BAB II KAJIAN TEORIrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14770/2/T1_362012047_BAB II... · Sebab...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORIrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14770/2/T1_362012047_BAB II... · Sebab...
7
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Komunikasi
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari
kata Latin communis yang berarti “sama”. Istilah pertama (communis) paling
sering disebut sebagai asal kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata
Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu
makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Akan tetapi definisi-definisi
kontemporer menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada cara berbagi hal-hal
tersebut, seperti dalam kalimat “Kita berbagi pikiran,” “Kita mendiskusikan
makna,” dan “Kita mengirimkan pesan”. Setiap ahli mempunyai definisinya
tersendiri mengenai arti dari komunikasi (Mulyana, 2000).
Berikut adalah beberapa definisi komunikasi menurut para ahli yang
dirangkum oleh Mulyana (2000):
1. Gerald R. Miller, Komunikasi terjadi ketika suatu sumber
menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang
disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima.
2. Everett M. Rogers, Komunikasi adalah proses dimana suatu ide
dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan
maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.
3. Raymond S. Ross, Komunikasi (intensional) adalah suatu proses
menyortir, memilih, dan mengirimkan symbol-simbol sedemikian
rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau
respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan
komunikator.
4. Mary B. Cassata dan Molefi K. Asante, Komunikasi adalah transmisi
informasi dengan tujuan mempengaruhi khalayak.
5. Harold Lasswell, Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi
adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut (Who Says
8
What In Which Channel To Whom With What Effect?) Atau siapa
mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh
bagaimana?
Berdasarkan definisi Lasswell dalam buku Suatu Pengantar Ilmu
Komunikasi (Mulyana, 2000) ini dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang
saling bergantung satu sama lain, yaitu:
1. Sumber (source), adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai
kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber juga boleh jadi seorang
individu, kelompok, organisasi, perusahaan, atau bahkan suatu negara.
2. Pesan, apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan
merupakan seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang mewakili
perasaan, nilai, gagasan, atau maksud sumber tadi. Pesan mempunyai
tiga komponen: makna simbol yang digunakan untuk menyampaikan
makna, dan bentuk atau organisasi pesan.
3. Saluran/Media, alat atau wahana yang digunakan sumber untuk
menyampaikan pesannya kepada penerima. Saluran boleh merujuk pada
bentuk pesan yang disampaikan kepada penerima, apakah saluran verbal
atau saluran nonverbal.
4. Penerima (receiver), yakni orang yang menerima pesan dari sumber.
Berdasarkan pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi,
pola piker, dan perasaannya, penerima pesan ini menerjemahkan atau
menafsirkan seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang ia terima
menjadi gagasan yang dapat ia pahami.
5. Efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan
tersebut, misalnya penambahan pengetahuan (dari tidak tahu menjadi
tahu), terhibur, perubahan sikap (dari tidak setuju menjadi setuju),
perubahan keyakinan, perubahan perilaku (dari tidak bersedia membeli
barang yang ditawarkan menjadi bersedia membelinya) dan sebagainya.
Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan dua dari lima unsur
komunikasi Harold Lasswell sebagai dasar teori komunikasi, yaitu komunikator
dan pesan. Komunikator atau sumber (source) dalam penelitian ini adalah
9
Program Talkshow Mata Najwa, sedangkan pesan yang ingin diteliti ialah wacana
kepemimpinan yang ada di tayangan episode ‘Pejabat Kekinian’. Selanjutnya
peneliti akan menganalisis pesan-pesan atau wacana kepemimpinan dalam
program acara tersebut.
2.2 Pesan
Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan atau non verbal yang
mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber. Menurut Onong Effendy,
pesan adalah : “suatu komponen dalam proses komunikasi berupa paduan dari
pikiran dan perasaan seseorang dengan menggunakan lambang, bahasa atau
lambang-lambang lainnya yang disampaikan kepada orang lain.” (Effendy,
1989:224). Sedangkan Abdul Hanafi menjelaskan bahwa pesan itu adalah :
“produk fiktif yang nyata yang dihasilkan oleh sumber-encoder.” (Siahaan,
1991:62).
Pesan mempunyai tiga komponen, yaitu makna, simbol yang digunakan
untuk menyampaikan makna, dan bentuk atau organisasi pesan. Simbol terpenting
adalah kata-kata (bahasa), yang dapat merepresentasikan objek (benda), gagasan
dan perasaan, baik ucapan (percakapan, wawancara, diskusi, ceramah dan
sebagainya) ataupun tulisan (surat, esai, artikel, novel, puisi, pamflet dan
sebagainya). Kata-kata memungkinkan kita berbagi pikiran dengan orang lain.
Pesan juga dapat dirumuskan secara non verbal, seperti melalui tindakan atau
isyarat anggota tubuh.
Pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut
Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi non verbal mencakup semua
rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu komunikasi, yang dihasilkan
oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai
pesan potensial bagi pengirim atau penerima. Jadi definisi ini mencakup perilaku
yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi
secara keseluruhan, seseorang mengirim banyak pesan non verbal tanpa
10
menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain (Samovar,
1991:179).
Pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau
lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang disadari termasuk ke dalam kategori
pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk
berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat didefinisikan sebagai
seperangkat simbol dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol
tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah
sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud seseorang. Bahasa
verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas
individual seseorang. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas manusia
yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau
konsep yang diwakili kata-kata itu (Mulyana, 2005:238).
Pesan dapat dimengerti dalam tiga unsur yaitu kode pesan, isi pesan dan
wujud pesan.
1. Kode pesan adalah sederetan simbol yang disusun sedemikian rupa
sehingga bermakna bagi orang lain. Contoh: bahasa Indonesia adalah
kode yang mencakup unsur bunyi, suara, huruf dan kata yang disusun
sedemikian rupa sehingga mempunyai arti.
2. Isi pesan adalah bahan atau materi yang dipilih yang ditentukan oleh
komunikator untuk mengkomunikasikan maksudnya.
3. Wujud pesan adalah sesuatu yang membungkus inti pesan itu sendiri,
komunikator memberi wujud nyata agar komunikan tertarik aka nisi
pesan di dalamnya. (Siahaan, 1991:62)
Pesan juga dapat dilihat dari segi bentuknya. Menurut A.W. Widjaja dan
M. Arisyk Wahab terdapat tiga bentuk pesan, yaitu :
a. Informatif
Yaitu untuk memberikan keterangan fakta dan data kemudian
komunikan mengambil kesimpulan dan keputusan sendiri, dalam
11
situasi tertentu pesan informatif tentu lebih berhasil dibandingkan
persuasif.
b. Persuasif
Yaitu berisikan bujukan yakni membangkitkan pengertian dan
kesadaran manusia bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan
sikap berubah. Tetapi berubahnya atas kehendak sendiri. Jadi
perubahan seperti ini bukan terasa dipaksakan, akan tetapi diterima
dengan keterbukaan dari penerima.
c. Koersif
Menyampaikan pesan yang bersifat memaksa dengan menggunakan
sanksi-sanksi. Bentuk yang terkenal dari penyampaian secara inti
adalah agitasi dengan penekanan yang menumbuhkan tekanan batin
dan ketakutan di kalangan publik. Koersif berbentuk perintah-perintah,
instruksi untuk penyampaian suatu target. (Widjaja & Wahab,
2000:61)
Dalam menciptakan pengertian yang baik dan tepat antara komunikator
dan komunikan, pesan harus disampaikan sebaik mungkin. Sedikitnya ada
Sembilan pesan menurut S.M. Siahaan dalam bukunya “Komunikasi
Pemahaman dan Penerapan”, yaitu :
a. Pesan harus cukup jelas (clear), bahasan yang mudah dipahami, tidak
berbelit-belit, tanpa denotasi yang menyimpang dan tuntas.
b. Pesan itu mengandung kebenaran yang mudah diuji (correct),
berdasarkan fakta, tidak mengada-ada dan tidak diragukan.
c. Pesan itu diringkas (consice) dan padat serta disusun dengan kalimat
pendek (to the point) tanpa mengurangi arti yang sesungguhnya.
d. Pesan itu mencakup keseluruhan (comprehensive), ruang lingkup
pesan mencakup bagian-bagian yang penting dan yang patut diketahui
komunikan.
e. Pesan itu nyata (konkret) dapat dipertanggung jwabkan berdasarkan
data dan fakta yang ada, tidak sekedar isu atau kabar angina.
f. Pesan itu lengkap (complete) dan disusun secara sistematis.
12
g. Pesan itu menarik dan meyakinkan (convincing). Menarik karena
bertautan dengan dirinya sendiri, menarik dan meyakinkan karena
logis.
h. Pesan itu disampaikan dengan sopan (courtesy) harus diperhitungkan
kadar kebiasaan, kepribadian, pola hidup dan nilai-nilai komunikasi,
nilai etis sangat menentukan sekali bagaimana orang dapat terbuka.
i. Nilai pesan itu sangat mantap (consistent) artinya tidak mengandung
pertentangan antara bagian pesan yang lain. Konsistensi ini sangat
penting untuk meyakinkan komunikan akan kebenaran pesan yang
disampaikan. (Siahaan, 1991:63)
2.3 Kepemimpinan
Dahulu orang beranggapan bahwa kepemimpinan tidak dapat dipelajari
karena kepemimpinan merupakan suatu bakat alamiah yang dimiliki oleh seorang
pemimpin yang dibawa sejak lahir. Tegasnya, pemimpin yang sukses
menjalankan kepemimpinannya tanpa teori, tanpa menjalani pelatihan dan
pendidikan sebelumnya. Namun dalam perkembangan zaman, kepemimpinan
secara ilmiah berkembang bersamaan dengan pertumbuhan manajemen ilmiah
yang dipelopori oleh ilmuwan Frederick W. Taylor pada awal abad ke-20 dan di
kemudian hari berkembang menjadi satu ilmu kepemimpinan (Kartono, 2005:55).
