BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik...

45
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Penelitian mengenai disfemisme telah banyak dilakukan. Penelitian- penelitian ini banyak membantu penelitian yang akan dilakukan. Selain itu, penelitian terdahulu memberi pijakan pengetahuan bagi penelitian ini. Berikut ini beberapa penelitian terdahulu: Penelitian yang berjudul Kesinoniman Disfemisme dalam Surat Kabar Terbitan Palembang oleh Masri dkk. (2001). Penelitian ini menunjukkan bahwa melalui kajian tersebut tidak ada penggunaan sinonim yang mutlak dan sempurna antara disfemisme dan bentuk kebahasaan yang digantikannya. Hal ini dipengaruhi oleh faktor distribusi, kolokasi dan makna emotif dan komponen maknanya. Penelitian yang berjudul Konteks, Acuan, dan Pasrtisipan Disfemisme pada Ujaran Siswa Smp Negeri 3 Ungaran dilakukan Utami dkk. tahun 2010. Penelitian ini menghasilkan konteks munculnya disfemisme pada siswa SMP Negeri 3 Ungaran karena 29 sebab. Konteks-konteks tersebut secara berurutan berdasarkan sebab paling banyak adalah marah (60%), mengejek (5%), meminta (4%); berkomentar dan menggerutu masing-masing 3%; membalas, bercanda, bertanya, kebiasaan, dan terkejut masing-masing 2%, sedangkan konteks lainnya hanya 1%. Disfemisme yang dipakai oleh siswa SMP Negeri 3 Ungaran mengacu pada tujuh hal. Berdasarkan tujuh acuan tersebut, acuan paling banyak digunakan dalam disfemisme adalah binatang (34.50%) lalu profesi (16.96%), sifat 12

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Penelitian mengenai disfemisme telah banyak dilakukan. Penelitian-

penelitian ini banyak membantu penelitian yang akan dilakukan. Selain itu,

penelitian terdahulu memberi pijakan pengetahuan bagi penelitian ini. Berikut ini

beberapa penelitian terdahulu:

Penelitian yang berjudul Kesinoniman Disfemisme dalam Surat Kabar

Terbitan Palembang oleh Masri dkk. (2001). Penelitian ini menunjukkan bahwa

melalui kajian tersebut tidak ada penggunaan sinonim yang mutlak dan sempurna

antara disfemisme dan bentuk kebahasaan yang digantikannya. Hal ini

dipengaruhi oleh faktor distribusi, kolokasi dan makna emotif dan komponen

maknanya.

Penelitian yang berjudul Konteks, Acuan, dan Pasrtisipan Disfemisme

pada Ujaran Siswa Smp Negeri 3 Ungaran dilakukan Utami dkk. tahun 2010.

Penelitian ini menghasilkan konteks munculnya disfemisme pada siswa SMP

Negeri 3 Ungaran karena 29 sebab. Konteks-konteks tersebut secara berurutan

berdasarkan sebab paling banyak adalah marah (60%), mengejek (5%), meminta

(4%); berkomentar dan menggerutu masing-masing 3%; membalas, bercanda,

bertanya, kebiasaan, dan terkejut masing-masing 2%, sedangkan konteks lainnya

hanya 1%. Disfemisme yang dipakai oleh siswa SMP Negeri 3 Ungaran mengacu

pada tujuh hal. Berdasarkan tujuh acuan tersebut, acuan paling banyak digunakan

dalam disfemisme adalah binatang (34.50%) lalu profesi (16.96%), sifat

12

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

13

(16.37%), anggota tubuh (14.62%), sapaan (14.62%), bau (1.17%), dan rasa

(1.17%). Adapun partisipan disfemisme siswa SMP Negeri 3 Ungaran ada dua

jenis, partisipan akrab positif dan partisipan akrab negatif.

Kelaziman pemakaian bentuk disfemisme hanya mempunyai satu kategori,

yakni kelaziman yang hanya berlaku pada konteks tertentu, yang dapat

disebabkan oleh penggunaan unsur metafora, pergeseran kolokasi, dan pergeseran

makna.

Penelitian Pemakaian Disfemisme dalam Kolom Berita Utama Surat

Kabar Joglo Semar yang dilakukan Khasan tahun 2011 berkaitan dengan

penggunaan disfemisme yang ditemukan dalam kolom berita surat kabar Joglo

Semar. Penelitian ini menemukan bentuk disfemisme, faktor-faktor penggunaan

disfemisme, efek dan bentuk sinonim. Implikasi penggunaan disfemisme juga

menjadi bagian dari pembahasan penelitian ini mengingat ini adalah penelitian

yang dilakukan oleh mahasiswa fakultas keguruan dan ilmu pendidikan.

Bentuk disfemisme di dalam kolom berita utama surat kabar Joglo Semar

dikelompokkan menjadi empat, yaitu: (a) kata, seperti kata menyeret dan

membelejeti pada Selain menyeret beberapa pejabat dan tokoh penting, curahan

hati Gayus yang membelejeti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny

Indrayana, ujung-ujungnya membuat suhu Partai Golkar memanas; (b) frasa,

seperti frasa kenyang kekuasaan pada Ical mengemukakan partai yang

dipimpinnya sudah kenyang kekuasaan sehingga tidak akan terpengaruh gonjang-

ganjing koalisi atau perombakan kabinet. Golkar bahkan sudah sangat

berpengalaman dalam kekuasaan, pemerintahan, karena itu Golkar tidak akan

terpengaruh irama irama politik yang ditabuh oleh aktor-aktor politik, ucap Ical;

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

14

(c) klausa, seperti klausa dijatuhkan di tengah jalan pada pada Kalau sampai SBY

dijatuhkan di tengah jalan, tentu dampaknya terhadap negara akan besar; dan (d)

ungkapan, seperti ungkapan bola liar pada Pada bagian lain, testimoni Gayus

juga menjadi bola liar. Partai Golkar mendesak agar penelusuran praktik mafia

pajak di lingkungan Ditjen Pajak diperluas, tak hanya fokus pada kasus Gayus

Tambunan.

Alasan penggunaan bentuk disfemisme di dalam kolom berita utama surat

kabar Joglo Semar, yaitu: (a) menarik perhatian para pembaca, seperti kata

menyeret pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setidaknya butuh dua bukti

awal untuk menyeret Nunun Nurbaeti, orang yang disebut-sebut membagikan cek

pelawat itu pada anggota DPR itu sebagai tersangka; (b) menegaskan pembicaraan

atau menguatkan makna, seperti kata dipecundangi pada kami sebagai tuan

rumah saja dipecundangi oleh wasit apalagi sebagai tim tamu; (c) variasi kata,

seperti kata tewas pada Tiga orang tewas, sementara enam orang lainnya

mengalami luka berat akibat aksi kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di

kampung Pendeuy, Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten, Minggu (6/2);

(d) provokasi, seperti kata digubris pada Kritikan para pegiat antikorupsi rupanya

tidak digubris oleh pemerintah; dan (e) space (ruang), seperti ungkapan bola liar.

Pada Pada bagian lain, testimoni Gayus juga menjadi bola liar.

Efek penggunaan bentuk disfemisme di dalam masyarakat, yaitu: (a)

membentuk pola berbahasa masyarakat menjadi kasar; (b) mudah terpancing

emosi; (c) psikologis menjadi terganggu; dan (d) mengaburkan pemahaman.

Impliasi pada dunia keilmuan, khususnya bidang linguistik, yaitu memberikan

gambaran bahwa penggunaan bentuk disfemisme dapat ditemukan di dalam

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

15

bahasa tulis, khususnya pemakaian bahasa di surat kabar. Hal ini diketahui dengan

ditemukannya penggunaan bentuk disfemisme di dalam kolom berita utama surat

kabar Joglo Semar.

Eufemisme dan Disfemisme dalam Spiegel Online dilakukan oleh

Kurniawati tahun 2011. Eufemisme yang paling banyak muncul berupa satuan

gramatikal frasa. Bentuk satuan gramatikal disfemisme dalam Spiegel Online

berupa kata, frasa, dan kalimat. Muncul dalam Spiegel Online berupa satuan

gramatikal kata. Latar belakang penggunaan eufemisme dalam Spiegel Online

ditafsirkan untuk: (1) menghindari penggunaan kata-kata yang dapat

menimbulkan kepanikan atau ketakutan; (2) tidak menyinggung, menghina, atau

merendahkan seseorang; (3) mengurangi atau tidak menyinggung hal-hal yang

menyakitkan atau tragedi; (4) berdiplomasi atau bertujuan retoris; (5)

menggantikan kata-kata yang dilarang, tabu, vulgar atau bercitra negatif; (6)

merahasiakan sesuatu; (7) menghormati atau menghargai orang lain; (8)

menyindir atau mengkritik dengan halus.

