Buletin Payo-Payo Edisi 07

16
1 HALAMAN PAYO-PAYO kabar pertanian dan pembangunan dari warga Edisi VII November 2014 Ketika berhasil hingga taraf tertentu, upaya itu memakan waktu cukup lama. Sebagian yang berhasil pun bisa dengan cepat menguap, se- bagian lagi tetap bertahan namun dalam ling- kup yang tetap kecil sehingga kurang mem- berikan dampak luas bagi masyarakat sekitar, setidaknya hingga sekarang. Pengorganisasian yang dilakukan SRP Payo- Payo biasanya dimulai dengan memperkenal- kan sesuatu yang baru, yang sebagian memang dibutuhkan oleh warga, seperti pengenalan System of Rice Intentification (SRI), pupuk organik, pembuatan instalasi biogas, sekolah lapang, dan semacamnya. Sebagian upaya ini dilakukan dengan dukungan penuh pemerin- tah desa. Sebagian lagi tidak didukung atau secara diam-diam ditentang. Di seluruh tempat, keberhasilan membentuk kegiatan kolektif yang dapat bertahan lama, dan berdampak lebih luas (di luar partisipan atau anggota SRP sendiri) nyaris tidak ter- lihat. Pengecualian bisa ditemukan di satu dusun bagian dari Desa Tompobulu. Semen- tara di Desa Soga kita masih harus menunggu apakah kerja-kerja kolektif yang kini telah ter- bangun dalam kerangka kerja SRP Payo-Payo Mengusahakan Kembali Kerja Kolektif REDAKSI PAYO-PAYO Dalam tujuh tahun terakhir ini, Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo berupaya melakukan pengorganisasian di beberapa desa. Selama proses tersebut, para pekerja lapangan kesulitan untuk mengajak warga desa melakukan kerja-kerja kolektif secara rapi dan bertahan lama, terutama jika melibatkan kerja rutin yang dikelola secara berkelompok. Foto: Dokumentasi Payo-Payo

description

Desa dan bagaimana warga mempertahankan budaya kerja kolektif

Transcript of Buletin Payo-Payo Edisi 07

Page 1: Buletin Payo-Payo Edisi 07

1HALAMAN

PAYO-PAYOkabar pertanian dan pembangunan dari warga

Edisi VII November 2014

Ketika berhasil hingga taraf tertentu, upaya itu memakan waktu cukup lama. Sebagian yang berhasil pun bisa dengan cepat menguap, se-bagian lagi tetap bertahan namun dalam ling-kup yang tetap kecil sehingga kurang mem-berikan dampak luas bagi masyarakat sekitar, setidaknya hingga sekarang.

Pengorganisasian yang dilakukan SRP Payo-Payo biasanya dimulai dengan memperkenal-kan sesuatu yang baru, yang sebagian memang dibutuhkan oleh warga, seperti pengenalan System of Rice Intentification (SRI), pupuk organik, pembuatan instalasi biogas, sekolah

lapang, dan semacamnya. Sebagian upaya ini dilakukan dengan dukungan penuh pemerin-tah desa. Sebagian lagi tidak didukung atau secara diam-diam ditentang.

Di seluruh tempat, keberhasilan membentuk kegiatan kolektif yang dapat bertahan lama, dan berdampak lebih luas (di luar partisipan atau anggota SRP sendiri) nyaris tidak ter-lihat. Pengecualian bisa ditemukan di satu dusun bagian dari Desa Tompobulu. Semen-tara di Desa Soga kita masih harus menunggu apakah kerja-kerja kolektif yang kini telah ter-bangun dalam kerangka kerja SRP Payo-Payo

Mengusahakan Kembali Kerja Kolektif REDAKSI PAYO-PAYO

Dalam tujuh tahun terakhir ini, Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo berupaya melakukan pengorganisasian di beberapa desa. Selama proses tersebut, para pekerja lapangan kesulitan untuk mengajak warga desa melakukan kerja-kerja

kolektif secara rapi dan bertahan lama, terutama jika melibatkan kerja rutin yang dikelola secara berkelompok.

Foto

: Dok

umen

tasi

Payo

-Pay

o

Page 2: Buletin Payo-Payo Edisi 07

2HALAMAN

dapat bertahan lebih lama.

Di sisi lain, warga sangat mudah me lakukan kerja kolektif berjangka pendek atau musi-man, baik yang berbasis proyek pemerintah (semisal, PNPM atau kelompok tani), ritual-ritual siklus hidup (seperti upacara aqiqah, ni-kahan, membangun rumah, kematian), ketika terjadi gangguan alam hingga yang menim-bulkan bencana (misalnya, membersih kan jalanan yang tertutup atau memperbaiki iriga-si yang rusak), atau kerja-kerja berkala seperti gotong-royong membersihkan lingkungan atau memperbaiki jembatan.

Kecenderungan ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa sebagian kerja kolektif dapat bertahan dan sebagian lagi tidak?

Dalam konteks semacam ini, SRP Payo-Payo berhadapan dengan berderet persoalan, se-bagaimana sering terungkap dalam berbagai diskusi internal tentang pengalaman be kerja di sekian banyak desa selama ini. Tiga di antara persoalan itu adalah: pertama, ketidak-percayaan secara luas terhadap tindak an kolektif untuk urusan ekonomi dan politik bersama yang berjangka panjang, seperti kita lihat pada pengelolaan kelompok tani, koperasi, musrenbang yang merupakan prog-ram pemerintah maupun proses pemilihan kepala daerah. Kedua, karenanya, tampak jelas kesulitan merawat tindakan-tindakan kolektif untuk urusan ekonomi dan politik bersama, terutama yang jangka panjang dan yang diarahkan untuk per ubahan perimbang-an kekuasaan (perubahan struktur sosial). Ketiga, kondisi ini diiringi pula dengan ham-pir absennya sistem kolektivisme, yaitu sis-

tem kepemilikan atau kontrol alat produksi dan distribusi secara kolektif oleh warga. Tidak ada lahan garapan bersama, sementara pengambilan keputusan dalam musrenbang atau program PNPM sering dikuasai elit desa, atau mengalami ‘elite capture’.

Persoalan-persoalan ini meminta penjelas-an lebih komprehensif untuk membangun pemahaman yang lebih baik dalam men-jalankan kerja pengoranisasian selanjutnya. Kami belajar dari pengalaman dan bacaan bahwa pengenalan terhadap struktur sosial masyarakat adalah prasyarat mutlak keber-hasilan pengorganisasian. Beberapa syarat suksesnya pengorganisasian masyarakat desa seperti kedekatan jarak fisik antara pengor-ganisir dan warga, kemampuan memilih ‘tan-dem’ di desa dan kemampuan membangun pranata desa berhubungan sangat erat dengan pengetahuan akan struktur sosial masyarakat tempat pengorganisasian dilaksanakan.

