BAB II KAJIAN PUSTAKA Novel sebagai Karya Sastraeprints.umm.ac.id/38819/3/BAB II.pdf · (intrinsik)...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA Novel sebagai Karya Sastraeprints.umm.ac.id/38819/3/BAB II.pdf · (intrinsik)...
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Novel sebagai Karya Sastra
Karya sastra muncul sebagai bentuk refleksi dari kehidupan masyarakat
dan kejadian-kejadian atau fenomena yang terjadi di alam semesta ini. Sastra
sebagai bentuk refleksi kehidupan tentunya mengandung nilai-nilai. Sugiarti
(2009:165) menyatakan bahwa tata nilai kehidupan manusia dan perubahan sosial
yang menyertai tidak dapat dilepaskan dari sastra.
Penciptaan karya sastra yang merupakan wujud nyata dari imajinasi kreatif
seorang pengarang sangat berkaitan dengan lingkungan yang mengitarinya. Oleh
sebab itu, pengarang tidak hanya menyampaikan ide atau gagasannya ketika
proses penciptaan karya sastra, tetapi juga nilai-nilai yang diperoleh dari
lingkungan tersebut.
Karya sastra yang memuat nilai-nilai kehidupan salah satunya adalah
novel. Novel merupakan salah satu wujud dari karya sastra yang mencerminkan
berbagai persoalan kehidupan yang di dalamnya terdapat proses penciptaan yang
sudah dimasuki oleh kreativitas pengarang. Kata “novel” berasal dari bahasa Itali
yakni novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Novella apabila diartikan
secara harfiah yakni ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan
sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’ (Abrams dalam Nurgiyantoro,
1995:9).
Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan fenomena atau
kejadian yang berhubungan dengan aspek-aspek kemanusiaan yang dibahas secara
10
lebih detail dan mendalam dengan penyajian yang halus. Novel yang ditulis oleh
seorang pengarang mempunyai tujuan yang tidak hanya sekadar menjadi karya
sastra hiburan, namun juga sebagai sebuah karya yang mengamati dan
mempelajari kehidupan dari berbagai sisi. Selain itu, novel juga memuat nilai-
nilai kehidupan yang diharapkan mampu memberi efek positif, serta mengarahkan
pembaca pada tujuan hidup yang lebih arif dan berbudi pekerti luhur.
Dalam penyajiannya novel akan mengupas sesuatu secara bebas dan
menyajikannya secara lebih rinci dan detail, serta lebih banyak melibatkan
pelbagai masalah yang lebih kompleks. Maka dari itu, terdapat unsur-unsur
pembangun yang mampu mendukung cerita novel tersebut. Unsur-unsur
pembangun novel tersebut dapat muncul dari dalam karya sastra itu sendiri
(intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik).
2.1.1 Unsur-unsur Pembangun Novel
Novel mempunyai unsur pembangun yang dapat mengkonstruk cerita di
dalam novel dan menjadi alasan mengapa karya sastra tersebut hadir sebagai
karya sastra. Unsur-unsur pembangun karya sastra tersebut salah satunya yaitu
unsur intrinsik atau unsur yang muncul dari dalam karya sastra. Adapun unsur
pembangun yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu tokoh dan penokohan, dan
setting/latar.
a) Tokoh dan Penokohan
Sebuah karya sastra tidaklah mungkin meninggalkan unsur yang satu ini,
karena unsur tokoh dan penokohan ini merupakan tulang punggung dari sebuah
cerita yang berdiri. Cerita tidak akan dapat berjalan tanpa adanya seorang pelaku
cerita, karena cerita tersebut pasti akan hampa dan kosong.
11
Tokoh adalah pelaku yang melakonkan sebuah cerita. Tokoh (character)
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang
kemudian ditafsirkan mengandung kausalitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan maupun tindakan (Abrams dalam
Nurgiyantoro, 1995:165).
Di samping itu, Aminuddin (2015:79) juga mengemukakan bahwa tokoh
merupakan pelaku-pelaku. Sedangkan penokohan merupakan cara pengarang
dalam menampilkan atau melukiskan tokoh atau pelaku tersebut. Tidak hanya
berfungsi memainkan peran dalam cerita, tokoh-tokoh yang dihadirkan juga
berfungsi sebagai penyampai ide, plot, motif, dan tema (Sumardjo dalam Fananie,
2002:87).
Aspek penokohan merupakan imajinasi pengarang dalam merumuskan dan
membentuk suatu personalitas tertentu dalam ceritanya. Ada beberapa cara yang
dapat digunakan oleh penulis dalam mengembangkan penokohan, seperti
monolog, dialog antartokoh, tindakan atau perilaku tokoh, deskripsi, dan simbol-
simbol. Selain itu, cara sederhana untuk menggambarkan perwatakan seorang
tokoh yaitu dengan memberikan sebuah nama. Setiap penamaan yang diberikan
merupakan semacam menghidupkan, menjiwai, dan mengindividualisasikan tokoh
tersebut.
Setiap tokoh yang dihadirkan oleh pengarang tentu memiliki karakteristik
yang telah dibentuk sedemikian rupa. Di samping itu, pembentukan perwatakan
tokoh juga dapat dipengaruhi oleh latar, salah satunya yaitu latar sosial budaya.
Hal tersebut dikarenakan setiap tempat mempunyai ciri khas tertentu yang
berbeda dengan tempat lain.
