case 2 anak
description
Transcript of case 2 anak
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. M. R
Umur : 3 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Pahlawan IIIA No 3 Semarang
Agama : Islam
Suku : Jawa
Ruang : Seruni, No. 202/III
Masuk Rumah Sakit : 12 Juli 2015
Keluar Rumah Sakit : 16 Juli 2015
No.RM : 13-07-121183
Jaminan : PT APPAREL
I. ANAMNESIS (Alloanamnasis 13-07-2015 Pukul 13:00 WIB)
Keluhan utama:
Demam
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara diantar oleh orang tuanya dengan keluhan
demam sejak 5 hari yang lalu. Demam tinggi dan timbul secara mendadak dan terus-
menerus. Orang tua pasien juga mengatakan pasien pilek cair bening, nafsu makan
turun (+), pusing (-) dan nyeri kepala (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), ruam di kaki,
tangan, dan badan (-), menggigil (-), nyeri otot (-), nyeri sendi (-), batuk (-), nyeri telan
(-), nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-), kembung (-), nyeri telinga (-), cairan yang
1
keluar dari telinga (-), BAK normal, warna kuning. BAB normal, konsistensi padat,
BAB warna hitam/merah (-), diare (-). 3 hari SMRS pasien diperiksakan ke puskesmas
dan diberi obat penurun panas. Demam mereda setelah minum obat penurun panas, tapi
kemudian panas lagi setelah obat habis.
Riwayat penyakit dahulu:
Typhoid : Pernah
DBD : Disangkal
Diare : Pernah
ISPA : Pernah
Kejang : Disangkal
Alergi : Disangkal
Riwayat penyakit keluarga:
Keluhan serupa : Disangkal
Typhoid : Disangkal
DBD : Disangkal
Diare : Disangkal
ISPA : Disangkal
Kejang : Disangkal
Alergi : Disangkal
TBC : Disangkal
Riwayat Pemeliharaan Perinatal :
Ibu pasien biasa memeriksakan kandungannya secara teratur ke bidan 2 kali setiap
bulan sampai usia kehamilan 9 bulan. Selama hamil ibu mengaku mendapat imunisasi
TT 2 kali di bidan. Obat–obat yang diminum selama kehamilan adalah vitamin dan
penambah darah. Dan tidak pernah menderita penyakit selama kehamilan.
Kesan : riwayat pemeliharaan perinatal baik
2
Riwayat persalinan ibu:
Pasien merupakan anak laki-laki lahir dari ibu G1P0A0 dengan usia kehamilan 38
minggu, lahir secara normal, persalinan ditolong oleh bidan, anak lahir langsung
menangis, berat badan lahir 3200 gram. Panjang badan lahir 50 cm.
Kesan : neonatus aterm, sesuai masa kehamilan, lahir spontan
Riwayat imunisasi :
BCG : 1x (usia 1 bulan)
Hep B : 3x (usia 0, 1 , 6 bulan)
Polio : 4x (usia 0, 2, 4, 6 bulan)
DPT : 3x (usia 2, 4, 6 bulan)
Campak : 1x (usia 9 bulan)
Kesan : Imunisasi belum lengkap dengan jadwal Imunisasi IDAI 2014
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan :
Pertumbuhan :
Berat badan lahir 3200 gram. Panjang badan lahir 50 cm. Berat badan saat ini 16
kg, Tinggi badan saat ini 100 cm.
Perkembangan :
Senyum : 2 bulan Berjalan : 12 bulan
Miring : 3 bulan Bicara : 12 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Gigi keluar : 6 bulan3
Duduk : 7 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 10 bulan
Kesan: Pertumbuhan anak tidak diketahui hasil intrepretasinya dan Perkembangan
anak sesuai umur.
