BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdf · tidak berlebihan jika stabilitas...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdf · tidak berlebihan jika stabilitas...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Transaksi perbankan merupakan hubungan hukum antara, bank dengan
nasabah di bidang bisnis, yang di dalamnya kedua belah pihak saling
membutuhkan. Transaksi perbankan terdiri atas transaksi di bidang pendanaan dan
transaksi di bidang perkreditan. Transaksi perbankan di bidang perkreditan
memberikan peran bagi bank sebagai lembaga penyedia dana bagi para debitur.
Bentuknya dapat berupa kredit, seperti kredit konsumtif, kredit investasi, kredit
modal kerja, kredit usaha kecil, dan jenis-jenis kredit lainnya sesuai dengan
kebutuhan debiturnya. Hubungan antara debitur dan bank merupakan hubungan
interpersonal.
Dengan perkembangan jaman yang semakin maju, menyebabkan setiap
manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan beraneka ragam
cara, sedangkan kemampuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan sangat
terbatas. Hal tersebut yang membuat manusia memerlukan bantuan untuk
memenuhi keinginannya.1 Seperti membuka usaha sampingan, manusia
memerlukan bantuan dalam bentuk modal dan hal ini didapat dengan bantuan dari
bank dalam bentuk tambahan modal, inilah yang disebut dengan Kredit.2
Menurut Pasal 1 angka 11 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
1Gunawan Widjaja dan Kartini Mulyadi, 2003, Jual Beli Seri Hukum Perikatan, Cet 1, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.2
2Hermansyah, 2003, Hukum Perbankan Indonesia, Cet. II, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h.60.
1
2
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3790, selanjutnya disebut UU Perbankan) :
Kredit Bank adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga,
imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Sebagai salah satu badan usaha yang berorientasi pada keuntungan, bank
berusaha untuk menyalurkan kredit sebanyak-banyaknya kepada masyarakat. Saat
ini bank dihadapkan pada persaingan yang sangat ketat antar bank mengingat
semakin banyaknya muncul bank-bank baru. Untuk memenangkan persaingan
banyak cara yang dilakukan oleh bank salah satunya memberikan service yang
terbaik untuk calon debiturnya yang bertujuan agar calon debitur tersebut tidak
berpaling ke bank lain. Salah satunya dengan mempermudah persyaratan dalam
pengajuan kredit.
Di satu sisi kredit menjadi sumber pendapatan dan keuntungan Bank yang
terbesar, di sisi lain kredit juga merupakan jenis kegiatan menanamkan dana yang
sering menjadi penyebab utama Bank menghadapi masalah besar. Oleh karena itu
tidak berlebihan jika stabilitas usaha Bank sangat dipengaruhi oleh
keberhasilannya dalam mengelola kredit. Bank yang berhasil mengelola kreditnya
diprediksikan akan berkembang usahanya. Kondisi Bank yang selalu dirongrong
kredit bermasalah pasti akan mundur usahanya. Kemunduran usaha perbankan
karena kerugian yang didatangkan dari kerugian kredit ini akan lebih besar
dibandingkan kerugian yang didatangkan dari jenis usaha lainnya, karena jumlah
3
dana yang ditanam dalam jenis kegiatan lain ini biasanya lebih kecil bila
dibandingkan dengan jumlah dana yang ditanam dalam jenis kegiatan kredit.
Kegiatan pinjam meminjam uang atau kredit adalah kegiatan yang telah
dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang
sebagai alat pembayaran. Dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi di
masyarakat dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya
penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman.
Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan
kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan
jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaannya kepada
pemegang jaminan.
Pada dasarnya, pemberian kredit oleh bank diberikan kepada siapa saja yang
memiliki kemampuan untuk membayar kembali dengan syarat melalui suatu
perjanjian utang piutang di antara kreditur dan debitur. Perjanjian kredit yang
dibuat oleh bank kepada debitur merupakan salah satu aspek yang sangat penting
dalam pemberian kredit. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara kreditur dan
debitur yang isinya menentukan dan mengatur hak dan kewajiban kedua belah
pihak sehubungan dengan pemberian kredit.3 Menurut ketentuan yang diatur
dalam Pasal 8 UU Perbankan dapat diketahui bahwa dalam memberikan kredit
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai
keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta
kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
3Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 1
4
pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Berdasarkan ketentuan
pasal ini dapat diketahui bahwa diperkenankan untuk memberikan kredit tanpa
jaminan atas dasar kepercayaan dari pihak bank bahwa debitur akan sanggup
melunasi kredit yang telah diberikannya itu. Namun dalam kenyataannya di
lapangan banyak terjadi bahwa atas dasar kepercayaan tersebut bank menerima
jaminan kredit atas nama orang lain.
Jasa perbankan dalam membantu bidang perekonomian bukanlah tanpa
resiko. Resiko usaha yang terjadi di kalangan perbankan justru terutama
menyangkut pemberian kredit. Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya harus
dilandasi keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melunasi utangnya.
