BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Wasting
2.1.1 Pengertian Wasting
Balita kurus adalah suatu kondisi dimana balita menderita gangguan gizi
dengan diagnosis ditegakkan berdasarkan penilaian tinggi badan per berat badan
(Hasyim, 2017). Wasting merupakan suatu kondisi kekurangan gizi akut dimana BB
anak tidak sesuai dengan TB atau nilai Z-score kurang dari -2SD (Standart Deviasi)
(Afriyani, 2016). Anak kurus merupakan masalah gizi yang sifatnya akut, sebagai
akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama seperti kekurangan
asupan makanan (Rochmawati, 2016).
2.1.2 Penyebab Wasting
Faktor penyebab wasting dikelompokkan 3 kategori yaitu berdasarkan faktor
ibu, anak, dan keluarga. Faktor ibu yaitu ASI eksklusif, pola asuh, tingkat pendidikan
ibu, tingkat pengetahuan ibu, dan status pekerjaan . Faktor anak yaitu jenis kelamin,
usia, asupan nutrisi, penyakit infeksi, dan BBLR. Faktor keluarga yaitu ketahanan
pangan keluarga, tingkat ekonomi dan jumlah anggota keluarga (Prawesti, 2018).
2.1.2.1 Berdasarkan Faktor Ibu
2.1.2.1.1 ASI Eksklusif
ASI merupakan satu-satunya sumber asupan makanan yang terbaik bagi bayi
karena memiliki unsur-unsur memenuhi semua kebutuhan nutrien selama periode 6
bulan. ASI harus diberikan sampai usia 24 bulan karena mengandung nutrisi esensial
untuk mambantu perkembangan dan pertumbuhan bayi agar lebih optimal.
Pemberian ASI dikelompokkan tiga waktu yaitu pemberian ASI ketika anak baru
lahir (kolostrum), pemberian ASI sampai usia 6 bulan tanpa tambahan
10
makanan/minuman lain (eksklusif), pemberian ASI sampai dengan usia 24 bulan
disertai makanan pendamping ASI (Septikasari, 2018).
ASI yang keluar pada hari pertama dan kedua setelah melahirkan biasa
disebut dengan kolostrum. Kolostrum berwarna kuning atau jernih karena
mengandung sel hidup menyerupai sel darah putih yang dapat membunuh kuman
penyakit. Selain itu kolostrum mengandung air, tinggi protein, lemak, laktose,
mineral, vitamin, rendah karbohidrat, immunoglobulin dan antibodi yang melindungi
bayi dari infeksi (Rochmawati, 2016)(Goi, 2013).
ASI eksklusif adalah pemberian ASI pada saat usia bayi 0-6 bulan tanpa
disertai makanan/minuman lainnya seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air
putih, pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan nasi tim kecuali vitamin, mineral
dan obat. Bayi yang mendapat ASI eksklusif 80% atau lebih akan memiliki status gizi
normal. ASI ekslusif diberkan kepada bayi tanpa ditambahkan cairan lain. Pemberian
ASI eksklusif juga dapat menurunkan risiko penyakit diare terutama karena
mengurangi kemungkinan kontaminasi dari makanan (Septikasari, 2018).
Tabel 2. 1 Kandungan Zat Gizi Air Susu Ibu (ASI)
Zat Gizi Jumlah
Energi 65 kalori
Protein 1,1 gr
Lemak 3,5 gr
Karbohidrat 7,7 gr
Kalsium 35,3 mg
Phosfor 12,3 mg
Zat Besi 0 mg
Vitamin A (RE) 70
Vitamin B 0,2 mg
Vitamin C 2,7 mg
(Sumber : Hayati, 2009)
Faktor yang bisa mempengaruhi pemberian ASI eksklusif pada bayi yaitu (1)
Kurangnya pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif. Pengetahuan akan sangat
11
berpengaruh terhadap perilaku termasuk perilaku dalam pemberian ASI eksklusif, (2)
aktivitas ibu yang menghambat pemberian ASI eksklusif. Kesibukan ibu akan
mempengaruhi pemberian ASI eksklusif sehingga banyak ibu yang bekerja tidak
dapat memberikan ASI pada bayinya setiap 2-3 jam, (3) dukungan keluarga.
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang sangat berpengaruh erhadap
keberhasilan ibu menyusui ASI eksklusif. Peran suami dan keluarga akan menentukan
kelancaran refleks pengeluaran ASI sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi atau
perasaan ibu, (4) dukungan tenaga kesehatan. Petugas kesehatan sangat penting
dalam melindungi, meningkatkan, dan mendukung usaha menyusui (Septikasari,
2018).
Risiko pemberian makanan pada usia anak dibawah 6 bulan diantaranya (1)
tingginya solutekload (beban terlarut) hingga dapat menimbulkan hiperosmolaritas, (2)
peningkatan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas, (3) alergi
terhadap salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan, (4) mendapat zat
tambahan, seperti garam dan nitrat yang dapat merugikan, (5) terdapat zat pewarna
atau pengawet di dalam makanan yang tidak diinginkan, (6) ada kemungkinan
pencemaran dalam penyediaan atau penyimpanan makanan, (7) kekurangan gizi, (8)
konstipasi (Hayati, 2009).
Setelah anak berusia 6 bulan, ASI hanya mampu memenuhi kebutuhan
nutrisi sebanyak 60 % oleh karena itu anak perlu diberikan makanan tambahan
pendamping ASI (MP ASI). MP ASI merupakan makanan yang diberikan bersamaan
dengan ASI sampai anak berusia 2 tahun. MP ASI harus mencakup semua zat gizi
yang dibutuhkan antara lain karbogidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air
dengan memperhatikan kebersihan dan keamanannya bagi bayi (Septikasari, 2018).
12
2.1.2.1.2 Pola Asuh
Anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan
dan gizi, karena pada masa ini masih terjadi proses pertumbuhan dan perkembangan
yang memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah yang besar. Pada masa anak-anak
kelangsungan serta kualitas hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya terutama
ibu. Peran serta keluarga terutama ibu dalam proses pola asuh sangat menentukan
status gizi pada anak (Subekti, 2012).
Pola asuh merupakan suatu kesepakatan di dalam rumah tangga dalam
mengalokasikan waktu, perhatian, dan dukungan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan fisik, mental, dan sosial dalam rangka tumbuh kembang anak. Terdapat
beberapa teori yang membahas mengenai macam-macam pola asuh salah satu teori
yang sering diterapkan adalah teori dari Range (1997). Teori ini mengemukakan
bahwa pola pengasuhan dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu pola asuh makan,
pola asuh kebersihan dan kesehatan, pola asuh psikososial, pola asuh anak ketika di
dalam kandungan (Subekti, 2012).
1. Pola Asuh Makan
Orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya sering melupakan pola asuh
makan bagi anaknya. Pola asuh makan pada anak usia prasekolah berperan
penting dalam proses pertumbuhan pada anak, karena dalam makanan banyak
mengandung zat gizi. Zat gizi memiliki keterkaitan yang erat hubungannya
dengan kesehatan dan kecerdasan anak. Jika pola asuh makan tidak tercapai
dengan baik pada usia ini maka pertumbuhan dan perkembangan akan
terganggu, sehingga dapat menyebabkan tubuh anak menjadi kurus (Sa’diya,
2015).
