BAB IV - UKSW

31
20 BAB IV KONSTRUKSI IDENTITAS NASIONAL SINGAPURA MELALUI PROGRAM SPEAK GOOD ENGLISH MOVEMENT OLEH PEMERINTAH SINGAPURA 4.1 Nation, Nation State, dan Nasionalism A. Nation atau Bangsa Wilayah Singapura yang dikunjungi Sir Thomas Stamford Raffles saat pertama kali datang ke Singapura pada 19 Februari 1819 bukanlah tempat yang menarik bagi kebanyakan orang karena tempat tersebut hanyalah merupakan hamparan rawa bakau yang datar dan dihuni oleh beberapa gipsi laut, sekitar 120 nelayan Melayu, dan 30 petani gambir Tiongkok (Bloodworth, 1986). Namun Raffles yang ambisius justru melihat Singapura sebagai wilayah pos perdagangan yang dapat menyaingi wilayah kolonisasi dan pengaruh Belanda saat mendominasi wilayah di sekitarnya termasuk Indonesia. Pulau tersebut sebagai tempat ideal untuk membangun kota dan dapat menjadi wilayah perdagangan yang strategis. Kedatangan Inggris memberi dampak yang signifikan bagi struktur sosial dan ekonomi Singapura. Letaknya yang secara geografis berada diantara persimpangan Timur dan Barat membuat Raffles yakin bahwa tempat ini dapat dirancang menjadi pelabuhan ideal untuk rute perdagangan India dan Tiongkok. Dalam waktu yang singkat beliau mengubah wilayah yang terlihat tidak bermasa depan itu menjadi pelabuhan terbesar kedua di dunia setelah Rotterdam dan menjadi pusat komersial dan finansial di Asia Tenggara karena aktivitas perdagangannya yang mendunia. Pada beberapa tahun pertamanya, koloni meraup kemakmuran ekonomi dari perluasan pelabuhan Singapura. Tahun 1823-1824 Singapura telah menangani perdagangan senilai $11 juta, dalam rentang 45 tahun, tepatnya pada tahun 1868-1869 nilai perdagangannya meningkat menjadi $58 juta – jumlah peningkatan yang lebih dari 500% (Williams, 2007).

Transcript of BAB IV - UKSW

20

BAB IV

KONSTRUKSI IDENTITAS NASIONAL SINGAPURA MELALUI

PROGRAM SPEAK GOOD ENGLISH MOVEMENT OLEH PEMERINTAH

SINGAPURA

4.1 Nation, Nation State, dan Nasionalism

A. Nation atau Bangsa

Wilayah Singapura yang dikunjungi Sir Thomas Stamford Raffles saat

pertama kali datang ke Singapura pada 19 Februari 1819 bukanlah tempat yang

menarik bagi kebanyakan orang karena tempat tersebut hanyalah merupakan

hamparan rawa bakau yang datar dan dihuni oleh beberapa gipsi laut, sekitar 120

nelayan Melayu, dan 30 petani gambir Tiongkok (Bloodworth, 1986). Namun

Raffles yang ambisius justru melihat Singapura sebagai wilayah pos perdagangan

yang dapat menyaingi wilayah kolonisasi dan pengaruh Belanda saat

mendominasi wilayah di sekitarnya termasuk Indonesia. Pulau tersebut sebagai

tempat ideal untuk membangun kota dan dapat menjadi wilayah perdagangan

yang strategis. Kedatangan Inggris memberi dampak yang signifikan bagi struktur

sosial dan ekonomi Singapura. Letaknya yang secara geografis berada diantara

persimpangan Timur dan Barat membuat Raffles yakin bahwa tempat ini dapat

dirancang menjadi pelabuhan ideal untuk rute perdagangan India dan Tiongkok.

Dalam waktu yang singkat beliau mengubah wilayah yang terlihat tidak

bermasa depan itu menjadi pelabuhan terbesar kedua di dunia setelah Rotterdam

dan menjadi pusat komersial dan finansial di Asia Tenggara karena aktivitas

perdagangannya yang mendunia. Pada beberapa tahun pertamanya, koloni meraup

kemakmuran ekonomi dari perluasan pelabuhan Singapura. Tahun 1823-1824

Singapura telah menangani perdagangan senilai $11 juta, dalam rentang 45 tahun,

tepatnya pada tahun 1868-1869 nilai perdagangannya meningkat menjadi $58 juta

– jumlah peningkatan yang lebih dari 500% (Williams, 2007).

21

(Peta dibuat oleh Ms. Lee Li Kheng, GIS dan Unit Sumber Daya Peta,

Departemen Geografi, Universitas Nasional Singapura. © Peter Borschberg)

Mengacu pada peta yang menunjukkan posisi strategis Keuntungan dan

potensi lokasi Singapura sudah diakui oleh penduduk setempat bahkan kekuatan

kolonial Eropa awal, jauh sebelum Raffles menginjakkan kaki di pulau itu.

Bahkan, Belanda mulai mengenalinya pada tahap awal kehadiran mereka di

Hindia Timur, lalu Singapura. Singapura diakui karena potensi lokasinya, karena

22

posisinya yang strategis di sepanjang arteri maritim utama, dan juga karena

pelabuhannya yang sangat baik. https://journals.openedition.org/lerhistoria/3234

Visi Raffles adalah menjadikan Singapura sebagai tempat yang besar dan

penting, sehingga harus merancang kota untuk memudahkan pemerintahan koloni.

Awal Juni 1819 Raffles mendelegasikan tugas tata ruang kota untuk penduduk

Singapura kepada William Farquhar. Tugas utamanya adalah untuk menjaga

tanah-tanah di dekat sungai di mana kantor-kantor publik berada serta memberi

dan mengatur lokasi untuk para pedagang Eropa (Tan, 2016). Saat Raffles

kembali pada Oktober 1822, ia menemui keadaan yang sangat kacau dan

menuduh hasil kerja Farquhar sebagai pekerjaan yang serampangan. Raffles

kemudian menunjuk Letnan Philip Jackson untuk merivisi tata ruang kota.

Jackson memetakan daerah-daerah Singapura berdasarkan beberapa subdivisi

etnis dan memetakan koloni dalam pola grid. Daerah pemukiman etnis dibagi

menjadi empat wilayah (IPFS). Raffles mengadopsi ide rancang kota dari kota-

kota kolonial di daerah dia berada, contohnya di Georgetown (saat itu dikenal

dengan nama Prince of Wales Island), Penang, Malaysia. Di daerah itu para

imigran Tiongkok dan India diintergrasikan ke rencana kota formal yang sangat

tertata dan terpantau. Kesuksesan Kota Georgetown berbanding terbalik dengan

rencana kolonial di India yang tidak tertata dan terpantau secara rapih sehingga

sanitasi buruk dan pertumbuhan kota yang serampangan menjamur.

Kota Eropa dihuni oleh pedagang dari Eropa, Eurasia dan orang Asia yang

kaya. Kampong Tionghoa adalah pecinan yang dihuni etnis Tionghoa. Little India

adalah tempat untuk etnis India letaknya di sebelah utara Kampong Tionghoa.

Kampong Glam dihuni oleh penduduk Muslim yang sebagian besar adalah etnis

Melayu dan Arab, daerah tersebut kemudian terbagi menjadi tiga bagian yaitu

Bugis, Arab dan Sultan Singapura (eNLB).

23

(https://www.geographicus.com/P/AntiqueMap/Singapore-jackson-1828)

Berikut komposisi pemetaan wilayah yang dirancang oleh Letnan Jackson

(NLB eResources):

Daerah untuk Orang Eropa dan pedagang membentang dari pinggir laut

timur kanton ke tepi barat daya Sungai Singapura.

24

Daerah permukiman Tiongkok berada di sebelah barat daya Sungai

Singapura.

Daerah bagi etnis Melayu dan Arab berada di daerah kediaman Sultan

karena orang-orang Melayu telah tinggal di sekitar temenggong dekat

Panglima Perang.

Daerah bagi etnis India berada di hulu Sungai Singapura.

Rencana rancangan Kota Raffles yang dirumuskan pada akhir tahun 1822

kemudian dikenal sebagai Rencana Jackson (The Jackson Plan). Penataan kota

oleh Letnan Philip Jackson yang sesuai dengan visi dan harapan Raffless

diterbitkan pada tahun 1828. Pengkotak-kotakan wilayah secara formal ini

mengakibatkan penduduk di Singapura tidak membaur dengan kelompok lainnya

karena oleh koloni, mereka juga tidak memiliki inisiasi untuk membaur karena

tidak ada kepentingan dan keuntungan yang berarti apabila berbaur satu sama lain.

Tidak adanya kepentingan bersama dan keterbatasan pengetahuan bahasa dan

budaya menjadi alasan utama mereka sulit berbaur (Vaish, 2008).

