BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112035_bab1.pdf ·...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112035_bab1.pdf ·...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya di masing-
masing pulau, provinsi maupun daerah. Hal ini tidak menjadi penghambat
persatuan bangsa Indonesia sendiri, akan tetapi perbedaan budaya menjadi tali
silaturahim antarmasyarakatnya. Budaya yang ada pada masa sekarang merupakan
peninggalan dari nenek moyang kita, sehingga perlu dilestarikan untuk
menghargai nenek moyang kita. Salah satu yang perlu dilestarikan yakni
peninggalan tertulis, karena dari peninggalan tertulis itu dapat diungkapkan segala
informasi maupun budaya yang pernah hidup dan berkembang di masa lalu.
Berbagai informasi tentang kehidupan maupun pandangan hidup dan berkembang
di masa lampau dari peninggalan tertulis akan ikut mempengaruhi kehidupan
maupun pandangan hidup dan berkembang pada masyarakat masa kini. Salah satu
peninggalan tertulis yakni naskah.
Naskah merupakan benda berharga warisan nenek moyang yang sudah
selayaknya mendapatkan penanganan dan perhatian yang khusus dan serius,
karena sebuah naskah akan berharga bila masih dapat dibaca dan dipahami isinya
(Edwar Djamaris 1977: 21). Menurut Darusuprapta (1984: 10), naskah adalah
karangan tulisan tangan, baik yang asli maupun salinannya yang mengandung teks
atau rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu. Siti Baroroh-
Baried (1977: 20) berpendapat bahwa naskah merupakan tulisan tangan yang
2
menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa
masa lampau. Sedangkan menurut Ismaun (1996: 8) naskah Jawa ditulis dengan
keragaman bentuk penulisan aksara Jawanya dan keragaman bentuk aksara Jawa
itu ada lima macam, yakni :
1. Bata sarimbag, yaitu aksara Jawa yang berbentuk persegi menyerupai bata
merah.
2. Ngêtumbar, yaitu aksara Jawa yang pada sudut-sudutnya tidak berbentuk
sudut siku tetapi berbentuk setengah bulat menyerupai biji ketumbar.
3. Mucuk êri, yaitu aksara Jawa yang pada bagian atas berupa sudut lancip
seperti duri (êri).
4. Nyacing, yaitu aksara Jawa yang bentuk aksaranya pipih seperti cacing.
5. Kombinasi, yaitu aksara Jawa yang bentuknya terbentuk dari gabungan
keempat jenis aksara Jawa tersebut di atas.
Dari keempat pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa naskah
adalah hasil budaya warisan dari nenek moyang dengan beragam bentuk tulisan
yang isinya sangat berharga untuk dibaca, dipelajari, dipahami, sehingga akan
lebih baik jika naskah mendapatkan perawatan atau penanganan lebih khusus
guna meminimalisir kerusakan pada naskah. Dalam penanganan naskah meliputi
penyelamatan, pelestarian, penelitian, pendayagunaan dan penyebarluasan.
Berkaitan dengan hal tersebut, filologi sebagai bidang ilmu yang erat kaitannya
dengan upaya penanganan naskah ini sangat diperlukan. Hal ini sesuai dengan
tugas utama filologi yaitu mendapatkan kembali naskah yang bersih dari
kesalahan, memberi pengertian yang sebaik-baiknya dan dapat
3
dipertanggungjawabkan sebagai naskah yang paling dekat dengan aslinya (Haryati
Soebadio, 1975: 3). Naskah dulunya sangat marak dalam penyalinan, karena
orang - orang ingin memiliki naskah tersendiri, maka tidak menutup kemungkinan
jika kebanyakan naskah belum tentu bersih dari kesalahan. Keadaan inilah
menunjukkan bahwa naskah perlu dibersihkan dari tambahan maupun dari yang
korup. Upaya untuk mendapatkan naskah yang memang bersih dari kesalahan,
maka perlu diadakan penelitian secara filologis. Penelitian ini dilakukan untuk
menindaklanjuti naskah serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini
penting dilakukan agar tidak salah dalam menginterpretasikan naskah itu sendiri.
Selain itu nantinya akan dapat dijadikan sumber data untuk kepentingan
penelitian, karena sampai sekarang masih banyak naskah – naskah yang tersimpan
perpustakaan-perpustakaan, museum, dan koleksi pribadi belum diteliti secara
filologis.
Menurut Nancy K. Florida (2000: 5) jumlah naskah di Indonesia sangat
banyak, khususnya di daerah Jawa dan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
bagian/kelompok untuk mempermudah penelitian lebih lanjut terhadap naskah-
naskah yang ada. Ditinjau dari segi isi, naskah dapat diklasifikasikan menjadi 14
(empat belas) macam, yaitu naskah:
1. Sejarah
2. Arsip Keraton Surakarta
3. Upacara adat
4. Arsitektur dan Keris
5. Hukum
6. Wayang
4
7. Cerita Wayang
8. Piwulang atau ajaran
9. Syair puisi
10. Roman Islam
11. Sejarah
12. Musik dan Tari
13. Adat dan pengetahuan tentang Jawa, di antaranya meliputi: ramalan,
perhitungan waktu, obat-obatan, dan
14. Mistik Kejawen
Berdasarkan pengelompokan naskah di atas, peneliti tertarik untuk
meneliti naskah yang masuk dalam kelompok nomor 8 (delapan), yaitu naskah
piwulang atau ajaran dengan judul Suluk Dewaruci. Sesuai dengan judulnya Suluk
Dewaruci ini berisi tentang piwulang kehidupan untuk mencari jati diri. Naskah
Suluk Dewaruci yang dijadikan objek penelitian ini berbentuk prosa (gancaran)
dan terdiri atas 16 bagian.
Dilihat dari judul, naskah Dewaruci sangat terkenal, terutama di kalangan
masyarakat Jawa. Hal ini dikarenakan dalam cerita Dewaruci mengandung arti
filsafat yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Sama halnya dalam buku
yang sudah disadur, berjudul Kitab Dewa Rutji oleh Prawira Atmadja (1958: 5)
mengatakan “Kitab Dewa Rutji tergolong kitab – kitab yang sangat populer di
kalangan umum di Djawa, karena isinya mengandung arti kefilsafatan yang
dalam, sedang jalan ceritanya amat menarik hati”. Dalam buku ini juga
menerangkan “Tjerita yang kelak terkenal dengan nama Dewarutji atau Bimarutji
atau Bimasutji berasal dari akhir zaman Hindu di Pulau Djawa, jadi pada zaman
5
Majapahit. Sesungguhnya nama semulanya adalah Nawarutji atau Awarutji,
sedang jalan tjerita berbentuk prosa” (Prawira Atmadja, 1958: 7). Kemudian pada
berikutnya mengatakan :
“Dengan nama Nawarutji, tjerita Dewarutji itu di pulau Bali dan Lombok
tersebar dimana-mana, dengan bentuk prosa maupun puisi, tetapi semuanya ditulis
dalam bahasa Djawa Tengahan. Dalam kumpulan Dr. H.N. Van Der Tuuk yang
sekarang tersimpan di kantor perpustakaan Perguruan Tinggi Leiden (Negeri
Belanda) terdapat beberapa manuskrip tentang cerita Nawarutji berasal dari Bali
dan Lombok. Di Djawa sesungguhnya lebih terkenal dengan nama Dewarutji atau
Bimasutji. Menurut Prof. Dr. R.M. Poerbatjaraka dalam Kitab karangannya
Kapustakaan Djawa, Kitab Dewarutji yang sekarang terdapat di Djawa yang
tertua itu tertulisa dalam bahasa Jawa Tengahan dengan bentuk puisi (Tembang
Gedhe)” (Prawira Atmadja, 1958: 11).
