BAB II
Transcript of BAB II
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Bahan Baku
2.1.1 Buah Mangga
Tanaman mangga (Mangifera Indica L.) merupakan tanaman tropis yang tumbuh di
dataran rendah sampai 500 meter di atas permukaan laut dengan masa kering 3 bulan.
Tanaman mangga berasal dari negara India. Tanaman ini kemudian menyebar ke wilayah
Asia Tenggara termasuk Malaysia dan Indonesia.
Beberapa spesies yang biasa dimakan di Indonesia antara lain Mangifera Indica L.,
seperti mangga Arumanis, Dermayu, Manalagi, Golek, dan sebagainya. Secara umum
struktur anatomi buah mangga terlihat pada gambar 1.
Gambar1. Penampang buah mangga dan bagian-bagiannya
Kendati bentuk, ukuran, warna, dan citarasa buah mangga beragam, dari segi gizi
semuanya hampir tidak jauh berbeda. Mangga ranum segar mengandung air sekitar 82
persen, vitamin C 41 mg, dan energi/kalori 73 Kal per 100 gram. Pada setiap 100 gram
mangga muda, mangga yang masih mentah—terkandung air lebih kurang 84 persen, vitamin
C 65 mg, dan energi 66 Kal. Energi dalam mangga muda rendah karena lebih banyak
mengandung zat pati, yang akan berubah menjadi gula dalam proses pematangan.
Sebagian besar energi mangga berasal dari karbohidrat berupa gula, yang
membuatnya terasa manis. Kandungan gula ini didominasi oleh gula golongan sukrosa.
4
Kandungan gula dalam mangga berkisar 7-12 persen. Namun, jenis mangga manis dapat
mencapai 16-18 persen.
2.1.2 Biji Mangga
Biji mangga terletak di dalam kulit biji yang keras (endocarp) besarnya bervariasi.
Serat- serat yang asalnya dari kulit biji tersebut kadang-kadang dapat menembus ke daging
buah sehingga daging buahnya berserat, mak yang dimakan sering kali hanya cairannya. Biji
mangga umumnya terdiri dari dua keping yang berdaging, yaitu biji monoembrionik dan biji
poliembrionik.
Biji mangga dapat digunakan sebagai bahan pangan bagi manusia. Hal ini dapat
dilihat dari pembelajaran secara obektif mengenai karakteristik fisik, kimia maupun
kandungan nutrisi biji mangga, sehingga dapat disimpulkan bahwa biji mangga cukup
potensial untuk makanan. Adapun komposisi kimia dari biji mangga dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1. Komposisi kimia biji mangga
2.2 Mikroorganisme
Clostridium acetobutylicum adalah bakteri yang dapat mengubah zat pati menjadi
pelarut organik aseton dan butanol yang sangat bermanfaat untuk industri. Pembacaan genom
bakteri ini selesai pada tahun 1999. Dari informasi genomnya para ilmuwan berharap dapat
memahami biokimia dari bakteri ini, sekaligus meneliti kemungkinan menggantikan proses
5
Komponen Persentase (%)
Kadar abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
Serat kasar
Albumin dan Globulin
Pati
Glukosa dan Fruktosa
Daya cerna invitro
Glutelin
WSS (Water Soluble Solid)
2,46
7,93
6,83
73,09
1,02
9,95
70,76
0,1
69,19
73,55
12,14
produksi pelarut organik dengan menggunakan enzim rekombinasi dari bakteri ini dalam
skala industri. Saat ini proses produksi aseton dan butanol bersandar pada pemakaian minyak
dan gas. Inokulum Bakteri Tujuan utama pembuatan inokulum untuk fermentasi
menggunakan bakteri ialah menyediakan inokulum yang berada dalam keadaan aktif
sehingga dapat mempersingkat fase adaptasi pada waktu fermentasi.
