BAB III
-
Upload
dedypurnama -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
description
Transcript of BAB III
-
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Gawat janin
3.1.1 Definisi
Gawat janin adalah suatu keadaan dimana terdapat hipoksia pada janin (kadar
oksigen yang rendah dalam darah). Keadaan tersebut dapat terjadi baik pada
antepartum maupun intrapartum.3
3.1.2 Patofisiologi
Ada beberapa patofisiologi yang mendasari gawat janin:
1. Dahulu janin dianggap mempunyai tegangan oksigen yang lebih rendah
karena janin dianggap hidup di lingkungan hipoksia dan asidosis yang kronik,
tetapi sebenarnya janin hidup dalam lingkungan yang sesuai dan konsumsi
oksigen per gram berat badan sama dengan orang dewasa, kecuali bila janin
mengalami stress.
2. Afinitas terhadap oksigen, kadar hemoglobin, dan kapasitas angkut oksigen
pada janin lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa. Demikian juga
halnya dengan curah jantung dan kecepatan arus darah lebih besar daripada
orang dewasa. Dengan demikian penyaluran oksigen melalui plasenta kepada
janin dan jaringan perifer dapat terselenggara dengan relatif baik. Sebagai
hasil metabolisme oksigen akan terbentuk asam piruvat, sementara CO2 dan
air diekskresi melalui plasenta. Bila plasenta mengalami penurunan fungsi
akibat dari perfusi ruang intervilli yang berkurang, maka penyaluran oksigen
dan ekskresi CO2 akan terganggu yang berakibat penurunan pH atau
timbulnya asidosis. Hipoksia yang berlangsung lama menyebabkan janin
harus mengolah glukosa menjadi energi melalui reaksi anaerobik yang tidak
efisien, bahkan menimbulkan asam organik yang menambah asidosis
-
16
metabolik. Pada umumnya asidosis janin disebabkan oleh gangguan arus
darah uterus atau arus darah tali pusat.
3. Bradikardi janin tidak harus berarti merupakan indikasi kerusakan jaringan
akibat hipoksia, karena janin mempunyai kemampuan redistribusi darah bila
terjadi hipoksia, sehingga jaringan vital ( otak dan jantung) akan menerima
penyaluran darah yang lebih banyak dibandingkan jaringan perifer.
Bradikardia mungkin merupakan mekanisme perlindungan agar jantung
bekerja lebih efisien sebagai akibat hipoksia.3
3.1.3 Etiologi
Gawat janin dapat disebabkan oleh bermacam-macam hal. Beberapa penyebab
yang umum dan sering terjadi:
- Kontraksi
Pengencangan otot uterus secara involunter untuk melahirkan bayi. Kontraksi
secara langsung mengurangi aliran darah ke plasenta dan dapat mengkompresi
tali pusat sehingga penyaluran nutrisi terganggu. Hal ini dapat terjadi pada
keadaan:
o persalinan yang lama ( kala II lama)
o penggunaan oksitosin
o uterus yang hipertonik ( otot-otot menjadi terlalu tegang dan tidak
dapat berkontraksi ritmis dengan benar)
- Infeksi
- Perdarahan
- Abrupsi plasenta
Plasenta terlalu dini memisahkan diri dari fetus
- Tali pusat prolaps
- Hipotensi
Bila tekanan darah ibu menurun selama persalinan, jumlah aliran darah ke
fetus akan berkurang. Hipotensi dapat disebabkan oleh:
o anestesi epidural
-
17
o posisi supine
Hal tersebut terjadi karena adanya pengurangan jumlah aliran darah dari vena
cava ke jantung
- Masalah pernafasan janin
- Posisi dan presentasi abnormal dari fetus
- Kelahiran multipel
- Kehamilan prematur atau postmatur
- Distosia bahu
Penyebab yang paling utama dari gawat janin dalam masa antepartum adalah
insufisiensi uteroplasental. Faktor yang menyebabkan gawat janin dalam persalinan/
intrapartum adalah kompleks, contohnya seperti: penyakit vaskular uteroplasental,
perfusi uterus yang berkurang, sepsis pada janin, pengurangan cadangan janin, dan
kompresi tali pusat. Pengurangan jumlah cairan ketuban, hipovolemia ibu dan
pertumbuhan janin terhambat diketahui mempunyai peranan.4
3.1.4 Faktor Resiko
Ada beberapa faktor resiko yang diduga berhubungan dengan kejadian gawat
janin:5
- Wanita hamil usia > 35 tahun
- Wanita dengan riwayat:
o Bayi lahir mati
o Pertumbuhan janin terhambat
o Oligohidramnion atau polihidramnion
o Kehamilan ganda/ gemelli
o Sensitasi rhesus
o Hipertensi
o Diabetes dan penyakit-penyakit kronis lainnya
o Berkurangnya gerakan janin
o Kehamilan serotinus
-
18
3.1.5 Tanda dan Gejala
Gejala yang dirasakan oleh ibu adalah berkurangnya gerakan janin. Ibu dapat
melakukan deteksi dini dari gawat janin ini, dengan cara menghitung jumlah
tendangan janin/ kick count. Janin harus bergerak minimal 10 gerakan dari saat
makan pagi sampai dengan makan siang. Bila jumlah minimal sebanyak 10 gerakan
janin sudah tercapai, ibu tidak harus menghitung lagi sampai hari berikutnya. Hal ini
dapat dilakukan oleh semua ibu hamil, tapi penghitungan gerakan ini terutama
diminta untuk dilakukan oleh ibu yang beresiko terhadap gawat janin atau ibu yang
mengeluh terdapat pengurangan gerakan janin. Bila ternyata tidak tercapai jumlah
minimal sebanyak 10 gerakan maka ibu akan diminta untuk segera datang ke RS atau
pusat kesehatan terdekat untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.6
Tanda-tanda gawat janin:4,5
Mekonium kental berwarna hijau terdapat di cairan ketuban pada letak kepala
Takikardi/ bradikardi/ iregularitas dari denyut jantung janin
Untuk mengetahui adanya tanda-tanda seperti di atas dilakukan pemantauan
menggunakan kardiotokografi
Asidosis janin
Diperiksa dengan cara mengambil sampel darah janin.
1. Mekonium
Adanya mekonium saja tidak mampu untuk menegakkan suatu diagnosis
gawat janin. Mekonium adalah cairan berwarna hijau tua yang secara normal
dikeluarkan oleh bayi baru lahir mengandung mukus, empedu, dan sel-sel epitel.
