Case Epilepsi Neuro
-
Upload
prathita-amanda -
Category
Documents
-
view
241 -
download
0
description
Transcript of Case Epilepsi Neuro
BAB I
IDENTITAS PASIEN
1. IDENTITAS PASIEN
No Rekam Medis : 782486
Nama : Tn. J.P
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 43 tahun
Agama : Islam
Status Marital : Menikah
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Rawa Badung RT 06-13 Jatinegara Jakarta Timur
Tanggal Masuk RS : 27 November 2015
Tanggal Pemeriksaan : 29 November 2014
Ruang Perawatan : Ruang I Kelas III Nuri
2. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis (keluarga pasien) pada tanggal 27
November 2015
A. KELUHAN UTAMA
Kejang sebanyak 3x dirumah 1 jam SMRS masing masing selama 5-10 menit, kejang di
awali dengan rasa kesemutan pada tangan kanan, mata menoleh ke atas, keluar busa dari
mulut (+), riwayat kejang sebelumnya (+).
B. KELUHAN TAMBAHAN
Pusing
Mual
Muntah
1
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke RS Polri dengan keluhan kejang sebanyak 3 kali dirumah pasien 1 jam
SMRS selama <10 menit, kejang di awali dengan rasa kesemutan pada tangan kanan,
mata melirik ketas, dan keluar busa dari mulut pasien,
Riwayat hipertensi diakui
Riwayat gastritis diakui
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
D. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Riwayat hipertensi dalam keluarga ada, yaitu bapak pasien.
Riwayat sakit jantung dalam keluarga ada, yaitu bapak pasien.
Riwayat penyakit diabetes mellitus dalam keluarga pasien tidak diketahui.
E. RIWAYAT PENGOBATAN DAN ALERGI
Asma (-)
F. RIWAYAT KEBIASAAN
Pasien sehari merokok satu bungkus setiap harinya
Tidak minum minuman keras
Pasien jarang berolahraga
Pasien sering makan makanan berminyak seperti gorengan, jeroan, makanan asin
dan makanan yang mengandung santan.
3. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 29 November 2015
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital : GCS = E4 M 6 V 5
Tekanan darah : 130/80 mmHg
2
Pernapasan : 22x/menit
Nadi : 86x/menit
Suhu : 37°C
A. STATUS GENERALIS
Kepala :
Normocephal, distribusi rambut merata, tidak ada tanda trauma.
Mata :
Mata simetris, pupil: 3mm/3mm, isokor. Sklera ikterik -/-. Konjungtiva anemis -/-
Hidung :
Bentuk hidung normal, tidak ada deviasi septum, sekret -/-
Mulut :
Tidak terdapat deviasi pada mulut, mukosa rongga mulut merah tanpa massa,
leukoplakia atau lesi lain.
Telinga :
Bentuk simetris, aurikula normal, membrane tipani intak, serumen -/-, hiperemis -/-
Leher :
Trakea di tengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), tidak teraba adanya pembesaran
kelenjar getah bening.
Thoraks :
Inspeksi ; simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : fremitus normal kanan-kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi :
- Cor : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
- Pulmo : Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : supel, datar, caput medusa (-)
Auskultasi : bising usus (+), 5x/menit
Perkusi : timpani di 9 regio abdomen
3
Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), tidak teraba massa, hepar dan spleen
tidak teraba
Ekskremitas :
Akral hangat dan bentuk normal. Tidak terdapat deformitas, sianosis, bekas luka
maupun benjolan. CRT < 2 detik.
B. STATUS NEUROLOGIS
Pemeriksaan Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Kernig sign : (-)
Laseque sign : (-)
Nervus Cranialis
N. I (N. Olfaktorius)
o N.D : baik, dapat mencium bau teh
o N.S : baik, dapat mencium bau teh
N.II (N. Optikus)
o O.D : Visus normal ≥ 1/60
Lapang pandang normal
Refleks cahaya langsung +/+
Refleks cahaya tidak langsung +/+
o O.S : Visus normal ≥ 1/60
Lapang pandang normal
Refleks cahaya langsung +/+
Refleks cahaya tidak langsung +/+
N.III (N. Okulomotor) / N.IV (N. Trochlear) / N.VI (N. Abducens):
Pupil : 3mm/3mm, isokor
Refleks cahaya langsung +/+
Refleks cahaya tidak langsung +/+
4
Gerakan bola mata kanan normal ke segala arah.
Gerakan bola mata kanan normal ke segala arah.
Ptosis -/-
Strabismus (-)
Nistagmus (-)
N.V (N. Trigeminal)
Sensorik
V1, V2, V3 dextra : normal
VI, V2, V3 sinistra : normal
Motorik
Mengigit : baik, tidak ditemukan parese pada otot pengunyah
Membuka rahang : baik, mulut tidak deviasi.
N.VII (N. Fasialis)
Sensorik : Pengecapan 2/3 anterior lidah tidak dilakukan
Motorik :
o Mengernyitkan dahi : normal
o Mengernyitkan alis : normal
o Memejamkan mata : normal
o Meringis : normal
o Menggembungkan pipi : normal
o Mencucu : normal
o Plika nasolabialis : dextra dan sinistra simetris
N.VIII (N. Vestibulokoklear)
Gesekan jari:
AD: bisa dilakukan
AS: bisa dilakukan
Garpu tala:
Rinne : tidak dilakukan
Weber : tidak dilakukan
Schawabah : tidak dilakukan
Romberg : tidak dapat dilakukan
5
N.IX (N. Glossopharingeal)
Sensorik : tidak dilakukan
Pengecapan 1/3 posterior : tidak dilakukan
Motorik : refleks menelan baik
N.X (N. Vagus)
Arcus faring : normal
Letak uvula : normal
N.XI (N. Accesorius)
Mengangkat bahu : normal
Memalingkan kepala : normal
Kekuatan otot aksesorius : normal
N.XII (N. Hippoglossal)
Deviasi lidah : tidak terdapat deviasi
Atrofi/fasikulasi/tremor lidah : (-)/(-)/(-)
Artikulasi : baik
Pemeriksaan Motorik
Kekuatan otot
Eks. Atas : 5555 5555
Eks. Bawah : 5555 5555
Tonus
Eks. Atas : normotonus/normotonus
Eks. Bawah : normotonus/normotonus
Klonus
Patella : TAK
Achilles : TAK
6
Trofi
Eks. Atas : eutrophy/eutrophy
Eks. Bawah : eutrophy/eutrophy
Refleks fisiologis :
Biceps : +2
Triceps : +2
Patella : +2
Achilles : +2
Refleks patologis :
Hoffman-Tromner : (-)
Babinski : (-)
Chaddok : (-)
Schaefer : (-)
Gordon : (-)
Oppenheim : (-)
Pemeriksaan Sensorik
Ekskremitas atas
Rangsang Raba : Simetris kanan-kiri
7
Rangsang Nyeri : Simetris kanan-kiri
Rangsang Suhu : Tidak dilakukan
Rangsang Getar : Tidak dilakukan
Proprioseptif : Normal
Ekskremitas Bawah
Rangsang Raba : Simetris kanan-kiri
Rangsang Nyeri : Simetris kanan-kiri
Rangsang Suhu : Tidak dilakukan
Rangsang Getar : Tidak dilakukan
Proprioseptif : Normal
Pemeriksaan Sistem Saraf Otonom
BAB : Normal
BAK : Normal
Berkeringat : Normal
Pemeriksaan Fungsi Luhur
Memori : Baik
Kognitif : Baik
Visuospatial : Baik
Pemeriksaan Koordinasi
Disdiakokinesia : Normal
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
8
a. Laboratorium
25 November 2015
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9,3 gr/dL 13-16 gr/Dl
Leukosit 11.100/uL 5000-10.000/uL
Hematokrit 24% 40-48%
Trombosit 267.000/uL 150.000-400.000/uL
KIMIA KLINIK
Glukosa Glukometer 224
25 November 2015
Pemeriksaan Hasil Normal
Natrium 121 135-145 mmol/l
Kalium 2,3 3.8-5.0 mmol/l
Chlorida 81 98-106 mmol/l
27 November 2015
Pemeriksaan Hasil Normal
Natrium 125 135-145 mmol/l
Kalium 2,4 3.8-5.0 mmol/l
Chlorida 85 98-106 mmol/l
9
Pemeriksaan Hasil Normal
Cholesterol total 154 <200 mg/dl
Trigliserida 110 <200 mg/dl
Asam Urat 7.2 3.4 – 7.0 mg/dl
5. DIAGNOSIS
Neurologi
- Dx. Klinis : Epilepsi parsial sederhana
- Dx. Etiologi : epilepsi ad causa hipokalemia
6. DIAGNOSIS BANDING
Pseudoepilepsi
7. TERAPI
- Inj. Rantin 2x1
- As. Folat tab
- IUFD RL 20 tpm
- Aspar K oral 3x1
- Phenitoin 3x100 mg
- Clobazam 1x10mg
- CBZ 1x1/2 tab
8. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
10
1. FOLLOW UP HARIAN
28 November 2015
S:
Lemah masih terasa di tubuh
Tubuh terasa berat
Penglihatan terkadang berbayang
Kepala pusing (-), mual (-)
O:
KU : tampak sakit ringan
KS : compos mentis
GCS : E4 M 6 V 5
TTV : TD : 130/80 mmHg
S : 36,6°C
RR : 20x/menit
N : 82x/menit
Status Generalis : Dalam batas normal
R. Meningeal : (-)
Motorik : Kekuatan otot : Eks. Atas 5555 | 5555
Eks. Bawah 5555 | 5555
Tonus : Eks. Atas (N)
