Balkon spesial 2010 majalah

92

description

Balkon Spesial 2010

Transcript of Balkon spesial 2010 majalah

Page 1: Balkon spesial 2010 majalah
Page 2: Balkon spesial 2010 majalah
Page 3: Balkon spesial 2010 majalah

Buka mataSiapkan hatiuntuk spesial

Page 4: Balkon spesial 2010 majalah

4

LINCAK

Segenap diskusi pun digelar. Mulai dari diskusi kecil di B-21, berlanjut di lesehan Gudeg Sagan, dan perbincangan-perbincangan kecil selama dua bulan terakhir. Pembaca, jujur, untuk mengingat saja, rasanya sudah membikin lelah. Tapi kami tak sampai jatuh pasrah. Ditambah rangkaian kerja jurnalistik untuk memenuhi rubrikasi dan tenggat, sekalipun akhirnya memang tak benar-benar tepat, maka terangkumlah semua dalam wadah BALKON edisi majalah ini, yang sekaligus menandai kembali terbitnya produk kami dalam format majalah. Tentu ini menjadi momentum yang spesial bagi pembaca, BALAIRUNG, dan terlebih lagi: UGM.

UGM, dalam setengah abad lebih perjalanannya, tentu layak untuk diperiksa catatan yang telah ditorehkannya untuk bangsa. Semua sepakat bahwa kiprah kampus kerakyatan ini tak bisa dipandang sebelah mata. Berbagai sumbangan “Mazhab Bulaksumur” mewarnai perjalanan republik ini. Begitu pun peran alumni yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara menghiasi berbagai kebijakan negeri ini.

Menyambung hal itu, sebagai organisasi yang berkecimpung di dunia pers mahasiswa dan bernafaskan intelektual, BALAIRUNG pun tak mau melewatkannya begitu saja. Waktu yang sedikit mepet dan sumber daya yang terbatas tidak menyurutkan langkah kami untuk menghidangkan sajian ini ke ruang hati pembaca. Dalam menggarap edisi ini, hampir dua bulan kami lalui secara kerubut. Beruntung kami banyak terbantu jaringan alumni yang dengan tulus membimbing dan melancarkan penerbitan ini, terutama dari segi pendanaan. Teringat slogan di acara reuni Kagama Jakarta beberapa waktu lalu: saknajan ndeso kampuse, ning kompak alumnine. Benar adanya. Biarpun UGM kampus “ndeso”, tapi alumninya kompak.

Pada akhirnya, melalui ruang ini, dengan tulus kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut menyukseskan penerbitan ini. Tak lupa kami ucapkan selamat ulang tahun untuk UGM.

Puncak kata, teristimewa kepada pembaca, selamat membaca. [ ]

Citarasa

menyumbangkan naskah seperti menulis rubrik “Jajak Pendapat” dalam BALKON reguler. Hanya ulasan buku yang sedikit dipanjangkan.

Sementara bagi Divisi Produksi dan Artistik, tantangan terutama terletak pada kover BALKON. Dia harus dicetak berwarna, tidak hitam putih sebagaimana BALKON reguler. Edisi khusus mahasiswa baru 2009 lalu membuktikan kreativitas Divisi Produksi dan Artistik. BALKON cetakan tersebut diganjar sebagai buletin tingkat nasional dengan tata letak terbaik dalam ajang Equality 2009, akhir Oktober lalu. Salam terima kasih kami suratkan buat kawan-kawan pers mahasiswa Equilibrium, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, yang menghelat acara itu.

Selanjutnya Divisi Perusahaan. Penerbitan BALKON edisi khusus lalu mesti diongkosi hampir lima kali lipat BALKON reguler. Itu baru BALKON “edisi sampul tebal”, lalu bagaimana dengan BALKON edisi majalah? Pembaca, ketika hendak menerbitkan majalah, kami memang keburu dihantui besarnya rupiah yang dibutuhkan. Dari sisi itu, BALKON bisa-bisa bercita rasa Jurnal BALAIRUNG, yang kami garap setiap setahun sekali. Dana tentu jadi tantangan berat. Maka strategi jitu pun dipasang. Tim pencari dana dibentuk khusus, dengan koordinator Farid Fatahillah, awak Divisi Riset, yang kerap tampil necis. Saking pentingnya posisi tersebut, kami pun langsung memasrahinya memimpin penggarapan BALKON kali ini.

tantangan kami menerbitkan BALKON edisi majalah ini.

BALKON selama ini terbit dengan format handy-nya, berukuran C5. Paling-paling cukup diselimuti sampul tebal saat edisi khusus mahasiswa baru, sementara ukurannya tetap sama. Bagi Divisi Redaksi, rubriknya pun tak rewel-rewel, karena seluruh turunan tema digarap sebagai “Laporan Utama”. Jumlah karakter yang mesti ditulis tak membikin kaget para penulis. Divisi Riset? Para awaknya

BAGAIMANA menerbitkan majalah, tapi tetap dengan citarasa BALKON? Meliput, menulis, mendesain, dan mendanai majalah, tapi tetap dengan hasrat pengerjaan BALKON? Pembaca, demikianlah

Foto Sampul:Aji Akbar Titimangsa

Page 5: Balkon spesial 2010 majalah

DAFTAR ISI

Laporan Utama

Rehal

Opini

Potret

Eureka

Apresiasi

Dialektika

Laporan Khusus

8

14

19

23

Titik Aman Akreditasi

Terusik Tanda-tanda Zaman

Centang-perenang Laboratorium

Digitalisasi Setengah Hati

27

33

45

62

Perguruan Tinggi: Arena Kontestasi Intelektual dan Kekuasaan

Sri Sultan Hamengkubuwono X: “Kagama Itu Sifatnya Mengabdi, Bukan Kebanggaan”

Andi Alifian Mallarangeng: “Alhamdulillah, Saya Seperti Datang ke Habitat Lama”

Priyo Budi Santoso: Membingkai Sejarah Baru, Pemberani karena Lupa

Wawancara

Sosok

Temu Wicara

70

72

76

78

Ihwal Mutu Kebijakan Kampus

Kocap Kacarita: Ketika Togog dan Mbilung Bersenandung

Memaknakan ‘Tanda’ yang Terserak

Menggagas Jalan Baru Pers Mahasiswa

36

51

54

57

60

42

“Go International”:Taraf atau Tarif?

Wajah Buram Universitas Riset

Jalan Mendaki Menuju World Class Research University

Relevansi Universitas Riset

Orientasi Hipokrit Mahasiswa Peneliti

Mengolah Air, Mengolah Hidup33 45 62

68 72

42

PelindungProf. Ir. Sudjawardi, M.Eng., Ph.D. (Rektor UGM)

PembinaProf. Dr. Ir. Edhi Martono, M.Sc.Drs. Haryanto, M.Si.Amir Effendi Siregar, M.A.Ir. Abdul Hammid Dipopramono

Koordinator EksekutifFarid Fatahillah

Robertus Rony SetiawanWisnu Prasetya Utomo

Kepala RisetMuhammad Ghofur

Staf RisetAhmad Musthofa HaroenRhea Febriani Tritami

Pemimpin PerusahaanSetiawan

Staf IklanHesti PratiwiKahai Atit Thoiri

Kepala Produksi & ArtistikKirana Yunita

FotograferAji Akbar TitimangsaEka Wahyu N.

IlustratorDanu DamarjatiMuhammad Abdullatif Kurniawan

LayouterBernadeta Warsini HandayaniBarlianDannya Maharani Putri UtamiJehan RachmatikaMonika Windriya Satyajati

66

68

4

6

90

82

84

Kartelisasi Partai Politik

(Tak) Melulu Melucu

Lincak

Isu

Ngakak

Interupsi

Dapur

Lain-lain

Pemimpin UmumIryan Ali Herdiansyah

Pemimpin RedaksiM. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.

Staf RedaksiAchmad ChoirudinAfra Khumaira IrhamiAhmad BaiquniAt tachriirotul M.Larastiti CiptaningratMaulana Kautsar Rahmad Ridwan Nugroho SaputroRifki Akbar PratamaRifqi Muhammad

Page 6: Balkon spesial 2010 majalah

6

ISU

BEGITULAH sejumlah pertanyaan yang semuanya tak bisa dijawab langsung, tapi perlu diajukan secara terang. Dan, sungguh di UGM tidak ada jawaban yang bisa ditemukan untuk menjawab secara gamblang mengapa harus universitas riset. Jelas, jargon universitas riset itu menjadi trademark baru. Arti kehadiran universitas riset itulah yang saat ini melingkupi kehidupan sehari-hari warga kampus maupun dalam acara seremoni belaka.

Mungkin mengabarkan UGM sebagai universitas riset merupakan semacam kebanggaan atau kebahagiaan tersendiri. Tetapi, slogan itu juga sekaligus menyesakkan warga kampus yang kerap dicibir. Sebab, sejarah telanjur mengakrabkan kampus dalam nuansa perjuangan kerakyatan, ndeso, dan wadah intelektual kritis sehingga terkesan menjauhkan UGM dari segala jenis kemubaziran istilah yang tak berlandasan.

Maka, arti kehadiran istilah universitas riset itu bisa jadi telah menggeser dan menertawakan slogan universitas kerakyatan atau universitas ndeso yang lampau usang. Sebab, barangkali faktanya, tak ada

lagi jawaban untuk pertanyaan mengapa disebut universitas kerakyatan atau tidak ada lagi kenyataan harus wong ndeso yang kuliah di kampus ini.

Tapi, merayakan kahadiran istilah baru merupakan kewajaran. Setiap term yang dimunculkan kadung diamini dan dipuji, walaupun harus pula menerima cibirannya. Karena keduanya berjalan beriringan. Semisal, sejak kehadirannya, kampus telah membawa aroma perubahan kebudayaan masyarakatnya dan kampiun pendukung perubahan yang digalakkan di luar kampus. Di sisi lain, kampus juga menjadi kantong koreksi atas perubahan masyarakatnya. Lantas, jawaban kehadiran istilah yang mengekor nama kampus pun tidak bisa dibenarkan di satu pihak dan tidak juga bisa disalahkan di pihak lain.

Hanya, sekali lagi, setiap penilaian istilah yang dilabelkan atas nama kampus harus mendapat porsi jawaban paling minimal melatari alasan. Dengan begitu, masyarakat di luar kampus bisa memafhumi setiap kenyataan yang sudah dikerjakan dan saat dikerjakan.

***

Mengapa kampus perlu mengajukan visi universitas riset? Bukankah sudah menjadi fitrah universitas untuk melakukan kegiatan riset, di samping pengabdian dan pengajaran?

Dengan memunculkan visi universitas riset, apakah itu mengindikasikan mandeknya kegiatan riset di kalangan warga kampus sehingga perlu ditutup-tutupi? Atau, justru

visi universitas riset ingin menilap fungsi pengabdian dan pengajaran? Dengan begitu, wajarkah apabila biaya pendidikan dan riset itu mahal dan setiap kampus merasa

tidak wajib mengabdi pada masyarakat sekelilingnya? Universitas pun tinggal khusyuk berhubungan dengan stakeholder penyokong dana riset?

Pemeo KampusMenjadi universitas riset kelas dunia yang unggul, mandiri, bermartabat, dan dengan

dijiwai Pancasila mengabdi kepada kepentingan dan kemakmuran bangsa.

(Visi Universitas Gadjah Mada 2008-2012)

“”

Page 7: Balkon spesial 2010 majalah

7

Tentu mula-mula ada argumentasi jawaban mengapa disebut kampus perjuangan: ikhtiar melawan hegemoni sentralistik pengetahuan yang ada di Batavia. Karena itu, UGM didirikan untuk melawan epistemologi bentukan Belanda. Tapi, rupanya kampus pun menjadi wadah baru untuk menikmati kehidupan sinyo atau noni Indonesia. Dengan demikian, kehadiran istilah kampus perjuangan yang melekat pada universitas ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan utuh-menyeluruh.

Atau, ada suatu kali kampus pernah disebut sebagai kampus kerakyatan, sebab orang-orang kampus kerap bersinggungan dengan kehidupan desa. Tapi, tak lantas kampus menjauhi datangnya segala keriuhan masyarakat modern. Demikian, di lain pihak kampus kantong wacana antimodernitas, tapi di pihak lain dengan sendirinya menghidupi gagasan modernitas. Ah, begitulah dunia kampus, istilah-istilah yang dilekatkannya tak dapat sepenuhnya bisa diterima secara jamak.

Barangkali sama halnya ketika bingung harus mencari jawaban mengapa label UGM menjadi universitas riset. Tak hanya UGM, hampir seluruh perguruan tinggi negeri di Indonesia tengah ramai menggulirkan slogan universitas riset. Cita-citanya: kampus menjadi sarang dunia riset bersama wadah pengembangan metodologi. Tapi, tak lantas kegiatan riset menjadi hal utama dalam keseharian kampus. Jargon itu di mana-mana sudah jadi trademark jualan nama kampus.

Malahan kampus seperti menelan mentah sendiri ucapannya. Kabar prestasi risetnya pun tidak bisa dikatakan menggembirakan seperti jamaknya universitas kelas dunia. Semisal, data jumlah penelitian di UGM paling tinggi ialah Fakultas Kedokteran dengan jumlah judul penelitian yang nyaris menembus angka 150. Rasio penghitungan dari jumlah tersebut hanya lima per sepuluh. Artinya, ada dua kemungkinan yang bisa dijabarkan. Pertama, lima di antara sepuluh orang dosen meneliti, sementara yang lima lagi tidak meneliti. Kedua, tidak setiap dosen punya aktivitas penelitian (hasil verifikasi database penelitian per 9 Juni 2009, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM). Verifikasi itu tidak lanjut menegaskan gambaran kenyataan. Justru, istilah universitas riset seperti pemanis yang menutupi boroknya ketidakmampuan universitas dalam membangun kegiatan riset warga kampusnya.

***

Rasa-rasanya sejak awal kami terlalu

berspekulasi pendapat, sehingga kami pun sampai sangsi dengan pengantar kami sendiri. Pengantar yang hampir pembaca tuntaskan. Tetapi, kami kira jangan terlampau sangsi dengan BALKON. Karena itu, silakan dibaca. BALKON telah berikhtiar mencari makna yang berserak dalam arti kehadiran universitas riset. Di BALKON ini ditawarkan empat turunan yang dirasa penting, merentang mulai dari peliputan soal plagiarisme, penerbitan berkala ilmiah, laboratorium, sampai perpustakaan.

Dari awal, kami was-was, takut, kalau-kalau universitas riset itu sekadar pemeo. Bukan apa-apa, kami merasa simpati juga kalau moto kampus ini sekadar hasil buah mulut orang yang mengejek. Olok-olok untuk mencibir bahwa UGM tidak mampu membuktikan performa sebagai universitas riset. Ide besar, tapi omong kosong dan kerja ompong. Karena itu, keempat turunan yang kami liput semata-mata untuk mencari garis tegas arti kehadiran universitas riset.

Kini, enam puluh tahun lebih usia UGM. Tapi, kami tidak sedang menyajikan segala yang sudah enam puluh tahun UGM kerjakan, melainkan berupaya membekali pembaca, khususnya sivitas akademika UGM, untuk saat ini yang tengah dikerjakan dan sejauh bisa kami cari tahu guna mengisi jejak-jejak usia 60 tahun ke depan, terhitung dari 19 Desember 2009. Dengan demikian, kiranya pembaca bisa menikmati suguhan BALKON menyambut awal tahun usia yang ke-60. Semoga bisa menjadi pijakan untuk terus menatap optimisme dan memelihara kesangsian. [Redaksi]

Iwan.bal

Page 8: Balkon spesial 2010 majalah

8

LAPORAN UTAMALAPORAN UTAMA

Penerbitan berkala ilmiah yang sudah mengantongi akreditasi bisa melenggang untuk menggaet kerjasama internasional. Sementara itu, yang tidak memiliki

akreditasi masih repot mengurusi keberkalaan terbitannya.

Titik Aman Akreditasi

PENERBITAN JURNAL/ MAJALAH ILMIAH

Penulis & Reporter: Iryan Ali Herdiansyah Fotografer: Kirana Yunita

Page 9: Balkon spesial 2010 majalah

9

Titik Aman Akreditasi

SUDAH dua puluh tahun Setiabudiani, S.Sos. menjadi staf tata usaha penerbitan berkala ilmiah Media Teknik. Kini, setelah Fakultas Teknik memutuskan tidak menerbitkan Media Teknik, Setiabudiani masih dipasrahi jabatan tata usaha Media Energi yang akan diluncurkan Fakultas Teknik tahun mendatang. Bagi Setiabudiani, rasanya memang pahit ketika sudah tidak menerbitkan lagi Media Teknik.

Ada dua alasan yang menguntit sampai-sampai Media Teknik tidak diterbitkan, terhitung sejak November 2008. Pertama, Media Teknik bukan penerbitan ilmiah berkala yang punya kajian spesifik. Di Fakultas Teknik terdiri dari delapan jurusan yang memiliki fokus kajian berbeda. Keberagaman itu yang melatarbelakangi Media Teknik menerbitkan bunga rampai dari kedelapan jurusan di Fakultas Teknik. Kedua, Media Teknik hanya berisi tulisan bunga rampai sivitas akademika Fakultas Teknik, mulai dari dosen hingga alumni. “Siapapun bisa menulis bunga rampai,” ujar Setiabudiani, yang kerap dipanggil Bu Budi.

Dengan begitu, sebagai media komunikasi, Media Teknik tidak mendapat akreditasi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Dirjen Dikti Depdiknas). Karena itu, Fakultas Teknik memutuskan untuk mengganti Media Teknik menjadi Media Energi. Media Energi merupakan terbitan yang khusus membahas tentang energi. “Jadi, tidak semua jurusan bisa membahas perihal energi,” ujar Bu Budi. Di samping bisa lebih spesifik, Media Energi diharapkan mendapat akreditasi Dirjen Dikti Depdiknas.

Dalam penerbitan berkala ilmiah, akreditasi seolah menjadi momok bagi para pengelola. Akreditasi merupakan modal kepercayaan sekaligus nilai tambah bagi penulis dan pengelolanya. Akreditasi bagaikan jaminan mutu. Kalau tidak diakreditasi, penerbitan berkala ilmiah itu sulit dipercaya. Sementara itu, bagi penulis, akreditasi merupakan tambahan poin naik jabatan andai tulisannya dimuat, yakni mendapat 25 poin. Sedangkan, tulisan yang dimuat dalam penerbitan tidak diakreditasi hanya 15 poin. Tak heran apabila para penulis berbondong-bondong supaya tulisannya bisa dimuat dalam penerbitan berkala ilmiah yang diakreditasi.

Bagi pengelola penerbitan berkala ilmiah, akreditasi menjadi momok sebab ada delapan syarat. Setiap syarat akreditasi itu mengandung poin. Pertama, penamaan penerbitan berkala ilmiah (5 poin). Kedua, nama lembaga yang menerbitkan (5 poin). Ketiga, penyuntingan (21 poin). Keempat, penampilan desain (9 poin). Kelima, gaya penulisan (11 poin). Keenam, kategori substansi (36 poin). Ketujuh, keberkalaan penerbitan (10 poin). Kedelapan, kewajiban pascaterbit, di antaranya rutin mengirimkan terbitan ke Dirjen Dikti Depdiknas dan Pusat Dokumentasi Ilmiah Indonesia (3 poin). Apabila dijumlah, semua kriteria tersebut menghasilkan 100 poin.

Untuk kisaran nilai akreditasi, kategori A antara 86–100 dan B 70–85. Supaya mendapat poin tinggi itulah yang dirasa sulit. Dr. Pudjono, S.U., Apt. mencontohkan tampilan warna sampul Majalah Farmasi Indonesia yang hanya terdapat warna kuning dan hijau tua. Apabila ketajaman

Page 10: Balkon spesial 2010 majalah

10

warna hijau tua diubah menjadi lebih muda, maka tidak akan penuh mendapat poin 9. “Itu dinilai tidak konsisten,” ungkap Pudjono, yang di Fakultas Farmasi menjabat sebagai Ketua Dewan Redaksi Majalah Farmasi Indonesia.

Kedelapan syarat itu pun dirasa sulit, terutama ketika memerhatikan rutinitas penerbitan. Untuk pengelola penerbitan yang diakreditasi, rutinitas terbit barangkali tidak menjadi aral. Sebab, dengan sendirinya para penulis memercayakan tulisannya agar bisa dimuat pada penerbitan yang sudah diakreditasi. Sedangkan, untuk pengelola penerbitan yang tidak diakreditasi, syarat rutinitas terbit itu dirasa sulit sebab tak banyak orang yang memercayakan tulisannya bisa dimuat. Karena itu, motivasi dan konsistensi pengelola untuk terus menerbitkan merupakan suatu keharusan. Kalau tidak, sulit untuk bisa menerbitkan karena model pengelolaannya bersifat sukarela.

“Mengelola majalah seperti ini seperti volunteer,” kata Drs. Subagus Wahyuono, Apt., M.Sc., Ph.D., Ketua Pelaksana Majalah Obat Tradisional. Para reviewer pun rela untuk tidak dibayar. Nah, lanjut Subagus, karena tidak dibayar itu maka kerja reviewer pun kerap lamban dalam menilai isi naskah yang masuk ke meja redaksi. Kalaupun ada reviewer yang dibayar, jumlah uangnya tak seberapa besar. “Jumlahnya (uang) ya hanya cukup untuk beli gorengan,” kata Prof. Dr. Harno Dwi Pranowo, M.Si., Editor in Chief Indonesia Journal of Chemistry Jurusan Kimia FMIPA, dengan tangan yang menutupi gelak tawanya.

Di samping beban penilaian akreditasi yang disyaratkan Dirjen Dikti Depdiknas, permasalahan sepinya penulis juga menghantui pengelola penerbitan berkala ilmiah. Seperti di Majalah Obat Tradisional. Majalah yang diterbitkan Bagian Bahan Alam Fakultas Farmasi itu seringkali sulit mendapat kiriman naskah. Hal itu disebabkan kecenderungan penulis yang lebih memilih penerbitan yang sudah diakreditasi. Sedangkan, Majalah Obat Tradisional sejak 2008 tidak mendapat akreditasi Dirjen Dikti Depdiknas. Hal itu berbeda dengan “tetangga” Majalah Obat Tradisional, yakni Majalah Farmasi Indonesia, yang telah mendapat akreditasi B. “Kita sampai kerepotan (menerima tulisan),” kata Pudjono, sembari membuka beberapa lembar makalah.

Permasalahan sepinya penulis naskah itu seperti gejala umum yang dialami setiap pengelola penerbitan berkala ilmiah di UGM. “Dosen kita memang bisa dibilang nggak produktif,” ujar Harno. Pangkal

Dosen kita memang bisa dibilang nggak produktif.

“”

Page 11: Balkon spesial 2010 majalah

11

masalahnya, dosen tidak memiliki kemampuan untuk menulis di penerbitan berkala ilmiah tingkat nasional atau internasional. Memang, banyak dosen yang kerap menulis hasil penelitian, tapi sedikit dosen yang punya inisiatif agar tulisannya bisa dimuat di penerbitan berkala ilmiah. “Dosen kita (UGM) banyak yang tidak bisa menulis,” ujar Kepala Bidang Peningkatan Mutu Penelitian LPPM ini. Karena itu, salah satu tugas bidang kerja yang diampu Harno di LPPM ialah menyelenggarakan pelatihan menulis bagi dosen. “Kita nggak boleh bosan menggelar workshop penulisan,” ujarnya.

Dahulu, menurut Harno, kesulitan dosen UGM menulis di penerbitan berkala ilmiah karena UGM belum berlangganan fasilitas e-journal sehingga merasa takut kalau-kalau penelitiannya sudah dipublikasikan. Saat ini, setelah berlangganan fasilitas e-journal, semestinya dosen UGM bisa memeriksa indeks naskah di penerbitan berkala ilmiah. “Jadi, mengapa mesti takut?” tantang Harno.

Gengsi InternasionalSUATU ketika pada sebuah seminar nasional,

Harno pernah diprotes pengurus Himpunan Kimia Indonesia yang ingin menerbitkan jurnal. Pasalnya, nama jurnal Jurusan Kimia FMIPA tempat Harno mengajar ialah Indonesian Journal of Chemistry. “Kok sudah dipakai UGM?” cerita Harno menirukan rekannya di Himpunan Kimia Indonesia, sambil tertawa. Sejak diterbitkan pada 2000, jurnal itu memang digagas untuk mendongkrak citra internasional sehingga penamaan jurnalnya pun berbahasa Inggris. Tak mengherankan apabila rekan Harno di Himpunan Kimia Indonesia protes gara-gara merasa disalip.

Meskipun ada penerbitan berkala ilmiah yang tidak diakreditasi, tetapi ada juga penerbitan yang telah diakreditasi yang mulai mendongkrak citra internasional. Ada yang menggandeng mitra bestari editor dari universitas luar negeri bergengsi di Eropa, Australia, Amerika Serikat, maupun Asia Tenggara seperti Universitas Nasional Singapura. Bahkan, ada pula yang berencana memasukan terbitannya dalam jajaran jurnal internasional.

Niat mendongkrak citra internasional itu pun mendapat sambutan Dirjen Dikti Depdiknas. Beberapa pengelola penerbitan berkala ilmiah di UGM mendapat dana hibah program Bantuan Pelaksanaan Penginternasionalan Berkala Ilmiah sebesar Rp 150 juta untuk tiga tahun. Contohnya, Indonesian

Journal of Chemistry dan Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia.

Menurut Harno, ada empat penilaian terkait pemenuhan taraf internasional sebuah penerbitan berkala ilmiah. Pertama, seratus persen berbahasa Inggris. Kedua, artikel yang dimuat bisa masuk dalam daftar kelompok jurnal berbahasa Inggris. Ketiga, kualitas tulisan. Keempat, distribusi jurnal dengan sistem online, biasanya melalui kelompok jurnal internasional sehingga memudahkan artikel untuk diindeks. Dari indeks tersebut, bisa diketahui penerbitan berkala ilmiah yang sudah masuk dalam jajaran taraf internasional.

Bagi pengelola Indonesian Journal of Chemistry, dana yang didapat dari Dirjen Dikti Depdiknas dipakai untuk memperbaiki situs online agar bisa menjadi e-journal. Di samping itu, Indonesian Journal of Chemistry pun tengah diajukan masuk dalam kelompok jurnal internasional. Sama halnya dengan pengelola Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia yang mengikuti Gadjah Mada International Journal of Business untuk menembus jajaran jurnal internasional. Kalau Gadjah Mada International Journal of Business dimasukkan ke Ebsco, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia masih belum tahu. “Mungkin tidak di Ebsco,” ujar Lincolin Arsyad, Ph.D., Managing Editor Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia.

Untuk menuju standarisasi penerbitan berkala ilmiah taraf internasional, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia pun sudah berganti nama menjadi Journal of Indonesian Economy and Business. Tahun ini, jurnal terbitan Fakulas Ekonomika dan Bisnis itu menerjemahkan seluruh tulisannya dalam Bahasa Inggris. Selama ini, pemakaian bahasa Inggris memang baru separo, sedangkan untuk menggaet citra internasional harus keseluruhan tulisan. “Tahun ini transisi menuju internasional,” kata Lincolin.

Tak hanya Indonesian Journal of Chemistry dan Journal of Indonesian Economy and Business yang sudah mendongkel citra internasional. Jurnal Gizi Klinik Indonesia pun memiliki niat menjadi jurnal bertaraf internasional. Sudah jauh hari, nama Jurnal Gizi Klinik Indonesia digeser menjadi Indonesian Journal of Clinic Nutrition. Ditambah lagi, jurnal yang diterbitkan Jurusan Gizi dan Kesehatan Fakultas Kedoteran itu sudah memiliki situs sendiri: www.ijcn.or.id.

Di samping perubahan nama dan pengelolaan situs online, tetapi itu tidak lantas menjadikan Ketua Dewan Redaksi Indonesian Journal of Clinic Nutrition

Mengelola majalah seperti ini seperti volunteer.“ ”

Page 12: Balkon spesial 2010 majalah

12

Tak Mau Kalah

Prof. Dr. Hamam Hadi, M.S., Sc.D. gentar untuk menggaet publik internasional. Di antara tujuh jurnal yang diterbitkan di lingkungan Fakultas Kedokteran, hanya Indonesian Journal of Clinic Nutrition yang sudah mendapat akreditasi B. Dari segi pendanaan pun Indonesian Journal of Clinic Nutrition tidak bergantung dari dana jurusan karena sudah mampu menyedot pengiklan. Kini, jaringan internasional mulai dilebarkan, yakni dengan mengajak American Journal Nutrition sebagai mitra editor.

Sayang, tidak semua penerbitan berkala ilmiah di UGM mengantongi akreditasi sehingga memudahkan untuk cepat lepas landas taraf internasional. Dari

delapan puluh satu penerbitan berkala ilmiah yang diperoleh BALKON, hanya segelintir yang mendapat akreditasi (lihat Tabel Penerbitan Berkala Ilmiah di UGM). Karena itu, penerbitan berkala ilmiah yang belum mendapat akreditasi seolah masih sulit memperoleh tempat di mata internasional. Bisa jadi, pilihannya merampingkan jumlah penerbitan berkala ilmiah di UGM, tetapi jumlah penerbitan yang sedikit itu didukung tenaga ilmiah yang tidak dipecah-pecah menurut fakultas atau jurusan dan perbedaan nama terbitan. Dengan demikian, keberadaan penerbitan berkala ilmiah di UGM tidak semata untuk kenaikan pangkat. [ ]

Jumlahnya (uang) ya hanya cukup untuk beli gorengan.

SEJAK 2003, sekelompok mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) yang menamakan diri Syariah Economic Forum (SEF), getol menerbitkan Jurnal Muamalah. Jurnal tahunan itu berisi tulisan-tulisan dari peneliti, dosen, dan praktisi tentang ekonomi syariah yang sengaja diundang pengurus SEF. Tapi, setelah terbitnya Journal of Islamic Business and Economics yang dikelola Lembaga Ekonomika dan Bisnis Islam (LEBI) FEB pada 2008, para pengurus SEF pun memilih agar jurnalnya diisi khusus tulisan-tulisan mahasiswa.

Pasalnya, para peneliti LEBI yang kerap menulis di Jurnal Muamalah memilih pindah untuk menulis di Journal of Islamic Business and Economics. Karena itu, sejak akhir Agustus 2009, pengurus SEF mengundang mahasiswa mengirimkan. Tiga bulan kemudian, Jurnal Muamalah menerima tujuh tulisan mahasiswa, yang pada 13 Desember dipresentasikan dalam seminar nasional untuk menyeleksi naskah yang layak dimuat di Jurnal Muamalah.

Walaupun masih dililit masalah pendanaan, penerbitan Jurnal Muamalah masih menjadi keinginan para pengurus SEF buat mengembangkan diri. Wulan Wiyat Wuri, Kepala Departemen Kajian SEF yang merangkap sebagai redaksi Jurnal Muamalah, mengatakan bahwa mahasiswa selayaknya menerbitkan jurnal supaya dapat belajar menyeimbangkan teori yang didapat dari kuliah dan kehidupan riil. “Ini satu visi kita untuk mengembangkan keilmuan,” kata mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi FEB 2008 itu.