Selain visi dan kebijakan di yang Raffles tentang tata kota yang didelegasikan

kepada Letnan Jackson, beliau juga menekankan perlunya pemisahan masyarakat

berdasarkan provinsi, pemisahan antara penduduk dan bukan penduduk, serta

pedagang menetap dan pedagang keliling (Vaish, 2008).

Tahun 1824 koloni Inggris melakukan sensus penduduk pertamanya di

wilayah Singapura jumlah penduduknya mencapai 11.000, dan pada tahun 1860

angka tersebut meningkat hingga mencapai 81.000 dengan etnis Tionghoa yang

mendominasi populasi (Turnbull, 1997). Pada tahun 1860 populasi Singapura

berkembang menjadi 80,792 dengan komposisi penduduk 62% orang Tionghoa,

13.5% orang Melayu, 16% orang India, 8.5% orang Eropa dan lainnya

(Bloodworth 1986). Respon pemerintah kolonial terhadap multikulturalisme di

Singapura sangatlah kurang sehingga menyebabkan masyarakat tersegregasi.

Beberapa tahun setelah perancangan kota Jackson Plan, segregasi masyarakat

terjadi karena masyarakat masih saja tidak berkontak antar kelompok. Segregasi

menurut etnis ini bukan karena kurangnya kebijakan maupun peraturan, namun

25

karena kurangnya konsistensi dalam penegakan kebijakan mengenai masyarakat

multikulturalisme oleh pemerintah (Wilson, 1978). Jumlah orang Inggris saat

pertama kali tiba di wilayah Singapura sangatlah sedikit dibandingkan orang-

orang dari ras lainnya yang telah lama bermukim di tempat tersebut. Walau

jumlah penutur bahasa Inggris sangat sedikit, bahasa tersebut tetap menjadi

bahasa yang penting dan memiliki prestis karena merupakan akses komunikasi ke

ruling class1 maupun jajaran elit (Erb, 2003).

Sebagai wilayah pelabuhan yang strategis dan penting, wilayah Singapura

menjadi tujuan para imigran yang sebagian besar ingin mencari untung di bidang

ekonomi. Tahun 1867 pemerintahan kolonial menjadikan imigran India sebagai

tentara, pegawai toko, pegawai negeri, guru dan buruh. Imigran dari daerah sekitar

seperti Malaysia dan Indonesia juga turut meramaikan populasi Singapura.

Komunitas Timur Tengah dan orang-orang Armenia juga datang untuk alasan

yang sama (Vaish, 2008).

Di Singapura pada saat itu terdapat kategorisasi ras berdasarkan etnis

Tiongkok, Melayu, India dan lainnya dan etnis-etnis tersebut kemudian

merupakan bangsa atau nation yang merupakan kolektivitas sosiologis

(Pabottinggi dalam Anderson 1983). Terdapat beberapa bangsa yang membangun

Singapura sejak masa kolonial dan bangsa-bangsa tersebut terus menetap dan

bertambah jumlahnya hingga hari ini (Anderson, 1983).

Setelah kemerdekaan Singapura pemerintah internal dihadapkan oleh

kerentanan Singapura dari berbagai aspek. Ketika merdeka Singapura sangat

rentan karena hanya merupakan negara kepulauan kecil seluas 586,5 kilometer

persegi dan dihuni 2,93 juta orang ini (Fact & Picture of Singapore 1995) tidak

memiliki sumber daya manusia yang mumpuni untuk membangun kehidupan

bernegara dan bahkan sumber daya air. PM Goh Chok Tong dalam pidatonya di

Hari Nasional 1995 mengungkapkan bahwa sesaat kita berangkat dari Bandara

Changi kita sudah berada di wilayah udara orang lain untuk menganalogikan

kecilnya pulau Singapura. Singapura juga rentan karena sebagian penduduknya

1 Ruling class merujuk pada pemegang kekuasaan pada jaman kolonial (www.nlb.gov.sg)

26

adalah orang Tiongkok di wilayah Islam, disebut wilayah Islam karena secara

geografis diapit oleh wilayah yang dihuni oleh mayoritas penduduk Melayu

penganut agama Islam. Singapura juga rentan karena sangat menggantungkan

ekonominya pada pasar global, adanya riak kecil atau masalah kecil saja dapat

berdampak besar terhadap ekonomi negara. Singapura juga rentan karena

populasinya yang multiras, multiagama dan multibahasa, sehingga selalu

dibayangi persaingan yang dapat menjadi ancaman kelangsungan hidup

(Bockhorst-Heng, 1998).

Ketika Lee Kuan Yew mengambil alih kekuasaan, dia mendapati dirinya

mengatur rawa yang dipenuhi nyamuk dengan peternakan babi dan ayam, desa-

desa nelayan, dan koloni liar dari gubuk-gubuk beratap seng. Jalan-jalan di pusat

kota dipenuhi dengan ruko-ruko - sebagian besar bangunan berlantai dua.

Keluarga akan mengoperasikan bisnis di lantai dasar dan tinggal di lantai dua

sering tanpa pipa dan listrik, dan rumah-rumah dihuni sebanyak sepuluh orang.

Asia Scene tahun 1960 melaporkan bahwa kemiskinan di Singapura sangat

fenomenal dan orang harus melihat dengan mata sendiri untuk percaya itu.

B. Nation State

Pada awal kemerdekaan Singapura sejumlah dua juta masyarakat tidak

berketerampilan dan buta huruf. Sebagai negara yang minim akan sumber daya

alam, pemerintah kemudian fokus pada peningkatan kualitas sumber daya

manusia melalui pemerataan pendidikan. Singapura memiliki banyak masalah

yang harus segera diselesaikan. Sebanyak tiga juta orang menanggur dan dua per

tiga penduduknya tinggal di pemukiman kumuh dan liar. Kondisi sanitasi dan

infrastrukturnya jauh dari kata layak dan memdai. Salah satu contoh langkanya

sumber daya alam di Singapura adalah air. Salah satu kebutuhan pokok manusia,

air, bahkan adalah sumber daya yang langka sehingga mengantar Singapura untuk

mengambil keputusan untuk menghemat air dan mengelolanya secara lebih efisien

dan bijaksana. Untuk menyiasati kurangnya sumber daya alam yang sangat

27

minim, pemerintah Singapura memutuskan untuk mengambil inisiatif dengan

berinvestasi di bidang infrastruktur, teknologi dan strategi untuk pengelolaan

sumber daya air. Kondisi ini adalah salah satu contoh di mana pemerintah fokus

terhadap pemerataan pendidikan supaya sumber daya manusianya terdidik dan

terpelajar sehingga dapat menyiasati kondisi negara yang minim akan sumber

daya alam.

Dipandang sebagai negara yang rentan, miskin, dan tidak berketerampilan,

pemerintah Singapura kemudian harus bekerja keras untuk membangun keaslian

bangsa supaya dilihat sebagai negara yang sah. Ada dua hal yang menjadi fokus

utama pemerintah, pertama berkaitan dengan kelangsungan hidup Singapura

dengan segala keterbatasan sumber daya alam, kemudian bagaimana cara

mensiasati keterbatasan sumber daya alam dengan memposisikan dirinya dalam

hubungannya dengan negara-negara lain. Kedua berkaitan dengan citranya sendiri

sebagai negara yang tidak ada unsur kebangsaan yang sama, seperti bahasa yang

sama, masyarakat atau etnis yang sama, agama yang sama, sehingga harus

mengatur strategi untuk memaknai identitas nasional (Golob et all, 2016).

Singapura kemudian berinisiasi untuk bergabung kembali dengan Federasi

Malaysia. Lee Kuan Yew menggunakan nasionalisme Melayu untuk

mengimbangi pengaruh Inggris di negara. Karena alasan ini, bahasa Melayu

menjadi bahasa nasional Singapura. Dan karena alasan ini banyak kebijakan

diberlakukan untuk memerangi potensi chauvinisme Tiongkok mengingat

banyaknya etnis Tiongkok di Singapura. Keinginan ini terbukti dalam waktu

sensus nasional pertama Singapura tahun 1957 dan dalam penciptaan bendera

nasional dan lagu kebangsaan pada tahun 1959. Beberapa berpendapat bahwa

sirnbol nasional ini adalah bagian dari upaya keseluruhan untuk memerangi

chauvinisme etnis demi kepentingan merger (Wihott, 1989). Namun, simbol-

simbol ini juga berbicara dengan jelas tentang agenda nasionalis independen, yang

membayangkan Singapura secara terpisah dari tetangganya. Lagu kebangsaan,

misalnya, adalah suara yang kuat dalam menyatukan orang ke dalam agenda

nasionalis. Fakta bahwa sebagian besar warga Singapura bahkan hari ini tidak

28

mengerti lirik bahasa Melayu tampaknya tidak menghilangkan rasa nasionalisme

yang dibawakan oleh lagu kebangsaan tersebut. Menurut sebuah survei 26 Juli

1991 Straits Times menunjukkan bahwa 80% orang yang diwawancarai tidak

mengetahui arti kata-kata itu (Bockhorst-Heng, 1999).

