Case Dr Iqbal Impending Eklampsia
-
Upload
ayuw-agustriani -
Category
Documents
-
view
40 -
download
0
Transcript of Case Dr Iqbal Impending Eklampsia
BAB I
REKAM MEDIS
1.1. Identifikasi
Nama
: Ny. S
Umur
: 34 tahun
Pendidikan Terakhir: SMA
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: Pasar Bayangkara,Talang Ubi, Muara Enim
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Nama Suami
: Tn. Y
Umur
: 36 tahun
Pendidikan Terakhir: SMA
Pekerjaan
: Buruh
Agama
: Islam
Alamat
: Pasar Bayangkara,Talang Ubi, Muara Enim
MRS
: 11 April 2013
1.2. Anamnesis (Autoanamnesis)
Anamnesis Umum
Riwayat perkawinan
: 1 kali, lamanyaRiwayat sosioekonomi dan gizi
: cukup
Riwayat Reproduksi
:
Menarche
: 13 tahunSiklus haid
: 28 hari, teratur, lama 7 hari
Nyeri sebelum/saat/setelah haid
: -
HPHT
: 08-07-2012Riwayat obstetri
: G5P4A0
Tempat Bersalin/PenolongTahunHasil KehamilanJenis PersalinanAnak
Jenis KelaminBeratKeadaan
Bidan1994AtermSpontanLaki-laki3400 gSehat
Bidan1996AtermSpontanPerempuan3300 gSehat
Bidan1998AtermSpontanPerempuan3300 gSehat
Bidan2004AtermSpontanPerempuan 4400 gsehat
Hamil ini
Riwayat penyakit yang pernah diderita : diabetes
Riwayat operasi
: tidak ada
Riwayat penyakit dalam keluarga
: tidak ada
Riwayat memakai kontrasepsi
: Pil KB
Anamnesis KhususKeluhan Utama : Hamil cukup bulan dengan darah tinggi Riwayat Perjalanan Penyakit :
Parturien dirujuk dari RSUD Talang Ubi karena parturien dalam keadaan hamil dengan darah tinggi. Riwayat hipertensi sebelum hamil (-), riwayat hipertensi dalam keluarga (-). Parturien mengeluh sakit kepala dan mual muntah, pandangan kabur (+).Parturien memiliki riwayat diabetes mellitus. Riwayat nyeri perut (-), keluar darah lendir (-), keluar air-air (-). Parturien mengaku hamil cukup bulan dan gerakan anak masih dirasakan.1.3. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan umum
: tampak sakit sedang
Kesadaran
: compos mentis
Tekanan darah
: 160/100 mmHg
Nadi
: 74 x/mnt
Frekuensi pernapasan
: 20 x/mnt
Suhu
: 36,5 oC
Berat badan
: 65 kg
Tinggi badan
: 150 cm
Konjunctiva palpebra pucat : -
Sklera ikterik
: (-/-)
Gizi
: cukup
Payudara hiperpigmentasi : (+/+)
Jantung
: Regular, gallop (-), murmur (-)Paru-paru
: vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi (-)Hati dan lien
: sulit dinilai
Edema pretibia
: (-/-)
Varises
: (-/-)Refleks fisiologis
: +/+
+/+
Refleks patologis
: -/-
-/-
Status Obstetri
Pemeriksaan luar:
Fundus uteri
: 3 jbpx (32 cm)
Letak janin
: memanjang, pukaTerbawah
: Kepala
Penurunan
: 4/5DJJ
: 153 x/menit
His
: -
TBJ
:
Tanda Osborn
: Negatif
Pemeriksaan dalam:Vaginal Toucher:
Portio lunak, posterior, effacement 25%, pembukaan 0 cm, ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai, kepala HI.
Pemeriksaan Panggul:
Promontorium
: tidak teraba
KD > 13 cm, KV> 11,5 cm
Linnea inominata: teraba 1/3 1/3
Sakrum
: konkaf
Spina ischiadica: tidak menonjol
Arkus pubis
: > 90o
Dinding samping: lurus
Kesan panggul
: luas
1.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Hb
: 12,6 gr%
Leukosit: 8.200 mm3
Trombosit: 195.000 mm3
Diff count: 0/0/0/67/24/9
Protein: ++
BSS : 121 mg/dl
1.5. Diagnosa Kerja
G5P4A0 hamil aterm dengan impending eclampsia + riwayat DM belum inpartu janin tunggal hidup presentasi kepala.