Bagaimanapun, dalam beberapa hal, mekonium dikeluarkan dalam uterus mewarnai
cairan ketuban. Adanya mekonium pada cairan amnion lebih sering terlihat saat janin
mencapai maturitas dan dengan sendirinya bukan merupakan tanda-tanda gawat janin.
Mekonium dapat mewarnai cairan ketuban dalam beberapa tingkat, mulai dari
mewarnai ringan sampai dengan berat. Adanya mekonium dianggap signifikan bila
berwarna hijau tua kehitaman dan kental. Mekonium kental merupakan tanda
-
19
pengeluaran mekonium pada cairan amnion yang berkurang dan merupakan indikasi
perlunya persalinan yang lebih cepat dan penanganan mekonium pada saluran napas
atau neonatus untuk mencegah aspirasi mekonium. Pada presentasi sungsang,
mekonium dikeluarkan pada saat persalinan akibat kompresi abdomen janin pada
persalinan. Hal ini bukan merupakan tanda kegawatan kecuali jika hal ini terjadi pada
awal persalinan/ saat bokong masih tinggi letaknya.7
Pada tahun 1903, J. Whitridge Williams mengamati dan menganggap keluarnya
cairan mekonium sebagai relaksasi otot sfingter ani diakibatkan aerasi yang kurang
dari darah janin. Para ahli obstetri sudah lama menyadari bahwa deteksi mekonium
dalam persalinan merupakan suatu hal yang problematis dalam memprediksi gawat
janin atau asfiksia.8
Terdapat 3 teori yang telah diajukan untuk menjelaskan tentang keluarnya
mekonium:8
- Janin mengeluarkan mekonium sebagai respons terhadap hipoksia, dan
mekonium merupakan hasil dari suatu usaha janin untuk mengkompensasi.
- Mekonium merupakan tanda maturasi yang normal dari traktus
gastrointestinal di bawah pengaruh persarafan yang mempersarafinya
- Mekonium dapat keluar sebagai stimulasi vagal dari terjepitnya tali pusat dan
gerakan peristalsis yang meningkat
Komponen mekonium seperti garam empedu dan enzim-enzim yang
terkandung di dalamnya dapat menyebablan komplikasi serius bila terinhalasi atau
teraspirasi oleh janin, dapat mengakibatkan sindrom aspirasi mekonium yang dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas, kehilangan surfaktan paru, pneumonitis kimia.
Mekonium dalam cairan ketuban terdapat pada 13 % kelahiran hidup, kurang dari
5 % persalinan di bawah 37 minggu, 30 % pada bayi > 42 minggu. Faktor resikonya
meliputi: insufisiensi plasenta, hipertensi ibu dan pre-eklamsi, oligohidroamnion, ibu
perokok, penggunaan obat-obatan terlarang. (internet) Ramin dkk. mempunyai
hipotesis bahwa patofisiologi sindrom aspirasi mekonium termasuk hiperkapnia janin,
yang menstimulasi respirasi janin mengakibatkan aspirasi mekonium ke dalam
-
20
alveoli, dan trauma parenkim paru sekunder dari kerusakan sel alveolar karena
asidemia.7
Kesimpulannya, insidensi tinggi dari mekonium pada cairan amnion selama
persalinan seringnya merupakan proses fisiologis yang normal. Meskipun normal,
mekonium dapat menjadi berbahaya bila asidemia janin. Bukti-bukti menunjukkan
bahwa banyak bayi dengan sindrom aspirasi mekonium ternyata menderita hiposia
kronis sebelumnya/ saat dilahirkan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kadar
eritropoetin janin dan penghitungan eritrosit.8
2. Kardiotokografi
Kardiotokografi adalah alat elektronik yang digunakan untuk tujuan
memantau atau mendeteksi adanya gangguan yang berkaitan dengan hipoksia janin
dalam rahim, seberapa jauh gangguan tersebut dan menetukan tindak lanjut dari hasil
pemantauan tersebut. Pemantauan dilakukan melalui penilaian pola denyut jantung
janin dalam hubungan dengan adanya kontraksi ataupun aktivitas janin dalam rahim
Kardiotokografi merupakan suatu metode pemeriksaan yang telah ditetapkan sebagai
suatu pemeriksaan standar rutin untuk menentukan kesejahteraan janin. Meskipun
pemeriksaan kardiotokografi menunjukkan hasil dengan tingkat positif palsu yang
tinggi, yaitu sekitar 64 % dan evaluasinya juga sangat subyektif, tetapi saat ini tetap
menjadi metode penapisan diagnosis hipoksia akut pada janin, karena tidak ada cara
pemeriksaan lain yang lebih obyektif dan non invasif.9
Gambar 1. Kardiotokograf9
Pemantauan dapat dilakukan dengan 2 cara:
-
21
Pengukuran eksternal
Dengan menggunakan alat yang dipasang pada dinding perut ibu, terdapat 2
elektroda: elektroda jantung yang ditempatkan tepat di tempat terdengarnya
denyut jantung janin dan elektroda kontraksi yang ditempatkan untuk
mengukur tegangan dinding perut, yang merupakan cara pengukuran tekanan
intra uterus secara tidak langsung. Ketua elektroda dipasang dengan
menggunakan suatu sabuk, untuk mendapatkan hasil yang maksimal,
sebelumnya digunakan jeli dengan tujuan menghilangkan pengaruh udara. Cara
pengukuran ini harus lebih cermat, karena dapat dikacaukan oleh denyut aorta
ibu. Cara eksternal lebih populer karena bisa dilakukan selama antenatal
maupun intranatal, praktis, aman ( mencegah terjadinya ruptur membran dan
invasi uterus), dengan nilai prediksi positif yang kurang lebih sama dengan cara
internal yang lebih invasif.8
Gambar 2. Skema penggunaan elektroda untuk memantau denyut jantung
janin. Denyut aorta ibu juga dapat terdeteksi dan terhitung.8