Pemerintahan Inggris meninggalkan legasi bentuk pemerintahan

demokrasi kepada Singapura, mereka juga meninggalkan legasi sistem yudisial,

struktur munisipal, pendirian parlemen, serta sistem pendidikan yang mewajibkan

penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa bisnis dan pemerintahan serta bahasa

yang netral antar ras, legasi tersebut adalah klasifikasi CMIO atau Chinese,

Malay, Indian and Others untuk memudahkan pemerintah menyebutkan etnis-

etnis mayoritas karena pemerintah akan sering menggunakan istilah tersebut

untuk membahas demografi masyarakat maupun merumuskan peraturan (Hee,

2016). “The others” atau “Lainnya” merupakan populasi yang tidak termasuk

dalam klasifikasi ras Tionghoa, Malaysia maupun India, misalnya ras Kaukasian

(Vaish, 2008). Legasi kategorisasi ras ini masih digunakan hingga hari ini untuk

membantu mengatur kebijakan politik khususnya yang berkaitan dengan identitas

melalui survey. Dr Mathews, kepala Group Representation Constituency (GRC)

Singapura menegaskan bahwa setiap ras di Singapura dapat tetap bisa

mengekspresikan dan melestarikan budayanya tanpa harus menghilangkannya

sama sekali hanya karena mereka tinggal di Singapura, apa yang mereka rasakan

adalah hal yang sangat berharga (Baker, 2017).

Anderson melihat nation state sebagai komunitas politik dan berdaulat

yang dibayangkan di mana orang memiliki rasa memiliki tanpa benar-benar saling

mengenal. Dalam tulisan ini yang dimaksud nation state adalah Singapura sebagai

komunitas politik yang berdaulat yang dihuni oleh sekelompok orang dengan latar

belakang berlainan tetapi membayangkan dirinya sebagai saling kenal.

Pemerintah yang semi otoritarian kemudian mengambil alih kendali untuk

memproyeksikan kolektivitas masyarakat Singapura sehingga Singapura menjadi

negara kebangsaan, atau negara yang terdiri dari berbagai macam bangsa, namun

menjadi kesatuan politik (Anderson, 1983).

29

C. Nasionalisme

George Rendel diangkat pemerintah Inggris untuk merumuskan konstitusi

baru dan mempersiapkan kemerdekaan Singapura tahun 1953 dengan mendorong

pengembangan partai-partai politik. Tahun berikutnya, 1954, Lee Kuan Yew

bersama kaum radikal Tiongkok bergabung untuk membentuk Partai Aksi Rakyat

atau People Action Party yang diketuai oleh Lee Kuan Yew. Tahun 1955 David

Marshall menjadi Kepala Menteri Singapura pertama pada pemilihan pertama,

ketika Inggris gagal mencapai kesepakatan untuk kemerdekaan David Marshall

kemudian mundur dari jabatannya dan digantikan oleh Lim Yew Hock tahun

1957. Pada tahun yang sama Undang-undang Kewarganegaraan yang berisi

tentang dasar hukum dan kewarganegaraan Singapura mengabulkan permohonan

kewarganegaraan kepada 325.000 orang asing (MacDougall, 1982). Tahun 1958

akhirnya Inggris memberi Singapura pemerintahan sendiri dan kepala negara yang

akan menggantikan Gubernur Inggris akan segera dipilih, begitupun dengan

Dewan Legislatif. PAP memenangkan pemilihan perdana dan meraih kekuasaan

karena telah memenangkan 43 dari 51 kursi dan Lee Kuan Yew kemudian

menjadi Perdana Menteri pertama Singapura. Dipilihnya Lee Kuan Yew menjadi

Perdana Menteri menandai pemerintahan negara internal yang mandiri dengan

konstitusi-konstitusi barunya yang mulai berlaku (Bockhorst-Heng, 1998).

Kontrol dan turut andil pemerintah atas penyebaran informasi merupakan

tema umumnya muncul dalam diskusi tentang Singapura. Pemerintah PAP

memberikan pengaruh besar atas pengoperasian, kontrol dan partisipasinya atas

media daripada pemerintah di Kanada atau di tempat lain di negara barat lainnya

(Birch, 1993; Ivan Lim, 1985; Kuo et al., 1993; CV Nair, 1976; Tan dan Soh,

1994). Dasar dari aksi tersebut adalah karena PAP, berdasarkan pertimbangan

Kuo dan Chen, 1983, menimbang bahwa

a) Menganggap media masa sebagai instrumen yang kuat yang dapat

mempengaruhi publik,

b) Berpandangan bahwa orang-orang dapat dihimbau dan hampir tidak

dapat menahan pengaruh media massa,

30

c) Apabila media masa berada di tangan yang salah, potensi untuk

disalahgunakan sangat besar kemungkinannya sehingga dapat

mengganggu kerukunan sosial, stabilitas politik dan stabilitas

masyarakat,

d) apabila di tangan yang benar dan dengan bimbingan yang tepat, media

masa dapat melakukan peran konstruktif dalam pembangunan bangsa

atau nation building, misalnya dengan menjaga stabilitas dan kohesi

sosial, menyalurkan kebijakan pemerintah secara lengkap dan rutin

dan membahas nilai-nilai Asia)

e) media massa harus dikontrol.

Kami prihatin dengan penggunaan media yang tidak bertanggung

jawab karena telah membuat kebingungan, kekacauan dan dalam

menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan

politik dan kebijakan dan strategi mereka dalam rangka

membangun bangsa ... Kami percaya bahwa media memiliki

kewajiban untuk berkontribusi dalam memperkuat kebijakan

Pemerintah dan strategi dalam tugas pembangunan bangsa. (The

Mirror 12.13, 29 Mar 1976)

Lee Hsien Loong dalam pidatonya di Helsinki 26 Mei 1987

mengungkapkan bahwa pemerintah Singapura perlu bertanggung jawab dan harus

waspada terhadap media yang memberi nilai-nilai yang tidak diinginkan dan

bagaimana laporan mengenai kerusuhan ras dapat menyebabkan tensi antar-ras.

Hal ini bukan teori semata karena pemerintah berkaca pada kasus kerusuhan

Maria Hertogh tahun 1950, orang Belanda beragama Katolik yang dibesarkan

oleh keluarga Melayu pada jaman penjajahan Jepang yang kemudian kedua orang

tuanya berseteru karena masalah hak asuh, dan Kerusuhan Ras Melayu-Tiongkok

tahun 1964 yang memercik perseteruan antar kedua ras yang bersangkutan (Strait

Times, 1988).

Sastra, televisi, film, dan surat kabar nasional hanyalah beberapa dari

lokasi tekstual di mana imajinasi bangsa itu ditentang dan diperebutkan. Di

Singapura yang sangat melek huruf dan urban, surat kabar harian massa yang

31

sangat penting bagi imajinasi bangsa. Pemerintah secara khusus mengamanatkan

bahwa peran utama pers ditentukan oleh agenda nasionalis. Dan ketika para

pemimpin pemerintah memberikan pidato, itu adalah keenam kesadaran dan

harapan bahwa pidato-pidato ini. Kita akan direproduksi, sering kata demi kata,

melalui media massa. Imajinasi bangsa terjadi sebagai hasil dari adalah surat

kabar harian yang membuat wacana pemerintah paling mudah diakses oleh orang-

orang. Sebuah studi penggunaan media oleh Chen dan Kuo (1978) menyimpulkan

bahwa surat kabar (relatif terhadap televisi dan radio) dipandang sebagai sumber

informasi yang paling berguna dan paling dapat diandalkan, terutama wacana

pemerintah.

Gonzalez et al. (1984) mengidentifikasi empat cara utama di mana

Television Corporation of Singapore (TCS) terlibat dalam penerapan kebijakan

bahasa resmi:

(a) presentasi langsung dan penjelasan kebijakan kepada publik;

(b) melalui kontrolnya terhadap media bahasa dan bentuk bahasa dalam

pemrogramannya;

(c) melalui kontrolnya terhadap konten program; dan

(d) melalui pengajaran bahasa langsung. Ini dapat diterapkan pada pers

harian massa juga.

Dalam rangka menjalin hubungan yang baik, para pemimpin pemerintahan

dan pers secara aktif membangun hubungan yang erat satu sama lain mengingat

perannya untuk nation building. Seorang mantan karyawan Singapore Press

Holdings bercerita kepada saya (komunikasi pribadi, Juli 1995) bahwa telah

merupakan hal yang biasa bagi para menteri dan editor untuk bertemu secara tidak

resmi pada jam makan siang untuk membahas berbagai masalah tentang

kepentingan nasional. Perwakilan dari masing-masing kementerian dan dewan

hukum telah ditunjuk sebagai "petugas penghubung pers" sejak 1982 (Bockhorst-

Heng, 1998).

