Bab · Web viewKetinggian Kota Semarang terletak antara 0,75 meter sampai dengan 348 meter di atas...
Transcript of Bab · Web viewKetinggian Kota Semarang terletak antara 0,75 meter sampai dengan 348 meter di atas...
Bagian ini memberikan uraian tentang kondisi dan permasalahan aktual di Kota Semarang, yang meliputi kondisi fisik geografis, penggunaan lahan, kependudukan, perekonomian, prasarana dan prasarana, serta pemerintahan
3.1.3.1. ADMINISTRASI ADMINISTRASI SEMA SEMARANGRANG
Kota Semarang terletak antara garis 6º 50’ - 7º 10’ LS dan garis 109º 50’ - 110º 35’ BT,
secara administratif Kota Semarang dibatasi oleh:
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Selatan : Kab. Semarang
Sebelah Barat : Kab. Kendal
Sebelah Timur : Kab. Demak
Ketinggian Kota Semarang terletak antara 0,75 meter sampai dengan 348 meter di atas
garis pantai. Tingkat curah hujan 11.182 mm dan hari hujan 172. Temperatur udara
maksimum-minimum di Kota Semarang rata-rata 33,7 C dengan temperatur tertinggi
pada bulan September dan temperatur terendah pada bulan Juli dan Agustus (22,4 C).
Sedangkan kelembaban nisbi rata-rata mencapai 79% dengan prosentase terbesar pada
bulan Desember yang mencapai rata-rata 85%, sedangkan arah angin sebagian besar
bergerak dari arah tenggara barat laut dengan kecepatan rata-rata antara 5,90 km per
jam.
Kota Semarang memiliki karakteristik topografi yang unik, yaitu berupa daerah pantai dan
daerah perbukitan. Elevasi topografi berada pada ketinggian antara 0,75 m sampai
sekitar 350 m diatas permukaan laut. Kondisi topografi menciptakan potensi panorama
yang indah dan ekosistem yang lebih beragam.
Laporan PendahuluanPENYUSUNAN DED JALAN MANGKANG-MIJEN III - 1
BAB
Ketinggian Kota Semarang yang bervariasi ini menjadikan pemanfaatan bagian atas Kota
Semarang harus hati-hati, dan lebih difungsikan sebagai daerah konservasi untuk
melindungi Kota Semarang bagian bawah.
Kondisi kelerengan lahan berbanding terbalik dengan intensitas pemanfaatan lahan.
Pada lereng di atas 40 % tidak diperkenankan untuk kegiatan budidaya, lahan dengan
kemiringan lereng antara 25-40% dapat digunakan akan tetapi dengan penggunaan yang
terbatas dan bantuan teknologi, sedangkan lahan dengan kemiringan <25% merupakan
lahan yang diperbolehkan untuk berbagai penggunaan. Lahan dengan kelerengan relatif
curam terdapat mulai perbatasan kota bagian atas dan bawah hingga ke selatan yang
kebanyakan merupakan kota di bagian atas.
Dengan demikian secara umum kriteria kemiringan lereng di Kota Semarang dapat
dikatakan bahwa sebagian besar wilayahnya memiliki tingkat kemiringan lereng yang
datar dan landai, yaitu seluas 29.190,52 Ha (sekitar 78,11%), agak curam seluas
6.080,18 Ha (16,7%), curam seluas 1138,80 Ha (3,05%) dan terjal/sangat curam seluas
960,50 Ha (2,57%).
Permasalahan dalam hidrologi Kota Semarang adalah debit saluran dan sungai di kota
bagian bawah tidak sebanding dengan volume air. Semakin banyak daerah terbangun
pada daerah tangkapan air, dan semakin banyak curah hujan akan mempengaruhi
kecepatan aliran air (run off) sehingga debit air pada sungai-sungai tersebut juga
semakin besar. Kesesuaian debit dengan dimensi saluran berpengaruh terhadap luasnya
daerah genangan di Kota Semarang bagian bawah. Adanya sungai yang mengalami
penyempitan dan sedimentasi serta kurangnya drainase dibandingkan dengan lahan
terbangun merupakan faktor penyebab terjadinya banjir ataupun genangan di Kota
Semarang bagian bawah di musim penghujan.
