BAB II
Transcript of BAB II
BAB II
ASBA>B AL-NUZU>L
A. Pengertian Asba>b al-Nuzu>l
Secara etimologi kata "asba>b al-nuzu>l" merupakan
susunan idha>fah (noun group) yang berasal dari gabungan kata
"asba>b" dan al-nuzu>l. Kata "asba>b" adalah bentuk jamak
dari kata "sabab", yang berarti tali atau penghubung, yakni
segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu
yang lain, atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan "al-
nuzu>l" merupakan bentuk masdar dari kata "nazala-yanzilu"
yang berarti turun.1 Dengan demikian, Pendeknya asba>b al-
nuzu>l merupakan sebab atau latarbelakang historis turunnya
sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus
ilmu al-Qur'a>n, maka asba>b al-nuzu>l biasa diartikan sebagai
latar belakang (background) munculnya suatu ayat al-Qur'a>n.
Sedangkan secara terminologi, setiap ulama 'Ulu>m al-
Qur'a>n berbeda pendapat dalam mengartikannya. Perbedaan
ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, kelompok
pertama berpandangan bahwa asba>b al-nuzu>l hanya terbatas
pada peristiwanya saja. Diantara pakar 'Ulu>m al-Qur'a>n yang
berpandangan seperti itu adalah:
1Louis Ma'luf, al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A'lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1988), hlm. 802. Bandingkan dengan Abdul Mustaqim, Asba>b al-Wuru>d, dalam Jornal al-Nur Vol. II, No. 5, September 2006, hlm. 390
19
Al-Zarqa>ni> merumuskan definisi asba>b al-nuzu>l
sebagai berikut:
مبينة او عنه متحادثة األيات او اآلية نزلت ما هو النزول سبب2 وقوعه. أيام لحكمه
Asba>b al-nuzu>l adalah sesuatu yang terjadi pada hari-hari terjadinya diturunkan satu atau beberapa ayat al-Qur'a>n untuk membicarakan atau menjelaskan status hukumnya.
Term وقوعه أيام dalam definisi yang disebutkan al-
Zarqa>ni> merupakan taqyi>d (batasan waktu terjadinya suatu
peristiwa), dengan demikian tidaklah termasuk ayat-ayat yang
turun tanpa adanya sebab. Dalam pada itu, kata al-Zarqa>ni>,
terjadinya peristiwa di zaman Nabi dapat saja di saat sebelum
ataupun sesudah turunnya ayat.3 Seperti pertanyaan yang
diajukan oleh orang Quraisy kepada Nabi tentang ru>h,
as}h}a>b al-kahf, dan Z|i al-Qarnain, lalu Rasulullah bersabda:
besok saya akan beritahukan kamu, selang beberapa hari baru
turun surat al-Kahf. Dari definisi dan contoh yang dikemukakan
nampak bahwa turunnya ayat dengan peristiwa kadang-kadang
bisa tidak beriringan.
Khali>l Manna' al-Qatta>n, asba>b al-nuzu>l adalah:
4.سؤال أو كحادثة وقوعه وقت نهأشب نآقر مانزلت
2 Muhammad Abdul 'Az}im al-Zarqani>, Mana>hil al-'Irfa>n fi 'Ulu>m al-Qur'a>n, (Beirut: Da>r al-Kutub al-'Ilmiah, 2003), hlm. 63
3Ibid, hlm. 65 4 Khalil Manna' al-Qat}an, Maba>h}is fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, (ttp.tt),
hlm. 78
20
Suatu hal yang karenanya al-Qur'an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.
Menurut pendapat Imam al-Suyu>t}i>, asba>b al-nuzu>l
adalah
أيام األية نزلت ما انه النزول سبب فى يتحرر (قلت) والذي
5 وقوعه.
Definisi asba>b al-nuzu>l yang terpilih adalah sesuatu yang pada hari-hari terjadinya ayat al-Qur'an itu diturunkan.
Definisi yang dikemukakan oleh as-Suyu>t}i> sebagai
reaksi terhadap definisi yang dikemukakan oleh al-Wa>hi>di>,
menurut as-Suyut}i> al-Qur'an tidak mungkin turun mendahului
sebab, seperti cerita datangnya Raja Habsyah sebagai sebab
turunnya surat al-Fi>l.6
Sedangkan Subhi as-Shalih mendefinisikan asba>b al-
nuzu>l dengan:
مبينة او عنه مجيبة او له منهضمت بسببه األيات وأ األية مانزلت7 .النزول بسبب عنه عبرنا ما وهو وقوعه زمن لحكمه
Suatu yang menjadi sebab turunnya ayat atau beberapa ayat, atau pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban atau penjelasan yang diturunkan pada saat terjadinya suatu peristiwa tersebut. Itulah yang kami maksud dengan -asba>b al-nuzu>l.
Dari beberapa definisi asba>b al-nuzu>l yang
dikemukakan di atas, maka pada prinsipnya mereka mempunyai
5Jala>luddi>n al-Suyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l, (Riya>d: Maktabah al-Riyad}iyyah al-H}adis\ah, tt), hlm. 4
6Ibid 7S}ubh}i> al-S}a>lih}, Maba>h}is fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, (Beirut:
Da>r al-'Ilm Li al-Malayi>n, 1977), hlm. 132
21
pendapat yang sama, hanya redaksi pendefinisiannya saja yang
berbeda namun subtansinya sama, yaitu sebab turunnya ayat.
Pengertian semacam ini sangat riskan memberi pemahaman
seolah-olah ayat al-Qur'an tidak akan turun tanpa diawali oleh
suatu sebab yang berupa peristiwa atau pertanyaan yang
diajukan kepada Nabi saw. Artinya definisi ini sangat berpotensi
bahwa ayat-ayat al-Qur'an yang diturunkan hanya untuk
menjawab pertanyaan yang diajukan saat itu atau asba>b al-
nuzu>l dipahami terdapat hubungan kausalitas.
Dalam konteks al-Qur'an, sebuah peristiwa yang dikatakan
sebagai sebab tidak selalu mendahului diturunkannya ayat
namun kadang-kadang ayat yang mendahului sebab, seperti
surat al-Balad. Surat ini termasuk surat makkiyah, sedangkan
hal ( لاح ) yang tertera dalam surat al-Bala>d baru terjadi ketika
fath (penaklukan) Mekkah. Ketika itu Nabi menyatakan "uh}illat
fi> sa'ah min nahari".8 Dari contoh tersebut menunjukkan bahwa
asba>b al-nuzu>l tidak bisa dikatakan adanya hubungan
kausalitas, karena dalam hukum kausalitas akibat tidak
mendahului sebab. Sedangkan dalam ayat di atas akibat
mendahului sebab. Jadi, sungguh tidak etis jika asba>b al-nuzu>l
diartikan dengan hukum kausalitas.
8Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 134
22
Di samping itu, jika dicermati pengertian yang dirumuskan
oleh ulama salaf hanya mengkhususkan pada permasalahan
peristiwa yang terjadi, baik berupa jawaban terhadap pertanyaan
yang diajukan atau penjelasan terhadap peristiwa yang terjadi
tanpa memperhatikan realitas di mana al-Qur'an diturunkan.
Pengertian semacam ini mengacu pada arti asba>b al-nuzu>l
secara khusus (asba>b al-nuzu>l al-kha>s}s}ah) atau
disebutkan asba>b al-nuzu>l mikro. Pemahaman asbab an-nuzul
yang dikembangkan para ulama salaf (asba>b al-nuzu>l mikro)
mempunyai implikasi pada keharusan adanya asba>b al-nuzu>l
yang hanya terdapat dalam hadits-hadits. Konsekuensi yang
muncul adalah banyak ayat al-Qur’an yang tidak bisa dipahami
maksudnya dengan benar-benar karena tidak tersedianya -
asba>b al-nuzu>l.9 Selain itu, jika hanya mengandalkan
peristiwa yang terjadi akan berimplikasi terhadap penetapan
hukum yang berkesan tekstual sehingga tidak mampu menjawab
persoalan-persoalan yang terus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman.
Keterbatasan pengertian asba>b al-nuzu>l yang
dikemukan oleh ulama salaf, menjadi permasalahan dalam
menafsirkan al-Qur'an, apalagi didukung oleh perubahan sosial-
9Hamim Ilyas, Asbab an-Nuzul Dalam Studi Al-Qurán, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Kajian Tentang Al-Qurán dan Hadis : Mengantar Purna Tugas Prof. Drs. H.M. Husein Yusuf (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syariáh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,1994), hlm. 72.
23
kultural. Hal ini memotivasikan sebagian ulama lain untuk
mengkaji kembali permasalahan asba>b al-nuzu>l dengan
merumuskan pengertian yang lebih luas. Artinya asba>b al-
nuzu>l tidak hanya melihat peristiwa, namun lebih
dikembangkan kepada setting sosial masyarakat Arab. Adapun
ulama yang mengemukakan pengertian semacam ini, sebagai
berikut:
Menurut Abu Zayd, asba>b al-nuzu>l adalah menyingkap
dialektika antara teks dengan realitas.10 Pengertian yang
dikemukakannya nampak lebih luas karena Abu Zayd melihat -
asba>b al-nuzu>l bukan sebatas mempertimbangkan peristiwa
yang terjadi pada waktu turunnya ayat, namun mencakup
realitas. Dari argumentasi yang dibangunkannya, menyisakan
sebuah pertanyaan. Mengapa harus mempertimbangkan realitas,
bukankah Tuhan mengetahui seluruh realitas, baik secara global
maupun detilnya sebelum realitas terjadi? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut Abu Zayd mengatakan bahwa, tindakan
Tuhan dalam dunia adalah tindakan dalam waktu dan ruang,
tindakan yang terjadi melalui hukum-hukum alam itu sendiri,
baik itu alam fisik maupun sosial.11
Senada dengan pendapat Abu Zayd, Muhammad Chirzin
dalam bukunya al-Qur'an dan Ulumul Qur'an, mengatakan: -10 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur'an, (Yogyakarta: LKiS,
2005), hlm. 11511Ibid, hlm. 118
24
asba>b al-nuzu>l menggambarkan bahwa ayat-ayat al-Qur'an
memiliki dialektika dengan fenomena sosio kultural
masyarakat.12 Definisi yang dikemukakannya juga berindikasi
adanya dialektika antara wahyu dengan realitas. Di samping itu,
Muhammad Chirzin juga mengkritik pendapat yang mengatakan
bahwa; sebab dalam term asba>b al-nuzu>l merupakan kausalitas.
Menurutnya, perlu ditegaskan bahwa asba>b al-nuzu>l tidak
berhubungan secara causal dengan materi yang bersangkutan.
