BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

12
22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif Failure Mode and Effect Analysis mengedepankan penggunaan analisis penyebab kegagalan dan dampaknya sebagai alat pencegahan dalam mengontrol kualitas proses produksi pada suatu perusahaan. Untuk itu, penerapan pendekatan dengan metode ini memungkinkan untuk mengambil langkah atau tindakan memperbaiki suatu proses pengoperasian manajemen mutu secara sistemik. Failure mode and effect analysis dapat digunakan sebagai dokumen atau record untuk mengidentifikasi sesuatu hal yang berpotensi adanya kesalahan seperti membuat kecacatan atau tidak sesuai spesifikasi yang telah ditentukan dalam proses produksi suatu produk. Berdasarkan hasil yang diteliti terdapat dua jenis failure mode yaitu machining (milling, drilling, theading) memiliki nilai RPN terbesar yaitu 84 sedangkan Washing Processing memiliki nilai RPN sebesar 48. Kecacatan atau failure terbesar diakibatkan seringnya terjadi gesekan antar tools yang menyebabkan keausan pada mesin tersebut sehingga perawatan mesin tersebut dilakukan setelah mesin melakukan proses operasi setiap 1000 pcs (Barosz et al, 2017). Penelitian yang dilakukan Wang et al (2018) bahwa failure mode and effect analisys (FMEA) merupakan salah satu metode analisis risiko yang paling efektif dan telah banyak diadopsi oleh berbagai bidang dalam meningkatkan keamanan dan keandalan sistem. Evaluasi risiko dan penentuan prioritas mode kegagalan merupakan masalah penting dalam pendekatan FMEA dan kemudian dianggap sebagai hambatan dalam menentukan MCDM (multi-criteriadecision) sehingga penerapan metode ini tentu memiliki dampak yang besar untuk memvalidasi efektivitas model perbaikan sistem yang baru berdasarkan faktor faktor resiko yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam menentukan summary (RPN). Hasil penggunaan sistem FMEA dengan MCDM yaitu terdapat 10 kategori failure yang tercatat dan berdasarkan grafik MCDM yang memiliki nilai RPN terbesar dan merupakan kegagalan paling berbahaya yaitu Failure

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Induktif

Failure Mode and Effect Analysis mengedepankan penggunaan analisis penyebab

kegagalan dan dampaknya sebagai alat pencegahan dalam mengontrol kualitas proses

produksi pada suatu perusahaan. Untuk itu, penerapan pendekatan dengan metode ini

memungkinkan untuk mengambil langkah atau tindakan memperbaiki suatu proses

pengoperasian manajemen mutu secara sistemik. Failure mode and effect analysis dapat

digunakan sebagai dokumen atau record untuk mengidentifikasi sesuatu hal yang

berpotensi adanya kesalahan seperti membuat kecacatan atau tidak sesuai spesifikasi yang

telah ditentukan dalam proses produksi suatu produk. Berdasarkan hasil yang diteliti

terdapat dua jenis failure mode yaitu machining (milling, drilling, theading) memiliki

nilai RPN terbesar yaitu 84 sedangkan Washing Processing memiliki nilai RPN sebesar

48. Kecacatan atau failure terbesar diakibatkan seringnya terjadi gesekan antar tools yang

menyebabkan keausan pada mesin tersebut sehingga perawatan mesin tersebut dilakukan

setelah mesin melakukan proses operasi setiap 1000 pcs (Barosz et al, 2017).

Penelitian yang dilakukan Wang et al (2018) bahwa failure mode and effect

analisys (FMEA) merupakan salah satu metode analisis risiko yang paling efektif dan

telah banyak diadopsi oleh berbagai bidang dalam meningkatkan keamanan dan

keandalan sistem. Evaluasi risiko dan penentuan prioritas mode kegagalan merupakan

masalah penting dalam pendekatan FMEA dan kemudian dianggap sebagai hambatan

dalam menentukan MCDM (multi-criteriadecision) sehingga penerapan metode ini tentu

memiliki dampak yang besar untuk memvalidasi efektivitas model perbaikan sistem yang

baru berdasarkan faktor – faktor resiko yang mempengaruhi pengambilan keputusan

dalam menentukan summary (RPN). Hasil penggunaan sistem FMEA dengan MCDM

yaitu terdapat 10 kategori failure yang tercatat dan berdasarkan grafik MCDM yang

memiliki nilai RPN terbesar dan merupakan kegagalan paling berbahaya yaitu Failure