12
b) Latar atau Setting
Latar atau setting merupakan tumpuan yang memberikan kesan realitas
tentang suatu cerita kepada pembaca. Latar juga merupakan penunjang bagi para
pembaca untuk memunculkan imajinasi-imajinasi liar. Aminudin (2015:67)
mengungkapkan bahwa sifat fisikal latar berfungsi untuk menciptakan kelogisan
dalam cerita, sedangkan sifat psikologis mampu menggerakkan emosi atau
kejiwaan pembacanya melalui suasana-suasana yang diciptakan.
Pada umumnya terdapat tiga macam latar yaitu latar waktu, tempat, dan
sosial. Ketiganya sama-sama memberikan persoalan yang berbeda dalam suatu
cerita. Fungsi latar dalam sebuah karya sastra tidak terlepas dari permasalahan-
permasalahan lainnya, seperti tokoh, bahasa, tema, atau persoalan-persoalan yang
muncul yang semuanya saling memiliki keterkaitan satu sama lain (Fananie,
2002:98).
Selain fungsi latar yang dikemukakan oleh Fananie di atas, Montague dan
Henshaw (dalam Sukada, 2013:70) berpendapat tentang fungsi latar yang dibagi
dalam tiga ciri. Pertama, latar dapat menempatkan suatu karakter. Kedua, latar
dapat merupakan faktor yang menentukan tema, apabila fungsinya lebih dari
sebagai latar belakang, tetapi kurang dari karakter. Ketiga, latar juga dapat sebagai
penghubung tema. Akan tetapi, secara keseluruhan latar berfungsi untuk
menyempurnakan isi cerita dan menciptakan suasana yang diharapkan mampu
memunculkan kualitas keterangan dan efek cerita (Brook & Warren, dan Potter
dalam Sukada, 2013:71).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa latar dapat menciptakan
kelogisan dalam suatu cerita. Latar berfungsi untuk menyempurnakan cerita yang
13
ditulis oleh pengarang. Selain itu, latar juga dapat memberikan dan membangun
suasana (atmosfir) yang diyakini mampu menghasilkan keterangan dan efek cerita
yang diharapkan.
Dalam menciptakan sebuah latar yang dapat mendukung cerita yang
sedang dibangun, pengarang juga dipengaruhi oleh lingkungan yang
mengitarinya. Tidak jarang pengarang terinspirasi untuk mentransformasikan
lingkungan sekitar ke dalam karya sastra yang ditulisnya. Lingkungan sosial dan
berbagai persoalannya, dan juga lingkungan alam beserta fenomena yang terjadi
di dalamnya. Lingkungan alam telah menjadi bagian dan sumber inspirasi bagi
dunia sastra.
2.2 Ekologi Sastra
Seorang ahli biologi yang berasal dari Jerman bernama Ernst Haeckel
memperkenalkan istilah ekologi untuk pertama kalinya. Haeckel (dalam Zulkifli,
2014:1) mengemukakan bahwa ekologi merupakan cabang sains yang mengkaji
habitat serta interaksi antara benda hidup dengan alam sekitarnya. Secara spesifik,
Haeckel mendefinisikan ekologi sebagai ilmu tentang hubungan timbal balik
antara makhluk hidup dengan lingkungan biotik dan abiotik.
Ekologi berasal dari bahasa Yunani yaitu oikos berarti rumah dan logos
berarti ilmu atau pelajaran. Dalam terminologis, ekologi memiliki arti ilmu yang
mempelajari hubungan antara organisme dengan alam sekitarnya. Menurut
Soemarwoto (dalam Zulkifli, 2014:1) ekologi juga dapat berfungsi sebagai sebuah
pendekatan untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan yang berkaitan
dengan lingkungan hidup.
14
Saat ini ilmu ekologi mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ekologi
tidak hanya digunakan untuk mempelajari alam, struktur, dan fungsinya, tetapi
juga digunakan secara luas dan merujuk pada kajian-kajian. Selain itu, ekologi
pada dewasa ini telah menjadi ilmu interdisipliner. Salah satu wujudnya yaitu
ekologi sastra.
Ekologi dan sastra memang dua hal yang berbeda. Akan tetapi, pada
dasarnya sastra membutuhkan ekologi dan lingkungan karena sastra berada dalam
suatu ekosistem. Sastra berada dalam ekosistem yang khas. Ekosistem tersebut
akan selalu memengaruhi jalannya perkembangan sastra. Ketika ekosistem sastra
tersumbat, sastra akan berjalan lambat. Begitu pula sebaliknya, apabila ekosistem
sastra terus mengalir, maka sastra akan mengalir pula.
Ekologi sastra adalah sebuah cara pandang untuk memahami persoalan
lingkungan hidup dalam perspektif sastra atau sebaliknya. Menurut Endaswara
(2016:17-18), ekologi sastra mempelajari bagaimana manusia beradaptasi dengan
lingkungan alamnya. Spesifikasi lebih tepat akan hubungan antara kegiatan
manusia dengan proses alam juga sedang berusaha ditemukan oleh kajian ekologi
sastra.
Merawat lingkungan berarti menyelamatkannya. Menyelamatkan
lingkungan berarti sekaligus memupuk hadirnya ekologi sastra. Ekologi
merupakan kondisi yang terjadi di sekitar sastrawan (Endraswara, 2016:72).