Bank dalam menjalankan tugas dan fungsinya, pasti mengalami permasalahan
mengenai kredit macet dan hal tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang baru
bagi dunia perbankan. Permasalahan kredit macet yang dihadapi oleh pihak bank,
banyak disebabkan oleh lemahnya kemampuan debitur untuk menyelesaikan
kewajibannya serta tidak selektifnya petugas baik dalam memberikan kredit. Dari
segi debitur banyaknya permasalahan-permasalahan intern yang dihadapi oleh
debitur, menyebabkan debitur tidak bisa memenuhi kewajibannya, sehingga
terjadi kredit macet. Hal ini biasanya berkaitan dengan usahanya yang macet,
terkena dampak krisis ekonomi atau hal lain yang menyebabkan debitur kesulitan
keuangan. Dari sisi petugas bank, tidak selektifnya dalam studi kelayakan dalam
pemberian kredit, sehingga banyak debitur yang tidak layak diberikan kredit
mendapatkan kredit sehingga terjadinya kredit macet. Untuk menjamin
5
kedudukan pihak bank, maka dalam memberikan kredit pihak bank meminta
jaminan kepada debitur sesuai dengan besaran kredit yang diberikan. Jaminan
merupakan salah satu aspek yang penting dan strategis dalam kaitannya dengan
penyaluran kredit, terutama sangat dibutuhkan untuk menekan tingkat resiko atau
kemungkinan munculnya kredit bermasalah dalam penyaluran kreditnya yang
sekaligus sebagai wujud dari penerapan prinsip kehati – hatian.
Dalam hal dana yang dipakai untuk pemberian kredit, bank hanya boleh
memberikan kredit apabila bank benar-benar telah meyakini bahwa debitur
mempunyai kemampuan, kesanggupan dan beritikad baik untuk melunasi
hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Apabila tidak demikian resiko yang
dihadapi oleh bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat
tersebut. Oleh karena itu hubungan antara bank dengan nasabah adalah hubungan
kontraktual yang dilandasi oleh prinsip kehati-hatian. Adapun penerapan prinsip
kehati-hatian dalam perjanjian kredit yang dilakukan oleh bank dapat dilihat pada
saat proses penilaian dan keputusan kredit, dan juga pada saat pengikatan jaminan
kredit.
Benda yang telah dijaminkan oleh debitor yang meminjam uang di bank
haruslah mempunyai nilai yang melebihi dari jumlah uang yang dipinjam oleh
debitor itu sendiri, sebab dalam perjanjian kredit ada beberapa bank yang
mengenal prinsip “ Tiada Kredit Tanpa Jaminan “. Maksudnya disini adalah pihak
bank tidak akan memberikan kredit terhadap debitor peminjam kredit di bank
apabila tidak disertai adanya benda jaminan atau agunan dari pihak debitor. 4
4Hermansyah, Op.Cit, h.64
6
Salah satu jenis Jaminan kebendan yang dikenal dalam Hukum positif adalah
Jaminan Fidusia, sebagai lembaga Jaminan atas benda bergerak, Jaminan Fidusia
banyak dipergunakan oleh masyarakat bisnis. Pada awalnya Fidusia didasarkan
kepada Yurisprudensi, sekarang Jaminan Fidusia sudah diatur dalam undang-
undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 3889, selanjutnya disebut dengan UUJF). Dalam jaminan
fidusia dikenal dengan istilah Fiducia Cum Creditore Contracta yang berarti janji
kepercayaan yang dibuat dengan kreditur, dikatakan bahwa debitur akan
mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai Jaminan atas
utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali
kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas.
Dengan Fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki oleh kreditur
akan lebih besar yaitu sebagai pemilik atas barang yang diserahkan sebagai
Jaminan. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akan menyalahgunakan wewenang
yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayan secara moral
saja dan bukan kekuatan hukum yang pasti. Debitur tidak akan dapat berbuat apa-
apa jika kreditur tidak mau mengembalikan hak milik atas barang yang diserahkan
sebagai Jaminan.5
Dari hasil penelitian di lapangan dapat diketahui terjadi kredit macet dengan
jaminan fidusia pada salah satu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kota
Denpasar. Permasalahan yang terjadi yaitu Bank Perkreditan Rakyat tersebut
5Tan Kamelo, 2004, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni,
Bandung, h. 3
7
menerima jaminan BPKB (Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor) dengan diikat
jaminan fidusia, yang diakui oleh debitur adalah miliknya namun karena
kesibukannya belum sempat melakukan balik nama, kemudian kredit ini
mengalami macet, pada saat akan dilaksanakan eksekusi obyek jaminan fidusia
terjadi kendala karena jaminan fidusia tersebut bukan milik debitur, sehingga
pada saat terjadi kredit macet, pihak bank mengalami kendala untuk
melaksanakan eksekusi, karena obyek jaminan fidusia ternyata adalah hak milik
orang lain, bukan hak milik dari debitur yang merupakan hasil penggelapan dan
penipuan. Pada kenyataannya di lapangan banyak kasus seperti ini yang terjadi
terutamanya pada Bank Perkreditan Rakyat. Permasalahan seperti ini tentunya
menimbulkan resiko yang mengakibatkan kerugian bagi pihak bank, yang dalam
tesis ini akan dibahas lebih lanjut dengan mengangkat judul Resiko Kreditur Atas
Kredit Macet Dengan Jaminan Fidusia Yang Bukan Milik Debitur Pada Bank
Perkreditan Rakyat di Kota Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapatlah ditarik
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah akibat hukum dari pemberian kredit dengan jaminan fidusia
yang menggunakan jaminan bukan milik debitur?
2. Bagaimanakah resiko kreditur atas kredit macet dengan jaminan fidusia
yang menggunakan jaminan bukan milik debitur pada Bank Perkreditan
Rakyat Di Kota Denpasar?
