Buletin Payo-Payo Edisi 02

20
PAYO-PAYO kabar pertanian dan pembangunan dari warga KANTONG-KANTONG minyak men- tah dan gas alam di perut bumi menipis. Minyak tanah, solar, bensin atau gas bukan sumber energi terbarukan. Pasti akan habis. Sebuah studi mem- perkirakan cadangan minyak mentah Indonesia tinggal 25 tahun dan gas 75 tahun. Bahan bakar migas akan menjelma benda antik dengan harga se- langit dan kian sulit ditemukan. Bersamaan dengan itu jumlah mesin peng- hisap migas kian tumbuh subur. Pabrik, ken- daraan, pengatur suhu ruangan, alat dapur elektronik, komputer untuk menulis tajuk ini—silakan tambah sendiri daftar ini. Semua akan terus menyesaki kota dan mengalir ke de- sa-desa, dalam kecepatan yang sulit dikontrol. Begitu kesetanannya warga kota membeli ken- daraan dan saking bebalnya kebijakan transpor- tasi publik. Masyarakat Transportasi Indonesia memperkirakan, jika tidak terjadi perubahan revolusioner, Jakarta akan macet total pada ta- hun 2014; lima kota besar lainnya (Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar) akan menyusul antara tahun 2015-2010. Hasilnya, seperti terlihat di situs resmi OPEC, sementara konsumsi migas Indonesia terus me- nanjak, produksi justru menurun; ketika impor harus meningkat, ekspor malah meluncur tu- run. Artinya, Indonesia kian tergantung impor dan harus mengekspor lebih banyak demi mengejar pe- masukan migas nasional. Ya, Indonesia telah terdepak keluar dari keang- gotaan OPEC, dan sudah menjadi net importer BBM sejak tahun 2004, sebab mengonsumsi lebih besar daripada produksi dalam negeri. Sejak itu, gejolak harga minyak dunia dengan mudah bisa menggoyang lumbung keuangan negara. Cela- kanya, ini kerap diterjemahkan pemerintah seba- gai alasan mengempiskan subsidi kebutuhan sosial dasar dan menggelembungkan harga-harga barang konsumsi. Itu baru soal harga. Kita belum bicara soal pelik lain: kemampuan pemerintah mendistribusikan BBM, gas, dan listrik secara merata, berkelanjut- an, dan dengan harga terjangkau. Berita-berita di media massa dan hasil penelitian menunjukkan pemerintah sulit diandalkan—yang terlihat justru maraknya penyelewengan wewenang. Di televisi kita kerap menonton antrian orang dan kendaraan di SPBU. Lantas siapakah yang paling terpukul? Bila mem- pertimbangkan ongkos distribusi, di manakah ba- rang-barang pabrikan itu dijual paling mahal selain di desa? Mengingat semua pabrik dikontrol dari kota, di manakah barang-barang pabrikan itu paling Edisi II Februari 2012 Desa Butuh Energi Alternatif, Sekarang! NURHADY SIRIMOROK

description

Desa Butuh Energi Alternatif, sekarang!

Transcript of Buletin Payo-Payo Edisi 02

Page 1: Buletin Payo-Payo Edisi 02

PAYO-PAYOkabar pertanian dan pembangunan dari warga

KANTONG-KANTONG minyak men-tah dan gas alam di perut bumi menipis. Minyak tanah, solar, bensin atau gas bukan sumber energi terbarukan. Pasti akan habis. Sebuah studi mem-perkirakan cadangan minyak mentah Indonesia tinggal 25 tahun dan gas 75 tahun. Bahan bakar migas akan menjelma benda antik dengan harga se-langit dan kian sulit ditemukan.

Bersamaan de ngan itu jumlah mesin peng­hisap migas kian tumbuh subur. Pabrik, ken­daraan, pengatur suhu ruangan, alat dapur elektronik, komputer untuk menulis tajuk ini—silakan tambah sendiri daftar ini. Semua akan terus menyesaki kota dan mengalir ke de­sa­desa, dalam kecepatan yang sulit dikontrol. Begitu kesetanannya warga kota membeli ken­daraan dan saking bebalnya kebijakan transpor­tasi publik. Masyarakat Transportasi Indonesia memperkirakan, jika tidak terjadi perubahan revolusioner, Jakarta akan macet total pada ta­hun 2014; lima kota besar lainnya (Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar) akan menyusul antara tahun 2015­2010.

Hasilnya, seperti terlihat di situs resmi OPEC, sementara konsumsi migas Indonesia terus me­nanjak, produksi justru menurun; ketika impor harus meningkat, ekspor malah meluncur tu­

run. Artinya, Indonesia kian tergantung impor dan harus mengeks por lebih banyak demi mengejar pe­masukan migas nasional.

Ya, Indonesia telah terdepak keluar dari keang­gotaan OPEC, dan sudah menjadi net importer BBM sejak tahun 2004, sebab mengonsumsi lebih besar daripada produksi dalam negeri. Sejak itu, gejolak harga minyak dunia dengan mudah bisa menggoyang lumbung keuangan negara. Cela­kanya, ini kerap diterjemahkan pemerintah seba­gai alasan mengempiskan subsidi kebutuhan sosial dasar dan menggelembungkan harga­harga barang konsumsi.

Itu baru soal harga. Kita belum bicara soal pelik lain: kemampuan pemerintah mendistribusikan BBM, gas, dan listrik secara merata, berkelanjut­an, dan dengan harga terjangkau. Berita­berita di media massa dan hasil penelitian menunjukkan pemerintah sulit diandalkan—yang terlihat justru maraknya penyelewengan wewenang. Di televisi kita kerap menonton antrian orang dan kendaraan di SPBU.

Lantas siapakah yang paling terpukul? Bila mem­pertimbangkan ongkos distribusi, di manakah ba­rang­barang pabrikan itu dijual paling mahal selain di desa? Mengingat semua pabrik dikontrol dari kota, di manakah barang­barang pabrikan itu pa ling

Edisi II Februari 2012

Desa Butuh Energi Alternatif , Sekarang! NURHADY SIRIMOROK

Page 2: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 2

duluan raib selain di desa?Di sisi lain, warga desa, bahkan ketika tulisan

ini dibuat, kian miskin untuk terus mengakses barang pabrikan maupun migas. Mereka ter­himpit kebijakan pangan negara dan perusa­haan pangan besar yang berorientasi pasar eks­por—ala Revolusi Hijau (hasil penelitian tentang revolusi yang satu ini banyaknya minta ampun). Belum lagi ancaman baru, Perubahan Iklim.

Penggunaan berlebih da lam jangka panjang bahan bakar fosil (olahan dari minyak mentah seperti bensin, solar dan minyak tanah, serta gas), menurut banyak pakar, telah menyebab­kan Perubahan Iklim.

Bagi warga desa, perubahan iklim bisa be­rakibat fatal. Para ahli memperkirakan bahwa tidak lama lagi—dan sudah terjadi dalam kadar tertentu—kemarau akan semakin panjang, cu­rah hujan kian tinggi, musim hujan memendek, permukaan air laut meninggi, yang akan menggenangi desa dan merusak persediaan air tawar sekaligus lahan produktif. Produksi akan menurun oleh cuaca ekstrim, pengung­sian diperkirankan tidak sedikit, beragam pe­nyakit siap melumpuhkan tenaga kerja desa, kehilangan lahan di depan mata, kehilangan harta, jiwa—dan harga akan terus melambung

Memang tidak adil meminta kerja ekstra warga desa di negara berkembang seperti In­

BULETIN PAYO-PAYO diterbitkan oleh Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo-Payo bekerjasama den-gan SRP Tompobulu, SRP Soga, dan SRP Bonne-Bonne. Buletin PAYO-PAYO terbit setiap tiga bu-lan atas dukungan dari HYY Helsinki, LPTP Solo, dan Insist Yogyakarta. PEMIMPIN REDAKSI Nurhady Sirimorok; REDAKTUR PELAKSANA Anwar Jimpe Rachman; TIM KERJA PROGRAM Rahadi (Susdec LPTP Solo), Ishak Salim, Karno B Batiran, Hasnulir Nur, Mari-ati Atkah, Akhmad Umrawal (Desa Soga), Najamuddin (Desa Tompobulu), Suriani (Desa Bonne-Bonne), dan Jumadil M Amin. ALAMAT REDAKSI Kantor SRP Payo-Payo, Jalan Poros Maros-Bantimurung, Dusun Sege-Segeri, Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Telepon: 04113881144; email: [email protected]

donesia untuk mengadopsi dan membiasakan diri menggunakan energi non­fosil, sebab pengguna terbesar BBM fosil adalah negara­negara kaya. Namun mengingat dampaknya akan paling parah menimpa mereka, mereka harus bersiap­siap.

Warga desa Indonesia juga masih sulit mengan­dalkan pemerintahnya, setidaknya belum akan membaik dalam waktu dekat. Satu contoh, alter­natif biogas telah ditemukan untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap minyak bumi. Tetapi alternatif ini telah dibajak perusahaan rak­sasa internasional yang membuka perkebunan dan pabrik besar di negara­negara miskin guna

Masyarakat Transportasi Indone-sia memperkirakan, jika tidak terjadi perubahan revolusioner, Jakarta akan macet total pada tahun 2014; lima kota besar lainnya (Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar) akan me-nyusul antara tahun 2015-2010.

memproduksi BBM nabati, untuk diekspor. Ta­hun 2006 Indonesia mengekspor minyak bio­diesel sebesar 46.000 ton, dan mengkonsumsi 24.000 ton. Dua tahun kemudian, ekspor melon­jak nyaris dua kali lipat menjadi 80.000 ton dan konsumsi dalam negeri menurun menjadi 10.000 ton. Angka ini mempertontonkan dengan jelas

Page 3: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 3

ke mana arah kebijakan biogas nasional sedang bergerak.

Tidak sulit menebak jika warga desa sulit ter­libat secara signifikan dalam proses produksi, distribusi apalagi konsumsi biodiesel. Ketikdase­riusan pemerintah juga terlihat pada dua skandal konyol dalam sejarah energi alternatif Indonesia: Desa Mandiri Energi dan Blue Energy. Daftar ini masih bisa kita perpanjang.

