BAB I PENDAHULUAN - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C1012010_bab1.pdf · Hal...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C1012010_bab1.pdf · Hal...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Media memiliki pengaruh yang besar terhadap penyebaran informasi, baik
media cetak maupun elektronik. Media massa sebagai bagian dalam kehidupan
manusia memiliki peran yang penting dalam menyalurkan dan mengekspos isu-
isu publik yang sedang merebak di kalangan masyarakat. McQuail (1994: 3)
memaparkan bahwasanya media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi
individu untuk memperoleh gambaran dan realitas sosial, tetapi juga bagi
masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan
penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.
Media pada umumnya memiliki 2 (dua) bentuk, yaitu media cetak dan
media elekteronik. Media cetak seperti koran, majalah, tabloid, dan surat kabar,
kemudian media elektronik sendiri berupa internet. Era modern sekarang ini
memiliki sumbangsih yang besar terhadap perkembangan internet, masyarakat
semakin pintar dalam mengakses internet sebagai sumber informasi, referensi, dan
sumber lain yang dibutuhkan untuk mendukung dan membantu dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari.
Media sosial semakin berkembang, baik dari segi fungsi maupun dari segi
bentuknya. Jejaring sosial sebagai bagian dari media sosial, menjadi salah satu
bukti perkembangan media sosial. Hal tersebut juga dikuatkan dengan pendapat
Putra (2014: 4-6) bahwa berbagai situs jejaring sosial itu memudahkan pengguna
untuk berbagi ide, saran, pandangan, aktivitas, informasi, acara, ajakan dan
ketertarikan di dalamnya. Adapun definisi dari jejaring sosial merupakan sarana
2
pemersatu antara individu satu dengan individu yang lain sehingga menjadi
sebuah interaksi sosial yang saling berkaitan satu sama lain (Putra, 2014: 6).
Situs-situs yang dihasilkan oleh internet sebagai suatu media macamnya,
seperti website, blog, jejaring sosial dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak
macam situs yang dihasilkan internet tersebut, jejaring sosial dianggap paling
banyak digemari dan diminati oleh masyarakat. Selain bentuknya yang beragam,
fungsi dari jejaring sosial ini memang banyak, salah satunya sebagai media
eksplorasi diri, komunikasi, informasi, bahkan untuk berwirausaha. Beberapa
jejaring sosial yang marak digunakan oleh masyarakat dewasa ini adalah facebook,
twitter, path, dan instagram.
Facebook memiliki peringkat pertama sebagai jejaring sosial yang paling
banyak digunakan oleh manusia di seluruh dunia. Selain karena aksesnya yang
mudah, facebook juga sangat beragam fungsi dan fitur-fiturnya. Tomy (2013: 4)
berpendapat bahwa facebook lahir dan menjadi jejaring sosial nomor satu di dunia,
bahkan sampai saat ini facebook masih bisa bertahan, hal tersebut ditandai dengan
masih banyaknya peminat yang menggunakan jejaring sosial ini. Seirama dengan
pendapat Tomy, Putra (2014: 9-10) juga mengungkapkan bahwa jejaring sosial
facebook sangat populer karena penggunaannya yang terhitung mudah dan
sangat efisien. Tidak hanya itu, facebook merupakan situs jejaring sosial paling
populer saat ini dengan 900 (sembilan ratus) juta pengunjung berbeda setiap
bulan.
Kepopuleran Facebook dan WhatsApp sebagai jejaring sosial tidak hanya
di Negara barat saja, tetapi juga di Negara timur. Berikut ini data statistik
penggunaan facebook ( Arab Social Media Influencers Summit, 2015: 4):
3
Gambar 1. Data Statistik Pegguna Facebook
Gambar data statistik di atas menunjukkan beberapa negara di Timur
Tengah yang banyak menggunakan facebook sebagai sarana komunikasi sosial
mereka. Tercatat facebook memiliki angka perolehan yang cukup tinggi yaitu
87%. Hal tersebut juga dikuatkan dengan laporan dari Arab Social Media
Influencers Summit tahun 2015 bahwa whatsApp dan facebook merupakan
jejaring sosial yang paling banyak digunakan di dunia Arab, facebook sendiri
merupakan jejaring sosial yang memiliki peringkat tertinggi untuk pengguna
terbanyak di 10 (sepuluh) negara Arab, yaitu UEA, Qatar, Oman, Yordania,
Palestina, Irak, Yaman, Libya, Mesir dan Maroko. Pada urutan pertama negara
yang banyak menggunakan whatsApp dan facebook adalah Mesir dan Maroko
(Arab Social Media Influencers Summit, 2015: 24).
Perkembangan media sosial yang semakin meningkat, membuat pengguna
internet di dunia Arab semakin cepat dalam meraih teknologi baru, dan semua
fitur-fitur di media sosial yang menawarkan koneksi, komunikasi, serta berbagi
informasi dengan pengguna yang lain. Para pemuda di dunia Arab merupakan
4
pengguna terbanyak dalam penggunaan media sosial (Arab Social Media
Influencers Summit, 2015: 8).
Selanjutnya, fokus penelitian ini adalah membahas karakteristik bahasa
laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan pengalaman, cerita, masalah
hidup, gaya hidup, pendapat, sikap maupun kehidupan sosialnya dalam jejaring
sosial melalui status facebook.
Berbicara mengenai laki-laki dan perempuan, tidak terlepas dari adanya
perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal berbicara maupun menulis. Salah
satu faktor yang memengaruhi perbedaan gaya berbicara maupun menulis yaitu
gender. Laki-laki dan perempuan memiliki karakter tersendiri dalam
berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Gender sebagai salah satu hal yang
memengaruhi perbedaan karakter tersebut membuat banyak peneliti ingin
mengkaji masalah ini, yaitu ciri khas dari masing-masing laki-laki dan perempuan
dalam menuangkan isi pikirannya ke dalam sebuah pembicaraan dan tulisan.
Fakih (2013: 8) menjelaskan bahwasanya gender yaitu suatu sifat yang
melekat pada laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural. Perbedaan sifat itu berkaitan erat dengan status, posisi, serta peran laki-
laki dan perempuan dalam masyarakat. Laki-laki dan perempuan telah memiliki
perannya masing-masing dalam masyarakat, baik laki-laki yang cenderung di
artikan sebagai makhluk kuat, rasional, jantan, dan perkasa, ataupun perempuan
yang dianggap memiliki sifat lemah lembut, keibuan, dan emosional. Hal tersebut
sudah terbentuk secara alami dalam kehidupan. Sudah bukan hal tabu jika laki-
laki dan perempuan memang memiliki status dan posisi yang berbeda namun
saling melengkapi. Dengan begitu, jelaslah bahwa perbedaan gender dipengaruhi
5
oleh sosial dan budaya masyarakat, baik pengaruh lingkungan maupun dari
pengaruh cara mendidik antara laki-laki dan perempuan.
Studi bahasa dan gender memusatkan perhatian pada pengaruh gender
terhadap pemakaian bahasa. Holmes (2013: 159) menekankan bahwa perempuan
dan laki-laki berbeda dalam berbicara dan menulis. Perbedaan penggunaan bahasa
tidak hanya terbatas pada gaya bahasa lisan saja, tetapi juga pada gaya tulisan,
baik berupa pemilihan verba, topik, maupun dalam penyusunan kalimat.
Gaya tulisan perempuan cenderung lebih mudah dipahami daripada laki-
laki. Seperti penjelasan Broadbridge (2003: 3) bahwa gaya bicara pada tulisan
perempuan memiliki bobot yang lebih ringan untuk dianalisis daripada laki-laki.
Kemudian, perempuan memiliki perbedaan dalam bertutur seperti yang
dikemukakan oleh Jespersen (dalam Broadbridge, 2003: 3) bahwa perempuan
lebih halus dalam berbicara, menggunakan ekspresi yang tidak kasar, dan
membosankan.