32

Sebagai masyarakat yang diproyeksi untuk menjunjung meritokrasi dan

terdidik, pemerintah menggaungkan informasi, pendidikan dan himbauan

mengenai cara berperilaku dan apa saja yang harus dihargai melalui berbagai

media seperti papan iklan, poster-poster di jalan, iklan televisi dan bahkan

tayangan video di klinik medis. PAP meresmikan kebijakan informasi yang

ditujukan untuk mendidik, mengubah, membentuk dan memandu pendapat publik

sebagai cara untuk membangun kepercayaan dan dukungan bagi pemerintahnya

(Bellow, di Kuo dan Chen, 1983).

Mengakui diri sendiri sebagai rezim otoriter yang lunak, Singapura

menjadi salah satu negara terstabil secara politik dan kompetitif dalam bidang

ekonomi di dunia. Pengamatan ini dilakukan oleh Freedom House, LSM

internasional yang mengobservasi dan menerbitkan laporan tahunan tren global

dalam demokrasi. Laporan Freedom House tahun 2005 mengungkapkan bahwa

warga Singapura tidak dapat mengubah pemerintahannya secara demokratis,

artinya pemerintah memegang posisi yang lebih tinggi dari pada yang dipimpin,

dengan begitu pemerintah memainkan peran yang penting dalam merumuskan,

mengambil, dan menjalankan keputusan untuk menjalankan roda pemerintahan.

Kehidupan bermasyarakat penduduk Singapura diatur secara rapi dan akan

terus diatur secara demikian oleh pemerintah, kehidupan mereka telah terpolitisasi

karena pemerintah mengintervensi berbagai aspek sosial masyarakat seperti

tempat tinggal, budaya, bahasa, agama, aturan binatang peliharaan, pembelian

permen karet dan sebagainya (Hudson 2013). Pemerintah memegang peranan

penting dalam kehidupan bermasyarakat Singapura dan memiliki otoritas tinggi

untuk mengatur negara.

Di negara multi etnis yang modern, pemerintah Singapura berinisiatif

untuk membangun negara dengan rorientasi ke masa depan dan bukan beridealis

dengan menggantungkan pada sejarah kolonial. Banyak orang yang memegang

persepsi bahwa pembangunan nasional yang ideal harus berkiblat pada konsep

negara-negara Eropa klasik yang memperhitungkan etnis dan kesamaan elemen

33

sosial lainnya sebagai patokannya (Eriksen, 2010). Singapura sangat menghargai

sejarahnya dengan dibangunnya sejumlah monumen dan beberapa museum untuk

mengenang masa lalunya, negara ini juga mengadopsi sejumlah legasi dari

pemerintah kolonial untuk melanjutkan birokrasi pemerintah, namun di satu sisi

Singapura memiliki pola pikir yang sangat berorientasi ke masa depan karena

sejarah cenderung mensegregasikan daripada mengintergerasikan penduduk yang

datang dari berbagai negara.

Bahasa Inggris berlanjut menjadi bahasa resmi Singapura pasca

kemerdekaan karena beberapa alasan praktis. Pertama, Bahasa Inggris telah

digunakan di kalangan elitis sebelum kemerdekaan sehingga menghasilkan

generasi yang cakap berbahasa Inggris. Para elitis ini yang kemudian sebagian

melanjutkan roda pemerintahan Singapura. Lee Kwan Yew, Perdana Menteri

Singapura pertama yang disebut-sebut sebagai founding father2 Singapura,

menempuh pendidikan di Inggris untuk kembali ke negara asal untuk membentuk

partai politik. Beliau membutuhkan orang-orang yang cakap berbahasa Inggris

untuk bekerja dalam pemerintahannya. Kedua, pemerintah Singapura menyadari

sangat terbatasnya sumber daya alam yang dimiliki sehingga harus mengatur

strategi untuk survive. Maka dari itu negara harus turut aktif terlibat dalam

perdagangan dunia. Dalam prosesnya, kecakapan Bahasa Inggris sangat vital

untuk mendongkrak prestis dan tingkat kompetisi. Ketiga, secara umum Bahasa

Inggris merupakan bahasa yang secara alami digunakan sebagai komunikasi antar

etnis karena menyandang predikat sebagai bahasa internasional (Tan, 2014).

Bahasa Inggris standar dinilai dapat menghubungan masyarakat lokal dengan

masyarakat internasional dalam bidang sains, tekonologi dan bisnis (Echaniz,

2015).

Seiring berjalannya waktu, pada saat yang sama, saat negara lain sibuk

mengurus masalah ketidaksetaraan pendapatan atau kesenjangan ekonomi,

Singapura telah berkomitmen untuk menjunjung pemerintahan meritokrasi di

mana kesenjangan ekonomi tidak akan lagi terjadi, justru pemerintah telah

2Founding father merupakan julukan yang diberikan kepada sosok yang berkontribusi signifikan

dalam membangun sebuah negara sehingga beliau terkenal melalui kebijakan-kebijakannya

serta hasil dari pemerintahannya selama menjabat posisi tertentu. (www.nlb.gov.sg)

34

memikirkan cara untuk menarik masyarakat asing untuk turut berpartisipasi dan

bekontribusi terhadap perekonomian Singapura. Pemerintah juga telah memberi

subsidi untuk pendidikan dan perumahan dengan salah satu standar tertinggi di

dunia (Quah, 1992). Kesuksesan ekonomi kemudian menjadi alasan utama bagi

pemerintah untuk tetap menggunakan Bahasa Inggris.

Di Singapura terdapat National Heritage Board yang membantu

melestarikan bangsa-bangsa di Singapura membawahi tiga lembaga warisan etnis,

yaitu Indian Heritage Center (IHC) atau Pusat Warisan India, Balai Peringatan

Sun Yat Sen Nanyang atau Pusat Warisan Tiongkok, dan Pusat Warisan Melayu.

4.1.1. Etnis Tionghoa

Republik Rakyat Tiongkok bukan hanya muncul sebagai pemasok

barag namun juga sumber daya “migran” baru di seluruh dunia. Pada

jaman kolonialisme jumlah penduduk terbesar di Singapura adalah etnis

Tionghoa, peringkat tersebut masih bertahan hingga hari ini, tahun 2019

(ChannelNewsAsia, 2019).

Terlepas dari konsep „diaspora‟ dan „emigrasi‟ di Tiongkok

sebelum abad ke-19, warga Tiongkok sebetulnya telah lama menjadi

masyarakat yang berkeliling dan menyebar di seluruh penjuru dunia

termasuk untuk alasan perdagangan lintas darat maupun lintas laut (Wang

& Murie, 2000). Salah satu dari beberapa situs penting dari eksplorasi dan

perjalanan maritim awal yaitu wilayah Nanhai, sebuah daerah di Asia

Tenggara yang kemudian menjadi negara Singapura saat ini. (Yeoh dan

Willis , 2000) menyebutkan bahwa negara Singapura merupakan tempat

berkumpulnya “anak diaspora” karena dibentuk oleh dunia migran

poliglot3 dari Tiongkok, Melayu, India dan tempat-tempat lainnya.

Pelabuhan perdagangan yang didirikan Sir Stamford Raffles pada

tahun 1819 dibawah kekuasaan East India Company diduduki oleh migran

3 Poliglot adalah istilah linguistik untuk menyebut seseorang yang cakap dalam lebih dari dua

bahasa. Seseorang yang cakap dalam satu bahasa disebut monoglot (www.nlb.gov.sg).

35

dari Tiongkok yang dengan cepat tumbuh sebagai ras mayoritas di pulau

tersebut (Wang, 1992). Sebagaimana dicatat Meagher (2008), populasi

etnis Tiongkok di Singapura meningkat dari sekitar 3.000 jiwa tahun 1820

menjadi sekitar 5.000 jiwa tahun 1860, mencapai dua kali lipat dalam tiga

puluh tahun, peningkatan jumlah penduduk tersebut dikarenakan jumlah

migran yang terus bertambah, bukan karena jumlah keturunan.

Peningkatan jumlah penduduk ini didorong oleh peran kota tersebut

sebagai tujuan utama dan pusat koordinasi imigran Tiongkok yang menuju

wilayah Inggris di Nanyang bagian barat. Penghapusan Undang-undang

Penumpang Tiongkok tahun 1855 tentang pembatasan jumlah penumpang

turut menambah volume imigran per perjalanan. Aliran masuk migran dari

Hong Kong dan pintu gerbang Tiongkok Selatan kapasitasnya bertambah

dari hanya beberapa ribu per tahun menjadi 35.000 per tahun pada tahun

1880 (Sinn, 1995).