Di dalam buku itu juga terdapat ringkasan atau inti cerita Nawarutji,
Bimasutji atau Dewarutji. Inti cerita Nawaruci yang berbentuk prosa dalam bahasa
Djawa Tengahan yakni Bima disuruh mencari air suci di sumur Dorangga,
dilanjutkan ke padang Andadawa yang mana di tempat ini Bima dihalangi raksasa
Inderabahu, kemudian Bima disuruh untu mencari air suci di Laut Garam, dan di
laut itulah Bima bertemu dengan Nawaruci atau Awarutji. Sedangkan yang
diterangkan dalam buku Prawira Atmadja, inti cerita Dewaruci atau Bimasuci
karangan Tanaya bentuk prosa dalam bahasa Jawa Baru disebutkan bahwa usaha
Druna untuk membunuh Bima sampai tiga kali, yakni Bima disuruh mencari air
suci ke Gunung Tjandramuka atau Rebabu, dilanjutkan ke hutan Pallasara, lalu ke
gua Sigrangga.
Mengetahui hal ini untuk menentukan naskah SDR tunggal atau jamak,
maka tidak cukup jika informasi didapat dari buku saja. Peneliti melakukan
langkah awal penelitian filologi guna mendapatkan informasi tentang keberadaan
naskah manuskrip Suluk Dewaruci berbentuk prosa, yaitu melalui penelusuran
terhadap berbagai katalog naskah di antaranya :
6
1. Deskriptive Catalogus of the Javanese Manuscripts and Printed Book
in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta (Girardet– Sutanto,
1983).
2. Javanese Language Manuscrips of Surakarta Central Java A
Preliminary Descriptive Catalogus Level I and II (Nancy K. Florida,
1994).
3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sanabudaya
Yogyakarta (T.E. Behrend, 1990).
4. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-B Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, (Jennifer Lindstay, R.M. Soetanto, dan Alan
Feinstein, 1998).
5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia (Jennifer Lindstay, 1994).
6. Daftar Naskah Perpustakaan Museum Radyapustaka Surakarta, Daftar
Naskah Perpustakaan Pura Mangkunagaran Surakarta
Berdasarkan informasi katalog di atas banyak ditemukan naskah Bimasuci,
Dewaruci, maupun Nawaruci. Akan tetapi berbentuk Tembang Gedhe (kidung)
dan puisi (macapat), sedangkan peneliti sendiri menemukan naskah Suluk
Dewaruci (selanjutnya disingkat SDR) berbentuk prosa (gancaran) yang
merupakan koleksi pribadi Bapak Joko Setiono, sehingga dapat dikatakan naskah
SDR ini merupakan naskah tunggal. Peneliti memilih untuk meneliti SDR karena
naskah ini dianggap memiliki keunikan. Keunikannya terletak pada bentuk prosa.
Bentuk prosa pada naskah ini mengundang rasa ingin tahu pada peneliti, bicara
tentang apa naskah ini, bagaimana bahasa yang dipakai dalam naskah ini. Tidak
7
cukup itu saja, kebanyakan naskah berjenis suluk bentuknya puisi (macapat),
Tembang Gedhe (kidung), seperti naskah Suluk Bango Buthak, Suluk Maknarasa,
Suluk Pangolahing Pangan, Suluk Saloka Jiwa, Suluk Suksma Lȇlana, Suluk
Among Tani, Suluk Ulam Loh. Akan tetapi pada naskah berjenis suluk kali ini
berbeda dengan yang lain, yakni berbentuk prosa (gancaran).
SDR berbentuk prosa ini dipilih guna untuk pelestarian naskah yang tidak
ada didaftar katalog, akan tetapi dijualbelikan di pasar loak Gladak, Surakarta.
Peneliti sendiri mengatakan bahwa naskah ini tunggal, hal ini diperkuat dalam
skripsi Edwin (2011: 76) yang menyatakan :
”Menurut Donald (1983: 26) cerita Dewaruci yang paling tua ditulis pada
abad ke-15. Cerita Dewaruci itu berbentuk Tembang Gedhe dengan
bahasa Jawa Tengahan sebagaimana telah diteliti oleh Poerbatjaraka.
Kemudian, pada abad ke-18 sekitar tahun 1796 pujangga kraton Surakarta
yakni Yasadipura I menggubah teks Dewaruci Tembang Gedhe yang
bercorak Hindu-Budha ke dalam Serat Dewaruci macapat dengan
berbahasa Jawa Baru dan mengandung nafas Islam (Haqq, 1959: 38-39).
Marsono (1996: 15) menyatakan bahwa teks Serat Dewaruci macapat
karya Yasadipura I itu diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramaprawita
dengan percetakan Van Dorp di Semarang pada tahun 1870, 1873, dan
1880 dengan huruf Jawa.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti semakin yakin bahwa naskah ini
belum pernah diteliti. Untuk memperkuat alasan bahwa naskah ini belum pernah
diteliti, maka kajian pustaka terhadap penelitian terdahulu sebagai data pendukung
perlu dilakukan oleh peneliti. Enam kajian pustaka yang ditemukan berkaitan
dengan naskah yang akan diteliti, yakni :
1. Skripsi Serat Dewa Ruci (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I) oleh
Edwin mahasiswa FKIP UNS tahun 2011. Dalam skripsi ini berisi
tentang pemikiran Yasadipura I yang tidak terlepas dari pengaruh
tradisi kejawen dan pesantren (islam). Mengalami dua lingkungan ini
8
membuat Yasadipura fasih berbicara tentang pandangan Jawa lama.
Pemikiran sinkretik Yasadipura salah satunya tercermin pada Serat
Dewaruci. Secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus
menjalani perjalanan batin guna menemukan jati dirinya atau
pencarian sangkan paraning dumadi. Serat Dewaruci yang dirumuskan
oleh Yasadipura I memperlihatkan ajaran syariat, tarikat, hakikat,
makrifat yang keempatnya saling sambung menyambung dan saling
berkaitan.
2. Disertasi Moral Islam dalam Lakon Bima Suci oleh Teguh mahasiswa
Ilmu Agama Islam UIN Sunan Kalijaga tahun 2008. Dalam disertasi
ini berisi tentang penyampaian nilai/pesan moral dalam Lakon Bima
Suci, yakni pesan moral islam yang terdapat dalam Lakon Bima Suci
dapat dirumuskan sebagai ajaran syariat, tarikat, hakikat, makrifat,
sedangkan konsep moral Jawa dirumuskan tentang ajaran sembah
raga, cipta, jiwa dan rasa.