ITULAH kabar buruknya. Kabar baiknya, upaya menghadirkan energi alternatif untuk orang desa masih terus berlangsung. Salah satunya, dalam skala kecil tentunya, proyek Kemandirian Pangan dan Energi yang dikerjakan SRP Payo Payo, di tiga desa di Sulawesi Selatan dan Barat, dengan dukungan hibah Senat Mahasiswa Universitas Helsinki, Finlandia (ya, mereka mahasiswa).

BULETIN Payo Payo edisi kali ini mencoba men­catat beberapa aspek kebutuhan energi di desa berikut konteks kebijakannya. Dedi Hermansyah menceritakan apa yang terjadi di Desa Kompang, kabupaten Sinjai, pasca proyek konversi minyak tanah ke gas elpiji. Nurhady Sirimorok menin­jau penggunaan kayu bakar di desa yang sama, sembari, antara lain, memperkirakan dampak kebijak an kehutanan terhadapnya.

Tulisan­tulisan Ishak Salim, Karno Batiran, Imran Gadabu dan Hasnulir (seluruhnya terlibat dalam proyek ini), memaparkan otokritik tentang betapa sulitnya proses memperkenalkan beragam

teknologi penghasil energi alternatif (hampir seluruhnya menemui kegagalan). Menuliskan refleksi tentang apa saja yang membuatnya de­mikian: rusaknya kemampuan warga desa men­gorganisir diri, mitos tekonologi sebagai barang ‘canggih’, watak proyek dan penerjemah annya oleh para fasilitator lapangan, kurangnya dukungan pemerintah, antara lain.

Dalam salah satu tulisannya, Karno Batiran dengan jeli melihat sebuah kesalahpahaman dalam memperkenalkan energi alternatif. Ia menangkap, berkembang anggapan bahwa al­ternatif bisa segera mengganti yang mainstream. Bahwa instalasi biogas, misalnya, bisa segera menggantikan gas elpiji atau PLN. Keyakinan semacam ini bisa membuat orang cepat kecewa dan segera meninggalkan alternatif baru apa­pun begitu masalah timbul. Padahal, menyitir Bill McKibben dalam Deep Economy, sementara energi fosil bisa menjadi budak manusia, energi non­fosil lebih mirip kawan, yang meminta perhatian lebih.

Selain itu, ketergantungan terhadap BBM fosil sudah menjelma gaya hidup, budaya. Ma­kan waktu lama untuk mengubahnya. Dan mengingat keniscayaan habisnya minyak dan gas bumi, warga desa perlu dibiasakan sejak sekarang, agar bila saatnya tiba, mereka sudah siap. Karena itu, dan karena mereka paling rentan dikorbankan ketika BBM fosil semakin mahal dan langka, desa butuh energi alternatif, sekarang juga.[]

Keyakinan energi alternatif bisa segera mengganti gas elpiji atau PLN bisa membuat orang cepat ke-cewa dan segera meninggalkan al-ternatif baru jenis apapun begitu masalah timbul. Padahal, menyitir Bill McKibben dalam Deep Economy, sementara energi fosil bisa menjadi budak manusia, energi non-fosil le-bih mirip ‘kawan’, yang meminta perhatian lebih.

Page 4: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 4

Sketsa Belanja Energi: Satu Desa, Nyaris Satu Milyar HASNULIR NUR

AWAL 2009, warga Desa Soga, Kabupaten Soppeng, Sulsel, bingung melihat biji jarak yang telah mereka ke-ringkan. Permintaan tak kunjung datang. Bila peda-gang akhirnya datang, biji jarak langsung dilego tanpa tawar-menawar, meski hanya dihargai seribu rupiah per kilogram kering. Dari pada tidak dapat apa-apa.

Beberapa warga yang kecewa dengan harga, segera menebang pohon jaraknya. Warga yang belum menanam malah membengkalaikan bi­bit jarak hasil pembagian.

lima belas menit.Diskusi berlangsung selama praktik uji coba. “Ada

mi gunanya itu biji jarak”, ungkap Pak Desa. “Dari pada dijual, lebih baik dipakai masak”, lanjut Saka, salah seorang warga yang baru­baru menjual biji ja­raknya seharga seribu per kilogram. Demikian tang­gapan sebagian peserta.

Namun ada ganjalan cukup penting. Bagi mereka, sistem pengisiannya agak ribet. Biji jarak biasanya telah habis terbakar sebelum masakan matang. Jika itu terjadi, wadah memasak yang masih panas itu

Kayu bakar yang banyak ditemui di rumah warga.

Program Jarak Nasional yang dimulai setahun sebelumnya telah gagal.

Bagi Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo Payo, kegagalan ini adalah peluang. Peluang mengi­nisiasi pengorganisasian. Alasan untuk me­ngumpulkan warga berdiskusi telah ditemukan. Ujicoba kompor jarak pun direncanakan. Kebe­tulan kompor jarak rancangan Lembaga Pengem­bangan Teknologi Pedesaan (LPTP) yang berbasis di Solo, telah tersedia di sekretariat Payo payo.

Jumat, 20 Maret 2009, bertempat di sekretariat Karang Taruna, Ujicoba Kompor Jarak dihelat. Bentuknya seperti kompor minyak tanah umum­nya, karena memang hasil modifikasi dari jenis ini. Biji jarak dalam kompor menyala bagus. Api yang ditimbulkan membiru dan merata. Tidak meninggalkan bekas hitam di panci. Satu gelas bekas minuman mineral biji jarak sanggup men­didihkan air dua liter dalam jangka kurang dari

harus diangkat untuk melakukan pengisian tamba­han.

“Itu soal kebiasaan, kalau warga sudah sering melakukan, warga akan menguasai soal takaran,” tanggap Kepala Desa atas koreksian tersebut. “Atau bisa jadi malah menemukan model lain yang lebih efektif ”, tambah Gusti, fasilitator uji coba dari SRP Payo Payo.

Dua tahun sudah berlalu sejak uji coba kompor ja­rak itu. Hasilnya, 15 kompor yang dibagikan belum juga terpakai.

Mengapa demikian? Meski warga Soga sudah mengenal beberapa jenis bahan bakar untuk mema­sak, seperti minyak tanah dan gas, namun memasak dengan kayu bakar tetap mereka pertahankan.

Jika Anda berkunjung ke Desa Soga, Anda akan sering menjumpai tumpukan kayu bakar yang membentuk dinding di kolong rumah warga. Tumpukan itu mengisi ruang antar tiang.

Page 5: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 5

“Ipaccappu’ memeng tassipallawangeng lirie tas-siulengnge”. Demikian jawab seorang perempuan Soga. Saat itu, sambil menunjuk ke tumpukan kayu bakar yang memenuhi satu kolom (bukan kolong) membentuk dinding, saya bertanya, “Be­rapa lama satu dinding ini dihabiskan?” Jawaban berbahasa Bugis itu kira­kira berarti: satu kolom itu dihabiskan dalam sebulan.

Informasi ini mendorong saya untuk meng­kalkulasi secara sederhana. Rata­rata jarak antar tiang rumah panggung warga Soga berkisar 2 meter dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Sementa­ra panjang potongan kayu rata­rata 50 cm. Dari ukuran­ukuran tersebut ditemukan volume ru­ang 2.5 m³. Jika volume ruang kosong di sela­sela kayu itu diasumsikan sekitar 0.5 m³, maka vol­ume kayu bakar yang mengisi ruang antar tiang itu adalah 2 m³. Jika satu pohon kayu memiliki volume rata­rata 4 m³, maka volume kayu ba­kar yang tersusun menyerupai dinding itu setara dengan setengah pohon. Jika setiap rumah tangga menghabiskan rata­rata satu dinding—sama de­ngan 2 m³ atau setengah pohon—setiap bulan, maka dalam setahun setiap rumah tangga meng­habiskan 6 pohon. Dengan jumlah 433 rumah tangga di desa Soga, warga membutuhkan sekitar 2.598 pohon per tahun.

Jika jarak tanam setiap pohon adalah 4 meter, maka satu hektar lahan dapat dipenuhi sekitar 625 pohon. Butuh 4.1 hektar untuk menampung 2.598 pohon. Untungnya, mereka tak harus me­nebang pohon sebanyak itu atau menyediakan la­han seluas itu.

Bagunan tempat tinggal mereka, sebagaimana umumnya masyarakat Sulawesi Selatan, berbahan utama kayu. Dari 433 rumah di Desa Soga, hanya dua rumah yang tak berbahan utama kayu. Un­tuk membangun tempat tinggal, dan mengganti bahan rumah yang sudah rusak, tentu mereka bu­tuh persediaan kayu.

Permintaan inilah yang mendorong warga me­nanam pohon. Lalu, dari pohon­pohon inilah warga mengambil kayu bakar. Dari ranting­rant­ing yang jatuh, atau sisa dahan dan ranting dari pohon yang ditebang untuk keperluan papan. Nyaris tak pernah warga Soga sengaja menebang pohon untuk kayu bakar. Selain itu, mayoritas mereka adalah petani kakao. Pemangkasan berka­la pohon kakao turut memberi andil pasokan

berkala.Singkatnya, mereka juga tak perlu membeli kayu

bakar. Kalau pun terpaksa harus membeli, warga tak perlu khawatir dengan pasang surut harga. Kayu ba­kar belum tersentuh politik.

Padahal, bila pemakaian kayu bakar dinilai de ngan rupiah, berdasarkan wawancara lima belas rumah tangga, ditemukan angka rata­rata Rp 45.000 tiap rumah tangga per bulan, atau Rp 540.000 dalam se­tahun. Jika dikalikan dengan jumlah rumah tangga seluruh desa, hasilnya Rp 233.820.000.

Namun kisah kayu bakar beda dengan sumber enegi lain.

Nilai belanja energi Desa Soga untuk bensin saja, bisa di atas setengah milyar per tahun. Setiap rumah tangga yang memiliki kendaraan motor memb­elanjakan rata­rata Rp 139.000 per bulan, atau Rp 1.668.000 per tahun. Jika diasumsikan, berdasarkan persentase responden, 80% dari 433 rumah tangga memiliki motor (346 rumah tangga), maka per ta­hun sedesa Soga, belanja bensin menghabiskan Rp 577.128.000.

Urutan belanja energi selanjutnya adalah gas elpiji. Setiap rumah tangga pengguna membel­anjakan rata­rata Rp 38.000 per bulan atau Rp. 456.000 per tahun. Jika diasumsikan, berdasar­kan persentase responden, 60% dari 433 rumah tangga menggunakan gas elpiji, jumlah rumah tangga pengguna gas elpiji adalah 259. Bila angka ini dikalikan jumlah belanja gas rumah tangga, maka dalam setahun sedesa Soga menghabiskan Rp 118.104.000 untuk gas elpiji.