8
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari agar pembahasan dalam tesis ini tidak keluar atau
melenceng dari pokok permasalahan, maka diperlukan adanya batasan-batasan
terhadap permasalahan yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:
Pada permasalahan pertama dibahas mengenai akibat hukum dari pemberian
kredit dengan jaminan fidusia yang menggunakan jaminan bukan milik debitur
dan pada permasalahan kedua membahas mengenai resiko kreditur atas kredit
macet apabila barang yang dijadikan jaminan fidusia ternyata bukan milik debitur
pada Bank Perkreditan Rakyat Di Kota Denpasar.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam kerangka
pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process
(ilmu sebagai suatu proses). Paradigma ilmu tidak akan berhenti dalam
penggaliannya atas kebenaran dalam bidang perbankan, khususnya yang berkaitan
dengan hukum perbankan dan hukum jaminan dalam memberikan perlindungan
hukum bagi bank apabila terjadi kredit macet dengan jaminan fidusia.
1.4.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian tesis ini yaitu
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisa lebih lanjut kenyataan di lapangan
mengenai akibat hukum pemberian kredit dengan jaminan fidusia yang
menggunakan jaminan bukan milik debitur.
9
2. Untuk mengetahui resiko kreditur apabila terjadi kredit macet dengan
jaminan fidusia yang menggunakan jaminan bukan milik debitur pada
Bank Perkreditan Rakyat di Kota Denpasar.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif
bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang Hukum Perbankan dan
Hukum Jaminan terutama yang berkaitan dengan resiko kreditur apabila terjadi
kredit macet dengan jaminan fidusia yang bukan milik debitur.
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Manfaat bagi pihak bank
Bagi pihak bank penelitian tesis ini diharapkan mampu menjadi
tambahan informasi untuk lebih berhati-hati dalam memberikan kredit
terutama dengan jaminan fidusia agar dikemudian hari tidak terjadi
permasalahan kredit macet sehingga bank mengalami kerugian.
2. Manfaat bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
referensi bagi rekan mahasiswa mengenai aspek hukum dalam
kaitannya dengan penyelesaian kredit macet dengan jaminan fidusia
pada bank.
10
1.6 Orisinalitas Penelitian
Penelitian terhadap resiko kreditur atas kredit macet dengan jaminan fidusia
yang bukan milik debitur sangat menarik, karena kasus ini dapat menyebabkan
bank mengalami kerugian dan mempengaruhi elektabilitasnya. Penelusuran
kepustakaan yang dilakukan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan
kredit macet dengan jaminan fidusia yaitu :
a. Tesis dari DYAH KUSUMANINGRUM, NIM B4B 006 106, alumni
Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas
Diponegoro, Semarang, Tahun 2008 dengan judul tesis “Pelaksanaan
Perjanjian Kredit Yang Diikat Dengan Jaminan Fidusia Di PT. Bank
Eksekutif Internasional, Tbk. Cabang Semarang”. Adapun yang menjadi
pokok permasalahan dalam penelitian tesis tersebut yakni:
1. Bagaimana pelaksanaan kredit dengan jaminan fidusia di PT. Bank
Eksekutif Internasional, Tbk Cabang Semarang?
2. Bagaimana penyelesaian jika terjadi debitur wanprestasi di PT. Bank
Eksekutif Internasional Tbk Cabang Semarang?
b. Tesis dari NI MADE TRISNA DEWI, NIM 0790561070, alumni Program
Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar,
Tahun 2011 dengan judul tesis “Tanggung Jawab Debitur Terhadap
Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank”. Adapun
yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis tersebut yakni :
11
1. Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan
fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit
bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia?
c. Tesis dari EKO PUSPITA NINGRUM, NIM B4B003080, alumni Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2005, dengan judul tesis
“Tinjauan Yuridis Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada Perjanjian
Pembiayaan Dengan Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Roda Empat
(Studi Kasus Di Astra Credit Companies (ACC) Cabang Semarang). Adapun
yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis tersebut yakni :
1. Apa yang menjadi alas hak dalam pemberian dana dari Astra Credit
Companies (ACC) ke konsumen?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kredit bermasalah
dalam Perjanjian Pembiayaan dengan jaminan fidusia kendaraan bermotor
roda empat di Astra Credit Companies (ACC) cabang Semarang?
Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan
seperti yang dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul
Resiko Kreditur Atas Kredit Macet Dengan Jaminan Fidusia Yang Bukan Milik
Debitur Pada Bank Perkreditan Rakyat Di Kota Denpasar belum ada yang
membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
orisinalitas atau keasliannya.
12
1.7 Landasan Teoritis
Salah satu unsur terpenting dalam penelitian yang memiliki peran sangat besar
dalam pelaksanaan penelitian adalah teori. Teori dengan unsur ilmiah inilah yang
akan mencoba menerangkan fenomena-fenomena sosial yang menjadi pusat
perhatian peneliti, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan
proposisi untuk menerangkan fenomena sosial secara sistematis dengan cara
merumuskan hubungan antar variabel. Berdasarkan pengertian tersebut, definisi
teori mengandung tiga hal. Pertama, teori adalah serangkaian proposisi antar
konsep-konsep yang saling berhubungan. Kedua, teori menerangkan secara
sistematis atas fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep.
Ketiga, teori menerangkan fenomena-fenomena tertentu dengan cara menentukan
konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk
hubungannya.
Untuk mengkaji permasalahan hukum secara mendetail diperlukan beberapa
teori yang merupakan rangkaian asumsi, konsep, definisi, untuk mengembangkan,
menekankan serta menerangkan suatu gejala sosial secara sistematis. Suatu teori
adalah hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-
cara tertentu fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada
umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling
sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih yang
telah diuji kebenarannya.6 Pengertian teori oleh para sarjana didukung dengan
fungsi dari penggunaan teori dalam menjawab masalah dalam penelitian ini. Brian
6Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I) h. 30.
