BAB III FUNGSI DAN PRAKTEK...

33
30 BAB III FUNGSI DAN PRAKTEK MEDITASI A. Fungsi Meditasi Telah dikatakan bahwa melakukan meditasi akan membuka dan menjernihkan pikiran dan akhirnya akan mengantarkan meditator kepada pencerahan (enlightenment). Semua keadaan itu diperoleh melalui suatu proses, yaitu proses untuk masuk ke dalam diri sendiri. Itu sebabnya meditasi dapat pula dikatakan sebagai suatu perjalanan dan penjelajahan ke dalam diri sendiri. Suatu perjalanan yang tampaknya sangat dekat dan mudah, tetapi ternyata merupakan perjalanan yang jauh dan sulit yang menuntut kerja keras dan disiplin. Semuanya itu harus dilakukan dan dialami sendiri, tanpa pertolongan dari pihak manapun juga. Tidak ada seorang pun yang dapat membantu kita selain diri kita sendiri. Dalam meditasi peran seorang guru, kalau ada, hanya sebatas memberikan petunjuk atau mengarahkan saja, selebihnya usaha murid itu sendiri. Dalam meditasi ternyata hukum sebab akibat juga berlaku. Kerja keras yang diterapkan untuk mengatasi berbagai hambatan dan kesulitan akan memberikan hasil yang tidak dapat dinilai dengan apa pun juga. Kebahagiaan kebijaksanaan, kewaspadaan, kejernihan berfikir, kelemahlembutan, cinta kasih dan kedamaian baru merupakan sebagian kecil dari hasil yang dapat dinikmati oleh meditator yang setia dan tekun bermeditasi. Walaupun demikian bukan berarti setiap orang yang melakukan praktek meditasi akan langsung menikmati hal indah tersebut. Segala sesuatu pasti melalui tahap-tahap perkembangan. Meditator dituntut pula untuk bersabar, tidak perlu tergesa-gesa. Bagi mereka yang baru mulai dan baru menyentuh kulitnya saja, hasilnya tentu masih terbatas. Yang pasti bahwa di dalam dirinya telah terjadi perubahan ke arah yang lebih positif, mungkin sikap mental, tingkah laku, tutur kata, pandangan, dan sebagainya. Keadaan ini akan terus bersemi dan

Transcript of BAB III FUNGSI DAN PRAKTEK...

  • 30

    BAB III

    FUNGSI DAN PRAKTEK MEDITASI

    A. Fungsi Meditasi

    Telah dikatakan bahwa melakukan meditasi akan membuka dan

    menjernihkan pikiran dan akhirnya akan mengantarkan meditator kepada

    pencerahan (enlightenment). Semua keadaan itu diperoleh melalui suatu proses,

    yaitu proses untuk masuk ke dalam diri sendiri. Itu sebabnya meditasi dapat pula

    dikatakan sebagai suatu perjalanan dan penjelajahan ke dalam diri sendiri. Suatu

    perjalanan yang tampaknya sangat dekat dan mudah, tetapi ternyata merupakan

    perjalanan yang jauh dan sulit yang menuntut kerja keras dan disiplin. Semuanya

    itu harus dilakukan dan dialami sendiri, tanpa pertolongan dari pihak manapun

    juga. Tidak ada seorang pun yang dapat membantu kita selain diri kita sendiri.

    Dalam meditasi peran seorang guru, kalau ada, hanya sebatas memberikan

    petunjuk atau mengarahkan saja, selebihnya usaha murid itu sendiri.

    Dalam meditasi ternyata hukum sebab akibat juga berlaku. Kerja keras

    yang diterapkan untuk mengatasi berbagai hambatan dan kesulitan akan

    memberikan hasil yang tidak dapat dinilai dengan apa pun juga. Kebahagiaan

    kebijaksanaan, kewaspadaan, kejernihan berfikir, kelemahlembutan, cinta kasih

    dan kedamaian baru merupakan sebagian kecil dari hasil yang dapat dinikmati

    oleh meditator yang setia dan tekun bermeditasi.

    Walaupun demikian bukan berarti setiap orang yang melakukan praktek

    meditasi akan langsung menikmati hal indah tersebut. Segala sesuatu pasti

    melalui tahap-tahap perkembangan. Meditator dituntut pula untuk bersabar, tidak

    perlu tergesa-gesa. Bagi mereka yang baru mulai dan baru menyentuh kulitnya

    saja, hasilnya tentu masih terbatas. Yang pasti bahwa di dalam dirinya telah

    terjadi perubahan ke arah yang lebih positif, mungkin sikap mental, tingkah laku,

    tutur kata, pandangan, dan sebagainya. Keadaan ini akan terus bersemi dan

  • 31

    berkembang sejalan dengan kemajuan meditasinya. Satu hal yang perlu

    diperhatikan apabila bermeditasi : jangan sekali-kali mengharapkan hasil, tetapi

    lakukanlah saja praktek meditasi sampai mencapai keadaan meditatif dan meditasi

    menjadi jalan hidup.1

    Telah banyak para ahli melakukan penelitian mengenai fungsi dan

    manfaat meditasi. Dr. Herbert Benson dan Dr. R. Keith Wallace. Mereka

    mendapati bahwa meditasi transendental (transcendental meditation), yang

    melibatkan perhatian pada mantra, bunyi atau suara dapat menurunkan kecepatan

    denyut jantung, memperlambat kecepatan nafas, menurunkan konsumsi oksigen.

    Perubahan-perubahan ini disertai pula dengan perubahan kadar hormon dan

    peningkatan gelombang alfa dalam cerebal cortex dan restoratif ini sebagai

    wakeful hypometabolic state (keadaan terjaga hipometabolik), yang oleh Benson

    diistilahkan dengan relaxation response (respon relaksasi).2

    Dalam keadaan meditasi, pikiran relaks dan kegiatan listrik di cerebal

    cortex otak pindah dari irama kesadaran harian (irama beta). Ia mengasumsikan

    irama baru yang dekat dengan keadaan tidur (irama delta) atau keadaan antara

    tidur dan bangun, yang dikenal sebagai irama alpha.3 Ternyata, pola gelombang

    otak sewaktu meditasi menunjukkan dua kondisi pikiran secara bersamaan, yaitu

    kondisi kewaspadaan yang tinggi dan keadaan rileks.4 Proses tubuh yang berada

    dalam kendali sistem syaraf otonom, seperti pernapasan dan detak jantung,

    menurun dengan cepat. Ini memungkinkan kesadaran berpindah dari tingkat fisik

    ke tingkat yang lebih halus dan terhubung dengan kesadaran jiwa. Ini dialami

    sebagai keadaan bahagia oleh kebanyakan meditator.

    1 R. Soegoro SE, MA., Meditasi Triloka Jalan Mencapai Tuhan, (Jakarta: PT. Elex Media

    Komputindo, 2002 ), hlm. 35-36 2 Joan Borysenko dan Miroslau Borysenko, Kekuatan pikiran untuk Menyembuhkan, terj.

    (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2002), hlm. 173-174 3 Jack Angelo,, Tuntunan Langkah demi langkah untuk Mengalirkan Energi Penyembuhan,

    terj. Clara Herlina, Kardjo, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2003), hlm. 156 4 Paul Wilson, Teknik Hening Meditasi tanpa Mistik, terj. G. Yeni Widjajanti S. Pd., (Jakarta:

    Erlangga, 2003), hlm. 18

  • 32

    Selain manfaat fisiknya, meditasi dikenal efektif dalam melepaskan stress

    dan sekarang merupakan unsur dalam program menejemen stress dan relaksasi.

    Efek positif ini bekerja pada tingkat pikiran dan emosi untuk melepaskan energi

    negatif dan energi tak diinginkan lainnya yang tersimpan.5

    Fenomena hayati yang luar biasa tersebut hanya terjadi pada saat kita

    sedang bermeditasi. Fenomena ini juga turut menciptakan rasa damai yang agung,

    harmoni, dan rasa bahagia selama menjalani meditasi. Lebih jauh lagi, keadaan

    yang unik ini adalah lawan dari keadaan yang kita alami pada kondisi cemas dan

    marah. Meditasi menghasilkan keadaan yang berlawanan dari kondisi yang kita

    sebut sebagai sindrom ‘bertarung atau kabur’. Oleh karena itu pula, meditasi

    tersebut merupakan serangan balik yang paling efektif untuk melawan stress dan

    ketegangan.6

    Prof. Dr. Luh Ketut Suryani dalam bukunya meditasi mencapai hidup

    bahagia menyatakan bahwa manfaat meditasi antara lain :

    Organ tubuh, sel-sel tubuh dan semua zat yang ada di dalam tubuh

    mengalami homeostatis, bergerak dalam keadaan seimbang, berfungsi dalam

    keadaan seimbang dan bekerja dalam keadaan teratur. Semua alat tubuh

    bekerja dengan maksimal dengan mengeluarkan energi atau tenaga minimal.

    Menyembuhkan penyakit gangguan tidur—baik kebanyakan tidur maupun

    kesulitan tidur.

    Meningkatkan daya tahan tubuh.

    Apakah yang terjadi pada saat bermeditasi ? pada saat bermeditasi yang

    terjadi adalah :

    Dalam meditasi yang khusuk, pikiran dan emosi berhenti. Karena pikiran dan

    emosi berhenti maka badan mengendorkan kegiatannya sampai titik terendah

    yang hanya cukup untuk melangsungkan kehidupan. Tubuh eterik dan tubuh

    astral tempat bekerjanya emosi dan pikiran adalah tuan dari tubuh fisik.

    5 Jack Angelo, loc. cit 6 Paul Wilson, op. cit., hlm. 18-19

  • 33

    Begitu tubuh eterik dan astral menghentikan kegiatan maka tubuh fisik

    mengikuti tuannya, mengendorkan kegiatannya sampai titik terendah. Tubuh

    fisik bekerja dengan maksimal dengan energi minimal.