Clostridium acetobutylicum juga memiliki pengertian sebagai berikut suatu bakteri
bernilai komersial, yang tergolong dalam genus Clostridium. Bakteri ini juga kadang disebut
“organisme Weizmann”, dari nama seorang ilmuwan dan politisi Yahudi Chaim Weizmann,
yang pada 1916 membantu menemukan bagaimana kultur C. acetobutylicum dapat digunakan
dalam industri seperti produksi mesiu dan TNT. Proses yang disebut proses A.B.E. ini
menjadi standar dalam industri hingga akhir 1940an, saat harga minyak yang rendah
menyebabkan proses berbasis cracking hidrokarbon dan distilasi minyak bumi menjadi lebih
efisien. C. acetobutylicum juga memproduksi asam asetat (cuka), asam butirat, karbon
dioksida dan hidroge.
Gambar 2. Clostridium acetobutylicum
Bakteri Ini memiliki ciri-ciri yaitu Clostridium acetobutylicum adalah basil Gram-
positif (1). C. acetobutylicum paling sering tinggal tanah, meskipun telah ditemukan di
sejumlah lingkungan yang berbeda. Hal ini mesofilik dengan suhu optimal 10-65 ° C. Selain
itu, organisme adalah saccharolytic (dapat memecah gula) (1) dan mampu menghasilkan
sejumlah produk yang berguna secara komersial yang berbeda; terutama aseton, etanol dan
butanol
C. acetobutylicum memerlukan kondisi anaerob untuk tumbuh dalam keadaan
vegetatif nya. Di negara-negara vegetatif, adalah motil melalui flagela di adalah seluruh
permukaan. Ini hanya dapat bertahan hingga beberapa jam dalam kondisi aerobik, di mana ia
akan membentuk endospora yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun bahkan dalam
6
kondisi aerobik. Hanya ketika spora berada dalam kondisi anaerobik menguntungkan akan
melanjutkan pertumbuhan vegetatif.
2.3. Produk
Biobutanol adalah butanol (C4H10OH) atau butil alkohol yang terbuat dari biomassa.
Biobutanol diproduksi dengan cara fermentasi mikroba, mirip dengan etanol dan dapat
diperoleh dari bahan baku seperti gula, starch, atau yang mengandung selulosa. Pada
perancangan pabrik ini digunakan tepung cassava sebagai bahan baku pembuatan butanol.
Butanol pada umumnya digunakan sebagai pelarut, bahan baku polimer, dan plastik. Tetapi
Butanol juga berperan baik sebagai bahan bakar jika dibandingkan dengan etanol karena
butanol memiliki beberapa kelebihan seperti biobutanol memeiliki beberapa karakteristik
fisika dan kimia yang lebih mirip dengan bensin sehingga tidak diperlukan pembangunan
infrastruktur dan transportasi yang baru, selain itu butanol tidak larut dalam air sehingga tidak
akan menyebabkan kororsi. Biobutanol memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
generasi pertama (bioetanol) seperti:
1. Biobutanol memiliki beberapa karakteristik fisika dan kimia lebih mirip ke bensin.
Hal ini menyebabkan tidak perlu membangun infrastruktur baru untuk transportasi.
2. Biobutanol juga tidak larut dalam air seperti bioetanol sehingga tidak mudah
menyebabkan korosi. Biobutanol dapat dicampur dengan bensin dalam kadar
bervariasi. Hal yang sama tidak dimungkinkan dengan bioetanol. Campuran bioetanol
bensin memiliki kadar bioetanol maksimum 10%. Lebih daripada itu harus ada
modifikasi khusus pada mesin kendaraan bermotor.
3. Akibat kandungan energi yang tidak jauh berbeda dengan bensin, maka campuran
bensin dan biobutanol lebih ekonomis daripada bensin campur bioetanol.
4. Secara lingkungan biobutanol lebih aman daripada bioetanol karena jika tumpah tidak
mudah mencemari air tanah akibat sifatnya yang menolak air.
5. Tekanan uap Reid butanol 7.5 kali lebih rendah daripada etanol sehingga butanol lebih
tidak mudah menguap ataupun meledak.
