BAB I - UMM

28
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aceh merupakan sebuah provinsi yang terletak di ujung barat wilayah Republik Indonesia dengan penduduk sebagian besar beragama Islam dan daerah yang memperkuat peraturan Islam atau yang disebut syariat Islam dalam menjalankan roda pemerintahan, dari kekentalan peradaban masyarakat tersebut khususnya berkaitan dengan agama menjadikan salah satu bukti bahwa Aceh merupakan salah satu daerah sangat unik dan berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia maupun di Negara-negara lain di Dunia. Keunikan tersebut, diantaranya terlihat dari penerapan syariat Islam sebagai sendi-sendi sosial maupun sendi-sindi politik masyarakat Aceh mulai sejak berdirinya Kerajaan Aceh Islam telah dijadikan sebagai Ideologi Negara, terutama pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, salah satunya adalah bentuk pemerintahannya yang mengikuti model kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Istilah-istilah lembaga Negara juga banyak diadopsi dari istilah kerajaan Islam di Timut Tengah, seperti: menteri digelar dengan wazir, Kepala Mahkamah Agung dinamakan dengan qadhi maikul adil, mentri keuangan dengan nama wazir dirham, kas Negara dinamakan dengan baitul mal 1 . Dalam Qanun Al-asyi (Qanun Syarak Kerajaan Aceh) 1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII , Bandung, Mizan 1994, hlm. 166 dan 189.

Transcript of BAB I - UMM

Page 1: BAB I - UMM

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aceh merupakan sebuah provinsi yang terletak di ujung barat wilayah

Republik Indonesia dengan penduduk sebagian besar beragama Islam dan daerah

yang memperkuat peraturan Islam atau yang disebut syariat Islam dalam menjalankan

roda pemerintahan, dari kekentalan peradaban masyarakat tersebut khususnya

berkaitan dengan agama menjadikan salah satu bukti bahwa Aceh merupakan salah

satu daerah sangat unik dan berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia maupun

di Negara-negara lain di Dunia.

Keunikan tersebut, diantaranya terlihat dari penerapan syariat Islam sebagai

sendi-sendi sosial maupun sendi-sindi politik masyarakat Aceh mulai sejak berdirinya

Kerajaan Aceh Islam telah dijadikan sebagai Ideologi Negara, terutama pada masa

pemerintahan Sultan Iskandar Muda, salah satunya adalah bentuk pemerintahannya

yang mengikuti model kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Istilah-istilah

lembaga Negara juga banyak diadopsi dari istilah kerajaan Islam di Timut Tengah,

seperti: menteri digelar dengan wazir, Kepala Mahkamah Agung dinamakan dengan

qadhi maikul adil, mentri keuangan dengan nama wazir dirham, kas Negara

dinamakan dengan baitul mal1. Dalam Qanun Al-asyi (Qanun Syarak Kerajaan Aceh)

1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,Bandung, Mizan 1994, hlm. 166 dan 189.

Page 2: BAB I - UMM

2

ditetapkan bahwa dasar ideologi kerajaan Aceh adalah Islam dengan sumber

hukumnya adalah: Al-qur’an (firman Allah); Al-Hadits; Ijma’ ulama dan Qiyas 2.

Disisi lain Aceh juga unik dalam hal tata pebagian kekuasaan, hal itu dapat

dilihat dari susunan pemerintahan wilayah kerjaan Aceh dibagi atas: Gampong

dekepalai oleh (Geuchik/Keuchik), Mukim (Imuem Mukim), Nanggroe (Ulee balang),

Sagoe (Panglima Sagoe), dan Kerajaan (Sultan).3 Kemudian potret keunikan Aceh

juga terjadi awal kemerdekaan Indonesia, dimana Aceh berhasil berperan menjadi

”daerah modal” bagi bangsa Indonesia untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan

karena Aceh adalah satu-satunya wilayah yang tidak dapat dikuasai penjajah, ketika

hampir seluruh wilayah Indonesia kembali dikuasai Belanda.

Kemudian juga keunikan Aceh dalam penyumbangan untuk kemajuan bangsa,

dimana pada saat keterpurukan bangsa pasca kemerdekaan, Aceh tidak hanya dapat

mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan pertahanan perang, tetapi juga

mampu membelikan dua pesawat jenis dakota dari rakyat Aceh kepada pemerintah

RI, yakni Seulawah RI-001 dan Dakota RI-002, ditambah dengan sebuah pesawat

jenis Avro Anson RI-004 dari pengusaha-pengusaha Aceh yang dibeli di Thailand4.

2 A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta, Beuna, 1983 Hlm.69 atau A. Hasjmy, SulatanIskandar Muda Meukuta Alam, Jakarta, Bulan Bintang Hl. 72. Ijma’ ulama adalah kesepakatan(consensus) para mujtahid kaum muslimin disuatu masa peninggalan Rasulullah SAW. Terahadapsuatu hokum syar’I mengenai suatu peristiwa. Sedangkan qiyas adalah mempersamakan suatuperistiwa yang belum ada ketentuan kongkrit dalam nash (Al-Qur’an dan hadits) dengan suatuperistiwa yang sudah ada ketentuan dalam nash3 A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Jakarta, Bulan Bintang,1977, Hlm133-134.4Aceh touris Magency, http://acehtourismagency.blogspot.com/2012/08/ri-001-seulawah-pesawat-angkut-pertama.html, Agustus 2012

Page 3: BAB I - UMM

3

Atas dasar keunikan-keunikan tersebut dan balasan jasa atas apa yang telah

diberikan Aceh terhadap kedaulatan Indonesia sudah sepantasnya Aceh diberikan

porsi yang lebih besar terhadap pengakuan Negara sebagai daerah yang khusus dan

istimewa. Presiden Soekarno sebagai kepala negara datang ke Aceh pernah berjanji

sambil bersumpah. “Wallahi, Billahi, demi Allah, kepada daerah Aceh akan diberikan

hak menyusun rumah tangganya sesuai dengan syariat Islam. Disaat yang sama juga

Soekarno memuji rakyat Aceh bahwa “rakyat Aceh adalah pahlawan, rakyat Aceh

adalah contoh perjuangan kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia”5.

