BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang multi dimensi. Mengkaji manusia hanya
dari satu dimensi, akan membawa stagnasi pemikiran tentang kapabilitas manusia,
serta menjadikannya sebagai subjek-objek yang statis. Hakikat manusia tidak akan
pernah ditemukan secara utuh karena setiap kali seseorang selesai memahami satu
dimensi manusia, maka kemudian akan muncul dimensi lain yang belum dibahas.
Alexis Carrel mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena
derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan
perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya
(Abiddin, 1997 :29).
Persoalan terbesar sepanjang masa yang senantiasa dihadapi manusia adalah
tentang diri manusia itu sendiri. Siapakah manusia itu, dari mana asalnya
mengapa dia ada berbedakah ia dengan mahluk lain, apa bedanya sampai dimana
batas kemampuannya dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya
mengenai masalah manusia yang mendorong paras filosof dengan kemampuan
logikanya mencoba untuk merumuskan pemikirannya tentang manusia.
Kebebasan merupakan problem yang terus-menerus digeluti dan
diperjuangkan oleh manusia. Keinginan manusia untuk bebas merupakan
keinginan yang sangat mendasar. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau
dalam sejarah perkembangan pemikiran muncul berbagai pendapat yang berusaha
2
menjawab problem tersebut. Meskipun demikian tetap harus diakui bahwa
persoalan kebebasan manusia merupakan suatu persoalan yang masih tetap
terbuka sampai dewasa ini (Nico, 1993:5).
Munculnya paham eksistensial merupakan kritik terhadap filsafat klasik dan
pertengahan yang cenderung fatalisme. Pada era filsafat klasik dan pertengahan
akar-akar historis eksistensial sudah ada tetapi yang dibahas adalah manusia
dipandang sebagai manusia dan menjadikan manusia sebagai objek pemikirannya
sehingga terlepas dari kehidupan nyata (Abstrak), “Pemikir-pemikir filsafat
terdahulu turut menghancurkan kebebasan manusia itu sendri dan analisis
filsafatnya bersifat abstrak seolah-olah sang pemikir tidak memikirkan dirinya
secara konkret (Save, 1990 :45).
Eksitensialisme adalah paham atau aliran filsafat yang memandang gejala-
gejala dengan berpangkal pada eksistensi pandangannya relative modern dalam
filsafat. Pelopor gerakan ini adalah soren Kierkegaard (1813-1855), filosof asal
Denmark yang menentang keras pemikiran abtraknya Hegel yang menyatakan
manusia telah hilang atau tidak memiliki kepribadian lagi, sedangkan menurut
Kierkegaard dalam eksistensial menekankan secara khusus kepada individu,
pentingnya subjektifitas dan penderitaan sebagai emosi sentral kehidupan
manusia. Salah satu tokoh eksistensial lainnya yang mencoba mengembangkan
pemikirannya adalah Heiddegger yang melandaskan kebebasan manusia dan
Nietzsche yang mentemakan gerakannya “allah telah mati” dan tiap-tiap
individualis mencari nilai-nilainya sendiri, sebagai jembatan masa depan
(Vincent, 2001 :6).
3
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan
mengajukan pernyataan yaitu bagi manusia yang terpenting dan utama adalah
keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi
senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan
kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka
besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan,
maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri.
Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul
dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil
keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak
berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak
bereksistensi dalam arti sebenarnya.
Dari sedikit pemaparan tentang konsep kebebasan eksitensial Kierkegaard
tentunya akan muncul banyak pendapat baik pro atau kontra terhadap konsep
kebebasan esistensialisme kierkegaard tersebut. Selain itu akan ada masalah yang
muncul akibat dari adanya sebuah pengertian kebebasan karena adanya
keleluasaan untuk bertindak sesuai dengan yang diinginkannya. Pertanyaannya
setelah manusia mampu dan telah mendapatkan kebebasan itu apa yang harus di
lakukannya? Apa dampak serta konsekuensi dari sebuah keadaan bebas tersebut
bagi kehidupannya? Seperti yang sama-sama kita ketahui kebebasan datang
sepaket dengan konsekuensinya. Dari sinilah penulis tertarik dan berkeinginan
untuk mencari jawaban tentang makna kebebasan dan hakikatnya serta masalah-
masalah yang timbul berkaitan dengan sebuah kebebasan yang dicetus dari sang
4
pelopor eksistensial Kierkegaard yang akan di tinjau dari sudut pandang filsafat
manusia. Alasan mengapa penulis memilih filsuf Kierkegaard karena selain
merupakan filsuf awal pencetus aliran eksistensial dan dikenal sebagai Bapak
eksistensial penulis melihat pemikiran yang sangat khas, mendalam dan
komprehensif tentang kebebasan eksistensial seorang manusia. Dan akhirnya
menghasilkan sebuah judul Konsep Kebebasan Eksistensial Soren Aabey
Kierkegaard dalam Perspektif Filsafat Manusia yang diharapkan nanti akan
menghasilkan analisis mengenai konsep kebebasan eksistensial manusia menurut
kierkegaard serta implikasi/relevansinya dalam kehidupan sosial masyarakat di
negara Indonesia.