3. Skripsi Aspek Mistik dalam Serat Dewa Ruci oleh Rohmad Sri
Yunanto mahasiswa fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga tahun
2003. Dalam skripsi ini membahas ajaran yang sifatnya simbolik
meengenai usaha manusia mencapai makrifat dengan Tuhan, aspek
mistik yang terkandung dalam Serat Dewaruci.
4. Tesis Dewaruci dalam Kebatinan dan Adadt-Istiadat Kejawen yang
Mempunyai Kekuatan Subjektif atas Birokrasi Angkatan Laut oleh
David Andrew Evans mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
tahun 2004. Dalam tesis membahas tentang analisis cerita Dewaruci
9
kepada penganut bahwa di dalam dan di luar dalam masyarakat Jawa
dicapai dengan keselarasan sosial, kepercayaan spiritual, perasaan,
etiket dan kewajiban berasal dari mitologi cerita wayang Dewaruci
yang di dalamnya masih menggambarkan kehidupan sehai-hari orang
Jawa.
5. Skripsi Aspek Pendidikan Nilai Kerja Keras pada Pertunjukan
Wayang Kulit dengan Lakon Dewaruci (Dalam Acara Bersih Desa di
Masyarakat Desa Dadapan, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo)
oleh Siti Rahayu mahasiswi FKIP UMS tahun 2013 membahas tentang
nilai kerja keras dalam pertunjukan wayang kulit Lakon Dewaruci.
6. Skripsi Perbandingan Fakta Cerita Serat Dewaruci dan Suluk
Linglung Sunan Kalijaga oleh Pustyadara Pramana Putri mahasiswi
Fakultas Bahasa dan Seni UNY tahun 2013 tentang perbandingan fakta
cerita Serat Dewaruci dan Suluk Linglung Sunan Kalijaga secara
umum kedua cerita memiliki tema sama, yakni menceritakan
perguruan seorang tokoh untuk mendapatkan kesempurnaan dalam
dirinya.
Dari hasil kajian pustaka ini, maka peneliti memutuskan untuk meneliti
naskah ini dengan kajian filologis.
Naskah SDR berbentuk prosa ini merupakan naskah piwulang. Naskah ini
keadaannya masih baik, masih utuh dari halaman 1 sampai 38 dengan bentuk
tulisan aksara Jawa ngêtumbar condong ke kanan. Judul SDR ini tertera dalam
cover depan maupun di dalam teks. Berikut kutipan judul yang terdapat pada
naskah:
10
Judul SDR terdapat pada cover depan menggunakan aksara Jawa
Gambar 1: Sampul depan naskah SDR
Berbunyi : ”Suluk Dewaruci”
Judul SDR terdapat di dalam teks
Gambar 2: Judul naskah SDR dalam teks
Berbunyi : ”Punika tȇgȇsipun Suluk Dewaruci” (halaman 1)
Terjemahan : ”Ini arti Suluk Dewaruci”
11
Penomoran halaman pada naskah ini menggunakan aksara Jawa dan
terletak di atas tengah.
Gambar 3: Penomoran halaman naskah SDR (halaman 9)
Naskah SDR ini berbentuk prosa/gancaran. Dapat dilihat dari penanda
adȇg-adȇg. Seperti halnya kutipan berikut :
Gambar 4: Penanda adȇg-adȇg (halaman 1)
Keunikan – keunikan dalam naskah SDR, di antaranya sebagai berikut :
1. Penulisan aksara “na” selalu memakai aksara Jawa murda pada kata-
kata tertentu, seperti sawarna, sawarni, warna dan sejenisnya .
Gambar 5: Keunikan penulisan aksara “na”
Berbunyi : “…sawarnining…” (halaman 1)
12
2. Adanya penanda Pada Luhur di setiap pergantian bagian. Pada Luhur
biasanya digunakan untuk mengawali karangan atau surat yang ditulis
oleh orang berderajat kedudukan atau pangkat tinggi dan ditujukan
kepada bawahannya, atau oleh orang yang umurnya lebih tua ditujukan
kepada orang yang umurnya lebih muda.
Gambar 6: Penanda Pada Luhur (halaman 1)
Kecuali pada bagian ke – 14 ditandai dengan mandrawa yang
merupakan aksara berstilir dari madyapada yang berarti “jauh”,
menandakan jika naskah yang dibaca masih jauh untuk tamat atau
selesai.
Gambar 7: Penanda mandrawa (halaman 19)
Tidak ada purwapada maupun wasanapada pada naskah SDR ini.
Dalam buku Pedoman Penulisan Aksara Jawa (1996: 55-56)
dijelaskan, mangajapa bȇcik merupakan aksara berstilir dari
purwapada berarti “mengharap kebaikan” menandakan permulaan
tembang maupun prosa yang biasanya ditulis di depan. Sedangkan iti
13
merupakan aksara berstilir dari wasanapada yang berarti “demikian
(lah), seperti itulah” dan sering juga diartikan “selesai, tamat, purna”
menandakan bahwa karangan tersebut sudah selesai. Padahal ada
mandrawa di tengah. Hal ini dibuktikan seperti gambar berikut:
Pada halaman 1 terdapat penanda dengan menggunakan pada luhur
Gambar 8: Penanda pada luhur di awal bagian (halaman 1)
Kemudian pada halaman 38 tidak ada tanda iti di bagian terakhir
Gambar 9: Penanda pada luhur di akhir bagian (halaman 38)
Kekhasan penulisan pengarang dalam naskah SDR ini, adalah:
1. Penulisan kata “suksma”, huruf “sa” di awal kata konsisten
menggunakan “sa murda”
14
Gambar 10: Kekhasan penulisan kata “suksma”
Berbunyi : “…suksma…” (halaman 14)
2. Pengarang dalam naskah ini lebih sering menggunakan kata “Punika
kawikanana” di setiap awal bagian. Hal ini terbukti pada bagian ke-2
sampai bagian ke-13. Salah satunya seperti berikut:
Gambar 11: Kekhasan kata di awal bagian
Berbunyi : ”Punika kawikanana” (halaman 7)
Terjemahan : ”Ini ketahuilah”
Terdapat dua alasan yang melatarbelakangi SDR dijadikan objek
penelitian. Pertama dari segi filologis, kedua dari segi isi. Berdasarkan segi
filologis, untuk naskah tersebut agar dapat dibaca dan dipahami oleh masyarakat,
selain itu ditemukan varian-varian yang cukup banyak pada SDR. Di dalam teks
SDR ini ditemukan banyak permasalahan filologis. Kebanyakan permasalahannya
yakni hiperkorek, lakuna, kesalahan penulisan, dan ketidakkonsistenan dalam
15
penulisan. Di dalam SDR ini ditemukan beberapa kesalahan dalam penulisan,
yaitu :
1. Ketidakkonsistenan dalam penulisan meliputi :
a. Penulisan idayad dengan idayat
Gambar 12: Ketidakkonsistenan penulisan kata “idayad”
Berbunyi : “...ngèlmi idayad…” (halaman 1)
Terjemahan : “…ilmu petunjuk…”
Gambar 13: Ketidakkonsistenan penulisan kata “idayat”
Berbunyi : “…dumugi ing idayat…” (halaman 1)
Terjemahan :”… sampai ke petunjuk…”
Menurut pertimbangan linguistik yang benar penulisannya adalah
“idayad”.
b. Penulisan dad dengan dat
Gambar 14: Ketidakkonsistenan penulisan kata “dad”
16
Berbunyi : “…dad sadaya …” (halaman 1)
Terjemahan :”… semua dzat…”
Gambar 15: Ketidakkonsistenan penulisan kata “dat”
Berbunyi : “…dat kang…” (halaman 12)
Terjemahan : ”. . .dzat yang. . .”
