BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

34
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Wasting 2.1.1 Pengertian Wasting Balita kurus adalah suatu kondisi dimana balita menderita gangguan gizi dengan diagnosis ditegakkan berdasarkan penilaian tinggi badan per berat badan (Hasyim, 2017). Wasting merupakan suatu kondisi kekurangan gizi akut dimana BB anak tidak sesuai dengan TB atau nilai Z-score kurang dari -2SD (Standart Deviasi) (Afriyani, 2016). Anak kurus merupakan masalah gizi yang sifatnya akut, sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama seperti kekurangan asupan makanan (Rochmawati, 2016). 2.1.2 Penyebab Wasting Faktor penyebab wasting dikelompokkan 3 kategori yaitu berdasarkan faktor ibu, anak, dan keluarga. Faktor ibu yaitu ASI eksklusif, pola asuh, tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu, dan status pekerjaan . Faktor anak yaitu jenis kelamin, usia, asupan nutrisi, penyakit infeksi, dan BBLR. Faktor keluarga yaitu ketahanan pangan keluarga, tingkat ekonomi dan jumlah anggota keluarga (Prawesti, 2018). 2.1.2.1 Berdasarkan Faktor Ibu 2.1.2.1.1 ASI Eksklusif ASI merupakan satu-satunya sumber asupan makanan yang terbaik bagi bayi karena memiliki unsur-unsur memenuhi semua kebutuhan nutrien selama periode 6 bulan. ASI harus diberikan sampai usia 24 bulan karena mengandung nutrisi esensial untuk mambantu perkembangan dan pertumbuhan bayi agar lebih optimal. Pemberian ASI dikelompokkan tiga waktu yaitu pemberian ASI ketika anak baru lahir (kolostrum), pemberian ASI sampai usia 6 bulan tanpa tambahan

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Wasting

2.1.1 Pengertian Wasting

Balita kurus adalah suatu kondisi dimana balita menderita gangguan gizi

dengan diagnosis ditegakkan berdasarkan penilaian tinggi badan per berat badan

(Hasyim, 2017). Wasting merupakan suatu kondisi kekurangan gizi akut dimana BB

anak tidak sesuai dengan TB atau nilai Z-score kurang dari -2SD (Standart Deviasi)

(Afriyani, 2016). Anak kurus merupakan masalah gizi yang sifatnya akut, sebagai

akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama seperti kekurangan

asupan makanan (Rochmawati, 2016).

2.1.2 Penyebab Wasting

Faktor penyebab wasting dikelompokkan 3 kategori yaitu berdasarkan faktor

ibu, anak, dan keluarga. Faktor ibu yaitu ASI eksklusif, pola asuh, tingkat pendidikan

ibu, tingkat pengetahuan ibu, dan status pekerjaan . Faktor anak yaitu jenis kelamin,

usia, asupan nutrisi, penyakit infeksi, dan BBLR. Faktor keluarga yaitu ketahanan

pangan keluarga, tingkat ekonomi dan jumlah anggota keluarga (Prawesti, 2018).

2.1.2.1 Berdasarkan Faktor Ibu

2.1.2.1.1 ASI Eksklusif

ASI merupakan satu-satunya sumber asupan makanan yang terbaik bagi bayi

karena memiliki unsur-unsur memenuhi semua kebutuhan nutrien selama periode 6

bulan. ASI harus diberikan sampai usia 24 bulan karena mengandung nutrisi esensial

untuk mambantu perkembangan dan pertumbuhan bayi agar lebih optimal.

Pemberian ASI dikelompokkan tiga waktu yaitu pemberian ASI ketika anak baru

lahir (kolostrum), pemberian ASI sampai usia 6 bulan tanpa tambahan

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

10

makanan/minuman lain (eksklusif), pemberian ASI sampai dengan usia 24 bulan

disertai makanan pendamping ASI (Septikasari, 2018).

ASI yang keluar pada hari pertama dan kedua setelah melahirkan biasa

disebut dengan kolostrum. Kolostrum berwarna kuning atau jernih karena

mengandung sel hidup menyerupai sel darah putih yang dapat membunuh kuman

penyakit. Selain itu kolostrum mengandung air, tinggi protein, lemak, laktose,

mineral, vitamin, rendah karbohidrat, immunoglobulin dan antibodi yang melindungi

bayi dari infeksi (Rochmawati, 2016)(Goi, 2013).

ASI eksklusif adalah pemberian ASI pada saat usia bayi 0-6 bulan tanpa

disertai makanan/minuman lainnya seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air

putih, pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan nasi tim kecuali vitamin, mineral

dan obat. Bayi yang mendapat ASI eksklusif 80% atau lebih akan memiliki status gizi

normal. ASI ekslusif diberkan kepada bayi tanpa ditambahkan cairan lain. Pemberian

ASI eksklusif juga dapat menurunkan risiko penyakit diare terutama karena

mengurangi kemungkinan kontaminasi dari makanan (Septikasari, 2018).

Tabel 2. 1 Kandungan Zat Gizi Air Susu Ibu (ASI)

Zat Gizi Jumlah

Energi 65 kalori

Protein 1,1 gr

Lemak 3,5 gr

Karbohidrat 7,7 gr

Kalsium 35,3 mg

Phosfor 12,3 mg

Zat Besi 0 mg

Vitamin A (RE) 70

Vitamin B 0,2 mg

Vitamin C 2,7 mg

(Sumber : Hayati, 2009)

Faktor yang bisa mempengaruhi pemberian ASI eksklusif pada bayi yaitu (1)

Kurangnya pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif. Pengetahuan akan sangat

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

11

berpengaruh terhadap perilaku termasuk perilaku dalam pemberian ASI eksklusif, (2)

aktivitas ibu yang menghambat pemberian ASI eksklusif. Kesibukan ibu akan

mempengaruhi pemberian ASI eksklusif sehingga banyak ibu yang bekerja tidak

dapat memberikan ASI pada bayinya setiap 2-3 jam, (3) dukungan keluarga.

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang sangat berpengaruh erhadap

keberhasilan ibu menyusui ASI eksklusif. Peran suami dan keluarga akan menentukan

kelancaran refleks pengeluaran ASI sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi atau

perasaan ibu, (4) dukungan tenaga kesehatan. Petugas kesehatan sangat penting

dalam melindungi, meningkatkan, dan mendukung usaha menyusui (Septikasari,

2018).

Risiko pemberian makanan pada usia anak dibawah 6 bulan diantaranya (1)

tingginya solutekload (beban terlarut) hingga dapat menimbulkan hiperosmolaritas, (2)

peningkatan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas, (3) alergi

terhadap salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan, (4) mendapat zat

tambahan, seperti garam dan nitrat yang dapat merugikan, (5) terdapat zat pewarna

atau pengawet di dalam makanan yang tidak diinginkan, (6) ada kemungkinan

pencemaran dalam penyediaan atau penyimpanan makanan, (7) kekurangan gizi, (8)

konstipasi (Hayati, 2009).

Setelah anak berusia 6 bulan, ASI hanya mampu memenuhi kebutuhan

nutrisi sebanyak 60 % oleh karena itu anak perlu diberikan makanan tambahan

pendamping ASI (MP ASI). MP ASI merupakan makanan yang diberikan bersamaan

dengan ASI sampai anak berusia 2 tahun. MP ASI harus mencakup semua zat gizi

yang dibutuhkan antara lain karbogidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air

dengan memperhatikan kebersihan dan keamanannya bagi bayi (Septikasari, 2018).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

12

2.1.2.1.2 Pola Asuh

Anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan

dan gizi, karena pada masa ini masih terjadi proses pertumbuhan dan perkembangan

yang memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah yang besar. Pada masa anak-anak

kelangsungan serta kualitas hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya terutama

ibu. Peran serta keluarga terutama ibu dalam proses pola asuh sangat menentukan

status gizi pada anak (Subekti, 2012).