Sedang belanja minyak tanah, untungnya, men­jadi nyaris nihil. Sejak program konversi ke gas elpiji, harga minyak tanah membumbung hingga Rp9000/liter dan aksesnya semakin sulit, warga pun kian sangat jarang menggunakannya. Sebelumnya warga membelanjakan rata­rata Rp. 38.000/bulan.

Sehingga untuk bensin dan gas saja, Desa Soga mungkin membelanjakan nyaris Rp700 juta. Ini belum termasuk listrik, yang mengharuskan tiap rumah tangga membelanjakan rerata Rp 22.267/bulan.

Demikianlah, bagi Desa Soga, ujicoba kompor jarak sudah gagal, dan nyaris 1 miliyar rupiah per tahun masih harus dibelanjakan warga untuk en­ergi—untuk bensin, gas dan listrik.

Jalan panjang menuju kemandirian energi, tampa­knya juga masih terjal.[]

Page 6: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 6

MEI 2007, Wakil Presiden Yusuf Kalla didamp-ingi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, secara resmi me-luncurkan Program konversi minyak tanah ke LPG (selanjutnya ‘elpiji’, sebutan lazimnya). Novem-ber 2009, elpiji mulai masuk ke Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Disebar ke semua desa, termasuk Desa Kompang, Kecamatan Sinjai Tengah. Sejak saat itu, tabung gas elpiji 3 kilogram bermukim di dapur nyaris semua warga Desa Kompang.

Anshar, Kepala Desa Kompang, mengatakan, tak ada kendala berarti dalam penyalurannya ke war­ga. Semua berjalan lancar. Meski begitu, beberapa bulan setelah penyaluran, tetap saja ada warga yang tidak menggunakannya, tergeletak begitu saja di dapurnya. Bahkan, menurut pengakuan

hampir satu bulan sekali isi. “Ada rumah lain yang pemakaiannya 15 hari,” tuturnya. Dulu Anti meng­gunakan kompor minyak tanah.

Serupa dengan kasus Anti, Syamsuddin, warga Dusun Bonto, setiap hari menggunakan gas un­tuk masak air dan sayur. Untuk masak nasi, ke­luarga Syamsuddin menggunakan kayu bakar. Ia mulai menggunakan kompor gas sejak pertama kali dibagikan pemerintah desa. Ia mengambilnya langsung dari Kantor Desa Kompang. Di sana pula ia belajar menggunakan kompor gas melalui petugas yang diutus pemerintah kabupaten.

Bila Kompor Gas Masuk Desa DEDY HERMANSYAH

Misalnya Anti. Ibu rumah tangga desa Kom­pang ini mengatakan, ia menggunakan gas untuk hal­hal praktis: masak air, menggoreng, dan ba­kar kue. Hal itu dikarenakan api gas yang rata. Kompor gas membantu menghemat waktu ma­sak. Sementara untuk memasak nasi dan sayur, ia menggunakan kayu bakar. “Tidak pakai gas un­tuk menghemat,” katanya.

Anti mulai menggunakan gas sejak awal pem­bagian, tahun 2009. Setelah sekitar tiga bulan pemakaian, tabung gas tetangganya meledak. Ia pun berhenti mengoperasikan kompor gas, baru menggunakan kembali saat slang kulit diganti dengan slang besi. Wana, adik perempuan Anti mengaku, sampai sekarang, masih takut menyala­kan kompor gas.

Rata­rata Anti menggunakan gas elpiji selama

seorang warga, ada yang mengambil jatah lalu menjualnya tak lama kemudian.

Tabung gas sebagai ‘penghuni’ baru di dapur, menemani ‘penghuni’ lama: kayu bakar dan kompor minyak tanah, memiliki pengaruh terhadap kerja warga di area dapur. Ada yang mengatakan kehadiran gas sangat membantu, khususnya untuk alasan­alasan praktis seperti menjerang air dan bakar penganan. Meski be­gitu, ada juga yang mengatakan tak terlalu ber­pengaruh, dan tetap menggunakan kayu bakar sebagai alternatif energi.

BAGI sebagian be-sar warga di desa-desa, kehadiran kompor dan tabung gas tidak benar-benar menggantikan ka-yu bakar. Kompor berba-han bakar gas alam ini hanya mengganti kebe-radaan kompor minyak tanah.

Page 7: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 7

Syamsuddin mengaku tak pernah ada pengala­man buruk dengan kompor gas. Tidak se perti seorang tetangganya, sebagaimana dituturkan­nya, yang mengambil jatah pembagian lalu di­berikan cuma­cuma kepada orang lain, alasan­nya takut menggunakan kompor gas.

BAGI sebagian besar warga desa, kehadiran kompor gas tidak benar­benar menggantikan kayu bakar. Sejauh informasi dari beberapa war­ga, kehadiran kompor gas hanya mengganti ke­beradaan kompor minyak tanah. Anti dan Syam­suddin, dua warga Desa Kompang, juga tak lagi memfungsikan kompor minyak tanah mereka. Memang ada yang hanya menggunakan kompor gas, tetapi biasanya mereka berprofesi sebagai pem­buat kue, penjual bakso, dan semacamnya. Bagi warga yang berprofesi sebagai petani, kompor gas tidak benar­benar mengganti posisi kayu bakar.

Alasan pemerintah pusat memberlakukan kebijakan konversi ini adalah karena harga mi­nyak dunia meningkat, sehingga subsidi minyak tanah meningkat. Kebijakan ini ditaksir akan menghemat APBN hingga Rp17,5 trilyun. Se­lain itu, pihak pemerintah mengatakan gas alam di Indonesia melimpah dan dinilai lebih ramah lingkungan dari minyak tanah.

Pemerintah juga mengatakan, dibandingkan penggunaan minyak tanah, akan lebih hemat jika memakai gas. Hal ini diamini oleh Anti. Se­bagaimana dikatakan sebelumnya, Anti meng­gunakan gas nyaris satu bulan. Ia membeli gas se­harga Rp 16.000 per tabung, dan menghabiskan minyak tanah sekitar 5 liter pada masa pemaka­ian yang sama—satu bulan. Harga minyak tanah Rp 8000, kali 5 liter, sama dengan Rp 40.000. Perbedaan harga keduanya cukup mencolok.

TETAPI jika dikaitkan dengan sumber energi biomassa (terbarukan) yang tersedia melimpah di Desa Kompang, kebijakan tabung gas ini me­narik untuk diperbandingkan. Lahan kebun desa Kompang diisi pohon cokelat, cengkih, pala, pinus, dan lain­lain. Petani desa Kompang me­manfaatkan kayu atau rantingnya untuk dibuat kayu bakar.

Orangtua Anti yang memiliki usaha pembuat­an gula merah, membutuhkan kayu bakar yang banyak dalam proses memasak. Jika mengguna­

kan kompor gas, prosesnya akan makan waktu lebih lama, dan akan menghabiskan ongkos produksi lebih banyak. Sementara ketersediaan kayu bakar yang berlimpah di kebun, sayang jika tidak dimanfaatkan.

Jenis kayu bakar yang digunakan di rumah Anti adalah kayu bunga, kayu jati, ranting­rant­ing kakao, langsat, cengkeh, kayu pete’. “Kayu paling banyak ketersediaannya di kebun. Kayu bakar tidak mungkin langka,” tegasnya. Satu ikat yang dibawa dari kebun bisa mencapai 20­30 potong kayu. Ada juga yang berupa kayu be­sar, sesampai di rumah baru dibelah. Jarak dari rumah ke kebun untuk mengambil kayu bakar setengah kilometer, setengah jam berjalan kaki.

Syamsuddin juga seperti Anti, memanfaatkan kayu bakar di kebun untuk memasak. “Saya kalau pulang dari kebun, jarang tidak bawa kayu bakar. Hampir setiap hari saya bawa,” katanya. Kayu bakar yang dibawa pulang dari kebun bi­asanya adalah kayu pohon lamtoro dan kakao.

Ada yang menarik dari penuturan Anti dan Syamsuddin. Mereka berdua mengaku ada per­bedaan besar terhadap aroma dan rasa masakan antara menggunakan kompor gas dengan kayu bakar untuk memasaknya. Mereka berdua sena­da, masakan akan lebih enak jika menggunakan kayu bakar. “Apalagi kalau memasak daging, lebih enak jika menggunakan kayu bakar,” jelas Anti. “Tidak bisa kalah rasa masakan jika dima­sak pakai kayu bakar dibanding kompor gas,” jelas Pak Syam.

Anti memiliki dua tempat memasak di dapurnya. Ia menggunakan istilah ‘taring’ un­tuk lubang masak. Sehari semalam, jika dito­talkan penggunaan kayu di kedua ‘taring’, Anti menghabiskan sekitar 20 kayu.

Lalu siapa yang diuntungkan dari hadirnya kompor gas ini? Merujuk pada pernyataan Syam­suddin dan Anti, orang yang meningkat ekonom­inya, jarang ke kebun dan tak bisa lagi ambil kayu bakar biasanya akan lebih sering menggunakan gas. Maka, sulit untuk tidak mengatakan bahwa pegawai kantoran (seperti pegawai pemerintah desa), sangat dibantu oleh hadirnya tabung gas. Se­mentara bagi warga bermata pencaharian petani, yang nyaris setiap hari ke sawah atau kebun, masih tetap mengandalkan kayu bakar sebagai sumber energi untuk memasak.[]

Page 8: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 8

BILA SEBAGIAN besar warga desa masih menyalakan kayu bakar untuk memasak, setelah sekian puluh tahun akrab dengan minyak tanah, setelah tabung gas elpiji menghias dapur mereka, setelah hutan semakin sulit mereka akses, tentu alasan mereka tak sepele.

Hingga kini sebagian dari warga Desa Kom­pang dan Gantarang, dua desa di pegunung­an barat Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, menggunakan kombinasi kayu bakar dan gas elpiji, utamanya dengan tabung gas 3 kg.

Tahun 2009 tabung­tabung gas dan kom­pornya dibagikan ke di desa Kompang dan Gantarang. Nyaris semua rumah tangga mendapatkan pembagian gratis tersebut. Di Kompang, hanya ada belasan keluarga yang tidak mendapatkannya, “Karena tidak punya KTP dan Kartu Keluarga, syarat menerima pembagian.”

