BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1...
10
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
2.1 Pengertian Konformitas
Santrock (2003:249) mendefenisikan konformitas sebagai perubahan
dalam sikap atau pendapat individu sebagai hasil dari tekanan yang nyata atau
diimajinasikan oleh individu atau kelompok. Pendapat tersebut diartikan bahwa
konformitas dapat terjadi pada individu bila mendapat tekanan dari kelompoknya
baik secara nyata maupun secara tidak nyata. Minsalnya dalam bentuk ancaman
fisik maupun abstrak dari individu atau kelompok individu lain minsalnya
perasaan takut dijauhi oleh anggota kelompok.
Baron dan Byrne (2005:53) menyatakan bahwa konformitas adalah suatu
jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah keyakinan dan tingkah laku agar
sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Hal senada juga dikemukakan oleh
Willis (dalam Sarwono, 1995:229-230), bahwa konformitas merupakan usaha
terus-menerus dari individu untuk selalu selaras dengan norma-norma yang
diharapkan kelompok. Kedua pendapat tersebut mengartikan bahwa konformitas
menekankan adanya suatu perubahan sesuai dengan tuntutan yang dikehendaki
individu lainnya, perubahan tersebut dapat berupa persepsi, sikap dan perilaku.
Asch (dalam Sarwono, 1995:80), mengatakan bahwa konformitas adalah
situasi dimana individu mengikuti tekanan kelompok walaupun tidak ada tuntutan
atau permintaan lansung dari kelompok. Demikian pula halnya dengan Kiesler
(dalam Sarwono, 1999:172), yang mengatakan bahwa konformitas adalah perilaku
10
11
atau keyakinan karena adanya tekanan dalam kelompok, baik yang sungguh ada
maupun yang dibayangkan. Kedua pendapat tersebut mengartikan bahwa
konformitas merupakan keadaan yang menuntut individu untuk mengikuti
individu lainnya yang dianggapnya sebagai tekanan.
Menurut David dan O’Sears (1999:53) bahwa bila seseorang
menampilkan perilaku tertentu karena disebabkan oleh karena orang lain
menampilkan perilaku tersebut, disebut konformitas. Menurut Baron dan Byrne
(2005:53) konformitas remaja adalah penyesuaian perilaku remaja untuk
menganut pada norma kelompok acuan, menerima ide atau aturan-aturan yang
menunjukkan bagaimana remaja berperilaku.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka yang dimaksud konformitas
teman sebaya adalah keadaan dimana individu menyikapi dan melakukan
tindakan berdasarkan pengaruh teman sebaya, yang bila tidak dilakukannya
dianggap dapat membahayakannya di depan teman sebaya.
2.2 Aspek-aspek Konformitas
Wiggins (1991:132) mengemukakan bahwa aspek – aspek konformitas
adalah:
1) Kerelaan : rela mengikuti pendapat kelompok yang diinginkan atau
diharapkan agar memperoleh reward berupa pujian dan untuk menghindari
12
celaan, keterasingan, cemooh yang mungkin dijatuhkan jika tidak
mengerjakan keinginan kelompok.
2) Perubahan : saat terjadi perubahan sikap, dalam suatu konformitas ketidak
hadiran seorang anggota kelompok lebih dianggap sesuai dengan pikiran
dan tindakan anggota kelompok yang hadir.
Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan adanya
ciri-ciri yang khas. O’Sears (1991:135) mengemukakan secara eksplisit bahwa
konformitas remaja ditandai dengan adanya tiga hal sebagai berikut :
1. Kekompakan
Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan remaja
tertarik dan ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan
remaja dengan kelompok acuan disebabkan perasaan suka antara anggota
kelompok serta harapan memperoleh manfaat dari keanggotaannya.
Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan
semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan
kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka akan semakin
kompak kelompok tersebut.
a. Penyesuaian Diri
Kekompakan yang tinggi menimbulkan tingkat konformitas yang
semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat
dengan anggota kelompok lain, akan semakin menyenangkan bagi mereka
untuk mengakui kita, dan semakin menyakitkan bila mereka mencela kita.