Konsep kepemimpinan merupakan hal yang fundamental dalam
menganalisis proses dan dinamika sebuah organisasi. Pada dasarnya
kepemimpinan dibagi menjadi tiga hal besar yakni kepemimpinan sebagai atribut
atau kelengkapan dari suatu kedudukan, kepemimpinan sebagai karakteristik
seseorang dan kepemimpinan sebagai perilaku, Katz dan Kahn (dalam Wibowo,
2011 :03 ). Lebih lanjut wibowo menjelaskan bahwa kepemimpinan sebagai
atribut adalah kepemimpinan yang secara khusus ditentukan oleh anggapan para
anggota kelompok bahwa seseorang memiliki kekuasaan untuk menentukan pola
perilaku terkait dengan aktifitasnya sebagai pemimpin. Kepemimpinan sebagai
karakteristik adalah jiwa yang dimiliki seorang pemimpin untuk mempengaruhi
13
orang lain untuk melakukan suatu perubahan. Dalam hal pemimpin adalah agen
perubahan, sedangkan kepemimpinan sebagai perilaku kepemimpinan yang
mampu melibatkan seperangkat proses yang bertujuan memotivasi anggota
kelompok untuk mengembangkan strategi mencapai tujuan.
Sehubungan dengan ketiga hal diatas maka kepemimpinan pada dasarnya
merupakan kajian individu yang memiliki karakteristik fisik, mental dan
kedudukan yang dipandang oleh individu lain dalam satu kelompok, sehingga
individu yang bersangkutan dapat mempengaruhi kelompoknya untuk bertindak
mencapai tujuan bersama.
Nilai kepemimpinan tidak lagi ditentukan oleh bakat alamnya akan tetapi
oleh kemampuannya menggerakkan banyak orang melakukan satu karya bersama,
berkat pengaruh kepemimpinannya yang diperoleh melalui pelatihan dan
pendidikan. Menurut Kartono (2005:56) kepemimpinan bersifat spesifik, khas dan
diperlukan bagi satu situasi khusus. Sebab dalam satu kelompok yang melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu dan punya tujuan serta peralatan khusus, pemimpin
kelompok dengan ciri-ciri karakteristiknya merupakan fungsi dari situasi khusus
tersebut. Jelasnya, sifat-sifat utama dari pemimpin dan kepemimpinannya harus
sesuai dan bisa diterima oleh kelompoknya serta cocok-pas dengan situasi dan
zamannya. Selain itu, pada umumnya pemimpin juga memiliki beberapa sifat
superior melebihi kawan-kawannya atau pengikutnya. Paling sedikit pemimpin
harus memiliki satu atau dua kemampuan atau keahlian sehingga
kepemimpinannya berwibawa.
Menurut Orway Tead dalam bukunya The Art of Leadership menyatakan
kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka mau
bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pemimpin dan bawahan
mempunyai hubungan yang sama, saling berinteraksi, saling bekerja sama agar
dapat mencapai tujuan bersama, sehingga pemimpin dapat mempengaruhi
bawahan agar berjalan sesuai tujuan bersama. Di dalam kepemimpinan itu sendiri,
terdapat beberapa sifat kepemimpinan. Berikut sifat kepemimpinan yang unggul
14
menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management 1964
(Kartono, 2005:47):
1. Kekuatan
Kekuatan secara badaniah dan rohaniah merupakan syarat pokok bagi
seorang pemimpin, hal ini dikarenakan jika seorang pemimpin memiliki
kekuatan baik secara badaniah dan rohaniah, maka pemimpin akan
memiliki daya tahan untuk menghadapai berbagai rintangan.
2. Stabilitas Emosional
Dengan emosi yang stabil akan menunjang pencapaian lingkungan sosial
yang rukun, damai dan harmonis.
3. Pengetahuan Tentang Relasi Insani
Pemimpin yang baik memiliki sifat, watak dan perilaku bawahan agar bisa
menilai kelebihan/ kelemahan bawahan sesuai dengan tugas yang
diberikan.
4. Kejujuran
Kejujuran adalah modal utama seorang pemimpin, bukan hanya jujur
kepada bawahan tetapi seorang pemimpin harus bisa jujur kepada diri
sendiri.
5. Obyektif
Pemimpin harus mencari bukti yang nyata, sebab musabab dari suatu
kejadian dan memberikan alasan rasional atas sebuah penolakan.
6. Dorongan Pribadi
Keinginan dan kesediaan untuk menjadi pemimpin yang timbul dari dalam
diri seorang pemimpin, hal ini akan memberikan rasa ikhlas saat
memberikan pelayanan dan pengabdian kepada kepentingan umum.
7. Ketrampilan Berkomunikasi
Mahir menulis dan berbicara, mudah menangkap maksud orang lain, dapat
menginterpretasikan opini serta aliran yang berbeda, agar tercipta
kerukunan dan keseimbangan.
15
8. Kemampuan Mengajar
Pemimpin adalah guru, sehingga dapat membuat orang belajar pada saran-
saran tertentu untuk menambah pengetahuan, ketrampilan agar bawahanya
mandiri.
