BAB V STRATEGI MILITER JEPANG DAN CINA DARI TAHUN 2012 … · 2018. 5. 4. · STRATEGI MILITER...

21
BAB V STRATEGI MILITER JEPANG DAN CINA DARI TAHUN 2012- 2016 5.1. Arah Kebijakan Keamanan Luar Negeri Jepang Terkait Perebutan Wilayah di Kepulauan Senkaku/Diayou Dalam menangani klaim kedaulatan kepulauan Senkaku/Diaoyu yang dilayangkan oleh Cina, Jepang telah menentukan sikap dan kebijakannya tersendiri. Berdasarkan pada kebijakan Jepang tentang wilayah maritimnya, Jepang menyatakan bahwa negaranya ingin menciptakan perdamaian maritim yang berdasarkan pada hukum dan bukan berdasarkan pada force dan coercion. Secara berkala, Jepang akan meneruskan misinya untuk menciptakan perdamaian dan kestabilan regional yang akan dibentuk melalui aturan-aturan dalam hukum internasional. Jepang menyatakan bahwa di perairan Senkaku/Diaoyu tidak ada wilayah kedaulatan yang harus diperebutkan. Kepulauan Senkaku/Diaoyu secara resmi dan legal adalah bagian dari teritori dan kedaulatan Jepang berdasarkan sejarah serta hukum internasional. Sehingga Jepang akan bertindak secara sungguh-sungguh dan tenang dalam menjaga serta mempertahankan integritas teritorial selayaknya tugas negara dalam melindungi kedaulatannya. Seiring berjalannya waktu kebijakan tersebut mengalami perubahan. Sejak tahun 2010, tepatnya setelah Cina dan Jepang sempat terlibat percekcokan di wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu serta meningkatnya aktivitas militer Korea Utara terkait uji nuklir, Jepang mulai meningkatkan perhatiannya di bidang militer serta mengembangkan kebijakan kemananan mengikuti kondisi Asia Timur. Pada tahun 2010, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, membuat kebijakan politik keamanan baru yang berisi tentang diperdalamnya kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat serta memperbaiki dan memperkuat kebijakan keamanan Jepang tentang Proactive Contributor to Peace. Dengan adanya kebijakan ini, maka secara intensif Jepang akan terlibat secara langsung dalam lingkup keamanan regional dan Internasional. Setelah kebijakan tersebut dibuat, Jepang mulai meningkatkan anggaran militernya, mengurangi kontribusi pengiriman pasukan perdamaian dalam UN Peacekeeping

Transcript of BAB V STRATEGI MILITER JEPANG DAN CINA DARI TAHUN 2012 … · 2018. 5. 4. · STRATEGI MILITER...

  • BAB V

    STRATEGI MILITER JEPANG DAN CINA DARI TAHUN 2012-

    2016

    5.1. Arah Kebijakan Keamanan Luar Negeri Jepang Terkait Perebutan Wilayah di

    Kepulauan Senkaku/Diayou

    Dalam menangani klaim kedaulatan kepulauan Senkaku/Diaoyu yang dilayangkan oleh

    Cina, Jepang telah menentukan sikap dan kebijakannya tersendiri. Berdasarkan pada

    kebijakan Jepang tentang wilayah maritimnya, Jepang menyatakan bahwa negaranya ingin

    menciptakan perdamaian maritim yang berdasarkan pada hukum dan bukan berdasarkan

    pada force dan coercion. Secara berkala, Jepang akan meneruskan misinya untuk

    menciptakan perdamaian dan kestabilan regional yang akan dibentuk melalui aturan-aturan

    dalam hukum internasional.

    Jepang menyatakan bahwa di perairan Senkaku/Diaoyu tidak ada wilayah kedaulatan

    yang harus diperebutkan. Kepulauan Senkaku/Diaoyu secara resmi dan legal adalah bagian

    dari teritori dan kedaulatan Jepang berdasarkan sejarah serta hukum internasional. Sehingga

    Jepang akan bertindak secara sungguh-sungguh dan tenang dalam menjaga serta

    mempertahankan integritas teritorial selayaknya tugas negara dalam melindungi

    kedaulatannya.

    Seiring berjalannya waktu kebijakan tersebut mengalami perubahan. Sejak tahun 2010,

    tepatnya setelah Cina dan Jepang sempat terlibat percekcokan di wilayah kepulauan

    Senkaku/Diaoyu serta meningkatnya aktivitas militer Korea Utara terkait uji nuklir, Jepang

    mulai meningkatkan perhatiannya di bidang militer serta mengembangkan kebijakan

    kemananan mengikuti kondisi Asia Timur.

    Pada tahun 2010, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, membuat kebijakan politik

    keamanan baru yang berisi tentang diperdalamnya kerjasama keamanan dengan Amerika

    Serikat serta memperbaiki dan memperkuat kebijakan keamanan Jepang tentang “Proactive

    Contributor to Peace”. Dengan adanya kebijakan ini, maka secara intensif Jepang akan

    terlibat secara langsung dalam lingkup keamanan regional dan Internasional.

    Setelah kebijakan tersebut dibuat, Jepang mulai meningkatkan anggaran militernya,

    mengurangi kontribusi pengiriman pasukan perdamaian dalam UN Peacekeeping

  • Operations, melakukan ekspor dan impor senjata, mengintensifkan latihan pasukan militer

    dengan negara-negara sekutunya seperti Amerika Serikat, dan meningkatkan penjagaan

    keamanan melalui sektor militer di setiap perbatasan teritorinya terutama yang berhadapan

    langsung dengan Cina.

    Setelah pada tahun 2012 Jepang secara resmi menasionalisasi tiga dari delapan pulau di

    kepulauan Senkaku/Diaoyu, pemerintah Jepang mulai memperketat penjagaan di wilayah

    tersebut menggunakan coast guard mereka karena meningkatnya aktivitas Cina di wilayah

    perairan tersebut.

    Di bawah kepemimpinan Shinzo Abe, Jepang sering menyuarakan pendapatnya tentang

    perilaku Cina yang sering dianggap kontroversial serta memicu tensi diantara kedua negara

    terutama jika hal itu terkait dengan konflik di Laut Cina Selatan dan tentu saja di kepulauan

    Senkaku/Diaoyu. Hal ini kemudian membuat parlemen Jepang merasa bahwa sudah saatnya

    bagi pemerintah Jepang untuk membuat undang-undang militer baru karena situasi dan

    kondisi di kawasan regional telah berubah.

    Pada bulan Desember 2013, Shinzo Abe bersama dengan pemerintahannya, mulai

    mengangkat isu tentang strategi keamanan nasional Jepang terkait Laut Cina Timur dan Laut

    Cina Selatan.