Dinamika imigran di Singapura menjadikan negara tersebut

sebagai negara yang berbeda dengan negara-negara tetangganya di Asia

Tenggara. Sebagian besar populasinya dibentuk secara konstan oleh aliran

pekerja migran yang terus-menerus, khususnya dari Tiongkok. Keadaan

ini kemudian meninggalkan dampak pada profil demografis atau ras

beberapa dekade bahkan setelah masa kolonial Inggris.

Singapura terjebak dalam ikatan “minoritas ganda” saat merdeka

tahun 1965, karena migran Tiongkok yang menjadi mayoritas di kota

sedangkan orang pribumi wilayah tersebut, ras Melayu, adalah minoritas

juga karena jumlahnya yang dilampaui oleh migran. Kondisi ini

menjadikan etnis Melayu sebagai minoritas di Singapura tetapi mayoritas

di luar (Tan, 2004: 170).

Sebagaimana orang orang keturunan Tiongkok di Asia Tenggara

generasi kedua dan ketiga yang tinggal di negara lain menolak

diidentifikasi sebagai orang Tiongkok Daratan (China Mainland) pada

tahun-tahun pasca perang (Suryadinata, 1997), begitupun dengan

36

Singapura yang tampak sedang mengalami pergulatan tentang identitasnya

sendiri sebagai orang Tiongkok multibudaya.

Pusat Warisan Tiongkok kemudian hadir sebagai tempat pusat

kegiatan dan mediator para migran Tiongkok dengan penduduk Singapura

setempat dan bukan menawarkan jasa yang dipersepsikan masyarakat pada

umumnya, seperti jasa kesejahteraan sosial bagi orang atau keluarga pra-

sejahtera, penyelanggaraan pendidikan Bahasa Mandarin dan pendidikan

budaya Tiongkok, bantuan administrasi legalisasi pernikahan, pelaksanaan

ibadah leluhur, atau layanan pemakaman bagi para pendatang baru

(Komite Editorial Warisan Budaya Cina, 1990).

4.1.2. Komunitas Melayu

Orang Melayu dapat dianggap sebagai penduduk asli negara itu,

yang telah tinggal dan ada di Singapura sejak 1300 Masehi setelah

berdirinya pemukiman yang dikenal sebagai Singapura oleh pangeran

kerajaan Sumatra. Pemukiman ini kemudian menjadi pusat pertumbuhan

terutama selama sebagian besar abad keempat belas dengan penduduk

Melayu dan rumah-rumah berkuasa yang memiliki ikatan dengan kerajaan

lain dan kerajaan terkenal seperti Majapahit.

Kebanyakan menemukan pekerjaan di pekerjaan kasar seperti

tukang kebun, pengemudi, penjaga toko, office boy, Asisten Rumah

Tangga (ART) atau polisi. Sejumlah menjadi pegawai lembaga pemerintah

seperti di bagian tata usaha dan utilitas. Beberapa mencari nafkah sebagai

penjaga toko kecil di wilayah kota Melayu, pedagang kaki lima sementara

yang lain mengambil peran seperti pejabat masjid atau guru agama.

Meskipun terdapat kelambatan ekonomi jika dibandingkan dengan orang

Cina di Singapura, orang Melayu sebagai sebuah kelompok berkembang

pesat di pulau itu dan sangat terhubung dengan komunitas Melayu yang

lebih besar di Kepulauan ini. Hal ini dimungkinkan oleh akses bebas

pergerakan orang Melayu dari Semenanjung Malaya dan Kepulauan

Indonesia ke Singapura. Dengan demikian Singapura berada tepat di

37

tengah dunia Melayu dan menjadi pusat kebudayaan dan aktivitas budaya

Melayu.

Antara 1819 dan pertengahan abad ke-19, orang-orang Melayu

adalah kelompok etnis terbesar di Singapura. Namun jumlah migran Cina

meningkat secara eksponensial sehingga pada akhir abad ke-19, para

migran Cina dengan cepat menyalip orang-orang Melayu dan menjadi

mayoritas di Singapura. Tidak hanya orang Tionghoa sebagai kelompok

etnis mayoritas, mereka juga dominan secara ekonomi dengan banyak

orang mencapai kesuksesan sebagai pedagang dan wirausahawan,

Para pemimpin People of Action Party (PAP) Melayu ini dapat

dianggap sebagai elit politik masyarakat Melayu. Sebagai perwakilan dari

komunitas orang Melayu, mereka diharapkan untuk membimbing dan

memimpin komunitas orang Melayu. Pada saat yang sama, karena mereka

adalah bagian dari partai nasional, mereka harus mewakili konstituensi

mereka bersama dengan para pemimpin politik lainnya di Singapura dan

menghadirkan negara yang berorientasi nasional. Para pemimpin PAP

Melayu diharapkan untuk memperhitungkan kebutuhan masyarakat

Singapura yang lebih besar dan kepentingan nasional keseluruhan negara

itu, bukan hanya masyarakat Melayu.

Kepemimpinan PAP yang kuat dan berkuasa di Singapura

kemudian membentuk pandangan dan pemahaman mereka tentang

komunitas Melayu, masalah-masalah orang Melayu, bahkan

mempengaruhi persepsi dan pemahaman tentang identitas Melayu. Oleh

karena itu perlu untuk mengevaluasi kembali pemikiran kelompok elit

politik ini.

Etnis Tiongkok kemudian menjadi mayoritas anggota PAP yang

sebagian besar. Dari posisi istimewa mayoritas di Federasi Malaya, orang

Melayu menjadi minoritas di sebuah negara yang sebagian besar dihuni

oleh orang Tiongkok. Selain itu, orang Melayu Singapura juga harus

bersaing dengan perubahan dalam prinsip dasar pemerintahan dan prinsip-

prinsip. Meritokrasi kemudian menjadi prinsip utama dalam pemerintahan

38

Singapura, dan prinsip ini berlaku untuk semua penduduk Singapura,

termasuk orang Melayu.

Satu-satunya referensi untuk mendefinisikan etnis Melayu dalam

Konstitusi Singapura adalah bahwa “Melayu ... adalah penduduk asli

Singapura ...”. Tidak ada penjelasan tambahan tentang atribut atau sifat

yang membentuk bahasa Melayu dalam Konstitusi Singapura. Tahun 1988

ada upaya untuk memberikan penjelasan yang lebih jelas tentang makna

Melayu setelah artikulasi yang dilakukan oleh Komite Melayu Terpilih

Namun dan mendefinisikannya sebagai berikut: “Seseorang yang termasuk

dalam masyarakat Melayu haruslah siapa saja, baik ras Melayu atau

bukan, yang menganggap dirinya sebagai anggota masyarakat Melayu dan

yang pada umumnya diterima sebagai anggota masyarakat Melayu oleh

masyarakat itu”

Oleh karena itu orang Melayu Singapura dibedakan sebagai orang

yang adalah mereka yang berbicara bahasa Melayu, menerima dan

mempraktikkan adat, tradisi, dan nilai-nilai Melayu yang dilahirkan dan

dibesarkan oleh agama Islam. Secara umum masyarakat dapat memahami

bahwa ketika seseorang diidentifikasi dan diakui sebagai orang Melayu, ia

adalah penutur bahasa Melayu, mempraktikkan adat dan tradisi Melayu,

dan pengikut agama Islam.

4.1.3 Komunitas India

Indian Heritage Center (IHC) atau Pusat Warisan India membuka

dirinya untuk umum pada Februari 2015 dan secara aktif terlibat dalam

penelitian sejarah masyarakat India di Singapura dengan menerbitkan arsip

publik dan surat kabar secara berkala. Selain itu IHC juga mengumpulkan

berbagai kisah naratif tak berwujud yaitu narasi dari individu, keluarga,

sejarah dan sosial-budaya dalam memori kolektif komunitas, kemudian

data tersebut ditampung dan dikompilasi di bagian “suara-suara

komunitas” di galeri.

39

Sebuah karya dari perintis IHC mengungkapkan bahwa sebagian

besar migran dari India adalah buruh. Sandhu (1969) dan Arasaratnam

(1970) menyimpulkan bahwa buruh India adalah mayoritas migran di

wilayah Malaya. Selain buruh, ada juga kelompok komersial, profesional

serta ulama yang bermigrasi dari India ke Malaya. Walupun narasi tulis

dan dokumentasi terbilang minim, identitas budaya kolektif India

kemudian diceritakan dan diceritakan kembali dari generasi ke generasi

melalui pesan mulut.

Singapura memiliki hubungan diplomatik dan kultural yang dekat

dengan India sejak masa kolonial hingga kemerdekaannya. Selama

pemerintahan Inggris, hukum pidana dan gaya pemerintahannya banyak

yang mengadopsi dari India. Indira Gandhi mengunjungi Singapura tahun

1966, setahun setelah kemerdekaan Singapura dan dalam pertemuannya

dengan beliau Perdana Menteri Lee Kuan Yew menegaskan kesamaan

penting antara Singapura dan India.

