BAB II

68
BAB II ASBA>B AL-NUZU>L A. Pengertian Asba>b al-Nuzu>l Secara etimologi kata "asba>b al-nuzu>l " merupakan susunan idha>fah (noun group) yang berasal dari gabungan kata "asba>b" dan al-nuzu>l. Kata "asba>b" adalah bentuk jamak dari kata "sabab", yang berarti tali atau penghubung, yakni segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang lain, atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan "al-nuzu>l" merupakan bentuk masdar dari kata "nazala-yanzilu" yang berarti turun. 1 Dengan demikian, Pendeknya asba>b al-nuzu>l merupakan sebab atau latarbelakang historis turunnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu al-Qur'a>n, maka asba>b al-nuzu>l biasa diartikan sebagai latar belakang (background) munculnya suatu ayat al-Qur'a>n. 1 Louis Ma'luf, al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A'lam, (Beirut: Dar al- Masyriq, 1988), hlm. 802. Bandingkan dengan Abdul Mustaqim, Asba>b al-Wuru>d, dalam Jornal al-Nur Vol. II, No. 5, September 2006, hlm. 390 19

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB II

ASBA>B AL-NUZU>L

A. Pengertian Asba>b al-Nuzu>l

Secara etimologi kata "asba>b al-nuzu>l" merupakan

susunan idha>fah (noun group) yang berasal dari gabungan kata

"asba>b" dan al-nuzu>l. Kata "asba>b" adalah bentuk jamak

dari kata "sabab", yang berarti tali atau penghubung, yakni

segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu

yang lain, atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan "al-

nuzu>l" merupakan bentuk masdar dari kata "nazala-yanzilu"

yang berarti turun.1 Dengan demikian, Pendeknya asba>b al-

nuzu>l merupakan sebab atau latarbelakang historis turunnya

sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus

ilmu al-Qur'a>n, maka asba>b al-nuzu>l biasa diartikan sebagai

latar belakang (background) munculnya suatu ayat al-Qur'a>n.

Sedangkan secara terminologi, setiap ulama 'Ulu>m al-

Qur'a>n berbeda pendapat dalam mengartikannya. Perbedaan

ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, kelompok

pertama berpandangan bahwa asba>b al-nuzu>l hanya terbatas

pada peristiwanya saja. Diantara pakar 'Ulu>m al-Qur'a>n yang

berpandangan seperti itu adalah:

1Louis Ma'luf, al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A'lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1988), hlm. 802. Bandingkan dengan Abdul Mustaqim, Asba>b al-Wuru>d, dalam Jornal al-Nur Vol. II, No. 5, September 2006, hlm. 390

19

Page 2: BAB II

Al-Zarqa>ni> merumuskan definisi asba>b al-nuzu>l

sebagai berikut:

مبينة او عنه متحادثة األيات او اآلية نزلت ما هو النزول سبب2 وقوعه. أيام لحكمه

Asba>b al-nuzu>l adalah sesuatu yang terjadi pada hari-hari terjadinya diturunkan satu atau beberapa ayat al-Qur'a>n untuk membicarakan atau menjelaskan status hukumnya.

Term وقوعه أيام dalam definisi yang disebutkan al-

Zarqa>ni> merupakan taqyi>d (batasan waktu terjadinya suatu

peristiwa), dengan demikian tidaklah termasuk ayat-ayat yang

turun tanpa adanya sebab. Dalam pada itu, kata al-Zarqa>ni>,

terjadinya peristiwa di zaman Nabi dapat saja di saat sebelum

ataupun sesudah turunnya ayat.3 Seperti pertanyaan yang

diajukan oleh orang Quraisy kepada Nabi tentang ru>h,

as}h}a>b al-kahf, dan Z|i al-Qarnain, lalu Rasulullah bersabda:

besok saya akan beritahukan kamu, selang beberapa hari baru

turun surat al-Kahf. Dari definisi dan contoh yang dikemukakan

nampak bahwa turunnya ayat dengan peristiwa kadang-kadang

bisa tidak beriringan.

Khali>l Manna' al-Qatta>n, asba>b al-nuzu>l adalah:

4.سؤال أو كحادثة وقوعه وقت نهأشب نآقر مانزلت

2 Muhammad Abdul 'Az}im al-Zarqani>, Mana>hil al-'Irfa>n fi 'Ulu>m al-Qur'a>n, (Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiah, 2003), hlm. 63

3Ibid, hlm. 65 4 Khalil Manna' al-Qat}an, Maba>h}is fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, (ttp.tt),

hlm. 78

20

Page 3: BAB II

Suatu hal yang karenanya al-Qur'an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.

Menurut pendapat Imam al-Suyu>t}i>, asba>b al-nuzu>l

adalah

أيام األية نزلت ما انه النزول سبب فى يتحرر (قلت) والذي

5 وقوعه.

Definisi asba>b al-nuzu>l yang terpilih adalah sesuatu yang pada hari-hari terjadinya ayat al-Qur'an itu diturunkan.

Definisi yang dikemukakan oleh as-Suyu>t}i> sebagai

reaksi terhadap definisi yang dikemukakan oleh al-Wa>hi>di>,

menurut as-Suyut}i> al-Qur'an tidak mungkin turun mendahului

sebab, seperti cerita datangnya Raja Habsyah sebagai sebab

turunnya surat al-Fi>l.6

Sedangkan Subhi as-Shalih mendefinisikan asba>b al-

nuzu>l dengan:

مبينة او عنه مجيبة او له منهضمت بسببه األيات وأ األية مانزلت7 .النزول بسبب عنه عبرنا ما وهو وقوعه زمن لحكمه

Suatu yang menjadi sebab turunnya ayat atau beberapa ayat, atau pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban atau penjelasan yang diturunkan pada saat terjadinya suatu peristiwa tersebut. Itulah yang kami maksud dengan -asba>b al-nuzu>l.

Dari beberapa definisi asba>b al-nuzu>l yang

dikemukakan di atas, maka pada prinsipnya mereka mempunyai

5Jala>luddi>n al-Suyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l, (Riya>d: Maktabah al-Riyad}iyyah al-H}adis\ah, tt), hlm. 4

6Ibid 7S}ubh}i> al-S}a>lih}, Maba>h}is fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, (Beirut:

Da>r al-'Ilm Li al-Malayi>n, 1977), hlm. 132

21

Page 4: BAB II

pendapat yang sama, hanya redaksi pendefinisiannya saja yang

berbeda namun subtansinya sama, yaitu sebab turunnya ayat.

Pengertian semacam ini sangat riskan memberi pemahaman

seolah-olah ayat al-Qur'an tidak akan turun tanpa diawali oleh

suatu sebab yang berupa peristiwa atau pertanyaan yang

diajukan kepada Nabi saw. Artinya definisi ini sangat berpotensi

bahwa ayat-ayat al-Qur'an yang diturunkan hanya untuk

menjawab pertanyaan yang diajukan saat itu atau asba>b al-

nuzu>l dipahami terdapat hubungan kausalitas.

Dalam konteks al-Qur'an, sebuah peristiwa yang dikatakan

sebagai sebab tidak selalu mendahului diturunkannya ayat

namun kadang-kadang ayat yang mendahului sebab, seperti

surat al-Balad. Surat ini termasuk surat makkiyah, sedangkan

hal ( لاح ) yang tertera dalam surat al-Bala>d baru terjadi ketika

fath (penaklukan) Mekkah. Ketika itu Nabi menyatakan "uh}illat

fi> sa'ah min nahari".8 Dari contoh tersebut menunjukkan bahwa

asba>b al-nuzu>l tidak bisa dikatakan adanya hubungan

kausalitas, karena dalam hukum kausalitas akibat tidak

mendahului sebab. Sedangkan dalam ayat di atas akibat

mendahului sebab. Jadi, sungguh tidak etis jika asba>b al-nuzu>l

diartikan dengan hukum kausalitas.

8Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 134

22

Page 5: BAB II

Di samping itu, jika dicermati pengertian yang dirumuskan

oleh ulama salaf hanya mengkhususkan pada permasalahan

peristiwa yang terjadi, baik berupa jawaban terhadap pertanyaan

yang diajukan atau penjelasan terhadap peristiwa yang terjadi

tanpa memperhatikan realitas di mana al-Qur'an diturunkan.

Pengertian semacam ini mengacu pada arti asba>b al-nuzu>l

secara khusus (asba>b al-nuzu>l al-kha>s}s}ah) atau

disebutkan asba>b al-nuzu>l mikro. Pemahaman asbab an-nuzul

yang dikembangkan para ulama salaf (asba>b al-nuzu>l mikro)

mempunyai implikasi pada keharusan adanya asba>b al-nuzu>l

yang hanya terdapat dalam hadits-hadits. Konsekuensi yang

muncul adalah banyak ayat al-Qur’an yang tidak bisa dipahami

maksudnya dengan benar-benar karena tidak tersedianya -

asba>b al-nuzu>l.9 Selain itu, jika hanya mengandalkan

peristiwa yang terjadi akan berimplikasi terhadap penetapan

hukum yang berkesan tekstual sehingga tidak mampu menjawab

persoalan-persoalan yang terus berkembang seiring dengan

perkembangan zaman.

Keterbatasan pengertian asba>b al-nuzu>l yang

dikemukan oleh ulama salaf, menjadi permasalahan dalam

menafsirkan al-Qur'an, apalagi didukung oleh perubahan sosial-

9Hamim Ilyas, Asbab an-Nuzul Dalam Studi Al-Qurán, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Kajian Tentang Al-Qurán dan Hadis : Mengantar Purna Tugas Prof. Drs. H.M. Husein Yusuf (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syariáh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,1994), hlm. 72.

23

Page 6: BAB II

kultural. Hal ini memotivasikan sebagian ulama lain untuk

mengkaji kembali permasalahan asba>b al-nuzu>l dengan

merumuskan pengertian yang lebih luas. Artinya asba>b al-

nuzu>l tidak hanya melihat peristiwa, namun lebih

dikembangkan kepada setting sosial masyarakat Arab. Adapun

ulama yang mengemukakan pengertian semacam ini, sebagai

berikut:

Menurut Abu Zayd, asba>b al-nuzu>l adalah menyingkap

dialektika antara teks dengan realitas.10 Pengertian yang

dikemukakannya nampak lebih luas karena Abu Zayd melihat -

asba>b al-nuzu>l bukan sebatas mempertimbangkan peristiwa

yang terjadi pada waktu turunnya ayat, namun mencakup

realitas. Dari argumentasi yang dibangunkannya, menyisakan

sebuah pertanyaan. Mengapa harus mempertimbangkan realitas,

bukankah Tuhan mengetahui seluruh realitas, baik secara global

maupun detilnya sebelum realitas terjadi? Untuk menjawab

pertanyaan tersebut Abu Zayd mengatakan bahwa, tindakan

Tuhan dalam dunia adalah tindakan dalam waktu dan ruang,

tindakan yang terjadi melalui hukum-hukum alam itu sendiri,

baik itu alam fisik maupun sosial.11

Senada dengan pendapat Abu Zayd, Muhammad Chirzin

dalam bukunya al-Qur'an dan Ulumul Qur'an, mengatakan: -10 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur'an, (Yogyakarta: LKiS,

2005), hlm. 11511Ibid, hlm. 118

24

Page 7: BAB II

asba>b al-nuzu>l menggambarkan bahwa ayat-ayat al-Qur'an

memiliki dialektika dengan fenomena sosio kultural

masyarakat.12 Definisi yang dikemukakannya juga berindikasi

adanya dialektika antara wahyu dengan realitas. Di samping itu,

Muhammad Chirzin juga mengkritik pendapat yang mengatakan

bahwa; sebab dalam term asba>b al-nuzu>l merupakan kausalitas.