13
H. Bix dalam bukunya yang berjudul Jurisprudence: Theory and Context
menyebutkan mengenai fungsi teori yakni : “Legal theory would be more clearly
(and more deeply) understood if its issues and the writings of its theorists were
approached thought a focus on questions rather than answers”.7 Pengertian
fungsi teori di atas diterjemahkan secara bebas yakni teori hukum akan dapat lebih
mudah dimengerti atau (lebih mudah didalami) apabila permasalahannya dan
penulisan dari teori-teorinya dilakukan pendekatan melalui sebuah fokus
pertanyaan daripada jawaban.
Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis
tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara
kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan interdisipliner.
Jadi, tidak hanya menggunakan metode sintesis saja. Dikatakan secara kritis
karena pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan teori hukum tidak cukup
dijawab secara “otomatis” oleh hukum positif karena memerlukan argumentasi
atau penalaran.8 Landasan Teoritis atau Kerangka Teori adalah upaya untuk
mengidentifikasi teori hukum umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-
asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai
landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Untuk membahas
permasalahan yang diangkat dalam tesis ini maka digunakan beberapa teori
hukum, diantaranya yaitu:
a. Teori Perlindungan Hukum
7Brian H. Bix. 2009, Jurisprudence: Theory and Contex, Thomson Reuters, England, h.
3. 8Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum (edisi revisi), Cahaya Atma Pusaka,
Yogjakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I) h. 87.
14
b. Teori Keberlakuan Hukum
c. Teori Kesadaran Hukum
d. Teori Keadilan
Teori Perlindungan Hukum dipergunakan untuk menganalisis permasalahan
kedua dalam tesis ini, kemudian teori keberlakuan hukum dipergunakan untuk
membahas rumusan masalah pertama, teori kesadaran hukum dipergunakan untuk
membahas rumusan masalah pertama dan kedua terkait dengan kesadaran hukum
dari pihak debitur dan pihak bank, dan teori keadilan dipergunakan untuk
membahas rumusan masalah pertama, yaitu keadilan untuk pihak bank dan
debitur. Adapun teori-teori diatas dapat diuraikan sebagai berikut:
1.7.1 Teori Perlindungan Hukum
Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan
oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum
yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum.
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga
hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang
perlu diatur dan dilindungi. Teori perlindungan hukum pada awal mulanya
bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam yang dipelopori oleh
Plato, Aristoteles (murid Plato) dan Zeno. Menurut pendapat Fitzgerald,
menyatakan bahwa: “teori perlindungan hukum bertujuan mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu
15
lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat
dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.”9
Terdapat beberapa ahli yang memberikan pendapatnya mengenai
perlindungan hukum. Menurut Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa
perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
pertama, perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
Perlindungan hukum preventif, rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang defenitif, artinya perlindungan hukum yang preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya
perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah
yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan
hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam
mengambil keputusan yang didasarkan pada dekresi.10
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Satijipto Rahardjo yang menyatakan
bahwa “perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi
manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada
masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.”11
Pendapat lain mengenai perlindungan hukum juga dikemukakan oleh C.S.T
Kansil yang menyatakan bahwa :
9Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut
Satjipto Rahardjo I) h. 53. 10
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, h. 38. 11
Satjipto Rahardjo I, Op.cit, h. 54.
16
Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal
ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh
hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang
dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan
sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia
memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.12
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir
dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut
untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara
perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan
masyarakat. Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan
tindakan yang dapat merugikan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun
penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta
menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum
yaitu pendukung hak dan kewajiban.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, teori perlindungan hukum berkaitan
dengan wanprestasi yang dilakukan oleh pihak debitur sehingga mengakibatkan
terjadinya kredit macet. Dalam hal debitur melakukan penggelapan dan penipuan,
barang jaminan yang bukan miliknya, mengakibatkan pihak bank sulit untuk
melaksanakan eksekusi. Dalam hal ini pihak bank tidak akan mendapatkan
perlindungan hukum karena obyek perjanjian tersebut bukan milik debitur yang
merupakan hasil penggelapan dan penipuan, obyek perjanjian yang tidak sah
12
C.S.T Kansil, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, h. 23.
17
mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum. Dengan terjadinya kasus ini
maka pihak bank selaku kreditur dapat mengajukan penyelesaian kasus ini kepada
pengadilan sebagai upaya perlindungan hukum secara represif setelah terjadinya
sengketa.
1.7.2 Teori Keberlakuan Hukum
Kekuatan berlakunya undang-undang di dalam memberikan jaminan
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi warganegara dapat dijelaskan
dalam tiga keberlakuan, antara lain:
1) Kekuatan berlaku filosofis (Filosofische Geltung);
Hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum
tersebut sesuai dengan cita-cita hukum bangsa Indonesia (rechtsidee)
sebagai nilai positif yang tertinggi yaitu Pancasila yang merupakan dasar
negara Indonesia. Cita hukum ini dapat dilihat dalam ketentuan alinea
ke-4 Pembukaan UUD 1945, sehingga suatu kaidah hukum dikatakan
berlaku apabila berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Untuk
memenuhi tuntutan berlaku filosofis maka harus memasukkan unsur
ideal.