    Fungsi tidur adalah mengembalikan energi yang hilang yang dipergunakan

    dalam kegiatan sehari-hari. Dengan meditasi kebutuhan energi banyak

    berkurang, maka kebutuhan tidur pun berkurang. Sehingga orang yang

    biasanya membutuhkan banyak tidur maka waktu tidurnya akan berkurang.

    Orang yang sulit tidur umumnya disebabkan tubuh astral bekerja berlebihan

    sehingga dengan diturunkan aktivitas tubuh astral maka tidurnya akan normal

    kembali.

    Dalam meditasi, tubuh bekerja pada titik terendah tetapi kesadaran pada titik

    tertinggi. Kesadaran menyelimuti tubuh kita bagaikan perisai yang

    melindungi kita dari segala penyakit. Apabila kita terus menerus dalam

    keadaan meditatif sudah tentu kita terlindungi terus menerus dari segala

    penyakit, dalam istilah kedokteran disebut daya tahan tubuh tinggi.

    Hubungan kesadaran dan daya tahan tubuh terlihat pada orang pensiun.

    Pada saat masih bekerja kesadarannya masih mengikuti sebagian waktunya.

    Kesadaran mengikutinya pada saat di kantor, pada saat disapa temannya, pada

    saat dibutuhkan anaknya. Setelah pensiun tidak ada lagi kegiatan dikantor, tidak

    ada sapa teman sekantor, anaknya telah berdiri sendiri, kesadarannya tidak lagi

    sering mengikuti karena hidupnya hanya makan, minum, tidur yang tidak

    memerlukan kesadaran tinggi. Begitu sering kesadaran meninggalkannya maka

    penyakit mulai mudah masuk karena kesadarannya berfungsi sebagai perisai

    pelindung. Begitu kesadaran tidak diperlukan lagi maka kesadaran akan kematian

    yang menggantinya. Kesadaran kematian mengundang penyakit dan tubuh

    menjadi rentan terhadap penyakit.7

    7 Djoko Putranto, Meditasi Seks Jalan Menuju Kesempurnaan Spiritual dan Kesehatan,

    (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2001), hlm. 85-87

  • 34

    Sekarang ini meditasi telah banyak dipraktekkan di dunia Barat. Banyak

    individu mulai melakukan meditasi untuk menjadikan semakin sadar dan

    berhubungan dengan Diri Yang Lebih Tinggi (Higher Self) atau Tuhan dan diri

    mereka sendiri. Berbagai studi terkendali telah menunjukkan adanya sejumlah

    manfaat lain dari meditasi. Sebagai contoh, individu-individu yang melakukan

    meditasi nafasnya menjadi berkurang kecepatannya dan berkurang perasaan

    cemasnya.8

    Namun, secara umum dapat dipastikan bahwa meditasi akan memberikan

    manfaat nyata bagi fisik, antara lain :

    Meningkatkan daya tahan tubuh

    Menghilangkan sakit kepala

    Menghilangkan sakit perut

    Mengurangi atau menyembuhkan sesak nafas

    Menstabilkan tekanan darah

    Mengatasi insomnia (susah tidur)

    Menetralisir kolesterol

    Mengurangi / menyembuhkan sakit punggung

    Mengurangi rasa sakit

    Mengurangi berat badan

    Geja-gejala sakit menurun

    Mempercepat proses kehamilan

    Kesembuhan total

    Selain manfaat fisik, meditasi juga memberikan manfaat secara spiritual.

    Namun, manfaat yang dapat diperoleh mental atau spiritual sangatlah berfariasi,

    secara umum dapat dipastikan, meditasi akan memberikan manfaat :

    Ketenangan batin

    Percaya diri / mengatasi rasa malu

    8 John P. Miller, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas, (Yogyakarta: Kreasi wacana, 2002), hlm. 221

  • 35

    Pengendalian emosi

    Menghilangkan kecemasan

    Menghilangkan ketakutan / phobia

    Menjadi lebih santun

    Menjadi lebih mudah memaafkan

    Bertambahnya harapan untuk kesembuhan / penyembuhan

    Menyembuhkan ganguan kejiwaan (Psikosomatis)

    Lebih dekat kepada Tuhan sesuai iman masing-masing

    Melahirkan kharisma secara alami

    Meningkatkan kemampuan berbagai indrawi

    Proteksi diri terhadap energi negatif

    Kemampuan mawas diri (self awareness)9

    Berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa meditasi amatlah besar

    manfaatnya bagi kesejahteraan umat manusia. Manfaat itu antara lain

    mempercepat proses kesembuhan lewat peningkatan sistem imun tubuh. Stress

    dan depresi pun dapat dikendalikan dengan bermeditasi.10 Tim riset dari Madison-

    sebuah Universitas Wisconsin telah menemukan, untuk pertama kalinya, bahwa

    sebuah program dalam meditasi pendek dalam “Meditasi Sadar” menghasilkan

    perubahan positif jangka panjang pada otak maupun fungsi kekebalan tubuh.

    Penemuan tersebut menemukan bahwa meditasi, yang telah lama dipromosikan

    sebagai sebuah teknik untuk mengurangi kelelahan dan stress, menghasilkan efek

    biologi penting yang dapat meningkatkan kegembiraan seseorang.11

    Dr. Michael M. Delmonte dari St. James Hospital Dublin, dalam

    laporannya berjudul The Relevance of Meditation to Clinical Practice

    menyebutkan bahwa meditasi berguna untuk bidang pengembangan pengobatan.

    Dalam penelitiannya ditemukan bahwa pasien yang melakukan meditasi

    9 Tjiptadinata Effendi, Meditasi Jalan Menuju Kesembuhan Lahir dan Batin, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), hlm. 24-25

    10 A. Handoyo, Aplikasi Olah Napas 2, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), hlm. 17 11 http: //www.falundafa.or.id/p surveykesehatan9.htm

  • 36

    menunjukkan proses penyembuhan yang lebih cepat dibanding pasien yang tidak

    melakukan meditasi untuk kasus-kasus tertentu.

    Pasien mendapat banyak keuntungan dari latihan meditasi. Mereka jadi

    jarang sakit, dapat mengendalikan stress, dan respon kekebalan tubuhnya

    (immune surveillance) meningkat. Di samping itu, meditasi juga dapat

    menghilangkan rasa nyeri (analgesik), pasien menjadi lebih tabah, sabar, dan

    gembira (euphoria) dalam menghadapi penyakit. Dengan demikian, pasien jadi

    lebih punya motivasi dan sugesti untuk sembuh. Ini tentu menguntungkan karena

    pasien tidak hanya akan bergantung pada obat-obatan. Keyakinan akan kekuatan

    dalam tubuhnya merupakan faktor utama yang membantu proses penyembuhan

    penyakit lewat lantunan doa.12

    Apabila seseorang telah melakukam meditasi, maka organ tubuh, sel-sel

    tubuh dan semua zat yang ada dalam tubuh akan mengalami homeostatis,

    bergerak dalam keadaan seimbang, berfungsi dalam keadaan seimbang, dan

    bekerja dalam keadaan teratur. Semua alat-alat tubuh akan berfungsi semaksimal

    mungkin dan pengeluaran tenaga seminimal mungkin. Meditasi menimbulkan

    perubahan fisiologis yang disebut sebagai respons relaksasi, yaitu integrasi

    respons mind body : menurunnya pemakaian oksigen, denyut jantung, nafas,

    tekanan darah, dan kadar asam laktat dalam serum; resistensi kulit meningkat dan

    perubahan aliran darah. Perubahan ini sesuai dengan menurunnya aktifitas sistem

    saraf simpatis sebagai akibat dari menurunnya respons organ akhir terhadap

    norepinefrin. Perubahan fisiologis yang terjadi pada pengobatan hipertensi dan

    aritmia jantung hasilnya sama baik dengan pengobatan keadaan cemas dan nyeri

    (Kutz dkk., 1985). Kesterson dan Clinch (1989) yang membandingakan mereka

    yang melakukan meditasi tidak akan menimbulkan penurunan metabolisme

    seperti pendapat sarjana sebelumnya, tetapi terjadi hipoventilasi.13

    12 A. Handoyo, loc. cit 13 Luh Ketut Suryani, Menemukan Jati Diri dengan Meditasi, (Jakarta: PT. Elex Media

    Komputindo, 2000), hlm. 79

  • 37

    B. Substansi Meditasi

    Salah satu diskursus keagamaan yang kian hari kian semarak dan meluas

    ini, adalah maraknya perbincangan seputar upaya melintasi batas agama. Gejala

    ini ditandai, maraknya dialog antar agama, bahkan antariman, seperti yang

    diselenggarakan oleh Paramadina, LSAF, MADIA, Interfidei, Dian (Diaolog

    antariman), dan lain-lain. Seiring dengan tingginya mobilitas passing over ini,

    muncul pelbagai tawaran teologi agama guna meneguhkan gagasan transformasi

    dengan agama sebagai aktor utamanya, semisal teologi pembebasan, teologi

    dialektis, teologi hermeneutis, teologi transformatif, teologi inklusif, dan yang

    paling hit dan hot teologi pluralis. Dengan mengecualikan mereka yang secara

    apriori menolak perbincangan semacam itu, banyak kalangan menduga bahwa

    intensitas perbincangan mengenai relasi agama-agama bakal terus meningkat di

    masa mendatang.

    Eskalasi kecenderungan ini bukan saja beranjak dari keniscayaan sabda

    pluralisme yang secara de facto menjadi sunnatullah yang inheren dengan

    manusia, tapi juga sebagai countertrend postmodernisme dengan menapaktilasi

    spiritualitas. Bila wacana postmodernisme memuja permukaan, maka spiritualitas

    justru menjunjung tinggi kedalaman. Pada kedalaman, orang lebih bergumul

    dengan pencarian titik temu serta rekonsisliasi dari pada mengusung perbedaan

    dan hegemoni. Ikonisasi simbol-simbol mencair dengan lindapnya “kepanikan”

    (hysteria) pada jenjang eksoterisme menuju “perenungan” di level esoterisme.