Untuk itulah kami menghadirkan kajian sing-kat ini, untuk melihat mengapa pengorga-nisasian kerja kolektif, terutama untuk urusan ekonomi dan politik, sulit berjalan. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan itu, struk-tur sosial seperti apa yang menghambat dan yang kemungkin an bisa menyokongnya, serta dinamika historis semacam apa yang mem-bentuk struktur semacam itu?

Kajian ini kami buat dalam bentuk buku pe-nelitian, dan buletin bulanan. Dalam buletin ini kami akan menghadirkan beberapa hasil penulisan para fasilitator lapangan. Sunardi Hawi menuliskan cara perempuan Coppeng-Coppeng mempertahankan kerja kolektif,

Warga sangat mudah me lakukan kerja kolektif berjangka pendek atau musiman, baik yang berbasis proyek peme rintah (semisal, PNPM atau kelompok tani), ritual-ritual siklus hidup (seperti upacara aqiqah, nikahan, memba ngun rumah, kema-tian), ketika terjadi gangguan alam hingga yang menimbulkan

bencana (misalnya, membersih kan jalanan yang tertutup atau memperbaiki irigasi yang rusak), atau kerja-kerja berkala seperti gotong-royong membersihkan lingkungan atau mem-

perbaiki jembatan.

Page 3: Buletin Payo-Payo Edisi 07

3HALAMAN

sedangkan Nurhady Sirimorok menulis men-genai memori kolektif hingga gagasan baru. Karno B. Batiran akan mengulas penting nya kerja kolektif. Ada juga pengalaman fasilita-tor lapangan yang kesulitan membangkit-kan kembali kerja kolektif di Desa Bonne-Bonne melalui wawancara dengan Mulyani

Pentingnya Kerja Kolektif KARNO B BATIRAN

Program-program bantuan pembangunan sebenarnya menyadari pentingnya kerja kolektif. Bukan hanya pemerintah, program-program bantuan pembangunan dari negara-negara maju yang kerap disebut masyarakat yang individualis sekalipun juga menyadari pentingnya semangat kerja kolektif, yang ka-dang diasosiasikan dengan sesuatu yang mun-cul dalam masyarakat sosialis.

Kerja kolektif bisa kita sebut gotong royong, un-tuk memudahkan pemahaman, meski penger-tian itu tidak sama persis. Bila ditelisik dalam setiap kerangka logis kerja-kerja program ban-tuan pembangunan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga donor penyalur bantuan, selalu meminta syarat dijalankannya sebuah proyek bantuan pemba-ngunan. Syarat itu adalah "kelembagaan". Misal-nya proyek bantuan untuk petani syaratnya "kelembagaan petani" yang memadai, kemudian diterjemahkan bahwa bantuan harus disalurkan melalui kelompok tani.

Mungkin mereka mengasumsikan kelom-pok tani merupakan sekelompok petani yang dilembagakan dalam sebuah organisasi ada-lah perwujudan dari semangat gotong royong atau tadi sudah disepakati sebagai kata lain dari kerja kolektif pada tingkat tertentu.

Dalam konteks pengorganisasian rakyat dan proyek bantuan pembangunan, memang tidak banyak yang bisa dilakukan dalam sebuah ko-munitas yang tidak lagi ‘mengenal’ kata kerja kolektif atau ‘kegotongroyongan murni’. Atau setidaknya masih mengenal secara samar-samar istilah kegotongroyongan namun tidak lagi bisa

ditemukan dalam laku sehari-harinya.

Belakangan kemudian memang gotong royong dimaknai sebagai mobilisasi masyarakat yang kadang-kadang dengan paksaan aparat untuk mengerjakan fasilitas-fasilitas umum seperti jalan, masjid, dll. Gotong royong bukan lagi sebagai sebuah semangat yang muncul secara alami dan naluriah untuk secara bersama menyelesaikan persoalan-persoalan bersama yang dihadapi.

Tanpa semangat kerja kolektif, mungkin bisa dikatakan setiap usaha yang dilakukan untuk mengorganisir masyarakat akan mental. Jan-gankan di pertengahan jalan bahkan sedari awal pun bisa sudah mengalami kegagal-an. Sebut contoh kasus Pak Maudu’ seorang petani di sebuah Desa di Camba, Maros.

Suatu waktu Pak Maudu’ dimasukkan dalam sebuah kelompok ternak sapi. Idenya, sebuah kelompok tani ternak akan memelihara sapi bersama dalam sebuah kandang ‘bersama’. Beberapa ekor sapi sejatinya dimiliki ber-sama oleh sekelompok petani dan dipelihara bersama-sama dalam sebuah kandang yang juga milik bersama. Tak berapa lama program tersebut bubar di tengah jalan. Setiap orang kemudian mengambil sapi-sapi tersebut satu persatu yang dianggap milik masing-masing, dibawa ke rumah masing-masing lalu dipeli-hara sendiri-sendiri.

“Ada yang kalasi,” kata pak Maudu’. Kalasi ba-hasa Bugis untuk kata curang.

Ide dasarnya karena itu adalah milik bersa-ma jadi semestinya dengan tanpa keberatan

Hasan. Sedangkan Hasnulir akan memapar-kan bagaimana warga desa me ngenang ker-ja kolek tif sebagai sebuah jalan memecah masalah bersama, tapi sangat sulit membang-kitkannya kembali.

Selamat membaca!

Page 4: Buletin Payo-Payo Edisi 07

4HALAMAN

petani-petani kelompok Pak Maudu’ akan berbagi tugas dan bekerja bersama-sama memberi makan sapi-sapi tersebut.

Tapi apa boleh buat, beberapa orang berlaku curang terhadap teman sekelompoknya.

Menurut penilaian mereka tidak semua orang berkontribusi dengan ‘adil’ dalam memeliha-ra sapi-sapi itu. Saat yang lain bekerja mengu-rus sapi-sapinya, yang lain tidak ikut bekerja. Tentu saja kasus tersebut tidak akan terjadi jika semua anggota kelompok Pak Maudu’ masih menjiwai semangat kerja kolektif.

Dengan semangat bahwa mengerjakan sesua-tu bersama-sama adalah untuk memecah-kan masalah bersama-sama, bukan bekerja bersama-sama untuk memperoleh keuntun-gan sendiri masing-masing dari hasil berbagi manfaat dari bekerja bersama-sama tersebut.

Cerita lain yang hampir sama terjadi di kam-pung Lamporo, Desa Tompobulu. Karena di Kampung tersebut tidak ada listrik dari pemer-intah, Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo ber-sama HYY (Dewan Mahasiswa Universitas Helsinki) mengusahakan proyek biogas untuk menyalakan listrik sekitar rumah saat itu.