Menurutnya, perlu ditegaskan bahwa asba>b al-nuzu>l tidak

berhubungan secara causal dengan materi yang bersangkutan.

Artinya tidak bisa diterima penyataan, jika suatu sebab tidak

ada, maka ayat itu tidak akan turun".13

Jauh sebelumnya, Abu> Isha>q al-Sya>tibi juga

mengemukakan pandangan yang sama mengenai hal ini. Ia

mengatakan bahwa:

الحال مقتضى معرفة وهو النزول لسبب معرفة ومعنى

Maksud mengetahui asba>b al-nuzu>l adalah mengetahui situasi dan kondisi dimana al-Qur'an itu diturunkan.14

Selanjutnya, al Sya>thibi mengatakan "untuk memahami

teks bahasa Arab yang mana al Qur-an diturunkan diperlukan

pengetahuan tentang sejumlah keadaan (Muqtad}ayat al-

Ah}wal); keadaan bahasa (h}al nafs al-khit}ab/teks), keadaan

mukha>t}ib (author) dan keadaan mukha>t}ab (audience)" dan

12Lebih Jelas lihat Muhammad Chirzin, al-Qur'an dan Ulumul Qur'an, (Yogyakarta: Dana Prima Yasa, 1998), hlm. 31

13Ibid 14Abu Isha>q al-Sya>t}ibi>, al-Muwa>ffaqa>t fi> Us}u>l al-Syari>'ah,

Juz. III, (Kairo: Maktabah al-Usrah, tt), hlm. 295

25

Page 8: BAB II

untuk memahami ini diperlukan pula pengetahuan tentang

konteks-konteks di luarnya yang lebih luas (al umur al

kharijiyyah).15

Sejalan dengan pendapat al-Sya>tibi, menurut Fazlur

Rahman, asba>b al-nuzu>l tidak hanya sebagai alasan-alasan

diturunkannya ayat-ayat al-Qur'an, tetapi lebih dari itu, asba>b

al-nuzu>l adalah sebagai respon Allah melalui nabi Muhammad

terhadap situasi sosio moral bangsa arab saat itu. Lebih

tegasnya, asba>b al-nuzu>l adalah suatu pengetahuan tentang

konteks sosial-historis al-Qur'an baik berupa situasi saat itu,

komentar ataupun respon Allah atas hancurnya tatanan ilahiyyah

pada masa itu.16

Pengertian asba>b al-nuzu>l yang dikemukakan oleh

keempat tokoh tersebut terkesan lebih komperehensif bila

dibandingkan dengan kelompok pertama. Artinya, kelompok

kedua memahami asba>b al-nuzu>l bukan hanya peristiwa saja,

namun meliputi sistem sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan

di mana teks tersebut diturunkan. Meminjam istilah Fazlur

Rahman dengan setting social. Meskipun kelompok kedua

memahami asba>b al-nuzu>l mengacu kepada setting-social,

bukan berarti mereka mengabaikan asba>b al-nuzu>l dalam arti

15Ibid, hlm. 294 16 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual,

cet. I, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 6-7, lihat juga Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 29

26

Page 9: BAB II

sempit (khash). Akan tetapi mereka menggeneralisasikan sebab

yang khusus (peristiwa) kepada yang umum. Jadi, kedua bentuk

asba>b al-nuzu>l tersebut tidak dipahami secara parsial dan

dikotomis, melainkan harus dipahami sebagai satu kesatuan.

Sehingga tafsir yang diproduk tidak terkesan parsial (tekstual)

namun lebih komprehensif.

Jadi, tidak benar yang mengatakan, Fazlur Rahman tidak

mengakui hadits-hadits tentang asba>b al-nuzu>l. Menurut

hemat penulis, Fazlur Rahman bukan menolak hadits namun ia

sangat kritis dalam mengadopsi hadits sehingga hadits yang

menurut ulama lain shahih belum tentu menurutnya. Sebagai

tolok ukur keshahihan hadits yang dipegangnya adalah

kesesuaian hadits dengan al-Qur'an dan dapat diterima oleh

akal, dengan tidak mengesampingkan kritik sanad hadits.17

Berdasarkan konsep asba>b al-nuzu>l menurut pendapat-

pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa; asba>b al-

nuzu>l dapat dikatagorikan kepada dua macam, yaitu: Asba>b

al-nuzu>l al-kha>s}s}ah (mikro) dan asba>b al-nuzu>l

al-'a>mmah (makro). Asba>b al-nuzu>l mikro merupakan situasi

sempit yang terjadi dilingkungan Nabi ketika al-Qur'an

diturunkan. Sedangkan asba>b al-nuzu>l makro merupakan

situasi yang terjadi dalam skala yang lebih luas, menyangkut 17 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, hlm. 7. lihat juga Sibawaihi,

Hermeneutika al-Qur'a>n Fazlur Rahman, ( Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 54

27

Page 10: BAB II

masyarakat, agama, dan adat istiadat Arab pada saat datangnya

Islam, khususnya di Mekkah dan Madinah.18

B. Cara Mengetahui Asbab al-Nuzul

Sebagaimana telah disebutkan pada sub bab pengertian di

atas, bahwa untuk menghasilkan tafsir yang komprehensif, tidak

cukup hanya mengandalkan asba>b al-nuzu>l al-kha>s}s}ah

(mikro). Artinya penggunaan asba>b al-nuzu>l dalam

menafsirkan al-Qur'a>n bukan hanya melihat peristiwa yang

terjadi saat turun ayat, namun setting social masyarakat Arab

pada masa turunnya ayat juga diperlukan. Jadi, untuk

mengetahui asba>b al-nuzu>l, dapat dilakukan dengan dua

cara, yaitu periwayatan dan ijtihad.

1. Menelaah Asba>b al-Nuzu>l melalui Periwayatan

Asba>b al-nuzu>l selalu terkait berkelindan dengan masa

Rasulullah. Sehingga untuk mengetahui asba>b al-nuzu>l salah

satu cara yang perlu dilakukan adalah penelahaan seputar

periwayatan yang shahih dari para sahabat yang mendengar

atau menyaksikan langsung peristiwa tersebut. Atas dasar inilah

mayoritas ulama berpendapat bahwa asba>b al-nuzu>l hanya

dapat diketahui melalui periwayatan hadits. Hal tersebut terlihat

dari beberapa pendapat ulama 'Ulu>m al-Qur'a>n, seperti: al-

Wa>hidi>, menurutnya pernyataan tentang asba>b al-nuzu>l

18 Ibid, hlm. 59

28

Page 11: BAB II

tidak boleh diterima terkecuali berdasarkan periwayatan atau

pendengaran langsung dari orang-orang yang menyaksikan

turunnya ayat.19 Begitu juga halnya dengan al-Zarqani>y,

menurutnya: Tidak ada cara mengetahui asba>b al-nuzul kecuali

dengan periwayatan yang shahih dari sahabat yang mendengar

dan melihat langsung proses turunnya ayat al-Qur'an.20

Dari cara menelaah asba>b al-nuzu>l yang dikemukakan

oleh oleh salaf di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menelaah

asba>b al-nuzu>l tidak boleh menggunakan metode lain selain

riwayah. Ini berarti, akal tidak bisa berperan dalam menelaah

asba>b al-nuzu>l. Dari apa yang dikemukakan jelas terjadi

permasalahan karena tidak mungkin menelaah asba>b al-nuzu>l

tanpa memberikan peran akal, sebab tidak bisa mengetahui

otensitas dan mengkategorisasikan hadits asba>b al-nuzu>l

kalau tidak menggunakan akal. Di samping itu, Pendapat-

pendapat tersebut hanya mengacu kepada pemahaman asba>b

al-nuzu>l dalam arti yang sempit (mikro). Kalau dicermati secara

kritis, jika menelaah asba>b al-nuzu>l hanya dengan

menggunakan hadits-hadits yang hanya menginformasikan

peristiwa-peristiwa turun ayat dan mengabaikan realitas pada

waktu itu maka akan menimbulkan kesan ambigu sehingga

19 Jala>luddin as-Suyu>t}i, Luba>b al-Nuqu>l , hlm. 520Muhammad Abdul 'Az}im Al-Zarqani, Mana>hil al-'Irfan, hlm. 68

29

Page 12: BAB II

ruang lingkupnya sangat terbatas serta terjadinya pengabaian

terhadap asba>b al-nuzu>l.

Permasalahannya, ketika mereka berhadapan dengan

ayat yang turun dalam sebab yang khusus dengan

menggunakan lafaz} yang umum. Untuk mengantisapasi hal

tersebut, ulama salaf merumuskan kaidah "al-ibrah bi 'umu>m

al-lafaz} la bi khus}u>s} as-saba>b". Ini artinya, mereka tidak

lagi menggunakan asba>b al-nuzu>l dalam menafsirkan ayat

yang lafaz umum dan sebab khusus. Jika digunakan mereka akan

terjebak dalam pemahaman hukum yang temporal dan parsial.

Implikasinya, produk penafsiran hanya mengacu pada di sisi

gramatikal dan terkesan tekstual serta tidak mengakomodasi

perkembangan dan perubahan zaman. Akibat yang serius adalah

munculnya penghancuran terhadap hikmah pentasyrián secara

bertahap dalam masalah halal-haram, terutama berkaitan

makanan dan minuman, selain itu juga mengancam hukum itu

sendiri.21

Seperti ayat-ayat tersebut berikut ini:

1. QS. al-Baqarah [2]: 219

.......

Artinya:

21Nasr Hamid Abu Zaid, Textualitas, hlm. 135.

30

Page 13: BAB II

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah keduanya mengandung dosa besar dan manfaat bagi orang banyak, namun dosanya lebih besar dari pada manfaatnya (QS. al-Baqarah [2]: 219).

2. QS. an-Nisa’ [4]: 43

……

Artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat sementara kalian dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengetahui apa yang kalian katakan (QS. an-Nisa’ [4]: 43).

3. QS. al-Maidah [5]: 90-91

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Oleh karena itu jauhilah, semoga kalian beruntung. Setan hanyalah ingin menimbulkan permusuhan dan saling membenci diantara kamu melalui khamr dan judi, dan setan ingin menghalangi kalian dari ingat kepada Allah dan shalat. Oleh karena itu, apakah kalian bersedia menghentikannya? (QS. al-Maidah [5]: 90-91).

Ayat pertama tentang khamr (QS. al-Baqarah [2]: 219)

turun dalam kondisi masyarakat yang begitu keras memegangi

manfaat khamr, kemudian ditanamkan pemahaman dalam benak

mereka tentang manfaat dan dosanya dengan penegasan bahwa

dosanya lebih besar. Ayat kedua (QS. an-Nisa’ [4]: 43) mencoba

31

Page 14: BAB II

mengurangi intensitas minum khamr dengan larangan meminum

khamr sebelum masuk waktu shalat. Kondisi masyarakat saat itu

adalah minum khamr hampir sepanjang hari. Pengharaman

khamr baru dilakukan dengan turunnya QS. al-Maidah [5]: 90-91.