    Penguatan sisi spiritualitas meratakan jalan untuk mendudukkan fondasi,

    dan merengkuh etos kerja sama komunitas agama yang berbeda. Spiritualitas

    menjadi muara di mana semua sekat sosiologis dan formalisme keagamaan

    menjadi tawar, tanpa harus kehilangan otensitas keberagamaan masing-masing. Ia

    mengkristal sebagai tasawuf dalam Islam, meditasi dalam Kristen, yoga dalam

    Hindu atau zen dalam Budhisme. Karena itu, kehadiran spiritualitas mencirikan

    watak universal, tidak dikebat oleh ruang dan waktu.14

    14 http://www. Media-indonesia.com/cetak/berita.asp?id=2004040123453213

  • 38

    Kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal

    dari bahasa Latin, spiritus yang berarti napas. Spiritual berarti pula segala sesuatu

    di luar tubuh fisik kita termasuk pikiran, perasaan, dan karakter kita. Kecerdasan

    spiritual berarti kemampuan kita untuk dapat mengenal dan memahami diri kita

    sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta.

    Danah Zohar dan Ian Marshall masing-masing dari Harvard University dan

    Oxford University melalui riset yang sangat komprehensif mengadakan

    pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual yang dipaparkan dalam Spiritual

    Quotient (SQ), The Ultimate Intellegence (London, 2000), dua di antaranya

    adalah: pertama, riset ahli psikologi/syaraf, Michael Persinger pada awal tahun

    1990-an, dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran

    dan timnya dari California University, yang menemukan eksistensi God-Spot

    dalam otak manusia.15 Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan

    spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu

    kecerdasan menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yng lebih

    luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup

    seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.16 Dengan memiliki

    kecerdasan spiritual berarti kita memahami sepenuhnya makna dan hakekat

    kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi.

    Setiap agama di dunia ini mengajarkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik

    untuk mencapai kecerdasan spiritual atau aktualisasi diri. Sering kali justru

    menganggap ritual atau ibadah sebagai tujuan bukan sebagai cara. Kita

    melakukan ibadah sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan, karena jika

    tidak kita takut akan menerima hukuman dari Tuhan (azab dan neraka), dan jika

    kita lakukan kita akan menerima pahala dan surga. Menjalankan ibadah agama

    dengan motivasi karena takut (fear motivation) menunjukkan kecerdasan spiritual

    15 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga Wijaya, 2001), hlm. xxxix

    16 Ibid., hlm. 57

  • 39

    yang paling bawah, dilanjutkan dengan motivasi karena hadiah (reward

    motivation) sebagai kecerdasan spiritual yang lebih baik. Tingkat ketiga adalah

    motivasi karena memahami bahwa kitalah yang membutuhkan untuk menjalankan

    ibadah agama karena kita mengetahui keberadaan diri kita sebagai makhluk

    spiritual dan kebutuhan kita untuk menyatu dengan Sang Pencipta berdasarkan

    kasih (Love motivation).

    Paling tidak ada lima hal yang diajarkan oleh agama untuk membantu kita

    meningkatkan kecerdasan spiritual kita, yaitu: Pertama, iman atau keyakinan.

    Dalam Islam hal ini adalah Syahadat sedang dalam Kristen Protestan adalah

    Pengakuan Iman Rasuli (dalam bahasa jawa disebut sebagai Sahadat Kalih

    Welas-dua belas keyakinan). Kedua, ketenangan atau keheningan, yaitu suatu

    ritual untuk menurunkan frekuensi gelombang otak kita sehingga mencapai alpha

    (relaks) sampai tahap meditatif pada keheningan yang dalam. Semua agama

    mengajarkan cara untuk bersembahyang dan meditasi.17 Meditasi membantu

    setiap individu untuk mengharmoniskan diri dengan seluruh eksistensi dan

    menemukan kearifan puncak. Meditasi bukan hanya pikiran yang terkonsentrasi,

    tetapi suatu sprektum segenap potensi manusia.18

    Esensi meditasi adalah berakhirnya pikiran sadar (conscious mind),

    kemudian memasuki dimensi lain yang berada di alam bawah sadar (subconsious

    mind), dan supra kesadaran (supraconcious mind).19 Ornstein (1986)

    mengungkapkan bahwa esensi meditasi adalah usaha membatasi kesadaran pada

    satu objek stimulasi yang tidak berubah pada waktu tertentu. Lebih jauh Maupin

    (dalam Tart, 1969) mengemukakan bahwa meditasi merupakan suatu teknik

    latihan untuk mengembangkan dunia internal atau dunia batin seseorang,

    sehingga menambah kekayaan makna hidup baginya. Adapun tujuan orang

    17 http: //www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2003/0715/man 01.html 18 Soraya Susan Behbehani, Ada Nabi dalam Diri Melesatkan Kecerdasan Batin Lewat Zikir

    dan Meditasi, terj. Cecep Ramli Bihar Anwar, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 257 19 Aribowo Prijosaksono dan Irianti Erningpraja, There is More To Life Than What You Have

    Now Enrich Your Life Everyday, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2003), hlm. 109

  • 40

    melaksanakan meditasi cukup beragam. Dalam tradisi keagamaan tertentu,

    meditasi dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan kehidupan rohani,

    mendekatkan diri pada Tuhan atau mencapai kesadaran mistik atau penyatuan

    mistik-transendental dengan Tuhan. Tetapi secara psikologis menurut Walsh

    (1983) ada dua tujuan akhir dari praktek meditasi, yaitu pertama agar seseorang

    dapat memiliki perkembangan insight yang paling dalam tentang proses mental di

    dalam dirinya, insight tentang kesadaran, identitas dan realitas; kedua agar

    seseorang memperoleh perkembangan kesejahteraan psikologis dan kesadaran

    yang optimal. Selain tujuan akhir itu, Walsh juga mengatakan bahwa banyak

    orang yang melakukan meditasi untuk mencapai tujuan-tujuan sementara,

    misalnya untuk tujuan psikoterapi dan keuntungan psikofisiologis yang lain.20

    Ketiga, pembersihan diri berupa detoksifikasi yaitu pembuangan racun-

    racun. Semua agama mengenal puasa. Karena puasa merupakan sebuah proses

    bagi kita untuk membersihkan tubuh dari segala racun-racun dan pembuangan

    sisa metabolisme tubuh, serta memberi waktu bagi tubuh kita untuk beristirahat.

    Jadi terlihat jelas bahwa berpuasa adalah kebutuhan mutlak seseorang untuk

    memelihara kesehatannya, selain bahwa puasa membantu kita untuk mencapai

    ketenangan (frekuensi gelombang otak yang rendah) sehingga kita dapat

    mencapai kesadaran tertinggi (superconciousness). Keempat, beramal dan

    mengucap syukur (harity and gratitude). Berdasarkan penelitian bahwa rasa iba

    dan kasih sayang menstimulasi hormon yang meningkatkan daya tahan tubuh dan

    kesehatan kita. Beramal dan bersyukur adalah sebuah pernafasan rohani, yang

    jika tidak kita lakukan maka kita akan mati secara spiritual dalam arti kita

    semakin tidak dapat mencapai tahapan aktualisasi diri atau pemenuhan diri yang

    sempurna. Kelima, penyerahan diri secara total. Ini adalah tahapan tertinggi dalam

    spiritualitas seseorang, yaitu ketika ia sudah tidak punya rasa kuatir akan apa yang

    akan terjadi. Dia memiliki rasa pasrah secara total pada Tuhan, karena sebagai

    20 Johana E. Prawitasari, dkk., Psikoterapi Pendekatan Konvensional dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 182

  • 41

    makhluk spiritual, dia telah mencapai penyatuan dengan Sang Pencipta.

    Penyerahan diri secara langsung kepada Tuhan merupakan tema sentral

    amalan batiniahnya. Apa yang disinggung oleh para penulis Sufi adalah suatu

    keadaan yang direpresentasi oleh “sakr atau ekstase”, “pembebasan”,

    “penyerapan diri ke dalam Sang Kuasa” (imanensi) dan sebagainya, yang timbul

    sebagai hasil dari kepasrahan sepenuhnya, dan tidak didukung oleh upaya yang

    bersangkutan. Gagasan adalah bila kita menyerahkan semua hasrat, harapan,

    ketakutan dan angan-angan tanpa terkecuali, maka yang tersisa adalah rasa diri

    yang hakiki.

    Spiritualitas adalah bidang penghayatan batiniah kepada Tuhan melalui

    laku-laku tertentu yang sebenarnya terdapat pada setiap agama. Namun, tidak

    semua setiap penganut agama menekuninya. Bahkan beberapa agama

    memperlakukan aktifitas pemberdayaan spiritual sebagai praktik yang tertutup,

    khawatir dicap klenik. Lokus spiritual adalah diri sendiri. Bila wilayah psikologi

    mengkaji jiwa sebagai psyche (dalam terminologi spiritual lebih dikenal sebagai

    ego), spiritualitas menyentuh jiwa sebagai spirit. Budaya Barat menyebutnya

    inner self (diri pribadi), sesuatu yang “diisikan” Tuhan pada saat manusia

    diciptakan.21

    Dengan memahami makna spiritual di atas, akhirnya kita juga mengerti

    “mengapa seorang nabi tidak ada yang melecehkan nabi lainnya, atau seorang

    nabi yang menganggap ajaran nabi lainnya salah”. Konsep teologis juga lahir dari

    jiwa spiritual. Jadi, meskipun bahasa, istilah dan konsepnya berbeda, tetapi dasar

    atau substansinya sama. Itulah sebabnya substansi semua agama sama.

    C. Meditasi Dan Potensi Manusia

    Dalam perjalanan melakoni kehidupan ini sering kita menghadapi

    hambatan yang datangnya dari diri kita sendiri. Hambatan itu bisa terjadi karena

    kepribadian kita yang terbentuk sejak dari dalam kandungan. Bisa juga Karena

    21 http: //www.ham.go.id/index HAM.asp?menu=artikel&id=543

  • 42

    adanya ingatan (memori) masalalu, apakah waktu kanak-kanak, remaja, dewasa,

    atau keadaan sekarang yang menghambat mulusnya penampilan kita yang

    sebenarnya. Fase perkembangan mental di dalam kandungan sangat besar

    perannya dalam memberi dasar kepribadian seseorang sehingga sulit diubah.