Sejak awal Payo-Payo sudah diperingati orang-orang di Tompobulu, katanya warga Lamporo ‘susah‘ bekerjasama. Benar saja, se-jak awal proses memulai proyek sangat sulit. Konsensus susah tercapai. Mekanisme kerja tidak bisa disepakati. Proses pengerjaannya pun justru lebih banyak melibatkan warga lain yang bukan warga Lamporo.

Setelah instalasi biogas dan listrik ke rumah-ru-mah selesai, persoalan kembali muncul. Ternya-ta tidak ada warga yang mau mengandangkan sapinya dekat instalasi biogasnya. Padahal se-belumnya sudah sepakat bahwa setiap malam seekor sapi dari masing-masing warga akan di-kandangkan di kandang yang sudah disediakan untuk menyuplai kotoran sapi untuk biogas.

Mekanisme mengandangkan seekor sapi setiap malam tidak berjalan, kemudian dicari cara lain. Masing-masing warga akan mem-bawa kotoran sapi seember seorang, hanya

beberapa hari berjalan, cara tersebut juga mandeg. Alhasil alih-alih mendapat listrik, bi-ogasnya malah tidak terurus dan gagal total.

Kasus tersebut juga tidak akan terjadi jika warga Lamporo jika masih meresapi sema-ngat kerja kolektif sebagai sebuah ‘pola’ yang mutlak dilakukan untuk menyelesaikan secara bersama-sama persoalan bersama.

Cerita sebaliknya dicontohkan oleh kasus Sekolah Rakyat Petani Tompobulu. Berbagai persoalan bisa diselesaikan oleh mereka de-ngan motivasi utama adalah menyelesaikan masalah bersama ketimbang mendapatkan bagian pribadi dari bagi hasil manfaat bekerja bersama-sama.

Misalnya mereka bisa menyelesaikan persoal-an beratnya menanam padi dengan cara SRI (System of Rice Intensification), dengan beker ja bersama saling membantu secara bergantian di sawah anggota SRP yang dapat giliran menanam.

Di tempat lain petani membayar lebih buruh tanam untuk menanam dengan pola tanam SRI (satu bibit satu lubang tanam). Dampak lebih jauhnya kemudian mereka bisa mengor-ganisir diri untuk bersama membicarakan dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

Dua kasus awal di atas memberi gambaran betapa pentingnya semangat kerja kolektif. Untuk urusan yang masalahnya jelas teridentifikasi dan menjadi masalah bersama pun tidak bisa dengan mudah diselesaikan, bila warga yang terlibat tidak menge-nal kerja kolektif. Bahkan saat semua sumberdaya yang diperlukan tersedia (seperti proyek-proyek bantuan pembangunan). Masalahnya tetap su-lit diselesaikan jika sema ngat kerja kolektif absen dalam kehidupan warga.

Kasus terakhir menunjukkan bahwa mengorgani-sir warga bisa dengan mudah dilakukan apabila semangat kerja kolektif bisa kembali ditumbuhkan. Warga pun bisa dengan sendirinya mengorganisir diri dengan semangat kerja kolek tif, yang sebe-narnya dulu pernah mendasari hampir semua laku warga desa di masa lalu.

Karno B Batiran, Direktur Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo

Page 5: Buletin Payo-Payo Edisi 07

5HALAMAN

Hari masih pagi. Tak seperti biasanya warga dusun Pallawa Desa Soga di Kabupaten Sop-peng berbondong-bondong pergi ke sebuah tempat. Para orang tua, anak muda, peremp-uan dan laki-laki tertuju pada suatu tempat di hari itu, 5 Desember 2010. Mereka memadati suatu tempat berupa areal abbolang (lahan un-tuk rumah). Laki-laki mengitari balok-balok tiang yang terangkai dengan papan tebal. Se-mentara kaum perempuan berkumpul di se-buah kalampang (bangunan untuk keperluan khusus) berurusan dengan alat-alat makan. Mereka sedang bergotong royong memban-gun rumah.

Jam telah menunjukkan pukul 8 lewat, namun tak satu pun bagian rangkaian bisa ditegakkan oleh puluhan warga. Berdasarkan pengala-man warga, pukul 8 pagi, minimal dua bagian rangkaian sudah tegak berdiri.

Gagal pada percobaan pertama, warga ramai berdiskusi mengenai cara menegakkan rang-kaian yang memang dari segi material lebih berat dan dari segi dimensi serta jumlah ba-han lebih dari bangunan rumah pada um-umnya.

"Kapal Nabi Nuh". Demikian warga meng-

Pada Wadah Apa Marwah Makkaleleng Disemayamkan? HASNULIR NUR

umpamakannya. Wak Hasse, yang punya hajatan menggunakan teknik lain dari biasan-ya. Umumnya rangkaian dibuat menurut sisi lebar rumah. Ditegakkan mulai dari rangka-ian terdepan, berturut hingga rangkaian sisi lebar rumah paling belakang.

Kali ini, rangkaian dibuat menurut sisi samp-ing atau panjang rumah. Dengan begitu, jumlah balok-balok tiang lebih banyak dan papan tebal yang merangkainya lebih panjang dibanding rangkaian berdasarkan sisi lebar. Sehingga tenaga yang dibutuhkan untuk me-negakkannya juga jauh lebih besar.

Alasan Wak Hasse untuk menghemat waktu. Karena jumlah rangkaian yang akan dite gakkan lebih sedikit. Dia mengakui kalau beratnya rang-kaian di luar perkiraannyaa, hanya memikirkan bagaimana supaya waktu warga tidak tersita ter-lalu lama. Diskusipun berlangsung ramai. Silih berganti warga mengemukakan pengalaman-nya. Akhirnya lahir dua opsi; ubah rangkaian, atau tambah kekuatan.

Atas rekomendasi kepala tukang, Wak Hasse memilih menambah kekuatan. Dia kemudian bergegas ke kampung seberang bukit. Segera setelah bantuan datang, warga langsung ambil

Page 6: Buletin Payo-Payo Edisi 07

6HALAMAN

BULETIN PAYO-PAYO diterbitkan oleh sekolah rakyat petani (SRP) Payo-Payo be-kerjasama dengan Dewan Mahasiswa Helsinki (HYY). PIMPINAN REDAKSI Nurhady Sirimorok; REDAKTUR PELAKSANA Anwar Jimpe Rachman; TIM KERJA PROGRAM Karno B. Batiran, Hasnulir Nur, Jumadil M Amin, Muh. Imran (Tompo Bulu), As'ad Rauf (Soga), Ibnul Hayat Tanrere (Bonne-Bonne). ALAMAT REDAKSI Kantor SRP Payo-Payo, Jalan Poros Maros-Bantimurung No. 111, RT 1 RW 4, Dusun Sege-segeri, Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indone-sia 90561, Telepon: 04113881144, email: [email protected]

posisi. Rangkaian pertama sisi kanan sukses ditegakkan. Kemudian berturut-turut hingga rangkaian terakhir tanpa jeda.