Apabila keumuman kata dijadikan pegangan, boleh jadi

orang akan mengambil ayat yang pertama atau yang kedua.

Akibatnya sangat membahayakan. Dari uraian tersebut juga

menunjukkan pengabaian fungsi asba>b al-nuzu>l sebagai

penjelas hikmah pensyariatan hukum. Untuk terhindar dari

problematika tersebut, maka menelaah asba>b al-nuzu>l tidak

memadai hanya mengandalkan periwayatan yang hanya melihat

peristiwa namun memerlukan adanya ijtihad untuk menelaan

setting-sosial.

Terlepas dari permasalahan tersebut, penelahaan asba>b

al-nuzu>l melalui periwayatan berarti menelaah asba>b al-

nuzu>l yang terdapat dalam hadits-hadits. Jadi, dikarenakan

mengetahui asba>b al-nuzu>l berkaitan dengan hadits, maka

permasalahan yang pertama sekali dihadapi adalah masalah

menentukan keshahihan hadits. Untuk memastikan keshahihan

hadits perlu dilakukan penyeleksian super ketat terhadap

riwayat-riwayat, yakni dengan memperhatikan sanad dan

matannya (muatan atau isi hadits). Hal ini akan dilakukan agar

tidak terjebak menggunakan hadits-hadits maud}u', karena

32

Page 15: BAB II

banyak sekali cerita-cerita biasa dikaitkan sebagai hadits yang

tujuannya hanya untuk mencari legitimasi mazhab atau

menjustifikasi pendapatnya. Apalagi persoalan asba>b al-nuzu>l

muncul pada masa tabi'in, yaitu masa bergejolak pertentangan-

pertentangan antar mazhab dikalangan umat Islam yang

mengakibatkan timbulnya truth claim dan saling mengkafirkan.

Berkenaan dengan masalah keshahihan hadits tentang

asba>b al-nuzu>l, Ibnu Shaleh, al-Hakim dan lainnya

menetapkan bahwa seseorang sahabat yang menyaksikan

turunnya wahyu, apabila mengabarkan tentang sebab turunnya

sesuatu ayat, maka khabarnya itu haruslah kita pandang hadits

yang musnad dan dihukum hadits marfu'. Sedangkan perkataan

tabi'in tidak dipandang sebagai riwayat yang shahih dalam

bidang ini, kecuali apabila dikuatkan oleh sesuatu hadits mursal

yang lain yang diriwayatkan oleh seseorang imam tafsir yang

diakui menerima tafsir dari sahabat, seperti Ikrimah, Mujahid,

Said bin Jabir, Atha, Hasan Basri, Said bin Musayyab dan Adl

Dlahak.22 Jadi, hadits yang berkenaan dengan asba>b al-nuzu>l

baru diterima apabila berasal dari sahabat yang melihat

peristiwa turunnya ayat al-Qur'an serta menolak periwayatan

yang berasal dari tabi'in, kecuali, apabila dikuatkan oleh bukti-

bukti sebagaimana telah disebutkan.

22St. Amanah, Pengantar Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, (Semarang: Adhi Grafika, 1993), hlm. 86

33

Page 16: BAB II

Selain masalah keotentikan hadits-hadits tentang asba>b

al-nuzu>l, problematika lain yang muncul adalah ragamnya

periwayatan dalam satu ayat atau sebaliknya. Berkenaan dengan

masalah tersebut, para ulama salaf sudah menetapkan

ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Bila riwayat yang satu berkualitas shahih sedang yang lain

dhaif, maka riwayat yang berkualitas shahih harus diambil

sebagai asba>b al-nuzu>l.

misalnya asba>b al-nuzu>l surat adh-Dhuha(93).

Diriwayatkan oleh Syaikhani (Bukhari dan Muslim) yang

bersumber dari 'Undub, berkata:

امرأة ليلة, أوليلتين, فأتته يقم فلم صلعم النبى أشتكى الله: والضحى فأنزل تركك قد إال شيطانك فقالت: ماأرى

وماقلى. ربك سجى, ماودعك إذا والليلArtinya:

Bahwa Nabi pernah kurang sehat sehingga meninggalkan shalat malam satu kali atau dua malam. Lalu datanglah seorang perempuan dan berkata: "Ya Muhammad, saya melihat syaitanmu (maksud perempuan itu ialah Malaikat Jibril) telah meninggalkan kamu". Maka allah menurunkan ayat "Wa al-ad}d}uh}a wa al-laili iz}a syaja, ma> wadda'aka rabbuka wama qala>". Dalam riwayat yang lain dikemukakan oleh ath-T}abrani

dari Abi Syaibah dari Hafsah bin Maisarah, dari Ibunya, dari

Ibunya Khaulah pembantu Rasulullah saw.

فمكث السرير, فمات تحت النبى, فدخل بيت دخل جروا أن : ياخولة, الوحى, فقال عليه الينزل أيام صلعم. أربعة النبى

فى اليأتينى! فقلت جبريل الله؟ رسول بيت فى ماحيث

34

Page 17: BAB II

تحت بالمكنسة فأهويت وكنسته البيت نفسى. لوهيأت لحبتة- صلعم-ترعد النبى الجرى, فجاء السرير, فأخرجت

الله"والضحى..., الى فأنزل أخذته الوحى عليه نزل إذا وكانفترضى. قوله

Artinya:Sesungguhnya rumah Rasulullah masuk anak anjing lalu anjing itu masuk di bawah tempat tidur lalu mati, sedangkan masa itu sudah empat hari tidak turun wahyu, lalu Nabi bersabda; Wahai Khaulah apa yang terjadi di dalam rumah ini sedang wahyu tidak datang kepadaku?, lalu Khaulah menjawab: Ketika saya membersihkan dan menyapu rumah, tersapu di bawah ranjang seekor anak anjing yang sudah mati lalu saya keluarkan. Pada waktu itu saya melihat tubuh Rasulullah saw gemetar kedinginan padahal beliau memakai jubah. Biasanya apabila wahyu turun badan Rasulullah gementar seperti itu. Maka allah menurunkan wahyu ""Wa al-ad}d}uh}a wa al-laili iz}a syaja" .

Dalam menentukan asba>b al-nuzu>l surat al-D}uha,

ulama 'Ulum al-Qur'an mengambil riwayat yang pertama

karena riwayat tersebut shahih. Sedangkan riwayat kedua

berstatus dha'if karena ada salah satu sanadnya tidak

jelas.23

2. Bila kedua-duanya shahih dan dapat diadakan tarjih, maka

yang pakai adalah riwayat yang lebih shahih. Hal ini

ditempuh dengan cara meneliti:

a. Semua sanad dan periwayatan

b. Bentuk redaksi yang dipakai oleh riwayat-riwayat yang

ada.

23Muhmmad Abu Syahab, al-Madkhal li Dirasati al-Qur'a>n al-Kari>m, (Mesir: tp.tt), hlm. 146

35

Page 18: BAB II

c. Siapa perawi yang langsung menghadiri peristiwa

turunnya ayat itu, ketika itu dia berumur berapa,

bagaimana pengakuan dia sendiri tentang ayat itu, dan

sebagainya.

Misalnya asba>b al-nuzu>l surat al-Isra'(17): 85. Hadits

yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Mas'ud,

ujarnya:

عسيب على يتوكأ وهو بالمدينة صلعم النبى مع أمشى كنت خدثنا سألتموه, فقالوا لو بعضهم فقال اليهود من بنفر فمر حتى إليه يوحى أنه فعرفت رأسه ورفع ساعة فقام الروح عن

من وماأوتيتم ربى أمر من الروح قال: قل ثم الوحي صعدقليال. اال العلم

Artinya:

"Adalah aku berjalan bersama Nabi Saw. di Madinah, sedang beliau bertelekan atas suatu pelepah kurma. Maka beliau beberapa orang Yahudi lalu berkatalah sebagian mereka sesamanya: Alangkah baiknya kalau ada yang menanyakan sesuatu kepadanya (Muhammad). Karena itu mereka pun berkata: Ya Muhammad terangkanlah kepada kami tentang ruh. Maka Nabi pun berdiri sejenak dan mengangkat kepadanya lalu akupun mengetahui bahwasanya beliau lagi menerima wahyu, ingá naiklah Jibril. Kemudian Nabi pun membacakan: "Katakanlah, ruh itu dari urusan Tuhanku. Dan tiadalah diberikan ilmu kepada kamu melainkan sedikit.

Begitu juga dengan Hadits yang diriwayatkan oleh ath-

Turmudzi dari Ibnu Abbas, ujarnya:

فسألوه: الروح عن نسألوه شيئا ليهود, أعطونا قريش فقالالروح. االية. عن الله: ويسألونك فأنزل

Artinya:

36

Page 19: BAB II

Orang Quraisy berkata kepada orang Yahudi: Berikanlah kepada kami sesuatu yang akan kami tanyakan kepada orang ini. Maka orang Yahudi itu berkata: Tanyakan padanya tentang ruh. Mereka menanyakan kepada Nabi tentang hal itu. Maka Allah menurunkan "wa yasalu>ka 'an al-ru>hi" al-ayat.

Kedua hadits tersebut mengemukakan tentang turunnya

surat al-Isra' ayat 85, dan keduanya berstatus shahih.

Maka untuk menentukan yang mana dijadikan sebagai

pedoman bagi asba>b al-nuzu>l bagi ayat tersebut, para

ulama mengambil hadits yang pertama. Dengan alasan,

hadits pertama adalah pertanyaan orang Yahudi kepada

Nabi sedangkan kedua pertanyaan orang kafir Quraisy.

Oleh karena ayat tersebut turun di Madinah, maka hadits

yang pertama lebih kuat. Alasan yang lain, periwayatan

Bukhari lebih kuat dibandingkan dengan ath-Thurmidzi,

serta Ibnu Mas'ud merupakan orang yang melihat peristiwa

turun ayat tersebut, sedangkan Ibnu Abbas hanya

meriwayatkan tapi tidak menyaksikannya.24

3. Bila kedua-duanya shahih dan tidak dapat ditarjih, tetapi

masih bisa dikompromikan, maka riwayat-riwayat itu sama-

sama dipakai dan saling menjelaskan.

