Cor Purmonal
-
Upload
gunawan-dal-mumtaz -
Category
Documents
-
view
70 -
download
0
description
Transcript of Cor Purmonal
BAB I
PENDAHULUAN
Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel
kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang menyerang struktur,
fungsi paru, atau pembuluh darah pulmonal yang dapat berlanjut menjadi gagal jantung
kanan. Menurut WHO, definisi Kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan
ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan
struktur paru, tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan
penyakit jantung kongenitaL. Meskipun kor pulmonal seringkali berlangsung kronis dengan
progress yang lambat, onset akut kor pulmonal dapat memburuk dengan komplikasi yang
dapat mengancam jiwa.3
Paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskular antara ventrikel kanan dengan bagian
kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi paru akan mempengeruhi secara selektif
jantung kanan. Patofisiologi akhir yang umum yang menyebabkan kor pulmonal adalah
peningkatan resistensi liran darah melalui sirkulasi paru dan mengarah pada hipertensi arteri
pulmonal.
Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor pulmonal akut
tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor pulmonal kronik sering disebabkan oleh
penyakit paru kronik (PPOK). Pada kor pulmonal kronik umumnya terjadi dilatasi vntrikel
kanan.
Insidens yang tepat dari kor pulmonal tidak diketahui karena sering kali terjadi tanpa
dikenali secara klinis. Diperkirakan insidens kor pulmonal adalah 6% sampai 7 % dari
seluruh penyakit jantung. Di inggris terdapat sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko
terjadinya kor pulmonal pada populasi usia lebih dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi
telah mengalami hipertensi pulmonal yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang secara
primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru
dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru.
Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia, menemukan penyebab terbanyak kor
pulmonal berturut-turut adalah asma bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema,
penyakit interstitial paru, bronkiektasi, obesitas, dan kifoskiliosis. Menurut penelitian sekitar
80-90% pasien kor pulmonal mempunyai PPOK dan 25% pasien dengan PPOK akan
berkembang menjadi kor pulmonal.
Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi menimbulkan tekanan berlebihan padaa
ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan kerja ventrikel kanan yang
menyebabkan hipertrofi otot jantung yang normalnya berdinding tipis, yang akhirnya dapat
menyebabkan disfungsi ventrikel dan berlanjut kepada gagal jantung.
BAB II
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. Jholi
Usia : 57 tahun
Alamat : Aceh Barat
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Sopir
Suku : Aceh
No. RM : 1-05-07-38
Tanggal Masuk : 5 Mei 2015
Tanggal pemeriksaan : 12 Mei 2015
3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama : Sesak napas
b. Keluhan Tambahan : Batuk berdahak, jantung berdebar-debar, pusing
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang memberat dalam 1 hari sebelum
masuk Rumah sakit. Sesak dipengaruhi oleh aktivitas dan cuaca. Sesak dirasakan memberat
setelah aktivitas jalan 100 meter, mandi, cuaca pana dan dingin. Pasien juga mengeluh batuk
lama, berdahak (+), batuk darah (-), demam (+), pasien mengeluh jantung berdebar-debar dan
kepala terasa pusing, pasien pernah mengkonsumsi OAT tahun 2013 selama 5 bulan, dan
berhenti sendiri. Keluhan mual disangkal, muntah disangkal.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat TB paru sejak kurang lebih 6 tahun yang lalu.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien memiliki riwayat Hipertensi (+) tapi tidak berobat teratur, DM (-)
f. Riwayat penggunaan obat
Pasien mengkonsumsi OAT sejak tahun 2013 dan putus berobat.
g. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien sering mengonsumsi makanan yang berlemak dan untuk masak masakan, pasien
seorang sopir.