Artinya tidak bisa diterima penyataan, jika suatu sebab tidak
ada, maka ayat itu tidak akan turun".13
Jauh sebelumnya, Abu> Isha>q al-Sya>tibi juga
mengemukakan pandangan yang sama mengenai hal ini. Ia
mengatakan bahwa:
الحال مقتضى معرفة وهو النزول لسبب معرفة ومعنى
Maksud mengetahui asba>b al-nuzu>l adalah mengetahui situasi dan kondisi dimana al-Qur'an itu diturunkan.14
Selanjutnya, al Sya>thibi mengatakan "untuk memahami
teks bahasa Arab yang mana al Qur-an diturunkan diperlukan
pengetahuan tentang sejumlah keadaan (Muqtad}ayat al-
Ah}wal); keadaan bahasa (h}al nafs al-khit}ab/teks), keadaan
mukha>t}ib (author) dan keadaan mukha>t}ab (audience)" dan
12Lebih Jelas lihat Muhammad Chirzin, al-Qur'an dan Ulumul Qur'an, (Yogyakarta: Dana Prima Yasa, 1998), hlm. 31
13Ibid 14Abu Isha>q al-Sya>t}ibi>, al-Muwa>ffaqa>t fi> Us}u>l al-Syari>'ah,
Juz. III, (Kairo: Maktabah al-Usrah, tt), hlm. 295
25
untuk memahami ini diperlukan pula pengetahuan tentang
konteks-konteks di luarnya yang lebih luas (al umur al
kharijiyyah).15
Sejalan dengan pendapat al-Sya>tibi, menurut Fazlur
Rahman, asba>b al-nuzu>l tidak hanya sebagai alasan-alasan
diturunkannya ayat-ayat al-Qur'an, tetapi lebih dari itu, asba>b
al-nuzu>l adalah sebagai respon Allah melalui nabi Muhammad
terhadap situasi sosio moral bangsa arab saat itu. Lebih
tegasnya, asba>b al-nuzu>l adalah suatu pengetahuan tentang
konteks sosial-historis al-Qur'an baik berupa situasi saat itu,
komentar ataupun respon Allah atas hancurnya tatanan ilahiyyah
pada masa itu.16
Pengertian asba>b al-nuzu>l yang dikemukakan oleh
keempat tokoh tersebut terkesan lebih komperehensif bila
dibandingkan dengan kelompok pertama. Artinya, kelompok
kedua memahami asba>b al-nuzu>l bukan hanya peristiwa saja,
namun meliputi sistem sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan
di mana teks tersebut diturunkan. Meminjam istilah Fazlur
Rahman dengan setting social. Meskipun kelompok kedua
memahami asba>b al-nuzu>l mengacu kepada setting-social,
bukan berarti mereka mengabaikan asba>b al-nuzu>l dalam arti
15Ibid, hlm. 294 16 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual,
cet. I, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 6-7, lihat juga Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 29
26
sempit (khash). Akan tetapi mereka menggeneralisasikan sebab
yang khusus (peristiwa) kepada yang umum. Jadi, kedua bentuk
asba>b al-nuzu>l tersebut tidak dipahami secara parsial dan
dikotomis, melainkan harus dipahami sebagai satu kesatuan.
Sehingga tafsir yang diproduk tidak terkesan parsial (tekstual)
namun lebih komprehensif.
Jadi, tidak benar yang mengatakan, Fazlur Rahman tidak
mengakui hadits-hadits tentang asba>b al-nuzu>l. Menurut
hemat penulis, Fazlur Rahman bukan menolak hadits namun ia
sangat kritis dalam mengadopsi hadits sehingga hadits yang
menurut ulama lain shahih belum tentu menurutnya. Sebagai
tolok ukur keshahihan hadits yang dipegangnya adalah
kesesuaian hadits dengan al-Qur'an dan dapat diterima oleh
akal, dengan tidak mengesampingkan kritik sanad hadits.17
Berdasarkan konsep asba>b al-nuzu>l menurut pendapat-
pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa; asba>b al-
nuzu>l dapat dikatagorikan kepada dua macam, yaitu: Asba>b
al-nuzu>l al-kha>s}s}ah (mikro) dan asba>b al-nuzu>l
al-'a>mmah (makro). Asba>b al-nuzu>l mikro merupakan situasi
sempit yang terjadi dilingkungan Nabi ketika al-Qur'an
diturunkan. Sedangkan asba>b al-nuzu>l makro merupakan
situasi yang terjadi dalam skala yang lebih luas, menyangkut 17 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, hlm. 7. lihat juga Sibawaihi,
Hermeneutika al-Qur'a>n Fazlur Rahman, ( Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 54
27
masyarakat, agama, dan adat istiadat Arab pada saat datangnya
Islam, khususnya di Mekkah dan Madinah.18
B. Cara Mengetahui Asbab al-Nuzul
Sebagaimana telah disebutkan pada sub bab pengertian di
atas, bahwa untuk menghasilkan tafsir yang komprehensif, tidak
cukup hanya mengandalkan asba>b al-nuzu>l al-kha>s}s}ah
(mikro). Artinya penggunaan asba>b al-nuzu>l dalam
menafsirkan al-Qur'a>n bukan hanya melihat peristiwa yang
terjadi saat turun ayat, namun setting social masyarakat Arab
pada masa turunnya ayat juga diperlukan. Jadi, untuk
mengetahui asba>b al-nuzu>l, dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu periwayatan dan ijtihad.
1. Menelaah Asba>b al-Nuzu>l melalui Periwayatan
Asba>b al-nuzu>l selalu terkait berkelindan dengan masa
Rasulullah. Sehingga untuk mengetahui asba>b al-nuzu>l salah
satu cara yang perlu dilakukan adalah penelahaan seputar
periwayatan yang shahih dari para sahabat yang mendengar
atau menyaksikan langsung peristiwa tersebut. Atas dasar inilah
mayoritas ulama berpendapat bahwa asba>b al-nuzu>l hanya
dapat diketahui melalui periwayatan hadits. Hal tersebut terlihat
dari beberapa pendapat ulama 'Ulu>m al-Qur'a>n, seperti: al-
Wa>hidi>, menurutnya pernyataan tentang asba>b al-nuzu>l
18 Ibid, hlm. 59
28
tidak boleh diterima terkecuali berdasarkan periwayatan atau
pendengaran langsung dari orang-orang yang menyaksikan
turunnya ayat.19 Begitu juga halnya dengan al-Zarqani>y,
menurutnya: Tidak ada cara mengetahui asba>b al-nuzul kecuali
dengan periwayatan yang shahih dari sahabat yang mendengar
dan melihat langsung proses turunnya ayat al-Qur'an.20
Dari cara menelaah asba>b al-nuzu>l yang dikemukakan
oleh oleh salaf di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menelaah
asba>b al-nuzu>l tidak boleh menggunakan metode lain selain
riwayah. Ini berarti, akal tidak bisa berperan dalam menelaah
asba>b al-nuzu>l. Dari apa yang dikemukakan jelas terjadi
permasalahan karena tidak mungkin menelaah asba>b al-nuzu>l
tanpa memberikan peran akal, sebab tidak bisa mengetahui
otensitas dan mengkategorisasikan hadits asba>b al-nuzu>l
kalau tidak menggunakan akal. Di samping itu, Pendapat-
pendapat tersebut hanya mengacu kepada pemahaman asba>b
al-nuzu>l dalam arti yang sempit (mikro). Kalau dicermati secara
kritis, jika menelaah asba>b al-nuzu>l hanya dengan
menggunakan hadits-hadits yang hanya menginformasikan
peristiwa-peristiwa turun ayat dan mengabaikan realitas pada
waktu itu maka akan menimbulkan kesan ambigu sehingga
19 Jala>luddin as-Suyu>t}i, Luba>b al-Nuqu>l , hlm. 520Muhammad Abdul 'Az}im Al-Zarqani, Mana>hil al-'Irfan, hlm. 68
29
ruang lingkupnya sangat terbatas serta terjadinya pengabaian
terhadap asba>b al-nuzu>l.
Permasalahannya, ketika mereka berhadapan dengan
ayat yang turun dalam sebab yang khusus dengan
menggunakan lafaz} yang umum. Untuk mengantisapasi hal
tersebut, ulama salaf merumuskan kaidah "al-ibrah bi 'umu>m
al-lafaz} la bi khus}u>s} as-saba>b". Ini artinya, mereka tidak
lagi menggunakan asba>b al-nuzu>l dalam menafsirkan ayat
yang lafaz umum dan sebab khusus. Jika digunakan mereka akan
terjebak dalam pemahaman hukum yang temporal dan parsial.
Implikasinya, produk penafsiran hanya mengacu pada di sisi
gramatikal dan terkesan tekstual serta tidak mengakomodasi
perkembangan dan perubahan zaman. Akibat yang serius adalah
munculnya penghancuran terhadap hikmah pentasyrián secara
bertahap dalam masalah halal-haram, terutama berkaitan
makanan dan minuman, selain itu juga mengancam hukum itu
sendiri.21
Seperti ayat-ayat tersebut berikut ini:
1. QS. al-Baqarah [2]: 219
.......
Artinya:
21Nasr Hamid Abu Zaid, Textualitas, hlm. 135.
30
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah keduanya mengandung dosa besar dan manfaat bagi orang banyak, namun dosanya lebih besar dari pada manfaatnya (QS. al-Baqarah [2]: 219).
2. QS. an-Nisa’ [4]: 43
……
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat sementara kalian dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengetahui apa yang kalian katakan (QS. an-Nisa’ [4]: 43).
3. QS. al-Maidah [5]: 90-91
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Oleh karena itu jauhilah, semoga kalian beruntung. Setan hanyalah ingin menimbulkan permusuhan dan saling membenci diantara kamu melalui khamr dan judi, dan setan ingin menghalangi kalian dari ingat kepada Allah dan shalat. Oleh karena itu, apakah kalian bersedia menghentikannya? (QS. al-Maidah [5]: 90-91).
Ayat pertama tentang khamr (QS. al-Baqarah [2]: 219)
turun dalam kondisi masyarakat yang begitu keras memegangi
manfaat khamr, kemudian ditanamkan pemahaman dalam benak
mereka tentang manfaat dan dosanya dengan penegasan bahwa
dosanya lebih besar. Ayat kedua (QS. an-Nisa’ [4]: 43) mencoba
31
mengurangi intensitas minum khamr dengan larangan meminum
khamr sebelum masuk waktu shalat. Kondisi masyarakat saat itu
adalah minum khamr hampir sepanjang hari. Pengharaman
khamr baru dilakukan dengan turunnya QS. al-Maidah [5]: 90-91.
Apabila keumuman kata dijadikan pegangan, boleh jadi
orang akan mengambil ayat yang pertama atau yang kedua.
Akibatnya sangat membahayakan. Dari uraian tersebut juga
menunjukkan pengabaian fungsi asba>b al-nuzu>l sebagai
penjelas hikmah pensyariatan hukum. Untuk terhindar dari
problematika tersebut, maka menelaah asba>b al-nuzu>l tidak
memadai hanya mengandalkan periwayatan yang hanya melihat
peristiwa namun memerlukan adanya ijtihad untuk menelaan
setting-sosial.