1.7. Penatalaksanaan
1. Stabilisasi 3 6 jam2. Injeksi MgSO4 20% 4 gr iv bolus3. Injeksi MgSO4 40% 4 gr bokong kanan bokong kiri per 6 jam diteruskan 4. Nifedipine 4 x10mg5. Dexamethason inj 2 x 10mgObservasi his, DJJ dan tanda vital ibu6. IVFD RL 500 ml gtt xx/menit7. Rencana terminasi perabdominam8. Kateter menetap (catat balance cairan)9. Cek lab darah rutin, urine rutin, kimia darah dan cross match10. Rencana konsul penyakit dalamLAPORAN OPERASI
Tanggal 11 April 2013
Pukul 23.00 WIB. Operasi dimulai.
Penderita dalam posisi terlentang dengan anestesi spinal. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada daerah operasi dan sekitarnya. Lapangan operasi dipersempit dengan doek steril. Dilakukan insisi pfanensteil, kemudian insisi diperdalam secara tajam dan tumpul sampai menembus peritoneum. Setelah peritoneum dibuka, tampak uterus sebesar kehamilan aterm, diputuskan untuk melakukan SSTP dengan cara sbb:
Insisi pada SBR 3 cm secara tajam kemudian bagian tengah ditembus secara tumpul dengan jari sampai menembus kavum uteri dan diperlebar ke lateral, didapatkan ketuban (+), ketuban dipecah, bau (-).
Kepala bayi menghadap operator
Anak dilahirkan dengan cara meluksir kepala.
Pukul 23.10 WIB.
Lahir hidup neonatus laki-laki dengan BB 3.400 gram, PB 48 cm, AS 8/9 FT AGA. Ke dalam cairan infus dimasukkan oksitosin 20 IU. Plasenta dilahirkan dengan tarikan ringan pada tali pusat terkendali.
Plasenta lahir lengkap Dilakukan tubektomi secara pomeroy pada kedua tubaPukul 00.30 WIB. Operasi selesai
Cairan MasukCairan Keluar
RL1000 ccUrine300 cc
Haemacell-Darah400 cc
Total1000 ccTotal700 cc
Diagnosis prabedah : G5P4A0 hamil aterm dengan impending eclampsia + riwayat DM belum inpartu janin tunggal hidup presentasi kepala.Diagnosis pasca bedah : P5A0 post Seksio Sesaria Transperitonealis Profunda + Tubektomi
Pomeroy
FOLLOW UP
12-04-2013 pukul 01.00
Keluhan: selesai operasi melahirkan
Status present:
KU: sedang, sens: CM
TD: 120/80 mmHg
RR: 24x/menit
Nadi : 80x/ menit
T: 36.5C
Status obstetrik :
PL: abdomen cembung, lemas, tinggi fundus uteri 2 jari di bawah pusat, kontraksi baik, perdarahan (-), luka operasi ditutup
Kesan : P5A0 post SSTP a/i impending eklampsia + tubektomi pomeroyRencana:
1 Observasi tanda vital ibu, perdarahan2 Cek Hb post operasi3 IVFD RL + induksin 2 amp + ketorolac 1 amp + tramadol 2 amp gtt xv/menit4 Kateter menetap catat intake dan output
5 Mobilisasi bertahap
6 Diet bertahap
7 TerapiMedikamentosa:
Metronidazole 3 x 1 flash Cefotaxime 3 x 1 gr i.v Transamin amp 3 x 1 i.v Alinamin amp 3 x 1 i.v Pronalges supp 2 x 1 Injeksi MgSO4 40% s/d 24 jam13-04-2013 (07.30)
Keluhan: nyeri pada luka bekas operasiStatus present:
KU: sedang, sens: CM
TD: 160/100 mmHg
RR: 20 x/menit
N : 84 x/menit
T : 36,50 C
Status obstetrik:
PL: abdomen cembung, lemas, fundus uteri 2 jari di bawah pusat, kontraksi baik, perdarahan aktif (-), vulva tenang, luka operasi tertutupKesan: P5A0 post SSTP a.i impending eklampsi hari ke-1 + tubektomi pomeroyRencana :
1. Observasi tanda vital ibu
2. IVFD RL + 10 IU induxin + 1 amp tramadol gtt xv/ menit
3. Terapi Medikamentosa:
Metronidazole 3 x 1 flash Cefotaxime 3 x 1 gr i.v Transamin amp 3 x 1 i.v Alinamin amp 3 x 1 i.v Dopamed tablet 3 x 1 Uff cateter14-04-2013 (07.30)
Keluhan: (-)
Status present:
KU: sedang, sens: CM
TD: 160/90 mmHg
RR: 22 x/menit
N : 86 x/menit
T : 36,50 C
Status obstetrik:
PL: abdomen cembung, lemas, fundus uteri 2 jari di bawah pusat, kontraksi baik, pendarahan aktif (-), vulva tenang, luka operasi tertutupKesan : P5A0 post SSTP a.i impending eklampsi hari ke-2 + partial hellp syndrome + tubektomi pomeroyRencana :
1. Observasi tanda vital ibu
2. IVFD RL + 10 IU induxin + 1 amp tramadol gtt xv/ menit
3. Terapi Medikamentosa:
Cefotaxime 3 x 1 gr i.v Transamin amp 3 x 1 i.v Dopamed tablet 4 x 1 Dexametasone 2 x 10 mg Transfusi PRC 1 kantongHasil lab
Hb: 7,6 gr%
BSS: 168 mg/dl
SGOT: 124 U/lSGPT: 62 U/l
15-04-2013 (07.30)
Keluhan: (-)
Status present:
KU: sedang, sens: CM
TD: 150/100 mmHg
RR: 20 x/menit
N : 84 x/menit
T : 36,60 C