2) Kekuatan berlaku yuridis (Juristiche Geltung);
Undang-undang mempunyai kekuatan berlaku yuridis apabila
persyaratan material dan formal terbentuknya undang-undang itu telah
terpenuhi. Kaidah hukum yang berlaku harus berdasarkan pada hirarki
norma. Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala
sumber hukum. Dengan demikian hukum yang berlaku tidak boleh
18
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan dasar
hukum dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan.
3) Kekuatan berlaku sosiologis (Soziologische Geltung). 13
Hukum merupakan kenyataan di masyarakat. Kekuatan berlakunya
hukum di dalam masyarakat ada dua macam yakni:
1. Menurut Teori Kekuatan (Machtstheorie) hukum mempunyai
kekuatan berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya
oleh penguasa, terlepas dari diterima atau pun tidak oleh warga
masyarakat.
2. Menurut Teori Pengakuan (Anerkennungstheorie) hukum
mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan
diakui oleh warga masyarakat.
Kekuatan berlakunya undang-undang perlu dibedakan dari kekuatan
mengikatnya undang-undang. Undang-undang mempunyai kekuatan
mengikat sejak diundangkan di dalam lembaran negara,hal ini berarti
bahwa sejak dimuatnya dalam lembaran negara setiap orang terikat
untuk mengakui eksistensinya.14
Suatu kaidah atau produk hukum hendaknya memenuhi ketiga aspek
sebagaimana diuraikan diatas. Keberlakuan hukum di tengah masyarakat bukan
lagi untuk mencapai keadilan semata, tetapi juga harus memberikan kepastian.
Kepastian hukum diharapkan dapat menjadi pedoman, baik bagi masyarakat
13
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta,
(selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II) h. 18. 14
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogjakarta,
(selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II) h. 94
19
maupun bagi aparatur hukum dalam mengambil keputusan.15
Teori keberlakuan
hukum untuk menjawab rumusan masalah pertama, dalam kaitannya dengan
pemberian kredit dengan jaminan fidusia, dimana perjanjian jaminan fidusia
bukan suatu hak jaminan yang lahir karena undang-undang melainkan harus
diperjanjikan terlebih dahulu antara Bank dan nasabah debitur. Oleh karena itu,
fungsi yuridis pengikatan jaminan fidusia lebih bersifat khusus jika dibandingkan
jaminan yang lahir berdasarkan pasal 1131 KUHPerdata.
Fungsi yuridis pengikatan benda jaminan fidusia dalam akta jaminan fidusia
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit. Dengan fungsi
yuridis jaminan fidusia yang dinyatakan dalam akta Jaminan Fidusia semakin
meneguhkan kedudukan Bank sebagai kreditur preferent. Selain itu kreditur
penerima Fidusia akan memperoleh kepastian terhadap pengembalian hutang
debitur. Fungsi yuridis itu juga akan mengurangi tingkat resiko Bank dalam
menjalankan usahanya sebagaimana yang dimaksud dalam undang- undang
perbankan.16
Untuk memiliki fungsi yuridis dalam suatu perjanjian kredit, maka
obyek dari perjanjian tersebut haruslah obyek yang sah sehingga tidak akan
menimbulkan permasalahan dikemudian hari seperti adanya penuntutan oleh
pihak ketiga pemilik obyek jaminan fidusia yang sah.
1.7.3 Teori Kesadaran Hukum
Di dalam ilmu hukum dikenal adanya beberapa pendapat tentang kesadaran hukum. Perihal
kata atau pengertian kesadaran hukum, ada juga yang merumuskan bahwa sumber satu-satunya
dari hukum dan kekuatan mengikatnya adalah kesadaran hukum dan keyakinan hukum
15
Satjipto Rahardjo II, Op.cit, h.19. 16
Tan Kamelo, Op.cit, h. 187
20
individu di dalam masyarakat yang merupakan kesadaran hukum individu, merupakan pangkal
daripada kesadaran hukum masyarakat. Selanjutnya pendapat tersebut menyatakan bahwa
kesadaran hukum masyarakat adalah jumlah terbanyak daripada kesadaran-kesadaran hukum
individu sesuatu peristiwa yang tertentu. Kesadaran hukum mempunyai beberapa konsepsi,
salah satunya konsepsi mengenai kebudayaan hukum. Konsepsi ini mengandung ajaran-ajaran
kesadaran hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai
mediator antara hukum dengan perilaku manusia, baik secara individual maupun
kolektif. Konsepsi ini berkaitan dengan aspek-aspek kognitif dan perasaan yang sering kali
dianggap sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara hukum dengan pola-pola
perilaku manusia dalam masyarakat. Setiap masyarakat senantiasa mempunyai kebutuhan-
kebutuhan utama atau dasar, dan masyarakat menetapkan pengalaman-pengalaman tentang
faktor-faktor yang mendukung dan yang mungkin menghalang-halangi usahanya untuk
memenuhi kebutuhan utama atau dasar tersebut. Apabila faktor-faktor tersebut dikonsolidasikan,
maka terciptalah sistem nilai-nilai yang mencakup konsepsi-konsepsi atau patokan-patokan
abstrak tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.17
Soerjono Soekanto mengemukakan empat indikator kesadaran hukum,
yaitu:18
a. Pengetahuan tentang hukum;
b. Pemahaman tentang hukum;
c. Sikap terhadap hukum; dan
d. Perilaku hukum.
17 http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2019067-teori kesadaran hukum/, diunduh pada 28 Februari
2016.