Di samping keberadaan Jurnal Muamalah, di kalangan mahasiswa FEB pun tak asing dengan Jurnal Pangsa. Sementara itu, di Fakultas Filsafat terdapat Jurnal Kacamata yang baru diterbitkan pada 2009. Semua rata-rata diterbitkan setahun sekali. Walaupun waktu terbitnya relatif lama dan jarang ada yang bisa bertahan, tetapi kehadiran jurnal di tingkat mahasiswa merupakan ikhtiar untuk menangkap gejala rindunya “ruang” pemikiran kritis. Hal itu senada dengan Jurnal BALAIRUNG yang ingin menjadi wadah sekaligus laboratorium pikiran-pikiran kritis mahasiswa. [ ]

Penulis: Iryan Ali Herdiansyah

Mahasiswa pun

“”

Page 13: Balkon spesial 2010 majalah

13

Tak Mau Kalah

No. Nama AkreditasiEdisi pertama dan

edisi terakhirPeriode terbit

Eksemplar

1Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia

-Vol. I No.1 1995 Vol. 13 No.2 2007

Per semester 300

2 Jurnal Transformasi -Vol. 1 No.1 2004 Vol. 2 No.2 2005

Caturwulan 500

3The Journal of Information Technology and Electrical Engineering

- Vol. 1 Agustus 2009 Caturwulan 300

4Jurnal Arsitektur dan Perencanaan

-Vol. 3 No.1 2008 Vol. 3 No.1 2009

Per semester 150

5 Interaksi -Vol. 1 No.1 2006 Vol. 2 No.2 2007

Per semester 100

6 Jurnal Mesin dan Industri -Vol. 1 No.1 2004 Vol. 6 No.1 2009

Caturwulan 300

7 Jurnal Agro Ekonomi -Desember 1979 Vol. 14 No.1 2007

Per semester 300

8 Pangsa -Edisi terakhir 14/XII/2008

Tahunan 400

9 Jurnal Muamalah -Vol. 1 2003 Vol. 6 2009

Tahunan 50

10 Media Teknik B Edisi terakhir 2008 Triwulan 500

11 Jurnal Gizi Klinik Indonesia BVol. 1 No.1 2004 Vol. 6 No.1 2009

Caturwulan 700

12 Forum Teknik Sipil BVol. 1 No.1 1998 Vol. XIX No.1 2009

Caturwulan 400

13 Agritech B1984 Vol. 29 No.3 2009

Triwulan 500

14Journal of Indonesian Economy and Business

BNo.1 1986 Vol. 23 No.4 2008

Tahunan 500

15 Jurnal Filsafat Wisdom -1990 2008

Caturwulan 300

16 Jurnal Psikologi - No.1 1991 Per semester 1000

17 Humaniora B1989 2009

Caturwulan 300

18 Jurnal Kacamata - Edisi pertama 2009 Tahunan 100

19 Buletin Peternakan -Vol. 1 No.1 1977 Vol. 32 No.3 2008

Caturwulan 300

20 Jurnal Sain Veteriner -Edisi terakhir Vol. 27 No.2 2009

Per semester 250

21Indonesian Journal of Geography

-Vol. 1 No.1 1960 Vol. 40 No.2 2008

Per semester 450

22 Mathematical Journal -2003 2004

Per semester 100

23Indonesian Journal of Chemistry

BVol. 1 No.1 2000 Vol. 9 No.1 2009

Caturwulan 250

24 Majalah Kedokteran Gigi -Desember 2008 Juli 2009

Per semester 300

25 Jurnal Kedokteran Gigi -Edisi pertama

Vol. 1Oktober 2009Triwulan 300

26Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

BVol. 1 No.1 1998 Vol. 12 No. 2 2009

Triwulan 700

27 Berita Kedokteran Masyarakat -Vol. 1 No.1 1985 Vol. 25 No.3 2009

Triwulan 1000

28Journal of Islamic Business and Economics

-Vol. 1 No.1 2007 Vol. 3 No.1 2009

Per semester 350

Catatan: Tabel ini diisi berdasarkan kuesioner yang disebar ke seluruh pengelola penerbitan berkala ilmiah di UGM, baik fakultas mau-pun pusat studi. Penyebaran kuesioner dilakukan pada 3-20 November 2009. Apabila mengacu pada data Perpustakaan Pusat UGM, terdapat 81 penerbitan berkala ilmiah di UGM. Tetapi, yang berhasil terkumpul hanya 28 kuesioner.

Tabel Penerbitan Berkala Ilmiah di UGM

Page 14: Balkon spesial 2010 majalah

14

LAPORAN UTAMA

PLAGIARISME

Terusik Tanda-tanda Zaman

Penulis: M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.Reporter: Afra Khumaira Irhami, Maulana Kautsar Rahmad

Lambang UGM mengandung bunyi: murnining suci marganing kanyatan.

Page 15: Balkon spesial 2010 majalah

15

SATU semester sudah Ketua Senat Akademik Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K). membatinkan sebuah “temuan”. Paling-paling kepada Rektor Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D. semata dia pernah membagi cerita. Sampai pada lokakarya plagiarisme yang digelar Majelis Guru Besar (MGB) di Balai Senat, 21 November lalu, saat bertindak sebagai pemateri, dia baru mengemukakan kepada lima puluh dosen yang hadir. Begini dia memulai cerita, “Di undangan, di baliho, di mana-mana, ternyata jamak dipakai lambang UGM yang salah.”

Sejurus kemudian Sutaryo menunjuk ke layar presentasi yang menampilkan tiga modifikasi lambang UGM. Satu lambang yang benar: berwarna putih dan kuning emas. Dua lainnya salah: dipenuhi warna kuning emas dengan gradasi ke bawah semakin gelap. “Munculnya lambang yang salah itu baru lima tahun belakangan. Pikir saya: tanda-tanda zaman,” demikian Sutaryo, seperti mau menyitir ramalan zaman edan pujangga Jawa Ronggo Warsito.

Sementara itu, pertalian warna putih dan kuning emas dalam lambang UGM mengandung bunyi: murnining suci marganing kanyatan. Kalimat itu berarti “kemurnian kesucian adalah jalan kenyataan”. Kata “murni” menunjuk angka 9, “suci” 4, “marga” 9, “kenyataan” 1. Bila disusun terbalik, angka-angka tersebut terbaca sebagai tahun pendirian UGM: 1949.

Dalam pandangan Sutaryo, hal itu menyiratkan bahwa untuk mencapai kenyataan ilmu pengetahuan harus didasari hati sanubari yang murni. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat berangkat dari niat suci. “Karena itu, plagiarisme tentu tidak cocok dengan kemurnian dan kesucian tersebut,” tandasnya, seolah meminta keplokan peserta. Dia sendiri tak mungkin menutup-nutupi fakta betapa plagiarisme berulang kali mencoreng UGM.

***

AKHIR September tahun lalu, Nurul Aini, S.Sos., M.A. akhirnya kembali ke Yogyakarta setelah menamatkan studi master di Universitas Bergen, Norwegia. Praktis sudah tiga tahun sarjana lulusan Fisipol 2003 ini meninggalkan rutinitas sebagai dosen Jurusan Sosiologi. Sembari menunggu semester genap, sehari-hari dia hanya menyambangi kantor jurusan, sesekali melihat-lihat koleksi perpustakaan kantornya. Saat itu dia memang belum kebagian jadwal mengajar di kelas.

Berawal dari kebetulan memeriksa koleksi bacaan di perpustakaan jurusan itulah, dia curiga pada sebuah buku. Judulnya Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo, ditulis Ayu Windi Kinasih, alumnus Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP), berangkat dari skripsi berjudul “Politik Identitas: Studi Penelitian Deskriptif Pergulatan Etnis Tionghoa Mempertahankan Eksistensi Identitasnya di Kota Solo”. Skripsi itu diselesaikan pada 2005, tetapi baru diterbitkan Laboratorium JIP setahun kemudian.

Kecurigaan Nurul lamat-lamat memuncak. Beberapa bagian dalam skripsi Ayu Windi Kinasih, menurut dia, menjiplak skripsinya yang berjudul “Wacana Kritis Etnis Minoritas terhadap Kuasa”. Terutama adanya kemiripan pemakaian dan gaya penulisan kerangka teoretis. Komplain pun dilayangkan Nurul dengan menelepon Hasrul Hanif, S.IP., M.A., dosen JIP yang juga kawan dekatnya. “Saya sebagai korban tak tahu harus berbuat apa dan mesti bagaimana, karena memang tidak ada regulasi,” keluhnya.

Merespons komplain tersebut, JIP lantas menggelar investigasi. Hingga awal Desember ini, proses itu masih berlangsung. Buku yang telanjur diterbitkan pun ditarik dari peredaran, meski sebagian sudah tersebar ke tangan pembaca. Sementara Ayu Windi Kinasih, kini berdomisili di Semarang, baru sekali dimintai konfirmasi dan keterangan pembelaan.

Berkali-kali ditimpa kasus plagiarisme, UGM kini menyiapkan standar antikecurangan dan antipenjiplakan. Draf final sudah terbentuk, tinggal menunggu pengesahan.

Page 16: Balkon spesial 2010 majalah

16

“Kalau terbukti plagiat, tentu akan ada tindak lanjut. Tetapi otoritas itu tidak semata ada di JIP. Ada aturan-aturan yang harus dirumuskan di level fakultas dan universitas,” kata Hasrul, yang turut memeriksa kedua skripsi tersebut.

Kasus Nurul Aini itu hanya salah satu persoalan plagiarisme di UGM. Sesuai pemberitaan Gatra (2 Desember 1995), pada 1995, terbongkar tesis plagiat Drs. Suyono, M.S. yang diluluskan Sekolah Pascasarjana UGM. Tesisnya yang dirampungkan pada 1992 terbukti meniru skripsi Dra. Siswati dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya. Lantas, berdasarkan Rapat Senat UGM yang dihadiri 85 guru besar, dosen Universitas Tujuh Belas Agustus, Surabaya, itu pun mesti rela melepaskan gelar master yang tiga tahun disandangnya.

Pada Februari 2000, UGM pun mencopot titel doktor Drs. Syaiful S. Azhar, M.S. alias Ipong S. Azhar lantaran disertasinya terbukti contekan (Kompas, 12 Desember 2002). Kasus ini sempat menjadi bulan-bulanan pemberitaan media massa. Di luar itu, plagiarisme juga terjadi di kalangan mahasiswa strata satu. “Kalau ada paper yang terlalu bagus, saya langsung mengecek lewat Google. Jangan-jangan si penulis menjiplak,” ujar Nurul.

Terlalu bagus? “Hahaha…. Biasanya begitu,” gelaknya.

***

Kalau terbukti plagiat, tentu akan ada tindak lanjut. Tetapi, otoritas itu tidak semata ada di JIP. Ada aturan-aturan yang harus dirumuskan di level fakultas dan universitas.

Page 17: Balkon spesial 2010 majalah

17

Terhitung sejak April 2009, hampir setiap dua pekan sekali di Ruang Sidang Kantor Jaminan Mutu (KJM) UGM, suasana selalu ramai. Di situ dua puluhan orang selalu berkumpul. Jumlahnya memang tak selalu sama. Para dosen dari KJM, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), Pusat Pengembangan Pendidikan (P3), Jurusan Sastra Indonesia, serta perwakilan klaster keilmuan di UGM itu menggagas naskah penting: standar antikecurangan dan antipenjiplakan.

“Motor penggeraknya Pak Agus Wahyudi,” kata Ketua KJM Dr. Kirbani Sri Brotopuspito, menyebut salah satu stafnya yang kini tengah studi di Universitas Northern Arizona, Amerika Serikat. Selain sebagai dosen Fakultas Filsafat, Drs. Agus Wahyudi, M.A., M.Si. juga menjabat Koordinator Bidang Sistem Informasi Penjaminan Mutu Akademik KJM.

Sebenarnya terdapat beberapa nama yang rutin menghadiri rapat itu. Di antaranya Drs. Sajarwa, M.Hum. dan Dr. Ir. J.P. Gentur Sutapa, M.Sc. dari KJM, serta Drs. Heru Marwata dan Prof. Dr. Harno Dwi Pranowo, M.Si. dari LPPM. Terdapat juga Prof. Dr. Harsono dan Dr. Ir. Joko Luknanto dari P3. Selain itu, ada Wakil Dekan I Fakultas Biologi Dr. Langkah Sembiring dan Ketua Satuan Audit Internal Dr. Didi Achjari, M.Com. Kirbani sendiri bertugas memfasilitasi setiap rapat dan menjembatani tim dengan pemimpin universitas.

Tim tersebut berhasil merampungkan draf final enam bulan kemudian. Rencananya, rancangan mereka bakal diserahkan kepada Wakil Rektor Senior Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat selaku pemimpin universitas. Selanjutnya, barulah dibahas bersama MGB, Senat Akademik, dan lembaga-lembaga terkait di UGM, seperti senat fakultas. Belum sempat pembahasan itu digelar, MGB ternyata terlebih dahulu berinisiatif menyelenggarakan lokakarya plagiarisme. Dalam lokakarya itulah draf garapan KJM diforumkan untuk pertama kali. BALKON pun baru memegangnya saat lokakarya tersebut.

***

Isi draf itu terketik 17 halaman. Terdiri dari tujuh pasal beserta penjelasannya (baca “Serupa Universitas Amsterdam”). Kepada BALKON, Kirbani sempat membacakan dua dasar perumusannya. Pertama, Kebijakan Akademik 2005–2010. Kedua, kode etik penelitian sebagaimana tertuang dalam Standar Akademik. “Itu terlepas dari kita yang pernah kecolongan dan banyaknya kasus kenaikan pangkat lantaran tindakan menjiplak,” katanya. Dia melihat, selama ini persoalan tersebut hanya ditangani secara ad hoc dan tak mendasar. Plagiariasme hanya diselesaikan per kasus dan belum ada acuan penanganannya.

Dua Dasar“UGM adalah universitas nasional, kerakyatan, dan penelitian yang bertugas mengembangkan Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia dan menjadi mitra terhormat masyarakat universitas dunia. Menggunakan wibawa akademik dan jatidirinya UGM menjamin terselenggaranya kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan dengan memperhatikan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan etika keilmuan dengan menghindari terjadinya tindakan tercela (misconduct).”

Kebijakan Akademik 2005–2010

“Plagiarism, yaitu apabila sebagian atau bahkan seluruhnya menjiplak atau menyalin produk penelitian lain tanpa merujuk pada sumbernya.”

Kode Etik Penelitian dalam Standar Akademik

Page 18: Balkon spesial 2010 majalah

18

Penulis: M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.

KETUA Kantor Jaminan Mutu Dr. Kirbani Sri Brotopuspito mengatakan susunan draf tentang kecurangan dan penjiplakan UGM diilhami dari aturan serupa yang dipakai di Universitas Amsterdam (Universiteit van Amsterdam atau UvA), Belanda. Dokumen “ilham” itu dapat diunduh gratis dari laman resmi UvA: www.uva.nl. “Sebelumnya kita membandingkan dulu draf dari berbagai universitas di sejumlah negara,” kata Drs. Agus Wahyudi, M.A., M.Si., motor penggerak Tim Gabungan (KJM, LPPM, P3, Jurusan Sastra Indonesia), dalam percakapan dengan BALKON via Facebook.

Dokumen UvA itu menggunakan Bahasa Inggris. Judulnya Regulations Governing Fraud and Plagiarism for UvA Students. Terdiri dari 7 pasal. Article 1 Definitions; Article 2 Complicity; Article 3 Detection of plagiarism; Article 4 Procedure; Article 5 Sanctions and the event of fraud; Article 6 Sanctions and the event of plagiarism; Article 7 Effective date, official title; serta Explanatory notes to regulations governing fraud and plagiarism for UvA students.

Sementara itu, draf garapan Tim Gabungan hampir mirip. Judulnya Standar Antikecurangan dan Antipenjiplakan Universitas Gadjah Mada 2009. Juga terdiri dari 7 pasal. Pasal 1 Definisi dan Pengertian; Pasal 2 Keterlibatan (Complicity); Pasal 3 Deteksi Penjiplakan; Pasal 4 Prosedur; Pasal 5 Sanksi terhadap Kecurangan (Fraud); Pasal 6 Sanksi terhadap Penjiplakan; Pasal 7 Masa Berlaku; serta Penjelasan Peraturan tentang Kecurangan dan Penjiplakan di UGM (Regulation Governing of Fraud and Plagiarism at UGM).

Adanya kemiripan tersebut memang tidak seizin UvA. Agus, yang tengah studi doktoral di Universitas Northern Arizona, Amerika Serikat, menyebutkan alasan tak diperlukannya izin. Pertama, standar dan kriteria plagiarisme yang hampir sama di universitas seluruh dunia. “Sudah menjadi pengetahuan umum,” katanya. Kedua, draf masih harus disempurnakan sesuai keadaan di UGM. “Ada standar tertentu yang harus dinegosiasikan atau belum bisa diberlakukan di UGM, di samping tata kelembagaan yang berbeda antara UvA dan UGM,” urainya. [ ]

AmsterdamSerupa Universitas

“Masalah yang kita hadapi sebenarnya pada sosialisasi cara untuk menghindari (plagiarisme) dan sistem kelembagaan untuk pengawasan,” papar Agus. Karena itu, dia mencontohkan, dalam draf disebutkan bahwa Komite Kehormatan (KK) dan Dewan Kehormatan Universitas (DKU) bertanggung jawab mengawasi tindak kecurangan dan penjiplakan. KK berada di tingkat fakultas, sedangkan DKU di universitas. “Tujuannya bukan untuk menghukum atau membuat susah, melainkan menjamin mutu akademik,” dia menekankan.

Draf tersebut kini tinggal selangkah lagi untuk dapat dijadikan pedoman sivitas akademika UGM. “Saya belum bisa memastikan ditandatangani siapa. Bisa saja MGB yang lebih berwenang karena memiliki DKU. Tapi kami membuat draf ini sebagai surat

keputusan rektor,” kata Kirbani. Setelah disahkan, dia berpikiran perlunya pemberdayaan Pusat Pelatihan Bahasa untuk konsultasi penulisan. “Itu baru rencana,” imbuhnya.

Meskipun rancangan sudah ada dan kemudian disahkan, menurut anggota Komisi Integritas Moral dan Etika MGB Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si., memerangi plagiarisme sebenarnya tak perlu menunggu peraturan universitas. “Kalau begitu berarti kita hanya hidup tergantung pada peraturan. Sikap demikian memosisikan martabat kita di bawah peraturan,” dia memperingatkan. Agus Wahyudi pun menyadari betul masalah ini. “Budaya akademik yang sehat tak bisa diciptakan dalam semalam,” ujarnya realistis. [ ]

Page 19: Balkon spesial 2010 majalah

19

LAPORAN UTAMALAPORAN UTAMA

“Kalau laboratorium kuat, maka hasil penelitian pun kuat.”

Centang-perenangLABORATORIUM

Laboratorium

Penulis: Ridwan Nugroho SaputroReporter: Iryan Ali Herdiansyah, Nurul IsmiyatunFotografer: Eka Wahyu N.

DUNIA perguruan tinggi selalu bergerak maju dengan temuan-temuan yang aktual. Berbagai temuan yang didasari atas penelitian yang digeluti dosen dan mahasiswa. Penelitian tak ayal menjadi barometer kecemerlangan prestasi universitas, baik di tingkat nasional maupun internasional. UGM termasuk universitas yang menjadikan penelitian sebagai alas pijak dalam merealisasikan visi world class research university (universitas riset kelas dunia).

Menurut Prof. Sismindari, Apt., S.U., Ph.D., Manajer Puncak Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT), laboratorium merupakan bagian inheren yang mendukung visi tersebut. Dia mengatakan, laboratorium setidaknya mesti mendapat akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional atau badan yang mengurusi akreditasi. Salah satu fakultas yang telah mendapat akreditasi adalah Fakultas Farmasi. Laboratorium fakultas ini mendapat akreditasi WQA ISO 9001:2000.

Page 20: Balkon spesial 2010 majalah

20

Tidak semua fakultas di UGM membutuhkan laboratorium untuk dapat memperdalam ilmu yang tengah diajarkan. Memang, kebanyakan laboratorium digunakan pada disiplin ilmu yang berkaitan dengan ilmu sains. Tapi, terdapat fakultas di luar ilmu sains yang menggunakan fasilitas laboratorium. Misalnya, Fakultas Psikologi. Di sana terdapat laboratorium Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Laboratorium yang didirikan pada 25 November 2006 itu difungsikan untuk merancang model pendidikan anak supaya sensivitas masa perkembangannya berjalan optimal.

Khusus di fakultas yang berbasis sains, laboratorium menjadi sarana krusial untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid. Karena itu, laboratorium harus memiliki fasilitas yang mumpuni. “Kalau laboratoriumnya kuat (fasilitas penunjang baik), maka akan dihasilkan penelitian yang kuat pula,” kata Yeni Widyana, S.Hut., salah satu dosen Fakultas Kehutanan.

***

Beraneka masalah sesungguhnya menandai centang-perenang laboratorium di UGM. Semisal, banyak laboratorium di UGM yang belum mendapat akreditasi, salah satunya di Fakultas Kehutanan. “Laboratorium kami belum ada yang mendapat akreditasi,” kata Wakil Dekan Bidang Penelitian, Kerjasama, Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Kehutanan Dr. Satyawan Pudyatmiko, S.Hut., M.Sc. Adanya akreditasi sangat berpengaruh di mata para peneliti yang akan menyerahkan bahan dan sampel penelitian untuk diolah. “Terkadang peneliti melihat akreditasi laboratorium tersebut sebelum meneliti,” kata Sismindari.

Laboratorium di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) juga belum mendapat akreditasi dari institusi manapun. Tetapi, menurut Kepala Laboratorium Riset FKG drg. Supriatno, M Kes., Ph.D., meskipun belum mendapat akreditasi, banyak peneliti di luar sivitas akademika UGM yang memanfaatkan Laboratorium Riset FKG untuk penelitian maupun praktikum. “Di antaranya dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Fakultas Farmasi UGM, dan Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan,” sebutnya ketika ditemui BALKON di kantornya, Senin (9/11). Selain FKG, laboratorium Fakultas Farmasi juga menjadi rujukan mahasiswa luar UGM, terutama dalam bidang teknologi dan formulasi sediaan farmasi.

Meskipun banyak mahasiswa luar UGM menggunakan laboratorium di UGM sebagai rujukan, itu tak lantas mencerminkan kesempurnaan fasilitasnya. Di Fakultas Farmasi, misalnya. Menurut laboran yang tak ingin disebutkan namanya, dia mengungkapkan bahwa laboratorium di Fakultas Farmasi masih banyak yang belum memenuhi standar. Di beberapa laboratorium lingkungan Fakultas Farmasi, sisa bahan kimia masih dibuang bukan di tempat khusus. Sisa bahan kimia dicampur dengan pembuangan air biasa dan tempat pencucian alat. Inilah yang mengakibatkan saluran pembuangan tercemar.

Permasalahan serupa dialami Fakultas Kehutanan. “Keterbatasan di sini meliputi bahan, alat, dan dana,” ujar Yeni. Pernyataan ini pun diamini Hartono,

Page 21: Balkon spesial 2010 majalah

21mahasiswa Jurusan Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan, ketika mau melakukan uji analisis kadar nitrogen, pH, dan bahan organik pada sampel tanah. Menurutnya, keterbatasan alat di laboratorium menyebabkan tertundanya salah satu tahapan penelitian. Selain itu, pemakai laboratorium tersebut sangat banyak sehingga harus mengantri. Maka, alternatifnya: melakukan uji di tempat lain. “Pengujian pun kemudian dialihkan ke Institut Pertanian Yogyakarta,” katanya.

Hal yang tak jauh berbeda tercermin di LPPT. Menurut Sismindari, kekurangan laboran yang kompeten merupakan penghambat kinerja LPPT. Di samping itu, mahasiswa juga mengeluhkan mahalnya biaya untuk pengujian di LPPT. “Biaya ujinya mahal, bahkan beberapa kali lipat dibandingkan laboratorium lainnya,” ungkap A.B. Naro Putra, mahasiswa Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian, yang akrab dipanggil Abe. Tapi, Sismindari menyanggah. “Mahal itu wajar asal kualitas alat dan kevalidan datanya terjamin,” tukasnya.

Selain itu, penyebab mahasiswa UGM melakukan penelitian atau pengujian di universitas lain adalah kurangnya informasi terkait LPPT. Padahal, fasilitas di LPPT dinilai baik dan laboran yang menganalisis berbagai uji pun kompeten. “Kurangnya informasi dan promosi menyebabkan mahasiswa menjadikan universitas lain sebagai alternatif,” kata Sismindari. Terbatasnya informasi mengnai LPPT berimbas pada terhambatnya penelitian mahasiswa. “Mencari Higher Performance Liqiud Chromatogeraphy saja harus keliling Yogyakarta. Tapi, setelah bertanya sana-sini, baru tahu ternyata ada di LPPT,” ungkap Abe.

***

Laboratorium di UGM juga mengidap permasalahan dana yang pelik. Sokongan dana dari universitas dirasa kurang untuk dialokasikan buat menambah piranti dan memperbaiki fasilitas. Fakultas pun tak pelak harus mencari solusi alternatif.

Menurut Satyawan, selain dari universitas, pendanaan Fakultas Kehutanan terdiri atas jaringan personal dari dosen. Misal, kerjasama dengan universitas di Jepang dan DAAD (Deutscher Akademischer Austausch Dienst), suatu organisasi kerjasama pendidikan dari Jerman. Fakultas

Kehutanan juga mendapat hibah kompetisi dari Program Hibah Kompetisi Institusi, Indonesian Higher Education Network, dan kerjasama dengan pihak swasta seperti Balai Taman Nasional. Hal itu serupa dengan FKG. Berbagai fasilitas laboratorium FKG berasal dari dana proyek Overseas Economic Cooperation Fund, suatu lembaga pendanaan dari Jepang.

UGM pun tak tinggal diam dalam mengakomodisi penelitian, khususnya dengan pengadaan fasilitas laboratorium. Contohnya, pembelian suatu alat untuk Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang menghabiskan dana Rp 13 miliar. Tetapi, untuk mendapatkan fasilitas laboratorium, fakultas akan menelusuri birokrasi yang panjang karena terkait dengan Rancangan Kegiatan dan Anggaran Tahunan.

Alur birokrasi dimulai dari pengajuan masing-masing laboratorium ke fakultas, lalu dilanjutkan ke universitas melalui Direktorat Perencanaan dan Pengembangan. Lantas dibahas pada rapat kerja perencanaan dan program angggaran yang akan menghasilkan dokumen usulan. Hasil usulan akan ditelaah oleh rektor. Terakhir, rektor menyampaikan kepada Majelis Wali Amanat (MWA). MWA yang memutuskan menerima atau menolak usulan itu. “Alurnya memang panjang agar dana yang dikeluarkan efisien,” kata Sasmino, S.E., M.M., Kepala Subdivisi Perencanaan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan.

Keefisienan tersebut dimaksudkan agar tidak ada dua fakultas yang memiliki alat yang sama, padahal berharga mahal. Sekarang saja, Fakultas Kedokteran Umum dan Fakultas Kehutanan masing-masing mempunyai alat pengolah limbah sendiri. “Efisien bukan berarti tidak mau mengeluarkan dana, tetapi jika bisa dipakai bersama kan tidak apa-apa,” tambah Sasmino.

Tetapi, keefesienan itu terkadang menyulitkan mahasiswa untuk menyelesaikan penelitian. Tersebarnya alat yang dibutuhkan membuat mahasiswa berpindah-pindah ke lebih dari satu laboratorium untuk melakukan pengujian. “Saya harus berpindah dari satu ke laboratorium ke laboratorium lain, dari satu fakultas ke fakultas lain,” keluh Abe, yang cukup jalan kaki untuk kuliah sehari-hari. [ ]

Mahal itu wajar asal kualitas alat dan kevalidan datanya terjamin.“

Page 22: Balkon spesial 2010 majalah
Page 23: Balkon spesial 2010 majalah

23

LAPORAN UTAMA

Usaha digitalisasi berjalan satu sisi. Koleksi pustaka online yang melimpah, tak ditunjang dengan kualitas kecepatan akses internet.

Digitalisasi PERPUSTAKAAN

SIANG itu, di ruang Wi-Fi gedung Perpustakaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) II, tujuh belas mahasiswa tengah memanfaatkan jaringan internet perpustakaan mengunakan komputer jinjing. Sedangkan dalam ruang sirkulasi, di mana 173.629 eksemplar buku teks tersimpan, hanya ada lima belas mahasiswa. Demikian situasi salah satu perpustakaan pusat pada 24 November 2009, pukul 14.00.

Perpustakaan pusat UGM terbagi menjadi tiga unit pelaksana, yakni UPT I, II, dan III. UPT II terletak di Jalan Kaliurang km. 4. Sedangkan UPT I dan UPT III terletak di selatan Gedung Pusat. Klasifikasi ketiga UPT berdasarkan jenis koleksi yang tersimpan. Perpustakaan UPT I dikhususkan untuk menyimpan buku-buku referensi. UPT II difokuskan untuk layanan sirkulasi buku-buku teks. Sedangkan UPT III, alias Academic Resources Center, digunakan untuk menyimpan koleksi jurnal, surat kabar, majalah, karya ilmiah, hasil penelitian dosen UGM, serta koleksi tesis dan disertasi.

Perpustakaan ibarat tanah yang menyokong asupan humus bagi lembaga pendidikan. Karena itu, pengembangan universitas perlu dibarengi dengan pengembangan perpustakaan. Termasuk usaha UGM menuju universitas riset kelas dunia. “Pengembangan perpustakaan menjadi hal yang tak dapat dielakkan,”

Penulis: Rifqi MuhammadFotografer: Kirana Yunita

Setengah Hati

Page 24: Balkon spesial 2010 majalah

24

ucap Qadarudin Fajri Adi, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM 2008-2009. Kini, strategi pengembangan perpustakaan yang tengah digarap perpustakaan ialah digitalisasi perpustakaan. ”Langkah ini dimulai dengan digitalisasi koleksi tesis, disertasi, dan laporan penelitian dosen Perpustakaan,” ungkap Wahyu Supriyanto, Kepala Bidang Database dan Jaringan Perpustakaan Pusat.

Bentuk layanan utama dalam digitalisasi ini ialah penyediaan akses jurnal internasional dalam wujud online. Dana yang tersedot pun lumayan. Tahun ini saja perpustakaan mampu menganggarkan 1 miliar rupiah untuk berlangganan database jurnal online. “Itu hanya untuk Perpustakaan Pusat,” ujar Ida Fajar Priyanto, M.A., Kepala Perpustakaan UGM. Jumlah ini jauh di atas anggaran pengadaan koleksi cetak, sebesar 150 juta rupiah. Sedangkan total anggaran UGM untuk berlangganan jurnal international sekitar 5,8 Miliar rupiah.

Sebagaimana pengadaan aset UGM yang lain, pengadaan buku untuk perpustakaan, baik dalam bentuk online maupun cetak, dilakukan melalui pelelangan umum. Mekanisme pengadaan barang yang mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 ini dilakukan oleh Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA). Setelah menyerahkan daftar judul buku atau jurnal kepada DPPA, pihak perpustakaan tidak turut campur. Selanjutnya tinggal terima barang.

Pada 2009, pemenang lelang adalah PT Frontier asal Surabaya. Sedangkan untuk buku-buku cetak, adalah CV Blambangan, Surabaya. Pada jurnal online, pembayaran berlanggan kepada pihak distributor ditahan 5% dari total biaya. Tujuannya, sebagai jaminan pemeliharaan selama berlangganan. Pada pembelian buku-buku cetak, total biaya dibayarkan seluruhnya saat pembelian.

Meskipun pelbagai jurnal online langganan UGM mencakup semua disiplin ilmu, tetapi kuotanya tidaklah sama. Menurut penuturan Wahyu, pembagian disesuaikan dengan jumlah mahasiswa di tiap bidang. Ida menambahkan, “Kita perlu melihat tren penelitian yang berkembang, baru memutuskan judul-judul yang akan dibeli.” Selain diperoleh dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UGM, tren penelitian juga dilihat dari dokumentasi hasil penelitian dosen di perpustakaan.

Menurut penuturan Ida, strategi digitalisasi merupakan upaya penyesuaian perpustakaan terhadap kebutuhan pengguna. Mahasiswa sudah

akrab dengan internet, sehingga perlu dibarengi dengan perpustakaan berbasis internet. “Model belajar mahasiswa generasi sekarang cenderung bersahabat dengan bacaan digital,” tambahnya.

Ida juga beranggapan bahwa mahasiswa sekarang sudah technology-minded. Ia mencontohkan, saat membuat resume informasi penting mahasiswa era 80-an akan mencatatnya pada buku catatan. Sementara mahasiswa kini cenderung lebih senang mengoleksi informasi penting dengan copy-paste. “Untuk itulah perpustakaan perlu mengakomodasi model belajar baru tersebut,” lanjut Ida.

Selain faktor di atas, digitalisasi juga menjadi usaha perpustakaan untuk menyiasati keterbatasan mereka, misal permasalahan ruang. Koleksi cetak berbanding lurus dengan ketersediaan ruang. “Ruangan kita tidak terlalu besar, padahal dituntut untuk meningkatkan jumlah koleksi,” ucap Ida. Dengan koleksi digital,

Jadi istilah kita bukan digital library, tetapi hybrid library.“

Page 25: Balkon spesial 2010 majalah

25

perpustakaan bisa menambah koleksi berlipat-lipat, tanpa menambah ruang dan rak buku.

Ditanya soal kelebihan lain, dengan cepat laki-laki itu menjawab harga. Ida menuturkan bahwa harga koleksi digital lebih murah ketimbang koleksi cetak. “Kira-kira perbandingannya satu banding tiga,” ungkapnya. Biaya untuk membeli satu koleksi cetak, bisa digunakan untuk berlangganan tiga koleksi online. Kondisi ini seakan memberi angin segar bagi pertumbuhan koleksi digital di perpustakaan. Terlebih, anggaran untuk berlangganan jurnal online jauh lebih besar ketimbang anggaran buku cetak. Tak heran bila perpustakaan UGM mampu berlangganan jurnal online dalam skala besar.

Meskipun koleksi digital memperoleh proporsi lebih besar, perpustakaan UGM tak akan seluruhnya beralih ke digital. Nyatanya, masih banyak mahasiswa yang nyaman menggunakan kertas. “Istilah kita bukan digital library, tetapi hybrid library,” tambahnya. Sehingga perlu ada perpaduan antara koleksi cetak dengan digital.

Tak hanya perpustakaan pusat, kini keinginan tersebut juga muncul dari beberapa dekan fakultas untuk berlangganan jurnal online yang sifatnya lebih spesifik. Seperti Fakultas Hukum yang memiliki anggaran khusus untuk berlangganan database bidang hukum. Fakultas lain yang juga berlangganan

adalah Teknik, Ekonomika dan Bisnis, Kedokteran, dan MIPA. Hingga 2012, ada 13 database online langganan perpustakaan di seluruh UGM.

