BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB...

56
397 BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITAS Kata “benteng” secara umum diartikan sebagai sebuah tempat untuk melindungi diri dari serangan musuh. Kata benteng (fortrees) digunakan oleh Schulte Nordholt (2007) untuk menggambarkan situasi dilematis yang dihadapi Bali (pusat) periode 1995-2005, yaitu bagaimana melindungi kebudayaan Bali tanpa menutup diri terhadap dunia luar. Karenanya, Nordholt menggambarkan situasi dilematis Bali tersebut sebagai “benteng terbuka” (open fortress) bukan benteng yang tertutup karena ketergantungan perekonomian Bali terhadap industri pariwisata yang menuntut adanya kerterbukaan terhadap wisatawan dan arus investasi. Benteng tersebut merupakan upaya pelestarian (perlindungan) terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas Bali Hindu di Balinuraga sebagai komunitas pendatang dan minoritas etnik-agama di Lampung, benteng pelestari identitasnya bukan merupakan benteng terbuka seperti pusat (Bali), melainkan benteng tertutup yang dimanifestasikan dalam bentuk Kampung Bali. Benteng tertutup diartikan sebagai tempat untuk mempertahankan dan melestarikan kebudayaan asal (leluhur) atau identitas kebalian mereka: Kebudayaan Bali atau Kebudayaan Bali Hindu. Benteng Identitas Kebalian di Luar Bali Sebenarnya apa yang melatarbelakangi komunitas Bali Nusa dan juga komunitas Bali Hindu di Lampung membangun komunitasnya secara eksklusif seperti sebuah benteng kebudayaan Bali (identitas kebalian) di luar Bali? Ada dua alasan yang mendasar untuk menjawab pertanyaan (seperti yang telah diuraikan di bab-bab sebelumnya). Pertama, kuatnya ikatan sosial yang melekat (embedded) sampai ke level individu 260 . Sistem sosial yang menjadi ikatan sosial itu adalah identitas 260 Oliver E. Williamson (2000) menyebutkan bahwa tingkat kelembagaan yang tertinggi (level pertama) berada pada lembaga yang memiliki keterlekatan yang tinggi (embeddedness), seperti lembaga informal, kebiasaan-kebiasaan, tradisi, norma dan agama, di mana kerap sulit untuk dikalkulasikan dan bersifat spontan. Kelembagaan di tingkat ini dalam keterbentukannya berfrekuensi dalam rentang seratus sampai seribu tahun.

Transcript of BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB...

Page 1: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

397

BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITAS

Kata “benteng” secara umum diartikan sebagai sebuah tempat

untuk melindungi diri dari serangan musuh. Kata benteng (fortrees)

digunakan oleh Schulte Nordholt (2007) untuk menggambarkan situasi

dilematis yang dihadapi Bali (pusat) periode 1995-2005, yaitu bagaimana

melindungi kebudayaan Bali tanpa menutup diri terhadap dunia luar.

Karenanya, Nordholt menggambarkan situasi dilematis Bali tersebut

sebagai “benteng terbuka” (open fortress) – bukan benteng yang tertutup

karena ketergantungan perekonomian Bali terhadap industri pariwisata

yang menuntut adanya kerterbukaan terhadap wisatawan dan arus

investasi. Benteng tersebut merupakan upaya pelestarian (perlindungan)

terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian.

Dalam konteks komunitas Bali Hindu di Balinuraga sebagai

komunitas pendatang dan minoritas etnik-agama di Lampung, benteng

pelestari identitasnya bukan merupakan benteng terbuka seperti pusat

(Bali), melainkan benteng tertutup yang dimanifestasikan dalam bentuk

Kampung Bali. Benteng tertutup diartikan sebagai tempat untuk

mempertahankan dan melestarikan kebudayaan asal (leluhur) atau identitas

kebalian mereka: Kebudayaan Bali atau Kebudayaan Bali Hindu.

Benteng Identitas Kebalian di Luar Bali

Sebenarnya apa yang melatarbelakangi komunitas Bali Nusa – dan

juga komunitas Bali Hindu di Lampung – membangun komunitasnya

secara eksklusif seperti sebuah benteng kebudayaan Bali (identitas

kebalian) di luar Bali? Ada dua alasan yang mendasar untuk menjawab

pertanyaan (seperti yang telah diuraikan di bab-bab sebelumnya). Pertama,

kuatnya ikatan sosial yang melekat (embedded) sampai ke level

individu260

. Sistem sosial yang menjadi ikatan sosial itu adalah identitas

260

Oliver E. Williamson (2000) menyebutkan bahwa tingkat kelembagaan yang

tertinggi (level pertama) berada pada lembaga yang memiliki keterlekatan yang

tinggi (embeddedness), seperti lembaga informal, kebiasaan-kebiasaan, tradisi,

norma dan agama, di mana kerap sulit untuk dikalkulasikan dan bersifat spontan.

Kelembagaan di tingkat ini dalam keterbentukannya berfrekuensi dalam rentang

seratus sampai seribu tahun.

Page 2: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

398

mereka, dan identitas itu melekat dalam sistem sosial tersebut. Mereka

terikat pada: identitas warga yang memiliki status sosial tertentu dengan

simbol-simbol identitasnya; adat dan keagamaan Bali Hindu serta ikatan

kekerabatan di dalamnya; keanggotaan terhadap organisasi atau

perkumpulan tertentu seperti banjar dan seka; tanah kelahiran di Nusa

Penida (Bali); tata cara upacara dan upakara dalam sistem (ritual dan

upacara) adat, keagamaan, ekonomi dan politik yang memiliki ciri khas

Bali Nusa (secara umum menjadi ciri khas Bali); penggunaan bahasa ibu

(Bahasa Bali Nusa); dan sebagainya. Kuatnya ikatan sosial tersebut yang

menjadi penyebab mengapa masyarakat Bali (termasuk masyarakat Jawa)

cukup sulit untuk bertransmigrasi atau meninggalkan kampung

halamannya – transmigrasi dalam jumlah yang besar baru terjadi setelah

adanya letusan Gunung Agung tahun 1963, sesuatu yang tidak dapat

mereka hindari dan menjadi “pemaksa” mereka untuk bertransmigrasi.

Mereka khawatir identitas atau jati dirinya melekat pada tanah kelahiran

akan hilang setelah mereka bertransmigrasi. Kuatnya ikatan sosial ini yang

mendasari transmigran Bali Nusa membangun perkampungan Bali yang

khusus untuk Bali dari Nusa Penida lengkap dengan pranata-pranata sosial

yang menjadi simbol identitas kebalian mereka. Mereka tidak ingin

kehilangan identitasnya sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida, dan ingin

“serasa dekat” dengan tanah kelahirannya: tetap menjadi Bali (identik)

setelah di luar Bali, Lampung. Kampung Bali ini menjadi benteng tertutup

yang menjadi “pertahanan terakhir” kebudayaan Bali di luar Bali: bahwa

identitas kebalian bisa tetap eksis setelah berada di luar Bali. Identitas

kebalian tidak dijadikan sebagai produk komersial bagi industri pariwisata,

seperti yang terjadi di beberapa daerah di Bali. Kegiatan adat dan

keagamaan – yang turut dimanifestasikan dalam produk-produk kesenian –

merupakan sebuah kewajiban atas sistem sosial yang mengikat tersebut.

Kedua, alasan pragmatis terkait keberlangsungan identitas

kebalian tersebut. Perkampungan Bali menjadi benteng kebudayaan Bali di

Lampung. Benteng ini – dan benteng lainnya yang tersebar di wilayah

Lampung – berada di tengah-tengah masyarakat Lampung yang mayoritas

beretnis Jawa dan beragama Islam: sama seperti Pulau Bali yang menjadi

wilayah dan basis masyarakat Hindu di tengah-tengah masyarakat

Indonesia yang beragama Islam. Bagaimana tidak. Anggota komunitasnya

Page 3: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

399

adalah masyarakat Bali Hindu. Infrastruktur adat dan keagamaan Bali

Hindu ada di dalam perkampungan tersebut. Semua kegiatan adat dan

keagamaan dilangsungkan di dalamnya. Sangat tidak praktis dan ekonomis

jika mereka hidup terpencar-pencar – sebuah tindakan yang tidak mungkin

mereka lakukan karena adanya ikatan sosial tersebut. Hidup dalam sebuah

benteng yang tertutup memudahkan mereka melaksanakan kewajiban adat

dan agama yang jumlahnya banyak serta melibatkan massa yang besar.

Kegiatan adat dan agama tersebut dapat berlangsung dengan baik dan tidak

mengganggu atau menimbulkan ketersinggungan komunitas lain. Di dalam

benteng tertutup ini saja di wilayah Lampung masyarakat Lampung (Bali

Hindu) bisa memelihara babi secara leluasa. Dengan demikian, proses

pelestarian kebudayaan Bali dapat dilaksanakan dengan bebas di dalam

benteng tersebut.

Mendirikan benteng identitas dalam konteks melestarikan identitas

budaya pasti ada tujuannya, yaitu melindungi diri dari serangan musuh.

“Musuh” yang dimaksudkan adalah pengaruh-pengaruh dari lingkungan

yang lebih luas di mana benteng itu berada. Ini adalah sebuah tantangan

yang harus dihadapi oleh individu dan komunitas yang ingin melestarikan

identitasya di dalam sebuah benteng tertutup: mempertahankan dan

melestarikan identitas – pengajegan – tanpa harus mengorbankan

perekonomian anggota komunitas, dan tetap bisa mengikuti dan menjawab

tentangan zamannya. Tantangan terus berubah seiring dengan perubahan

waktu (masa, zaman), bersifat dinamis, karenanya mereka pun harus

dinamis untuk menjawab tantangan tersebut. Dengan kata lain, musuh

yang mengancam benteng tersebut adalah musuh yang terus berubah,

bukan musuh abadi. Terutama setelah menjadi benteng tertutup. Tantangan

ini yang harus dijawab dan diselesaikan dengan strategi kebudayaan versi

mereka sebagai upaya pelestarian identitas yang selaras dengan

pembangunan.

Tantangan dan Ancaman, Peluang dan Kekuatan

Upaya pelestarian identitas kebalian komunitas Bali Nusa di

Lampung dilatarbelakangi adanya tantangan dan ancaman. Posisi sebagai

pendatang dengan minoritas etnik-agama cum lingkungan dan kondisi

sosial baru yang kompleks dan heterogen menjadikan komunitas ini secara

Page 4: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

400

alamiah (berdasarkan naluri, insting) melakukan upaya pelestarian

identitas. Dengan kata lain, komunitas ini membentengi identitasnya.

Adanya tantangan dan ancaman, baik yang terlihat dan tidak terlihat

sebagai akibat dari lingkungan dan kondisi sosial yang baru dan berbeda

dengan tempat asal, justru memberikan gairah bagi komunitas ini untuk

terus melakukan upaya pelestarian identitas dengan beberapa penyesuaian

sebagai respon atas tantangan dan ancaman tersebut. Upaya pelestarian

identitas ini bersifat kesinambungan, bukan proses yang berhenti pada satu

tahap tertentu, dikarenakan tantangan dan ancaman terhadap kelestarian

identitas mereka terus berubah seiring dengan perubahan waktu. Di sisi

lain, lingkungan dan kondisi sosial yang baru dan berbeda dengan tempat

asalnya memberikan peluang dan konsolidasi kekuatan berbasis etnisitas-

keagamaan yang lebih terbuka. Peluang ekonomi terbuka dengan luas, dan

komunitas ini memiliki kekuatan atau keunggulan di level individu dan

komunitas untuk memanfaat peluang ekonomi tersebut. Peluang ekonomi

terbuka lebar di bidang pertanian dan industrinya. Di level individu

komunitas, orang Bali, memiliki semangat kerja yang tinggi di bidang

pertanian, sedangkan di level komunitas mereka memiliki kesolidan

kelompok. Di samping itu, ada peluang sosial di dalam komunitas mereka

dengan kekuatan ekonominya untuk menjadikan sistem sosial mereka lebih

egaliter, dan melalui kekuatan ekonomi tersebut mereka bisa melakukan

upaya pelestarian identitas yang lebih kreatif, lain daripada yang lain

(dibandingkan secara umum yang ada di Bali), namun unsur kebalian itu

tetap ada dan kental.

Tantangan dan Ancaman terhadap Kelestarian Identitas

Kebalian261

Tantangan dan ancaman tidak selalu direspons sebagai sesuatu

yang negatif. Artinya, dalam konteks ini, tantangan dan ancaman bisa

menjadi sebuah peluang dan kekuatan bagi kelestarian identitas mereka.

Komunitas ini sudah terbiasa dalam menghadapi tantangan dan ancaman

261

Nama-nama yang digunakan sebagai contoh kasus dalam bagian ini bukan

merupakan nama sebenarnya. Tujuannya adalah untuk melindungi privasi para

informan. Meskipun demikian, kasus yang diutarakan tetap merupakan sebuah

fakta yang terjadi di lapangan.

Page 5: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

401

sebagai konsekuensi lingkungan dan kondisi sosial yang baru dan berbeda

dengan tempat asal mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan tetap eksisnya

komunitas ini dan identitas kebaliannya yang kental setelah empat

dasawarsa berada di Lampung. Berikut ini adalah beberapa tantangan dan

ancaman yang dihadapi oleh komunitas ini dalam dua dasawarsa terakhir:

Lingkungan Sosial dan Pergaulan yang Heterogen

Konsekuensi logis setelah masyarakat Bali Nusa bertransmigrasi

ke Lampung adalah mereka harus menghadapi lingkungan sosial dan

pergaulan yang baru. Sebuah lingkungan sosial dan pergaulan yang lebih

heterogen. Berbeda dengan lingkungan sosial mereka ketika masih berada

di Nusa Penida (dan Bali dalam wilayah yang lebih luas) dengan

lingkungan sosial yang cenderung lebih homogen, dan posisi etnis-

keagamaan sebagai mayoritas.

Heterogenitas masyarakat Lampung dapat dilihat dari komposisi

masyarakatnya yang terdiri dari berbagai macam etnik dan kepercayaan.

Khusus di Kecamatan Way Panji dan sekitarnya (dalam Kabupaten

Lampung Selatan), terdapat beberapa kelompok etnik, diantaranya: Jawa,

Lampung, Sunda, Padang, Batak, Melayu, dan Tionghua. Interaksi dengan

lingkungan sosial yang lebih heterogen terjadi ketika mereka berada di luar

lingkungan Desa Balinuraga, misalnya di Pasar Kecamatan Sidomulyo262

.

Lingkungan sosial yang lebih heterogen, termasuk di dalamnya

pergaulan atau interaksi sosial yang lebih heterogen, memberikan efek

positif dan negatif terhadap kelestarian identitas mereka. Efek positifnya,

seperti yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang heterogen (pluralis),

adalah kebebasan bagi mereka untuk mengaktualisasikan identitasnya, baik

dalam bentuk ritual dan upacara adat dan keagamaan maupun penggunaan

dan pembangunan simbol-simbol identitas tersebut. Tidak kalah penting

adalah bagaimana mereka mereformasi sistem sosialnya (sebagai warisan

dan identitas mereka dari tanah leluhur) menjadi lebih egaliter. Efek

262

Meskipun sudah terjadi pemekaran Kecamatan Sidomulyo, Pasar Kecamatan

Sidomulyo masih digunakan sebagai pasar utama bagi kecamatan-kecamatan baru

hasil pemekaran Kecamatan Sidomulyo. Umumnya masyarakat Balinuraga dan

masyarakat desa lainnya menjadikan Pasar Kecamatan Sidomulyo sebagai tempat

berinteraksi ekonomi dan sosial.

Page 6: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

402

negatifnya, yang dapat dikatakan sebagai ancaman (sekaligus peluang)

adalah pengaruh-pengaruh dari lingkungan sosial dan pergaulan sosial

yang heterogen tersebut. Misalnya (akan dibahas pada poin berikutnya)

seperti: urbanisasi, konsumerisme dan pragmatisme, perkawinan beda etnis

dan agama, praktek politik praktis yang merugikan, dan lain-lain. Garis

besar dari pengaruh lingkungan dan pergaulan yang heterogen yang

menjadi ancaman sekaligus peluang bagi komunitas ini adalah

modernisasi. Ini bukan berarti mereka anti-modernisasi atau anti-

perubahan. Mereka terbuka terhadap modernisasi dan perubahan. Mereka

pun menyadari modernisasi banyak mendatangkan manfaat terhadap

kegiatan ekonomi, adat dan keagamaan mereka, di mana dapat menunjang

eksistensi identitas mereka. Modernisasi dapat menjadi ancaman ketika

modernisasi tersebut dapat mengikis identitas kebalian mereka. Dengan

kata lain, modernisasi serta perubahan tersebut sudah kelewat batas, di

mana dimungkinkan menghancurkan fondasi-fondasi dasar ketradisonalan

identitas kebalian mereka. Intinya adalah bagaimana modernisasi dan

perubahan itu memberikan sebuah manfaat bagi keberlangsungan identitas

mereka.

Urbanisasi

Perkotaan tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan muda

di Balinuraga, khususnya mereka yang sudah lahir dan besar di Lampung

serta pernah bersekolah di kota dan memiliki pergaulan yang luas.

Perkotaan dalam pengertian umum yang mereka gunakan adalah “keluar

kampung”. Perkotaan yang dijadikan tujuan urbanisasi terutama adalah

kota-kota yang ada di wilayah Lampung, khususnya Bandar Lampung

sebagai ibukota propinsi. Anak muda Balinuraga yang sudah menjadi

urban ini berpendapat bahwa pengalaman akan mereka dapatkan ketika

ada di kota, atau setelah berada di luar kampung. Umumnya anak muda ini

adalah mereka yang sudah mengeyam pendidikan tinggi (sarjana dan

diploma) di ibukota propinsi, kemudian menjadikan kota sebagai tujuan

untuk bekerja.