    Strategi Keamanan Nasional Jepang (2013: 12) :

    “Cina telah mengambil tindakan pemaksaan yang dapat mempengaruhi serta merubah

    status quo suatu wilayah melalui pernyataan-pernyataan mereka yang tidak sesuai

    dengan tatanan hukum internasional, di wilayah maritim dan udara, yaitu Laut Cina

    Timur dan Laut Cina Selatan.”

    Pada tahun 2014, Jepang terus meningkatkan konsentrasinya terhadap sektor keamanan

    setelah Cina secara besar-besaran membangun pangkalan militer di Laut Cina Selatan.

    Jepang yang menilai bahwa kegiatan tersebut kemungkinan besar akan merambah ke

    wilayah Laut Cina Timur dan akan mengancam keamanan negaranya1, maka pada tahun

    2015 ia mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan anggaran militer terbesar dalam kurun

    waktu 22 tahun sebesar 4.82 triliun Yen atau sekitar 48.97 miliar USD.

    1 Menteri Pertahanan Jepang, Nakatani Gen, berasumsi bahwa kegiatan Cina membangun pangkalan militer di Laut

    Cina Selatan akan mempengaruhi serta mengancam kestabilan dan keamanan Jepang. Kegiatan Cina, dinilai akan merambah ke wilayah Laut Cina Timur dan hal tersebut telah dimulai pada tahun 2013 ketika Cina mendeklarasikan ADIZ yang mengambil alih sebagian besar zona udara Jepang.

  • Dari seluruh anggaran militer di atas, Jepang lebih memfokuskan pembangunan armada

    laut dan udaranya. Hal tersebut dilakukan guna menjaga keamanan wilayah-wilayah yang

    rentan akan ancaman dari negara-negara tetangganya seperti Rusia dan Cina. Kemudian,

    untuk menangani aktivitas Cina yang mengancam kedaulatan di kepulauan Senkaku/Diaoyu,

    Jepang menggelontorkan dana cukup besar bagi coast guard-nya yaitu 27% dari seluruh

    anggaran militer Jepang. Hal tersebut dilakukan karena coast guard merupakan salah satu

    pasukan pengamanan perbatasan terkuat yang dimiliki Jepang.

    5.2. Arah Kebijakan Keamanan Luar Negeri Cina Terkait Perebutan Wilayah di

    Kepulauan Senkaku/Diayou

    Sebagai pihak yang gencar melakukan klaim terhadap kepulauan Senkaku/Diaoyu, tentu

    saja Cina mengeluarkan beberapa kebijakan terkait sengketa tersebut. Berdasarkan pada

    kebijakan Cina mengenai wilayah kedaulatan negara, Cina menyatakan bahwa ia akan

    dengan senantiasa menjaga dan mengamankan setiap wilayah yang menjadi bagian dari

    kedaulatannya.

    Pada 25 Februari 1992, Cina mengeluarkan undang-undang tentang Laut Teritorial.

    Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa wilayah teritorial RRC yang meliputi wilayah darat, lepas

    pantai, Taiwan, dan seluruh pulau yang terafiliasi termasuk kepulauan Senkaku/Diaoyu,

    Penghu, Dongsha, Xisha, dan Nansha (Spratly) adalah bagian dari kedaulatan Republik

    Rakyat Cina. Menitik dari undang-undang diatas berserta klaim Cina yang menyatakan

    bahwa kepulauan Senkaku/Diaoyu merupakan wilayah teritorialnya sejak abad ke-14 dan

    15, maka secara berkala Cina akan merebut kembali wilayah tersebut dari tangan Jepang.

    Pada tahun 2012, setelah Jepang secara resmi menasionalisasikan tiga dari delapan pulau

    Senkaku/Diaoyu, pemerintah Cina menciptakan task force yang disebut dengan “Office to

    Respond to the Diaoyu Crisis”. Cina yang menilai bahwa tindakan Jepang merupakan

    bentuk provokasi yang dapat mengubah status quo di perairan tersebut, maka mulai

    menyusun beberapa kebijakan politik dan keamanan terhadap kondisi di kepulauan

    Senkaku/Diaoyu.

    Kebijakan politik disusun untuk memaksa pemerintah Jepang mengubah posisinya

    sebagai pihak yang tidak mau mengakui adanya persengketaan kedaulatan di kepulauan

    tersebut menggunakan law enforcement. Cina menilai, jika pemerintah Jepang memiliki

  • pemahaman bahwa status kedaulatan wilayah tersebut masih dalam persengketaan, maka

    terciptanya penyelesaian melalui jalur diplomatis akan terwujud terutama untuk menyetujui

    bahwa coast guard dari masing-masing negara akan berpatroli di perairan yang

    disengketakan pada hari-hari tertentu untuk menegaskan kedaulatan kedua belah pihak.

    Selain itu, kedua negara juga dapat menyepakati batas penangkapan ikan bagi kapal nelayan

    yang seringkali menjadi sumbu ketegangan antara Jepang dan Cina.

    Presiden Cina saat ini, Xi Jinping, mengatakan bahwa pemerintahannya akan berfokus

    pada permasalahan kedaulatan dan stabilitas negara (wei quan dan wei wen). Untuk itu

    segala bentuk wilayah yang terafiliasi oleh Cina, harus dijaga dan dipertahankan

    menggunakan kekuatan militer jika diperlukan.

    Berdasarkan pada task force di atas, kebijakan keamanan Cina kemudian ditekankan pada

    patroli rutin yang dijalankan oleh China Coast Guard (CCG) maupun militer. Selain

    melakukan patroli rutin, CCG juga bertugas untuk mengawal kapal penangkap ikan Cina

    yang berlayar di wilayah Laut Cina Timur terutama yang berdekatan dengan perairan

    Senkaku/Diaoyu.

    Kebijakan tentang patroli rutin tidak hanya dilakukan di wilayah perairan saja, namun

    juga diterapkan di wilayah udara. Untuk melanjutkan task force yang dibuat pada tahun

    2012, Cina secara resmi mengumumkan zona udaranya atau ADIZ yang mencangkup

    seluruh zona udara kepulauan Senkaku/Diaoyu pada tahun 2013 lalu.

  • Gambar 9.

    Air Defense Identification Zone (ADIZ) Jepang dan Cina

    Sumber : Website Kementerian Pertahanan Jepang, http://www.mod.go.jp/e/d_act/ryouku/

    Setelah zona pertahanan udara tersebut resmi diumumkan, pesawat militer Cina telah

    beberapa kali melakukan patroli rutin untuk memantau kondisi perairan yang disengketakan.