Riwayat asupan nutrisi :
- ASI diberikan sejak lahir sampai usia 6 bulan
- Mulai usia 6 bulan, anak diberi susu formula dan bubur
- Mulai usia 9 bulan, anak diberi bubur saring dan nasi tim
- Mulai usia 12 bulan, anak diberi makanan keluarga, nasi dengan lauk pauk
dan sayur yang bervariasi diberikan 3x/hari
Kesan : Diberikan ASI eksklusif
Kualitas & kuantitas makanan & minuman baik
II. PEMERIKSAAN FISIK (13-07-2015 Pukul 13:30)
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang,
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign :
- HR : 110 x/menit (kuat, regular)
- Suhu : 37.7 ºC, saat datang 38.2 ºC
- RR : 22 x/menit (regular)
Data antropometri :
- Berat badan : 16 kg
- Tinggi Badan : 100 cm
- Status gizi : (gizi baik)
4
Pemeriksaan Sistem
Kepala : Normocephal
Mata :Pupil bulat, isokor, cekung -/- , diameter 3mm/ 3mm,
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedema palpebral
(-/-)
Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), sekret (+/+) bening
dan encer
Telinga : Bentuk normal, tanda peradangan (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Bibir kering (-), Bibir sianosis (-), Mukosa Hiperemis (-),
lidah kotor (-)
Tenggorok : T1-T1 mukosa hiperemis (-), mukosa faring hiperemis (-),
kripte melebar (-), detritus (-)
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB
Axilla : Tidak teraba pembesaran KGB
Thorax : simetris dan datar.
Jantung
o Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V 1 cm medial dari
midclavicula line sinistra
o Perkusi : Batas jantung kiri ICS V MCL sinistra
Batas jantung kanan ICS VI sternal line dextra
Batas jantung atas ICS III parasternal line sinistra
o Auskultasi : BJ I - II (N), regular, murmur (-), gallop (-).
Paru – paru
o Inspeksi : Gerakan simetris dalam keadaan statis dan dinamis5
simetris, retraksi suprasternal (-), epigastrium (-),
intercostalis (-)
o Palpasi : Stem fremitus dextra et sinistra sama kuat
o Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
o Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen
o Inspeksi : Datar
o Auskultasi : Bising Usus (+) 12 x/ menit, peristaltik normal
o Perkusi : Timpani
o Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), turgor baik
Genitalia dan Anus : Laki-laki, dalam batas normal
Ekstrimitas :
Akral hangat (+), oedema (-), CRT < 2 detik, petechie spontan (-),
Rumple leed : (+)
Kulit : turgor baik
Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran
Pemeriksaan Neurologis
Tanda rangsang meningeal : (-)
Tanda Peningkatan TIK : (-)
Nervus Cranialis : Dalam batas normal
Motorik : Dalam batas normal
6
Sensorik : Dalam batas normal
Reflek fisiologis : (+)
Reflek Patologis : (-)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Px. Darah 12-07-2015 14-07-2015 15-07-2015 16-07-2015
Leukosit (/uL) 3400 4000 8200 9800
Hemoglobin (g/dL) 12.5 11.5 11.9 12.1
Hematokrit (%) 36 32.5 34.4 35
Trombosit (/uL) 158000 104000 83000 153000
Widal:
S. TH - O
S. TH - H
P TH
1/40
1/40
-
1/80
-
-
-
-
-
-
-
-
Kesan : leucopenia dan trombositopenia
IV. PEMERIKSAAN KHUSUS
Data Antropometri
Anak laki-laki usia 3 tahun , Berat badan 16 kg, Tinggi badan 100 cm.
7
8
9
10
Z-Scor Indikator Pertumbuhan
Panjang/tinggi
terhadap umur
Berat terhadap umur Berat terhadap
panjang/tinggi
Di atas 3 Lihat catatan 1 Obesitas
Di atas 2 Lihat catatan 2 Overweight (gizi
lebih)
Di atas 1 Beresiko gizi
lebih (lihat
catatan 3)
0 (median)
Di bawah -1
Di bawah -2 Perawakan pendek
(lihat catatan 4)
Gizi kurang Kurus
Di bawah -3 Perawakan sangat
pendek/kerdil (lihat
catatan 4)
Gizi buruk (lihat
catatan 5)
Sangat kurus
Catatan :
1. Anak dalam kelompok ini berperawakan tinggi. Hal ini tidak masih normal.
Singkirkan kelainan hormonal sebagai penyebab perawakan tinggi.