Saat istirahat, warga saling tukar cerita. Cerita tentang pekerjaan yang baru saja mereka sele-saikan, pekerjaan kebun, masalah kakao, ker-jaan bersama di PNPM, politik, atau sekedar saling mengklarisifikasi gosip terbaru yang beredar, bahkan sampai soal remeh seperti gugurnya idola mereka di konteks dangdut televisi.

Mereka terlihat sangat menikmati keber-samaan. Ketika saya ungkapkan tanggapan mengenai asyiknya mereka bercengkrama, se-orang warga menimpali dengan canda; di sini orang datang bekerja sama intinya makan dan tukar cerita.

Tak jarang, jika ada informasi penting, mere-ka biasa langsung membuat kesepakatan un-tuk melanjutkan ke pertemuan khusus untuk membahasnya. Beberapa kasus selesai dipu-tuskan saat itu juga.

Pernah suatu waktu ada bantuan material un-tuk memperbaiki tempat tinggal seorang war-ga miskin yang dibawa Kepala Desa waktu itu. Tapi bantuan itu tidak cukup. Setelah berdis-kusi dan beberapa warga siap membantu baik menyumbang bahan dan tenaga, masalah se-lesai saat itu juga.

Selain membangun rumah, pesta adat juga masih merupakan wadah warga bekerja sama. Pesta perkawinan misalnya. Satu minggu sebe-lumnya, warga sudah mulai bergotong royong membantu. Saat mattamping bola (menambah luasan rumah) dan massarapo (membuat pa-

gar berupa wala suji) yang mengelilingi area pesta serta membuat panggung tempat pelam-inan. Itu bagi laki-laki. Adapun perempuan, menyediakan konsumsi bagi para pekerja.

Bantuan lain yang tak kalah pentingnya ada-lah passolo atau uang tunai yang disimpan dalam amplop atau sampul undangan yang biasanya diserahkan di pelaminan di hari perkawinan. Dengan bantuan uang ini be-lanja pesta jadi tidak memberatkan. Terlebih lagi jika yang menggelar pesta adalah anggota "arisan pesta". Arisan biasanya dalam bentuk bahan bahan pangan kebutuhan pokok yang disetor saat ada anggota mengadakan pesta. Dengan tradisi ini, setiap rumah tangga bisa menggelar pesta walau kondisi ekonomi pas-pasan.

***

Hingga saat ini, tradisi-tradisi tersebut masih dipegang teguh. Tapi kerja gotong royong ini hanya dilakukan pada peristiwa tertentu yang jarang terjadi, seperti pesta perkawinan dan bangun rumah.

Jika dalam membangun rumah dan pesta warga bisa bekerja

sama dan bertahan sampai seka-rang, kenapa dalam hal bertani

sebagai penyangga ekonomi yang dibutuhkan sehari-hari tidak

bisa bertahan sampai sekarang? kenapa makkaleleng (kerja sama secara bergiliran dalam bertani)

tidak bisa bertahan sampai seka-rang, padahal berkaitan dengan

dapur tiap hari?

Page 7: Buletin Payo-Payo Edisi 07

7HALAMAN

Melihat antusiasme warga dalam bekerjasama setidaknya dalam dua hal tersebut di atas dan manfaatnya, tentu menimbulkan pertanyaan mengapa warga tidak bisa bertahan kerja sama justru pada hal yang menyangkut ke-hidupan sehari-hari. Apalagi mereka hanya bisa mengenang pengalaman kerjasama yang pernah menjadi tradisi itu.

Dalam sebuah diskusi kelompok membahas kegotong-royongan, secara bergantian warga menuturkan kenangan mereka. Saat mak-kalaleng masih aktif mereka merasakan ke-bersamaan. Ada perasaan tidak enak dengan anggota kelompok lain jika tak terlibat dan mereka akan ketinggalan informasi jika tidak sempat hadir.

Makkaleleng sebagaimana kegiatan kerja sama lainnya merupakan sarana bagi warga saling berbagi informasi tentang segala hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial mereka. Kebun-kebun warga selalu ramai. Warga juga terbiasa kerja disiplin. Kerja mu-lai pukul 7 pagi sampai 11 siang. Bekerja sama juga mendorong kerja giat, karena jika kerja asal-asalan, hasilnya akan sangat kelihatan jika dibandingkan dengan hasil kerja anggota lain. Tiap satu kelompok, ada seorang yang dituakan dan dijadikan sebagai ketua. Ketua kelompok ini menjadi tempat orang muda be-lajar bertani. Misalnya pelajaran kapan mulai menanam.

“Seandainya dulu ada PPL, kerjanya bisa lebih gampang karena tinggal menghubungi kelompok makkaleleng. Sekarang ada kelom-pok, tapi tidak ada kegiatan bertani secara sama-sama,” ujar seorang warga.

Ditanya mengenai kapan tradisi makkaleleng mulai menghilang, warga hanya menyebut secara seragam; saat kakao telah memenuhi lahan perkebunan.

Alasannya beragam. Namun yang paling mengemuka adalah pergantian tanaman may-oritas, dari jagung dan tanaman jangka pen-dek lainnya menjadi kakao.

Bertani jangka pendek butuh tenaga besar dan siklus pekerjaan yang sering apalagi dengan alat pertanian sederhana. Karena bergantung pada musim, pekerjaan tidak bisa ditunda, saat menanam, memelihara maupun me-manen. Sehingga tidak bisa dikerjakan sendi-rian. Berbeda dengan bertani jangka panjang seperti kakao. Sekali tumbuh dan berbuah, pekerjaan tinggal memangkas, memupuk, membasmi hama dan memanen. Dengan dukungan teknologi pertanian, pekerjaan relatif mudah dan bisa dikerjakan sendiri. Nilai jual kakao yang semakin hari semakin meningkat, mulai memunculkan kebiasaan menggaji buruh.

Lalu apakah makkaleleng bisa digalakkan lagi?

Warga mengungkapkan beberapa hal yang menurut mereka membuat kerja sama dalam pertanian sulit dilakukan kembali. Salah satu-nya, generasi muda tidak tertarik bertani. Ke-banyakan warga cenderung individual, mulai terbiasa kerja santai dan tidak ingin terikat pada orang lain.

Beberapa program pemerintah yang men-saratkan kerja bersama bahkan mendorong pembentukan kelompok-kelompok tani di desa, itu pun tak juga membuat warga ke se-mangat kerja sama seperti dulu. Malah warga cenderung resisten dengan program yang ada kegiatan kelompoknya. Terutama jika datang dari pemerintah. Sebab, program-program dikelola secara tidak transparan. Mereka ber-anggapan program-program tersebut hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.