9. Ketrampilan Sosial
Pemimpin bersikap ramah, terbuka, menghargai pendapat orang lain,
sederhana dan apa adanya, sehingga bisa memupuk kerja sama dengan
siapa saja.
10. Kecakapan teknis atau kecakapan manajerial
Untuk mencapai efektivitas kerja, keuntungan maksimal dan kesejahteraan
anggota, pemimpin harus memiliki kemahiran manajerial untuk membuat
rencana, mengelola, menganalisis keadaan, membuat keputusan,
mengarahkan, mengontrol dan memperbaiki situasi yang tidak mapan.
Selain syarat kepemimpinan, terdapat pula model gaya kepemimpinan.
Menurut Ratnaningsih (2009:126) gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku
yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi
perilaku orang lain seperti yang ia inginkan. Burn (1978) dalam Ratnaningsih
(2009:126) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dapat dikelompokan ke dalam
dua tipe yang berbeda yaitu gaya kepemimpinan transformasional dan gaya
kepemimpinan transaksional. Kedua gaya tersebut saling bertentangan, namun
sangat dibutuhkan dalam organisasi.
1. Gaya Kepemimpinan Transformasional
Burns (1978) dalam Ratnaningsih (2009:129) berbicara mengenai
“heroic leadership” dan sebuah konsep tentang transformational
leadership, yang artinya sebuah proses dimana pemimpin dan bawahan
mengembangkan moralitas dan motivasi yang tinggi antara satu dengan
yang lain. Bernad M. Bass (1999) mengembangkan pandangan Burns dan
menandai bahwa seorang pemimpin transformasional adalah seorang yang
menciptakan kepemimpinan kharismatik, kepemimpinan yang penuh
inspirasi, stimulasi intektual dan perasaan bahwa semua bawahan harus
diperhitungkan. Bass juga menjelaskan bahwa pemimpin akan mampu
16
mendorong semangat, menggunakan nilai – nilai, kepercayaan dan dapat
memenuhi kebutuhan bawahannya. Pemimpin yang melakukan hal
tersebut dalam situasi yang krisis disebut dengan pemimpin
transformasional. Terdapat 4 keahlian yang digunakan oleh para pemimpin
transformasional menurut Donnely (1998:359), yaitu :
1) Pemimpin memiliki visi bahwa ia mampu mengutarakan visinya
dengan jelas. Visi tersebut dapat berupa tujuan, sebuah rencana
atau serangkaian prioritas.
2) Pemimpin dapat mengkomunikasikan dengan jelas visi mereka.
Pemimpin juga mampu menunjukkan citra yang menguntungkan
sebagai hasil apabila visinya dapat terwujud.
3) Pemimpin harus dapat membangun kepercayaan dengan tindakan
yang adil, tegas dan konsisten. Kegigihannya terhadap rintangan
dan kesulitan sudah dapat terbukti.
4) Pemimpin memiliki pandangan positif tentang dirinya. Ia akan
bekerja untuk pengembangan keahliannya sehingga kesuksesan
dapat tercapai.
Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin
yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam
membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional
juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan
dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat
yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.
Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional
harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka
melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang
lebih besar. Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa
pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi
yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan
menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh
bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy dan
17
Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai
efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat
individu. Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational
Effectiveness through Transformational Leadership", Bass dan Avolio
(1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional
mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's".
Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence
(pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku
pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan
sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai
inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin
transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu
mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan,
mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan
mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan
entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai
intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional
harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif
terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan
memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-
pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration
(konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional
digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan
penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir.
Adapun ciri-ciri kepemimpinan transformasional sebagai berikut :
1. Karismatik
Karismatik menurut Yukl (1998) merupakan kekuatan pemimpin
yang besar untuk memotivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.
Bawahan mempercayai pemimpin karena pemimpin dianggap
18
mempunyai pandangan, nilai dan tujuan yang dianggapnya benar.
Oleh sebab itu pemimpin yang mempunyai karisma lebih besar
dapat lebih mudah mempengaruhi dan mengarahkan bawahan agar
bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemimpin.
2. Inspirasional
Perilaku pemimpin inspirational menurut Yukl & Fleet (dalam
Bass, 1985) dapat merangsang antusiasme bawahan terhadap tugas-
tugas kelompok dan dapat mengatakan hal-hal yang dapat
menumbuhkan kepercayaan bawahan terhadap kemampuan untuk
menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan kelompok.
3. Stimulasi Intelektual
Seltzer dan Bass (1990) menjelaskan bahwa melalui stimulasi
intelektual, pemimpin merangsang kreativitas bawahan dan
mendorong untuk menemukan pendekatan-pendekatan baru
terhadap masalahmasalah lama. Jadi, melalui stimulasi intelektual,
bawahan didorong untuk berpikir mengenai relevansi cara, system
nilai, kepercayaan, harapan dan didorong melakukan inovasi dalam
menyelesaikan persoalan melakukan inovasi dalam menyelesaikan
persoalan dan berkreasi untuk mengembangkan kemampuan diri
serta didorong untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang
menantang.