13
Kemungkinan untuk menyesuaikan diri akan semakin besar bila kita
mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota sebuah kelompok
tertentu.
b. Perhatian terhadap Kelompok
Peningkatan koformitas terjadi karena anggotanya enggan disebut
sebagai orang yang menyimpang. Seperti yang telah kita ketahui,
penyimpangan menimbulkan resiko ditolak. Orang yang terlalu sering
menyimpang pada saat-saat yang penting diperlukan, tidak
menyenangkan, dan bahkan bisa dikeluarkan dari kelompok. Semakin
tinggi perhatian seseorang dalam kelompok semakin serius tingkat rasa
takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil kemungkinan untuk tidak
meyetujui kelompok.
2. Kesepakatan
Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan
kuat sehingga remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan
pendapat kelompok.
a. Kepercayaan
Penurunan melakukan konformitas yang drastis karena hancurnya
kesepakatan disebabkan oleh faktor kepercayaan. Tingkat kepercayaan
terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat,
meskipun orang yang berbeda pendapat itu sebenarnya kurang ahli bila
dibandingkan anggota lain yang membentuk mayoritas. Bila seseorang
sudah tidak mempunyai kepercayaan terhadap pendapat kelompok, maka
14
hal ini dapat mengurangi ketergantungan individu terhadap kelompok
sebagai sebuah kesepakatan.
b. Persamaan Pendapat
Bila dalam suatu kelompok terdapat satu orang saja tidak sependapat
dengan anggota kelompok yang lain maka konformitas akan turun.
Kehadiran orang yang tidak sependapat tersebut menunjukkan terjadinya
perbedaan yang dapat berakibat pada berkurangnya kesepakatan
kelompok. Jadi dengan persamaan pendapat antar anggota kelompok maka
konformitas akan semakin tinggi.
c. Penyimpangan terhadap pendapat kelompok
Bila orang mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain dia
akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang yang menyimpang, baik
dalam pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang lain. Bila
orang lain juga mempunyai pendapat yang berbeda, dia tidak akan
dianggap menyimpang dan tidak akan dikucilkan. Jadi kesimpulan bahwa
orang yang menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan
merupakan aspek penting dalam melakukan konformitas.
3. Ketaatan
Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya rela
melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Bila
ketaatannya tinggi maka konformitasnya akan tinggi juga.
15
a. Tekanan karena Ganjaran, Ancaman, atau Hukuman
Salah satu cara untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan
meningkatkan tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku
yang diinginkan melalui ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan
menimbulkan ketaatan yang semakin besar. Semua itu merupakan insentif
pokok untuk mengubah perilaku seseorang.
b. Harapan Orang Lain
Seseorang akan rela memenuhi permintaan orang lain hanya karena
orang lain tersebut mengharapkannya. Dan ini akan mudah dilihat bila
permintaan diajukan secara langsung. Gejala ini sangat mudah dilihat bila
permintaan diajukan secara langsung. Misalnya, bila kita menyatakan
kepada teman kita bahwa mereka harus menyumbang sejumlah uang, dan
memberikan peringatan kepada teman kita apabila dia tidak
menyumbangkan sejumlah uang maka kita akan memberikan uang yang
lebih banyak. Harapan-harapan orang lain dapat menimbulkan ketaatan,
bahkan meskipun harapan itu bersifat implisit. Salah satu cara untuk
memaksimalkan ketaatan adalah dengan menempatkan individu dalam
situasi yang terkendali, dimana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa
sehingga ketidaktaatan merupakan hal yang hampir tidak mungkin timbul.
Berdasarkan beberapa aspek konformitas dapat disimpulkan bahwa
konformitas adalah keadaan dimana individu menyikapi dan melakukan tindakan
berdasarkan pengaruh teman sebaya, yang bila tidak dilakukannya dianggap
dapat membahayakannya dihadapan teman sebaya. Berdasarkan beberapa aspek
16
tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek konformitas adalah : kekompakan,
kesepakatan dan ketaatan.