Urbanisasi didominasi anak muda Balinuraga lebih disebabkan

faktor pendidikan. Ketika sudah memasuki jenjang Sekolah Menengah

Umum (SMU), maka mau tidak mau, mereka harus melanjutkan

Page 7: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

403

pendidikannya ke ibukota kabupaten (umumnya), dan ke ibukota propinsi

jika ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Melalui

pergaulan di lingkungan sekolah perkotaan, dengan komposisi pelajar yang

heterogen, mereka mendapatkan kesan udik (kampungan) jika mereka

tinggal di desa atau kampung, termasuk di dalamnya bertani. Kesan atau

stigma udik ini yang memotivasi mereka untuk berurbanisasi ke kota.

Mereka yang berhasil di kota memberikan motivasi tersendiri bagi anak

muda lain untuk mencari pengalaman di kota. Ada gengsi tersendiri bagi

anak muda yang bersekolah dan bekerja di kota: menjadi masyarakat urban

atau orang kota. Sektor pertanian bukan profesi yang menjanjikan dan

bergengsi (dicap sebagai pekerjaan informal), terutama mereka yang telah

berpendidikan tinggi dan terpengaruh oleh pola pikir masyarakat kota.

Meskipun beberapa di antara mereka menyadari bahwa penghasilan yang

mereka dapatkan dari bekerja di kota dan pengeluarannya, tentu tidak

sebanding jika mereka mau bekerja di sektor pertanian. Jika dilihat dari

penghasilan yang diperoleh dari sektor pertanian (dikurangi dengan

pengeluaran kebutuhan sehari-hari dan belanja modal pertanian)

dibandingkan dengan penghasilan anak muda (yang telah dikurangi

pengeluaran sehari-hari di perkotaan) yang bekerja di sektor formal dengan

upah sedikit dari UMR (Upah Minimum Regional), maka sebenarnya

penghasilan bersih yang didapatkan lebih menjanjikan jika mereka bekerja

di kampung, sektor pertanian.

Namun, keputusan sebagian anak muda untuk berurbanisasi tidak

dapat disalahkan. Ada alasan mendasar selain tingkat pendidikan yang

berhasil mereka capai dan gengsi bekerja di perkotaan. Pertama, jumlah

tanah pertanian di Balinuraga sudah bersifat stagnan, tidak ada lagi

penambahan tanah pertanian. Kedua, jumlah penduduk yang terus

bertambah, kontras dengan luas tanah pertanian yang sudah stagnan.

Ketiga, faktor yang lebih penting adalah masalah pembagian hak waris

tanah. Umumnya yang mendapatkan hak waris tanah pertanian terbesar

dari orang tua adalah anak laki-laki pertama, atau belakangan ini yang

terjadi, tidak harus anak laki-laki pertama, tapi anak laki-laki (umumnya

bungsu) yang ada kewajiban untuk menjaga orangtuanya di kampung.

Anak laki-laki tersebut mau bertani, entah terpaksa atau kesadaran sendiri.

Jika ada anak laki-laki yang sudah bekerja di kota, maka ia akan

Page 8: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

404

menyerahkan pengelolaan tanah pertanian kepada saudara kandung laki-

lakinya yang lain, sekalian bertugas menjaga orangtuanya. Jika tidak ada

saudara kandung laki-laki atau saudara kandung laki-lakinya juga telah

bekerja di kota, maka lahan pertanian tersebut tetap dikelola oleh

orangtuanya (jika masih mampu), dikerjakan oleh orang lain, atau sebagian

dijual sebagai modal usaha mereka. Mereka yang tidak mendapatkan jatah

tanah warisan atau mendapatkan jatah warisan yang sedikit (karena

dipecah) ini yang kemudian mendorong atau memotivasi mereka untuk

berurbanisasi. Faktor positif dari sistem pembagian tanah ini adalah

kegiatan pertanian di Desa Balinuraga tetap eksis, karena ada regenerasi

dari orang tua ke anaknya, meskipun harus ada yang merelakan diri untuk

tidak bekerja di sektor pertanian, baik karena tidak tertarik dan gengsi,

maupun tidak mendapatkan warisan tanah pertanian yang mencukupi. Ada

pula kasus lain, di mana anak muda merantau atau bertansmigrasi ke

tempat lain yang tanahnya masih tersedia luas dan murah, serta kegiatan

ekonomi di daerah tersebut (sektor industri pertanian, perkebunan) sedang

berkembang pesat. Salah satunya di daerah perbatasan antara Lampung

Timur dengan Sumatera Selatan.

Komang Dodi salah satu pemuda Balinuraga saat ini bekerja di

Kota Bandar Jaya (kota perdagangan di Lampung Tengah) sebagai teknisi

mesin salah satu dealer resmi sepeda motor. Komang menyelesaikan

pendidikan SMU di ibukota Kabupaten Lampung Selatan dan menjadi

lulusan teknik mesin dari universitas negeri di Provinsi Lampung.

Posisinya sebagai sarjana memungkinkan Komang untuk bekerja di sektor

formal dan memutuskan untuk menginggalkan Balinuraga. Meskipun

orang tuanya memiliki tanah pertanian seluas dua hektar, Komang tidak

berminat untuk mengelola tanah pertanian tersebut. Ada perasaaan malu

dan gengsi jika seorang sarjana kembali ke kampung (Desa Balinuraga)

untuk bertani. Hal serupa juga dilakukan oleh saudara kandung Komang

yang bekerja di sektor formal di Bogor, Jawa Barat. Berbeda dengan

Komang, pemuda lainnya seperti Nyoman Surtha bekerja di sektor

pertanian dan sebagai pekerja seni di wilayah Tugu Mulya (Sumatera

Selatan, perbatasan dengan Lampung Timur). Menurut Nyoman yang

merupakan lulusan SMU, ketersediaan tanah di sana masih luas dengan

harga yang terjangkau dan kegiatan ekonomi lebih ramai. Di samping itu,

Page 9: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

405

Nyoman yang tinggal di perkampungan Bali di Tugu Mulya bisa

mengembangkan bakat dan kemampuan seninya. Kemampuan Nyoman ini

memberikan penghasilan yang cukup besar di samping usaha pertaniannya.

Biasanya Nyoman menerima proyek atau pesanan untuk membuat bade

untuk upacara ngaben masyarakat Bali di sana, di mana rata-rata

masyarakat Bali di sana perekonomiannya sudah mapan. Untuk pembuatan

bade rata-rata menghabiskan biaya dari puluhan juta sampai ratusan juta

rupiah. Tergantung dari pihak pemesan. Pada umumnya anak-anak muda

di Balinuraga, khususnya lulusan SMU dan perguruan tinggi, memutuskan

bekerja di kota (keluar kampung) seperti yang dilakukan Komang dan

Nyoman. Tanah pertanian Komang di Balinuraga masih dikerjakan

separuh waktu oleh ayahnya yang masih bekerja sebagai seorang guru,

sedangkan tanah pertanian Nyoman diserahkan kepada orang lain untuk

menggarapnya.

Kasus urbanisasi yang terjadi di Balinuraga, sama seperti

perkampungan lain (Jawa dan Bali) yang setelah orang tuanya mampu

menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi di perkotaan, menyebabkan

perkampungan ini sepi di hari-hari biasa. Desa Balinuraga mulai ramai

ketika ada hari libur nasional (cuti bersama) – mereka yang di kota pulang

ke kampung – dan ketika ada hari raya besar keagamaan dan upacara-

upacara penting (khususnya upacara ngaben). Ikatan sosial yang masih

kuat, di mana identitas kebalian masih melekat pada mereka yang sudah

menjadi masyarakat urban, menyebabkan mereka tidak dapat melepaskan

diri dari keterikatan di kampungnya (Balinuraga). Tidak ada alasan bagi

mereka untuk tidak pulang kampung jika ada upacara besar dan penting

yang jumlahnya tidak sedikit. Karenanya, tidak mengherankan jika para

pengusaha memaklumi jika ada karyawannya yang merupakan Bali Hindu

kerap meminta izin untuk mengikuti kegiatan adat dan agama di

kampungnya.

Sisi positif dari urbanisasi ini adalah adanya transfer kekayaan

(uang tunai) dari mereka yang telah berurbanisasi. Sudah menjadi

kewajiban bagi mereka untuk membantu secara finansial keluarga dan

komunitas adat-keagamaannya, meskipun dalam jumlah yang tidak terlalu

besar (kecuali yang mampu), atau paling minimal adalah bisa pulang ke

kampung beberapa hari untuk ngayah (menyumbang tenaga) saat

Page 10: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

406

diselenggarakan upacara besar dan penting. Sumbangan tanah tersebut

biasanya digunakan untuk merenovasi Pura Keluarga dan Pura Kawitan

Warga sebagai prioritas utama, kemudian untuk membangun dan

merenovasi rumah keluarga mereka.

Konsumerisme dan Pragmatisme

Tidak pada tempatnya bagi penulis secara umum untuk

menyudutkan faham konsumerisme dan pragmatisme. Realitas yang terjadi

di sebagian besar masyarakat di Indonesia untuk saat ini memiliki

kecenderungan ke arah konsumerisme dan pragmatisme. Dalam kasus

masyarakat di Balinuraga sikap dan tindakan yang konsumerisme dan

pragmatisme dianggap menjadi tantangan dan ancaman dalam konteks

tertentu.

Konsumerisme dianggap sebagai ancaman karena perilaku yang

cenderung boros, membelanjakan pendapatan atau uang untuk barang-

barang yang bersifat sekunder (bukan sesuatu yang penting, mendesak, dan

menjadi kebutuhan). Contoh kasus sederhananya adalah kepemilikan dan

pengunaan telepon seluler. Membeli dan menggunakan telepon seluler

untuk saat ini, yang dimiliki hampir setiap anggota keluarga, tentu tidak

dapat disebut sebagai konsumerisme. Hal ini dikarenakan adanya

kebutuhan akan komunikasi dengan anggota keluarga dan relasi,

khususnya yang sudah bekerja di perkotaan dan yang ada di Nusa Penida

dan Bali. Seperti Bu Komang yang menggunakan telepon seluler untuk

berkomunikasi dengan keluarganya yang sebagian masih berada di Nusa

Penida dan ketiga anaknya yang sudah bekerja di luar kota. Membeli dan

menggunakan telepon seluler dikatakan sebagai tindakan yang boros

(konsumerisme) jika melebihi dari yang dibutuhkan secara fungsional dan

cenderung untuk gengsi dan status sosial semata. Misalnya, remaja seperti

Ketut Raka (dan beberapa teman-temannya) yang memiliki telepon seluler

lebih dari dua padahal statusnya belum bekerja dan belum memiliki relasi

bisnis. Biasanya untuk gengsi dan kencan. Kemudian, membeli telepon

seluler yang mahal dengan fitur dan teknologi baru, padahal jaringan yang

mendukung berfungsian fitur dan teknologinya belum ada. Di kalangan

anak muda Balinuraga, dan beberapa orang tua yang memiliki relasi bisnis

dan teman yang banyak, sudah lumrah jika memiliki dua buah telepon

Page 11: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

407

seluler – seperti yang ditunjukkan pengusaha muda Nyoman Dunia. Secara

ekonomi mereka mampu membelinya. Namun, jika pola membeli telepon

seluler lebih dari yang dibutuhkan oleh generasi muda terus berlangsung,

maka lambat laun ini akan menjadi ancaman, karena mereka adalah

generasi penerus bagi kelestarian identitas kebalian leluhur mereka. Bisa

saja – menjadi kekhawatiran generasi tua – jika pola konsumerisme ini

terus berlanjut sampai mereka memasuki tahap dewasa, adalah mereka

lebih mementingkan membeli barang-barang yang tidak perlu daripada

menggunakannya untuk kepentingan adat dan keagamaan yang menjadi

identitas mereka. Dengan kata lain, untuk membeli barang-barang

sekunder mampu, tapi untuk memenuhi kebutuhan primer – untuk

kebutuhan upacara adat dan kegamaan – mereka tidak mampu. Atau

sebaliknya, menghabiskan dana yang besar (cenderung boros,

menghambur-hamburkan uang) untuk menyelenggarakan sebuah upacara

besar dan penting untuk sebuah status sosial dan gengsi, di mana dapat

berujung pada kecemburuan sosial.

Sama seperti konsumerisme, tindakan pragmatisme – kadang

diidentikan dengan modernisasi – tidak sepenuhnya menjadi ancaman. Di

satu sisi, tindakan pragmatis mereka perlukan untuk mengatasi

pemborosan uang dalam penyelenggaraan upacara penting dan besar, yaitu

dengan menjadikan tata cara upacara dan upakara lebih praktis dan

sederhana, tanpa menghilangkan esensi dari upacara tersebut. Pragmatisme

dapat dikatakan menjadi ancaman terhadap identitas mereka jika

pelaksanaanya kebablasan. Artinya, tindakan memeraktiskan dan

penyerhanaan dalam penyelenggaraan upacara telah menghilangkan esensi

dan makna dari upacara tersebut. Tradisi Bali Hindu masyarakat Bali Nusa

ini dikenal kolot. Pragmatisme adalah cara untuk mengatasi kekolotan

tersebut, karena konsekuensi logis dari kekolotan tersebut adalah prosedur

upacara yang berbelit-belit dan akhirnya akan menghabiskan dana dan

tenaga yang besar. Namun, menjadi permasalahan besar jika pemangkasan

prosedur tersebut dilakukan secara besar-besaran, hanya untuk tujuan

praktis dan ekonomis: bagian yang penting dihilangkan, tapi bagian yang

tidak penting yang harusnya bisa dihilangkan sebaliknya dipertahankan

karena bagian ini biasanya lebih praktis. Menurut mereka, jika

pragmatisme dilakukan secara berlebihan, maka: “Bali-nya akan hilang”.

Page 12: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

408

Hal ini dapat dimaklumi karena di sisi yang lain, kekolotan (melalui

prosedur yang rumit dan bertele-tele) menjadi ciri khas dan identitas

mereka.

Perkawinan beda Etnik dan Agama

Kasus ini adalah kasus yang jarang terjadi, karena ada kebiasaan

untuk menikah dengan sesama Bali Hindu, lebih spesifik lagi, menikah

dengan sesama Bali Hindu dengan identitas warga yang sama. Perkawinan

atau pernikahan beda etnik dan agama sebenarnya tidak masalah, baik bagi

laki-laki maupun perempuan, asalkan mereka tidak berpindah agama

mengikuti istri atau suami, tapi sebaliknya istri atau suaminya mengikuti

keyakinan mereka. Permasalahannya adalah jika pernikahan tersebut

menyebabkan mereka meninggalkan keyakinan dan tradisi kebaliannya.

Dengan kata lain, “ikut suami” atau “ikut istri” (mengikuti keyakinan

suami atau istri). Identitas kebalian mereka akan hilang jika setelah

menikah mereka berpindah agama, yang berarti tidak lagi menjadi Hindu

dan Bali.

Memang kasus yang terjadi relatif kecil dan jarang terjadi, tapi

bagi mereka, ini adalah ancaman yang serius terhadap kelestarian identitas

kebalian mereka. Ini tetap menjadi kasus yang sensitif. Mereka yang “ikut

suami” atau “ikut istri”, baik langsung maupun tidak langsung, akan

terkucilkan dengan sendirinya. Mengapa demikian? Karena begitu mereka

tidak lagi menjadi Hindu, otomasi kewajiban adat mereka sebagai seorang

Bali dan Hindu akan hilang. Artinya, identitas kebalian itu telah pudar

seketika. Bagi mereka, ikut suami atau ikut istri dengan alasan cinta

apalagi untuk kepentingan politik dan karir adalah alasan yang tidak masuk

akal dan tidak dapat diterima. Diibaratkan sebagai orang yang murtad.

Bagi pihak keluarga, jika ada anggota keluarganya mengambil keputusan

tersebut, akan mendatangkan rasa malu, meskipun tidak mendapatkan

pengucilan secara khusus seperti mereka yang ikut suami atau ikut istri

tersebut. Sejauh ini permasalahan cinta dan jodoh dalam pernikahan beda

etnik dan agama cukup longgar. Tidak ada larang khusus untuk menjalin

hubungan asmara (pacaran) dengan etnik lain yang berbeda agama. Tapi,

syaratnya yang ketat ketika sampai ke jenjang pernikahan adalah calon

Page 13: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

409

pengantin tetap mempertahankan identitas Bali Hindunya, tidak “ikut

suami” atau “ikut istri”.

Ni Putu Shanti dan I Made Santeri berasal dari dua identitas warga

yang berbeda. Shanti berasal dari Warga Pandé, sedangkan Santeri berasal

dari Warga Pasek. Meskipun tidak ada permasalahan yang mendasar,

karena tidak berpindah kepercayaan, pernikahan keduanya masih dianggap

kurang ideal. Ini dikarenakan antara Warga Pandé dan Pasek mempunyai

beberapa tata ritual dan upacara adat keagamaan yang berbeda. Pihak

perempuan, Ni Putu Shanti, harus menyesuaikan diri dengan tradisi

keluarga Santeri yang berasal dari Warga Pasek. Di sisi lain, Shanti dapat

dikatakan tidak lagi menjadi Warga Pandé karena sudah menjadi Warga

Pasek (mengikui warga suaminya). Pernikahan yang ideal dapat

ditunjukan dari pasangan Ni Wayan Bunga dan I Made Gagah. Keduanya

berasal dari satu identitas warga yang sama, yaitu Pandé. Karena itu,

keduanya bisa mengikuti tradisi yang sama, tanpa harus meninggalkan

tradisi leluhurnya, khususnya dari pihak perempuan. Permasalahan yang

pelik adalah pernikahan antara Ni Ketut Asti dengan Joko dan I Nyoman

Besar dengan Kusumawati. Baik Ni Ketut Asti maupun I Nyoman Besar

mengikuti kepercayaan pasangannya. Akibatnya, mereka kehilangan

identitas kebaliannya. Meskipun keduanya masih mengadakan silaturahmi,

namun secara adat dan kepercayaan, keduanya tidak lagi dianggap sebagai

Bali.