Kenyamanan yang muncul karena sejarah panjang antara

Singapura dan India selama periode kolonial menyebabkan budaya, nilai-

nilai dan bahkan masakan-masakan India tersebar luas di Singapura dan

merupakan salah satu penarik besar bagi calon migran dari India (Lim,

2004) karena “Sebagaimana India yang memandang ke arah timur,

Singapura juga memandang ke arah barat menuju India”(Goh, 2004).

Kenyamanan orang India di Singapura dapat ditelusur melalui Kegiatan

dan aktivitas wirausaha awal di Singapura yang berpusat di tepi sungai

diamati oleh Siddique dan Puru Shotam (1982). Banyak dari daerah yang

dihuni komunitas India seperti Cross Street, Malacca Street, Market Street,

dan Raffles Place berubah karakternya dan sekarang hanya ada sedikit

jejak dan bukti nyata bekas bisnis, kegiatan maupun kegiatan India. Chulia

Street menjadi satu-satunya penanda.

Bangsa-bangsa tersebut kemudian diproyeksikan oleh pemerintah

Singapura supaya memiliki keterikatan satu sama lain dan memiliki identitas yang

40

sama sebagai nation state dengan prospek ekonomi yang menjanjikan. Pemerintah

tidak hanya ingin membentuk masyarakat modern tetapi juga masyarakat yang

menghargai dan mempraktikkan budaya nenek moyangnya. (Turnbull, 1997)

Anderson (1983) mengungkapkan bahwa nation-state secara luas diakui

sebagai 'baru' dan 'historis' atau negara-negara di mana mereka berkaca pada

politik masa lalu dan melihat jauh ke masa depan tanpa batas. Nasionalisme untuk

mengubah kesempatan menjadi takdir. Nasionalisme harus dipahami dengan

menyelaraskannya, bukan hanya memandang ideologi politik tetapi juga

mempertimbangkan sistem budaya besar yang mendahuluinya, budaya yang

berasal dari bangsa-bangsa yang telah ada. Terdorong untuk membangkitkan

nasionalisme dalam masyarakat Singapura dengan merancang dan merilis

kebijakan bahasa.

4.2 Kebijakan Bilingualisme

Salah satu kebijakan fenomenal pemerintah untuk mengonstruksi identitas

nasional adalah Kebijakan Bilingualisme, di mana murid diwajibkan untuk

menggunakan Bahasa Inggris disamping bahasa ibu seperti bahasa Mandarin,

Melayu dan Tamil (Pryke, 2013). Kebijakan tersebut juga merupakan strategi

pemerintah untuk menyetarakan kedudukan bahasa, sehingga tidak ada salah satu

bahasa dari etnis yang dominan di Singapura yang lebih superior dari yang

lainnya (Tan, 2014).

Untuk alasan survival Lee Kuan Yew bervisi untuk menarik investor asing

dengan cara membentuk pemerintahan yang kuat dan efektif, pemerintahan yang

bersih dari segala macam bentuk korupsi, sistem ekonomi politik yang stabil

(Hee, 2016). Bahasa Inggris sangat penting untuk menarik investor asing dan

untuk menyediakan akses terhadap dunia sains, teknologi dan komunikasi.

Konsep survival Lee Kuan Yew silih berganti seiring berjalannya waktu, mulai

survive dari ancaman kelaparan sebagai negara merdeka yang memiliki sumber

daya alam yang sangat minimal hingga survive menjadi competitor dalam dunia

yang terus terglobalisasi (Hee, 2016).

41

Kekhawatiran pemerintah tentang westernisasi akhirnya mendorong pada

gagasan English knowing bilingualism4 (Pakir, 1992). Orang-orang Singapura

juga diharapkan untuk fasih dalam bahasa ibunya supaya dapat memiliki ikatan

terhadap budaya-budaya dan nilai-nilai tradisional (Wee, 2005). Di masa lalu,

menjadi bilingual di Singapura berarti mahir dalam dua atau lebih dari berbagai

ragam bahasa. Sekarang, menjadi bilingual di Singapura berarti memiliki

kemahiran utama dalam bahasa Inggris dan juga bahasa resmi lainnya, yaitu

biasanya bahasa ibu etnik seseorang (Pakir 1993). Jika seorang anak lahir dari

pasangan Melayu (ayah) dan Tionghoa (ibu) maka anak etnis anak tersebut adalah

Melayu (Vaish, 2008). Terdapat desakan dan kebutuhan untuk membela dan

melestarikan budaya-budaya Asia namun di satu sisi juga harus mengadopsi

modernitas Barat di mana perkembangan ekonomi dan modernisasi harus

terkoneksi dengan budaya Asia sehingga keberadaan budaya menjadi strategi

penting bagi negara untuk mengontrol masyarakatnya (Ong 2005).

Selain menjadi media komunikasi orang Inggris di tanah Singapura,

Bahasa Inggris secara natural juga digunakan untuk memfasilitasi komunikasi

antar etnis sehingga penggunaannya berkembang pesat (Platt & Weber, Kachru

1986). Bahasa Inggris juga merupakan modal linguistik yang dibutuhkan setiap

individu untuk berpartisipasi aktif dalam perekonomian global. Sekolah sebagai

penyedia akses pendidikan bahasa Inggris turut memainkan peran penting di

lingkungan yang menganut nilai meritokrasi (Vaish, 2008). Mengutip Tony Tan

dalam pidato parlemennya, Menteri Pendidikan tahun 1986, sebagaimana dikutip

Pakir 2001:342, “Anak-anak harus mempelajari bahasa Inggris sehingga mereka

mendapatkan jendela pengetahuan, teknologi dan keahlian tertentu di dunia”.

Prosedurnya adalah mewajibkan anak-anak untuk mempelajari bahasa etnisnya.

Singapura adalah sebuah negeri yang dengan sangat rapih direncakanan atau

dirancang. Pemerintah mendikte seluruh institusi untuk dapat mengerti peran

utamanya secara detil. Institusi yang dimaksud adalah institusi di bidang

4 English knowing bilingualism merupakan situasi di mana seseorang dapat cakap Bahasa Inggris

dan bahasa lainnya.

42

pendidikan, media masa, kebijakan perumahan (hunian), perencanaan ekonomi,

pertahanan nasional dan penggunaan bahasa (Heng, 1989).

Pemerintah menghimbau masyarakat untuk menjadikan Bahasa Inggris

sebagai bahasa resmi Singapura dan terus menggunakan dan melestarikan bahasa

ibu masing-masing. Bahasa ibu dan bahasa resmi merupakan dua hal yang

berbeda yang memiliki pemaknaan yang berbeda pula. Bahasa resmi yang

digunakan pemerintah merupakan sesuatu yang utilitarian, pragmatis, dan tidak

memiliki ikatan emosional dengan penuturnya. Dalam kasus ini bahasa Inggris

sebagai bahasa resmi tidak memiliki ikatan emosional bagi penuturnya karena

bahasa Inggris tidak merujuk pada kultur tertentu maupun kelompok tertentu

mengingat bahasa Inggris menyandang predikat sebagai bahasa global, bukan

bahasa barat (Alsagoff 2007). Alasan lain dipilihnya bahasa Inggris sebagai

bahasa resmi Singapura adalah karena bahasa tersebut netral etnis, dalam kata lain

bahasa tersebut tidak merepresentasikan atau mengunggulkan ras tertentu.

Konstitusi Singapura (the Constitution of Singapore) pasal 153A ayat 1

menyatakan bahwa “Bahasa Malaysia, Bahasa Mandarin, Bahasa Tamil dan

Bahasa Inggris harus menjadi 4 bahasa resmi Singapura. Pernyataan tersebut

dilanjutkan pada ayat 2 yang menyatakan “dan bahasa nasional Singapura

haruslah bahasa Malaysia” (Vaish, 2008). Sedangkan bahasa ibu merupakan

bahasa yang dipelajari dan digunakan sejak lahir menurut ras orang tua. Definisi

ras sendiri merupakan hal yang unik khususnya ketika seorang anak lahir dari

ayah yang berlainan ras dengan ibunya. Hal tersebut sering terjadi di Singapura.

Di Singapura cara termudah untuk mengenali ras seseorang adalah dengan

mengidentifikasi ras ayahnya (Vaish, 2008). Sensus nasional Singapura pertama

terjadi pada tahun 1957 saat negara menyetujui bendera nasional dan lagu

kebangsaan sebagai media untuk melawan potensi chauvinisme kelompok tertentu

dan kesediaannya untuk merger. Pada survey tahun 1991 terlepas bahwa 80%

orang tidak mengerti arti lagu kebangsaan namun tetap saja mereka tetap

menghadiri rally untuk mengekspresikan persatuan mereka (Willmott 1989).