2.3 Faktor-faktor yang Mempengruhi Konformitas
O’Sears (1991:80-91) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi konformitas yaitu:
1. Perilaku Individu Yang Memberikan Informasi Dan Bermanfaat
Individu merupakan sumber informasi yang penting. Seringkali membuat
individu mengetahui sesuatu yang individu lainnya tidak tahu, maka individu itu
akan memperoleh manfaat dari hal tersebut. Informasi yang dimiliki oleh
kelompok dapat dipercayai individu. Oleh karena itu, semankin besar kepercayaan
individu terhadap kelompok sebagai informasi yang benar, semankin besar pula
keinginan untuk menyesuaikan diri dengan kelompok. Bila individu baranggapan
bahwa kelompok selalu benar maka individu akan mengikuti apapun yang
dilakukan oleh kelompok tanpa memperdulikan pendapatnya sendiri. Demikian
bila kelompok memiliki informasi yang penting yang belum dimiliki individu,
konformitas akan sangat meningkat. Salah satu faktor penentu kepercayaan adalah
tingkat keahlian kelompok itu dalam hubungan antara individu. Semankin tinggi
tingkat kepercayaan dan penghargaan individu terhadap pendapatnya.
Faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat
konformitas adalah tingkat keyakinan individu tersebut pada kemampuan sendiri
untuk menapilkan satu reaksi. Konformitas dapat diturunkan dengan cara
membuat individu lebih menguasai suatu persoalan. Segala sesuatu yang
17
meningkatkan rasa percaya individu terhadap penilaian sendiri akan menurunkan
konformitas karena kemudian kelompok bukanlah informasi yang unggul lagi.
2. Individu Berkonformitas Karena Ingin Diterima Secara Sosial.
Rasa takut dipandang sebagai individu yang menyimpang merupakan
sebagai faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Individu ingin agar
kelompok dimana individu berada menyukai, menerima serta memperlakukan
secara baik. Individu cendrung menyesuaikan diri untuk menghindari perselisihan
paham. terkadang individu berkonformitas demi memperoleh persetujuan atau
menghindari celaan individu lain atau kelompok. Kurangnya kepercayaan
individu pada penadapat sendiri membuat individu menyesuaikan diri dengan
kelompok teman sebaya. Semakin tinggi perhatian individu terhadap kelompok
maka semakin tinggi rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil untuk
tidak menyetujui kelompok.
Individu diharapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan
mendapatkan tekanan kuat untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun bila
kelompok tidak bersatu maka akan tampak adanya penurunan konformitas.
Penurunan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan
beberapa faktor, pertama tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun
jika terjadinya penbedaan. Kedua, bila anggota kelompok lain mempunyai
pendapat yang sama, keyakinan individu terhadap pendapat sendiri, akan semakin
kuat, dimana keyakinan yang kuat akan menurunkan konformitas.
Menurut Baron dan Byrne (2005:56), faktor-faktor yang mempengaruhi
konformitas sebagai berikut:
18
1. Kohesivitas
Individu menerima pengaruh dari individu lain yang disukainya.
Kohesivitas dapat di defenisika sebagai kertarikan yang dirasakan individu
terhadap suatu kelompok. Jika tingkat kohesivitas tinggi maka tekanan untuk
berkonformitas semakin besar.
2. Ukuran Kelompok
Penelitian-penelitian terdahulu seperti Asch, Gerard, Wilhemy, dan
Conely (dalam Baron dan Byrne, 2005:57), menemukan bahwa konformitas
meningkat sejalan dengan bertambahnya anggota kelompok, namun hanya
penambahan sekitar tiga anggota kelompok, lebih dari itu, nampaknya tidak akan
berpengaruh atau mungkin menurun. Namun penelitian terbaru yang dilakukan
Smith (dalam Baron dan Byrne 2005:57) menemukan bahwa konformitas
cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kelompok hingga berjumlah
delapan anggota.