Harga gas elpiji 3 kg saat ini berkisar 16.000 hingga18.000 rupiah, bisa dipakai rata­rata dua minggu. Sebagian warga menganggap harga ini tidak murah. Namun mereka bukan masyarakat yang menutup diri dari teknologi baru. Mereka tidak menyurukkan kompor gas pembagian ke sudut dapur yang paling terabaikan—bahkan segelintir warga meng­gunakan gas elpiji 17 kg dan mengeluarkan rata­rata 50 ribu rupiah sebulan. Tapi mereka menggunakannya secara selektif.

Biasanya mereka menyalakan kompor gas untuk masakan berdurasi singkat seperti menggoreng telur. Atau memasak masakan yang mesti siap dalam waktu singkat, seperti menjerang air untuk teh atau kopi bagi tamu yang datang. Untuk masakan yang butuh waktu memasak lebih panjang, warga meng­gunakan kayu bakar.

Sebelum kedatangan tabung dan kompor gas pembagian, warga memang telah lama menggabungkan pemakaian kayu bakar dengan bahan bakar lain, minyak tanah. Se­hingga konversi minyak tanah ke gas, orang sudah terbiasa dengan kombinasi kayu ba­kar dan bahan bakar lain. Kini minyak tanah

kan kayu bakar. Bahkan setelah pembagian menga­lir secara gratis ke Kompang dan Gantarang, hanya segelintir keluarga yang tidak menggunakan kayu bakar samasekali. Sebaliknya, masih cukup banyak warga yang hanya menggunakan kayu bakar un­tuk memasak, yang di antara mereka telah menjual kompor gas dan tabung pembagian mereka. Sebagi­an lagi hanya menggunakan gas pada waktu­waktu tertentu, dan mengistirahatkan pembagian mereka cukup lama.

Warga seperti ini, yang hanya menggunakan kayu bakar dan tidak menggunakan gas elpiji secara tera­tur atau tidak sama sekali, punya beberapa alasan. Dua alas an dominan adalah mahalnya gas elpiji dan masih berlimpahnya kayu bakar.

Pertama, biaya mahal untuk membeli kompor, tabung dan selang gas, serta terutama gasnya sendi­ri. Seorang Ibu menyatakan, ia mengisi gas elpijinya hanya saat musim panen cengkeh dan coklat—ke­tika uang tersedia. Harga gas tabung 3 kg memang ‘murah’, tetapi masih sulit untuk mengeluarkan uang sebanyak itu dengan sekali transaksi.

Tentu ini pilihan paling realistis, mengingat

Mengapa Desa Pertahankan Kayu Bakar? NURHADY SIRIMOROK

masih dijual dalam jumlah kecil,. Untuk memasak, minyak tanah nyaris tinggal sejarah. Harganya yang hampir sama dengan bensin premium, 9000 rupiah per liter, membuatnya hanya digunakan untuk lam­pu tempel ketika mati lampu—yang masih sering terjadi.

GAS elpiji yang mampu mendepak minyak tanah, ternyata belum cukup kokoh untuk menyingkir­

Tumpukan persediaan kayu bakar warga desa.

Page 9: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 9

tanam an cengkih mereka, begitu pula desa­desa tetangga mereka, tahun ini tidak berbuah samasekali; dan produktifitas kakao mereka sudah lama melorot—kecenderungan yang bisa jadi masih akan berlanjut bila anomali cuaca ternyata berubah menjadi permanen.

Kedua, kayu bakar masih melimpah. Mere­ka bisa mendapatkannya dari ranting­ranting kayu di kebun, pekarangan dan, sebagian, di dalam hutan, “dari pohon­pohon yang tum­bang, atau cabang dan ranting pohon yang pa­tah,” atau “ranting­ranting dan batang kakao yang sudah mati dan kering,” kata warga. Umumnya mereka mengambil kayu bakar

ka—aktivitas yang kerap melibatkan perempuan.Sedangkan untuk penyulut api, biasanya mereka

menggunakkan daun kelapa kering atau batang bambu yang ditemukan di mana­mana.

Pendeknya, kayu bakar masih dirasakan me­limpah dalam desa, sehingga tidak pernah membeli kayu bakar.

Alasan­alasan lain, yang berhubungan dengan kebiasaan warga setempat, juga sulit disepelekan. Karena terbiasa dengan tungku, misalnya, mere­ka merasa lebih nyaman menggunakannya dan menganggap masakan tertentu lebih lezat dima­sak dengan tungku ketimbang kompor gas. Bagi sedikit warga yang menyimpan tembakau, tungku berfungsi juga untuk mengasapi tembakau, untuk menjaga tingkat kelembaban dan citarasa. Dan se­terusnya.

TETAPI dalam jangka panjang beberapa isu tengah mengancam. Produktifitas kakao terus menurun dalam sepuluh tahun terakhir, dan orang mulai berpikir untuk meremajakan atau menggantinya dengan komoditas perennial lain seperti pala, pri­madona baru yang sedang banyak digeluti war­ga. Jika ini terjadi maka pasokan kayu bakar bisa berkurang drastis, tentu seusai melewati boom kayu bakar kakao yang tak lagi menguntungkan.

Aturan Kementerian Kehutanan yang pelaksan­aannya kian agresif di lapangan membuat kawasan yang boleh diakses warga semakin terbatas. Atu­ran ini, kata seorang warga, membuat “hutan yang merambah lahan warga, bukan warga yang mer­ambah hutan.”

Bila ini terus berlanjut, ditambah ekstensifikasi yang terdorong oleh guncangan menurunnya produktifitas cengkeh dan kakao, maka lahan yang tersisa akan dibabat untuk tanaman komoditas lain. Lahan untuk kayu bakar lazim seperti hilalang dan ikkajeng akan berubah menjadi kebun.

Belum lagi pasokan gas, yang selain pasti akan habis juga sedikit banyak tergantung pada pasar migas dunia—dan jangan lupa, kemampuan dan kemauan pemerintah menanggung beban subsidi gas elpiji.

Dalam konteks ini, energi terbarukan seperti kayu bakar butuh perbaikan teknologi, agar peng­gunaannya bisa dihemat, memberi waktu bagi alam untuk membesarkan batang, cabang dan ranting, untuk kita.[]

Aturan Kementerian Kehutanan yang pelaksanaannya di lapangan kian agresif membuat kawasan yang boleh diakses warga semakin ter-batas. Aturan ini, kata seorang war-ga, membuat “hutan yang meram-bah lahan warga, bukan warga yang merambah hutan.”

dari lahan sendiri, atau bila tidak punya lahan mereka meminta kepada pemilik lahan lain.

Jenis­jenis kayu bakar yang sering digu­nakan sebagai kayu bakar adalah: pertama, kayu hilalang atau bilalang, pohon yang cukup besar, bisa mencapai tinggi sekitar sepuluh meter. Bisanya kayu ini sengaja di­tanam untuk persiapan kayu bakar, meski banyak juga yang tumbuh sendiri. Karena persediaannya masih cukup banyak, maka kayu pohon ini kerap menjadi pilihan utama untuk kayu bakar.

Kedua, kayu Ikkajeng, kayu ini berupa po­hon yang cukup besar, sering ditebang ketika warga membutuhkan kayu bakar dalam jum­lah besar, misalnya saat hajatan. Karena se­makin sulit menemukannya, pohon ini tidak menjadi pilihan utama memasak sehari­hari di dapur.

Ketiga, dahan kakao, juga tersedia diseluruh dapur yang menggunakan kayu bakar. Kayu ini tersedia cukup banyak, karena memang merupakan ‘hasil sampingan’ ketika warga menyiangi dahan­dahan pohon kakao mere­

Page 10: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 10

“MUSTAHIL, mana bisa kotoran-kotoran sapi itu bisa jadi gas!”

Selama program berlangsung, proses pembuatan instalasi biogas lebih sering mengundang cibir­an, seperti kalimat di atas. Banyak orang enggan terlibat pekerjaan membuat perangkat pengo­lahan limbah kotoran untuk menghasilkan gas. Untungnya, walaupun masih diliputi keraguan, segelintir orang tetap bersedia melibatkan diri.

Salah seorang tokoh agama di Kelurahan Massanra, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, meragukan kehalalan menggunakan kotoran sapi untuk mengolah bahan mentah menjadi makanan. “Itu diragukan kehalalannya untuk dimakan” katanya. Ia menyandarkan penilai­annya bahwa kotoran manusia ataupun hewan adalah sesuatu yang mengandung najis.

Najamuddin menuturkan, “bahkan orang­orang terdekat saya, termasuk mertua saya, se­rumah dengan saya, dan keluarga saya tidak per­caya dengan pemanfaatan tahi sapi untuk jadi

EMPAT tahun terakhir Sekolah Rakyat Petani Payo­Payo mengusahakan pemanfaatan gas met­ana dari kotoran manusia dan sapi. Limbah kotoran tersebut diendapkan dalam tabung yang dibuat khusus untuk menghasilkan gas metana yang dapat menjadi bahan bakar atau energi listrik.

Dengan memanfaatkan limbah kotoran manu­sia dari sekitar 73 penghuni panti asuhan, panti asuhan di Kelurahan Massanra, Polewali Mandar, Sulawesi Barat dapat mengurangi pengeluaran untuk pembelian gas kemasan tabung. Empat keluarga di Lappara, Desa Tompobulu, Pangkep, Sulawesi Selatan, juga kini menikmati gas metana dari limbah kotoran sapi milik mereka. Dalam 2 tahun terakhir mereka tidak lagi membeli gas ke­masan tabung 3 kg, seperti kebiasaan mereka se­belumnya. Mereka juga dapat mengurangi peng­gunaan kayu bakar.

Demikian pula dengan 4 keluarga, di Lamporo, Desa Tompobulu, Pangkep. Setahun ini (2011), mereka sudah menikmati aliran listrik dari lim­bah kotoran sapi. Meski instalasi ini hanya bisa

Kotoran Sapi Bisa Jadi Api IMRAN GADABU

gas”. Samsuddin, petani dan tokoh masyarakat di Desa Kompang, Kecamatan Sinjai Tengah, punya kisah serupa. Pada proses perencanaan dan persiapan pembuatan instalasi biogas plas­tik di dusunnya, Ia bekerja ekstra mengajak tetangganya bersama­sama memanfaatkan ko­toran sapi menjadi bahan bakar. “kupappallui­pai nakutappa”, nanti setelah menggunakannya memasak baru saya percaya.

menerangi seisi rumah dan sebagian wilayah kampung selama 2 jam setiap malam.