Sementara itu, latar belakang penggunaan disfemisme dalam Spiegel

Online ditafsirkan untuk: (1) menyatakan hal yang tabu, tidak senonoh, asusila;

(2) menunjukkan rasa tidak suka atau tidak setuju terhadap seseorang atau

sesuatu; (3) penggambaran yang negatif tentang seseorang atau sesuatu; (4)

mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan; (5) mengumpat atau memaki; (6)

menunjukkan rasa tidak hormat atau merendahkan seseorang; (7) mengolok-olok,

mencela, atau menghina; (8) melebih-lebihkan sesuatu; (9) menghujat atau

mengkritik; (10) menunjukkan sesuatu hal yang bernilai rendah.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

16

Penggunaan Eufemisme dan Disfemisme pada Tajuk Rencana serta

Implikasinya terhadap Pembelajaran yang dilakukan oleh Febrianjaya dkk. pada

tahun 2013. Hasil penelitiannya adalah terdapat penggunaan eufemisme dan

disfemisme pada tajuk rencana Radar Lampung dan Lanpung Post. Penulis tajuk

rencana Radar Lampung dan Lampung Post lebih banyak menggunakan

disfemisme. Penelitian ini berimplikasi pada pembelajaran bahasa Indonesia di

SMA. Terutama pada pembelajaran berbicara, yaitu menyampaikan kritik dan

persetujuan atau dukungan.

Keempat penelitian tersebut membahas mengenai eufemisme dan

disfemisme ditilik dari beberapa aspek yang berbeda dengan penelitian yang akan

dilakukan. Penelitian pertama, hanya membahas mengenai bentuk sinonim

disfemisme. Penelitian kedua, membahas mengenai acuan, konteks dan partisipan

pada siswa dan kajian ini dapat ditilik dari segi sosiolinguistik maupun pragmatik.

Penelitian ketiga, menghasilkan penemuan mengenai bentuk disfemisme, faktor,

efek dan bentuk sinonim. Hasil penelitian keempat adalah bentuk satuan

gramatikal disfemisme dan latar belakang penggunaan disfemisme. Dari keempat

penelitian terdahulu inilah, penulis merumuskan permasalahan mengenai

disfemisme yang akan dikaji dari sisi semantik. Persamaan penelitian ini adalah

adanya pengkajian mengenai bentuk disfemisme, sedangkan perbedaannya adalah

penelitian ini mengkaji referensi sebagai acuan yang digunakan dan menjadi

kajian dari sisi semantik. Selain itu, penelitian ini juga akan membahas mengenai

fungsi penggunaan disfemisme tersebut.

Perbedaan lain dalam penelitian ini adalah sumber data penelitian.

Penelitian yang sudah dilakukan mengenai disfemisme banyak diambil atau

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

17

menyoroti penggunaan disfemisme dalam kolom berita kriminal di koran-koran,

sedangkan penelitian ini mengambil sumber data penelitian dari media sosial

elektronik, yaitu blog Mojok.Co. Sumber data penelitian juga diambil dari kolom

berita sosial politik yang sedang berkembang di masyarakat. Hal tersebut tentu

menjadi hal baru dalam penelitian mengenai disfemisme. Dengan demikian,

penggunaan disfemisme dapat ditemui dalam berbagai bentuk berita, tidak hanya

dalam kolom kriminal saja. Penelitian ini akan memberikan banyak gambaran

pada masyarakat pengguna bahasa dan masyarakat pada umumnya, bahwa media

massa dimungkinkan dapat menggunakan bentuk disfemisme baik media massa

cetak maupun media massa elektronik sekalipun. Dari permasalahan kriminal

maupun sosial politik yang sedang ramai dibicarakan oleh masyarakat. Dari

permasalahan yang diangkat tersebut, maka penelitian ini menjadi berbeda dengan

penelitian terdahulu dan akan memperkaya pembahasan mengenai kebahasaan

khususnya disfemisme yang selama ini masih kurang dimengerti masyarakat

pengguna bahasa.

B. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori disfemisme dan referen (semantik).

Kedua teori tersebut digunakan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan data

yang ditemukan sehingga tujuan dari penelitian dapat tercapai. Selain itu, dengan

kedua teori ini data dapat dianalisis dengan tepat sesuai dengan rumusan masalah

yang diajukan.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

18

1. Semantik

Penelitian yang akan dilakukan ini membahas mengenai salah satu

bagian dari semantik. Saeed (2003:3) dalam bukunya yang berjudul

Semantics menyatakan bahwa ―semantik adalah ilmu yang mempelajari arti

kata dan kalimat‖. ―Semantik merupakan ilmu tentang makna‖ (Parera,

2004:42). Nick (2010:2) menyatakan bahwa ―semantik merupakan cabang

linguistik yang paling kaya pembahasaannya dan menarik‖.

Selanjutnya Pateda (2001: 2—3) menerangkan mengenai semantik

seperti berikut:

Semantik merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi

tentang makna (arti, Inggris: Meaning). Istilah semantik

berpadanan dengan kata semantique dalam bahasa Perancis

yang diserap dari bahasa Yunani yang diperkenalkan oleh

M. Breal. Di dalam kedua istilah itu (semantics, seman-

tique), sebenarnya semantik belum tegas membicarakan

makna atau belum tegas membahas makna sebagai objek-

nya, sebab yang dibahas lebih banyak yang berhubungan

dengan sejarahnya Pateda (2001: 2—3).

―Semantik sebagai ilmu mempelajari kemaknaan di dalam bahasa

sebagaimana apa adanya dan terbatas pada pengelaman manusia. Semantik

membicarakan kebermaknaan kata dan kalimat yang lebih bersifat verbal‖

(Pateda, 2001:15). Pateda (2001) juga menerangkan bahwa ―semantik

merupakan studi tentang makna. Makna yang dimaksud adalah makna unsur

bahasa, baik kata maupun kalimat‖ (Pateda, 2001:25).

Subroto (2011:10) menyatakan bahwa ―semantik mengkaji arti

lingual yang tidak terikat oleh konteks. Arti yang hadir tersebut dikarenakan

untuk membahasakan suatu satuan nomina, gagasan atau pemikiran,

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

19

perasaan, keinginan, harapan, perbuatan, peristiwa, kejadian atau keadaan‖

(Subroto, 2011:13).

Selanjutnya, Subroto (2011:30) menerangkan lebih lanjut mengenai

semantik sebagai berikut:

Semantik pada dasarnya mempelajari masalah arti yang

dalam semantik hanya dibatasi pada semantik leksikal.

Semantik leksikal khusus mempelajari arti yang lebih kurang

tetap yang terdapat pada kata-kata suatu bahasa. Arti leksikal

itulah yang sebagaimana lazimnya dimuat di dalam kamus

bahas itu. Di dalam semantik leksikal diteliti tipe-tipe arti

yang terdapat pada bahasa itu, masalah keberartian suatu

kata, hakikat arti kata, dan cara-cara memerikan arti kata,

masalah kesinoniman, keantoniman, kepoliseminan, kehipo-

niman dan kehomoniman suatu kata (Subroto, 2007:30).

Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan

Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

kebahasaan memiliki hubungan bentuk dan makna dengan satuan

kebahasaan yang lain. Selain itu, satuan-satuan kebahasaan dimungkinkan

memiliki berbagai makna‖. Michel Breal dalam Ullman (2012:7)

menyatakan bahwa ―semantik adalah ilmu tentang makna‖. Selanjutnya,

menurut Wijana (2011:3) makna adalah sebagai berikut:

Konsep abstrak pengalaman manusia, tetapi bukanlah

pengalaman orang per orang. Bila makna merupakan

pengalaman orang per orang maka setiap kata memiliki

berbagai macam makna karena pengalaman individu yang

satu dengan yang lainnya berbeda-beda, tidak mungkin

sama

Berdasarkan pemaparan teori semantik dari berbagai ilmuan

bahasa tersebut maka dapat disimpulkan bahwa semantik merupakan

cabang ilmu linguistik yang membahas mengenai makna suatu satuan

lingual kebahasaan. Satuan lingual kebahasaan dapat dimaknai sesuai

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

20

dengan apa yang ada dalam pengetahuan masyarakat secara umum. Dari

cabang ilmu linguistik ini, manusia dapat memahami kata-kata yang

memiliki keberagaman makna dan belum diketahui banyak orang,

misalnya dalam suatu komunitas tertentu menggunakan bahasa yang

mereka bentuk secara bersama-sama dalam komunitasnya tersebut.

Masyarakat luas tidak akan memahami jika tidak melakukan interaksi

secara langsung dengan anggota komunitas tersebut. Makna kata yang

mereka gunakan juga mereka bentuk sendiri sehingga orang lain tidak

akan memahami makna ucapan mereka. Dengan adanya interaksi dari luar

masyarakat sebagai bentuk penelitian, hasilnya dapat dibaca masyarakat

secara luas, yang akan menambah wawasan masyarakat luas mengenai

makna suatu satuan lingual kebahasaan.

2. Perubahan Makna

Pateda (2001:158) dalam bukunya yang berjudul Semantik Leksikal

memiliki deskripsi mengenai perkembangan bahasa sebagai berikut:

Bahasa berkembang terus sesuai dengan perkembangan

pemikiran pemakai bahasa. Karena pemikiran manusia

berkembang, pemakaian kata dan kalimat berkembang

pula. Perkembangan tersebut dapat berwujud penambahan

atau pengurangan. Karena manusia menggunakan kata-kata

dan kalimat dan sejalan dengan itu kata dan kalimat

berubah terus, dengan sendirinya maknanya pun berubah

(Pateda, 2001:158).