1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat di simpulkan tentang rumusan masalahnya
antara lain :
1. Apa makna dan hakikat kebebasan itu?
2. Bagaimana konsep Kierkegaard tentang tiga tahap bereksistensi?
3. Bagaimana konsep kebebasan eksistensial Kierkegaard dalam Perspektif
Filsafat Manusia?
2. Keaslian penelitian
Penelitian mengenai makna atau arti kebebasan memang sudah pernah
dilakukan sebelumnya. Tetapi sejauh peneliti ketahui sampai saat ini belum
ditemukan penelitian yang membahas secara komprehensif dan mendalam tentang
5
Konsep Kebebasan Eksistensial Kierkegaard di Tinjau dari Filsafat Manusia
dalam penelusuran penulis. Dan berikut lampiran beberapa judul skripsi di
fakultas filsafat yang mempunyai kemiripan judul dengan penelitian ini :
1) “Dimensi kebebasan pada komunitas Punk di Yogyakarta dalam perspektif
Eksistensialisme Soren Aabey Kiergegaard”, skripsi ini berisikan tentang
sebuah komunitas punk yang menjadi fenomena langka tentang kebebasan
manusia. Kebebasan yang ditawarkan menjadi budaya yang
diperjualbelikan. Konsep anti kemapanan yang menjadi pro dan kontra
antar orang tua dan anak, sikap memberontaknya menjadi stereotip dalam
masyarakat. Jenis penelitian ini adalah sistematis-refleksif bertujuan untuk
mendeskripsikan kebebasan pada komunitas punk di Yogyakarta,
menganalisis dalam eksistensial soren aabey Kierkegaard dan kemudian
merefleksikannya menurut keyakinan peneliti.
2) “Kajian Eksistensialisme Soren Aabey Kierkegaard dalam Film 200
Pounds Beauty”, skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan. Metode
yang digunakan ialah hermeneutika filosofis dengan unsur metodis
interpretasi, koherensi internal, deskripsi dan refleksi filosofis. Objek
material dalam penelitian ini adalah film “200 Pounds Beauty” karya kim
yong-wa yang diadaptasi dari manga karya Yumiko Suzuki berjudul
“Kanna-San Daisekou Desu”. Kemudian dikaji secara kritis dan filosofis
dengan sudut pandang filsafat manusia, khususnya perspektif eksistensial
Soren Kierkegaard.
6
3) “Tinjauan Tahap Religius Konsep Eksistensi Kierkegaard pada agama
Kristen masa kini” skripsi ini berisikan tentang telaah kritis dan kritik pada
agama Kristen masa kini, dalam lingkup kristenan dunia pada umumnya
dan lingkup keristenan di Indonesia pada khususnya ditinjau dalam tahap
religious soren aabey Kierkegaard.
4) “Kebebasan merupakan landasan untuk meningkatkan martabat hidup
manusia”. Skripsi dari saudara Y.F. Purwanto. Berisi tentang mengkaji arti
maupun makna dari sebuah kata kebebasan direlefansikan terhadap
martabat hidup seorang manusia dimana kebebasan merupakan dasar bagi
manusia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya dalam menjalani
kehidupannya.
5) “Manusia dan Kebebasan dalam Humanisme Erich Fromm” berisi tentang
pendeskripsian manusia dan kebebasan dalam humanismenya Erich
Fromm.
6) “Arti kebebasan dalam kehidupan seniman di Indonesia ditinjau dari segi
Filsafat Sosial”. Menelaah arti kebebasan kehidupan seorang seniman
yang di kaji melalui cabang filsafat yakni Filsafat Sosial.
3. Manfaat penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1) Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan mampu mengasah kemampuan
peneliti untuk menulis ilmiah, memberikan pemahaman baru mengenai
7
problem yang berhubungan dengan manusia yang akan di pahami melalui
aliran eksistensial dalam ruang lingkup filsafat manusia
2) Bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat, penelitian ini
diharapkan dapat menambah wawasan tentang eksistensial manusia yakni
kebebasan berkehendak sebagai dasar setiap tindakan manusia dalam
menjalani kehidupannya. Sebagai pedoman dasar guna menjadi pondasi
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan
manusia.