Terlepas dari permasalahan tersebut, penelahaan asba>b
al-nuzu>l melalui periwayatan berarti menelaah asba>b al-
nuzu>l yang terdapat dalam hadits-hadits. Jadi, dikarenakan
mengetahui asba>b al-nuzu>l berkaitan dengan hadits, maka
permasalahan yang pertama sekali dihadapi adalah masalah
menentukan keshahihan hadits. Untuk memastikan keshahihan
hadits perlu dilakukan penyeleksian super ketat terhadap
riwayat-riwayat, yakni dengan memperhatikan sanad dan
matannya (muatan atau isi hadits). Hal ini akan dilakukan agar
tidak terjebak menggunakan hadits-hadits maud}u', karena
32
banyak sekali cerita-cerita biasa dikaitkan sebagai hadits yang
tujuannya hanya untuk mencari legitimasi mazhab atau
menjustifikasi pendapatnya. Apalagi persoalan asba>b al-nuzu>l
muncul pada masa tabi'in, yaitu masa bergejolak pertentangan-
pertentangan antar mazhab dikalangan umat Islam yang
mengakibatkan timbulnya truth claim dan saling mengkafirkan.
Berkenaan dengan masalah keshahihan hadits tentang
asba>b al-nuzu>l, Ibnu Shaleh, al-Hakim dan lainnya
menetapkan bahwa seseorang sahabat yang menyaksikan
turunnya wahyu, apabila mengabarkan tentang sebab turunnya
sesuatu ayat, maka khabarnya itu haruslah kita pandang hadits
yang musnad dan dihukum hadits marfu'. Sedangkan perkataan
tabi'in tidak dipandang sebagai riwayat yang shahih dalam
bidang ini, kecuali apabila dikuatkan oleh sesuatu hadits mursal
yang lain yang diriwayatkan oleh seseorang imam tafsir yang
diakui menerima tafsir dari sahabat, seperti Ikrimah, Mujahid,
Said bin Jabir, Atha, Hasan Basri, Said bin Musayyab dan Adl
Dlahak.22 Jadi, hadits yang berkenaan dengan asba>b al-nuzu>l
baru diterima apabila berasal dari sahabat yang melihat
peristiwa turunnya ayat al-Qur'an serta menolak periwayatan
yang berasal dari tabi'in, kecuali, apabila dikuatkan oleh bukti-
bukti sebagaimana telah disebutkan.
22St. Amanah, Pengantar Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, (Semarang: Adhi Grafika, 1993), hlm. 86
33
Selain masalah keotentikan hadits-hadits tentang asba>b
al-nuzu>l, problematika lain yang muncul adalah ragamnya
periwayatan dalam satu ayat atau sebaliknya. Berkenaan dengan
masalah tersebut, para ulama salaf sudah menetapkan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Bila riwayat yang satu berkualitas shahih sedang yang lain
dhaif, maka riwayat yang berkualitas shahih harus diambil
sebagai asba>b al-nuzu>l.
misalnya asba>b al-nuzu>l surat adh-Dhuha(93).
Diriwayatkan oleh Syaikhani (Bukhari dan Muslim) yang
bersumber dari 'Undub, berkata:
امرأة ليلة, أوليلتين, فأتته يقم فلم صلعم النبى أشتكى الله: والضحى فأنزل تركك قد إال شيطانك فقالت: ماأرى
وماقلى. ربك سجى, ماودعك إذا والليلArtinya:
Bahwa Nabi pernah kurang sehat sehingga meninggalkan shalat malam satu kali atau dua malam. Lalu datanglah seorang perempuan dan berkata: "Ya Muhammad, saya melihat syaitanmu (maksud perempuan itu ialah Malaikat Jibril) telah meninggalkan kamu". Maka allah menurunkan ayat "Wa al-ad}d}uh}a wa al-laili iz}a syaja, ma> wadda'aka rabbuka wama qala>". Dalam riwayat yang lain dikemukakan oleh ath-T}abrani
dari Abi Syaibah dari Hafsah bin Maisarah, dari Ibunya, dari
Ibunya Khaulah pembantu Rasulullah saw.
فمكث السرير, فمات تحت النبى, فدخل بيت دخل جروا أن : ياخولة, الوحى, فقال عليه الينزل أيام صلعم. أربعة النبى
فى اليأتينى! فقلت جبريل الله؟ رسول بيت فى ماحيث
34
تحت بالمكنسة فأهويت وكنسته البيت نفسى. لوهيأت لحبتة- صلعم-ترعد النبى الجرى, فجاء السرير, فأخرجت
الله"والضحى..., الى فأنزل أخذته الوحى عليه نزل إذا وكانفترضى. قوله
Artinya:Sesungguhnya rumah Rasulullah masuk anak anjing lalu anjing itu masuk di bawah tempat tidur lalu mati, sedangkan masa itu sudah empat hari tidak turun wahyu, lalu Nabi bersabda; Wahai Khaulah apa yang terjadi di dalam rumah ini sedang wahyu tidak datang kepadaku?, lalu Khaulah menjawab: Ketika saya membersihkan dan menyapu rumah, tersapu di bawah ranjang seekor anak anjing yang sudah mati lalu saya keluarkan. Pada waktu itu saya melihat tubuh Rasulullah saw gemetar kedinginan padahal beliau memakai jubah. Biasanya apabila wahyu turun badan Rasulullah gementar seperti itu. Maka allah menurunkan wahyu ""Wa al-ad}d}uh}a wa al-laili iz}a syaja" .
Dalam menentukan asba>b al-nuzu>l surat al-D}uha,
ulama 'Ulum al-Qur'an mengambil riwayat yang pertama
karena riwayat tersebut shahih. Sedangkan riwayat kedua
berstatus dha'if karena ada salah satu sanadnya tidak
jelas.23
2. Bila kedua-duanya shahih dan dapat diadakan tarjih, maka
yang pakai adalah riwayat yang lebih shahih. Hal ini
ditempuh dengan cara meneliti:
a. Semua sanad dan periwayatan
b. Bentuk redaksi yang dipakai oleh riwayat-riwayat yang
ada.
23Muhmmad Abu Syahab, al-Madkhal li Dirasati al-Qur'a>n al-Kari>m, (Mesir: tp.tt), hlm. 146
35
c. Siapa perawi yang langsung menghadiri peristiwa
turunnya ayat itu, ketika itu dia berumur berapa,
bagaimana pengakuan dia sendiri tentang ayat itu, dan
sebagainya.
Misalnya asba>b al-nuzu>l surat al-Isra'(17): 85. Hadits
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Mas'ud,
ujarnya:
عسيب على يتوكأ وهو بالمدينة صلعم النبى مع أمشى كنت خدثنا سألتموه, فقالوا لو بعضهم فقال اليهود من بنفر فمر حتى إليه يوحى أنه فعرفت رأسه ورفع ساعة فقام الروح عن
من وماأوتيتم ربى أمر من الروح قال: قل ثم الوحي صعدقليال. اال العلم
Artinya:
"Adalah aku berjalan bersama Nabi Saw. di Madinah, sedang beliau bertelekan atas suatu pelepah kurma. Maka beliau beberapa orang Yahudi lalu berkatalah sebagian mereka sesamanya: Alangkah baiknya kalau ada yang menanyakan sesuatu kepadanya (Muhammad). Karena itu mereka pun berkata: Ya Muhammad terangkanlah kepada kami tentang ruh. Maka Nabi pun berdiri sejenak dan mengangkat kepadanya lalu akupun mengetahui bahwasanya beliau lagi menerima wahyu, ingá naiklah Jibril. Kemudian Nabi pun membacakan: "Katakanlah, ruh itu dari urusan Tuhanku. Dan tiadalah diberikan ilmu kepada kamu melainkan sedikit.
Begitu juga dengan Hadits yang diriwayatkan oleh ath-
Turmudzi dari Ibnu Abbas, ujarnya:
فسألوه: الروح عن نسألوه شيئا ليهود, أعطونا قريش فقالالروح. االية. عن الله: ويسألونك فأنزل
Artinya:
36
Orang Quraisy berkata kepada orang Yahudi: Berikanlah kepada kami sesuatu yang akan kami tanyakan kepada orang ini. Maka orang Yahudi itu berkata: Tanyakan padanya tentang ruh. Mereka menanyakan kepada Nabi tentang hal itu. Maka Allah menurunkan "wa yasalu>ka 'an al-ru>hi" al-ayat.
Kedua hadits tersebut mengemukakan tentang turunnya
surat al-Isra' ayat 85, dan keduanya berstatus shahih.
Maka untuk menentukan yang mana dijadikan sebagai
pedoman bagi asba>b al-nuzu>l bagi ayat tersebut, para
ulama mengambil hadits yang pertama. Dengan alasan,
hadits pertama adalah pertanyaan orang Yahudi kepada
Nabi sedangkan kedua pertanyaan orang kafir Quraisy.
Oleh karena ayat tersebut turun di Madinah, maka hadits
yang pertama lebih kuat. Alasan yang lain, periwayatan
Bukhari lebih kuat dibandingkan dengan ath-Thurmidzi,
serta Ibnu Mas'ud merupakan orang yang melihat peristiwa
turun ayat tersebut, sedangkan Ibnu Abbas hanya
meriwayatkan tapi tidak menyaksikannya.24
3. Bila kedua-duanya shahih dan tidak dapat ditarjih, tetapi
masih bisa dikompromikan, maka riwayat-riwayat itu sama-
sama dipakai dan saling menjelaskan.
24Ibid, hlm. 147
37
Misalnya asba>b al-nuzu>l surat al-Nu>r(24): 6. Hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dari jalan Ikrimah yang
bersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata:
بن بشريك صلعم النبى عند امرأته قذف أمية ابن هالل أن : ظهرك, فقال فى أوحد صلعم, البينة النبى سحاء, فقال
يلتمس رجال, ينطلق امراته مع أحدنا وجد إذا الله يارسول ظهرك. فى صلعم, يقول: البينة, أوحد النبى فجعل البينة؟ ما الله لصادق, ولنزلن إنى بالحق بعثك هالل: والذي فقال
الله: "والذي جبريل, وانزل الحد: فنزل من ظهرى يبرىءالصادقين. لمن كان ...إن,, بلغ حتى أزواجهم.....,,فقرأ يرمو
Artinya:Sesungguhnya Hilal menuduh isterinya berzina dengan Syarik bin Siha' kepada Nabi saw, maka bersabdalah Nabi saw kepadanya: "Mana buktinya, kalau tidak ada maka punggungmu akan dicambuk". Dia berkata: "Ya Rasulallah, apabila salah seorang diantara kami melihat seorang laki-laki (lain) bersama isterinya, apakah ia harus mencari bukti (saksi) dulu? Maka Nabi pun bersabda: "Mana bukti (saksi)nya atau punggungmu dicambuk. Maka berkatalah Hilal: "Demi zat yang mengutus engkau dengan haq, sesungguhnya salah adalah seorang yang benar, mudah-mudahan Allah menurunkan sesuatu yang dapat membebaskan punggungku dari cambukan". Maka datanglah Jibril menyampaikan ayat "wa al-laz}i>na yarmu> azwa>juhum…,, lalu Rasulullah membacanya sampai ayat "in kana> lamina al-Shadiqi>n.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Syaikha>ni yang
bersumber dari Sahl bin Sa'd, ia berkata:
الله رسول عدى: فقال: أسأل بن عاصم عويمر,, الى,, جاء فتقتلونه: أم رجال..أيقتله؟ امرأته مع وجد رجال أريت صلعم الله رسول الله, فكره رسول عاصم فسأل به؟ يصنع كيف
الله رسول آلتين عويمرا, فقال: والله عاصم المسائل, فأخبر فيك, الله أنزل قد فسأله: فقال: إنه فألسألنه, فأتاه صلعمالقرآن..., صاحبتك وفى
Artinya:
38
'Uwaimir datang kepada 'Ashim bin Sa'd dan berkata: "Tolonglah saya, tanyakan kepada Rasulullah. Bagaiman pendapat engkau jika seorang laki-laki mendapati isterinya digauli oleh laki-laki lain, lalu laki-laki pertama tadi membunuhnya (laki-laki yang menggauli isterinya), apakah ia dihukum bunuh atau bagaimana ia harus bertindak ". Maka 'Ashimpun bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hal itu. Maka Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya telah turun ayat yang berkenaan dengan kamu dan isteri kamu.