Selanjutnya Pateda (2001) menerangkan mengenai perubahan

makna sebagai berikut:

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

21

Perubahan makna meliputi: pelemahan, pembatasan,

penggeseran, perluasan, dan juga kekaburan makna.

Perubahan tersebut dapat terjadi karena perubahan kata

dari bahasa lain, bahasa daerah ke bahasa Indonesia.

Perubahan makna juga terjadi karena lingkungan,

pertukaran tanggapan indra, adanya gabungan leksem,

tanggapan pemakai bahasa, maupun akibat asosiasi

pemakai bahasa terhadap sesuatu (Pateda, 2001:159).

Ullman (2012: 251—262) menyebutkan sebab-sebab perubahan

makna seperti berikut:

1) Sebab-sebab yang bersifat kebahasaan

Breal dalam Ullman (2012) pernah mengemukakan adanya

proses penularan. Dalam arti makna sebuah kata mungkin dialihkan

kepada kata yang lain hanya karena kata-kata itu selalu hadir bersama-

sama dalam banyak konteks. Sebagai contoh adalah sejarah bentuk

ingkar dalam bahasa Perancis. Sejumlah kata yang tadinya

mempunyai makna positif memperoleh nilai negatif karena kata-kata

itu sering dipakai dalam gubungan dengan partikel negatif ‗tidak‘.

Dalam bahasa Indonesia contohnya sebagai berikut:

(2) “Di mana Pamanmu?”

Jawaban yang mungkin diperoleh dari pertanyaan tersebut

adalah tidak tahu. Kedua kata tersebut sudah dekat dengan penutur

dialek Jakarta sehingga hanya perlu menyatukan keduanya menjadi

tahu atau tau dengan intonasi tertentu. Ini berarti bahwa tahu yang

awalnya bermakna positif sekarang menjadi negatif yaitu tidak tahu.

2) Sebab-sebab historis

Objek, nomina, lembaga, gagasan, konsep ilmiah, selalu

berubah sepanjang waktu. Dalam pada itu, banyak hal nama-nama

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

22

nomina, gagasan, dan lain-lain dipertahankan sehingga membantu

keyakinan makna tradisinya dan kesinambungannya. Contohnya

adalah sebagai berikut:

a. Perubahan yang menyangkut nomina

Dalam bahasa Indonesia dikenal kata Bemo yang muncul

sekitar abad 1980, tetapi segera muncul kendaraan yang beroda

empat dan disebut dengan bemo sekarang bemo beroda tiga sudah

lenyap, tetapi kata itu tetap mengacu pada kendaraan beroda empat

yang melayani angkutan dalam kota.

b. Perubahan yang menyangkut lembaga

Kata Parlement yang muncul dalam bahasa Perancis. Pada

awal abad 18 kata itu mengacu pada lembaga wakil rakyat yang

mengontrol lembaga eksekutif (pemerintah). Jadi, Parlement

adalah lembaga tempat wakil rakyat berbicara untuk

memperjuangkan nasib dan suara rakyat. Selanjutnya,

perkembangan Parlemen di negara-negara komunis berbeda

dengan di Eropa Barat. Berbeda pula dengan di Indonesia. Di

Indonesia, parlemen (DPR) justru bisa besifat sama untuk

membentuk undang-undang dengan pemerintah. Bahkan pada

zaman orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, DPR lebih

banyak diam daripada berbicara.

c. Perubahan yang menyangkut gagasan

Kata humour dalam bahasa Prancis yang menjadi humor

dalam bahasa Indonesia, sepenuhnya didasarkan pada konsepsi

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

23

fisiologis kuna: teori tentang ‗empat cairan utama‘ atau ‗empat

humor utama‘ dalam tubuh, yaitu darah, plegma, koler, melankoli.

Menurut teori ini, jumlah yang relatif banyak menentukan kualitas

fisik dan mental seseorang. Kemudian, makna-makna ini

terlupakan secara perlahan-lahan berkembang menjadi salah satu

kata kunci bagi gaya hidup orang Inggris. Saat ini, kata itu

berpadanan dengan kata-kata lucu atau menggelikan.

d. Perubahan yang menyangkut konsep ilmiah

Kata humor dulunya digunakan untuk istilah ilmiah.

Sekarang menjadi kata yang mengandung gagasan umum saja.

Selain itu, kata listrik, geometri yang bermakna seni mengukur

tanah. Kata atom sebagai istilah yang tidak memadai lagi karena

kata itu sebelumnya digunakan untuk mengacu benda yang tidak

bisa dibagi lagi, sekarang disebut dengan nuklir.

1. Sebab-sebab sosial

Sebuah kata yang dulu dipakai dalam arti umum

kemudian dipakai dalam bidang yang khusus, misalnya dipakai

sebagai istilah perdagangan atau kelompok terbatas yang lain.

Kata itu cenderung digunakan untuk memperoleh makna

terbatas.

Contoh:

(3) Sayap „kepak‟: sayap kanan, sayap kiri (pada politik)

Pemain sayap (pada sepak bola)

(4) Plonco „semangka muda‟: diplonco (diuji mental dan fisik)

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

24

(5) Jatuh „terlepas dan bergerak turun‟: ‗bangkrut‘

2. Faktor psikologis

Perubahan makna sering berakar pada keadaan jiwa penutur

atau pada unsur yang agak permanen pada mentalnya. Beberapa faktor

psikologis terlibat hanya pada tingkat permukaan saja atau bahkan

tidak begitu penting. Contohnya: ekor kuda, nafsu kuda, bibir kuda,

tenaga kuda, dll. Perubahan makna secara psikologis tersebut lebih

menarik bersumber pada unsur atau kecenderungan yang berakar

dalam pada jiwa penutur. Dalam studi makna, ada dua sebab semacam

itu yang ditekankan, yaitu faktor emotif dan tabu.

a. Faktor emotif

Faktor emotif ini berkenaan dengan metafora. Seperti

halnya dalam ungkapan puisi Chairil Anwar Aku ini binatang

jalang dapat dicontohkan sebagai bentuk simile.

b. Tabu

Tabu adalah kata bahasa Polinesia yang diperkenalkan

oleh Kapten Cook dalam bahasa Inggris dan kemudian menyebar

ke berbagai bahasa di Eropa. Menurut Cook, istilah tersebut

memiliki berbagai makna yang komprehensif, tetapi pada

dasarnya ada sesuatu yang dilarang.

Tabu ini dibagi menjadi 3 yaitu:

(i) Tabu karena ketakutan

Ketakutan terhadap sesuatu atau makhluk adikodrati

menimbulkan tabu untuk menyebut namanya. Contohnya

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

25

adalah orang Yahudi mempunyai larangan untuk menyebut

Tuhan secara langsung; sebagai gantinya digunakan kata

tuan master. Di Jawa, untuk menyebut ular dengan akar

dan orang Sumatera menyebut macan dengan kyai.

(ii) Tabu kenyamanan

Ada kecenderungan manusia untuk menghindarkan

acuan langsung kepada hal-hal yang tidak menyenangkan.

Contohnya di Indonesia pada zaman G30S/PKI muncul kata

diamankan untuk kata ditahan, dikebumikan untuk kata

dibunuh.

(iii) Tabu karena sopan santun

Tiga hal yang termasuk dalam tabu ini adalah hal-

hal yang menyangkut seks, bagian dan fungsi-fungsi tubuh

tertentu dan cacian. Dalam bahasa Prancis, kata fille dalam

arti anak perempuan masih cukup dihormati, tetapi makna

‗gadis, perempuan muda‘ harus dipakai jeune fille tidak

boleh fille saja. Sebab fille digunakan sebagai bentuk

eufemisme dari pelacur.

Perubahan makna yang dikemukakan oleh Pateda (2001) tersebut

merupakan salah satu bentuk dari adanya perkembangan kebahasaan.

Perubahan makna suatu bahasa berubah seiring dengan berkembannya

bahasa itu sendiri. Perubahan makna dapat berupa perubahan makna dari

luas ke sempit, sempit ke luas, halus ke kasar, kasar ke halus, dan lain-lain.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

26

3. Disfemisme

Allan dan Burridge (1991:26) menyatakan “A Dysphemism Is An

Expression With Connotations That Are Offensive Either About The

Denotatum Or To The Audience, Or Both, And It Is Substituted For A

Neutral Or Euphemistic Expression For Just That Reason”. ‗Disfemisme

adalah ungkapan dengan konotasi yang menyakitkan, baik tentang

pembicara maupun pendengar, atau keduanya, dan digantikan dengan

ungkapan netral atau eufemisme karena alasan tersebut‘ Allan dan

Burridge (1991:26).

Selanjutnya Allan dan Burridge (2006:31) dalam bukunya yang

berjudul Forbidden Words Taboo and the Censoring of Language lebih

memperjelas mengenai disfemisme yaitu:

“Dysphemism is the opposite of euphemism and by the

large, it is tabooed. Like euphemism, it is sometimes

motivated by fear and distate, but also by hatred and

contempt... dysphemistic expressions include curses, name

calling, and any sort of derogatory comment... a

dysphemism is a word or phrase with connotations that are

offensive either about the denotatum and/or to people

addressed or overhearing the utterance.” Allan dan

Burridge (2006:31)

‗Disfemisme adalah lawan kata dari eufemisme dan secara

luasnya adalah tabu. Seperti eufemisme, disfemisme ka-

dang-kadang termotivasi oleh ketakutan dan ketidaksukaan,

tetapi juga dengan kebencian dan penghinaan. Para pem-

bicara memohon pertolongan dengan disfemisme untuk

membicarakan tentang orang dan hal-hal yang menghalangi

dan mengganggu mereka, bahwa mereka menyalahi dan

ingin meremehkan, menghina dan menurunkan pangkat.