Janji Soekarno tersebut secara garis besar telah mengabulkan dan mengakui

kearifan lokal di Indonesia khususnya bagi pemerintahan Aceh yang didasari oleh

keunikan dan jasa-jasa terhadap Negara Indonesia, salah satu pengakuan negara

terhadap keunikan-keunikan tersebut adalah dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945

Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yang mempunyai hak asal-

usul yang bersifat istimewa.

Pengakuan terhadap keistimewaan dan kearifan local melalui UUD 1945,

salah satu implikasi kekhususan dan keistimewaan yang dimanfaatkan oleh

pemerintah Aceh adalah memperkuat konstruksi dan kedudukan mukim yang

merupakan sebuah tatanan pemerintahan. Peran dan kedudukan Mukim dalam

mengatur masalah prosesi shalat Jum’at dan mengatur masalah-masalah hukum adat

yang terjadi di masyarakat tetap dihormati oleh negara, bahkan Kepala Mukim atau

disebut Imeum (Imam) mukim. Imeum Mukim yang bertindak sebagai pemimpin

5 Rusdi Sufi, Dalam Seminar 5 Tahun Memperingati Perdamaian Aceh, di Yogyakarta, 15 Agustus 2011

Page 4: BAB I - UMM

4

shalat pada setiap hari Jum’at di mesjid dan juga menyelesaikan masalah adat yang

terjadi baik antar gampong maupun antar mukim itu sendiri juga tetap berjalan

ditengah-tengah masyarakat.

Peran dan kedudukan mukim tersendiri tidak berubah ideologi Islam atau

Syari’at dalam struktur pemerintahannya. Paling tidak ada tiga hal yang menunjukkan

keberadaan pemerintahan mukim pada masa pra kemerdekaan sebagai lembaga yang

berideolagi Islam, yaitu: Pertama, memperhatikan syarat-syarat keagamaan yang

harus dipenuhi oleh para pimpinan pada tingkat mukim dan gampong dimana kepala

mukim dan juga gampong harus betul-betul memahami Al-Qu’an dan Hadits serta

Ijma’ sebagai orang yang dituakan dalam mengatur wilayahnya.

Kedua, dapat dilihat dalam sistem pengelolaan tanah-tanah umum yang belum

dimiliki oleh siapapun, yang oleh masyarakat Aceh disebut sebagai tanoh Potallah

atau tanah milik Allah6. Dalam hal ini, siapa yang menghidupkan dan mengusahakan

tanah mati tersebut, dialah yang berhak atas tanah tersebut, untuk dimiliki atau

dialihkan kepada orang lain, tentu saja setelah syarat-syarat adat terpenuhi. Ketiga,

dalam penyelesaian sengketa yang mengedepankan perdamaian melalui

musyawarah7.

Sebelum diberlakukannya UU No 5 Tahun 1979 mukim masih memainkan

peran penting dalam kehidupan masyarakat Aceh untuk mengatur rumah tangganya

6 J.J.C.H. Van Waardenburg, Pengaruh Terhdap Adat Istiadat, Bahasa dan Kesusastraan Rakyat Aceh,Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, banda Aceh, 1979, Hlm. 387 Sanusi M. Syarif., 2005, Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami, Bogor,Pustaka Latin, hlm. 63.

Page 5: BAB I - UMM

5

sendiri yang mandiri seperti mengatur masalah adat, masalah kukum dan juga

masalah sosial, hal itu juga terlihat dari proses kepercayaannya masyarakat terhadap

keberdaan pemerintahan mukim dalam struktural pemerintahan Aceh.

Adapun hal-hal yang diatur pemerintahan mukim pada masa sebelum

diberlakukannya UU No 05 Tahun 1979 adalah hal berkaitan dengan adat istiadat bila

terjadi persengketaan atau perselisihan antara masyarakat atau antar gampong yang

tidak dapat dipecahkan oleh gampong maka hal tersebut dilimpahkan ke mukim,

mukim juga ikut mengatur pemanfaatan kawasan bersama berupa padang meurabe

(area mengebala), gle (hutan), blang (sawah) atau tanah-tanah yang berada dibawah

penguasaan mukim atau juga berada diluar penguasaan gampong, dan juga mengatur

masalah yang berkaitan masalah hukum, mukim menjadi tempat penyelesaian

berhubungan agama, warisan, pernikahan, pasakh, rujuk, serta mengurus harta umat

(wakaf) yang berada dibawah penguasaan mukim8.