Struktur geologi yang ada di daerah Semarang terdiri atas tiga bagian yaitu struktur joint
(kekar), patahan (fault), dan lipatan. Daerah patahan tanah bersifat erosif dan
mempunyai porositas tinggi, struktur lapisan batuan yang diskontinyu (tak teratur),
heterogen, sehingga mudah bergerak atau longsor. Pada daearah sekitar aliran sungai
Kaligarang adalah merupakan patahan Kaligarang yang membujur arah utara sampai
selatan di sepanjang Kaligarang yang berbatasan dengan bukit Gombel. Patahan ini
bermula dari Ondorante ke arah utara hingga Bendan Duwur. Patahan ini merupakan
patahan geser, yang memotong formasi Notopuro, ditandai adanya zona sesar, tebing
terjal di Ondorante, dan pelurusan Kaligarang serta beberapa mata air di Bendan Duwur.
Daerah patahan lainnya adalah Meteseh, perumahan Bukit Kencana Jaya dengan arah
patahan melintas dari utara ke selatan. Sedangkan pada wilayah Kota Semarang yang
berupa dataran rendah memiliki jenis tanah berupa struktur pelapukan, endapan, dan
lanau yang dalam.
Laporan PendahuluanPENYUSUNAN DED JALAN MANGKANG-MIJEN III - 2
3.2.3.2. KEPENDUDUKAN KEPENDUDUKAN
Penduduk merupakan salah satu faktor penting dalam perencanaan pembangunan
daerah, karena penduduk merupakan sumberdaya manusia yang partisipasinya sangat
diperlukan agar pelaksanaan hasil-hasil perencanaan dapat berjalan dengan baik.
Penduduk juga merupakan motor penggerak pembangunan daerah. Selain sebagai
subyek dalam proses pembangunan, penduduk juga dapat bertindak sebagai obyek,
dimana ia akan menjadi salah satu target dalam pembangunan. Analisa aspek penduduk
merupakan dasar dalam hal proyeksi kebutuhan fasilitas, sarana dan prasarana yang
akan disediakan mendatang. Kedetailan tingkat analisis terhadap perkembangan data
dari tahun ketahun akan membentuk hirarki output analyze yang komperhensif dan dapat
dipergunakan sebagai alat bantu dalam proses perencanaan suatu wilayah. Oleh karena
itu, analisis kependudukan sangat mendukung efesiensi dan efektivitas perencanaan
pembangunan agar berhasil sebagaimana yang diharapkan di masa mendatang.
3.3.3.3. PERPEREKONOMIEKONOMIANAN
Kota Semarang sebagai kota yang mengandalkan sektor perdagangan dan jasa dengan
didukung sektor industri sebagai sektor pendukung terbesar juga terlihat dari pola
persebaran kedua sektor ini yang hampir terbesar di seluruh bagian Kota Semarang.
Secara umum pola persebaran ekonomi kawasan yang terbentuk di wilayah Kota
Semarang ini adalah
Sektor Perdagangan dan Jasa, Sektor ini menyebar di setiap struktur jalan yang ada,
tentunya pada kelas-kelas jalan yang sifatnya tidak menerus. Seperti misalnya Jalan
Pandaran, Pahlawan ataupun Jalan Setia Budi dan tentunya beberapa kelas jalan
lainnya. Pola persebaran sektor ini menunjukan bentuk aglomeratif (mengumpul) di
struktur jalan yang ada.
Sektor Industri, Untuk sektor ini pola persebaran yang terjadi cenderung berkembang
pada beberapa daerah berbatasan di sebelah barat, timur dan utara kota ini. Pola
persebaran yang terjadi menunjukan bentuk pengelolaan pembangunan yang
terorganisir, dimana keberadaan sektor industri berkembang terpencar dan tidak
mengelompok.