2. Anak dalam kelompok ini mungkin memiliki masalah pertumbuhan, tapi lebih baik
diukur menggunakan perbandingan berat badan terhadap panjang/tinggi atau IMT
terhadap umur.
3. Titik plot yang berada di atas angka 1 menunjukan beresiko gizi lebih. Jika makin
mengarah ke garis Z-scor 2 resiko gizi lebih makin meningkat.
4. Mungkin untuk anak dengan perawakan pendek atau sangat pendek memiliki gizi
lebih.
5. Hal ini merujuk pada gizi sangat kurang dalam modul pelatihan IMCI (Integrated
Management of Childhood Illness in-service training. WHO, Geneva 1997).
Kesan : Status Gizi Baik dan Perawakan Normal
11
V. RESUME
Telah diperiksa seorang anak laki-laki berusia 3 tahun, berat badan 16 Kg, dan tinggi
badan 100 cm dengan keluhan demam sejak 5 hari yang lalu. Demam tinggi dan timbul
secara mendadak dan terus-menerus. Orang tua pasien juga mengatakan pasien pilek
cair bening, nafsu makan turun (+), pusing (-) dan nyeri kepala (-), mimisan (-), gusi
berdarah (-), ruam di kaki, tangan, dan badan (-), menggigil (-), nyeri otot (-), nyeri
sendi (-), batuk (-), nyeri telan (-), nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-), kembung (-),
nyeri telinga (-), cairan yang keluar dari telinga (-), BAK normal, warna kuning. BAB
normal, konsistensi padat, BAB warna hitam/merah (-), diare (-). 3 hari SMRS pasien
diperiksakan ke puskesmas dan diberi obat penurun panas. Demam mereda setelah
minum obat penurun panas, tapi kemudian panas lagi setelah obat habis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan rumple leed (+).
Pada laboratorium terdapat leukopenia dan trombositopenia.
VI. DIAGNOSIS BANDING
- DHF grade 1, 2, 3, 4
- DF
- Tifoid Fever
VII. DIAGNOSIS KERJA
Dengue Fever grade I
VIII. PENATALAKSANAAN
IX.
Medikamentosa
- Infus 2A ½ N 16 tpm
- Praxion syr 3x1 cth
- Dextamin syr 2x1 cth
- Imunos 1x1 cth
Non Medikamentosa
- Tirah baring
- Banyak minum air putih, sari kurma, makanan bergizi dan lunak.
Usulan : Ulang darah rutin tiap 24 jam
12
X. EVALUASI
- Keadaan umum dan tanda – tanda vital
- Awasi timbulnya komplikasi
- Ulang darah rutin tiap 24 jam
XI. KOMPLIKASI
- Syok (DSS)
XII. EDUKASI
- Memberitahukan orang tua untuk mengawasi anak dari tanda – tanda syok berupa
nafas cepat, nadi cepat, anak gelisah, anak tampak lemas dan sulit dibangunkan.
BAK berkurang, kaki dan tangan menjadi dingin, kulit lembab.
- Di rumah :
Jika anak panas, kompres air biasa, beri obat penurun panas. Jika panas
tidak turun segera, segera bawa ke pelayanan kesehatan terdekat.