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Present
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 82 kali/menit, reguler
Frekuensi Nafas : 23 kali/menit
Temperatur : 36.9ºC (aksila)
b. Status General
Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Cepat kembali (kurang dari 3 detik)
Ikterus : (-)
Sianosis : (-)
Kepala
Bentuk : Kesan normocephali
Rambut : Tersebar rata, sukar dicabut, berwarna hitam
Mata : Cekung (-), refleks cahaya (+/+), sklera ikterik (-/-),
konj. palpebra inf pucat (-/-)
Telinga : Sekret (-/-), perdarahan (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), perdarahan (-/-)
Mulut
Bibir : Pucat (+), sianosis (-)
Gigi Geligi : Karies (-), gigi tanggal (-)
Lidah : Beslag (-), tremor (-)
Mukosa : Kering (+)
Tenggorokan : Tonsil dalam batas normal
Faring : Hiperemis (-)
Leher
Bentuk : Kesan simetris
Kel. Getah Bening : Kesan simetris, pembesaran (-)
Peningkatan TVJ : (-), R-2 cmH2O
Axilla
Pembesaran KGB : (-)
Thorax
Thorax depan dan belakang
1. Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Barrel chest, pergerakan simetris
Tipe Pernafasan : Thoracoabdominal
Retraksi : (+) suprasternal
2. Palpasi
- Pergerakan dada simetris
- Nyeri tekan (-/-)
- Suara fremitus taktil kanan = suara fremitus taktil kiri
3. Perkusi
- Sonor (+/+)
- Redup (+/+)
4. Auskultasi
- Vesikuler (+/+ melemah)
- Ronkhi (+/+) basah halus minimal
- Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V sekitar satu cm lateral linea midclavicula
anterior sinistra
Perkusi : Batas jantung atas : di hemithorax sinistra ICS III
Batas jantung kanan : di linea parasternalis dektra ICS V
Batas jantung kiri : di ICS V sekitar satu cm lateral dari linea
axilaris anterior sinistra
Auskultasi : BJ I > BJ II, regular, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris, Distensi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : Peristaltik usus kesan normal
Genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianotik - - - -
Edema - - - -
Ikterik - - - -
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Tonus otot Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus
Sensibilitas N N N N
Atrofi otot - - - -
Akral dingin - - - -
3.4 Pemeriksaan Penunjang
3.4.1 Laboratorium
Jenis Pemeriksaan 1 April 2015
Darah Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Hitung Jenis:
Eos/Bas/N.Seg/Lim/Mon
Glukosa Darah Sewaktu
Protein total
Albumin
Globulin
Faal Hemostasis
CT
BT
10,7 g/dL
32 %
3,8 x 106/mm3
20,2 x 103/mm3
282 x 103U/L
0/0/88/6/6 (%)
-
5,4
3,28
2,12
7’
2’
3.4.2 Elektrokardiografi (2-5-2015)
Tanggal 5-5-2015
HR : 100 kali/menit, reguler
Irama: Sinus
Axis: RAD
Morfologi
Gel P : p pulmonal
Interval PR : 0,12 detik
Komplek QRS : 0,16 detik
ST Elevasi : -
ST Depresi : -
T Inverted : -
Q Patologis : -
LVH : -
VES : -
Kesimpulan: Sinus Ritme, HR 100 x/i, Right Axis Deviasi, RBBB complex
Tanggal 11-5-2015
HR : 86 kali/menit, reguler
Irama: Sinus
Axis: RAD
Morfologi
Gel P : 0,08 detik p pulmonal
Interval PR : 0,12 detik
Komplek QRS : 0,134 detik, tampak RSR’
ST Elevasi : -
ST Depresi : -
T Inverted : V1, aVL, AVR
Q Patologis : -
LVH : -
VES : -
Kesimpulan: Sinus Ritme, HR 86 x/i, Right Axis Deviasi, RBBB
3.5 Resume
Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang memberat dalam 1 hari sebelum
masuk Rumah sakit. Sesak dipengaruhi oleh aktivitas dan cuaca. Sesak dirasakan memberat
setelah aktivitas jalan 100 meter, mandi, cuaca pana dan dingin. Pasien juga mengeluh batuk
lama, berdahak (+), batuk darah (-), demam (+), pasien mengeluh jantung berdebar-debar dan
kepala terasa pusing, pasien pernah mengkonsumsi OAT tahun 2013 selama 5 bulan, dan
berhenti sendiri. Keluhan mual disangkal, muntah disangkal.
Dari pemeriksaan secara umum tampak pasien dalam keadaan tampak sakit sedang,
vital sign HR : 82x/i, RR : 28 x/i, tekanan darah 130/80 mmHg, dari pemeriksaan fisik
didapatkan perkusi sonor dan ronki basah halus di seluruh lapangan paru, dari pemeriksaan
EKG irama sinus Ritme, HR: 110 x/I, RAD, p pulmonal, t inverted.