    Selanjutnya, kedua kebijakan diatas terus dilakukan hingga sekarang yang ritmenya

    disesuaikan dengan kondisi dan situasi diplomatik kedua negara dengan tujuan sebagai

    penegak hukum jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

    5.3. Persaingan Kekuatan Militer Jepang dan Cina di Wilayah Kepulauan Senkaku/Diayou

    Sebagai dua negara besar yang sama-sama memiliki tujuan untuk bertahan hidup, baik

    Jepang dan Cina sama-sama berusaha untuk mematenkan status kepulauan Senkaku/Diaoyu

    sebagai bagian dari teritorinya. Selain mengeluarkan berbagai macam kebijakan terkait

    kasus kedaulatan di kepulauan Senkaku/Diaoyu, kedua negara juga mengerahkan

    kemampuan militernya di wilayah perairan maupun udara kepulauan tersebut. Secara mata

    telanjang, kemampuan militer Cina jauh diatas Jepang, namun jika dilihat berdasarkan

    kemampuan mengolah strategi militer, politik, fokus, teknologi, serta aliansi, dapat

    dikatakan bahwa kedua negara tersebut memiliki kekuatan yang seimbang.

    Berangkat dari pemikirian Mearsheimer tentang offensive realism, Cina merupakan salah

    satu the new great power menyaingi Jepang dan AS. Masing-masing negara memiliki power

    yang dapat mengancam satu sama lain. Cina dengan kekuatan ekonomi, militer, serta people

    power-nya mampu membuat Jepang kalang kabut sehingga sebagai aktor rasional, dirinya

    mulai melakukan counter-balancing2 dengan cara meningkatkan kemampuan internalnya

    yaitu menciptakan strategi militer baru yang meliputi peningkatkan anggaran militer,

    teknologi militer serta aliansi dengan AS guna menghadapi Cina yang terus menerus

    berusaha menggeser posisi Jepang sebagai tuan rumah di kepulauan Senkaku/Diaoyu.

    Melalui kekuatan ekonominya, Cina mampu mendanai fasilitas-fasilitas militernya untuk

    menunjang kepentingannya di kepulauan Senkaku/Diaoyu. Namun dengan demikian, Cina

    juga memiliki fokus yang terpecah belah jika dibandingkan Jepang. Meskipun saat ini

    2 Respon suatu negara untuk meningkatkan power-nya ketika merasa terancam oleh kekuatan negara lain.

    http://www.mod.go.jp/e/d_act/ryouku/

  • Jepang tidak hanya berhadapan dengan Cina terkait ancaman kedaulatan, namun skala

    ancaman yang dihadapi Jepang masih cukup rendah dibanding Cina yang menghadapi

    konflik di Laut Cina Selatan. Dimana klaim Cina terhadap sebagian besar wilayah tersebut,

    mampu menarik sebagian besar tenaga dan anggaran Cina karena ia tidak hanya menghadapi

    satu kekuatan negara, namun lima negara berdaulat yaitu Vietnam, Malaysia, Indonesia,

    Brunei Darusalam, Filipina beserta aliansinya termasuk Jepang dan AS.

    Berdasarkan penjelasan diatas, berikut adalah kekuatan militer dari masing-masing

    negara serta aktivitas keduanya di wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu dalam kurun waktu

    beberapa terakhir paska meningkatnya intensitas pergesekan hubungan diplomatis kedua

    negara pada tahun 2012.

    5.3.1. Kekuatan Militer Jepang

    Paska Perang Dunia II, Jepang kemudian „pensiun‟ dari aktivitas

    militernya. Negara ini memiliki trauma tersendiri atas apa yang terjadi di masa

    lampau. Bom atom yang dijatuhkan di kota Nagasaki dan Hirosima membawa

    pukulan hebat bagi Jepang. Sanksi yang dijatuhkan AS pada Jepang untuk tidak

    mengembangkan kekuatan militernya menjadi titik baru kehidupan negara

    tersebut.

    Seiring dengan berjalannya waktu dan berubahnya situasi serta kondisi

    politik dan keamanan dunia internasional, kemudian memaksa Jepang mengubah

    pandangannya untuk kembali melakukan pengembangan sektor militer. Di

    bawah kepemimpinan Shinzo Abe, anggaran militer Jepang berangsur naik dari

    tahun 2010-2017. Seperti yang telah disebutkan dalam bab I, pada tahun 2015

    Jepang menyisihkan anggaran militer terbesar setelah 22 tahun yang mencapai

    4.82 triliun Yen atau 48.97 miliar USD dan terus meningkat hingga tahun 2017

    ini.

  • Gambar 10.

    Kenaikan Anggaran Militer Jepang dari 1997-2017

    Sumber : Dokumen White Paper Kementerian Pertahanan Jepang tentang Dana

    Fiskal tahun 2017.

    Semenjak coast guard Jepang menjadi salah satu penjaga perbatasan

    terkuat yang dimiliki oleh Jepang, maka negara ini menyisihkan 27% dari

    keseluruhan anggaran militernya untuk meningkatkan kekuatan coast guard-nya

    terutama di wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu yang saat ini menjadi perhatian

    besar karena gencarnya klaim Cina terhadap wilayah tersebut. Selanjutnya, coast

    guard Jepang memiliki dana sebesar 210.6 miliyar Yen untuk keperluan fiskal

    dan 57.8 miliyar Yen akan digunakan untuk meningkatkan pengawasan terutama

    di perairan dekat pulau-pulau terpencil.

    Selain coast guard, Jepang memiliki kekuatan laut lain yang disebut

    dengan Japanese Maritime Self-Defense Force (JMSDF) yang merupakan

    cabang Angkatan Laut terbaik Jepang karena memiliki teknologi yang lebih

    mempuni, berpengalaman, dan terlatih dibandingkan People Liberation Army

    Navy (PLAN) milik Cina.

    JMSDF menjadi kunci kekuatan Angkatan Laut Jepang kerena memegang

    kendali yang cukup besar dalam menjaga keamanan laut Jepang. JMSDF

    diketahui memiliki kekuatan kapal selam yang cukup mempuni. Pada tahun

  • 2010, Angkatan Laut Jepang mengumumkan bahwa mereka akan meningkatkan

    armada kapal selamnya dari 16 menjadi 22 kapal. Sepuluh diantaranya berjenis

    Soryu yang merupakan kapal selam diesel terbesar dan berteknologi maju di

    dunia. Dari keseluruhan kapal selam Soryu, lima diantaranya akan beroperasi

    pada tahun 2019.

    Selain memiliki kekuatan Angkatan Laut yang mempuni, Jepang sedang

    mengembangkan teknologi pesawat militernya ke arah yang lebih serius.

    Berdasarkan White Paper Jepang yang dirilis pada tahun 2016 lalu, Jepang

    sedang berusaha untuk menciptakan serta mengembangkan teknologi seluruh

    pesawat patrolinya seperti P-3C, helikopter penyelamat SH-60K dan SH-60J,

    pesawat intelijen OP-3C, pesawat tempur F-35A serta F-2, dan lain-lain guna

    meningkatkan kemampuan Jepang dalam menjaga wilayah perbatasan.