Proteksi diri agar tidak digigit nyamuk ( tidur menggunakan kelambu,
menggunakan lotion anti nyamuk )
3 M +
Menguras tempat penampungan air
Menutup tempat penampungan air
Mengubur barang bekas yang dapat menampung air, tidak
menggantung pakaian terlalu banyak, tidur menggunakan
kelambu
Abatisasi untuk memberantas jentik – jentik nyamuk
Meningkatkan sanitasi dan hygiene lingkungan rumah
- Dilakukan program Fogging
XIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
13
LEMBAR FOLLOW UP
Tanggal
Jam
13-07-2015
07.00 WIB
14-07-2015
07.00 WIB
15-07-2015
07.00 WIB
16-07-2015
07.00 WIB
Keluhan
Panas (+)
Pilek (+) cair
bening
Nafsu makan
turun
Panas (-)
Pilek (-) cair
bening
Nafsu makan
(perbaikan)
Panas (-)
Pilek (-) cair
bening
Nafsu makan
turun
(perbaikan)
Panas (-)
Pilek (-) cair
bening
Nafsu makan
baik
KU/KES TSS/CM TSS/CM TSR/CM TSR/CM
TTV:
RR
HR
S
22x/menit
110x/menit
37.7 C
20x/menit
116x/menit
36.6 C
24x/menit
112x/menit
36.2 C
22x/menit
118x/menit
36.3 C
Kepala dbn dbn dbn Dbn
Kulit dbn dbn dbn Dbn
Mata dbn dbn dbn Dbn
Telinga dbn dbn dbn Dbn
Hidung Sekret bening dbn dbn Dbn
Mulut dbn dbn dbn Dbn
Thorax :
Cor
Pulmo
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
Abdomen dbn dbn dbn Dbn
Ekstremitas dbn dbn dbn Dbn
Laboratorium
Px. Darah 12-07-2015 14-07-2015 15-07-2015 16-07-2015
Leukosit (/uL) 3400 4000 8200 9800
Hemoglobin (g/dL) 12.5 11.5 11.9 12.1
14
Hematokrit (%) 36 32.5 34.4 35
Trombosit (/uL) 158000 104000 83000 153000
Widal:
S. TH - O
S. TH - H
P TH
1/40
1/40
-
1/80
-
-
-
-
-
-
-
-
15
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM DENGUE
I. DEFINISI
Demam Dengue (dengue fever, selanjutnya disingkat DF) adalah penyakit yang
terutama terdapat pada anak remaja atau orang dewasa, dengan tanda - tanda klinis
demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, dengan/tanpa ruam
(rash) dan limfadenopati, demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada pergerakan
bola mata, rasa mengecap yang terganggu, trombositopenia ringan dan bintik-bintik
perdarahan (petekie) spontan (Mansjoer, 2005).
Demam Berdarah Dengue (dengue haemorrhagic fever, selanjutnya disingkat
DHF), ialah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam,
nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Uji tourniquet
akan positif dengan tanpa ruam disertai beberapa atau semua gejala perdarahan seperti
petekie spontan yang timbul serentak, purpura, ekimosis, epitaksis. hematemesis, melena,
trombositopenia, masa perdarahan dan masa protrombin memanjang, hematokrit
meningkat dan gangguan maturasi megakariosit (Mansjoer, 2005).
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome, selanjutnya disingkat DSS)
ialah penyakit DHF yang disertai renjatan (Mansjoer, 2005).
II. ETIOLOGI
Demam Berdarah Dengue ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
(DEN). Virus Dengue merupakan virus RNA untai tunggal yang terdiri atas 4 serotipe
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Struktur antigen empat serotipe sangat mirip
satu dengan yang lain, namun antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat
saling memberikan perlindungan silang. Virus dengue termasuk dalam genus Flavivirus
(famili Flaviviridae). Virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus (Mansjoer, 2005).
16
III. PATOGENESIS
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus sebagai
vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Apabila orang itu mendapat
infeksi berulang oleh tipe virus dengue yang berlainan akan menimbulkan reaksi yang
berbeda. DBD dapat terjadi, bila seseorang yang telah terinfeksi dengue pertama kali,
mendapat infeksi berulang dari virus dengue dengan serotipe lainnya. Virus akan
bereplikasi di nodus limfatikus regional dan menyebar ke jaringan lain, terutama ke
sistem retikuloendotelial dan kulit secara bronkogen maupun hematogen (Mansjoer,
2000).