    Banyak orang tidak pernah membayangkan bahwa keadaan yang sebenarnya

    benar-benar terjadi tersimpan dengan rapi di otak yang merupakan memori dalam

    alam bawah sadarnya.22

    Kemampuan seseorang menyimpan suatu kenangan tergantung betapa

    mendalamnya arti kejadian itu dan apakah perasaan itu terus terbawa sampai

    tidur. Menurut Luh Ketut Suryani bahwa kerja otak manusia adalah sama dengan

    komputer, semua kenangan bisa tersimpan rapi kalau kita menyimpannya dan

    artinya pun tidak bisa begitu saja dihapus dengan pertimbangan logika. Karena

    data dasarnya tetap dengar arti sebenarnya pada saat itu sehingga penerimaan

    logika terhadap kejadian itu tidak dapat mengubah keadaan data dasar yang ada di

    alam bawah sadar, dan tetap akan mempengaruhi pola berfikir, pencetusan emosi,

    dan perilaku terhadap suatu keadaan baru. Data dasar ini terus berperan dalam

    kehidupan sehari-hari.23

    Dalam kehidupan ini, Tuhan memberi manusia otak untuk berfikir, untuk

    mengatasi masalah yang sedang dan akan dihadapi, memperbaiki karma yang

    diperoleh dalam menjalani kehidupan ini. Apabila mungkin otak bisa digunakan

    untuk mengubah karma dalam bentuk karma yang baru yang terbaik sehingga

    memuluskan perjalanan hidupnya untuk kehidupan di masa yang akan datang.

    Manusia mengenal hukum karma atau hukum perbuatan. Hukum ini

    mengatakan bahwa setiap kejadian pasti ada penyebabnya, setiap peristiwa pasti

    ada pemicunya atau sebab yang menjadi latar belakangnya. Penyebab ini

    merupakan suatu potensi atau kekuatan yang tersimpan sebelum sesuatu terjadi.

    Seseorang tidak mungkin dapat menyanyi apabila di dalam dirinya tidak

    22 Luh Ketut Suryani, op. cit., hlm. 21 23 Ibid., hlm. 22

  • 43

    tersimpan kekuatan atau kemampuan untuk menyanyi. James Watt tidak akan

    menemukan listrik kalau tenaga itu tidak tersimpan sebagai potensi. Demikian

    juga halnya, Isaac Newton tidak akan dapat menemukan teori jasad-jasad kecil

    (corpusculaire theory), Albert Einstein tidak akan menemukan teori relativitas

    (relativity theory) dengan formula yang hebat (E=m.c2) kalau semua itu tidak

    tersimpan sebagai potensi yang tersembunyi.24

    Pada hakikatnya di dunia ini tidak ada sesuatu hal yang benar-benar baru.

    Semuanya sudah ada, semuanya sudah tercipta sejak awal, semua telah tersedia

    dalam bentuk potensi yang perlu digali dan diungkapkan ke permukaan. Jadi pada

    hakikanya manusia tidak pernah mencipta sesuatu, tetapi hanya menemukan

    sesuatu yang selama ini masih tersembunyi. Dan hal ini masih akan berlanjut

    tanpa pernah berhenti. Inilah hakikat dari evolusi alam raya (makrokosmos), suatu

    perubahan yang tidak akan pernah berhenti.

    Sebagai mikrokosmos, manusia memiliki sifat-sifat yang identik dengan

    makrokosmos, namun dalam ukuran yang serba mini. Potensi yang seolah-olah

    tidak terbatas yang tersimpan di dalam makrokosmos juga ada di dalam setiap

    pribadi manusia. Munculnya kehidupan manusia di alam semesta pasti di dahului

    oleh kenyataan bahwa kehidupan itu sudah ada sebelumnya. Donald Walters

    dalam bukunya menyatakan bahwa: fakta tentang munculnya kehidupan

    mengandung arti bahwa kehidupan selalu berpotensi untuk muncul, dengan kata

    lain, dalam berbagai bentuk, kehidupan selalu ada.25

    Teori atom membuktikan bahwa butir-butir atom terdiri dari unsur-unsur

    elektron, proton, dan neutron di mana elektron-elektron mengandung daya

    (energi) hidup. Menurut Albert Enstein, terdapat tiga energi dalam alam semesta,

    yaitu energi gravitasi, energi elektromagnetik dan energi atom. Apabila kita

    perhatikan alam mikrokosmos, di mana elektron berputar-putar mengelilingi inti

    24 R. Soegoro SE, MA., Meditasi Triloka Hidup Dalam Suprakesadaran, (Jakarta: PT. Elex

    Media Komputindo, 2002), hlm.103 25 Ibid., hlm. 104

  • 44

    atom atau pada alam makrokosmos di mana planet-planet berputar mengelilingi

    matahari, maka ketiga energi tadi terdapat di dalamnya, seperti energi gravitasi

    inti atom yang menarik elektron. Energi elektromagnetik yang menciptakan

    medan magnet, akibat gerakan berputar elektron tersebut. Dan energi atom yang

    memelihara keseimbangan dari keseluruhan sistem yang ada pada alam semesta.26

    Pernyataan ini mengungkapkan bahwa kehidupan yang dapat dilihat dan

    dirasakan secar fisik bukanlah satu-satunya bentuk kehidupan, Karena adanya

    suatu bentuk kehidupan pasti berasal dari kehidupan. Sesuatu yang hidup tidak

    mungkin datang dari sesuatu yang mati. Timbulnya kehidupan tidak dapat

    dipisahkan dengan kesadaran. Para ahli fisika dan metafisika menyakini bahwa

    kesadaran bukan merupkan hasil dari sesuatu tetapi merupakan penyebab

    terjadinya sesuatu. Pendapat ini bertentangan dengan filsafat materialisme yang

    mengatakan bahwa materi (benda) adalah sebab utama dari segala sesuatu.

    Menurut ilmu pengetahuan mutakhir materi adalah timbunan energi yang

    memadat.27 Einstein telah mengajarkan kepada kita bahwa materi adalah energi

    dan energi bisa saling dipertukarkan: E= m.c2, atau materi adalah energi yang

    sangat mampat.28 Kenyataan ini membuat para pengikut paham materialisme

    memperbaiki teorinya. Oleh karena pada hakikatnya materi adalah energi, maka

    energi merupakan penyebab utama dari segala sesuatu. Kemajuan ilmu

    pengetahuan telah membuktikan bahwa setiap benda yang paling kecil yang

    masih dapat dilihat dengan mata terdiri dari unsur-unsur yang lebih kecil lagi,

    yaitu molekul-molekul, molekul dari butir-butir atom, butir atom dari butir-butir

    elektron, proton dan neutron, butir elektron, proton, neutron dari butir-butir ether

    (dipostulatkan sebagai substansi tidak tampak yang menempati seluruh ruang dan

    menjadi media untuk transmisi gelombang-gelombang cahaya dan bentuk-bentuk

    26 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sebuah Inner Journey

    Melalui Al-Ihsan, (Jakarta: Arga, 2004), hlm. 39 27 R. Soegoro SE, MA, op. cit., hlm. 105 28 Michel Talbot, Mistisisme dan Fisika Baru, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar, 2002), hlm. 194

  • 45

    pancaran energi lain),29 dan akhirnya butir ether terdiri dari butir-butir Zat Mutlak

    (Absolute Substantie). Zat Mutlak adalah butir-butir yang tidak dapat dibagi lagi

    dan disebut serba tunggal atau serba esa (Monistis).30

    Dalam pengertian yang demikian, maka kesadaran muncul dalam setiap

    benda, baik pada benda mati mapun benda hidup. Dengan kata lain, kesadaran

    merupakan suatu potensi yang ada sejak penciptaan yang kemudian melekat erat

    dalam setiap wujud ciptaan. Pada manusia kesadaran inilah yang bekerja sehingga

    membentuk tubuh manusia lengkap dengan organ-organ yang dibutuhkan untuk

    bertahan hidup.

    Pada manusia kesadaran bekerja melalui otak, dan kita mengenalnya

    sebagai pikiran sadar. Di samping kesadaran normal ini, manusia masih mengenal

    dua bentuk kesadaran lain, yakni bawah sadar dan suprasadar. Ketiga jenis

    kesadaran ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan manusia. Inilah tritunggal

    kesadaran yang kesemuanya berada di bawah komando dan bersumber pada

    suprakesadaran.

    Keadaan (alam) bawah sadar masih sangat dekat dengan kesadaran fisik

    (pikiran sadar) dan pengalaman yang diterima melalui pancaindra. 31 Pikiran

    bawah sadar menerima impuls-pikiran atau sugesti dan bereaksi. Pikiran ini

    bernalar secara deduktif dan menerima apa yang diberikan dari pikiran atau

    perasaan sebagai seluruh kebenaran, fakta lengkap, dan tidak pernah

    mempertanyakan, membandingkan atau mengevaluasi. Ia beroperasi di sini dan

    sekarang ini pada kesadaran saat ini. Ia tidak dibatasi oleh pengalaman masa lalu.

    Bawah sadar menerima tanpa bertanya informasi (sugesti) yang diberikan

    kepadanya oleh bagian sadar dari pikiran. Apakah sugesti/saran ini positif atau

    negatif, bawah sadar menerimanya dan bereaksi terhadap sugesti itu benar, valid

    atau tidak. 32

    29 Ibid., hlm. 258 30 R. Soegoro, loc. cit 31 Ibid., 106 32 DR. Stuart Grayson, Penyembuhan Spiritual, (Semarang: Dahara Prize, 2001), hlm. 44

  • 46

    Oleh karena itu kita harus berhati-hati dengan alam bawah sadar ini,

    karena apabila kurang beruntung kita akan dibawa ke arah yang salah, yang

    merugikan kehidupan secara keseluruhan. Manakhlukan dan mengendalikan yang

    satu ini adalah tindakan bijaksana. Caranya juga tidak terlampau sulit. Cukup

    dengan memastikan bahwa kita hanya memberinya perintah yang baik,

    mematahkan dan menyingkirkan setiap niat jahat, kebiasaan buruk, dan hal-hal

    negatif lainnya yang merusak.

