BAB II CIDERA JANJI (WANPRESTASI) DALAM HUKUM ...
Transcript of BAB II CIDERA JANJI (WANPRESTASI) DALAM HUKUM ...
19
BAB II
CIDERA JANJI (WANPRESTASI) DALAM HUKUM PERJANJIAN
DI INDONESIA
A. Pengertian dan Terjadinya Cidera Janji (Wanprestasi)
1. Pengertian perjanjian
Penerapan hukum privat dalam masyarakat di Indonesia yang dapat di
lihat secara nyata adalah dilakukannya sebuah perjanjian. Perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum dimana ada dua pihak atau lebih yang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari perjanjian ini, ditimbulkan suatu peristiwa berupa
hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan hukum tersebutlah yang
dinamakan perikatan.29 Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian
menimbulkan perikatan. Dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber
yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut
sistem terbuka, sehingga anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian
dan undang-undang hanya berfungsi untuk melengkapi perjanjian yang dibuat
oleh masyarakat. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan
perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak,
sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibuat tanpa ketentuan para
pihak yang bersangkutan.30
29 Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata (Alumni, Banding, 1992,
hlm. 113.30 J.Satrio, Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1 (Bandung :
PT Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
20
Pengertian perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang
atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam hal ini
dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian terdapat unsur perbuatan, unsur
adanya satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih dan unsur
pengikatan diri para pihak dalam perjanjian tersebut. Dimana unsur-unsur ini
wajib ada dalam sebuah perjanjiann agar supaya perjanjian tersebut dapat berjalan
dengan baik, dengan mendasarkan gambaran tentang peristiwa hukum, J. Satrio
memberikan kritik dan pendapat atas rumusan Pasal 1313 KUHPerdata yang
intinya sebagai berikut.
Kata perbuatan atau tindakan manusia bila dilihat dari skema peristiwa hukum dapat meliputi tindakan hukum dan bukan tindakan hukum yang keduanya dibedakan oleh adanya faktor kehendak. Keberatannya adalah akibat hukum pada peristiwa hukum yang berasal dari bukan perbuatan hukum pada dasarnya tidak didasarkan pada kehendak pihak-pihak yang terlibat, seperti onrechtmatige daad dan zaakwarneming sehingga tidak mungkin masuk dalam kelompok perjanjian karena akibat hukum pada perjanjian memang dikehendaki atau dianggap tidak dikehendaki. Agar beberapa contoh peristiwa hukum tersebut tidak tercakup kedalam kelompok perjanjian, maka kata perbuatan dalam Pasal 1313 KUHPerdata harus lebih tepat lagi kalau ditambah dengan kata hukumdibelakangnya, sehingga menjadi perbuatan hukum/tindakan hukum.31
Menurut J. Satrio perjanjian dapat mempunyai arti yang luas dan sempit.
Dalam arti luas, suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang dapat menimbulkan
akibat hukum sebagai yang dikehendaki (dianggap dikehendaki) oleh para pihak,
termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan perjanjian lainnya.
Dalam arti sempit, perjanjian ini hanya ditunjukan kepada hubungan-hubungan
31 Ibid., hlm. 24-27.
Universitas Sumatera Utara
21
hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja seperti yang dimaksud oleh Buku
III KUHPerdata.32 Pendapat lain dengan meninjau berdasarkan skema peristiwa
hukum, Subekti berpendapat mengenai perumusan perjanjian sebagai berikut.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari pendapat Subekti dapat dikatakan bahwa perjanjian itu sendiri merupakan sebuah peristiwa, peristiwa tersebut dikatakan sebagai suatu peristiwa hukum yang mempunyai akibat hukum bagi para pihak yang melakukan suatu perjanjian. 33
Dapat diketahui bahwa secara umum perjanjian merupakan suatu
perbuatan hukum, yang terdapat hubungan perikatan antara satu orang atau lebih
untuk saling mengikatkan diri melaksanakan hal tertentu, sebagaimana diketahui
isi perjanjian adalah perikatan. Dari berbagai perumusan tentang perjanjian diatas
maka perjanjian bisa mencakup apa saja yang termasuk dalam perjanjian dan
mengesampingkan yang bukan perjanjian, adapun yang termasuk dalam
perjanjian harus berupa perbuatan hukum yang akibatnya dikehendaki. Sebagai
contoh zaakwarneming memang ada akibat hukum tetapi tidak dikehendaki oleh
para pihak jadi bukan merupakan perjanjian. Perjanjian dapat ditentukan dari
kapan kesepakatan diperjanjian itu tercapai antara para pihak yang melakukan
perjanjian, sesuai dengan waktu perjanjian itu terjadi.34
Berdasarkan peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua
orang atau lebih yang disebut perikatan, perikatan tersebut timbul sebelum ada
perjanjian yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak
yang saling bertimbal balik. Hukum perjanjian dibicarakan sebagai bagian dari
32 Ibid., hlm. 35.33 R. Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta : PT. Intermasa, 1987), hlm. 1. 34 Ibid., hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
22
pada hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan adalah bagian daripada
hukum kekayaan, maka hubungan hukum yang timbul antara para pihak didalam
perjanjian adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan. Hukum
kekayaan adalah hukum yang mengatur tentang hak-hak kekayaan, yaitu hak-hak
yang mempunyai nilai ekonomis/uang. Jadi hak-hak kekayaan berbeda dengan
hak-hak lain artinya dapat dijabarkan dalam sejumlah uang tertentu.35
a. Pengaturan hukum perjanjian
Sumber hukum nasional sebagaimana diketahui masih bersumber dari
hukum yang telah diletakkan oleh kolonial dalam hal ini adalah Belanda.