4. Perhatian secara Individual
Perhatian atau pertimbangan terhadap perbedaan individual
implikasinya adalah memelihara kontak langsung face to face dan
komunikasi terbuka dengan para pegawai. Zalesnik (dalam Bass,
1985) mengatakan, bahwa pengaruh personal dan hubungan satu
persatu antara atasan-bawahan merupakan hal terpenting yang
utama. Perhatian secara individual tersebut dapat sebagai
indentifikasi awal terhadap para bawahan terutama bawahan yang
mempunyai potensi untuk menjadi seorang pemimpin. Sedangkan
monitoring merupakan bentuk perhatian individual yang
19
ditunjukkan melalui tindakan konsultasi, nasehat dan tuntutan yang
diberikan oleh senior kepada yunior yang belum berpengalaman
bila dibandingkan dengan seniornya.
2. Gaya Kepemimpinan Transaksional
Dalam kepemimpinan transaksional, pemimpin dan pengikutnya
beraksi sebagai agen penawar dalam suatu proses, dimana imbalan dan
hukuman teradministrasi. Bass pada Pidekso dan Harsiwi (2001:3)
mendefiniskan kepemimpinan transaksional sebagai kepemimpinan yang
memelihara atau melanjutkan status quo. Kepemimpinan jenis ini,
didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses
pertukaran dimana para pengikut mendapat imbalan segera dan nyata
untuk melakukan perintah-perintah pemimpin. Terdapat 3 unsur utama
dalam kepemimpinan transaksional menurut Ratnaningsih (2009:125),
yaitu :
1) Imbalan Kontingensi
Pemberian imbalan sesuai dengan pekerjaan yang telah
dilakukan oleh bawahan sesuai dengan kesepakatan dan biasanya
disebut sebagai bentuk pertukaran yang aktif.
2) Manajemen Eksepsi
Merupakan transaksi yang aktif dan pasif. Aktif dilakukan oleh
pemimpin yang secara terus menurus mengawasi bawahan untuk
mengantisipasi adanya kesalahan. Dan pasif yang berarti
intervensi dan kritik dilakukan setelah kesalahan terjadi,
pemimpin terlebih dahulu menunggu tugas selesai. Selanjutnya
menentukan ada atau tidaknya kesalahan.
3) Laissez – Faire
Kepemimpinan gaya liberal, memberikan kebebasan luas
terhadap kelompok yang secara esensial kelihatan sebagai
kelompok yang tidak mempunyai kepemimpinan. Kepemimpinan
otoriter akan menimbulkan ketidakpuasan para karyawan karena
mereka merasa tegang, takut dan kurang berinisiatif,
20
kepemimpinan ini diterapkan dalam organisasi yang menghadapi
keadaan darurat. Kepemimpinan demokrasi akan menimbulkan
kepuasan kerja para karyawan, akan terjadi saling saran antara
pimpinan dan bawahan, semua orang dianggap sama pentingnya
dalam menyumbangkan ide dalam pembuatan keputuasn.
Kepemimpinan liberal akan menyebabkan ketidakpuasan di
pihak pimpinan, karena melaksanakan sedikit kontrol dan
pengawasan pada karyawan.
2.4 Analisis Wacana Kritis
Istilah wacana secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta
wac/wak/vak, artinya ‘berkata’ atau ‘berucap’. Kata tersebut mengalami
perkembangan menjadi wacana. Jadi kata wacana dapat diartikan sebagai
perkataan atau tuturan. Istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para
linguis di Indonesia sebagai terjemahan istilah dari bahasa Inggris discourse. Kata
ini diturunkan dari dis (dan/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari) (Oetomo,
1993:3).
Dalam buku Alex Sobur dituliskan pengertian wacana menurut Ismail
Maharimin, yakni sebagai kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut
urut-urutan yang teratur dan semestinya, komunikasi buah pikiran, baik lisan
maupun tulisan, yang resmi dan teratur (Sobur, 2001:10). Sedangkan menurut
Roger Flower dalam buku Eriyanto mengatakan wacana adalah komunikasi lisan
atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang
masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah
organisasi atau representasi dari pengalaman (Eriyanto, 2001:2). Mengenai
pengertian analisis wacana, Alex Sobur berpendapat bahwa wacana merupakan
studi tentang struktur pesan dalam komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi
(pragmatik) bahasa (Sobur, 2001:75).
Berdasarkan rumusan pendapat mengenai pengertian wacana tersebut,
maka dapat dirangkum pengertian wacana itu adalah “sebuah cara
21
mengkomunikasikan pikiran dalam bentuk lisan maupun tulisan yang teratur dan
sistematis dalam kesatuan bahasa yang besar, dengan tema-tema dan topik-topik
yang disajikan kepada khalayak.”