Namun kemerosotan peran dan eksistensi mukim sejak diberlakukan UU No 5

Tahun 1979, dimana pada masa itu keberadaan pemerintahan mukim yang begitu

diakui oleh masyarakat Aceh sacara administrasi maupun secara adat, namun

dijawantahkan oleh pemerintah pusat dengan menyamaratakan struktur pemerintahan

dari Sabang hingga Marauke. Dalam undang-undang tersebut karakteristik

kekhususan dan keitemewaan lokal di Indonesia khususnya Aceh dibiarkan tanpa

dipayungin hokum dan tidak diakui keberadaannya secara legalitas, khususnya

8 Sanusi M. Syarif., 2005, Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami, EdisiRevisi, Banda Aceh, Pustaka Rumpun Bambu, hlm. 67

Page 6: BAB I - UMM

6

terhadap eksistensi keberadaan pemerintahan mukim di Aceh, sehingga tugas dan

wewenang pemerintahan mukim menjadi tidak jelas baik secara politis maupun

secara administratif. Masa itu mukim hanya sebagai seremonial di tingkat kecamatan

dan kadang-kandang kalau ke kecamatan dititipi surat untuk Geuchik di wilayahnya9,

Hal ini menepisnya keberadaan pemerintahan mukim oleh negara, namum secara

sosiologi mukim tetap diakui oleh masyarakat.

Setelah runtuhnya orde baru eksistensi pemerintahan mukim diakui kembali

dengan memperkuat kedudukan mukim atas dasar Undang-undang No 18 Tahun

2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasal 1 ayat 12 mukim adalah kesatuan

masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas

gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta

kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah kecamatan/sagoe cut atau nama

lain, yang dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain10. Untuk mempertegas dan

memperkuat keberadaan pemerintahan mukim secara spesifik pemerintahan Aceh

mengeluarkan Qanun No 4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim Dalam

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara khusus, agar kedudukan lembaga mukim

tetap menjadi salah satu kebanggaan Aceh yang tidak bisa dipisahkan secara politik

maupun sosial.

9 Ibid, Hlm. 6910 Undang-undang No 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa AcehSebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 7: BAB I - UMM

7

Kekhususan Aceh dalam memperkuat lembaga pemerintahannya sesuai

kearifan lokal dipertegaskan lagi melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh diantaranya adalah, diakuinya keberadaan lembaga-

lembaga adat Aceh secara resmi. Dalam BAB XV Mukim dan Gampong Bagian

kesatu Pasal 114 jelas disebutkan bahwa: (1). Dalam wilayah kabupaten/kota

dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong, (2). Mukim dipimpin oleh

imeum mukim sebagai penyelenggara tugas dan fungsi mukim yang dibantu oleh

tuha peuet mukim atau nama lain., (3). Imeum mukim dipilih melalui musyawarah

mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun., (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai

organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun

kabupaten/kota., (5). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan imeum

mukim diatur dengan Qanun Aceh11.

Lahirnya UU No 11 Tahun 2006 semakin memperkuat kedudukan Otonomi

khusus di Aceh yang tidak hanya pada lembaga pemerintahan mukim tetapi juga pada

kontek lain, diantaranya ada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan

pemerintah Aceh secara khusus baik dalam sebutan nama maupun dalam

pelaksanaan, diantaranya adalah pengakuan negara terhadap kekhususan Aceh yaitu

berhak membentuk lembaga wali nanggroe, melaksanakan Syari’at Islam, memiliki

bendera, lambang dan hymne daerah sebagaimana yang dimasud dalam ketentuan

UU No. 11 Tahun 2006.

11 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)

Page 8: BAB I - UMM

8

Ada beberapa kekhususan lainnya juga yang sangat berbeda dengan otonomi

daerah lain atau yang dsebut dengan desentralisasi Asimetris di Indonesia, antaranya

yang diberikan oleh Pemerintah terhadap Provinsi Aceh sebagaimana yang terdapat

dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut:

a. Pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan,

mukim, kelurahan dan gampong12, mukim merupakan kesatuan masyarakat

hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong.

Sedangkan kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang

berada di bawah mukim13.

b. Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh pemerintah dilakukan dengan konsultasi

dan pertimbangan DPRA. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama

dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan

pemerintah pusat. Dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa

pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

12 Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 200613 Lihat: Pasal 1 angka 19 dan angka 20 j.o Pasal 114, Pasal 115 UU No. 11 Tahun 2006. Bandingkandengan UU No. 32 Tahun 2004 yang membagi suatu daerah dalam wilayah propinsi, kabupaten/kota,kecamatan dan desa/kelurahan. Desa/kelurahan merupakan kesatuan masyarakat hukum yangterkecil dalam pembagian wilayah suatu daerah lain yang memiliki kesamaan dengan gampong ataukelurahan di NAD. Kesamaan tersebut misalnya terletak pada masa jabatan pemimpinnya (kepaladesa/kepala gampong) sama-sama 6 tahun. Kepala desa atau kepala gampong sama-sama dipilihsecara langsung. Serta sama-sama memiliki sekretaris desa atau sekretais gampong yang berasal dariPNS. Lihat Pasal 115, Pasal 116 dan Pasal 117 UU No. 11 tahun 2006 dan bandingkan dengan Pasal202, Pasal 203 dan Pasal 204 UU No. 32 Tahun 2004.

Page 9: BAB I - UMM

9

serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan

seni, budaya, dan olah raga internasional14.

c. Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak

antara lain; mengikuti Pemilu daerah untuk memilih anggota DPRA dan

DPRK; mengusulkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, calon

bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh15.

d. Di Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah

Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai

pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota sebagai

pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,

mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal

al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah

(hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang

ditetapkan berdasarkan Qanun16.

e. Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk lembaga,

badan dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK17. Di Aceh terdapat

institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja

14 Lihat: Pasal 8 ayat (1) UU No. 11 Tahun 200615 Lihat: Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun 200616 Lihat: Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 200617 Lihat: Pasal 10 UU No. 11 Tahun 2006

Page 10: BAB I - UMM

10

Pemerintah Aceh, kabupaten/kota dan DPRA/DPRK18, Lembaga Wali

Nanggroe dan Lembaga Adat19, Pengadilan Hak Asasi Manusia20, Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi21, dan unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai

bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai penegak Syari’at Islam22.