Pola asuh merupakan suatu kesepakatan di dalam rumah tangga dalam

mengalokasikan waktu, perhatian, dan dukungan yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan fisik, mental, dan sosial dalam rangka tumbuh kembang anak. Terdapat

beberapa teori yang membahas mengenai macam-macam pola asuh salah satu teori

yang sering diterapkan adalah teori dari Range (1997). Teori ini mengemukakan

bahwa pola pengasuhan dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu pola asuh makan,

pola asuh kebersihan dan kesehatan, pola asuh psikososial, pola asuh anak ketika di

dalam kandungan (Subekti, 2012).

1. Pola Asuh Makan

Orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya sering melupakan pola asuh

makan bagi anaknya. Pola asuh makan pada anak usia prasekolah berperan

penting dalam proses pertumbuhan pada anak, karena dalam makanan banyak

mengandung zat gizi. Zat gizi memiliki keterkaitan yang erat hubungannya

dengan kesehatan dan kecerdasan anak. Jika pola asuh makan tidak tercapai

dengan baik pada usia ini maka pertumbuhan dan perkembangan akan

terganggu, sehingga dapat menyebabkan tubuh anak menjadi kurus (Sa’diya,

2015).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

13

Pola asuh makan yang baik pada anak disebabkan karena orang tua telah

mengajarkan kebiasaan makan yang baik sejak kecil. Sedini mungkin diajarkan

kepada anak tentang kebiasaan makan yang baik dapat terbawa sampai mereka

dewasa dan dapat mempengaruhi kualitas hidupnya. Untuk usia balita dapat

mengikuti pola asuh makan keluarga serta bentuk dan kebutuhannya harus

diatur. Orang tua cenderung mengatur pola asuh makan anaknya berdasarkan

jenis dan jumlah makanan yang dimakan, akan tetapi tidak memperhatikan

jadwal makan. Orang tua yang tidak membudayakan disiplin makan, anak

cenderung menuruti kemauan sendiri tanpa memperhatikan nilai gizi yang

mereka makan (Sa’diya, 2015).

Pada anak usia balita sering kali nafsu makannya menurun. Anak lebih

tertarik untuk bermain daripada makan, sehingga pola asuh makan yang sudah

disiapkan oleh ibu sering kali terlewati. Untuk dapat menciptakan pola asuh

makan yang baik maka makanan yang disajikan harus bervariasi supaya tidak

membosankan. Hal ini dikarenakan variasi makanan akan dapat meningkatkan

selera makan anak sehingga kebutuhan nutrisi dalam tubuh terpenuhi (Sa’diya,

2015).

Tabel 2. 2 Kebutuhan makan anak usia 1-3 tahun per hari (+1300 kalori)

Bahan Makanan Berat (g) Ukuran Rumah Tangga

Nasi 250 1 ¼ gelas

Maizena 10 2 sdm

Biscuit 20 2 buah

Daging 50 2 potong kecil

Telur 50 1 butir

Tempe 50 2 potong

Sayuran 100 1 gelas

Pisang 100 2 buah

Susu bubuk 30 6 sdm

Minyak 20 2 sdm

Gula pasir 30 4 sdm

(Sumber : Sutomo, 2010)

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

14

Tabel 2. 3 Kebutuhan makan anak usia 3-5 tahun per hari (+1300 kalori)

Bahan Makanan Berat (g) Ukuran Rumah Tangga

Nasi 300 2 ¼ gelas

Daging 100 2 potong

Telur 50 1 butir

Tempe 50 2 potong

Kacang hijau 10 1 sdm

Buah 200 4 buah pisang

Sayuran 100 1 gelas

Minyak 20 2 sdm

Susu 400 ml 1 2/3 gelas

(Sumber : Sutomo, 2010)

Tabel 2. 4 Jadwal Pemberian Makanan Menurut Umur Bayi, Jenis Makanan, Dan

Frekuensi Pemberian

Umur Bayi Jenis Makanan Frekuensi Pemberian

6 bulan ASI Kapan diminta

- Buah lunak/sari buah, bubur tepung beras merah

1-2 kali sehari

7-8 bulan ASI Kapan diminta

- Buah-buahan - Hati ayam atau kacang-

kacangan - Beras merah atau ubi - Sayuran (wortel, bayam) - Minyak/santan - Air tajin

3-4 kali

9-11 bulan ASI Kapan diminta

- Buah-buahan - Bubur/roti - Daging/kacang-

kacangan/ayam/ikan - Beras merah/kentang/labu/

jagung - Kacang tanah - Minyak/santan - Sari buah tanpa gula

4-6 kali

12 bulan atau lebih

ASI ASI

- Makanan sehari-hari - Telur - Jeruk

4-5 kali

(Sumber : Hayati, 2009)

a. Cara penyajian makanan :

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

15

Tabel 2. 5 Cara Penyajian Makanan

Tekstur makanan

Setelah menjelang usia 9 bulan bayi menerima bubur saring, perlahan-lahan tekstur makanan bisa lebih dipadatkan tetapi tetap harus lembut/lunak. Lauk pauk meski tidak perlu lagi diblender halus tetapi harus lembut/tercincang halus. Dengan demikian kemampuan mengunyah bayi akan terus terlatih. Selain bentuk pure, menjelang 1 tahun bayi mulai bisa dilatih dengan bubur lengkap nutrisi yang lembut tanpa disaring atau makanan lembut lain seperti makaroni kukus lengkap nutrisi.

Jumlah makanan

Lewat usia 9 bulan, jumlah makanan padatnya bisa ditingkatkan secara bertahap, mulai dari setengah mangkuk hingga tiga perempat mangkuk bayi.

Frekuensi makanan

Selain ASI dan makanan pendamping utama, bayi juga sudah siap diberi tambahan makanan selingan disela waktu makan utamanya (misalnya biskuit bayi atau pure buah) sebanyak 1-2 kali. Contoh pemberian makan perhari : - ASI : 3 kali atau sesuai dengan keinginan anak - Bubur beras / tim ubi jalar / makaroni kukus : 2 kali - Buah : 1 kali - Bubur manis / pure buah : 1 kali

(sumber : Herdiman, 2014)

b. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika anak makan (Hardiman, 2014):

1. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan

2. Tetap waspada. Selama ada resiko tersedak, bayi tidak boleh ditinggalkan

sendiri saat makan. Jangan membiasakan meletakkan mainan di dekat

tempat makan bayi atau menyuapinya di depan televisi. Hal ini akan

mengganggu konsentrasi ibu dan juga anak.

3. Kaya variasi. Berilah anak makanan yang bervariasi karena di masa bayi,

anak akan belajar mengenal berbagai cita rasa.

4. Makanan keluarga. Kenalkan makanan yang biasa di makan keluarga saat

usia bayi menjelang 12 bulan, namun berikan makanan yang tidak banyak

mengandung garam, tidak pedas, tidak berlemak, tidak digoreng, dan

tidak mengandung bahan makanan kimia (penyedap, pengawet, pewarna,

perasa).

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

16

5. Kenalkan jadwal makan. Biasakan anak makan pada jam makan yaitu

pagi, siang, dan sore.

6. Makanan pada saat anak sakit. Beri makanan padat yang lebih lunak dari

biasanya, jika perlu tambahkan kaldu. Selain itu, berikan makanan dalam

keadaan hangat, porsinya sedikit namun diberikan secara sering.

c. Ragam masalah makan balita :

Tabel 2. 6 Masalah Makan Anak, Penyebab, dan Cara Mengatasi

No. Masalah Makanan

Penyebab Cara Mengatasi

1. Suka mengemut makanan

Sedang sariawan Kenalkan makanan padat mulai usia 6 bulan. Berikan secara bertahap, mulai yang lembek sampai yang kasar. Tujuannya agar anak belajar mengunyah.

Terlambat memperkenalkan makanan padat

Buat menu camilan ringan yang lengkap gizi untuk mengatasi kekurangan asupan gizi.

Dipaksa untuk makan - Buat suasana makan yang menyenangkan dan santai. Jangan dipaksa karena anak akan trauma

- Beri penjelasan sederhana agar dia mau mengunyah makanannya

2. Pilih-pilih makanan (picky eater)

Selera makanan anak berkembang, ada kecenderungan mulai menyukai makanan atau rasa tertentu.

Ciptakan suasana makan yang menyenangkan, misal makan bersama keluarga.

Bosan pada hidangan yang diberikan karena kurang variasi.

Membuat menu makanan lebih bervariasi, baik dari bahannya maupun cara pengolahannya.

Kebiasaan makan keluarga. Apabila orang tua pilih-pilih makanan maka anak akan ikut pilih-pilih makanan.

Menemani anak ketika makan dan orang tua menjadi contoh perilaku maakan bagi anaknya.

3. Susah makan, hanya mau makan sedikit

Masalah psikologi, misalnya orang tua tidak mengakui ego anak. selalu memaksa anak untuk makan.

Jangan paksa anak makan pada waktu jam makan tiba. Sebab, akan membuat anak tidak nyaman dan bisa menimbulkan trauma.

Memberi susu atau makan selingan dekat

Jangan memberi susu atau makanan selingan yang terlalu dekat dengan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

17

dengan waktu makan waktu makan.

Apabila orang tua biasa makan sedikit, misalnya karena diet anak akan cenderung meniru

- Temani anak makan. Lalu orang tua menjadi contoh perilaku makan bagi anaknya

- Jadwal makan yang teratur

4. Makanan disembur-semburkan atau menolak makan

Rasa makanan yang masuk ke mulutnya masih asing

Kenalkan sedikit-sedikit menu makanan yang baru

Bosan dengan makanan yang diberikan

Sedangkan alternatif menu lain apabila anak menyemburkan makanan yang diberikan

- Suasana makan yang tidak menyenangkan

- Dipaksa makan padahal belum lapar

Variasi menu dan penyajian menarik

- Iseng atau mencari perhatian orang tua

- Sedang sakit - Kesal kepada orang

yang memberi makan

Ajak anak menentukan menu dan berkreasi dalam membuat makanan untuk memancing selera makanannya

5. Tidak suka makan sayur

Rasa sayur yang kurang enak bila dibandingkan dengan lauk hewani atau buah

- Berikan penjelasan tentang pentingnya sayur agar anak gemar makan sayur

- Menyelipkan sayuran dalam makanan yang disukainya

Penyajian sayur kurang menarik

- Kenalkan bermacam-macam sayur mulai dari bayi

- Pengolahan dan penyajian sayur lebih bervariasi dan menarik, misalnya dibuat omelet sayuran

- Berikan contoh makan sayur pada anak pada saat makan bersama. Sebab anak akan mencontoh perilaku orang tuanya

(sumber : Febry, 2008)

2. Pola Asuh Kebersihan Dan Kesehatan

a. Pola Asuh Kebersihan

Pilar atau prinsip dari gizi seimbang adalah membiasakan perilaku

hidup bersih. Perilakumakan yang sehat perlu ditunjang oleh perilaku

hidup bersih dan sehat, khususnya terkait penanganan makanan secara

higienis. Mencuci tangan dengan sabun berguna untuk menghindari

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

18

penyebaran kuman penyakit dan terbukti dapat menurunkan resiko diare

sekitar 45 % (Setyawati, 2018).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Derso et al,

menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sanitasi

dengan kejadian wasting. Penelitian ini menunjukkan bahwa rumah tangga

yang tidak memiliki akses yang sesuai dengan kriteria rumah sehat akan

beresiko lebih besar untuk terjadinya wasting. Hal ini dikarenakan rumah

yang tidak termasuk dalam kriteria rumah sehat akan menimbulkan suatu

penyakit dan bisa mempercepat penyebaran penyakit. (Derso et al, 2017).

Sanitasi lingkungan dapat menjadi faktor pendukung

berkembangnya penyakit menular dan infeksi seperti diare, dan ISPA.

Kedua penyakit tersebut merupakan penyakit yang sering diderita anak

balita di negara berkembang. Kedua penyakit ini juga berkaitan dengan

terjadinya gangguan tumbuh kembang dan tingginya angka kematian

bayi. Penyakit infeksi dapat menurunkan daya tahan tubuh anak sehingga

bisa memperburuk keadaan gizi dan akan mempengaruhi perkembangan

dan pertumbuhan (Rahayu dkk, 2018).

b. Pola Asuh Kesehatan

Secara umum tujuan utama pelayanan kesehatan masyarakat adalah

pelayan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan)

dengan sasaran masyarakat. Namun secara terbatas pelayanan kesehatan

masyarakat juga melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan

rehabilitative (pemulihan). Oleh karena itu ruang lingkup pelayanan

kesehatan masyarakat menyangkut kepentingan rakyat banyak, dengan

wilayah yang luas dan banyak daerah yang masih terpencil, sedangkan

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

19

sumber daya pemerintah baik tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan

sangat terbatas, maka sering kali program pelayanan kesehatan tidak

terlaksana dengan baik (Prawesti, 2018).

Strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah supaya anak tetap

sehat adalah dengan melakukan imunisasi lengkap kepada anak.

Imunisasi merupakan domain yang sangat penting untuk memiliki status

gizi yang baik. Imunisasi yang lengkap biasanya menghasilkan status gizi

yang baik. Pemberian imunisasi terhadap anak bertujuan agar anak tidak

mudah terserang penyakit yang berbahaya dan menjadikan anak lebih

sehat, sehingga asupan makanan dapat masuk dan diserap dengan baik.

Nutrisi yang diserap oleh tubuh balita dimanfaatkan untuk

pertumbuhannya, sehingga menghasilkan status gizi yang baik

(Rochmawati, 2016).

Tabel 2. 7 Jadwal Imunisasi Pada Anak

Nama Imunisasi Jadwal Pemberian

BCG Diberikan sebelum bayi berusia 2 bulan

Hepatitis B Diberikan 3 kali : - 12 jam pertama setelah lahir - Umur 1 bulan - Umur 3-6bulan

Polio Diberikan 6 kali : - Setelah lahir - Usia 2 bulan - Usia 4 bulan - Usia 6 bulan - Usia 18 bulan - Usia 5 tahun

DPT (Difteri, Tetanus, Pertusis)

Diberikan 6 kali : - Usia 2 bulan - Usia 4 bulan - Usia 6 bulan - Usia 18 bulan - Usia 5 tahun - Usia 12 tahun

Campak Diberikan 2 kali :

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

20

- Usia 9 bulan - Usia 6 tahun

Hib (Haemophilus influenzae type B)

Diberikan 4 kali : - Usia 2 bulan - Usia 4 bulan - Usia 6 bulan - Usia antara 15-18 bulan

Pneumokokus (PVC) Diberikan 4 kali : - Usia 2 bulan - Usia 4 bulan - Usia 6 bulan - Usia antara 12-15 bulan

Influenza Dimulai pada saat umur 6 bulan. Pada tiap tahunnya harus diberikan 1 kali

MMR (Measless/campak, Mumps/gondong, Rubella/campak

Jerman)

Diberikan 2 kali : - Usia 15 bulan - Usia 6 tahun

Tifoid Diberikan pada saat anak berumur 2 tahun dan diulang setiap 3 tahun sekali

Hepatitis A

Diberikan saat usia anak 2 tahun. Pemberiannya 2 kali dengan interval (jarak) waktu 6-12 minggu

Varisela Dilakukan saat anak berumur 10-12 tahun

(Sumber: Eveline, 2010)

Anak dengan kondisi tubuh yang sehat akan menjaga nafsu makan

anak, sehingga asupan makanan dapat masuk dan diserap dengan baik.

Nutrisi yang diserap akan dimanfaatkan untuk meningkatkan fungsi

kekebalan tubuh, sehingga pertumbuhan dan perkembangan balita tidak

mengalami hambatan. Anak balita yang mendapat kualitas pengasuhan

yang lebih baik, besar kemungkinan akan memiliki angka kesakitan yang

rendah dan status gizi yang relatif lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa

pengasuhan merupakan faktor penting dalam status gizi dan kesehatan

anak balita (Prawesti, 2018).

3. Pola Asuh Psikososial

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

21

Menjaga hubungan baik antara ibu dan anak merupakan salah satu

faktoryang menentukan baik buruknya tumbuh kembang pada anak. Oleh

karena itu keluarga terutama ibu harus selalu memberikan perawatan

psikososial. Perawatan psikososial pada anak bisa dilakukan sejak tahun

pertama kehidupan. Anak yang tidak mempunyai kedekatan dengan ibunya

cenderung lebih susah diberikan pemahaman akan hal yang boleh dilakukan

atau tidak. Hal ini karena anak tidak memiliki kepercayaan kepada ibunya.

Apabila hal ini terus menerus terjadi, anak akan menjadi semaunya sendiri

termasuk dalam hal makanan. Sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak

bisa terganggu (Lestari & Handayani, 2014).

Menurut teori Erik Erikson, terdapat delapan tahapan perkembangan

psikososial pada anak :

a. Kepercayaan Dasar vs Ketidakpercayaan/Kecurigaan Dasar (usia 0-1

tahun)

Tahap ini terjadi pada usia 0 sampai dengan usia 1 tahun. Timbulnya rasa

kepercayaan dasar pada usia ini diawali dari tahap sensorik-oral dan

ditandai bayi tidur dengan tenang dan nyenyak, menyantap makanan

dengan nikmat, dan proses defekasi mudah dan lancar. Dalam tahapan ini

bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan kehangatan, jika

ibu berhasil memenuhi kebutuhan anak, maka anak akan mengembangkan

kemampuan untuk dapat mempercayai dan dapat mengembangkan asa

(hope). Jika proses ego ini tidak terselesaikan, individu tersebut akan

mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya dengan orang lain

dan selalu meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil

keuntungan darinya (Emiliza, 2019).

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

22

b. Kemandirian (Otonomi) vs Perasaan Malu (usia 2-3 tahun)

Dalam tahap ini anak akan belajar dirinya memiliki kontrol atas tubuhnya.

Orang tua seharusnya menuntun dan mengajarkan anak untuk mengontrol

keinginan secara lembut. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol

fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan

dan kemandirian. Beberapa kemandirian tersebut diantaranya pemilihan

makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian (Emiliza,

2019).

c. Inisiatif vs Rasa Bersalah (usia 3-5 tahun)

Pada periode ini anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan

tindakannya. Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan

kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa

bertanggungjawab dan prakarsa. Mereka yang gagal mencapai tahap ini,

akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang

inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila

anak tidak diberi kepercayaan (Emiliza, 2019).

d. Berkarya vs Rasa Rendah Diri (usia 5-12 tahun)

Pada tahap ini kekuatan yang perlu ditumbuhan adalah kompetensi atau

terbentuknya berbagai ketrampilan. Membandingkan kemampuan diri

sendiri dengan teman sebaya. Anak belajar mengenai ketrampilan sosial

dan akademis melalui kompetisi yang sehat dengan kelompoknya.

Keberhasilan yang diraih untuk memupuk rasa percaya diri, sebaliknya

apabila anak menemui kegagalan maka terbentuklah inferioritas

(Krismawati, 2014).

e. Identitas vs Kekacauan Identitas (usia 12-20 tahun)

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

23

Pada tahap ini anak mulai memasuki usia remaja dimana identitas diri baik

dalam lingkup sosial maupun dunia kerja mulai ditemukan. Bisa dikatakan

masa remaja adalah awal dari usaha pencarian diri sehingga anak berada

pada tahap persimpangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa

(Krismawati, 2014).

f. Keintiman vs Isolasi (usia 20-30 tahun)

Pada tahap ini kekuatan dasar yang dibutuhkan adalah kasih, karena

muncul konflik antara keintiman atau keakraban vs keterasingan atau

kesendirian. Agen sosial pada tahap ini adalah kekasih suami atau isteri

termasuk juga sahabat yang dapat membangun suatu bentuk persahabatan

sehingga tercipta rasa cinta dan kebersamaan. Apabila kebutuhan ini tidak

terpenuhi, maka munculah perasaan kesepian, kesendirian dan tidak

berharga (Krismawati, 2014).

g. Gerativitas vs stagnasi (usia 40-50 tahun)

Seseorang telah menjadi dewasa pada tahap ini sehingga dihadapkan

kepada tugas utama untuk produktif dalam bidang pekerjaan serta

tuntunan untuk berhasil mendidik keluarga serta melatih generasi penerus.

Konflik utama pada tahap ini adalah gerativitas vs stagnasi sehingga

kekuatan dasar yang penting untuk ditumbuhkan adalah kepedulian.

Kegagalan pada masa ini menyebabkan stagnasi atau keterlambatan

perkembangan (Krismawati, 2014).

h. Integritas vs Keputusasaan (usia 60 tahun keatas)

Pribadi yang sudah memasuki usia lanjut mulai mengalami penurunan

fungsi-fungsi kesehatan. Begitu juga pengalaman masa lalu baik

keberhasilan atau kegagalan menjadi perhatian. Konflik utama pada tahap

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

24

ini adalah integritas vs keputusasaan dengan kekuatan utama yang perlu

dibentuk adalah pemunculan hikmat atau kebijaksanaan. Fungsi

pengalaman hidup terutama yang bersifat sosial akan memberi makna

tentang kehidupan (Krismawati, 2014).

4. Pola Asuh Anak Selama Di Dalam Kandungan

Pola asuh anak selama di dalam kandungan berkaitan dengan status

giziIibu pada saat kehamilan. Ibu yang mengalami kurang gizi akan

mengakibatkan janin yang dikandung juga mengalami kekurangan zat gizi.

Kekurangan zat gizi pada kehamilan yang terjadi terus menerus akan

melahirkan anak dengan kondisi kurang gizi (kurus) atau berat bayi lahir rendah

(BBLR). Kondisi ini jika berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama akan

menyebabkan anak mengalami kegagalan dalam pertumbuhan dan

perkembangan (Ni’mah, 2015).

a. Cara merawat anak selama di dalam kandungan :

1. Mempertahankan berat badan ibu normal

Berat badan normal adalah tidak terlalu gemuk dan terlalu kurus.

Kegemukan akan menurunkan kesuburan ibu, demikian pula jika ibu

terlalu kurus (kurang gizi). Selain itu, kegemukan dan kurang gizi

berisiko menimbulkan masalah saat ibu hamil dan melahirkan

(Anggarani, 2013).

2. Menerapkan pola makan sehat dan seimbang

Asupan gizi sangat berperan dalam menentukan kualitas kesehatan

ibu. Saat hamil, kesehatan janin ditentukan oleh kualitas makanan

yang dikonsumsi oleh ibu selama kehamilan. Agar pola makan sehat

dan seimbang, perlu diperhatikan beberapa hal seperti 1) porsi

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

25

makanan harus sesuai dengan kebutuhan tubuh, 2) berasal dari

sumber bahan pangan yang sehat, 3) pengolahan makanan dari dapur

sehat, 4) waktu makan yang tepat (Anggarani, 2013).

3. Selalu menggunakan air bersih

Dengan menggunakan air bersih, kita dapat terhindar dari penyakit

seperti diare, kolera, disentri, thypus, cacingan, penyakit mata,

penyakit kulit, atau keracunan (Anggarani, 2013).

4. Menggunakan jamban bersih

Jamban yang tidak bersih dapat menjadi sumber penyebaran penyakit

diare, kolera, dan disentri (Anggarani, 2013).

5. Mencuci tangan dengan sabun

Cucilah tangan menggunakan sabun terutama sebelum makan,

sebelum mengelola makanan,setelah buang air besar, dan setelah

memegang hewan. Kebiasaan sehat ini sangat berpengaruh besar

untuk menghindari atau mencegah berbagai penyakit (Anggarani,

2013).

6. Tidak mengonsumsi alkohol, narkotika, dan zat berbahaya lainnya

Alkohol dan narkotika dapat menimbulkan efek berbahaya terhadap

kesehatan janin dan ibu hamil. Ibu hamil yang mengkonsumsi zat

berbahaya pada saat pembentukan dan perkembangan janin dapat

menyebabkan terhambatnya pertumbuhan organ janin yang masih

berkembang. selain itu zat berbahaya juga meningkatkan risiko

terjadinya keguguran, berat bayi lahir rendah, dan kelainan prematur.

Oleh karena itu, setiap wanita hamil harus berhati-hati terhadap apa

yang dikonsumsinya (Anggarani, 2013).

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

26

b. Nutrisi selama kehamilan

1. Asam Folat

Folat atau vitamin B dibutuhkan untuk mencegah kegagalan

penutupan tabung saraf neural pada janin dan mencegah terjadinya

kelainan berat pada otak serta tulang belakang janin. Kekurangan

asam folat bisa bisa mengakibatkan terjadinya persalinan prematur,

BBLR, dan juga kecacatan bayi. Folat bisa didapat dari makanan-

makanan seperti sayuran hijau (bayam, kubis, kol), buah-buahan

(jeruk, melon, stroberi, lemon), kacang-kacangan, dan makanan

berbahan dasar gandum (roti, oatmeal) (Senoaji, 2012).

2. Kalsium dan vitamin D

Kalsium penting untuk pertumbuhan dan kekuatan tulang dan gigi,

pengaturan sistem saraf, otot serta darah. Kalsium bisa didapat dari

semua produk susu dan turunnya seperti keju dan yoghurt, atau bisa

juga dari telur dan ikan salmon. Vitamin D bisa didapat dari telur, ikan

salmon, ikan tuna, dan mentega (Senoaji, 2012).

3. Zat besi

Zat besi penting untuk mencegah anemia atau kurang darah pada ibu

hamil. Selama kehamilan ibu cenderung jadi mudah lelah dan sering

merasa pusing. Hal ini terjadi karena berkurangnya jumlah darah ibu

karena dibagi ke janin. Berkurangnya jumlah darah itu akan

mengakibatkan berkurangnya aliran nutrisi ke janin. Zat besi bisa

didapat dari daging-dagingan, kacang-kacangan, dan sayuran hijau

(Senoaji, 2012).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

27

c. Mitos Dan Fakta Makanan Terkait Kehamilan

Tabel 2. 8 Mitos Dan Fakta Makanan Terkait Kehamilan

Mitos-mitos yang beredar di masyarakat

Fakta

Tidak boleh makan nanas karena dapat melemahkan kandungan dan menyebabkan keguguran

Nanas mengandung serat yang cukup tinggi dan dipergunakan sebagai obat anti sembelit. Banyak makan nanas membuat perut jadi panas dan sering buang air besar. Pada kehamilan muda, posisi janin dalam perut belum terlalu kuat. Buang air besar secara terus-menerus bisa membahayakan kehamilan (Sinsin, 2008).

Banyak minum es, bayi menjadi besar

Air es saja tidak ada kaitannya dengan bayi menjadi besar. Tetapi air es selalu dikaitkan dengan rasa manis, misalnya dalam bentuk es campur, koktail, dan sejenisnya. Gula inilah yang dikhawatirkan karena bisa membuat bayi menjadi besar. Apalagi jika dikonsumsi pada trimester tiga, saat pertumbuhan janin terjadi sangat pesat. Gula juga akan membuat ibu menjadi gemuk (Sinsin, 2008).

Minum soda dapat menyebabkan keguguran dan kecacatan

Minum soda (softdrink) yang terlalu banyak dapat menyebabkan lambung rusak sedangkan janin baik-baik saja (Sinsin, 2008).

Janin akan tumbuh besar dan sehat apabila ibu makan lebih banyak

Selama makanan yang dikonsumsi memenuhi zat gizi yang diperlukan, janin akan terus tumbuh secara bertahap, teratur dan sehat. Jika terlalu banyak makan hingga menyebabkan kenaikan berat badan yang tidak terkontrol, ibu akan berisiko terkena gestasional diabetes (diabetes selama kehamilan) (Aditya, 2016).

Minum air kelapa akan membuat kulit bayi kecil dan halus

Air kelapa membatu menetralisir lemak yang berada di air ketuban, tetapi tidak membuat kulit bayi menjadi putih. Warna kulit pada bayi ditentukan oleh faktor genetik (Aditya, 2016).

Mengonsumsi kacang kedelai atau kacang hijau dapat membuat rambut bayi tumbuh lebat

Lebat atau tidaknya rambut pada bayi sangat tergantung pada faktor genetik. Tetapi ibu hamil sangat baik jika mengonsumsi air kacang hijau karena mengandung vitamin dan protein tinggi yang dapat menunjang kesehatan sang ibu dan tumbuh kembang janin di dalam rahim (Aditya, 2016).

Mengonsumsi makanan pedas dapat mempercepat proses kelahiran

Tidak ada bukti ilmiah yang benar-benar valid bahwa makanan pedas bisa mengakibatkan kontraksi dan berpengaruh pada janin. Jika ibu terlalu banyak mengonsumsi makanan pedas dapat membuat perut mulas. Hal ini terjadi karena adanya iritasi lambung, bukan karena kontraksi melahirkan (Aditya, 2016).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

28

Selama hamil tidak boleh makan nanas, durian, dan pisang ambon

Tidak ada larangan untuk mengonsumsi jenis makanan apa pun (asalkan dalam jumlah yang tidak berlebihan), kecuali minuman yang mengandung alkohol dan kafein (Aditya, 2016).

Pemeriksaan USG dapat membahayakan janin dalam kandungan

Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan kehamilan yang aman, karena menggunakan gelombang ultrasonik. Pemeriksaan USG ini memberikan gambaran gambaran secara jelas, kondisi janin dan lingkungan sekitar janin (plasenta, rahim, air ketuban, posisi janin, perkiraan berat dan besar janin) (Aditya, 2016).

2.1.2.1.3 Tingkat Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi seseorang untuk memahami dan

menerima informasi. Orang tua dengan pendidikan yang rendah akan lebih mengikuti

pantangan yang ada daripada menerima hal yang baru. Misalnya pantangan memakan

makanan tertentu. Hal ini dianggap bahwa pantangan yang sudah ada tidak akan

memberikan dampak apapun terhadap anak, bahkan jika dilanggar dianggap akan

berdampak buruk bagi anak. Orang tua dengan pendidikan yang baik akan mengerti

bagaimana mengasuh anak dengan baik, menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan

dengan baik dan menjaga kebersihan lingkungan (Septikasari, 2018).

Anak yang memiliki ayah dengan pendidikan rendah akan meningkatkan

risiko kejadian kurang gizi sebesar 1,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yag

memiliki ayah dengan pendidikan tinggi. Pendidikan ayah dapat merefleksikan

pekerjaan kepala keluarga dan secara tidak langsung berhubungn dengan pendapatan

keluarga dan status sosial keluarga. Status sosial keluarga yang baik akan lebih

berpeluang mampu memenuhi kebutuhan keluarga termasuk dalam sektor pangan

dan menyediakan lingkungan tempat tinggal dengan sanitasi yang baik sehingga anak

dapat tumbuh dalam kondisi sehat (Septikasari, 2018).

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

29

2.1.2.1.4 Tingkat Pengetahuan Ibu

Pengetahuan gizi merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat

kembali kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut dalam

tubuh. Pengetahuan gizi sendiri adalah salah satu permasalahan di masyarakat yang

menyebabkan berbagai masalah gizi terutama wasting. Pada umumnya di masyarakat

ibu yang memiliki pengetahuan gizi sangat rendah. Para ibu tidak mengetahui cara

menghidangkan makanan agar anaknya tidak bosan, tidak mengetahui pemilihan

makanan yang bernilai gizi baik, dan tidak mengetahui cara pengelolaan makanan

yang baik. Hal ini akan mempengaruhi asupan gizi yang diterima anak menjadi kurang

(Subekti, 2012).

Asupan zat gizi yang dimakan oleh balita sehari-hari tergantung pada ibunya

sehingga ibu memiliki peran yang penting terhadap perubahan masukan zat gizi pada

balita. Ibu dengan tingkat pengetahuan yang lebih baik kemungkinan besar akan

menerapkan pengetahuannya dalam mengasuh anaknya, khususnya memberikan

makanan sesuai dengan zat gizi yang diperlukan oleh balita, sehingga balita tidak

mengalami kekurangan asupan makanan (Ni’mah, 2017).

2.1.2.1.5 Status Pekerjaan

Pekerjaan merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas maupun

kuantitas pangan, karena pekerjaan berhubungan dengan pendapatan. Pendapatan

keluarga yang mencukupi akan menunjang perilaku anggota keluarga untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan keluarga lebih memadai. Pendapatan akan

mempengaruhi pemenuhan zat gizi makanan keluarga dan kesempatan dalam

mengikuti pendidikan formal (Wado, 2019).

Di pedesaan maupun perkotaan mayoritas ibu bekerja sebagai ibu rumah

tangga. Banyaknya ibu yang tidak bekerja seharusnya memberikan dampak positif

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

30

terhadap balitanya, karena ibu lebih memilih waktu yang banyak untuk bersama anak,

sehingga dapat merawat dan mengurusnya dengan baik. Kondisi ini karena kurangnya

kesadaran ibu terhadap kesehatan balitanya, sehingga waktu yang dimiliki tidak

dimanfaatkan dengan baik untuk merawat balita. Sehingga kebutuhan balita terutama

nutrisi menjadi tidak tercukupi (Wado, 2019).

2.1.2.2 Berdasarkan Faktor Anak

2.1.2.2.1 Jenis Kelamin

Jenis kelamin menentukan besar kecilnya status gizi anak. Menurut hasil

penelitian Ni’mah (2015) wasting paling sering dialami oleh anak laki-laki. Hal ini

dikarenakan anak laki-laki biasanya membutuhkan lebih banyak zat gizi seperti energi

dan protein daripada perempuan. Jenis kelamin merupakan faktor internal seseorang

yang berpengaruh.

2.1.2.2.2 Usia

Menurut hasil penelitian Ni’mah (2015) wasting paling sering dialami anak

dengan umur 13-36 bulan. Pada anak usia diatas 6 bulan, merupakan usia dimana

balita sangat tergantung pada makanan tambahan. Disamping itu anak juga sudah

mulai mengenal makanan jajanan. Apabila hal ini tidak terpenuhi dalam kualitas

maupun kuantitas makanan yang cukup maka status gizi anak akan menurun.

Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan

yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat

badannya. Karena makanan memberikan sejumlah zat gizi yang diperlukan untuk

tumbuh kembang pada setiap tingkat perkembangan dan usia yaitu masa bayi, balita,

dan usia prasekolah. Pemilihan makanan yang tepat dan benar sangat mempengaruhi

kecukupan gizi untuk tumbuh kembang fisik (Suhendri, 2019).

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

31

2.1.2.2.3 Asupan Nutrisi

Asupan nutrisi merupakan makanan bergizi yang digunakan untuk

mencukupi kebutuhan tubuh. Asupan nutrisi pada anak yang tidak adekuat dapat

mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan anak, bahkan apabila

kondisi tersebut tidak ditangani dengan baik maka risiko kesakitan dan kematian anak

akan meningkat. Selain itu tidak terpenuhinya nutrisi dalam tubuh dapat berpengaruh

terhadap sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh yang lemah menyebabkan

anak lebih rentan terkena penyakit menular dari lingkungan sekitarnya terutama pada

lingkungan dengan sanitasi yang buruk maupun dari anak lain atau orang dewasa yang

sedang sakit. Karena daya tahan tubuh lemah, anak dengan asupan nutrisi tidak

adekuat sering kali mengalami infeksi saluran cerna berulang. Infeksi saluran cerna

inilah yang meningkatkan risiko kekurangan gizi semakin berat karena tubuh anak

tidak dapat menyerap nutrisi dengan baik. Status gizi yang buruk dikombinasikan

dengan infeksi dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan (Septikasari, 2018).

Kekurangan salah satu zat gizi dapat menyebabkan kekurangan zat gizi

lainnya. Sebagai contoh kekurangan zat besi, magnesium dan zinc dapat

menyebabkan anoreksia yang berakibat tidak terpenuhinya zat gizi yang lain seperti

protein. Kekurangan protein dapat mengganggu tumbuh kembang anak sehingga

dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang. Tidak terpenuhinya nutrisi juga

berdampak pada perkembangan otak dan kapasitas intelektual di masa kritis

pertumbuhannya yang menyebabkan penurunan kecerdasan. Apabila asupan zat gizi

tidak adekuat terus berlanjut dan semakin buruk maka dapat mnyebabkan kematian

pada anak (Septikasari, 2018).

Kurang gizi pada anak menurunkan sistem imun yang akhirnya akan

meningkatkan resiko terjadinya penyakit infeksi. Keadaan kurang gizi mempunyai

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

32

efek terhadap mekanisme pertahanan terhadap antigen, serta berpengaruh juga

terhadap respon imun. Penurunan respon tersebut yang dapat menyebabkan virus

dengan mudah menginfeksi dan bereplikasi, sehingga timbulah penyakit infeksi pada

anak tersebut (Tambunan, 2019).

Mengkonsumsi makanan yang beragam, bergizi seimbang dan aman dapat

memenuhi kecukupan gizi individu untuk tumbuh dan berkembang. Makanan gizi

seimbang yaitu asupan nutrisi yang cukup secara kuantitas, kualitas, dan mengandung

berbagai zat gizi (energi, protein, vitamin, dan mineral) yang diperlukan tubuh untuk

tumbuh, menjaga kesehatan , dan melakukan aktivitas sehari-hari (Judistiani, 2015).

Tabel 2. 9 Kebutuhan Gizi Untuk Usia 11-3 Tahun

Jenis Zat Gizi Kebutuhan per hari (Usia 1-3 tahun)

Kebutuhan per hari (Usia 3-5 tahun)

Kalsium 500 mg 500 mg

Zat Besi 8 mg 9 mg

Zat Seng 10 mg 10 mg

Vitamin A 350 mikogram 460 mikogram

VitaminK 40 mg 45 mg

VitaminL 10 mg 10 mg

(Sumber : Sutomo, 2010)

2.1.2.2.4 Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi adalah penyakit yang diderita anak, bersifat akut yang terjadi

setiap bulan atau kronik yang terjadi baik dalam satu minggu atau lebih secara terus

menerus. Penyakit infeksi dapat menurunkan nafsu makan anak, menyebabkan

kehilangan bahan makanan karena muntah/diare, dan gangguan penyerapan dalam

saluran pencernaan, sehingga dapat menyebabkan asupan nutrisi untuk tubuh

berkurang. Selain itu infeksidapat menghambat reaksi imunologis yang normal

dengan menghabiskan sumber energi di tubuh. Jika hal ini terjadi secara terus

menerus pertumbuhan dan perkembangan anak bisa terhambat serta kondisi fisik

juga akan mengalami pengurusan (wasting) (Prawesti, 2018).

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

33

Infeksi akan lebih mengakibatkan dampak yang berbahaya bila menyerang

seseorang yang kurang gizi. Infeksi menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan

tubuh, baik untuk bibit penyakit itu sendiri maupun penghancuran untuk

memperoleh protein yang diperlukan untuk mempertahankan tubuh. Hadirnya

penyakit infeksi dalam tubuh anak akan semakin memburuk jika disertai muntah dan

diare. Dalam kondisi ini, dalam tubuh terjadi penurunan imunitas atau penurunan

daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Adriani, 2014).

Penyakit infeksi yang sering terjadi dan memiliki hubungan terhadap

terjadinya wasting adalah diare dan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas). Diare

yang terjadi pada anak sangat berbahaya karena dapat menyebabkan tubuh kehilangan

cairan dalam jumlah banyak. Diare dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa usus

sehingga protein, cairan dan zat lainnya tidak dapat terserap dengan baik. Apabila

nutrisi tidak bisa terserap dengan baik, anak akan mengalami kekurangan gizi

sehingga tubuh anak perlahan-lahan akan kurus (Tambunan, 2019). ISPA merupakan

gangguan kesehatan yang sering menyerang balita yang disebabkan oleh

mikroorganisme. Mikroorganisme yang sering dikenal yaitu bakteri, jamur, virus.

Mikroorganisme ini tinggal dijaringan sel tubuh dan memakan zat gizi dari untuk

bertahan hidup. apabila tidak segera mendapat pengobatan zat gizi yang tersedia di

dalam tubuh akan habis dan bisa menyebabkan anak kekurangan gizi serta kondisi

fisik yang menjadi kurus (Pandi, 2012).

2.1.2.2.5 BBLR

Berat lahir merupakan berat bayi yang ditimbang dalam waktu satu jam

pertama setelah dilahirkan. Secara normal berat bayi baru lahir berkisar antara 2.500-

4.000 gram. Bayi yang lahir lebih dari 4.000 gram disebut bayi besar sedangkan bayi

yang lahir kurang dari 2.500 gram disebut dengan berat bayi lahir rendah (BBLR).

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

34

Kejadian BBLR merusakan salah satu indikator kesehatan masyarakat karena

memiliki hubungan dengan angka kematian, kesakitan, dan kejadian gizi kurang di

masa yang akan datang (Septikasari,32018).

Anak yang lahir dengan BBLR selain memiliki organ-organ dan tubuh yang

kecil juga mengalami defisit sel otak sebesar 10-17 %. Defisit sel otak akan meningkat

menjadi 30-40 % apabila bayi tidak mendapatkan asupan makanan dengan baik.

Defisit sel otak dapat mengakibatkan gangguan pada sistem saraf yang akan

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Selain defisit sel otak

bayi dengan BBLR juga mengalami defisit simpanan gizi sehingga imunitas atau daya

tahan tubuh mengalami penurunan. Dengan demikian maka bayi dengan BBLR akan

mudah terserang penyakit terutama penyakit infeksius (Hayati, 2009).

Dampak lain dari BBLR dapat berupa gagal tumbuh (grouth-faltering), anak

pendek (stunting) tiga kali lebih besar daripada non BBLR, anak kurus (wasting), risiko

malnutrisi, pertumbuhan terganggu, gangguan mental dan fisik. Selain itu BBLR juga

bisa memberikan dampak buruk jangka panjang untuk kesehatan seperti kematian

neonatal, morbiditas, penurunan perkembangan kognitif, dan penyakit kronis. Bayi

dengan status BBLR meningkatkan resiko kematian hingga 20 kali dibandingkan

dengan bayi lahir lahir normal (Rahayu, 2018)(Puspariny, 2015).

2.1.2.3 Berdasarkan Faktor Keluarga

2.1.2.3.1 Ketahanan Pangan Keluarga

Ketahanan pangan keluarga merupakan suatu kondisi ketersediaan pangan

yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap individu yang mempunyai

akses untuk memperolehnya, baik secara fisik maupun ekonomi. Ketahanan pangan

didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan

perseorangan, yang tercermin dari ketersedianya pangan yang cukup, baik jumlah

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

35

maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak

bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup

sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Fokus ketahanan pangan tidak hanya

pada penyediaan pangan tingkat wilayah tetapi juga ketersediaan dan konsumsi

pangan tingkat daerah dan rumah tangga, dan bahkan individu dalam memenuhi

kebutuhan gizinya (Arlius, 2017).

Ketahanan pangan keluarga berhubungan dengan kestabilan ketersediaan

pangan baik kualitas maupun kuantitas dalam keluarga. Jika ketahanan pangan kurang

maka status gizi menjadi kurang dan menyebabkan turunnya derajat kesehatan.

Ukuran ketahanan pangan dalam rumah tangga adalah jumlah yang cukup tersedia

untuk konsumsinya sesuai dengan jumlah anggota keluarganya. Apabila jumlah

anggota keluarga banyak dan ekonomi dalam keluarga kecil maka asupan nutrisi

setiap orang terbatas. Anak balita yang menerima asupan nutrisi kurang dari

kebutuhan akan berdampak pada status gizi anak dan bisa menyebabkan kondisi fisik

anak menjadi kurus (Prawesti, 2018).

2.1.2.3.2 Tingkat Ekonomi Keluarga

Menurut buku yang ditulis oleh Septikasari (2018) keluarga dengan

pendapatan dibawah UMR, 3,2 kali lebih berisiko tidak memberikan nutrisi yang

adekuat dibandingkan dengan keluarga dengan pendapatan diatas UMR. Rendahnya

daya beli menyebabkan pemenuhan kebutuhan dasar pangan yang memenuhi syarat

asupan gizi yang cukup tidak dapat terpenuhi yang pada akhirnya berdampak pada

status gizi keluarga khususnya anak sebagai kelompok rentan.

Keluarga dengan status ekonomi yang rendah tidak dapat memenuhi

kebutuhan gizi karena tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli bahan

makanan yang bergizi. Rumah yang dijadikan sebagai tempat tinggal dibiarkan

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

36

seadanya tanpa dirubah kedalam standar rumah sehat menurut Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang

Persyaratan Kesehatan Perumahan (tabel 2.3). Hal ini dilakukan karena keterbatasan

dana yang diperoleh keluarga. Selain itu dalam sektor kesehatan, apabila salah satu

keluarga ada yang sakit maka hanya mampu dirawat sendiri dengan peralatan dan

kemampuan seadanya tanpa dibawa ke pelayanan kesehatan (Hasyim, 2017).

Tabel 2. 10 Standar Rumah Sehat

No. Kategori Kriteria

1. Komponen- Rumah

Langit-langit

Dinding

Lantai

Jendela kamar tidur

Jendela ruang keluarga

Ventilasi

Pencahayaan

Sarana pembuangan asap dapur

2. Sarana sanitasi Sarana air bersih

Sarana pembuangan kotoran (jamban)

Sarana pembuangan air limbah (SPAL)

Pengelolaan sampah

3. Perilaku penghuni

Membuka jendela kamar tidur

Membersihkan rumah dan halaman

Membuang tinja bayi dan balita ke jamban

Membuang sampah pada tempat sampah

(Sumber : Afriliyanti, 2013)

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dkk, menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara status ekonomi keluarga dengan kejadian

wasting. Penelitian ini menunjukkan bahwa rumah tangga dengan status ekonomi

rendah akan beresiko lebih besar untuk anak mengalami wasting. Kemampuan

keluarga untuk mencukupi kebutuhan makanan dipengaruhi oleh tingkat pendapatan

dari keluarga itu sendiri. Keluarga yang memiliki pendapatan relatif rendah akan sulit

untuk mecukupi kebutuhan makanannya. Pada umumnya jika pendapatan naik,

jumlah dan jenis makanan akan cenderung membaik, akan tetapi mutu makanan tidak

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

37

selalu membaik. Hal ini disebabkan karena peningkatan pendapatan yang diperoleh

tidak digunakan untuk membeli pangan atau bahan makanan yang bergizi tinggi

(Rahayu dkk, 2018).

2.1.2.3.3 Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga dalam satu rumah dapat mempengaruhi

pemenuhan asupan nutrisi yang didapatkan oleh setiap anggota keluarga. Jumlah

anggota keluarga memiliki keterkaitan dengan tingkat ekonomi. Apabila ekonomi

rendah ditambah dengan jumlah anggota keluarga yang lebih dari enam orang akan

berisiko mengalami gangguan gizi (Suhendri, 2019).

2.1.3 Dampak Wasting

Wasting pada anak dapat mempengaruhi proses pertunbuhan dan

perkembangan. Dampak pada wasting dibedakan menjadi dampak jangka pendek dan

dampak jangka panjang. Dampak jangka pendek diantaranya penurunan daya

eksplorasi terhadap lingkungan, kurangnya bergaul dengan teman sebaya, kepasifan

dalam melakukan aktivitas, sering merasa kelelahan, apatis, dan rentan terkena

penyakit infeksi. Sedangkan untuk dampak jangka panjang yaitu gangguan kognitif,

penurunan kecerdasan sehingga prestasi ikut menurun, gangguan perilaku,

pertumbuhan terhambat, dan peningkatan resiko kematian (Hastuti dkk,

2017)(Afriyani, 2016).

Balita yang mengalami wasting dapat meningkatkan resiko kesakitan dan

kematian anak. Anak yang wasting sangat mudah terkena penyakit infeksi. Apabila

keadaan kurang gizi pada masa balita terus berlanjut, maka dapat mempengaruhi

intellectual performance, kapasitas kerja, dan kondisi kesehatan lainnya di usia selanjutnya

(Tambunan, 2019).

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

38

2.2 Konsep Status Gizi

2.2.1 Pengertian Status Gizi

Status gizi adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui

status kesehatan masyarakat. Status gizi keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir

dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan penggunaannya.

Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam

tubuh. Apabila tubuh mendapatkan cukup zat gizi dan digunakan secara efisien maka

akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik,

perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat

sebaik mungkin (Prawesti, 2018).

2.2.2 Klasifikasi Status Gizi

a. Klasifikasi berdasarkan indikator BB/U

Berat badan merupakan parameter yang memberikan gambaran massa tubuh.

Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak seperti adanya

penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang

dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam

keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi

dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti

pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan

perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat.

Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih

menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Septikasari, 2018). Berikut ini

merupakan klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/U :

Tabel 2. 11 Indeks Antropometri Berdasarkan BB/U

Kategori Zscore

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

39

Gizi buruk < -3,0

Gizi kurang ≥ -3,0 sampai dengan < -2,0

Gizi baik ≥ -2,0 sampai dengan ≤ -2,0

Gizi lebih > 2,05

b. Klasifikasi berdasarkan indikator TB/U :

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal atau tulang. Dalam keadaan normal, pertumbuhan tinggi badan

sejalan dengan pertambahan umur. Tidak seperti berat badan, pertumbuhan tinggi

badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang

pendek. Sehingga pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak

dalam waktu yang relatif lama. Dengan demikian indikator TB/U sangat baik untuk

melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan

lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita (Septikasari, 2018). Berikut ini

merupakan klasifikasi status gizi berdasarkan indikatorRTB/U :

Tabel 2. 12 Indeks Antropometri Berdasarkan TB/U

Kategori Zscore

Sangat pendek < -3,0

Pendek ≥ -3,0 sampai dengan < -2,0

Normal ≥ -2,0

Tinggi > 2,0

c. Klasifikasi berdasarkan indikator BB/TB :

BB/TB merupakan indikator pengukuran antropometri yang paling baik,

karena dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik.

Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya perkembangan berat

badan akan diikuti oleh pertambahan tinggi badan. Oleh karena itu, berat badan yang

normal akan proporsional dengan tinggi badannya (Septikasari, 2018). Berikut ini

merupakan klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB :

Tabel 2. 13 Indeks Antropometri Berdasarkan BB/TB

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

40

Kategori Zscore

Sangat kurus < -3,0

Kurus ≥ -3,0 sampai dengan < -2,0

Normal ≥ -2,0 sampai dengan ≤ 2,0

Gemuk > 2,0

2.2.3 Penilaian Status Gizi

Menurut buku yang ditulis oleh Septikasari (2018) penilaian status gizi balita

dapat diukur berdasarkan pengukuran antropometri yang terdiri dari variabel umur,

berat badan (BB), dan tinggi badan (TB).

a. Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan

penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil

penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat menjadi tidak

berarti apabila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Ketentuan

yang digunakan dalam perhitungan umur adalah 1 tahun menjadi 12 bulan

dan 1 bulan menjadi 30 hari.

b. Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa

jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan

yang mendadak, baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan

yang menurun. Untuk memperoleh data berat badan dapat digunakan

timbangan dacin ataupun timbangan injak yang memiliki presisi 0,1 kg.

timbangan dacin atau timbangan anak digunakan untukmenimbang anak

sampai umur 2 tahun atau selama anak masih bisa dibaringkan/duduk tenang.

c. Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari

keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk

melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat

badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Panjang badan diukur

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

41

dengan length-board dengan presisi 0,1 cm dan tinggi badan diukur dengan

menggunakan microtoise dengan presisi 0,1 cm.

2.3 Konsep Anak Balita

2.3.1 Masa Balita

Anak Balita usia 1-5 tahun (usia prasekolah) merupakan kelompok umur yang

rawan gizi dan rawan penyakit. Beberapa kondisi yang menyebabkan usia ini rawan

gizi dan penyakit antara lain (1) anak balita masih berada dalam masa transisi dari

makanan bayi ke makanan orang dewasa, (2) biasanya anak sudah memiliki adik atau

ibunya sudah bekerja penuh sehingga perhatian ibu berkurang, (3) usia ini anak sudah

mulai bermain di tanah dan sudah bisa bermain di luar sendiri sehingga lebih sering

terpapar dengan lingkungan kotor dan kondisi yang memungkinkan untuk terinfeksi

dengan berbagai penyakit, (4) ibu sudah tidak begitu memperhatikan makanan

anaknya, karena ibu menganggap anak sudah bisa memilih makanan dan makanan

secara mandiri (Adriani, 2016).

Masa balita sering kali disebut sebagai “golden age”, yaitu masa yang sangat

penting untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara

fisik, mental, maupun emosional (Puspitasari, 2019). Oleh karena itu harus secara

cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila ada kelainan. Kebutuhan akan

asah, asih, dan asuh yang memadai pada usia ini akan meningkatkan kelangsungan

hidup anak dan mengoptimalkan kualitas anak sebagai generasi penerus bangsa.

Kelompok anak balita merupakan kelompok yang sering menderita kekurangan gizi

(Judistiani, 2015).

Balita usia prasekolah merupakan konsumen aktif yaitu mereka sudah dapat

memilih makanan yang disukainya. Perilaku makan sangat dipengaruhi oleh keadaan

psikologis, kesehatan, dan sosial anak. pada usia ini kebutuhan zat gizi meningkat

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wasting - UMM

42

karena masih berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitas tinggi. Demikian

juga anak mempunyai pilihan terhadap makanan yang disukai termasuk makanan

jajanan. Oleh karena itu jumlah dan variasi makanan harus mendapatkan perhatian

secara khusus dari ibu atau pengasuh anak, terutama dalam memberikan paparan

pilihan makanan yang sehat dengan gizi seimbang. Disamping itu anak pada usia ini

senang bermain di luar rumah sehingga lebih rentan terkena penyakit infeksi dan

kecacingan terutama pada anak yang sudah memiliki masalah gangguan gizi

(Judistiani, 2015).