Penelitian mengenai bahasa dan gender telah dilakukan oleh beberapa
peneliti. Berikut merupakan penelitian yang serupa baik berkaitan secara langsung
maupun tidak, yaitu tesis Niswatin Nurul Hidayati (2015) yang berjudul
Karakteristik Kebahasaan Tuturan Laki-laki dan Perempuan dalam Film Anak:
Studi Kasus Cars dan Barbie and 12 Dancing Princesses. Penelitian ini
menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan menggunakan karakteristik
kebahasaan yang dikemukakan oleh Lakoff (1975), yaitu empty adjectives,
hedge, intensifier, hypercorrect grammar, super polite form, tag question, serta
emphatic stress, namun dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya penggunaan
karakteristik color words dan question intonation. Karakteristik kebahasaan yang
6
menunjukkan perbedaan paling mencolok adalah hypercorrect grammar, yaitu
laki-laki menggunakan tuturan informal dalam frekuensi tinggi. Kemudian, faktor
sosial yang melingkupi penggunaan tuturan adalah partisipan. Untuk temuan
terakhir, dua film anak yang telah disebutkan menunjukkan representasi laki-laki
dan perempuan yang sesuai dan tidak sesuai dengan stereotip yang berkembang di
masyarakat, namun secara umum laki-laki dan perempuan digambarkan secara
positif di dalam dua film tersebut.
Penelitian dari Ahmad Mohammad Ahmad Al-Harasheh (2014) yang
berjudul Language and Gender Differences in Jordanian Spoken Arabic: A
Sociolinguistics Perspective menunjukkan bahwa tujuan dari penelitiannya adalah
untuk mengkaji perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan Yordania dalam
berbahasa Arab. Objek yang dikaji dalam penelitian ini dianalisis menggunakan
teori gaya berbicara dan variasi fonologi. Penelitian ini menganalisis percakapan
dan teori kesopanan. Hasil penelitian ini adalah ditemukan bahwasanya laki-laki
dan perempuan Yordania memiliki gaya lingustik atau linguistics styles yang
berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang seperti faktor sosial,
masyarakat, dan pendidikan. Kemudian dalam penelitian ditemukan bahwasanya
perempuan lebih disiplin dalam penggunaan bahasa daripada laki-laki.
Penelitian selanjutnya adalah tesis dari Wahyuni (2014), dalam tesisnya
yang berjudul Fitur-fitur Tuturan yang Digunakan Margaret Thatcher dalam
Wawancara TV, menunjukkan bahwa Margaret Thatcher menggunakan beberapa
fitur bahasa perempuan, misalnya lexical hedges, tag questions, rising intonation
on declaratives, empty adjectives, precise color terms, intensifiers, super polite
forms, avoidance of strong swear words, dan emphatic stress. Kemudian, terdapat
7
dua fungsi dari fitur-fitur yang ditemukan tersebut, yaitu fungsi melemahkan dan
fungsi menguatkan. Kesimpulan terakhir adalah bahwa Margaret Thatcher
menggunakan beberapa bentuk fitur tuturan laki-laki, berupa direct forms dan
swear words.
Skripsi Marshelina Fatin (2014) yang berjudul The Differences Between
Men and Women Language Styles in Writing Twitter Updates, menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan dalam menulis status update laki-laki dan perempuan
pengguna twitter. Rata-rata laki-laki dan perempuan menulis mengenai konteks
bahasa yang sama. Penggunaan kalimat direktif, ekspresif, penggunaan emotikon,
kata tabu dan kata-kata hiperbola. Topik yang diangkat tidak jauh dari gaya hidup,
permasalahan kehidupan, dan interaksi sosial. Tapi, tipe bahasa dan aspek yang
dibicarakan oleh laki-laki dan perempuan benar-benar berbeda. Laki-laki dan
perempuan punya pemilihan kata yang berbeda. Format bahasa laki-laki
cenderung lebih kasar sedangkan format bahasa perempuan cenderung lemah dan
lebih sopan. Itu berarti bahwa gaya bahasa laki-laki dan perempuan tetap berbeda.
Dalam tujuan berkomunikasi, analisis menunjukkan bahwa laki-laki dan
perempuan cenderung berkomunikasi atau menulis status di twitter untuk
menyatakan perasaan dan pendapat dari pada tujuan komunikasi yang lainnya
seperti memberitahukan fakta, mengatasi masalah, membangun dan menjaga
hubungan.
Penelitian Sameer Hamdan (2011) yang berjudul Identifying the Linguistic
Genderlects of the Style of Writing of Arab Male and Female Novelists,
menunjukkan adanya beberapa perbedaan linguistik berdasarkan gaya penulisan
oleh novelis Arab laki-laki dan perempuan. Beberapa ciri-ciri dari leksikal dan
8
sintaksis diidentifikasi berdasarkan spesifikasi gender seorang penulis. Ditemukan
dalam penelitian perbedaan yang cukup signifikan pada ciri yang sering
digunakan seperti warna, kata kerja, slang (caci maki, atau ungkapan populer),
larangan dan istilah eufimisme. Pada penelitian Hamdan ditemukan bahwa laki-
laki lebih cenderung untuk menggunakan banyak nomina pada awal paragraf
sedangkan perempuan lebih sedikit menggunakan nomina. Perempuan lebih
sederhana dalam penggunaan kata yang terkait dengan gender, baik implisit
maupun eksplisit.
Penelitian Rahayu Surtiati Hidayat (2004) yang berjudul Penulisan dan
Gender, menunjukkan adanya perbedaan antara penulis laki-laki dan penulis
perempuan dalam penggunaan bahasa Indonesia. Penelitian tersebut menemukan
fakta bahwasanya perempuan dan laki-laki menggunakan bahasa Indonesia secara
berbeda baik dalam pembentukan kalimat maupun pilihan penggunaan konjungsi.
Temuan ini meunjukkan bahwasanya penutur perempuan dan penutur laki-laki
kaitannya dengan penggunaan bahasa itu berbeda, hal tersebut dikarenakan oleh
pola pengasuhan yang mensosialisasikan kedudukan dan peran setiap jenis
kelamin yang berbeda.
Dari beberapa penelitian di atas, maka alasan peneliti mengambil judul
“Penggunaan Bahasa Tulis Perempuan dan Laki-laki Mesir pada Status
Facebook”, karena kajian mengenai bahasa dan gender selalu menjadi topik
hangat di kalangan akademisi, penggiat gender, dan masyarakat. Penulis merasa
bahwa penggunaan fitur-fitur kebahasaan yang ada dalam status facebook
perempuan dan laki-laki Mesir jika diangkat sebagai bahan penelitian dalam
bidang bahasa dan gender akan mampu menjadi suatu penelitian yang menarik,
9
karena ciri kebahasaan perempuan dan laki-laki secara tulisan masih belum
banyak dikaji, khususnya tulisan yang berasal dari status facebook perempuan dan
laki-laki Mesir. Sebelumnya juga belum pernah dilakukan penelitian mengenai
bahasa dan gender dalam media sosial oleh mahasiswa sastra Arab, khususnya
prodi sastra Arab UNS.
Dengan demikian, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat,
baik manfaat teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan
mampu memberikan sumbangsih terhadap kemajuan di bidang lingusitik
khususnya sosiolingustik, bahasa dan gender. Selain itu, dengan melihat fitur-
fitur kebahasaan dalam status facebook perempuan dan laki-laki Mesir melalui
sudut pandang teori karakteristik kebahasaan, diharapkan menjadi sesuatu yang
nantinya mampu lebih dikembangkan dan didalami melalui penelitian berikutnya.
Penelitian ini juga diharapkan mampu menambah wawasan keilmuan semua
pihak yang tertarik baik yang berkepentingan dalam bidang studi bahasa dan
gender maupun bagi khalayak umum.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi dorongan bagi para
peneliti sosiolinguistik yang tertarik dan berminat dalam bidang bahasa dan
gender, khususnya dengan objek kajian bahasa tulis dalam jejaring sosial.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan ulasan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah di
bawah ini.
1. Bagaimana bentuk-bentuk penggunaan bahasa perempuan dan laki-laki
Mesir dalam menulis status facebook?
10
2. Apa saja topik-topik pembahasan perempuan dan laki-laki Mesir dalam
menulis status facebook?
3. Apa saja fungsi dari status facebook yang dibuat oleh perempuan dan
laki-laki Mesir?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk bahasa perempuan dan laki-laki Mesir
dalam menulis status facebook.
2. Mendeskripsikan topik-topik bahasan perempuan dan laki-laki Mesir
dalam menulis status facebook.
3. Mendeskripsikan fungsi dari status facebook yang dibuat oleh
perempuan dan laki-laki Mesir.
D. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah sangat diperlukan dalam suatu penelitian, mengingat
luasnya permasalahan yang dapat dikaji serta keterbatasan kemampuan peneliti.
Pembatasan masalah juga dilakukan untuk membatasi penelitian agar lebih
mendalam dan terarah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Penelitian ini
mengkaji serta membahas kaitannya dengan studi sosiolinguistik pada
pembahasan bahasa dan gender. Pembatasan masalah pada penelitian ini yaitu:
1. Data yang dianalisis berupa 120 (seratus dua puluh) status facebook
mahasiswa Mesir yang berbahasa Arab Fuscha>, perempuan dan laki-laki.
Data diambil secara acak dari bulan Januari s.d. Juli 2016.
11
2. Bentuk-bentuk penggunaan bahasa perempuan dan laki-laki pada status
facebook berupa penemuan fitur-fitur linguistik berdasarkan teori Lakoff
(1975).
3. Fungsi bahasa berdasarkan teori Janet Holmes (2013).
E. Landasan Teori
Teori merupakan suatu landasan untuk menentukan metode dan teknik
dari penelitian (Subroto, 1992: 32). Berikut merupakan teori-teori yang digunakan
dalam penelitian ini:
1. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan kajian linguistik antardisiplin, yaitu sosiologi
dan linguistik. Sosiologi pada dasarnya merupakan sebuah kajian yang objektif
dan ilmiah terkait manusia dalam ranah masyarakat, lembaga-lembaga, dan
proses sosial yang terjadi di dalam masyarakat (Chaer dan Leoni Agustina,
2011: 2). Dengan mempelajari proses sosial manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, maka akan diketahui tabiat manusia dalam usaha untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, yaitu proses komunikasi, sosialisasi,
dan bersikap dalam masyarakat.
Disiplin kedua yang melekat pada kajian sosiolinguistik adalah linguistik.
Chaer dan Leonie Agustina (2011: 2) mengungkapkan bahwa linguistik
merupakan sebuah kajian ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu
yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Holmes (2013: 1) juga
menjelaskan bahwa kajian sosiolinguistik itu mempelajari hubungan antara
bahasa dengan masyarakat sosial. Dalam hal ini, sosiolinguistik lebih tertarik
12
dalam menjelaskan alasan manusia berkomunikasi secara berbeda dalam situasi
sosial yang berbeda pula. Sosiolinguistik juga mengkaji dengan mengenali
fungsi sosial dari suatu bahasa dan cara bahasa tersebut digunakan untuk
menyampaikan pesan.
Peneliti yang berasal dari Timur Tengah, Barhu>mah (2002: 9) berpendapat
bahwasanya hal yang mendorong perkembangan ilmu sosiolinguistik adalah
fenomena bahasa yang sangat beragam cabang kajiannya, yaitu bentuk
strukturnya, fonologi, morfologi, leksikal, dan sistem-sistem lain yang terdapat
di dalamnya. Karena bahasa dalam pelaksanaan umumnya terealisasi dengan
melafalkan dan mendengar. Bahasa merupakan fenomena sosial yang
menyebar dalam struktur masyarakat. Lalu, bahasa mengarahkan jalan untuk
mempelajari perkembangan kata-kata, hubungan kosakata, susunan-susunan
terkait faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, dan agama.
Dalam bahasa Arab, Al-Khuli (1982: 261) menyepadankan sosiolinguistik
dengan istilah /‘Ilmul-lughah Al-ijtima‘>i>/, yaitu salah satu ilmu
bahasa terapan yang mempelajari kaitannya dengan berbagai dialek geografis,
dialek sosial, dan bahasa-bahasa yang hampir sama, serta pengaruhnya yang
saling berkesinambungan dengan bahasa masyarakat/sosial.
Holmes (2013: 162) memaparkan mengenai gender dalam bukunya
Introduction to Sociolinguistics bahwa perbedaan gender pada ilmu bahasa
sering menjadi salah satu perbedaan aspek linguistik yang lebih persuasif di
lingkungan masyarakat sebagai bentuk refleksi dari perbedaan status sosial dan
kekuasaan. Misalnya, suatu kelompok yang sangat hirarkis dan di dalam setiap
tingkatan hirarkinya, laki-laki lebih berkuasa dibanding perempuan maka
13
perbedaan linguistik antara ujaran perempuan dan laki-laki hanyalah satu
dimensi saja dibandingkan perbedaan yang mewakili keseluruhan hirarki
tersebut.
Holmes (2013: 167-169) juga menjelaskan bahwa terdapat tiga penjelasan
perempuan lebih sering menggunakan bahasa standar. Yang pertama, yaitu
adanya kesadaran status sosial dan juga latar belakang kelas sosial pada
perempuan. Yang kedua, cara masyarakat yang cenderung mengharapkan
perilaku ‘lebih baik’ dari perempuan daripada laki-laki. Yang ketiga yaitu
orang-orang bawahan harus lebih sopan. Perempuan sebagai kelompok yang di
bawah berpendapat bahwa mereka harus menghindari menyinggung laki-laki
dan juga mereka harus berbicara dengan hati-hati dan sopan.
2. Bahasa dan Gender
Fakih (1996: 23) mendefinisikan gender sebagai sifat yang melekat pada
laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari konstruksi sosial dan kultural.
Seperti anggapan bahwa perempuan dianggap lemah lembut, emosional,
keibuan dan laki-laki dianggap rasional, kuat, jantan, dan perkasa. Anggapan
tersebut adalah ciri atau sifat yang tidak permanen dan bisa dipertukarkan atau
sifat-sifat tersebut bisa jadi berada pada diri laki-laki maupun perempuan.
Seperti halnya dengan Fakih, Holmes (2013: 161) juga mengatakan bahwa
masyarakat membentuk laki-laki dan perempuan dengan cara yang berbeda.
Laki-laki dan perempuan tidak hanya berbeda secara biologis, namun laki-laki
dan perempuan juga berbeda secara sosial. Perbedaan secara sosial tersebut
berdampak pada penggunaan bahasa sehingga laki-laki dan perempuan
menggunakan bahasa dengan cara yang berbeda .
14
Holmes (2013: 167) menjelaskan bahwa dalam berbahasa perempuan
menggunakan bahasa yang lebih standar daripada laki-laki. Hal itu disebabkan
oleh status sosial dan peran perempuan dalam masyarakat. Kecenderungan
perempuan untuk menggunakan bahasa yang lebih standar disebabkan
perempuan lebih menyadari bahwa cara seseorang berbahasa berkaitan dengan
peran perempuan dalam masyarakat. Ada sebuah kecenderungan bahwa
perempuan diharapkan untuk berperilaku lebih baik daripada laki-laki (Holmes,
2013: 168).
Connell (2002: 51) menjelaskan bahwasanya kategori perbedaan bahasa
dan gender bukan merupakan kategori yang tetap. Ini disebabkan karena
adanya perbedaan spesifik dan situasional yang terkadang muncul dalam
komunikasi antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan itu bisa saja
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain gender seperti suasana berkomunikasi
dan tingkat status sosial dari pembicara.
Kaitannya dengan bahasa standar, hal tersebut justru tidak sesuai dengan
situasi di negara-negara Timur Tengah. Tugas perempuan umumnya adalah
mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak, sedangkan dalam lingkup
sosial dia memiliki batasan. Perempuan dianggap cukup dengan dialek yang
diucapkan sebagai pelaksanaan berbahasa. Adapun laki-laki, mereka memiliki
ruang lingkup yang luas, beberapa dari mereka ditempatkan di bidang politik,
ekonomi, ulama, tenaga pendidik, tentara, administrator, dan lain sebagainya,
sehingga kesempatan mereka menggunakan bahasa standar/baku lebih besar
(Barhu>mah, 2002: 16).
15
Perbedaan peran dalam ranah sosial adalah yang dipercaya mampu
memengaruhi gaya penulisan pada laki-laki dan perempuan. Ketika pada
kenyataannya perempuan-perempuan Arab banyak menggunakan dialek dan
cenderung beraktivitas di dalam rumah, maka tidak heran jika perempuan
dalam menulis banyak menggunakan pola kalimat yang sama. Begitu pula
ketika kita melihat peran laki-laki dalam lingkup sosial yang sangat beragam
dalam pekerjaan maupun pergaulan, para lelaki akan sangat mungkin untuk
memiliki variasi bahasa yang cukup dan lebih beragam dibandingkan dengan
perempuan. Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Broadbridge (2003: 3) bahwa
gaya bicara pada tulisan perempuan memiliki bobot yang lebih ringan untuk
dianalisis daripada laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam bertutur.