Seiring perkembangannya mulai dari dasar UU, Qanun provinsi hingga

terbentuk Qanun kabupaten/kota khususnya mengatur masalah mukim menjadikan

fungsi imeum mukim sebagai kepala pemerintahan dari sebuah mukim. Dialah yang

mengkoordinir geuchik-geuchik gampong (kepala-kepala desa). Dengan berubahnya

fungsi imeum mukim berubah pula nama panggilannya, yakni kepala mukim dan

tugas dalam penyelenggaraan pemerintahan mukim menjadi semakin terstruktur.

Lahirnya UU Pemerintahan Aceh tidak hanya sekedar melahirkan kearifan

lokal di Aceh sebagai wujud dari demokrasi dan desentralisasi tetapi juga

memperjelas kewenangan mukim dimata hukum, sehingga keberadaan mukim yang

sebelumnya lebih bersifat seremonial dan tidak diakui UU menjadi diakui kembali

secara formal. Hal ini merupakan salah langkah yang tepat bagi pemerintah RI

terhadap kekhususan Aceh, dalam hal ini dapat mengatur urusan rumah tangganya

sendiri dan wewenang yang sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan masyarakat.

Atas landasan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, mukim mempunyai tugas

dan wewenang tersendiri dalam mengatur rumah tangganya sendiri yang menjadi hak

18 Lihat: Pasal 138 sampai dengan Pasal 140 UU No. 11 Tahun 200619 Lihat: Pasal 96 sampai dengan Pasal 99 UU No. 11 Tahun 200620 Lihat: Pasal 228 UU No.11 Tahun 200621 Lihat: Pasal 229 UU No. 11 Tahun 200622 Lihat: Pasal 244 ayat (2) UU No.11 Tahun 2006

Page 11: BAB I - UMM

11

dan kewajibannya untuk menciptakan wilayahnya yang sejahtera dan berkualitas.

Disisi lain kewenangan mukim juga dapat menginterfensi geuchik (kepala desa)

dalam proses percepatan pembangunan, penyelenggaraan pemerintahan, urusan

syariat islam dan juga pembinaan kemasyarakatan yang efektif dan tanggap.

Kemudian pengakuan khususan Aceh melalui UUPA juga dalam kontek

mengakui keberadaan pemerintahan gampong sebagai struktur pemerintahan Aceh

yang berada dibawah mukim, kontruksi ini juga merupakan wujud dari pengembalian

karakteristik kewilayahan Aceh yang telah terbentuk pada masa kerajaan Aceh atau

sejak masa pra kemerdekaan.

Kedudukan gampong juga merupakan bentuk teritorial yang terkecil dari

susunan pemerintahan di Aceh, dalam satu gampong terdiri dari kelompok rumah

yang letaknya berdekatan satu sama lain. Pimpinan gampong disebut geuchik atau

sering juga disebut keuchik, yang dibantu seseorang yang mahir dalam masalah

keagamaan dengan sebutan teungku meunasah, gampong merupakan pemerintah

bawahan dari mukim23.

Geuchik didasarkan pada kenyataan hakiki bahwa dialah yang membela

kepentingan dan keinginan warga, baik berhadapan dengan ulèèbalang24 (kepala

pemerintahan diatas mukim) dengan mukim maupun dengan gampong-gampong lain.

geuchik terkadang tidak hanya menguasai satu gampong saja, namun ada juga yang

23 Rusdi Sufi, dkk., 2002, Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Dinas Kebudayaan ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam, Hlm. 33-39)24 Ulèèbalang merupakan strutur pemerintahan yang memimpin wilayah naggroe. Seoranguleebalang mempunyai hak otonomi yang luas terhadap wilayah dan daerah kekuasaanya, dalamsatu uleebalang terdiri dari tiga hingga 9 mukim yang dibawahinya.

Page 12: BAB I - UMM

12

mengepalai 2 sampai 3 gampong dalam satu jabatan. Jadi dalam pemerintahan di

Aceh geuchik bisa dikatakan sebagai yah dan teungku ma (kepala desa sebagai bapak

dan ulama sebagai ibu) dalam pelaksanaan pemerintahan gampong.

Mengenai pemerintahan gampong beserta aparaturnya, dapat dijelaskan lewat

penelusuran berbagai peraturan perundangan-undangan. Dalam Penjelasan Pasal 7

UU No. 44/1999 disebutkan bahwa konsep gampong menurut UU ini adalah sama

yang dimaksud dengan desa menurut UU No. 22/1999 bahwa kesamaan fungsi dan

wewenang dalam pelaksanaan urusan pemerintahan maupun dalam urusan

administrasi, yang berbeda dalam pemerintahan gampong hanya nama dan ditambah

urusan adat sebagai bagian dari kinerjanya.

Sementara itu, Pasal 1 ayat (13) UU No. 18/2001 menyebutkan bahwa

gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi

pemerintahan terendah langsung berada di bawah mukim yang menempati wilayah

tertentu yang dipimpin oleh geuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan

rumah tangganya sendiri.

Konsep gampong seperti di atas, terdapat dalam Pasal 1 ayat (6) Qanun No.

5/2003 tentang Pemerintahan Gampong. Sementara dalam Pasal 1 ayat (9) Perda No.