-
22
Gambar 3. Gambaran denyut jantung janin yang diukur dengan elektroda
yang ditempatkan di kulit kepala janin, dan dicatat pada kecepatan kertas
1 cm/ menit dan 3 cm/ menit.8
Pengukuran internal
Cara ini lebih invasif, alat pemantau dimasukkan ke dalam rongga rahim ibu
dan membutuhkan dilatasi serviks, dan memasukkan kateter bertekanan serta
menempelkan elektroda spiral ke kulit kepala janin. Elektroda bipolar
diletakkan pada kulit janin bagian terdepan secara langsung. Pengukuran
internal lebih tepat dan mungkin lebih dipilih pada keadaan tertentu dimana
diperkirakan akan terjadi persalinan yang terkomplikasi.8
-
23
Gambar 4. Gambaran skematik pemantauan internal dimana elektroda
bipolar terpasang pada kulit kepala janin, untuk mendeteksi kompleks
QRS ( F), juga menunjukkan denyut jantung ibu ( M)8
-
24
Gambar 5. Pemantauan Janin Memakai Kardiotokografi10
A. Uji Tanpa Beban / Non Stress Test ( NST)
NST adalah pemeriksaan kesehatan janin dengan menggunakan
kardiotokografi pada umur kehamilan 32 minggu. Menurut American
Pregnancy Association, NST dilakukan pada umur kehamilan lebih atau sama
dengan 28 minggu. Sebelum usia 28 minggu, janin belum cukup berkembang
untuk memberikan respons terhadap tes. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
Gawat janin berat
Pemantauan dilanjutkan
Tindakan
Gawat janin ringan
Seksio sesarea
Pasien Klinis Risti
NST
Reaktif Mencurigakan
Nonreaktif
OCT
Negatif Mencurigakan Positif
Ulangi esok hari
Admission Test
Mencurigakan Reaktif
Pantau dengan KTG tiap 2 jam
-
25
maksud menilai kesehatan janin melalui hubungan perubahan denyut jantung
janin dengan gerakan janin yang dirasakan oleh ibu
Persiapan uji tanpa beban:
Ibu hamil telah makan 1- 2 jam sebelum prosedur dilakukan
Ibu tidak sedang memakai obat-obatan sedativa
Kandung kemih dikosongkan
Informed consent
Indikasi:
Semua kondisi yang dapat menyebabkan janin lahir dalam keadaan buruk,
antara lain:
Kondisi ibu:
Hipertensi kronis
Diabetes mellitus
Anemia berat ( Hb < 8 gr % atau Ht < 26 %)
Penyakit vaskuler kolagen
Gangguan fungsi ginjal
Penyakit jantung
Pneumonia dan penyakit paru-paru berat
Penyakit dengan kejang
Kondisi janin:
Pertumbuhan janin terhambat
Kelainan kongenital minor
Aritmia jantung
Isoimunisasi
Infeksi janin
Pernah mengalami kematian janin dalam rahim yang tidak diketahui
penyebabnya
Kondisi yang berhubungan dengan kehamilan:
-
26
Kehamilan multipel
Ketuban pecah pada kehamilan kurang bulan
Polihidramnion
Oligohidramnion
Plasentasi abnormal
Solusio plasenta
Kehamilan lewat waktu
Prosedur:
Pasien ditidurkan secara santai semi Fowler, 45o miring ke ke kiri
Tekanan darah diukur tiap 10 menit
Dipasang kardiotokografi
Pada i;bu diberikan tombol penanda yang harus ditekan apabila ibu
merasakan gerak janin
Frekuensi denyut jantung janin dicatat selama 10 menit pertama untuk
mendapat data dasar denyut jantung janin
Pemantauan tidak boleh kurang dari 20 menit. Apabila pada 20 menit
pertama didapatkan hasil non reaktif, lanjutkan pemantauan 20 menit
lagi. Pastikan bahwa tidak ada hal-hal yang mempengaruhi hasil
pemantauan apabila hasilnya tetap nonreaktif
Pemeriksaan NST ulangan dilakukan berdasarkan pertimbangan hasil
NST secara individual
Komplikasi: supine hypotension
Hasil reaktif, bila:
Denyut jantung janin basal antara 120-160 kali permenit
Variabilitas denyut jantung janin 6 -25 permenit
Ada gerakan janin, terutama gerakan multipel dan berjumlah 5
gerakan atau lebih dalam pemantauan 20 menit, dengan kenaikan
minimal 15 dpm selama minimal 15 detik
Hasil tidak reaktif, bila:
-
27
Denyut jantung janin basal antara 120-160 kali permenit
Variabilitas kurang dari 6 denyut/ menit
Gerak janin tidak ada atau kurang dari 5 gerakan dalam 20 menit
Tidak ada akselerasi denyut jantung janin meskipun diberikan
rangsang dari luar
Ada juga hasil yang meragukan ( non reassuring), keadaan ini
interpretasinya sukar, dapat disebabkan oleh pemakaian obat yang
mendepresi susunan saraf pusat. Pada keadaan hasil yang meragukan
dimana pasien sudah dipastikan tidak sedang dalam pengaruh obat,
dianjurkan agar NST diulang keesokan harinya. Bila reaktivitas tidak
membaik, dilakukan pemeriksaan uji beban kontraksi ( OCT)
Deselerasi variabel dapat terdeteksi selama pemantauan. Apabila tidak
berulang dan lamanya tidak lebih dari 30 menit, biasanya tidak
menunjukkan keadaan janin yang buruk dan tidak memerlukan intervensi
obstetri. Deselerasi lambat yang berlangsung lebih dari 1 menit pada
pemeriksaan NST biasanya berhubungan dengan keadaan janin yang
buruk.10
B. Uji Beban Kontraksi ( Contraction Stress Test/ CST) atau Uji Dengan
Oksitosin ( Oxytocin Challenge Test/ OCT)
CST/ OCT adalah pemeriksaan kesehatan janin dengan menggunakan
kardiotokografi yang menilai perubahan denyut jantung janin pada saat
kontraksi rahim. Tujuan dilakukannya tes ini adalah untuk memantau kondisi
janin pada kehamilan usia lanjut sebelum janin dilahirkan, menilai apakah
janin sanggup mentolerir beban persalinan normal serta menilai fungsi
plasenta.