    Dari seluruh kekuatan militer yang dimiliki oleh Jepang, tidak lengkap

    jika kekuatan tersebut tidak didukung oleh Amerika Serikat. Jepang diketahui

    telah menjadi sekutu AS paska PD II dan hampir 70 tahun Amerika Serikat

    menjadi perisai militer Jepang. Kedua negara ini memiliki perjanjian keamanan

    yang mencangkup beberapa kegiatan militer seperti latihan bersama, kerjasama

    dalam pengembangan teknologi militer dll.

    Amerika Serikat yang menyandang gelar sebagai negara dengan kekuatan

    militer pertama di dunia, tentu saja menyuguhkan posisi tawar yang cukup tinggi

    bagi Jepang dalam menghadapi ancaman-ancaman yang datang dari negara-

    negara tetangganya terutama Cina. Terlebih lagi, saat ini Amerika Serikat

    sedang mengarahkan pandangannya ke wilayah Asia Pasifik karena kehadiran

    Cina di wilayah tersebut dianggap sebagai ancaman terhadap hegemoni Amerika

    Serikat. Kolaborasi antara majunya industri teknologi Jepang dengan kekuatan

    Amerika Serikat sebagai negara adidaya, menciptakan kekuatan yang cukup

    sepadan dalam menghadapi Cina sebagai The New Rising Power.

    5.3.2. Kekuatan Militer Cina

    Jika berbicara tentang kekuatan militer Cina, maka kekuatan negara ini

    tidak perlu diragukan lagi. Sebagai negara dengan anggaran militer terbesar

  • ketiga di bawah Amerika Serikat dan Rusia, tentu saja negara ini menjadi negara

    yang ditakuti oleh banyak negara. Di kawasan Asia, Angkatan Bersenjata Cina

    atau People Liberation Army (PLA) nyaris unggul di seluruh bidang militer.

    Tercatat bahwa Cina memiliki lebih dari 1.600.000 personel militer tersendiri.

    Walaupun dalam kurun waktu dua tahun terakhir anggaran militernya terlihat

    menurun dari tahun-tahun sebelumnya, namun kekuatan yang dimiliki negara

    tersebut tidak lah berkurang.

    Gambar 11.

    Kenaikan Anggaran Militer Cina Tahun 1989-2016

    Sumber : Dokumen White Paper Kementerian Pertahanan Jepang Tahun 2016

    Untuk kekuatan Angkatan Laut Cina atau PLAN sendiri, ia memiliki

    235.000 pasukan yang membawahi tiga armada laut yaitu Armada Beihai,

    Armada Donghai, dan Armada Nanhai. Setiap armada memiliki kantor pusat

    penerbangan, support bases, armada kapal, korps pasukan maritim, divisi

    penerbangan dan unit brigade laut. Selain itu, PLAN juga didukung oleh kapal

    induk Liaoning yang digunakan untuk pengembangan pesawat induk bagi

    PLAN.

  • Berdasarkan pada White Paper yang dikeluarkan oleh Jepang pada tahun

    2014, PLAN dan PLAAF3 memiliki sekitar 2,580 pesawat tempur yang

    kebanyakan diimpor dari Rusia dan berjenis Su-27. Selain itu, Cina juga

    memproduksi sendiri beberapa jenis pesawat tempur seperti J-11B yang

    digadang-gadang sebagai tiruan dari pesawat tempur Su-27. Selain itu, sebagai

    salah satu negara dengan ekonomi terkuat di dunia, Cina juga terus menerus

    mengembangkan beberapa jenis pesawat tanpa awak yang mampu melakukan

    penerbangan secara berjam-jam untuk menjalankan misi pengintaian serta

    membawa rudal dan senjata lainnya untuk tujuan penyerangan.

    5.3.3. Aktivitas Jepang dan Cina di Wilayah Kepulauan Senkaku/Diaoyu

    Selain mendeklarasikan ADIZ, menasionalisasi pulau, serta mengirim

    protes resmi antar pemerintah, Jepang dan Cina juga kerap kali terlibat

    percekcokan vis a vis di beberapa wilayah udara yang oleh Jepang disebut

    sebagai wilayah kedaulatan negaranya. Tercatat sejak tahun 2012-2017, pesawat

    Cina menjadi yang terbanyak dalam memasuki wilayah udara Jepang terutama

    di zona pertahanan udara kepulauan Senkaku/Diaoyu.

    Gambar 12.

    Jumlah Pelanggaran Batas Udara Oleh Beberapa Negara di Wilayah Udara

    Jepang

    Sumber : Press Release Kementerian Pertahanan Jepang

    http://www.mod.go.jp/js/Press/press2017/press_pdf/p20170413_02.pdf

    3 PLAAF: People Liberation Army Air Force

    http://www.mod.go.jp/js/Press/press2017/press_pdf/p20170413_02.pdf

  • Gambar 13.

    Aktivitas Pesawat Patroli Cina dan Rusia di Zona Udara Jepang

    Sumber : Press Release Kementerian Pertahanan Jepang

    http://www.mod.go.jp/js/Press/press2017/press_pdf/p20170413_02.pdf

    Berdasarkan pada data dan gambar di atas, maka aktivitas udara Cina

    kerapkali menyambar zona udara di dekat kepulauan Senkaku/Diaoyu. Dengan

    adanya hal ini, maka sudah jelas jika Cina memiliki kepentingan tersendiri di

    wilayah tersebut. Menanggapi aktivitas udara Cina, beberapa kali pesawat

    tempur Jepang tidak segan untuk turun lapangan dan memberikan peringatan

    pada Cina untuk mundur dan menjauh dari wilayah udara yang dilindungi oleh

    Jepang itu.

    Selain aktivitas udara dan patroli laut yang dimandatkan oleh pemerintah

    masing-masing negara. Ketegangan di wilayah ini sering terjadi karena aktivitas

    kapal penangkap ikan yang sering kali melanggar batas wilayah dan hal ini lebih

    sering dilakukan oleh kapal penangkap ikan dari Cina. Hal tersebut kerap terjadi

    karena banyak masyarakat cina termasuk para aktivis yang merasa memiliki hak

    untuk melakukan aktivitas di perairan tersebut karena wilayah itu merupakan

    wilayah Cina dan bukan Jepang. Akibatnya, coast guard Jepang sering mengusir

    dan bahkan beberapa kali harus menangkap kapal-kapal penangkap ikan

    tersebut.

    Untuk menghindari kejadian diatas, maka CCG harus rela melakukan

    pengawalan kepada kapal-kapal penangkap ikan Cina yang mulai mendekati

    http://www.mod.go.jp/js/Press/press2017/press_pdf/p20170413_02.pdf

  • perairan Senkaku/Diaoyu untuk mencegah mereka masuk lebih jauh ke wilayah

    sengketa dan mendesak coast guard Jepang untuk tidak melakukan tindakan

    yang agresif terhadap kapal-kapal itu.