Menurut pertimbangan linguistik penulisan yang benar “dat”.
c. Penulisan ghaib dengan gaib
Gambar 16: Ketidakkonsistenan penulisan kata “ghaib”
Berbunyi :“…kang ghaib…” (halaman 20)
Terjemahan : “… yang ghaib…”
Gambar 17: Ketidakkonsistenan penulisan kata “gaib”
Berbunyi :”…pun gaib…” (halaman 13)
Terjemahan :”… nya gaib…”
17
Menurut pertimbangan linguistik penulisan yang benar “gaib” .
d. Penulisan Jawa wahananing menggunakan wignyan dengan wahananing
tidak menggunakan wignyan
Gambar 18: Ketidakkonsistenan pemakaian wignyan kata “wahananing”
Berbunyi “…wahananing…” (halaman 3)
Gambar 19: Ketidakkonsistenan kata “wahananing”
Berbunyi “…wahananing…” (halaman 3)
Terjemahan :”…menerangkan…”
Menurut Pedoman Penulisan Aksara Jawa (1996) penulisan aksara
dengan trasnsliterasi yang sesuai yakni “wahananing” tidak
menggunakan wignyan.
18
e. Penulisan aksara “sa” pada naskah SDR menggunakan 2 (dua) model.
Seperti di bawah ini:
Gambar 20: Ketidakkonsistenan a
Berbunyi : “….sipat asma….” (halaman 3)
Terjemahan : “…. Sifat nama…”
Gambar 21: Ketidakkonsistenan b
Berbunyi : “…asma….” (halaman 14)
Terjemahan : “….nama…”
2. Adanya kesalahan penulisan
a. Berupa penyisipan suku kata sebagai pembetulan
Gambar 22: Kesalahan penulisan berupa penyisipan
19
Berbunyi: “…punika dados jasad…”(halaman 18)
Terjemahan : “…ini menjadi jasad…”
b. Berupa coretan sebagai koreksi teks yang salah
Gambar 23: Kesalahan penulisan berupa coretan
Berbunyi: “jagada. . .” dan “ipun” (halaman 16)
Terjemahan : “dunia. . .” dan “nya”
c. Adanya Hiperkorek
Gambar 24: Hiperkorek
Berbunyi :”…Tanahjultarki…” (halaman 1)
20
Menurut pertimbangan linguistik penulisan yang benar “Tanajultarki”
dan penulisan aksara “na” yang double pada kata “Tannahjultarki”
seharusnya aksara “na” tidak double, jika menurut Pedoman Penulisan
Aksara Jawa (1996)
d. Adanya Lakuna
Gambar 25: Lakuna a
Berbunyi :”Tankala kendȇ roh…” (halaman 35)
Terjemahan : “Waktu roh itu singgah….”
Kata “kendȇ” seharusnya “kendȇl” berdasarkan konteks kalimatnya.
Gambar 26: Lakuna b
berbunyi: “Utawi witaning. . .” (halaman 32)
Terjemahan : “Atau mulainya. . .”
Kata “witaning” seharusnya “wiwitaning” berdasarkan konteks
kalimatnya.
Berdasarkan segi isi, Suluk Dewaruci ini berisi tentang kisah Bratasena
dalam mencari Tirta Pawitrasari (Air Kehidupan) yang disebut juga Tirta
Pawitra Suci. Untuk mendapat Tirta Pawitrasari, Bratasena menjalankan semua
21
yang diperintahkan dari gurunya Druna. Dalam berguru inilah Bratasena telah
melalui tataran berguru sampai bertemu dengan Dewaruci (Dewa yang berwujud
anak kecil berambut panjang/kerdil), yang berarti sebenarnya dalam beribadah
Bratasena/Bima sudah mencapai tataran/tahapan makrifat. Tahapan-tahapan
dalam pendekatan kepada Tuhan dalam Wedhatama karya Mangkunegara IV
juga dijelaskan pada tembang Gambuh “sembah catur”.
“Samȇngko ingsun tutur/ sȇmbah catur supaya lumuntur/ dhihin raga
cipta jiwa rasa kaki/ ing kono lamun tinȇmu/ tandha nugrahaning
Manon//”
Terjemahan :
“Sekarang saya bertutur/ empat macam sembah supaya dilaksanakan/
pertama sembah raga, kedua sembah cipta, ketiga sembah jiwa/ dan
keempat sembah rasa anakku/ di situlah akan bertemu dengan/ pertanda
anugrah Tuhan//”
Maksud empat sembah tersebut untuk lebih jelasnya adalah :
“Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap laku
perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan
mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segela hukum
agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan
lingkungan alam sekitarnya. Kemudian tarekat (Jawa laku budi, sembah
cipta) adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju.
Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan
badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan.
Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut
hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Selanjutnya
hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang
sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat
dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama
Tuhan secara terus-menerus. Amalan yang dilakukan pada tahap ini
semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Tahap
22
terakhir yakni makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan
menuju manusia sempurna yang paling tinggi”.
(sumber:https/wayang.wordpress.com/2010/03/10/bima-dan-dewaruci-
serat-dewa-ruci/)
Tahapan-tahapan tersebut tidak beda jauh dengan ikthisar Dewaruci. Akan
tetapi pada naskah ini ada perbedaan dengan Dewaruci yang sudah umum.
Dewaruci pada umumnya yang terdapat dalam serat maupun wayang
mengisahkan perjalanan Bratasena/Werkudara yang ingin menjadi manusia
sempurna, atau dapat dikatakan ingin mencari kesempurnaan hidup. Dengan
mencari dan menemukan tirta amerta dan menemukan kayu gung susuhing angin.
Perjalanan ini diawali Bratasena disuruh untuk pergi ke Gunung Reksamuka,
setibanya Bratasena dihalangi dua raksasa yakni Rukmuka dan Rukmakala yang
akhirnya mampu dibunuh oleh Bratasena. Kedua Raksasa tersebut mati dan
berubah menjadi Dewa Indra dan Dewa Bayu.Tidak cukup itu saja cobaan yang
dihadapi Bratasena saat itu. Begawan Druna/guru Bratasena memerintahkan
Bratasena agar mencari air perwitasari mahening suci di dasar laut Minangkalbu.
Setibanya di sana, Bratasena diserang Naga Nemburnawa, tetapi naga tersebut
berhasil dikalahkan Bratasena. Setelah itu, Bratasena menerima wejangan
“pitutur, petuah” masalah pancamaya dan kasampurnaning dumadi.
Dalam naskah yang diteliti oleh peneliti berisi hanya secara singkat atau
ringkas gambaran perjalanan Bratasena berawal pergi ke Gunung Reksamuka, lalu
mengalahkan dua raksasa yakni Rukmaka dan Rukmakala, selanjutnya ke sumur
Sigrangga sampai menemukannya air kehidupan, yang secara eksplisit air
kehidupan ini merupakan penggambaran sumber orang hidup yakni Tuhan sendiri.