3.6 Diagnosis Banding
1. Kor Pulmonal Kronik
2. Hipertensi Heart Disease
3. TB paru
3.7 Penatalaksanaan
Terapi: 04 Mei 2015
Terapi Planing
1. O2 nasal kanul 3 L/I
Terapi kardio
2. ISDN 3x5 mg
3. Spirula 1x 25 mg
4. Esvat 1x20 mg
5. Diet extra telur putih 4 butir /
hari
Terapi Pulmo
6. IVFD Asering : Aminofluid 1:1
7. Inj. Ranitidin 1 amp/ 12 jam
8. Drip levofloxacin 500mg/24
jam
9. Nebule combivent / 8 jam
10. Nebule fulmikort/12 jam
11. Flumucyl syr 3xCI
1. Darah lengkap
2. Albumin, globulin,
elektrolit, asam urat,
SGOT, SGPT,
3. Foto thorak
4. EKG
5. Echocardiografi
3.8 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam
Anjuran Ketika Pulang:
a. Perbanyak istirahat di rumah
b. Melakukan pemeriksaan tekanan darah di Puskesmas secara teratur
c. Minum OAT secara teratur
d. Hindari faktor yang memperberat sesak
e. Kontrol ke Poliklinik Jantung
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Kor pulmonal sering disebut sebagai penyakit jantung paru, didefinisikan
sebagai hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat adanya penyakit parenkim paru atau
pembuluh darah paru. Hipertensi pulmonal merupakan faktor penghubung tersering antara
disfungsi paru-paru dan jantung dalam kor pulmonal.1,2
Menurut WHO, definisi Kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan ditemukannya
hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru, tidak
termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung
kongenital (bawaan). Meskipun kor pulmonal seringkali berlangsung kronis dengan progress
yang lambat, onset akut kor pulmonal dapat memburuk dengan komplikasi yang dapat
mengancam jiwa.3
Menurut Braunwahl, kor pulmonal adalah keadaan patologis akibat hipertrofi atau
dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal. Penyebabnya antara lain
penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru, dan gangguan fungsi paru karena kelainan
thoraks, tidak termasuk kelainan vaskuler paru yang disebabkan kelainan ventrikel kiri,
penyakit jantung bawaan, penyakit jantung iskemik, dan infark miokard akut.4
2. Etiologi dan Epidemiologi
Kor pulmonal terjadi akibat adanya perubahan akut atau kronis pada pembuluh darah
paru dan atau parenkim paru yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.5
Prevalensi pasti Kor pulmonal sulit dipastikan karena dua alasan. Pertama, tidak semua kasus
penyakit pru kronis menjadi Kor pulmonal, dan kedua, kemampuan kita untuk mendiagnosa
hipertensi pulmonal dan Kor pulmonal dengan pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium
tidaklah sensitif. Namun, kemajuan terbaru dalam 2-D echo/Doppler memberikan kemudahan
untuk mendeteksi dan mendiagnosis suatu Kor pulmonal. Diperkirakan prevalensi Kor
pulmonal adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung berdasarkan hasil penyelidikan
yang memakai kriteria ketebalan dinding ventrikel post mortem.6
Penyakit yang mendasari terjadinya Kor pulmonal dapat digolongkan menjadi 4
kelompok :
1. Penyakit pembuluh darah paru.
2. Penekanan pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma, granuloma atau
fibrosis.
3. Penyakit neuro muskular dan dinding dada.
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial dan gangguan pernafasaan saat tidur.
Penyakit yang menjadi penyebab utama dari Kor pulmonal kronis adalah PPOK,
diperkirakan 80-90% kasus.1
3. Patogenesis
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang secara
primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-paru berulang, dan
penyakit yang mengganggu aliran darah paru-paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau
restriktif.1,4,6
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi peningkatan
resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya
meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan
kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada
peningkatan resistensi vaskuler paru pada arteri dan arteriola kecil.6
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru
adalah: (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat adanya hipoksia dan (2)
obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-paru. Hipoksia alveolar (jaringan)
memberikan rangsangan yang kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada
hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos
arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis,
hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan vasokontriksi.
Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah
jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut meningkatkan
tekanan arteri paru.6
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan tekanan arteri paru
adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh kerusakan bertahap dari struktur alveolar
dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya
pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu,
pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik
dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap
anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis kor
pulmonal. Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami
obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis
respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai
akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi-ventilasi.6 Setiap penyakit
paru memengaruhi pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat
mengakibatkan kor pulmonal.4,6,9
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi pulmonal dan tidak
bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada parenkim paru, kinerja paru,
maupun sistem peredaran darah paru secara akut maupun kronik dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi pulmonal.7
Pelebaran atau hipertropi ventrikel kanan pada kor pulmonale kronis adalah efek
langsung dari kompensasi ventrikel akibat vasokonstriksi pulmonal kronis dan hipertensi
arteri pulmonalis yang menyebabkan peningkatan beban kerja ventrikel kanan. Ketika
ventrikel kanan tidak mampu lagi mengimbangi beban kerja melalui dilatasi atau hipertropi,
kegagalan ventrikel kanan dapat terjadi.
Beberapa mekanisme patofisiologis dapat menyebabkan hipertensi pulmonal yang
akan menyebabkan kor pulmonale, mekanisme tersebut antara lain :
1. Vasokonstriksi pulmonal akibat hipoksia alveolar atau asidemia darah, hal ini dapat
menyebabkan hipertensi pulmonal dan jika hipertensi pulmonal tersebut cukup parah
akan dapat menyebabkan kor pulmonale
2. Peningkatan viskositas darah yang menyebabkan kelainan pada darah seperti :
polisitemia vera, sickle cell disease, makroglobulinemia
3. Peningkatan aliran darah dalam vascular paru
4. Hipertensi pulmonal idiopatik primer
Mekanisme diatas dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis.
Ventrikel kanan memiliki dinding yang lebih tipis dibandingkan ventrikel kiri yang
lebih memiliki fungsi sebagai pompa volume dibandingkan pompa tekanan. Ventrikel kanan
memiliki fungsi yang lebih baik dalam preload dibandingkan dengan afterload. Dengan
adanya peningkatan afterload, ventrikel kanan akan meningkatkan tekanan sistolik untuk
menjaga gradient. Pada titik tertentu, peningkatan tekanan arteri pulmonal lebih lanjut
menyebabkan dilatasi ventrikel kanan yang signifikan.
Adanya penurunan output ventrikel kanan dengan penurunan diastolic ventrikel kiri
menyebabkan penurunan output ventrikel kiri. Penurunan output ventrikel kiri menyebabkan
penurunan tekan darah di aorta dan menyebakan menurunnya aliran darah pada arteri
Koronaria termasuk arteri Koronaria kanan yang menyuplai darah ke dinding ventrikel kanan.
Hal ini menjadi suatu lingkaran setan antara penurunan output ventrikel kiri dan ventrikel
kanan.
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, kor pulmonal dibagi menjadi 5 fase
Tabel 1. Fase perjalanan penyakit kor pulmonal
Fase Deskripsi
Fase 1
Fase 2
Fase 3
Fase 4
Fase 5
Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas,
selain ditemukannya gejala awal penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK), bronkitis kronis,
tuberkulosis paru, bronkiektasis dan sejenisnya.
Anamnesa pada pasien 50 tahun biasanya didapatkan
kebiasaan banyak merokok.
Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda
berkurangnya ventilasi paru. Gejalanya antara lain,
batuk lama yang berdahak (terutama bronkiektasis),
sesak napas, mengi, sesak napas ketika berjalan
menanjak atau setelah banyak bicara. Sedangkan
sianosis masih belum nampak. Pemeriksaan fisik
ditemukan kelainan berupa, hipersonor, suara napas
berkurang, ekspirasi memanjang, ronki basah dan
kering, mengi. Letak diafragma rendah dan denyut
jantung lebih redup. Pemeriksaan radiologi
menunjukkan berkurangnya korakan bronkovaskular,
letak diafragma rendah dan mendatar, posisi jantung
vertikal.
Pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang lebih
jelas. Didapatkan pula berkurangnya nafsu makan,
berat badan berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik
nampak sianotik, disertai sesak dan tanda-tanda
emfisema yang lebih nyata.
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah
tersinggung kadang somnolen. Pada keadaan yang
berat dapat terjadi koma dan kehilangan kesadaran.
Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan
arteri pulmonal meningkat. Tanda-tanda peningkatan
kerja ventrikel, namun fungsi ventrikel kanan masih
dapat kompensasi. Selanjutnya terjadi hipertrofi
ventrikel kanan kemudian terjadi gagal jantung kanan.
Pemeriksaan fisik nampak sianotik, bendungan vena
jugularis, hepatomegali, edema tungkai dan kadang
asites.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai patogenesis kor pulmonal, disediakan
ringkasan pada gambar
kronis
Kor pulmonal
Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan
Hipertensi Pulmonal
Polisitemia dan hiperviskositas
darah
Vasokonstriksi Berkurangnya vascular bed paru
Asidosis dan hiperkapnia
Hipoksia alveolar
Kerusakan paru & semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang
mengembang
Penyakit paru kronis
Gambaran Klinis
a. Gejala
Manifestasi klinis dari kor pulmonale biasanya tidak spesifik. Beberapa gejala bisanya
tidak terlalu tampak pada stadium awal penyakit ini.
Pasien dapat mengeluhkan kelelahan, denyut jantung yang cepat dan batuk. Nyeri
dada juga dapat terjadi dan mungkin juga karena iskemik ventrikel kanan. Beberapa gejala
neurologis juga dapat timbul akibat menurunnya curah jantung dan hipoksemia.
Hemoptisis dapat terjadi akibat adanya rupture arteri pulmonalis yang berdilatasi
maupun terjadi atherosclerosis.
Pada tahap lanjut, dapat terjadi kongestif hepar sekunder karena kegagalan ventrikel
kanan menyebabkan anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut kanan atas, serta kekuningan.
Peningkatan tekanan arteri pulmonalis dapat menyebabkan peningkatan tekanan vena
perifer dan tekanan kapiler. Dengan adanya peningkatan gradient tekanan hidrostatik
mengakibatkan terjadinya transudasi cairan yang terakumulasi menjadi edema perifer.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan filtrasi natrium karena
hipoksemia memainkan peran penting dalam edema perifer pada pasien dengan kor
pulmonale dengan peningkatan tekanan atrium kanan.1,5
b. Tanda
Dari pemeriksaan fisik dapat mencerminkan penyakit paru yang mendasari terjadinya
kor pulmonal seperti hipertensi pulmonal, hipertropi ventrikel kanan, dan kegagalan ventrikel
kanan. Peningkatan diameter dada, sesak yang tampak dengan retraksi dinding dada, distensi
vena leher dan sianosis dapat terlihat.
Pada auskultasi, lapangan paru dapat terdengar wheezing maupun ronkhi. Suara
jantung dua yang terpisah dapat terdengar pada tahap awal. Bising ejeksi sistolik diatas area
arteri pulmonalis dapat terdengar pada tahap penyakit yang lebih lanjut bersamaan dengan
bising regugirtasi pulmonal diastolic.
Pada perkusi, suara hipersonor dapat menjadi tanda PPOK yang mendasari timbulnya
kor pulmonal, asites dapat timbul pada kasus yang berat.
4. Diagnosis
Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya hipertensi
pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk menegakkan diagnosis
kor pulmonal secara pasti maka dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat
menemukan data-data yang mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural
maupun fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan
hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan penunjang.
Pendekatan umum untuk mendiagnosa kor pulmonal dan untuk menyelidiki
etiologinya dimulai dengan pemeriksaan laboratorium rutin, radiografi dada dan
elektrokardiografi. Echocardiografi juga memberikan informasi yang penting tentang
penyakit dan etiologinya. Kateterisasi jantung kanan adalah pemeriksaan yang paling akurat
untuk mengkonfirmasi diagnosis kor pulmonale dan penyakit yang mendasarinya.
4.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang mendasari dan
jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas waktu beraktifitas, nafas
yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak
menimbulkan keluhan jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat
pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema
dan nyeri parut kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi
branchus, edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul
gagal jantung kanan.
Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena adanya
peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas paru-paru (fibrosis
penyakit paru) atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK). Nyeri dada atau angina juga
dapat terjadi. Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia pada ventrikel kanan atau teregangnya
arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami
arteroslerotik atau terdilatasi akibat hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga
ditemukan variasi gejala-gejala neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan
hipoksemia.1,2
Selanjutnya pada pemeriksaan fisik, kita bisa mendapatkan keadaan sianosis, suara P2
yang mengeras, ventrikel kanan dapat teraba di parasternal kanan. Terdapatnya murmur pada
daerah pulmonal dan triskuspid dan terabanya ventrikel kanan merupakan tanda yang lebih
lanjut. Bila sudah terjadi fase dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu
juga dapat ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis,
hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan tanda-tanda terjadinya
overload pada ventrikel kanan.2
4.2. Pemeriksaan Penunjang
4.2.1. Radiologi
Etiologi kor pulmonal kronis amat banyak dan semua etiologi itu akan menyebabkan
berbagai gambaran parenkim dan pleura yang mungkin dapat menunjukkan penyakit
primernya. Pada pasien dengan kor pulmonale kronis, rontgen dada dapat menunjukkan
pembesaran pembuluh darah paru sentral. Hipertensi pulmonal harus dicurigai jika diameter
pembuluh arteri pulmonalis kanan lebih dari 16 mm dan arteri pulmonalis kiri lebih dari 18
mm. Pembesaran ventrikel kanan menyebabkan peningkatan diameter transversal dari
bayangan jantung ke kanan pada proyeksi posteroanterior dan mengisi ruang udara
restrosternal pada proyeksi lateral. Pada pemeriksaan dengan elektrokardiograph, tampak
adanya hipertropi ventrikel kanan.
4.2.2. Elektrokardiogram
Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1 S2 S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau
inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan
prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena
adanya hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran
gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan infark
miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur
atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial
paroksismal, takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter.
Disritmia ini dapat dicetuskan karena keadaan penyakit yang mendasari
(kecemasan, hipoksemia, gangguan keseimbangan asam- basa, gangguan
elektrolit, serta penggunaan bronkodilator berlebihan).13
5.3 Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan diagnosis kor
pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari hasil ekokardiografi dapat ditemukan dimensi
ruang ventrikel kanan yang membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal. Pada
gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang “a” hilang, menunjukkan hipertensi
pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal
karena “accoustic window” sempit akibat penyakit paru.14
5. Diagnosis Banding
Dalam mendiagnosa kor pulmonale, penting untuk mempertimbangkan kemungkinan
penyakit tromboemboli dan hipertensi pulmonal sebagai etiologi. Diagnosis banding lain
untuk kor pulmonale antara lain :
1. Gagal jantung kongestif
2. Perikarditis konstriktif
3. Stenosis pulmonal
4. Gagal jantung kanan akibat infark ventrikel kanan
5. Gagal jantung kanan akibat penyakit jantung bawaan
6. Penatalaksanaan
Terapi medis untuk kor pulmonale kronis umumnya difokuskan pada pengobatan
penyakit paru yang mendasari dan meningkatkan oksigenasi serta fungsi ventrikel kanan
dengan meningkatkan kontraktilitas ventrikel kanan dan mengurangi vasokonstriksi
pulmonal. Pada kasus kor pulmonale akut dilakukan terapi untuk menstabilkan
hemodinamika pasien. Pada kor pulmonale akut dengan gagal ventrikel kanan meliputi
pemberian cairan dan vasokonstriktor untuk mempertahankan tekanan darah yang cukup.
Untuk tromboemboli paru yang berat pertimbangkan pemberian antikoagulasi, agen
trombolitik dan embolectomy terutama jika kolaps sirkulasi tidak dapat dicegah. Juga
pertimbangkan pemberian bronkodilator dan pengobatan infeksi pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK), dan agen steroid ataupun imunosupresant pada penyakit
infiltratif dan fibrosis paru.
Terapi oksigen, diuretic, vasodilator dan antikoagulasi merupakan modalitas berbeda
yang dapat digunakan pada terapi jangka panjang kor pulmonale kronik. Terapi oksigen
sangat penting pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang
mendasarinya. Pada kor pulmonale, tekanan parsial oksigen (PaO2) cenderung berada
dibawah 55 mmHg dan menurun lebih lanjut pada saat beraktivitas ataupun tidur. Terapi
oksigen dapat mengurangi vasokonstriksi pulmonal akibat hipoksia yang kemudian dapat
meningkatkan curah jantung, meredakan hipoksemia jaringan dan meningkatkan perfusi
ginjal. Pada suatu penelitian dengan percobaan terapi oksigen nocturnal secara acak
menunjukkan bahwa terapi oksigen dengan aliran rendah yang terus menerus untuk pasien
dengan PPOK berat memberikan penurunan angka kematian yang signifikan.
Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi peningkatan volume pengisian ventrikel
kanan pada pasien dengan kor pulmonale kronik. Agen ini dapat meningkatkan fungsi kedua
ventrikel kanan dan kiri. Namun, diuretic dapat menimbulkan efek yang merugikan
hemodinamik jika tidak digunkan secara hati-hati. Deplesi volume yang berlebihan dapat
menyebabkan penurunan curah jantung.
Calsium channel blockers dapat digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonalis yang
telah terbukti keampuhannya dalam pengobatan jangka panjang kor pulmonale kronis yang
diakibatkan oleh hipertensi arteri pulmonalis. Glikosida jantung seperti digitalis dapat
digunakan pada gagal ventrikel kanan karena dapat meningkatkan fungsi ventrikel kanan
namun harus digunankan secara hati-hati dan dihindari selama episode akut kor pulmonale.
Indikasi utama pemberian antikoagulan oral dalam pengobatan kor pulmonale adalah adanya
tromboemboli yang mendasari ataupun adanya hipertensi arteri pulmonal primer.
Methilxanthin seperti teofilin dapat digunakan sebagai pengobatan tambahan untuk kor
pulmonale kronis dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Selain efek bronkodilator
methilxanthine dapat meningkatkan kontraktilitas miokard dan menyebabkan efek
vasodilatasi ringan pada paru. Teofilin memiliki efek inotropik lemah, dengan demikian
dapat meningkatkan ejeksi ventrikel kanan dan kiri. Teofilin dosis rendah disarankan untuk
mendapatkan efek antiinflamasi yang membantu untuk mengontrol penyakit paru yang
mendasari seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Agonis beta selektif memiliki keuntungan tambahan sebagai bronkodilator dan efek
mukosiliar. Epoprostenol, treprostinil, dan iloprost adalah analog prostasiklin dan memiliki
efek vasodilator yang kuat. Epoprostenol dan treprostinil diberikan secara intravena dan
iloprost sebagai inhaler. Bosentan yang merupakan antagonis reseptor endotelin-A dan
endotelin-B diindikasikan untuk hipertensi arteri pulmonalis termasuk hipertensi pulmonal
primer. Dalam uji klinis, bosentan meningkatkan kapasitas, penurunan laju kerusakan klinis,
dan peningkatan hemodinamika. Sildenafil merupakan inhibitor PDE5 telah dipelajari secara
intensif dan telah disetujui untuk pengobatan hipertensi pulmonal. Sildenafil secara selektif
dapat merelaksasikan otot polos pembuluh darah vascular paru. Warfarin merupakan
antikoagulan yang dianjurkan pada pasien dengan resiko tinggi tromboemboli. Peran
menguntungkan dari penggunaan antikoagulan dalam mengurangi gejala dan angka kematian
pada pasien telah dibuktikan dalam beberapa penelitian.
7. Komplikasi
Komplikasi kor pulmonale termasuk sinkop, hipoksia, edema bahkan kematian.
8. Prognosis
Prognosis kor pulmonale bergantung pada patologi yang mendasarinya.
Perkembangan kor pulmonale sebagai hasil dari penyakit paru primer biasanya mempunyai
prognosis yang lebih buruk. Sebagai contoh, pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) yang berkembang menjadi kor pulmonale memiliki kesempatan 30% untuk bertahan
hidup 5 tahun, namun apakah kor pulmonale memiliki nilai prognostic yang independen atau
hanya mencerminkan tingkat keparahan yang mendasari PPOK tersebut atau penyakit paru
lainnya masih belum jelas. Prognosis pada kasus akut karena emboli paru berat ataupun
sindrom gangguan pernapasan akut belum pernah terbukti bergantung pada ada atau tidaknya
kor pulmonale, namun dalam satu penelitian menunjukkan bahwa pada kasus emboli paru,
Kor pulmonal dapat menjadi prediktor kematian di rumah sakit. Para peneliti telah
mengumpulkan data demografi, komorbiditas, dan data manifestasi klinis pada 582 pasien
rawat inap pada unit gawat darurat maupun unit perawatan intensif dan didiagnosa menderita
emboli paru. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pada pasien emboli paru dengan
hemodinamik yang stabil factor-faktor berikut dapat menjadi predictor independen kematian
di rumah sakit, yaitu :
1. Usia yang lebih tua dari 65 tahun
2. Istirahat total selama lebih dari 72 jam
3. Menderita kor pulmonale kronis
4. Sinus takikardia
5. Takipneu
6.