Sejauh ini belum ada suatu teori yang dapat menjelaskan secara tuntas
patogenesis demam berdarah Dengue (Mansjoer, 2000). Berdasarkan data yang ada,
terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya
demam berdarah dengue.
Suhendro dkk (2006) menyebutkan bahwa respon imun yang diketahui berperan
dalam patogenesis DBD adalah:
1. respon imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam
netralisasi virus. Antibodi tersebut berperan dalam mempercepat replikasi virus
pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enhancement (ADE).
2. limfosit T baik T-helper (CD4) maupun T sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue.
3. monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibody. Namun proses ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah.
4. Aktivasi komplemen oleh kopleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Akibat aktivasi C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke
ekstravaskuler.
17
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue
adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis
immune enhancement (Chen, dkk. 2009).
Gambar 2.1 Hipotesis infeksi sekunder
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien
akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer
tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga
menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan
terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan
kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa
(Suhendro, 2006).
18
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung
bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat
yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan
mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan
dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari
proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok (Suhendro, 2006).
IV. MANIFESTASI KLINIS
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis
yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), dengue
fever, dengue haemorrhagic fever dan dengue shock syndrome; yang terakhir dengan
mortalitas tinggi yang disebabkan renjatan dan perdarahan hebat (Nimmanitya dkk., 1969;
Pongpanich dkk., 1973) Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini dapat disamakan
dengan sebuah gunung es.. DHF dan DSS sebagai kasus-kasus yang dirawat di rumah
sakit merupakan puncak gunung es yang kelihatan di atas permukaan laut, sedangkan
kasus-kasus dengue ringan (dengue klasik atau demam dengue, selanjutnya
disebut.demam dengue dan silent dengue infection; merupakan dasar gunung es.
Diperkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di rumah sakit telah terjadi 150
sampai 200 kasus silent dengue infection (WHO, 1980).
Demam Dengue
Masa tunas berkisar antara 3-15 hari, pada umumnya 5-8 hari. Pcrmulaan
penyakit biasanya mendadak. Gejala prodromal meliputi nyeri kepala, nyeri berbagai
bagian tubuh, anoreksia, menggigil dan malaise. Pada umumnya ditemukan sindrom
trias, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan timbulnya ruam. Ruam biasanya
timbul 5 - 12 jam sebelum naiknya suhu pertama kali, yaitu pada hari ketiga sampai hari
kelima dan biasanya berlangsung selama 3 - 4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang pada tekanan. Ruam mula-mula dilihat di dada, tubuh serta abdomen dan
menyebar ke anggota gerak dan muka (Soedarmo, 2008).
19
Pada lebih dari separuh penderita gejala klinis timbul dengan mendadak, disertai
kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata, punggung, otot dan sendi
disertai rasa menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat kurve yang menyerupai
pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurve ini tidak
ditemukan pada semua penderita sehingga tidak dapat dianggap patognomonik
(Soedarmo, 2008).
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan; di samping itu perasaan tidak nyaman
di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada
stadium dini penyakit sering timbul perubahan dalam indra pengecap. Gejala klinis lain
yang sering terdapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk,
epistaksis dan disuria. Demam menghilang secara lisis, disertai keluamya banyak
keringat. Lama demam berkisar di antara 3,9 dan 4,8 hari. Kelenjar getah bening servikal
dilaporkan membesar pada penderita; beberapa sarjana menyebutnya sebagai tanda
Castelani, sangat patognomonik dan merupakan patokan berguna untuk membuat
diagnosis banding. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai (Soedarmo, 2008).
Demam berdarah dengue
Kasus demam berdarah dengue ditandai dengan empat manifestasi klinis yaitu
demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan
peredaran darah (Soedarmo, 2008).