13
Pola asuh makan yang baik pada anak disebabkan karena orang tua telah
mengajarkan kebiasaan makan yang baik sejak kecil. Sedini mungkin diajarkan
kepada anak tentang kebiasaan makan yang baik dapat terbawa sampai mereka
dewasa dan dapat mempengaruhi kualitas hidupnya. Untuk usia balita dapat
mengikuti pola asuh makan keluarga serta bentuk dan kebutuhannya harus
diatur. Orang tua cenderung mengatur pola asuh makan anaknya berdasarkan
jenis dan jumlah makanan yang dimakan, akan tetapi tidak memperhatikan
jadwal makan. Orang tua yang tidak membudayakan disiplin makan, anak
cenderung menuruti kemauan sendiri tanpa memperhatikan nilai gizi yang
mereka makan (Sa’diya, 2015).
Pada anak usia balita sering kali nafsu makannya menurun. Anak lebih
tertarik untuk bermain daripada makan, sehingga pola asuh makan yang sudah
disiapkan oleh ibu sering kali terlewati. Untuk dapat menciptakan pola asuh
makan yang baik maka makanan yang disajikan harus bervariasi supaya tidak
membosankan. Hal ini dikarenakan variasi makanan akan dapat meningkatkan
selera makan anak sehingga kebutuhan nutrisi dalam tubuh terpenuhi (Sa’diya,
2015).
Tabel 2. 2 Kebutuhan makan anak usia 1-3 tahun per hari (+1300 kalori)
Bahan Makanan Berat (g) Ukuran Rumah Tangga
Nasi 250 1 ¼ gelas
Maizena 10 2 sdm
Biscuit 20 2 buah
Daging 50 2 potong kecil
Telur 50 1 butir
Tempe 50 2 potong
Sayuran 100 1 gelas
Pisang 100 2 buah
Susu bubuk 30 6 sdm
Minyak 20 2 sdm
Gula pasir 30 4 sdm
(Sumber : Sutomo, 2010)
14
Tabel 2. 3 Kebutuhan makan anak usia 3-5 tahun per hari (+1300 kalori)
Bahan Makanan Berat (g) Ukuran Rumah Tangga
Nasi 300 2 ¼ gelas
Daging 100 2 potong
Telur 50 1 butir
Tempe 50 2 potong
Kacang hijau 10 1 sdm
Buah 200 4 buah pisang
Sayuran 100 1 gelas
Minyak 20 2 sdm
Susu 400 ml 1 2/3 gelas
(Sumber : Sutomo, 2010)
Tabel 2. 4 Jadwal Pemberian Makanan Menurut Umur Bayi, Jenis Makanan, Dan
Frekuensi Pemberian
Umur Bayi Jenis Makanan Frekuensi Pemberian
6 bulan ASI Kapan diminta
- Buah lunak/sari buah, bubur tepung beras merah
1-2 kali sehari
7-8 bulan ASI Kapan diminta
- Buah-buahan - Hati ayam atau kacang-
kacangan - Beras merah atau ubi - Sayuran (wortel, bayam) - Minyak/santan - Air tajin
3-4 kali
9-11 bulan ASI Kapan diminta
- Buah-buahan - Bubur/roti - Daging/kacang-
kacangan/ayam/ikan - Beras merah/kentang/labu/
jagung - Kacang tanah - Minyak/santan - Sari buah tanpa gula
4-6 kali
12 bulan atau lebih
ASI ASI
- Makanan sehari-hari - Telur - Jeruk
4-5 kali
(Sumber : Hayati, 2009)
a. Cara penyajian makanan :
15
Tabel 2. 5 Cara Penyajian Makanan
Tekstur makanan
Setelah menjelang usia 9 bulan bayi menerima bubur saring, perlahan-lahan tekstur makanan bisa lebih dipadatkan tetapi tetap harus lembut/lunak. Lauk pauk meski tidak perlu lagi diblender halus tetapi harus lembut/tercincang halus. Dengan demikian kemampuan mengunyah bayi akan terus terlatih. Selain bentuk pure, menjelang 1 tahun bayi mulai bisa dilatih dengan bubur lengkap nutrisi yang lembut tanpa disaring atau makanan lembut lain seperti makaroni kukus lengkap nutrisi.
Jumlah makanan
Lewat usia 9 bulan, jumlah makanan padatnya bisa ditingkatkan secara bertahap, mulai dari setengah mangkuk hingga tiga perempat mangkuk bayi.
Frekuensi makanan
Selain ASI dan makanan pendamping utama, bayi juga sudah siap diberi tambahan makanan selingan disela waktu makan utamanya (misalnya biskuit bayi atau pure buah) sebanyak 1-2 kali. Contoh pemberian makan perhari : - ASI : 3 kali atau sesuai dengan keinginan anak - Bubur beras / tim ubi jalar / makaroni kukus : 2 kali - Buah : 1 kali - Bubur manis / pure buah : 1 kali
(sumber : Herdiman, 2014)
b. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika anak makan (Hardiman, 2014):
1. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan
2. Tetap waspada. Selama ada resiko tersedak, bayi tidak boleh ditinggalkan
sendiri saat makan. Jangan membiasakan meletakkan mainan di dekat
tempat makan bayi atau menyuapinya di depan televisi. Hal ini akan
mengganggu konsentrasi ibu dan juga anak.
3. Kaya variasi. Berilah anak makanan yang bervariasi karena di masa bayi,
anak akan belajar mengenal berbagai cita rasa.
4. Makanan keluarga. Kenalkan makanan yang biasa di makan keluarga saat
usia bayi menjelang 12 bulan, namun berikan makanan yang tidak banyak
mengandung garam, tidak pedas, tidak berlemak, tidak digoreng, dan
tidak mengandung bahan makanan kimia (penyedap, pengawet, pewarna,
perasa).
16
5. Kenalkan jadwal makan. Biasakan anak makan pada jam makan yaitu
pagi, siang, dan sore.
6. Makanan pada saat anak sakit. Beri makanan padat yang lebih lunak dari
biasanya, jika perlu tambahkan kaldu. Selain itu, berikan makanan dalam
keadaan hangat, porsinya sedikit namun diberikan secara sering.
c. Ragam masalah makan balita :
Tabel 2. 6 Masalah Makan Anak, Penyebab, dan Cara Mengatasi
No. Masalah Makanan
Penyebab Cara Mengatasi
1. Suka mengemut makanan
Sedang sariawan Kenalkan makanan padat mulai usia 6 bulan. Berikan secara bertahap, mulai yang lembek sampai yang kasar. Tujuannya agar anak belajar mengunyah.
Terlambat memperkenalkan makanan padat
Buat menu camilan ringan yang lengkap gizi untuk mengatasi kekurangan asupan gizi.
Dipaksa untuk makan - Buat suasana makan yang menyenangkan dan santai. Jangan dipaksa karena anak akan trauma
- Beri penjelasan sederhana agar dia mau mengunyah makanannya
2. Pilih-pilih makanan (picky eater)
Selera makanan anak berkembang, ada kecenderungan mulai menyukai makanan atau rasa tertentu.
Ciptakan suasana makan yang menyenangkan, misal makan bersama keluarga.
Bosan pada hidangan yang diberikan karena kurang variasi.
Membuat menu makanan lebih bervariasi, baik dari bahannya maupun cara pengolahannya.
Kebiasaan makan keluarga. Apabila orang tua pilih-pilih makanan maka anak akan ikut pilih-pilih makanan.
Menemani anak ketika makan dan orang tua menjadi contoh perilaku maakan bagi anaknya.
3. Susah makan, hanya mau makan sedikit
Masalah psikologi, misalnya orang tua tidak mengakui ego anak. selalu memaksa anak untuk makan.
Jangan paksa anak makan pada waktu jam makan tiba. Sebab, akan membuat anak tidak nyaman dan bisa menimbulkan trauma.
Memberi susu atau makan selingan dekat
Jangan memberi susu atau makanan selingan yang terlalu dekat dengan
17
dengan waktu makan waktu makan.
Apabila orang tua biasa makan sedikit, misalnya karena diet anak akan cenderung meniru
- Temani anak makan. Lalu orang tua menjadi contoh perilaku makan bagi anaknya
- Jadwal makan yang teratur
4. Makanan disembur-semburkan atau menolak makan
Rasa makanan yang masuk ke mulutnya masih asing
Kenalkan sedikit-sedikit menu makanan yang baru
Bosan dengan makanan yang diberikan
Sedangkan alternatif menu lain apabila anak menyemburkan makanan yang diberikan
- Suasana makan yang tidak menyenangkan
- Dipaksa makan padahal belum lapar
Variasi menu dan penyajian menarik
- Iseng atau mencari perhatian orang tua
- Sedang sakit - Kesal kepada orang
yang memberi makan
Ajak anak menentukan menu dan berkreasi dalam membuat makanan untuk memancing selera makanannya
5. Tidak suka makan sayur
Rasa sayur yang kurang enak bila dibandingkan dengan lauk hewani atau buah
- Berikan penjelasan tentang pentingnya sayur agar anak gemar makan sayur
- Menyelipkan sayuran dalam makanan yang disukainya
Penyajian sayur kurang menarik
- Kenalkan bermacam-macam sayur mulai dari bayi
- Pengolahan dan penyajian sayur lebih bervariasi dan menarik, misalnya dibuat omelet sayuran
- Berikan contoh makan sayur pada anak pada saat makan bersama. Sebab anak akan mencontoh perilaku orang tuanya
(sumber : Febry, 2008)
2. Pola Asuh Kebersihan Dan Kesehatan
a. Pola Asuh Kebersihan
Pilar atau prinsip dari gizi seimbang adalah membiasakan perilaku
hidup bersih. Perilakumakan yang sehat perlu ditunjang oleh perilaku
hidup bersih dan sehat, khususnya terkait penanganan makanan secara
higienis. Mencuci tangan dengan sabun berguna untuk menghindari
18
penyebaran kuman penyakit dan terbukti dapat menurunkan resiko diare
sekitar 45 % (Setyawati, 2018).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Derso et al,
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sanitasi
dengan kejadian wasting. Penelitian ini menunjukkan bahwa rumah tangga
yang tidak memiliki akses yang sesuai dengan kriteria rumah sehat akan
beresiko lebih besar untuk terjadinya wasting. Hal ini dikarenakan rumah
yang tidak termasuk dalam kriteria rumah sehat akan menimbulkan suatu
penyakit dan bisa mempercepat penyebaran penyakit. (Derso et al, 2017).
Sanitasi lingkungan dapat menjadi faktor pendukung
berkembangnya penyakit menular dan infeksi seperti diare, dan ISPA.
Kedua penyakit tersebut merupakan penyakit yang sering diderita anak
balita di negara berkembang. Kedua penyakit ini juga berkaitan dengan
terjadinya gangguan tumbuh kembang dan tingginya angka kematian
bayi. Penyakit infeksi dapat menurunkan daya tahan tubuh anak sehingga
bisa memperburuk keadaan gizi dan akan mempengaruhi perkembangan
dan pertumbuhan (Rahayu dkk, 2018).
b. Pola Asuh Kesehatan
Secara umum tujuan utama pelayanan kesehatan masyarakat adalah
pelayan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan)
dengan sasaran masyarakat. Namun secara terbatas pelayanan kesehatan
masyarakat juga melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan
rehabilitative (pemulihan). Oleh karena itu ruang lingkup pelayanan
kesehatan masyarakat menyangkut kepentingan rakyat banyak, dengan
wilayah yang luas dan banyak daerah yang masih terpencil, sedangkan
19
sumber daya pemerintah baik tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan
sangat terbatas, maka sering kali program pelayanan kesehatan tidak
terlaksana dengan baik (Prawesti, 2018).
Strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah supaya anak tetap
sehat adalah dengan melakukan imunisasi lengkap kepada anak.
Imunisasi merupakan domain yang sangat penting untuk memiliki status
gizi yang baik. Imunisasi yang lengkap biasanya menghasilkan status gizi
yang baik. Pemberian imunisasi terhadap anak bertujuan agar anak tidak
mudah terserang penyakit yang berbahaya dan menjadikan anak lebih
sehat, sehingga asupan makanan dapat masuk dan diserap dengan baik.
Nutrisi yang diserap oleh tubuh balita dimanfaatkan untuk
pertumbuhannya, sehingga menghasilkan status gizi yang baik
(Rochmawati, 2016).
Tabel 2. 7 Jadwal Imunisasi Pada Anak
Nama Imunisasi Jadwal Pemberian
BCG Diberikan sebelum bayi berusia 2 bulan
Hepatitis B Diberikan 3 kali : - 12 jam pertama setelah lahir - Umur 1 bulan - Umur 3-6bulan
Polio Diberikan 6 kali : - Setelah lahir - Usia 2 bulan - Usia 4 bulan - Usia 6 bulan - Usia 18 bulan - Usia 5 tahun
DPT (Difteri, Tetanus, Pertusis)
Diberikan 6 kali : - Usia 2 bulan - Usia 4 bulan - Usia 6 bulan - Usia 18 bulan - Usia 5 tahun - Usia 12 tahun
Campak Diberikan 2 kali :
20
- Usia 9 bulan - Usia 6 tahun
Hib (Haemophilus influenzae type B)
Diberikan 4 kali : - Usia 2 bulan - Usia 4 bulan - Usia 6 bulan - Usia antara 15-18 bulan
Pneumokokus (PVC) Diberikan 4 kali : - Usia 2 bulan - Usia 4 bulan - Usia 6 bulan - Usia antara 12-15 bulan
Influenza Dimulai pada saat umur 6 bulan. Pada tiap tahunnya harus diberikan 1 kali
MMR (Measless/campak, Mumps/gondong, Rubella/campak
Jerman)
Diberikan 2 kali : - Usia 15 bulan - Usia 6 tahun
Tifoid Diberikan pada saat anak berumur 2 tahun dan diulang setiap 3 tahun sekali
Hepatitis A
Diberikan saat usia anak 2 tahun. Pemberiannya 2 kali dengan interval (jarak) waktu 6-12 minggu
Varisela Dilakukan saat anak berumur 10-12 tahun
(Sumber: Eveline, 2010)
Anak dengan kondisi tubuh yang sehat akan menjaga nafsu makan
anak, sehingga asupan makanan dapat masuk dan diserap dengan baik.
Nutrisi yang diserap akan dimanfaatkan untuk meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh, sehingga pertumbuhan dan perkembangan balita tidak
mengalami hambatan. Anak balita yang mendapat kualitas pengasuhan
yang lebih baik, besar kemungkinan akan memiliki angka kesakitan yang
rendah dan status gizi yang relatif lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa
pengasuhan merupakan faktor penting dalam status gizi dan kesehatan
anak balita (Prawesti, 2018).
3. Pola Asuh Psikososial
21
Menjaga hubungan baik antara ibu dan anak merupakan salah satu
faktoryang menentukan baik buruknya tumbuh kembang pada anak. Oleh
karena itu keluarga terutama ibu harus selalu memberikan perawatan
psikososial. Perawatan psikososial pada anak bisa dilakukan sejak tahun
pertama kehidupan. Anak yang tidak mempunyai kedekatan dengan ibunya
cenderung lebih susah diberikan pemahaman akan hal yang boleh dilakukan
atau tidak. Hal ini karena anak tidak memiliki kepercayaan kepada ibunya.
Apabila hal ini terus menerus terjadi, anak akan menjadi semaunya sendiri
termasuk dalam hal makanan. Sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak
bisa terganggu (Lestari & Handayani, 2014).
Menurut teori Erik Erikson, terdapat delapan tahapan perkembangan
psikososial pada anak :
a. Kepercayaan Dasar vs Ketidakpercayaan/Kecurigaan Dasar (usia 0-1
tahun)
Tahap ini terjadi pada usia 0 sampai dengan usia 1 tahun. Timbulnya rasa
kepercayaan dasar pada usia ini diawali dari tahap sensorik-oral dan
ditandai bayi tidur dengan tenang dan nyenyak, menyantap makanan
dengan nikmat, dan proses defekasi mudah dan lancar. Dalam tahapan ini
bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan kehangatan, jika
ibu berhasil memenuhi kebutuhan anak, maka anak akan mengembangkan
kemampuan untuk dapat mempercayai dan dapat mengembangkan asa
(hope). Jika proses ego ini tidak terselesaikan, individu tersebut akan
mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya dengan orang lain
dan selalu meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil
keuntungan darinya (Emiliza, 2019).
22
b. Kemandirian (Otonomi) vs Perasaan Malu (usia 2-3 tahun)
Dalam tahap ini anak akan belajar dirinya memiliki kontrol atas tubuhnya.
Orang tua seharusnya menuntun dan mengajarkan anak untuk mengontrol
keinginan secara lembut. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol
fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan
dan kemandirian. Beberapa kemandirian tersebut diantaranya pemilihan
makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian (Emiliza,
2019).
c. Inisiatif vs Rasa Bersalah (usia 3-5 tahun)
Pada periode ini anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan
tindakannya. Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan
kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa
bertanggungjawab dan prakarsa. Mereka yang gagal mencapai tahap ini,
akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang
inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila
anak tidak diberi kepercayaan (Emiliza, 2019).
d. Berkarya vs Rasa Rendah Diri (usia 5-12 tahun)
Pada tahap ini kekuatan yang perlu ditumbuhan adalah kompetensi atau
terbentuknya berbagai ketrampilan. Membandingkan kemampuan diri
sendiri dengan teman sebaya. Anak belajar mengenai ketrampilan sosial
dan akademis melalui kompetisi yang sehat dengan kelompoknya.
Keberhasilan yang diraih untuk memupuk rasa percaya diri, sebaliknya
apabila anak menemui kegagalan maka terbentuklah inferioritas
(Krismawati, 2014).
e. Identitas vs Kekacauan Identitas (usia 12-20 tahun)
23
Pada tahap ini anak mulai memasuki usia remaja dimana identitas diri baik
dalam lingkup sosial maupun dunia kerja mulai ditemukan. Bisa dikatakan
masa remaja adalah awal dari usaha pencarian diri sehingga anak berada
pada tahap persimpangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa
(Krismawati, 2014).
f. Keintiman vs Isolasi (usia 20-30 tahun)
Pada tahap ini kekuatan dasar yang dibutuhkan adalah kasih, karena
muncul konflik antara keintiman atau keakraban vs keterasingan atau
kesendirian. Agen sosial pada tahap ini adalah kekasih suami atau isteri
termasuk juga sahabat yang dapat membangun suatu bentuk persahabatan
sehingga tercipta rasa cinta dan kebersamaan. Apabila kebutuhan ini tidak
terpenuhi, maka munculah perasaan kesepian, kesendirian dan tidak
berharga (Krismawati, 2014).
g. Gerativitas vs stagnasi (usia 40-50 tahun)
Seseorang telah menjadi dewasa pada tahap ini sehingga dihadapkan
kepada tugas utama untuk produktif dalam bidang pekerjaan serta
tuntunan untuk berhasil mendidik keluarga serta melatih generasi penerus.
Konflik utama pada tahap ini adalah gerativitas vs stagnasi sehingga
kekuatan dasar yang penting untuk ditumbuhkan adalah kepedulian.
Kegagalan pada masa ini menyebabkan stagnasi atau keterlambatan
perkembangan (Krismawati, 2014).
h. Integritas vs Keputusasaan (usia 60 tahun keatas)
Pribadi yang sudah memasuki usia lanjut mulai mengalami penurunan
fungsi-fungsi kesehatan. Begitu juga pengalaman masa lalu baik
keberhasilan atau kegagalan menjadi perhatian. Konflik utama pada tahap
24
ini adalah integritas vs keputusasaan dengan kekuatan utama yang perlu
dibentuk adalah pemunculan hikmat atau kebijaksanaan. Fungsi
pengalaman hidup terutama yang bersifat sosial akan memberi makna
tentang kehidupan (Krismawati, 2014).
4. Pola Asuh Anak Selama Di Dalam Kandungan
Pola asuh anak selama di dalam kandungan berkaitan dengan status
giziIibu pada saat kehamilan. Ibu yang mengalami kurang gizi akan
mengakibatkan janin yang dikandung juga mengalami kekurangan zat gizi.
Kekurangan zat gizi pada kehamilan yang terjadi terus menerus akan
melahirkan anak dengan kondisi kurang gizi (kurus) atau berat bayi lahir rendah
(BBLR). Kondisi ini jika berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama akan
menyebabkan anak mengalami kegagalan dalam pertumbuhan dan
perkembangan (Ni’mah, 2015).
a. Cara merawat anak selama di dalam kandungan :
1. Mempertahankan berat badan ibu normal
Berat badan normal adalah tidak terlalu gemuk dan terlalu kurus.
Kegemukan akan menurunkan kesuburan ibu, demikian pula jika ibu
terlalu kurus (kurang gizi). Selain itu, kegemukan dan kurang gizi
berisiko menimbulkan masalah saat ibu hamil dan melahirkan
(Anggarani, 2013).
2. Menerapkan pola makan sehat dan seimbang
Asupan gizi sangat berperan dalam menentukan kualitas kesehatan
ibu. Saat hamil, kesehatan janin ditentukan oleh kualitas makanan
yang dikonsumsi oleh ibu selama kehamilan. Agar pola makan sehat
dan seimbang, perlu diperhatikan beberapa hal seperti 1) porsi
25
makanan harus sesuai dengan kebutuhan tubuh, 2) berasal dari
sumber bahan pangan yang sehat, 3) pengolahan makanan dari dapur
sehat, 4) waktu makan yang tepat (Anggarani, 2013).
3. Selalu menggunakan air bersih
Dengan menggunakan air bersih, kita dapat terhindar dari penyakit
seperti diare, kolera, disentri, thypus, cacingan, penyakit mata,
penyakit kulit, atau keracunan (Anggarani, 2013).
4. Menggunakan jamban bersih
Jamban yang tidak bersih dapat menjadi sumber penyebaran penyakit
diare, kolera, dan disentri (Anggarani, 2013).
5. Mencuci tangan dengan sabun
Cucilah tangan menggunakan sabun terutama sebelum makan,
sebelum mengelola makanan,setelah buang air besar, dan setelah
memegang hewan. Kebiasaan sehat ini sangat berpengaruh besar
untuk menghindari atau mencegah berbagai penyakit (Anggarani,
2013).
6. Tidak mengonsumsi alkohol, narkotika, dan zat berbahaya lainnya
Alkohol dan narkotika dapat menimbulkan efek berbahaya terhadap
kesehatan janin dan ibu hamil. Ibu hamil yang mengkonsumsi zat
berbahaya pada saat pembentukan dan perkembangan janin dapat
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan organ janin yang masih
berkembang. selain itu zat berbahaya juga meningkatkan risiko
terjadinya keguguran, berat bayi lahir rendah, dan kelainan prematur.
Oleh karena itu, setiap wanita hamil harus berhati-hati terhadap apa
yang dikonsumsinya (Anggarani, 2013).
26
b. Nutrisi selama kehamilan
1. Asam Folat
Folat atau vitamin B dibutuhkan untuk mencegah kegagalan
penutupan tabung saraf neural pada janin dan mencegah terjadinya
kelainan berat pada otak serta tulang belakang janin. Kekurangan
asam folat bisa bisa mengakibatkan terjadinya persalinan prematur,
BBLR, dan juga kecacatan bayi. Folat bisa didapat dari makanan-
makanan seperti sayuran hijau (bayam, kubis, kol), buah-buahan
(jeruk, melon, stroberi, lemon), kacang-kacangan, dan makanan
berbahan dasar gandum (roti, oatmeal) (Senoaji, 2012).
2. Kalsium dan vitamin D
Kalsium penting untuk pertumbuhan dan kekuatan tulang dan gigi,
pengaturan sistem saraf, otot serta darah. Kalsium bisa didapat dari
semua produk susu dan turunnya seperti keju dan yoghurt, atau bisa
juga dari telur dan ikan salmon. Vitamin D bisa didapat dari telur, ikan
salmon, ikan tuna, dan mentega (Senoaji, 2012).
3. Zat besi
Zat besi penting untuk mencegah anemia atau kurang darah pada ibu
hamil. Selama kehamilan ibu cenderung jadi mudah lelah dan sering
merasa pusing. Hal ini terjadi karena berkurangnya jumlah darah ibu
karena dibagi ke janin. Berkurangnya jumlah darah itu akan
mengakibatkan berkurangnya aliran nutrisi ke janin. Zat besi bisa
didapat dari daging-dagingan, kacang-kacangan, dan sayuran hijau
(Senoaji, 2012).
27
c. Mitos Dan Fakta Makanan Terkait Kehamilan
Tabel 2. 8 Mitos Dan Fakta Makanan Terkait Kehamilan
Mitos-mitos yang beredar di masyarakat
Fakta
Tidak boleh makan nanas karena dapat melemahkan kandungan dan menyebabkan keguguran
Nanas mengandung serat yang cukup tinggi dan dipergunakan sebagai obat anti sembelit. Banyak makan nanas membuat perut jadi panas dan sering buang air besar. Pada kehamilan muda, posisi janin dalam perut belum terlalu kuat. Buang air besar secara terus-menerus bisa membahayakan kehamilan (Sinsin, 2008).
Banyak minum es, bayi menjadi besar
Air es saja tidak ada kaitannya dengan bayi menjadi besar. Tetapi air es selalu dikaitkan dengan rasa manis, misalnya dalam bentuk es campur, koktail, dan sejenisnya. Gula inilah yang dikhawatirkan karena bisa membuat bayi menjadi besar. Apalagi jika dikonsumsi pada trimester tiga, saat pertumbuhan janin terjadi sangat pesat. Gula juga akan membuat ibu menjadi gemuk (Sinsin, 2008).
Minum soda dapat menyebabkan keguguran dan kecacatan
Minum soda (softdrink) yang terlalu banyak dapat menyebabkan lambung rusak sedangkan janin baik-baik saja (Sinsin, 2008).
Janin akan tumbuh besar dan sehat apabila ibu makan lebih banyak
Selama makanan yang dikonsumsi memenuhi zat gizi yang diperlukan, janin akan terus tumbuh secara bertahap, teratur dan sehat. Jika terlalu banyak makan hingga menyebabkan kenaikan berat badan yang tidak terkontrol, ibu akan berisiko terkena gestasional diabetes (diabetes selama kehamilan) (Aditya, 2016).
Minum air kelapa akan membuat kulit bayi kecil dan halus
Air kelapa membatu menetralisir lemak yang berada di air ketuban, tetapi tidak membuat kulit bayi menjadi putih. Warna kulit pada bayi ditentukan oleh faktor genetik (Aditya, 2016).
Mengonsumsi kacang kedelai atau kacang hijau dapat membuat rambut bayi tumbuh lebat
Lebat atau tidaknya rambut pada bayi sangat tergantung pada faktor genetik. Tetapi ibu hamil sangat baik jika mengonsumsi air kacang hijau karena mengandung vitamin dan protein tinggi yang dapat menunjang kesehatan sang ibu dan tumbuh kembang janin di dalam rahim (Aditya, 2016).
Mengonsumsi makanan pedas dapat mempercepat proses kelahiran
Tidak ada bukti ilmiah yang benar-benar valid bahwa makanan pedas bisa mengakibatkan kontraksi dan berpengaruh pada janin. Jika ibu terlalu banyak mengonsumsi makanan pedas dapat membuat perut mulas. Hal ini terjadi karena adanya iritasi lambung, bukan karena kontraksi melahirkan (Aditya, 2016).
28
Selama hamil tidak boleh makan nanas, durian, dan pisang ambon
Tidak ada larangan untuk mengonsumsi jenis makanan apa pun (asalkan dalam jumlah yang tidak berlebihan), kecuali minuman yang mengandung alkohol dan kafein (Aditya, 2016).
Pemeriksaan USG dapat membahayakan janin dalam kandungan
Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan kehamilan yang aman, karena menggunakan gelombang ultrasonik. Pemeriksaan USG ini memberikan gambaran gambaran secara jelas, kondisi janin dan lingkungan sekitar janin (plasenta, rahim, air ketuban, posisi janin, perkiraan berat dan besar janin) (Aditya, 2016).
2.1.2.1.3 Tingkat Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi seseorang untuk memahami dan
menerima informasi. Orang tua dengan pendidikan yang rendah akan lebih mengikuti
pantangan yang ada daripada menerima hal yang baru. Misalnya pantangan memakan
makanan tertentu. Hal ini dianggap bahwa pantangan yang sudah ada tidak akan
memberikan dampak apapun terhadap anak, bahkan jika dilanggar dianggap akan
berdampak buruk bagi anak. Orang tua dengan pendidikan yang baik akan mengerti
bagaimana mengasuh anak dengan baik, menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan
dengan baik dan menjaga kebersihan lingkungan (Septikasari, 2018).
Anak yang memiliki ayah dengan pendidikan rendah akan meningkatkan
risiko kejadian kurang gizi sebesar 1,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yag
memiliki ayah dengan pendidikan tinggi. Pendidikan ayah dapat merefleksikan
pekerjaan kepala keluarga dan secara tidak langsung berhubungn dengan pendapatan
keluarga dan status sosial keluarga. Status sosial keluarga yang baik akan lebih
berpeluang mampu memenuhi kebutuhan keluarga termasuk dalam sektor pangan
dan menyediakan lingkungan tempat tinggal dengan sanitasi yang baik sehingga anak
dapat tumbuh dalam kondisi sehat (Septikasari, 2018).
29
2.1.2.1.4 Tingkat Pengetahuan Ibu
Pengetahuan gizi merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat
kembali kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut dalam
tubuh. Pengetahuan gizi sendiri adalah salah satu permasalahan di masyarakat yang
menyebabkan berbagai masalah gizi terutama wasting. Pada umumnya di masyarakat
ibu yang memiliki pengetahuan gizi sangat rendah. Para ibu tidak mengetahui cara
menghidangkan makanan agar anaknya tidak bosan, tidak mengetahui pemilihan
makanan yang bernilai gizi baik, dan tidak mengetahui cara pengelolaan makanan
yang baik. Hal ini akan mempengaruhi asupan gizi yang diterima anak menjadi kurang
(Subekti, 2012).
Asupan zat gizi yang dimakan oleh balita sehari-hari tergantung pada ibunya
sehingga ibu memiliki peran yang penting terhadap perubahan masukan zat gizi pada
balita. Ibu dengan tingkat pengetahuan yang lebih baik kemungkinan besar akan
menerapkan pengetahuannya dalam mengasuh anaknya, khususnya memberikan
makanan sesuai dengan zat gizi yang diperlukan oleh balita, sehingga balita tidak
mengalami kekurangan asupan makanan (Ni’mah, 2017).
2.1.2.1.5 Status Pekerjaan
Pekerjaan merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas maupun
kuantitas pangan, karena pekerjaan berhubungan dengan pendapatan. Pendapatan
keluarga yang mencukupi akan menunjang perilaku anggota keluarga untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan keluarga lebih memadai. Pendapatan akan
mempengaruhi pemenuhan zat gizi makanan keluarga dan kesempatan dalam
mengikuti pendidikan formal (Wado, 2019).
Di pedesaan maupun perkotaan mayoritas ibu bekerja sebagai ibu rumah
tangga. Banyaknya ibu yang tidak bekerja seharusnya memberikan dampak positif
30
terhadap balitanya, karena ibu lebih memilih waktu yang banyak untuk bersama anak,
sehingga dapat merawat dan mengurusnya dengan baik. Kondisi ini karena kurangnya
kesadaran ibu terhadap kesehatan balitanya, sehingga waktu yang dimiliki tidak
dimanfaatkan dengan baik untuk merawat balita. Sehingga kebutuhan balita terutama
nutrisi menjadi tidak tercukupi (Wado, 2019).
2.1.2.2 Berdasarkan Faktor Anak
2.1.2.2.1 Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan besar kecilnya status gizi anak. Menurut hasil
penelitian Ni’mah (2015) wasting paling sering dialami oleh anak laki-laki. Hal ini
dikarenakan anak laki-laki biasanya membutuhkan lebih banyak zat gizi seperti energi
dan protein daripada perempuan. Jenis kelamin merupakan faktor internal seseorang
yang berpengaruh.
2.1.2.2.2 Usia
Menurut hasil penelitian Ni’mah (2015) wasting paling sering dialami anak
dengan umur 13-36 bulan. Pada anak usia diatas 6 bulan, merupakan usia dimana
balita sangat tergantung pada makanan tambahan. Disamping itu anak juga sudah
mulai mengenal makanan jajanan. Apabila hal ini tidak terpenuhi dalam kualitas
maupun kuantitas makanan yang cukup maka status gizi anak akan menurun.
Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan
yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat
badannya. Karena makanan memberikan sejumlah zat gizi yang diperlukan untuk
tumbuh kembang pada setiap tingkat perkembangan dan usia yaitu masa bayi, balita,
dan usia prasekolah. Pemilihan makanan yang tepat dan benar sangat mempengaruhi
kecukupan gizi untuk tumbuh kembang fisik (Suhendri, 2019).
31
2.1.2.2.3 Asupan Nutrisi
Asupan nutrisi merupakan makanan bergizi yang digunakan untuk
mencukupi kebutuhan tubuh. Asupan nutrisi pada anak yang tidak adekuat dapat
mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan anak, bahkan apabila
kondisi tersebut tidak ditangani dengan baik maka risiko kesakitan dan kematian anak
akan meningkat. Selain itu tidak terpenuhinya nutrisi dalam tubuh dapat berpengaruh
terhadap sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh yang lemah menyebabkan
anak lebih rentan terkena penyakit menular dari lingkungan sekitarnya terutama pada
lingkungan dengan sanitasi yang buruk maupun dari anak lain atau orang dewasa yang
sedang sakit. Karena daya tahan tubuh lemah, anak dengan asupan nutrisi tidak
adekuat sering kali mengalami infeksi saluran cerna berulang. Infeksi saluran cerna
inilah yang meningkatkan risiko kekurangan gizi semakin berat karena tubuh anak
tidak dapat menyerap nutrisi dengan baik. Status gizi yang buruk dikombinasikan
dengan infeksi dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan (Septikasari, 2018).
Kekurangan salah satu zat gizi dapat menyebabkan kekurangan zat gizi
lainnya. Sebagai contoh kekurangan zat besi, magnesium dan zinc dapat
menyebabkan anoreksia yang berakibat tidak terpenuhinya zat gizi yang lain seperti
protein. Kekurangan protein dapat mengganggu tumbuh kembang anak sehingga
dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang. Tidak terpenuhinya nutrisi juga
berdampak pada perkembangan otak dan kapasitas intelektual di masa kritis
pertumbuhannya yang menyebabkan penurunan kecerdasan. Apabila asupan zat gizi
tidak adekuat terus berlanjut dan semakin buruk maka dapat mnyebabkan kematian
pada anak (Septikasari, 2018).
Kurang gizi pada anak menurunkan sistem imun yang akhirnya akan
meningkatkan resiko terjadinya penyakit infeksi. Keadaan kurang gizi mempunyai
32
efek terhadap mekanisme pertahanan terhadap antigen, serta berpengaruh juga
terhadap respon imun. Penurunan respon tersebut yang dapat menyebabkan virus
dengan mudah menginfeksi dan bereplikasi, sehingga timbulah penyakit infeksi pada
anak tersebut (Tambunan, 2019).
Mengkonsumsi makanan yang beragam, bergizi seimbang dan aman dapat
memenuhi kecukupan gizi individu untuk tumbuh dan berkembang. Makanan gizi
seimbang yaitu asupan nutrisi yang cukup secara kuantitas, kualitas, dan mengandung
berbagai zat gizi (energi, protein, vitamin, dan mineral) yang diperlukan tubuh untuk
tumbuh, menjaga kesehatan , dan melakukan aktivitas sehari-hari (Judistiani, 2015).
Tabel 2. 9 Kebutuhan Gizi Untuk Usia 11-3 Tahun
Jenis Zat Gizi Kebutuhan per hari (Usia 1-3 tahun)
Kebutuhan per hari (Usia 3-5 tahun)
Kalsium 500 mg 500 mg
Zat Besi 8 mg 9 mg
Zat Seng 10 mg 10 mg
Vitamin A 350 mikogram 460 mikogram
VitaminK 40 mg 45 mg
VitaminL 10 mg 10 mg
(Sumber : Sutomo, 2010)
2.1.2.2.4 Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi adalah penyakit yang diderita anak, bersifat akut yang terjadi
setiap bulan atau kronik yang terjadi baik dalam satu minggu atau lebih secara terus
menerus. Penyakit infeksi dapat menurunkan nafsu makan anak, menyebabkan
kehilangan bahan makanan karena muntah/diare, dan gangguan penyerapan dalam
saluran pencernaan, sehingga dapat menyebabkan asupan nutrisi untuk tubuh
berkurang. Selain itu infeksidapat menghambat reaksi imunologis yang normal
dengan menghabiskan sumber energi di tubuh. Jika hal ini terjadi secara terus
menerus pertumbuhan dan perkembangan anak bisa terhambat serta kondisi fisik
juga akan mengalami pengurusan (wasting) (Prawesti, 2018).
33
Infeksi akan lebih mengakibatkan dampak yang berbahaya bila menyerang
seseorang yang kurang gizi. Infeksi menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan
tubuh, baik untuk bibit penyakit itu sendiri maupun penghancuran untuk
memperoleh protein yang diperlukan untuk mempertahankan tubuh. Hadirnya
penyakit infeksi dalam tubuh anak akan semakin memburuk jika disertai muntah dan
diare. Dalam kondisi ini, dalam tubuh terjadi penurunan imunitas atau penurunan
daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Adriani, 2014).
Penyakit infeksi yang sering terjadi dan memiliki hubungan terhadap
terjadinya wasting adalah diare dan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas). Diare
yang terjadi pada anak sangat berbahaya karena dapat menyebabkan tubuh kehilangan
cairan dalam jumlah banyak. Diare dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa usus
sehingga protein, cairan dan zat lainnya tidak dapat terserap dengan baik. Apabila
nutrisi tidak bisa terserap dengan baik, anak akan mengalami kekurangan gizi
sehingga tubuh anak perlahan-lahan akan kurus (Tambunan, 2019). ISPA merupakan
gangguan kesehatan yang sering menyerang balita yang disebabkan oleh
mikroorganisme. Mikroorganisme yang sering dikenal yaitu bakteri, jamur, virus.
Mikroorganisme ini tinggal dijaringan sel tubuh dan memakan zat gizi dari untuk
bertahan hidup. apabila tidak segera mendapat pengobatan zat gizi yang tersedia di
dalam tubuh akan habis dan bisa menyebabkan anak kekurangan gizi serta kondisi
fisik yang menjadi kurus (Pandi, 2012).
2.1.2.2.5 BBLR
Berat lahir merupakan berat bayi yang ditimbang dalam waktu satu jam
pertama setelah dilahirkan. Secara normal berat bayi baru lahir berkisar antara 2.500-
4.000 gram. Bayi yang lahir lebih dari 4.000 gram disebut bayi besar sedangkan bayi
yang lahir kurang dari 2.500 gram disebut dengan berat bayi lahir rendah (BBLR).
34
Kejadian BBLR merusakan salah satu indikator kesehatan masyarakat karena
memiliki hubungan dengan angka kematian, kesakitan, dan kejadian gizi kurang di
masa yang akan datang (Septikasari,32018).
Anak yang lahir dengan BBLR selain memiliki organ-organ dan tubuh yang
kecil juga mengalami defisit sel otak sebesar 10-17 %. Defisit sel otak akan meningkat
menjadi 30-40 % apabila bayi tidak mendapatkan asupan makanan dengan baik.
Defisit sel otak dapat mengakibatkan gangguan pada sistem saraf yang akan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Selain defisit sel otak
bayi dengan BBLR juga mengalami defisit simpanan gizi sehingga imunitas atau daya
tahan tubuh mengalami penurunan. Dengan demikian maka bayi dengan BBLR akan
mudah terserang penyakit terutama penyakit infeksius (Hayati, 2009).
Dampak lain dari BBLR dapat berupa gagal tumbuh (grouth-faltering), anak
pendek (stunting) tiga kali lebih besar daripada non BBLR, anak kurus (wasting), risiko
malnutrisi, pertumbuhan terganggu, gangguan mental dan fisik. Selain itu BBLR juga
bisa memberikan dampak buruk jangka panjang untuk kesehatan seperti kematian
neonatal, morbiditas, penurunan perkembangan kognitif, dan penyakit kronis. Bayi
dengan status BBLR meningkatkan resiko kematian hingga 20 kali dibandingkan
dengan bayi lahir lahir normal (Rahayu, 2018)(Puspariny, 2015).
2.1.2.3 Berdasarkan Faktor Keluarga
2.1.2.3.1 Ketahanan Pangan Keluarga
Ketahanan pangan keluarga merupakan suatu kondisi ketersediaan pangan
yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap individu yang mempunyai
akses untuk memperolehnya, baik secara fisik maupun ekonomi. Ketahanan pangan
didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari ketersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
35
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Fokus ketahanan pangan tidak hanya
pada penyediaan pangan tingkat wilayah tetapi juga ketersediaan dan konsumsi
pangan tingkat daerah dan rumah tangga, dan bahkan individu dalam memenuhi
kebutuhan gizinya (Arlius, 2017).
Ketahanan pangan keluarga berhubungan dengan kestabilan ketersediaan
pangan baik kualitas maupun kuantitas dalam keluarga. Jika ketahanan pangan kurang
maka status gizi menjadi kurang dan menyebabkan turunnya derajat kesehatan.
Ukuran ketahanan pangan dalam rumah tangga adalah jumlah yang cukup tersedia
untuk konsumsinya sesuai dengan jumlah anggota keluarganya. Apabila jumlah
anggota keluarga banyak dan ekonomi dalam keluarga kecil maka asupan nutrisi
setiap orang terbatas. Anak balita yang menerima asupan nutrisi kurang dari
kebutuhan akan berdampak pada status gizi anak dan bisa menyebabkan kondisi fisik
anak menjadi kurus (Prawesti, 2018).
2.1.2.3.2 Tingkat Ekonomi Keluarga
Menurut buku yang ditulis oleh Septikasari (2018) keluarga dengan
pendapatan dibawah UMR, 3,2 kali lebih berisiko tidak memberikan nutrisi yang
adekuat dibandingkan dengan keluarga dengan pendapatan diatas UMR. Rendahnya
daya beli menyebabkan pemenuhan kebutuhan dasar pangan yang memenuhi syarat
asupan gizi yang cukup tidak dapat terpenuhi yang pada akhirnya berdampak pada
status gizi keluarga khususnya anak sebagai kelompok rentan.
Keluarga dengan status ekonomi yang rendah tidak dapat memenuhi
kebutuhan gizi karena tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli bahan
makanan yang bergizi. Rumah yang dijadikan sebagai tempat tinggal dibiarkan
36
seadanya tanpa dirubah kedalam standar rumah sehat menurut Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan (tabel 2.3). Hal ini dilakukan karena keterbatasan
dana yang diperoleh keluarga. Selain itu dalam sektor kesehatan, apabila salah satu
keluarga ada yang sakit maka hanya mampu dirawat sendiri dengan peralatan dan
kemampuan seadanya tanpa dibawa ke pelayanan kesehatan (Hasyim, 2017).
Tabel 2. 10 Standar Rumah Sehat
No. Kategori Kriteria
1. Komponen- Rumah
Langit-langit
Dinding
Lantai
Jendela kamar tidur
Jendela ruang keluarga
Ventilasi
Pencahayaan
Sarana pembuangan asap dapur
2. Sarana sanitasi Sarana air bersih
Sarana pembuangan kotoran (jamban)
Sarana pembuangan air limbah (SPAL)
Pengelolaan sampah
3. Perilaku penghuni
Membuka jendela kamar tidur
Membersihkan rumah dan halaman
Membuang tinja bayi dan balita ke jamban
Membuang sampah pada tempat sampah
(Sumber : Afriliyanti, 2013)
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dkk, menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara status ekonomi keluarga dengan kejadian
wasting. Penelitian ini menunjukkan bahwa rumah tangga dengan status ekonomi
rendah akan beresiko lebih besar untuk anak mengalami wasting. Kemampuan
keluarga untuk mencukupi kebutuhan makanan dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
dari keluarga itu sendiri. Keluarga yang memiliki pendapatan relatif rendah akan sulit
untuk mecukupi kebutuhan makanannya. Pada umumnya jika pendapatan naik,
jumlah dan jenis makanan akan cenderung membaik, akan tetapi mutu makanan tidak
37
selalu membaik. Hal ini disebabkan karena peningkatan pendapatan yang diperoleh
tidak digunakan untuk membeli pangan atau bahan makanan yang bergizi tinggi
(Rahayu dkk, 2018).
2.1.2.3.3 Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga dalam satu rumah dapat mempengaruhi
pemenuhan asupan nutrisi yang didapatkan oleh setiap anggota keluarga. Jumlah
anggota keluarga memiliki keterkaitan dengan tingkat ekonomi. Apabila ekonomi
rendah ditambah dengan jumlah anggota keluarga yang lebih dari enam orang akan
berisiko mengalami gangguan gizi (Suhendri, 2019).
2.1.3 Dampak Wasting
Wasting pada anak dapat mempengaruhi proses pertunbuhan dan
perkembangan. Dampak pada wasting dibedakan menjadi dampak jangka pendek dan
dampak jangka panjang. Dampak jangka pendek diantaranya penurunan daya
eksplorasi terhadap lingkungan, kurangnya bergaul dengan teman sebaya, kepasifan
dalam melakukan aktivitas, sering merasa kelelahan, apatis, dan rentan terkena
penyakit infeksi. Sedangkan untuk dampak jangka panjang yaitu gangguan kognitif,
penurunan kecerdasan sehingga prestasi ikut menurun, gangguan perilaku,
pertumbuhan terhambat, dan peningkatan resiko kematian (Hastuti dkk,
2017)(Afriyani, 2016).
Balita yang mengalami wasting dapat meningkatkan resiko kesakitan dan
kematian anak. Anak yang wasting sangat mudah terkena penyakit infeksi. Apabila
keadaan kurang gizi pada masa balita terus berlanjut, maka dapat mempengaruhi
intellectual performance, kapasitas kerja, dan kondisi kesehatan lainnya di usia selanjutnya
(Tambunan, 2019).
38
2.2 Konsep Status Gizi
2.2.1 Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui
status kesehatan masyarakat. Status gizi keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir
dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan penggunaannya.
Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam
tubuh. Apabila tubuh mendapatkan cukup zat gizi dan digunakan secara efisien maka
akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat
sebaik mungkin (Prawesti, 2018).
2.2.2 Klasifikasi Status Gizi
a. Klasifikasi berdasarkan indikator BB/U
Berat badan merupakan parameter yang memberikan gambaran massa tubuh.
Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak seperti adanya
penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang
dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam
keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi
dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti
pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan
perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat.
Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih
menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Septikasari, 2018). Berikut ini
merupakan klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/U :
Tabel 2. 11 Indeks Antropometri Berdasarkan BB/U
Kategori Zscore
39
Gizi buruk < -3,0
Gizi kurang ≥ -3,0 sampai dengan < -2,0
Gizi baik ≥ -2,0 sampai dengan ≤ -2,0
Gizi lebih > 2,05
b. Klasifikasi berdasarkan indikator TB/U :
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal atau tulang. Dalam keadaan normal, pertumbuhan tinggi badan
sejalan dengan pertambahan umur. Tidak seperti berat badan, pertumbuhan tinggi
badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang
pendek. Sehingga pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak
dalam waktu yang relatif lama. Dengan demikian indikator TB/U sangat baik untuk
melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan
lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita (Septikasari, 2018). Berikut ini
merupakan klasifikasi status gizi berdasarkan indikatorRTB/U :
Tabel 2. 12 Indeks Antropometri Berdasarkan TB/U
Kategori Zscore
Sangat pendek < -3,0
Pendek ≥ -3,0 sampai dengan < -2,0
Normal ≥ -2,0
Tinggi > 2,0
c. Klasifikasi berdasarkan indikator BB/TB :
BB/TB merupakan indikator pengukuran antropometri yang paling baik,
karena dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik.
Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya perkembangan berat
badan akan diikuti oleh pertambahan tinggi badan. Oleh karena itu, berat badan yang
normal akan proporsional dengan tinggi badannya (Septikasari, 2018). Berikut ini
merupakan klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB :
Tabel 2. 13 Indeks Antropometri Berdasarkan BB/TB
40
Kategori Zscore
Sangat kurus < -3,0
Kurus ≥ -3,0 sampai dengan < -2,0
Normal ≥ -2,0 sampai dengan ≤ 2,0
Gemuk > 2,0
2.2.3 Penilaian Status Gizi
Menurut buku yang ditulis oleh Septikasari (2018) penilaian status gizi balita
dapat diukur berdasarkan pengukuran antropometri yang terdiri dari variabel umur,
berat badan (BB), dan tinggi badan (TB).
a. Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan
penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil
penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat menjadi tidak
berarti apabila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Ketentuan
yang digunakan dalam perhitungan umur adalah 1 tahun menjadi 12 bulan
dan 1 bulan menjadi 30 hari.
b. Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa
jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan
yang mendadak, baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan
yang menurun. Untuk memperoleh data berat badan dapat digunakan
timbangan dacin ataupun timbangan injak yang memiliki presisi 0,1 kg.
timbangan dacin atau timbangan anak digunakan untukmenimbang anak
sampai umur 2 tahun atau selama anak masih bisa dibaringkan/duduk tenang.
c. Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari
keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk
melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat
badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Panjang badan diukur
41
dengan length-board dengan presisi 0,1 cm dan tinggi badan diukur dengan
menggunakan microtoise dengan presisi 0,1 cm.
2.3 Konsep Anak Balita
2.3.1 Masa Balita
Anak Balita usia 1-5 tahun (usia prasekolah) merupakan kelompok umur yang
rawan gizi dan rawan penyakit. Beberapa kondisi yang menyebabkan usia ini rawan
gizi dan penyakit antara lain (1) anak balita masih berada dalam masa transisi dari
makanan bayi ke makanan orang dewasa, (2) biasanya anak sudah memiliki adik atau
ibunya sudah bekerja penuh sehingga perhatian ibu berkurang, (3) usia ini anak sudah
mulai bermain di tanah dan sudah bisa bermain di luar sendiri sehingga lebih sering
terpapar dengan lingkungan kotor dan kondisi yang memungkinkan untuk terinfeksi
dengan berbagai penyakit, (4) ibu sudah tidak begitu memperhatikan makanan
anaknya, karena ibu menganggap anak sudah bisa memilih makanan dan makanan
secara mandiri (Adriani, 2016).
Masa balita sering kali disebut sebagai “golden age”, yaitu masa yang sangat
penting untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara
fisik, mental, maupun emosional (Puspitasari, 2019). Oleh karena itu harus secara
cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila ada kelainan. Kebutuhan akan
asah, asih, dan asuh yang memadai pada usia ini akan meningkatkan kelangsungan
hidup anak dan mengoptimalkan kualitas anak sebagai generasi penerus bangsa.
Kelompok anak balita merupakan kelompok yang sering menderita kekurangan gizi
(Judistiani, 2015).
Balita usia prasekolah merupakan konsumen aktif yaitu mereka sudah dapat
memilih makanan yang disukainya. Perilaku makan sangat dipengaruhi oleh keadaan
psikologis, kesehatan, dan sosial anak. pada usia ini kebutuhan zat gizi meningkat
42
karena masih berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitas tinggi. Demikian
juga anak mempunyai pilihan terhadap makanan yang disukai termasuk makanan
jajanan. Oleh karena itu jumlah dan variasi makanan harus mendapatkan perhatian
secara khusus dari ibu atau pengasuh anak, terutama dalam memberikan paparan
pilihan makanan yang sehat dengan gizi seimbang. Disamping itu anak pada usia ini
senang bermain di luar rumah sehingga lebih rentan terkena penyakit infeksi dan
kecacingan terutama pada anak yang sudah memiliki masalah gangguan gizi
(Judistiani, 2015).