Penggunaan KUHPerdata sebagai hukum positif Indonesia masih digunakan,
namun tidak digunakan sepenuhnya. Secara umum KUHPerdata yang dikenal
dengan istilah Burgelijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang
disusun di negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum
Perdata Prancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan
hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai
hukum yang paling sempurna.
Kodifikasi KUHPerdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847
melalui Statsblaad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848. kiranya perlu
dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUHPerdata (BW) Indonesia ini
Scholten dan kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne, Directueur
Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berhasa dalam
35 http://notariatundip2011.blogspot.co.id/2012/03/hukum-perikatan-pada-pemahaman-
awal.html (diakses pada tanggal 23 Maret 2016).
Universitas Sumatera Utara
23
kodifikasi tersebut.36 Disamping itu, sejarah mengenai perkembangan hukum
perdata yang berkembang di Indonesia bahwa hukum perdata tertulis yang berlaku
di Indonesia merupakan produk hukum perdata Belanda yang di berlakukan asas
konkordansi yaitu hukum yang berlaku di negeri jajahan (Belanda) yang sama
dengan ketentuan yang berlaku di negeri penjajah. Secara makrosubtansial,
perubahan–perubahan yang terjadi pada hukum perdata Indonesia. Pertama, pada
mulanya hukum perdata Indonesia merupakan ketentuan- ketentuan pemerintahan
Hindia-Belanda yang di berlakukan di Indonesia (Algemene Bepalingen van
Wetgeving/AB). Sesuai dengan stbl. No.23 tanggal 30 April 1847 yang terdiri dari
36 pasal. Kedua, dengan konkordansi pada tahun 1848 di undangkan KUHPerdata
(BW) oleh pemerintah Belanda. Di samping BW berlaku juga KUHD (WvK)
yang di atur dalam stbl.1847 No.23.
Terdapat beberapa pasal yang dicabut karena disesuaikan dengan nilai
budaya dan hukum negara Indonesia dengan adanya pemberlakuan aturan hukum
baru. Adapun pasal-pasal yang tidak berlaku lagi adalah sebagai berikut :
1) Pasal-pasal yang mengatur mengenai benda tidak bergerak yang hanya
mengatur mengenai hak atas tanah.
2) Pasal-pasal yang mengatur mengenai cara memperoleh hak milik atas
tanah.
3) Pasal 621- 623 yang mengatur mengenai pemberian penegasan hak atas
tanah yang menjadi wewenang pengadilan negeri.
36https://docs.google.com/document/d/1R7G1oRzVnzJWTBv_WvpJkYjxwRK_SE1FpZ0
6FrVIG80/edit?pli=1 (diakses pada tanggal 23 Maret 2016).
Universitas Sumatera Utara
24
4) Pasal-pasal yang mengatur mengenai penyerahan benda-benda tidak
bergerak.
5) Pasal 673 mengenai kerja rodi.
6) Pasal 625-672 yang mengatur mengenai hak dan kewajiban pemilik
pekarangan yang bertetangga.
7) Pasal 674-710 yang mengatur mengenai pengabdian pekarangan
(erfdienstbaarheid).
8) Pasal 711-719 yang mengatur mengenai hak opstal.
9) Pasal 720-736 yang mengatur mengenai hak erfpacht.
10) Pasal 737-755 yang mengatur mengenai bunga tanah dan hasil
persepuluh.37
Perjanjian yang dikenal secara umum juga diatur dalam Buku III
KUHPerdata tentang Perikatan. Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata
tentang perikatan, karena dapat diketahui perjanjian adalah sumber dari perikatan,
dimana perjanjian adalah sekumpulan perikatan-perikatan yang mengikat para
pihak dalam perjanjian yang bersangkutan.38 Secara sistematis didalam Buku III
KUHPerdata diatur ketentuan-ketentuan secara umum atau khusus mengenai
perikatan. Ketentuan umum terdiri dari empat bab yaitu bab I sampai bab IV dan
ketentuan khusus terdiri dari bab V sampai dengan XVIII. Bab I mengandung
banyak ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku bagi persetujuan saja. Bab II
diatur ketentuan-ketentuan mengenai perikatan-perikatan yang timbul dari
persetujuan. Bab III lebih mengatur secara spesifik mengenai perikatan yang
37 Komariah, Hukum Perdata (Malang : Universitas Muhammadiyah, 2002), hlm. 85-86.38 J. Satrio, Op.Cit., hlm. 6.
Universitas Sumatera Utara
25
timbul karena undang-undang dan bab IV mengatur ketentuan-ketentuan tentang
cara hapusnya perikatan-perikatan, tanpa memperhatikan apakah perikatan itu
terjadi karena persetujuan atau undang-undang.