Tiga contoh di atas merupakan model peman­faatan teknologi biogas yang terbilang membu­tuhkan sumber daya yang besar. Intalasinya pun tidak sederhana, bila dibanding biogas plastik.

Biogas plastik lebih banyak diujicobakan, selain karena biayanya lebih murah, proses pembuatan­nya juga lebih mudah. Tapi itu tidak menjamin

Kotoran sapi yang berpotensi besar menghidupkan kompor dan listrik di desa-desa untuk menghindari ketergantungan terhadap bahan bakar minyak yang makin mahal.

Page 11: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 11

penggunaan dan keberlanjutannya. Dari 7 in­stalasi biogas plastik yang telah dibuat, hampir tidak ada lagi termanfaatkan.

BERAGAM soal menghadang pemanfaatan instalasi biogas, utamanya biogas plastik. Pada dasarnya hampir semua masyarakat yang me­manfaatkan instalasi biogas plastik mengang­gap pekerjaannya merepotkan dan kesulitan melakukan perawatan.

Di sebuah perkampungan Desa Panaikang, Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai, pada pertega­han 2009, SRP Payo Payo bersama beberapa orang mengujicobakan pemanfaatan kotoran sapi untuk bahan bakar alternatif. Salah satu kelompok keluarga memanfaatkannya. Tapi ini tidak bertahan lama. Selang beberapa pe­kan, pemakaiannya terhenti, terbengkalai dan akhirnya rusak. Kepala keluarga tempat biogas plastik diujicobakan mengakui, mereka ke­sulitan melakukan pemeliharaan. Memasuki musim kemarau mereka kesulitan air yang dibutuhkan untuk memasukkan kotoran sapi ke instalasi.

Setelah sempat menghasilkan gas, insta­lasi yang diujicobakan di Dusun Bonto, Desa Kompang, Sinjai, tinggal menjadi barang rongsokan. Usaha Samsuddin meyakinkan masyarakat di sekitarnya pun terhenti.Cerita menarik datang dari Najamuddin. Walau­pun ia juga berhadapan dengan musim kemarau setiap tahun, ia mengaku tak kesulitan memenuhi kebutuhan air untuk instalasi biogasnya. Tapi ia harus berhadapan dengan ganguan lain. Kutu­kutu dari dalam tanah muncul di dasar tabung gas, mengganggu lapisan plastiknya hingga men­galami kebocoran. Setelah berhasil menambalnya, masalah kebocoran muncul lagi. Seekor kucing mencakar lapisan plastik tabung penampung bi­ogasnya. Mungkin karena kesal, dan keadaan itu berlanjut hingga sekarang, kerjai instalasi biogasn­ya terhenti.

Meski juga harus terhenti, Samsu dan Suleha pemakai Biogas plastik di Dusun Bulu Bulu, Desa Tompobulu, mengaku tidak mengalami kendala seperti yang terjadi di tempat lain. Samsu harus rela melihat instalasi biogasnya tak beroperasi setelah sapinya mati. Sementara Sul­eha harus menggulung plastik biogasnya sete­

lah ia harus menjual sapinya, dan belum membeli sapi lagi hingga sekarang.

KETIKA berkomentar soal kondisi terakhir uji­coba biogas di berbagai tempat, Najamuddin me­nyimpulkan, “barang mati itu.” Ia adalah salah seorang yang selama ini paling giat mengajak dan mengajari orang untuk memanfaatkan limbah ternak sapi. Ia ingin bilang, pemanfaatan instalasi biogas sangat sulit diterapkan.

Berbeda dengan Suleha, yang berperan sama dengan Najamuddin, masih menaruh harap ter­hadap instalasi biogas, khususnya yang plastik. “Tidak terlalu bermasalah ji kalau yang biogas digester, hanya perlu keseriusan dan komitmen pengguna untuk memberi perhatian pada pera­watan dan pemeliharaan,” tutur Suleha.

Suleha berpendapat, ke depan sebaiknya in­stalasi dibuat dengan lebih memudahkan peng­gunanya. Misalnya, dibuatkan saluran khusus untuk memasukkan kotoran sapi ke tempat penampungan, seperti pada instalasi biogas kubah. Sehingga, “kita tidak perlu lagi re­pot mengumpulkan tai sapi di ember kemu­dian diaduk dengan air, terus dimasukkan ke penampungan secara manual. Kita hanya perlu menyiram kotoran­kotoran sapi di saluran pe­masukan ke tempat penampungan.”

Cerita tai sapi yang bisa diubah jadi api memang diselimuti gambaran kegagalan. Tapi bisa diduga teknologi ini pada dasarnya dapat diterima keban­yakan orang. Untuk itu, para pengusungnya perlu memikirkan kebiasaan­kebiasaan dan kondisi riil di sekitar tempat uji coba. Kebiasaan meliarkan sapi, misalnya, menjadi tantangan besar dalam pe­manfaatan limbah kotoran sapi. Mengubah kebi­asaan itu menjadi pengandangan sapi akan sangat tergantung pada ketersediaan pakan hijauan.

Selain itu, mereka harus paham bahwa peman­faatan limbah kotoran sapi, khusus untuk biogas plastik, sebaiknya ditempatkan sebagai bahan ba­kar alternatif, pendukung bahan bakar utama. Al­ternatif ini masih sulit menggantikan bahan bakar gas tabung, setidaknya dalam jangka pendek. Ke­mungkinan lebih besar ada pada biogas digester kubah yang lebih memungkinkan untuk beralih dari pemakaian gas kemasan tabung.

“Asalkan proses pengolahan dan perawatan­nya maksimal.”[]

Page 12: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 12

Bagaimana Instalasi Biogas Bekerja? IMRAN GADABU

DUA jenis instalasi biogas kerap diujicobakan dalam program kemandirian pangan dan energi yang diker-jakan Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo Payo.

Pertama, instalasi biogas dengan digester, ru­ang kedap udara berbentuk kubah, berbahan batu bata bercampur semen. Kubah digester ini berkapasitas 9 kubik, dibangun di dalam lubang seukurannya, dan kemudian akan tertutup tan­ah. Kubah itu berfungsi sebagai penampung limbah sekaligus penampung gas yang dihasil­kannya. Instalasi ini disebut ‘Biogas Permanen’, yang dapat dimanfaatkan menghasilkan panas api maupun listrik.

Dibandingkan instalasi biogas permanen, proses pembuatan biogas plastik relatif lebih murah dan mudah. Tapi kapasitas biogas plastik tidak seband­ing dengan biogas permanen. Biogas plastik, untuk pemakaian maksimal, hanya sanggup menyalakan 1 kompor. Sementara untuk menghasilkan listrik, in­stalasi jenis ini tidak memungkinkan.

Biogas plastik inilah yang banyak diujicobakan dalam proyek yang digagas SRP Payo Payo. Di beberapa desa di pedalaman Sulawesi Selatan dan Barat, instalasi biogas plastik telah terpasang, dan warga telah memanfaatkannya.

Untuk membangun instalasi biogas kubah, dikenal juga sebagai biogas permanen, paling

Untuk memudahkan asupan bahan baku, salu­ran pemasukan limbah ke dalam kubah penam­pung biasanya dibangun bersamaan dengan insta­lasi utama biogas. Dari kandang sapi atau tempat pembuangan, limbah akan didorong ke dalam menampung dengan bantuan air.

Kedua, instalasi biogas yang menggunakan bahan plastik. Instalasi biogas ini menggunakan bahan plastik berongga. Plastik berongga de­ngan panjang sekitar 4 meter sebanyak 2 buah dihubungkan dengan pipa yang ukurannya ber­variasi. Salah satu plastik berongga tersebut ber­fungsi sebagai penampung material kotoran dan satunya lagi berfungsi sebagai tabung penampung gas sebelum dialirkan ke kompor gas. Selanjutnya instalasi jenis ini disebut ‘Biogas Plastik’.

tidak membutuhkan biaya sekitar 13 juta. Itu be­lum menghitung biaya pekerja. SRP Payo Payo biasanya bekerja sama dengan warga setempat yang menyumbangkan tenaga. Sedangkan biogas plastik membutuhkan biaya sekitar 300 ribu.

Kedua model instalasi tersebut, kecuali untuk pemanfaatan kotoran manusia, mengharuskan pen­gandangan sapi. Untuk mendapatkan hasil maksi­mal dari buangan hewan, sapi­sapi harus dikandan­gkan agar kotorannya dengan mudah dikumpukan dan dimasukkan ke dalam kubah penampungan. Akan sangat merepotkan, apalagi bagi yang tak terbiasa beternak sapi, mengumpulkan kotoran dari sapi yang diliarkan. Plus, berdasarkan hitungan teknis, kandungan metana kotoran sapi yang tak di­kandangkan tidak termanfaatkan dengan baik.

Page 13: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 13

SECARA umum proses kerja Instalasi Biogas adalah sebagai berikut:

Dari kandang sapi, kotoran­kotoran sapi dimasukkan ke kubah penampungan. Untuk biogas permanen, kotoran sapi dimasukkan dengan bantuan siraman air, melalui saluran dari kandang sapi menuju lubang pemasukan (inlet). Sedang bagi instalasi biogas plastik, dari kandang sapi, kotoran sapi harus dikumpulkan menggunakan wadah seperti ember atau baskom untuk dimasukkan secara manual ke dalam penampungan melalui lubang pemasukan.

Seluruh kotoran sapi masuk ke dalam digester, ruang penghasil dan penampung gas dari kotoran sapi. material kotoran sapi kemudian akan men­gendap di dalam lubang penampungan. Da lam beberapa hari kandungan gas pada kotoran sapi akan mengambang di dalam tabung penampung­

tabung penampungan, material padat kotoran sapi kemudian akan terdorong ke luar ruang penampung. Material padat tersebut akan keluar melalui saluran pembuangan (outlet).