Sebelumnya juga mengenai perbedaan ini, Holmes (2013: 160)
menekankan bahwa perempuan dan laki-laki berbeda dalam berbicara dan
menulis. Perbedaan penggunaan bahasa tidak hanya terbatas pada gaya bahasa
lisan saja, tetapi juga pada gaya tulisan, baik berupa pemilihan verba, topik,
maupun dalam penyusunan kalimat.
Para ahli bahasa menduga bahwa pemantauan perilaku bahasa berdasarkan
gender itu melibatkan hubungan antara faktor-faktor sosial dan perilaku bahasa.
Pada hakikatnya perbedaan-perbedaan yang ada di antara laki-laki dan
perempuan tidak berlawanan dalam hal biologis dan perilakunya, akan tetapi
kembali pada sosial dan budayanya (Barhu>mah, 2002: 21). Mungkin adanya
pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal itu kebanyakan
dalam hal pemikiran dan budaya (Barhu>mah, 2002: 43).
16
Lakoff (dalam Haas, 1979: 253) mengatakan bahwa berdasarkan penelitian,
bentuk kalimat panjang itu lebih banyak digunakan oleh perempuan daripada
laki-laki, dan hal tersebut memberi kesan bahwa perempuan itu banyak
berbicara. Contohnya, perempuan akan cenderung membuat kalimat Will you
help me with the groceries, please, ‘maukah anda membantu saya
membawakan bahan makanan ini’ kalimat tersebut lebih merefleksikan
karakter perempuan, daripada hanya berucap help me ‘tolong saya’ ataupun
please help me with the groceries ‘tolong bantu saya membawa bahan
makanan ini’. Bagaimanapun juga, terdapat bukti empiris yang menyatakan
bahwa setidaknya pada kondisi tertentu kalimat perempuan lebih pendek
daripada laki-laki. Contohnya, pada suatu seminar atau konferensi, pada saat
mengajukan pertanyaan, perempuan tidak memakan banyak waktu
dibandingkan dengan laki-laki.
Wood (dalam Haas, 1979: 619) mengatakan bahwa laki-laki cenderung
menggunakan kata-kata lebih banyak daripada perempuan dalam menanggapi
stimulus yang diberikan kepadanya. Singkatnya, stereotip jelas menunjukkan
bahwa perempuan lebih banyak berbicara yang tidak penting (verbose)
daripada laki-laki. Bukti empiris telah bercampur. Seorang gadis tampaknya
berbicara agak lebih banyak daripada laki-laki, tetapi perempuan dewasa,
terutama yang berada atau bekerja di perusahaan yang didominasi oleh pekerja
laki-laki, ditemukan bahwa perempuan lebih sedikit berbicara daripada teman-
teman laki-lakinya.
Perempuan dan laki-laki pada setiap percakapannya atau interaksi terhadap
sesama pastilah memiliki sebuah topik untuk dibahas. Topik mengacu pada
17
subjek ucapan lisan, atau mengenai sesuatu yang ada dalam percakapan (Haas,
1979: 619). Kramer (dalam Haas, 1973: 619) mengatakan bahwa dia
menemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik bahasan laki-
laki dan perempuan berdasarkan penelitiannya pada kartun New Yorker.
Hasil penelitian dari Kramer tersebut mengungkapkan bahwasanya laki-
laki berbicara dengan topik bahasan seperti bisnis, politik, pajak, usia,
peralatan rumah tangga, elektronik, asmara, olahraga, dan interaksi sosial.
Wanita berbicara mengenai kehidupan sosial, buku, makanan dan minuman,
masalah hidup, pekerjaan, suami, umur, dan gaya hidup. Terlihat bahwa topik
yang dibicarakan oleh laki-laki dan perempuan cenderung berbeda.
Perempuan tidak membahas topik yang berkaitan dengan olahraga, bisnis, dan
politik, sedangkan laki-laki tidak membahas sesuatu yang berkaitan dengan
makanan, minuman, masalah hidup, dan gaya hidup. Dalam hal ini terlihat
bahwa laki-laki dan perempuan memiliki ketertarikan yang berbeda dalam
membicarakan sesuatu.
Lakoff (1975: 8-19) mengemukakan teori mengenai ciri bahasa perempuan
dalam bukunya yang berjudul Language and the Women’s Place, berikut
merupakan ciri-ciri bahasa perempuan.
a. Color Words ‘Istilah Warna’
Lakoff (1973: 49) berpendapat bahwa secara singkat, teori ini
menguraikan bahwa ada perbedaan dalam penyebutan warna yang
digunakan oleh perempuan dan tidak digunakan oleh laki-laki. Perempuan
mempunyai kosakata warna yang lebih banyak, contohnya warna ungu,
perempuan menggunakan lavender atau mauve untuk menyebutkan warna
18
lain yang sama dengan ungu. Kosakata tersebut lebih sering digunakan
oleh perempuan daripada laki-laki.
Barhu>mah (2002: 132) dalam bukunya yang berjudul Al-lughah
wal-jins juga menjelaskan bahwa perempuan memberikan karakteristik
pada warna lebih mendalam daripada laki-laki, contohnya warna merah,
coklat kekuningan, ungu, merah marun, nilam pink. Adapun laki-laki lebih
cenderung pada warna-warna putih, biru, hijau, hitam, biru tua, dan coklat.
Al-Khuli (1982: 46) mengatakan dengan istilah color words dengan istilah
mufrada>tul-alwa>n (color lexicon), yaitu kosakata yang menunjukkan pada
warna-warna dalam suatu bahasa.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perempuan
mempunyai bahasa tersendiri dalam penggunaan kosakata warna yang
memang tidak sering digunakan oleh laki-laki. Dengan kata lain, kosakata
untuk warna tersebut hanya dimiliki oleh perempuan.
b. ‘Empty’ Adjectives ‘Adjektiva Kosong’
Mengenai hal ini, Lakoff (1973: 51) mengatakan bahwa terdapat
kelompok kata sifat, yang mempunyai makna spesifik dan literal, juga
menunjukkan persetujuan dan kekaguman penutur terhadap sesuatu. Kata
sifat ini disebut empty adjective atau adjektiva kosong, yang berarti bahwa
kata tersebut tidak memiliki informasi khusus hanya sekedar ekspresi
emosional tanpa makna oleh penutur. Sebagian besar kata sifat ini netral,
artinya laki-laki maupun perempuan diperbolehkan untuk
menggunakannya. Adapun kata sifat yang netral yaitu great dan neat.
Namun terdapat beberapa kata sifat yang memberi kesan hanya dapat
19
digunakan oleh perempuan saja. Contoh kata sifat yang memiliki kesan
hanya digunakan oleh perempuan yaitu adorable, charming, sweet, lovely,
divine, gorgeous, dan cute.
Hal tersebut selaras dengan pendapat Barhu>mah (2002: 128) bahwa
perempuan lebih banyak menggunakan kalimat-kalimat ta‘ajjub
(ungkapan kekaguman), pengecualian, dan partikel dibandingkan dengan
laki-laki. Al-Khuli (1982: 89) menjelaskan bahwa jumlah ta‘ajjubiyyah
yaitu kalimat yang berfungsi untuk mengungkapkan kekaguman yang
disertai dengan informasi. Contoh:
/Chaqqa>n, shidqa>n, fi‘la>n, fi‘liyya>n, ma> arwa‘ahu !, ma> ajmalaha>!, ma>
aladz-dzaha>/
‘Benar, sungguh, sebenarnya, betapa baiknya!, betapa indahnya!, betapa
lezatnya!’
c. Question Intonation/Intonational Pattern ‘Intonasi Kalimat’
Dalam hal ini Lakoff (1973: 55) mengatakan bahwa ia menemukan
pola intonasi yang khas yang hanya dimiliki oleh perempuan dalam bahasa
Inggris, seperti bentuk jawaban deklaratif yang ditampilkan dengan
intonasi seperti sedang bertanya khususnya pada pertanyaan ya-tidak, serta
terdengar ragu-ragu. Efeknya adalah seolah-olah sedang mencari
konfirmasi, meskipun pada saat yang sama pembicara mungkin satu-
satunya orang yang memiliki informasi yang diperlukan.