3) Bagi kehidupan bangsa dan negara, memperkaya wacana keilmuan kita
tentang manusia, problematikanya, hak dan kewajibannya serta hakikat
sesungguhnya dari manusia. Masalah kebebasan yang hakiki dari setiap
segi baik itu kebebasan social, politik maupun budaya di Indonesia secara
mendalam. Dan juga mampu melihat kepekaan berfikir kita dalam melihat
realitas social masyarakat di Indonesia yang sangat komplek.
B. Tujuan Penelitian
Sebagai suatau penelitian ilmiah, penelitian ini bertujuan untuk menjawab
persoalan yang terdapat dalam rumusan masalah, yaitu sebagai berikut :
1. Memaparkan dengan lebih jelas mengenai makna dan hakikat dari konsep
kebebasan manusia itu sesungguhnya
2. Menjabarkan konsep eksistensial soren aabey Kierkegaard secara
sistematis
8
3. Menganalisis secara kritis tentang konsep kebebasan eksistensial soren
aabey Kierkegaard yang ditinjau dalam filsafat manusia.
C. Tinjauan Pustaka
Dalam “kamus filsafat” karya Loren Bagus (2002:406), kebebasan diartikan
sebagai kemampuan diri seorang pelaku untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai
dengan kemauan dan pilihannya serta mampu untuk bertindak sesuai yang disukai
atau menjadi penyebab dari tindakan-tindakannya sendiri. Kebebasan mempunyai
banyak definisi, namun persamaan inti dari makna kebebasan terletak pada
ketidakterikatan manusia oleh suatu kondisi dan aturan apa pun di luar dirinya.
Begitu juga dalam buku “Filsafat Kebebasan”, kebebasan dalam arti umum
adalah keadaan tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban, sedangkan
kebebasan dalam arti khusus, yaitu suatu kemampuan manusia, terutama
kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-
nilai yang terus menerus ditawarkan kepada manusia oleh ihwal kehidupan (Nico
Syukur, 1991:40,51).
Banyak sekali definisi yang membicarakan tentang kebebasan, ada
pandangan bahwa kebebasan manusia itu tanpa batasan, seperti yang di dewa-
dewakan oleh Sartre, dia merumuskan kalimat yang terkenal “… man is free, or
rather, man is freedom” dan kebebasan ini adalah mencakup keseluruhan
eksistensi manusia, tidak ada batas untuk kebebasan, kebebasan itu sendiri yang
menentukan kebebasan, demikian kata Sartre. Karena kebebasan di mutlakkan
9
maka akibat yang paling nyata adalah penolakan terhadap tuhan, serta akibat etis
yang ditimbulkannya adalah nihilisme (Muzairi, 2002; 82-83).
Kebebasan dapat dijabarkan dalam beberapa point penting, maka akan
tampak seperti paparan dibawah ini :
1. Kebebasan sebagai kehendak bebas;
Kebebasan identik dengan sikap yang diambil secara pribadi, tanpa ada
paksaan dari pihak luar.
2. Kebebasan sebagai cita-cita;
Bahwa dalam kenyataannya manusia tetap akan menghadapi berbagai
kendala yang menghambat pemenuhan kebebasannya. Demikianlah
manusia akan menciptakan suatu proyeksi atau cita-cita yang
diperjuangkannya. Cita-cita tak lain ialah kebebasan sejati.
3. Kebebasan politis dan social;
Fakta bahwa manusia hidup dalam suatu lingkungan social tertentu, yang
memungkinkan kebebasan individu yang mutlak akan mengalami
pembatasan. Kebebasanku dibatasi oleh kebebasan orang lain.
4. Kebebasan berasal dari manusia dan berada di dalam manusia.
Kebebasan adalah disposisi batin manusia dalam menghadapi berbagai
pilihan yang ditawarkan dunia padanya. Demikianlah kebebasan itu selalu
diasalkan pada si individu. Kebebasan juga berada dalam manusia, karena
yang memutuskan untuk bertindak itu adalah aku, atau batinku yang
bebas.
10
Filsafat Hegel memandang kebebasan secara negatif. Tentu saja hal ini
didasarkan pada pandangannya bahwa ada-nya manusia tergantung pada
perealisasian diri roh sang mutlak. Kebebasan yang real mengandaikan individu
sebagai agen yang melaksanakannya, bukan kelompok, apalagi universalitas.