Disfemisme adalah karakteristik dari persekongkolan dan

kelompok politis membicarakan tentang lawan mereka; se-

perti wanita membicarakan tentang laki-laki; dan juga pria

jantan dan macho membicarakan perempuan dan perila-

kunya. Disfemisme meliputi ung-kapan mengutuk, nama

yang memanggil dan komentar bersifat menghina macam

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

27

apa pun yang diarahkan untuk orang lain dalam rangka

menghina atau melukai mereka. Disfemisme adalah juga ca-

ra untuk membebaskan uap air; sebagai contoh ketika ben-

tuk kata-kata sumpah mengurangi frustasi atau kemarahan.

Untuk yang lebih teknis, disfemisme adalah sebuah kata

atau mengutarakan dengan arti tambahan yang menyerang

baik tentang denotatum maupun ke orang-orang yang dituju

atau mendengarkan yang diucapkan‘ Allan dan Burridge

(1991:31).

Selanjutnya, Allan dan Burridge (2006) mencontohkan kata anjing,

menjilat hidangan, membungkuk sesuatu yang hebat sekali, bangsat,

anjing kampung, anjing bastar, anak binatang, anjing semua menandakan

suatu binatang yang semua seperti anjing maupun jenis kelamin. Bangsat

adalah merendahkan bersama dengan anjing kampung, anjing bastar dan

anak binatang, di mana mempunyai penambahan pikiran sehat, seperti

halnya anjing, kecuali dengan suatu binatang mulia. Anjing, bagaimanpun,

berarti juga tidak ada apa pun khususnya Allan dan Burridge (1991:31).

―Disfemisme adalah tabu sebagai pilihan yang tidak sopan, atau di

dalam kasus yang berdarah; ini adalah ekspresi hampir disukai yang

dianggap menyerang‖ (Allan dan Burridge, 2006:32). Pandangan Allan

dan Burridge mengenai disfemisme yang juga diartikan sebagai tabu

ataupun ekspresi menyerang ini dikemukakan dalam kedua bukunya, yaitu

Dysphemism (1991) dan Forbidden Word Taboo and the Cencoring of

Language (2006). Kedua buku tersebut jelas menerangkan mengenai

bahasa kasar (disfemisme) dan bahasa tabu yang juga termasuk dalam

kategori bahasa kasar atau disfemisme itu sendiri.

Disfemisme atau perilaku menyerang sering digambarkan sebagai

sesuatu yang kotor sebagai contoh bisnis kotor, perbuatan kotor, terlihat

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

28

kotor, bermain kotor, perbuatan orang bodoh dan lainnya. Hal-hal kotor

tersebut dapat terjadi dalam bidang kejahatan, ketidakbersihan, tidak sehat,

kotoran, serbuk batu bara, meluap, polusi, noda. Seseorang atau sesuatu

yang kotor mungkin dapat digambarkan sebagai kejahatan, kasar, tidak

menyenangkan, kotor, tidak murni, berbiji banyak, jorok, tidak bersih

(Allan dan Burridge, 2006:41).

Disfemisme timbul sebagai bentuk penyerangan terhadap lawan

bicara atau orang lain. Disfemisme ini digunakan untuk beberapa fungsi

seperti merendahkan orang lain, memperlihatkan ketidaksukaan terhadap

orang lain atau suatu peristiwa, untuk memperlihatkan perbuatan kotor dan

buruk, untuk menyatakan sesuatu secara vulgar dan tegas, dan lain-lain.

Kata atau ungkapan yang dianggap sebagai disfemisme adalah kata

yang berupa ungkapan mengutuk, kata yang berupa komentar dan bersifat

menghina yang diarahkan untuk orang lain, kata-kata yang berupa hinaan

untuk melukai orang lain atau lawan bicaranya (Allan dan Burridge,

1992:31). Selanjutnya, Allan menjelaskan bahwa diafemisme adalah

sebuah kata atau mengutarakan dengan arti tambahan yang menyerang

baik tentang denotatum maupun ke orang-orang yang dituju atau

mendengarkan yang diucapkan. Hal tersebut berarti disfemisme

merupakan arti kedua, yaitu arti lain yang timbul karena konteks

penggunaan dan bukanlah arti yang sesungguhnya seperti dalam kamus

saja. Satuan kata-kata dapat memiliki denotatif yang sama, tetapi dalam

arti tambahan tentu berbeda-beda.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

29

Fungsi dalam disfemisme seperti yang dijelaskan di atas

merupakan fungsi disfemisme yang diperoleh dari buku Allan dan

Burridge Dysphemism (1991) dan Forbidden Word Taboo and the

Cencoring of Language (2006). Kedua buku karangan Allan dan Burridge

tersebut memaparkan berbagai hal mengenai disfemisme dan tabu. Dari

bentuk, latar belakang, fungsi, dan pengacuannya dibahas dalam kedua

buku tersebut.

Disfemisme dapat berupa kalimat, seperti ―Der Bundespräsident ist

kein Unterschriftenautomat” (Presiden bukanlah mesin tanda tangan).

Akan tetapi, disfemisme dapat juga berupa kata, misalnya Drahtzieher.

Secara harfiah, Drahtzieher berarti penarik benang dalam permainan

marionet. Dalam konteks tertentu, Drahtzieher merupakan disfemisme

untuk mengatakan Hintermann, orang yang berada dibalik suatu peristiwa.

Drahtzieher selalu digunakan untuk merujuk kepada orang yang berada di

balik suatu peristiwa buruk, misalnya terorisme (Kurniawati, 2011:53).

Subroto (2011:95) mendeskripsikan disfemisme sebagai berikut:

Secara sinkronis juga dijumpai fenomena penggunaan kata

atau frasa dengan nuansa arti yang bersifat pengasaran

(disfemisme sebagai lawan dari eufemisme). Gejala itu

ditengarai muncul terlebih-lebih setelah era reformasi. Surat

kabar yang terbit di Solo (Solopos) sering memunculkan

pemakaian: dimassa yang berarti (dikeroyok oleh massa

karena berbuat sesuatu yang tercela), digerudug (didatangi

oleh massa dalam jumlah besar dan dicerca dengan kata-kata

kasar bahkan dengan ancaman fisik), dijebloskan (dalam

penjara) untuk mengasarkan kata ‗dipenjarakan‘.

Disfemisme dalam salah satu literatur yang dikeluarkan oleh Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Republik Indonesia (dalam Utami, 2010) adalah salah satu jenis gaya

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

30

bahasa atau majas. Kata disfemisme berasal dari kata eufimisme yang

memperoleh imbuhan dis yang berarti ‘tidak‘. Eufimisme berasal dari

bahasa Yunani euphimismos. Eu berarti ‘baik‘, pheme berarti ‘perkataan‘,

dan ismos berarti ‘tindakan‘.

―Secara keseluruhan eufimisme adalah menggantikan kata-kata

yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih

pantas atau dianggap halus‖ (lihat Utami dkk, 2010:4). Pengertian

disfemisme selain diperoleh dari sumber tersebut dapat dilihat dari jurnal

ilmiah berikut. Mangiang dalam Utami (2010) dalam makalahnya

mendefinisikan bahwa disfemisme adalah pengasaran makna kata atau

membuat makna kata menjadi kasar. Adapun menurut Imawan dalam

Utami disfemisme bukan hanya berupa kata, tetapi juga telah meluas

berupa frasa, klausa, atau kalimat. Ia mencontohkan penjarah intelektual,

preman politik, dan politisi karbitan. Lebih luas dari dua pengertian

tersebut Prudjung dalam Utami (2010) menyatakan bahwa disfemisme

adalah pemakaian pengasaran bahasa. Tabu atau taboo secara etimologis

berasal dari bahasa Polynesia yang diperkenalkan oleh Captain James

Cook. Kata tabu, secara umum, mempunyai pengertian sesuatu yang

dilarang (Wijana dan Rohmadi dalam Utami, 2010:4). Sumarsono dan

Paina Partana dalam Susilo Utami (2010) mengatakan bahwa pengertian

tabu tidak hanya menyangkut ketakutan terhadap roh-roh gaib, tetapi juga

berkaitan dengan sopan-santun dan tatakrama pergaulan sosial. Orang

yang tidak ingin dianggap tidak sopan akan menghindari kata-kata tabu.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

31

Disfemisme adalah “Schlechte, Obszöne Reden Führen,

Blasphemie Betreiben” ‗ucapan atau kalimat yang jelek, cabul, menghujat‘

(Glück dalam Kurniawati, 2011:53). Disfemisme juga merupakan

ungkapan yang bias, melukai atau menyinggung, mengungkapkan hal-hal

yang tabu, menggunakan kata-kata umpatan atau makian (schimpfwörter)

dan kata-kata yang bersifat vulgar (Vulgarismen).

