BAB II PEMBAHASAN -...
Transcript of BAB II PEMBAHASAN -...
13
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Prostitusi
Timbulnya masalah prostitusi sudah ada sejak zaman purba sampai
sekarang, pada masa lalu prostitusi mempunyai cirri khas seperti penyembahan
dewa-dewa dan upacara-upacara keagamaan tertentu. Di Indonesia sendiri
prostitusi sudah ada sejak zaman kerajaan terlebih ketika kerajaan-kerajaan
tersebut berperang, maka banyak sekali tawanan wanita yang dijadikan selir-selir
dan penghuni rumah-rumah pelacuran. Prostitusi selalu dianggap sebagai hal
yang negatif dan mengganggu masyarakat namun dulu di Cina pekerja seks
dianggap sebagai orang yang terhormat. Di Jepang, pelacur atau yang lebih di
kenal dengan sebutan Geisha (wanita penghibur) sejak kecil telah diajarkan
beberapa keterampilan dan kesopanan sehingga mereka diletakkan pada
kedudukan yang lebih terhormat1.
Disini sangat terlihat adanya gender dimana kaum lelaki memiliki kekuasaan
yang lebih besar dibandingkan perempuan. Selama masih ada nafsu-nafsu seks
yang lepas dari kendali dan hati nurani pekerja seks yang belum sadar maka
prostitusi ini akan sulit dihilangkan.
1 Gunawan, Rudy (2000). „Sex sebagai Simbol‟. Jakarta: Grasindo.
14
1. Definisi Prostitusi
Prostitusi berasal dari bahasa Latin pro-stituere, yang berarti membiarkan
diri berbuat zina.2 Sedang prostitue adalah pelacur dikenal pula dengan istilah
WTS atau wanita tuna susila. Pelacur sering dianggap sebagai wanita yang tidak
pantas kelakuannya dan bisa mendatangkan penyakit, baik kepada orang lain
yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada diri sendiri. Prostitusi adalah
profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan.3
Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Dari kedua definisi
ini dapat disimpulkan bahwa prostitusi merupakan perzinahan dengan menjual
jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual berupa menyewakan tubuh. Sehingga
prostitusi bersifat negatif dan dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap
masyarakat.
2. Teori Prostitusi
Teori prostitusi menurut beberapa para ahli antara lain :4
a. Menurut W.A. Bonger, “Pelacuran adalah gejala sosial, dimana wanita
menyediakan dirinya untuk perbuatan seksual sebagai mata
pencahariannya”.
2 WYS Poerwadarminto, Kamus Besar Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
3 Ibid.
4 Kartono, Kartini. Pathologi Sosial (Jilid I, cetakan pertama). Jakarta: CV.Rajawali., 1991
15
b. Menurut Paul Moedikdo Moeliono, “prostitusi adalah penyerahan
badan wanita dengan menerima bayaran, kepada orang banyak, guna
memuaskan nafsu seksual bagi orang-orang itu.”
c. Menurut George Ryley Scott, “prostitusi adalah seorang laki-laki atau
perempuan, yang karena semacam upah, baik berupa uang atau lainnya,
atau karena semacam bentuk kesenangan pribadi dan sebagai bagian atau
seluruh pekerjaannya, mengadakan perhubungan kelamin yang normal
atau tidak normal dengan berbagai-bagai orang, yang sejenis dengan atau
yang berlawan jenis dengan pelacur itu.”
d. Menurut W. A. Bonger, dalam bukunya “Versprede Geschiften” antara
lain mengemukakan: “prostitutie het maatshapelijke vershijnsel dat
vrowen zich beroepsmatig tot hel plegen van sexuele handelingen”
(prostitusi adalah gejala sosial, dimana wanita menyediakan dirinya
untuk perbuatan seksual sebagai mata pencahariannya).
e. Menurut F. J. De Bruine van Amstel menyatakan, prostitusi adalah
penyerahan diri wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran.
f. Menurut Iwan Bloch berpendapat, pelacuran adalah suatu bentuk
perhubungan kelamin diluar pernikahan dengan pola tertentu, yakni
kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran,
baik untuk persebadanan maupun kegiatan seks lainnya yang
memberikan kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan.
g. Menurut George Ryley Scott mengemukakan bahwa: “Pelacuran adalah
seorang laki-laki atau perempuan, yang karena semacam upah, baik
16
berupa uang atau lainnya tau karena semacam kesenangan pribadi dan
sebagian atau keseluruhan pekerjaannya, mengadakan perhubungan
kelamin yang normal atau tidak normal dengan berbagai jenis orang,
yang sejenis atau berlawanan jenis dengan pelacur itu.”
h. Menurut Commenge mengatakan: “Prostitusi atau pelacuran itu adalah
suatu perbuatan seorang wanita memperdagangkan atau menjual
tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh pembayaran dari laki-laki
yang datang; dan wanita tersebut tidak ada pencarian nafkah lainnya
kecuali diperolehnya dari hubungan dengan banyak orang”.
3. Jenis prostitusi
Jenis prostitusi menurut aktivitasnya yaitu :
a. Prostitusi yang terdaftar
Pada umumnya mereka lokalisasi dalam satu daerah tertentu.
Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter
atau petugas kesehatan dan mendapatkan suntikan serta pengobatan,
sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum. Pelakunya diawasi
oleh kepolisian yang bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan
Kesehatan. Namun kenyataannya cara ini tidaklah efisien karena
kenyataannya tidak adanya kerja sama antara pekerja seks dengan
petugas kesehatan.
17
b. Prostitusi yang tidak terdaftar
Mereka yang melakukan prostitusi secara liar, baik secara perorangan
maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisasi dan tidak
tertentu, sehingga kesehatannya sangat diragukan.
Jenis prostitusi menurut jumlahnya yaitu :
a. Prostitusi yang beroperasi secara individual merupakan single operator
sering disebut dengan pekerja seks jalanan. Mereka biasanya mangkal di
pinggir jalan, stasiun maupun tempat-tempat aman lainnya. Para pekerja
seks ini menjalankan profesinya dengan terselubung.
b. Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang
teratur rapi. Jadi, mereka tidak bekerja sendirian melainkan diatur
melalui satu sistem kerja suatu organisasi. Biasanya dalam bentuk rumah
bordir, bar atau casino. Jenis prostitusi menurut tempat penggolongan
atau lokalisasinya yaitu:
1. Segregasi atau lokalisasi yang terisolasi atau terpisah dari
kompleks penduduk lainnya. Seperti lokalisasi Sunan Kuning
di Semarang dan Lokalisasi Bandungan di Kabupaten
Semarang.