3. Norma Sosial Deskriptif dan Sosial Injungtif
Norma sosial deskriptif merupakan norma yang hanya mendeskripsikan
sebagian besar yang individu lakukan pada situasi tertentu. Norma-norma ini
mempengaruhi tingkah laku dengan cara memberitahu diri mengenai apa yang
umumnya dianggap efektif pada suatu situasi. Norma Injungtif menetapkan apa
yang harus dilakukan, tingkah laku yang dapat diterima atau tidak dapat di terima
pada situasi tertentu. Kedua pengaruh tersebut dapat memberikan pengaruh yang
kuat pada tingkah laku. Cialdini (dalam Baron dan Byrne, 2005:57) mempercayai
19
bahwa pada situasi-situasi tertentu, terutama tingkah laku anti sosial cenderung
mencul, norma injungtif dapat memberikan pengaruh yang kuat.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa beberapa
faktor yang mempengaruhi konformitas diantaranya adalah adanya individu yang
memberikan informasi yang bermanfaat, keinginan untuk diterima secara sosial,
kohesivitas kelompok, ukuran kelompok, serta norma-norma yang bersifat
Deskriptif dan Injungtif.
2.4 Pengertian Asertif
Dalam kehidupan sosial, adanya kecendrungan sikap asertif sangat
membantu untuk menjalin hubungan kerja sama dan kemampuan memahami
individu lain yang sangat dibutuhkan guna dalam meningkatkan profesionalime
dalam kompetensi individu dalam kehidupan sehari-hari. Asertif berasal dari kata
assert (sadar) yang berarti menegaskan, yang mengandung satu atau lebih hal
seperti ; hak azazi manusia, kejujuran, atau ekspresi emosi yang tepat. Istilah
asertif menunjukan pada suatu tingkah laku. Hal ini sesuai dengan pendapat Wilis
dan Daisley (1990:23) bahwa perilaku asertif merupakan suatu bentuk tingkah
laku dan bukan merupakan sifat dari kepribadian (personality trait).
Menurut Cawwod (1997:13) perilaku asertif adalah ekspresi yang lansung,
jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan atau hak-hak anda
tanpa kecamasan yang tidak beralasan. Pesan yang ditampikan jelas, terfokus dan
wajar, tidak menghakimi. Berbicara tidak berputar-putar, tidak mengemas ulang
atau memanipulasi individu lain. Jujur adalah perilaku yang selaras, semua isyarat
20
cocok, kata-kata, gerak-gerik, dan perasaan semuanya mengatakan hal yang sama.
Atkinson (1997:124) berpendapat bahwa perilaku asertif adalah suatu perilaku
yang timbul apabila individu mengetahui hak-haknya, atau apa yang
diinginkannya, sekaligus tidak melanggar hak individu lain. Sebaliknya dengan
individu non asertif adalah individu yang terlihat mudah mengalah, mudah
tersinggung, cemas, kurang percaya diri, sukar mengungkapkan masalah atau hal-
hal yang diinginkan. Demikian pula dengan pendapat Lange Jakubowski (dalam
Calhoun dan Acocella, 1990:384) bahwa perilaku asertif menuntut hak pribadi
dalam menyatakan pikiran, perasaan dan keyakinan dengan cara jujur dan tepat.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diuraikan bahwa individu yang menampilkan
perilaku asertif mampu mengungkapkan perasaan dan pikirannya dihadapan
individu lain.
Schroeder Black (dalam Craighead dkk, 1994:112) menyatakan bahwa
perilaku asertif dapat didefenisikan sebagai usaha individu untuk merespon atau
mengatasi situasi yang bermasalah dengan cara meminta individu tingkah laku
dan menolak permintaan yang tidak masuk akal. Pendapat yang senada juga di
kemukan oleh Craighead dkk (1994:113), bahwa perilaku asertif berkaitan dengan
usaha individu untuk mempertahankan hak-haknya. Secara umum pendapat
mengenai perilaku asertif yang dikemukakan para ahli di atas mengacu pada hal
yang sama, yaitu tingkah laku para ahli di atas sacara umum mengatakan hal yang
sama dikatakan bahwa perilaku asertif menuntut individu untuk merespon,
mengungkapkan serta bertingkah laku secara tegas dan jujur terhadap individu
21
tidak sesuai dengan apa yang dirasakan individu tidak menyinggung dan
merugikan individu lain.