Berkenaan dengan asba>b al-nuzu>l tersebut terdapat
adanya perbedaan sebab turun ayat. Dalam hadits
pertama, turunnya ayat disebabkan masalah Hilal yang
menuduh isterinya, sedangkan yang kedua berkenaan
dengan persoalan 'Uwaimir. Kedua hadits tersebut tidak
bisa ditarjihkan karena kedua-duanya shahih. Sebagai
solusinya, maka kedua hadits tersebut dikompromikan,
karena orang pertama yang punya peristiwa itu adalah
Hilal dan kebetulan juga 'Uwaimir datang menghadap
Rasulullah saw. maka turunlah ayat tersebut.25
4. Bila kedua-duanya shahih dan tidak dapat dikompromikan,
maka kedua riwayat tersebut sama-sama dipakai, dengan
ketentuan bahwa ayat itu telah turun lebih dari satu kali.26
25Ibid, hal. 149. lihat juga, Jala>luddin as-Suyu>t}i, Luba>b al-Nuqu>l , hlm. 396, dan Abdul Fata>h Abdul Ghani> al-Qa>d}i>, Asba>b al-Nuzu>l 'an al-S}ah}a>bah wa al-Mufassiri>n, (Mesir: Dar al-Sala>m, 2005), hlm. 156
26Ibid, hlm. 148
39
Misalnya asba>b al-nuzu>l surat al-Nahl(16): 126-127.
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan al-Bazzar
yang bersumber dari Abu Hurairah, ia berkata:
مثل أستشهد, وقد (حمزة) حين على وقف صلعم النبى أن جبريل-والنبى مكانك, فنزل منهم بسبعين ألمثلن به, فقال
بمثل فعاقبوا عاقبتم (النحل), وان سورة واقف-بخواتيمالسورة. آخر به..., إلى ماعواقبتم
Artinya:Bahwa Rasulullah saw. berdiri di depan mayyit Hamzah (pamannya) yang syahid dan rusak anggota tubuhnya, Rasulullah saw. bersabda; "Akan saya bunuh tujuh puluh orang dari mereka di tempatmu (ini)", lalu turunlah malaikat Jibril-sedangkan nabi masih berdiri- membawa wahyu "wa in 'a>qibtum fa'a>qibu> bimitsli ma> 'awa>qibtum bihi…., hingga akhir ayat.
Selain hadits yang pertama, juga terdapat dalam hadits
yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Hakim yang
bersumber dari Abi bin Ka'ab, ia berkata:
وستون, ومن أربعة األنصار من أصيب أحد يوم لماكان لئن األنصار حمزة, فمثلوابهم, فقال ستة, منهم المهاجرين
فتح يوم كان عليهم, فلما لنربين هذا مثل يوما منهم أصبناعاقبتم...., األية. وإن سبحانه الله أنزل مكة
Artinya:Ketika terjadi peristiwa perang badar, terkena musibah (gugurlah) 64 orang dari kaum Anshar dan enam orang dari kaum Muhajirin diantaranya ialah Hamzah (paman Beliau), kesemuanya dirusak anggota tubuhnya secara kejam. Maka berkatalah kaum Anshar: Sesungguhnya, jika kami memperoleh kemenangan pada suatu ari, niscaya kami akan berbuat lebih dari yang mereka buat". Ketika terjadi fath Mekkah Allah menurunkan ayat " wa in 'a>qibtum fa'a>qibu> bimitsli ma> 'awa>qibtum bihi….
Kedua hadits tersebut jelas sekali perbedaannya. Ditinjau
dari segi keotentikan keduanya shahih, maka tidak bisa
40
ditarjihkan. Begitu pula jika ingin dikompromikan juga tidak
bisa karena peristiwa dalam hadits yang pertama terjadi
pada waktu perang badar. Sedangkan peristiwa pada
hadits kedua terjadi pada masa fath Mekkah. Kedua masa
tersebut mempunyai rentang waktu yang sangat jauh.
Sebagai jalan tengah dari permasalah ini, para ulama
berinisiatif bahwa ayat tersebut turun dua kali, pertama di
waktu perang badar dan kedua waktu fath Mekkah.27
Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan suatu altenatif
yang ditawarkan oleh para ulama 'Ulum al-Qur'an untuk
mengantisipasi banyaknya periwayatan dalam satu ayat.
Ketentuan tersebut dikritik oleh Thabathaba'i, menurutnya:
Kebanyakan hadits ini menunjukkan bahwa perawi tidak meriwayatkan asba>b al-nuzu>l secara lisan dan tertulis, melainkan dengan meriwayatkan suatu kisah, kemudian menghubungkan dengan ayat-ayat al-Qur'an dengan kisah itu. Pada hakikatnya asba>b al-nuzu>l yang disebutkannya itu hanyalah didasarkan atas pendapat, bukan atas pengamatan dan pencatatan. Bukti pernyataan ini adalah banyaknya pertentangan di dalam hadits-hadits ini. Yakni satu ayat diberi keterangan yang saling bertentangan tentang sebab turunnya, dan sama sekali tidak bisa dipertemukan, sampai-sampai mengenai satu ayat diriwayatkan beberapa sebab.28
Dari pendapat tersebut, jelas sekali penolakan
Thabathaba'i terhadap hadits-hadits tentang asba>b al-nuzu>l.
Menurut penulis, tidak benar, bahwa semua periwayatan
dilaksanakan dengan tidak berhadapan muka, tidak memenuhi 27Muhmmad Abu Syahab, al-Madkhal , hlm. 150 28Allamah M.H. Thabathaba'i, Mengungkap Rahasia al-Qur'an, terj.
Hamim Ilyas, dkk, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 122
41
katagori al-tahammul dan tidak secara hafalan. Penelitian hadits
yang telah dilakukan oleh ulama, salah satu cara yang tidak
pernah ditinggalkan ialah dengan mengadakan jarh wa ta'dil
terhadap para perawi termasuk didalamnya hubungan antara
pemberi dengan penerima riwayat. Jadi, tidak semuanya hadits-
hadits tentang asba>b al-nuzu>l merupakan rekayasa atau
karangan para tabi'in. namun yang terpenting cara dalam
melakukan kritik terhadap hadits-hadits tersebut.
Selain masalah otensitas dan beragamnya periwayatan,
para ulama juga menentukan redaksi yang dapat memberi
petunjuk secara tegas tentang asba>b al-nuzu>l. adapun
bentuk-bentuk redaksi tersebut ialah:
1. Bentuk redaksi yang tegas berbunyi: كذا اآلية نزول سبب ...
2. Adanya huruf fa al-sababiyah yang masuk pada riwayat
yang dikaitkan dengan turunnya ayat. Misalnya: اآلية فنزلت ..
3. Adanya keterangan yang menjelaskan, bahwa Rasulullah
ditanya sesuatu kemudian diikuti dengan turunnya ayat
sebagai jawabannya. Dalam hal ini tidak digunakan
pernyataan tertentu.29
Adapun bentuk redaksi yang berbunyi: اآلية نزلت atau نزلت
فى اآلية هذه .., ulama berbeda pendapat dalam mengartikannya.
Menurut al-Zarkasyi dan al-Suyuthi, redaksi tersebut
29 Nasruddin Bailan, Wawasan Baru, hlm. 143
42
menunjukkan bahwa ayat yang disebutkan itu berkenaan dengan
hokum tertentu yang disinggung dalam pembahasan ayat
bukanlah sebagai sebab turunnya ayat.30 Menurut Ibnu Taymiyah
sebagaimana dikutip oleh Nasruddin Baidan dalam Wawasan
Baru Ilmu Tafsir: bentuk tersebut mengandung dua kemungkinan
petunjuk: Pertama; sebagai sebab turunnya ayat; dan Kedua;
sebagai sebab turunnya ayat; hal ini sama dengan pernyataan
yang berbunyi اآلية بهذه عنى (yang dimaksud dengan ayat ini..)31
Sedangkan menurut al-Zarqani, bentuk redaksi itu tidaklah
secara pasti menunjukkan sebab turunnya ayat, karena dapat
saja berarti sebagai petunjuk tentang kandungan ayat. Bila
ternyata ada qarinah yang menunjukkan sebab turunnya ayat,
maka barulah dipahami bahwa redaksi itu menunjukkan tentang
peristiwa sebab turunnya ayat.32
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat
dinyatakan bahwa bentuk redaksi yang berbunyi: اآلية نزلت atau
فى اآلية هذه نزلت pada umumnya bukanlah petunjuk kepada sebab
turunnya ayat, kecuali bila dibarengi dengan qarinah tertentu.
Dari qarinah itu barulah diketahui, setelah diteliti keterangan
30Lihat al-Zarqasyi>, al-Burhan fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, hlm. 31-32, dan al-Suyuthi, Luba>b al-Nuqu>l, hlm.7
31Nasruddin Bailan, Wawasan Baru, hlm. 142 32Al-Zarqani, Mana>hil al-'Irfan, hlm. 108
43
yang berkenaan dengan ayat yang bersangkutan, apakah
ungkapan itu menjelaskan tentang sebab turun ayat, atau bukan.
2. Menelaah Asba>b al-Nuzu>l melalui Ijtihad
Menelaah asba>b al-nuzu>l hanya mengandalkan
periwayatan ternyata tidak menyelesaikan problematika yang
didapatkan di saat menafsirkan al-Qur'an. Hal ini berimplikasi
pada keharusan adanya metode lain untuk mengantisipasi
problematika tersebut. Atas dasar itulah, ijithad merupakan
tawaran sebuah metode untuk menindaklanjutkan periwayatan.