43

Pemerintah mewajibkan penggunaan Bahasa Inggris karena belajar bahasa

itu lebih dari sekedar untuk media komunikasi, belajar bahasa sama saja

mengadaptasi cara pikir, pola berpikir melalui istilah-istilah, cerita-cerita, pepatah

maupun ungkapan. Proses tersebut adalah proses pembelajaran filosofi kehidupan

(Echaniz, 2015). Pembelajaran bahasa tidak terpisahkan dengan pembelajaran

ungkapan-ungkapan sederhana yang mewakili cara seseorang merespon terhadap

suatu stimuli. Sebagai perumpamaan kecil dalam Bahasa Inggris dan Bahasa

Indonesia adalah ungkapan “masuk angin”, yang apabila diterjemahkan secara

harfiah dalam Bahasa Inggris tidak akan berarti apapun karena di dalam Bahasa

Inggris fenomena “masuk ingin” memiliki istilah tersendiri yaitu “to catch a

cold”. Bagi orang Indonesia “masuk angin” merupakan fenomena masyarakat

percaya bahwa seseorang terlalu banyak terekspos angin sehingga menyebabkan

imunitas tubuh menurun dan jatuh sakit, penyebabnya adalah banyaknya angin

yang masuk ke tubuh kita. Perumpamaan ini menjelaskan bagaimana sebuah

ungkapan dapat mewakili kepercayaan atau pola pikir sebuah kelompok dan tidak

hal ini berlaku terhadap semua bahasa dari segala kelompok. Jadi apabila

seseorang mengakuisisi Bahasa Bahasa Singlish dalam kehidupan sehari-harinya

dan berinteraksi menggunakan bahasa tersebut, ia telah mengadaptasi cara pikir,

pola berpikir melalui istilah tertentu, cerita maupun ungkapan yang khas akan

Singapura dan tidak ditemui di negara lain.

Globalisasi telah menyelamatkan Singapura dari tingginya angka

pengangguran dan kesenjangan pendapatan melalui ditingkatkannya standar hidup

(Marystella, 2009). Untuk mempertahakankan dan memperbaiki kondisi

Singapura seperti yang sekarang pemerintah menekankan gagasan metritokrasi

dengan bekerja keras terlepas latar belakangnya. Maka dari itu kebijakan

pendidikan merupakan hal vital (Marystella, 2009).

Ditinjau dari keadaannya yang sangat terglobalisasi, Singapura mestinya

menjadi sebuah negara maju yang menjunjung nilai-nilai modern dan memiliki

visi yang berorientasi pada masa depan. Namun realitanya Singapura dapat

44

mempertahankan nilai-nilai keasiannya karena memiliki Ideologi Nasional yang

kuat yang diejawantahkan melalui kebijakan pendidikan bilingual (Vaish, 2008)

Lee Kuan Yew menganggap monolingual bukan sesuatu yang patut

dibanggakan mengingat ia hanya mengenal dan mengerti satu budaya sehingga

itulah alasannya bilingualisme diangkat dengan tujuan masyarakat mengerti

berbagai bahasa dan toleransi dan memiliki pintu ke berbagai belahan dunia

manapun (Heng, 1989).

“Harap dicatat bahwa ketika saya berbicara tentang bilingualisme,

maksud saya bukan hanya memfasilitasi pembelajaran dua bahasa

namun ada sesuatu yang lebih mendasar daripada aktivitas belajar

mengajar biasa, karena pembelajaran sebuah bahasa dapat

mengantar kita memahami diri kita sendiri, siapakah kita, dari

mana kita datang, bagaimana kita melihat hidup ini dan apa yang

ingin kita lakukan. Kemudian kemudahan bahasa Inggris memberi

kita akses ke pada sains dan teknologi dunia. Hal ini juga

memberikan landasan bersama yang nyaman di mana... semua

orang bersaing dalam media netral.” (Pidato Lee Kuan Yew).

Implementasi kebijakan bilingualisme dari jenjang Sekolah Dasar sampai

jenjang universitas, bahkan di Nanyang Technological University yang dulunya

chinese-oriented, diinstruksikan untuk melaksanakan aktivitas belajar mengajar

dalam Bahasa Inggris (Echaniz, 2015). Implementasi kebijakan tersebut

mencerminkan betapa gencarnya pemerintah mempromosikan obyektifnya dan

meminta dukungan masyarakat untuk turut mensukseskan program ini, serta

mencerminkan betapa signifikan pemerintah menganggap bahasa sebagai media

pembangun identitas. Saat itu perlu untuk dijadikan pertimbangan kualifikasi

untuk masuk universitas karena Lee Kuan Yew menghendaki pemimpin atau

pemerintah Singapura yang cakap berbahasa Inggris, dengan begitu orang-orang

yang tertarik akan memiliki nilai-nilai tradisional yang mendarah daging dan

kemahiran terhadap teknologi dan efek barat (Echaniz, 2015). Lee Kuan Yew

mengharapkan pemerintahan yang memiliki visi dan berorientasi masa depan,

modern, dapat berinteraksi dengan negara lain menggunakan Bahasa Inggris yang

baik, tujuannya supaya pemerintah dapat merepresentasi wajah Singapura yang

45

berpendidikan, berintegritas dan berwawasan luas sehingga dapat menarik lebih

banyak orang ke negeri kecil ini.

Selain merilis Kebijakan Bilingualisme, pemerintah mengamanatkan pers

untuk membantu menyukseskan agenda nasional. Studi penggunaan media oleh

Chen dan Kuo (1978) menyimpulkan bahwa surat kabar dipandang sebagai

sumber informasi yang paling dapat diandalkan, paling berguna dan mudah

diakses dibanding televisi dan radio. Maka dari itu koran digunakan oleh

pemerintah sebagai media penyebar wacana dan informasi dari pemerintah.

Pemerintah mengamanatkan surat kabar untuk membantu mempromosikan

Sebagaimana diungkapkan Anderson (1991), keterlibatan dan peran media

massa dalam agenda nasionalis telah menandai kemunculan “kapitalisme cetak”

dan mass education selama abad 18. Terdapat korelasi signifikan antara

meningkatnya media cetak dan agenda nasionalis. Pemerintah memiliki peran

dalam mendikte media cetak dalam pembentukkan dan standardisasi bahasa

nasional (Anderson, 1991) karena pembentukkan nasionalisme menyangkut

dengan bahasa. Wacana dan pidato pemerintah yang diletakkan pada halaman

awal media masa adalah salah satu usaha pemerintah untuk “menasionalisasi”

seluruh pembacanya. Isi dari pidato-pidato pemerintah merupakan bagian dari

imajinasi tersebut. Pidato dari pemerintah biasanya muncul di halaman depan

koran disertai dengan transkrip yang lengkap, penjelasan, kolom diskusi, dan

ringkasan dalam poin-poin. Kolom komentar dan diskusi umumnya menjeaskan

kebijakan yang lebih terperinci, walau sebagian besar diskusi berfokus pada

implementasi kebijakannya daripada evaluasi maupun kritiknya.

Pembacaan koran atau aktivitas diatas kemudian disebut dengan the mass

ceremony atau upacara massa merupakan istilah untuk menjelaskan perayaan

dibacanya media cetak oleh berbagai pembaca yang membaca hal yang sama

bersama sama. Dengan demikian pembacaan surat kabar harian secara masal

dapat menciptakan rasa upacara massa untuk menciptakan imajinasi bangsa.

Kebiasaan sehari-hari orang Singapura ini dapat memberi arti apa artinya menjadi

46

orang Singapura karena membaca hal yang sama dan mengonstruksi imajinasi

mengenai sesuatu yang sama pula.

Anderson (1991) mengabadikan momen bersama ini dalam pengertian upacara

massal:

Surat kabar menciptakan upacara massa luar biasa: konsumsi

simultan ('membayangkan'). Kita tahu bahwa sebuah surat kabar

edisi pagi ini pada sore harinya akan sangat dikonsumsi antara jam

ini dan itu, hanya pada hari ini .. Hegel mengamati bahwa surat

kabar melayani manusia modern sebagai pengganti doa pagi adalah

paradoks. Hal ini dilakukan secara privat, namun masing-masing

komunikan sangat menyadari bahwa upacara tersebut sedang

dilakukan secara bersamaan oleh ribuan (atau jutaan) dari orang

lain tanpa mementingkan identitas dirinya sendiri. Lebih jauh lagi,

upacara ini berulang-ulang diulangi setiap setengah hari di kalender

... Pada saat yang sama, pembaca surat kabar, dikonsumsi di kereta

bawah tanah, tempat pangkas rambut, tempat tinggal atau di

kediaman tetangga, terus menerus diyakinkan bahwa dunia yang

dibayangkan berakar jelas dalam kehidupan sehari-hari. (Anderson,

1991)

Dengan demikian, baik karena karakteristik "surat kabar harian nasional"

dan pengalaman membaca surat kabar ini, dan karena pengaruhnya terhadap

wacana politik, pers harian massa nasional adalah lokasi yang kuat di dan melalui

mana imajinasi bangsa terjadi (Anderson, 1991). Fowler (1991) mengungkapkan

bahwa berita bukanlah fenomena natural yang datang dari realitas namun

merupakan hasil produksi dari industri yang memiliki proyek dengan stakeholder

lain, dalam situasi ini, pemerintah. Melalui penggunaan bahasa realitas bisa

berubah. Berita diproduksi oleh suatu industri, dibentuk oleh birokrasi dan

struktur ekonomi dari industri itu dan oleh hubungan antara media dan industri

lain dan antara media dan pemerintah. Berita mencerminkan dan membentuk

nilai-nilai masyarakat yang berlaku. Selain itu, melalui penggunaan bahasa, ia

membentuk dan mengubah realitas.