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan beratnya penyakit dan
membedakan demam berdarah dengue dari demam dengue adalah meningginya
permeabilitas kapiler pembuluh darah, menurunnya volume plasma, hipotensi,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Halstead mengemukakan gejala yang harus
dipertimbangkan dalam diferensiasi demam berdarah dengue dengan demam dengue,
adalah:
1. DHF biasanya disertai dengan pembesaran hati.
2. leukositosis seringkali ditemukan pada DHF, berlainan dengan demam dengue
yang pada umumnya disertai dengan leukopenia berat.
20
3. manifestasi perdarahan seperti petekhie, echimosis, uji tornikuet positif dan
trombositopenia lebih menonjol pada DHF.
4. limfadenopati, ruam makulopapular dan mialgia bersifat lebih ringan pada DHF.
Dengue shock syndrome
Disfungsi sirkulasi pada DBD, dengue shock syndrom, biasanya terjadi sesudah
hari 2-7, disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi plasma
leakage, efusi cairan ke rongga interstisial sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan
penurunan perfusi organ. Gangguan perfusi ginjal ditandai oleh oliguria atau anuria dan
gangguan perfusi susunan saraf pusat ditandai oleh penurunan kesadaran.
Pada fase awal sindrom syok dengue fungsi organ vital dipertahankan dari
hipovolemia oleh sistem hemostatis dalam bentuk; takikardia, vasokonstriksi, penguatan
kontraktilitas miokard, takipnea, hiperpnea, dan hiperventilasi. Vasokonstriksi perifer
mengurangi perfusi perfusi non-esensial di kulit dan mneyebabkan sianosis, penurunan
suhu permukaan tubuh dan pemanjangan waktu pengisian kapiler(>5 detik). Perbedaan
suhu kulit dan suhu tubuh yang >20C menunjukkan mekanisme hemostatis masih utuh.
Paad tahap SSD kompensasi curah jantung dan tekanan darah “normal” kembali.
Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat SSD, berarti sistem
hemostatis sudah terganggu dan kelainan hemodinamik sudah berat, sudah terjadi
dekompensasi. Mula-mula tekanan nadi turun, < 20 mmHg misalnya 100/90, karena
tekanan sistolik turun sesuai dengan penurunan venous return dan volume sekuncup, dan
tekanan diastolik meninggi sesuai dengan peningkatan tonus vaskuler.SSD berlanjut
dengan kegagalan mekanisme hemostatis, terjadi iskemia jaringan yang irreversibel dan
pasien akan meninggal dalam 12-24 jam.
V. DIAGNOSIS
Infeksi keempat serotipe virus dengue (DEN 1, 2, 3 and 4) dapat asimptomatik,
menuju ke dengue fever (DF), atau dengue haemorrhagic fever (DHF) dengan plasma
21
leakage yang dapat menimbulkan syok hipovolemik, dengue shock syndrome (DSS)
(WHO, 1999).
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji rumpele leed positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
a. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
b. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
c. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
(Suhendro, 2006).
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD menurut WHO 1997, yaitu:
1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniquet.
2. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.
3. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin
dan lembab, tampak gelisah.
4. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
22
(Suhendro, 2006).
Tabel pembagian derajat DBD menurut WHO (1997) :
DD/
DBD
Derajat Gejala Laboratorium
DD Demam disertai 2 atau lebih
tanda: sakit kepala, nyeri
retro orbital, mialgia dan
atralgia.
Leukopenia,
trombositopenia,
tidak ditemukan
bukti kebocoran
plasma
Serologi
dengue
positif
DBD I Gejala diatas ditambah uji
bendung positif
Trombositopeni
(<100.000/ul)
ditemukan bukti
kebocoran plasmaDBD II Gejala diatas ditambah
perdarahan spontan
DBD III Gejala diatas ditambah
kegagalan sirkulasi ditandai
dengan kulit dingin dan
lembab serta gelisah.