Untuk biogas pembangkit listrik, biasanya dua kubah dilengkapi dengan tabung plastik berukuran sepuluh meter. Kubah pertama, bio­digester, yang dipenuhi bakteri anaerop dari kotoran sapi yang mengurai tahi dan meng­hasilkan gas metan—yang kemudian dialirkan ke tabung plastik penampung gas. Sementara kubah kedua adalah pembuangan ampas tahi yang sudah tak mengandung gas. Bila ampas dalam bunker ini semakin banyak maka akan ter­dorong keluar dan menjadi bahan baku pupuk organik padat dan cair.

Prinsip kerja biogas plastik tidak berbeda. Tabung utama penampung kotoran untuk memi­

an. Dengan bantuan bakteri di dalam kotoran sapi, mate­rial padat akan terpisah dan gas kemudian mengambang. Bakteri anaerop pada ko­toran sapi berkembang biak secara cepat, karena mereka baru bisa melakukannya dalam kondisi tanpa oksigen dan suhu yang lebih hangat. Mereka membelah diri dan memakan kotoran sapi, men­gurai senyawa atau unsur­un­surnya sehingga menghasil­kan gas methan (CH4).

Gas methan inilah, yang jumlahnya berkisar 60%

sahkan kandungan gas metana dari kotoran sapi. Setelah terpisah kemudian material padat kotoran sapi akan mengendap sedangkan gasnya akan mengambang. Melalui saluran pipa pada bagian tengah tabung plastik, gas metana akan disalur­kan ke penampung gas, tabung plastik lainnya. Gas tersebut akan tersimpan dalam penyimpanan sebelum gas metana disalurkan ke kompor gas. Proses ini akan terus berulang. Material kotoran sapi yang mengendap akan keluar melalui ujung lain (outlet) tabung plastik utama.

Demikian seterusnya, untuk terus menghasil­kan gas, limbah kotoran sapi harus dimasukkan ke penampungan limbah secara teratur.[]

dari total gas yang dihasilkan digester, yang kemudian dialirkan sebagai energi panas untuk memasak.

Dari kubah atau tabung penampungan, gas akan disalurkan melalui instalasi pemipaan (menggunakan pipa paralon) ke kompor gas. Kompor gas yang lazim digunakan warga tidak dapat digunakan untuk gas metana, seh­ingga harus dimodifikasi terlebih dahulu. Dua perangkat tambahan dipasang antara tabung penampungan dengan kompor: perangkat pe­ngu kur tekanan gas di dalam tabung dan kran pengontrol gas yang akan masuk ke kompor.

Sementara itu, karena tekanan gas di dalam

Page 14: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 12

SEORANG ibu heran melihat perilaku Suleha beberapa hari terakhir. Ia mengambil ‘air hijau’ di belakang rumah tetangga dengan ember berukuran 5 liter, berjalan menuju sawah, lalu menuang se-luruh isinya di pintu air—mengalirkan masuk ke sawahnya. Saat itu padinya mulai berbuah.

Suleha tengah mencoba perlakuan berbeda terhadap dua petak sawahnya. Sepetak ia per­lakukan dengan racun kimia dan sepetak lain­nya ia perlakukan secara organik. ‘Air hijau’ itu adalah slurry atau ampas cair dari kotoran sapi.

Di belakang rumah Misbah, tempat Sul­eha mengambil slurry, sang tuan rumah se­dang menyirami tahi dan urin sapi di kan­dang sapi miliknya agar mengalir ke sebuah instalasi biogas permanen di samping kan­dang.

Kotoran sapi ini dimasukkan ke dalam di­gester, untuk diurai dan menghasilkan gas metan. Gas inilah yang dialirkan untuk me­masak oleh Bu Misbah. Bersama tiga ibu lain, mereka memanfaatkan bahan bakar biogas untuk memasak di dapur masing­masing. Mereka tak lagi kerepotan mengumpulkan kayu bakar dan menjaga bara tetap menyala. Panci mereka tak meninggalkan bekasa hi­tam. Waktu mereka terhemat sekian jam se­hari.

Proses pemanfaatan energi alternatif ini telah berlangsung nyaris dua tahun. Bukan hanya Suleha yang memanfaatkan ampas ko­toran sapi sebagai pupuk organik. Beberapa tetangganya datang meminta ampas kotoran sapi sisa biogas tersebut. Umumnya mereka mengambil ampas padat untuk pembuatan pupuk kompos.

Namun, Suleha tergolong petani yang suka melakukan uji coba. Slurry atau ampas cair yang ia alirkan ke sawahnya sudah menun­jukkan hasil yang baik. Dibanding dengan sawahnya yang masih menerima input kimi­awi, sawah organiknya memperlihatkan bu­lir yang lebih banyak, rasanya lebih enak dan aromanya lebih harum.

SULEHA menceritakan keheranan tetangganya terhadap perilakunya mengambil slurry pada dialog petani di desanya, Tompobulu, Kabpuaten Pang­kep, Sulawesi Selatan, 4 Desember lalu. Pertemuan ini berisi dialog pengalaman petani pengguna en­ergi alternatif. Mereka bercerita tentang instalasi biogas, tungku hemat energi, kompor briket, ter­masuk proyek ambisius pemerintah seperti proyek jarak.

Merayakan Kemandirian Energi di Tompobulu ISHAK SALIM

Suleha tergolong petani yang suka melakukan uji coba. Ampas cair ko-toran sapi (slurry) yang ia alirkan ke sawahnya sudah menunjukkan hasil yang baik. Dibanding dengan sawahn-ya yang masih menerima input kimi-awi, sawah organiknya berbuah bulir yang lebih banyak, rasanya lebih enak, dan aromanya lebih harum.

Dalam temu tani ini, mereka seperti tengah mer­ayakan kemandirian energi.

“Memperlakukan tanah secara organik, membuat tanah menjadi gembur,” Suleha mendekatkan mik­rofon di bibirnya, memastikan suaranya terdengar jelas. Slurry yang mengandung nutrisi mengun­dang makhluk pengurai tanah. “Makhluk­makhluk kecil ini adalah buruh penggembur tanah yang bek­erja tanpa butuh gaji,” jelasnya.

Najamuddin, petani Tompobulu juga menyam­paikan pengalaman dalam mengelola biogas plastik. Ia kurang lebih menyatakan bahwa, dibandingkan dengan membeli energi dari perusahaan, meng­hasilkan suplai energi secara mandiri membutuhkan tenaga tambahan.

Ia member contoh: biogas plastik yang dibuatnya sudah tiga kali mengalami kerusakan.

Rusak pertama disebabkan kutu tanah yang menggerogoti plastik. Kerusakan kedua datang dari serangga yang mengigiti plastik penampung gas methan. Kerusakan ketiga, seekor kucing melompat dan mencakar plastik hingga sobek sepanjang 10 sentimeter.

Page 15: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 15

“Biogas plastik ini barang mati,” begitu ia pernah menyimpulkan, mengingat per­baikan terus menerus yang mesti ia lakukan demi menjaga pasokan gas sehari­hari untuk dapurnya.

PERNYATAAN Najamuddin di atas ada­lah titik kritis dalam proses membangun kemandirian. Analoginya, bila instalasi mi­lik Perusahaan Listrik Swasta mengalami

ergy di Jeneponto, PT Fajar Futura Energy di Luwu, dan PT Kassa Listrindo di Takalar.

Deretan perusahaan ini berpotensi meneruskan ketergantungan warga akan energi listrik. Sehingga, jika warga desa tak menemukan cara sendiri, lewat serangkaian uji coba, maka instalasi energi alternatif menjadi sulit bertahan. Proses mengembangkan in­ovasi­inovasi baru dengan modal yang seluruhnya dari desa—untuk menjamin keberlanjut annya—menjadi sangat penting dalam konteks ini.

jarak’, pengelolaannya sangat payah. Petani hanya diminta menanam dengan iming­iming harga jual tinggi. Pasar raib di masa panen, meninggalkan biji jarak teronggok tanpa harga.

Kegagalan ‘proyek jarak’ sendiri bukan hal asing bagi warga Tompobulu. Mereka bahkan punya guyonan bagi mereka yang tatertarik melibatkan diri dalam proyek: ‘jarra ko sallang’ yang artinya ‘kau akan me­nyesal’.

USAI diskusi, para peserta mencoba penggunaan tungku hemat energi, yang dapat menghemat kayu bakar hingga lima kali lipat. Mereka juga melihat proses pembuatan arang briket dari sekam padi beri­kut penggunaannya.

Setelah itu, para peserta berkunjung ke rumah Misbah guna melihat instalasi biogas. Hujan rintik­rintik tak menghalangi peserta dari beberapa desa ini berjalan demi melihat bukti.

Di sana mereka melihat bagaimana kotoran sapi mempertontonkan kegunaannya. Misbah memper­tunjukkan bagaimana gasnya digunakan dan Suleha memperlihatkan pupuk dari ampas kotoran sapi.[]

kerusak an maka akan datang tim memper­baikinya sesegera mungkin agar pelanggan tak mengeluh. Jika kerusakannya cukup fatal, mereka akan melakukan penelitian untuk memperbaikinya. Tapi ini membutuhkan modal besar karena untuk kepentingan orang se­kabupaten atau se­provinsi.

Jadi, bila Najamuddin berhenti melakukan perbaikan maka terhentilah proses memban­gun kemandirian energi.

Kebutuhan energi memang mesti dan bisa disediakan oleh swasta atau negara. Sayangn­ya, dua pihak ini cenderung membuat warga tergantung dan kerap tak punya daya mel­akukan kontrol atas harga maupun kualitas.

Di Sulawesi Selatan, pasokan listrik ditangani oleh PLN dan sekian PLS. Sebut saja PT Makas­sar Power di Kabupaten Pinrang (60 MW) dan PT Energy Equity di Kabupaten Sengkang (135 MW). Dua perusahaan ini sudah beroperasi. Sisa lainnya yang siap memasok listrik SulSel yang kritis adalah PT Malea di Tana Toraja, PT Sulawesi Mini Hydro di Sinjai, PT Bosowa En­

Perihal ini juga dising­gung Nurhady Sirimorok (Komunitas Ininnawa) ke tika memaparkan ke­bijakan energi nasional. Upaya pemerintah dalam mendorong penelitian untuk penggunaan dan pengelolaan energi yang murah bagi rakyat jauh dari memadai. Pemerin­tah malah mengurangi subsidi bagi warga di saat harga kebutuhan energi terus meningkat. Bila pun ada, semisal ‘proyek

Diskusi petani di Sekolah Rakyat Petani (SRP) Tompobulu.

Page 16: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 16

HANYA sekali membuat takjub warga, sudah itu hampir tak berarti.