7/2000, yang dimaksudkan dengan gampong adalah suatu wilayah yang ditempati

oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang terendah dan berhak

menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

Dari konsep gampong, jelas bahwa gampong terletak di bawah mukim yang

dipimpin geuchik dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dalam

Page 13: BAB I - UMM

13

Penjelasan Pasal 1 ayat 2 Qanun No. 3/2003 disebutkan kedudukan gampong tidak

lagi berada di bawah kecamatan, tapi di bawah mukim sebagai salah satu kesatuan

pemerintahan. Hal ini kemudian dipertegas dengan Pasal 2 Qanun No. 4/2003, bahwa

mukim membawahi gampong yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

camat.” Dalam Pasal 5 poin (d) Qanun No. 3/2003, disebutkan bahwa posisi camat

berkenaan dengan fungsi pembinaan pemerintahan mukim dan gampong.

Dalam Pasal 39 Qanun No. 3/2003, dengan tegas diatur bahwa kecamatan

yang belum memiliki mukim tapi memiliki gampong, maka perangkat pelaksana di

wilayahnya adalah pemerintah gampong. Dari dua skruktur pemerintahan tersebut

antara mukim dan gampong sangat membutuhkan relasi (hubungan) yang baik

terhadap proses pelaksanaan pemerintahan daerah dan juga proses penguatan otonomi

khusus, paling tidak dua lembaga tersebut dapat memperkuat kelembagaannya

masing-masing sebagai satu kesatuan yang utuh.

Refresentatif dari hal diatas Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan

Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh merupakan dua sampel mukim yang mempunyai

relasi dengan gampong dengan sistem pemerintahannya tersendiri, refresentatif

tersebut terbentuk dari eksistensi Provinsi Aceh untuk terlaksananya pemerintahan

daerah yang lebih baik, namun pada kenyataannya proses pelaksanaan tersebut bukan

tanpa kesulitan.

Relasi antara pemerintahan Mukim Meuko dan Mukim Meuraxa dengan

pemerintahan gampong dibawahnya tersebut ini dapat dikatakan tidaklah mudah,

karena. Pertama, saat ini hubungan dua lembaga tersebut nyaris tidak memiliki

Page 14: BAB I - UMM

14

tradisi dan budaya top-down bottom-up, sebagai dua lembaga yang memiliki

refresentatif dalam proses pelaksanaan pemerintahan maupun dalam mewujudkan

otonomi khusus di Aceh.

Kedua, aturan pelaksana, di mana belum didukung oleh aturan pelaksana yang

mantap dan kompeten, sehingga ini akan menyulitkan proses relasi antara Mukim

Meuko dan Mukim Meuraxa dengan gampong dibawah wewenangnya . Ketiga,

birokrasi yang masih berbelit-belit. Salah satu implikasi sistem sentralistis yang

hingga sekarang masih dirasakan adalah adanya sistem administrasi yang panjang dan

lambat yang dipraktekkan oleh aparatur pemerintahan, sehingga pelaksanaan

pemerintahan di masyarakat menjadi tidak tepat sasaran.

Keempat, kesiapan aparatur pemerintahan mukim dan gampong, masalah

yang ke empat ini merupakan masalah yang sangat urgensi yang terjadi di tingkat

pemerintahan Mukim Meuko dan Mukim Meuraxa dengan gampong-gampong

dibawahnya, pemahaman tentang tatakelola pemerintahan yang baik (good

governance) di tingkat mukim dan tingkat gampong masih sangat rendah, sehingga

yang terjadi adalah tidak maksimal suatu sistem pemerintahan yang dijalankan,

disisilain kurangnya pemahaman tentang konsep-konsep dalam membuat regulasi

menjadikan mukim tidak berperan penting dalam merumuskan urusan tersebut.

Kelima, keikhlasan pemerintah mukim dan gampong dalam menjalankan tugasnya

yang baik dan benar masih sangat rendah apalagi diera yang setiap kerja

disungguhkan dengan uang atau bahasa lazim disebut sebagai uang jerih payah.

Page 15: BAB I - UMM

15

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengangkat

permasalahan tersebut dengan judul “Relasi pemerintahan mukim dengan

gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian di Mukim

Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan

kedalam beberapa hal berikut:

Bagaimana eksistensi Pemerintahan Mukim dalam tatanan pemerintahan Aceh.?

Sejauh mana relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan

pemerintahan daerah?

Apa saja faktor penghambat relasi mukim dengan gampong?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan relasi

pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Mendeskripsikan eksistensi Pemerintahan Mukim dalam tatanan pemerintahan

Aceh dari masa ke masa.

Untuk mengetahui Sejauh mana relasi pemerintahan mukim dengan gampong

dalam Pelaksanaan Pemerintahan daerah.

Untuk memahami faktor penghambat relasi mukim dengan gampong

Page 16: BAB I - UMM

16

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang membahas tentang “relasi pemerintahan mukim dengan

gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian Di Mukim Meuko

Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”, diharapkan dapat

memberi manfaat tersendiri dalam kontek ini secara umum memiliki tidak lanjud

pengembangan sistem pemerintahan mukim di Provinsi Aceh yang tertata dan

terstruktur, antara lain.

Pertama, secara teoritis untuk mengembangkan teori dan gagasan

pelaksanaan pemerintahan daerah sebagai wujud dari desentralisasi kekuasaan dan

otonomi khusus. Penelitian ini merupakan hasil dari pengetahuan mengenai relasi

pemerintahan mukim dengan pemerintahan gampong.Kedua, secara praktis adalah

manfaat sebagai rekomendasi, yaitu ilmu pemerintahan baik itu para para biarokrasi

dalam hal konsep pelaksanaan pemerintahan daerah yang dilakukan oleh

pemerintahan mukim dan gampong sebuah gagasan yang khas di provinsi Aceh.

Sedangkan manfaat secara khusus, yaitu:

1. Bagi Peneliti

Dengan mengadakan penelitian ini, peneliti berharap dapat menambah

kreativitas, memperbanyak wawasan, pengetahuan, pengalaman serta kesempatan

untuk memahami proses pelaksanaan pemerintahan daerah di Mukim Meuko

Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh.

Page 17: BAB I - UMM

17

2. Bagi Pemerintahan Mukim

Penelitian mengenai relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam

pelaksanaan pemerintahan daerah di Mukim Meuko Aceh Barat dan Meuraxa Kota

Banda Aceh dapat memberi rekomendasi tersendiri bagi pemerintahan mukim dan

mampu menjadi pendorong serta bahan evaluasi kinerja dalam melaksanakan

fungsinya sebagai pelaksana pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.

3. Bagi Pemerintahan Gampong

Dalam hal ini hasil penelitian juga dapat memberi rekomendasi kepada

pemerintahan gampong, dalam mewujudkan good governance dengan relasi yang

baik terhadap pemerintahan mukim.

4. Bagi Masyarakat

Penelitian mengenai “relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam

pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh

Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)” dapat menambah khasanah wawasan

dan pengetahuan mengenai tata laksana pemerintahan mukim dan gampong dalam

pelaksanaan pemerintahan daerah. Diharapakan dengan pemahaman tersebut

masyarakat dapat menjadi pendukung terlaksananya pembangunan demi terwujudnya

kesejahtraan masyarakat itu sendiri.

E. Defenisi Konseptual

Untuk memperjelas pariabel dalam penelitian ini, maka diperlukan defenisi

konsep untuk menghindari kesalahpahaman dan perluasan materi penelitian. Defenisi

Page 18: BAB I - UMM

18

konseptual ini diambil berdasarkan judul penelitian yaitu “relasi pemerintahan mukim

dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian di Mukim

Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”.

1. Relasi (Hubungan)

Relasi merupakan suatu metode untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan

dua pihak atau lebih yang digambarkan oleh besarnya pengaruh satu sama lain.

Sedangkan dalam kasus ilmiah popular istilah relasi ialah hubungan. Sehingga relasi

bisa didefenisiskan sebagai hubungan dalam melaksanakan sebuah tugas yang sama-

sama memiliki peran penting. Adapun konsep hubungan antara pemerintahan

khususnya pemerintah pusat dan daerah adalah hubungan administrasi dan hubungan

kewilayahan25.

Dalam kontek pemerintah relasi ini tentu ada yang diperintah dan ada yang

memerintah. Relasi kekuasaan merupakan suatu bentuk hubungan sosial yang

menunjukkan hubungan yang tidak setara (asymetric relationship), hal ini disebabkan

dalam kekuasaan terkandung unsur “pemimpin“ (direction) atau apa yang oleh Weber

disebut “pengawas yang mengandung perintah“ (imperative control). Dalam

hubungan dengan unsur inilah hubungan kekuasaan menunjukkan hubungan antara

apa yang oleh Leon Daguit dalam Poelinggomang (2004) dalam Skirpsi Mahasiswa

25 Muhammad Djumhana dalam Telly Sumbu, Hubungan Pemerintah Pusat dengan PemerintahDaerah dalam Kerangka Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah, JurnalFakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado,No 4 VOL. 17 OKTOBER 2010

Page 19: BAB I - UMM

19

USU “pemerintah” (gouvernants) dan “yang diperintah” (gouvernes)26. Kemudian

berkaitan dengan dominan kekuasaan dalam relasi pemerintahan Antonio Gramsci

juga membedakan kedalam dua konsep "dominasi" dan "hegemoni", di mana

dominasi merupakan model penguasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik.

Sedangkan hegemoni adalah model penguasaan yang lebih halus, yaitu secara

ideologis Gramsci, juga menyebutkan bahwa dua kelas intelektual yang tradisional

dan juga organik27.

2. Pemerintahan Daerah

Dalam masyarakat primitif, tingkat pemerintah daerah terendah adalah kepala

desa atau kepala suku. Dalam kontek bangsa moden, pemerintah daerah biasanya

memiliki sejenis kekuasaan yang sama seperti pemerintah nasional. Mereka memiliki

kekuasaan untuk meningkatkan pajak, meskipun dibatasi oleh undang-undang

pusat28. Pemerintahan daerah menurut pasal 1 huruf d UU No 22 Tahun 1999

diartikan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah

dan DPRD menurut asas desentralisasi.

Menurut UU No 32 Tahun 2004 dalam pasal 1 angka 2, pemerintahan daerah

adalah penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan

26 Leon Daguit dalam Poelinggomang (2004) dalam skripsi mahasiswa USUhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26164/3/Chapter%20II.pdf, Diakses pada 13Januari 201327 Nezar Patria, Antonio Gramsci Negara & Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, Hlm. 155-15728 Pratama Rus Ramdhani, http://matakuliahekonomi.wordpress.com/2011/04/23/pengertian-pemerintah-daerah/, diakses pada tgl 25 Oktober 2012 jam 03.00

Page 20: BAB I - UMM

20

prinsip negara kesatuan RI. Berdasarkan UU No 32 atahun 2004 tentang

pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah

daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan unsur

penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah gubernur, bupati atau walikota dan

perangkat daerah.

3. Pemerintahan Mukim

Pemerintah mukim merupakan sebuah lembaga pemerintahan yang ada di

Provinsi Aceh, kedudukannya adalah dibawah kecamatan dan di atas gampong

(desa). Dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No 4 Tahun 2003 dan

juga Qanun Kabupaten Aceh Barat No 3 Tahun 2010 Tentan Pemerintahan Mukim

menyebutkan bahwa mukim atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum

dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa

gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri,

berkedudukan langsung di bawah Camat atau nama lain yang dipimpin oleh Imeum

Mukim atau nama lain29.

Sedangkan Mukim berkedudukan sebagai unit pemerintahan yang

membawahi beberapa Gampong yang berada langsung di bawah dan bertanggung

jawab kepada Camat, sesuai dengan Pasal 2 Qanun Nomor 4 tahun 2003. Dalam

Pasal 3 Qanun Nomor 4 tahun 2003 disebutkan bahwa Mukim mempunyai tugas

29 Baca juga pasal 4 Qanun provinsi nanggroe aceh darussalam nomor 4 tahun 2003 dan pasal 4Qanun Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010 tentang pemerintahan mukim

Page 21: BAB I - UMM

21

menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan

kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam.

4. Pemerintahan Gampong

Gampong (desa) menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi

permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian

wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, namun di Aceh desa

merupakan struktur pemerintahan di bawah mukim. Menurut Sutardjo Katodikusuma

desa merupakan seuatu kesatuan hukum dimana tempat tinggal suatu masyarakat

dengan pemerintahan sendiri30.

Pemerintahan Gampong dan Pemerintahan Desa beserta perangkat dan

lembaga adatnya. Namun demikian, dengan dikeluarkannya Qanun Nomor 5 tahun

2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

paradigma itupun kemudian berubah. Gampong kemudian dilihat sebagai kesatuan

masyarakat hukum dan adat dalam struktur kekuasaan terendah dan mempunyai

wilayah kekuasaan sendiri serta memiliki kekayaan atau sumber pendapatan sendiri

pula.

Qanun Pemerintah Aceh didefenisikan gampong atau desa merupakan

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah

langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu,

yang dipimpin oleh keuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan urusan

30 Internet ambil pada tanggal 25 november2011http://wawan-unaidi.blogspot.com/2009/06/definisi-desa-atau-pedesaan.html

Page 22: BAB I - UMM

22

rumah tangganya sendiri. Dalam Pasal 1 (6) Qanun Nomor 5 tahun 2003 disebutkan :

”Gampong atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain

yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Geuchik atau nama lain dan

berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.” Sementara itu dalam

Pasal 10 QanunNomor 5 tahun 2003 disebutkan bahwa pemerintah Gampong terdiri

dari Geuchik dan Imeum Meunasah beserta Perangkat Gampong.

Dalam Pasal 11 Qanun Nomor 5 tahun 2003 dijelaskan pula bahwa Geuchik

adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam penyelenggaraan Pemerintahan

Gampong. Dengan sistem Pemerintahan Gampong, sistem demokrasi dari bawah

(bottom-up) benar-benar dapat dilaksanakan. Dalam Pemerintahan Gampong, bidang

eksekutif Gampong dilaksanakan oleh Keuchik dan Teungku Imuem Meunasah

dengan urusan yang berbeda. Di gampong, Pimpinan Keagamaan itu adalah Teungku

Imuem Meunasah31, namun demikian, dalam Gampong posisi Imuem Meunasah

setara dengan geuchik walau masing-masing memiliki urusan yang berbeda.

F. Defenisi Oprasional

Defenisi oprasional berfungsi untuk data yang dikumpulkan agar peneliti ini

mendapatkan sebuah perspektif dalam penelitian dan untuk bisa lebih mendalami.

Berangkat dari pemahaman diatas, maka dapat dipahami bahwa dalam definisi

31 Sulaiman Tripa, Meunasah Di Gampong Kamoe, Lampena, Banda Aceh, 2006, Hlm. 51

Page 23: BAB I - UMM

23

oprasional itu harus menunjuk suatu indikator-indikator serta pengukuran

variabelnya, dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa defenisi oprasionalnya:

1. Eksistensi pemerintahan Mukim

2. Relasi pemerintahan Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa

Kota Banda Aceh dengan pemerintahan gampong.

a. Relasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

b. Relasi dalam proses pembangunan

c. Relasi dalam pembinaan kemasyarakatan dan

d. Relasi dalam peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam

e. Relasi dalam perlindungan ekologi dan SDA

3. Faktor penghambat relasi mukim dengan gampong

a. Sosialisasi keberadaan lembaga mukim

b. Kejelasan porsi kerja

c. Hirarki antara structural

d. Infrastruktur dan suprakstruktur

e. Legitimasi masyarakat

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif dengan jenis deskriptif, dengan

alasan agar dapat menggali informasi yang mendalam mengenai objek yang akan

diteliti. Metode deskriptif sebagai prosedur pemecahan masalah yang diteliti

Page 24: BAB I - UMM

24

berdasarkan fakta-fakta yang ada, sehingga tujuan dari metode deskriptif adalah

untuk menggambarkan sauatu masyarakat tertentu atau gambaran tentang gejala

sosial.

2. Sumber Data

Dalam melakukan penelitian data dapat diperoleh melalui berbagai sumber,

antara lain: orang yang dianggap mengetahui tentang apa yang diteliti dan dari

dokumen-dokumen yang ada, adapun data tersebut dapat diperoleh melalui:

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber-

sumber, pihak-pihak yang menjadi objek penelitian ini antara lain data yang

langsung dapat dari lapangan. Dalam penelitian yang bejudul “relasi

pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan

daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan

Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)” adalah gubernur, bupati/walikota,

camat kepala mukim dan geuchik. Dari data-data yang didapatkankan

tersebut peneliti dapat membandingkan dengan hasil observasi dan

dokumentasi di masyarakat.

b. Data Skunder

Data skunder atau data penunjang disebut sebagai sumber penulis,

serta dapat dibagi menjadi sumber buku dan majalah ilmiah, sumber data

arsip, dokumen pribadi atau resmi, sumber data yang penulis pergunakan

dalam penelitian ini merupakan dokumen resmi dan sumber data arsip yang

Page 25: BAB I - UMM

25

mempunyai dan berhubungan dengan penelitian yang berjudul “relasi

pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan

daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan

Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”. Yang menjadi data skunder adalah

data hasil observasi dan dokumentasi yang didapat dari kantor mukim dan

kantor geuchik serta kantor-kantor pemerintahan di atasnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan jenis data yang akan dikumpulkan maka teknik penelitian yang

akan digunakan peneliti adalah berupa studi lapangan (Field Reseach) yang

merupakan suatu cara pengumpulan data yang dilakukan pada lokasi penelitian.

Pengumpulan data menurut cara ini dapat dilakukan dengan cara:

a. Observasi

Adapun yang dimaksud dengan cara observasi adalah teknik

pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan

terhadap objek penelitian. Dari metode observasi ini data yang diperoleh

adalah keadaan daerah, lingkungan kerja, struktur organisasi, sarana dan

prasarana yang dimiliki.

Secara luas, observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk

melakukan pengukuran. Akan tetapi, obeservasi atau pengamatan disini

Page 26: BAB I - UMM

26

diartikan lebih sempit, yaitu pengamatan dengan menggunakan indera

penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan32.

Dengan melakukan observasi peneliti mangamati secara langsung

keadaan, kondisi, situasi, kegiatan dan proses relasi pelaksanaan

pemerintahan mukim dan gampong.

b. Interview

Interview adalah cara pengumpulan data dengan jalan bertanya jawab

secara langsung dengan pihak yang berkaitan lansung dipemerintahan

mukim dan juga pemerintahan gampong dalam hal relasi dalam pelaksanaan

pemerintahan lokal. Adapun dalam hal tersebut peneliti mencoba

menanyakan proses pelaksanaan dari regulasi yang telah diamanatkan dalam

Qanun pemerintah provinsi Aceh dan juga proses tindak lanjud mulai dari

tingkat provinsi hingga tingkat kabupaten/kota terhadap Qanun tersebut.

Interview dalam hal ini dibedakan dalam dua subjek, yaitu:

pemerintahan mukim dengan pemerintahan gampong sebagai actor

pelaksanaan pemerintahan dan masyarakat sebagai konsumennya, disisi lain

juga pemerintahan diatasnya baik itu camat, bupati atau walikota dan juga

gubernur sebagai aktor-aktor pengawasan.

c. Dokumentasi

Teknik ini dilaksanakan dengan melakukan pencatatan terhadap

berbagai dokumen-dokumen resmi, laporan-laporan, peraturan-peraturan,

32 Soehartono, Irawan., 2008, Metode Penelitian Sosial, Bandung, PT Remaja Rosdakarya: Hal 69

Page 27: BAB I - UMM

27

maupun arsip-arsip yang tersedia dengan tujuan untuk mendapatkan bahan-

bahan yang menunjang secara teoritis terhadap topik penelitian. Adapun data

yang akan dicarikan dalam penelitian ini adalah Qanun tentang pemerintahan

mukim tingkat provinsi dan juga kabupaten atau kota, peraturan gubernur,

peraturan bupati atau peraturan walikota, dan juga data-data lain yang

mendukung hasil temuan penelitian.

4. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah benda, hal, atau orang tempat variable penelitian

melekat, oleh karena itu subjek adalah seseorang atau sebih yang dipilih dengan

sengaja sebagai narasumber data yang dikumpulkan, karena dianggap menguasai

bidang yang berhubungan dengan sasaran penelitian.

Subjek yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini adalah:

a. Gubernur

b. Bupati/Walikota

c. Camat

d. Kepala Mukim.

e. Geuchik Gampong.

f. Tokoh Masyarakat dan Masyarakat.

5. Lokasi Penelitian

Di dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian yang berjudul “relasi

pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah

(studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa

Page 28: BAB I - UMM

28

Banda Aceh)”. Sedangkan tempat yang dijadikan lokasi penelitian oleh penulis

adalah Instansi-instansi pemerintahan mulai dari kantor gubernur, kantor bupati atau

walikota, kantor camat se Aceh pada umumnya dan khusunya pada dua di kantor

mukim, yaitu di Kantor Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Kantor Mukim

Meuraxa Kota Banda Aceh.

6. Analisa Data

Teknik analisa data adalah proses mengatur urutan data, pengorganisasian

kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema

yang dirumuskan. Data yang tekumpul terdiri catatan lapangan , interview, gambar,

foto, dan dokumen berupa laporan, biografi, artikel, kemudian direduksi dan diolah

untuk memperoleh kesimpulan informasi tersebut. Proses analisa dimulai dengan

menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yang kemudian dilakukan

reduksi data (memformulasikan teori kedalam seperangkat konsep) yang dilakukan

dengan membuat rangkuman inti dalam penelitian33.

Analisa data dapat diartikan sebagai proses pengorganisasian dan pengurutan

data yang diperoleh secara sistematis baik untuk manafsirkan dan

menginterpretasikan data-data yang dapat dari penelitian. Proses analisa data ini

dimulai dengan menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber data baik data

primer maupun data skunder. Dalam hal ini peneliti menggunakan analisa kualitatif

dengan jenis deskriptif dimana lebih menitikberatkan pada penggambaran dan

penguraian objek yang nanntinya akan menghasilkan kesimpulan.

33 Maleong, Lexey., 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakaria: Hlm 15