Secara keseluruhan bab I sampai dengan IV jika dilihat dari segi
pengaturan perjanjian, mengatur tentang perjanjian tidak bernama. Perjanjian
tidak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara
khusus di dalam undang-undang, karena tidak diatur dalam KUHPerdata dan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut dengan KUHD). Di
luar KUHPerdata dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture,
kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya, beli sewa, kontrak
rahim, dan lain sebagainya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian innominaat,
yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik
kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik nominaat maupun innominaat
tidak terlepas dari adanya sistem yang berlaku dalam hukum perjanjian itu
sendiri.39
Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya adalah berdasarkan asas
kebebasan berkontrak, seperti diterangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya” yang dimaksudkan untuk
menyatakan kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu
perundang-undangan. Kekuatan itu seperti diberikan kepada semua perjanjian
yang dibuat secara sah untuk mengadakan perjanjian, sekalipun perjanjian yang
39 http://iyudkidd02street17.blogspot.co.id/2012/11/perjanjian-bernama-dan-perjanjian-
tidak.html (diakses pada tanggal 23 Maret 2016).
Universitas Sumatera Utara
26
dilakukan tidak bernama atau tidak secara khusus diatur oleh undang-undang.
Sementara bab V sampai dengan bab XVIII mengatur mengenai persetujuan-
persetuan bernama (tertentu) atau perjanjian bernama. Perjanjian bernama atau
perjanjian khusus adalah perjanjian yang memiliki nama sendiri yang sudah diatur
didalam undang-undang. Perjanjian tersebut diberi nama oleh pembuat undang-
undang dan merupakan perjanjian yang sering ditemui di masyarakat misalnya,
jual-beli, sewa-menyewa, hibah, pemberian kuasa dan sebagainya.40
Dapat diketahui dalam Buku III KUHPerdata terdapat pengaturan
mengenai ketentuan umum dan ketentuan khusus dalam perjanjian. Ketentuan
umum dalam bab I sampai dengan IV lebih mengatur tentang perjanjian tak
bernama yang bebas berdasarkan azas kebebasan berkontrak, sedangkan ketentuan
khusus yang terdapat dalam bab V sampai dengan XVIII mengatur tentang
perjanjian yang bernama yang sudah diatur oleh undang-undang dan sudah diberi
nama oleh pembuat undang-undang. Hubungan keduanya dapat diketahui, bahwa
ketentuan umum mengatur perjanjian atau persetujuan yang lebih luas karena para
pihak dalam perjanjian bebas membuat perjanjian apa saja berdasarkan azas
kebebasan berkontrak, yang artinya bahwa setiap orang adalah bebas untuk
membuat perjanjian atau persetujuan apapun selain yang telah diatur oleh UU.
Namun kebebasan pihak-pihak untuk membuat perjanjian diadakan
beberapa pembatasan, yaitu tidak boleh melanggar hukum yang bersifat memaksa.
Dikatakan bersifat memaksa, karena hukum dapat memaksa anggota masyarakat
untuk mematuhinya. Apabila melanggar hukum akan dikenakan sanksi yang
40 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung : Bina Cipta, 1987), hlm. 9-11.
Universitas Sumatera Utara
27
tegas. Kebebasan itu juga tidak boleh melanggar ketertiban umum dan
kesusilaan.41 Jika ketentuan khusus hanya mengatur tentang perjanjian yang telah
diatur dan diberi nama oleh undang-undang saja. Jadi ketentuan umum mengatur
tentang perjanjian tak bernama sebagai peraturan perundangan dalam Buku III
KUH Perdata bersifat menambah (aavullend recht) dan lebih luas berlaku untuk
semua perjanjian baik bernama maupun tak bernama sepanjang undang-undang
pada perjanjian bernama tak memberikan suatu pengaturan tersendiri yang
menyimpang dari ketentuan umum.42 Sementara itu, ketentuan khusus hanya
mengatur perjanjian yang sudah diatur oleh undang-undang dan bernama saja.
b. Syarat sah perjanjian
Sebagaimana diketahui suatu perjanjian dalam salah satu sumber hukum
perdata yang secara tertulis disebutkan, bahwa hukum perjanjian dari
KUHPerdata menganut sistem konsensualisme. Artinya hukum perjanjian dari
KUHPerdata itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian
cukup dengan sepakat saja dan dengan perjanjian itu terjadi perikatan yang
ditimbulkan karenanya sudah dilahirkan pada saat detik tercapainya konsensus.
Sebagaimana dimaksud diatas, pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan
mengikat, bukannya pada detik detik yang lain baik yang kemudian atau
sebelumnya.43
Secara umum syarat sah yang ada dalam perjanjian telah disebutkan dalam
KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu
41 Ibid., hlm. 11. 42 J. Satrio, Op.Cit., hlm. 150. 43 R. Subekti, Aneka Perjanjian (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1975), hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
28
perjanjian diperlukan empat syarat yaitu sepakat, cakap berbuat, hal tertentu dan
sebab yang halal.