    Meditasi mengarahkan kita mencapai suprakesadaran, karena hanya dalam

    meditasi kita dapat membersihkan sistem syaraf, mengendurkan dan

    mengembalikan ke posisi seharusnya, tertata rapi, teratur dan murni. Meditasi

    juga berarti menghadirkan kemampuan diri yang luar biasa yang selama ini masih

    berupa potensi. Perlu diketahui bahwa potensial kita sulit diduga besarnya, sama

    seperti kekuatan tersembunyi yang terkandung di alam raya yang juga tidak dapat

    dijajagi kedalamannya. Dan untuk menemukan potensi diri itu kita dapat

    menggali dan menemukan kemampuan itu hanya di dalam diri sendiri. Jangan

    harap kita menemukannya di luar diri kita. Oleh karena itu meditasi adalah masuk

    ke dalam pusat diri untuk menemukan inti diri, yaitu diri sejati. Jadi di dalam inti

    diri (yang tak terbatas) atau diri sejati tersimpan segenap potensi yang sewaktu-

    waktu siap dimunculkan. Masalahnya kita tidak pernah menyadari apalagi

    mengetahuinya. Namun setelah mengetahuinya, belum tentu kita memahami cara

    memunculkanya.

    D. Praktek Meditasi

    Sesungguhnya praktek meditasi telah digunakan secara luas oleh

    penduduk dunia karena telah dikenal oleh semua kebudayaan. Semua agama besar

    bahkan memiliki tradisi meditasi yang sampai kini masih dilestarikan. Perihal ini

    sedikit orang saja yang mengerti, sedangkan sebagian besar lainnya sama sekali

    tak mengetahuinya. Kendatipun mereka melakukan praktek meditasi tetapi karena

    dalam beberapa hal istilah meditasi tidak digunakan maka mereka tidak

  • 47

    menyadarinya.33 Nanti akan kita lihat bahwa ternyata meditasi adalah suatu

    kegiatan yang mengakar di dalam agama-agama besar.

    Segala macam apapun ada ritualnya (itu sudah manusiawi, fitrah manusia

    yang memiliki pikiran-pikiran mitos tersendiri dalam kepalanya semenjak lahir).

    Apalagi dalam sebuah isme dan agama. Toh Berbangsa dan Bernegarapun ada

    aturannya, itu contohnya, malah ada lagu kebangsaannya pula. Manusia secara

    alami pun mengalami hal ritual tersendiri dalam hidupnya. Seperti sebelum

    makan harus begini atau begitu, apalagi sebuah isme atau agama.34

    Kalau nanti penulis menyebut beberapa istilah yang berhubungan dengan

    golongan agama tertentu penulis sama sekali tidak bermaksud untuk memberi

    nafas tertentu pada meditasi yang akan dipraktekkan. Semua itu hanyalah

    konsekuensi dari konteks pembahasan singkat kita tentang beberapa metode

    meditasi yang diterapkan sehingga membuka wawasan kita tentang meditasi

    secara universal. Hal ini juga merupakan suatu jendela atau pintu bagi kita untuk

    keluar dari kungkungan fanatisme yang keliru. Tidak ada salahnya kita

    mempelajari metode-metode meditasi yang dilakukan oleh orang yang berbeda

    keyakinan dengan kita. Tujuanya jelas, bukan untuk mengaburkan, apalagi

    mengajak kita menyimpang dari iman kita, melainkan justru untuk memperkaya

    perbendaharaan batin kita. Guna mengetahui sampai sejauh mana peranan

    meditasi dalam kehidupan beragama dan meditasi secara universal, kita akan

    melihat melalui beberapa agama besar, baik dari agama-agama Timur maupun

    agama-agama Samawi (Abrahamic Religions).

    1. Meditasi dalam Agama Hindu

    Kebudayaan Hindu merupakan kebudayaan yang sudah sangat tua

    yang sampai saat ini masih mengakar kuat dibelahan bumi yang disebut India.

    Hinduisme mengajarkan satu Tuhan sebagai sumber kreatif utama, namun

    33 R. Soegoro SE, MA., Meditasi Triloka Jalan Mencapai Tuhan, op. cit., hlm.125 34 http://ajangkita.com/forum/viewtopic.php?p=151285&sid=30bcaf123fbefa6c4d429

    fac2b04dd86

  • 48

    Hinduisme juga mengajarkan banyak dewa-dewi sebagai personifikasi daya-

    daya kosmik. Kekuatan kreatif utama disebut Brahman. Ia yang menciptakan,

    memelihara dan melebur alam semesta beserta segenap isinya. Citra Brahman

    di dalam diri manusia disebut Atman, percikan Ilahi.35

    Hinduisme percaya bahwa semua manusia berada ditepi samudra

    kekuatan kreatif dari kehidupan yang tak terhingga ini. Semua memiliki

    kekuatan tertinggi, penuh dengan kebijaksanaan dan kegembiraan yang tak

    pernah padam. Kekuatan kreatif ini tidak pernah dapat ditekan dan tidak

    dapatdimusnahkan. Namun demikian letaknya tersembunyi jauh di dalam

    sehingga membuat hidup ini seakan merupakan suatu masalah.36

    Berangkat dari pengertian yang demikian maka umat Hindu berusaha

    mencari kebenaran religius untuk membimbing mereka supaya memperoleh

    taraf kehidupan yang lebih baik sehingga pada akhirnya dapat mencapai

    kesempurnaan atau nirwana. Petunjuk khusus yang dipakai untuk mencapai

    persatuan dengan Tuhan.37 Pengertian yoga sebagaimana disebutkan tadi

    sebenarnya mengandung tiga makna yang saling berkaitan satu sama lain.

    Pertama yoga adalah jalan. Namun yang dimaksud jalan disini bukanlah jalan

    sembarangan melainkan jalan menuju Tuhan. Jalan menuju Tuhan tentu

    bukan merupakan jalan yang bersifat fisik, melainkan bersifat nonfisik atau

    lebih tegasnya bersifat rohani.

    Kedua, yoga sebagai kesatuan atau lengkapnya kesatuan Ilahi.

    Pengertian ini memungkin lebih sulit dipahami dan memerlukan perenungan

    yang lebih dalam karena sifatnya lebih spiritual. Untuk mencernakan maksud

    dari kesatuan dengan ilahi atau istilah populernya manunggaling kawulo Gusti

    (bahasa jawa) diperlukan dan wacana yang lebih luas tentang ketuhanan.

    35 Ibid., hlm. 126 36 Huston Smith, Agama-agama Manusia, terj. Safroedin Bahar, (Jakarta: Yayasan Obor

    Indonesia, 2001), hlm. 37 37 R. Soegoro, Meditasi Triloka Jalan Mencapai Tuhan, op. cit., hlm. 126-127

  • 49

    Ketiga, yoga adalah ilmu pengetahuan. Sebagai ilmu pengetahuan,

    yoga memberi tuntunan atau petunjuk agar supaya kita dapat mengikuti jalan

    menuju kesempurnaan. Dengan pengertian demikian tidaklah heran apabila di

    dalam perjalanan sejarah terdapat berbagi macam tradisi yoga sebagai hasil

    pengamatan dan pengembangan yang diselaraskan dengan pengalaman para

    yogi (ahli yoga) itu sendiri. Namun demikian terdapat satu hal yang tidak

    pernah mengalami perubahan. Hal ini tiada lain adalah tujuan akhir atau

    tujuan utamanya (The Ultimate Goal). Jadi setiap tradisi yoga mempunyai

    tujuan akhir yang sama yaitu manunggaling kawulo Gusti, kesatuan antara

    manusia dengan Tuhan. Kesatuan yang baru dapat diraih apabila telah dapat

    mencapai tujuan di antaranya yaitu: suprakesadaran. Oleh karena itu tidaklah

    keliru apabila dikatakan bahwa tujuan yoga adalah untuk mencapai

    suprakesadaran.38

    Dari uraian di atas maka jelas sekali bahwa Hinduisme tidak dapat

    dipisahkan dengan meditasi. Memang benar bahwa di dalam sistem ini

    terdapat begitu banyak teknik meditasi, namun pada hakikatnya semua sistem

    tersebut mempunyai satu tujuan yang sama yaitu penyatuan diri (the self) dan

    pencerahan atau pembebasan. Dalam pencarian itu Hinduisme sampai pada

    suatu pemahaman bahwa berbagai agama itu merupakan berbagai jalan

    alternatif dan relatif sama menuju Tuhan yang sama. Menurut mereka bahwa

    keselamatan dan kebenaran hanya dapat diperoleh melalui agama saya atau

    hanya agama saya yang paling benar perlu dihindarkan karena hal itu sama

    saja dengan mengatakan bahwa Tuhan hanya ditemukan dalam rumah saya,

    dan tidak ada dalam rumah orang lain.39

    Demikian hendaknya kita memandang metode meditasi, dari mana

    pun asalnya dan mungkin sikap tubuh yang berorientasi kepada sikap,

    38 R. Soegoro, Meditasi Triloka Hidup Dalam Suprakesadaran, op.cit., hlm. 37-38 39 Huston Smith, op. cit., hlm. 101

  • 50

    kebudayaan di tempat asalnya, tidak akan membawa pengaruh negatif bagi

    kita, asal kita tidak mengikuti aliran agamanya.