Eks. Bawah (N)
Klonus : TAK
R. Fisiologis : Eks. Atas +2 | +2
Eks. Bawah +2 | +2
R. Patologis :
Hoffman-Tromner : -/-
Babinski : -/-
Chaddok : -/-
Schaefer : -/-
Gordon : -/-
11
Oppenheim : -/-
Sensorik : Eks. Atas : normoestesi/normoestesi
Eks. Bawah : normoestesi/normoestesi
A:
- Dx. Klinis : Partial Seizure dd Pseudoseizure
P:
Medikamentosa
- EEG
- Phenitoin 2x100mg PO
- Clobazam 1x10 PO
12
29 November 2015
S:
Pusing
Kejang (-)
Badan terasa lemas
O:
KU : tampak baik
KS : compos mentis
GCS : E4 M 6 V 5
TTV : TD : 130/175 mmHg
S : 36°C
RR : 20x/menit
N : 80x/menit
Status Generalis : Dalam batas normal
R. Meningeal : (-)
Motorik : Kekuatan otot : Eks. Atas 5555 | 5555
Eks. Bawah 5555 | 5555
Tonus : Eks. Atas (N)
Eks. Bawah (N)
Klonus : TAK
R. Fisiologis : Eks. Atas +2
Eks. Bawah +2
R. Patologis :
Hoffman-Tromner : -/-
Babinski : -/-
Chaddok : -/-
Schaefer : -/-
Gordon : -/-
Oppenheim : -/-
Sensorik : Eks. Atas : normoestesi/normoestesi
13
Eks. Bawah : normoestesi/normoestesi
A:
- Dx. Klinis : Partial Seizure dd Pseudoseizure
P:
Medikamentosa
- Cek EEG
- Saline test
- CBZ 1x1/2 PO
- Clobazam 1x10 mg
- Fenitoin diturunkan 2x100 mg PO
14
30 November 2014
S:
Kejang di pagi hari saat bangun jam 4 pagi
Pusing
O:
KU : tampak baik
KS : compos mentis
GCS : E4 M 6 V 5
TTV : TD : 130/65 mmHg
S : 36°C
RR : 20x/menit
N : 96x/menit
Status Generalis : Dalam batas normal
R. Meningeal : (-)
Motorik : Kekuatan otot : Eks. Atas 5555/5555
Eks. Bawah 5555/5555
Tonus : Eks. Atas (N)
Eks. Bawah (N)
Klonus : TAK
R. Fisiologis : Eks. Atas +2 | +2
Eks. Bawah +2 | +2
R. Patologis :
Hoffman-Tromner : -/-
Babinski : -/-
Chaddok : -/-
Schaefer : -/-
Gordon : -/-
Oppenheim : -/-
Sensorik : Eks. Atas : normoestesi/normoestesi
15
Eks. Bawah : normoestesi/normoestesi
A:
- Dx. Klinis : Partial Seizure dd Pseudo Seizure
-
P:
Medikamentosa :
Clobazam 1x 10 mg
CBZ 1x ½ tablet
Fenitoin 2 x 100mg
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)
berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten yang disebabkan
oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, didasari
oleh berbagai faktor etiologi.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik dari bangkitan serupa
(stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak , bukan disebabkan
oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi secara
bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset), jenis bangkitan, faktor
pencetus, dan kronisitas.
II.2. EPIDEMIOLOGI
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir
sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara berkembang.
Penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita wanita, dan lebih sering dijumpai pada anak
pertama.
Dari banyak studi menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000
penduduk, sedengkan angka insidensi epilepsi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Bila jumlah
penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah pasien epilepsi yang masih
mengalami bangkitan atau membutuhkan pengobatan sekitar 1,8 juta. Berkaitan dengan umur,
grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-
anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada
kelompok usia lanjut.
II.3. ETIOLOGI
17
Tiap kelainan yang mengganggu fungsi otak dapat membangkitkan bangkitan epilepsi
atau bangkitan kejang, tetapi untuk terjadi bangkitan epilepsi dibutuhkan beberapa faktor yang
berperan bersama-sama. Beberapa faktor bertindak serempak dalam mencetuskan bangkitan
epilepsi pada individu yang peka.
Etiologi epilepsi dibagi menjadi tiga, yaitu idiopatik, kriptogenik dan simptomatik.
Idiopatik, penyebabnya tidak diketahui dan biasanya pasien tidak menunjukkan manifestasi cacat
otak dan juga tidak bodoh. Sebagian dari jenis idiopatik disebabkan oleh abnormalitas
konstitusional dari fisiologi serebral yang disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik.
Gangguan fisiologis ini melibatkan stabilitas sistim talamik-intralaminar dari substansia kelabu
basal dan mencakup Reticular Activating System dalam sinkronisasi lepas muatan sebagai
akibatnya dapat terjadi gangguan kesadaran yang berlangsung singkat atau lebih lama dan
disertai kontraksi otot tonik klonik. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi
idiopatik.
Kriptogenik, dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk disini adalah sindroma West, sindroma Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinik sesuia dengan ensefalopati difus.
Simptomatik dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan intrakranial
atau ekstrakranial. Penyebab intrakranial misalnya anomali kongenital, trauma otak, neoplasma
otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak, jaringan parut. Penyebab ekstrakranial misalnya
gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia,
uremia), gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan hidrasi (dehidrasi).
Jaringan patologis seperti jaringan tumor bukanlah epileptogenik namun sel neuron disekitarnya
yang menjadi terganggu fungsi dan metabolismenya dapat merupakan fokus epileptik, jejas otak
oleh trauma lahir dan defek perkembangan dapat disertai epilepsi, pada usia lanjut tumor otak,
penyakit degeneratif, dan kelainan pembuluh darah merupakan penyebab tersering.
II.4. FAKTOR PENCETUS
Ada berbagai pencetus terjadinya serangan pada penyandang epilepsi. Pada penyandang
epilepsi ambang rangsang serangan/kejang menurun pada berbagai keadaan sehingga timbul
serangan.
Faktor-faktor pencetus dapat berupa:
18
1.Faktor Sensoris
a.Cahaya yang berkedip-kedip
b.Bunyi-bunyi yang mengejutkan
c.Air panas
2.Faktor Sistemik
a.Demam
b.Penyakit infeksi
c.Obat-obatan tertentu
d.Hipoglikemi
e.Makan tidak teratur
f.Kelelahan fisik
3.Faktor Mental
a.Stress
Fotosensitif
Ada sebagian kecil penyandang epilepsi yang sensitif terhadap kerlipan/kilatan sinar (flashing
lights) pada kisaran antara 10-15 Hz, seperti diskotik, pada pesawat TV yang dapat merupakan
pencetus serangan. Dalam hal ini hindarilah pergi ke diskotik dan bila menonton pesawat TV
harus ada jarak yang cukup jauh, pada sudut tertentu dari pesawat dan ruangan yang cukup
terang.
Infeksi
Infeksi biasanya disertai dengan demam. Dan demam inilah yang merupakan pencetus
serangan karena demam dapat mencetuskan terjadinya perubahan kimiawi dalam otak, sehingga
mengaktifkan sel-sel otak yang menimbulkan serangan. Faktor pencetus ini nyata pada anak-
anak.
Obat-obatan Tertentu
Beberapa obat dapat menimbulkan serangan seperti penggunaan obat-obat antidepresan
trisiklik, obat tidur (sedatif) atau fenotiazin. Menghentikan obat-obat penenang/sedatif secara
mendadak seperti barbiturat dan valium dapat mencetuskan kejang.
19
Alkohol
Alkohol dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinya serangan. Biasanya
peminum alkohol mengalami pula kurang tidur sehingga memperburuk keadaannya. Penghentian
minum alkohol secara mendadak dapat menimbulkan serangan.
Perubahan Hormonal
Pada masa haid dapat terjadi perubahan siklus hormon (berupa peningkatan kadar
estrogen) dan stress, dan hal ini diduga merupakan pencetus terjadinya serangan. Demikian pula
pada kehamilan terjadi perubahan siklus hormonal yang dapat mencetuskan serangan.
Kurang Tidur
Kurang tidur dapat mengganggu aktivitas dari sel-sel otak sehinggadapat mencetuskan
serangan.
Stress Emosional
Stress dapat meningkatkan frekuensi serangan. Peningkatan dosis obat bukanlah
merupakan pemecahan masalah, karena dapat menimbulkan efek samping obat. Penyandang
epilepsi perlu belajar menghadapi stress. Stress fisik yang berat juga dapat menimbulkan
serangan.