    Aktivitas lain yang dilakukan oleh kedua negara di sekitar kepulauan

    Senkaku/Diaoyu adalah menempatkan teknologi militer di wilayah-wilayah

    yang berdekatan dengan kepulauan tersebut. Dari sisi Jepang, dari tahun 2015

    lalu, ia mulai memperbaharui pemasangan radar di beberapa titik yang

    berdekatan dengan Okinawa. Sedangkan dari sisi Cina, ia dikabarkan sedang

    mempersiapkan pembangunan dermaga bagi kapal perang di sebuah pulau lepas

    pantai yang berdekatan dengan wilayah sengketa. Dermaga tersebut dibangun di

    Pulau Nanji, Wenzhou Cina, dengan panjang sekitar 80 m dan mampu

    menampung kapal-kapal pendarat. Selain itu, beberapa pulau disekitarnya juga

    telah dipasangi sistem radar dan heliport yang diduga digunakan untuk

    membangun landasan pacu bagi keperluan militer.

    5.4. Perimbangan Kekuatan (Balance of Power) Jepang dan Cina terkait Permasalahan

    Kedaulatan di Kepulauan Senkaku/Diaoyu

    Selama kasus tentang kepulauan Senkaku/Diaoyu muncul kepermukaan, telah banyak

    terjadi pertarungan kebijakan antara Jepang dan Cina. Walaupun dalam beberapa kondisi

    mereka memiliki beberapa kebijakan yang hampir sama, namun kebijakan-kebijakan

    tersebut tidak dapat disinkronisasikan karena bedanya pandangan terhadap status kepulauan

    tersebut. Jepang yang tidak mengakui bahwa kepulauan tersebut berstatus sengketa seperti

    yang dilayangkan oleh Cina, kemudian memperlihatkan secara jelas tentang banyaknya

    perbedaan kebijakan di antara keduanya. Menurut Jepang, kepulauan Senkaku/Diaoyu telah

    resmi sebagai bagian dari kedaulatan negaranya berdasarkan nilai historis dan hukum

    internasional. Maka dari itu kebijakan yang Jepang ambil seperti meningkatkan anggaran

    militer, memodernisasi kekuatan militer, meningkatkan penjagaan oleh coast guard, dan

    aktivitas lain terkait pengamanan wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu, didasarkan pada

    kewajiban dan hak sebagai negara berdaulat untuk melindungi wilayahnya yang terancam

    oleh negara lain. Jepang mempertahankan wilayah tersebut menggunakan kekuatan yang ia

    miliki tanpa perlu mempermasalahkan status kedaulatan objek tersebut. Sehingga kebijakan

  • untuk menasionalisasi tiga pulau di Senkaku/Diaoyu yang tadinya dimiliki oleh

    perseorangan bukanlah suatu bentuk provokasi karena itu adalah hak Jepang terhadap

    wilayah kedaulatannya. Dan hal-hal tersebut merupakan bagian dari internal balancing yang

    dilakukan oleh Jepang dalam menghadapi Cina di kepulauan Senkaku/Diaoyu

    Bagi Negara Cina yang melihat bahwa status kepulauan Senkaku/Diaoyu adalah

    sengketa, kemudian melakukan internal balancing dengan mengeluarkan kebijakan law

    enforcement untuk memaksa Jepang mengubah posisinya terhadap kepulauan

    Senkaku/Diaoyu. Cina mulai mempertegas kebijakannya dengan mengirimkan pasukan

    patroli CCG ke wilayah perairan Senkaku/Diaoyu dan merilis zona pertahanan udaranya

    yang mencangkup seluruh wilayah udara kepulauan Senkaku/Diaoyu.

    Dirilisnya zona pertahanan udara atau Air Defence Identification Zone (ADIZ) oleh Cina,

    kemudian menimbulkan kontroversi bagi Jepang. Kegiatan yang dilakukan oleh Cina

    merupakan salah satu tindakan balancing terhadap kebijakan Jepang terkait

    penasionalisasian pulau-pulau di wilayah sengketa pada tahun 2012. Selain itu, tindakan

    Cina juga dianggap sebagai bagian dari national interest-nya terhadap status quo di

    kepulauan Senkaku/Diaoyu. Analoginya, Cina mendeklarasikan ADIZ karena ia sadar

    bahwa Jepang tidak akan mengubah posisi kedaulatannya terhadap kepulauan

    Senkaku/Diaoyu. Cina memutuskan untuk menguasai wilayah udara di sekitar kepulauan

    Senkaku/Diaoyu karena ia sadar bahwa saat ini ia tidak dapat menguasai perairan maupun

    daratan di wilayah tersebut. Maka dari itu, guna menunjukkan bahwa ia juga memiliki

    power terhadap kepulauan tersebut, ia pada akhirnya harus mengambil alih wilayah udara

    kepulauan Senkaku/Diaoyu.

    Perimbangan yang dilakukan oleh Cina tersebut tentu saja direspon keras oleh Jepang

    karena dengan luasnya ADIZ yang dideklarasikan Cina, maka akan mengganggu stabilitas

    wilayah udara Jepang. Selain itu, ADIZ yang dideklarasikan Cina akan memaksa Jepang

    untuk melaporkan segala aktivitas udaranya di wilayah kedaulatannya sendiri kepada Cina.

    Sedangkan jika Jepang tidak melaporkan aktivitas tersebut, maka Cina tidak akan segan

    untuk mengambil tindakan agresif dengan cara militer. Terlebih lagi, ADIZ tersebut akan

    memudahkan pesawat-pesawat Cina, terutama pesawat militer, masuk ke wilayah udara

    kepulauan Senkaku/Diaoyu dan memprovokasi keadaan.

  • Konsep mengenai ADIZ sendiri merupakan gagasan Amerika Serikat pada tahun 1951

    dengan tujuan untuk mengidentifikasi maksud serta tujuan masuknya pesawat dari Amerika

    Utara ke wilayah AS pada saat itu. Batas wilayah ADIZ biasanya lebih luas dari satu

    wilayah teritorial untuk memudahkan pengidentifikasian pesawat yang akan memasuki

    ruang udara suatu negara. Namun demikian, cara kerja ADIZ tidak terikat oleh hukum atau

    perjanjian internasional karena ia merupakan mandat nasional suatu negara. Jadi negara lain

    diperbolehkan untuk menaati atau menolak kebijakan tersebut, walaupun jika ada pesawat

    suatu negara yang tidak mengikuti instruksi dari petugas administrasi ADIZ nekat untuk

    terbang di wilayah tersebut, maka angkatan senjata dari negara „tuan rumah‟ berhak untuk

    meresponnya sebagai ancaman dan dapat menggunakan kekuatan militer sebagai bentuk

    perlindungan terhadap kedaulatan negaranya.