Menurut Fensterheim dan Baer (Ardiah, 2003:85) kata asertif berasal dari
Bahasa Inggris to assert, yang diartikan sebagai suatu ungkapan sikap positif,
dimana sikap positif tersebut dinyatakan dengan tegas atau terus terang. Perilaku
asertif menurut Lloyd (1991:78), dikatakan sebagai gaya yang wajar, langsung,
jujur, penuh respon dalam interaksi individu lain, dapat diekspresikan baik secara
verbal maupun dengan menampilkan bahasa tubuh yang serasi. Rimm dan
Masters (Rakos, 1991:134) menyatakan bahwa perilaku asertif adalah suatu
perilaku dalam hubungan interpersonal yang bersifat jujur serta mengekspresikan
pikiran dan perasaan secara langsung dengan tetap memperhitungkan kondisi
sosial yang ada.
Orang yang berperilaku asertif dapat disebutkan sebagai orang yang
mempunyai kepercayaan diri, karena orang yang percaya diri selalu bersikap
positif pada dirinya sendiri dan orang lain. Sikap ini akan menjadikan seseorang
menjadi tegas, jujur dan terbuka, kritis, langsung dan nyaman, akan tetapi mampu
menghormati orang lain (Townend, 1991:23).
Menurut Fensterheim & Baer ( 1995:14) dapat diketahui bahwa pribadi
yang cenderung menampilkan perilaku asertif dapat memiliki 4 (empat) ciri antara
lain adalah
a. Merasa bebas untuk mengemukakan diri sendiri melalui kata –kata
dantindakan mampu mengeluarkan pernyataan “inilah diriku, inilah yang
saya rasakan, saya fikirkan dan saya ingini”.
22
b. Dapat berkomunikasi dengan individu lain dari semua tingkatan baik
individu yang tidak dikenal, sahabat-sahabat maupun keluarga.
komunikasi ini selalu terbuka, langsung, jujur dan sebagaimana mestinya.
c. Mempunyai pandangan aktif tentang hidup, mengejar apa yang
diinginkan dan berusaha agar sesuatu itu terjadi.
d. Bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri, karena sadar bahwa
dirinya tidak dapat selalu menang, maka individu menerima
keterbatasannya, akan tetapi dirinya selalu berusaha mencapai sesuatu
dengan usaha yang sebaik-baiknya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kecenderungan perilaku asertif adalah keinginan individu untuk dapat
menampilkan dan mengungkapkan pikiran, perasaan, kehendak, serta kebutuhan
secara tegas, jujur dan terus terang melalui cara-cara yang dapat diterima dan
sesuia dengan sopan santun tanpa melanggar harga diri dan hak-hak pribadi dan
individu lain.
2.5 Aspek-aspek Perilaku Asertif
Aspek-aspek perilaku asertif menurut Galassi (dalam Porpitasari 2007) ada
tiga kategori yaitu:
1) Mengungkapkan perasaan positif (expressing positive feelings)
Pengungkapan perasaan positif antara lain:
a) Dapat memberikan pujian dan mengungkapkan penghargaan pada
orang lain dengan cara asertif adalah keterampilan yang sangat penting.
23
Individu mempunyai hak untuk memberikan balikan positif kepada orang
lain tentang aspek-aspek yang spesifik seperti : perilaku, pakaian, dan
lain-lain, memberikan pujian berakibat mendalam dan kuat terhadap
hubungan antara dua orang, ketika seorang di puji kecil kemungkinan
mereka merasa tidak dihargai. Menerima pujian minimum dengan ucapan
terima kasih, senyuman, atau seperti “saya sangat menghargainya”.
b) Meminta pertolongan termasuk di dalamnya yaitu meminta
kebaikan hati dan meminta seseorang untuk mengubah perilakunya.
Manusia selalu membutuhkan pertolongan orang lain dalam kehidupannya,
seperti misalnya meminjam uang.
c) Mengungkapkan perasaan suka, cinta, sayang kepada orang yang
disenangi. Kebanyakan orang mendengar atau mendapatkan ungkapan
tulus merupakan hal yang menyenangkan dan hubungan yang berarti serta
selalu memperkuat dan memperdalam hubungan antara manusia.
d) memulai dan terlibat percakapan. Aspek ini diindikasikan oleh
frekuensi senyuman dan gerakan tubuh yang mengindikasi reaksi perilaku,
respon, kata-kata yang menginformasikan tentang diri/pribadi, atau
bertanya langsung.