Sektor lainnya, Untuk sektor lainnya tersebar secara parsial sebagai pelangkap kawasan
dari kedua sektor di atas. Untuk sektor pertanian dan pertambangan jelas dalam
kapasitas yang kecil dan berada pada beberapa daerah pinggiran. Untuk sektor
perdagangan, lembaga keuangan, persewaan, hotel berada menyebar pada ruang-ruang
potensial ruang Kota Semarang. Beberapa sektor yang ada juga menunjukan bentukan
Laporan PendahuluanPENYUSUNAN DED JALAN MANGKANG-MIJEN III - 3
pola yang belum efektif terorganisir sebagai salah satu bentuk pembangunan yang
efektif. Sedangkan sektor lainnya memanfaatkan sisa ruang yang ada di kota ini.
Untuk melihat lebih dalam tingkat pertumbuhan perekonomian kota ini, perkembangan
besaran kontribusi dari setiap sektor, dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.
Tabel 3.5Laju Pertumbuhan Sektor-Sektor Ekonomi
Kota Semarang 2001-2005 (dalam %)SEKTOR EKONOMI 2001 2002 2003 2004 2005Pertanian -39,14 -10,69 3,26 5,85 3,96Pertambangan dan Penggalian 4,71 7,76 3,58 6,03 2,57Industri Pengolahan 3,01 5,32 5,19 6,09 3,06Listrik, Gas, dan Air Bersih 3,74 3,27 9,81 12,95 7,09Bangunan 6,44 6,42 3,17 6,37 8,33Perdagangan, Hotel, dan Restoran 6,67 3,92 4,13 8,86 3,45Pengangkutan dan Komunikasi 9,39 8,15 3,65 10,14 9,65Lembaga Keuangan, Persewaan 6,96 2,67 2,43 6,88 2,68Jasa 2,22 6,01 3,44 6,51 3,23
Sumber :Hasil Perhitungan
3.4.3.4. JARINGAN JALANJARINGAN JALAN
Kota Semarang memiliki beberapa ruas jalan yang terbagi ke dalam beberapa jenis jalan,
yaitu jalan negara (59.760 km), jalan propinsi (28.890 km) dan jalan lokal (2.673.971 km)
yang sudah tersebar di keseluruhan wilayah yang ada di kota ini. Adapun kondisi
pelayanan yang diberikan oleh beberapa ruas jalan yang ada seperti pada Tabel 4.6.
Tabel ini menggambarkan kondisi pelayanan pada beberapa ruas jalan di Kota
Semarang berada pada nilai B, C, D dan E dengan volume per kapasitas ( V/C Ratio )
berada pada titik 0,40 sampai dengan 0,95. Kondisi ini menunjukan tingkat pelayanan
ruas jalan yang ada di Kota Semarang masih rendah, yaitu dengan tingkat pelayanan B-
D. Sebagian besar tingkat pelayanan ruas jalan yang ada adalah C, hanya Jalan MH.
Thamrin yang mempunyai tingkat pelayanan terbaik, yaitu B. Ruas Jalan Kaligawe
merupakan ruas dengan tingkat pelayanan terburuk, yaitu bernilai E. Kondisi ini
disebabkan tingkat pergerakan yang terjadi pada ruas Jalan Kaligawe ini sangat padat.
Pergerakan yang terjadi tidak hanya bersifat regional (Kota Semarang dan wilayah
sekitar), namun juga pergerakan yang bersifat nasional (Jakarta-Surabaya).