Walau begitu, warga masih punya harapan. Setidaknya tersirat dalam pertanyaan mere-ka; “lalu dalam hal apa makkaleleng bisa kita lakukan?” Mungkinkah penurunan produksi kakao yang membuat ekonomi warga menu-run bisa jadi jalan menuju makkaleleng?

Hasnulir, aktif di Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo mengurusi bidang penelitian dan pengembangan.

Page 8: Buletin Payo-Payo Edisi 07

8HALAMAN

Sejak akhir 1980-an, kakao mulai mendomi-nasi Desa Soga, Kecamatan Marioriwawo, Kabupaten Soppeng Termasuk Coppeng-Coppeng, salah satu perkampungan yang di-huni 157 kepala keluarga. Tanaman kakao di kampung ini bahkan merambah hingga peka-rangan rumah warga.

Saat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika anjlok pada masa krisis moneter tahun 1997-1998, petani menikmati masa emas kakao.

Cerita kini berbeda. Petani kakao Soga berha-dapan dengan tanaman kakao yang semakin menua dan serangan berbagai penyakit, sep-erti penggerek buah. Produksi kakao terus menurun, kuantitas dan kualitas. Kondisi ini berdampak langsung pada pendapatan ru-mah tangga petani kakao. Sejumlah program pemerintah dan swasta, hingga saat ini, tak

kunjung memuaskan petani. Cerita kakao se-bagai primadona tampaknya telah berakhir.

Tanaman kakao juga menyisakan lahan yang nyaris tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk tanaman musiman. Input kimia secara berle-bih yang berlangsung sekitar dua puluh tahun membuat tanah kehilangan kesuburan. Butuh waktu untuk memulihkan kondisinya.

Sistem bertani warga pun turut berubah dengan datangnya kakao. Saat masih banyak petani me-nanam jagung atau tembakau, sebagian besar kerja bertani dilakukan secara berkelompok. Ini memudahkan mereka mengerjakan lahan yang harus disesuaikan dengan kondisi cuaca. Ini berbeda dengan kakao yang tidak bergantung pada siklus musim, sehingga menurut petani, tanaman kakao lebih mudah dikerjakan tanpa harus berkelompok.

Cara Perempuan Desa Pertahankan Kerja Kolektif SUNARDI HAWI

Makkaleleng yang telah surut mewariskan kerja kolektif dalam bentuk lain. Di Coppeng-Coppeng, kebiasaan bekerja bersama dalam kegiatan selain hajatan

masih sering dipraktikan kelompok perempuan.

Foto

: Dok

umen

tasi

Payo

-Pay

o

Perempuan Soga beristirahat di sela waktu bekerja bersama mereka.

Page 9: Buletin Payo-Payo Edisi 07

9HALAMAN

Masyarakat Soga menamai cara kerja berkelompok itu makkaleleng (Bahasa Bugis: bekerja secara bersama-sama). Kebiasaan ini dilakukan pada masa persiapan lahan, penan-aman, perawatan tanaman, hingga pengolah-an pasca panen. Saat masih dipraktikan, ada banyak kelompok makkaleleng di Soga. Rata-rata setiap kelompok beranggotakan 8 orang atau lebih yang mengerjakan lahan anggota secara bergiliran. Makkaleleng tidak hanya dipraktikkan petani laki-laki. Petani perem-puan juga memiliki kelompok sendiri.

Di Coppeng-Coppeng, kelompok mak-kaleleng Ma’ Haji Sabang bahkan pernah menjadi buah bibir hingga memunculkan is-tilah bagi warga desa. Jika ingin membersih-kan rumput liar di kebun, maka gunakanlah “racun Ma’ Haji Sabang”. Istilah ini meng-gambarkan kehandalan kelompok Ma’ Haji Sabang yang mampu membersihkan rumput liar secepat pestisida (pestisida dalam bahasa bugis disebut dengan racun). Kelompok per-empuan ini juga lenyap saat kakao menjadi tanaman utama. Kegiatan bekerja bersama terbatas pada acara hajatan keluarga (perni-kahan, lahiran, kematian, dan lainnya).

Makkaleleng yang telah surut mewariskan kerja kolektif dalam bentuk lain. Di Coppeng-Coppeng, kebiasaan bekerja bersama dalam kegiatan selain hajatan masih sering diprak-tikan kelompok perempuan. Mereka misalnya terlibat secara kolektif memperbaiki jalan kampung atau membersihkan masjid. Menu-rut cerita warga, setiap kegiatan kerja bakti kampung, seperti perbaikan jalan kampung atau perawatan mesjid, kelompok perempuan berperan penting. Mulai dari mengangkat material hingga menyiapkan makanan. Ke-biasaan bekerja bersama ini berlanjut dalam kegiatan ekonomi, seperti kelompok arisan dan usaha bersama.

Kelompok arisan perempuan ini ada beragam jenis. Mulai dari arisan bahan-bahan pokok (beras, minyak goreng, terigu, dll.) untuk kep-erluan hajatan hingga uang tunai. Sementara usaha bersama kelompok perempuan adalah pembuatan penutup bosara’ (wadah penyajian

panganan kue selama hajatan) yang berbahan dasar bambu. Keuntungan penjualan keraji-nan ini dibagikan ke anggota kelompok sesuai volume kerja masing-masing, sebagian disim-pan sebagai modal kelompok.

Menurut para perempuan, kegiatan arisan dilakukan untuk menyiasati kebutuhan ekonomi rumah tangga. Khususnya ketika menggelar hajatan seperti pernikahan mereka membutuhkan biaya cukup besar. Uang arisan dapat menutupi hingga setengah kebutuhan biaya hajatan, warga pun merasa lebih ringan mengumpulkannya karena dilakukan secara bertahap. Kelompok arisan seperti ini juga dibentuk para perempuan di perkampungan lainnya di Soga.

Kelompok perempuan di Coppeng-Coppeng juga mengumpulkan dana untuk membeli peralatan yang bisa digunakan bersama se-perti peralatan pecah belah (piring, sendok, dll), yang disimpan di rumah Kepala Dusun. Barang bersama ini bisa dimanfaatkan oleh setiap warga yang mengadakan hajatan.

Kebiasaan perempuan bekerja bersama yang masih terpelihara di Coppeng-Coppeng menurut

sejumlah warga dipengaruhi oleh beberapa hal. Misalnya, seorang

perempuan yang dianggap sebagai salah satu orang tua di kampung tersebut, hingga saat ini masih memelihara kebiasaan berkumpul dengan menginisiasi

acara-acara gotong royong di kampung. Menurut sejumlah ibu, “Nenek Haji,” sangat rajin menye-diakan makanan setiap ada kerja bakti (kerja kolektif sukarela). Hal ini membuat perempuan lainnya merasa “tidak enak” jika tidak ikut terlibat, hingga kemudian

menjadi sebuah kebiasaan dan terawat hingga saat ini.