Nyaris semua ‘teknologi tepat guna’ energi alternatif pedesaan yang diperkenalkan ha nya tiba di tahap pengenalan atau “instalasi percon­tohan”. Kompor jarak, tungku hemat energi, instalasi biogas plastik dan permanen untuk memasak dan listrik yang diperkenalkan di Bonne­Bonne (Polewali Mandar), Soga (Sop­peng), dan Tompobulu (Pangkep).

Serangkaian percobaan dan pengenalan teknologi tepat guna pedesaan tersebut dilaku­kan SRP Payo Payo, lengkap dengan penjelasan tujuan dan jenis energi yang hendak ‘digantikan’. Kompor jarak pengganti kompor mi nyak tanah konvensional, tungku hemat energi pengganti tungku konvensional demi menghemat kayu ba­kar, biogas (plastik dan permanen) pengganti gas elpiji, serta biogas listrik untuk mengganti bensin atau solar untuk generator penghasil daya listrik.

Gagasan dasarnya, untuk membangun sistem kemandirian atau kedaulatan energi serta men­dukung kemandirian petani/warga desa dalam bertani. Bahan baku untuk bahan bakar ditam­bang dari sapi (kotoran sapi) yang hampir selalu ada di desa. Buangannya yang selama ini dianggap tidak berguna, slurry, juga bermanfaat sebagai pu­puk untuk pertanian.

Biogas PermanenDigester biogas permanen berukuran sembilan meter kubik dibangun di tiga desa. Digester seu­kuran ini dirancang untuk menyediakan gas me­masak, masing­masing direncakan melayani tiga rumah tangga. Digester biogas pertama dibangun tahun 2009 di Soga dan digunakan oleh dua ke­luarga—tapi hanya untuk beberapa waktu setelah dibangun dan kini sama sekali tak dimanfaatkan. Sebabnya, sediaan kotoran sapi tidak ada, rumah tangga tempat digester dibangun tak terbiasa mengandangkan sapi untuk itu.

Biogas PlastikInstalasi biogas plastik jauh lebih sederhana, mudah dan murah. Instalasi biogas permanen

mungkin bisa sampai 20­30 juta rupiah, sementa­ra biogas plastik hanya sekitar100 ribu rupiah. Kalau rusak jauh lebih mudah memperbaikinya dan dengan mudah dapat diganti, dibandingkan biogas permanen.

Biogas ListrikDigester pembangkit listrik berukuran 18 meter kubik dibangun pada Januari 2011 di kampung Lamporo, Tompobulu. Di Lamporo tidak ada lis­trik PLN, sehingga generator dan lampu minyak tanah menjadi sumber penerangan di rumah­ru­mah warga—di sana ada 16 rumah.

Listrik dari biogas awalnya dialirkan ke 13 rumah tangga, sampai 12 jam setiap hari, plus mensuplai lampu jalan. Namun saat ini tersisa 6 rumah yang mendapatkan listrik, sisanya diputus, hanya dua sampai tiga jam setiap malam, dan lampu jalan cuma sesekali menyala.

Alasannya, rumah­rumah lain, yang alirannya ter­paksa diputuskan, tidak membawa sapi­sapinya un­tuk dikandangkan di instalasi digester—salah satu kesepakatan mereka.

Tungku Hemat Kayu Bakar Setelah memperlihatkan manfaat tungku ini, sembari mengajarkan cara membuatnya, warga desa diharapkan akan berminat turut membuat dan memakainya. Tapi sampai saat ini, tungku­tungku yang ada semuanya buatan program, un­tuk percontohan. Belum ada satu pun warga yang berinisiatif membuatnya sendiri. Setelah tiga ta­hun program kemandirian pangan dan energi berjalan, SRP Payo Payo hanya berhasil membuat 1 tungku di Desa Tompobulu dan 2 di Desa Soga. Di Bonne­bonne 20 tungku berhasil dibuat, tapi semuanya bikinan program.

Kompor JarakKompor berbahan bakar biji buah jarak tidak diminati sama sekali. Tidak ada warga yang tertarik di desa mana pun, baik di tiga desa pro­gram maupun di desa­desa lain tempat kompor jarak diperkenalkan. Alasannya, tidak praktis, terutama bagi yang terbiasa dengan kompor minyak tanah.[]

Sekali Takjub, Sesudah Itu Padam KARNO B BATIRAN

Page 17: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 17

MANNANG tak tampak pagi itu ketika saya hen-dak menemuinya. Ia tengah berburu babi, salah satu perusak utama tanamannya.

Rumah Mannang, pengelola instalasi biogas listrik di Lamporo, bersebelahan dengan insta­lasi biogas listrik yang dibangun setahun lalu. Saya berharap bisa menemuinya dan menanya­kan keadaan instalasi biogas tersebut.

Di awal pendiriannya pada Desember 2010, warga calon pengguna duduk berdiskusi. Mereka membuat beberapa kesepakatan. Fasili­tatornya dari SRP Payo Payo. Bila mereka mau mengelolanya secara berkelompok maka ang­garan pembangunan instalasi siap dicairkan.

Kesepakatan terbangun di sebuah mesjid usai salat Jum’at, nyaris setahun lalu. Pembangunan instalasi pun berlangsung. Seorang ahli dari LPTP Solo didatangkan dan beberapa petani dari desa turut membangun sambil belajar.

Singkatnya, instalasi biogas terbangun, lengkap dengan kandang bagi 14 ekor sapi yang siap menyuplai kotoran sapi setiap hari.

KINI di samping rumah Mannang tabung plas­tik penampung gas terlihat kempis. Ukuran tabung ini 18 meter kubik. Teorinya, energi gas metan yang dihasilkannya sanggup meng­gerakkan generator yang dapat mengalirkan listrik ke 14 rumah selama 4 – 6 jam sehari.

Kabarnya, sudah dua minggu mengalami kebocoran. Letak kebocorannya tak terde­teksi, meski sudah beberapa kali Mannang memeriksanya. Ia menduga penyebab kebo­coran adalah belalang yang menyukai aroma gas dalam tabung.

Rupanya, kebocoran ini bukan yang per­tama. Tapi sebelumnya Mannang bisa men­emukan letaknya, dengan mencium seluruh permukaan tabung plastik sepanjang 10 me­ter. Bila menemukan, ia menambal kebo­coran dengan lakban hitam. Setelah itu, gas methan tertampung lagi.

Ada banyak tambalan terakhir kali saya melihatnya. Namun Mannang tak berdaya ketika suatu malam angin kencang menyapu

tenda terpal hingga robek di sana­sini. Tabung plastik pun rusak.

Kebocoran hanya satu soal dari sekian masalah yang sedang dihadapi Mannang.

Pagi itu, hanya seekor sapi di kandang. Sapi yang masih muda. Seharusnya ada 14 ekor. Kesepakatan warga tak selalu berbuah tindakan. Jumlah sapi yang dikadangkan tak pernah mencapai jumlah itu. Orang­orang dengan budaya membiarkan sapinya lepas liar mencari rumput sulit berubah kebiasaan. Be­lum lagi soal keamanan sapi dan pakan yang mesti tersedia, minimal dua karung rumput gajah sehari.

Mannang nyaris putus asa. Melihat kurangn­ya suplai kotoran sapi, mereka membuat kes­epakatan baru. Esoknya, ember demi ember datang menuangkan kotoran sapi. Tapi, tetap lebih banyak yang abai. Pasokan tahi sapi tak pernah memenuhi target. Padahal, untuk membuat aliran listrik stabil, pasokan gas mesti memenuhi standar selama empat bulan—yang hingga kini belum pernah terpenuhi.

Bangunan biogas mudah dibangun. Harapan pengorganisasian pengguna yang sulit terbangun.

Melihat pengabaian yang terus berlanjut, Mannang dan dua tetangga terdekatnya, Jo­han dan Iwan, belum kehabisan akal. Mereka menghadapi dua masalah utama: keamanan sapi dan pakan sapi. Mereka mengatasi dengan memasang pagar kawat duri, menghabiskan 10 gulung dan biaya 250 ribu rupiah per gulung—sumbangan Johan. Mereka juga menanam rumput gajah dalam area di sekitar kandang.

Tapi jumlah sapi tak juga bertambah.Mereka belum menyerah. Karena pasokan

listrik terbatas, para pengelola sepakat menu­runkan biaya pemakaian yang mesti dibayar pengguna. Dari lima belas ribu menjadi lima ribu per bulan. Tapi tetap saja tak berubah.

Satu per satu, pengguna abai pada listrik, lampu jalan, dan lampu di rumah sendiri. Mereka mulai tak membayar iuran yang disepa­kati. Bagi mereka yang punya mesin genset tak begitu merasakan hilangnya listrik di rumah mereka.

Peliknya Merawat Nyala Kerjasama ISHAK SALIM

Page 18: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 18

Ini soal pelik dalam pengorganisasian pene­rima manfaat—merawat kerja kolektif rutin.

DUA malam lalu, ketika melintas, lampu­lampu menerangi ruas jalan di sekitar rumah Mannang, Johan dan Iwan. Demikian pula rumah­rumah mereka. Mengapa energi listrik bisa dialirkan saat pasokan gas tak tersedia?

Saya belum tahu, Mannang belum pulang.Tapi saya melihat sebuah tabung gas elpiji

ukuran 3 kg di dekat generator. Mungkin pe­mantik api, mungkin juga pengganti gas me­than yang diharapkan keluar dari tabung bio­digester. Secara teknis hal itu bisa ditempuh, dengan biaya yang lebih besar tentunya.

Dalam galau saya coba menengok dua kubah yang menjadi bagian utama instalasi ini.

Tapi, penutup kubah pembuangan itu ter­buka. Air hujan nyaris memenuhinya dan ban­yak jentik nyamuk. Padahal keduanya dapat mengurangi kualitas slurry (ampas cair). Dan bila kubah pembuangan nyaris dipenuhi air hujan, maka biodigester akan kelebihan air.

Ampas tahi sapi di dalamnya pun terbilang sedikit untuk durasi beroperasinya mesin—delapan bulan.

Rupanya, alih pengetahuan dari penggagas biogas ini tak seluruhnya mengendap di kepa­la Mannang dan kawan­kawannya. Cara kerja bakteri, komposisi kimiawi dalam biodigester, dan bagaimana peralihan energi gas ke listrik, tak sepenuhnya dipahami.