2) Afirmasi diri (self affirmations)
Afirmasi diri terdiri dari tiga perilaku yaitu:
a. Mempertahankan hak
Mengekspresikan mempertahankan hak adalah relevan pada macam-
macam situasi dimana hak pribadi diabaikan atau dilanggar. Misalnya situasi
24
orang tua dan keluarga, seperti anak tidak diizinkan/dibolehkan menjalani
kehidupan sendiri, tidak mempunyai hak pribadi sendiri, dan situasi hubungan
teman dimana hakmu dalam membuat keputusan tidak dihormati.
b. Menolak permintaan
Individu berhak menolak permintaan yang tidak rasional dan untuk
permintaan yang walaupun rasional, tapi tidak begitu diperhatikan. Dengan
berkata “tidak” dapat membantu kita untuk menghindari keterlibatan pada situasi
yang akan membuat penyesalan karena terlibat, mencegah terjadinya suatu
keadaan dimana individu akan merasa seolah-olah telah mendapatkan keuntungan
dari penyalah gunaan atau memanipulasi ke dalam sesuatu yang diperhatikan
untuk dilakukan.
c. Mengungkapkan pendapat
Setiap individu mempunyai hak untuk mengungkapkan pendapatnya
secara asertif. Mengungkapkan pendapat pribadi termasuk di dalamnya dapat
mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan pendapat orang lain, atau
berpotensi untuk menimbulkan perselisihan pendapat dengan orang lain,
contohnya adalah mengungkapkan ketidak sepahaman dengan orang lain.
3) Mengungkapkan perasaan negatif (expressing negative feelings)
Perilaku ini meliputi pengungkapan perasaan negatif tentang orang per-
orang. Perilaku-perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah:
a. Mengungkapkan ketidaksenangan
Ada banyak situasi dimana individu berhak jengkel atau tidak menyukai
perilaku orang lain, seseorang melanggar hak mu, teman meminjam barang tanpa
25
permisi, teman yang selalu datang terlambat ketika berjanji, dan lain-lain.
b. Mengungkapkan kemarahan
Individu mempunyai tanggung jawab untuk tidak merendahkan,
mempermalukan, atau memperlakukan dengan kejam kepada orang lain pada
proses ini. Banyak orang telah mempelajari bahwa mereka seharusnya tidak
mengekspresikannya.
Rimm dan Masters (Rakos, 1991:45) menyatakan bahwa perilaku asertif
adalah suatu perilaku dalam hubungan interpersonal yang bersifat jujur serta
mengekspresikan pikiran dan perasaan secara langsung dengan tetap
memperhitungkan kondisi sosial yang ada.
Alberti dan Emmons (2002:76-80) juga menyebutkan beberapa
komponen-komponen dari perilaku asertif. Komponen-komponen tersebut adalah:
a) Kontak Mata (Eye Contact)
Saat berbicara individu yang asertif menunjukkan kontak mata dengan
menatap langsung dengan lawan bicaranya, sehingga akan membantu dalam
mengkomunikasikan ketulusan, menunjukkan perhatian dan penghormatan
kepada orang lain serta meningkatkan kelangsungan pesan yang disampaikan.
b) Sikap Tubuh (Body Posture)
Sikap tubuh yang ditunjukkan oleh individu yang asertif adalah sikap
tubuh yang aktif dan tegak. Sikap berdiri yang membungkuk dan pasif,
menandakan kurangnya keasertifan seseorang.
c) Jarak atau Kontak Fisik (Distance atau Physical Contact)
26
Individu yang asertif mempunyai kemampuan dalam menjaga jarak ketika
berinteraksi dengan orang lain. Kedekatan diantara orang-orang yang terlibat
pembicaraan akan memiliki dampak yang cukup besar dalam komunikasi. Akan
tetapi apabila terlalu dekat mungkin dapat menyinggung perasaan orang lain.
d) Isyarat (Gesture)
Isyarat yang ditunjukkan oleh individu yang asertif dapat menambah
ketegasan, keterbukaan, kehangatan, rasa percaya diri dan spontanitas dalam
berkomunikasi dengan orang lain.
e) Ekspresi Wajah (Facial Expression)
Dalam berbicara dengan orang lain, individu yang asertif mampu
mengekspresikan wajah sesuai dengan pesan atau hal apa yang akan
disampaikan.
f) Nada, Modulasi, Volume Suara
Saat mengungkapkan pikiran dan perasaan secara verbal, individu yang
asertif menggunakan intonasi suara yang tepat.
g) Penetapan Waktu (Timing)
Individu yang asertif mampu menyatakan sesuatu kepada orang lain secara
tepat sesuai dengan waktu dan tempat.
h) Mendengarkan (Listening)
Individu yang asertif mempunyai kemampuan untuk mendengarkan
dengan seksama ketika lawan bicaranya sedang berbicara, sehingga mampu
menahan diri untuk tidak mengekspresikan diri sesaat.
27
i) Isi (Content)
Individu yang asertif mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan
dengan memilih kalimat yang tepat dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpuklan bahwa beberapa
aspek-aspek perilaku asertif diantaranya adalah kontak mata, sikap tubuh, jarak
atau kontak fisik, gesture, ekspresi wajah, volume suara, penetapan waktu,
pendengaran, serta mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan memilih
kalimat yang tepat dalam berkomunikasi.
2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif
Faktor–faktor yang mempengaruhi perilaku asertif menurut Allport (dalam
Suryabrata, 1988:87-88) adalah sebagai berikut :
a) Kepribadian
Kepribadian ialah organisasi dinamis dalam diri Individu sebagai sistem
psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap
lingkungan. Kepribadian yang dimiliki seseorang juga mempengaruhi perilaku
asertif dalam berinteraksi dengan individu lain di lingkungan sosial.
b) Jenis Kelamin
Jenis kelamin pria lebih asertif dibandingkan wanita. Perbedaan perilaku
asertif ini terutama jika berada dalam suatu kelompok.
c) Sikap Orang Tua
Orang tua yang agresif maupun pasif tidak akan menghasilkan anak yang
asertif dalam perkembangan kepribadian anak tersebut. Sebaliknya, orang tua
28
yang tegas atau asertif besar kemungkinan bahwa anak-anaknya berprilaku asertif,
sebab orang tua yang asertif selalu terbuka, mantap dalam bertindak, penuh
kepercayaan diri dan tenang dalam mendidik anak–anak. Maslow (dalam Goble,
1987:77) mengatakan bahwa cara mengasuh anak yang disarankan ialah
pemberian kebebasan dangan batas– batas yang fleksibel, artinya orang tua harus
memikirkan sampai dimana batas batas dalam mengontrol anak. Orang tua yang
ingin berhasil perlu mengetahui kapan mengatakan ya dan kapan mengatakan
tidak. Ada saatnya orang tua harus bersikap keras tegas dan berani sehingga anak
dapat mencontoh perilaku orang tuanya, sehingga membentuk anak menjadi
asertif. Selain itu perilaku tidak asertif sering terjadi dikarenakan orang tua terlalu
menekankan pada anak untuk lebih mengutamakan kepentingan orang lain di atas
kepentingan sendiri.
d) Pendidikan
Lingkungan pendidikan mempunyai andil yang cukup besar terhadap
pembentukan perilaku, khususnya perilaku asertif. Pendidikan mempunyai tujuan
untuk menghasilkan individu yang mudah menerima dan menyesuaikan diri
terhadap perubahan–perubahan, lebih mampu untuk menghasilkan individu yang
mudah menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan–perubahan, lebih
mampu untuk mengungkapkan pendapatnya, memiliki rasa tanggung jawab dan
lebih berorientasi kependapatnya, memiliki rasa tanggung jawab dan lebih kemasa
depan.