Dengan melihat penyebaran jaringan jalan yang ada, pola jaringan jalan Kota Semarang
dapat dirumuskan. Dari gambaran sebaran jaringan jalan yang ada, pola jaringan jalan
Kota Semarang dapat terbagi ke dalam beberapa bentuk pola yang disesuaikan dengan
Laporan PendahuluanPENYUSUNAN DED JALAN MANGKANG-MIJEN III - 4
sebaran dan fungsi pelayanananya. Beberapa bentuk pola jaringan jalan kota ini adalah
1. Jalur Lingkar Dalam
Merupakan bentuk jaringan jalan yang mengintari pusat kota dengan fungsi sebagai
jalur penampung dan pembagi arus di pusat kota. Beberapa ruas jalan lingkar dalam
inimeliputi Jalan Tol seksi C, Tol seksi A Jatingaleh, Tol seksi B dan Jalan Arteri
Lingkar Utara dan Jalan Usman Janatin.
2. Jalan Lingkar Luar
Merupakan jalur lingkar yang menghubungkan beberapa wilayah pusat pertumbuhan
pinggiran kota dengan wilayah pinggiran lainnya, seperti misalnya Jalan Genuk-
Pedurungan, Jalan Tegal Kangkung atau jalan lainnya.
3. Jalan Lingkar Radial
Jalur jalan ini merupakan kumpulan jalan yang berfungsi mendistribusikan
pergerakan ke beberapa regional di sekitar Kota Semarang selain itu jaringan jalan
ini berfungsi pula menghubungkan bebrapa pusat pertumbuhan di daerah pinggiran
dengan pusat Kota Semarang. Beberapa ruas jalan yang termasuk di dalam pola ini,
misalnya jalur jalan ke arah Demak, Jakarta, Solo.
Kondisi jalan yang rusak di Kota Semarang selain diakibatkan tingkat beban dari
pergerakan yang terjadi, sebagian besar disebabkan oleh kondisi alam yang merusak.
Berdasarkan faktor ini, kerusakan jalan yang ada di Kota Semarang dapat dibedakan
ke dalam beberapa kelompok penyebab;
Kerusakan yang diakibatkan rob
Kondisi jalan rusak yang ada di Kota Semarang ini sebagian besar berada di
beberapa kawsan pantai Kota Semarang seperti jalur pantura ke arah Demak (jalan
Kaligawe) ataupun jalan regional ke arah Kendal atau Jakarta. Selain rob, faktor
beban pergerakan yang sangat tinggi juga menjadi penyebab kerusakan.
Kerusakan yang diakibatkan kondisi topografi
Kerusakan jalan dengan faktor penyebab topografi sebagian besar berada di
daerah pinggiran kota seperti di daerah Gunungpati, Tembalang ataupun beberapa
ruas jalan lain. Faktor topografi menjadi faktor utama kerusakan jalan yang ada,
karena ruas jalan yang ada merupakan kelompok jalan lokal dengan beban
pergerakan yang tidak besar.
Karena kondisi jalan yang rusak inilah memberikan akibat kecelakaan lalulintas
yang selama ini terjadi. Dengan mengetahui penyebab dari kerusakan jalan yang
ada, tentunya langkah-langkah peningkatan kualitas pelayanan jaringan jalan
tersebut bisa disesuaikan.
Laporan PendahuluanPENYUSUNAN DED JALAN MANGKANG-MIJEN III - 5
3.5.3.5. KONDISI TRASE MANGKANG-MIJENKONDISI TRASE MANGKANG-MIJEN
Salah satu rencana pengembangan jaringan jalan tersebut adalah Semarang
Outer Ring Road (SORR), yaitu rencana sistem jaringan jalan yang dimaksudkan untuk
mengarahkan pergerakan regional/nasional yang bersifat lintasan/menerus (traffic
trought) agar pergerakannya tidak membebani ruas-ruas jalan di kawasan perkotaan
wilayah Kota Semarang. Salah satu permasalahan bagi jaringan jalan di Kota Semarang
adalah tercampurnya lalu lintas akibat pergerakan lokal dengan lalu lintas akibat
pergerakan menerus. Oleh karena itu salah satu fungsi yang dibutuhkan di Kota
Semarang saat ini adalah ruas jalan yang meneruskan lalu lintas akibat pergerakan
menerus tanpa membebani jaringan dalam kota. Ruas-ruas jalan strategis nasional Kota
Semarang tersebut adalah trase jalan Semarang outer ringroad sisi Barat-Selatan yang
dimulai dari Mangkang kemudian menyusur ke Selatan sampai ke Mijen dan berbelok ke
Selatan menuju Simpang Cangkiran kemudian mengarah ke Timur menuju Gunung Pati
dan berakhir di Ungaran.