Politisasi (Massa) Umat untuk Kepentingan Politik Praktis dan

Politik Uang

Politisasi umat untuk kepentingan politik praktis dan politik uang

dari beberapa kalangan elit politik yang mengatasnamakan Bali Hindu

bekerja sama dengan elit politik non-Bali merupakan ancaman yang baru

muncul pasca jatuhnya Suharto dan mulai diberlakukannya pemilihan

langsung. Kompaknya komunitas Bali Hindu di Balinuraga dan

perkampungan Bali – massa pemilih lebih mudah untuk dikonsolidasi –

lainnya adalah sasaran empuk dari beberapa elit politik Bali dan non-Bali

untuk mendulang perolehan suara saat pemilihan langsung. Terutama saat

diselenggarakan upacara-upacara penting. Bagi beberapa elit yang

mengatasnamakan Bali Hindu (umat Hindu Dharma) kesempatan ini

Page 14: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

410

digunakan untuk kepentingan politik praktis dirinya sendiri dan

golongannya, serta ada yang mencoba menjualnya kepada calon-calon

anggota legislatif atau pun kepala daerah.

Politisasi ini dianggap sebagai ancaman serius karena dianggap

menjual suara umat Hindu Dharma. Dengan kata lain, jika ini terjadi, maka

dapat dikatakan bahwa identitas kebalian mereka dapat ditransaksikan oleh

segelintir elit politik, dan dapat merusak citra identitas kebalian. Para

tokoh adat dan agama tidak ingin kekompakkan umat ini dijadikan sebagai

komoditas politik yang bisa diperjualbelikan atau digunakan untuk

kepentingan politik praktis dan politik uang elit-elit tertentu, karena

dianggap merendahkan martabat (harga diri) umat. Dalam beberapa kasus

pemilihan legislatif dan kepala daerah, elit politik yang justru mendapat

kecaman justru berasal dari kalangan mereka sendiri. Mengapa? Karena

elit ini dan melaluinya massa bisa dikonsolidasi, baik untuk kepentingan

politik praktisnya sendiri maupun kepentingan politik elit lain. Seperti

yang dilakukan I Kadek Rasa, tokoh pemuda dari Banjar Pandéarga.

Sebagai tokoh pemuda dan salah satu elit desa dan banjar dapat dengan

mudah mengetahui waktu dan tempat yang tepat di mana massa (umat)

berkumpul saat diberlangsungkan upacara adat dan keagamaan. Menyadari

tindakan ini sebagai ancaman, umat dan para tokoh masyarakat (adat dan

agama) non-partisan lebih mengambil sikap netral. Artinya, mereka akan

memilih berdasarkan pilihan rasionalnya sendiri terhadap calon-calon yang

berkampanye dengan pertimbangan atau masukan dari para tokoh yang

non-partisan. Ini dikarenakan setiap calon yang berkampanye selalu

mengatakan bahwa mereka akan menjadi penyambung lidah komunitas

mereka sebagai umat (Hindu Dharma), dan selalu mendonasikan sejumlah

dana untuk kepentingan umat. Jadi, mereka tidak persoalkan slogan

kampanye mereka untuk kepentingan umat maupun jumlah donasi.

Terpenting adalah suara mereka sebagai perwakilan umat (etnis Bali

beragama Hindu Dharma) tidak dapat diperjualbelikan oleh segelintir elit.

Sekte atau Aliran Baru dalam Hindu Modern

Agama Hindu Dharma di Indonesia, sama seperti Nasrani

(Protestan dan Katholik), seiring dengan proses modernisasi atau

Hinduisasi yang condong berkiblat ke India sebagai sentral telah

Page 15: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

411

memberikan sebuah ruang kosong untuk tumbuh dan berkembanganya

aliran-aliran baru (sekte-sekte baru) di mana salah satu karakteristiknya

(sebagai aliran non-mainstream) adalah eksklusif dan cenderung radikal

(fundamental). Ada dua aliran baru dalam perkembangan agama Hindu di

Indonesia yang dimulai di tahun 1980-an, yaitu Sri Sathya “Sai Baba” dan

“Hare Krishna”263

. Kedua sekte ini, Sai Baba dan Hare Krishna, kurang

lebih sama, hanya saja Hare Krishna jumlah anggotanya lebih kecil dan

lebih radikal daripada Sai Baba264

. Keeksklusifan kedua aliran ini,

cenderung radikal dan fundamental, menyebabkan kedua aliran ini

mendapatkan tentangan tidak hanya di Bali, dan uniknya, aliran ini juga

berkembang di kalangan umat Hindu Dharma di Lampung, dan dalam

kasus di Balinuraga, aliran ini – khususnya Hare Krishna – mendapatkan

tentangan yang keras dari masyarakat atau umat Hindu Dharma (Bali

Hindu).

Berkembangnya aliran Hare Krishna di Lampung pada kalangan

masyarakat Bali Hindu (umat Hindu Dharma), khususnya (pernah) sampai

di Balinuraga, cukup mengejutkan dan unik bagi penulis. Aliran Hare

Krishna pernah berkembang di Balinuraga sekitar tahun 1990-an, sampai

akhirnya (tidak diketahui kapan persisnya) kelompok aliran ini akhirnya

meninggalkan Balinuraga. Pengikutnya tidak banyak, hanya beberapa

kepala keluarga saja. Para pengikut aliran ini hidupnya tertutup dan

eksklusif. Mereka tidak bergabung dengan berbagai upacara adat dan

keagamaan seperti yang biasanya berlaku dalam masyarakat Bali Hindu,

dan cenderung menutup diri. Menurut masyarakat, mereka adalah Hindu

yang lain, bukan seperti layaknya Hindu Bali, tapi lebih ke Hindu India.

Konsekuensinya, aliran ini dianggap oleh masyarakat sebagai aliran atau

263

Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai gerakan kedua aliran ini di Bali,

khususnya gerakan “Sai Baba”, lihat: Howe, Leo. (2005), “Hinduism, Identity,

and Social Conflict: the Sai Baba Movement in Bali”, dalam Hinduism in Modern

Indonesia: A Minority Religion between Local, National, and Global Interests,

Edited by Martin Ramstedt, London & New York: RoutledgeCurzon & NIAS; dan

Howe, Leo. (2005: 91-110), „The New Religions of Bali: Agama Hindu dan Sri

Sathya Sai Baba (Chapter 5)‟, dalam The Changing World of Bali: Religion,

society and tourism, London & New York: Routledge, Taylor and Francis Group. 264

Op.cit (Howe 2005)

Page 16: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

412

sekte yang “sesat” karena menyimpang dari Hindu yang selama ini

diterapkan oleh masyarakat Balinuraga dan masyarakat Bali pada

umumnya. Aliran ini menurut mereka lebih mengutamakan kerohanian

Hindu modern (lebih ke-India-an), sangat berbeda dengan Hindu-nya Bali,

sehingga adat benar-benar terpisah dari keagamaan. Keberadaan aliran ini

dianggap sebagai ancaman, meskipun Hindu dan pengikutnya adalah Bali,

karena menurut masyarakat aliran ini tidak ada kebaliannya atau Bali

Hindunya. Jika aliran ini terus menyebar di kalangan masyarakat,

dikhawatirkan identitas kebalian mereka akan hilang, sebaliknya yang

muncul adalah ke-India-an. Oleh karena itu, aliran-aliran modern dalam

Hindu atau sekte-sekte dari India ini dianggap sebagai ancaman bagi

eksistensi identitas kebalian mereka setelah berada di Lampung. Menurut

mereka, antara Bali dan Hindu itu sulit untuk dipisahkan, keduanya

menyatu seperti dua sisi uang logam. Meskipun aliran Hare Krishna untuk

saat ini vakum berkembang di kalangan masyarakat Balinuraga, namun

berdasarkan informasi yang ada dari beberapa pemuda yang memahami

pergerakan organisasi-organisasi Hindu di Lampung, aliran ini mempunyai

basis di Bandar Lampung. Pengikutnya (mayoritas) adalah anak-anak

muda Bali Lampung yang sedang studi di Bandar Lampung. Aliran ini

memang eksklusif. Mereka hidup di sebuah asrama dengan aturan hidup

yang disiplin (seperti di biara-biara: bekerja dan berdoa), sembari ada

waktu yang disediakan untuk bersosialisasi.

Tanpa bermaksud menyudutkan aliran ini, namun bagi sebagian

besar masyarakat Balinuraga yang hidup dalam tradisi Hindu Bali, aliran

ini dianggap sebagai ancaman bagi identitas mereka lebih dikarenakan

tidak adanya unsur kebalian dalam aliran ini meskipun aliran ini berinduk

pada Hindu-nya India. Bagi kalangan yang konservatif (kolot) aliran ini

tentunya mendapatkan tentangan yang keras. Informasi dari masyarakat

dan sejumlah tokoh, masyarakat Balinuraga menolak keberadaan aliran ini

di Balinuraga. Mereka khawatir identitas kebalian akan hilang jika aliran

ini semakin berkembang luas dan mendapatkan banyak pengikut dari

generasi muda, baik yang sudah berkeluarga (keluarga muda) maupun

yang belum berkeluarga, dan ada kekhawatiran akan memecah-belah

persatuan umat di Balinuraga. Toh, akhirnya aliran ini mendapatkan

pengakuan sebagai salah satu sekte atau aliran dalam Hindu, dan sejauh

Page 17: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

413

ini, sebagai sekte yang cukup radikal tidak melakukan tindakan kekerasan

dan penghinaan terbuka terhadap keyakinan lain. Peran PHDI dalam kasus

ini adalah tetap sebagai penengah dan penjaga kerukunan umat agar tidak

terjadi perpecahan. Menurut informasi yang diterima, aliran yang sejak

mulanya mengucilkan diri dan dikucilkan oleh masyarakat, akhirnya

secara sukarela pindah ke tempat lain dengan tetap membangun komunitas

yang eksklusif.

Arus Informasi dan Teknologi Informasi

Televisi dan telepon seluler adalah media dan teknologi informasi

yang hampir dimiliki oleh masyarakat Bali Nusa di Balinuraga. Televisi

berwarna (dengan perangkat parabola) dan telepon seluler mulai dari

keluaran lama sampai baru bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat

Balinuraga. Hampir setiap keluarga dan anggota keluarga memilikinya

(televisi berwarna dan telepon seluler). Telepon seluler lebih umum

digunakan oleh masyarakat daripada jaringan telepon rumahan. Untuk

saluran televisi, sebagian menggunakan antena parobala, dan sebagian

yang lain menggunakan antena televisi biasa karena untuk saat ini hampir

semua saluran televisi swasta nasional sudah dapat diterima di Balinuraga

(seperti: MetroTV, ANTV, TV One, Global TV, RCTI, SCTV, Trans TV

dan Trans 7).

Hadirnya media informasi, televisi, tidak secara mutlak

menimbulkan ancaman yang serius. Walaubagaimana pun fungsi televisi

sebagai media informasi dan media hiburan memberikan manfaat bagi

mereka. Sebagai media informasi mereka dapat mengikuti perkembangan

politik yang terjadi di Jakarta secara up-to-date dengan adanya siaran

langsung. Kasus yang menarik, yang untuk beberapa saat merubah pola

menonton masyarakat, adalah siaran langsung sidang Pansus Century yang

dilangsungkan secara terus menerus dalam siaran langsung (live) di

beberapa televisi swasta265

. Dramatisasi politik yang dilakukan oleh

anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) tersebut cukup menarik

265

Sidang Pansus Century mulai marak disiarkan di beberapa stasiun televisi

swasta dan menyita perhatian publik pada penghujung tahun 2009 (November-

Desember).

Page 18: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

414

perhatian masyarakat, sehingga akhirnya mereka terangsang untuk

mengikutinya secara terus menerus layaknya sebuah sinetron bersambung.

Sebuah kesimpulan (berupa analisa politik) yang menarik dari sebagian

kalangan masyarakat yang mengikuti sidang Pansus Century terebut, yaitu

kebodohan para anggota legislatif pusat, seperti tidak memiliki pekerjaan

lain yang lebih penting, menghabiskan waktu dan uang untuk sebuah

sidang yang akhrinya tidak memberikan hasil apa-apa bagi rakyat. Sebagai

media hiburan, hadirnya televisi memberikan efek positif bagi mereka

sebagai sarana hiburan yang murah meriah dengan acara-acara box-office

dan sinetron-sinetron kejar tayang. Bagaimana tidak. Tidak ada hiburan di

desa, sebagai sarana hiburan untuk melepas kepenatan, kecuali organ

tunggal yang diselenggarakan ketika ada hajatan perkawinan (peminatnya

pun terbatas pada anak-anak muda, dan orang tua lebih memilih menonton

televisi sebagai hiburan). Ancaman yang bisa dianggap serius dari media

televisi adalah menonton sebuah siaran secara terus menerus (seperti

kecanduan). Misalnya, sinetron yang umumnya diminati kaum perempuan

dan ibu rumah tangga, serta film kartun (action) yang dimintai oleh anak-

anak. Seperti yang sudah banyak dikritisi oleh banyak kalangan, tayangan

sinetron di Indonesia umumnya tidak banyak mendidik penontonya

(pemirsa). Unsur masyarakat urban yang hedonis dan konsumerisme lebih

banyak ditonjolkan, seolah-olah mewakili realitas kebanyakan masyarakat

Indonesia – dalam bahasa gaulnya sinetron-sinetron tersebut lebih banyak

unsur lebay-nya (terlalu berlebih-lebihan, menghindari realitas atau

kenyataan sosial yang ada). Begitu juga halnya film kartun dan terkadang

siaran berita yang menonjolkan aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas. Efek

dari tayangan ini memang tidak muncul seketika. Namun, dalam beberapa

kasus kecil ada beberapa tindakan dari anak muda dan keluarga muda yang

terinspirasi oleh tanyangan sinetron. Misalnya, mode atau dandanan yang

lebih modis ketika sedang ada acara di pura (terlalu menarik untuk

menghadiri kegiatan religius) – tetap menggunakan busana adat, tapi lebih

modis – menggunakan panggilan “mami” dan “papi” sebagai pengganti

panggilan “ibu” dan “ayah / bapak”.

Penggunaan telepon seluler efeknya (mungkin) lebih terlihat

menonjol daripada efek tayangan televisi. Kasus sederhananya adalah

penggunaan telepon seluler ketika sedang berlangsung sebuah upacara

Page 19: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

415

tertentu, atau “lupa” mematikan (turn-off atau silent) telepon seluler.

Umumnya ini dilakukan oleh anak muda yang lebih akrab yang telepon

seluler. Meskipun bukan merupakan ancaman yang serius untuk saat ini,

tapi tindakan menerima panggilan telepon atau telepon berbunyi ketika

upacara berlangsung, menyebabkan kekhusukan atau kereligiusan sebuah

upacara menjadi berkurang. Ada kesan kurang menghargai keluhuran dari

upacara tersebut. Jika tidak diantisipasi serius, bukan tidak mungkin,

kejadian seperti ini akan terus berlangsung dan akhirnya sikap tersebut

menyebabkan keacuhaan akan identitas kebalian mereka yang turut

termanifestasikan dalam penyelenggaraan upacara-upaacara dan ritual-

ritual adat dan keagamaan. Terkadang ada semacam pemberitahuan agar

telepon seluler dimatikan atau didiamkan sebelum upacara berlangsung

agar tidak menggangu jalannya upacara, namun kasus telepon seluler yang

berbunyi saat upacara tetap saja ada. Menariknya, nada panggilan telepon

seluler ada yang menggunakan Kidung Hindu, tapi sebaliknya ada yang

menggunakan lagu-lagu pop (dan beberapa lagu rock) dari dalam dan luar

negeri.

Peluang dan Keunggulan terhadap Kelestarian Identitas

Kebalian

Lingkungan baru dengan kondisi dan situasi alam dan sosial yang

berbeda dengan tempat asal menghadirkan berbagai peluang sekaligus

ancaman (seperti yang telah dipaparkan di atas). Setidaknya ada dua

peluang utama yang mereka manfaatkan dalam lingkungannya yang baru,

yaitu peluang ekonomi dan peluang sosial – peluang atau kesempatan

untuk memodifikasi atau penyesuaian sistem sosial mereka yang dianggap

kurang relevan (khususnya yang bersifat diskriminatif) terhadap

lingkungan yang baru. Keunggulan atau yang menjadi kekuatan mereka

dalam upaya melestarikan identitas kebalian, sebenarnya adalah sistem

sosial mereka sendiri. Sebuah sistem yang secara struktural dan fungsional

membentuk karakter anggota dan komunitas, baik untuk mengambil

peluang maupun sebagai pelestari identitas kebalian mereka.

Page 20: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

416

Peluang Ekonomi untuk Kelestarian Identitas dan Pembangunan

Lingkungan yang baru – daerah transmigrasi di Lampung –

menawarkan peluang ekonomi yang besar dibandingkan tempat asal

mereka di Nusa Penida (Bali), yaitu peluang ekonomi di bidang pertanian.