Status obstetrik:
PL: abdomen cembung, lemas, fundus uteri 3 jari di bawah pusat, kontraksi baik, pendarahan aktif (-), vulva tenang, luka operasi tertutupKesan : P5A0 post SSTP a.i impending eklampsi hari ke-3 + partial hellp syndrome + tubektomi pomeroy
Rencana :
1. Observasi tanda vital ibu
2. IVFD RL gtt xx/menit3. Terapi Medikamentosa:
Cefotaxim 3 x 1 i.v Transamin 3 x 1 i.v Dopamed tab 4 x 1 Dexametason 2 x 1 mg ivHasil lab:
Hb: 8,4 gr%
BSS: 140 mg/dl
SGOT: 64 U/l
SGPT: 42 U/l
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
preeklamsia berat adalah preeklamsia dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan tekanan darah sistolik 110 mmHg disertai dengan proteinuria lebih 5g/24jam. Eklamsia merupakan kasus akut pada penderita preeklamsi, yang disertai dengan kejang menyeluruh dan koma.
Sindroma HELLP ialah preeklamsia-eklamsia disertai timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia. H (Hemolisis) EL (Elevated Liver Enzyme), LP (Low Platelete Count).
2.2. Patofisiologi
2.2.1 preeklamsia eklamsia
Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis PE-E. Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain itu Hubel (1989) mengatakan bahwa adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta. Hipoksia/ anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan antara peroksidase terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan yang disebut stess oksidatif. Pada PE-E serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak.
Sedangkan pada wanita hamil normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang berperan sebagai antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang dilewati
termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel
tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan mengakibatkan antara lain :
1. adhesi dan agregasi trombosit.
2. gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma.
3. terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dari rusaknya trombosit.
4. produksi prostasiklin terhenti.
5. terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan.
6. terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase lemak
2.2.2 sindrom HELLP
Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan
pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan
kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemia hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah tepi ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr cells.Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati.
Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang paling sering ditemukanTrombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit. Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai suatu variasi dari disseminated intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai parameter koagulasi seperti waktu prothrombin (PT), waktu parsial thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen normal. Secara klinis sulit mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes antitrombin III, fibrinopeptide-A, fibrin monomer, D-Dimer, antiplasmin, plasminogen, prekallikrein, dan fibronectin. Namun tes ini memerlukan waktu dan tidak digunakan secara rutin.Semua pasiensindrom HELLP mungkin mempunyai kelainan dasar koagulopati yang biasanya tidak terdeteksi.
2.3. Epidemiologi dan faktor resiko
2.3.1 Epidemiologi
Sindrom HELLP terjadi pada 2-12% kehamilan. Sebagai perbandingan, preeklampsi terjadi pada 5-7% kehamilan. Superimposed sindrom HELLPberkembang dari 4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi,
diagnosis sindrom ini sering terlambat.
Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai melaporkan dalam
penelitian 304 pasien sindrom HELLP, 95 pasien (31%) hanya bermanifestasi saat
postpartum. Pada kelompok ini, saat terjadinya berkisar dari beberapa jam sampai 6 hari, sebagian besar dalam 48 jam postpartum. Selanjutnya 75 pasien (79%) menderita preeklampsi sebelum persalinan, 20 pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik antepartum maupun postpartum.