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai
perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan
dan penipuan. Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau
persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanian. Seseorang
dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia
memang menghendaki apa yang disepakati44. Mariam Darus Badrulzaman
melukiskan pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang
disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan
pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offer). Pernyataan pihak
yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptance). Kata
sepakat dapat diungkapkan dalam berbagai cara, misalnya secara lisan,
tertulis, dengan tanda, dengan simbol. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting
untuk menentukan lahirnya perjanjian.45 Secara umum suatu perjanjian
telah dinyatakan lahir pada saat tercapainya suatu kesepakatan atau
persetujuan di antara dua belah pihak mengenai suatu hal pokok yang
menjadi objek perjanjian. Didalam perjanjian baku sepakat dinyatakan
dengan persetujuan konsumen mengikuti perjanjian yang dibuat oleh
44 J. Satrio, Op.Cit., hlm. 164. 45 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis (Bandung : Alumni, 1994),
(selanjutnya disebut dengan Mariam Darus I), hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
29
perusahaan penyusun kontrak yang dilakukan secara sepihak, yang
diungkapkan secara tertulis biasanya melalui penandatanganan46.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, yaitu bahwa para pihak yang
mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan
berwenang melakukan perjanjian. Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan
bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali
apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal
1330 KUHPerdata menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak
cakap untuk membuat perjanjian, yakni:
a) Orang yang belum dewasa (dibawah 21 tahun);
b) mereka yang ditaruh dibawah pengampuan dan;
c) perempuan yang sudah menikah.
Pasal 330 KUHPerdata menyatakan bahwa seseorang dianggap dewasa
jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah.
Kemudian berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974(selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 1974) tentang perkawinan menyatakan
bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan
orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun. Berkaitan dengan perempuan
yang telah menikah, Pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa
masing-masing pihak (suami atau istri) berhak melakukan perbuatan hukum.
Maka hukum positiflah yang dipakai sebagai dasar penentu usia kedewasaan yaitu
UU No. 1 Tahun 1974. Terdapat juga subyek hukum lain selain manusia yaitu
46 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 87.
Universitas Sumatera Utara
30
badan hukum. Badan hukum dianggap sebagai hal yang abstrak atau tidak nyata
karena tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatakan kehendak, hanya manusia
yang mempunyai kehendak. Maka dalam melakukan tugasnya sebagai pengemban
hak dan kewajiban, tugas tersebut dijalankan oleh manusia-manusia yang juga
subyek hukum dan tentunya sudah cakap dalam melaksanakan perbuatan hukum.
Dalam hal kecakapan melaksanakan perbuatan hukum, harus dapat dipastikan
bahwa badan hukum telah memenuhi persyaratan yang ditentukan negara47.
Sebagai contoh badan hukum misalnya suatu perusahaan.
Orang yang mewakili perusahaan pada prinsipnya adalah orang yang
diberi hak oleh undang-undang untuk mewakili perusahaan itu. Dalam badan
hukum perseroan terbatas, direksi yang mempunyai hak untuk mewakili badan
hukum tersebut baik di dalam maupun di luar pengadilan termasuk
menandatangani perjanjian atas nama perusahaan. Selain direksi, pihak-pihak lain
juga dapat menandatangani perjanjian atas nama badan hukum perseroan terbatas
selama orang itu mendapatkan kuasa dari direksinya. Misalnya seorang manajer
sumber daya manusia dapat menandatangani perjanjian kerja dengan para
karyawan suatu perusahaan selama tindakannya itu berdasarkan kuasa yang
diberikan oleh direksi yang biasanya sudah tercantum dalam surat tugasnya ketika
diangkat sebagai manajer. Semua perjanjian kerja yang dibuat atas nama
perusahaan dengan demikian mengikat perusahaan yang diwakilinya.48
3) Mengenai suatu hal tertentu, maksud dari suatu hal tertentu adalah hal bisa
ditentukan jenisnya maupun obyeknya. Pasal 1333 KUHPerdata
47 Ibid., hlm. .67.48 http://www.legalakses.com/mewakili-perusahaan-dalam-perjanjian/ (diakses pada
tanggal 24 Maret 2016).
Universitas Sumatera Utara
31
menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda
(zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya‘. Suatu perjanjian
harus memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai
suatu hal tertentu, berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan
kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Istilah barang yang dimaksud di
sini yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa
Belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti
yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek
perjanjian itu tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa49. Jika
dilihat dari segi perikatan, pengertian hal tertentu dalam hukum perikatan
adalah prestasi (kewajiban yang mesti dipenuhi oleh ke dua pihak atau
lebih) yang terjadi dalam perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
1234 KUHPerdata prestasi itu dapat berupa menyerahkan sesuatu, berbuat
sesuatu dan tidak berbuat sesuatu50. Dapat diambil kesimpulan bahwa
Pasal 1234 KUHPerdata dalam syarat hal tertentu hanya menerangkan
tentang cara melakukan suatu prestasi, sedangkan bentuk prestasi yang
sebenarnya adalah benda/zaak sebagaimana telah diterangkan didalam
Pasal 1333 KUHPerdata diatas.
4) Suatu sebab yang halal, maksud dari sebab yang halal adalah jika objek
dalam perjanjian bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum,
maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian
49 Sudargo Gautama, Indonesian Business Law (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 79.
50 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Jakarta : Rajawali Press), hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
32
untuk membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka
kontrak ini tidak sah51. Pasal 1335 Jo 1337 KUHPerdata menyatakan
bahwa isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban.
J. Satrio berpendapat bahwa suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan
undang-undang, jika klausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya
bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah
suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal
yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa
berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara
kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap
kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman52. Klausa
hukum dalam perjanjian juga terlarang jika bertentangan dengan ketertiban
umum. J.Satrio memaknai ketertiban umum sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan masalah kepentingan umum, keamanan negara, keresahan dalam
masyarakat dan juga keresahan dalam masalah ketatanegaraan53, Maka dapat
diketahui bahwa sebab yang halal adalah salah satu penentu syarat sahnya
perjanjian dan perjanjian dalam hal ini harus tidak bertentangan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban.