Indikasi:
Bila terdapat dugaan insufisiensi plasenta:
Uji beban yang tidak reaktif
Diabetes mellitus
Preeklamsia
-
28
Hipertensi kronis
Pertumbuhan Janin Terhambat
Kehamilan lewat waktu
Pernah mengalami lahir mati
Ketagihan narkotika
Hemoglobinopati akibat sel sickle
Penyakit paru kronis
Gangguan fungsi ginjal
Kontraindikasi:
Luka parut pada rahim
Kehamilan ganda sebelum 37 minggu
Ketuban pecah sebelum 37 minggu
Risiko tinggi untuk persalinan kurang bulan
Perdarahan antepartum
Serviks inkompeten atau paska operasi serviks
Kelainan bawaan atau cacat janin berat
Indikasi untuk seksio sesarea
Komplikasi: persalinan kurang bulan
Prosedur:
a. Pasien ditidurkan secara semi Fowler dan miring kiri
b. Tekanan darah diukur setiap 10 -15 menit, dicatat di kertas monitor
c. Kardiotokografi dipasang
d. Selama 10 menit pertama dicatat data dasar
e. Pemberian tetes oksitosin untuk mengusahakan terbentuknya 3
kontraksi rahim dalam 10 menit. Bila telah ada kontraksi uterus
spontan tapi kontraksi < 3 kali/ 10 menit, tetesan dimulai dengan 0.5
mU/ menit. Bila belum ada kontraksi rahim, tetesan dimulai dengan 1
mU/ menit ( 20 tetes/ menit). Bila kontraksi yang diinginkan belum
-
29
tercapai, setiap 15 menit tetesan dinaikkan 5 tetes/ menit, sampai
maksimal 60 tetes/ menit
Tetesan oksitosin dihentikan bila:
Lima kontraksi atau lebih dalam 10 menit
Dalam 10 menit terjadi 3 kontraksi yang lamanya lebih dari 50-60
detik
Kontraksi uterus hipertonus
Deselerasi yang memanjang
Terjadi deselerasi lambat yang terus-menerus
Selama 1 jam pemantauan, hasilnya tetap mencurigakan
Interpretasi hasil:
Negatif
Tidak terjadi deselerasi lambat atau deselerasi variabel yang nyata
Denyut jantung janin normal, variabilitas 6-25 dpm
Bila hasil OCT negatif, maka kehamilan dapat diteruskan sampai 7 hari lagi,
selanjutnya dilakukan OCT ulangan, atau diartikan bahwa janin dapat mentolerir
beban persalinan normal.
Positif
Terjadi deselerasi lambat yang menetap pada sebagian besar kontraksi rahim,
meskipun tidak selalu disertai dengan variabilitas yang menurun dan tidak ada
akselerasi pada gerakan janin
OCT positif menunjukkan adanya insufisiensi uteroplasenta. Kehamilan harus segera
diakhiri, kecuali bila paru-paru belum matang
Mencurigakan
Terjadi deselerasi lambat yang tidak menetap, atau deselerasi variabel yang
terus-menerus
Deselerasi lambat terjadi hanya bila ada kontraksi rahim hipertonus
Bila dalam 10 menit meragukan ke arah positif atau negatif
Adanya takikardi
-
30
Bila hasilnya mencurigakan, maka harus dilakukan pemeriksaan ulang 1-2 hari
kemudian
Tidak memuaskan
Kontraksi rahim kurang dari 3 kali dalam 10 menit
Pencatatan tidak baik, terutama pada akhir kontraksi
Bila demikian, pemeriksaan harus diulang pada hari berikutnya
Hiperstimulasi
Terjadi 5 atau lebih kontraksi rahim dalam 10 menit
Lama kontraksi 90 detik atau lebih
Tonus basal uterus meningkat ( > 20 mmHg)
Bila demikian, tetesan oksitosin harus dikurangi atau dihentikan10
Gambar 6. Hasil yang menunjukkan baseline rate normal:9
Seiring dengan maturasi janin, denyut jantung menurun. Penurunan denyut jantung
janin berkisar antara 1 denyut/ menit per minggu atau 24 denyut/ menit dari antara
usia 16 minggu sampai dengan aterm. Hal ini disebabkan karena respons terhadap
maturasi pusat pengaturan parasimpatis ( vagal) jantung. Denyut jantung normal
adalah antara 110 160 denyut/ menit. Denyut jantung diatur oleh keseimbangan
antara pusat akselerator ( saraf simpatis) dan deselerator ( saraf vagal parasimpatis)
pada sel pacemaker, selain itu juga dipengaruhi oleh kemoreseptor kimia yang dapat
mendeteksi adanya hipoksia dan hiperkapnia.
-
31
Gambar 7. Hasil yang menunjukkan adanya bradikardi:9
Denyut jantung janin dikatakan bradikardi bila baseline heart rate kurang dari 110
dpm. Jika antara 110 dan 100 dikatakan mencurigakan, sementara di bawah 100
dikatakan patologis. Penurunan bertahap yang terus-menerus adalah suatu tanda
gawat janin.
Gambar 8. Hasil yang menunjukkan gambaran takikardi9
Suatu gambaran dikatakan mencurigakan takikardi bila denyut jantung janin berkisar
antara 150 dan 170 sementara bentuk yang patologis adalah bila denyut jantung janin
di atas 170. Takikardi dapat merupakan suatu tanda dari infeksi janin atau demam dan
juga gawat janin. Sebab yang paling sering terjadi adalah karena demam pada ibu
-
32
yang disebabkan oleh amnionitis, meskipun demam yang disebabkan oleh apapun
dapat meningkatkan denyut jantung. Takikardi yang disebabkan oleh infeksi ibu
biasanya tidak berhubungan dengan kompensasi janin kecuali terdapat perubahan
denyut jantung periodik atau sepsis janin. Penyebab lain dari takikardi janin termasuk
kompensasi janin, aritmia jantung, pemberian obat-obatan parasimpatetik ( atropin)
atau simpatomimetik ( terbutalin).Anestesi epidural juga dapat menyebabkan
takikardi pada janin. Cara untuk membedakan antara kompensasi janin dengan
takikardi adalah dengan deselerasi denyut jantung yang menyertai. Penghilangan hal-
hal yang membuat janin harus mengkompensasi, seperti pemulihan hipotensi ibu
yang disebabkan analgesia epidural dapat menyebabkan pemulihan keadaan janin
juga.8
Gambar 9. Gambaran variabilitas8
-
33
1. Tidak tampak adanya variabilitas
2. Variabilitas minimal 5 denyut/ menit
3. Variabilitas moderat ( normal) 6-25 denyut/ menit
4. Bermakna, variabilitas 25 denyut/ menit
-
34
5. Pola sinusoidal
Gambar 10. Gambaran bermacam-macam tingkat variabilitas8
Variabilitas adalah penanda penting dari fungsi kardiovaskuler dan diatur oleh sistem
saraf otonom, yaitu sistem saraf simpatis dan parasimpatis, diperantarai oleh nodus
sinoartrial, yang menghasilkan osilasi denyut ke denyut dari denyut jantung dasar/
baseline. Iregularitas denyut jantung tersebut didefinisikan sebagai variabilitas.
Variabilitas dibagi menjadi variabilitas dini dan variabilitas lanjut.
Variabilitas dini : bila perubahan instan denyut jantung terjadi dari denyut
jantung
satu langsung ke denyut jantung atau gelombang R berikutnya
Variabilitas ini adalah interval waktu antara sistole jantung
Variabilitas lanjut : bila perubahan denyut jantung terjadi dalam waktu 1 menit.
Normal bila terdapat 3-5 perubahan dalam 1 menit
Variabilitas ini normal terdapat dengan batasan 6 25 denyut/ menit. Tidak adanya
variabilitas biasanya berhubungan dengan asidemia metabolik yang mendepresi
batang otak janin atau jantung itu sendiri.
Penyebab yang sering menyebabkan tidak adanya variabilitas adalah penggunaan
obat-obat analgesia, dan obat-obat yang mendepresi susunan saraf pusat ( narkotik,
barbiturat, fenotiazin, obat penenang).8
-
35
Gambar 10. Gambaran variabilitas yang menurun ( < 10 dpm):9
Variabilitas normal seharusnya di antara 10 sampai dengan 15 dpm ( kecuali selama
janin tertidur yang seharusnya tidak lebih lama dari 60 menit).
Gambar 10. Gambaran akselerasi pada respons terhadap stimulus9
Gambaran di atas menunjukkan peningkatan transien dari denyut jantung yang lebih
besar dari 15 dpm untuk sekurangnya dari 15 detik. Dua akselerasi dalam 20 menit
dianggap hasil reaktif. Akselerasi adalah pertanda baik karena menunjukkan bahwa
janin responsif dan mekanisme pengontrolan jantungnya baik.
-
36
-
37
Gambar 11. Gambaran deselerasi awal, lambat dan variabel9
Deselerasi dapat normal atau patologis. Deselerasi awal timbul bersamaan dengan
kontraksi uterus dan biasanya berhubungan dengan dengan kompresi kepala janin,
oleh karena itu timbul pada persalinan seiring dengan turunnya kepala.
Deselerasi lambat bila deselerasi persisten setelah kontraksi selesai, hal ini mengarah
pada keadaan gawat janin. Deselerasi dikatakan variabel bila bervariasi dengan waktu
dan bentuk antara satu sama lain, gambaran ini mengarah pada keadaan hipoksia atau
kompresi tali pusat.
Tabel 2. Klasifikasi gambaran dari kardiotokografi11
Denyut
jantung
Variabilitas Deselerasi Aselerasi
Pasti normal 110-160 5 Tidak ada Ada
Tidak pasti 100-109 atau
161-180
< 5 untuk 40
menit tapi < 90
menit
Deselerasi
awal atau
deselerasi
variabel atau
Tidak ada
akselerasi pada
gambaran
normal atau
-
38
satu deselerasi
yang lama 3
menit
meragukan
Abnormal < 100 atau
> 180 atau
Bentuk
sinusoid
selama 10
menit
< 5 selama
90 menit
Deselerasi
variabel atipik
atau deselerasi
lanjut atau satu
deselerasi
lama > 3 menit
Tidak ada
akselerasi pada
gambaran
normal atau
meragukan
- Normal bila 4 di atas termasuk dalam golongan pasti normal
- Mencurigakan bila ada 1 golongan tidak pasti
- Tidak normal bila 2 golongan tidak pasti atau 1 tidak normal
3. Pengambilan sampel darah janin
Sesuai dengan American College Of Obstetricians and Gynecologists,
pengukuran pH pada darah kapiler kulit kepala dapat membantu untuk
mengidentifikasi keadaan gawat janin. Prosedur ini memang jarang dilakukan, tetapi
merupakan pemeriksaan penyerta untuk menegakkan diagnosis gawat janin pada hasil
NST yang meragukan.8
Pengambilan darah janin harus dilakukan di luar his dan sebaiknya ibu dalam
posisi tidur miring.
Pemeriksaan darah janin ini dilakukan bila terdapat indikasi sebagai berikut:
o Deselerasi lambat berulang
o Deselerasi variabel memanjang
o Mekonium pada presentasi kepala
o Hipertensi ibu
o Osilasi/ variabilitas yang menyempit
Kontraindikasi:
o Gangguan pembekuan darah janin
o Presentasi fetus yang tidak dapat dicapai
-
39
o Infeksi pada ibu
Syarat:
o Pembukaan lebih dari 2 cm
o Ketuban sudah pecah
o Kepala sudah turun hingga dasar pelvis
Cara pengambilan sampel darah:12
1. Masukkan amnioskopi melalui serviks yang sudah didilatasi setelah ruptur
membran
2. Oleskan lapisan jel silikon untuk mendapatkan tetesan darah pada tempat
insisi
3. Buat insisi tak lebih dari 2 cm dengan pisau tipis
4. Aspirasi darah dengan tabung kapiler yang telah diberi heparin
5. Periksa pH darah
6. Setelah insisi, hentikan perdarahan
-
40
Gambar 12. Teknik pengambilan sampel darah dari kulit kepala janin
menggunakan amnioskopi8
Tabel 3. Interpretasi dari sampel pH darah janin berdasarkan pedoman
RCOG dan NICE yang terbaru:11
Hasil sampel pH darah janin Tindakan
7.25 Ulangi pengambilan sampel darah jika
abnormalitas denyut jantung janin
persisten
7.21 7.24 Ulangi pengambilan sampel darah dalam
30 menit atau pertimbangkan terminasi
-
41
kehamilan jika terjadi penurunan pH
yang cepat dibandingkan sampel yang
terakhir
7.20 Indikasi terminasi kehamilan
Semua perkiraan hasil sampel tersebut harus diinterpretasi bersama dengan hasil
pengukuran pH terdahulu, tingkat kemajuan dalam persalinan dan gambaran
klinis ibu dan janin.
Dalam interpretasi, dapat terjadi hasil yang abnormal atau normal palsu.
Keadaan-keadaan yang menyebabkan terjadinya hasil abnormal palsu:
Asidosis ibu
Respons susunan saraf pusat janin terhadap asidosis
Kontaminasi sampel darah
Sampel darah terlalu lama didiamkan sebelum dianalisis
Keadaan-keadaan yang menyebabkan terjadinya hasil normal palsu:
Narkose
Infeksi
Asfiksia saat pengambilan sampel
Prematuritas
Obstruksi jalan nafas neonatal
Trauma persalinan
Anomali kongenital
Recovery incomplete asphyxia
Komplikasi yang dapat terjadi dari tindakan pemeriksaan:
Perdarahan
Insisi terlalu dalam
Infeksi
4. Profil Biofisik
Konsep dasar dari profil biofisik adalah penilaian beberapa variabel dari
kegiatan biofisik fetus yang lebih sensitif dan lebih dapat diandalkan daripada
-
42
pemeriksaan satu parameter saja. Pemantauan kegiatan biofisik fetus, memainkan
peranan dalam mengidentifikasi janin yang mengalami asfiksia.
Profil biofisik terdiri dari 5 komponen, salah satunya adalah standar tes non stress.
Empat parameter lainnya dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonik.
Adapun komponen profil biofisik meliputi:13
1. Reaksi jantung fetus
2. Pergerakan pernafasan
3. Pergerakan badan
4. Tonus
5. Kedalaman cairan amnion
Setiap komponen diberi nilai 0 sampai dengan 2, sehingga skor total minimal adalah
0 dan maksimal 10.12
Tabel 4. Skor biofisik janin12
Parameter Skor= 2 Skor= 0
NST
Gerakan pernafasan janin
Gerakan janin
Tonus
Reaktif
Sekurang-kurangnya 2
akselerasi dari > 15 dpm,
berlangsung > 15 detik,
berhubungan dengan gerakan
janin dalam periode 20 menit
Paling sedikit satu periode
pernapasan dengan lamanya
60 detik dalam periode
observasi 30 menit
3 atau lebih gerakan badan
dalam waktu 30 menit
Paling sedikit satu gerakan
kaki dari fleksi ke ekstensi
dan kembali lagi
Non reaktif
Tidak ada
Tidak ada
< 3 gerakan
Tidak ada gerakan
-
43
Voume cairan amnion Satu kantong cairan sekurang-
kurangnya 2 cm dalamnya
< 1 cm
Normal : 8 atau 10
Ragu-ragu : 4 atau 6
Abnormal : 0 atau 2
Profil biofisik kurang begitu menyita waktu bila dibandingkan dengan OCT
( Oxytocin Contraction Test), dan ada beberapa peneliti yang menganjurkan
pemeriksaan biofisik sebagai langkah selanjutnya setelah tes non stress dan bukannya
OCT.
Bila tes kedua setelah NST yang non reaktif adalah skor biofisik, maka
pengelolaannya sebagai berikut:
1. Skor 0-2 biasanya merupakan indikasi adanya gangguan terhadap janin dan
cukup alasan untuk melahirkan janin
2. Skor 4-6 setelah NST yang non reaktif, hendaknya tes diulangi atau lakukan
OCT
3. Skor 8 atau lebih setelah NST yang non reaktif menunjukkan janin tersebut
sehat dimana NST dapat diulangi pada interval tertentu.
3.1.6 Tata Laksana
Tabel 4. Kriteria Tata Laksana Untuk Pola Denyut Jantung Janin yang
Meragukan8
Tindakan berikut harus dicatat dalam rekam medis:
1. Reposisi pasien
2. Hentikan stimulansia uterus dan koreksi hiperstimulasi uterus
3. Pemeriksaan vaginal
4. Koreksi hipotensi ibu yang berhubungan dengan anestesi regional
5. Pemberitahuan tenaga anestesi dan perawat untuk kebutuhan persalinan
darurat
-
44
6. Monitor denyut jantung janin dengan monitor janin elektronik atau
auskultasi di ruang operasi sebelum menyiapkan kelahiran per abdominal
7. Adanya tenaga kompeten yang hadir untuk resusitasi dan penanganan
neonatus
8. Pemberian oksigen ke ibu
1. Tokolitik
Injeksi subkutan atau intravena tunggal dari 0.25 mg terbutalin sulfat
diberikan untuk relaksasi uterus telah dijelaskan sebagai tindakan sementara dari
penanganan denyut jantung yang meragukan selama persalinan. Inhibisi kontraksi
uterus dapat meningkatkan oksigenasi janin, dan menghasilkan resusitasi intrauterus.
Cook dan Spinato ( 1994) menjabarkan pengalaman mereka menggunakan tokolitik
terbutalin untuk resusitasi intra uterus pada 368 kehamilan selama 10 tahun.
Resusitasi seperti ini dapat meningkatkan nilai pH darah dari kulit kepala janin, dan
terbukti menolong keadaan seperti disebutkan di atas. Dosis kecil nitrogliserin
intravena ( 60 sampai dengan 180 g) juga dilaporkan dapat memberikan
keuntungan.8
2. Amnioinfusion
Gabbe dkk. melakukan percobaan pada monyet dengan cara mengeluarkan
cairan amnion yang ternyata menghasilkan deselerasi variabel dan penggantian
dengan cairan fisiologis menghilangkan deselerasi tersebut. Miyazaki dan Taylor
( 1983) memasukkan cairan fisiologis melalui kateter bertekanan pada wanita
melahirkan yang mengalami deselerasi variabel atau deselerasi lama berhubungan
dengan terjepitnya tali pusat. Terapi ini terbukti meningkatkan pola denyut jantung
pada setengah dari jumlah sampel yang diteliti.
Berdasarkan laporan-laporan terdahulu, amnioinfusion transvaginal kini digunakan
untuk:
Penanganan deselerasi variabel atau deselerasi lama
Profilaksis kaus-kasus oligohidroamnion, seperti ketuban pecah dini
Usaha untuk mengencerkan atau mencuci mekonium yang kental.
-
45
Protokol pemberiannya sendiri masih belum ada ketentuan baku hingga sekarang.
500 sampai 800 ml bolus cairan fisiologis hangat diikuti dengan infus kontinyu 3 ml
per menit. Pada penelitian lain, Rinehart dkk menyarankan cukup hanya dengan
pemberian 500 ml bolus cairan fisiologis dalam temperatur ruangan, atau 500 ml
bolus ditambah infus kontinyu 3 ml per menit.8
Tabel 4. Komplikasi Amnioinfusion Berdasarkan Survei dari 186 Pusat
Pelayanan Obstetri8
Komplikasi Jumlah laporan ( %)
Hipertonus uterus
Denyut jantung janin abnormal
Amnionitis
Prolaps tali pusat
Ruptur uterus
Kompensasi respiratorius atau jantung
maternal
Abrupsi plasenta
Kematian ibu
27
17 ( 9)
7 ( 4)
5 ( 2)
4 ( 2)
3 ( 2)
2 ( 1)
2 ( 1)
Tata laksana umum untuk keadaan gawat janin:14
Reposisi pasien ke sisi kiri
Hentikan pemberian oksitosin
Identifikasi penyebab maternal ( demam ibu, obat-obatan), dan diterapi sesuai
dengan penyebab
Jika penyebab ibu tidak ada tetapi denyut jantung tetap abnormal minimal 3
kontraksi, lakukan pemeriksaan vaginal
o Perdarahan dengan nyeri konstan atau intermiten, curigai solusio
plasenta
o Tanda infeksi ( demam, sekret vagina berbau), berikan antibiotik
sesuai dengan penatalaksanaan amnionitis
-
46
o Bila tali pusat di bawah bagian yang terendah, atau ada di vagina,
tangani sesuai dengan penanganan tali pusat prolaps
Jika denyut jantung abnormal menetap atau ada tanda tambahan gawat janin,
rencanakan persalinan:
o Jika serviks terdilatasi penuh dan kepala janin tidak lebih dari 1/5 di
atas simfisis pubis atau ujung tulang terendah dari kepala pada stasion
0, lahirkan dengan ekstraksi vakum atau forsep.
o Jika serviks tidak terdilatasi penuh atau kepala janin lebih dari 1/5 di
atas simfisi pubis atau ujung tulang terendah dari kepala di atas stasion
0, lahirkan dengan seksio sesarea.
3.2 Sindroma HELLP
3.2.1 Definisi
Sindroma HELLP adalah pre eklampsia dan eklampsia yang disertai dengan
adanya hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar dan trombositopenia.
(H = Hemolisis; EL = Elevated Liver Enzim; LP = Low Platelets Count).15
3.2.2 Etiologi dan patogenesis sindrom HELLP
Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan
pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan
kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom
ini kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel
mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler akibatnya terjadi vasospasme,
aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel.
Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemia hemolitik mikroangiopati merupakan
tanda khas.15,16
Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang
endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah tepi
ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr cells.15
-
47
Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran
darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis
periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom
subkapsular atau ruptur hati.15
Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang
paling sering ditemukan. Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian
dan/atau destruksi trombosit. 15
Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai suatu variasi dari
disseminated intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai parameter koagulasi
seperti waktu prothrombin (PT), waktu parsial thromboplastin (PTT), dan serum
fibrinogen normal. Secara klinis sulit mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes
antitrombin III, fibrinopeptide-A, fibrin monomer, D-Dimer, 2 antiplasmin,
plasminogen, prekallikrein, dan fibronectin. Namun tes ini memerlukan waktu dan
tidak digunakan secara rutin. Sibai dkk. mendefinisikan DIC dengan adanya
trombositopeni, kadar fibrinogen rendah (fibrinogen plasma < 300 mg/dl) dan
fibrin split product > 40 g/ml2. Semua pasien sindrom HELLP mungkin
mempunyai kelainan dasar koagulopati yang biasanya tidak terdeteksi.15
3.2.3 Diagnosis sindroma HELLP 3 :
1. Tanda dan gejala yang tidak khas : mual, muntah, nyeri kepala,
malaise, kelemahan.
2. Tanda dan gejala pre eklampsia : hipertensi, proteinuria, nyeri
epigastrium, edema, dan kenaikan asam urat.
3. Tanda-tanda hemolisis intravaskuler :
a. Kenaikan LDH, AST dan bilirubin indirek.
b. Penurunan haptoglobin.
c. Apusan darah tepi : fragmentasi eritrosit.
d. Peningkatan urobilinogen dalam urine.
4. Tanda kerusakan / disfungsi sel hepatosit : Kenaikan ALT, AST,
LDH.
-
48
5. Trombositopenia : Trombosit 150.000/ml atau kurang.
3.2.4 Klasifikasi sindroma HELLP :16,17
1. Klasifikasi Missisippi
Kelas I : Trombosit 50.000/ml atau kurang; serum LDH 600.000 IU/l
atau lebih; AST dan/atau ALT 40 IU/l atau lebih.
Kelas II : Trombosit lebih 50.000 sampai 100.000/ml; serum LDH
600.000 IU/l atau lebih; AST dan/atau ALT 40 IU/l atau lebih.
Kelas III : Trombosit lebih 100.000 sampai 150.000/ml; serum LDH
600.000 IU/l atau lebih; AST dan/atau ALT 40 IU/l atau lebih.
2. Klasifikasi Tennesse
Kelas lengkap : Trombosit kurang 100.000/ml; LDH 600.000 IU/l
atau lebih; AST 70 IU/l atau lebih.
Kelas tidak lengkap : Bila ditemukan 1 atau 2 dari tanda-tanda diatas.
3.2.5 Diagnosa banding pre eklampsia-sindroma HELLP :
1. Trombotik angiopati
2. Kelainan konsumtif fibrinogen, misalnya :
- Acute fatty liver of pregnancy.
- Hipovolemia berat / perdarahan berat.
- Sepsis.
3. Kelainan jaringan ikat : SLE.
4. Penyakit ginjal primer.
3.2.6 Penatalaksanaan Sindroma HELLP 17
1. Penilaian dan stabilisasi kondisi ibu :
a. Bila DIC (+), koreksi faktor pembekuan
b. Pemberian profilaksis anti kejang dengan MgSO4
c. Penanganan hipertensi berat
d. Rujuk ke fasilitas kesehatan yang memadai
-
49
e. CT scan dan USG abdomen bila dicurigai adanya hematom hepar
subkapsular
2. Evaluasi kesejahteraan janin:
a. Non Stress Test
b. Profil biofisik
c. Ultrasonografi biometri
3. Evaluasi kematangan paru, jika usia kehamilan < 35 minggu
a. Jika paru telah matang, segera lahirkan
b. Jika paru belum matang, beri kortikosteroid, kemudian lahirkan
Jika usia kehamilan 35 minggu, setelah kondisi ibu stabil, segera lahirkan
Terapi Medikamentosa: 17,18
Mengikuti terapi medikamentosa : preeklampsia dan eklampsia.
Preeklamsia ringan
a. Banyak istirahat (berbaring tidur / mirring).
b. Diet : cukup protein, rendah karbohidraat, lemak dan garam.
c. Sedativa ringan : tablet phenobarbital 3 x 30 mg atau diazepam 3 x 2 mg per
oral, selama 7 hari.
Preeklamsia berat
1) Sikap tehadap penyakit: pengobatan medikamentosa
a. Tirah baring miring ke satu sisi (kiri).
b. Pengelolaan cairan, monitoring input dan output cairan.
c. Pemberian obat antikejang.
Obat anti kejang yang digunakan MgSO4, diazepam, fenitoin. Pemberian
MgSO4 sebagai antikejang lebih efektif dibanding fenitoin. Obat
antikejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium sulfat.
Tujuan utama pemberian magnesium sulfat adalah untuk mencegah dan
-
50
mengurangi terjadinya kejang. Di samping itu juga untuk mengurangi
komplikasi yang terjadi pada ibu dan janin. Cara kerja magnesium sulfat
sampai saat ini tidak seluruhnya diketahui, diduga ia bekerja sebagai N-
methyl D Aspartate (NDMA) reseptor inhibitor, untuk menghambat
masuknya kalsium ke dalam neuron pada sambungan neuro muskuler
(neuro musculer junction) ataupun pada susunan syaraf pusat. Dengan
menurunnya kalsium yang masuk maka penghantaran impuls akan
menurun dan kontraksi otot yang berupa kejang dapat dicegah.
- Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang
pada PE berat dan eklampsia.
- Jika MgSO4 tidak tersedia dapat diberikan diazepam, dengan risiko tterjadinya
depresi pernapasan neonata
- Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah
jantung. Diuretikum yang dipakai adalah furosemid.
- Pemberian antihipertensi
Masih banyak perdebatan tentang penetuan batas (cut off) tekanan darah, untuk
pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang dipakai
adalah 160/110 mmHg dan MAP 126 mmHg. Di RSU Soetomo Surabaya
batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik 180
mmHg dan/atau tekanan diastolik 110 mmHg.
- Antihipertensi lini pertama
Nifedipin; 10 20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit; maksimum 120 mg
dalam 24 jam.
- Antihipertensi lini kedua
Sodium nitroprusside; 0,25 g i.v./kg/menit, infus; ditingkatkan 0,25 g i.v./kg/5
menit.
- Pemberian glukokortikoid
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu.
Diberikan pada kehamilan 32 34 minggu, 2 x 24 jam. Obat ini juga diberikan
pada sindrom HELLP.
-
51
Eklampsia
MgSO4 2 g IV dalam 10 menit, selanjutnya 2 g/jam drip sampai TD stabil
(140 150/90 100 mmHg). Bila belum stabil, obat tetap diberikan
Kejang dosis tambahan MgSO42 g IV minimal 20 menit setelah pemberian
amobarbital 3 5 mg/kgBB IV perlahan ATAU fenobarbital 250 mg IM
ATAU diazepam 10 mg IV.
Bila kontraindikasi MgSO4 :
Diazepam: dosis awal 20 mg IM ATAU 10 mg IV perlahan dalam 1 menit /
lebih. Dosis maintenance dekstrosa 5% 500 ml + 40 mg diazepam 20
tetes/menit, dosis max 2000 ml/24 jam. Pemberian diazepam lebih
disukai pada eklampsia puerperalis karena pada dosis tinggi
menyebabkan hipotonia neonatus.
Fenobarbital: 120 240 mg IV perlahan (60 mg/menit), dosis max 1000 mg.
2. Pemeriksaan laboratorium untuk trombosit dan LDH setiap 12 jam
3. Bila trombosit kurang 50.000/ml atau adanya tanda koagulopati konsumtif maka
harus diperiksa waktu protombin, waktu trombloplastin parsial fibrinogen.
4. Pemberian dexamethasone rescue
a. Antepartum : diberikan double strength dexamethasone (double dose). Jika
didapatkan:
- Trombosit kurang 100.00/cc atau
- Trombosit 100.000-150.000/cc dan dengan eklampsia, hipertensi berat, nyeri
epigastrium, gejala fulminant maka diberikan dexamethasone 10mg IV setiap
12 jam
b. Postpartum : Dexamethasone diberikan 10mg intravena setiap 12 jam 2 kali
lalu diikuti 5mg intravena setiap 12 jam 2 kali.
c. Terapi dexamethason dihentikan bila terjadi:
-
52
- Perbaikan laboratorium : Trombosit lebih 100.00/ml dan penurunan
LDH
- Perbaikan tanda dan gejala klinik preeclampsia eklampsia
5. Dapat dipertimbangkan pemberian transfuse trombosit bila kurang 50.000/cc
dan antioksidan.
Sikap : Pengelolaan obstetrik
Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP ialah aktif yaitu kehamilan diakhiri
(terminasi) tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan dapat dilakukan
pervaginam atau perabdomen.17,18
3.3 Hubungan HELLP Sydrome dengan Fetal distress
Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, Low platelets (HELLP) merupakan
komplikasi dari preeklamsi dan eklapmsi yang berat pada kehamilan yang bisa
menyebabkan janin mengalami hipoksia, dimana terjadinya gangguan peretribusian
aliran darah ke organ dan meningkatkan resistensi pembuluh darah vena janin yang
akan menyebabkan intrauterine growth retardation (IUGR) dan kematian janin.19
Pada
janin yang dengan ibu peeklamsia dengan HELLP syndrome, level Oxidative stress
dan cytokine proinflamatory meningkat, proses ini dapat menyebabkan terjadinya
inaktivasi surfaktan yang mengakibatkan terjadinya respiratory distress syndrome
(RDS) pada janin.20
Invasi Cytotrofoblasts yang terbatas akibat dari gangguan remodeling pada
myometrium dan arteri spiralis sehingga menyebabkan terjadinya perfusi lokal yang
rendah dan hipoksia jaringan, Adanya kegagalan invasi dari trofoblas pada trimester
kedua dalam menginvasi tunika muskularis arteri spiralis, menyebabkan
vasokonstriksi arterial pada bagian uteroplasenta. Kegagalan ini disebabkan oleh
gagalnya sel-sel trofoblas dalam mengekspresikan integrin yang merupakan molekul
pelekat (adhesion molecules) atau kegagalan VEGF (Vascular Endothelial Growth
Factor) dalam mengekspresikan integrin. Keadaan ini menyebabkan penurunan aliran
darah intervilus, hipoksia dan akhirnya terjadi kerusakan sel endotel ibu dan janin.
-
53
Karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen dan
nutrisi ke janin. Akibatnya bervariasi dari gangguan pertumbuhan janin sampai
hipoksia dan kematian janin. 20