Setiap orang mempunyai ambang rangsang tertentu, yang sebagian besar ditentukan oleh
faktor keturunan. Artinya ialah bila ada sejumlah orang diberikan rangsang kejang yang
sama,hanya satu dua orang mengalami rangsangan, sedangkan sebagian lain tidak. Mereka yang
tidak mengalami serangan karena mempunyai ambang rangsang serangan yang cukup tinggi.
Ambang rangsang serangan ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor non-spesifik seperti tidak
tidur untuk jangka waktu yang lama, atau terlalu letih.
Stress Fisik
Stress fisik dapat menimbulkna hiperventilasi dimana terjadi peningkatan kadar CO2
dalam darah yang mengakibatkan terjadinya penciutan pembuluh darah otak yang dapat
merangsang terjadinya serangan epilepsi.
II.5. PATOFISIOLOGI
20
Dewasa ini sudah diketahui, bahwa dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi
membran neuron-neuron piramidal dan transmisi pada sinaps. Dapat dikatakan, bahwa
mekanisme serangan epilepsi ialah mekanisme fisiologik normal yang berlebihan.
Tiap sel yang hidup, termasuk neuron-neuron otak, mempunyai kegiatan listrik yang
disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada
permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang
ekstra ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat
konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi rendah ion Ca, Na dan Cl,sedangkan keadaan
sebaliknya terdapat di ruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion inilah yang menimbulkan
potensial membran. Biasanya membran sel dalam keadaan polarisasi yang dapat dipertahankan
oleh karena adanya suatu proses metabolisme aktif, “pompa sodium” yang mengeluarkan ion Na
dari dalam sel. Energi yang diperlukan untuk mendistribusi ion K dan Na serta mempertahankan
potensial membran diperoleh dari hasil proses metabolisme sel.
Dalam keadadan istirahat neuron mempunyai potensial listrik tertentu. Tiap neuron yang
aktif melepaskan muatan listriknya dan tergantung pada neuron-neuron otak mana yang
melepaskan muatan listriknya akan terjadi gerakan otot, rasa sesuatu atau timbul persa panca
indera. Dalam keadaan fisiologis neuron melepaskan muatan listriknya apabila potensial
membrannya diturunkan oleh potensial aksi yang tiba pada neuron tersebut. Potensial aksi itu
disalurkan melalui neurit asendens dan desendens yang bersinaps dengan dendrit-dendrit dan
badan sel neuron. Dendrit-dendrit dan neurit adalah bagian dari suatu neuron, sehingga membran
dendrit dan neurit adalah juga membran neuron.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan badan neuron-
neuron lain, membentuk sinaps dan melepaskan zat transmiter kimiawi yang melalui sela sinaps
dan merubah polarisasi membran neuron berikutnya. Zat kimiawi tersebut dikenal sebagai
neurotransmiter. Ada dua jenis neurotransmiter asam amino yang berperan, yakni
neurotransmiter eksitatorik yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan
neurotransmiter inhibitorik yang menimbulkan hiperpolarisasi, sehingga sel neuron menjadi
lebih stabil dan tidak mudah melepaskan muatan listrik. Diantara neurotransmiter-
neurotransmiter eksitasi dapat disebut glutamat dan aspartat, sedangkan neurotransmiter inhibisi
yang terkenal ialah gama-amino-butirik-asid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
neurotransmiter pada sinaps bersifat memudahkan, akan timbul lepas muatan listrik dan terjadi
21
transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik apabila
potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat membran neuron mempunyai potensial
listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Potensial aksi akan mencetuskan
depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan berlepas muatan listrik. Hasil pengaruh kedua
jenis neurotransmiter pada sinaps akan memungkinkan impuls diteruskan ke neuron berikutnya.
Segera setelah terjadi depolarisasi dalam waktu singkat sekali (2-5 msec) keadaan potensial
membran kembali seperti semula.
Berbagai faktor diantaranya keadaan patologik dan faktor genetik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron, sehingga mudah dilalui oleh ion Na dan Ca dari ruang
ekstra ke intraseluler. Dasar serangan epilepsi adalah depolarisasi berlebihan secara sinkron pada
sejumlah neuron piramidal dalam fokus epileptik. Potensial depolarisasi ini pada
elektroensefalogram dapat dilihat sebagai suatu gelombang tajam (spike), meskipun secara klinis
tidak terjadi serangan (EEG interictal).
Potensial depolarisasi yang mendasari serangan epilepsi ini disebut penggeseran
depolarisasi (depolarizing shift atau DS). Setelah DS biasanya terjadi hiperpolarisasi hebat dan
berlangsung lama (post-DS HP), sehingga neuron-neuron secara bergantian terpacu pada waktu
DS dan mengalami inhibisi selama post-DS HP. DS mencerminkan kombinasi arus-arus
depolarisasi yang tergantungpada voltase (arus yang disebabkan oleh terbukanya saluran-saluran
di membran bila sel-sel mengalami depolarisasi, yakni arus Na dan Ca) dan arus-arus pada
sinaps akibat pengaruh neuro-transmiter eksitorik.
Influks Na dan Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran, sehingga terjadi
lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan tidak terkendali. Pada sinaps-sinaps
neurotransmiter-neurotransmiter eksitatorik memacu saluran-saluran yang dapat menimbulkan
depolarisasi. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron
merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Sinkronisasi neuron-neuron terjadi karena beberapa
mekanisme, diantaranya peningkatan lingkaran-lingkaran (sirkuit) eksitatorik lokal sebagai
akibat reorganisasi lingkaran sinaptik secara menahun setelah terjadi suatu lesi atau secara
akutpeningkatan kekuatan sinaps-sinaps eksitatorik yang dihasilkan oleh aktivitas berfrekuensi
tinggi neuron-neuron. Peningkatan kekuatan sinaps eksitatorik dapat disebabkan oleh pengerahan
reseptor N,methyl-D-asprtat (NMDA) yang diaktifkan oleh glutamat atau aspartat. Kompleks
reseptor/ saluran ini selama tranmisi sinaps normal relatif tidak aktif, karena dibendung oleh
22
magnesiuam. Namun bila neuron-neuron mengalami depalarisasi bendungan magnesium
menjadi kurang efektif dan makin banyak saluran untuk depolarisasi akan diaktifkan. Mekanisme
tersebut di atas sebenarnya terdapat pada neuron-neuron normal dalam korteks, namun aktivasi
yang berlebihan dapat dikendalikan oleh mekanisme inhibisi yang kuat.
Neuron-neuron juga dapat bersinkronisasi karena adnya arus-arus besar yang mengalir di
ruang ekstraseluler sekitar dendrit-dendritnya, adanya perubahan lingkungan ekstraseluler
selama kegiatan berlebihan (kadar K ekstraseluler meningkat dan Ca ekstraseluler menurun) dan
karena adnya perangkai listrik.
Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa setelah berapa saat, serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar
sarang epileptik, selain itu jugasistem-sistem inhibisi pre- dan post-sinaptik yang menjamin agar
neuron-neuron tidak terusmenerus berlepas muatan ikut berperan.
Hiperpolarisasi yang terjadi setelah DS (pada EEG terlihat sebagai gelombang lambat
dalam kompleks spike-wive) disebabkan oleh beberapa mekanisme. Misalnya inhibisi pada
sinaps yang disebabkan oleh GABA, interneuron-interneuron inhibisi yang diaktifkan karena
lepas muatan sel-sel piramid dan melakukan inhibisi pada neuron-neuron dalam fokus epileptik
dan sekitarnya.selain itu arus-arus yang menyebabkan hiperpolarisasi (kebanyakan arus K)
diaktifkan selama DS influks Ca selam DS dapat mengaktifkan arus-arus yang dibangkitkan oleh
saluran-saluran ion (K dan CL ion) apabila konsentrasi Ca intraseluler mencapai tingkat tertentu.
Keadaan lain yang menyebabkan suatu serangan terhenti, ialahkelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak, diantaranya oksigen, ATP, kreatin fosfat
dan neurotransmiter serta tertimbunnya zat-zat yang dapat menyebabkan inhibisi seperti CO2,
sisa-sisa metabolisme dan zat asam amino.