Adapun yang dimaksud dengan ijtihad ialah pengerahan
kesungguhan dengan usaha yang optimal.33 Dalam konteks
asba>b al-nuzu>l, ijtihad merupakan mengkaji sebab turun ayat
dengan menelaah konteks.34 Namun perlu diketahui, yang
dimaksud dengan konteks di sini bukan sekedar peristiwa yang
melatarbelakangi munculnya satu teks, tetapi lebih tepatnya
adalah setting social-historis masyarakat Arab sebagai tempat
turunnya al-Qur'an.
33Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid Syari'ah Menurut al-Sya>tibi, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 109
34Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Modern. Dalam Amin Abdullah, dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga-Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 58
44
Urgensi dari perhatian terhadap social-historis karena
sebagian besar muatan al-Qur'a>n berkaitan dengan
kebudayaan yang sudah mengakar dalam masyarakat Arab
sebagai tempat turunnya wahyu. Ini artinya al-Qur'an turun
memberi respon terhadap kebudayaan tersebut dengan
melakukan kontruksi, rekontruksi dan dekontruksi. Atau dengan
kata lain, al-Qur'an memberikan solusi terhadap problem social
yang muncul pada saat itu.35
Jadi, turunnya al-Qur'an mengindikasikan ada proses
resiprokasi antara wahyu dengan realitas. Artinya, terjadi dialogis
antara ayat al-Qur'an dengan setting social-kultural masyarakat
Arab sebagai tempat turunnya wahyu. Hal ini terlihat banyaknya
adat istiadat Arab yang terekam dan berdialektis dengan al-
Qur'an. Adat istiadat tersebut meliputi berbagai bidang, baik
pranata keagamaan, social, ekonomi, politik, maupun hukum.
Dalam beberapa ayatnya, al-Qur'an bersifat apresiatif terhadap
budaya yang ada dengan menegaskan keberlakuannya dan
memberikan ketentuan-ketentuan baru di dalamnya. Dalam hal
ini, al-Qur'an menyempurnakan aturan-aturan yang sudah ada
sehingga masyarakat arab dapat melanjutkan kebiasaan
tersebut.
35Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur'an; Model Dialektika Wahyu dan Realitas, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 13
45
Berkenaan dengan masalah dialektika wahyu dengan
realitas, Ali Sadikin mengelompokkan sikap al-Qur'an dalam
merespon tradisi Arab kepada tiga kelompok, yaitu: tahmil
(menerima dan melanjutkan tradisi), tahrim (melarang
keberadaan tradisi), dan taghyir (menerima dan merekontruksi
tradisi).36
1. Tahmil (adoptive-complement)
Sikap ini ditunjukkan dengan adanya ayat-ayat yang
menerima dan melanjutkan keberadaan tradisi serta
menyempurnakan aturannya. Apresiasi tersebut tercermin dari
ketentuan atau aturan yang bersifat umum serta tidak merubah
paradigma keberlakuannya. Bersifat umum, artinya ayat-ayat
yang mengatur tidak menyentuh masalah yang mendasar dan
nuansanya berupa abjuran bukan perintah. Termasuk dalam
kelompok ini adalah masalah perdagangan dan penghormatan
bulan-bulan haram. Respon al-Qur'an terhadap kedua masalah
ini telihat apresiatif dalam pesan-pesannya. Seperti
membedakan praktek riba dengan jual beli, al-Quran
menyebutkan jual beli adalah halal dan riba itu haram.37 Dan
melarang melakukan peperangan di bulan haram (Dzulqaidah,
Dzulhijjah, dan Muharram) karena menghormati bulan tersebut.38
2. Tahrim (detructive)36Ibid, hlm. 116-117 37 Q.S. al-Baqarah (2): 275 38 Q.S. al-Baqarah (2): 194, 197, dan 217
46
Sikap ini ditunjukkan dengan melarang kebiasaan-
kebiasaan masyarakat Arab yang disertai dengan ancam bagi
yang melakukannya. Pelarangan yang dilakukan secara bertahap
dan manusiawi. Secara bertahap maksudnya, al-Qur'an tidak
langsung menetapkan hukum larangan dalam satu waktu,
namun mempunyai tahapan-tahapan. Secara manusiawi, artinya,
berusaha mengajak manusia berdialog tentang keberadaan
tradisi tersebut yang banyak mendatangkan kemudharatan. Jadi,
al-Qur'an tidak serta merta melarang tanpa menjelaskan dampak
negatifnya bagi masyarakat.39 Termasuk dalam masalah ini
adalah berjudi, minum khamr40, praktik riba41, dan perbudakan42.
3. Taghyir (adoptive-reconstruktive)
Taghyir merupakan sikap al-Qur'an yang menerima tradisi
Arab dan melakukan rekontruksi dengan memodifikasinya
sehingga berubah karakter dasarnya.43 Artinya al-Qur'an
mengakomodasi tradisi dan mengatur kembali dengan kerangka
baru. Secara simbolik, tradisi tersebut tetap dipertahankan, tapi
ketentuan-ketentuan yang berlaku diubah. Perubahan ini didasari
dampak nyata dari tradisi tersebut yang menimbulkan
ketidakstabilan social dalam masyarakat serta kemorosotan
39 Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur'an, hlm. 11740 Q.S. an-Nahl (16): 67, al-Baqarah (2): 2, an-Nisa' (4): 43, dan al-Maidah (5): 90-9141 Q.S. ar-Rum (30): 39, al-Baqarah (2): 275-276, 278-279.42Mengenai dengan pelarangan perbudakan, dalam al-Qur'an diapresiasikan dalam bentuk
persamaan derajat (Q.S. al-Hujarat (49): 11, anjuran memerdekakan budak (Q.S. al-Baqarah (2): 177, menikahi mereka lebih dari menikai orang musyrik (Q.S. al-Baqarah (2): 221).
43Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur'an, hlm. 130
47
moral. Banyak tradisi Arab yang mengakibatkan adanya
dominasi atau perlakuan tidak adil terhadap kelompok atau suku
tertentu. Namun keberadaan tradisi tersebut sudah menjadi
bagian yang tak dapat dipisahkan dari sistem social masyarakat,
sehingga al-Qur'an hanya mengontruksinya dengan tetap
mengakui keberadaanya.
Termasuk dalam kelompok ini adalah; Pakaian dan aurat
wanita, lembaga perkawinan, anak angkat, hukum waris, dan
qishash-diyat. Masalah pakaian, al-Qur'an merubah model
pakaian wanita Arab yang sebelumnya dianggap kurang sopan,
seperti pakaian panjang yang pakai tapi kelihatan betisnya, dada
terbuka tanpa ada kain penutup.44 Al-Qur'an merekontruksi
model berpakaian wanita Arab dengan model yang ditawar al-
Qur'an agar lebih sopan dan bermartabat.45 Masalah lembaga
perkawinan, al-Qur'an merubah kepada sistem yang lebih
manusiawi karena dalam perkawinan masyarakat Arab pra Islam
mahar diartikan sebagai alat transaksi yang diberikan kepada
wali dan laki-laki diperbolehkan berpoligami tanpa batas.46 Dalam
hal ini, al-Qur'an merekontruksi dengan sistem yang manusia,
seperti merubah paradigma mahar menjadi hadiah perkawinan
bagi perempuan.47 Membatasi poligami maksimal empat orang.48
44 Ibid, hlm. 12945 Q.S. al-Nur (4): 31, al-Ahzab (33): 5946 Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 5947 Q.S. al-Nisa' (4): 448 Q.S. al-Nisa' (4): 3
48
Adapun masalah warisan, al-Qur'an merubah tradisi dengan
memberikan hak kepada anak perempuan yang sebelum tidak
ada.49 Masalah adopsi anak, al-Qur'an merubah bahwa anak
angkat tidak bisa dijadikan anak kandung dan ia berbeda hak
dengan anak kandung.50 Mengenai dengan qishash, al-Qur'an
melegetimasi hukum qishash-diyat dengan pembalasan yang
seimbang.51
Selain dari itu, dialektika al-Qur'an dengan realitas juga
telihat dari ayat-ayat al-Qur'an diturunkan sesuai dengan watak
kepribadian masyarakat di mana al-Qur'an diturunkan, seperti
masyarakat Mekkah yang berprofesi sebagai pedagang yang
mengakibatkan mereka berpikir serba material, terjadinya
ketidakadilan, sulit menerima kebenaran, dan percaya pada
takhayul. Al-Qur'an datang meluruskan keyakinan mereka
dengan membawa ajaran tauhid, yaitu mentranformasikan
ajaran tauhid ke dalam masyarakat disesuaikan dengan tingkat
pemikiran mereka yang tujuannya untuk membebaskan mereka
dari ketergantungan terhadap segala aspek, baik ekonomi,
politik, social, maupun budaya.52 Masyarakat Madinah yang
heterogen, di mana terdapat banyak suku dan kelompok
masyarakat yang saling bermusuhan. Al-Qur'an datang
49 Q.S al-Nisa' (4): 1150 Q.S. al-Ahzab (33): 451 Q.S. al-Baqarah (2): 17852Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur'an, hlm. 90
49
menekankan reformasi struktural, baik politik maupun social
kemasyarakatan.53
Dengan melihat proses enkulturasi dan dialektika antara
social-kultural Arab dengan al-Qur'an menunjukkan, memahami
pesan al-Qur'an perlu adanya pengetahuan tentang konteks
pada masa al-Qur'an diturunkan. Di samping itu, pengetahuan
tentang konteks tidak terdapat dalam periwayatan, namun
hanya dapat digali lewat ijtihad dengan menganalisis historis-
sosiologis. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang asba>b al-
nuzu>l tidak cukup hanya dengan mengandalkan peristiwa yang
terjadi diwaktu turunya ayat, namun memerlukan pengetahuan
tentang setting social masyarakat Arab.
Hingga di sini dapat dipahami betapa pentingnya ijtihad
untuk menelaah sosio-histori sebagai konteks asba>b al-nuzu>l .
Persoalan yang kemudian muncul adalah, bagaimana proses dan
mekanisme sebuah ijtihad dalam menelaah asba>b al-nuzu>l ?
Untuk menjawab persoalan ini, ada baiknya kita melihat model
yang ditawarkan oleh Syatibi. Menurut asy-Syatibi langkah
pertama memposisikan al-Qur'an sebagai ajaran Islam yang
harus menjadi titik berangkat umat dalam menghadapi persoalan
atau lebih tepatnya disebut dengan normatif-deduktif. Untuk bisa
tercapai pemahaman yang komperehensif perlu adanya
53 Djaka Soetapa, Ummah Komunitas Religius, Sosial dan Politik dalam al-Qur'an, (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1991), hlm. 69
50
pemahaman tentang asba>b al-nuzu>l khas, kemudian
menggeneralisasi asba>b al-nuzu>l khas kepada asba>b al-
nuzu>l 'am atau melihat konteks social pada masa itu. Langkah
ini disebut dengan empiris-deduktif. Tujuannya bukan untuk
menemukan hukum, tetapi mencari tujuan hukum itu sendiri
(maqasid al-syari'ah), dalam bahasa Fazlur Rahman disebut
dengan terminologi ideal moral yang bertumpu pada prinsip
keadilan.54 Dengan demikian, yang perlu ditegakkan ditengah-
tengah masyarakat bukanlah hukum tapi mashlahat sebagai
wujud konkrit dari maqasid al-syari'ah atau moral itu sendiri.