Analisa adalah cara mengkaji soal dengan mencari unsur-unsur dasar yang
terkandung dalam persoalan tersebut dan kemudian menggali hubungan antara
unsur-unsur itu, proses pemecahan kasus secara teratur, terorganisasi, sistematis,
dan langkah menguraikan satu keseluruhan ke dalam bagian-bagian. Sedangkan
analisis adalah memecahkan, menguraikan, melepaskan, dan membuat terurai
(Dagun, 1977:44).
Dalam suatu studi terhadap media, terdapat beberapa pendekatan yang
dapat digunakan, yaitu analisis isi, analisis framing, analisis semiotika, dan
analisis wacana. Posisi keempatnya sama-sama berada dalam pembahasan
terhadap isi media, khususnya dengan metodologi kualitatif. Perbedaannya adalah
pendekatan analisis isi hanya bertujuan melihat peristiwa apa yang diberitakan
pada suatu media (to find what), sementara kegiatan pendekatan lainnya melihat
bagaimana wartawan memandang suatu peristiwa (to find how). Seiring
perkembangannya, analisis isi dinilai memiliki banyak keterbatasan untuk
menganalisis isi pesan, terutama dalam menyingkap tingkat ideologis suatu
media.
Sementara seperti yang Alex Sobur katakan bahwa dengan analisis
framing, analisis semiotika, dan analisis wacana dapat dipahami bahwa isi media
itu dipengaruhi oleh berbagai komponen dalam institusi media itu sendiri (Sobur,
2001:3). Rincinya, analisis isi hanya melihat apa yang tertulis dalam teks media.
Analisis semiotika meneliti tanda-tanda yang terdapat dalam bahasa atau gambar.
Analisis framing membedah cara-cara atau ideologi media dalam mengonstruksi
fakta dengan melihat bagian-bagian yang ditonjolkan, dihilangkan, dan arah suatu
pemberitaan. Sedangkan analisis wacana melihat bagimana cara media atau
wartawan mewacanakan suatu berita dengan meneliti struktur dan kesinambungan
22
suatu teks. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan analisis
wacana.
Pembahasan wacana pada segi lain adalah membahas bahasa dan tuturan
itu harus di dalam rangkaian kesatuan situasi penggunaan yang utuh. Analisis
wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan unit
kategori, dasar dari analisis wacana adalah interpretasi, karena analisis wacana
merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan pengamatan dan
penafsiran peneliti. (Eriyanto, 2001:337).
Ada tiga pandangan mengenai analisis wacana dalam bahasa. Pandangan
pertama dituturkan kaum positivism-empiris, menurutnya analisis wacana
menggambarkan tata tuturan kalimat, bahasa dan pengertian bahsa. Pandangan
kedua disebut konstruktivisme, yang menempatkan analisis wacana sebagai suatu
analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu. Pandangan ketiga
disebut sebagai paradigm kritis yang menekankan pada konstelasi kekuatan yang
terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna, di mana bahasa dipahami
sebagai reprentasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema
wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya (Badara, 2012:19-20).
Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran bebas dan netral. Media
justru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi
kelompok yang tidak dominan. (Eriyanto, 2001:3-6). Pandangan ini melihat
bagaimana kedudukan wartawan dan media yang bersangkutan dalam keseluruhan
proses berita.
Eriyanto (2001:3-6) memandang wacana dalam 3 pandangan, pandangan
positivisme-empiris, konstruktivisme dan kritis. Positivisme-empiris memandang
bahwa bahasa adalah jembatan antara manusia dan obyek di luar dirinya, sehingga
analisis wacana digunakan untuk menggambarkan tata urutan kalimat, bahasa dan
pengertian bersama. Para konstruktivisme memandang bahasa sebagai subyek
yang memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu
dalam setiap wacana, sehingga analisis wacana digunakan untuk membongkar
23
maksud atau makna tertentu. Pandangan kristis menganggap bahasa sebagai
representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, sehingga analisis
wacana digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa
seperti batasan wacana, prespektif yang dipakai, dan topik yang dibicarakan.
Analisis wacana kritis bukan hanya mempelajari mengenai bahasa. Bahasa
dalam analisis wacana dianalisis dengan menggambarkan dan menghubungkan
dengan konteks. Konteks yang dimaksudkan adalah bahasa yang digunakan untuk
tujuan dan praktik tertentu, termasuk praktik kekuasaan (Eriyanto,2001:7).
Menurut Fairclough dan Wodak (2001:7) analisis wacana kritis dalam pemakaian
bahasa berupa kata-kata dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial, yang
berdampak menjadi efek ideologi dimana ia dapat memproduksi dan
mereproduksi hubungan kuasa yang tidak seimbang. Kekuasaan yang didapat
digunakan sebagai pembentukkan subyek dan merepresentasikan masyarakat.
Analisis wacana kritis memiliki karakteristik menurut Teun A. van Djik,
Fairclough, dan Wodak (Eriyanto,2001:8) :
1. Tindakan
Wacana dipahami sebagai suatu tindakan, dalam hal ini wacana dianggap
sebagai suatu interaksi. Interaksi yang dimaksudkan adalah tulisan dan
tutur kata, sehingga tulisan dan tutur kata dianggap sebagai wacana.