Barhu>mah (2002: 121) dalam pendapat yang sama juga
mengatakan bahwa perempuan mempunyai kemampuan yang besar/tinggi
dalam menggunakan intonasi atau ragam bunyi. Jadi kemampuan ini
seringkali diikuti oleh ungkapan atau ekspresi emosional yang dimiliki
20
perempuan, seperti pertanyaan pada akhir kalimat. Al-Khuli (1982: 138)
meyepadankan istilah intonational pattern dengan istilah namathu’t-
tanghi>m.
d. Lexical Hedges
Lexical hedges adalah fitur linguistik yang umumnya berfungsi
mengurangi kekuatan sebuah tuturan dan melemahkan efek dari sebuah
pernyataan (Wahyuni, 2014: 18).
Holmes (2013: 304) juga menambahkan mengenai teori Lakoff
tersebut bahwasanya hedges dan boosters memperlihatkan kurangnya
kepercayaan diri perempuan. Coates (dalam Wahyuni, 2015: 18) juga
menguatkan bahwa dengan hedges, perempuan cenderung menggunakan
frase-frase seperti sort a/sort of, like, you know, well, kind a, I guess, dan it
seems like.
Hal tersebut selaras dengan pendapat Barhu>mah (2002: 127) bahwa
tuturan perempuan konstruksinya banyak terbentuk dari modal yang
menunjukkan pada keanekaragaman tuturan, kemungkinan-kemungkinan
dan keraguan pada perkataannya, misal:
/Azhunnu, yatahayya’u li>, atashawwaru/
‘Aku kira, tampak olehku, aku pikir’
Sering sekali perempuan menggunakan konstruksi seperti ini, dan
hal tersebut menunjukkan ketidakpastian dan lemahnya perempuan dalam
hal menentukan atau memutuskan. Barhu>mah (2002: 127) menyebut
bentuk-bentuk contoh di atas dengan istilah syakliyyatul-ichtima>la>t yang
21
artinya bentuk kemungkinan. Jadi sesuatu yang masih diragukan, atau
belum pasti.
e. Intensifiers
Intensifier seperti so, just, very, dan quite lebih mencerminkan
karakteristik bahasa perempuan daripada laki-laki. So dinyatakan
mempunyai sisi feminin (Jespersen, 1922: 250).
Lakoff (1973: 54) mengatakan bahwa intensifier so, digunakan
untuk mempertegas superlatif mutlak seperti very, relly, utterly.
tampaknya lebih tepat menjadi ciri bahasa perempuan daripada laki-laki.
Perhatikanlah kalimat berikut ini:
1) I feel so unhappy
‘Aku merasa tidak bahagia’
2) That movie made me so sick
‘Film itu membuatku sangat sedih’
Al-Khuli (1982: 134) menyepadankan fitur intensifiers (adverb of
degree) dengan istilah zharfu’d-darajah, yaitu zharf yang menunjukkan
tingkatan sifat, keadaan, atau cara. Contohnya too, so, very yang
kesemuanya memiliki arti ‘sangat’. Sedangkan Barhu>mah (2002: 128)
menyebutnya dengan istilah al-alfa>zhu al-muda‘amah wal-muba>laghah.
Barhu>mah (2002: 128) mengatakan bahwa perempuan dalam
percakapannya cenderung menggunakan kata-kata penegas dan melebih-
lebihkan (hiperbola) dan semua itu dimaksudkan untuk menegaskan
makna yang dimaksud, seperti:
22
/ra’i‘un katsi>run, kabi>run, abadan, jiddan, muthlaqan, ha>’ilun, tama>man/
‘tinggi sekali, besar, selalu, sekali, pasti, sulit, tepat.’
f. ‘Hypercorrect’ Grammar
Hypercorrect grammar adalah penggunaan bahasa yang sesuai
dengan bentuk standar suatu bahasa, hal yang sama dikemukakan oleh
Hidayati (2015: 18) bahwa hypercorrect grammar dapat merujuk pada
penggunaan bahasa Inggris yang sesuai dengan tata aturan baku. Hal
tersebut meliputi menghindari bahasa kasar, lebih sering meminta maaf,
dan penggunaan bentuk paling sopan. Dengan kata lain, perempuan
berbicara sebisa mungkin mendekati bentuk baku bahasa Inggris
(Wahyuni, 2014: 29).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa
peneliti, ditemukan bahwa perempuan lebih memiliki kecenderungan
untuk menggunakan bentuk bahasa baku daripada laki-laki. Misalnya,
Holmes (2013: 164) menyatakan bahwa bentuk-bentuk linguistis yang
digunakan oleh perempuan dan laki-laki berbeda pada tingkatan yang
berbeda pada masing-masing lingkungan tuturan. Ia menambahkan bahwa
terdapat anggapan perempuan memiliki tuturan yang lebih sopan
dibandingkan laki-laki.
Lakoff (2004: 80) mengatakan bahwa perempuan tidak seharusnya
berbicara tidak sopan atau kasar. Berdasarkan pendapat Lakoff tersebut
dapat disimpulkan bahwa perempuan seyogyanya berbicara dengan halus
23
dan sopan menggunakan bahasa standar pada bicaranya, sehingga
membuat kalimat tersebut terdengar lebih sopan.
Contoh:
I would be very appreciative if you could show me the way.
‘Saya akan sangat berterima kasih jika anda berkenan menunjukkan saya
jalannya.’
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa menggunakan bahasa
baku yang sesuai standar berarti menggunakan bahasa sesuai dengan tata
aturan dan kaidah bahasa tertentu, hal ini juga berlaku untuk bahasa Arab.
Penggunaan bahasa Arab yang sesuai standar berarti menggunakan bahasa
sesuai dengan kaidah dan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya.
Versteegh (dalam Setiawati, 2011: 43) mengatakan bahwa kaidah-kaidah
bahasa dalam bahasa Arab standar dipakai secara konsisten, atau dengan
kata lain tidak melanggar kaidah bahasa yang ada. Al-Khuli (1982: 197)
menyebutkan hal semacam ini dengan istilah tashchi>chun mufrithun
(overcorrection/hypercorrection), yaitu perubahan kata atau kalimat secara
gramatikal lisan maupun tulisan yang sesuai dengan kaidah bahasa.
g. Super Polite Form ‘Bentuk Tuturan yang Sangat Santun’
Penggunaan bentuk tuturan yang sangat santun (super polite form)
dianggap sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya dilakukan oleh
perempuan. Perempuan juga diharapkan sering menggunakan ungkapan
seperti please dan thank you untuk tetap menjaga konvensi sosial (Lakoff,
1975: 55).
Lakoff (1973: 57) mengatakan ketika sebuah kata memiliki
konotasi buruk atau berkaitan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan
24
atau memalukan, seseorang mungkin akan mencari kata pengganti yang
lebih santun. Sikap seperti ini dalam ilmu sosiolinguistik disebut
eufemisme. Eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-
ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-
ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin
dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu
yang tidak menyenangkan (Keraf, 2000: 132).
Al-Khuli (1982: 219) menyebut istilah polite form/honorific form
dengan istilah shighatul-ichtira>m, yaitu bentuk gramatikal yang
menunjukkan kesopanan penutur kepada lawan tutur. Barhuma>h (2002:
219) menyebutnya dengan istilah al-uslu>b al-muaddab, yaitu gaya bahasa
yang sopan. Sependapat dengan Lakoff, Barhu>mah (2002: 127)
menjelaskan bahwa perempuan menghindari penggunaan kalimat perintah
dan lebih banyak menggunakan kalimat lain yang lebih santun dengan
menyandarkan pada kepekaan mitra tutur, misalnya kalimat di bawah ini:
/Idza> takarramta aghliq al-ba>ba/
‘Jika anda tidak keberatan, tutuplah pintu itu.’
Perempuan juga menggunakan sapaan yang baik kepada mitra
tuturnya yang dianggap dekat (Barhu>mah, 2002: 127), misal:
/Ya> ‘azi>zati>, ya> chabi>bi>, ya> nu>ra ‘aini>, ya> ru>chi>/
‘Wahai sayangku, wahai cintaku, wahai cahaya mataku, wahai jiwaku.’