Penyebaran Lepas Muatan Epileptik
Lepas muatan listrik epileptik dapat tetap bersifat lokal dan tidak menimbulkan gejala
klinikwalaupun mungkin pada EEG terlihat gelombang runcing atau lambat fokal. Lepas muatan
listrik epileptik dapat menjalar ke bagian-bagian lain otak dan menimbulkan serangan yang
sifatnya tergantung pada fungsi daerah otak yang tersangkut. Lepas muatan listrik dapat
langsung menyebar ke neuron-neuron sekitar fokus epileptogen dan berangsur-angsur
melibatkan makin banyak neuron seperti misalnya pada serangan motorik jackson atau dapat
23
menjalar ke neuro-neuron daerah lain otak yang berhubungan dengan fokus tersebut melalui
akson neuron-neuron. Penjalaran ini dapat berlangsung melalui beberapa jalur. Misalnya fokus di
korteks serebri dapat menjalarkan lepas muatan listriknya melalui serabut-serabut asosiasi
kortikal pendek ke daerah korteks lain di hemisfer yang sama, kemungkinan lain ialah penjalaran
ke hemisfer kontralateral melalui serabut-serabut transkalosal dan serabut-serabt interhemisfer
atau subkortikal lain, sehingga tercipta suatu fokus cermin. Lepas muatan listrik apileptik yang
terbatas pada daerah korteks tertentu dapat menimbulkan serangan fokal. Gambaran klinik
serangan fokal tergantung pada daerah korteks yang terlibat, sehingga dapat dijumpai berbagai
jenis serangan, misalnya yang bersifat motorik , sensorik dan parsial kompleks. Lepas muatan
epileptik dapat juga menjalar melalui serabut-serabut kortikofugal ke formasioretikularis di
batang otak, yakni ke inti-inti intralaminares talamus dan mesensefalon. Inti-inti intralaminares
talamus dengan demikian dapat digalakkan oleh lepas muatan listrik epileptik sekelompok
neuron kortikal, sehingga pada gilirannya melepaskan muatan listriknya secara berlebihan serta
tidak teratur dan merangsang seluruh neuron otak melalui serabut-serabut yang menuju ke
korteks kedua hemisfer. Hal ini menjelaskan bagaimana serangan epilepsi yang pada permulaan
bersifat lokal dapat menjadi serangan umum kejang tonik klonik. Inti-inti intralaminares talamus
merupakan pusat lintasan aferen aspesifik yang memberi masukan ke korteks serebri dan
menentukan derajat kesadaran. Terputusnya pengiriman impuls aspesifik ke seluruh korteks
serebri akibat lepasan muatan listrik berlebihan dan tidak terkendali neuron-neuron di talamus
menyebabkan hilangnya kesadaran.
Serangan epilepsi yang dari permulaan bersifat umum tanpa ada pencetusan fokal disebut
epilepsi umum primer atau kriptogenik. Pada epilepsi jenis ini tidak diketahui etiologinya dan
diduga ada faktor genetik. Serangan epilepsi umum primer bersifat serangan kejang umum tonik
klonik, serangan lena atau “absens” dan serangan miokloni. Diduga pada serangan umum primer
yang pertama melepaskan muatan listrik abnormal ialah inti-inti intralaminares talamus,
sehingga pada permulaan serangan sudah terdapat kehilangan kesadaran.
Fokus Epileptogen
Sebagai telah dikemukakan gangguan lepas muatan listrik atau sifat mudah terangsang
neuron-neuron di korteks serebri dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Salah satu keadaan
ialah berkembangnya salah satu daerah otak yang mengalami cedera menjadi suatu fokus
24
epileptogen dalam waktu tertentu. Rupanya kerusakan jaringan pada daerah tersebut
menimbulkan reaksi dari neuron-neuron yang masih utuh berupa tumbhnya serabut-
serabutkolateral dari akson-aksonnya yang kemudian membentuk sinaps-sinaps menggantikan
sinaps-sinaps yang rusak. Sinaps-sinaps baru ini mudah terpacu, sehingga menambah hubungan-
hubungan antar neuron yang eksitatorik. Terjadi juga perubahan pada reseptor-reseptor NMDA
sehingga mudah diaktifkan. Selain itu interneuron-interneuron inhibisi rentan terhadap hipoksi
atau cedera, sehingga inhibisi akan berkurang. Keadaan tersebut dapat dijumpai di daerah lobus
temporalis berupa sklerosis hipokampus pada epilepsi parsial kompleks (epilepsi lobus
temporalis).
II.6. KLASIFIKASI
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 terdiri dari:
1.Bangkitan Parsial
1.1 Bangkitan parsial sederhana
a) Motorik
b) Sensorik
c) Otonom
d) Psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks
a) Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
b) Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
a) Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik
b) Parsial komplek menjadi umum tonik klonik
c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum tonik klonik
2. Bangkitan Umum
2.1 Lena (absence)
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
25
2.6 Atonik
3. Tak Tergolongkan
II.7. MANIFESTASI KLINIS
1. Epilepsi Parsial (Fokal)
Epilepsi parsial adalah serangan epilepsi yang bangkit akibat lepas muatan listrik di suatu daerah
dikorteks serebri (terdapat suatu fokus di korteks serebri).
Dibagi menjadi 3 macam :
Epilepsi parsial sederhana (simpel)
Epilepsi parsial kompleks
Bangkitan umum sekunder
a) Epilepsi Parsial Sederhana (Simpel)
Manifestasinya bervariasi tergantung dari susunan saraf pusat yang terkena, bisa
dengan gejala motorik, sensorik, autonom ataupunpsikis, dapat memprediksi
kemungkinan lokasi anatomik tetapi yang sering pada lobus frontalis dan temporalis,
merupakan penyakit serebral fokal, dapat mengenai berbagai umur, tidak terjadi
penurunan kesadaran.
Epilepsiparsial sederhana dengan gejala motorik
Fokus epileptik biasanya terdapat di girus presentralis lobus frontalis (pusat
motorik). Kejang mulai di daerah yang mempunyai reprensetasi yang luas di
daerah ini. Dimulai dari ibu jari, meluas ke seluruh tangan,lengan, muka, dan
tungkai. Kadang-kadang berhenti pada satu sisi. Tetapi bila rangsangan sangat
kuat, dapat meluas ke lengan atau tungkai yang lain, sehingga menjadi kejang
umum. Disebut sebagai jackson motorik epilepsi.
Epilepsi parsial sederhana dengan gejala sensorik
26
Fokus epileptik terdapat digirus postsentralis lobus parietalis.penderita merasa
kesemutan di daerah ibu jari, lengan, muka dan tungkai, tanpakejang motoris,
yang dapat meluas ke sisi lain. Disebut sebagai jackson sensoric epilepsy.
Epilepsi parsial sederhana dengan gejala Autonom
Sering sebagai komponen generalized seizures atau partial complex seizures yang
berasal dari lobus Frontalis atau lobus Temporalis. Manifestasi klinisnya dapat
berupa : perubahan warna kulit, perubahan tensi darah, perubahan denyut nadi,
perubahan ukuran pupil, berdirinya bulu roma.
Epilepsi parsial sederhana dengan gejala Psikis
Fokus dapat di lobus temporalis, frontalis atau parietalis. Lebih sering sebagai
aura pada complex partial seizures. Manifestasi klinisnya ada 6 macam :
Dysphasic symptom
Korteks area bicara, paling banyak di lobus frontal, temporal atauparietal.
Gejala – gejalanya :bicara terputus, bicara berkurang berat, postictal
dysphasia. Repetitive kata-kata pada komplexs partial seizures yang berasal
dari Hemisfere non dominant.
Dymsnestic symptom (Gangguan Memori)
Fokus terdapat di lobus temporalis. Adanya deja vu dan deja entendí (pernah
melihat atau mendengar), Jamais vu dan jamais entendu (belum pernah
melihat atau mendengar).
Cognitive symptoms
Focus terdapat di lobus temporalis. Mimpi, distorsi persepsi terhadap realita ~
depersonalisasi.
Affective symptoms
o Focus di lobus temporalis : Symptom psikik (paling sering), terutama:
rasa takut/ menyeramkan, diikuti manifestasi autonom (midriasis,
perubahan warna kulit, bulu roma berdiri), lari menghindar / mencari
27
bantuan, anak-anak mendatangi orang tuanya dengan wajah ketakutan,
marah dan irritabiliti, depressi, kegembiraan, perasaan erotic, tenang.
o Focus di lobus frontalis : tertawa tanpa kegembiraan.
Structured hallucination
Focus terdapat dilobus temporalis, parietal atau occipitalis
ILLUSI
Focus di lobus temporalis, parietalis atau occipitalis. Ukuran (Makropsia,
mikropsia), bentuk, berat, jarak, suara.
b) Epilepsi parsial kompleks
Fokus di lobus temporalis ± 60% dan di lobus frontalis ± 30%. Pada epilepsi parsial
kompleks terdapat3 komponen, yaitu : aura, penurunan kesadaran dan automatisms.
Epilepsi parsial kompleks disebut juga sebagai epilepsi psikomotor. Pada epilepsijenis
ini, meskipun terdapat gangguan kesadaran, penderita masih dapat melakukan gerakan –
gerakan otomatis. Penderita ini bila ditegur tidak menjawab. Umumnya penderita tidak
melakukan tindak kriminal atau menyerang orang lain, tetapi dapat agresif bila dihalangi
kemauanya. Setelah serangan berakhir penderita lupaapa yang telah dilakukanya
(amnesia). Bila epilepsi ini sudah lama timbul, maka dapat timbul afasia sensorik dan
hemianopsia oleh karena kelainan di lobus temporalis.pada rekaman EEG,akan terdapat
gambaran spike,kadang – kadang slow-wave di daerah temporal.
Aura : Identik dg parsial sederhana dengan bermacam manifestasi (psikis :
affective ~ rasa takut/menyeramkan). Biasanya timbul dalam beberapa detik,
jarang dalam menit, jam atau hari.
Gangguan kesadaran dapat terjadi dengan gangguan kesadaran sejak onset
atau onset parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran. Dapat berupa : absence
and motor arrest “The motionless stare”, pandangan kosong, kaku, posturing, mild
tonic jercking
28
Automatism
Gerakan involunter yang terjadi selama atau akibat seizures, dalam periode tidak
sadar. Paling sering, pada seizures lobus temporalis dan lobus frontalis.