    2. Meditasi dalam Agama Buddha

    Agama Buddha disebarkan oleh Pangeran Sidharta Gautama yang

    lahir disebuah kerajaan di India utara (sekarang Nepal) sekitar 632 tahun

    sebelum masehi. Agama ini berkembang setelah beliau menjalankan meditasi

    panjang di bawah pohon godhi sehingga mencapai pencerahan sempurna dan

    menjadi Buddha. Kata Buddha adalah istilah dalam bahasa sansekerta yang

    timbul dari akar kata buah yang berarti bangun atau mengerti. “Buddha”

    berarti “Yang Telah Bangun” (the awakened one). Dikisahkan bahwa setelah

    melalui proses meditasi yang panjang ketika Pangeran Sidharta Gautama

    melakukan pencarian tentang hakikat kehidupan dan kematian, beliau

    mendapat pencerahan dan kesadaran tentang segala sesuatu.40

    Ajaran agama Buddha berangkat dari kehidupan dunia yang dipenuhi

    oleh penderitaan dan kesedihan yang timbul dari tindakan dan sikap manusia

    yang terlalu melekat kepada kepentingan diri yang berlebihan. Penderitaan

    juga timbul dari emosi, sensasi, persepsi bahkan kesadaran dan kepercayaan

    terhadap adanya kekuatan adikodrati. Fenomena yang demikian benar-benar

    tidak dapat dipahami sehingga menggerakkan hati yang penuh welas asih dari

    Sang Pangeran untuk menemukan jawaban sekaligus penawarnya demi

    kebenaran dan kedamaian. Oleh karena itu dasar ajaran agama Buddha

    terangkum dalam Empat Kebenaran Mulia yang meliputi dukha (penderitaan),

    samudaya (sebab dari penderitaan), rirodha (akhir dari penderitaan) dan

    magga (jalan yang membawa kepada akhir penderitaan). Sedangkan penawar

    yang dapat mengakhiri semua penderitaan adalah: Jalan Mulia Beruas

    Delapan. Prinsip tersebut meliputi; Pengertian Benar (Samma-Ditthi), Pikiran

    Benar (Samma-Sankappa), Ucapan Benar (Samma-Vaca), Perbuatan Benar

    40 Aribowo Prijosaksono dan Irianti Erningpraja, op. cit., hlm. 104

  • 51

    (Samma-Kammanta), Penghidupan Benar (Samma-Sati) dan Konsentrasi

    Benar (Samma-Samadhi). Kedelapan prinsip tersebut merupakan hukum

    moral dan etika, suatu filsafat hidup yang apabila dipraktekkan dengan benar

    akan membebaskan manusia dari ikatan duniawi dan dengan membebaskan

    mereka dari putaran kelahiran kembali (tumimbal lahir).41

    Tekat yang kuat untuk mencapai cita-cita hidup berupa kesucian dan

    kebebasan telah diperlihatkan secara sempurna oleh Sang Buddha sendiri

    yaitu dengan bermeditasi. Oleh karena itu tidaklah keliru apabila kita

    mengatakan bahwa agama Buddha lahir dari praktik meditasi dan

    menggunakan meditasi sebagai salah satu jalan mencapai tujuanya. Hal ini

    dapat dilihat secara jelas apabila kita memperhatikan rumusan-rumusan

    terakhir dari “Jalan Mulia Beruas Delapan” yaitu Konsentrasi Benar.

    Buddhisme memiliki berbagai bentuk meditasi. Teknik meditasi

    Buddhisme secara garis besar tidak jauh beda dengan teknik yang ditemukan

    dalam raja yoga pada Hinduisme. Konsentrasi di dalam Buddhisme adalah

    suatu metode untuk melatih mental dan fikiran supaya dapat mencapai tingkat

    yang lebih dalam yaitu semadhi. Kontemplasi adalah metode perenungan

    yang mendalam terhadap aspek-aspek aktual dari ajaran Buddha supaya lebih

    memahami pikiran Sang Buddha.42

    Meditasi versi Buddha dilakukan dengan duduk bersila, mengikuti

    sikap tubuh yang dilakukan oleh Sidharta Gautama, yang melakukan semadi

    di bawah pohon godhi. Selanjutnya berdiam diri, dan berkonsultasi pada

    kesadaran bersandarkan sikap welas asih. Kesadaran yang dimaksud adalah

    kesadaran pada tubuh, kesadaran pada napas, kesadaran pada pikiran, dan

    kesadaran pada jiwa. Pernapasan lebih lambat dari pernapasan normal, rileks,

    dan santai. Pikiran terkonsentrasi pada salah satu kesadaran, namun tidak

    terfokus pada harapan-harapan individual.

    41 R. Soegoro, Meditasi Triloka Jalan Mencapai Tuhan, op. cit., hlm. 133-134 42 Ibid., hlm. 135-136

  • 52

    Sikap meditasi dengan gaya duduk bersila dan diam ini dikenalkan

    dengan nama za-zen. Sikap duduk bersila dapat dilakukan gaya lotus atau

    setengah lotus. Kedua tangan dilonjorkan di atas paha dan bermuara di ujung

    lutut, kiri dan kanan. Salah satu ujung jari beradu dengan ujung jempol, kiri

    dan kanan. Dalam metode ini, setiap langkah dari gerak kehidupan dapat

    dijadikan subjek meditasi, seperti bernapas, berjalan di taman, menulis

    melukis, maupun sedang beristirahat.43

    3. Meditasi dalam Agama Kristen

    Meditasi sebagai tradisi yang telah berlangsung selama 2000 tahun

    tersebut ternyata tetap hidup dan dilestarikan sebagai sarana tingkat spiritual

    yang lebih tinggi. Merenungkan ajaran cinta kasih seperti misalnya “kasihilah

    sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” sangatlah penting supaya dapat

    menghayati arti sebenarnya dan melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

    Oleh karena itu meditasi sebagai sarana penghayatan iman dan pengendapan

    diri sangat penting supaya kita tidak mudah terhanyut oleh kepentingan

    pribadi dan rasa cinta diri yang berlebihan. Disanalah hakikat ajaran Yesus

    Kristus di mana kita dituntut untuk melaksanakan ajaran-Nya secara nyata

    bukan hanya menghafalkan ayat-ayat Injil.44 Menjadi Kristen memang mudah

    tetapi menjadi murid Yesus sangat sulit.

    Meditasi dengan gaya Kristen atau Katolik lebih terpaku pada

    pendalaman meneladani kehidupan Kristus serta pengorbanannya untuk

    menyelamatkan umat manusia. Meditasi ini seringkali digabungkan dengan

    retreat yang berarti introspekti diri. Ukuran yang dijadikan basis adalah kasih

    dan barometernya adalah, “Bila kamu mengampuni, kamu akan diampuni”.

    Meditasi ini juga sering digabungkan dengan pengucapan doa-doa yang

    diulang-ulang, mula-mula diucapkan oleh mulut dan kemudian diam

    43 Tjiptadinata Effendi, Meditasi Jalan Meningkatkan Kehidupan Anda, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2002), hlm. 94

    44 R. Soegoro, Meditasi Triloka Jalan Mencapai Tuhan, op. cit., hlm. 146

  • 53

    diucapkan dalam hati.45

    Pada awal misinya, Yesus menyendiri selama 40 hari lamanya di

    padang gurun, sendiri di tengah binatang-binatang liar, melakukan meditasi,

    puasa dan mempersiapkan diri secara mental dan spiritual sebelum memulai

    misinya. Selama hidup dan pekerjaannya, Yesus selalu menyingkir dari

    keramaian menuju ke atas bukit yang sunyi dan berdoa dalam keheningan,

    mendengarkan suara Tuhan. Demikian halnya ketika menjelang disalib, dia

    naik kepuncak gunung pada malam menjelang dini hari bersama murid-

    muridnya yang tertidur, Yesus melakukan meditasi untuk mendengar tuntunan

    dan kehendak Tuhan.46

    Dikalangan umat Kristen Protestan, meditasi ataupun doa kontemplasi

    pada umumnya tidak dihargai bahkan dipandang rendah. Namun dikalangan

    Gereja Katolik masih terdapat kelompok umat yang bersedia mengasingkan

    diri di biara-biara atau pertapaan-pertapaan di mana hidup sehari-hari mereka

    dihayati menurut suatu irama kerja bergantian dengan periode-periode hening,

    bernyanyi, doa pribadi dan meditasi. Sedangkan dikalangan awam kebiasan

    tersebut sudah hampir ditinggalkan sama sekali, bahkan pelakunya sering

    merasa risih karena dianggap berbuat aneh-aneh. Biarpun demikian di

    beberapa tempat masih terdapat beberapa kelompok meditasi atau semadi

    yang mencoba merenungkan Firman Tuhan dengan cara hening, masuk

    kedalam diri sendiri untuk menemukan pesan aktual Sabda itu bagi dirinya

    sendiri.47

    Dengan demikian meditasi dan kontemplasi merupakan bagian yang

    paling berarti dalam hidup pada Imam dan biarawan-biarawati. Bahkan

    pengalaman doa kontemplatif dianjurkan sebagai suatu persiapan yang

    sungguh diperlukan bagi para calon Imam.

    45 Tjiptadinata Effendi, op. cit., hlm. 96 46 Aribowo Prijosaksono dan Irianti Erningpraja, op. cit., hlm. 105 47 R. Soegoro, Meditasi Triloka Jalan Mencapai Tuhan, op. cit., hlm. 147

  • 54

    4. Meditasi dalam Taoisme

    Menurut tradisi, Taoisme berasal dari seorang yang bernama Lao Tzu

    (“Putra Tua,” “Sahabat Tua,” ataupun “Sang Guru Tua”) yang dikabarkan

    lahir kira-kira tahun 640 SM. Ajarannya tertuang dalam sebuah buku yang

    disebut Tao Te Ching yang artinya “Jalan dan kekuatannya”. Buku ini

    merupakan suatu kesaksian dari keserasian manusia dengan alam semesta ini,

    dapat dibaca sampai selesai dalam waktu setengah jam ataupun sepanjang

    hidup, dan sampai hari ini merupakan teks dasar bagi keselarasan pemikiran

    Tao.48

    Tao adalah sesuatu yang sukar diartikan dan dicerna, kaum kuno telah

    mengetahui kekuatan utama yang memancar darinya. Tao Te Ching

    menyatakan:

    “Tao menghasilkan yang Satu; Yang Satu menghasilkan yang Dua; Yang Dua menghasilkan yang Tiga; Yang tiga menghasilkan semua jalinan keberadaan.”