24Ibid, hlm. 147

37

Page 20: BAB II

Misalnya asba>b al-nuzu>l surat al-Nu>r(24): 6. Hadits

yang diriwayatkan oleh Bukhari dari jalan Ikrimah yang

bersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata:

بن بشريك صلعم النبى عند امرأته قذف أمية ابن هالل أن : ظهرك, فقال فى أوحد صلعم, البينة النبى سحاء, فقال

يلتمس رجال, ينطلق امراته مع أحدنا وجد إذا الله يارسول ظهرك. فى صلعم, يقول: البينة, أوحد النبى فجعل البينة؟ ما الله لصادق, ولنزلن إنى بالحق بعثك هالل: والذي فقال

الله: "والذي جبريل, وانزل الحد: فنزل من ظهرى يبرىءالصادقين. لمن كان ...إن,, بلغ حتى أزواجهم.....,,فقرأ يرمو

Artinya:Sesungguhnya Hilal menuduh isterinya berzina dengan Syarik bin Siha' kepada Nabi saw, maka bersabdalah Nabi saw kepadanya: "Mana buktinya, kalau tidak ada maka punggungmu akan dicambuk". Dia berkata: "Ya Rasulallah, apabila salah seorang diantara kami melihat seorang laki-laki (lain) bersama isterinya, apakah ia harus mencari bukti (saksi) dulu? Maka Nabi pun bersabda: "Mana bukti (saksi)nya atau punggungmu dicambuk. Maka berkatalah Hilal: "Demi zat yang mengutus engkau dengan haq, sesungguhnya salah adalah seorang yang benar, mudah-mudahan Allah menurunkan sesuatu yang dapat membebaskan punggungku dari cambukan". Maka datanglah Jibril menyampaikan ayat "wa al-laz}i>na yarmu> azwa>juhum…,, lalu Rasulullah membacanya sampai ayat "in kana> lamina al-Shadiqi>n.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Syaikha>ni yang

bersumber dari Sahl bin Sa'd, ia berkata:

الله رسول عدى: فقال: أسأل بن عاصم عويمر,, الى,, جاء فتقتلونه: أم رجال..أيقتله؟ امرأته مع وجد رجال أريت صلعم الله رسول الله, فكره رسول عاصم فسأل به؟ يصنع كيف

الله رسول آلتين عويمرا, فقال: والله عاصم المسائل, فأخبر فيك, الله أنزل قد فسأله: فقال: إنه فألسألنه, فأتاه صلعمالقرآن..., صاحبتك وفى

Artinya:

38

Page 21: BAB II

'Uwaimir datang kepada 'Ashim bin Sa'd dan berkata: "Tolonglah saya, tanyakan kepada Rasulullah. Bagaiman pendapat engkau jika seorang laki-laki mendapati isterinya digauli oleh laki-laki lain, lalu laki-laki pertama tadi membunuhnya (laki-laki yang menggauli isterinya), apakah ia dihukum bunuh atau bagaimana ia harus bertindak ". Maka 'Ashimpun bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hal itu. Maka Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya telah turun ayat yang berkenaan dengan kamu dan isteri kamu.

Berkenaan dengan asba>b al-nuzu>l tersebut terdapat

adanya perbedaan sebab turun ayat. Dalam hadits

pertama, turunnya ayat disebabkan masalah Hilal yang

menuduh isterinya, sedangkan yang kedua berkenaan

dengan persoalan 'Uwaimir. Kedua hadits tersebut tidak

bisa ditarjihkan karena kedua-duanya shahih. Sebagai

solusinya, maka kedua hadits tersebut dikompromikan,

karena orang pertama yang punya peristiwa itu adalah

Hilal dan kebetulan juga 'Uwaimir datang menghadap

Rasulullah saw. maka turunlah ayat tersebut.25

4. Bila kedua-duanya shahih dan tidak dapat dikompromikan,

maka kedua riwayat tersebut sama-sama dipakai, dengan

ketentuan bahwa ayat itu telah turun lebih dari satu kali.26

25Ibid, hal. 149. lihat juga, Jala>luddin as-Suyu>t}i, Luba>b al-Nuqu>l , hlm. 396, dan Abdul Fata>h Abdul Ghani> al-Qa>d}i>, Asba>b al-Nuzu>l 'an al-S}ah}a>bah wa al-Mufassiri>n, (Mesir: Dar al-Sala>m, 2005), hlm. 156

26Ibid, hlm. 148

39

Page 22: BAB II

Misalnya asba>b al-nuzu>l surat al-Nahl(16): 126-127.

berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan al-Bazzar

yang bersumber dari Abu Hurairah, ia berkata:

مثل أستشهد, وقد (حمزة) حين على وقف صلعم النبى أن جبريل-والنبى مكانك, فنزل منهم بسبعين ألمثلن به, فقال

بمثل فعاقبوا عاقبتم (النحل), وان سورة واقف-بخواتيمالسورة. آخر به..., إلى ماعواقبتم

Artinya:Bahwa Rasulullah saw. berdiri di depan mayyit Hamzah (pamannya) yang syahid dan rusak anggota tubuhnya, Rasulullah saw. bersabda; "Akan saya bunuh tujuh puluh orang dari mereka di tempatmu (ini)", lalu turunlah malaikat Jibril-sedangkan nabi masih berdiri- membawa wahyu "wa in 'a>qibtum fa'a>qibu> bimitsli ma> 'awa>qibtum bihi…., hingga akhir ayat.

Selain hadits yang pertama, juga terdapat dalam hadits

yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Hakim yang

bersumber dari Abi bin Ka'ab, ia berkata:

وستون, ومن أربعة األنصار من أصيب أحد يوم لماكان لئن األنصار حمزة, فمثلوابهم, فقال ستة, منهم المهاجرين

فتح يوم كان عليهم, فلما لنربين هذا مثل يوما منهم أصبناعاقبتم...., األية. وإن سبحانه الله أنزل مكة

Artinya:Ketika terjadi peristiwa perang badar, terkena musibah (gugurlah) 64 orang dari kaum Anshar dan enam orang dari kaum Muhajirin diantaranya ialah Hamzah (paman Beliau), kesemuanya dirusak anggota tubuhnya secara kejam. Maka berkatalah kaum Anshar: Sesungguhnya, jika kami memperoleh kemenangan pada suatu ari, niscaya kami akan berbuat lebih dari yang mereka buat". Ketika terjadi fath Mekkah Allah menurunkan ayat " wa in 'a>qibtum fa'a>qibu> bimitsli ma> 'awa>qibtum bihi….

Kedua hadits tersebut jelas sekali perbedaannya. Ditinjau

dari segi keotentikan keduanya shahih, maka tidak bisa

40

Page 23: BAB II

ditarjihkan. Begitu pula jika ingin dikompromikan juga tidak

bisa karena peristiwa dalam hadits yang pertama terjadi

pada waktu perang badar. Sedangkan peristiwa pada

hadits kedua terjadi pada masa fath Mekkah. Kedua masa

tersebut mempunyai rentang waktu yang sangat jauh.

Sebagai jalan tengah dari permasalah ini, para ulama

berinisiatif bahwa ayat tersebut turun dua kali, pertama di

waktu perang badar dan kedua waktu fath Mekkah.27

Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan suatu altenatif

yang ditawarkan oleh para ulama 'Ulum al-Qur'an untuk

mengantisipasi banyaknya periwayatan dalam satu ayat.

Ketentuan tersebut dikritik oleh Thabathaba'i, menurutnya:

Kebanyakan hadits ini menunjukkan bahwa perawi tidak meriwayatkan asba>b al-nuzu>l secara lisan dan tertulis, melainkan dengan meriwayatkan suatu kisah, kemudian menghubungkan dengan ayat-ayat al-Qur'an dengan kisah itu. Pada hakikatnya asba>b al-nuzu>l yang disebutkannya itu hanyalah didasarkan atas pendapat, bukan atas pengamatan dan pencatatan. Bukti pernyataan ini adalah banyaknya pertentangan di dalam hadits-hadits ini. Yakni satu ayat diberi keterangan yang saling bertentangan tentang sebab turunnya, dan sama sekali tidak bisa dipertemukan, sampai-sampai mengenai satu ayat diriwayatkan beberapa sebab.28

Dari pendapat tersebut, jelas sekali penolakan

Thabathaba'i terhadap hadits-hadits tentang asba>b al-nuzu>l.

Menurut penulis, tidak benar, bahwa semua periwayatan

dilaksanakan dengan tidak berhadapan muka, tidak memenuhi 27Muhmmad Abu Syahab, al-Madkhal , hlm. 150 28Allamah M.H. Thabathaba'i, Mengungkap Rahasia al-Qur'an, terj.

Hamim Ilyas, dkk, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 122

41

Page 24: BAB II

katagori al-tahammul dan tidak secara hafalan. Penelitian hadits

yang telah dilakukan oleh ulama, salah satu cara yang tidak

pernah ditinggalkan ialah dengan mengadakan jarh wa ta'dil

terhadap para perawi termasuk didalamnya hubungan antara

pemberi dengan penerima riwayat. Jadi, tidak semuanya hadits-

hadits tentang asba>b al-nuzu>l merupakan rekayasa atau

karangan para tabi'in. namun yang terpenting cara dalam

melakukan kritik terhadap hadits-hadits tersebut.

Selain masalah otensitas dan beragamnya periwayatan,

para ulama juga menentukan redaksi yang dapat memberi

petunjuk secara tegas tentang asba>b al-nuzu>l. adapun

bentuk-bentuk redaksi tersebut ialah:

1. Bentuk redaksi yang tegas berbunyi: كذا اآلية نزول سبب ...

2. Adanya huruf fa al-sababiyah yang masuk pada riwayat

yang dikaitkan dengan turunnya ayat. Misalnya: اآلية فنزلت ..

3. Adanya keterangan yang menjelaskan, bahwa Rasulullah

ditanya sesuatu kemudian diikuti dengan turunnya ayat

sebagai jawabannya. Dalam hal ini tidak digunakan

pernyataan tertentu.29

Adapun bentuk redaksi yang berbunyi: اآلية نزلت atau نزلت

فى اآلية هذه .., ulama berbeda pendapat dalam mengartikannya.

Menurut al-Zarkasyi dan al-Suyuthi, redaksi tersebut

29 Nasruddin Bailan, Wawasan Baru, hlm. 143

42

Page 25: BAB II

menunjukkan bahwa ayat yang disebutkan itu berkenaan dengan

hokum tertentu yang disinggung dalam pembahasan ayat

bukanlah sebagai sebab turunnya ayat.30 Menurut Ibnu Taymiyah

sebagaimana dikutip oleh Nasruddin Baidan dalam Wawasan

Baru Ilmu Tafsir: bentuk tersebut mengandung dua kemungkinan

petunjuk: Pertama; sebagai sebab turunnya ayat; dan Kedua;

sebagai sebab turunnya ayat; hal ini sama dengan pernyataan

yang berbunyi اآلية بهذه عنى (yang dimaksud dengan ayat ini..)31

Sedangkan menurut al-Zarqani, bentuk redaksi itu tidaklah

secara pasti menunjukkan sebab turunnya ayat, karena dapat

saja berarti sebagai petunjuk tentang kandungan ayat. Bila

ternyata ada qarinah yang menunjukkan sebab turunnya ayat,

maka barulah dipahami bahwa redaksi itu menunjukkan tentang

peristiwa sebab turunnya ayat.32

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat

dinyatakan bahwa bentuk redaksi yang berbunyi: اآلية نزلت atau

فى اآلية هذه نزلت pada umumnya bukanlah petunjuk kepada sebab

turunnya ayat, kecuali bila dibarengi dengan qarinah tertentu.

Dari qarinah itu barulah diketahui, setelah diteliti keterangan

30Lihat al-Zarqasyi>, al-Burhan fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, hlm. 31-32, dan al-Suyuthi, Luba>b al-Nuqu>l, hlm.7

31Nasruddin Bailan, Wawasan Baru, hlm. 142 32Al-Zarqani, Mana>hil al-'Irfan, hlm. 108

43

Page 26: BAB II

yang berkenaan dengan ayat yang bersangkutan, apakah

ungkapan itu menjelaskan tentang sebab turun ayat, atau bukan.