Alwi dalam Masri (2001:62) menyatakan pengakuan Presiden

Habibi dalam acara pembukaan Kongres Bahasa sebagai berikut:

Pengakuan Presiden Habibi ketika membuka Kongres

Bahasa Indonesia tahun 1998 di Jakarta, pemakaian bahasa

Indonesia saat ini cenderung mengarah ke ke bentuk

pengasaran atau disfemisme. Disfemisme atau bentuk

pengasaran biasa dipakai untuk mengeraskan makna (Alwi

dalam Masri, 2001:62).

(Zöllner dalam Kurniawati, 2011:53) menyatakan bahwa “Wenn

Wörter mit der Intention benutzt werden, jemanden zu kränken,

Mißbilligung zu äußern oder etwas verächtlich zu machen, werden sie

Dysphemismen”. Jika kata digunakan dengan maksud untuk menyakiti

seseorang, mengungkapkan penghinaan, atau merendahkan sesuatu, maka

akan menjadi disfemisme. Disfemisme bertujuan untuk memberikan

gambaran negatif tentang suatu tindakan atau seseorang. Berkaitan dengan

kata-kata yang tabu. Wardhaugh dalam Kurniawati (2011:53) menyatakan

bahwa penggunaan kata-kata yang tabu antara lain untuk menarik

perhatian kepada seseorang, menunjukkan rasa tidak hormat,

menunjukkan sifat agresif atau provokatif, mengolok-olok penguasa, atau

pembujukan yang bersifat verbal.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

32

Berdasarkan teori yang dipaparkan oleh Allan dan Burridge dalam

bukunya yang berjudul Dysphemism (1991) mengenai disfemisme dan

didukung oleh beberapa peneliti lain maka dapat dikatakan bahwa

disfemisme merupakan sebuah ungkapan yang bernilai rasa kasar dan

diikuti dengan bentuk netralnya. Disfemisme ini dapat berupa kata, frasa,

klausa maupun kalimat. Selain itu, disfemisme memiliki latar belakang

dalam setiap penggunaannya, misalnya karena adanya topik pembahasan

yang membuat seseorang tidak menyetujui hal tersebut maka orang

tersebut menggunakan disfemisme untuk menyatakan ketidaksukaannya.

Disfemisme yang merupakan kata-kata dengan nilai rasa kasar

tersebut dalam keseharian berjajaran dengan kata tabu. Kata tabu

merupakan kata-kata yang tidak pantas dituturkan karena beberapa hal

misalnya, tabu dalam suatu adat budaya masyarakat tertentu. Kata tabu

yang tidak pantas dituturkan tersebut memiliki cita rasa yang kasar sama

halnya dengan disfemisme.

4. Tabu

Radeliffe-Brown dalam Allan dan Burridge (2001:2) bahasa

Inggris dari kata tabu berasal dari Tongan tabu, yang diberikan kepada

saat pemberitahuan menjelang akir abad kedelapan belas. Menurut

Radeliffe-Brown:

„Dalam bahasa Polynesia kata-kata sederhana dari

melarang “terlarang” dan dapat diterapkan dalam

beberapa larangan pendek. Aturan dari sebuah etika, suatu

pesan yang dikeluarkan oleh pemimpin, suatu peraturan

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

33

untuk anak-anak tidak untuk ikut campur tangan yang lebih

tua dari mereka, semua dapat bisa dinyatakan oleh

penggunaan kata tabu‟. (Radeliffe-Brown, 1939).

Penjelasan mengenai tabu dalam hal ini yang diperoleh dari buku

Forbidden Word Taboo and the Cencoring of Language (Allan dan

Burridge, 2006:1) sebagai berikut:

“Taboo is a proscription of behaviour that affects everyday

life. Taboos that we consider in the course of the book include:

Bodies and their effluvia (sweat, snot, faeces, menstrual

fluid, etc.)

The organs and acts of sexs, micturition and defecation;

Diseases, death, killing, (including hunting and fishing);

Naming, addressing, touching, and viewing persons and

sacred beings, objects and places;

Food gathering, preparation and consumption “ (Allan

and Burridge, 2006: 1).

Selanjutnya Allan dan Burridge (2006) menerangkan bahwa pada

dasarnya ada dua cara di mana ekspresi baru muncul: oleh bentuk ekspresi

tabu dan dengan bahasa kiasan yang memicu persepsi dan konsepsi

tentang denotata (sekitar feses, menstruasi, alat kelamin, kematian dan

lain-lain). Jadi, kedua hal tersebut merupakan ungkapan yang tabu di

budaya barat untuk disebutkan.

Selanjutnya Allan dan Burridge (2006:118) menjelaskan bahwa

istilah–istilah tabu efektif digunakan untuk meremehkan, di mana pada

‗Tabu adalah larangan dari perilaku yang mempengaruhi

kehidupan sehari-hari. Hal-hal yang termasuk dalam tabu

adalah tubuh dan effluvia mereka (keringat, ingus, kotoran,

cairan menstruasi, dll); organ dan tindakan seks, kemih dan

buang air besar; penyakit, kematian dan pembunuhan (ter-

masuk berburu dan memancing); penamaan, penyebutan,

menyentuh dan melihat orang dan makhluk suci, benda dan

tempat, makan bersama, persiapan dan mengkonsumi makanan

(Allan and Burridge, 2006: 1).

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

34

saat yang bersamaan juga sebagai suatu cemoohan. Setidaknya dalam

suatu kesempatan alasan dalam pengunaan istilah-istilah tabu, baik berupa

cemoohan, begitu juga julukan, atau umpatan adalah untuk

membangkitkan reaksi yang merugikan bagi yang mendengarkan. Sebuah

alasan yang berhubungan dengan penutur untuk menunjukkan rasa

kekesalannya pada keadaan sosial (hal ini kiranya salah satu motivasi bagi

para penulis graffiti) walaupun dalam percakapan yang dilakukan dalam

kelompok tertentu (lihat pembahasan lebih lanjut) ini merupakan

kabalikkannya digunakan sebagai tanda penghargaan/penghormatan dalam

tatanan sosial yang mereka miliki.

Tabu digunakan karena mereka tidak suka kepada siapa mereka

berbicara atau apa yang mereka bicarakan. Hai ini tidak begitu aneh

mengapa orang mengunakan umpatan; dan pada saat tertentu mengapa

begitu banyak istilah–istilah tabu memiliki fungsi sebagai cemoohan.

Cemoohan adalah semacan kata seru, dan seperti halnya kata seru yang

lainnya, kesemuanya memiliki kegunaan sebagai suatu ekspresi (lihat;

wow!, Ouch!, Oh dear!, Gosh! Shit!) (Allan dan Burridge, 2006:118).

Bahkan, suatu pelampiasan diri dapat ditujukan sebagai

penggambaran dari diri pribadi seseorang; jadi, sebuah umpatan pribadi

memiliki persamaan dengan pengambaran dialek yang digunakan dalam

suatu masyarakat tertentu. Karena penggunaan istilah–istilah tabu

merupakan cara yang efektif dalam merendahkan seseorang, hal tersebut

menjadi cara yang terbaik dan termudah dalam mengumpat. Pada

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

35

kenyataannya bahwa istilah tabu bisa menambah nilai kepuasan dalam

pelampiasan perasaan pribadi sebagai pelepasan dari rasa emosi.

5. Referensi

Teori referensi yang digunakan adalah teori yang dikemukakan

oleh Odgen-Richards yaitu dikenal sebagai segitiga makna. Gambar 1:

Sumber: /www.google.com/

Dalam gambar di atas Odgen dan Richards hanya mempunyai

perhatian kepada hubungan antara kata-kata, pikiran dan benda. Bahasa

ilmu merupakan contoh yang utama dari teori-teori mereka. ―Odgen dan

Richards menunjukkan bahwa sebuah referensi itu benar berarti referensi

itu merujuk kepada fakta‖ (Parera, 2001:23).

Segitiga makna Odgen dan Richards (OR) (2001:29) itu dijelaskan

oleh Parera dalam bukunya yang berjudul Teori Semantik dengan

menerangkan tiga istilah di atas sebagai berikut;

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

36

1) Simbol

Untuk OR hanya kata-kata yang merujuk kepada Nomina,

orang, kejadian, peristiwa melalui pikiran simbol. Bagi OR kata-kata

yang menyatakan perasaan, sikap, harapan, impian dan lain-lain tidak

termasuk dalam pengertian simbol. Ilmu baru simbolisme OR hanya

berurusan dengan bidang yang terbatas dari pengalaman manusia.

Perhatikan contoh berikut ini!

Bahasa simbolik:

Rumah kami berukuran 60 x 150 meter. Ada lima kamar dan

semuanya di lantai satu. Ruang keluarga 17 x 21 meter. Ruang ini

menghadap ke jalan besar. Ruang makan, dapur dan gudang

menghadap ke belakang. Ada dua kamar tidur, yang satu menghadap

ke jalan besar, dan yang satu menghadap ke belakang.

Bahasa emotif:

Saya mendapatkan satu rumah untuk Anda. Indah sekali. Ukurannya

cocok untuk keluarga Anda, tidak besar dan tidak kecil. Ruang

keluarga cukup nyaman. Letaknya di daerah yang cocok untuk orang

yang sibuk dan aktif.