Ketersediaan tanah sebagai modal utama di bidang pertanian masih luas

(tahun 1963 saat pertama kali mereka bertransmigrasi) dan murah, kontur

tanah datar dan subur, serta didukung oleh kebijakan pemerintah pusat

yang mendukung daerah transmigrasi di Lampung sebagai daerah

penghasil beras. Dengan kata lain, peluang dan kesempatan ekonomi

terbuka lebar di daerah transmigrasi bagi siapa saja yang mau bekerja

keras.

Jika melihat kondisi perekonomian mereka saat ini dan melihat

bagaimana perkembangan eksistensi identitas kebalian, maka menjadi jelas

bahwa peluang ekonomi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh

masyarakat Bali Nusa yang menjadi transmigran. Setelah lebih dari empat

dasawarsa mereka bertransmigrasi, komunitas ini berhasil membangun

sebuah desa dinas dan desa adat yang mayoritas anggotanya adalah

masyarakat Bali Nusa. Tidak mungkin mereka dapat membangun sebuah

komunitas Bali Hindu di level desa dan banjar jika mereka tidak berhasil

memanfaatkan peluang ekonomi tersebut. Sebuah komunitas adat dan

keagamaan yang lengkap dengan sistem sosial dan pranata-pranata

sosialnya. Hampir seluruhnya mereka bangun dan kembangkan

menggunakan tenaga dan dana sendiri. Dana itu sendiri tidak mungkin

datang tiba-tiba jika mereka tidak berhasil memanfaatkan peluang ekonomi

tersebut dengan baik. Untuk membangun infrastruktur adat dan keagamaan

seperti Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem),

Pura Kawitan Warga, Pura Keluarga, Bale Banjar, dan lain-lain,

membutuhkan biaya dan tenaga serta waktu yang tidak sedikit.

Pembangunan dilakukan secara kolektif dengan dana sendiri, tidak ada

bantuan dari pemerintah. Ini menunjukkan bahwa peluang ekonomi yang

berhasil dimanfaatkan dengan maksimal sangat menunjang eksistensi

kelestarian identitas kebalian mereka dan pembangunan – tidak hanya

pembangunan fisik infrastruktur adat dan keagamaan, tapi juga

pembangunan komunitas tersebut sebagai komunitas Bali Hindu.

Page 21: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

417

Kelestarian atas eksistensi identitas kebalian tidak cukup pada lengkapnya

pembangunan infrastruktur-infrastruktur adat dan keagamaan tersebut, tapi

juga pada pembangunan non-fisik yang mencerminkan kebalian mereka.

Misalnya, pelaksanaan dan penyelenggaraan upacara dan ritual adat-

keagamaan dari yang bersifat harian sampai yang bersifat besar dan

penting. Semuanya membutuhkan biaya. Pembangunan komunitas yang

bersifat non-fisik ini membutuhkan biaya yang bersifat berkesinambungan,

dari biaya yang relatif kecil untuk upacara yang bersifat harian dan

berkala, sampai biaya yang relatif besar untuk upacara besar dan penting.

Tanpa pemanfaatan peluang ekonomi yang maksimal, pembangunan ini

tidak dapat berhasil seperti sekarang, di mana pembangunan itu sendiri

merupakan cerminan dari kelestarian atas eksistensi identitas kebalian

mereka.

Dalam perkembangannya, peluang ekonomi di bidang pertanian

selalu terbuka lebar. Artinya, ketika areal pertanian di Balinuraga sudah

mencapai taraf stagnan, peluang ekonomi pertanian di tempat lain masih

terbuka lebar. Peluang ekonomi yang kemudian dimanfaatkan oleh

sebagian masyarakat Balinuraga untuk melakukan ekspansi pertanian, dari

pertanian (padi) ke perkebunan tanaman keras. Mereka yang berhasil

memanfaatkan peluang ini akan semakin memantapkan perekonomian

keluarganya. Ini bukan berarti peluang ekonomi pertanian di Balinuraga

sudah stagnan. Jumlah areal pertanian sudah mencapai taraf stagnan

setelah tiga dasawarsa, tapi peluang ekonomi pertanian dari mereka yang

memiliki lahan selalu terbuka lebar. Misalnya, menanam palawija di saat

musim kemarau, memanfaatkan teknologi baru di bidang pertanian, mulai

dari penggunaan mesin sampai pengunaan bibit-bibit varietas baru. Begitu

pula peluang lain di luar sektor pertanian yang banyak dimanfaatkan oleh

generasi muda di Balinuraga, yaitu dengan bekerja di sektor formal dan

informal di perkotaan. Sumbangan terbesar dari kalangan ini terkait

dengan kelestarian identitas kebalian adalah transfer dana untuk

menunjang segala aktivitas adat dan keagamaan yang menjadi identitas

kebalian mereka (seperti donasi untuk kas Pura), dan jika keadaan dan

waktu memungkinkan, mereka menyumbangkan tenaga atau ngayah jika

ada penyelenggaraan upacara besar dan penting.

Page 22: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

418

Sebagai perbandingan, sampai saat ini peluang ekonomi di

wilayah Lampung lebih besar daripada di Nusa Penida, Bali, tanah leluhur

mereka. Dapat dikatakan keadaan ekonomi kerabat dan saudara mereka di

Nusa Penida tidak ada perkembangan yang signifikan, karena kondisi alam

di sana yang memang tidak memungkinkan bertumbuhnya perekonomian

secara signifikan. Dalam kasus di Balinuraga, mereka yang berhasil adalah

mereka yang berhasil memanfaatkan peluang ekonomi ini dengan

maksimal. Kemudian, mereka yang berhasil ikut mendonasikan sejumlah

dana dan tenaga (pulang kampung) untuk berbagai kegiatan adat dan

keagamaan di Nusa Penida. Ini merupakan sebuah kewajiban bagi mereka,

dan ini juga ditujukan sebagai kelestarian eksistensi identitas mereka

sebagai Bali Nusa. Melepas kewajiban dan tanggungjawab adat dan

keagamaan di Nusa Penida sama saja dengan melepas identitas kebalian

mereka sebagai Bali Nusa. Seperti kata pepatah: “tidak ada makan siang

gratis”. Begitu pula dalam hal pelestarian identitas. Tidak ada yang gratis,

semua butuh biaya. Dan biaya tersebut, hanya bisa dipenuhi dengan

semaksimal mungkin memanfaatkan peluang ekonomi yang ada, jika

perlu, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Bali Nusa di Balinuraga,

adalah bertransmigrasi atau merantau.

Peluang Sosial: Revisi Sistem Sosial

Lingkungan sosial yang baru memberikan peluang sosial bagi

komunitas Bali Hindu di Balinuraga untuk melakukan modifikasi sistem

sosial. Faktor utama yang menyebabkan peluang ini muncul adalah lokasi

lingkungan sosial yang jauh dari lingkungan sosial tempat asal mereka

(pusat). Aktor atau agen perubahannya adalah masyarakat itu sendiri yang

diwakili oleh patronnya. Ini adalah bagian dari adaptasi komunitas ini

terhadap relevansi sistem tradisional mereka atas lingkungan yang baru.

Modifikasi ini bukan berarti menghilangkan sistem sosial yang menjadi

warisan leluhur dan identitas mereka, tapi melakukan beberapa revisi

kontekstual berdasarkan lingkungan yang baru. Garis besarnya yang paling

mencolok adalah bagaimana menjadikan sistem sosial yang tradisional ini

menjadi lebih egaliter, tidak diskriminatif. Contoh sederhananya (seperti

yang dipaparkan pada bab sebelumnya) adalah menggunakan sistem warga

daripada sistem wangsa warisan masa kerajaan dan kolonial yang

Page 23: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

419

cenderung manipulatif atas sistem varna (warna). Sistem warga ini dinilai

lebih egaliter, tidak diskriminatif, dan tidak ada perlakukan istimewa

terhadap kalangan atau kelompok tertentu berdasarkan garis keturunan

leluhurnya. Kini, status sosial lebih condong ditentukan oleh kemampuan

si individu (kepengetahuan dan keterampilannya dalam bidang tertentu,

terutama di bidang adat istiadat dan keagamaan) dan tingkat ekonominya.

Dengan kata lain, sistem sosial tersebut mulai bergeser dari sistem sosial

tradisioanal – yang cenderung menekankan patron-klien (feodal), hak-hak

istimewa berbadasarkan garis keturunan (seperti wangsa, kasta) – menjadi

sistem sosial yang lebih modern, di mana kedudukan atau status sosial

individu lebih ditentukan oleh faktor profesionalitas dan kapabilitas, selain

faktor kapitalisme (kekayaan, kepemilikan modal)sebagai pengaruh

lingkungan baru yang masyarakatnya (Lampung) mulai masuk ke dalam

masyarakat industri (pertanian). Jadi, modifikasi atau revisi sistem sosial

tradisional tersebut terbatas pada unsur-unsur yang dianggap tidak relevan

dengan lingkungan sosial mereka yang baru, bukan sebuah revolusi radikal

atas sistem sosial tradisional tersebut, karena itu adalah identitas mereka.

Realitas ini menunjukkan bahwa sistem sosial masyarakat – dalam

kasus ini sistem sosial yang masih tradisional – tidak bersifat absolut,

kaku, atau ajeg. Revisi dimungkinkan terjadi, dan dilakukan oleh individu

atau komunitas yang secara struktural dan fungsional berada di dalam

sistem tersebut karena itu adalah identitasnya, atas unsur-unsur yang

dianggap sudah tidak relevan lagi di lingkungan baru yang jauh dari

tempat asal sistem tersebut. Kemudian, unsur yang direvisikan tersebut

adalah cenderung pada unsur-unsur yang bersifat feodal dan diskriminatif.

Dapat dikatakan, sistem sosial yang tradisional ini sedang berada di masa

antara atau peralihan ke sebuah sistem sosial yang lebih modern – dalam

kasus ini sebuah sistem yang lebih rasional dan manusiawi. Perubahan ini

bersifat kontinuitas (berkelanjutan) sesuai dengan perkembangan waktu,

tantangan, dan perubahan sosial yang lebih besar. Jadi, identitas kebalian

di luar Bali tidak bisa dinilai atau dijadikan (harus) sama persis seperti di

Bali, karena konteksnya berbeda. Garis besarnya tetap sama, namun ada

beberapa unsur yang mengalami revisi sebagai bagian dari proses

penyesuaian atas lingkungan yang baru. Perubahan secara radikal,

mungkin (untuk saat ini) tidak terjadi, mengingat akibat dari perubahan

Page 24: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

420

secara radikal atas sistem sosial yang tradisional tersebut mengakibatkan

hilangnya identitas kebalian itu sendiri. Dengan kata lain, revisi tersebut

dilakukan atas dasar koridor dan ruang kosong yang sebenarnya telah

disediakan oleh sistem itu sendiri sebagai akibat dari adanya kontradiksi-

kontradiksi unsur-unsur di dalam sistem tersebut: ada konsep yang

menjunjung tinggi perubahan / penyesuaian, keegaliterian, dan kemanusian

(seperti konsep kala dan patra, Tri Hita Karana, menyama braya

(menyame braye), dan lain-lain), tapi di sisi lain, ada konsep yang

cenderung diskriminatif seperti konsep wangsa (kasta) yang cenderung

manipulatif.

Sistem Sosial Masyarakat Bali sebagai Sebuah Keunggulan

Keberadaan dan eksistensi identitas kebalian di komunitas Bali

Hindu di Balinuraga dan perkampungan Bali lainnya di Lampung tidak

dapat dilepaskan dari eksistensi sistem sosial yang berlaku dalam

masyarakat Bali. Sebuah sistem sosial yang kompleks, di mana di

dalamnya terdapat (sub-) sistem-sistem lain yang saling berkaitan satu

dengan yang lain, seperti sistem adat, sistem keagamaan, sistem

kekerabatan, sistem politik, sistem ekonomi, dan sebagainya. Setiap (sub-)

sistem-sistem tersebut terwadahi oleh berbagai organisasi, perkumpulan

atau kelompok tradisional yang disebut seka (di level yang lebih kecil dan

spesifik), banjar, dan desa adat. Kompleksnya sistem tersebut terkadang

terjadi tumpang tindih secara teknis dan fungsional antara satu seka dengan

seka yang lain, dan bagi mereka itu bukan sebuah masalah atau biasa saja.

Sistem sosial ini bersifat mengikat setiap anggotanya. Kuatnya

ikatan ini pun terwarisi sampai generasi berikutnya (pasca transmigran

pertama). Sistem sosial ini sudah melembaga. Sistem sosial ini mengikat

individu-individu (anggota komunitas) ke dalam berbagai kesatuan atau

kelompok bercorak tradisional di mana setiap kesatuan atau kelompok ini

memiliki peran atau fungsi yang hampir sama, yaitu sebagai lembaga adat

dan keagamaan. Sistem sosial ini sudah terstruktur, dan menstruktur setiap

anggotanya. Inilah yang menjadi keunggulan komunitas Bali Hindu yang

ada di Lampung pada umumnya, dan dalam kasus ini komunitas Bali

Hindu di Balinuraga, sehingga menjadikan komunitas ini bisa secara

berkesinambungan melestarikan dan mengaktualisasikan identitasnya

Page 25: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

421

setelah berada di luar Bali. Kompleksnya sistem ini, yang tidak terbatas

pada adat dan keagamaan, tapi juga ke bidang ekonomi, politik, kesenian,

dan sebagainya, menyebabkan komunitas ini bisa melakukan proses

pembangunan fisik dan non-fisik untuk kepentingan komunitasnya.

Model kepemimpinan sampai pengorganisasian lembaga-lembaga

(semi) tradisional semua sudah tersedia dan terstruktur dalam sistem sosial

ini. Misalnya, siapa yang layak menjadi pemimpin (seperti pemimpin adat,

agama, seka, banjar, desa adat) dan bagaimana pemilihannya, siapa yang

menjadi pembantunya, apa tugasnya (hak dan kewajiban), prosedur-

prosedur apa yang harus dilakukan untuk upacara dan ritual tertentu, dan

lain-lain. Dalam kasus yang sederhana pun, misalnya penentuan hari baik

untuk melakukan kegiatan tertentu, semuanya sudah ada dan tersedia

dalam sistem ini, dan ini tetap diadaptasi oleh mereka karena ini sudah

menjadi bagian dari dalam diri mereka seperti sistem itu sendiri. Untuk

membangun sebuah rumah atau pun pura, semua memiliki prosedur yang

sudah tersedia dalam sistem ini. Mereka tidak bisa membangunnya tanpa

mempertimbangkan dan menerapkan berbagai prosedur tersebut. Begitu

pula dalam hal prosedur tata upakara (penyajian bantenan atau sesajen),

semua memiliki prosedur, dan setiap prosedur memiliki makna serta ada

semacam sanksi jika melanggar prosedur-prosedur tersebut.

Sistem sosial ini menjadikan kehidupan mereka lebih tertata rapi

secara organisasional, meskipun masih berada di masa peralihan dari

sistem sosial yang tradisional ke modern. Apa yang harus dilakukan dan

apa yang tidak boleh dilakukan sudah ditentukan dalam sistem sosial ini.

Jika sistem ini tidak terlembaga sampai ke level individu, dan sistem

tersebut akhirnya menjadi identitas individu tersebut, maka sangat sulit

menciptakan tatanan sosial seperti ini. Ini yang menyebabkan mengapa

masyarakat Bali Nusa, meskipun tidak mendapatkan sponsor dari

pemerintah, mereka bisa membangun komunitasnya dengan mandiri.

Sistem yang telah terstruktur pada setiap anggota komunitasnya

menyebabkan mereka tahu apa yang harus mereka lakukan untuk

membangun sebuah komunitas Bali Hindu setelah berada di Lampung.

Sebuah kesadaran yang bersumber dari alam bawah sadar mereka untuk

melakukan tindakan tersebut. Tanpa harus diberitahu atau pun

diperintahkan, mereka sudah tahu secara otomatis, bahwa ketika mereka

Page 26: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

422

sudah berada di Lampung mereka harus membangun Pura Kahyangan Tiga

dan Rong Telu di level keluarga (meskipun masih sangat sederhana di

masa awal transmigrasi). Begitu pula dengan pembangunan infrastruktur

adat dan keagamaan lainnya, termasuk pemimpin yang menjadi patron

bagi anggota komunitas. Dengan kata lain, sistem sosial dalam masyarakat

Bali yang sudah melembaga ini memiliki sebuah mekanisme kerja yang

otomatis, seperti sebuah mesin. Mekanisme ini yang kemudian

mengerakkan sumber daya yang ada (anggota komunitas) untuk menata

komunitasnya berdasarkan tatatan yang sudah tersedia di dalam sistem

tersebut. Kerja nyata dari mesin sosial ini (sistem sosial masyarakat Bali)

dapat dilihat saat ini dari eksistensi identitas kebalian mereka setelah

berada di luar Bali. Jika mesin sosial ini tidak bekerja, tentu berbagai

komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung, termasuk di Balinuraga,

sudah hancur – dalam arti kebaliannya hilang karena membaur dengan

komunitas lain, seperti yang terjadi dengan komunitas Jawa – dan tidak

bisa membangun sebuah perkampungan Bali yang lengkap dengan

institusi-institusi adat-keagamaan dengan berbagai macam pranata dan

infrastruktur fisik dan non-fisik sebagai penunjang keberlangsungan sistem

sosial tersebut. Ini yang menyebabkan mengapa komunitas Bali yang di

Bali tersebar ke dalam berbagai desa adat, dan mungkin lebih nyata terlihat

setelah mereka berada di luar Bali (seperti kasus Balinuraga), dapat disebut

sebagai sebuah desa atau komunitas yang otonom, seperti sebuah negara.

Ini adalah keunggulan dan kekuatan mereka ketika sudah berada di luar

tempat asalnya dan berada di dalam sebuah lingkungan baru yang

heterogen.