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

23

Mode 5 (FM 5). Pendekatan FMEA tentu memiliki berbagai kelemahan makadari itu

perlu adanya dorongan dari metode lain untuk menyempurnakannya. Metode yang

sempurna untuk berkolaborasi dengan metode ini yaitu dengan menggunakan pendekatan

AHP sehingga model prioritas risiko baru dapat efektif dalam membantu menganalisis

mode kegagalan yang berisiko tinggi dan menciptakan strategi pemeliharaan yang sesuai.

FMEA yang diusulkan dapat mengatasi kekurangan dan meningkatkan efektivitas FMEA

tradisional. Khususnya, ketergantungan serta interaksi antara berbagai mode kegagalan

telah diatasi dengan metode analisis kegagalan baru disempurnakan. Berdasarakan hasil

yang didapatkan terdapat beberapa skala prioritas jika menggunakan metode AHP dan

juga failure yang ada dikelompokkan berdasarkan kategori resiko berdasarkan nilai RPN

nya. Dan hasil yang didapat terdapat dua kategori kelompok failure yaitu The cause group

dan The effect group (Hu-Chen et al, 2015).

Kunci penting dalam mengetahui perilaku kegagalan adalah dengan merancang

program pemeliharaan terhadap suatu sistem. Metode yang paling tepat yaitu dengan

menggunakan FMEA karena berguna untuk menilai tingkat kritis suatu kegagalan pada

sistem sehingga perlu adanya kolaborasi antara FMEA dan FTA agar kedua metode

tersebut mampu mengupas secara lebih mendalam terhadap suatu resiko kegagalan.

Berdasarakan hasil yang didapat terdapat 18 penyebab terjadinya kegagalan dengan 6

diantaranya harus dilakukan action control sesegera mungkin karena nilai RPN sudah

memasuki kategori High (Peeters et al, 2018). Terdapat usaha untuk mencoba

mengembangkan Failure Mode dan Effect Analysis (FMEA) yang dimodifikasi sebagai

sarana untuk mengakses kekritisan waste dalam operasi pengendalian mutu. Kemudian

dalam upaya untuk memfasilitasi pengambilan keputusan serta menilai kekritisan

terjadinya waste dibagian pemeliharaan, model yang ada kemudian diperbaiki untuk

menentukan peringkat risiko mode pemeliharaan dengan menggunakan Waste Priority

Waste (WPN) yang telah diusulkan. Kesimpulan yang dapat diangkat yaitu metode FMEA

bukan saja digunakan untuk mengidentifikasi kecacatan suatu proses namun juga dapat

dikembangkan untuk maintenance waste dengan hasil tertinggi yang memiliki WPN yaitu

duplicating maintenance data sebesar 230. (Sutrisno et al, 2015). Terdapat pembahasan

mendetail mengenai fungsi dan kelebihan penggunaan FMEA pada suatu proses produksi

namun lebih sempurna tingkat pencegahan terjadinya failure mode jika metode tersebut

dilengkapi dengan fault tree analysis (FTA) sehingga kedua metode tersebut bisa saling

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

24

melengkapi untuk mengeleminasi failure list yang ada. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan maka didapatkan hasil FCU3 dan FCU2 yang memiliki nilai RPN tertinggi dan

juga FTA yang paling detail sehingga assembly technology terhambat akibat failure

(Povolotskaya, E. & Mach, P. 2013).