2. Menelaah Asba>b al-Nuzu>l melalui Ijtihad

Menelaah asba>b al-nuzu>l hanya mengandalkan

periwayatan ternyata tidak menyelesaikan problematika yang

didapatkan di saat menafsirkan al-Qur'an. Hal ini berimplikasi

pada keharusan adanya metode lain untuk mengantisipasi

problematika tersebut. Atas dasar itulah, ijithad merupakan

tawaran sebuah metode untuk menindaklanjutkan periwayatan.

Adapun yang dimaksud dengan ijtihad ialah pengerahan

kesungguhan dengan usaha yang optimal.33 Dalam konteks

asba>b al-nuzu>l, ijtihad merupakan mengkaji sebab turun ayat

dengan menelaah konteks.34 Namun perlu diketahui, yang

dimaksud dengan konteks di sini bukan sekedar peristiwa yang

melatarbelakangi munculnya satu teks, tetapi lebih tepatnya

adalah setting social-historis masyarakat Arab sebagai tempat

turunnya al-Qur'an.

33Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid Syari'ah Menurut al-Sya>tibi, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 109

34Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Modern. Dalam Amin Abdullah, dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga-Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 58

44

Page 27: BAB II

Urgensi dari perhatian terhadap social-historis karena

sebagian besar muatan al-Qur'a>n berkaitan dengan

kebudayaan yang sudah mengakar dalam masyarakat Arab

sebagai tempat turunnya wahyu. Ini artinya al-Qur'an turun

memberi respon terhadap kebudayaan tersebut dengan

melakukan kontruksi, rekontruksi dan dekontruksi. Atau dengan

kata lain, al-Qur'an memberikan solusi terhadap problem social

yang muncul pada saat itu.35

Jadi, turunnya al-Qur'an mengindikasikan ada proses

resiprokasi antara wahyu dengan realitas. Artinya, terjadi dialogis

antara ayat al-Qur'an dengan setting social-kultural masyarakat

Arab sebagai tempat turunnya wahyu. Hal ini terlihat banyaknya

adat istiadat Arab yang terekam dan berdialektis dengan al-

Qur'an. Adat istiadat tersebut meliputi berbagai bidang, baik

pranata keagamaan, social, ekonomi, politik, maupun hukum.

Dalam beberapa ayatnya, al-Qur'an bersifat apresiatif terhadap

budaya yang ada dengan menegaskan keberlakuannya dan

memberikan ketentuan-ketentuan baru di dalamnya. Dalam hal

ini, al-Qur'an menyempurnakan aturan-aturan yang sudah ada

sehingga masyarakat arab dapat melanjutkan kebiasaan

tersebut.

35Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur'an; Model Dialektika Wahyu dan Realitas, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 13

45

Page 28: BAB II

Berkenaan dengan masalah dialektika wahyu dengan

realitas, Ali Sadikin mengelompokkan sikap al-Qur'an dalam

merespon tradisi Arab kepada tiga kelompok, yaitu: tahmil

(menerima dan melanjutkan tradisi), tahrim (melarang

keberadaan tradisi), dan taghyir (menerima dan merekontruksi

tradisi).36

1. Tahmil (adoptive-complement)

Sikap ini ditunjukkan dengan adanya ayat-ayat yang

menerima dan melanjutkan keberadaan tradisi serta

menyempurnakan aturannya. Apresiasi tersebut tercermin dari

ketentuan atau aturan yang bersifat umum serta tidak merubah

paradigma keberlakuannya. Bersifat umum, artinya ayat-ayat

yang mengatur tidak menyentuh masalah yang mendasar dan

nuansanya berupa abjuran bukan perintah. Termasuk dalam

kelompok ini adalah masalah perdagangan dan penghormatan

bulan-bulan haram. Respon al-Qur'an terhadap kedua masalah

ini telihat apresiatif dalam pesan-pesannya. Seperti

membedakan praktek riba dengan jual beli, al-Quran

menyebutkan jual beli adalah halal dan riba itu haram.37 Dan

melarang melakukan peperangan di bulan haram (Dzulqaidah,

Dzulhijjah, dan Muharram) karena menghormati bulan tersebut.38

2. Tahrim (detructive)36Ibid, hlm. 116-117 37 Q.S. al-Baqarah (2): 275 38 Q.S. al-Baqarah (2): 194, 197, dan 217

46

Page 29: BAB II

Sikap ini ditunjukkan dengan melarang kebiasaan-

kebiasaan masyarakat Arab yang disertai dengan ancam bagi

yang melakukannya. Pelarangan yang dilakukan secara bertahap

dan manusiawi. Secara bertahap maksudnya, al-Qur'an tidak

langsung menetapkan hukum larangan dalam satu waktu,

namun mempunyai tahapan-tahapan. Secara manusiawi, artinya,

berusaha mengajak manusia berdialog tentang keberadaan

tradisi tersebut yang banyak mendatangkan kemudharatan. Jadi,

al-Qur'an tidak serta merta melarang tanpa menjelaskan dampak

negatifnya bagi masyarakat.39 Termasuk dalam masalah ini

adalah berjudi, minum khamr40, praktik riba41, dan perbudakan42.

3. Taghyir (adoptive-reconstruktive)

Taghyir merupakan sikap al-Qur'an yang menerima tradisi

Arab dan melakukan rekontruksi dengan memodifikasinya

sehingga berubah karakter dasarnya.43 Artinya al-Qur'an

mengakomodasi tradisi dan mengatur kembali dengan kerangka

baru. Secara simbolik, tradisi tersebut tetap dipertahankan, tapi

ketentuan-ketentuan yang berlaku diubah. Perubahan ini didasari

dampak nyata dari tradisi tersebut yang menimbulkan

ketidakstabilan social dalam masyarakat serta kemorosotan

39 Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur'an, hlm. 11740 Q.S. an-Nahl (16): 67, al-Baqarah (2): 2, an-Nisa' (4): 43, dan al-Maidah (5): 90-9141 Q.S. ar-Rum (30): 39, al-Baqarah (2): 275-276, 278-279.42Mengenai dengan pelarangan perbudakan, dalam al-Qur'an diapresiasikan dalam bentuk

persamaan derajat (Q.S. al-Hujarat (49): 11, anjuran memerdekakan budak (Q.S. al-Baqarah (2): 177, menikahi mereka lebih dari menikai orang musyrik (Q.S. al-Baqarah (2): 221).

43Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur'an, hlm. 130

47

Page 30: BAB II

moral. Banyak tradisi Arab yang mengakibatkan adanya

dominasi atau perlakuan tidak adil terhadap kelompok atau suku

tertentu. Namun keberadaan tradisi tersebut sudah menjadi

bagian yang tak dapat dipisahkan dari sistem social masyarakat,

sehingga al-Qur'an hanya mengontruksinya dengan tetap

mengakui keberadaanya.

Termasuk dalam kelompok ini adalah; Pakaian dan aurat

wanita, lembaga perkawinan, anak angkat, hukum waris, dan

qishash-diyat. Masalah pakaian, al-Qur'an merubah model

pakaian wanita Arab yang sebelumnya dianggap kurang sopan,

seperti pakaian panjang yang pakai tapi kelihatan betisnya, dada

terbuka tanpa ada kain penutup.44 Al-Qur'an merekontruksi

model berpakaian wanita Arab dengan model yang ditawar al-

Qur'an agar lebih sopan dan bermartabat.45 Masalah lembaga

perkawinan, al-Qur'an merubah kepada sistem yang lebih

manusiawi karena dalam perkawinan masyarakat Arab pra Islam

mahar diartikan sebagai alat transaksi yang diberikan kepada

wali dan laki-laki diperbolehkan berpoligami tanpa batas.46 Dalam

hal ini, al-Qur'an merekontruksi dengan sistem yang manusia,

seperti merubah paradigma mahar menjadi hadiah perkawinan

bagi perempuan.47 Membatasi poligami maksimal empat orang.48

44 Ibid, hlm. 12945 Q.S. al-Nur (4): 31, al-Ahzab (33): 5946 Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 5947 Q.S. al-Nisa' (4): 448 Q.S. al-Nisa' (4): 3

48

Page 31: BAB II

Adapun masalah warisan, al-Qur'an merubah tradisi dengan

memberikan hak kepada anak perempuan yang sebelum tidak

ada.49 Masalah adopsi anak, al-Qur'an merubah bahwa anak

angkat tidak bisa dijadikan anak kandung dan ia berbeda hak

dengan anak kandung.50 Mengenai dengan qishash, al-Qur'an

melegetimasi hukum qishash-diyat dengan pembalasan yang

seimbang.51

Selain dari itu, dialektika al-Qur'an dengan realitas juga

telihat dari ayat-ayat al-Qur'an diturunkan sesuai dengan watak

kepribadian masyarakat di mana al-Qur'an diturunkan, seperti

masyarakat Mekkah yang berprofesi sebagai pedagang yang

mengakibatkan mereka berpikir serba material, terjadinya

ketidakadilan, sulit menerima kebenaran, dan percaya pada

takhayul. Al-Qur'an datang meluruskan keyakinan mereka

dengan membawa ajaran tauhid, yaitu mentranformasikan

ajaran tauhid ke dalam masyarakat disesuaikan dengan tingkat

pemikiran mereka yang tujuannya untuk membebaskan mereka

dari ketergantungan terhadap segala aspek, baik ekonomi,

politik, social, maupun budaya.52 Masyarakat Madinah yang

heterogen, di mana terdapat banyak suku dan kelompok

masyarakat yang saling bermusuhan. Al-Qur'an datang

49 Q.S al-Nisa' (4): 1150 Q.S. al-Ahzab (33): 451 Q.S. al-Baqarah (2): 17852Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur'an, hlm. 90

49

Page 32: BAB II

menekankan reformasi struktural, baik politik maupun social

kemasyarakatan.53

Dengan melihat proses enkulturasi dan dialektika antara

social-kultural Arab dengan al-Qur'an menunjukkan, memahami

pesan al-Qur'an perlu adanya pengetahuan tentang konteks

pada masa al-Qur'an diturunkan. Di samping itu, pengetahuan

tentang konteks tidak terdapat dalam periwayatan, namun

hanya dapat digali lewat ijtihad dengan menganalisis historis-

sosiologis. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang asba>b al-

nuzu>l tidak cukup hanya dengan mengandalkan peristiwa yang

terjadi diwaktu turunya ayat, namun memerlukan pengetahuan

tentang setting social masyarakat Arab.

Hingga di sini dapat dipahami betapa pentingnya ijtihad

untuk menelaah sosio-histori sebagai konteks asba>b al-nuzu>l .

Persoalan yang kemudian muncul adalah, bagaimana proses dan

mekanisme sebuah ijtihad dalam menelaah asba>b al-nuzu>l ?