Ketekunan dan Kerja Keras

Karakteristik umum dari masyarakat Bali di Balinuraga, yang

menjadi keunggulan atau kekuatan mereka, adalah ketekunan dan kerja

keras. Karena ini adalah karakteristik umum, berarti ada beberapa di antara

mereka yang tidak memiliki ketekunan dan kerja keras seperti yang

lainnya. Di samping ada beberapa karakteristik umum lainnya yang kurang

baik seperti miliki jiwa militan (punya keberanian untuk bertarung atau

bentrok fisik, terutama jika dilakukan secara berkelompok), dan gemar

berjudi (meskipun tidak harus menggunakan uang, misalnya hanya

Page 27: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

423

bermain kartu gaplek, remi atau ceki). Karakteristik umum lainnya yang

menjadi ciri khas masyarakat Bali di Bali, termasuk di Balinuraga adalah

bakat atau jiwa seni. Ini dapat dilihat dari berbagai macam karya seni yang

mereka hasilkan, termasuk dalam hal yang kecil adalah bagaimana mereka

berkreasi menghias pura keluarga ketika ada hari raya besar dan membuat

bantenan. Terlepas dari karakteristik lain yang bersifat umum, baik yang

bersifat baik maupun kurang baik, ketekunan dan kerja keras adalah

keunggulan atau kekuatan mereka sebagai modal untuk meningkatkan

perekonomiannya, di mana hasil dari kerja keras tersebut nantinya akan

digunakan untuk melestarikan identitas kebalian mereka yang sebenarnya

costly (membutuhkan biaya yang tidak sedikit, relatif mahal).

Gambar 64. Kartu Ceki

(Kartu Ceki ini mudah ditemukan di jalan. Biasanya dibuang begitu saja setelah

selesai bermain)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Kerja keras dan ketekunan petani Balinuraga dapat dilihat

bagaimana mereka menggarap tanah pertaniannya. Tanah seluas dua

hektar umumnya dikelola oleh keluarga inti, tidak menyewa jasa buruh

tani. Menurut mereka memiliki tanah seluas dua hektar belum layak

disebut memiliki tanah pertanian, karena masih bisa dikerjakan sendiri dan

hasilnya hanya mencukupi kebutuhan pokok serta upacara harian.

Fenomena kampung kosong dapat menjadi bukti kerja keras dan ketekunan

mereka. Jika memasuki musim tanam (dan tidak ada upacara penting),

Desa Balinuraga menjadi sepi, karena sebagian besar masyarakatnya yang

Page 28: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

424

berprofesi sebagai petani bekerja di lahan pertanian. Awal musim tanam

ini ditandai dengan datangnya musim penghujan. Jika hujan pertama

datang – yang menandakan musim penghujan – para petani langsung

bergegas ke sawah untuk membajak tanah sebagai persiapan pembenihan

dan masa tanam. Hal ini harus segera dilakukan karena model persawahan

mereka adalah sawah tadah hujan, di mana selama musim kemarau lahan

pertaniannya tidak digunakan untuk menanam padi.

Ketekunan dan kerja keras petani Balinuraga masih didukung

dengan adanya organisasi atau perkumpulan tradisional yang bergerak ke

bidang ekonomi atau pertanian, yaitu seka tani (krama subak). Ketekunan

dan kerja keras ini dimanifestasikan dalam kerja berkelompok berdasarkan

komunitas banjarnya. Ini yang menonjol dari masyarakat Bali di

Balinuraga, dan masyarakat Bali lainnya di Lampung (secara umum).

Karenanya, tidak mengherankan jika petani Bali di Lampung dikenal

sebagai petani yang agresif dalam bekerja. Sampai akhirnya mereka

(petani Bali) beserta petani Jawa dengan kedudukan keduanya sebagai

pendatang berhasil menggeser peran dan perekonomian masyarakat lokal

(penduduk asli Lampung) di bidang pertanian.

Pelestarian Identitas

Cara yang umum digunakan oleh sebuah komunitas untuk

melestarikan identitasnya atau pun mempertahankan eksistensi

identitasnya dengan berbagai macam simbol-simbolnya adalah dengan

membentengi komunitasnya berdasarkan ikatan atau persamaan identitas

yang mempersatukan komunitas tersebut. Identitas tersebut tidak mungkin

lestari atau pun eksis jika tidak dilindungi layaknya sebuah benteng.

Dibuat seperti benteng atau membentengi diri dikarenakan adanya

ancaman dan pengaruh eksternal yang semakin menguat, di mana ada

kekhawatiran akan hilang atau terkikisnya identitas tersebut. Fenomena

umum yang terjadi di Indonesia sebagai sebuah negara yang multikultur

dengan identitas yang beragam adalah benteng identitas semakin menguat

ketika ancaman eksternal (dirasakan, diprediksi) semakin menguat juga.

Dengan kata lain, bonding komunitas itu untuk melindungi atau sebagai

upaca pelestarian identitas akan semakin menguat seiring dengan

menguatnya ancaman dan pengaruh eksternal.

Page 29: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

425

Dalam kasus masyarakat Bali di Balinuraga (yang juga terjadi di

perkampungan Bali lainnya di Lampung), sama seperti halnya masyarakat

Bali di Bali, mereka menghadapi sebuah dilema. Di satu sisi mereka ingin

mempertahankan dan melestarikan identitas kebalian mereka, sedangkan di

sisi yang lain, mereka harus tetap terbuka terhadap lingkungan luar sebagai

salah satu upaya mempertahnakan dan melestarikan identitas kebalian

mereka. Di Bali mereka harus berhadapan dengan pengaruh globalisasi,

yaitu dengan maraknya sektor industri pariwisata yang sebenarnya menjadi

sumber perekonomian makro di Bali. Keterbukaan terhadap sektor industri

pariwisata mutlak dibutuhkan demi keberlangsungan perekonomian Bali

yang (sampai saat ini) masih bertumpu di sektor pariwisata. Kontrasnya,

keterbukaan tersebut lambat-laun mulai mengikis kebalian mereka.

Solusinya adalah bagaimana menjadikan Bali sebagai sebuah benteng

untuk mempertahankan dan melestarikan kebalian mereka yang

sebenarnya adalah modal utama bagi sektor pariwisata, tapi tetap

menjadikan Bali sebagai sebuah benteng yang terbuka: Bali tetap menjadi

daerah yang terbuka bagi sektor industri pariwisata dan globalisasi sebagai

penopang perekonomian lokal, tanpa mengikis identitas kebalian yang

menjadi warisan leluhur masyarakat Bali sebagai akibat dari pengaruh

keterbukaan tersebut yang datang dari sektor industri pariwisata dan

industri pendukung lainnya. Hal serupa juga terjadi pada masyarakat Bali

di luar Bali dengan konteks yang berbeda, dalam kasus ini masyarakat Bali

di Balinuraga, mereka ingin mempertahankan dan melestarikan identitas

kebaliannya – konsekuensinya mereka harus membangun sebuah

komunitas yang eksklusif dalam sebuah benteng tertutup yang disebut

Kampung Bali – sekaligus terbuka dengan lingkungan sosial yang lebih

luas dan heterogen, di mana keberlangsungan perekonomian mereka – dan

juga identitas kebaliannya – bergantung pada sebuah interaksi dan relasi

sosial dan ekonomi dengan masyarakat yang heterogen. Posisi masyarakat

Bali di Lampung adalah minoritas, yang komunitas eksklusifnya tersebar

di berbagai wilayah di Lampung, di tengah lingkungan masyarakat

heterogen dengan mayoritas agama Islam. Di dalam komunitasnya sendiri,

mereka masih harus berhadapan dengan berbagai dinamika identitas yang

bersifat spesifik tapi sangat berarti bagi mereka sebagai sebuah status

sosial, yaitu identitas warga, atau lebih luas lagi, identitas mereka sebagai

Page 30: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

426

golongan jaba – sebuah golongan yang menjadi mayoritas di Bali, tapi

memiliki status sosial yang dianggap bawah oleh sebagian kalangan.

Berikut ini adalah beberapa upaya pelestarian identitas yang

dilakukan komunitas Bali Hindu di Balinuraga – sebuah upaya yang

dilakukan berdasarkan konteks yang terjadi dalam komunitas tersebut dan

lingkungannya:

Adaptasi

Adaptasi – proses penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru –

merupakan salah satu strategi komunitas Bali Nusa untuk melestarikan

identitas dan eksistensi anggota komunitasnya. Proses adaptasi yang terkait

kebertahanan hidup sebenarnya terjadi pada transmigran pertama yang

datang pertama kali di tahun 1963. Proses adaptasi ini terkait dengan

kondisi alam yang baru dan sama sekali berbeda dengan kondisi alam di

Nusa Penida, dan kondisi perekonomian transmigran yang persediaan

uangnya sudah menipis (banyak dihabiskan selama perjalanan dari Nusa

Penida, Bali ke Lampung). Kondisi alam di Lampung saat itu masih

dipenuhi dengan hutan dan binatang liar khas Sumatera seperti gajah dan

harimau sumatera. Kondisi hutan tropis Sumatera ini masih diperparah

dengan serangan nyamuk malaria. Sebuah kondisi alam yang jauh berbeda

bila dibandingkan dengan Nusa Penida, di mana kondisi alamnya gersang,

tidak memiliki hutan tropis seperti Sumatera. Masalah kritis yang harus

dihadapi transmigran pertama waktu itu adalah kekurangan kebutuhan

pokok, khususnya sembako, sebagai akibat persediaan uang yang menipis

dan lahan pertanian masih dalam proses pembukaan. Cara yang mereka

tempuh untuk mengatasi perubahan kondisi alam ini dengan keterbatasan

ekonomi adalah (1) bekerja sebagai buruh tani di perkebunan penduduk

lokal untuk mendapatkan sejumlah kecil penghasilan yang dapat

digunakan membeli kebutuhan pokok – sekadar untuk bertahan hidup; (2)

mengkonsumsi kijung, sejenis umbi-umbian beracun, harus direndam

selama beberapa hari agar bisa dikonsumsi sebagai karbohidrat; (3)

mengonsumsi daging babi celeng (babi hutan) untuk memenuhi kebutuhan

protein, di mana celeng ini menjadi hama bagi perkebunan penduduk, dan

karena mayoritas masyarakat adalah muslim – tidak mengonsumsi daging

celeng – maka ketersediaan daging celeng sebagai sumber protein

Page 31: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

427

melimpah. Dalam kasus ini, transmigran menjadi penolong masyarakat

setempat yang terganggu dengan populasi babi hutan yang waktu itu cukup

mengganggu.

Adaptasi lain yang harus mereka lakukan terkait dengan kondisi

alam yang berbeda adalah masalah pengelolaan tanah pertanian. Ada dua

kendala yang mengharuskan mereka beradaptasi dengan kondisi alam ini

untuk bercocok tanam: (1) mereka harus mulai terbiasa untuk menggarap

sawah yang mengandalkan air hujan sebagai sumber air utama untuk

mengairi padi; dan (2) bercocok tanam di tanah datar. Untuk kendala ini

mereka tidak mengalami masalah yang berarti untuk beradaptasi. Adaptasi

dapat dilakukan dengan cepat. Di Nusa Penida mereka menghadapi tanah

garapan yang terjal dengan sumber air yang sangat terbatas, sama-sama

mengandalkan air hujan seperti di Lampung, tapi dengan debit air hujan

yang lebih sedikit. Kendala utamanya terletak saat mereka membuka lahan

pertanian. Mereka harus nebang alas. Sebuah pekerjaan yang cukup

beresiko, tidak hanya dari ancaman binatang lihar, tapi yang tidak kalah

berbahayanya adalah serangan nyamuk malaria.

Selain beradaptasi dengan lingkungan alam (kondisi alam) di

Lampung, mereka juga harus beradaptasi dengan lingkungan sosial yang

baru. Transmigran ini berasal dari sebuah desa yang berada diujung pulau

Nusa Penida, dengan lokasi yang terjal, penuh tanjakan tajam, dan terletak

di pegunungan. Akibatnya para transmigran ini selama masih tinggal di

Nusa Penida mempunyai pergaulan dengan lingkungan sosial yang terbatas

pada komunitasnya sendiri, dan lingkungan sosialnya bersifat homogen.

Setelah berada di Lampung, mereka harus berhadapan dengan sebuah

lingkungan sosial yang lebih heterogen, dan mereka menjadi minoritas.

Salah satu cara yang paling signifikan untuk adaptasi dengan lingkungan

sosial yang baru adalah bahasa. Transmigran Bali Nusa umumnya hanya

fasih dengan bahasa ibunya sendiri. Untuk bergaul dengan sesama etnis

Bali yang berasal dari Bali pun mereka masih terkendala oleh bahasa.

Bahasa Bali dari Nusa Penida berbeda dengan Bahasa Bali dari Bali.

Realitas yang berkembang di Lampung adalah penggunaan Bahasa

Indonesia sebagai bahasa pergaulan antar etnis yang berbeda untuk

mempermudah interaksi sosial, selain sebagai bahasa “persatuan”. Dapat

dikatakan selama tahun-tahun pertama interaksi sosial transmigran Bali

Page 32: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

428

Nusa sangat terbatas pada komunitasnya sendiri, dan transmigran Bali dan

Bali Nusa yang sudah ada Lampung Selatan yang kedatangannya ke

Lampung jarak waktunya tidak terlalu lama. Syarat mutlak untuk

berinteraksi dengan komunitas lain adalah penggunaan Bahasa Indonesia.

Agar bisa berbahasa Indonesia dibutuhkan waktu beberapa tahun, karena

ini tergantung seberapa sering transmigran ini berinteraksi dengan

komunitas lain yang menggunakan Bahasa Indonesia. Selain Bahasa

Indonesia, mereka harus beradaptasi juga dengan penggunaan Bahasa Jawa

(ngoko). Komunitas transmigran Jawa adalah mayoritas. Sama seperti

mereka, transmigran Jawa lebih senang menggunakan bahasa ibunya

dalam pergaulan sehari-hari, daripada menggunakan Bahasa Indonesia.

Mengingat jumlah mereka adalah mayoritas, mau tidak mau, mereka juga

harus beradaptasi dengan bahasa ini. Untuk mengerti Bahasa Jawa mereka

tidak begitu mengalami kesulitan, karena ada beberapa persamaan

kosakata – ini tidak terlepas dari keberhasilan Jawa (Majapahit) menguasai

Bali di bawah pimpinan Gajah Mada. Bahasa Lampung sendiri adalah

bahasa yang jarang digunakan dan dijumpai, kecuali di kalangan

masyarakat Lampung asli. Para pendatang jarang yang bisa atau pun

tertarik untuk memahami serta menggunakan bahasa ini sebagai bahasa

pergaulan. Hal ini cukup unik karena di wilayah lain di luar Lampung,

seperti Palembang, Bengkulu, Jambi, Padang, dan lain-lain, bahasa daerah

(bahasa melayu) sering digunakan sebagai bahasa pergaulan, dan

pendatang umumnya memahami dan bisa menggunakan bahasa tersebut.

Adaptasi yang bersifat teknis adalah dalam proses pembangunan

pura. Di Lampung mereka mengalami kesulitan mendapatkan batu seperti

model batu kapur (berwarna putih) atau batu gunung sebagai bahan dasar

pembangunan pura seperti yang biasa digunakan di Nusa Penida dan Bali.

Pura harus tetap dibangun, meskipun bahan-bahan seperti yang ada di Bali

sulit ditemukan di Lampung. Di masa-masa awal pembangunan pura

bersifat semi permanen, “seadanya dulu” karena kondisi perekonomian

belum mapan. Lambat laun, setelah perekonomian mulai mapan, mereka

mulai membangun pura yang permanen dengan menggunakan bahan dasar

semen (adukan semen pasir) sebagai fondasi. Begitu pula ketika mereka

membuat ukiran-ukiran di pura. Bahan dasarnya adalah semen, bukan batu.

Page 33: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

429

Adaptasi yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem sosial

mereka bisa diadapatsikan – sebagai proses penyesuaian dengan

lingkungan yang baru – agar identitas kebalian mereka bisa tetap lestari

(seperti yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya). Proses

penadaptasian ini disesuaikan dengan kondisi kala dan patra.

Konsekuensinya adalah ada beberapa hal yang dikurangi atau pun

ditambahi. Pengurangan atau penambahan sifatnya sebagai penyesuain,

perubahan atas sistem sosial itu tetap ada dan tidak dapat dielakkan karena

lingkungan dan konteksnya berbeda, hanya ada koridor atau batasan-

batasan tertentu – yang penting tidak melanggar ketentuan yang umum.

Salah satu contoh sederhananya “subak”, krama subak tetap ada dan

fungsinya tetap dijalankan sebagai lembaga adat dan keagamaan,

meskipun tidak ada sistem irigasi atau pembagian air. Kemudian,

menggunakan sumur bor sebagai sumber air untuk kebutuhan pertanian.

Begitu pula dengan contoh kasus penyelenggaraan upacara pitra yadnya

(ngaben pribadi). Ada beberapa pengurangan dan penambahan seperti

pembangunan bade maupun teknis pelaksanaan upacara. Berbagai

modifikasi sistem yang dilakukan – pengurangan dan penambahan – agar

sistem ini tetap relevan dengan lingkungan yang baru, dan akhirnya

kelestarian identitas yang tercermin dari sistem tersebut tetap terjaga.