18
Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Press,
Jakarta, h. 140
21
Di dalam literatur-literatur hukum yang ditulis oleh pakar-pakar terkenal di
dunia dibedakan adanya dua macam kesadaran hukum yaitu :19
(1) Legal consciousness as within the law, kesadaran hukum sebagai ketaatan
hukum, berada dalam hukum, sesuai degan aturan hukum yang disadarinya atau
dipahaminya.
(2) Legal consciousness as against the law, kesadaran hukum dalam wujud
menentang hukum atau melanggar hukum.
Achmad Ali, menyatakan kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektifitas
hukum adalah tiga unsur yang saling berhubungan. Sering orang mencampur
adukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum, padahal kedua hal itu,
meskipun sangat erat hubungannya, namun tetap tidak persis sama. Kedua unsur
itu memang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan
perundang-undangan di dalam masyarakat.20
Adanya kesadaran hukum dalam
masyarakat belum tentu menyebabkan masyarakat taat terhadap aturan hukum.
Sudikno Mertokusumo mempunyai pendapat tentang pengertian Kesadaran
Hukum. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa :
Kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan
atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama
terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-
masing terhadap orang lain.21
Kesadaran hukum menunjuk pada kategori hidup kejiwaan pada individu,
sekaligus juga menunjuk pada kesamaan pandangan dalam lingkungan masyarakat tertentu
19 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, h.
510
20
Achmad Ali, Op. Cit, h.299
21
Sudikno Mertokusumo, 1981, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Cetakan
Pertama, Edisi Pertama, Liberty, Yogyakarta, h. 3
22
tentang apa hukum itu, tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat dalam
menegakkan hukum atau apa yang seyogyanya tidak kita lakukan untuk terhindar dari perbuatan
melawan hukum. Problema dari kesadaran hukum sebagai landasan memperbaiki sistem hukum
adalah kesadaran hukum bukan merupakan pertimbangan rasional, atau produk pertimbangan
menurut akal, namun berkembang dan dipengaruhi oleh pelbagai faktor seperti faktor agama,
ekonomi, politik dan sebagainya, dan pandangan ini selalu berubah. Oleh karena itu
kesadaran hukum merupakan suatu proses psikhis yang terdapat dalam diri manusia,
yang mungkin timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi, tentang asas kesadaran hukum,
ada pada setiap manusia, oleh karena setiap manusia mempunyai rasa keadilan. Oleh sebab itu
begitu pentingnya kesadaran hukum di dalam memperbaiki sistem hukum.
Dalam kaitannya dengan permasalahan dalam tesis ini maka teori kesadaran
hukum dipergunakan untuk membahas rumusan masalah pertama dan kedua.
Dimana dalam hal ini sangat diperlukan adanya kesadaran hukum dari semua
pihak baik dari debitur sendiri maupun pihak bank untuk tidak melakukan
perbuatan melawan hukum. Salah satu langkah untuk menumbuhkan kesadaran
hukum dalam masyarakat adalah dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan
hukum yang dapat dilakukan oleh pemerintah maupun kalangan akademisi.
Pentingnya kesadaran hukum ini dari semua pihak sebagai langkah preventif
untuk menghindari terjadinya masalah dikemudian hari. Dari pihak debitur
hendaknya menjaminkan agunan milik debitur sendiri, dan pihak bank hendaknya
lebih berhati – hati dalam melakukan analisa terhadap pengajuan kredit dari calon
debitur tanpa mengesampingkan aspek yuridis.
23
1.7.4 Teori Keadilan
Carl Joachim Friedrich dalam bukunya Filsafat Hukum Perspektif Historis
mengutip teori keadilan John Rawls yang didalamnya memuat tentang original
contract dan original position adalah dasar baru yang mengajak orang-orang
untuk melihat prinsip keadilan sebagai tujuan (objek) bukan sekedar sebagai alat
masuk. Kritik Rawls terhadap utilitarianisme klasik dan intusionisme merupakan
salah satu titik berangkat utamanya dalam menyusun sebuah teori keadilan secara
menyeluruh. Keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan sebagai keadaan yang
hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam
hukum tersebut merupakan proses dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya
ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam
kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.22
Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan
bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat
mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat
menemukan kebahagiaan didalamnya.23
Pandangan Hans Kelsen ini pandangan
yang bersifat positifisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan
aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nilai umum, namun tetap
pemenuhan rasa keadilan dan kebahagiaan diperuntukkan tiap individu.
Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan
nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan
22
Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia,
Bandung, h. 239 23
Hans Kelsen, 2011, General Theory Of Law And State, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, Nusa Media Bandung, h. 7
24
bahwa suatu tatanan bukan kebahagiaan setiap perorangan, melainkan
kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti
kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa
atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut
dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-
kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab
dengan menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah
pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu
bersifat subjektif.24
Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran
positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga pemikirannya
terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum
alam. Dua hal lagi konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen :
pertama tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita
irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu
kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik
kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai melalui
suatu tatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan
kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju
suatu perdamaian bagi semua kepentingan. Kedua, konsep keadilan dan legalitas.
Untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial
tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian “Keadilan” bermaknakan legalitas.
24
Ibid
25
Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia benar-benar diterapkan, sementara itu
suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan
tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.25
Konsep keadilan dan legalitas
inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai
bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law
umbrella) bagi peraturan - peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan
derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi
yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut.