    Yang Satu adalah kesatuan tertinggi, energi asal dalam kosmos.

    Lambang Tai Chi yang luas dikenal menggambarkan kekuatan ini dalam

    bentuk Yin dan Yang yang seimbang secara sempurna dan tetap menyatu. Yin

    dan Yang berpisah dan menjadi yang Dua. Yin dan Yang menghasilkan tiga

    kekuatan dasar bernama Tritunggal Murni. Tritunggal murni menciptakan

    Lima Dasar Tahapan Energi Alam Semesta. Kelima kekuatan ini (sering

    dinamakan Lima Unsur) cukup kuat untuk membangkitkan “semua jalinan

    keberadaan,” yaitu, semua bentuk yang dikenal dari Alam dan Alam Semesta,

    termasuk manusia.49

    Secara harfiah Tao berarti “jalan setapak” ataupun “jalan”. Namun ada

    tiga makna untuk memahami “jalan ini”. Pertama, Tao adalah jalan dari

    48 Huston Smith, op. cit., hlm. 232 49 Mantak and Maneewa Chia, Chi Nei Tsang Buku Panduan untuk kebugaran, terj. T. Zaini

    Dahlan, (Jakarta: PT. Pustaka Delapratasa, 1999), hlm. 17

  • 55

    kenyataan terakhir. Tao ini tidak dapat ditangkap karena ia melampaui

    jangkauan panca indera. Sekiranya ia akan mengungkapkan dirinya dengan

    penuh ketajaman, kepenuhan, dan kegemilangan, manusia yang fana ini tidak

    akan mampu menghadapi penglihatan itu. Bukan saja karena ia akan melebihi

    semua pemikiran dan khayalan. Oleh karena itu kata-kata tidak dapat

    menggambarkan ataupun merumuskannya. Tao Te Ching memulai hal ini

    dengan menyatakan secara tegas: “Tao yang dapat dibayangkan bukanlah Tao

    yang sesungguhnya.” Dengan sifatnya yang Mahabesar dan transeden, Tao

    yang paling agung ini adalah dasar bagi semua yang ada. Tao itu ada di

    belakang semuanya dan di bawah semuanya, sebagai rahim dari mana berasal

    semua yang ada dan ke mana semua yang ada itu akan kembali. Tao itu hanya

    dapat ditangkap dan diketahui melalui kesadaran mistik yang tidak dapat

    diterjemahkan dengan kata-kata. Dari situlah asalnya semboyan yang

    berbunyi: “mereka yang mengetahui tidak akan bicara, sedangkan mereka yng

    bicara tidak mengetahui.”

    Kedua, Tao adalah jalan alam semesta. Tao merupakan kaidah irama

    dan kekuatan pendorong dari seluruh alam dan asas penata yang berada di

    belakang semua yang ada. Oleh karena itu, ia pun ada di dalam semua yang

    ada. Tao bersifat transenden dan sekaligus imanen.

    Dalam arti yang ketiga, Tao merujuk pada jalan bagaimana seharusnya

    manusia menata hidupnya, agar selaras dengan cara bekerja semesta ini.50

    Esensi ajaran Tao adalah memperoleh keselarasan dengan alam semesta. Sifat

    dasar kehidupan yang selaras dengan alam semesta adalah Wu Wei. Konsep

    ini sering diterjemahkan sebagai tidak berbuat apa-apa atau tidak bergerak,

    tetapi jika diterjemahkan itu berarti suatu sikap yang kosong atau menahan

    diri secara pasif, maka pengertian tersebut tidak mengena. Suatu pengertian

    lebih baik adalah “Keheningan yang kretif”.51

    50 Huston Smith, op. cit., hlm. 233-234 51 Ibid., hlm. 239

  • 56

    Wu wei adalah hidup yang dijalani tanpa ketegangan. Namun jauh dari

    sikap yang tidak giat, wu wei merupakan perwujudan yang murni dari

    kelemah lembutan, kesederhanaan, dan kebebasan, suatu kemampuan efektif

    yang murni di mana tidak ada gerak yang dihamburkan sekedar untuk

    dipamerkan.

    Gejala alam sendiri yang paling mirip dengan Tao sendiri dalam

    pandangan penganut Tao adalah air. Sebagaimana dalam filsafat Lao Tzu

    yang berbunyi bahwa: “di dunia ini tidak ada benda yang lemasnya melebihi

    air, akan tetapi mempunyai daya penggempur yang sedemikian dahsyat.”52

    Mereka kagum dengan cara air ini mengapungkan benda-benda dan tanpa

    kekuatan membawanya di saat pasang. Orang yang mengetahui hakikat

    kekuatan hidup yang mendasar tahu bahwa kekuatan itu akan mendukung jika

    ia berhenti memukul dan menebas dan mempercayakannya untuk

    mengapungkan dan membawanya maju.

    “Mereka yang mengalir seperti mengalirnya hidup tahu mereka tidak memerlukan kekuatan lain mereka tidak merasa lelah, mereka tidak merasa takut mereka tidak memerlukan pemeliharaan, juga tidak memerlukan perbaikan.”

    Karena itu, airlah yang merupakan contoh yang paling dekat dengan

    Tao dalam dunia alamiah. Tetapi ia juga merupakan bentuk pertama wu wei.53

    Sikap tersebut diungkapkan dalam sikap hidup yang mengutamakan sifat

    tanpa pamrih, kesederhanaan, keterbukaan, kebersihan, dan ketenangan

    emosional. Semua itu akan dapat dicapai melalui pengembangan tubuh,

    pikiran, dan roh yang harus ditingkatkan melalui meditasi yang mendalam.

    Jadi kehidupan dititik beratkan untuk memperoleh pengetahuan tentang diri

    sendiri secara penuh dengan maksud untuk mencapai keselarasan dengan alam

    semesta dan memeperoleh kebebasan spiritual sehingga dapat kembali

    52 Sugiarto, dkk., Wushu Variasi dan Perkembangannya, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

    Utama, 2000), hlm. 5 53 Huston Smith, op. cit., hlm. 241

  • 57

    ketempat asalnya yaitu Wu Chi (Tuhan). Oleh karena itu, mudah dimengerti

    apabila di dalam Taoisme terdapat berbagai banyak disiplin praktis yang dapat

    dipakai sebagai sarana membangkitkan potensi spiritual yang terdalam.

    5. Meditasi dalam Agama Islam

    Islam berarti “Kedamaian” Islam mengajarkan bahwa untuk mencapai

    kedamaian, maka manusia harus senantiasa berada dalam alam meditatif. Oleh

    karena meditasi adalah hal yang sangat penting, maka islam mengajarkan

    shalat lima waktu sebagai salah satu pilar dalam Rukun Islam. Islam juga

    mengajarkan dzikir dan shalat tahajud sebagai cara untuk memasuki alam

    bawah sadar dan suprasadar sehingga tercapai komunikasi sempurna dengan

    Sang Pencipta.54 Shalat memiliki efek seperti meditasi atau yoga bahkan

    merupakan meditasi atau yoga tingkat tinggi bila dijalankan dengan benar dan

    khusyuk. Dalam kondisi khusyuk seseorang hanya akan mengingat Allah

    SWT (dzikrullah) bukan mengingat yang lain, hal ini seperti firman-Nya:

    ...لَوةَ ِلِذكِْريالص ماَِقي14: طه. (و( “……dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS. Thaha /20:14).

    Kondisi inilah yang menurut Djamaludin Ancok (1989) mirip dengan

    meditasi atau yoga. Menurut Arif Wibisono Adi (1985) shalat akan

    mempengaruhi pada seluruh sistem yang ada dalam tubuh kita, seperti syaraf,

    peredaran darah, pernafasan, pencernaan, otot-otot, kelenjar, reproduksi dan

    lain-lain.55

    Shalat adalah sebuah meditasi energi. Kenapa dikatakan demikian ?

    karena shalat harus dilakukan dengan penuh kekhusyukan dan konsentrasi

    agar kita bisa berkomunikasi dengan Allah. Selain itu, doa-doa yang kita baca

    dalam shalat ternyata menghasilkan energi positif, yang kekuatannya

    54 Aribowo Prijosaksono dan Irianti Erningpraja, loc. cit 55 Drs. Sentot Haryanto, M. Si., Psikologi Shalat Kajian Aspek-aspek Psikologis Ibadah

    Shalat, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), hlm. 81-82

  • 58

    bergantung pada kekhusyukan kita.

    Harus kita ingat bahwa tujuan utama shalat adalah berdzikir kepada

    Allah. Agar dzikir tersebut bermakna, maka kita harus bisa ‘menghadirkan’

    Allah dalam setiap kalimat atau gerakan-gerakan shalat yang sedang kita

    jalani. Kalau yang terjadi justru kita ingat segala macam, maka tujuan utama

    shalat kita menjadi tidak tercapai.56 Objek di dalam shalat adalah membaca

    ayat-ayat, kalimat suci, dan mengingat Allah. Objek di dalam dzikir adalah

    membaca kalimat thayyibah “La ilaha illa Allah” baik secara lisan maupun

    dalam hati. Termasuk objek dalam dzikir (juga meditasi) adalah

    memperhatikan keluar-masuknya napas. Sedangkan objek dalam meditasi

    adalah benda, warna, simbol, atau bentuk-bentuk geometris (yantra).