    Untuk external balancing, sebenarnya dari kedua negara yang terlibat, Jepang merupakan

    negara yang secara terang-terangan memanfaatkan metode external balancing sebagai

    tambahan kekuatan internalnya. Kerjasama militernya dengan AS merupakan bentuk

    kesepakatan yang sangat mengikat bagi Jepang dan sudah menjadi kebijakan paten terkait

    pertahanan negara. Walaupun sejak tahun 2015 Amerika Serikat mulai membatasi intensitas

    kerjasama militer antara keduanya, tetapi pada kenyataannya pada tahun 2017 ini, kedua

    negara kembali lengket dalam urusan peningkatan kerjasama militer. Pada bulan Februari

    lalu, Sekertaris Pertahanan AS, James Mattis, menyatakan bahwa ia akan mendukung

    Jepang dalam menghadapi Cina terkait pertahanan kedaulatan di kepulauan

    Senkaku/Diaoyu.

    Walaupun Cina bukan negara yang benar-benar memanfaatkan metode external

    balancing sebagai tambahan kekuatan dalam menghadapi negara pengancam kedaulatannya,

    namun Cina memiliki Rusia sebagai rekan kerjasama teknologi militer yang cukup setia.

    Dilatarbelakangi dari ideologi yang sama, kedua negara ini telah sejak lama menjalin

    kerjasama terkait teknologi militer. Hal tersebut dapat dilihat dari persenjataan militer serta

    pesawat Cina yang bahan-bahannya berasal dari Rusia. Walaupun tidak secara langsung

    Rusia mendukung Cina atas klaimnya terhadap kepulauan Senkaku/Diaoyu, namun kedua

    negara ini memiliki ikatan yang baik dalam mendukung satu sama lain. Terlebih, Rusia

    merupakan negara yang sama-sama sedang menghadapi sengketa kedaulatan dengan Jepang

    terkait pulau Kuril yang terletak di wilayah Utara negara Jepang dan Selatan Rusia.

  • Untuk permasalahan pembagian wilayah di kepulauan Senkaku/Diaoyu, Cina

    menyarankan bahwa pembagian wilayah tersebut dapat dilakukan melalui ketentuan Zona

    Ekonomi Ekslusif (ZEE), sedangkan Jepang mengusulkan untuk menggunakan konsep

    equidistant atau menarik garis median dari wilayah yang tumpang tindih karena luas Laut

    Cina Timur tidak lebih dari 400 mil di wilayah yang disengketakan.

    Berdasarkan pada ketentuan dari United Nations Convention on the Law of the Sea

    (UNCLOS) tahun 1982 mengenai Hukum Laut Internasional, jika jarak perairan laut yang

    membelah dua negara (berhadap-hadapan) kurang dari 400 mil, maka kedua negara tersebut

    berhak melakukan perundingan untuk menciptakan kesepakatan tentang batas negaranya.

    Tetapi karena Jepang dan Cina telah memiliki pandangan dan national interest yang

    berbeda, maka kesepakatan antar keduanya selalu gagal terwujud. Bagi Jepang, jika

    menuruti kemauan Cina untuk menggunakan konsep ZEE, maka negaranya akan sangat rugi

    karena Cina akan mendapatkan seluruh wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu yang mana

    diakui sebagai kedaulatan negara Jepang. Sedangkan bagi Cina, pembagian menggunakan

    konsep equidistant tidak dapat diterima karena itu berarti ia akan menyerahkan seluruh

    wilayah perairan kepulauan Senkaku/Diaoyu kepada Jepang.

    Balancing antara Jepang dan Cina tidak hanya soal kebijakan namun juga soal bagaimana

    negara tersebut saling bertindak dan berperilaku. Penggunaan kekuatan militer sebagai jalan

    kedua negara dalam mempertahankan kedaulatan wilayah mereka, telah menjadi ancaman

    yang nyata bagi keamanan nasional Jepang maupun Cina. Seperti yang telah digambarkan

    pada sub bab sebelumnya tentang aktivitas kedua negara di wilayah kepulauan

    Senkaku/Diaoyu, baik Jepang maupun Cina sama-sama saling mengancam satu sama

    lainnya dengan cara mengerahkan teknologi militer yang mereka miliki. Pergesekan antar

    coast guard, kapal militer, dan pesawat militer kedua negara di wilayah yang bermasalah,

    menjadi sumbu yang memperkeruh hubungan keduanya. Salah satu contohnya terjadi di

    tahun 2013 ketika kapal perang Cina me-lock-on radar fire-control-nya ke kapal dan

    helikopter angkatan pertahanan maritim Jepang atau Maritime Self-Defence Force (MSDF)

    yang sedang berpatroli di kawasan Senkaku/Diaoyu. Dimana setelah diselidiki lebih lanjut,

    radar tersebut merupakan sebuah sistem kapal perang yang digunakan untuk mengarahkan

    senjata perang termasuk rudal ke sebuah sasaran.

  • Negara Jepang dan Cina, keduanya sama-sama mengerahkan power yang mereka miliki

    untuk mempertahankan apa yang menurut mereka menjadi miliknya. Kedua negara ini tidak

    henti-hentinya saling mengancam, lock-on melalui radar kapal perang terhadap angkatan

    bersenjata militer negara lain, merupakan suatu bentuk tindakan provokasi yang sangat

    berbahaya dalam dunia internasional karena hal tersebut merupakan ancaman terhadap

    keamanan nasional suatu negara dan dapat memicu perang jika terus berlanjut.

    Jika dianalisis lebih jauh, penggunaan angkatan bersenjata Cina ke Jepang, merupakan

    salah satu bentuk dari tindakan offensive Cina dalam menghadapi Jepang yang bersikeras

    untuk tidak mengubah posisinya yang menyatakan bahwa kepulauan Senkaku/Diaoyu

    merupakan bagian dari kedaulatan negaranya. Untuk memperlihatkan kesungguhannya, Cina

    kemudian mengambil tidakan seperti law enforcement dengan mengirimkan pasukan CCG-

    nya ke perairan Senkaku/Diaoyu untuk lebih memperlihatkan bahwa ia tidak main-main

    dalam klaim yang ia layangkan. Sedangkan dari sisi Jepang, sebagai tindakaan offensive-

    nya, ia secara mengejutkan mulai meningkatkan anggaran militernya secara besar-besaran,

    mengembangkan teknologi militernya menggunakan kemampuan dan kecanggihan

    teknologi negaranya yang telah diakui dunia, dan tentu saja menjalin kerjasama yang

    semakin akrab dengan Amerika Serikat.