Perjanjian baru dapat dikatakan sah jika telah dipenuhinya semua
ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dari keterangan
tersebut dapat diketahui juga terdapat hal-hal yang menyebabkan batalnya suatu
51 Ibid., hlm. 80. 52 J.Satrio, Op.Cit., hlm. 109. 53 Ibid., hlm. 41.
Universitas Sumatera Utara
33
perjanjian. Jika diuraikan secara rinci, syarat cakap dan sepakat suatu perjanjian
digolongkan ke dalam syarat subjektif (syarat mengenai orang yang melakukan
perjanjian). Apabila salah satu syarat subjektif ini tidak dipenuhi maka akibat
hukumnya perjanjian dapat dimintakan pembatalannya. Sedangkan tentang suatu
hal tertentu dan sebab halal digolongkan kedalam syarat objektif (benda yang
dijadikan objek perjanjian). Jika salah satu syarat objektif ini tidak dipenuhi, maka
akibat hukumnya perjanjian batal demi hukum. Artinya perjanjian dengan
sendirinya menjadi batal dengan kata lain perjanjian telah batal sejak dibuatnya
perjanjian tersebut atau dianggap tidak ada. Hal-hal inilah yang merupakan unsur-
unsur penting dalam mengadakan perjanjian54.
Maka dapat diketahui, secara umum bahwa empat syarat sahnya perjanjian
yaitu sepakat, cakap, hal tertentu, sesuatu yang halal pelaksanaannya tergantung
pada para pihak yang melakukan suatu perjanjian itu. Kewajiban para pihak harus
memenuhi empat syarat yang ada dalam suatu perjanjian dan ini merupakan suatu
yang mutlak atau harus ada dan dipenuhi, karena memang sudah ditentukan secara
rinci dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Selain Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sah
perjanjian, juga terdapat perjanjian-perjanjian yang harus dibuat secara formal
yang biasa disebut perjanjian formal. Adapun terhadap perjanjian-perjanjian
formal atau perjanjian rill merupakan perkecualian. Perjanjian formal yang sering
dilakukan misalnya perjanjian perdamaian yang menurut Pasal 1851 (2)
KUHPerdata harus diadakan secara tertulis, sedangkan perjanjian rill misalnya
54 Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia Buku Kesatu Hukum
Dagang Menurut KUHD Dan KUHPerdata (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hlm. 191.
Universitas Sumatera Utara
34
perjanjian pinjam pakai yang menurut Pasal 1740 KUHPerdata baru tercipta
dengan diserahkannya barang yang menjadi obyeknya atau penitipan yang
menurut Pasal 1694 KUH Perdata baru terjadi dengan diserahkannya barang yang
dititipkan. Perjanjian ini tidak cukup dengan adanya kata sepakat saja, tetapi
disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata atau
(rill). Misalnya pada perjanjian jual beli yang dilakukan dengan pembiayaan
konsumen.
c. Pengertian cidera janji (wanprestasi)
Dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang akan menimbulkan
prestasi, apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dalam perjanjian akan
menimbulkan ingkar janji (wanprestasi) jika memang dapat dibuktikan bukan
karena overmacht atau keadaan memaksa. Perkataan wanprestasi berasal dari
bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi
adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak
dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian55.
Kelalaian atau kesalahan debitur tersebut juga bukan karena overmacht atau
keadaan memaksa. Keadaan memaksa dapat menjadikan debitur tidak dapat
berprestasi, jadi debitur bebas dari kewajiban atas prestasi lawan janjinya. Sebagai
contoh penyerahan rumah tidak dapat dilakukan karena bencana Tsunami.
d. Terjadinya cidera janji (wanprestasi)
Perikatan lahir karena adanya suatu perjanjian, dari suatu perjanjian yang
merupakan suatu pertemuan kehendak para pihak yang berjanji akan
55 Nindyo Pramono, Hukum Komersil (Jakarta : Pusat Penerbitan UT, 2003), hlm. 221.
Universitas Sumatera Utara
35
menimbulkan prestasi. Arti prestasi sendiri dapat dilihat dari Pasal 1234
KUHPerdata menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan adalah memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Kata memberikan sesuatu
sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat
mempunyai dua pengertian, yaitu:
1) Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek
perjanjian.
2) Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian,
yang dinamakan penyerahan yuridis.
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan
berdasarkan kesepakatan dan kehendak tanpa ada pihak yang dirugikan.
Terkadang perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena tidak
berprestasinya salah satu pihak atau debitur. Untuk mengatakan bahwa debitur
salah dan melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, terkadang tidak mudah.
Hal sulit untuk menyatakan wanprestasi karena tidak dengan mudah dijanjikan
dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang
diperjanjikan.
Bentuk prestasi debitur dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu,
akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak
pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian.
Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu dan memberikan
sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut Pasal
Universitas Sumatera Utara
36
1238 KUHPerdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya
batas waktu tersebut. Apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya, maka
untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, terdapat tata cara
menyatakan wanprestasi oleh kreditur terhadap debitur atau kepada pihak yang
mengingkari janji, yaitu melalui sommatie dan ingebrekestelling.