Hegel jelas menolak pandangan liberal. Pandangan liberal yang ditolaknya adalah
pandangan bahwa pada tahap tertentu kebebasan itu dijamin oleh suatu kondisi
tertentu, tanpa campur tangan siapa pun. Hegel hanya menerima kebebasan warga
Negara yang dibatasi atau dinaungi oleh Negara. Sekalipun Hegel juga menelaah
dan menjelaskan tema kebebasan sebagai bagian dari filsafatnya, namun
kebebasan yang dipahami Kierkegaard sangatlah berbeda. Sebagai jawaban
sekaligus kritik terhadap Hegel, ia tidak melihat kebebasan semata-mata hanya
sebagai proses kerja pikiran, diperoleh lewat abstraksi. Kebebasan harus dilihat in
medias res dalam pengalaman hidup, bukan dalam abstraksi. Kebebasan itu
adalah keputusan hidup yang disertai dengan aktualisasi nyata dalam keseharian
manusia (Paulus, 2006 : 48).
Perbedaan penghayatan terhadap kebebasan bagi kedua filsuf menghasilkan
penjelasan kebebasan yang berbeda. Kalau pada Hegel kebebasan diasalkan dari
abstraksi, Kierkegaard mengasalkannya dari pengalaman hidup yang dialami,
dirasakan, dilibati dan dihayati. Karena itu, tema kebebasan dalam pandangan
Kierkegaard diturunkan dalam kerangka hidup sebagaimana terungkap dalam
bentuk-bentuk keterasingan dan rasa bersalah individu dalam menjalani
kehidupan dan penemuan diri (self discovery), ironi (suasana batin yang terdalam
individu merasa terejek), rasa putus asa, melankoli, kecemasan, ketakutan, dan
11
kegentaran. Semua itu menjadi konsep-konsep penting bagi Kierkegaard dalam
menjelaskan kebebasan karena semua konsep itu berakar dari dan di dalam
pengalaman hidup. Selain itu, kebebasan juga selalu didekati dari lingkaran kecil
(individu), dan bukan dalam konsep-konsep besar sebagaimana Hegel
menjelaskan dalam kerangka hukum, kehendak universal, Negara dan absolute
(Paulus, 2006 : 49).
Lebih jauh Kierkegaard menegaskan bahwa kebebasan adalah kebebasan
eksistensial. Kebebasan eksistensial adalah kebebasan yang menyeluruh yang
menyangkut seluruh kepribadian manusia kebebasan tersebut mencakup seluruh
eksistensi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek tertentu saja. Orang
yang bebas secara eksistensial sungguh-sungguh memiliki dirinya sendiri dan
telah mencapai taraf otonomi, kedewasaan, otentitas dan kematangan rohani.
Orang yang sungguh bebas juga berarti bahwa ia dapat mewujudkan eksistensinya
secara kreatif. Ia dapat merealisir segala potensi dan kemungkinan-kemungkinan
yang dimilikinya dengan otonomi dan kemampuan diri yang penuh. Ia terlepas
dari segala bentuk alienasi dan sampai pada tahap religius. Dengan demikian
Kierkegaard sesungguhnya menekankan peranan atas kehendak bebas individu.
(Paulus,2006 :49). Seperti yang telah diungkapkan di atas, ajaran Kierkegaard
adalah refleksi atas kehidupan pribadinya. Hal yang sama juga terjadi dengan
“dialektika eksistensial”. Dialektika yang dikemukakan Kierkegaard terdiri dari
tiga tahap perkembangan yakni, tahap estetis, tahap etis, dan tahap religious
(Paulus, 1984:43).
12
Tahap estetis individu diombang ambingkan oleh dorongan –dorongan
nafsu duniawi dan emosi-emosinya. Ia melihat segala sesuatumya sebagai alat
yang bisa menyenangkan dirinya. Ia haus kepuasan. Kenikmatan adalah suatu
tujuan yang harus diraih. Kenikmatan harus diisi dengan berbagai hal. Harus ada
variasi dalam proses pemuasan hasrat ini. Semboyan hidupnya adalah
“kenikmatan sekarang”, sedangkan hari esok dipikir besok. Oleh karena itu
patokan moral tidak cocok untuk tahap ini, sebab akan menghambat pemuasan
hasrat individu. Individu juga tidak memiliki asas-asas yang kokoh sehingga dia
bisa dengan mudah terpikat dari orang yang satu ke orang yang lain (Paulus, 1984
: 43).
Ironisnya, manusia yang hidup dalam tahap ini tidak akan menemukan apa
yang dicarinya: puncak kenikmatan. Ia tidak menemukan kenikmatan yang tidak
ada tandingannya lagi. Rupanya persoalan utama ada pada diri atau pada batin
sang pencari nikmat itu sendiri. Sampai kapanpun ia mencari dan mendapatkan
hasil, selalu ada hasrat untuk mendapatkan yang lebih. Proses ini berulang terus
sampai pada satu saat ia bosan. Ketakutan pokoknya adalah rasa tidak enak dan
kebosanan. Ia lalu merasa putus asa. Puncak-puncak kenikmatan yang dirasa tidak
pernah membuatnya merasa cukup. Batinnya kosong, hidupnya menjenuhkan. Ia
sebenarnya mengejar hal-hal yang tak terbatas, tapi ia jatuh dalam keterbatasan
dirinya. Ia membenci segala batasan. Ia membenci batasan-batasan moral yang di
buat masyarakatnya (Paulus, 1984:44).