Selain digitalisasi koleksi, digitalisasi perpustakaan juga berarti digitalisasi fasilitas. Akibatnya, pustakawannya pun mesti melek teknologi. Bak ketiban buah simalakama, para pustakawan, termasuk yang sudah uzur, dipaksa agar terbiasa mengoperasikan komputer. Kalau tidak demikian, mereka tak bisa melaksanakan tugas dengan baik. Pelayanan terhadap pengguna pun tidak maksimal.

Dalam usaha digitalisasi fasilitas, perpustakaan berencana membangun gedung baru. Rencananya akan dirancang gedung tambahan sekitar 8000 meter yang letaknya mengelilingi gedung UPT I. “Kira-kira akan direalisasikan tahun depan, 2011 mungkin,” tambahnya. Pembangunan ini berkaitan dengan usaha pemusatan lokasi perpustakaan. Seusai gedung dirampungkan, UPT II akan dipindahkan.

Sayangnya, rencana pembangunan gedung baru perpustakaan tersebut cukup memakan lahan, sehingga bisa mengurangi kenyamanan lokasi sekitar UPT I. Selama ini, tak sedikit mahasiswa berkunjung ke UPT I dan UPT III karena mendapat suasana yang nyaman. Banyak pepohonan di sekitar gedung. Misalnya Widya Priyahita, mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan 2005, selain untuk mengakses koleksi

Perpustakaan ibarat tanah yang menyokong asupan humus bagi lembaga pendidikan.

Page 26: Balkon spesial 2010 majalah

26

Alih-alih untuk mengunduh file dari database jurnal online, untuk melihat website (browsing) pun memakan waktu lama. Padahal, jurnal internasional langganan perpustakaan tersebut hanya bisa diakses melalui jaringan internet yang disediakan universitas.

Agung Ariansya, Kepala Bidang Jaringan Pusat Pelayanan Teknologi Informasi dan Komunikasi (PPTiK), mengakui bahwa alokasi bandwidth untuk perpustakaan cukup kecil. Dari bandwidth internet di UGM sebesar 70 Mbps, UPT II mendapat 256 Kbps, sedangkan total UPT I dan III sejumlah 512 Kbps. Sedangkan pembagian alokasi bandwidth untuk tiap fakultas, tergantung jumlah mahasiswa. “Karena pembagian rata hak koneksi untuk tiap mahasiswa hanya setengah Kbps,” akunya. Tak heran bila akses internet di UGM cukup lemah.

Hal senada diakui Raih Putik, mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer 2009. Ia menuturkan, akses internet di UGM terhitung sangat lambat. Sekalipun itu di area perpustakaan. Ditanya soal jurnal online, ia mengaku tidak tahu. “Gimana membuka, tahu saja belum,” ucapnya. Yudi Prasetyo, mahasiswa Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh 2005, sedikit berbeda. Beberapa kali ia sempat mengakses jurnal internasional langganan perpustakaan. “Seminggu paling cuma sekali,” akunya. Padahal intensitas penggunaan layanan internet di perpustakaan cukup sering, “Biasanya tiga sampai empat jam sehari,” tegasnya. [ ]

ia kerap bertandang ke UPT III karena lokasinya yang nyaman untuk membaca. “Di sini suasananya tenang dan sejuk,” ungkapnya.

Rencananya, gedung baru tersebut akan didesain dengan fasilitas fisik yang lebih lengkap dan sarat akan nuansa teknologi. Ida berpandangan bahwa cara belajar mahasiswa sekarang cukup canggih karena memanfaatkan teknologi informasi. Maka perpustakaan pun merasa perlu untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan tersebut.

Ditanya mengenai sumbangan perpustakaan guna menunjang UGM menuju universitas riset, Ida mengatakan bahwa database online yang mampu diakses seluruh kampus merupakan upaya pengembangan perpustakaan guna mendukung riset itu sendiri. Penyediaan sumber pustaka digital dirasa lebih memberi keterbukaan akses. “Kini mahasiswa tak perlu ke perpustakaan untuk mengakses koleksi kami,” ujar Ida. Ia juga merasa bahwa tren perpustakaan di universitas berkelas internasional saat ini tak lagi dalam bentuk cetak, namun berbentuk digital. Melalui penyediaan koleksi digital, perpustakaan hendak mengawal UGM menuju universitas berkelas Internasional.

Sayangnya, usaha digitalisasi perpustakaan masih terasa setengah hati. Kondisi tersebut tidak ditunjang dengan akses internet yang cepat. “Wah, aksesnya lambat banget. Teman-teman pun mengeluh begitu,” ujar Lukman Hakim, mahasiswa Ilmu Filsafat 2006.

Page 27: Balkon spesial 2010 majalah

27

TEMU WICARA

SEORANG filsuf Perancis, Julien Benda, dalam buku La Trahison des Clercs (1927), pernah menggugat keras relasi antara intelektual dan kekuasaan. Menurut dia, kekuasaan itu menawarkan berbagai kemudahan yang tak lain merupakan jebakan besar bagi intelektual. Meloncatnya intelektual dalam lingkar kekuasaan itu yang disebut sebagai pengkhianatan intelektual. Dalam buku yang terbit dalam Bahasa Indonesia dengan judul Pengkhianatan Kaum Cendekiawan (1997), Benda menuliskan pandangannya dengan tajam dan teramat memperkarakan, “…mereka cenderung ‘turun ke lapangan’, haus akan hasil seketika, semata-mata memikirkan tujuan, masa bodoh terhadap argumentasi, berbuat melebihi batas, membenci, mempunyai obsesi.”

Belakangan, seiring merapatnya sejumlah akademisi dalam lingkaran pemerintahan, istilah pengkhianatan intelektual yang diutarakan Benda kembali menghangat. Melompatnya intelektual dalam pemerintahan justru memosisikan mereka sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan semata. Perdebatan mengenai peranan intelektual dalam pengembangan budaya akademik kembali menyeruak. Peranan kampus sebagai pusat pengembangan ilmu dan bagian dari elemen masyarakat sipil pun dipertanyakan. Ataukah memang kampus telah menjadi bagian dari penguasa?

Perguruan Tinggi:

Arena Kontestasi Intelektual dan Kekuasaan

Penyunting:

Maulana Kautsar Rahmad

Notulis:

Kahai Atit Thoiri, Maulana Kautsar Rahmad

Fotografer:

Kirana Yunita

Page 28: Balkon spesial 2010 majalah

28

Bermaksud mengurai perdebatan tersebut lebih lanjut, BALKON mengundang Kuskridho Ambardi (Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UGM), Totok Dwi Diantoro (Kepala Bagian Korupsi & Sumber Daya Alam Pusat Kajian Anti Korupsi UGM dan dosen Fakultas Hukum UGM), Widya Priyahita (alumnus BALAIRUNG, mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM), dan Qadaruddin Fajri Adi (Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM 2008-2009) untuk mengisi temu wicara BALKON. Acara yang diikuti lima belas mahasiswa itu dimoderatori Achmad Choirudin (Koordinator BALKON), di Ruang Sidang I Gelanggang Mahasiswa UGM, Selasa, 24 November 2009. Berikut ini petikan diskusinya.

TOTOK DWI DIANTORO: Pernyataan Julien Benda mengenai pengkhianatan intelektual menjadi relevan lantaran kita terlalu punya harapan yang tinggi terhadap dunia kampus. Dengan kata lain, sudah saatnya kita meninjau kembali apakah memang perguruan tinggi merupakan representasi masyarakat sipil. Sebab, pada kenyataannya, mekanisme politik bernegara mereka tidak efektif. Pilihan masuk ke lingkaran kekuasaan melalui mekanisme politik praksis, saya rasa, harus ditinjau ulang.

Nah, di tengah kekaguman dan ketelanjuran kita menaruh harapan pada perguruan tinggi sebagai

bagian dari elemen masyarakat sipil, sebenarnya entitas peguruan tinggi sendiri sangat plural, terdistorsi, dan bahkan menyebar. Orang-orang yang ada di perguruan tinggi sangat beragam, memiliki berbagai latar belakang dan kepentingan pribadi, serta referensi politik yang bermacam-macam. Dengan demikian, sekali lagi, sudah saatnya kita mendudukperkarakan kembali: dengan membawa perguruan tinggi pada ranah masyarakat sipil atau menempatkan dia di luar bagian dari masyarakat sipil.

Standing position sebagai elemen masyarakat sipil sendiri seharusnya dipandang sebagai nilai ideologis. Apabila direduksi dan dianggap sebagai pilihan strategi, semisal, itu terlalu menyederhanakan. Celakanya, pilihan strategi tersebut tidak banyak memberikan kemajuan. Kalangan kampus yang diklaim sebagai bagian dari elemen gerakan masyarakat sipil semestinya punya ukuran yang jelas hingga pada titik tertentu ukuran itu bisa dipertanggungjawabkan.

WIDYA PRIYAHITA: Walaupun telah berganti rezim pemerintahan, universitas-universitas di Indonesia masih banyak mengalami keterkekangan birokrasi. Biaya pendidikan yang semakin tinggi, minimnya penelitian dan karya-karya akademik, serta rendahnya budaya akademik masih menjadi persoalan. Problem yang dihasilkan akibat relasinya dengan kekuasaan pun turut memunculkan masalah baru.

Di Indonesia, peran kampus diterjemahkan menjadi Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Pada praktiknya, ketiga pilar itu tidak berjalan sebagaimana

mestinya. Salah satu dampaknya, pada 1970-an, perdebatan mengenai pengkhianatan intelektual pun mengemuka. Sejalan dengan itu, berkembanglah tiga tipologi intelektual: intelektual politisi, intelektual teknokrat, intelektual murni. Tipologi itu menganggap intelektual memiliki posisi penting, punya beban yang sangat tinggi.

KUSKRIDHO AMBARDI:“Ilmu itu berkembang karena memang

dimanfaatkan untuk mencari teori yang baru. Ilmu juga bisa diartikan

sebagai alat untuk merumuskan kebijakan, mengidentifikasi problem,

dan memunculkan opsi kebijakan yang dampaknya lebih penting bagi masyarakat.

Bagi saya, opsi kedua lebih menarik.”

Page 29: Balkon spesial 2010 majalah

29

Namun, belakangan ini menjadi semakin bervariasi. Banyak bermunculan tipologi intelektual. Misalnya, intelektual media. Itu sebutan bagi mereka yang lebih suka menulis di koran atau tampil di televisi. Ada juga ilmuwan proyek yang biasanya project oriented ketimbang mengejar penelitian akademik. Terdapat juga intelektual bisnis karena alasan apresiasi gaji yang rendah, mereka kemudian melakukan pengembangan usaha.

Sulit menjustifikasi intelektual yang satu lebih baik daripada yang lain. Tapi, secara umum, tipologi sekarang adalah intelektual multitasking. Pak Heru Nugroho dalam buku Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia menyebutnya sebagai intelektual oportunis atau ambigu. Melihat kecenderungan seperti itu, tak ada salahnya kembali memunculkan debat pengkhianatan intelektual. Debat seperti ini memancing kita untuk mendiskusikan kembali situasi ideal dan normatif universitas.

Saya melihat mereka yang berkhianat adalah mereka yang berada di ranah keilmuan tetapi mau mengambil posisi-posisi vital di pemerintahan. Ketika seorang intelektual kampus masuk ke pemerintahan, saya memandangnya sebagai pembajakan. Hal itu mungkin karena keinginan personal dari diri intelektual itu. Keinginan berkuasa, mengejar kapital, prestige. Memang, di sisi lain, pemerintah juga membutuhkan kampus. Pemerintah membutuhkan aktor-aktor

kampus untuk melegitimasi sikap dan kebijakan yang ditelorkan.

QADARUDDIN FAJRI ADI: Menunjuk institusi perguruan tinggi sebagai elemen masyarakat sipil, andai dimisalkan itu UGM, saya melihatnya tidak banyak bertindak. Terkait isu yang beberapa waktu lalu melanda Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), semisal, saya pernah meminta konfirmasi dari Pak Sudjarwadi (Rektor UGM), “Pak, apakah UGM tidak mempunyai sikap terkait kriminalisasi KPK?”

Beliau ternyata tidak menjawab. Saya nggak tahu ini langkah “cari aman” atau bagaimana. Tapi, apabila melihat kampus sebagai bagian dari masyarakat sipil, seharusnya dia memberikan pencerahan. Peran kampus sebagai pemberi pencerahan malah tidak terjadi. UGM justru dianggap sebagai dalang karena tidak sering muncul di publik, tetapi mampu mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah. Padahal, saya rasa harus ada sikap kritis dari pihak kampus agar terjadi check and balance. Ketika tidak ada rekomendasi dari kampus, menurut saya itu bisa dianggap sebagai pengkhianatan intelektual.

KUSKRIDHO AMBARDI: Saya akan turut memulai pernyataan dari Julien Benda, untuk melihat apakah intelektual dalam pemerintahan merupakan pengkhianatan atau bukan. Buku Julien Benda itu sesungguhnya ditulis pada 1920-an.

Page 30: Balkon spesial 2010 majalah

30

Ia membayangkan masyarakat Eropa pada awal abad ke-20, yang baru mengalami industrialisasi dan kehidupan yang belum begitu kompleks. Ia mengatakan, kekuasaan adalah jebakan dan mereka yang masuk ke dalam kekuasaan ialah pengkhianat.

Membaca Julien Benda sebenarnya menengok romantisme lama. Seperti Jurgen Habermas yang membayangkan public sphere. Habermas membayangkan Eropa awal abad ke-20 di mana kafe-kafe bertebaran. Tapi, ketika orang mulai terikat dengan berbagai aktivitas, maka berada di kafe-kafe dianggap hanya buang-buang waktu. Romantisme Julien Benda, Habermas, dan tokoh-tokoh lainnya, pada konteks tertentu harus kita periksa terlebih dahulu.

Nah, mereka yang bergelut dengan ilmu dan masuk kekuasaan sebenarnya terjadi di mana-mana. Mereka yang dari perguruan tinggi akan selalu menjadi sumber rekrutmen penguasa. Perguruan tinggi mempunyai keistimewaan, terutama cara untuk menyelesaikan persoalan. Perguruan tinggi juga sumber data. Di Eropa dan Amerika, itu sudah biasa. Mereka membutuhkan ahli untuk menyelesaikan persoalan. Kalau itu dilarang, kita tidak akan maju. Saya rasa itu persoalan kemampuan akademik. Kalau mampu, silakan ambil. Kalau tidak, janganlah diambil. Jadi, mereka yang masuk ke kekuasaan belum tentu menjadi pengkhianat. Kekuasaan itu memabukkan dan kita bisa tergelincir di sana, sekalipun tidak semua.

Namun, bukan berarti saya tidak menyetujui tuduhan pengkhianatan intelektual. Itu tetap ada. Tapi jangan sebatas pada slogan, artinya masuk kekuasaan itu pasti pengkhianat. Tidak bisa begitu. Kita lihat dulu konsistensinya. Sebelum masuk kekuasaan analisisnya seperti apa, kalau sudah masuk kekuasaan apakah itu diterapkan.

TOTOK DWI DIANTORO: Sejak awal saya mengatakan perlu ditinjau ulang perguruan tinggi yang dianggap sebagai elemen masyarakat sipil. Keterlibatan intelektual dalam ranah negara harus konsekuen. Tapi, pilihan itu justru tidak seperti keinginan dari masyarakat sipil. Perguruan tinggi, yang memiliki kapasitas-kapasitas teknis, berkembang menjadi arena kontestasi. Negara kemudian memiliki kewenangan untuk mengambil orang-orang dari perguruan tinggi. Pada konteks itu, penting bagi saya untuk mendudukpermasalahkan orang-orang yang ada di perguruan tinggi.

Saya agak berbeda dengan Mas Dodi, berkaitan dengan orang dari luar yang kemudian masuk ke pemerintahan. Pada beberapa kemungkinan, dia ternyata tidak bisa mengubah kebijakan. Akhirnya, dia sekadar menjadi seorang trigger atau pengingat atas upaya-upaya pengambilan keputusan politik. Sebatas itu.

WIDYA PRIYAHITA: Saya ingin merespons persoalan konsistensi. Kampus, poinnya adalah pengembangan keilmuan. Ketika orientasinya tidak lagi pengembangan keilmuan, itu inkonsistensi. Apa akibatnya jika seorang intelektual kampus kemudian ke luar? Apa akibatnya jika kampus memiliki banyak profesor sebagai staf ahli, staf khusus, adviser, komisaris bank, dan pengajar di berbagai tempat? Itu memang bermanfaat, tapi yang terjadi malah seperti kolusi. Yang pasti: pengembangan keilmuan menjadi bermasalah. Gara-gara proyek pemekaran honorarium, pengajaran di kampus menjadi terganggu. Dosen-dosen muda kemudian dijadikan “tumbal” menggantikan dosen-dosen senior. Ini persoalan network. Mereka yang network-nya baik bisa eksodus ke luar. Itu menyebabkan masalah di internal kampus. Saya rasa konsistensi bukan hanya masalah pemikiran semata, melainkan apakah dia berada dalam wilayah keilmuan atau tidak.

KUSKRIDHO AMBARDI: Ada dua hal yang bisa saya uraikan. Pertama, ilmu itu berkembang karena memang dimanfaatkan untuk mencari teori yang baru. Kedua, ilmu bisa diartikan sebagai alat untuk

QADARUDDIN FAJRI ADI:“Universitas itu ruang intelektual

yang bisa memunculkan pemikiran dan alternatif kebijakan. Saya hanya ingin menguatkan agar

perguruan tinggi bisa unggul dalam hal ini.”

Page 31: Balkon spesial 2010 majalah

31

merumuskan kebijakan, mengidentifikasi problem, dan memunculkan opsi kebijakan yang dampaknya lebih penting bagi masyarakat.

Bagi saya, opsi kedua lebih menarik. Kalau hanya di kampus mengutak-atik teori tapi nggak tahu relevansi sosialnya, itu percuma. Apabila sepakat demikian yang kita pakai, berarti ilmu itu ada manfaatnya sejauh memiliki relevansi yang tinggi. Tentu saja relevansi yang tinggi harus dikaitkan dengan keterlibatan masyarakat dalam kebijakan.

Nah, perguruan tinggi seharusnya menyiangi dua hal itu. Jangan hanya menyiangi ilmu murni. Ilmu yang kedua juga harus dikembangkan. Jika dianalogikan, saya memilih muka yang penuh cacian tapi berefek, daripada bermuka bersih tapi tidak ada gunanya bagi masyarakat. Dua-duanya harus jalan, tetapi saya lebih memilih yang pertama.

WIDYA PRIYAHITA: Saya melihat soal konsistensi ini seperti dua sisi mata uang. Intelektual yang masuk ke dalam pemerintahan memang bisa menghasilkan teori-teori baru. Tapi tidak banyak yang mempraktikkan itu. Lebih jauh lagi, apakah ilmu memungkinkan untuk dipraktikkan dari lingkaran kekuasaan?

KUSKRIDHO AMBARDI: Tentu, tergantung bagaimana Anda melihat dan menerjemahkan teori. Teori pengambilan kebijakan ala Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki manfaat keilmuan kalau

kita masuk kekuasaan. Menekuni ilmu murni dan ilmu kebijakan itu bagus sejauh mempunyai relevansi secara sosial. Dua hal itu tekadang bisa bertabrakan, tapi juga bisa berjalan seiring. Misalnya, mengurusi proyek ke sana-ke mari, tapi tidak diimbangi dengan menekuni ilmunya. Saya tidak “anti” yang pertama, kedua-duanya bisa. Kebetulan kalau tidak seimbang, kritik Anda masuk.

WIDYA PRIYAHITA: Saya mau bertanya kepada Mas Dodi. Kalau tidak salah, Anda sempat ditawari menjadi staf khusus presiden, tetapi menolak. Bisa diceritakan alasan penolakannya? (Seisi ruangan pun melepas tawa.)

KUSKRIDO AMBARDI: Tidak cocok saja dengan jabatan itu.

TOTOK DWI DIANTORO: Tadinya saya kaget dengan berita itu, tapi tambah kaget lagi ketika Anda ternyata bagian dari LSI, yang kemarin menjadi bagian dari tim sukses SBY. Kenapa nggak mau juga?

TOTOK DWI DIANTORO:

“Pernyataan Julien Benda mengenai pengkhianatan intelektual menjadi relevan lantaran kita terlalu punya

harapan yang tinggi terhadap dunia

kampus.”

WIDYA PRIYAHITA:“Saya melihat mereka yang berkhianat adalah mereka yang berada di ranah

keilmuan tetapi mau mengambil posisi-posisi vital di pemerintahan.”

Page 32: Balkon spesial 2010 majalah

32

KUSKRIDO AMBARDI: Kemarin ada salah persepsi. Kalau data mengatakan SBY menang 90%, kami akan mengatakan 90%. Seandainya 40%, kami akan mengatakan 40%. Kami imannya pada data. Jika masyarakat memersepsikan kami bagian dari tim sukses, itu resiko, karena selama proses polling, hanya LSI yang berbeda dengan yang lain. Tapi, hasil LSI relatif bagus dibandingkan yang lain. Saya lebih bahagia di LSI ketimbang di pemerintahan.

WIDYA PRIYAHITA: Saya mau kembali merujuk pada tulisan Pak Heru Nugroho. Beliau menjelaskan secara detail relasi patron-klien dalam institusi kampus. Apabila diandaikan sebuah piramida kuasa akademik, yang paling puncak adalah yang memiliki network paling baik. Itu disebutnya “raja proyek”. Di bawahnya, ada sebutan miskin network dan tidak ada network sama sekali. Yang tidak memiliki network, biasanya bersikap kritis dan dianggap iri atau kalah bersaing.

Berbicara pada kasus Pak Boediono, semisal, Pak Heru yang sebenarnya membahas soal modalitas, melihat mereka yang terpilih adalah yang mempunyai modalitas paling baik. Saya membayangkan Pak Boediono dengan gelar keprofesorannya, gurunya para guru, dosennya dosen-dosen. Ketika beliau menduduki posisi strategis di pemerintahan, ini akan berpengaruh terhadap sikap lembaga (kampus) tempat dia berasal. Padahal, bukankah kampus merupakan the guardian of norm, wacth dog?

KUSKRIDHO AMBARDI: Berkaitan dengan kolega-kolega Pak Boediono, secara manusiawi pasti mereka berharap untuk segera ditarik naik. Sebagian akan seperti itu, sebagian bermartabat, sebagian lagi nggak punya sikap.

Namun, saya tertarik dengan tulisan Mas Heru Nugroho, terutama mengenai faktor network. Jika kita punya kapabilitas, sesungguhnya network datang sendiri dengan lebih mudah. Kemampuan terkadang bisa mem-by pass network. Tidak harus membuka

network terlebih dulu. Nah, mana yang di pucuk, mana yang di tengah, mana yang di bawah; itu terjadi di Fisipol dan fakultas-fakultas lain. Tetapi, itu bukan gambaran yang pasti, terbukti dengan adanya beberapa orang yang menyeruak tanpa network, berkat kapabilitas yang bagus. Dengan begitu, mereka yang muda bisa juga tertata di pucuk. Hanya, persoalannya yang muda-muda ini biasanya mudah sekali ikut proyek. Akhirnya, kuliah nggak selesai dan nggak mau lagi berkompetisi yang lebih besar.

QADARUDDIN FAJRI ADI: Yang disampaikan Mas Widya mengenai patron-klien menarik. Tetapi, justru membuat bingung bagaimana kemudian menentukan sikap. Artinya, yang perlu ditekankan adalah menghindari patron-klien itu. Misalnya, Pak Boediono mewakili UGM, sekaligus mewakili Fakultas Ekonomika dan Bisnis. Itu menyebabkan orang-orang di belakangnya agak sungkan. Publik pun akan sedikit mempertanyakan apabila kritik malah muncul dari kalangan sendiri.

Di situlah perlu ditegaskan posisi universitas sebagai masyarakat sipil. Universitas itu ruang-ruang intelaktual, tempat banyak mazhab ada di sana. Itu yang harus ditegaskan. Universitas itu ruang intelektual yang bisa memunculkan pemikiran dan alternatif kebijakan. Saya hanya ingin menguatkan agar perguruan tinggi bisa unggul dalam hal ini. Artinya, kampus harus berani menyampaikan rekomendasi. Yang penting konsisten.

TOTOK DWI DIANTORO: Menurut saya tidak. Kalau harus ada semacam statement untuk merepresentasikan satu suara dari kampus, saya rasa agak berlebihan. Kita semestinya kembali menjadikan kampus sebagai pasar wacana yang dinamis dan tidak satu suara. Itu berarti, jangan sampai ada kebijakan dari kampus yang dianggap merepresentasikan kampus. Tugas kita sekarang adalah memunculkan dialektika. [ ]

Heru Nugroho menjelaskan secara detail relasi patron-klien dalam institusi kampus. Apabila diandaikan sebuah piramida kuasa akademik, yang paling puncak adalah yang memiliki network paling baik. Itu disebutnya “raja proyek”. Di bawahnya, ada sebutan miskin network dan tidak ada

network sama sekali. Yang tidak memiliki network, biasanya bersikap kritis dan dianggap iri atau kalah bersaing.

Page 33: Balkon spesial 2010 majalah

33

WAWANCARA

“Kagama Itu Sifatnya Mengabdi, Bukan Kebanggaan”

Sri Sultan Hamengkubuwono X:

MUSYAWARAH Nasional XI Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) UGM yang digelar di Grha Sabha Pramana, 24–26 Juli 2009, tak pelak menjadi hari yang bersejarah. Acara lima tahunan yang dihadiri 728 peserta itu diakhiri dengan terpilihnya Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Ketua Umum Kagama UGM periode 2009–2014. Akan dibawa ke mana Kagama ke depan? Bagaimana pula pandangan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ini tentang visi UGM sebagai universitas riset kelas dunia? Berikut petikan wawancara Aji Akbar Titimangsa, Farid Fatahillah, Hesti Pratiwi, Iryan Ali H., Muhammad Ghofur, dan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. dari BALKON bersama Sri Sultan Hamengkubuwono X di Griya Hinggil Kepatihan Gubernur Yogyakarta, akhir Oktober 2009.

Page 34: Balkon spesial 2010 majalah

34

Anda terpilih sebagai Ketua Umum Kagama UGM 2009–2014. Apa fokus Kagama ke depan?

Kagama seharusnya mampu membawa nama anggota serta almamaternya. Struktur organisasi antara Kagama pusat dan daerah pun semestinya sinkron. Sebab, sekarang ini antara pusat dan daerah tidak sinkron. Alumni UGM yang berkiprah di daerah seharusnya memiliki efek kemanfaatan yang besar daripada sekadar kebanggaan semu. Kebanyakan memang belum memiliki aktivitas di level daerah. Berdialog pun belum pernah. Bagi saya, itu tidak ada artinya. Jadi, Kagama pusat seharusnya memfasilitasi Kagama daerah supaya dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat dan pemerintah daerah.

Kagama yang ada di daerah itu makin lama makin sedikit. Sebab, lulusan kampus setempat semakin mewarnai daerah tersebut dalam segala aspek, baik di pemerintahan maupun sebagai dosen. Karena itu, Kagama daerah bisa menjadi leader bersama kampus-kampus lain dalam mengembangkan kreativitas, interpretasi, dan inisiatif. Itu bisa menjadi image positif. Tapi, kelihatannya tidak akan semudah itu karena terdapat tarik-menarik antara kantor pusat dan daerah, yang sebenarnya tidak penting.

Seperti apa kontribusi nyata Kagama kepada daerah?

Saya berpikir kalau strukturnya ramping, Kagama bisa menjadi lembaga yang bermanfaat untuk kepentingan pengabdian masyarakat. Misalnya, dengan memberikan pelatihan tenaga kerja, tanpa menunggu masuk dalam struktur kepengurusan. Kagama pusat bisa memberikan daftar ahli dan dosen kepada Kagama daerah untuk memberikan pelatihan dan analisis potensi daerah. Dengan begitu, Kagama bisa berfungsi kepada daerah tempat Kagama sesungguhnya berada.

Saya khawatir yang terjadi hanya sekadar seminar dan syawalan, tidak ada kontribusi Kagama dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pengurus Kagama memang menteri, direktur jenderal, tapi pada praktiknya beliau-beliau itu sibuk dan belum tentu punya mobilitas untuk turun langsung ke

daerah. Kan percuma. Saya mencoba menegaskan paradigma bahwa Kagama itu sifatnya mengabdi, bukan kebanggaan. Jangan sekadar kumpul dan kongko-kongko.

Apakah Kagama dapat mempengaruhi secara langsung kebijakan UGM?

Saya kira itu bisa, meski dalam konteks struktural keduanya berbeda. Yakni, melalui wakil dari Kagama dalam Majelis Wali Amanat (MWA). Kalau tidak salah dua orang. Saya sendiri secara otomatis menjadi anggota MWA. Jadi, terdapat tiga orang (wakil Kagama di MWA). Dari situ mereka bisa membawa misi Kagama sehingga turut mewarnai kebijakan UGM.

Bagaimana soal identitas UGM yang kian jauh dari universitas kerakyatan?

UGM dengan otonomi kebijakan sebenarnya melokalkan diri. Itu terkait peralihan dari yang semula keseluruhan ditopang dana pemerintah kemudian harus mencari sumber-sumber pendanaan sendiri. Menurut saya, setiap lima tahun sekali semestinya ada proses peralihan di mana kekurangannya bisa dinegosiasikan dengan pemerintah. Selama lima tahun tersebut UGM bisa menggunakan untuk belajar mencari pendapatan lain. Soalnya, kalau ini tidak siap, ya setiap tahun menaikkan beban mahasiswa. Padahal, setiap tahun anggaran universitas pasti naik sesuai dengan kebutuhan.

Namun, saya khawatir block grant itu tidak bergeser. Semisal, dari pemerintah, mulanya UGM mendapat 67% dari total kebutuhan pendanaan, sehingga 33% harus dipenuhi sendiri. Sedangkan saat ini UGM berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Menjadi BHMN pun tidak sekaligus bisa memenuhi 33% tersebut. Kita membentuk badan usaha itu membutuhkan modal, punya resiko untung-rugi. Biarpun untung, belum tentu juga bisa memenuhi 33%. Bayangkan saja, maunya membikin bangunan enam tingkat, tapi sekarang tidak bisa buka (baca: Gama Book Plaza). Padahal, hasil dari situ dimaksudkan untuk menutup defisit supaya tidak hanya menarik ongkos dari mahasiswa.

Apa yang Anda maksud dengan “melokalkan diri”?

Ya, dosen seharusnya bisa memberi kontribusi lain di luar UGM. Saya pernah bilang, orang Papua yang menempuh S1 di Universitas Cenderawasih kan butuh S2 dan S3. Tapi, untuk memenuhinya masih menyimpan problem dari segi tanaga pengajar. UGM seharusnya punya doktor yang bisa membantu mendirikan S2 dan S3. Tapi, semata karena statusnya kini melokal, dikira kan tidak bisa.

Sekarang pertanyaan saya, dengan otonomi yang di satu pihak menuntut kemandirian, alih-alih standarisasi di Jawa dan luar Jawa, apakah kemudian jenjangnya menjadi sepadan atau justru semakin jauh? Kalau makin jauh, apa itu menguntungkan bagi bangsa? Itu pun bagi saya persoalan besar.

Belum lagi mengenai kurikulum. Dari Indonesia timur bersekolah di Jawa karena dianggap kualitas

...terdapat tarik-menarik antara kantor pusat dan daerah, yang sebenarnya tidak penting.

“”

Page 35: Balkon spesial 2010 majalah

35

pendidikannya lebih baik. Tapi, kurikulum di Jawa itu kontinental agraris. Begitu mereka lulus S1 dan kembali ke daerah, entah ke Maluku, Nusa Tenggara, atau Papua, kemudian menjadi dosen atau pegawai pemerintah daerah, perspektifnya juga akan agraris. Jadi, wajar saja kalau di Maluku ada anak lahir akan langsung disuruh makan nasi. Itu karena generasi penerusnya belajar agrikultur, sementara potensi daerah sebenarnya agroindustri perkebunan. Lha wong sekolah mereka di Jawa.

Bagaimana tentang visi UGM sebagai universitas riset kelas dunia?

Kampus tidak hanya memiliki tujuan keilmuan, tapi juga bagaimana memiliki kontribusi nyata untuk masyarakat. Jadi, menurut saya harus ditata dengan jelas pembagiannya, jangan sampai bertabrakan dengan BATAN, BPPT, LIPI, dan lembaga penelitian provinsi. Riset di kampus jangan hanya dijadikan proyek. Begitu mendapatkan dana riset, lantas merampungkan riset, tetapi sesudahnya hasil riset cuma disimpan dalam laci dan tidak diaplikasikan. Kalau begitu kan hanya untuk meningkatkan pangkat.

Sekarang, bagaimana dunia kampus mengembangkan riset yang aplikatif? Membicarakan kampus sebagai pusat riset itu sama dengan membaca kontribusi kampus. Bagaimana bangsa ini menjadi bangsa yang unggul, bangsa yang mempunyai daya saing. Bangsa yang mempunyai daya saing itu bangsa yang bisa menghasilkan produk, dan akhirnya produk itu mendunia. Bukan sekadar: saya sebagai doktor atau saya sebagai pebisnis, tetapi hanya bekerja untuk perusahaan asing. Kalau bisa ya memasarkan produk sendiri, yang mendunia.