Dalam cerita ini pengarang secara langsung menuliskan artinya, contoh :
23
“Bratasena lajȇng mȇjahi naga estri, tȇgȇsipun: mȇpȇt nȇpsu kawan
prakawis”.
Terjemahan :”Bratasena lalu membunuh naga betina yang artinya:
mengendalikan nafsu empat perkara.”
Di dalam naskah ini lebih menyampaikan pengaplikasian perjalanan batin
manusia, bagaimana melawan pancamaya yang menggambarkan nafsu manusia
dengan diwujudkan cahaya yang berwarna 4 macam, yakni: merah (nafsu
amarah), hitam (luamah), kuning (sufiah), dan putih (mutmainah). Selain itu, ada
penjelasan tentang urut-urutannya alam ada tujuh yakni alam akhadiyat, wahdad,
wakidiyat, arwah, misal, ajȇsan, insan kamil. Dalam naskah ini juga memuat hal
baik yang perlu dilakukan manusia untuk mendekatkan kepada Hyang Widhi,
Sang Kholiq. Inilah yang membedakan naskah ini dengan naskah Dewaruci
lainnya. Memang sekilas dari segi isi, naskah ini berbeda dengan naskah
Dewaruci yang asli, akan tetapi naskah ini sah saja jika diteliti. Menurut peneliti,
naskah yang ditemukan dengan judul SDR ini isinya tidak sepenuhnya cerita
Dewaruci, akan tetapi kombinasi cerita Dewaruci yang dikaitkan dengan Serat
Wirid Hidayat Jati. Hal ini dibuktikan dengan adanya kata – kata di naskah SDR
seperti: Betal Makmur, Betal Mukadas, Tanazultarki, Suhud, Apngal, yang mana
kata – kata tersebut ada pada Serat Wirid Hidayat Jati. Dalam buku yang berjudul
Islam Kejawen dan Wirid Hidayat Jati Raden Ngabehi Ranggawarsita (Simuh
:1988) terdapat petikan yang mengatakan “Alam gaib seperti yang dinamakan
alam ruhiyah dalam Wirid Hidayat Jati, bersumber dari lukisan alam gaib yang
dialami Arya Sena dalam Serat Dewaruci”. Jadi, tidak menutup kemungkinan
pengarang disini ingin menciptakan sebuah karya naskah baru, dimana dalam
24
karangan naskah itu dipengaruhi naskah lain maupun dipadukan dengan naskah
lain sesuai kemampuan imajinasi, pengalaman, maupun wawasan yang sudah
diketahuinya dengan menggunakan bahasanya sendiri guna menonjolkan ciri khas
pengarang, sehingga menarik minat peneliti untuk meneliti naskah ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
terhadap naskah SDR, baik secara filologis maupun isi. Kajian filologis digunakan
untuk membahas permasalahan - permasalahan filologis yang ada di dalam naskah
SDR, sedangkan kajian isi digunakan untuk mengupas kandungan isi ajaran dalam
SDR.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian naskah SDR adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana suntingan teks dari SDR teks yang bersih dari kesalahan?
2. Bagaimanakah isi ajaran suluk atau mistik atau tasawuf yang terkandung
di dalam SDR?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Menyajikan suntingan teks SDR yang asli atau dekat dengan aslinya serta
teks yang bersih dari kesalahan.
2. Mengungkapkan atau mendeskripsikan isi ajaran suluk atau mistik yang
terdapat dalam SDR.
25
D. BATASAN MASALAH
Berbagai bentuk permasalahan dalam SDR memungkinan naskah ini untuk
diteliti dari berbagai sudut pandang baik secara filologis, sastra, filsafat ataupun
moral. Oleh karena itu diperlukan pembatasan masalah untuk mencegah semakin
melebarnya pembahasan. Batasan masalah tersebut lebih ditekankan pada dua
kajian utama, yakni kajian filologis dan kajian isi. Kajian filologis digunakan
untuk mengupas permasalahan yakni uraian-uraian di dalam naskah melalui cara
kerja filologis, sedangkan kajian isi digunakan untuk mendeskripsikan isi ajaran
dalam SDR.
E. LANDASAN TEORI
1. Pengertian Filologi
Budaya pada masa lampau dapat diungkapkan kembali melalui naskah
lama. Naskah dapat diketahui kandungan isinya jika ilmu filologi diterapkan.
Hal ini membuktikan bahwa ilmu filologi dibutuhkan, dengan ilmu filologilah
kita dapat mengupas isi, ajaran, ide, adat istiadat dalam naskah itu sendiri.
Filologi secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani philologia yang berasal
dari dua kata yaitu philos yang berarti “cinta” dan logos yang berarti “kata”.
Sehingga filologi dapat diartikan sebagai “cinta kata” atau “senang bertutur”,
yang kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang ilmu”, dan
“senang kesastraan” atau “senang kebudayaan” (Siti Baroroh Baried, 1983: 1).
Filologi memiliki arti ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah
diketahui orang (Wellek dalam Chamamah, 2003: 8). Menurut Edward
Djamaris (2002: 3) filologi adalah suatu ilmu yang objek penelitiannya
26
naskah-naskah lama. Sedangkan menurut Achadiati Ikram (1980: 1), filologi
dalam arti luas adalah ilmu yang mempelajari segala segi kehidupan di masa
lalu seperti yang ditemukan dalam tulisan. Di dalamnya tercakup bahasa,
sastra, adat istiadat, hukum, dan lain sebagainya. Dari berbagai pengertian
tersebut dapat disimpulkan jika penelitian melalui filologi sangat dibutuhkan
untuk mengetahui isi kandungan pada naskah-naskah lama agar lebih mudah
dibaca maupun dipahami oleh semua orang.
2. Objek Filologi
Siti Baroroh Baried, dkk (1985: 55-57) mengemukakan bahwa filologi
mempunyai objek penelitian yaitu naskah dan teks. Naskah merupakan teks
tulisan yang berupa tulisan tangan (handschrift atau manuschrift), sedangkan
teks adalah kandungan atau muatan naskah berupa abstrak yang hanya dapat
dibayangkan saja dan memuat berbagai ungkapan pikiran serta perasaan
penulis yang disampaikan kepada pembacanya. Teks dalam filologi
menunjukkan sesuatu yang abstrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu
yang konkrit, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek konkrit filologi adalah
naskah. Namun, pada hakikatnya yang dituju dari naskah tersebut bukanlah
fisik naskah tersebut, melainkan teks yang tersimpan di dalam naskah (Bani
Sudardi, 2003: 11)
3. Langkah Kerja Penelitian Filologi
Langkah kerja penelitian filologi menurut Edwar Djamaris (2002: 10),
meliputi inventarisasi naskah, deskripsi naskah, pertimbangan dan
pengguguran naskah, dasar-dasar penentuan naskah yang asli, transliterasi
27
naskah, dan suntingan teks. Menurut Edi S. Ekadjati dalam kumpulan makalah
filologi, langkah kerja dalam penelitian filologi terdiri dari inventarisasi
naskah, deskripsi naskah, perbandingan naskah, pemilihan teks yang akan
diterbitkan, ringkasan isi naskah, alih aksara dan penyajian teks (1992: 1-8),
sedangkan langkah kerja berdasarkan Masyarakat Pernaskahan Nusantara
(Manasa), terdiri atas penentuan sasaran penelitian, inventarisasi naskah,
observasi pendahuluan, penentuan naskah dasar, transliterasi naskah, dan
penerjemahan teks. Teori tersebut tidak selamanya harus dipaksakan bisa
diterapkan pada semua naskah. Masing-masing naskah mempunyai kondisi
yang berbeda-beda. Secara terperinci langkah kerja penelitian filologi sebagai
berikut :
a. Penentuan Sasaran Penelitian
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan sasaran
penelitian, mengingat banyaknya ragam yang perlu dipilih, baik dari segi
tulisan, bahan, bentuk, maupun isinya. Ada naskah yang bertuliskan huruf
Arab, Jawa, Bali, Sasak dan Batak. Adapula naskah yang ditulis dari bahan
kertas, daun lontar, kulit kayu, atau rotan. Dari segi bentuk terdapat naskah
yang berbentuk puisi dan ada pula yang berbentuk prosa. Naskah juga
memiliki isi yang beragam, di antaranya sejarah atau babad, ajaran atau
piwulang, kesusastraan, cerita wayang, cerita dongeng, primbon, adat
istiadat, agama, dan sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, sasaran yang ingin diteliti telah
ditentukan yaitu naskah bertuliskan Jawa carik yang ditulis pada kertas,
berbentuk prosa atau gancaran dan berisi tentang cara manusia untuk
28
menuju kesempurnaan yang sejati. Keseluruhan bentuk tersebut telah
terangkum dalam SDR.
b. Inventarisasi Naskah
Inventarisasi naskah dilakukan melalui metode studi pustaka.
Metode studi pustaka ini dengan cara mendata dan mengumpulkan naskah
yang berjudul sama dan sejenis untuk kemudian dijadikan sebagai objek
penelitan. Menurut Edwar Djamaris (1992), apabila kita ingin meneliti
suatu cerita berdasarkan nasakah menurut cara kerja filologi, pertama-tama
hendaklah didaftarkan semua naskah yang terdapat di berbagai
perpustakaan universitas atau museum yang biasa menyimpan naskah
melalui katalogus naskah yang tersedia. Langkah tersebut dilakukan untuk
mengetahui jumlah naskah, tempat penyimpanan, maupun penjelasan lain
mengenai keadaan naskah yang akan dijadikan objek penelitian.
Dalam melakukan inventarisasi naskah, peneliti tidak menemukan
naskah yang satu versi dalam katalog dengan naskah yang telah ditemukan
oleh peneliti sendiri.
c. Observasi Pendahuluan
Observasi pendahuluan dilakukan dengan cara mengecek data
secara langsung ke tempat koleksi naskah sesuai dengan informasi yang
diungkapkan oleh katalog. Dalam hal ini, pengecekan dilakukan langsung
ke tempat penyimpanan naskah antara lain, Radyapustaka, Reksapustaka,
Sanabudaya. Setelah pengecekan secara langsung dan ternyata naskah
29
tidak ada yang satu versi dengan yang dimiliki peneliti, maka dikatakan
naskah SDR ini merupakan naskah tunggal.
d. Deskripsi Naskah
Deskripsi naskah ialah uraian ringkasan naskah secara terperinci.
Deskripsi naskah penting untuk mengetahui kondisi naskah dan sejauh
mana isi mengenai naskah yang diteliti. Emuch Hermansumantri (1986: 2)
mengatakan bahwa deskripsi naskah merupakan sarana untuk memberikan
informasi atau data mengenai: judul naskah, nomor naskah, tempat
penyimpanan naskah, asal naskah, keadaan naskah, ukuran naskah, tebal
naskah, jumlah baris setiap halaman, huruf, aksara, tulisan, cara penulisan,
bahan naskah, bahasa naskah, bentuk teks, umur naskah, pengarang atau
penyalin, asal-usul naskah, fungsi sosial naskah, serta ikhtisar teks atau
cerita.
Pada deskripsi naskah ini perlu bertemu langsung dengan naskah
yang akan diteliti. Hal tersebut dilakukan untuk mengecek data dan
mendapatkan informasi tentang naskah secara langsung.
e. Transliterasi naskah
Naskah yang telah ditetapkan sebagai naskah landasan, kemudian
dialihaksarakan ke dalam huruf latin. Menurut Edwar Djamaris (2002:19),
yang dimaksud dengan alih aksara atau transliterasi adalah penggantian
atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain.
Dalam proses transliterasi ini peneliti memiliki dua tugas pokok yaitu yang
pertama peneliti filologi menjaga kemurnian bahasa dalam naskah,
30
khususnya penulisan kata. Hal ini bertujuan melindungi data mengenai
bahasa lama dalam naskah agar tidak hilang. Tugas kedua adalah
menyajikan teks sesuai dengan pedoman ejaan yang berlaku sekarang
untuk memudahkan pembacaan dan pemahaman terhadap teks.
Penyajian bahan transliterasi harus selengkap-lengkapnya dan
sebaik-baiknya agar mudah dibaca dan dipahami. Di samping itu, juga
disajikan perbedaan-perbedaan kata pada naskah-naskah lain, perbaikan-
perbaikan serta komentar dan penjelasannya sehingga dapat ditetapkan
bagaimana bunyi teks itu seharusnya. Mengingat bahwa, huruf Jawa tidak
mengenal pemenggalan kata dalam penulisan dan ejaan penulisannya
berbeda dengan huruf latin.
f. Kritiks Teks
Kata kritik teks berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya
‘seorang hakim’, krinein berarti ‘menghakimi’, kriterion berarti ‘dasar
penghakiman’. Kritik teks memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti
dan menempatkan teks pada tempatnya yang tepat. Kegiatan kritik teks
bertujuan untuk menghasilkan teks yang sedekat-dekatnya dengan teks
aslinya, menurut Siti Baroroh Baried dkk. (1985: 61). Hal tersebut
dilakukan sebab adanya tradisi penyalinan naskah, sehingga tidak menutup
kemungkinan teks mengalami perubahan. Kritik teks juga tidak lepas dari
adanya pengetahuan dan daya interpretasi penulis.