    Walaupun Jepang dan Cina telah benar-benar saling menunjukkan tindakan agresif yang

    mengancam, keduanya tidak kunjung mengobarkan perang satu sama lain dan malah saling

    menciptakan balance of power secara berkala. Terciptanya situasi balance of power antara

    Cina dan Jepang, tentu saja didasari oleh beberapa alasan kuat, berikut adalah alasan-alasan

    tersebut. Pertama, Jepang dan Cina sama-sama memiliki visi untuk menciptakan kestabilan

    regional yang damai dengan membentuk kerjasama kawasan di wilayah Asia Timur. Sebagai

    dua great power di wilayah regional Asia Timur, Jepang dan Cina memiliki peran besar

    dalam menjaga kestabilan kawasan baik dari segi politik, ekonomi, dan keamanan. Tidak

    hanya di kawasan saja, mereka juga bertanggung jawab dalam menjaga kestabilan dunia

    karena pengaruh mereka sangat besar dalam sirkulasi dunia internasional baik dari segi

    ekonomi, politik maupun keamanan. Jika kedua negara ini memutuskan untuk berperang,

    maka kestabilan kawasan dan bahkan dunia akan terganggu. Lebih kecil lagi, kestabilan

    nasional mereka akan melemah sehingga akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan

    hidup kedua negara tersebut.

  • Kedua, Negara yang berperang cenderung akan lebih memfokuskan urusan rumah

    tangganya untuk dapat bertahan dan menang dalam pertarungan yang dihadapi. Hal itu, tentu

    saja akan mengganggu kestabilan nasionalnya karena urusan negara bukan hanya soal

    urusan keamanan saja namun juga soal ekonomi, pemerintahan, sosial, dll. Selain itu, saat

    ini situasi dunia telah semakin maju. Globalisasi mengubah fokus setiap negara dunia yang

    tadinya berfokus pada sektor keamanan, kemudian berpindah haluan menjadi sektor

    ekonomi. Dimana sektor ini merupakan sektor terpenting dan menjadi pondasi kehidupan

    suatu negara dalam membangun serta mengembangkan negaranya. Sebagai aktor rasional,

    pembentukan strategi balance of power, merupakan hal yang patut dilakukan suatu negara

    dalam dunia globalisasi saat ini. Jika negara ingin bertahan hidup, maka ia harus menjaga

    kekuatan ekonominya agar tidak terganggu karena modal untuk melakukan pembangunan

    dan pengembangan negara adalah adanya pertumbuhan ekonomi.

    Ketiga, Jepang dan Cina sama-sama masih memiliki nasional interest satu sama lain.

    Sebagai negara yang saling bertetangga, keduanya memiliki ikatan ketergantungan

    walaupun hubungan antar keduanya sering kali mengalami pasang surut. Kedua negara ini

    memiliki hubungan yang disebut dengan “cold politics and warm economic relations”.

    Globalisasi membawa mereka pada hubungan kerjasama ekonomi khususnya dalam sektor

    industri dan perbankan. Hal tersebut dapat diketahui pada tahun 2014 ketika Jepang menjadi

    negara terbesar kedua bagi Cina terkait kerjasama ekonomi karena investasi-investasi yang

    ditanamkan oleh Jepang di Cina. Walaupun investasi yang dilakukan kedua negara memiliki

    resiko kerugian karena situasi dan kondisi politik yang tidak menentu, namun keduanya

    tetap melakukan kerjasama karena mereka telah berada dalam pola ketergantungan satu

    sama lain. Mungkin, kerjasama ekonomi yang masih terjalin antara Jepang dan Cina dapat

    meredam sedikit ketegangan yang sering terjadi antara dua great power ini. Namun

    demikian, melalui dokumen white paper-nya pada tahun 2015, secara khusus Cina

    menyatakan bahwa ia akan siap melindungi aset maupun institusi yang terletak di negara

    lain menggunakan pasukan militernya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di negara

    tersebut.

    Dengan penjelasan di atas, maka situasi Jepang dan Cina tidak akan berubah menjadi

    situasi perang walaupun keduanya telah saling mengancam. Adanya balance of power, telah

    menekan situasi perang yang mungkin terjadi diantara kedua negara. Balancing yang

  • dilakukan Jepang dan Cina bukan lagi sekedar untuk bertahan, namun digunakan untuk

    mengancam lawan sebelum ia diancam terlebih dahulu. Tindakan yang saling mengancam

    dan percikan ketegangan fisik antar kedua kubu di perairan maupun udara kepulauan

    Senkaku/Diaoyu merupakan hal yang tidak bisa lagi mereka hindari karena pada

    kenyataannya mereka memiliki kapasitas power yang memungkinkan mereka untuk

    mengambil tindakan tersebut. Selain itu, sebagai great power, mereka akan sama-sama

    memiliki banyak pertimbangan dalam melakukan segala tindakan untuk tetap bertahan

    hidup. Baik Jepang atau Cina, akan terus melakukan peningkatan kekuatan militer terutama

    di wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu sebagai alat untuk meningkatkan posisi tawarnya

    dalam setiap perselisihan yang mereka hadapi sekaligus untuk memperlihatkan kepada

    lawan bahwa negaranya tidak lemah dan bisa saling mengimbangi dengan cara melakukan

    ancaman menggunakan kekuatan militer.

    5.5. Refleksi Penelitian

    Penelitian mengenai strategi militer Jepang dan Cina dalam mempertahankan kedaulatan

    Kepulauan Senkaku/Diaoyu dimulai dari rasa ketertarikan penulis atas perubahan situasi

    keamanan regional Asia Timur. Dari seluruh faktor perubahan yang ada, ketegangan antara

    Cina dan Jepang atas status sebuah wilayah perairan dengan pulau-pulau tak berpenghuni

    telah menarik penulis untuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai permasalahan

    tersebut. Dimana sebuah kepulauan yang memiliki julukan berbeda dari Jepang dan Cina

    yaitu Senkaku/Diaoyu telah menciptakan situasi yang cukup rumit bagi hubungan

    diplomatik kedua negara.

    Sebagai refleksi dari hasil penelitian dan analisa terkait topik di atas, terdapat beberapa

    temuan menarik dari seluruh strategi militer yang dikeluarkan oleh Jepang maupun Cina.

    Pertama, kepulauan Senkaku/Diaoyu merupakan wilayah yang memiliki letak strategis bagi

    Jepang dan Cina. Seperti yang dijelaskan dalam penelitiannya tentang sengketa wilayah

    antara Jepang dan Cina di Laut Cina Timur, Reinhard Drifte mengatakan bahwa nilai-nilai

    strategis yang terletak di kepulauan Senkaku/Diaoyu seperti migas, mampu menarik kedua

    negara untuk saling bersitegang dan mengancam satu sama lain menggunakan kekuatan

    militernya. Walaupun keduanya saling melakukan tindakan offensive dengan melancarkan

    ancaman dan bahkan tak jarang beradu „fisik‟ di perairan maupun udara kepulauan

  • Senkaku/Diaoyu, namun keduanya masih belum berani untuk menaikkan level menjadi

    keadaan perang karena berbagai pertimbangan. Baik Jepang maupun Cina sama-sama

    menciptakan kondisi balance of power yang tujuannya bukan hanya soal bertahan namun

    mengancam negara lawan dimana strategi dan kekuatan militer menjadi jalan keluar bagi

    kedua negara dalam menghadapi situasi tersebut. Walaupun keduanya melakukan

    perundingan secara diplomatis dan membentuk perjanjian kerjasama untuk mengolah nilai-

    nilai strategis di kepulauan Senkaku/Diaoyu seperti kerjasama eksplorasi energi, tetapi

    kepentingan dan berbedanya pandangan terhadap status kepulauan tersebut akan terus

    mendorong konflik antar kedua negara.