Tidak cukup sampai di situ, kita juga perlu membangun paradigma. Sebagai contoh, sebagian

masyarakat masih menganggap komputer atau laptop sebagai pengganti mesin tik. Padahal, sebenarnya keberadaan komputer kan perwujudan kemajuan teknologi sebuah bangsa. Kalau pemerintah tidak mendorong untuk itu ya selamanya komputer hanya menjadi pengganti mesin tik. Nah, tantangan Kagama sebetulnya adalah turut membangun paradigma tersebut.

Menurut Anda, dies natalis ke-60 UGM itu momentum apa sih?

UGM dilahirkan untuk mencerdaskan anak bangsa. Harapan saya tidak sekadar mencerdaskan, tapi juga memiliki kontribusi untuk meningkatkan daya saing bangsa. Orang mencari ilmu itu kan tidak ada batas.

Dengan dies natalis ke-60, mestinya manajemen menjadi lebih baik. Paradigmanya mengikuti tantangan masa depan. Masalahnya, sekalipun UGM punya cita-cita dan harapan, tapi kalau suasana di luar tidak mendukung untuk itu, ya terwujudnya lama. Karena itu, pemerintah pusat, khususnya Departemen Pendidikan Nasional, semestinya memiliki komitmen dengan lembaga riset di kampus agar program-program kampus terealisasi. Kalau tidak tercapai, ya hanya sekadar berhenti sebagai idealisme.

Omong-omong, mengapa Anda merokok?

Sudah sejak SMP saya tidak bisa berhenti (merokok). Pikiran saya tertambat di rokok. Kalau tidak merokok ya tidak bisa mikir.

Merek rokoknya Kraton Dalem….

Ya, karena anak saya saja yang membikin. [ ]

Page 36: Balkon spesial 2010 majalah

36SEMENTARA waktu menunjuk paruh kedua abad ke-21, birokrat-akademisi dan akademisi-birokrat di Indonesia kian gemar memancang dan memandang pendidikan dengan skala internasional. Toh, ini bukan gejala yang khas UGM saja. UI, ITB, IPB, Undip, dan Unair demikian pula. Banyak perguruan tinggi swasta, dengan napas yang dipaksakan, ikut menyusul di belakangnya. Dengan status Sekolah Nasional Berstandar Internasional, hal yang sama terjadi di tingkat SD, SMP, dan SMA. Tidak aneh juga, jika program bahasa asing sudah jadi bagian dari promosi banyak playgroup dan taman kanak-kanak. Ringkas kata, tren pendidikan hari ini adalah internasionalisasi.

Pada 22 September 2005, BEM KM UGM menggelar diskusi bertajuk “GATS: Neoimperialisme Modern dalam Pendidikan”. Sofian Effendi di situ bicara. Pandangannya menarik sekaligus krusial untuk diperiksa. Menarik, karena Rektor UGM 2002-2006 itu menilai internasionalisasi berwatak baik. Bagaimanapun “pendidikan tinggi adalah buah dari internasionalisasi ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Sementara globalisasi berwatak jahat dan rakus”. Mengutip Joseph Stiglitz (2003), globalisasi adalah saling ketergantungan antarnegara (lem baga dan aktor) yang tidak seimbang. Akibat dari hubungan ini adalah keuntungan yang tidak seimbang pula. Nalar globalisasi diturunkan dari neoliberalisme yang secara filosofis memiliki afinitasnya dengan libertarianisme. Yang dituntut adalah kebebasan pasar dan peran negara yang terbatas. Selain soal kebebasan, pasar menjadi satu-satunya faktor penjelas dan penyelesai bagi segala soal kehidupan. Itulah fundamentalisme pasar. Di Indonesia, kita semua tahu, tuntutan itu menjadi nyata melalui “mantra” yang didiktekan IMF, WTO, dan Bank Dunia. “Lambat laun,” kata Sofian, “segala sesuatu yang berharga tidak dapat dipertahankan dari komodifikasi dan komersialisasi sistem ekonomi global: termasuk air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi.”

Mulai tahun 2000, pemerintah Indonesia telanjur memufakati liberalisasi perdagangan yang dibahas dalam Putaran Doha. Di sana disepakati GATS (General Agreement of Trade Service) yang mencakup dua belas bidang jasa termasuk pendidikan. Lalu pada Putaran Hong Kong, saat negara anggota diminta untuk melakukan offering, bersama lima sektor lain (konstruksi, telekomunikasi, bisnis, angkutan laut, pariwisata, dan keuangan), pemerintah Indonesia menawarkan jasa pendidikan lengkap dengan liberalisasinya.

Lantas di mana titik krusial terletak? Pertama, Sofian mengandaikan internasionalisasi dan globalisasi sebagai dua watak dalam suatu kepribadian ganda. Ini artinya, memilih salah satu sembari menolak yang lain adalah tak mungkin. Sofian dengan bagus menggambarkan keburukan globalisasi dan neoliberalisme tapi sambil mempersilakannya. Kenyataan itu, dalam bahasa Sofian, “harus dihadapi dengan hati-hati”. Titik krusial kedua, Sofian menilai positif penandatangan GATS dalam Putaran Hong Kong itu dengan beberapa catatan. Ketiga, telah tiba masa untuk mengajak masyarakat berpikir bahwa pendidikan tinggi adalah tanggung jawab bersama pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

***

“Go International”, Taraf atau Tarif?

OPINI

Page 37: Balkon spesial 2010 majalah

37Saya kira, Sofian adalah

contoh akademisi-birokrat yang berpikir konformis. Ada peribahasa untuk kecenderungan itu: “bagai buah simalakama, dimakan ibu meninggal, tak dimakan ayah meninggal”. Nalar konformis punya jalan keluarnya, “Ya, dikulum saja.” Cara berpikir ini, dalam hemat saya, memang realistis dan “cari aman”. Birokrasi UGM hari ini dalam kepemimpinan Rektor Sudjarwadi mewarisi nalar konformis itu. Sebelum memeriksa lebih lanjut bagaimana UGM “mengulum simalakama” antara liberalisasi pendidikan dan prinsip kerakyatan, ada baiknya kita berkunjung sebentar ke bilik permenungan Pierre Bourdieu (Herry B. Priyono, Kompas, 21/4/2004).

Tujuh belas tahun lalu, pemikir Perancis ini “menujumkan” masa depan suram bidang kehidupan seperti kesehatan dan pendidikan. Ia melihat kejayaan neokonservatisme politik dan neoliberalisme ekonomi akan mengoyak rajutan institusional yang menyangga hidup bersama sebuah bangsa. Jika diringkas, polanya bekerja seperti ini. Neoliberalisme selalu butuh peran pemerintah untuk memuluskan komersialisasi terhadap apapun yang belum menjadi komoditas. Proses ini terus berekspansi pada bidang kehidupan lain yang sesungguhnya punya raison d’etre yang tidak bersifat komersial. “Caranya?” tulis Herry Priyono, “dengan menusuk jantung kinerja lembaga pemerintahan yang dalam gagasan klasik dianggap sebagai penjaga kepentingan

Ahmad Musthofa HaroenDivisi Riset BPPM BALAIRUNG UGM

umum… dengan memaksakan logika komersial-finansial sektor bisnis privat pada kinerja lembaga-lembaga negara itu.” Saya yakin, aktivis mahasiswa akan menjawab “iya” terhadap pertanyaan: tidakkah UU Sisdiknas, status BHMN atau BHP adalah kenyataan dari penjelasan tersebut?

Yang terjadi setelah komersialisasi segala bidang adalah ketegangan antara “tangan kanan negara” dan “tangan kiri negara”. Pada “tangan kanan”, berderet sekian lembaga pemerintah semisal Bank Indonesia dan Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan lembaga yang mengurusi hak publik seperti Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan ada di “tangan kiri”. Kita tahu, raison d’etre dua tangan itu sudah dengan sendirinya bersifat

Dan

u.ba

l

Page 38: Balkon spesial 2010 majalah

38

imperatif dan inheren. Direktorat Jenderal Pajak bertugas mengelola pajak, titik. Bukan yang lain. Departemen Pendidikan Nasional dibentuk untuk mengelola pendidikan, titik. Bukan yang lain. Sederhananya, tangan kanan yang cari duit (revenue), tangan kiri membelanjakannya (spending).

***

Gagasan negara seperti yang dikatakan Bourdieu memang klasik. Kenyataan politik yang terjadi hari ini berbeda. Saya kutip lagi terjemahan Herry Priyono atas ungkapan kepedihan Bourdieu, “Tangan kanan negara tak lagi tahu, atau bahkan lebih tragis lagi tidak mau tahu apa yang diperjuangkan tangan kiri. Tangan kanan tidak mau membiayai pekerjaan tangan kiri.”

Nah, kini kita punya jalan masuk untuk membedah nalar konformis. Dalam karangan berjudul Resep Profesor Nicholas Baar (Kompas, 3/6/2003) yang kemudian menjadi Rekomendasi untuk Mendiknas (22/10/2004), Sofian Effendi mengusulkan tiga opsi untuk mengatasi tiga problem utama perguruan tinggi (PT) di Indonesia: kesenjangan

mutu di tingkat regional Asean, kesenjangan akses, dan rendahnya efisiensi internal. Usulan ini hanya bisa dipahami dalam kontradiksi berikut: kocek pemerintah kian tipis sementara untuk mempertahankan mutu dan meningkatkan akses, dibutuhkan dana yang lebih besar. Pemerintah lalu berada dalam posisi dilematis (ingat, ketegangan) antara mempertahankan kebijakan status quo berupa subsidi Rp 6,2 juta per mahasiswa atau memberikan otonomi bagi PT untuk melakukan strategi pembiayaan yang rasional.

Dengan belajar pada pengalaman Inggris, tiga opsi yang diusulkan itu berupa: 1) subsidi bagi semua mahasiswa dengan pembengkakan anggaran 3 hingga 12 kali lipat (Rp 19,9 triliun-Rp 69,4 triliun), bila standar mutu yang dipatok adalah Malaysia atau Singapura. 2) Subsidi silang dengan rasio pembayaran 100:50:0. Mahasiswa mampu bayar utuh, mahasiswa menengah bayar separuh. Mahasiswa tidak mampu dapat subsidi penuh. 3) Pembayaran yang ditangguhkan (deferred payment). Mahasiswa tidak mampu bisa kuliah dulu dan membayar belakangan setelah

Lampiran Laporan Rektor 2008, dan Laporan Tahunan 2007. Saya putuskan memilih yang terakhir lantaran unggul pada kelengkapan jenis data.

Berikut ini adalah catatan komentar ihwal bagaimana “tangan kiri” bekerja dan menyaru sebagai “tangan kanan”. Catatan pertama, terdapat ketimpangan antara dana pemerintah, dana masyarakat, dan dana yang diusahakan secara internal. Akhir 2007, jumlah penerimaan, pendapatan, dan sumbangan yang dimiliki UGM mencapai Rp 927.454.756.397,77. Dari pundi sebesar itu, 64,09% berasal dari dana masyarakat! Suntikan dari pemerintah tak ada setengahnya, cuma 27,02%. Sisanya, hasil usaha 2,54%, tabungan 2,54%, dana lain 6,26%, dan dana luar negeri o,1%.

Realisasi penerimaan sebesar sembilan ratus miliar lebih adalah prestasi jika dibandingkan dengan rencana penerimaan Rp 703.534.082.624. Nyaris seluruh item melampaui rencana. Tak terkecuali dana yang diserap dari mahasiswa. Pada rencana hanya sebesar Rp 358.301.431.578,00, tetapi realisasinya sebesar Rp 544.766.970.596,15. Di sini yang

Dan

u.ba

llulus. Pemerintah cukup menyediakan pinjaman dengan subsidi bunga bagi mahasiswa menengah dan mahasiswa tidak mampu.

Lalu, apa yang terjadi di UGM? Mari kita merujuk Laporan Tahunan UGM 2007. Dokumen setebal 138 halaman ini terpaksa dipilih dengan dua alasan. Pertama, Laporan Tahunan 2008, hingga tulisan ini digarap, masih dalam tahap pengeditan. Kedua, pada beberapa item tertentu, terdapat selisih atau inkonsistensi data antardokumen: Laporan Rektor 2007, Laporan Rektor 2008,

Page 39: Balkon spesial 2010 majalah

39

perlu digarisbawahi, realisasi penerimaan tak memerinci item apa yang paling signifikan menyumbang Rp 186 miliar lebih itu. Ini berbeda dengan rencana penerimaan yang memerinci segala jenis iuran mahasiswa. Tanpa mengurangi apresiasi atas usaha transparansi rektorat, saya tergoda untuk mengatakan laporan realisasi penerimaan (juga pengeluaran) ibarat mengenakan bikini. Persis pada bagian-bagian sensitif ditutupi. Di awal rencana pamer, di akhir realisasi sembunyi.

Lantas, yang mungkin dikatakan dari apa yang tampak adalah berikut ini. Pada rencana penerimaan, angka terbesar disumbang oleh SPP (Rp 205.883.633.515). Menyusul kemudian, BOP (Rp 64,364,773,423) dan SP(M)A (Rp 71,174,851,640). Kita bisa berasumsi bahwa iuran SPP dan BOP per mahasiswa sudah jelas dan tetap besarannya. Lalu, apakah “yang signifikan” itu dari SPMA? Tak jelas. Rektorat hanya melaporkan jumlah mahasiswa baru berdasar SPMB (22%), Penelusuran Bibit Unggul (19%), dan Ujian Tulis (59%). Pada semua jalur ini, calon mahasiswa mesti memilih besaran SPMA yang berkisar mulai nol rupiah hingga tak terbatas. Sekadar informasi, pada 2008, untuk kepentingan kerangka sampel survei, BALAIRUNG mencari tahu rincian jumlah mahasiswa baru dengan besar sumbangannya. Direktorat Akademik menolak permintaan BALAIRUNG dengan alasan, “Tidak diizinkan atasan, Mas!”

Mengapa tak ada publikasi terbuka tentang hal ini? Uraian berikut barangkali berguna.

Dasar pertimbangan diterima atau tidaknya calon mahasiswa adalah kemampuan ekonomi dan kemampuan kognitif. Dari situ, yang perlu diperjelas adalah jawaban bagi pertanyaan, “Berapa rasio penerimaan mahasiswa baru dengan kategori kaya-pintar, kaya-bodoh, menengah-pintar, menengah-bodoh, miskin-pintar, dan miskin-bodoh?” Kategorisasi seperti ini memang terkesan peyoratif, tapi pada keseharian mahasiswa UGM terdapat satu gejala menarik. Dalam obrolan atau perkenalan, adalah tabu jika menanyakan, “Kau masuk UGM

lewat jalur apa?” Ada satu contoh menarik. Ketika ditanya jalur masuk dan SPMA yang dibayar, seorang mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional berceletuk, “Wah, emoh, rasis iki!” (Wah, tidak, rasis ini!). Gejala tersebut sesungguhnya mengandung kelugasan makna, “yang kaya-bodoh” lebih berpeluang masuk daripada “yang miskin-pintar”, apalagi “miskin-bodoh”. Kelugasan ini, di level awam adalah sentimen, tapi di level birokrasi ialah logika.

Selanjutnya, gejala itu punya kaitan erat dengan dua kecenderungan yang terjadi di jurusan-jurusan favorit, yakni SPMA yang kian melambung dan kuota yang makin membengkak (lebih lanjut baca BALKON 114, 22/8/2008 dan BALKON 102, 7/8/2007). Pada 2008, sejumlah jurusan favorit mematok SPMA untuk jalur PBS dengan “harga awal” yang tinggi. Sebagai contoh, Jurusan Pendidikan Dokter (Rp 100 juta), Jurusan Kedokteran Gigi (Rp 60 juta), Jurusan Ilmu Ekonomi (Rp 50 juta), Jurusan Manajemen (Rp 50 juta). Mengapa SPMA naik? Seorang pejabat di Fakultas Kedokteran berujar, “Kalau untuk urusan itu sih, yang tahu orang atasan.”

Di Fakultas Ilmu Budaya, seorang pejabat akademik mengeluhkan jumlah mahasiswa baru yang sering melebihi kuota. Dalam pengakuannya, “Tiap tahun, kami selalu mengajukan jumlah ideal, tapi rektorat memutuskan lebih dari yang diajukan begitu saja.” Tanggapan hampir sama muncul dari seorang dosen senior di Fisipol ketika di kelas seorang mahasiswa memprotes jadwal kuliah yang amburadul. Ia menjawab sembari berkelakar, “Sekarang ini PT bukan perguruan tinggi, tapi Perseroan Terbatas. UGM sudah seperti perusahaan. Jadi, enak saja jumlah mahasiswa dinaikkan. Akibatnya yang repot ya jurusan.”

Dana yang nyaris mencapai Rp 600 miliar itu besar dan Rp 250 miliar itu tak ada separuhnya. Yang pertama disedot dari masyarakat, yang kedua sumbangan pemerintah. Di sini, “tangan kanan” memang masih menunjukkan kepedulian (27,02%). Tapi lihatlah, “tangan kiri” yang menyaru kerja “tangan kanan” dengan menyerap

dana dari masyarakat dan nyambi bisnis ternyata jauh lebih berperan (72,98%).

Catatan kedua, pada 2007, jumlah mahasiswa baru dari keluarga tidak mampu dilaporkan sebanyak 16%. Persentase ini di atas kertas melampaui pencapaian tahun-tahun sebelumnya dan terus naik sejak ada subsidi silang pada 2003. Pada halaman 24, angka 16% itu dinyatakan dengan kata “kurang lebih” 1.485 mahasiswa. Saya merasa janggal dengan kata “kurang lebih”. Bilangan pecahan atau bulatkah? Tapi, dua-duanya sama-sama musykil. Jika pecahan, bisakah Anda membayangkan ada seorang teman yang sepertiga manusia atau satu setengah manusia? Jika bulat, sepanjang kategori “tidak mampu” jelas ukurannya, bagaimana bisa UGM tak punya data pasti? Sederhananya, dalam kasus ini, keterangan “kurang lebih” hanya bisa diterima dalam persentase dan bukan jumlah orang.

Hal lain yang tak begitu jelas adalah siapa gerangan seluruh mahasiswa baru yang 16%-nya tidak mampu itu? Nah, Anda punya clue, jika 16% setakar dengan 1.485 orang, berapa banyak orang dalam 100%? Sekadar bahan utak-atik, berikut ini adalah rincian jumlah mahasiswa baru pada 2007: diploma 2.011 orang, sarjana 6.095, pascasarjana 3.022 (data Direktorat Akademik). Persamaan matematis sederhana bisa dipakai. Saya mencoba menghitung dan gagal memahami 1.485, 16%, dan 100% dikaitkan dengan data yang tersedia. Jika tak keberatan, tolong hitung dan cermati angka-angka itu untuk mengetahui apakah angka-angka itu andal sebagai data.

Walhasil, dengan data yang samar, bagi saya hanya tertinggal satu kejelasan. Rencana Operasional 2007 jauh-jauh hari sudah menargetkan kuota 15% mahasiswa tidak mampu. Dengan demikian, tidakkah 16% lalu mengesankan capaian yang melebihi target? Herankah jika persentase ini disebut pada bagian awal pengantar laporan bersama warta tentang 30% mahasiswa penerima beasiswa (dari target 15%)? Dua hal itu disebut untuk membisikkan, “UGM masih merakyat, lho.”

Page 40: Balkon spesial 2010 majalah

40

karenanya banyak dikritik. Semisal, pada survei 2006, hanya ada 3.703 tanggapan balik dari total 190.000 kuesioner yang dikirimkan via internet. Dari 101 negara, AS dan Inggris paling banyak berpartisipasi. Masing-masing 532 dan 378 responden. Sementara penanggap dari China hanya 76, Malaysia 112, Singapura 92, dan Indonesia 93. Karena itulah, tingkat akses internet di suatu negara dan kesediaan jumlah responden untuk menjawab kuesioner akan sangat menentukan peringkat universitas.

Kerancuan metodologis seperti ini bisa membawa akibat serius yakni, dalam istilah Geger, delusi publik.

Ada dua macam akibat dari delusi publik semacam itu: menjengkelkan atau menyenangkan. Contoh yang menjengkelkan terjadi saat peringkat Universitas Malaya anjlok begitu rupa. Media massa di Malaysia segera menengarai mutu pendidikan yang menurun dan sekaligus menjadi wacana seru di parlemen. Contoh akibat

Tanpa berpikir keras, dari dua poin itu saja, kita segera tahu bagaimana konformisme berlaku. Ketegangan antara liberalisasi dan prinsip kerakyatan bisa didamaikan dengan formula: “cara kerja boleh liberal, tapi pencitraan tetap kerakyatan”.

***

Kembali ke awal perbincangan, internasionalisasi dan globalisasi bukan hanya berkerabat dekat, tapi juga satu paket. Ini secara implisit diakui Sofian Effendi. Kita juga tahu, instrumen globalisasi adalah ekonomi neoliberal yang bernafsu mengomoditaskan segala-gala, termasuk pendidikan. Dari situ, bisa ditarik silogisme. Internasionalisasi adalah juga globalisasi. Globalisasi berarti neoliberal. Neoliberal membuat pendidikan sebagai barang/jasa dagangan. Maka, internasionalisasi sama dengan menjual pendidikan.

Silogisme ini mungkin terlalu menyederhanakan perkara karena menelantarkan sejumlah indikator penting seperti publikasi jurnal, capaian riset, jumlah paten, kualifikasi tenaga akademik, akreditasi-sertifikasi internasional, hingga peringkat universitas di tingkat dunia. Butuh ruang lebih panjang untuk membincangkan semua indikator. Sekadar pelengkap, poin peringkat internasional bisa dipersoalkan sejenak. Telaah dan penelusuran Geger Riyanto di bawah ini layak untuk disimak (Kompas, 23/1/2008).

Jika direntang hingga 2005, survei The Times Higher Education Supplement (THES) menempatkan UGM pada posisi ke-341, jauh di atas UI (420) dan ITB (408). Setahun berikutnya, UI ke-250, ITB ke-258, dan UGM ke-270. Ketiganya naik peringkat, tapi UGM diungguli dua PT tersebut. Lalu pada 2007, semuanya merosot, tapi UGM kembali unggul. UGM ke-360, ITB ke-369, dan UI ke-395. Sekadar pembanding, Universitas Malaya (Malaysia) nangkring di posisi ke-89 pada 2004. Tapi, setahun berikutnya anjlok ke peringkat 169. Pertanyaannya, bagaimana mungkin peringkat universitas bisa naik turun semudah tarikan ritsleting?

Kelemahan mendasar dari survei THES adalah sampel—dan

Page 41: Balkon spesial 2010 majalah

yang menyenangkan terjadi saat peringkat UGM (ke-360) dalam survei THES 2007 dibanggakan berulang kali dalam berbagai kesempatan. Termasuk dalam pengantar Rektor Sudjarwadi dalam Laporan Tahunan 2007.

Di AS saja, soal pemeringkatan universitas selalu problematis. Di satu sisi, hasil survei diperlukan sebagai rujukan bagi publik dan alat promosi bagi universitas. Di sisi lain, tak ada indikator yang secara mutlak bisa mengukur peringkat dengan adil. Karena

itu, tak ada survei yang paling memuaskan. Kesulitan ini terutama muncul karena masing-masing universitas di AS, baik negeri maupun swasta, memiliki dan menjalankan tata kelola dengan tingkat keragaman yang pelik satu sama lain. Alhasil, pemeringkatan itu seperti games yang didorong oleh kesenangan orang AS dalam mengejar mitos numero uno (John V. Lombardi, et. all., kertas kerja The Myth of Number One: Indicators of Research University Performance, 2000).

Dengan demikian, saya tetap berpandangan, dengan atau tanpa dikaitkan pada indikator world class, silogisme “internasionalisasi = jualan” tidak akan pernah batal. Apa yang dikatakan Sofian Effendi sebagai “tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat” adalah kata lain bagi bergesernya “hak” menjadi “daya beli”. Pendidikan kini bukan lagi soal apakah Anda “berhak” untuk mengenyam pendidikan, tetapi seberapa besar “daya beli” yang Anda punya.

Jika Sofian mengatakan bahwa globalisasi dan neoliberalisme harus disikapi dengan hati-hati, saya juga ingin berhati-hati dengan istilah world class research university. Istilah itu mengandung dua macam state of becoming. Menjadi universitas riset adalah peneguhan dari apa yang sudah digariskan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Itu sudah pasti. Tapi, menjadi universitas kelas dunia adalah soal dilumpuhkannya “tangan kiri”. Karenanya, pertanyaan bernada pernyataan Revrisond Baswir tetap relevan untuk terus diulang. “Perlukah kita menjadi universitas riset kelas dunia? Yang lebih penting justru bagaimana menjadi universitas nasional atau universitas kerakyatan!” (BALKON Edisi Khusus 2008)

Akhirul kalam, di permukaan, internasionalisasi memang selalu tampak sebagai upaya akselerasi. Tapi di dasar persoalan, ini juga soal psikologi. Tentang mentalitas rendah diri yang kompleks, yang lama mengeram sejak era kolonial. Tentang imaji modernitas yang mengandaikan kemajuan datang dari Barat. Di sini, imaji itu kini mulai diminati, dinikmati, dan, pelan-pelan, diimani. Banyak orang lalu pasrah pada slogan beat them or join them. Itulah tren. Dan jika Anda berani menolak tren, bersiaplah dianggap dekaden. Sayangnya, kita belum tahu, berapa persen sih jumlah “pemberani” di kampus (yang kini konon) kerakyatan ini.[ ]

Page 42: Balkon spesial 2010 majalah

42

POTRETPOTRET

SEHARI-HARI biasanya kita menggunakan kamar mandi, dan air selalu mengucur seolah tidak pernah kering bagi delapan puluh ribu warga kampus UGM. Tercakup dari fakultas, rektorat, dan perumahan dosen. Nah, dari manakah sebenarnya sumber air yang biasa kita pakai?

Ternyata, siapa nyana ada instalasi distribusi air yang setiap hari mengucurkan air ke kamar mandi di fakultas, rektorat, dan perumahan dosen. Dua instalasi itu yakni Ground East dan Ground West. Ground East ada di Jalan Olahraga, sedangkan Ground West di Jalan Teknika. Per kedua instalasi tersebut menyerap tiga sumur resapan air tanah di sekitar ground, dan setiap ground disambungkan dengan satu pipa yang akan melewati fakultas dan perumahan dosen. Kemudian, setiap fakultas dan rumah memasang pipa yang akan mengaliri untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan begitu, lingkungan kampus ini pun seolah tidak kekeringan.

Untuk mengalirkan air yang disedot dari kedua instalasi itu digunakan sepuluh pipa. Masing-masing instalasi itu disedot lima pipa, yang setiap tiga jam gantian. Air yang sudah disedot dari sumur tanah, kemudian dialirkan ke penyaringan bawah tanah. Dari sinilah, pipa dipasang untuk disalurkan langsung ke fasilitas-fasilitas kampus.

Page 43: Balkon spesial 2010 majalah

43Mengolah Air,Mengolah Hidup

Foto: Aji Akbar TitimangsaTeks: Iryan Ali Herdiansyah

Page 44: Balkon spesial 2010 majalah

44

Semua pipa-pipa itu dioperasikan oleh satu orang yang setiap hari jaga. Ia adalah pengendali keran-keran air yang siap dialirkan ke rumah-rumah dan fakultas-fakultas. Demi kelancaran sedianya air, maka pengendali keran pun bekerja nonstop, dengan dibagi tiga shift. Dari pukul 04.00-14.00, kemudian digilir, 14.00-22.00, dan 22.00-04.00. Dari pukul 04.00-20.00 air dikucurkan melalui mesin, sementara setelah pukul 20.00-04.00 mengandalkan tekanan ruang persediaan air agar otomatis mengalir. Semua itu otomatis mengalir untuk kehidupan kampus. [ ]

Penulis: Iryan Ali HerdiansyahFotografer: Aji Akbar Titimangsa

Page 45: Balkon spesial 2010 majalah

45

SOSOK

“Alhamdulillah,Saya Seperti Datang ke Habitat Lama”

Andi Alifian Mallarangeng:

Bagi Andi Alifian Mallarangeng, dunia politik dan olahraga mung-kin bukan hal yang baru. Semenjak menjadi aktivis mahasiswa, kedua aktivitas itu dilakoninya berbarengan, hingga Andi dikenal sebagai atlet tenis UGM sekaligus aktivis politik mahasiswa. Dua jalur yang diakrabi itu akhirnya tidak menjadikan Andi canggung menerima amanat mengu-rusi bidang kepemudaan dan olahraga. Justru baginya hal itu merupa-kan anugerah Tuhan yang mesti diterima terbuka karena suatu tugas yang besar dan menyenangkan.

Menurutnya, pemuda adalah masa depan bangsa. Maka, salah satu tugas terbesarnya dalam membekali anak-anak muda ia sambut dengan gembira. Ia berharap pemuda dapat mempersiapkan diri melanjutkan pencapaian generasi pendahulu, bahkan melebihinya. Andi pun merasa mendapat kehormatan dari presiden dalam memfasilitasi, mendukung, dan memberi ruang yang selebar-lebarnya bagi pemuda untuk menemu-kan jati diri sebagai bangsa Indonesia. “So it’s a fun job…,” selorohnya.

Penulis: Iryan Ali HerdiansyahFotografer: Aji Akbar Titimangsa

Page 46: Balkon spesial 2010 majalah

46

SABTU pagi (6/11), suasana rapat tampak buntu. Semua persoalan yang dikemukakan peserta seolah mentah begitu saja, tak ada yang menanggapi apalagi menyeriusinya. Permasalahan yang hendak dituntaskan sudah dua hari dibeberkan. Namun, semua peserta saling menatap, bingung siapa yang kudu menjawab, bertanggung jawab, dan menyanggupi untuk merumuskan masalah agar bisa dilaporkan ke rektor.

Rapat itu merupakan rangkaian puncak Lokakarya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang diselenggarakan dan dihadiri jajaran pejabat Direktorat Kemahasiswaan, juga diikuti para pembina UKM tingkat universitas, dan perwakilan UKM di Wanagama, Gunung Kidul, 6–7 November 2009.

Acara itu dilaksanakan dalam rangka pengarahan para pengurus UKM agar memahami ihwal keuangan yang dapat didayagunakan dan mekanisme pelaporan penggunaannya. Selain itu, dalam lokakarya itu juga digelar pertemuan membahas persoalan yang dialami UKM. Problem yang kerap dikeluhkan para perwakilan UKM ialah penggunaan fasilitas kampus yang harus dibayar mahal oleh mahasiswa, seperti pemakaian gedung University Center. Padahal, University Center merupakan salah satu fasilitas yang semestinya bisa mudah dipakai untuk berkegiatan. Ada pula masalah seretnya uang rektorat yang bisa digunakan UKM dan pencemaran limbah Foodcourt—tempat relokasi pedagang kaki lima di seputar bulevar—yang mengganggu kenyamanan di Gelanggang Mahasiswa.

“Kalau sudah begini semestinya Pak Sentot (Drs. Haryanto, M.Si., Direktur Kemahasiswaan) itu ada,

masa datang hanya untuk membuka acara lokakarya,” ujar Dr. Saiful Rochdiyanto, M.P. Menurut Pembina UKM Olahraga itu, Sentot harus ikut serta dalam merumuskan masalah yang tengah dirapatkan dalam lokakarya itu. “Pak Chairil Anwar (Dr. Chairil Anwar, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni 2002–2007) saja datang dan ikut karaokean bersama kita,” ujarnya. Peserta rapat pun tertawa.

Saiful melanjutkan, belum lama ini dirinya sempat bertemu Menteri Negara Pemuda dan Olahraga untuk membicarakan kegiatan mahasiswa di kampus. “Alumnus kita (UGM) yang menjadi menteri itu menawarkan stadion untuk kegiatan UKM,” ujarnya. Pernyataan Saiful, yang juga dosen Fakultas Teknologi Pertanian itu, pun seolah menjadi angin segar bagi semua peserta rapat. “Hanya sekarang kita bingung memikirkan tempat untuk stadion itu,” lanjutnya.

Alumnus UGM yang dimaksud Saiful itu ialah Andi Alifian Mallarangeng. Setelah lima tahun dipercaya menjadi Juru Bicara Presiden (2004–2009), kini Andi menduduki kursi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Ketika ditemui Farid Fatahillah, At tachriirotul M., Hesti Pratiwi, dan Aji Akbar Titimangsa dari BALKON di kantor Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, Jakarta, Selasa (10/11), Andi menjelaskan bahwa dirinya bersedia ditunjuk Presiden SBY sebagai Mennegpora karena komitmennya untuk memajukan potensi yang dimiliki anak-anak muda Indonesia, termasuk mendukung kegiatan UKM di kampus. Menurut mantan anggota UKM Tenis Lapangan UGM itu, bidang pemuda dan olahraga harus terus digelorakan demi peningkatan potensi pemuda dan

Page 47: Balkon spesial 2010 majalah

47

prestasi olahraga. “Maksud saya bagaimana olahraga dan pemuda menjadi mainstream, dan saya ingin mengumandangkan terus Youths and Sports Mainstream,” ujarnya.