Dalam kaitannya dengan permasalahan dalam tesis ini yaitu pemberian kredit
dengan jaminan fidusia yang bukan milik debitur yang merupakan hasil dari
penggelapan dan penipuan yang berakibat batal demi hukum. Untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut guna memberikan keadilan bagi para pihak
maka keadilan juga bisa tercapai apabila kedua belah pihak bisa mencapai suatu
kesepakatan dari sebuah kompromi seperti penukaran jaminan dengan jaminan
yang baru oleh pihak debitur atau melunasi utang debitur di bank. Apabila dari
pihak debitur tidak memiliki itikad untuk menyelesaikan secara damai, maka
pihak bank dan pihak ketiga yang merasa dirugikan berhak mengajukan gugatan
terhadap debitur ke pengadilan untuk memperoleh keadilan.
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang penting dalam kegiatan penelitian,
untuk mendapatkan data dan kemudian menyusun, mengolah, dan
25
Ibid, h. 16
26
menganalisanya. Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah,
mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh, menjadi :
penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.26
Pengertian secara operasional jaminan bukan milik debitur dalam penelitian ini
adalah jaminan berupa BPKB (Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor) milik debitur
yang karena kesibukannya belum sempat dilakukan balik nama, sehingga secara
de facto adalah milik debitur namun secara de jure adalah milik orang lain.
1.8.1 Jenis Penelitian
Menurut pendapat Mukti Fajar, ND. dan Yulianto Achmad dalam bukunya
yang berjudul Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, penelitian hukum
terdiri dari dua jenis, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
empiris atau sosiologis.27
Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah
jenis penelitian hukum empiris, yaitu dengan melihat permasalahan dari
kenyataan yang ada dalam masyarakat dan dikaitkan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku saat ini. Penelitian hukum empiris adalah penelitian
hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan dan mengenai pemberlakuan atau
implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, Undang-Undang atau
kontrak) secara in action/in abstracto pada setiap peristiwa hukum yang terjadi
dalam masyarakat (in concreto).28
26
Johnny Ibrahim, 2011, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publising, Malang, h. 26. 27
Mukti Fajar ND. dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 153. 28
AbdulkadirMuhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 134
27
1.8.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan adalah bahan untuk
mengawali sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti
untuk melakukan analisis. Dalam penelitian hukum empiris terdapat beberapa
pendekatan yaitu :
a. Pendekatan kasus (case approach), pendekatan kasus dalam penelitian
hukum bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum
yang dilakukan dalam praktik hukum.
b. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) hal ini
dimaksudkan bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-
undangan sebagai dasar awal melakukan analisis.
c. Pendekatan fakta (the fact approach)
d. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual
Approach)
e. Pendekatan Frasa (Words and Phrase Approach)
f. Pendekatan sejarah (Historical Approach), pendekatan sejarah ini
dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan dari
materi yang diteliti.
g. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach), pendekatan ini
dilakukan dengan membandingkan peraturan perundangan Indonesia
dengan satu atau beberapa peraturan perundangan negara-negara lain.29
29
Fajar Mukti dan Yulianto Achmad, Op.cit, h. 185-190.
28
Dalam penulisan karya ilmiah ini, agar mendapatkan hasil yang ilmiah, serta
dapat dipertahankan secara ilmiah, maka masalah dalam penelitian ini akan
dibahas menggunakan jenis pendekatan Perundang-undangan (The Statute
Approach), pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual
Approach) dan pendekatan Kasus (The Case Approach).
1.8.3 Sifat Penelitian
Menurut Amiruddin dan Zainal Asikin, dilihat dari sudut sifatnya penelitian
dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :
1. Penelitian yang bersifat eksploratif (penjajakan atau penjelajahan), yang
umumnya dilakukan terhadap pengetahuan yang masih baru, belum
banyak ditemukan informasi mengenai masalah yang diteliti, atau bahkan
belum ada sama sekali, seperti belum adanya teori-teori dan norma-norma.
Kalaupun ada namun hal itu masih relatif sedikit. Oleh karena itu dalam
penelitian ini tidak menggunakan hipotesis.
2. Penelitian yang bersifat deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan
secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau suatu kelompok
tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk
menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala
lainnya dalam masyarakat. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan
peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat, baik dalam
literature maupun jurnal, doktrin serta laporan penelitian terdahulu sudah
mulai ada, bahkan jumlahnya cukup memadai. Sehingga dalam penelitian
29
ini hipotesis tidak mutlak harus diperlukan, atau dengan kata lain hipotesis
boleh ada boleh juga tidak.
3. Penelitian yang bersifat eksplanatif (menerangkan) bertujuan menguji
hipotesis-hipotesis tentang ada tidaknya hubungan sebab akibat antara
berbagai variabel yang diteliti. Dengan demikian penelitian ini baru dapat
dilakukan apabila informasi-informasi tentang masalah yang diteliti sudah
cukup banyak, yaitu adanya beberapa teori tertentu dan telah ada berbagai
penelitian empiris yang menguji berbagai hipotesis tertentu.30
Sifat penelitian dalam penulisan karya ilmiah ini bersifat deskriptif. karena
ingin menggambarkan kenyataan yang terjadi. Penelitian deskriptif merupakan
penelitian yang bertujuan melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu pada
saat tertentu dan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala
dengan gejala lainnya dalam masyarakat.31
1.8.4 Data dan Sumber Data
Dalam penelitian hukum ini data yang digunakan adalah data primer
(lapangan) dan data sekunder (kepustakaan ) yaitu sebagai berikut:
1. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang
diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan, melalui wawancara
dengan pihak-pihak yang terkait yaitu pada bagian Legal dan bagian kredit
Bank Perkreditan Rakyat Wilayah Denpasar. Penelitian ini dilakukan
dengan cara melakukan wawancara dengan informan dan responden yang
ada pada lokasi penelitian tersebut. Informan, adalah orang atau individu
30
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 25. 31
Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 8.