29
e) Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu merupakan salah satu
faktor yang kuat dalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara individu berperilaku.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa proses pembentukan
perilaku asertif ditentukan oleh faktor kepribadian masing–masing individu, jenis
kelamin, sikap orang tua terhadap anak–anaknya, pendidikan individu itu sendiri
dan kebudayaan dimana individu itu berada.
2.7 Hubungan Kecendrungan Perilaku Asertif Dengan Konformitas
Remaja merupakan masa peralihan anak-anak menuju dewasa, dimana
pada masa tersebut remaja memiliki tugas perkembangan untuk menjalin
hubungan dengan teman-teman sebayanya. Kondisi demikian menyebabkan
remaja lebih senang berada atau menghabiskan waktu diluar rumah untuk
berkumpul dan berkelompok dengan teman sebayanya, di bandingkan berada
dirumah bersama keluarga.
Banyak remaja/siswa berusaha melakukan berbagai cara untuk dapat
diterima oleh kelompok teman sebayanya termasuk untuk conformitas dengan
harapan dan nilai-nilai yang berlaku pada kelompok teman sebayanya. Remaja
takut bila dirinya tidak mengikuti harapan dan nilai-nilai yang dianut teman
sebayanya, maka dirinya akan mendapatkan penolakan atau tidak diterima,
sehingga untuk dapat diterima oleh teman sebayanya remaja rela mengorbankan
harapan, keinginan dan hak-hak dirinya untuk kemudian conformitas terhadap
nteman-teman sebayanya. Hal ini didukung oleh Lange dan Jakubowski (dalam
30
Calhoun dan Acocella, 1990:385), mengemukakan bahwa perilaku tidak tegas
ditampilkan untuk menghindari hal-hal yang buruk.
Bandura (dalam Santrok, 2003:223), mengatakan bahwa untuk mengatasi
konformitas terhadap tekanan teman sebaya maka remaja/siswa perlu memiliki
rasa kepemilikan dan kontrol atas dirinya sendiri, walaupun teman-teman
semankin berusaha mengontrol dirinya, namun remaja atau siswa dapat
memunculkan kontrol pribadi atas tindakan dan pengaruh teman-temannya.
Kemudian Schroeder dan Black (dalam Craighead dkk, 1994:112), menyatakan
bahwa tingkah laku asertif didefenesikan sebagai usaha individu untuk merespon
dan mengatasi situasi yang bermasalah dengan cara meminta individu lain untuk
mengubah tingkahlaku dan menolak permintaan yang tidak masuk akal.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat ditarik garis penghubung
bahwa perilaku asertif dapat berfungsi sebagai bentuk kontrol atas individu lain
terhadap dirinya, sehingga dapat dikatakan bahwa remaja/siswa yang memiliki
asertivitas dapat mengontrol tekanan, harapan dan pengaruh teman sebayanya,
sehingga tidak mudah konformitas. Dapat di artikan juga bahwa individu yang
memiliki perilaku asertif tinggi maka konformitasnya akan rendah dan begitupun
sebaliknya, semankin rendah perilaku asertif yang dimiliki individu maka akan
semankin tinggi tingkat konformitas individu terhadap teman sebaya.
2.8 Kaitan Dengan Bimbingan dan Konseling
Sebagai calon guru bimbingan dan konseling tidak menutup kemungkinan
akan berhadapan dengan siswa SMP/SMA dimana pada masa ini siswa disebut
31
masa remaja. Pada masa remaja tidak akan terlepas dari masalah konformitas, jika
dalam penelitian ini terdapat hubungan antara kecenderungan perilaku asertif
dengan konformitas terhadap teman sebanya, maka ini bisa jadi masukan bahwa
kecenderungan perilaku asertif dapat menekan konformitas terhadap teman
sebaya.
2.9 Hipotesis Penelitian
Berpijak pada adanya konsep teori yang mengaitkan variabel yang hendak
diteliti, maka dapat dirumusan hipotesis sebagai berikut : ”Terdapat hubungan
antara kecenderungan prilaku asertif dengan konfornitas terhadap teman sebaya
pada siswa-siswi Kelas XI SMA Negeri 1 Telaga Biru Kabupaten Gorontalo”.