Untuk menjawab persoalan ini, ada baiknya kita melihat model

yang ditawarkan oleh Syatibi. Menurut asy-Syatibi langkah

pertama memposisikan al-Qur'an sebagai ajaran Islam yang

harus menjadi titik berangkat umat dalam menghadapi persoalan

atau lebih tepatnya disebut dengan normatif-deduktif. Untuk bisa

tercapai pemahaman yang komperehensif perlu adanya

53 Djaka Soetapa, Ummah Komunitas Religius, Sosial dan Politik dalam al-Qur'an, (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1991), hlm. 69

50

Page 33: BAB II

pemahaman tentang asba>b al-nuzu>l khas, kemudian

menggeneralisasi asba>b al-nuzu>l khas kepada asba>b al-

nuzu>l 'am atau melihat konteks social pada masa itu. Langkah

ini disebut dengan empiris-deduktif. Tujuannya bukan untuk

menemukan hukum, tetapi mencari tujuan hukum itu sendiri

(maqasid al-syari'ah), dalam bahasa Fazlur Rahman disebut

dengan terminologi ideal moral yang bertumpu pada prinsip

keadilan.54 Dengan demikian, yang perlu ditegakkan ditengah-

tengah masyarakat bukanlah hukum tapi mashlahat sebagai

wujud konkrit dari maqasid al-syari'ah atau moral itu sendiri.

Karena hukum dapat berubah dan harus diubah jika tidak lagi

mampu menopang terealiasasinya mashlahah dan moral dalam

kehidupan.

Penggunaan ijtihad dalam menelaah asba>b an-nuzu>l

sebenarnya telah dilakukan sejak lama oleh umat Islam, seperti

oleh Umar bin Khattab dari kalangan Khulafa Urrasyidin55. Dan

54Akh. Minhaji, Persoalan Gender dalam Perspektif Metodologi Studi Hukum Islam, dalam Ema Marhumah dan Lathiful Khuluq, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. (Yogyakarta: Kerjasama PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, McGill-ICIHEP dan Pustaka Pelajar , 2002), hlm. 205-206

55Dalam memahami al-Qur'an, Umar tidak hanya melihat makna teks dan peristiwa yang terjadi ketika al-Qur'an diturunkan (asba>b an-nuzu>l mikro), namun Umar juga mengkaji setting sosial masyarakat ketika al-Qur'an diturunkan (asba>b an-nuzu>l makro). Sehingga tidak mengherankan jika penetapan hukum yang dilakukan oleh Umar berbeda dengan masa Rasulullah saw. Seperti penghapusan pembagian zakat untuk kelompok mu'allafah qulubuhum. Pada masa Nabi saw. kelompok ini mendapatkan bagian zakat sesuai penegasan nas yang bertujuan mengajak manusia memeluk Islam di mana islam pada waktu itu dalam posisi lemah. Sedangkan pada masa Umar konteksnya berbeda dengan masa Rasul, di mana umat Islam dalam posisi kuat, maka pelaksanaan zakat dengan tujuan tersebut untuk sementara tidak dilaksanakan. Lihat Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid

51

Page 34: BAB II

Imam al-Syafi'i dari kalangan tabi'-tabi'in, dalam menjelaskan

asbab an-nuzul QS. Al-An’am (6):145.56 namun secara teoritis

baru dikembangkan oleh al-Syatibi. Dalam hal ini al-Syatibi

mengatakan, jika memahami ayat hanya terbatas pada peristiwa

(dalam istilah al-Syatibi "sabab al-khash"), maka pemahamannya

terkesan tekstual karena mereka terjebak dalam memahami ayat

yang lafazh yang umum dan sebab khusus. Misalnya dalam

menafsirkan surat al-Maidah ayat 44:

…….

Artinya:…..barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Menurut mayoritas ulama ayat ini dipahami berdasarkan ke

umuman lafafz bukan kekhususan sebab. Maka implikasi dari

penafsiran tersebut mengkafirkan yang bukan orang kafir.

Padahal ayat tersebut turun dalam konteks kelompok yahudi

yang menetapkan had bagi orang yang berzina dengan dipukuli

Syari'ah,…, hlm. 7 56Dalam menjelaskan asbab an-nuzul QS. Al-An’am (6):145 yang secara

lahiriah menyebutkan makanan yang dihalalkan Allah adalah bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan hewan yang disembelih tidak karena Allah. Ayat ini menurut Imam Syafi’i bukan merupakan pembatasan sesuatu yang diharamkan Allah sebagaimana pendapat Imam Malik, tetapi ayat ini turun berkaitan dengan situasi orang-orang kafir yang mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Pendapat Imam Syafi’i juga didasarkan pada urutan turunnya ayat dalam pelarangan khusus soal makanan adalah sebagai berikut:QS. al-An’am (6):145, QS. an-Nahl (16):115-116, QS. al-Baqarah (2):172-173, kemudian QS. al-Maidah (5):4. Ayatyang membatasi makanan yang haram adalah ayat yangturun terakhir, yaitu QS al-Maidah (5):4. Lihat Hamim Ilyas, Kajian…, hlm. 77-78. lihat pula Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas…,hlm.137-138.

52

Page 35: BAB II

dan dijemur. Lalu Rasulullah bertanya: "Seperti inikah hukum had

zina yang ada dalam kitab kalian. Mereka menjawab: Demi Allah

yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, beginilah had zina

yang kami temukan dalam kitab kami.57

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan

menelaah asba>b al-nuzu>l dengan ijtihad adalah untuk

menemukan ideal moral58 al-Qur'a>n atau maqasid al-syari'ah.

Hal ini dikarenakan ideal moral berlaku universal. Pada tataran

ini al-Qur'an dianggap berlaku pada setiap masa dan tempat

(shalih likulli zaman wa al-makan) serta al-Qur'a>n juga

dipandang elastis dan fleksibel. Di samping itu, identik Islam

dengan budaya Arab atau budaya Arab adalah Islam yang

memunculkan sebutan "kebudayaan Islam Arab"59 dapat

dihilangkan, sehingga menghasil tafsir-tafsir yang

mengakomodasi perubahan dan perkembangan zaman bukan

menolaknya.

Penelahaan asba>b an-nuzu>l dengan ijtihad berarti,

asba>b al-nuzu>l bukan dilihat dari segi pentingnya saja

melainkan masuk dalam aplikasi. Sehingga masalah keumuman

lafaz dan kekhususan sebab tidak menyebabkan pengabaian

57Abu Isha>q al-Sya>tibi, al-Muwa>ffaqa>t, hlm. 236. lihat juga Abdul Fata>h Abdul Ghani> al-Qa>dhi>, Asbab al-Nuzu>l, hlm. 93

58Ideal moral merupakan tujuan dasar moral yang dipesan al-Qur'a>n. lihat Sibawaihi, Hermeneutika al-Qur'an, hlm. 56

59Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), hlm. 87

53

Page 36: BAB II

terhadap asba>b an-nuzu>l . Dengan demikian kaidah yang

dipegang adalah "al-ibrah bi khushu>si al-saba>b la bi 'umu>mi

al-lafazh". Kaidah ini terindikasi dari pemahaman bahwa asba>b

an-nuzu>l bukan hanya melihat peristiwa atau melalui

periwayatan, tetapi setting social perlu diperhatikan.

Dalam mengaplikasikan kaidah "al-ibrah bi khushush al-sabab" perlu

mentransformasikan tujuan hukum dari realitas particular atau sebab khusus dan

menggeneralisasikan ke kondisi-kondisi yang menyerupainya melalui qiyas

(analogi). Namun perlu diperhatikan, dalam mentransformasikan dan

menggeneralisasikan dari realitas khusus ke realitas yang menyerupainya harus

disertai dengan tanda-tanda yang terdapat dalam struktur teks itu sendiri. Tanda

inilah yang akan membantu mentranformasikan makna dari yang khusus dan

particular ke yang umum dan menyeluruh.60

C. Urgensi Mengetahui Asbab al-Nuzul

Pentingnya asba>b al-nuzu>l dalam memahami ayat-ayat

al-Qur'an, ulama 'ulu>m al-Qur'a>n berbeda pendapat. Pendapat

tersebut dapat dikatagorikan kepada dua macam, yaitu:

Pendapat pertama mengatakan bahwa mengetahui asba>b al-

nuzu>l Sangat signifikan dalam menafsirkan al-Qur'an sehingga

tanpa memahami asba>b al-nuzu>l tidak mungkin menafsirkan

ayat-ayat al-Qur'a>n. Ulama yang berpendapat seperti ini

diantaranya; al-Wahidi, ia mengatakan, tidak mungkin

60Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur'a>n, hlm. 122

54

Page 37: BAB II

menafsirkan ayat al-Qur'a>n jika tidak mengetahui asba>b al-

nuzu>l.61 Pendapat al-Wahidi ini nampak bahwa asba>b al-

nuzu>l menjadi mutlak pentingnya dan tidak boleh dieliminir

dalam menafsirkan ayat. Artinya ayat al-Qur'a>n tidak akan

dapat ditafsirkan dengan benar jika tidak mengetahui asba>b al-

nuzu>l. Selain al-Wahidi, Ibn Taimiyah juga merupakan ulama

yang menganggap asba>b al-nuzu>l Sangat penting dalam

menafsirkan al-Qur'an, ia mengatakan pengetahuan tentang

asba>b al-nuzu>l membantu memahami ayat al-Qur'a>n.

Karena pengetahuan tentang sebab akan mewariskan

pengetahuan tentang akibat dari turunnya ayat.62 Pendapat Ibn

Taimiyah tersebut mempunyai perbedaan dengan pendapat al-

Wahidi, dalam pendapat Ibn Taimiyah asba>b al-nuzu>l hanya

sebagai alat bantu dalam memahami ayat al-Qur'a>n.

Begitu juga dengan pendapat Subhi As-Shalih,63 dan Hasbi

ash-Shiddiqiey64. Keduanya berpendapat bahwa asbab al-Nuzu>l

mempunyai peran penting dalam memahami ayat-ayat al-

61 Jalaluddin as-Suyuti, Lubab al-Nuqu>l , hlm. 5 62Ibn Taimiyah, Muqaddimah fi> Ushu>l al-Tafsi>r, (Kuwait: Da>r al-

Qur'a<n al-Kari>m, 1971), hlm.47 63 Menurut Subhi as-Shalih, mengetahui asbab al-Nuzu>l membantu

penafsir dari kebingungan, keragu-raguan dan terperosok dalam kesalahan. Lihat Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur'a>n, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 157

64Menurutnya memahami suasana-suasana ketika ayat itu diturunkan menolong kita untuk memahami dan merasakan sari pati dari ayat-ayat yang diturunkan dan membantu penafsir dalam menetapkan takwil yang lebih yang lebih tepat dan tafsir yang lebih benar bagi ayat-ayat. Lihat Hasbi ash-Shiddiqiey, Ilmu-ilmu al-Qur'a>n, hlm. 12

55

Page 38: BAB II

Qur'an. Di samping itu, az-Zarqani merincikan pentingnya

asba>b an-nuzu>l sebagai berikut:

1. Memberikan petunjuk tentang hikmah yang dikehendaki Allah atas apa yang telah ditetapkan hukumnya.

2. Memudahkan dalam memahami ayat serta menghilangkan kesukarannya.

3. Menghindarkan keraguan tentang ketentuan pembatasan (al-hasr) yang terdapat dalam al-Qur'a>n.

4. Membantu menentukan spesifikasi berlakunya suatu hukum (ini bagi pihak yang berpegang dengan kaidah "al-Ibrah bi khususi> al-Sabab la bi 'umumi> al-Lafad"..