Secara umum metode kritik teks dibagi menjadi dua macam,
berdasarkan jumlah naskah yang dikaji. Pertama metode naskah tunggal
31
dan kedua metode naskah jamak. Dalam hal ini metode yang digunakan
adalah metode edisi standar yakni metode naskah tunggal. Edisi standar
adalah suatu cara menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-
kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedangkan ejaan disesuaikan dengan
ejaan yang berlaku (Siti Baroroh Barried, et. Al, 1985: 69).
g. Suntingan dan Aparat Kritik
Suntingan teks adalah menyajikan teks dalam bentuk aslinya yang
bersih dari kesalahan, berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah
yang dikritisi. Edi S. Ekadjati (1992: 6) menguraikan bahwa apparatus
criticus atau aparat kritik adalah catatan atau keterangan hasil kerja
perbandingan naskah yang biasanya ditempatkan di bawah teks atau di bawah
terjemahan teks. Aparat kritik merupakan suatu pertanggungjawaban dalam
penelitian naskah, disertai suntingan teks dan merupakan kelengkapan kritik
teks. Menurut Darusuprapta (1984: 8), aparat kritik adalah uraian tentang
kelainan bacaan, yaitu bagian yang merupakan pertanggungjawaban ilmiah,
berisi segala macam kelainan bacaan dalam semua naskah. Oleh sebab itu,
jika terjadi perubahan, pengurangan, penambahan harus disertai
pertanggungjawaban melalui dasar teori maupun rujukan yang tepat. Semua
itu dicatat dan ditempatkan pada aparat kritik dengan tujuan agar pembaca
dapat mengecek bacaan naskah, dan apabila perlu membuat penafsiran
sendiri.
h. Terjemahan
Terjemahan adalah pengalihan teks bahasa sumber ke dalam teks
bahasa sasaran yang sepadan baik aspek makna/pesan maupun bentuknya.
32
Menurut Darusuprapta (1984: 27), terjemahan adalah pengalihan makna teks
sumber ke teks sasaran yang sepadan dalam hal isi dan bahasanya, makna
tersebut harus lengkap dan terperinci. Hal ini bertujuan untuk memudahkan
dalam memahami isi teks, dari suatu naskah, sehingga masyarakat yang tidak
menguasai bahasa naskah aslinya dapat menikmati dan naskah dapat
disebarluaskan.
Dalam tingkat terjemahan, antarseorang peneliti satu dengan peneliti
lain memiliki potensi yang berbeda. Hal ini disebabkan karena kemampuan
dari peneliti untuk menemukan arti lebih tepat dari sebuah kata yang belum
diketahui artinya dengan pasti (Edi Sedyawati, 1998: 3). Oleh sebab itu,
peneliti memutuskan menggunakan terjemahan bebas.
i. Ikhtisar Teks
Dalam naskah SDR ini berisi tentang kisah Bratasena dalam
mencari Tirta Pawitrasari (Air Kehidupan) yang disebut juga Tirta
Pawitrasuci. Dalam perjalanan pencarian air kehidupan ini, Bratasena
tetap kuat dan mampu menghadapi apapun yang menghalanginya. Akan
tetapi pada naskah ini hanya secara singkat gambaran perjalanan Bratasena
berawal pergi ke Gunung Reksamuka, lalu mengalahkan dua raksasa yakni
Rukmaka dan Rukmakala, selanjutnya ke sumur Sigrangga sampai
,menemukannya air kehidupan, yang secara eksplisit air kehidupan ini
merupakan penggambaran sumber orang hidup yakni Tuhan sendiri. Selain
itu, di naskah ini lebih menyampaikan pengaplikasian perjalanan batin
manusia, bagaimana melawan nafsu, nafsu apa saja yang ada pada
manusia, hal baik yang perlu dilakukan untuk mendekatkan kepada Hyang
33
Widhi, Sang Kholiq. Kemudian menerangkan tingkatan 7 alam, yakni
alam akhadiyat, wahdad, wakidiyat, arwah, misal, ajesan, insan kamil.
Sedangkan pada naskah Dewaruci umumnya tidak menyebutkan istilah-
istilah tingkatan 7 alam seperti pada naskah SDR ini. Inilah yang
membedakan naskah ini dengan naskah Dewaruci lainnya, sehingga
menarik minat peneliti untuk meneliti naskah ini.
4. Pengertian Suluk
Menurut Darusuprapta (1990: 1), kata suluk berasal dari bahasa Arab
yakni silkun yang artinya perjalanan pengembaraan, kehidupan pertama. Kata
ini kemudian dihubungkan dengan makna hidup manusia, yakni perjalanan
hidup yang harus ditempuh, atau pengembaraan hidup untuk mencari
kebenaran Ilahi atau untuk kembali kepada Tuhan yang dalam bahasa Jawa
sering dinyatakan dengan istilah “sangkan paraning dumadi” asal dan tujuan
hidup (Widayat, 2011: 84).
Poerwadarminta (1939: 371) mengemukakan bahwa, suluk sebagai
sȇrat, tembang yang berisi tentang piwulang/ ajaran dan ajaran gaib. Karya
sastra suluk merupakan karya sastra yang diciptakan dalam rangka fungsi
pendidikan serta pengajaran tentang ajaran gaib atau Tuhan.
Dalam khasanah sastra Jawa ada dua macam istilah suluk, yaitu suluk
pedalangan dan suluk yang berisi ajaran tasawuf. Suluk pedalangan ialah jenis
tembang yang sering dilantunkan seorang dalang dalam sebuah pertunjukan
wayang. Suluk jenis ini berfungsi sebagai pendukung latar suasana pada
bagian cerita tertentu, misalnya sedih akan dilantunkan suluk yang disebut
34
tlutur (Widayat, 2011: 84). Sedangkan jenis sastra suluk yang berisi ajaran
tasawuf tentang ajaran kesempurnaan hidup, hubungannya dengan ajaran
tasawuf Islam atau Islam-kejawen. Dalam ajaran ini umumnya dibicarakan
tentang “sangkan paraning dumadi”, yakni asal dan tujuan hidup manusia. Di
dalamnya sering kali dijumpai idiom-idiom yang berhubungan dengan
falsafah hidup dan masalah kemanusiaan dalam hubungannya dengan
ketuhanan atau bentuk isbat. Seperti halnya dalam naskah Suluk Dewaruci
yang akan diteliti.
Dari tiga pengertian di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa pada
dasarnya sastra suluk yang berisi tasawuf merupakan upaya manusia untuk
mendekatkan diri dengan penciptanya hingga sampai pada tataran paling atas
yaitu manunggaling kawula Gusti. Konsep manunggaling kawula Gusti ini
memberikan ajaran tentang darimana manusia manusia berasal, kepada siapa
manusia akan kembali. Untuk mencapai tataran tersebut, manusia harus
menjalani laku mistik. Laku mistik ini dapat dilakukan melalui meditasi
(dzikir) atau tanggapan batin (pengalaman kejiwaan) dengan mematikan
fungsi pikiran dan pancaindera.
Tujuan utama mistik atau tasawuf adalah pencapaian tingkat yang
paling tinggi yaitu makrifat. Orang yang sanggup mencapai tingkatan makrifat
disebut dengan insan kamil atau manusia sempurna. Seperti halnya dalam
naskah Suluk Dewaruci ini membicarakan bagaimana cara manusia untuk
menuju tingkat yang paling atas yakni tingkatan makrifat. Tingkatan tersebut
merupakan tingkat yang paling sempurna untuk dicapai dengan ilmu batin dan
ilmu lahir. Tingkatan atau tahapan perjalanan menuju manusia sempurna atau
35
kesempurnaan manusia ada 4 (empat), yakni syariat, tarikat, hakikat, makrifat.
