Case Report

11

Click here to load reader

Transcript of Case Report

Page 1: Case Report

CASE REPORT

Gagal Ginjal Kronik Dengan Gejala Abdominal Discomfort

1Atika Prissila 2Suzanna Ndraha

1Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta Barat, Indonesia

2Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUD Koja, Jakarta Utara, Indonesia

Abstract

Introduction

Chronic kidney disease is a kidney damage that occurs for more than 3 months based on the pathological abnormalities or alert as proteinuria, kidney damage. If there is no sign of kidney damage, a diagnosis of chronic kidney disease if the value of the rate established the glomerulus filtration less than 60 ml/minutes/1,73m2.

Case

A 67-years-old man came with complaints of vomiting since 5 days before admission as many of 6 times per-day and it includes food, no blood or mucus. Naussea (-). There’s a cough with white greenish phlegm. Colds (-). Fever since 1 week before admission. Also a shortness of breath and chest pain especially at night. Symptoms of abdominal discomfort (+). Lost of appetite. Urination 3-4 times per-day. History of hypertension (+) Diabetes mellitus (-). PE: BP 180/100 mmHg, RR 24 x/minute, Pulse 84x/min, CA (-), wet smooth ronchi in both basal of the lung, swelling in both limbs, pitting oedem (+). Lab result : Hb 12 g/dl, leukocytes 12,700/uL, platelets 76.000/uL, ureum 269 mg/dl, creatinine 27 mg/dl; pH 7, 135; PCO2 14,2 mmHg, HCO3 4.7 meq/L, Na 120 mmol/L.

Discussion

This case report to talk about the disease and some chronic kidney disease following symptoms. From the results of research, symptoms and examination results obtained in patients supporting this in accordance with the theory of chronic kidney disease contained in some literature.

Conclusion

Patients with chronic kidney disease are generally asymptomatic and are not experiencing real clinical disorder in endocrine/electrolyte balance or metabolic. However, in advanced a very severe disorders of clinically evident from uremic toxin accumulation, such as secondary, and the identity that is generally not known without complementary examination.

Key words : Chronic kidney disease, proteinuria, glomerulus filtration rate.

Page 2: Case Report

Abstrak

Introduksi

Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2.

Kasus

Seorang pria berusia 67 tahun datang dengan keluhan muntah sejak 5 hari SMRS dengan frekuensi ± 6 x/ hari dan berisi makanan, darah (-), lendir (-). Mual (+). Batuk dengan dahak berwarna putih kehijauan. Pilek (-). Demam sejak 1 minggu SMRS. Sesak nafas dan nyeri dada terutama malam hari. Perut terasa tidak nyaman dan begah. Nafsu makan berkurang. BAK 3-4 x/hari. Riwayat HT (+) DM (-). PF : TD 180/100 mmHg, RR 24x/menit, Nadi 84x/menit, CA (-), ronkhi basah halus dikedua basal paru, edema (+) dikedua tungkai. Pemeriksaan Lab : Hb 12 g/dl, leukosit 12.700/uL, trombosit 76.00/uL, ureum 269 mg/dl, kreatinin 27 mg/dl, pH 7, 135; PCO2 14,2 mmHg, HCO3 4,7 meq/L, Na 121 mmol/L.

Diskusi

Laporan kasus ini membicarakan tentang penyakit gagal ginjal kronik dan beberapa gejala penyertanya. Dari hasil penelitian, gejala dan hasil pemeriksaan penunjang yang didapatkan pada pasien ini sesuai dengan teori penyakit gagal ginjal kronik yang terdapat dalam beberapa literatur.

Kesimpulan

Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik umumnya asimtomatik dan tidak mengalami gangguan klinis nyata dalam keseimbangan elektrolit atau endokrin/metabolik. Namun pada tingkat lanjut yang sangat parah gangguan secara klinis nyata seperti uremic, akumulasi racun sekunder, dan identitas yang umumnya tidak diketahui tanpa pemeriksaan penunjang.

Kata Kunci : Gagal ginjal kronik, proteinuria, laju filtrasi glomerulus

Pendahuluan

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel 2.1 berikut :

Page 3: Case Report

Tabel 2.1 Batasan gagal ginjal kronik

Batasan gagal ginjal kronik

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:- Kelainan patologik- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

(Sumber: Chonchol, 2005)

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Perazella, 2005) . Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut :

Tabel 2.2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium gagal ginjal kronik

Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1,73m2)

0 Resiko menigkat ≥ 90 dengan faktor risiko 1 Kerusakan ginjal disertai LFG

normal atau meninggi ≥ 90 2 Penurunan ringan LFG 60 - 89 3 Penurunan moderat LFG 30 - 59 4 Penurunan berat LFG 15 – 29 5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

(Sumber: Clarkson, 2005)

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).

a. GlomerulonefritisIstilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya

tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada

Page 4: Case Report

glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).

b. Diabetes melitus Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat

mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996)

c. Hipertensi Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥

90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).

d. Ginjal polikistikKista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang

semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemuka n kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006). Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.

Page 5: Case Report

Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG).

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal. 1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG) : Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). 2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK) : Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis. 3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit , progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).

Ilustrasi Kasus

Pasien laki-laki berumur 67 tahun datang ke IGD RSUD Koja dengan keluhan muntah sejak 5 hari SMRS dengan frekuensi ± 6 x/ hari dan berisi makanan, tidak ditemukan adanya darah ataupun lendir. Os juga merasakan mual sesaat sebelum muntah. Batuk juga dirasakan os dengan dahak berwarna putih kehijauan. Batuk tidak disertai dengan pilek. Os mengeluh adanya demam sejak 1 minggu SMRS. Demam dirasakan naik turun. Sesak nafas dan nyeri dada terutama malam hari juga dirasakan os. Perut terasa tidak nyaman dan begah. Nafsu makan berkurang. BAK 3-4 x/hari. Os memiliki riwayat hipertensi sejak 3 tahun. Os tidak memiliki riwayat diabetes mellitus.

Sejak 4 bulan yang lalu, Os didiagnosis mempunyai penyakit ginjal oleh dokter klinik dekat rumahnya, tetapi Os tidak melanjutkan pengobatan karena tidak ada keluhan yang berat dan juga didukung dengan adanya keterbatasan biaya. tidak. Os memiliki riwayat merokok sejak usia 20 tahun, sehari 2-3 batang. Os juga sering mengkonsumsi jamu-jamu pegal linu tiap kali keluhan pegal linu datang.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 180/100 mmHg, RR 24x/menit, Nadi 84x/menit, CA (-), nyeri tekan epigastrium, ronkhi basah halus dikedua basal paru, pitting edema (+) dikedua tungkai.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 12 gr/dl, kalium 5,95, ureum 269, kreatinin 27, gula darah sewaktu 118 mg/dl. EKG: normal. Foto rontgen torax PA didapatkan kardiomegali, dan efusi pleura kanan.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang ditegakkan diagnosis Chronic kidney Disease grade V e.c hipertensi essensial disertai gejala dominan dispepsia akibat gastropati uremicum.

Page 6: Case Report

Pasien mendapatkan penatalaksanaan rawat inap, infus RL 6 tpm, oksigenasi kanul 2 liter/menit, koreksi Sodium Bicarbonat (0.3x67x6.4=128, drip dalam RL 100meq dan bolus 25meq), Injeksi Furosemid 1x10 gr i.v, Aminefron tablet 3x4 p.o, Losartan tablet 1x50 mg p.o, Injeksi ondancentron 2x8 mg i.v, Injeksi ranitidin 2 x 50 mg i.v serta pembatasan intake cairan 500cc/24 jam.

Diskusi

Os datang dengan keluhan utama keluhan muntah sejak 5 hari SMRS dengan frekuensi ± 6 x/ hari dan berisi makanan, tidak ditemukan adanya darah ataupun lendir. Os juga merasakan mual sesaat sebelum muntah. Os juga mengeluh perutnya terasa tidak nyaman dan begah.

Pengobatan untuk gejala utama dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu : 1) Antasid 20-150ml/ hari, Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Campuran yang biasanya terdapat dalam antasid antara lain Na bikarbonat, AL (OH)3, Mg (OH)2 dan Mg trisilikat sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. 2) Antikolinergik, bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28- 43%. 3) Antagonis reseptor H2, Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin dan famotidin. 4) Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI), golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol dan pantoprazol. 5) Sitoprotektif. Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE) dan enprestil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. 6) Golongan prokinetik, Obat yang termasuk golongan prokinetik, yaitu sisaprid, domperidon dan metoklopramid. Golongan ini cukupefektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).

Pasien mendapat terapi ranitidin yang merupakan golongan obat antagonis reseptor H2 yang dapat menghambat sekresi asam lambung, dimana obat ini juga banyak di gunakan untuk terapi dispepsia organik, Selain itu pasien juga mendapat kan terapi odancentron untuk mengatasi keluhan mual dan muntah nya.

Kesimpulan

Dalam laporan kasus ini, dengan membandingkan gejala klinis utama berupa dispepsia atau abdominal discomfort yang terdapat pada pasien, memenuhi kriteria gejala klinis pada penyakit gagal ginjal kronik yang terdapat pada teori/ literatur. Keluhan dispepsia biasanya ditemukan pada gagal ginjal stadium terminal. Patogenesisnya belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

Page 7: Case Report

DAFTAR PUSTAKA

1. Hadi, Soejono. Gastroenterologi. Bandung: Alumni. 1999. Hal. 181.

2. Sudoyo, Aru W. Gagal ginjal kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid II, Edisi 4. 2006. Jakarta: FKUI.

3. Talley HI. Non ulcer dyspepsia. In: Yamada T, editor. Textbook of Gastroenterology.Philadelphia: JB Lippincott Company;1995:1446-55.

4. McQuaid KR. Dyspepsia & non ulcer dyspepsia. In: Grendell JH, McQuaid KR, Freidman SC, editors. Current diagnosis & treatment in gastroenterology. Connecticut: Appleton & Lange;1996:313-6.

5. Bazaldua OV, Schneider FD. Evaluation and management of dyspepsia. Am Fam Physician 1999;60:1773-88.

6. Dispepsia. [diperbaharui 12 desember 2010; diunduh 12 desember 2010]. Diunduh dari: http://tbmcalcaneus.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=73

7. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI. Edisi 3. Jilid I. 1999. Hal. 492-493

8. Gastropati uremicum. [diperbarui 23 februari 2011: diunduh 3 maret 2011]. Diunduh dari: http://www.jurnalkedokteranindonesia.com/