Karena hukum dapat berubah dan harus diubah jika tidak lagi
mampu menopang terealiasasinya mashlahah dan moral dalam
kehidupan.
Penggunaan ijtihad dalam menelaah asba>b an-nuzu>l
sebenarnya telah dilakukan sejak lama oleh umat Islam, seperti
oleh Umar bin Khattab dari kalangan Khulafa Urrasyidin55. Dan
54Akh. Minhaji, Persoalan Gender dalam Perspektif Metodologi Studi Hukum Islam, dalam Ema Marhumah dan Lathiful Khuluq, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. (Yogyakarta: Kerjasama PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, McGill-ICIHEP dan Pustaka Pelajar , 2002), hlm. 205-206
55Dalam memahami al-Qur'an, Umar tidak hanya melihat makna teks dan peristiwa yang terjadi ketika al-Qur'an diturunkan (asba>b an-nuzu>l mikro), namun Umar juga mengkaji setting sosial masyarakat ketika al-Qur'an diturunkan (asba>b an-nuzu>l makro). Sehingga tidak mengherankan jika penetapan hukum yang dilakukan oleh Umar berbeda dengan masa Rasulullah saw. Seperti penghapusan pembagian zakat untuk kelompok mu'allafah qulubuhum. Pada masa Nabi saw. kelompok ini mendapatkan bagian zakat sesuai penegasan nas yang bertujuan mengajak manusia memeluk Islam di mana islam pada waktu itu dalam posisi lemah. Sedangkan pada masa Umar konteksnya berbeda dengan masa Rasul, di mana umat Islam dalam posisi kuat, maka pelaksanaan zakat dengan tujuan tersebut untuk sementara tidak dilaksanakan. Lihat Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid
51
Imam al-Syafi'i dari kalangan tabi'-tabi'in, dalam menjelaskan
asbab an-nuzul QS. Al-An’am (6):145.56 namun secara teoritis
baru dikembangkan oleh al-Syatibi. Dalam hal ini al-Syatibi
mengatakan, jika memahami ayat hanya terbatas pada peristiwa
(dalam istilah al-Syatibi "sabab al-khash"), maka pemahamannya
terkesan tekstual karena mereka terjebak dalam memahami ayat
yang lafazh yang umum dan sebab khusus. Misalnya dalam
menafsirkan surat al-Maidah ayat 44:
…….
Artinya:…..barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Menurut mayoritas ulama ayat ini dipahami berdasarkan ke
umuman lafafz bukan kekhususan sebab. Maka implikasi dari
penafsiran tersebut mengkafirkan yang bukan orang kafir.
Padahal ayat tersebut turun dalam konteks kelompok yahudi
yang menetapkan had bagi orang yang berzina dengan dipukuli
Syari'ah,…, hlm. 7 56Dalam menjelaskan asbab an-nuzul QS. Al-An’am (6):145 yang secara
lahiriah menyebutkan makanan yang dihalalkan Allah adalah bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan hewan yang disembelih tidak karena Allah. Ayat ini menurut Imam Syafi’i bukan merupakan pembatasan sesuatu yang diharamkan Allah sebagaimana pendapat Imam Malik, tetapi ayat ini turun berkaitan dengan situasi orang-orang kafir yang mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Pendapat Imam Syafi’i juga didasarkan pada urutan turunnya ayat dalam pelarangan khusus soal makanan adalah sebagai berikut:QS. al-An’am (6):145, QS. an-Nahl (16):115-116, QS. al-Baqarah (2):172-173, kemudian QS. al-Maidah (5):4. Ayatyang membatasi makanan yang haram adalah ayat yangturun terakhir, yaitu QS al-Maidah (5):4. Lihat Hamim Ilyas, Kajian…, hlm. 77-78. lihat pula Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas…,hlm.137-138.
52
dan dijemur. Lalu Rasulullah bertanya: "Seperti inikah hukum had
zina yang ada dalam kitab kalian. Mereka menjawab: Demi Allah
yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, beginilah had zina
yang kami temukan dalam kitab kami.57
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan
menelaah asba>b al-nuzu>l dengan ijtihad adalah untuk
menemukan ideal moral58 al-Qur'a>n atau maqasid al-syari'ah.
Hal ini dikarenakan ideal moral berlaku universal. Pada tataran
ini al-Qur'an dianggap berlaku pada setiap masa dan tempat
(shalih likulli zaman wa al-makan) serta al-Qur'a>n juga
dipandang elastis dan fleksibel. Di samping itu, identik Islam
dengan budaya Arab atau budaya Arab adalah Islam yang
memunculkan sebutan "kebudayaan Islam Arab"59 dapat
dihilangkan, sehingga menghasil tafsir-tafsir yang
mengakomodasi perubahan dan perkembangan zaman bukan
menolaknya.
Penelahaan asba>b an-nuzu>l dengan ijtihad berarti,
asba>b al-nuzu>l bukan dilihat dari segi pentingnya saja
melainkan masuk dalam aplikasi. Sehingga masalah keumuman
lafaz dan kekhususan sebab tidak menyebabkan pengabaian
57Abu Isha>q al-Sya>tibi, al-Muwa>ffaqa>t, hlm. 236. lihat juga Abdul Fata>h Abdul Ghani> al-Qa>dhi>, Asbab al-Nuzu>l, hlm. 93
58Ideal moral merupakan tujuan dasar moral yang dipesan al-Qur'a>n. lihat Sibawaihi, Hermeneutika al-Qur'an, hlm. 56
59Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), hlm. 87
53
terhadap asba>b an-nuzu>l . Dengan demikian kaidah yang
dipegang adalah "al-ibrah bi khushu>si al-saba>b la bi 'umu>mi
al-lafazh". Kaidah ini terindikasi dari pemahaman bahwa asba>b
an-nuzu>l bukan hanya melihat peristiwa atau melalui
periwayatan, tetapi setting social perlu diperhatikan.
Dalam mengaplikasikan kaidah "al-ibrah bi khushush al-sabab" perlu
mentransformasikan tujuan hukum dari realitas particular atau sebab khusus dan
menggeneralisasikan ke kondisi-kondisi yang menyerupainya melalui qiyas
(analogi). Namun perlu diperhatikan, dalam mentransformasikan dan
menggeneralisasikan dari realitas khusus ke realitas yang menyerupainya harus
disertai dengan tanda-tanda yang terdapat dalam struktur teks itu sendiri. Tanda
inilah yang akan membantu mentranformasikan makna dari yang khusus dan
particular ke yang umum dan menyeluruh.60
C. Urgensi Mengetahui Asbab al-Nuzul
Pentingnya asba>b al-nuzu>l dalam memahami ayat-ayat
al-Qur'an, ulama 'ulu>m al-Qur'a>n berbeda pendapat. Pendapat
tersebut dapat dikatagorikan kepada dua macam, yaitu:
Pendapat pertama mengatakan bahwa mengetahui asba>b al-
nuzu>l Sangat signifikan dalam menafsirkan al-Qur'an sehingga
tanpa memahami asba>b al-nuzu>l tidak mungkin menafsirkan
ayat-ayat al-Qur'a>n. Ulama yang berpendapat seperti ini
diantaranya; al-Wahidi, ia mengatakan, tidak mungkin
60Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur'a>n, hlm. 122
54
menafsirkan ayat al-Qur'a>n jika tidak mengetahui asba>b al-
nuzu>l.61 Pendapat al-Wahidi ini nampak bahwa asba>b al-
nuzu>l menjadi mutlak pentingnya dan tidak boleh dieliminir
dalam menafsirkan ayat. Artinya ayat al-Qur'a>n tidak akan
dapat ditafsirkan dengan benar jika tidak mengetahui asba>b al-
nuzu>l. Selain al-Wahidi, Ibn Taimiyah juga merupakan ulama
yang menganggap asba>b al-nuzu>l Sangat penting dalam
menafsirkan al-Qur'an, ia mengatakan pengetahuan tentang
asba>b al-nuzu>l membantu memahami ayat al-Qur'a>n.
Karena pengetahuan tentang sebab akan mewariskan
pengetahuan tentang akibat dari turunnya ayat.62 Pendapat Ibn
Taimiyah tersebut mempunyai perbedaan dengan pendapat al-
Wahidi, dalam pendapat Ibn Taimiyah asba>b al-nuzu>l hanya
sebagai alat bantu dalam memahami ayat al-Qur'a>n.
Begitu juga dengan pendapat Subhi As-Shalih,63 dan Hasbi
ash-Shiddiqiey64. Keduanya berpendapat bahwa asbab al-Nuzu>l
mempunyai peran penting dalam memahami ayat-ayat al-
61 Jalaluddin as-Suyuti, Lubab al-Nuqu>l , hlm. 5 62Ibn Taimiyah, Muqaddimah fi> Ushu>l al-Tafsi>r, (Kuwait: Da>r al-
Qur'a<n al-Kari>m, 1971), hlm.47 63 Menurut Subhi as-Shalih, mengetahui asbab al-Nuzu>l membantu
penafsir dari kebingungan, keragu-raguan dan terperosok dalam kesalahan. Lihat Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur'a>n, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 157
64Menurutnya memahami suasana-suasana ketika ayat itu diturunkan menolong kita untuk memahami dan merasakan sari pati dari ayat-ayat yang diturunkan dan membantu penafsir dalam menetapkan takwil yang lebih yang lebih tepat dan tafsir yang lebih benar bagi ayat-ayat. Lihat Hasbi ash-Shiddiqiey, Ilmu-ilmu al-Qur'a>n, hlm. 12
55
Qur'an. Di samping itu, az-Zarqani merincikan pentingnya
asba>b an-nuzu>l sebagai berikut:
1. Memberikan petunjuk tentang hikmah yang dikehendaki Allah atas apa yang telah ditetapkan hukumnya.
2. Memudahkan dalam memahami ayat serta menghilangkan kesukarannya.
3. Menghindarkan keraguan tentang ketentuan pembatasan (al-hasr) yang terdapat dalam al-Qur'a>n.
4. Membantu menentukan spesifikasi berlakunya suatu hukum (ini bagi pihak yang berpegang dengan kaidah "al-Ibrah bi khususi> al-Sabab la bi 'umumi> al-Lafad"..
5. Memberikan informasi yang akurat kepada siapa suatu ayat diturunkan, sehingga tidak terjadi salah paham.
6. Memudahkan pemahaman dan menguatkan ingatan terhadap kandungan wahyu, jika wahyu itu diketahui sebab-sebab kejadiannya.65
\Jikalau diperhatikan pendapat-pendapat mengenai
urgennya asba>b al-nuzu>l , maka jelas sekali konsep asba>b
al-nuzu>l yang mereka kembangkan yang hanya bertumpu pada
peristiwa turun ayat. Konsekuensinya dari pandangan tersebut
menjadikan al-Qur'an tidak elastis dan fleksibel.
Pendapat lain yang menganggap pentingnya asba>b al-
nuzu>l dalam memahami ayat al-Qur'a>n juga diakui oleh Nasr
Hamid Abu Zaid, menurutnya asba>b al-nuzu>l mempunyai
peran penting dalam memahami teks (al-Qur'a>n), karena
asba>b al-nuzu>l menunjukkan dan menyingkap hubungan dan
dialektika antara teks dengan realitas.66 Lebih lanjut ia
mengatakan, dalam pembacaan teks perlu diperhatikan konteks,
baginya antara teks dan realitas terdapat berbagai dialektis. 65 Muhammad Abdul 'Adhim Al-Zarqani, Manahil al-'Irfan, hlm. 6566Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur'a>n: Kritik terhadap Ulumul
Qur'an, Terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 115
56
Maksudnya bahwa teks terbentuk dalam realitas kebudayaannya,
namun pada saat yang sama ia sendiri membentuk realitas.67
Senada dengan pendapat tersebut, Fazlur Rahman juga
mengatakan asba>b al-nuzu>l memberikan pemahaman tujuan
dasar atau ideal moral dari tujuan turunnya ayat, maka oleh
sebab itu, untuk bisa memahami hal tersebut diperlukan
pemahaman akan situasi atau historisitas dimana pernyataan
tersebut merupakan jawabannya.68 Kedua tokoh kotemporer ini
secara subtansial sama dengan pendapat-pendapat di atas, yang
mana sagnifikansi asba>b al-nuzu>l dalam memahami ayat
adalah untuk memahami makna dari ayat yang diturunkan.
Artinya untuk memahami makna ayat al-Qur'a>n diperlukan
pengetahuan asba>b al-nuzu>l karena al-Qur'an turun bukan
dalam suatu masyarakat yang hampa budaya, namun al-Qur'a>n
turun dalam kelompok masyarakat yang bisa dikatakan sudah
mapan.
Dengan memperhatikan pendapat-pendapat kedua
kelompok pakar ulu>m al-Qur'an tersebut, maka dapat
67 Mengenai hubungan dialektik ini dicontohkan dengan adanya konsep wahyu dan jin yang diadopsi oleh al-Qur'a>n dari masa para Islam yang kemudian direkontruksi oleh al-Qur'a>n dengan cara yang berbeda dengan konsep masa pra Islam. Lihat Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur'an, Terj. Faisol Fatawi, (Yokyakarta: LKiS, 2003), hlm. 327
68Pemahaman Situasi dan Historitas oleh Fazlur Rahman di sebut dengan mikro dan makro, lihat Siwabaihi, Hermeneutika al-Qur'a>n Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 57
57
disimpulkan, pentingnya asba>b al-nuzu>l dalam menafsirkan
al-Qur'an adalah sebagai berikut:
1. Memudahkan memahami ayat al-Qur'an secara
komperehensif, karena banyak ayat-ayat yang tidak bisa
dipahami maknanya jika tidak mengetahui asba>b al-
nuzu>l.
2. Menjadikan al-Qur'an elastis dan fleksibel sehingga al-
Qur'an yang dikatakan "shalih likulli zaman wa makan"
bisa terwujud.
3. Mengetahui pesan moral dari suatu ayat karena pesan
moral bersifat universal dan relevan diterapkan dalam
kebudayaan yang particular.
4. Dapat menerapkan metode hermeneutik karena
memahami konteks merupakan salah satu langkah dalam
teori hermeneutik.
Sebagai ilustrasi dari pernyataan di atas, penulis akan
menyebutkan beberapa contoh ayat yang tidak bisa dipahami
secara tepat kecuali dengan menyertakan asbab al-Nuzu>l,
seperti memahami surat al-Baqarah ayat 158.
Artinya:
Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar allah. Siapa yang beribadah ají ke Baitullah dan ber-umrah,
58
maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya.Diinformasikan bahwa 'Urwah bin Zubayr merasa kesulitan
untuk memahami ayat tersebut karena dalam ayat tersebut
terdapat kata la juna>ha (tidak berdosa) yang memberikan
pengertian menafikan kewajiban sa'i. Zubair kemudian bertanya
kepada Aisyah r.a. tentang hal tersebut yang kemudian
menerangan bahwa kata la juna>ha tersebut tidak berarti
menafikan kewajiban melainkan menghilangkan perasaan
berdosa dan beban dari hati kaum muslimin ketika
melaksanaakan sa'i antara Safa dan Marwah, sebab perbuatan
itu termasuk tradisi jahilayah. Dalam riwayat disebutkan bahwa
di daerah Safa terdapat patung yang bernama Isaf dan di atas
Marwah ada patung lain yang bernama Nailah. Dulu pada masa
sebelum Islam, ketika orang-orang musyrik melakukan sa'i,
mereka melakukannya sambil mengusap kedua patung tersebut.
Setelah Islam datang kedua patung itu dihancurkan dan kaum
muslimin tidak lagi melakukan sa'i karena itu merupakan tradisi
Jahiliyah, sehingga turunlah ayat yang disebutkan di atas.
Surat al-Baqarah ayat 115, yaitu:
Artinya:'Dan bagi Allah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah.
59
Kalau ayat tersebut ditafsirkan secara tekstual, maka ayat
tersebut memberikan pengertian tidak ada kewajiban
menghadap kiblat dalam shalat, baik dalam keadaan sedang
berpergian atau tidak. Berdasarkan asbab al-Nuzul ayat tersebut
sebagaimana yang dikemukakan oleh Tirmidzi, ayat turun ketika
para sahabat bersama dengan Nabi saw. Melakukan perjalanan
dimalam hari yang gelap gulita, mereka tidak mengetahui arah
kiblatnya, kemudian mengerjakan shalat menghadap kiblat
menurut ijtihad mereka. Esok harinya dikemukakan kepada
Rasulullah saw.,69 maka turunlah ayat tersebut. Jadi, ayat
tersebut bukan bermakna tidak mewajibkan menghadap kiblat
ketika mengerjakan shalat, tapi boleh berijtihad mengenai arah
kiblat disaat tidak mengetahui arahnya dan tidak ada tanda-
tanda yang menunjukkan arah kiblat.
Surat Ali Imran ayat 188.
Artinya:
“Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang Telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu
69 Jalaluddin As-Suyu>ti, Riwayat Turunnya Ayat al-Qur'an, terj. M. Abdul Mujieb, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1986), hal. 37. Dalam shahih Bukhari, asbab al-Nuzul ayat ini berkenaan dengan Nabi pernah melakukan shalat sunat di atas kenderaan dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah dengan tidak menghadap kiblat namun Nabi menghadap ke arah kenderaannya melaju, ketika ditanyakan oleh Ibnu Umar, Nabi membaca ayat tersebut, Lihat Abdul Fata>h Abdul Ghani> al-Qa>dhi>, Asbab al-Nuzu>l 'an al-Shaha>bah wa al-Mufassiri>n, (Mesir: Dar al-Sala>m, 2005), hlm. 19
60
menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Q.S. Ali Imran: 188).
Ayat tersebut pernah salah ditafsirkan oleh Marwan bin
Hakam, ia menafsirkan ayat tersebut dengan penafsirannya
sendiri, dan dari ayat tersebut beliau beranggapan bahwa orang
yang senang dengan rizqi yang diberikan dan juga senang
dengan pujian atas sesuatu yang belum dikerjakan maka bakal
tertimpa adzab. Sehingga datanglah kepadanya Ibnu Abbas yang
menjelaskan kepada Marwan bahwa ayat tersebut diturunkan
berkaitan dengan ahli kitab. Ayat tersebut diturunkan ketika
Rasulullah bertanya kepada ahli kitab tentang suatu hal akan
tetapi mereka menjawab dengan jawaban yang lain.70
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa asbab al-Nuzul
tidak penting karena hal itu termasuk pengetahuan sejarah al-
Qur'a>n. Tokoh yang menganut paham ini, diantaranya:
Muhammad Syahrur, menurutnya al-Qur'an tidak memiliki asbab
al-Nuzul dengan kenyataan bahwa al-Qur'an diturunkan dalam
satu waktu berbentuk bahasa Arab pada bulan Ramadhan:
syahru ramadha>na al-ladzi> unzila fi>hi al-Qur'a>n (al-
Baqarah: 185), inna anzalnahu fi lailat al-Qadr (al-Qadr: 1).71
Alasan lain yang ia kemukakan terkait dengan masalah ini ialah;
70Roem Rowi, Menimbang Kembali Signifkansi Asba>b al-Nuzu>l dalam Pemahaman al-Qur'a>n, Jornal Ilmu-ilmu Keislaman, Menara Tebuireng, Vol.2, No. 2, Thn. 2006, hlm. 149
71 Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur'a>n Kotemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dkk, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008), hlm. 119
61
Kandungan al-Qur'an sudah terprogram di lauh al-Mahfu>z yang
tercermin dalam terminology kita>b al-maknu>n dan fi> ima>m
mubi>n.72 Dengan kata lain, sebelum proses tanzil, al-Qur'an
telah memiliki wujud tertentu (eksistensi pra-tanzil). Jadi
peristiwa yang terjadi dengan ayat yang diturunkan tidak ada
kaitannya, kalaupun ada kaitannya itu hanyalah hubungan
sebatas coincidence (kebetulan).
Jika diperhatikan argumentasi yang dikemuukakannya,
Shahrur menolak menggunakan asbab al-Nuzul dalam
menafsirkan al-Qur'a>n. baik itu asbab al-Nuzul dalam bentuk
mikro maupun makro. Penolakannya terhadap asbab al-Nuzul
dalam bentuk makro terlihat dari konsep qiyas (analogi) yang
ditawarkannya. Syahrur mengatakan;
Menganalogikan hal-hal yang terjadi pada masa sekarang (al-syahid) dengan peristiwa yang terjadi pada masa lalu (al-ghaib) adalah prinsip yang keliru dan tidak adil. Tidak dapat dibenarkan analogi problem masyarakat modern dengan masalah yang dihadapi masyarakat pada masa Nabi saw. Karena hal itu akan menghasilkan kesimpulan yang meragukan dan samar-samar. Qiyas yang valid adalah qiyas yang mengukur sesuatu atau pihak yang hadir saat sekarang dengan sesuatu yang lain yang hadir pada saat sekarang dalam lingkup batas-batas hukum Tuhan. 73
Argumentasi yang diutarakan Syahru>r tentang konsep
qiyas, nampak penelokannya terhadap signifikansi asbab al-
Nuzul dalam menafsirkan al-Qur'an karena tidak ada relevansi 72Ibid73Muhammad Syahru>r, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam
Kotemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dkk, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2007), hlm. 213
62
antara zaman masa Nabi dengan sekarang. Sebagai alternatif
lain, ia menawarkan teori batas (nazha>riyyah al-hudu>d)
sebagai solusi menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan
hukum. Sebagai contoh dapat dilihat dari caranya menafsirkan
ayat yang berkenaan dengan potong tangan bagi pencuri.
