pott merupakan massa tumor bundar yang tidak nyeri, pertama kali diperkenalkan

oleh Percival Pott pada tahun 1760. Infeksi yang masuk ke sinus frontalis dan

menyebabkan osteomyelitis progresif di sana, pada akhirnya akan membentuk abses

subperiosteal perikranial anterior, abses periorbita, atau abses epidural. Penumpukkan pus

subperiosteal pada dahi tersebut akan membentuk struktur berupa benjolan yang fluktuatif

dan sembab (tumor Pott). 2,3

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan

penunjang yang mendukung adalah CT scan dan MRI. Dapat pula dilakukan bone

scanning untuk melihat osteomyelitis. 2,3

Penanganan untuk kasus ini adalah dengan pemberian antibiotik intravena, drainase

abses, dan bila perlu debridement tulang. Pada beberapa kasus, dapat dilakukan

sinusostomi frontaal. Antibiotik intravena diberikan selama 3 minggu, dilanjutkan dengan

pemberian oral 3-5 minggu. 2,3

Page 8: Komplikasi Sinusitis

3. Otitis Media

Ruang telinga tengah dihubungkan ke faring melalui tuba Eustachii. Terdapat banyak

kesamaan kejadian klinis antara otitis media dan sinusitis. Bila pada telinga tengah, tuba

Eustcahii yang berperan penting sebagai ventilasi dan drainase ke faring, maka pada

sinus, yang berperan adalah ostium sinus. Kesamaan lainnya adalah tipe mukosa yang

sama antara telinga tengah dan sinus, yaitu epitel pseudostratifikasi kolumnar bersilia.

Tiga patogen mayor pada otitis media dan sinusitis juga sama, yaitu S. Pneumoniae, H.

Influenzae, M catarrhalis. 2

Sinusitis hampir selalu disertai dengan rinitis, sehingga disebut rinosinusitis. Pada

keadaan inflamasi, akan terjadi edema mukosa dan hipersekresi mukus, yang

menyebabkan penumpukkan sekret di bagian faring. Seringkali keadaan ini menyebabkan

oklusi tuba Eustachii, yang selanjutnya menyebabkan fungsi ventilasi dan drainase telinga

tengah terganggu. Bila keadaan tersebut menetap, maka akan terjadi efusi telinga tengah

yang rentan terinfeksi. Selanjutnya, akan terjadi otitis media sesuai dengan perjalanan

penyakitnya. 2

Penanganan awal otitis media adalah dengan membuka sumbatan tuba Eustachii untuk

normalisasi ventilasi dan drainase telinga tengah. Penanganan lanjutan disesuaikan

dengan sejauh mana proses penyakit berlangsung. Pemberian antibiotik, kortikosteroid,

dekongestan, dan antihistamin dapat dilakukan. Tindakan bedah dilakukan pada kasus

kronik, dan dilakukan bersamaan atau setelah keadaan sinus diperbaiki. 2

2.7.2 Komplikasi Orbita dan Periorbita

Secara anatomi perbatasan daerah mata dan sinus sangat tipis : batas medial sinus etmoid dan

sfenoid, batas superior sinus frontal, dan batas inferior sinus maksila. Sinusitis merupakan

salah satu penyebab utama infeksi orbita. Pada era pre antibiotik hampir 50 % terjadi

komplikasi ke mata, 17 % berlanjut ke meningen dan 20 % terjadi kebutaan. 2

Komplikasi dapat melalui 2 jalur :

Direk / langsung : melalui defisiensi kongenital ataupun adanya erosi pada tulang

barier terutama lamina papirasea. 2

Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah yang berhubungan

langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita. 2

Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Etmoiditis

sering menimbulkan komplikasi ke orbita, diikuti sinusitis tersering. Etmoiditis sering

Page 9: Komplikasi Sinusitis

menimbulkan komplikasi ke orbita, diikuti sinusitis frontal dan maksila. Komplikasi ke

orbita dapat terjadi pada segala usia, tetapi pada anak-anak lebih sering. Intervensi tindakan

operatif lebih banyak dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa. Pembengkakan

orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus

maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita. 2

Menurut Chandler et al, terdapat lima klasifikasi komplikasi orbita dan periorbita pada

sinusitis, yaitu: 2,3,5

1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan (selulitis preseptal).