    Yang kedua terkait status kedaulatan kepulauan Senkaku/Diaoyu yang masih belum jelas.

    Berdasarkan pada buku yang ditulis oleh Unryu Suganuma tentang kedaulatan kepulauan

    Senkaku/Diaoyu, status kedaulatan kepulauan tersebut masih sangat rancu karena Jepang

    dan Cina sama-sama memiliki bukti-bukti kuat yang dapat diserahkan ke ICJ (International

    Court of Justice). Hal tersebut terbukti dari bukti-bukti yang dikeluarkan oleh pemerintah

    Jepang dan Cina melalui Kementerian Luar Negerinya. Dimana baik Jepang dan Cina, sama-

    sama menjelaskan bahwa mereka sama-sama berhak atas kedaulatan kepulauan

    Senkaku/Diaoyu berdasarkan pada nilai historis maupun hukum internasional. Penulis

    menyetujui bahwa belum ada hukum internasional yang mampu menyelesaikan kasus

    kedaulatan ini karena baik Jepang dan Cina sama-sama tidak mau melepaskan klaimnya

    serta sikap saling pengertian antar keduanya masing sangat kurang terbukti dari terus

    meningkatnya aktivitas militer di wilayah sengketa.

    Ketiga, terkait kebijakan Cina yang mendeklarasikan Air Defense Identification Zone

    (ADIZ) di atas kepulauan Senkaku/Diaoyu. Sebenarnya, jauh sebelum Cina

    mendeklarasikan zona pertahanan udaranya tersebut, Jepang telah terlebih dahulu memiliki

    kebijakan ADIZ yang batasnya 130 km mendekati daratan Cina dan di dalamnya termasuk

    kepulauan Senkaku/Diaoyu. Ketika Jepang menyebutkan bahwa tindakan Cina merupakan

    pemprovokasian terhadap hubungan diplomatik kedua negara dan Cina dianggap tidak

    memiliki etika, maka sebenarnya dari empat dekade lalu Jepang telah melakukan hal yang

    sama.

    Dari sisi Cina, terdapat beberapa hal yang perlu dipahami tentang tindakannya dalam

    mengambil keputusan tersebut. Sebagai negara yang mengaku bahwa terdapat wilayah

  • kedaulatannya yang diambil oleh negara lain dan negara itu tidak mau melepaskan posisinya

    untuk melakukan perundingan, maka adalah hal yang wajar jika kemudian Cina

    memutuskan untuk melakukan tindakan berbasis law enforcement. Berdasarkan pada teori

    balance of power, suatu negara akan melakukan tindakan pengimbang untuk menaikkan

    posisi tawarnya agar tidak jatuh dari pihak lain atau counter balancing, maka jika Cina tidak

    dapat mengambil dan menguasai daratan maupun perairan kepulauan Senkaku/Diaoyu,

    maka ia akan menggunakan udara untuk memperkuat posisinya dalam persengketaan yang

    ia hadapi. Setidaknya, Cina memiliki posisi tawar yang cukup baik untuk mendorong musuh

    ke dalam situasi yang dapat membuatnya sadar bahwa Cina tidak main-main dalam kasus

    persengketaan kedaulatan tersebut.

    Yang keempat terkait kekuatan militer Cina dan Jepang yang sebenarnya memiliki jarak

    yang cukup jauh untuk disandingkan. Kita telah mengetahui bahwa Jepang merupakan

    negara dengan kekuatan militer yang tidak seberapa dibanding Cina. Namun demikian,

    Jepang memiliki hal yang tidak dimiliki oleh Cina yaitu soal fokus negara yang tidak

    terpecah serta external balancing. Jepang tidak seperti Cina yang tengah menghadapi

    berbagai macam konflik kedaulatan. Ia memiliki strategi dan fokus yang lebih kerucut

    dibanding Cina yang saat ini tengah berkonflik di Laut Cina Selatan. Hal ini memberi

    keuntungan bagi Jepang karena ia dapat memaksimalkan power-nya untuk melindungi

    kepulauan Senkaku/Diaoyu.

    Berdasarkan pada penelitian sebelumnya tentang “Diplomasi Jepang dan Amerika Serikat

    dalam Merespon Peningkatan Anggaran Militer Tiongkok Periode 2006-2010” yang ditulis

    oleh Mohamad Reza Tri Satriakhan, hadirnya Amerika Serikat sebagai great power bagi

    Jepang menciptakan keuntungan ganda baginya. Dalam segi militer, Jepang hanya memiliki

    segelintir pasukan yang dapat mendukung negaranya dalam mempertahankan

    kedaulatannya, namun Amerika Serikat memiliki banyak pasukan yang dapat memberikan

    bala bantuan bagi Jepang dalam melaksanakan kewajibannya sebagai negara. Dari penelitian

    tersebut, maka dapat dilihat bahwa Jepang benar-benar memanfaatkan external balancing

    untuk memperkuat negaranya dalam menghadapi kekuatan Cina yang terus meningkat.

    Kedua negara tersebut saling melakukan hubungan timbal balik dimana Jepang

    menyuguhkan kesetiaan dan teknologi mempuni, dan Amerika Serikat memberikan

    dukungan militer kepada Jepang. Mereka juga saling mendukung satu sama lain, karena

  • kedua negara juga memiliki kepentingan yang sama untuk menekan kekuatan Cina yang

    semakin mengancam hegemoni kedua negara di wilayah Asia.

    Sedangkan dari sisi Cina, ia tidak benar-benar mengandalkan external balancing karena

    ia telah memiliki kekuatannya tersendiri. Kemudian untuk persoalan fokus negara, Cina saat

    ini ia tengah menghadapi „pertarungan‟ besar terkait konflik Laut Cina Selatan. Konflik

    tersebut telah membawa Cina pada pemecahan konsentrasi atas anggaran dan kekuatan

    militernya. Cina menggunakan kekuatan militernya di wilayah tersebut dengan komposisi

    yang cukup besar karena apa yang ia hadapi tidak hanya satu negara namun lima negara

    berdaulat yaitu Filipina, Malaysia, Indonesia, Brunei Darusalam, dan Vietnam berserta

    aliansi mereka termasuk Jepang dan Amerika Serikat. Dengan banyaknya negara yang ia

    hadapi ditambah keterlibatan Amerika Serikat, maka semakin mengganggu konsentrasinya

    atas kekuatan yang dapat ia berikan di kepulauan Senkaku/Diaoyu.