Darusuprapta dalam Sri Wahyuni (2006: 28) menguraikan 4 (empat) tahap
sebagai berikut:
1. Syariat adalah tahap yang paling mula, yaitu manusia harus
menghormati, dan hidup sesuai dengan hukum agama,
menjalankan kewajiban dengan sungguh-sungguh, mengetahui
aturan sosial dan menjaga, keselarasannya serta mengakui tatanan
kosmos. Manusia sadar bahwa dengan menghormati orang tua,
guru, dan raja berarti menghormati Tuhan serta mengakui ada-Nya.
2. Tarikat adalah tahap yang lebih maju setapak. Dalam tahap ini
segala tingkah laku pada tahap yang pertama lebih ditingkatkan
dan diperdalam dengan bertobat dan menyesali segala dosa,
menjauhi larangan Tuhan dan menjalankan perintah-Nya,
melakukan puasa yang diwajibkan, mengurangi makan, minum,
dan tidur. Selain sifat-sifat itu, orang telah mencapai tahap tarikat
selalu bersifat sabar dan tenang dalam segala tindakan,
meniggalkan segala hal yang di dalamnya terdapat keraguan dan
tawakal atau berserah diri kepada keputusan serta ketetapan Tuhan.
3. Hakikat adalah tahap yang sempurna. Pencapaian tahap ini
diperoleh dengan cara mengenal Tuhan melalui pengetahuan yang
sempurna, berdoa terus menerus, menyebut nama Tuhan dan
mencintai-Nya, mengenali dirinya sendiri, tidak mengacuhkan
kesenangan dan kesusahan, karena senang dan susah, kaya dan
miskin, serta sehat dan sakit merupakan wujud Tuhan, yang berarti
36
berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali
kepada-Nya, manusia hanya mengaku memilikinya.
4. Makrifat adalah tahap terakhir atau tertinggi, yaitu manusia telah
menyatukan dirinya sendiri dengan Illahi atau tahap manusia telah
tercapai “kemanunggalan hamba dengan Tuhan”. Dalam tahap ini
jiwa manusia terpadu dengan jiwa semesta. Tindakan manusia
semata-mata menjadi laku.
Naskah SDR ini sebagai salah satu karya suluk dapat dijadikan
petunjuk antara manusia dengan sekitar serta petunjuk untuk menuju manusia
sempurna, manusia dapat dengan Tuhan.
F. Sumber Data dan Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang mampu menghasilkan atau
memberikan data atau menunjuk pada tempat. Sumber data dari penelitian ini
adalah tempat disimpannya naskah SDR yakni di rumah Bapak Joko Setiono,
Jalan Raden Patah, Jambean, Desa Cekok, Kecamatan Babadan (belakang
terminal Seloaji), Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Naskah ini merupakan
naskah pribadi dan tidak terdaftar dalam katalog.
Data adalah yang dihasilkan dari sumber data. Data dalam penelitian ini
dibedakan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah
data utama yang digunakan dalam penelitian. Data primer dalam penelitian ini
adalah naskah dan teks SDR berbentuk prosa/ gancaran yang telah ditransliterasi
dalam penelitian ini dan merupakan naskah koleksi pribadi. Kemudian data
sekunder yang digunakan sebagai data penunjang atau pendukung dari
37
pelaksanaan penelitian. Data sekunder yang dipakai sebagai data pendukung ini
diambil dari buku-buku, artikel penelitian dan memiliki keterkaitan dengan isi
teks dalam naskah SDR.
G. Metode dan Teknik
1. Bentuk dan Jenis Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian filologi, yang objek kajiannya
mendasarkan pada manuskrip (naskah tulisan tangan) dan berusaha
menyajikan suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Seperti yang
diungkapkan Meloeng (2014:6) dan Bogdandan Guba (dalam Suharsaputra,
2012: 181), bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
memahami fenomena yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya tindakan,
presepsi, motivasi dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah
dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Metode deskripsi adalah
metode yang dilakukan dengan cara menganalisis data yang sudah
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka (Meloeng,
2014: 157).
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian perpustakaan atau
library research yaitu penelitian yang dilakukan di kamar kerja peneliti atau di
ruang perpustakaan. Dimana peneliti memperoleh data dan informasi tentang
objek penelitian lewat buku-buku atau alat-alat audiovisual lainnya (Atar
Semi, 1990:8).
38
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara mengumpulkan data penelitian.
Langkah pertama dilakukan adalah membaca katalog naskah yang tersimpan
di perpustakaan atau museum serta mendata (menulis nomor naskah, judul
naskah, bentuk/versi naskah) agar lebih mudah. Setelah mengetahui tidak ada
naskah yang satu versi dengan naskah yang dimiliki oleh peneliti, maka
dilanjutkan dengan teknik digital fotografi, yakni teknik memotret naskah
dengan kamera digital tanpa menggunakan blitz.
Teknik berikutnya yaitu dengan teknik pendokumentasian digital, yaitu
memotret naskah dengan menggunakan kamera digital yang kemudian
ditransfer ke dalam computer, untuk selanjutnya dilakukan pengeditan dengan
program Microsoft Office Picture Manager 2010. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran wujud asli naskah untuk pengkajian lebih lanjut, baik
dalam kajian filologis maupun kajian isi.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah suatu upaya pengolahan data, menempatkan data
sesuai dengan cara kerja filologi. Siti Baroroh Barried (1994: 109)
menguraikan, bahwa teknik analisis data ini dibagi menjadi dua, yaitu analisis
data secara filologis dan analisis isi. Analisis data secara filologis
menggunakan metode penyuntingan naskah tunggal dengan metode edisi
standar. Seperti halnya naskah SDR ini menggunakan metode edisi standar.
Menurut Edwar Djamaris (2002:24), metode standar adalah metode yang biasa
digunakan dalam penyuntingan teks naskah tunggal yang tidak mengandung teks
yang dianggap suci atau penting, sehingga tidak diperlakukan secara khusus atau
39
istimewa. Semua perubahan dicatat dan diletakkan pada tempat yang khusus yaitu
pada aparat kritik agar dapat diperiksa dan dibandingkan dengan segala usaha
perbaikan harus disertai pertanggungjawaban dengan rujukan yang tepat (Siti
Baroroh Baried, dkk, 1994 : 68).
Analisis isi penelitian menggunakan metode deskriptif dan teknik
analisis interpretasi. Surakhmad (1975:155), mengemukakan tentang metode
deskriptif ini adalah “metode yang menjabarkan apa yang menjadi masalah,
menganalisis serta menafsirkan data yang ada”. Teknik interpretasi,
digunakan untuk menginterpretasikan isi naskah yang berkaitan dengan nilai
kesempurnaan hidup. Simpulan akhir merupakan jawaban atas tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini. Penarikan simpulan didasarkan pada
analisis data dengan menyajikan hasil suntingan teks yang bersih dari
kesalahan dan menelaah isi teks tersebut.
40
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian naskah SDR adalah sebagai berikut :
I. Pendahuluan
Bab ini merupakan uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, batasan masalah, landasan teori, data dan sumber data,
metode dan teknik, dan sistematika penulisan.
II. Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang memaparkan analisis dari permasalahan
yang dibahas dalam penelitian, yaitu mengenai kajian filologis dan kajian isi
naskah SDR.
III. Penutup
Penutup berisi kesimpulan dan saran, pada bagian akhir dicantumkan daftar
pustaka dan lampiran-lampiran