Kepekaan sastrawan dapat menangkap suasana ekologis yang terkadang dapat
berupa: kacaunya situasi lingkungan, atau keadaan alam yang dapat menyejukkan
dan memberikan inspirasi untuk hidup. Upaya penyelamatan ekologi sastra berarti
juga menjadi pejuang sastra dan penyelamat lingkungan.
15
Sastrawan akan tergores hatinya dan kemudian menitikkan air mata ketika
melihat kondisi lingkungan yang serba kacau. Melalui sebuah karya sastra,
sastrawan dapat mengekspresikan apa yang dirasakan dalam dirinya. Hal tersebut
dikarenakan sastrawan tidak akan pernah terlepas dari dunianya dan lingkungan
sebagai sumber air yang menginspirasinya.
2.3 Ekokritik Sastra
Ekokritik sastra adalah istilah yang berasal dari bahasa Inggris
ecocriticism yang merupakan ilmu interdisipliner antara ekologi dan kritik sastra.
Ekokritik sebagai kritik sastra sendiri tidak terlepas dari kegunaannya, yaitu
memberi penerangan pada masyarakat melalui “penilaian” yang diberikan.
Pradopo (2002:32) mengemukakan bahwa kritik sastra merupakan bidang studi
sastra untuk “menghakimi” karya sastra, untuk memberi penilaian mengenai
bermutu atau tidaknya suatu karya sastra
Kritik memang tidak terlepas dengan penilaian, tetapi tidak sembarang
orang dapat menilai setiap karya sastra. Hal itu disebabkan karena penilaian harus
objektif dan sesuai dengan kriteria penilaian yang berlaku. Hal ini sejalan dengan
pemikiran TS Elliot (dalam Fananie, 2002:20), judge the literariness of literature
by aesthetic criteria. Artinya, penilaian tehadap karya sastra dititikberatkan pada
kriteria estetik, sedangkan pada kebesaran sastra dititikberatkan pada kriteria
ekstra estetik.
Ekokritik sastra muncul sebagai wujud dari perkembangan studi
interdisipliner ekologi. Menurut Sugiarti (2017:111) perkembangan ekologi yang
kini muncul tidak hanya terbatas pada kajian alam saja, tetapi juga dipakai untuk
16
mengkaji bidang lain, salah satunya sastra. Hal itu dikarenakan, sastra secara
komprehensif mengungkap suatu peristiwa yang melibatkan lingkungan sekitar
sebagai objek kajian. Selain itu, keberadaan karya sastra sangat penting karena
sebagai penyeimbang lingkungan fisik dan sosial budaya.
Ekokritik yang diyakini sebagai kritik sastra baru kini mulai menunjukkan
eksistensinya di dunia sastra. Istilah ekokritik (Ecocriticism) diciptakan oleh
Rueckert dalam esainya “sastra dan ekologi” (Juliasih, 2012:83). Ekokritik ini
memiliki definisi yang sangat luas. Dean dalam Western Literature Association
Meeting (WLA Meeting) (1994: 5) berpendapat “ecocriticism is a study of culture
products (art works, writings, scientific theories, etc”. Artinya, ekokritik adalah
studi atau kajian produk budaya (karya seni, novel, teori ilmu pengetahuan, dan
lain-lain) yang di dalamnya terdapat beberapa hal yang mempunyai keterkaitan
dengan hubungan manusia kepada alam raya.
Garrard (dalam Juliasih, 2012:86–87) berpendapat bahwa ekokritik
menekankan pentingnya pengetahuan ekologi untuk mengetahui sikap dan
perilaku manusia, bukan hanya untuk melihat harmoni dan stabilitas lingkungan.
Selain itu, Sugiarti (2017:113) juga mengemukakan bahwa kajian ekokritik sastra,
menekankan pada ekologi, harmoni, dan stabilitas yang ditimbulkan oleh ekologi
postmodern. Melihat semakin pentingnya kajian sastra dengan paradigma ekologi,
maka pengkajian secara komprehensif terhadap aspek-aspek ekologi yang
melingkupinya sudah seyogyanya dilakukan.
Sikap dan perilaku manusia memang sangat berpengaruh terhadap stabilitas
lingkungan. Keduanya saling berhubungan dan semestinya saling memberikan
timbal balik agar keserasian dan kesetaraan hidup dapat tercapai. Akan tetapi,
17
karena keserasian dan kesetaraan tersebut belum atau bahkan tidak tercapai
hingga saat ini, maka muncullah green studies. Ecocriticism atau green studies
membuat para penganalisis menjadi pengamat dan pembaca yang kritis dalam
mendalami ilmu lingkungan alam.
Paradigma dasar ekokritik atau ecocriticism adalah setiap objek dapat dilihat
dalam jaringan ekologis dan ekologi dapat dijadikan ilmu bantu dalam pendekatan
kritik tersebut (Harsono, 2008:33). Kerusakan lingkungan yang muncul
sebenarnya bersumber pada cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri,
lingkungan atau alam, dan terhadap keseluruhan ekosistem (Naess dalam Keraf,
2010:2–4). Manusia secara terus-menerus memanfaatkan sumber daya alam tanpa
memerhatikan dampak yang akan terjadi setelahnya. Padahal manusia mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan makhluk ciptaan lainnya. Maka dari itu, ekokritik
memberi fokus kepada penelitian hubungan antara budaya dan manusia dengan
alam sekitarnya.
Ecocriticism diilhami sebagai sikap dari gerakan-gerakan kritis terhadap
lingkungan modern. Garrard dalam (Endraswara, 2016:37) menelusuri
perkembangan gerakan-gerakan kritis tersebut dan mengeksplorasi konsep-konsep
yang terkait dengan ekokritik, yakni sebagai berikut: (a) pencemaran, (b) hutan
belantara, (c) bencana, (d) perumahan/tempat tinggal, (e) binatang, dan (f) bumi.
Keenam konsep tersebut diyakini selalu bersentuhan dengan manusia.
Kemunculan ekokritik merupakan bentuk konsekuensi logis dari keberadaan
ekologis yang semakin memerlukan perhatian yang lebih dari manusia pada saat
ini. Lingkungan menjadi bagian dari sastra, karena latar/setting dari sebuah karya
sastra tentu lingkungan. Pemahaman sastra atas dasar lingkungan, nantinya akan
18
menguatkan rasa sastra tersebut. Di samping itu, dalam memahami sastra, ilmu
lain pun juga sangat dibutuhkan. Begitu pula dengan ekokritik ini.
Teori ekokritik bersifat multidisipliner. Hal tersebut diungkapkan Harsono
(2008: 35) bahwa ekokritik menggunakan teori sastra pada satu sisi dan
menggunakan teori ekologi pada sisi yang lain. Sastra merefleksikan kerusakan
alam yang terjadi di dunia, apabila ditinjau secara mimesis. Sedangkan jika
ditinjau secara faktual, memang benar adanya kerusakan terjadi di mana-mana.
Hubungan tersebut menjadikan karya sastra sebagai bentuk kritik sosial yang
dapat dijadikan sebagai objek penelitian.
Karya sastra dapat dikatakan sebagai sastra ekokritik apabila memenuhi
sejumlah kriteria yang telah dirumuskan oleh Buell (dalam Endraswara, 2016:91)
antara lain: (1) lingkungan bukan-manusia hadir untuk menunjukkan bahwa
sejarah manusia diimplikasikan dalam sejarah alam; (2) kepentingan manusia
tidak dipahami sebagai satu-satunya kepentingan yang sah (legitimate); (3)
akuntabilitas manusia terhadap lingkungan merupakan bagian dari orientasi etis
dan teks, dan (4) beberapa pengertian lingkungan adalah sebagai suatu proses
bukan sebagai pengertian yang konstan atau suatu pemberian yang paling tidak
tersirat dalam teks.
Sejumlah kriteria yang telah disebutkan di atas merupakan salah satu acuan
yang digunakan untuk melihat dan menetapkan, apakah karya sastra yang
dijumpai tersebut merupakan karya sastra yang mengangkat masalah lingkungan
(sastra ekokritik) atau bukan. Di samping itu, ekokritik yang notabene adalah
bagian dari kritik sastra, tentunya memiliki cara kerja tersendiri. Namun
19
demikian, cara kerja tersebut sedikit banyak hampir sama dengan kritik sastra
yang lain.
Cara kerja ekokritik membutuhkan pertimbangan yang matang untuk
menghasilkan makna yang dalam. Menurut Endaswara (2016:59–60), ada
beberapa cara kerja yang dapat diterapkan untuk mengkaji karya sastra dengan
pendekatan ekokritik antara lain.
(1) Memahami ilmu-ilmu yang berhubungan dengan lingkungan.
(2) Mengamati dan memahami serta peduli terhadap lingkungan.
(3) Mengevaluasi teks dan ide-ide dalam hal kekoherensian dan kegunaannya
sebagai tanggapan terhadap krisis lingkungan. Hal ini dapat dikaji melalui
unsur nilai ekologi yang terdapat dalam karya sastra. Bagaimana koherensi
nilai-nilai ekologi dalam alur, penokohan, latar/setting, dan gaya penceritaan
yang dipilih oleh pengarang.
Secara tidak langsung, ecocriticism menyalurkan tanggapan manusia
terhadap perkembangan lingkungannya. Ekokritik menganggap ada suatu realitas
ekstra-tekstual yang memengaruhi manusia dan artefaknya dan seluruh
kebijaksanaannya (Hariyani, 2016). Tidak mudah untuk menerapkan ecocriticism,
karena untuk melakukan studi terhadap karya sastra yang bersangkutan,
dibutuhkan kajian-kajian yang lebih luas, baik interdisiplin maupun multidisiplin.
Seseorang harus memahami secara mendalam berbagai ilmu yang berkaitan
dengan alam secara menyeluruh. Keberadaan ecocriticism atau green studies
membuat para penganalisis harus bekerja keras dalam mendalami ilmu
lingkungan karena ekokritik berusaha membongkar idealisme yang mampu
diidentifikasi oleh para pendukung dekonstruksi (Endraswara, 2016:62–63).
20
Ekokritik berfokus pada sastra (dan seni) ekspresi pengalaman manusia
terutama yang dialami dan timbal baliknya dalam dunia budaya. Hal tersebut
berbentuk sukacita kelimpahan, penderitaan kekurangan, harapan untuk eksistensi
harmonis, dan ketakutan kehilangan dan bencana. Ecocriticism yang baru
melangkah ini menawarkan visi yang luas bagi kehidupan dan tempat manusia di
alam. Apabila seseorang yang ingin menjadi seorang ekokritik, maka ia harus siap
ketika menjelaskan apa yang dilakukan dan dikritik.
Sastra yang mengambil tema tentang lingkungan hidup di sekitar kita
merupakan suatu bentuk yang dapat dijadikan renungan kepada kita (pembaca)
betapa pentingnya menjaga lingkungan dan merawatnya. Menurut Endraswara
(2016:88) sastra secara tidak langsung dapat membangkitkan: (1) kesadaran
manusia terhadap lingkungannya, (2) kemanisan hidup, dan (3) rasa memiliki
lingkungan sehingga tidak bersikap semena-mena dalam mengelola lingkungan.
Ekokritik mencoba untuk mencari penyelesaian tentang ekologis dengan
memanfaatkan karya sastra sebagai media yang mampu membangun kesadaran
akan isu-isu lingkungan (Maimunah, 2014:328). Di samping itu, manusia dalam
pandangan ekokritik yang dianggap bagian dari alam harus memandang dirinya
sebagai entitas yang sejajar dengan alam. Bukan mengeksploitasi dan menguasai
agar kehidupan mampu berlangsung secara serasi dan ekologi tetap seimbang.
2.4 Konsep Lingkungan Alam
Lingkungan alam adalah salah satu unsur penting dalam kehidupan
manusia. Manusia mendapat tuntutan untuk dapat mengembangkan kehidupan
dan memilih penghidupannya sesuai dengan ketentuan dan kehendak alam. Secara
21
tidak langsung, lingkungan alam dapat membentuk pribadi manusia dan
merealisasikan dirinya dalam alam.
Lingkungan alam merupakan gabungan dari kata “lingkungan” dan
“alam”. Lingkungan hidup adalah semua benda hidup dan mati serta seluruh
kondisi yang terdapat di dalam ruangan yang ditempati manusia (Supardi,
2003:2). Ada dua macam lingkungan yaitu lingkungan fisik dan lingkungan
biotik.
Lingkungan fisik adalah segala benda mati dan keadaan fisik yang ada di
sekitar individu, misalnya bebatuan, mineral, air, udara, unsur-unsur iklim,
kelembapan, angin dan lain-lain. Lingkungan fisik memiliki relasi dengan
makhluk hidup yang menghuninya. Sedangkan lingkungan biotik adalah segala
makhluk hidup yang ada di sekitar individu baik manusia, hewan, dan tumbuhan.
Setiap unsur biotik berinteraksi antarbiotik dan dengan lingkungan fisik/abiotik
(Supardi, 2003:2–3).
Lingkungan alam dapat dibedakan atas lingkungan daratan dan lingkungan
perairan. Rahmadi (2012:3) mengatakan bahwa lingkungan adalah segala sesuatu
yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa di alam semesta. Lingkungan alam yang
ada di dalam bumi adalah sungai, danau, laut, gunung, lembah, dan lain-lain.
Lingkungan alam yang baik adalah lingkungan hidup yang masing-
masing makhluk hidup dan komponen di dalamnya mampu menjalin interaksi
dengan baik. Manusia dan lingkungan alam yang berada di bumi, baik benda mati
atau hidup harus mampu menjalin relasi dengan baik. Hal itu dikarenakan
keduanya membawa fungsi penciptaannya masing-masing.
22
2.5 Kepedulian Tokoh terhadap Lingkungan Alam
Manusia berinteraksi dengan alam dan merupakan bagian dari alam. Tidak
hanya pikiran dan tindakan saja yang diperlukan ketika berinteraksi, tetapi juga
etika atau tata perilaku. Menurut Supardi (2003:2) manusia dengan kecakapan dan
kemampuannya mampu mengubah lingkungan untuk keseimbangan dirinya.
Namun, interferensi manusia terhadap alam, lingkungan, dan ekosistem kini
mengubah struktur alam sehingga keseimbangan ekologi mulai terganggu.
Manusia kini seakan mulai melupakan dan tidak menghiraukan adanya
etika lingkungan, sehingga rasa peduli dalam diri perlahan mulai menghilang.
Secara ideal, segala tindakan yang dilakukan manusia merupakan tindakan
beradab yang dilandasi etika moral dan tanggung jawab. Oleh sebab itu, manusia
dapat dikatakan sebagai makhluk yang berbudaya.
Lingkungan merupakan tempat hidup manusia, tempat bertumbuh dan
berkembangnya manusia. Lingkungan dapat menjadi sumber penghidupan bagi
manusia. Lingkungan juga mempengaruhi karakter, sifat, dan tindakan manusia.
Manusia dapat memperbaiki, mengubah, dan bahkan menciptakan lingkungan itu
sendiri untuk kebutuhan dan kebahagiaan hidup. Namun, manusia harus ingat
bahwa mereka adalah ciptaan Tuhan yang harus tunduk kepada aturan dan hukum
alam (Rusdina, 2015:248).
Pada penelitian ini, bentuk kepedulian tokoh dilihat dari segi bagaimana
sikap (etika) tokoh dalam menyikapi dan memandang lingkungan. Kritik ekologi
tercermin melalui kepedulian tokoh yang ditunjukkan oleh sikap dan cara pandang
terhadap lingkungan tersebut.
23
Manusia sebagai penguasa lingkungan hidup di bumi mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam kelangsungan ekosistem habitat manusia.
Pengambilan tindakan berkaitan dengan hubungan lingkungan yang akan
berpengaruh bagi lingkungan dan manusia. Menurut Bintarto (dalam Rusdina,
2015:251–252) manusia diharapkan mampu menjalankan peran sebagai: the man
behind the technology- the mind behind the technology- the moral behind the
technology.
Dalam mengelola lingkungan manusia harus memerhatikan etika-etika yang
ada. Tanpa suatu jenis etika (teori hak dan tanggung jawab) dan teori-nilai,
sebenarnya manusia akan kekurangan panduan dan arahan untuk menangani
masalah-masalah entah yang bersifat global, lingkungan sekitar atau sebaliknya
(Attfield, 2010:29). Dewasa ini dapat dilihat bahwa perilaku manusia yang
seenaknya sendiri merupakan penyebab utama kerusakan dan pencemaran
lingkungan alam.
Etika lingkungan adalah kebijakan moral manusia dalam berhubungan
dengan lingkungan (Najmuddin, 2005:22). Etika lingkungan hidup dibutuhkan
untuk menuntun manusia agar dapat menjaga keseimbangan alam semesta. Etika
lingkungan hidup menganut beberapa prinsip. Berikut bentuk prinsip-prinsip etika
lingkungan hidup menurut Keraf (dalam Sukmawan, 2016:21).
2.5.1 Sikap Hormat terhadap Alam
Prinsip ini berpandangan bahwa terdapat kewajiban moral terhadap alam
yang harus dimiliki oleh manusia. Sikap tersebut dilandasi atas dasar kesadaran
manusia yang merupakan bagian dari alam dan karena alam mempunyai dirinya
sendiri (Sukmawan, 2016:21). Kehidupan manusia sedikit banyak bergantung
24
pada alam dan manusia merupakan anggota dari komunitas ekologis. Maka dari
itu, alam memiliki hak untuk dihormati.
Dalam perspektif etika lingkungan, landasan atau dasar penghormatan
terhadap alam yakni kesadaran masyarakat mengenai nilai intrinsik alam. Nilai
intrinsik tersebut merupakan alasan alam mempunyai hak untuk dihormati. Bukan
hanya karena alam merupakan tempat bergantung kehidupan manusia, tetapi
manusia merupakan bagian integral dari alam.
Sikap hormat terhadap alam menurut Keraf (2010:167–168) terintegrasi
dalam (1) kesanggupan menghargai alam, (2) kesadaran bahwa alam mempunyai
nilai pada dirinya sendiri, (3) kesadaran bahwa alam memiliki hak untuk
dihormati, (4) Alam mempunyai integritas, dan (5) penghargaan terhadap alam
untuk tinggal, hidup, tumbuh dan berkembang secara alamiah sesuai dengan
tujuan penciptaannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sikap hormat terhadap
alam ini merupakan prinsip yang memandang bahwa manusia adalah bagian dari
komunitas ekologis. Manusia diharapkan dapat mewujudkan sikap ini melalui
kesadaran akan keberadaan alam yang harus dibangun dan ditumbuhkan dari
dalam diri manusia.
2.5.2 Sikap Tanggung Jawab Moral terhadap Alam
Sikap ini menuntut manusia untuk mengambil aksi nyata dalam menjaga
alam semesta secara bersama. Manusia yang hidup dan tinggal di bumi ini
mempunyai tanggung jawab atas kelestarian dan kerusakan alam, bukan hanya
dibebankan pada perseorangan saja. Bentuk tanggung jawab ini yaitu
25
mengingatkan, melarang, dan menghukum siapa saja yang merusak dan
membahayakan alam secara disengaja (Keraf dalam Sukmawan, 2016:22).
Alam tidak akan pernah marah dan murka, apabila ia tidak diganggu.
Suatu keharusan bagi manusia untuk mengingatkan siapa saja yang berusaha
mengganggu, bahkan sampai merusak alam. Perbuatan merusak alam yang
dilakukan secara sengaja dan berkelanjutan, jelas akan menghancurkan alam
secara perlahan. Maka dari itu, bentuk larangan-larangan untuk merusak alam
harus ditegakkan. Begitu pula dengan hukuman yang sudah ditetapkan bagi siapa
saja yang merusak alam, meski nantinya hukum alam akan muncul ke permukaan.
Suprayogo dan Utomo (2017) juga menegaskan bahwa tanggung jawab
yang menyebabkan manusia merasa bersalah ketika ekosistemnya terganggu,
maka manusia selayaknya berdoa dan mengungkapkan rasa bersalahnya. Hal ter-
sebut didasari bahwa secara kosmis mereka ingin menyeimbangkan kembali apa
yang telah kacau. Manusia perlu memiliki kearifan untuk menjaga dan merawat
alam semesta sebagai rumah kediaman yang bernilai pada diri sendiri. Dengan
demikian, wujud sikap tanggung jawab moral terhadap alam akan terbentuk.
2.5.3 Sikap Solidaritas terhadap Alam
Manusia memiliki kedudukan yang sejajar dengan alam dan sesama
makhluk hidup lainnya. Hal tersebut mampu menumbuhkan rasa solidaritas dalam
personalitas manusia.
Sikap solidaritas terhadap alam diintegrasikan dalam (1) sikap turut
merasakan apa yang dirasakan oleh alam; (2) upaya menyelamatkan alam,
mencegah manusia agar tidak merusak dan mencemari alam dan ekosistem di
26
dalamnya; dan (3) usaha mengharmonisasikan tingkah laku manusia dan
ekosistem (Keraf dalam Sukmawan, 2016:23).