Memang, semenjak kuliah di Jurusan Sosiologi UGM pada 1981–1986, Andi dikenal sebagai atlet tenis UGM. Namun, jarang orang mengetahui bahwa Andi merupakan mantan pemain tenis yang sering terjun dalam kejuaraan tingkat nasional. Bahkan ia mengaku sempat mewakili Yogyakarta dalam kejuaraan tenis tingkat nasional bersama Yayuk Basuki, yang sekarang menjadi pelatih atlet tenis nasional. Hanya saja, dalam kejuaraan tingkat nasional itu Andi mengaku sering kalah. “Tapi Tuhan ngasih jalan kepada saya, sekarang saya mengurusi olahraga lagi,” katanya.

Andi menekuni tenis sejak kanak-kanak di Makassar. Waktu itu, Andi, kelahiran Makassar, 14 Maret 1963, bercita-cita menjadi pemain tenis nasional. Hobi sedari kecil ini sempat menjadikannya moncer dalam prestasi olahraga tenis hingga ia mengikuti kejuaraan tenis tingkat nasional. Lantaran di kejuaraan nasional itu prestasinya selalu kandas, Andi pun merasa tidak berbakat menjadi pemain tenis nasional. Ia lalu banting setir untuk menyeriusi sekolah. Saat kelas dua sekolah menengah atas, Andi hijrah ke kota pelajar dan diterima di SMA 8 Yogyakarta.

Sejak SMA hingga diterima menjadi mahasiswa Jurusan Sosiologi UGM, Andi masih menggeluti tenis. Di UGM, Andi pun terdaftar sebagai anggota UKM Tenis Lapangan. Andi yang terpaut satu tahun dengan adiknya, Andi Rizal Mallarangeng, lantas menjadi atlet tenis UGM. “Saya ini tim tenis Gadjah Mada. Kalau pertandingan tenis antarfakultas, dua bersaudara (Andi dan Rizal) hadir, lewatlah semua,” ujarnya sembari terbahak.

Aktivitas Andi saat menjadi mahasiswa tidak hanya olahragawan. Sebagaimana lazimnya aktivis mahasiswa pada 1980-an, Andi juga aktif dalam kegiatan politik mahasiswa. Saat mahasiswa, Andi juga dikenal sebagai anggota Senat Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Puncak karier politik mahasiswanya adalah sebagai Sekretaris Umum, baik di Senat Mahasiswa Fisipol (1984–1986) maupun di HMI Komisariat Fisipol (1983–1985). Gawai politik itulah yang mengantarkan Andi sebagai ilmuwan maupun anggota partai politik.

Sebagai ilmuwan politik, sejak 1988 Andi diterima mengajar di Jurusan Sosiologi Fisipol Universitas Hasanuddin, Makassar. Namun, ketika Soeharto turun pada 1998, doktor lulusan Universitas Northern Illinois, Amerika Serikat itu memutuskan untuk “urun rembuk” dalam penataan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Andi pun bergabung dengan Tim Tujuh yang dipimpin Ryaas Rasyid untuk merumuskan paket undang-undang pemilihan umum dan undang-undang pemerintahan daerah yang berlandaskan semangat otonomi daerah.

Saya ini tim tenis Gadjah Mada. Kalau pertandingan tenis antarfakultas, dua

bersaudara (Andi dan Rizal) hadir, lewatlah

semua.

Page 48: Balkon spesial 2010 majalah

48

Selain terlibat dalam Tim Tujuh, ia juga menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum. Setahun aktif di KPU, pengajar di Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta, itu pun ditarik Ryaas Rasyid menjadi staf ahli Menteri Negara Otonomi Daerah pada 2000. Sayang, sepuluh bulan kemudian kementerian itu dibubarkan. Sebagai ganti, Andi yang dikenal sebagai pakar otonomi daerah, bersama Ryaas Rasyid lalu mendirikan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK), yang bercita-citakan semangat pemerintahan daerah yang otonom.

Sayang, jalur aktivitas di PDK tidak membuat Andi mujur dalam karier politik. Pada 2004, ia memutuskan bergabung mendukung pencalonan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden. Kemenangan SBY dalam pemilihan presiden waktu itu kemudian membuatnya diganjar sebagai Juru Bicara Presiden. Lima tahun berselang, SBY memberikannya ganjaran kedua untuk menjabat Mennegpora berkat keterlibatannya sebagai Tim Sukses SBY pada pilpres 2009.

Kini, lengkap sudah jalan hidup Andi di jagad politik nasional. Penobatannya sebagai Mennegpora, baginya, merupakan suatu anugerah Tuhan. Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga yang sekarang dikomandaninya merupakan perihal yang tak ia sangka sebelumnya. “Jalan hidup yang unik, bagaimana Tuhan kasih jalan bagi saya,” ungkapnya. Sejak kanak-kanak hingga kuliah, Andi telah menggeluti dunia olahraga. Sekarang, ia dipasrahi tanggung jawab sebagai Mennegpora. “Alhamdulillah, saya seperti datang ke habitat lama,” katanya sembari tersenyum.

Jalan hidup yang unik, bagaimana

Tuhan kasih jalan bagi saya.

Page 49: Balkon spesial 2010 majalah

49

NamaAndi Alifian Mallarangeng, Ph.D.

Tempat, Tanggal LahirMakassar, 14 Maret 1963

KeluargaVitri Cahyaningsih (istri) dan tiga anak

Pendidikan• Jurusan Sosiologi Fisipol UGM (1986)• Science in Sociology Northern Illinois University (1991)• Political Science Northern Illinois University (1997)

Karier• Staf Pengajar Jurusan Sosiologi Fisipol Universitas Hasanuddin (1988-1999)• Anggota KPU (1999-2000)• Kepala Departemen Ilmu Politik Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta (1999)• Staf Ahli Menteri Otonomi Daerah (2000)• Kepala Komite Kebijakan dan Penasihat Partnership for Governance Reform in Indonesia (2000–2002)• Juru Bicara Presiden (2004–2009)

Organisasi• Sekretaris Umum HMI Komisariat Fisipol UGM (1983–1985 )• Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fisipol UGM (1984–1986)• Wakil Ketua Islamic Society of Northern Illinois University (1994–1996)• Penasihat Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (2001–2004)• Penasihat Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (2002–2004)• Anggota Pengurus Pusat Persatuan Lawn Tenis Indonesia (2008–sekarang)• Penasihat Bike to Work Community (2006–sekarang)• Kepala Departemen Sumber Daya Manusia Partai Demokrat (2008–sekarang)

Penghargaan• Percy Buchanan Prize University of Missouri St Louis AS (1995)• Bintang Jasa Utama Republik Indonesia (1999)• Future Leader of Asia, Asia Week (1999)• Man of the Year, Matra Magazine (2002)

Karya• Dari Kilometer 0,0 (Kumpulan Esai Politik, 2007)

BIO

DAT

A S

ING

KAT

Page 50: Balkon spesial 2010 majalah
Page 51: Balkon spesial 2010 majalah

51

OPINI

SEJAK berdiri pada 19 Desember 1949, UGM telah memosisikan diri sebagai kekuatan kritis terhadap negara. Dalam konteks ini, UGM dengan jelas menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat kecil yang tertindas. Maka tak heran jika sejak berdiri, kampus ini dikenal sebagai kampus kerakyatan. Simbolisasi kampus kerakyatan tersebut dipertegas Teuku Jacob dengan istilah “universitas kiri”. Universitas yang menentang bentuk-bentuk penindasan negara terhadap rakyat.

Dengan berdiri sebagai kekuatan kritis terhadap negara, UGM kerapkali menjadi kampus yang menjadi ajang demonstrasi dan protes. Tidak hanya protes secara fisik, kampus ini pun sering mengajukan protes keras dengan pemikiran-pemikiran radikal yang muncul. Sebagai contoh, konsep ekonomi kerakyatan yang digagas Mubyarto. Gagasan ekonomi kerakyatan ini pada dasarnya merupakan bentuk protes UGM terhadap sistem ekonomi kapitalis model rezim Orde Baru (Orba) yang hanya berpihak pada segelintir orang.

menjadi kekuatan kritis terhadap negara, posisi keberpihakan pun jelas terhadap masyarakat. Meskipun sampai sekarang penindasan negara masih terus terjadi, karakteristik kesejarahan UGM ini tentu menjadi catatan berharga untuk menghadapi masa depan. Terlebih lagi dalam era globalisasi yang kini melanda dunia. Globalisasi mendatangkan keuntungan dan malapetaka dalam waktu yang bersamaan. Tentu saja, malapetaka yang ditimbulkan jauh lebih besar. Globalisasi bahkan menimbulkan ketercerabutan masyarakat karena hancurnya sistem sosial yang hanya diarahkan semata-mata pada pola pikir pasar. Sebagai contoh, semakin mahalnya biaya pendidikan sebagai dampak dari liberalisasi pendidikan.

Liberalisasi pendidikan kemudian membuat masyarakat yang ingin mengakses pendidikan harus melalui tahap seleksi ekonomi. Alih-alih memperdalam ilmu pengetahuan, masyarakat justru disibukkan mencari dana agar bisa mengakses ilmu pengetahuan. Dengan kondisi demikian, daya saing bangsa dalam persaingan global pun dilemahkan pelan-pelan. Dimulai

Wajah Buram Universitas Riset

“UGM merupakan lembaga (untuk membantu) perjuangan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan.” (Mubyarto)

Wisnu Prasetya UtomoDivisi Redaksi BPPM BALAIRUNG UGM

Setelah jatuhnya Orba, terbersit harapan bahwa penindasan negara terhadap masyarakat akan memudar. Tetapi, kondisi tersebut pun tampaknya hanya merupakan harapan kosong. Dalam waktu yang relatif singkat, kekuatan negara berhasil mengonsolidasikan ulang dirinya untuk kembali menjadi kekuatan besar yang tidak dapat ditandingi masyarakat. Kuskridho Ambardi (2009) menggambarkan bahwa kekuatan negara yang muncul pascareformasi tak ubahnya kartel-kartel dalam dunia perdagangan yang menguasai pasar. Partai-partai politik sebagai pemilik modal dalam pemerintahan, saling bekerjasama untuk menguasai pasar (baca: negara). Persaingan antarparpol hanya terjadi ketika pemilihan umum. Setelah pemilihan umum, masing-masing parpol akan saling mendekat dan berkoalisi untuk duduk di pemerintahan. Pada akhirnya, masyarakatlah yang kembali dirugikan.

Buku UGM Menuju Universitas Penelitian (2006) menjelaskan posisi antara UGM, negara, dan masyarakat seperti sudah digambarkan di atas. Selain

Page 52: Balkon spesial 2010 majalah

52

tidak mampu berada sampai pada tahap menggugat metodologi mapan atau narasi-narasi besar yang tertuliskan dalam buku teks lama.

Ini membuat cita-cita UGM menjadi universitas riset seperti tercantum dalam Rencana Strategis 2008–2012 menemui relevansinya. Karena dengan menjadi universitas dengan basis utama pada riset-riset akademik, UGM memiliki kesadaran untuk memasuki wilayah metodologi alternatif dan merancang bangun metodologi yang ada dalam teks-teks lama. Secara otomatis, UGM akan menjadi garda terdepan untuk menjawab berbagai keresahan yang melanda bangsa ini. Termasuk dalam menghadapi persaingan dengan negara lain.

Namun, kenyataan yang terjadi ibarat jauh panggang dari api. Cita-cita menjadi universitas riset menemui banyak rintangan. Niat mulia menjadi universitas riset berkelas dunia agar bisa “mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan” seolah dikhianati sendiri. Dimulai

dari kebijakan-kebijakan rektorat yang sepihak. Biaya pendidikan tiap tahun naik dan semakin mahal, manifestasi Tri Dharma yang menurun (BALKON Edisi Spesial 2008), pembangunan Gama Book Plaza yang sampai sekarang masih bermasalah, pembangunan hotel, penyewaan gedung-gedung untuk acara nonakademik seperti pernikahan, penggusuran pedagang kaki lima, kenaikan biaya sewa asrama, serta terakhir kebijakan pemasangan portal gate yang memunculkan isu adanya penarikan biaya parkir. Sungguh sulit bagi saya untuk tidak mengatakan bahwa hal-hal tersebut merupakan implementasi dari komersialisasi kampus.

Kebijakan-kebijakan yang mengarah pada komersialisasi kampus tadi menunjukkan bahwa UGM belum memiliki banyak pengalaman untuk menghidupi dirinya sendiri dengan menggalang dana

dari pelemahan ilmu pengetahuan sampai bentuk-bentuk penjajahan baru yang menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa buruh.

Konsekuensi Logis

Dari uraian di atas, ada satu pesan yang dapat diambil, perguruang tinggi seharusnya menjadi benteng ilmu pengetahuan di Indonesia. Ia harus bisa memperkuat ketahanan nasional sebagai sebuah negara. Artinya, tak ada hal mendasar yang dapat dilakukan UGM selain menguatkan dirinya sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, pengabdian, serta mendidik lahirnya figur-figur kepemimpinan. Dengan kata lain, posisi menjadi universitas riset adalah sebuah conditio sine qua non, konsekuensi logis yang mesti diambil.

Hal ini dikarenakan, meminjam istilah Jean Francois Lyotard, tidak ada satu pun “toko” yang “menjual” segala macam metodologi riset yang akan menyelesaikan segala permasalahan sosial. Ini menjelaskan kenapa mereka yang menjadi peneliti, termasuk universitas, seharusnya merancang sendiri metodologi yang digunakan. Selain karena tidak akan memadai jika hanya mengacu pada teks-teks lama, dinamika persoalan terus berkembang dan menuntut munculnya inovasi-inovasi baru dari para peneliti aktif. Apalagi, tak bisa dipungkiri bahwa pendidikan tinggi di Indonesia kering kerontang dari tradisi penelitian. Bahkan, kalaupun banyak kegiatan penelitian, hal itu

Dan

u.ba

l

Page 53: Balkon spesial 2010 majalah

53

secara mandiri. Mau tidak mau, cara-cara instan seperti di atas dipakai. Semua sumber daya dan fasilitas dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan. Sebuah hal yang justru kontraproduktif karena pada awalnya, harapan untuk membiayai diri sendiri seharusnya disandarkan pada hasil-hasil riset, bukan menarik biaya secara langsung dari fasilitas-fasilitas yang diperuntukkan bagi mahasiswa.

Tidak hanya itu, berbagai penelitian yang dilakukan pun menimbulkan masalah lain. Tercatat, tak hanya sekali UGM tersandung polemik yang menyangkut penelitian-penelitian yang dilakukan fakultas-fakultasnya. Pada 2008, ada dua penelitian yang memicu kontroversi publik. Pertama, “penelitian pesanan” yang melibatkan Jurusan Ilmu Komunikasi (JIK) dengan PT Asian Agri. Kala itu, JIK mengerjakan penelitian mengenai pemberitaan di Majalah Tempo

dan Koran Tempo tentang isu penggelapan pajak senilai Rp 1,3 triliun. Kontroversi ini bergulir bak bola liar karena sampai muncul wacana JIK hanya membela koruptor tanpa melihat kepentingan umum (Majalah Tempo, 6 Januari 2008).

Seolah masih belum cukup memicu kontroversi, penelitian UGM kembali bermasalah. Kali ini mengenai penelitian yang dilakukan Fakultas Kehutanan (FKT) bekerjasama dengan PT Jogja Magasa Minning mengenai penambangan pasir besi di Kulon Progo. Penelitian ini memicu konflik dengan petani Kulon Progo yang merasa dirugikan. Ribuan petani bahkan melakukan aksi demonstrasi di halaman Grha Sabha Pramana (21 Juni 2008). Dua kasus penelitian ini setidaknya bisa memberikan gambaran betapa UGM kerap “berselingkuh” dengan korporat-korporat yang menjadi donor bagi penelitiannya.

Berbagai masalah di atas merupakan kontradiksi-kontradiksi yang teramat ironis bagi cita-cita universitas riset. Potret ini seolah menjadi wajah buram kampus kerakyatan ini. Alih-alih menjadi benteng bagi ilmu pengetahuan di Indonesia, UGM justru dimanfaatkan segelintir orang di kampus demi tujuan politis dan pragmatis. Riset-riset akademik, termasuk yang melibatkan dosen dan mahasiswa, yang seharusnya dilakukan untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan, hanya menjadi proyek bersama yang orientasinya uang. Buat saya, universitas riset ini tak lebih dari sekadar arena perebutan kekuasaan.

Namun, saya tak ingin kelewat pesimis. Seperti sudah saya sebut di atas, menjadi universitas riset merupakan sebuah conditio sie qua non. Artinya, UGM, termasuk mahasiswa, tidak dapat menghindarinya. Kini, tinggal bagaimana sivitas akademika dapat bersikap bijak untuk “membersihkan” wajah buram ini. Sehingga, nomenklatur “universitas riset berkelas dunia” tidak membusuk dan hanya menjadi utopia.[ ]

Page 54: Balkon spesial 2010 majalah

54

OPINIOPINI

SEJAK 19 Desember 1949, UGM telah mengalami banyak dinamika. Salah satu perubahan yang ramai diperbincangkan adalah cita-cita UGM menuju World Class Research University (WCRU). Lahirnya WCRU tidak dapat dipisahkan dari perubahan status UGM dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) melalui Peraturan Pemerintah 153 Tahun 2000.

PT BHMN ditetapkan oleh pemerintah sebagai solusi atas keterbatasan dana pendidikan untuk perguruan tinggi. Sokongan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk penyediaan layanan pendidikan tinggi masih minim, yakni Rp 6,1 triliun. Pengeluaran tersebut habis dipakai untuk subsidi biaya pendidikan tinggi sebesar 80% hingga 85% dari total kebutuhan biaya pendidikan tiap mahasiswa. Di sisi lain, untuk

Jalan Mendaki Menuju“World Class Research University”

Dan

u.ba

l

Page 55: Balkon spesial 2010 majalah

55

mempertahankan standar mutu nasional, perguruan tinggi perlu sokongan dana yang lebih besar. Karena kondisi keuangan yang menyusut, pemerintah akhirnya mengubah status beberapa PTN menjadi PT BHMN.

Sebagai konsekuensi, kampus tersebut mendapatkan kewenangan (otoritas) yang lebih untuk mengatur strategi pembiayaannya. Harapannya, dapat meningkatkan mutu pendidikan dan tingkat partisipasi perguruan tinggi dalam hal pembiayaan.

Menuju World Class Research University

Salah acuan penting dari universitas riset adalah Reinventing Undergraduate Education: a Blueprint for America’s Research University yang diterbitkan Komisi Boyer, The Boyer Commission on Educating Undergraduates in the Research University, yakni komisi yang didirikan The Carnegie Foundation for the Advancement of Teaching. Dalam laporannya, Komisi Boyer mendefinisikan universitas riset sebagai universitas yang menyelenggarakan program sarjana, pascasarjana, hingga doktoral yang menekankan penelitian sebagai prioritas utama.1

Sejalan dengan laporan Komisi Boyer, UGM pun melengkapi arah pengembangan universitas menjadi WCRU. Karenanya, WCRU langsung dijadikan visi dalam rencana strategis (Renstra) UGM 2008-2012 yaitu, “Menjadi universitas riset kelas dunia yang

unggul, mandiri, bermartabat, dan dengan dijiwai Pancasila mengabdi kepada kepentingan dan kemakmuran bangsa”.

Penjabaran lebih rinci dari Renstra tertuang dalam Rencana Operasional (Renop). Mungkin masih banyak mahasiswa yang belum tahu bahwa UGM memiliki Renop untuk rentang waktu 2009-2012. Dokumen ini memuat misi, tujuan, sasaran, dan indikator kinerja untuk mengetahui pencapaian tujuan, serta target-target kuantitatif dan program-program yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi dan misi 2008-2012.

Dengan mengacu pada Renop, mahasiswa—sebagai salah satu sivitas akademika—dapat memberikan penilaian dan melakukan proses check and balance terhadap program-program yang sudah ditetapkan. Celakanya, selama ini masih banyak kebijakan yang dikeluarkan UGM dalam upaya menuju WCRU yang tidak melibatkan partisipasi mahasiswa, seperti kebijakan portal gate yang akhirnya menuai kontroversi. Renop dapat diunduh dari situs resmi UGM.

Catatan KritisUGM memiliki sejarah sebagai

universitas yang didirikan atas kerjasama pemerintah dan rakyat. Selain tuntutan untuk terus meningkatkan mutu, dilema terbesar yang selama ini dialami UGM adalah akses yang adil dan merata bagi seluruh golongan

Qadaruddin Fajri Adi

Presiden BEM KM UGM 2008-2009

masyarakat. Di satu sisi, untuk memenuhi indikator-indikator kinerja utama Renop—misalnya: riset, laboratorium, koleksi perpustakaan, standar gaji dosen, publikasi penelitian, dan pengajuan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI)—dibutuhkan pembiayaan yang besar. Di sisi lain, peningkatan akses perguruan tinggi bagi mahasiswa yang tidak mampu juga menyedot dana karena dipakai untuk subsidi. Karena itu, tidaklah mengherankan UGM sebagai PT BHMN menuju WCRU banyak mengeluarkan kebijakan instan untuk menyiasati kondisi tersebut.

Sampai akhir 2009, pelbagai kebijakan yang dikeluarkan UGM menuju WCRU banyak menuai pro dan kontra. Misalnya, kebijakan menambah jumlah kuota mahasiswa baru (maba), tetapi tidak dibarengi dengan penambahan kuota mahasiswa golongan tidak mampu, yakni sekitar 3,3 persen dari total mahasiswa baru2. Contoh lainnya adalah pembukaan beberapa jalur masuk dengan pemberlakuan SPMA untuk tujuan menghimpun dana, seperti jalur PBUD dan PBS. Contoh lain, penaikan sewa asrama mahasiswa, penataan pedagang kaki lima, dan pemberlakuan portal gate. Kebijakan itu dinilai mencederai UGM sebagai kampus kerakyatan karena berbau komersialisasi terhadap aset-aset pendidikan. Karena itu, sebagai solusi kebijakan pengelolaan UGM menuju WCRU, penulis merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut.

Page 56: Balkon spesial 2010 majalah

56

Pertama, optimalisasi penyerapan dana (non-SPP dan SPMA Mahasiswa) melalui pengembangan jaringan alumni dan mengomersialisasikan hasil riset berbasis HAKI. Parameter kampus riset berkelas dunia bukan hanya keberhasilan melahirkan para alumni dari proses pendidikan dan penelitian, tetapi juga menghasilkan alumni yang bangga dan cinta pada almamater. Perihal bangga dan cinta pada almamater, kita bisa mencontoh alumni Universitas Harvard sebagaimana yang ditulis Cardiyan HIS3. Alumni Universitas Harvard bisa mengumpulkan dana abadi (endowment fund) mencapai US$ 29,219 miliar, sekitar Rp 290 triliun. Jumlah ini lebih dari 6,68 kali anggaran pendidikan Republik Indonesia pada 2007 yang besarnya Rp 43,4 triliun. Menghimpun dana dari para alumni adalah dengan mulai dari yang kecil, melalui cara-cara legal dan kreatif. Timbal baliknya, UGM harus membuktikan keseriusan menjadi WCRU dengan menunjukkan prestasi.

Ihwal pengoptimalan penyerapan dana melalui komersialisasi hasil riset berbasis HAKI, UGM dapat berguru pada ITB. Melalui Kegiatan Usaha Penelitian, ITB mampu menyerap dana masyarakat (non-SPP Mahasiswa) sebesar Rp 160,267 milyar atau US$16,26 juta (kurs Rp 10.000/US$). Dengan usaha yang keras, ITB sukses memperbanyak riset berbasis HAKI dan mampu dipublikasikan pada jurnal internasional yang telah disertifikasi The Science Citation Index.

Rekomendasi pertama setidaknya akan mengurai kontroversi akibat kebijakan yang diambil UGM selama ini. Toh, kebijakan yang dinilai tidak populis dan dipandang berbau komersialisasi, terutama oleh para mahasiswa, dikarenakan UGM menyerap dana segar dari mahasiswa, baik melalui kebijakan penambahan kuota mahasiswa baru, pembukaan beberapa jalur masuk (PBUD dan PBS), dan penaikan sewa asrama mahasiswa.

Kedua, revitalisasi kebijakan subsidi silang. Penerapan full-payment pada keluarga mampu, memberi subsidi penuh pada mahasiswa dari keluarga tidak

mampu, dan subsidi 50 persen kepada mahasiswa dari keluarga berpenghasilan menengah. Konsep ini sebenarnya sudah diwacanakan, tetapi belum optimal dalam pelaksanaan. Faktanya, persentase mahasiswa dari golongan tidak mampu yang diterima di UGM hanya 3,3 persen dari total mahasiswa yang diterima. Untuk komitmen terhadap golongan ekonomi bawah, UGM dapat mencontoh IPB yang juga berstatus BHMN. IPB setiap tahun rutin menyerap mahasiswa dari golongan tidak mampu dengan mulai memantau dan mendeteksi sejak dari bangku SMA. UGM semestinya dapat melakukan hal serupa. Mengenai kendala prosedur pemantauan yang dijadikan alasan selama ini, UGM dapat membangun kerjasama dengan alumni UGM yang kepengurusannya sudah tersebar merata di seluruh Indonesia. Keterserapan mahasiswa dari tingkat ekonomi menengah ke bawah, selaras dengan misi UGM menuju WCRU yang beridentitas kerakyatan dan dijiwai Pancasila, tentang pendidikan berkeadilan yang dapat diakses semua golongan masyarakat.

Ketiga, penajaman visi UGM sebagai universitas riset kelas dunia dengan dijiwai Pancasila. Keputusan Bersama Pemimpin UGM tentang Nilai-Nilai Filosofis UGM pada bulan November 2008 perlu ditindaklanjuti. Pada keputusan tersebut, Majelis Wali Amanat, Senat Akademik, Majelis Guru Besar, dan pemimpin universitas telah menetapkan bersama bahwa nilai filosofis UGM adalah Pancasila dan keilmuan. Nilai luhur Pancasila semestinya dijadikan basis paradigmatik proses penyelenggaraan pendidikan mulai dari institusi hingga pengajaran kurikulum mata kuliah. Selain itu, perlu dibuat indikator pencapaian kinerja secara kuantitatif ke dalam Renop 2009-2012.

Jalan terjal UGM menuju WCRU bukan hanya merujuk pada ukuran kualitas yang kompetitif, fair, dan relatif terukur. Ataukah kedisiplinan proses pengajaran, sarana dan prasarana fisik kampus, maupun kepandaian mengisi borang yang didasarkan kepada penilaian diri sendiri yang kerap dibesar-besarkan. Bahkan jalan

UGM menuju WRCU bukan hanya politik pencitraan yang dinilai dari ranking. Lebih dari itu, pendidikan merupakan pembentukan karakter bangsa. Hal inilah yang membedakan UGM dengan universitas lain di dunia.

Perbedaan cara pandang dalam mendefinisikan, memahami, dan mengarahkan UGM menuju WCRU adalah sebuah kewajaran. Penalaran kebenaran memang harus didekati dari pelbagai sisi untuk menemukan hakikat kebenarannya. Perbedaan semestinya melahirkan kompromi yang menghasilkan sintesis. Ketahuilah, UGM bukanlah milik mereka, saya, dia, atau Anda. UGM adalah milik kita dan kita semua cinta UGM. [ ]

1http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2114&coid=3&caid=22&gid=12http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/REKOMENDASI-UNTUK-MENDIKNAS.pdf3http://cardiyanhis.blogspot.com/2009/08/road-map-perguruan-tinggi-di-indonesia

Page 57: Balkon spesial 2010 majalah

57

OPINI

Dengan demikian, pemerintah berupaya agar universitas senantiasa memperoleh penemuan yang bermanfaat. Caranya dengan menelurkan kebijakan yang mendukung pengembangan riset. Dukungan tersebut dapat berupa alokasi anggaran dan hak paten yang memudahkan peneliti untuk menghasilkan karya.

Di Indonesia, perhatian pemerintah terhadap pengembangan riset universitas masih minim. Kondisi ini tercermin dari alokasi anggaran pemerintah yang relatif rendah. Menurut data Development Report 2006, pada periode 1996 hingga 2006, Indonesia hanya mampu mengalokasikan anggaran sebesar 0,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal negara-negara lain mampu mengalokasikan anggaran untuk penelitian dan pengembangan lebih besar, seperti Malaysia 0,7%, China 2,1%, dan Korea Selatan 3,0% dari PDB. Karena itu, pemerintah perlu memberikan perhatian serius guna mendanai aktivitas riset yang dilaksanakan universitas.

Namun, rendahnya aktivitas riset di universitas belum selesai hanya dengan memperbaiki fokus anggaran pemerintah saja. Menurut penulis, universitas perlu mengaitkan aktivitas riset dengan kebutuhan pelaku usaha, tidak hanya menjadi upaya pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, universitas perlu menghasilkan sarjana dan peneliti yang memiliki kecapakan menulis, agar mampu memublikasikan tulisannya di jurnal tingkat nasional maupun internasional.

Randi KurniawanMahasiswa Ilmu Ekonomi UGM

TELAH umum diketahui, tugas universitas di Indonesia terdiri dari tiga hal yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Ketiga tugas tersebut saling terkait satu sama lain, sehingga pelaksanaannya mesti simultan. Indikator keberhasilan universitas pun dapat tercermin dari kemampuan mereka menjalankan seluruh tugas. Harapannya, universitas mampu menciptakan budaya unggul, berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat, serta memperkuat daya saing bangsa.

Ada ribuan universitas yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Salah satu maksud dari keberadaan mereka ialah memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap jenjang pendidikan tinggi. Lumrah diketahui bahwa persaingan pasar tenaga kerja yang makin ketat menjadi salah satu pendorong meningkatnya permintaan terhadap pendidikan tinggi. Tetapi, meningkatnya kuantitas bukan berarti berbanding lurus dengan peningkatan kualitas. Beberapa universitas hanya menjual gelar sarjana, tapi lemah dalam bidang pengembangan kapasitas keilmuan. Bukan tidak mungkin, tugas untuk mengabdi pada masyarakat justru tak diacuhkan. Hal ini mengingat kurangnya kegiatan penelitian yang dilakoni oleh tenaga pengajar ataupun mahasiswa di universitas tersebut.

Padahal, penelitian atau riset merupakan salah satu poin penting yang harus dilaksanakan oleh universitas. Dengan adanya riset, ilmu pengetahuan akan terus

berkembang sehingga mampu membuka cakrawala berpikir dan memberikan kontribusi bagi perbaikan hidup masyarakat. Karena itu universitas, selaku pihak yang terdepan mengembangkan ilmu pengetahuan, memiliki kewajiban untuk menjadikan riset sebagai aktivitas wajib bagi tenaga pengajar ataupun mahasiswa. Amich Alhumami mengutip Nannerl O. Keohane dalam The Mission of the Research University (1994) mengatakan, universitas riset digambarkan sebagai sivitas akademika, terutama tenaga pengajar, yang senantiasa mengerahkan daya intelektualnya dalam melakukan pencarian, penjelajahan, eksperimentasi, percobaan, dan pengujian ilmiah melalui trial dan error. Selain itu, mereka juga dituntut memublikasikan hasil riset terutama kepada mahasiswa melalui proses belajar mengajar.

Harapannya, universitas riset mampu melahirkan para sarjana dan peneliti yang memiliki kecerdasan, kepedulian sosial, serta rasa ingin tahu tinggi. Tentu saja, keberadaan riset bukan hanya penting bagi universitas tapi juga kemajuan ekonomi negara. Salah satu penopangnya adalah hasil riset yang diimplementasikan dalam kebijakan pemerintah. Karena itu, pemerintah di negara maju sangat peduli terhadap keberlangsungan riset di universitas. Mereka beranggapan bahwa riset yang mantap akan melahirkan penemuan-penemuan baru yang bermanfaat bagi masyarakat, terutama dalam pengambilan kebijakan.

Relevansi Universitas Riset

Page 58: Balkon spesial 2010 majalah

58

Universitas Riset dan Tantangan Ekonomi

Hasil riset tidak hanya ditujukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, tapi juga menggerakkan aktivitas ekonomi. Saat ini, tantangan ekonomi yang dihadapi hampir setiap negara adalah mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Di Indonesia, masalah kemiskinan masih menjadi kendala utama. Badan Pusat Statistik mencatat pada Maret 2009, terdapat 32,5 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tentunya, solusi dari masalah ini tidak harus dipikirkan sendiri oleh pemerintah, melainkan juga tanggung jawab bagi segenap elemen bangsa, termasuk universitas. Kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan dapat tercapai dengan memanfaatkan hasil-hasil riset universitas.

Di sisi lain, hasil riset tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk menciptakan produk-produk yang inovatif dan berdaya saing tinggi. Banyak produk dari perusahaan domestik

yang kurang mampu bersaing dengan produk perusahaan asing. Itu sebabnya, perusahaan domestik kurang mampu mengalihkan minat konsumen agar tidak bergantung pada produk impor. Padahal produk tersebut mampu dihasilkan oleh perusahaan domestik. Atas dasar itulah, hasil riset bagi pelaku usaha menjadi relevan untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan minat dan kebutuhan konsumen. Sehingga universitas mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama di bidang ekonomi.