Meski memiliki ciri-ciri rendah semacam itu, tahap ini juga tahap
eksistensialis. Artinya, orang bisa dengan bebas memilih untuk hidup dalam tahap
13
ini dan secara konsisten hidup sebagai manusia estetis. Namun pada akhirnya
tahap ini akan berakhir pada keputusasaan. Menurut Kierkegaard, kalau manusia
dengan bebas memilih estetis, rasa putus asa akan membawanya ke sebuah
pembebasan. Dengan kata lain, dia akan menghadapi tawaran untuk hidup
menurut cara eksistensi yang baru, yaitu tahap etis. Untuk sampai pada tahap ini,
individu tersebut harus membuat pilihan bebas, sebuah “lompatan eksistensialis”.
Jadi tahap ini bukan tahap yang niscaya mutlak perlu atau otomatis. Pada tahap
ini, individu dapat menguasai dirinya dan mengenali dirinya. Dia menyesuaikan
tindakan-tindakannya dengan patokan-patokan moral universal. Baginya ada
distingsi yang jelas antar baik dan buruk. Kehidupan seperti ini jelas berbeda
dengan kehidupan pada tahap sebelumnya. Tak ada lagi rasa atau hasrat untuk
selalu mengejar kepuasan. Berhala kepuasan kini diganti dengan berhala distingsi
antara yang baik dan buruk. Ada puncak lain yang dikejar, yakni keutamaan-
keutamaan moral (Paulus, 1984:45).
Menurut Kierkegaard, manusia etis masi terkungkung pada dirinya sendiri.
Jadi walaupun masi berusaha mencapai asas-asas moral universal, ia masih
bersikap imanen mengandalkan kekuatan rasionya belaka. Bagi Kierkegaard
manusia etis tidak memahami bahwa dasar-dasar eksistensinya serba terbatas.
Manusia pada tahap ini begitu yakin bahwa ia bisa mengandalkan kebenaran-
kebenaran subjektif yang diketahuinya. Moral adalah puncak dari kehidupan
seperti ini. Sayangnya bagi Kierkegaard, kehidupan seperti ini belumlah cukup
bagi eksistensi si individu. Kisah tragis Socrates dalam filasafat yunani kuno
menjadi model bagi kehidupan individu pada tahap ini. Socrates dianggap layak
14
mewakili tipe seperti ini karena keyakinan yang begitu besar pada moral universal
yang di ajarkannya membuatnya kehilangan nyawa. Socrates dan siapa saja yang
hidup pada tahap ini tidak akan menjumpai “paradoks absolute” tetapi kalau
hidupnya semakin dalam, dia akan menjumpai paradoks absolute dan ia ditantang
untuk melompat ke cara eksistensi yang baru. Sama seperti pada tahap
sebelumnya, pada titik tertentu akan menjadi krisis dalam tahap ini. Tiba-tiba
individu merasa berdosa. Ada gejolak atau pergulatan batin dalam diri sang
individu. Akhirnya ia merumuskan untuk masuk ke tahap yang baru (Paulus,
1984:46).
Tahap yang baru itu adalah tahap religious. Tahap ini di tandai oleh
pengakuan individu akan allah dan kesabarannya sebagai pendosa yang
membutuhkan pengampunan allah. Pada tahap ini, individu membuat komitmen
personal dan melakukan apa yang disebutnya “lompatan keimanan”. Lompatan ini
bersifat non-rasional dan bisa disebut pertobatan. Tokoh yang cocok untuk tahap
ini adalah Abraham. Dengan keputusan bebas Abraham mengorbankan putra
tunggalnya, issac, demi imannya kepada allah yang menghendaki pengorbanan
sang anak tunggal itu. Dapat dilihat dalam kasus ini, Abraham tidak memenuhi
atau bertentangan dengan tuntutan etis yang mengharuskan sang ayah menjaga
anaknya. Abraham berani mengambil sikap untuk mendahulukan kehendak allah.
Keputusan ini tentu merupakan sesuatu yang paradox tetapi Abraham memang
memilih sang paradoks itu sendiri. Allah bagi Kierkegaard adalah sang paradoks
sang tak terbatas ( Paulus, 2006 ; 46).