Macam-macam Automatism
Oro-alimentary : mengunyah, menelan, mencucu, meludah
Mimicry : tertawa, marah, takut, heboh
Gestrual : mengetuk-ngetuk tangan, menggosok-gosok tangan, gerakan
menyuruh, mengatur/merapikan, membuka baju
Ambulatory Automatism : jalan berputar-putar, berlari
Verbal Automatisms : suara tak berarti, menderum/mendengung, bersiul,
mendengkur, kata yang diulang-ulang/kalimat
Responsive Automatism : bertujuan, merespon rangsang dari lingkungan
Violent Behavior : bengis, tidak pernah diingat, tidak pernah
direncanakan, tidak mahir, jarang dengan tujuan yang jelas
c) Bangkitan umum sekunder
Partial seizures sering sebagai aura yang terjadi beberapa detik, sebelum generalized
seizures. Biasanya dalam bentuk :
Parsial sederhana tonik-klonik umum.
Parsial kompleks tonik-klonik umum.
Parsial sederhana parsial kompleks tonik-klonik umum.
2. Epilepsi Umum (Generalized)
Pada kelompok ini, gambaran klinik dan atau perubahan EEG menunjukan bahwa dari awalnya
cetusan epileptik melibatkan kedua hemisfer dengan serentak dan tidak ada petunjuk adanya
suatu fokus epilepik di korteks serebri.
A. Epilepsi Grandmal (Tonic – Clonic Seizures)
Merupakan bentuk yang paling sering dijumpai. Sebagian penderita beberapa hari
sebelum serangan grandmal merasa tegang, cepat tersinggung, perubahan emosi, dll,
29
sebagai gejala – gejala prodormal. Aura tidak terdapat pada grandmal dan bila ada aura
berarti bukan grandmal murni, tetapi ada suatu focus. Jadi adanya aura menunjukan suatu
tanda fokal (fokal sign).
Serangan dimulai dengan fase tonik selama ± 30 detik, dilanjutkan dengan fase
klonik selama ± 60 detik, kemudian terjadi fase post iktal selama 15 -30 menit.
o Fase Tonik
Semua lengan dan tungkai ekstensi, penderita tampak mengejan sehingga
wajahnya merah. Kemudian penderita menahan nafas (apnea) selama ± 30 detik,
pada akhir fase ini terjadi sianosis, tekanan darah meningkat, pupil melebar,
refleks cahaya negatif, refleks patologis posotif. Kadang – kadang
ngompolkarenakontraksi tonik involunter. Inkontinensia ini bias sebagai diagnosis
banding organik atau histerik.
o Fase Klonik
Terjadi kejang ritmik, penderita bernafas kembali, kadang – kadang lidah
tergigit, sehingga ludah bercampur darah (buih kemerahan). Pada fase ini wajah
kembali menjadi normal, tekanan darah menurun, tanda – tanda vital normal.
o Fase Post-ictal
Setelah kejang penderita tertidur. Waktu penderita bangun mula – mula
terjadi disorientasi, tetapi beberapa menit setelah fase ini penderita menjadi
normal kembali, dan dapat berjalan seperti biasa.
Serangan grandmal kadang – kadang terjadi berturut – turut sehingga
penderita tidak sadar untuk waktu yang lama. Bila antara kedua kejang penderita
tidak sadar disebut sebagai status epileptikus. Bila penderita sering kejang dan
diantara kedua kejang penderita sadar, disebut sebagai serial epileptikus.
30
B. Absence Seizure (Petit Mal / LENA)
Pada epilepsi jenis ini tidak terdapat kejang. Epilepsi ini ditandai oleh terjadinya
gangguan kesadaran dalam waktu singkat (6-10 detik), tiba-tiba kehilangan kesadaran
danaktivitas motorik, sehingga penderita tidak sampai jatuh (tonus otot normal).
Penderita berhenti dari aktifitas yang dilakukan, seakan – akan melamun, kemudian
melakukan aktivitas kembali. Gejala lain (pada serangan yang lama) :berkedip, gerakan
klonik ringan, automatisme yang singkat. Serangan kadang – kadang dapat 10 – 20 kali
dalam sehari (dapat berulang-ulang 100X/hari). Karena singkat, biasanya tidak diketahui
orang sekitarnya. Serangan bersifat mengelompok, memburuk bila terbangun, dapat
dicetuskan oleh : kelelahan, rileks, stimulasi fotik atau hiperventilasi. Serangan sangat
banyak pada idiopathik generalized epileptic
EEG menunjukan gambaran yang sangat khas, yaitu dalam 1 detik terdapat 3
kompleks gelombang tumpuldan runcing, disebut 3/sec spike slow wave (3/sec S-W).
Baik klinis maupun EEG dapat diprovokasi dengan hiperventilasi.
Epilepsi petit mal dapat tejadi pada masa anak-anak atau dewasa, akan tetapi
banyak terdapat pada anak-anak awal usia sekolah. Penderita sering dimarahi gurunya
karena melamun.
C. Mioklonik
Kontraksi otot sesaat, oleh karena lepas muatan listrik kortical. Dapat single atau
berulang, sangat ringan (twitch) sampai jerking, paling berat (the Flying Saucer
Syndrom). Dapat dicetuskan oleh : suara, kejutan, photic stimulation, perkusi. Dapat
terjadi pada semua umur, akan tetapi banyak terdapat pada anak-anak. Saat serangan
terjadi gangguan kesadaran sebentar, disertai gerakan involunter yang aneh dari
sekelompok otot, terutama pada tubuh bagian atas (bahu dan lengan) yang disebut
myoclonic jerking.
31
D. Klonik
Epilepsi klonik jarang terjadi. Bangkitan ini selalu simtomatik. Bangkitan berupa
gerakan jerking ritmik (klonik jercking) pd kedua tangan dan kaki, asimetris (sering),
irreguler. Epilepsi klonik sering pada neonatus, bayi.
E. Tonik
Kontraksi otot tonik mendadak, terjadi penurunan kesadaran tanpa klonik ( 20- 30
dtk), sering terjadi saat tidur, dapat terjadi pada semua umur. Terjadi kontraksi otot-otot
wajah; mata terbuka lebar; bola mata menarik keatas; extensi leher; spasme otot-otot
extremitas bagian proximal sampai ke distal lengan diangkat keatas seperti menahan
pukulan kepala; menangis sampai apneu (mungkin), kepala mengangguk-angguk dan
perubahan posture yang ringan.
F. Epilepsi Atonik
Pada epilepsi atonik, secara mendadak penderita kehilangan tonus otot. Hal ini
dapat mengenai beberapa bagian tubuh ataupun pada otot seluruh badan, misalnya tiba-
tiba kepalanya terkulai karena kehilangan tonus otot leher, atau secara tiba-tiba penderita
terjatuh karena hilangnya tonus otot tubuh. Serangan ini berlangsung singkat, disebut
sebagai drop attact. Serangan berlangsung hanya sebentar dan segera recovery.
3. Unclasified Epileptic Seizures
Jenis ini, tidak termasuk semua yang diatas, data tidak komplit, gejala-gejala yang timbul
tidak sesuai : gerakan bola mata ritmik, mengunyah-ngunyah., gerakan seperti berenang,
pernafasan berhenti. Banyak terjadi pada bayi
II.8. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
1. Diagnosis
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu :
Langkah pertama : memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal menunjukan
bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi
32
Langkah kedua: apabila benar – benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah
bangkian yang ada termasuk bangkitan apa (lihat klisifikasi)
Langkah ketiga : pastikan sindrom epilepsy apa yang ditunjukan oleh bangkitan tadi, atau
epilepsy apa yang diderita oleh pasien, dan tentukan etiologinya.
Diagnosis epilepsi ditegakan atas dasar adanya gejala dan tandan klinik dalam bentuk
bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada
EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut :
1. Anamnesis (auto dan allo-anamnesis)
Pola / bentuk bangkitan
Lama bangkitan
Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
Frekuensi bangkitan
faktor pencetus
ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan atau kelahiran dan perkembangan
bayi atau anak
riwayat terapi epilepsi sebelumnya
riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologi
Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan obat terlarang
atau alkohol, dan kanker.
3. Pemerikasaan penunjang dilakukan sesuai dengan bukti–bukti klinik dan indikasi, serta
bila keadaan memungkinkan untuk pemeriksaan penunjang.
3.1 Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Rekaman EEG sebaiknya dilakukanpada saat bangun tidur, dengan stimulasi
fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai dengan pencetus bangkitan ( pada
epilepsi refleks ). Kelainan epileptiform EEG interiktal (diluar bangkitan ) pada
orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%; pada pemeriksaan ulang
33
gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%. Bila EEG pertama
menunjukan hasil normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat tinggi, maka
dapat dilakukan EEG ulangan minimal 24-48 jam setelah bangkitan atau
dilakukan dengan persyaratan khusus, misalnya dengan mengurangi tidur (sleep
deprivation) atau dengan menghentikan obat anti epilepsi (OAE).
Indikasi pemeriksaan EEG :
Membantu menegakan diagnosis epilepsi
Menentukan prognosis pada kasus tertentu
Pertimbangan dalam kasus pemghentian OAE
Membantu dalam menetukan letak fokus
Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan
sebelumnya)
3.2 Pemeriksaan pencitraan otak (Brain Imaging)
Indikasi :
Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural
Adanya perubahan bentuk bangkitan
Terdapat defisit neurologik fokal
Epilepsi dengan bangkitan parsial
Bangkitan pertama diatas usia 25 tahun
Untuk persiapan tindakan pembedahan
Magnetic Resonance Imaging (MRI): merupakan prosedur pencitraan
pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas yang tinggi dan lebih spesifik
dibandingkan dengan Computed Tomografi Scan (CT scan). MRI dapat
mendeteksi sclerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma
kavernosa. Pemeriksaan MRI di indikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin
memerlukan terapi pembedahan.
34
3.3 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah meliputi, hemoglobin, leukosit, trombosit, hapusan
darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium) kadar
gula darah, fungsi hati (SGOT, SGPT, Gamma GT, Alkali Fosfatase),
ureum, kreatinin dan lain-lain atas indikasi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal,biladicurigai adanya infeksi SSP
Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan bila ada indikasi misalnya
adanya kelainan metabolik bawaan.
2. Diagnosis Banding
Ada beberapa macam kelainan yang sering di salah diagnosis sebagai epilepsi. Salah
diagnosis biasanya disebabkan oleh karena anamnesis yang kurang teliti,adanya riwayat epilepsi
pada keluarga, adanya riwayat kejang demam sebelumnya, EEG abnormal, salah interprestasi
bentuk serangan, dan adanya inkontinens misalnya ngompol setelah serangan. Pada makalah ini
akan dibahas beberapa diagnosis banding epilepsi, daintaranya:
1.Sinkop
Sinkop adalah kehilangan kesadaran mendadak akibat kurangnya aliran darah ke
otak. Penyebab sinkop bermacam-macam, tetapi pada garis besarnya disebabkan oleh; 1)
refleks vascular abnormal menyebabkan asistole atau hipotensi, 2) kegagalan refleks
simpatetik menyebabkan hipotensi berat, 3) penyakit jantung intrinsik menyebabkan aritmia
atau asistole jantung.
Apapun penyebabnya, sinkop selalu disertai oleh penurunan tekanan darah yang
hebat (sampai nol atau sangat rendah). Dalam hal demikian mekanisme autoregulasi
pembuluh darah di otak tidak dapat bekerja secara efektif, dan mengakibatkan terhentinya
atau berkurangnya aliran darah di otak.
Jenis sinkop yang sering ditemukan ialah sinkop refleks, sinkop demam dan sinkop
jantung. Sinkop refleks timbul karena faktor pencetus berupa gangguan emosi, melihat
darah, rasa nyeri ringan, suntik, pemandangan atau kejadian yang tidak menyenangkan dan
kadang-kadang waktu masuk atau keluar kamar mandi. Sinkop refleks terjadi pada waktu
pasien berdiri atau duduk, terutama di tempat yang panas dan pengap, sebelum pingsan
jarang terjadi pada pasien yang sedang berbaring. Gejala berupa: sebelum pingsan pasien
35
merasa sesuatu misalnya dingin atau panas, pusing nausea, perasaan seperti pergi jauh,
penglihatan kabur/gelap, pasien menjadi lemas, perlahan-lahan jatuh dan tidak sadar. Pasien
tampak pucat dan berkeringat dingin. Bila serangannya berat, badan menjadi akaku, mata
melotot ke atas atau kebawah dan kejang (convulsive syncope), kadang-kadang ngompol
(urinary incontinence). Hal ini menyebabkan salah diagnosis sebagai epilepsi.
Serangan sinkop kadang-kadang berlangsung cepat dan pasien segera sadar kembali.
Sinkop dapat terjadi pada segala umur, tetapi lebih sering pada anak besar atau remaja dan
tersering pada wanita. Kira-kira sepertiga pasien sinkop tidak dikenal atau disalah diagnosis
sebagai epilepsi. Kebanyakan sinkop dengan kejang disalah diagnosis sebagai serangan
epilepsi umum atau parsial kompleks. Serangan sinkop tidak akan merusak otak dan tidak
perlu diberikan antikonvulsan.
Sinkop demam (febrile syncope atau febrile refleks anoxic seizure) terjadi pada
waktu demam. Gejala seperti kejang demam, terutama bentuk tonik. Untuk membedakan
demam-kejang dan sinkope demam dilakukan penekanan pada bola mata pasien
(oculocardiac refleks). Kalau timbul serangan berarti sinkop demam, bukan kejang-demam,
tetapi hal ini ada bahayanya, karena penekanan bola mata dilaporkan dapat menyebabkan
henti jantung lama (prolonged cardiac arrest) dengan koma sebentar. Sinkop jantung
(syncope of cardiac arigin) jarang pada anak. Terjadi pada kelainan jantung misalnya
tetralogi fallot. Kehilangan kesadaran karena anoksia anoksik, sebenarnya jarang disalah
diagnosis sebagai epilepsi.
Perbedaan bangkitan epilepsi dengan sinkop
Epilepsi Sinkop
Pencetus Tidak biasa Biasa (misal emosi)
Suasana apapun Posissi tegak, kondisi padat,
panas, stres emosi
Awal Mendadak, aura +/- Berangsur, merasa gelap/mual,
penglihatan buram, berkeringat
Warna kulit Pucat/merah (flushed) Biasanya pucat
Inkontinensia Sering terjadi Jarang
Lidah tergigit sering terjadi Sangat jarang
Muntah jarang Sering terjadi
36
Fenomena
motorik
Tonik/tonik-
klonik,klonik menonjol
dgn amplitudo &
frekuensi khas
Lemas tanpa gerakan, mungkin
ada sentakan klonik kecil
singkat, inkoordinasi atau tonik
Pernafasan Mendekur, mulut berbusa Dangkal lambat
Cedera Sering terjadi Jarang
Pasca
serangan
Bingung mengantuk,
tidur
Cepat siuman tanpa rasa
bingung
Lama Beberapa menit ± 10 detik
2. Drop Attack
Penderita tiba-tiba jatuh karena ekstremitas inferior lemah akibat insufisiensi A.
Basilaris. Sering disertai vertigo dan bicara sulit. Berlangsung sementara dan dapat sembuh
sendiri.
3.Narcolepsi
Narcolepsi merupakan keinginan tidur yang tidak terkendali dan berulang dan
kehilangan tonus otot ekstremitas. Bersifat familial dan penyebabnya tidak diketahui.
4.Kelainan psikiatrik
Kelainan psikiatrik yang sering disalah diagnosis sebagai epilepsi ada 2 macam, yaitu
manifestasi psikiatri akut dan serangan pseudoepileptik.
Menurut jeavons kelainan psikitrik akut merupakan salah diagnosis sebagai epilepsi
urutan kedua setelah sinkop. Serangan gelisah dan panik yang kadang-kadang disertai
ngompol (urinary contince), serangan takut, sakit epigastrik disalah diagnosis sebagai
serangan parsial kompleks. Dengan pemeriksaan EEG, dapat dibedakan dengan serangan
epilepsi. Pasien ini betul-betul kasus dan pengobatan oleh psikiater.
Serangan pseudoepileptik (pseudoepileptic seizure, nonepileptic seizure, hysterical
seizure, atau psychogenic seizure) sering terjadipada dewasa muda,tetapi dapat juga terjadi
pada anak-anak berumur 4-6 tahun. Serangan biasanya terjadipada anak yang menderita
epilepsi, kadang-kadang dapat pula terjadi pada anak bukan pasien epilepsi. Serangan serupa
meniru serangan epilepsi seperti bentuk tonik klonik, tonik atau parsial kompleks, tetapi
tidak mirip betul dengan serangan epilepsi, lebih mirip gerakan-gerakan yang diatur,
serangan tidak mendadak, bertahap dan berulang-ulang. Biasanya didahului oleh perasaan
37
pusing, perasaan aneh, kelumpuhan sebelah atau kedua belah anggota gerak. Biasanya tidak
terdapat keadaan postiktal. Pasien segera bangun, dan bahkan pada waktu serangan akan
menghindari serangan sakit dan menolak apabila matanya dibuka. Serangan tidakpernah
terjadi pada waktu sedang tidur. Serangan sering terjadi pada anak perempuan, dan dasarnya
kelainan psikiatrik. Pada pasien epilepsi dengan intractable epilepsy, pikirkan kemungkinan
serangan pseudoepileptik. Pasien ini perlu pengobatan psikiatrik.