5. Memberikan informasi yang akurat kepada siapa suatu ayat diturunkan, sehingga tidak terjadi salah paham.

6. Memudahkan pemahaman dan menguatkan ingatan terhadap kandungan wahyu, jika wahyu itu diketahui sebab-sebab kejadiannya.65

\Jikalau diperhatikan pendapat-pendapat mengenai

urgennya asba>b al-nuzu>l , maka jelas sekali konsep asba>b

al-nuzu>l yang mereka kembangkan yang hanya bertumpu pada

peristiwa turun ayat. Konsekuensinya dari pandangan tersebut

menjadikan al-Qur'an tidak elastis dan fleksibel.

Pendapat lain yang menganggap pentingnya asba>b al-

nuzu>l dalam memahami ayat al-Qur'a>n juga diakui oleh Nasr

Hamid Abu Zaid, menurutnya asba>b al-nuzu>l mempunyai

peran penting dalam memahami teks (al-Qur'a>n), karena

asba>b al-nuzu>l menunjukkan dan menyingkap hubungan dan

dialektika antara teks dengan realitas.66 Lebih lanjut ia

mengatakan, dalam pembacaan teks perlu diperhatikan konteks,

baginya antara teks dan realitas terdapat berbagai dialektis. 65 Muhammad Abdul 'Adhim Al-Zarqani, Manahil al-'Irfan, hlm. 6566Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur'a>n: Kritik terhadap Ulumul

Qur'an, Terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 115

56

Page 39: BAB II

Maksudnya bahwa teks terbentuk dalam realitas kebudayaannya,

namun pada saat yang sama ia sendiri membentuk realitas.67

Senada dengan pendapat tersebut, Fazlur Rahman juga

mengatakan asba>b al-nuzu>l memberikan pemahaman tujuan

dasar atau ideal moral dari tujuan turunnya ayat, maka oleh

sebab itu, untuk bisa memahami hal tersebut diperlukan

pemahaman akan situasi atau historisitas dimana pernyataan

tersebut merupakan jawabannya.68 Kedua tokoh kotemporer ini

secara subtansial sama dengan pendapat-pendapat di atas, yang

mana sagnifikansi asba>b al-nuzu>l dalam memahami ayat

adalah untuk memahami makna dari ayat yang diturunkan.

Artinya untuk memahami makna ayat al-Qur'a>n diperlukan

pengetahuan asba>b al-nuzu>l karena al-Qur'an turun bukan

dalam suatu masyarakat yang hampa budaya, namun al-Qur'a>n

turun dalam kelompok masyarakat yang bisa dikatakan sudah

mapan.

Dengan memperhatikan pendapat-pendapat kedua

kelompok pakar ulu>m al-Qur'an tersebut, maka dapat

67 Mengenai hubungan dialektik ini dicontohkan dengan adanya konsep wahyu dan jin yang diadopsi oleh al-Qur'a>n dari masa para Islam yang kemudian direkontruksi oleh al-Qur'a>n dengan cara yang berbeda dengan konsep masa pra Islam. Lihat Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur'an, Terj. Faisol Fatawi, (Yokyakarta: LKiS, 2003), hlm. 327

68Pemahaman Situasi dan Historitas oleh Fazlur Rahman di sebut dengan mikro dan makro, lihat Siwabaihi, Hermeneutika al-Qur'a>n Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 57

57

Page 40: BAB II

disimpulkan, pentingnya asba>b al-nuzu>l dalam menafsirkan

al-Qur'an adalah sebagai berikut:

1. Memudahkan memahami ayat al-Qur'an secara

komperehensif, karena banyak ayat-ayat yang tidak bisa

dipahami maknanya jika tidak mengetahui asba>b al-

nuzu>l.

2. Menjadikan al-Qur'an elastis dan fleksibel sehingga al-

Qur'an yang dikatakan "shalih likulli zaman wa makan"

bisa terwujud.

3. Mengetahui pesan moral dari suatu ayat karena pesan

moral bersifat universal dan relevan diterapkan dalam

kebudayaan yang particular.

4. Dapat menerapkan metode hermeneutik karena

memahami konteks merupakan salah satu langkah dalam

teori hermeneutik.

Sebagai ilustrasi dari pernyataan di atas, penulis akan

menyebutkan beberapa contoh ayat yang tidak bisa dipahami

secara tepat kecuali dengan menyertakan asbab al-Nuzu>l,

seperti memahami surat al-Baqarah ayat 158.

Artinya:

Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar allah. Siapa yang beribadah ají ke Baitullah dan ber-umrah,

58

Page 41: BAB II

maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya.Diinformasikan bahwa 'Urwah bin Zubayr merasa kesulitan

untuk memahami ayat tersebut karena dalam ayat tersebut

terdapat kata la juna>ha (tidak berdosa) yang memberikan

pengertian menafikan kewajiban sa'i. Zubair kemudian bertanya

kepada Aisyah r.a. tentang hal tersebut yang kemudian

menerangan bahwa kata la juna>ha tersebut tidak berarti

menafikan kewajiban melainkan menghilangkan perasaan

berdosa dan beban dari hati kaum muslimin ketika

melaksanaakan sa'i antara Safa dan Marwah, sebab perbuatan

itu termasuk tradisi jahilayah. Dalam riwayat disebutkan bahwa

di daerah Safa terdapat patung yang bernama Isaf dan di atas

Marwah ada patung lain yang bernama Nailah. Dulu pada masa

sebelum Islam, ketika orang-orang musyrik melakukan sa'i,

mereka melakukannya sambil mengusap kedua patung tersebut.

Setelah Islam datang kedua patung itu dihancurkan dan kaum

muslimin tidak lagi melakukan sa'i karena itu merupakan tradisi

Jahiliyah, sehingga turunlah ayat yang disebutkan di atas.

Surat al-Baqarah ayat 115, yaitu:

Artinya:'Dan bagi Allah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah.

59

Page 42: BAB II

Kalau ayat tersebut ditafsirkan secara tekstual, maka ayat

tersebut memberikan pengertian tidak ada kewajiban

menghadap kiblat dalam shalat, baik dalam keadaan sedang

berpergian atau tidak. Berdasarkan asbab al-Nuzul ayat tersebut

sebagaimana yang dikemukakan oleh Tirmidzi, ayat turun ketika

para sahabat bersama dengan Nabi saw. Melakukan perjalanan

dimalam hari yang gelap gulita, mereka tidak mengetahui arah

kiblatnya, kemudian mengerjakan shalat menghadap kiblat

menurut ijtihad mereka. Esok harinya dikemukakan kepada

Rasulullah saw.,69 maka turunlah ayat tersebut. Jadi, ayat

tersebut bukan bermakna tidak mewajibkan menghadap kiblat

ketika mengerjakan shalat, tapi boleh berijtihad mengenai arah

kiblat disaat tidak mengetahui arahnya dan tidak ada tanda-

tanda yang menunjukkan arah kiblat.

Surat Ali Imran ayat 188.

Artinya:

“Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang Telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu

69 Jalaluddin As-Suyu>ti, Riwayat Turunnya Ayat al-Qur'an, terj. M. Abdul Mujieb, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1986), hal. 37. Dalam shahih Bukhari, asbab al-Nuzul ayat ini berkenaan dengan Nabi pernah melakukan shalat sunat di atas kenderaan dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah dengan tidak menghadap kiblat namun Nabi menghadap ke arah kenderaannya melaju, ketika ditanyakan oleh Ibnu Umar, Nabi membaca ayat tersebut, Lihat Abdul Fata>h Abdul Ghani> al-Qa>dhi>, Asbab al-Nuzu>l 'an al-Shaha>bah wa al-Mufassiri>n, (Mesir: Dar al-Sala>m, 2005), hlm. 19

60

Page 43: BAB II

menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Q.S. Ali Imran: 188).

Ayat tersebut pernah salah ditafsirkan oleh Marwan bin

Hakam, ia menafsirkan ayat tersebut dengan penafsirannya

sendiri, dan dari ayat tersebut beliau beranggapan bahwa orang

yang senang dengan rizqi yang diberikan dan juga senang

dengan pujian atas sesuatu yang belum dikerjakan maka bakal

tertimpa adzab. Sehingga datanglah kepadanya Ibnu Abbas yang

menjelaskan kepada Marwan bahwa ayat tersebut diturunkan

berkaitan dengan ahli kitab. Ayat tersebut diturunkan ketika

Rasulullah bertanya kepada ahli kitab tentang suatu hal akan

tetapi mereka menjawab dengan jawaban yang lain.70

Pendapat yang kedua mengatakan bahwa asbab al-Nuzul

tidak penting karena hal itu termasuk pengetahuan sejarah al-

Qur'a>n. Tokoh yang menganut paham ini, diantaranya:

Muhammad Syahrur, menurutnya al-Qur'an tidak memiliki asbab

al-Nuzul dengan kenyataan bahwa al-Qur'an diturunkan dalam

satu waktu berbentuk bahasa Arab pada bulan Ramadhan:

syahru ramadha>na al-ladzi> unzila fi>hi al-Qur'a>n (al-

Baqarah: 185), inna anzalnahu fi lailat al-Qadr (al-Qadr: 1).71

Alasan lain yang ia kemukakan terkait dengan masalah ini ialah;

70Roem Rowi, Menimbang Kembali Signifkansi Asba>b al-Nuzu>l dalam Pemahaman al-Qur'a>n, Jornal Ilmu-ilmu Keislaman, Menara Tebuireng, Vol.2, No. 2, Thn. 2006, hlm. 149

71 Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur'a>n Kotemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dkk, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008), hlm. 119

61

Page 44: BAB II

Kandungan al-Qur'an sudah terprogram di lauh al-Mahfu>z yang

tercermin dalam terminology kita>b al-maknu>n dan fi> ima>m

mubi>n.72 Dengan kata lain, sebelum proses tanzil, al-Qur'an

telah memiliki wujud tertentu (eksistensi pra-tanzil). Jadi

peristiwa yang terjadi dengan ayat yang diturunkan tidak ada

kaitannya, kalaupun ada kaitannya itu hanyalah hubungan

sebatas coincidence (kebetulan).

Jika diperhatikan argumentasi yang dikemuukakannya,

Shahrur menolak menggunakan asbab al-Nuzul dalam

menafsirkan al-Qur'a>n. baik itu asbab al-Nuzul dalam bentuk

mikro maupun makro. Penolakannya terhadap asbab al-Nuzul

dalam bentuk makro terlihat dari konsep qiyas (analogi) yang

ditawarkannya. Syahrur mengatakan;

Menganalogikan hal-hal yang terjadi pada masa sekarang (al-syahid) dengan peristiwa yang terjadi pada masa lalu (al-ghaib) adalah prinsip yang keliru dan tidak adil. Tidak dapat dibenarkan analogi problem masyarakat modern dengan masalah yang dihadapi masyarakat pada masa Nabi saw. Karena hal itu akan menghasilkan kesimpulan yang meragukan dan samar-samar. Qiyas yang valid adalah qiyas yang mengukur sesuatu atau pihak yang hadir saat sekarang dengan sesuatu yang lain yang hadir pada saat sekarang dalam lingkup batas-batas hukum Tuhan. 73

Argumentasi yang diutarakan Syahru>r tentang konsep

qiyas, nampak penelokannya terhadap signifikansi asbab al-

Nuzul dalam menafsirkan al-Qur'an karena tidak ada relevansi 72Ibid73Muhammad Syahru>r, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam

Kotemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dkk, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2007), hlm. 213

62

Page 45: BAB II

antara zaman masa Nabi dengan sekarang. Sebagai alternatif

lain, ia menawarkan teori batas (nazha>riyyah al-hudu>d)

sebagai solusi menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan

hukum. Sebagai contoh dapat dilihat dari caranya menafsirkan

ayat yang berkenaan dengan potong tangan bagi pencuri.