25
h. Tag Question
Crystal (dalam Hidayati, 2015: 18) menyebutkan bahwa tag question
adalah suatu ungkapan yang terdapat di akhir kalimat untuk memberikan
penekanan, biasanya hal ini digunakan untuk mendapat persetujuan atau
untuk memastikan informasi. Crystal (2008: 476) memiliki penjelasan
yang seirama, yaitu dalam kamusnya yang berjudul A Dictionary of
Linguistics and Phonetics bahwa tag question adalah istilah dalam suatu
tata bahasa untuk menyebut struktur pertanyaan yang biasanya terdiri dari
kata kerja bantu dan kata ganti, serta melekat pada akhir pernyataan untuk
menyampaikan konfirmasi negatif atau positif.
Lakoff (1975: 15) menambahkan seperti ini, seorang perempuan
membuat sebuah pernyataan ketika ia percaya dengan pengetahuannya dan
yakin bahwa pernyataannya akan dipercayai. Seseorang akan bertanya
ketika ia tidak memiliki pengetahuan akan sesuatu dan mempunyai alasan
bahwa ketidaktahuannya dapat dijawab oleh lawan bicaranya. Misalnya Is
John here? ‘Apakah John disini?’ jika seseorang menanyakan hal tersebut,
dia mungkin tidak akan terkejut jika jawabannya ‘tidak’. Akan tetapi jika
ia bertanya seperti ini John is here, isn’t he? ‘John disini, kan?’ maka akan
berbeda responnya. Salah satu alasannya adalah bahwa lawan bicara telah
dipengaruhi jawaban positif dan penutur hanya ingin sebuah konfirmasi
dari lawan bicara. Sama halnya dengan pertanyaan ya-tidak. Dengan
demikian tag question dapat dipahami sebagai sebuah pernyataan
deklaratif tanpa asumsi bahwa pernyataan tersebut harus dipercayai oleh
lawan bicara dengan sebuah pertanyaan. Dengan kata lain, tag question
26
memberikan lawan bicara kebebasan, tidak mendesaknya untuk
sependapat dengan pandangan penutur.
Terkadang, tag question digunakan ketika penutur dan lawan tutur
mengetahui jawaban yang semestinya, dan tidak membutuhkan konfirmasi
seperti contoh di bawah ini:
Sure is hot here, isn’t it?
‘Sungguh di sini panas sekali, iya kan?’
Menurut Lakoff (1975: 16) jenis tag question ini lebih tepat
digunakan oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Hal tersebut karena
kalimat ini menyediakan sarana sehingga seorang penutur dapat
menghindari keterlibatan dirinya dan menghindari perselisihan dengan
lawan tutur. Permasalahannya adalah bahwa penutur mungkin juga
memberikan kesan bahwa dirinya tidak begitu yakin karena ia hanya
mencari konfirmasi dari lawan tutur dan tidak mempunyai pandangannya
sendiri.
Lakoff (1975: 61) menyebutkan bahwa tag question merupakan
simbol dari ketidakpercayaan diri, dan biasanya digunakan oleh seseorang
yang mencari konfirmasi akan suatu informasi.
Holmes (2013: 318-319) juga menambahkan bahwa tag question
merupakan salah satu cara yang digunakan seseorang sebagai alat untuk
kesantunan. Kemudian, Holmes juga membagi dan menjelaskan fungsi
dari tag question menjadi 4 (empat), yang pertama yaitu expressing
uncertainty ‘menunjukkan ketidakyakinan’, yang kedua positive politeness
device ‘alat kesopanan positif’, yang ketiga soften a directive/a criticism
27
‘memperhalus tuturan direktif/kritik’, dan yang keempat yaitu
confrontial/coercive device ‘alat untuk memaksa’.
Sehubungan dengan tag question, Barhum>ah (2002: 126) juga
berpendapat yang sama mengenai tag question bahwa pola kalimat dan
pertanyaan perempuan cenderung pendek ketika ia hendak menekankan
pada suatu hal. Barhum>ah (2002: 126) menyebutnya dengan istilah as-sua>l
al-qashi>r . Contohnya.
؟
/Alaisa kadzalik? Hal tuwa>fiquni>?/
‘Bukankah seperti itu? Apakah kau sepakat denganku?’
Perempuan juga dominan menggunakan pola tag question untuk
menyampaikan maksud dengan menghindari resiko perselisihan yang
besar. Penggunaan tag question dengan intonasi nada naik merupakan
indikator kesantunan bahasa perempuan.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
tag question adalah bentuk pertanyaan singkat yang didahului oleh kalimat
deklaratif atau pernyataan dengan tujuan diantaranya digunakan untuk
menggambarkan ketidakyakinan, untuk menegaskan, dan memastikan
sesuatu.
i. Avoidance of Strong Swear Words ‘Menghindari Umpatan’
Kata makian adalah jenis kata seru yang dapat mengekspresikan
kemarahan dengan sangat ekstrim dan telah dianggap sebagai ekspresi
yang sangat kuat (Eckert dan Ginet, 2003: 181).
28
Strong swear words disini diartikan sebagai umpatan yang kuat,
seperti yang dikatakan oleh Lakoff (1973: 50), perbedaan antara antara shit
dan damn dengan oh dear, atau godness, atau oh fudge, terletak pada
penegasan seseorang dalam berkata dan merasakan. Pemilihan partikel
adalah sebuah fungsi dari seberapa kuatnya seseorang memungkinkan
dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu, sehingga kekuatan emosi
disampaikan dalam bentuk kalimat sesuai degan kekuatan partikel tersebut.
Perempuan lebih sering menggunakan oh dear sedangkan laki-laki
menggunakan shit. Lakoff (1975: 10) memberikan contoh di bawah ini:
1) Oh dear, you’ve put the peanut butter in the refrigerator again.
‘Astaga, kamu meletakkan selai kacang di lemari es lagi’
2) Shit, you’ve put the peanut butter in the refrigerator again.
‘Sial, kamu meletakkan selai kacang di lemari es lagi.’
Tuturan nomor 1) dianggap sebagai tuturan yang lebih banyak
digunakan oleh perempuan sedangkan nomor 2) dianggap lebih sering
digunakan oleh laki-laki. Laki-laki dan perempuan memiliki bentuk
ungkapan yang berbeda terhadap sesuatu hal. Misalnya shit, hell, damn,
bloody hell, dsb. lebih banyak digunakan oleh laki-laki, sedangkan
perempuan akan menggunakan good heavens, oh my goodness, my
goodness, oh dear, my dear, dsb. Sebagai tambahan Lakoff (2004: 80)
juga mengatakan bahwa perempuan tidak seharusnya berbicara kasar.
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri bahasa
perempuan yaitu menghindari umpatan dan berbicara kasar.
29
j. Emphatic Stress
Lakoff (1975: 56) mendefinisikan emphatic stress sebagai
ungkapan ketidakyakinan dengan menggunakan ekspresi dari penutur
sendiri, meskipun ungkapan ini dapat terlihat sebaliknya. Yang dimaksud
Lakoff adalah bahwa emphatic stress memiliki fungsi untuk memberikan
penekanan terhadap suatu tuturan ketika penutur merasa tidak yakin
terhadap tuturannya, sehingga lawan tutur akan merasa yakin dengan apa
yang penutur sampaikan. Sebagai contoh it was a briliant performance!.
Kata briliant merupakan emphatic stress yang digunakan untuk
menekankan kata performance. Al-Khuli (1982: 84) menyebutkan
penekanan seperti itu dengan istilah taukid, yaitu meninggikan suara pada
sebuah kata atau kalimat dengan maksud memberi penekanan bahwa
sesuatu itu penting. Al-Khuli (1982: 84) juga menyebutkan hal semacam
ini dengan istilah kalimah taukidiyyah yaitu kata yang berfungsi sebagai
penekanan, dan kata tersebut kembali pada pembahasan sebelumnya.
Berikut di atas merupakan fitur-fitur kebahasaan perempuan. Tidak
dijelaskan secara langsung dalam beberapa penelitian bahwa laki-laki juga
memiliki fitur-fitur kebahasaan seperti perempuan sehingga dalam
penelitian ini digunakan fitur yang sama untuk mengulas penggunaan
bahasa oleh laki-laki dengan fitur kebahasaan Lakoff (1975).
