BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00064-AK Bab...
-
Upload
vuongduong -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00064-AK Bab...
9
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Pemahaman tentang Pajak
II.1.1 Pengertian Pajak
Berikut ini beberapa pengertian pajak :
1. Menurut Prof. Dr. P.J.A Andriani, “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan) terutama oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan
tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara menyelenggarakan
pemerintahan.”
2. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat imbalan
jasa (kontra-prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.”
3. Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan tata
cara perpajakan, “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh Orang
Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
10
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa cirri-ciri yang melekat pada
pengertian pajak, adalah:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang
sifatnya dapat dipaksakan.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment.
5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.
II.1.2 Fungsi Pajak
Dari definisi pajak yang telah dijelaskan, ada kesan bahwa pajak
dipungut oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran baik yang
bersifat rutin, maupun untuk pembangunan, padahal sebenarnya fungsi pajak bukan
hanya seperti itu melainkan juga berfungsi untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan dalam bidang sosial dan ekonomi, menurut Waluyo (2000:3) fungsi pajak
digolongkan menjadi 2 yaitu:
1. Fungsi penerimaan (budgeter).
Sebagai alat (sumber) untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam
kas negara dengan tujuna untuk membiayai pengeluaran Negara, yaitu pengeluaran
11
rutin dan pembangunan.
2. Fungsi Mengatur (Regulered)
Sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan,
misalnya bidang ekonomi, politik, budaya, pertahanan keamanan, seperti :
a. mengadakan perubahan-perubahan tarif dan
b. memberikan pengecualian-pengecualian, keringanan-keringanan atau
sebaliknya, yang ditujukan kepada masalah tertentu. Contoh
dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi :
1. Official Assessment System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan yang member wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-ciri Official Assessment System:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajakyang terutang berada
pada fiskus.
b. Wajib Pajak bersifat pasif.
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak
oleh fiskus
12
2. Self Assessment System
Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang member wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib pajak untuk menghitung,
membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang harus dibayar.
3. Withholding System
Sistem ini merupakan pemungutan pajak member wewenang kepada pihak
ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh
Wajib Pajak.
II.1.4 Subjek dan Objek Pajak
Subjek Pajak
Subjek pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang
untuk dikenakan pajak. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak
berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun
Pajak.
Subjek Pajak meliputi :
1. Orang Pribadi
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia ataupun luar Indonesia.
13
2. Warisan yang belum terbagi
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak
pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukkan
warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan
agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut
tetap dapat dilaksanakan.
3. Badan
Pengertian badan mengacu pada Undang-Undang KUP, bahwa badan adalah
sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha, yang meliputi
Perseroan Terbatas, Peseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha
Milik Negara atau dengan nama dan bentuk apa pun, firma, koperasi, dana
pension, perkumpulan, lembaga, dan badan lainnya.
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia
atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka 12 (dua belas)
bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap ini ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri terpisah
dari badan. Perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak
Badan. Pengenaan Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap ini merupakan
eksistensi dan tidak termasuk dalam pengertian Badan.
14
Objek Pajak
Objek Pajak diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk
menghitung pajak terutang. Yang menjadi objek pajak penghasilan, yaitu:
Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib
pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang meliputi :
a. Penggantian atau imbalan yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau yang diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorium, komisi, bonus,gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini ;
b. Hadiah dari undian, pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan ;
c. Laba usaha
d. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk ;
1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada persekutuan,
perseroan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham dan
penyertaan modal ;
2) Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya.
15
3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi
dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4) Keuntungan karena penglihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan social termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil, yang
keuntungannya diatur lebih lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan diantara pihak-pihak
yang bersangkutan; dan
5) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau
seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan
atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
a. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebabkan
sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang ;
c. Dividen dengan nama dan dalam bentuk, termasuk dividen
dari peruahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi ;
d. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
16
e. Sewa dan penghasilan lain yang sehubungan dengan
penggunaan harta;
f. Penerimaan dan pembayaran berkala ;
g. Keuntungan karena pembebasan hutang, kecuali sampai
dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
h. Keuntungan selisih kurs mata uang asing ;
i. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva ;
j. Premi asuransi ;
k. Iuaran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas ;
l. Tambahan kekayaan Neto yang berasal dari penghasilan yang
belum dikenai pajak ;
m. Penghasilan dari usaha berbasis syariah ;
n. Imbalan bunga sebagaiman dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan; dan
o. Surplus Bank Indonesia.
17
Objek Pajak Final (tidak dapat dikreditkan)
Menurut Undang-undang nomor 36 tahun 2008 yang berlaku saat ini
pasal 4 ayat 2 tentang pajak penghasilan yang dapat dikenai pajak final, yang
mana merupakan pajak yang pelaksanaan pengenaan dan pemotongannya diatur
pemerintah :
a. Penghasilan berupa deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi, dan
surat utang Negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. Penghasilan berupa hadiah undian ;
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangnya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura;
d. Pengalihan dari transaksi pengalihan harta seperti Tanah dan / atau
bangunan, usaha jasa kontruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah
dan bangunan; dan Penghasilan tertentu lainnya;
e. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
18
Undang- Undang Perpajakan yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan ini
mengalami beberapa kali perubahan yang merupakan perubahan dari Undang-Undang :
a. Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pemikiran ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263)
b. Nomor 10 tahun 1991 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991
Nomor 93, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3459);
c. Nomor 10 Tahun 1994 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 60, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3567);
d. Undang-Undang No.17 Tahun 2000 ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3985)
e. Terakhir Undang-Undang No.36 Tahun 2008
Biaya Fiskal
Biaya fiskal merupakan biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang No. 36 Tahun 2008 adalah:
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha,antara lain:
1. biaya pembelian bahan
19
2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang
3. bunga, sewa, dan royalti
4. biaya perjalanan
5. biaya pengolahan limbah
6. premi asuransi
7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan
8. biaya administrasi; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dan Pasal 11A
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan
e. kerugian selisih kurs mata uang asing
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
20
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya
telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf k,yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; dan
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
21
Sedangkan yang tidak diperkenankan dikurangkan terhadap penghasilan
bruto suatu badan dan bentuk usaha tetap sesuai pasal 9 ayat 1 UU no.36 tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan antara lain:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-
syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
Wajib Pajak yang bersangkutan;
22
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang
diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
23
Rekonsiliasi
Dalam laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal terdapat
perbedaan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan
biaya. Agar tidak terjadi perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara laporan
keuangan komersial dan fiskal diperlukan rekonsiliasi laporan keuangan.
Hal-hal yang menyebabkan adanya koreksi fiskal adalah:
1. Adanya perbedaan antara SAK dengan UU Perpajakan, antara lain:
a. Perbedaan konsep pendapatan.
Dalam hal-hal tertentu apa yang dianggap pendapatan menurut SAK adalah
bukan pendapatan menurut UU Pajak, misalnya penerimaan berupa
dividen dianggap penghasilan menurut SAK tetapi bukan penghasilan
menurut UU Pajak, sisa cadangan kerugian piutang untuk bank, leasing,
asuransi menurut SAK bukan penghasilan sedangkan dari segi pajak hal itu
dianggap sebagai penghasilan.
b. Perbedaan cara pengukuran pendapatan.
Menurut SAK pendapatan diukur sebesar jumlah yang dibebankan kepada
pembeli, sedangkan menurut pajak akan berbeda apabila ada transaksi yang
nalainya tidak wajar karena hubungan istimewa.
c. Perbedaan konsep biaya.
Biaya menurut SAK adalah semua pengorbanan ekonomis dalam rangka
memperoleh barang atau jasa. Sedangkan biaya menurut pajak adalah biaya
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pengeluaran-
pengeluaran yang ada hubungannya langsung dengan perolehan penghasilan.
24
d. Perbedaan pengukuran biaya.
Cara pengukuran biaya bisa saja berbeda apabila terjadi transaksi yang tidak
wajar karena adanya hubungan istimewa.
e. Pengukuran cara pembebanan biaya atau alokasi biaya antara lain:
1) Dalam pajak metode yang diperbolehkan untuk menghitung
penyusutan adalah metode garis lurus dan saldo menurun dengan tarif
yang telah ditetapkan UU Pajak sedangkan metode yang lain tidak
diakui.
2) Penilaian persediaan yang diakui menurut UU Pajak adalah dengan
menggunakan metode FIFO (first in first out) dan metode rata-rata
(average) sedangkan metode yang lain tidak diakui.
2. Adanya penghasilan yang telah dipotong atau dikenakan PPh final, sehingga
penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari laporan laba rugi komersial (dikoreksi),
misalnya bunga deposito.
Suandy (2001:89) perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan
keuangan fiskal dikelompokkan dalam:
a. Perbedaan waktu (timing difference).
Perbedaan waktu adalah perbedaan yang bersifat sementara karena adanya
ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan beban antara peraturan
perpajakan dengan standar akuntansi keuangan. Contoh : biaya penyusutan dan
biaya amortisasi.
25
b. Perbedaan tetap (permanent difference).
Perbedaan tetap adalah perbedaan yang terjadi karena pada peraturan
perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan perhitungan laba menurut
standar akuntansi keuangan.
Jadi rekonsiliasi dilakukan karena antara laporan keuangan komersial dan
laporan keuangan fiskal berbeda yang disebabkan oleh perbedaan antara pengakuan
penghasilan dan beban serta pengakuan laba menurut perusahaan (SAK) dan menurut
fiskus (UU Perpajakan).
II.1.5 Tarif Pajak Penghasilan
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang PPh No. 17
Tahun 2000, mengatur tarif PPh yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak
(PKP) bagi Wajib Pajak (WP) Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap
(BUT) adalah sebagai berikut :
Tabel II.1
Tarif Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 10%
Diatas Rp 50.000.000 s.d Rp 100.000.000,00 15%
Diatas Rp 100.000.000,00 30%
26
Sedangkan sesuai dengan ketentuan yang baru Undang-Undang PPh No.
36 tahun 2008 Pasal 17, besarnya tariff PPh yang diterapkan atas Penghasilan
Kena Pajak (PKP) bagi Wajib Pajak (WP) Badan Dalam Negeri dan Bentuk
Usaha Tetap (BUT) adalah sebagai berikut :
Tabel II.2
Tarif Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Tahun Pajak Tarif Pajak
Berlaku Tarif Tunggal
(Single Tax)
2009 28%
2010 dan seterusnya 25%
II.1.6 Tarif pajak pasal 31 E
Dalam menghitung pajak penghasilan wajib pajak badan dibagi 2 macam
tarif yaitu : Tarif Umum dan Tarif Khusus.
Tarif umum PPh diatur sesuai pasal 17 undang-undang PPh, yaitu
mempergunakan tarif progresif artinya semakin besar penghasilan maka semakin
besar pula tarif PPh-nya. Pada pasal 31 E ayat 1 adanya pemberian fasilitas
terhadap jumlah peredaran usaha tertentu. Besarnya tarif umum PPh dapat
dibedakan sbb :
27
Tabel II.3
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 31 E
Omzet 2009 2010
Rp 4.800.000.000 14% 12,5%
Diatas Rp 4.800.000.000 sampai
Rp 50.000.000.000
(28%-14%) dikali
( Rp 4,8M/Omzet)
(25%-12,5%) dikali
(Rp 4,8 M/Omzet)
Diatas Rp 50.000.000.000 28% 25%
(Sumber : Muljono, 2010)
II.1.7 Formula Umum Pajak Penghasilan
Mengacu pada Zain (2007), formula umum yang dapat digunakan
untuk mendesain Tax Planning dengan mendasarkan pada perhitungan
pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan kena pajak yaitu :
Jumlah seluruh penghasilan aa
Penghasilan yang dikecualikan bb -
Penghasilan Bruto cc
Biaya fiskal yang boleh dikurangkan dd -
Koreksi : biaya fiskal yang tidak boleh dikurangkan
Penghasilan Neto ee
Kompensasi kerugian ff -
28
Penghasilan kena pajak gg
Tarif pajak hh x
Pajak terutang ii
Kredit pajak jj -
Pajak yang lebih/kurang dibayar kk
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang didasarkan pada formula
umum diatas, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Pengertian penghasilan diatur dalam pasal 4 ayat (1).
2. Penghasilan bukan objek pajak penghasilan diatur dalam pasal 4 ayat
(3).
3. Biaya fiskal dapat dikurangkan diatur dalam pasal 5 ayat (2), pasal 6
ayat (1), pasal 11 dan pasal 11 A sepanjang yang menyangkut
penyusutan harta berwujud dan amortisasi harta tidak berwujud.
4. Koreksi fiskal diatur pasal 9 ayat (1) dan ayat (2).
5. Kompensasi kerugian diatur dalam pasal 6 ayat (2).
6. Penghasilan Tidak Kena Pajak diatur dalam pasal 6 ayat (3)dan pasal 7
7. Tarif pajak diatur dalam pasal 17.
8. Kredit pajak diatur dalam pasal 21, 22, 23, 24, dan pasal 25.
9. PPh kurang bayar atau lebih bayar atau nihil diatur dalam pasal 28, 28
A dan 29.
29
II.2. Pemahaman tentang Tax Planning (Perencanaan Pajak)
II.2.1 Pengertian, Tujuan, dan Manfaat Tax Planning (Perencanaan Pajak)
Menurut Yenni Mangoting, Perencanaan pajak (Tax Planning)
merupakan tahap awal dalam manajemen pajak, yang tujuannya sama dengan
tujuan manajemen keuangan yaitu memperoleh likuiditas dan laba yang cukup.
Perencanaan pajak merupakan upaya dari wajib pajak untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya secara benar, tetapi jumlah pajak dapat ditekan
serendah mungkin untuk mendapat laba dan likuiditas yang diharapkan. Dengan
demikian, dikemudian hari tidak terjadi restitusi pajak atau kurang bayar yang
mengakibatkan dendan dan kewajiban – kewajiban hukum lainnya. Harmanto
(2001:4) mengemukakan, perencanaan pajak (Tax Planning) adalah “suatu
proses pengintegrasian usaha-usaha wajib pajak atau sekelompok wajib pajak
untuk meminimalkan beban atau kewajiban pajaknya, baik yang berupa
penghasilan maupun pajak-pajak yang lain: melalui fasilitas perpajakan
perundang-undangan perpajakan.”
Tujuan perencanaan pajak ditujukan untuk memenuhi hal – hal berikut :
a. Menghilangkan / menghapus pajak yang harus dibayar.
b. Menunda pengakuan penghasilan.
c. Mengubah penghasilan rutin berbentuk capital gain.
d. Memperluas bisnis dan melakukan ekspansi usaha dengan membentuk badan
usaha baru.
e. Menghindari pengenaan pajak berganda.
30
f. Menghindari bentuk penghasilan yang bersifat rutin dan memperbanyak atau
membentuk pengurangan pajak .
Manfaat dari perencanaan pajak adalah :
a. Penghematan kas keluar, dalam hal ini perencanaan pajak dapat
mengurangi beban pajak yang merupakan biaya bagi perusahaan.
b. Mengatur aliran kas (cash flow), dalam hal ini perencanaan pajak dapat
mengestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat
pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas yang
lebih akurat.
II.2.2 Motivasi Dilakukannya Tax Planning (Perencanaan Pajak)
Mengacu pada Suandy (2008), motivasi dilakukannya suatu perencanaan
pajak umumnya bersumber dari tiga unsure perpajakan, yaitu:
a. Kebijakan perpajakan (Tax Policy)
Kebijakan perpajakan merupakan alternative dari berbagai sasaran
yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Dari berbagai aspek
kebijakan pajak, terdapat factor-faktor yang mendorong dilakukannya
suatu perencanaan pajak, yang mencakup perbedaan atas perlakuan
dengan subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan prosedur pembayaran
pajak.
31
b. Undang-undang Perpajakan(Tax Law)
Kenyataan menunjukkan bahwa dimana pun tidak ada undang-
undang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna. Oleh
karena itu, dalam pelaksanaannya selalu diikuti dengan ketentuan-
ketentuan lain (Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri Keuangan, dan Keputusan Dirjen Pajak). Tidak jarang ketentuan
pelaksanaan tersebut bertentangan dengan undang-undang itu sendiri
karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat kebijakan dalam
mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya. Akibatnya terbuka celah
(loopholes) bagi Wajib Pajak untuk menganalisis kesempatan tersebut
dengan cermat untuk perencanaan pajak yang baik.
c. Administrasi Perpajakan(Tax Administration)
Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak adalah
untuk memaksimalkan laba setelah pajak, karena pajak ikut
mempengaruhi pengambilan keputusan atas suatu tindakan dalam operasi
perusahaan untuk melakukan investasi melalui analisis yang cermat dan
pemanfaatan peluang yang ada dalam peraturan yang sengaja dibuat oleh
pemerintah, untuk memberikan perlakuan yang berbeda atas objek yang
secara ekonomi hakikatnya sama dengan memanfaatkan : perbedaan tarif
pajak, perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan
pajak, dan loopholes, shelters, havens.
32
II.2.3 Tahap-tahap Perencanaan Pajak
Dalam melakukan perencanaan pajak, wajib pajak harus mengikuti
perkembangan dan perubahan ketentuan dan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah cara-cara yang lama
masih sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau memungkinkan munculnya fiskal baru akibat adanya perubahan itu.
Menurut Suandy (2003:14), perencanaan pajak dapat berjalan sesuai
dengan tujuannya, harus melalui tahap-tahap berikut ini:
1. Menganalisis informasi yang ada
Tahap pertama dari proses perencanaan pajak adalah menganalisis
komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan
menghitung dengan tepat beban pajak yang harus ditanggung. Untuk itu,
seorang perencana pajak harus memperhatikan faktor-faktor internal
maupun eksternal, yaitu:
a. Fakta yang relevan
Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin ketat,
seorang perencana pajak dalam melakukan perencanaan pajak harus
benar-benar menguasai situasi yang dihadapinya, baik dari segi
internal maupun eksternal serta mengikuti perubahan-perubahan yang
terjadi agar perencanaan pajak dapat dilakukan secara tepat dan
menyeluruh terhadap situasi dan transaksi-transaksi yang berdampak
dalam perpajakan.
33
b. Faktor-faktor Pajak
Dalam menganalisis setiap permasalahan yang dihadapi dalam
penyusunan perencanaan pajak tidak terlepas dari dua hal utama yang
berkaitan dengan:
Sistem perpajakan nasional yang dianut oleh suatu negara.
Sikap fiskus dalam menafsirkan peraturan perpajakan.
c. Faktor-faktor Non Pajak
Beberapa faktor non pajak yang relevan untuk diperhatikan dalam
penyusunan suatu perencanaan pajak antara lain adalah masalah badan
hukum, masalah mata uang dan nilai tukar, masalah pengawasan
devisa, masalah program insentif investasi, masalah faktor non pajak
lainnya, seperti hukum, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
2. Membuat satu model atau lebih rencana besarnya pajak
3. Mengevaluasi perencanaan pajak
4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak
5. Memutakhirkan Rencana Pajak
Walaupun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah
berjalan, namun tetap perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi
baik dari Undang-Undang maupun pelaksanaanya. Pemutakhiran dari
suatu rencana pajak adalah konsekuensi yang perlu dilakukan atas
perkembangan yang akan datang maupun situasi saat ini, dimana seorang
perencana pajak mampu mengurangi resiko atas perubahan dan mampu
mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.
34
Tindakan menghemat pajak dapat dilakukan dengan:
1. Mempertimbangkan pelaksanaan program-program tertentu. Agar perusahaan dapat
bertahan hidup dan berkembang, maka pada saat-saat tertentu harus melakukan
program-program tertentu, seperti program pendidikan atau pelatihan karyawan.
Pelaksanaan program tersebut lebih baik dilaksanakan pada saat perusahaan
memperoleh PKP yang besar.
2. Pengurangan PKP perusahaan melalui penghasilan karyawan. Manajemen
perusahaan yang sehat selalu memperhatikan kesejahteraan karyawan-
karyawannya karena perusahaan akan memperoleh timbal balik dari mereka
selain itu dapat memperkecil PKP.
3. Membagi perusahaan menjadi beberapa perusahaan atau menggabungkanya. Dilihat
dari segi perpajakan, pembagian perusahaan menjadi beberapa perusahaan akan
memberikan manfaat penghematan pajak
4. Pemilihan bentuk usaha. Dilihat dari segi perpajakan maka bentuk usaha
perseorangan, firma, dan perseorangan komanditer merupakan bentuk usaha yang
lebih menguntungkan dibanding bentuk perseroan terbatas karena PT dikenakan
dua kali, pertama pada saat penghasilan diperoleh, sedangkan yang kedua pada
saat pemilik (pemegang saham) menerima atau memperoleh dividen.
Dalam melakukan perencanan-perencanaan pajak perusahaan harus
memperhatikan penghasilan dan biaya yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari
penghasilan bruto (UU No.36 Tahun 2008 pasal 6).Perencanaan pajak yang ditempuh
perusahaan sedapat mungkin memanfaatkan kesempatan (celah) yang
menguntungkan.Oleh karena itu dalam usaha pencapaian perusahaan harus jeli dalam
melihat setiap peluang Undang-undang Perpajakan demi kepentingan usahanya.
35
II.2.4 Alternatif-alternatif Dalam Mengefisiensikan Beban PPh Badan
Mengacu pada Suandy (2003), beberapa alternatif strategi yang biasa
digunakan dalam mengefisiensikan beban PPh Badan adalah :
1. Pembukuan, cash basis atau accrual basis.
Perbedaan antara basis akrual dan basis kas menurut versi perpajakan
adalah terletak pada biaya administrasi dan umum. Pada basis akrual
biaya administrasi dan umum dibebankan pada saat pembayaran. Maka
dari sisi efisiensi pajak lebih menguntungkan memilih accrual basis.
2. Pengelolaan transaksi yang berkaitan dengan pemberian kesejahteraan
kepada karyawan.
Strategi efisiensi PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan
karyawan bergantung dari kondisi perusahaan.
3. Pemilihan metode penilaian persediaan.
Untuk efisiensi pajak terutama dalam kondisi inflasi, maka metode rata-
rata (average method) akan menghasilkan harga pokok penjualan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan metode FIFO. Harga pokok penjualan
yang lebih tinggi akan mengakibatkan laba kotor menjadi lebih kecil
sehingga penghasilan kena pajak juga menjadi lebih kecil.
4. Pemilihan sumber dana dalam pengadaan aktiva tetap.
Untuk pengefisiensian pajak dalam hal pengadaan aktiva tetap dapat
dilakukan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease /
capital lease). Keuntungannya adalah jangka waktunya lebih pendek
36
dari umur aktiva dan pembayaran leasing dapat dibiayakan seluruhnya
(lebih cepat daripada dibiayakan melalui penyusutan jika dibeli
langsung).
5. Pemilihan metode penyusutan aktiva tetap dan amortisasi aktiva tidak
berwujud.
Dua metode yang digunakan adalah metode garis lurus dan metode
saldo menurun. Untuk efisiensi pajak, perlu untuk melihat kondisi
perusahaan. Jika perusahaan dalam kondisi laba yang tinggi maka
metode saldo menurun menguntungkan tetapi jika kondisi perusahaan
dalam keadaan rugi, maka lebih baik memilih metode garis lurus.
Tabel II.4
Metode Penyusutan
Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Penyusutan
Garis Lurus Saldo
Menurun I. Bukan bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
25%
12.5%
6.25%
5%
50%
25%
12.5%
10% II.Bangunan
Permanen
Tidak Permanen
20 tahun
10 tahun
5 %
10%
37
6. Transaksi yang berkaitan dengan withholding tax.
7. Optimalisasi pengkreditan pajak yang telah dibayar.
8. Pemohonan penurunan pembayaran lump-sump (PPh pasal 25 bulanan).
II.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka berpikir merupakan gambaran mengenai hubungan antar
variabel dalam suatu penelitian, yang diuraikan oleh jalan pikiran menurut
kerangka logis.
Gambar II.1 Kerangka Pemikiran
Data keuangan
Evaluasi Tax
Planning
UU PPh
Koreksi fiskal
Neraca
Laporan R/L
SPT
Peraturan
SPT PPh
Simpulan Saran