DBD IV Syok berat disertai dengan
nadi tak teraba dan tekanan
darah tak terukur
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai
pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai
23
hari ke 3 demam. Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan
terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin (Suhendro, 2006).
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga
jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai gold standart adalah metode isolasi virus.
Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih
dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali
yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus
melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR).
Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila
dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah
mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu
(Suhendro, 2006).
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu
dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi
mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari.
Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2 (Suhendro, 2006).
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah
pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1).
Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih
terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat
terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen
NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam
pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue.
Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan
tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik
untuk pelayanan primer (Suhendro, 2006).
24
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat
dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan
pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks.
Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG (Suhendro, 2006).
VII. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma
dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam
pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik
secara klinis maupun laboratoris (Suhendro, 2006).
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi
antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran
plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.
Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk
menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang
masif perlu selalu diwaspadai (Suhendro, 2006).
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang
cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna.
Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat
simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat
antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada
saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum) (Suhendro, 2006).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD
dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5
kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok
25
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama
pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat, yaitu dengan melakukan
pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, dan trombosit, bila :
- Hb, hmt, dan trombosit normal antara 100.000-150.000 pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam
waktu 24 jam berikutnya.
- Hb, hmt normal, tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
- Hb, hmt meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
rawat inap.
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (Gambar 2.2.)
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (Gambar 2.3.)
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa (Gambar 2.4.)
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 2.5.)
(Suhendro, 2006).
Gambar 2.2. Penanganan tersangka DBD tanpa syok
26
Gambar 2.3. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Gambar 2.4. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
27
Gambar 2.5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
28
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah
jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah
untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid
(ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO
menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena
dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis
cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain
memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak
mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal (Suhendro,
2006).
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah
edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid
memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL
secara bolus (20 ml/kgBB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya
dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial
(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam
waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml
masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat
beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga
terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam
temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik (Suhendro, 2006).
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan
yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma
29
(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan
lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin
didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya
yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping
koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid
dibandingkan kristaloid pada sindrom syok dengue (DSS) pada pasien anak dengan
parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil
sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas
dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di
Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi (Suhendro, 2006).
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran
plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada
kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance)
dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan
pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24
jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan
sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan
hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian,
pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi
masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau
masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis
pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik
tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10
mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan
30
dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada
kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi
hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu
dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal (Suhendro, 2006).
31
PEMBAHASAN
Dari anamnesis diperoleh, pasien mengeluh demam sejak 5 hari yang lalu.
Demam tinggi dan timbul secara mendadak dan terus-menerus. Orang tua pasien juga
mengatakan pasien pilek cair bening, nafsu makan turun (+), pusing (-) dan nyeri kepala
(-), mimisan (-), gusi berdarah (-), ruam di kaki, tangan, dan badan (-), menggigil (-),
nyeri otot (-), nyeri sendi (-), batuk (-), nyeri telan (-), nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah
(-), kembung (-), nyeri telinga (-), cairan yang keluar dari telinga (-), BAK normal, warna
kuning. BAB normal, konsistensi padat, BAB warna hitam/merah (-), diare (-). Dari
pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum pasien tampak lemah, sedangkan dari
pemeriksaan laboratorium menunjukkan leucopenia dan trombositopenia tetapi belum
menimbulkan manifestasi perdarahan, namun uji bendung (+) dan sehingga pasien dapat
didiagnosis Demam Dengue grade I.
32
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, A. 2005. Demam Berdarah Dengue dalam Kapita Selekta Kedokteran Eds.III. Media Aesculapius Fakultas Kedkteran UI. Jakarta.
Pusponegoro. Dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Eds.I. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
Soedarmo, S. dkk. 2008. Infeksi Virus Dengue dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Eds.II. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
Suhendro. Dkk. 2006. Demam Berdarah Dengue dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Eds.IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
WHO. 2008. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
33