3. Jenis-jenis Kalimat dalam Bahasa Arab
Kalimat merupakan unsur terbesar dalam tataran sintaksis. Digunakan
dalam penelitian ini jenis kalimat dalam bahasa Arab. Kaidah bahasa
Indonesia menjelaskan bahwa kalimat adalah, 1) satuan bahasa yang secara
30
relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun
potensial terdiri dari klausa; 2) klausa bebas yang menjadi bagian kognitif
percakapan; satuan proposisi yang merupakan satu klausa atau merupakan
gabungan klausa, yang membentuk satuan bebas; jawaban minimal, seruan,
salam, dsb.; 3) konstruksi gramatikal yang terdiri atas satu atau lebih klausa
yang ditata menurut pola tertentu, dan dapat berdiri sendiri sebagai satu satuan
(Kridalaksana, 2011:103).
Al-Khuli (1982: 253) menyepadankan kalimat dengan istilah jumlah.
Kalimat (jumlah) adalah satuan terbesar yang lazim dijelaskan dalam ilmu
nahwu (sintaksis), baik dalam bentuk sederhana, bertautan atau bertingkat.
Kalimat dapat berupa berita, pertanyaan, permintaan, atau bentuk kekaguman.
Terdapat dua jenis kalimat dalam bahasa Arab yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu jumlah ismiyyah dan jumlah fi‘liyyah. Berikut penjelasan
selengkapanya.
a. Jumlah Ismiyyah
Jumlah ismiyyah adalah suatu kalimat yang diawali dengan sebuah
jenis ism (Bawani, 1987: 38). Ni’mah (1988: 19) mengungkapkan
bahwasanya jumlah ismiyyah adalah kalimat dalam bahasa Arab yang di
mulai dengan ism atau dhami>r.
Bawani (1987: 39) berpendapat bahwa jumlah ismiyyah pada
pokoknya terdiri dari kata pertama (yang diterangkan) harus termasuk
jenis ism dan kata kedua (yang menerangkan) tidak ada ketentuan, dalam
arti boleh dari jenis ism dan bisa pula dari jenis fi‘l. Kata pertama yang
diterangkan disebut dengan mubtada’ atau sama dengan pokok kalimat
31
sedangkan kata yang kedua yang menerangkan disebut khabar atau sama
dengan predikat dalam tata bahasa Indonesia.
Mubtada’ sendiri yaitu kata jenis ism yang terletak pada permulaan
kalimat. Antara mubtadaʹ dengan kata sesudahnya harus terdiri dari bentuk
yang sederajat, maksudnya mudzakkar dengan mudzakkar, muannats
dengan muannats, begitu pula dalam hal mufrad, mutsanna, dan jamaknya
masing-masing (Bawani, 1987: 236-237). Kemudian khabar, dalam tata
bahasa Arab, yang dimaksud dengan khabar ialah suatu kata yang bertugas
menerangkan keadaan, sifat, dan hal-ihwal kata sebelumnya. Khabar,
harus mengikuti keadaan mubtada’ dalam hal tunggal, dual, jamak, baik
jenis mudzakkar maupun muannats nya (Bawani, 1987: 238).
b. Jumlah Fi‘liyyah
Ni’mah (1988: 19) memaparkan bahwasanya jumlah fi‘liyyah adalah
kalimat yang dimulai oleh fi‘l. Bawani (1987: 39) juga mengungkapkan
hal yang sama bahwa jumlah fi‘liyyah adalah suatu kalimat yang diawali
dengan sebuah fi‘l, kemudian diikuti oleh pelaku pekerjaan tersebut dalam
tata bahasa Arab disebut dengan fa‘il. Jumlah fi’liyyah terdiri dari fi‘l,
fa‘il, dan maf‘ul, tetapi terkadang juga hanya terdiri dari fi‘l dan fa‘il saja
dan tidak membutuhkan maf‘ul.
Fi‘l adalah jenis kata yang menunjukkan terjadinya pekerjaan atau
peristiwa, baik waktu lampau, sekarang, maupun yang akan datang
(Bawani, 1987: 66), atau singkatnya Ni‘mah (1988: 18) menyebutkan
bahwa fi‘l adalah semua kata yang menunjukkan kala tertentu.
32
Fa‘il adalah ism dalam keadaan rafa‘ (marfu>‘un) yang didahului oleh
fi‘l dan menunjukkan pihak yang melakukan pekerjaan (Bawani, 1987:
239).
4. Fungsi Bahasa
Hidayat (2014: 26) menjelaskan bahwasanya salah satu aspek penting
dalam sebuah bahasa adalah fungsi bahasa. Secara umum, fungsi bahasa
adalah sebagai alat komunikasi, bahkan hal tersebut dianggap sebagai fungsi
utama dari bahasa.
Melihat definisi sosiolinguistik yang dipaparkan oleh Wardhaugh (2006:
13) bahwa sosiolinguistik diartikan sebagai ilmu yang meneliti hubungan
antara bahasa dengan masyarakat yang menggunakan bahasa. Hal tersebut
dengan tujuan agar masyarakat lebih memahami susunan bahasa dan kegunaan
fungsi bahasa ketika dipakai untuk berkomunikasi.
Holmes (2013: 275) dalam bukunya yang berjudul An Introduction to
Sociolinguistics menjabarkan 6 (enam) fungsi tuturan. Holmes mengatakan
bahwasanya fungsi tuturan tersebut sudah terbukti bermanfaat dalam
penelitian sosiolinguistik. Di bawah ini merupakan 6 (enam) fungsi tuturan
menurut Holmes.
a. Expressive ‘Ekspresif’
Ungkapan yang berfungsi untuk mengekspresikan perasaan penutur,
seperti senang maupun sedih (Holmes, 2013: 275). Finocchiaro (dalam
Hidayat 2014: 28) juga berpendapat yang sama meskipun demikian dia
menyebut fungsi ekspresif ini dengan istilah fungsi personal. Fungsi
personal menurutnya merupakan ujaran untuk menyatakan emosi,
33
kebutuhan, pikiran, hasrat, sikap, perasaan. Al-Khuli (1982: 91)
menjelaskan bahwa fungsi ekspresif adalah salah satu fungsi bahasa dalam
penggunaan suatu bahasa sebagai pengungkapan dari pikiran dan perasaan
dalam bentuk ucapan maupun lisan. Dengan begitu, dapat disimpulkan
bahwa fungsi ekspresif digunakan untuk menunjukkan atau
mengungkapkan perasaan ataupun pikiran seseorang dalam bentuk ucapan
maupun tulisan, baik senang, sedih, takut, dan kagum.
Contoh:
I’m feeling great today
‘Aku merasa senang hari ini.’
b. Directive ‘Direktif’
Ungkapan yang berfungsi untuk meminta seseorang agar melakukan
sesuatu (Holmes, 2013: 275). Finocchiaro (dalam Hidayat, 2014: 28) juga
berpendapat yang sama fungsi direktif yaitu ujaran untuk mengendalikan
orang lain dengan saran, nasihat, perhatian, permohonan, dan sebagainya.
Jadi, fungsi ini digunakan untuk meminta atau memerintah seseorang
untuk melakukan sesuatu, baik dalam bentuk ungkapan perintah, saran,
nasihat, dan permohonan.
Contoh:
Clear the table.
‘Bersihkan meja itu.’
c. Referential ‘Referensial’
Ungkapan yang berfungsi untuk memberikan informasi (Holmes,
2013: 275). Halliday (dalam Djojosuroto, 2007: 76) mengemukakan
34
bahwa bahasa itu berfungsi referensial/representasional. Hal ini berarti
bahwa bahasa berfungsi untuk membuat pernyataan-pernyataan,
menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan, atau
melaporkan realitas yang sebenarnya sebagaimana yang dilihat atau
dialami orang. Jadi, kegunaan inti dari fungsi referential ini adalah utuk
menyampaikan informasi.
Contoh:
At the third stroke it will be three o’clock precisely.
‘Pukulan ketiga akan terjadi pada pukul tiga tepat.’
d. Metalinguistic ’Metalinguistik’
Ungkapan yang berfungsi untuk memberikan ulasan atau komentar
terhadap bahasa itu sendiri (Holmes, 2013: 275). Lazimnya bahasa
digunakan untuk membicarakan masalah politik, ekonomi, pertanian dll.