Sommatie adalah pemberitahuan atau pernyataan tertulis dari kreditur
kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan
prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam
pemberitahuan itu dan dilakukan melalui pengadilan, sedangkan ingebreke
stelling artinya peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui pengadilan negeri
atau langsung secara lisan, hanya melalui teguran saja dan tidak ada tindak lanjut.
Keadaan tertentu sommatie tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang
debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam
perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu,
debitur mengakui dirinya wanprestasi56.
Sommatie minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau
juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka pengadilanlah yang akan
memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan bahwa si berutang adalah lalai, apabila
ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,
atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus
56 Qodhi, Wanprestasi, Ganti Rugi, sanksi dan keadaan memaksa, tersedia di website
http://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi-sanksi-ganti-kerugian-dan-keadaan-memaksa/ (diakses tanggal 20 November 2015).
Universitas Sumatera Utara
37
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan57, Pasal tersebut
menerangkan tenatang sebuah keputusan bahwa debitur wanprestasi.
Tidak berprestasinya debitur, dalam hal ini si berpiutang atau kreditur
sebagai mana dinyatakan dalam Pasal 1241 KUHPerdata menyebutkan bahwa
apabila perikatan tidak dilaksanakan maka si berpiutang atau kreditur boleh juga
dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si
berutang, pasal ini memberikan arahan bahwa kreditur dapat mengusahakan
pemenuhan atas prestasi yang belum dipenuhi.
B. Bentuk Cidera Janji (Wanprestasi) dan Pelaksanaan Prestasi
1. Prestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada
pihak yang dirugikan. Prestasi merupakan hal yang harus dilaksanakan dalam
suatu perikatan.58 Kewajiban memenuhi prestasi dari debitur selalui disertai
dengan tanggung jawab (liability), artinya debitur mempertaruhkan harta
kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan hutangnya kepada kreditur. Menurut
ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, semua harta kekayaan debitur
baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada
menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur, jaminan semacam ini
disebut jaminan umum.59
57 Nindyo Pramono, Op.Cit., hlm. 22.58 Mariam Darus Badrulzaman I, Op.Cit., hlm. 8. 59 Abdulkadir Muhamad, Hukum Perikatan (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1990),
hlm.17.
Universitas Sumatera Utara
38
Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi
ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar
esensi itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur
maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut, yakni:60
a. harus sudah tertentu atau dapat ditentukan;
b. harus mungkin;
c. harus diperbolehkan (halal);
d. harus ada manfaatnya bagi kreditur;
e. bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan.
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, tiap-tiap perikatan adalah
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu. Maka dari itu wujud prestasi itu berupa :
1) Memberikan sesuatu
Dalam Pasal 1235 KUHPerdata dinyatakan : “Dalam tiap-tiap perikatan
untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk
menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai
seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahannya”.
2) Berbuat sesuatu
Berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti melakukan perbuatan
seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Jadi wujud prestasi disini adalah
melakukan perbuatan tertentu.61 Dalam melaksanakan prestasi ini debitur harus
mematuhi apa yang telah ditentukan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab
60 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 20.61 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
39
atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diperjanjikan oleh
para pihak. Namun bila ketentuan tersebut tidak diperjanjikan, maka disini
berlaku ukuran kelayakan atau kepatutan yang diakui dan berlaku dalam
masyarakat. Artinya sepatutnya berbuat sebagai seorang pekerja yang baik.
3) Tidak berbuat sesuatu
Tidak berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti tidak melakukan
suatu perbuatan seperti yang telah diperjanjikan. Jadi wujud prestasi di sini adalah
tidak melakukan perbuatan. Di sini kewajiban prestasinya bukan sesuatu yang
bersifat aktif, tetapi justru sebaliknya yaitu bersifat pasif yang dapat berupa tidak
berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung.62 Disini bila ada pihak
yang berbuat tidak sesuai dengan perikatan ini maka ia bertanggung jawab atas
akibatnya.
2. Wanprestasi
Semua subjek hukum, baik manusa maupun badan hukum dapat membuat
suatu perikatan diantara pihak-pihak dalam persetujuan tersebutn akan tetapi
adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya
wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak. Tindakan wanprestasi
membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk
menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi,
sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan
karena wanprestasi tersebut. Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa
Belanda “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban
62 J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1999), hlm. 52.
Universitas Sumatera Utara
40
yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik
perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul
karena undang-undang.63 Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena :64
a. kesengajaan;
b. kelalaian;
c. tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).
Tiap-tiap persetujuan yang dibuat oleh pihak pada prinsipnya adalah
menghendaki agar para pihak melaksanakan prestasinya sebagaimana mestinya.
Apabila para pihak tidak melaksanakan sesuai dengan disepakati maka dikatakan
ia telah wanprestasi. Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti
prestasi yang buruk atau prestasi yang dilakukan tidak selayaknya.65
Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih
terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak
terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan.