Perbandingan sifat butanol dibandingkan dengan bahan bakar lain dapat dilihat pada
Tabel 2.
7
Tabel 2. Perbandingan sifat butanol dengan bahan bakar lain
Selain beberapa kelebihan di atas, butanol memiliki beberapa kekurangan yaitu
viskositas lebih tinggi dan angka oktan yang lebih rendah dibandingkan bioetanol. Bahan
bakar yang memiliki angka oktan lebih rendah akan menghasilkan lebih banyak
knocking dan efisiensinya lebih rendah. Knocking dapat merusak mesin. Selain itu,
biobutanol lebih beracun daripada bioetanol.
2.4 Proses
2.4.1 Tahap Persiapan Bahan Baku dan Sterilisasi
Tepung biji mangga kira-kira sebanyak 4833.33 kg/jam diumpankan bersama-sama
dengan air ke dalam tangki pencampur untuk mencampurkan tepung dengan air.
Perbandingan air dan padatan agar memenuhi spesifikasi reaksi likuefaksi adalah 70:30.
Campuran tepung dan air ini kemudian dialirkan ke dalam pipa sterilisasi. Di dalam pipa
sterilisasi, tepung biji mangga disterilisasi agar larutan biji mangga benar-benar steril dari
segala jenis pengotor dan bakteri sebelum larutan mengalami tahap likuefaksi dan
sakarifikasi. Tahap sterilisasi berlangsung menggunakan steam dengan temperatur 130° C
pada tekanan 3.5 bar. Proses sterilisasi ini menghasilkan aliran keluaran berupa larutan biji
mangga yang sudah steril Larutan ini kemudian didinginkan sampai 60° C sebelum
memasuki reaktor likuefaksi.
2.4.2 Tahap Likuefaksi
Larutan biji mangga diumpankan ke dalam reaktor likuefaksi. Reaktor likuefaksi
terdiri dari 3 reaktor dengan kondisi temperatur yang berbeda-beda karena pemanasan
bertahap terbukti lebih efisien dalam konversi pati menjadi oligosakarida dengan
bantuan enzim alfa amilase.
a. Reaktor Likuefaksi 1
Reaktor likuefaksi 1 berupa reaktor slurry yang merupakan tempat berlangsungnya
pencampuran antara enzim alfa amilase dengan aliran pati pada tahap pemanasan awal, yaitu
mencapai 85° C. Reaktor ini beroperasi pada temperatur 85° C pada tekanan 8-10 atm. Waktu
tinggal alirannya 2 jam dengan pH aliran 6.
8
b. Reaktor Likuefaksi 2
Reaktor ini berupa reaktor pipa yang berfungsi sebagai pemanasan lanjutan larutan
pati dari 85° C menjadi 105° C dalam waktu yang relatif singkat (5 menit) pada tekanan 7-8
atm dengan pH dipertahankan 6. Aliran umpan adalah emulsi biji mangga-air yang sudah
bereaksi dengan enzim alfa amilase. Berbeda dengan reaktor sebelumnya, pada reaktor ini
tidak lagi terdapat enzim alfa amilase. Fungsinya hanya untuk memanaskan aliran pati agar
mencapai temperatur yang optimal untuk pembentukan oligosakarida.
c. Reaktor Likuefaksi 3
Reaktor ini berupa reaktor pipa di mana terjadi gelatinasi, yaitu proses perubahan pati
menjadi gula yang lebih sederhana, oligosakarida. Suhunya lebih redah dibandingkan reaktor
sebelumnya dan juga tidak terdapat enzim alfa amilase, yaitu 95° C. Namun, berbeda dengan
reaktor likuefaksi 2, reaktor ini memiliki panjang yang lebih besar disebabkan waktu tinggal
yang lama (2 jam) agar pembentukan gelatin dapat berlangsung maksimal. Reaktor ini
beroperasi pada temperatur 95° C pada tekanan 5-7 atm. Waktu tinggal alirannya 120 menit
dengan pH alirannya 6. Di reaktor ini, sekitar 97.7% pati berubah menjadi dekstrin,
sedangkan 2% dan 0,03% sisanya berubah menjadi maltosa dan D-glukosa. Umpan yang
berupa emulsi akan berubah menjadi gel karena proses gelatinasi pada suhu 85° C selama dua
jam. Produk keluaran reaktor adalah 70% air, 29% dekstrin, dan sisa-sisa dari senyawa
umpan.
2.4.3 Tahap Sakarifikasi
Produk hasil likuefaksi berupa campuran dekstrin, maltosa, dan D-glukosa terlebih
dahulu masuk ke dalam heat exchanger untuk didinginkan. Setelah didinginkan, campuran ini
kemudian masuk ke dalam reaktor kedua untuk mengalami sakarifikasi. Sakarifikasi
berlangsung selama 2 jam, pada pH 4,5 dan temperatur 60 C. Untuk mempertahankan pH
dari proses sakarifikasi ini maka digunakan pengontrol pH sehingga apabila reaksi
berlangsung dalam keadaan kurang asam akan segera dicampur dengan HCl, selain itu di
reaksi sakarifikasi ini juga berlangsung dengan bantuan enzim glukoamilase. Enzim
glukoamilase yang digunakan sebanyak 0.09% dari berat tepung biji mangga. Produk hasil
sakarifikasi adalah D-glukosa, maltosa, isomaltosa, dan dekstrin yang masing-masing
memiliki konversi 97%, 1.5%, 0.5%, dan 1%.
9
2.4.4 Fermentasi Tahap Pertama
Produk hasil sakarifikasi diumpankan ke dalam reaktor slurry yang disusun
paralel. Fermentasi tahap pertama ini berlangsung menggunakan bakteri Clostridium
tyrobutyricum. Reaksi di dalam reaktor berlangsung selama 10 jam pada temperatur 35 C, pH
5,4 dan tekanan atmosfer. Untuk mempertahankan kondisi pH maka di reaktor ini dipasang
alat pengontrol pH, apabila reaksi berlangsung dalam keadaan yang kurang asam maka akan
ditambahkan HCl secara otomatis. Nutrisi yang ditambahkan bersifat nonkontinyu
melalui pengontrol konsentrasi sel dalam reaktor. Jika pertumbuhan sel berada dalam
fase steady state, maka nutrisi baru akan ditambahkan. Hasil fermentasi tahap pertama ini
menghasilkan campuran asam butirat, asam aseton, air, dan sisa-sisa reaktan (protein, iso
maltosa, maltosa, lemak, dan dekstrin). Pada keluaran reaktor dipasang penyaring agar
tidak ada bakteri yang ikut dalam aliran keluaran. Reaksi pembentukan asam butirat dan
asam aseton dari glukosa adalah sebagai berikut :
C6H12O6 → C4H8O2 + 2CO2 + 2H2 (reaksi pembentukan asam butirat)
C6H12O6 → 3C2H4O2 (reaksi pembentukan asam aseton)
Gas CO2 dan H2 yang dihasilkan dikeluarkan lewat bagian atas reaktor menuju kompresor
untuk kemudian dipisahkan dengan membran dan dijual ke konsumen yang membutuhkan.
2.4.5 Fermentasi Tahap Kedua
Fermentasi tahap kedua ini berlangsung menggunakan bakteri Clostridium
acetobutylicum pada reaktor tipe slurry. Reaksi di dalam reaktor berlangsung selama 15 jam
pada temperatur 35 C, pH 5.4, dan tekanan atmosfer. Reaksi fermentasi ini mengubah
glukosa dan asam butirat menjadi larutan aseton-butanol-etanol (ABE) khususnya butanol.
Asam aseton yang berasal dari fermentasi 1 juga terkonversi menjadi aseton. Dari proses ini
dapat dihasilkan butanol sampai lebih dari 40% berat. Reaksi pembentukan aseton, butanol,
dan etanol adalah sebagai berikut :
Aseton : C6H12O6 + H2O → C3H6O + 3CO2 + 4H2
Butanol : C6H12O6 → C4H10O + 2CO2 +H2O
Etanol : C6H12O6 → 2C2H6O + 2CO2
Fermentasi kedua ini akan menghasilkan larutan ABE, sisa asam butirat, sisa asam aseton,
maltosa, isomaltosa, protein, lemak, dekstrin, sisa glukosa, gas CO2, dan H2O. Gas CO2
dan H2O akan mengalami perlakuan yang sama dengan sisa gas pada fermentasi 1.
10
2.4.6 Tahap Pengendapan Dalam Tangki Koagulasi
Tahap ini berfungsi untuk memisahkan produk fermentasi dari protein, lemak,
maltosa, dan isomaltosa. Pemisahan keempat komponen tersebut dilakukan dengan cara
pengendapan oleh koagulan. Koagulan yang digunakan adalah GDL (Glocono-Delta-
Lactone) untuk protein, chitosan untuk mengendapkan lemak, serta koagulan maltosa dan
isomaltosa.
Koagulasi dilakukan dalam sebuah tangki berpengaduk. Proses ini dilakukan dalam
sebuah tangki tertutup untuk menghindari polusi udara yang disebabkan oleh bau dari
aliran proses. Koagulan yang berupa padatan masuk melalui bagian samping tangki
sedangkan umpan dari bagian atas. Pipa keluaran cairan di bagian atas tangki sedangkan pipa
keluaran untuk hasil koagulasi yang berupa padatan di bagian bawah. Koagulasi terjadi
selama 1 jam pengadukan sehingga tangki koagulasi didesain untuk kapasitas selama 1 jam.
Tangki ini juga dilengkapi pengaduk yang berputar lambat untuk mempercepat terjadinya
pencampuran dengan koagulan yang ditambahkan.
2.4.7 Tahap Ekstraksi Cair-Cair
Proses ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan air dari butanol. Pelarut
yang digunakan pada proses ekstraksi ini adalah 2-etil-1-heksanol. Pelarut ekstraksi
(bisasanya larutan organik) dicampur dengan kaldu fermentasi. Kelarutan butanol terhadap 2-
etil-1-heksanol jauh lebih besar daripada kelarutannya terhadap air sehingga butanol
akan terkonsentrasi pada larutan organik. Sedangkan kelarutan zat lainnya terhadap air jauh
lebih besar daripada terhadap larutan organik sehingga zat yang terkandung dalam larutan
organik hanyalah butanol dan sejumlah kecil komponen lain yang jumlahnya dapat
diabaikan. Butanol kemudian dipindahkan dari kaldu fermentasi tanpa memindahkan
subsrat, air, ataupun nutrisi. Perolehan butanol yang terbawa oleh 2-etil-1-heksanol adalah
2.36%-berat. Proses ekstraksi ini berlangsung pada tekanan 2 atm dengan temperatur
ekstraksi 25° C. Produk atas berupa 2-etil-1-heksanol dan butanol, sedangkan produk
bawah adalah campuran air dengan asam aseton, asam butirat, aseton, dan etanol.
2.4.8 Distilasi Campuran Butanol dan 2-Etil-1-Heksanol
Tahap distilasi ini dilakukan untuk memisahkan 2-etil-1-heksanol dengan butanol
yang berasal dari tahap LLE. Kolom distilasi ini didesain menggunakan stainless steel 304
karena komponen-komponen yang masuk ke dalam kolom distilasi ini masih mengandung
asam walaupun dalam jumlah yang sedikit. Bagian atas kolom distilasi pertama beroperasi
11
pada tekanan 1.5 bar dan temperatur 129° C, sedangkan bagian bawah kolom distilasi
beroperasi pada tekanan 5 bar dan temperatur 254° C. Produk atas hasil distilasi ini adalah
biobutanol yang akan dijadikan sebagai bahan bakar, sedangkan produk bawah kolom
distilasi ini adalah 2-etil-1-heksanol.
12