Ujung dari trase Semarang Outer Ring Road sisi Barat-Selatan adalah ruas Jalan
Mangkang-Mijen. Ruas Jalan Mangkang-Mijen mempunyai panjang rencana 10.051 m.
Ruas Mangkang-Mijen direncanakan dengan ROW 30 meter. Ruas Jalan Mangkang-
Mijen direncanakan menjadi jalan lalu lintas cepat, sehingga memisahkan jalur untuk
lintas cepat dengan jalur untuk lintas lambat. Rencana ruas Jalan Mangkang-Mijen
didesain untuk lalu lintas cepat 4 lajur 2 arah dengan lebar masing-masing lajur 3,5 m.
Rencana Jalan Mangkang-Mijen juga didesain untuk lalu lintas lambat 2 lajur 2 arah
dengan lebar masing-masing lajur 3 m. Total kebutuhan daerah manfaat jalan (Damaja)
Ruas Jalan Mangkang-Mijen selebar 30 m. Kondisi eksisting saat ini sebagian embrional
jalan sudah diperkeras dengan lapisan penetrasi selebar 6 m sepanjang 5.311 m
sedangkan sisanya sepanjang 4.740 m masih berupa jalan tanah. Trase Mangkang-Mijen
memiliki panjang 10.000 m dengan koordinat awal pada koordinat UTM X: 421.532,059 ;
Y: 9.229.520,941 dan koordinat akhir trase pada koordinat UTM X: 424.991,655 ; Y:
9.220.744,111
Secara rinci Ruas Jalan Mangkang-Mijen dimulai dari Mangkang tepatnya di
depan terminal Tipe A Mangkang menyusur ke Selatan menuju ke Mijen di sebelah
Selatan Kasawan Bukit Semarang Baru (BSB).Ruas jalan ini diharapkan akan
mengarahkan pergerakan menerus yang melelui Kota Semarang untuk tidak melalui CBD
pusat kota. Dari Mijen kemudian mengarah ke Selatan sampai ke simpang Cangkiran
dan berbelok menuju ke Timur menuju Gunung Pati berakhir di depan Terminal Ungaran.
Selain sebagai pendukung lalu lintas menerus, trase ini diharapkan juga menjadi
pendukung dibangunnya Waduk Jatibarang di sebelah Selatan Kota Semarang. Waduk
Jatibarang yang akan difungsikan sebagai Waduk penampung air limpasan direncanakan
berfungsi sebagai komponen drainase dan komponen pariwisata. Sehingga untuk
Laporan PendahuluanPENYUSUNAN DED JALAN MANGKANG-MIJEN III - 6
mengoptimalkan fungsinya dibutuhkan jaringan jalan yang akan mendukung fungsi ini
tercapai secara optimal. Detail trase ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.
GAMBAR 3.1.RENCANA JALAN SEMARANG OUTER RING ROAD KOTA SEMARANG
Pada trase rencana Jalan Mangkang-Mijen ini penggunaan lahan terdiri atas
lahan konservasi hutan atau perkebunan karet, permukiman dengan kepadatan sedang
dan tinggi. Kondisi topografi yang relatif datar dan tidak curam. Ujung keluar dari trase ini
adalah depan Terminal Mangkang yang merupakan potensi dari pengembangan trase ini.
Kondisi ini dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 3.2.
Laporan PendahuluanPENYUSUNAN DED JALAN MANGKANG-MIJEN III - 7
Jalur PANTURA
Jalan Tol
Trase Mijen-Cangkiran
Trase Mijen-Mangkang
Pelabuhan Tanjung Emas
BAndara A. Yani
Waduk Jatibarang
Trase Cangkiran-Ungaran
Gambar 3.2. Kondisi Tata Guna Lahan sekitar Trase
. Dari segi kepadatan bangunan, pada kawasan segmen ini masih terhitung
rendah, karena sebagian besar merupakan kawasan hutan, tegalan dan lahan pertanian.
Perubahan tata guna lahan yang diperkirakkan terjadi antara lain, tumbuhnya kawasan
perdagangan dan jasa di sepanjang koridor jalan, terutama pada perempatan Kalimas.
Seperti yang diketahui saat ini terdapat beberapa PKL yang dapat menjadi embrio
perkembangan kawasan tersebut, sehingga, pertumbuhannya, walaupun sesuai dengan
Laporan PendahuluanPENYUSUNAN DED JALAN MANGKANG-MIJEN III - 8
Kawasan Hutan dan Tegalan, Pertanian
Terminal Mangkang
Gang Rowosari V
Perempatan Kalimas
Kawasan Campuran, Permukiman Kepadatan Tinggi dan
Perdagangan Jasa
Kawasan Perdagangan Skala Lingkungan
Kawasan Konservasi Hutan Karet dan Jati Kalimas
Kawasan Permukiman Kepadatan Sedang - Tinggi
rencana fungsi kawasan dalam RTRW Kota Semarang, tetap harus dikendalikan. Kondisi
detaildapat dilihat pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Kondisi pertumbuhan sekitar trase
Poin penting yang harus diperhatikan adalah adanya lahan konservasi dan
pertanian yang sangat luas, pada sepanjang koridor trase ini. Kawasan ini dikhawatirkan
akan mengalami okupasi lahan, dari non terbangun menjadi terbangun, baik dengan
peruntukan permukiman, maupun perdagangan dan jasa. Hal ini juga dapat dilihat,
berdasarkan rencana guna lahan pada RTRW Kota Semarang, lahan yang semula
konservasi terdapat perubahan pemanfaatan sebagai kawasaan permukiman (sebagai
pengembangan dari Bukit Semarang Baru). Hal ini bukan tidak mungkin akan diikuti oleh
pengembangan lahan terbangun lainnya. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.4.
Laporan PendahuluanPENYUSUNAN DED JALAN MANGKANG-MIJEN III - 9
Diperkirakan akan tumbuh kawasan perdagangan dan jasa pada koridor jalan ini, sebagaimana
terdapat embrio PKL di kawasan ini. Hal ini harus dikendalikan pertumbuhannya, supaya aktivitas yang ada tidakmenimbulkan konflik dengan lalu
lintas regional.
Laporan PendahuluanPENYUSUNAN DED JALAN MANGKANG-MIJEN III - 10
Podorejo
Wates
Kandri
Tugurejo
Ngaliyan
Wonosari
SadengWonoplumbon
Pesantren
Ngadirgo
Gondoriyo
Kedung Pane
Bringin
Tambakaji
Wonolopo
Banbankerep
Kalipancur
Jerakah
Krapyak
Mijen
Ngaliyan
SemarangBarat
KABUPATENKENDAL
Gambar 3.4.Peta Rencana Tata Guna Lahan Berdasarkan RTRW Kota Semarang 2010-2030
Kawasan Perdagangan dan Jasa
Kawasan Permukiman
Kawasan Konservasi
Kawasan Pertanian Lahan Basah
Kawasan Pertanian Lahan Kering
Kawasan yang semula berupa kawasan konservasi
dalam rencana TGL sebagian menjadi kawasan permukiman. Hal ini harus dikendalikan, supaya tidak diikuti oleh perkembangan kawasan terbangun lainnya
di area konservasi
Sangat dimungkinkan akan adanya okupasi lahan non terbangun menjadi terbangun. Dengan fungsi sebagai
kawasan konservasi dan pertanian perkotaan, hal ini harus diminimalkan, sehingga dibutuhkan bentuk pengendalian
pemanfaatan ruang yang tepat