    Objek adalah sesuatu yang menjadi pusat perhatian dalam shalat,

    dzikir, atau meditasi. Jika tak ada objek sama sekali maka pikiran manusia

    akan mengembara kemana-mana. Perintah agama untuk dzikir, kontemplasi,

    perenungan, meditasi, semedi, atau apapun namanya adalah untuk

    menghilangkan kotoran memori yang ada di dalam diri manusia. Lalu jiwa

    diisi dengan energi positif yang berupa doa, mantra, kalimat suci, dan lain-

    lainnya. Sehingga hidup terasa tenang.57 Dalam Suluk Supanalaya disebutkan

    bahwa dzikir sebagai amuntu hakikat, yakni mengheningkan cipta dan

    merenungkan hakikat Tuhan disertai dengan hati yang penuh kerinduan atau

    hidayat Tuhan. Barang siapa menerima rahmat dan hidayat Tuhan akan bisa

    manunggal dengan Tuhan (Simuh, 1988).58

    Yang harus kita pahami agar meditasi energi kita berhasil kuncinya

    adalah hati. Hati lebih berfungsi untuk merasakan dan memahami. Sedangkan

    pikiran (otak) lebih berfungsi untuk berfikir, mengingat, menganalisa. Pikiran

    56 Ir. Agus Mustofa, Pusaran Energi Ka’bah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2004), hlm. 166 57 Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar Makna ”Kematian”, (PT. Serambi Ilmu Semesta,

    2002), hlm. 225 58 Dr. Purwadi, M. Hum., Jalan Cinta Syekh Siti Jenar Gerakan Mistik Kultural Menantang

    Hegemoni Para Wali, (Jogjakarta: Diva Press, 2004), hlm. 216

  • 59

    (otak) ada didalam kepala, sedangkan hati ada di dalam dada.

    Dengan pemahaman ini, berarti kita harus mempasifkan pikiran kita

    yang ada di kepala, dan kemudian mengaktifkan hati yang ada di dalam dada.

    Rasakanlah bahwa ketegangan yang terjadi tidak di kepala melainkan di dada.

    Atau dengan kata lain, janganlah berfikir tentang apa pun termasuk Allah,

    tetapi pahami rasakanlah atau ‘fahami’ kehadiran Allah. Yang bisa kita

    lakukan adalah ‘merasakan’ atau ‘memahami’ kehadiran Allah dengan hati

    atau dengan indra keenam. Firman Allah dalam QS. Al-A’raaf (7): 179

    berbunyi:

    ِ جلَهنم كَِثيرا ِمن اِْجلنِّ واِْالنِس ولَهم صلى لَهم قُلُوب الَّيفْقَهونَ ِبهاصلىولَقَد ذَرأْناقلى اُلِئك كَاْالَنعاِم بلْ هم اَضلُّقلى ولَهم ذَانٌ الَّيسمعونَ ِبهاصلى اَعين الَّيبِصرونَ ِبها

    )179: االعرف. (لغِفلُونَاُلِئك هم اْ“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam

    kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (Ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (Ayat-ayat Allah ). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.

    Lihatlah, dalam ayat ini Allah mengajarkan penggunaan hati dengan

    mata dan telinga. Artinya, Allah ingin memberikan kesan kepada kita bahwa

    fungsi hati adalah seperti panca indra, tetapi dengan mekanisme yang berbeda.

    Hati digunakan untuk memahami. Artinya, meskipun seseorang tidak bisa

    melihat dia tetap bisa memahami sesuatu dengan hatinya. Demikian pula,

    meskipun seseorang tidak bisa mendengar, dia tetap bisa memahami suatu

    persoalan, dengan cara yang lain.

    Pemahaman yang ditangkap oleh hati lebih substansial dibandingkan

    dengan panca indra. Tetapi kita tahu bahwa orang yang melihat belum tentu

    memahami apa yang dia lihat. Orang yang mendengar juga belum tentu

    memahami apa yang dia dengar. Demikian pula orang yang meraba, belum

  • 60

    tentu memahami apa yang dia raba. Tetapi kejadiannya bisa sebaliknya,

    bahwa seseorang bisa memahami persoalan tertentu tanpa dia harus melihat,

    atau mendengar atau merabanya. Karena itu, secara logika praktis, kita bisa

    melakukan meditasi tertentu, dan kemudian memahami ‘suatu persoalan’

    secara langsung tanpa menggunakan panca indra kita. Cara inilah yang kita

    gunakan untuk mengkhusyukkan shalat kita. Panca indera kita pasifkan, dan

    yang kita aktifkan hati kita.59

    Yang dimaksud dengan dzikir adalah terus-menerus mengucapkan

    nama-nama Allah dengan lisan dan mengingat-Nya dengan hati.

    Mengucapkan dan mengingat nama Allah yang Agung dan mensucikan-Nya

    dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya.

    يا اَيها اَّلِذين امنوا اذْكُروا اَهللا ِذكْرا كَِثيرا“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah sebanyak-

    banyaknya”. (QS. Al-Ahzab 33 : 41).

    Selama melatih dzikir, kaum sufi mengulang-ulang menyebutkan

    nama-nama Allah. Tidak hanya sekedar menyebutkan. Tetapi juga

    memfokuskan perhatian kepada maknanya. Karena manusia baru dapat

    mencapai pengertian melalui kata-kata, maka tujuan dari penyebutan sebuah

    kata terus menerus adalah untuk memahami artinya. Kaum sufi percaya

    bahwa dengan hanya mengingat dan memperhatikan ucapan, sama dengan

    menyembah berhala sebab kata sendiri itu tidak mempunyai kekuatan, tentu

    saja tidak perlu dikatakan bahwa pada awalnya seseorang tidak bisa

    menghindarkan diri dari perhatian kepada ucapan. Hanya setelah berlangsung

    beberapa waktu lamanya ia menjadi terbiasa dengan spiritualitas dan kata-kata

    nonformal, serta melepaskan diri dari tindakan pengucapan verbal. Berkaitan

    dengan ini Jalaluddin Al-Rumi berkata, “Aku ingin melemparkan semua kata,

    suara dan ucapan, karena tanpa ketiganya akau bisa bertemu dengan-Mu”.

    59 Ir. Agus Mustofa, op. cit., hlm.167-168

  • 61

    Abu Yazid pernah berucap, “manusia taubat dari dosa-dosa mereka, tetapi aku

    taubat dari ucapanku ‘Tiada Tuhan selain Allah’, Karena dalam hal ini aku

    memakai alat dan huruf, sedangkan Tuhan tidak dapat dijangkau dengan huruf

    dan alat”.

    Pada kenyataanya, dzikir adalah sebuah cara untuk mempercepat

    proses menghilangkan kualitas-kualitas rendah manusia dan menggantikannya

    dengan kualitas-kualitas ketuhanan, berakhlaq dengan akhlaq Tuhan, dan

    akhirnya menghapuskan ego individual sedemikian rupa sehingga tidak tersisa

    lagi jejah “aku”. Inilah akhir jalan thariqah dan mulainya samudra ketiadaan

    atau fana’.60

    Selain shalat amalan yang paling baik untuk mencapai martabat

    kedekatan dan ‘taqarrub’ dengan Allah itu ialah dengan tafakur atau meditasi

    secara ahli sufi. Amalan ini jarang-jarang diamalkan oleh orang-orang biasa

    karena mereka umumnya belum mengenali hakikat Zat Allah, padahal

    mengenali Zat Allah itu adalah wajib bagi semua orang yang mengaku

    beriman kepada Allah.

    Nabi pernah bersabda yang maksudnya: “Tafakur itu lebih baik dari

    setahun ibadah”. Baginda juga berkata: “Tafakur sesaat itu lebih baik dari 70

    tahun ibadah”. Baginda juga berkata: “Tafakur sesaat itu lebih baik dari seribu

    tahun ibadah”. Ada tiga perkara tentang tafakur atau meditasi ini:

    Pertama: Barang siapa bertafakur tentang sesuatu hal dan menyelidiki

    sebabnya, ia akan mendapatkan setiap bagian dari hal itu mempunyai banyak

    bagiannya yang lain pula, dan setiap bagian itu menerbitkan banyak lagi hal-

    hal yang lain. Inilah tafakur yang nilainya setahun ibadah.

    Kedua: Barang siapa bertafakur tentang ibadahnya dan mencari

    sebabnya dan mengenal sebab itu, maka tafakurnya itu bernilai 70 tahun

    ibadah.

    60 Prof. Dr. Nurcholish Madjid, dkk., Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMaN dan Hikmah, 2002), hlm. 17

  • 62

    Ketiga: Barang siapa yang tafakur tentang mengenal Allah dengan

    azam yang kuat untuk mengenal-Nya, maka tafakurnya itu bernilai 1000

    tahun ibadah. Inilah ilmu yang hakiki yakni suatu keadaan kesadaran atau

    perasaan tentang keesaan (tauhid) di mana terasa diri ini ‘berpadu’ dan

    ‘taqarrub’ dengan Allah SWT dari alam kebendaan terbang dengan sayap

    keruhanian ke alam tinggi, yaitu alam kesadaran rasa ‘berpadu’ dengan Yang

    Maha Esa.61

    Dengan demikian pengalaman empirik spiritual tidak terbatas pada

    taraf lahiriah saja, tetapi menangkap makna yang terkandung di dalamnya.

    Oleh sebab itu kehidupan sufi adalah kehidupan sarat makna. Kehidupan yang

    terkadang dapat dinikmati melalui sebuah aransemen musik atau kisah cinta

    sejati atau dalam keindahan sebuah lukisan dan fenomena alam atau pun

    dalam sikap kepahlawanan. Dengan kata lain, pengetahuan indrawi dengan

    pola pengenalan ta’rief bukan semata-mata capaian data indrawi melainkan

    pencerahan intelektual yang menangkap hakekat transendental yang terdapat

    pada setiap fakta empirik. Hal ini dimungkinkan oleh karena kesadaran

    monorealitas memfokuskan realitas sejati pada wahyu yang menimbulkan

    getaran-getaran psikologis pada setiap struktur jiwa sehingga seseorang dapat

    menemukan jati dirinya dalam rangka membentuk integritas pribadi yang

    utuh.62

    61 Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani, Rahasia Sufi, terj. Abdul Majid Hj. Khatib, (Yogyakarta:

    Pustaka Sufi, 2002), hlm. 21-22 62 Prof. Dr. Nurcholish Madjid, dkk., op. cit., hlm. 146