Memperkuat Benteng Identitas

Jika komunitas Bali Nusa membentuk sebuah perkampungan Bali

yang eksklusif seperti kasus Desa Balinuraga, maka ini tidak dapat

diartikan sebagai “tindakan atas dasar kesadaran” atau “tindakan sosial

yang rasional”. Kesadaran tersebut sebenarnya digerakan oleh alam bawah

sadar mereka melalui sistem sosial yang sudah terlembagakan pada setiap

individu anggota komunitas ini. Membentuk perkampungan Bali dengan

karakteristik Nusa Penida merupakan naluri mereka sebagai salah satu

upaya melestarikan identitasnya setelah berada di luar Bali. Mereka diikat

oleh ikatan sosial dari tanah leluhur. Tanpa perlu dikomandoi pun, benteng

ini akan diperkuat oleh anggota komunitasnya (memperkuat bonding

komunitas) ketika ancaman dari luar terhadap eksistensi identitas mereka

semakin menguat. Kekuatan dari benteng atau Kampung Bali terletak dari

kesolidan anggota komunitasnya. Rohnya adalah sistem sosial mereka

Page 34: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

430

yang berasal dari tanah leluhur. Identitas kebalian sudah menjadi bagian

dari setiap individu, karenanya ketika identitas tersebut terancam naluri

menuntun mereka untuk memperkuat identitasnya.

Membangun desa adat, banjar, seka-seka, krama subak, pura

kahyangan tiga, pura kawitan warga, pura keluarga, bale banjar, (dan

pranata-pranata sosial lainnya) serta pelaksanakan kewajiban adat dan

agama, dilakukan atas sebuah dorongan dari dalam diri setiap anggota

komunitas. Dorongan ini akan menjadi sebuah tindakan kolektif (massa)

ketika ada seorang patron yang dipercayai dan mendapat kepercayaan dari

kliennya (anggota komunitas, massa).

Basis massa terdapat di level banjar, sekaligus menjadi basis adat,

keagamaan, kekerabatan, kesenian, politik, dan ekonomi yang diwadahi

oleh seka-seka. Identitas kebalian – kebudayaan Bali Hindu – dilestarikan

melalui lembaga-lembaga tradisional ini. Sudah menjadi kebiasaan dalam

masyarakat Bali Nusa di Balinuraga untuk melaksanaan berbagai kegiatan

di dalam lembaga-lembaga tradisional ini dengan dengan melibatkan

jumlah anggota yang besar atau berkelompok. Seperti yang diutarakan oleh

Geertz (1977: 89) dalam studinya di Tabanan yang menyebutkan bahwa

orang Bali melakukan segala sesuatu secara berkelompok, bahkan untuk

mengerjakan tugas yang paling sederhana sekali pun, dan, seperti yang

telah ditunjukkan oleh Gregory Bateson dan Magaret Mead, hampir

senantiasa melibatkan jumlah tenaga yang jauh melebihi yang secara

teknis diperlukan266

. Terlepas dari banyaknya jumlah anggota yang terlibat

dalam berbagai kegiatan di dalam lembaga-lembaga tradisional yang

dilakukan oleh masyarakat Balinuraga. Poin penting yang dapat diambil

adalah rasa kepemilikkan yang kuat atas identitas tersebut dan

kelestariannya. Ini adalah kebiasaan yang mereka adaptasi dari kebiasaan

yang ada di Nusa Penida (Bali), dan ini pun adalah sebuah tradisi. Terlebih

setelah berada di Lampung, kerja berkelompok ini dapat menunjukkan

kesolidan komunitas mereka dalam upaya mempertahankan identitas

Balinya. Massa selalu ada di setiap upacara besar dan penting. Ada

partisipasi aktif di dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, meskipun secara

266

G. Bateson dan M. Mead, “Balinese Character” (New York: New York

Academy of Science, 1942) dalam Geertz (1977: 89), Penjaja dan Raja.

Page 35: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

431

teknis jumlahnya melebihi dan ada pertentangan identitas di dalamnya.

Keterlibatan massa dalam setiap upacara besar dan penting – meminjam

istilah Geertz (1980) – sebagai negara teater267

. Kontes negara teater

seperti ini dengan keterlibatan massa yang besar dalam perhelatan upacara

besar dan penting tetap ada setelah keberadaan mereka di Lampung, dan

ini menjadi identitas orang Bali di Lampung (seperti kasus Balinuraga).

Hanya saja, konteksnya berbeda, suasana lebih egaliter, tidak menonjolkan

kekuasaan raja atau triwangsa. Dengan kata lain, ini adalah negara teater

atau pentas-nya jabawangsa yang ada di luar Bali. Kontes ini tentunya

tidak dapat terlaksana – dalam upaya pelestarian identitas – jika tidak ada

benteng yang kuat, di mana massa terkonsolidasi di dalamnya.

Fungsi utama memperkuat benteng identitas – melalui lembaga-

lembaga tradisional sebagai basis massa – adalah sebagai wadah

pelestarian identitas. Massa yang berkumpul di dalam lembaga-lembaga

tradisional ini menjalankan berbagai aktivitas dan kegiatan yang

mencerminkan kebalian mereka. Misalnya, seka gong yang dimiliki

beberapa banjar. Seka gong ini menjadi wadah kesenian Bali masyarakat

Balinuraga. Tidak hanya sebagai lembaga kesenian, seka gong pun turun

memainkan peran ekonominya untuk tetap melestarikan eksistensi

lembaga tradisional ini, sekaligus menjadi lembaga untuk kepentingan adat

dan keagamaan. Setiap ada upacara besar dan penting, seka gong terlibat

dalam proses upacara tersebut. Musik gamelan dan tarian Bali adalah

sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan adat dan keagamaan

dalam tradisi Bali. Sebuah sistem sosial tradisional yang kompleks dengan

berbagai lembaga-lembaga tradisional, tapi ini adalah kebalian mereka

setelah berada di Lampung. Melaluinya proses pelestarian identitas

kebalian ini dilangsungkan dan kokoh. Meskipun pembangunan benteng

identitas ini merupakan sebuah tindakan sadar yang didasarkan atas

dorongan alam bawah sadar mereka sebagai individu maupun sebagai

komunitas.

267

Geertz, C. (1980), Negara; The Theatre State in Nineteenth Century Bali,

Princenton: Princenton University Press.

Page 36: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

432

Masyarakat sebagai Agen Pelestari Identitas sekaligus Agen

Yang Terstruktur

Identitas kebalian tercermin dari sistem sosialnya, begitu juga

sebaliknya. Keduanya saling melekat erat dan tidak dapat dilepaskan.

Identitas dan sistem sosial ini sudah melembaga di setiap anggotanya.

Dalam kasus ini anggota merupakan subjek atau agen yang mencerminkan

identitas dan sistem sosial di dalamnya, dan juga sebagai subjek (agen)

yang sebenarnya sudah terstruktur oleh identitas dan sistem tersebut.

Dalam kasus masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, terdapat dualitas peran

masyarakat sebagai subjek (agen) yang bertanggungjawab sebagai

pelestari identitas. Di satu sisi, mereka menjadi agen aktif di mana mereka

berpartisipasi aktif dalam melestarikan identitas dengan melakukan

berbagai perubahan. Di sisi lain, mereka menjadi agen pasif dikarenakan

diri mereka sebagai individu sebenarnya sudah terstruktur atau

distrukturkan oleh sistem sosial tersebut dengan identitas kebaliannya.

Terlepas dari peran mereka sebagai agen aktif maupun agen pasif

dalam melestarikan identitas kebaliannya, keberadaan mereka sebagai

subjek atau agen sebenarnya sudah mencerminkan identitas kebalian

mereka. Identitas kebalian dan sistem sosial di dalamnya sudah melembaga

di dalam diri mereka. Seandainya pun mereka setia menjadi agen pasif

dengan merelakan dirinya terstruktur oleh sistem sosial tersebut, identitas

kebalian itu pun tetap lestari. Hanya saja identitas tersebut nantinya akan

menjadi relatif lebih kaku dan cenderung semakin mempertahankan atau

meng-ajeg-an ketradisionalannya. Kasus masyarakat Bali di Balinuraga,

peran mereka sebagai agen yang aktif sama kuatnya dengan peran mereka

sebagai agen yang pasif. Realitas atau bukti nyata peran mereka sebagai

agen yang aktif adalah adanya perubahan terhadap beberapa unsur dari

sistem tradisional yang menjadi identitas kebalian mereka menjadi lebih

modern. Sebagai agen yang aktif, ada dorongan dari dalam diri mereka

untuk melakukan perubahan atau penyesuaian. Perubahan tersebut didasari

atas realitas sosial dari lingkungan yang baru, di mana mengharuskan

mereka untuk melakukan perubahan demi lestarinya identitas tersebut.

Sebagai agen yang pasif, mereka menjadi seperti bagian atau komponen

dari mesin sosial atau sistem yang tradisional tersebut. Mereka merelakan

dirinya menjadi bagian terstruktur dari sistem tersebut sehingga sistem

Page 37: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

433

tersebut tetap berjalan dengan ciri khas ketradisionalannya. Artinya ada

sebuah aturan atau hukum di dalam sistem tersebut yang sudah melembaga

di dalam diri mereka sebagai individu yang menjadikan diri mereka

sebagai agen yang pasif. Dalam kasus upacara pitra yadnya (ngaben

pribadi) masyarakat bisa menjadi agen yang aktif dalam melestarikan

identitas kebaliannya dengan melakukan inovasi dan kreasi baru dalam

pembangunan bade, patulangan, tata upacara dan upakara, dan lain-lain.

Namun, di sisi lain, mereka tidak bisa – takut dan tidak berani – untuk

melakukan upacara pembakaran jenasah seperti layaknya di India. Hal ini

dikarenakan kebalian mereka akan hilang. Jika diperhatikan dengan

seksama, sebenarnya peran struktur dalam sistem sosial masyarakat Bali,

seperti kasus di Balinuraga, masih kuat, tapi tidak mutlak. Lingkungan

yang baru dengan kala dan patra yang berbeda memberikan ruang bagi

masyarakat untuk menjadi agen aktif untuk melestarikan identitas kebalian

mereka.

Jadi poin penting yang ingin disampaikan adalah bahwa dengan

menjadi agen yang aktif maupun agen yang pasif, masyarakat Bali di

Balinuraga sebenarnya sudah melestarikan identitas kebalian mereka. Ada

batasan dan aturan yang memungkinkan mereka menjadi agen pelestari

identitas kebalian yang aktif maupun yang pasif. Proporsi kedua peran

agen ini dapat dikatakan seimbang. Jika tidak seimbang, semisal mereka

menjadi agen yang lebih aktif, maka bukan tidak mungkin pelestarian

identitas dilakukan dengan cara melakukan perubahan yang radikal. Begitu

pula sebaliknya, ketika mereka menjadi agen yang lebih pasif, maka

mereka akan menjadi sebuah komunitas yang sangat tradisional (sangat

kolot), menjadi semakin tertutup dalam sebuah benteng yang kuat, dan

akhirnya menyebabkan mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan

lingkungan yang baru dan “mati dalam sebuah benteng identitas mereka

sendiri” di luar tempat asalnya. Menjadi agen yang lebih pasif berarti

menutup diri dalam sebuah benteng identitas yang kuat. Menjadi agen

yang lebih aktif berarti secara radikal melakukan perubahan terhadap

sistem sosial yang menjadi identitasnya, menjadi lebih terbuka, dan

akhirnya identitas tidak menjadi lestari dan eksis, tapi sebaliknya menjadi

hilang. Proporsi yang seimbang, menjadi agen yang aktif dan pasif,

menjadikan mereka hidup dalam sebuah benteng tertutup yang harmonis

Page 38: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

434

dengan lingkungan sosial yang heterogen (sesuai dengan filosofi Tri Hita

Karana).

Kreativitas

Tujuan utama kekreatifan masyarakat Balinuraga adalah sebagai

salah satu cara untuk melestarikan identitas kebaliannya. Kekreatifan ini

bisa terjadi karena adanya ruang dalam sistem sosial mereka yang

memungkinkan mereka menjadi agen yang aktif. Proses kreatif ini, yang

didalamnya ada proses perubahan, merupakan kegeniusan masyarakat

sebagai agen yang aktif dalam melestarikan identitasnya. Mereka

menggunakan akal sehatnya (imajinasi, ide, pemikiran dan perenungan,

dan aksi) agar bisa memodifikasi identitasnya – baik dalam bentuk simbol-

simbol atau pun elemen-elemen pendukung dalam sistem sosial tersebut –

agar bisa tetap menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, tanpa

harus melanggar aturan yang ada di dalam sistem tersebut. Proses ini yang

menjadikan Bali di Lampung – dalam kasus ini di Balinuraga – berbeda

dengan Bali di Nusa Penida dan Bali, meskipun secara umum masih

identik sekali kebaliannya. Letak perbedaan tersebut justru terletak pada

proses kreativitas agen yang genius, tanpa menghilangkan kebaliannya dan

melanggar aturan umum yang berlaku dalam sistem sosial tersebut. Hasil

kreativitas masyarakat Balinuraga sebagai agen yang aktif – masih

menggunakan contoh yang sama – adalah bagaimana mereka membangun

bade untuk upacara pitra yadnya. Sebuah bangunan bade, yang di

dalamnya memiliki makna filosofis mendalam, yang desainya lain

daripada yang lain, sebuah desain yang mencerminkan anti-kemapanan.

Ada sebuah proses imajinasi, perenuangan, pemahaman yang mendalam

atas makna dan filosofi dari apa yang akan diciptakan sampai akhirnya

bangunan bade tersebut bisa direalisasikan menjadi wujud fisik yang

menarik, indah dan sarat makna. Kreativitas ini menunjukkan bahwa

masyarakat Balinuraga mampu melestarikan identitas kebaliannya melalui

karya-karya yang kreatif dalam proses pelestarian tersebut, tidak ada

makna filosifis yang hilang dalam proses penciptaan karya kreatif tersebut,

dan sebagai salah satu cara menunjukkan eksistensi identitas kebaliannya

setelah berada di Lampung bahwa mereka adalah tetap menjadi Bali, tapi

Bali yang berbeda – Bali Lampung. Menariknya, setiap kali ada sebuah

Page 39: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

435

karya kreatif yang lain daripada yang lain, tentu setelah ada yang

memeloporinya, maka karya kreatif tersebut akan ditiru oleh anggota

komunitas yang lain di dalam Desa Balinuraga dan komunitas Bali Hindu

di perkampungan Bali lainnya (yang tertarik dan menaruh minat yang

mendalam atas hasil karya kreatif tersebut). Hasil dari proses kreatif ini,

yang dapat dilihat dalam hasil kerja kreatif pengaryaan bangunan simbol

atau ornamen yang menjadi elemen inti dari identitas, yang menjadikan

identitas sebagai sesuatu yang dinamis, terus mengalami proses perubahan,

dan tidak secara absolut ajeg. Dengan demikian, kreativitas dapat

mendukung proses pelestarian identitas, menjadikan identitas itu semakin

relevan dengan lingkungan yang baru.

Perkawinan

Perkawinan merupakan strategi klasik yang dilakukan oleh hampir

semua etnis (suku bangsa) di dunia untuk melestarikan identitasnya,

khususnya terkait identitas etnis, keagamaan dan kebudayaan. Meskipun

pluralisme menjadi sebuah tren dan wacana yang menarik dalam membina

sebuah hubungan sosial yang harmonis di berbagai tempat, namun tetap

saja seorang Yahudi akan memprioritaskan seorang Yahudi untuk menjadi

pasangannya, begitu pula dengan seorang Tionghua, India, Batak, Jawa,

dan lain-lain – perkawinan endogami. Tanpa harus mengingkari realitas

yang ada – meskipun tidak dalam jumlah besar – bahwa ada seseorang dari

etnis A menikah dengan etnis B, C, D, dan seterusnya. Sebuah kasus yang

relatif jarang terjadi, karena tetap saja prioritas utama adalah menikah dari

kalangan etnis dengan identitas keagamaan dan kebudayaan yang sama.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat Bali Hindu di Balinuraga?

Perkawinan tetap dijadikan salah satu strategi klasik untuk

mempertahankan dan melestarikan identitas kebalian mereka. Perkawinan

(pernikahan) beda etnis dan agama mungkin tidak menjadi masalah besar

bagi mereka, asalkan pihak bersangkutan tetap menjadi “Bali Hindu” –

dalam kasus ini pasangannya mau mengikuti tradisi dan kepercayaan yang

berlaku dalam masyarakat Bali Hindu. Ini menjadi sangat penting karena

dalam masyarakat Bali, identitas kebalian sangat melekat antara Bali dan

Hindu. Kasus seperti ini ada di Balinuraga, tapi jumlahnya relatif sangat

jarang terjadi, begitu juga sebaliknya pernikahan beda etnis dan keyakinan

Page 40: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

436

yang menyebabkan pihak yang bersangkutan meninggalkan identitasnya

sebagai Bali Hindu dengan mengikuti tradisi dan kepercayaan

pasangannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mereka yang

setelah menikah meninggalkan identitasnya sebagai Bali Hindu, maka baik

langsung atau tidak langsung, pihak bersangkutan maupun lingkungan

sosialnya akan melakukan pengucilan.

Model perkawinan yang berlaku di Balinuraga – secara umum

berlaku sama dengan masyarakat Bali pada umumnya – adalah menikah

dengan sesama orang Bali. Tujuannya sudah jelas, agar identitas kebalian

mereka tidak hilang dan tetap lestari. Meskipun pasangan yang

bersangkutan menjadi Bali Hindu, namun tetap saja ada kendala internal di

dalam komunitas tersebut, baik salam proses adaptasi menjadi Bali Hindu

maupun cibiran. Model ideal yang umum adalah menikah dengan sesama

Bali Hindu. Model ideal yang spesifik adalah menikah dengan sesama Bali

Hindu yang berasal dari golongan yang sama, dan yang lebih spesifik

adalah menikah dengan sesama Bali Hindu dengan identitas warga yang

sama. Menikah dengan sesama Bali yang berasal dari golongan yang

sama, seperti golongan jaba menikah dengan sesama Bali Hindu yang

berasal dari golongan jaba; sedangkan contoh yang lebih spesifik adalah

seorang Warga A menikah dengan seseorang yang juga berasal dari Warga

A – model perkawinan dengan klan (warga) yang sama. Misalnya, seperti

yang telah diuraikan di muka, pernikahan Ni Wayan Bunga dan I Made

Gagah yang keduanya berasal dari Warga Pandé.