Namun berdasarkan fungsi metalinguistic ini, bahasa digunakan untuk
membahas atau membicarakan bahasa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat
pada proses pembelajaran bahasa. Bahasa digunakan untuk menjelaskan
bahasa, seperti tata bahasa, kaidah, atau aturan-aturan yang terdapat dalam
suatu bahasa. Contoh lain terlihat pada kamus ekabahasa, yaitu kamus
yang menjelaskan makna suatu istilah bahasa menggunakan bahasa yang
sama. Kamus yang disusun dengan menggunakan satu bahasa.
Contoh:
‘Hegemony’ is not a common word.
‘Hegemoni’ bukan kata biasa/umum.’
35
e. Poetic ‘Puitik’
Fungsi yang satu ini fokus pada hal estetis suatu bahasa seperti puisi,
motto, dan sajak (Holmes, 2013: 275). Jakobson (dalam Hidayat, 2014: 27)
juga memaparkan hal yang sama bahwa fungsi poetic merupakan ujaran
yang dipakai dalam bentuk tersendiri dengan mengutamakan nilai-nilai
estetikanya.
f. Phatic ‘Fatis’
Holmes (2013: 275) menjelaskan bahwa phatic merupakan ungkapan
yang berfungsi untuk mengekspresikan solidaritas dan empati terhadap
orang lain. Komunikasi phatic itu digunakan untuk menyampaikan pesan
afektif atau pesan sosial (Holmes, 2013: 275). Salah satu pandangan dari
seorang ahli sosiolinguistik mengatakan bahwa bahasa tidak hanya
digunakan untuk menyampaikan informasi, tetapi juga digunakan untuk
mengungkapkan informasi tentang hubungan sosial (Holmes, 2013: 275).
Fungsi phatic dalam bahasa menurut Halliday (dalam Djojosuroto, 2007:
91) sama dengan fungsi interaksional, yaitu fungsinya untuk menjalin
hubungan dan memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial.
Jakobson (dalam Hidayat, 2014: 27) juga mengungkapkan hal yang sama
bahwa fungsi phatic berfungsi untuk memelihara hubungan sosial.
Contoh;
Hi, how are you, nice day isn’t it!
‘Hai, apa kabar, hari yang cerah ya!
36
F. Data dan Sumber Data
Sudaryanto (1988: 10) menyebutkan bahwa data pada hakikatnya adalah
objek penelitian beserta dengan konteksnya, dia juga mengatakan bahwa data
adalah fenomena lingual khusus yang mengandung dan berkaitan langsung
dengan masalah yang dimaksud (Sudaryanto, 2015: 6). Subroto (192: 34) juga
menambahkan bahwa data sebagai objek penelitian secara umum adalah
informasi atau bahan yang disediakan oleh alam yang dicari atau dikumpulkan
dan dipilih oleh peneliti. Data dalam penelitian ini berupa 120 (seratus dua puluh)
status facebook yang berasal dari 58 (lima puluh delapan) akun facebook
mahasiwa Mesir, 27 (dua puluh tujuh) akun perempuan dan 31 (tiga puluh satu)
akun facebook laki-laki. Data diambil secara acak pada bulan Januari s.d. Juli
2016.
Sumber data merupakan sumber atau asal data penelitian diperoleh (Subroto,
1992: 34). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari jejaring
sosial facebook, berupa status facebook perempuan dan laki-laki Mesir. Alasan
pemilihan data dan sumber data adalah karena peneliti merasa penelitian tentang
bahasa dan gender pada objek yang berasal dari jejaring sosial masih jarang
ditemukan, dan data berupa tulisan dirasa sangat menarik untuk dikaji lebih
serius dalam kajian bahasa dan gender.
G. Metode dan Teknik Penelitian
Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud (dalam ilmu pengetahuan, dsb.); cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang
37
ditentukan (Djajasudarma, 2010: 1). Sudaryanto (2015: 9) menguatkan bahwa
metode adalah cara yang harus dilakukan atau diterapkan, sedangkan teknik
adalah cara melaksanakan atau menerapkan metode.
Penelitian ini melalui tiga tahapan, yaitu tahap penyediaan data, tahap
analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data.
1. Tahap Penyediaan Data
Tahap penyediaan data merupakan upaya sang peneliti menyediakan data
secukupnya (Sudaryanto, 2015: 6). Data penelitian ini berupa status facebook
laki-laki dan perempuan Mesir. Pemilihan status tersebut dilakukan secara
acak dari bulan Januari 2016 sampai Juli 2016. Pada tahap ini peneliti
menggunakan metode simak. Disebut metode simak atau penyimakan,
karena metode ini dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa.
(Sudaryanto, 1988: 2). Peneliti menyimak penggunaan bahasa tulis
perempuan dan laki-laki pada status facebook yang menjadi data penelitian.
Kemudian untuk teknik dasarnya peneliti menggunakan teknik sadap,
yaitu peneliti menyadap penggunaan bahasa dalam data (Sudaryanto, 1988:
2). Teknik lanjutan yang digunakan oleh peneliti dalam tahap penyediaan
data adalah teknik catat. Teknik catat yaitu teknik lanjutan yang digunakan
untuk mencatat data yang dilanjutkan dengan klasifikasi data (Sudryanto,
1988: 5).
2. Tahap Analisis Data
Metode yang digunakan untuk melakukan analisis data yang sudah
terkumpul adalah menggunakan metode content analysis atau document
analysis. Ari dkk (dalam Wahyuni, 2014: 16) menyebutkan bahwa content
38
analysis adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti materi
tertulis dengan tujuan untuk melihat karakteristik dari materi tersebut.
Analisis isi sering juga disebut analisis konten. Menurut Barelson (dalam
Zuchdi, 1993: 11), analisis konten adalah suatu teknik penelitian untuk
menghasilkan deskripsi yang objektif dan sistematik mengenai isi yang
terkandung dalam media komunikasi. Analisis konten juga dimaknai sebagai
teknik yang sistematis untuk menganalisis makna pesan dan cara
mengungkapkan pesan.
Analisis isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan
mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media
massa (Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, 2009: 145). Karena status data
penelitian ini merupakan data tertulis maka metode ini dirasa cocok untuk
digunakan. Kemudian, langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis
data:
a. Mengklasifikasikan data berupa status facebook dari perempuan dan
laki-laki Mesir berdasarkan 10 (sepuluh) fitur kebahasaan Lakoff (1975).
Kemudian penulis membandingkan bentuk bahasa perempuan dan laki-
laki dalam status facebook. Selanjutnya penulis menyimpulkan
persamaan dan perbedaan penggunaan bahasa Arab pada status facebook
tersebut.
b. Mendeskripsikan topik-topik yang menjadi latar belakang penulisan
status perempuan dan laki-laki Mesir.
c. Mendeskripsikan fungsi bahasa berdasarkan status perempuan dan laki-
laki Mesir.
39
d. Menarik kesimpulan dari seluruh analisis yang telah dilakukan dalam
penelitian ini.
3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data
Peneliti menggunakan metode penyajian informal. Metode penyajian
informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun dengan
terminologi yang teknis sifatnya (Sudaryanto, 1993: 145). Penyajian hasil
secara informal ditunjukkan dengan penggunaan kata-kata biasa untuk
mendeskripsikan hasil analisis data. Penyajian data secara informal ini juga
disertai dengan contoh-contoh yang relevan untuk memperoleh hasil analisis
yang menyeluruh atas yang telah dibuat sebelumnya.
H. Sistematika Penyajian
Sistematika penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab 1
merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, pembatasan masalah, landasan teori, data dan sumber data,
metode dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II berisi pembahasan dan analisis mengenai bentuk-bentuk bahasa
perempuan dan laki-laki Mesir, pembahasan dan analisis topik-topik bahasan
yang terdapat dalam status facebook perempuan dan laki-laki Mesir, selanjutnya
pembahasan dan analisis mengenai fungsi dari status facebook yang dibuat oleh
perempuan dan laki-laki Mesir.
Bab III merupakan bab akhir atau penutup yang meliputi simpulan dan
saran dari hal-hal yang sudah dibahas pada bab-bab sebelumnya.