Perbedaan epilepsi dengan kejang psikogenik
Epilepsi Kejang Psikogenik
Pencetus Tidak biasa Biasanya emosi
Suasana Saat tidur / sendirian Biasanya ketika bersama banyak
orang, jarang waktu tidur
Prodroma Jarang Sering
Awal Mendadak, aura +/- Berangsur dengan meningkatnya
emosi
Jeritan pada
awal
Sering Jarang
Inkontinansia Sering Tidak terjadi
Lidah tergigit Sering Jarang
Cedera Sering Jarang
Vokalisasi Hanya saat autmatisme Biasa selama serangan
Fenomena
motorik
Stereotip Bervariasi
Kesadaran Menurun Normal
Pengekangan Tidak berpengaruh Melawan, kadang-kadang
menghentikan serangan
Durasi Pendek Dapat memanjang
Henti
serangan
Pendek (automatisme
memanjang) Bingung
mengantuk, tidur
Berangsur, seringkali dengan emosi,
seringkali siuman tanpa rasa bingung
38
5.Breath Holding Spells (Serangan Nafas Terhenti Sejenak)
Serangan nafas terhenti sejenak sering terjadi pada anak, yaitu 4% anak-anak berusia
kurang dari 5 tahun. Mereka membagi Serangan nafas terhenti sejenak menjadi 2 jenis, yaitu
jenis sianotik (cyanotic breath-holding spell) dan jenis pucat (pallid breath-holding spell
atau white breath-holding spell).
Serangan nafas terhenti sejenak jenis sianotik timbul karena adanya faktor pencetus
berupa marah, takut, sakit atau frustasi. Biasanya anak menangis kuat sebentar kemudian
menahan nafas panjang dalam ekspirasi, menjadi sianosis, lemas dan tidak sadar. Pada
waktu sianosis kadang-kadang diikuti kekakuan seluruh tubuh sebentar, kadang-kadang
diikuti oleh 2-3 sentakan (jerks), kemudian anak bernafas kembali dan menjadi sadar.
Serangan nafas terhenti sejenak jenis sianotik dengan kekakuan badan dan sentakan ini juga
disebut juga jenis kejang dan kadang-kadang disalah diagnosis sebagai epilepsi. Terjadinya
serangan nafas terhenti sejenak jenis sianotik diduga disebabkan berkurangnya aliran darah
ke otak karena peninggian tekanan dalam rongga dada.
Serangan nafas terhenti sejenak jenis pucat sangat berbeda dengan serangan nafas
terhenti sejenak jenis sianotik. Serangan biasanya timbul karena trauma ringan terutama
benturan pada kepala, anak menjadi frustasi dan marah, kemudian menjadi tidak sadar,
pucat, kaku dan atau opistotonus. Kadang-kadang tidak didahului oleh menangis atau
menangis singkat. Tidak terdapat sianosis, kadang-kadang disertai mata melirik ke bawah
dan sentakan-sentakan anggota gerak (jerking). Hal ini menyebabkan disalah
diagnosissebagai epilepsi. Mekanismenya berbeda dengan serangan nafas terhenti sejenak
sianotik. Terjadinya karena kegagalan sirkulasi yang disebabkan oleh karena asistole.
Asistole disebabkan oleh terangsangnya refleks vagal. Hal ini dapat dibuktikan dengan
melakukan penekanan pada biji mata, maka akan terjadi asistole dan timbullah serangan
serangan nafas terhenti sejenak sianotik. 75% serangan nafas terhenti sejenak timbul pada
umur 6-18 tahun. Serangan pada umur yang lebih muda dapat terjadi, tetapi jarang. Serangan
ini tidak berbahaya, tidak menyebabkan retardasi mental, tidak menyebabkan epilepsi, dan
tidak perlu pengobatan.
6.Tics
Tic berupa gerakan kepala, kadang-kadang disertai dengan gerakan mata berkedip-
kedip, kadang-kadang ada gerakan tangan dan pasien tetap sadar. Hal ini mudah dibedakan
39
dengan serangan epilepsi, karena gerakan-gerakan dapat dihentikan dengan memanggil
pasien.
7.Sindrom neurologis periodik tanpa gangguan kesadaran
Misalnya: TIA, migren, tetani, dan hiperventilasi.
II.9 Terapi
Tujuan Terapi
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien, sesuai dengan
perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk
tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya, antara lain : menghentikan bangkitan,
mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka
kesakitan dan kematian, mencegah timbulnya efek samping OAE.
Prinsip terapi farmakologi :
1. OAE mulai diberikan bila :
Diagnosis epilepsy telah dipastikan (confirmed)
Setelah pasiendan keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan
Pasien dan atau keluargannya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
OAE yang akan timbul.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsi
3. pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping. Kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif.
4. bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat megontrol
bangkitan,makaperlu ditambah OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar tarapi, maka
OAE pertama diturunka bertahap (tapering off),perlahan – lahan.
5. penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
6. pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila :
dijumpai focus epilepsy yang jelas pada EEG
40
pada pemeriksan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan
bangkitan, misalnya neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes
pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan
otak
terdapat riwayat epilepsy pada saudara sekandung (bukan orang tua)
riwayat bangkitan simtomatik
Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi
SSP.
Bangkitan pertama berupa status epileptikus.
efek samping obat perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi
farmakokinetik antar obat.
Keberhasilan suatu terapi pada hakekatnya didasarkan atas pemilihan obat yang
sesuai dan hubungan dosis dengan respon yang dihasilkan. Hubungan dosis dengan respon
ini melibatkan berbagai variabel, antara lain : farmakodinamik dan farmakokinetik dari obat.
Farmakodinamik yaitu kepekaan jaringan terhadap konsentrasi dari obat di serum. Pada obat
anti epilepsi farmakodinamik dapat diabaikan, misalnya kadar difenilhidantoin serum 20
u/ml, ini efektif untuk kebanyakan individu.
Farmakokinetik, yaitu meliputi berbagai proses yang mempengaruhi konsentrasi obat dalam
serum. Misalnya penderita yang diberikan diphenilhidantoin dengan dosis 3×100 mg, pada
beberapa individu dicapai level serum yang berlainan. Faktor-faktor yang mempengaruhi,
antara lain : metabolisme, distribusi, dan ekskresi.
1.Absorbsi
Absorbsi dilantin per os lebih baik dalam bentuk garam sodium (garam karena
larut dalam air), dibandingkan dengan basa. Pada kapsul sering dimasukan bahan
pengisi (binding substance), yang seharusnya bahan inert tapisering mengadakan
reaksi dengan bahan dalam kapsul. Contoh diaustralia biasanya bahan pengisi adalah
ca glukonas, kemudian digantidengan laktulosa yang lebih meningkatkan absorbsi
dilantin, sehinga di australia pernah terjadi epidemi intoksikasi.
Pada keadaan diare absorbsi oabat akan terganggu, sehingga pada diare dosis perlu
ditingkatkan.
2.Distribusi
41
Setelah diabsorbsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh. Banyak obat yang
didistribusikan oleh serum protein, 10% dalam bentuk bebas. Bentuk bebas inilah
yang masukjaringan otak melalui blood brain barrier, sehingga merupakan bentuk
yang terpenting untuk pengobatan. Hal ini penting karena di indonesia banyak obat
yang dapat menurunkan protein plasma. Hal-hal yang mempengaruhi protein plasma
adalah :
Hipoalbumin
Obat yang di ikat protein serum berkurang, sehingga bentuk bebas meningkat.
Dengan dosis yang sama penderita hipoalbumin akan mengalami intoksikasi.
Competitive binding protein
Biladiberikan tiga obat yang mengikat protein, maka protein yang mengikat
obat anti epilepsi akan berkurang, sehingga bentuk bebas akan meningkat.
Sedapat mungkin berikan obat anti epilepsitunggal (monodrug).
Bilirubin juga mengikat protein, sehingga pada penyakit hepar yang
meningkatkan kadar bilirubin darah, dosis obat anti epilepsi harus diturunkan.
3.Metabolisme
Hampir semua obat anti epilepsi diubah melalui hepar, dan kemudian baru
dieliminasi melalui ginjal. Terdapat duakelompokdalam metabolismeini, yaitu : 1).
Kelompok metabolisme cepat 2). Kelompok metabolisme lambat. Hal ini juga
ditentukan oleh umur, pada nak-nak biasanya masukdalam kelompokfast metabolism,
sehingga membutuhkan dosis lebih besar, sedangkan pada usia lanjut masuk dalam
kelompok slow metabolism, sehingga membutuhkan dosis lebih kecil.
Sehubungan dengan metabolisme obat, dikenal istilah waktu paruh (serum half life),
yaitu waktu yang diperlukan sehingga konsentrasi obat di serum tinggal separuh dari
konsentrasi semula. Misalnya waktu paruh dilantin adalah 22 jam, berarti setelah 22
jam level dilantindalam serum menjadi separuh dari semula. Waktu paruh ini berguna
untuk menentukan :
Frekuensi pemberian obat
Dengan waktu peruh dilantin 22 jam, sebetulnya cukuppemberian dilantin 1x
sehari, tetapi oleh karena alasan mengganggu lambung, maka diberikan 2-3x
sehari.
42
Plateau level
Pemberian obat akan meningkatkan ladar serum obat di darah sampaitercapi
kadar pleateu level. Pada keadaan ini, walaupun obat diberikan terus, kadar
obat dalam serum akan tetap.
Pateau level, pada tiap obat berbeda, oleh karena itu jangan mengganti obat
sebelum plateau level. Biasanya keadaan ini tercapaisetelah 5 kali
waktuparuh. Misalnya dilantin, oleh karena waktu paruh 22 jam, maka setelah
5 X 22 jam = 110 jam, (5,5 hari), baru obat boleh diganti atau dinaikan
dosisnya.
Menentukan eliminasi obat
Berapa lama obat dikeluarkan semua, pada kasus-kasus intoksikasi obat,
misalnya luminal waktu paruh adalah 140 jam, berarti membutuhkan waktu
sekitar 700 jam (30hari) untuk mengubah dosis luminal.
Pada keadaan tertentu harus hati-hati dalam menentukan dosis obat, misalnya:
Neonatus : oleh karena metabolisme sangat cepat, dosis relatif lebih besar.
Usia lanjut: dosis dikurangi.
Kehamilan : metabolisme lebih cepat, oleh karena perubahan hormonal atau
hepar janin dalam kandungan ikut dalam metabolisme. Jadi obat
lebih tinggi, tetapi kejang dalam kehamilan cenderung menurun.
4.Ekskresi
Ekskresi obat anti epilepsi sebagian besar melalui urin, sebagian kecil di
ekskresi lewat feses. Penyakit ginjal akan mempengaruhi ekskresi, sehingga dosis
perlu diturunkan.
Jenis Obat Antiepilepsi
Berikut ini akan diuraikan mengenai beberapa obat anti epilepsi yang sering digunakan.
Asam valproat
Digunakan pada epilepsi motor minor (mioklonik), absens, tonik-klonik dan serangan
parsial maupun kompleks. Asam valproat dianggap meninggikan efek inhibisi postsinaptik
GABA, menghambat pembentukan gelombang paku dan menghambat jaras neuronal eksitatorik.
43
Dosis awal pada orang dewasa adalah 500-1000 mg/hari, kemudiandosis rumatan 500-2500
mg/hari, waktu paruh dalam plasma 12-18 jam, waktu tercapainya steady state 2-4 jam.
Hubungan dosis dengan kadar serum cukup kompleks, karena masa paruh yang pendek
dan ikatan protein yang besar. Pada kadar plasma valproat yang rendah, ikatan protein mencapai
90-95%, namun dengan meningkatkan dosis, maka ikatan proteinnya menurun drastis, sehingga
kadar serum tidak naik secara proporsional dengan dosis. Interaksi dengan fenobarbital akan
meningkatkan kadar fenobarbital sehingga menimbulkan sedasi berat. Kombinasi dengan
fenitoin dan karbamazepin dapat meningkatkan kadar kedua otot, sedangkan kombinasi dengan
aspirin akan menyebabkan kenaikan kadarvalproat.
Efek samping idiosinkratik berupa ruam kulit, gagal hati akut, pankreatitis akut dan
diskrasia darah (trombositopenia, anemia dan leukopenia). Gejala intoksikasi berupa mengantuk,
vertigo dan perubahan perilaku. Efek pemberian kronik adalah mengantuk, perubahan perilaku,
tremor, hiperamonia, bertambahnya berat badan, rambut rontok, penyakit perdarahan dan
gangguan lambung.
Karbamazepin
Merupakan obat utama untuk epilepsi parsial (sederhana dan kompleks) dan epilepsi
umum tonik-klonik. Dosis pada orang dewasa 400-600 mg/hari, kemudian dosis rumatan 400-
1600 mg/hari, waktu paruh dalam plasma 15-35 jam, waktu tercapainya steady state 2-7 hari.
Efek idiosinkratik berupa ruam kulit dan diskrasia darah. Gejala intoksikasi berupa diplopia,
vertigo, pusing, inkoordinasi dan kadang-kadang gejala distonik. Akibat pemberian kronik dapat
menimbulkan hiponatremia, gangguan fungsi hati dan leukopenia. Karena rumus kimianya
serupa antidepresan trisiklik, maka obat ini sering memberikan perasaan enak dan peningkatan
kesadaran.
Pemberian dosis terapeutik pada pasien absens atipis atau serangan epilepsi minor
lainnya akan memperberat serangan status absens atau miokonus nonepilepsi yang terus
menerus. Pemberian bersama obat lain misalnya Ca channel blocker, INH dan erittromisin dapat
mempercepat timbulnya toksisitas karena menghambat metabolismenya.
Pemeriksaan laboratorium rutin berupa darah tepi lengkap dalam waktu 2 minggu, 1
bulan dan 2 bulan setelah dimulinya pengobatan, dan kemudian setiap 6 bulan.
Meskipun karbamazepin mempunyai banyak efek samping, tapi obat ini lebih unggul
dibanding fonobarbital dan fenitoin karena memperbaiki fungsi kognitif.
44
Fenobarbital
OAE ini berguna untuk mengatasi kejang tonik-klonik umum (grand mal), serangan
parsial sederhana-kompleks, sebagian besar kejang lain. Fenobarbital diberikan dengan dosis
awal 50-100mg/hari, dengan dosis rumatan 50-200 mg/hari, waktu paruh dalam plasma 50-170
jam. Efek samping idiosinkratik fenobarbital berupa ruam kulit dan diskrasia darah (jarang),
sedangkan efek intoksikasi terbanyak adalah mengantuk dan hiperaktivitas. Kadang-kadang
terdapat mual, sakit kepala dan gangguan keseimbangan. Akibat pemberian kronik adalah
mengantuk, perubahan perilaku, perubahan perasaan, gangguan intelektual, penyakit tulang
metabolik dan gangguan jaringan ikat.
Pada PET Scan tampak adanya penurunan metabolisme glukosa lokal pada otak pada 37% kasus
dan secara klinis ditemukan adanya depresi, gangguan tidur, konsentrasik dan fungsi kognitif.
Meskipun banyak efek sampingnya, kelebihan fenobarbital adalah merupakan antikonvulsan
yang aman dan murah. Substitusi karbanazepin untuk fenobarbital atau fenitoin akan
memperbaiki memori, konsentrasi dan kecepatan mental-motor. Fenobarbital dapat merangsang
metabolisme dan mengurangi efektivitas antikonvulsan lain seperti karbamazepin dan fenitoin.
Pemberian bersamaan dengan asam valproat dapat menimbulkan somnolensi yang nyata.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak diperlukan.
Fenitoin
Berguna untuk kejang tonik-klonik umum, serangan parsial (sederhana-kompleks) dan
beberapa jenis kejang lainnya. Fenitoin tidak boleh diberikan pada serangan bangkitan atonik,
karena dapat memperberat serangan bangkitan atonik.
Dosis awal adalah 200-300 mg/hari, kemudian dosis rumatan 400-1600 mg/hari, waktu
paruh dalam plasma 10-80 jam, waktu tercapainya steady state 3-15 hari. Penggunaan bersama
fenobarbital, karbamazepin, valproat, INH dan kloramfenikol dapat meningkatkan kadar bebas
fenitoin. Efek samping idiosinkratik berupa ruam kulit, diskrasia darah dan reaksi imunologis.
Efek intoksikasi berupa vertigo, gerakan involunter, pusing, mual, nistagmus, sakit kepala,
ataksia, letargi dan perubahan perilaku. Efek samping pemberian kironik berupa hirsutisme,
hipertrofi ginggiva, gangguan perilaku dan fungsi kognitif. Dapat terjadi peniggian SGOT-SGPT
yang secara klinis kurang berarti.
45
Efek samping yang berat adalah kelainan hematologis (trombositopenia, leukopenia,
anemia) dan sindrom Steven Jhonson. Untuk pemeriksaan rutin diperlukan pemeriksaan darah
tepi lengkap setiap tahun.
Penghentian OAE
Dalam hal penghentian OAE maka ada dua halpenting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat
umumuntuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE
dihentikan.
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut :
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah bebas
dari bangkitan selama minimal 2 tahun.
Gambaran EEG normal
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25 % dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
Penghentian dimulaidari satu OAE yang bukan utama.
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinanya pada keadaan
sebagai berikut :
Semakin tua usia kemungkinan timbulnya kekambuhan semakintinggi.
Epilepsi simtomatik
Gambaran EEG normal
Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita ; sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentro-temporal, 5-25 %
pada epilepsi lena masa anak kecil, 25-75 % epilepsi partial kriptogenik /
simtomatik, 85-95 % pada epilepsi mioklonik pada anak.
Penggunaan lebih dari satu OAE
Masih mendapat satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan
selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali
46
Maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE) kemudian di evaluasi
kembali.
II.11. Prognosis
Pada sekitar 70 % kasus epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat anti epilepsi,
sedangkan pada 30-50 % pada suatu saat pengobatan dapat dihentikan. Namun prognose
tergantung dari jenis serangan, usia waktu serangan pertama terjadi, saat dimulai pengobatan,
ada tidaknya kelainan neurologik atau mental dan faktor etiologik. Prognosis terbaik adalah
untuk serangan umum primer seperti kejang tonik klonik dan serangan petit mal, sedangkan
serangan parsial dengan simtomatologi kompleks kurang baik prognosenya. Juga serangan
epilepsi yang mulai pada waktu bayidan usia dibawah tiga tahun prognosenya relatih buruk.
47
DAFTAR PUSTAKA
Manford M. Practical Guide to Epilepsy. Elsevier ButterworthHeinemann, 2003.
Panayiotopoulos CP. A Clinical Guide to Epileptic Syndromes and their Treatment. Bladon
Medical Publishing, 2002.
48