2) Reference

OR tidak mempergunakan kata pikiran. Mereka menggunakan

istilah reference untuk menunjukkan bahwa pikiran adalah satu

reference ke suatu objek, yakni ke satu referen. OR tidak menyinggung

pikiran dalam karya mereka.

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

37

3) Referent

OR menciptakan istilah referent yang masih digunakan hingga

saat ini. Sudah jelas bahwa kata memenuhi satu kebutuhan. Kata

merujuk sesuatu di luar otak manusia dan berada di dunia ini. Jika kita

mempergunakan simbol, kita merujuk pada referent, misalnya apa itu,

di mana itu, kapan itu, siapa itu yang berada di dunia nyata.

OR mengatakan bahwa menemukan referen itu penting untuk

diketahui satu reference yang benar atau tidak, dan jika reference benar

maka ia merujuk ke fakta. Dalam contoh rumah di atas secara simbolis

OR akan menyatakan terdapat reference yang kompleks karena

beberapa reference dihubungkan satu dengan yang lainnya. Jika

reference kompleks yang saling berhubungan itu tepat sesuai dengan

cara referen berhubungan secara faktual, pernyataan itu logikal. Bagi

OR logis itu harus koresponden dengan fakta. Kebenaran terbatas pada

kesesuaian references dan referen. Jika sebuah pernyataan itu

konsisten, koheren, dan koresponden, maka pernyataan itu benar dan

logis. OR dalam hal ini berbicara tentang hubungan menyatukan yang

merujuk pada apa yang mereka sebut sebagai hubungan psikologis dan

konteks fisik. Hal yang paling penting dalam ilmu simbolisme ialah

mencocokkan konteks psikologis dan konteks fisikal atau kita harus

mencocokkan reference yang kompleks dan referen yang kompleks

pula. Jika telah mencocokkan reference dan referen yang kompleks,

maka reference itu benar dan logis.

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

38

Subroto (2011:14) mendeskripsikan referesni sebagai berikut:

Istilah referensi atau penunjukkan atau pengacuan

dipakai secara internal kebahasaan. Maksudnya,

pengacuan itu dipakai dalam tuturan yang bersifat

nyata. Misalnya kursi itu terbuat dari kayu jati. Kata

kursi memang bersifat referensial, namun di situ ada

referensi kalau kata itu dipakai dalam pertuturan nyata

untuk membahasakan sesuatu. Kalau orang hanya

mendengar kursi tanpa dipakai untuk pengacuan dalam

tuturan nyata hal itu tidak berkaitan dengan referensi

(reference) (Subroto, 2011:14).

Istilah referensi berkaitan dengan fungsi bahasa atau fungsi

kata untuk mengacu/menunjuk/membahasakan (to refer). Nomina atau

sesuatu apapun yang diacu/ditunjuk oleh bahasa adalah acuan/rujukan

(referen, denotatum). Sesuatu yang diacu atau ditunjuk itu bersifat

luar bahasa (extra linguistic world/non-linguistic world). Telah

disinggung di muka bahwa kata-kata yang memiliki arti leksikal (kata

penuh) disebut juga kata-kata yang berarti referensial.

Selanjutnya, Subroto (2011:27) menjelaskan referensi disertai

dengan contoh sebagai berikut:

Pengacuan atau penunjukan (reference) dipakai untuk

sebuah kata atau sebuah satuan bahasa yang digunakan

dalam pemakaian nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, kata ‗perempuan‘ dalam ‗perempuan itu adalah

guru saya‟ mempunyai fungsi pengacuan atau penunjukan.

Sebaliknya, manakala tiba-tiba (tanpa konteks yang jelas)

orang berkata ‗perempuan‘ tidak mempunyai fungsi

pengacuan atau penunjukan. Dibedakan pula antara pe-

nunjukan yang konstan (constant reference), dan penun-

jukan yang bervariasi (variable reference). Penunjukan

konstan ialah manakala benda yang diacu bersifat ajeg atau

tetap (Candi Borobudur, Candi Prambanan, Menara Eifel).

Penunjukan bervariasi terjadi manakala yang diacu berubah-

ubah bergantung pada konteks pemakaian (misalnya, ‗kamu‘

mempunyai acuan yang berbeda-beda. Tergantung pada

siapa yang diajak bicara (Saeed dalam Subroto, 2011:27).

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

39

Referensi berdasarkan segitiga OR merupakan bentuk pengacuan.

Bentuk pengacuan tersebut digunakan untuk menunjuk suatu hal yang

secara nyata digunakan oleh penutur dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, kata ayah dalam kalimat berikut ayah mengajak adik bermain di

taman kata ayah dalam kalimat tersebut mengacu pada sosok seorang laki-

laki yang secara genetik memiliki hubungan dengan adik, hal tersebut

termasuk dalam penunjukkan. Bentuk pengacuan tersebut tidak dapat

digunakan apabila sebelumnya tidak ada konteks yang membangun kata

ayah tersebut. Misalnya seseorang yang tiba-tiba mengatakan ayah tanpa

ada pembicaraan yang melingkupinya maka kata ayah tersebut tidak dapat

dikatakan sebagai bentuk penunjukkan atau pengacuan.

6. Satuan Lingual

Satuan lingual kebahasaan digunakan untuk menganalisis data

yang diperoleh. Ramlan (2009:28) menyatakan bahwa ―jika diurutkan dari

atas, satuan gramatik itu dapat berupa wacana, kalimat, klausa, frasa, dan

kata‖.

Berikut beberapa teori mengenai satuan lingual kebahasaan

mengenai kata, frasa, klausa, dan kalimat.

a. Kata

Kata adalah satuan bebas yang paling kecil, atau dengan kata

lain setiap satu satuan bebas merupakan kata. Jadi, satuan-satuan

rumah, duduk, penduduk, dudukan, negara, negarawan, kenegaraan,

pemimpin, kepemimpinan, berkemimpinan, ruang, ruangan, buku,

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

40

ketidakadilan, mencampuradukkan, pertanggungjawaban, dan lain-

lain masing-masing merupakan kata karena masing-masing merupakan

satuan bebas.

―Satuan-satuan dari, kepada, sebagai, tentang, karena,

meskipun, lah, dan lain-lain, juga termasuk golongan kata. Satuan-

satuan tersebut, meskipun tidak merupakan satuan bebas, tetapi secara

gramatik mempunyai sifat bebas‖ (Ramlan, 2009:34).

Pernyataan tersebut diperjelas oleh Verhaar dalam bukunya

Asas-Asas Linguistik Umum (2010:97) mendeskripsikan kata sebagai

berikut:

Kata adalah satuan atau bentuk ‗bebas‘ dalam turunan.

Bentuk ‗bebas‘ secara morfemis adalah bentuk yang

dapat berdiri sendiri. Artinya tidak membutuhkan bentuk

lain yang digabung dengannya, dan dapat dipisahkan dari

bentuk ‗bebas‘ lainnya di depannya dan di belakangnya

dalam tuturan. Morfem bebas itu dibedakan dari morfem

bebas. Morfem bebas adalah morfem yang tidak dapat

berdiri sendiri dan hanya dapat meleburkan diri pada

morfem yang lain (Verhaar, 2010:97).

―Kelas kata adalah peringkat kata yang sedikit banyak berperi-

laku sintaksis sama. Subkelas kata adalah bagian dari suatu peringkat

kata yang berperi laku sintaksis sama‖ (Kridalaksana, 2005:45).

Kridalaksana dalam bukunya Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia

(2009) membagi kata menjadi beberapa kelas kata seperti; verba,

adjektiva, nomina, pronomina, pronomina, adverbia, numeralia,

interogativa, demonstrtativa, artikula, preposisi, konjungsi, kategori

fatis, interjeksi. Adapaun dalam pembahasan hanya akan membahas

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

41

jenis kata yang dikenal secara umum seperti verba, adjektiva, nomina,

dan adverbia.

Kridalaksana (2009:51) menjelaskan mengenai verba sebagai

berikut:

Verba secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat

diketahui berkategori verba dari perilakunya dalam

satuan yang lebih besar; jadi sebuah kata dapat

dikatakan berkategori verba hanya dari peri lakunya

dalam frasa, yakni dalam hal kemungkinannya satuan

itu didampingi partikel tidak dalam konstruksi dan

dalam hal tidak dapat didampinginya dengan partikel di,

ke, dari atau dengan partikel sangat, lebih dan agak

(Kridalaksana, 2009:51).

Kridalaksana (2009;59) kemudian juga menjelaskan mengenai

adjektiva. ―Adjektiva adalah kategori yang ditandai oleh

kemungkinannya untuk (1) bergabung dengan partikel tidak, (2)

mendampingi nomina, atau (3) didampingi partikel seperti lebih, agak,

sangat, (4) memiliki ciri-ciri morfologis, (5) dibentuk menjadi nomina

dengan konfiks ke-an‖.

Nomina adalah kategori yang secara sintaksis (1) tidak

mempunyai potensi untuk bergabung dengan partikel tidak, (2)

mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari (Kridalaksana,

2009:68).

Selanjutnya, pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk

menggantikan nomina. Apa yang digantikannya itu disebut anteseden.