Terkait dengan kelestarian identitas kebalian pertanyaan yang

(pasti) muncul adalah mengapa Warga A idealnya menikah dengan Warga

A? Terkait dengan kelestarian identitas, ada konsekuensi logis yang terjadi

mengapa harus menikah dengan sesama anggota warga-nya (berasal dari

satu klan yang sama). Pertama, seorang wanita Warga A yang menikah

dengan pria Warga B, maka setelah menikah pihak wanita identitasnya

akan mengikuti identitas suaminya menjadi Warga B. Ini bisa menjadi

permasalahan dikarenakan terjadi perpindahan keanggotaan warga. Jika

terjadi dalam jumlah yang besar, tentu saja, populasi Warga B akan

semakin besar jumlahnya. Kedua, setiap warga atau klan sebenarnya

mempunyai karakteristik atau tradisi yang khas. Mereka mempunyai

identitas yang berbeda dengan warga lainnya, meskipun sama-sama Bali

Page 41: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

437

Hindu. Tradisi mereka, yang tercermin dalam kegiatan adat dan

keagamaan, memiliki perbedaan, di mana perbedaaan itu menjadi identitas

warga tersebut. Karena modelnya sangat patrilineal, tentu yang menjadi

“korban” adalah pihak wanita. Jika ia menikah dengan warga yang

berbeda, tentu ia akan kesulitan untuk beradaptasi dengan tradisi yang

berlaku dalam warga suaminya. Belum lagi dari pihak keluarga, yang

setelah pernikahannya dengan warga yang berbeda kemudian ia mengikuti

warga suaminya, pihak wanita seolah-olah telah menjadi orang luar dari

keluarga besarnya, yaitu warga atau klan. Karenanya, baik dari keluarga

pihak wanita maupun dari pihak pria, selalu menganjurkan agar menikah

dengan sesama warga-nya sendiri. Meskipun demikian, perkawinan beda

warga masih dinilai lebih baik daripada terjadi perkawinan beda golongan

(wangsa), atau pun yang lebih khusus, perkawinan beda etnis dan agama.

Tujuan besar dari model ideal secara umum mengapa sebaiknya menikah

dengan sesama Bali Hindu – terutama dengan golongan yang sama dengan

identitas warga yang sama – adalah agar identitas kebalian mereka tetap

lestari. Sebuah model ideal yang sebenarnya sangat manusiawi, karena

adanya ketakutan (merasa terancam) identitasnya (etni, keagamaan dan

kebudayaan) tidak bisa lestari (terwariskan) sampai generasi berikutnya.

Sebuah ketakutan yang mungkin dirasakan oleh kelompok etnis yang ada

di tempat lain, di mana etnisitas dan agama menjadi identitas mereka.

Walaubagaimana pun identitas bisa lestari jika ada proses regenerasi atau

pewarisan identitas dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pewarisnya

adalah para keturunan, yaitu anak, cucu, cicit, dan seterusnya, yang

tercipta melalui proses perkawinan. Karenanya, keadaan yang ideal adalah

identitas tersebut diwariskan kepada keturunannya yang “murni”, dari hasil

perkawinan dengan sesama anggota komunitasnya yang memiliki

persamaan identitas.

Konflik Identitas

Potensi konflik identitas biasanya (dimungkinkan) terjadi jika di

dalam sebuah lingkungan sosial (cenderung) heterogen terdapat beberapa

kelompok yang memiliki basis identitas yang kuat. Kelompok berbasis

identitas ini menjadikan identitasnya – suku, agama, ras dan antara

golongan (SARA) – sebagai pengikat komunitasnya menjadi sebuah

Page 42: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

438

kelompok yang eksklusif, cenderung tertutup, “sensitif” dan “angkuh”

(muncul karena adanya kepercayaan diri yang tinggi atas identitasnya

dengan massa yang solid). Potensi konflik muncul – dan bisa berakhir

dengan konflik – dalam kondisi di mana kelompok-kelompok ini berusaha

mengaktualisasikan identitas kelompoknya dalam sebuah ruang publik

terbuka dalam sebuah lingkungan sosial yang heterogen – ada kebebasan

untuk mengaktualisasikan identitas kelompoknya. Persoalan kecil pun jika

dipolitisir oleh pihak tertentu yang menginginkan terjadi kekacauan (biasa

disebut provokator), maka konflik terbuka (konflik fisik) sangat

dimungkinkan terjadi. Kejadian ini menjadi sebuah fenomena umum yang

terjadi di Indonesia pasca Suharto, di mana ada kebebasan dari berbagai

kalangan untuk mengapresiasikan identitas kelompoknya dalam sebuah

lingkungan sosial yang terbuka. Akibatnya terjadi berbagai jenis konflik,

mulai dari skala kecil sampai besar, di mana konflik tersebut sangat kental

dengan politik identitas yang bersifat kedaerahan (lokal)268

. Umumnya

terjadi antara kelompok pendatang dengan kelompok asli (penduduk lokal

atau penduduk asli setempat).

Keinginan sebuah kelompok untuk mengapresiasiakan dan

mengaktualisasikan identitasnya merupakan tindakan yang manusiawi.

Ada keinginan agar identitasnya mendapatkan pengakuan dari lingkungan

sosialnya. Tujuan utamanya adalah pelestarian identitas, di mana identitas

tersebut merupakan jati dirinya sebagai individu dan kelompok. Dalam

masyarakat Indonesia yang pluralis dengan beragam identitas etnis, ras,

keyakinan dan kepercayaan (agama), golongan politik, dan lain-lain,

konflik sangat dimungkinkan terjadi jika “ego” antar kelompok yang

menguatkan kelompoknya berdasarkan identitas tertentu tidak bisa ditekan.

Dengan kata lain, setiap kelompok secara kukuh mempertahankan “ego”

identitas kelompoknya secara berlebihan – cenderung “angkuh”, di mana

268

Untuk melihat lebih lanjut bagaimana etnisitas di Indonesia dan konflik atau

benturan (identitas) etnis di Indonesia yang mulai marak pasca jatuhnya Suharto

dalam dinamika politik lokal, lihat: Van Klinken, Gerry. (2004), „Ethnicity in

Indonesia‟, dalam Ethnicity in Asia, Edited by Colin Mackerras, Taylor and

Francis e-Library; Van Klinken, Gerry. (2007), Communal Violence and

Democratization in Indonesia: Small Town Wars, London and New York:

Roudledge; Schulte Nordholt, Henk & Van Klinken, Gerry. (2007), Politik Lokal

di Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV-Jakarta.

Page 43: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

439

keangkuhan ini menyebabkan kesensitifan yang kuat pada kelompok dan

anggotanya, sehingga mudah tersinggung dan tersulut amarah untuk

melakuakn tindakan fisik (bentrokan fisik).

Poin penting dari adanya sebuah konflik identitas adalah bahwa ini

terjadi karena adanya keinginan kuat dari setiap kelompok untuk

melestarikan identitasnya, di mana dalam prosesnya mereka melakukan

“aksi” aktualisasi. Ikatan yang kuat atas identitas tertentu adalah perekat

komunitas yang kuat, dapat mempersatukan berbagai individu yang

memiliki persamaan identitas. Karenanya, potensi konflik setiap kelompok

berbasis identitas selalu ada.

Dalam kasus masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, ada dua jenis

konflik identitas yang terjadi: konflik identitas eksternal dan konflik

identitas internal. Konflik identitas eksternal terjadi ketika masyarakat Bali

di Balinuraga bersama-sama dengan masyarakat Bali di tempat lain terlibat

dalam konflik fisik dengan komunitas etnis lain, yaitu penduduk lokal.

Seperti yang terjadi di tahun 1990-an ketika terjadi perang kampung antara

Kampung Bali di Balinuraga beserta Kampung Bali tetangga dengan

penduduk lokal (Lampung) di daerah Jabung. Konflik ini bermula ketika

ada anggota masyarakat Balinuraga mengalami pembegalan sepeda motor

saat melintasi wilayah Jabung. Sebagai sebuah kelompok pendatang

dengan ikatan sosial yang kuat di Lampung, emosi kelompok menjadi

sangat kuat ketika beberapa anggota komunitasnya diganggu oleh

komunitas lain. Ketika gangguan tersebut tidak dapat ditoleransi lagi,

karena dianggap telah merendahkan harga diri komunitas tersebut

(identitas kebalian mereka), maka konflik (perang kampung) pun akhirnya

terjadi. Penulis mencoba melihat konflik identitas eksternal ini dari sudut

pandang lain, bahwa konflik identitas eksternal ini merupakan wujud dari

aktualisasi identitas kebalian setelah berada di luar Bali, yaitu keinginan

yang kuat dari segenap anggota komunitasnya untuk mempertahankan dan

melestarikan identitas kebaliannya. Konflik ini – perang kampung –

sepertinya harus terjadi agar identitas mereka diakui, tidak dianggap

enteng oleh komunitas lain, dan ini didukung oleh persatuan yang kuat dari

masyarakat Bali dengan identitas kebaliannya. Menurut penulis, konflik ini

merupakan salah satu jalur atau upaya dari pelestarian identitas yang

bersifat primitif – karena menggunakan kekerasan sebagai “shock therapy”

Page 44: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

440

bagi “lawannya” agar mengakui identitas kelompoknya – dan ini

sepertinya menjadi sebuah fenomena umum yang sampai saat ini masih

berpotensi terjadi di Indonesia sebagai negara multikultur di mana ikatan

primordial masih kuat (bahkan cenderung menguat di masa reformasi).

Konflik identitas internal di dalam komunitas Balinuraga

merupakan konflik identitas antar identitas warga yang berbeda. Konflik

ini paling menonjol dan menjadi rahasia umum dalam komunitas

Balinuraga, yaitu antara Warga Pasek dan Warga Pandé. Sebuah konflik

yang sebenarnya sudah lama terjadi sejak masa kerajaan di Bali. Konflik

ini dimungkinkan akan terus terjadi selama komunitas ini masih ada.

Konflik identitas warga ini terjadi antar klan yang “digolongkan” sebagai

jaba. Kondisi ini memang bisa terjadi karena secara keseluruhan

masyarakat Balinuraga merupakan golongan jaba (bukan berasal dari

golongan puri, kerajaan, atau triwangsa), di mana di dalam golongan ini

terdapat berbagai macam kelompok besar berdasarkan silsilah keturunan

tertentu yang biasa disebut warga atau klan. Seandainya ada golongan

triwangsa di dalam komunitas ini, bisa saja terjadi konflik antara golongan

jaba dengan triwangsa. Sumber konflik ini sebenarnya berakar pada sistem

sosial dalam masyarakat itu sendiri. Memang mereka menerapkan sistem

warga, bukan sistem wangsa yang bersifat diskriminatif. Sistem ini lebih

egaliter, tidak ada yang bisa memantapkan klan lebih superior daripada

yang lain, seperti triwangsa versus jabawangsa. Karenanya konflik yang

terjadi bersifat horisontal, yaitu antara sesama kelompok warga di dalam

golongan jaba. Lalu mengapa bisa terjadi konflik identitas antar warga?

Setiap warga pada dasarnya memiliki status sosial tersendiri. Begitu pula

dengan beberapa tata upacara dan upakara, serta simbol-simbol

identitasnya, meskipun sama-sama berasal dari golongan jaba dan sama-

sama Bali Hindu. Ini merupakan salah satu identitas individu dan

kelompok mereka sebagai Bali Hindu. Status sosial ini bersifat mengikat,

sudah melembaga, menjadi satu dengan identitas kebalian mereka. Dalam

lingkungan sosial di dalam komunitas mereka yang lebih egaliter,

aktualisasi identitas warga lebih terbuka. Ada keinginan yang kuat untuk

menunjukkan siapa memiliki status sosial lebih tinggi. Dasar dari status

sosialnya adalah status sosial leluhur mereka yang menjadi pendiri dari

klan atau warga tersebut. Manifestasinya – karena pengaruh lingkungan

Page 45: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

441

sosial dari masyarakat Lampung yang memasuki masyarakat industri

(pertanian) – adalah melalui pencapaian ekonomi. Wujudnya adalah Pura

Kawitan Warga – mana yang lebih besar, indah dan artistik – dan wujud

lainnya, seperti pentas kesenian seka gong dan sulinggih warga mana yang

lebih populer. Wujud yang sederhana terbatas pada gosip-gosip atau

cibiran yang bersifat mensiniskan salah satu warga. Dengan kata lain,

persaingan identitas status sosial warga sudah lebih modern, seperti yang

dilakukan dalam masyarakat industri, bukan seperti yang terjadi dalam

sebuah masyarakat yang masih didominasi oleh sistem feodal, di mana

status sosial lebih ditentukan oleh garis keturunan, status sosial diwariskan

dan bersifat absolut. Realitas ini menunjukkan bawah konflik identitas

warga merupakan salah satu upaya dari komunitas ini – yang sebenarnya

plural di dalam komunitasnya sendiri – untuk melestarikan identitas

kebaliannya yang salah satunya diwujudkan melalui identitas warga.

Mapannya sistem sosial kebalian yang mereka terapkan di Lampung – ada

nilai dan norma yang mengharuskan mereka harus menjaga keharmonisan

– dan adanya ancaman eksternal menyebabkan konflik ini terisolisir pada

perang dingin bukan konflik terbuka (fisik). Ekonomi adalah alatnya.

Kebebasan mengekspresikan dan mengaktulisasikan identitas warga

sebagai upaya pelestarian identitas kebalian yang lebih besar – kebebasan

yang disediakan oleh sistem itu sendiri – menyebabkan konflik identitas

antar warga ini akan terus berlangsung terbatas pada perang dingin. Jadi,

tidak bisa dinilai bahwa konflik identitas warga ini sebagai sebuah faktor

pemecah belah komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Ini adalah dinamika

dalam komunitas mereka dalam melestarikan identitas. Konflik identitas

warga adalah bagian utama dari dinamika tersebut dengan berbagai

manifestasinya. Mereka pun menganggapnya sebagai hal yang positif:

“Memotivasi kami untuk bekerja lebih keras” – yang berarti: memotivasi

untuk memantapkan perekonomian keluarga mereka sehingga bisa terus

melestarikan identitas kebaliannya.

Menjadi Bali Lampung

Proses asimilasi, asosiasi, dan akulturasi merupakan upaya

pelestarian identitas kebalian sebagai respons atas lingkungan sosial makro

yang lebih luas, yaitu lingkungan sosial masyarakat Lampung (eksternal).

Page 46: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

442

Melalui ketiga proses ini, mereka turut meleburkan dirinya – identitas

kebaliannya yang eksklusif dalam benteng tertutup – sebagai bagian dari

satu identitas yang lebih besar, yaitu Lampung: bagian dari masyarakat

Lampung yang heterogen.

Setiap proses asimilasi, asosiasi, dan akulturasi (termasuk adaptasi

yang telah diuraikan sebelumnya), mempunyai wujudnya masing-masing

yang sebenarnya hampir sama. Tujuan utamanya adalah melestarikan

identitas kebalian mereka agar bisa eksis di tengah lingkungan sosial yang

lebih luas dalam konteks masyarakat Lampung. Upaya ini dapat dikatakan

sebagai bagian dari politik identitas mereka sebagai salah satu etnis

pendatang di Lampung yang memiliki keunikkan identitas – kebalian –

untuk mendapatkan pengakuan dan apresiasi atas identitasnya dalam

lingkungan sosial yang heterogen dan terbuka. Secara umum hasil dari

proses-proses ini adalah bagaimana mereka menggunakan Bahasa

Indonesia sebagai bahasa pergaulan sosial dengan berbagai etnis yang ada

di Lampung, bukan menggunakan bahasa kedaerahan seperti Bahasa

Lampung, Bahasa Bali, Bahasa Bali Nusa Penida atau pun Bahasa Jawa

(ngoko). Ketika mereka menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa

pergaulan sosial, maka identitas-identitas primordial dari berbagai tempat

asal mereka (etnis Bali dan etnis-etnis lainnya) menjadi luntur (melebur

menjadi satu identitas yang lebih besar), termasuk identitas primordial

penduduk lokal yang lebih senang menggunakan Bahasa Indonesia dalam

pergaulan sosialnya daripada Bahasa Lokalnya, sehingga mereka (etnis

Bali) beserta etnis-etnis lainnya telah menjadi Orang Lampung atau

masyarakat Lampung yang majemuk – atau dalam konteks yang lebih luas

mereka telah Menjadi Indonesia.

Politik identitas yang dimainkan masyarakat Balinuraga dalam

melestarikan identitas dengan melakukan peleburan identitas ke dalam

sebuah identitas yang lebih besar terbilang unik bila dibandingkan dengan

etnis lain. Masyarakat Balinuraga tidak hanya meleburkan identitas

kebalian sebagai bagian dari identitas yang lebih luas seperti menjadi Bali

Lampung, tapi juga turut meleburkan identitas kebaliannya ke dalam

bagian dari identitas kebalian yang lebih luas – menjadi Bali Hindu seperti

Bali Hindu yang ada di Bali. Jadi, proses asimilasi, asosiasi, dan akulturasi

Page 47: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

443

(serta adaptasi) sebagai upaya pelestarian identitas dimainkan melalui dua

jalur: Jalur Bali dan jalur Lampung.