30
yang memberikan informasi data yang dibutuhkan oleh peneliti sebatas
yang diketahuinya. Responden, adalah seseorang atau individu yang
mengetahui dan mengalami langsung suatu kejadian.32
2. Data Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang
diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan cara studi dokumen terhadap
bahan-bahan hukum yang terdiri dari :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari :
(a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
(b) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan;
(c) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
2. Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari literatur-literatur, buku-
buku, makalah, dan jurnal yang ditulis oleh para ahli dan dokumen-
dokumen yang berkenaan dengan masalah yang dibahas. Menurut
Robert Watt bahan hukum sekunder adalah “all of the other
materials in the library are used basically to assist researcher in
understanding the law and this group se call secondary
materials”.33
Terjemahan bebasnya adalah semua bahan-bahan
lain di perpustakaan pada dasarnya digunakan untuk membantu
32
Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, UI press, Jakarta, (selanjutnya
disebut Soerjono Soekanto II) h. 174 33
Robert Watt, 2001, Concise Legal Research, The Federation Press, Leinchrdt, NSW,
h.1.
31
peneliti memahami hukum dan kelompok ini disebut bahan-bahan
sekunder.
3. Sedangkan Bahan hukum tersier, yang terdiri dari kamus dan
ensiklopedia.34
1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Adapun lokasi Penelitian dalam penyusunan penelitian ini pada 5 (lima) Bank
Perkreditan Rakyat di Wilayah Kota Denpasar, yaitu PT. BPR Luhur Pucak Sari,
PT. BPR Padma, PT. BPR Legian, PT. BPR Hoki, dan PT. BPR Duta
Bali.Terpilihnya lokasi tersebut sebagai lokasi penelitian dikarenakan pada bank
tersebut terdapat kasus kredit macet dengan jaminan fidusia yang bukan milik
debitur sehingga menyulitkan pihak bank untuk melakukan eksekusi atas benda
jaminan. Dalam Penelitian ini metode sampel yang digunakan adalah sampel
secara Non Random Sampling, yaitu suatu cara menentukan sampel dimana
peneliti telah menentukan atau menunjuk sendiri sampel dalam penelitiannya.35
Penentuan responden ataupun informan dilakukan dengan menggunakan
metode snowball sampling yang dipilih berdasarkan penunjukan atau rekomendasi
dari sampel sebelumnya. Sampel pertama yang diteliti ditentukan sendiri oleh
peneliti yaitu dengan mencari responden kunci ataupun informan kunci, kemudian
responden berikutnya yang akan dijadikan sampel tergantung dari rekomendasi
yang diberikan oleh responden kunci yang diawali dengan menunjuk sejumlah
responden yaitu responden yang mengetahui, memahami, dan berpengalaman
34
Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, h. 119. 35
Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, hal. 98.
32
sesuai dengan objek penelitian ini yakni Bank Perkreditan Rakyat di Kota
Denpasar.
1.8.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah dengan metode wawancara dengan mewawancarai para Responden
maupun informan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Jenis
wawancara yang dipergunakan adalah wawancara terstruktur, yang telah disusun
terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dan semua yang
diwawancarai ditanyakan dengan pertanyaan yang sama. Dengan tehnik
wawancara ini akan lebih mudah mendapatkan informasi yang diinginkan,
menurut pendapat yang dikemukakan oleh William D. Crano dan Marilyn B.
Brewer, bahwa : “in survey research, personal contact is achieve higher response
rates than the more impersonal question approach”36
terjemahan bebas penulis
bahwa dalam penelitian lapangan, wawancara secara pribadi memberikan respon
yang lebih tinggi dari pada tidak dengan melakukan wawancara. Wawancara
adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak,
yaitu pewawancara adalah pihak yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
adalah pihak yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.37
Tehnik
pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini menggunakan tehnik studi
dokumen melalui kepustakaan dipergunakan dengan cara mencatat data-data
yang bersumber pada bahan hukum primer maupun dari bahan hukum sekunder
36
Crano, William D. and Brewer, Marilyn B., 2002, Principles and Methodes of Social
Research,Lowrence Erlbaum Associates, Mahwah, New Jersey, hal. 223. 37
Lexy J. Moleong, 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, PT. Remaja
Rosdakarya, Cet. XXXI, Bandung, hal. 186.
33
yang berupa buku-buku tulisan dari para sarjana dan bahan hukum tersier yang
berupa kamus dan ensiklopedia.
1.8.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di
lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisa.38
Setelah data dikumpulkan
kemudian data diolah secara kualitatif dengan melakukan studi perbandingan
antara data lapangan dengan data kepustakaan sehingga akan diperoleh data yang
bersifat saling menunjang antara teori dan praktek. Dalam menganalisa data,
setelah data terkumpul maka langkah penting selanjutnya adalah analisis
data.39
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif, yaitu data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian lapangan
maupun kepustakaan diolah dengan pendekatan kualitatif dan disajikan secara
deskriptif sesuai dengan hasil penelitian lapangan dan kepustakaan untuk
memperoleh kesimpulan yang tepat dan logis sesuai dengan permasalahan yang
dikaji.40
38
Bambang Waluyo, op.cit, hal. 72. 39
Bambang Waluyo, op.cit, hal 19. 40
Zainuddin Ali, 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107.