Anteseden itu ada di dalam atau di luar wacana. Contoh dari

pronomina adalah aku yang memilikinya, itu yang kutulis

(Kridalaksana, 2009:76). Selain itu ada pula kelas kata numeralia,

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

42

numeralia adalah kategori yang dapat (1) mendampingi nomina dalam

konstruksi sintaksis, (2) mempunyai potensi untuk mendampingi

numeralia lain, dan (3) tidak dapat bergabung dengan tidak atau

dengan sangat. Contohnya adalah dua ditambah dua sama dengan

empat (Kridalaksana, 2009:79).

Kelas kata selanjutnya adalah adverbia. Adverbia adalah

kategori yang dapat mendampingi adjektiva, numeralia, atau preposisi

dalam konstruksi sintaksis. Contohnya adalah alangkah, nian, akan,

amat, banget, barangkali, belaka, bisa, belum, boleh, bukan, dan lain-

lain (Kridalaksana, 2009: 81—82).

Kelas kata berikutnya adalah preposisi. Preposisi adalah

kategori yang terletak di depan kategori lain (terutama nomina)

sehingga terbentuk frasa eksosentris direktif. Contoh preposisi adalah

(di), (ke), dan (dari) (Kridalaksana 2009:96).

b. Frasa

―Frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau

lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan‖ (Ramlan,

2001:138). Artinya, sebanyak apa pun kata tersebut asal tidak melebihi

jabatannya sebagai subjek, predikat, objek, pelengkap, atau pun

keterangan, maka masih bisa disebut frasa.

Frasa memiliki dua sifat, yaitu:

1. Frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau

lebih.

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

43

2. Frasa merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur

klausa, maksudnya frasa itu selalu terdapat dalam satu fungsi unsur

klausa, yaitu S, P, O, PEL. (Ramlan, 2001:139)

Contoh:

1) gedung sekolah itu 2) yang akan pergi 3) sedang membaca 4) sakitnya bukan main 5) besok lusa 6) di depan.

Frasa dibedakan menjadi dua yaitu frasa endosentrik dan frasa

eksosentrik. Frasa endosentrik dibedakan lagi menjadi tiga yaitu frasa

endosentrik yang koordinatif, frasa endsentrik yang atributif dan frasa

endosentrik yang apositif (Ramlan, 2001: 141—164).

1. Frasa Endosentris

Frasa Endosentris, kedudukan frasa ini dalam fungsi tertentu,

dapat digantikan oleh unsurnya. Unsur frasa yang dapat menggantikan

frasa itu dalam fungsi tertentu yang disebut unsur pusat (UP). Dengan

kata lain, frasa endosentris adalah frasa yang memiliki unsur pusat.

Contoh:

Sejumlah mahasiswa(S) di teras(P).

Kalimat tersebut tidak bisa jika hanya ‗Sejumlah di teras‘

(salah) karena kata mahasiswa adalah unsur pusat dari subjek. Jadi,

‗Sejumlah mahasiswa‘ adalah frasa endosentris.

Frasa endosentris sendiri masih dibagi menjadi tiga.

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

44

a) Frasa Endosentris Koordinatif, yaitu frasa endosentris yang semua

unsurnya adalah unsur pusat dan mengacu pada hal yang berbeda di

antara unsurnya terdapat (dapat diberi) ‗dan‘ atau ‗atau‘.

Contoh:

1. rumah pekarangan

2. suami istri dua tiga (hari)

3. ayah ibu

4. pembinaan dan pembangunan

5. pembangunan dan pembaharuan

6. belajar atau beVerba.

b) Frasa Endosentris Atributif, yaitu frasa endosentris yang di

samping mempunyai unsur pusat juga mempunyai unsur yang

termasuk atribut. Atribut adalah bagian frasa yang bukan unsur

pusat, tapi menerangkan unsur pusat untuk membentuk frasa yang

bersangkutan.

Contoh:

1. pembangunan lima tahun

2. sekolah Inpres

3. buku baru

4. orang itu

5. malam ini

6. sedang belajar

7. sangat bahagia.

Kata-kata yang dicetak miring dalam frasa-frasa di atas

seperti adalah unsur pusat, sedangkan kata-kata yang tidak dicetak

miring adalah atributnya.

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

45

c) Frasa Endosentris Apositif, yaitu frasa endosentris yang semua

unsurnya adalah unsur pusat dan mengacu pada hal yang sama.

Unsur pusat yang satu sebagai aposisi bagi unsur pusat yang lain.

Contoh:

Ahmad, anak Pak Sastro, sedang belajar.

Ahmad, …….sedang belajar.

……….anak Pak Sastro sedang belajar.

Unsur Ahmad merupakan unsur pusat, sedangkan unsur anak

Pak Sastro merupakan aposisi. Contoh lain:

1. Yogya, kota pelajar

2. Indonesia, tanah airku

3. Bapak SBY, Presiden RI.

4. Mamad, temanku.

Frasa yang hanya terdiri atas satu kata tidak dapat

dimasukkan ke dalam frasa endosentris koordinatif, atributif, dan

apositif, karena dasar pemilahan ketiganya adalah hubungan

gramatik antara unsur yang satu dengan unsur yang lain. Jika diberi

aposisi, menjadi frasa endosentris apositif. Jika diberi atribut,

menjadi frasa endosentris atributif. Jika diberi unsur frasa yang

kedudukannya sama, menjadi frasa endosentris koordinatif.

2. Frasa Eksosentris

Frasa Eksosentris adalah frasa yang tidak mempunyai

persamaan distribusi dengan unsurnya. Frasa ini tidak mempunyai

unsur pusat. Jadi, frasa eksosentris adalah frasa yang tidak

mempunyai UP.

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

46

Contoh:

Sejumlah mahasiswa di teras.

Berdasarkan kategori kata yang menjadi unsur pusatnya, frasa dibagi

menjadi enam.

1) Frasa nomina, frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kata

nominal. Persamaan distribusi itu dapat diketahui dengan jelas dari

jajaran:

Contoh:

Ia membeli baju baru

Mahasiswa lama

Gedung sekolah

Kapal terbang itu

Jalan raya ini.

Kategori frasa nominal mungkin terdiri dari:

a) N diikuti N, maksudnya terdiri dari kata atau frasa nominal sebagai

UP, diikuti oleh kata atau frasa nominal sebagai UP atau Atr. Jadi

semua unsurnya berupa kata atau frasa nominal. Misalnya:

Contoh:

rumah pekarangan

ayah ibu

suami istri

gedung sekolah

kakak saya

b) N diikuti V, maksudnya terdiri dari kata atau frasa nominal sebagai

UP, diikuti kata atau frasa verbal sebagai Atr. Misalnya:

Contoh:

mahasiswa lama

acara terakhir

rumah baru

musik klasik

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

47

c) N diikuti Bil, maksudnya frasa ini terdiri dari kata atau frasa

nominal sebagai UP, diikuti kata atau frasa bilangan sebagai Atr.

Contoh:

orang dua

petani dua orang

telur tiga butir

sewa rumah petak

d) N diikuti Ket, maksudnya frasa ini terdiri dari kata atau frasa

nominal sebagai UP, diikuti kata atau frasa keterangan sebagai Atr.

Contoh:

koran kemarin pagi

orang tadi

e) N diikuti FD, maksudnya terdiri dari kata atau frasa nominal

sebagai UP, diikuti frasa depan sebagai Atr.

Contoh:

Beras dari delanggu

Kiriman untuk ibu

Kereta api ke Surabaya

f) N didahului Bil, maksudnya terdiri dari kata atau frasa nominal

sebagai UP, didahului oleh kata atau frasa bilangan sebagai Atr.

Contoh:

Dua kertas Verba

Dua buah sepeda baru

Lima kodi kain batik

g) N didahului Sd, maksudnya terdiri dari kata atau frasa nominal

sebagai UP didahului oleh kata sandang sebagai Atr.

Contoh:

Si Ahmad

Sang Kancil

h) Yang diikuti N, maksudnya terdiri dari kata yang sebagai penanda

dan diikuti kata atau frasa nominal sebagai aksisnya.

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

48

Contoh:

Yang ini

Yang itu

i) Yang diikuti V, maksudnya terdiri dari kata yang sebagai penanda

dan diikuti kata atau frasa verbal sebagai aksisnya.

Contoh:

Yang akan mengajar

Yang sangat menderita

j) Yang diikuti Bil, maksudnya terdiri dari kata yang sebagai penanda

dan diikuti kata atau frasa bilangan sebagai aksisnya.

Contoh:

Yang dua

Yang tiga buah

k) Yang diikuti Ket, maksudnya terdiri dari kata yang sebagai penanda

dan diikuti kata atau frasa keterangan sebagai aksisnya.

Contoh:

Yang kemarin siang

Yang tadi

l) Yang diikuti FD, maksudnya terdiri dari kata yang sebagai penanda

dan diikuti frasa depan sebagai aksisnya.

Contoh:

Yang dari Jepang

Yang ke Surabaya

2) Frasa Verba, atau frasa golongan verbal ialah frasa yang

mempunyai distribusi yang sama dengan verbal. Persamaan

distribusi itu dapat diketahui dengan jelas dari adanya jajaran.