Hukum potong tangan sebagaimana yang tersebut dalam surat

al-Maidah (5): 38 merupakan batas maksimal dari sanksi yang

diberikan, sedangkan untuk batas minimalnya, yaitu

dipenjarakan. Mengenai dengan hukum penjara tidak disebutkan

dalam Umm al-Kitab sebagai bentuk hukum yang ditawarkan

oleh Allah. Tentang penjara ini, Allah menyebutkan dalam kisah

Yusuf sebagai bentuk hukum yang ditetapkan oleh penguasa

Mesir terhadap Yusuf pada waktu itu.74 Jika dibanding penafsiran

Syahru>r tentang hukum pencurian dengan penafsiran yang

menggunakan asbab al-Nuzul terdapat perbedaan dari metode-

metode yang digunakan. Bagi mufasir yang menggunakan asbab

al-Nuzul, menetapkan hukum penjara bukan berdasarkan ayat

tentang kisah Yusuf, tapi melihat situasi dan kondisi masyarakat

pada masa Nabi. Seperti penetapan hukum pencurian yang

ditetapkan oleh Umar bin Khattab.75

74Ibid, hlm. 226 75 Menurut Umar, penepatan hukum potong tangan pada masa Nabi,

karena perekonomian pada masa itu sangat mapan sehingga kalaupun ada pencurian bukan karena terpaksa. Hal ini berbeda dengan konteks pada masa Umar yang dilanda musim kemarau. Lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur'a>n:, hlm. 124

63

Page 46: BAB II

Dalam bukunya Metodologi Fiqh Islam Kotemporer, Syahrur

juga mengkritik penafsiran yang menggunakan asba>b al-

nuzu>l, menurutnya menafsirkan al-Qur'an dengan

menggunakan asba>b al-nuzu>l hanya akan menghasilkan

hukum-hukum yang tidak relevan dengan zaman sekarang.76

Menurut penulis, kritikan yang dilontarkan Syahrul hanya pada

batas penggunaan asba>b al-nuzu>l yang hanya melihat

peristiwa turunnya saja. Tapi sayangnya, Syahrur tidak melihat

asba>b al-nuzu>l dalam bentuk makro. Ini terlihat dari contoh

yang dikemukakannya yang berkenaan dengan masalah mawaris

yang berimplikasi kepada pandangan negatif masyarakat

terhadap perempuan.77

Selain Muhammad Shahrur, Muhammad Abduh juga

sependapat bahwa asbab al-Nuzul tidak penting dalam

penafsiran ayat al-Qur'an. Hal ini terlihat dari ciri-ciri penafsiran

menurut Muhammad Abduh yang diilustrasikan oleh M. Quraish

Shihab dalam "Studi Kritis Tafsir al-Mana>r". dalam karya

tersebut Quraish Shihab menjelaskan ciri-ciri penafsiran menurut

Muhammad Abduh78. Diantara ciri-ciri tersebut adalah: Pertama;

Memandang al-Qur'an sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang

serasi. Dari pandangan ini Muhammad Abduh menjalin hubungan

76Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kotemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: eLSAQ, 2004), hlm. 148

77 Ibid78Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung:

Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 26

64

Page 47: BAB II

yang serasi antara satu ayat dengan ayat yang lain, dalam satu

surat, karena pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan

erat dengan tujuan surah tadi secara keseluruhan. Seperti

menafsirkan surat al-Fajr.79 Kedua; Ayat al-Qur'an bersifat umum.

Ini artinya Abduh lebih mengutamakan keumuman ayat al-

Qur'an. Berkaitan dengan masalah ini, Abduh bisa dikatagorikan

dalam kelompok yang menggunakan kaidah "al-'Ibrah bi

'umu>mi al-Lafaz la bi khushu>si al-Sabab, sebagaimana yang

dipahami oleh mayoritas mufassir. Namun bagi Abduh makna

"umu>mi al-Lafz" lebih diperluar lagi sehingga selama satu ayat

dinilainya dapat bersifat umum, maka keumumannya itu

dinyatakan, walaupun terkadang bertentangan dengan kaidah-

kaidah bahasa. Hal ini terlihat dari caranya menafsirkan surat al-

Lail ayat 15-17.80

Penolakan Muhammad Abduh terhadap pentingnya asba>b

al-nuzu>l, juga dikatakan oleh Nasruddin Baidan, menurutnya

Muhammad Abduh juga tidak sependapat dengan ulama yang

menganggap pentingnya asba>b al-nuzu>l dalam menafsirkan

ayat al-Qur'a>n, hal ini terlihat dari prinsip-prinsip pokok yang

79Dalam menafsir ayat tersebut M. Abduh mengatakan; Kata Laya>lin tidak mungkin terlepas dari pengertiannya dari kata "wal fajr". Lihat, Muhammad Abduh, Tafsir Juz 'Amma, terj. Muhammad Batir, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 153

80Menurutnya ayat ini bukan diturunkan kepada Abu Bakar, sebagaimana yang disepakati oleh ulama asbab al-Nuzul, namun kata Asyqa dan Atqa oleh Abduh dianggap mencakup semua orang dan semua masa selama ia memiliki sifat tersebut.Lihat, Ibid, hlm 207

65

Page 48: BAB II

dikemukakannya, yaitu: Pertama, Tujuh prinsip pokok dalam

menafsirkan al-Qur'a>n yang ditempuhnya, sama sekali tidak

menyebutkan asba>b al-nuzu>l. Kedua, Lima tingkatan tafsir

yang dinyatakan berkatagori tinggi (al-Martabat al-'U>la), sama

sekali tidak menyinggung asbab al-Nuzul.81 Pendapat Nasruddin

Baidan tentang Muhammad Abduh memang cukup beralasan

karena Muhammad Abduh tidak menyebutkan asba>b al-nuzu>l

dalam prinsip pokok menafsirkan al-Qur'a>n apalagi didukung

oleh kecendrungannya rasional dalam menafsirkan al-Qur'an.

Walaupun banyak bukti yang mengatakan Muhammad

Abduh tidak mementing asbab al-Nuzul, namun menurut penulis,

dari satu sisi Muhammad Abduh memang tidak menggunakan

asbab al-Nuzul sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits.

Tapi disisi yang ia mengakui pentingnya pengetahuan

pengetahuan historisitas Nabi dan Sahabat dalam menafsirkan

al-Qur'an. Hal ini terlihat dari salah satu katagorisasi tafsir

tingkat tinggi yang ia sebutkan.82 Jadi, penolakannya adalah

asbab al-Nuzul dalam bentuk mikro, tapi menerima asbab al-

Nuzul dalam bentuk makro.

Dari uraian pendapat-pendapat yang telah disebutkan di

atas, jelas sekali bahwa asbab al-Nuzul mempunyai sangat

signifikan dalam menafsirkan al-Qur'an karena pengetahuan 81Nasruddin Baidan, Wacana Baru Ilmu, hlm. 139 82Lihat Muhammad Abduh, Fatihat al-Kitab, (Kairo: Dar al-Tahrir, 1382),

hlm. 9-12

66

Page 49: BAB II

tentang konteks turun ayat mempermudah memahami ideal

moral dari ayat yang diturunkan sehingga al-Qur'an cocok

diterapkan dalam setiap masa dan tempat.

D. Aplikasi Asbab al-Nuzul dalam Menafsirkan al-Qur'an

Untuk mengaplikasikan asba>b al-nuzu>l sebagaimana

yang telah disebutkan, di sini penulis mengambil ayat tentang

hokum mawaris. Kemudian ayat-ayat tersebut dikaji berdasarkan

asba>b al-nuzu>l mikro dan digeneralisasikan dengan asba>b

al-nuzu>l makro. Adapun contohnya sebagai berikut:

Firman Allah; an-Nisa'(4): 11

Artinya:

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-

67

Page 50: BAB II

anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa

sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad, Abu Daud, at-

Tirmidzi, dan al-Hakim yang bersumber dari Jabir. Jabir berkata:

"Isteri Sa'ed bin Ar-Rabi menghadap Rasulullah saw. lalu berkata:

"Ya Rasulullah, kedua anak perempuan saya ini adalah anad

Sa'ed bin Ar-Rabi' yang telah gugur sewaktu bersama engkau

diperang Uhud. Dan sesungguhnya paman kedua anak

perempuan itu mengambil harta bendanya dan tidak

ditinggalkannya sedikitpun harta, sedangkan mereka susah

nikah kecuali mereka memberikan harta benda". Maka Rasulullah

bersabda: "Allah akan memberikan keputusan hokum perkara

itu". Maka turunlah ayat tersebut.83

Jika ayat tersebut dipahami hanya berdasarkan peristiwa

yang melatarbelangi turunnya saja (asba>b al-nuzu>l mikro),

maka hukum yang ditetapkan adalah hak perempuan setengah

dari hak laki-laki. Dan itu sudah sesuai dengan redaksi ayat

(tekstual). Namun untuk mendapatkan pemahaman yang

komprehensif perlu kiranya menelaah sosio-histori masyarakat

Arab (asba>b al-nuzu>l makro). Untuk perempuan Arab di saat

al-Qur'an penetapan warisan setengah dari laki-laki yang

83 Jalaludin as-Suyuti, Riwayat turunnya, hlm. 143

68

Page 51: BAB II

diberikan kepada perempuan sudah merupakan suatu keadilan.

Karena keturunan laki-laki sangat penting artinya bagi bangsa

Arab. Keberlangsungan, kekuatan, dan keunggulan suku mereka

terletak ditangan generasi laki-laki. Laki-lakilah yang memiliki

peran dominan dalam kehidupan social.84 Di samping itu,

menjadikan bukti kepedulian al-Qur'an terhadap perempuan

yang sebelumnya tidak mendapatkan hak apa-apa dari kelompok

masyarakatnya.

Jadi, penetapan hukum warisan bagi perempuan Arab pada

waktu al-Qur'an bertujuan untuk memberikan keadilan dan hak

kepada perempuan. Jika penetapan hukum warisan sebagaimana

dalam masyarakat Arab ketika al-Qur'an diturunkan

ditranformasi ke dalam masyarakat yang berbeda sosio-

budayanya, maka akan menghasilkan hukum yang tidak relevan.

Untuk mendapat hukum yang relevan perlu kiranya melihat

maqashid al-syari'ah atau ideal moral dari ayat yang turunnya

karena ideal moral bersifat universal. Jadi, hak warisan laki-laki

lebih banyak dari perempuan dipaksakan untuk masyarakat yang

status perempuan berbeda dengan status perempuan pada masa

al-Qur'an diturunkan. Jika, hukum dipaksakan harus sebagai yang

terdapat dalam redaksi ayat (textual) yang hanya melihat

peristiwanya saja, maka penafsiran yang diproduk tidak mampu

84Ali Sodiqin, Antropologi al-Qura'an, hlm. 139

69

Page 52: BAB II

menjawab persoalan-persoalan umat yang terus mengalami

perubahan.

70