Istilah mengenai wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu: “ingkar janji,
cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya. Dalam pemenuhan suatu
perjanjian sebagaimana diterangkan diatas ada kemungkinan salah satu pihak
yang tidak berprestasi, dalam hal ini adalah pihak yang belum melaksanakan
63 Mariam Darus Badrulzaman I, Op.Cit, hlm. 20.64 Sukma Dwi Rahmanto tentang prestasi dan wanprestasi dalam hukum kontrak :
http://sukmablog12.co.id/2012/12/prestasi-dan-wanprestasi-dalam-hukum.html?m=1, (diakses tanggal 15 November 2015).
65 Olga tentang Wanprestasi, http://olga260991.wordpress.com (diakses tanggal 12 Desember 2015).
Universitas Sumatera Utara
41
kewajibannya yang biasa disebut debitur. Bentuk atau wujud wanprestasi dapat
dibedakan menjadi beberapa. Adapun bentuk atau wujud dari wanprestasi yaitu66 :
a. tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya
maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b. memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka
debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
c. memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru
tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi
prestasi sama sekali.
Menurut restatement of the law of contracts (Amerika Serikat),
wanprestasi atau breach of contracts dibedakan menjadi dua macam , yaitu :67
a. Total breachts, artinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan.
b. Partial breachts, artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk
dilaksanakan.
Sedangkan Subekti berpendapat bahwa wujud wanprestasi seorang debitur
dapat berupa empat macam, yaitu68 :
a. memenuhi/melaksanakan perjanjian;
b. memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
66 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian cet. 6 (Jakarta : Putra Abadin, 1999),
hlm.18. 67 Salim HS, Op.Cit., hlm. 98.68 Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 56.
Universitas Sumatera Utara
42
c. membayar ganti rugi;
d. membatalkan perjanjian; dan
e. membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
C. Akibat Hukum Terjadinya Cidera Janji (Wanprestasi)
Sejak kapan debitur dapat dikatakan dalam keadaan sengaja atau lalai
tidak memenuhi prestasi, hal ini sangat perlu dipersoalkan, karena wanprestasi
tersebut memiliki konsekuensi atau akibat hukum bagi debitur. Untuk mengetahui
sejak kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi maka perlu diperhatikan
apakah di dalam perikatan yang disepakati tersebut ditentukan atau tidak tenggang
pelaksanaan pemenuhan prestasi. Dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu
atau untuk melakukan sesuatu pihak-pihak menentukan dan dapat juga tidak
menentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi oleh debitur.69
Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan
maka dipandang perlu untuk memperingatkan debitur guna memenuhi prestasinya
tersebut dan dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi
ditentukan maka menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.70
Pasal 1238 KUHPerdata :
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
69 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 21.70 Ibid., hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
43
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Pasal 1243 KUHPerdata menyebutkan bahwa debitur wajib membayar
ganti rugi, jika setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi prestasi itu maka
dapat menimbulkan kerugian. Berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata ini, ada dua
cara penentuan titik awal penghitungan ganti kerugian, yaitu sebagai berikut :
1. Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran ganti
kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan lalai, tetapi
tetap melalaikannya.
2. Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu,
pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka waktu
yang telah ditentukan tersebut.71
Kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu tidak hanya biaya-biaya
yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-
sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan
keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang
tidak lalai (winstderving) dalam menepati janji72. Kerugian yang terjadi harus
mendapatkan ganti rugi. Ganti rugi itu sendiri terdiri dari biaya, rugi, dan bunga.
Seperti telah disebutkan dalam Pasal 1244 sampai dengan Pasal 1246
KUHPerdata.
Ongkos-ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos
cetak, biaya materai, biaya iklan. Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas
71 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 13.
72 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 32 (Jakarta : Intermasa, 2005), hlm.148.
Universitas Sumatera Utara
44
barang kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian disini
adalah sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah – buahan karena
kelambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi
sehingga merusak perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar.
Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur
kehilangan keuntungan yang diharapkannya.
Penggantian kerugian itu tidak senantiasa harus memenuhi ketiga unsur
tersebut. Minimal ganti kerugian itu adalah kerugian yang sesungguhnya diderita
oleh kreditur.73 Meskipun debitur telah melakukan wanprestasi dan diharuskan
membayar sejumlah ganti kerugian, undang-undang masih memberikan
pembatasan-pembatasan yaitu: dalam hal ganti kerugian yang sebagaimana
seharusnya dibayar oleh debitur atas tuntutan kreditur. Pembatasan-pembatasan
itu diberikan undang-undang sebagai bentuk perlindungan terhadap debitur dari
perbuatan kesewenang-wenangan kreditur.
Segala sesuatu tentang wanprestasi sudah diatur di dalam KUHPerdata,
sebagaimana telah disebutkan bahwa segala macam kerugian yang terjadi karena
wanprestasi dapat dikenai ganti rugi. Ganti rugi tersebut dapat berupa biaya yang
telah dikeluarkan, kerugian yang diderita dan bunga yang diperjanjikan para
pihak. Segala pengaturan wanprestasi dan cara penyelesaian sudah diatur secara
jelas dan rinci, tinggal bagaimana penyelesaiannya oleh penegak hukum yang
berwenang. Misalnya dalam penerapan kasus wanprestasi dalam bidang fidusia
dan pembiayaan konsumen yang segala macam aturannya dapat ditemukan
73 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 40.
Universitas Sumatera Utara
45
didalam undang-undang yang mengatur. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral),
wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk
membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat putusan hakim. Hal ini dapat di
lihat dalam Pasal 1266 KUHPerdata.