Page 10: Buletin Payo-Payo Edisi 07

10HALAMAN

Kebiasaan bekerja bersama yang masih dipraktikkan oleh para perempuan di Cop-peng-Coppeng. Menurut Asad Rauf, fasilita-tor SRP Payo-Payo yang dua tahun terakhir bekerja di Soga, bisa menjadi “pintu-masuk” berbagai program. Menurutnya, jika hendak mengorganisir warga di kampung ini untuk kegiatan baru, bekerjalah dengan kelompok perempuan. Celah inilah yang dimanfaatkan Asad. Bekerja dengan perempuan membuat pekerjaannya mempromosikan sistem per-tanian alternatif menunjukan perkembang-an signifikan. Sejumlah pekarangan rumah warga kini dimanfaatkan untuk menanam sa-yuran di bawah green house sederhana.

Melibatkan perempuan juga memudah peli-batan suami-suami mereka dalam beragam kerja kolektif bersama seperti pengerjaan ja ringan air ke rumah-rumah warga untuk mendukung penanaman sayuran pekaran-gan atau pembangunan green house seder-hana dengan memanfaatkan bambu yang me-limpah di kampung itu.

Menurut saya, kemungkinan ini juga dipe-ngaruhi oleh masih adanya ingatan warga ter-hadap kebiasaan makkaleleng sebelum kakao mendominasi lahan mereka.

Kebiasaan bekerja bersama kelompok perem-puan di Coppeng-Coppeng juga diakui oleh seorang ibu rumah tangga yang bekerja se-bagai guru sekolah dasar di desa ini. Dia me-ngatakan, kebiasaan gotong royong ibu rumah

tangga di kampung ini memang sedikit ber-beda dengan kampung lainnya. Ia memban-dingkan dengan daerah asalnya, Enrekang. Menurutnya, para perempuan di kampung halamannya juga sering berkumpul bersama, tapi tidak sampai pada bekerja memperbaiki fasilitas umum. Selain itu, ia menambahkan, perempuan di Coppeng-Coppeng juga gemar berkumpul untuk membuat makanan ketika memiliki waktu luang.

Setelah bekerja bersama kelompok perempuan menunjukan hasil yang berarti, Assad juga mu-lai menyasar kelompok lain, anak usia sekolah dasar. Kegiatan ini dilakukan lewat sekolah dasar di Coppeng-Coppeng. Melalui tenaga penga-jar sukarela yang umumnya merupakan warga sekitar, yang juga anggota kelompok “tanam-sayur”, Asad mendapatkan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan murid. De ngan cara inilah ia mencoba melibatkan mereka dalam mempraktikkan sistem pertanian sa yuran or-ganik dengan memanfaatkan pekarang an se-kolah dan bahan-bahan yang tersedia di kam-pung itu. Kegiatan ini perlahan dapat menarik minat siswa untuk mempelajari dan memprak-tikan pertanian sayur organik.

Hasilnya cukup menggembirakan. Sekurangnya, dua kali masa panen sudah dilewati dengan baik dan masih berlanjut hingga kini.

Sunardi Hawi, aktif di Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo

Sejak dua tahun lalu, Ibnul Hayat Tanrere bertekad meninggalkan Makassar untuk me-nempuh jalan pengorganisasian di desa. Ia se-orang aktivis muda yang belum genap 30 tahun,

sarjana ekonomi lulusan Universitas Hasanud-din. Sebelum mendalami masalah agragria bersama Sekolah Rakyat petani Payo-Payo dia menjadi pengajar sukarela di sekolah terpencil

Sulitnya Membangkitkan Semangat Kerja Kolektif MULYANI HASAN

Sejak dua tahun lalu, Ibnul Hayat Tanrere bertekad meninggalkan Makassar untuk menempuh jalan pengorganisasian di desa. Ia seorang aktivis muda yang belum genap 30 tahun, sarjana ekonomi lulusan Universitas Hasanuddin. Sebe-lum mendalami masalah agragria bersama Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo-

Payo dia menjadi pengajar sukarela di sekolah terpencil di Kabupetan Gowa.

Page 11: Buletin Payo-Payo Edisi 07

11HALAMAN

Foto

: Dok

umen

tasi

Payo

-Pay

o

di Kabupetan Gowa.

Ibe, sapaan akrabnya kemudian meneguhkan pendirian untuk tinggal bersama warga desa Bonne-Bonne, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Desa itu memang sudah men-jadi desa dampingan SRP Payo-Payo sejak tahun 2007. Jarak antara Makassar-Polewali Mandar sekitar 250 kilometer, sekisar 10 jam perjalan an darat. Jika pulang ke Makassar, Ibe kadang menikmati perjalanan menaiki mo-tor, selebihnya dia menggunakan ang kutan umum.

Di luar perkiraannya, ternyata tak mudah mengorganisir warga desa. Banyak faktor pe-nyebabnya. Kerja kolektif hanya dapat diterap-kan dalam peristiwa-peristiwa tertentu saja. Warga desa lebih banyak berjalan sendiri-sendiri, sementara kebijakan pemerintah semakin menghimpit petani.

Berikut ini wawancara saya dengan Ibe, peri-hal pengalaman dia dalam membangun kerja kolek tif di Desa Bonne-Bonne.

Bagaimana Anda melihat pola kerjasama antar warga di Bonne-Bonne secara kultural?

Secara kulutural, praktik kerjasama hanya terlihat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya seremonial seperti acara pengantin, syukuran, dan acara lainnya. Pada kasus tertentu, ker-jasama antarwarga juga masih kita dapatkan pada pembangunan rumah, terkhusus pem-bangunan rumah milik tokoh masyarakat. Inipun hanya berlaku pada pengerjaan ba-gian-bagian tertentu rumah kayu. Untuk ru-mah batu, pengerjaannya dilakukan oleh tu-kang dan buruh. Selain itu, tindakan kolektif juga masih ditemui di pertemuan petani pra-panen (mappalili). Biasanya, ibu-ibu bertugas menyiapkan konsumsi pertemuan.

Pertemuan rutin ini dilakukan oleh setiap kelompok tani untuk membahas jadwal tan-am dari masing-masing kelompok tani yang ada di desa Bonne-Bonne. Namun acara ini hanya formalitas, karena diskusi dua arah sangat jarang terjadi. Ketua kelompok hanya mengumumkan jadwal tanam serta bibit yang digunakan.

Sebagai fasilitator, bagaimana caranya Anda menekankan pentingnya kerja kolektif kepa-da warga desa? Contohnya?

Ibnul Hayat (kedua dari kanan) di antara warga Bonne-Bonne, Polman, Sulbar, yang mendiskusikan kegiatan desa.