15
Di antara filsuf eksistensial lainnya, Kierkegaard memperkenalkan
kebebasan dengan ciri khasnya sendiri yakni, Kebebasan bagi Kierkegaard bukan
demi kebebasan itu sendiri, tetapi kebebasan untuk merealisasikan segala
kemungkinan menuju kehidupan dengan eksistensi sejati. Hal lain yang
membuatnya beda ialah keberaniannya memasuki daerah metafisis. Kierkegaard
tetap menerima adanya ilahi sebagai sumber pertolongan bagi individu dalam
merealisasikan segala kebebasannya menuju hidup yang bereksistensi. Dan
sebagai seorang moralis kierkegaardsampai pada eksistensial religious (Paulus,
2006 : 52).
D. Landasan Teori
Eksistensial merupakan aliran filsafat yang memfokuskan pandangannya
terhadap cara berada manusia melalui pilihan, eksistensial memberikan
pemahaman akan pilihan sebagai akibat dari kepemilikan kebebasan oleh
individu. Individu dalam eksistensial di posisikan sebagai subjek, individu yang
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan. Kebebasan yang di dapatkan
ketika tidak ada ikatan antara individu dengan jeratan objektivitas. Kebebasan
dalam kerangka fikir eksistensial merupakan sebuah keadaan ingin terlepas dari
jeratan objektivitas dimaknai sebagai terlepasnya individu dari alienasi diri,
alienasi yang berarti individu terasing dari dirinya sehingga individu tidak
“memiliki” dirinya sendiri (Bertens, 2004:113)
Kierkegaard menjelaskan bahwa individu adalah seorang subjek yang sering
dikelilingi oleh rasa cemas dan takut, terlebih ketika mereka dituntut untuk harus
16
mengambil sebuah keputusan. Dalam pandangan Kierkegaard, individu sejati
tidak berkerumunan. Kerumunan atau publik selalu meniadakan kesubjektifitasan
individu sebab menurutnya kerumunan adalah sebuah abstraksi melainkan sebuah
hal yang konkret (Tjaya, 2004 ; 78). Konkret yang dimaksud adalah individu.
Ketika bergabung dengan publik maka individu tersebut tidak akan memberikan
komitmen sejati karena pengaruh langsung dari public yang terlalu kuat.
Komitmen sejati baru dapat diberikan jika individu keluar dari ruang publik. Bagi
banyak orang, kerumunan adalah kehidupan manusia yang sesungguhnya, tetapi
bagi Kierkegaard secara kualitatif eksistensi manusia berbeda dengan eksistensi
yang hanya rutinitas belaka (Tjaya, 2004 : 79).
Didalam kata pengantar yang di tulis oleh Achmad Charris Zubair dalam
buku filsafat manusia karya Septiana beliau mengatakan bahwasannya manusia
menghadapi persoalan universal yang menyangkut dua kutup yakni, otonomi dan
dependensi dalam hidupnya. Manusia memiliki keinginan-keinginan mendasar
untuk dapat menentukan keputusan-keputusan tindakannya secara bebas tanpa
tekanan. Kendatipun di satu sisi ia juga menyadari bahwa dalam hidupnya ada hal
yang tak bertolak secara otonom, dalam realitas hidupnya ada hal yang menjadi
keniscayaan dan harus diterima begitu saja. Asal keturunan, jenis kelamin, ras,
kecerdasan merupakan bagian dari keniscayaan itu. Sehingga dalam pengertian
sempit, nasib seolah sudah ditentukan serta tak ada pilihan berarti namun manusia
merupakan makhluk yang berakal budi yang dikaruniai otonomi yang terwujud
dalam dan berupa kebebasan kehendak, kebebasan berpihak dan kebebasan untuk
menentukan pilihan. Semua itu mengisyaratkan adanya kemampuan atau
17
kemungkinan manusia untuk mengubah ketentuan yang dimilikinya tersebut.
Kebebasan manusia itu sendiri baik secara substansial maupun proses
“pembebasan” merupakan masalah krusial baik dibidang filsafat maupun teologi.
Menjadi masalah yang bersifat filosofis karena berkaitan dengan kecendrungan
manusia untuk membangun eksistensi dan jati dirinya melalui otonomi manusia
sebagai symbol utuh kemanusiaan. Kebebasan adalah milik manusia, makhluk
lain tidak memilikinya karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang
istimewa karena hanya manusia lah yang diberi akal pikiran, kehendak dan juga
mempunyai emosi berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya.
Di bawah ini adalah penjelasan sistematis mengenai pandangan aliran-aliran
serta filosof yang berbicara tentang kebebasan manusia :
a) Determinisme materialis, pendapat bahwa manusia adalah mesin yang di
usung oleh j.o de la mettrei, menggambarkan manusia dengan sebuah mesin
yang jiwanya merupakan fungsi yang mekanis, namun ungkapnya juga mesin
itu lain dari pada yang lain karena mesin manusia dapat memutar sendiri.