Wacana dipandang sesuatu yang bertujuan baik mempengaruhi, mendebat,
atau membujuk, dan juga dipandang sebagai sesuatu yang diekspresikan
secara sadar dan terkontrol.
2. Konteks
Konteks wacana kritis melihat wacana dipandang diproduksi, dimengerti,
dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Guy Cook (2001:8)
memandang konteks wacana sama dengan konteks komunikasi, seperti
siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa, dalam situasi
dan khalayak seperti apa dan sebagainya. Arti sempitnya konteks dalam
wacana digunakan untuk melihat latar belakang, situasi sebuah peristiwa.
24
3. Historis
Historis melihat wacana berada dalam sebuah konteks sosial, sehingga
wacana ditempatkan dalam konteks historis tertentu. Kontes historis akan
melihat sejarah atau cerita dibalik sebuah wacana atau melihat bagaimana
keadaan saat wacana diproduksi.
4. Kekuasaan
Teks atau sebuah percakapan dipandang sebagai sebuah wacana. Wacana
tersebut bukan sebagai sesuatu yang ilmiah, wajar dan netral, namun
wacana merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan
yang dimaksud adalah sebuah kunci hubungan antara wacana dengan
masyarakat. Memiliki kekuasaan berarti berhak mengkontrol siapa yang
perlu diwacanakan dan diwacanakan seperti apa, sehingga wacana tersebut
dipakai untuk mengkontrol pihak yang tidak dominan.
5. Ideologi
Dalam ideologi, memandang teks dan percakapan sebagai sebuah praktik
ideologi atau cerminan ideologi. Ideologi tersebut dibangun untuk
mereproduksi/ melegitimasi dominasi, namun sebenarnya memberikan
kesadaran palsu bagi kaum non dominasi.
25
2.5 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.4.
Penelitian Tedahulu
Penelitian Judul Konsep Metode Hasil
Penelitian
M. Fikri
Halim
Analisis
Wacana
Kritis
Tentang
Perbudakan
Modern
Dalam
Program
Bedah
Editorial
Media
Indonesia di
Metro TV
Mengetahui
konstruksi
teks, kognisi
sosial dan
konteks sosial
dalam
Program
Bedah
Editorial
Media
Indonesia
tentang
perbudakan
modern di
Metro TV.
Kualitatif,
pendekatan
analisis wacana
kritis Teun A.
Van Dijk.
Melihat pada
level teks yang
dianalisa
menggunakan
elemen wacana,
kemudian
dirangkum
sehingga terlihat
ideologi yang
ingin
disampaikan
Teks yang
dikonstruksi
oleh Media
Indonesia dan
diangkat oleh
Metro TV
sebagai bahan
diskursus
editorial ini
menjadi
sebuah
realitas yang
penting
diketahui dan
dipahami oleh
masyarakat.
Dimas Abdi
Walidirridl
o
Kontsruksi
Media
Online pada
Kepemimpin
an Jokowi-
Basuki
(Analisis
Wacana
Menjelaskan
bagaimana
Konstruksi
Media Online
pada
Kepemimpina
n Jokowi-
Basuki melalui
Eksplanatif,
pendekatan
analisis wacana
kritis Teun A.
Van Dijk untuk
menganalisis teks
media yang ada
pada liputan
Liputan
khusus
Kompas.com
terkait
pemberitaan
kepemimpina
n Jokowi dan
Basuki
26
“Satu Tahun
Jokowi-
Basuki” pada
Kompas.com
Edisi
Liputan 10-
14
November
2013)
Analisis
Wacana “Satu
Tahun Jokowi-
Basuki” pada
Kompas.com
Edisi Liputan
10-14
November
2013.
Kompas.com. menggambark
an sosok
pemimpin
yang
bertanggung
jawab, cerdas,
dekat dengan
rakyat kecil
dan penuh
aksi. Dan dari
isi berita
secara
keseluruhan
memberikan
citra positif
bagi Jokowi
dan Basuki di
mata
masyarakat.
Neneng
Hasanah
Analisis
Wacana
“Human
Interest”
Pada Acara
Kick Andy
di Metro TV
(Episode Aa
Gym
Menjawab)
Memperoleh
gambaran
mengenai
program acara
Kick Andy dan
mencari
informasi, dan
data sebanyak-
banyaknya
mengenai
penerapan
Kualitatif,
pendekatan
analisis wacana
kritis Teun A.
Van Dijk.
Melihat pada
level teks yang
dianalisa
menggunakan
elemen wacana,
kemudian
Acara Kick
Andy pada
episode “Aa
Gym
Menjawab”
mengandung
segi human
interest yang
memberikan
penekanan
pada fakta-
27
konsep berita
yang terdapat
dalam tayangan
televisi
program acara
Kick Andy,
serta mengupas
konstruksi
wacana pada
level teks,
kontek sosial,
dan kognisi
sosial dalam
acara Kick
Andy di Metro
TV episode AA
Gym
Menjawab.
dirangkum
sehingga terlihat
ideologi yang
ingin
disampaikan.
fakta yang
menggugah
emosi,
menghibur,
memunculkan
empati dan
keharuan.