Page 12: Buletin Payo-Payo Edisi 07

12HALAMAN

Upaya mengembalikan tindakan kolektif warga pada praktik sekolah lapang SRI (System of Rice Intensification). Warga secara bersama-sama menggarap sebuah lahan demplot yang diberi perlakuan organik. Setiap minggu anggota Se-kolah Rakyat Petani Bonne-Bonne bertemu di sawah untuk melakukan pengamatan. Begitu juga dengan pemupukan dan penyemprotan hama. Hanya saja, upaya ini berhasil hanya di demplot. Setiap anggota kelompok memiliki kesibukan di sawah garapan mereka masing-masing.

Apa kesulitan dalam proses memberi kesa-daran pentingnya kerja kolektif?

Kebanyakan warga sudah tidak memiliki ban-yak waktu senggang. Adapun waktu senggang mereka gunakan untuk beristirahat setelah sebagian besar waktu yang mereka miliki digunakan untuk bekerja dari pagi. Aktivi-tas-aktivitas mereka mulai dari mengam-bil rumput untuk ternak dan ke sawah. Tak sedikit yang mencari sumber pendapatan lain menjadi buruh tanam, buruh panen, maupun buruh bangunan. Warga sudah lama mening-galkan budaya kerjasama, terutama di peker-jaan sawah. Modernisasi pertanian memaksa mereka untuk bertindak individualis. Terle-bih lagi “basis material tidak ada”. Tidak ada kepemilikan maupun aset kolektif di desa. Adapun irigasi yang dibuat oleh pemerintah, dikelola oleh orang-orang tertentu dan tidak tidak dikelola secara bersama.

Menurut hasil pengamatan Anda, apa fak-tor penyebab lunturnya kesadaran kolektif di sana?

Modernisasi pertanian.

Dalam kerja-kerja semacam apa, Anda men-dorong warga untuk mengerjakannya secara bersama sama. Mengapa?

Harus ada “basis material”. Maksudnya, harus

ada aset publik yang dikelola masyarakat secara kolektif. Tanpa itu, kerjasama hanya sebatas tin-dakan, tidak menjadi sistem.

Adakah contoh nyata mengenai keberhasilan sebuah kegiatan yang dilakukan secara ber-sama sama?

Sampai hari ini, sepanjang pengamatan saya, be-lum ada tindakan kolektif yang tersistematisasi. Kerjasama hanya terlihat pada momen-momen tertentu.

Menurut Anda, apa yang paling utama untuk memulai sebuah kerja kolektif?

Aset kolektif.

Kerja kolektif harus dibangun dari peng-organisasian, baik oleh warga itu sendiri atau oleh orang/lembaga dari luar desa. Bagaimana caranya Anda mendorong war-ga untuk berorganisasi? Bagaimana ben-tuknya?

Biasanya, dalam hal apa warga cenderung ter-tarik dan mau bekerjasama? Dan bagaimana Anda membuat hal itu menjadi peluang untuk mengasah kerjasama warga untuk hal yang berhubungan dengan kepentingan umum.

Hampir tidak ada lagi ketertarikan warga untuk bekerja sama. Kepemilikan individu menjadi salah satu sebab yang melunturkan tindakan-tindakan kolektif. Jadi, menurut pandangan saya, meskipun memiliki waktu luang yang sempit, para petani penggarap yang notabene kepemilikan aset individunya kecil, memiliki peluang untuk melakukan tindakan-tindakan kolektif. Di tahun ini, pendekatan dilakukan ke-pada kelompok petani penggarap untuk men-gelola lahan demplot SRI yang disewa oleh SRP Payo-Payo. Pendekatan ini terlihat lebih efektif dibanding dengan pendekatan yang dilakukan pada kelompok petani “pemilik” di tahun lalu. Antusiasme kelompok cenderung lebih terlihat, meski mengembalikan budaya kerjasama yang bertahun-tahun sudah terkikis tidak mudah.

Page 13: Buletin Payo-Payo Edisi 07

13HALAMAN

Ingatan dan pengalaman kerja kolektif me-mudahkan mereka membangun (kembali) praktik kerja kolektif, baik dalam jenis peker-jaan yang sudah pernah dilakukan maupun yang baru sama sekali.

Ketika dihadapkan pada kebutuhan men-erapkan gagasan baru sistem pertanian baru yang padat kerja, System of Rice intensification (SRI), para petani itu menoleh ke belakang untuk mengenang bagaimana dulu mereka dapat mengerjakan sawah secara bersama.

Praktik kerja bersama itu telah hilang

Dari Ingatan Kolektif hingga Gagasan Baru NURHADY SIRIMOROK

setidaknya satu setengah dekade sebelum mereka mulai menggunakannya kembali. Se-mentara untuk menerapkan SRI mereka harus mengerjakan sawah secara lebih telaten, den-gan menanam hasil semaian padi batang demi batang. Mereka tak mungkin melakukannya seorang diri. Mereka harus bekerja bersama di lahan setiap anggota secara bergiliran.

Dulu, di satu hamparan sawah, para petani yang punya lahan di tengah hamparan bahkan masih bekerja memasang pagar mengelilingi tepi hamparan, sekalipun pengerjaan lahan

Memori kolektif dan gagasan baru, dua hal terpisah bentangan waktu, dapat berpadu menciptakan kerja kolektif satu kelompok petani di desa Tompobulu,

Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Mereka adalah anggota Sekolah Rakyat Petani (SRP) Tompobulu, yang berdiri sejak 2008.

Foto

: Dok

umen

tasi

Payo

-Pay

o

Para perempuan Desa Soga mempersiapkan makanan untuk kerja bersama.

Page 14: Buletin Payo-Payo Edisi 07

14HALAMAN

mereka telah rampung.

Pemanfaatan memori kolektif ini kemudian menghasilkan bukti-bukti yang baru akan ke-manjuran kerja bersama, sesuatu yang mereka bangun sendiri. Ini sangat membantu dalam mempertahankan dan meluaskan jangkauan kerja kolektif mereka. Rangkaian kerja kolek-tif di seputar sistem pertanian padi organik SRI yang mereka selenggarakan kemudian membesar.

Dalam kecepatan yang tidak pernah mereka bayangkan, semakin banyak petani lain yang mengikuti jejak mereka. Bukti-bukti keber-hasilan mereka menjadi daya tarik bagi petani lain. Seorang anggota kelompok menyimpul-kan, “yang penting adalah ada pembuktian [bahwa] kalau mengerjakan secara bersama, [banyak hal] bisa dilakukan.”

Gagasan baru yang terbukti dapat menyele-saikan persoalan nyata petani, menurunkan ongkos produksi sehingga tidak harus men-gutang sebelum menanam, tampaknya tidak memerlukan kampanye atau sosialisasi.