Sama halnya dengan feurbach yang menggambarkan manusia itu adalah
sesuatu yang konkrit dan bukan hasil dari perkembangan ide semata. Manusia
itu semata-mata proses dari benda yang bersifat mekanis dan jiwapun adalah
cetusan dari jasmani (Muzairi, 2002 ; 11-12). Mekanisme, paham bahwa
instasi “asing” mendominasi subjek dengan total, objek, prasejarah dan
unsure-unsur dinamik natural di dalam subjek atau manusia menentukannya
dengan keharusan alamiah, dalam hakikatnya dan sampai dengan putusan,
18
pilihan, dan tindakan akhir. Anton bakker menyebutnya determinisme total
materialistis (Bakker, 2000 ; 213).
Kemudian tampil selanjutnya pandangan materialisme praktisnya marx,
yang berbeda dengan paham feurbach, bahwa materialisme kontemplatif tidak
sepenuhnya mampu memahami keindrawian sebagai kegiatan praktis.
Menurut marx, persoalan yang mendesak bukan lagi soal menafsirkan dunia
akan tetapi bagaimana mengubah dunia. Dengan inilah tindakan praktis perlu
dilakukan, dan dengan sendirinya bahwa peranan materi berada diatas
manusia. Kemudian pandangan mark tentang manusia, dia menghubungkan
kesadaran manusia dengan tingkah lakunya, tingkah laku ini dihubungkan
dengan kehidupan dan penyediaan kebutuhan material, menurutnya materi
adalah factor penentu kesadaran manusia, makanya muncul istilah
materialisme ekonomis. Marx mereduksi manusia dengan harga naluri
ekonomis, yaitu bagaimana memproduksi hasil dan menguasai alat-alat
produksi tersebar untuk memenuhi hajat materi. Inilah perubahan yang
dimaksut oleh marx (Muzairi, 2002 ; 13).
Hakikat manusia menurutnya adalah dengan menguasai dunia dan
dengan itu maka manusia memperoleh keberadaannya. Jadi seluruh proses
pilihan-pilihan terikat pada hakikat manusia sebagai bagian materi umum,
yang mendorong dengan mutlak dan praktis tidak ada kebebasan (Bakker,
2000 ; 213).
19
b) Determinisme spiritual, pandangan idealisme yang memandang manusia
terdiri dari cita-cita, jiwa dan akal. Plato berpandangan bahwa hakikat
manusia sebagai suatu kesatuan, kehendak dan nafsu-nafsu. Kemudian
dilanjutkan dengan aristoteles yang memandang manusia sebagai makhluk
yang rasional yakni pandangan tentang jiwa sebagai formal tubuh
mengajurkan suatu kesatuan organik ( Lorenzo, 2000 : 565).
Idealism intelektualis, hegel berpandangan juga bahwasanya manusia
ialah makhluk rohani, wujud manusia terletak dalam rohnya bagi hegel,
manusia adalah pangkal roh yang sedang berkembang, suatu momen-momen
diantara rangkaian momen-momen lain dalam kesatuan proses relasi dimana
kesadaran gerak mencapai kesempurnaan (Muzairi, 2002 ; 21) tentang
kebebasan manusia, hegel berpendapat bahwasannya tidak ada instansi
“asing” semua objek, prasejarah dan unsur-unsur bawah-human diciptakan
oleh subjek sendiri. Kehendak menurut hakikatnya menikamti kebebasan
penuh. Namun yang dimaksut kebebasan adalah spontanitas intern yang
murni (Bakker, 2000 ; 212).
c) Indeterminisme materialis, naturalisme rousseau, berpendapat manusia
dilahirkan merdeka, namun dimana-mana ia terbelenggu” maka ia harus
dibiarkan hidup menurut kehendaknya, lalu ia akan menemukan jalannya
sendiri. Atomisme, berpandangan semua kejadian atau peristiwa (bahkan
manusia) terjadi kebetulan, dari pertemuan dan penggabungan atom-atom
yang kebetulan belaka (Bakker, 2000 : 213-214).