Contoh:

Sedang membaca

Akan pergi

Sudah datang

Sering lari

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

49

Sudah dewasa

Minum kopi dan merokok

Membaca dan menulis

3) Frasa Bilangan, ialah frasa yang mempunyai distribusi yang sama

dengan kata bilangan. Misalnya frasa dua buah dalam dua buah

rumah. Frasa ini mempunyai distribusi yang sama dengan kata

dua. Persamaan distribusi itu dapat diketahui dengan jelas

berdasarkan jajarannya.

Contoh:

Dua buah rumah

Dua-buah

Tiga ekor (ayam)

Lima botol (minyak goreng)

Hanya satu

4) Frasa Keterangan, frasa yang mempunyai distribusi yang sama

dengan keterangan. Misalnya frasa tadi malam mempunyai

persamaan distribusi dengan tadi.

Contoh:

Kemarin pagi

Tadi pagi

Sekarang ini

5) Frasa Depan, frasa yang terdiri dari kata depan sebagai penanda,

diikuti kata atau frasa sebagai aksisnya.

Contoh:

Penanda (preposisi) + Petanda (kata atau kelompok kata) di teras

ke rumah teman

dari sekolah

untuk saya.

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

50

c. Klausa

―Klausa adalah satuan gramatik yang terdiri atas S, P, baik

disertai O, PEL, KET ataupun tidak‖ (Ramlan, 2001:79). Klausa

memiliki unsur inti yaitu S dan P. Namun demikian, S sering

dihilangkan, misalnya dalam kalimat luas sebagai akibat

penggabungan klausa dan dalam kalimat jawaban. Misalnya:

1) Tengah Karmila menangis menghadapi tembok, Bapak Daud

masuk diantar suster Meta

2) Sedang bermain-main. (sebagai jawaban pertanyaan Anak-anak itu

sedang mengapa?)

Penggolongan klausa dibedakan berdasarkan tiga dasar, yaitu:

1) Berdasarkan unsur internnya

a) Klausa lengkap

Klausa yang terdiri dari S dan P. Klausa lengkap dapat

dibedakan menjadi dua berdasarkan letak S. Klausa lengkap

yang S-nya terletak di depan P, dan klausa lengkap yang S-nya

terletak di belakang P.

Contoh:

Badan orang itu sangat besar

Sangat besar badan orang itu

b) Klausa tak lengkap

Klausa yang tidak memiliki unsur S. Klausa tak lengkap terdiri

dari unsur P disertai O, PEL, KET ataupun tidak.

Contoh:

Sedang bermain-main

Menulis surat

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

51

2) Berdasarkan ada-tidaknya kata negatif yang secara gramatik

menegatifkan P.

a) Klausa positif

Klausa positif ialah klausa yang tidak memiliki kata negatif

yang secara gramatik menegatifkan P. Kata-kata negatif ialah

tidak, tak, tiada, bukan, belum, dan jangan.

Contoh:

Mereka diliputi oleh perasaan senang

Mertua sudah dianggapnya sebagai ibunya

Muka mereka pucat-pucat

Ia teman akrab saya

b) Klausa negatif

Klausa negatif ialah klausa yang memiliki kata-kata negatif

yang secara gramatik menegatifkan P. Seperti telah disebutkan

di atas tidak, tak, tiada, bukan, belum, dan jangan.

Contoh:

Anak-anak tidak naik kelas

Mereka tidak malas

Orang tuanya sudah tiada

Orang itu bukan tetangga saya

3) Berdasarkan kategori kata atau frasa yang menduduki fungsi P.

a) Klausa nominal

Klausa nominal ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau

frasa golongan N.

Contoh:

Ia guru

Rumah-rumah itu rumah dinas Departemen Penerangan

Yang dibeli orang itu sepeda.

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

52

b) Klausa verbal

Klausa verbal ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau

frasa golongan V.

Contoh:

Petani mengerjakan sawahnya dengan tekun

Dengan rajin bapak guru memeriksa karangan murid

c) Klausa bilangan

Klausa bilangan ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau

frasa golongan bilangan.

Contoh:

Roda truk itu enam

Kerbau petani itu hanya dua ekor

d) Klausa depan

Klausa depan atau klausa preposisional ialah klausa yang P-

nya terdiri dari frasa depan, yaitu frasa yang diawali oleh kata

depan sebagai penanda.

Contoh:

Beras itu dari delanggu

Kredit itu untuk para pengusaha yang lemah

Orang tuanya di rumah

Sejalan dengan pendapat Ramlan di atas, Alwi menjelaskan

bahwa klausa dipakai untuk merujuk pada deretan kata yang paling

tidak memiliki subjek dan predikat, tetapi belum memiliki intonasi atau

tanda baca tertentu (Alwi, 2003:39). Pendapat lain dari Verhaar

(2010:162) menyatakan bahwa klausa adalah kalimat yang terdiri atas

hanya satu verba atau frasa verbal saja, disertai satu atau lebih

konstituen yang secara sintaktis berhubungan dengan verba tadi.

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

53

d. Kalimat

―Kalimat ialah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda

panjang yang disertai nada akhir turun atau naik‖ (Ramlan, 2001:23).

Berikut klasifikasi kalimat menurut Ramlan dalam bukunya Ilmu

Bahasa Indonesia Sintaksis:

1) Kalimat berklausa dan tak berklausa

a) Kalimat berklausa

Kalimat berklausa ialah kalimat yang terdiri dari satuan yang

berupa klausa.

Contoh:

Lembaga itu menerbitkan majalah sastra

Bapak Gubernur besok pagi akan pergi ke Jakarta

b) Kalimat tak berklausa

Kalimat tak berklausa ialah kalimat yang tidak terdiri dari

klausa.

Contoh:

Astaga!

Selamat malam!

2) Kalimat berita, tanya dan suruh

a) Kalimat berita

Kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada

orang lain sehingga tanggapan yang diharapkan berupa

perhatian seperti tercermin pada pandangan mata yang

menunjukkan adanya perhatian.

Contoh:

Menurut ilmu sosial konflik dapat terjadi karena penemuan-

penemuan baru.

Jalan itu sangat gelap.

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

54

b) Kalimat tanya

Kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan sesuatu. Kalimat

ini memiliki pola intonasi yang berbeda dengan pola intonasi

kalimat berita. Perbedaannya terutama terletak pada nada

akhirnya.

Contoh:

Ahmad pergi?

Anak-anak sudah bangun?

Ayahnya belum pulang?

c) Kalimat suruh

Kalimat suruh berfungsi mengharapkan tanggapan yang berupa

tindakan dari orang yang diajak berbicara.

Contoh:

Pergi!

Pergilah!

Baca buku ini!

―Kalimat mengandung unsur subjek, predikat yang sudah

dibubuhi dengan intonasi atau tanda baca‖ menurut (Alwi, 2005:128).

Kalimat dapat dibedakan menjadi kalimat tunggal dan kalimat

majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang proposisinya satu

karena itu predikatnya pun satu, atau merupakan satu karena dianggap

predikat majemuk. Misalnya; (1) Dia bekerja di bank.; (2) Mereka

makan dan minum di kedai itu. Kalimat majemuk adalah kalimat yang

terdiri atas lebih dari satu proposisi sehingga mempunyai paling tidak

dua predikat yang tidak dapat dijadikan suatu kesatuan. Karena itu sifat

kalimat majemuk selalu berwujud dua klausa atau lebih. Kalimat

majemuk dapat dibedakan lagi menjadi kalimat majemuk setara dan

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

55

kalimat majemuk bertingkat. Kalimat majemuk setara adalah kalimat

yang antar klausa satu dengan klausa lainnya dakam satuan kalimat

menyatakan hubungan koordinatif, jika, dalam suatu kalimat tersebut

hubungan antar klausa tidak koordinatif atau subordinatif maka disebut

dengan kalimat majemuk bertingkat.

Contoh kalimat majemuk setara misalnya; (1) Dia pergi dan

istrinya mulai menangis.; (2) Saya bersedia, tetapi dia menolak

membicarakannya. Contoh kalimat majemuk bertingkat misalnya; (1)

Dia pergi sebelum istrinya menangis.;(2) Saya bersedia meskipun dia

menolak membicarakannya.

2. Kerangka Pikir

Pada penelitian ini kerangka pikir yang digunakan adalah bertumpu pada

adanya perubahan makna yang ada dalam bidang kebahasaan. Perubahan makna

tersebut dapat berupa perubahan makna kasar ke halus yang disebut dengan

eufemisme dan perubahan makna halus ke kasar yang disebut dengan disfemisme.

Dalam disfemisme itu terdapat bentuk satuan lingual yang digunakan, referensi

yang dijadikan acuan penggunaan disfemisme, dan fungsi yang digunakan dalam

penggunaan disfemisme. Selanjutnya, disfemisme tersebut memiliki hubungan

atau keterkaitan dengan semantik karena adanya referensi yang digunakan dan

fungsinya. Berikut tabulasi kerangka pikir tersebut:

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan

56

Gambar 2:

Kerangka Pikir Penelitian Disfemisme dalam Artikel Terpopuler

Sepekan di Blog Mojok.Co

Perubahan Makna

Disfemisme Eufemisme

Bentuk Satuan

Lingual

Referensi

Disfemisme

Fungsi

Disfemisme

Semantik