Penulis berpandangan bahwa universitas perlu membangun jaringan dengan pelaku usaha terkait strategi menciptakan inovasi produk yang berdaya saing tinggi. Bila hubungan tersebut terjalin, maka pelaku usaha dapat memberikan kontribusi terhadap kemajuan ekonomi bangsa. Di lain pihak, pelaku usaha juga memiliki peran sebagai penyumbang dana riset, sehingga beban finansial tidak ditanggung oleh peneliti saja.

Universitas Riset dan Budaya Tulis

Pada pengembangan universitas riset, muncul kebutuhan

Dan

u.ba

lterhadap tenaga pengajar yang mampu menulis ilmiah dengan baik. Artinya, mereka mampu berbahasa Indonesia dan asing, terutama Bahasa Inggris, dengan baik. Selain itu kecakapan menulis pun menjadi penting karena ada kebutuhan untuk memublikasikan hasil riset, seperti di jurnal nasional maupun internasional. Makin banyak sivitas akademika yang menulis di jurnal ilmiah, terutama tingkat internasional, maka universitas tersebut makin diakui sebagai universitas riset.

Hanya saja, karya peneliti tanah air yang dipublikasikan di jurnal internasional masih relatif rendah. Oleh sebab itu, lembaga pendidikan tinggi yang berniat menjadi

universitas riset seperti UGM kian giat mendorong para tenaga pengajar dan mahasiswa untuk memublikasikan karyanya di jurnal internasional. Tentu saja, pihak universitas perlu memberikan insentif bagi pihak yang mampu memublikasikan tulisannya. Jika nilai insentif tersebut kurang memberi dorongan untuk memublikasikan sebuah karya, maka permasalahan mendasar justru terletak pada rendahnya minat menulis para tenaga pengajar maupun mahasiswa. Maka universitas yang ingin mengembangkan riset perlu mendesain pendidikan agar mampu meningkatkan kecakapan menulis ilmiah di kalangan peserta didik.

Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa tantangan untuk membangun universitas riset memang cukup berat. Ada banyak pihak yang mesti bekerja sama dengan universitas, yakni pemerintah dan pelaku usaha. Masing-masing pihak tentu memiliki motivasi sama untuk mengubah keadaan bangsa ke arah yang lebih baik. Hanya saja, pihak-pihak tersebut perlu bersinergi dalam melakukan perannya masing-masing.[ ]

Page 59: Balkon spesial 2010 majalah

59

Page 60: Balkon spesial 2010 majalah

60

OPINI

Berbagai kritik atas penelitian pada kalangan dosen dapat dijadikan bahan refleksi. Banyak penilaian mengungkapkan bahwa orientasi ekonomi dan politik mendominasi proyek-proyek penelitian para akademisi—mayoritas dosen. Heru Nugroho dalam buku Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (2006) pernah mengungkapkan, kegiatan penelitian dapat menjadi arena perebutan sumber daya ekonomi dan politik. Dalam hal ini akses penelitian terbukti menentukan akumulasi ekonomi. Penelitian pun dapat membangun “klik” patron-klien antarpeneliti yang lantas dapat dimanfaatkan dalam kancah perpolitikan. Penyakit-penyakit seperti itu sudah menjadi rahasia umum dan banyak dibicarakan.

Seiring gencarnya kampanye pencanangan universitas riset, selain untuk dosen, kini banyak sekali proyek penelitian yang dialokasikan untuk mahasiswa. Baik pemerintah, swasta, organisasi sosial, dan universitas sendiri ramai-ramai mengalokasikan dana penelitian untuk mahasiswa. Nominal dananya pun tak sedikit.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM), misalnya, menyelenggarakan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) untuk memfasilitasi aktivisme penelitian mahasiswa. Program yang dihelat tahunan ini pun mendapat respons positif dari mahasiswa. Setiap tahun, ribuan proposal diketik dan diajukan mahasiswa semata untuk mengakses dana penelitian PKM.

Universitas pun memberikan hibah penelitian untuk mahasiswanya. Hibah riset ini bisa langsung dari universitas, lewat fakultas, maupun via jurusan. Di UGM, hibah penelitian dari universitas disalurkan lewat Grant Karya Inovasi yang diselenggarakan Subdirektorat Peningkatan Pertumbuhan Kepemimpinan Berkualitas (PPKB) Direktorat Kemahasiswaan. Hibah riset penelitian juga digelontorkan beberapa fakultas dan jurusan hampir setiap tahun. Mahasiswa pun berlomba memenangkan sayembara pendanaan penelitian itu.

Orientasi Hipokrit Mahasiswa Peneliti

MAHASISWA sebagai sivitas akademika mendapat porsi proyek-proyek penelitian yang terus bertambah untuk mendukung gelar universitas riset. Tujuan idealistisnya, budaya akademik terbangun dengan pondasi ilmiah yang kokoh. Tak tanggung-tanggung, miliaran rupiah digelontorkan untuk mendukung aktivitas penelitian mahasiswa. Lantas, apakah proyek-proyek penelitan yang dilakukan mahasiswa berjalan efektif dalam membangun budaya akademik-ilmiah sebagaimana dicita-citakan?D

anu.

bal

Page 61: Balkon spesial 2010 majalah

61

Dengan perspektif searah, klaim Heru Nugroho tampaknya berlaku juga pada dunia penelitian di kalangan mahasiswa; bahwa kepentingan ekonomi dan politik mendominasi proyek-proyek penelitian. Kepentingan itu pun seolah mengalahkan tujuan utama penelitian itu sendiri, yaitu membangun budaya akademik-ilmiah. Ada beberapa argumen yang mendukung lemahnya fungsi penelitian sebagai pengembang budaya akademik-ilmiah. Beberapa fakta pelaksanaan penelitian oleh mahasiswa menunjukkan betapa tujuan idealistis dari penelitian itu masih terasa jauh di awang-awang.

Mayoritas proyek-proyek penelitian oleh mahasiswa nihil verifikasi langsung ke lapangan. Bentuk pertanggungjawaban dan proses verifikasi cukup lewat tulisan dan laporan lisan dalam format laporan pertanggungjawaban. Padahal, proses verifikasi merupakan unsur penting dalam kegiatan penelitian. Verifikasi langsung ke lapangan merupakan fungsi kontrol dan monitoring penelitian. Fungsinya untuk menguji apakah data-data penelitian itu sesuai atau tidak dengan fakta yang ada di lapangan. Tanpa verifikasi langsung ke lapangan, proyek penelitian itu berpotensi besar mendidik para peneliti, dalam hal ini mahasiswa, untuk melakukan manipulasi data penelitian.

Tanpa “ancaman” disiplin verifikasi dari reviewer (sekaligus penyandang dana), peneliti cenderung mengarang data dan fakta penelitian. Data-data dikarang untuk dipaparkan agar mendukung “keberhasilan” pelaksanaan penelitian. Kecenderungan ini didorong motivasi ekonomi, dalam arti akumulasi dana penelitian secara penuh. Alih-alih mengutamakan legitimasi ilmiah,

mahasiswa malah memburu keuntungan dana dari pelaksanaan penelitiannya.

Selanjutnya, proses evaluasi pun nihil dilakukan. Di sini, logika “proyek” benar-benar terasa. Setelah proses penelitian rampung, usai pula pembahasan di ranah akademiknya. Selesai penelitian, habiskan uang, hitung keuntungan.

Selain kepentingan ekonomi, kepentingan politik juga mendominasi pelaksanaan penelitian dan mengiringi kepentingan ekonomi tersebut. Seperti dipaparkan Heru Nugroho, pelaksanaan proyek-proyek penelitian dapat merangkai jejaring terselebung di antara para peneliti. Jejaring itu lantas membentuk “klik” di antara mereka yang kemudian dimanfaatkan untuk penggapaian posisi-posisi strategis dalam institusi akademik maupun pemerintahan.

Penelitian oleh mahasiswa pun tak terbebas dari kecenderungan itu. Jika ditelusuri, para mahasiswa yang terlibat dalam proyek-proyek penelitian cenderung itu-itu saja. Mereka yang dapat mengakses dana penelitian dari Dikti, misalnya, bakal membentuk jaringan perkoncoan yang tetap mengelompok untuk mengakses dana penelitian hibah universitas, fakultas, dan jurusan. Ketika ada informasi lowongan proposal penelitian, mereka hanya membuka informasi itu kepada para “kaki tangan” yang sebelumnya pernah terlibat dalam proyek penelitian yang sama. Dalam hal ini, pengembangan budaya akademik-ilmiah bisa dikatakan tidak disebarluaskan secara massif.

Selain berkutat di ranah horizontal, jejaring itu juga merentang secara vertikal. Selain aktor peneliti, dosen pembimbing

Achmad ChoirudinKoordinator BALKON

atau pendamping pun cenderung itu-itu saja. Ini karena mahasiswa peneliti cenderung meminta dosen yang sama untuk membimbing dan mendampingi penelitiannya yang lain. Ikatan emosional pun kian terjaling intim antara mahasiswa dan dosen pendamping. Keintiman itu tentunya membuka kemungkinan bagi mahasiswa untuk meraih posisi asisten dosen hingga dosen dan asisten peneliti di institusi-institusi akademik seperti jurusan, pusat studi, serta lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat universitas. Bahkan, klik tersebut menjalar ke proyek-proyek penelitian di luar ranah akademik. Dosen yang juga aktif di lembaga swadaya masyarakat (LSM) tentu bakal meminta para mahasiswa yang telah intim dengannya untuk membantu proyek-proyek penelitian atas nama LSM-nya.

Jejaring itu akhirnya membentuk relasi patron-klien antara mahasiswa dan dosen. Mahasiswa peneliti cenderung lemah daya kritisnya dalam ranah ide dan kajian terhadap para dosen yang sebelumnya intim dalam ranah proyek dengannya. Patron-klien ini juga berlaku di luar ranah akademik, ketika mereka bertemu dalam ranah politik pemerintahan, misalnya.

Selain itu, memperkaya muatan curriculum vitae tampaknya begitu menarik bagi mahasiswa untuk terlibat dalam proyek-proyek penelitian ketimbang mengembangkan kemampuan ilmiahnya. Dengan begitu, atas nama penelitian, mahasiswa mengejar keuntungan ekonomi dan politik. Tujuan mulia proyek-proyek penelitian sebagai langkah pengembangan budaya akademik-ilmiah dikotori laku hipokrit mahasiswa sebagai peneliti.[ ]

Page 62: Balkon spesial 2010 majalah

62

SOSOKSOSOK

Membingkai Sejarah Baru, Pemberani karena Lupa

Jiwa aktivis mengantar sang ‘Koboi Senayan’ mengawali karir politik. Namanya pun berkibar di tengah polemik pemerintahan Orde Baru.

Penulis: At tachriirotul M

Fotografer: Aji Akbar Titimangsa

Page 63: Balkon spesial 2010 majalah

63

MINGGU pagi (8/11), Pengurus Daerah (Pengda) Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) DKI Jakarta menyelenggarakan acara reuni Kagama Jakarta Raya. Acara tersebut tersurat pada spanduk bertuliskan “Eling Konco Agawe Mulyo, Halal Bihalal Kagama Jakarta 2009” yang terpasang di pintu masuk Semanggi Futsal Expo. Kendaraan bermotor tampak memenuhi setiap sudut area parkir. Gemuruh musik era tujuh puluhan pun mulai terdengar keras dari pintu masuk hingga tempat acara diselenggarakan.

Di depan panggung tampak pria yang tak asing lagi di ranah politik negeri ini. Sosok yang berdiri sambil menopang dagu itu adalah Priyo Budi Santoso, wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2009-2014. Ia terlihat santai dengan kemeja putih panjang, celana jin, serta ikat pinggang hitam, sembari menikmati alunan musik di atas panggung. Kala itu BALKON menghampirinya dan meminta waktu untuk berbincang-bincang.

Alumnus UGM 1992 ini merasa senang mampu menghadiri acara tersebut karena dapat bertemu teman satu angkatan dan seniornya dulu. Ia memanfaatkan momentum ini sebagai ajang temu konco lawas untuk mengenang masa lalu. Ia mengaku senang jika Sri Sultan Hamengkubuwono X menjadi ketua Kagama saat ini. “Saya berharap, dengan reputasi beliau, Kagama dapat menghimpun seluruh potensi alumni untuk mendarmabaktikan pada Negara,” imbuhnya.

Pria kelahiran Trenggalek, 30 Maret 1966 ini juga lahir dari kampus kerakyatan. Saat itu, Priyo tercatat sebagai mahasiswa Administrasi Negara 1986. Sembari mengenang masa lalu, ia bercerita tentang aktivitasnya saat menjadi mahasiswa. Bersama dengan Muhaimin Iskandar dan Andi Alfian Mallarangeng, Priyo aktif di organisasi Senat Mahasiswa Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik. “Mereka teman satu angkatan saya di Senat,” tambahnya.

Semasa mahasiswa, Priyo menjadi ketua umum Keluarga Mahasiswa Administrasi Negara (KMAN) dan Muhaimin menjadi ketua Keluarga Mahasiswa Sosiatri (KOMATRI). Dari sini, mereka menjalin pertemanan dan sering mendiskusikan banyak hal. Selain aktif di dua organisasi tersebut, Priyo juga aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Jamaah Shalahudin (JS). “Saya cukup lama aktif di organisasi-organisasi itu, sampai saya pun lupa untuk kuliah,” kenangnya sambil tertawa. “Namun, Alhamdulillah saya dapat lulus dengan IPK 3,25,” tuturnya bangga.

Ketika ia menjadi aktivis, pria berkacamata itu mengakui bahwa kondisi perpolitikan mahasiswa saat itu sedang tertidur pulas. Hal tersebut merupakan imbas dari adanya Normalisasi Kehidupan Kampus /Badan Koordinasi Kampus. Organisasi tingkat universitas pun belum terbentuk, dan hanya ada di tingkat fakultas. “Kami sering memprakarsai terbentuknya kelompok studi yang kemudian menjamur di kota-kota besar. Dimotori oleh Yogya, kemudian Bandung dan Jakarta,” ujar Priyo.

Di Yogya, kelompok studi tersebut cenderung terbagi menjadi kelompok pecinta alam dan kelompok diskusi. Saat itu, ia mengaku sebagai mahasiswa yang masuk ke dalam kelompok diskusi, kemudian aktif di gerakan politik. “Entah kenapa saat menjadi mahasiswa saya termasuk radikal. Namun, itu dulu. Sekarang tidak,” ujar pria yang kagum dengan Bung Karno itu. Ia pun pernah mengikuti kelompok studi yang cukup radikal dalam melawan politik negara dan pemerintahan Soeharto. “Padahal ayah saya Golkar. Jadi, saat itu saya termasuk mahasiswa yang durhaka,” kenangnya terkekeh.

Namun, pria yang sejak kecil bercita-cita terjun di dunia politik ini merasa tidak beruntung. Hal itu disebabkan oleh kondisi perpolitikan tanah air kala itu tidak sedahsyat seperti sekarang. Mahasiswa digiring untuk menjadi ilmuwan yang bekerja di laboraturium, sehingga tidak terbayang untuk demonstrasi. “Hanya orang-orang gendeng saja yang mau melakukan itu. Dan saya termasuk orang yang gendeng,” ceritanya.

Kegiatan Priyo sebagai aktivis mahasiswa yang ikut mengkritik pemerintah justru bertentangan dengan takdir yang mengantarkannya masuk ke dalam Partai Golkar. Kala itu, partai berlambang pohon beringin memberikan kepercayaan dan peluang kepada para aktivis mahasiswa. Hal tersebut dipicu adanya kritikan bahwa hanya anak pejabat yang dapat masuk partai. “Begitu lulus, saya beserta aktivis lainnya masuk ke dalam partai. “Saat itu saya didorong langsung oleh Pak Habibie,“ terangnya. Tapi, ia merasa hal itu bertentangan dengan hati nurani jika tidak mengkritik Golkar sebagai partai yang menopang Orde Baru. Dari situlah Priyo memulai karir politiknya.

Tahun 1997, ia berhasil menduduki kursi anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar. “Saat dilantik, usia saya 31 tahun dan saat itu termasuk anggota DPR termuda kedua,” ujarnya. Saat itulah, mantan aktivis HMI ini menapaki perjalanan sebagai anggota DPR, ketua Fraksi Golkar, dan kemudian duduk di kursi wakil ketua DPR periode 2009-2014.

Hanya orang-orang gendeng saja yang mau melakukan itu (demonstrasi). Dan saya termasuk

orang yang gendeng.“

Page 64: Balkon spesial 2010 majalah

64

Ada pengalaman menarik ketika ia menjabat anggota DPR. Dalam kondisi menjelang lengsernya Soeharto, gedung parlemen dikepung mahasiswa. “Saat itu Partai Golkar dihujat, mereka meminta golkar dibubarkan,” jelas Priyo yang saat itu baru enam bulan menjadi anggota dewan. Kejadian itu seketika membuat Priyo geram dan langsung mengambil microphone. “Hei, siapa tadi yang mengatakan Partai Golkar dibubarkan? Berdiri! Anak baru kemaren sore berani mengajari kami demokrasi!” serunya. Priyo mengaku lupa jika saat itu ia telah menjadi anggota dewan. “Saya masih terbawa jiwa aktivis,” akunya. Para mahasiswa itu juga menyuarakan Gerakan Reformasi Damai (Gereda) dengan menggunakan pengikat kepala. “Peristiwa itu bertepatan dengan lahirnya anak saya, hingga saya memberi nama Andromeda Gereda,” tambahnya.

Kejadian serupa kembali terjadi. Bahkan nyaris mengantarkan mantan dosen Fisip Universitas Nasional ini untuk mengakhiri masa jabatannya. Priyo mengaku pada detik-detik menjelang lengsernya Soeharto, diikuti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), ia merupakan anggota dewan pertama yang berani meminta Pak Harto mundur. Waktu itu Pria berkacamata ini melemparkan koin di depan para menteri. “Hanya ada dua pilihan, Saudara menteri dan seluruh jajaran kabinet Soeharto atau kami para parlemen, yang mundur jika harga BBM dinaikkan,” serunya.

Melihat sikap Priyo, semua orang kaget dan tersentak dengan keberaniannya. “Lagi-lagi jiwa aktivis saya spontan keluar. Saya lupa dengan posisi saya sebagai anggota parlemen dari Fraksi Partai Golkar,” tuturnya terlihat bersemangat. Karena sikapnya tersebut, Priyo sempat diberi peringatan akan dipecat. Ia diminta berhenti dan melanjutkan kuliah di Amerika atau Australia. Namun, keberuntungan masih berpihak kepadanya karena Pak Harto ternyata lengser. “Itulah yang membawa hikmah dan mengantarkan saya menjadi salah satu tokoh muda yang dicari,” ujarnya.

Sejak peristiwa itu, namanya semakin berkibar. Bahkan, beberapa media cetak seperti Tempo

memberikan julukan sebagai ‘Koboi Senayan’. “Kalau boleh jujur, sebenarnya saat itu saya grogi. “Dan hal ini baru saya ungkapkan setelah satu hingga dua tahun berlalu,” tambahnya. Di Partai Golkar pun Priyo dipercaya menjadi kepala suku di antara para kader muda.

Ia mengaku bahwa semangat tersebut terilhami dari tokoh kebanggaannya, Bung Karno. Pria yang ikut serta mendorong Bung Tomo sebagai Pahlawan Nasional ini merasa senang dan sering terilhami pikiran Sang Proklamator. “Walaupun saya Golkar, tapi saya sangat mengagumi beliau. Beliau adalah pahlawan revolusioner. Beliau dalam arti Bung Karno lho, bukan anaknya,” guraunya.

Wakil ketua DPR ini selalu mengingat nasehat ibunya. “Le, ojo nggigih mangsa, hormatono sing tuo, sing bengkok lurusno. Jadi, saya mengikuti naluri saja. Tidak tergesa-gesa, hormati orang yang lebih tua, tetapi yang bengkok diluruskan,” terangnya. Dan ia sering terselamatkan oleh nasehat tersebut.

Hingga saat ini, Priyo masih menyimpan mimpi yang belum terwujud sejak awal dilantik menjadi anggota dewan. Jika saatnya tiba, lampu-lampu gedung parlemen pun masih menyala di malam hari. Maka rakyat seperti tukang gorengan, bakso, maupun becak di sekitar gedung akan berseru, “Kami gembira karena di dalam sana mereka masih berdebat untuk memperhatikan nasib kami”. Namun, selama ini gedung parlemen seringkali gelap di malam hari. Dalam masa jabatannya kini, ia berkeinginan untuk merombak total kondisi itu. “Tetapi, semua itu memang sulit,” imbuhnya.

Mantan aktivis kampus ini berpegang pada sebuah filosofi hidup. “Saya hidup seperti air mengalir. Tidak menentang arus, tapi saya tidak mau terhanyut. Kadang terhanyut, tapi saya tetap ingin memimpin, dan menentang arus,” tuturnya. Ia berpesan kepada mahasiswa untuk membangun kepemimpinan mulai dari partai. “Masuklah ke partai politik apapun. Karena, di sanalah pengkaderan politik itu dimulai,” pesan Priyo. [ ]

Saya hidup seperti air mengalir. Tidak menentang arus, tapi saya tidak mau terhanyut. Kadang terhanyut, tapi saya tetap ingin

memimpin, dan menentang arus.

64

“”

Page 65: Balkon spesial 2010 majalah

65

Page 66: Balkon spesial 2010 majalah

66

REHALREHAL

PARTAI politik di Indonesia kian hari semakin pragmatis dan menjauh dari konstituen. Kebutuhan mendanai dirinya sendiri, mendorong partai mencari dana bujeter dan nonbujeter, akhirnya membawa sistem kepartaian menuju kartelisasi. Inilah tesis utama dari buku Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi garapan Kuskridho Ambardi, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM serta Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia.

Buku ini merupakan disertasi Mas Dodi, demikian Kuskridho Ambardi dipanggil, untuk meraih gelar PhD bidang ilmu politik dari Ohio State University. Studi dalam buku ini membahas bagaimana relasi antarpartai mempengaruhi sistem kepartaian di Indonesia. Studi ini menggunakan metode yang bersandar pada dokumen tertulis dan wawancara mendalam. Selain itu, disertakan pula data kronologis yang bersumber dari surat kabar Kompas dan majalah Tempo.

Bagian awal buku (Bab 1 dan Bab 2) memaparkan bagaimana partai politik memasuki ruang-ruang keagamaan dan teritorial. Pada masa Orde Lama dapat dilihat munculnya berbagai partai yang bersumber dari perbedaan antargolongan nasional/sekuler-agama (seperti Masyumi dan PNI). Orde Baru dengan konsep pembangunan menghasilkan

KartelisasiP a r t a i P o l i t i k

Judul BukuMENGUNGKAP POLITIK KARTELStudi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi

PenulisKuskridho Ambardi

PenerbitKPG Jakarta, Agustus 2009, xix+403 Halaman

Rafif Pamenang ImawanMahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan

Fisipol UGM Yogyakarta

66

Page 67: Balkon spesial 2010 majalah

67

KartelisasiP a r t a i P o l i t i k

struktur sosial pengusaha-buruh sehingga muncul pertentangan kelas. Bagian selanjutnya (Bab 3 sampai Bab 6) banyak membahas praktik kartelisasi partai dalam arena pemilihan umum (pemilu), kabinet, dan legislatif.

Kartelisasi, menurut Mas Dodi, adalah kecenderungan perilaku partai untuk membentuk kelompok kongkalikong (kolusi) yang melayani diri sendiri, dibanding mewakili kepentingan masyarakat. Dalam hal ini, Mas Dodi memberikan lima karakteristik kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia. Yakni, hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai, sikap permisif dalam pembentukan koalisi, tiadanya oposisi, hasil-hasil pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik, serta kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.

Kartelisasi meleburkan perbedaan ideologi antarpartai dengan mengutamakan kepentingan praktis (keuntungan finansial partai). Poros tengah pada 1999 menunjukkan bekerjanya kartelisasi, ditandai dengan berubahnya arus dukungan dalam parlemen. Pada ranah legislatif, misalnya, kecenderungan partai berkelompok (tidak melihat posisi ideologi) terjadi saat pembuatan UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Badan Hukum Milik Negara, UU Ketenagakerjaan, serta UU Otonomi Daerah.

Perbedaan ideologi antarpartai di Indonesia terlihat jelas hanya saat pemilu, tetapi itu tidak menghalangi antarpartai untuk melakukan koalisi. Hal ini terlihat saat pencalonan presiden-wakil presiden pada Pemilu 2004. Kala itu, hanya Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (PDIP, PDS) yang berasal dari partai yang memiliki basis ideologi serupa (sekuler). Selebihnya, Wiranto-Salahuddin Wahid (Golkar, PKB), Amien Rais-Siswono Yudo Husodo (PAN, PKS, PBR, PNBK, PNI Marhaenisme, PPDI, PSI, PBSD), Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (PD, PBB, PKPI), dan Hamzah Haz-Agum Gumelar (PPP) merupakan tokoh-tokoh perpaduan antara sekuler dan Islam.

Walau begitu, hasil pemilu hampir tidak mempengaruhi perilaku partai mengingat partai bergerombol menjadi satu golongan. Dalam bahasa Mas Dodi disebut dengan koalisi turah (berlebih). Akibatnya, tidak ada kekuatan oposisi sejati yang menjadi penyeimbang (fungsi checks and balances). Kecenderungan untuk membentuk koalisi turah kembali terlihat pada Pemilu 2009 ketika SBY berusaha merangkul semua golongan, sama seperti pada Pemilu 2004, dengan memberikan tawaran jabatan menteri pada PDIP sebagai pihak yang kalah. Di titik ini, koalisi partai tidak didasarkan pada koalisi ideologi maupun koalisi minimal, tetapi didasarkan pada pencarian rente. Konsentrasi partai dalam mencari rente membuat partai semakin menjauh dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan. [ ]

Page 68: Balkon spesial 2010 majalah

68

REHAL

KALIMAT itulah yang dilontarkan Sidik Jatmika mengenai bukunya dalam acara Grebeg Sastra, Kamis (12/11) di Toga Mas Affandi. Tapi tak perlu khawatir Anda hanya akan duduk termenung dengan bibir yang terkatup ketika membalik-balik lembaran buku Urip Mung Mampir Ngguyu: Telaah Sosiologis Folklor Jogja, karena paling tidak Anda akan terkikik-kikik ketika membaca lelucon-lelucon yang dihadirkan di dalamnya.

Judul Urip Mung Mampir Ngguyu sebenarnya plesetan dari ungkapan Jawa, wong urip iku mung mampir ngombe (orang hidup itu hanyalah istirahat sejenak untuk minum). Sebuah ungkapan sederhana yang memiliki makna mendalam, seperti yang tertuang dalam lagu gubahan Bugiakso dengan judul sama. Berikut ini petikan satu bait awal lagu Mampir Ngombe:

Urip kuwi mung mampir ngombe ora bakal urip selawase Opo wae sing ono ning ndunyokabeh kuwi bakale sirna

Kehidupan manusia di dunia itu cuma sementara, maka manfaatkanlah kehidupanmu dengan sebaik-baiknya. Seperti itulah petuah yang dapat diekstrak dari ungkapan urip iku mung mampir ngombe. Membumbui elemen-elemen kehidupan dengan kebaikan, demi keselamatan di dunia fana maupun alam baka.

Setiap manusia yang hidup di dunia pada dasarnya dibesarkan dengan ditemani empat sifat dasarnya: aluwamah (tamak), sufiah (birahi), amarah (marah), dan mutmainah (menjauhi larangan Tuhan). Di sinilah secara tak terduga humor ikut mengambil bagian. Berperan sebagai agen mutmainah, humor atau lebih tepatnya tawa dapat mencegah ketiga nafsu yang

Judul Buku: URIP MUNG MAMPIR NGGUYUTelaah Sosiologis Folklor JogjaPenulis: Sidik JatmikaPenerbit: Kanisius Yogyakarta, 2009, iv+231 Halaman

“Buku ini bukan bermaksud untuk melucu, tapi menampilkan bagaimana orang Jawa melucu. Atau lebih tepatnya, menyajikan teori-teori untuk melucu.”—Sidik Jatmika

Rifki Akbar PratamaDivisi Redaksi BPPM BALAIRUNG UGM

(Tak) Melulu

M e l u c u

memancing perilaku yang tidak tepat.

Sebagai contoh, tawa dapat menanggulangi nafsu amarah (marah). Taktiknya dengan cara tertawa ketika kita diselubungi rasa amarah. Hal ini dipastikan berhasil karena seseorang tidak dapat marah dan tertawa dalam waktu yang bersamaan. Secara biologis itu juga tidaklah mungkin. Tawa menurunkan level marah kita dengan mempengaruhi kerja sistem saraf, menurunkan tekanan darah, serta melepaskan endorfin—hormon, saklar pemicu euforia manusia.

Senada dengan ungkapan tradisional Jawa wong urip iku mung mampir ngombe, penulis menyuguhkan kepada pembaca sebuah minuman humor segar khas Jogja yang disajikan dengan bumbu sosiologis. Dicantumkannya kata “Telaah Sosiologis” pada judul tak lantas membuat buku ini berkurang kadar kelucuannya. Pembahasan mengenai hal tersebut hanya dicantumkan dalam dua bab awal, selebihnya Anda akan dihadapkan pada fragmen-fragmen lelucon tipikal Jogja. Bahkan, telaah sosiologis yang berbasis akademis itu disajikan secara segar dengan balutan humor.

Dengan berpusat pada pembahasan folklor yang berkembang di kalangan masyarakat Jogja, keempat bab yang dihadirkan pun diberi judul yang cukup nyentrik, sesuai dengan aroma humor: Bab I bertajuk “New York Art (O) for Beginners” (plesetan dari Ngayogyakarta for Beginners), Bab II mengambil judul “Akademi Plesetanologi Yogyakarta?”, Bab III memiliki kop “Banyak Jalan Menuju Lucu”, sedangkan bab terakhir bertitel “Lain Habitat Lain Lucunya”.

Penulis menyajikan sejarah singkat kota Yogyakarta, mulai dari cerita tentang Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat hingga cerita sosiohistoris Selokan Mataram, di bab “New York Art (O) For Begginners”.

Page 69: Balkon spesial 2010 majalah

69

(Tak) Melulu

M e l u c uDalam bab kedua, “Akademi Plesetanologi Yogyakarta?”, penulis membahas secara ringkas tentang metodologi melucu dan teorisasi melucu beserta telaah folklor Jogja yang berbasis akademis. Kedua bab selanjutnya adalah kumpulan dari berbagai macam anekdot-anekdot yang dikumpulkan oleh sang penulis.

Kerja keras Sidik dalam mengumpulkan kepingan puzzle selama 20 tahun berupa plesetan, anekdot, prokem, dan beraneka ragam bahan lelucon lainnya patut diapresiasi secara lebih. Ketekunannya dalam mengumpulkan banyolan dari beragam daerah, suku, hingga bangsa menghasilkan sebuah gugusan lelucon yang berjajar membentuk sebuah kepulauan yang bernama: komedi.

Lelucon yang ditampilkan dalam buku ini memiliki ciri khas masing-masing, sebagai contoh saya sadurkan dari subbab “Mahasiswa Mati, Ketawa-tawa” dengan subjudul “Keren, Bukan Peceren”:

Suatu hari, Rina diajak malam mingguan oleh pacarnya. Mereka janjian untuk berdandan keren. Untuk memuji pacarnya, Rina yang berasal dari Melayu Riau bertanya ke Partini Wonogiri, “Apa bahasa Jawanya keren?”

Partini dengan enteng menjawab, “peceren”, yang akhirnya dipercayai Rina sebagai kata-kata bertuah.

Pada saat cowoknya datang, Rina langsung memuji pacarnya, “Wouw…peceren sekali kau hari ini ?”

Cowoknya yang kebetulan mengerti bahasa Jawa kontan saja merah padam mukanya. Tetapi, ia segera bisa mengendalikan diri untuk tidak langsung marah-marah. Setelah dijelaskan si doi, maka

mengertilah si Rina kalau peceren itu artinya saluran air got, bukannya keren alias ngguantheng buanget, bak cagak kentheng (tiang telepon).

Guyonan semacam itulah yang banyak dihadirkan oleh CD-X (baca: Sidik) dalam bukunya, khususnya pada bab keempat “Lain Habitat, Lain Lucunya”. Sebuah anekdot yang berlandaskan asas miskomunikasi (kesalahpahaman) dan diskomunikasi (penjerumusan). Lantaran hal itulah buku ini sangat cocok dibaca, misalnya, oleh mahasiswa baru yang berasal dari luar kota Jogja atau luar Pulau Jawa pada umumnya. Juga para perantau yang baru saja bermukim di kota Jogja. Hal ini dikarenakan para pendatang itu biasanya adalah sasaran empuk para pemuda, Jogja tulen, yang suka menjahili rekan sejawatnya.

Pelucu itu layaknya seorang pesulap, keduanya tidak bisa menggunakan trik yang sama berulang-ulang kepada orang yang sama. Hal inilah yang luput dari pengamatan sang penulis dan menjadi kekurangan buku ini, terutama pada Bab IV (subbab “Indonesia Mini” dan “Mahasiswa Mati, Ketawa-tawa”). Pada bab ini terjadi pengulangan tipe lelucon yang sama yaitu miskomunikasi dan diskomunikasi akibat fenomena homonim.

Memang untuk menjadi seorang pelucu yang lucu itu tidaklah mudah. Tapi, kalau hanya sekedar menulis lelucon itu persoalan yang gampang. Anda tinggal bercokol di depan layar komputer dan memelototinya hingga ada kucing lewat di atas keyboard. Mudah bukan? [ ]

Page 70: Balkon spesial 2010 majalah

70

EUREKAEUREKA

Ihwal Mutu Kebijakan Kampus

Menyingkap mutu kebijakan kampus dari

faktor komunikasi, sumber daya manusia, dan sikap

mahasiswa sebagai kelompok sasaran.

SEMUA berawal dari diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Peraturan tersebut mengamanatkan otonomi kebijakan perguruan tinggi. Universitas pun harus mandiri dalam mencari sumber pendanaan. Dampaknya, orientasi universitas sekadar mencari profit sehingga ditakutkan akan mengesampingkan pengelolaan sistem jaminan mutu.

Padahal, dengan penerapan sistem jaminan mutu, setiap kebijakan dimungkinkan untuk dianalisis dan dievaluasi secara tepat. Untuk UGM, sesuai Surat Keputusan Rektor UGM Nomor 123/P/SK/Set.R/2001, sistem jaminan mutu tersebut dikelola Kantor Jaminan Mutu (KJM). Institusi itu mengurusi semua hal terkait peningkatan mutu universitas. Adanya KJM merupakan strategi universitas untuk menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih menjadi prioritas, baik bagi mahasiswa maupun calon mahasiswa.

Penulis: Rhea Febriani TritamiIlustrator: Danu Damarjati

Page 71: Balkon spesial 2010 majalah

71

Heri Wahyu Supartini, mahasiswa Jurusan Administrasi Negara Fisipol, secara kasuistik memberikan sedikit telaah melalui skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Sistem Jaminan Mutu UGM (Studi Kasus di Program Studi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian [PS-TPHP] Fakultas Teknologi Pertanian dan Jurusan Ilmu Komunikasi [JIK] Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik)”. Skripsi yang

dirampungkan pada 2006 itu

memilih PS-TPHP dan JIK karena

kedua institusi tersebut menyimpan

dokumen, organisasi, serta fungsionalisasi

yang lebih lengkap sehingga memudahkan

penelitian.

Sepanjang penelitiannya, Heri berfokus pada tiga pembahasan besar. Yakni, faktor komunikasi, sumber daya manusia, dan sikap kelompok sasaran (mahasiswa). Pada faktor komunikasi, implementasi di PS-TPHP dan JIK tidak berbeda jauh. Mekanisme koordinasi dilakukan melalui rapat intern program

studi/jurusan setiap bulan dan rapat evaluasi fakultas setiap akhir semester. Untuk sosialisasi kebijakan, JIK melaksanakannya melalui inisiasi fakultas dan jurusan, serta saat perkuliahan. Hal serupa dilakukan PS-TPHP, tetapi sosialisasinya lebih digalakkan dengan menyebarkan pamflet, leaflet, serta spanduk. Baik PS-TPHP dan JIK sama-sama memiliki mekanisme “umpan balik” dengan adanya audit dan pembagian lembar evaluasi dosen.

Mengenai sumber daya, baik PS-TPHP dan JIK sama-sama memberikan kesempatan (mencarikan beasiswa) kepada para dosen guna melanjutkan pendidikan ke jenjang magister dan doktoral. Hal ini dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas dosen. Sekalipun, rupanya tetap saja terdapat perbedaan dalam ketercukupan sumber daya manusia. Lihat

saja, perbandingan dosen dan mahasiswa di PS-TPHP, yakni 1:9 (2002), dengan 62% dosen lulusan S3 (2005). Di JIK, perbandingannya malah sebesar 1:17 (2002), dengan 15% dosen telah menempuh S3 (2006).

Dari segi pendanaan, PS-TPHP memiliki sumber lebih banyak daripada JIK. Keduanya sama-sama mendapat dana dari universitas dan fakultas. Bedanya, PS-TPHP mendapatkan tambahan dana dari hibah kompetisi, proyek penelitian, dan donatur. Sayang, Heri tak mencantumkan data kuantitas sehingga sulit untuk diperbandingkan. Sementara itu, dalam penyediaan sarana dan prasarana, keduanya sama-sama memiliki kendala, seperti kurang memadainya akses internet bagi mahasiswa serta kurangnya literatur.

Faktor ketiga, sikap kelompok sasaran. Menurut penilaian Heri, PS-TPHP dan JIK memiliki perbedaan. Mahasiswa PS-TPHP dinilai memiliki tingkat pemahaman, antusiasme, serta keterlibatan yang cukup baik terhadap kebijakan sistem jaminan mutu dibanding JIK. Itu terlihat dari keterlibatan mahasiswa dalam proyek penelitian dosen. Di PS-TPHP, mahasiswa terlibat hampir di setiap proyek penelitian dosen, sedangkan di JIK ada kalanya mahasiswa dilibatkan, tetapi tidak sering.

Skripsi ini juga mengungkapkan, perbedaan kualitas implementasi kebijakan pada PS-TPHP dan JIK dipicu perbedaan waktu pelaksanaan awal kebijakan. PS-TPHP memulainya pada 2000, sedangkan JIK pada 2002 ketika instruksi dari universitas dikeluarkan. Berhasilnya PS-TPHP mendapat proyek Quarterly Economic Update dari Bank Dunia menjadi latar belakang pelaksanaan sistem jaminan mutu sejak dini. Terlepas dari itu, sederet kekurangan dalam implementasi kebijakan masih harus dikoreksi. Di antaranya, sosialisasi yang kurang efektif dan partisipasi aktif dari kelompok mahaiswa yang minim.

Menuntaskan skripsi ini, terbaca betapa Heri cukup akurat dalam penyajian data, sekalipun ia cenderung melakukan perbandingan kebijakan antara PS-TPHP dan JIK. Tentu itu berbeda dari tujuan penelitiannya semula yang lebih memfokuskan diri pada proses implementasi semata. Meski demikian, skripsi ini bermanfaat atas hasil evaluasinya terhadap implementasi kebijakan sistem jaminan mutu UGM, terkhusus PS-TPHP dan JIK.

Di luar substansi tersebut, sesungguhnya secara implisit Heri ingin mengatakan: evaluasi kebijakan bisa lebih objektif jika tidak hanya dilakukan universitas, tetapi juga keterlibatan mahasiswa sebagai penerima kebijakan. Dan, penulisan skripsi ini adalah wujud pembuktiannya. Bagaimana? [ ]

Page 72: Balkon spesial 2010 majalah

72

APRESIASIAPRESIASI

Kocap Kacarita:

Ketika Togog lan Mbilung Bersenandung

Page 73: Balkon spesial 2010 majalah

73

Ekshibisi bunyi yang berfusi dengan tradisi itu tampil manis tanpa tercerabut dari esensi.

SEPASANG muda-mudi berjalan perlahan dari tempat parkir Pasar Seni Gabusan (PSG) melewati gang kecil yang terbentuk oleh sekumpulan mobil Volkswagen Tipe 2, nama autentik dari VW Kombi. Himpunan kendaraan roda empat itu berjajar rapi menghasilkan garis imajiner. Langkah mereka terhenti, keduanya lantas bertepuk tangan dan memberikan apresiasi kepada musisi di atas panggung laiknya sekelompok orang yang turut hadir di sana. Sepuluh meter dari tempat mereka berdiri terpancang baliho yang menginformasikan denah empat panggung yang ada di PSG.

Kemudian, pasangan ini meneruskan langkahnya menuju depan panggung yang berlatar sebuah banner. Foto hitam putih tiga anak berpakaian abdi dalem sedang membuat vas dari logam. Serta seorang lagi berpakaian ala keluarga sultan hendak menyeruput minuman dari cangkir keramik, menghiasi banner berukuran sekitar 10×15 meter itu.

Setibanya di depan panggung mereka lantas lesehan, berhadapan dengan speaker. Mendengarkan melodi via speaker cukup membuat dada mereka seolah ikut bergetar. Sesaat gerimis pun turun. “Kelompok Jazz selanjutnya akan tampil istimewa,” ujar Master Ceremony (MC) ditengah suara rintik hujan. Jika beberapa band tampil tanpa vokalis, lain halnya dengan Das Smoothly.

Sore itu (21/11) hujan dengan ogah-ogahan melebat, ia tampak segan menemani pasangan tadi. Pandangan mereka tertaut pada gerak-gerik Das Smoothly yang masih mempersiapkan diri di panggung Basiyo. Sang Pemudi berkaos abu-abu berbalut jaket hitam bertudung itu berujar, ”Eh, mbaknya yang jadi MC nyanyi lho!” Alih-alih turun dari panggung setelah memanggil Das Smoothly, MC justru statis di tempat. Bahkan sesudah intro MC turut bernyanyi. Ternyata vokalis Das Smoothly tak lain adalah Anita, Sang MC sore itu. Selain Das Smoothly, ada enam band lain yang turut berpartisipasi dalam album kompilasi Ngayogjazz yang digelar sejak pukul 16.30 itu. Mereka adalah The Quartet, Funkyman, Mid Season, Living Room, Yovia Project, dan Mr. Dance and Jazz Legazy.

Tiba azan Maghrib berkumandang, sesi peluncuran album kompilasi Ngayogjazz pun dipause sejenak.

Dua kawula muda tadi beranjak dari tempat duduknya menuju mushola yang tak jauh dari panggung. Meninggalkan sepetak area berwarna abu-abu yang tak tersentuh rintik-rintik hujan.

Ngayogjazz ini dibuka dengan penampilan Jur@sik Brass Band ISI Yogyakarta featuring Farah Di dengan lagu Frank Sinatra, New York New York. Sayang penampilan apik mereka di panggung Cokrowarsito harus terhenti selama lima menit karena genset yang rusak. Namun di tengah keheningan, salah satu pemain saxophone Jur@sik Brass Band ISI memainkan Taps, melodi yang dikenal sebagai pengantar pemakaman militer. Kontan hal ini memicu tawa dan tepuk tangan penonton. Sebagai obat penawar kecewa penonton, Farah Di pun menyanyikan Pesisir Pantai dengan performa yang prima.

Pembukaan Ngayogjazz Bantul 2009 resmi terselenggara selepas penampilan Jur@sik Brass Band dan Farah Di. Saat itu Wakil Bupati Bantul, Sumarno, ditemani Djaduk Ferianto memulai secara simbolis dengan tabuhan gong di atas panggung Cokrowarsito. Terlibatnya Pemerintah Kabupaten Bantul dalam terselenggaranya pertunjukan jazz tahun ini membuat nama “Bantul” tercantum di belakang “Ngayogjazz”.

Acara ini diselenggarakan sebagai ajang silaturohmi budaya yang bertujuan untuk menciptakan dinamika seni yang harmonis. Harapannya, pagelaran ini mampu mengarahkan budaya lokal ke arah global. “Pentas ini juga mampu menjadi magnet dalam meningkatkan pariwisata di Gabusan, dan Indonesia pada umumnya,” ungkap Sumarno.

Ngayog Jazz Bantul 2009 sendiri tetap berusaha mempertahankan keunikan dengan menggelar pasar Jazz. Festival yang dilangsungkan pada hari sabtu itu

Penulis: Rifki Akbar PratamaFotografer: Barlian

Page 74: Balkon spesial 2010 majalah

74

juga menampilkan Egrang, Hadrah, serta Jathilan disela alunan musik jazz. Konsep ini bertujuan untuk menyuguhkan perkawinan budaya lokal dengan pentas musik jazz.

Perihal pengambilan tokoh Togog dan Mbilung sebagai logo ternyata bukan pemanis belaka. Kedua tokoh dalam budaya jawa ini sering disebut sebagai dewa ngejawantah, lantaran tugasnya untuk berbaur dengan rakyat jelata. Ihwal itulah yang selalu dimunculkan dalam Ngayogjazz sebagai bentuk hibridisasi antara musik jazz dengan unsur tradisional. Fritz Thom, Ketua International Jazz Festivals Organization, mengatakan bahwa hal itu menjadi faktor yang membuatnya tertarik menyaksikan Ngayogjazz Bantul 2009.

Begitu pula dengan slogan “Jazz Basuki Mawa Beya”, plesetan dari Jer Basuki Mawa Béya, yang merupakan tema utama Ngayogjazz Bantul 2009 ini juga tak asal comot. Slogan yang dalam bahasa Indonesia berbunyi: Jika ingin mendapatkan kesenangan, maka diperlukan sebuah pengorbanan.

Senada dengannya, dalam menikmati Ngayogjazz Bantul 2009 pun memerlukan pengorbanan tersendiri. Salah satunya adalah kemauan dari komunitas Jazz Indonesia untuk menerima tradisi dan nilai baru, maupun waktu serta tenaga bagi penikmat jazz yang hadir hari itu.

Tatkala jeda untuk sholat maghrib berakhir, panggung Basiyo pun kembali ramai diserbu pengunjung. Komcunitas Jazz Kemayoran (KJK) juga terlihat siap untuk menunjukkan aksinya di panggung. Penampilan KJK sendiri cukup unik karena salah satu anggotanya, Beben, selalu menceritakan sejarah singkat musik jazz disetiap pergantian lagu.

Di sisi lain, beberapa penonton tampak mengikuti gerombolan pemusik Hadrah menuju panggung Condrolukito. Sementara di atas panggung, I Wayan Sadra & Sono Seni Ensembel sudah siap menghibur penonton. Harmoni yang mereka persembahkan cukup memikat pengunjung untuk mendekat. Namun disayangkan, jadwal yang berbenturan membuat penonton tidak mampu menyaksikan kepiawaian salah satu pianis muda Indonesia, David Manuhutu, di panggung Basiyo.

Page 75: Balkon spesial 2010 majalah

75

Seusai penampilan I Wayan Sadra & Sono Seni Ensembel, acara dilanjutkan dengan penampilan band Malaysia, BassGrOove 100. Hubungan kultural Indonesia dengan Malaysia yang akhir-akhir ini memanas tak lantas membuat penonton segan. Justru sebaliknya, permainan mereka mampu menyita mata dan telinga ratusan pengunjung. Semangat pengunjung semakin meletup ketika MC menyebutkan penampil berikutnya, Trio ABG: Arief Setiadi, Bintang Indrianto, dan Garry Herb yang akan menyandhing Dewa Budjana.

Tak jauh dari lokasi tersebut, panggung Kusbini siap menyambut aksi Syaharani and the Queenfireworks (Esqi:Ef). Maka penonton beranjak memadati area depan panggung hingga jalan kecil yang menjadi rute pawai Egrang. Penampilan Esqi:Ef dengan sinkopasinya pun menghipnotis penonton yang kebanyakan wanita. Keriuhan pengunjung menjadi-jadi ketika Syaharani membawakan lagu A White Shade of Pale yang diminta oleh beberapa penonton. Sayangnya genset yang nakal kembali berulah, akibatnya performa Esqi:Ef ditutup dengan hambar. “Performa Syaharani diakhiri dengan hal yang janggal, listrik mati,” imbuh Titis Intan Permana, mahasiswi Jurusan Antropologi UGM 2007.

Genset yang bandel membuat penonton berangsur pindah. Bersamaan dengan para pemain egrang, mereka menuju panggung utama, Cokrowarsito. Disana tampak dua musisi Austria, Harri Stojka dan Claudius Jelinek, yang sudah berada di atas panggung. Saat keduanya asyik menyiapkan gitar, genset di panggung Kusbini yang rewel telah hidup dan kembali menemani penampilan Purwanto dan Kua Etnika. Beberapa penonton pun beranjak menikmati performa gabungan musisi lokal tersebut . Namun, banyak pula penonton yang ingin memastikan posisi

terbaik mereka kala Dwiki Darmawan dan Dewa Budjana tampil di panggung Cokrowarsito. Selain itu panggung Cokrowarsito juga dimeriahkan dengan alunan duet gitar Harri Stojka dan Claudius Jelinek yang melebur dalam aroma gipsi dan sentuhan jazz.

Pada pukul 00.30, penampil yang paling ditunggu, Dwiki Darmawan dan Dewa Budjana, naik ke atas panggung. Pertunjukan mereka dibuka dengan lagu Numfor oleh Dwiki yang memainkan vocoder—keyboard yang dilengkapi dengan microtuning. Euforia mencapai klimaks ketika Dwiki beralih ke keytar—instrument keyboard yang berbentuk gitar— dan berduet dengan Budjana. Aksi yang apik itu diakhiri lagu Ilir-ilir dan Gelang Sipatu Gelang dengan menyandhing Peni Candra Rini dari Sonoseni Ensamble.

Pada dasarnya, Ngayogjazz selalu diadakan di lokasi yang dekat dengan rakyat. Hal ini terinspirasi dari citra Togog dan Mbilung. Terlebih lagi pesta rakyat nan megah itu sepenuhnya cuma-cuma, segratis air hujan yang turun pada saat itu. Diharapkan para penggagas musik tidak berwatak durjana laiknya raja yang selalu dikawal Togog dan Mbilung. Sehingga festival musik pun kembali ke arti harafiahnya: nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan. Hal ini menjadi sentilan yang cukup dahsyat bagi penyelenggara musik serupa yang masih berorientasi profit semata. Bagaimana dengan Universitas Kerakyatan kita? [ ]

Page 76: Balkon spesial 2010 majalah

76

DIALEKTIKA

MEMBINCANGKAN realitas yang berlangsung di sekitar kita, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan tanda-tanda di baliknya. Dalam hal ini, tanda merupakan bagian yang integral, melekat, dan menyusun keberadaan realitas itu sendiri. Dikatakan integral karena tanda merupakan jalan utama yang dapat digunakan dalam membaca realitas.

Proses pemaknaan tanda tampaknya bukan menjadi hal baru di kalangan komunitas atau mereka yang bergelut dengan isu-isu seputar budaya. Di dunia akademis, hal ini biasa dibahas dalam kajian semiotika. Hal inilah yang menjadi fokus kajian dalam diskusi rutin BPPM BALAIRUNG UGM. Dengan mengangkat judul “Ruang-Ruang yang Dijejali ‘Tanda’ dan ‘Kenikmatan’ Membacanya”, dalam makalahnya, Nurhikmah, mahasiswa S2 Ilmu Religi Budaya Universitas Sanata Dharma, yang juga alumni UGM, mengajak untuk membincangkan tema seputar cultural studies di Bulaksumur B-21, Jumat sore (13/11).

Sebagai pemantik diskusi, Hikmah mengetengahkan pisau analisis yang coba digunakannya. Dalam hal ini, ia mengerangkai analisis dengan memakai pandangan Roland Barthes, filsuf kontemporer dan semiolog asal Perancis. Hikmah mengungkapkan, tanda dapat dijumpai dalam realitas. “Kita bisa melihat fenomena yang terjadi di sekitar kita sebagai tanda dan interaksi antartanda,” ungkap Hikmah. Ia melanjutkan, menurut Barthes, kaitan antara tanda dan hubungannya dengan berbagai tanda tidak berada pada posisi otoritatif. Artinya, antara satu tanda dan tanda lainnya memiliki posisi yang sama dan tidak saling mengalahkan. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap tanda memiliki kebebasan untuk dibaca dan dimaknai oleh setiap subjek.

‘Tanda’ yang TerserakBudaya merupakan interaksi bermacam

tanda. Ada kenikmatan dalam membacanya.

Tanpa sadar, mahasiswa dipaksa untuk menjalankan sebuah

ideologi yang dibalut dengan penelitian. Ini merupakan

persoalan yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

Penulis: Ahmad Baiquni

Memaknakan

Page 77: Balkon spesial 2010 majalah

77

Selanjutnya, Hikmah mengungkapkan, penggunaan tanda-tanda merupakan sebuah praktik kehidupan yang menghasilkan makna, atau pertukaran tanda untuk menghasilkan makna dan mengungkapkan diri. Ini merupakan perwujudan budaya. Lantas, penggunaan tanda akan memudahkan kita dalam memahami budaya. Ini dicapai dengan melihat proses peralihan tanda. Hal ini melekat dengan kehidupan manusia dan dapat dilihat dalam beberapa isu, misalnya “Ideologi dan Dunia Pendidikan”.

Dalam dunia pendidikan, banyak sekali fenomena yang menarik diamati. Hikmah pun berargumen bahwa saat ini kampus sebagai wujud nyata pendidikan, telah menjelma menjadi panoptikon tentang sebuah kegiatan pembelajaran. Hikmah menegaskan, “Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penelitian yang melibatkan mahasiswa. Tanpa sadar, mahasiswa dipaksa untuk menjalankan sebuah ideologi yang dibalut dengan penelitian. Ini merupakan persoalan yang tidak dapat dipandang sebelah mata.”

Selain itu, masyarakat konsumsi merupakan potret nyata adanya pertukaran tanda. Ini merupakan gejala yang sangat erat melekat dalam kehidupan masyarakat modern. Kecenderungan selalu mengejar hal baru yang berwujud nyata dalam produk merupakan karakter dominan modernitas. “Salah satu gejala yang tidak bisa lepas dari ingatan saya terdapat dalam geliat perfilman. Orang rela bergumul di ruang bioskop termewah untuk menonton film tertentu yang dikabarkan sangat fantastik. Ini merupakan gejala masyarakat modern yang tidak ingin ketinggalan momen teranyar,” ungkap Hikmah. Dengan begitu, masyarakat tanpa sadar menjadi sasaran empuk kaum kapitalis yang meraup keuntungan dari fenomena itu.

Terkait judul, Iryan Ali Herdiansyah, mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah 2005, bertanya tentang alasan kenikmatan membaca tanda. “Segala realitas yang terjadi di sekitar kita merupakan fenomena sosial dan

budaya. Jika dipandang sebagai tanda, maka mengapa kita harus menikmati tanda?” tanya Iryan. Hikmah menanggapinya dengan mengatakan bahwa segala sesuatu harus dinikmati. “Dengan penikmatan itu, kita tidak akan sekadar mengikuti wacana-wacana besar. Selain itu, kita juga dapat merasakan sesuatu yang lain dari kenikmatan membaca tanda,” ujar Hikmah. Ia lalu menjelaskan, segala sesuatu tidak mengandung pemaknaan tunggal karena keberadaan tanda bersifat tidak otoritatif. Keberadaan zaman saat ini, menurut Hikmah adalah sebuah contohnya.

Di sisi lain, Muhammad Ghofur, mahasiswa Jurusan Sosiologi 2006, tidak setuju dengan sifat tanda yang tidak otoritatif. Menurutnya, dalam semiotika, pembacaan tanda justru membuka peluang bagi subjek untuk melakukan upaya otoritatif dalam membaca tanda. Maka, semiotika tidak dapat dijadikan patokan utama dalam melihat realitas.

Menanggapi hal tersebut, Ahmad Musthofa Haroen, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi 2007 mengatakan bahwa tanda mengandung dua posisi, sebagai penanda dan pertanda. “Apakah posisi antara penanda dan pertanda itu setara?” tanyanya.

Hikmah menanggapi bahwa keduanya setara sehingga membuka peluang setiap orang untuk melakukan pemaknaan. Maka, pemaknaan terhadap tanda sepenuhnya terdapat pada subjek. “Bahkan dalam pandangan Barthes, peran pencipta tanda itu hilang manakala tanda sudah hadir berwujud. Semuanya bergantung pada subjek pembaca,” jelas Hikmah.

Adapun Danu Damarjati, mahasiswa Fakultas Filsafat 2007, mempersoalkan proses pemaknaan dalam semiotika. “Sejak awal, pemaknaan dalam semiotika bersifat subjektif. Jika pemaknaan itu subjektif, bukankah akan memunculkan hegemoni?” tanya Danu. Hikmah lalu berpendapat bahwa justru pemaknaan yang objektif harus dihindari. Sebab, katanya, hal itu dapat menutup kanal-kanal kebenaran yang lain.

Karena manusia tidak bisa lepas dari tanda, maka sebenarnya setiap kebudayaan memiliki cara khusus dalam membaca dan memaknai tanda. Imam Ghozali, salah satu peserta diskusi yang juga santri di sebuah pondok pesantren di Krapyak, Bantul, mengungkapkan, sebenarnya telah sejak lama masyarakat Jawa memiliki model kajian semacam semiotika. Kajian itu lebih dikenal dengan “Ilmu Titen”. “Ilmu Titen juga memiliki sistematika yang hampir mirip dengan sistematika dalam kajian semiotika. Hanya saja, masyarakat tidak begitu mengenal kajian ini karena ada pergeseran pengetahuan dari tradisional ke modern yang lebih banyak diidentikkan dengan tradisi barat,” ungkap Imam.

Hikmah pun menambahkan, semiotika bukanlah upaya untuk memunculkan kebenaran tunggal, melainkan kajian yang mencoba mengangkat wacana-wacana kecil di seputar pemaknaan tanda yang selama ini keberadaannya tidak diakui. “Hal ini penting diterapkan agar kita tidak terjebak pada wacana tunggal. Sehingga, pengetahuan yang kita dapatkan dapat lebih menyeluruh karena berasal dari berbagai sumber kebenaran,” tukas Hikmah menutup diskusi. [ ]

Sejak awal, pemaknaan dalam semiotika bersifat subjektif. Jika pemaknaan

itu subjektif, bukankah akan memunculkan hegemoni?

Page 78: Balkon spesial 2010 majalah

78

LAPORAN KHUSUS

REFORMASI 1998 yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan menjadi titik balik perjuangan pers mahasiswa (persma). Kala itu, Orde Baru (Orba) memasung kebebasan pers. Pers dibungkam dan dijadikan alat oleh rezim dalam melanggengkan status quo. Persma pun berperan sebagai pers alternatif. Berbagai regulasi dan pembatasan terhadap pers umum tak berlaku bagi persma saat itu. Peran persma sebagai media alternatif dan kontrol kekuasaan pun diakui publik pada masa itu maupun sekarang.

Reformasi telah meniupkan angin kebebasan pers. Sejak 1998, pers umum dibebaskan untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah, membela hak asasi manusia, serta memperjuangkan kebebebasannya. Reformasi telah memungkinkan pers umum mewujudkan peran dan fungsi idealnya sebagaimana dilakukan persma pada era Orba.

Liberalisasi pers justru menggiring

media berpihak kepada modal dan pemiliknya. Maka, pers mahasiswa

harus meneguhkan jalannya menjadi

pers alternatif yang berpihak kepada

rakyat.

Menggagas Jalan Baru Pers Mahasiswa

Penulis & fotografer: Wisnu Prasetya Utomo & Achmad Choirudin

Page 79: Balkon spesial 2010 majalah

79

Kebebasan pers sebagai wujud demokratitasi yang diusung reformasi lantas menjadikan persma kembali ke kampus. Berlangsungnya kebebasan pers merupakan dasar reorientasi persma yang pada era Orba menjadi media alternatif. Persma pun bergeser ke media komunitas terdekatnya, kehidupan sivitas akademika. Sayang, ketika menjadi media komunitas kampus, persma cenderung mementingkan fungsi informasi belaka. Reorientasi ini pun kerap dinilai sebagai kemunduran persma dengan nilai kritisnya.

Padahal, di satu sisi, negara masih saja menunjukkan laku-laku penindasan terhadap rakyat, yang tentu berwajah lain dari Orba. Orba melancarkan penindasannya secara sistemik dan menyeluruh secara nasional. Sedangkan kini, penindasan itu terjadi secara sektoral, kewilayahan, dan banyak ditunggangi kepentingan industri. Di lain pihak, pers umum justru tidak mampu memerankan fungsi persma (di era Orba) sepenuhnya. Mereka tidak sepenuhnya berpihak kepada rakyat.

Kebebasan pers juga dimaknai lain oleh pers itu sendiri. Liberalisasi politik yang dibarengi liberalisasi pasar ternyata menggiring pers terjebak pada logika bisnis. Kini, pers umum cenderung mementingkan fungsi jualan ketimbang fungsi sosial. Dengan kata lain, jika pada era Orba pers umum didikte negara, kini mereka didikte modal.

Penyakit itu kian kompleks ketika kepentingan pasar bertumpang tindih dengan kepentingan politik pemilik media. Banyak media pers umum yang menjadi corong pemiliknya, baik pada level nasional maupun lokal. Muatan informasi yang diusung pun cenderung mengelite dan menafikan fenomena-fenomena ketidakadilan yang terjadi pada level grass root.

Fenomena ini menjadikan persma untuk kembali meneguhkan fungsi alternatifnya.

Landasan itu pulalah yang mendasari diadakannya Pekan Nasional Pers Mahasiswa (Pena Emas) 2009. Agenda yang dimotori Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Catatan Kaki (CAKA) Universitas Hasanudin itu digelar di Makassar, 9–17 November, dan mengambil tema “Jurnalisme Advokasi: Jalan Baru Pers Mahasiswa”. Harapannya, momen yang mengumpulkan persma se-Indonesia itu mampu berperan sebagai pengingat tanggung jawab sejati persma.

Seperti diungkapkan Ketua CAKA Asri Abdullah, jurnalisme advokasi dijadikan tema besar karena ada misi yang ingin ditegaskan. Misi itu juga menjadi tawaran reposisi gerakan persma. Gagasan ini didasarkan pada karakteristik kesejarahan persma yang pada awal abad XX menjadi manifestasi perjuangan melawan kolonialisme. Karakteristik tersebut seharusnya tetap bertahan hingga sekarang. Apalagi penindasan negara dan pasar terhadap rakyat masih terus terjadi. “Persma harus berjalan seiring dengan rakyat untuk melakukan perlawanan. Itulah fungsi persma,” tambah Aco, sapaan akrabnya.

Gagasan mengenai jurnalisme advokasi sendiri didasari oleh keresahan terhadap kondisi pers umum. “Pers umum yang seharusnya menjadi corong suara masyarakat justru berpihak pada para pemilik modal,”

ujar Aco. Berita-berita yang ditampilkan jelas sekali menunjukkan kepentingan pemiliknya. Contoh paling mutakhir terlihat ketika Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar berlangsung. Kala itu, tampak tersurat persaingan antara dua stasiun televisi yang masing-masing membela pemiliknya, yang kebetulan bersaing dalam Munas.Taufik, ketua panitia Pena Emas 2009, menambahkan, banyak berita-berita mengenai penderitaan rakyat yang sengaja ditutup-tutupi pers umum. Maka tidak ada pilihan lain, persma harus menjadi media counter opinion bagi pers umum. “Persma harus berpihak kepada rakyat,” tegasnya.

Rekomendasi Pena Emas 2009

Pena Emas 2009 terdiri dari serangkaian kegiatan. Hari pertama dan kedua diisi dengan seminar nasional tentang media. Sekaligus pembukaan, seminar hari pertama mengusung tajuk “Membongkar Mitos Netralitas Media”. Seminar yang berlangsung selama lima jam ini menghadirkan aktivis pers nasional Satrio Arismunandar dan Dandhy Dwi Laksono, aktivis persma M. Chairil Akbar, dan akademisi media Eni Maryani.

Seminar tak hanya mengkritisi performa media mainstream yang semakin hari kian menunjukkan keberpihakannya pada modal dan pemiliknya. Tapi, masing-masing pemateri memberikan rekomendasi posisi dan fungsi persma ke depan. Dandhy, misalnya, setelah memaparkan permainan modal industri media yang dikuasai beberapa orang saja, merekomendasikan “empat sehat lima sempurna” peran persma. Menurutnya, tahapan fungsi sehat peran persma antara lain melayani informasi komunitasnya, menjadi kuasi jurnal ilmiah atau jurnal ilmiah populer, menjadi watchdog institusi kampus, dan advokasi masyarakat sekitar kampus. Setelah empat tahap itu dilakukan, maka pengawas bagi media mainstream merupakan puncak yang menyempurnakan peran persma dalam konteks kekinian.

Keesokan harinya, diadakan seminar “Sejarah Fungsi dan Peran Pers Mahasiswa Indonesia”. Bony Triyana, Rum Aly, dan Rahmad M. Arsyad didatangkan untuk menyampaikan materi tentang pers(ma) dari alur sejarahnya. Bahasan seminar kedua ini tak jauh beda dari sebelumnya. Konglomerasi media masih menjadi topik panas. Kritik dan otokritik terhadap persma tak luput dibincangkan. Bony menekankan pentingnya skill kepenulisan yang harus dikuasai para aktivis persma sebagai modal utama gerakan.

Kegiatan selanjutnya adalah Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL). Dalam PJTL, peserta mendalami materi jurnalisme advokasi. Untuk teori, peserta didampingi para pemateri berkompeten, antara lain dosen Jurusan Komunikasi Unhas, Pemimpin Redaksi acehfeature.org Linda Christanty, staff INSIST Shaleh Abdullah, dan jurnalis senior Makassar. Selain kajian teoretis, PJTL mengajak peserta untuk praktik lapangan dengan melakukan liputan berbasis advokasi.

Tidak tanggung-tanggung, fokus liputan advokasi dikonsentrasikan ke daerah konflik Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Sejumlah warga daerah di selatan

Page 80: Balkon spesial 2010 majalah

80

Makassar itu mengalami konflik berkepanjangan dengan PT Perkebunan Nusantara XIV. Keluaran dari PJTL adalah kumpulan tulisan dari hasil liputan yang bakal dijadikan buletin. Harapannya, dengan liputan advokasi, peserta tak hanya dilatih menghasilkan tulisan jurnalistik alternatif, tapi juga melakukan pendampingan langsung kepada warga yang tertindas.

Untuk mengobarkan semangat jurnalisme advokasi, landasan keberpihakan mutlak menjadi syarat utama. “Persma harus berpihak kepada mereka yang tertindas dan tidak memiliki akses,” ujar Linda Christanty. Mantan jurnalis PANTAU itu juga menegaskan, setelah keberpihakan jelas, akan semakin mudah menerjemahkan ke dalam bentuk liputan dan tulisan. Bentuk penerjemahan tersebut dapat dituangkan dalam gaya penulisan, penentuan narasumber, serta data-data yang dipilih untuk ditayangkan.

Rangkaian kegiatan Pena Emas ini ditutup dengan malam Tudang Sipulung (17/11). Tudang Sipulung adalah istilah Bugis yang berarti berkumpul bersama untuk membicarakan permasalahan. Forum ini disediakan khusus guna memetakan berbagai permasalahan yang dialami persma. Lima puluh orang yang mewakili tiga puluh dua persma dari seluruh Indonesia duduk bersama membahas permasalahan yang melanda kehidupan persma masing-masing dan persma di Indonesia secara umum. Tujuannya tak lain memperoleh solusi dari forum bersama itu.

Di malam Tudang Sipulung, setiap perwakilan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) diberi kesempatan untuk curhat. Juneka Subaihul Mufid, aktivis LPM Inovasi UIN Malang dengan nada getir mengungkapkan, terjadi penurunan kualitas wacana serta semangat berorganisasi di LPM-nya. “Beberapa pengurus harus pontang-panting menghidupi organisasi,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan Harris, aktivis LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta. Sampai saat ini, Didaktika dihidupi tujuh mahasiswa saja. “Mau bagaimana lagi, baik aktivitas penerbitan maupun pembentukan wacana harus kami kerjakan,” katanya. Tapi Harris tidak menganggap itu sebagai masalah besar.

Masalah berbeda diungkapkan Maulana, aktivis Unit Penerbitan Pers Mahasiswa (UPPM) Universitas Muslim Indonesia (UMI). Di kampusnya, yang menjadi hambatan bagi perkembangan persma justru birokrat kampus. “Sampai saat ini, kami masih menghadapi ancaman pembredelan dari birokrat kampus dan aparat kepolisian,” ungkapnya. Represivitas itu terjadi karena UPPM terus melancarkan kritik yang keras di tiap tulisannya. “Beberapa saat lalu bahkan sekretariat kami sering didatangi intel kepolisian,” tambahnya.

Ruang BersamaSetelah sesi curhat rampung, bahasan di Tudang

Sipulung bergulir ke arah penyatuan persma nasional. Lantas, forum mencari wadah yang representatif untuk persma se-Indonesia. Peran dan fungsi Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Indonesia (FKPMI) pun tak luput

Page 81: Balkon spesial 2010 majalah

81

disinggung. Ini karena kedua wadah itulah yang kini menjadi ruang representatif persma nasional.

Forum menghangat saat kritik atas kedua wadah itu dilontarkan. Forum kian memanas lantaran banyak peserta yang belum kenal kedua wadah tersebut. Perdebatan sempat terjadi antara mereka yang pro dan kontra terhadap FKPMI. Aang, aktivis Bahana Universitas Riau, mengatakan, FKPMI dibutuhkan persma sebagai ruang komunikasi yang bebas ikatan struktural. “Persma butuh ruang bersama yang bebas dari ketegangan. FKPMI menyediakan ruang itu,” jelasnya. Selama ini, ketegangan hubungan memang seolah menghinggapi persma di Indonesia. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari pilihan persma untuk bergabung atau tidak dalam PPMI.

Namun, hal itu dibantah Dhani, aktivis LPM Tegalboto Universitas Jember. Baginya, persma tidak butuh membentuk forum baru. “Sudah banyak forum seperti ini, tapi tidak pernah ada tindak lanjut

yang jelas,” tegasnya. Dia juga menambahkan bahwa forum baru justru bisa saling menghancurkan hubungan antarpersma. Reza Putra, aktivis UKPM pun menanggapi. “Kalau begitu, justru seharusnya kita melanjutkan FKPMI supaya ada konsistensi,” tegasnya. Apalagi, niat FKPMI bukanlah menjadi tandingan bagi PPMI. Karena itu, semua persma tanpa memandang ia anggota PPMI atau bukan, bisa mengikuti forum ini dengan bebas.

Akhirnya, para peserta sepakat untuk melanjutkan FKPMI sebagai ruang bersama persma se-Indonesia. Awalnya, FKPMI dibentuk melalui kesepakatan persma yang menghadiri acara sarasehan persma se-Indonesia Juni lalu di Yogyakarta. Forum bersama ini dapat diikuti melalui alamat [email protected]. Selain untuk memecah kebekuan hubungan, FKPMI diharapkan dapat menjadi sarana konsolidasi bagi persma se-Indonesia untuk menyatukan sikap dalam perjuangan menjadi pers alternatif yang menyuarakan kebenaran. [ ]

Page 82: Balkon spesial 2010 majalah

82

APA yang salah dengan kedatangan Clara ke Pulau Lontor? Bukankah wanita berusia lima belas tahun itu sekadar ikut mamaknya berdagang di tanah Lontor? Tetapi, cerita menjadi lain saat kedatangan Clara di tanah Lontor itu karena ada dua orang pemuda yang mendekatinya. Tambera dan Kawista. Mereka menaksir Clara. Ketika itu usia enam belas tahun sudah wajar menikah. Sayangnya, Clara adalah gadis Amsterdam, dan Mamak Van Speult tidak menyetujui dua orang Lontor itu mendekati kemenakannya.

Clara telah mengubah keadaan di tanah Lontor. Kehadirannya telah menjadikan pendapat masyarakat terbelah dua. Yang pertama, masyarakat Lontor menganggap biasa saja atas kehadirannya, terutama kelompok adam. Kedua, kaum ibu-ibu yang tidak senang atas kedatangannya di tanah Lontor. Clara telah memikat perawan dan bujang Lontor untuk meniru gaya hidup Clara. Semisal, Tambera ingin bisa membaca buku, seperti halnya yang dilakukan Clara setiap hari bersama mamaknya. Atau, Riwoti merengek pada ibunya agar bisa berpakaian seperti yang dipakai Clara yakni destar remaja Eropa abad XVII.

Alamak bukan kepalang senangnya para ibu ketika tahu bahwa Clara hengkang dari tanah Lontor untuk menetap di

Lanun

INTERUPSI

Foto

: Ach

mad

Cho

irud

in

Page 83: Balkon spesial 2010 majalah

83

Kediri. Dagang. Kegembiraan dan kekhawatiran ibu-ibu memang beralasan. Siapa lagi yang menjaga adat kalau bukan ibu? Karena itu, Clara tak pantas tinggal di tanah Lontor dan kepergiannya wajib untuk dirayakan.

Rupanya rombongan Clara pun tak sekadar membawa nafas perubahan gaya hidup soal style. Clara bersama rombongan kongsi dagang mamaknya membawa misi penting ke tanah Lontor yaitu bertukar hasil panen masyarakat Lontor dengan pernak-pernik yang dibawa dari Eropa. Barter. Tetapi, kedatangan rombongan mamak Clara tidak lagi memberlakukan pertukaran barang yang seperti dilakukan bangsa Spanyol, Portugis, atau Inggris di tanah Lontor. Ketiga negara itu bertukar pala hanya dengan kain atau pakaian untuk bisa dikenakan masyarakat Lontor. Rombongan kongsi dagang Amsterdam VOC memberlakukan uang.

Bagi penghuni Lontor, Belanda mengawali model pertukaran antara hasil kebun atau ternak dengan barang yang dibawa dari Eropa yakni receh. Uang. Pada awalnya, masyarakat tidak mengerti mengapa harus uang sebagai alat tukar. Tetapi, semua itu bisa langsung menjadi mafhum setelah Van Speult bersama kemenakan Clara menjelaskan mengapa uang itu penting. Setidaknya, alat pertukaran bisa menjadi lebih rasional dan ada nilai ukur yang jelas.

Masyarakat pun memaklumi keberadaan recehan tersebut, dan dengan tangan terbuka menerima gagasan baru tentang model pertukaran yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Bahkan, masyarakat menyetujui adanya pasar sebagai senter pertukaran barang kebutuhan. Di tepi pantai didirikanlah pasar. Masyarakat Lontor pun tidak lagi langsung menukarkan hasil panen pala ke rumah Van Speult.

Itulah sekilas gambaran novel Tambera (1952) buah tangan Utuy Tatang Sontani. Novel itu begitu halus menceritakan kehadiran Eropa. Eropa telah banyak mengenalkan segala hal yang sengaja didatangkan untuk bisa ditukarkan. Sadar tak sadar, kehadirannya membawa aroma ketergantungan bagi masyarakat yang disinggahinya. Dengan demikian, penjajahan pun masuk dengan begitu halus.

Nah, dari cerita novel seperti itu, barangkali sudah semestinya para borjuis berterimakasih pada lanun. Kalau lanun tidak merompak, mungkin tidak ada revolusi kapitalisme dalam masyarakat Barat. Berkat lanun, Eropa pun berhasil dihubungkan dengan peradaban yang pada awalnya dikira tidak ada peradaban selain dunia Barat.

Padahal, sesungguhnya lanun bukanlah pedagang. Lanun hanyalah segerombolan preman yang dibayar kongsi dagang agar bisa memaksa masuk pada tanah yang disambanginya. Lanun juga sekadar sekumpulan preman yang ingin bertobat. Dengan demikian, cara menebus dosanya ialah menyebarkan semangat dakwah di negeri “tak berperadaban”.

Tetapi, lanun tidaklah sekadar menyebar agama, memaksa masuk tanah yang disinggahi untuk mencari emas dan memperluas kejayaan. Justru yang yang paling penting dilakukan lanun di tanah pelabuhannya ialah mengenalkan model kapitalisme ala Barat. Pertama-tama, lanun menyambangi negeri

Timur untuk bisa saling bertukar barang. Pala ditukar pakaian, atau cengkeh diganti sepatu.

Tetapi, rupanya kegiatan barter tidak bisa mengondisikan pertukaran barang yang simpel ala penjelajah Barat. Maka, para lanun mengenalkan uang. Di sini, uang menjadi titik genting bagaimana peradaban yang tidak mengenal alat tukar uang kemudian diuangkan. Lalu uang punya nilai jual yang disesuaikan dengan nilai tukarnya. Uang pun akhirnya menjadi alat monopoli yang sentralistis.

Sesudah bisa menjalin kontak, maka cara kedua yang dilakukan lanun ialah meminta sepetak tanah untuk membangun gudang. Gudang hasil dagangan. Tidak hanya itu. Lanun pun meminta keistimewaan pada penguasa lokal supaya bisa membangun pemukiman dan gudang yang diinginkan. Bermodal koneksi dengan penguasa lokal, selanjutnya, lanun meminta ketentuan bahwa hasil panen pun harus dijual dan masuk dalam daftar gudang.

Kalau lanun sudah merasa nyaman tinggal di tanah peradaban yang “dijarahnya”, maka yang selanjutnya dilakukan ialah memikirkan caranya agar kekuasaannya tetap aman dan hidupnya merasa nyaman. Maka, mengutip France Gouda, yang dilakukan lanun ialah usaha penelitian masyarakat objek jajahan. Dengan begitu, Jawa bisa dengan jamak dilunakkan, Aceh bisa ditundukan dan kekuasaan lain yang mesti diteliti untuk kepentingan administrasi jarahannya. Keempat, langsung atau tidak langsung, lanun telah menebarkan gaya hidup supaya ditiru masyarakat jajahannya. Dari sini para penguasa lokal bisa merasa jamak untuk dibajak. Kapitalisme sudah dikenalkan, gaya hidup dipertontokan, dan penelitian digalakkan.

Lalu, apa yang bisa dianalogikan para ilmuwan kampus dengan lanun? Bukankah lanun telah dikonstruksikan sebagai segerombolan orang yang kerjanya menjarah? Biadab dan kejam? Nalar sehat mungkin masih menolak analogi antara lanun dan ilmuwan kampus. Dan, mengapa mesti disejejerkan untuk bisa diumpamakan mendukung analogi?

Saya malah teringat bahwa masyarakat ilmuwan kampus kerap menyambangi satu desa ke desa berikutnya. Sekadar bertanya atau untuk merasa ikut prihatin. Ini mirip wajah melas lanun untuk bisa mendapat jalin persahabatan dengan masyarakat pulau yang disinggahinya. Apabila sudah demikian akrab, bukankah ilmuwan kampus banyak mengenalkan “istilah” yang bermula dari negara atau pasar. Kehadirannya bisa seperti kepanjangantangan negara dan pasar. Kalau begitu, kira-kira, benar tidak analogi ilmuwan kampus itu sama dengan lanun?

Saya kira, namanya juga analogi. Cerita seorang teman, istilah analogi itu terdiri dari kata “an” dan “logi”. “An” berarti “tidak”, dan “logi” punya arti “logis”. Jadi, analogi ilmuwan kampus dengan lanun tidak logis dong? [ ]

Penginterupsi

Page 84: Balkon spesial 2010 majalah

84

DAPUR

JUDUL buku Manusia Makhluk Gelisah (2006)a, sebuah sintesis pemikiran Teuku Jacob, sekiranya relevan dipakai untuk membaca watak pers mahasiswa. Kait-mengaitnya begini: mahasiswa juga manusia, sehingga otomatis dia menyimpan kegelisahan. Persis di situ kami menempatkan BALAIRUNG yang digiati sekelompok mahasiswa dari generasi ke generasi. Estafet antargenerasi akan tetap mewariskan wataknya yang gelisah. Kegelisahan kami, dan para generasi sebelum kami, salah satunya dapat ditelusuri dari penggarapan BALKON.

Menurut Lukman Haqim Arifinb, dalam istilah “pers mahasiswa”, di satu batin mengandung naluri “pers”: menjalankan fungsi pers secara konsekuen dan independen. Di batin lain yang disenyawakan, dia “mahasiswa”: entitas pelopor perubahan dan pemecah kebekuan. Ini persenyawaan yang merujuk pada ranah kesadaran eksistensial. Wabakdu kalam, catatan historis BALAIRUNG pun melaruti pendulum gerakan mahasiswac yang, menurut Soewarsonod, ditandai sederetan “tonggak” bernamakan “angkatan”.

Artikel Soewarsono berjudul “Gerakan Mahasiswa 1998”, sebuah prolog buku Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa 1998 (1999), mengajukan inti pernyataan yang krusial. Baginya, pembacaan terhadap sejarah gerakan mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari gerakan mahasiswa sebelumnya, terutama “angkatan 1966”. Soewarsono sendiri mangajukan “tonggak-tonggak” yang dimulai dari “angkatan 1908”, “angkatan 1928”, “angkatan 1945”, dan “angkatan 1966”. Ditambah “angkatan 1998” yang dia bahas, semuanya terjalin seperti sebuah “keluarga”.e

Tulisan ini mula-mula memakai analogi “angkatan” semacam itu. Tetapi, lebih dari sekadar analogi, upaya mengonstruksi sejumlah “tonggak” dalam sejarah BALAIRUNG didasari pada betapa memang diperlukan “tonggak” guna membaca karakter dan produk yang digarap pada masa sebelum kami. Juga “ideologi” yang setiap pemeriksa bebas menafsirkan secara subjektif. “Tonggak-tonggak” itu nanti, sedari

awal harus dimengerti, memang “ditonggakkan”. Mereka dikonstruksi. Hasilnya, dimulai dari pertama kali BALAIRUNG sepakat dibentuk: 1985. Di titik inilah “angkatan 1985”. Sementara reorientasi BALAIRUNG pasca-1998 menjadi tonggak kedua. Di sinilah “angkatan 1998”.

***

Dua puluh empat tahun silam, 29 Oktober 1985, tatkala diselenggarakan seminar pers mahasiswa se-UGM, diputuskan bahwa UGM perlu menerbitkan majalah. Momen ini yang kemudian didapuk sebagai hari jadi BALAIRUNG. Ihwal kesepakatan seminar terealisasi ketika Majalah BALAIRUNG terbit pertama kali pada Januari 1986. Nomor perdana itu belum punya izin edar dari pemerintah. Alhasil, masih pada 1986, setelah mengantongi STT (Surat Tanda Terdaftar), Majalah BALAIRUNG kembali dilabeli edisi perdana. “Demi legalnya,” f tulis editorial redaksi saat itu.

Hasan Bachtiar punya gambaran situasi-kondisi kelahiran BALAIRUNG, generasi ketiga pers mahasiswa UGM, di atas. Dengan berpijak dari realitas korporatisasi Orde Baru, BALAIRUNG bersama elemen gerakan mahasiswa diposisikan sebagai kekuatan penggedor pemerintahan.g Pembacaan semacam ini melihat mahasiswa secara konfrontatif atau vis a vis negara. Dalam bahasa Hasan Bachtiar: state-centric-power. Kami kira demikian dapat ditengarai karakter BALAIRUNG sebagai pers mahasiswa yang digagas-rintis “angkatan 1985”, hingga belakangan meletus kekacauan politik pada 21 Mei 1998.

Romantisme keheroikan itu yang kemudian dikritisi gelombang generasi mahasiswa pasca-1998. Penggulingan pemerintahan Soeharto memunculkan pemikiran perlunya reorientasi gerakan mahasiswa, begitu pula BALAIRUNG. Kesimpulan kesan seperti ini hampir disepakati serentetan pegiat BALAIRUNG pasca-1998. Ya, situasi itu cukup membikin gerakan dan pers mahasiswa mulai memikirkan pilihan-pilihan reorientasi yang bakal ditempuh ke depannya.

Memancang Tonggak “Community-Press Online”

DAPUR

Penulis: M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. dan Achmad Choirudin

Page 85: Balkon spesial 2010 majalah

85

Mengapa subjek analisisnya “Laporan Utama”? Rubrik itu merupakan sajian utama BALKON. Saking utamanya, dia sampai digarap dalam dua sudut pandang. Dia tak hanya tulisan berita, tetapi juga “gagasan” yang dimatangkan melalui dialektika, analisis, dan kekritisan BALAIRUNG menyikapi isu seputar kampus. Dia membedah makna dari fakta yang berserakan, yang dalam sekelebat pandangan umum cukup dianggap common sense. Dan, dari tiga puluh enam edisi selama tiga tahun terakhir, terdapat lima kelompok tema. Meskipun sedari mula tak disusun by design, boleh dikatakan itu merupakan misi-media BALKON.

Pertama, kritik (menggugat) liberalisasi dan kapitalisasi kampus (91, 93, 95, 103, 104, 105, 106, 108, 110, 111, 114, 118, 119, 123, 124). Kedua, membangun kesadaran politik sivitas akademika (94, 96, 100, 107, 113, 116, 117, 120). Ketiga, membeberkan centang-perenang sistem dan proses perkuliahan di kampus (97, 98, 102, 112, 115, 121, 122). Ketiganya merupakan tema primer, tema yang paling banyak diangkat. Sementara itu, tema komunitas dan aktivitas kemahasiswaan (101, 109, 125) serta sarana-prasarana kampus (92, 99, 126) menjadi tema sekunder. Keduanya paling jarang di-headline-kan BALKON.

Bagi BALAIRUNG, tepat pada penyelenggaraan sarasehan pers mahasiswa se-Jawa-Bali, 2 November 1998, dipilihlah dua konsentrasi penerbitan. Pertama, community press (pers komunitas) melalui BALKON. Kedua, press of discourse (pers wacana) lewat Jurnal BALAIRUNG.h Majalah tidak lagi diterbitkan, setelah Jurnal BALAIRUNG dipublikasikan pada 2001. Para generasi yang menimbang dua pilihan itulah yang disebut “angkatan 1998”. Hingga sekarang, BALAIRUNG masih melanjutkan gagasan “angkatan 1998”.

***

Dari format koran dinding sampai sekarang, BALKONi setia menggarap wacana seputar kampus. Tetapi, satu pertanyaan yang mengusik berkaitan dengan kehadiran BALKON sebagai pers komunitas dan peran kemediaannya: “Ke arah mana kecenderungan BALKON dalam membentuk opini publik/komunitas?” Menjawab pertanyaan ini, kami perlu meminjam data rubrik “Laporan Utama” (lihat tabel). Kami mengambil mulai dari edisi 91 (9 Oktober 2006) sebagai BALKON edisi pertama yang berukuran handy (A5); sampai edisi 126 (21 Desember 2009) sebagai BALKON teranyar yang terbit sebelum tulisan ini dituntaskan.

Tabel “Laporan Utama” BALKON Oktober 2006-Desember 2009

***

Page 86: Balkon spesial 2010 majalah

86

Melihat dua kecenderungan itu (primer dan sekunder), refleksi yang bisa ditegaskan ke depan: konsistensi dalam menerjemahkan misi. Tulisan ini minimal menghasilkan lima pokok ekstraksi “Laporan Utama” BALKON selama tiga tahun terakhir. Lebih ringkasnya, bangunan opini publik yang disodorkan BALKON ternyata dapat diketahui berkisar di tiga tema primer tadi. Tetapi, cukupkah “gagasan” tersebut ditampung dalam penerbitan BALKON cetak?

Selama ini, sebagai alternatif, keterbatasan periode terbit dan halaman BALKON untuk menampung berita dari lingkungan kampus disiasati dengan pengudaraan laman www.balairungpress.com. Laman ini sebelumnya memang sudah aktifj, tetapi hanya menayangkan versi digital produk-produk cetak BALAIRUNG. Laman yang masih aktif hingga sekarang dan bakal terus diinovasi itu pertama kali tayang pada awal 2008, sebagaimana tertera pada BALKON edisi 107 (18 Februari 2008). Sayang, setelah hampir setahun mengisi ruang maya, www.balairungpress.com seolah tak beranjak dari peran semula—belum jadi media online.

Baru pada Musyawarah Besar BALAIRUNG 2008, akhir Desember 2008, laman itu dikukuhkan sebagai salah satu produk BALAIRUNG. Pengaktifannya tak boleh dicukupkan sebagai laman yang memuat produk-produk cetak versi digital. Kegelisahan akan tak terangkumnya beragam fakta di seputar kampus pada lembar halaman BALKON, menginspirasi

BALAIRUNG untuk menghidupi media peka zaman: community-press online.

Keresahan itu semakin membuncah karena internet bukan lagi media eksklusif, terlebih bagi mahasiswa. Bahkan, internet merupakan media utama mahasiswa untuk mengakses informasi maupun berinteraksi. Kehadiran internet mengonstruksi dan lantas memenuhi kebutuhan masyarakat informasi. Dalam konteks pasang-surut penerbitan pers mahasiswa, media online tentu dapat dimanfaatkan tak hanya sebagai media alternatif (penghematan produksi cetak), tetapi juga pewartaan gagasan-gagasan kontekstual secara massif. Bagi BALAIRUNG, keterbukaan dan ketakberbatasnya (borderless) community-press online berguna untuk menayangkan bertumpuk informasi yang tak sampai diterbitkan BALKON.

Karena itu, halaman-halaman BALKON dapat dikonsentrasikan untuk mendedah realitas faktual dengan lebih bermakna (meaningful). Semata-mata supaya wacana yang disodorkan BALKON kian relevan dengan konteks kehidupan komunitasnya, sehingga mampu mewujud menjadi saluran opini publik. Dengan begitu, BALKON bakal senantiasa berjalan sesuai kesejajaran relnya: mampu menjaga konsistensi dalam pengawalan wacana seputar kampus. Sekaligus, mengawali 2010 ini, sebagai perayaan atas lahirnya “angkatan 2010”, yakni dengan dipancangkannya tonggak BALAIRUNG di ranah community-press online. [ ]

1 Teuku Jacob, Manusia Makhluk Gelisah: Melalui Lensa Bioantropologi (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2006). Tertulis paragraf pertama “Prakata” buku ini, “Manusia adalah makhluk gelisah; ia selalu mencari dan merancang. Ia mencari tahu apa yang belum jelas baginya dan apa yang belum dimilikinya. Ia merancang dari sesuatu dalam lingkungannya untuk menyamankan hidupnya. Dengan demikian ia selalu mengubah, baik lingkungan hidupnya maupun, sebagai akibat, dirinya sendiri. Ia tidak pernah puas dengan apa yang sudah diketahuinya dan yang sudah diperolehnya. Ia terus memikirkan sesuatu, mencipta, bermain dan mencoba.”2 Seperti dikutip Hasan Bachtiar, “Bekerja Dengan Detail, Mengapa Jurnal BALAIRUNG?”, Jurnal BALAIRUNG No.34/Th.XVI/2001, hlm. 180.3 Baca Didik Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK (Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Sinyal, 1998).4 Soewarsono, “Gerakan Mahasiswa 1998”, dalam Muridan S. Widjojo, dkk, Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa 1998 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan Yayasan Insan Politika dan The Asia Foundation, 1999), hlm. 1.5 Baca Soewarsono, Ibid., hlm. 1-14.6 “Dapur Balairung”, Majalah BALAIRUNG No.1/Th.I/1986, hlm. 3.7 Hasan Bachtiar, Op. Cit., hlm. 179.8 Ibid., hlm. 181.9 Mulanya BALKON terbit dalam format koran dinding, tapi dengan nama BALAIRUNG KORAN. Edisi pertama beredar Selasa, 25 April 2000. Baru pada 27 Oktober 2000 direformulasi menjadi BALKON. Tidak lagi koran dinding, tapi newsletter. Dalam rubrik “Interupsi” edisi 1, diterangkan mengapa mesti “BALKON”. Pertama, lebih ramah diucapkan, didengar, dan nyangkut di otak. Kedua, BALKON berarti panggung (tempat yang lebih tinggi). Sejak edisi 75 (10 Oktober 2005) sampai sekarang, label “balairung koran” selalu ditandaskan di lembar sampul, di kanan-atas logo/tulisan BALKON.10 Berdasarkan penelusuran pada masthead majalah, jurnal, dan BALKON, BALAIRUNG beberapa kali berganti alamat laman. Laman pertama tayang pada 1997, www.thepentagon.com/balairung (tertera pada Majalah BALAIRUNG No.26/Th.XII/1997). Setahun kemudian pindah ke http://members.tripod.com/~balairung (Majalah BALAIRUNG No.28/Th.XIII/1998). Majalah BALAIRUNG No.32/Th.XV/2000 mencantumkan www.balairungnews.com & www.detik.com/kampus di masthead-nya. Jurnal BALAIRUNG edisi perdana (No.34/Th.XVI/2001) memberikan rujukan alamat www.balairung.org. Laman ini berumur cukup panjang ketimbang sebelumnya. Tapi, pada 2005, berganti ke www.balairung.web.id (Jurnal BALAIRUNG No.38/Th.XIV/2005) yang dicantumkan sampai jurnal No.41/Th.XVI/2007.

Page 87: Balkon spesial 2010 majalah

87

ACARA KAGAMAFESTIVAL

‘Eling Knco Agawe Mulyo’ adalah tema dari acara halal

bihalal Kagama Jakarta yang diadakan pada 8 November

2009 di Semanggi Futsal Expo, Jakarta. Dalam reuni

sekaligus pengesahan pengu-rus baru Kagama Jakarta ini,

Ir. Budi Karya Sumadi dilantik menjadi Ketua Kagama DKI

Jakarta yang baru. [ ]

Page 88: Balkon spesial 2010 majalah

88

Page 89: Balkon spesial 2010 majalah

89

Iwan

.bal

Page 90: Balkon spesial 2010 majalah

90

NGAKAK

Menu FavoritTiga orang pegiat parpol mampir di Warung Bakso

Wolu. Mereka segera pesan makanan kesukaannya. Yang berkaos merah segera pesan, “Saya pesan mie kegemaran saya, Mie Gawati. Buat yang paling enak, lama nggak apa-apa. Biar lambat asal nikmat.” Orang kedua berkaos kuning segera pesan, “Saya sudah kehausan nih, segera buatkan saya Jus Sufkalla. Jangan pakai lama. Lebih cepat lebih baik.” Orang ketiga berkaos biru segera pesan, “Saya ingin es yang paling cool biar pikiran cepat adem. Saya pesan Es Beye saja.”

Kepala pelayan yang menemui ketiga pelanggan warung tersebut segera berujar, “Maaf ya, Pak. Ketiga jenis menu favorit warung saya ini sejak 8 Juni 2009 sudah dilarang.”

Jembatan SuramaduSurabaya heboh. Jembatan yang baru diresmikan itu

hilang baut-bautnya. Masyarakat yang melewati jembatan diperkirakan sengaja mengambil sekrup-sekrupnya. Seorang tokoh Madura tidak terima. Opini yang beredar: orang-orang Maduralah yang telah mengambil baut-baut tersebut. “Itu pasti ulah orang Surabaya, untuk mendiskreditkan orang Madura saja,” tuduhnya.

Tokoh Su juga tidak terima dan balik menuduh, “Lho bukannya pedagang besi tua itu kebanyakan berasal dari Madura. Pasti orang Madura pelakunya.”

Mereka sepakat mencari keadilan di kepolisian. Mereka tidak puas karena hanya menerima jawaban, “Silakan Bapak bersabar untuk menunggu hasil penyelidikan dari anak buah saya yang sekarang sedang di lapangan.” Di gedung dewan pun mereka kecewa karena anggota dewan ternyata malah terpecah di kedua kubu.

Akhirnya, mereka datang ke seorang kiai sepuh dan mendapat jawaban yang memuaskan kedua belah pihak. ”Persoalan gampang. Kalian berdua segera pulang saja dan datangi posisi tempat di mana sekrup tersebut hilang. Ukur jarak tempat sekrup yang hilang. Kalau dekat dengan Madura pelakunya orang Madura, tapi kalau ternyata lebih dekat ke Surabaya pelakunya orang Surabaya. Gitu aja kok repot.”

komandan sambil ngacir.

Kasur RendraKarena merasa ajalnya sudah dekat, Rendra

mengadakan upacara perpisahan di rumahnya yang luas itu. Ia undang seluruh koleganya dari berbagai negara. Juga para pejabat militer dan sipil yang menjadi sahabatnya selama ini. Hadir pula para malaikat yang akan mengantarkannya ke surga. “Saya sangat bahagia kali ini. Maaf bila nanti di surga saya tidak bisa lagi diwawancarai maupun dihubungi lewat telepon,” ucapnya lantang. Tidak lupa ia buat puisi buat kawan karibnya yang masih kerasan tinggal di dunia. Sambil melambai-lambaikan tangan, Si Burung Merak segera diantar para malaikat ke surga.

Ketika memasuki pintu surga, Rendra kaget bukan kepalang dan marah kepada Mbah Surip, “Hai gembel. Enak aja kamu menempati kasurku. Tahu enggak sih, kasur itu sudah aku booking jauh hari sebelumnya. Cepat minggat dan kembali ke trotoar sana!”

Tanpa membuka mata dan beranjak dari tidurnya, Mbah Surip tersenyum sinis pada Rendra. “Emangnya kasur surga ini milik kakek buyutmu,” ucapnya sambil meneruskan dengkurannya. “Siapa cepat dia dapat dong.”

KorupsiBertemulah Raja Jepang dan Raja Jawa di Pulau

Dewata. Mereka membicarakan tentang budaya korupsi di negara masing-masing.

“Apa yang dilakukan bila Anda ketahuan korupsi?” tanya Raja Jawa.

“Kalau di Jepang, bila saya ketahuan korupsi, maka saya akan merasa malu dan harakiri (bunuh diri). Lha kalau di negara sampeyan gimana?” ujarnya.

“Kalau di negara saya,” jawab Raja Jawa, “Kalau ada yang mengatakan saya korupsi, maka saya akan marah, merasa difitnah, saya terus mengadu ke masyarakat kalau saya telah dianiaya oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab. Dan, saya perintahkan prajurit saya mencari orang tersebut untuk digantung di Monas.” [ ]

90

Kelik SupriyantoPenulis Buku ‘The Kampus: Ngakak Sampe Mampus’

Kucing dan MalingSeluruh pasukan sedang mengepung seorang

buronan yang lama dicari. “Segera serahkan diri. Yang di dalam, kucing apa maling?” teriak komandan pasukan.

”Saya kucing. Jangan ditembak,” jawab dari dalam rumah.

“Mana ada maling ngaku. Serbu dan lumpuhkan malingnya.”

Sukses dengan target pertama, berangkatlah mereka ke target kedua. Rumah persembunyian teroris segera mereka kepung. “Segera serahkan diri. Siapa yang di dalam, kucing apa Noordin M Top?” tanya komandan pasukan.

Dengan pelan dijawablah dari dalam rumah, ”Saya Noordin M Top. Silahkan tembak.”

“Mana ada teroris ngaku. Kalau ini pasti kucing beneran. Kita pulang saja,” ucap sang

Lukisan ‘Topeng Monyet’ karya Kelik Supriyanto

Page 91: Balkon spesial 2010 majalah

91

Page 92: Balkon spesial 2010 majalah

92