2.3.2 Faktor resiko
Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi (Tabel 1). Dalam
laporan Sibai dkk (1986), pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.
Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun pada 11% pasien
muncul pada umur kehamilan 1,2 mg/dl
Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
2. Peningkatan fungsi hati
Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L
Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
3. Jumlah trombosit yang rendah
Hitung trombosit < 100.000/mm
Tabel 2. Kriteria diagnosis sindrom HELLP (university of tenessee, Memphis)
2.6 Diagnosis banding
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat
bervariasi, yang tidak bernilai diagnostic pada preeklampsi berat. Akibatnya sering terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan.
Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi:
1. Penyakit yang berhubungan dengan kehamilan :
Benigna trombositopenia dalam kehamilan
Acute Fatty Liver of Pregnancy (AFLP)
2. Penyakit infeksi dan inflamasi, tidak berhubungan dengan kehamilan :
Hepatitis
Kolangitis
Kolesistisis
Gastritis
Ulkus gaster
Pankreatitis akut
Infeksi saluran kemih bagian atas
3. Trombositopenia
ITP
Defisiensi asam folat
SLE
2.7 Klasifikasi
2.7.1. Klasifikasi berdasarkan jumlah kelainan.
Dalam sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai sindrom HELLP parsial
(mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP total (ketiga kelainan
ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko menderita komplikasi seperti
DIC, dibandingkan dengan wanita dengan sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam, sebaliknya yang parsial dapat diterapi konservatif.
2.7.2. Klasifikasi berdasarkan jumlah trombosit.
Berdasarkan kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP diklasifikasikan dengan nama klasifikasi Mississippi
1. kelas I
kadar trombosit 50.000/ml
LDH 600 IU/l
AST dan atau ALT 40IU/l
2. Kelas II
Kadar trombosit antara >50.000 100.000/mm
LDH 600 IU/l
AST dan atau ALT 40IU/l
3. Kelas III
Kadar trombosit antara >100.000 150.000/mm
LDH 600IU/l
AST dan atau ALT 40IU/l
Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan pemulihan
penyakit pada post partum, keluaran maternal dan perinatal.Sindrom HELLP kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan kelas III.2.8. Penatalaksanaan.
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan
pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah.
Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv.
Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO4 Hal ini berguna menurunkan risiko perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline) iv dalam dosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Labetalol, Normodyne dan nifedipin juga digunakan dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.
Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa penulis menganggap sindrom ini merupakan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan seksio sesarea, namun yang lain merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur. Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di NICU (Neonatal Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan. Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam literatur sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat.
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35 minggu,
atau jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus dipantau secara kontinu selama periode ini.
Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan istirahat dapat meningkatkan
volume plasma. Pasien tersebut juga menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha
ekspansi volume plasma ini akan menguntungkan karena meningkatkan jumlah
8 trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan pemberian prednison atau betametason.
Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yang dapat dipulihkan dengan istirahat mutlak dan penggunaan kortikosteroid. Kehamilan pun dapat diperpanjang sampai 10 hari, dan semua persalinan melahirkan anak hidup, pasienpasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari 100.000/mm atau mempunyai enzim hati yang normal. Dua laporan terbaru melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroid saat antepartum dan postpartum menyebabkan perbaikan hasil laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP.
Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan betametason 12
mg/24 jam im, karena deksametason tidak hanya mempercepat pematangan paru janin tapi juga menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang diterapi dengan deksametason mengalami penurunan aktifitas AST yang lebih cepat, penurunan tekanan arteri ratarata
(MAP) dan peningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan anti
hipertensi dan terapi cairan dapat dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus
dipantau tiap 6-8 jam. Terapi kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri epigastrium hilang dengan tekanan darah stabil 50 ml/jam. Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang
mengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus
diizinkan partus pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32 minggu persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harus memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviks belum matang dan umur kehamilan < 32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara terbaik.
Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm. Namun tidak perlu diulang karena pemakaiannya
terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama 48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk beberapa hari.
Penanganan sindrom HELLP post partum sama dengan pasien sindrom HELLP
anteparturn, termasuk profilaksis antikejang. Kontrol hipertensi harus lebih ketat.
Tabel 3. Penanganan Sindrom HELLP
2.9 Komplikasi
2.9.1. Komplikasi terhadap ibu
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25% berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress syndrome, kegagalan hepatorenal, udem paru, hematom subkapsular, dan rupture hati.2.9.2. Komplikasi terhadap bayi
Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksi
intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa pertumbuhan janin terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom gangguan pernafasan (RDS).