20
d) Indeterminisme spiritualistis, Sartre berpendapat setiap manusia
menciptakan dirinya sendiri secara baru, lingkungan dan partner-objek yang
kerap mengganggu, tetapi harus di atasi. “L’homme est condamne a ertre
libre” manusia di hukum menjadi bebas (Bakker, 2000 ; 214). Eksistensial
dalam memandang manusia, ide pokok dari aliran ini adalah bagaimana
menitik beratkan pada persoalan kedudukan manusia, manusia sebagai
subyek dan tidak menjadi obyek pemikiran. Kemudian kebebasan menurut
kaum eksistensial berarti manusia tidak menjadi obyek yang dibentuk
dibawah pengaruh keniscayaan alam dan sosial. Manusia membentuk dirinya
dengan bertindak dan berbuatnya. Seorang manusia bebas mengambil
tanggung jawab atas apa yang di perbuatnya. Heidegger alah satu tokoh
eksistensial memeberikan pandangannya mengenai manusia bahwasannya
manusia itu selalu bersifat berlawanan dengan keberadaan manusia itu
sendiri, serta menghalangi kebebasannya dalam bertindak dan menghalangi
dia dari individualitasnya (Lorenz, 2000 ; 569).
E. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan studi kepustakaan yang membahas konsep dari
sebuah kebebasan eksistensial dari pemikiran Kierkegaard yang kemudian ditinjau
dari Filsafat Manusia sebagai pisau analisisnya. Mengadopsi model historis
faktual tokoh. Bahan dan materi penelitian ini diambil dari karya-karya
Kierkegaard dan juga buku-buku penunjang yang membahas Kierkegaard serta
Filsafat Manusia Peneliti dalam hal ini meneliti objek material maupun objek
formal dengan mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang relevan dengan
21
penelitian ini sejauh yang dapat di jangkau dan di peroleh oleh penulis yaitu
sebagian besar bersumber dari buku, jurnal, e-book, karya ilmiah, dan beberapa
sumber media online yg berkaitan dalam penelitian ini.
1. Metode pelaksanan penelitian
a) Inventarisasi data, yaitu dengan mengumpulkan informasi kepustakaan
dengan tema manusia dan kebebasan, dan juga Filsafat manusia dan
beberapa yang dijadikan bahan objek material, serta beberapa buku yang
menulis tentang pemikiran Soren Abey Kierkegaard dan juga beberapa
buku pendukung yang sesuai dengan penulisan ini.
b) Klarifikasi: mengelompokkan data sesuai dengan bidangnya, baik yang
terkait dan mendukung objek formal maupun objek material.
c) Pengelolahan data, yaitu proses kritis analitis hasil penelusuran pustaka
untuk mendapatkan pemahaman dan pengetahuan yang sesuai dan
berkaitan dengan tujuan peneliti.
d) Penyajian hasil penelitian, yaitu tahap penulisan hasil pengelolahan data.
2. Analisis data
Data primer dan sekunder dikumpulkan, kemudian di klasifikasikan dan
dianalisis menggunakan metode hermeneutika dan tahapan-tahapan metodis
yang mengacu pada buku “Metode Penetilian Filsafat” karya Anton Bakker
dan Achmad Charis Zubair (1990 : 63) :
22
a) Deskripsi : Penulis memberikan gambaran dan menguraikan seluruh
materi yang didapat dengan lengkap dan sistematis mengenai Kebebasan
Eksistensial Kierkegaard seobjektif mungkin.
b) Interpretasi : menelaah data yang diperoleh dan berusaha menangkap
maknanya. Data tersebut diinterpretasikan untuk mengartikan arti yang
tersirat.
c) Analitika bahasa : hal ini dilakukan khususnya terhadap konsep-konsep
termonologi yang kurang jelas sehingga diuraikan secara analitis agar
menjadi mudah dimengerti dan dipahami.
d) Abstraksi : abstraksi diperlukan karena penelitian ini menyangkut problem
filosofis, fenomena yang harus diabstraksikan untuk mengungkap makna
metafisis dan direduksi untuk menemukan makna yang lebih mendalam.
Dalam hal ini misalnya untuk mengbstraksikan tentang kebebasan
manusia.
e) Refleksi mengemukakan analisis kritis pemikiran Kierkegaard mengenai
kebebasan manusia.
23
F. HASIL YANG INGIN DICAPAI
Penelitian ini bertemakan tentang konsep kebebasan eksistensial Soren
Aabey Kierkegaard dan akan ditinjau dalam salah satu cabang filsafat yakni
Filsafat Manusia. Dimana hasil yang ingin dicapai dari penelitian ini ialah
mengetahui apa sebenarnya hakikat atau makna kebebasan dari tokoh tersebut
tersebut yang nantinya diharapkan dapat memberikan relevansi dalam kehidupan
manusia baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain di dalam kehidupan
bermasyarakat.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu :
Bab l
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah penelitian, rumusan
masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian dan hasil yang ingin dicapai.
Bab ll
Berisi tentang objek material penelitian yaitu bagaimana konsep kebebasan
eksistensial Soren Aabey Kierkegaard .
Bab lll
Berisi tentang deskripsi objek formal yakni telaah dari filsafat manusia
Bab lV