Peradangan atau selulitis preseptal menunjukkan infeksi yang terbatas di kulit dan

jaringan subkutan palpebra anterior hingga septum orbita. Kelainan ini merupakan

komplikasi orbita tersering (70% komplikasi sinusitis secara keseluruhan) dan jarang

parah. Kelainan ini dapat menyebabkan sumbatan vena dan drainase limfatik akibat

obstruksi sinus. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea

yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur

ini. 2,3,5

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang menunjukkan adanya

edem palpebra, eritema, tenderness. Visus, reaksi pupil, dan gerakan bola mata umumnya

tidak terganggu. CT scan tidak dianjurkan pada kelainan pada tahap ini, kecuali bila

terdapat perubahan visus, gangguan refraksi, ptosis, dan tanda-tanda selulitis post-septal

lainnya. 2,3,5

Penatalaksanaan selulitis preseptal adalah dengan pemberian antibiotik oral spektrum

luas, elevasi kepala, kompres hangat, dan penanganan penyebab yang mendasari.

Meskipun antibiotik intravena merupakan terapi standar untuk anak-anak sebelum adanya

vaksinasi H.influenzae, antibiotik oral spektrum luas saat ini lebih dianjurkan karena

kasus yang ringan dan lebih aman. Pemberian dekongestan hidung, mukolitik, dan irigasi

saline dapat membantu drainase sinus. 2,3,5

2. Selulitis orbita

Selulitis orbita ditandai adanya proses infeksi yang meliputi bagian-bagian di belakang

septum orbita, termasuk tulang-tulang yang membentuk kavum orbita. Isi orbita terlihat

edem difus dengan sel-sel peradangan dan plasma, bakteri telah secara aktif menginvasi

isi orbita namun pus belum terbentuk. Edem orbita disebabkan oleh peningkatan tekanan

Page 10: Komplikasi Sinusitis

sinus venosus yang menyebabkan transudasi cairan melalui dinding pembuluh ke

orbita.2,3,5

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya edema palpebra, proptosis ringan, dan kemosis.

Nyeri orbita terjadi pada 85% pasien. Pada kasus berat, gerak orbita menjadi sangat

terbatas, meskipun visus belum terganggu. Apabila diduga terjadi selulitis orbita, maka

konsultasi ke ahli mata dapat dilakukan, untuk meninjau kembali akuisitas visual, reaksi

pupil, gangguan lapang pandangan, melihat warna, motilitas ekstraokular, proptosis,

posisi bola mata, tekanan intraokular, dan keadaan saraf II. CT scan dengan kontras dapat

memperlihatkan adanya sejumlah jaringan edematous orbita. 2,3,5

Penanganan kasus ini adalah dengan pemberian antibiotik intravena dan pemeriksaan

imaging dilakukan untuk melihat sejauh mana kelainan mata terjadi. Apabila antibiotik

gagal (ditandai dengan hilangnya penglihatan secara progresif, demam menetap selama

36 jam, keadaan klinis yang memburuk dalam 48 jam, atau tidak ada perubahan apa pun

selama 72 jam paska pemberian antibiotik), maka terapi drainse bedah dapat dilakukan,

yang memenuhi satu dari lima syarat berikut: 2,3,5

CT scan membuktikan adanya pembentukan abses

Visus 20/60 (atau lebih buruk) pada evaluasi awal

Komplikasi orbita berat (misalnya kebutaan atau hilangnya refleks pupil) pada

evaluasi awal

Gejala orbita yang semakin berat meskipun mendapat terapi medic

Tidak ada perbaikan selama 48 jam paska pengobatan medik.

3. Abses subperiosteal

Abses subperiosteal merupakan komplikasi sinusitis yang sering terjadi di orbita

superomedial atau inferomedial, yang berhubungan dengan sinusitis etmoidalis. Abses

berkembang setelah infeksi menembus lamina papirasea atau melalui foramen etmoidalis

anterio/posterior. Terkumpulnya cairan subperiosteal yang meluas dapat menyebabkan

kebutaan, yaitu sebagai akibat langsung penekanan saraf II, peningkatan tekanan

intraorbita, atau proptosis yang menyebabkan peregangan saraf II. Dengan penanganan

medik dan intervensi bedah agresif sekalipun, sekitar 15-30% pasien akan mengalami

sekuele gangguan visus. 2,3,5

Diagnosis kelainan ini memerlukan evaluasi oftalmologik. Secara klinis abses

subperiosteal dicurigai bila pada pasien dengan selulitis orbita, mengalami proptosis dan

Page 11: Komplikasi Sinusitis

gangguan lapang pandang yang semakin berat, akibat peningkatan tekanan intraorbita.

Kehilangan persepsi warna merah/hijau dapat mendahului penurunan visus. 2,3,5

Penanganan dan penentuan pendekatan pembedahan masih merupakan kontroversi.

Meskipun pemberian antibiotik intravena dapat dimulai pada tahap awal, beberapa ahli

THT tetap menganjurkan drainase sinus secepatnya. Beberapa penelitian menunjukkan

adanya kasus abses subperiosteal yang responsif terhadap pengobatan konvensional,

terutama pada anak-anak yang lebih muda, karena virulensi kuman lebih rendah. Kriteria

inklusi untuk pengobatan medikamentosa adalah usia lebih muda dari 9 tahun, tidak

terdapat sinusitis frontalis, lokasi abses di medial, tidak terbentuk gas abses, ukuran abses

kecil, bukan kasus berulang, tidak terdapat gangguan saraf optik dan retina, dan tidak

terdapat infeksi gigi. 2,3,5

Berdasarkan kriteria Oxford, maka tindakan bedah ditunda dan diberikan penanganan

konservatif, bila memenuhi seluruh kriteria: 2,5

Visus, reaksi pupil, dan keadaan retina normal

Tidak ada oftalmoplegia

Tekanan intraokular kurang dari 20 mmHg

Proptosis maksimal 5 mm

Ukuran abses maksimal 4 mm.

Drainase operatif dilakukan bila terjadi penurunan visus, defek pupil, demam yang

berlangsung selama 36 jam, klinis yang memburuk dalam 48 jam, atau tidak ada

perbaikan setelah pemberian obat-obatan. Pendekatan bedah yang digunakan pada kasus

ini meliputi pendekatan eksternal, endoskopik, dan kombinasi. Etmoidektomi eksternal

dapat dilakukan untuk drainase abses. Pada anak-anak, sebaiknya dilakukan pendekatan

endoskopik untuk menghindari perdarahan dan inflamasi mukosa akut. Teknik

endoskopik meliputi etmoidektomi, skeletonizing lamina papiracea, drainase orbita.

Drainase transkarankular merupakan salah satu contoh pendekatan kombinasi yang

diperkenalkan oleh Pelton pada tahun 1996. Dengan cara ini, dilakukan insisi di area

antara karankula dan lipatan semilunar. Periosteum orbita diinsisi tajam dan dibuka untuk

mengeluarkan abses. Pendekatan ini dapat diterapkan pada dinding medial orbita pada sisi

lamina papiracea. 2,3,5

4. Abses orbita

Terjadinya komplikasi ini menunjukkan sekuele dari sinus paranasal yang berkembang

progresif akibat keterlambatan diagnosis dan terapi, atau akibat kondisi imunologi yang

Page 12: Komplikasi Sinusitis

buruk. Abses orbita dapat terjadi di dalam atau di luar otot, ketika selulitis orbita berubah

menjadi kumpulan pus. Pada keadaan ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur

dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan

unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan

kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin

bertambah. 2,3,5

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa proptosis, kemosis, oftalmoplegia

total, dan gangguan visus, yang berlangsung progresif menuju tahap kebutaan

irreversibel. Substansi purulen dapat keluar secara spontan melalui kelopak mata. CT

scan menunjukkan gambaran infiltrasi difus intraconal dan ekstraconal. Gambaran

radiologik dapat menunjukkan proptosis masif, dilatasi ekstraokular, dan pembentukan

gas. Pada MRI, didapatkan gambaran jaringan nekrotik. 2,3,5

Penanganan abses yang berkembang adalah dengan drainase operatif pada sinus dan

abses. Drainase endoskopik abses pada medial orbita dilakukan seperti pada abses

subperiosteal. Insisi periorbita dilakukan untuk penyaliran abses intraorbita.

Etmoidektomi posterior diindikasikan bila terdapat kelainan di etmoid posterior dan abses

yang meluas hingga ke apeks orbita. Tindakan ini dilakukan dengan kerjasama dengan

ahli mata. 2,3,5

5. Trombosis sinus kavernosus

Komplikasi ini merupakan akibat perluasan infeksi dari kavum sinonasal (sfenoid >

ethmoid > frontal), atau dari bagian sepertiga tengah wajah. Sindrom dapat terjadi sebagai

komplikasi dari selulitis orbita. Perluasan ini dipermudah oleh sinus kavernosus yang

bebas anastomosis dan tidak terdapat sistem katup vena, sehingga infeksi dapat terjadi

secara retrograd dari arah superior dan inferior vena oftalmika. 2,3,5

Diagnosis komplikasi ini relatif sukar, meskipun penting untuk membedakannya dengan

selulitis atau abses orbita, karena dalam perjalanan penyakitnya akan terjadi keadaan yang

mengancam jiwa. Tanda klinis yang terpenting adalah gangguan orbita bilateral, kemosis

dan oftalmoplegia yang progresif, kelainan retina berat, demam melebihi 40oC ,dan

protrasi. Tanda klinis yang sering terlihat pada trombosis sinus kavernosus berkaitan

dengan struktur anatominya, yaitu adanya kerusakan langsung saraf III hingga VI, dan

gangguan aliran vena dari orbita dan mata. Stasis aliran vena akan menyebabkan

papiledema, perdarahan retina, dan kehilangan penglihatan. Perluasan infeksi ke sinus

kavernosus kontralateral (melalui sinus interkavernosus) umumnya terjadi dalam 24 – 48

Page 13: Komplikasi Sinusitis

jam setelah infeksi pertama terjadi. Trombosis karotid dapat mengikuti komplikasi ini,

dan berakibat serangan stroke, empiema subdural, abses otak, atau meningitis. 2,3,5

Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :

Oftalmoplegia

Kemosis konjungtiva

Gangguan penglihatan yang berat

Kelemahan pasien

Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan

saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak

Penanganan meliputi pemberian antibiotik intravena dosis tinggi yang mampu melewati

sawar darah otak dan secara langsung dapat membunuh sebagian besar kuman patogen.

Terapi empiris dapat mencakup pemberian nafcilin, ceftriaxone, metronidazol, atau

vankomisin. Pemberian antibiotik biasanya selama 3-4 minggu, atau selama 6-8 minggu

bila komplikasi intrakranial terjadi. 2,3,5

Intervensi bedah dilakukan untuk drainase sinus yang terkena. Observasi dilakukan

sehubungan dengan risiko terjadinya sepsis, trombosis, dan perluasan infeksi. Pemberian

antikoagulansia bertujuan untuk mencegah progresivitas trombosis, mengingat kejadian

ini sukar diprediksi. Banyak penelitian membuktikan efektivitas pemberian

antikoagulansia dan jarang sekali pemberian tersebut menyebabkan komplikasi

perdarahan. Pemberian heparin bersama antibiotik terbukti menurunkan angka morbiditas

secara bermakna. Pemberian kortikosteroid masih belum ditetapkan sebagai terapi

tambahan yang efektif. 2,3,5

2.7.3 Komplikasi Intrakranial

Sinusitis yang tersering menyebabkan komplikasi intrakranial adalah sinusitis frontalis,

diikuti sinusitis ethmoidalis, sfenoidalis, dan maksilaris. Komplikasi intrakranial dapat terjadi

Page 14: Komplikasi Sinusitis

pada infeksi sinus yang akut, ekaserbasi akut ataupun kronik. Komplikasi ini lebih sering

pada laki-laki dewasa, diduga ada faktor predileksi yang berhubungan dengan pertumbuhan

tulang frontal dan meluasnya sistem anyaman pembuluh darah yang terbentuk. Beberapa jalur

untuk terjadinya infeksi ini antara lain: 2

Secara langsung melalui defek atau erosi tulang.

Secara hematogen melalui anyaman pembuluh darah.

Beberapa tahap komplikasi intrakranial yang dikenal:

1. Meningitis

Meningitis merupakan komplikasi intrakranial tersering dari sinusitis. Sinusitis frontal

jarang menyebabkan meningitis tetapi seringkali karena infeksi sekunder dari sinus

etmoid dan sfenoid. Lapisan arakhnoid pada dewasa relatif lebih resisten terhadap invasi

langsung bakteri, namun pada anak-anak infeksi dapat lebih mudah menyebar karena

jaringan yang masih immatur. Infeksi dari sinus paranasalis dapat pula menyebar

sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti melalui dinding

posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara

ethmoidalis. 2

Gejala-gejala tampak jelas: adanya demam, sakit kepala, tanda rangsang meningeal,

kejang, diikuti kesadaran menurun sampai koma. Kelemahan saraf kranial sering pula

terjadi, dan yang paling menonjol adalah gangguan pergerakan bola mata. 2

Penanganan awal untuk meningitis adalah pemberian antibiotik spektrum luas secara

intravena, yang dapat menembus sawar darah otak. Terapi pembedahan dilakukan bila

terapi konvensional tidak berhasil dalam 48 jam pengobatan, dengan catatan pasien masih

dalam keadaan stabil. Sekuele neurologik dapat terjadi pada pasien ini, berupa gangguan

kejang dan kelemahan sensorineural. Kehilangan pendengaran terjadi pada 25% pasien

dengan komplikasi meningitis. 2

2. Epidural abses

Abses epidural merupakan komplikasi kedua tersering dari sinusitis. Komplikasi ini lebih

sering mengikuti sinusitis frontal, yang kemungkinan disebabkan banyaknya komunikasi

vena dan renggangnya duramater. Pada kelainan ini didapatkan timbunan pus di antara

duramater dan ruang kranium yang sering tampak pada tulang frontal dimana duramater

Page 15: Komplikasi Sinusitis

melekat longgar pada tulang dahi. Mikroorganisme tersering yang membentuk abses

adalah Staphylococcus aureus dan Streptococci. 2

Gejala sangat ringan, tanpa ada gangguan neurologi, ada nyeri kepala yang makin lama

dirasakan makin berat dan sedikit demam. Diagnosis dapat diperkuat dengan pemeriksaan

CT scan kepala dan MRI. 2

Penanganan abses epidural adalah dengan pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan

drainase sinus dan abses, meskipun beberapa ahli menyatakan pembedahan tidak

diperlukan bila abses berukuran kecil. 2

3. Subdural empiema

Abses atau empiema subdural merupakan komplikasi intrakranial tersering ketiga dari

sinusitis. Apabila komplikasi ini terjadi, maka angka mortalitasnya cukup tinggi, yaitu

25-35%. Sekitar 30% pasien yang sembuh, menunjukkan adanya gangguan neurologik.

Abses ini seringkali merupakan komplikasi dari sinusitis frontalis, karena barier anatomi

yang kurang baik, maka empiema dapat meluas dengan cepat hingga menyelubungi

korteks dan masuk ke area interhemisfer. Kelainan ini umumnya unilateral.

Mikroorganisme penyebab tersering adalah Streptococci. 2

Gejala nyeri kepala hebat, ada tanda-tanda iskemik/infark korteks seperti hemiparesis,

hemiplegi, paralisis nervus facialis, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, demam

tinggi, lekositosis, dan akhirnya kesadaran menurun. Pada keadaan yang mengancam,

penanganan bersifat emergensi karena deteriorasi yang begitu cepat. Gejala meningitis

dapat terlihat, defisit neurologi fokal dalam berbagai derajat akan muncul sesuai dengan

area abses. CT Scan dan MRI dapat membantu menegakkan diagnosis. 2

Penanganan meliputi pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan drainase operatif

dari sinus dan abses. Pemberian steroid dan antikonvulsi secara rutin disesuaikan dengan

keadaan penderita. 2

4. Abses intraserebral

Abses intraserebral dapat terjadi dan paling sering pada lobus frontal dan frontoparietal,

karena disebabkan sinusitis frontal yang menyebar secara retrograde, septik emboli dari

anyaman pembuluh darah. Namun, dapat pula infeksi menyebar dari sinus ethmoidalis

dan sfenoidalis. 2

Page 16: Komplikasi Sinusitis

Gejala umum berupa demam, nyeri kepala, mual-muntah, letargi, dan gejala-gejala lain

sehubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Bila abses timbul perlahan, gejala

neurologi tak jelas tampak, bila edem terjadi di sekitar otak, tekanan intrakranial akan

meningkat, gejala-gejala neurologi jelas tampak, ancaman kematian segera terjadi bila

abses ruptur. Diagnosis diperkuat dengan pemeriksaan MRI dan CT scan. 2

Penanganan untuk komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik dosis tinggi dan

drainase operatif dari sinus dan abses. Pemberian kortikosteroid dan antikonvulsi dapat

dibenarkan. 2

5. Trombosis Sinus Venosus (Sinus Sagitalis Superior dan Sinus Kavernosus)

Infeksi yang meluas ke sinus sagitalis superior dan sinus kavernosus dapat terjadi secara

retrograd dari tromboflebitis sinus frontalis. Trombosis sinus kavernosus telah

dibicarakan pada bahasan sebelumnya. Trombosis sinus sagitalis superior umumnya

berkaitan dengan komplikasi lain seperti abses subdural, abses epidural, atau abses

intraserebral. 2

Derajat keparahan bergantung pada luasnya trombosis dan sumbatan pembuluh darah.

Oklusi akut sinus dural biasanya berimplikasi buruk dan dapat memicu edema serebral

masif, kongesti vena, dan infark. Pasien dapat merasa sangat nyeri, demam tinggi yang

meningkat tajam, tanda meningeal positif, atau sejumlah komplikasi neurologik serius

lainnya. Seringkali, pasien dengan trombosis sinus dural menunjukkan gejala yang

ringan, karena oklusi yang inkomplit atau adanya sistem kolateral. Gambaran yang lebih

jelas adalah dengan MRI menggunakan kontras gadolinium, MR angiogram dan

venogram yang menunjukkan sejauh mana proses berlangsung. 2

Penanganan meliputi pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan drainses sinus

paranasal. Pemberian antikoagulansia sistemik diberikan hingga pemeriksaan radiologik

yang memadai membuktikan bahwa trombus telah teratasi. Penanganan utama untuk

trombosis sinus akut masih kontroversial. Bedah rekonstruksi dilakukan pada kasus yang

berat dan luas. Dapat pula dilakukan trombektomi terbuka yang dikombinasikan dengan

terapi trombolisis endovaskular, misalnya dengan pemberian urokinase atau streptokinase

ke sinus sagitalis superior melalui kateter yang melewati burr-hole kraniotomi. Teknik

serupa yang terbukti efektif adalah dengan pemberian agen trombolitik bersamaan dengan

venografi melalui vena femoralis. 2

2.7.4 Komplikasi Distansial

Page 17: Komplikasi Sinusitis

1. Asma dan Bronkhitis

Hubungan antara sinusitis dengan eksaserbasi asma dan bronkhitis masih belum jelas,

meskipun sejumlah teori telah berupaya menjelaskannya. Hubungan sinusitis dan asma

cukup tinggi, bahkan terdapat satu penelitian yang melaporkan 100% respondennya yang

mengalami sinusitis, juga mendapat serangan asma. Pada penelitian lainnya, terbukti

keterkaitan keduanya dari hasil CT scan sinus, kadar eosinofil serum dan sputum, dan

derajat ekshalasi nitrit oksida. Sinusitis berhubungan dengan asma dan bronkhitis, yaitu

adanya hiperplasia kronik eosinofilik yang dijumpai pada sinusitis yang turut

memperparah dan menginduksi serangan asma. 2

Beberapa mekanisme yang menjelaskan keterkaitan tersebut antara lain, refleks

nasofaringeal-bronkhial, aspirasi sel inflamatori dan mediatornya, inhalasi udara kering,

dan inflamasi lokal saluran napas atas yang memicu inflamasi pulmonar. Adanya

peningkatan sel eosinofil dalam darah tepi dan sputum dapat memediasi berulangnya

asma. Hal ini ditambah dengan dilepaskannya berbagai mediator inflamasi dan sitokin,

baik ke dalam sirkulasi, maupun per inhalasi ke saluran napas. Keterkaitan keduanya juga

diperkuat oleh bukti yang menunjukkan menurunnya gejala asma setelah keadaan

sinusitis dikoreksi. 2

Diagnosis asma terkait sinusitis relatif mudah, yaitu dengan anamsesis dan menemukan

tanda-tanda sinusitis dan tanda-tanda asma. Tanda asma berupa batuk berdahak, wheezing

saat ekspirasi, dan dispnea. 2

Penanganan meliputi pemberian antibiotik dan drainase untuk menangani sinusitis,

sedangkan untuk asma dapat diberikan bronkodilator berupa agonis-β secara nebulasi.

Pemberian kortikosteroid sebanyak 0,5-1 mg/KgBB selama 3 hari dapat diberikan. Bila

gejala berat, dapat diberikan oksigen 2-4 liter/menit dan foto thoraks untuk mengetahui

komplikasi lanjut dari asma. 2

2. Sepsis

Meski relatif jarang, sinusitis yang neglected dapat berkembang dan menimbulkan

komplikasi sepsis. Sepsis adalah keadaan menyebarnya mikroorganisme dan toksinnya ke

dalam sirkulasi, dan selanjutnya menimbulkan respons inflamasi sistemik. Diagnosis

ditegakkan bila bukti-bukti adanya infeksi diperkuat dengan dua dari empat gejala SIRS:2

Temperatur oral > 38oC atau < 36oC

Frekuensi napas > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

Nadi > 90 kali/menit

Page 18: Komplikasi Sinusitis

Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3

Sepsis disebabkan oleh respons imun yang meningkat akibat endotoksin yang dihasilkan

mikroorganisme, sehingga merangsang dilepaskannya berbagai mediator inflamasi,

terutama TNF-α., yang kemudian memicu dilepaskannya berbagai mediator lainnya,

seperti IL-1β, IFN-γ, IL-8 yang secara keseluruhan menyebabkan reaksi inflamasi luas

berupa vasodilatasi, takikardia, takipnea, DIC, dan syok. 2

Mengingat bahaya yang ditimbulkan dapat berlangsung cepat, maka penanganannya juga

harus cepat, yaitu dengan eliminasi infeksi, stabilisasi respirasi dan hemodinamik.

Pemberian antibiotik intravena dosis tinggi seperti ceftriaxon (1 gram/12 jam) atau

tikarsilin-klavulanat (3 gram/ dibagi 4 dosis). Gentamisin dan tobramisin dapat

ditambahkan (5 mg/Kgbb/ setiap 12 jam). Bila terjadi asidosis, diberikan Natrium

bikarbonat sesuai kebutuhan. Sedangkan bila telah terjadi syok, maka langkah utama

adalah dengan stabilisasi hemodinamik dengan pemberian adrenalin 0,3-0,5 cc

dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid. Bila kegawatan telah tertangani, maka

drainase sinus harus segera dilakukan untuk mencegah berkembangnya komplikasi. 2

3. Toxic Shock Syndrome

Toxic Shock Syndrome merupakan salah satu komplikasi sistemik akibat pelepasan

toksin superantigen dan enterotoksin yang dihasilkan oleh koloni bakteri Streptococci dan

Staphylococci. Insidensi meningkat pada orang dengan infeksi fokal oleh kedua bakteri

tersebut. Komplikasi ini melibatkan multisistem dengan onset cepat. 2

Diagnosis ditegakkan bila memenuhi 6 kriteria mayor menurut CDC: demam tinggi,

rash, deskuamasi, hipotensi, gangguan fungsi tiga atau lebih sistem organ

(gastrointestinal, muskular, membran mukosa, renal, hepatik, hematologik, dan SSP), dan

tidak ada penyebab lain yang memungkinkan untuk keadaan tersebut. Gejala hipotensi

berlangsung dalam 48 – 72 jam dan terus meningkat. Kerusakan organ dapat disebabkan

perfusi jaringan yang buruk dan akibat langsung dari toksikemia. 2

Penanganan komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiorik intravena dosis tinggi

yang sensitif untuk kedua kuman penyebab dan drainase fokus infeksi di sinus. Antibiotik

yang diberikan dapat penicilin atau seftriakson ditambah klindamisin atau eritromisin.

Penanganan suportif dilakukan untuk manajemen kegagalan organ dan hipotensi.

Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan selama 3 atau 4 hari. 2

Page 19: Komplikasi Sinusitis

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala dan Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI; 2007.

2. Rahmawan A et al. Berbagai Komplikasi Sinusitis dan Penatalaksanaannya. Tinjauan

Pustaka. Banjarmasin: FKUNLAM; 2009.

3. Adams GL et al. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Jakarta: EGC;

1997.

4. Sambuda Adi. Korelasi antara Rhinitis dengan Sinusitis pada Pemeriksaan Sinus

Paranasalis di Instalasi Radiologi RSUP DR.Moewardi Surakarta. Skripsi. Surakarta:

FK Universitas Sebelas Maret; 2008.

5. Elango S et al. Orbital Complications of Acute Sinusitis. Singapore Med J. 1990; 31:

341-344.