Upaya pelestarian identitas menggunakan Jalur Bali merupakan

sebuah kewajiban yang harus mereka lakukan. Bagaimana tidak? Identitas

kebalian mereka sangat tergantung dengan pusat: Bali. Mereka butuh

eksistensinya sebagai Bali Hindu yang telah berada di luar Bali diakui oleh

pusat. Ini merupakan bagian dari ikatan sosial yang kuat yang tidak dapat

dilepaskan oleh mereka setelah berada di luar Bali: keterikatan terhadap

tanah leluhur. Contoh konkretnya adalah bagaimana mereka meleburkan

diri dengan melakukan pengasosiasian, pengakulturasian, dan

pengasimilasian dengan lembaga-lembaga sosial yang berbasiskan adat,

keagamaan, kekerabatan (warga) dan tempat asal yang ada di Bali (dalam

ruang yang lebih luas). Tujuan dari proses ini adalah agar identitas mereka

lestari, identitas kebalian mereka tetap diakui dan diterima dari pusat. Hal

ini bisa dilihat dan dibuktikan dari keanggotaan mereka terhadap lembaga

sosial keagamaan seperti PHDI (bagian dari umat Hindu Dharma),

lembaga atau pagayuban berbasiskan identitas warga yang pusatnya

berada di Bali, lembaga adat dan keagaman di tempat asal seperti banjar

dan Pura Kawitan Warga di Nusa Penida.

Pola yang hampir sama juga mereka lakukan ketika mengunakan

Jalur Lampung. Mereka tetap menjadi Bali sekaligus menjadi Lampung.

Hal ini mereka tunjukkan dengan menggunakan (menyertakan) lambang

“Siger269

” – lambang kebanggaan yang menyimbolkan identitas Lampung

269

Siger adalah mahkota yang menjadi lambang atau simbol kebesaran,

keagungan, kejayaan dan kekayaan masyarakat Lampung. Dalam

perkembangannya, Siger yang didominasi oleh warna emas ini digunakan sebagai

lambang utama yang menyimbolkan Lampung atau menjadi Simbol Masyrakat

Lampung. Siger ini selalu digunakan oleh setiap kalangan atau pun golongan

dalam masyarakat Lampung, tidak hanya penduduk asli, tapi oleh masyarakat

Lampung yang terdiri dari berbagai etnis. Penggunaan lambang Siger secara

simbolis menunjukkan identitas ke-Lampung-an masyarakat Lampung yang

heterogen. Siger sendiri adalah makhota adat yang biasa digunakan kaum

perempuan dalam pakaian adat maupun dalatm prosesi pernikahan. Dengan kata

lain, siger adalah mahkotanya kaum perempuan. Sebuah simbol kedaerahan yang

feminis, tidak seperti simbol atau lambang kedaerahan lainnya yang biasanya

bersifat maskulin dengan menggunakan simbol senjata, seperti (senjata) Kujang di

Page 48: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

444

– sebagai bagian dari lambang atau logo organisasi sosial kemasyarakatan

(termasuk ada unsur adat dan keagamaan di dalamnya). Misalnya,

disertakannya siger dalam seragam pecalang dan dalam lambang

organisasi “Pargali” (Paguyuban Bali Peduli Lampung Selatan). Logo

adalah simbol identitas. Siger adalah simbol identitas yang lebih besar

sebagai simbol Lampung. Ini mereka sertakan dalam lambang organisasi-

organisasi bentukan mereka. Dengan kata lain, dengan menyertakan

simbol identitas yang lebih besar bersama-sama dengan simbol identitas

kebalian mereka, sebenarnya mereka telah meleburkan identitasnya

sebagai bagian dari identitas yang lebih besar, yaitu Lampung. Penyertaan

lambang siger merupakan hasil dari asosiasi, asimilasi dan akulturasi yang

dilakukan oleh komunitas ini melalui organisasi sosial kemasyarakatan

bentukannya: sebuah upaya pelestarian identitas dengan melakukan

peleburan ke dalam identitas yang lebih besar yang dilakukan secara

simbolis. Meskipun simbolis, tapi ini memberikan makna yang mendalam

bagi mereka. Mengapa? Identitas kebalian mereka menjadi diakui sebagai

bagian dari masyarakat dan kebudayaan Lampung. Ada proses

keterbukaan di sini. Realitas ini menunjukkan bahwa untuk melestarikan

identitas kebaliannya yang unik mereka tetap melakukannya dengan cara

yang tertutup sekaligus terbuka. Cara yang dilakukannya pun sudah maju.

Tidak melalui sebuah organisasi tradisional seperti bagaimana mereka

mempertahankan dan melestarikan identitas kebalian di dalam

komunitasnya, tapi melalui sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang

lebih modern. Melalui organisasi ini, identitas kebalian mereka bisa

diperjuangkan secara sosial politik dalam konteks yang lebih luas, tidak

terbatas di level banjar dan desa adat, tapi di level kabupaten dan provinsi.

Organisasi ini adalah daya tawar mereka di bidang sosial, politik,

kebudayaan dan ekonomi di tingkat lokal, baik dalam interaksinya

(hubungan kerjasama atau asosiasi) dengan instansi pemerintahan maupun

instansi sosial-ekonomi lainnya.

Jawa Barat dan (senjata) Mandau di Kalimantan. Feminisme dalam lambang siger

ini dapat diartikan sebagai “kelembutan” atau “keterbukaan” masyarakat Lampung

terhadap berbagai kelompok etnis dan kepercayaan lain sebagai pendatang.

Page 49: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

445

Gambar 65. Lambang Siger di Seragam Pecalang

(Lambang “Siger” berada di atas lambang “Swastika” sebagai mahkota, “Pargali

Lam-Sel” adalah organisasi yang mewadahi pecalang)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Untuk melihat proses asimilasi dan akulturasi identitas

kebudayaan bahwa mereka telah menjadi Lampung dapat dilihat dalam

bentuk yang sederhana, yaitu melalui perilaku sosial. Sekali lagi, penulis

menggunakan contoh kasus bahasa. Dalam beberapa kesempatan, anak

muda di Balinuraga mengucapkan kalimat sapaan yang kontras, baik

dalam ucapan lisan maupun tulisan dalam pesan singkat melalui telepon

seluler. Terkadang mereka menggunakan kalimat sapaan dengan: “Om

Swastiastu”, dan terkadang dengan sapaan “Halo Bro!” dan “Halo Coi!”.

Sapaan atau kalimat pembuka untuk memulai komunikasi atau sekadar

menyapa menggunakan “Om Swastiastu” mencerminkan identitas kebalian

mereka. Di sisi lain, “Halo Bro!” dan “Halo Coi!” mencerminkan ke-

Lampung-an mereka sebagai Bali Hindu. Kedua ucapan ini merupakan

ucapan gaul yang biasa digunakan oleh anak muda di perkotaan

(khususnya ibu kota propinsi, Bandar Lampung), dan ucapan ini pun

sebenarnya “tiruan” dari bahasa gaul yang biasa digunakan di Jakarta

(bahasa gaul yang digunakan oleh anak muda di Jakarta dijadikan sebagai

trendsetter yang biasanya disosialisasikan melalui sinetron-sinetron).

Logat atau dialek bahasa yang biasa digunakan umumnya sudah

Page 50: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

446

bercampur dengan dialek Bahasa Indonesia yang umum digunakan

masyarakat Lampung. Penggunaaan kata “Gua” dan “Lu” biasa digunakan

untuk menunjukkan bahwa dirinya telah “gaul”. Dalam arti tidak menjadi

kampungan, khususnya anak muda Balinuraga yang sudah dan pernah

tinggal di perkotaan atau mempunyai pergaulan yang luas. Perilaku sosial

lainnya yang dapat dilihat sebagai proses asimilasi dan akulturasi adalah

bagaimana mereka berbusana dan bertindak berdasarkan busananya yang

mengacu masyarakat urban. Busana gaul tanpa tindakan atau aksi yang

gaul, tetap saja dianggap sebagai kampungan. Biasanya ini terjadi pada

anak-anak muda. Mengenakan busana yang modis (setidak-tidaknya tidak

culun, tidak kampungan) disertai dengan gaya rambut masyarakat

perkotaan. Para gadis (dan kadang ibu rumah tangga muda) melakukan

perawatan rambut. Rebonding rambut merupakan yang paling populer.

Para pria (remaja dan dewasa) biasanya dengan mencat rambut dengan

warna-warna tertentu, menggunakan jelly untuk mengeringkan rambut agar

rambut bisa ditata sesuai keinginan dalam bentuk-bentuk tertentu yang

sedang tren. Para pria dewasa kadang melengkapi dirinya dengan tato di

bagian badan tertentu. Tato biasanya menjadi ciri khas laki-laki Bali di

Lampung, termasuk di Balinuraga. Ada yang memang ditujukan untuk

seni, tapi umumnya digunakan sebagai penunjuk status sosial tertentu yang

bersifat negatif (supaya ditakuti). Kemodisan ini kemudian mereka

tampilkan ketika sedang melakukan kegiatan upacara tertentu. Tetap

berbusana adat resmi seperti pada umumnya, tapi modis. Parfum dan

telepon seluler seperti menjadi kewajiban untuk selalu disertakan. Begitu

pula dengan sepeda motor. Selain menggunakan sepeda motor terbaru,

mereka memodifikasinya ke dalam bentuk yang lebih sporty. Sepeda

motor yang baru, tetap dianggap sebagai kampungan jika tidak

dimodifikasi. Modifikasi ini biasanya menghabiskan biaya yang tidak

sedikit. Terkadang biaya modifikasi bisa melebihi nilai atau harga beli dari

motor tersebut. Efek turunan dari kebutuhan untuk modis dan gaul, sebagai

pengaruh luar yang mereka adaptasikan adalah konsumerisme dan

pragmatisme. Sikap dari para tokoh masyarakat melihat akulturasi dan

asimilasi identitas kebudayaan ini adalah menganggapnya sebagai sesuatu

yang lumrah dikarenakan perubahan zaman. Biasanya tokoh masyarakat

yang bersikap seperti ini dikarenakan mereka sadar bahwa dirinya pernah

Page 51: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

447

muda dan senang mengikuti tren di masanya, di mana pernah mendapatka

tentangan dari orang tua mereka yang bersikap kolot. Sikap dari tokoh

masyarakat lain menganggapnya sebagai sebuah ancaman yang dapat

membahayakan identitas kebalian mereka yang sebenarnya akan

dilanjutkan oleh generasi muda. Tokoh masyarakat ini merupakan tokoh

masyarakat atau sepuh yang kolot (gak gaul).

Akulturasi di bidang kesenian dan arsitektur dapat dilihat di

Balinuraga melalui karya-karya pekerja seninya. Namun, jumlahnya relatif

jarang. Untuk tari-tarian ada beberapa gerakan yang bersifat elementer dari

tarian Lampung yang dimasukan dalam tarian Bali. Di bidang arsitektur,

ada yang memodifikasi bangunan yang ada di bagian jaba dan jero Pura

Kawitan dengan artitektur Tiongkok270

(dibuat seperti model kelenteng;

biasanya bagian atap yang menjadi ciri khas akulturasi arsitektur

Tiongkok) dan India, dan menempelkan keramik Tiongkok di tembok atas

pintu rumah dan dinding rumah. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,

dalam pembangunan pura mereka menggunakan bahan-bahan bangunan

modern, seperti adukan semen-pasir sebagai bahan utama fondasi

bangunan pura dan cat-cat berwarna khusus (warnanya terang dan tahan

lama dalam ruang terbuka).

270

Integrasi arsitektur Tiongkok dalam arsitektur (kebudayaan) Bali sudah terjadi

cukup lama, yaitu sejak masa kerajaan. Hal ini dapat dilihat kompleks bangunan

suci yang ada di Bali. Untuk melihat lebih dan sebagai perbandingan bagaimana

integrasi arsitektur (kebudayaan) Tiongkok dalam arsitektur Bali lihat:

Sulistyawati, Made. (2008), “Kontribusi Arsitektur Tiongkok ke dalam Arsitektur

Tradisional Bali”, dalam Integrasi Budaya Tionghoa ke dalam Budaya Bali

(Sebuah Bungan Rampai), Editor: Made Sulistyawati, Denpasar-Bali: Universitas

Udayana dan CV. Massa; Sulistyawati, Made. (2008), “Integrasi Arsitektur

Tiongkok ke dalam Arsitektur Puri Agung Karangasem”, dalam Integrasi Budaya

Tionghoa ke dalam Budaya Bali (Sebuah Bungan Rampai), Editor: Made

Sulistyawati, Denpasar-Bali: Universitas Udayana dan CV. Massa.

Page 52: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

448

Gambar 66. Bangunan Capura Bercorak India dan Bale Bercorak Tiongkok

di bagian Jaba Pura Kawitan Warga

(Sebelah kiri depan adalah gapura atau pintu masuk ke Pura Kawitan yang

desainnya berorak India; sedangkan sebelah kanan depan sebuah bale yang dibuat

seperti gazebo ala Tiongkok. Atap dan desain bale sangat kentara akulturasi

arsitektur Tiongkoknya)

(Sumber: Yulianto, 2008)

Gambar 67. Model Atap Tiongkok pada Bale di bagian Jero Pura Kawitan

(Sumber: Yulianto, 2009)

Page 53: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

449

Gambar 68. Bagian Jaba Pura ada Perpaduan India dan Tiongkok

(bagian depan terdapat arca/patung dewa-dewi Hindu-India; bagian belakang ada

bangunan bercorak Tiongkok dengan keberadaan arca/patung bercorak Bali).

(Sumber: Yulianto, 2009)

Gambar 69. Atap Gedong Bercorak Tiongkok di bagian Jero Pura

(Sumber: Yulianto, 2009)

Page 54: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

450

Gambar 70. Keramik Tiongkok yang Disertakan bersama Simbol-Simbol

Hindu

(Di bagian tengah tepat di atas pintu ditempelkan sebuah keramik, seperti

menyimbolkan tungku api / perapen; dengan diapit di sisi kanan dan kiri lambang

swastika sebagai simbol keselamatan / keberuntungan / keseimbangan / pelindung

dari pengaruh negatif. biasa disertakan di setiap pintu rumah)

(Sumber: Yulianto, 2009)

Kesimpulan

Berangkat dari fenomena Ajeg Bali, Schulte Nordholt (2007)

melihat bagaimana upaya masyarakat Bali – yang diwakili oleh para elit-

elit Bali – untuk melindungi kebudayaan Bali tanpa menutup diri terhadap

dunia luar. Upaya ini yang diistilahkan oleh Schulte Nordholt (2007)

sebagai benteng terbuka atau open Fortress.

Fenomena Ajeg Bali juga terjadi pada komunitas masyarakat Bali

di Lampung, tetapi dalam konteks yang berbeda, seperti kasus di

Balinuraga dan perkampungan Bali lainnya di Lampung. Tujuannya sama,

yaitu melindungi kebudayaan Bali. Desa Balinuraga dalam usaha

pelestarian identitas kebaliannya menjadi benteng tertutup, bukan menjadi

benteng terbuka. Benteng tertutup ini (seperti atau dapat) menjadi

pertahanan terakhir identitas kebalian dalam masyarakat dan kebudayaan

Bali yang lebih luas. Selain itu lebih bersifat otonom dan mandiri

berlandaskan atas kesadaran kolektif dengan tetap melihat fenomena yang

terjadi di pusat (Bali). Fungsi utamanya adalah bagaimana melestarikan

identitas kebalian atau kebudayaan Bali setelah berada di luar Bali. Sama

seperti di Bali, upaya pelestarian identitas ini dilandasi oleh adanya

Page 55: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

451

keterancaman dalam konteks yang berbeda. Kalau di Bali keterancaman

atas identitas kebalian lebih mencolok setelah adanya aksi terorisme (Bom

Bali I dan II) dan arus penanaman modal asing di sektor industri

pariwisata, sedangkan di Lampung (kasus Balinuraga) keterancaman atas

kebertahanan identitas kebalian lebih disebabkan faktor lingkungan sosial

dan jarak antara satelit dan pusat (pusat sebagai acuan dan legitimasi

identitas kebalian). Kasus Balinuraga menunjukkan bahwa melalui

perkampungannya yang eksklusif benteng tertutup menjadi lebih tampak

daripada Bali sebagai benteng terbuka seperti yang digambarkan oleh

Schulte Nordholt. Derajat ketertutupannya sebagai benteng identitas atau

kebudayaan Bali lebih menonjol pada kasus di Balinuraga. Setelah berada

di Lampung, komunitas Balinuraga menjadi minoritas yang harus

mempertahankan dan melestarikan eksistensi identitasnya. Mereka bisa

membentengi identitas kebaliannya dalam keeksklusifan komunitasnya, di

mana dalam benteng identitas tersebut menjadi sebuah teater atau arena

pelestarian identitas.

Kasus di Bali menunjukkan bahwa membentengi kebudayaan Bali

secara tertutup tidak memungkinkan. Bali sudah menjadi terbuka dan

plural, terutama dengan kehadiran industri pariwisata. Karena itu, dapat

dikatakan bahwa keterbukaan dalam benteng identitas sebuah hal

kontradiktif bila melihat kembali bahwa tujuan benteng identitas tersebut

sebagai upacara pelestarian identitas. Derajat keterbukaan tergantung

dengan lingkungan sekitar yang mempengaruhi benteng tersebut. Semakin

kuat ketergantungan atas lingkungan eksternal, mau tidak mau, semakin

besar pula derajat keterbukaan benteng tersebut. Misalnya perekonomian

Bali yang sudah begitu tergantung dengan sektor industri pariwisata –

menjadi tertutup berarti mematikan perekonomian itu sendiri.

Page 56: BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB VI.pdf · terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas

452