***

Sistem penanaman baru ini pun membang-kitkan kembali semangat yang juga bersifat kolek tif: mereka kembali percaya akan ke-manjuran kerja kolektif dan lebih yakin ter-hadap kehandalan kelompok yang menaungi kerja kolektif mereka.

Dengan demikian, pemanfaatan memori dan bukti kerja kolektif warga petani dapat men-ciptakan kepercayaan terhadap sesama warga (atau sesama anggota kelompok bila kerja kolektif dilaksanakan di dalam kelompok), juga terhadap ‘kelompok’ dan ‘kerja kolektif ’ itu sendiri.

Keyakinan ini berkontribusi besar terhadap

kemampuan SRP Tompobulu memperta-hankan kerja kolektif mereka setidaknya se-jak 2009, mulai dari pembangunan saluran irigasi ke hamparan yang selalu kekurangan air di musim kemarau, eksperimen dan perlu-asan SRI, hingga pembangunan usaha-usaha ekonomi bersama.

Menurut anggota SRP Tompobulu, mereka membangun saling percaya dengan seringnya bertemu dalam mengerjakan program-program mereka. Banyaknya kegiatan bersama berhasil menumbuhkan rasa saling percaya antar ang-gota kelompok. Intensitas pertemuan memam-pukan mereka membangun kebiasaan membi-carakan rencana kerja secara terbuka.

Mereka menyokong kerja bersama dengan membuat serangkaian aturan kelompok, se-perti membuat jadwal pertemuan rutin setiap malam minggu saat melaksanakan sekolah lapang dan setiap hari kamis ketika menger-jakan saluran air pada waktu pembangunan saluran air dari Sungai Batumoppo.

Mereka pun membangun kepercayaan den-gan saling mendukung sesama anggota dan menciptakan hubungan setara. “Jadi kalau ada pekerjaan semua anggota wajib bekerja, kadang mengecualikan bendahara yang ber-tugas mengurus keuangan,” kata seorang ang-gota kelompok.

Kerja kolektif dalam usaha pertanian maupun pembangunan dan perawatan fasilitas ber-sama bukan hal baru bagi anggota kelompok dan warga Tompobulu secara umum. Tetapi SRP Tompobulu menghidupkannya kembali, meluaskan jangkauannya, sekaligus mem-bangun beberapa sistem praktik kolektif baru bagi warga Tompobulu.

Mereka membangun kerja kolektif yang leb-ih sistematis, bertahan lebih lama, termasuk

Keyakinan ini berkontribusi besar terhadap kemampuan SRP Tompobulu mempertahankan kerja kolektif mereka setidaknya sejak 2009, mulai dari pembangunan saluran irigasi ke hamparan yang selalu kekurangan air di musim kemarau, eksperimen dan perluasan SRI, hingga pemba-

ngunan usaha-usaha ekonomi bersama.

Page 15: Buletin Payo-Payo Edisi 07

15HALAMAN

dalam kegiatan-kegiatan bersifat rutin. Warga desa ini memang tidak mengalami kesulitan untuk berhimpun dalam kerja-kerja yang tidak bersifat rutin seperti ritual-ritual siklus hidup—merayakan kelahiran, pernikahan, ‘naik’ rumah baru, hingga membantu keluar-ga yang berduka.

Di luar sejumlah kerja kolektif bersifat ‘dada-kan’ itu, SRP Tompobulu mengadakan sejumlah pertemuan rutin untuk merencanakan beragam program kelompok, menerapkan dan kemudi-an mengevaluasinya secara bersama pula—lalu mengulangnya dalam bentuk yang lebih baik.

***

Rangkaian diskusi dalam membahas rencana, proses dan hasil kerja kolektif juga menghasil-kan gagasan-gagasan baru yang berpotensi mempertahankan kerja kolektif petani sekali-gus mengatasi sejumlah masalah mereka.

Persoalan sebaran lahan yang dapat ber-dampak terhadap kurangnya pendapatan

petani, misalnya, menjadi bahan pembic-araan petani yang merasakan dampaknya. Mereka merasakan beratnya mengolah la-han yang terpisah-pisah, namun tidak dapat membiarkan sebagian lahan itu menganggur sebab akan berdampak pada berkurangnya penghasilan. Ketika ditanya solusinya, salah satu anggota kelompok menjawab bahwa un-tuk mengurangi beban kerja dengan lahan yang terpisah, mereka sedang memikirkan jenis komoditas yang bisa menghasilkan pen-dapatan lebih banyak.

Karena itu, beberapa musim terakhir mereka mulai bereksperimen dengan beberapa tana-man musiman bernilai tinggi, termasuk bawang merah atau kol. Mereka menggunakan berbagai peluang belajar, baik dari proyek pemerintah maupun lembaga non pemerintah untuk ke-perluan itu. Mereka belajar dari pelatih-pelatih yang didatangkan SRP Payo-Payo maupun me-manfaatkan studi-studi banding yang dispon-sori pemerintah.

Foto

: Dok

umen

tasi

Payo

-Pay

o

Warga membangun bak penampungan air untuk Desa Soga, Soppeng, Sulawesi Selatan.

Page 16: Buletin Payo-Payo Edisi 07

16HALAMAN

Foto

: Dok

umen

tasi

Payo

-Pay

o

Warga mengangkut batu sungai, salah satu bahan utama pembangunan bak penampungan air di Desa Soga.

Demikian pula, untuk mengatasi persoalan tingginya ongkos produksi padi sawah yang banyak dikeluhkan petani kecil dengan modal pas-pasan. Setelah melakukan ujicoba dan menerapkan SRI yang sudah terbukti mengu-rangi biaya produksi secara signifikan, mereka berpikir untuk menghapus upah tanam buruh yang membebani petani kecil, yang selalu harus meminjam uang untuk bisa melakukan penana-man padi.

Mereka hendak menggantinya dengan kerja kolektif bergiliran, seperti yang telah mereka buktikan berhasil ketika memulai SRI sejak tahun 2009. Sebagaimana disebut di atas, SRI memang membutuhkan kerja lebih intensif, na-mun itu dapat diatasi dengan kerja kolektif. Kini

semakin banyak warga menerapkannya tanpa diminta karena melihat ongkos produksi yang murah—bisa tanpa input kimia sama sekali.

Bila usulan tentang aturan penghilangan ong-kos buruh tanam di satu hamparan bisa dit-erima, mereka dapat bekerja kolektif menga-tasi masalah bersama. Satu manfaat lain dari penghilangan upah buruh adalah petani di satu hamparan akan bekerja secara serempak sehingga mengurangi risiko serangan hama.

Mereka sedang menunggu keputusan dari pemerintah desa. Mungkin kerja kolektif war-ga sebentar lagi kembali menjadi aturan desa, sebagaimana di masa lalu.

Nurhady Sirimorok, Ketua Badan Pengu-rus Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo.