BAB II KAJIAN PUSTAKA -...

30
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka merupakan landasan dalam merencanakan dan melaksanakan perbaikan pembelajaran yang menyajikan berupa teori atau konsep menjadi rujukan dalam membahas hasil penelitian yang terkait dengan masalah yang dirumuskan, dalam hal ini berupa modul dan buku-buku ilmiah, sebagai berikut: 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Hasil Belajar Menurut Hamalik (2002: 146) mengemukakan: Hasil belajar itu sendiri dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah, yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu. Ada dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar yang diperoleh oleh siswa yakni faktor dari dalam diri siswaitu dan faktor datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Faktor kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Hasil belajar siswa 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Disamping faktor kemampuan yang dimiliki siswa juga ada faktor lain, seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis (Susianha, 2009). Menurut Dimyati (2002: 3), Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi belajar yang merupakan tindak lanjut atau cara yang dilakukan untuk mengukur tingkat penguasaan siswa dalam proses pembelajaran yang telah dilakukan, sehingga dengan evaluasi pendidik juga dapat mengukur tentang perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang sesuai tujuan pengajaran. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar.

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA -...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kajian pustaka merupakan landasan dalam merencanakan dan

melaksanakan perbaikan pembelajaran yang menyajikan berupa teori atau konsep

menjadi rujukan dalam membahas hasil penelitian yang terkait dengan masalah

yang dirumuskan, dalam hal ini berupa modul dan buku-buku ilmiah, sebagai

berikut:

2.1. Kajian Teori

2.1.1. Hasil Belajar

Menurut Hamalik (2002: 146) mengemukakan: “Hasil belajar itu sendiri

dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi

pelajaran di sekolah, yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari

hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu”. Ada dua faktor yang

mempengaruhi hasil belajar yang diperoleh oleh siswa yakni faktor dari dalam diri

siswaitu dan faktor datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Faktor

kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai.

Hasil belajar siswa 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi

oleh lingkungan. Disamping faktor kemampuan yang dimiliki siswa juga ada

faktor lain, seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan

belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis (Susianha, 2009).

Menurut Dimyati (2002: 3), “Hasil belajar merupakan hasil dari suatu

interaksi tindak belajar dan tindak mengajar”. Dari sisi guru, tindak mengajar

diakhiri dengan proses evaluasi belajar yang merupakan tindak lanjut atau cara

yang dilakukan untuk mengukur tingkat penguasaan siswa dalam proses

pembelajaran yang telah dilakukan, sehingga dengan evaluasi pendidik juga dapat

mengukur tentang perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan

proses belajar mengajar yang sesuai tujuan pengajaran. Dari sisi siswa, hasil

belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila

dibandingkan pada saat sebelum belajar.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

9

Davis (1987) berpendapat hasil belajar adalah kemampuan yang berupa

pengetahuan, pemahaman dan kemampuan siswa dalam kurun waktu tertentu

yang memprediksikan performance dan kompetensi siswa dalam materi peelajaran

yang dipelajari siswa pada akhir pembelajaran dalam kurun waktu meliputi satu

kurun waktu satu bulan, catur wulan, semester atau satu tahun, berdasarkan tes

prestasi belajar yang ditetapkan sekolah. Prestasi belajar dapat diartikan sebagai

hasil yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam

jangka waktu tertentu. Hasil belajar juga diartikan sebagai kemampuan maksimal

yang dicapai seseorang dalam suatu usaha yang menghasilkan pengetahuan atau

nilai- nilai kecakapan. Nurkancana dan Sunartana (1992) mengatakan hasil belajar

bisa juga disebut kecakapan aktual (actual ability) yang diperoleh seseorang

setelah belajar, suatu kecakapan potensial (potensial ability) yaitu kemampuan

dasar yang berupa disposisi yang dimiliki oleh individu untuk mencapai prestasi.

Kecakapan aktual dan kecakapan potensial ini dapat dimasukkan kedalam suatu

istilah yang lebih umum yaitu kemampuan (ability).

Dari beberapa pengertian hasil belajar diatas dapat disimpulkan bahwa Hasil

belajar adalah kemampuan maksimal yang dimiliki siswa setelah menerima

pengalaman belajarnya, dan sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah

ditetapkan. Yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

Hasil belajar digunakan guru sebagai ukuran dalam mencapai suatu tujuan

pendidikan. Ukuran hasil belajar dapat diperoleh dari aktivitas pengukuran.

Menurut Cangelosi (1995) yang dimaksud dengan pengukuran (Measurement)

adalah suatu proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris untuk

mengumpulkan informasi yang relevan dengan tujuan yang telah ditentukan. Jadi

pengukuran memiliki arti suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara

membandingkan sesuatu dengan satuan ukuran tertentu sehingga data yang

dihasilkan adalah data kuantitatif atau data angka. Untuk menetapkan angka

dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrumen. Dalam

dunia pendidikan instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kemampuan

siswa seperti tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

10

Dari pengertian pengukuran yang telah dipaparkan untuk mengukur hasil

belajar peserta didik digunakanlah alat penilaian hasil belajar. Teknik yang dapat

digunakan untuk mengukur hasil belajar ada 2 yaitu tes dan non tes.

1. Tes

Tes secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan yang

harus dijawab, pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi, atau tugas-

tugas yang harus dilakukan oleh peserta tes dengan tujuan untuk mengukur suatu

aspek tertentu dari peserta tes. Dalam kaitan dengan pembelajaran aspek tersebut

adalah indikator pencapaian kompetensi. Menurut Ebster’s Collegiate (dalam

Arikunto, 1995), tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang

digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan

atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Menurut Endang

Poerwanti, dkk (2008:1-5), tes adalah seperangkat tugas yang harus dikerjakan

atau sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur

tingkat pemahaman dan penugasannya terhadap cakupan materi yang

dipersyaratkan dan sesuai dengan tujuan pengajaran tertentu. Tes adalah

seperangkat pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh

informasi tentang trait atau sifat atau atribut pendidikan yang setiap butir

pertanyaan tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar

(Suryanto Adi, dkk, 2009).

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tes adalah

pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa dengan kriteria-kriteria

yang telah di tentukan. Bentuk dan jenis tes bermacam-macam misalnya:

1. Jenis tes berdasarkan bentuk jawaban

a. Tes esai

tes yang menuntut siswa mengemukakan gagasan-gagasan tentang

materi yang telah dipelajari dalam bentuk tulisan

b. Tes jawaban pendek

Tes dimana peserta didik diminta menuangkan jawabannya dalam

bentuk rangkaian kata-kata pendek, kata-kata lepas, maupun angka-

angka.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

11

c. Tes obyektif

Tes dimana keseluruhan informasi yang diperlukan untuk menjawab

soal telah tersedia.

2. Jenis tes berdasarkan cara mengerjakan

a. Tes Lisan

Pada tes lisan baik pertanyaan maupun jawaban dalam bentuk lisan.

Sehingga tidak memiliki soal maupun jawaban yang baku.

b. Tes Tertulis

Pada tes tertulis baik pertanyaan maupun jawaban dalam bentuk tulisan

2. Non Tes

Teknik non tes sangat penting dalam mengakses siswa pada ranah afektif

dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada aspek

kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes, yaitu:

1. Wawancara

Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi mendalam yang

diberikan secara lisan dan sepontan, tentang wawasan, pandangan atau

aspek kepribadian siswa.

2. Observasi

Observasi terkait dengan kegiatan evaluasi proses dan hasil belajar, dapat

dilakukan secara formal yaitu observasi dengan menggunakan instrumen

yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan kemajuan

belajar siswa, maupun observasi informal yang dapat dilakukan oleh

pendidik tanpa menggunakan instrumen.

3. Task Analisis (Analisis Tugas)

Dipergunakan untuk menentukan komponen utama dari suatu tugas dan

penyusun skills dengan urutan yang sesuai dan hasil berupa daftar

komponen tugas dan daftar skills yang diperlukan.

4. Komposisi dan Presentasi

Siswa menulis dan menyajikan karyanya

5. Proyek Individu dan Kelompok

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

12

Mengintregrasikan pengetahuan dan ketrampilan serta dapat digunakan

untuk individu maupun kelompok.

Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran

dinamakan dengan alat ukur atau instrumen. Instrumen sendiri terdiri atas

instrumen butir-butir soal apabila cara pengukuran dilakukan dengan

menggunakan tes, dan apabila pengukurannya dengan cara mengamati atau

mengobservasi akan menggunakan instrumen lembar pengamatan atau observasi,

pengukuran dengan teknik skala sikap dapat menggunakan instrumen butir-butir

pernyataan. Instrumen sebagai alat yang digunakan untuk mengukur ketercapaian

tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki siswa harus valid,

maksudnya adalah instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya

diukur. Maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah besarnya skor siswa yang diperoleh dari skor tes, diskusi,

kerja lapangan dan presentasi.

Dalam membuat alat ukur yang akan dipergunakan haruslah membuat kisi-

kisi. Kisi-kisi (test blu-printatau table of specification) adalah format atau matriks

pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai topik atau

pokok bahasan berdasarkan kompetensi dasar, indikator dan jenjang kemampuan

tertentu.penyusunan kisi-kisi ini digunakan untuk pedoman menyusun atau

menulis soal menjadi perangkat tes. Dalam menyusun atau menulis kisi-kisi soal

menurut Wardani Naniek Sulistya dkk, (2010, 3.5-3.6) menjelaskan bahwa

Indikator perilaku dalam kisi-kisi merupakan pedoman untuk merumuskan soal

yang dikehendaki. Untuk merumuskan indikator dengan tepat, guru harus

memperhatikan materi yang akan diujikan, indikator pembelajaran, kompetensi

dasar, dan stsndar kompetensi. Indikator yang baik dirumuskan secara singgkat

dan jelas. Dalam hubungan ini kita mengenal ranah kognitif yang dikembangkan

oleh Benyamin S. Bloom dan kawan-kawan yang kemudian direvisi oleh

Krathwoll (2001) revisi Kratwoll terhadap tingkatan dalam ranah kognitif adalah

ingatan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan

kreasi (C6).

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

13

2.1.2 Pembelajaran Matematika SD

Istilah “matematika“ berasal dari bahasa Yunani, “matheirl“ atau

“mantheneirl” yang berarti mempelajari. Kata matematika diduga erat

hubungannya dengan kata sansekerta “Medha” atau “Widya” yang berarti

kepandaian, ketahuan atau intelegensia. Menurut Herman Hudojo (1992:2)

menyatakan bahwa matematika merupakan ide abstrak yang diberi simbol-simbol

yang tersusun secara hierarkis dan penalarannya deduktif,sehingga belajar

matematika itu merupakan kegiatan mental yang tinggi.

Jerome S. Bruner dalam teorinya (dalam Suherman E., 2003;43)

menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses

pengajarannya diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang

termuat dalam materi yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara

konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan struktur yang

tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memehami materi

yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai

suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak.

Dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi

benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu anak akan

melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam

benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak

dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada anak. Ada dua

bagian yang penting dari teori Bruner (dalam Suwarsono, 2002;25) yaitu :

1. Tahap-tahap dalam proses belajar

Jika seseorang mempelajari suatu pengetahuan (Misalnya mempelajari suatu

konsep matematika), pengetahuan itu perlu dipelajari dalam tehap-tahap

tertentu, agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur

kognitif) orang tersebut. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-

sungguh (yang berarti proses belajar terjadi secara optimal) jika pengetahuan

yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga tahap, yang macamnya dan urutannya

adalah sebagai berikut (dalam Suwarsono,2002;26) :

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

14

1. Tahap enaktif, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di

mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan

benda-benda kongkret atau menggunakan situasi yang nyata.

2. Tahap Ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di

mana pegetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk

bayangan visual (visual imagery), gambar, atau diagram, yang

menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat

pada tahap enaktif tersebut di atas.

3. Tahap simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan

itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (Abstract

symbols yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan

kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan), baik

simbol-simbol verbal (Misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-

kalimat) lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang

abstrak lainnya.

2. Teorema-teorema tentang cara belajar dan mengajar Matematika

Teorema-Teorema Tentang Cara Belajar Dan Mengajar Matematika

Menurut Bruner ada empat prinsip prinsip tentang cara belajar dan mengajar

matematika yang disebut teorema. Keempat teorema tersebut adalah teorema

penyusunan (Construction theorem), teorema notasi (Notation

theorem), teorema kekontrasan dan keanekaragaman (Contras and variation

theorem), teorema pengaitan (Connectivity theorem) (dalam Suherman

E., 2003;44-47).

a. Teorema penyusunan (Construction theorem)

Teorema ini menyatakan bahwa bagi anak cara yang paling baik untuk

belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan melakukan

penyusunan representasinya. Pada permulaan belajar konsep pengertian

akan menjadi lebih melekat apabila kegiatan yang menujukkan representasi

konsep itu dilakukan oleh siswa sendiri. Dalam proses perumusan dan

penyusunan ide-ide, apabila anak disertai dengan bantuan benda-benda

konkrit mereka lebih mudah mengingat ide-ide tersebut. Dengan demikian,

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

15

anak lebih mudah menerapkan ide dalam situasi nyata secara tepat. Dalam

hal ini ingatan diperoleh bukan karena penguatan, akan tetapi pengertian

yang menyebabkan ingatan itu dapat dicapai. Sedangkan pengertian itu

dapat dicapai karena anak memanipulasi benda-benda konkrit. Oleh karena

itu pada permulaan belajar, pengertian itu dapat dicapai oleh anak

bergantung pada aktivitas-aktivitas yang menggunakan benda-benda

konkrit.

b. Teorema Notasi

Teorema notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep,

notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam

menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap

perkembangan kognitif siswa. Ini berarti untuk menyatakan sebuah rumus

misalnya, maka notasinya harus dapat dipahami oleh anak, tidak rumit dan

mudah dimengerti. Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya

berurutan dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit. Urutan

penggunaan notasi disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif

anak.

c. Teorema pengkontrasan dan keanekaragaman

Dalam teorema ini dinyatakan bahwa dalam mengubah dari

representasi konkrit menuju representasi yang lebih abstrak suatu konsep

dalam matematika, dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan

keanekaragaman. Artinya agar suatu konsep yang akan dikenalkan pada

anak mudah dimengerti, konsep tersebut disajikan dengan mengontraskan

dengan konsep-konsep lainnya dan konsep tersebut disajikan dengan

beranekaragam contoh. Dengan demikian anak dapat memahami dengan

mudah karakteristik konsep yang diberikan tersebut. Untuk menyampaikan

suatu konsep dengan cara mengontraskan dapat dilakukan dengan

menerangkan contoh dan bukan contoh. Sebagai contoh untuk

menyampaikan konsep bilangan ganjil pada anak diberikan padanya

bermacam-macam bilangan, seperti bilangan ganjil, bilangan genap,

bilangan prima, dan bilangan lainnya selain bilangan ganjil. Kemudian

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

16

siswa diminta untuk menunjukkan bilangan-bilangan yang termasuk contoh

bilangan ganjil dan contoh bukan bilangan ganjil.

d. Teorema pengaitan (Konektivitas)

Teorema ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep

dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi,

namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu

mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya, atau suatu konsep tertentu

diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Misalnya konsep

dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel Pythagoras atau

pembuktian rumus kuadratis dalam trigonometri. Guru harus dapat

menjelaskan kaitan-kaitan tersebut pada siswa. Hal ini penting agar siswa

dalam belajar matematika lebih berhasil. Dengan melihat kaitan-kaitan itu

diharapkan siswa tidak beranggapan bahwa cabang-cabang dalam

matematika itu sendiri berdiri sendiri-sendiri tanpa keterkaitan satu sama

lainnya.

Perlu dijelaskan bahwa keempat teorema tersebut di atas tidak

dimaksudkan untuk diterapkan satu persatu dengan urutan seperti di atas.

Dalam penerapannya, dua teorema atau lebih dapat diterapkan secara

bersamaan dalam proses pembelajaran suatu materi matematika tertentu.

Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari materi atau topik

matematika yang dipelajari dan karakteristik dari siswa yang belajar.

Mulyono Abdurahman (2003:252) menyatakan bahwa matematika adalah

suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi

oleh manusia,suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan

tentang bentuk dan ukuran, menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan

tentang menghitung dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri

manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli tersebut maka dapat diambil

kesimpulan bahwa matematika merupakan suatu ilmu yang tersusun secara

deduktif yang menyatakan hubungan-hubungan dan struktur-struktur yang diatur

menurut aturan yang logis, sistematis dan dilambangkan dengan simbol-simbol

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

17

dimana simbol-simbol tersebut merupakan bahasa yang bebas dari emosi.

Matematika digunakan sebagai wahana yang dapat membentuk dan

mengembangkan cara berfikir yang logis, sistematis, kreatif dan cermat karena

matematika mempunyai karakter yang menuntut manusia yang mempelajarinya

untuk berfikir logis, sistematis, kreatif, kritis dan membutuhkan kecermatan yang

tinggi. Selain itu, matematika merupakan ilmu yang mendasari untuk mempelajari

ilmu lainnya, seperti fisika, biologi, hukum, akuntasi, ekonomi, elektro, kimia,

komputer dan lainnya. Begitu pentingnya matematika dalam kehidupan manusia

dan sebagai salah satu penentu pengusaan ilmu dan bidang lainnya sehingga

matematika digunakan dan ditetapkan menjadi salah satu mata pelajaran yang

wajib diberikan di dunia pendidikan.

Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional BAB I mendefinisikan “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta

didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.” Dalam

kelas, penciptaan situasi tersebut dilakukan oleh warga kelas yang dikendalikan

dan didesain sepenuhnya oleh guru. Tentu saja dalam proses penciptaan

pengendalian kondisi tersebut guru menggunakan suatu pendekatan pembelajaran

tertentu. Udin S Winataputra dan Tita Rosita (1995 : 124) mendefinisikan

“pendekatan pembelajaran sebagai jalan yang digunakan oleh guru atau

pembelajar untuk menciptakan suasana yang memungkinkan siswa belajar.”

Merujuk pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu

pembelajaran di kelas pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai jalan yang

ditempuh guru atau siswa untuk menciptakan suasana kelas yang memungkinkan

siswa untuk belajar. Oleh karenanya, peran guru sangat penting dalam

pembelajaran di kelas, tugas guru adalah mendesain termasuk memilih

pendekatan pembelajaran yang sesuai dan mengendalikan pembelajaran sesuai

dengan pendekatan yang dipilih sehingga tercipta suasana kelas dimana siswa

terkondisi untuk belajar.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka desain dari pendekatan pembelajaran

Matematika harus berorientasi pada upaya bagi siswa untuk : (a) membangun

sikap dan persepsi positif terhadap belajar dan terhadap matematika sebagai objek

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

18

belajar, (b) memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan matematika, (c)

memperluas dan memperbaiki pengetahuan matematika yang dimiliki, (d) mampu

menggunakan pengetahuan matematika yang dimiliki baik dalam belajar

matematika, ilmu-ilmu lain, maupun dalam kehidupan sehari-hari, dan (e)

membangun kebiasaan berfikir produktif.

Desain pendekatan pembelajaran harus mengacu pada objek atau materi

pembelajarannya. Matematika di SD merupakan pelajaran di sekolah yang

memuat sebagai pelajaran, Demuth dalam Herman Majer (1985 : 8-9)

mengemukakan empat konsepsi :

1) matematika berorientasi formalitas.

2) matematika berorientasi pada dunia di sekelilingnya.

3) heuristik yaitu sistem pelajarannya dilatih untuk menemukan sesuatu secara

mandiri dalam pelajaran matematika.

4) matematika sebagai perkakas.

Sejalan dengan pendapat tersebut maka belajar matematika dapat dipandang

sebagai proses mengkonstruksi konsep-konsep matematika dan strategi

penyelesaian masalah.

Merujuk pendapat Freudenthal, Gravvenmeijer (1994) dalam Yansen

Marpaung (2006 : 5-6), bahwa belajar matematika harus dipandang sebagai suatu

proses untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika dan strategi

penyelesaian suatu masalah. Proses tersebut disebut Matematisasi yang dibedakan

menjadi dua, yaitu matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal.

Matematisasi horisontal sebagai proses yang bertolak dari kehidupan nyata ke

dunia simbol sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses membawa hal-

hal matematis ke dalam jenjang yang lebih tinggi.

Dalam peraturan menteri pendidikan nasional tentang standar isi untuk

satuan pendidikan dasar dan menengah menetapkan standar kompetensi dan

kompetensi dasar yang menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi

pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk

penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu

memperhatikan Standar proses dan Standar Penilaian. Adapun standar kompetensi

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

19

dan kompetensi dasar mata pelajaran Matematika di SD kelas IV semester 2 yaitu

dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1

Standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Matematika

untuk SD kelas IV semester 2

2.1.3 Pembelajaran Matematika Realistik

Pembelajaran Matematika Realistik ini merupakan sebuah pendekatan

mengajar matematika hasil terjemahan dari realistic mathematics education yang

dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari

freudenthal institute, Utrecht university di negara Belanda. Pendekatan ini

didasarkan gagasan yang dikembangkan oleh Hans Freudenthal (1905 - 1990),

yang berpendapat bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan

merupakan aktivitas manusia.

Kelas Semester Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

IV

2

5. Menjumlahkan dan

mengurangkan

bilangan bulat

6. Menggunakan

pecahan dalam

pemecahan masalah

7. Menggunakan

lambang bilangan

Romawi

Geometri dan

Pengukuran

8. Memahami sifat

bangun ruang

sederhana dan

hubungan antar

bangun datar

5.1 Mengurutkan bilangan bulat

5.2 Menjumlahkan bilangan bulat

5.3 Mengurangkan bilangan bulat

5.4 Melakukan operasi hitung

campuran

6.1 Menjelas-kan arti pecahan dan

urutannya

6.2 Menyederhanakan berbagai bentuk

pecahan

6.3 Menjumlahkan pecahan

6.4 Mengurangkan pecahan

6.5 Menyelesaikan masalah yang

berkaitan dengan pecahan

7.1 Mengenal lambang bilangan

Romawi

7.2 Menyatakan bilangan cacah

sebagai bilangan Romawi dan

sebaliknya

8.1 Menentukan sifat-sifat bangun

ruang sederhana

8.2 Menentukan jaring-jaring balok

dan kubus

8.3 Mengidentifikasi benda-benda dan

bangun datar simetris

8.4 Menentukan hasil pencerminan

suatu bangun datar

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

20

Dalam pembelajaran dengan pendekatan RME, siswa menemukan sendiri

konsep-konsep dalam matematika dengan cara mereka sendiri. Konsep ini

diharapkan muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang

berkait dengan konteks. Penggunaan soal-soal kontekstual yang berkaitan dengan

kehidupan sehari-hari diharapkan membantu terwujudnya proses pembelajaran

yang bermakna bagi siswa. Treffers dalam http://www.fi.uu.nl menformulasikan

dua tipe matematisasi, yaitu matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal.

Di luar Belanda, RME dikenal sebagai “pendidikan matematika dunia

nyata” (real-world mathematics education). Kebingungan ini ditimbulkan oleh

istilah “realistic” yang dikandung dalam RME. Padahal penggunaan istilah

“realistic” bukan hanya dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan matematika

dengan dunia nyata, melainkan juga terkait dengan penekanan RME untuk

menyajikan masalah-masalah yang dapat dibayangkan siswa dalam pembelajaran.

Bahasa Belanda untuk kata kerja “to imagine” (membayangkan) adalah “zich

realiseren”. Artinya, masalah-masalah yang disajikan kepada siswa dalam

pembelajaran tidak harus berupa konteks-konteks dunia nyata. Dunia fantasi atau

imajinasi, bahkan dunia matematika formal, termasuk dalam konteks yang dapat

digunakan dalam pembelajaran dengan RME, asalkan substansi-substansi tersebut

nyata dalam benak siswa atau dapat dibayangkan oleh siswa (http://www.fi.uu.nl).

Dalam RME, siswa difasilitasi dan didorong untuk melakukan aktivitas-

aktivitas matematik, sehingga siswa secara perlahan mengembangkan

pemahamannya sendiri ke tingkat yang lebih formal (http://www.fi.uu.nl).

Perbandingan Pendekatan Matematika Realistik dengan Pendekatan

Tradisional

Dalam pendekatan pendidikan matematika tradisional, masalah disajikan

secara gamblang dan terurai. Masalah kontekstual kebanyakan digunakan untuk

menarik kesimpulan dalam proses pembelajaran. Masalah kontekstual hanya

berfungsi sebagai sarana mengaplikasikan teori-teori yang telah dipelajari

sebelumnya Sedangkan dalam pendekatan matematika realistik, masalah

kontekstual juga berfungsi sebagai sumber proses pembelajaran. Masalah

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

21

kontekstual dan situasi hidup sehari-hari digunakan untuk merumuskan dan

mengaplikasikan konsep matematis (http://www.fi.uu.nl).

Berbeda dengan pendekatan tradisional, pendekatan matematika realistik

menolak cara mengajar yang berfokus pada prosedur dan mekanisme. Dalam

pengajaran tradisional, materi pembelajaran terpisah ke dalam bagian-bagian kecil

yang tidak bermakna. Selain itu, siswa dijejali dengan prosedur baku, yang harus

digunakan dalam tugas-tugas yang diberikan guru, termasuk dalam tugas individu.

Sebaliknya, pendekatan matematika realistik memiliki konseptualisasi belajar

yang lebih kompleks dan bermakna. Siswa, bukan sebagai penerima bahan jadi,

berperan aktif dalam proses belajar mengajar dimana siswa mengembangkan

pemahaman matematisnya (http://www.fi.uu.nl).

Teori yang diusung oleh PMR sejalan dengan teori yang berkembang saat

ini, antara lain konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual

teaching and learning, disingkat CTL). Pendekatan konstruktivis maupun CTL

mewakili teori belajar secara umum, sedangkan PMR adalah teori pembelajaran

yang dikembangkan khusus untuk matematika (Sutarto Hadi, 2006). Akibatnya

PMR memiliki karakteristik yang serupa dengan kedua pendekatan tersebut.

Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan diciptakan

atau ditemukan secara aktif oleh siswa, bukan diterima secara pasif dari

lingkungan. Pernyataan ini didukung oleh teori Piaget yang menyatakan bahwa

gagasan-gagasan dalam matematika dibuat oleh siswa, bukan ditemukan atau

diterima dari orang lain. Gagasan-gagasan tersebut dikonstruksikan saat siswa

menggabungkannya dengan struktur pengetahuan yang telah dimilikinya.

Menurut konstruktivisme, belajar adalah proses sosial dimana siswa

berkembang menuju kehidupan intelektual bersama dengan lingkungan

sekitarnya. Gagasan matematika secara kooperatif dibangun oleh anggota

kebudayaan tertentu. Dalam hal ini, kelas konstruktivis tidak hanya dipandang

sebagai kebudayaan dimana siswa melibatkan diri dalam berbagai penemuan,

melainkan juga berperan sebagai setting komunikasi sosial yang melibatkan

penjelasan, egosiasi, dan proses berbagi (Riedesel et. al., 1996: 64).

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

22

Kemampuan otak untuk menemukan makna dengan membuat hubungan-

hubungan menjelaskan mengapa siswa yang didorong untuk menghubungkan

tugas sekolah dengan kenyataan saat ini, dengan situasi pribadi, sosial, dan

budaya, serta konteks kehidupan keseharian mereka, akan mampu memasangkan

makna pada materi akademik mereka sehingga mereka dapat mengingat apa yang

mereka pelajari. Jika kehilangan makna, otak mereka akan membuang materi

akademik yang telah mereka terima (Johnson, 2007: 64) CTL adalah suatu

pendekatan pendidikan yang bertujuan menolong siswa melihat makna di dalam

materi akademik yang dipelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek

akademik dengan konteks dalam hidup sehari-hari. CTL adalah sistem yang

menyeluruh, yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Johnson

(2007: 65) menyebutkan delapan komponen dalam CTL, yaitu:

1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna

2) Melakukan pekerjaan yang berarti

3) Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri

4) Bekerjasama

5) Berpikir kritis dan kreatif

6) Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang

7) Mencapai standar yang tinggi

8) Menggunakan penilaian autentik

Merujuk pada pendapat di atas, guru sebaiknya tidak menolak konsep

spontan siswa, melainkan membantu agar konsep itu diintegrasikan dengan

konsep ilmiah. Konsep dan pengetahuan seseorang akan terus berkembang,

sehingga setiap saat seseorang akan mempunyai pemahaman baru akan suatu hal.

Dapat dikatakan bahwa pemahaman seorang siswa tidaklah salah, melainkan

terbatas.

Prinsip dan Karakteristik PMR

PMR, sebagai adopsi RME yang dikembangkan di Indonesia, tidak

digunakan secara persis sama dengan RME yang dikembangkan di Belanda.

Berbagai unsur lokal, terutama dalam hal konteks bahasa, sosial, dan budaya,

merupakan unsur yang sedikit membedakan PMR dengan RME (Sugiman, 2004).

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

23

Perbedaan unsur lokal tersebut berpengaruh pada konteks permasalahan yang

disodorkan dan digali oleh siswa. Namun secara filosofis, PMR memiliki prinsip-

prinsip RME dan memenuhi karakteristik RME.

Gravemeijer (1994: 90) menyebutkan tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu:

1) Penemuan terbimbing dan bermatematika secara progresif

Prinsip penemuan terbimbing berarti siswa diberi kesempatan untuk

mengalami proses pembelajaran yang sama dengan proses yang dilalui oleh

para pakar matematika ketika menemukan konsep-konsep matematika. Hal ini

dapat dilakukan dengan cara mendorong atau mengaktifkan siswa dalam proses

pembelajaran sehingga siswa dapat menemukan atau membangun sendiri

pengetahuan yang akan diperolehnya. Penemuan kembali dapat diupayakan

melalui pemberian masalah nyata atau masalah kontekstual yang mempunyai

beberapa cara penyelesaian. Kegiatan berikutnya adalah matematisasi prosedur

penyelesaian yang sama dan perancangan rute belajar sehingga siswa

menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya.

2) Fenomena didaktik

Prinsip ini berarti bahwa dalam pembelajaran diberikan topik-topik

matematika yang berasal dari fenomena sehari-hari, yang dipilih berdasarkan

dua pertimbangan, yaitu: aplikasi dan kontribusi untuk perkembangan

matematika lanjut. Hal ini merupakan kebalikan dari pembelajaran matematika

pada umumnya, dimana guru berusaha memberitahu cara menyelesaikan

masalah dengan runtut, sehingga siswa dapat langsung mengggunakan

pengetahuan siap pakai tersebut untuk menyelesaikan masalah. Biasanya guru

menyajikan suatu konsep, memberikan contoh dan non contoh, kemudian

siswa diminta untuk mengerjakan soal.

3) Model yang dikembangkan sendiri

Prinsip ini mengandung makna bahwa saat siswa menyelesaikan masalah

nyata, siswa mengembangkan model sendiri sebagai jembatan antara

pengetahuan informal dengan pengetahuan formal. Urutan pembelajaran yang

diharapkan terjadi dalam PMR adalah: penyajian masalah nyata, membuat

model masalah, model formal dari masalah, dan pengetahuan formal. Dengan

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

24

demikian, sangat dimungkinkan terjadi variasi model, yang diharapkan akan

dipahami siswa dalam bentuk pengetahuan matematika formal.

Menurut Gravemeijer (1994: 114 – 115), RME memiliki beberapa

karakteristik sebagai berikut:

1) Penggunaan konteks nyata untuk dieksplorasi

Pembelajaran matematika dengan PMR diawali dari sesuatu yang nyata

atau sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. Melalui abstraksi dan

formalisasi, siswa akan mengembangkan konsep yang lebih lengkap dari

konteks real yang dihadapi. Kemudian siswa mengaplikasikan konsep

matematika tersebut ke dunia nyata, sehingga pemahaman siswa terhadap

konsep tersebut menjadi lebih kuat (Putu Suharta, 2002). Penggunaan konteks

nyata tersebut diwujudkan dalam soal kontekstual.

2) Digunakannya instrumen vertikal atau model

Model yang dimaksud dalam pembelajaran matematika dengan RME

berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh

siswa sendiri. Peran pengembangan model adalah untuk menjembatani situasi

nyata dengan situasi abstrak yang ada dalam dunia pemahaman siswa.

Ada beberapa tahap pemodelan, yaitu: situasional, model-of, model-for,

dan pengetahuan formal. Pada awalnya, situasi dihubungkan dengan aktivitas

nyata. Siswa dapat membayangkan pengalaman yang telah dimiliki, strategi,

dan penerapannya ke dalam situasi. Kemudian siswa menggeneralisasi dan

melakukan formalisasi model menjadi model-of, yaitu ungkapan tertulis.

Kemudian siswa bekerja dengan bilangan menggunakan penalaran matematis

tanpa membayangkan situasi konkretnya. Pada tahap ini, model-of berubah

menjadi model-for, yang pada akhirnya berkembang menjadi pengetahuan

formal (Gravemeijer, 1994: 100– 101).

3) Digunakannya produksi dan konstruksi oleh siswa

Dalam RME ditekankan adanya penggunaan produksi bebas, dimana

siswa didorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang dianggap penting

dalam proses pembelajaran. Strategi informal siswa, berupa prosedur

pemecahan masalah kontekstual, merupakan sumber inspirasi dalam

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

25

pengembangan pembelajaran lanjut, yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan

matematika formal (Putu Suharta, 2002).

4) Adanya interaktivitas

Proses interaksi antara siswa dengan guru maupun antar siswa

merupakan hal yang mendasar dalam RME. Bentuk-bentuk interaksi yang

berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan, ketidak setujuan,

pertanyaan atau refleksi, digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-

bentuk informal yang diperoleh siswa. Pembelajaran matematika menggunakan

RME merupakan suatu aktivitas social, dimana di dalamnya siswa diberi

kesempatan untuk berbagi strategi dan penemuan. Dengan mendengarkan

penemuan teman dan mendiskusikannya, siswa mendapat ide untuk

memperbaiki strategi mereka (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000).

5) Adanya keterkaitan antara beberapa bagian dari materi pembelajaran.

Matematika terdiri dari unit-unit yang saling berkaitan. Jika dalam

matematika, hubungan atau keterkaitan dengan bidang lain tersebut diabaikan,

maka akan berpengaruh terhadap pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan

matematika, diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks. Artinya, bukan

hanya unsur-unsur matematika yang dibutuhkan dalam aplikasinya, melainkan

juga pengetahuan-pengetahuan dalam bidang lain.

Freudenthal dalam Sutarto Hadi (2005 : 8) menyatakan konsep matematika

muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian suatu masalah

yang terkait dengan konteks (context-link solution) atau mematematikakan dunia

nyata, maka secara perlahan siswa mengembangkan alat dan pemahaman

matematika ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari

aktivitas matematika siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas,

sehingga mengarah pada level berfikir matematika ke tingkat yang lebih tinggi.

Mengacu pada pendapat Freudenthal, Akbar Sutawijaya (2001) menyatakan

pendekatan matematika realistik menuntun siswa untuk berfikir menggunakan

pengalamannya mulai dari objek nyata (konkrit) yang bersifat kontekstual bagi

siswa melalui skema atau model ke arah yang abstrak, dengan kata lain, dari

masalah yang bersifat informal ke matematika yang bersifat formal.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

26

Pembelajaran menggunakan pendekatan matematika realistik sesuai dengan

teori perkembangan kognitif anak Jean Piaget yang demikian tahap pertama,

yaitu tahap sensorimotor (0-2 tahun) pada tahap ini anak menggunakan

penginderaan dan aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya. Pada tahap

kedua tahap pra-operasional (2-7 tahun) pada tahap ini anak belajar mengenal

lingkungan dengan menggunakan simbol bahasa, peniruan dan permainan. Tahap

yang ketiga yaitu, tahap konkret operasional (7-11) pada tahap ini anak sudah bisa

melakukan berbagai macam tugas mengkonversi angka melalui tiga macam

proses operasi. Tahap terakhir yaitu tahap formal operasional (11-dewasa) pada

fase ini anak sudah dapat berfikir abstrak, hipotesis, dan sistematis mengenai

sesuatu yang abstrak.

Berdasarkan teori perkembangan kognitif tersebut, diyakini pada usia 7

sampai dengan 11 tahun anak berada pada tahap operasi konkrit. Maka pada tahap

operasional konkrit anak akan lebih mudah memahami sesuatu melalui benda-

benda nyata yang dapat ditangkap oleh panca indra dalam mempelajari sesuatu.

Reewjik dalam Yansen Marpaung (2006 : 5) menyatakan secara singkat

prinsip Pendidikan Matematika Realistik (PMR) sebagai berikut: ”(a) Dunia

nyata, (b) Produksi bebas dan konstruksi, (c) Matematisasi, (d) Interaksi, dan (e)

Aspek pembelajaran secara terintegrasi”. Oleh karenanya hubungan antara belajar

dalam matematika realistik memiliki ciri khusus. Suryanto dalam majalah PMRI

(2007 : 8) mengemukakan kekhususan pembelajaran dengan pendekatan realistik

sebagai berikut:

a) Pengenalan konsep matematika baru dilakukan dengan memberikan kepada

siswa realistic contextual problem (masalah kontekstual yang realistik).

b) Siswa dipersilahkan memecahkan masalah kontekstual yang realistik tersebut

dengan bantuan guru maupun teman yang lainnya. Dengan demikian,

diharapkan siswa re-invent (menemukan kembali) konsep atau prinsip-prinsip

matematis atau menemukan model.

c) siswa diarahkan menemukan dan mendiskusikan penyelesaian mereka (yang

biasanya ada yang berbeda, baik jalannya maupun hasilnya).

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

27

d) Siswa dipersilahkan untuk merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang

telah dikerjakan dan apa yang telah dihasilkan, baik hasil kerja mandiri

maupun hasil diskusi.

e) Siswa juga dibantu agar mengaitkan pelajaran matematika yang ada

hubungannya.

f) Siswa diajak mengembangkan, memperluas atau meningkatkan hasil-hasil

dari pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip matematika yang

lebih rumit.

g) Menekankan matematika sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi, atau

hasil siap pakai. Untuk mempelajari matematika sebagai kegiatan, cara yang

cocok adalah learning by doing (belajar dengan mengerjakan matematika).

Fase-fase model pembelajaran matematika Realistik mengacu pada

Gravemeijer, Sutarto Hadi, dan Treffers yang menunjukan bahwa pengajaran

matematika dengan pendekatan realistik meliputi fase-fase berikut (Kemendiknas,

2010)

1. Fase pendahuluan

Pada fase ini, guru memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal)

yang “riil” atau “real” bagi siswa yang berarti sesuai dengan pengalaman dan

tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara

bermakna.

2. Fase pengembangan.

Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara

informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan.

3. Fase penutup atau penerapan.

Melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap

hasil pelajaran.

Fauzi (2002:) mengemukakan langkah-langkah di dalam proses

pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik, sebagai

berikut:

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

28

1. Memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah

kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk

memahami masalah tersebut.

2. Menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah

siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari

soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran

seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang

belum dipahami.

3. Menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual

menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara

pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan

menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi

siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.

4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan

waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan

mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk

mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi

siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.

5. Menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk

menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.

Soedjadi (2001:3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika

realistik juga diperlukan upaya “mengaktifkan siswa”. Upaya itu dapat

diwujudkan dengan cara (1) mengoptimalkan keikutsertaan unsur-unsur proses

belajar mengajar, dan (2) mengoptimalkan keikutsertaan seluruh peserta didik.

Salah satu kemungkinan adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk

dapat menemukan atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan

dikuasainya. Salah satu upaya guru untuk merealisasikan pernyataan di atas

adalah menetapkan langkah-langkah pembelajaran yang sesuai dengan prinsip dan

karakteristik PMR sebagai berikut :

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

29

Langkah 1. Memahami masalah kontekstual

Guru memberikan masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang

sedang dipelajari siswa. Kemudian meminta siswa untuk memahami masalah

yang diberikan tersebut. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa,

guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum

dipahami siswa.

Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik

pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam

pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.

Langkah 2. Menyelesaikan masalah kontekstual

Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek

matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi

pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan

caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga

dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang

lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas,

sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut.

Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua

menggunakan model.

Langkah 3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban

Guru menyediakan waktu dan kesempatan pada siswa untuk

membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka secara berkelompok,

selanjutnya membandingkan dan mendiskusikan pada diskusi kelas. Pada tahap

ini, dapat digunakan siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya meskipun

pendapat tersebut berbeda dengan lainnya.

Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam

langkah ini adalah karakteristik ketiga yaitu menggunakan kontribusi siswa

(students constribution) dan karakteristik keempat yaitu terdapat interaksi

(interactivity) antara siswa dengan siswa lainnya.

Langkah 4. Menyimpulkan

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

30

Berdasarkan hasil diskusi kelas, guru memberi kesempatan pada siswa

untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur yang terkait dengan

masalah realistik yang diselesaikan.

Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam

langkah ini adalah adanya interaksi (interactivity) antara siswa dengan guru

(pembimbing).

Massova (2008:13) menyebutkan langkah-langkah dalam pembelajaran

matematika realistik adalah sebagai berikut:

1. Memahami masalah atau soal konteks

Guru memberikan masalah / persoalan konstekstual dan meminta siswa

untuk memahami masalah tersebut. Langkah ini sesuai dengan karakteristik

1- PMR, yaitu menggunakan masalah kontekstual

2. Menjelaskan masalah kontekstual

Langkah ini dilaksanakan apabila ada siswa yang belum paham dengan

masalah yang diberikan. Jika semua siswa sudah memahami maka lanagkah

ini tidak perlu dilakukan. Pada lanagkah ini guru menjelaskan situasi dan

kondisi soal dengan memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian

tertentu yang belum dipakai siswa. Langkah ini sesuai dengan karakteristik 4

– PMR, yaitu adanya interaksi antara siswa dengan guru maupun dengan

siswa yang lain.

3. Menyelesaikan masalah kontekstual

Siswa secara kelompok atau individu. Dalam menyelesaikan masalah

atau soal siswa diperbolehkan berdeda dengan siswa yang lain. Dengan

menggunakan lembar kegiatan siswa, siswa mengerjakan soal dalam tingkat

kesulitan yang berbeda. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan

masalah dengan cara mereka sendiri-sendiri. Guru hanya memberikan arahan

berupa pertanyaan langkah atau pertanyaan penggiring agar siswa mampu

menyelesaikan masalah sendiri. Ini sesuai dengan karakteristik 2 – PMR.

4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban

Guru memfasilitasi diskusi dan menyediakan waktu untuk

membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal secara kelompok, dan

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

31

selanjutnya dengan diskusi kelas. Langkah ini sesuai dengan karakteristik 3 –

PMR dan 4 – PMR yaitu menggunakan kontribusi siswa dan interaksi antar

siswa yang satu dengan yang lain.

5. Menyimpulkan hasil diskusi

Guru mengarahkan untuk menarik kesimpulan suatu konsep, lalu guru

meringkas atau menyelesaikan konsep yang termuat dalam soal.

Mengacu pada pendapat-pendapat di atas bahwa secara prinsip pendekatan

matematika realistik merupakan gabungan dari pendekatan konstruktivisme dan

kontekstual, dalam arti memberi kesempatan pada siswa untuk membentuk

(mengkonstruksi) sendiri pemahaman mereka tentang ide, dan konsep

matematika, melalui penyelesaian masalah dunia nyata (kontekstual). Dan

memiliki langkah – langkah sebagai berikut :

1. Memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual

dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah

tersebut.

2. Menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa

mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal

dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya,

terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.

3. Menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individu atau

kelompok menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri.

Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan

menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa

untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.

4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu

dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan

jawaban masalah secara berkelompok dan diskusi kelas. Siswa dilatih untuk

mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi

siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.

5. Menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik

kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

32

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang relevan

Penelitian yang berjudul “Peningkatan Hasil Belajar Matematika Pokok

Bahasan Membandingkan Dua Pecahan Dengan Pendekatan Belajar Aktif Pada

Siswa Kelas III SDN Mutisari Kecamatan Watumalang Kabupaten Wonosobo

Tahun Pelajaran 2008/2009”. Dengan hasil penggunaan pendekatan belajar aktif

meningkatkan hasil belajar siswa mata pelajaran Matematika pokok bahasan

membandingkan dua pecahan kelas III SDN Mutisari Kecamatan Watumalang

Kabupaten Wonosobo tahun pelajaran 2008/2009 dengan prosentase ketuntasan

pada siklus I , II dan III adalah 70; 83,33 dan 100. ( Erwina Andriani W,2009 ).

Kelebihan dari penelitian ini adalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa pokok

bahasan membandingkan dua pecahan. Kekurangan dari penelitian ini adalah

membutuhkan waktu dan banyak siswa yang belum aktif dalam proses

pembelajaran.

Penelitian yang berjudul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Menggunakan

Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Pada Pokok Bahasan

Penjumlahan Bilangan Pecahan Di Siswa Kelas V SD Negeri Sumogawe 01

Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2008/2009”.

Menyatakan hasil bahwa dengan pembelajaran menggunakan matematika realistik

hasil belajar siswa meningkat dari pada sebelum penggunaan matematika realistik.

Matematika realistik dapat disarankan untuk menunjang proses pembelajaran

yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Kelebihan dari

penelitian ini adalah hasil belajar dan keaktifan siswa meningkat. Sedangkan

kekurangan dari penelitian ini adalah kenaikan ketuntasanya terlalu kecil.

Penelitian yang berjudul,”Pembelajaran Pecahan Pengan Pendekatan

Matematika Realistik Indonesia(PMRI) di kelas III MIN Yogyakarta II” hasil

pembelajarannya adalah: Menemukan bahwa terasa sekali siswa dapat menghayati

pelajaran tentang pecahan dan dapat memberikan penjelasan,dapat menemukan

pecahan lain serta paham mencari dan menemukan cara menjawab suatu masalah

serta berkarya dengan kertas-kertas yang sudah dipotong-potong menjadi hiasan

yang menarik. Siswa dapat memahami matematika,jiwa seni dan kreativitas

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

33

berkembang. Budaya diskusi dan kerja sama mewarnai setiap kegiatan

pembelajaran(Ratini,2005)

Penelitian yang berjudul,”Pemanfaatan Media Visual Pada Pendekatan

Pembelajaran Matematika Realistik Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas

Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Islam Terpadu Permata Bunda

Bandar Lampung”,hasil penelitiannya adalah:Menemukan bahwa meningkatnya

hasil b elajar dari setiap siklusnya baik secara individu maupun klasikal. Rata-rata

hasil belajar individu,persentase siswa dengan nilai minimal 70 masing-masing

sebanyak 10%, 68%, dan 84%. Rata-rata hasil belajar siswa secara klasikal 57,4

(siklus I), 76,36 (siklus II), dan 90,8 (siklus III). Kelebihan dari penelitian ini

adalah kenaikan rata-rata hasil belajar sangat meningkat. Sedangkan

kekurangannya adalah belum semua siswa aktif pada saat proses pembelajaran.

Sugeng Sutiarso(2005). Penelitian yang berjudul”Aktivitas Belajar Siswa

Dalam Pembelajaran Sub Topik Pengukuran Waktu di Kelas IIA SD Percobaan 2

Yogyakarta.” hasil penelitiannya adalah: Ditemukan bahwa siswa menggunakan

konteks nyata yang biasa dilakukan siswa,siswa mengkontruksi dan

menyelesaikan masalah dengan cara mereka,siswa bertanya atau mengemukakan

kepada guru atau temannya atas masalah yang dihadapinya.(Suhartini,2005)

Penelitian tersebut relevan dengan penelitian yang kami lakukan karena

sama-sama menggunakan Pendekatan Metematika Realistik sebagai variabel

untuk menyelesaikan masalah.

2.3 Kerangka Berpikir

Kondisi awal hasil belajar Matematika pada materi pecahan masih sangat

rendah di kelas IV SD Negeri 3 Trimulyo, terbukti masih banyak siswa yang

hasil belajarnya di bawah kriteria ketuntasan minimal ( KKM ) ada 78% dari

jumlah siswa. Salah satu penyebabnya yaitu karena guru dalam melakukan

pembelajaran menggunakan metode konvensional yang menitik beratkan metode

ceramah dan di selingi dengan tanya jawab lebih memberikan informasi oleh guru

secara aktif sedangkan siswa hanya melakukan kegiatan mendengarkan dan

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

34

mencatat saja tidak memberikan pengalaman langsung yang mengakibatkan

pembelajaran kurang bermakna dan mempengaruhi hasil belajar siswa.

Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik

mengedepankan pembelajaran yang bersifat kontekstual dan akan memberikan

pengalaman nyata bagi siswa, selanjutnya siswa akan terlibat langsung secara

personal dalam aktivitas matematika. Pendekatan ini memberikan kebebasan

berfikir kepada siswa dengan caranya sendiri, membuat model-model simbolik

dari aktivitas matematika informal, dan pembelajaran berlangsung interaktif yakni

terjadinya komunikasi antara siswa dengan siswa serta antara siswa dengan guru,

dan terdapatnya keterkaitan antara konsep matematika yang dapat membantu

siswa memperoleh banyak pengalaman memecahkan masalah, yang didukung

adanya aktivitas refleksi maka akan menghasilkan kemampuan menyelesaikan

soal matematika lebih baik.

Karakteristik matematika yang tersusun secara hierarkis, meletakkan

kemampuan awal matematika merupakan representasi dari sekumpulan

pengetahuan dan pengalaman siswa tentang matematika memungkinkan siswa

mengembangkan pengetahuan matematika ke jenjang yang lebih tinggi dan akan

mempengaruhi hasil belajar siswa. Untuk meningkatkan hasil belajar, guru

mencoba menggunakan Pendekatan Matematika Realistik adalah sebuah

pembelajaran yang memiliki langkah-langkah sebagai berikut:

1. Memahami masalah kontekstual

Guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan

meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.

2. Menjelaskan masalah kontekstual

Jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru

menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-

petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu

dari permasalahan yang belum dipahami.

3. Menyelesaikan masalah kontekstual

Siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara

mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

35

diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal.

Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka

sendiri.

4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban

Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk

membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok.

Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam

kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan

pembelajaran.

5. Menyimpulkan

Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang

suatu konsep atau prosedur.

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

36

Gambar 2.1

Skema Kerangka berpikir Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika

Tentang Pecahan Melalui Pendekatan Matematika Realistik

KD. Menjelaskan arti pecahan dan urutannya

Pendekatan

Konvensional

Guru ceramah,

tanpa

menggunakan alat

peraga.

Penilaian =

tes formatif

Hasil belajar < KKM

KD. Menjelaskan arti pecahan dan urutannya

Pembelajaran menggunakan

Pendekatan Matematika Realistik

Siswa membagi satu buah apel untuk 2

orang sama besar.

Menjelaskan nilai dari masing-masing

bagian apel yang dibagi dua

Mengerjakan soal tentang pecahan secara

berkelompok

Presentasi hasil kerja kelompok

Membuat kesimpulan dari hasil

pembelajaran

Penilaian

proses

Penilaian

hasil

Hasil

belajar >

KKM

Tes tertulis

Siswa pasif

Membagi siswa menjadi 6 kelompok

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1215/3/T1_292010613_BAB II.pdfJerome S. Bruner dalam teorinya ... (Construction theorem), teorema

37

Kerangka pikir di atas menggambarkan tentang alur penelitian yang

dilakukan. Yang didasarkan pada kondisi awal pembelajaran yang menggunakan

metode konvensional (ceramah) yang berpengaruh pada hasil belajar siswa rendah

≤ KKM. Setelah diberikan tindakan dengan cara menggunaan model

pembelajaran Pendekatan Matematika Realistik kepada siswa dalam proses

belajar mengajar di kelas maka diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa

pada mata pelajaran matematika.

2.4 Hipotesis Tindakan

Dari refleksi hasil kajian pustaka dan kerangka berpikir tersebut di atas

dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

Upaya penggunaan pendekatan matematika realistik diduga dapat

meningkatkan hasil belajar matematika tentang pecahan siswa kelas IV SD N 3

Trimulyo kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo semester 2 tahun

pelajaran 2011/2012.