Rani
Setyaningru
m
Takumansa
ng
Analisis
Wacana
Kritis Gaya
Kepemimpin
an Ridwan
Kamil dan
Ganjar
Pranowo
dalam
Program
Talkshow
Mata Najwa
Mendeskripsik
an gaya
kepemimpinan
Ridwan Kamil
dan Ganjar
Pranowo
dalam
tayangan
program
talkshow Mata
Najwa episode
Pejabat
Deskriptif
kualitatif,
menggunakan
pendekatan
analisis wacana
kritis model Teun
A. Van Dijk,
yaitu dengan
menganalisis teks
berupa
percakapan dalam
tayangan,
Penelitian ini
difokuskan
pada makna di
balik pesan
program
talkshow
Mata Najwa
episode
‘Pejabat
Kekinian’
mengenai
gaya
28
Episode
Pejabat
Kekinian
Kekinian.
kemudian secara
kognisi sosial
mendokumentasi
kan wacana-
wacana pada
media massa dan
media sosial
Ridwan Kamil
dan Ganjar
Pranowo, dan
secara konteks
sosial
menganalisis
melalui kondisi
sosial di Bandung
dan Jawa Tengah.
Setelah itu
dengan
menggunakan
teori gaya
kepemimpinan
George R. Terry
dapat dilihat gaya
kepemimpinan
Ridwan Kamil
dan Ganjar
Pranowo.
kepemimpina
n Ridwan
Kamil dan
Ganjar
Pranowo.
29
Dengan adanya beberapa penelitian terdahulu yang digunakan sebagai
acuan untuk ini, dan sebagaimana dapat dilihat pada tabel diatas bahwa metode
yang digunakan adalah metode analisis wacana kritis dengan model Teun Van
Djik, maka peneliti merasa pernting untuk menggambarkan perbedaan dari
penelitian yang hendak dilakukan dengan beberapa penelitian terdahulu diatas.
Peneliti melihat bahwa pada penelitian beberapa penelitian terdahulu
diatas secara secara konsep pada umumnya hanya menggambarkan bagaimana
media mengkonstruksi atau membangun sebuah teks, wacana, gambaran sebuah
program acara dan juga idielogi yang dibangun melalui media serta program acara
yang diteliti. Lebih jauh peneliti belum melihat adanya upaya untuk melihat lebih
jauh tentang hal-hal yang sebenarnya ingin disampaikan melalui teks serta wacana
yang dikonstruksi oleh media yang diteliti serta program acara yang diteliti
sebelumnya. Untuk itu melalui penelitian ini peneliti tidak sekedar mencari tau
bagai mana media lewat program acaranya mengkonstruksi teks, wacana serta
ideologi yang dibangun tapi peneliti lebih jauh ingi melihat apa yang hendak
disampaikan di balik hal – hal tersebut.
Dengan mengamati program talkshow Mata Najwa edisi pejabat kekinian,
peneliti tidak hanya melihat bagaimana konstruksi media khususnya program
Mata Najwa dalam membangun wacana tentang pejabat kekinian, tapi dalam
penelitian ini peneliti menghubungkannya denga gaya kepemimpinan sehingga
nantinya dapat diketahui bagaimana gaya kepemimpinan dikemas, digambarkan
dan wacanakan lewat tema pejabat kekinian dalam program talkshow Mata Najwa
dengan nara sumber Ridwan Kamil (Walikota Bandung) dan juga Ganjar
Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) selaku pejabat.
30
2.6 Kerangka Pikir
Pada tanggal 9 Maret 2016, program talkshow Mata Najwa mengangkat
episode ‘Pejabat Kekinian’ yang menghadirkan Ridwan Kamil dan Ganjar
Pranowo sebagai narasumber utama. Dari tayangan inilah, peneliti ingin melihat
bagaimana gaya kepemimpinan Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo berdasarkan
analisis wacana kritis program talkshow Mata Najwa episode ‘Pejabat Kekinian’.
Untuk mengetahui wacana kepemimpinan tersebut peneliti akan menganalisis
tayangan tersebut menggunakan model analisis Teun A. Van Dijk. Pertama,
peneliti akan menganalisis secara teks. Kemudian, peneliti akan melihat kognisi
dari wacana-wacana yang ada di media massa dan media sosial. Setelah itu,
dilihat konteks sosialnya dari kondisi-kondisi lokal (tempat kedua pejabat daerah
ini bertugas, Bandung dan Jawa Tengah), juga melihat kondisi nasional saat ini.
Baru kemudian peneliti menggunakan teori gaya kepemimpinan George R. Terry
untuk melihat gaya kepemimpinan Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo.
Bagan 1.
Kerangka Pikir
Pesan
(Kepemimpinan)
Program Talkshow Mata
Najwa
Episode ‘Pejabat Kekinian’
Analisis Wacana Kritis
Teun A. Van Dijk
Teori Gaya
Kepemimpinan
George R. Terry.
Gaya Kepemimpinan Ridwan
Kamil dan Ganjar Pranowo
Hasil Penelitian