Pasal 1266 KUHPerdata :
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan–
persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya”.
Berdasarkan hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan,
meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam
perjanjian.74 Rumusan Pasal 1266 ayat (1) KUHPerdata ini, tidak dapat disangkal
mengandung kontradiksi dan memberikan kesan bahwa oleh karena debitur
wanprestasi, maka perjanjian batal dengan sendirinya karena hukum, padahal
pembatalan perjanjian tersebut harus dimintakan kepada hakim, Pasal 1266 ayat
(2). Sebenarnya pasal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
kepada kreditur terhadap kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan oleh debitur
yang wanprestasi, dimana maksudnya menjadi semakin jelas bila kita membaca
Pasal 1266 ayat (3) dimana pasal tersebut menyatakan bahwa seandainya syarat
batal itu dinyatakan secara tegas dalam perjanjian, tetapi permintaan pembatalan
harus dilakukan atau pembatalannya harus dituntut. Malahan pada Pasal 1266 ayat
(4) ditentukan bahwa atas permintaan tergugat, maka hakim dengan melihat
74 Yulia Vera Momuat, Akibat Hukum Pasal 1266 KUHPerdata Dalam Perjanjian Terhadap Debitur Yang Tidak Aktif Dalam Melaksanakan Perjanjian (Yogyakarta : Jurnal Universitas Atma Jaya, 2014), hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
46
keadaan, bebas untuk menetapkan jangka waktunya asalkan tidak melebihi 1
bulan.75
Berdasarkan uraian di atas, apabila pihak debitur wanprestasi, maka
pembatalan terhadap perjanjian yang timbal balik, tidak dapat dibatalkan secara
otomatis meskipun syarat batal tidak dicantumkan secara nyata dalam perjanjian.
Pasal 1266 KUHPerdata ayat (1) dengan jelas menyatakan bahwa, syarat batal
dianggap selalu dicantumkan, dengan demikian meskipun tidak tercantum secara
nyata, syarat ini memang ada, sehingga apabila dikemudian hari pihak debitur
wanprestasi, maka berdasarkan ayat (2) pembatalannya harus dimintakan keapda
hakim dan ayat (3) walaupun syarat batal ini tidak dicantumkan secara nyata di
dalam perjanjian. Hal ini menunjukkan bahwa pasal ini mengandung suatu
keharusan dan tidak boleh dikesampingkan bahkan diabaikan, karena jika
dikesampingkan atau bahkan diabaikan, justru akan membawa para pihak pada
situasi yang tidak jelas dan tidak pasti.76
Pembatalan tidak dengan sendirinya terjadi oleh karena adanya
wanprestasi dari pihak yang dirugikan, melainkan harus dimintakan ke
pengadilan. Putusan pengadilan bersifat deklaratif (declaratoir) yaitu menyatakan
batal perjanjian antara penggugat dan tergugat, sebagaimana putusan Mahkamah
Agung No. 704K/Sip/1972 tertanggal 21 Mei 1973 yang mengatakan:
“Bagi pihak-pihak yang tunduk pada hukum barat, maka apabila salah
satu pihak melakukan wanprestasi, perjanjian jual beli atas
75 J. Satrio, Op.Cit., hlm. 303.76 Yulia Vera Momuat, Op.Cit., hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
47
permohonan pihak yang dirugikan harus dinyatakan
batal/dibatalkan”77
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, Hakim leluasa untuk,
menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu
untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak
boleh lebih dari satu bulan. Pasal ini menerangkan bahwa secara hukum
wanprestasi selalu dianggap sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian sehingga
pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain wanprestasi, dapat menuntut
pembatalan perjanjian melalui pengadilan, baik karena wanprestasi itu
dicantumkan sebagai syarat batal dalam perjanjian maupun tidak dicantumkan
dalam perjanjian, jika syarat batal itu tidak dicantumkan dalam perjanjian, hakim
dapat memberi kesempatan kepada pihak yang wanprestasi untuk tetap memenuhi
perjanjian dengan memberikan tenggang waktu yang tidak lebih dari satu bulan.78
Dalam hal terjadi wanprestasi, namum perjanjian tersebut masih dapat
dilaksanakan, maka diwajibkan untuk memenuhi prestasi tersebut atau dapat
diajukan pembatalan perjanjian tersebut yang disertai dengan pembayaran ganti
kerugian.
Pasal 1267 KUHPerdata :
“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah
ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain
untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan
perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga”
77 J. Satrio, Op.Cit., hlm. 305.78 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit., hlm. 29.
Universitas Sumatera Utara
48
Pasal ini memberikan pilihan kepada pihak yang tidak menerima prestasi
dari pihak lain untuk memilih dua kemungkinan agar tidak dirugikan, yaitu :79
1) menuntut agar perjanjian tersebut dilaksanakan (agar prestasi tersebut
dipenuhi), jika hal itu masih memungkinkan; atau
2) menuntut pembatalan perjanjian.
Pilihan tersebut dapat disertai ganti kerugian (biaya, rugi dan bunga) kalau
ada alasan untuk itu, artinya pihak yang menuntut ini tidak harus menuntut ganti
kerugian, walaupun hal itu dimungkinkan berdasarkan Pasal 1267 ini.
79 Ibid., hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara