BAB I PENDAHULUAN · kedudukan atau fungsi kata dalam susunan kalimat ... kata-kata tersebut serta...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN · kedudukan atau fungsi kata dalam susunan kalimat ... kata-kata tersebut serta...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama manusia melalui
suatu perantara. Manusia mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, dan perasaan
yang mereka miliki melalui bahasa. Menurut Kridalaksana (2001: 21) bahasa
adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer dan konvensional yang digunakan
dalam berkomunikasi, berinteraksi, dan mengidentifikasi, baik secara lisan
maupun tulisan. Dengan demikian, bahasa dapat dikatakan sebagai alat yang dapat
mengidentifikasi diri.
Ilmu yang mempelajari tentang bahasa salah satunya adalah Ilmu sintaksis.
Sintaksis merupakan ilmu tatabahasa yang membicarakan hubungan antara kata
dalam tuturan (speech) baik lisan maupun tulisan. Sintaksis, menurut Chaer (1994
: 206), adalah ilmu yang membicarakan kata dalam hubungannya dengan kata
lain, atau unsur-unsur lain sebagai satuan ujaran. Unsur bahasa yang termasuk di
dalam lingkup sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat. Sejalan dengan itu
Verhaar (1983: 70) juga menyatakan bahwa bidang sintaksis menyelidiki semua
hubungan antar-kata dan antar-kelompok kata (atau antar-frasa) dalam satuan
dasar sintaksis itu (kalimat).
Sintaksis dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah ilmu nahwu. Ni‟mah
(t.t.: 10) menerangkan bahwa ilmu nahwu dikhususkan untuk mempelajari
kedudukan atau fungsi kata dalam susunan kalimat dan meneliti i’ra>b (keadaan
akhir) kata-kata tersebut serta bagaimana cara untuk meng-i’ra>b-nya. Ilmu nahwu
(sintaksis) merupakan salah satu cabang ilmu yang mendasar dalam mempelajari
2
bahasa Arab. Ilmu tersebut sangat diperlukan dalam memahami teks-teks
berbahasa Arab, mengingat banyaknya perbedaan dalam memahami teks yang
disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang kaidah-kaidah yang ada
didalamnya.
Dijelaskan diatas bahwa salah satu unsur bahasa yang termasuk dalam
sintaksis adalah klausa. Menurut Abdul Chaer (2009:150) Klausa adalah satuan
sintaksis yang bersifat predikatif. Artinya, di dalam satuan atau konstruksi itu
terdapat sebuah predikat, bila di dalam satuan tidak terdapat predikat, maka satuan
itu bukan sebuah klausa.
Kridalaksana, (2008: 124) mendefinisikan klausa sebagai satuan
gramatikal yang berupa kelompok kata, sekurang-kurangnya terdiri atas subjek
dan predikat dan berpotensi menjadi kalimat. Definisi tersebut menunjukkan
bahwa klausa itu bukan kalimat, melainkan bagian dari kalimat. Kalimat itu
sendiri diartikan sebagai satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang
biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta
disertai dengan intonasi final (Chaer, 2007:240). Intonasi final ini merupakan
salah satu sebab yang membedakan antara klausa dengan kalimat. Jika kalimat
memperhatikan intonasi final maka klausa sebaliknya. Sejalan dengan
Kridalaksana yang membedakan antara klausa dan kalimat, dalam bahasa Arab
dikenal adanya istilah jumlah dan kala>m. Dalam hal ini Asrori (2004: 67)
berusaha membedakan kedua istilah tersebut. Ia berpendapat bahwa klausa dapat
disepadankan dengan jumlah, adapun kalimat dapat disepadankan dengan kala>m.
Kemudian, Asrori (2004: 67) menyatakan bahwa istilah klausa dalam bahasa Arab
memang kurang dikenal di kalangan pengkaji sintaksis bahasa Arab. Hal tersebut
3
disebabkan oleh terbatasnya bahasan-bahasan atau bab-bab khusus mengenai
klausa dalam buku-buku nahwu. Di dalam buku-buku nahwu terdapat tiga istilah
kunci yaitu kalimah, jumlah, dan kala>m. Jumlah dan kala>m merupakan dua istilah
bahasa Arab yang lazim disepadankan dengan istilah bahasa Indonesia yaitu,
kalimat. Sedangkan kalimah lazim disepadankan dengan kata. Hal itu berarti
dalam bahasa Arab tidak terdapat istilah khusus untuk menyatakan klausa.
Meskipun demikian bukan berarti dalam bahasa Arab tidak terdapat konsep
klausa, terbukti dengan adanya pernyataan-pernyataan sintaksis yang mengacu
pada konstruksi di atas frasa tetapi tidak dapat berdiri sendiri, misalnya khabar
jumlah, yaitu konstruksi di atas frasa yang berkedudukan sebagai predikat (2004:
73). Khabar jumlah dapat dicontohkan sebagai berikut :
سافر أبوه اىل مكةيزلمد(1)
Muchammadun yusa>firu abu>hu ila> Makkah
„Ayahnya Muhammad bepergian ke Mekkah‟
Konstruksi bergaris bawah di atas merupakan konstruksi di atas tataran
frasa tetapi juga di bawah tataran kalimat. Konstruksi tersebut bukan kalimat
karena ia tidak berdiri sendiri. Dalam konteks satuan di atas konstruksi yusa>firu
abu>hu ila> makkah ‟ayahnya bepergian ke Mekkah‟ merupakan klausa yang
berkedudukan sebagai predikat dari subjek (2004: 73).
Al Ghulayaini (2004: 18) menjelaskan dengan lebih terperinci perbedaan
antara jumlah dan kala>m. Kala>m adalah jumlah yang mempunyai faidah terhadap
makna yang sempurna yang cukup dengan dirinya. Apabila suatu jumlah itu
belum mempunyai suatu faidah terhadap suatu makna yang sempurna yang cukup
dengan dirinya, maka tidak disebut dengan kala>m.
4
Penjelasan di atas memberikan pengertian bahwa dalam bahasa Arab juga
mengenal tentang adanya klausa. Ma‟ruf (2002: 64) mengungkapkan bahwa
dalam bahasa Arab terdapat enam susunan (tarki>b) yaitu; isna>di>, idha>fi>, baya>ni>,
‘athfi>, mazji>, dan ‘adadi>. Dari keenam jenis susunan tersebut terdapat satu jenis
yang berpotensi untuk menjadi klausa atau kalimat, yaitu tarki>b isna>di>, atau biasa
dikenal dengan jumlah, sedangkan lima jenis yang lainnya hanya sebatas pada
frasa. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah jumlah
adalah istilah yang sesuai untuk disepadankan dengan istilah klausa dalam bahasa
Indonesia.
Al-Ghulayaini (2007: 17), dalam bukunya menyebut istilah jumlah dan al-
murakkab al-isnadi yang mempunyai pengertian ma> ta'allafa min musnad wa
musnad ilaihi (sesuatu yang tersusun atas musnad (subjek) dan musnad ilaih
(predikat). Pengertian tersebut sejalan dengan pengertian yang disampaikan oleh
Ramlan (2001: 79) yang menerangkan bahwa dalam bahasa Indonesia klausa
diartikan sebagai satuan gramatik yang terdiri dari P(predikat), baik disertai
S(subjek), O (objek), Pel (pelengkap), dan Ket (keterangan) atau tidak. Dengan
ringkas klausa ialah susunan dari (S) P (O), (Pel) (Ket). Tanda kurung
menandakan bahwa apa yang terletak dalam kurung itu bersifat manasuka, artinya
boleh ada, boleh juga tidak ada. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
klausa adalah satuan gramatik yang unsur-unsurnya minimal terdiri atas Subjek-
Predikat dan maksimal unsurnya terdiri atas Subjek-Predikat-Objek-Pelengkap-
Keterangan.
Menurut Al Khuli (1987: 348), dalam bahasa Arab terdapat dua jenis
jumlah (klausa), yaitu jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah. Di dalam bahasa
5
Indonesia jumlah ismiyah dapat diartikan sebagai klausa nominal sedangkan
jumlah fi’liyah diartikan sebagai klausa verbal. Jumlah ismiyah (klausa nominal)
merupakan jumlah (klausa) yang diawali dengan ism atau kata benda, contohnya:
نيف أخيح(2)
Chani>f akhi>
„Hanif adalah kakakku‟
Contoh di atas merupakan jumlah ismiyah (klausa nominal) karena
diawali dengan ism yaitu chani>f. Jika jenis klausa tersebut adalah jumlah ismiyah
maka konstruksi subjek berupa mubtada´ dan predikat berupa khabar.
Sedangkan jumlah fi’liyah (klausa verbal) adalah jumlah (klausa) yang
diawali dengan fi’l atau kata kerja, contohnya:
جيلس زلمد على الكرسي(3)yajlisu Muchammadun ‘alal-kursiyyi „Muhammad duduk di atas kursi‟
Contoh di atas merupakan jumlah fi’liyah (klausa verbal) karena diawali
dengan fi’l yaitu yajlisu „duduk‟. Jika jenis klausa tersebut adalah jumlah fi’liyah
maka konstruksinya terdiri dari subjek berupa fa>‘il dan predikat berupa fi’l.
Menurut Asrori (2004: 67), analisis jumlah atau klausa dapat dilakukan
berdasarkan beberapa hal salah satunya analisis berdasarkan struktur intern
klausa. Struktur intern klausa dianalisis dengan memperhatikan ada tidaknya
unsur inti klausa yaitu subjek atau musnad ilaih (MI) dan predikat atau musnad
(M). Jika klausa menghadirkan kedua unsur inti klausa maka klausa tersebut
disebut klausa lengkap, sedangkan klausa yang tidak menghadirkan salah satu
unsur inti klausa maka disebut klausa tidak lengkap. Maksud ketidakhadiran unsur
6
inti tersebut adalah adanya sebuah pelesapan unsur karena terdapat persamaan
pada unsur sebelumnya.
Contoh:
(Asrori 2004: 77)ة و كانت قرية خاليةيعصر ةمكة اآلن مدين(4)
Makkatul-a>n madi>natun ‘ashriyatun wa ka>nat qariyyatan khaliyyatan
„Mekah sekarang adalah kota yang ramai dan dulunya adalah desa
yang sepi‟
(Asrori 2004 : 77)ار و يدخلون السوقجحيضر الت(5)
Yachdhuru’t-Tuja>ru wa yadkhulu>na’s-su>qa
„Para pedagang sudah datang dan memasuki pasar‟
Kalimat (4) mengandung dua klausa yaitu makkatul-a>n madi>natun
‘ashriyatun „Mekah sekarang adalah kota yang ramai‟ dan ka>nat qariyyatan
kha>liyatan „dulunya adalah desa yang sepi‟. Kalimat (5) mengandung klausa
yachdhuru’t-Tuja>ru ‘para pedagang sudah datang‟ dan yadkhulu>na’s-su>qa
„memasuki pasar‟. Klausa makkatul-a>n madi>natun ‘ashriyatun merupakan klausa
lengkap karena menghadirkan S/MI makkatun dan P/M madi>natun ‘ashriyatun.
Begitu juga dengan klausa yachdhuru a’t-tuja>ru yang menghadirkan S/MI a’t-
tujaru dan P/M yahdhuru. Sedangkan klausa ka>nat qariyyatan khaliyyatan dan
yadkhulu>na’s-su>qa merupakan klausa tidak lengkap karena tidak menghadirkan
(melesapkan) S/MI.
Penelitian ini difokuskan pada pembahasan klausa verbal (dalam linguistik
umum) yang selanjutnya akan disebut dengan jumlah fi’liyah (dalam linguistik
7
Arab). Pemilihan jumlah fi’liyah dalam penelitian ini dikarenakan adanya asumsi
penulis yang beranggapan bahwa jumlah fi’liyah dalam objek yang dikaji adalah
jumlah atau klausa yang lebih sering ditemukan dalam kalimat dari pada jumlah
ismiyah atau klausa nominal. Untuk itu, analisis akan dilakukan dengan
mengambil klausa verbal yang ada dalam kalimat majemuk dan kalimat tunggal
pada objek dengan tujuan ingin mengetahui berapa banyak klausa verbal (jumlah
fi’liyah) yang ada pada cerpen.
Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan oleh Irdana
Surya (2010), dalam penelitiannya yang berjudul analisis Klausa Verbal dalam
Hikayat Jundiyyun Muslimu>n dalam Buku Al-Qira>’atu Al-Arabiyyatu Karya Ibnu
Malik Dkk. Penelitian ini menggunakan analisis diskriptif dengan tujuan
mengetahui berapa banyak klausa verbal yang ada dalam objek. Kesimpulan yang
diperoleh dalam penelitian tersebut adalah ditemukannya 54 klausa verbal dalam
objek dengan rincian yaitu: 8 klausa lengkap, 38 klausa tidak lengkap, 39 klausa
verbal aktif, dan 3 klausa pasif. Kemudian, berdasarkan urutan fungtornya
ditemukan 5 klausa dengan urutan subjek dan predikat, serta 2 klausa dengan
urutan fungtor subjek, predikat dan objek. Relevansi penelitian Surya (2010)
dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu terkait dengan kajian yang diteliti
yaitu kajian sintaksis berupa klausa verbal. Perbedaan penelitian ini terletak pada
objek materialnya.
Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Gilar Rizki Nugroho (2014),
dalam skripsinya yang berjudul “Klausa pada Kalimat Majemuk dalam Bahasa
Arab Berstuktur Minimal pada Fungsi Sintaksisnya dalam Buku Tazkiyyatu’n-
8
Nufu>s: Analisis Sintaksis”. Dalam penelitiannya tersebut, ia meneliti klausa
berdasarkan konstruksi dan ragam klausa pada kalimat majemuk dalam bahasa
Arab berstuktur minimal pada fungsi sintaksisnya. Penelitian yang dilakukan
berupa penelitian kualitatif dengan menggunakan desain penelitian studi pustaka
(library research). Hasil analisis klausa yang dilakukan berhasil menarik
kesimpulan bahwa dalam objek yang dikaji terdapat 1.957 klausa pada kalimat
majemuk dalam bahasa arab berstuktur minimal pada fungsi sintaksisnya. Dari 50
data yang dianalisis menunjukkan 20 klausa berkonstruksi mubtada´ (topik) dan
khobar (komen), dan 30 klausa berkonstruksi fi’l (verba) dan fa>‘il-nya (pelaku).
Dari 50 data terdapat 10 klausa introduktif, 8 klausa konjungtif, 7 klausa
kondisional (subordinat), 5 klausa sakramental (subordinat), 9 klausa interfektif, 2
klausa eplikatif dan 9 klausa subordinat. Relevansi penelitian Nugroho (2014)
dengan penelitian yang dilakukan peneliti adanya persamaan pada kajiannya yaitu
membahas kajian sintaksis bahasa Arab yang berupa klausa. Perbedaan penelitian
ini terletak pada objek penelitian. Penelitian Nugroho membahas klausa
berstruktur minimal dalam buku Tazkiyyatun’-Nufu>s, sedangkan peneliti
membahas klausa verbal dalam cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i .
Selanjutnya, Harduwining Astuti (2010) juga melakukan penelitian
mengenai klausa, penelitiannya itu diberi judul “Klausa Verbal dalam Wacana
Hukum dan Kriminal pada Surat Kabar Kedaulatan Rakyat Edisi Maret 2010”.
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mendeskripsikan jenis-jenis
klausa verbal, struktur klausa verbal, dan perilaku sintaksis verbal yang ada pada
objek. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian Astuti yaitu: (1)jenis
klausa verbal berjumlah 169 klausa yang meliputi klausa verbal ajektif, klausa
9
verbal intransitif, klausa verbal aktif, klausa verbal pasif, klausa verbal refleksif,
dan klausa verbal resiprokal; (2) struktur klausa verbal terdiri dari 10 pola (3)
perilaku sintaksis verbal yang terdapat dalam Wacana Hukum dan Kriminal terdiri
dari 7 perilaku sintaksis Relevansi penelitian Astuti (2010) dengan penelitian yang
dilakukan peneliti adanya persamaan pada kajiannya yaitu membahas kajian
sintaksis klausa. Perbedaan penelitian ini terletak pada objek penelitian. Penelitian
Astuti membahas klausa verbal berbahasa Indonesia, sedangkan peneliti
membahas klausa verbal berbahasa Arab.
Berdasarkan pada tinjauan pustaka diatas dapat disimpulkan bahwa
penelitian tentang klausa verbal sudah pernah dilakukan. Namun, dari pengamatan
yang telah dilakukan penulis, sejauh ini penelitian klausa verbal dalam cerpen
Uchibbuka kal-Ma>´i karya Li>na Ki>lani> belum pernah dilakukan, khususnya oleh
mahasiswa Jurusan Sastra Arab Universitas Sebelas Maret Surakarta. Oleh karena
itu, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khazanah penelitian ilmu
bahasa, khususnya dalam kajian sintaksis berbahasa Arab.
Cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i merupakan salah satu cerita dari kumpulan
cerpen karya Li>na Ki>lani>> dalam bukunya yang berjudul Uchibbuka kal-Ma>́ i.
Cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i menceritakan kisah seorang raja dan ketiga putrinya.
Dalam kisah ini diceritakan bahwa raja ingin mengetahui seberapa besar cinta
ketiga putri itu kepadanya. Putri pertama berkata bahwa cintanya seperti istana
dan seluruh isinya, putri kedua berkata bahwa cintanya seperti semua harta dan
fasilitas yang ada di kerajaan, adapun putri bungsu raja berkata bahwa ia
mencintai raja seperti ia mencintai air. Perkataan itu membuat raja salah paham
karena menurut raja, air adalah sesuatu yang tidak berharga. Hal itu membuat raja
10
marah dan mengusir sang putri dari istana. Hingga suatu hari datang kemarau
panjang yang membuat banyak penduduk sakit dan tanaman-tanaman mati karena
kekurangan air. Kejadian tersebut membuat raja mengerti perkataan putri
bungsunya. Raja menyadari bahwa air adalah sesuatu yang paling penting dalam
kehidupan. Raja menyesali kesalahannya pada sang putri sehingga raja berusaha
mencarinya. Dalam kisah itu diceritakan bahwa putri tinggal di dekat aliran
sungai. Singkat cerita, putri itu mengetahui bahwa raja mencarinya, kemudian ia
berusaha menghilangkan benda-benda yang menyumbat aliran sungai. Akhirnya,
tidak lama setelah raja mencari putrinya tiba-tiba ia melihat aliran sungai mengalir
deras dan setelah itu kehidupan raja kembali seperti semula.
Penulis menjadikan cerpen ini sebagai objek penelitian karena penulis
mempunyai asumsi bahwa cerita ini merupakan cerita fiktif yang dikhususkan
untuk anak-anak sehingga bahasa yang digunakan cukup sederhana dan mudah
dipahami. Hal ini mempermudah penulis dalam melakukan analisis. Selain itu,
berdasarkan pengamatan penulis terhadap cerpen ini, penulis melihat banyak
kalimat majemuk yang menandakan banyaknya klausa, khususnya klausa verbal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang ada dalam
cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i dapat dirumuskan sebagai berikut;
(1) Bagaimana struktur intern klausa verbal dalam cerpen Uchibbuka kal-
Ma>´i karya Li>na Ki>lani>>?
(2) Bagaimana jenis klausa verbal dalam cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i
karya Li>na Ki>lani>>?
11
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah;
(1) Mendeskripsikan struktur intern klausa verbal dalam cerpen
Uchibbuka kal-Ma>´i karya Li>na Ki>lani>.
(2) Mendeskripsikan jenis klausa verbal dalam cerpenUchibbuka kal-
Ma>´i karya Li>na Ki>lani>
D. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dimaksudkan agar penelitian menjadi lebih fokus dan
terarah, sehingga mencapai sasaran yang diinginkan. Pembatasan masalah dalam
penelitian ini adalah klausa verbal pada kalimat tunggal dan kalimat majemuk
yang ada dalam cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i karya Li>na Ki>lani>. Kalimat tunggal
yang dimaksud adalah kalimat yang hanya terdiri dari satu klausa. Sedangkan,
kalimat majemuk adalah kalimat yang mengandung dua klausa atau lebih.
E. Landasan Teori
1. Sintaksis
1.1 Pengertian Sintaksis
Ramlan (1981 : 1) berpendapat bahwa sintaksis ialah bagian atau cabang
dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan
frase. Dalam tataran sintaksis kata merupakan satuan terkecil, yang secara
hierarkial menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar yaitu
frase. Maka di sini, kata hanya dibicarakan sebagai satuan terkecil dalam
sintaksis, yaitu dalam hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk satuan yang
lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat dalam pembicaraan kata sebagai
pengisi satuan sintaksis.
12
Sintaksis dalam bahasa Arab disebut ilmu nahwu yaitu ilmu yang
mempelajari perubahan akhir kata maupun tetapnya kata tersebut. Al Ghulayaini
(2006: 8) mendefinisikan ilmu nahwu:
هبا احوال الكلمات العربية من اإلعراب )و ىو ما يعرف اليوم بالنحو( علم بأصول تعرف أو لزوم حالة نعرف ما جيب عليو أن يكون آخر الكلمة من رفع.أو جر أو جزم ابناء. فبه
. بعد انتظامها يف اجلملةةواحدAl-i’ra>bu (wa huwa ma> yu’rafu al-yaum bi a’n-nachwi) ‘ilmun bi ushu>lin tu’rafu biha> achwa>lul-kalima>ti al-‘arabiyyati min bina>´in. Fabiha na’rifu ma> yajibu ‘alaihi an yaku>na a>khirul-kalimati min raf’in au jarrin au jazmin au luzu>mi cha>latin wa>chidatin ba’da intizha>miha> fi>l-jumlati.
I’ra>b (atau yang sekarang dikenal dengan istilah nahwu) adalah
ilmu yang mempelajari keadaan-keadaan kata-kata berbahasa Arab
dari segi i’ra>b dan bina’-nya. Dengan ilmu nahwu dapat diketahui
keadaan akhir kata, apakah rafa’ (nominatif), nasab (akusatif), jar (genetif), jazm (jusif) , atau bahkan tetap pada satu keadaan setelah
tersusun dalam suatu klausa.
1.2 Kategori Sintaksis
Kategori sintaksis juga disebut sebagai kategori atau kelas kata (Alwi, et.al
2003:36). Chaer (2009: 27) menjelaskan bahwa kategori sintaksis adalah jenis
atau tipe kata atau frasa yang menjadi pengisi fungsi-fungsi sintaksis, seperti
subjek, predikat, objek, atau keterangan. Kategori sintaksis tersebut berkenaan
dengan istilah nomina, verba, adjektiva, adverbia, numeralia, preposisi, konjungsi,
dan pronomina. Pengisi fungsi tersebut dapat berupa frasa, sehingga selain kelas
kata yang nomina, terdapat pula frasa nominal. Begitu juga dengan adjektiva,
adverbia, numeralia, preposisi, konjungsi, dan pronomina yang dapat berupa
frasa sebagai pengisi fungsi sintaksis.
Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, dkk, 2003: 36),
bahasa Indonesia memiliki empat kategori sintaksis yang utama, yaitu: (1) verba
13
atau kata kerja, (2) nomina atau kata benda, (3) adjektiva atau kata sifat, dan (4)
adverbia atau kata keterangan. Di samping kategori utama, terdapat juga kata
tugas yang terdiri atas preposisi atau kata depan, konjungtor atau kata sambung,
dan partikel.
Dalam bahasa Arab jenis kata dibedakan menjadi tiga kategori dasar yaitu
ism (nomina), fi’l (verba), dan charfun (partikel) (Al-Ghulayaini, 2007:14). Al-
Khuli menyebut kelas kata dalam bahasa Arab sebagai anwa>’ul kalimah dan
membaginya lebih rinci menjadi empat kategori yaitu al-asma>’ (noun), al-af‘a>l
(verb), a’n-nu‘u>t (adjective), dan a’z-zhuru>f (adverb) (1982:311)1.
1.3 Fungtor
Fungtor adalah bagian kalimat yang menduduki jabatan tertentu (Suparno,
1982 dalam Asrori, 2004). Asrori (2004: 74) menjelaskan bahwa definisi di atas
bukan hanya diterapkan pada kalimat tetapi juga dapat diterapkan pada klausa,
sebab unsur kalimat dan klausa pada dasarnya sama. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa bagian dari klausa yang menduduki jabatan tertentu juga disebut dengan
fungtor.
Telah dikemukakan bahwa klausa mempunyai dua unsur inti, yaitu S dan
P. Dalam bahasa Arab, fungtor S dapat disepadankan dengan musnad ilaih dan
fungtor P dapat disepadankan dengan musnad. Al-Ghulayaini (2007: 17)
mendefinisikan musnad sebagai ma> chakamta bihi ‘ala syai’in (sesuatu yang
menyifati atau menghukumi), sedangkan musnad ilaih di definisikan dengan ma>
chakamta ‘alaihi bisyai’in (sesuatu yang disifati atau dihukumi).
1Dalam bahasa Arab a’n-nu’ut dan a’z-zhuruf dapat dimasukkan ke dalam kelas ism.
14
Kedua istilah tersebut kurang dikenal di kalangan pembelajar bahasa Arab,
karena kedua istilah itu digunakan dalam ilmu balaghah (retorika bahasa Arab),
bukan di dalam nahwu. Istilah-istilah yang digunakan dalam nahwu antara lain:
mubtada´, fa>‘il, na>´ibul fa>‘il, ism ka>na, ism inna, khabar, dan fi’l. Tetapi istilah-
istilah nahwu tersebut masing-masing mempunyai pengertian khusus yang tidak
seratus persen sama dengan konsep musnad ilaih (S) dan musnad (P). Karena itu
musnad ilaih (MI) dan musnad (M) lebih sepadan dengan S dan P (Asrori, 2004:
74). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep musnad ilaih lebih
umum sehingga dapat mewakili seluruh konsep subjek dalam bahasa arab seperti
mubtada´, fa>‘il, na>´ibul fa>‘il, ism ka>na, dan ism inna. Adapun musnad dapat
mewakili konsep khabar, dan fi’l.
Selain fungtor S dan P terdapat fungtor O (objek) dan K (keterangan).
Fungtor O sepadan dengan maf’u>l bih (MB). Dalam bahasa Arab fungtor K dapat
dirinci menjadi maf’u>l fi>h (MF) „keterangan tempat dan waktu‟, maf’u>l muthlaq
(MMu) „keterangan penegas, frequensi, dan model‟, maf’u>l li ajlih (ML)
„keterangan maksud/sebab‟, maf’u>l ma’ah (MMa) ‟keterangan penyerta‟, dan cha>l
(Ch) ‟keterangan keadaan‟. Dalam bahasa Arab, pada satuan-satuan K pada
umumnya mempersyaratkan adanya i’ra>b manshu>b (vokal akhir [a]) (2004:74).
2. Klausa
2.1 Pengertian Klausa
Klausa adalah satuan gramatik yang terdiri atas subjek (S) dan predikat
(P) baik disertai objek (O), pelengkap (Pel) dan keterangan (Ket) maupun tidak;
atau klausa adalah (S) P (O) (Pel) (Ket) dengan keterangan bahwa yang ada dalam
kurung merupakan unsur manasuka (Ramlan , 2001 : 89). Sejalan dengan itu
15
Ibrahim, et.al. (1996, dalam Asrori, 2004: 68) juga menyatakan bahwa kluasa
adalah satuan gramatikyang terdiri atas S dan P, baik disertai O, Pel, Ket, atau
tidak. Pendapat yang sama disampaikan oleh Badudu (1988 :20-25) yang
menyatakan bahwa fungsi struktur klausa dibagi atas subjek (S), predikat (P),
objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket).
Beberapa karakteristik klausa, menurut Badudu (1988:10-15), diantaranya
adalah: (1) kesatuanbahasa terkecil yang lengkap dan bagian terkecil dari paragraf
(2) sekurang-kurangnya terdiri atas S-P dan dapat dibedakan berdasarkan susunan
S-P nya; (3) tidak memiliki intonasi final yang membedakannya dengan kalimat:
(a) deklaratif atau indikatif (berita), (b) interogatif (tanya), (c) imperatif
(perintah), dan eklamasi (seru). Mendukung pernyataan yang menyebutkan bahwa
kalimat dan klausa merupakan satuan yang berbeda, dalam hal ini Kridalaksana
mengemukakan bahwa klausa hanya berpotensi untuk menjadi kalimat. Hal
tersebut menandakan bahwa klausa memang bukan kalimat. Dalam kamus
linguistiknya Kridalaksana (1983: 71) menyatakan bahwa kalimat adalah satuan
bahasa yang secara relatif berdiri sendiri mempunyai pola intonasi final, baik
secara aktual maupun potensial terdiri atas klausa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa klausa dikatakan mempunyai
potensi untuk menjadi kalimat karena meskipun bukan kalimat, dalam banyak hal
klausa tidak berbeda dengan kalimat, kecuali dalam hal belum adanya intonasi
akhir atau tanda baca yang menjadi ciri kalimat.
Badri (1986, dalam Asrori, 2004: 69) menggunakan istilah at-tarki>b yang
mendefinisikan klausa sebagai satuan linguistik yang terdiri atas dua unsur pokok,
16
yaitu musnad ilaih (pokok kalimat, tema, mubtada´, fa>il, ism inna, dan lainnya)
dan musnad (predikat, khabar, rema, khabar inna, khabar ka>na).
Al-Ghulayaini (2007: 17) menyebut klausa dalam bahasa Arab dengan
istilah jumlah yang merupakan suatu susunan yang terdiri dari subjek (musnad)
dan predikat (musnad ilaih). Al-Ghulayaini juga menyebut jumlah sebagai
murrakab isna>di>. Istilah al-isnad merupakan pengertian dari:
رلتهدزىًن (6) :د يف قولكااحلكم بشيء,كاحلكم على زىًن باالجته
Al-chukmu bisyai´in, kal-chukma ‘ala > zuhairin bil-ijtiha>di fi> qaulik: (6)Zuhairun mujtahidun
„Mensifati sesuatu dengan sesuatu, misalnya mensifati Zuhair
dengan kesungguhannya dalam perkataan: (6)“Zuhair adalah orang
yang sungguh-sungguh”.‟
Adapun Dahdah mendefinisikan jumlah sebagai:
ية تتضمن مسنداً ومسنًدا إليو يكوِّنان عمدة ىذه اجلملة وحيّققان ادلعىن ادلفيددوحدة إسنا
Wachdatun isna>diyyatun tatadhammanu musnadan wa musnadan ilaihi yukawwinani ‘umdata hadzihil-jumlati wa yuchaqqiqa>nil-ma’na>l-mufi>da.
‘Jumlah adalah sebuah satuan predikatif yang mengandung musnad
(predikat) dan musnad ilaih (subjek), keduanya menyusun bagian
jumlah ini serta menegaskan makna yang sempurna‟ (2000:116).
Berbeda dengan Dahdah, Al-Ghulayaini mengartikan jumlah sebagai
susunan yang terdiri dari S dan P tanpa mensyaratkan adanya makna yang utuh.
Pendapat Al-Ghulayaini didukung oleh adanya konsep jumlah syarthiyah (klausa
syarat) dan khabar jumlah (predikat yang berupa klausa) dalam bahasa Arab.
Keduannya dapat dimasukkan dalam kategori jumlah, namun tidak disebut
17
sebagai kala>m yang mempunyai syarat makna yang sempurna dan dapat berdiri
sendiri.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa apabila suatu jumlah belum
mempunyai faidah terhadap suatu makna yang sempurna yang cukup dengan
dirinya, maka tidak disebut dengan kala>m (2004: 18) seperti:
جتتهد يف عملك إن(7)In tajtahid fi> ‘amalika
„Jika engkau bersungguh-sungguh dalam amalmu‟
Satuan tersebut merupakan susunan yang belum mempunyai faidah, karena jawab
syarat dari satuan itu belum disebut dan tidak diketahui, maka hal itu tidak disebut
dengan kala>m, tetapi jika telah menyebutkan jawabnya, maka kalimat dibawah ini
menjadi kala>m seperti:
جتتهد يف عملك تنجح إن (8)
In tajtahid fi> ‘amalika tanjach
„Jika engkau bersungguh-sungguh dalam amalmu, engkau pasti sukses‟
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah klausa dalam
bahasa Indonesia dapat disepadankan dengan istilah jumlah dalam bahasa Arab.
Konsep jumlah tidak bertentangan dengan konsep klausa dalam bahasa Indonesia
karena dari beberapa definisi yang telah disebutkan, jumlah juga diartikan sebagai
satuan yang mengandung subjek dan predikat serta tidak berdiri sendiri.
Asrori (2004: 69) memberi kesimpulan dari berbagai pengertian mengenai
klausa. Ia memaparkan bahwa dari berbagai definisi yang ada, semua menetapkan
dua hal, (a) berupa satuan kebahasaan dan (b) minimal dibentuk oleh S dan P, atau
18
tema rema, atau musnad ilaih dan musnad. Dari dua unsur yang membentuk
klausa tersebut dapat diketahui bahwa klausa merupakan tataran yang lebih besar
daripada frasa. Hubungan antar unsur frasa tidak melebihi batas fungsi atau tidak
predikatif. Sedangkan hubungan antar unsur dalam klausa harus bersifat
predikatif dan harus melebihi batas fungsi. Berikut ini adalah contoh yang
digunakan Asrori (2004: 69), untuk menjelaskan berbagai definisi klausa yang
sudah disebutkan di atas.
(9) si bayi tidur
S P
(10) si bayi tidur nyenyak
S P K
(11) nenek mengaduk tepung
S P O
(12) nenek mengaduk tepung di dapur
S P O K
Dalam kalimat (9) terdapat klausa , yaitu „si bayi tidur‟ yang terdiri atas „si
bayi‟ yang menduduki fungsi S dan „tidur‟yang menduduki fungsi P. Pada (9) P
tidak diikuti O karena P berupa verba intransitif (tidak membutuhkan objek).
Adapun Ket yang pada dasarnya merupakan unsur manasuka dapat ditambahkan
sebagaimana tampak pada (10). Pada satuan (10) tersebut, P diikuti Ket kegiatan,
yaitu „nyenyak‟.
Kemudian, satuan (11) mengandung klausa „nenek mengaduk tepung‟
yang terdiri atas fungtor S „nenek‟, P „mengaduk‟, dan O „tepung‟. Pada (11),
fungtor O harus hadir karena P berupa verba transitif (verba yang membutuhkan
objek). Dalam hal ini (11) bisa ditambahkan fungtor Ket sebagaimana tampak
pada (12) (2004, 69-70).
19
Klausa dalam bahasa Arab dapat dicontohkan dalam satuan(13) األب يبتسم
صورتويشاىد al-Abu yabtasimu yusya>hidu shu>ratahu „ayah tersenyum melihat
gambarnya‟(2004: 71). Satuan tersebut terdiri dari dua klausa, yaitu 1) al-Abu
yabtasimu dan 2) yusya>hidu shuratahu. Klausa 1) secara eksplisit terdiri dari
fungtor S al-Abu dan fungtor P yabtasimu. Klausa 2) terdiri atas yusya>hidu yang
menduduki fungsi P dan shuratihi yang menduduki fungsi O. Klausa 2)
sebenarnya memiliki S yaitu al-Abu tetapi dilesapkan karena sama dengan S pada
klausa 1) (2004: 71).
2.2 Jenis Klausa
Klausa dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, berikut adalah
penggolongannya :
2.2.1 Jenis Klausa dalam Bahasa Indonesia
Menurut Ramlan (2001: 123) di dalam bahasa Indonesia, ada tiga dasar
yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan klausa. Ketiga dasar itu adalah
klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya, klasifikasi klausa berdasarkan
ada tidaknya unsur negasi yang menegatifkan P, dan klasifikasi klausa
berdasarkan kategori frasa yang menduduki fungsi P. Berikut penjelasannya :
1) Klausa Berdasarkan Struktur Internnya
Klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya mengacu pada hadir
tidaknya unsur inti klausa, yaitu S dan P. Meskipun S merupakan unsur inti,
namun unsur S sering dihilangkan akibat penggabungan klausa, dan dalam
kalimat jawaban. Adapun fungsi P sebagai unsur inti klausa lebih
seringdihadirkan. Atas dasar itu, maka hasil klasifikasi klausa berdasarkan
20
struktur internnya dibagi menjadi dua yaitu klausa lengkap dan klausa tidak
lengkap:
a. Klausa Lengkap
Klausa lengkap ialah klausa yang kedua unsur intinya yaitu S dan P
dihadirkan. Klausa ini diklasifikasikan lagi berdasarkan urutan S dan P menjadi
dua yaitu klausa versi dan klausa inversi. Klausa versi (klausa susun biasa) adalah
klausa yang S-nya terletak di depan P. Contoh :
(14) badan orang itu sangat besar
S P
(15) para tamu masuklah ke ruang tamu
S P Ket
Kemudian, klausa lengkap inversi adalah klausa lengkap yang P-nya mendahului
S. Contoh :
(16) sangat besar badan orang itu
P S
(17) masuklah para tamu ke ruang tamu
P S Ket
Dalam klausa-klausa diatas „badan orang itu‟ menduduki fungsi S, „sangat besar‟
menduduki fungsi P, „para tamu‟ menduduki fungsi S, „masuklah‟ menduduki
fungsi P, dan „ke ruang tamu‟ menduduki fungsi Ket
b. Klausa Tidak Lengkap
Klausa tidak lengkap yaitu klausa yang tidak menghadirkan S. Klausa tak
lengkap sudah tentu terdiri dari unsur P, disertai O, Pel, Ket, atau tidak. Contoh:
(18) sedang bermain-main
P
(19) menulis surat
P O
(20) telah berangkat ke Jakarta
P Ket
21
Klausa (18) terdari P, klausa (19) terdiri dari P diikuti O, dan klausa (20) terdiri
dari P diikuti Ket.
2) Klausa Berdasarkan Ada Tidaknya Unsur Negasi yang Menegatifkan P
Unsur negasi yang dimaksud adalah tidak, tak, bukan, belum, dan jangan.
Berdasarkan ada tidaknya klausa negatif yang secara gramatik menegatifkan atau
mengingkarkan P, klausa dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu :
a. Klausa Positif
Klausa poisitif ialah klausa yang tidak memiliki kata negatif yang
menegatifkan P. Misalnya:
(21) mereka diliputi oleh perasaan senang
S P O
(22) mertua itu sudah dianggapnya sebagai ibunya
S P Ket
b. Klausa negatif
Klausa negatif ialah klausa yang memiliki kata-kata negatif yang secara
gramatik menegatifkan P. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya kata-kata
negatif itu ialah tidak, tak, tiada, bukan, belum, dan jangan. Misalnya:
(23) mereka tidak malas
S P
(24) orang tuanya sudah tiada
S P
3) Klausa Berdasarkan Kategori Frasa yang Menduduki Fungsi P
Berdasarkan kategori frasa yang menduduki fungsi P, klausa dapat
diklasifikasikan menjadi empat golongan, yaitu :
a. Klausa Nominal
Klausa nominal ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk
kategori frasa nomina. Contoh :
22
(25) ia guru
S P
(26) mereka itu karyawan suatu perusahaan swasta di jakarta
S P Ket
b. Klausa Verbal
Klausa verbal ialah klausa yang P-nya berupa kata atau frasa yang
termasuk kategori verba. Kata golongan verba ialah kata yang pada tataran klausa
cenderung menduduki fungsi P. Contoh :
(27) petani mengerjakan sawahnya dengan tekun
S P
(28) udaranya panas
S P
c. Klausa Bilangan
Klausa bilangan ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau frasa
golongan bilangan. Contoh :
(29) roda truk itu enam
(30) kerbau petani itu hanya dua ekor
d. Klausa Depan
Klausa depan ialah klausa yang P-nya berupa frasa depan, yaitu frasa yang
diawali oleh kata depan atau preposisi sebagai penanda. Contoh :
(31) beras itu dari delanggu
S P
(32) orang tuanya di rumah
S P
2.2.2 Jenis Klausa dalam Bahasa Arab
Al-Ghulayaini (2007: 579) memaparkan bahwa dalam bahasa Arab jenis-
jenis klausa dibagi menjadi beberapa bagian yang didasari pada kategori kata
yang mengawalinya dan didasari oleh fungsinya di dalam kalimat.
23
Berdasarkan kategori kata yang mengawali susunan klausa, maka klausa
atau jumlah dalam bahasa Arab dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1) Jumlah Fi’liyah (Klausa Verbal)
Al-Ghulayaini (2007: 579) memberi pengertin terhadap jumlah fi’liyah,
yaitu sebagai berikut:
))سبق السيف العذل((, أو الفعل (33)فاعل, حنو: الما تألف من الفعل و اجلملة الفعلية: )) (35)لوم((, أو الفعل الناقص و امسو و خربه حنو: ظ))ينصر ادل(34)ونائب الفاعل, حنو :
اجملتهد سعيدا(( يكونMa> ta’allafa minal-fi’l wal-fa>‘il, nachwa:‚sabaqa a’s-saifu al-‘adzla‛, au fi’l wa na >́ ibil-fa>’il, nachwa: ‚yunsharu al-madhlu>m‛, au al-fi’l naqish wa ismuhu wa khabaruhu, nachwa: ‚yaku>nu al-mujtahidu sa’i>dan‛. ‘Jumlah fi’liyah terdiri dari fi’l dan fa>‘il, seperti ‘pedang
mendahului celaan‟(peribahasa untuk menyatakan sesuatu yang
telah terjadi tidak bisa terulang kembali), atau na>´ibul fa>‘il seperti
„orang yang dizhalimi ditolong‟, atau fi’l naqish beserta ism dan
khabar-nya seperti „orang yang rajin akan beruntung‟‟.‟
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah fi’liyah
merupakan jumlah yang diawali oleh musnad yang berupa fi’l atau kata kerja.
Adapun musnad ilaih atau subjeknya dapat berupa fa>’il ataupun na>´ibul fa>’il.
2) Jumlah Ismiyah (Klausa Nominal)
Al-Ghulayaini (2007: 579)memberi pengertin terhadap jumlah ismiyah,
adalah sebagai berikut:
)) احلّق منصر (( أو شلّا أصلو (36)ما كانت مؤلفة من ادلبتدأ واخلرب ,حنو : اجلملة اإلمسية: ال (40)ما أحد مسافرا. (39)و.يف ال ريب (38)إن الباطل سلذول.(37) مبتدأ و خرب, حنو:
ن أحد خًنا من أحد إال بالعافية((إ (41)رجل قائما.Jumlah ismiyah: Ma> ka>nat mu'allafatan minal-mubtada´i wal-khabari, nachwa: ‚al-chaqqu munshirun‛ au mimma> ashluhu mubtada´un wa khabarun, nachwa ‚inna’l-ba>thila makhdzulun, la> raiba fi>hi, ma> achadun musa>firan, la> rajulun qa>iman. In achadun khairan min achadin illa bil-’a>fiyyati‛.
24
‘Jumlah ismiyah merupakan apa-apa yang terdiri dari mubtada´ dan khabar seperti, ‟kebaikan itu penolong‟ atau dari apa-apa yang
aslinya mubtada´ dan khabar seperti „sesungguhnya kebatilan itu
terlantar,tidak ada keraguan didalamnya, tidak ada satupun musafir,
tidak ada laki-laki yang berdiri, sesungguhnya seseorang tidak akan
menjadi lebih baik dari yang lainnya kecuali dengan permohonan
maaf‟.‟ Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah ismiyah
merupakan jumlah yang diawali oleh musnad ilaih yang berupa ism dan disebut
dengan mubtada´. Adapun musnad-nya berupa khabar.
Selanjutnya, berdasarkan kedudukan atau fungsi suatu klausa di dalam
susunan kalimat, klausa atau jumlah dalam bahasa Arab dibagi pula menjadi dua
jenis, yaitu:
1) Al-Jumlatul-lati> laha> Machallun minal-I’ra>b (Klausa yang Menempati
Fungsi dalam Susunan Kalimat)
Al-jumlatul-lati> laha> machallun minal-i’ra>b merupakan klausa yang
menempati fungsi di dalam susunan kalimat. Baik jumlah ismiyah atau jumlah
fi’liyah terkadang menduduki suatu jabatan atau fungsi tertentu (baik predikat,
objek, keterangan, dll.) yang biasanya diisi oleh kata atau frasa. Al Ghulayaini
(2007: 579-580) menyebutkan beberapa ketentuan pada jenis ini, yaitu:
,فإن تأويل : ))خالد يعمل اخلًن(42)((إن أّولت مبفرد مرفوع ,كان زللها الرفع ,حنو: كان (43)((. وإن أّولت مبفرد منصوب, كان زللها النصب, حنو: ))للخًن خالد عامل((
كانت رلرور,. وإن أّولت مبفرد ))كان خالد عامال للخًن((, فإن تأويل ))خالد يعمل اخلًنمررت برجل عامل ((,فإن تأويل ))مررت برجل يعمل اخلًن(((44)يف زلّل جّر حنو:
ن ذلا زلّل من د ,ألهنا غًن واقعة موقعو ,مل يك. وإن مل يصّح تأويل اجلملة مبفر ))للخًن ."جاء الذي كاتب"ال يصح أن تقول : ,إذ ))جاء الذي كتب(((45)اإلعرب,حنو:
In uwwilat bi mufradin marfu>’in, ka>na machalluha>’r-rafa’a, nachwa :‘kha >lidun ya’malul-khaira’, fa inna ta'wilun: ‘kha>lidun
25
‘amilun lil-khairi’. Wa in uwwilat bi mufradin manshu>bin, ka>na machalluha a’n-nashaba, nachwa: ‘ka>na khal>idun ya’malul-khaira’, fa inna ta´wi>lun : ‘ka>na kha >lidun ‘amilan lil-khairi’. Wa in uwwilat bi mufradin majru>rin, k>anat fi> machalli jarrin, nachwa: ‘marartu bi rajulin ya’malul-khairi’, fa inna ta´wi>lun :’marartu bi rajulin ’a>milin lil-khairi’. Wa in lam yashichchu ta´wi>lun al-jumlati bi mufradin , li annaha> ghairu wa>qi’atin mauqi’ahu, lam yakun laha> machallun minal-i’ra>b, nachwa: ‘ja>́ al-ladzi> kataba’, idz la> yashichchu an taqu>la : ‘ja>´al-ladzi> ka>tibun’
„Jika dapat dijelaskan dengan mufrad marfu>’, maka kedudukannya
adalah rafa’, seperti “Khalid mengerjakan kebaikan”, maka dapat
diganti”Khalid pekerja untuk kebaikan”. Dan jika dijelaskan
dengan mufrad manshu>b, maka kedudukannya adalah nashab,
seperti “dulu Khalid bekerja untuk kebaikan”, maka dapat
diganti“dulu Khalid adalah pekerja untuk kebaikan”. Jika dapat
dijelaskan dengan kata mufrad majru>r maka kedudukannya adalah
jar, seperti “aku telah bersua dengan pemuda yang bekerja untuk
kebaikan”maka dapat digantikan “aku telah bersua dengan
pemuda yaitu seorang pekerja untuk kebaikan”. Dan jika tidak
memungkinkan suatu klausa didudukkan dalam satu fungsi tertentu
maka dia digolongkan pada klausa yang tidak memiliki fungsi atau
posisi dalam i’ra>b seperti “orang yang menulis datang” maka tidak
boleh dikatakan “orang yang penulis datang”(2007:579)‟
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan i’ra>b
bagi jumlah (klausa) yang menempati posisi ism mufrad bergantung pada
fungsinya di dalam kalimat. Misalnya, jika suatu jumlah menempati fungsi
predikat atau khabar maka jumlah tersebut sebenarnya menempati posisi i’ra>b
rafa’. Khabar yang berupa susunan jumlah biasanya membuat kedudukan i’ra>b-
nya di dalam kalimat menjadi kurang jelas apakah kedudukannya rafa’ , nashab ,
jar atau jazm. Apabila khabar tersebut berbentuk jumlah fi’liyah maka untuk
memperjelas kedudukannya dapat dibuktikan dengan mengganti fi’l-nya menjadi
ism sehingga posisi i’ra>b-nya lebih terlihat. Dari kutipan di atas dicontohkan
dengan kalimat khalidun ya’malul-khaira, khabar-nya adalah klausa ya’malu
kemudian diganti dengan ‘a>milun’. Untuk klausa yang menduduki fungsi lainnya
dapat dilihat dari contoh-contoh yang telah dipaparkan oleh Al-Ghulayaini di atas.
26
Al-Ghulayaini membagi jumlah yang mengambil posisi dalam i’ra>b
menjadi tujuh (2007: 580) yaitu:
a. Al-Jumlatu al-Wa>qi’atu Khabaran (Klausa yang Menempati Fungsi
Predikat)
Al-jumlatu al-wa>qi’atu khabaran merupakan klausa yang menempati
fungsi sebagai predikat atau khabar. Misalnya:
يعمل اخلًن خالد(46)
Khalidun ya’malul-khaira
„Khalid mengerjakan kebaikan‟
Verba ya’malu merupakan khabar dari mubtada´ Khalidun yang merupakan ism
marfu>‘. Klausa (jumlah) tersebut menempati posisi i’ra>b rafa’ karena menduduki
fungsi khabar. Untuk memperjelas bahwa jumlah tersebut menempati posisi i’ra>b
rafa’, maka dapat dirubah ke dalam bentuk ism sehingga menjadi khalidun
‘amilun lil khair (Khalid pekerja yang baik). Hal ini juga berlaku untuk khabar
yang jatuh sebagai khabar inna dan ka>na. Untuk khabar ka>na posisi i’ra>b -nya
adalah nashab.
b. Al-Jumlatu al-Wa>qi’atu Cha>lan (Klausa yang Menempati Fungsi
Keterangan Keadaan)
Al-jumlatu al-wa>qi’atu cha>lan merupakan klausa yang menempati fungsi
cha>l atau keterangan keadaan. Contoh:
(61يوسف:(يبكونىم عشآء اأب او وجآء(47)
wa ja>'u> aba>hum ‘isya'an yabku>na
27
„kemudian mereka datang kepada ayah mereka pada petang hari
sambil menangis‟(QS.Yusuf: 16).
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa jumlah yabku>na menjadi keterangan
keadaan bagi susunan di atas. Jadi dapat disimpulkan bahwa jumlah tersebut
mengambil posisi i’ra>b nashab sebagai cha>l.
c. Al-Jumlatu al-Wa>qi’atu Maf’u>lan Bihi (Klausa yang Menempati Fungsi
Objek)
Al-jumlatu al-wa>qi’atu maf’u>lan bihi merupakan klausa yang menempati
fungsi objek atau maf’u>lun bih. Contoh :
جتتمع بعد التفرقاألمة أظن(48)
adzunnul-ummata tajtami’u ba’da’t-tafarruqi
„aku berharap suatu umat bersatu setelah bercerai berai‟
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa jumlah tajtami’u menjadi sasaran dari
perbuatan adzunnu ‘berharap’ sehingga ia menempati posisi i’ra>b nashab sebagai
maf’u>l bih.
d. Al-Jumlatu al-Wa>qi’atu Mudha>fan Ilaihi (Klausa yang Menempati Fungsi
Mudha>f Ilaih)
Al-jumlatu al-wa>qi’atu mudha>fan ilaihi merupakan klausa yang
menempati fungsi mudha>f ilaihi. Seperti dalam contoh:
(111)ادلائدة: ينفع الصادقٌن صدقهم ىذا يوم (49)
ha>dza yaumu yanfa’u’s-sha>diqi>na shidquhum
28
„Inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari
kebenarannya‟ (QS. Al-Ma´idah: 119).
Klausa yanfa’u’s-sha>diqi>na shidquhum bersandar pada ism yaumu sehingga ia
menempati posisi i’ra>b jar sebagai mudhaf ilaih.
e. Al-Jumlatu al-Wa>qi’atu Jawa>ban li Syarthin Ja>zimin (Klausa yang
Menempati Fungsi Jawaban dari Klausa Syarat)
Al-jumlatu al-wa>qi’atu jawa>ban li syarthin ja>zimin merupakan klausa
yang menjadi jawab syarat dan berkedudukan jazm . Contohnya adalah:
(33)الرعد:فما لو ,من ىادومن يضلل اهلل (50)
wa man yudhlili'lla>hu fa ma> lahu min ha>din
„Dan barang siapa disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun
yang member petunjuk baginya‟(QS. A‟r-Ra‟d: 33)
Dapat dilihat dari contoh di atas bahwa jumlah ‘fa ma> lahu min ha>din’
merupakan jawa>b dari jumlah syart „wa man yudhlili'lla>hu.
f. Al-Jumlatu al-Wa>qi’atu Shifatan (Klausa yang Menempati Fungsi
Adjektif)
Al-jumlatu al-wa>qi’atu shifatan merupakan jumlah yang menempati
fungsi adjektifa atau shifat. Seperti :
يسعى و جآء من أقصا ادلدينة رجل (51)
wa ja>́ a min aqsha-lmadi>nati rajulun yas’a>
„Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki‟ (QS.Yasin: 20).
29
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa klausa ‘yas’a>’ bersandar pada kata rajulun
dan mensifatinya. Sehingga, posisi i’ra>b-nya sesuai dengan kata yang diikutinya
yaitu rafa’.
g. Ta>bi’atul-Jumlati Laha> Machallun minal-I’ra>b (Klausa Subordinat yang
Menempati fungi dalam Susunan Kalimat)
Ta>bi’atul-jumlati laha> machallun minal-i’ra>b merupakan klausa yang
menjadi pengikut bagi klausa sebelumnya serta menduduki jabatan tertentu di
dalam susunan kalimat. Contoh:
يكتب علّي يقرأ و(52)
‘Aliyyun yaqra’u wa yaktubu
„Ali membaca dan menulis‟.
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa jumlah ‘yaktubu’ bersambung dengan
jumlah sebelumnya yaitu „yaqra´u’ yang menempati posisi i’ra>b rafa’ sebagai
khabar. Karena jumlah tersebut menjadi athaf atau pengikut bagi jumlah
sebelumnya maka posisi i’ra>b-nya sama dengan jumlah yang diikutinya.
2) Al-Jumlatul-lati> la> Machalla laha> minal-I’ra>b (Klausa yang Tidak
Mempunyai Fungsi dalam Susunan Kalimat)
Al-jumlatul-lati> la> Machalla laha> minal-i’ra>b merupakan klausa yang tidak
mempunyai fungsi di dalam susunan kalimat atau tidak mempunyai kedudukan
i’ra>b. Al Ghulayaini (2007: 581-582) membagi klausa ini menjadi beberapa
keadaan, yaitu sebagai berikut :
30
a. Al-Jumlah Al-Ibtida>́ iyyah (Klausa Introduktif)
Al-Ghulayaini mendefinisakan al-jumlah al-ibtida>́ iyyah atau yang
disepadankan dengan klausa introduktif (Nugroho, 2014: 32) sebagai berikut :
إنا أعطيناك (53) (( االبتدائية : وىي اليت تكون يف مفتتح الكالم كقولو تعاىل (:1الكوثر)))الكوثر
Al-ibtida´iyyatu wa hiyal-lati> taku>nu fi> muftatachi>l-kala>mi ka qaulahu ta>’ala ‚ inna> a’thaina > kal-kautsar‛
‘Al-ibtidaiyyah yaitu jumlah (klausa) yang berada di awal kalimat,
seperti firman Allah “Sungguh, Kami telah memberimu nikmat
yang banyak” (QS. Al-Kautsar: 1).‟
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa klausa ini
merupakan klausa yang terdapat pada awal kalimat.
b. Al-Jumlah al-Isti´na>fiyyah
الستئناف كالم ,اجلملة االستئنافية : وىي اليت تقع يف أثناء الكالم منقطعًة عما قبلهاقالت رّب إين وضعتها (54) ((جديد. و قد تقرتن بالفاء أو بواو االستئنافيتٌن كقولو تعاىل
فلما أتامها (55)(((, و 33)ال عمران: ))الذكر كاألنثىس وليأنثى واهلل أعلم مبا وضعت (111)األعراف: ))فتعاىل اهلل عما يشركونصاحلا جعال لو شركاء فيما أتامها
Al-jumlatu al-isti´na>fiyyatu wa hiyal-lati> taqa’u fi> atsna>'il-kala>mi munqathi’atan ‘amma qablaha>, li isti´na>fi kala>min jadi>din. wa qad taqtarinu bil-fa´i au bil-wawil-isti´na>>fi kaqaulihi> ta’a>la: ‚qa>lat rabbi inni> wadha’tuha > untsa> wa'alla>hu a’lamu bima> wadha’at wa laisa’dz-dzakaru kal-untsa>‛ (Ali ‘imra>n:36), wa ‚fa lamma ata>huma> sha>lichan ja’ala> lahu, syuraka>´a fi>ma> ata>huma>, fa ta’ala’l-la>hu ‘amma> yusyriku>na‛ (Al-A’raf: 190).
Jumlah isti´nafiyyah merupakan jumlah yang terletak ditengah
kalimat yang terputus dengan jumlah sebelumnya. Untuk
membuka kalimat baru. Terkadang dihubungkan dengan huruf ‘fa’ atau dengan ‘wau’isti´nafiyyah seperti firman Allah “Maka ketika
dia melahirkannya, dia berkata Ya Tuhanku aku telah melahirkan
anak perempuan, padahal Allah lebih tahu apa yang dia lahirkan,
dan laki-laki tidak sama dengan anak perempuan” („Ali „imran:
36),serta “Maka setelah Dia memberi keduanya anak yang sholeh,
31
mereka menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah
dianugerahkan-Nya itu, maka Maha tinggi Allah bagi apa yang
mereka persekutukan)”(QS. Al-A‟raf: 190).‟
Jumlah (klausa) ini merupakan jumlah yang makna atau pengertiannya
terputus dari jumlah sebelumnya, sehingga seolah-olah menjadi kalimat yang
baru, seperti contoh yang telah disebutkan di atas.
c. Al-Jumlatu a’t-Ta’li>liyah (Klausa Sebab)
وصّل ((:(56)اىلكقولو تع ,وىي اليت تقع يف أثناء الكالم تعليال دلا قبلها,اجلملة التعليلية (57) (((, و قد تقرتن بالفاء التعليل ,حنو:113)التوبة:))إّن صالتك سكن ذلمعليهم ,
))فإهنا زينة العقالءمتّسك بالفضيلة ,
Al-jumlatu at’ta’li>liyyah, wa hiyal-lati> taqa’u fi> atsna >’il-kala>mi ta’li>lan lima> qablaha>, ka qaulihi> ta’a>la> ‚wa shalli ‘alaihim, inna shalataka sakanun lahum‛(a’t-taubah :103), wa qad taqtarinu bil-fa>´i’t-ta’li>li, nachwa: ‛tamassak bil-fadhi>lati, fa innaha> zi>natul-‘uqala>´i
‘Jumlah ta’liliyyah, adalah sesuatu yang terletak di tengah kalimat
yang menjadi sebab dari klausa sebelumnya, seperti firman Allah
“Berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doamu itu menentramkan
jiwa mereka” (A‟t-Taubah :103), dan dihubungkan dengan fa’ ta’lil> seperti: ”peganglah suatu keutamaan sesungguhnya itu adalah
hiasan bagi orang-orang yang berakal”.’
Klausa ini merupakan klausa yang berada di tengah ataupun di akhir
kalimat kemudian menjadi sebab atau alasan bagi klausa sebelumnya. Terkadang
jenis jumlah atau klausa ini diawali dengan huruf fa’ ta’lil>.
d. Al-Jumlatu Shilatil-Maushu>li (Klausa Relatif)
Al-Jumlatu shilatil-maushu>li didefinisikan Al Ghulayaini sebagai jumlah
atau klausa yang menjadi shillah lil-maushu>l seperti berikut ini:
(11)األعلى:))تزكىقد أفلح من (((49):الواقعة صلة للموصل كقولو تعاىل
32
Al-wa>qi’atu shilatan lil-maushu>li ka qaulihi> ta’a>la> ‚qad aflacha man tazakka>‛
‘Shilah lil-maushu>l seperti firman Allah: ‚Sungguh beruntung
orang yang menyucikan diri (QS. Al-A’la: 14)”.‟
Jumlah ini merupakan jumlah yang menjadi shilah bagi maushu>l yaitu
yang terletak setelah ism maushu>l seperti al-ladzi>, al-lati>, man dan lainnya. Dalam
contoh di atas dapat dilihat bahwa kata „tazakka’ menjadi shilah bagi „man’.
e. Al-Wa>qi’atu Jawaban li’s-Syarti Ghoiri Jazim (Klausa Kondisional)
Pengertianal-jumlatu jawaban li’s-syarti ghairi jazim adalah sebagai
berikut:
ولوال دفع اهلل الناس بعضهم (58)((:لوال كقولو تعاىلو الواقعة جوابا لشرط غًن جازم كإذا ولو (151)البقرة: ))األرض تلفسدببعض
Al-wa>qi’atu jawaban lisyartin ghoiri ja>zim ka idza, lau, laula ka qaulihi> ta’a>la ‘wa laula> dafa’u’llahin’na>sa ba’dhahum bi ba’dhil-lafasadatil-ardhu‛
Jawab lisyartin ghoiri jazim dengan idza, lau, laula. Seperti firman
Allah: “Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini (QS. Al-
Baqarah: 251)”.‟
Klausa ini merupakan klausa yang menjadi jawab syarth yaitu yang
biasanya klausa syarat-nya diawali kata idza, lau, atau laula. Dalam contoh di
atas dapat dilihat bahwa jawab -nya terletak pada klausa atau jumlah lafasadatil-
ardh.
f. Al Wa>qi’atu Jawa>ban lil-Qasami (Klausa Sakramental)
(55)األنبياء: ))ألكيدن أصنامكموتاهلل ))(59): لواقعة جوابا للقسم كقولو تعاىلاجلملة ا
Al-jumlatu al-wa>qi’atu jawaban lil qasam ka qaulihi> ta’a >la ‚wa ta’lla>hi la aki>danna ashna>makum‛
33
Jumlah yang menjadi jawa>b qasam seperti firman Allah ta’a>la> ‚Demi Allah, sungguh, aku akan melakukan tipu daya terhadap
berhala-berhalamu setelah kamu pergi meninggalkannya” (QS. Al-
Anbiya :57).‟
Klausa ini merupakan klausa yang menjadi jawa>b setelah charf qasam
yaitu ta’,ba’, danwau. Dalam contoh di atas dapat dilihat bahwa jawa>b-nya
terletak pada klausa atau jumlah ‘la aki>danna ashna>makum’.
g. Al-Jumlah al-I’tira>dhiyyah (Klausa Interfektif)
الكالم تقوية وتسديدا اجلملة االعرتاضية , وىي اليت تعرتض بٌن شيئٌن متالزمٌن إلفادة , و الشرط واجلواب, واحلال و ونصوبم, الفعل و ومرفوع دلبتداء واخلرب, الفعل ووحتسينا, كا
صاحبها, و الصفة و ادلوصوف, و حرف اجلر ومتعلقو و القسم وجوابو كقولو تعاىل: (11)البقرة:((فاتقوا النار اليت وقودىا الناس واحلجارة--لن تفعلواو --فإن مل تفعلوا ))(60)
Al-jumlatu al-i’tira>dhiyyah, wa hiyal-lati> ta’taridhu baina syai'aini mutala>zimaini li ifa>datil-kala>mi taqwiyyatan wa tasadi>dan wa tachsi>nan, kal-mubtada´i wal-khabari, wal-fi’li wa marfu>’ihi, wal-fi’li wa manshu>bihi, wa al-syarthi wal-jawa>bi, wal-cha>li wa shachibiha, wal-shafati wa al-maushu>fi, wa charfil-jari wa muta’aliqihi wal-qasami wa jawa>bihi ka qaulihi ta’a>la :‛fa in lam taf’alu>--wa lan taf’alu>-- fa>’t-taqu’n-na>ral-lati> wa qu>duha>’n-na>su wal-chija>ratu‛ (Al-Baqarah:24) ‘Al-jumlatu al-I’tirodhiyyah, yaitu jumlah (klausa) yang menjadi
penjelas serta penegas diantara dua satuan bahasa yang saling
berkaitan seperti mubtada´ dan khabar-nya, fi’l dan marfu>‘-nya,
fi’l dan manshub-nya, syarat dan jawab-nya, chal dan shohibul chal, sifat dan maushuf-nya, jar dan acuannya serta qosam dan
jawab-nya, seperti firman Allah :”Jika kamu tidak mampu
membuatnya--dan pasti kamu tidak mampu--maka takutlah kamu
akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang
disediakan bagi orang-orang kafir” (QS. Al-Baqarah :24).‟
Jumlah ini merupakan jumlah yang menyisip di antara dua hal. Misalnya,
suatu jumlah yang menyisip di antara mubtada dan khabarnya atau di antara fi’l
dan fa>’il-nya. Dalam contoh di atas dapat dilihat bahwa jumlah ‘wa lan taf’alu’
menyisip di antara jawab dan syarth.
34
h. A’t-Ta>bi’atu li Jumlatin la Machalla laha > minal-I’ra>b (Klausa Subordinat
yang Tidak Menempati Fungsi dalam Susunan Kalimat)
A’t-Ta>bi’atu li jumlatin la machalla laha> minal-i’ra>b atau yang
disepadankan dengan klausa subordinat pada klausa pada kalimat majemuk
(Nugroho, 2014: 39), pengertiannya sebagai berikut:
إذا هنضت األمة ,بلغت من اجملد الغاية, و (61)((ب, حنو ار عالتابعة جلملة ال زلّل ذلا من اإل ))الّسؤدد النهايةادركت من
A’t-ta>bi’atu li jumlatin la> machalla laha> minal-i’ra>bi, nachwa: ‘idza nahadhat al-ummatu, balaghat minal-majdi al-gha>yata wa adrakati mina’s-su'dadi a’n-niha>yata’ „Pengikut bagi jumlah yang tidak menempati posisi dalam i’ra>b,
seperti “Apabila sebuah umat bangkit, maka kesungguhan telah
menyampaikan mereka kepada sebuah tujuan dan menemukan
mereka kepada pangkat tertinggi”.‟
Klausa ini merupakan klausa yang menjadi pengikut bagi klausa
sebelumnya yang biasanya di tandai dengan wau atau fa’ athaf. Dalam contoh di
atas dapat dilihat bahwa klausa atau jumlah wa adrakati mina’s-su'dadi a’n-
nihayyata menjadi athaf bagi jumlah balaghat minal-majidi al-gha>yata.
i. Al Jumlah a’t-Tafsiriyah (Klausa Eplikatif)
مقرونة بأي , 2)رلّردة حبرف التفسًن, كما رأيت, و1)اجلملة التفسًنية ,ثالثة أقسام و منو قولو ))أن وافناكتبت اليو:((مقرونة بأن حنو 3)و))أي اذىبأشرت إليو , (((62)حنو:
(15)ادلؤمنون: ))الفلكأن اصنع فأوحينا إليو : (((63)تعاىل:
Al-jumlatu a’t-tafsiriyyah, tsalatsatu aqsamin: 1) mujarradatun bi charfi’t-tafsi>ri, kama> ra’aita wa 2) maqru>natun bi ai, nachwa: ‚asyartu ilaihi, ai adzhabu‛ wa 3)maqru>natun bi an nachwa: ‚katabtu ilaihi: an wa>finan‛ wa minhu qaulihi ta’a>la> ‚fa auchaina> ilaihi: ani’shna’il-fulka‛ „Jumlah tafsiriyyah terdiri dari tiga macam: 1) yang terlepas dari
charf tafsi>r, seperti yang telah diketahui, 2) yang dihubungkan
35
dengan ai, seperti “aku menunjukkan kepadanya bahwa aku pergi”
dan seperti “aku mewajibkan kepadanya yaitu suatu pelaksanaan”.
3) yang dihubungkan dengan an, seperti firman Allah “lalu Kami
wahyukan kepadanya :buatlah kapal” (QS. Al-Mu‟minun: 27)‟
Klausa ini merupakan klausa yang menjadi penjelas bagi klausa
sebelumnya yang biasanya ditandai dengan ai atau an atau tidak menggunakan
charf tafsi>r.
Selanjutnya Asrori (2004: 76), berusaha menjembatani konsep klausa
dalam bahasa Indonesia dengan klausa bahasa Arab. Salah satunya dalam segi
struktur internalnya. Jika bahasa Indonesia mengenal adanya klausa lengkap dan
klausa tidak lengkap maka dalam bahasa Arab jenis klausa tersebut juga dapat
diterapkan. Telah dijelaskan bahwa klausa mempunyai unsur inti, yaitu S dan P
atau MI dan M. Meskipun S/MI dan P/M merupakan unsur inti klausa namun
salah satu dari kedua unsur tersebut sering tidak dimunculkan akibat dari
penggabungan klausa, atau berada dalam kalimat jawaban, ataupun dalam klausa-
khususnya klausa BA- yang fungtor S/MI-nya dapat diindikasikan secara spesifik
oleh morfem yang ada pada P/M. Klausa yang mengandung fungtor S dan P atau
MI dan M disebut klausa lengkap, sedangkan yang tidak mengandung fungtor
S/MI disebut klausa tidak lengkap (2004: 77)2.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa klausa lengkap dan
klausa tidak lengkap dapat dicontohkan dalam satuan ة و كانت قرية يعصر ةمكة اآلن مدين
klausa pertama makkatual-a>n madi>natun ‘ashriyatun’‟Mekah sekarang adalahخالية
2Tidak mengandurng S/MI dimaksudkan tidak menyebut S secara jelas yaitu hanya melesapkan
S/MI yang sebenarnya ada pada klausa sebelumnya.
36
kota yang ramai‟ merupakan klausa lengkap karena secara implisit menyebutkan
MI-nya yaitu makkah. Sedangkan klausa kedua ka>nat qarriyatan kha>liyatan
‘dulunya adalah desa yang sepi’ MI-nya tidak disebutkan secara eksplisit
melainkan menyebutnya secara implisit saja dengan menyertakan morfem /ت/
untuk menandakan adanya pelesapan MI yang mengacu pada kata makkah
sehingga, klausa tersebut disebut klausa tidak lengkap.
3. Klausa Verbal
Klausa Verbal merupakan klausa yang predikatnya berkategori kata kerja
(Sukini, 2010:46). Sukini (2010 : 46) menyebutkan bahwa berdasarkan struktur
internalnya, dalam bahasa Indonesia klausa verbal dibagi menjadi dua jenis yaitu
klausa verbal transitif dan klausa verbal intransitif. Klausa verbal transitif adalah
klausa verbal yang menghendaki hadirnya objek. Contoh:
(64) Rudi mengagumi Yuli
S P O
Sedangkan klausa verbal intransitif adalah klausa yang predikat verbalnya tidak
memerlukan kehadiran objek.Contoh :
(65) Mereka berkumpul di aula
S P O
Seperti penjelasan sebelumnya, dalam bahasa Arab Dahdah (2000 : 117)
mendefinisikan klausa verbal atau jumlah fi’liyah3 sebagai klausa yang dibangun
dan diawali oleh verba (fi’l) dan diikuti oleh subjek (fa>‘il) sebagai konstituen
dasar atau inti disertai oleh objek (maf’u>l bihi), keterangan dan pelengkap (jar
3Dalam bahasa Indonesia suatu klausa dikatakan klausa verbal jika predikat berupa kata verba,
sedangkan dalam bahasa Arab suatu klausa/jumlah dikatakan jumlah fi’liyah apabila jumlah
tersebut didahului verba. Jadi meskipun predikat berupa verba tetapi jika verba tersebut tidak
mengawali suatu jumlah maka jumlah tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai jumlah fi’liyah. Hal ini mengacu pada definisi yang dikemukakan oleh Al-Ghulayaini, Al-Khuli dll. terkaitjumlah fi’liyah.
37
majrur) sebagai konstituen pelengkap. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh
Ni‟mah dalam Qawa>’idul-Lughah Al-‘Arabiyyah (t.t.: 19). Kedua konstruksi di
bawah ini adalah klausa verbal karena predikat atau musnad-nya berupa kata
verbal:
(t.t. : 19)الرجل حضر(66)
chadhara’r-rijalu (t.t. : 19)
„pemuda itu telah hadir‟
(t.t. : 19)الطالب الدرس يكتب(67)
yaktubu’th-tha>libu’d-darsa (t.t. : 19)
„murid menulis pelajaran‟
(030: 7002الغالييين,) يرفع قدر صاحبو العلم(68)
Al-‘ilmu yarfa’u qadra sha>chibihi (Al-Ghulayaini,2007: 580)
„Ilmu meninggikan derajat pemiliknya‟
Telah dijelaskan bahwa dalam bahasa Arab klausa verbal atau jumlah
fi’liyah dibangun oleh musnad yang berupa fi’l dan musnad laih yang berupa fa>il
atau na>´ibul fa>il. Fa>‘il (pelaku) artinya isim marfu>‘ yang terletak setelah fi’l
ma’lu>mdan menunjukkan pelaku suatu perbuatan (Ni‟mah, t.t.: 43). Sedangkan
na>´ibul fa>‘il merupakan maf’u>l yang tidak disebutkan fa>‘il-nya (Anwar, 2009:
80). Na>́ ibul fa>‘il berada pada fi’il majhu>l.
Pendapat tersebut didukung oleh Dahdah (2000: 117) yang menerangkan
bahwa jika predikat (musnad) berupa fi’l ma’lu>m (verba aktif) maka musnad ilaih
berupa fa>‘il. Jika musnad berupa fi’l majhu>l (verba pasif) maka musnad ilaih-nya
berupa na>'ibul fa >‘il (Dahdah, 2000: 117).
38
زيدان جاء (69) ja>́ a Zaida>ni „dua Zaid itu telah datang‟ (Anwar, 2009 : 72)
ضرب زيد(70) dhuriba Zaidun „Zaid telah dipukul‟(Anwar, 2009 :72)
Konstruksi (65) adalah jumlah fi’liyah ma’lu>miyah, yang terdiri dari fi’l ma’lu>m
„ja>́ a’ dan fa >’il ‘a’z-Zaida>ni’. Adapun konstruksi (66) merupakan jumlah fi’liyah
majhu>liyah. Terdiri dari fi’l majhu>l ‘dhuriba’ dan na>´ibul fa>’il ‘Zaidun’.
Pada pengertian sebelumnya Al Ghulayaini (2007 :579) menggolongkan
fi’l naqish seperti ka>na sebagai salah satu dari konstruksi yang masuk ke dalam
jumlah fi’liyah, akan tetapi mengingat ketidakjelasan fungsinya di dalam suatu
susunan, terlebih jika disejajarkan dengan konsep linguistik umum, maka, fi’l
naqish tidak dimasukkan ke dalam kategori jumlah fi’liyah karena fi’l naqish
merupakan fi’l yang tidak dapat berdiri sendiri, dalam artian fi’l naqish harus
dilekati dengan ism-nya. Tanpa adanya ism yang melekat maka fi’l tersebut tidak
mempunyai arti apapun. Hal ini mengacu pada pengertian jumlah fi’liyah menurut
Ni‟mah (t.t.: 169) yang tidak menyertakan fi’l naqish sebagai bagian dari
konstruksi jumlah fi’liyah. Untuk memperjelas pemaparan di atas, dapat dilihat
dari contoh yang dikemukakan Asrori (2004:85) yang memasukkan fi’l ka>na
sebagai bagian dari subjek karena fi’l ka>na tidak dapat menduduki fungsi
predikat, seperti susunan dibawah ini :
كان ملك ينصح احلكام(71)
(kana)malikun yunsichul-chuka>ma S P O
39
„raja memberi nasihat para hakim‟
Dari contoh di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun ka>na
merupakan suatu fi’l, tetapi karena ka>na adalah fi’l naqish yang tidak dapat
berdiri sendiri maka susunan yang diawali dengan fi’l tersebut tidak digolongkan
ke dalam kategori jumlah fi’liyah. Adapun jumlah fi’liyah-nya terletak pada
khabar ka>na dalam contoh di atas adalah satuan yunshichul-chukama.
Kemudian, dari semua definisi dapat disimpulkan bahwa salah satu
konstruksi pembentuk jumlah fi’liyah adalah fi’l. Dalam hal ini, fi’l yang
dimaksud harus berupa fi’l ta>m, atau fi’l yang mempunyai makna sempurna. Fi’l
atau verba merupakan hal yang sangat inti dalam pembentukan jumlah fi’liyah.
Alwi et.al, (2003:90) menyatakan bahwa verba merupakan unsur yang sangat
penting dalam kalimat karena dalam kebanyakan hal verba berpengaruh besar
terhadap unsur-unsur lain yang harus atau boleh ada dalam kalimat tersebut.
Kridalaksana (1993: 226) menyatakan bahwa verba adalah kelas kata yang
biasanya berfungsi sebagai predikat dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai
ciri morfologis seperti kata, aspek, dan pesona atau jumlah. Sebagian verba
memiliki unsur semantis perbuatan, keadaan dan proses, kelas kata dalam bahasa
Indonesia ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata tidak dan
tidak mungkin diawali dengan kata seperti sangat, lebih, dan sebagainya.
Al-Ghulayaini (2007:16) menyebutkan bahwa al-fi’l huwa ma dalla ‘ala
ma’nan fi nafsihi muqtarinun bizamanin „Verba adalah sesuatu yang
menunjukkan suatu makna yang terikat oleh waktu tertentu‟. Definisi ini
memberikan suatu gambaran bahwa satu hal yang dominan untuk membatasi
sebuah verba adalah adanya keterikatan kata tersebut dengan waktu tertentu
40
berkaitan dengan terjadinya peristiwa tersebut. Kemudian, berdasarkan definisi
tersebut fi’l (verba) dibagi menjadi tiga macam, yaitu: fi’l ma>dhi> (kata kerja
lampau), fi’l mudhari’ (kata kerja sekarang/akan datang), dan fi’il amr (kata
perintah).
Fi’l ma>dhi> (kata kerja lampau) adalah fi’l (verba) yang menunjukkan suatu
perbuatan yang terjadi dimasa lampau (past tense), dan merupakan fi’l yang
akhirnya selalu ber-harakat fathah, Contoh: jalasa „dia telah duduk‟. Fi’l
mudhari’ (kata kerja sekarang/akan datang) adalah fi’l (verba) yang menunjukkan
suatu perbuatan yang dilakukan pada masa sekarang atau akan datang (present
tense). Fi’l ini didahului salah satu dari empat huruf tambahan (hamzah, nun, ya’,
ta’) dan fi’l mudhari’ akhirnya selalu dibaca rafa’, kecuali ketika dimasuki amil
yang me-nashab-kan atau men-jazm-kan. Contoh dari fi’l mudhari’ adalah satuan
yajlisu„ sedang duduk‟. Sedangkan fi’l amr adalah kata kerja dalam bentuk
perintah. Fi’l yang selalu dibaca jazm, contoh: ijlis „duduklah‟. Adapun fi’l
(verba) dapat diketahui dengan adanya قد(qad) atau س (sin) atau سوف(saufa) atau
.(ta ta’nits sukun) ت
Di atas telah disebutkan adanya istilah fi’l ma’lu >m dan fi’l majhu >l. Berikut
adalah penjelasan menurut Al Ghulayaini (2007: 41). Berdasarkan peran
subjeknya fi’l dibagi menjadi dua, yaitu :
الفعل ادلعلوم: ما ذكر فاعلو يف الكالم
Al-fi’lul-ma’lu>m ma dzukira fa>‘iluhu fi>l-kala>mi ‘fi’l ma’lu >m ialah fi’l yang fa>‘il-nya disebutkan dalam kalimat‟
41
لغرض من األغراض وفاذالفعل اجملهول : مامل ذكر فاعلو يف الكالم بل كان زل
Al-fi’lul-majhu>l ma> lam dzukira fa>‘iluhu fi>l-kala>m bal ka>na machdzufan lighardin minal-aghra>dh ‘fi’l majhu>l ialah fi’l yang fa>‘il-nya tidak disebutkan dalam kalimat
akan tetapi dihapus dengan tujuan tertentu‟
Kemudian berdasarkan ada tidaknya valensi yang menduduki fungsi objek
yang menyertainya dalam bahasa Indonesia dikenal adanya istilah verba transitif
dan intransitif. Kedua verba tersebut disepadankan dengan istilah fi’l muta’addi>y
dan fi’l lazi>m. Al Ghulayaini (2007: 30) mendefinisikan fi’l muta’addi>y sebagai
fi’l yang menghendaki kehadiran maf’u>l bih seperti dalam satuan fatacha tha>riqun
al-andalusa „Thariq membuka Andalusia‟. Sedangkan fi’l lazi>m merupakan fi’l
fi’l yang tidak menuntut kehadiran maf’u>l bih atau objek seperti dalam satuan
dzahaba Sa’i>dun ‘Said pergi‟ (2007: 39).
F. Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah semua klausa verbal yang terdapat pada
kalimat tunggal dan kalimat majemuk yang terdapat dalam sumber data. Sumber
data dalam penelitian ini adalah cerpen yang berjudul Uchibbuka kal-Ma>´i karya
Li>na Ki>lani>>.
G. Metode Penelitian
Peneliti memerlukan suatu metode untuk memecahkan masalah yang telah
dirumuskan. Sudaryanto (1993:5), membagi tahapan metode menjadi tiga urutan,
tahapan pertama berupa penyediaan data, tahapan kedua berupa penganalisisan
data yang telah disediakan, dan tahapan ketiga berupa penyajian hasil analisis
data. Tahapan-tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
42
1. Tahap Penyediaan Data
Tahap ini merupakan upaya peneliti dalam menyediakan data. Dalam upaya
penyediaan data ada tiga kegiatan yang dilakukan (1) mengumpulkan data yang
ditandai dengan pencatatan; (2) memilih dan memilah-milah data dengan
membuang data yang tidak diperlukan; dan (3) menata data menurut tipe atau
jenis terhadap apa yang telah dicatat, dipilih dan dipilah-pilah itu (Sudaryanto,
1993:10-11).
Dalam penyediaan data ini peneliti menggunakan metode simak dan
dilanjutkan dengan teknik catat. Metode simak dilakukan dengan menyimak
banyaknya klausa verbal dalam cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i karya Li>na Ki>lani>.
Peneliti menggunakan teknik lanjutan berupa teknik catat untuk mencatat
masalah-masalah dalam penelitian tersebut. Teknik catat tersebut juga digunakan
untuk mencatat data-data yang telah ditemukan dengan menulisnya pada sebuah
kartu data.
2. Tahap Analisis Data
Tahap analisis data merupakan upaya peneliti dalam menangani langsung
masalah yang terkandung pada data. Penanganan itu tampak dari adanya tindakan
mengamati yang segera diikuti dengan “membedah” atau mengurai dan
memburaikan masalah yang bersangkutan dengan cara-cara khas tertentu
(Sudaryanto, 1993:6). Metode yang digunakan dalam upaya menemukan kaidah
dalam tahap analisis data ada dua, yaitu metode padan dan metode agih
(Sudaryanto, 1993:13). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode agih
sebagai upaya penganalisisan data. Metode tersebut merupakan metode yang alat
penentunya adalah bagan dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto,
43
1993:15). Teknik yang digunakan berupa teknik bagi unsur langsung. Disebut
teknik bagi unsur langsung karena cara yang yang digunakan pada awal kerja
analisis ialah membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur
(Sudaryanto 1993:31). Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik lesap, ganti dan baca markah. Teknik lesap digunakan untuk
mengetahui kadar keintian unsur yang dilesapkan. Teknik tersebut dilaksanakan
dengan melesapkan (menghilangkan, menghapuskan, mengurangi) unsur tertentu
satuan lingual yang dimaksudkan (Sudaryanto, 1993: 37). Misalnya dalam klausa
berikut.
(Kilani 2007 : 1)بكت األمًنة طويال (72)
bakat al-amiratu thawi>lan S P O
„putri itu menangis lama‟
Klausa di atas termasuk ke dalam klausa verbal karena predikatnya berupa
verba. Berdasarkan struktur intinya klausa tersebut tergolong klausa lengkap
karena kehadiran dua unsur inti klausa yaitu S/M dan P/MI.
Klausa vebal tersebut terdiri atas tiga konstituen: (1) bakat (2) al-amiratu
(3) thawi>lan. Konstituen (1) dalam klausa menduduki fungsi predikat/musnad.
Berdasarkan waktu kejadiannya verba pada predikat tersebut termasuk fi’l ma>dhi>
(bakat) „menangis‟. Partikel / ت/ yang ada dibelakangnya menunjukkan bahwa
yang melakukan pekerjaan „menangis‟ adalah al-amiratu „putri‟ yang berupa
dhami>r mu'annats (perempuan). Verba tersebut berjenis fi’l lazi>m, yaitu fi’l yang
tidak membutuhkan objek. Selain itu dilihat dari peran subjeknya yang melakukan
pekerjaan, predikat bakat termasuk dalam verba aktif atau fi’l ma’lu >m. Konstituen
44
(2) menduduki fungsi subjek/ musnad ilaih berupa pronomina persona ketiga
tunggal. Konstituen (3) thawi>lan menduduki fungsi keterangan.
Verba bakat merupakan konstituen yang sangat inti dalam klausa tersebut
hal ini dapat dibuktikan dengan melesapkan kata bakat, sehingga menjadi al-
amiratu thawi>lan. Pelesapan verba tersebut mengakibatkan makna klausa menjadi
tidak berterima, hal ini membuktikan bahwa klausa merupakan satuan yang
bersifat predikatif.
Teknik yang selanjutnya adalah teknik baca markah. Teknik baca markah
digunakan untuk mengetahui identitas konstituen tertentu. Teknik ini digunakan
dengan cara melihat langsung pemarkah yang ada pada satuan lingual
(Sudaryanto, 1993:95). Teknik ini dapat diterapkan dalam contoh berikut:
(Ki>lani>> :9)وجف الضرع،ومات الزرع ،واألشجار تيبس ،أخذت األرض تعطش(73)
Achadzat al-ardhu ta’thasyu, wal-asyja>ru taibasu, wa ma>ta a’z-zar’u, wa jaffa a’d-dhar’u (Ki>lani>> :9)
„Bumi menjadi gersang, pohon-pohon kering, benih-benih mati, dan udara
panas‟ (Ki>lani>> :9)
Klausa yang bergaris bawah merupakan al-jumlatul-lati> la> machalla laha>
minal-i’ra>b yang berjenis at’ta>bi’atu li jumlatin atau pengikut bagi jumlah yang
sebelumnya. Hal itu dibuktikan dengan adanya penanda athaf ‘و’ yang
menunjukkan bahwa klausa yang dimaksud merupakan ma’thuf bagi jumlah yang
ada di depannya.
Selain kedua teknik yang telah disebutkan, pada penelitian ini juga
menggunakan teknik yang lain yaitu teknik ganti. Teknik ini digunakan untuk
45
mengetahui kadar kesamaan kelas atau kategori unsur terganti dengan unsur
pengganti (1993:48). Contoh:
تيبساألشجار (74)
al-asyja>ru taibasu
„pohon-pohon kering‟
Satuan yang bergaris bawah di atas merupakan klausa yang menempati
suatu fungsi dalam susunan kalimat (al-jumlatul-lati> laha> machallun minal-i’ra>b)
yang menempati posisi khabar (al-wa>qi’atu khabaran). Khabar yang dimaksud
merupakan sebuah jumlah fi’liyah. Karena fi’l tersebut menjadi khabar dari al-
asyja>ru maka kedudukannya adalah marfu>’. Untuk memperjelas bahwa jumlah
tersebut menempati i’ra>b rafa’ karena menjadi predikat dari al-asyja>ru maka, hal
ini dapat dibuktikan dengan cara menggantinya menjadi ism fa>‘il seperti berikut :
يابسة األشجار
al-asyja>ru ya<bisatun
„pohon-pohon kering‟
3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data
Langkah selanjutnya setelah tahap analisis data adalah tahap penyajian
data. Penyajian hasil analisis ini disajikan dalam bentuk laporan informal.
Laporan informal yaitu penyajian laporan yang berwujud perumusan dengan kata-
kata biasa (Sudaryanto, 1993:145).
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.
46
Bab I: Pendahuluan. Pada bagian ini mencakup latar belakang masalah,
tujuan penelitian, rumusan masalah, pembatasan masalah, landasan teori, data dan
sumber data, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II: Analisis klausa verbal dalam cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i
berdasarkan struktur intern klausa.
Bab III: Analisis klausa verbal dalam cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i
berdasarkan jenisnya.
Bab IV: Penutup. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil analisis data dan
saran penulis.