Ada dua fase utama dalam metode FMEA. Fase pertama berkaitan dengan

identifikasi mode kegagalan potensial dan pengaruhnya. Hal ini termasuk dalam

menentukan potensi kegagalan komponen produk, sub-rakitan, perakitan akhir dan proses

manufakturnya, dan fase kedua berkaitan dengan melakukan analisis kekritisan untuk

menentukan tingkat keparahan mode kegagalan dengan mengevaluasi dan memberi

peringkat (RPN) di setiap kegalan sesuati dengan tingkat kekritisan suatu failure

(Mirghafoori et al. 2014). Sedikit kekurangan dari penggunaan metode FMEA tradisional

yaitu kurang akurat dalam menentukan keputusan melakukan suatu perbaikan. Hal

tersebut terjadi karena pemberian risk priority number (RPN) sering mengalami

kesalahan sehingga perlu dikembangkan dengan menggunakan metode CORPAS yang

bertujuan untuk menentukan urutan peringkat dari mode kegagalan yang ada (Wang, Z.

L. et al, 2017). Nilai occurrence, nilai detection dan nilai severity seringkali kurang akurat

jika hanya dilihat dari visualnya saja namun juga harus dicek hingga kedalam proses yang

sedang berlangsung. Namun perbaikan yang dilakukan tetap harus memperhatikan skala

prioritas yaitu nilai RPN tertinggi ke RPN terendah (Novrizal, D & Kurniawan, P. P,

2013).

Metode failure mode and effect analysis memiliki beberapa fokus kerja, salah

satunya yaitu Software failure mode and effect analysis (SFMEA). Hal ini menunjukkan

bahwa analisis untuk mengindentifikasi kesalahan (failure) bukan hanya mesin,

peralatan, design dan manufaktur namun juga terhadap aplikasinya. Untuk itu, perlu

adanya modifikasi FMEA agar penggunaannya dapat mencegah terjadinya kegagalan

system yang berulang (Vanyi, 2016). Analisis mode kegagalan dan evaluasi efek dari

suatu proses produksi memiliki hubungan sebab-akibat dalam mengetahui kemungkinan

cacat produk atau suatu proses yang disebabkan oleh ketidakteraturan timing process

yang terjadi selama proses produksi. Dalam penggunaan metode FMEA perlu

diperhatikan sepuluh skala poin (indikator) yang ada agar pemberian skor pada severity,

occurrence dan detection bisa sesuai dengan keadaan yang terjadi (J Piatkowski, 2017).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

25

2.2 Kajian Deduktif

2.2.1 Kualitas Produk

Kualitas produk adalah sekumpulan ciri-ciri karakteristik dari barang dan jasa yang

mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang merupakan suatu pengertian

dari gabungan daya tahan, keandalan, ketepatan, kemudahan pemeliharaan serta atribut-

atribut lainnya dari suatu produk (Japarianto, 2013). Kualitas produk merupakan faktor

penentu kepuasan konsumen setelah melakukan pembelian dan pemakaian terhadap suatu

produk. Jika mutu produk yang diterima lebih tinggi dari yang diharapkan, maka kualitas

produk yang dipersepsikan akan memuaskan. (Irawan, D. & Japarianto, E., 2013).

Pentingnya kualitas suatu produk, komponen atau sistem dalam ilmu engineering dapat

mempengaruhi baik dan buruknya mutu atau kualitas sehingga kualitas suatu produk,

komponen atau sistem merupakan factor penting untuk menjadi prioritas yang harus

diterapkan pada suatu perusahaan (Kiefer et al, 2017).

2.2.2 Mesin dan Peralatan Produksi

Perkembangan teknologi mesin industri yang semakin meningkat akan mendorong semua

perusahaan industri agar dapat mengadopsi teknologi tersebut untuk menghasilkan

produk yang berkualitas terlepas dari biaya investasi yang harus dikeluarkan (Jasasila,

2017). Mesin dan peralatan proses produksi merupakan satu kesatuan yang sangat

memperngaruhi sistem penciptaan produk. Dengan adanya mesin dan peralatan produksi,

target pembuatan produk dan permintaan konsumen bisa tercapai namun perlu adanya

perhatian khusus untuk mengontrol kestabilan mesin dan peralatan produksi agar dapat

mencegah terjadinya kerusakan atau mengurangi frekuensi kerusakan yang sering terjadi

(Behnam E. M, 2014).

Menurut Rizal (2013) penjelasan dari Aliran Data untuk mengetahui kerusakan mesin

yaitu sebagai berikut:

1. Pada proses ini sistem akan melakukan pengecekan sebab kerusakan terhadap jenis

kerusakan yang dipilih oleh user. Pengecekan dilakukan dengan mencocokkan data

dari sumber data yang ada pada tabel tindakan perbaikan. Pada saat proses ini

berlangsung, peran sang user sangat mempengaruhi karena user yang akan memilih

opsi-opsi yang ada dalam sistem pakar. Sehingga data jenis kerusakan yang

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

26

dimasukkan oleh user akan mempengaruhi hasil akhir dari diagnosis yang akan

dilakukan oleh sistem pakar.

2. Pada proses ini, setelah sebab kerusakan ditemukan maka sistem akan melakukan

pengecekan tindakan perbaikan terhadap jenis kerusakan yang dipilih oleh user.

Pengecekan dilakukan dengan mencocokkan data dari sumber data yang ada pada

tabel tindakan perbaikan.

3. Pada proses ini, data yang telah direkam kemudian akan dicocokkan dengan sumber

data pada tabel tindakan perbaikan. Setelah data tersebut didiagnosis, maka akan

muncul hasil akhir yang berupa hasil diagnosa (solusi) yang akan digunakan oleh

user.

4. Proses ini adalah proses update yang hanya dilakukan oleh pakar yang telah diakui

oleh pengguna sistem. Yang bertujuan untuk memodifikasi sumber data pada tabel

tindakan perbaikan. Pada proses ini, pakar dapat memberikan masukan pada sistem

berupa masukan update knowledge base jika hal tersebut dirasakan perlu.

2.2.3 Manajemen Perawatan

Menurut Sahoo & Yadav (2018) sebagian besar perusahaan manufaktur melakukan

pemeliharaan dan praktik manajemen kualitas yang memiliki kecenderungan untuk

kembali ke kebiasaan lama dalam praktik tradisional, sehingga semakin merusak proses

standardisasi. Selanjutnya jika tidak cukup memiliki wawasan tentang manajemen dan

kemampuan organisasi maka akan berakibat pada kesalahan penerapan praktik

manajemen kualitas sehingga menyebabkan kegagalan kualitas produk dan peningkatan

pengeluaran (Manohar, J. & Majumdar, B. M. 2016). Kegiatan pemeliharaan mesin yang

diperlukan oleh perusahaan industri, tentunya berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas

berproduksi. Adapun tujuan utama fungsi pemeliharaan adalah untuk menjaga agar

kemampuan produksi dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan rencana produksi pada

tingkat yang tepat agar memenuhi apa yang dibutuhkan oleh produk itu sendiri dan

kegiatan produksi yang tidak terganggu dan juga untuk membantu mengurangi

pemakaian dan penyimpangan yang diluar batas dan menjaga modal yang diinvestasikan

dalam perusahaan selama waktu yang ditentukan sesuai dengan kebijaksanaan

perusahaan mengenai investasi tersebut (Jasasila, 2017).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

27

Mesin dan peralatan proses produksi yang bekerja secara terus menerus akan

mengalami keausan atau kerusakan yang diakibatkan berbagai factor mulai dari kesalahan

sistem hingga tidak ada controlling. Untuk itu salah satu cara yang efisien untuk

mengurangi frekuensi terjadinya kerusakan mesin dan peralatan produksi yaitu dengan

pemeliharan preventif (Rosales et al, 2018). Kegiatan pemeliharaan diperlukan untuk

mempertahankan atau mengembalikan peralatan ke keadaan tertentu dan menjamin

layanan yang diinginkan. Terdapat dua kalsifikasi pemeliharaan yaitu Pemeliharaan

Korektif (CM) dan Preventive Maintenance (PM) strategi. CM digunakan untuk

mengembalikan (memperbaiki atau mengganti) beberapa peralatan ke fungsi yang

diperlukan setelah gagal, sementara PM melibatkan kinerja kegiatan pemeliharaan

sebelum kegagalan peralatan terjadi. Pemeliharaan preventif dapat efektif untuk

mempertahankan mesin dengan tingkat keandalan yang tinggi. Namun, menerapkan

kegiatan perawatan terjadwal juga dapat menyebabkan ketidaktersediaan mesin rusak

atau yang bermasalah saat pemeliharaan sedang dilakukan (Xiao et al, 2016).

2.2.4 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) adalah metodologi yang kuat yang dapat

digunakan untuk mengidentifikasi, mengklasifikasikan, dan menganalisa potensi risiko

(Wessiani, N. A. & Sarwoko, S. O, 2015). Metode FMEA juga direkomendasikan oleh

standar internasional sebagai salah satu teknik analisis risiko. Dengan menerapkan

metodologi ini, perusahaan dapat memiliki proses yang sistematis untuk mengidentifikasi

potensi kegagalan untuk memenuhi fungsi yang dimaksudkan, untuk mengidentifikasi

kemungkinan penyebab kegagalan sehingga penyebabnya dapat dihilangkan serta untuk

menemukan kegagalan dampaknya sehingga dampaknya bisa dikurangi (Dyadem E,

2015). Kegagalan dikelompokkan berdasarkan dampak yang diberikan terhadap

kesuksesan suatu misi dari sebuah sistem. Secara umum, FMEA didefinisikan sebagai

sebuah metode yang mengidentifikasi tiga hal yaitu (Hanif et al, 2015):

1. Penyebab kegagalan yang potensial dari produk, desain, system dan proses yang

sedang berlangsung.

2. Efek atau dampak yang ditimbulkan dari suatu kegagalan yang terjadi pada suatu

produk, komponen atau sistem.

3. Tingkat kekritisan efek kegagalan terhadap fungsi sistem, desain, produk, dan proses.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

28

FMEA terbagi kedalam beberapa jenis sesuai dengan fokus record failure sistem, jenis –

jenis sebagai berikut:

1. Process Failure Mode and Effect Analysis (PFMEA) merupakan metode pencegahan

yang penting untuk menjaga mutu atau kualitas suatu komponen atau sistem yang

berfokus kepada bahan dan material yang digunakan sehingga mampu mengambil

keputusan berdasarkan tingkat keparahan, probabilitas kejadian dan deteksi mode

kegagalan untuk meningkatkan kualitassuatu komponen atau sistem (Mikos et al,

2016).

2. Design Failure Mode and Effect Analysis (DFMEA) berfokus pada kekurangan yang

terkait desain dengan penekanan pada peningkatan desain dan memastikan operasi

atau proses pembuatan produk aman dan tepat selama peralatan berjalan dengan

normal (Carlson, C. S, 2014).

3. Software Failure Mode and Effect Analysis (SFMEA) merupakn metode yang

memiliki tujuan utama untuk menemukan cacat pada perangkat lunak atau jalur

sistem yang mengalami kegagalan pada perangkat lunak yang dapat merambat

kedalam sistem pusat pada perangkat lunak dan juga mampu mempengaruhi

keamanan sistem dimana perangkat lunak dipasang (Gee-Yong et al, 2014).

Menurut Anugrah et al (2015) beberapa terminologi yang berhubungan dengan

penggunaan Failure Mode and Effect Analysis adalah sebagai berikut:

1. Component merupakan komponen suatu sistem atau alat yang sedang dilakukan

analisis.

2. Potential Failure Mode menjelaskan atau menggambarkan cara dimana sebuah

produk atau proses bisa gagal untuk melaksanakan fungsi yang diperlukan.

3. Failure Effect adalah dampak atau akibat yang ditimbulkan jika komponen tersebut

gagal atau mengalami kendala seperti yang telah disebutkan dalam potential failure

mode.

4. Severity (S) merupakan menentukan seberapa serius dan bahaya suatu kondisi yang

diakibatkan pada suatu komponen jika terjadi kegagalan sesuai yang disebutkan

dalam Failure Effect.

5. Causes merupakan penyebab atau sumber yang mengakibatkan terjadinya kegagalan

pada suatu komponen sehingga mampu mengganggu fungsi utama dari suatu

komponen atau sistem.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

29

6. Occurance (O) pemeringkatan seberapa sering penyebab kegagalan spesifik dari

suatu sistem tersebut terjadi. Metode yang terbaik untuk menetukan rating occurence

adalah menggunakan data aktual yang ada, jika data aktual tidak ada, tim harus

memperkirakan seberapa sering suatu failure mode terjadi.

7. Detection (D) menunjukkan tingkat kemungkinan lolosnya penyebab kegagalan dari

kontrol yang sudah dipasang.

8. Risk Priority Number (RPN) merupakan hasil perkalian bobot dari severity,

occurance dan detection. RPN juga berguna sebagai alat tolak ukur untuk

dibandingkan dengan New RPN setelah dilakukan perbaikan atau action.

Adapun penentuan kategori berdasarkan nilai severity, occurance dan detection (J

Piatkowski, 2017) :

Tabel 2.1 Rating Saverity (S)

Rating Kriteria

1

2

The defect does not affect the quality (Bentuk kegagalan

tidak mempegaruhi kualitas) tidak menimbulkan dampak

yang begitu berarti atau dapat diabaikan.

3

4

Very low and Low (Kegagalan berpengaruh ringan).

Menimbulkan dampak yang sangat kecil dan memerlukan

biaya perbaikan yang rendah

5 Transitory (Kegagalan yang menimbulkan sedikit

kesulitan).

6 Avarage (Kegagalan menyebabkan kualitas produk

sedikit terpengaruh)

7 Significant (Kegagalan berdampak signifikan). Perlu

adanya sedikit perbaikan produk atau sistem.

8

High (Kegagalan yang terjadi memiliki dampak yang

tinggi) Perbaikan yang dilakukan menggunakan biaya

besar

9 Very High (Kegagalan yang terjadi mempengaruhi

kelayakan dan kegunaan produk atau sistem).

10 Product Rejection (Kegagalan yang terjadi menyebabkan

kerusakan total)

Tabel 2.2 Rating Occurance (O)

Rating Probabilitas Kegagalan No. dari Kegagagalan

1 Tidak mungkin terjadinya

kegagalan

<1 per 1.000.000

2 1 per 100.000

3 Kegagalan sangat jarang

terjadi

1 per 50.000

4 1 per 10.000

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

30

Rating Probabilitas Kegagalan No. dari Kegagagalan

5 Kegagalan hanya terjadi

sesekali

1 per 5000

6 1 per 1000

7 Kegagalan terjadi secara

berulang diarea yang sama

1 per 600

8 1 per 400

9 Kegagalan selalu berulang

1 per 100

10 1 per 10

Tabel 2.3 Rating Detection (D)

Rating Kategori Tingkat Mendeteksi

1

Sangat Tinggi

Sangat besar kemungkinan

untuk mendeteksi penyebab

yang berpotensi merusak 2

3 Tinggi

Besar kemungkinan untuk

mendeteksi penyebab yang

berpotensi merusak 4

5

Sedang

Sedang kemungkinan untuk

mendeteksi penyebab yang

berpotensi merusak 6

7

Rendah

Kecil, kemungkinan untuk

mendeteksi penyebab yang

berpotensi merusak 8

9

Sangat Rendah

Mustahil, kemungkinan

untuk mendeteksi penyebab

yang berpotensi merusak 10

Tabel 2.4 Penentuan Kategori Resiko

Nilai Risk Priority

Number (RPN)

Kategori Perlakuan

192 - 1000 Tinggi Lakukan perbaikan saat ini

65 - 191 Sedang Upaya untuk melakukan

perbaikan

0 – 64 Rendah Resiko dapat diabaikan

Mode kegagalan didefinisikan sebagai cara di mana komponen, subsistem, sistem, proses

memiliki potensi tidak dapat memenuhi desain atau mengalami kegagalan. Penyebab

kegagalan didefinisikan sebagai kelemahan yang dapat menyebabkan kegagalan. Untuk

setiap mode kegagalan yang teridentifikasi, efek utamanya perlu ditentukan yang

biasanya dilakukan oleh tim FMEA. Efek kegagalan didefinisikan sebagai hasil dari mode

kegagalan pada fungsi produk / proses yang dirasakan oleh pelanggan. Tujuan RPN

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

31

adalah untuk menentukan peringkat berbagai parameter; perhatian harus diberikan untuk

setiap metode yang tersedia untuk mengurangi RPN Nomor Prioritas Risiko (RPN)

adalah produk dari Severity (S), Occurence (O), dan Detection (D) dan dihitung oleh

formula (Mirghafoori et al, 2014):

RPN = S x O x D (2.1)

Dengan,

S = Severity

O = Occurance

D = Detection

RPN = Risk Priority Number

2.2.5 USE (Usefulness, Satisfaction and Ease for use)

Usability merupakan salah satu parameter penting pada pengukuran kualitas sistem

informasi atau perangkat lunak. Usability mengacu pada efektivitas, efisiensi dan

kepuasan pengguna. Tingkat usability yang tinggi biasanya berkaitan erat dengan

populernya dan tingginya pemanfaatan sistem / perangkat lunak tersebut oleh user untuk

membantu tugas mereka. Sistem dengan tingkat usability rendah biasanya pada akhirnya

akan ditinggalkan oleh user. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui tingkat

usabilitas suatu sistem. Hasil pengukurannya dapat digunakan sebagai masukan berharga

untuk memperbaiki sistem tersebut di masa mendatang (Aelani, K. & Falahah. 2013).

Kategori kuisioner yang berkaitan tengang USE untuk melakukan usability testing

selengkapnya sebagai berikut (Lund A.M, 2013):

a. Usefulness (Kebergunaan)

Dalam kategori ini menggambarkan seberapa efektif dan efisien pemanfaatan suatu

sistem. Agar dapat dikatakan efektif dan efisien maka suatu sistem harus memenuhi:

1. It helps me be more effective.

2. It helps me be more productive.

3. It is useful.

4. It gives me more control over the activities in my life.

5. It makes the things I want to accomplish easier to get done.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

32

6. It saves me time when I use it.

7. It meets my needs.

8. It does everything I would expect it to do.

b. Ease of Use (Kemudahan Penggunaan)

Kategori ini menggambarkan seberapa mudah pemanfaatan suatu sistem

dioperasikan. Agar dapat dikatakan mudah maka suatu sistem harus memenuhi:

1. It is easy to use.

2. It is simple to use.

3. It is user friendly.

4. It requires the fewest steps possible to accomplish what I want to do with it.

5. It is flexible.

6. Using it is effortless.

7. I can use it without written instructions.

8. I don't notice any inconsistencies as I use it.

9. Both occasional and regular users would like it.

10. I can recover from mistakes quickly and easily.

11. I can use it successfully every time.

c. Ease of Learning (Kemudahan mempelajari)

Dalam kategori ini menggambarkan seberapa mudah pemanfaatan suatu sistem untuk

dipahami. Agar dapat dikatakan mudah untuk dipahami maka suatu sistem harus

memenuhi:

1. I learned to use it quickly.

2. I easily remember how to use it.

3. It is easy to learn to use it.

4. I quickly became skillfull with it.

d. Satisfaction (Kepuasan)

Kategori ini menggambarkan tingkat kepuasan pengguna terhadap pemanfaatan

suatu sistem. Agar dapat dikatakan memiliki kepuasan yang tinggi maka suatu sistem

harus memenuhi:

1. I am satisfied with it.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Induktif

33

2. I would recommend it to a friend.

3. It is fun to use.

4. It works the way I want it to work.

5. It is wonderful.

6. I feel I need to have it.

7. It’s Pleasant to use.

Usability testing menggambarkan tentang fungsi atau kegunaan dari suatu sistem yang

sedang digunakan dengan melakukan pengukuran sejauhmana keberhasilan penerapan

suatu sistem yang dapat dirasakan oleh pengguna dalam mencapai suatu tujuan dari

penggunaan sistem tersebut. Hasil pengukuran keberhasilan diekpresikan secara empiris

dan data yang digunakan secara kualitatif (Kusuma et al. 2016).

Gambar 2.1 Summary of Usability Testing

Sumber : Wahyu et al, 2016