Kesejajaran antara manusia, alam, dan makhluk hidup lainnya akan
menghasilkan sesuatu yang positif apabila kesejajaran tersebut dapat diilhami
dengan sikap yang positif pula. Manusia yang merasa memiliki kesejajaran
dengan alam, tentu akan merasakan apa yang dirasakan oleh alam. Dengan ia
bersikap seperti itu, maka ia akan senantiasa berusaha dengan keras
menyelaraskan dan mengharmonisasikan perilakunya. Hal itu dilakukan agar
sikap dan perilakunya diharapkan tidak sampai merusak dan menyentuh alam
dengan hal-hal yang negatif.
Sikap solidaritas terhadap alam ini dapat dijadikan sebagai pengendali
moral manusia. Selain itu, sikap ini juga dapat berfungsi untuk
mengharmonisasikan perilaku manusia dengan ekosistem seluruhnya. Sikap
solidaritas ini juga mendorong manusia untuk mengambil kebijakan pro-alam,
pro-lingkungan hidup, serta menentang setiap tindakan yang merusak alam.
2.5.4 Sikap Kasih Sayang dan Kepedulian terhadap Alam
Sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap alam timbul sebagaimana
sesama anggota komunitas ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk
dilindungi, dipelihara, dirawat, dan tidak disakiti. Sikap kasih sayang ini
menimbulkan keinginan dan perilaku melindungi dan memelihara alam dengan
sebaik-baiknya.
Kasih sayang dan kepedulian manusia terhadap alam sangat diperlukan
agar alam dapat menjamin kesejahteraan lahir batin manusia. Alam bukan hanya
27
menghidupkan manusia dalam pengertian fisik saja, melainkan juga dalam mental
dan spiritual. Sukmawan (2016:24) menyimpulkan bahwa kasih sayang dan
kepedulian manusia terhadap alam disadari oleh kesadaran bahwa (1) semua
makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti; dan
(2) melindungi dan melindungi semua makhluk hidup tanpa mengharap balasan.
Sikap kasih sayang tidak hanya ditujukan dari manusia ke manusia, tetapi
juga dari manusia ke makhluk hidup lainnya. Rasa kasih sayang yang dimiliki
oleh manusia yang ditujukan kepada alam dan sesama makhluk hidup secara
tersirat akan mewujudkan bentuk-bentuk kepedulian. Dengan demikian, manusia
akan mempunyai rasa untuk saling menjaga satu sama lain dan seminimal
mungkin tidak saling menyakiti antara satu sama lain.
2.5.5 Sikap Tidak Mengganggu Kehidupan Alam
Sikap ini merupakan salah satu wujud nilai tenggang rasa manusia. Bentuk
sikap kepedulian yang satu ini pada dasarnya telah terintergasi dalam empat
bentuk sikap-sikap kepedulian yang telah dijelaskan di atas. Meskipun sekilas
tampak berbeda, tetapi secara umum sikap tidak mengganggu kehidupan alam ini
telah disinggung di dalamnya.
Melestarikan lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya berarti
menunjukkan sikap peduli terhadap lingkungan. Hal tersebut dapat ditunjukkan
melalui aksi memelihara, mengelola, memulihkan, serta menjaga lingkungan
hidup.
Selain etika lingkungan, kepedulian tokoh juga dapat dilihat berdasarkan
bagaimana cara tokoh melihat atau memandang lingkungan. Bintarto (dalam
28
Rusdina, 2015:258-259) menyatakan bahwa terdapat beberapa pokok persoalan
mengenai pandangan manusia terhadap lingkungan, antara lain:
a) Cara manusia memandang lingkungan atas dasar kepentingan, baik negatif
maupun positif, individu atau kelompok kepentingan hidup secara keseluruhan.
b) Manusia memanfaatkan lingkungan (sekadar dieksploitasi atau dipikirkan).
c) Manusia mengelola lingkungan. Ada beberapa aspek yang berkaitan dengan
hal ini seperti aspek sosial, budaya, teknik, politik, atau ekonomi yang
semuanya mempunyai daya dukung tersendiri.
d) Manusia menyelamatkan lingkungan. Dalam hal ini, menyelamatkan
lingkungan dapat dilihat melalui pengamanan lingkungan.
2.6 Hubungan Tokoh dengan Lingkungan Alam
Zaman teknologi yang semakin maju mampu meningkatkan perhatian dan
pengaruh manusia terhadap lingkungan. Keanekaragaman kebutuhan hidup
manusia didasarkan pada ketinggian kebudayaan manusia. Besarnya jumlah
kebutuhan manusia yang diambil dari lingkungan menunjukkan bahwa manusia
juga harus menaruh perhatian besar terhadap lingkungan.
Manusia adalah komponen biotik lingkungan yang memiliki daya pikir
dan nalar paling tinggi dibandingkan makhluk lain. Melalui hal tersebut, dapat
diketahui manusia adalah komponen biotik lingkungan teraktif. Hal itu
dikarenakan manusia dapat mengubah dan mengelola tatanan ekosistem sesuai
kehendak mereka (Supardi, 2003:5).
Menurut Yani dan Waluya (2010:11–12) hubungan manusia dan
lingkungan bekerja melalui : (1) manusia dipengaruhi oleh lingkungan, (2)
manusia juga berkemampuan untuk mengubah lingkungannya. Dalam kaitannya
29
bentuk hubungan manusia dan lingkungan terdapat beberapa paham yang akan
menguraikan hakekat dari hubungan tersebut, yaitu paham determinisme,
posibilisme dan optimisme teknologi.
2.6.1 Paham Determinisme
Paham determinisme menjelaskan bahwa alam merupakan faktor penentu
manusia dan perilakunya. Darwin (dalam Yani dan Waluya, 2010:12)
mengemukakan bahwa secara berkesinambungan makhluk hidup mengalami
perkembangan dan terjadi seleksi alam dalam proses perkembangan tersebut.
Alam adalah penentu dalam hal ini. Alam menjadi titik pusat atas segala
yang dilakukan oleh manusia. Sikap atau perilaku baik buruknya manusia sangat
dipengaruhi oleh alam. Baik buruknya perilaku manusia bergantung pada apa
yang dilakukannya terhadap alam. Alam akan memberikan energi yang positif
apabila manusia memberikan energi yang positif pula, begitupun sebaliknya.
Manusia sebagai anggota etnis tentu sering melakukan adaptasi dan
interaksi dalam mengembangkan sesuatu atas dasar lingkungan. Oleh sebab itu,
tidak dapat dipungkiri bahwa secara perlahan hal tersebut akan membawa
perubahan-perubahan kemasyarakatan, karena manusia dan alam selalu hidup
berdampingan dan keduanya saling memberikan sumbangsih.
Paham determinisme memandang manusia sebagai figur yang pasif
sehingga hidupnya dipengaruhi oleh alam sekitarnya. Dengan kata lain, manusia
tidak dapat menentukan hidupnya sendiri. Respon atau tanggapan dalam
menghadapi tantangan alam hanya berupa respon menerima apa adanya. Hal
tersebut dapat ditinjau dari mata pencaharian, kebiasaan, tingkah laku, serta
kebudayaan manusia pada lingkungan tertentu.
30
2.6.2 Paham Posibilisme
Paham ini menjelaskan bahwa kondisi alam bukan merupakan faktor
penentu, melainkan faktor pengontrol yang berkemungkinan memengaruhi
kegiatan atau kebudayaan manusia. Alam hanya sebagai pemberi peluan dan
manusia sendiri yang menentukan peluang yang telah diberikan alam.
Blache (dalam Yani dan Waluya, 2010:13) berpendapat bahwa faktor yang
menentukan bukanlah alam, melainkan proses produksi yang dipilih manusia
berdasarkan kemungkinan yang diberikan oleh alam. Manusia dalam paham ini
bersifat aktif pada pemanfaatan alam, tidak seperti paham determinisme yang
menganggap manusia bersifat pasif.
Paham posibilisme memandang bahwa manusia adalah makhluk yang
berintelektual. Kemampuan intelektual yang dimiliki manusia itulah yang
digunakan manusia untuk merespon peluang yang diberikan alam. Alam
memberikan alternatif (pilihan) dan manusia memberikan tanggapan akan hal itu.
Manusia mempunyai kemampuan berhasrat dan berkeinginan. Selain itu,
manusia juga mempunyai kebebasan untuk memilih apabila ia bersungguh-
sungguh untuk mengambil insiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Kebebasan sejatinya hanya terdapat di dalam diri manusia karena akal budi dan
kehendak bebas yang dimilikinya.
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tentu akan memanfaatkan
kakayaan alam. Akan tetapi, dalam pemanfaatannya harus tetap menjaga
kelestarian alam dan tanpa merusaknya. Tidak menutup kemungkinan bahwa
peluang-peluang yang diberikan oleh alam nantinya akan menjadikan manusia
sebagai pemilik kekuasaan penuh dalam mengendalikan kualitas lingkungan.
31
2.6.3 Paham Optimisme Teknologi
Dalam hubungan manusia dan lingkungan, manusia mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sebagian rahasia alam terungkap dan teknologi untuk
mengeksploitasinya terus berkembang. Melalui teknologi yang berkembang
sekarang, manusia optimis bahwa kebutuhan manusia dapat dijamin dan ditunjang
oleh teknologi tersebut (Yani dan Waluya, 2010: 13).
Dalam paham ini, manusia tidak menjalankan perannya sebagai “the man
behind the technology”. Manusia lebih percaya bahwa teknologi yang
berkembang saat ini merupakan hasil karya dan formula yang dibuat oleh manusia
itu sendiri. Selain itu, mereka memiliki tingkat keoptimisan yang tinggi bahwa
teknologi yang ada saat ini sepenuhnya akan menunjang kebutuhan mereka di
dunia. Manusia seakan lupa bahwa seiring bertambahnya tahun yang akan
membawa mereka menuju ke kehidupan yang berbeda, teknologi akan
menghilang secara perlahan-lahan.
Ketiga paham di atas memiliki komponen kebenarannya masing-masing.
Kegiatan manusia sebagian ditentukan oleh alam. Hal tersebut merupakan
cerminan paham determinisme lingkungan. Akan tetapi, seiring kemajuan zaman
manusia melakukan berbagai macam upaya rekayasa untuk mengoptimalkan
pemanfaatan alam. Maka dari itu, kenyataan paham posibilisme dan optimisme
teknologi kini semakin menunjukkan jati dirinya. Hubungan manusia dan
lingkungan alam memang sangat rumit dan kompleks dalam pembahasannya.
Maka dari itu, ekokritik hadir dengan tujuannya yaitu ingin mentransformasikan
dunia menjadi lebih sehat dan harmonis.