Sebagai media promosi ideologi nasional media koran memainkan peran

penting dengan mengutip setiap pidato pemerintah. Salah satu media dengan

sirkulasi tertinggi di Singapura adalah The Strait karena media tersebut mencakup

47

kabar mengenai berbagai aspek kehidupan dan dibaca oleh semua etnik dan

kalangan, dan pakai bahasa inggris (Bockhorst-Heng, 1999).

Menurut Laporan Indeks Media Singapura tahunan terbaru yang dirilis

oleh Nielsen tahun 2018, sejumlah 29,8 persen penduduk Singapura berusia mulai

dari 15 tahun membaca Strait Times setiap hari, persentase jumlah pembaca

tersebut mengalami kenaikan dari tahun lalu. Saat sebagian besar surat kabar lain

mengalami penurunan jumlah pembaca, koran Strait Times justru mengalami

kenaikan.

Survei Nielsen menjelaskan bahwa membaca berita harian merupakan

konsumsi rutin bagi populasi orang dewasa karena rasio jumlah pembaca surat

kabar cetak dan versi digitalnya mencapai satu dari dua orang dewasa. Koran versi

digital dapat menjangkau satu dari lima orang dewasa setiap harinya.

Singapura memiliki banyak koran yang tersedia dalam 4 bahasa resminya,

koran dengan sirkulasi terbesar adalah koran berbahasa Inggris, The Strait Times,

dan yang paling banyak dibaca oleh orang-orang dari berbagai kalangan etnis.

Maka dari itu ia memiliki peran yang spesial sebagai agen nation building (Strait

Times, 24 juli 1988). Alasan penulis fokus terhadap press adalah karena press

adalah media untuk menyebarkan agenda nasional karena disitulah pidato dari

pemerintah dapat diakses oleh masyarakat luas dan mudah diakses masyarakat

luas. Strait Times memiliki jumlah pembaca harian sebesar 45%. Lianhe Zaobao

masih merupakan koran berbahasa Mandarin terbaik di bagi para ras Tionghoa,

memiliki jumlah pembaca harian sebesar 12,7 persen. Koran berbahasa Melayu,

Berita Harian, jumlah persentase pembaca hariannya sebesar 3,2 persen,

sedangkan Tamil Murasu memiliki persentase pembaca harian 0,8 persen.

Terdapat sentralisasi kepemilikan koran melalui merger, eksposur media masa

yang berasal dari publisher yang sama menyebabkan pembaca tidak punya

alternatif surat kabar atau berita lain. Bahkan walaupun koran lokal tersentralisasi,

tetapi tetap saja pemerintah membolehkan masyarakat untuk membaca dan

megakses koran-koran lain atau surat kabar asing. Singapura memposisikan

48

dirinya sebagai penghubung antara barat dan timur dan menghargai peran press

juga, dan press yang berada di Singapura bervariasi (Bockhorst-Heng, 1999).

Para pemimpin pemerintah membela keputusan mereka tentang merger

dengan alasan bahwa peningkatan sentralisasi akan mencegah perang antara surat

kabar saingan. Mereka berpendapat bahwa, dari sudut pandang bisnis, persaingan

tidak efisien dan tidak efisien. Argumen keuangan memang memiliki beberapa

kelebihan. Langkah menuju sentralisasi berarti operasi yang lebih hemat biaya,

meningkatkan keuntungan surat kabar, yang tentu saja menguntungkan

kepentingan kapitalistik pemerintah (Bockhorst-Heng, 1999).

“Saya yakin bahwa upaya ini harus dilakukan, jika kita ingin

bertahan hidup sebagai masyarakat yang berbeda, layak untuk

dilestarikan. Atau kita akan menjadi benar-benar kehilangan budaya

dan tersesat. Jika kita menjadi seperti beberapa masyarakat yang

berbicara bahasa Inggris pidgin, meniru Amerika atau Inggris tanpa

berpikiran, tanpa nilai-nilai dasar atau budaya mereka sendiri, maka,

jujur saja, saya tidak percaya ini adalah masyarakat atau bangsa yang

layak dibangun, apalagi membela.” Lee Kuan Yew

Krisis yang dihadapi Singapura terjadi sebagai akibat dari kegagalan

kebijakan bilingualisme bukan hanya krisis moral saja. Kebijakan bilingualisme

dan peran surat kabar dalam mempromosikan program yang gagal menjadikan

warga Singapura akan berada dalam bahaya karena sepenuhnya tidak memiliki

budaya dan tidak memiliki nilai-nilai atau budaya sendiri. Lee Kuan Yew

berpendapat bahwa masyarakat seperti itu tidak layak dibangun atau

dipertahankan. Sebaliknya, melalui keberhasilan kebijakan bilingualisme, dan

terutama melalui pembelajaran bahasa ibu mereka, orang Singapura akan tahu

siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan mereka akan memiliki nilai-nilai

dasar dan budaya yang akan memberi mereka identitas yang berbeda (Lampiran

II). Lee Kuan Yew menarik dua kesimpulan (Strait Times 24 Okt 1979). Pertama,

ia menyimpulkan, "akan membutuhkan satu, dua, tiga atau empat generasi

sebelum kita semua dapat berbicara bahasa Inggris yang baik dan benar." Dan

kedua, jika tidak ada yang dilakukan untuk mendukung kebijakan bilingual,

49

"hasilnya adalah kegagalan kebijakan bilingual kami."

Krisis identitas tidak terjadi pada awal kemerdekaan saja atau awal

dicanangkannya Kebijakan Bilingualisme. Antara tahun 2000 hingga 2010,

Singapura telah menolak rata-rata 1.000 pengajuan kewarganegaraan per

tahunnya. Sebagian besar pemohon kewarganegaraan adalah warga negara

berketerampilan yang memiliki prospek untuk melanjutkan dan memajukan roda

perekonomian dan kewarganegaraan Singapura (Channel NewsAsia, 2012).

Tingkat imigrasi yang sangat tinggi justru menyebabkan orang Singapura

mengeluh karena mereka merasa menjadi seperti orang asing di negara mereka

sendiri. Rasa keasingan tersebut juga terjadi lantaran meningkatnya persaingan di

pendidikan formal, banyaknya jumlah bus dan kereta bawah tanah, dan banyaknya

jumlah asisten toko yang sulit berkomunikasi dengan mereka. Hadirnya pusat-

pusat warisan budaya etnis mayoritas di Singapura hanya dapat membantu

seseorang untuk menemukan identitasnya sejauh identitas generasi-generasi

sebelumnya, namun terjadi kehampaan identitas sebagai “orang Singapura”

(Bockhorst-Heng, 1999). Singapura mencoba mendefinisikan dirinya terhadap

dunia dengan sedikit kontradiktif. Di satu sisis ia ingin menjadi crossroads antara

barat dan timur tapi di sisi lain ia ingin mengotentikkan dirinya sendiri yang

mempromosikan nilai-nilai Asia (Bockhorst-Heng)

Melalui pemaparan Bab IV, bangsa-bangsa di Singapura kemudian

diproyeksikan oleh pemerintah untuk mempelajari dan mempraktikkan kedua

bahasa dalam kehidupan sehari hari mereka. Bangsa-bangsa tersebut kemudian

diharapkan untuk dapat berbahasa Inggris dengan baik dan benar sesuai himbauan

pemerintah untuk alasan ekonomi dan konstruksi identitas nasional, namun di satu

sisi juga diharapkan untuk bisa cakap dalam bahasa ibu mereka untuk alasan

budaya dan identitas asal. Bangsa-bangsa diharapakan untuk menjalankan dan

mendukung kebijakan pemerintah sehingga Singapura sehingga menjadi nation

state seperti yang dikehendaki pemerintah.

Kebijakan bilingualisme yang menekankan pentingnya kecakapan Bahasa

Inggris bagi masyarakat Singapura kemudian ditindaklanjuti pemerintah dengan

program Speak Good English Movement supaya masyarakat bisa mendapatkan

50

layanan dan dukungan pembelajaran bahasa yang sepenuhnya di dukung oleh

pemerintah.