Hukum potong tangan sebagaimana yang tersebut dalam surat
al-Maidah (5): 38 merupakan batas maksimal dari sanksi yang
diberikan, sedangkan untuk batas minimalnya, yaitu
dipenjarakan. Mengenai dengan hukum penjara tidak disebutkan
dalam Umm al-Kitab sebagai bentuk hukum yang ditawarkan
oleh Allah. Tentang penjara ini, Allah menyebutkan dalam kisah
Yusuf sebagai bentuk hukum yang ditetapkan oleh penguasa
Mesir terhadap Yusuf pada waktu itu.74 Jika dibanding penafsiran
Syahru>r tentang hukum pencurian dengan penafsiran yang
menggunakan asbab al-Nuzul terdapat perbedaan dari metode-
metode yang digunakan. Bagi mufasir yang menggunakan asbab
al-Nuzul, menetapkan hukum penjara bukan berdasarkan ayat
tentang kisah Yusuf, tapi melihat situasi dan kondisi masyarakat
pada masa Nabi. Seperti penetapan hukum pencurian yang
ditetapkan oleh Umar bin Khattab.75
74Ibid, hlm. 226 75 Menurut Umar, penepatan hukum potong tangan pada masa Nabi,
karena perekonomian pada masa itu sangat mapan sehingga kalaupun ada pencurian bukan karena terpaksa. Hal ini berbeda dengan konteks pada masa Umar yang dilanda musim kemarau. Lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur'a>n:, hlm. 124
63
Dalam bukunya Metodologi Fiqh Islam Kotemporer, Syahrur
juga mengkritik penafsiran yang menggunakan asba>b al-
nuzu>l, menurutnya menafsirkan al-Qur'an dengan
menggunakan asba>b al-nuzu>l hanya akan menghasilkan
hukum-hukum yang tidak relevan dengan zaman sekarang.76
Menurut penulis, kritikan yang dilontarkan Syahrul hanya pada
batas penggunaan asba>b al-nuzu>l yang hanya melihat
peristiwa turunnya saja. Tapi sayangnya, Syahrur tidak melihat
asba>b al-nuzu>l dalam bentuk makro. Ini terlihat dari contoh
yang dikemukakannya yang berkenaan dengan masalah mawaris
yang berimplikasi kepada pandangan negatif masyarakat
terhadap perempuan.77
Selain Muhammad Shahrur, Muhammad Abduh juga
sependapat bahwa asbab al-Nuzul tidak penting dalam
penafsiran ayat al-Qur'an. Hal ini terlihat dari ciri-ciri penafsiran
menurut Muhammad Abduh yang diilustrasikan oleh M. Quraish
Shihab dalam "Studi Kritis Tafsir al-Mana>r". dalam karya
tersebut Quraish Shihab menjelaskan ciri-ciri penafsiran menurut
Muhammad Abduh78. Diantara ciri-ciri tersebut adalah: Pertama;
Memandang al-Qur'an sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang
serasi. Dari pandangan ini Muhammad Abduh menjalin hubungan
76Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kotemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: eLSAQ, 2004), hlm. 148
77 Ibid78Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 26
64
yang serasi antara satu ayat dengan ayat yang lain, dalam satu
surat, karena pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan
erat dengan tujuan surah tadi secara keseluruhan. Seperti
menafsirkan surat al-Fajr.79 Kedua; Ayat al-Qur'an bersifat umum.
Ini artinya Abduh lebih mengutamakan keumuman ayat al-
Qur'an. Berkaitan dengan masalah ini, Abduh bisa dikatagorikan
dalam kelompok yang menggunakan kaidah "al-'Ibrah bi
'umu>mi al-Lafaz la bi khushu>si al-Sabab, sebagaimana yang
dipahami oleh mayoritas mufassir. Namun bagi Abduh makna
"umu>mi al-Lafz" lebih diperluar lagi sehingga selama satu ayat
dinilainya dapat bersifat umum, maka keumumannya itu
dinyatakan, walaupun terkadang bertentangan dengan kaidah-
kaidah bahasa. Hal ini terlihat dari caranya menafsirkan surat al-
Lail ayat 15-17.80
Penolakan Muhammad Abduh terhadap pentingnya asba>b
al-nuzu>l, juga dikatakan oleh Nasruddin Baidan, menurutnya
Muhammad Abduh juga tidak sependapat dengan ulama yang
menganggap pentingnya asba>b al-nuzu>l dalam menafsirkan
ayat al-Qur'a>n, hal ini terlihat dari prinsip-prinsip pokok yang
79Dalam menafsir ayat tersebut M. Abduh mengatakan; Kata Laya>lin tidak mungkin terlepas dari pengertiannya dari kata "wal fajr". Lihat, Muhammad Abduh, Tafsir Juz 'Amma, terj. Muhammad Batir, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 153
80Menurutnya ayat ini bukan diturunkan kepada Abu Bakar, sebagaimana yang disepakati oleh ulama asbab al-Nuzul, namun kata Asyqa dan Atqa oleh Abduh dianggap mencakup semua orang dan semua masa selama ia memiliki sifat tersebut.Lihat, Ibid, hlm 207
65
dikemukakannya, yaitu: Pertama, Tujuh prinsip pokok dalam
menafsirkan al-Qur'a>n yang ditempuhnya, sama sekali tidak
menyebutkan asba>b al-nuzu>l. Kedua, Lima tingkatan tafsir
yang dinyatakan berkatagori tinggi (al-Martabat al-'U>la), sama
sekali tidak menyinggung asbab al-Nuzul.81 Pendapat Nasruddin
Baidan tentang Muhammad Abduh memang cukup beralasan
karena Muhammad Abduh tidak menyebutkan asba>b al-nuzu>l
dalam prinsip pokok menafsirkan al-Qur'a>n apalagi didukung
oleh kecendrungannya rasional dalam menafsirkan al-Qur'an.
Walaupun banyak bukti yang mengatakan Muhammad
Abduh tidak mementing asbab al-Nuzul, namun menurut penulis,
dari satu sisi Muhammad Abduh memang tidak menggunakan
asbab al-Nuzul sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits.
Tapi disisi yang ia mengakui pentingnya pengetahuan
pengetahuan historisitas Nabi dan Sahabat dalam menafsirkan
al-Qur'an. Hal ini terlihat dari salah satu katagorisasi tafsir
tingkat tinggi yang ia sebutkan.82 Jadi, penolakannya adalah
asbab al-Nuzul dalam bentuk mikro, tapi menerima asbab al-
Nuzul dalam bentuk makro.
Dari uraian pendapat-pendapat yang telah disebutkan di
atas, jelas sekali bahwa asbab al-Nuzul mempunyai sangat
signifikan dalam menafsirkan al-Qur'an karena pengetahuan 81Nasruddin Baidan, Wacana Baru Ilmu, hlm. 139 82Lihat Muhammad Abduh, Fatihat al-Kitab, (Kairo: Dar al-Tahrir, 1382),
hlm. 9-12
66
tentang konteks turun ayat mempermudah memahami ideal
moral dari ayat yang diturunkan sehingga al-Qur'an cocok
diterapkan dalam setiap masa dan tempat.
D. Aplikasi Asbab al-Nuzul dalam Menafsirkan al-Qur'an
Untuk mengaplikasikan asba>b al-nuzu>l sebagaimana
yang telah disebutkan, di sini penulis mengambil ayat tentang
hokum mawaris. Kemudian ayat-ayat tersebut dikaji berdasarkan
asba>b al-nuzu>l mikro dan digeneralisasikan dengan asba>b
al-nuzu>l makro. Adapun contohnya sebagai berikut:
Firman Allah; an-Nisa'(4): 11
Artinya:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
67
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad, Abu Daud, at-
Tirmidzi, dan al-Hakim yang bersumber dari Jabir. Jabir berkata:
"Isteri Sa'ed bin Ar-Rabi menghadap Rasulullah saw. lalu berkata:
"Ya Rasulullah, kedua anak perempuan saya ini adalah anad
Sa'ed bin Ar-Rabi' yang telah gugur sewaktu bersama engkau
diperang Uhud. Dan sesungguhnya paman kedua anak
perempuan itu mengambil harta bendanya dan tidak
ditinggalkannya sedikitpun harta, sedangkan mereka susah
nikah kecuali mereka memberikan harta benda". Maka Rasulullah
bersabda: "Allah akan memberikan keputusan hokum perkara
itu". Maka turunlah ayat tersebut.83
Jika ayat tersebut dipahami hanya berdasarkan peristiwa
yang melatarbelangi turunnya saja (asba>b al-nuzu>l mikro),
maka hukum yang ditetapkan adalah hak perempuan setengah
dari hak laki-laki. Dan itu sudah sesuai dengan redaksi ayat
(tekstual). Namun untuk mendapatkan pemahaman yang
komprehensif perlu kiranya menelaah sosio-histori masyarakat
Arab (asba>b al-nuzu>l makro). Untuk perempuan Arab di saat
al-Qur'an penetapan warisan setengah dari laki-laki yang
83 Jalaludin as-Suyuti, Riwayat turunnya, hlm. 143
68
diberikan kepada perempuan sudah merupakan suatu keadilan.
Karena keturunan laki-laki sangat penting artinya bagi bangsa
Arab. Keberlangsungan, kekuatan, dan keunggulan suku mereka
terletak ditangan generasi laki-laki. Laki-lakilah yang memiliki
peran dominan dalam kehidupan social.84 Di samping itu,
menjadikan bukti kepedulian al-Qur'an terhadap perempuan
yang sebelumnya tidak mendapatkan hak apa-apa dari kelompok
masyarakatnya.
Jadi, penetapan hukum warisan bagi perempuan Arab pada
waktu al-Qur'an bertujuan untuk memberikan keadilan dan hak
kepada perempuan. Jika penetapan hukum warisan sebagaimana
dalam masyarakat Arab ketika al-Qur'an diturunkan
ditranformasi ke dalam masyarakat yang berbeda sosio-
budayanya, maka akan menghasilkan hukum yang tidak relevan.
Untuk mendapat hukum yang relevan perlu kiranya melihat
maqashid al-syari'ah atau ideal moral dari ayat yang turunnya
karena ideal moral bersifat universal. Jadi, hak warisan laki-laki
lebih banyak dari perempuan dipaksakan untuk masyarakat yang
status perempuan berbeda dengan status perempuan pada masa
al-Qur'an diturunkan. Jika, hukum dipaksakan harus sebagai yang
terdapat dalam redaksi ayat (textual) yang hanya melihat
peristiwanya saja, maka penafsiran yang diproduk tidak mampu
84Ali Sodiqin, Antropologi al-Qura'an, hlm. 139
69
menjawab persoalan-persoalan umat yang terus mengalami
perubahan.
70