2. Rumah-rumah panggilan
18
Rumah-rumah panggilan ini memiliki ciri khusus dimana
hanya pihak yang terkait saja yang mengetahuinya. Selain itu
kegiatannya pun lebih terorganisir dan tertutup.
3. Dibalik front organisasi atau dibalik bisnis-bisnis terhormat
(salon kecantikan, tempat pijat, rumah makan, warnet, warung
remang-remang, dll). Disini sudah memiliki jaringan yang
baik dan terorganisir. Tidak sedikit yang melibatkan orang-
orang terhormat maupun pihak keamanan yaitu polisi.
4. Akibat-akibat prostitusi
Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh prostitusi, antara lain5:
Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit
Adapun penyakit yang ditimbulkan dari perilaku prostitusi ini
ialah HIV Aids, HIV Aids sampai sekarang belum ditemukan
obatnya. Agar virus ini tidak merambat terlalu jauh perlu adanya
pencegahan yaitu dengan mempersempit jaringan prostitusi ini.
Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga
Dengan adanya wanita tuna susila akan mengakibatkan sendi-
sendi dalam keluarga rusak. Semakin banyak pengguna akan
semakin memperbanyak jumlah WTS ini, dan akan menular ke
masyarakat luas.
5 Ibid.
19
Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan
narkotika dan minuman keras
Prostitusi sangat berkaitan erat dengan minuman keras dan
narkotika. Minuman keras dan narkotika akan digunakan sebagai
doping dalam hubungan seksual.
Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama
Dengan meluasnya prostitusi akan merusak sendi-sendi moral,
susila, hukum dan agama. Karena pada dasarnya prostitusi
bertentangan dengan norma moral, susila, hukum dan agama.
Bicara soal penegakan hukum tidak lepas dari persoalan budaya hukum
sudah sejak lama persoalan budaya hukum muncul sebagai persoalan yang
dianggap tidak mendukung bagi pembangunan hukum di Indonesia. Ada yang
mengatakan bahwa rendahnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat,
disebabkan oleh tidak mantapnya budaya hukum atau setidak-tidaknya budaya
hukum belum mendapat perhatian dalam keseluruhan mosaic pembangunan
hukum. Padahal, sesuai teori yang dikemukakan oleh Friedman nada tiga aspek
yang harus disentuh secara simultan ketika hukum hendak dibangun, yakni
substance (isi), structur (aparat) dan culture ( budaya). Itu sebabnya, sejak awal;
pelita VI di era orde baru, para pakar hukum mengkampanyekan pembangunan
budaya hukum yang hasilnya terlihat pada GBHN 1998. Para pakar gembira
ketika dalam GBHN pelita VI pembangunan bidang hukum menjadi bidang
20
tersendiri, terlepas dari pembangunan bidang politik, maka pada pelita VII,
kegembiraan itu bertambah ketika GBHN memasukkan masalah budaya hukum
sebagai bagian di dalam pembangunan dalam bidang hukum GBHN untuk pelita
VII ini merupakan GBHN terakhir yang dibuat oleh pemerintahan orde baru.
Karena, setelah UUD diamandemen pasca reformasi 1998, MPR tidak lagi
membuat ketetapan yang bersifat mengatur dan GBHN tidak diperlukan6.
Pada era reformasi, pembangunan budaya hukum menjadi sangat penting
karena hadirnya momentum sangat kondusif untuk meletakkan dasar-dasar yang
kuat bagi pembangunan hukum di masa era orde baru agak sulit dilakukan,
mengingat politik yang melingkupinya.
B. Prostitusi dan Pengaturan Hukumnya.
Dinegara-negara modern hampir setiap perbuatan pelacuran sebagai perbuatan
yang melanggar kesusilaan. Seperti dikemukakan oleh W.A Bonger bahwa kejahatan
merupakan sebagian dari perbuatan yang imoral, oleh sebab itu perbuatan imoral
adalah perbuatan anti sosial7. Kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial,
yang memperoleh pantangan dengan sadar dari negaraberupa pemberian penderitaan
(hukuman atau tindakan)8. Dari definisi yang imoral ini sudah dapat terlihat bahwa
tantangan yang dilakukan oleh negara itu dilakukan berupa hukuman kejahatan
sendiri menurut pengertian secara yuridis adalah terbagi menjadi dua, yaitu :
6 Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2010,hal.206 7 Abdulsyani, Sosiologi Kriminalitas, bandung: remaja karya, 1978, hal 12
8 Ibid.
21
1. Yang terdapat dalam KUHAP.
2. Yang terfapat dalam KUHP.
Salah satu unsur pidana kesusilaan ini adalah subjek-subjek yang mempunyai
peranan langsung dalam pelacuran. Subjek-subjek tersebut diantaranya adalah wanita
tuna susila, mucikari/germo serta pihak-pihak yang terkait didalamnya. Seorang
germo pada dasarnya dapat diancam pidana, karena disamping menyediakan tempat
berbuat cabul, mereka juga sering bertindak sebagai perantara/makelar seks. Germo
sebagai orang yang memudahkan perbuatan cabul dan melakukannya sebagai mata
pencaharian yang tetap.
Praktek-praktek germo juga mempunyai unsur-unsur yang dapat dimasukkan
sebagai suatu kejahatan susila. Dari berbagai golongan masyarakat di Indonesia
perbuatan melacurkan diri dari seorang wanita masih dianggap sebagai perbuatan
kejahatan yang harus dihukum. Demikian juga dengan germo/mucikari yang berbeda
dengan pelacur, maka mucikari/germo ini mempunyai unsur-unsur kejahatan yang
jelas sehingga dapat dihukum.
1. Tinjauan Terhadap Pasal 296 KUHP9
Pasal 296 “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan
perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai
pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
9 P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Hukum.Pidana Indonesia, Sinar baru, Bandung, 1983,
Hal.125-126
22
tahun empat bulan atau pidana dengan denda paling banyak lima belas ribu
rupiah”
Ketentuan ini tidak hanya melarang dipermudahkannya perbuatan-perbuatan
melanggar kesusilaan yang bersifat umum di tempat-tempat pelacuran,
melainkan juga perbuatan mempermudah dilakukannya perbuatan-perbuatan
yang melanggar kesusilaan yang tidak bersifat umum yang dilakukan sebagai
mata pencaharian ataupun kebiasaan10
.
Termasuk ke dalam pengertian “mempermudah” adalah juga perbuatan
menyewakan kamar-kamar untuk memberikan kesempatan kepada orang lain
untuk melakukan perbuatan-perbuatan melanggar kesusilaan11
. Untuk
“mempermudah” adalah tidak perlu suatu tindakan melakukan sesuatu ataupun
tidak melakukan sesuatu secara aktif dari suatu kewajiban yang ditentukan oleh
Undang-Undang12
.
Untuk dapat dikatakan telah melakukan “sebagai kebiasaan”, tindakan itu
haruslah dilakukan berulang kali dan antara perbuatan yang satu dengan
perbuatan yang lain, harus pula ada hubungan, sehingga tidak cukup apabila di
dalam surat tuduhan hanya disebutkan dengan perkataan “sering”13
.
Adapun Pasal yang terkait dengan pasal 296 KUHP, adalah pasal 298 ayat
(1) KUHP yang berbunyi : “Pada waktu menjatuhkan hukuman karena
melakukan salah satu kejahatan, seperti yang diatur dalam Pasal-Pasal 281, 284- 10
H.R. 18 nop.1918, N.J.1910.6.W.10349
11 H.R. 6 nop.1941,1942 no.48
12 H.R.18 Nop.1940,1941.No.169
13 H.R. 15 febr.1943, 1943 No.320
23
290, dan 292-297, dapat dilakukan pencabutan hak-hak seperti yang diatur dalam
Pasal 35 no.1 dan 5. Dan pasal 35 KUHP itu berbunyi : “ (1) hak-hak yang
dengan satu putusan hakim dapat dicabut sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan di dalam kitab Undang-Undang ini atau sesuatu peraturan umum
yang lain adalah :
1. Hak untuk menduduki jabatan-jabatan atau jabatan-jabatan tertentu;
2. Hak untuk bekerja pada angkatan bersenjata;
3. Hak untuk memilih dan untuk dipilih di dalam pemilihan-pemilihan
yang disenggarakan berdasarkan peraturan-peraturan umum;
4. Hak untuk menjadi seorang penasehat atau kuasa yang diangkat oleh
hakim untuk menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu
pengawas terhadap orang lain selain dari anak-anaknya sendiri;
5. Hak orang tua, perwalian, dan pengampuan atas diri anak-anaknya
sendiri; dan
6. Hak untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Serta pasal 298 ayat (2) yang berbunyi: “apabila orang yang bersalah telah
melakukan salah satu dari kejahatan-kejahatan seperti yang diatur di dalam
Pasal-Pasal 292-297 di dalam pekerjaannya, maka dia dapat dicabut haknya
untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut”.
24
2. Kaitan Dengan Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Pribadi.
Jika, wanita yang dipekerjakan sebagai mata pencarian atau sebagai
kebiasaan dilakukannya perbuatan melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud
Pasal 296 KUHP, adalah akibat dari perdagangan budak, maka terhadap pelaku
dapat dijerat dengan Pasal 324 KUHP yang berbunyi : “barang siapa atas
tanggungannya sendiri atau atas tanggungan orang lain melakukan perdagangan
budak, melakukan suatu tindakan perdagangan budak atau dengan sengaja turut
serta, baik secara langsung maupun secara tidak langsung di dalam usaha-usaha
lain semacam itu, dihukum dengan hukuman penjara paling lama dua belas
tahun14
.”
Dan Pasal 332 ayat (1) KUHP yang berbunyi : “Dihukum karena salah telah
melarikan wanita:
1. Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, barang siapa
mengangkut pergi seorang wanita di bawah umur tanpa seizin orang
tua atau walinya, akan tetapi dengan kemauan dari wanita itu sendiri
dengan maksud untuk memiliki wanita tersebut, baik dengan atau
diliuar perkawinan;
2. Dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun, barang siapa
dengan mempergunakan tipu daya kekerasan atau ancaman kekerasan
mengangkut pergi seorang wanita, dengan maksud untuk memiliki
wanita tersebut, baik dengan mupun di luar perkawinan.”
14
P.A.F. Lamintang, Op. Cit. hal.137
25
Serta Pasal 332 ayat (4) KUHP yang berbunyi : “Apabila antara orang yang
melarikan dengan wanita yang dilarikan itu terjadi perkawinan dan perkawinan
tersebut oleh peraturan-peraturan dari BW (burgerlijk wetboek), tidaklah
dijatuhkan hukuman sebelum perkawinan itu dinyatakan batal dengan suatu
putusan hakim”
Perbuatan “mengangkut pergi” itu memerlukan tindakan secara aktif dari
laki-laki itu, untuk “menjamin pemilikan”, tidaklah diperlukan pelaksanaan
penguasaan atas wanita itu untuk jangka waktu yang lama15
. Anak dibwah umur
itu tidaklah perlu untuk dilarikan dari rumah orang tuanya. Tindakan laki-laki itu
dapat pula berupa membuat suatu rencana perjalanan, dan kemudian melakukan
perjalanan bersama dengan wanita itu. Perbuatan menjamin pemilikan atas
wanita tersebut bukanlah merupakan undur dari kejahatan ini, akan tetapi adalah
benar bahwa opset si pelaku haruslah ditujukan kepada masalah ini.16
3. Hukuman Dari Perbuatan Melanggar Susila oleh Seorang Wanita
Terhadap Germo
Pasal 506 KUHP dengan tegas mengatakan : “ Barang siapa sebagai germo
mengambil keuntungan dari perbuatan melanggar susila oleh seorang wanita,
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun17
.”
Perkataan “germo” itu dapat dipergunakan di dalam surat tuduhan, karena ia
mempunyai pengertian tertentu yang nyata, sehingga tanpa keterangan lebih
15
H.R. 3Des, 1888.W.5665 16
H.R. 18 nop.1935,1936 no.117. 17
P.A.F. Lamintang, Op.Cit.Hal 209-210
26
lanjut tentang keadaan-keadaan sudah dapat diketahui bahwa germo itu pasti
mengambil keuntungan dari perbuatan semacam itu.18
Laki-laki itu haruslah merupakan “parasit” dari perbuatan melanggar
kesusilaan yang dilakukan oleh istrinya, dalam pengertian bahwa dalam ukuran
yang berarti menggantungkan hidupnya dari uang yang dihasilkan oleh perbuatan
yang melanggar kesusilaan, yang dilakukan oleh istrinya19
.
4. Pengertian Melawan Hukum oleh Para Ahli
Menurut anggapan kebanyakan orang, bahwa perkataan “wederechtelijk” atau
melawan hukum itu tidak mempunyai pengertian yang lain kecuali “zonder eigen
recth” (tanpa hak sendiri), agaknya bagi simons hanya ada satu pendapat yang
dapat diterima, yakni dimana disyaratkan untuk adanya suatu “ in strijd met het
recht” (berlawanan dengan hukum)20
. Tanpa hak adalah berbeda dengan
malawan hak, dan perkataan “wederrechttelijk” tanpa dapat dibantah
menunjukkan kebenaran pengertian yang tersebut terakhir. Hukum yang
berlawanan dengan mana suatu tindakan itu telah dilakukan tidaklah perlu suatu
“subjectief recht” (hak seseorang), melainkan dapat juga berupa “het recht in het
algemeen” atau hukum pada umumnya. Apabila atas dasar tidak adanya
“wederrechttelijkheid” itu, dapat dihukumnya sesuatu perbuatan itu menjadi
tertutup, maka di situ tidak terdapat sesuatu perbuatan yang dapat dihukum,
18
H.R. 21 Sep 1948, N.J. 1949 No.13 19
H.R. 13 Mei 1929, N.J. 1929,879, W.12005 ; 24 Nop.1930, N.J. 1931, 203 W.12267 20
P.A.F. Lamintang, Op.Cit.Hal 235-236
27
sehingga tidak mungkin pula ada suatu “strafbase uitlokking” (perbuatan
menggerakkan orang lain yang dapat dihukum), atau suatu “strafbare
medeplichtigheid” (perbuatan memberikan bantuan yang dapat dihukum).
Dengan tidak adanya unsur “melawan hukum” itu, maka perbuatan itu telah
kehilangan sifatnya sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum, juga
seandainya si pelaku mempunyai anggapan, bahwa ia telah bertindak secara
melawan hukum21
.
Setelah tahun 1919 timbul paham baru yang jauh meninggalkan paham lama,
yaitu ketika Hoge Raad di dalam suatu perkara antara Lindenbaum melawan
Cohen, berdasarkan kenyataan bahwa Cohen telah menyuap seorang pembantu
dari Liendenbaum untuk memperoleh segala macam rahasia dari perusahaan
percetakan Liendenbaum, sehingga Liendenbaum ini menderita kerugian,
menetapkan suatu rumusan baru yang sangat terkenal mengenai “melawan hak”.
Yaitu bahwa “melawan hukum” itu bukan hanya apa yang bertentangan dengan
hak orang lain atau apa yang bertentangan dengan kewajiban hak si pelaku,
melainkan juga bertentangan dengan kesusilaan, sikap hati-hati atau kepatitan di
dalam pergaulan masyarakat dalam hubungannya dengan barang orang lain.
Rumusan ini bukan hanya mempunyai arti yang penting bagi hukum Perdata,
melainkan juga bagi hukum Pidana22
.
21
(Simons, Leerboek, hal.277-279) ( Simons. Prof.Mr.D: Leenboek Van Het Nederlandse Strafrecht.P. Noordhoff N.V. Groningen-Batavia, 1937) 22
Bemmelen. Prof.Mr J.M van, strafvordering Leerboek van het Nederlandse Strafprocesrecht, Martinus Nijhoff, s-Gravenhage, 1950, hal… atau tulisannya yang lain : Op de Grenzen van het Strafrecht. H.D. Tjeenk Willink&Zoon, Haarlem, 1955, hal.53-54.
28
Menurut Prof. Dr. Teguh Prasetyo pengertian melawan hukum merupakan
salah satu unsur tindak pidana yang bersifat objektif adalah sifat melawan
hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada Pasal 1 ayat 1
KUHP. Dalam bahasa Belanda melawan hukum itu adalah wederrechtelijk
(weder = bertentangan dengan, melawan; recht = hukum). Dalam menentukan
perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat
melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-
undang akan menjadi terlampau luas. Selain itu, sifat dapat dicela kadang-kadang
dimasukkan dalam rumusan delik, yaitu dalam rumusan delik culpa23
.
C. Tugas dan wewenang kepolisian berkaitan dengan prostitusi.
Tugas dan tanggung jawab kepolisian berkaitan dengan prostitusi sangat
penting , dikarenakan maraknya praktek prostitusi ini sangat meresahkan warga, dan
tugas kepolisian adalah menjaga keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat.
“Tidak ada satu pun pasal dalan KUHP yang melarang orang menjadi pelacur.
Yang dilarang adalah menjadi germo, sebagaimana diatur dalam Pasal 296, 2997, dan
509 KUHP”, Yang melarang praktik prostitusi kebanyakan adalah peraturan daerah
(perda). Yang hukumannya hanya pidana ringan yang tidak membuat jera pelanggar
perda itu. Yang lebih parah lagi, dalam penanganan masalah pelacuran ini tidak ada
kesinkronan antara instansi atau lembaga pemerintah. Belum lagi untuk kawasan
23
Prof. Dr. teguh Prasetyo, S.H.,M.Si., Hukum Pidana, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta 20011. Hal.67.
29
tertentu, masyarakat dan aparat pemerintah setempat menganggap wajar, karena
penyimpangan itu sudah berakar dan berurat sejak dulu di situ. “Polisi diminta
menggerebek lokasi pelacuran, tapi di situ ada aparat instansi lain yang memberi
bimbingan dan penyuluhan para pelacur. Apalagi warga dan rumahnya yang berbaur
dengan kompleks pelacuran, kehidupan ekonominya juga bergantung pada praktik itu.
Lacur, menurut kamus besar Indonesia adalah malang, celaka, gagal, sial,
tidak jadi, uruk laku. Pelacur dalah perempuan yang melacur, sudel, wanita susila.
Pelacuran atau prostitusi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan aktifitas
pelacur melayani konsumennya (lelaki hidung belang). Ancaman pidana bagi pelacur
tidak terdapat dalam KUHP, pasal 284 hanya mengancam pidana kepada wanita yang
sudah kawin dan kepada wanita yang tidak bersuami yang bersenggama dengan pria
yang terikat monogami serta dalam pasal 295 dan 296 KUHP ditnjukan kepada para
germo. Adapun tindakan kepolisian terhadap pelacuran sesuai dengan yang terdapat
dalam UU Kepolisian terbatas pada pengawasan keamanan di lokasi pelacuran
sekaligus menjadikannya tempat informasi tentang para buronan kriminal dan
mengadakan razia-razia di tempat hiburan atau taman-taman bila terdapat gangguan
keamanan atau peredaran obat-obatan terlarang, dan pelacur-pelacur yang dianggap
perlu diserahkan kepada dinas sosial untuk rehabilitasi.
1. Tinjauan Terhadap Kepolisian Republik Indonesia.
Istilah “Polisi” sepanjang sejarah ternyata mempunyai arti yang berbeda-
beda. Arti kata “Polisi” sekarang adalah berbeda dengan arti yang diberikan pada
semulanya. Juga istilah yang diberikan oleh tiap-tiap Negara terhadap pengertian
30
“Polisi” adalah berbeda, oleh karena masing-masing negara cenderung untuk
memberikan istilah dalam bahasanya sendiri atau menurut kebiasaan-
kebiasaannya sendiri24
. Misalnya saja istilah “Constable” di Inggris mengandung
arti tertentu bagi pengertian “Polisi”, yaitu bahwa constable mengandung dua
macam arti, pertama sebagai sebutan pangkat terendah di kalangan kepolisian
(police constable) dan kedua berarti kantor polisi (office of constable)25
Di Amerika Serikat dipakai istilah “Sheriff” yang sebenarnya berasal dari
bangunan sosial Inggris. Demikianlah kita dapatkan istilah yang berbeda-beda
menurut bahasanya seperti “Police” di Inggris, “Polizei” di Jerman, dan “Politie”
di negeri Belanda. Istilah “Polisi” dalam bahasa Indonesia adalah hasil proses
Indonesia dari istilah Belanda “Politie”.
Disamping itu istilah “Police” dalam bahasa Inggris mengandung arti lain,
seperti yang dinyatakan oleh Charles Reith dalam bukunya The Blind Eye of
History bahwa : “police in the English language came to mean any kind of
planning fot improving or ordering communal existence26
”
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Charles Reith mengartikan
“Police” sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan tata
susunan kehidupan masyarakat.
Istilah “polisi” pada semulanya seperti diketahui di abad sebelum Masehi
negara Yunani terdiri dari kota-kota yang dinamakan “polis”. Jadi, pada zaman
24
Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PT.Grasindo, Jakarta, 1994, Hal 13-14 25
Sir Jhon Moylan, the police of Britain, terjemahan Bhayangkara, Majalah Bhayangkara, no.1 thn. IV. Agustus 1953, hal.4 26
Drs. Soeparno Soeriaatmadja, Polisi dan Hukum Antar Negara, Majalah Bhayangkara, No.12 tahun V, Juli 1955, hal.33
31
itu arti “polisi” demikian luasnya bahkan selain meliputi seluruh pemerintahan
negara kota, termasuk juga di dalamnya urusan-urusan keagamaan seperti
penyembahan dewa-dewanya. Seperti diketahui pada zaman itu, sebagai akibat
masih kuatnya rasa kesatuan dalam masyarakat, urusan keagamaan termasuk
dalam urusan pemerintah, sehingga arti “polisi” menjadi seluruh pemerintahan
negara dikurangi urusan agama.
2. Sumber-Sumber Hukum Kepolisian
Ada beberapa sumber-sumber dalam hukum kepolisian, yaitu27
:
a. Undang-Undang
b. Kebiasaan praktek Kepolisian
c. Traktat
d. Jurisprudensi
e. Ilmu Pengetahuan (pendapat para ahli dan kepolisian yang terkenal)
a. Undang-Undang.
Di Indonesia, umum diketahui bahwa hukum kepolisian sebagian besar
terdiri peraturan-peraturan yang tersebar di berbagai undang-undang. Undang-
undang yang langsung mengatur kepolisian di Indonesia sudah ada yaitu
Undang-Undang pokok Kepolisian No.13 Tahun 1961 (yang telah diganti dengan
UU no.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara). Akan tetapi, undang-undang
27
Mono Kelana, Op.Cit.hal. 88-95
32
pokok Kepolisian hanyalah merupakan gejala saja dari adanya hukum kepolisian
oleh karena sebenarnya mengenai materinya lebih banyak lagi yang diatur di
dalam berbagai undang-undang (peraturan perundang-undangan).
Peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil dapat kita sebut
misalnya : Keppres, Permen, Kepmen, dan pejabat-pejabat yang mendapat
delegasi wewenang tersebut.
b. Kebiasaan Praktek Kepolisian
Hukum kebiasaan ialah himpunan kaidah-kaidah yang biarpun ditentukan
oleh badan-badan perundang-undangan, dalam suasana yang nyata ditaati juga
oleh karena orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu sebagai hukum.
Kebiasaan praktek kepolisian juga membentuk hukum kepolisian. Sangat
sering terjadi hal-hal yang dihadapi oleh polisi yang tidak berdasarkan peraturan-
peraturan formil, tindakan-tindakan polisi itu sesuai dengan hakekat hukum atau
jiwa dari undang-undang, sehingga merupakan kebiasaan praktek kepolisian
yang secara sosiologis diterima. Misalnya tindakan polisi sebagai “pendamai”
dalam perkara-perkara kegaduhan untuk mencegah gangguan keamanan yang
lebih berarti. Selain contoh tersebut, dapat dikemukakan pula misalnya tindakan
polisi mendamaikan perkara “perkelahian satu lawan satu”.
Kebiasaan praktek kepolisian ini, terutama dimungkinkan dipakainya asas
oportunitas dimana pelaksanaan wewenang polisi tidak didasarkan kepada
peraturan, akan tetapi didasarkan terutama kepada kewajiban (plichtmatigheid).
33
c. Traktat
Di dalam hukum kepolisian, maka sebagai sumber hukum, traktat memuat
tentang syarat-syarat dan kewajiban negara anggota di dalam tugas-tugas
pemberantasan kejahatan internasional. Kemudian mengatur pula tentang
prosedur dan hubungan badan-badan kepolisian antar negara, serta persoalan-
persoalan yang menyangkut ekstradisi. Tiap-tiap traktat yang diadakan sudah
tentu memuat isi yang berbeda, dan ini tergantung dari traktat itu tadi.
Jadi, dengan demikian ternyata bahwa traktat merupakan sumber hukum
kepolisiam untuk hubungan internasional. Dari uraian ini terlihat adanya
singgungan antara hukum Kepolisian dan hukum publik internasional (Hukum
Antar Negara)
d. Jurisprudensi
Dengan menyebut Jurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum
kepolisian, maka hal ini berarti hukum kepolisian, memberikan tempat yang
penting bagi keputusan hakim.
Dengan demikian, berarti bahwa pengembangan hukum kepolisian antara
lain juga berada di pundak para hakim. Akan tetapi keputusan hakim baru bisa
terjadi bila perkara sampai di pengadilan, sehingga dalam hal ini turut
menentukan juga faktor kesadaran hukum dari masyarakat dan pandangan serta
perhatian masyarakat terhadap polisinya. Masyarakat yang mempunyai tingkat
kesadaran hukum yang cukup tinggi segera akan memberikan reaksi terhadap
34
tindakan polisi yang “anrechmatig” dan segera pula perkara itu akan diajukan ke
pengadilan agar supaya hakim menilai dan memutuskan perkara itu.
e. Ilmu Pengetahuan
Anggapan atau pendapat ahli ilmu pengetahuan hukum dan ahli kepolisian
yang terkenal juga mempunyai kewibawaan. Di dalam Jurisprudensi dapat
diketahui bahwa hakim itu sering berpegangan pada anggapan sarjana hukum
dan beberapa sarjana hukum yang terkenal.
Perumusan-perumusan yang tidak terdapat dalam undang-undang bisa juga
dicari di dalam dunia ilmu pengetahuan, yaitu dengan mendasarkan pada
pendapat para sarjana.
Anggapan atau pendapat ahli hukum dan ahli kepolisian akan lebih sangat
berguna apabila anggapan tesebut menentukan tentang bagaimana seharusnya.
Pendapat ahli hukum dan ahli kepolisian mendasari juga kebiasaan praktek
kepolisian oleh karena pada umumnya apabila tidak terdapat dalam peraturan,
keputusan pejabat kepolisian berpegang pada pendapat tersebut sehingga kalau
secara berulang-ulang diikuti, dapat membentuk hukum kepolisian kebiasan.
3. Asas-asas Hukum Kepolisian.
Berbeda dengan The Nine principles of Police di Inggris yang hanya
merupakan pangkal tolak dan sumber dari segala peraturan kepolisian Inggris,
maka di Indonesia “Tri Brata” sebagai asas, selain merupakan pangkal tolak dan
sumber darimana mengalir kaidah dan garis hukum, dia juga merupakan
35
pedoman hidup kepolisian oleh karena asas-asas yang tersimpul di dalamnya
mempunyai hubungan luas dengan kehidupan kepolisian28
. Seperti diketahui
asas-asas yang tersimpul dalam “Tri Brata” adalah :
1. Polisi ialah abdi utama dari nusa dan bangsa;
2. Polisi ialah warga negara utama; dan
3. Polisi ialah wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat.
Jadi, dengan demikian “ Tri Brata” sebagai asas hukum kepolisian Indonesia
tidak saja merupakan patokan-patokan dan batu ujian bagi kaidah-kaidah
kepolisian, akan tetapi juga mengenai kehidupan kejiwaan dari organ polisi,
sehingga mempunyai daya paksa dari dalam untuk menjauhkan pejabat polisi
dari penyelewengan dalam bentuk apapun. Dapat juga dikatakan bahwa “Tri
Brata” merupakan sumber dari kode etik profesi Kepolisian.
Selain tri brata yang merupakan pedoman hidup, kepolisian Indonesia
mempunyai pula “Catur Prasatya” yang merupakan pedoman karya kepolisian,
yang langsung berhubungan dengan pelaksanaan tugas polisi sehari-hari. Di
dalam “Catur Prasatya” itu dinyatakan bahwa :
1. Satya Haprabu atau setia kepada pimpinan negara,
2. Hanyaken Musuh atau menghancurkan musuh,
3. Gineung Pratidina atau mengangung-agungkan negara pada tiap saat,
4. Tansa Tresna atau tiada terikat oleh hal sesuatu, kecuali oleh tugas
masing-masing.
28
Ibid.hal 95-100
36
Di Indonesia, dikenal dengan asas-asas hukum kepolisian menurut
tingkatannya itu :
1. Sapta Marga;
2. Tri brata;
3. Catur Prasetya.
Selain itu, dikenal pula asas-asas pelaksanaan wewenang polisi berupa :
a. Asas Legalitas, ialah asas dimana setiap tindakan polisi harus
didasarkan kepada undang-undang atau peraturan perundang-
undangan. Jika tidak, maka dikatakan bahwa tindakan polisi itu
melawan hukum (onrechtmatig). ; dan
b. Asas Plichmatigheid, ialah asas dimana polisi sudah dianggap sah
berdasarkan atau bersumber kepada keamanan umum. Jadi, kalau
polisi diberi kewajiban untuk memelihara ketertiban dan keamanan
umum, maka untuk asas plichmatigheid ini bisa dijadikan dasar
melakukan tindakan-tindakan. Jadi jelasnya polisi bisa bertindak
menurut penilaiannya sendiri, asal untuk memelihara ketertiban dan
keamanan umum. Asas ini bisa dikaitkan dengan “diskresi”.
37
4. Obyek Hukum Kepolisian.
Tugas polisi sebagai obyek, diatur dan ditentukan oleh hukum kepolisian
mengenai lapangan-lapangan pekerjaan tertentu dan dengan batas-batas tertentu
pula sebagai tugas polisi29
.
Dalam rangka pengaturan tugas ini, maka diadakan juga pemisahan antara
tugas polisi dalam arti luas, yaitu “menjamin tata tertib dan keamanan”, dan
tugas polisi dalam arti sempit “menjamin hukum yang berlaku bagi rakyat”.
Di samping itu, diadakan juga pembedaan (bukan pemisahan) antara tugas
polisi represif dan tugas polisi prevensif.
Dapat dikatakan bahwa bagian hukum kepolisian mengatur tentang tugas ini
merupakan bagian yang mengenai kompetensi kepolisian dan mengatur
kepolisian dalam keadan diam, sehingga bagian ini dikatakan juga sebagai
“hukum kepolisian diam”
Adapula organ yang memberi wewenang yang umum ada juga yang khusus.
Demikianlah dapat kita lihat adanya bagian hukum kepolisian yang
mengatur tentang organisasi dari badan-badan yang melakukan tugas polisi.
Dikenal pula pembedaan antara polisi umum dan polisi khusus.
Maka ditinjau dari segi organ sebagai obyek dapat diadakan pembagian
dalam hukum kepolisian dalam arti luas yaitu meliputi semua badan-badan
kepolisian dan hukum kepolisian dalam arti sempit yang hanya mengenai
kepolisian negara saja (polisi umum).
29
Ibid hal. 100-102
38
Bidang hukum kepolisian yang mengatur tentang organ ini masih termasuk
dalam pembagian “hukum kepolisian diam”. Oleh karena mengatur kepolisian
tidak dalam keadaan melaksanakan tugasnya. Bila organ kepolisisan
melaksanakan tugasnya, maka berarti organ tersebut sudah bergerak, sehingga
timbullah hubungan antara organ dan tugas.
Hubungan itu adalah berupa “pelaksanaan” hukum kepolisian mengatur
hubungan tersebut dalam arti bahwa hukum kepolisian mengatur tentang
bagaimana organ atau pejabat polisi melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Dalam arti yang demikian, dikatakan sebagai “ hukum kepolisian bergerak”.
D. Penegakan hukum penal dan non penal.
1. Kebijakan hukum pidana (Penal) .
Penal dapat diartikan sebagai ditangkap, diproses secara hukum oleh aparat
kepolisian. Istilah ”kebijakan” berasal dari bahasa Inggris ”policy” atau bahasa
Belanda ”politiek Istilah ini dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata
”politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa juga disebut juga politik
hukum pidana30
. Mengenai kebijakan hukum pidana, Solly Lubis menyatakan
bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan
hukum apa yang seharusnya berlaku untuk mengatur berbagai hal kehidupan
bermasyarakat dan bernegara31
. Mahfud MD juga memberikan defenisi politik
hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan
30
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy,.., Ibid, hlm 65. 31
Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1989, hlm. 159.
39
secara nasional oleh pemerintah, hal ini juga mencakup pula pengertian tentang
bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi
kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Secara
konteks hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat
imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsitem yang dalam kenyataannya
bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan
materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya32
.
Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana
yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk
menentukan33
:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan
perubahan atau diperbaharui.
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan.
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.
2. Kebijakan di Luar Hukum Pidana (Non-Penal Policy)
Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat
tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, oleh karena itu, sasaran
utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan
yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara
32
Mahfud M.D, Politik hukum di Indonesia, Jakarta, LP3ES,1998, hlm. 1-2. 33
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 28.
40
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan.dengan demikian
dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini
mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan penting yang harus
diintensifkan dan diefektifkan34
.
Secara universal dalam hal penanggulangan kejahatan, pada Kongres PBB ke-
8 tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders
yang belangsung di Havana, Cuba, menekankan pentingnya aspek sosial dari
kebijakan pembangunan yang merupakan suatu faktor penting dalam pencapaian
strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana, oleh karena aspek-aspek
sosial dalam konteks pembangunan ini harus mendapat prioritas utama. Kongres
ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek social yang ditengarai
sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan. Hal ini disebutkan
dalam Dokumen A/CONF. 144/L.3, yaitu sebagai berikut35
. :
1. kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak
dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok;
2. meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan)
karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan-
ketimpangan sosial;
3. mengendornya ikatan sosial dan keluarga;
34
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum pidana (Perkembangan Penyusunan KUHP Baru), Jakarta, Kencana, 2008, (Selanjutnya disebut Buku III), hlm. 33. 35
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2008, hlm. 57.
41
4. keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi
ke kota-kota atau ke negara-negara lain;
5. rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya
rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan
dan lingkungan pekerjaan;
6. menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong
peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas
lingkungan kehidupan bertetangga;
7. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di
lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya;
8. penyalahgunan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga
diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas;
9. meluasnya aktifitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat
bius dan penadahan barang-barang curian;
10. dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan
sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau
sikap-sikap tidak toleran.
Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan
kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan, yaitu antara lain perencanaan
kesehatan mental masyarakat, kesehatan mental masyarakat secara nasional,
social worker and child welfare (kesejahteraan anak dan pekerja sosial), serta
42
penggunaan hukum civil dan hukum administrasi36
Pendidikan melalui lembaga
sekolah dapat menggunakan pengaruhnya untuk mencegah terjadinya kejahatan
kepada siswa-siswanya melalui peningkatan kepekaan siswa terhadap lingkungan
kehidupannya, baik keluarga, kelompok belajar, maupun lingkungan tempat
tinggalnya. Lebih dari itu sekolah harus melibatkan diri dalam penanggulangan
kejahatan mulai dari tahun-tahun ajaran baru dengan cara mendata secara
komprehensif informasi tentang siswa, baik berupa identitas dan latar belakang
kehidupan mereka, dengan demikian diharapkan sekolah dapat merumuskan
kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan siswanya.
Non-Penal dapat diartikan sebagai sosialisasi kepada masyarakat di sembir,
supaya meninggalkan pekerjaan yang berkaitan dengan Pasal 296 KUHP.
E. Unit Amatan dan hasil Analisis
Unit amatan adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data
dalam rangka menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisis.
Dalam penelitian ini yang dijadikan Unit Amatan adalah Penegakan Hukum
Terhadap Prostitusi.
Terkait dengan topik penelitian penulis, yaitu prostitusi di daerah Salatiga,
Penegakan hukum mempunyai peranan strategis dalam penerapan hukum atau
efektivitas suatu aturan hukum. Penegak hukum atau orang yang bertugas
menerapkan hukum mencangkup ruang dan lingkup yang sangat luas. Sebab,
menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya didalam
36
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy,.., Ibid, hlm 58.
43
melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas harus memiliki suatu pedoman
salah satunya peraturan tertulis tertentu yang mencangkup ruang dan lingkup
tugasnya, dan langkah yang diambil oleh polres salatiga dalam menangani kasus
ini adalah supaya prostitusi yang ada di Salatiga ini khususnya di daerah sembir
tidak mengganggu ketertiban, menjaga ketentraman dan keamanan di dalam
masyarakat.
praktek prostitusi telah ada di daerah Salatiga kelurahan Sarirejo yang
dikenal dengan sebutan Sembir. Tempat prostitusi ini umumnya terdiri dari
rumah-rumah kecil yang dikelola oleh mucikari atau germo yang dulunya sering
digunakan masyarakat sekitar untuk melakukan hubungan intim (seks). Peraturan
daerah (perda) yang melarang segala bentuk pelacuran di Salatiga masih berlaku.
Bahkan pada 1937 di masa kolonial, dalam perda tersebut sudah disebutkan Ver
Ordening Ter Beteugeling Van De Straat Prostitue (peraturan yang membatasi
prostitusi). Dua tahun kemudian diperbarui menjadi Salatigase Bordeel
Verorneing Dua ketetapan itu dipertegas pada era kemerdekaan dengan Perda
Nomor 62 Tahun 1954. Perda terakhir ini hingga sekarang belum pernah direvisi,
diubah ataupun diganti sehingga masih tetap berlaku. Terakhir terdapat
Keputusan Wali Kota Madya Nomor 462.3/328/1998 tanggal 1 Juli 1998 tentang
Penghentian dan Penghapusan Segala Bentuk Kegiatan Tuna Susila dan Usaha
Rehabilitasi serta Resosialisasi dalam Sistem Lokalisasi di Sarirejo37
.
37
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/04/16/183339/Penataan-Sarirejo-
Jangan-Rugikan-Siapa-pun
44
Pada kenyataannya, pada tahun 2011 setelah adanya Peraturan Daerah
(Perda) nomor 4 tahun 2011 pasal 2 dan pasal 3 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Salatiga adalah menjadikan kota Salatiga sebagai alat operasional
pelaksanaan pembangunan di wilayah kota Salatiga, menjadikan pedoman untuk
memformulasikan kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Salatiga,
mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, keseimbangan perkembangan wilayah
kota Salatiga serta keserasian, memberikan arahan bagi penyusunan indikasi
program utama dalam RTRW kota, pengarahan lokasi investasi yang
dilaksanakan Pemerintah dan/atau masyarakat dan penetapan ketentuan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota38
.
Pemerintah telah merubah tempat tersebut yang dulunya menjadi tempat
prostitusi di daerah sarirejo ini yang kini dikenal atau dijuluki oleh masyarakat
setempat sebagai tempat untuk wisata karaoke bagi masyarakat di daerah
salatiga. Tetapi masih saja disalahgunakan oleh masyarakat untuk melakukan
hubungan intim (seks), dimana masyarakat sekitar daerah salatiga ini melihat
bahwa selain mereka yang bekerja sebagai pemandu karaoke ada juga sebagian
dari mereka yang menjajahkan dirinya untuk melakukan hubungan intim kepada
setiap orang yang ingin melakukan hubungan intim.
Prostitusi dapat diartikan juga sebagai perbuatan cabul oleh orang lain dengan
orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebisaan. Dengan
demikian, pelaku prostitusi melakukan perbuatan tersebut selain untuk memenuhi
38
Peraturan daerah kota salatia nomor 4 tahun 2011,tentang rencana tata Ruang Wilayah kota Salatiga
45
kebutuhan seksnya, juga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Prostitusi di kenal juga sebagai penyakit sosial yang hidup di tengah-tengah
masyarakat, yang keberadaannya seperti kebiasaan manusia pada umumnya dan
terus berkembang dalam bentuk-bentuk tindakan prostitusi itu sendiri.
Jika menilik soal Pasal 296 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan
sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan
orang lain dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana dengan
denda paling banyak lima belas ribu rupiah”, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan, bahwa sebagai penegak hukum Kepolisian Salatiga sudah
semestinya mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam menangani masalah-
masalah yang ada, seperti kasus prostitusi di Salatiga ini. Sebagaimana telah
dijelaskan dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (4 dan 5),
perihal Tugas dan Tanggung Jawab Kepolisian adalah memelihara ketertiban dan
menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan
juga menjaga kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat
terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan
nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya
hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina
serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal,
46
mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-
bentuk gangguan lainya yang dapat meresahkan masyarakat39
Polisi dalam menangani kasus prostitusi ini belum sepenuhnya maksimal
dikarenakan masih ada juga tempat-tempat karaoke yang sering menjadikan
tempat tersebut sebagai tempat prostitusi secara tersembunyi yang belum
diketahui oleh pihak kepolisian, dan kepolisian harus lebih sigap dan siap untuk
mengatasi kasus prostitusi di daerah salatiga ini khususnya di kelurahan sidorejo
agar praktek prostitusi tidak terjadi lagi dan tidak menggangu kenyamanan dan
ketertiban masyarakat salatiga khususnya, dan dapat menciptakan iklim yang
kondusif dan sesuai dengan asas Tri Brata dan Catur Prasatya kepolisian.
1. Hasil Wawancara
Dari hasil penelitian melalui wawancara yang diberikan oleh AIPTU Asroni
S.H tentang tindak pidana prostitusi di Salatiga khususnya di daerah Sidorejo,
penulis kembali melakukan wawancara terhadap beliau. Adapun, beliau
menjelaskan tindakan hukum yang dilakukan polres Salatiga dalam
menanggulangi masalah prostitusi di salatiga khususnya di lokalisasi Sarirejo :
1. Tindakan pencegahan, memberikan penyuluhan dengan mengadakan
seminar tentang dampak negatif penyakit masyarakat seperti HIV
AIDS, agar tidak melakukan perbuatan tindak susila di daerah
Salatiga.
39
Undang-Undang Republik Indonesia No.2 tahun 2002 pasal 1 ayat 4 dan 5, tentang kepolisian Republik Indonesia.
47
2. Terkait dengan tugas dan wewenang kepolisan sebagai aparat penegak
hukum, maka pihak kepolisian memberikan sanksi yang sesuai
dengan amanat pasal 296 KUHP ini, dan kepada pelaku yang
menyebabkan atau memudahkan perbuatan tindak pidana dimaksud
akan ditindak tegas40
.
40
Hasil Wawancara AIPTU Asroni S.H Kanit PPA, pada tanggal 12 september 2014