KETIKA akhirnya saya bertemu Mannang, ia

bilang tabung gas plastiknya tak mengembang karena kurangnya pasokan kotoran sapi. Tapi kali ini soalnya bukan kekuarangan sapi—tiga keluarga bertetangga telah bersepakat mengan­dangkan sapi. Penyebabnya adalah air. Sepan­jang musim kemarau tahun ini, air di kampung Lamporo sangat sulit. Untuk keperluan air ber­sih saja tidak memadai, apalagi untuk mengalir­kan tahi sapi ke tabung biodigester.

Rentetan soal ini membatasi pasokan listrik. Hanya bisa enam rumah dalam waktu dua jam sehari. Dan sebagian besar dari 22 bola lampu jalan juga telah dilepas.

Tak mudah, memang, melepaskan keter­gantungan kepada penyedia listrik berbayar. PLN atau PLS tentu bisa menyediakan dan warga tinggal membayar. Bila kedua penyedia ini belum masuk ke desa, maka ada paket­pa­ket energi berbasis teknologi canggih seperti mesin genset berbahan bakar bensin. Lebih mahal, tapi tak perlu repot.

Untunglah, Mannang dan Johan masih menjaga api semangat mereka dengan sabar. Kini musim hujan telah datang. Air akan kem­bali melimpah. Itu berarti produksi gas bisa dimaksimalkan. Sebelum pamit, Mannang menyampaikan harapan kepada saya. “Tenda permanen di kandang harus segera dipasang untuk menjaga sapi dari deras air hujan dan plastik biogas terpaan angin Barat.”

Saya tak bisa berjanji. Tapi, peluang mung­kin bisa datang dari pemerintah desa, jika kepala desa Tompobulu mengalokasikan dana ADD untuk kampung Lamporo. []

Page 19: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 19

SEKADAR mengenalkan teknologi “tepat guna” ke desa tentu tidak cukup. Beragam kerumitan siap menghadang.

Semua teknologi energi alternatif yang sudah diperkenalkan dalam program Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo Payo—biogas, kompor ja­rak, tungku hemat energi—agaknya belum cukup memicu warga desa untuk menga­dopsinya. Penggunaannya pun tak kunjung meluas di lebih banyak rumah tangga. Semua hanya sampai pada instalasi percontohan bua­tan program.

Awalnya teknologi­teknologi energi alter­natif tersebut—kecuali kompor jarak yang me­mang tidak diminati—mengundang keheranan dan kekaguman, terutama biogas. Warga desa takjub, kotoran sapi bisa menyalakan api. Tapi hanya sampai di situ. Tujuan membangun kesa­daran pentingnya pemanfaatan sumber­sumber energi terbarukan, apalagi kemandirian energi, belum tercapai.

Beberapa dugaan bisa kita ajukan sebagai kombinasi penyebab munculnya “kegagalan­kegagalan” di atas. Pertama, soal konteks lokal. Biogas menghadapi masalah serupa di tiga desa, yaitu warga merasakan sulit mengandan­gkan sapi. Mereka tampaknya lebih nyaman menggembalakan sapi di hutan atau diliarkan di tempat­tempat di mana rumput tersedia. Kebiasaan mengandangkan ternak belum tum­buh, sementara mengandangkan sapi adalah syarat utama untuk memanfaatkan biogas.

Warga desa Sulawesi Selatan umumnya masih menganggap pengandangan sebagai pekerjaan ekstra—harus mengambil rumput untuk pa­kan sapi. Jadi untuk memperkenalkan biogas, isu kebiasaan beternak ini yang perlu dipikir­kan terlebih dahulu.

Mengenai tungku hemat kayu bakar. Keluhan warga, tungku tersebut tidak cocok untuk jenis rumah panggung karena berat (terbuat dari semen dan bata), sehingga mungkin perlu di­ubah­sesuaikan. Usulan warga adalah mencoba mengganti bahannya dengan yang lebih ringan,

sehingga cocok untuk dapur di atas rumah pang­gung, mungkin dengan tanah liat atau bahan lain yang lebih ringan.

Jadi diperlukan penyesuaian di sana­sini yang mempertimbangkan faktor budaya, untuk men­cocokkannya dengan konteks di Sulawesi Selatan. Tidak begitu saja diambil dari Jawa lalu diterapkan (semua teknologi­teknologi tersebut diimpor dari Jawa melalui Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan Solo, salah satu anggota jaringan INSIST).

Kedua, proses pengorganisasian warga. Seperti yang terjadi di Lamporo, ternyata proses persia­pan warga, pengorganisasian, perlu dituntaskan terlebih dahulu. Harus diakui bahwa kesepaka­tan­kesepakatan yang dicapai di Lamporo terkait pembangunan dan pengoperasian biogas listrik mungkin bukan merupakan konsensus­konsen­sus yang dibangun antar warga, atau benar­benar diterima oleh seluruh warga, sehingga sebagian warga lalai dengan kesepakatan­kesepakatan tersebut. Instalasi biogas dibangun terburu­buru, tanpa melalui rangkaian pembicaraan antar war­ga; hanya ditentukan bahwa biogas listrik harus terbangun saat itu juga sebelum melewati proses pengorganisasian warga yang memadai.

Energi Alternatif, Pelengkap Belum Pengganti KARNO B. BATIRAN

Kasus serupa terjadi pada biogas di desa Soga. Tempat pembangunan instalasi biogas ditentu­kan tanpa pengkajian yang memadai. Misalnya apakah rumah tangga tempat instalasi dibangun sudah tepat—punya tradisi keluarga sebagai pe­ternak, letaknya lumayan strategis sebagai tempat belajar, warga di sekitarnya bersedia mendukung.

Setelah dibangun pun proses mengorganisir war­ga tidak berlanjut, fasilitas itu malah “ditinggalkan” begitu saja. Walhasil, biogas yang terbangun tidak menjadi tempat atau sarana belajar penggunaan en­ergi alternatif, seperti tujuan ideal program.

Ketiga, soal inisiatif dan kebutuhan. Teknolo­

Ada harapan berlebih terhadap ener-gi alternatif menjadi pengganti energi fosil. Padahal setidaknya saat ini, baru bisa sampai pada taraf melengkapi penggunaan energi fosil.

Page 20: Buletin Payo-Payo Edisi 02

HALAMAN 20

tersebut belum begitu dibutuhkan. Tompobu­lu masih dalam kawasan hutan, Bonne­Bonne dikelilingi ribuan pohon kelapa, Soga dipenuhi ranting­ranting pohon kakao mati, membuat warga belum merasa perlu mengadopsi tungku hemat kayu bakar atau kompor jarak.

Program pemerintah membagi­bagikan gas elpiji 3 kg semakin memudahkan warga desa menggunakan kompor gas elpiji, jauh lebih ter­jangkau dari sebelumnya. Daripada bersusah payah dengan teknologi energi alternatif, yang mengharuskan perubahan kebiasaan, serta dalam kadar tertentu menambah beban pekerjaan, lebih baik menggunakan kompor dan tabung gas elpiji. Jauh lebih gampang dan praktis. Tinggal tukar tabung, sambung lalu klik, nyala.

Keempat, melihat lebih dalam, tampaknya ada harapan berlebih terhadap energi alter­natif, bahwa energi alternatif benar­benar bisa langsung menggantikan penggunaan energi fosil. Padahal kenyataannya energi alternatif, setidaknya saat ini, baru bisa sampai pada taraf melengkapi, belum bisa benar­benar menggan­tikan penggunaan energi fosil.

Soalnya, harapan berlebih cenderung mu­dah menimbulkan kekecewaan. Sehingga saat muncul hambatan, besar maupun kecil, warga cenderung dengan mudah kembali berpaling menggunakan energi fosil, yang memang jauh lebih siap­pakai dan praktis—dan mereka jauh lebih terbiasa dengan itu.

KURANGNYA perhatian terhadap dugaan­dugaan di atas—terutama di pihak fasilita­tor desa SRP Payo Payo, membuat promosi teknologi­teknologi alternatif bisa dikatakan masih jauh dari berhasil. Apalagi jika menilik kembali tujuan besar melepaskan ketergantun­

gan warga desa dari energi fosil.Teknologi­teknologi yang dibawa ke desa­desa

tidak selalu tepat, seperti pada kasus kompor ja­rak. Digester biogas permanen, walau sebagian masih berfungsi, tetapi tidak dapat dengan mu­dah diadopsi oleh warga desa lain (pertimbangan biaya dan kerumitan konstruksinya, serta kerepo­tan dengan pekerjaan tambahan yang timbul). Se­mentara biogas plastik masih sangat rentan rusak.

Biogas memang bisa menghemat pengeluaran energi rumah tangga, mengurangi kerepotan menjagai kompor yang menggunakan tungku kayu bakar, serta mengurangi pengeluaran pu­puk. Tapi rupanya, semua keuntungan itu belum cukup untuk membujuk warga mengadopsinya secara luas dan/atau berkelanjutan.

Meski demikian, tampaknya masih ada hara­pan.Di tiga desa, semua rumah tangga di mana in­stalasi dibangun mengaku senang. “Kami senang dengan biogas dan hanya terjadi beberapa masalah kecil dengan instalasi,” kata mereka.

Selain itu, sudah lumayan banyak warga di tiga desa tersebut memiliki keterampilan membuat biogas, baik permanen apalagi plastik. Ini mung­kin menjadi bagian program yang berhasil, dan memang salah satu tujuan program adalah men­transfer pengetahuan dan keterampilan teknologi energi alternatif ke warga desa.

Beberapa warga lain juga telah menyatakan ketertarikan terhadap biogas. Jadi kemungkinan biogas dapat menyebar luas belum pupus. Masih ada harapan.

Memang butuh kerja lebih keras untuk mem­perkenalkan lebih luas teknologi­teknologi terse­but, sembari membenahi kelemahan­kelemahan yang menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan yang diharapkan. Agar biogas tidak lagi, sekali menyalakan api, sudah itu mati. Semoga! [].

gi­teknologi tersebut dibawa dari luar, apalagi melalui proses mema­dai untuk membuatnya dianggap relevan dan perlu bagi warga. Ini menjadi salah satu sebab kurangnya inisiatif untuk mengadopsi paket­paket teknologi energi alternatif tersebut.

Faktor lain, semisal masih me­limpahnya kayu bakar, membuat warga desa menganggap teknologi