CASE HIV

74
CASE HIV/AIDS dengan Ascites OLEH: Otty Mitha Octriza 030.10.217 PEMBIMBING: Dr. Nelson Pandaleke , SpPD ILMU PENYAKIT DALAM – RSAL MINTOHARDJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA SEPTEMBER 2014

description

g

Transcript of CASE HIV

Page 1: CASE HIV

CASE

HIV/AIDS dengan Ascites

OLEH:

Otty Mitha Octriza

030.10.217

PEMBIMBING:

Dr. Nelson Pandaleke , SpPD

ILMU PENYAKIT DALAM – RSAL MINTOHARDJO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

SEPTEMBER 2014

Page 2: CASE HIV

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : OTTY MITHA OCTRIZA

NIM : 03010217

UNIVERSITAS : TRISAKTI JAKARTA

JUDUL CASE : HIV/AIDS dengan Ascites

BAGIAN : ILMU PENYAKIT DALAM

RS : RSAL MINTOHARDJO JAKARTA

SEPTEMBER 2014

PEMBIMBING

Dr. Nelson Pandaleke , SpPD

Page 3: CASE HIV

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan

petunjuknya penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus “HIV/AIDS dengan Ascites” ini

tepat pada waktunya.

Laporan kasus ini ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di

bagian ilmu penyakit dalam RSAL Dr.Mintoharjo. Pada kesempatan ini penyusun

mengucapkan terimakasihkepada Dr. Nelson Pandaleke , SpPD selaku dokter pembimbing

dalam kepaniteraan klinik ini , Dr.Sophie , Dr.Rendy dan rekan-rekan coass yang ikut

memberikan bantuan dan semangat secara moril.

Penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini masih terdapat kekurangan dan

kesalahan, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.

Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang ilmu

penyakit dalam khususnya dan bidang kedokteran pada umumnya.

Jakarta, September 2014

Penyusun

Otty Mitha Octriza

BAB I

LAPORAN KASUS

Page 4: CASE HIV

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny.A

Usia : 30 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Jl jati pondok VI RT08/RW09, Tanah Abang

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SMP

Suku Bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Status perkawinan : Menikah

Pemeriksa : Otty Mitha octrixa

A. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 29 Agustus 2014 pukul 10.00 WIB

di bangsal P.Tarempa RSAL Dr.Mintohardjo.

Keluhan Utama :

Perut bengkak sejak 2 bulan SMRS

Keluhan tambahan :

Demam naik turun sejak 3 bulan , Batuk kering sejak 2 bulan , Sesak 1 bulsn , Diare 2

bulan , Nyeri perut 2 bulan , BB turun 5 bulan terakhir, Nafsu makan turun 5 bulan terakhir,

Mual , Muntah , Sariawan 1 bulan , Benjolan di leher sejak 3 bulan , Halusinasi visual

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang dengan keluhan perut bengkak sejak 2 bulan SMRS , perut dirasakan

semakin membesar sejak 2 bulan yang lalu kemudian timbul nyeri dan mual mual . Pasien

menyangkal pernah mengalami hal ini sebelumnya . Pasien tidak mempunyai riwayat sakit

jantung , ginjal dan sakit kuning sebelumnya . Pasien telah memeriksakan ke dokter dan

sudah di USG dengan hasil kesan perut berisi cairan kemudian dirujuk ke spesialis

kandungan di RSAL dr.Mintohardjo.

Pasien mengeluh adanya demam naik turun selama 3 bulan terakhir , demam kadang

dirasakan lebih meningkat pada malam hari , demam tidak pernah diukur menggunakan

Page 5: CASE HIV

termometer hanya diraba rasakan saja , demam turun dengan pemberian obat penurun panas ,

Pasien menyangkal ada keluhan berkemih tidak nyeri , tidak lebih sering dan setiap berkemih

merasa tuntas , Pasien memang mengeluhkan adanya batuk kering yang hilang timbul sejak 2

bulan yang lalu , keringat malam disangkal.

Pasien menyadari saat berkaca bahwa terlihat benjolan di sebelah bawah leher

kirinya , namun Pasien tidak terlalu mengeluhkannya karena benjolan tidak menggangu

proses makan , mengunyah dan menelan .

Pasien mengeluhkan sudah batuk kering selama 2 bulan terakhir namun batuk dirasa

hilang timbul namun apabila dahak dapat keluar , dahak akan berwarna putih kental dan tidak

berbau , Pasien menyangkal ada keringat dimalam hari , Pasien menyangkal adanya batuk

dahak , tidak ada riwayat darah tinggi , kencing manis dan jantung . Pasien memang

mempunyai riwayat asma namun terakhir serangan saat Pasien masih di bangku SMA. Pasien

menyangkal ada keluarga yang sedang batuk dirumah , Pasien tidak merokok , lingkungan

tempat tinggal Pasien memang cenderung padat namun ventilasi dan air bersih dinilai Pasien

cukup baik.

Pasien mengeluh agak sedikit sesak sejak 1 bulan yang lalu Pasien merasa bahwa

perutnya yang bengkak dan battuk kering yang dirasakan memperberat sesaknya. Pasien lebih

nyaman tidur setengah duduk , Pasien tidak pernah terbangun ditengah malam karena sesak ,

namun sesak dapat diperberat sehabis aktivitas dan membaik saat istirahat , Pasien

menyangkal ada kaki bengkak sebelumnya dan tidak ada nyeri dada. Pasien menyangkal

mempunyai riwayat darah tinggi , kencing manis , ginjal , jantung dan hati . Pasien

mempunyai asma yang diturunkan dari ayah Pasien.

Diare hilang timbul sejak 2 bulan yang lalu , Feses berwarna coklat tidak berbau tidak

berlendir dan tidak berdarah , feses tidak sepenuhnya cairan namun sedikit berampas. Tidak

ada bab hitam.

Nyeri perut dirasakan semakin memberat seiring perut bengkak yang dirasakan Pasien

. Nyeri ulu hati juga dirasakan , dada terasa panas saat Pasien berbaring.

BB Pasien turun dari 58-48 kg dalam 5 bulan terakhir , riwayat jantung berdebar,

mudah berkeringat, tangan gemetar disangkal. Pasien memang mengaku tidak nafsu makan

sejak beberapa bulan ini. Riwayat sering lapar, sering haus, sering terbangun malam hari

untuk buang air kecil disangkal.

Page 6: CASE HIV

Nafsu makan turun tanpa sebab yang pasti sejak 5 bulan terakhir , hal ini

memperberat kondisi nyeri ulu hati Pasien

Pasien merasa mual dan ingin muntah tiap kali diberikan makanan. Pasien memang

mempunyai riwayat sakit maag dari dahulu.

Muntah muntah setiap diberi makan , muntah berisi makanan tidak ada darah dan

dahak.

Sariawan sebanyak 3 buah sejak kurang lebih satu bulan yang lalu , hal ini tidak

menggangu proses makan Pasien sehingga Pasien kurang memeperdulikan

Pasien mengeluh melihat api sejak diberitahukan hasil test HIV reaktif dan mulai

mengkonsumsi ARV.

Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat penyakit gula, darah tinggi , ginjal , liver dan penyakit paru sebelumnya

disangkal,Riwayat maag (+),Riwayat Asthma (+)

Riwayat Keluarga :

Suami pertama meninggal saat usia 34 tahun oleh karena diduga menderita penyakit hati 2 tahun yang lalu , Ayah menderita asma dan hipertensi

B. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : tampak sakit ringan

Kesadaran : compos mentis

Tanda vital

- Tekanan darah : 100/70 mmHg

- Suhu : 38 0C

- Nadi : 128 x/menit

- Pernapasan : 26x/menit

- Antropometri :

Berat badan : 48 kg

Tinggi badan : 165 cm

BMI : 17,6

Status Generalis

Page 7: CASE HIV

1. Kepala : normocephali

Rambut : warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Wajah : simetris, pucat, tidak sianosis, tidak ada nyeri tekan sinus, tidak ada

facies tertentu

Mata : alis hitam, distribusi merata, tidak rontok, kelopak mata ptosis (-/-),

edema(-/-), cekung (-/-), conjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-),

kedua pupil bulat isokor 2 mm, lensa jernih (+/+), tekanan bola mata normal.

Telinga : normotia, liang telinga lapang (+/+), secret (-/-)

Hidung : deviasi septum (-), secret (-), hidung lapang (+/+)

Mulut : bibir pucat (-), sianosis (-),. Gusi dan mukosa mulut pucat (-),

hiperemis (-), normoglossia, papil tidak atrofi , lidah kotor , terapat

stomatitis aftosa sebanyak 3 buah dengan diameter 0,5 cm

Tenggorok : tonsil T1/T1, kripta melebar (-), faring hiperemis (-)

Leher : KGB Colli anterior sinistra teraba membesar dengan konsistensi lunak tidak

ada nyeri dan bisa digerakkan , Tiroid TTM , JVP 5+3

2. Dada :

Bentuk : mendatar, simetris, elips, sela iga tidak melebar atau sempit, tidak ada

retraksi sela iga, tidak ada efloresensi bermakna

Paru :

Depan Belakang

Inspeksi

Kiri Simetris saat statis dan dinamis

Simetris saat statis dan dinamis

Kanan Simetris saat statis dan dinamis

Simetris saat statis dan dinamis

Palpasi

Kiri Tidak teraba benjolanVocal fremitus simetris

Tidak teraba benjolanVocal fremitus simetris

Kanan Tidak teraba benjolanVocal fremitus simetris

Tidak teraba benjolanVocal fremitus simetris

PerkusiKiri Redup pada ics 5-6Kanan Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi

Kiri Suara vesikuler normalWheezing (-/-), Ronkhi (+/+) basah halus

Suara Vesikuler normalWheezing (-/-), Ronkhi (+/+) basah halus

Kanan Suara Vesikuler normal Suara vesikuler normal

Page 8: CASE HIV

Wheezing (-/-), Ronkhi (+/+) basah halus

Wheezing (-/-), Ronkhi (+/+) basah halus

Jantung

Inspeksi Tidak terlihat pulsasi ictus cordisPalpasi Teraba ictus cordis 1 cm medial line midklavikula kiri sela iga VPerkusi Batas kanan : sela iga III-V, 1 cm sebelah lateral linea parasternalis kanan

Batas kiri : sela iga V, 1 cm sebelah medial linea midklavikula kiriBatas atas : sela iga III, di linea parasternalis kiri

Auskultasi Bunyi jantung I & II reguler, Gallop (-), Murmur (-)

3. Abdomen :

Inspeksi Membuncit, simetris, terdapat smiling umbilicus, tidak ada dilatasi vena

Auskultasi Bising usus (+) > 3x per menitPalpasi Dinding perut: Supel, NTE (-)

Turgor kulit : BaikHati : Teraba 3 jari dari arkus costae kanan , sudut tumpul permukaan rata , konsistensi kenyal, Murphy sign (-)Limpa : Tidak teraba membesarGinjal : ballotment (-/-), nyeri ketuk CVA (-/-)

Perkusi Timpani, shifting dullness (+)

4. Ekstremitas:

Lengan dan Tangan Kanan KiriTonus otot Normotoni NormotoniMassa Tidak ada Tidak adaSendi Bebas BebasGerakan Aktif AktifKekuatan 5 5Oedem Tidak ada Tidak adaAkral hangat + +

Tungkai dan Kaki Kanan KiriLuka - -Varises Tidak ada Tidak adaOtot Normal NormalTonus Normotoni NormotoniMassa Tidak ada Tidak adaSendi Bebas BebasGerakan Aktif Aktif

Page 9: CASE HIV

Kekuatan 5 5Oedem Tidak ada Tidak adaAkral hangat + +

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

PEMERIKSAAN DARAH RUTIN

Tgl 26/8 Hb 7,6

Tgl 27/8 Hb 10,9

Tgl 29/8 Anti HCV –

Tgl 3/9 ur/cr 19/0,7

Tgl 10/9 LED 93 Hitung Jenis :Baso/Euso/N.Batang/N.Segmen/Limf/Mono -/-/-/90/7/3

PEMERIKSAAN PROTEIN DARAH

Tgl 30/8 albumin 2,6

Tgl 31/8 albumin 2,9

Tgl 4/9 albumin 3,2

Tgl 8/9 albumin 2,3

PEMERIKSAAN FESES

TGL5/9 : benzidin test positif , darah - lendir - , LeukPasienit +0-1/LPB, eritrPasienit +1-2/LPB

PEMERIKSAAN PROFIL LIPID

TGL 2/9 : Tg 118 , Cholesterol 101 , HDL 9(?) , LDL 68

PEMERIKSAAN ASCITES

TGL 1/9 : Cairan keruh , warna putih , PMN 26, MN 74 , LDH 1018 , GlukPasiena cairan 70 , Protein cairan 5300

TGL 28/8 PEMERIKSAAN HbsAg : negatif

TGL 27/8 PEMERIKSAAN Ca 125 : 361,20 U/mL (<35)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

USG ABDOMEN

TGL 1/9 TGL 28/8

Page 10: CASE HIV

Hepatomegali dengan gambaran chronic liver disease

Hati membesar rata tumpul densitas echo kasar

Kandung empedu besar dan bentuk normal,dinding tipis , batu (-)

Sal empedu tidak melebar

Ginjal kanan cortex normal,pelvis renis normal , batu (-)

Ginjal Kiri cortex normal,pelvis renis normal , batu (-)

Limpa tidak membesar

Pankreas normal

Ascites +

Kesan :

Ascites

Tak tampak kelainan pada organ abdomen

TGL 1/9 FOTO THORAX PA : Ctr <50% ,corakan bronchovaskuler normal , tidak ada bercak kesuraman, sinus cPasientophrenicus dan diafragma baik , kPasientae dan tulang baik

Kesan : Jantung dan Paru -Paru normal

TGL 3/9 PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMI CAIRAN ASCITES

Mikroskopik : Sediaan sitologi cairan ascites mengandung debris sellular,sel radang limfonsit

dan eritrPasienit tidak ditemukan sel ganas

Kesan : negatif (radang kronik dan perdarahan)

TGL4/9 MSCT ABDOMEN

Kesan : Susp.Massa 3x7 cm di Parametrium kiri , Susp pembesarn KGB Paraaorta, Ascites

masif dan efusi pleura bilateral, Hepatomegaly dengan fatty liver

TGL 9/9 MRI ABDOMEN

Kesan : ovarium kiri tendensi membesar mencapai 2,6x2,4 cm yang menyangat pasca kontras

tidak tampak pembesaran KGB regional kemungkinan tumor, Uterus DBN , Ascites masif

TGL 16/9 CT Scan KEPALA

Page 11: CASE HIV

Kesan : Struktur dan intensitas otak/intrakranial dalam batas normal , Tidak tampak lesi

kecurigaan abses serebri , Tidak tampak lesi infark perdarahan maupun massa

DIAGNOSIS KERJA

ODHA kategori B3 (CDC) ODHA stadium III (WHO)

Ascites Masif

Abdominal discomfort ec. Ascites

Fatigue

Obs.Febris

Obs.Dyspnoe

Kanidiasis oral

Stomatitis aftPasiena

Limfadenopathy regio colli anterior

Gangguan persepsi ec efek samping obat arv

Hipoalbuminemia terkoreksi

Dispepsia terkoreksi

Anemia terkoreksi

GE terkoreksi

RENCANA PENGELOLAAN

Omeprazole injeksi 2x1

Ondancetron 3x1

Vipalbumin 3x2

Anti diare bila perlu

Ulsidex 3x C1

OBH 3xCI

Betahistin 3x1 tsb

Effaviral 1x1

Tenavofir 1x1

Lamivudin 2x1

Profilaksis : Kotrimoxazole 1x1

Page 12: CASE HIV

PROGNOSIS

AD VITAM: dubia

AD SANATIONAM: dubia ad malam

AD FUNGSIONAM: dubia ada malam

Page 13: CASE HIV

BAB II

ANALISADATA

Gejala Klinis

Perut Bengkak

Ascites pada pasien paling mungkin disebabkan oleh HIV/AIDS , Sirosis hepatis ,

CHF , Malnutrisi , Lymphoma dan Ca Ovarium. Bengkak pada perut sudah dirasakan selama

2 bulan lebih dari hasil anamnesia kemungkinan pasien untuk menderita sirosis hepatis kecil

karena pasien tidak mempunyai riwayat sakit kuning sebelumnya Pada pemeriksaan fisik

memang didapatkan hepatomegali dan dari hasil pemeriksaan penunjang HbsAg negatif dan

anti HCV negatif dari hasil USG abdomen juga menunjukkan kesan adanya hepatomegali dan

ascites pada pasien . Hipotesa CHF juga bisa disingkirkan dari anamnesa pasien menyangkal

mempunyai riwayat jantung dan darah tinggi , dari halis PF TD pasien tidak pernah diatas

120/80 JVP 5+3 hasil thorax foto juga menunjukkan tidak ada kardiomegali . Hipotesa yang

masih memungkinkan adalah ascites disebabkan oleh karena hipoalbuminemia akibat infeksi

kronis dan malnutrisi yang diderita pasien serta hipotesa lymphoma dan Ca ovarium belum

dapat disingkirkan dan dapat dilihat dari hasil CA 125 yang meningkat.

Nyeri Perut

Nyeri perut yang dirasakan pasien disebabkan oleh karena distesi abdomen oleh

karena ascites . Namun hipotesa lainnya dapat juga dipikirkan adanya Ca Ovarium atau

Pelvic inflamatorry disease .

Mual dan Muntah

Dispepsia pada pasien disebabkan oleh karena riwayat maag pada pasien serta

kurangnya intake makanan yang masuk.

Sesak

Sesak disebabkan oleh karena efusi pelura yang dialami pasien , hal ini disebabkan

oleh karena kondisi hipoalbuminemia dan riwayat asma pada pasien. Sesak oleh karena sebab

lain seperti CHF dan renal insufisiensi dapat disingkirkan karena klinis dan penunjang yang

tidak mendukung.

Penurunan BB

Penurunan BB sejak 7 bulan terakhir disebabkan oleh karena nafsu makan yang

menurun , hal ini paling munkin disebabkan oleh HIV/AIDS yang diderita pasien namun

diagnosa keganasan dan TB paru belum dapat disingkirkan oleh karena itu diperlukan

pemeriksaan tambahan seperti tes BTA dan Ro ulang untuk memastikannya.

Page 14: CASE HIV

Diare

Diare hilang timbul pada pasien meurpakan manifestasi klinis dari HIV/AIDS pasien ,

namun etiologi dari diare pada pasien belum diketahui.

Demam

Demam muncul ketika aterjadi fase viremia pada darah pasien menyebabkan panas

yang hilang timbul tanpa etiologi yang jelas . Namun perlu dipikirkan apakah telah terjadi

infeksi sekunder dari TB paru , PCP atau Toxoplasis pada pasien

Batuk

Batuk kronis pada pasien belum diketahui etiologi secara pasti , namun etiologi

tersering dan merupakan infeksi oportunistik terbesar pada pasien HIV/AIDS adalah TB paru.

Sariawan dan Kandidiasis oral

Oral Hygine yang buruk dan infeksi oportunistik pada ODHA dapat menyebabkan

sariawan dan kandidiasis oral

Limfadenopati

Limfadenopati terjadi karena virus HIV bereplikasi di KGB heingga menyebabkan

inflamasi pada KGB tersebut , perlu dicaritahu lebih lanjut apakah limfadenopati pada pasien

ini mengarah ke lymphoma atau limfadenopati TB

Halusinasi Visual

Gangguan persepsi pada pasien dapat disebabkan dari efek samping obat ARV seperti

evavirens dan psikologis pasien .

Pemeriksaan Fisik

Conjungtiva Anemis

Gambaran warna pucat pada konjungtiva pasien menggambarkan kurangnya sel darah merah

pada tubuh pasien akibat infeksi kronis dan malnutrisi pada pasien

Ascites

Disebabkan oleh Hipoalbuminemia pada pasien yang menyebabkan perpindahan plasma dari

pembuluh darah ke cairan interstisial

Nyeri Epigastrium

Ddisebabkan oleh dyspepsia dan intake makan yang kurang dari pasien , menyebakan

produksi asam lambung berlebih

Pemeriksaan Laboratorium

Page 15: CASE HIV

Hipoalbuminemia

Disebabkan oleh Inflamasi kronis pada pasien

Hemoglobin turun

Disebabkan oleh Inflamasi kronis dan intake makanan yang kurang selama 7 bulan

terakhir

Peningkatan LED

Peningkatan laju endap darah selain disebabkan oleh adanya inflamasi kronis dalam

tubuh, juga dapat disebabkan oleh terjadinya penurunan jumlah sel darah merah dalam tubuh.

Hal ini disebabkan jumlah sel darah merah berbanding terbalik dengan kecepatan eritrosit

untuk mengendap, sehingga pada pasien terjadi peningkatan laju endap darah.

Anjuran pemeriksaan:

1. Cek BTA

2. Uji tuberkulin

3. Rontgen thorax ulang

4. USG Abdomen ulang

Page 16: CASE HIV

Tanggal Subjective Objective Assessment Planning

Selasa26 – 08 - 2014

Perut membesar

Nyeri perut Mual Batuj

Pemeriksaan Fisik CM, TSS TD:90/70 mmHg HR:128x/menit. T: 36,2oC CA (+/+), SI (-/-)

Thorax: S1S2regular,murmur (-),gallop (-) Suaranapasvesikular, ronkhi +/+,

wheezing -/- Abdomen: buncit, supel, NTE (+),

BU (+) , Ascites (+) Ekstremitas: edema (-) di keempat

ekstremitas, akralhangat (+) di keempat ekstremita

Pemeriksaan Penunjang Hb : 7,6

Ascites ec Dispepsia Batuk

RL: D5 2:3 Ampicilin 4x 1gr Gentamisin 2x80 mg PCT tab 3x 1 Tranfusi PRC 2

kantong Cek DL Cek UL Cek liver function test Cek protein total alb

glob GDH Cek CA 125

Tanggal Subjective Objective Assesment PlanningRabu

27 – 08 - 2014 Mual Muntah Perut

Pemeriksaan Fisik CM, TSS TD:110/80 mmHg HR:80x/menit. T: 36,2oC CA (+/+), SI (-/-)

Thorax: S1S2regular,murmur (-),gallop (-) Suaranapasvesikular, ronkhi +/+,

wheezing -/- Abdomen: buncit, supel, NTE (+),

BU (+), Ascites (+) Hepar teraba 3 jari bawah arcus

costae permukaan rata tepi tumpul konsistensi kenyalnyeri tekan -

Ekstremitas: edema (-) di keempat ekstremitas, akralhangat (+) di keempat ekstremitas

Pemeriksaan PenunjangHb : 10,7Ca 125 361,20

Ascites ec Dispepsia

Terapi teruskan PRC 500 cc 1

kantong Konsul SpPD Konsul Bedah

digestive Rencana USG

abdomen Cek HbsAg Cek anti HCV

Tanggal Subjective Objective Assesment Planning

Page 17: CASE HIV

Kamis28 – 08 - 2014

Perut nyeri Demam

Pemeriksaan Fisik CM, TSS TD:110/70 mmHg HR:88x/menit. T: 38,2oC CA (-/-), SI (-/-)

Thorax: S1S2regular,murmur (-),gallop (-) Suaranapasvesikular, ronkhi -/-,

wheezing -/- Abdomen: buncit, supel, NTE (+),

BU (+), Ascites (+) Ekstremitas: edema (-) di keempat

ekstremitas, akralhangat (+) di keempat ekstremitas

Pemeriksaan PenunjangHbsAg – USG kesan ascites tidak tampak kelainan organ

Ascites ec Febris ec

Rl 12 tpm Vip albumin 3x 2

tab Terapi lain lanjutkan

Tanggal Subjective Objective Assesment Planning

Jumat29 – 08 - 2014

Nyeri perut Mual Muntah

Pemeriksaan Fisik CM, TSR TD:110/70 mmHg HR:80x/menit. T: 36oC CA (-/-), SI (-/-)

Thorax: S1S2regular,murmur (-),gallop (-) Suaranapasvesikular, ronkhi -/-,

wheezing -/- Abdomen: buncit, supel, NTE (+),

BU (+), Ascites (+) Ekstremitas: edema (-) di keempat

ekstremitas, akralhangat (+) di keempat ekstremitas

Pemeriksaan Penunjang Anti HCV –

Ascites ec susp keganasan

Ranitidin 2x 1 amp Cek protein alb glob Bila rendak korensi

albumin 20% 100 cc 2 botol

Tanggal` Subjective Objective Assesment PlanningSabtu

30 – 08 - 2014 Nyeri

perut Mual

Pemeriksaan Fisik CM, TSR TD:100/70 mmHg HR:80x/menit. T: 36oC

Ascites susp keganasan

Hipoalbuminemia

Visit dr anggun SpPD :

Albumin 20 % 1 botol

Vipalbumin 3x2 tab

Page 18: CASE HIV

CA (-/-), SI (-/-)Thorax:

S1S2regular,murmur (-),gallop (-) Suaranapasvesikular, ronkhi -/-,

wheezing -/- Abdomen: buncit, supel, NTE (+),

BU (+), Ascites (+) Ekstremitas: edema (-) di keempat

ekstremitas, akralhangat (+) di keempat ekstremitas

Pemeriksaan PenunjangKimia Klinik Albumin 2,6

Furosemid 1x1 amp

Tanggal Subjective Objective Assesment PlanningMinggu

31 – 08 - 2014 Sesak Perut nyeri

Pemeriksaan Fisik CM, TSS TD: 120/80 mmHg HR:80x/menit. T: 36oC CA (-/-), SI (-/-)

Thorax: S1S2regular,murmur (-),gallop (-) Suaranapasvesikular, ronkhi -/-,

wheezing -/- Abdomen: buncit, supel, NTE (-),

BU (+), Ascites (+) Ekstremitas: edema (-) di keempat

ekstremitas, akralhangat (+) di keempat ekstremitas

Pemeriksaan PenunjangKimia KlinikAlbumin : 2,9

Ascites susp keganasan

Hipoalbuminemia

Terapi lain lanjutkan Albumin 20% 1

botol Cek pro tot alb glob

ulang

Tanggal Subjective Objective Assesment PlanningSenin

01-09-2014 Munta

h Perut

nyeri

Pemeriksaan Fisik CM, TSS TD: 100/70 mmHg HR:72x/menit. T: 36,6oC CA (+/+), SI (-/-)

Thorax: S1S2regular,murmur (-),gallop (-) Suaranapasvesikular, ronkhi -/-,

Ascites susp chronic liver disease

Cek cairan ascites USG ulang Ro thorax Koreksi albumin Terapi lain teruskan

Page 19: CASE HIV

wheezing -/- Abdomen: buncit, supel, NTE (+),

BU (+), Ascites (+) Ekstremitas: edema (-) di keempat

ekstremitas, akralhangat (+) di keempat ekstremitas

Pemeriksaan PenunjangKimia Klinik Cairan ascites : Cairan keruh ,

warna putih , PMN 26, MN 74 , LDH 1018 , Glukosa cairan 70 , Protein cairan 5300

USG Abdomen ulang :Hepatomegali dengan gambaran chronic liver disease

Hati membesar rata tumpul densitas echo kasar

Kandung empedu besar dan bentuk normal,dinding tipis , batu (-)

Sal empedu tidak melebar

Ginjal kanan cortex normal,pelvis renis normal , batu (-)

Ginjal Kiri cortex normal,pelvis renis normal , batu (-)

Limpa tidak membesar

Pankreas normal

Ascites +

Ro Thorax :Ctr <50% ,corakan bronchovaskuler normal , tidak ada bercak kesuraman, sinus cPasientophrenicus dan diafragma baik , kPasientae dan tulang baik

Kesan : Jantung dan Paru -Paru normal

Tanggal Subjective Objective Assesment PlanningSelasa

02-09-2014 Mual Muntah Nyeri

Pemeriksaan Fisik CM, TSR TD: 110/70mmHg

Ascites ec Dispepsia

Cek ulang albumin Cek profil lipid Cek profil lipid

Page 20: CASE HIV

HR:80x//menit. T: 36,5oC CA (+/+), SI (-/-)

Thorax: S1S2regular,murmur (-),gallop (-) Suaranapasvesikular, ronkhi -/-,

wheezing -/- Abdomen: buncit, supel, NTE (-),

BU (+) Ekstremitas: edema (-) di keempat

ekstremitas, akralhangat (+) di keempat ekstremitas

Pemeriksaan PenunjangKimia KlinikProfil lipid : Tg 118 , Cholesterol 101 , HDL 9(?) , LDL 68

Inj ranitidin stop Inj Omeprazole Inj Domperidone Sucralfat syr

Tanggal Subjective Objective Assesment PlanningRabu

03-09-2014 Diare Pemeriksaan Fisik

CM, TSR TD:100/70 mmHg HR:78x/menit. T: 36,2oC CA (+/+), SI (-/-)

Thorax: S1S2regular,murmur (-),gallop (-) Suaranapasvesikular, ronkhi -/-,

wheezing -/- Abdomen: buncit, supel, NTE (-),

BU (+)> 3 x Ekstremitas: edema (-) di keempat

ekstremitas, akralhangat (+) di keempat ekstremitas

Pemeriksaan PenunjangKimia Klinik Albumin 2, 9

Ascites Diare Hipoalbumenia

Cek ulang DR/Ur/Cr Rencana CT scan

abdomen New diatabs 3x II

tab Koreksi albumin Terapi lain teruskan

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Page 21: CASE HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem

kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis

dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama

limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan

sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan

berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi

infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai

CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang

terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin

menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol(1))

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti

kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi

virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar

seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh

ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).

HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau

media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi

tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik

akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi

oportunistik

Epidemiologi

Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta orang dan

yang terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan

15.000 pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri

diperkirakan berjumlah sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut catatan Departemen

Page 22: CASE HIV

Kesehatan, pada tahun 2005 terdapat 4.186 kasus AIDS dengan 305 di antaranya berasal dari

Jawa Barat. Saat ini, dilaporkan adanya pertambahan kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari

minimal 1 pasien meninggal karena AIDS di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di

Rumah Tahanan. Dan di setiap propinsi ditemukan adanya ibu hamil dengan HIV dan anak

yang HIV atau AIDS.

Etiologi

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis

yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan

dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein

gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-

helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari

protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA

dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme)(1,2).

Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai

lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami

mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih

ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1(2)

Struktur HIV :

Tahun 2006

Tahun 2007

Tahun 2008

Tahun 2009

Tahun 2010

0

2000

4000

6000

Grafik ODHA di Indonesia 5 tahun terakhir

Jumlah orang dengan HIV AIDS di Indonesia

Page 23: CASE HIV

Bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut ‘envelope’ dan di bagian dalam

terdapat sebuah inti (CORE).

1. Envelope : HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat seperti

bola. Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari dua lapisan molekul

lemak yang disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika partikel virus

yang baru terbentuk dengan membentuk tonjolan dan lepas dari sel tersebut.

Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan

(rata-rata) protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan selubung. Protein

ini disebut env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4 molekul

GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41

sebagai rangka struktur dalam envelope virus. (3)

2. Inti/ CORE : dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang

berbentuk peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan protein virus

lainnya, P 24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-

masing memiliki 9 gen dari virus. 3 diantaranya gag, pol dan env, mengandung

informasi yang diperlukan untuk membuat protein terstruktur untuk partikel virus

baru. Gen env, misalnya mengkode protein gp 160 yang dipecah oleh enzim virus

untuk membentuk gp 120 dan gp 41, yang merupakan komponen env.3 buah gen

pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan, vif, vpr, dan vpu mengandung

informasi yang diperlukan untuk memproduksi protein yang mengatur kemampuan

HIV menginfeksi suatu sel, membuat turunan virus baru atau menimbulkan

penyakit. Protein yang dikode oleh nef misalnya menyebabkan virus dapat

melakukan replikasi secara efisien sacara efisien dan protein yang dikode oleh vpu

berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV

juga mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein nucleocapsid HIV, dan

Page 24: CASE HIV

3 buah enzim yang berperan dalam langkah berikutnya dalam siklus hidup virus,

yaitu : REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan PROTASE. Protein HIV

lainnya adalah P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan envelope(4)

Gambar 1: struktur virus HIV-1

Cara penularan

Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun

Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini

berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap

pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada

pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering

berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko

tinggi terinfeksi virus HIV.

1.1. Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita

AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.

Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi

penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari

Page 25: CASE HIV

seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan

mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.

1.2. Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada

promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun

wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual

2.1 Transmisi Parenral

2.1.1. Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang

telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang

menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat

juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa

disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari

1%.

2.1.2. Darah/Produk Darah

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun

1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena

darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi

darah adalah lebih dari 90%.

2.2. Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%.

Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui

air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

Page 26: CASE HIV

TABEL 1. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan

faktor resiko dilapor s/d Desember 2010

Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui

ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air

liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV

Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:

1. Kontak fisik

Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan

udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan

tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita

HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.

2. Memakai milik penderita

Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja

penderita HIV/AIDS tidak akan menular.

3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.

4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

Faktor Resiko AIDS

Heteroseksual/HeterosexuaL 12717

Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 724

Transfusi Darah/Blood Transfusion 48

Transmisi Perinatal/Perinatal Trans. 628

Tak Diketahui/Unknown 772

Page 27: CASE HIV

Patofisiologi

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical,

horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung

dengan diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau

secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang intak seperti yang terjadi pada kontak

seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan

pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia

dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri

kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk, dan lain-lain. Keadaan

ini disebut sindrom retroviral akut. Pada vase ini terjadi penurunan CD 4 dan peningkatan

HIV-RNA Viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian

turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara

perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4

secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat

pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS(4).

Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi

target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel

target, gp 120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD 4 ini terdapat pada

permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan’s, sel dendrit, astrosit, microglia.

Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5,

beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan

diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran gp41 HIV. Dengan

terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse

transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target,

HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan

Page 28: CASE HIV

menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan

oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi

double stran DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu

dengan kromosom host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan

provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang

tidak aktif ini disebut sebagai keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan

aktivasi dari sel host. Bila sel host teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor

lain maka sel akan memicu nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5

LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen

pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA. Induktor NF cepat

memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme lain., misalnya bakteri,

jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling cepat

menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA.

Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur

berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA mengalami

translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti

virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada

permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan

enzim fungsioal. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel

host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel,

dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan

replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru.

Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun

dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah Limfosit T-

CD4 melalui beberapa mekanisme(4) :

Page 29: CASE HIV

1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat

adanya penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak

terintegritasi dengan nucleus akan menggangu sintesis makromolekul.

2. Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan

limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi

3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat

menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal

sekitarnya.

4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk

mengeliminasi sel yang terinfeksi(4).

5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan reseptor

CD4 Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel

melalui apoptosis.

Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-

CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau

lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system imun,

sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan

meningkatkan resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS.

Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai

jenis infeksi sekundernya.

Page 30: CASE HIV

Patogenesis infeksi HIV

Respon Imun Terhadap Infeksi HIV

Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang

intensif. Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein virus.

Ditemukan antibodi netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian

eksternal gp41. Deteksi anti bodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya, enzime-

linked immunosorbent assay [ELISA]). Di dalam darah dijumpai kelas antibodi

imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi seiring dengan menurunnya

titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap tinggi sepanjang infeksi. Antibodi IgG

adalah antibodi  utama yang digunakan dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV dapat muncul

dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV dalam

6 bulan setelah pajanan. Namun, antibodi HIV tidak menetralisasikan HIV atau menimbulkan

perlindungan terhadap infeksi lebih lanjut.

Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+, limposit T CD+ diaktifkan oleh

sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin-2 (IL-2),

yang membantu merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi  menjadi sel plasma.

Sel-sel plasma ini kemudian menghasilkan imunoglobuin yang spesifik untuk antigen yang

Page 31: CASE HIV

merangsangnya. Sitokin IL-2 hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang memengaruhi

respons imun baik humoral maupun selular. Walaupun tingkat kontrol, ekspresi, dan potensi

fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus diteliti, namun sitokin jelas penting dalam

aktivitas intrasel. Sebagai contoh, penambahan sitokin IL-12 (faktor stimulasi sel NK)

tampaknya melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang terjadi pada infeksi

HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan normal sel-sel inilah yang

mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus dengan mengeluarkan perforin

yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.

Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan

mengeluarkan perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel CD8 sangat

hebat pada awal infeksi HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam limfosit

CD4+. Penekanan ini terbukti bervariasi tidak saja di antara orang yang berbeda tetapi juga

pada orang yang sama seiring dengan perkembangan penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8

menurun seiring dengan perkembangannya penyakit. Dengan semakin beratnya penyakit,

jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai hipotesis tentang penyebab penurunan

bertahap tersebut akan dibahas berikut ini(5) :

Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak terbantahkan.

Limfosit CD4+ mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya

produksi imunoglobulin dan pengaktivan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik

yang dihasilkan oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama berperan penting dalam

imunitas selular. Pada kondisi normal, limfosit CD4+ mengeluarkan interferon gama yang

menarik makrofag dan mengintensifkan reaksi imun terhadap antigen. Namun, apabila

limfosit CD4+ tidak berfungsi dengan benar maka produksi interferon gama akan menurun.

Page 32: CASE HIV

IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel plasma tetapi juga pertumbuhan dan

aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi-diri populasi limfosit CD4+.

Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui, namun

dapat diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis, anergi,

pembentukan sinsitium, dan lisis sel. Antibodi-dependent, complement-mediated cytotoxicity

(ADCC, sitotoksisitas yang dependen antibodi dan diperantarai oleh komplemen) mungkin

salah satu efek imun humoral yang membantu menyingkirkan limfosit CD4+ yang terinfeksi

oleh HIV. Antibodi terhadap dua glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel

seperti sel NK kemudian bertindak untuk  mematikan sel yang terinfeksi.

Apoptosis adalah salah satu dari beberapa teori yang diajukan untuk menjelaskan

berkurangnya secara mencolok limfosit CD4+ dalam darah sepanjang perjalanan penyakit

HIV. Banyak limfosit CD4+ tampaknya melakukan ‘bunuh diri’ saat dirangsang oleh suatu

bahan pengaktif atau oleh gangguan pada sinyal pengaktif (Gougeon, Montagnier, 1993). 

Limfosit CD4+ juga mungkin tidak mampu membelah diri sehingga timbul fenomena yang

disebut  anergi. Teori lain menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium. Pada 

pembentukan sinsitium terinfeksi berfusi dengan sel-sel yang terinfeksi “the bystander

effect” (“efek peluru nyasar”; Weiss,  1993) sehingga mengeliminasi banyak sel yang tidak

terinfeksi. Akhirnya, menurunnya jumlah limfosit CD4+ mungkin disebabkan oleh

terbentuknya virus-virus baru melalui proses pembentukan tunas; virus-virus tersebut

menyebabkan rupturnya membran limfosit CD4+, yang secara efektif mematikan sel tersebut.

Perkembangan klinis

AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum

yang dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi

Page 33: CASE HIV

penularan dan pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya,

homozigot dengan gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang

perlu diidentifikasi lebih lanjut. Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap

seronegatif selama beberapa bulan. Namun, pasien ini bersifat menular selama periode ini

dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase ini disebut “window period” (“masa

jendela”). Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai 4

minggu setelah pajanan.

Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif.

Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis infeksiosa

yang berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare,

limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut,

seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar

tinggi di darah perifer. Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di

bawah kadar semula untuk pasien yang bersangkutan.

Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik.

Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal. Namun,

kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini,

baik virus maupun antibodi virus ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya,

replikasi virus berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam

periode laten walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten(5).

Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya telah

turun di bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan

gejala ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC

telah mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini

Page 34: CASE HIV

HIV masuk ke tubuh

Oleh APC ke KGB regional

Virus bereplikasi di KGB

Viremia terdeteksi 1-3 minggu setelah infeksi

Terjadi pembentukan Ab, ditandai dengan viremia menurun

Replikasi dalam keadaan‘steady state’

GEJALA INFEKSI HIV AKUT- Demam- Ruam-

Pembesaran

KGB

- Nyeri Menelan- Batuk- Diare

Page 35: CASE HIV

Manifestasi klinis

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain

tumor dan infeksi oportunistik :

1. Manifestadi tumor diantaranya;

a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi

kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi

pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.

b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan

kurang lebih 1 tahun.

2. Manifestasi Oportunistik diantaranya

2.1. Manifestasi pada Paru-paru

2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)

Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-

paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan

demam.

2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)

Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi

dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada

30% penderita AIDS.

2.1.3. Mycobacterium Avilum

Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit

disembuhkan.

2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis

Page 36: CASE HIV

Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar

ke organ lain diluar paru.

2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal

Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.

3. Manifestasi Neurologis

Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada

fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia,

mielopati dan neuropari perifer.

Diagnosis HIV

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan

pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis,

diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien

memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya.

Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik

riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).

Faktor risiko infeksi HIV

- Penjaja seks laki-laki atau perempuan

- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)

- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Page 37: CASE HIV

Daftar tilik riwayat pasien

Seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan tes HIV positif dengan

strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor yang

berkaitan dengan 1 gejala minor, dan gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-

keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV, atau ditemukan sarcoma Kaposi atau

pneumonia yang mengancam jiwa yang berulang(5).

Gejala Mayor :

1. Berat badan turun lebih dari 10 % dalam 1 bulan

2. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan

3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bukan

4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi

5. Demensia / ensefalopati HIV

Gejala Minor :

Page 38: CASE HIV

1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan

2. Dermatitis generalisata yang gatal

3. Herpes Zooster berulang

4. Kandidiosis Orofaring

5. Herpes Simpleks kronis progresif

6. Limfadenopati generalisata

7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

Pemeriksaan fisik

Page 39: CASE HIV

Pemeriksaan khusus untuk HIV :

1. Tes Antibody HIV

Tes ini berfungsi untuk mendeteksi antibody terhadap HIV. Tes ini dapat dilakukan

dengan menggunakan tiga cara, yaitu ELISA (Enzyme Link Immunobinding Assay),

Aglutinasi, dan juga dot blot. Bahan yang digunakan adalah serum, cairan plasma,

darah, dan juga liur. Metode yang paling sering digunakan adalah ELISA. Tetapi ada

Page 40: CASE HIV

beberapa hal yang harus diperhatikan bila menggunakan tes Ab ini, karena pada

infeksi HIV, terdapat masa jendela atau window period. Masa jendela adalah keadaan

dimana jumlah Ab yang terbentuk belum cukup untuk dapat terdeteksi di dalam

darah, padahal virus telah masuk di dalam tubuh, oleh karena itu hasilnya akan

menunjukkan negatif, Biasanya antibody dapat terdeteksi kurang lebih 4-8 minggu

setelah infeksi. Apabila tingkat kecuringaan terhadap pasien tinggi, tes ini harus

diulang 3 bulan lagi. (5)

2. Deteksi Antigen

Deteksi antigen ini dapat berfungsi untuk :

Deteksi dini pada neonatus ( 18 bulan )

Untuk pasien dengan seronegatif tetapi dengan riwayat terpapar terhadap HIV

Deteksi Antigen hanya dapat dilakukan dan terdeteksi saat pasien :

Jumlah Ag > Ab : pada stadium dini

Page 41: CASE HIV

: pada stadium lanjut dimana Ab tidak terbentuk lagi.

Penilaian Klinis

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi

penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan

HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang

membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik,

serta mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi

pemilihan terapi.

Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I

(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit

berat atau AIDS), dalam tabel 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4,

stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi

oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.

Penilaian Imunologi

Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status

imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan

pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun

yang penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak

boleh menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan

sebagai pemantau respon terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte

Count – TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia

namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar

menentukan kegagalan terapi ARV.

Tabel 9. Stadium klinis HIV

Page 42: CASE HIV

Stadium 1 Asimptomatik

Tidak ada penurunan berat badan

Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan

Penurunan BB 5-10%

ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis

Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)

Ulkus mulut berulang

Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)

Dermatitis seboroik

Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang

Penurunan berat badan > 10%

Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan

Kandidosis oral atau vaginal

Oral hairy leukoplakia

TB Paru dalam 1 tahun terakhir

Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)

TB limfadenopati

Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut

Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis

(<50.000/ml)

Page 43: CASE HIV

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)

Sindroma wasting HIV

Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang

Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.

Kandidosis esophageal

TB Extraparu*

Sarkoma kaposi

Retinitis CMV*

Abses otak Toksoplasmosis*

Encefalopati HIV

Meningitis Kriptokokus*

Infeksi mikobakteria non-TB meluas

\

PENATALAKSANAAN

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun

data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan

dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan

morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).

b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai

infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma

kaposi, limfoma, kanker serviks.

Page 44: CASE HIV

c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik

dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan

agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan

pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup

lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV)

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S dkk,2002):

Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,

zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan

nevirapin

Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

Page 45: CASE HIV

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat

antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi

penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang

tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada

dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang

tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI,

2007)

Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus

memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama,

setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul

No Nama Golongan Fungsi

1 NRTI (nucleoside reverse-

transcriptase inhibitor )

penghambat kuat enzim reversetranscriptase

dari RNA menjadi DNA yang terjadi sebelum

penggabungan DNA virus dengan kromosom sel

inang.

2 NNRTI (non-nucleoside

reverse-transcriptase

inhibitor (NNRTI)

menghambat aktivitas enzim reverse-

transcriptase dengan mengikat secara langsung

tempat yang aktif pada enzim tanpa aktivasi

sebelumnya.

3 PI (Protease Inhibitor ) menghambat enzim protease HIV yang

dibutuhkan untuk memecah prekursor poliprotein

virus dan membangkitkan fungsi protein virus.

Page 46: CASE HIV

gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti

pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)

Terapi pada ODHA dewasa

Stadium

KlinisBila tersedia pemeriksaan CD4

Jika tidak tersedia

pemeriksaan CD4

1

Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200

Terapi ARV tidak diberikan

2Bila jumlah total limfosit

<1200

3

Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan

terapi sebelum CD4 <200/mm3.

Pada kehamilan atau TB:

Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil

dengan CD4 350

Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan

CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi

bakterial berat

Terapi ARV dimulai tanpa

memandang jumlah limfosit

total

4Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah

CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB

paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang

menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam

berkepanjangan)(6).

Page 47: CASE HIV

2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum

dapat ditentukan.

3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4

tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau

III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada

pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat

ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV

adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit

akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila

terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi

ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum

untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui,

dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun

imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat

dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 /

mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada

pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja

dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral

load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)

Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang

aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.

Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain

perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan

sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia

Page 48: CASE HIV

terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV

2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek

samping obat dan juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau

IRIS.

Panduan Kombinasi Obat ARV

Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang

dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau

HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV

menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan

manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2

NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT,

lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin

(NVP) dan efavirenz (EFZ).

Terapi ARV

Page 49: CASE HIV

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC +

NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan

anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC +

NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik

d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ

dapat digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada

perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan Pemilihan ARV golongan NRTI

tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat.

Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan:

Pilihan obat ARV golongan NR

Page 50: CASE HIV
Page 51: CASE HIV

Tabel 13 : Kombinasi ARV

PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada

awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber

dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama

(bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan

CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan

intoleransi NNRTI.

Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)

Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama

terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau mati)

dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon imun terhadap

Page 52: CASE HIV

antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya

10% dari seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV

dengan CD4 <50 / mm3. Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada

tabel 14.

Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS

Page 53: CASE HIV

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill

4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.

5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2014 10 Sept]. Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id

6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009

8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007

9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary. Geneva. 2010.

10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2014 10 Sept]; Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040